konsep nÛr muhammad dalam perspektif ibn ‘arabȊ …

71
KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ : STUDI PENAFSIRAN SURAH AL-NÛR AYAT 35 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.) Oleh : Muhammad Lazuardi NIM : 1112034000077 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ :

STUDI PENAFSIRAN SURAH AL-NÛR AYAT 35

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh :

Muhammad Lazuardi

NIM : 1112034000077

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …
Page 3: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …
Page 4: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …
Page 5: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

i

ABSTRAK

Muhammad Lazuardi: “Konsep Nûr Muẖammad Dalam Perspektif Ibn

‘Arabî” (Studi Kritis Penafsiran Q.S. al-Nûr ayat 35)

Nûr Muẖammad merupakan salah satu pembahasan dari profetologi tasawuf

yang dikenal sejak masa awal Islam hingga abad modern ini. Dan Nûr Muẖammad

telah dikenal sejak Nabi Muhammad masih hidup.

Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, penulis menggunakan metode

deskriptif analitis, yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan

dan baru kemudian dianalisa. Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran Ibn

‘Arabî terhadap QS. al-Nûr ayat 35 tentang konsep Nûr Muẖammad. Setelah data

terkumpul, lalu djelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak

jelas jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.

diperlukan kitab-kitab karya beliau sendiri dan kitab tafsir yang dinisbatkan kepada

beliau seperti Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Futûẖat al-Makiyyah, Fusus al-Hikam

dan lain-lain. Setelah data terkumpul, lalu djelaskan serta dianalisis secara

mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban atas persoalan yang berhubungan

dengan pokok permasalahannya.

Dalam penelitian ini peneliti fokus membahas penafsiran Nûr Muẖammad

yang dilakukan oleh Ibn ‘Arabî. Penafsiran yang dilakukan oleh beliau menjadi

menarik untuk diteliti karena banyaknya para mufassîr yang kontra terhadap

pemikiran beliau. Ibn ‘Arabî dikenal dengan teori Waẖdah al-Wujûd.

Setelah melakukan penelitian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

konsep Nûr Muẖammad menurut Ibn ‘Arabî bukanlah qadîm sebagaimana

keqadîman sifat Allah. Etintas Nûr Muẖammad sendiri sebagai makhluk pertama

Allah merupakan sebuah anugrah luar biasa dari Allah yang dapat dia berikan

kepada siapa saja yang dia kehendaki. Keberadaan Nûr Muẖammad merupakan hak

prerogatif Allah tanpa intervensi dan pengaruh siapapun.

Kata kunci: Nûr Muẖammad, al-Nûr: 35, Ibn ‘Arabî

Page 6: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt., yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Yang senantiasa melimpahkan segala nikmat dan pertolongannya kepada penulis.

Berkat izin dari-Nya pemulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta

salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Semoga kita

termasuk umatnya yang istiqamah menjalani perintahnya, dan mendapatkan

syafa’at pada hari Kiamat kelak.

Penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul “KONSEP NȖR

MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ: STUDI KRITIS

PENAFSIRAN Q.S. AL-NȖR AYAT 35” ini tidak akan selesai jika hanya

mengandalkan daya yang penulis miliki. Ada banyak sosok, kerabat, dan orang-

orang yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu

penulis. Maka dalam pengantar skripsi ini penulis mengucapkan banyak terimaksih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku

Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an

dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris

Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Usshuluddin UIN Syarif

Hidyatullah Jakarta.

Page 7: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

iii

4. Bapak Kusmana, M.A, Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberikan banyak nasihat dan kemudahan bagi penulis dalam

mengurus administrasi dan penyelesaian skripsi.

5. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A., selaku dosen pembimbing

yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing,

mengarahkan, dan mengoreksi dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmu dan pengalaman

berharga kepada penulis.

7. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Drs. H. Mahmud Rahmatullah

dan Ibunda Dra. Hj. Mahmudah Abubakar, yang selalu mendoakan

kebaikan dalam setiap aktifitas penulis, yang tidak henti-hentinya

memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Yang dengan sabar menunggu dalam menyelesaikan masa studi

penulis. Juga kakak serta adik-adik tercinta yang berkat merekalah aku

semangat menyelesaikan tugas akhir ini, Zara Zarini, Abdul ‘Azim,

Rizqi Mumtazul Hakim dan Azza Za’imatush Sholihah.

8. Keluarga Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2012, terkhusus

bagi kawan-kawan TH B, semoga silaturrahim kita tetap selalu terjaga

dan takkan retak walaupun jarak memisahkan kita.

9. Sahabat dan sahabati PMII, terkhusus Mas Umam, Rasyidi, Ipunk

Brader, Irfan Pancil, Hadi Jawa, Fahri Alex yang telah banyak

berkontribusi dalam membangun keintelektualan penulis dengan kajian

Page 8: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

iv

dan diskusi, serta kesadaran penulis agar selalu peka dan peduli

terhadap lingkungan, baik lokal maupun nasional.

10. Teman- teman seperjuangan Sugih Hidayatullah, Muhammad Isrop,

Riswan Sulaiman, Syahroni, Ichal Blues, Muhammad Yusuf

Ramadhan, Konde, Aang, Sabiq dan yang lainnya, yang menemani

serta berjuang bersama dalam meyelesaikan skripsi ini.

Sekali lagi penulis haturkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis. Semoga Allah Swt. membalas kebaikan yang berlipat

ganda dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Âmîn yâ Rabb al-‘Âlamîn.

Ciputat, 16 Juli 2019

Muhammad Lazuardi

Page 9: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

v

DAFTAF ISI

ABSTRAK .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ v

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

B. Identifikasi, Perumusan dan Pembatasan Masalah .......... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 6

D. Tinjauan Pustaka ............................................................. 7

E. Metodologi Penelitian ................................................... 11

F. Sistematika Penulisan .................................................... 12

BAB II PANDANGAN UMUM KONSEP NȖR MUHAMMAD

A. Pengertian Nûr Muẖammad .......................................... 14

B. Sosok Nabi Muhammad SAW

1. Biografi .................................................................... 19

2. Tujuan Pokok Kerasulan ......................................... 20

C. Tafsir Q.S. Al-Nûr: 35

1. Tafsir Klasik: Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm ............... 22

2. Tafsir Modern: Tafsir Al-Mishbah ......................... 23

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IBN ‘ARABȊ

A. Biografi dan Pemikiran

1. Latar Belakang Sosial ............................................... 25

2. Keluarga .................................................................... 28

3. Karya ........................................................................ 29

4. Pemikiran .................................................................. 31

BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN IBN ‘ARABȊ Q.S. AL-NȖR: 35

SEBAGAI KONSEP NȖR MUHAMMAD

A. Penafsiran Q.S. al-Nûr: 35 Sebagai Nûr Muhammad .. 33

B. Konsep Nur Muhammad .............................................. 39

C. Relevansi Nûr Muhammad Terhadap Makhluk

Di Era Modern .............................................................. 44

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................. 48

B. Saran ......................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA

Page 10: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada

“Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017

tentang pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”.

A. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ts te dan es ث

j Je ج

ẖ h dengan garis bawah ح

kh Ka dan ha خ

d De د

dz De dan zet ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis bawah ص

ḏ de dengan garis bawah ض

ṯ te dengan garis bawah ط

Page 11: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

viii

ẕ zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Ki ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ن

w We و

h Ha ه

Apsotrof ' ء

y Ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tungga atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatẖah

I Kasrah

U Ḏommah

Page 12: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

ix

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas نا

î i dengan topi di atas ني

û u dengan topi di atas نو

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf ال dialih aksarakan menjadi /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah.

Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.

E. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ـــ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

Page 13: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

x

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-

darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

F. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat

contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut

diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/

(lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarîqah طريقة 1

al-jâmî’ah al-Islâmiyyah الجامعةالاسلامية 2

waẖdat al-wujûd وحدةالوجود 3

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf

kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al -Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-

Kindi bukan Al-Kindi.

Page 14: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

xi

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam

alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak

tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd

al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al -Dîn al-Rânîrî.

Page 15: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara tradisional terdapat tiga cabang ilmu pengetahuan Islam, ilmu kalam,

fikih, dan tasawuf. Ketiganya lahir hampir secara sendiri-sendiri, tetapi tetap

saling berkait.1 Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu, dalam pandangan Ibnu

Khaldun, tetap merupakan disiplin ilmu baru, namun perilaku tasawuf yang

intinya konsentrasi beribadah kepada Allah, berpaling dari kemewahan dan

gemerlap kehidupan dunia, merupakan sifat-sifat yang melekat pada diri para

sahabat dan ulama salaf. Tatkala godaan limpahan materi semakin menjadi-jadi

akibat ekspansi Islam yang meluas, pada abad kedua hijriah, munculah kelompok

masyarakat yang berupaya tidak terpengaruh godaan materi, dan mereka, disebut

oleh para ahli, sebagai kaum sufi.

Ajaran tasawuf terus berkembang seiring dengan lahirnya tokoh-tokoh

tasawuf pada setiap generasi. Kalau pada abad pertama dan kedua tasawuf identik

dengan paham asketisme (zuhd), maka pada abad ketiga tasawuf mulai

membicarakan latihan spritual (riyadah) yang dapat membawa manusia dekat

dengan Tuhan. Puncak kedekatan dengan Tuhan berbeda antara konsep satu

dengan konsep yang lainnya, ada yang sampai ke tingkat ma’rifah, seperti al-

Ghazâlî, Zûn al-Nûn al-Misrî, ada yang sampai ke tingkat mahabbah, seperti

Rabî’ah al-‘Adawiyah, ada yang sampai al-fana wa al-baqa seperti Abû Yazîd al-

1Nurcholish Madjid, “Tasawuf Inti Keberagaman”, dalam Jurnal PESANTREN, No:

3/Vol.III/1985, h.3.

Page 16: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

2

Busṯami, ada yang sampai ke tingkat hulul seperti konsep al-Hallaj, ada yang

sampai ke tingkat wahdah al-wujûd seperti Ibn ‘Arabî dan yang lainnya.2

Nûr Muẖammad adalah salah satu teori dan tema pokok dari profetologi

tasawuf yang dikenal sejak masa awal Islam hingga abad modern ini. Meskipun

istilah Nûr Muẖammad tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun diduga keras

para ahli sufi mengambil pijakan argumentasi dari firman Allah SWT. (QS. al-

Nûr [24]: 35) :

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya

Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita

besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang

bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang

berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan

tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir

menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),

Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah

memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha

mengetahui segala sesuatu.

Menurut al-Tustarî, maksud kata matsalu Nûri-hi, perumpamaan cahaya

(Nûr)-Nya, adalah perumpamaan Nur Muhammad SAW3. Sedang Ibn ‘Arabî

2Al-Kalabadi, at-Ta’arruf li Mazhab ahl at-Tasawuf (Mesir: Maktabah al-Kulliyyat al-

Azhariyah, 1980), h.8. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),

h.32-34. Lihat pula! Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (Semarang:

Ramdhani, 1984), h.57.

3Abû Muẖammad Sahl ibn ‘Abdullâh bin Yûnus bin Râfi’ al-Tustarî, Tafsîr al-Tustarî (Bayrut:

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1423 H), h.68.

Page 17: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

3

menginterpretasikannya dengan rûh al-‘alam, suatu padanan makna dari term Nur

Muhammad.4

Menurut Ibn ‘Arabî (Lahir 560 H/1165 M) yang pertama-tama diwujudkan

Allah adalah Nûr Muẖammad atau hakikat Muhammad. Ibn ‘Arabî memberikan

nama tidak kurang dari sepuluh yang identik dengan hakikat Muhammad (al-

Haqîqah al-Muhammadiyah), (The Reality of Muhammad) yaitu: Haqîqah al-

Haqâ’iq (The Reality of Reality), Rûh Muhammad (The Spirit of Muhammad), al-

‘Aql al-Awwal = Plotinus Nous (The First Intelectual), al-‘Arasy (The Throne),

al-Rûh al-A’zam (The Most Might Spirit), al-Qalam al-A’lâ (The Most Exalted),

al-Khalîfah (The Vicegerent), al-Insân al-Kamîl (The Perfect Man), Azl al-‘Alam

(The Origin og Universe), Adâm al-Haqîqî (The Real Adam), al-Barzakh (The

Intermediary), Falaq al-Hayâh (The Sphere of Life), al-Haqq al-Makhlûq bih

(The Real Who Is the Instrument of Creation), al-Hayula (The Prima Matter), al-

Rûh (The Spirit), al-Qutb (The Pole), ‘Abd al-Jamî’ (The Servant of the

Embracing) dan sebagainya.5 Nur Muhammad ber-tajalli dari Nur Zat-Nya. Nûr

Muẖammad merupakan wadah tajalli yang paling sempurna dan karena itu ia

dipandang sebagai khalifah Allah atau Insan Kamil yang paling khas.

Di era modern ini, studi tentang Nûr Muẖammad juga dilakukan oleh

Annemarie Schimmel, seorang peneliti Barat yang sangat otoritatif dalam kajian

tasawuf dan sangat simpatik terhadap Islam dan Nabi Muhammad Saw. secara

khusus. Ia menyebutkan bahwa Muhammad itu menempati kedudukan sebagai

4Muẖy al-Dîn Ibn ‘Arabî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Bayrut: Dar al-Yaqzah al-‘Arabiyyah,

1980), h.139-140.

5A. Afifi, Mystical Philosophy Muhyiddin Ibnul ‘Arabi (Cambridge: The University Press,

1939), h. 66-67.

Page 18: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

4

manusia sempurna. Allah menciptakan mikrokosmos manusia sempurna atau

insân al-kamîl. Penelitiannya ini terkait dengan pandangan al-Hallâj tentang

immanensi Tuhan melalui insan kamil (Nûr Muẖammad). Menurut Annemarie

Schimmel, pandangan al-Hallâj tersebut bersumber dari ajaran filsafat Yunani.

A.Schimmel mengkaji Nûr Muẖammad secara khusus dalam karyanya, And

Muhammad is His Messenger, 1993. Peneliti kawakan yang sudah pernah

berkunjung ke Indonesia ini, menelusuri berbagai pandangan para sufi tentang

Nûr Muẖammad. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam tradisi dan khazanah

tasawuf sangat kaya dengan informasi Nûr Muẖammad. Kajian Nûr Muẖammad

telah mengalami perkembangan dan pemaknaan yang demikian pesatnya.6

Dari paparan di atas, dengan melihat fungsi dan posisi penting dan terpenting

dari Nûr Muẖammad, maka dapat dipahami mengapa Nûr Muẖammad mesti

mendapat perhatian serta kajian yang serius dan penulis tertarik untuk mengkaji

konsep Nûr Muẖammad dalam skripsi yang berjudul “Konsep Nûr Muẖammad

dalam Perspektif Ibn ‘Arabî : Studi Penafsiran Q.S. al-Nûr ayat 35”.

B. Identifikasi, Perumusan & Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Ada apa dengan Nûr Muẖammad? Mengapa Nûr Muẖammad perlu dikaji?

Setidaknya terdapat empat alasan , sehingga Nûr Muẖammad perlu dikaji.

Pertama, selama ini Nûr Muẖammad hanyalah merupakan kajian

termarginalkan (terpinggirkan) dibanding dengan tema-tema pokok dalam ilmu

6 Lihat Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill: The University of

North Carolina Press, 1975) dan idem, And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the

Prophet is Islamic Piety, terj. Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan: Dan Muhammad adalah Utusan

Allah: Penghormatan terhadap Nabi Saw dalam Islam (Bandung: Mizan, 1993).

Page 19: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

5

tasawuf, seperti teori al-mahabbah –cinta- (Rabî’ah al-’Adawiyah), al-ittihâd –

penyatuan diri dengan Tuhan- (Abû Yazîd al-Busṯâmî), al-hulûl –meleburnya

hamba dengan Tuhan- (al-Hallâj), wahdah al-wujûd –kesatuan wujud- (Ibn

‘Arabî), dan konsep al-ma’rifah (Imam al-Ghazâlî).

Kedua, terdapat hal menarik dari para ulama dalam menafsirkan QS. al-Nûr

ayat 35. Salah-satunya menurut al-Tustarî, maksud kata matsalu nûr-hi,

perumpamaan cahaya (Nûr)-Nya, adalah perumpamaan Nûr Muẖammad SAW7.

Sedang Ibn ‘Arabî menginterpretasikannya dengan rûh al-‘alam, suatu padanan

makna dari term Nûr Muẖammad.8

Ketiga, sebagian orang mengira bahwa Nûr Muẖammad hanyalah ilmunya

orang-orang tarekat. Dan lebih fatal lagi, ada yang menyangka bahwa Nûr

Muẖammad adalah bukan ilmu yang bersumber dari Islam. konsep Nûr

Muẖammad adalah pengaruh dari teologi Kristen dan Helenisme Yunani. Padahal,

ilmu Nûr Muẖammad bersumber dari Islam. ia adalah ilmu Islam. sebab, Nûr

Muẖammad memiliki landasan teoritis dalam al-Qur’an dan hadis Nabi SAW.

Keempat, yang menarik lagi, kalangan peneliti dan cerdik-pandai, ada saja

yang salah paham atau keliru dalam memahami Nûr Muẖammad. Sebagai contoh,

Ensiklopedi Islam (IV: 2001, h.46) disebutkan bahwa Ibn ‘Arabî adalah orang

yang pertama-tama mempopulerkan konsep Nûr Muẖammad. Padahal Nûr

Muẖammad telah disampaikan oleh Nabi sendiri kepada sahabatnya, Jâbir ibn

‘Abdullâh dan Hassan ibn Tsabît. Di kalangan sufi-filosof, jauh sebelum Ibn

7Abû Muẖammad Sahl ibn ‘Abdullâh bin Yûnus bin Râfi’ al-Tustarî, Tafsîr al-Tustarî

(Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1423 H), h.68.

8Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Bayrût: Dâr al-Yaqzah al-‘Arabiyyah,

1980), h.139-140.

Page 20: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

6

‘Arabî (560-638/1172-1240), Nûr Muẖammad telah dikenal. Nama-nama seperti

Sahl al-Tustarî, al-Hallâj, dan Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Jailânî telah banyak

mempopulerkan konsep Nûr Muẖammad sebelum lahirnya Ibn ‘Arabî.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah penulis uraikan diatas, maka

dapat dirumuskan masalah: “Bagaimana Ibn ‘Arabî menafsirkan QS. al-Nur

ayat 35 dan hubungannya dengan konsep Nûr Muẖammad?”

3. Pembatasan Masalah

Penulis terfokus hanya pada permasalahan Nûr Muẖammad, terutama pada

surat al-Nûr ayat 35. Karena dalam surat dan ayat ini terdapat tafsiran tentang Nûr

Muẖammad. Penulis akan mengambil pemikiran Nûr Muẖammad ini dari sudut

pandang seorang tokoh yang bernama Ibn ‘Arabî, yang pandangan-pandangan

keagamaannya dipandang para ahli, sangat kontroversial sebagai hasil

interpretasinya terhadap al-Qur’an.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sebagaimana telah agak tergambar dalam rumusan masalah di atas bahwa

penelitian ini hendak mengungkap dan mencari jawaban secara kritis dan ilmiah

terhadap pertanyaan penelitian yang rincian globalnya telah penulis angkat dalam

rumusan masalah. Lebih spesifik lagi penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan:

1. Konsep Nûr Muẖammad menurut pandangan para ulama sufi

2. Pendekatan dan metode yang dipergunakan Ibn ‘Arabî dalam menafsirkan

ayat-ayat al-Qur’an

Page 21: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

7

3. Penafsiran Nûr Muẖammad dalam QS. al-Nûr [24] ayat 35 menurut Ibn

‘Arabî

Adapun manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:

1. Menambah khasanah keilmuan, khususnya di bidang tafsir

2. Ikut andil dalam sumbangsih pemikiran terhadap wacana keislaman,

terutama untuk melengkapi buku-buku dan sumber bacaan lain yang juga

membahas tafsir.

D. Tinjauan Pustaka

Telah ada beberapa tulisan, baik berbentuk buku maupun karya ilmiah yang

membahas dan berhubungan dengan Nûr Muẖammad dan Ibn ‘Arabî. Akan tetapi

peneliti belum menemukan tulisan yang membahas tentang konsep Nûr

Muẖammad menurut Ibn ‘Arabî.

Diantara penelitian yang berhasil penulis temukan adalah:

1. Menyibak Tabir Nur Muhammad9. Buku ini membahas tema yang sama

tentang Nur Muhammad, namun lebih difokuskan dalam ranah tasawuf,

bukan tafsir. Yang menurut penulisnya, Nûr Muẖammad dalam tasawuf,

berkedudukan sebagai jalan menuju Allah, dengan menghilangkan jarak

dengan Allah. Jarak bukan dalam ukuran ruang, tetapi ukuran sifat. Hal ini

berarti bergerak mendekati Tuhan dengan mewujudkan sifat-sifat Allah

dan menghilangkan sifat-sifat manusia.

9Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta: Renaisan, 2004).

Page 22: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

8

2. Cecep Alba10, mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2007, mendeskripsikan metode penafsiran al-Qur’an Ibn ‘Arabî. Ia

memfokuskan penelitianya terhadap metode penafsiran Ibn ‘Arabî dan

tafsir sufi. Hal ini berbeda dengan penulis yang memfokuskan penelitian

terhadap penafsiran Ibn Arabî terhadap Nûr Muẖammad di dalam al-

Qur’an.

3. Skripsi yang disusun oleh Rohmat Aji Wibowo, dengan judul “Kritik

Sanad dan Matan Hadits tentang Nur Nabi Muhammad SAW. : Kajian

Kritis Hadits Dalam Kitab Maulid Al-Diba’i”.11

Skripsi ini meneliti tentang kualitas hadits di dalam kitab Maulid al-Dîba’î.

Hadis berisi tentang kajian Nûr Muẖammad SAW. Penelitian yang

dilakukan ialah kritik sanad dan matan hadis yang terdapat dalam kitab

tersebut. Dari kajian matan hadits tentang Nur Nabi Muhammad SAW.

memenuhi unsur kesahihan hadis, dan tidak bertentangan dengan al-

Qur’an, hadis, akal, ataupun sejarah yang shahih, serta termasuk ciri-ciri

sabda kenabian.

Skripsi ini penulis anggap penting guna untuk melengkapi pemahaman

para ulama, khususnya ulama hadits tentang konsep Nûr Muẖammad yang

sedang penulis teliti.

4. Nur Fauzan Ahmad, “Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad

Sampai Masuknya ke Nusantara”12. Tulisan dalam jurnal ini bertujuan

10Cecep Alba, “Corak Tafsir Ibnu ‘Arabi” (Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Sayrif

Hidayatullah Jakarta, 2007).

11Rohmat Aji Wibowo, “Kritik Sanad Dan Matan Hadits Tentang Nur Nabi Muhammad SAW:

Kajian Kritis Hadits Dalam Kitab Maulid Al-Diba’i” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015)

Page 23: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

9

untuk mengungkapkan latarbelakang timbulnya gagasan Nur Muhammad

SAW. dan masuknya ke Nusantara. Dalam tulisan ini tidak didapatkan

hasil bahwa gagasan Nûr Muẖammad bermula dari tafsiran filosofis

terhadap QS. al-Nûr ayat 35. Sejalan dengan skripsi yang sedang penulis

bahas tulisan ini mengupas latarbelakang muncul dan berkembangnya Nûr

Muẖammad, baik yang diperkuat oleh al-Hallâj, Ibn ‘Arabî maupun Abd

al-Karîm al-Jillî.

5. Ahmad Ghozali, “Al-Haqîqah Al-Muẖammadiyyah dalam Pemikiran

Mistik Ibn ‘Arabî (Sebuah Tinjauan Tasawwuf-Falsafi)13. Muhammad

SAW (al-Haqîqah al-Muhammadiyyah), merupakan kelanjutan konsep

yang sebelumnya dibahas oleh al-Tustarî dan al-Hallâj, kedua tokoh ini

menggunakan istilah Nûr Muẖammad sedangkan Ibn ‘Arabî menurut

tulisan ini menggunakan istilah al-Haqîqah al-Muhamadiyyah. Tulisan ini

memperkaya penelitian penulis tentang Nûr Muẖammad yang sedang

penulis teliti. Tetapi istilah yang dikemukakan oleh Ahmad Ghozali

berbeda dengan penulis. Karena itulah penulis menganggap penting untuk

memperkaya rujukan.

6. Muhammad Hilal14, “Konsep Insan Kamil dalam pandangan Sadr ad-Dîn

al-Syirâzî (Mulla Sadra). Skripsi yang ditulis oleh Mahasiswa UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta ini relevan dengan penelitian penulis dalam hal

12 Nur Fauzan Ahmad, Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad Sampai Masuknya Ke

Nusantara ( NUSA, Mei 2017), Vol. 12. No. 2.

13 Ahmad Ghozali, Al-Haqîqah Al-Muẖammadiyyah Dalam Pemikiran Mistik Ibnu ‘Arabi

(Sebuah Tinjauan Tasawuf-Falsafi) (Skripsi Thesis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2004).

14Muhammad Hilal, Konsep Insan Kamil dalam Pandangan Sadr ad-Din asy-Syirazi (Mulla

Sadra) (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijagag Yogyakarta, 2010).

Page 24: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

10

memandang suatu konsep atau gagasan dalam pandangan ulama tertentu.

Oleh karenanya, penulis ingin memperkaya rujukan dari skripsi tersebut.

7. Ibnu Ali15, “Konsep Emanasi Dalam Tasawuf Eksistensial Ibnu ‘Arabi:

Studi Hermeneutika Dalam Kitab Shajarat Al-Kawn”. Tesis karya Ibnu Ali

ini adalah salah satu rujukan penulis dalam memahami tasawuf Ibn ‘Arabî.

Akan tetapi, jelas berbeda fokus utama antara thesis tersebut dengan

penelitian penulis, yang mana thesis tersebut fokus kepada ranah tasawuf

sedangkan penelitian penulis lebih kepada tafsir.

8. Abu Sujak, “Metode dan Corak Tafsir al-Qur’anul Karim karya

Muhyiddin Ibnu ‘Arabi”16. Skripsi karya Abu Sujak ini fokus terhadap

penilaian terhadap tafsir karya Ibn ’Arabî saja, tetapi membantu penulis

dalam memperkaya rujukan penelitian.

9. A. Mahmud,17 “Insan Kamil Perspektif Ibnu ‘Arabi”. Tulisan dalam Jurnal

ini relevan dengan penelitian penulis, hanya saja berbeda penyebutan.

Insan Kamil dalam Jurnal tersebut dan Nûr Muẖammad dalam penelitian

penulis.

10. Lenni Lestari18, “Epistemologi Corak Tafsir Sufistik”. Tulisan dalam

Jurnal ini membahas secara umum tafsir-tafsir sufistik dan coraknya. Hal

ini membantu penulis dalam memperkaya rujukan.

15Ibnu Ali, Konsep Emanasi Dalam Tasawuf Eksistensial Ibnu ‘Arabi: Studi Hermeneutika

Dalam Kitab Shajarat Al-Kawn (Master Thesis Program Magister Filsafat Agama UIN Surabaya,

2014)

16 Abu Sujak, Metode Dan Corak Tafsir al-Qur’ân al-Karîm (Skripsi S1 Fakultas Syariah

IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1989).

17A. Mahmud, Insan Kamil Perspektif Ibnu ‘Arabi. Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman, Vol

9, No.2, 2014.

18Lenni Lestari, Epistemologi Corak Tafsir Sufistik. Jurnal Syahadah, Vol.2, No.1, April 2014.

Page 25: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

11

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan

adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap

buku-buku, literature-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada

sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah

yang akan dipecahkan.19

2. Sumber Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan

menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa

buku-buku. Sumber data primer adalah kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang

diduga karya Muhy al-Dîn Ibn ‘Arabî. Sedangkan untuk sumber sekunder penulis

menggunakan literature-literatur yang ada relevansinya dengan topik

permasalahan, yang berupa buku-buku dan sumber-sumber informasi lainnya

yang berhubungan dengani llmu tafsir sebagai tambahan pelengkap.

3. Metode

Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif analistis, yakni

data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan baru kemudian

dianalisa.20 Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran Ibn ‘Arabî terhadap

19M. Nazir,Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h. 27.

20Winarto Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah (Bandung:

Tarsio, 1972), h. 132, Gay (1962) mendefinisika nmetode penelitian deskriptif sebagai kegiatan

yang meliputi pengumpulan data dalam menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang

menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian., Consuelo G.

Sevila, dkk., Pengantar Metode Penelitian, terj. Alimuddin Tuwu (Jakarta: UI-PRESS, 1993), h.

71. Menurut Komaruddin, Descriptive Research adalah suatu riset yang tujuannya untuk

Page 26: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

12

hubungan konsep Nûr Muẖammad dengan Q.S. al-Nûr [24] ayat 35 diperlukan

tafsir itu sendiri dan karya-karya Ibn ‘Arabî lainnya seperti, Futûẖat al-Makkiyah,

Fusus al-Hikâm dan lain-lain. Setelah data-data terkumpul, lalu dijelaskan serta

dianalisis secara mendalam, sehingga akan tampak jelas jawaban atas persoalan

yang berhubungan dengan pokok permasalahannya.

4. Pedoman Penulisan Penelitian

Untuk teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada Keputusan Rektor UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, No: 507 Tahun 2017 tentang pedoman penulisan

karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam beberapa bab dan setiap babnya terdiri dari

beberapa subbab yang sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan.

Dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang utuh dan sistematis dengan

perincian sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini menjelaskan seputar latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian

pustaka, metode penelitian, dan sistematika yang akan digunakan dalam penelitian

ini.

Bab kedua menjelaskan dan memaparkan pengertian dan sejarah Nûr

Muẖammad, serta menampilkan ragam pandangan tokoh sufi terhadap Nûr

Muẖammad.

mengumpulkan fakta yang disertai penafsiran. Komaruddin, Kamus Riset (Bandung: Angkasa,

1987), h.69.

Page 27: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

13

Bab ketiga berisi tentang pengenalan terhadap Syaikh Ibn ‘Arabî yang

mencakup konteks sosial-politik, riwayat hidup, konsep sufistik, geneologi

tasawuf, serta profil dari kitab Tafsîr Al-Qur’ân Al-Karîm.

Bab keempat mendeskripsikan serta menganalisa penafsiran Ibn ‘Arabî

terhadap QS. al-Nûr ayat 35, serta relevansi Nûr Muẖammad terhadap makhluk di

era modern.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan yang didasari uraian dan bahasan bab

sebelumnya serta saran-saran yang berkaitan dengan tema yang dibahas di dalam

skripsi ini.

Page 28: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

16

BAB II

PANDANGAN UMUM KONSEP NÛR MUHAMMAD

Nûr yang yang dalam bahasa Arab diartikan dengan cahaya

dan disebut dalam al-Qur’an sebanyak 43 kali. Bahkan, surah ke-

24 juga diberi nama dengan al-Nûr. Begitu banyaknya al-Qur’ân

membahas tentang eksistensi nûr. Lantas sedalam apakah makna

nûr yang dibahas al-Qur’ân? Eksistensi dan urgensi kalimat nûr

tentu tidak hanya sebatas didefinisikan dengan cahaya saja.

A. Pengertian Nûr Muẖammad

Menurut bahasa Arab arti nûr adalah cahaya. Kamus Besar

Bahasa Indonesia mengartikan cahaya adalah sinar atau terang

(dari sesuatu yang bersinar seperti matahari, bulan, lampu) yang

memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda

disekitarnya.1 Menurut al-Ghazâlî, cahaya didefinisikan sebagai

sesuatu yang terang atau tampak (zâhir) pada dirinya dan bisa

membuat yang lain terang atau tampak (muzhir). Cahaya

menurutnya memiliki beberapa tingkatan, dan berbagai istilah

yang terdapat dalam ayat di atas adalah adalah juga merupakan

tingkat-tingkat cahaya yang dimiliki manusia yang mana manusia

terbimbing kepada kebenaran atau Tuhan.2

1Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Pendidikan Nasional, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 251.

2Abu al-‘Ila ‘Afifi, “Tasdir ‘Amm”, dalam Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykat

al-Anwâr, diedit dan diberi pengantar oleh Abu al-Ila ‘Afifi (al-Qâhirah: al-

Dar al-Qawmiyah), 1964, h.7.

Page 29: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

17

Dalam al-Qur’an, kata nûr paling tidak memiliki arti dalam

tiga kemungkinan. Pertama berarti cahaya itu sendiri, misalnya

pada QS. Yûnus [10]: 5

رهۥ انور وٱلقمر هو ٱلذي جعل ٱلشمس ضياء نين عدد لت علموا منازل وقد ٱلس لك إل بٱلحق ي فص ل ٱليت ل وٱلحساب ي علمون قوم ما خلق ٱلله ذ

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan

bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-

tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui

bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak

menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia

menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-

orang yang mengetahui. Kedua, berarti petunjuk, misalnya pada QS. al-Hadîd [57] ayat 9:

ب ي نت ت م ن ل يخرجكم هو ٱلذي ي ن ز ل على عبدهۦ ءايت وإن ٱلنور إلى ٱلظلم

رحيم لرءوف بكم ٱلله Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang

terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari

kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-

benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.

Ketiga, berarti al-Qur’an, misalnya pada QS. al-Taghâbun [64]

ayat 8:

وٱلله بما ت عملون خبير فأمنوا بٱلله ورسولهۦ وٱلنور ٱلذي أنزلنا

Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan

kepada cahaya (Al-Quran) yang telah Kami turunkan. Dan

Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Page 30: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

18

Makna dasar kata nûr itu adalah petunjuk, karena nûr dalam

arti cahaya itu sendiri, petunjuk, ataupun al-Qur’an berfungsi

sebagai petunjuk bagi orang yang tersesat jalan atau orang yang

sedang mencari kebenaran. Maka Nabi Muhammad SAW disebut

juga nûr, karena beliau diyakini sebagai orang yang membawa

petunjuk atau menunjukkan jalan yang benar. Hal ini disebutkan

pula dalam Kamus al-Munawwir yang menjelaskan bahwa arti

kata nûr itu adalah Nabi Muhammad SAW.3

Dasar keberadaan Nûr Muhammad dihubungkan dengan

sejumlah ayat dan hadis. Di antaranya, "Sesungguhnya telah

datang kepadamu cahaya (Nûr) dari Allah dan kitab yang

menerangkan." Sebagaimana firman Allah :

Q.S al-Mâidah [4] : 15

من تخفون كنتم م ما ايأهل ٱلكتب قد جاءكم رسولنا ي ب ي ن لكم كثير مبين وكتب ٱلله نور م ن جاءكم قد كثير عن وي عفوا ٱلكتب

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu

Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-Kitab

yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang)

dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya

dari Allah, dan Kitab yang menerangkan”.

Q.S al-Aẖzâb [33] :21

وٱلي وم ٱلله ي رجوا كان ل من لقد كان لكم في رسول ٱلله أسوة حسنة اكثير ٱلله وذكر ٱلخر

3Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Penerbit Pustaka

Progressif, 2007), h. 1474.

Page 31: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

19

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri

teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap

(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak

menyebut Allah.

Terminologi “Nûr Muhammad” adalah istilah yang

digunakan oleh para sufi yang beraliran tasawuf falsafati. Seperti

Hamzah Fansuri dalam karyanya Asrār al-‘Ârifîn dan Ibn ‘Arabî

dalam Futûhât al-Makkiyyah-nya.4

Dalam ilmu tasawuf, Nûr Muhammad mempunyai

pembahasan mendalam. Nûr Muhammad disebut juga haqîqah

Muhammadiyah. Sering dihubungkan pula dengan beberapa

istilah seperti al-qalam al-a’lâ (pena tertinggi), al-‘aql al-awwal

(akal utama), amr Allâh (urusan Allah), al-rûh , al-malak, al-rûh

al-Ilâhi, dan ar-rûh al-Quddûs. Tentu saja, sebutan lainnya

adalah insân kamîl. Secara umum istilah-istilah itu berarti

makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan

utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah

sebabnya Nûr Muhammad pun disebut al-haqq al-makhlûq bih

atau asy-syajarah al-baiḍa karena seluruh makhluk memancar

darinya. Ia bagaikan pohon yang daripadanya muncul berbagai

planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing.

Nûr Muḥammad pernah diungkapkan oleh Dzu al-Nûn al-

Misrî (w. 283 H /860 M), seorang sufi penggagas teori al-

Ma’rifah. Dzu al-Nûn al-Misrî berpendapat bahwa :

4Sofyan Abdurrahim, “Nūr Muhammad Dalam Naskah Klasik Gorontalo”,

Jurnal Al-‘Ulum, Vol. 11, No. 2 (Desember, 2011): h. 357.

Page 32: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

20

“asal mula ciptaan Allah (makhluk) adalah Nûr Muḥammad.”

Pemikiran semacam ini juga dapat dijumpai pada pendapat Abû

Muḥammad Sahl Ibn ‘Abdullâh al-Tustarî (w. 283 H). Dari

rentetan uraian tersebut secara sejarah, teori Nûr Muḥammad ini

nampaknya sudah muncul akhir abad kedua Hijriyah, meskipun

masih dalam bentuk peristilahan harfiah semata. Namun

demikian, pemikiran awal yang dapat dipertimbangkan adalah

bahwa esensi kata Nûr Muḥammad dijadikan pijakan dasar bagi

asal mula kejadian alam semesta ini. Tatanan pemikiran itu

walaupun belum merupakan suatu kons ep yang lengkap dan

utuh, tetapi pada dasarnya memiliki kesesuaian dengan sebuah

teori yang kemudian ditampilkan oleh al-Hallaj.5

Al-Tustarî (w. 283 H) merupakan orang pertama yang

mengajari al-Hallâj mengenai dasar-dasar suluk (jalan menuju

kesempurnaan batin). Oleh karenanya, tidaklah mustahil jika

teori yang dikembangkan al-Hallâj merupakan tindakan lanjut

dari pendapat al-Tustarî. Di sisi lain, meskipun istilah Nūr

Muẖammad tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun diduga

keras para ahli sufi mengambil pijakan argumentasi dari firman

Allah swt. Allah (pemberi) Nūr (cahaya) kepada langit dan bumi.

Perumpamaan cahaya Allah adalah laksana Misykah (lubang

yang tak tembus), di dalamnya berada pelita besar (misbah).6

5Irfan Riyadi, “Imago Dei dalam konsep theosofi Islam: Manusia

Sempurna menurut Ibn ‘Arabî”, Al-Tahrir, Vol. 6, No. 2 (Juli 2006): h. 273.

6Irfan Riyadi, Imago Dei dalam konsep theosofi Islam : Manusia Sempurna

menurut Ibn ‘Arabî, h. 275.

Page 33: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

21

Selain al-Hallâj dan al-Tustarî, muncul tokoh lainnya, yaitu

‘Abd al-Karîm al-Jillî, pengarang kitab termasyhur, yaitu Insân

al-Kamîl. Ia dikenal sebagai seorang sufi dari kota al-Jîlân, yang

masih keturunan Syaikh ‘Abd al-Qadîr al-Jailânî. Ia memajukan

konsep insân al-kamîl yang pada prinsipnya tidak bertentangan

dengan pendahulunya, yaitu Ibn ‘Arabî, dalam memandang Nûr

Muḥammad.7

B. Sosok Nabi Muhammad SAW

Muhammad SAW, dengan nama yang begitu mulia jutaan

bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat

berdenyut, berulang kali. Dengan nama yang begitu mulia,

berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus

berdenyut sampai akhir zaman.

Pada setiap hari di kala fajar menyingsing, lingkaran-

lingkaran putih di ufuk sana mulai hendak menghalau kegelapan

malam, ketika itu seorang muadzin bangkit, berseru kepada setiap

makhluk insani, bahwa bengun bersembahyang lebih baik

daripada terus tidur. Ia mengajak mereka bersujud kepada Allah,

membaca salawat buat Rasulullah.

م ل س و ه ب ح ص و ه ل آى ل ع و د م ح ا م ن د ي ى س ل ع ل ص م ه الل

7Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, h. 158.

Page 34: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

22

1. Biografi

Nabi Muhammad SAW adalah anggota Banî Hâsyim, sebuah

kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang

mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama ‘Abdullâh ibn

‘Abd al-Muṯallib, seorang kepala suku Quraisy yang besar

pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani

Zuhrah8

Tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan

nama tahun Gajah, karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar,

yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah dengan tujuan

menghancurkan Ka’bah9. Beberapa bulan setelah penyerbuan

tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki, yang

diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari

Senin, 12 Rabî’ al-Awwal tahun Gajah, bertepatan dengan 20

April 570 M. Saat itu ayah Muhammad, ‘Abdullâh, telah

meninggal dunia. Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya,

‘Abd al-Muṯallib. Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang

Quraisy, karenanya mereka berkata kepada ‘Abd al-Muṯallib,

“Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tetapi

tak satu pun yang bernama demikian.” ‘Abd al-Muṯallib

menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain.

Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”

8 Ahmad Jamil, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: CV. Toha,

2010), h. 13.

9 Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera

Antar Nusa, 1990), h. 49.

Page 35: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

23

Pada usia 20 tahun, Muhammad SAW mendirikan Hilfu al-

Fuḏûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang

miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau

akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku

Hawazin. Melalui Hilfu al-Fuḏûl inilah sifat-sifat kepemimpinan

Muhammad SAW mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam

lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang,

namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi

dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera

tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar al- Amîn,

yang artinya orang yang terpercaya10.

2. Tujuan Pokok Kerasulan

Muhammad Saw adalah seorang Nabi dan Rasul terakhir

bagi umat Manusia. Muhammad Saw memulai penyebaran ajaran

Islam untuk seluruh umat manusia dan mewariskan pemerintahan

tunggal Islam. Muhammad sama-sama menegakkan ajaran tauhid

untuk mengesakan Allah Swt sebagaimana yang dibawa Nabi dan

Rasul sebelumnya. Nabi Saw adalah seorang yang tabah dan

sabar, sehingga beliau menjadi panutan bagi manusia dalam

segala aspek kehidupan baik dalam urusan dunia ataupun akhirat.

Keteladanan nabi saw tidak di ragukan kebenarannya, maupun

kebaikannya, karena yang di sampaikan nabi Muhammad saw

adalah berdasarkan wahyu bukan kebohongan dan omong

10 Ibn Hisyâm, Sirah al-Nabi SAW, juz 1 (al-Qâhirah: Maṯba’at al-Madani,

tt), h. 127.

Page 36: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

24

kosong. Nabi Muhammad Saw di utus Allah Swt. setidaknya ada

empat misi kerasulannya.

a. Mengajarkan Ketauhidan

Rasululah SAW mengajarkan untuk mengesakan Allah Swt

dan memberantas kemusyrikan yang dilakukan oleh masyarakat

Mekah pada saat itu. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an:

وما أرسلنا من ق بلك من رسول إل نوحي إليه أنهۥ ل إله إل أنا فٱعبدون

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum

kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:

Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,

maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".11

b. Menyempurnakan Akhlak

Akhlak Nabi Muhammad Saw merupakan acuan yang

tidak ada bandingannya. Bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi

juga oleh Allah Swt. Hal ini dapat dilihat dalam firman-Nya:

نك لعلى خلق عظيم وإ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti

yang agung.”12

c. Membangun Manusia Yang Mulia Dan Bermanfaat

Nabi Muhammad Saw mengajarkan tentang persamaan

derajat manusia. Nabi Muhammad juga mengajarkan agar

penyelesaian masalah tidak boleh dilakukan dengan cara

kekerasan, namun harus dilakukan dengan cara-cara damai dan

beradab.

11 QS. Surah al-Anbiya : 25

12 QS. al-Qalam : 4

Page 37: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

25

Hal ini tercermin dalam tindakan Nabi Muhammad Saw

ketika mendamaikan masyarakat Mekkah saat akan meletakkan

Hajar Aswâd pada tempatnya. Nabi Muhammad Saw

mengajarkan agar manusia bekerja keras untuk dapat memenuhi

kebutuhannya, namun ketika menjadi kaya, dia harus mengasihi

yang miskin dengan cara menyisihkan sebagian hartanya untuk

mereka. Orang yang kuat harus mengasihi yang lemah. Orang tua

harus menyayangi anaknya, baik itu anak laki-laki atau

perempuan. Sebaliknya, anak harus menghormati dan berbakti

kepada kedua orang tuanya walaupun mereka sudah sangat tua.

Ketika antar anggota masyarakat dapat memahami hak dan

kewajibannya, saling menghormati, mengasihi dan menghargai,

akan menjadi masyarakat yang damai, aman, tenteram dan

sejahtera. Terbukti saat ini keadaan masyarakat Mekkah dan

Madinah menjadi masyarakat yang beradab, damai, sejahtera, dan

mengalami kemajuan yang pesat. Semua itu diawali dengan

ketakwaan mereka kepada Allah Swt dan senantiasa berpegang

teguh kepada ajaran Nabi Muhammad Saw.

d. Memberi Kabar Gembira dan Peringatan

Rasulullah Saw memberikan kabar gembira bagi orang yang

beriman kepada Allah Swt, serta mengikuti beliau. Sebaliknya

beliau mengingatkan kepada mereka yang berbuat kejahatan,

kemusyrikan dan kemaksiatan agar menghentikan perbuatan-

perbuatan yang terlarang itu, pahamilah firman Allah Swt dalam

al-Qur’an:

وإن م ن أمة إل خل فيها نذير إنا أرسلنك بٱلح ق بشير ا ونذيرا

Page 38: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

26

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa

kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai

pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan

telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”13

C. Tafsir QS. Al-Nûr [24] : 35

1. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (al-Tustari)

ة ت وٱلرض مثل نورهۦ كمشكو و فيها مصباح ٱلمصباح في ۞ٱلله نور ٱلسمتونة ل شرقية ول زجاجة ٱلزجاجة كأن ها كوكب در ي يوقد من شجرة مبركة زي

نور على نور ي هدي ت ها يضيء ولو لم تمسسه نار ٱلله لنورهۦ من غربية يكاد زي

وٱلله بكل شيء عليم يشاء ويضرب ٱلله ٱلمثل للناس

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.

Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang

yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita

itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang

bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak

dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang

tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di

sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir

menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas

cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-

Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat

perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha

Mengetahui segala sesuatu.”

.ار و ن ال ب ض ر ال و ات و م الس ن ي ز ي م ن ع ( ي ات و م الس ر و ن ى )الله ال ع ت ه ل و ق

Yakni, yang menghiasi langit dan bumi dengan berbagai

cahaya.

13 QS. Fâṯir : 24

Page 39: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

27

ي ر ص ب ل ا ن س ح ال ال , ق م ل س و ه ي ل ع الله ىل ص د م ح م ر و ن ل ث ي م ن ع ( ي ه ر و ن ل ث )م الله ات و ل ص ء آي ب ن ال ب و ل ق ن , ل د ي ح و الت ء آي ض , و ن م ؤ م ال ب ل ق ال ك ل ذ ى ب ن ع ار و ن ال ه ذ ه ل ث م ب ف وص ن ت أ ن م ار و ن أ م ه ي ل ع

Yakni, seperti Nur Muhammad SAW. Al-Hasan al-Bashri

berkata: juga hati orang mukmin, cahaya tauhid, karena hati

para nabi itu nur-nur yang disifati seperti halnya nur-nur

ini.14

Metode penafsiran terdiri dari empat macam, yaitu metode

ijmali (global), tahlili (analitis), muqarran (komparatif) dan

mauḏu’i (tematik).15 Di antara keempat metode tersebut, salah

satu yang digunakan oleh al-Tustarî adalah metode tahlili.

Metode tahlili adalah tafsir yang mengungkap ayat-ayat al-

Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang

terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di

dalam mushaf al-Qur’an, sebagaimana dalam contoh ayat di atas

Q.S. al-Nûr: 35.

2. Tafsir al-Misbah (M. Quraish Shihab)

ة ت وٱلرض مثل نورهۦ كمشكو و فيها مصباح ٱلمصباح في ۞ٱلله نور ٱلسمتونة ل شرقية ول زجاجة ٱلزجاجة كأن ها كوكب در ي يوقد من شجرة مبركة زي

نور على نور ي هدي ت ها يضيء ولو لم تمسسه نار ٱلله لنورهۦ من غربية يكاد زي

وٱلله بكل شيء عليم يشاء ويضرب ٱلله ٱلمثل للناس

14 Abû Muẖammad Sahl ibn 'Abdullâh ibn Yûnus ibn “Isa ibn

'Abdullâh al-Tustarî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẕîm (Bayrût: Dâr al-Harâm Li al-

Turats, 2004), h. 206.

15 Muhammad Quraish Shihab, dkk., Sejarah dan ‘Ulûm Al-Qur’ân, cet. III

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 172-192.

Page 40: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

28

Allah adalah sumber segala cahaya di langit dan di bumi.

Dialah yang menerangi keduanya dengan cahaya yang

bersifat materiil yang dapat kita lihat dan berjalan di bawah

cahayanya. Cahayanya juga ada yang bersifat maknawi

seperti cahaya kebenaran, keadilan, pengetahuan, keutamaan,

petunjuk dan keimanan. Dia juga menerangi langit dan bumi

dengan bukti-bukti yang terkandung di dalam alam raya ini

dan segala sesuatu yang menunjukkan wujud Allah serta

mengajak untuk beriman kepada-Nya. Kejelasan cahaya-Nya

yang agung dan bukti-buktinya yang mengagumkan adalah

seperti cahaya sebuah lampu yang sangat terang. Lampu itu

diletakkan di sebuah celah dinding rumah yang dapat

membantu mengumpulkan cahaya dan memantulkannya.

Lampu itu berada dalam kaca yang bening dan bersinar

seperti matahari, mengkilap seperti mutiara. Bahan bakar

lampu itu diambil dari minyak pohon yang banyak

berkahnya, berada di tempat dan tanah yang baik, yaitu

pohon zaitun. Pohon itu ditanam di tengah-tengah antara

timur dan barat yang membuatnya selalu mendapat sinar

matahari sepanjang hari, pagi dan sore. Pohon itu bahkan

berada di puncak gunung atau di tanah kosong yang yang

mendapatkan sinar matahari dalam sehari penuh. Karena

teramat jernih, minyak pohon itu seakan hampir menyala,

meskipun lampu tersebut tidak disentuh api. Semua faktor

tersebut menambah sinar dan cahaya lampu menjadi berlipat

ganda. Demikianlah bukti-bukti materi dan maknawi yang

terpancar di alam raya ini menjadi tanda-tanda yang jelas

yang menghapus keraguan akan wujud Allah dan kewajiban

beriman kepada-Nya serta risalah-risalah-Nya. Melalui itu

semua, Allah merestui siapa saja yang dikehendaki untuk

beriman jika dia mau menggunakan cahaya akalnya. Allah

memaparkan contoh-contoh yang bersifat materiil agar

persoalan-persoalan yang bersifat rasionil mudah ditangkap.

Allah Swt. Mahaluas pengetahuan-Nya. Dia mengetahui

siapa saja yang memperhatikan ayat-ayat-Nya dan siapa yang

enggan dan sombong. Dia akan memberi balasan kepada

mereka atas itu semua.16

16 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, Dan

Keserasian al-Qur’an, vol. 9 (Jakarta: Lentera Hati, 2017), h. 432.

Page 41: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

29

Dalam penafsiran ayat ini, metode yang digunakan Quraish

Shihab yaitu menggunakan metode tahlili (analitik), yaitu metode

yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai

seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan

musafirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan

peruntutan ayat-ayat dalam mushaf.17

17 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, cet. II (Tangerang: Lentera Hati,

2013), h. 378.

Page 42: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

25

BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IBN ‘ARABÎ

A. Biografi dan Pemikiran

1. Latar Belakang Sosial

Ia bernama lengkap Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad Ibn Ahmad ibn

‘Abdillâh al-Hatimi dari kabilah al-Toyi, yang mempunyai kunyah Abû Bakr yang

dijuluki Muẖy al-Din, serta terkenal dengan panggilan al-Hatimi dan Ibn ‘Arabî .

Pemberian nama beliau dengan Ibn ‘Arabî menunjukkan bukan kepada kakeknya,

tetapi kepada empat generasi diatasnya yakni ‘Abdullâh al-‘Arabi Muẖy al-Dîn

(Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Guru Terbesar) adalah dua gelar

yang paling masyhur yang diterima oleh Ibn ‘Arabî . Muẖy al-Dîn adalah gelar

yang menunjukkan sebuah kekuatan hidup yang memainkan peranan Ibn ‘Arabî

dalam pembentukan pemikiran Islam, sedangkan gelar Syaikh al-Akbar adalah

gelar yang memperkenalkan Ibn ‘Arabî sebagai salah seorang tokoh yag paling

besar dalam sejarah spritualitas dunia.1

Ia dilahirkan pada hari senin, 17 Ramaḏan tahun 560 H atau bertepatan pada

tanggal 28 juli 1165 M di daerah Mursiyyah Andalus, dalam masa pemerintahan

Sultan Muhammad bin Sa’id Mardanisî, gubernur Andalusia Timur. Dan

merupakan turunan suku Arab Tayy.2 Ayahnya ialah ‘Ali bin Muhammad yang

merupakan pakar fikih dan hadis dan termasuk pakar tasawuf.

1Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf , Cet. Ke-1

(Bandung: Ankasa, 2008), h. 515.

2A.E.Afifi, Filsafat Mistis Ibn ‘Arabi, Terj. dari A Mystical Philosopi of Muhyiddin Ibn ‘Arabi,

oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, Cet. ke.2 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), h. 1.

Page 43: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

26

Ayahnya pindah ke kota isbiliyah dan disana Ibn ‘Arabî tumbuh dewasa dan

bertempat tinggal, ketika ia sudah mahir berbicara, ayahnya mengirimkan Ibn

‘Arabî ke Abî Bakr Ibn Khalaf. Ialah seorang ahli fikih, kemudian ia belajar al-

Qur’an, saat sempurna umurnya sepuluh tahun ia mahir dalam membaca ma’na-

ma’na dan isyâroh. Setelah itu ayahnya mengirim kembali Ibn ‘Arabî kepada

seorang ulama ahli hadis.

Dikisahkan pada masa mudanya bahwa Ibn ‘Arabî menghidap suatu penyakit

yang teramat parah, hingga pada suatu saat ketika tubuhnya sangat panas, ia

bermimpi dalam tidurnya bahwa ia dikepung oleh suatu mahkluk raksasa yang

membawa senjata yang berniat membunuhnya. Tiba-tiba ia melihat perwujudan

seorang manusiawa berwujud tampan, dan berperawakan gagah dan kuat serta

memiliki poros wajah yang mencorong indah, yang seseorang itu dengan hebatnya

mengalahkan raksaksa jahat yang ingin membununnya itu sampai tak tersisa

kekuatannya hingga menang. Lalu dengan penasaran Ibn ‘Arabî bertanya pada

seseorang tersebut, siapa kamu? Lalu ia menjawab: saya adalah surat yasin.

Tatkala Ibn ‘Arabî terjaga dari tidurnya, ia melihat orang tuanya duduk disisi

kepalanya sedang membacakan surah yâsin.

Ibn ‘Arabî mempunyai sangat banyak guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia

menyebutkan sekitar limapuluh lima tokoh di antara guru spiritual di dalam Rûh

alQuds.3 Di dalam kitab Rûh, ia hanya menyebutkan tokoh-tokoh yang menjadi

gurunya pada periode pertama, yaitu ketika masih di Andalusia dan Maroko.

Tetapi bukan berarti Rûh ditulis pada masa tersebut. Tetapi ia menulisnya ketika

melakukan haji yang pertama atau setelahnya. Hal ini dikarenakan ia

3Ibn ‘Arabî, Rûh al-Quds (Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84.

Page 44: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

27

menyebutkan beberapa kejadian saat berkunjung dan mengajar di Makkah.4

Sedangkan haji yang pertama dilakukannya pada periode kedua (pasca Andalusia

dan Maroko) tahun 599 H.5

Dalam hal ini, sejarawan klasik Ibn al-Maqarrî pernah memberikan sebagian

perincian daftar nama guru Ibn ‘Arabî. Sebagaimana tokoh Muslim lainnya, Ibn

‘Arabî memulai dengan mempelajari dan mendalami al-Qur’an. Di Sevilla, Ibn

‘Arabî mendapatkan ijâzah (sertifikasi) dari banyak ulama dalam pelbagai cabang

ilmu.6 Di antara tokoh yang menjadi tempat Ibn ‘Arabî mendalami al-Qur’an

adalah Abû Bakr al-Lakhmî ahli qirâ’ah sab‘ah, Abû al-Hasan Syurayh anak dari

Muhammad al-Ra‘înî penulis kitab al-Kâfî dalam ilmu qirâ’ah, dan Abû al-

Qâsim al-Syarrâth. Selain kitab al-Kâfî, ia mempelajari kitab al-Tabsîrah

karangan Abû Muhammad al-Muqrî dan kitab

al-Taysîr karangan Abû ‘Amr bin Abû Sa‘îd al-Dânî.7 Ia mempelajari fikih

dengan madzhab Mâlikî kepada Muhammad bin Qasûm seorang sufi dan faqîh.8

Ibn ‘Arabî mempelajari Hadîs dari ‘Abd al-Haqq al-Isybîlî ketika masih

bermukim di Sevilla. ‘Abd al-Haqq mengijazahkan semua karangannya dalam

cabang ilmu Hadîs kepada Ibn ‘Arabî. Ia mempelajari Sahîh al-Bukhârî dari

Yûnus bin Yaẖyâ al-Hâsyimî dan Sahîh Muslim dari ‘Abd al-Samad al-Harastanî.9

4Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 9 dan 12.

5Ibn al-Maqarrî al-Tilmisânî, Nafh al-Tîb min Ghishn al-Andalûs al-Tayyi (Beirut: Dâr Sader,

1997), v. 2 h. 161.

6Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 161.

7Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’ (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), v. 1 h. 202.

8Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 55.

9Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203.

Page 45: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

28

Saat berjumpa dengan Abû Ja’far Ahmad al-‘Aribi di Sevila, ia mulai

tercerahkan spiritualnya. Bahkan Ibn ‘Arabî menyebutkan bahwa al-‘Aribi ialah

guru pertama dalam hal spiritual.10 Di antara tokoh yang sangat berpengaruh pada

diri Ibn ‘Arabî selama di Andalusia adalah Abû Ya‘qûb bin Yakhlûf al-Kûmî

sahabat Abû Madyan. Ia mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî untuk pertama kali

ketika melakukan perjalanan dengan Abû Ya‘qûb.11 Walaupun telah mendapatkan

nuansa spiritual dari al-‘Arîbî, tetapi Ibn ‘Arabî belum mengenal literatur tasawuf

kecuali setelah bertemu dengan Abû Ya‘qûb.

2. Keluarga

Ibn ‘Arabî mempunya nama lengkap ialah Muhammad bin ‘Ali bin

Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdullâh al-Hatimi dari keturunan ‘Abdullâh bin

Hatim saudara laki-laki ‘Adî bin Hatim dari Kabilah Tayy.12 Ia dikenal dengan

sebutan al-Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Sûfi. Sebuah gelar kehormatan yang

membedakannya dengan Qadi Ibn al-‘Arabi al-Ma’afiri (543 H) pakar Hadis dan

fikih mazhab Maliki.

Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada

ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî

mengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullâh bin Hatim al-Ta’i (Banî Tayy

13dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang

menyebabkan ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di

Andalusia.

10Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 46.

11Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 49

12Ibn ‘Arabi, al-Futûhat al-Makiyyah, vol. 1 (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999 M), h. 3.

13Claude Addas, Quest for The Red Sulphur (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993), h.

45.

Page 46: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

29

Ibn ‘Arabî merupakan seorang anak dari Muhammad bin Ahmad, ia

merupakan salah seorang qadli atau hakim di Andalusia yang berakidah Sunni.

Ayahnya termasuk orang yang dihormati oleh pihak pengusaha. Selain sebagai

ayah, Muẖammad bin Aẖmad juga merupakan guru pertama dikeluarganya. Ibn

‘Arabî dididik dengan baik dan dipertemukan oleh ayahnya dengan banyak

cendikiawan islam pada zamannya. Ia memiliki seorang kakek yang menjadi

ulama dan hakim di Andalusia. Kemudian ia tumbuh dengan pertumbuhan yang

penuh ketaqwa’an serta asuhan yang bersih dari kehidupan pemuda atau remaja

yang buruk.

3. Karya

Ibn ‘Arabî merupakan tokoh intelektual yang sangat aktif menulis gagasan-

gagasan menarik yang diperolehnya. Hal ini terlihat dari karangan Ibn ‘Arabî

yang luar biasa banyak. Prof. ‘Utsmân Yahyâ dari Aleppo menyimpulkan bahwa

ada sekitar 846 karya Ibn ‘Arabî.14 Di antara karyanya ada yang berbentuk kitab,

risalah, sya‘ir,dan wasiat.

Di antara karya tersebut, yang sangat luar biasa adalah al-Futûhât al-

Makiyyah. Karya tersebut ditulis saat ia mendapatkan futûh (penyingkapan

spiritual) ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh karena itu, ia memberi judul

dengan "Penyingkapan Spiritual Periode Makkah" atau al-Futûhât al-Makiyyah.

Namun, kitab al-Futûhât tidak hanya mengemukakan permasalahan kesufian.

Justru Ibn ‘Arabî memulai kitab tersebut dengan kajian teologis sebagai dasar

pijakan ajaran spiritual. Hal ini terlihat dengan cara Ibn ‘Arabî mengemukakan

14Ibn ‘Arabi, Rûh al-Quds (Damaskus: Mu’assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84.

Page 47: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

30

empat hirarki teologis umat Islam. Ia menyebutkan akidah orang awam sebagai

akidah dasar umat Islam. Setelah itu, ia mengemukakan akidah ahli kalam yang ia

sebut dengan teologi al-Syâdiyyah. Akidah awam dan al-Syâdiyyah merupakan

implementasi dari pemahaman Ibn ‘Arabî terhadap teologi Sunni Asy‘ariyyah.15

Kemudian kitab Tafsîr Ibn ‘Arabî yang ia juga mempunyai karya utama,

yaitu Fusûs al-Hikâm. Kitab ini merupakan kajian Ibn ‘Arabî terhadap maqâm

kenabian, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muẖammad Saw dengan jumlah dua

puluh tujuh nabi. Hal ini dikarenakan ia menambahkan Nabi Uzayr dan Khâlid bin

Sinân. Pembahasan yang dikemukakannya mencakup aspek teologis dan kesufian.

Ibn ‘Arabî juga menulis Rûh al-Quds. Di dalamnya, ia menyebutkan daftar

nama-nama tokoh yang pernah menjadi sumber inspirasi intelektual dan spiritual.

Ia juga menulis kitab khusus mengenai teologi Islam dengan judul ‘Aqîdah fî al-

Tauẖid. Yûsuf al-Nabhânî menyebut kitab ini dengan judul ‘Aqâ'id ‘Ilm al-Kalâm.

Sedangkan Ibn Syâkir al-Katbî menyebutnya dengan judul ‘Aqîdah Ahlu al-

Sunnah. Permasalahan yang dikemukakan di dalamnya sangat mirip dengan

akidah awam yang dikemukakan dalam al-Futûhât. Hal ini menguatkan asumsi

bahwa Ibn ‘Arabî menguasai teologi Islam. Kitab lain yang menjadi sorotan

utama adalah al-Tanazzulât al-Laylah. Kitab ini berisi tema-tema penting dalam

permasalahan teologis dan tasawuf falsafi. Yûsuf al-Nabhânî menyebutkan

karangan lainnya seperti al-Risâlah wa al-Nubuwwah wa al-Ma‘rifah wa al-

Wilâyah mengenai konsep kenabian dan kewalian dari sisi teologis dan kesufian.16

15Al-Sya‘rânî, al-Kibrît al-Ahmar (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 7.

16Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 208.

Page 48: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

31

4. Pemikiran

Ada dua aliran besar yang berkembang dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf

sunni dan tasawuf falsafi. Para ulama yang tidak melibatkan diri pada dunia,

pemikiran filsafat, mereka masuk pada aliran tasawuf sunni. Mereka hanya

melakukan asketisme atau tradisi mistis untuk proses penyatuan diri dengan

Tuhan, memperbaiki akhlak, dan membersihkan hati. Adapun ulama yang

meminati dunia filsafat, namun melibatkan diri dalam tasawuf, mereka berada

pada aliran tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi dapat dipahami sebagai tasawuf yang

kaya dengan pandangan-pandangan falsafah atau banyak dimasuki oleh

pandangan-pandangan radikal mengenai Tuhan dan kesatuan dengan manusia.17

Di dalam tasawuf falsafi, metode pendekatannya sangat berbeda dengan

tasawuf sunni. Tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan

tasawuf falsafi menonjol pada segi teoritis, sehingga dalam konsep-konsep

tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan

filosofis, yang mana hal ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari

khususnya bagi orang awam.

Menurut al-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam

khazanah Islam sejak abad keenam Hijriah meskipun para tokohnya baru dikenal

seabad kemudian. Sejak abad keenam, tasawuf jenis ini terus hidup dan

berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang

akhir-akhir ini.18

17Bahrun Rifa’i dan Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 5.

18Al-Taftazany, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Bandung Pustaka, 1985), h. 187.

Page 49: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

32

Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini

menjadikan ajaran-ajaran tasawuf ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di

luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi,

orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, sebab meskipun mempunyai

latar belakangkebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka ragam,

seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya

tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan

dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada

kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mengompromikan ajaran-

ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf merekan, serta

menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan

dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.

Page 50: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

33

BAB IV

ANALISIS PENAFSIRAN IBN ‘ARABÎ QS. AL-NÛR [24]: 35 SEBAGAI

KONSEP NÛR MUHAMMAD

A. Penafsiran Q.S. al-Nûr [24]: 35 Sebagai Nûr Muhammad

Berbicara mengenai pandangan Ibn ‘Arabî tentang QS. al-Nûr [24]: 35

sebagai konsep Nûr Muhammad, sebaiknya terlebih dahulu mendalami pemikiran

Ibn ‘Arabî dalam bidang tasawuf. Penulis akan coba sedikit memaparkan

runtutan bagaimana konsep berpikir Ibn ‘Arabî sampai ada hubungannya antara

QS. al-Nûr [24]: 35 dengan konsep Nûr Muhammad. Seperti pemikiran tasawuf

Ibn ‘Arabî , konsep Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî , dan terlahirlah hubungan QS.

al-Nûr [24]: 35 dengan konsep Nûr Muhammad.

Sufisme Ibn ‘Arabî membangkitkan ketakutan dan kemarahan bukan hanya

dalam Islam. Jika kita hendak mengembangkan ide atau mendemonstrasikan

eksistensi suatu “sufisme ortodoks”, kita akan menghadapi bahaya berupa

penolakan, namun begitu kita akan tetap diliputi oleh penyebarluasan teosofi

mistik yang tak tertandingi ini. Jika kita mencoba memangkas doktrinnya ke

dalam kategori-kategori filsafat Barat kita (monisme, pantheisme, dan sebagainya)

kita berisiko menyimpangkan pandangan dia yang sebenarnya. Penggunaan

terburu-buru berbagai kategori yang ada pada sistem falsafat kita dan memahami

perjumpaan unik antara agama profetik dengan agama mistik yang ditunjukkan

oleh sufisme, kita secara sepintas harus membahas para pemikir dan ide-ide yang

menmbentuk konteks Ibn ‘Arabî dan aliran pemikirannya.

Ibn ‘Arabî wafat di Damaskus pada tahun 1240, tepat enam belas tahun

sebelum penaklukan Baghdad oleh orang-orang Mongol memaklumkan

Page 51: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

34

kiamatnya sebuah dunia. Akan tetapi, bertahun-tahun setelah kerusakan akibat

pembantaian Mongol timbullah perubahan baru Islam di Asia Tengah melintasi

Iran menuju Timur Tengah (diantara pengungsi yang terkenal: Najmuddîn Daya

Râzi, Maulanâ Jalaluddîn Rumi, dan ayahnya). Salah satu toko sufisme yang

terbesar, Najm Kubra menemui kesyahidannya dalam menahan arus orang-orang

Mongol di Khwarezm (Khiva) pada 618/120.1 Inilah Najm Kubra yang

menanamkan dalam sufisme kecenderungan visioner dan spekulatif yang berbeda

dari cara hidup pada perta saleh Mesopotamia yang menanamkan diri sebagai sufi

pada abad-abad pertama Islam.2

Pandangan para sufi jika dilihat dengan nalar bayânî, yang merupakan

paradigma berpikir mainstream umat Islam, tentu saja akan dianggap sebagai

sebagai sebuah penyimpangan yang pasti. Karena mencerminkan ajaran

pantheisme.3 Sebagaimana para pandangan sufistik tersebut, Ibn ‘Arabî juga

1Henry Corbin, L’Imagination creatice dans le soufisme d’Ibn ‘Arabî , Princeton: Princeton

University Press. Terj. Moh. Khozim dan Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabî

(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2014), h. 31.

2Asal kata “sufi” yang digunakan untuk menandai kaum Spiritual Islam selama ini telah

menjadi subjek riset dan kontroversi. Kebanyakan pengkaji menerima penjelasan sebagian guru

sufisme, yang mengasalkan kata itu kepada sûf, kata Arab untuk bulu domba. Menurut teori ini,

jubah bulu domba adalah ciri khas para sufi sehingga kata tasawwuf berarti menjalankan sufisme.

Akan tetapi apakah penjelasa ini memuaskan? Kita tahu bahwa selalu ada ahli tata bahasa yang

siap melacak kata-kata asing dalam bahasa Arab untuk dikembalikan ke akar Semiotiknya.

Beberapa orientalis Barat dengan gampang memangdang kata “sufi” sebagai transliterasi dari kata

Yunani sophos kebijaksanaan (sûfiyyah, sufisme, juga merupakan pelafalan Arab untuk kata

Haghia Shopia). Hal ini lebih dari cukup untuk dipandang benar. Bîrûnî, sarjana besar abad ke-10,

sebagaimana ia terangkan dalam kitabnya mengenai India, pun menyadari kalau kata itu tidak

berasal dari bahasa Arab. Ia juga memandangnya sebagai transkripsi dari kata Yunan sophos.

Kesimpulannya semakin pasti bahwa ide kebijakan yang termuat dalam kata sufisme berhubungan,

kalaupun bukan dengan ide kita mengenai kebijakan tadi, setidaknya berhubungan dengan apa

yang diajukan oleh empedokles dan Agrigentum, yakni ide mengenai sang bijak nabi yang arti

pentingnya telah ditekankan dalam buku ini, bdk. Izzuddîn Kâsyânî, Misbâh al-Hidâyah, h. 65-66.

3Kata “Pantheisme” terdiri dari tiga kata, yaitu pan, yang berarti seluruh; theo berarti Tuhan;

dan isme, yang berarti paham. Jadi, pantheism atau pantheisme adalah paham bahwa seluruhnya

Tuhan.Pantheisme berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh

alam. Tuhan dalam pandangan pantheisme sangat dekat dengan alam (imanen). Paham ini bertolak

belakang dengan paham deisme. Lihat, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos, 1997), h.

93.

Page 52: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

35

memiliki pandangan yang sama, yang dia perkenalkan dengan konsep Wahdah al-

Wujûd. Melalui teori ini, tidak jarang Ibn ‘Arabî dicap sebagai kafir. Jika

demikian persoalannya, pertanyaan akademiknya adalah bagaimana konsep

Wahdah al-Wujûd? Dan apakah konsep tersebut bertentangan dengan ajaran

Islam? Dan bagaimana pula konsep Nûr Muhammad menurut Ibn ‘Arabî ?

Ada salah satu karya Ibn ‘Arabî yang terkenal dalam bidang tasawuf yang

berjudul Al-Futûhat al-Makkiyah (Pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di

Mekkah) dengan tersusun sebanyak dua belas jilidan Fusus al-Hikam (permata-

permata Hikmat). Dari situlah pemikiran-pemikiran tasawufnya muncul seperti

yang dijelaskan dalam Fusus al-Hikam wajah sebenarnya hanya satu, tetapi kalau

cermin diperbanyak wajah kelihatan banyak pula. Atau sebagai kata parmenides,

yang ada itu satu, yang banyak hanyalah ilusi.4

Oleh karena itu Ibn ‘Arabî disebut sebagai pendiri paham Wahdah al-Wujûd

walaupun dalam tulisan-tulisannya tidak dijumpai kata Wahdah al-Wujûd namun

dalam karya tulisnya banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang mengandung

paham Wahdah al-Wujûd seperti dalam kitab Al-Futûhah al-Makkiyah (karya

ensiklopedis besar tentang tasawuf) dan Fusus al-Hikam. Sebagai contoh yang

dikutip oleh ‘Abdul ‘Aziz Dahlan yang berasal darinya yaitu:

الله و ه ل ب الله ب و ه ل ل ل ك ان ك

“Semua adalah milik Allah dan dengan Allah; bahkan semua itu adalah

Allah”

اللهلاا الله ف ر ع ل و الله لاا د و ج و يال اف م ف

4A. Musthofa, Akhlak Tasawuf, Cet. ke-1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 278-279.

Page 53: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

36

“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan tidak ada yang mengenal

Allah kecuali Allah”5

Menurut Hamka, Ibn ‘Arabî dapat disebut sebagai orang yang telah sampai

pada puncak Wahdah al-Wujûd. Doktrin Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî

merupakan lanjutan faham ittihad Abu Yazid al-Busṯami, dan hulul yang menjadi

pendirian al-Hallaj.6 Ibn ‘Arabî adalah seorang sufi tetapi karena mengajarkan

doktrin Wahdah al-Wujûd, termasuk seorang sufi yang mendapat kecaman yang

keras dari para ulama ortodoks. Sejak masa mudanya, Ibn ‘Arabî telah dikecam

dan di musuhi, dan keselamatan jiwanya terancam. Namun sufi ini berhasil

mencari simpati banyak orang dan beberapa penguasa sehingga ia terhindar dari

pembunuhan.

Adapun ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang mengandung paham wahdat al-

wujud salah satunya adalah:

ق ح اال ن )أ ج ل ل ح ال ال اق م ك ل و ق ن أ اع ط ت س م ب س ي ل ان س ن ال ناإ ن أ ع ي ط ت س ل ه ل ق ع ر غ ص ل ه نا(ل

للهاك م ال ع ال لاك ي ع

“Sesungguhnya manusia tidak dapat berkata seperti kata al-Hallaj “Saya

adalah al-Haq (Tuhan)” karena manusia itu disebabkan oleh kekerdilan

akalnya tidak mampu memuat seluruh alam ini seperti Allah. Oleh karenanya

ia adalah sebagian dari Allah dan bukan Allah secara keseuruhan”.7

Dengan demikian paham Wahdah al-Wujûd diatas mengisyaratkan bahwa

pada manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada tuhan pun ada unsur lahir dan

batin.

5Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (Kesatuan Wujud)

Tuhan-Alam-Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN-IB Press, 1999), Cet. ke-1, h. 36.

6Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf,

Cet. ke-2 (Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama, 2005), h. 220

7Moh Ardiani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf”,

h. 220-221.

Page 54: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

37

Adapun unsur-unsur yang ada dalam Wahdah al-Wujûd adalah:

1. Unsur Haqq

Unsur al-Haqq adalah unsur batin yang berada di sebelah dalam dan

merupakan hakikat, esensi atau subtansi.

2. Unsur Makhluk

Unsur makhluk adalah unsur lahir yang berada dibagian luar dan ada karena

adanya unsur haqq.

Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya yang nampak, sedangkan unsur

batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak nampak yang hal ini merupakan

pancaran, bayangan atau foto copy Tuhan. Selanjutnya unsur lahir pada Tuhan

adalah sifat-sifat ketuhanannya yang nampak di alam ini, dan unsur batinnya

adalah zat Tuhan. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam

beberapa cermin yang ia letakkan di sekelilingnya. Di dalam beberapa tiap cermin

tersebut ia melihat dirinya hanya satu jua.8

Setelah penulis meneliti konsep Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî , penulis

mencoba menghubungkan konsep wahdah al-wujûdnya dengan penafsiran Ibn

‘Arabî terhadap Q.S. al-Nûr [24] ayat 35 sebagai berikut:

ة ك و ك م شأ م ث ل ن ور ه ۦض و ٱلأ رأ و ت ٱلسام م صأ۞ٱللاه ن ور ٱلأ ب اح

ن اه ف يه ام صأ ك ٱل ج اج اب اح ف ي ج اج

ب يا غ رأ ق يا و ل ش رأ ت ون لاد ر ي وق د م نش ج ر ة م ب ر ك أ س ك وأك ب

م مأ ل مأ و ل وأ ي ت ه ا ي ك اد أ ه ن ار سأ

د ي هأ ن ور ث ل ل ن ور ع ل ىٱللاه ٱلأ مأ ر ب يأ و

ا ش يأ ع ل يم ٱللاه ل ن ور ه ۦم ن ش و ٱللاه ب ك ل

لناا

8Moh Ardiani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf”,

h. 222.

Page 55: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

38

ر هاظ م ،و ه ام ذ ب ر ه ظ ي ذ الاو ه ر و "اللهنورالسمواتوالرض"الن ن م م ااس ق ل ط م و ه ،و ه ب ا ي ش ال ر و ه ،وظ ه ر و ه ظ ة داش ار ب ت اع ى،ب ال ع م الله ا م س ا ه ب ا ي ش ال

و مال و و ه د و ج و ب د ج ا وك ه ر و ه ظ ب ر ه ظ ، و ات و م السار و ن ان ، أ ض ر ال م ي ، ات و م س ر ه ظ ، اح و ر ال

و ض ر ال .ة ا ض ال و ات د و ج و م ال ن م د ج او م ه ب د ج يو ذ الاق ل ط م ال د و ج و ال و ه و اد س ج ال

اه ر و ه ظ ب ن ي م ال ع يال ف ه ر و ه ظ و ه د و ج و ف "ص ه ور ن ل ث "م Ibn ‘Arabî dalam membangun konstruksi teologi sufistiknya berangkat dari

suatu kegiatan menganalisis nas-nas al-Qur’an dengan menempuh metode ta’wîl.

Karena, dan menurutnya, pendekatan ta’wîl,9 bukan sebuah penafsiran yang

menggunakan akal (hawa nafsu).

Melalui media ta’wîl simbolistik, makna suatu teks dapat diurai, dari makna

zahir ke makna batin, dari eksoteris ke esoteris. Bagi Ibn ‘Arabî, dalam setiap teks

terpendam pengertian simbolik dan maknawi. Pengertian tersebut terdapat pada

tafsiran matsalu nûrihî :

اه ر و ه ظ ب ن ي م ال ع يال ف ه ر و ه ظ و ه د و ج و ف "ص ه ور ن ل ث "م

Sifat adanya Allah dan nampak-Nya Allah di alam dengan nampaknya Nur

di dalam zat-Nya.

Tafsiran tersebut mengandung makna zahir yaitu هاوظهورهفيالعالمينبظهور

ke makna batin pada kalimat setelahnya “كمشكوة فيها مصباح”. Barangkali, inilah

makna ungkapan al Ghazâlî, ketika mengatakan: “al-Qur’ân memiliki (makna)

9 Konsep “ta’wîl”, dalam perspektif, ulûm al-Qur’ân merupakan suatu metode untuk

memahami maksud al-Qur’ân. Sebagian ulama memahaminya dengan “upaya mengalihkan lafaz

dari makna zahir ke makna lain yang dimiliki oleh suatu lafaz, jika makna lain itu dipandang

relevan dengan ketentuan al-Qur’ân dan al-Sunnah.” Sebagian ahli mendefinisikannya dengan

ta’wil adalah ayat-ayat yang kemungkinan memiliki sejumlah makna yang terkandung di

dalamnya, maka manakala dikemukakan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi sangsi

dan bingung mana yang hendak dipilihnya. Karena itu, ta’wîl lebih banyak digunakan pada ayat-

ayat mutasyabbihat.

Page 56: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

39

lahir dan batin; akhir dan awal”10. Dan dari metode inilah Ibn ‘Arabî

menginterpretasikan matsalu nurihi ه ور ن ل ث م dengan rûh al-‘alam روح العلم , suatu

padanan makna dari term Nûr Muhammad.

B. Konsep Nûr Muhammad

Nûr Muhammad menurut Ibn ‘Arabî adalah realisasi dari tajalli Tuhan.

Haqîqah Muhammadiyah, yang juga disebut Sayyid al-‘Alam, merupakan awal

dari segala yang nyata di dalam.11 Menurut Ibn ‘Arabî bahwa wujud itu ada dua

macam. Pertama, Wujud Azali dan Wujud Ghairu Azali. Wujud Azali itu Allah,

dan Wujud Ghairu Azali itu semua yang diciptakan oleh Allah. Artinya meskipun

sepintas kita pahami bahwa Nurullah dan Nur Muhammad itu sama, tapi

hakikatnya berbeda. Nurullah itu sudah ada dari zaman azali tanpa adanya

permulaan, sedangkan Nur Muhammad sebaliknya.

Sedangkan menurut Hamzah, Nûr Muhammad atau haqîqah Muhammadiyah

adalah dari ta’ayyun awwal yang merupakan suatu realitas universal, di mana

semua ide penciptaan itu terkumpul. Dan dari sini, Rûh Idâfi yang menjadi

pangkal penciptaan selanjutnya.12

Sebelum kejadian alam raya ini, pertama Allah menciptakan Nûr Muḥammad

(penciptaan pertama). Nûr Muhammad kemudian sujud syukur karena telah

diciptakan-Nya. Dalam ketersujudan, Allah mewajibkan kepada Nûr Muhammad

empat kewajiban formal (ṣalat, puasa, zakat dan haji) dan menganugrahinya tujuh

10 Al-Ghazali, Misykat Cahaya-cahaya, terj. Muhammad Baqir (Bandung: Mizan, 1984), h. 74.

11Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri (Yogyakarta: Gelombang Pasang,

2004), h. 135.

12Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri, h.136.

Page 57: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

40

lapisan langit, tujuh lapisan bumi dan tujuh lapisan lautan (yaitu laut ilmu, latif,

sabar, pikir, akal, rahmat dan cahaya).13

Kemudian Nûr Muhammad itu, Allah menjadikan dirinya. Dari diri

Muhammad dijadikan 124.000 Nabi. Dari Muhammad kemudian mengeluarkan 5

(lima) butiran air, yang kemudian menjadi 13 (tiga belas) Rasul.

Demikian pula dari anggota badannya. Dari mata, keluar 5 (lima) butir air,

yang kemudian menjadi Malaikat Israfil dan Izrail, lawhun mahfûz , qalam dan

kursi. Dari kedua bahu, keluar dua butir air dan menjadi matahari dan bulan. Dari

tangan, keluar delapan butir air dan kemudian menjadi tanah, air, angin, api dan

sidrah al- muntaha, ṣiraṭ , kayu Tubi dan tongkat Mûsa as.

Yang disebut empat ciptaan pertama, dinamakan “anasir”, yaitu empat unsur

penting.14 Begitu pentingnya sehingga unsur-unsur ini membanggakan diri,

kecuali tanah. Api dengan panasnya, angin dengan hembusannya, dan air karena

dipakai memasak. Tetapi Nûr Muhammad menasehati bahwa kelebihan itu tidak

perlu dibanggakan, bahkan sebaliknya itu menyedihkan. Sebab dengan

keistimewaan itu justru telah memperbudak mereka.

Kemudian unsur ketiga tadi sadar dan merasa hina. Sementara Nûr

Muhammad dalam pandangan mereka mulia. Tetapi Nûr Muhammad menyanggah

seraya berkata : yang mulia itu hanya Allah. Akhirnya, setelah mengucapkan

13Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Hamzah Fansuri, h. 162.

14Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 18.

Page 58: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

41

istighfar, keempat unsur itu menyatakan masuk Islam dengan mengucapkan dua

kalimat syahadah.15

Konsep Nur Muhammad ini kerap memicu polemik di tengah umat Islam.

Sebagian orang menolaknya karena ini bertentangan dengan konsep penciptaan

manusia dalam al-Qur’ân. sebagian orang lainnya menolak kareba konsep

terpengaruh oleh doktrin salah satu sekte dalam Islam, yaitu Syiah.

Adapun sebagian kelompok lainnya menolak karena konsep ini membuka

lebar pemikiran yang ditengarai oleh kosmologi sufisme yang dianggap

berlebihan dan melewati batas. Sebagian orang Islam lainnya menolak konsep Nûr

Muhammad ini karena membuka jalan pada paham Wahdah al-Wujûd. Paham

sufisme yang berkembang di Nusantara menyebutnya kurang lebih martabat lima

atau martabat tujuh. Sedangkan sebagian orang menolak pijakan konsep Nûr

Muhammad ini melalui kritik hadis.

Kitab Qasidah Barzanji mengandung konsep yang kemudian dikenal dengan

istilah Nûr Muhammad. Kitab karya al-Sayyid Ja’far yang kerap dibaca

masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia ketika peringatan maulid ini

menyebutnya dengan “Usallî wa usallimu ‘alâ al-Nûr al-mausufi bi al-Taqaddumi

wa al-awwaliyyah.”Konsep ini mengundang diskusi tanpa kata putus.

Berikut ini kami kutip bagian dari qasidah tersebut yang menyebut konsep

Nûr Muhammad dan terjemahannya secara harfiah.

و م د ق لت ااب ف و ص و م ال ر و الن ىل ع م ل س أ يو ل ص أ هيال واال 15Sofyan Abdurrahim, “Nūr Muhammad”, Dalam Naskah Klasik Gorontalo,dalam Junal Al-

Ulum, Vol. 2, No. 2 (Desember 2011): h. 2.

Page 59: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

42

Artinya, “Aku mengucap shalawat dan salam untuk cahaya yang bersifat

terdahulu dan awal”16

Di tengah perbagai polemik perihal konsep Nûr Muhammad itu, Syaikh

Muhammad Nawawi Banten, Ulama Nusantara yang otoritas keilmuannya teruji

dan diakui oleh ulama di Timur Tengah di zamannya, menjelaskan konsep

tersebut dari sudut pandang aqidah Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah.

Menurutnya, konsep Nûr Muhammad tidak sulit untuk dipahami dan tidak

perlu dibikin ruwet.

Status Nûr Muhammad bukan qadim sebagiamana keqadiman sifat Allah. Nûr

Muhammad adalah makhluk yang pertama kali Allah ciptakan sebelum Dia

menciptakan makhluk lainnya.

ايل ص )ا ه ل و ق ايم ل س أ )و هت م ح اير الله ة ل ص ب ل ط أ ي( (ىل )ع ه ت ي اح ايم الله م ل س ب ل ط أ (ع م د ق الت اب ف و ص و م ال ر و )الن ب ح اص )و ق و ل خ م ل ك ىل ( ك يال واال اي ر ئ اس ل ب س لن اب ل واا ه ن و ه(ات ق و ل خ م ال

Artinya, “(Aku mengucap shalawat) aku memohon shalawatullah, yaitu

rahmat Allah (dan) aku memohon (salam) Allah, yaitu penghormatan-Nya

(untuk) yang empunya (cahaya yang bersifat terdahulu) sebelum segala

makhluk (dan awal) yang entitasnya lebih awal dalam kaitannya dengan

semua makhluk.”17

Dengan keterangan Syaikh M Nawawi Banten ini, kepercayaan kelompok

Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah tidak menjadi cacat, ternoda, terkontaminasi, tersesat,

atau bergeser dari aqidah ahlusunnah hanya karena mempercayai konsep Nûr

Muhammad.

16 Al-Sayyid Ja’far Al-Barzanji, Qasidah Al-Barzanji fil Hamisy Madarij al-Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I

al-Burûd (Surabaya, Syirkah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuh), h. 4.

17 Muhammad Nawawi al-Bantani, Madarij al-Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I al-Burûd (Surabaya, Syirkah

Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuh), h. 4.

Page 60: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

43

Kepercayaan kelompok Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah atas konsep Nûr

Muhammad tidak kemudian membuat mereka terjatuh pada lubang tasybih

(imanensi) yang menyerupakan hingga kemudian menyatukan Allah dan Nûr

Muhammad. Dengan pengertian yang disampaikan Syekh M Nawawi Banten,

kelompok Ahlusunnah wa al-Jamâ’ah yang kerap membaca Qasidah Barzanji

tetap konsisten pada logika tanzih (transendental) yang membedakan zat Allah

dan Nûr Muhammad.

Etintas Nûr Muhammad sendiri sebagai makhluk pertama Allah merupakan

sebuah anugerah luar biasa dari Allah yang dapat Dia berikan kepada siapa saja

yang Dia kehendaki. Keberadaan Nûr Muhammad merupakan hak prerogatif

Allah tanpa intervensi dan pengaruh siapa dan apa pun.

Syaikh M. Nawawi Banten juga membawa hadis riwayat Jabir yang menjadi

salah satu dasar konsep Nûr Muhammad di samping beberapa riwayat hadis

lainnya.

ال ق ىال ع م الله ه ق ل خ ام ل واأ عنم لاس و ه ي ل اللهع ىلااللهص ل و س ر ل ئ س ه نارا اب ج ث د ح ياف م ك ل ب ق ق ل خ الله ناا يف ن ك م ل و الله ا ش ث ي ح ة ر د ق ال ب ر و د ور الن ك ل ذ ل ع ج ف ك ي ب ن ر و ن ا ي ش ال ر م ق ل و س م ش ل و ا م س ل و ض ر ا ل و ن ج ل و س ن ا ل و ك ل م ل و ار ن ل و ناج ل و ح و ل ت ق و ال ك ل ذ

ض ر ع ل ر ه و ج ر و لن ااف ذ ه ىل ع و Artinya,”Sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat sahabat Jabir RA bahwa

ketika ditanya perihal makhluk yang diciptakan Allah, Rasulullah SAW

menjawab, ‘Sungguh, Allah menciptakan nur nabimu sebelum segala

sesuatu.’ Allah menjadikan nur itu beredar dengan kuasa Allah sesuai

kehendak-Nya. Saat itu belum ada lauh, qalam, surga, neraka, malaikat,

manusia, jin, bumi, langit, matahari, dan bulan. Atas dasar ini, nur itu adalah

substansi, bukan aksiden.” 18

18 Muhammad Nawawi Banten, Madârijus al-Suʿûd ilâ Iknisâ’il Burûd (Surabaya: Dâr al-

Kutub al-Islâmiyah, tt), h. 4.

Page 61: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

44

Riwayat lain yang mengungkapkan Nûr Muhammad antara lain adalah hadis

riwayat Imam Bukhari dari sahabat Maysarah RA yang bertanya,”Wahai

Rasulullah, kapan kau menjadi nabi?” “Saat Adam AS di antara roh dan jasad,”

jawab Rasulullah SAW.19

Adapun pemaknaan sebagian orang Islam atas konsep Nûr Muhammad

dengan sudut pandang atau syak wasangkanya sendiri dan dibuat ruwet sendiri

lalu kemudian menghakimi konsep tersebut sebagai sebuah penyimpangan atau

kesesatan adalah sebuah keniscayaan.

Yang diperlukan dalam perbedaan tafsir atau pemaknaan atas konsep Nûr

Muhammad ini adalah sikap saling menghargai satu sama lain dan tidak

memaksakan tafsirnya atas pihak lain karena hanya akan memicu polemik dan

debat kusir tidak berkesudahan. Wallahu a’lam.

C. Relevansi Nûr Muẖammad Terhadap Makhluk di Era Modern

Penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang sedang berlangsung

sekarang ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah. Masalah ini

timbul karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (“modern”

berarti baru), seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap berikutnya.

Disamping itu, perkataan “modern” mengisyaratkan satu penilaian tertentu yang

cenderung positif (“modern” berarti maju dan baik), padahal dari sudut

hakikatnya, zaman modern itu sesungguhnya bersifat netral. Artinya, bisa bersifat

atau berdampak positif, atau juga sebaliknya.

19 Muhammad Nawawi Banten, Targhîb al-Musytâqîn (Surabaya: al-Hidayah, tt), h. 6.

Page 62: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

45

Pengertian yang mudah tentang “modernisasi” adalah pengertian yang

identik, atau hampir identik dengan pengertian “rasionalisasi”, yakni proses

perombakkan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak aqliah (rasional), dan

menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang aqliah.20

Ditinjau dari sosio-historis, periode sejarah yang lazim disebut “modern”

mempunyai banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode

sebelumnya (periode pertengahan)21. Menurut Betrand Russell, ada dua hal

terpenting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas agama (dalam

konteks Barat saat itu otoritas gereja), dan menguatnya otoritas sains.22 Peristiwa-

peristiwa penting yang turut mendorong modernitas antara lain, Revolusi Industri

Inggris dan Revolusi Prancis pada abad ke-18.23

Modernitas yang merupakan suatu kelanjutan logis sejarah, pada gilirannya

membawa dampak negatif yang sangat menantang, yaitu materialism. Dimulai

dengan kenyataan bahwa teknikalisasi – sebagai salah satu wujud kemodernan –

dapat berakibat pada merosotnya peranan agama,24 atau paling tidak mendorong

ajaran agama pada posisi pinggiran, jika bukan membuatnya tidak relevan dengan

kenyataan hidup manusia.

20 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h. 172.

21 Masyarakat abad pertengahan adalah masyarakat yang relative kecil, homogen, tanpa

pembagian kerja, dimana tradisi, adat istiadat, dan agama memainkan peran kunci. Donny Gahral

Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta: Jalasutra,

2006), h. 68.

22 Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik dari

Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko et. al., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.

645.

23 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69.

24 Fenomena tragis ini tekah ditunjukkan dalam sejarah awal zaman modern di Barat, dimana

otoritas gereja digantikan oleh otoritas sains. Lihat. Russel, Sejarah Filsafat Barat, h. 645-647.

Page 63: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

46

Bicara relevansi agama terhadap kehidupan manusia modern, Nûr

Muẖammad juga mempunyai peran di zaman modernitas ini. Pertama kita

sepakati bahwa Nûr Muẖammad berbeda dengan sosok Muẖammad, tetapi yang

menjadi cikal bakal terlahirnya sosok Muẖammad adalah Nûr Muẖammad itu

sendiri. Kedua, pengutusan Muẖammad ke bumi itu benar-benar sempurna karena

di dalam Nûr Muẖammad itu terdapat Nûrullah dan itu benar-benar tidak bisa

dibedakan. Oleh karenanya, uswah (budi pekerti) yang dicontohkan oleh

Muẖammad itu patut kita terapkan atau kita contoh di zaman modern ini, karena

apa yang disampaikan oleh Muẖammad itu bukan semena-mena dari dirinya

sendiri melainkan dari Allah.

Jadi, di era modern seharusnya setiap manusia bahkan makhluk bisa

mengikuti pendapat atau uswah Muẖammad. Didalam kitab Maulid al-Dîba’î

karya al-Imâm Wajihuddin ‘Abdurrahmân bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Alî

bin Yûsuf bin Ahmad bin ‘Umar al-Dîba’î al-Syaibani al-Yamanî Al-Zabidi al-

Syâfi’î dijelaskan alasan kuat kenapa harus patuh terhadap uswah nya Muhammad

SAW. :

نآر ق ال ه ق ل خ ان ك “Akhlak Nabi SAW adalah al-Qur’an”

Kalimat diatas menyatakan bahwasannya uswah Muẖammad dengan Kalam

Allah itu satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Dari penjelasan tentang kemodernan – dengan implikasi positif dan

negatifnya – sebagai suatu kelanjutan logis sejarah, maka faktor “the man behind

the gun” memegang peran amat menentukan dalam menjadikan era modern yang

Page 64: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

47

bermartabat dan bermanfaat. “The man” adalah hakikat yang diwujudkan melalui

amal perbuatan yang dilakukan oleh dorongan batin berdasarkan uswah Nabi

Muẖammad SAW.

Page 65: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

48

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang dipaparkan dalam penulisan skripsi ini, maka

penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

Ibn ‘Arabî dalam membangun konstruksi teologi sufistiknya berangkat dari

suatu kegiatan menganalisa nash-nash al-Qur’an dengan menempuh metode

ta’wil. Karena pendekatan ta’wil bukan sebuah penafsiran yang menggunakan

akal (hawa nafsu). Melalui media ta’wil simbolistik inilah makna suatu teks dapat

diurai, dari makna zahir ke makna batin, dari eksoteris ke esoteris. Bagi Ibn

‘Arabî , dalam setiap teks terpendam pengertian simbolik dan maknawi. Oleh

karenanya dari metode inilah, Ibn ‘Arabî menginterpretasikan matsalu nûrihi

dengan rûh al-‘alam, suatu padanan makna dari term Nûr Muẖammad.

Menurut Ibn ‘Arabî dalam konsep waẖdah al-wujudnya, wujud yang qadim

dengan yang hadis itu sama, seperti halnya Nûrullah dengan Nûr Muẖammad itu

sama. Penggambarannya dalam ayat matsalu nûrihi kamisykâtin bahwasannya

Nûr Muẖammad itu diatas segala-galanya dalam arti bisa menerangi seluruh alam.

Dialam kitab Daqâiq al-Akhbâr dijelaskan bahwasannya setiap makhluk didunia

ini sababiyahnya diciptakan dari Nûr Muẖammad melalui keringetnya karena

malunya dipandang oleh Dzâtullah.

Menurut Ibn ‘Arabî juga mengatakan bahwa wujud itu ada dua macam.

Pertama, Wujud Azali dan Wujud Ghairu Azali. Wujud Azali itu Allah, dan Wujud

Ghairu Azali itu semua yang diciptakan oleh Allah. Artinya meskipun sepintas

Page 66: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

49

kita pahami bahwa Nûrullâh dan Nûr Muẖammad itu sama, tapi hakikatnya

berbeda. Nûrullâh itu sudah ada dari zaman azali tanpa adanya permulaan,

sedangkan Nûr Muẖammad sebaliknya.

Nûr Muẖammad juga mempunyai peran di zaman modernitas ini. Uswah

(budi pekerti) yang dicontohkan oloeh Muẖammad itu patut kita terapkan atau kita

contoh di zaman modern ini, karena apa yang disampaikan oleh Muẖammad itu

bukan semena-mena dari dirinya sendiri melainkan dari Allah SWT. Jadi, era

modern ini seharusnya mengikuti pendapat atau uswah Muẖammad.

Pada akhirnya penulis menyimpulkan bahwa konsep Nûr Muẖammad yang

dibawa oleh Ibn ‘Arabî tidak sulit untuk dipahami dan tidak perlu dibikin ruwet.

Status Nûr Muẖammad bukan qadim sebagaimana keqadiman sifat Allah. Etintas

Nûr Muẖammad sendiri sebagai makhluk pertama Allah merupakan sebuah

anugrah luar biasa dari Allah yang dapat Dia berikan kepada siapa saja yang Dia

kehendaki. Keberadaan Nûr Muẖammad merupakan hak prerogatif Allah tanpa

intervensi dan pengaruh siapapun. Yang diperlukan dalam perbedaan tafsir atau

pemaknaan atas konsep Nûr Muẖammad ini adalah sikap saling menghargai satu

sama lain dan tidak memaksakan tafsirnya atas pihak lain karena hanya akan

memicu polemik dan debat kusir tidak berkesudahan. Wallâhu a’lam.

B. Saran-saran

Setelah selesainya penulisan skripsi ini, ada beberapa masalah yang

mengganjal dalam hati penulis yang kiranya dapat dikaji lebih lanjut oleh para

pembaca. Dalam skripsi ini penulis hanya membahas konsep Nûr Muẖammad

menurut Ibn ‘Arabî yang sebenarnya masih terdapat pro dan kontra dikalangan

para ulama. Sekiranya masih ada pemikiran Ibn ‘Arabî yang menjadi pro kontra

Page 67: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

50

dikalangan ulama, penulis berharap bisa dikaji dan dijelaskan oleh pembaca

selanjutnya agar tidak menjadi debat kusir yang tak berkesudahan.

Demikian apa yang telah penulis paparkan, dan penulis berharap agar

pembahasan ini berkembang, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih dekat

berbagai macam pemikiran Ibn ‘Arabî yang sebenarnya tak seliberal yang kita

dengar.

Page 68: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

51

DAFTAR PUSTAKA

Addas, Claude. Quest for The Red Sulphur. Cambridge: The Islamic Texs

Society. 1993.

Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar

Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. 2006.

‘Afifi, Abu al-‘Ila. Tashdir ‘Amm. Terj. Abu Hamid al-Ghazali dalam

Misykat al-Anwar. Kairo: al-Dar al-Qawmiyah. 1964.

Afifi, Ahmad. Mystical Philosophy Muhyiddin Ibnul ‘Arabi. Cambridge:

The University Press. 1939.

Afifi, A.E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. Terj. A Mystical Philosopi of

Muhyiddin Ibn ‘Arabi oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman.

Jakarta: Gaya Media Pratama. 1995.

Anshori, Afif. Tasawuf Falsafi Syeikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta:

Gelombang Pasang. 2004.

‘Arabî, Ibn. Rûh al-Quds. Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm. 1964.

‘Arabi, Ibn. al-Futuuhat al-Makiyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.

1999.

‘Arabi, Muhy al-Din Ibnu. Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Beirut: Dar al-

Yaqzah al-Arabiyyah. 1980.

Ardani, Mohammad. Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti

dalam Ibadat dan Tasawuf. Jakarta: PT Mitra Cahaya Utama.

2005.

Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf. Semarang:

Ramdhani. 1984.

Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Ankasa. 2008.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos. 1997.

al-Bantani, Muhammad Nawawi. Madarij al-Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I al-Burûd.

Surabaya: Syirkah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuh. tt.

al-Barzanji, al-Sayyid Ja’far. Qasidah Al-Barzanji fil Hamisy Madarij al-

Su’ûd ilâ Ikhtisâ’I al-Burûd. Surabaya: Syirkah Ahmad bin Sa’ad

bin Nabhan wa Auladuh. tt.

Chokiewicz, Michel. Konsep Ibn ‘Arabi tentang Kenabian dan Aulia.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1999.

Page 69: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

52

Corbin, Henry. L’Imagination creatice dans le soufisme d’Ibn ‘Arabi.

Princeton: Princeton University Press. Terj. Moh. Khozim dan

Suhadi, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi. Yogyakarta: LkiS

Yogyakarta. 2014.

Dahlan, Abdul Aziz. Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud

(Kesatuan Wujud) Tuhan-Alam-Tasawuf Syamsuddin Sumatrani.

Padang: IAIN-IB Press. 1999.

Hadiwiyono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta:

Kanisius.1980.

Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera

Antar Nusa. 1990.

Hisyam, Ibnu. Sirat al-Nabi SAW. Kairo: Mathba’at al-Madaniy. tt.

Jamil, Ahmad. dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV Toha.

2010.

al-Kalabadi. at-Ta’arruf li Mazhab ahl at-Tasawuf. Mesir: Maktabah al-

Kulliyyat al-Azhariyah. 1980.

Komaruddin. Kamus Riset. Bandung: Angkasa. 1987.

Madjid, Nurcholish. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:

Mizan. 1987.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif.

2007.

Musthofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.

al-Nabhânî, Yûsuf. Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’. Beirut: Dâr al-Fikr. 2005.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.

2003.

Rifa’i, Bahrun. Hasan Mud’is. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

2010.

Russell, Betrand. Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi

Sosio-politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Terj. Sigit

Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Sahabuddin. Menyibak Tabir Nur Muhammad. Jakarta: Renaisan. 2004.

Schimmel, Annemarie. And Muhammad is His Messenger: The Veneration

of the Prophet is Islamic Piety. Terj. Rahmani Astuti dan Ilyas

Hasan. Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan

terhadap Nabi Saw dalam Islam. Bandung: Mizan. 1993.

Page 70: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

53

Schimmel, Annemarie. Mystical Dimension of Islam. Chapel Hill: The

University of North Carolina Press. 1975.

Sevila, Consuelo G. dkk. Pengantar Metode Penelitian. Terj. Alimuddin

Tuwu. Jakarta: UI-PRESS. 1993.

Surachmad, Winarto. Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi

Ilmiah. Bandung: Tarsio. 1972.

al-Sya‘rânî. al-Kibrît al-Ahmar. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2005.

Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.

al-Taftazany. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Bandung Pustaka.

1985.

al-Tilmisânî, Ibn al-Maqarrî. Nafh al-Tîb min Ghishn al-Andalûs al-Tayyi.

Beirut: Dâr Shader. 1997.

al-Tustari, Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Rafi’. Tafsîr

al-Tustari. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1423.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Pendidikan Nasional. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Alba, Cecep. Corak Tafsir Ibnu ‘Arabi. Disertasi Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.

Ali, Ibnu. Konsep Emanasi Dalam Tasawuf Eksistensial Ibnu ‘Arabi: Studi

Hermeneutika Dalam Kitab Shajarat Al-Kawn. Tesis Program

Magister Filsafat Agama UIN Surabaya. 2014.

Ghozali, Ahmad. Al-Haqiqah Al-Muhammadiyyah Dalam Pemikiran

Mistik Ibnu ‘Arabi (Sebuah Tinjauan Tasawuf-Falsafi). Skripsi

Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2004.

Hilal, Muhammad. Konsep Insan Kamil dalam Pandangan Sadr ad-Din

asy-Syirazi (Mulla Sadra). Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2010.

Wibowo, Rohmat Aji. Kritik Sanad Dan Matan Hadits Tentang Nur Nabi

Muhammad SAW: Kajian Kritis Hadits Dalam Kitab Maulid Al-

Diba’i. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2015.

Page 71: KONSEP NÛR MUHAMMAD DALAM PERSPEKTIF IBN ‘ARABȊ …

54

Jurnal-jurnal

Abdurrahim, Sofyan. Nūr Muhammad Dalam Naskah Klasik Gorontalo.

Jurnal Al-Ulum. Vol. 2. No. 2. Desember 2011.

Ahmad, Nur Fauzan. Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad

Sampai Masuknya Ke Nusantara. Jurnal NUSA. Vol. 12. No. 2.

Mei 2017.

Lestari, Lenni. Epistemologi Corak Tafsir Sufistik. Jurnal Syahadah. Vol.

2. No. 1. April 2014.

Madjid, Nurcholish. Tasawuf Inti Keberagaman. Jurnal PESANTREN.

Vol. III. No. 3. 1985.

Mahmud, Ahmad. Insan Kamil Perspektif Ibnu ‘Arabi. Sulesana: Jurnal

Wawasan Keislaman. Vol. 9. No. 2. 2014.

Riyadi, Irfan. Imago Dei dalam konsep theosofi Islam: Manusia Sempurna

menurut Ibn ‘Arabi. Jurnal Al-Tahrir. Vol. 6. No. 2. Juli 2006.