keloid

Upload: nurul-nadia

Post on 29-Oct-2015

75 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Keloid adalah suatu tumor jinak jaringan fibrosa dengan batas jelas dan tumbuh lebih luas daripada daerah trauma semula. Keloid merupakan variasi proses penyembuhan normal, yaitu terjadinya reaksi jaringan penyambung dermis yang berlebihan akibat trauma.1

Secara histopatologis gambaran keloid berbeda dengan penyembuhan luka normal. Pada keloid terdapat gambaran susunan kolagen yang menyerupai gumpalan atau nodus yang tebal dan padat akibat tahap inflamasi yang berlangsung lama.2,3

Etiologi dan patogenesis terjadinya keloid belum diketahui pasti, namun berapa hal yang dianggap sebagai faktor terjadinya keloid. Trauma sering dianggap merupakan faktor utama yang menyebabkan keloid karena keloid sering terjadi pada tempat pasca trauma misalnya pada luka bakar, insisi, eksisi, seksio sesaria, abrasi, terkena cairan kimia dan tato. Tegangan kulit (skin tension) pasca trauma juga dianggap sebagai salah satu penyebab. Benda asing, baik eksogen (benang operasi, susuk) maupun endogen (rambut yang tumbuh ke dalam), juga merangsang timbulnya keloid. Keloid juga sering terjadi setelah infeksi kulit antara lain akne, vaksinia, varisela, dan herpes zoster. Faktor genetik pada pasien keloid belum dapat dibuktikan, misalnya kecenderungan autosomal dominan dan resesif serta lebih sering terjadi pada pasien dengan HLA-B14, HLA-BW35, dan HLA-BW21.1,2,3

Gambaran klinis berupa peninggian kulit dengan bentuk tidak teratur dan berbatas tegas, berwarna merah muda sampai keunguan, kadang-kadang hiperpigmentasi, tampak licin dan tidak berambut, serta teraba keras.2

Banyak pilihan dan variasi untuk terapi keloid, mulai dari yang kurang agresif hingga tindakan agresif dan terapi tunggal maupun kombinasi. Adapun dasar terapi yang digunakan untuk mengatasi keloid, yaitu dengan mengkoreksi pembentukan dan degradasi kolagen yang abnormal, memanipulasi proses penyembuhan luka, serta menghambat respons inflamasi. Adapun pilihan terapi yang ada berupa: eksisi, skin graft, kortikosteroid (topikal, suntikan intralesi), radioterapi, tekanan mekanik, gel silikon, interferon, 5-fluorourasil, laser serta terapi kombinasi.4Pengangkatan keloid yang cukup besar biasanya memerlukan metode skin graft untuk menutup defek yang luas setelah pengangkatan keloid tersebut. Metode yang dipilih sebaiknya autograft untuk menghindari reaksi yang tidak diinginkan. Metode autograft terbagi atas:5,6,7,8,9

1. Full-Thickness Skin Graft ( FTSG )

Yaitu tandur yang meliputi epidermis dan seluruh ketebalan dermis. Sering digunakan untuk menutup kelainan di wajah, leher, ketiak, volar manus atau menutup daerah yang diinginkan secara estetik tidak terlalu jelek. Keuntungannya: kemungkinan untuk terjadi kontraksi lebih kecil, kecenderungan untuk berubah warna lebih kecil, risiko permukaan berkilat lebih kecil dan secara estetik lebih baik dari split-thickness skin graft (STSG). Kerugiannya : kemungkinan take lebih kecil dibanding STSG, hanya dapat menutup defek yang tidak terlalu luas dan donor terbatas pada tempat-tempat tertentu misalnya: inguinal, supra klavikular, retro aurikular.5,62. Split-Thicness Skin Graft ( STSG )

Yaitu tandur yang mengandung epidermis dan sebagian dermis. Merupakan tindakan defenitif sebagai penutup kelainan yang permanen atau hanya tindakan yang sementara sambil menunggu tindakan yang definitif. STGS diindikasikan untuk menutup defek kulit yang luas. Keuntungannya: kemungkinan take yang besar, dapat dipakai unutk menutup defek yang luas, donor dapat diambil dari tubuh mana saja dan daerah donor dapat sembuh sendiri / epitelisasi. Kerugiannya : punya kecenderungan kontraksi lebih besar, terjadi perubahan warna, permukaan kulit berkilat dan secara estetik kurang baik.6,9 LAPORAN KASUS

Seorang pria, umur 21 tahun, datang berobat ke poliklinik kulit RSU Dr Pirngadi Medan, dengan keluhan terdapat dua buah keloid berukuran 10 cm x 5 cm x 3 cm pada regio torakalis. Kelainan tersebut telah diderita selama 3 tahun, yang semula adalah luka dari jerawat dengan infeksi sekunder, setelah sembuh timbul keloid dengan ukuran sebesar biji jagung makin lama makin besar. Pasien sebelumnya belum pernah mendapat pengobatan.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai keadaan umum yang baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mm Hg, nadi 80 x/menit, pernafasan 24 x/menit, suhu 36 0C. Pada pemeriksaan dermatologi dijumpai peninggian kulit dengan bentuk tidak teratur dan berbatas tegas, berwarna merah muda, licin dan tidak berambut, serta teraba keras.

Diagnosis kerja adalah keloid, dengan diagnosis banding skar hipertrofik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Penatalaksanaan pada pasien adalah tindakan eksisi dan penutupan luka dengan skin graft.

Dilakukan eksisi sampai batas sub kutis sesuai dengan garis eksisi, keloid diangkat dan perdarahan dirawat. Donor diambil dengan pisau no 15 dari bokong pasien. Kehilangan kulit daerah donor ditutup dengan melakukan undermining pada tepi luka untuk memudahkan aproksimasi dan dijahit. Kemudian dioleskan salap antibiotik dan ditutup tulle dan kasa steril kemudian dibalut dengan verban elastis. Donor dibersihkan permukaannya dari sel basal epidermis dan aksesori kulit yang mengandung unsur epitel misalnya kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut, kemudian direndam dalam larutan NaCl 0,9%. Daerah resipien dilakukan hemostasis dengan baik sehingga permukaan resipien bersih dan tidak ada perdarahan atau bekuan darah. Dilakukan penjahitan interrupted di sekililing tandur dengan benang non absorble 4-0. Jahitan dimulai dari tandur ke tepi luka resipien, dari suatu yang lebih mobile ke tempat yang lebih fixed. Di atas kulit ditutupi tulle, dilapisi kasa lembab dengan NaCl 0,9% dan selanjutnya dilapisi kasa steril kering. Dibuat beberapa lubang kecil di atas tandur kulit untuk jalan keluar darah yang ada. Kemudian dilakukan irigasi untuk membuang sisa bekuan darah di bawah tandur dengan spuit berisi NaCl 0,9%. Kemudian dilakukan tie over dengan cara saat menjahit tepi tandur beberapa sisa simpul dibiarkan panjang untuk fiksasi bolus dressing. Pengobatan setelah operasi dengan antibiotik oral klindamisin 3x300 mg/hari, asam mefenamat 3x500mg/hari, kalium diklofenak 2x50 mg/hari serta luka dijaga agar tidak terkena air atau basah.

Pasien diperiksa setiap 2 hari. Pada hari ke-10 bolus dressing dibuka dan hari ke-14 benang dibuka selang seling, kemudian dilekatkan plester micropore untuk meminimalkan gaya regangan akibat gerakan yang terjadi setiap hari untuk memungkinkan take dan mencegah terjadinya keloid baru. Pada pasien tampak take dan penyembuhan yang baik, kemudian benang jahitan epidermal dibuka.

PEMBAHASAN

Diagnosis keloid pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan dermatologis. Keloid yang diderita berasal dari luka bekas jerawat yang menimbulkan benjolan sebesar biji jagung dan kelamaan makin membesar. Letak luka adalah pada regio torakalis yang tegangan kulitnya cukup besar sehingga penyembuhan luka juga kurang baik.

Pilihan terapi pada pasien ini adalah melakukan pengangkatan keloid dengan eksisi. Defek pasca eksisi yang cukup luas ditutup dengan metode split thickness skin graft. Metode skin graft merupakan metode pilihan untuk menutup defek yang luas dan sulit sembuh secara primer. Selain itu skin graft juga berfungsi mengurangi risiko terbentuknya keloid baru akibat regangan yang terjadi.

Untuk mendapat hasil terapi atau take yang baik, banyak hal yang harus diperhatikan, yaitu meminimalkan tegangan luka pasca operasi, lokasi luka, cara menutup dan merawat luka, adanya benda asing, serta infeksi bakteri. Pada pasien ini pengamatan setelah 2 minggu menunjukkan penyembuhan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Burton JL, Lovell CR. Disorder of connective tissue. Dalam: Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, editor. Textbook of Dermatologi. Edisi ke-6. Malden: Blackwell Science Ltd, 1998: 200371. 2. Kelly AP. Keloid and hypertrophic scars. Dalam: Parish LC, Lask GP, editor. Aesthetic Dermatology. Edisi ke-1. New York: McGraw-Hill, Inc, 1991: 5864.

3. Shapiro PE. Hypertrophics scar and keloid. Dalam: Elder D, editor. Levers Histopathology of the skin. Edisi ke-8. Philadelphia: Lippincott-Raven Publ, 1997: 881-2.

4. Raney RW. Keloid: pathophysiology and management. Tersedia dari: http//bcom.otolaryngology.com.Dipublikasikan tanggal 14 Oktober 1993.

5. Roenigk RK, Zalla MJ. Full-thickness skin grafts. Dalam: Robinson JK, Arndt KA, Leboit DE, Wintroub BU, editor. Atlas of cutaneous surgery. Philadelphia: WB Saunders Company,1996: 157-64.

6. Kent DE. Full-thickness skin grafts. Dalam: Lask GP, Moy RL. Principles and Techniques of Cutaneus Surgery. New York : Mc Graw-Hill, 1996; 297-308.

7. Gloster HM Jr, Cincinnati MD. The use of full-thicness skin graft to repair non perforating defects. J Am Acad Dermatol 2000; 42: 1041-50.

8. Fader DJ, Wang TS, Johnson TM, Arbor A, Michigan. Nasal reconstruction utilizing a muscle hinge flap with overlying full-thickness skin graft. J Am Acad Dermatol 2000; 43: 837-40.

9. Leffel DJ. Split-Thickness Skin Graft. Dalam: Robinson JK, Arndt KA, Leboit DE, Wintroub BU, editor. Atlas of cutaneus surgery. Philadelphia: WB. Saunders Company, 1996: 149-56.

PAGE 1