kepailitan 1

9
Putu indra pramana 1103005016 1. Pengertian, dasar hukum dan tujuan kepailitan Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Undang-undang ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kepailitan, namun tidak memberikan pengertian yang jelas terhadap kata “pailit” itu sendiri. Dalam Black’s Law Dictionary, bangkrut atau pailit berarti seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabui pihak kreditornya. Dasar hukum dari suatu kepailitan adalah: 1. UU No. 37 Tahun 2004 2. KUHPer, pasal 1134, 1139 dan 1149 3. KUHP, pasal 396 – 400, 520 4. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 5. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 6. UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Tujuan kepailitan diantaranya adalah: 1. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para kreditor sesuai asas pari passu (membagi harta

Upload: indra-pramana

Post on 15-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hukum kepailitan

TRANSCRIPT

Page 1: Kepailitan 1

Putu indra pramana

1103005016

1. Pengertian, dasar hukum dan tujuan kepailitan

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Membayar Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor

Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan

Hakim Pengawas. Undang-undang ini menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan

kepailitan, namun tidak memberikan pengertian yang jelas terhadap kata “pailit” itu

sendiri. Dalam Black’s Law Dictionary, bangkrut atau pailit berarti seorang pedagang

yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabui

pihak kreditornya.

Dasar hukum dari suatu kepailitan adalah:

1. UU No. 37 Tahun 2004

2. KUHPer, pasal 1134, 1139 dan 1149

3. KUHP, pasal 396 – 400, 520

4. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

5. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

6. UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Tujuan kepailitan diantaranya adalah:

1. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para kreditor sesuai asas

pari passu (membagi harta debitor sesuai proporsi kepada para kreditor konkuren atau

unsecured creditors berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-masing).

Asas pari passu ini diatur dalam Pasal 1132 BW

2. Mencegah debitor melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kreditor

3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik kepada para

kreditornya dengan memperoleh pembebasan utang

4. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan

dengan berlakunya asas jaminan yang menyatakan bahwa “semua harta kekayaan

Page 2: Kepailitan 1

debitor baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang

baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan debitor” yaitu dengan

fasilitas dan prosedur agak mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap

debitor. Asas ini dilindungi oleh Pasal 1131 BW. Hukum kepailitan mencegah para

kreditor berebutan harta debitor saat debitor pailit sehubungan dengan asas tersebut

diatas, dan apabila tidak ada hukum kepailitan, maka kreditor yang lebih kuat akan

mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada kreditor yang lemah.

2. Sejarah Hukum Kepailitan

Di Indonesia, kata “bangkrut” sudah lumrah didengar sehari-hari, dan telah lama dikenal.

Sementara hukum kepailitan telah ada secara formal sejak tahun 1905, dan bahkan sudah

ada undang-undang yang secara khusus mengaturnya dengan diberlakukannya S.1905-

207 jo. S. 1906-348, yang kemudian diubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang

kemudian diterima oleh DPR dan kemudian berubah menjadi Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1998, yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004.

Hukum Kepailitan pada mulanya merupakan bagian dari hukum dagang. Adapun

perkembangan Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di

Eropa, kira-kira dari tahun 1000 sampai 1500. Asal mula perkembangan hukum ini dapat

kita hubungkan dengan terjadinya kota-kota di Eropa Barat. Pada zaman itu Itali dan

Perancis Selatan telah lahir menjadi kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa,

Florence, Venetia, Marseille, barcelona, dan lain-lain). Hukum Romawi (Corpus Iuris

Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di

bidang perdagangan. Oleh karena itulah di kota-kota Eropa Barat disusun peraturan-

peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping hukum Romawi yang berlaku.

Hukum yang baru ini berlaku bagi golongan pedagang dan disebut "Hukum Pedagang"

(koopmansrecht). Kemudian pada abada ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis

mengadakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-perkara di

bidang perdagangan (pengadilan pedagang). Hukum pedagang ini pada mulanya belum

merupakan unifikasi berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah, karena

Page 3: Kepailitan 1

berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum pedagangan

sendiri-sendiri yang berlainan satu sama lainnya. Kemudian disebabkan bertambah

eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasa perlu adanya kesatuan hukum

diantara hukum pedagang ini.

Oleh karena itu di Perancis pada abad ke 17 diadakanlah kodifikasi dalam hukum

pedagang. Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV(1643-1715) yaitu Colbert membuat

suatu peraturan yaitu Ordonance du Commerce (1673). Peraturan yang mengatur hukum

bagi pedagang ini berperan sebagai hukum untuk mengatur golongan tertentu yaitu kaum

pedagang. Ordonance du Commerce ini pada tahun 1681 disusul dengan Ordonance de

la Marine yang mengatur hukum perdagangan laut untuk pedagang-pedagang kota

pelabuhan.

Pada tahun 1807 di Perancis di samping adanya Code Civil des Francais yang mengatur

Hukum Perdata Perancis, telah dibuat lagi suatu kitab ndang-undang Hukum Dagang

tersendiri yakni Code de Commerce. Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis

terdapat hukum dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce yang dipisahkan

dari Hukum Perdata yang dikodifikasikan dengan Code Civil. Code de Commerce ini

membuat peraturan-peratuan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak

jamanpertengahan. Adapun yang menjadi dasar bagi penyusun Code de Commerce

(1807) itu adalah Ordonance de Commerce (1673) dan Ordonance de la Marine (1671)

tersebut.

Kemudian kodifikasi-kodifikasi hukum perancis tahun 1807 (Code Civil dan Code

commerce) dinyatakan berlaku juga di Netherland pada tahun 1838. Pada saat itu

Pemerintah Belanda menginginkan adanya hukum dagang sendiri; dalam usulan KUHD

Belanda dari Tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga buku.

Namun tidak diakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang

timbul di bidang perdagangan, yang mana perkara-perkara di bidang perdagangan ini

pada akhirnya diselesaikan di pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang

kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya Nederland 1838 ini

kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD Indonesia pada tahun1848.

Page 4: Kepailitan 1

3. Syarat permohonan kepailitan

- Adanya utang. Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) UU Kepailitan, utang adalah kewajiban

yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang

Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul

di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang

dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada

kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

- Minimal satu utang sudah jatuh waktu. Maksudnya adalah utang hanya jatuh waktu

apabila berdasarkan perjanjian kredit ataupun perjanjian utang-piutang jangka waktu

pelunasan hutang tersebut telah terlewati

- Minimal satu utang sudah dapat ditagih. Maksudnya adalah apabila didalam

perjanjian kredit tidak ditentukan jangka waktu kapan debitor harus melunasi

utangnya, maka Pasal 1238 BW dapat dijadikan dasar, dimana berdasarkan pasal

tersebut pihak debitor dianggap lalai apabila debitor dengan surat teguran (somasi)

telah dinyatakan lalai dan didalam surat tersebut debitor diberi waktu tertentu untuk

melunasi utangnya. Apabila setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan dalam

surat teguran itu ternyata debitor belum juga melunasi utangnya, maka debitor

dianggap lalai. Oleh karena debitor lalai tersebut, maka utang dapat dikatakan bisa

ditagih.

- Adanya debitor dan kreditor

- Kreditor lebih dari satu

- Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan

Niaga

- Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor atau debitor itu sendiri.

4. Pihak yang mengajukan permohonan kepailitan

Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa permohonan pailit dapat diajukan oleh kreditor/para

kreditor, atau debitor secara orang perorangan. Debitor yang mengajukan permohonan

pailit terhadap dirinya haruslah dapat mengemukakan dan membuktikan bahwa debitur

Page 5: Kepailitan 1

memiliki lebih dari satu kredtor, dan juga dia belum membayar utang kreditor yang telah

jatuh tempo dan dapat ditagih. Sementara kreditor dapat mengajukan permohonan pailit

apabila kreditor lebih dari seorang. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2), ayat

(3), ayat (4) dan ayat (5), permohonan yang dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan

oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum, dan dalam hal debitor adalah bank,

permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Sementara

dalam hal debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,

lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat

diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Dan dalam hal debitor adalah perusahaan

asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang

bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat

diajukan oleh menteri keuangan.

5. Pihak yang dinyatakan pailit

Pihak yang dinyatakan pailit adalah seorang debitor yang mempunyai dua atau lebih

kreditor dan tidak dapat membayar setidak-tidaknya satu utang yang telah jatuh waktu

dan dapat ditagih. Seorang debitor dapat berupa:

- Orang perorangan, baik yang menjalankan perusahaan atau tidak, baik laki-laki

maupun perempuan yang telah atau belum kawin, dan jika permohonan pailit itu

diajukan oleh debitor perorangan yang telah kawin, maka permohonan tersebut hanya

dapat diajukan atas persetujuan suami atau isteri, kecuali diantara suami dan istri

tidak ada percampuran harta.

- Badan usaha:

a. Bukan badan hukum: permohonan pernyataan pailit harus memuat nama dan

tempat tinggal masing-masing anggota persekutuan yang secara tanggung renteng

terikat untuk seluruh utang firma.

b. Badan hukum: berlaku ketentuan mengenai kewenangan masing-masing badan

hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.

6. Prosedur pengajuan permohonan kepailitan

Page 6: Kepailitan 1

Permohonan kepailitan terhadap seorang debitor diajukan kepada pengadilan khusus

yaitu Pengadilan Niaga, dimana prosedur dan langkah-langkah yang ditempuh dalam

suatu permohonan pailit dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit dan pendaftarannya kepada pengadilan melalui

panitera pengadilan negeri

2. Panitera menyampaikan permohonan persyaratan pailit kepada ketua pengadilan

negeri

3. Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang

4. Pemanggilan sidang

5. Pelaksanaan sidang (20 hari sejak pendaftaran)

6. Sidang dapat ditunda jika memenuhi persyaratan (25 hari setelah didaftarkan)

7. Putusan permohonan pailit (60 hari setelah didaftarkan)

8. Penyampaian salinan putusan kepada pihak yang berkepentingan (3 hari setelah

putusan)