kali pepe: halaman belakang kehidupan kota solo …

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO (Studi Perubahan Tindakan Masyarakat Kampung Bantaran Kali Pepe) Aghniyar Rohmi Kayyisa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Email: [email protected] Penelitan ini bertujuan memahami perubahan di kampung-kampung bantaran Kali Pepe. Perubahan diidentifikasi dengan mengkomparasi narasi historis dengan tindakan keseharian masyarakat saat ini. Perubahan dianalisis melalui aset fisik dan aset non-fisik yang ada. Grounded theory sebagai metode yang menuntut peneliti membangun teori berbasis data. Pengambilan data dan penyampelan dilakukan terus menerus, sehingga jumlah sampel bisa bertambah, dan akan berhenti jika data yang diperoleh telah mampu menjawab seluruh rumusan masalah. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan catatan harian (memo) peneliti. Hasil penelitian menemukan bahwa narasi historis memaparkan dahulunya sungai berkontribusi sebagai faktor penentu pembentukan tata ruang kota. Sungai digunakan sebagai jalur transportasi air penghubung antar wilayah. Seiring waktu, perubahan terjadi. Pemantik terjadinya perubahan adalah keberadaan pemukiman bantaran Kali Pepe yang dibangun pasca kemerdekaan, pada saat itu dinamika perekonomian di kota mulai stabil. Sehingga, orang-orang melakukan urbanisasi. Kini, komposisi demografi di kampung bantaran Kali Pepe sangat plural karena terdiri dari beragam etnis dan agama. Pada saat yang bersamaan, modernitas yang mewujud dengan teknologi juga mempengaruhi terjadinya perubahan. Orang-orang mulai meninggalkan cara-cara lama akibat adanya kemudahan teknologi dari berbagai aspek. Oleh karenanya, perubahan yang terjadi cenderung bersifat regress (kemunduran). Muncul permasalahan krisis lingkungan sebagai konsekuensi dari gencarnya kehadiran teknologi dan pertumbuhan kota. Kata Kunci : Kota, Kampung, Sungai, Perubahan Sungai merupakan sumber kehidupan manusia. Secara historis, peradaban manusia banyak dibangun di pinggiran sungai. Hal ini dipantik oleh kecenderungan manusia dalam mencari tempat tinggal yang relatif dekat dengan sumber air. Lebih komplek dari itu, bahkan keberadaan sungai juga menjadikan faktor penentu dalam pembentukan tata ruang kota. Sesuai dengan yang dituliskan oleh Pande Made Kutanegara bahwa sungai dan air sebagai sumber kehidupan merupakan pusat orientasi dan sangat penting dalam pembangunan sebuah negara (Kutanegara, 2014: 3). Kota Solo memiliki sungai terpanjang di pulau Jawa. Adalah sungai Bengawan Solo yang bagi masyarakatnya merupakan sungai legendaris. Hal ini dikarenakan sejak masa lampau, keberadaan sungai ikut berkontribusi besar terhadap dinamika dan perkembangan kota. Praktis, sungai tidak hanya hadir sebagai bentuk aset fisik kota saja. Tak luput pula dengan keramaian yang tidak hanya berpusat di sepanjang sungai Bengawan Solo saja, tetapi juga di anak- anak sungainya yang memang dilalui oleh kapal-kapal kecil. Salah satu anak sungainya adalah Kali Pepe sebagai bandar Pecinan. Sehingga, pada saat itu (tepatnya pada abad XVI), sungai menjadi jalur transportasi air terpenting. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh tim ekspedisi Kompas bahwa dahulunya,

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO

(Studi Perubahan Tindakan Masyarakat Kampung Bantaran Kali Pepe) Aghniyar Rohmi Kayyisa

Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret

Email: [email protected]

Penelitan ini bertujuan memahami perubahan di kampung-kampung bantaran Kali Pepe.

Perubahan diidentifikasi dengan mengkomparasi narasi historis dengan tindakan keseharian

masyarakat saat ini. Perubahan dianalisis melalui aset fisik dan aset non-fisik yang ada. Grounded

theory sebagai metode yang menuntut peneliti membangun teori berbasis data. Pengambilan data dan

penyampelan dilakukan terus menerus, sehingga jumlah sampel bisa bertambah, dan akan berhenti

jika data yang diperoleh telah mampu menjawab seluruh rumusan masalah. Teknik pengumpulan

data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan catatan harian (memo) peneliti. Hasil penelitian

menemukan bahwa narasi historis memaparkan dahulunya sungai berkontribusi sebagai faktor

penentu pembentukan tata ruang kota. Sungai digunakan sebagai jalur transportasi air penghubung

antar wilayah. Seiring waktu, perubahan terjadi. Pemantik terjadinya perubahan adalah keberadaan

pemukiman bantaran Kali Pepe yang dibangun pasca kemerdekaan, pada saat itu dinamika

perekonomian di kota mulai stabil. Sehingga, orang-orang melakukan urbanisasi. Kini, komposisi

demografi di kampung bantaran Kali Pepe sangat plural karena terdiri dari beragam etnis dan

agama. Pada saat yang bersamaan, modernitas yang mewujud dengan teknologi juga mempengaruhi

terjadinya perubahan. Orang-orang mulai meninggalkan cara-cara lama akibat adanya kemudahan

teknologi dari berbagai aspek. Oleh karenanya, perubahan yang terjadi cenderung bersifat regress

(kemunduran). Muncul permasalahan krisis lingkungan sebagai konsekuensi dari gencarnya

kehadiran teknologi dan pertumbuhan kota.

Kata Kunci : Kota, Kampung, Sungai, Perubahan

Sungai merupakan sumber

kehidupan manusia. Secara historis,

peradaban manusia banyak dibangun di

pinggiran sungai. Hal ini dipantik oleh

kecenderungan manusia dalam mencari

tempat tinggal yang relatif dekat dengan

sumber air. Lebih komplek dari itu, bahkan

keberadaan sungai juga menjadikan faktor

penentu dalam pembentukan tata ruang

kota. Sesuai dengan yang dituliskan oleh

Pande Made Kutanegara bahwa sungai dan

air sebagai sumber kehidupan merupakan

pusat orientasi dan sangat penting dalam

pembangunan sebuah negara (Kutanegara,

2014: 3). Kota Solo memiliki sungai

terpanjang di pulau Jawa. Adalah sungai

Bengawan Solo yang bagi masyarakatnya

merupakan sungai legendaris. Hal ini

dikarenakan sejak masa lampau,

keberadaan sungai ikut berkontribusi besar

terhadap dinamika dan perkembangan

kota. Praktis, sungai tidak hanya hadir

sebagai bentuk aset fisik kota saja. Tak

luput pula dengan keramaian yang tidak

hanya berpusat di sepanjang sungai

Bengawan Solo saja, tetapi juga di anak-

anak sungainya yang memang dilalui oleh

kapal-kapal kecil. Salah satu anak

sungainya adalah Kali Pepe sebagai bandar

Pecinan. Sehingga, pada saat itu (tepatnya

pada abad XVI), sungai menjadi jalur

transportasi air terpenting. Seperti

penelitian yang telah dilakukan oleh tim

ekspedisi Kompas bahwa dahulunya,

Page 2: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

perahu-perahu kerajaan bersandar pada

dermaga Langen Harjo, sementara perahu

para pedagang berlabuh di dermaga

Nusupan yang lokasinya dekat dengan

jembatan Semanggi. Pelabuhan-pelabuhan

sungai ini pada masa lalu memainkan

peran penting bagi perniagaan di

Surakarta. Bahkan, lewat Kali Pepe yang

merupakan anak Bengawan Solo, sampan-

sampan pengangkut barang dagangan

menelusur ke pusat kota hingga mencapai

Pecinan di dekat Pasar Gede (Tjahjono,

2009: 64).

Menjadi satu hal yang kemudian

menarik untuk dikaji ketika muncul

ketimpangan pada sungai yang dahulunya

sangat berkontribusi besar dalam

pembentukan kota, kini justru mengalami

krisis. Air Kali Pepe yang menghitam dan

pekat karena telah tercemar dengan aliran

limbah industri sekitar, beragam jenis

sampah yang menyumbat dan hampir

ditemui di sepanjang sungai. Artinya,

sungai yang dahulunya pernah menjadi

awal pembentukan kota dan sumber

kehidupan masyarakat, kini telah berubah

menjadi tempat pembuangan sampah

rumah tangga dan limbah industri yang

efektif. Tindakan semacam inilah yang

menjadikan Kali Pepe kian mengalami

degradasi, baik dari segi kualitas maupun

kuantitas. Maka, berbasis pada

kepentingan dalam menjelaskan perubahan

atas Kali Pepe, peneliti membatasi lokasi

penelitian di Kelurahan Gandekan,

Kelurahan Sudiroprajan, Kelurahan

Sangkrah, dan Kelurahan Kedung Lumbu

dengan subjek penelitian yaitu mereka

para warga asli yang tinggal tepat di

samping Kali Pepe. Penelitian ini diawali

dengan kerangka berpikir yang dimulai

dari sejarah mengenai kontribusi sungai

atas pembentukan Kota Solo, yang kini

seiring perkembangan era mengalami

perubahan yang cukup signifikan, di mana

perubahan tersebut tak lepas pula dari

tindakan – khususnya para masyarakat

kota dan pihak pemerintah. Meminjam dari

pemikiran Max Weber yang memaparkan

bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh

banyak hal, salah satunya adalah

dipengaruhi oleh pemahaman atau yang

disebut Weber dengan verstehen

(pemahaman). Penelitian ini akan

mengkorelasikan antara kedua hal tersebut.

Oleh karena penelitian ini menggunakan

grounded theory sebagai pendekatan,

maka teori yang digunakan adalah teori

yang dikonstruksi peneliti berlandaskan

pada data.

Pembentukan Kota

Narasi historis memaparkan bahwa

kota terbentuk atas beragam hal. Selama

prosesnya, kota senantiasa tumbuh dan

berubah. Kota telah ada di permukaan

bumi ini sejak awal sejarah. Kota sekaligus

sangat tua dan sangat muda, bersifat

evolusioner maupun revolusioner. Kota-

Page 3: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kota yang muncul di lembah sungai Eufrat

dan Tigris yang makmur tersebut lebih dari

5000 tahun yang lampau dihubung-

hubungkan dengan modernisasi pada masa

itu, dan kota-kota di zaman kita sekarang

dihubungkan dengan modernisasi masa

kini. Modernisasi adalah suatu gejala yang

terdapat dalam setiap zaman; demikian

pula pertumbuhan kota. Wajarlah apabila

disebut bahwa setiap perubahan besar

dalam sejarah (berlainan dengan pra-

sejarah) bergerak ke arah penggunaan

yang lebih rasionil dari kekayaan alam, ke

arah peningkatan efisiensi produksi

barang-barang dan jasa-jasa, dan

peningkatan interaksi spasial yang selalu

dihubungkan dengan urbanisasi, yaitu

pertumbuhan kota-kota dan dalam suatu

masyarakat tertentu.

Sejarah Kota Solo

Terdapat dualitas nama yang

digunakan dalam penyebutannya, yaitu

Kota Solo dan Kota Surakarta. Dari

perspektif sejarah, Solo terbentuk sebagai

kota tepian sungai, yaitu Bengawan Solo,

di mana pada masa lampau terdapat

banyak pemukiman di tepian sungai yang

dihuni oleh para pimpinan kuli. Hal ini

berkaitan pula dengan adanya dua istilah,

yaitu Solo dan Surakarta. Jika ditelusuri,

sebenarnya terdapat beberapa versi

mengenai penyebutan nama Kota Solo.

Salah satunya ditulis oleh Arswendo

Atmowiloto bahwa dahulunya ada

penduduk awal bernama Ki, atau Kiai

(yang dilafalkan dengan huruf kental,

menjadi Kiyai Solo, atau Ki Ageng Solo.

Nama inilah yang kemudian dipakai

sampai sekarang. Sesuatu yang masuk akal

dan ada jejak makam Ki Ageng Solo

(Atmowiloto, 2009: 33). Sedangkan istilah

Surakarta sebenarnya lebih berkaitan

dengan perpindahan kekuasaan dari

Kerajaan Mataram Islam yang pada

mulanya bertempat di Kotagede, berpindah

di Sala kemudian menjadi kerajaan Pajang

di Kartasura pada tahun 1745. Tidak lama

kemudian, Keraton Kartasura mengalami

kehancuran karena terjadi Geger Pecinan.

Sehingga, demi mempertahankan

kestabilan politik, maka dengan berbagai

pertimbangan, akhirnya pusat

Pemerintahan berpindah di Surakarta.

Penyebutan Surakarta pun bersumber dari

Karta-sura yang dibalik menjadi Sura-

karta. Perlu diketahui secara bersama,

bahwa kolonial Belanda mulai masuk ke

Surakarta pada kurun waktu antara 1745-

1821. Sehingga, perpindahan ini juga atas

izin dari pihak kolonial Belanda.

Kampung-kampung di Kota Solo

Dualitas kepemimpinan – Keraton

Surakarta dan kolonial Belanda yang

terjadi dalam kurun waktu cukup lama,

turut memberikan pengaruh terhadap

perubahan wilayah di Solo. Salah satunya

adalah munculnya distrik bentukan

Keraton Surakarta. Artinya, Keraton

Page 4: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Surakarta menerapkan kebijakan untuk

mengelompokkan tempat tinggal

penduduk berdasarkan jenis pekerjaannya

– yang tentu saja ini merupakan

kesepakatan dengan pihak kolonial

Belanda. Seturut dengan pemaparan

Nurhajarani dalam bukunya yang

menjelaskan bahwa adanya reorganisasi

peradilan 1903 menimbulkan perubahan

teritorial di daerah-daerah. Perubahan

tersebut dengan alasan untuk

mempermudah pekerjaan pegawai

Gubernemen dalam mengontrol wilayah

jajahannya. Sehingga, mulai tahun 1919

distrik Kota Surakarta dibagi menjadi

enam distrik pembantu, yaitu Surakarta,

Serengan, Gading, Gandekan, Laweyan,

dan Jebres (Nurhajarani, 1999: 169).

Gandekan

Secara historis, tidak jauh berbeda

dengan kampung perkotaan lainnya di

Indonesia, bahwa kehidupan kampung

berkembang karena beragam faktor, salah

satunya oleh letak geografis di mana

kampung tersebut sengaja dibentuk

sebagai kawasan pemukiman karena

letaknya berdekatan dengan pusat

pemerintahan tradisional – pada saat itu

yang berkuasa adalah Keraton Surakarta di

masa Kerajaan Mataram Islam. Pun

demikian dengan Gandekan, sebagai salah

satu wilayah pemberian dari Keraton yang

terbagi menjadi dua; yaitu Gandekan Kiwo

(Jawa: kiri) menjadi wilayah bagian dari

Kelurahan Sriwedari dan Gandekan

Tengen (Jawa: kanan) menjadi wilayah

bagian di Kecamatan Jebres. Dipahami

secara harfiah, nama Gandekan berasal

dari kata “gandik” yang merupakan

sebutan untuk orang kepercayaan atau duta

besar Keraton Surakarta. Oleh karena

keberadaan seorang Gandik di wilayah

tersebut, inilah yang kemudian menjadikan

kata “gandik” diadopsi sebagai nama

sebuah distrik, yang kini lebih dikenal

dengan Kelurahan Gandekan. Hingga kini,

masih ada bukti fisik berupa artefak

sebagai tempat untuk sebo – walaupun,

saat ini telah beralih fungsi sebagai rumah

tinggal atau hunian biasa dari trah gandik

tersebut. Pasca periode pemerintahan

Keraton hingga peralihan menjadi

pemerintahan bersistem politik modern

seperti saat ini, Surakarta tumbuh dan

berkembang menjadi kota modern hingga

mulai dilirik oleh banyak orang-orang

sekitar untuk dijadikan sebagai tempat

berdomisili. Sehingga kini, terjadi

pluralitas pada kampung-kampung di

Gandekan, baik dari sisi agama maupun

etnis.

Kalirahman

Sebenarnya, menjadi hal yang

cukup sulit untuk menemukan kebenaran

mengenai penjelasan dari asal mula

penamaan kampung ini. Hal ini

dikarenakan tidak adanya akses yang

akurat dan memadai untuk memaparkan

Page 5: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sejarahnya. Tetapi, secara garis besar,

cerita sejarah dapat ditelusuri melalui

wawancara dengan salah satu Ketua RW

sekaligus sesepuh di kampung ini. Secara

harfiah, nama kampung ini terdiri dari dua

kata, yaitu: “kali” dan “rahman”. Dalam

bahasa Jawa, kali bermakna sungai,

sedangkan rahman bermakna kasih;

kebaikan. Praktis, pemahaman tersebut

memberikan bukti bahwa dahulunya,

sungai atau kali memang turut serta

berperan dalam pembentukan peradaban

kehidupan manusia.

Kebonan

Nama Kebonan diambil dari kata

Kebon (bahasa Jawa) yang bermakna

ladang luas, yang memang kebon tersebut

ada pada saat gandik keraton tinggal di

wilayah Gandekan. Pada saat itu,

keseluruhan pemilik lahan Gandekan

adalah seorang gandik Keraton, yang oleh

karena desakan kebutuhan ekonomi,

gandik tersebut menjual satu per satu lahan

kebon-nya kepada orang lain, hingga

kemudian berkembang sampai seperti saat

ini yang telah dihuni kurang lebih sekitar

250 jiwa. Namun kini, meski namanya

adalah Kampung Kebonan, tetapi sepetak

kebon atau kebun pun tidak dapat ditemui

di sana lantaran hampir seluruhnya telah

beralih menjadi pemukiman. Hal tersebut

merupakan jawaban atas fenomena

pertumbuhan penduduk yang meningkat

secara signifikan tanpa diimbangi dengan

penyediaan lahan sebagai tempat tinggal,

dan urbanisasi pun menjadi salah satu hal

yang sulit dikendalikan.

Sudiroprajan

Telah diketahui bersama bahwa

secara geografis, Sudiroprajan letaknya

relatif dekat dengan Pasar Gede yang

notabene adalah pasar tradisional terbesar

di Kota Solo. Para pedagang di Pasar Gede

didominasi oleh etnis China, di mana

tempat tinggal mereka berada di

Sudiroprajan. Ditelusuri sejarahnya,

keberadaan etnis China di Sudiroprajan

bermula dari kedatangan para pedagang

China yang bertujuan menjual

dagangannya ke Pasar Gede. Di masa

lampau, untuk menuju Pasar Gede, para

pedagang China melewati Kali Pepe

sebagai jalur transportasi. Seperti

pernyataan pada umumnya, orang-orang

dari etnis China memiliki etos kerja yang

tinggi dan sangat disiplin.Hal inilah yang

menjadikan perdagangan tersebut kian

meluas dan berkembang. Oleh karenanya,

secara perlahan, para pedagang etnis China

tersebut mulai tinggal dan menetap di

sekitar Pasar Gede, dan Sudiroprajan

adalah pilihan yang digunakan sebagai

tempat berdomisili.

Sangkrah

Sangkrah merupakan sebutan lain

dari angkrah-angkrah (sampah), sampah

pating bekakrah (sampah

berserakan), sampah ting

Page 6: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

slengkrah (sampah berserakan).

Munculnya istilah-istilah tersebut

disebabkan karena letak Sangkrah yang

dilintasi empat sungai, yaitu Sungai Jenes,

Sungai Pepe, Sungai Tegal Konas, dan

Sungai Bengawan Solo. Dengan

dilintasinya empat sungai tersebut

sehingga setiap musim penghujan tiba,

Sangkrah rawan terkena banjir dan banyak

sampah yang tersangkut di daerah

Sangkrah. Menurut cerita dari Bapak

Mahendra W, yang merupakan mantan

lurah Sangkrah, Sangkrah berasal dari

kata angkrah-angkrah (sampah yang

hanyut di sungai)

atau bekakrah (berserakan). Sangkrah

merupakan tempat berhentinya sampah-

sampah yang hanyut dari keempat sungai

yang mengelilingi Sangkrah yaitu Sungai

Jenes, Sungai Pepe, Sungai Tegal Konas,

dan Sungai Bengawan Solo saat musim

penghujan.

(http://kampungnesia.org/berita-sangkrah-

kampung-sebelah-sungai.html diunduh dan

diakses pada Senin 7 Maret 2016 pukul

11:39 WIB)

Secara administratif, tercatat

sebanyak ± 3.691 KK yang tersebar di 13

RW dan 58 RT. Dengan angka tersebut,

artinya, Kampung Sangkrah memang

dikategorikan sebagai kampung dengan

penduduk yang padat. Salah satu hal yang

memicu kepadatan tersebut adalah pola

yang terjadi hampir di setiap keluarga yang

ketika beberapa anaknya telah menikah,

dan masih tinggal dan menetap bersama

orang tuanya di Kampung Sangkrah.

Sehingga, dalam satu rumah, rata-rata

biasa dihuni oleh 5 hingga 9 orang –

termasuk anak, menantu, dan cucunya.

Rumah-rumah yang kini ditinggali adalah

rumah milik orang tuanya – dan biasanya

hanya dipisah oleh sekat berupa triplek

kayu dan sejenisnya.

Kedung Lumbu

Secara administratif, Kedung

Lumbu termasuk dalam bagian dari

Kecamatan Pasar Kliwon dengan meliputi

cakupan wilayah sebanyak 7 RW. Seperti

yang telah diketahui secara bersama, Pasar

Kliwon merupakan wilayah yang terkenal

dengan keberadaan etnis Arab – meski

dalam kenyataannya, tidak sedikit pula

masyarakat berasal dari etnis China dan

Jawa. Pun demikian dengan Kedung

Lumbu yang memiliki komposisi

demografi dari ketiga etnis tersebut di atas.

Situasi yang hampir sama dengan

kampung-kampung lain pada pemaparan

sebelumnya, bahwa etnis China dan etnis

Arab mayoritas berdomisili di tengah-

tengah kampung. Sedangkan di kampung-

kampung bantaran Kali Pepe lebih banyak

didominasi oleh etnis Jawa. Sehingga, kata

“kemiskinan” sangatlah identik kampung-

kampung bantaran Kali Pepe. Mayoritas

dari masyarakatnya bekerja wiraswasta

Page 7: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dengan beragam jenis, dari karyawan

hingga pemulung.

Perubahan atas Sungai dan Kampung

Perubahan tindakan manusia dapat

diidentifikasi dari berbagai hal. Selain

dengan mengkomparasikan antara narasi

historis masa lampau dengan kondisi yang

ada saat ini, perubahan dapat dilihat

dengan mengeksplorasi aset fisik dan aset

non-fisik yang terdapat di kampung-

kampung bantaran Kali Pepe. Hingga

kemudian hasil dari identifikasi tersebut

menemukan adanya beragam perubahan.

Kali Pepe, Sungai yang Ditinggali dan

Dikotori

Sebagai pemukiman yang berada di

bantarannya, sungai merupakan aset fisik

yang pertama kali perlu diidentifikasi.

Agaknya, perpindahan Keraton Kartasura

ke Keraton Kasunanan Surakarta dan

menjadikan desa Sala sebagai ibukota pada

kisaran abad 19 adalah pemantik dari

pertumbuhan Kota Solo di kemudian hari.

Sebagai ibukota, beragam kegiatan

menjadi terpusat di desa Sala.

Implikasinya, daya tarik orang-orang

sekitar untuk berdomisili di kota kian

meningkat. Fenomena tersebut terus terjadi

hingga pasca kemerdekaan Indonesia,

mobilitas masyarakat kian komplek.

Urbanisasi di bantaran Kali Pepe mulai

terjadi pada kisaran tahun 1950 hingga

1970-an. Pada tahun-tahun tersebut, peran

sungai sudah tidak lagi digunakan sebagai

jalur transportasi, tetapi digunakan sebagai

tempat atau sumber daya alam untuk

dieksplorasi. Oleh karena pada tahun-

tahun tersebut pemukiman di bantaran Kali

Pepe baru saja terbentuk, maka yang

terjadi adalah penambangan pasir sungai

untuk kemudian pasir tersebut digunakan

sebagai material dalam membangun

hunian mereka.

Narasi yang berbeda diperoleh dari

Kampung Kedung Lumbu dan Kampung

Sangkrah, yang sekaligus bisa menjadi

representasi mengenai kampung-kampung

lain karena memiliki narasi yang sama.

Bahwa awal mula keberadaan pemukiman

di bantaran Kali Pepe dikarenakan mereka

adalah masyarakat asli yang sejak lahir dan

hingga kini menempati kampung tersebut.

Hal ini dikarenakan rumah yang kini

ditinggali adalah warisan dari mendiang

kedua orang tuanya. Konon, seturut dari

cerita sejarah yang diperoleh, orang tuanya

termasuk tokoh yang mbabat alas (turut

membuka lahan atas suatu wilayah) karena

pada masa itu, situasi kampung belum

seramai dan sepadat seperti yang terjadi

saat ini. Jumlah penduduk dan

pemukimannya belum sebanyak sekarang.

Bahkan, di beberapa kampung (seperti di

Kampung Sangkrah dan Kampung

Kebonan belum teraliri listrik dan akses

jalan yang memadai).

Meski pada saat yang bersamaan,

kini dalam kesehariannya, interaksi antara

Page 8: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

masyarakat bantaran dengan Kali Pepe

terjadi dalam bentuk kegiatan memancing.

Sepanjang aliran Kali Pepe di depan rumah

mereka, hanya beberapa titik tertentu yang

dapat digunakan sebagai area memancing.

Di antaranya yaitu di Sudiroprajan dan

Kampung Kebonan saja. Sedangkan, di

titik lain seperti di Kampung Kalirahman,

Kampung Sangkrah, dan Kampung

Kedung Lumbu tidak dapat digunakan

sebagai area memancing karena di titik

tersebut banyak timbunan sampah dan

aliran air yang menyurut. Kegiatan

memancing biasanya dilaksanakan pada

waktu libur seperti hari Minggu pagi

hingga siang dan ketika sore hari yang

banyak didominasi oleh pemuda dan

bapak-bapak. Biasanya, jenis ikan yang

diperoleh adalah ikan lele dengan ukuran

cukup besar. Sedangkan, anak-anak kecil,

oleh karena di kampung-kampung tersebut

minim ruang publik, sehingga mereka juga

turut memancing di sungai. Tetapi,

lantaran rata-rata mereka belum mampu

mengoperasikan alat pancing secara benar,

sehingga yang digunakan adalah jala

berukuran kecil. Jenis ikan yang didapat

pun adalah ikan-ikan berukuran kecil.

Ketika Kali Pepe digunakan

sebagai area memancing, pada saat yang

bersamaan, Kali Pepe juga digunakan

sebagai tempat pembuangan limbah –

utamanya adalah limbah rumah tangga.

Terdapat beragam jenis sampah yang

mengalir dan menggenang di sepanjang

Kali Pepe, tetapi secara garis besar,

sampah-sampah tersebut adalah sampah

rumah tangga seperti plastik bekas

pembungkus makanan dan dedaunan

kering yang menyangkut di beberapa titik

aliran. Beberapa kampung yang aliran

sungainya cukup banyak adalah di

Kampung Kebonan, Kampung Kalirahman

dan Kampung Kedung Lumbu. Dalam hal

ini, seperti kampung-kampung pada

umumnya, di masing-masing kampung

bantaran Kali Pepe sebenarnya telah

terdapat petugas yang dalam

kesehariannya mengambil sampah-sampah

di depan rumah para warga pada pagi hari

untuk kemudian diangkut menggunakan

gerobak. Masalah kemudian muncul ketika

masyarakat kampung bantaran Kali Pepe

telah disiplin untuk tidak membuang

sampah ke sungai, tetapi justru masyarakat

lain yang secara langsung membuang

sampah ke sungai.

Tidak hanya berhenti pada kasus di

atas, ditelusuri lebih detil lagi, kemudian

ditemukan bahwa hampir di seluruh

pemukiman kampung bantaran Kali Pepe

tidak menggunakan IPAL ataupun septic

tank. Dalam kesehariannya, limbah MCK,

mandi, masak, dan sebagainya secara

langsung mengalir ke sungai.Seturut

dengan penjelasan beberapa informan, hal

ini telah dilakukan sejak lama lantaran

IPAL dan septic tank yang ada kini tidak

Page 9: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

berfungsi sebagaimana mestinya. Praktis,

di beberapa titik dari aliran Kali Pepe,

sering tercium bau menyengat yang

asalnya dari badan sungai itu sendiri. Pada

mulanya masyarakat setempat merasa

kurang nyaman dengan bau tersebut.

Tetapi pada akhirnya, mereka hanya

berpasrah dan menjadikan hal tersebut

sebagai sesuatu yang biasa dalam

kesehariannya.

Merujuk pada Perda yang berlaku,

jika dianalisis lebih jauh, sebenarnya

membuang sampah dan mengalirkan

limbah ke sungai adalah hal yang tidak

dibenarkan. Mengacu pada Perda Kota

Solo Nomor 2 Tahun 2009 Pasal 57 Huruf

B yang berbunyi:

“Pembuangan sampah atau limbah padat

pada sumber perairan (sungai kanal,

danau, selokan dan sistem drainase kota)

berpotensi mempercepat pendangkalan /

sedimentasi dan menyumbat aliran air

menyebabkan berkurangnya daya tampung

air sehingga mengakibatkan banjir.

Pembuangan sampah atau limbah padat

pada sumber air dan tempat-tempat yang

tidak diperuntukkan sebagai tempat

pembuangan sampah dapat menimbulkan

dampak lingkungan seperti: menjadikan

media berkembangnya penyakit termasuk

serangga ataupun binatang lainnya yang

menjadi vektor penyakit, menimbulkan

bau, mengganggu kebersihan dan estetika

lingkungan.”

Perubahan tindakan semacam ini

telah banyak terjadi hampir di setiap kota

dan sungai-sungai di Indonesia. Bahkan,

Pande Made Kutanegara dalam bukunya

berlatar Sungai Code – Yogyakarta juga

telah memaparkan bahwa masyarakat

urban melupakan arti pentingnya sungai

yang tidak hanya penting bagi kebudayaan

agraris. Sempadan dan bantaran sungai

telah terdesak oleh pemukiman warga

urban yang sebagian besar berstatus

ekonomi miskin, yang sebenarnya juga

berbasis kebudayaan agraris, tetapi telah

berubah menjadi masyarakat urban yang

tidak memiliki kepedulian adaptif terhadap

ekologi sungai (Kutanegara, 2014: 15).

Bencana dan Wisata Air Kali Pepe

Dari sisi geografis, Solo adalah

wilayah rawa-rawa yang terletak di antara

beberapa pegunungan. Juga dilewati oleh

aliran Bengawan Solo berikut anak-anak

sungainya yang melintas di tengah-tengah

kota, menjadikan Solo tergolong sebagai

wilayah dataran rendah, atau diibaratkan

dengan “mangkuk” karena sangat rawan

akan terjadinya bencana banjir. Atas dasar

itulah, sejarah mencatat bahwa Solo

pernah beberapa kali mengalami banjir

besar, di antaranya adalah banjir yang

terjadi pada tahun 1918 (pada literatur lain

ada pula yang menyebut banjir tersebut

terjadi pada tahun 1915) di mana banjir

tersebut menggenangi Kota Solo hingga

setinggi lutut orang dewasa. Pada saat itu,

Page 10: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

banjir terjadi dikarenakan sungai di Kota

Solo belum memiliki tanggul. Sehingga,

aliran air masuk ke tengah kota lantaran

tidak adanya penahan.

Pasca banjir di tahun tersebut,

secara serentak Pemerintah mulai berbenah

dengan membangun tanggul-tanggul di

beberapa sungai di Kota Solo. Proyek

pembangunan tanggul-tanggul tersebut

dibiayai atas dana dari Pemerintah Istana

Surakarta, Mangkunegaran, serta bantuan

dari Pemerintah Kolonial Belanda.

Pembangunan tanggul tersebut memang

dilaksanakan karena terjadinya perubahan

ekologi di sungai Bengawan Solo. Pada

saat yang bersamaan, pemerintah kolonial

Belanda juga menerapkan sistem tanam

paksa yang mengharuskan penanaman

dilaksanakan di wilayah hinterland.

Kebijakan tersebut mengakibatkan

terjadinya penggundulan hutan sekaligus

tanah-tanah melongsor, serta pendangkalan

sungai, termasuk sungai Bengawan Solo.

Pendangkalan sungai Bengawan Solo

tersebut merupakan salah satu hal yang

menyebabkan terjadinya banjir di Kota

Solo. Maka yang kemudian terjadi, setelah

tahun 1918, Solo kembali tertimpa banjir

bandang. Sehingga pembeda antara kedua

banjir tersebut adalah banjir 1918 terjadi

disebabkan Kota Solo belum memiliki

tanggul-tanggul sungai, sedangkan banjir

1966 terjadi disebabkan oleh beberapa hal,

di antaranya: 1) curah hujan tinggi pada

hari-hari tersebut; 2) rusaknya beberapa

tanggul-tanggul sungai; 3) terjadinya

pendangkalan sungai akibat penerapan

sistem tanam paksa (Ridha Taqabalallah,

“Banjir Bengawan Solo Tahun 1966:

Dampak dan Respons Masyarakat Kota

Solo, Skripsi, FSSR UNS, 2009, hal.

xviii).

Pada tahun 2007, Solo kembali

mengalami banjir dahsyat, di mana salah

satu lokasi banjir tersebut berasal dari

luapan air Kali Pepe. Banjir tersebut

tergolong cukup besar dengan ketinggian

hampir 2 meter. Bahkan, pada saat itu

masyarakat setempat harus mengungsi ke

Balaikota selama berhari-hari. Pasca

banjir, Pemerintah Kota mulai berbenah

secara serius dalam menangani sungai,

bantaran, dan banjir. Beragam upaya mulai

dilakukan, pola pemukiman yang

dahulunya berhadapan satu sama lain

(membelakangi sungai), secara perlahan

mulai direlokasi ke wilayah lain. Juga

yang dahulunya belum terdapat pembatas

yang jelas antara pemukiman dengan

sungai, pasca banjir mulai dibangun pagar

di tepian sungai. Berikut dengan perbaikan

jalan kampung dan pengadaan kamar

mandi komunal di setiap kampung.

Secara geografis, kampung-

kampung bantaran Kali Pepe memang

termasuk sebagai kawasan yang rawan

terjadi banjir. Selain karena Kota Solo

berada pada dataran rendah, juga

Page 11: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

dikarenakan oleh kelurahan-kelurahan di

Kota Solo yang dilewati oleh sungai-

sungai – termasuk Kali Pepe dan

kampung-kampung di sampingnya. Secara

parsial, pembangunan fisik sungai

memang turut berperan atas terjadinya

banjir ataukah tidak. Pentalutan, pelurusan

alur sungai, misalnya, merupakan upaya

parsial yang jika dikaji lebih jauh, ternyata

pembangunan tersebut bukanlah hal yang

solutif. Sebaliknya, dalam waktu jangka

panjang, pembangunan sungai tersebut

justru menghadirkan konsekuensi negatif.

Agus Maryono dalam bukunya

memaparkan bahwa akibat negatif dari

pembangunan sungai abad 16 sampai

pertengahan abad 20 sangatlah besar, baik

ditinjau dari sisi hidraulik seperti banjir,

sedimentasi, dan erosi, maupun dari sisi

ekologi-lingkungan. Metode pembangunan

tersebut telah merubah tampang natural

dan alur natural sungai menjadi tampang

buatan berbentuk trapesium dengan alur

relatif lurus. Sebagian besar tebing sungai

dan daerah bantaran atau sempadan sungai

hilang karena pelurusan, sudetan,

pembuatan tanggul, dan pentalutan

(Maryono, 2015: 34).

Perubahan fisik sungai pun mulai

terjadi di Kali Pepe, tepatnya di aliran

Sudiroprajan, di mana sebagai lokasi

kegiatan wisata air, dalam upaya

merealisasikan kegiatan tersebut, dalam

prosesnya dilakukan beragam persiapan.

Salah satu perubahan fisik yang dilakukan

adalah pengerukan tanah di sungai.

Pengerukan (escavating) adalah rekayasa

sungai yang dilakukan untuk memperbaiki

alur dan tampang melintang sungai untuk

pelayaran. Cara yang digunakan adalah

dengan mengadakan pengerukan sungai

sehingga alur tersebut secara teknis dapat

dipakai untuk pelayaran. Pengerukan

biasanya dilakukan jika di tengah sungai

ada pulau (islands), gundukan pasir (bars),

dan elemen sungai lainnya, termasuk

vegetasi sungai. Indikasi dampak

pengerukan sungai ini adalah penurunan

resistensi alur sungai serta kerusakan

habitat dasar sungai, di samping dampak

positif mempermudah navigasi kapal

(Maryono, 2015: 56).

Maka sangatlah jelas bahwa

pengerukan sungai merupakan upaya

Pemerintah Kota agar aliran air sungai

yang tenang sekaligus terbebas dari

timbunan sampah tersebut pada akhirnya

terwujud. Tetapi, tanpa disadari,

pengerukan sungai sebenarnya kurang

solutif. Sungai bisa dikatakan sebagai

sungai yang ideal jika di tengah-tengahnya

terdapat delta sungai (tanah yang di

atasnya terdapat tanaman yang tumbuh di

atas tanah tersebut). Bentuk lain dari

sungai ideal adalah jika di tengah-tengah

aliran air terdapat beberapa bebatuan

berukuran cukup besar. Hal ini diperlukan

sebagai penahan jika sewaktu-waktu

Page 12: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

terjadi aliran air yang lebih deras dari

biasanya – seperti ketika terjadi hujan,

misalnya. Sehingga, air sungai tidak

sampai meluap ke daratan dan menuju

pemukiman warga.

Tetapi, nampaknya hal ini belum

disadari oleh kebanyakan orang. Karena

warga sendiri pun telah terkonstruksi

bahwa pengerukan sungai adalah upaya

yang cukup solutif. Membaca situasi yang

demikian, Pande Made Kutanegara

berpendapat bahwa gejala pergeseran ini

sebagai penuruna kualitas hidup manusia

yang diikuti dengan penurunan peran-

peran institusi-institusi sosial masyarakat

dalam struktur kehidupan sosialnya

(Kutanegara, 2014: 10).

Pemukiman yang Berimpit dan Ruang

Publik Kampung

Oleh karena pada masa lampau

keberadaan sungai memberikan peran

besar terhadap kelangsungan hidup

manusia, maka secara historis, jika

ditelusuri, pola pemukiman di bantaran

sungai sebenarnya telah terbentuk dari

dulu hingga kini. Di masa lampau, secara

langsung orang-orang banyak

menggantungkan keberlangsungan

hidupnya dengan alam. Kejernihan aliran

air menjadikan sungai digunakan sebagai

sumber dari pemenuhan kebutuhan air –

mandi, mencuci, kakus, ruang publik, dan

lain sebagainya. Perubahan terjadi karena

implikasi dari hadirnya kemajuan

teknologi dan perkembangan zaman. Kali

Pepe yang dahulunya sebagai sumber

kehidupan, kini mengalami kemerosotan

nilai. Pergeseran pola adaptasi tersebut

ditunjukkan dengan peran sungai yang kini

tidak lebih hanya digunakan sebagai

bagian dari sistem drainase dan sanitasi

yang mengendali siklus air se-kota Solo.

Dalam bukunya, Pande Made

Kutanegara memberikan ulasan bahwa air

dan sungai lebih dimaknai sebagai pusat

pembuangan sampah-sampah produksi

sektor industri dan sektor informal kota

ketimbang sebagai sumber kehidupan.

Pemenuhan kebutuhan air dalam dunia

modern secara langsung tidak lagi

memerlukan peran sungai karena

kebutuhannya telah dipenuhi dengan air

sumur, terlebih dengan piranti dunia

modern, yakni suplai air minum PDAM

dan air minum kemasan (Kutanegara,

2014: 9).

Kemerosotan nilai sungai di

perkotaan pada akhirnya mengkonstruksi

pemahaman masyarakat mengenai

kehidupan di bantaran sebagai wilayah

marginal yang tergolong pada kelompok

miskin kota. Dapat dikatakan demikian

karena hal tersebut diidentifikasi dari pola

pemukiman yang kini terbangun di

bantaran Kali Pepe. Sebagai pemukiman

yang padat penduduk dengan lahan

terbatas, kampung-kampung bantaran Kali

Pepe tumbuh dengan bentuk rumah yang

Page 13: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sempit dan saling berhimpit. Secara

spesifik, terdapat pola pemukiman yang

sama antara satu rumah dengan yang lain,

di mana beberapa ciri yang paling

mencolok adalah dapur dan kamar mandi

letaknya terpisah dengan rumah – bahkan

di beberapa rumah, ada pula yang tidak

memiliki kamar mandi. Sehingga, banyak

ditemui jika perabotan dapur banyak yang

disandarkan di tembok samping atau depan

rumah. Bahkan, ditemui di beberapa titik

bahwa dapur di depan rumah tersebut

kemudian “disulap” sekaligus digunakan

sebagai warung kecil-kecilan yang menjual

makanan ringan dan lain sebagainya.

Keterbatasan lahan karena sebagian

besar lahan yang ada telah digunakan

sebagai pemukiman menjadikan ruang

publik yang banyak dimanfaatkan adalah

jalan-jalan di depan rumah mereka, juga

beberapa titik (tikungan gang) yang

dijadikan sebagai warung kecil untuk

kemudian digunakan sebagai tempat

berbincang antar tetangga. Pun demikian

dengan keberadaan mushola kampung

yang sekaligus digunakan sebagai ruang

publik oleh masyarakat setempat. Pada

penelitian ini, di Kampung Kebonan,

hanya terdapat satu mushola yang letaknya

berada di tengah-tengah kampung –

tepatnya berbatasan dengan Kampung

Kalirahman. Adalah Mushola Al-Hikmah

yang dalam kesehariannya, selain

digunakan untuk sholat, juga digunakan

sebagai tempat menggelar pengajian rutin

warga yang dilaksanakan seminggu sekali.

Di sore harinya, mushola juga digunakan

untuk TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an)

yang digelar seminggu tiga kali.

Sedangkan, pada Hari Raya, di setiap

tahunnya masyarakat melaksanakan sholat

di Kampung Kalirahman, tepatnya di

halaman rumah Dalem Joyomartanan –

satu-satunya rumah warga Kampung

Kalirahman yang memiliki ukuran besar di

mana rumah tersebut sering digunakan

sebagai tempat untuk menyelenggarakan

beragam kegiatan masyarakat kampung.

Barangkali minimnya lahan dan

ruang publik memang telah menjadi ciri

khas dari kehidupan kampung di

perkotaan. Maka menjadi hal yang wajar

jika pada akhirnya pakar perkotaan, Eko

Budiharjo menyimpulkan bahwa kampung

sebagai pemukiman marginal, sebagai

salah satu elemen pembentuk marginalitas

perkotaan. Marginalitas tumbuh dan

berkembang tanpa standar norma yang

berlaku (normatif). Kampung tumbuh

secara organik, di lingkungan masyarakat

mapan yang berpenghasilan rendah dan

menengah, dengan sarana-prasarana

seadanya (Wijono, 2013: 6).

Pemukiman bantaran, Legalitas dan

Ancaman

Perlu diketahui secara bersama,

bahwa setiap rumah di kampung bantaran

Kali Pepe adalah rumah permanen dan

Page 14: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

secara hukum, rumah tersebut telah

bersertifikat hak milik. Hal inilah yang

menjadikan menjadikan kampung bantaran

Kali Pepe termasuk sebagai kawasan slum

area, yang secara definitif dikutip dari

pemaparan dari Herlianto bahwa slum area

adalah daerah hunian yang legal (status

hukumnya jelas) yang kondisinya sudah

sangat merosot (Herlianto, 1986: 45).

Adalah menjadi yang dilematis dan

komplek ketika memaparkan mengenai

keberadaan pemukiman di bantaran Kali

Pepe. Dari perspektif hukum, telah diatur

dalam Undang-Undang No. 38 Pasal 9

Tahun 2011 yang menyatakan bahwa:

Garis sempadan pada sungai tidak

bertanggul di dalam kawasan perkotaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat

(2) huruf a ditentukan:

a. paling sedikit berjarak 10 m

(sepuluh meter) dari tepi kiri dan

kanan palung sungai sepanjang alur

sungai, dalam hal kedalaman

sungai kurang dari atau sama

dengan 3 m (tiga meter);

b. paling sedikit berjarak 15 m (lima

belas meter) dari tepi kiri dan

kanan palung sungai sepanjang alur

sungai, dalam hal kedalaman

sungai lebih dari 3 m (tiga meter)

sampai dengan 20 m (dua puluh

meter); dan

c. paling sedikit berjarak 30 m (tiga

puluh meter) dari tepi kiri dan

kanan palung sungai sepanjang alur

sungai, dalam hal kedalaman

sungai lebih dari 20 m (dua puluh

meter).

Terlepas dari ketidakmampuan

masyarakat untuk berpindah, satu-satunya

alasan yang menjadikan masyarakat

setempat tetap bertahan dan tinggal di

bantaran Kali Pepe adalah lokasinya yang

sangat strategis di tengah-tengah kota.

Selain karena rumah-rumah yang kini

dihuni adalah warisan dari para orang tua,

alasan mereka tinggal di kawasan tersebut

adalah karena secara geografis letaknya

sangat strategis. Berada dekat dengan

pusat perekonomian seperti Pasar Gede,

Pasar Klewer, Beteng Trade Center

(BTC), dan Pusat Grosir Solo (PGS); juga

tempat hiburan seperti Alun-Alun Lor dan

Kidul; dan pusat Pemerintahan, yaitu

Keraton Surakarta dan Balaikota

Surakarta.

Ancaman Relokasi

Di kota-kota besar terutama negara

berkembang seperti Indonesia, relokasi

merupakan ancaman paling mutlak dialami

oleh para masyarakat urban, terlebih jika

relokasi tersebut terkait dengan perebutan

legalitas lahan. Pada dasarnya, relokasi

adalah salah satu upaya Pemerintah Kota

dalam hal penataan ulang tata ruang kota.

Tujuan utama Pemerintah Kota adalah

mengembalikan lahan-lahan untuk

dipergunakan sebagaimana idealnya. Maka

Page 15: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

wajar jika relokasi banyak terjadi pada

pemukiman-pemukiman ilegal (atau

bahkan sengketa) yang biasanya letaknya

tak jauh dengan pusat kota.

Tak luput pula dengan pemukiman

di bantaran Kali Pepe. Seperti yang

dipaparkan pada sub-bab sebelumnya,

bahwa awal mula keberadaan pemukiman

tersebut telah ada sejak tahun 1960-an.

Ironisnya, pemukiman yang mayoritas

telah bersertifikat hak milik tersebut

berdiri di atas zona merah yang semestinya

tidak digunakan – apalagi untuk tempat

bermukim. Sedangkan, telah ditelusuri,

tidak ada yang tahu-menahu mengenai

awal mula proses kepemilikan rumah dan

tanah tersebut seperti apa.

Maka dalam konteks ini, relokasi

merupakan ancaman yang mutlak dihadapi

oleh seluruh masyarakat setempat. Diakui

oleh para informan di setiap kampung

bantaran Kali Pepe, bahwa relokasi

pemukiman adalah wacana yang bergulir

dari waktu ke waktu. Di Kampung

Kebonan, misalnya, telah beberapa kali di-

survey dan diukur (ukuran rumahnya) oleh

petugas terkait, dengan tujuan untuk

merealisasikan wacana relokasi

pemukiman tersebut.

Diungkapkan oleh Yustina bahwa

sebenarnya jika pelebaran jalan kampung

memang benar akan dilakukan, hal ini

bukan menjadi masalah. Nantinya, letak

rumah akan mundur atau ditinggikan

menjadi dua lantai bangunan bertingkat.

Tetapi, jika isu relokasi yang dimaksudkan

Pemerintah adalah relokasi untuk

berpindah ke Rusunawa ataupun wilayah

lain, inilah hal yang memberatkan bagi

seluruh masyarakat kampung bantaran

Kali Pepe.

Sebagai pemukiman yang telah ada

dari tahun 1960-an, tentunya kini di

kampung bantaran Kali Pepe juga ada para

lansia. Bahwa para lansia tersebut sebagian

besar masih bekerja di luar rumah.

Beberapa orang di antaranya bekerja

sebagai pedagang kecil-kecilan di Pasar

Gede, sedangkan beberapa yang lain

bekerja sebagai tukang cuci atau pembantu

ke “rumah-rumah berpagar” di luar

kampung bantaran sungai. Pemilihan

pekerjaan tersebut berdasarkan jarak dan

letak yang memang mudah diakses oleh

para lansia tersebut.

Dikaji lebih lanjut, pada dasarmya

perubahan gaya hidup masyarakat kota

dari yang awal mulanya tinggal di rumah

secara horizontal ke bangunan vertikal

sebenarnya adalah hal yang cukup umum

ditempuh dalam upayanya mengatasi

masalah pemukiman di perkotaan.

Utamanya di negara-negara maju, tinggal

di flat atau rumah bertingkat bukanlah

menjadi suatu masalah. Tetapi akan

menjadi berbeda dengan situasi di negara

berkembang. Berpindah dan menetap di

rumah bertingkat atau flat atau rusunawa

Page 16: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

akan mengubah pola hubungan

kebertetanggaan yang sebelumnya intim,

kemudian menjadi tidak intim lantaran

konstruksi bangunan bertingkat yang tidak

menunjang adanya interaksi antar

tetangga. Sedangkan, manusia Indonesia

tidaklah demikian, karena masih memiliki

sifat kebersamaan yang erat

(gemeinschaft).

Kesimpulan

Telah diketahui secara bersama

bahwa keberadaan pemukiman di sekitar

sungai memang sudah ada sejak Kota Solo

berada pada masa tahun 1821. Alasannya

cukup jelas, yaitu agar dekat dengan

sumber air. Pada masa itu, sungai juga

berkontribusi besar terhadap kegiatan

sehari-hari manusia. Di antaranya adalah

sebagai jalur transportasi air. Di Solo,

sungai yang digunakan sebagai jalur

transportasi adalah sungai Bengawan Solo,

berikut anak-anak sungainya – salah

satunya adalah Kali Pepe yang pada saat

itu terdapat bandar-bandar kecil menuju

Pasar Gede dan wilayah-wilayah lainnya.

Selain sebagai jalur transportasi,

keramaian kehidupan di sungai juga

ditandai dengan digunakannya sebagai

ruang publik oleh masyarakat luas. Di

antaranya adalah untuk memancing,

karena kondisi sungai pada saat itu masih

jernih dengan debit air yang relatif deras.

Tidak hanya digunakan di badan

sungainya, bantaran Kali Pepe yang

dulunya masih berupa kebun dan rawa-

rawa tersebut juga digunakan oleh

masyarakat sebagai ruang publik untuk

mereka srawung dengan para tetangga

yang lain.

Dalam hal ini, bentuk riil atas

perubahan fungsi Kali Pepe adalah dari

fungsinya yang semula digunakan sebagai

salah satu aspek fisik terbentuknya Kota

Solo, hingga kemudian kini mengalami

pergeseran atau penurunan fungsi yaitu

sebagai salah satu bagian dari sistem

drainase Kota Solo. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kondisi fisik Kali

Pepe dahulunya memang jernih, sehingga

oleh banyak masyarakat kemudian

difungsikan untuk beragam hal. Untuk

keperluan mandi dan berenang,

memancing ikan, atau bahkan sekedar

untuk duduk-duduk di bantaran sungai di

sore hari. Kini, dengan kondisi air Kali

Pepe yang menghitam oleh karena

digunakan sebagai aliran limbah dan

hanyutan sampah, menjadikan Kali Pepe

berbau menyengat. Sehingga untuk

sekedar duduk-duduk pun, sebenarnya

masyarakat setempat merasa terganggu.

Dahulu, kejernihan kali Pepe dapat

difungsikan sebagai tempat bermain bagi

anak-anak, dalam kesehariannya juga

digunakan sebagai tempat memancing

karena pada saat itu ekosistem di dalam

sungai masih hidup ideal. Secara fisik pun,

Page 17: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pinggiran Kali Pepe masih rindang dan asri

karena terdapat pepohonan dan rerumputan

di pinggiran sungai. sehingga, dahulunya

bantaran Kali Pepe dapat berfungsi sebagai

ruang publik bagi masyarakat luas.

Kini, fungsi Kali Pepe mengalami

perubahan, di mana Kali Pepe tidak dapat

digunakan untuk mandi dan bermain oleh

anak-anak karena kualitas dan kuantitas air

sungai telah mengalami penurunan. Selain

itu, meski rutinitas memancing masih

berlaku bagi sebagian orang, tetapi

kegiatan memancing tersebut hanya

sebagai kegiatan untuk mengisi waktu

luang saja – bukan sebagai rutinitas

keseharian seperti dahulu. Hal ini terkait

erat dengan kondisi air sungai yang

berwarna hitam pekat dan tergenang

sampah. Secara fisik, pinggiran Kali Pepe

pun kini telah kering dan panas karena

terdapat pembatas berupa pagar

bertembok. Bantaran sungai pun sudah

tidak ada lagi dan berganti dengan

pemukiman masyarakat kampung.

Dalam hal ini, empat jenis tindakan

manusia yang dikemukakan oleh Max

Weber tidak lagi berlaku sebagai landasan

utama. Artinya, dalam penelitian ini teori

tersebut telah gugur. Weber menyatakan

bahwa salah satu jenis tindakan manusia

adalah tindakan rasional (zweckrational) di

mana tindakan tersebut dilakukan

berdasarkan pada perhitungan dan

pertimbangan yang tepat.

Pun demikian dengan jenis

tindakan rasional-nilai (wertrational) yang

berorientasi pada nilai-nilai tertentu seperti

nilai keindahan; nilai politis; dan nilai

keagamaan. Narasi historis menunjukkan

bahwa di masa lampau Kali Pepe

dipercaya memiliki kekuatan magis yang

bahkan mampu menjadi pertimbangan

hingga desa Sala dijadikan sebagai ibukota

pada saat itu. Kini, tindakan semacam itu

mulai banyak ditinggalkan masyarakat

bantaran Kali Pepe tidak memiliki

tindakan rasional-nilai dalam

kesehariannya.

Sehingga, perubahan tindakan

manusia adalah hal yang paling

mendominasi atas terjadinya pembentukan

dan pertumbuhan suatu kota. Kota akan

mengalami perubahan yang signifikan jika

masyarakat di dalamnya melakukan

perubahan secara besar-besaran.

Sedangkan, telah kita ketahui bersama

bahwa perubahan yang terjadi justru

sebenarnya adalah hal yang tidak

diinginkan oleh masyarakat. Artinya,

perubahan masyarakat bersifat regress

(kemunduran). Di beberapa situasi

tertentu, perubahan dianggap sebagai

konsekuensi yang harus diterima oleh

masyarakat. Dalam konteks ini, perubahan

signifikan yang terjadi adalah adanya

ketidakpedulian masyarakat kota terhadap

kondisi dan kualitas lingkungan alam –

sedangkan, keberlangsungan hidup

Page 18: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

manusia sangat bergantung dengan kondisi

alam. Masyarakat kota dianggap

menafikkan keberadaan lingkungan alam.

Atau dalam istilah lain, kota, kampung,

dan sungai adalah wilayah yang ditinggali

sekaligus dikotori. Sehingga, situasi yang

terjadi saat ini, keberadaan sungai semakin

ditinggalkan seiring dengan gencarnya

pembangunan kota. Sungai kini dimaknai

sebagai sisa-sisa simbol kehidupan

modernitas kota.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Atmowiloto, Arswendo. 2009. Kitab Solo.

Surakarta: Pemerintah Kota

Surakarta Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata

Herlianto. 1986. Urbanisasi dan

Pembangunan Kota. Bandung: Penerbit

Alumni

Kutanegara, Pande Made. 2014. Manusia,

Lingkungan, dan Sungai:

Transformasi Sosial Kehidupan

Masyarakat Sempadan Sungai Code.

Yogyakarta: Penerbit Ombak

Maryono, Agus. 2015. Restorasi Sungai.

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press

Nurhajarani, Dwi Ratna. Dkk. 1999.

Sejarah Kerajaan Tradisional

Surakarta. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan RI

Tjahjono, Subur. Ed. 2009. Ekspedisi

Bengawan Solo; Laporan Jurnalistik

KOMPAS Kehancuran Peradaban

Sungai Besar. Jakarta: PT. Kompas

Media Nusantara

Wijono, Radjimo Sastro. 2013. Modernitas

dalam Kampung; Pengaruh

Kompleks Perumahan Sompok

terhadap Pemukiman Rakyat di

Semarang Abad ke-20. Jakarta: LIPI

Press

JURNAL:

Taqabalallah, Ridha. 2009. Banjir

Bengawan Solo Tahun 1966:

Dampak dan Respons Masyarakat

Kota Solo, Skripsi Fakultas Sastra

dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Maret

PERATURAN HUKUM:

Perda Kota Solo Nomor 2 Tahun 2009

Pasal 57 Huruf B tentang Larangan

Pembuangan Sampah ke Sungai

Undang-Undang Nomor 38 Pasal 9 Tahun

2011 tentang Jarak Pemukiman dan

Badan Sungai

WEBSITE:

http://kampungnesia.org/berita-sangkrah-

kampung-sebelah-sungai.html (diunduh

dan diakses pada Senin 7 Maret 2016

pukul 11:39 WIB)

http://ngreksolepenmangkukeprabon.blogs

pot.co.id/2013/06/impian-wisata-air-kali-

pepe-di-kota.html (diakses dan diunduh

pada 22 April 2016 pukul 14:39 WIB)

Page 19: KALI PEPE: HALAMAN BELAKANG KEHIDUPAN KOTA SOLO …

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

http://news.okezone.com/read/2007/12/26/

1/70585/banjir-solo-capai-3-meter-ribuan-

warga-ngungsi - (diakses dan diunduh

pada Jumat, 20 Mei 2016 pukul 14: 47

WIB)

http://koempoelanbarangdjadoel.blogspot.c

o.id/2011/11/kb-380-foto-solo-banjir-

tahoen-1966.html (diunduh dan diakses

pada Rabu, 22 Juni 2016 pukul 13.35

WIB)