kementerian pendidikan dan kebudayaan badan pengembangan ... · kesusastraan anak indonesia. iii...

56
1 Bacaan untuk Anak Tingkat SD Kelas 4, 5, dan 6 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Upload: buinhi

Post on 15-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Bacaan untuk AnakTingkat SD Kelas 4, 5, dan 6

Kementerian Pendidikan dan KebudayaanBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

KARAENG PATTINGALOANG DAN I MANINRORI

Ibnu S. Palogai

Kementerian Pendidikan dan KebudayaanBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

MILIK NEGARA

TIDAK DIPERDAGANGKAN

KARAENG PATTINGALOANG DAN I MANINRORIPenulis : Ibnu S. PalogaiPenyunting : Wenny OktaviaIlustrator : Darwis BesariPenata Letak : Tri Kartini Putri

Diterbitkan pada tahun 2018 olehBadan Pengembangan dan Pembinaan BahasaJalan Daksinapati Barat IVRawamangunJakarta Timur

Hak Cipta Dilindungi Undang-UndangIsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa seizin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.

PB398.209 598 6PALk

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Palogai, Ibnu S.Karaeng Pattingaloang dan I Maninrori/Ibnu S. Palogai; Penyunting: Wenny Oktavia; Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018vi; 45 hlm.; 21 cm.

ISBN 978-602-437-531-71. CERITA ANAK--SULAWESI2. KESUSASTRAAN ANAK INDONESIA

iii

SAMBUTAN

Sikap hidup pragmatis pada sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Demikian halnya dengan budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal yang santun, ramah, saling menghormati, arif, bijaksana, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, dan kasar tanpa mampu mengendalikan diri. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa yang terkenal ramah, santun, toleran, serta berbudi pekerti luhur dan mulia.

Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas cendekia, bijak bestari, terampil, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan karakter bangsa yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Penguatan pendidikan karakter bangsa dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang memumpunkan ketersediaan bahan bacaan berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Bahan bacaan berkualitas itu dapat digali dari lanskap dan perubahan sosial masyarakat perdesaan dan perkotaan, kekayaan bahasa daerah, pelajaran penting dari tokoh-tokoh Indonesia, kuliner Indonesia, dan arsitektur tradisional Indonesia. Bahan bacaan yang digali dari sumber-sumber tersebut mengandung nilai-nilai karakter bangsa, seperti nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah

iv

air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai karakter bangsa itu berkaitan erat dengan hajat hidup dan kehidupan manusia Indonesia yang tidak hanya mengejar kepentingan diri sendiri, tetapi juga berkaitan dengan keseimbangan alam semesta, kesejahteraan sosial masyarakat, dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apabila jalinan ketiga hal itu terwujud secara harmonis, terlahirlah bangsa Indonesia yang beradab dan bermartabat mulia. Salah satu rangkaian dalam pembuatan buku ini adalah proses penilaian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuaan. Buku nonteks pelajaran ini telah melalui tahapan tersebut dan ditetapkan berdasarkan surat keterangan dengan nomor 13986/H3.3/PB/2018 yang dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober 2018 mengenai Hasil Pemeriksaan Buku Terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang Pembelajaran, Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar beserta staf, penulis buku, juri sayembara penulisan bahan bacaan Gerakan Literasi Nasional 2018, ilustrator, penyunting, dan penyelaras akhir atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi khalayak untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional dalam menghadapi era globalisasi, pasar bebas, dan keberagaman hidup manusia.

Jakarta, November 2018Salam kami,

ttd

Dadang SunendarKepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

v

SEKAPUR SIRIH

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih sayang-Nya sehingga buku cerita ini dapat diselesaikan tepat waktu. Buku yang berjudul Karaeng Pattingaloang dan I Maninrori ini adalah ajakan kepada setiap orang untuk kembali melihat dan membaca ulang sejarah salah satu kerajan maritim terbesar yang pernah ada di Nusantara. Mempelajari bagaimana Kerajaan Gowa menjadi besar hingga akhirnya harus kalah menjadi semacam seruan kepada generasi terbaik Indonesia agar menyiapkan diri menjadi pemimpin yang jujur, berani, dan cerdas pada masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta karena telah memberi kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk menulis cerita ini.

Kritik dan saran penulis butuhkan untuk masa yang akan datang agar menjadi penyemangat dalam berkarya. Kuru’ Sumange’.

Makassar, Oktober 2018Ibnu S. Palogai

vi

DAFTAR ISI

Sambutan ...................................................................... iii

Sekapur Sirih ................................................................ v

Daftar Isi ....................................................................... vi

I Maninrori dan Bahasa Latin ..................................... 1

I Maninrori dan Hadiah Anak Kuda ........................... 7

Mencari Nama untuk Kuda Kesayangan .................... 15

Berlayar Bersama Kuda Kesayangan ......................... 21

I Maninrori Menulis Puisi ............................................ 28

Sepucuk Surat dari Ayah I Maninrori ......................... 35

Biodata Penulis ............................................................. 42

Biodata Penyunting ...................................................... 43

Biodata Ilustrator ......................................................... 44

1

I Maninrori dan Bahasa Latin

2

Di baruga Istana Tallo, I Maninrori bersama teman-temanya sedang belajar. Karaeng Pattingaloang yang hari itu tidak disibukkan dengan pekerjaan sebagai tumabbicara butta atau mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo mengajak anak-anak bermain sambil belajar bahasa Latin.

Selain menangani kegiatan perniagaan dan urusan dalam negeri Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Pattingaloang juga memperhatikan pendidikan bagi anak-anak. Oleh karena itu, ia mendirikan sekolah tempat anak-anak belajar agama dan ilmu pengetahuan umum di Istana Tallo.

Dengan baju berwarna merah dan celana panjang berwarna hitam, Karaeng Pattingaloang berdiri di hadapan belasan anak yang duduk di lantai baruga Istana Tallo. Di tangannya kertas biru berisi beberapa pelajaran tentang bahasa Latin ia lipat.

“Selamat pagi, Anak-Anak!” sapa Karaeng Pattingaloang.

“Selamat pagi, Karaeng,” jawab anak-anak dengan riang gembira.

“Sudah siap menerima pelajaran Bahasa Latin hari ini?” tanya Karaeng Pattingaloang sambil membuka kertas biru di tangan kanannya.

“Sudah siap, Karaeng,” jawab anak-anak kompak dengan suara yang bersahutan.

1

“Kami sudah menunggu sejak tadi,” jawab I Maninrori dengan senyum memancar dari wajahnya yang selalu bersahaja dan penuh semangat.

“Baiklah kalau begitu. Silakan siapkan diri kalian. Karena hari ini ada pelajaran yang tidak bisa kalian lupakan,” jelas Karaeng Pattingaloang yang diakhiri dengan suara tawanya.

“Kenapa bahasa Latin itu penting?” tanya Karaeng Pattingaloang membuka kelasnya.

I Maninrori dan teman-temannya mengernyitkan kening tanda belum tahu jawabannya. Bagi anak-anak, bermain adalah bahasa yang paling mereka gemari. Pertimbangan itu yang membuat Karaeng Pattingaloang berusaha menggabungkan permainan dan pelajaran bahasa. Ini agar anak-anak lebih tetarik dan bersemangat dalam belajar.

“Jadi, bahasa Latin itu penting karena banyak buku yang ada di perpustakaan ini berbahasa Latin. Tapi kalian juga harus mahir berbahasa Inggris, Portugis, Melayu, Arab, dan Belanda. Keempat bahasa itu menjadi bahasa umum yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Karaeng Pattingaloang.

Anak-anak yang duduk di hadapan Karaeng Pattingaloang hanya mengangguk tanda paham.

Karaeng Pattingaloang lalu menuliskan kalimat di papan tulis. Anak-anak menunggu dengan tenang apa yang ditulis oleh Karaeng Pattingaloang. Ada yang duduk

2

sambil melihat papan tulis. Ada yang memperhatikan ujung sarung Karaeng Pattingaloang.

“Cogitu ergo sum! Siapa di antara kalian yang tahu arti dari kalimat di atas?” tanya Karaeng Pattingaloang.

Anak-anak saling tatap dan tidak ada yang berani mengangkat tangan. Di kelas awal mereka memang baru diminta menghafal angka dan belajar melafalkan huruf dalam bahasa Latin. Hanya ada beberapa kosakata dasar yang mereka hafal.

I Maninrori menatap papan tulis. Ia mengeja kalimat itu. Lalu, mengulanginya sekali lagi. Kali ini lebih pelan. Namun, sama sekali ia tidak tahu apa arti kalimat itu.

Setelah menunggu beberapa menit dan tidak ada yang menjawab, Karaeng Pattingaloang kembali memberikan penjelasan kepada I Maninrori dan teman-temannya.

“Kalimat ini dituliskan oleh Descartes, seorang bapak filsafat asal Prancis yang lahir tanggal 31 Maret 1596,” jelas Karaeng Pattingaloang.

Anak-anak yang duduk di hadapan Karaeng Pattingaloang menyimak penjelasan tentang Descartes. Tampak I Maninrori antusias mendengarkan penjelasan tersebut.

“Arti dari cogitu ergo sum adalah ‘‘aku berpikir, maka aku ...?”

Karaeng Pattingaloang tidak mengartikan sekaligus kalimat itu. Ia mengajak anak-anak untuk

3

4

memikirkan kata yang paling tepat untuk melengkapi kalimatnya. Cara ini membuat anak-anak semakin bersemangat untuk belajar.

“Apa kira-kira kata yang menjadi arti kalimat itu?” lanjut Karaeng Pattingaloang, “maka aku ...?”

Salah seorang anak yang duduk di belakang mengangkat tangannya.

“Maka aku membantu orang tua, Karaeng,” jawabnya.

“Maka aku mengaji, Karaeng,” jawab Daeng Rurung.

“Maka aku apa lagi?” tanya Karaeng Pattingalong.“Maka aku mencari ikan di sungai, Karaeng.”Jawaban Nyarrang yang membuat seisi kelas

tertawa, juga Kareng Pattingaloang. Nyarrang memang dikenal sebagai anak yang jenaka dan pandai menghibur teman-temannya.

Setelah suasana kelas lebih tenang, Karaeng Pattingaloang mulai melanjutkan pelajaran Bahasa Latin.

“Jadi, arti kalimat itu sepenuhnya adalah ‘aku berpikir, maka aku ada,” Karaeng Pattingaloang terdiam sesaat, membiarkan anak-anak ini berpikir, “jadi, kita harus memikirkan dengan baik dan mempertimbangkan dengan matang, apa yang pantas atau tidak pantas kita lakukan. Apa yang perlu atau tidak perlu kita ucapkan,” jelas Karaeng Pattingaloang.

5

“Salah satu penunjang yang membantu kita untuk berpikir adalah membaca. Dengan membaca buku, selain pengatahuan kita bertambah, cara berpikir kita juga akan semakin terlatih. Cogitu ergo sum! Aku berpikir, maka aku ada!” tutup Karaeng Pattingaoang..

I Maninrori dan teman-temannya mengangguk, berusaha memahami lebih dalam lagi makna dari kalimat itu. Akan tetapi, Karaeng Pattingaloang tidak ingin anak-anak ini hanya mengetahui pemikiran dari luar, ia juga menyelinginya dengan pappasang atau pesan-pesan tentang kehidupan.

“Nah, jika cogitu ergo sum itu tentang pentingnya berpikir sebelum bertindak, pesan ini yang akan menguatkan tindakan itu. Nikanaya katojengang sangrapangi bulo sipappa, nionjoki poko’na ammumbai cappa’na, nionjoki cappa’na gioki poko’na. Ada yang bisa mengartikannya ke dalam bahasa Melayu?” tanya Karaeng Pattingaloang.

Daeng Serang yang sedari tadi duduk tenang memperhatikan Karaeng Pattingaloang mengangkat tangan.

“Sesungguhnya kebenaran itu seperti sebatang bambu. Jika pangkalnya diinjak, pucuknya akan terangkat. Jika pucuknya diinjak, akan bergerak pangkalnya. Apakah itu sudah betul, Karaeng?” tanya Daeng Serang dengan keraguan.

“Ya, itu sudah betul, Serang. Jadi, penting untuk berpikir sebelum bertindak. Tindakan paling baik adalah yang berlandaskan pada kebenaran. Salah satu cara untuk

6

mencari kebenaran adalah dengan membaca buku,” tutup Karaeng Pattingaloang.

Anak-anak ini mulai paham arti penting dari berpikir dan mengapa mereka harus rajin membaca. Setelah belajar Bahasa Latin, I Maninrori baring-baring di balai sambil membaca buku Seni Berperang karangan Tsun Zui. Sementara itu. teman-temannya pulang ke rumah satu per satu. Setelah lelah belajar dan membaca, siang itu I Maninrori tertidur dengan buku di tangannya.

7

I Maninrori dan Hadiah Anak Kuda

8

Suara dengus kuda di halaman rumah membangunkan I Maninrori dari tidur siangnya. Ia tertidur di baruga istana setelah belajar Bahasa Latin bersama beberapa temannya. Matanya yang sayu berubah penasaran ketika melihat ke arah pemuda yang memandikan La Pacco dan La Sanga, dua kuda kesayangan Karaeng Pattingaloang.

Istana Tallo yang menjadi kediaman I Mangadacinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingaloang memang menjadi tempat anak-anak belajar agama dan ilmu pengetahuan umum. Beberapa anak bangsawan dari Luwu, Bone, Soppeng, dan kerajaan lain mengirim anaknya di sini untuk belajar. Bukan hanya anak bangsawan, melainkan di tempat ini anak-anak lain yang sebaya I Maninrori datang menuntut ilmu.

Sebagai Tumabbicara Butta Kerajaan Gowa, Karaeng Pattingaloang begitu memperhatikan nasib generasi penerusnya. Atas pertimbangan itu, di lingkungan istana, sekolah yang ia dirikan menjadi pusat ilmu pengetahuan. Ribuan buku yang ia miliki terkumpul dalam satu perpustakaan. Di ruang kerjanya ada atlas dan globe yang dikirim langsung dari Kerajaan Inggris. Semua itu bisa dibaca oleh siapa pun. Seorang perempuan berusia belasan tahun yang bertugas sebagai pustakawan, dengan senang hati akan menunjukkan letak buku yang ingin dibaca oleh anak-anak yang datang.

Setelah menyeka wajahnya dengan air, I Maninrori berjalan mendekat ke tempat kedua kuda Karaeng Pattingaloang dimandikan. La Pacco berwarna cokelat

9

dengan poni sepanjang jengkal I Maninrori. La Sanga berwarna hitam dengan sepatu besi bersepuh kuningan. Jika Karaeng Pattingaloang pergi berburu, ia menunggangi La Sanga. Kuda yang berusia delapan tahun itu memang memiliki kecepatan yang tidak terkalahkan. Namun, jika sedang menjalankan tugas sebagai Tumabbicara Butta Kerajaan Gowa, ia akan menggunakan La Pacco. Tubuh kuda yang kekar dan terlihat gagah membuat penampilan Karaeng Pattingaloang semakin berwibawa.

Siang itu udara cukup hangat. I Maninrori berdiri dua langkah dari La Pacco. Ia mengamati poni kuda itu. Ia tertarik untuk memegangnya. Akan tetapi, tubuh kecilnya itu belum cukup tinggi untuk menyentuh ujung poni La Pacco.

“Kamu mau menungganginya?” tanya Mappa, perawat kuda Karaeng Pattingaloang.

I Maninrori tidak menjawab. Ia mundur satu langkah. Mungkin takut. Tubuh kuda itu memang terlihat besar dibandingkan tubuhnya yang masih dalam tahap perkembangan.

Karaeng Pattingaloang muncul dari belakang I Maninrori. Ia menepuk pundak kecilnya.

“I Maninrori, La Pacco punya anak. Ia belum diberi nama. Usianya masih tujuh bulan. Jika kamu tertarik memilikinya, saya akan memberikan itu sebagai hadiah ulang tahunmu,” kata Karaeng Pattingalong.

I Maninrori terlihat semringah. Seminggu yang lalu ia memang berulang tahun yang kesepuluh.

10

“Saya pasti akan merawatnya dengan tekun, Karaeng,” jawab I Maninrori penuh janji.

“Tentu saja! Saya tidak akan memberikan kuda itu jika saya menganggap kamu tidak tekun.”

I Maninrori terlihat semringah. Senyum kecil terpancar dari bibirnya.

“Saya akan meminta Mappa mengajarimu cara merawat kuda,” jelas Karaeng Pattingaloang.

“Kalau soal itu, saya pasti akan melakukannya tanpa diminta, Karaeng,” jawab Mappa dengan sopan.

“Kalau begitu, setelah kamu memandikan La Pacco dan La Sanga, antar I Maninrori ke kandang kuda untuk melihat peliharaan barunya,” pinta Karaeng Pattingaloang yang setelah itu bergegas ke ruang kerjanya.

Setelah kedua kuda kesayangan Karaeng Pattingaloang selesai dimandikan, Mappa memanggil I Maninrori di baruga istana. Anak itu duduk bersandar di tiang sambil melanjutkan bacaannya.

“Tabe’, Daeng, kuda Karaeng Pattingaloang sudah dimandikan. Mari kita pergi melihat anak kuda itu,” ajak Mappa. Mappa amat menghormati I Maninrori sebagai anak bangsawan, dan begitu pun sebaliknya, I Maninrori pandai memperlakukan orang lain dengan sopan tanpa memandang siapa dia.

“Oh, kerja Anda begitu cepat dan teliti. Tunggu sebentar, saya simpan buku ini dulu baru kita sama-sama ke sana,” katanya sambil mengangkat buku itu dan segera berlari ke rak tempat ia mengambil buku tersebut.

11

I Maninrori yang berusia sepuluh tahun memang memiliki karisma bangsawan yang terpancar dari sikap dan kata-katanya. Ayahnya adalah I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe yang merupakan anak dari Raja Gowa ke-15, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung.

Setelah tiba di kandang kuda, Mappa membuka pintu kandang dan menarik tali kekang yang melingkar di leher anak kuda tersebut.

“Daeng, dalam merawat kuda hal pertama adalah, pastikan kandang yang ditempati kuda itu bersih dan sehat,” jelas Mappa.

“Bagaimana caranya saya tahu bahwa itu bersih dan sehat, Mappa? tanya I Maninrori.

“Mudah, Daeng. Cukup perhatikan kondisi di dalam kandang, pastikan kuda terlindungi dari angin, hujan, dan terik matahari. Model kandang seperti ini sudah memenuhi syarat tersebut.”

“Lalu, apa lagi, Mappa? Kamu sepertinya menguasai betul bagaimana merawat kuda,” tanya I Maninrori yang semakin tertarik.

“Setelah itu, perhatikan pijakan kuda. Apakah banyak tumbuhan liar yang mungkin akan dimakan oleh kuda dan itu membuatnya sakit atau apakah ada genangan air yang membuat istirahat kuda terganggu?”

“Kalau saya lihat, kandang ini memang sudah sesuai, ya,” jelas I Maninrori setelah mengamati sekaliling kandang kuda tersebut.

12

“Iya, Daeng. Saya memang sudah membuatnya senyaman mungkin,” jelas Mappa.

Mappa mengambil tali kekang yang dikaitkan di tiang kandang, kemudian mengajak anak kuda itu berjalan-jalan di padang rumput. I Maninrori ikut di belakang. Mengamati kuda yang kini jadi miliknya itu.

13

“Selain memperhatikan kondisi kandang, hal lain yang penting adalah, kita harus sering mengajak kuda jalan-jalan,” jelas Mappa selanjutnya.

“Apakah dengan sering jalan-jalan, itu berpengaruh terhadap kondisi kuda tersebut?’ tanya I Maninrori.

“Tentu! Karena itu salah satu bentuk latihan yang diberikan kepada kuda,” jawab Mappa.

“Berarti, kalau begitu, setiap hari saya harus mengajak kuda ini jalan-jalan?” tanya I Maninrori.

“Tidak perlu setiap hari. Karena ada beberapa jenis latihan yang harus diberikan kuda. Jalan-jalan ini hanya salah satu.”

“Apa jenis latihan yang lain?” tanya I Maninrori yang seperti tidak kehabisan pertanyaan.

“Itu bergantung pada peruntukan kuda tersebut. Latihan yang diberikan pada La Pacco dan La Sanga berbeda karena kedua peruntukan kuda itu berbeda. Nah, Daeng, kuda ini akan digunakan untuk apa?” tanya Mappa.

“Hem, saya mau menjadikan kuda ini sebagai teman bepergian saya. Saya suka berkeliling. Suatu saat nanti saya akan pergi berburu. Jika memungkinkan, kuda ini dilatih seperti kuda perang,” harap I Maninrori.

“Kuda perang? Saya belum pernah melatih kuda perang karena itu khusus dilakukan para ahli kuda di Galesong, Daeng. Tetapi jika Daeng memang mau, saya akan mencari caranya.”

14

“Tentu saya mau, Mappa. Kuda ini akan terlihat gagah. Warna bulunya yang hitam akan lebih sangar,” jelas I Maninrori sambil tertawa kecil.

“Baiklah, Daeng, Beri saya waktu untuk mempelajarinya.”

“Tentu, Mappa. Kamu pasti bisa diandalkan.”“Kalau begitu, silakan memberi nama kuda

kesayangan ini terlebih dahulu, Daeng!” pinta Mappa kepada I Maninrori.

15

Mencari Nama untuk Kuda Kesayangan

16

Karaeng Pattingaloang kaget ketika masuk ke perpustakaan pagi itu. Seorang anak duduk di hadapan buku-buku yang terbuka. Ia sibuk membolak-balik halaman buku. Anak itu seperti mencari sesuatu.

“I Maninrori?” sapa Karaeng Pattingaloang yang ingin memastikan bahwa anak yang duduk di depan itu adalah anak asuh sekaligus muridnya.

“Iya, Karaeng,” jawab I Maninrori sambil terkikih.“Apa yang kamu lakukan sepagi ini di perpustakaan?”

kening Karaeng Pattingaloang mengernyit heran.“Hem, saya mencari nama untuk kuda yang

Karaeng hadiahkan itu,” I Maninrori penuh semangat menimpali pertanyaan Karaeng Pattingaloang.

“Oh! Saya kira kamu sedang belajar.”“Ini kan juga belajar, Karaeng,” terdengar tawa I

Maninrori menutup jawabannya.“Kalau begitu, silakan lanjutkan pencarianmu. Saya

kerja dulu,” tutup Karaeng Pattingaloang, lalu berjalan ke meja kerjanya yang terletak di pojok perpustakaan.

Perpustakaan sunyi. Hanya ada mereka berdua. Langkah kaki Karaeng Pattingaloang dan suara kertas yang bergesekan seperti irama yang membawa ketenangan. Karaeng Pattingaloang duduk di meja kerjanya, mempelajari cara kerja kapal-kapal dagang yang singgah di Pelabuhan Makassar. Ia mencari tahu cara meningkatkan perniagaan di pelabuhan itu.

I Maninrori yang masih sibuk mencari nama untuk kudanya tidak berhenti membuka lembar demi lembar

17

buku yang ada di hadapannya. Saat suasana hening, I Maninrori lompat kegirangan sambil mengangkat buku yang sedang ia baca. Ia seperti baru saja menemukan harta karun yang tidak ternilai. Riang gembira.

“Ommale! Akhirnya saya dapat nama yang bagus,” teriak I Maninrori kegirangan.

Karaeng Pattingaloang yang sedang mencatat sesuatu, hanya tersenyum. Di tangannya pena bulu angsa yang pangkalnya dilumuri tinta terus mencatat sesuatu. I Maninrori kembali duduk. Ia merapikan buku-buku yang berserakan di hadapannya. Wajahnya terlihat ceria dan semangat. Ia kemudian meletakkan kembali buku-buku itu di tempat semula lalu berjalan ke arah Karaeng Pattingaloang.

“Jadi, siapa nama kudamu?” tanya Karaeng Pattingaloang tanpa memalingkan tatapannya pada kertas.

“Venus, Kareng. Keren, kan?” tanya balik I Maninrori.

“Venus? Itu kan nama salah satu planet?” tanya Karaeng Pattingaloang.

“Iya, Karaeng. Tadi saya membaca buku tentang tata surya. Dari sekian nama planet, saya suka Venus. Akhirnya, saya memilih itu menjadi nama kuda saya,” jawab I Maninrori.

“Wah, berarti kamu sudah tahu dong nama-nama planet di tata surya ini?” tanya Karaeng Pattingaloang sambil meletakkan penanya.

18

“Saya sudah tahu, Karaeng,” jawab I Maninrori.“Coba sebutkan planet yang paling dekat dengan

Bumi?” tanya Karaeng Pattingaloang.“Planet Mars, Karaeng,” jawab I Maninrori yakin.“Hem! Kalau yang paling jauh?”“Saturnus!”“Wah, kamu sepertinya memang sudah tahu urutan

planet di tata surya ini. Coba sebutkan semua planet yang ada!” pinta Karaeng Pattingaloang yang ingin mengetahui kemampuan I Maninrori dalam mengingat nama-nama planet.

“Saya memulainya dari yang paling dekat dengan matahari ya, Karaeng. Hem, yang pertama itu adalah Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, dan Saturnus, Karaeng,” jawab I Maninrori.

“Wah! Kamu memang anak yang pintar,” puji Karaeng Pattingaloang.

“Terima kasih, Karaeng,” jawab I Maninrori.“Kamu sudah tahu urutan planet di tata surya. Tapi

perlu kamu ingat bahwa jumlah planet dan urutannya itu hasil kesepakatan para ilmuwan yang bertahun-tahun meneliti tata surya,” jelas Karaeng Pattingaloang.

I Maninrori mengangguk. Mungkin ia berusaha memahami perkataan Karaeng Pattingaloang.

“Tidak tertutup kemungkinan, pada masa depan, puluhan tahun atau ratusan tahun kemudian jumlah planet yang kamu tahu hari ini akan berubah. Entah jumlahnya atau urutannya. Pada masa depan kemajuan

19

teknologi dan kecerdasan manusia akan mendorong ditemukannya fakta-fakta baru tentang tata surya,” Karaeng Pattingaloang menjelaskan kepada I Maninrori.

“Oh, begitu ya, Karaeng. Tampaknya memang menyenangkan belajar tata surya.”

“Tentu saja, itulah mengapa saya memesan teropong besar itu,” sambil menunjuk teropong yang ia letakkan di dekat jendela, “dari sana pada malam hari kamu bisa mengamati tata surya,” tutup Karaeng Pattingaloang.

“Apakah suatu saat saya bisa mempelajarinya juga, Karaeng?” tanya I Maninrori.

“Tentu saja! Kamu harus belajar. Kamu harus lebih pintar lagi dari orang yang mengajarimu. Suatu saat jika kamu sudah pintar, jangan lupa untuk mengajar orang lain agar mereka juga semakin pintar,” harap Karaeng Pattingaloang.

I Maninrori duduk di kursi yang sengaja diletakkan Karaeng Pattingaloang di depan meja kerjanya. Kepalanya tertunduk, tetapi senyumnya belum hilang. Ia seperti memikirkan sesuatu. Namun, suara berat Karaeng Pattingaloang mengagetkannya.

“I Maninrori! Kamu tahu kenapa saya memberimu kuda sebagai hadiah ulang tahun?” tanya Karaeng Pattingaloang.

I Maninrori hanya menggeleng. Bagi dirinya, kuda itu adalah hadiah ulang tahun yang diberikan Karaeng Pattingaloang untuknya. Karena itu pemberian, tentu ia

20

harus merawatnya dengan tekun sebagai bentuk tanggung jawab terhadap yang memberinya.

“Kuda itu bukan sekadar hewan. Ia bisa menjadi teman yang setia. Dengan memelihara kuda itu, saya berharap kamu belajar mencintai dan bertanggung jawab terhadap sesuatu. Dua pelajaran itu yang menjadi modal seorang pemimpin mengubah dunia ini,” pesan Karaeng Pattingaloang kepada I Maninrori Kare Tojeng.

Mata I Maninrori menatap sopan wajah serius Karaeng Pattingaloang. Ia mengangguk sebagai tanda setuju. Tangannya terkepal. I Maninrori menggenggam cita-cita!

21

Berlayar Bersama Karaeng Pattingaloang

22

Embus angin yang menyelinap dari jendala membuat I Maninrori yang sedang membaca di kamar merasa kedinginan. Udara malam ini memang berbeda dari biasanya. Ia lalu berdiri dan menutup rapat jendelanya. Di luar kamar terdengar suara Karaeng Pattingaloang memanggilnya.

“I Maninrori?” sapa Karaeng Pattingaloang.“Iya, Karaeng,” dengan cepat I Maninrori menjawab

panggilan Karaeng Pattingaloang. I Maninrori yang menggunakan sarung dan

baju tidur keluar kamar lalu menghadap ke Karaeng Pattingaloang.

“Besok saya akan pergi berlayar ke Pulau Don Duango. Mungkin dua atau tiga hari. Saya mau melihat kegiatan perniagaan dan bagaimana para penjaga pantai di sana bertugas. Apakah kamu mau ikut?” ajak Karaeng Pattingaloang.

“Serius, Karaeng? Wah, saya baru saja membaca buku tentang kapal pinisi. Saya pasti mau, Karaeng.”

“Kalau begitu, persiapkan pakaianmu.”“Baik, Karaeng,” patuh I Maninrori. “Setelah itu, istirahatlah. Jangan lupa cuci kaki

dan baca doa sebelum tidur.”“Iya, Karaeng, saya pasti melakukannya,” jawab I

Maninrori dan ia segera pamit untuk kembali ke kamar mempersiapkan pakaiannya.

Karaeng Pattingaloang yang masih membaca di ruang tengah hanya mengangguk. Tangannya tidak

23

melepaskan buku yang sedang ia baca. Ia memang ingin menyelesaikan bacaannnya sebelum tidur. Buku matematika berbahasa Latin itu menyita perhatian Karaeng Pattingaloang beberapa hari ini.

Malam semakin larut, hanya suara jangkrik dan lolongan anjing yang terdengar dari luar rumah. Karaeng Pattingaloang memadamkan penerang dan masuk ke kamarnya untuk beristirahat.

Keesokan paginya I Maninrori yang masih berada di dalam kamar mendengar namanya dipanggil.

“I Maninrori, apakah kamu sudah siap?”“Sudah, Karaeng,” jawab I Maninrori yang muncul

dari balik pintu kamarnya.“Baguslah. Di meja ada teh panas dan pisang goreng

yang disiapkan Amma Ciang. Habiskanlah sebelum berangkat,” pinta Karaeng Pattingaloang.

“Baik, Karaeng!” jawab I Maninrori sambil berjalan ke ruang tamu.

“Wah, sepagi ini Karaeng sudah siap rupanya. Padahal, semalam masih bergadang untuk membaca buku,” gumam I Maninrori sambil menyantap pisang goreng buatan Amma Ciang.

“Apakah kamu sudah siap untuk petualangan kita hari ini?” tanya Karaeng Pattingaloang yang juga duduk di kursinya.

“Pasti, Karaeng. Semalam saya susah tidur karena membayangkan keseruan yang akan kita dapatkan dalam pelayaran kali ini,” jawab I Maninrori.

24

“Baiklah. Seperti biasa, saya juga mengajak anak saya, Karaeng Karunrung. Dia akan belajar menjadi seorang kapten kapal. Makanya, saya meminta dia yang mengatur semua yang kita butuhkan selama pelayaran ini,” jelas Karaeng Pattingaloang.

“Bagus, dong. Saya jadi punya teman bermain. Tapi, saya bertugas sebagai apa, Karaeng?” tanya I Maninrori.

“Apakah kamu bisa berenang?” tanya Karaeng Pattingaloang.

“Bisa, Karaeng. Sejak kecil saya memang sudah diajar berenang,” jawab I Maninrori.

“Kalau begitu, kamu bertugas menemani saya berenang jika kita sudah sampai di sana,” jawab Karaeng Pattingaloang terkikih.

Dari teras rumah suara Karaeng Karunrung terdengar memanggil ayahnya dan I Maninrori.

“Apakah perjalanan kita ke pelabuhan sudah bisa dimulai? Ini waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan. Kereta kuda juga sudah siap,” ajak Karaeng Karunrung.

“Tentu, Karunrung. Kami juga sudah siap,” sahut Karaeng Pattingaloang.

Sebelum I Maninrori keluar dari rumah, Karaeng Pattingaloang berpesan kepada anak asuhnya itu.

“Duduklah di kursi itu,” pinta Karaeng Pattingaloang.

I Maninrori duduk sambil memegang tas gunduknya. Karaeng Pattingaloang melanjutkan pesannya.

25

“I Maninrori, setiap kamu akan meninggalkan rumah untuk bepergian jauh, lakukanlah pesanku ini,” raut wajah Karaeng Pattingaloang terlihat serius. I Maninrori mendengar perkataan Tumabbicara Butta Karajaan Gowa-Tallo itu.

“Pertama tarik napas dalam-dalam,” pinta Karaeng Pattingaloang yang diikuti oleh I Maninrori.

“Bayangkan kamu berangkat ke pelabuhan. Menyeberang menggunakan perahu. Tiba di tujuan dengan selamat. Bayangkan juga dirimu pulang di rumah dengan selamat. Setelah kamu selesai membayangkan keselamatan, kamu membaca doa keluar rumah. Setelah selesai, berdirilah lalu keluar dan jangan pernah menoleh lagi,” tutup Karaeng Pattingaloang.

“Iya, Karaeng!” saya akan ingat pesan Karaeng dan melakukannya setiap mau bepergian jauh.

“Baiklah, saya yakin kamu pasti paham dengan maskud saya. Suatu saat jika kamu butuh penjelasan untuk itu, bertanyalah. Dengan senang hati saya akan menjelaskan kepadamu,” tutup Karaeng Pattingaloang.

“Iya, Karaeng,” jawab I Maninrori dengan sopan.Karaeng Pattingaloang dan I Maninrori kemudian

keluar dari rumah, lalu menggunakan kereta kuda ke pelabuhan.

Di pelabuhan kapal telah siap. Karaeng Karunrung berdiri di geladak. I Maninrori menaiki dermaga lalu menyeberang ke kapal. Di belakangnya Karaeng

26

Pattingaloang ikut naik. Setelah Karaeng Karunrung memastikan tidak ada yang tertinggal. Kapal kemudian didayung menjauh dari dermaga.

27

Pemandangan Kota Makassar dari pantai lepas terlihat begitu megah. Kota perniagaan itu memiliki pelabuhan yang terkenal sampai ke berbagai kerajaan. Benteng-benteng sepanjang pesisir berdiri melindungi kota.

“Karunrung dan Maninrori, lihat kota kita itu!” telunjuk Karaeng Pattingaloang ia arahkan ke Benteng Pannyua, “kalian harus bisa membangun dan melindungi kota ini,” tutup Karaeng Pattingaloang.

“Iya, Karaeng. Saya akan terus belajar agar bisa membuat kota ini semakin berkembang dan disegani,” jawab Karaeng Karunrung.

Mereka bertiga terdiam. Mata Karaeng Karunrung memandang benteng di selatan Somba Opu. Karaeng Karunrung berdiri mengamati pelabuhan yang terlihat semakin kecil. Hanya suara ombak yang menghantam kapal tidak pernah diam.

“Ketahuilah, tidak ada perkembangan yang paling baik selain merawat generasi selanjutnya. Mengajari anak kecil ilmu agama dan pengetahuan umum amat dibutuhkan. Semangatilah mereka agar semakin rajin membaca. Karena pada bakti mereka, nasib kota ini ditentukan,” jelas Karaeng Pattingaloang.

I Maninrori hanya diam di belakang Karaeng Karunrung. Ia menyimak perbincangan dan berjanji akan menjadi generasi penerus yang bisa dibanggakan.

28

I Maninnori Menulis Puisi

29

Kelas pagi ini berlangsung di bawah pohon beringin tua yang ditanam oleh ayah Karaeng Pattingaloang berpuluh tahun yang lalu. Udara sejuk pagi ini menjadi penyemangat bagi anak-anak yang bersiap menerima pelajaran. Di hadapan Karaeng Pattingaloang beberapa buku puisi dari Arab, Romawi, dan Tiangkok sengaja ia letakkan agar anak-anak lebih mudah mengenal puisi.

“Kelas pagi ini adalah memahami puisi. Pada akhir kelas nanti kalian akan saya minta untuk membuat sebuah puisi,” Karaeng Pattingaloang membuka kelas dengan suara yang riang dan penuh semangat.

Kelas baru saja dimulai, I Maninrori sudah mengangkat tangan.

“Karaeng, apa manfaatnya puisi dalam kehidupan kita? Mengapa kami harus mempelajarinya?” tanya I Maninrori.

“Nah, salah satu yang harus kalian miliki adalah kelembutan hati. Karena kebijaksanaan itu datang dari sana. Itulah alasan saya sehingga kelas Memahami Puisi ini diajarkan kepada kalian,” jawab Karaeng Pattingaloang.

“Kelembutan hati semacam apa yang kita dapatkan dari puisi, Karaeng?” tanya Nyampa yang duduk bersandar di batang pohon.

“Untuk menjelaskan kelembutan yang saya maksud, saya akan memberi kalian satu contoh masalah yang sering kita jumpai di masyarakat,” buka Karaeng Pattingaloang.

30

I Maninrori yang duduk paling depan memajukan kepala, tanda ia ingin menyimak dengan saksama penjelasan Karaeng Pattingaloang.

“Jadi, jika dalam suatu kasus, misalnya I Baco dikejar oleh orang-orang karena satu persoalan, ia lalu melempar songkoknya ke halaman rumah kita, itu tandanya I Baco meminta apa?” tanya Karaeng Pattingaloang.

“Saya pernah mendengar masalah seperti itu, Karaeng. Itu berarti I Baco meminta perlindungan kepada pemilik rumah,” jawab I Maninrori.

“Betul! Sebagai pemilik rumah, apa yang harus kita lakukan?”

“Hem, melindungi I Baco, Karaeng,” jawab Daeng Serang.

“Kenapa kita harus melindungi I Baco?” tanya Karaeng Pattingaloang kembali.

“Karena I Baco butuh pertolongan,” jawab I Maninrori kembali.

“Jawaban itu sudah benar. Tetapi, ada satu alasan lagi. Ada yang tahu?”

I Maninrori dan teman-temannya diam. Mereka sedang memikirkan alasan lain yang dibutuhkan untuk menolong I Baco.

Setelah beberapa menit dan belum ada jawaban, Karaeng Pattingaloang akhirnya menjelaskan alasan lain dari masalah I Baco.

31

“Jadi, Anak-Anak sekalian, pemilik rumah harus menolong I Baco karena ia telah melempar songkoknya ke halaman kita. Songkok itu adalah simbol harga diri. Jadi, jika ada seseorang yang ingin harga dirinya ditolong karena merasa tidak bersalah atau punya alasan lain, kita harus menolongnya,” jelas Karaeng Pattingaloang.

“Tetapi, di mana letak kelembutannya, Karaeng?” tanya I Maninrori masih penasaran.

“Kelembutannya terletak pada kesediaan kita menolong orang lain. Kelembutan hati itu yang membuat kita berani mengambil sikap ketika melihat sesuatu. Apakah kita akan menolong atau tidak? Apakah kita akan membiarkan I Baco ini ditangkap oleh orang-orang sementara mungkin ia punya pembelaan?” jelas Karaeng Pattingaloang.

“Lalu, hubungannya dengan puisi apa, Karaeng?” tanya Daeng Serang.

“Hubungannya cukup jelas, bahwa kata-kata indah yang ada dalam puisi, tidak hanya sekadar dinikmati, tetapi untuk direnungkan. Kelembutan akan datang dari proses merenungkan kehidupan. Hati yang lembut akan melahirkan pemikiran yang jernih. Pemikiran yang jernih akan membuat kita bisa mengambil tindakan yang tepat,” jelas Karaeng Pattingaloang.

“Apakah ada contoh puisi yang bisa kita dengarkan dan dibacakan oleh Karaeng?” pinta I Maninrori yang didukung juga oleh teman-temannya.

32

“Wah, kalian ini, ya! Baiklah, agar kalian semakin paham apa itu puisi, saya akan membacakan sebuah puisi klasik dari Tiongkok,” Karaeng Pattingaloang lalu mengambil buku yang ia simpan di depannya.

“Puisi ini karangan Meng Jiao. Dengarlah. Saya akan membacakannya.”

Nyanyian Pengelana

Jarum dan benang di tangan ibunda, sedang menjahit baju anaknya yang akan pergi jauh, ketika menjelang si anak berangkat jahitannya dirapatkan dan dikuatkan dalam hatinya, ia was-was anaknya tak cepat kembali.

Oh, siapa bilang secuil warna hijau dari rumput kecil

bisa membalas budi cahaya matahari di sepanjang musim semi?

“Sekian!” tutup Karaeng Pattingaloang sehabis membaca puisi.

Suara tepuk tangan anak-anak mengagetkan burung camar yang hinggap di tangkai pohon beringin. Tiga ekor burung terbang entah ke mana. I Maninrori kembali mengangkat tangan.

“Karaeng, bagaimana puisi tadi membuat hati kita menjadi lembut?” tanya I Maninrori masih bingung.

“Saya akan menjelaskannya, tetapi terlebih dahulu, kalian duduk setengah lingkaran agar sebentar kita

33

bisa bergiliran membaca puisi yang kalian tulis,” pinta Karaeng Pattingaloang.

“Nah, coba kita lihat kalimat di bait pertama. Puisi ini dibuka dengan ”Jarum dan benang di tangan ibunda, sedang menjahit baju anaknya yang akan pergi jauh”. Itu adalah simbol bahwa ibunya ini seorang pekerja keras yang menyiapkan baju untuk anaknya. Apa yang bisa kita renungkan dari pembuka puisi itu?”

“Jasa ibu itu tidak bisa tergantikan. Ia selalu berkorban demi kesuksesan anaknya,” jawab I Maninrori.

“Betul. Itu yang ingin dikatakan puisi ini. Nah, lebih jelas lagi, itu dituliskan pada bait kedua, ““Oh, siapa bilang secuil warna hijau dari rumput kecil bisa membalas budi cahaya matahari di sepanjang musim semi?” Maksud dari bait ini adalah, secuil warna hijau dari rumput kecil itu adalah penggambaran seorang anak, rumput itu tumbuh subur karena adanya matahari, matahari ini adalah penggambaran seorang ibu. Apakah rumput kecil ini bisa membalas budi pada cahaya matahari?” tanya Karaeng Pattingaloang menutup penjelasannya.

“Tidak, Karaeng!” jawab Nyampa.“Betul. Pertanyaan itu adalah renungan untuk

kita semua. Jadi ketika membaca puisi, kita harus merenungkan hal-hal semacam ini. Karena seorang penulis puisi tidak sekadar menulis. Mereka akan membuat pembacanya merenungi kehidupan ini,” jelas Karaeng Pattingaloang.

34

Anak-anak yang telah duduk setengah lingkaran ini terkesima dengan penjelasan Karaeng Pattingaloang tentang puisi.

“Nah, sekarang waktunya kita menulis puisi!” pinta Karaeng Pattingaloang.

Anak-anak kemudian menyiapkan kertas dan pena. Mereka mulai menulis, ada yang berbaring di atas rumput, ada yang sandar di batang pohon. Mereka seperti menikmati proses menulis puisi ini.

Siang itu kelas Memahami Puisi diakhiri dengan pembacaan puisi secara bergantian oleh anak-anak yang pandai ini. Suara I Maninrori membaca puisi terdengar merdu sekali. Angin berembus pelan. Beberapa daun gugur. Burung-burung yang hinggap di dahan pohon beringin ini seperti ikut menikmati puisi yang dibacakan I Maninrori.

35

Sepucuk Surat dari Ayah I Maninrori

36

Siang itu Karaeng Pattingaloang menjalankan tugasnya sebagai Tumabbicara Butta Kerajaan Gowa-Tallo. Ia harus menyelesaikan persoalan yang terjadi di Pelabuhan Makassar. Beberapa kapal dagang yang bersandar menolak membayar pajak. Hal tersebut terjadi karena pemilik kapal merasa rugi dan keamananya di perairan Makassar terancam dengan kehadiran para bajak laut. Karaeng Pattingaloang segera bertindak untuk menyelesaikan persoalan itu. I Maninrori yang sejak di Istana Tallo mendengar laporan syahbandar ingin ikut untuk melihat keadaan Pelabuhan Makassar. Ia ingin tahu bagaimana cara Karaeng Pattingaloang menyelesaikan masalah. “Apa itu mempengaruhi jumlah kapal dagang yang sandar di pelabuhan ini?” tanya Karaeng Pattingaloang yang mengumpulkan beberapa orang di kantor syahbandar. “Secara jumlah tidak, Karaeng. Tapi itu tetap akan merusak citra Kota Makassar yang ramah terhadap orang-orang pendatang yang mencari kehidupan di kota ini,” jawab Daeng Kunjung, syahbandar yang bertugas di Pelabuhan Makassar.

“Kalau begitu, mari kita selidiki, apa penyebab perompak ini mengganggu kapal-kapal yang datang,” jelas Karaeng Pattingaloang.

Berbekal kecerdasan Karaeng Pattingaloang, keesokan harinya bersama Daeng Kunjung, I Maninrori,

37

dan beberapa pengawal, Karaeng Pattingaloang berlayar menggunakan salah satu kapal dagang yang ia pinjam di pelabuhan. Ia menuju ke lautan lepas. Ia berharap, setelah cukup jauh dari pantai, bajak laut yang menurut laporan biasa bersembunyi di beberapa pulau sepanjang pantai Makassar, datang menghadangnya.

Ide Karaeng Pattingaloang terbukti berhasil. Menjelang sore dua perahu yang mengangkut beberapa lelaki dewasa mendekati kapal Karaeng Pattingaloang. Lelaki di atas perahu itu memegang badik dan meminta seluruh penghuni kapal untuk berkumpul di geladak jika tidak ingin kapal ini ditenggelamkan.

Tanpa mereka sadari, sosok yang muncul adalah Karaeng Pattingaloang, Tumabbicara Butta Kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan raja mereka sendiri. Satu perahu memilih kabur. Satunya lagi, yang dinaiki lelaki yang mengancam tadi, tidak berani bergerak karena mata tajam Karaeng Pattingaloang menangkap mereka. Dalam situasi seperti ini, lari adalah pekerjaan yang tergolong sia-sia.

Lelaki yang tadi mengancam meletakkan badiknya di lambung perahu diikuti oleh orang-orang di belakangnya. Dengan suara yang berat, Karaeng Pattingaloang memanggil mereka naik ke atas kapal.

“Wah, kamu ini mencari gara-gara dengan saya, ya! Naiklah sebelum saya membuat surat atas nama Kerajaan Gowa-Tallo,” titah Karaeng Pattingaloang.

38

Pemimpin bajak laut ini sadar apa yang terjadi jika mereka berani menolak permintaan Karaeng Pattingaloang. Terlebih, mereka memang berada pada posisi yang salah.

Tanpa berkata-kata, pemimpin bajak luat ini meraih tali yang diulurkan dan naik ke atas geladak kapal. Tiga lelaki lain ikut naik. Setelah berada di atas geladak kapal, ia diminta untuk duduk di tengah. Para pengawal Karaeng Pattingaloang mengelilinginya.

“Apa yang membuat kalian berani mencelakakan diri sendiri dengan menjadi bajak laut?” tanya Karaeng Pattingaloang.

“Anu, Karaeng. Hem. Jadi begini, Karaeng,” jawab pemimpin bajak laut ini terbata-bata.

“Begini kenapa?” lanjut Karaeng Pattingaloang. “Saya kehilangan mata pencarian, Karaeng,” jawab

pemimpin bajak laut sambil menundukkan kepalanya. “Kamu tinggal di daerah mana?” Karaeng

Pattingaloang menimpali.“Di daerah Batu, di selatan Benteng Somba Opu,

Karaeng,” jawab pemimpin bajak laut.“Kerjaan kamu di kampung apa?” tanya Karaeng

Pattingaloang kembali.“Saya petani, Karaeng. Tapi semenjak sawah saya

dijadikan tempat latihan angkatan perang Kerajaan Makassar, saya harus berhenti bekerja.”

“Wah, ini masalah serius. Harus segera diselesaikan.”

39

“Iya, Karaeng. Itulah mengapa saya dan beberapa pemuda ini akhirnya harus menjadi bajak laut,” jelas pemimpin bajak laut ini.

“Kalau begitu, besok kamu datang menghadap ke Istana Tallo. Saya mengusahakan agar masalahmu itu segera diselesaikan agar kamu tidak menjadi bajak laut lagi. Itu tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga Kerajaan Gowa-Tallo,” titah Karaeng Pattingaloang.

“Iya, Karaeng,” jawab pemimpin bajak laut dengan patuh.

“Kamu datang bersama temanmu yang tadi kabur.Seorang manusia itu dihargai karena keberaniannya untuk bertanggung jawab. Kalau kamu tidak berani bertanggung jawab, akan lebih mulia jika kamu tidak pernah bicara lagi dalam hidupmu,” pesan Karaeng Pattingaloang.

“Iya, Karaeng,” jawab pemimpin bajak laut masih dengan kepala tertunduk.

“Baiklah! Kalau begitu, malam ini saya akan meminta kamu untuk ikut dengan saya ke Pelabuhan Makassar. Kamu harus memohon maaf di depan para pemilik kapal dagang yang telah kamu rugikan. Saya telah mengundang mereka untuk bakar-bakar ikan bersama. Itu mungkin akan memperbaiki keadaan.”

“Iya, Karaeng. Saya siap dan berani mempertanggungjawabkan perbuatan saya.”

“Baguslah. Tetapi, bagaimanapun, kamu tetap harus dihukum atas tindakanmu ini.”

40

“Saya akan menerimanya, Karaeng. Karena saya memang bersalah,” jawab pemimpin bajak laut yang mulai menyesali perbuatannya.

Setelah melakukan perundingan dengan bajak laut, kapal Karaeng Pattingaloang kemudian diarahkan ke Pelabuhan Makassar.

Di Pelabuhan Makassar, pesta bakar-bakar ikan sudah siap. Orang-orang berkumpul dengan riang gembira. Persoalan bajak laut akhirnya terpecahkan atas kebijaksanaan Karaeng Pattingalaong.

Menjelang larut malam Karaeng Pattingalaong bersama I Maninrori pulang ke Istana Tallo menggunakan kereta kuda yang sudah menunggu sejak tadi. Pada perjalanan Karaeng Pattingaloang melihat wajah I Maninrori yang murung. Ia kemudian memutuskan untuk bertanya kepada I Maninrori.

“Gerangan apa yang membuatmu terlihat murung?” buka Karaeng Pattingaloang.

“Tidak ada, Karaeng,” jawab ketus I Maninrori.“Jangan berbohong. Kamu sudah tinggal bersama

saya selama satu tahun. Saya tahu kapan kamu menyembunyikan sesuatu atau tidak,” elak Karaeng Pattingaloang.

“Serius, Karaeng. Saya tidak menyembunyikan apa pun dari Karaeng,” I Maninrori tetap mengelak.

Tangan lembut Karaeng Pattingaloang mengelus kepala I Maninrori. Ia membujuk anak asuhnya itu untuk berterus terang kepadanya.

41

“Jadi, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Karaeng Pattingaloang.

“Hem. Begini, Karaeng. Dua hari yang lalu orang suruhan ayah saya datang membawa surat.”

“Wah, bagus dong. Apa isi suratnya?” tanya Karaeng Pattingalaong.

“Saya diminta untuk pulang ke rumah, Karaeng,” suara I Maninrori berat. Ia seakan tidak ingin berpisah dengan Karaeng Pattingaloang.

“Sebagai putra mahkota, suatu saat kamu akan menjadi raja. Jika waktunya tiba, kamu sudah memiliki banyak hal yang harus dimiliki raja. Saya hanya ingin mengingatkan kamu, jagalah hatimu tetap lembut. Peliharalah lidahmu agar selalu lurus. Tetap rajin membaca buku dan jangan malas beribadah kepada Allah Swt.,” pesan Karaeng Pattingaloang.

Sebelum mereka turun dari kereta kuda, Karaeng Pattingaloang memberi pelukan hangat layaknya seorang kakek kepada cucunya. Pelukan itu membuat mata I Maninrori berkaca-kaca. Ia sedih tetapi sadar bahwa masa depan kota ini ada di pundaknya. Maka itu, ia menggenggam tangannya. Berjanji akan menjaga kota ini. Ia juga akan mengingat semua pelajaran dan pesan dari Karaeng Pattingaloang.

“Saya akan melindungi dan menjaga kota ini,” gumam I Mannindori dalam hati.

42

Biodata PenulisNama lengkap : Ibnu Sina Palogai Ponsel : 085299052400Pos-el : [email protected] Akun Facebook : Ibe S PalogaiAlamat kantor : Katakerja, BTN

Wesabbe C64, MakassarBidang keahlian : Sastra dan Filologi

Riwayat pekerjaan/profesi (10 tahun terakhir): 1. 2012–kini : Pustakawan di Katakerja2. 2014–2016: Penulis Tetap kolom Literasi Tempo

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar: 1. S-1: Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin (2011--2017)

Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir): 1. Antologi Puisi Tunggal Solilokui (2013)2. Cerita Anak Karaeng Pattingaloang dan Daeng

Serang (2017)3. Cerita Anak Kisah Raja-raja Gowa (2017)4. Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi (2018)

Informasi Lain: Lahir di Takalar, 7 Juli 1993. Masih berstatus mahasiswa aktif. Menggeluti hal-hal yang berbau sejarah, khususnya Perang Makassar. Aktif dalam berbagai kegiatan seni dan sastra, serta sebagai pengurus beberapa lembaga kesastraan, kesenian, dan kebudayaan. Tinggal di Makassar.

43

Biodata PenyuntingNama : Wenny Oktavia Pos-el : [email protected] Bidang Keahlian : Penyuntingan

Riwayat Pekerjaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2001— sekarang)

Riwayat Pendidikan 1. 1. S-1 Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas

Jember (1993—2001)2. 2. S-2 TESOL and FLT, Faculty of Arts, University of

Canberra (2008—2009)

Informasi Lain Lahir di Padang pada tanggal 7 Oktober 1974. Aktif dalam berbagai kegiatan dan aktivitas kebahasaan, di antaranya penyuntingan bahasa, penyuluhan bahasa, dan pengajaran Bahasa Indonesia bagi Orang Asing (BIPA). Telah menyunting naskah dinas di beberapa instansi seperti Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Luar Negeri. Menyunting beberapa cerita rakyat dalam Gerakan Literasi Nasional 2016.

44

Biodata IlustratorNama : Darwis BesariPos-el : [email protected] Keahlian : Ilustrator dan Desain Grafis

Riwayat Pekerjaan: 1. 2016--sekarang sebagai pekerja lepas ilustrator buku2. 2015--sekarang sebagai pekerja lepas jasa illustrator wajah di 99design

Riwayat Pendidikan:S-1 Sastra Indonesia, Unhas, Makassar (2012--2018)

Informasi Lain: Lahir di Ujungpandang, 19 Juli 1991 dari pasangan Muhammad Aswar dan Nurwahyuni. Menggeluti dunia lukis sejak SMA dan memperdalamnya ketika kuliah dengan mempelajari ilustrasi dan desain grafis.

45

46

Karaeng Pattingaloang dan I Maninrori adalah kisah kebijaksanaan seorang raja yang begitu mencintai ilmu pengetahuan dan kisah seorang anak yang rela meninggalkan rumah untuk belajar. Buku ini semoga memberi pelajaran bagi pembaca tentang pentingnya menuntut ilmu dan menjadi lebih berani dalam membela kebenaran.