kampung kue rungkut lor gang ii sentra grosiran … tepung bogasari sebagai sponsornya. di ba wah...

1
layouter: edo RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 HALAMAN 68 Kampung Kue Rungkut Lor Gang II Sentra Grosiran Kue Basah dan Kering KOTA Surabaya dikenal dengan adanya aneka ra- gam kuliner mulai dari ma- kanan berat hingga ringan. Seperti halnya kue dan ca- milan. Salah satunya yang dikenal adalah Kampung Kue Surabaya di kawasan perkampungan Rungkut Lor. Di kampung ini ba- nyak ditemukan grosiran kue basah maupun kering yang diproduksi sekitar 70 usaha mikro kecil dan me- nengah (UMKM) yang ada hampir di setiap rumah. Memasuki kawasan kampung kue ini re- latif sangat mudah dikenali. Ada gapu- ra selamat datang berwarna putih ber- tuliskan Kampung Kue Surabaya. Pa- da bagian atas terdapat pula sebuah logo dari pe- rusahaan tepung Bogasari sebagai sponsornya. Di ba- wah tulisan Kampung Kue terdapat alamat asli dari gang ini, yaitu Jalan Rung- kut Lor Gang II Surabaya. Ketika Radar Surabaya datang ke kampung ini pada siang hari, suasa- nanya tak ubah seperti kampung-kampung padat penduduk biasanya. Ketua RT 04 RW 05 Rungkut Lor Trisnanto Rinaldy menyaran- kan, jika ingin ke Kampoeng Kue sebaiknya di malam atau dini hari. “Pa- da saat ma- lam itu proses produksinya. Kalau dini hari semua mengge- lar kue yang telah dipro- duksi un- tuk di- ambil para Kampung Herbal Genteng Candirejo, Kec. Genteng Sulap Rasa Asam Belimbing Wuluh jadi Manis BELIMBING wuluh adalah salah satu buah yang memiliki tingkat kea- saman yang cukup tinggi. Hal ini yang membuat buah ini kerap digunakan untuk masakan seperti sayur asam atau garam asam. Pohon belimbing wuluh sekali berbuah sangat lebat. Tak jarang buah ini sering jatuh ke tanah dan busuk sehingga tidak dapat di- gunakan menjadi bahan pe- lengkap untuk memasak. Namun di tangan Wiwik Sri Handayati, belimbing diubah menjadi cemilan yang cukup enak yakni manisan belimbing. “Cara membuatnya mudah. Belimbing direndam di larutan gula kurang lebih 2 bulan untuk menghasil- kan belimbing yang memi- liki rasa manis,” terang salah satu Kader Ling- kungan ini. Wiwik mengatakan, dari belimbing pihaknya dapat menghasilkan berbagai macam produk seperti sari pati be- limbing, selai belimbing, sirup, ser- ta mi- numan dari belimbing wu- luh. “Awalnya karena ba- nyaknya belimbing wuluh di rumah. Jadi, daripada jatuh di tanah dan busuk, kami menjadikan belim- bing wuluh menjadi ikon kampung,” terangnya. Wiwik menceritakan, awal mula dirinya mulai membuat olahan belimbing wuluh lantaran kampungnya di Jalan Genteng Candirejo 42, Kelurahan Genteng, Keca- matan Genteng ikut lomba produk olahan herbal. Dari sana kampungnya keluar sebagai pemenang dalam lomba itu. Hal ini yang membuat di- rinya mempertahankan olahan itu hingga saat ini. “Eman kalau tidak dite- ruskan. Lagian kalau ada tamu datang kita bisa langsung mema- sarkan ke wisa- tawan yang datang,” be- ber Wiwik. Meskipun sudah men- jadi ikon d a r i kampung herbal di J a l a n Genteng Candirejo, serta diproduksi massal, namun pemasaran manisan belimbing wuluh hanya sebatas jika ada wi- satawan yang datang ber- kunjung ke kampungnya. Salah satu kader Ling- kungan dan duta kese- hatan kampung, Wiwik Sri Handayati ini menje- laskan, selama ini pema- saran produknya jika ada wisatawan yang datang ke kampungnya. “Selama ini cara pema- saran kami tak jarang me- lalui wisatawan yang membawa buah tangan khas kampung Genteng Candirejo sebagai oleh- oleh,” ujar dia. Menurut Wiwik, dari ba- nyaknya wisatawan yang datang, tak jarang olahan manisan belimbing wuluh ini ikut dibawa ke luar ne- geri. “Hitung-hitung wisa- tawan ini membawa mani- san belimbing wuluh se- bagai ajang promosi kami,” ujar dia. Untuk harga, Wiwik mengungkapkan, setiap se- perempat kilogram dike- nakan harga Rp 25 ribu, se- dangkan untuk selai be- limbing wuluh seharga Rp 20 ribu, serta sari belimbing wuluh dikenakan harga Rp 15 ribu. Sementara, sirup belimbing wuluh per botol- nya dikenakan harga Rp 25 ribu, serta minuman kema- san dikenakan harga Rp 10 ribu. “Proses produksinya sendiri memang cukup sulit, dan membutuhkan proses sangat lama,” ucap Wiwik. Dengan dilakukan produksi ini, membuat kampung Genteng Candirejo ini terkenal sebagai kampung herbal dengan produksi belimbing wuluh. “Sekarang hampir se- mua warga mencoba mem- buat olahan belimbing wuluh untuk dikreasikan menurut kreasi mereka sendiri,” tutur Wiwik. (sar/hen) BEBERAPA tahun lalu, Rungkut Lor yang sekarang dikenal dengan Kampoeng Kue dulunya merupakan sekumpulan pekerja dan buruh pabrik. Apalagi di sana warganya dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan dan terjerat hutang. Sehingga terpikirkan oleh seorang wanita ber- nama Chairul Mahpuduah yang akrab di sapa Irul mengajak warga untuk membuat kue. Namun Irul tak lantas begitu sa- ja mengajak warganya membuat ataupun memproduksi kue. Ia sebelumnya mela- kukan pemetaan yang sangat serius terhadap warganya. Pemetaan tersebut dilakukan pada tahun 2005. “Nah kebanyakan warga di sini punya dua keahlian yaitu men- jahit dan mem- buat kue,” kata Irul, sa- paan Chairul Mahpuduah. Tetapi ada kendala, di- jelaskan oleh Irul bahwa menjahit hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Maka dari itu, tercetus oleh Irul, warganya diajak untuk fokus mengem- bangkan usaha kue dan jajanan pasar. Dengan modal sedikit, kehidupan warga di sana perlahan mulai membaik. Sedikit demi sed- ikit warga semakin tertarik untuk mem- pro- duksi kue. (jar/hen) tengkulak di gang-gang perkampungan,” kata Tris, sapaan Trisnanto Rinaldy. Trisnanto mengatakan mayoritas warga yang tinggal di kawasan Kampung Kue Surabaya ini merupakan warga pendatang. Mereka me- ngontrak di rumah-ru- mah yang b e - rukuran kecil dan sebagian juga ting- gal di kamar kos-kosan yang berukuran lumayan sempit. “Namun itu tidak menyurutkan mereka untuk meraih rupiah demi rupiah,” kata Trisnanto kepada Radar Surabaya. Bukan ha- nya itu, me- nurut dia, ternyata yang mem- produksi kue industri rumah tangga ini merupakan kaum wanitanya alias ibu-ibu. Se- dangkan para suami bekerja mayoritas sebagai buruh. “Bapak- bapaknya kerja di pabrik, ada juga di Kawung ada yang di Rungkut Industri sini,” kata pria yang kerja di in- dustri farmasi ini. Trisnanto menambah- kan, peng- hasilan war- ganya yang pas-pasan dari menjadi buruh pabrik seakan tidak cukup membiayai kebutuhahan hidup tinggal di Kota Surabaya ini. Untuk membantu kebutuhan suami, para ibu membuat kue untuk dijual di pasar. (jar/hen) Dipelopori Irul, Modal Awal Hanya Rp 150 Ribu PENUNJUK: Gapura selamat datang Kampung Kue Surabaya di Jl Rungkut Lor Gang II. Dari kampung ini dihasilkan aneka kue basah dan kering.

Upload: hoangkhue

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kampung Kue Rungkut Lor Gang II Sentra Grosiran … tepung Bogasari sebagai sponsornya. Di ba wah tulisan Kampung Kue terdapat alamat asli dari gang ini, yaitu Jalan Rung kut Lor Gang

layouter: edo

RADAR SURABAYA l RABU, 31 MEI 2017 HALAMAN 68

Kampung Kue Rungkut Lor Gang II

Sentra Grosiran Kue Basah dan KeringKOTA Su ra baya dikenal

dengan ada nya aneka ra­gam ku liner mulai dari ma­kanan berat hingga ringan. Se perti hal nya kue dan ca­mi lan. Salah satunya yang di kenal ada lah Kampung Kue Surabaya di kawasan per kampungan Rungkut Lor. Di kampung ini ba­nyak ditemukan gro siran kue basah maupun ke ring yang diproduksi seki tar 70 usaha mikro ke cil dan me­nengah (UMKM) yang ada ham pir di setiap rumah.

Memasuki kawasan kam pung kue ini re­latif sangat mudah di kenali. Ada ga pu­ra selamat datang berwarna putih ber­tuliskan Kampung Kue Surabaya. Pa­da bagian atas terdapat pu la se buah logo dari pe­

rusahaan tepung Bogasari sebagai sponsornya. Di ba­wah tulisan Kampung Kue terdapat alamat asli dari gang ini, yaitu Ja lan Rung­kut Lor Gang II Surabaya.

Ketika Radar Surabaya da tang ke kampung ini pada siang hari, sua sa­nanya tak ubah seperti kam pung­kampung padat penduduk biasanya.

Ketua RT 04 RW 05 Rung kut Lor Tris nan to

Rinaldy me nya ran­kan, jika ingin ke

Kam po eng Kue se baik nya di ma lam atau dini hari. “Pa­da saat ma ­lam itu pro ses produk si nya.

Kalau dini hari semua meng ge­

lar kue yang telah di pro­

duk si un­tuk di­

am bil para

Kampung Herbal Genteng Candirejo, Kec. Genteng

Sulap Rasa Asam Belimbing Wuluh jadi Manis

BELIMBING wuluh ada lah salah satu buah yang memiliki tingkat kea­saman yang cukup ting gi. Hal ini yang mem buat buah ini kerap di gu na kan untuk masakan se perti sayur asam atau ga ram asam.

Pohon belimbing wuluh se kali berbuah sangat lebat. Tak jarang buah ini sering jatuh ke tanah dan busuk se hingga tidak da pat di­gunakan menjadi ba han pe­lengkap untuk memasak.

Namun di tangan Wiwik Sri Handayati, belimbing diubah menjadi cemilan yang cukup enak yakni ma nisan belimbing. “Cara membuatnya mudah. Belimbing direndam di larutan gula kurang lebih 2 bulan untuk mengha sil­kan belimbing yang memi­liki rasa manis,” terang salah satu Kader Ling­kungan ini.

Wiwik mengatakan, dari bel imbing pihak nya dapat m e n g h a s i l k a n berbagai ma cam produk se perti sari pati be­limbing, se lai belim bing, si rup, ser­ta mi­

numan dari belimbing wu­luh. “Awalnya karena ba­nyaknya belimbing wuluh di rumah. Jadi, daripada jatuh di tanah dan busuk, kami menjadikan belim­bing wuluh menjadi ikon kampung,” terangnya.

Wiwik menceritakan, awal mula dirinya mulai membuat olahan belim bing wuluh lantaran kam pungnya di Jalan Genteng Candirejo 42, Kelurahan Gen teng, Keca­matan Gen teng ikut lomba produk olahan herbal. Dari sana ka m pungnya keluar seba gai pemenang dalam lom ba itu.

Hal ini yang membuat di­rinya mempertahankan olahan itu hingga saat ini. “Eman kalau tidak di te­ruskan. Lagian ka lau ada ta mu datang ki ta bisa

langsung me ma­sar kan ke wi sa­

ta wan yang da tang,” be­ber Wi wik.

Meskipun sudah men­jadi ikon d a r i

k a m p u n g herbal d i J a l a n

G e n t e n g

Can direjo, serta diproduksi mas sal, namun pemasaran ma nisan belimbing wuluh hanya sebatas jika ada wi­satawan yang datang ber­kunjung ke kampungnya.

Salah satu kader Ling­kungan dan duta ke se­hatan kampung, Wiwik Sri Handayati ini menje­laskan, selama ini pema­saran produknya jika ada wisatawan yang datang ke kampungnya.

“Selama ini cara pema­saran kami tak jarang me­lalui wisatawan yang mem bawa buah tangan khas kampung Genteng Candirejo sebagai oleh­oleh,” ujar dia.

Menurut Wiwik, dari ba­nyaknya wisatawan yang datang, tak jarang olahan manisan belimbing wuluh ini ikut dibawa ke luar ne­geri. “Hitung­hitung wi sa­tawan ini membawa ma ni­san belimbing wuluh se­bagai ajang promosi kami,” ujar dia.

Untuk harga, Wiwik meng ungkapkan, setiap se­perempat kilogram dike­nakan harga Rp 25 ribu, se­dang kan untuk selai be­limbing wuluh seharga Rp 20 ribu, serta sari be lim bing wuluh dikenakan har ga Rp 15 ribu. Semen ta ra, sirup belimbing wu luh per botol­nya di ke na kan harga Rp 25 ribu, serta minuman kema­san dikenakan harga Rp 10 ribu. “Pro ses pro duksinya sen diri memang cukup

sulit, dan mem bu tuh kan pro ses sa ngat lama,” ucap Wiwik.

Dengan dilakukan pro duksi ini, membuat kam pung Genteng Can direjo ini terkenal

se ba gai kampung herbal de ngan produksi

belimbing wu luh. “Seka rang hampir se­

mua warga mencoba mem­buat olahan belim bing wuluh untuk dikreasikan menurut kreasi mereka sendiri,” tutur Wiwik. (sar/hen)

BEBERAPA tahun lalu, Rungkut Lor yang se karang dikenal de ngan Kampoeng Kue du lu nya merupakan se kum pulan pekerja dan bu ruh pabrik. Apalagi di sana warganya dengan keadaan ekonomi yang pas­pasan dan terjerat hutang.

Sehingga terpikirkan oleh seorang wanita ber­nama Chairul Mah pu duah yang akrab di sapa Irul mengajak warga untuk membuat kue. Na mun Irul tak lantas beg itu sa­ja mengajak war ganya membuat ataupun mempro duk si kue.

Ia sebelumnya me la­ kukan pemetaan yang sangat serius ter hadap warganya. Pe me taan ter se but dila ku kan pada ta hun 2005. “Nah ke ba nya kan warga di sini pu nya dua ke ah l i an yaitu men­jahit dan m e m ­

buat kue,” kata Irul, sa­paan Chairul Mah puduah.

Tetapi ada kendala, di­jelaskan oleh Irul bah wa menjahit hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Maka da ri itu, tercetus oleh Irul, war ga nya dia jak untuk fokus me ngem­bangkan usaha kue dan jajanan pasar. Dengan modal sedikit, kehidu pan warga di sana perla han mulai membaik. Se dikit

de mi se d ­ikit warga se ma kin ter ta rik u n t u k m e m ­p r o ­d u k s i k u e .

(jar/hen)

teng kulak di gang­gang per kampungan,” kata Tris, sapaan Trisnanto Rinaldy.

Trisnanto me nga takan mayoritas warga yang tinggal di kawasan Kampung Kue Surabaya ini merupakan war ga p e n d a t a n g . Mereka me­ngontrak di rumah­ru­mah yang b e ­rukuran ke cil dan se ba gi an juga ting­gal di ka mar k o s ­ k o s a n yang be rukuran l u mayan sempit. “Namun

itu tidak menyu rutkan mereka untuk meraih rupiah demi rupiah,” kata Tris nanto kepada Ra dar Surabaya.

Bukan ha­nya itu, me­nurut dia,

ter nyata y a n g

mem­pro duksi kue industri rumah tangga ini meru pa kan

kaum wa ni ta nya alias ibu­ibu. Se­

dang kan para sua mi bekerja ma yoritas

sebagai buruh. “Bapak­

bapaknya kerja di pa brik, ada juga di Ka wung ada

yang di Rungkut Industri sini,”

ka ta pria yang kerja di in­d u s t r i farmasi ini.

Trisnanto menam bah­kan, peng­

ha si lan war­ga nya yang

pas­pasan dari menjadi buruh

pabrik seakan tidak cukup membiayai kebutu ha han hidup tinggal di Kota Surabaya ini. Untuk membantu kebutuhan suami, para ibu membuat kue untuk dijual di pasar. (jar/hen)

Dipelopori Irul, Modal Awal Hanya Rp 150 Ribu

PENUNJUK: Gapura selamat datang Kampung Kue Surabaya di Jl Rungkut Lor Gang II. Dari kampung ini dihasilkan aneka kue basah dan kering.