kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan (studi

87
KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia&Tunisia) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : YA` RAKHA MUYASSAR NIM: 1112044100018 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2016 M

Upload: others

Post on 20-Feb-2022

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN

(Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia&Tunisia)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

YA` RAKHA MUYASSAR

NIM: 1112044100018

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/ 2016 M

Page 2: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi
Page 3: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi
Page 4: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi
Page 5: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

v

ABSTRAK

Ya` Rakha Muyassar, NIM 1112044100018, Kebebasan Wanita Dalam Peraturan

Perkawinan (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia & Tunisia).

Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M. x + 77

halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebebasan wanita dalam peraturan

perkawinan di Indonesia dan Tunisia, apa yang mempengaruhi pembentukan ketentuan

mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia, apa

persamaan dan perbedaan kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan

Tunisia.

Penelitian ini menggunakan metode Library Research, dengan meneliti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Majallah al-

Ahwal al-Syakhsiyyah No. 39 Tahun 2010, berbagai buku, majalah, surat kabar, dan tulisan-

tulisan ilmiyah lainnya yang ada hubungannya dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.

Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan. Adapun analisis data yang dipakai dalam

penelitian ini adalah analisis komparatif.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia. Diantaranya di Tunisia wali sudah tidak lagi

menjadi rukun/syarat dari sebuah perkawinan sedangkan di Indonesia masih. Faktor mengapa

terjadi perbedaan tersebut diantaranya dari segi perbedaan mazhab yang dianut. Tunisia

menganut mazhab Maliki dan Hanafi salah satunya tertera pada pasal 3 Majallah al-Ahwal al-

Syakhsiyyah No. 39 Tahun 2010 tentang perwalian yang menggunakan mazhab Hanafi

bahwa wali bukan merupakan rukun/syarat perkawinan. Sedangkan Indonesia menganut

mazhab Syafi`i seperti tertera pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam untuk melangsungkan

perkawinan harus ada wali.

Kata Kunci : Kebebasan Wanita dalam Peraturan Perkawinan di

Indonesia dan Tunisia

Pembimbing : Prof. M. Arskal Salim GP, MA., Ph.D

Daftar Pustaka : 1957 sampai 2016

Page 6: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

vi

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah

serta nikmat-Nya, baik nikmat jasmani maupun rohani sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Sholawat beriringkan salam semoga selalu terlimpah

curahkan kepada junjungan kita, nabi besar kita serta suri tauladan kita, yaitu baginda

rasulullah, Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju

zaman ilmiyah seperti sekarang ini, mudah-mudahan kita semua termasuk dari ummat

beliau yang akan mendapatkan syafaat darinya di hari kiamat nanti. Aaamiin.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis

temukan, tapi subhanallah walhamdulillah berkat rahmat dan hidayah dari-Nya, dan

berkat kesungguhan, kerja keras, do`a serta bantuan dari berbagai pihak baik secara

langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-

baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin

mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Abdul Halim M.Ag dan Bapak Arif Furqan MA selaku Ketua

Progam Studi dan Sekertaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

vii

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Peradilan Agama

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah.

5. Bapak Prof. M. Arskal Salim GP, MA., Ph.D. selaku dosen pembimbing penulis

yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya selama menjadi pembimbing

penulis.

6. Pimpinan dan staf perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanan dan penyediaan buku-

bukunya.

7. Bapak dan mama tercinta Bapak Ya` Samsuddin S.T dan Ibu Hj. Dwi Sulastri S.H

yang telah banyak membantu penulis baik berupa materi, support dan do`anya

serta tidak bosan-bosannya memberikan semangat untuk terus belajar dan

menyelesaikan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan

studinya di perguruan tinggi negeri ini.

8. Untuk pendamping hidupku Ridha Amaliah yang selalu setia menemani penulis

selama penulisan skripsi ini dan selalu memberikan support, do`a dan alfatihah

sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan selesai.

9. Teman-teman Peradilan Agama seperjuangan dan para sahabatku M. Faqih

Rahman, Giyasuddin Fikri, Muharrom Ihsan Sofa, Ahmad Mubarok, Abdullah

Ramadhan, Ray Fuad Zein, Rivaldi Fahlepi, Adit, Toching, dll yang selalu

menemani dan membantu penulis dalam suka maupun duka serta tidak pernah

bosan dalam memberikan support, do`a dan alfatihah kepada penulis.

Page 8: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

viii

Semoga amal baik mereka semua dibalas dengan balasan yang berlipat-lipat

ganda oleh Allah SWT dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik

serta saran atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis bertanggung jawab

sepenuhnya sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.

Jakarta, 23 Oktober 2016

Ya` Rakha Muyassar

Page 9: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii

LEMBAR PERNYATAAN iv

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11

D. Review Studi Terdahulu 12

E. Metode Penelitian 13

F. Sistematika Pembahasan 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN WANITA DALAM

PERKAWINAN

A. Pengertian Wali 17

B. Kebebasan Wanita Dalam Perkawinan Menurut Imam Mazhab 21

1. Wali Merupakan Rukun Nikah 22

2. Wali Bukan Merupakan Rukun Nikah 27

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN WANITA DALAM

PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA

A. Gambaran Umum 37

1. Gambaran Umum Hukum Islam Di Indonesia 37

2. Gambaran Umum Hukum Islam Di Tunisia 41

B. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan

Tunisia 51

1. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia 51

2. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Tunisia 55

Page 10: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

x

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KEBEBASAN WANITA DALAM

PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA

A. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan

Di Indonesia Dan Tunisia 59

B. Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Ketentuan

Mengenai Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di

Indonesia Dan Tunisia 65

C. Persamaan Dan Perbedaan Kebebasan Wanita Dalam Peraturan

Perkawinan Di Indonesia Dan Tunisia 67

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 70

B. Saran-saran 72

DAFTAR PUSTAKA 73

Page 11: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20

adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (baik itu mengenai

perkawinan, perceraian, warisan, dll) di negara-negara berpenduduk

mayoritas muslim. Turki misalnya, melakukannya pada tahun 1917, Mesir

1920, Iran 1931, Syiria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961 dan Indonesia

1974.1 Sampai pada tahun 1996 di negara timur tengah misalnya hanya

tinggal lima negara yang belum memperbaharui hukum keluarganya,

bahkan negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuatan draft yakni

Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain, dan Oman.2

Adapun bentuk pembaharuan yang dilakukan berbeda antara satu

negara dengan negara lain. Pertama, kebanyakan negara melakukan

pembaruan dalam bentuk undang-undang. Kedua, ada beberapa negara

yang melakukannya dengan berdasarkan dekrit (raja atau presiden), seperti

Yaman Selatan dengan dekrit raja tahun 1942,3 dan Syiria dengan dekrit

1 M. Atho` Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan

Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.1. 2 Dawoed El Alami dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Law of

The Arab World, (London: The Hague, Boston Kluwer Law International, 1996), h.4. 3

Kiran Gupta, “Polygamy-Law Reform in Modern Muslim States; A Study in

Comparative law”, Islamic and Comparative Law Review, vol. xii, no. 2 (Summer 1992), h.127.

Page 12: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

2

presiden tahun 1953.4 Ketiga, ada negara yang usaha pembaharuannya

dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadhi al-Qudha),

seperti yang dilakukan Sudan.5

Sejumlah negara melakukan pembaharuan hukum keluarga secara

menyeluruh yang di dalamnya mencakup perkawinan, perceraian dan

warisan, sementara itu sejumlah negara lain membatasi hanya pada

perkawinan dan perceraian. Bahkan ada negara yang melakukan

pembaharuan dengan cara setahap demi setahap, yang dimulai dengan satu

aturan tertentu, seperti keharusan pencatatan perkawinan dan perceraian,

serta siapa yang berhak mencatatkan perkawinan dan perceraian,

kemudian diteruskan dengan aturan lain yang masih dalam soal

perkawinan dan perceraian, lalu diteruskan lagi dengan aturan yang

berhubungan dengan masalah waris.6

Dari sisi tujuannya, ada negara yang melakukan pembaharuan

hukum keluarga dengan tujuan untuk terciptanya unifikasi hukum.

Unifikasi inipun masih dikelompokkan minimal menjadi tiga kelompok.

Pertama, unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara tanpa

memandang agama, misalnya kasus yang berlaku di Tunisia.7 Kelompok

kedua, unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua aliran pokok dalam

4 J. N. D. Anderson, “The Syrian Law of Personal Status”, Bulletin in the School of

Oriental and African Studies, no. 17 (1955), h.34. 5 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (New Delhi: The Indian

Law Institue, 1972), h.64. 6

Mhd. Abduh Saf, “Islam dan Hukum Keluarga dalam Islam”, Al-Hukama`: The

Indonesian Journal of Islamic Family Law, vol. 3, no. 01 (Juni, 2013), h.555. 7

J. N.D Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, International And

Comparative Law Quarterly 7 (April, 1958), h.266.

Page 13: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

3

sejarah muslim, yakni antara paham sunni dan shi`i, dimana Iran dan Irak

termasuk di dalamnya, karena di negara bersangkutan ada penduduk yang

mengikuti kedua aliran besar tersebut. Ketiga, kelompok yang berusaha

memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya ada pengikut

mazhab-mazhab yang bersangkutan. Keempat, unifikasi dalam satu

mazhab tertentu, misalnya di kalangan pengikut Hanafi, Maliki, Syafi`i

atau Hambali.8

Baik pembaharuan hukum yang bertujuan untuk penyatuan hukum

maupun untuk meningkatkan status wanita, keduanya tidak dapat

dilepaskan dari adanya tuntutan zaman modern. Dari sudut isi,

pembaharuan yang dilakukan ada yang tidak jauh berbeda apabila

dibandingkan dengan konsep imam mazhab, tetapi banyak juga aturan

hukum modern yang cukup jauh beranjak dari konsep fikih konvensional.9

Dan dari sisi metode yang digunakan dalam melakukan pembaruan

dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yakni pertama

dengan menggunakan metode talfiq yakni dengan menggabungkan

pendapat dua atau lebih mazhab dalam fikih, baik pandangan yang

digabungkan antar mazhab populer maupun salah satu diantaranya dari

pandangan pribadi tokoh. Kedua, menggunakan metode takhayur yakni

dengan memilih dan menyeleksi salah satu pandangan imam mazhab yang

lebih sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, dengan menggunakan siyasah

8 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo,

2004), h.162. 9 M. Atho` Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan

Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h.8.

Page 14: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

4

shari`ah. Keempat, berusaha menafsirkan kembali teks nash untuk

menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan modern.10

Dalam teorinya Tahir Mahmood membagi penerapan hukum

keluarga pada negara-negara (berpenduduk) muslim menjadi tiga bentuk :

(1) Negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang

banyak di jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia,

Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia,

dan lain-lain. (2) Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler, dalam

kategori ini adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Philiphina

dan Uni Sovyet. Bagi negara berpenduduk mayoritas muslim, mengganti

hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari Eropa (Turki dari

Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas muslim tapi harus tunduk

pada aturan hukum negaranya. (3) Negara yang menerapkan hukum

keluarga yang diperbarui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei,

Singapore, dll.11

Setidaknya ada tiga belas permasalahan hukum keluarga dalam

proses transformasi hukum keluarga yaitu: pembatasan umur perkawinan,

wali nikah, pencatatan nikah, aspek biaya dalam perkawinan, seperti

mahar dan biaya nafkah, poligami dan hak istri, pemeliharaan terhadap

10

Lihat dan bandingkan dengan John L. Esposito, Women in Muslim Family Law

(Syracuse: Syracyuse University Press, 1982), h.94; David Pearl dan Warner Menski, Muslim

Family Law, edisi ke-3 (London: Sweet & Maxwell, 1998), h.21; J. N. D. Anderson, “Modern

Trends in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, International and

Comparative Law Quarterly, 20 (Jan. 1971), h.12; Noel J. Coulson, “Reform of Family Law in

Pakistan”, Studia Islamica, no. 7 (1957), h.141. 11

Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay: N.M. TRIPATHI,

PVT. LTD, 1972), h.3.

Page 15: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

5

istri dan keluarga selama perkawinan, perceraian, nafkah istri setelah cerai,

masa iddah, hak kedua orang tua terhadap pemeliharaan anak, hak waris,

wasiat wajibah dan wakaf.12

Dari permasalahan hukum keluarga di atas,

masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda dalam

menetapkan hukumnya. Kondisi adat istiadat serta dominasi mazhab

tertentu sering kali menjadi latar belakang untuk menentukan suatu

peraturan hukum perkawinan. Di antara perubahan-perubahan yang

penting dalam bidang hukum perkawinan salah satunya adalah wali

nikah.13

Sebuah perkawinanakan sah jika syarat-syaratnya telah terpenuhi.

Di antara syarat-syarat tersebut adalah wali.14

Keterangan tersebut

berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah Rasulullah S.A.W. Adapun dalil

dari Alquran adalah firman Allah SWT :

Artinya: Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka

janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal

suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara

yang ma`ruf.” (Q.S. Al-Baqarah: 232)15

12

Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries; History, Text and Comparative

Analysis, (New Delhi: Academic of Law and Religion, 1987), h.11. 13

John J. Donohue & John L, Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi Masalah-Masalah,

h.365. 14

Rusli Hasbi, Rekonstruksi Hukum Islam, (Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007), h.156. 15

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1974), h. 37.

Page 16: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

6

Memandang begitu pentingnya perkawinan maka para ulama

terdahulu merasa perlu untuk memperhatikan secara cermat lembaga

perwalian. Menurut mereka, keberadaan wali dalam perkawinan

merupakan hal penting, khususnya bagi perempuan dan anak-anak, untuk

memelihara kemaslahatan dan menjaga hak-hak mereka yang sering kali

diabaikan oleh kaum laki-laki, baik sebelum atau sesudah akad nikah.

Karena pentingnya masalah perwalian ini, para ulama membahasnya

secara rinci, dari pengertian wali, macam-macam wali, sampai dengan

urutan para wali secara hirarkis. Keberadaan wali yang dipandang lebih

berpengalaman dapat memilihkan pasangan yang sesuai dan paling baik

bagi mereka.16

Dalam pandangan empat mazhab fikih terdapat kesepakatan

(pendapat jumhur ulama) bahwa sebuah perkawinan dipandangan sah

menurut agama apabila disertai oleh wali. Akan tetapi di kalangan ulama

terdapat pandangan yang berbeda terhadap wali, mengenai sejauh mana

peran aktif perempuan dalam akad nikah, dan ini terkait dengan perbedaan

pendapat tentang apakah wali nikah tersebut merupakan syarat atau rukun

perkawinan.17

16

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989),

h.187.

17

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung,

1975), h.53.

Page 17: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

7

Menurut pandangan mazhab Maliki, Syafi`i dan Hanbali, wali

merupakan rukun dalam sebuah perkawinan, sehingga dianggap tidak sah

apabila perkawinan tidak memakai wali. Para ulama sepakat mengenai

untuk menikahkan anaknya yang kecil, gila ataupun yang kurang

kemampuan akalnya. Akan tetapi apabila anaknya sudah baligh, berakal

Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Menurut

Imam Abu Hanifah, bagi yang berakal, baligh apalagi statusnya janda ia

berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Jumhur ulama tetap dengan

pendapatnya semula, yaitu perkawinan akan sah jika adanya wali baik

anak tersebut kecil, dewasa, baligh ataupun janda. Menurut mazhab

Hanabilah, tetap harus ada izin (persetujuan) baik janda ataupun gadis,

sedangkan menurut mazhab Maliki dan Syafi`i persetujuan hanya untuk

janda, apabila masih gadis tidap perlu mendapat persetujuan dari anak

tersebut meskipun adanya persetujuan akan lebih baik bagi perkawinan

yang akan dilangsungkan.18

Hubungannya dengan keberadaan wali dan kebebasan mempelai

wanita dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni (1) harus ada wali atau

izin wali, (2) boleh nikah tanpa wali atau tanpa izin wali, (3) harus ada

persetujuan dari calon mempelai wanita, dan (4) ada (masih mengakui)

hak ijbar wali.19

18

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h.193. 19

Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-

undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002),

h.187.

Page 18: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

8

Status wali nikah dalam perundangan keluarga di negara muslim,

khususnya di Indonesia dan Tunisia, dilatarbelakangi oleh adanya anutan

masyarakat akan konsep fikih yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari

yang juga mempengaruhi kodifikasi hukum. Secara spesifik Tunisia

menekankan bahwa wali tidak menjadi salah satu rukun dalam sebuah

perkawinan bahkan perempuan dewasa bisa menikah sendiri. Adapun

metode dan argumentasi yang dipakai oleh perundangan Tunisia yaitu

dimaknai metode secara normatif terhadap teks-teks Alquran walaupun

dengan penafsiran sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang.

Kodifikasi hukum keluarga di negara-negara muslim sangat dipengaruhi

aspek sosial masyarakat yang berkembang. Karena itulah hukum keluarga

di negara muslim mengalami banyak perubahan dari konsep awalnya

sehingga memunculkan keberanjakan fikih yang tercantum dalam UU

hukum keluarga tersebut.20

Kedua negara tersebut (Indonesia dan Tunisia), menunjukkan

pemikiran serta dominasi mazhab yang berbeda. Indonesia lebih

menonjolkan mazhab Syafi`i sedangkan Tunisia lebih menonjolkan

mazhab Maliki21

, terlebih dalam hal kebebasan wanita dalam peraturan

perkawinan. Kebebasan wanita dalam hal ini maksudnya adalah mengenai

eksistensi dari keberadaan seorang wali dalam sebuah akad perkawinan

bagi seorang wanita yang ingin menikah dengan seorang pria.

20

Miftahul Huda, “Wali Nikah dan Kebebasan Perempuan”, Jurnal Justitia Islamica, vol.

1, no. 1 (2004), h.61. 21

M. Atho` Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan

Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h.84.

Page 19: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

9

Berkenaan dengan permasalahan di atas, skripsi ini ingin

membahas dan mengetahui lebih lanjut mengenai “Kebebasan Wanita

Dalam Peraturan Perkawinan (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum

Keluarga Indonesia-Tunisia).”

Page 20: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

10

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berbicara mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan

maka akan menyangkut berbagai macam aspek. Agar kajian ini tidak

terlalu luas dan terbatas maka penulis membatasi permasalahan

mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan, kaitannya

dalam hal eksistensi dari keberadaan seorang wali di dalam sebuah

perkawinan. Mengingat terlalu banyak negara Islam di dunia ini, maka

penulis membatasi fokus masalah mengenai kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan yang ada di Indonesia dan Tunisia. Penulis akan

membahas dan mengetahui lebih lanjut bagaimana peraturan

perundang-undangan di Indonesia dan Tunisia, lalu membandingkan

aspek kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan yang dibatasi

pada ketentuan melangsungkan akad pernikahan.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di

Indonesia dan Tunisia ?

b. Apa yang mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai

kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan

Tunisia ?

c. Apa saja persamaan dan perbedaan kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia ?

Page 21: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui bagaimana kebebasan wanita dalam peraturan

perkawinan di Indonesia dan Tunisia.

b. Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi pembentukan

ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan

di Indonesia dan Tunisia.

c. Untuk mengetahui apa saja persamaan dan perbedaan kebebasan

wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia.

2. Manfaat

a. Secara akademik, penulisan skripsi ini di harapkan dapat

menambah khazanah pengetahuan dan keilmuan di bidang

hukum keluarga khususnya di bidang perwalian.

b. Skripsi ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-

penelitian sebelumnya.

c. Memberikan sumbangan kepada siapa saja baik mahasiswa,

akademisi ataupun siapa saja yang konsen dengan

permasalahan ini.

d. Memberikan saran kepada pemerintah dalam hal ketika

nanti akan merevisi undang-undang perkawinan di

Indonesia khususnya di bidang perwalian.

Page 22: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

12

D. Review Studi Terdahulu

1. Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum

Keluarga di Dunia Islam, prodi SAS 2014.22

Skripsi ini membahas

tentang perbandingan hukum keluarga mengenai aturan kriminalisasi

bagi praktik poligami yang terjadi di negara Indonesia dan Tunisia.

Penelitian penulis ini berfokus pada perbandingan hukum keluarga

mengenai aturan kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di

negara Indonesia dan Tunisia.

2. Ahmad Khadik Sa`roni, Nikah Tanpa Wali (Telaah Pemikiran Siti

Musdah Mulia), prodi SAS 2014.23

Skripsi ini membahas tentang

pemikiran seorang tokoh feminis, Siti Musdah Mulia mengenai

kebolehan menikah tanpa wali. Adapun penelitian penulis ini

membahas tentang kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan

antar negara yakni diIndonesia dan Tunisia.

3. Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik

Tunisia”, Al Muqaranah, 2014.24

Jurnal ilmiyah ini membahas tentang

kecenderungan pembentukan dan pembangunan hukum keluarga Islam

di Tunisia. Penelitian penulis ini lebih menitik beratkan pada

kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan

Tunisia.

22

Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia

Islam (Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga di Indonesia-Tunisia), (Skripsi S1

Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). 23

Ahmad Khadik Sa`roni, Nikah Tanpa Wali (Telaah Pemikiran Siti Musdah Mulia),

(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jogja, 2014). 24

Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al-

Muqaranah, vol. 5, no. 1, (2014).

Page 23: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

13

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan

(library research) yaitu dengan meneliti berbagai buku, artikel,

majalah, surat kabar dan tulisan-tulisan karya ilmiah lainnya yang

berkaitan dengan materi judul yang penulis bahas dalam skripsi ini.

2. Data Penelitian

a. Sumber Data

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia yakni: Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dan tata peraturan perundang-undangan di

Tunisia, yakni: Code of Personal Status (Majallat al-Ahwal al-

Syakhsiyyah) Nomor 66 tahun 1956 beserta Suplementary Laws-

nya dari tahun 1956 sampai tahun 2010 (Tunisia: Kitab Undang-

undang Hukum Pribadi dan Hukum-hukum Tambahan 1956-2010)

b. Jenis Data

Ada tiga jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan

skripsi ini:

Data primer: Data-data yang berasal dari Alquran, hadis,

kitab-kitab, dan perundang-undangan Indonesia dan Tunisia yang

membahas tentang kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan.

Page 24: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

14

Data sekunder : Data-data yang berupa dokumen yang

terdapat di dalam majalah, artikel, jurnal karya ilmiah, dan surat

kabar yang relevan dan berkaitan dengan tema skripsi ini.

Data tersier : Adapun data tersier yang digunakan di dalam

penelitian ini adalah kamus hukum.

c. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan oleh penulis di dalam

penelitiannya adalah deskriptif analitik yang bertujuan untuk

memaparkan hasil pengamatan tanpa diadakannya pengujian

hipotesis-hipotesis.

d. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan penulis di dalam penelitiannya

adalah penelitian yuridis normatif yakni dengan kajian studi

pustaka dan perundang-undangan. Dengan menggunakan

pendekatan ini dilakukan pengkajian mengenai persinggungan

antara pendapat ulama konservatif, kontemporer dengan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema penelitian

ini. Namun untuk kepentingan perolehan dan analisis data maka

pada penelitian ini juga menggunakan pendekatan perbandingan.

Page 25: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

15

e. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini

adalah studi naskah dan kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan

data-data yang membahas, berkaitan dan mengenai kebebasan

wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia.

Setelah data-data tersebut semuanya terkumpul dari

berbagai sumber, maka penulis memaparkan data-data tersebut dan

kemudian penulis analisa. Secara teknis penulisan ini berpedoman

pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.”

F. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini terbagi menjadi beberapa sistematika

pembahasan.Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam

penyusunan skripsi serta mempermudah para membacanya dalam

membaca dan memahami isi dari skripsi ini. Sistematika pembahasan

dalam penelitian ini terbagi atas beberapa bab yaitu :

Bab Pendahuluan. Pada bab ini membahas tentang latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, studi review terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

Page 26: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

16

Bab II. Pada bab ini diuraikan tentang pengertian wali yang

kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang kebebasan wanita

dalam perkawinan menurut pandangan Imam mazhab yang dibagi menjadi

dua sub-bab yakni wali merupakan rukun nikah dan wali bukan

merupakan rukun nikah.

Bab III. Pada bab ini dijelaskan tentang kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia. Pada bab ini pertama-tama

diuraikan mengenai gambaran umum hukum Islam di Indonesia dan

Tunisia. Lalu kemudian dijelaskan mengenai kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia.

Bab IV. Pada bab ini diuraikan tentang analisis perbandingan

hukum mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di

Indonesia dan Tunisia. Yang pertama mengenai kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan di Indonesia dan Tunisia. Lalu yang kedua

mengenai faktor yang mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai

kebebasan wanita dalam peraturan perundang-undangan perkawinan di

Indonesia dan Tunisia. Lalu yang ketiga mengenai persamaan dan

perbedaan kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia dan

Tunisia.

BAB V. Bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari

hasil penelitian dan berisi saran-saran yang sesuai dengan permasalahan

yang diteliti.

Page 27: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

17

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANGKEBEBASAN WANITA DALAM

PERKAWINAN

Berbicara mengenai kebebasan wanita dalam hal aturan

perkawinan maka tidak bisa dilepaskan dari eksistensi keberadaan wali di

dalam sebuah perkawinan. Baik itu keberadaannya maupun izinnya. Oleh

sebab itu maka dalam pembahasan pada bab ini diawali dengan pengertian

wali, kemudian dilanjutkan mengenai pengertian kebebasan wanita dalam

aturan perkawinan menurut Imam mazhab.

A. Pengertian Wali

Perwalian, dalam literatur fikih Islam disebut dengan al-walayah

(alwilayah), seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-

dilalah.1

Secara etimologis, dia memiliki beberapa arti. Di antaranya

adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) seperti dalam

penggalan ayat wa-man yatwallallaha wa-rasulahu2

dan kata-kata

ba`dhuhum awliya`u ba`dhin3. Ayat 61 surat at-Taubat (9); juga berarti

kekuasaan/otoritas (as-sulthah wal-qudrah) seperti dalam ungkapan al-

wali (اناني), yakni orang yang mempunyai kekuasaan.4 Hakikat dari al-

1 Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu`jam Mufradat li-Alfazh Alquran, (Beirut-Lubnan: Dar al-

Fikr), h.570.

2 Lihat Q.S. Al-Maidah: 56.

3 Perhatikan Q.S At-Taubat: 61.

4 Wahbah Az-Zuhayli, al-Fikih al-Islami wa Adillatuh, h.186.

Page 28: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

18

walayah (alwilayah) adalah “tawalliy al-amr” (mengurus/menguasai

sesuatu).

Adapun yang dimaksud dengan perwalian dalam terminologi para

fuqaha (pakar hukum Islam) seperti diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli

ialah “Kekuasaan/otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung

melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas

seizin orang lain.5

Orang yang mengurusi/menguasai sesuatu

[akad/transaksi], disebut wali seperti dalam penggalan ayat: fal-yumlil

waliyyuhu bil-`adli.6 Kata al-waliyy muannatsnya al-waliyyah )اننيت( dan

jamaknya al-awliya` )الانياء( , berasal dari kata wala-yali-walyan-wa-

walayatan لايت( -نيا-يهي-)ني , secara harfiah berarti yang mencintai, teman

dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang

yang mengurus perkara (urusan) seseorang.7

Perwalian dalam istilah fikih disebut wilayah yang berarti

penguasaan dan perlindungan. Yang dimaksud perwalian disini ialah

penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk

menguasai orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian

disebut dengan wali.8 Secara etimologi wali berasal dari bahasa arab اناني

yang berarti wali, orang yang mengurus perkara seseseorang.9 Sedangkan

secara terminologi, wali nikah adalah orang yang mempunyai wewenang

5 Wahbah Az-Zuhayli, al-Fikih al-Islami wa Adillatuh, h.186.

6 Baca Q.S. Al-Baqarah: 282.

7 M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.135.

8 Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.93.

9 Ahmad Warsono Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, h.1582.

Page 29: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

19

untuk mengawinkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya

dimana tanpa seizinnya perkawinan perempuan itu dianggap tidak sah.10

Dalam kaitannya dengan wali, terdapat pengertian yang bersifat

umum dan ada yang harus bersifat khusus.11

Adapun pengertian wali

menurut bahasa (lughatan) yaitu berasal dari kata ولي yang jamaknya

mempunyai arti ولي yang berarti kasih, pemerintah. Sedangkan kata اولياء

pemerintah atau wali.12

Pengertian wali menurut istilah, wali dapat berarti penjaga,

pelindung, penyumbang, teman, pengurus dan juga digunakan dengan arti

keluarga dekat.13

Seperti yang telah disinggung di atas wali ada yang

bersifat umum dan ada yang khusus, kewalian umum adalah mengenai

orang banyak dalam satu wilayah atau negara, sedangkan kewalian secara

khusus ialah mengenai seseorang atau hartanya. Dan dalam pembahasan

ini yang dimaksud dengan wali ialah yang menyangkut pribadi dalam

masalah perkawinan. Definisi wali sendiri ialah orang yang berhak dan

yang berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada

di bawah perwaliannya menurut ketentuan syari`at.14

Dalam ensiklopedi

Islam di Indonesia dibahas tentang wali, yaitu wali hakim. Yang dimaksud

10 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.88.

11

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan

Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h.134.

12

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah Alquran, 1983), h.507.

13

Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.161.

14

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan

Ahlussunnah dan Negara-Negara Islam, h.134.

Page 30: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

20

dengan wali hakim ialah wali dalam suatu perkawinan bagi wanita yang

tidak ada walinya, maka hakim setempat menjadi walinya.15

Muhammad Jawad Mughniyah di dalam bukunya yang berjudul

Fikih Lima Mazhab memberikan definisi perwalian dalam perkawinan

adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar`i atas segolongan manusia,

yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan

tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.16

Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam karangannya yang berjudul Fikih

Sunnah 7, disebutkan wali nikah adalah suatu yang harus ada menurut

syara` yang bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa.17

Lalu Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang

bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah.

Akad nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki-

laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak

perempuan yang dilakukan oleh walinya.18

15 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Dirjen Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam, 1992/1993), h.128.

16

Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h.345.

17

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Terjemahan Kahar Mashur, (Jakarta: Kalam Mulia,

1990), h.1.

18

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Padang: Angkasa Raya, 1990),

h.77.

Page 31: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

21

B. Kebebasan Wanita Dalam Perkawinan Menurut Imam Mazhab

Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya

perkawinan (nikah) menurut ajaran agama Islam, “Wali Nikah” adalah hal

yang sangat penting dan menentukan bahkan menurut Imam Syafi`i tidak

sah menikah tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan,

sedangkan bagi calon pengantin laki-laki tidak diperlukan wali nikah

untuk sahnya nikah tersebut.19

Para ulama20

telah sepakat bahwa wanita yang waras dan dewasa

dapat melaksanakan semua akad kecuali akad nikah, dan juga dapat

mewakilkannya kepada siapa saja yang dikehendakinya tanpa adanya hak

sanggah bagi siapapun terhadapnya. Mereka sepakat pula bahwa akad

nikah wanita merdeka yang baligh dan berakal, bila dilaksanakannya oleh

walinya menurut hukum syara` dengan persetujuan wanita yang

bersangkutan, adalah sah dan nafiz (langsung tanpa tergantung pada

sesuatu yang lain). Adapun apabila wanita sendiri yang melaksanakannya

(akad nikah) atau mewakilkannya kepada orang lain yang

melaksanakannya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sahnya,

langsungnya dan terikatnya.21

19 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis dari Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h.215. 20

Mayoritas ulama, terutama empat imam mazhab: Imam Hanafi, Maliki, Syafi`i dan

Hambali

21

Mahmud Syaltut dan M. `Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fikih,

(Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h.73.

Page 32: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

22

1. Wali Merupakan Rukun Nikah

Menurut Imam Idris as Syafi`i22

beserta para pengikutnya

berpendapat bahwa wali merupkan rukun dari sebuah perkawinan.

Mereka bertitik tolak dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan

oleh Imam Ahmad dari Al Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah (istri

Rasulullah) berbunyi seperti di bawah ini: “Barangsiapa di antara

perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya, nikahnya itu

batal.”23

Dalam hadis Rasulullah tersebut terlihat bahwa seorang perempuan

yang hendak menikah disyaratkan harus memakai wali, berarti tanpa

wali, nikah itu batal menurut hukum Islam atau nikahnya tidak sah.

Dari hadis Rasulullah yang lain rawahul Imam Ahmad dikatakan oleh

Rasulullah, bahwa:

a) )لا كاح إلا بني شاذ عذل )سا انخست Artinya: Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan 2 (dua)

orang saksi yang adil.24

b) لا تزج انشءة انشءة لا تزج انشءة فسا )سا اب ياج

انذاسقطي(

Artinya: Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang

lain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya

sendiri (Rawahul Daruqutny), diriwayatkan lagi oleh Ibnu

Majah.25

22 Mazhab Syafi`i dibangun oleh Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas

bin Syafi`i, dari suku Quraisy, bertemu nasabnya dengan Rasulullah SAW pada Abd Manaf. Imam

Asy-Syafi`i lahir di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir tahun 204 H. Ibunya keturunan

Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik Imam Asy-Syafi`i.

23

Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1955), h.362.

24

Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.368.

25

Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.363.

Page 33: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

23

c) )ايا ايشأة كذت بغيش إر نيا فكادا باطم )سا الأسبعت إلا انسائ

Artinya: Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya,

nikahnya adalah batal, batal, batal. Tiga kali kata batal itu

diucapkan oleh Rasulullah untuk menguatkan kebatalan nikah

tanpa izin wali pihak perempuan (berasal dari istri Rasulullah: Siti

Aisyah).26

d) Apabila mereka berselisih paham tentang wali, maka wali nikah

bagi wanita itu adalah “Sulthan” atau “Wali Hakim”, begitupun

apabila bagi wanita itu tidak ada wali sama sekali, (Rawahul Abu

Daud, Al Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).27

Apabila wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita yang tidak

pakai wali itu wajib dibayarkan kepadanya “mahar mitsil" dengan

mahar tersebut dianggap halal melakukan hubungan seksual

dengannya. Tidaklah wanita menikahkan wanita lain dan tidaklah

wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita yang menikahkan dirinya

sendiri adalah wanita pezina. Hadis Rasul dari Abu Hurairah Rawahul

Ibnu Majah Al Daruqutny dan Al Baihaqi.28

Di samping alasan-alasan berdasarkan hadis Rasul tersebut di atas

oleh Imam Syafi`i dikemukakan pula alasan menurut Alquran antara

lain:

26 Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.363.

27

Rasyid H. Sulaiman, Fikih Islam, h.368.

28

Husen Ibrahim, K.H., Fikih Perbandingan Masalah Islam Masalah Talaq. (Jakarta:

Ihya Ulumuddin, 1977), h.102.

Page 34: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

24

a) Q.S. Al Nuur: 32

Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian

diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)

dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-

hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin

Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.

dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

mengetahui.

b) Q.S. Al Baqarah: 231

Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu

mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah

mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah

mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah

kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,

karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.

Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah

berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah

kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan

ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah

diturunkan Allah kepadamu yaitu Al kitab dan Al

Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran

kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan

bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah

bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.29

29 Husen Ibrahim, K.H., Fikih Perbandingan Masalah Islam Masalah Talaq, h.53.

Page 35: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

25

Kedua ayat Quran tersebut ditujukan kepada wali, mereka diminta

menikahkan orang-orang yang tidak bersuami dan orang-orang yang

tidak beristri di satu pihak dan melarang wali tersebut menikahkan

laki-laki muslim dengan wanita non-muslim sebaliknya wanita muslim

dilarang dinikahkan dengan laki-laki non-muslim sebelum mereka

beriman. Andaikata wanita itu berhak secara langsung menikahkan

dirinya dengan seorang laki-laki tanpa wali maka tidak ada artinya

Khitbah. Ayat tersebut ditujukan kepada wali, semestinya ditujukan

kepada wanita itu, karena urusan nikah (perkawinan) itu adalah urusan

wali. Maka perintah dan larangan untuk menikahkan wanita itu

ditujukan kepada wali, seperti halnya juga wanita menikahkan wanita

atau wanita menikahkan dirinya sendiri haram hukumnya (dilarang).30

Imam Malik,31

Syafi`i, Ahmad, Ishaq dan kebanyakan para ulama

berpendapat bahwa nikah tidak sah dengan dilaksanakan oleh wanita

sendiri atau wakilnya. Daud berpendapat bahwa nikah itu sah kalau

wanita itu bukan perawan,32

dan batal kalau wanita itu perawan.

Sedangkan Abu Saur berpendapat bahwa nikah itu sah apabila

diizinkan oleh walinya dan batal apabila wali tidak mengizinkannya.33

30 Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h.218.

31 Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa

wali dan wali menjadi syarat sahnya nikah dalam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima

Mazhab: Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), h. 385.

32

Daud dan orang-orang yang sepaham dengan dia mengambil dalil dengan hadis, انشيب

.”wanita sayyib (sayib/janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya“ادق بفسا ي نيا

33

Mengenai perbedaan hukum antara wanita perawan denga wanita janda. Juga dengan

hadis نيس نهني يع انشيب أيش“tidak ada urusan wali mengenai wanita janda”. Mereka mengatakan

hadis ini adalah tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan di

antaranya ialah akad nikah. Dan hadis ini juga jelas menunjukkan perintah meminta izin wanita

Page 36: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

26

Imam Syafi`i, Maliki dan Hambali berpendapat: jika wanita yang

baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan

dirinya ada pada wali. Akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada

keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa

persetujuannya dan sebaliknya wanita itupun tidak boleh

mengawinkan dirinya sendiri tanpa restu sang wali.34

Namun,

pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan hanya oleh

wanita tersebut tidak berlaku sama sekali walaupun akad itu sendiri

memerlukan persetujuannya.35

perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali member izin mengenai

nikahnya, dan hal itu menunjukkan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain selain dia yaitu

walinya yang meminta izin kepadanya. 34

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, (Bandung: PT Alma`arif, 1981), h.14. 35

Syeikh Mahmud Syaltut dan Syeikh M. Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam

Masalah Fiqh, h.345.

Page 37: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

27

2. Wali Bukan Merupakan Rukun Nikah

Menurut mazhab Hanafi yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah,

wali itu sunnah saja hukumnya. Di samping itu ada pendapat yang

menyatakan bahwa wali nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang

mengucapkan ikrar “ijab” dalam proses akad nikah ialah pihak laki-

laki. Tetapi kenapa dalam prakteknya selalu pihak wanita yang

ditugaskan mengucapkan “ijab” (penawaran), sedangkan pengantin

laki-laki yang diperintahkan mengucapkan ikrar “qobul”(penerimaan).

Karena wanita itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu (isin-Jawa),

maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada walinya, jadi wali

itu sebenarnya wakil dari pengantin perempuan, biasanya diwakilkan

oleh ayahnya, bilamana tidak ada ayah, dapat digantikan oleh

kakeknya (ayah dari ayah). Wali nikah yang demikian disebut wali

nikah yang memaksa (mujbir).36

Menurut Hanafi37

, nikah (perkawinan) itu tidak merupakan syarat

harus pakai wali. Hanafi dan beberapa pengikutnya mengatakan bahwa

akibat ijab (penawaran) akad nikah yang diucapkan oleh wanita yang

36 Memaksa maksudnya disini ialah apabila masih ada bapak maka bapaklah (ayah) yang

berhak menjadi wali nikah untuk menikahkan anak perempuannya. Bila tidak ada ayah (bapak)

mungkin karena meninggal atau ghaib (hilang tak tentu hutan rimbanya), maka ayah dari ayahnya

(kakek) yang berhak tampil menjadi wali nikah dari cucu perempuannya. Apabila tidak ada bapak

atau kakek maka dapat diwalikan lagi kepada saudara laki-laki kandung dari pengantin perempuan

(saudara laki-laki) yang menjadi wali itu harus sudah akil baligh (dewasa dan berakal), laki-laki

beragama Islam dan adil, bila tidak ada saudara laki-laki, maka dapat pula diwakilkan kepada

saudara laki-laki dari bapak (paman). Si wanita yang akan menikah itu, wali sesudah bapak dan

kakek itu disebut wali nasab biasa (tidak memaksa).

37

Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang paling tua di antara empat mazhab Ahli

Sunnah wal Jama`ah yang popular. Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Besar Abu Hanifah An-

Nu`man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimiy, lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada

tahun 150 H.

Page 38: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

28

dewasa dan berakal (akil baligh) adalah sah secara mutlak, demikian

juga menurut Abu Yusuf, Imam Malik dan riwayat Ibnu Qasim.38

Beliau itu mengemukakan pendapatnya berdasarkan analisis dari

Quran dan Hadis Rasul sebagai berikut di bawah ini. Menurut

Alquran:

a) Q.S. Al-Baqarah: 230

Artinya: Apabila suami menalak istrinya (istri-istri) sesudah talak

yang kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya,

sehingga dia (perempuan) itu menikahi calon suami mereka yang

baru.39

b) Q.S. Al-Baqarah: 232

Artinya: Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis masa

iddahnya janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka nikah

lagi dengan calon suaminya.40

38 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis dari Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, h.102.

39

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1974), h.55. 40

Dengan demikian tunjukan ayat ini adalah kalau masa `iddah mantan istrinya sudah

habis, maka mantan suami tidak berhak mencegah mantan istrinya menikah dengan wanita lain.

Oleh karena itu, ayat ini tidak berhubungan dengan wali, sebab yang dilarang mempersulit itu

adalah suami-suami. Lihat As-Sarakhsi, dalam al-Mabsut, h.11.

Page 39: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

29

Oleh Hanafi ditinjau asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya Q.S Al-

Baqarah: 230 & 232) dengan mengemukakan contoh dari kasus Ma`qil

bin Yasar, yang menikahkan saudara perempuannya kepada seorang

laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian laki-laki itu menceraikan

perempuan tersebut. Setelah habis tenggang waktu menunggu

(tenggang waktu iddah), maka kedua bekas suami istri itu ingin

kembali lagi bersatu sebagai suami istri dengan jalan menikah lagi,

tetapi Ma`qil bin Yasar tidak memperkenankan kembali menjadi suami

dari saudara perempuannya laki-laki muslim itu. Setelah disampaikan

orang berita ini kepada Rasulullah, maka turunlah Q.S. Al-Baqarah

ayat 232, yang mengatur dan melarang wali menghalangi mereka

menikah lagi dengan bekas suaminya tadi.41

Alquran surat Al-Baqarah ayat 232 demikian juga surat Al-

Baqarah ayat 230 terdapat kata-kata yankihna dan kata kerja “tankiha”

yang terjemahannya menikah. Disini pelakunya adalah wanita bekas

istri itu tadi. Pekerjaan mana dalam isnad haqiqi (riwayat) semestinya

dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya, tegasnya tidak dikerjakan

orang lain sebagaimana halnya pada isnad majazi (kiasan). Demikian

juga dilihat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 234, terdapat kata kerja

“fa`alna” yang artinya mengerjakan atau perbuatan pelakunya

(failnya) adalah wanita-wanita yang kematian suami.

41 Sholeh K.H. Qomaruddin dkk., Asbabun Nuzul, (Jakarta: Diponegoro), h.78.

Page 40: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

30

c) Q.S. Al-Baqarah: 234

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan

meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)

menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.

kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu

(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka

menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Ayat tersebut menyatakan bahwa akad nikah yang

dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya

tanpa menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah.42

d) Hadis Rasul

إرا صاتا ٬ادق بفسا ي نيا انبكش تستأر في فسا شيبان

)سا انجاعت إلا انبخاسي( Artinya: Perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya daripada

walinya, dan anak gadis diminta izinnya mengenai dirinya,

sedangkan izinnya adalah diamnya.43

42

Jadi wanita mempunyai hak penuh terhadap urusan dirinya termasuk menikah tanpa

bantuan wali. 43

فسا ي نياالأيى ادق ب , hadits ini bersumber dari `Abdullah ibn Abbas dalam Muslim,

Sahih Muslim, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 2545 dan 2546; at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, “Kitab

an-Nikah”, hadits no. 1026; an-Nasa`i, Sunan an-Nasa`i, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 3208, 3209

dan 3210; Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 1795; Ibn Majah, Sunan

Ibn Majah, “Kitab an-Nikah”, hadits no. 1860; Ahmad, Musnad Ahmad, Musnad Bani Hasyim”,

hadits no. 1790 dan 2055. As-Sarakhsi, al-Mabsut, h.12.

Page 41: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

31

e) Hadis Rasul

Dari Ummu Salamah, meriwayatkan bawa tatkala

Rasulullah SAW meminangnya untuk dinikahi dia berkata kepada

Rasulullah.Tiada seorangpun hai Rasulullah di antara wali-waliku

yang hadir, maka bersabda Rasulullah: “Tidak seorangpun walimu

baik yang hadir maupun yang tidak hadir (ghaib) menolak

perkawinan kita”.44

Berdasarkan Alquran dan hadis Rasul tersebut, menurut Hanafi

memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya

dengan meniadakan campur tangan orang lain (wali) dalam urusan

perkawinan. Pertimbangan rasional logis dari Hanafi tentang tidak

wajibnya wali nikah bagi perempuan yang hendak menikah. Bahwa

ijab menurut lazimnya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita,

jadi pengantin wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan

dengan seorang laki-laki, sedangkan qabul (penerimaan) ikrar nikah

diucapkan oleh pengantin laki-laki, seperti contoh di bawah ini:

- Ijab dari pengantin perempuan:

Aku nikahkan diriku kepada laki-laki nama A bin B bayar

maharnya seribu rupiah kontan.

44

As-Sarakhsi, al-Mabsut, h.12.

Page 42: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

32

- Qabul dari pengantin laki-laki:

Aku terima nikahmu wanita C binti D dengan maharnya seribu

rupiah kontan.

Oleh karena wanita fitrahnya adalah sangat pemalu (isin = jawa),

maka dia harus diwakili oleh orang tuanya yang bertindak sebagai wali

(wakil pengantin perempuan).45

Tetapi bila ditinjau secara yuridis apa alasan atau dasar hukumnya

perempuan yang mengucapkan ijab laki-laki mengucapkan qabul ? Hampir

semua firman Allah dalam Quran tentang baik perintah maupun larangan

perkawinan (nikah) ditujukan kepada laki-laki bukan kepada wanita,

bahwa poliandri atau wanita yang bersuami dua, larangan tetap ditujukan

kepada laki-laki:

1. Jangan kamu nikahi wanita yang telah bersuami (Q.S. An-Nisa’: 24).46

2. Jangan kamu nikahi perempuan yang telah dinikahi oleh bapak kamu,

perbuatan itu adalah perbuatan jahat dan keji (Q.S. An-Nisa’: 22).47

3. Diharamkan kamu menikahi: Ibu kamu; Saudara-saudaramu yang

perempuan; Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-

saudara ibumu yang perempuan; dan seterusnya (Q.S. An-Nisa’: 23).48

45

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis dari Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, h.221.

46

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab

Suci Alquran, 1978), h.120.

47

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, h.120.

48

Departemen Agama, Alquran dan Terjemahannya, h.120.

Page 43: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

33

Semua ayat-ayat Alquran tersebut larangannya selalu ditujukan

kepada laki-laki, seyogianya ijab itu diperintahkan pula kepada laki-laki

dan qabul kepada wanita sehingga wanita yang mengucapkan qabul cukup

dengan anggukan saja, seperti sabda Rasulullah diamnya wanita itu adalah

izinnya atau persetujuannya.49

Abu Hanifah, Abu Yusuf menurut lahir riyawat dan Zufar

berpendapat bahwa nikah yang dilangsungkan oleh wanita itu sendiri atau

mewakilkannya kepada orang lain itu sah mutlak, hanya wali mempunyai

hak sanggah, selama belum melahirkan atau belum hamil yang nyata,

apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan orang yang tidak sekufu.

Dan diriwayatkan dari dua yang pertama (Abu Hanifah dan Abu Yusuf),

pendapat bahwa nikah itu hanya sah kalau dengan yang kufu saja, dan

batal kalau bukan dengan yang sekufu.50

Kemudian berkembang lagi,

boleh secara mutlak sekufu atau tidak.51

Imam Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan

berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan

akad nikah sendiri, baik perawan atau janda. Tidak ada seorangpun yang

mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya dengan

syarat orang yang dipilihnya itu sekufu52

(sepadan) dengannya dan

49 Tanpa persetujuan dari keduanya, perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Dalam suatu

hadisnya Nabi SAW bersabda: لايى دتي تستأيش لا تكخ انبكش دتي تستأر قانا: يا سسل الله كيف ارا لا تكخ ا

قال: ا تسكت

50

Mahmud Syaltut dan M.`Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fikih,

h.73. 51

Syams ad-Din as-Sarakhsi, al-Mabsut, (Beirut: Dar al-Ma`rufah, 1409-1989), h.10.

52

Arti kesepadanan (kafa`ah) bagi orang-orang yang menganggapnya syarat dalam

perkawinan, adalah hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita

(yang akan menjadi istrinya). Para Ulama memandang penting adanya kafa`ah hanya pada laki-

Page 44: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

34

maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil. Tetapi bila dia memilih

seseorang laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka walinya boleh

menentangnya dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad

nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar

kurang dari mahar mitsil, qadhi boleh diminta membatalkan akadnya bila

mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya.53

Dan di dalam kitab “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusyd,

Ulama berselisih pendapat, apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau

tidak dan tentunya ini berimbas terhadap kebebasan wanita dalam

perkawinan. Berdasarkan riwayat Asyhab, Imam Malik berpendapat

bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh ImamSyafi`i. Sedangkan Imam Abu

Hanifah, Zufar, asy-Sya`bi54

dan az-Zuhri55

berpendapat bahwa apabila

laki dan tidak pada wanita. Sebab, kaum laki-laki berbeda dengan kaum wanita, tidak direndahkan

jika mengawini wanita yang lebih rendah derajat dari dirinya. Hanafi, Syafi`i dan Hambali sepakat

bahwa kesepadanan itu meliputi: Islam, merdeka, keahlian, dan nasab. Tetapi mereka berbeda

pendapat dalam hal harta dan kelapangan hidup. Hanafi dan Hambali menganggapnya syarat tapi

Syafi`i tidak. Sedangkan Maliki tidak memandang keharusan adanya kesepadanan kecuali dalam

hal agama. 53

Syeikh Mahmud Syaltut dan Syeikh M. Ali as-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam

Masalah Fiqh, h.345. 54

Amir bin Syurahabil al-Humairi atau yang lebih dikenal dengan panggilan Asy-Sya`bi,

usia beliau mencapai lebih dari 80 tahun. Beliau lahir dan dibesarkan di Kufah. Ia merupakan

seorang ulama tabi`in yang terkemuka, beliau lahir pada pemerintahan Khalifah `Umar bin

Khattab yaitu pada tahun 17 H, ia seorang imam ilmu, penghafal hadits dan ahli dalam bidang

fiqh. Beliau mendapat kesempatan untuk bertemu sebanyak kurang lebih 500 sahabat yang mulia.

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra`fat Basya, Suwaru Min Hayati At-Tabi`in, atau Mereka

adalah Para Tabi`in, alih bahasa Abu `Umar `Abdillah, (Yogyakarta: Pustaka At-Tibyan, 2009),

h.151. 55

Pakar hadits yang bernama asli Muhammad bin Syihab Az-Zuhri ini lahir pada 50 H

pada akhir periode masa sahabat, tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam. Ia wafat di

Sya`bad pada 123 H. Ada yang mengatakan ia wafat pada 125 H. Biografi az-Zuhri dalam Tahdzib

at Tahdzib: Ibnu Hajar Asqalani 9/445.

Page 45: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

35

seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali sedang calon

suaminya sebanding (se-kufu`) maka nikahnya itu boleh.56

Silang pendapat ini disebabkan tidak terdapatnya satu ayat pun

atau satu hadis pun yang berdasarkan lahirnya mensyaratkan adanya wali

dalam perkawinan, terlebih lagi menegaskan demikian. Bahkan ayat-ayat

dan hadis-hadis yang biasa dipakai alasan oleh fuqaha yang

mempersyaratkan wali hanya memuat kemungkinan yang demikian itu.

Demikian pula ayat-ayat dan hadis-hadis yang dipakai alasan oleh fuqaha

yang tidak mensyaratkan wali juga hanya memuat kemungkinan yang

demikian. Hadis-hadis tersebut, di samping kata-katanya hanya memuat

kemungkinan-kemungkinan tersebut, ternyata dari segi keshahihannya pun

masih diperselisihkan, kecuali hadis Ibnu Abas ra.Meskipun fuqaha yang

meniadakan wali juga tidak mempunyai dalil, karena pada dasarnya “asal

segala sesuatu adalah bebas dari kewajiban” (al-ashlu baro`atu

`dzimmah).57

56

Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid,(Semarang: CV. Asy-Syifa`, 1990),

h.365. 57

Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, h.366.

Page 46: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

36

Jadi kesimpulan menurut Malikiyah, Syafi`iyah dan Hambaliyah

sepakat keharusan adanya wali58

atau pengganti dalam setiap perkawinan,

baik untuk gadis ataupun janda, baik dewasa maupun belum dewasa.

Berbeda dengan ketiga mazhab tersebut, Hanafiyah berpandangan bahwa

keharusan adanya wali hanya untuk gadis yang belum dewasa (shogirah)

dan yang dewasa tetapi gila (kabirah mazjunah). Sementara bagi yang

dewasa dan berakal sehat baik gadis maupun janda, mereka mempunyai

hak untuk menikahkan dirinya sendiri kepada orang yang dikehendaki.59

Berdasarkan pada konsep dasar pemikiran di atas, mengenai

kebebasan wanita dalam hal aturan perkawinan menurut imam mazhab

dengan berbagai pendapat, dalil dan ikhtilafnya. Hal inilah yang menurut

penulis menjadi salah satu dasar atas terbentuknya peraturan perundang-

undangan hukum keluarga Islam baik di Indonesia maupun di Tunisia.

58Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab yaitu wali yang mempunyai

hubungan darah dengan calon mempelai wanita.Yang dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat

digantikan oleh wali hakim yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau

tidak ditemukan. Demikian pula, jika wali nasab mau atau tidak bersedia menikahkan calon

mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahinya.

59

Dedi Supriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, (Bandung:

Penerbit Pustaka Al-Fikriis, 2009), h.20.

Page 47: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

37

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN WANITA DALAM

PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA

A. Gambaran Umum

1. Gambaran Umum Hukum Islam Di Indonesia

negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk

republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-undang Dasar.1 Pancasila adalah dasar ideal negara

dan Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang

menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang

menghargai dan menghormati kehidupan beragama.2

Sampai saat sekarang ini di negara republik Indonesia berlaku

berbagai sistem hukum. Antara lain; hukum adat, hukum Islam serta

hukum barat (baik itu civil law maupun common law atau anglo

saxon). Dari ketiga hukum tersebut, tampak bahwa hukum Islam

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama dan hukum

Islam merupakan bagian dari rangkaian struktur agama Islam.3

1 Asep Saepuddin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Ekonomi; Kajian Perundang-

undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional, h.29. 2 Hal ini seperti terlihat dalam pancasila pada sila yang pertama, “Ketuhanan Yang Maha

Esa” dan tercantum dalam BAB IV pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan

atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya.

3 Muhammad Daud Ali, “Kedudukan dan Pelaksanaan Hukum Islam dalam Negara

Republik Indonesia”, Jurnal Bulanan Mumbar Hukum, no. 29 (November-Desember 1996), h.7.

Page 48: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

38

Dalam UUD 1945 sendiri terdapat landasan filosofis dan landasan

yuridis tentang pemberlakuan hukum Islam bagi pemeluknya.

Landasan filosofis adalah Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan

Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti

“tauhid” seperti yang dituturkan oleh Ki Bagus Hadikusumo sebagai

penggagas penyempurna sila pertama itu. Sedangkan landasan yuridis

terdapat dalam pasal 29 UUD 1945.4

Kedudukan hukum Islam dalam negara republik Indonesia, tidak

hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD 1945 (di

samping hukum-hukum lainnya), tetapi secara khusus tercantum dalam

pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Di dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945 itu

jelas disebutkan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang

Maha Esa.5

Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 serta di dalam pembukaan

UUD 1945 dijelaskan bahwa kedudukan hukum Islam telah mantap

dan berkembang di Indonesia. Karena pada dasarnya hukum Islam

merupakan hukum dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah disesuaikan

dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Sedangkan menurut Noel J.

Coulson bahwa hukum Islam ini diakui sebagai hukum Tuhan dengan

4 Yayan Sopyan, Islam Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h.73. 5 Sulaikin Lubis dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h.13.

Page 49: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

39

ungkapannya “does not grow out of... an avolving as is the case with

system but is imposed from above.”6

Di Indonesia sendiri, kini terdapat beberapa peraturan baik yang

berbentuk UU maupun di bawah UU, yakni:7

1. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

2. UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kini sudah

diamandemen menjadi UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan

kedua atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI.8

Kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan merupakan bagian

dari sebuah lembaga perkawinan dan merupakan salah satu dari

kompetensi absolut dari Peradilan Agama berdasarkan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.9 Regulasi mengenai

kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia diatur

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam.

6 Noel J. Coulson, “The Concept Progress and Islamic Law”, Religion and Progress in

Modern Asia, h.75. 7 Thantowi, “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Kontemporer”, Jurnal Studi Islam

Mukaddimah, no. 19, h.348. 8

Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan,

(Jakarta: BIMAS Islam dan Urusan Haji, 2000), h.4. 9 Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006: “Peradilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang; perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq dan

shadaqah dan ekonomi syari`ah.

Page 50: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

40

Hal-hal yang diatur dalam Hukum Perkawinan di Indonesia yang

terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan antara lain:

1. Dasar perkawinan yang diatur dalam pasal 1-5

2. Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam pasal 6-12

3. Pencegahan perkawinan yang diatur dalam pasal 13-21

4. Batalnya perkawinan yang diatur dalam pasal 22-28

5. Perjanjian perkawinan yang diatur dalam pasal 29

6. Hak dan kewajiban suami istriyang diatur dalam pasal 30-34

7. Harta benda dalam perkawinan yang diatur dalam pasal 35-37

8. Putusnya perkawinan dan akibatnya yang diatur dalam pasal

38-41

9. Kedudukan anak yang diatur dalam pasal 42-44

10. Hak dan kewajiban orangtua dan anak yang diatur dalam pasal

45-49

11. Perwalian yang diatur dalam pasal 50-54

12. Ketentuan lain-lain yang diatur dalam pasal 55-63

Page 51: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

41

2. Gambaran Umum Hukum Islam Di Tunisia

Republik Tunisia merupakan salah satu negara yang terletak di

Afrika Utara, sebelah barat berbatasan dengan Algeria, utara dan timur

dengan Medeterania dan selatan dengan Libya, Tunisia merupakan

negara yang paling kecil.10

Tunisia termasuk kepulauan Karkunna

untuk daerah Bjerba.11

Jumlah penduduknya mencapai 9.593.402 jiwa

(berdasarkan sensus Tahun 2000). Dari jumlah tersebut 98% beragama

Islam, sisanya Kristen 1% dan Yahudi 1%.12

Negara yang memiliki

luas wilayah 163.610 km2

memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956,

dengen presiden pertama Habib Bourguiba13

, yang membawahi 23

provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan wilayah otonom dari

pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi negara

pesemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa14

dan pada

10 Grolier International Incorporated, Negara dan Bangsa Afrika, (Jakarta: Widyadara,

1990), h.86.

11

Larry A. Barry, Reeva S. Simon dkk, “Tunisia”, Encyclopedy of Modern Middle East,

(1996), h.79.

12

Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam

http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-

KELUARGA-DI-TUNISIA.html akses tanggal 23 Maret 2011 – 07.33. Apabila dibandingkan

dengan hasis sensus yang dilakukan pada tahun-tahun seblumnya, seperti yang dijelaskan Tahir

Mahmood dalam bukunya dinyatakan bahwa penduduk Tunisia berjumlah kurang dari 7 juta jiwa

dengan komposisi 97% beragama Islam. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries;

History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h.

151. Dalam literatur lain, lebih spesifik dinyatakan bahwa jumlah penduduk Tunisia pada tahun

1986 adalah 7.424.000 jiwa dengan komposisi 97% beragama Islam. Gary L. Flower, “Tunisia”,

Barnes & Noble New American Encyclopedia (Glorier Incorporated, 1991), vol.19, h.335.

Sebagaimana yang dimuat dalam Zudi Rahmanto, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”,

Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution

(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h.83. Pertumbuhan penduduk Tunisia meningkat drastis dalam 14

tahun dengan komposisi muslim yang juga meningkat dari 97% menjadi 98%. Hal ini tidak

langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum keluarganya.

13

The New Encyclopedia Britannia, (USA: Encyclopedia Britannica Inc., 1979), di bawah

artikel “Tunisia”.

14

John P. Entelis, Jhon L. Esposito dkk, “Tunisia”, The Oxford Encyclopedia of The

Modern World, (New York: Oxford University Press, 1999), h.236.

Page 52: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

42

tahun 1956 Tunisia memperoleh status merdeka. Tunisia menempati

posisi geopolitik yang sangat strategis sebagai penghubung antara

Eropa dan Afrika, serta antara bagian timur dan bagian barat dunia

Arab. Bersama dengan Maroko dan Aljazair, Tunisia membentuk

sebuah zona regional yang disebut dengan Arab Maghreb.15

Tunisia adalah negara arab muslim di Afrika Utara. Dalam

konstitusinya, Islam merupakan agama negara, seperti halnya negara-

negara arab lainnya. Sedangkan mazhab fikih yang dominan di Tunisia

adalah mazhab Maliki, seperti yang terjadi di negara tetangganya

Maroko, Aljazair dan Mesir. Ibu kota Tunisia adalah Tunis dan sistem

pemerintahannya adalah Republik.16

Sejak kemerdekaannya tahun 1956, presiden Habib Bourgiba, yang

memerintah selama 31 tahun, memberi perempuan hak-hak lebih

banyak dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya.17

Beberapa

bulan setelah kemerdekaannya, pemerintah Tunisia langsung

memberlakukan hukum keluarga. Oleh banyak pengamat, hukum

keluarga tersebut dianggap cukup maju dalam menginterpretasikan

syariat Islam, terutama dalam membela hak-hak perempuan. Namun,

bagi kalangan tertentu hukum keluarga itu dianggap menyalahi bahkan

15Benjamin Rivlin, “Tunisia”, The Encyclopedia Americana: International Edition,

volume 27, (New York: Americana Corporation, 1972), h.222. 16

Dedi Supriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, h.107. 17

Musdah Mulia, Menghukum Pelaku Poligami dalam

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133345.id.html#

akses 27 Agustus 2016-09:10 WIB.

Page 53: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

43

menentang syariat Islam.18

Aturan-aturan baru ini tidak hanya

menentang praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi

dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa Prancis.19

Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Tunisia, mayoritas

penduduknya menganut mazhab Maliki. Namun demikian, Tunisia

juga dipengaruhi oleh mazhab Hanafi20

sebagai konsekuensi dari

posisinya yang merupakan salah satu daerah otonom dinasti

Usmaniyah (sejak tahun 1574).21

Ketika bangsa Prancis menguasai

Tunisia, mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-hakim

kedua mazhab tersebut untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan,

perceraian, warisan, dan kepemilikan tanah. Dan dalam perjalanannya

secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi prinsip-prinsip hukum

Perancis. Sehingga output sistem hukum yang dihasilkan merupakan

perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan

Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (Frence civil law).22

18

Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam

http://sarmidihusna.blogspot.com/2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-

KELUARGA-DI-TUNISIA.html, akses 27 Agustus 2016-09:12 WIB. 19

John P. Entelis, John L. Esposito dkk, “Tunisia”, The Oxford Encyclopedia of Modern

World, (New York: Oxford University Press, 1995), h.236. 20

Abdullahi A. An-Na`im (ed), Islamic Family Law in a Changing World; A Global

Resource Book, (London: Zed Books Ltd., 2003), h.182. 21

Namun banyak di antara berbagai dinasti yang penah berkuasa di Tunisia baik asing

maupun asli Tunisia yang memiliki keyakinan berbeda-beda, seperti Dinasti Syi`ah Fatimiyah

sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang praktis kaum Syi`ah menjadi kelompok minoritas.

Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi

pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Prancis datang pada tahun 1883. Bhara Centum,

Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga Negara-Negara Muslim. 22

Perlu dicatat bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab Maliki, akan tetapi

regulasi di Tunisia memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab yang

lain. Lagipula, dibanding dengan Negara-Negara Arab lain, reformasi di bidang hukum di Tunisia

lebih revolusioner.

Page 54: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

44

Pada tanggal 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah

itu pemerintah Tunisia memberlakukan undang-undang hukum

keluarga yang materinya adalah pemikiran hukum dari golongan antara

mazhab Hanafi dan Maliki yang kemudian disesuaikan dengan

perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Usaha itupun

berhasil dengan berlakunya Undang-undang hukum keluarga bernama

Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah23

Nomor 66 tahun 1956. Majallat

al-Ahwal al-Syakhsiyyah (Code of Personal Status) itu sendiri berisi

170 pasal 10 buku mencakup materi hukum perkawinan, perceraian

dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam

klasik.24

Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah

negeri itu memperoleh kemerdekaan. Sejarah lahirnya kodifikasi dan

reformasi hukum keluarga Tunisia berawal dari adanya pemikiran dari

beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa dengan

23

Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada saat setelah negara

itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka

Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka

sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang sesuai dengan

perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan

perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki dan dipublikasikan di bawah judul

Laihat Majallat al-Ahkam al-Syar`iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya

pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam, Muhammadd al-Jait,

guna merancang Undang-undang resmi. Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan

Undang-undang Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan Turki, panitia tersebut mengajukan

Rancangan Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya

diundangkan di bawah judul Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah (Code of Personal Status) tahun

1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke seluruh Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957.

Nur Avik, Reformasi Hukum Keluarga Tunisia dalam

http://nuravik.wordpress.com/2010/08/24/reformasi-hukum-keluarga-tunisia/ akses 27 Agustus

2016 – 10:06. 24

Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”,Al-

Muqaranah, vol.v, no. 1, (2014), h.34.

Page 55: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

45

melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka

sebuah ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga akan dapat

dikembangkan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi

sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum tersebut mengajukan catatan

perbandingan antara dua sistem hukum tersebut, Hanafi dan Maliki

dan dipublikasikan di bawah judul Laihat Majallat al-Ahkam al-

Syar`iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam). Akhirnya,

pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh

Islam, Muhammad al-Jait guna merancang undang-undang resmi.25

Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan undang-

undang hukum kelurga Mesir, Jordania, Syiria dan Turki, panitia

tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum keluarga

tersebut kepada pemerintah Tunisia. Rancangan tersebut akhirnya

diundangkan di bawah judul “Majallat al-Ahwal al-syakhsiyyah (Code

of Personal Status) 1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke

seluruh Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun dalam

perjalannya, undang-undang ini mengalami kodifikasi dan perubahan

(amandemen) beberapa kali, yaitu melalui Undang-undang No.

70/1958, Undang-undang No. 41/1962, Undang-undang No. 1 Tahun

1964, Undang-undang No. 77/1969 dan terakhir menurut catatan Tahir

25 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern, h.86.

Page 56: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

46

Mahmood, mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui Undang-

undang No.7/1981.26

Menurut catatan Charrad M. Mounira di dalam bukunya yang

berjudul “Family Law Reform in The Arab World; Tunisia and

Maroco” yang diterbitkan pada tahun 2012 mencatat bahwa hukum

keluarga di Tunisia (Code Of Personal Status) yang bersumber dari

dari Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah yang diumumkan pada tahun

1956 telah diamandemen pada 19 Juni 1959 yang kemudian

diamandemen lagi pada 21 April 1964, lalu diamandemen kembali

pada 18 Februari 1981 dan terakhir kali amandemen pada tanggal 12

Juli 1993.27

Namun menurut catatan Mustofa Sakhri di dalam bukunya yang

berjudul “Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah” yang diterbitkan pada

tahun 2013, Undang-undang Hukum Keluarga di Tunisia telah

mengalami beberapa kali amandemen lagi, yakni pada tanggal 6 Maret

2006 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006, pada tanggal 14

Mei 2007 melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2007, pada

tanggal 4 maret 2008 melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008,

dan terakhir pada tanggal 26 Juli 2010 melalui Undang-undang Nomor

39 Tahun 2010.28

26 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h.99.

27

Mounira M. Charrad, Family Law Reform in The Arab World; Tunisia and Marocco,

(Austin: Departement of Sociology of Texas, 2012), h.6.

28

Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Tunisia: Pemerintah Republik

Tunisia, 2013), h.10.

Page 57: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

47

Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru

Tunisia tersebut antara lain:

1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi

dan Maliki.

2) Untuk penyatuan Pengadilan menjadi Pengadilan Nasional,

sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Pengadilan Agama dan

Pengadilan Negeri.

3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para

hakim.

4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang

diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik.

5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan

tuntutan modernitas.29

Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan

mazhab Maliki, akan tetapi undang-undang ini memasukkan pula

beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab yang lain.

Lagipula, jika dibanding dengan negara-negara Arab lain,

reformasi di bidang hukum Tunisia lebih revolusioner.30

Perkembangan pembentukan dan pembangunan hukum

keluarga Islam di Tunisia sangatlah signifikan. Hal ini didasari

oleh latar belakang historis terbentuknya negara republik Tunisia.

29

J.N.D. Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, International and

Comparative Law Quarterly, (7 April, 1985), h.262. 30

Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al-

Muqaranah, vol.v, no. 1, (2014), h.33.

Page 58: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

48

Komparasi fikih klasik (intradoctrinal reform) yang didominasi

oleh mazhab Maliki dan beberapa mazhab lainnya yang kemudian

disinergikan dengan warisan hukum Perancis (extradoctrinal

reform) di negara ini ternyata menghasilkan hukum baru yang

cenderung lebih “menghargai” perempuan dan anak-anak serta

melindungi haknya.31

Undang-undang hukum keluarga Tunisia yang

dideklarasikan pada tahun 1956 telah beberapa kali mengalami

amandemen:

4 Juli 1958 melalui Undang-undang Nomor 70 Tahun 1958.

19 Juni melalui Undang-undang Nomor 77 Tahun 1959.

21 April 1964 melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964.

3 Juni 1966 melalui Undang-undang Nomor 49 Tahun 1966.

18 Februari 1981 melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1981.

12 Juli 1993 melalui Undang-undang Nomor 74 Tahun 1993.

6 Maret 2006 melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006.

14 Mei 2007 melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2007.

4 Maret 2008 melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008.

26 Juli 2010 melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 2010.32

31

Aulia Rahmat, “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Al-

Muqaranah, vol.v, no. 1, (2014), h.51. 32

Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Tunisia: Pemerintah Republik

Tunisia, 2013), h.10.

Page 59: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

49

Hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Hukum Perkawinan di

Tunisia menurut Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah Tahun 2010 terdiri

atas 12 bab, berisikan tentang:

1. Bab 1 mengenai pernikahan, yang diatur pada pasal 1-27.

2. Bab 2 mengenai perceraian, yang diatur pada pasal 29-33.

3. Bab 3 mengenai iddah, yang diatur pada pasal 34-36.

4. Bab 4 mengenai nafkah, yang diatur pada pasal 37-53.

5. Bab 5 mengenai hadhanah, yang diatur pada pasal 54-67.

6. Bab 6 mengenai nasab, yang diatur pada pasal 68-76.

7. Bab 7 mengenai orang-orang yang tidak bisa menggunakan harta, yang

diatur pada pasal 77-80.

8. Bab 8 mengenai orang yang mafqud, yang diatur pada pasal 81-84.

9. Bab 9 mengenai warisan, yang diatur pada pasal 85-152.

10. Bab 10 mengenai orang yang boleh dan orang yang tidak boleh

menggunakan harta, yang diatur pada pasal 153-170.

11. Bab 11 mengenai wasiat, yang diatur pada pasal 171-199.

12. Bab 12 mengenai hibah, yang diatur pada pasal 200-213.

Page 60: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

50

Dari seluruh aturan di atas, ketentuan yang mengatur tentang

kebebasan wanita dalam perkawinan terdapat pada Bab I mengenai

pernikahan dalam pasal 3. Isi pasal 3 Undang-undang Nomor 39

Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

لايعقذ انزاج إلا بشضا انزجي. يشتشط نصذت انزاج إشاد شاذي ي أم انثقت

تسيت يش نهزجت

Pasal 3 UU No. 39 Tahun 2010: “Sebuah perkawinan tidak dapat

dilaksanakan kecuali dengan adanya izin dari kedua belah pihak. Dan

dipersyaratkan dalam sahnya sebuah perkawinan keberadaan dua orang

saksi dari ahli yang terpercaya dan dengan sejumlah mahar untuk calon

mempelai wanita.”33

Menurut kesimpulan penulis, pasal tersebut dengan jelas

menyatakan bahwa di Tunisia wali bukan merupakan salah satu

rukun/syarat dari sebuah perkawinan.

33

Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Tunisia: Pemerintah Republik

Tunisia, 2013), h.12.

Page 61: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

51

B. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan

Tunisia

1. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia

Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia, wali nikah

menjadi salah satu rukun nikah. Tanpa wali, perkawinan tidak sah.34

Sejalan dengan keharusan adanya wali, pada prinsipnya, wali dalam

perundang-undangan perkawinan Indonesia adalah wali nasab. Namun

demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu, posisi wali nikah dapat

digantikan oleh wali hakim, yakni: (i) kalau tidak ada wali nasab; (ii)

tidak mungkin menghadirkan wali nasab; (iii) tidak diketahui tempat

tinggal wali nasab; (iv) wali nasab ghaib; (v) wali nasab enggan

menikahkan.35

Untuk menggantikan posisi wali nasab karena alasan

enggan menjadi wali harus terlebih dahulu ada putusannya dari

Pengadilan Agama setempat.36

Akan halnya dengan kebebasan wanita dalam perkawinan,

disebutkan dalam satu perkawinan harus ada persetujuan dari kedua

calon mempelai. Sehingga kalau kedua calon tidak setuju dengan

perkawinan tersebut, akad nikah tidak dapat dilaksanakan.37

Sementara

34 KHI Pasal 14, “Untuk melangsungkan perkawinan harus ada: a. calon suami; b. calon

isteri; c. wali nikah; d. dua orang saksi; dan e. ijab dan qabul”. Kemudian disebutkan lebih tegas

pada KHI Pasal 19, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.

35

KHI Pasal 23 ayat (1), “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila

wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya

atau ghaib atau adhal atau enggan”.

36

KHI Pasal 23 ayat (2), “Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat

bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

37

UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (1), “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan

calon mempelai”. KHI Pasal 17 ayat (2), “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah

Page 62: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

52

perkawinan (akad nikah) yang dilaksanakan dengan paksa dapat

dibatalkan38

dengan jangka waktu 6 bulan setelah bebas dari ancaman

atau menyadarinya.39

Hanya saja ada ketentuan yang

menyebutkan, keharusan persetujuan tersebut sepanjang hukum

masing-masing agamanya tidak menentukan lain.40

Bersamaan dengan

ini, ada konsep fikih yang menyebutkan adanya hak ijbar wali (bapak

atau kakek) dari imam Syafi`i yakni hak bapak atau kakek yang

memaksa menikahkan seorang wanita yang di bawah pengampuan atau

perwaliannya tanpa persetujuannya dari wanita yang bersangkutan.

Dengan adanya konsep ini, ada kemungkinan terjadi perkawinan tanpa

persetujuan dari calon mempelai, dengan syarat walinya bapak atau

kakek tadi. Dengan demikian, dari teks yang ada tidak disebutkan

secara tegas keberadaan hak ijbar antara ada atau tidak. Pandangan ini

perlu dikemukakan, sebab pandangan ini dapat dimasukkan sebagai

ketentuan agama yang menentukan adanya hak ijbar.

seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”. Kemudian ditambahkan

kembali pada PP. No. 9 Tahun 1975 Pasal 12, “Akta perkawinan memuat: a…; b…; c…; f.

persetujuan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang”, maksudnya UU No. 1

Tahun 1974).

38

UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 27 ayat (1), “Seorang suami atau isteri dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang

melanggar hukum”; KHI Pasal 71 ayat (f), “Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a…; f.

perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”.

39

UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 27 ayat (3), “Apabila ancaman telah terhenti, atau yang

bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu

masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya gugur.

40

UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (6) disebutkan, “Ketentuan ayat (1) sampai dengan

ayat (5), pasal ini (berarti termasuk di dalamnya tentang harus adanya persetujuan, yang

dicantumkan di ayat [1], berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

tidak menetukan lain”.

Page 63: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

53

Adapun bentuk persetujuan dari calon mempelai dapat dalam

bentuk pernyataan tegas dan nyata, dengan tulisan, lisan, dengan

isyarat, atau dengan diamnya yang menujukkan tidak adanya

penolakan yang tegas41

. Sedangkan proses untuk mengetahui ada atau

tidaknya persetujuan dari kedua calon mempelai dilakukan dengan

cara menanyakan persetujuan keduanya sebelum dilangsungkannya

akad nikah di hadapan dua orang saksi.42

Dengan demikian, perundang-undangan perkawinan Indonesia

pada prinsipnya tidak tidak lagi mengakui adanya hak ijbar wali.

Sejalan dengan itu, perundang-undangan perkawinan Indonesia

mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai sebelum

melangsungkan akad perkawinan. Sementara kalau terjadi perkawinan

paksa antara para pihak maka para pihak tersebut dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan.43

Oleh karenanya dalam perkembangan hukum perkawinan di

Indonesia khususnya bagi ummat Islam, melalui Pasal 15 KHI telah

menetapkan batasan usia kawin bagi calon mempelai yaitu sekurang-

kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri.

41KHI Pasal 16 ayat (2), “Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa

pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan atau isyarat tapi juga dapat berupa dengan diam dalam

arti selama tidak ada penolakan yang tegas”. Pada KHI Pasal 17 ayat (3) disebutkan: “Bagi

penderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat

yang dapat dimengerti”.

42

KHI Pasal 17 ayat (1): “Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatatan

Nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan dari kedua calon mempelai di hadapan dua saksi

nikah”, Pasal 17 ayat (2), “Apabila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon

mempelai atau keduanya maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan”.

43

Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundang-

undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia dan Malaysia, h.188.

Page 64: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

54

Ketentuan ini diperkuat dengan keharusan adanya izin dari orangtua

atau wali yang memeliharanya jika tidak ada orangtua. Apabila terjadi

perkawinan yang berlangsung di bawah usia minimum tersebut.

Apabila tidak mendapatkan persetujuan dari orangtua atau wali, maka

calon mempelai dapat meminta persetujuan melalui Pengadilan.44

Selain itu KHI dalam Pasal 16 juga menetapkan suatu aturan

bahwa dalam melangsungkan perkawinan tidak hanya perlu

memandang izin dari orangtua tetapi substansi yang paling penting

adalah harus adanya persetujuan dari calon mempelai sendiri. Jika

perkawinan tidak disetujui oleh calon mempelai, maka akad nikah

tidak dapat dilangsungkan dan perkawinan yang dilakukan dengan

paksa dapat dibatalkan. Konsep ini tidak lain merupakan konsep yang

menentang hak Ijbar yang dimiliki seorang wali (ayah atau kakek)

yang selama ini dipegang teguh dalam konsep fikih Syafi`i.45

Adapun bentuk persetujuan calon mempelai dapat dibuat dalam

bentuk pernyataan tegas dan jelas baik lisan maupun tulisan atau

dengan isyarat. Dan proses untuk mengetahui adanya persetujuan atau

tidak dari kedua calon mempelai ini harus telah dilakukan sebelum

pelaksanaan akad nikah.46

44

Ramlan Yusuf Rangkuti, “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai

dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality, vol. 13 no. 1, (Februari 2008), h.70. 45

Ramlan Yusuf Rangkuti, “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai

dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality, h.71.

46

Ramlan Yusuf Rangkuti, “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon Mempelai

dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality, h.71.

Page 65: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

55

Jadi kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di Indonesia

terkait keberadaan wali masih mengikuti pendapat imam Syafi`i, yakni

masih mengakui adanya wali (wali masih merupakan salah satu rukun

perkawinan). Sedangkan mengenai hak ijbar wali di Indonesia sudah

tidak diakui lagi dalam perundang-undangan hukum keluarga di

Indonesia.

2. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan PerkawinanDi Tunisia

Ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam peraturan

perkawinan di Tunisia bisa dilihat dalam Pasal 3 UU Nomor 39 Tahun

2010. Dalam undang-undangan hukum perkawinan Tunisia, wali tidak

lagi menjadi salah satu rukun/syarat nikah.

بشضا انزجي. يشتشط نصذت انزاج إشاد شاذي ي أم انثقت لايعقذ انزاج إلا

تسيت يش نهزجت

Terjemahan Pasal 3 itu adalah: “Sebuah perkawinan tidak dapat

dilaksanakan kecuali dengan adanya izin dari kedua belah pihak. Dan

dipersyaratkan dalam sahnya sebuah perkawinan keberadaan dua orang

saksi dari ahli yang terpercaya dan dengan sejumlah mahar untuk calon

mempelai wanita.”47

Pasal tersebut dengan jelas menyatakan bahwa di Tunisia wali

bukan merupakan salah satu rukun/syarat perkawinan. Keyakinan

penulis bahwa di Tunisia tidak mengharuskan adanya wali dalam

47

Pasal 3 UU Nomor 39 Tahun 2010.

Page 66: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

56

sebuah perkawinan adalah pada pasal-pasal selanjutnya yang hanya

menyebutkan bahwa izin wali dibutuhkan apabila terjadi pernikahan di

bawah umur. Dari penjelasan ini kita bisa melihat tentang kebebasan

wanita dalam peraturan perkawinan di Tunisia. Dalam perundang-

undangan hukum keluarga Tunisia selain wali bukan merupakan

rukun/syarat dari sebuah perkawinan, persetujuan dari kedua belah

pihak calon mempelai juga sangat diperhatikan.

Eksistensi dari keberadaan wali baru bisa diterima bila dalam kasus

calon pengantin masih di bawah umur kedewasaan. Sebagaimana

terdapat pada Pasal 6, Undang-undang Nomor 74 Tahun 1993:

Tunisian 1956 as amended 1964 on 1993, Article 6: The marriage of a

minor requires the agreement of the guardian and the mother. Of the guardian

or the mother refuse to agree and the minor insists on his/her desire [to be

married], the matter shall be raised with the judge. Permission to marry may

not be appealed in any manner.48

Jika sang wali enggan memberikan izinnya terhadap perkawinan

anak yang berada di bawah perwaliannya sedangkan kedua belah pihak

sangat berhasrat untuk melangsungkan akad perkawinan, maka perkara

tersebut dapat diputuskan di pengadilan.

أ الأو ع ز انافقت تسك انقاصش بشغبت نزو سفع الأيش نهقاضيز الإر إ ايتع انني

بانزاج لايقبم انطع بأي جز49

48 Lynn Welchman, Women And Muslim Family Law In Arab States; A Comparative

Overview Of Textual Development And Advocacy, (Amsterdam: Amsterdam University Press,

2007), h.166.

49

Pasal 6 UU Nomor 39 Tahun 2010 (Sebagaimana telah diamandemen melalui UU No.

74 Tahun 1993).

Page 67: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

57

Berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2010 yang

merupakan amandemen terbaru undang-undang hukum keluarga

Tunisia. Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan

perkawinan jika telah berusia 18 tahun. Dengan ketentuan bahwa baik

laki-laki maupun perempuan di Tunisia harus berusia 18 tahun untuk

boleh melangsungkan perkawinan, dan bagi yang berusia di bawah18

tahun harus mendapat izinkhusus dari Pengadilan.50

Izin tersebut

hanya dapat diberikan untuk alasan mendesak dan atas dasar

kepentingan yang jelas atau manfaat yang akan direalisasikan oleh

kedua pasangan dengan perkawinan. Perkawinan di bawah umur

memerlukan persetujuan dari wali, jika wali menolak memberikan izin

padahal kedua belah pihak berhasrat melakukan perkawinan, perkara

tersebut dapat diputus di Pengadilan.51

Ketentuan ini merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-

ketentuan dalam fikih mazhab Maliki. Sebab di dalam kitab fikih

Maliki tidak ada batasan mengenai usia perkawinan52

dan mengenai

kebebasan wanita dalam perkawinan di dalam kitab tersebut.53

50 Pasal 5 UU Nomor 39 Tahun 2010.

51 Penjelasan isi Pasal 5, UU Nomor 39 Tahun 2010.

52

M. Atho` Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan

Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, h.88.

53

Lihat misalnya Sayyid Muhammad az-Zarqa`, Syarh al-Muwatta al-Imam Malik, dan

Imam Alauddin, Bada`I as-Sana`i.

Page 68: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

58

Jadi, penulis dapat menyimpulkan bahwa di Tunisia tidak

mengharuskan adanya wali dalam perkawinan. Hal ini sesuai dengan

UU Nomor 39 Tahun 2010, Pasal 3: “Perkawinan hanya dapat

dilakukan dengan persetujuan kedua mempelai dan disaksikan dua

orang saksi dan sejumlah mahar untuk calon isteri.54

Dari pasal ini kita bisa melihat tentang kebebasan wanita dalam

perundang-undangan Tunisia,pasal tersebut dengan tegas mewajibkan

persetujuan dari calon sehingga hak pilih kedua calon sangat

diperhatikan. Adapun eksistensi wali baru diterima bila dalam kasus

calon pengantin masih di bawah umur kedewasaan.Artinya keberadaan

wali dan persetujuan wali baru diperlukan pada saat kondisinya seperti

itu. Dan apabila wali menolak untuk memberikan persetujuanya maka

persoalan ini diserahkan kepada Pengadilan. Hal ini menunjukkan

kebebasan wanita yang cukup signifikan dalam peraturan perkawinan

di Tunisia.

54 Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h.12.

Page 69: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

59

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN KEBEBASAN WANITA DALAM

PERATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA DAN TUNISIA

A. Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan

Tunisia

Berdasarkan pemaparan materi yang telah disampaikan pada bab

sebelumnya, walaupun Indonesia tidak menyatakan diri sebagai negara

Islam secara konstitusionalnya, namun secara sosiologis dan yuridis

hukum Islam telah hidup dan berkembang di Indonesia sejak zaman

kerajaan-kerajaan sampai sekarang ini, yang dalam penerapannya sudah

berangsur-angsur terlegislasi dalam peraturan perkawinan di Indonesia.

Mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan di

Indonesia, wali nikah masih menjadi salah satu rukun dari sebuah

perkawinan. Tanpa adanya wali sebuah perkawinan tidak sah,

sebagaimana menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 14, “Untuk

melangsungkan perkawinan harus ada: a. calon suami; b. calon isteri; c.

wali nikah; d. dua orang saksi; e. ijab dan qabul”. Kemudian disebutkan

lebih tegas lagi pada Pasal 19, “Wali nikah dalam perkawinan merupakan

rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak

untuk menikahkannya”. Pada prinsipnya wali dalam peraturan perkawinan

di Indonesia adalah wali nasab, namun dalam kondisi-kondisi tertentu

Page 70: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

60

posisi wali nikah ini dapat digantikan oleh wali hakim sebagaimana diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 23 ayat (1) & (2).

Menurut peraturan perkawinan di Indonesia, di dalam sebuah

perkawinan juga mengharuskan adanya persetujuan dari kedua calon

mempelai. Akad pernikahan tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya

persetujuan dari kedua calon mempelai, sebagaimana diatur dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6 ayat (1)

yang berbunyi, “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon

mempelai”. Kemudian diatur lagi oleh KHI Pasal 17 ayat (2), “Bila

ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai

maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”. Kemudian ditambahkan

kembali oleh PP. Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 12, “Akta perkawinan

memuat: a…; b…; c…; f. Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.” Apabila ditemukan

adanya perkawinan (akad nikah) yang dilaksanakan dengan paksaan maka

dapat dibatalkan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Pasal 27 ayat (1) yang kemudian dikuatkan kembali oleh

Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 ayat (f).

Hal ini menunjukkan walaupun mayoritas penduduk di Indonesia

merupakan pengikut mazhab Syafi`i dan dalam peraturan perkawinannya

mengikuti pendapat mazhab Syafi`i, namun pada prinsipnya peraturan

perkawinan di Indonesia sudah tidak lagi mengakui adanya hak ijbar wali.

Wali masih menjadi rukun nikah di dalam peraturan perkawinan di

Page 71: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

61

Indonesia, akan tetapi di dalam peraturan perkawinan Indonesia juga

mengharuskan adanya persetujuan dari kedua calon mempelai sebelum

melangsungkan akad perkawinan. Sebagaimana diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam Pasal 16 ayat (2) dan (3). Apabila terjadi perkawinan paksa

antara para pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut dapat diajukan

permohonan pembatalan perkawinan.

Sedangkan di Tunisia, walaupun mayoritas penduduknya merupakan

pengikut mazhab Maliki dandalam peraturan perkawinannya mengikuti

pendapat mazhab Maliki (sebagaimana kebanyakan masyarakat muslim

lainnya di kawasanAfrika Utara), namun peraturan perkawinan di Tunisia

juga memasukkan pendapat-pendapat mazhab Hanafi di dalam peraturan

perkawinannya. Hal ini dikarenakan secara historisnya Tunisia pernah

berada di bawah pemerintahan Turki Ustmani sebelum negara ini

merdeka. Dengan kedatangan bangsa Turki yang memerintah di Tunisia

dengan membawa mazhab Hanafi maka sedikit demi sedikit baik melalui

kekuasaan pemerintah langsung maupun melalui sebuah sistem

kedaerahan memberi pengaruh penting di Tunisia, khususnya dalam

peraturan perkawinannya. Sehingga keberadaan pengikut mazhab Hanafi

dan Maliki keduanya saling berdampingan.

Setelah kemerdekaan negara Tunisia pada tahun 1956, upaya

pembentukan hukum keluarganya terus dilakukan secara bertahap dan

komprehensif. Pengembangan dan kodifikasi hukum keluarga di Tunisia

terus dilakukan dan materinya adalah pemikiran hukum dari golongan

Page 72: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

62

mazhab Maliki dan Hanafi, kemudian dilakukan fusi antar kedua

pemikiran mazhab tersebut, sehingga usaha itupun berhasil dengan

berlakunya Undang-Undang Hukum Keluarga “Majallah al-Ahwal al-

Syakhsiyyah”.

Perkembangan pembentukan dan pembangunan hukum keluarga di

Tunisia sangatlah signifikan. Hal ini didasari oleh latar belakang historis

terbentuknya negara republik Tunisia. Berdasarkan komparasi fikih klasik

(intradoctrinalreform) yang didominasi oleh mazhab Maliki dan beberapa

mazhab lainnya, terlebih mazhab Hanafi yang kemudian disinergikan

dengan warisan hukum Perancis (extradoctrinal reform) di negara ini

ternyata menghasilkan hukum baru yang cenderung lebih “menghargai”

perempuan dan anak-anak serta melindungi haknya.

Menurut catatan Lynn Welchman di dalam bukunya “Women And

Muslim Family Laws In Arab States: A Comparative Overview Of Textual

Development And Advocacy”, undang-undang Tunisia terakhir kali

diamandemen yaitu pada tahun 1993 melalui Undang-Undang Nomor 74

Tahun 1993. “Law No. 74/1993 of 12 July 1993 amending certain

provisions of the code of personal status”. Kemudian ditambahkan

kembali oleh penulis sebagaimana terdapat di dalam buku Mustofa Sakhri1

yang memuat peraturan perkawinan Tunisia terbaru yakni pasca

amandemen pada tahun 2010 melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun

2010.

1 Mustofa Sakhri, Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h.10.

Page 73: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

63

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2010,

laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melangsungkan perkawinan

apabila telah berusia 18 tahun. Hal ini merupakan ketentuan baru yang

mengubah ketentuan isi pasal undang-undang sebelumnya, yakni Undang-

undang Nomor 66 Tahun 1956. Sebelum diubah ketentuan usia nikah di

Tunisia adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan,

sedangkan pada ketentuan isi pasal undang-undang Tunisia pada tahun

1964 dan 1993, pasal 5 sebelum diamandemen batas minimum usia

perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 20 dan 17 tahun. Bagi

mereka yang berusia kurang dari batas usia tersebut harus mendapatkan

izin terlebih dahulu dari walinya, dan jika walinya tidak mengizinkan

dengan alasan yang tidak syar`i maka perkara tersebut dapat diputuskan

oleh Pengadilan (Pasal 5 UU No. 66/1956; UU No. 1/1964; UU No.

74/1993; UU No. 32/2007; UU No. 39/2010 ).

Izin ini hanya bisa diberikan jika alasannya mendesak dan atas dasar

kepentingan yang jelas dan dilihat dari kemanfaatan bagi kedua calon

mempelai di dalam perkawinannya tersebut. Perkawinan di bawah umur

memerlukan persetujuan/izin dari walinya dan jika walinya tersebut

menolak memberikan izinnya padahal keduanya telah berhasrat untuk

melangsungkan perkawinan maka dapat diputuskan oleh pengadilan.

Jika dilihat dari ketentuan ini, maka bisa dikatakan hal ini merupakan

langkah maju karena hal ini tidaklah ditemukan di dalam kitab-kitab fikih

klasik baik dari mazhab Maliki, Hambali dan lain-lain. Hal ini

Page 74: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

64

menujukkan bahwa di Tunisia sangat menghargai wanita bahkan

memberikan kebebasan kepada kaum wanita di sana untuk lebih mandiri

lagi di dalam melaksanakan segala sesuatunya, terlebih dalam hal

perkawinan. Sebagaimana telah ditetapkan di dalam Undang-undang No.

39 Tahun 2010 bagi mereka yang sudah mencapai umur 18 tahun untuk

pria dan wanita, bisa melangsungkan perkawinan tanpa memerlukan wali

nikah, baik wali nasab ataupun bukan. Dan apabila terjadi penolakan dari

sang wali maka hal itu akan diputuskan perkaranya oleh pengadilan

dengan melihat situasi, kondisi dan alasan dari para pihak.

Hal ini menunjukkan bahwadi Tunisia memang benar-benar

memberikan kebebasan kepada wanita dalam peraturan perkawinannya.

Dalam hal ini maksudnya adalah selain di dalam perkawinan tidak

mewajibkan adanya wali, di Tunisia sudah tidak lagi mengakui adanya

intervensi dari seorang wali dalam perkawinan. Wanita bisa menikahkan

dirinya sendiri dan bebas dalam menaruhkan pilihannya terhadap pria

yang dia senangidan dengan tidak diakuinya akan keberadaan hak ijbar

dari seorang wali. Ini semua tidak lepas dari perkembangan hukum dan

keadaan sosial di sana. Di Tunisia yang memang dalam perjalanan

historisnya lebih memberikan hak wanitanya dengan lebih dan

memberikan wanita kebebasan di dalam melaksanakan aktivitasnya

termasuk di dalam hal perkawinan.

Page 75: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

65

Menurut hemat penulis kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan

di Indonesia jauh lebih positif dibandingkan dengan di Tunisia. Karena di

Indonesia tetap mengharuskan adanya wali di dalam perkawinan, baik izin

maupun kehadirannya. Sedangkan di Tunisia wali sudah tidak lagi menjadi

rukun/syarat perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan

di Indonesia jauh lebih positif dibandingkan dengan Tunisia, positif baik

bagi calon mempelai itu sendiri maupun keluarganya.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Ketentuan Mengenai

Kebebasan Wanita Dalam Peraturan Perkawinan Di Indonesia Dan

Tunisia

Dalam hal faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan

ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan baik di

Indonesia maupun Tunisia, hal ini didasari oleh beberapa faktor. Antara

lain:

1. Perbedaan Mazhab

Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan ketentuan

mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan adalah

perbedaan mazhab yang dianut oleh kedua negara, baik di Indonesia

maupun di Tunisia. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab

sebelumnya, Indonesia dalam peraturan perkawinannya mengikuti

pendapat mazhab Syafi`i sebagaimana mayoritas penduduknya yang

merupakan pengikut mazhab Syafi`i. Sedangkan di Tunisia walaupun

Page 76: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

66

mayoritas penduduknya merupakan pengikut mazhab Maliki namun

dalam peraturan perkawinannya juga memasukkan pendapat mazhab

Hanafi, dikarenakan secara historisnya Tunisia pernah menjadi daerah

otonom Turki Utsmani maka diantara keduanya dilakukan fusi baik

antara mazhab Maliki maupun Hanafi sehingga terbentuklah Undang-

undang Hukum Keluarga “Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah” pada

tahun 1956.

2. Historis

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi pembentukan ketentuan

mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan adalah

historis/sejarah dari kedua negara, baik di Indonesia maupun di

Tunisia. Sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya, di

Indonesia saat ini berlaku beberapa sistem hukum antara lain: hukum

adat, hukum Islam serta hukum barat (civil law and common law). Hal

ini menunjukkan bahwa di Indonesia dalam peraturan perkawinannya

dipengaruhi oleh faktor historis (sejarah). Sedangkan di Tunisia selain

pernah menjadi daerah otonom Turki Utsmani, mereka juga pernah

dijajah oleh negara Perancis pada tahun 1883 sehingga kodifikasi

hukum di sana juga mengikuti apa yang telah dibawa oleh Perancis

ketika menjajah Tunisia. Komparasi fikih klasik yang didominasi oleh

mazhab Maliki dan Hanafi yang kemudian ditambah lagi dengan

warisan hukum Perancis di Tunisia membuat peraturan perkawinan di

Page 77: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

67

sana menghasilkan hukum baru yang cenderung “lebih menghargai”

perempuan dan anak-anak di sana serta lebih melindungi hak-haknya.

3. Sosial Budaya

Faktor sosial budaya juga menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai kebebasan wanita

dalam peraturan perkawinan baik di Indonesia maupun di Tunisia.

Dominasi mazhab yang berbeda, faktor historis yang berbeda juga

menjadikan sosial budaya dari kedua negara berbeda juga. Hal ini

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan ketentuan

mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan baik di

Indonesia maupun di Tunisia.

C. Persamaan Dan Perbedaan Kebebasan Wanita Dalam Peraturan

Perkawinan Di Indonesia Dan Tunisia

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya,

mayoritas penduduk agama Islam di Indonesia merupakan pengikut

mazhab Syafi`i dan hal ini berimplikasi terhadap peraturan perkawinan di

Indonesia. Di Indonesia dalam hukum keluarganya mengikuti pendapat

(ro`yun) dari mazhab Syafi`i. ImamSyafi`i berpendapat bahwa wali

merupakan “rukun nikah” dan begitu pula diatur dalam hukum keluarga di

Indonesia. Wali merupakan rukun nikah dan nikah tidak dianggap sah jika

tidak ada wali. Namun walaupun di dalam kitab-kitab salafnya, Imam

Syafi`i mengakui adanya hak paksa (ijbar)dari seorang wali di dalam

Page 78: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

68

perkawinan anak yang di bawah perwaliannya, namun secara tersirat

dalam peraturan perkawinan di Indonesia sudah tidak mengakui adanya

hak tersebut lagi, sebagaimana terdapat dalam: Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6 ayat (1) & Pasal 27 ayat (1); KHI

Pasal 17 ayat (2) & Pasal 71 ayat (f) dan PP. Nomor 9 Tahun 1975 Pasal

12. Eksistensi dari seorang wali masih diakui dalam peraturan perkawinan

di Indonesia, baik izin maupun kehadirannya. Namun mengenai hak ijbar

wali, menurut peraturan perkawinan di Indonesia sudah tidak mengakui

lagi akan adanya hak tersebut dari seorang wali.

Sedangkan di Tunisia, walaupun mayoritas penduduknya merupakan

pengikut mazhab Maliki namun karena secara historisnya pernah menjadi

daerah otonom Turki Ustmani, hal ini berimplikasi terhadap sosial budaya

di sana terlebih lagi dalam peraturan perkawinan di Tunisia. Menurut

peraturan perkawinan di Tunisia “Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah”,

Tunisia dengan tegas tidak mewajibkan wali dalam perkawinan.

Berdasarkan Pasal 3, Undang-UndangNomor 39 Tahun 2010, wali bukan

merupakan rukun/syarat perkawinan, dan eksistensi dari seorang wali

sudah tidak diakui di sana. Walaupun adanya pertentangan atau penolakan

dari seorang wali terhadap perkawinan calon mempelai wanita yang

berada dibawah perwaliannya hal tersebut masih harus dilimpahkan ke

pengadilan.

Page 79: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

69

Jadi menurut hemat penulis, baik di Indonesia maupun Tunisia sama-

sama sudah “tidak mengakui adanya hak paksa (ijbar) dari wali nasab”

akan tetapi dalam hal eksistensi dari wali nikah keduanya berbeda

pendapat. Di Indonesia, wali masih merupakan salah satu dari rukun

nikah, berbeda halnya dengan Tunisia yang dengan tegas meniadakan atau

tidak mengakui akan eksistensi dari sang wali, baik wali nasab maupun

bukan. Dan begitupula dalam hal ketetapan batasan usia perkawinan

karena hal ini juga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam hal

wali, hak ijbar dan kebebasan wanita dalam perkawinannya. Di Indonesia

batasan usia dalam melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk

laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Di Tunisia batasan usia yang

dipakai di sana adalah 18 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Page 80: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,

maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik

kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti.

Pertama, mengenai kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan

baik di Indonesia maupun di Tunisia. Di Indonesia dalam hal kebebasan

wanita dalam peraturan perkawinannya masih mengakui eksistensi dari

seorang wali, baik wali nasab maupun bukan. Kehadiran dan izinnya

masih merupakan rukun/syarat perkawinan sebagaimana menurut

pendapat mazhab Syafi`i. Akan tetapi mengenai hak ijbar sebagaimana

diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 6 ayat (1); KHI Pasal 17 ayat (2); dan PP. Nomor 9 Tahun 1975

Pasal 12, hak ijbar tersebut sudah tidak diakui lagi. Dengan kata lain

persetujuan dari kedua calon mempelai sangat dibutuhkan sebelum

terlaksanakannya akad perkawinan. Sedangkan di Tunisia, eksistensi wali

baik itu wali nasab maupun bukan, kehadirannya maupun izinnya sudah

tidak diakui lagi keberadaannya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3,

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2010. Namun bagi mereka yang

menikah dibawah umur dan ditentang perkawinannya oleh sang wali

(tidak mendapatkan izin) masih membutuhkan putusan Pengadilan dengan

terlebih dahulu melihat alasan, keadaan dan maslahatnya.

Page 81: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

71

Kedua, baik di Indonesia maupun di Tunisia, faktor yang

mempengaruhi pembentukan ketentuan mengenai kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan, hal ini tak bisa dilepaskan dari beberapa faktor

yakni faktor perbedaan mazhab yang dianut, historis dan sosial budaya

diantara kedua negara. Menurut hemat penulis faktor yang cukup

signifikan mempengaruh kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan

adalah faktor sosial-budaya di kedua negara, Indonesia dan Tunisia.

Ketiga, mengenai persamaan dan perbedaan kebebasan wanita dalam

perkawinan: baik di Indonesia maupun Tunisia sama-sama sudah tidak

mengakui lagi akan adanya hak paksa (hak ijbar) dari seorang wali. Suatu

perkawinan tidak dibolehkan atau tidak diakui tanpa persetujuan dari

kedua calon mempelai. Baik Indonesia maupun Tunisia mengharuskan

adanya izin/persetujuan dari kedua calon mempelai sebelum terlaksananya

sebuah (akad) perkawinan. Sedangkan perbedaannya: di Indonesia masih

mengakui eksistensi dari seorang wali, baik izin maupun kehadirannya,

sedangkan di Tunisia sudah tidak lagi mengakui eksistensi dari seorang

wali baik izin maupun kehadirannya dalam akad perkawinan. Jadi, dalam

hal kebebasan wanita dalam peraturan perkawinan, Tunisia sedikit berada

di baris depan ketimbang Indonesia. Akan tetapi kebebasan wanita dalam

peraturan perkawinan di Indonesia jauh lebih positif dibandingkan

Tunisia. Positif bagi kedua calon mempelai maupun bagi pihak keluarga.

Page 82: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

72

B. Saran-saran

Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:

Kehadiran seorang wali dalam perkawinan merupakan

suatu keharusan, guna melindungi kepentingan dan hak-hak dari

kedua calon mempelai khususnya calon mempelai wanita. Oleh

sebab itu hendaklah pemerintah Tunisia di dalam undang-undang

hukum keluarganya tetap memasukkan wali sebagai salah satu

rukun dalam sebuah perkawinan sebagaimana di Indonesia.

Pemerintah dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) perlu

memberikan sosialisasi kepada masyarakat, terutama kepada para

wanita terkait dengan hak-hak mereka yang dijamin serta

dilindungi oleh undang-undang maupun pemerintah. Terkait aturan

mengenai hukum keluarga, baik di Indonesia maupun Tunisia.

Pengetahuan mengenai perbandingan hukum keluarga

Islam ini sangatlah penting di Indonesia, karena seringkali kita

memperdebatkan sesuatu hal yang di negara lain sudah

menyelesaikan masalah ini puluhan tahun sebelumnya. Oleh sebab

itu apabila terjadi suatu perdebatan dalam permasalahan hukum,

terlebih hukum keluarga. Maka dapat merujuk hukum keluarga di

negara muslim lainnya.

Page 83: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

73

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi A, an-Na`im. Islamic Law in Changing World: A Global Resource

Book. London: Zed Book, 2003.

Al-Haddad, Thahir. Wanita dalam Syariat dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1993.

Anderson, J.N.D. Hukum Islam di Dunia Modern, Terjemahan Machnun Husein.

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World.London: Athlone Press,

1976.

Barry, Larry A. Encyclopedia Of Modern Middle East. New York: Simon and

Schuster Macmilan, 1996.

Bisri, Cik Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Panata Sosial. Jakarta:

Rajawali Press, 2004.

Charrad, Mounira M. “Family Law Reform In The Arab World: Tunisia and

Marocco”. Departement of Sociology: University of Texas Autin, 2012.

Departemen Agama RI. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan.

Jakarta: BIMAS Islam dan Urusan Haji, 2000.

Djatnika, Rahmat. Sosialisasi Hukum Islam. Bandung: Rosda Karya, 1991.

Donohue, John J. Islam dan Pembaharu, Ensiklopedi Masalah-Masalah,

Terjemahan Machnun Husein. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

El Alami dan Hinchcliffe. Islamic Marriage and Divorce Laws. London: CIMEL,

1996.

Engineer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: LSPPA &

CUSO, 1994.

Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. New York: Syracus University

Press, 1982.

Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia of The Muslim World. New York:

Oxford University Press, 1995.

Page 84: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

74

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern III. Jakarta: Mizan,

2000.

Huda, Miftahul. “Wali Nikah dan Kebebasan Perempuan”, Jurnal Justitia

Islamica Vol. 1 No. 1. Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2014.

Hosen, Ibrahim. Fikih Perbandingan Masalah Perkawinan. Jakarta: Penerbit

Pustaka Firdaus, 2003.

Josheph, Schacht. An Introduction to Islamic Law. London: Oxford University

Press, 1964.

Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,

2013.

Mahmood, Tahir. Family Law Reform in the Muslim World. Bombay: N.M

TRIPATHI PVT. LTD,1972.

Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries: History, Text and

Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987.

Majalah Peradilan Agama. Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia. Jakarta:

Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2015.

Mardjono, Hartono. Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks KeIndonesiaan.

Bandung: Mizan, 2010.

Mudzhar, Atho dan Nasution, Khairuddin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam

Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Mudzhar, M. Atho. Esai-Esai Sejarah Sosial Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2014.

Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberas.

Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Al- Fikih `ala al-Madzahib al-Khamsah. Beirut:

Dar al- Jawad, 1996.

Nasution, Khairuddin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap

Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan

Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.

Page 85: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

75

Nasution, Khairuddin. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi

Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fikih.

Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Pers,1995.

Rahmat, Aulia. “Kompleksitas Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”,

Jurnal Al-Muqaranah Volume V No. 1, 2014.

Rangkuti, Ramlan Yusuf. “Pembatasan Usia Kawin dan Persetujuan Calon

Mempelai dalam Prespektif Hukum Islam”, Jurnal Equality Volume 13

No. 1, 2008.

Ramulyo, Mohd Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi

Aksara, 1999.

Rusyd, Ibnu. Terjemahan Bidayatu `l-Mujtahid, Semarang: CV. Asy-Syifa`, 1990.

Sabiq, Sayyid. Fikih al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikir, 1977.

Saf, Mhd. Abduh. “Islam dan Hukum Keluarga dalam Dunia Modern”, Al-

Hukama`: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 2013.

Sakhri, Mustofa.Majallah Al-akhwal al-Syakhsiyah. Tunisia: Pemerintah

Republik Tunisia, 2013.

Saleh, Muhammad Zaki. “Tren Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-

Negara Muslim”, JurnalAl-Risalah, 2011.

Saleh, H.E. Hassan. Kajian Fikih Nabawi & Fikih Kontemporer. Jakarta: Rajawali

Pers, 2008.

Sfeir, George N. “Document: The Tunisian Code of Personal Status (Majallat al-

Ahwal al-Syakhsiyyah)”, The Middle East Journal, Vol. 11, No. 3, 1957.

Shihab, Quraish. Wawasan Al Qur`an. Bandung: Mizan, 1996.

Suchmadi. “Ketentuan Nikah dan Poligami”, Kodifikasia: Jurnal Penelitian

Keagamaan dan Sosial Budaya Vol. 1 No. 1, 2007.

Suma, Muhamad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004.

Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan Islam di Dunia

Islam. Bandung: Penerbit Pustaka Al-Fikriis, 2009.

Page 86: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

76

Syaltut, Mahmud dan as-Sayis, M. `Ali. Perbandingan Mazhab dalam Masalah

Fikih. Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,

2007.

Syarifuddin, Amir. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang:

Angkasa Raya.1990.

Tahir, Masnun. “Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan

Tunisia”, dalam Al-Mawarid Edisi XVIII, 2008.

Thanthowi. “Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Kontemporer”, Jurnal Studi

Islam Mukaddimah No. 19, Yogyakarta: PT AIS DIY, 2005.

Tholabi, Ahmad. Modernisasi Hukum Keluarga di Indonesia. Jakarta: SPs. UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Wahib, Ahmad Buyan. “Reformasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim”, Ijtihad:

Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Volume 14 Nomor 1,

2014.

Welchman, Lynn. Women And Muslim Family Law In Arab States; A

Comparative Overview Of Textual Development And Advocacy.

Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007.

Yanggo, Huzaimah T. Hukum Keluarga Dalam Islam. Palu: Yayasan Masyarakat

Indonesia Baru, 2013.

Zuhaili. al-Fikih al-Islami wa Adillatuhu Juz VII. Damaskus: Daar al-Fikr, 1997.

Page 87: KEBEBASAN WANITA DALAM PERATURAN PERKAWINAN (Studi

77

Perundang-undangan

Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, tentang Penyebaran Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin

Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk No. 32 Tahun 1954.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama.

The Tunisian Code of Personal Status (Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah), 1956.

The Tunisian Code of Personal Status (Majallat al-Ahwal al-Syakhsiyyah), 2010