jurnal ilmiah issn 1693-7562 -...

116
JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 Media Kajian Al-Qur’an dan Al-Hadits Multi Perspektif TERBIT DUA KALI SETAHUN, JANUARI DAN JULI PENGURUS VOL. 9, NO. 1, JANUARI 2012 Penanggung Jawab Samsul Bahri Ketua Penyunting Damanhuri Basyir Wakil Ketua Penyunting Muhammad Zaini Sekretaris Penyunting Zulihafnani Wakil Sekretaris Penyunting Nurlaila Anggota Penyunting Abd. Wahid Fauzi Saleh Safrilsyah Maizuddin Zuherni Finansial Nuraini Sirkulasi Firdaus Muhammad Amin Nurullah Amri Diterbitkan Oleh: SEAR FIQH, Banda Aceh Alamat Redaksi: Kantor SEAR FIQH Jl. Tgk. Chik Pantekulu No. 13 Dusun Utara, Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111, telp. 08126950111 Email: [email protected], [email protected]

Upload: nguyentuyen

Post on 06-Feb-2018

251 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562

TERBIT 2 KALI SETAHUN PADA BULAN JANUARI DAN JULI Media Kajian Al-Qur’an dan Al-Hadits Multi Perspektif

TERBIT DUA KALI SETAHUN, JANUARI DAN JULI

PENGURUS

VOL. 9, NO. 1, JANUARI 2012

Penanggung Jawab Samsul Bahri

Ketua Penyunting Damanhuri Basyir

Wakil Ketua Penyunting Muhammad Zaini

Sekretaris Penyunting Zulihafnani

Wakil Sekretaris Penyunting Nurlaila

Anggota Penyunting Abd. Wahid Fauzi Saleh Safrilsyah Maizuddin

Zuherni

Finansial Nuraini

Sirkulasi Firdaus

Muhammad Amin Nurullah Amri

Diterbitkan Oleh: SEAR FIQH, Banda Aceh

Alamat Redaksi: Kantor SEAR FIQH Jl. Tgk. Chik Pantekulu No. 13 Dusun Utara, Kopelma Darussalam,

Kota Banda Aceh, 23111, telp. 08126950111 Email: [email protected], [email protected]

Page 2: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

ISSN 1693-7562

 

Vol. 9, Nomor 1, Januari 2012 

DAFTAR ISI

Daftar Isi, i

Misnawati : Qira’at Al-Qur’an dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath

Hukum, 1 Nasaiy Aziz : Hermeneutik: Cikal Bakal Lahirnya Metodologi Penafsiran al-

Qur’an (Suatu Analisis), 15 Fuad Ramly : Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an Berdasarkan Pendekatan Hermeneutik, 23 Muhammad Zaini : Teknik-Teknik Analisis dalam Tafsir Al-Qur’an, 32 Fauzi Saleh : Fikih Perabadan dalam Kisah al-Qur’an, 39 Nurdinah Muhammad: Implementasi Ajaran Al-Qur’an Tentang Qadha dan Qadar

Dalam Realita Kehidupan Umat, 49 Chairan M. Nur : Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Maskawaih (Interpretasi

terhadap Makna al-Wasath dalam al-Quran), 60 Muhammad Ichsan : Kehidupan Dunia Dalam Pandangan Al-Qur’an, 68 Muhammad Irham : Manusia Dalam Perspektif Hamba Allah (Studi Ayat Fithrah,

Hanif dan Ubudiyah), 78 Juwaini : Mukjizat Para Nabi dalam al-Qur’an, 89 Muhammad Amin : Keadilan Sahabat Nabi Dalam Pandangan Sunni dan Syiah, 101 Pedoman Penulisan, 113  

 

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, Juli 2012 (i)

Page 3: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA TERHADAP ISTINBATH HUKUM

Misnawati Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email: [email protected]

ABSTRACT Qira`at al-Qur’an is a school that practised by one of the ‘ulama in

pronouncing the Qur’an that differred from other ‘ulama with their agreement in its record. Differences of qira`at is already existed at the time of the Prophet Muhammad, and he himself confirmed the existence of such differences. He even asked for leniency of this thing to God so that his people could read al-Qur`an with different versions. This provides convenience to the community in reading al-Qur `an according to their respective dialects. These differences affect the laws that are sometimes produced by the scholars of Fiqh and sometimes not. It depends on lafadh (word) itself. Kata Kunci: Qira’at, al-Qur’an, Istinbath Hukum PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama, namun para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan beberapa hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Perbedaan tersebut diantaranya disebabkan karena berbedanya qira’at dalam membaca al-Qur’an. Perbedaan qira’at dari segi substansi lafaz atau kalimat adakalanya mempengaruhi perbedaan makna pada lafaz atau kalimat tersebut, sehingga berpengaruh terhadap istinbath hukum. Jauh sebelum al-Qur’an diturunkan, bangsa Arab terdiri dari berbagai macam kabilah. Secara garis besar mereka terdiri dari dua kelompok. Pertama, mereka yang berada di kawasan pedesaan atau badui yang selalu berpindah dari satu kawasan ke kawasan yang lain untuk mencari penghidupan. Kedua, mereka yang berada di perkotaan. Kelompok pertama banyak terdapat di timur Semenanjung Arabia seperti kabilah Tamim, Qais, Asad, dan lain sebagainya. Sedangkan kelompok kedua terdapat di barat Semenanjung Arabia seperti kabilah-kabilah Hijaziyah yang berada di Mekah dan Madinah, yang mereka berada di jalur perdagangan yang ramai. Dua kabilah ini mempunyai dialek (lahjah) yang berbeda. Perbedaan dialek tersebut tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio kultural masing-masing kabilah tersebut. Walaupun demikian, mereka tetap mempunyai bahasa nasional (common language) yaitu bahasa Arab Quraisy dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan interaksi lainnya. Sebagai contoh, kabilah-kabilah dari kelompok pertama banyak menggunakan imalah, sementara

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 1

Page 4: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MISNAWATI: QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA … 2

kelompok kedua jarang menggunakannya, tetapi banyak menggunakan harakat fathah. Dalam kondisi seperti inilah al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad. Perbedaan qira’at tersebut membawa pada perbedaan dalam melafalkan al-Qur’an. Perbedaan tersebut tidak dapat dihindari, karena Nabi sendiri telah membenarkan adanya perbedaan dalam pelafalan al-Qur’an. Bahkan Nabi sendiri yang meminta keringanan dari Allah agar meringankan cara dalam membaca al-Qur’an PENGERTIAN QIRA`AT Secara etymology kata qira’at (قراءات) adalah jamak dari kata qira’ah Sedangkan menurut .(قرأ) yang berarti bacaan, bentuk mashdar dari qara`a (قراءة)terminologi, ada beberapa defenisi di antaranya: 1. Manna’ al-Qaththan mendefinisikan qira’at adalah salah satu mazhab

pengucapan al-Qur’an yang dipilih oleh imam qurra` sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.1

2. Al-Zarqani berpendapat bahwa qira’at adalah suatu mazhab yang dianut oleh salah seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta adanya kesepakatan dalam riwayat-riwayatnya baik perbedaan tersebut dalam pengucapan huruf-huruf maupun bentuk-bentuknya.2

3. Al-Jazari berpandangan bahwa qira’at adalah ilmu yang mempelajari tata cara pengucapan redaksi al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan me-nyandarkan kepada perawi-perawinya.3

Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa fokus dan objek ilmu ini adalah redaksi al-Qur’an, yaitu bagaimana cara membaca redaksi tersebut. Ilmu ini adalah ilmu riwayah atau ilmu yang berdasarkan penukilan dari para ahli qira’at secara bersambung sampai kepada Nabi Muhammad. Tidak ada unsur ijtihad dalam ilmu ini, jadi murni berdasarkan tauqifi dari Nabi sendiri.

LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA`AT Sebenarnya perbedaan qira’at sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dari beberapa riwayat yang berkaitan dengan hadits “al-ahruf al-sab’ah”. Menurut al-Suyuti ada 21 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits ini menjadikannya sangat terkenal. Di antaranya, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khaththab berkata;

“Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, hingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu selesai salam aku menarik selendangnya dan bertanya:“Siapakah yang membacakan surat itu

_____________ 1Manna’ al-Qaththan, Mabahits fî ‘Ulum al-Qur’an, Cet. III (Riyadh: Maktabah al-

Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2000), 171. Selanjutnya disebut Manna’ al-Qaththan, Mabahits. 2M. Abd. al-Adhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I (Beirut: Dar

al-Ihya` al-Turats al-Arabi, t.th.), 288. 3Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang

Disempurnakan), Cet. III (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 314.

Page 5: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 3

kepadamu? Ia menjawab: Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku mengatakan kepadanya: Engkau berdusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang aku dengar tadi engkau baca. Kemudian aku bawa dia menghadap Rasulullah dan aku ceritakan kepadanya: Wahai Rasulullah: Aku telah mendengar orang ini membaca surat al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku. Maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia wahai Umar! Bacalah surat tadi wahai Hisyam! Kemudian Hisyampun membacanya dengan bacaan seperti yang aku dengar tadi. Maka Rasulullah berkata: Begitulah surat itu diturunkan. Kemudian Rasulullah berkata: Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.”4

Pada riwayat yang lain disebutkan bahwa Jibril atas perintah Allah me-merintahkan kepada Nabi Muhammad agar membacakan al-Qur’an kepada umatnya dengan satu huruf. Lalu Nabi meminta hal itu ditinjau kembali. Allah memberinya keringanan menjadi dua huruf. Nabi masih meminta hal itu ditinjau kembali sampai akhirnya Nabi diberi keringanan sampai tujuh huruf. Dalam beberapa riwayat dari hadits-hadits tentang al-ahruf al-sab’ah ini, Nabi mengemukakan kepada Allah tentang sebabnya beliau meminta keringanan yaitu bahwa umatnya terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat dan umur. Ada yang tidak bisa membaca dan menulis, ada yang sudah tua, dan ada pula yang masih kecil, yang semuanya adalah pembaca al-Qur’an. Jika mereka diharuskan membaca al-Qur’an dengan satu variasi bacaan saja, tentu mereka akan mengalami kesulitan. Padahal al-Qur’an perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan makna tujuh huruf. Ada beberapa pendapat yang mendekati kebenaran di antaranya: 1. Sebahagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh

huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika mereka mempunyai bahasa yang berbeda dalam mengungkapkan satu makna, maka al-Qur’anpun diturunkan dengan sejumlah lafaz sesuai dengan bahasa yang beraneka ragam tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja. Misalnya: هلم, وعخل وأسرع , وتعال ,وأقبل

ونحوى,وقصدى . Ketujuh lafaz tersebut mempunyai arti perintah menghadap,5 bahasa yang dimaksud adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Namun menurut Abu Hatim al-Sijistani, ketujuh bahasa tersebut yaitu Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakr.6

2. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab dimana al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi. Pendapat ini berbeda dengan pendapat

_____________ 4Shubhi al-Shalih, Mabahits fî ‘Ulum al-Qur’an, Cet. XXVI (Libanon: Dar al-Ilm li al-

Malayin, 2005), 101. 5Musa Syahin Lahain, Al-Ali’u al-Hisan fi `Ulum al-Qur’an, Cet. I (Kairo: Dar al-

Syuruq, 2002), h. 110. Selanjutnya disebut Musa Syahin, Al-Ali’u al-Hisan. Lihat juga M. Ali al-Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Shabuni, 1999), 215.

6 Manna’ al-Qaththan, Mabahits fî…, 158.

Page 6: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MISNAWATI: QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA … 4

sebelumnya karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran dalam berbagai surat dalam al-Qur’an, bukan yang dimaksud setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa. Misalnya kata “فطر” artinya menurut selain bahasa Quraisy adalah ابتدأ, dan ini terdapat dalam al-Qur’an.7

3. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bentuk yaitu: amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal, atau wa’ad, wa’id, halal, haram, mawa’idh, amtsal, dan ikhtijaj.

4. Ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang terjadi perbedaan (ikhtilaf) di dalamnya, yaitu: a. Perbedaan dalam al-asma’ (kata benda), dalam bentuk mufrad, tatsniah, jama’, muzakkar, dan ta’nits. Misalnya dalam QS. al-Mu`minun: 8;

t⎦⎪Ï% ©!$# uρ öΝ èδ öΝ Îγ ÏF≈ oΨ≈ tΒL{ öΝ Ïδωôγ tãuρ tβθãã≡ u‘ ∩∇∪

Kata ΝÎγÏF≈ oΨ≈ tΒ L{ dibaca ألمانتهم dalam bentuk mufrad. Sedangkan ditulis dalam Mushhaf Utsmani dengan ألمنتهم tanpa ada alif yang disukunkan. Tetapi kesimpulannya dari kedua macam bentuk itu sama. Sebab bacaan dalam bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak, sedangkan bacaan dalam bentuk jama’ dimaksudkan untuk arti istighraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya.8

b. Perbedaan dari segi i’rab (harakat akhir), seperti dalam QS. Yusuf: 31:

$tΒ # x‹≈ yδ # ·|³ o0

Jumhur membacanya nasab, dengan alasan ام berfungsi sebagai ليس dan ini adalah bahasa penduduk Hijaz yang dalam bahasa inilah al-Qur’an diturunkan, sedangkan Ibnu Mas’ud membacanya dengan rafa’ ما هذا بشر sesuai dengan bahasa Bani Tamim karena mereka tidak memfungsikan ما seperti ليس, juga seperti dalam QS. al-Baqarah: 37;

#‘ ¤) n=tGsù ãΠ yŠ#u™ ⎯ ÏΒ ⎯ Ïμ În/ §‘ ;M≈ yϑÎ=x.

Ayat ini dibaca dengan menasabkan آدم dan merafa’kan آلمات. c. Perbedaan dari segi tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu

أمر, مضارع, ماض . Seperti dalam QS. Saba’: 19;

(#θä9$s) sù $uΖ−/ u‘ ô‰Ïè≈ t/ t⎦÷⎫t/ $tΡÍ‘$x ó™ r&

Ayat tersebut dibaca dengan menasabkan kata ربنا karena menjadi مضاف , dibaca dengan ربنا Lafaz .(أمر) dibaca dengan bentuk perintah باعد dan منادىrafa’ sebagai dengan membaca fathah huruf ‘ain sebagai fi’il باعد dan مبتدأmadhi yang i’rabnya sebagai khabar. Juga dibaca بعد dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf ‘ain dan merafa’kan ربنا. Termasuk kelompok ini adalah perbedaan karena perubahan huruf, seperti يعلمون dan

_____________ 7 Musa Syahain Lahain, Al-Ali’u al-Hisan…, 108. 8 Shubhi al-Shalih, Mabahits fi…, 109-110.

Page 7: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 5

d. Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta`khir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf seperti dalam QS. al-Ra’du: 31 yang berbunyi: ييأس , أفلم juga dapat dibaca يأيس -dalam QS. al فيقتلون و يقتلون maupun dalam kata ,أفلم Taubah: 111, di mana yang pertama فيقتلون dibaca dalam bentuk aktif dan yang kedua ويقتلون dibaca dalam bentuk pasif, disamping dibaca pula sebaliknya. Adapun qira’at

ôNu™!% y uρ äοtõ3y™ ÏNöθyϑø9 $# Èd,pt ø:$$Î/

yang terdapat dalam QS. Qaf: 19, yang dibaca dengan الحق جاءت سكرة adalah qira’at ahad dan syaz yang tidak mencapai derajat بالموت

mutawatir.10

e. Perbedaan dari segi ibdal (penggantian) baik itu penggantian huruf dengan huruf seperti dalam QS. al-Baqarah: 259:

öÝàΡ$# uρ †n<Î) ÏΘ$sà Ïèø9 $# y#ø‹Ÿ2 $yδã”ų⊥ çΡ

yang dibaca dengan huruf za dan mendhammahkan nun, di samping dibaca pula dengan huruf ra dan menfatahkan nun, maupun penggantian lafaz dengan lafaz seperti dalam QS. al-Qari’ah: 5:

ãβθä3 s?uρ ãΑ$t6 Éfø9 $# Ç⎯ ôγ Ïèø9 $$Ÿ2 Â\θàΖyϑø9 $# ∩∈∪

yang dibaca oleh Ibnu Mas’ud dan lain-lain dengan المنفوش .آالصوف Terkadang terjadi pula penggantian pada tempat keluar huruf seperti QS. al-Waqi’ah: 29, طلح منضود yang dibaca dengan طلع منضود karena makhraj huruf ha` dan ‘ain itu sama dan keduanya termasuk huruf halq.11

f. Perbedaan dari segi ziyadah (penambahan) seperti yang terdapat dalam QS. al-Taubah: 100;

£‰tãr& uρ öΝ çλm; ;M≈ ¨Ζy_ “Ìôfs? $yγ tFøt rB ã≈ yγ ÷ΡF{ $# t

yang dibaca juga من تحتها األنهار dengan tambahan من, keduanya merupakan qira’at yang mutawatir. Mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqs), seperti yang terdapat dalam QS. al-Baqarah: 116;

(#θä9$ s%uρ x‹sƒ ªB $# ª!$# # V$ s!uρ

dibaca tanpa huruf waw, sedangkan jumhur ulama membacanya dengan waw.

_____________ 9 Shubhi al- Shalih, Mabahits fi…, 109. 10 M. Ali al-Shabuni, Al-Tibyan…, 216. 11 Manna’ al-Qaththan, Mabahits…, 160.

Page 8: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MISNAWATI: QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA … 6

g. Perbedaan lahjah (dialek) seperti bacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah, idhhar dan idgham, hamzah, tashil, isymam, dan lain-lain. Seperti membaca imalah dan tidak imalah dalam QS. Thaha: 9:

ö≅ yδuρ y79s?r& ß]ƒ ωym #©y›θãΒ ∩®∪

yang dibaca dengan mengimalahkan kata أتى dan موسى. Bentuk ini selalu sesuai dengan rasm mushaf karena berubah dalam bentuk pengucapan tidak dalam esensi kata.

5. Sebahagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiyah, tapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Kata tujuh merupakan isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab lafaz sab’ah dipergunakan untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti “tujuh puluh” dalam bilangan puluhan dan “tujuh ratus” dalam bilangan ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.

6. Sebahagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira`at tujuh.

Adanya perbedaan tersebut karena tidak adanya nas dari hadits yang menentukan secara pasti satu persatu dari tujuh huruf tersebut. Ada benang merah yang dapat ditarik dari diskusi yang ada, bahwa al-Qur’an bisa dibaca dengan bermacam versi, dengan boleh memilih di antara versi bacaan yang ada sesuai dengan apa yang mudah baginya. Jadi bukan berarti semua versi bacaan tersebut dibaca semua. Dan tujuan adanya perbedaan tersebut adalah untuk meringankan umat. Mengingat umat Islam terdiri dari berbagai macam kelas sosial dan usia. Dengan adanya keringanan ini, Nabi dapat mengajarkan al-Qur’an dengan berbagai versi tersebut. Pada masa pemerintahan Usman bin Affan terdapat perselisihan sesama kaum muslimin mengenai bacaan al-Qur’an yang hampir menimbulkan perang saudara antara sesama kaum muslimin. Perselisihan ini disebabkan mereka berlainan dalam membaca al-Qur’an karena memang Nabi berbeda dalam mengajarkan al-Qur’an menurut dialek mereka masing-masing. Namun mereka tidak memahami maksud Nabi tersebut, sehingga masing-masing golongan membenarkan bacaan mereka, sedangkan bacaan lainnya salah. Untuk mengatasi perselisihan tersebut, Khalifah Utsman bin Affan memerintahkan untuk menyalin mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa Abu Bakar dan memperbanyaknya serta mengirimkannya ke berbagai daerah.12 Sehingga bisa mempersatukan kembali perpecahan umat Islam. Tentunya bacaan al-Qur'an di daerah-daerah tersebut mengacu pada mushhaf yang dikirim oleh khalifah Usman tadi. Mushhaf-mushhaf yang dikirim oleh Khalifah Usman seluruhnya sama, karena semuanya berasal dari beliau. _____________

12 Fahd bin Abdurrahman al-Rumi, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), 121-123.

Page 9: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 7

PERKEMBANGAN ILMU QIRA`AT Kaum muslimin senantiasa mengajarkan al-Qur’an secara terus menerus. Sehingga bacaan al-Qur’an yang beragam versi tersebar ke seluruh masyarakat. Periode qurra` (imam qira`at) yang mengajarkan al-Qur’an kepada orang-orang menurut cara masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira’at adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Mereka dikirim oleh Usman bin Affan untuk mengajarkan al-Qur’an ke berbagai wilayah Islam beserta mushaf al-Qur’an bersama mereka. Dari sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qira’at. Kemudian muncullah nama-nama ahli qira’at di setiap negeri. Pada permulaan abad pertama hijrah di masa tabi’in, tampil sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Merekapun menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkan qira’at hingga sekarang ini. Dari sejumlah ulama qira’at yang ada di negeri tersebut muncul nama-nama yang berpengaruh dalam ilmu qira’at. Pada abad kedua hijrah, sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, qira’at yang bermacam-macam tersebut mendapat perhatian dari para ulama. Mereka menghimpun bacaan-bacaan tersebut dalam kitab-kitab mereka, hingga muncul kitab-kitab qira’at. Para ulama tersebut menghimpun qira’at yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka. Sehingga jumlah qira’at yang ada tidak sama antara satu kitab dengan kitab lainnya. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H) adalah orang yang pertama sekali menghimpun qira`at dalam sebuah kitab dan menjadi suatu disiplin ilmu. Beliau menghimpun bacaan 25 imam qira’at. Al-Qadhi Ismail bin Ishaq al-Maliki (w. 282 H) menghimpun bacaan 20 imam qira’at. Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) menghimpun bacaan lebih dari 20 imam qira’at, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa penulisan ilmu qira’at itu masih belum menemukan persamaan antara satu penulis dengan penulis lainnya. Semuanya menghimpun bacaan dari imam-imam mereka.13 Jika setiap imam mempunyai beberapa bacaan, lalu diajarkan kepada muridnya lagi, yang lain juga demikian. Maka betapa banyaknya riwayat qira’at yang beredar. Banyaknya qira’at yang tersebar di masyarakat menyebabkan kerancuan di kalangan masyarakat awam. Melihat situasi ini para ulama qira’at mulai memilih dan memilah bacaan yang dianggap betul-betul bacaan yang sah. Mereka kemudian menetapkan kaidah tentang bacaan yang diterima yang merupakan syarat diterimanya sebuah qira’at yaitu: pertama, qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab karena al-Qur’an berbahasa Arab. Kedua, qira’at tersebut sesuai dengan salah satu mushaf Usmani. Sebab dalam penulisan mushaf, sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui. Apa yang tidak tertera dalam mushaf Usmani dianggap bacaan yang tidak masyhur dan ditolak. Misalnya mereka menuliskan راطالص dalam QS. al-Fatihah: 6: اهدنا الصراط المستقيم , dengan shad sebagai ganti sin. Mereka tidak menuliskan sin yang merupakan asal lafaz ini

_____________ 13 Departemen Agama RI, Mukadimah…, 317.

Page 10: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MISNAWATI: QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA … 8

Jika ketiga hal tersebut terpenuhi maka bacaan tersebut wajib diterima sebagai bacaan shahih. Namun jika salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at tersebut tidak bisa diterima dan dianggap syaz. Jadi timbul penyebaran qira’at sebenarnya terjadi pada abad II H ini, tatkala para qari telah tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at para gurunya dari pada qira’at para imam lainnya. Qira’at tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru hingga sampai kepada para imam qira’at. Pada permulaan abad IV H, ulama qira’at memilih orang-orang yang dianggap ahli, terpercaya, masyhur dan mempunyai pengalaman yang cukup lama dalam pengajaran qira’at. Mereka memilih ahli qira’at dari setiap negeri yang bisa mewakili bacaan penduduk negeri tersebut yang bersama mereka dikirim mushaf Usmani. Dipilihlah tujuh orang imam yang dapat mewakili setiap negeri. Mereka adalah Ibnu Amir, Ibnu Katsir, Ashim al-Kufi, Abu Amr, Hamzah al-Kufi, Nafi’, dan al-Kisa’i.14 Ketujuh imam qira’at yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Imam Abu Bakar bin Mujahid al-Bagdadi yang merupakan penggagas pertama munculnya al-qira`at al-sab’ah (qira`at tujuh) mengatakan bahwa mereka adalah ulama yang terkenal dari segi hafalan, ketelitian, dan cukup lama menekuni dunia qira’at. Ketika menentukan tujuh imam qira’at tersebut, ia berpijak pada ketokohan seseorang dalam bidang ilmu qira’at dan kesesuaian bacaan mereka dengan mushaf Utsmani yang ada di negeri mereka dan bacaan mereka betul-betul masyhur di kalangan ulama di negerinya masing-masing. Sebenarnya imam tujuh tersebut sudah banyak disebutkan oleh para penulis kitab qira’at sebelum Mujahid. Namun Mujahid yang akhirnya memilih mereka sebagai imam yang mewakili setiap negeri tersebut, dan muncullah istilah al-qira`at al-sab’ah yang merupakan istilah yang pertama ada dalam sejarah ilmu qira’at. Jadi penyebab munculnya al-qira’at al-sab’ah adalah; pertama, banyaknya riwayat yang beredar di masyarakat sehingga menjadi rancu bagi orang awam. Kedua, adanya mushaf Utsmani yang tidak berbaris menjadi pintu masuk bagi kalangan ahli bid’ah untuk membaca menurut keinginan mereka tanpa melihat sanadnya yang shahih. Dan ketiga, menurunnya semangat untuk mempelajari qira’at dengan banyaknya qira’at hingga diperlukan penyederhanaan dalam periwayatan. Setelah itu terjadi perubahan positif yang mengarah pada penyusunan kitab qira’at. Ulama qira’at mulai meneliti riwayat yang bersandar pada imam tujuh tersebut. Ternyata perawi dari ketujuh imam tersebut cukup banyak bisa mencapai puluhan bahkan ratusan rawi termasuk para perawi di bawahnya. Melihat banyaknya rawi dari imam tujuh yang mengakibatkan banyaknya variasi bacaan, maka Abu Amr al-Dani menyederhanakan jumlah perawi dari setiap imam menjadi dua orang rawi saja agar para peminat ilmu qira’at lebih mudah dalam menguasai ilmu ini. Dua orang perawi yang ada pada setiap imam adalah para perawi yang sangat terkenal. Mereka telah menekuni ilmu ini sejak lama, dan qira`at yang mereka riwayatkan betul-betul mutawatir. Di samping qira’at tujuh masih ada

_____________ 14 Muhammad Ali al-Shabuni, Al-Tibyan…, 228-239.

Page 11: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 9

qira’at yang juga masyhur yaitu qira’at sepuluh (al-qira`at al-‘asyrah). Mereka adalah imam tujuh ditambah tiga imam lagi sehingga menjadi sepuluh yaitu Abu Ja’far, Ya’qub, dan Khalaf. 15 Bacaan mereka dari segi kualitas dapat disamakan dengan qira’at tujuh, dan memenuhi tiga persyaratan diterimanya sebuah qira’at. Mereka yang akhirnya dipilih sebagai ahli qira’at yang bacaan mereka terabadikan hingga saat ini melalui apa yang disebut dengan qira’at sab’ah dan qira’at ‘asyrah. Bacaan imam sepuluh dihimpun sangat baik dan sangat teliti oleh imam Ibnu al-Jazari, seorang yang digelar dengan penuntas masalah qira`at pada abad ke-9 H dalam kitabnya al-Nasyr fi al-Qira`at al ‘Asyrah. Para ulama qira’at masih terus berupaya menghimpun qira’at imam lainnya. Lalu muncullah empat imam lainnya. Bacaan mereka di bawah kualitas bacaan imam sepuluh, sehingga qira’at mereka syaz artinya tidak boleh dibaca karena tidak memenuhi kriteria yang telah disebutkan. Keempat imam tersebut adalah Ibnu Muhaisin, al-Yazadi, Hasan al-Basri, dan al-A’masy.16 Qira’at tujuh atau qira’at sepuluh walaupun mutawatir, tidak semuanya masih beredar di kalangan masyarakat. Qira’at yang masih banyak dibaca di kalangan kaum muslimin hingga saat ini hanya sekitar empat qira’at yaitu qira’at Nafi’, riwayat Warasy, riwayat Qalun, qira`at Abu Amr, riwayat al-Duri, dan qira’at Ashim riwayat Hafsh. MACAM-MACAM QIRA’AT Menurut al-Suyuthi, qira’at itu ada enam macam yaitu: 1. Qira’at Mutawatir yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi

yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya yakni Nabi, dan inilah yang umum dalam hal qira’at.

2. Qira’at Masyhur yaitu qira’at yang shahih sanadnya, di mana perawinya adil dan dhabid. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan salah satu mushaf Utsmani serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at sehingga qira’at ini tidak dikategorikan ke dalam qira’at yang salah atau syaz namun tidak mencapai derajat mutawatir. Qira’at seperti ini merupakan qira’at yang dapat digunakan.

3. Qira’at Ahad yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab atau sesuai dengan rasm Utsmani dan kaidah bahasa Arab, namun tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur. Qira’at seperti ini tidak dapat dibaca dan tidak wajib untuk diyakini.17 Misalnya qira’at yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ashim al-Jahdari dari Abu Bakr bahwa Nabi membaca QS. al-Rahman: 76;

t⎦⎫Ï↔Å3−GãΒ 4’ n?tã >∃tøù u‘ 9ôØäz Ad“Ìs) ö7 tãuρ 5β$|¡Ïm ∩∠∉∪

dengan رفارف حضر dan عباقري, dan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi membaca QS. al-Taubah: 128;

_____________ 15 Musa Syahain Lahain, Al-Ali’u al-Hisan…, 105. 16 Departemen Agama RI, Mukadimah…, 321. 17 Muhammad Abd. al-Adhim al-Zarqani, Manahil…, h. 301. Lihat juga Musa Syahain

Lahain, Al Ali’u al-Hisan…, 97.

Page 12: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MISNAWATI: QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA … 10

ô‰s) s9 öΝ à2u™!% y Ñ^θß™ u‘ ô⎯ÏiΒ öΝ à6 Å¡àΡr&  Í•tã Ïμø‹n=tã $tΒ óΟšGÏΨ tã ëȃ Ìym

Ν à6 ø‹n=tæ š⎥⎫ÏΖÏΒ÷σ ßϑø9 $$Î/ Ô∃ρ â™u‘ ÒΟŠ Ïm§‘ ∩⊇⊄∇∪

dengan fathah fa` pada kata أنفسكم.

4. Qir’at Syaz yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti QS. al-Fatihah: 4;

Å7Î=≈ tΒ ÏΘöθ tƒ É⎥⎪Ïe$!$# ∩⊆∪

yang dibaca dalam bentuk fi’il madhi dan menasabkan يوم .

5. Qira’at Maudhu’ yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Seperti qira’at al-Khuza’i yang dinisbahkan kepada Abu Hanifah dalam QS. Fathir: 28;

š∅ÏΒuρ Ĩ$ ¨Ζ9 $# Å_U!# uρ¤$!$# uρ ÉΟ≈ yè÷ΡF{ $# uρ ì#Î=tFøƒ èΧ … çμ çΡ≡ uθø9 r& šÏ9≡ x‹x. 3 $yϑΡÎ) ©y øƒ s†

©!$# ô⎯ ÏΒ ÍνÏŠ$t6 Ïã (# àσ ¯≈ yϑn=ãèø9 $# 3 χÎ) ©!$#  Í•tã î‘θà xî ∩⊄∇∪

yang dirafa’kan lafaz اهللا dan dinasabkan العلماء. 6. Qira’at Mudraj yaitu qira’at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam

ayat-ayat al-Qur’an. Seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqas yang membaca frman Allah QS. al-Baqarah: 198;

}§øŠs9 öΝ à6 ø‹n=tã îy$oΨ ã_ βr& (#θäótGö; s? WξôÒsù ⎯ ÏiΒ öΝ à6 În/ §‘ 4 !# sŒÎ* sù Ο çFôÒsù r& ï∅ ÏiΒ

;M≈ sùttã (#ρãà2øŒ $$sù ©!$# y‰Ψ Ïã Ìyèô±yϑø9 $# ÏΘ# tysø9 $#

dengan menambah lafaz في مواسم الحج setelah lafaz من ربكم. Kalimat في adalah penafsiran yang ditambahkan ke dalam ayat.18 مواسم الحج

Keempat macam yang terakhir ini tidak dapat diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qira’at tujuh itu mutawatir. Sedangkan qira’at yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an, karena al-Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedangkan qira’at yang syaz tidak mutawatir. PENGARUH QIRA’AT TERHADAP ISTINBATH HUKUM Istinbath hukum dapat diartikan sebagai upaya untuk melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baik yang ada dalam al-Qur’an dan hadits. Hal ini tidak terlepas dari ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an. Ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat yang mengatur dan berkaitan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia secara lahir. Ada ayat hukum yang termasuk ibadah yaitu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan ada ayat hukum yang termasuk muamalah yaitu mengatur hubungan manusia dengan manusia lain secara horizontal.

_____________ 18 M. Abd. al-Adhim al-Zarqani, Manahil…, 301-302.

Page 13: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Perbedaan antara satu qira’at dengan qira’at yang lain bisa saja terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan, dan pengurangan kata. Perbedaan qira’at al-Qur’an yang berkaitan dengan subtansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut dan adakalanya tidak. Perbedaan-perbedaan ini sedikit banyaknya tentu membawa kepada perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh terhadap hukum yang diistinbathkan darinya. Karena itu para ulama fikih membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira`at pada لمستم dan المستم dalam QS. al-Nisa: 43. Ada perbedaan cara membaca pada lafaz النساء ,’Ibnu Katsir, Nafi .المستم Ashim, Abu Amr, dan Ibnu Amir membaca المستم النساء, sedangkan Hamzah dan Kisai membaca لمستم النساء. Perbedaan antara المستم النساء dan ستم النساءلم akan mempengaruhi istinbath hukum. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu’. Sebab, menurut Hanafi, Ibnu Abbas, al-Hasan, dan Qatadah kata المستم di sini berarti jima’ (bersetubuh) dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu. Sedangkan menurut Syafi’i, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas al-Nakha’i bersentuhan kulit semata juga tetap akan membatalkan wudhu’. Perbedaan qira’at dalam ayat ini jelas menimbulkan perbedaan pengertian. Qira’at pertama mengandung interaksi antara pihak yang menyentuh dengan yang disentuh, baik interaksinya sampai kepada jima’ sebagaimana yang dipahami oleh mazhab Hanafi maupun hanya sampai batas perasaan syahwat sebagaimana yang dipahami oleh mazhab Maliki. Sebab kata المس termasuk bentuk kata kerja musyarakah dalam ilmu sharaf. Sementara itu qira’at لمس adalah bentuk kata kerja muta’addi (transistif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu qira’at pertama mendukung pendapat mazhab Hanafi dan Maliki, dan qira’at kedua mendukung pendapat mazhab Syafi’i. Demikian juga hukum boleh mencampuri perempuan yang sedang haidh ketika putus haidhnya dan tidak boleh dicampuri sehingga ia mandi. Hukum ini didasarkan pada perbedaan bacaan dalam QS. al-Baqarah: 222;

štΡθè=t↔ó¡o„ uρ Ç⎯ tã ÇÙŠÅsyϑø9 $# ( ö≅è% uθèδ “]Œ r& (#θä9 Í”tIôã$$sù u™!$|¡ÏiΨ9 $# ’ Îû ÇÙŠÅs yϑø9 $# ( Ÿωuρ

£⎯ èδθç/ tø) s? 4©®Lym tβößγ ôÜ tƒ ( # sŒ Î* sù tβö£γ sÜ s?  ∅èδθè?ù' sù ô⎯ ÏΒ ß] ø‹ym ãΝ ä. ttΒr& ª!$# 4 ¨βÎ) ©!$# = Ïtä†

t⎦⎫Î/≡ §θ−G9 $# = Ïtä†uρ š⎥⎪ÌÎdγ sÜ tFßϑø9 $# ∩⊄⊄⊄∪

Menurut qira’at Nafi’ dan Abu Amir dibaca dengan takhfif حتى يطهرن dan menurut qira’at Hamzah dan Kisa’i dibaca dengan tasydid حتى يطهرن. Qira’at dengan tasydid menjelaskan makna qira’at dengan takhfif. Qira’at pertama yang dibaca dengan takhfif, sukun tha dan dhammah ha menunjukkan larangan menggauli perempuan ketika haidh. Ini berarti bahwa ia boleh dicampuri setelah terputusnya haidh sekalipun belum mandi. Inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan qira’at kedua yang dibaca tasydid tha dan ha menunjukkan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih. Perbuatan itu adalah mandi sehingga يطهرن ditafsirkan dengan يغتسلن (mandi). Berdasarkan qira’at Hamzah dan al-Kisa`i jumhur ulama menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 11

Page 14: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MISNAWATI: QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA … 12

Perbedaan hukum juga terjadi pada QS. al-Ma`idah: 6;

$pκ š‰ r'≈ tƒ š⎥⎪Ï% ©!$# (# þθãΨ tΒ# u™ # sŒ Î) óΟ çFôϑè% ’ n<Î) Íο4θn=¢Á9 $# (#θè=Å¡øî$$sù öΝ ä3yδθã_ãρ öΝ ä3tƒ ω÷ƒ r& uρ ’ n< Î)

È,Ïù# tyϑø9 $# (#θßs|¡øΒ$# uρ öΝ ä3Å™ρâ™ãÎ/ öΝ à6 n=ã_ö‘ r& uρ ’ n<Î) È⎦÷⎫t6 ÷è s3ø9 $#

Ayat di atas menjelaskan bahwa jika seseorang berhadas maka cara menyucikannya dengan berwudhu’ yaitu dimulai dengan mencuci muka, mencuci kedua tangan sampai ke siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Sementara ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, karena ada dua versi qira’at menyangkut hal ini. Ibnu Katsir, Hamzah, Ashim riwayat Syu’bah dan Abu Amr membaca أرجلكم, sedangkan Nafi’, Ibnu Amir, al-Kisa’i, Ashim riwayat Hafsh membaca أرجلكم . Ayat yang dibaca dengan menasabkan وأرجلكم terdapat penjelasan kedua kaki wajib dicuci ketika berwudhu’, karena di’athaf kepada ma`mul fi’il (objek kata kerja) غسل. Sedangkan qira’at dengan وأرجلكم menjelaskan hukum bahwa dalam berwudhu hanya kedua kaki wajib diusap dengan air, dengan alasan lafaz itu di’athafkan kepada ma’mul fi’il مسح. Dalam tafsir al-Thabari diterangkan bahwa, ahli qurra’ berbeda pendapat tentang bacaan وأرجلكم. Membaca وأرجلكم dengan harakat fathah karena ‘athaf pada yang berarti membasuh kedua kaki. Adapun bacaan dengan mengkasrah أيديكمdengan alasan ‘athaf pada وأرجلكم yang berarti hanya mengusap tanpa برؤوسكمmembasuhnya.19

Dalam ayat tersebut, Allah membatasi kaki sampai dengan mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu’, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan. Jumhur ulama cenderung memilih pendapat وأرجلكم di mana ketika berwudhu wajib mencuci kedua kaki sampai mata kaki. Dari uraian di atas tampak dengan jelas, bahwa perbedaan qira’at dalam hal ini, dapat menimbulkan perbedaan istinbath hukum, baik dalam cara istinbath maupun ketentuan hukum yang diistinbathkan. Uraian di atas menunjukkan besarnya pengaruh qira’at dalam proses perbedaan dalam penetapan hukum di kalangan ulama. Sebahagian qira’at bisa berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal menurut qira’at yang lain, atau penafsiran dan penjelasan kepada makna. Perbedaan qira’at ada yang tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum. Seperti yang terdapat dalam QS. al-Ahzab: 49;

$pκš‰ r'≈ tƒ t⎦⎪Ï%©!$# (# þθãΖtΒ#u™ #sŒÎ) ÞΟçFóss3tΡ ÏM≈ oΨÏΒ ÷σßϑø9 $# ¢ΟèO £⎯èδθßϑçGø) ¯=sÛ ⎯ ÏΒ È≅ö6s% βr&  ∅èδθ¡yϑs? $yϑsù

öΝ ä3s9 £⎯ ÎγøŠn=tæ ô⎯ ÏΒ ;Ïã $pκtΞρ ‘‰tF÷ès? ( £⎯ èδθãèÏnGyϑsù £⎯ èδθãmÎh| uρ %[n# u|  WξŠÏΗsd .

_____________ 19 Al-Thabari, Jami’ al- Bayan, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), 80.

Page 15: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang wanita yang diceraikan suaminya sebelum wanita tersebut dibolehkan lagi kawin dengan laki-laki lain. Berkaitan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa’i, membacanya dengan

قبل تمآسوهن من , sementara Ibnu Katsir, Abu Amir, Ashim dan Nafi’ membacanya dengan من قبل أن تمسوهن. Perbedaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh lain QS. al-Fatihah: 6;

$tΡω÷δ$# xÞ≡ uÅ_Ç9 $# tΛ⎧ É) tGó¡ßϑø9 $# ∩∉∪

Kata الصراط dapat dibaca dengan qira’at السراط. Kedua kata tersebut berbeda qira’at namun maknanya tetap sama dan tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum karena memang ayat tersebut tidak berkaitan dengan hukum.

Bervariasinya qira’at yang shahih ini mengandung banyak faedah serta fungsi, pertama, menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda. Kedua, meringankan dan memudahkan umat Islam untuk membaca al-Qur’an. Ketiga, bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna (i’jaz)nya, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafaz. Keempat, penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain. Kelima, dengan keragaman qira’at memancarkan makna al-Qur’an semakin luas dan mendalam. Walaupun dikaji dari berbagai sudut pandang tidak pernah habis, justru semakin nyata kebenaran-nya dan kemu’jizatannya.

KESIMPULAN Qira’at al-Qur’an adalah suatu cara dalam melafalkan al-Qur’an yang dijadikan pedoman oleh imam qira`at yang berbeda dengan imam lainnya sekalipun sanadnya sama. Perbedaan antara satu qira’at dengan qira’at lain bisa saja terjadi pada perbedaan huruf, kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan, dan pengurangan kata dan lain-lain. Perbedaan itu sudah tentu sedikit banyaknya membawa kepada perbedaan makna, bahkan tidak jarang perbedaan qira’at membawa pengaruh dalam menghasilkan sebuah hukum di kalangan ulama. Mereka menempatkan perbedaan qira’at pada urutan pertama. Sehingga pengetahuan tentang qira’at sangat perlu bagi seseorang yang hendak mengistinbathkan hukum dari ayat al-Qur’an khususnya dan menafsirkannya pada umumnya.

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 13

Page 16: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MISNAWATI: QIRA’AT AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA … 14

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang

Disempurnakan), Cet. III, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.

Lahain, Musa Syahin, Al-Ali’u al-Hisan fi ‘Ulum al-Qur’an, Cet. I, Kairo: Dar al- Syuruq, 2002.

Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fî ‘Ulum al-Qur’an, Cet. III, Riyadh: Maktabah

al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2000.

Al-Shabuni, M. Ali, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Dar al-Shabuni, 1999. Al-Shalih, Shubhi, Mabahits fî ‘Ulum al-Qur’an, Cet. XXVI, Libanon: Dar al-Ilm

li al-Malayin, 2005. Al-Zarqani, M. Abd. al-Adhim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I,

Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-Arabi, t.th.

Page 17: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 15

STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK SEBAGAI CIKAL BAKAL LAHIRNYA METODOLOGI

PENAFSIRAN AL-QUR’AN

Nasaiy Aziz Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email: [email protected]

ABSTRACT From religious as well as historical authenticity perspective, altering

materials in the Qur’anic mushaf (its letter, word, sentence, verse (ayah) or chapter (surah) is forbidden since it might doubt the authenticity of the mushaf. The method of interpretation is allowed to use only in terms of looking for its spiritual meaning, although it might also affect on the text of the mushaf. This paper will explore further the method of interpretation (hermeneutic) of the Qur’an. Kata Kunci: Hermeneutik, Interpretasi, al-Qur’an PENDAHULUAN

Walaupun tetap menarik untuk dicermati pengamatan para pakar yang mengatakan bahwa “human science” hanya ada tiga kemungkinan, yaitu ilmu sosial empiris, deskriptif, dan hermeneutis, tetapi penulis ingin memulai pembicaraan tema ini dengan mengutip pendapat Richad J. Bernstein,1 yang mengatakan bahwa abad kita adalah abad interpretasi, sebab pertanyaan mendasar tentang setiap kebudayaan menyangkut persoalan hakikat, strategi, dan konsekuensi-konsekuensi interpretasi. Mengapa hermeneutika menjadi sangat penting dalam abad ini? Ada berapa argumen yang diketengahkan?

Makna hermeneutika bagi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan menjadi menarik manakala pada abad XIX muncul masalah baru tentang karakteristik dan tata-hubungan antara Naturwissenschaften (ilmu-ilmu kealaman) dan Geisteswissenscahaften (ilmu-ilmu kehidupan). Dari perdebatan antara kedua bidang ilmu ini kemudian muncul suatu kesadaran historis baru bahwa telah terjadi kesalahan yang sangat fundamental yang disebabkan oleh imperialism intelektual, yakni ilmu-ilmu alam (natural sciences) dianggap sebagai satu-satunya model eksplansi dan metodologi bagi seluruh legitimasi ilmiah dan klaim kognitif. Dilthey yang berjasa besar menunjukkan bahwa Geisteswissenscahaften memiliki integritas dan otonomi sendiri, artinya bahwa metode dan pengetahuan yang dicapainya tidak direduksikan dari aturwissenschaften. Geisteswissenscahaften memiliki seni pemahaman dan interpretasi yang kemudian disebut hermeneutika. _____________

1Richard J. Bernstein, Hermeneutiecs and The Tradition (Washington, DC: The American Catholic Philosofical Assocation, 1958), 58.

Page 18: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK … 16

Jadi hermeneutika bukan lagi hanya dipandang sebuah disiplin filologi tetapi hermeneutika memberikan model pemahaman tentang kehidupan manusia.

Terlepas dari suara skeptis dan kritis, usaha Dilthey mendapat sambutan luar biasa dari para ilmuan sosial. Charles Taylor2 dalam salah satu artikelnya Interpretation and the Srinces of Man menyatakan, bahwa ilmu-ilmu sosial yang naturalistik dan positivistik harus dikoreksi. Ia beranggapan bahwa pemahaman dan interpretasi atas aktivitas manusia memerlukan intersubjektivitas, makna-makna umum, dan ini memerlukan hermeneutika atau metode penafsiran kontemporer.

Dalam bidang antropologi budaya misalnya tercatat salah satu tokoh terkenal, yaitu Clifford Geertz yang sudah mempraktekkan pendekatan lingkaran hermeneutika dalam penelitiannya. Geertz mengatakan bahwa hermeneutika digunakan untuk a continuous tasking between the most local detail and the most global of global structure in such a way bring both into new view simultaneously.3 Thomas Khun, seorang ahli fisikawan dalam karyanya The Essential Tension4 menunjukkan, bahwa walaupun dalam karya-karya awalnya tidak pernah disebut hermeneutika, tetapi akhirnya ia menyadari bahwa hermeneutika sangat penting dan berpengaruh dalam menyusun pandangannya yang baru tentang ilmu pengetahuan.

PENGERTIAN HERMENEUTIKA

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin, diterjemahkan “menafsirkan dan menginterpretasikan,” kata bendanya hermeneuia artinya “tafsiran”.5 Dalam tradisi Yunani kuno, kata hermeneuin dan herneuia dipakai tiga makna, yaitu (1) mengatakan (to say), (2) menjelaskan (to explain), dan (3) menerjemahkan (to translate). Tiga makna inilah yang dalam kata Inggris diekspresikan dalam kata interpret. Dengan demikian, interpretasi menunjukkan pada tiga hal pokok: pengucapan lisan (an oral recitation), penjelasan yang masuk akal (a reasonable explantion), dan terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language).6 Aristoteles dalam Organon menggunakan kata peri hermeneias on interpretion.7 Istilah Yunani ini mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari Dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dimengerti manusia. Oleh karena itu, fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasi atau menyampaikan sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya.8

_____________ 2Charles Taylor, Interpretation and the Srinces of Man (Colombiya: University of

California,1979), 25. 3Richard J. Bernstein, Hermeneutiecs and The Tradition, 62. 4Thomas Khun, The Esential Tension: Slected Studies in Scientific Tradition and Change

(Chicago: The University of Chicago Press, 1977), xvii-xx. 5James M. Roninson, “Hermeneutic Since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. JM

Robinson dan John B. Cobb (New York: Harper and Row Publisher, 1964), 1. 6Palmer, Hermeneutics (Evanston, USAA : Northwestern University Press, 1980), 12. 7Palmer, Hermeneutics, 13-14. 8Haryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 23.

Page 19: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 17

Sebenarnya hermeneuia memiliki pengertian yang cukup luas yang men-cakup pembicaraan, penjelasan tentang sesuatu yang belum jelas menjadi jelas dengan menggunakan ekspresi bahasa, penerjemahan dari sesuatu ke bahasa lain, dan penafsiran (commentary, exegesis), mengeksplisitkan makna yang samar-samar dengan bahasa yang lebih jelas.9 Pengertian terakhir inilah yang kemudian lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain.

Meskipun terdapat sinonim antara hermenuia atau hermeneutika dengan exegesis, tetapi pada hakekatnya terdapat perbedaan, yakni yang pertama menunjukkan teori atau metodologi penafsiran dan yang terakhir berkaitan dengan aspek praktisnya. Yang pertama adalah exegesis theoretica dan yang terakhir adalah exegesis practica.10

Dalam perkembangannya, kata hermeneutika sekurang-kurangnya memperoleh enam makna. Pertama, hermeneutika berarti teori mengenai tafsir al-kitab, artinya hermeneutika menunjuk kepada prinsip-prinsip dasar dalam menafsirkan al-kitab. Pengertian ini pertama kali diperkenalkan oleh J.C. Dannhauer dalam bukunya Hermeneutica Sacra Sive Methodus Exponendarum Sacrarum Litterarum. Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi. Disini hermeneutika dianggap sebagai the methods of biblical hermeneutics yang pada dasarnya sinonim dengan teori tentang interpretasi, misalnya dipakai dalam menafsirkan teks-teks klasik dengan tokoh-tokoh utama, misalnya Friedrich August dan Friederich Ast. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang pemahaman linguistik (linguistik understanding). Dalam hal ini Schleiermacher membedakan hermeneutika sebagai ilmu dan sebagai seni pemahaman. Disini hermeneutika memberikan semacam prinsip-prinsip dasar bagi semua penafsiran teks. Inilah awal yang menandai hermeneutika sebagai suatu studi pemahaman dalam arti yang umum. Keempat, hermeneutika sebagai dasar metodologi bagi Geisteswissenscahaften. Wilhelm Dilthey adalah filosof yang memperkenalkan hermeneutika sebagai disiplin yang memfokuskan pada pemahaman mengenai seni, aktivitas-aktivitas dan karya-karya manusia. Dilthey-lah yang memformulasi-kan hermeneutika sebagai metodologi humanistik bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi tentang dasein dan pemahaman eksistensial. Pengertian ini diperkenalkan oleh Martin Heidegger dalam bukunya Being and Time. Dalam buku ini Heidegger menyatakan bahwa analisis being and time adalah sebuah hermeneutika tentang dasein. Keenam, hermeneutika sebagai sistem interpretasi fenomenologi, sebagaimana dimaksud Paul Ricoer dalam karyanya De I’interpretation, di sini hermeneutika dipakai sebagai metode penafsiran bagi ilmu-ilmu sosial.11

BENTUK-BENTUK PENAFSIRAN AL-QUR’AN KONTEMPORER

Pembaruan mendasar dalam penafsiran al-Qur’an yang terjadi dalam tiga dekade terakhir, ditengarai dengan adanya perbedaan episteme12 atau paradigma13

_____________ 9 Haryono, Hermeneutik..., 2-10. 10 James M. Robinson, The New Hermeneutic, 10. 11 James M. Robinson, The New Hermeneutic, 34-35. 12 Mohammad Arkoun, Nalar Islami Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta:

INIS, 1994), 21. 13 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1995), 225-226.

Page 20: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK … 18

yang mendasari episteme kontemporer ditandai dengan kesadaran adanya kesejarahan nalar.14 Karakteristik tipikal ini secara terang diakui mampu menawar-kan penafsiran al-Qur’an yang menyentuh realitas masyarakat yang sedang berubah. Metode penafsiran kontemporer yang tidak mampu mengantarkan manusia ke arah eksistensial, justru dipertanyakan keabsahannya. Oleh karena itu, upaya-upaya reinterpretasi al-Qur’an selalu menyentuh karakteristik di atas secara niscaya.

Walaupun sejarah perkembangan penafsiran kontemporer dapat dilacak sampai ke Yunani Kuno, misalnya dalam karya-karya Aristoteles, tetapi dalam pembahasan di sini difokuskan pada penjelasan bentuk-bentuk metode penafsiran abad XX atau sering disebut hermeneutika kontemporer. Hermeneutika kontemporer atau penafsiran kontemporer sekurang-kurangnya dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni metode penafsiran sebagai teori, metode penafsiran sebagai filsafat, dan metode penafsiran sebagai kritik.

Metode Penafsiran Kontemporer sebagai Teori Metode penafsiran kontemporer sebagai teori atau teori hermeneutika memfokuskan pada problematika teori umum tentang interpretasi sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenscahaften, termasuk ilmu-ilmu sosial). Metode verstehen (pemahaman) dianggap sebagai metode yang cocok untuk mengungkapkan kembali pengalaman dan pemikiran tentang apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan pengarang secara original.15 Teori hermeneutika membahas permasalahan bagaimana membuat sesuatu interpretator dan membuat patokan interpretasi. Asumsi dasar teori hermeneutika adalah sebagai pembaca teks tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks, karena perbedaan ruang, waktu dan tradisi. Pengekspresian diri dalam bahasa teks, dengan demikian ada makna subjektif. Masalahnya bagaimana membawa keluar makna subjektif sebagai ekspresi objektif kepada orang lain. Boleh dikatakan, bahwa hermeneutika adalah mengungkapkan horizon masa lalu kepada dunia masa kini. Pemikir yang mengembangkan teori hermeneutika adalah Wilhelm Dilthey dan Emilio Betti. Sesudah kematian Schleiermacher tahun 1883, proyek pengembangan hermeneutika umum menjadi agak kendor. Dalam periode ini memang ada beberapa tokoh yang memberikan perhatian kepada hermeneutika seperti Von Humboldt, Heymarin Steinthal, August Bockh, dan lain-lain, tetapi hermeneutika kembali digunakan untuk disiplin khusus seperti dalam filologi. Barulah kemudian muncul seorang filosof dan ahli sejarah Wilhelm Dilthey, yang kembali melihat hermeneutika sebagai dasar bagi Geisteswissenscahaften, yang mencakup ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) dan ilmu-ilmu sosial. Tujuan Dilthey mengembangkan teori hermeneutika adalah di samping untuk menemukan suatu vadilitas interpretasi yang obyektif terhadap expression of inner life (ekspresi-ekspresi kehidupan batin), juga sebagai reaksi dan cara berpikir ilmu kealaman. Meneruskan pandangan idealisme kritis Kant, Dilthey tidak termasuk ke dalam Neo-Kantian, yang menulis Cristique of Pure Reasen sebagai dasar epistemologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Problem pemahaman manusia bagi _____________

14 Mohammad Arkoun, Nalar Islami Nalar Modern, 31. 15 J. Bleicher, Contemporary Hermeneutics, Routletge & Kegen Paul (London: London

University Press, 1980), h. 1

Page 21: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 19

Dilthey adalah recovering a consciousness terhadap suatu historikalitas (Geschich-tlichkeif). Pandangan Dilthey tentang sejarah berangkat dari proposisi, bahwa siapa manusia di sini? Jawaban Dilthey sangat penting untuk memahami teorinya tentang metode penafsiran kontemporer. Pertama, manusia dalam memahami dirinya tidak melalui introspeksi, tetapi melalui objektivikasi hidup, sejarah what man Islam only historis can tell him. Oleh karena itu manusia tidak dapat memahami dirinya secara langsung, tetapi melalui aktivitas penafsiran kontem-porer. Kedua, hakikat manusia bukan suatu a fixed essence. Dalam hal ini Delthey setuju dengan Nietzsche bahwa man Islam the “not-yet –determinited anmal” (noch nichfestgestelle Tier). Manusia tidak atau belum ditentukan akan menjadi apakah dia, apa yang dapat ia kerjakan adalah menunggu keputusan sejarah. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa manusia tidak bisa lari dari sejarah. Untuk apakah ia dan apakah ia ada dalam dan melalui sejarah, the totality of man’s nature Islam only history.16 Dalam The Introduction of the Human Sciences, Dilthey menunjukkan bahwa untuk mengetahui dunia kemanusiaan pada umumnya harus melalui an act of interpretation, a hermneutic act (aktivitas interpretasi). Dalam ilmu-ilmu sosial, hidup dan pengalaman mengatasi investigasi, empiris, tetapi tidak demikian halnya dengan ekspresi kehidupan dan pengalaman. Produk-produk pengalaman manusia, kata Dilthey termasuk arsitektur, sistem-sistem hukum, dokumen-dokumen seperti juga konsepsi musik, boleh dipandang teks dan harus diinterpretasi.17

Tujuan seluruh pemikiran Dilthey adalah memungkinkan metode mem-peroleh interpretasi yang secara objektif sah, tentang ekspresi-ekspresi kehidupan batin. Interpretasi adalah kegiatan memecahkan arti tanda-tanda ekspresi yang merupakan manifestasi hidup atau kegiatan jiwa. Proses memahami, bagi Dilthey tidak dapat dirumuskan ke dalam peraturan karena proses verstehen bukanlah suatu proses logis semata.

Sebagai seorang sejarawan hukum, ketertarikan Betti terhadap penafsiran kontemporer bukan muncul dari keinginan filosofis untuk menemukan kebenaran dalam karya-karya seni seperti Gadamer, atau ingin menemukan suatu pemahaman tentang hakikat. Ada seperti Heidegger atau ingin menemukan makna dari kitab suci seperti Bultman dan Ebeling. Betti menginginkan suatu model penafsiran dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan untuk memperluaskan prinsip-prinsip dasar dengan menginterpretasikan aktivitas manusia dan objek-objeknya.18 Betti mencoba untuk menyusun suatu prinsip penafsiran dengan segala objeknya, dengan membidik suatu objektivitas. Hal ini bukan berarti ia meniada-kan atau mengabaikan subjek sebagai penafsir, tetapi ia menandaskan bahwa objek tetap objek, objek pada hakikatnya otonom, karena suatu bentuk penafsiran yang sah secara objektif tentang objek tersebut dapat diusahakan.19 Dalam hal ini Betti membedakan antara sinngebung (memberi arti pada objek).20 Menurut Betti pemikir-pemikir Jerman arahnya masih kepada sinngebung.

_____________ 16Palmer, Hermeneutics, 115-117. 17Palmer, Hermeneutics, 118. 18 Palmer, Hermeneutics, 56. 19 Palmer, Hermeneutics, 149. 20 Palmer, Hermeneutics, 56.

Page 22: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK … 20

Mengikuti pandangan revolusi copernikan kedua dari Kant, Betti berpendapat, bahwa pengetahuan pada hakikatnya bukanlah cermin pasif realitas, tetapi objek-objek ditentukan oleh bagaimana memahaminya,21 maka penafsiran pun tidak bersifat pasif, melainkan senantiasa bersifat rekognitif dan rekonstruktif serta melibatkan pengalaman penafsir tentang dunia, titik berdiri penafsir dan minatnya pada masa kini. Metode Penafsiran Kontemporer sebagai Filsafat Filsafat penafsiran kontemporer tidak bertujuan untuk menemukan suatu pengetahuan objektif dengan prosedur metodologis umum, tetapi merupakan sebuah eksplisitasi dan historitasnya. Filsafat penafsiran kontemporer diperkenal-kan Heidegger yang kemudian popular dengan sebutan penafsiran kontemporer eksistensial-ontologis. Dalam karya terbesarnya Sein und Zeit (Ada dan Waktu, Being and Time), Heidegger menandaskan bahwa ontologi tentang dasein membawa kepada ilmu tentang interpretasi. Analisis utama dalam buku ini adalah suatu pembedahan ontologis (the ontological different) antara sein (being, ada) dengan seindes (ada khusus), tetapi perhatian ulama interpretasi eksistensial-ontoligis tetap masalah sein.22 Metode Penafsiran Kontemporer sebagai Kritik Kritik penafsiran kontemporer memberikan reaksi hebat terhadap asumsi-asumsi idealis baik teori penafsiran kontemporer maupun filsafat penafsiran kontemporer yang menolak pertimbangan–pertimbangan ekstra-linguistik sebagai faktor yang ikut membentuk dan menentukan konteks pikiran dan aksi, seperti kerja dan kekuasaan. Tokoh terpenting penyokong penafsiran kontemporer kritik adalah Habermas berhasil memadukan sebuah metode dan pendekatan objektif dengan usaha pengetahuan yang praktis relevan. Kritik hermeneutika lebih banyak memperhatikan faktor bahasa dan aspek-aspek ideologis dalam penafsiran. Pembicaraan penafsiran kontemporer Habermas dapat dimulai dari skema-tisasi Habermas tentang ilmu pengetahuan dilihat dari segi konteks eksistensi manusia yang sosial dan historis. Uraian berikut ini mengacu pada tulisan Rick Roderick Habermas and the Foundation of Critical Theory dan makalah Sastrapatedja Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Manusia mengorganisir pengalamannya menurut kepentingan kognitif (kognitif interest). Habermas mengatakan bahwa kepentingan kognitif memiliki fungsi transendental tetapi timbul dari tatanan aktual hidup manusia. Secara singkat dapat dirumuskan manusia memiliki tiga kepentingan kognitif yaitu teknis, praktis dan emansipatoris. Tiga kepentingan ini menjadi kondisi yang memungkinkan tiga ilmu pengetahuan, empiris analitis, historis hermeneutis dan kritis. Ketiga kategori ilmu pengetahuan ini berperan mensistematisir dan memformulakan yang dituntut oleh kegiatan dasar manusia yaitu mengendalikan lingkungan luar, berkomunikasi dan berefleksi yang dibutuhkan bagi kelangsungan eksistensi manusia. Ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural diarahkan pada produksi pengetahuan teknis. Ilmu pengetahuan historis-penafsiran kontemporer mencoba menangkap penafsiran terhadap kenyataan dengan tujuan menciptakan _____________

21J. Blecher, Contemporary Hermeneutics, 20. 22Palmer, Hermeneutics, 98-99.

Page 23: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 21

pemahaman inter subjektif-timbal balik. Catatan penting mengenai ilmu-ilmu historis - penafsiran kontemporer terkait dengan kepentingan, yaitu kepentingan manusia untuk mencari saling pengertian dan kesepakatan sehingga konflik interpretasi dan kesalahpahaman dapat diatasi. Peranan ilmu historis penafsiran kontemporer mencegah ilmu-ilmu empiris-analitis dari bahaya determenisme atau naturalisme yang berlebihan. Disamping itu mencegah ilmu-ilmu sosial kritis dan bahaya rasionalisme dan kritisisme yang tanpa arah.23 VALIDITAS DAN KAIDAH PENAFSIRAN Mempelajari penafsiran kontemporer sebagai metode keilmuan tentu akan menimbulkan pertanyaan, antara lain sejauhmana validitas penafsiran kontemporer sebagai metode? Kalau masing-masing interpretator memiliki kemampuan penafsiran kontemporer yang tidak sama karena perbedaan latar belakang sejarah, budaya, bahasa, dan konteks tertentu, bagaimana dicapai suatu kebenaran dengan pendekatan penafsiran kontemporer? Walaupun Gadamer dalam buku Truth and Method bagian final menyata-kan, bahwa penafsiran kontemporer dianggap sebagai sebuah “disiplin” dan ia mengklaim ada suatu universal hermeneutics, tetapi banyak pemikir yang menyangkal pandangan Gadamer tersebut. Hirch dalam bukunya Validiti in Interpretation24 berpendapat, bahwa penafsiran kontemporer sebagaimana cabang ilmu pengetahuan yang lain, hasil-hasil yang dicapainya tidak lebih dari probability judgments: an interpretative hypothesis is ultimately a probability judgments that Islam supported by evidence. Persoalan selanjutnya yang amat penting adalah bagaimana seharusnya sikap penafsir dalam menafsirkan sebuah karya atau data. Gadamer dalam Madison,25 memberikan beberapa kriteria sebagai kaidah dasar dalam penafsiran. Pertama, penafsiran harus koheren, artinya menafsirkan sebuah karya harus koheren dalam dirinya sendiri. Penafsiran harus menghadirkan gambaran yang terpadu dan tidak ada kontradiksi di dalamnya; “The Harmony of all the detail with the whole is the criterion correct understanding. The failure to achieve this harmony means that understanding has failed”. Kedua, penafsiran harus komprehensif, artinya bahwa menafsir harus memandang pikiran pengarang secara menyeluruh. Ketiga, penafsiran harus teliti, artinya penafsiran yang baik harus berusaha untuk menjawab dan menggarap semua pertanyaan yang dimiliki bagi suatu penafsiran teks. Keempat, harus kontekstual, artinya penafsiran harus melihat dan membaca pikiran pengarang dalam konteks, baik dalam konteks sejarah, maupun dalam konteks kebudayaan. Kelima, penafsiran harus sugestif, artinya harus merangsang peneliti dan penafsir lain untuk melakukan penelitian dan penafsiran lebih lanjut. Keenam, penafsiran harus potensial, artinya validitas penafsiran terkait dengan masa depan.26 KESIMPULAN

Menutup uraian ini, penulis ingin mengingatkan satu masalah yang besar dan cukup mendasar, yakni apa makna dan manfaat yang dapat diambil dari _____________

23Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3S,1987), 36. 24Hirch, Validity in Interpretation (New Haven: Yale University Press, 1976), 180. 25G.B Madison, The Hermeneutics of Postmodernity (Bicomington and Indianapolis:

Indiana University Press, 1983), 23-30 . 26 G.B Madison, The Hermeneutics of Postmodernity, 45.

Page 24: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

NASAIY AZIZ: STUDI ANALISIS TENTANG HERMENEUTIK … 22

pembicaraan tentang penafsiran kontemporer bagi pemaknaan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Pertama-tama perlu diingatkan bahwa memasuki abad ke XXI ini menempatkan tafsir al-Qur’an dalam ujian yang sangat berat, khususnya ujian epistemologi. Ujian semacam ini sebenarnya dialami juga oleh bukan hanya tafsir al-Qur’an, tatapi juga oleh bentuk–bentuk istinbath hukum lain. Fungsi dan pendekatan kepada pemaknaan al-Qur’an di pertanyakan, apakah makna al-Qur’an harus diterima secara harfiah, ataukah harus dilakukan suatu penyeberangan ke balik ungkapan-ungkapan linguistiknya, kemudian dilakukan penafsiran? Mampukah al-Qur’an memberikan jawaban atas kegelisahan-kegelisahan yang memang selalu menyertai proses transformasi dan transmutasi masyarakat? Hal inilah yang kiranya membenarkan adanya pikiran tentang perlunya suatu kajian penafsiran kontemporer untuk mengaktualisasikan peran al-Qur’an sebagai Kalam Ilahi agar tidak saja dipahami sebagai sumber hukum pertama dan utama dari segala-galanya, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammad, Nalar Islami Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat,

Jakarta: INIS, 1994. Bernstein, Richard J. Hermeneutiecs and The Tradition, Washington, DC: The

American Catholic Philosofical Assocation, 1958. Blecher, J. Contemporary Hermeneutics, Routletge & Kegen Paul, London:

University Press, 1980. Hirch, Validiti in Interpretation, New Haven: Yale University Press, 1976. Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3S, 1987. Khun, Thomas, The Esential Tension: Slected Studies in Scientific Tradition and

Change, Chicago: The University of Chicago Press, 1977. Madison, G.B., The Hermeneutics of Posmodernity, Bicomington and

Indianapolis: Indiana University Press, 1983.

Maryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993

M. Amin, Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

M. Roninson, James, “Hermeneutic Since Barth” dalam The New Hermeneutic, ed. JM Robinson dan John B. Cobb, New York: Harper and Row Publisher, 1964.

Palmer, Hermeneutics, Evanston, USAA: Northwestern University Press, 1980. Taylor, Charles, Interpretation and the Srinces of Man, Colombiya: University of

California, 1979.

Page 25: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 23

ALTERNATIF PENGEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN BERDASARKAN PENDEKATAN HERMENEUTIK

Fuad Ramly Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta Email: [email protected]

ABSTRACT

The hermeneutic is contemporarily understood as a study on the methodological principles of interpretation and explanation. As a philosophical and scientific study, it can be a methodological base to develop tafsir Al-Qur’an. Based on the hermeneutical approach, tafsir Al-Qur’an can be developed through understanding its objects, methods, and significance. To this end, the development of tafsir Al-Qur’an which relevant with the perspective of moslem’s needs will be realized. Kata kunci: pendekatan hermeneutik; tafsir Al-Qur’an; metodologi PENDAHULUAN

Istilah “hermeneutika” – yang dewasa ini sangat populer dan signifikan dalam dunia kefilsafatan dan keilmuan pada umumnya, masih dipandang asing dan kontradiktif oleh sekelompok eksponen Ilmu-ilmu Keislaman, terutama para penggiat Ilmu Tafsir dan Studi Al-Qur’an. Pandangan tersebut, di satu sisi, memang sangat beralasan lantaran hermeneutika pada mulanya dipergunakan sebagai metode penafsiran Injil (Bible) oleh para filsuf dan pendeta Kristiani.

Akan tetapi jika mencermati perjalanan hermeneutika dari masa ke masa, cara pandang semacam itu sesungguhnya keliru. Sepanjang sejarahnya hingga sekarang, hermeneutika telah dimaknai dan dipergunakan dalam konteks yang sangat luas dan beragam, dari penafsiran kitab suci (biblical interpretation), pe-mahaman kefilsafatan (philosophical understanding), hingga interpretasi ke-ilmuan (scientific interpretation). Dalam Webster’s Third New International Dic-tionary disebutkan bahwa hermeneutika adalah “the study of the methodological principles of interpretation and explanation”.1 (kajian tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi).

Pengertian tersebut telah mengalihkan pemahaman hermeneutika dari wilayah teologis keagamaan (biblical interpretation) kepada ranah metodologis kefilsafatan dan keilmuan. Hermeneutika sudah menjadi bagian penting dari penyelidikan tentang alam dan manusia, karena problematika tentang alam dan manusia termuat di dalam berbagai teks bahasa yang harus diinterpretasikan.

_____________ 1Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,

Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969, 4.

Page 26: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an… 24

Artikel ini difokuskan untuk menelaah alternatif pengembangan tafsir Al-Qur’an berdasarkan perspektif hermeneutika filosofis (kefilsafatan), sebagai suatu pendekatan hermeneutik. Pendekatan hermeneutik dipergunakan untuk merumus-kan konstruksi metodologis penafsiran Al-Qur’an, bukan teori atau metode tafsir Al-Qur’an. Dengan kata lain, artikel ini tidak membahas persoalan pemahaman Al-Qur’an berdasarkan Ilmu Tafsir sebagaimana yang lazim berkembang dewasa ini. Artikel ini hanya menawarkan alternatif pemahaman baru landasan operasio-nal penafsiran Al-Qur’an, sebagai salah satu kontribusi bagi pengayaan khazanah pemahaman tentang Al-Qur’an.

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN

Tafsir Al-Qur’an telah berkembang begitu pesat dalam kurun waktu yang sudah cukup lama, yaitu sejak Al-Qur’an itu diturunkan ke dunia ini dan ditafsirkan oleh Rasulullah SAW sebagai mufassir pertama. Di satu sisi, perkembangan tersebut telah menghasilkan, tidak hanya Ilmu Tafsir, tetapi juga sejumlah karya (kitab) tafsir monumental, berbagai metode, pendekatan, corak, aliran dan paradigma pemahaman yang telah ikut serta memperkaya khazanah Keislaman hingga masa sekarang. Karena itu tidak ada kajian Keislaman, apa pun bidang keilmuannya, yang terlepas dari tafsir Al-Qur’an karena seluruh ajaran Islam terkandung dalam Al-Qur’an sebagai sumber utamanya.

Namun di sisi lain, perkembangan tafsir Al-Qur’an tersebut tentu saja tidak luput dari berbagai persoalan dan kekurangannya lantaran keterbatasan pemahaman manusia tentang kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Terlebih lagi pada masa sekarang ketika umat Islam berhadapan dengan kompleksitas kemajuan jaman yang semakin dinamis, yang menuntut adanya bentuk-bentuk pemahaman baru tentang Al-Qur’an secara lebih progresif dan inovatif melampaui khazanah pemahaman yang telah ada.

Munculnya berbagai tanggapan dan kritik ulama Islam kontemporer terhadap paradigma penafsiran Al-Qur’an, meskipun melahirkan polemik dan kontroversi bagi kalangan tertentu, pada dasarnya juga bersifat konstruktif dan kontributif dalam rangka mengelaborasi kandungan Al-Qur’an yang senantiasa relevan dengan setiap konteks “ruang dan waktu” (li kulli makan wa li kulli zaman). Karena itu tanggapan dan kritik kontemporer tersebut umumnya tertuju pada aspek kelemahan penafsiran Al-Qur’an, yang berdasarkan perspektif, konteks, dan berbagai tuntutan kebutuhan umat Islam masa sekarang.

Mohammed Arkoun mensinyalir kelemahan tafsir Al-Qur’an periode klasik akibat kekacauan linguistik, dan kelemahan tafsir Al-Qur’an kontemporer karena ketidakteraturan semantik, yang pada gilirannya memunculkan distorsi pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri.2 Demikian halnya Maurice Bucaille yang membeberkan kekeliruan para intelektual Islam modern dalam memahami kandungan Al-Qur’an tentang sains akibat sikap pemahaman yang tidak kritis dan kurangnya wawasan ilmiah-empiris.3

Kritik-kritik tersebut, jika dicermati lebih seksama, memang sangat beralasan karena keluasan kandungan makna Al-Qur’an tidak mungkin dapat _____________

2Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Terjemahan Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: LPMI dan Pustaka Pelajar, 1996, 66 -67.

3Maurice Bucaille, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Cet.II, Terjemahan M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 176.

Page 27: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 25

dipahami dengan baik, untuk tidak mengatakan sempurna, jika hanya mengandal-kan keterbatasan “perangkat-perangkat” pemahaman yang tidak tahan uji dan belum sepenuhnya memadai. Al-Qur’an memang bukan teori filsafat atau metode ilmiah yang sifatnya profan, namun bukan berarti Al-Qur’an harus terhindar dari paradigma penyelidikan ilmiah dan filosofis yang telah berkembang maju pada masa sekarang.

Al-Qur’an merupakan hudan linnas, sebagai world view (Pandangan Dunia) dan ideologi kehidupan yang bermuatan nilai-nilai dasar, abadi dan universal, yang harus diuraikan dan diimplementasikan ke dalam kehidupan umat Islam dalam berbagai aspeknya. Upaya tersebut tentu saja tidak akan terlaksana tanpa proses penafsiran yang didukung oleh berbagai pendekatan pemahaman yang relevan dengan misi dan tujuan diturunkannya Al-Qur’an.

Asumsi dasar tersebut relevan dengan pandangan Yusuf al-Qaradhawi yang menegaskan pentingnya pelaksanaan ijtihad dalam masalah-masalah baru akibat perubahan zaman dan situasi, sebagai fardhu kifayah bagi umat Islam.4 Pentingnya ijtihad-ijtihad masa kini dalam mengembangkan penafsiran atas Al-Qur’an bukan semata-mata dilandasi keimanan kepada Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan. Lebih dari itu, upaya ijtihad untuk memahami Al-Qur’an juga sekaligus sebagai kebutuhan pragmatis umat Islam dalam mengentaskan berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks dan dinamis. Karena itu Ahmad Hasan menekankan keharusan penambahan dan penafsiran ulang terhadap hukum-hukum yang disediakan oleh sumber Al-Qur'an-Shunnah di masa Rasulullah dalam rangka perluasan pemahaman mencakup persoalan-persoalan baru yang harus ditemukan jawabannya.5

Demikian halnya Fazlur Rahman yang menolak keharusan untuk menerima suatu penafsiran tertentu untuk selamanya, karena akan selalu terdapat ruang dan keharusan untuk penafsiran-penafsiran baru sebagai proses yang terus berlanjut.6 Rahman bahkan mencontohkan generasi-generasi muslim yang paling awal yang tidak pernah memandang Al-Qur’an dan Shunnah secara statis. Mereka memahami Al-Qur’an dan Shunnah secara kreatif sesuai dengan bentuk-bentuk sosial yang beraneka ragam karena Islam mengandung idealitas dan norma-norma tertentu yang harus direalisasikan secara progresif.7

Kreativitas dan progresivitas pemahaman Al-Qur’an yang pernah berlangsung dalam sejarah tradisi umat islam masa lalu telah mengantarkan umat Islam kepada kemajuan peradaban. Melalui upaya kreatif dan progresif itu umat Islam mampu meraih kemajuan-kemajuan sebagaimana yang berlangsung pada masa Keemasan Intelektual Islam (The Golden Age of Science). Demikian juga sebaliknya, tanpa kreativitas dan progresivitas pemahaman Al-Qur’an umat Islam terbelenggu dalam keterpurukan, kemandegan, dan ketertinggalannya, sebagaimana yang terjadi pasca era keemasan tersebut.

_____________ 4Yusuf al-Qardlowi, Membumikan Syari'at Islam, Terjemahan M. Zakki dan Yasir Tajid,

Surabaya: Dunia Ilmu, 1997, 290. 5Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan Agah Garnadi, Bandung:

Pustaka, 1984, 103. 6Adnin Armas, "Westernisasi dan Islamisasi Ilmu", dalam Islamia, Thn. I, No. 6, Juli –

September 2005, 15. 7Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung:

Pustaka, Cet.III, 1995, 285.

Page 28: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an… 26

Karena itu alternatif pengembangan tafsir atau pemahaman Al-Qur’an untuk masa depan harus dimulai dengan menggali berbagai potensi intelektualitas yang konstruktif dan kontributif. Langkah strategis ini tentu saja dapat dilakukan dengan mempertimbangkan nilai-nilai positif dan efektif dari aspek metodologis yang dapat diakomodir dan ditransformasikan bagi pengembangan pemahaman Al-Qur’an. Dalam tradisi perkembangan dan kemajuan intelektual modern dan kontemporer saat ini terdapat sejumlah pendekatan metodologis yang sangat potensial untuk dikontribusikan bagi pemahaman Al-Qur’an. Salah satu pen-dekatan tersebut adalah “hermeneutik”, yaitu pendekatan pemahaman yang ber-dasarkan hermeneutika filosofis, bukan hermeneutika yang secara spesifik dipahami sebagai teori atau metode interpretasi.

URGENSI PENDEKATAN HERMENEUTIK

Dalam perspektif Filsafat Ilmu, urgensi pengembangan ilmu-ilmu tidak hanya dipahami berdasarkan metodologi yang dibatasi oleh context of justifi-cation, tetapi juga atas dasar heuristik yang bergerak dalam context of discovery.8 Ilmu tidak akan berkembang ke arah yang lebih progresif tanpa menghasilkan temuan-temuan baru (novelty) secara terus-menerus dan berkesinambungan, sesuai dengan tuntutan perkembangan dan perubahan jaman.

Asumsi dasar tersebut berlaku bagi seluruh ranah dan bidang ilmu, tidak terkecuali ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) dan bidang ilmu tentang tafsir (interpretasi Al-Qur’an). Dalam bidang tafsir Al-Qur’an, tuntutan pengembangan keilmuannya bahkan lebih berorientasi pada pengejawantahan nilai-nilai Al-Qur’an yang kekal dan universal dalam konteks kehidupan. Tanpa proses pengembangan tafsir Al-Qur’an secara terus-menerus dan berkesinam-bungan, pengejawantahan nilai-nilai Al-Qur’an tersebut tentu saja tidak akan terlaksana.

Asumsi dasar tersebut sekaligus juga terkait dengan pemahaman yang berkembang dewasa ini bahwa Filsafat Ilmu tidak dapat terlepas dari persoalan-persoalan hermeneutika yang mendasari seluruh bentuk pengetahuan manusia9 karena hermeneutika mencakup seluruh pertanyaan filosofis yang menghubung-kan bahasa dengan pemahaman, eksistensi, realitas, dan Ada.10

Model pemahaman tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan ilmu-ilmu tidak dapat terlepas dari keterlibatan pendekatan hermeneutik, dalam mengkaji berbagai objek secara luas. Urgensi pendekatan hermeneutik dalam kajian masa kini bahkan tercermin dari kemunculan suatu bentuk hermeneutika filosofis kontemporer yang dikenal dengan Hermeneutika Ilmu (Hermeneutics of Science). Menurut Madison, Hermeneutika Ilmu tidak berurusan dengan nilai kebenaran ilmu, tetapi hanya meneropong terjadinya dan bekerjanya pola-pola pemahaman ilmiah, misalnya bagaimana interpretasi dan idealisasi pengalaman yang mewujud dalam teori-teori ilmiah itu diajukan, disanggah atau diterima dan dipercaya sebagai kebenaran.11 _____________

8Koento Wibisono, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: LP3 UGM & Intan Pariwara (Klaten), 1997, 8.

9Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique, London: Routledge and Kegan Paul, 1980, 109.

10Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969, 42-43.

11G.B. Madison, The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes, Indianapolis: Indiana University Press, 1988, 45-46.

Page 29: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 27

Dengan kata lain, Hermeneutika Ilmu bukan bertujuan melahirkan klaim kebenaran (truth claim) atas ilmu-ilmu dan berbagai perangkat metodologis ilmiahnya. Hermeneutika Ilmu hanya berupaya memaknai kebenaran-kebenaran metodologis ilmiah berdasarkan proses penyelidikan dan prinsip-prinsip fundamental yang melandasinya. Hermeneutika Ilmu menekankan keterbukaan cakrawala metodologis ilmiah, dalam rangka melahirkan kemajuan ilmu-ilmu melalui proses pengembangan secara terus-menerus dan berkesinambungan.

Karena demikian, pendekatan hermeneutik tersebut sangat urgen dilakukan dalam mengembangkan tafsir Al-Qur’an pada masa sekarang. Urgensi tersebut bukan sekedar mengakomodir tuntutan metodologis keilmuan (context of discovery), tetapi sekaligus juga dalam rangka merealisir tuntutan universalitas dan immortalitas kandungan Al-Qur’an itu sendiri (li kulli makan wa li kulli zaman). Sinyalemen ini relevan dengan kesimpulan Az-Zamakhsyari bahwa meskipun manusia telah memiliki dan menguasai berbagai ilmu yang sedemikian tinggi hingga mampu menembus berbagai tabir dan misteri, namun ilmu-ilmu tersebut belumlah sepenuhnya memadai untuk memahami kandungan Al-Qur’an.12 ALTERNATIF PENGEMBANGAN TAFSIR AL-QUR’AN

Pengembangan tafsir Al-Qur’an berdasarkan pendekatan hermeneutik dapat diupayakan dengan berlandaskan tiga kerangka pemahaman, yaitu pemahaman tentang objek, metode, dan signifikansi dari tafsir Al-Qur’an. Ketiga pemahaman tersebut, meskipun dapat dijelaskan secara terpisah, namun memiliki keterkaitan secara sinergis dan korelatif satu sama lain. Pemahaman tentang objek tafsir Al-Qur’an

Pemahaman tentang objek tafsir Al-Qur’an dapat dirumuskan dengan menjawab pertanyaan ontologis: “Apa yang dikaji” oleh tafsir Al-Qur’an? Per-tanyaan ini menghendaki jawaban tentang bentuk-bentuk kenyataan yang terkandung (terdapat) dalam ayat-ayat Al-Qur’an sebagai objek kajian tafsir. Bentuk-bentuk kenyataan tersebut dapat dipahami dari segi kualitasnya (kenyataan yang tetap dan yang berubah), kuantitasnya (kenyataan yang singular dan universal), maupun kapasitasnya (kenyataan yang mutlak dan relatif).

Bentuk-bentuk kenyataan tersebut selanjutnya dapat diklasifikasikan kepada tiga wilayah problematika kajian, yaitu: Ilahiyah (teologis); Insaniyah (antropologis); dan ‘Alamiah (kosmologis). Wilayah Ilahiyah merupakan problematika ketuhanan, atau terkait dengan pembicaraan masalah-masalah tentang Tuhan. Wilayah Insaniyah merupakan merupakan problematika ke-manusiaan, yaitu menyangkut berbagai persoalan tentang manusia. Wilayah ‘Alamiah merupakan problematika yang terkait dengan alam semesta.

Ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai objek kajian tafsir, secara umum mengandung ketiga wilayah problematika tersebut. Terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang Tuhan, tentang manusia, dan tentang alam. Ayat-ayat tersebut tidak dapat dimengerti maknanya tanpa ditafsirkan (dinterpretasikan) oleh manusia. Untuk dapat memahami makna ayat-ayat tersebut maka diperlukan metode-metode tertentu dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Dan sebelum _____________

12Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Terjemahan Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, 24.

Page 30: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

mempergunakan metode-metode tersebut manusia perlu terlebih dahulu me-mahaminya dengan baik agar penafsiran dapat terlaksana secara efektif dan produktif sebagaimana yang diharapkan. Pemahaman tentang metode tafsir Al-Qur’an

Pemahaman tentang metode tafsir Al-Qur’an dapat dirumuskan dengan menjawab pertanyaan epistemologis: “Bagaimana” tafsir Al-Qur’an “mengkaji” objek-objeknya? Pertanyaan ini menghendaki jawaban tentang bentuk-bentuk metode yang dipergunakan oleh tafsir Al-Qur’an, sesuai dengan objek-objek yang dikaji. Dalam kaitan ini, objek menentukan metode dan bukan sebaliknya. Penggunaan metode-metode tafsir sangat tergantung pada objek-objek yang dikaji.

Dalam kajian epistemologis terdapat tiga metode besar: metode rasional, metode empiris, dan metode intuitif. Metode rasional pada dasarnya dipergunakan untuk memahami objek-objek yang abstrak, yang tidak dapat diketahui secara langsung oleh panca indera manusia. Metode empiris hanya dipergunakan untuk memahami objek-objek konkrit (fakta/gejala). Sedangkan metode intuitif biasanya dipergunakan untuk memahami objek-objek yang mengatasi penalaran empiris dan rasional, atau melampui logika induktif dan deduktif. Ketiga metode ini juga berkembang menjadi metode-metode yang lebih spesifik dalam dunia kefilsfatan dan keilmuan (ilmiah). Perpaduan metode rasional dan metode empiris telah melahirkan metodologi ilmiah. Karena itu kebenaran ilmiah tidak sekedar dapat diyakini secara rasional tetapi juga harus dapat dibuktikan secara empiris (melalui pengalaman-pengalaman inderawi manusia).

Ketiga wilayah kajian tafsir Al-Qur’an (Ilahiyah; Insaniyah; dan ‘Alamiah), sebagaimana yang termaktub di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tidak mungkin dapat dipahami dengan mengandalkan otoritas metode tafsir tunggal tertentu (singularitas metodis), tetapi menghendaki keragaman (pluralitas) metode yang relevan dengan objeknya masing-masing. Perbedaan karakteristik atau bentuk objek yang akan dikaji menyebabkan perbedaan metode kajiannya, dan begitu juga sebaliknya. Justru itu metode tafsir yang dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Ilahiyah dapat berbeda dengan metode tafsir ayat-ayat Insaniyah dan Alamiah, dan begitu juga seterusnya.

Di dalam kajian Ilmu Tafsir terdapat beberapa metode yang lazim dipergunakan, misalnya: metode tahlili, metode maudhu’i, dan metode muqarran. Ketiga metode tersebut harus dapat dipahami kapasitas epistemologisnya, sejauhmana muatan/unsur rasional atau empiris yang dikandungnya, sehingga relevan dipergunakan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an tertentu (ayat-ayat Ilahiyah; Insaniyah; atau ‘Alamiah). Selain itu, metode-metode tafsir tersebut juga perlu dikembangkan dan didukung oleh metodologi ilmiah (metode-metode Ilmu Sosial/Humaniora dan Ilmu-ilmu Alam), melalui pendekatan interdisipliner. Akan tetapi metodologi ilmiah tersebut tidak dapat dipergunakan untuk me-mahami problematika ketuhanan, karena karakteristiknya yang empiris (metodo-logi ilmiah hanya mampu memahami gejala dan fakta).

Dengan demikian, pengembangan metode-metode kajian tafsir Al-Qur’an dapat bergerak secara dinamis dan dialektis (secara terus-menerus sesuai kebutuhan pemahaman umat Islam). Kendati Ilmu Tafsir telah memiliki metode-metode tertentu dalam tradisi keilmuannya (seperti tahlili, maudhu’i, dan

Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an… 28

Page 31: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

muqarran), namun metode-metode tersebut belumlah final dan definitif, alias dapat dikembangkan lagi secara lebih efektif dan produktif. Proses pengembangan ini bisa memunculkan metode-metode tahlili, maudhu’i, dan muqarran versi baru, atau bahkan dapat melahirkan metode-metode tafsir yang sama sekali baru sesuai dengan kebutuhan Ilmu Tafsir itu sendiri. Asumsi ini didasarkan pada fakta dan problematika kehidupan manusia yang terus berkembang dari waktu ke waktu, yang menuntut perkembangan pemahaman atas Al-Qur’an. Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, melainkan pedoman (hudan) bagi umat manusia (linnas) di mana-pun mereka berada (li kulli makan), dan senantiasa menyejarah dari masa ke masa (wa li kulli zaman). Pemahaman tentang Signifikansi Tafsir Al-Qur’an

Pemahaman tentang signifikansi tafsir Al-Qur’an dapat dirumuskan dengan menjawab pertanyaan aksiologis: “Untuk apa” tafsir tersebut dilakukan? Pertanyaan ini menghendaki jawaban tentang tujuan dan motivasi (nilai-nilai) tafsir Al-Qur’an. Dalam kaitan ini, tujuan dan motivasi merupakan landasan utama bagi upaya-upaya penafsiran Al-Qur’an. Karena itu pemahaman tentang objek dan metode-metode tafsir Al-Qur’an pada dasarnya berorientasi pada signifikansinya, menyangkut nilai-nilai sebagai tujuan dan motivasinya.

Penafsiran Al-Qur’an, dalam rangka mengungkap makna ayat-ayat Al-Qur’an, sudah barang tentu didasarkan atas kepentingan-kepentingan tertentu sesuai dengan tuntunan nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an mengandung nilai-nilai yang harus dipedomani di dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai Al-Qur’an tersebut adakalanya bersifat instrumental, atau yang secara langsung menuntun kegiatan-kegiatan praktis kehidupan manusia. Namun nilai-nilai instrumental tersebut pada umumnya bersandarkan pada suatu nilai ideal (nilai dasar) dari Al-Qur’an, yaitu “penghambaan atau kepatuhan” kepada Tuhan (wa ma khalaqtul jins wal insan illa li ya’budun). Setiap kegiatan yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan penafsiran atas Al-Qur’an itu sendiri pada prinsipnya berlandaskan nilai ideal tersebut. KESIMPULAN

Hermeneutika masih dipandang asing dan kontradiktif oleh kelompok cendekiawan Islam tertentu, terutama para penggiat Ilmu Tafsir dan ahli studi Al-Qur’an. Pandangan ini dikarenakan hermeneutika pada mulanya dipergunakan sebagai metode penafsiran Injil (Bible) oleh para filsuf dan pendeta Kristiani.

Namun dewasa ini hermeneutika sudah menjadi kajian tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi dalam bidang kefilsafatan dan keilmuan, dan bukan lagi sebagai metode penafsiran kitab suci (biblical inter-pretation) atau penafsiran Injil. Karena itu hermeneutika dapat menjadi landasan metodologis yang dapat dikontribusikan bagi pengembangan tafsir Al-Qur’an.

Melalui pendekatan hermeneutik tersebut, pengembangan tafsir Al-Qur’an dapat dilakukan berdasarkan tiga rumusan pemahaman, yaitu: pemahaman tentang objek kajian tafsir Al-Qur’an; pemahaman tentang metode-metode tafsir Al-Qur’an; dan pemahaman tentang signifikansi dari tafsir Al-Qur’an. Pemahaman tentang objek dan metode-metode tersebut dilandasi oleh signifikansinya, bahwa

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 29

Page 32: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

penafsiran Al-Qur’an harus berorientasi pada tujuan dan motivasi (nilai-nilai) yang terkandung di dalam Al-Qur’an.

Dengan demikian, tafsir Al-Qur’an akan dapat dikembangkan secara terus-menerus dan berkesinambungan sesuai dengan tuntutan kebutuhan-kebutuhan umat Islam dan tuntunan nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri. Tanpa upaya pengembangan tersebut, apresiasi terhadap keagungan dan keabadian Al-Qur’an tidak akan terwujud.

Fuad Ramly: Alternatif Pengembangan Tafsir Al-Qur’an… 30

Page 33: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 31

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qardlowi, Yusuf, Membumikan Syari'at Islam, Terjemahan M. Zakki dan Yasir Tajid, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam, Terjemahan Yudian W. Asmin dan

Lathiful Khuluq, Yogyakarta: LPMI dan Pustaka Pelajar, 1996. Armas, Adnin, "Westernisasi dan Islamisasi Ilmu", dalam Islamia, Thn. I, No. 6,

Juli – September 2005. Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Terjemahan Pustaka Firdaus,

Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985. Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method,

Philosophy, and Critique, London: Routledge and Kegan Paul, 1980. Bucaille, Maurice, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, Cet.II, Terjemahan M.

Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan Agah Garnadi,

Bandung: Pustaka, 1984.

Madison, G.B., The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes, Indianapolis: Indiana University Press, 1988.

Palmer, Richard E., Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,

Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University Press, 1969.

Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung:

Pustaka. Cet.III, 1995. Wibisono, Koento, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Pengetahuan, Yogyakarta: LP3 UGM & Intan Pariwara (Klaten), 1997.

Page 34: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

TEKNIK-TEKNIK ANALISIS DALAM TAFSIR AL-QUR’AN

Muhammad Zaini Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email: [email protected]

ABSTRACT To capture the calls and messages of the Qur'an is needed a proper

understanding. Understanding the Qur'an properly and correctly is not easy. For the purposes of interpretation that is necessary. Without interpretation, people will not be able to open the “warehouse store” to get the pearls and gems in it. In terms of interpreting the Koran, the methodology of interpretation is a tool that used by the exegete. Among the things that are closely related to the methodology of interpretation is analytical techniques. With proper technique, the content analysis of the Koran will be explained, elaborated, and applied to human life. Kata Kunci: Teknik, Analisis, al-Qur’an PENDAHULUAN

Al-Qur’an sebagai sumber yang pertama ajaran Islam mengandung pokok yang bersifat mujmal (global), umum dan universal, yang membutuhkan penjelasan, uraian dan penafsiran. Dalam hal ini, Nabi Muhammad sebagai utusan Allah ditugaskan untuk menjelaskan wahyu yang diterimanya. Untuk itu Nabi selalu memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Namun demikian, tidak semua ayat dikomentarinya. Oleh karena itu wajar saja jika para sahabat dan tabi’in memberikan komentar terhadap al-Qur’an guna menjelaskan ayat-ayat yang belum dijelaskan oleh Nabi.

Upaya mengomentari al-Qur’an guna menemukan dan memahami pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dikenal dengan istilah tafsir. Berdasarkan definisi di atas, dapat dimengerti bahwa tafsir merupakan salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri serta mempunyai obyek kajian tertentu yang berbeda dengan obyek kajian ilmu lainnya. Obyek kajian tafsir secara umum adalah al-Quran, sedangkan obyek kajian spesifiknya merupakan bagian tertentu dari al-Quran yang meliputi pengertian lafaz dan maksud ungkapannya. Dari defenisi di atas juga dimengerti bahwa tafsir merupakan upaya manusia dalam mengerahkan segenap kemampuannya dalam memahami maksud dari redaksi al-Qur’an sebagaimana dikehendaki oleh pemilik redaksi tersebut.

Diakui bahwa upaya menafsirkan al-Qur’an tidaklah mudah, karena setiap redaksi baik berbentuk lisan maupun tulisan hanya dapat dipahami maksudnya secara pasti oleh pemilik redaksi tersebut. Dengan demikian, tingkat kebenaran yang dihasilkan tafsir tidak bersifat mutlak. Sebuah penafsiran mungkin saja benar dan sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah, tetapi tidak ada seorang

MUHAMMAD ZAINI: TEKNIK-TEKNIK ANALISIS DALAM TAFSIR AL-QUR’AN 32

Page 35: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 33

manusia yang bisa memastikannya. Hal ini pula yang menimbulkan keaneka-ragaman penafsiran. Dalam konteks ini, setiap mufassir telah menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kecenderungan masing-masing mufassir. Di samping berbeda dalam menggunakan metode tafsir para ulama juga berbeda dalam menggunakan teknik analisis tafsir.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas secara khusus tentang metodologi tafsir al-Qur’an, akan tetapi yang menjadi fokus tulisan ini adalah membahas tentang teknik-teknik analisis yang dapat dipergunakan untuk meng-analisis ayat-ayat al-Qur’an (teknik analisis tafsir). Pembahasan dilakukan secara deskriptif analisis dengan berpijak pada sumber-sumber yang relevan. Tujuannya ialah untuk mengkaji lebih mendalam tentang teknik-teknik analisis yang dapat dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an.

PENGERTIAN TEKNIK ANALISIS TAFSIR

Istilah teknik dalam penggunaannya sering dipakai sinonim dengan istilah metode. Dengan kata lain, teknik sama dengan metode, dan metode sama dengan teknik. Akan tetapi dalam aplikasinya, agar metode dapat bermanfaat maka haruslah digunakan dalam pelaksanaan yang kongkrit. Maksudnya, metode sebagai cara kerja haruslah dijabarkan sesuai dengan alat dan sifat alat yang dipakai. Jabaran metode yang sesuai dengan alat beserta sifat alat yang dimaksud disebut teknik.1 Tahapan atau urutan penggunaan teknik disebut dengan prosedur. Sedangkan analisis (Inggris: analysis), adalah cara pemeriksaan salah satu soal dengan mengemukakan semua unsur dasar dan hubungan antara unsur yang bersangkutan.2 Dengan analisis maka soal yang diperiksa dapat diketahui su-sunannya. Analisis ini merupakan cara yang umum dalam pemikiran manusia dan terutama sekali dalam ilmu pengetahuan.

Lebih lanjut dapat dikatakan, analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.3 Sebagai contoh adalah analisis data, yakni penelaahan dan penguraian atas data hingga menghasilkan kesimpulan.

Selanjutnya, istilah tafsir secara bahasa memiliki arti yang semakna dengan al-idhah (keterangan) dan al-tabyin (penjelasan).4 Sedangkan secara istilah, banyak defenisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Salah satu defenisi disebutkan oleh al-Zarkasyi sebagai berikut: “Tafsir adalah ilmu yang dikenal dengannya pemahaman terhadap kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum dan hikmahnya, dengan dibantu oleh ilmu bahasa, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu bayan, usul fikih, qira’at, serta memerlukan pengetahuan sabab al-nuzul dan nasikh mansukh”.5

Bertitik tolak dari penjelasan pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan teknik analisis tafsir adalah suatu cara memahami

_____________ 1 Sudaryanto, Metode Linguistik, (Yogyakarta: Gajahmada Universiti Pres, 1998), 26-27. 2 Hasan Sadily, Ensiklopedia, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1990), 206. 3Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga

(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 32 . 4Al-Zarqani, Manhil al-’Irfan fi ’Ulum al-Quran, Juz I (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, t.th.), 4. 5 Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum al-Quran, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 33.

Page 36: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD ZAINI: TEKNIK-TEKNIK ANALISIS DALAM TAFSIR AL-QUR’AN 34

kandungan al-Qur’an dengan menelaah dan menguraikan ayat-ayat al-Qur’an hingga dapat diperoleh suatu pemahaman dan kesimpulan.

TEKNIK-TEKNIK ANALISIS TAFSIR

Ada beberapa teknik analisis yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya: Analisis isi

Teknik analisis isi (content analysis) menurut B. Berelson, sebagaimana dikutip Hasan Sadly, adalah suatu penyelidikan yang berusaha untuk menguraikan secara objektif, sistematis dan kuantitatif isi yang bermanifestasi dalam suatu komunikasi.6 Sebagai suatu teknik penelitian, analisis isi (content analysis) ini memiliki prosedur-prosedur khusus yang dipakai untuk pemrosesan data ilmiah. Sebagaimana halnya semua teknik dalam penelitian, teknik analisis isi bertujuan memberikan pengetahuan, membuka wawasan baru, menyajikan fakta dan panduan praktis dalam pelaksanaannya.

Analisis isi juga dapat dikarakterisasikan sebagai metode penelitian makna simbolik pesan-pesan.7 Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pesan tersebut mempunyai makna ganda yang bersifat terbuka dan selalu dapat dilihat dari beberapa perspektif, khususnya apabila data tersebut benar-benar bersifat simbolik. Kedua, makna tidak harus tersebar.8 Oleh karena itu, kesepakatan atau konsensus akan makna hampir tidak dapat dijadikan persyaratan sebagai analisis isi.

_____________

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teknik analisis isi ini dapat diterapkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena teknik ini didasarkan pada kenyataan bahwa data yang dihadapi adalah bersifat deskriptif berupa pernyataan verbal (bahasa), bukan data kuantitatif. Analisis filologis

Filologis berasal dari bahasa Yunani, yang secara harfiyah berarti kesukaan akan kata, menunjukkan arti pengkajian teks atau penelitian berdasarkan teks; berupa pembacaan, kemudian perbandingan antar berbagai teks, atau versi dari teks yang sama, berbagai jenis kritik teks itu, perkembangan asal-usul teks itu.9 Filologi juga memiliki arti ilmu bahasa yang mempelajari naskah-naskah.10 Bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa yang tidak terpakai lagi sebagai alat komunikasi suatu masyarakat. Bahasa yang sudah tidak dipakai itu ada yang tinggal berbentuk tulisan saja, baik berupa naskah sastra atau informasi tentang peristiwa-peristiwa ataupun kombinasi keduanya, termasuk juga dalam defenisi ini adalah teks-teks ayat al-Qur’an.

Dengan demikian, ayat-ayat al-Qur’an dapat dikaji secara tekstual. Artinya data-data dalam al-Qur’an dapat dianalisis dengan teks al-Qur’an itu sendiri atau

6 Hasan Shadily, Ensiklopedia..., 207. 7 Klaus Krippendorff, Content Analysis: Introduction to Its Theory and Methodology, terj.

oleh Farid Wajdi dengan judul: Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, (Jakarta: Rajawali, 1991), 15.

8 Klaus Krippendorff, Content Analysi... , 15. 9Aan Radiyana dan Abdul Munir, Analisis Linguistik Dalam Penafsiran al-Qur’an, dalam

al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, No. 17, vol. VII/1996, 15. 10Samsuri, Analisis Bahasa, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), 68.

Page 37: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 35

dengan hadis Nabi dan riwayat sahabat. Contoh analisis teks al-Qur’an dengan teks al-Qur’an adalah sebagai berikut:

“Ketika turun ayat, allazinaamanu wa lam yalbisu imanahum bizhulmin… (Orang-orang yang beriman dan tidak mencapuradukkan iman dengan kezaliman) yang terdapat dalam QS. al-An’am:82, pada saat itu banyak sahabat yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Nabi: Ya Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya? Nabi menjawab: Kezaliman di sini bukan seperti yang kalian pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh (Luqman). Inna al-syirka lazulmun ‘azim (sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar) QS. Luqman:13. Jadi yang dimaksud zhulmun pada QS. al-An’am:82 adalah syirik sebagaimana penjelasan QS. Luqman :13.11

Sedangkan yang mulai mengembangkan teknik analisis ini secara men-dalam adalah Ibnu Abbas. Metodologi yang digunakan Ibnu Abbas dalam mengungkapkan makna al-Qur’an ialah dengan: (1) Sunnah (perikehidupan) Nabi, (2) Penjelasan Israiliyyat yang diambil dari penganut Yahudi yang melakukan konversi ke dalam Islam, khususnya berkenaan dengan kelengkapan penjelasan sejarah masa lalu, dan (3) menggunakan bantuan syair-syair arab pra-Islam. Analisis Semantik

Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistic general, yang mana merupakan suatu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik. Sedangkan linguistic general adalah konsep umum yang diberikan pada teori dasar, konsep dasar, model dan metode penyelidikan bahasa.12

Lebih kongkrit lagi, semantik adalah telaah makna, yaitu menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu pembahasan semantik mencakup makna kata, perkembangan dan perubahannya. Dengan demikian yang menjadi obyek kajian semantik adalah makna, sebab berada pada satuan-satuan dari bahasa berupa kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf dan wacana, juga dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tataran bahasa (fonologi, morfologi dan sintaksis), di samping dapat di analisis melalui fungsi dan pemahaman fungsi antar unsur.13

Secara struktural, data pokok penelitian tafsir terdiri dari serangkaian kalimat-kalimat sederhana atau kalimat-kalimat luas. Kalimat-kalimat tersebut terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat (klausa). Pada tingkat lebih bawah terdapat unsur frasa dan kata. Dari sini ditemukan empat unsur yang dapat membentuk sebuah ayat, yaitu: kalimat, klausa, frasa dan kata. Setiap unsur atau satuan tersebut mengandung arti sebagai aspek semantiknya. Secara teoritis aspek semantik meliputi semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik kalimat.14

_____________ 11Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary dan Muslim serta lainnya. Manna’ Khalil al-

Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992), 2.

12Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: gramedia, 1993), 131. 13T. Fatimah Djajasudarma, Semantik I: Pengantar Ke Arah Ilmu makna, (Bandung: PT

Eresco, 1993), 4-5. 14 Abd Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, (Ujung

Pandang: LSKI, 1994), 23.

Page 38: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD ZAINI: TEKNIK-TEKNIK ANALISIS DALAM TAFSIR AL-QUR’AN 36

Karena yang menjadi objek penelitian tafsir adalah data berupa ayat-ayat al-Qur’an, maka data tersebut dapat dianalisis ke dalam obyek telaah sebagai berikut: (1) Kosa kata Qur’ani (etimologis, morfologis, leksikal, ensiklopedia dan operasional), (2) Frasa Qur’ani, (3) Klausa Qur’ani, (4) Ayat-ayat Qur’ani, dan (5) hubungan antara bagian-bagian tersebut.15

Sebagai contoh operasional dari teknik analisis semantik terhadap ayat al-Qur’an misalnya dalam QS. al-Nahl: 78, dapat di analisis sebagai berikut:

ª!$#uρ Νä3y_t÷zr& .⎯ÏiΒ ÈβθäÜç/ öΝä3ÏF≈ yγ ¨Β é& Ÿω šχθ ßϑ n= ÷ès? $ \↔ø‹x© Ÿ≅ yè y_uρ ãΝä3s9 yìôϑ ¡¡9$# t≈ |Á ö/F{$#uρ nοy‰Ï↔øùF{$#uρ

  öΝä3ª= yè s9 šχρ ãä3ô±s?

1) Kosa kata Qur’ani, misalnya kata السمع secara etimologis bermakna “mengetahui sesuatu dengan perantaraan telinga”dan secara leksikal bermakna “telinga” menangkap suara, memahami pembicaraan, menaati dan memperhatikan panggilan dan menjawab pujian. Kemudian makna operasionalnya bahwa pendengaran adalah salah satu potensi yang dimiliki manusia untuk berhubungan dengan dunia luarnya.

2) Frasa Qur’ani, misalnya kata-kata: بطون امهاتكم –لكم –لعلكم 3) Klausa Qur’ani misalnya rangkaian kalimat dalam QS. al-Nahl: 78 di atas

merupakan klausa Qur’ani. 4) Ayat tersebut secara utuh dibahas dengan memperhatikan hubungan frasa-

frasa dan klausa-klausa yang ada. 5) Ayat tersebut dihubungkan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

Lebih lanjut, Toshihiko Izutsu memberikan langkah-langkah yang mesti ditempuh dalam menganalisis ayat al-Qur’an dengan analisis semantik. Langkah-langkah tersebut adalah: (1) mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan secara bersama, (2) membandingkannya, (3) menghubungkan semua istilah yang menyerupainya, (4) melawankannya, dan (5) menghubungkannya satu sama lain.16

Di samping langkah-langkah di atas, Izutsu menyebutkan ada tujuh kasus dari setiap ayat yang mengandung strategi bagi metode analisis semantik:17 1) Defenisi kontekstual; sebuah ayat yang merupakan kejadian yang secara

semantik relevan, makna kata yang tepat dijelaskan secara kongkrit dalam konteksnya dengan cara deskriptif verbal. Misalnya kata al-Birr pada QS. al-Baqarah: 177. Definisi al-Birr bukannya sebagai aktivitas menjalankan aturan-aturan formulisme agama secara lahiriyah, tetapi merupakan bentuk kebaktian sosial yang sebetulnya muncul dari kepercayaan monoteisme kepada Tuhan.

2) Sinonim subtitutif; apabila kata X diganti dengan Y dalam ayat yang sama atau dalam bentuk konteks verbal secara sama, entah itu tingkat aplikasinya yang lebih luas atau lebih sempit dari Y, maka penggantian itu perlu diteliti juga. Sebagai contoh QS. al-A’raf: 94-95. Di mana kata ba’sa dan dharra’ yang posisinya diganti dengan kata sayyiah.

_____________ 15Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Ujung Pandang:

LSKI, 1990), 26-27. 16Tishihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, terj. Agus Fahri Hussin

dengan judul: Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), 44-50.

17Tishihiko Izutsu, Ethico Religious …, 50.

Page 39: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

3) Struktur semantik istilah tertentu yang dijelaskan dengan lawan kata. Contohnya kasus perbedaan kata antara khair dan hasanah dapat dipahami dengan melawankannya terhadap syarr dan sayyiah.

4) Prinsip non-X; struktur semantik kata X yang masih samar diperjelas dengan memandang bentuk negatif, bukan X. Secara logika, bukan X berarti sesuatu yang berada di luar X. Contoh, kata istakhbara pada QS al-Sajadah:15. Sebagai salah satu istilah yang paling penting bagi evaluasi negatif di dalam al-Qur’an. Jadi ayat 15 tersebut menggambarkan sifat bukan istakhbara sangat bermanfaat untuk memberikan informasi yang positif tentang sifat negatif istakhbara.

5) Bidang semantik, sebagian seperangkat hubungan semantik antara kata tertentu dengan suatu bahasa. Contoh kasus kelompok tak terpisahkan kata iftara dan kaziba yang bergabung dalam kata zhalama.

6) Ungkapan paralelisme retorik juga memberikan gambaran adanya relasi sinonimitas. Contoh kasus adalah QS. al-Maidah:44, 45, dan 47. Ada tiga kata yang mengandung relasi sinonimitas, yaitu kafir, dzalim, dan fasiq. Ketiga kata tersebut ditempatkan secara semantik satu sama lain berada dalam tingkatan yang sama berdasarkan pengingkarannya terhadap apa yang telah diwahyukan Tuhan.

7) Membedakan antara kata yang berkonteks religius dengan yang berkonteks non-religius, ditandakan dengan sebuah kata. Contoh kata kafir yang konotasinya bukan dalam konteks religius, yaitu pada QS. al-Syu’ara: 18-19

KESIMPULAN

Demikianlah pokok-pokok pikiran tentang teknik analisis yang dapat diterapkan dalam menafsirkan al-Qur’an. Pokok-pokok pikiran sebagaimana yang dibahas di atas tentunya belum merangkum semua teknik analisis yang ada. Akan tetapi paling tidak ketiga teknik analisis yang dibahas di atas kiranya dapat dijadikan sebagai alat dan tolok ukur dalam melihat dan menganalisis ayat-ayat al-Qur’an.

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 37

Page 40: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD ZAINI: TEKNIK-TEKNIK ANALISIS DALAM TAFSIR AL-QUR’AN 38

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Djajasudarma, T. Fatimah, Semantik I: Pengantar Ke Arah Ilmu makna, Bandung:

PT Eresco, 1993. Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1993. Munir, Abdul dan Aan Radiyana, Analisis Linguistik Dalam Penafsiran al-

Qur’an, (al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam). Krippendorff, Klaus, Content Analysis: Introduction to Its Theory and

Methodology, terj. oleh Farid Wajdi dengan judul: Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, Jakarta: Rajawali, 1991.

Sadly, Hasan, Ensiklopedia, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1990. Samsuri, Analisis Bahasa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991. Salim, Abd. Muin, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Ujung

Pandang: LSKI, 1990. ---------, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Ujung

Pandang: LSKI, 1994. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1993. Sudaryanto, Metode Linguistik, Yogyakarta: Gajahmada Universiti Pres, 1998. Tishihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an. Diterjemahkan Agus

Fahri Hussin dengan judul: Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.

Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid I, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1972.

Page 41: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 39

FIKIH PERADABAN DALAM KISAH AL-QUR’AN

Fauzi Saleh Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email: [email protected]

ABSTRACT Al-Qur’an has presented the progressive nations of the world as the great

of human life history. The Qur'an presents their names as evidence that as the initiator of the civilization as the past civilizations was a part lesson for the next generations to be developed and modified according to the time and the space in their life. A thing should be understood that advances in technology, science and civilization could not make the human to be sustained without the faith and belief in One God, Allah. Kata Kunci: Peradaban, Kisah, al-Quran PENDAHULUAN

Informasi al-Qur’an tentang kisah cenderung dipahami literal dengan mengenyampingkan nilai-nilai budaya dan sosial sebagai indikator kemajuan dalam dinamika kehidupan sosial saat itu. Kegelisahan ini tentu tidak berlebihan ketika dilihat dalam interpretasi al-Qur’an jarang “dibaca” secara arif dan mendalam sehingga subtansi al-Qur’an sebagai maw’idhah dan hudan menjadi kering adanya.

Membaca al-Qur’an dalam konteks peradaban mutlak diperlukan mengingat bahwa kitab suci ini diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang mengakar. Dengan demikian, wahyu memiliki ikatan dengan prinsip historisitas dan realitas.1 Pemahaman komprehensif ini akan menjadi faktor penting terutama terkait dengan fitur-fitur kisah yang terdapat dalam al-Qur’an.

KISAH DALAM AL-QUR’AN

Al-Qur’an secara content 2/3 kandungannya merupakan kisah. Kuantitas yang besar ini menunjukkan betapa al-Qur’an memberikan perhatian penuh terhadap problematika dan peristiwa masa lalu agar diputar lagi di kemudian hari. Hal tersebut sesuai dengan salah satu teori tentang waktu yang menyatakan bahwa waktu dan segala peristiwa yang mengitari akan berulang pada saat yang lain. Kalau teori ini dicermati, maka jelas bahwa apa yang terjadi sekarang merupakan pengulangan peristiwa dalam format yang baru.

_____________ 1Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya, (Yogyakarta:

Media ar-Ruz, 2008), 12.

Page 42: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

FAUZI SALEH: FIKIH PERADABAN DALAM KISAH AL-QUR’AN 40

Satu “kata”, “nama” dan “kaum” yang disebutkan al-Qur’an sebenarnya memiliki makna filosofis dan sosiologis yang perlu dikaji dan ditelaah secara mendalam. Inilah barangkali yang disebut dengan weltanschauung semantic yang dalam pemahamannya perlu pengayaan pendekatan multi bahkan interdisipliner.2

Reformasi fikih peradaban ini secara aksiologis tidak hanya memberikan sebuah pemahaman tentang adanya titik persamaan antar peristiwa, tetapi lebih dari itu, bagaimana momentum tersebut turut memberikan kontribusi dalam pem-bangunan manusia masa kini dan mendatang. Tidak bisa dipungkiri, sumbangan masa lalu telah memberikan warna yang luar biasa dalam membina manusia modern.

Sebagai contoh, manusia Mesir kuno memberlakukan mummi terhadap mayat agar bertahan dalam waktu yang lama. Di sisi lain, al-Qur’an mengisyarat-kan bahwa Fir’aun sebagai simbol kebiadaban manusia terhadap Tuhannya diabadikan jasadnya agar menjadi bukti-bukti dan pelajaran bagi orang yang datang di kemudian hari. Bila ini ditelusuri bahwa peradaban Mesir di satu sisi merupakan simbol kemajuan, tetapi di sisi lain peradaban tidak selamanya memandu manusia ke arah kebenaran.

Kaum `Ad dan Tsamud juga termasuk kisah fenomenal dimana mereka mampu membangun perabadan dengan bangunan dan ukiran yang unik. Hal tersebut menunjukkan kemakmuran mereka dalam kehidupan berteknologi. Diprediksikan bahwa masih banyak kaum mungkir lainnya tetapi tidak dipublikasi-kan kisahnya dalam al-Qur’an. Sangat dimungkinkan bahwa `Ad dan Tsamud diangkat dalam al-Qur’an karena mereka memiliki fondasi peradaban yang kuat.

Kaum Saba’ membangun peradaban kemiliteran dan mampu menundukkan lawan-lawannya dengan mudah. Meski di bawah kepimpinan seorang ratu, tetapi strukturalisasi kepemimpinan sangat efektif dan efesien, sehingga rakyat sangat patuh kepada ratu. Ketika ratu memerintahkan mereka untuk menyembah matahari, mereka juga tunduk dan patuh kepada sang ratu.

Sejumlah nama-nama yang diangkat dalam al-Qur’an bukan hanya karena keingkaran, tetapi juga terkait dengan keutamaan dan peradaban yang dimilikinya. Menurut penelitian awal, kaum-kaum umat nabi terdahulu telah mengukir kisah keperkasaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi kekuatan mereka tidak disertai dengan ketaatan kepada Allah.

Proyeksi penelitian menjadi inspirasi dalam membangun kehidupan manusia dengan inspirasi kisah umat lalu, di samping itu juga merupakan peringatan. Kehebatan pengetahuan dan teknologi telah mengangkat suatu umat untuk muncul dalam kancah global bahkan diukir dalam sejarah kehidupan manusia. Di sisi lain, yang harus ditegaskan bahwa peradaban yang sophisticated itu rupanya tidak cukup dengan survival suatu umat, tetapi harus dituntut untuk tetap terikat dengan hablun min Allah dan hablun min al-nas.

Lebih dari itu, langit yang biru tidak pernah memberikan hujan kepada kepada pelaku durjana. Sebaliknya, alam itu sendiri akan menghancurkan musuh Allah dengan gemuruh dan hujan lebatnya. Matahari yang sama juga telah menghancurkan istana Fir’aun dan Namruz beserta kaumnya.3 Ini menjadi catatan _____________

2Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltansc haunung, terj. Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 17.

3 Osman Nuri Topbas, Islam: Spirit dan Form (Turkey: Erkam Publication: 2009), viii.

Page 43: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 41

bahwa adanya hubungan korelatif untuk peradaban dengan moralitas manusia untuk eksis dan survive dalam kisah kehidupan umat manusia. Usaha fikih peradaban yang mencoba “mengawinkan” antara peradaban dan ketinggian moralitas hakikatnya sebagai usaha untuk memproduksi kesadaran terhadap teks-teks al-Qur’an dengan segala aspek yang perlu dikaji dan didalami.4

KEBESARAN UMAT MASA LALU Banyak ayat dalam al-Qur’an menyebutkan kebesaran umat masa lalu

dengan tampilan-tampilan yang sophisticated. Eksistensi umat tersebut ditampilan beberapa sampel untuk menunjukkan kiprah mereka dalam membangun dan menginisiasikan peradaban masa itu. Secara periodik, Allah menyebutkan umat-umat terdahulu secara berurut mulai QS. al-A’raf, QS. al-Qamar dan QS. al-Fajr. Dalam QS. al-Syu’ara disebutkan secara detail tentang kisah Musa dan Fir’aun. Kemudian secara detail dijelaskan umat lain termasuk `Ad, Fir’aun, Qarun dan Haman disebutkan pada sisi lain surat tersebut. Masa hidup dan kekuasaan mereka, Nuh 3000 – 2500 SM, Ibrahim dan Luth awal 2000 SM, Musa 1300 SM, Hud dan Ad 1300 – ? SM, Shalih dan Thamud 800 – ? SM.

Dagang dan Bisnis

Beberapa bangsa yang disebutkan dalam al-Qur’an memiliki kemajuan di bidang perdagangan dan bisnis. Sederet nama seperti Madyan, Tsamud dan Saba’ mendominasi kemajuan bidang ini. Kegiatan dagang dan bisnis merupakan roda peradaban dan kemajuan yang dibangun oleh kaum Madyan. Madyan adalah umat Nabi Syu’aib yang kekhasan mereka digambarkan dalam QS. Hud: 85. Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.5 Sedangkan dalam QS. Hud: 87 diterangkan bahwa mereka dan keturunannya merupakan hartawan dengan manajemen pengelolaannya yang luar biasa. Kapasitas manajerial ini menjadi unsur penunjang kesuksesan bisnis dan dagang.

Berbicara persoalan dagang, satu negeri yang tidak boleh dilupakan yaitu Saba’. Perlu disinggung pula, bahwa Saba’ merupakan salah satu empat peradaban besar yang hidup di sebelah selatan Jazirah Arab sekitar 750-1000 SM dan peradaban ini berakhir pada 550 M akibat serangan dalam dua abad yang dilakukan oleh Persia dan Arab.6 Bila dirujuk lebih jauh, Saba’ adalah sebuah nama yang diambil dari nama pendirinya. Kisah bangsa ini secara detail terdapat dalam QS. al-Naml: 20-44 dan QS. Saba’.7 Dalam sebuah hadits, Nabi ditanya, “Apakah Saba’ itu nama negeri atau nama seseorang? Nabi menjawab: Dia adalah manusia yang memiliki sepuluh anak. Enam tinggal di Yaman dan empat di Syam. Yang di Yaman ialah Mudzhij, Kindah, Alazad, Asa’ariyun, Anmar dan Himyar. Yang di Syam adalah Lakham, Judzam, dan Ghassan. _____________

4Nasr Hamid Abu Zaid, al-Mafhum al-Nas Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), 11.

5Kodifikasi ayat al-Qur’an dan hadits tentang Kaum Syu’aib dapat dilihat lebih lanjut dalam Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits (Widya Cahaya, 2010), 322.

6Azyumardi Azra, Ensiklopedi Mukjizat al-Qur’an …, Jilid I, 90. 7Azyumardi Azra, Ensiklopedi…, 89.

Page 44: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

FAUZI SALEH: FIKIH PERADABAN DALAM KISAH AL-QUR’AN 42

Saba’ merupakan kota perdagangan internasional yang ramai karena berada pada titik pertemuan antara jalur laut dan jalur darat. 8 Dengan demikian, Saba’ berada pada rute perjalanan kafilah dagang dan ikut meramaikan kegiatan bisnis di sana. Karena itu, penduduk Saba’ memperluas perdagangan ke negeri - negeri tetangga. 9

Untuk memakmurkan negerinya, raja Saba’ juga membangun bendungan besar yang dikenal dengan bendungan Ma’rib. Bendungan ini menyimpan air hujan untuk mengairi tanaman yang salah satu pemimpinnya adalah ratu Bilqis.10 ‘Dua mata uang’ kehidupan Saba, dagang di satu sisi dan pertanian yang memproduk komiditas sebagai sisi lain semakin mengangkat kaum ini dalam kancah peradaban gemilang. Konstruksi Bangunan

Konstruksi dan seni bangunan adalah bentuk peradaban yang sekaligus menunjukkan kemampuan dan kekokohan suatu bangsa. Bangunan (‘umran) dalam istilah Ibn Khaldun sebagai induk industri dan peradaban yang mengiringi peradaban primer seperti pertanian, tenun, dagang dan juga peradaban yang memiliki prestise unggul seperti tulis menulis, produksi kertas, nyanyian, kedokteran dan seterusnya.11

Al-Qur’an mengangkat beberapa bangsa dunia dalam bidang konstruksi ini, di antaranya adalah kaum `Ad, Tsamud dan kaum Fir’aun. Dalam QS. al-Fajr: 7-10 disebutkan:

tΠ u‘ Î) ÏN# sŒ ÏŠ$yϑÏèø9 $# ∩∠∪ ©ÉL©9 $# öΝ s9 ÷,n=øƒ ä† $yγ è=÷WÏΒ ’ Îû ω≈ n=Î6 ø9 $# ∩∇∪ yŠθßϑrO uρ t⎦⎪Ï% ©!$# (#θç/% y

t÷‚¢Á9 $# ÏŠ# uθø9 $$Î/ ∩®∪ tβöθ tãöÏùuρ “ÏŒ ÏŠ$s?÷ρF{ $# ∩⊇⊃∪

“(yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak).”

Iram ialah ibukota kaum 'Ad sedangkan dalam kaitannya dengan kaum Tsamud adalah lembah yang terletak di bagian Utara Jazirah Arab antara kota Madinah dan Syam. Mereka memecahkan batu gunung untuk membangun gedung-gedung tempat tinggal mereka, ada pula yang melubangi gunung-gunung untuk tempat tinggal dan tempat berlindung.

Tiang-tiang besar bekas peninggalan kaum `Ad disebutkan dengan cara khusus dalam al-Qur’an merupakan bagian bangunan yang terbuat dari pasir. Zarins, salah seorang peneliti dan ketua proses penggalian benda sejarah ini, menyebutkan bahwa tiang-tiang besar tersebut sebagai tanda istimewa Kota Ubar. Ciri tiang yang dijelaskan al-Qur’an menjadi petunjuk terbaik bahwa kota yang

_____________ 8Azyumardi Azra, Ensiklopedi…, 89. 9Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghus, Kitab al-Athlas Tarikh al-Anbiya’ wa al-

Rusul, terj. Qasim Shaleh dan Dewi Kournia Sari, Atas Sejarah Para Nabi dan Rasul (Jakarta Timur: Al-Mahira, 2009), 208.

10Azyumardi Azra, Ensiklopedi…, 89. 11Abd al-Rahman bin Khaldun al-Maghribi, Muqaddimat Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-

Fikr, t.th.), 405.

Page 45: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 43

ditemukan itu adalah kota Iram, kota ini secara tegas disebutkan dalam QS. al-Fajr: 8.12

Lebih lanjut disebutkan dalam al-Qur’an, “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum `Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan”.(QS. al-A’raf-ayat 73-74)

Tehnik konstruksi – di samping `Ad – juga merupakan bagian peradaban Tsamud di tanah Arab.13 Hal tersebut disebabkan kemakmuran dan kemewahan hidup serta kekayaan alam yang dahulu dimiliki dan dinikmati oleh kaum `Ad, kemudian diwarisi kepada kaum Tsamud. Tanah-tanah yang subur memberikan hasil berlimpah ruah, binatang-binatang perahan dan ternak yang berkembang biak, kebun-kebun bunga yang indah-indah, bangunan rumah-rumah yang didirikan di atas tanah yang datar dan dipahatnya dari gunung. Semuanya itu menjadikan mereka hidup tenteram, sejahtera dan bahagia, merasa aman dari segala gangguan alamiah dan kemewahan hidup akan kekal bagi mereka dan anak keturunan mereka.14 Las Baja

Allah mendeskripsikan tentang kemahiran dan pandai besi yang diberikan kepada umat yang lalu, melalui nama Dzulkarnain, seperti yang terdapat dalam QS. al-Kahfi: 96;

’ ÎΤθè?# u™ tt/ 㗠ωƒ ωpt ø:$# ( #©Lym # sŒ Î) 3“uρ$y™ t⎦÷⎫t/ È⎦÷⎫sùy‰¢Á9 $# tΑ$s% (#θã‚àΡ$# ( #©Lym # sŒ Î) … ã&s#yè y_

# Y‘$tΡ tΑ$s% þ’ ÎΤθè?# u™ ùøÌøùé& Ïμ ø‹n=tã # \ôÜ Ï% ∩®∉∪

“Berilah Aku potongan-potongan besi.” Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: ”Tiuplah (api itu)”. Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ”Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.”

Kekuatan Militer dan Manajemen Pengairan

Kaum Saba’ menjadi simbol kejayaan dalam kekuatan militer.15 Masa keberadaan dari peradaban Saba’ menjadi pokok pembicaran dari banyak diskusi. Kaum Saba’ mulai mencatat kegiatan pemerintahannya sekitar 600 SM, inilah sebabnya tidak terdapat catatan tentang mereka sebelum tahun tersebut. Negara Saba’ memiliki salah satu bala tentara terkuat di kawasan tersebut. Negara mampu melakukan politik ekspansi berkat angkatan bersenjatanya. Negara Saba’ telah menaklukkan wilayah-wilayah dari negara Qataban Lama. Negara Saba’ memiliki banyak tanah di benua Afrika. Selama abad ke-24 SM, pada ekspedisi ke Magrib, tentara Saba’ dengan telak mengalahkan tentara Marcus Aelius Gallus, Gubernur _____________

12Mady Shehab, al-I’jaz al-Ilm fi al-Qur’an wa al-Sunnah, terj. Syarif Hade Masyhah dkk., Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Sapta Sentosa, 2008), 42.

13http://answering.wordpress.com 14www.suaramedia.com 15Harun Yahya, www.suaramedia.com

Page 46: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Mesir untuk kekaisaran Romawi yang jelas-jelas merupakan negara terkuat pada masa itu. Saba’ dapatlah digambarkan sebagai sebuah negara yang menerapkan kebijakan moderat, namun tidak ragu-ragu menggunakan kekuatan jika diperlukan. Dengan kebudayaan dan militernya yang maju, negara Saba’ jelas merupakan salah satu adi daya di daerah tersebut kala itu.

Angkatan bersenjata Saba’ yang luar biasa kuat ini juga digambarkan di dalam al-Qur’an. Sebuah ungkapan dari para komandan tentara Saba’ yang diceritakan dalam al-Qur’an menunjukkan besarnya rasa percaya diri yang dimiliki oleh bala tentara ini, yang terdapat dalam QS. al-Naml: 33. Para komandan berkata kepada sang ratu: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”

Dalam bidang pengairan dan irigasi, kaum Saba’ telah dikenal sebagai orang-orang yang beradab dalam bidang ini. Dalam prasasti, para penguasa Saba’ sering menggunakan kata-kata seperti “memperbaiki”, “mempersembahkan”, dan “membangun”. Bendungan Ma’rib, yang merupakan salah satu monumen terpenting kaum ini, adalah indikasi penting dari tingkatan teknologi yang telah diraih oleh kaum ini. Namun, ini tidak berarti bahwa kekuatan militer Saba’ lemah, bala tentara Saba’ adalah salah satu faktor terpenting yang menyokong ketahanan kebudayaan mereka dalam jangka waktu demikian lama tanpa keruntuhan.

Ibu kota negara Saba’ adalah Ma’rib yang sangat makmur karena letak geografisnya yang sangat menguntungkan. Ibu kota ini sangat dekat dengan Sungai Adhanah. Titik di mana sungai mencapai Jabal Balaq sangat tepat untuk membangun sebuah bendungan. Dengan memanfaatkan keadaan ini, kaum Saba’ membangun sebuah bendungan di sana, ketika peradaban mereka pertama kali berdiri, dan memulai sistem pengairan mereka. Mereka benar-benar mencapai tingkat kemakmuran yang sangat tinggi. Ibu kota Ma’rib, adalah salah satu kota termaju saat itu. Penulis Yunani Pliny yang telah mengunjungi daerah ini dan sangat memujinya, juga menyebutkan betapa hijaunya kawasan ini.

Bendungan di Ma’rib tingginya 16 meter, lebarnya 60 meter dan panjang-nya 620 meter. Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat diairi oleh bendungan ini adalah 9.600 hektar, dengan 5.300 hektar termasuk dataran bagian selatan dan sisanya termasuk dataran sebelah barat. Dua dataran ini disebutkan sebagai “Ma’rib dan dua dataran“ dalam prasasti Saba’. Ungkapan dalam al- Qur’an, “dua buah kebun di sisi kiri dan kanan“, menunjukkan kebun-kebun dan kebun anggur yang mengesankan di kedua lembah ini. Berkat bendungan ini dan sistem pengairan-nya, daerah ini menjadi terkenal sebagai kawasan berpengairan terbaik dan paling menghasilkan di Yaman. J. Holevy dari Prancis dan Glaser dari Austria membuktikan dari berbagai dokumen tertulis bahwa bendungan Ma’rib telah ada sejak zaman kuno. Dalam dokumen-dokumen yang tertulis dalam dialek Himer, disebutkan bahwa bendungan ini membuat kawasan tersebut sangat produktif.

Saat ini, bendungan kaum Saba’ yang terkenal kembali menjadi fasilitas pengairan. Bendungan Ma’rib yang tampak sebagai reruntuhan di atas adalah salah satu karya terpenting dari kaum Saba’. Bendungan ini runtuh dikarenakan banjir Arim yang disebutkan dalam al-Qur’an dan semua daerah pertaniannya tergenang. Karena wilayahnya hancur dengan runtuhnya bendungan, negara Saba’

FAUZI SALEH: FIKIH PERADABAN DALAM KISAH AL-QUR’AN 44

Page 47: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 45

kehilangan kekuatan ekonominya dalam waktu yang sangat singkat dan segera runtuh.16

Seni dan Arsitektur

Tsamud adalah salah satu kaum yang menginisiasikan seni lukis dan arsitektur. Gunung-gunung batu menjadi wahana seni dan dibentuk kaum Tsamud menjadi istana, rumah, dan kuburan para petinggi kaum. Pahatan ukiran dan ornamennya sangat halus dan indah menakjubkan. Wilayah kekuasaan kaum Tsamud membentang hingga ke wilayah Petra (Yordania). Bedanya, Petra sudah dijadikan komoditi parawisata inti Yordania selain Laut Mati. Sedangkan Mada’en Shaleh masih menjadi perdebatan antara kepentingan dinas pariwisata Saudi yang mulai mengangkat Mada’en Shaleh sebagai komoditi pariwisata, dengan para ulama yang berpendapat bahwa tempat tersebut adalah situs peninggalan “kaum terlaknat,” sehingga umat Islam diharamkan untuk menziarahinya.

Sumber-sumber sejarah mengungkapkan, sekelompok orang yang disebut dengan Tsamud benar-benar pernah ada. Masyarakat al-hijr (batu) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an adalah sama dengan kaum Tsamud. Nama lain dari Tsamud adalah ashab al-hijr. Kata Tsamud adalah nama dari suatu kaum, sedangkan kata al-hijr adalah salah satu di antara beberapa kota yang dibangun oleh orang tersebut.

Di Arabia Kuno, suku atau sekelompok suku tampaknya telah memiliki keunggulan sejak sekitar abad 4 SM sampai pertengahan awal abad 7 M. Meskipun kaum Tsamud kemungkinan asal-usulnya dari Arabia Selatan, sebuah kelompok besar yang pindah ke utara pada awal-awal tahun, secara tradisional berdiam di lereng gunung Athlab. Penelitian arkeologi terakhir mengungkapkan, sejumlah besar batu bertulis dan gambar-gambar kaum Tsamud tidak hanya ada di Jabal Athlab, tetapi juga di seluruh Arabia tengah.17

Sekitar 2000 tahun yang lampau, kaum Tsamud telah mendirikan sebuah kerajaan bersama bangsa Arab yang lain, yaitu Nabataeans. Saat ini, di Lembah Rum yang juga disebut dengan Lembah Petra di Jordania, dapat dilihat berbagai contoh karya pahat batu yang terbaik dari kaum ini. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, kaum Tsamud memiliki kemahiran dan keahlian dalam bidang pertukangan (ukiran dan pahat memahat). Seperti yang telah ditegaskan dalam QS. al-A’raf: 74. ”Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”

PERADABAN DAN DEKADENSI MORAL Dalam al-Qur’an dideskripsikan bahwa `Ad sebagai kaum yang tidak

mempercayai kerasulan Nabi Hud. Kaum `Ad menyombongkan diri sebagai kaum yang kuat, berperawakan tinggi besar (QS. Fushilat: 15), mendiami bangunan tinggi, istana dan benteng yang dibangun di atas perbukitan (QS. al-Syu’ara: 128-129), suka menyiksa dengan bengis (QS. al-Syu’ara: 130), dan mempunyai banyak keturunan, hewan ternak, kebun dan mata air (QS. al-Syu’ara: 133-134). _____________

16http://dhymas.wordpress.com/satu-bantahan-lagi-terhadap-dongeng/jejak-bangsa/kaum-saba

17Britannica Micropedia, Vol. 11, 672.

Page 48: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

FAUZI SALEH: FIKIH PERADABAN DALAM KISAH AL-QUR’AN 46

Karena kelebihan itu, mereka merasa tidak ada yang lebih kuat dan perkasa dari mereka.

Ketika Nabi Hud datang memberi peringatan, mereka malah mengejek Nabi Hud dan menantangnya untuk mendatangkan siksaan Allah. Mulanya `Ad ditimpa musibah kekeringan (QS. Hud: 52), ada pendapat yang menyatakan bahwa kekeringan itu berlangsung selama 3 tahun tetapi musibah itu juga tidak menyadarkan dan menginsyafkan mereka. Akhirnya kaum `Ad dihancurkan oleh Allah dengan musibah angin topan dahsyat yang bertiup selama 8 hari 7 malam terus menerus.18

Sekelompok kecil dari kaum Tsamud yang kebanyakan terdiri dari orang-orang yang kedudukan sosial lemah menerima dakwah Nabi Saleh dan beriman kepadanya sedangkan sebahagian besar terutama mereka yang tergolong orang-orang kaya dan berkedudukan, tetap bersikeras dan menyombongkan diri menolak ajakan Nabi Saleh dan mengingkari kenabiannya.19

Sebelum mereka dihancurkan dengan suara petir yang menggelegar, bangsa Tsamud ini diperintahkan untuk menyembah Allah dan mengikuti ajakan Nabi Saleh. Namun, mereka enggan melakukannya. Bahkan, ajakan itu justru dianggap menghina kaum Tsamud. Lalu, ketika diuji dengan diberikan seekor unta betina, mereka pun membunuhnya, lalu Nabi Saleh memperingatkan umatnya.20 Karena sikap sombong dan angkuh itu, mereka pun harus menerima akibat dan dihancurkan oleh Allah sebagaimana telah dilakukan pada kaum `Ad.

Sesuai dengan permintaan dan petunjuk pemuka-pemuka kaum Tsamud, Nabi Saleh berdoa memohon kepada Allah agar memberi suatu mukjizat untuk membuktikan kebenaran risalahnya dan sekaligus mematahkan perlawanan dan tantangan kaumnya. Ia memohon kepada Allah dengan kekuasaan-Nya untuk menciptakan seekor unta betina yang dikeluarkan dari sebuah batu karang besar yang terdapat di sisi sebuah bukit yang mereka tunjuk. Maka dengan izin Allah batu karang tersebut terbelah dan keluar seekor unta betina.21

Salah seorang umatnya tetap mengingkari dan nekad membunuh unta tersebut. Menurut riwayat, sang pembunuh adalah utusan bersama para petinggi kaum yang diiming-imingi hadiah seorang wanita cantik. Mengetahui hal tersebut, Nabi Shaleh marah, dan ia mengetahui bahwa azab Allah tidak lama lagi akan datang dan membumi hanguskan kaumnya, karena mukjizat unta hanyalah simbol kepatuhan kaum Tsamud kepada Allah.

Setelah kejadian tersebut, kaum Tsamud masih tetap menantang Nabi Saleh, karena ternyata azab tidak kunjung datang melanda mereka. Maka, tidak lama berselang, murka Allah pun datang. Angin puting beliung dengan suhu udara yang sangat dingin menyelimuti hari-hari kaum Tsamud, diiringi gempa dahsyat. Akhirnya, kaum Tsamud tenggelam ditelan bumi. Yang tertinggal hanya beberapa rumah dan istana gunung batu sebagai hasil karya besar mereka.22

_____________ 18QS. al-Ankabut: 38, QS. al-Ahqaf: 24, QS. al-Zariyat: 41, QS. al-Najm: 50, QS. al-

Qamar: 18-19, dan QS. al-Haqqah: 7-8. Azyumardi Azra, dkk., Ensiklopedi Islam (Ichtiar Baru van Hooeve, 2005), 73.

19www.suaramedia.com 20Cerita ini terdapat dalam QS. Hud: 61-62 dan 65-68, QS. Ibrahim: 9, QS. al-A’raf: 75-

77, QS. al-Naml: 47-50, QS. al-Qamar: 23-26, dan QS. al-Syu’ara’: 141-158 21www.suaramedia.com 22http://kelautaja.com/sejarah/kaum-tsamud-`Ad-antara-history-dan-fakta-arkeolog

Page 49: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 47

Lain halnya dengan kehancuran kaum Saba’, rakyat negeri ini tenggelam dalam kemegahan hidup karena sibuk memelihara bendungan Ma’rib dan melupakan Tuhan. Allah melaknat mereka dengan mengirim banjir besar yang menghancurkan bendungan itu sekaligus memporak-porandakan Saba’. Peristiwa tahun 120 SM itu telah mengakhiri kebesaran dan kehebatan negeri Saba’.23 Penyebab lain kehancuran ini adalah perubahan jalur perdagangan yang semula menjadi faktor peningkatan income perkapita negeri ini, yakni dari jalur darat ke jalur laut. Dinasti Ptolemeus membuat sungai terusan yang menghubungkan antara Laut Merah di salah satu cabang Sungai Nil yang mengarah ke Laut Tengah hingga akhirnya perdagangan dikuasai Dinasti Ptolemeus.24

Al-Qur’an menceritakan bahwa Ratu Saba’ dan kaumnya menyembah matahari selain menyembah Allah sebelum ia mengikuti Sulaiman. Informasi dari berbagai prasasti membenarkan kenyataan ini dan menunjukkan bahwa mereka menyembah matahari dan bulan dalam kuil-kuil mereka, dalam pilar-pilar tersebut terdapat prasasti yang tertulis dalam bahasa Saba.25 KESIMPULAN

Kemajuan peradaban dengan teknologi canggihnya betul-betul telah mengubah situasi dunia. Hal tersebut terlihat dapat mempersingkat perjalanan, meningkatkan teknologi pertanian dan industri dan seterusnya. Kecanggihan itu sebenarnya sudah digagas oleh umat sebelumnya. Kaum `Ad, Tsamud dan Saba’ merupakan simbol masa lalu yang telah mengukir kejayaan di pentas kehidupan dunia. Kaum tersebut pernah dicatat kegemilangannya dalam bidang teknologi, teknik pembangunan, bisnis dan perdangangan, bahkan kekuatan militer.

Peradaban yang tidak berbasis ketuhanan dan moralitas pada akhirnya segera akan mendarat pada kehancuran. Itu semua memberi pelajaran berarti untuk adanya keseimbangan antara teknologi dan ketakwaan, peradaban dan keubudiahan dan seterusnya.

_____________ 23 Azyumardi Azra, Ensiklopedi..., Jilid VI, 89. 24 Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghus, Kitab al-Athlas Tarikh al-Anbiya’ wa al-

Rusul, terj. oleh Qasim Shaleh dan Dewi Kournia Sari, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul (Jakarta Timur: Al-Mahira, 2009), 208.

25 http://dhymas.wordpress.com/satu-bantahan-lagi-terhadap-dongeng/jejak-angsa/kaum-saba

Page 50: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

FAUZI SALEH: FIKIH PERADABAN DALAM KISAH AL-QUR’AN 48

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zaid, Nasr Hamid, al-Mafhum al–Nas Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an terj. Khoiron Nahdliyin, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.

Azra, Azyumardi, dkk., Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, 2005. Izutsu, Toshihiko, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic

Weltanschaunung, terj. Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap al-Qur’an, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

Harun Yahya, www.suaramedia.com http://answering.wordpress.com http://dhymas.wordpress.com/satu-bantahan-lagi-terhadap-dongeng/jejak-bangsa/

kaum-saba http://kelautaja.com/sejarah/kaum-tsamud-ad-antara-history-dan-fakta-arkeolog Al-Maghribi, Abd al-Rahman bin Khaldun, Muqaddimat Ibn Khaldun, Beirut: Dar

al-Fikr, t.th. Al-Maghus, Sami bin Abd Allah bin Ahmad, Kitab al-Athlas Tarikh al-Anbiya’

wa al-Rusul, terj. Qasim Shaleh dan Dewi Kournia Sari, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Jakarta Timur: Al-Mahira, 2009.

Shehab, Mady, al-I’jaz al-Ilm fi al-Qur’an wa al-Sunnah, terj. Syarif Hade

Masyhah dkk., Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Sapta Sentosa, 2008.

Sodiqin, Ali, Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya,

Yogyakarta: Media ar-Ruz, 2008. Topbas, Osman Nuri, Islam: Spirit dan Form, Turkey: Erkam Publication, 2009. www.suaramedia.com Yusuf, Ahmad Muhammad, Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits,

Widya Cahaya, 2010.

Page 51: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN TENTANG QADHA DAN QADAR

DALAM REALITA KEHIDUPAN UMAT

Nurdinah Muhammad Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email: [email protected]

ABSTRACT Understanding of the concept of qadha and qadar closely related to form

the attitudes of human life in the universe which may affect the activity in his/her life. Therefore, the formulation of the concept of qadha up and qadar can encourage people to become khair al-ummah and improve the quality of human resources for implementation in the lives of Muslims. There was the mis-understands the concept of qadha and qadar could negatively impact, such as a total surrender to fate, weakening the spirit, and it could also exaggerate ability of their minds that they might forget God's instructions to him. In understanding qadha and qadar, the Koran explicitly states that the God who made all creatures, with qudrah, will, effort, and wisdom, as in His word that means: He makes all things then determine the extent and His Qadr. (Surat al-Furqan: 2). Kata Kunci: Al-Qur’an, Qadha dan Qadar PENDAHULUAN Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran keagamaan. Karena itu, interpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an menjadi sangat penting untuk bisa memahami Islam yang hakiki. Dan dengan sendirinya, ilmu-ilmu yang menjadi instrumen pemahaman terhadap teks-teks al-Qur’an juga menjadi penting, seperti tentang qadha dan qadar.

Secara harfiah qadha berarti keputusan atau ketetapan (QS. Bani Israil: 4), sedangkan qadar berarti ketentuan atau ukuran (QS. al Furqan: 2). Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini seperti gerak-gerik, suka duka, baik dan buruk, tidak terlepas dari takdir atau ketentuan Allah. Inilah yang harus diimani oleh setiap muslim. Bukti adanya takdir Tuhan dapat dilihat pada diri manusia sendiri. Kapan dan di mana lahir, manusia tidak pernah memilihnya, ia tidak memilih siapa orang tuanya, jenis kelamin, suku, dan bentuk tubuh. Semuanya ditentukan oleh Allah, manusia wajib menerimanya. Demikian pula masalah mati manusia tidak mempunyai hak pilih. Orang bosan hidup, ingin cepat mati, tetapi tidak juga mati kalau ajal belum sampai, malah yang terjadi adalah sebaliknya.

Kalau segala sesuatu dikuasai Tuhan dengan takdirnya, maka di manakah letaknya kebebasan ikhtiar manusia, pada hal manusia diperintahkan untuk berikhtiar. Kalaulah demikian tentu manusia berada dalam keterpaksaan untuk

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 49

Page 52: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN… 50

berbuat sesuatu. Dalam hal ini, Islam menjelaskan bahwa kebebasan manusia memang ada karena perbuatan manusia dapat dilakukan atas kehendak dan kemauan manusia sendiri. Namun tidak dapat diingkari banyak di antara manusia dalam kebebasannya bertindak selalu gagal, walaupun sudah berusaha maksimal. Ini lebih menunjukkan bahwa kebebasan manusia bersifat terbatas, tidak mutlak, sebab kebebasan manusia berada dalam lingkungan kodrat Tuhan. Oleh karena itu suatu usaha manusia akan berhasil kalau berada dan sesuai dengan kehendak Allah.1

Sebagai bandingan dapat dilihat kebebasan manusia dalam negara demokrasi. Kebebasan bukanlah berarti berbuat sebebas-bebasnya, tetapi dalam arti bebas berbuat sepanjang aturan yang berlaku. Jadi sebenarnya memang ia tidak bebas. Namun sebagai manusia masih dianjurkan untuk berusaha walaupun tidak secara mutlak berhasil. Yang penting berikhtiar, kemudian berdoa, dan selanjutnya bertawakal kepada Allah. Kalau berhasil adalah karena karunia Allah, kalau tidak berhasil juga karena kehendak Allah.

Ajaran qadha dan qadar ini bila dipercayai secara benar menjadi sumber amal ikhtiar manusia dan menimbulkan militansi yang tidak kenal menyerah. Setiap orang akan berani berjuang karena percaya sebelum ajal berpantang mati. Sebab mati itu tidak mesti di dalam perang, di mana saja bisa mati. Ajaran qadha dan qadar ini membuat manusia tahu berterima kasih, bersyukur kepada Tuhan bila usahanya berhasil. Sebab tanpa izin-Nya tidak akan dapat apa-apa. Bila tidak berhasil ia akan bersabar dan tawakal karena ia menyadari semua hal itu karena kodrat dan iradat Allah.

PENGERTIAN QADHA DAN QADAR

Kata al-qadhaa-u secara bahasa adalah menyempurnakan sesuatu (perkara), melaksanakan dan menyelesaikannya, baik perkara itu berupa ucapan, amalan, kehendak (kemauan), ataupun yang lainnya. Ulama akidah menyebutkan, ada beberapa makna qadha dan qadar yang berkaitan dengan syariat. Pendapat pertama dinukil dari pernyataan Abul Hasan al-Asy’ari, dari kalangan ulama akidah yang kondang dan dari kalangan mayoritas ahl al-sunnah. Al-qadha adalah iradah Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu, sesuai dengan keberadaan-Nya. Seperti iradah-Nya yang azali menciptakan manusia di muka bumi. Makna ini selaras dengan makna bahasa yaitu menyempurnakan sesuatu, melaksanakan dan menyelesaikannya. Sedangkan al-qadar yaitu penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha, zat, jenis dan sifat, perbuatan dan keadaan, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya. Misalnya, Allah menciptakan manusia di muka bumi sesuai dengan apa yang telah ditentukannya melalui qadha-Nya.

Makna qadar yang demikian, secara keseluruhan selaras dengan makna bahasa, yaitu penjelasan sesuatu yang berkenaan dengan qadar ukurannya. Sebab “mengadakan” berarti menampakkan (sesuatu) yang telah di qadha-Nya dengan qadha yang azali sesuai dengan qadar yang ditentukan, kepada alam wujud (nyata).

Pendapat kedua dinukil dari al-Maturidiyah (pengikut Abu al-Manshur al-Maturidi, ulama pakar ilmu tauhid). Al-qadha yaitu penciptaan yang mengacu _____________

1Daniel Djuned, dkk. Studi Ilmu Kalam (Banda Aceh: Fakultas Ushubuddin IAIN Ar-Raniry, 2010), 76-77.

Page 53: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 51

kepada pembentukan. Misalnya, Allah menciptakan manusia dalam bentuknya, sesuai dengan iradah azali. Makna tersebut selaras dengan makna dari segi bahasa, yaitu “penyempurnaan sesuatu”. Sebab, hakikat penciptaan adalah penyempurnaan amalan dalam mengadakan. Al-qadar, yaitu penakaran atau penentuan, yakni menjadikan sesuatu dengan iradah pada kadar yang telah ditentukan sebelum keberadaannya. Misalnya, iradah Allah di alam azali untuk menciptakan manusia dalam bentuk khusus, wujud yang tertentu dan waktu yang ditentukan2.

Makna tersebut selaras dengan makna bahasa, yaitu menjelaskan jumlah atau kadar ukuran sesuatu. Dalam hal ini, pengkhususan atau pembatasan iradah berarti menjelaskan kadar ukurannya, jumlahnya, serta caranya. Dari penjelasan di atas, tampaklah perbedaan pada kedua pendapat tentang makna qadha dan qadar. Tafsir al-Asy’ari tentang qadha menyerupai tafsir al-Maturidiyah tentang qadha dan tafsir qadha menurut al-Maturidiyah menyerupai tafsir al-Asy’ari tentang qadar. Dari sini, dapat dilihat keterpaduan pandangan ahl al-sunnah (dari kalangan al-Asy’ariyah, al-Maturidiyah dan lainnya) dalam memahami makna dan tujuan dalil qadha dan qadar, sekalipun namanya saling bertukar.

Lafal qadha dan qadar dapat dipadukan dalam satu topik dan memberikan tafsir makna yang sama. Dalam bidang syariat, kedua lafal tersebut kadang-kadang digunakan secara bersamaan dan kadang-kadang secara sendiri-sendiri, namun maknanya saling bersesuaian. Dengan demikian, makna qadha dan qadar adalah iradah Allah mewujudkan sesuatu dalam bentuk tertentu, kemudian menjadikan untuk perwujudan itu suatu amalan sesuai dengan maksud tujuannya.

Setelah meneliti nas-nas al-Qur’an tentang makna lafal qadha dan qadar serta akar kata keduanya, maka di dapati bahwa maksud qadar adalah penakaran unsur segala sesuatu, zat, sifat, waktu, tempat, hukum, dan segala sesuatunya. Yaitu, segala sesuatu di sisi Allah memiliki ketentuan yang lengkap. Adapun qadha adalah pengamalan kehendak sesuai dengan takaran yang telah diputuskan dengan ilmu dan hikmah. Pelaksanaan qadha berwujud penciptaan, pengadaan, penyampaian, penjelasan, dan sebagainya.

AYAT AL-QUR’AN TENTANG QADHA DAN QADAR

Pembahasan tentang qadha dan qadar merujuk kepada ayat-ayat al-Qur`an, diantaranya; 1. QS. al-An’am: 2;

uθ èδ “ Ï% ©! $# Ν ä3 s) n= yz ⎯ Ï iΒ &⎦⎫ ÏÛ ¢Ο èO #© |Ó s% Wξ y_ r& ( ×≅ y_ r& uρ ‘ ‡Κ |¡ •Β … çν y‰Ψ Ïã ( ¢Ο èO óΟ çFΡ r&

βρ ç tI ôϑ s? ∩⊄∪

“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” 2. QS. al-A’raf: 34;

_____________ 2 Abdurahman Habanakah, Pokok-pokok Aqidah Islam, terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema

Insani Press, 1998), 615-617. Selanjutnya disebut Abdurahman Habanakah, Pokok-pokok.

Page 54: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Èe≅ ä3Ï9 uρ >π ¨Βé& ×≅ y_r& ( # sŒ Î* sù u™!% y` öΝ ßγ è=y_r& Ÿω tβρãÅzù' tGó¡o„ Zπ tã$y™ ( Ÿωuρ šχθãΒωø) tGó¡o„ ∩⊂⊆∪

“Dan untuk tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila Telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.”

3. QS. Yunus: 49;

≅ è% Hω à7Î=øΒr& ©Å¤ø uΖÏ9 # uŸÑ Ÿωuρ $·èø tΡ ωÎ) $tΒ u™!$x© ª!$# 3 Èe≅ ä3Ï9 >π ¨Βé& î≅ y_r& 4 # sŒ Î) u™!% y óΟ ßγ è=y_r&

Ÿξsù tβρãÏ‚ø↔tFó¡tƒ Zπ tã$y™ ( Ÿωuρ tβθãΒωø) tFó¡o„ ∩⊆®∪

Katakanlah: “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila Telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” 4. QS. al-Qamar: 52-53;

‘≅ ä. uρ &™ó©x« çνθè=yèsù ’ Îû Ìç/ –“9 $# ∩∈⊄∪ ‘≅ ä. uρ 9 Éó|¹ 9 Î6 x. uρ ísÜ tGó¡•Β ∩∈⊂∪

“Dan segala sesuatu yang Telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.”

5. QS. Ali Imran: 145;

$tΒuρ tβ$Ÿ2 C§ø uΖÏ9 βr& |Nθßϑ s? ωÎ) ÈβøŒ Î* Î/ «!$# $Y7≈ tFÏ. Wξ§_xσ •Β 3 ∅tΒuρ ÷Š Ìムz># uθ rO $u‹÷Ρ‘‰9 $#

⎯ Ïμ Ï?÷σ çΡ $pκ ÷] ÏΒ ⎯ tΒuρ ÷Š Ìムz># uθrO ÍοtÅzFψ$# ⎯ Ïμ Ï?÷σ çΡ $pκ ÷] ÏΒ 4 “Ì“ ôfuΖ y™ uρ t⎦⎪ÌÅ3≈ ¤±9 $# ∩⊇⊆∈∪

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” ASBAB AL-NUZUL

Dari kelima ayat yang menjadi pokok kajian dalam tulisan ini, setelah di teliti di dalam beberapa kitab tafsir, ternyata tidak terdapat disebutkan asbab al-nuzulnya. Namun demikian, banyak hadis-hadis yang menjelaskan tentang qadha dan qadar yang berhubungan dengan kelima ayat tersebut. Sebagaimana dijelas-kan Nabi dalam hadis yang terjemahannya adalah:

Amr bin Muhammad bin Ismail bin Rafi’ memberi tahu kami dari al-Maqbari dari Abu Hurairah ra., dari Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dari debu, lalu menjadikannya sebagai tanah, kemudian membiarkannya hingga jika telah menjadi tanah kering seperti tembikar, maka

NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN… 52

Page 55: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 53

iblis berjalan melaluinya seraya berkata, “Aku diciptakan untuk suatu hal yang agung”. Kemudian Allah meniupkan rohnya ke dalamnya. Kemudian Adam bertanya, ya Tuhanku, mana keturunan ku?’ dia menjawab, “Pilihlah, hai Adam”. Adam berkata, “aku memilih yang berada di sebelah kanan Tuhanku dan kedua tangan Tuhanku adalah kanan. “kemudian Allah membentangkan telapak tangan-Nya, ternyata semua yang hidup dari keturunannya (Adam) berada di telapak tangan Tuhan3. (HR. Muslim)

Dalam hadits yang lain dijelaskan: Abdullah bin Mas’ud berkata, kami diberi tahu oleh Nabi orang yang

benar dan diakui kebenarannya, sesungguhnya seorang manusia mulai diciptakan di dalam perut ibunya setelah proses selama 40 hari. Kemudian menjadi segumpal darah setelah 40 hari berikutnya. Lalu, menjadi segumpal daging setelah 40 hari berikutnya. Setelah 40 hari berikutnya Allah mengutus seorang malaikat untuk mengembuskan roh ke dalam dirinya dan diperintah dengan 4 ketentuan; rezeki, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya. Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sungguh ada orang yang mengerjakan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dia dan surga hanya satu hasta. Tetapi, suratan takdir telah ditentukan, sehingga kemudian dia mengerjakan amalan ahli neraka, lalu akhirnya dia masuk neraka. Ada pula orang yang mengerjakan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dia dan neraka hanya satu hasta. Tetapi, takdir telah ditentukan, sehingga kemudian dia mengerjakan amalan ahli surga, lalu akhirnya dia masuk surga.4 Terjemahan hadist di atas diperjelas secara mendetil dalam terjemahan hadis di bawah ini:

Dari Amir bin Wa’ilah bahwa dia mendengar Abdullah bin Mas’ud berkata, “Orang yang celaka adalah orang yang telah ditetapkan menjadi celaka sejak berada di dalam perut ibunya dan orang yang bahagia atau beruntung adalah orang yang telah ditetapkan menjadi beruntung sejak berada di dalam perut ibunya”.

Kemudian ada seorang sahabat yang bernama Hudzaifah bin Usaid al-Ghifari datang, lalu Amir bin Wa’ilah menuturkan ucapan Abdullah bin Mas’ud itu kepadanya. Lalu Amir bertanya, “Bagaimana seseorang menjadi celaka sebelum berbuat apa-apa? Hudzaifah berkata kepada Amir, kau heran dengan itu? Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, ketika nutfah telah berusia 42 malam, Allah mengutus satu malaikat mendatangi nuthfah itu, lalu Allah membentuknya, menciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya dan tulangnya, kemudian malaikat itu bertanya: “Ya Tuhan, apakah dia ini laki-laki ataukah wanita? Maka, Allah menentukan dengan kehendaknya, lalu malaikat itu mencatatnya. Malaikat itu bertanya lagi, bagaimana tentang rezekinya? Maka, Allah menentukan menurut kehendak-Nya, lalu malaikat itu mencatatnya. Setelah itu malaikat tersebut keluar dengan membawa lembar catatan di tangannya, tanpa dia tambah dan tanpa dia kurangi apa yang telah diperintahkan untuk mencatatnya.”

_____________ 3Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar, Ulasan Tuntas Masalah Takdir, terj. Abdul

Ghaffar, Cet. I (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), 15. 4M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, terj, Elly Lathifah, Cet. I (Jakarta:

Gema Insani Press, 2005), 935. Selanjutnya disebut, Ringkasan Shahih Muslim.

Page 56: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN… 54

Suatu riwayat menambahkan, “Apakah dia menempuh jalan yang lurus ataukah menyimpang?” Maka, Allah menjadikannya orang yang menempuh jalan yang lurus atau jalan yang membelok.5

Hadis di atas dengan tegas menunjukkan bahwa ilmu Allah mendahului segala sesuatu sebelum terjadi. Ilmu Allah yang berkaitan dengan manusia ada dua macam. Pertama, yang terjadi mutlak dengan qadha dan qadar, tanpa manusia dapat ikut campur sedikit pun di dalamnya, seperti masalah ajal dan rezeki setiap makhluk. Kedua, yang termasuk dalam ujian dan cobaan, seperti yang telah dijelaskan dalam akidah tentang qadha dan qadar, seperti amalan manusia yang bersifat ikhtiyar melalui kehendak bebasnya. Dalam hal ini sesuai dengan penjelasan Nabi bahwa siapa tergolong bahagia atau beruntung, maka ia akan mengerjakan amalan orang-orang yang beruntung dan barang siapa tergolong celaka, maka dia akan mengerjakan amalan orang-orang yang celaka.6 Dari penjelasan Nabi di atas dipahami bahwa di samping manusia harus mengimani terhadap qadha dan qadar, namun adanya kebebasan manusia untuk berusaha mengerjakan amalan-amalan yang baik yang diperintahkan Allah.

_____________

POSISI MANUSIA DI HADAPAN QADHA DAN QADAR Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang sebenarnya dalam memahami qadha dan qadar, diharapkan akan dapat mengantarkan manusia untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang konsep hubungan antara kekuasaan dan kebenaran mutlak Tuhan dengan kebebasan manusia dalam hidupnya di dunia ini yang mempunyai dwifungsi, yaitu sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba- Nya. Qadha dan qadar dipercayai sebagai bagian dari iman yang harus diyakini keberadaannya oleh setiap muslim. Qadha dan qadar disini adalah ketentuan Allah sejak azali atas segala sesuatu yang pasti akan terjadi sesuai dengan ilmu Allah.

Dalam menciptakan sesuatu, Tuhan selalu berbuat menurut sunnah-Nya, yaitu hukum sebab-akibat. Sunnah-Nya ini adalah tetap, tidak pernah berubah, kecuali dalam hal-hal khusus yang sangat jarang terjadi. Sunnah Tuhan ini mencakup dalam ciptaan-Nya, baik yang jasmani maupun yang bersifat rohani. Oleh karena itu makna qadha dan takdir ialah aturan umum berlaku hukum sebab-akibat, yang ditetapkan oleh-Nya sendiri.

Penetapan hukum sebab-akibat ini memang tidak percuma. Maka dari itu sesuatu yang ditakdir tidaklah terjadi dengan tidak bersebab, atau berlawanan dengan aturan umum yang telah diatur dan sunnah yang lebih ditetapkan-Nya. Banyak ayat yang mengutarakan, bahwa qadha dan takdir itu, tidak lain dari suatu aturan umum tentang sunnah-Nya, yakni hukum sebab-akibat yang dinamakan juga hukum alam. Hukum sebab-akibat atau hukum alam ini sesungguhnya adalah ciptaan Allah juga. Oleh karena itu, pengertian qadar bukanlah seperti sangkaan kebanyakan orang, yaitu sesuatu yang terjadi tanpa sebab atau berlawanan dengan aturan dan hukum alam. Akan tetapi tidak pula mustahil, bahwa sesuatu yang terjadi itu disebut juga qadar, walaupun tidak berlaku hukum sebab-akibat. Hal yang seperti ini memang hak Allah pula dan hanya Dia sendiri saja yang mengetahui hubungan sebab-akibatnya.

Gambaran di atas sesuai dengan penjelasan yang di kemukakan Abdurrahman bahwa dalam alam penciptaan, kehendak Allah terarah kepada

5 M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, 936-937. 6 M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, 933.

Page 57: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 55

menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya. Allah menganugerahkan kepada manusia sarana untuk mengenal sebagai hakikat sesuatu. Di samping itu, Dia menganugerahkan kehendak bebas guna diuji penggunaannya. Dia juga menganugerahkan ke-mampuan dalam batas-batas tertentu yang bisa dipergunakan mewujudkan kehendaknya dengan menggunakan petunjuk hakikat ilmiah dan tuntutan Rabbani. Hal ini dapat dirasakan dalam jiwa, dalam lingkaran penganugerahan inilah berkisar putaran hukum taklif Rabbani terhadap para mukalaf.7

Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan, dalam lingkaran kecil manusia adalah bebas memilih karena diuji dalam kehidupan dunia ini sesuai dengan batas-batas kemampuannya juga dapat mengatakan bahwa sesungguhnya kehendak bebas adalah anugerah baginya. Qudrah kemampuan juga merupakan anugerah yang semuanya dibatasi oleh ukuran yang tidak bertentangan dengan kekuasaan qadha dan qadar secara umum.

Kehendak Allah menggariskan bahwa dalam menghadapi segala perkara, manusia dibatasi oleh kekuasaan qadha dan qadar, seperti masalah hidup, mati, kesehatan, dan rezeki. Hal ini terbukti telah dirasakan dan dialami, tanpa mampu melakukan rekayasa ataupun mempengaruhinya. Di seputar lingkaran berbagai masalah itulah putaran qadha dan qadar menyelimuti.

Di sini dapat dikatakan, sesungguhnya dalam lingkaran besar manusia adalah menuruti alur atau bergerak secara otomatis, bukan bebas memilih dan berbuat karenanya dikendalikan oleh kekuasaan qadha dan qadar. Misalnya, bukankah lahir tanpa kemauannya? Juga dianugerahi akal pikiran tanpa kemauannya. Begitu pula dengan penganugerahan kehendak, manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hal yang sama berlaku bagi kehidupan dan kematian.

Dalam lingkaran besar ini, manusia tidak dapat berbuat selain mengikuti alurnya, tidak dimintai pertanggungjawaban karena itu berada di luar kemampuannya. Oleh karena itu, siapa saja yang rela dengan apa yang telah diqadha dan ditakdirkan, maka ia akan mendapatkan keridhaan, dan siapa yang membangkang, maka baginya kemurkaan.

Oleh karena manusia melakukan gerak dan pekerjaan di dalam alam, terbenturlah dia dengan beberapa hal yang di luar kekuasaan atau kemampuannya. Manusia adalah bagian dari alam, pertalian alam, melengkapi manusia dan selainnya. Lantaran itu apabila manusia bergerak, gerakannya itu tentulah dengan ikhtiarnya. Tetapi di kala ia bergerak, ia dibatasi oleh beberapa hal yang tidak dalam ikhtiarnya. Mengingat hal ini maka tidaklah sempurna perbuatan-perbuatan yang dikehendaki manusia kalau tidak bersesuaian dengan sebab-sebab dari luar dirinya yang telah dimudahkan Allah dan kalau tidak terdapat halangan-halangannya yang menghalangi. Dengan cara tersebut, nyatalah bahwa hasil sesuatu pekerjaan manusia baru berhasil jika terkumpul dua faktor penting. Pertama, kehendaknya. Kedua, kehendaknya itu bersesuaian dengan keadaan-keadaan yang di luar iradatnya.

_____________ 7 Abdurahman Habanakah, Pokok-pokok..., 632.

Page 58: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN… 56

QADHA DAN QADAR MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA Beberapa pendapat ulama memberikan pengertian qadha dan qadar8 yaitu:

1. Menurut Maturidiyah: “Qadha ialah Allah mengadakan sesuatu dengan sebagus-bagus perbuatan. Sifat ini, kata mereka, kembali kepada pekerjaan, kepada sifat takwin, yang menjadi salah satu sifat yang ditetapkan adanya oleh golongan ini pada hak Allah. Qadar ialah membataskan di masa azali segala makhluk dengan sesuatu batasan yang akan diciptakan, yang dalam batasan itulah makhluk itu berjalan. Karena itu, qadar kembali kepada sifat ilmu, kepada pengetahuan Allah, sedangkan ilmu adalah salah suatu sifat Zat Yang Maha Suci.

2. Menurut Asy’ariyah: Qadha ialah, kehendak (iradah) Allah terhadap sesuatu, di dalam azal. Qadar ialah mengadakan sesuatu menurut kadar dan cara yang tertentu yang diiradahkan oleh Allah. Qadha, kembali kepada sifat. Zat, sedang qadar kembali kepada sifat fi’il (pekerjaan). Karena sifat fi’il itu, ialah pergantungan qudrah dengan sesuatu yang diciptakan belaka. Selanjutnya Abu Hasan al-Asy’ari menjelaskan bahwa takdir itu merupakan perwujudan kehendak Allah terhadap makhlukNya9. Perwujudan itu akan terjadi dalam bentuk dan keadaan yang sesuai dengan ilmu Allah. Selanjutnya Abdul Muin menjelaskan, para filosof Islam memberi definisi takdir, yaitu terbuktinya semua kejadian dan makhluk di alam ini sehingga terwujud secara lengkap dengan sebab-sebabnya dan sesuai dengan yang ditetapkan oleh qadha (iradah, ‘ilmu)10. Jadi takdir itu dipandang sebagai adanya kaitan antara keadaan dan kehidupan wujud makhluk dengan ilmu dan iradah Allah terhadap ciptaan-Nya itu. Dengan demikian, segala sesuatu itu tidak dapat lepas dari kehendak, ilmu, dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, semua kejadian yang terjadi akan terlaksana sesuai takdir (ketentuan, ukuran) yang ditetapkan oleh Allah.

Lebih lanjut, Abdul Muin menambahkan takdir adalah ilmu Allah yang meliputi segala apa yang terjadi dan yang berhubungan dengan hal yang terjadi kelak sesuai dengan apa yang telah ditentukan sejak semula oleh Allah.11 Ketentuan berada dalam ilmu Allah tentang segala sesuatu yang akan terjadi atau untuk menentukan segala sesuatu yang akan terjadi atau untuk menentukan segala sesuatu dengan mengetahui batas dan hubungannya, serta akibat-akibatnya yang akan terjadi kelak setelah yang direncanakan itu terwujud. Ilmu Allah yang azali itu meliputi segala apa yang telah dan akan terjadi, serta segala hal yang berhubungan dengan kejadian itu yang pasti akan terjadi sesuai dengan apa yang telah diketahui dan telah ditentukan semula oleh Allah. a. Sebahagian Mutakalimin membenarkan paham Maturidiyah, mengingat

bahwa makna qadha menurut bahasa adalah hukum perbuatan, kemestian dan penerangan, sedangkan qadar menurut bahasa bermakna qadar dan hukum.

_____________ 8Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Al-Islam, Jilid I, Cet. III (Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2007), 302-304. 9M. Taib Tahir Abdul Muin, Risalah Qadha dan Qadar, Cet.1 (Yogyakarta: Sumbangsih,

1964), 7. Selanjutnya di sebut M. Taib Tahir, Risalah Qadha dan Qadar. 10M. Taib Tahir, Risalah Qadha dan Qadar,...., 8. 11M. Taib Tahir, Risalah Qadha dan Qadar,...., 8.

Page 59: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 57

b. Menurut segolongan ahli kalam: qadha adalah iradah, sedang qadar, menciptakan sesuatu menurut iradah. Qadha itu ilmu, sedang qadar ialah mengadakan sesuatu menurut ilmu. Menurut pendapat ini, qadha ialah qadim; sedang qadar, baru (hadist).

c. Kata al-Raghib: Qadar dan takdir menerangkan ukuran sesuatu. Apabila dikatakan: aku qadari dia, aku takdiri dia dan lain-lain, maka berarti aku menentukan kadarnya, aku menentukan banyaknya, menentukan batasnya bentuk besar kecilnya.

d. M. Quraish Shihab membedakan antara sunatullah dengan takdir, karena sunatullah yang digunakan al-Qur’an adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedangkan takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.12 Oleh karena itu, pengertian qadar bukanlah seperti dugaan banyak orang, yaitu sesuatu yang terjadi tanpa sebab atau yang berlawanan dengan aturan dan hukum alam. Akan tetapi tidak pula mustahil, bahwa sesuatu yang terjadi itu disebut juga qadha, walaupun tidak berlaku hukuman sebab akibat. Hal yang seperti ini memang hak Tuhan dan hanya Dia sendiri saja yang mengetahui hubungan sebab akibat. Ringkasnya, menentukan rancangan sesuatu. Dalam pada itu, perkataan “aku mentakdirkannya” berarti juga aku memberi qudrah (kuasa) kepadanya. Oleh karena demikian, perkataan “Allah mentakdirkan sesuatu” berarti Allah menjadikan sesuatu menurut ukuran dan cara yang tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Di samping itu perkataan “Allah mentakdirkan sesuatu” dapat pula bermakna “Allah memberikan qudrah untuk melaksanakan sesuatu.” Qadha adalah keputusan, ketetapan terhadap sesuatu rancangan yang telah diperbuat, keputusan untuk menjalankannya. Dan qadha lebih tertentu dari qadar, karena qadar berarti memutuskan, menetapkan salah satu rancangan yang telah diperbuat.” Dengan demikian qadar, merancangkan dan qadha menetapkan rancangan.

e. Tersebut dalam Kulliyat Abi al-Baqa al-Ukbari bahwa qadha ibarat dari tercipta segala rupa maujud di dalam ilmu Tuhan yang maha tinggi dengan secara garis-garis besarnya. Dan qadar adalah terdapat rupa segala maujud itu di Lauh Mahfudh. Kata setengah muhaqqiq, qadha adalah wujud segala maujud di dalam alam ‘aqli dan qadar berwujudnya segala maujud hasil syarat-syaratnya satu persatu yakni terciptanya ke alam lahir. Jelasnya, qadha adalah hukum kulli, hukum-hukum yang umum terhadap zat beserta hal ihwalnya, sejak dari azal hingga selama-lamanya, seperti hukum yang baharu itu lenyap. Dan qadar adalah menjelaskan hukum-hukum itu dengan menentukan sebabnya, menentukan masa-masa lahir dan munculnya.

f. Menurut Rasyid Ridha, qadha dan qadar, tiada lain dari aturan umum yang harus tetap berlaku. Beriman dengan dia, bukan beriman dengan berilmu, masing-masing mempunyai kedudukan sendiri-sendiri”.

g. Menurut Muhammad Abduh, qadha adalah pergantungan ilmu Ilahi dengan sesuatu kenyataan, kemestian. Dan qadar terjadi sesuatu menurut ilmu (yang telah diketahui Allah).

_____________ 12 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz. XXV (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1983), 83.

Page 60: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

h. Al-Khaththabi, kebanyakan orang menyangka, bahwa arti qadha dan qadar adalah Allah memaksa hamba-Nya berlaku menurut yang telah diqadarkan (dirancangkan). Sebenarnya, qadha dan qadar adalah Allah mengkabarkan, bahwa semua yang terjadi (yang diusahakan oleh makhluk) lebih dahulu telah diketahui Allah dan kejadiannya adakah dengan kekuasaan Allah jua. Demikianlah pemahaman ahli-ahli kalam tentang qada dan qadhar ini. Menurut penyelidikan qadha dan qadhar kembali kepada Qudrah, Iradah, dan Ilmu. Dengan tiga sifat ini, terlibatlah qadha dan qadar, walaupun mengimani masing-masing. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pengertian qadha dan qadar berbagai

macam telah diberikan oleh para ulama yang satu dan lain saling bertentangan. Yang amat mudah dipahami jika boleh dikatakan yang benar adalah pengertian yang diberikan oleh Rasyid Rida dan penjelasan dari al-Raghib. Dengan ini teranglah, bahwa pengertian qadha dan qadar tidak sama, walaupun kerap kali didapati perkataan itu dijadikan sinonim satu dengan yang lain.

KESIMPULAN Dari penafsiran ayat-ayat di atas yang menjelaskan tentang qadha dan

qadar, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Qadha dan Qadar adalah hukum dan ketetapan Allah yang diberikan kepada

sesuatu, berupa kebaikan ataupun keburukan, yang diatur menurut sesuatu sifat dan batas yang dikehendaki.

2. Ilmu Allah yang berkaitan dengan manusia ada dua (2) macam, pertama: yang terjadi mutlak dengan qadha dan qadar, tanpa manusia dapat ikut campur sedikit pun, seperti masalah ajal, rezeki setiap makhluk. Kedua, termasuk dalam ujian dan cobaan, seperti amalan manusia yang bersifat ikhtiar melalui kehendak bebasnya.

3. Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam memahami pengertian qadha dan qadar. Namun demikian dapat dimengerti bahwa dalam perbedaan tersebut ada persamaannya bahkan ada yang mengarah kepada kebenaran sesuai dengan pengertian qadha dan qadar secara umum.

4. Dapat di analisis berdasarkan penjelasan ayat-ayat al-Qurán serta hadits Nabi serta realitas dalam kehidupan sehari-hari, maka sebagai orang yang beriman wajib yakin dan percaya sepenuh hati, bahwa semua perbuatan dan kejadian yang menimpa umat manusia di dunia ini telah ditakdirkan oleh Allah. Terutama dalam masalah-masalah diantaranya: a. Masalah ajal, bahwa ajal setiap manusia telah ditentukan oleh Allah. Oleh

karena itu, manusia sudah berusaha secara maksimal untuk menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa kita, dan tidak perlu takut mati.

b. Masalah rezeki, bahwa rezeki setiap manusia telah ditentukan oleh Allah. Tugas manusia adalah berusaha secara maksimal dan bekerja secara profesional kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.

c. Masalah keimanan dan kekufuran. Pada hakikatnya, keimanan dan kekufuran setiap orang telah ditakdirkan oleh Allah. Tidak ada seorangpun yang mampu memberikan hidayah (petunjuk) kepada orang lain. para Nabi dan Rasul serta muballigh, hanya mampu menyampaikan ajaran dari Allah. Mereka tidak mampu menyelamatkan orang-orang yang telah ditakdirkan sebagai penghuni neraka. Meskipun demikian, apabila orang yang bersangkutan ada kemauan yang kuat untuk beriman dan berusaha secara maksimal untuk memperoleh hidayah dari Allah, maka pasti Allah akan memberikan hidayah kepadanya.

NURDINAH MUHAMMAD: IMPLEMENTASI AJARAN AL-QUR’AN… 58

Page 61: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 59

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muin, M. Taib Tahir, Risalah Qadha Qadar, Cet. 1, Yogyakarta:

Sumbangsih, 1964. Al-Albani, M. Nashiruddin, Ringkasan Shahih Muslim, terj, Elly Lathifah, Cet 1,

Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Baidan, Nasrudin, dkk., Teologi Islam Terapan Upaya Antisipatif Terhadap

Hedonisme Kehidupan Modern, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, t. th.

Djuned, Daniel, dkk., Studi Ilmu Kalam, Banda Aceh: Fakultas Ushubuddin IAIN

Ar-Raniry, 2010. Habanakah, Abdurahman, Pokok-pokok Aqidah Islam, terj. A.M. Basalamah.

Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Hamka, Tafsir Al – Azhar, Juz. XXV, Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1983. Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Qodha dan Qadar, Ulasan Tentang Masalah Takdir,

terj. Abdul Ghaffar, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2000. Muhdlor, Atabik Ali A. Zuhzi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta:

Mukti Karya Grafika, Pondok Pesantren Krapyak, 1998. Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Al-Islam, Jilid I, Cet. III, Semarang: Pustaka

Rizki Putra, 2007. Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati, 2008.

Page 62: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH 60

PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH (Interpretasi terhadap Makna al-Wasath dalam al-Quran)

Chairan M. Nur Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email: [email protected]

ABSTRACT

He morality is the main thing that must applied by humans, because it is tabi'at, who was appeared spontaneously from one's self. The Good morals will be realized through education. It is because education of morality is the behavior education. It is kind of process to educate, nurture, shape, and provide training the person's character. According to Ibn Maskawaih, morality is the good behavior as a characteristic of a believer. Noble character is a middle way between the two things, such between the careless and frighten. The Ibn Maskawaih opinion refers to the QS. al-Isra: 29, about al-wasath meaning the middle way (the golden way).

Kata Kunci: Akhlak, al-Wasath, Ibnu Maskawaih PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan upaya sadar mendidik manusia agar memiliki kecerdasan dan kemampuan untuk dapat melakukan penalaran dalam segala bidang. Pendidikan juga merupakan upaya untuk menfasilitasi individu lain dalam mencapai kemandirian, serta kematangan mental sehingga dapat bersaing didalam kompetisi kehidupan. Pendidikan mempunyai banyak aspek, diantaranya pendidikan secara mentalitas, kognitif, dan akhlak. Diantara ketiga aspek pendidi-kan tersebut, pendidikan akhlak menjadi sentral utama dalam segala hal, karena akhlak merupakan fondasi untuk pembentukan kepribadian seseorang.

Secara umum, pendidikan akhlak adalah upaya sadar dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah dan merealisasikannya dalam perilaku mulia dalam kehidupan sehari-hari melalui ke-agamaan, bimbingan, pengajaran, latihan dan pembiasaan, dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Dalam bidang keagamaan, pendidikan ini juga diarah-kan pada peneguhan akidah dan peningkatan toleransi serta saling menghormati dengan penganut agama lain dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa.1 Pendidikan akhlak juga merupakan pendidikan perilaku, suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak seseorang. Dalam pengertian yang sederhana, menurut hemat penulis, pendidikan akhlak diartikan sebagai proses pembelajaran akhlak. Sebagai mata pelajaran di Madrasah Aliyah, pendidikan akhak disatukan dengan akidah, sehingga istilahnya menjadi akidah akhlak. Akidah akhlak sebagai mata pelajaran adalah upaya sadar

_____________ 1 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002),

199.

Page 63: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 61

dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan mengimani Allah dan merealisasikannya dalam perilaku.2

Secara garis besar tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah ingin mewujudkan masyarakat beriman yang senantiasa berjalan di atas kebenaran. Masyarakat yang konsisten dengan nilai-nilai keadilan, kebaikan dan musyawarah. Di samping itu, pendidikan Islam juga bertujuan menciptakan masyarakat yang berwawasan, demi tercapainya kehidupan manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme yang mulia.3

Merujuk pada penjelasan pendidikan dalam Pasal 28 ayat (3) butir b, dalam Standar Nasional Pendidikan, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.

Akhlak merupakan hal yang sangat penting dan mendasar karena dengan akhlak dapat menetapkan ukuran segala perbuatan manusia, baik buruk, benar, salah, halal dan haram. Berbicara pada tatanan akhlak tentu tidak dapat dipisahkan dengan manusia sebagai sosok ciptaan Allah yang sempurna. Akhlak adalah mutiara hidup yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia tanpa akhlak akan hilang derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia. Oleh karena itu, akhlak sangat urgen untuk manusia, urgensi akhlak ini tidak hanya dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.4

Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Bahkan diutusnya Nabi ke dunia ini bertujuan untuk menyempurnakan ahklak manusia. Nabi Muhammad bersabda bahwa orang yang sangat dicintai dan yang paling dekat tempat duduknya dengan beliau diantara umat manusia adalah yang paling baik akhlaknya.5

Pribadi guru atau pendidik juga memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan dalam pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi guru sangat berperan dalam membentuk pribadi peserta didik. Ini dapat dimaklumi karena manusia merupakan makhluk yang suka meniru, termasuk meniru pribadi guru dalam membentuk pribadinya. Semua itu menunjukkan bahwa kompetensi personal atau kepribadian guru sangat dibutuhkan oleh peserta didik dalam proses pembentukan pribadinya. Oleh karena itu, wajar ketika orangtua mendaftarkan anaknya ke suatu sekolah akan mencari tahu dulu siapa guru-guru yang akan membimbing anaknya.

Kompetensi kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi para peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian

_____________ 2 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), 4-6. Selanjutnya disebut

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf. 3 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia,…, 161. 4 Zahruddin, dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004), 13. 5 Kamal Al-Haydari, Manajemen Ruh, (Bogor: Cahaya, 2004), 27.

Page 64: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH 62

anak, guna menyiapkan dan menyumbangkan sumberdaya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan negara dan bangsa pada umunya.6

Namun akhir-akhir ini banyak guru atau pendidik yang tidak bisa memberikan contoh yang baik bagi anak didiknya, dengan seringkali mem-perlihatkan sikap dan tingkah laku moral yang memperburuk citra dunia pendidikan, seperti yang diberitakan di surat kabar Serambi Indonesia baru-baru ini, ada kasus seorang guru memukul siswa karena tidak mengerjakan PR. Kasus lainnya, ada seorang siswa yang melempar correction-pen kepada temannya, lalu guru melihat dan memukulnya. Padahal Islam mempunyai konsep pendidikan yang menempatkan moralitas berada pada urutan teratas kualifikasi keguruan, prioritas utama, baru menyusul kualitas keilmuan akademik dan persyaratan administratif formal lainnya. Oleh karena itu, upaya reaktualisasi konsep al-wasath Ibnu Maskawaih menjadi sangat urgen untuk ditawarkan guna mem-perkuat dan meningkatkan kualitas kepribadian para pendidik dalam dunia pendidikan.

Konsep al-wasath dari Ibnu Maskawaih menawarkan solusi agar berbagai permasalahan dapat berguna dan dapat menjadi ibrah bagi pendidik, orang tua, dan dengan tulisan ini pula para pendidik, dapat melakukan introspeksi dan dapat memperbaiki kepribadiannya serta muncul sikap optimistis dalam menghadapi masa depan.

IDEALITAS PENDIDIKAN DALAM ISLAM

Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya. Seluruh ide tersebut telah tergambar secara integratif dalam sebuah konsep dasar yang kokoh. Islam pun telah menawarkan konsep akidah yang wajib diimani agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya pada perilaku normatif yang mengacu pada syariat Islam. Perilaku yang dimaksud adalah penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia itu sendiri, baik dilakukan secara individual maupun kolektif.

Aspek keimanan dan keyakinan menjadi landasan akidah yang mengakar dan integral, serta menjadi motivator yang menggugah manusia untuk ber-pandangan ke depan, optimistis, sungguh-sungguh, dan berkesadaran. Aspek syariat telah menyumbangkan berbagai kaidah dan norma yang dapat mengatur perilaku dan hubungan manusia. Aspek penghambaan merupakan perilaku seorang manusia yang berupaya mewujudkan seluruh gambaran, sasaran, norma, dan perintah syariat tersebut.

Pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian manusia agar seluruh aspek di atas menjelma dalam sebuah harmoni dan saling menyempurna-kan. Lewat penjelmaan itu, seluruh potensi manusia dipadukan dan dicurahkan demi mencapai suatu tujuan. Segala upaya, perilaku, dan getar perasaan, senantiasa bertitik tolak dari tujuan tersebut.

_____________ 6 Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan

KBK, (Bandung: Rosdakarya, 2005), 25.

Page 65: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

KONSEPS ISLAM TENTANG MANUSIA, SEMESTA, DAN KEHIDUPAN Islam memiliki konsep tentang manusia dan alam semesta yang jelas dan

wajib diimani oleh manusia. Konsep-konsep itu adalah: Pertama, Islam memiliki kejelasan pikiran yang menjadi landasan hidup

seorang muslim, artinya, seorang muslim menganut pikiran tersebut, mempercayainya, mengikuti peringatannya, dan menyerukannya secara hati-hati. Karena, hanya pikiran itulah yang mengontrol segala perilaku dan perbuatan manusia.

Kedua, Islam memiliki kelogisan akidah dan kesesuaiannya dengan fitrah, akal, dan jiwa manusiawi.

Ketiga, Islam memiliki objek keyakinan yang jelas karena disajikan secara jelas lewat al-Qur’an, yang dengannya manusia akan menyaksikan realitas sebagai bahan perenungan serta mengantarkan manusia pada pengetahuan tentang kekuasaan dan keesaan Allah sesuai dengan tabiat psikologis dan fitrah keagamaan manusia. Jika seorang manusia merenungkan firman Allah, ia akan menemukan bahwa al-Qur’an menjadikan dirinya sebagai bahan renungan. Sehingga ia mampu melihat bagaimana Allah menciptakan dirinya dari segumpal darah, mengajarinya membaca, menulis, atau mendayagunakan semesta, dan dapat dididik. Bagaimana Allah menciptakan dan membentuk dirinya dalam rahim ibu melalui beberapa fase perkembangan hingga posturnya menjadi sempurna dan lahir dalam keadaan tidak mengetahui apapun, kemudian dewasa hingga tiba-tiba menjadi musuh yang nyata.

Keempat, jika ada yang bertanya-tanya, mengapa al-Qur’an menggunakan dialog yang menyentuh perasaan dan emosi serta membahas akal dan pengalaman yang mampu mengalirkan air mata dan menimbulkan getaran hati tatkala semuanya diungkapkan secara berulang-ulang, terutama tentang alam semesta dan diri? Sesungguhnya, pengulangan gambaran alam semesta dan manusia secara variatif dalam berbagai kondisi tidak hanya untuk mengenalkan aspek budaya kepada manusia atau untuk dikompetisikan dengan budaya atau filsafat lain agar keunggulan logika al-Qur’an dapat dipertahankan dan kemampuan argumentasinya mampu mengalahkan budaya lain, atau dimaksudkan untuk melatih akal manusia melalui penghapalan dan pemahamannya. Lebih dari itu, metode tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan tersebut menjadi gerak pikiran dan perasaan yang kemudian kembali berkembang menjadi kekuatan yang mendorong realisasinya dalam dunia realitas.

Tegasnya, agar manusia mewujudkan penghambaannya kepada Allah yang tidak menjadikan gambaran semesta yang mengagumkan ini kecuali sebagai peringatan bagi manusia yang tidak takut. Dengan demikian, manusia menuju amal islami yang terejawantahkan dalam perwujudan keadilan dan syariat Ilahi dalam kehidupan manusia serta pemakmuran semesta. Penyajian ayat-ayat Allah tentang semesta, seperti yang dikatakan Sayyid Quthub, dimaksudkan agar umat manusia kembali kepada Allah, kepada manhaj-Nya yang diperuntukkan bagi manusia, dan kepada ketinggian dan kemuliaan yang ditetapkan Allah bagi manusia dalam suatu periode sejarah. Jika gambaran tersebut menjadi sebuah kenyataan, hal itu akan tergambar pada suatu umat yang akan memimpin umat manusia lainnya menuju kebaikan, kemaslahatan, dan perkembangan.

Mengingat begitu pentingnya kedudukan pendidikan dalam hidup manusia, hendaknya pembahasan tersebut menjadi salah satu seruan yang dapat

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 63

Page 66: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH 64

meninggalkan dampak praktis bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Sehingga dalam melakukan kegiatannya, mereka memegang teguh manhaj pendidikan Islam. Karena itu, pembahasan tersebut hendaknya didominasi oleh metode Qur’ani sehingga manusia memahami tanda-tanda kebesaran dan keesaan Allah sebagai basis penghambaan kepada-Nya. Selain itu, dapat juga disertakan pendapat para sahabat dan tabi’in, terutama konsep pendidikan yang berhubungan dengan kehidupan manusia di alam semesta ini. Biarkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh manusia mendapatkan pemecahan masalah dari al-Qur’an sehingga terbukti bahwa manhaj Islam, dengan keleluasaan dan kesempurnaannya, mampu membangkitkan kehidupan manusia dan masyarakatnya secara keseluruhan serta mampu memecahkan setiap permasalahan umat manusia.7

DOKTRIN JALAN TENGAH IBNU MASKAWAIH

Ibnu Maskawaih mendasarkan teori keutamaan al-wasathnya pada “pertengahan”. Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dalam bahasa Inggris di-kenal dengan istilah The Doctrine of the Mean atau The Golden Mean, ternyata sudah dikenal para filosof sebelum Ibnu Maskawaih. Filosof China, Mancius (551-479 SM) misalnya, telah didapati menulis buku tentang doktrin jalan tengah. Filosof Yunani seperti Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan filosof muslim seperti al-Kindi dan Ibnu Sina juga didapati memiliki paham demikian.

Ibnu Maskawaih secara umum memberi pengertian “pertengahan atau jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.

Dapat terlihat bahwa Ibnu Maskawaih memberi tekanan yang lebih pada pribadi. Jiwa manusia menurutnya ada 3, yaitu jiwa al-bahimiyyat, jiwa al-ghadabiyyat dan jiwa al-nathiqat. Menurut Ibnu Maskawaih, posisi tengah jiwa al-bahimiyyat adalah menjaga kesucian diri (al-iffat/temperance). Posisi tengah jiwa al-ghadabiyyat adalah keberanian (al-syaja’at/courage). Posisi tengah jiwa al-nathiqat adalah kebijaksanaan (al-hikmat/wisdom). Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan dan keseimbangan al-‘adalat / justice.

Keutamaan al-wasath tersebut merupakan pokok, sedangkan keutamaan lainnya adalah cabang. Cabang dari keempat pokok keutamaan itu sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya. Jenis dan pemahamannya pun bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Menurut Ibnu Maskawaih, setiap keutamaan mempunyai dua ekstrem. Yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrem adalah tercela. Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Ibnu Sina, tetapi setuju dengan Aristoteles. Al-Ghazali sependapat dengan Ibnu Sina bahwa keadilan hanya mempunyai satu lawan makna, yakni aniaya (al-jaur). Sehubungan dengan itu, keadilan menurut Ibnu Sina dan al-Ghazali tidak pula memiliki cabang-cabang.

Posisi tengah yang dimaksudkan di sini adalah suatu standar atau prinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya (al-wasath al-_____________

7 Abd. Rahman al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah wa al-Islamiyah fi al-Baity wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 77.

Page 67: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 65

haqiqi) adalah satu, yakni disebut keutamaan (al-fadilat). Yang satu ini disebut juga garis lurus (al-khathath al-mustaqim). Karena pokok keutamaan ada empat yakni kebijaksanaan, keberanian, menahan diri, dan keadilan, sedangkan yang tercela ada delapan. Walau barangkali terjemahannya tidak tepat dalam pengertian bahasa Indonesia, kedelapan sifat tercela tersebut dapat disebutkan seperti berikut, nekad (al-tahawwur/recklessness), pengecut (al-jubn/cowardice), rakus (al-syarah/profligacy), dingin hati (al-khumud/frigidity), kelancangan (al-safah/ impudence), kedunguan (al-balah/stupidity), aniaya (al-jaur/al-zhulm/tyranny), dan teraniaya (al-muhanat/al-inzhilam/servility)

Dalam menguraikan sikap tengah dalam akhlak (al-wasath fi al-akhlaq) ini, Ibnu Maskawaih tidak membawa satu ayat pun atau hadis . Walau demikian – menurut penilaian Abd al-Halim Mahmud dan al-Ghazali–spirit doktrin jalan tengah ini adalah islami karena memang banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’an yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Di antara ayat yang dimajukan sebagai dasar penilaiannya QS. Al-Isra’: 29, yang artinya:

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena kalau demikian kamu menjadi tercela dan menyesal.”

Dengan dalil tersebut, walaupun Ibnu Maskawaih tidak menggunakan dalil-dalil ayat al-Qur’an dan hadits untuk menguatkan doktrin jalan tengah tersebut, namun konsep tersebut sejalan dengan ajaran Islam. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya, pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, ke-mampuan, dan aktivitas. Karena sebagai makhluk sosial, manusia selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman, yang menjadi pemicu perkembangan tersebut adalah ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Ukuran akhlak tengah disini selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrem kekurangan maupun ektrem kelebihannya. Ukuran kesederhanaan dibidang materi misalnya, pada masyarakat desa dan kota tidak dapat disamakan, dan juga dikalangan mahasiswa dan dosen. Demikian juga pada tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju otomatis akan bebeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Dengan demikian, doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis saja tetapi juga fleksibel. Karena itu, doktrin tersebut dapat berlaku terus-menerus sesuai dengan tantangan dan perkembangan zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak tentunya.8

Selain dalil dari ayat di atas, juga terdapat beberapa ayat al-Qur’an lain yang menjelaskan mengenai hal ini, diantaranya QS. al-Furqan: 67;

“Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta)nya, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan –menjaga- di tengah-tengah antara yang kedua.”

Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling kurang pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan efektivitas. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak (dinamis), mengikuti gerak zaman. _____________

8 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, 10.

Page 68: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, ekonomi, dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran “akhlak tengah” selalu mengalami perubahan menurut ekstrem kekurangan maupun ekstrem kelebihan-nya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat mahasiswa tidak dapat disamakan dengan dosen. Ukuran tingkat kesederhanaan untuk negara maju akan berbeda dengan negara berkembang, apalagi bila dibandingkan dengan negara miskin.

Dibanding dengan al-Ghazali, Ibnu Maskawaih tampak lebih optimis dalam hal kemungkinan mencapai posisi tengah itu. Al-Ghazali berpendapat bahwa hanya Nabi yang dapat mencapai posisi pertengahan itu, sedangkan manusia hanya akan mampu mendekati dan tidak akan mampu mencapainya. Akan tetapi, seperti halnya Aristoteles dan al-Farabi, Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa dengan memperhatikan aturan-aturan tertentu seseorang sangat mungkin untuk mendapatkan posisi pertengahan itu. Pendapat ini tentunya memberi efek tersendiri bagi kesungguhan usaha. Ibnu Maskawaih lebih banyak memberi peluang bagi kesungguhan usaha yang terus menerus dengan suatu sikap optimistis untuk berhasil, sementara al-Ghazali tampak telah memberi batasan bagi kemungkinan tidak berhasil dalam usaha. Hanya saja istilah “sangat mungkin” yang dimajukan Ibnu Maskawaih dapat saja dipahami dalam bahasa lain sebagai rasa pesimis walau barangkali ia tidak bermaksud demikian.

Jika dari uraian di atas ditarik pemahaman, maka yang dimaksudkan dengan “posisi tengah” adalah keadaan sedemikian rupa sehingga jiwa dapat menempati posisi yang utama (al-fadhilat). Apabila seseorang senantiasa berupaya menempuh posisi pertengahan dalam segala situasi maka sifat-sifat utama, yakni kebijaksanaan, keberanian, kesucian dan menahan diri, serta keadilan akan dapat dihasilkan.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus menerus berlaku (relevan) dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan al-wasath. Jadi, dengan menggunakan doktrin jalan tengah, manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun. KESIMPULAN

Uraian di atas memberikan afirmasi konsep al-wasath Ibnu Maskawaih yang terletak pada al-wasath moderasi (doktrin jalan tengah) yang intinya mengandung makna jalan lurus, benar, selamat, adil, harmonis, seimbang dan utama, terhadap kompetensi kepribadian seorang guru atau pendidik. Al-Wasath tersebut di samping mengandung arti etos kerja yang tinggi, nuansa dinamika individu dan sosial, juga selalu relevan dengan tantangan zamannya, tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan al-wasath. Hal ini dikarenakan setiap perkembangan menuntut adanya tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan efektivitas individu maupun sosial. Akhirnya dapat ditegaskan, bahwa dengan menggunakan doktrin jalan tengah dalam al-wasath, manusia terutama para pendidik tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.

CHAIRAN M. NUR: PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IBNU MASKAWAIH 66

Page 69: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 67

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo, 2000. Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Gema Insani Press, Jakarta, 2004. --------, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan

Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th. Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Grafindo Persada,

2002. Kamal Al-Haydari, Manajemen Ruh, Bogor: Cahaya, 2004. Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004.

Page 70: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD ICHSAN: KEHIDUPAN DUNIA DALAM PANDANGAN AL-QUR ‘AN 68

KEHIDUPAN DUNIA DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN

Muhammad Ichsan STAIN Zawiyah Cot Kala, Langsa Aceh

Email: [email protected]

ABSTRACT Al-Quran as a way of life for people in the world. It talked about many

things, aqidah, syari'ah, morals, and including human life in the world that guide human lives happily not only in the world, but also in eternal life of hereafter. But sometimes people are persuaded with the life in the world so they forget the aims of their existence in the world. Though many of the verses of the Qur'an mentioned that the life in this world is as a place to grow crops temporarily for reaping the fruit (the rewards) and the true happiness in the hereafter (heaven). Kata Kunci: Kehidupan, Dunia, al-Qur’an PENDAHULUAN

Islam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia berkenaan dengan kehidupan di dunia. Bimbingan dan pengarahan tersebut adalah keseimbangan antara kehidupan rohani dan jasmani, dunia dan akhirat, pribadi dan masyarakat.1 Hidup di dunia adalah jembatan untuk mencapai kehidupan di akhirat yang hakiki. Juga kehidupan di dunia yang sempit dan amat terbatas waktunya, sedangkan kehidupan akhirat luas dan kekal abadi. Hal ini sesuai dengan QS. al-Ra’d: 26;

الدنيا الحياة وما الدنيا بالحياة رحواوف ويقدر يشاء لمن الرزق يبسط الله متاع إال الآخرة في

“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. al-Ra’du: 26) Tujuan penciptaan manusia oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, pengabdian yang dilakukan ini akan mendapatkan ganjaran pahala di dunia dan di akhirat. Namun sebaliknya bila manusia melakukan dosa, artinya tidak mengikuti perintah Allah, maka akan menerima juga pembalasan hukuman dari apa yang telah ia lakukan di dunia. Kehidupan dunia ini sangat berharga, oleh karena itu manusia diperintahkan bekerja untuk urusan dunia dengan sungguh-sungguh, sebagai bekal di akhirat. Al-Qur’an tidak melarang manusia merasakan kenikmatan, keberuntungan dan kebahagiaan dunia. Hanya diingatkan jangan sampai melampaui batas atau _____________

1Facruddin HS, Ensiklopedi Al-Qur’an, Cet. I (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 331. Selanjutnya disebut Fachruddin HS, Ensiklopedi Al-Qur’an.

Page 71: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 69

salah dalam mempergunakannya untuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain.2 Pembatasan ini perlu, supaya manusia jangan sampai salah mempergunakan kekayaan, kekuasaan, dan pengetahuan, dengan memperturutkan hawa nafsu yang tidak mengenal puas. Kemewahan dan kemegahan yang telah dilumuri dosa dan maksiat, bisa membawa kepada keruntuhan, kehancuran, serta kekacauan dalam masyarakat dan bangsa. Dalam beberapa ayat al-Qur’an, digambarkan bahwa kehidupan dunia ini bagai tanaman yang tumbuh dan berkembang sampai ke tingkat yang menakjub-kan, kemudian layu, kering dan hancur. Riwayat dunia cukup menggambarkan, bagaimana suatu bangsa bangun dan naik ke tingkat kebesaran setinggi-tingginya, kemudian meluncur turun, lemah, sengsara dan binasa, bahkan sampai hilang lenyap dari permukaan bumi, seperti bangsa Saba’ yang digambarkan dalam al-Qur’an. Selain itu, mengingatkan bahwa kesenangan dunia dan kemewahannya hanyalah bersifat sementara. Disebutkan pula di dalam al-Qur’an bahwa harta benda dan anak merupakan perhiasan dalam kehidupan dunia. Sedangkan amal saleh akan mendapat pahala yang lebih baik dan kekal. Adapun orang-orang yang tidak beriman, hanya merasakan kenikmatan sementara di dunia, dan di akhirat mereka akan merasakan azab dari keingkaran mereka kepada Allah. KONSEP KEHIDUPAN DUNIA

Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia, sebagai pedoman hidup bagi manusia di dunia untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Oleh karena itu, al-Qur’an di dalamnya menjelaskan berbagai hal, termasuk mengenai perumpamaan kehidupan dunia. Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan kepada manusia mengenai kehidupan dunia. Tujuannya tidak lain hanyalah untuk menuntun manusia kepada jalan yang diridhai Allah.

Adapun dalam pembahasan ini, mengenai kehidupan dunia yang disebut-kan dalam al-Qur’an mengacu kepada pokok pembahasan ayat-ayat berikut:

1. QS. al-Hadid: 20; في وتكاثر بينكم وتفاخر وزينة ولهو لعب الدنيا الحياة أنما اعلموا ثم مصفرا فتراه يهيج ثم نباته ارالكف أعجب غيث آمثل واألوالد الأموال وما ورضوان الله من ومغفرة شديد عذاب اآلخرة وفي حطاما يكون .الغرور متاع إال الدنيا الحياة

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. al-Hadid: 20).

_____________ 2 Facruddin HS, Ensiklopedi Al-Qur’an, 331.

Page 72: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD ICHSAN: KEHIDUPAN DUNIA DALAM PANDANGAN AL-QUR ‘AN 70

2. QS. Yunus: 24; األرض نبات به فاختلط السماء من أنزلناه آماء الدنيا الحياة مثل إنما وظن وازينت زخرفها األرض أخذت إذا حتى واألنعام الناس يأآل مما آأن حصيدا فجعلناها نهارا أو ليال أمرنا تاهاأ عليها قادرون أنهم أهلها يتفكرون لقوم اآليات نفصل آذلك باألمس تغن لم

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir.” (QS. Yunus: 24).

3. QS. Thaha: 131;

لنفتنهم الدنيا الحياة زهرة منهم أزواجا به متعنا ما إلى عينيك تمدن وال وأبقى خير ربك ورزق فيه

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami coba mereka dengannya, dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131).

Arti Mufradat Sebelum mengemukakan penafsiran ayat-ayat di atas, ada beberapa makna

mufradat yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu: a. Matsal ( مثل )

Quraish Shihab dalam bukunya menyebutkan bahwa kata matsal (مثل) sering kali diartikan peribahasa. Namun makna ini tidak sepenuhnya benar, peribahasa biasanya singkat dan populer. Sedang matsal al-Qur’an tidak selalu demikian, bahkan ia selalu panjang sehingga tidak sekedar “mempersamakan” satu hal dengan satu hal yang lain, tetapi mempersamakannya dengan beberapa hal yang saling berkaitan. Sebagaimana dalam QS. Yunus: 24, yang “mempersamakan” kehidupan dunia dengan keelokan dan cepat berakhirnya, bukan sekedar dengan air hujan, tetapi berlanjut dengan melukiskan apa yang dihasilkan oleh hujan itu setelah menyentuh tanah dan apa yang terjadi pada tanah dengan tumbuhnya tanaman, sejak tumbuh hingga berkembang dan berbuah. Tidak hanya sampai di sana, tetapi dilukiskan harapan pemilik tanaman dan kesudahan yang dialaminya.3 Dari sini terlihat bahwa ia bukan sekedar persamaan, ia adalah perumpamaan yang aneh dalam arti menakjubkan atau mengherankan.

_____________ 3 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Cet. IV (Jakarta: Lintera Hati, 2005), 58.

Page 73: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 71

b. Tamuddanna (تمدن) Kata tamuddanna (تمدن) berasal dari madda (مد) yang secara harfiah

berarti memanjangkan.4 Dalam tafsirnya, Quraish Shihab5 menyebutkan bahwa memanjangkan mata terhadap sesuatu, yang pertanda perhatian yang besar serta rasa kagum dan cinta kepadanya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa larangan dari ayat di atas merupakan larangan untuk menaruh perhatian yang luar biasa dan keinginan yang mendalam serta rasa kagum terhadap hiasan dunia yang dimiliki para pendurhaka.

c. Azwajan (ازواج) Kata azwajan (ازواج) adalah bentuk jamak dari kata zawj (زوج). Ada

yang memahaminya dalam arti keragaman golongan orang-orang kafir, atau pasangan-pasangan pria atau wanita yang mereka memiliki, baik dalam arti perorangan karena kecantikan dan kemampuannya maupun dalam arti rumah tangga.6

Asbab al-Nuzul

Dari ketiga ayat yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini, setelah diteliti dalam beberapa buku dan kitab tafsir, ternyata hanya satu ayat saja yang mempunyai asbab al-nuzul, yaitu pada QS. Thaha: 131. Sedangkan dua ayat lain, sepertinya tergolong dalam kelompok ayat yang tidak mempunyai asbab al-nuzul. Allah hanya menerangkan bentuk dan perumpamaan kehidupan dunia yang manusia tidak akan kekal selamanya kecuali di akhirat kelak. Allah menerangkan tentang kehidupan dunia dalam semua tingkatannya sejak dari yang kecil berupa permainan, yang kemudian berubah menjadi hiburan, lalu perhiasan kecantikan dan ketampanan, dan berbangga-banggaan, kemudian berbanyak-banyak harta dan anak. Demikian juga perumpamaan kehidupan dunia yang tidak berbeda dengan air hujan yang turun di atas ladang, kebun dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang sangat menakjubkan orang-orang yang memperhatikannya. Terutama bagi orang-orang kafir yang tidak mengenal akhirat, mereka sangat kagum melihat hasil yang di dapat dari ladang dan kebun tersebut. Akan tetapi kemudian pada waktu telah tiba saatnya tumbuh-tumbuhan itu mulai layu, daun-daunnya menjadi kuning lalu berguguran menjadi sampah. Demikianlah Allah memberi perumpamaan kepada manusia mengenai kehidupan dunia, bagaimanapun indahnya pada akhirnya habis, rusak dan binasa. Sedangkan di akhirat ada siksa yang berat lagi keras, disamping ada pengampunan dan ridha Allah kepada muslim yang telah menjalani hukuman.7 Jadi sebenarnya kehidupan dunia yang dijalani ini hanyalah kesenangan sementara, sedangkan

_____________ 4 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Cet. XXV (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002),

1318. 5 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 401. Selanjutnya

disebut Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah. 6 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 401. 7 Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. VIII, terj. Salim Bahreisy dan

Said Bahreisy (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), 44.

Page 74: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD ICHSAN: KEHIDUPAN DUNIA DALAM PANDANGAN AL-QUR ‘AN 72

kesenangan yang abadi adalah di surga yang disediakan oleh Allah kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Hal ini sesuai dengan QS. al-Imran: 15;

تحتها من تجري جنات ربهم ندع اتقوا للذين ذلكم من بخير أؤنبئكم قل بصير والله الله من ورضوان مطهرة وأزواج فيها خالدين األنهار .بالعباد

“Katakanlah: "Inginkah Aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?.” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah, dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali Imran: 15). Adapun mengenai asbab al-nuzul QS. Thaha: 131, disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi kedatangan seorang tamu, lalu beliau menyuruh Abi Rafi’ meminjam terigu kepada Yahudi yang akan dibayar pada bulan Rajab. Lalu Abi Rafi’ pergi menemui Yahudi tersebut untuk meminjam terigu, seperti yang telah diperintahkan. Sesampainya di sana dan menyampaikan apa yang dinginkan, Yahudi tersebut berkata: “Aku tidak dapat memberinya kecuali ada jaminan (Borg)”. Abi Rafi’ kembali kepada Nabi, dan menceritakan hal itu. Kemudian Nabi bersabdalah: “Demi Allah, aku ini dikenal sebagai orang yang jujur di jagat ini”. Dan pada saat itu turunlah QS. Thaha: 131, saat Abi Rafi’ belum meninggalkan Nabi, yang melarang Nabi mengharapkan sesuatu dari golongan luar Islam.8 Dari asbab al-nuzul ayat, dapat dipahami bahwa umat Islam dilarang berharap belas kasihan maupun meminta bantuan dari orang-orang kafir dalam urusan kehidupan dunia, karena bagi umat Islam yang beriman dan bertakwa kehidupan dunia itu adalah sementara, dan yang lebih baik dan kekal ialah kehidupan akhirat. Kemegahan dunia yang dijadikan bagi orang-orang kafir adalah sebagai cobaan dan sementara, yang pada akhirnya mereka akan merasakan kepedihan api neraka yang telah dijanjikan oleh Allah kepada mereka, yang mereka kekal di dalamnya. Perumpamaan Kehidupan Dunia dalam al-Qur’an

Dari beberapa ayat yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa Allah memberi gambaran mengenai perupamaan kehidupan yang dijalani manusia di dunia ini, yang tumbuh, berkembang dan hancur. Juga mengajarkan kepada umat Islam agar jangan kagum dan tertarik karena melihat kehidupan dunia, artinya Allah melarang hamba-Nya lebih mengutamakan kehidupan dunia dari-pada kehidupan akhirat

Dalam QS. al-Hadid: 20, Allah menerangkan bentuk kehidupan dunia dalam semua tingkatannya mulai dari yang kecil berupa mainan kemudian berubah menjadi hiburan, lalu perhiasan kecantikan dan berbangga-banggaan, kemudian berlomba-lomba memperbanyak harta dan anak buah, jika telah mencapai usia cukup tua.

_____________ 8 A.Q. Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, Cet. V (Bandung: Diponegoro, 1987), 323.

Page 75: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 73

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahkan hal tersebut tidak berbeda dengan air hujan yang di atas ladang, kebun dan menumbuhkan berbagai tumbuhan yang menakjubkan orang-orang yang memperhatikannya. Terutama orang-orang kafir yang tidak mengenal akhirat, mereka sangat kagum melihat hasil yang didapat dari kebun dan ladang itu, tapi kemudian tiba saatnya tumbuh-tumbuhan di kebun itu mulai layu, daun-daunya menjadi kuning lalu berguguran menjadi sampah.9 Itulah contoh dunia bagaimanapun indahnya akhirnya habis, rusak dan binasa, sedangkan di akhirat ada siksa yang berat, di samping juga ada pengampunan dan ridha Allah. Ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah bekal kesenangan sementara bagaikan menipu bagi orang yang menyangka akan dapat hidup kekal selamanya.

Adapun manusia yang dapat merasakan kehidupan yang baik di dunia adalah mereka yang mengerjakan perbuatan baik dan beriman kepada Allah, baik itu laki-laki maupun perempuan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nahl: 97;

طيبة حياة فلنحيينه مؤمن وهو أنثى أو ذآر من صالحا عمل من .يعملون آانوا ما بأحسن أجرهم ولنجزينهم

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. al-Nahl: 97).

Jadi kehidupan dunia ini menurut QS. al-Hadid: 20, ibarat panggung sandiwara, yang setiap orang bermain sesuai perannya. Kehidupan dunia adalah permainan, bukan kehidupan yang sebenarnya. Dan jika seseorang memandang dunia ini adalah kehidupan yang sebenarnya, berarti ia mengatakan bahwa sandiwara adalah kehidupan yang sebenarnya. Sandiwara adalah sandiwara, sebuah permainan yang diatur oleh sang sutradara, babak demi babak. Ketika seluruh babak berakhir, para pemain akan memulai kehidupannya yang sebenarnya, bukan sebagai pemain sandiwara lagi. Babak terakhir kehidupan manusia adalah ketika ia menemui ajalnya; pada saat itulah dia akan memulai kehidupannya yang sebenarnya, kehidupan yang kekal abadi, sesuai dengan watak aslinya dan bukan sebagai pemain sandiwara.10

Di dalam QS. al-Ankabut: 64, Allah juga menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan belaka. Sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya bagi orang-orang yang mengetahui dan mengharapkan kebahagiaan yang sebenarnya. Adapun ayat tersebut adalah;

لو الحيوان لهي الآخرة الدار وإن ولعب لهو إلا الدنيا الحياة هذه ماو يعلمون آانوا

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan sebenarnya, jika mereka mengetahui” (QS. al-Ankabut: 64).

_____________ 9Ibnu Katsir, Terjemah Singkat…, 43-44. 10Hilmy Bakar Al-Mascaty, Panduan Jihad, Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 45.

Page 76: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD ICHSAN: KEHIDUPAN DUNIA DALAM PANDANGAN AL-QUR ‘AN 74

Kehidupan dunia, termasuk harta benda yang dimiliki oleh manusia, adalah permainan, senda gurau, dan sandiwara. Ketika hidup di dunia, manusia dihiasi harta dan benda yang menyenangkan, ibarat seorang artis yang bermain di panggung dan arena yang megah, namun ketika mati, ia tidak membawa harta benda, tidak membawa rumah besar, mobil mewah dan segala harta kekayaan, yang dimilkinya di dunia. Ia mati meninggalkan semua hartanya, seperti sang pemain sandiwara yang meninggalkan panggung tanpa membawa perlengkapan permainannya karena ia hanyalah seorang pemain sandiwara, bukan sang pemilik panggung sandiwara. Manusia akan kembali dengan amalnya dan meninggalkan panggung sandiwaranya di dunia yang akan digunakan oleh artis lainnya.11

Dengan demikian, mereka yang sadar akan hakikat ini pasti akan menggunakan apa yang ada padanya di jalan Allah, agar mereka mendapat kehidupan yang bahagia. Jika kehidupan dunia ini adalah sandiwara, Allah sang Pencipta adalah sutradara yang mengatur skrip manusia. Jika manusia melaksana-kan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah, pasti akan mendapat kebahagiaan, namun sebaliknya jika manusia tidak mengikuti aturan dan ketentuan Allah, pasti akan mendapat kemurkaan. Allah akan membalas manusia sesuai dengan apa yang dilakukannya.

Senada dengan QS. al-Hadid: 20, dalam QS. Yunus: 24 juga menjelaskan tentang kehidupan dunia yang digambarkan seperti pepohonan yang subur, indah, memberi kesenangan bagi yang memandangnya, bahkan memperdaya mereka. Akan tetapi pada suatu saat pohon itu pasti akan mati, punah dan hilanglah segala keindahannya. Demikianlah hakikat kehidupan dunia ini, sangat indah, mempesona, namun suatu saat pasti akan sirna, tidak akan kekal. Setiap orang pasti akan meninggalkan dunia yang disenanginya, karena kehidupan dunia adalah kehidupan yang sangat sementara, ibarat peristirahatan para pengelana.12

Mengenai gambaran kehidupan dunia ini, Allah juga menggambarkan dalam QS. al-Kahfi: 45-46, yaitu:

نبات به فاختلط السماء من أنزلناه آماء الدنيا الحياة مثل لهم واضرب. مقتدرا شيء آل على الله وآان الرياح تذروه هشيما فأصبح األرض ثوابا ربك عند خير الصالحات والباقيات االدني الحياة زينة والبنون المال .أمال وخير

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin, dan Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS. al-Kahfi: 45-46).

Kehidupan dunia ini sangat menyenangkan bagi orang-orang tertentu, terutama bagi mereka yang memiliki kedudukan, jabatan, dan harta yang berlimpah ruah. Dengan harta yang dimilikinya, manusia dapat mencari segala bentuk kepuasan dunia yang tidak ada batasnya. Mereka dapat membangun rumah

_____________ 11 Hilmy Bakar Al-Mascaty, Panduan Jihad, 47. 12 Hilmy Bakar Al-Mascaty, Panduan Jihad, 46.

Page 77: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 75

mewah, membeli kendaraan canggih, membangun peradaban yang menyenangkan hatinya, ataupun membeli wanita-wanita pemuas kebutuhan nafsu syahwatnya.

Perumpamaan terhadap harta dan dunia seperti ini adalah agar mereka yang menggenggamnya sadar akan hakikat bahwa harta yang dimilikinya akan punah, kemudian tidak ragu-ragu untuk memanfaatkannya pada kebajikan yang akan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan. Jika dunia tidak meninggalkan mereka, mereka pasti yang akan meninggalkannya ketika mati. Terhadap sesuatu yang sudah pasti hilang, mengapa mesti berat memberikannya di jalan Allah, agar hilangnya mendatangkan kebahagiaan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Jadi oleh karena kedurhakaan manusia di dunia ini adalah akibat keterlaluan mereka dalam mencintai dunia dan menikmati keindahannya, maka dunia ini dimisalkan oleh Allah dengan sebuah permisalan yang tersebut di atas, agar dapat membuat orang berakal tidak sampai tertipu olehnya, dan ia dapat terbimbing dalam sikap pertengahan dalam mencari dunia. Begitu pula dalam mencari kelezatan-kelezatannya, ia tidak akan menggunakan kedurhakaan, kezaliman atau kerusakan yang ia lakukan di atas permukaan bumi.13

Sedangkan dalam QS. Thaha: 131, Allah berkata kepada Nabi Muhammad, “Janganlah memandang kenikmatan yang sedang dinikmati orang-orang yang gemar bermegah-megahan, konco-konco mereka dan orang-orang yang seperti mereka, karena itu adalah bunga-bunga yang sirna dan kenikmatan yang semu supaya kami menguji mereka dengannya, dan sedikit sekali di antara hamba-hamba Allah yang bersyukur”. Mujahid berkata, maksud dari “golongan-golongan dari mereka”, yaitu orang-orang kaya, lantaran telah datang kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada yang datang kepada mereka. Maka dari itu, Allah berfirman “Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal”.14

Ayat di atas melarang kaum muslimin memandang secara tajam terhadap kesenangan yang dinikmati oleh orang-orang yang melampaui batas, karena sesungguhnya kesenangan itu hanya sebagai ujian bagi mereka. Hal ini adalah agar Allah mengetahui apakah mereka menunaikan hak syukurnya atau mendapat malapetaka dengan sebab hartanya. Sedangkan Allah telah memberikan kepada orang yang beriman suatu yang lebih baik daripada apa yang telah diberikan kepada mereka. Keampunan dan keridhaan-Nya adalah lebih baik dan kekal.

Nabi Muhammad adalah orang yang paling zuhud di antara manusia, meskipun beliau mampu untuk menghasilkan kekayaan, namun ketika mendapatkannya beliau langsung menafkahkannya kepada hamba-hamba Allah, dan tidak menyimpan buat dirinya sedikit pun untuk hari esok. Di dalam kitab Shahih ditulis bahwa Umar bin Khattab ketika masuk menemui Nabi dalam bilik yang agak tinggi, tempatnya mengasingkan diri dari istri-istrinya, saat beliau bersumpah tidak mau menggauli mereka selama satu bulan. Umar melihat Nabi sedang berbantal dan berbaring di atas tikar berpasir. Tidak ada apa-apa di rumah itu selain tumpukan daun salam dan beberapa lembar kulit yang belum disamak.15

_____________ 13 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Juz. X-XII, terj. Hery Noer

Ali, dkk, Cet. II (Semarang: Toha Putra, 1992), 177. 14 Abu Dzar al-Qalmuni, Dunia, Neraka dan Surga Dalam Tafsir Ibnu Katsir, terj.

Saefuddin Zuhri, Cet. I (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 77. Selanjutnya disebut Abu Dzar al-Qalmuni, Dunia, Neraka.

15 Abu Dzar al-Qalmuni, Dunia, Neraka...., 77.

Page 78: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

KESIMPULAN

Dari beberapa penafsiran ayat di atas yang menjelaskan mengenai kehidupan dunia dalam pandangan al-Qur’an, dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwa kehidupan dunia, termasuk harta yang dimiliki manusia adalah permainan, senda gurau dan sandiwara. Artinya kehidupan dunia bukan kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang akan dijalani manusia untuk selamanya adalah di akhirat kelak.

Al-Qur’an menggambarkan kehidupan dunia ini bagaikan tanaman yang tumbuh dan berkembang sampai ke tingkat yang menakjubkan, kemudian layu, kering dan hancur. Ini dimisalkan sebagai bermacam-macam tanaman yang ada di atas bumi, yang dikirimi hujan oleh Allah. Maka berhimpitlah tanaman-tanaman itu satu sama lain sehingga tampak indah bagi siapapun yang memandangnya. Namun tak lama sesudah itu tiba-tiba turun bencana yang menghancurkan tanaman-tanaman itu sama sekali dan menjadikan tiada berguna lagi.

Allah melarang kepada orang yang telah beriman kepada-Nya memandang kenikmatan yang sedang dinikmati oleh orang-orang yang gemar bermegah-megah, karena Allah memberikan kenikmatan tersebut hanya untuk menguji mereka, yaitu apakah mereka menjadi orang yang bersyukur atau pun sebaliknya menjadi orang yang durhaka.

MUHAMMAD ICHSAN: KEHIDUPAN DUNIA DALAM PANDANGAN AL-QUR ‘AN 76

Page 79: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 77

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Terjemah tafsir al-Maghari, Juz. X-XII, terj. Hery Noer Ali, dkk, Cet. II, Semarang: Toha Putra, 1992.

Al-Mascaty, Hilmy Bakar, Panduan Jihad, Cet. I, Jakarta: Gema Insani Press,

2001. Al-Qalmuni, Abu Dzar, Dunia, Neraka dan Surga Dalam Tafsir Ibnu Katsir,

Penerj. Saefuddin Zuhri, Cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006. Facruddin, HS., Ensiklopedi Al-Qur’an, Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1992. Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. VIII, terj. Salim Bahreisy

dan Said Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu, 2003. Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir, Cet. XXV, Surabaya: Pustaka Progresif,

2002. Shaleh, A.Q., dkk, Asbabun Nuzul, Cet. V, Bandung: Diponegoro, 1987. Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, Cet. I, IV, Jakarta: Lintera Hati, 2005.

Page 80: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH 78

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH (Studi Ayat Fithrah, Hanif dan ‘Ubudiyah)

Mohammad Irham

Perguruan Tinggi Agama Islam Al-Hilal Sigli Jl. Lingkar Keuniree, Sigli Aceh

Email: [email protected]

ABSTRACT Al-Qur'an have depicted in detail about human being, good from side of

genesis of human being creation, characteristic and intention of human being creator. Characteristic intended in al-Quran is fithrah, hanif and 'ubudiyah. The three things is tendency or potency owned when human being created. Despitefully, human being is also mentioned as creature given free rein to want, this matter is to maximize the potency of human being as khalifah in the earth. Kata Kunci: Manusia, Hamba Allah, al-Qur’an PENDAHULUAN Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia atau alam semesta ini sebagai permainan (QS. al-Mukminun: 115), Allah tidak menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu di antara keduanya dengan sia-sia (QS. Shad: 27), dan dalam QS. Ali Imran: 191 disebutkan pula bahwa tujuan penciptaan tersebut adalah untuk sesuatu serius. Tujuan ini adalah agar manusia beribadah atau melaksanakan perintah Allah, karena ibadah pada dasarnya adalah untuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah, “Kebajikan yang dilakukan seseorang adalah untuk dirinya sendiri sedangkan kejahatan yang dilakukannya akan merugikan dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah: 286) Dengan demikian, manusia harus berjuang untuk menaklukkan segala hambatan dan godaan yang merugikan dirinya sendiri. Manusia juga harus melakukan usaha-usaha pembebasan diri, karena di antara ciptaan Allah ia memiliki posisi yang unik, karena manusia diberikan kebebasan berkehendak agar dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di atas bumi. Misi inilah – perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas dunia – yang dikatakan al-Qur’an sebagai amanah. (QS. al-Ahzab: 72) Dalam ayat tersebut, Allah telah menawarkan amanah ini kepada langit dan bumi, tetapi keduanya menolak karena takut menanggung beratnya tanggungjawab, lalu amanah ini diterima oleh manusia. Walaupun amanah ini berat bagi manusia dan perbuatannya itu terlampau “nekat” (zhalum dan jahul) karena manusia belum menyempurnakan perintah Tuhan yang paling sedia kala.1

_____________ 1 Sesungguhnya tidak ada manusia yang kebal dari godaan-godaan syaitan, demikian pula

dengan nabi-nabi (QS. al-Hajj: 52 dan QS. al-Isra: 53) dan Nabi Muhammad sendiri (QS. al-A’raf: 200 dan QS. Fushilat: 36), tetapi setiap orang yang benar-benar beriman dan memiliki kemauan, apalagi para nabi, dapat mengatasi godaan-godaan tersebut (QS. al-Hijr: 11; QS. al-Isra: 65; QS. al-Nahl: 99) Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), 27 dan 49.

Page 81: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 79

KEDUDUKAN MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Dzariyat: 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah kepada-Ku”. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba,2 tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau jenis kelamin etnis tertentu.

Al-Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal adalah para muttaqun, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Hujurat: 13;

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (QS. al-Baqarah: 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (QS. al-Nisa: 34), memperoleh bagian warisan lebih banyak (QS. al-Nisa’: 11), menjadi saksi yang efektif (QS. al-Baqarah: 282), dan diperkenankan berpoligami bagi mereka yang memenuhi syarat (QS. al-Nisa: 3), tetapi ini semua tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Allah sesuai dengan kadar pengabdiannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nahl: 97;

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Dari uraian ayat di atas, dapat dimengerti bahwa ajaran Islam tentang manusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia yang beriman, bertakwa dan beramal saleh, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, berbagai bentuk penghormatan dan kemuliaan yang ada di dunia ini, dan penghormatan itu diberikan di luar

_____________ 2 Sebagaimana diketahui bahwa, al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia

dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insan, al-basyar, dan bani Adam. Manusia sering disebut al-insan karena sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Manusia disebut dengan al-basyar karena cenderung perasaan dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai Bani Adam, karena menunjukkan pada asal usul manusia yang bermula dari Nabi Adam sehingga bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Pena Madani, 2003), 106-107.

Page 82: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH 80

bingkai iman, amal saleh dan takwa adalah tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.3 STUDI AYAT-AYAT FITHRAH Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna yang lain seperti “penciptaan” atau “kejadian”.4 Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Dalam al-Qur’an, kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali, 14 di antaranya dalam konteks uraian tentang bumi atau langit. Sisanya tentang konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fithrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali pada QS. al-Rum: 30;

“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Dari kata fithrah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi agama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.5 Dalam konteks ayat ini, fithrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya. Fithrah manusia tidak hanya terbatas pada potensi keagamaan semata, ada juga ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi manusia, walaupun tidak menggunakan kata fithrah seperti QS. Ali Imran: 4;

“Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan (atau lelaki), anak laki dan perempuan serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang.”

_____________ 3 Hal ini dapat dicermati dalam beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan ajaran

persamaan antarmanusia, lihat QS. al-Nisa: 1; QS. al-A’raf: 189; QS. al-Zumar: 6; QS. Fathir: 11; dan QS. al-Mu’min: 67. Ayat-ayat itu pada pokoknya menjelaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan. Mereka semua sama dari asal kejadian yang sama, yaitu dari tanah, dari diri yang satu, yakni Adam yang diciptakan dari tanah. Karena itu, tidak ada kelebihan seorang individu atas individu lainnya atau satu golongan atas golongan lainnya, atau satu ras atas ras lainnya. Karena asal-usul kejadian manusia seluruhnya adalah sama, tidak layak seseorang atau satu golongan menyombongkan diri terhadap yang lain atau menghina yang lain. Muhammad Husain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid. VI (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1397 H.), 134-135.

4 Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentang kepemilikian satu sumur. Salah seorang berkata “Ana fathartuhu”. Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti, “saya yang membuatnya pertama kali.” Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 284.

5Konsep fithrah tidaklah identik dengan teori tabula rasa. Sama seperti halnya pandangan Islam tentang manusia tidaklah identik dengan aliran dualisme maupun covergency, sebab teori tabula rasa, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke, memandang bahwa manusia itu putih bersih, ibarat kertas belum dicoret. Lingkungan dan pendidikanlah yang mencoret kertas yang putih bersih tadi. Jadi, teori tabula rasa memandang manusia terlahir dalam keadaan pasif. Sebaliknya, fithrah memandang manusia lebih dari sekadar kertas putih dan bersih, melainkan dalam fithrah terdapat potensi yang terbawa oleh manusia, yakni daya atau kekuatan untuk menerima agama atau tauhid. Bedanya dengan teori tabula rasa, potensi ini bersifat dinamis.

Page 83: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 81

Manusia berjalan dengan kakinya adalah fithrah jasadiyah-nya, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fithrah aqliyahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fithrahnya. Karena itu, menurut M. Quraish Shihab, adalah tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang QS. al-Rum: 30, yang menyatakan bahwa fithrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fithrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).6 Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fithrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, di mana melakukan dosa dengan melanggar larangan Allah, mengakibatkan Adam dan isterinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan.7 Islam dengan tegas menyatakan bahwa ada dua bentuk manusia, ada manusia yang fithrah – di mana setiap orang sejak awal penciptaannya disertai dengan sederetan potensi meraih nilai-nilai tinggi dan luhur. Kemudian, ketika seorang manusia dilahirkan di dunia, ia telah memiliki potensi untuk menjadi seorang yang bermoral, menjadi potensi untuk menjadi seorang yang agamis, memiliki potensi untuk mencari kebenaran, memiliki potensi mencintai keindahan, dan memiliki potensi untuk hidup bebas dan merdeka. Manusia secara potensial, dalam dirinya telah terdapat nilai-nilai yang tinggi dan luhur yang dalam hal ini persis seperti sebatang tumbuhan yang agar dapat tumbuh serta berkembang perlu diberi cahaya, air dan lain sebagainya, inilah manusia “fithrah”.8

Secara kebahasaan, fithrah mempunyai pengertian yang sama dengan khilqah, yaitu “ciptaan” atau “penciptaan”. Tetapi secara peristilahan fithrah kemudian berarti “penciptaan yang suci”. Dalam pengertian ini, semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur, dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semuanya itu bernilai kebaikan dan kesucian, karena semuanya berasal dari design penciptaan oleh Tuhan.9

_____________ 6 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, 285. 7 Penggunaan istilah Bani Adam dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia bukanlah

merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera), hal ini diperkuat lagi dengan panggilan-panggilan Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nida’ (Ya, Adam!). Demikian pula kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum), sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah: 35.

8 Di sinilah perbedaan pandangan yang amat mendasar antara Islam dan materialis berkaitan dengan faktor-faktor yang mewujudkan sejarah. Islam menyatakan bahwa manusia, species manusia, suatu wujud yang diciptakan berbentuk manusia adalah memiliki suatu naluri (fithrah). Suatu naluri yang memiliki hubungan erat dengan penciptaan manusia itu sendiri, dan yang memajukan sejarahnya adalah nalurinya itu, dan kesempurnaan dirinya juga karena adanya naluri itu juga. Islam mengatakan bahwa aktivitas manusia dilahirkan melalui nalurinya. Dan kaum materialis mengatakan bahwa naluri manusia dilahirkan dari aktivitasnya. Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, terj. M. Jawad Bafaqih (Jakarta: Lentera, 2001), 298.

9 Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan usaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar pada manusia seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat, Utsman bin Mazh’um, yang ingin menempuh hidup suci dengan tindakan semacam pertapaan. Nabi juga dengan keras menolak pikiran sementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tanpa kawin. Semua tindakan meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fithrah, jadi juga tidak sejalan dengan sunnah. Ahmad Gaus AF, Dialog Ramadhan bersama Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000), 128-129.

Page 84: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH 82

Al-Qur’an justeru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini.10 Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif – hanif).11 STUDI AYAT-AYAT HANIF Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa-yahnifu dan mashdarnya hanifan, artinya condong atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Tetapi dalam al-Qur’an, yang dimaksudkan adalah “kecenderungan kepada yang benar”, seperti dijelaskan oleh mufassir modern, Mawlana Muhammad Ali, dalam The Holy Qur’an, yang merujuk kepada kamus Arab-Inggris Lane Lexicon dan Kamus al-Qur’an, al-Mufradat fi al-Gharib karangan al-Raghib al-Isfahani. Keterangan yang lebih lengkap tentang arti yang spesifik dari kata hanif ini diberikan The Holy Qur’an karya Hadrat Mirza Nashir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber; (a) orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengerahkan dirinya kepada petunjuk, (b) orang yang secara terus-menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; (c) seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus-menerus mempertahankannya secara teguh; (d) seseorang yang mengikuti agama Ibrahim; dan (e) yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.12 Baik oleh Muhammad Ali maupun Nashir Ahmad, keterangan tersebut di atas ditujukan pada QS. al-Baqarah: 135;

“Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk,” Katakanlah: “Tidak. Kami mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif). Bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan musyrik (politeis).”

Pada ayat di atas, kata hanif diterjemahkan dengan “lurus”. Tetapi kata “lurus” dalam ayat tersebut agaknya memerlukan penjelasan. Hamka dalam Tafsir al-Azhar mengatakan bahwa agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian arti kata hanif. Kadang-kadang diartikan juga condong, sebab kalimat itu pun mengandung arti condong. Maksudnya lurus menuju Tuhan atau condong hanya kepada Tuhan. Tidak membelok kepada yang lain, sebab di dalamnya terkandung juga makna tauhid. Keterangan lebih lanjut mengenai apa yang disebut sebagai hanif dijelaskan oleh ayat berikutnya QS. al-Baqarah: 136;

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari

_____________ 10 Hal tersebut antara lain terdapat dalam QS. al-Anbiya’: 35, QS. al-An’am: 164, QS.

Yasin: 4, dan QS. al-Jatsiyah: 22. 11 Terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 135; QS. Ali Imran: 67 dan 95; QS. al-Nisa’: 125;

QS. al-An’am: 69, 161; QS. al-Nahl: 122; dan QS. al-Rum: 30. 12 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep

Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 62.

Page 85: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 83

Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” Ayat di atas memberikan perincian lebih lanjut tentang ciri-ciri

kepercayaan seseorang yang disebut hanif. Pada ayat sebelumnya diberikan ciri negatifnya, yaitu bukan mengikuti agama Yahudi dan Nasrani saja, bukan pula penyembah berhala. Sedangkan ayat selanjutnya memberikan keterangan positif, yaitu “yang beriman kepada Allah,” sebagaimana yang diturunkan oleh Allah serta diajarkan oleh nabi-nabi lain, sejak Ibrahim hingga Musa dan Isa. Bagi Islam, kesemuanya adalah orang-orang yang hanif atau muslim dan sebagai nabi, mereka mendapat wahyu dan mengajarkan kepercayaan kepada Allah, yaitu tauhid kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kata hanif disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali dalam 9 surat. Menurut kronologi turunnya ayat, kata hanif pertama-tama disebut dalam al-Qur’an, surat Yunus: 105, yang berarti 9 surat Makkiyah, lebih persisnya, surat-surat yang diturunkan dalam periode empat tahun terakhir Nabi tinggal di Makkah. Soal ini perlu dikemukakan mengingat adanya analisa kaum orientalis yang mengatakan bahwa penyebutan istilah hanif dalam al-Qur’an yang dikaitkan dengan Ibrahim adalah merupakan reaksi terhadap kritik intelektual yang dilakukan para pemuka agama Yahudi dan Nasrani di Madinah.

Surat Yunus yang Makkiyah itu menjelaskan dengan sendirinya hal yang bertentangan dengan kesimpulan dan pandangan kaum orientalis. Ini dapat dilihat dari segi kronologis, maupun sifat kalimatnya, seperti tampak dalam QS. Yunus: 104, 105 dan 106;

Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu ragu-ragu tentang agama-Ku, maka (ketahuilah) bahwa aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikanmu dan aku diperintah supaya aku termasuk orang-orang yang beriman”. Dan (aku diperintah pula): “Hadapkanlah mukamu pada agama dengan tulus (hanif) dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat demikian, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.”13 Kata hanif kedua dalam kronologi surat adalah yang tercantum dalam QS.

al-An’am: 79; “Sesungguhnya aku menghadapkan wajah dengan lurus (hanif) kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dan aku bukanlah termasuk dalam golongan orang yang musyrik (menyekutukan-Nya).” Ayat di atas merupakan kesimpulan dari perjalanan pikir dan zikir yang

dilakukan oleh Ibrahim tatkala ia mencari Tuhan dengan mengamati bintang-bintang yang bertaburan di langit, bulan, dan matahari yang terbit secara _____________

13 Dalam surat-surat Makkiyah, pada umumnya, seruan Al-Qur’an ditujukan kepada manusia seluruhnya dan bukan tertuju pada kaum yang sudah beriman atau pemeluk agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani. Ayat 105 di atas menegaskan hal tersebut, dalam ayat selanjutnya, kata hanif dipertentangkan dengan kata musyrik. Jadi yang dituju adalah kaum politeis Makkah. Pada ayat 106 dikatakan bahwa alternatif terhadap hanif adalah zhalim. Artinya, menyembah berhala berarti merendahkan derajat manusia sendiri. Betapa tidak, karena manusia menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Pada ayat 100 dikatakan bahwa Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya, sebagaimana halnya kaum penyembah berhala.

Page 86: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH 84

bergantian, tetapi semuanya lalu tenggelam bergantian pula. Ia lalu menarik kesimpulan bahwa itu semua bukan Tuhan, Tuhan yang sebenarnya adalah Dzat yang menciptakan langit dan bumi. Pada ayat 75 dijelaskan bahwa Allah telah memperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda dari sistem langit dan bumi, agar ia menjadi orang yang yakin. Kesimpulan yang diambil oleh Ibrahim tersebut berlawanan dengan keyakinan kaum Shabi`ah pada masa hidupnya menyembah bintang, bulan dan matahari. Oleh karena itu, Ibrahim disebut seorang yang hanif.

Keterangan lain, yang menjelaskan antara kepercayaan yang dibawa oleh nabi dan agama Ibrahim dijelaskan dalam QS. al-Nahl: 120-123, yang di dalamnya terdapat keterangan mengenai hanif:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan (rujukan), karena sikapnya yang patuh kepada Allah dan bersikap hanif (berpegang kepada kebenaran dan tidak pernah meninggalkannya). Dan sekali-kali bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya. (Dan ia) adalah orang yang mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Allah telah memilihkan jalan dan menunjukkannya jalan yang lurus (shirath al-mustaqim). Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat (akan berbahagia, karena di dunia ia) benar-benar termasuk di antara orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah.”14

Surat terakhir yang secara kronologis tergolong ke dalam surat Makkiyah dan mengandung kata hanif adalah QS. al-Rum: 30. Dalam ayat ini terdapat keterangan baru mengenai istilah hanif,

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanif) kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama yang kuat dasarnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Dalam ayat ini, hanif mengandung arti cenderung kepada agama Allah yang merupakan sikap yang sesuai dengan fithrah manusia. Di sini dikaitkan pula bahwa beragama, yaitu beragama yang hanif merupakan kecenderungan dasar manusia. Demikian pula kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama yang sesuai dengan fithrah manusia adalah Islam. Islam adalah agama yang kokoh dasarnya, karena sesuai dengan fithrah manusia itu. STUDI AYAT-AYAT ‘UBUDIYAH Istilah ibadah, yang pada mulanya mencakup segala perbuatan manusia yang ditujukan sebagai pengabdian kepada Allah, baik aktif maupun pasif – seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, acapkali mengalami pembidangan (sistematika ilmu), meskipun tidak dapat dihindari timbulnya fragmentasi (pemecahan) dan pembatasan – yang sering kali kurang menguntungkan.15

_____________ 14 Sebagaimana dikatakan pada surat al-An’am: 161, dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat

121, salah satu tanda dari seorang hanif itu adalah karena seseorang itu mengikuti jalan yang lurus (shirath al-mustaqim), sikap dan cara hidup yang saleh, yaitu hidup yang harmonis dengan lingkungannya.

15Dalam ilmu Fikih, kata tersebut kemudian dipakai khusus dalam hal-hal tertentu, seperti bersuci (thaharah), puasa (shiyam), zakat dan haji. Dari segi sistematisasi, hal tersebut dapat ditoleransi, tetapi ini bukan berarti bahwa ibadah hanya terbatas pada hal itu saja. Sayangnya, penggunaan istilah tersebut disalahtafsirkan oleh ahli-ahli hukum Islam (fuqaha’), sehingga menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat awam. Akibatnya, mereka menduga bahwa ibadah terbatas pada hal-hal ritual saja. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 383.

Page 87: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 85

Dari sudut kebahasaan, ibadah beasal dari bahasa Arab, ‘ibadah, dan bentuk jamaknya ibadat, berarti pengabdian. Seakar dengan kata Arab ‘abd, yang berarti hamba atau budak, yakni pengabdian, dari kata ‘abdi, ‘abd atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, dalam pengertiannya yang lebih luas, ibadah mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kehidupan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral. Inilah maksud firman Allah bahwa manusia (dan jin) tidaklah diciptakan Allah melainkan untuk mengabdi kepada-Nya.16 Yakni, untuk menempuh hidup dengan kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah perkenan atau ridha Allah.17 Sebagai pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadah yang juga berarti pengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni, hal yang secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan kejadian asalnya sendiri. Dalam kenyataan hidup manusia hampir tidak ada individu yang bebas sama sekali dari bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ‘ubudiyah.18 Maka, sama halnya dengan semua kecenderungan natural, kecenderungan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan ‘ubudiyah harus disalurkan secara benar. Dan salah satu batu penguji kebenaran suatu tindakan ‘ubudiyah ialah bahwa ia harus berdampak peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan individu yang bersangkutan. Melalui ibadah, seorang hamba mengharap bahwa Allah akan menolong dan membimbing hidupnya menempuh jalan menuju kebenaran. Karena seorang individu menyadari bahwa dalam menghadapi tantangan hidup bermoral yang tak terhindarkan, ia memerlukan rahmat dan keutamaan (fadl) dari Allah, karena manusia tidak mungkin mencari dan menemukan sendiri secara sempurna dan tuntas jalan kebenaran itu tanpa bimbingan-Nya.19 Firman-Nya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mengotori imannya itu dengan kejahatan, mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) mendapatkan rasa aman (al-amn), karena mereka berpetunjuk.” (QS. al-An’am: 82). Oleh karena itu, diperintahkan agar memohon pertolongan Allah dengan sikap tabah dan sabar serta salat, seperti yang tertera dalam QS. al-Baqarah: 153.

_____________ 16Firman Allah yang banyak dikutip, QS, al-Dzariyat: 56, dan QS, al-Fatihah: 4. 17Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 57.

Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Dalam konteks ini, ketaatan, ketundukan dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran dan keadilan. Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual (Yogyakarta: Gama Media, 2005), 69.

18 Jika seseorang tidak melakukan suatu tindakan ‘ubudiyah tertentu yang standar (seperti salat dalam Islam, misalnya), tentu ia melakukan bentuk tindakan ‘ubudiyah yang lain (seperti, kecenderungan amat kuat pada kaum komunis untuk mengagungkan pemimpin mereka).

19Bahwa unsur kemurahan (fadl) dari Allah merupakan segi yang amat menentukan apakah seseorang bakal mampu menemukan dan kemudian mengikuti jalan hidup yang benar banyak sekali dinyatakan dalam al-Qur’an, seperti QS, al-Nur: 21, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya ia menganjurkan untuk perbuatan kotor dan keji. Seandainya tidak karena kemurahan (fadl) Allah serta kasih (rahmah)-Nya, maka tak seorang pun dari kamu yang dapat menjadi suci. Tetapi Allah mensucikan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Page 88: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH 86

Al-Qur’an juga menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Allah, yang menjadi khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi, yang di dalam dirinya di tanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi.20 Manusia sebagai hamba Allah, dianggap mampu dalam menjalankan fungsi ‘ubudiyahnya, karena melekat di dalam dirinya kemuliaan Allah. Kemuliaan manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia dikaruniai akal untuk berpikir dan menimbang baik-buruk, benar salah, juga terpuji-tercela, sedangkan makhluk lain semisal binatang, tumbuhan, mineral bahkan jin, tidaklah memperoleh kelebihan seperti halnya yang diberikan kepada kepada manusia berupa akal pikiran tersebut, hal ini dapat di lihat dalam QS. al-Tin: 4 dan QS. al-Isra’: 70. Disamping kelebihan, manusia juga memiliki aspek kelemahan, misalnya kikir (QS. al-Isra’: 100), paling banyak membantah (QS. al-Kahfi: 54), penuh keluh kesah (QS. al-Ma’arij: 19), melampaui batas (QS. al-Alaq: 6), tergesa-gesa (QS. al-Isra’: 11), memiliki hawa nafsu yang mengajak kepada kejahatan (QS. Yusuf: 53), mudah putus asa dan tidak berterima kasih (QS. Hud: 9), serta lainnya. Sebagai khalifah Allah, pertama, manusia memikul tanggung jawab pribadi, orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. al-An’am: 164) dan pada hari kiamat nanti mereka datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri (QS. Maryam: 95). Ini membuktikan bahwa manusia sebagai hamba Allah itu memiliki kebebasan individual atas dirinya sendiri namun tetap bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Kedua, tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah. Manusia sebagai khalifah fi al-ardl atau pemimpin, penguasa, pengganti, wakil dan pengelola di bumi, dalam arti lebih luas sebagai pemakmur alam semesta. Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifah, bahkan para malaikat diperintahkan untuk sujud sebagai tanda penghormatan kepada manusia tersebut (QS. al-Baqarah: 34).21 Sebagai khalifah, manusia dimaksudkan tampil di bumi ini dengan wajahnya yang ramah dan anggun untuk memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi, bukan sebaliknya sebagai orang tertindas, dan terbelakang dari berbagai kemajuan.

_____________ 20 Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi dengan tugas menjadi

penguasa yang mengelola dan memakmurkan bumi beserta isinya dengan sebaik-baiknya (QS. al-Baqarah: 30 dan QS. Hud: 61). Diciptakannya segala sesuatu di muka bumi oleh Allah adalah untuk kepentingan manusia (QS. al-Baqarah: 29). Manusia diberi beban untuk beragama (Islam) sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas kekhalifahannya. Karena manusia akan diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugasnya tersebut (QS. al-Qiyamah: 36).

21 Perintah sujud ini diulang dalam al-Qur’an hingga enam surat, yakni; al-Kahfi, al-A’raf, Thaha, Isra’, al-Hijr dan Shaad. Iblis yang menolak bersujud telah dikutuk dan dikeluarkan dari surga. Sikap tidak mau sujud menghormat kepada khalifah ini merupakan pelanggaran terhadap perintah Allah, karena pada awalnya pengertian sujud adalah beribadah kepadanya. Dalam ayat lain, penyebutan khalifah ini tidak hanya dinisbatkan kepada Nabi Adam saja, melainkan juga beberapa nabi yang lain, seperti nabi Ibrahim dan nabi Nuh. Bahkan tidak dikhususkan kepada pihak lelaki semata. Lihat Assegaf, Studi Islam….., 71.

Page 89: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

KESIMPULAN Manusia dalam perspektif hamba Allah adalah manusia yang “fithrah”,

“hanif” dan “abid”. Pertama, Manusia disebut fithrah atau fithri karena kejadian dan penciptaannya sejak semula adalah suci. Dengan kata lain, kejadian asal manusia telah di design Tuhan menjadi manusia yang suci yang sesuai dengan eksistensinya sebagai hamba Allah dan dipercaya menjadi khalifah Allah fi al-ardl. Segala sesuatu yang dilakukan manusia dan itu bertentangan dengan fithrah kemanusiaannya akan menyebabkan manusia membinasakan dirinya sendiri.

Kedua, manusia disebut hanif karena di dalam dirinya juga diciptakan Allah potensi untuk condong atau berpihak kepada jalan yang lurus (shirath al-mustaqim) yaitu al-Islam, hanif juga merupakan kecenderungan hamba Allah kepada tauhid (pengesaan Allah) dan lawan dari musyrik – tuhan-tuhan palsu (politeisme). Karena fithrah kesucian yang bersemayam dalam hati nurani itulah manusia bersifat hanif, artinya secara pembawaan alami cenderung merindukan dan memihak kepada yang baik dan benar. Karena itu pula fithrah dan kehanifan (hanifiyah) merupakan lokus kesadaran kebenaran merupakan titik pusat atau kesediaan masing-masing manusia untuk menerima agama penyerahan diri dan ketaatan kepada Allah melalui tindakan hidup berakhlak.

Ketiga, manusia ‘ubudiyah atau ‘abdullah adalah manusia yang mengabdi dan menyembah hanya kepada Allah semata, pengabdian kepada Allah meninggikan derajat manusia itu sendiri, ketimbang pengabdian yang dilakukan terhadap sesama makhluk yang justeru merendahkan derajat kemuliaannya. Tindakan ‘ubudiah yang dilakukan hamba Allah adalah untuk mengelola dan memakmurkan bumi ciptaan Allah yang dihuninya. Tindakan-tindakan merusak seperti mengeksploitasi manusia dan alam untuk kepentingan-kepentingan semacam ekonomi dan politik yang sesat sangat bertentangan dengan citra manusia sebagai ‘abdullah yang merupakan puncak kreasi Tuhan.

Dapat disimpulkan bahwa, peran dan perjalanan manusia sebagai hamba Allah dalam kehidupan ini memiliki tiga karakter; fithrah, hanif dan ubudiah. Sejauhmana pemaknaan dan keyakinan manusia terhadap pengilmuan dan pengamalan terhadap fithrah, hanif dan ubudiah, sejauh itu pula kearifan dan kebaikan manusia seutuhnya dapat diperoleh sebagai makhluk puncak kreasi Tuhan.

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 87

Page 90: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH 88

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim. Amal, Taufik Adnan, (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam

Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1987. Assegaf, Abd. Rahman, Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media, 2005.

Gaus AF, Ahmad, Dialog Ramadhan bersama Cak Nur, Jakarta: Paramadina,

2000.

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-XXX, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981. Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Muthahhari, Murthadha, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap

Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, terj. M. Jawad Bafaqih, Jakarta: Lentera, 2001.

Al-Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian

Masalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002. Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Rahman, Fazlur Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka,

1983. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.

-------------, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

Bandung: Mizan, 1996. Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum

dalam Al-Qur’an, Jakarta: Pena Madani, 2003. Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid. VI

Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1397 H.

Page 91: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 89

MUKJIZAT PARA NABI DALAM AL-QUR’AN

JUWAINI Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Banda Aceh

Email: [email protected]

ABSTRACT Allah sent prophets and messengers who call human beings to believe in

Allah, to support the appeal, the prophets and apostles were awarded various miracles. Miracles are extraordinary events that occurred in the prophets and apostles, which were intended only as a prophetic sign, and serves as proof of the truth of the prophets and apostles. Miracles are given to each Prophet is different, like Noah's boat was enable human being to survive in a situation of fierce waves and waves, protection Prophet from burning, Prophet Moses' rod turned into a snake, the healing of the Prophet Jesus and Prophet Muhammad who received the revelation of the Koran.

Kata Kunci: Mukjizat, al-Qur’an, Nabi dan Rasul

PENDAHULUAN Mukjizat adalah kemampuan luar biasa yang diberikan Allah kepada nabi

dan rasul. Tujuan diberikan mukjizat adalah untuk menunjukkan kebenaran kerasulan dan kebenaran ajaran yang dibawa, dan ini hanya terjadi atas kekuasaan Allah. Oleh karena itu, sudah menjadi suatu kemestian, setiap nabi dan rasul dilengkapi dengan mukjizat untuk membuktikan kebenaran dalam menyampaikan risalah Allah. Topik-topik berikut ini akan menjelaskan pengertian mukjizat, jenis-jenis mukjizat dan contoh-contoh mukjizat. PENGETIAN MUKJIZAT

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mukjizat diartikan sebagai kejadian atau peristiwa yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.1 Mukjizat diambil dari bahasa Arab أعجز (a’jaza) yang bermakna melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Kata أعجز (a’jaza) berasal dari kata عجز (‘ajaza) yang berarti tidak mempunyai kekuatan atau lemah. Pelakunya disebut mukjiz, bila kemampuannya melemahkan pihak lain sangat menonjol sehingga mampu mengalahkan lawan, maka dinamakan معجزة (mu’jizat).2 Tambahan ta marbuthah pada akhir kata mengandung makna mubalaghah.

Dalam al-Mu’jam al-Washith, mukjizat diartikan perkara atau urusan yang berbeda dengan adat kebiasaan yang ditampakkan Allah pada diri seorang nabi _____________

1 WJS Poerwodarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 395. 

2 Ibnu Mandhur, Lisan al-A’rab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 369- 370.

Page 92: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

JUWAINI: MUKJIZAT PARA NABI DALAM AL-QUR’AN 90

dan rasul untuk memperkokoh kenabiannya.3 Jalaluddin al-Sayuti menjelaskan bahwa mukjizat adalah suatu peristiwa luar biasa yang tidak dapat dikalahkan oleh siapapun.4 Menurut Manna’ al-Qattan, perkataan i’jaz atau mukjizat adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, berlawanan dari perkataan qudrah. Apabila mukjizat muncul, maka terlihat sesuatu yang dilemahkannya.5 I’jaz dalam konteks pembahasan ini menunjukkan pada kebenaran Nabi Muhammad dalam pengakuannya sebagai seorang rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab dalam melawan mukjizat yang kekal yakni al-Qur’an.

_____________

Menurut al-Qur’an, mukjizat berasal dari kata ‘ajaza –‘yu’jizu yang bermakna lemah. Dalam hal ini Allah berfirman dalam QS. al-Maidah: 31.

“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”

Ayat ini selain menjelaskan tentang manusia yang banyak mengambil pelajaran dari alam dan tidak segan mengambil pelajaran dari yang lebih rendah tingkatan pengetahuannya, juga menjelaskan bahwa penyesalan yang menjadi suatu syarat taubat ialah penyesalan yang terbit karena takut kepada Allah dan karena kegundahan melampui batas-Nya.6

Secara terminologi, mukjizat adalah suatu keistimewaan yang diberikan Allah kepada para nabi atau rasul dengan melemahkan kekuatan lawan dan memberikan keunggulan seketika kepada yang diberi mukjizat itu. Dalam bahasa Inggris, mukjizat disebut dengan miracle, dalam bahasa latin disebut dengan miraculum artinya mengagumi. Istilah ini menunjukkan apa yang menyebabkan keheranan dan biasa dipakai untuk menunjukkan sesuatu peristiwa.

Menurut al-Zarqani mukjizat adalah sesuatu yang melemahkan manusia atau makhluk lainnya, baik secara individu maupun kolektif. Mukjizat terdapat beberapa unsur, yaitu: pertama, ada suatu hal yang terjadi di luar kebiasaaan. Kedua, mukjizat lahir pada diri seorang Nabi. Ketiga, ada tantangan, biasanya dari pihak yang menentang atau menyaksikan kedudukan seorang Nabi. Keempat, tantangan tersebut tidak dapat ditandingi.7

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa mukjizat adalah satu anugerah luar biasa yang dikaruniakan kepada Nabi dan Rasul untuk membuktikan kenabian dan kerasulan mereka, serta untuk menunjukkan kebenaran ajaran yang dibawa, dan tidak ada yang bisa menentangnya. Secara tidak langsung mukjizat akan membuktikan kebatilan sesuatu ajaran atau paham yang dibawa para ahli atau pemikir yang menolak adanya mukjizat.

3 Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Washith, (Surabaya: t.th.), 585. 4 Jalaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

2000), 46. 5 Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Maktabah Wahbah, 2004),

258. 6 M. Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir al-Nur, (Semarang: Pustaka Rizqi, 1996), 1028. 7 M. Abd Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ’Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub

al-Ilmiyah, 1988), 480. 

Page 93: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 91

JENIS- JENIS MUKJIZAT Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu mukjizat

yang bersifat hissiyah (material indrawi) dan mukjizat yang bersifat ‘aqliyah (rasional). Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan hissiyah, karena bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra masyarakat tempat Nabi tersebut menyampaikan risalahnya.8 Seperti perahu Nabi Nuh atas petunjuk Allah mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang demikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim dalam kobaran api, tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan Nabi Isa dan lain-lain. Semuanya bersifat material indrawi, terbatas pada lokasi atau tempat nabi atau rasul tersebut berada dan berakhir dengan wafatnya masing nabi. Berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad, sifatnya bukan material indrawi, tetapi ‘aqliyah (dapat dipahami oleh akal). Karena sifatnya yang demikian, maka tidak terbatas pada suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya, kapan dan dimanapun berada.

Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok. Pertama, nabi sebelum Nabi Muhammad, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Oleh karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Berbeda dengan Nabi Muhammad, yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu siap dipaparkan kepada setiap orang yang ragu kapanpun dan dimanapun mereka berada. Kedua, manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat nabi sebelum Nabi Muhammad, memerlukan bukti kebenaran yang sesuai dengan tingkat pemikiran mereka, bukti tersebut harus jelas dan terjangkau indra mereka. Tetapi, setelah manusia mulai menanjak ke tahapan kedewasaan berpikir, maka bukti yang bersifat indrawi tidak diperlukan lagi. Ini bukan berarti bahwa tidak terjadi hal-hal luar biasa dari atau melalui Nabi Muhammad. Keluarnya air dari celah jari-jari beliau, makanan yang sedikit dapat mencukupi orang banyak, genggaman pasir yang beliau lontarkan kepada kaum musyrik dalam perang Badar hingga menutupi pandangan mereka, merupakan hal-hal luar biasa yang telah terjadi.9

Penjelasan di atas menjelaskan bahwa mukjizat adalah hal luar biasa dalam mengatasi segala persoalan manusia, tidak ada yang kuasa selain Allah. Kemudian antara mukjizat para nabi mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk memainkan peranan dan mengatasi kepandaian kaumnya, disamping membuktikan kekuasaan Allah diatas segala-galanya. CONTOH MUKJIZAT PARA RASUL

Mukjizat merupakan kejadian di luar akal manusia yang hanya dimiliki oleh nabi dan rasul.10 Sedangkan apabila seseorang memiliki sesuatu yang luar biasa dinamakan dengan karamah. Mukjizat biasanya berisi tantangan terhadap hal-hal yang sedang terjadi dalam masyarakat pada zaman diturunkannya mukjizat

_____________ 8 Rafiq, ‘Ajam Musthalahat Imam al-Ghazali, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.),732. 9 Mutawalli Sya’rawi, Mukjizat al-Qur’an, (Singapura: Pustaka Nasional, 1945), 1-4.

Selanjutnya disebut Mutawalli Sya’rawi, Mukjizat al-Qur’an. 10 Al-Jurjani, A’lam al-Kitab, Cet. I (Beirut: Maktabah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa

Tauzi’, 1996), 273.

Page 94: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

tersebut. Misalnya pada zaman Nabi Musa, masyarakat pada waktu itu ramai mempraktekkan ilmu sihir, maka dengan mukjizat, tongkat Nabi Musa dapat berubah menjadi ular dan mengalahkan sihir orang lain yang ada di sekitarnya. Pada zaman Nabi Isa berkembang ilmu pengobatan, maka pada saat itu mukjizat Nabi Isa adalah mamppu menghidupkan orang meninggal, hal tersebut merupakan puncak dari ilmu pengobatan.

Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad, yang berkembang adalah ilmu sastra, dan pada masa itulah al-Qur’an diturunkan, yang menjadi mukjizat Nabi Muhammad. Nabi yang pada saat itu tidak bisa membaca dan menulis tapi dapat menunjukkan bahwa al-Quran yang diyakini oleh umat Islam, memiliki nilai sastra tinggi, tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata tapi juga kedalaman makna yang terkandung di dalamnya, sehingga al-Quran dapat terus digunakan sebagai rujukan hukum yang tertinggi sejak zaman masa hidup Nabi sampai nanti di akhir zaman. Berikut adalah beberapa contoh mukjizat para Rasul

Mukjizat Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim merupakan nabi dan rasul, yang diberi gelaran khalilullah, termasuk salah seorang dari lima orang nabi ulul azmi, yang bersama anaknya Nabi Ismail dikenal sebagai pengasas Ka’bah. Nabi Ibrahim adalah putera Azar bin Falikh bin Abir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh, dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A’ram, dalam Empayar Neo-Babylon yang waktu itu diperintah oleh seorang raja zalim bernama Namrud bin Kan’an. Sebelum kelahirannya, daerah tersebut dalam keadaan yang tidak aman, karena Raja Namrud bermimpi bahwa akan lahir seorang bayi yang ketika besar akan merampas takhtanya. Ia akan membawa agama yang mempercayai satu Tuhan dan akan menjadi pemusnah berhala. Bayi tersebut juga akan menjadi penyebab Raja Namrud mati dengan cara yang dahsyat. Oleh karena itu, Raja Namrud memerintahkan untuk membunuh setiap bayi yang dilairkan, dan golongan lelaki dan wanita dipisahkan selama setahun.

Dalam keadaan tersebut, kehendak Allah tetap terjadi. Isteri Azar mengandung namun tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Pada suatu hari ia merasa seperti telah tiba waktu untuk melahirkan. Sadar dengan resiko yang akan diterima, dalam ketakutan, ibu Nabi Ibrahim bersembunyi dan melahirkan dalam sebuah gua. Kemudian ia memasukkan batu-batu kecil ke dalam mulut bayinya dan meninggalkannya. Seminggu kemudian, ia bersama suaminya kembali ke gua tersebut dan terkejut melihat Nabi Ibrahim masih hidup. Selama seminggu, bayi itu menghisap celah jarinya yang mengandung susu dan makanan lain yang berkhasiat. Ketika berusia 15 bulan tubuh Nabi Ibrahim membesar dengan cepatnya seperti anak-anak yang berusia dua tahun. Baru kemudian orang tuanya berani membawanya pulang.

Sebagai seorang rasul, Allah menganugerahkan mukjizat kepada Nabi Ibrahim untuk memperingati kaumnya yang menyembah berhala. Mereka membesarkan patung-patung dan sujud kepadanya. Oleh sebab itu, kaumnya membakar Nabi Ibrahim, untuk menuntut balas bagi tuhan-tuhan mereka. Agar menjadi peringatan terhadap siapa saja yang mencoba menghina tuhan mereka ataupun mengingkarinya. Dengan mukjjizat yang diberikan Allah, Nabi Ibrahim tidak terbakar api yang dahsyat setelah menghancurkan berhala-berhala yang

JUWAINI: MUKJIZAT PARA NABI DALAM AL-QUR’AN 92

Page 95: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 93

disembah oleh ayah dan kaumnya.11 Namun, Nabi Ibrahim tidak takut meng-hadapi hukuman dari kaumnya itu. Lalu, Allah menyelamatkannya dari panasnya api yang menyala-nyala. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Anbiyaa: 69.

Allah membiarkan mereka untuk menangkap Nabi Ibrahim dan membakar dalam api yang dinyalakan dihadapan tuhan-tuhan mereka.12 Padahal dapat saja Nabi Ibrahim melarikan diri atau bersembunyi sebelum ditangkap agar mereka tidak dapat mencarinya dan selamat dari kebakaran. Dengan demikian niscaya mereka akan menangkap Ibrahim dan membakarnya hingga hangus. Jika hal itu terjadi, mereka akan terus mempercayai tuhan-tuhannya yang dapat mendatangkan manfaat bagi yang menyembahnya dan mudharat bagi yang mengingkarinya. Oleh sebab itu, Allah menentukan agar Ibrahim tidak melarikan diri dan tertangkap serta dilemparkan kedalam api, untuk disaksikan oleh orang banyak bahwa kepercayaan mereka salah dan tuhan mereka tidak berkuasa dihadapan Allah.

Mukjizat Nabi Nuh

Nabi Nuh terkenal dengan perahunya, bahkan hingga sekarang para ilmuwan masih mencari perahu Nuh dan tempat pendaratannya. Karena kekafiran kaumnya dan berbagai upaya mengembalikan mereka menjadi bangsa yang beriman tidak berhasil, akhirnya Nabi Nuh putus asa. Selanjutnya Allah me-merintahkan Nabi Nuh membuat kapal.

Dalam al-Qur’an tidak disebutkan model kapal, ukuran kapal, dan gambaran lainnya. Namun jelas ayat di atas menunjukkan, bahwa keseluruhannya berdasarkan pengawasan dan wahyu dari Allah. Pembuatan kapal di dataran tinggi dan jauh dari laut, hal itu menjadi bahan tertawaan dan ejekan kaumnya.13 Bahkan ada bagian tertentu dari kapal tersebut yang dijadikan sebagai tempat pembuangan kotoran manusia.14 Namun Nabi Nuh dan pengikutnya yang beriman tetap melanjutkan pembuatan kapal hingga selesai.

Setelah selesai pembuatan kapal, Nabi Nuh berdoa pada Allah, lalu terjadilah mukjizat, tiba-tiba datang orang sakit dan orang tersebut jatuh ke dalam kotoran tadi, ternyata setelah keluar dengan tidak disangka penyakit yang ada padanya sembuh. Berita menyebar dengan cepat ke pelosok negeri. Para penderita berbagai penyakit beramai-ramai mengambil kotoran dari tempat itu untuk peng-obatan, dan memang terbukti dapat menyembuhkan segala penyakit. Selanjutnya, kotoran di kapal Nabi Nuh menjadi bersih, bahkan para penyandang sakit masih kekurangan kotoran untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mereka.

Uraian di atas menjelaskan bahwa mukjizat Nabi Nuh salah satunya adalah dapat menyembuhkan berbagai penyakit dari kotoran manusia. Walaupun pada dasarnya, kotoran tersebut adalah hasil dari pengkhianatan kaumnya kepada Nabi Nuh, tetapi Allah berkehendak lain kotoran tersebut dapat menjadi obat yang paling ampuh untuk segala penyakit. Demikian juga bahwa Nabi Nuh merupakan Bapak perkapalan pertama dalam Islam.

_____________ 11 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2004), 36. Selanjutnya

disebut M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an. 12 M. Mutawalli Sya’arawi, Mukjizat al-Qur’an, 4. 13 Ahmad Bahjat, Ensiklopedi Nabi-Nabi Allah, terj Khalifurrahman (Yogyakarta: Al-

Manar: 2008), 86. Selanjutnya disebut Ahmad Bahjat, Ensiklopedi. 14 M. Mutawalli Sya’arawi, Mukjizat ..., 6.

Page 96: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

JUWAINI: MUKJIZAT PARA NABI DALAM AL-QUR’AN 94

Mukjizat Nabi Musa Setiap Nabi yang diutus dilengkapi dengan mukjizat menurut kepandaian

kaumnya, kaum Nabi Musa15 mahir dalam hal sihir, maka Nabi Musa dilengkapi dengan mukjizat sihir.16 Diantara orang-orang yang pertama mempercayai Musa ialah para ahli sihir, ketika melihat mukjizat Nabi Musa, mereka terharu, karena dapat mengenali perbedaan yang besar antara kuasa Tuhan dengan kuasa manusia. Mereka sujud dengan penuh perasaan takut, mengakui kelebihan mukjizat Musa yang diberikan Allah, daripada kepandaian mereka dalam mempermainkan sihir. Hal ini sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an.

رب موسى وهارون .قالوا آمنا برب العالمين .وألقي السحرة ساجدين “Maka para ahli sihir itupun bersujud. Mereka berkata: Kami beriman

kepada Tuhan semesta alam yaitu Tuhan Musa dan Harun.” (QS. al-Araf: 120-122)

Ayat di atas menjelaskan bahwa yang pertama beriman kepada Nabi Musa adalah orang-orang yang telah mengenali mukjizat. Mereka adalah ahli-ahli sihir yang ditantang oleh Allah untuk membuktikan kebenaran mereka. Sehingga ahli sihir tersebut beriman kepada Allah dan mengingkari Firaun karena kebenaran yang telah diperlihatkan dari mukjizat Nabi Musa.

Mukjizat Nabi Isa

Al-Qur’an menceritakan mukjizat Nabi Isa sejak lahir, karena ketika bayi Nabi Isa telah dapat berbicara. Di samping itu, dapat menghidupkan orang mati dengan izin Allah,17 dan memiliki kemampuan yang luar biasa karena dengan hanya meniupkan pada suatu tanah, maka tanah itu terbentuk menjadi burung dan ia terbang dengan izin Allah, seperti disebutkan dalam surah al-Maidah: 110-111.

Ayat tersebut menyebutkan lima mukjizat dari Nabi Isa, yaitu: Pertama, bahwa Nabi Isa mampu berbicara dengan manusia ketika beliau masih kecil. Kedua, diajari isi kandungan Kitab Taurat dan Kitab Injil. Ketiga, Nabi Isa membentuk tanah seperti burung kemudian meniupkannya lalu menjadi burung. Keempat, mampu menghidupkan orang-orang yang mati. Kelima, mampu menyembuhkan orang yang buta dan orang yang berpenyakit kusta.18 Terdapat mukjizat yang, keenam yang disebutkan dalam QS. Al-Maidah 112-115.

Makna ayat di atas merupakan mukjizat yang keenam ialah turunnya makanan dari langit karena permintaan Hawariyin. Juga terdapat mukjizat yang ketujuh, lantaran beliau diberi kemampuan melihat hal-hal yang gaib melalui panca inderanya meskipun beliau tidak menyaksikannya secara langsung. Oleh karena itu, beliau memberitahu kepada sahabat-sahabat dan murid-muridnya apa yang mereka makan dan apa yang mereka simpan di rumah-rumah mereka, sebagaimana firman Allah:

ا تدخرون في بيوتكم إن في ذلك لآية لكم إن آنتم مؤمنينوأنبئكم بما تأآلون وم ...

“Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda _____________

15 Ahmad Bahjat, Ensklopedi… , 320. 16 Ahmad Bahjat, Ensiklopedi..., 334-356. 17 M. Mutawalli Sya’arawi, Mukjizat al-Qur’an, 114. 18 Said Aqil Siroj, 2006, 385.

Page 97: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 95

(kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu benar-benar beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 49) Inilah mukjizat Nabi Isa yang ketujuh, didahului oleh mukjizat kelahiran-nya yang sangat mengagumkan. Beliau lahir tanpa seorang ayah, lalu diikuti mukjizat berikutnya di mana beliau diangkat dari bumi ke langit ketika penguasa yang zalim berusaha menyalibnya.19 Oleh karena itu, bahwa mukjizat adalah hal yang luar biasa yang Allah berikan kepada Nabi-Nya, yang disesuaikan dengan keadaan zaman diutusnya Nabi tersebut sehingga mukjizat itu berpengaruh dalam jiwa kaum dan mampu menggoncangkan hati mereka dan menjadikan mereka beriman kepada pemilik mukjizat.

Mukjizat Nabi Isa yang disaksikan oleh Bani Israil, sesungguhnya terdapat petunjuk bagi mereka untuk membenarkan Nabi Isa. Jelas disini bahwa Nabi Isa menyampaikan risalah Allah mengaruniakan kepada Nabi Isa berbagai mukjizat bertujuan untuk membenarkan ajaran yang disampaikan, di samping mukjizat berupaya menghadapi tantangan semasa pada waktu tersebut.

Mukjizat Nabi Muhammad

Nabi Muhammad mempunyai mukjizat luar biasa yang dikarunia oleh Allah untuk membuktikan kenabiannya. Mukjizat terbesar Nabi Muhammad adalah al-Qur’an. Selain itu, Nabi Muhammad juga dikarunai dengan berbagai mukjizat yang lain seperti keluar air dari celah baju baginda, isra’ mi’raj, makanan yang sedikit mencukupi orang banyak, membelah bulan.20 Dalam hadits al-Bukhari, hadis 72-74 yang diriwayat oleh Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,:

ما من األنبياء نبي إال أعطى ما مثله آمن عليه البشر، وإنما آان الذي أوتيت وحيا أوحاه اهللا إلي، فأرجو أن أآون أآثرهم تابعا يوم القيامة

“Tidak ada kalangan Nabi seorangpun melainkan diberi kepada mereka mukjizat-mukjizat yang diimani oleh manusia hanya aku diwahyukan oleh Allah dengan wahyunya yaitu al-Qur’an, maka aku mengharapkan mempunyai pengikut yang paling ramai pada hari kiamat.

Berikut adalah contoh mukjizat yang diperoleh oleh Nabi Muhammad a. Keluar air dari celah jari-jari Nabi

حدثنا ابن فضيل حدثنا حصين عن سالم عن جابر رضي حدثنا يوسف بن عيسى عطش الناس يوم الحديبية ورسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم بين : اهللا عنه قال

يديه رآوة فتوضأ منها ثم أقبل الناس نحوه فقال رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم رب إال ما في قالوا يا رسول اهللا ليس عندنا ماء نتوضأ به وال نش) . ما لكم (

رآوتك قال فوضع النبي صلى اهللا عليه و سلم يده في الرآوة فجعل الماء يفور _____________

19 Said Abdul Azhim, …., 198-200. 20 Terbelah bulan adalah salah satu mukjizat Nabi Muhammad dalam kisah Islam.

Peristiwa ini disebutkan dalam hadits sebagai sebab turunnya wahyu QS. al-Qamar: 1-2 dan hampir seluruh pengamat Muslim menyepakatinya kebenaran mukjizat tersebut. Tulisan awal mengenai kejadian tersebut ditulis oleh sahabat Nabi seperti Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abdullah bin Masud dan lainnya. Menurut cendekiawan Muslim India, Yusuf Ali, bulan mungkin dapat terbelah lagi saat mendekati hari kiamat. Ia juga mengatakan bahwa mungkin ayat itu dapat juga bermakna alegori, sehingga masalahnya menjadi jelas seperti bulan. Sebagian pengamat yang berbeda pendapat seperti Hasan Basri menolak kebenaran sejarah penggambaran dan mempertahankan bahwa ayat al-Qur'an tersebut hanya dimaksudkan untuk menggambarkan terbelahnya bulan mendekati hari kiamat.

Page 98: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Dari Yusuf bin Isa dari Ibn Fudhayl dari Husain dari Salim dari Jabir, dia berkata: Ketika orang-orang haus pada perjanjian Hudaibiyah dan Rasul memiliki periuk berisi air dan beliau berwudhuk dengan air tersebut, kemudian Rasul melihat para sahabat dan bertanya: “Ada apa dengan kalian?” Para sahabat menjawab, “Kami tidak memiliki air untuk berwudhu’ dan minum, kecuali hanya yang ada dalam periuk anda.” Lalu Rasul memasukkan tangannya ke dalam periuk tersebut dan air pun keluar melalui jari-jarinya bagaikan mata air. Jabir berkata: Kami pun minum dan berwudhu’ dengan air tersebut. Salim bertanya pada Jabir, berapa jumlah kalian waktu itu? Jabir menjawab, seandainya jumlah kami mencapai seratus ribu pun air itu akan cukup, dan jumlah kami waktu itu 15.000 orang. (HR. al-Bukhari)

b. Makanan sedikit cukup untuk semua

حدثنى سلمة بن شبيب حدثنا الحسن بن أعين حدثنا معقل عن أبى الزبير عن يستطعمه فأطعمه شطر وسق -صلى اهللا عليه وسلم-جابر أن رجال أتى النبى صلى اهللا -منه وامرأته وضيفهما حتى آاله فأتى النبى شعير فما زال الرجل يأآل

)مسلم. (لو لم تكله ألآلتم منه ولقام لكم « فقال -عليه وسلمDari Salamah bin Syabib dari al-Hasan bin A’yan dari Ma’qil dari Abi al-

Zubayr dari Jabir, bahwa seseorang datang dan meminta makanan dari Rasul, lalu Rasul memberinya makanan berupa sedikit gandum, orang tersebut kemudian memakannya dan istri serta tamunya juga turut makan. (HR. Muslim)

c.Terbelahnya Bulan

ة عن ابن أبي نجيح عن مجاهد عن أبي حدثنا صدقة بن الفضل أخبرنا ابن عيينانشق القمر على عهد رسول : معمر عن عبد اهللا بن مسعود رضي اهللا عنه قال

. اشهدوا: اهللا صلى اهللا عليه و سلم شقين فقال النبي صلى اهللا عليه و سلم )البخاري(

Dari Sadaqah bin al-Fadl dari Ibn Uyainah dari Ibn Abi Najih dari

Mujahid dari Abi Ma’mar dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Bulan terbelah pada masa Rasul menjadi dua bagian. Lalu Nabi berkata: Lihatlah. (HR. al-Bukhari).

d. Pengobatan Nabi

حدثنا المكي بن ابراهيم حدثنا يزيد بن أبي عبيد قال رأيت أثر ضربة في ساق ت يا أبا مسلم ما هذه الضربة ؟ فقال هذه ضربة أصابتني يوم خيبر فقال سلمة فقل

الناس أصيب سلمة فأتيت النبي صلى اهللا عليه و سلم فنفث فيه ثالث نفثات فما )البخاري( .اشتكيتها حتى الساعة

Dari al-Makki bin Ibrahim dari Yazid bin Abi Ubayd, ia berkata: Saya melihat adanya bekas pukulan pada betis Salamah, Yazid berkata kepada Abu

JUWAINI: MUKJIZAT PARA NABI DALAM AL-QUR’AN 96

Page 99: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 97

Muslim, bekas pukulan apa ini? Ia menjawab bahwa musuh yang menimpa saya pada perang khaibar. Orang-orang lalu membicarakan bahwa Salamah tertimpa musibah, lalu saya datang kepada Rasul kemudian ia meniupnya tiga kali, kemudian saya sembuh setelah satu jam. (HR. al-Bukhari)

Dari beberapa mukjizat tersebut di atas, mukjizat yang teragung adalah al-Qur’an, hal ini sesuai dengan sebuah hadis yang menyebtkan bahwa hanya Nabi yang diberikan wahyu berupa al-Qur’an. Sesuai dengan hadist di atas, Ibn Hajar juga mengatakan bahwa Nabi dikaruniakan oleh Allah dengan mukjizat yang sangat agung yaitu al-Qur’an dan akan kekal selama-lamanya sampai hari akhirat. Berkaitan dengan mukjizat al-Qur’an, Quraish Shihab mengatakan bahwa ke-mukjizatan al-Qur’an terletak pada tiga aspek.

1. Aspek bahasa Al-Qur’an pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa

Nabi Muhammad. Keahlian bangsa Arab pada masa itu adalah bahasa dan sastra. Dimana-mana terjadi perlombaan dalam menyusun syair atau kuthbah, petuah dan nasihat. Syair-syair yang dinilai indah digantung di Ka’bah, sebagai penghormatan kepada pengubahnya sekaligus untuk dapat dinikmati oleh yang melihat atau membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang sangat istimewa dalam masyarakat Arab karena dinilai sebagai pembela kaumnya.21 Orang-orang Arab yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an adalah masyarakat yang paling mengetahui tentang keunikan dan keistimewaan al-Qur’an serta ketidakmampuan manusia untuk menyusun semacamnya. Tetapi sebahagian mereka tidak dapat menerima al-Qur’an karena isi kandungan yang terdapat didalamnya merupakan bukan sesuatu yang baru, selain itu ketidak sejalannya al-Qur’an dengan adat kebiasaan serta bertentangan dengan kepercayaan mereka. Berikut ini akan jelaskan tentang kemukjizatan al-Qur’an dari aspek kebahasaan. Pertama, Keseimbangan dalam pemakaian kata. Abd al-Razaq Naufal dalam bukunya al-I’jaz al-‘Adad al-Qur'an al-Karim, mengemukakan banyak contoh tentang konsep keseimbangan ini,22 yaitu;

Pertama, keseimbangan antara jumlah kata dengan antonimnya. Diantaranya, al hayah (kehidupan) dan al maut (kematian) sebanyak 145 kali; al har (panas) dan al bard (dingin) sebanyak 4 kali. Kedua, keseimbangan antara jumlah kata dan sinonimnya. Diantaranya, al harts (membajak sawah) dan al zira'ah (bertani) sebanyak 14 kali; al jahr (nyata) dan al 'alaaniyyah (nyata) sebanyak 16 kali. Ketiga, keseimbangan-keseimbangan lain yang bersifat khusus. Misalnya, kata yaum (hari) dalam bentuk tunggal sebanyak 365 sesuai dengan jumlah hari dalam setahun. Sedangkan kata ayyam (bentuk jamak yaum) dan yaumayn (bentuk mutsanna) jumlah pemakaiannya hanya 30 kali, sesuai dengan jumlah hari dalam sebulan. Kata syahr (bulan) hanya ada 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Di samping itu, ada juga contoh lainnya seperti kata-kata yang menunjukkan utusan Allah, yakni rasul, nabi, basyir, nadzir yang keseluruhannya berjumlah 518. Jumlah ini sama dengan jumlah penyebutan nama-nama Nabi dan rasul pembawa risalah-risalah Tuhan, yakni sebanyak 518.

Kedua, aspeks keindahan susunan kata dan pola kalimatnya. Seperti dalam QS. Al-Baqarah: 212, _____________

21 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, 112. 22 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, 145.

Page 100: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

JUWAINI: MUKJIZAT PARA NABI DALAM AL-QUR’AN 98

واهللا يرزق من يشاء بغير حساب… Ayat ini sangat singkat tetapi sangat padat maknanya, bahkan satu potong

ayat ini bisa melahirkan beberapa makna. Pertama, Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa ada yang berhak mempersoalkannya kepada-Nya mengapa Ia meluaskan rezeki kepada seseorang dan mempersempit yang lain. Kedua, Allah memberikan rezeki kepada sesiapa yang dikehendaki-Nya tanpa Dia memperhitungkan pemberian itu karena Allah Maha Kaya. Ketiga, Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa diduga oleh orang yang menerima rezeki itu. Keempat, Allah memberikan rezeki kepada seseorang dengan tidak terhitung banyaknya. Kelima, Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa yang bersangkutan dihitung secara detail amal-amalnya.23

2. Aspek ilmiah Hakikat-hakikat ilmiah yang disebutkan dalam al-Qur’an relevan dengan

penemuaan dan fakta-fakta baru. Seseorang yang mengkaji al-Qur’an tidak akan pernah merasa jenuh untuk terus menyelidikinya. Melalui renungan dan analisis, para pemikir mendapatkan makna-makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Seperti hal reproduksi manusia dalam QS. al-Qiyamah: 36-39.

Pada ayat di atas, secara tegas menyatakan bahwa nuthfah adalah bahagian kecil dari mani yang didatangkan kedalam rahim. Kata nuthfah yang disebutkan dalam al-Qur’an sejalan dengan penemuan ilmiah pada abad ke 20 yang menjelaskan bahwa mani mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, sedangkan satu benih yang bertemu dengan ovum seperti yang dijelaskan dalam ayat hanya bertemu dengan ovum hanya satu saja dan itulah yang dimaksud al-Qur’an dengan nuthfatan mim mani ‘umna atau nuthfah dari mani yang memancar.24

Kemudian menyangkut dengan kejadian alam semesta, tentang persoalan ini al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa langit dan bumi awalnya adalah satu gumpalan seperti disebut dalam QS. al-Anbiya’: 30. Ayat ini tidak menjelaskan bagaimana terjadi pemisahan, tetapi yang dijelaskan alam ini adalah satu, sedangkan pemisahan yang membentuk alam langit dan bumi dibenarkan oleh hasil penyelidikan Edwin P. Hubble. Disamping itu, ia juga berpendapat bahwa alam raya ini senantiasa terus berkembang dan meluas. Ini membuktikan bahwa alam semesta sejalan dengan QS. al-Dzariyat: 47.

3. Aspek ghaib

Ghaib adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak nyata atau tersembunyi. Terlalu banyak perkara yang tidak mungkin diketahui manusia dalam kehidupan, seperti terjadinya kiamat dan kedatangnya kematian. Al-Qur’an juga menyatakan terlalu banyak bentuk perkara yang ghaib juga kejadian masa lampau yang tidak diketahui lagi oleh manusia, karena masanya sudah terlampau lama seperti peristiwa tenggelamnya Fir’aun dan diselamatkan jasadnya, Peristiwa Ashhabul al-Kahfi atau sekolompok pemuda yang berlindung di Gua dan hidup selama tiga ratus sembilan tahun. Demikian juga al-Qur’an menjelaskan peristiwa masa yang

_____________ 23 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, 121. 24 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, 168.

Page 101: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 99

akan datang.25 Contohnya seperti peristiwa kemenangan bangsa Rum atas Persia pada masa sekitar sembilan tahun sebelum kejadiannya, juga peristiwa akan datang yang belum lagi terjadi peristiwa kedatangan dabbah yang berbicara dengan manusia menjelang hari kiamat hal ini di jelaskan dalam QS. Al-Naml: 82.

Mukjizat Nabi Muhammad berupa al-Qur'an, adalah sebuah maha karya sastra dengan sebuah khazanah budaya dan ilmu pengetahuan, merupakan mukjizat yang abadi. Banyak di antara aspek mukjizat al-Qur'an yang tersebut di atas telah dapat diketahui pada masa kini. Fakta-fakta tersebut membuktikan kehebatan al-Qur’an dan kebenarannya datang dari Allah, yang lebih menarik adalah isi kandungan al-Qur’an itu menjangkau zaman dan pemikiran manusia.

KESIMPULAN

Setiap nabi yang diutus oleh Allah selalu dibekali dengan mukjizat, tujuan-nya adalah untuk meyakinkan oarng-orang yang ragu dan tidak percaya kepada pesan yang dibawa oleh nabi dan rasul. Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad. Mukjizat selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi oleh setiap nabi dan rasul. Setiap mukjizat yang dikarunia Allah bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak. Oleh karena itu, tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya, sehingga jenis mukjizat yang diberikan kepada para nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya yang tujuannya sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditentang tersebut.

_____________ 25 M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, 194.

Page 102: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

JUWAINI: MUKJIZAT PARA NABI DALAM AL-QUR’AN 100

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000. Bahjat, Ahmad, Ensiklopedi Nabi-Nabi Allah, terj Khalifurrahman, Yogyakarta:

Al-Manar: 2008. Gregor, Geddes Mac, Introduction to Religious Philosoph, London: Macmillan,

1960. Ibnu Mandhur, Lisan al-A’rab, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. .

Ibrahim Anis, et.all., al-Mu’jam al-Washith, Surabaya: t.th. Jalaluddin, Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

2000. Al-Jurjani, Alamul Kitabi, Cet. I, Beirut: Dar li al-Tiba’ah wa al-Nasyri wa Tauzi’,

1996. Leahy, Louis, Filsafat Ketuhana Kontenporer, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Liputu, Yuliani, Kamus Filsafat, Bandung: Remaja Rosdakarsa, 1995. Al-Qattan, Manna’, Mabahis fi Ulum al-Quran, Beirut: Maktabah Wahbah, 2004. Rafiq, ‘Ajam Musthalahat Imam al-Ghazali, Beirut: Dar al-Kutub, t.th. Ash-Shiddiqi, M. Hasbi, Tafsir An-Nur, Semarang: Pustaka Rizqi, 1996. Sya’rawi, M. Mutawalli, Mu’jizat al-Qur’an, Singapura: 1945. WJS Poerwodarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

1976. Al-Zarqani, M. Abd Azim, Manahil al-Irfan fi ’Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiyah, 1988. Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2004.

Page 103: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

KEADILAN SAHABAT NABI DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYIAH

Muhammad Amin Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry

Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email: [email protected]

ABSTRACT The companions justice issues were among basic issues in the study of

Islam, particularly the study of hadith. It impacted the term of accepted and declined hadith. Two major streams in Islam, the Sunni and Shia, were involved in a long debate and dialectic on this issue. Both groups claim to be the part of each other with the correct number of arguments and historical evidence according to each version. This paper will explore the glimpse of the views of this group about justice issue of Companions. Kata Kunci: Keadilan Sahabat, Sunni, Syiah PENDAHULUAN Sejarah panjang umat Islam telah diwarnai dengan berbagai peristiwa besar. Dimulai sejak masa awal kemunculan Islam di jazirah Arab empat belas abad yang lalu sampai sekarang. Dunia Islam terus mengalami perkembangan dan berbagai pergolakan sejarah. Pergolakan itu ada yang terjadi secara internal maupun eksternal umat Islam. Di kalangan internal cukup banyak pergolakan-pergolakan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu dalam persoalan politik, ekonomi, sosial maupun persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ideologi. Pergolakan ada yang terjadi dengan cara yang santun dan diam-diam, ada juga sebaliknya, terjadi dengan kurang santun dan terang-terangan. Ujung dari itu semua, ada yang berakhir damai dan ada pula yang berakhir dengan peperangan. Bahkan ada yang sampai sekarang terus berlanjut dengan cara perang retorika dan argumen. Masing-masing pihak berusaha mengeluarkan seluruh kemampuan untuk membela dan membenarkan apa yang menjadi keyakinannya. Salah satu pergolakan sejarah umat Islam yang paling kontras terjadi dalam persoalan ideologi adalah pergolakan antara Sunni atau sering disebut ahl al-sunnah wa al-jama’ah dengan syi’i atau disebut juga dengan Syiah. Persoalan Sunni Syiah telah dimulai sejak awal perkembangan sejarah Islam, dan masih berlangsung sampai sekarang dan mungkin juga sampai akhir zaman. Pergolakan dan pertentangan kedua kelompok ini dimulai dengan persoalan politik perebutan kekuasaan untuk memimpin pemerintahan umat Islam masa lalu. Kini juga telah merambah ke berbagai persoalan dan sendi kehidupan umat, baik itu politik, hukum, sejarah, ekonomi, sosial dan ideologi.

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 101

Page 104: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD AMIN: KEADILAN SAHABAT NABI … 102

Di antara sekian banyak perdebatan kedua kelompok tentang persoalan sejarah, ada satu persoalan yang sangat mendasar yang mereka perdebatkan, yaitu persoalan penilaian terhadap para sahabat Nabi Muhammad. Apakah semua sahabat Nabi bisa dipercaya (adil) atau tidak semua sahabat bisa dipercaya (tidak adil). Akibat dari adanya perdebatan tersebut, muncul suatu persoalan yang besar, karena berakibat terhadap kualitas hadits yang disampaikan yang notabenenya adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah al-Qur’an. Perdebatan tentang hal itu juga telah banyak memakan korban, baik harta benda bahkan nyawa, sekalipun bagi mereka yang memang bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing dan berusaha untuk memberi penilaian yang negatif terhadap orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka. Pertentangan Sunni dan Syiah juga telah membuat jutaan umat Islam di dunia mengalami keresahan, baik keresahan dalam hal keyakinan, sikap politik, maupun persoalan-persoalan sosial lainnya. Di satu sisi, mereka ingin bersatu dalam satu wadah Islam yang rahmatan li al-‘alamin, tetapi di sisi lain mereka juga terus menyaksikan para intelektual (ulama) dari kedua kubu saling menyampaikan pandangan-pandangan yang berbeda dan lebih banyak yang cenderung bertentangan. Khusus dalam persoalan penilaian tentang keadilan para sahabat Nabi, tulisan ini akan membahas secara singkat apa yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan pandangan tersebut, serta argumentasi masing-masing golongan dalam mempertahankan kebenaran pendapatnya. Di sisi lain, tulisan ini juga akan men-coba mencari titik temu tentang perdebatan kedua kelompok ini. Sehingga ke depan, setidaknya akan ada saling pengertian antara dua kelompok yang berbeda dengan melihat sisi kebenaran dari argumentasi lawan. Minimal umat Islam yang membaca tulisan ini mengetahui bagaimana persoalan-persoalan terus bisa terjadi yang nantinya berujung kepada memilih dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Dapat juga menjadi stimulus untuk mengadakan penelitian lanjutan tentang persoalan ini, sehingga hasilnya nanti akan menjadi suatu kontribusi yang positif terhadap pembangunan umat Islam secara keseluruhan. PENGERTIAN KEADILAN DAN SAHABAT “Adil” adalah kata yang singkat tetapi mengandung makna yang sangat dalam. Kata yang singkat ini juga yang didambakan oleh setiap makhluk. Secara etimology, kata adil berasal dari bahasa Arab yaitu dari akar kata ‘adala, ya’dilu, ‘adlan,’udulan, ‘adalatan yang berarti meluruskan, menyamakan, berbuat adil, menyekutukan, menyimpang, berpaling kepada, berubah pendapatnya, meluruskan, mengimbangi.1 Adil mengandung banyak makna dalam bahasa Arab, tergantung konteks penggunaannya dalam kalimat. Adapun secara terminology, kata adil atau yang sering disebut dengan keadilan ini didefinisikan dengan beberapa definisi. Para fuqaha (ahli fiqih) mendefinisikan keadilan itu dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan porsinya. Misalnya dalam pembagian warisan, baru dikatakan adil apabila masing-masing ahli waris diberikan sesuai dengan ketentuan bagian tertentu (furudh al-muqaddarah) yang telah ditentukan oleh syariat. Apabila hukum mawaris telah ditegakkan, maka dalam pandangan syariat proses pembagian _____________

1 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1984), 905.

Page 105: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 103

warisan itu sudah dianggap adil, meskipun ada di antara ahli waris yang merasa tidak diperlakukan adil. Namun ulama hadits (muhadditsin) juga mempunyai definisi yang berbeda dengan para fuqaha dalam persoalan keadilan ini. Mereka memandang para perawi hadits yang disebut adil adalah orang yang tidak pernah melakukan dosa besar dan menjauhi dosa-dosa kecil.2 Keadilan dalam periwayatan hadist merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap perawi hadits karena hal ini berakibat kepada diterima atau ditolaknya suatu periwayatan hadits.

Oleh karena itu, seseorang yang dianggap adil dalam pandangan para ulama hadits, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sangat istimewa dalam periwayatan hadits. Sehingga untuk membahas tentang keadilan para perawi hadist ini, para muhadditsin menyusun suatu ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu al-jarh wa al-ta’dil.3 Dalam ilmu ini, para muhadditsin menulis dan berusaha untuk menjelaskan tentang tingkatan keadilan dari masing-masing perawi hadits. Dalam kamus bahasa Arab, kata “sahabat” diambil dari kata: al-ashhab, al-shahabah, shahaba, shuhbatan, shahibun, artinya teman bergaul, pemberi kritik, teman duduk, penolong, pengikut. Al-shahib artinya kawan bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang melakukan dan menjaga sesuatu. Kata ini juga bisa diartikan sebagai orang yang mengikuti paham atau mazhab tertentu. Dalam penerapan misalnya, bisa dikatakan pengikut Imam Ja’far, pengikut Abu Hanifah, pengikut Imam Syafi’i dan lain-lain. Dapat pula dinyatakan seperti dalam frasa istahaba al-qaum, yang artinya mereka saling bersahabat satu sama lain, atau istahaba al-ba’ir, artinya menyelamatkan unta.4 Dalam al-Qur’an juga ditemui kata-kata yang seakar kata dengan kata sahabat dalam berbagai bentuk. Misalnya tushahibni, shahibahuma, shahibahu, ashhab, ashahbun. Tetapi dalam al-Qur’an tidak ditemukan lafaz shahabah atau shuhbah. Dalam konteks studi ulum al-hadits, sahabat didefinisikan dengan berbagai macam definisi tergantung subjek yang mendefinisikan dan sudut pandang yang digunakan. Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan sahabat dengan orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad, dan meninggal dalam keadaan Islam. Jadi yang termasuk sahabat menurut Ibnu Hajar adalah yang memenuhi syarat; Pertama, menerima dakwah Nabi dalam waktu lama maupun sebentar. Kedua, meriwayatkan hadits dari Nabi ataupun tidak meriwayatkannya. Ketiga, ikut berbaiat pada Nabi atau tidak ikut serta dalam bai’at. Dan keempat, sempat melihat Nabi, meskipun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat karena sebab tertentu (seperti orang buta).

Adapun penjelasan dari definisi di atas adalah, bagian kalimat “beriman kepada Nabi” bermakna mengeluarkan orang-orang tertentu dari makna sahabat, yakni mereka yang sempat bertemu dengan Nabi tetapi tidak beriman kepadanya. Sedangkan bagian kalimat “yang meninggal dalam keadaan muslim” dalam definisi di atas juga mengeluarkan orang-orang tertentu dari makna sahabat, yaitu

_____________ 2 G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits di Mesir, terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit

Mizan, 1999), 79. Selanjutnya disebut G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits. 3 G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits …, 80. 4 Ahmad Husain Ya’qub, Keadilan Sahabat: Sketsa Politik Awal Islam, terj: Nashirul Haq

dan Salman al-Farisi (Jakarta: Penerbit al-Huda, 2006), 9. Selanjutnya disebut Ahmad Husain Ya’qub, Keadilan Sahabat.

Page 106: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD AMIN: KEADILAN SAHABAT NABI … 104

orang-orang yang murtad dan meninggal dalam memeluk agama lain meskipun sebelumnya pernah bertemu dengan Nabi dan beriman kepadanya. Seperti Abdullah bin Jahsy yang pada awalnya masuk Islam bersama isterinya Ummu Habibah lalu berhijrah ke Habsyah, namun kemudian memeluk agama Nasrani. Begitu pula dengan Abdullah bin Khatal yang terbunuh dalam keadaan meng-gantungkan tangannya pada kain penutup Ka’bah. Namun orang-orang yang pernah murtad kemudian kembali masuk Islam, baik berkumpul lagi dengan Nabi maupun tidak maka dia tetap masuk dalam kategori sahabat. Seperti yang terjadi pada Ibnu Qais, beliau adalah orang yang pernah murtad, akan tetapi kembali masuk dalam agama Islam masa pemerintahan Abu Bakar.5 SEJARAH SINGKAT KEMUNCULAN SUNNI DAN SYIAH Munculnya Sunni Golongan Sunni atau yang lebih dikenal dengan golongan ahl al-sunnah wa al-jama’ah timbul sebagai reaksi atau tindakan terhadap firqah-firqah yang telah ada sebelumnya, yang dianggap menyeleweng dari akidah Islam yang sebenarnya. Golongan tersebut adalah Syiah dan Khawarij yang timbul pada abad pertama hijriah, kemudian muncul pula aliran-aliran lain seperti Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah dan lain-lain pada abad selanjutnya.6 Golongan ahl al-sunnah lahir pada akhir abad ke tiga hijriah, yang dipromotori oleh dua orang ulama, yaitu Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidy. Perkataan ahl al-sunnah wa al-jama’ah juga disebut ahl al-sunnah saja atau kadang-kadang disebut dengan Asya’irah, yaitu dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asy’ari. Sebagaimana disebut dalam kitab ittihaf sadat al-muttaqin karangan Muhammad bin Muhammad al-Husni al-Zabid.7 Sebelum Abu Hasan al-Asy’ari mempelopori mazhab ahl al-sunnah, awalnya ia adalah penganut mazhab Muktazilah selama lebih kurang 40 tahun. Oleh karena beberapa paham yang menurutnya tidak sesuai, akhirnya Abu Hasan meninggalkan paham tersebut. Di antara ketidaksetujuannya terhadap paham Muktazilah antara lain, paradigma dan metodologi Muktazilah yang sangat didominasi oleh kemampuan akal (nalar) dan sedikit sekali memberi ruang kepada wahyu. Puncak ketidakpuasan tersebut adalah terjadinya perdebatan antara Abu Hasan dan gurunya, al-Jubba’i tentang kedudukan mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat. Akhir dari perdebatan tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari meninggalkan pemahaman Muktazilah yang selama ini dianutnya sebagai ketidakpuasan atas jawaban gurunya dalam perdebatan tersebut. Akhirnya Abu Hasan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan pemahaman umat Islam kepada pemahaman sahabat dan tabiin. Hal ini karena banyak umat Islam pada waktu itu yang telah dipengaruhi oleh paham Muktazilah. Dan juga berusaha untuk meluruskan dan menjelaskan kekeliruan-kekeliruan pemahaman Muktazilah yang selama ini dianut. Selain Abu Hasan al-Asy’ari, Abu Mansur al-Maturidi juga dikenal sebagai pelopor ahl al-sunnah. Dan juga berusaha untuk meluruskan pemahaman umat _____________

5 Ahmad Husain Ya’qub, Keadilan Sahabat..., 12. 6 Daud Zamzami, dkk., Pemikiran Ulama Dayah Aceh, (Jakarta: Prenada Media Group,

2007), 71. Selanjutnya disebut Daud Zamzami, Pemikiran Ulama. 7 Daud Zamzami, Pemikiran Ulama …, 72.

Page 107: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 105

Islam pada waktu itu yang telah dipengaruhi oleh Muktazilah. Pendapat-pendapatnya hampir sama dengan Abu Hasan, walaupun ada perbedaan dalam beberapa hal. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud. Lahir di sebuah desa bernama Maturid di Samarkand dan meninggal tahun 333 hijriah di kota Samarkand. Selain kedua ulama tersebut, ada juga beberapa ulama lain yang terkenal sebagai tokoh ahl al-sunnah wa al-jama’ah, di antaranya Abu Bakar al-Qaffal, Abu Ishaq al-Asfarani, al-Hafiz al-Baihaqi, al-Haramain al-Juwaini, al-Qasim al-Qusyairi, al-Baqillani, al-Ghazali dan beberapa ulama lainnya. Munculnya Syiah Pasca wafatnya Nabi Muhammad pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah bertepatan dengan 3 Juni 632 Masehi,8 umat Islam dihadapkan kepada masalah pemilihan pemimpin sebagai pengganti Nabi yang akan meneruskan estafet kepemimpinan umat. Di tengah berbagai perdebatan dan tarik ulur antar berbagai elemen umat Islam yang ada di kota Madinah pada waktu itu, terpilihlah Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pertama yang memimpin umat Islam pasca wafatnya Nabi. Meskipun telah terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama, namun di sisi lain menyisakan segudang perdebatan tentang persoalan tersebut. Perdebatan tersebut berlangsung dari dulu sampai sekarang tentang keabsahan Abu Bakar sebagai pemimpin umat pada waktu itu. Masing-masing pihak yang berdebat mempunyai argumentasi dan menganggap argumentasi merekalah yang paling tepat. Setelah Abu Bakar berhasil memimpin umat Islam dalam beberapa tahun dengan tantangan yang dihadapi, akhirnya kepemimpinan umat Islam digantikan oleh khalifah Umar bin al-Khattab. Khalifah Umar juga berhasil memimpin umat Islam pada masa-masa awal dengan gemilang dan telah menorehkan sejumlah prestasi yang tercatat dalam tinta emas sejarah umat Islam. Di antaranya terjadi perluasan wilayah kekuasaan Islam hingga ke berbagai penjuru hingga keluar dari jazirah Arab, penataan administrasi pemerintahan yang baik, dan penanganan persoalan sosial kemasyarakatan dengan arif dan bijaksana. Beliau juga dikenal sebagai khalifah yang sangat adil dan tegas dalam mengambil keputusan. Khalifah Umar juga dikenal dengan seorang yang sangat berani. Tetapi di balik ketegasan dan keberanian, Umar adalah seorang yang sangat tawaddhu’ dan berhati mulia terhadap rakyatnya. Pasca wafatnya Umar bin Khattab, umat Islam dipimpin oleh khalifah Utsman bin Affan. Khalifah ini dikenal dengan khalifah yang sangat lembut dan berakhlak mulia. Akibat dari sikap yang lemah lembut, pada masa pemerintahan Utsman banyak terjadi gejolak-gejolak politik. Ujung dari berbagai gejolak tersebut, terbunuhnya sang khalifah akibat berbagai intrik politik dan fitnah yang terjadi pada masa itu.9 Setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah sebagi pemimpin umat Islam. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib mulai muncul berbagi persoalan yang mengarah kepada perpecahan dalam kubu umat Islam. Di antara peristiwa besar yang terjadi adalah peperangan yang terjadi antara pihak _____________

8 Misri A. Muchsin, Dinamika Sejarah Politik Islam Dalam Periode Awal, (Banda Aceh: ar-Raniry Press, 2007), 48. Selanjutnya disebut Misri A. Muchsin, Dinamika Sejarah.

9 Misri A. Muchsin, Dinamika Sejarah…,69.

Page 108: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD AMIN: KEADILAN SAHABAT NABI … 106

Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pihak khalifah Ali bin Abi Thalib. Peperangan ini dipicu dari upaya Muawiyah untuk menuntut keadilan kepada khalifah Ali tentang terbunuhnya khalifah Utsman yang notabenenya adalah sepupu dari Muawiyah. Peperangan ini dikenal dengan perang siffin. Perang ini berakhir dengan proses perundingan atau yang lebih dikenal dengan arbitrase yang berlangsung pada bulan Ramadhan tahun 34 hijriah.10 Hasil dari arbitrase tersebut adalah terpilihnya Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah umat Islam pengganti Ali bin Abi Thalib. Hasil inilah yang menjadi kontroversi pada umat Islam pada waktu itu. Pasca kejadian itu umat terbagi dalam beberapa kelompok, ada yang setia menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib atau yang lebih dikenal dengan Syiah. Ada yang hanya diam saja menerima keputusan perundingan tersebut, dan ada yang menolak hasil perundingan itu bahkan mereka memfatwakan kafir terhadap Ali dan Mu’awiyah, sehingga keduanya harus dibunuh. Golongan ini dalam sejarah dikenal dengan golongan Khawarij. Sejak saat itu, umat Islam mulai terpecah ke dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok tersebut berusaha sekuat tenaga untuk merebut pengaruh dari masyarakat untuk mengikuti golongan mereka. Mereka juga melakukan berbagai upaya dan argumentasi demi mempertahankan apa yang diyakini sebagi sebuah kebenaran. Hal ini juga berimplikasi terhadap pemahaman dan penalaran terhadap sumber-sumber hukum utama dalam Islam. Hadits yang menjadi sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an, sangat banyak terjadi pertentangan dan perdebatan antar kelompok tersebut. Salah satunya adalah perdebatan mengenai keadilan sahabat yang merawikan hadits. Dalam perkembangan selanjutnya, Syiah berkembang menjadi beberapa kelompok di antaranya Syiah Zaidiyah, Syiah Imamiyah dan Syiah Ismailiyah. Masing-masing kelompok mempunyai beberapa pemahaman dan doktrin yang berbeda. Meskipun pada dasarnya semua kelompok mengklaim dirinya sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib. KEADILAN SAHABAT DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYIAH Keadilan Sahabat dalam Pandangan Sunni Untuk menjelaskan pandangan Sunni tentang keadilan sahabat Nabi, penulis memaparkan beberapa pandangan tokoh yang beraliran ahl al-sunnah wa al-jamaah tentang hal ini. Di antara tokoh pakar hadits dalam aliran Sunni adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, yang berpendapat bahwa seluruh sahabat Nabi adalah adil. Hal ini berarti seluruh sahabat Nabi dianggap tidak pernah melakukan dosa-dosa besar dan jarang melakukan dosa-dosa kecil. Pendapat Ibnu Hajar tentu saja didasari oleh alasan dan argumentasi tersendiri, dengan tidak memasukkan semua orang yang hidup semasa dengan Nabi disebut dengan sahabat. Akan tetapi Ibnu Hajar membuat katagori tertentu dalam menentukan siapa sebenarnya yang layak disebut dengan sahabat. Katagori tersebut telah dijelaskan pada bagian awal pada pengertian sahabat. Selain itu al-Ghazali mengatakan bahwa ulama salaf dan jumhur ulama khalaf menerima bahwa sahabat itu adil, sebab Allah sendiri memuji mereka di dalam al-Qur’an. Kecuali mereka yang diketahui jelas kefasikannya, maka mereka _____________

10 A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Muktar Yahya (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2007), 261.

Page 109: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 107

tidak masuk dalam katagori ini.11 Di samping dua tokoh tersebut, mayoritas ulama ahl al-sunnah juga berpendapat bahwa semua sahabat Nabi adalah adil. Mereka menggunakan dalil dari al-Qur’an maupun dari hadits. Di antara dalil-dalil yang yang bersumber dari al-Qur’an adalah:

a. QS. al-Imran: 110, yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.

b. QS. al-Baqarah: 143, yang artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat

yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

c. QS. al-Fath: 18, yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika

mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.

d. QS. al-Taubah: 101, yang artinya: “Di antara orang-orang Arab Badawi yang di sekelilingmu itu, ada orang-

orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar”.

e. QS. al-Anfal: 64, yang artinya: “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-

orang mukmin yang mengikutimu”. f. QS. al-Hasyr: 8-10, yang artinya:

“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ”Ya Rabb _____________

11 Blog artikel, Ressay, ditulis tanggal 17 Oktober 2011, (lihat: http://pangkalandataab. blogspot.com/2011/10/pengantar-studi-komparatif-hadis-Sunni.html).

Page 110: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD AMIN: KEADILAN SAHABAT NABI … 108

kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

g. QS. Al-Nisa’: 94, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan

Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ”salam” kepadamu: ”Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Selain ayat-ayat al-Qur’an, kalangan Sunni juga menjadikan beberapa hadits sebagai dalil atas argumentasi mereka tentang sahabat. Dalil-dalil tersebut di antaranya:

a. Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir dalam kitab Shahih Muslim, yang artinya: “Saya diberi tahu oleh Ummu Mubsyir bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda kepada Hafshah, “Insya Allah tidak akan masuk neraka orang-orang (para sahabat) yang berbai’at di bawah pohon (bai’at ridhwan).”

b. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, hadits ini juga dishahihkan oleh al-AlBani. Dari Abdullah bin Umar ia berkata: “Janganlah kamu mencaci sahabat Muhammad, karena kedudukan satu jam saja dari mereka lebih baik dari amal selama hidup kalian”. Ada juga riwayat yang menyatakan: “lebih baik dari ibadah kalian selama empat puluh tahun.” Selain itu banyak hadits-hadits lain yang dijadikan oleh golongan Sunni

untuk memperkuat argumentasi mereka.

Keadilan Sahabat dalam Pandang Syiah Syiah berbeda pendapat dengan jumhur ulama dari kalangan ahl al-sunnah dalam persoalan keadilan sahabat. Mereka menganggap definisi yang dikemukakan oleh ahl al-sunnah bahwa setiap orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah, beriman kepadanya atau menampakkan keimanannya, meninggal dalam keadaan beriman adalah sahabat, dan semua mereka adil tanpa kecuali, tidak bisa diterima. Mereka menganggap pendapat tersebut bertentangan dengan nas-nas, baik yang terdapat dalam al-Qur’an ataupun yang terdapat dalam hadits. Di samping itu juga bertentangan denga tujuan hidup dan logika serta ruh dari ajaran Islam secara umum. Syiah berpendapat bahwa keadilan dan orang yang adil adalah siapa saja yang dianggap adil menurut Allah dan Rasul-Nya. Hakikat syariat yang objektif sebenarnya mengatakan bahwa setiap muslim berada dalam kesesatan. Syariat Islam yang hanif telah menjelaskan sarana-sarana dan cara untuk mengungkap hakikat kehidupan dan membimbing gerak gerik manusia, yang dengan bekal akalnya, dapat membantu mengungkap rahasia ajaran Islam dan mewujudkan cita-citanya.12 Jika yang paling utama dari manusia, Nabi Muhammad juga seorang manusia biasa yang dapat berbuat benar atau salah, maka amatlah mungkin jika

_____________ 12 Ahmad Husain Ya’cub, Keadilan Sahabat…, 70.

Page 111: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 109

seorang bocah kecil yang sempat bertemu dengan Nabi juga dapat berbuat salah atau berdusta. Hukum syariat mana yang dapat mencegah akal manusia untuk mengungkap hakikat kemungkinan seseorang berbuat keliru? Ada sahabat yang membunuh yang lain, ada yang mencuri, berbohong, berzina, berpindah keyakinan setelah Nabi wafat, lalu bagaimana dapat mengungkap sebuah kebenaran? Bagaimana kebenaran dapat ditegakkan? Bagaimana umat Islam dapat mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu sehingga menjauhi kesalahan dan mengikuti jalan kebenaran?13 Dari uraian ini, mereka berpendapat bahwa hanya sahabat-sahabat yang jujur dan adil yang bisa diikuti jalannya. Mereka selalu berdoa untuk sahabat-sahabat seperti itu. Adapun sahabat-sahabat lain, ukuran keadilannya terletak pada sejauhmana pemahaman agama dan perilakunya dalam mempraktikkan syariat. Mereka berpendapat bahwa pendapat ahl al-sunnah yang mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil telah dipengaruhi oleh kepentingan politik dan yang terakhir telah terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah. Kaum Syiah menerangkan bahwa untuk mengetahui keadilan sahabat ada beberapa cara, yaitu:14 Pertama, adanya undang-undang tentang kebenaran yang dapat mem-bingkai segala perbuatan dan niat. Sesungguhnya kebenaran pasti itu ada, yaitu Islam (al-Qur’an dan sunnah). Aturan ini terkumpul dan membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang tak mungkin dimasuki kebatilan baik dari depan maupun dari belakang. Ia merupakan agama Allah yang dianugerahkan kepada hamba-Nya. Kedua, adanya seorang imam yang sah menurut syariat yang dapat menampung segala pendapat dan mampu meredam perselisihan dan menghasilkan suatu keputusan hukum. Ia adalah pembimbing, pemberi kekuatan dan petunjuk arah bagi umat manusia menuju pada kebenaran. Dia adalah seorang wali Allah. Nabi adalah wali yang menunjuk Ali sebagai wali penggantinya. Beliau pernah bersabda: “Sesungguhnya ia (Ali) adalah seorang wali setelah Aku wafat, ia adalah wali bagi setiap mukimn dan mukminah setelah Aku wafat”. Ketiga, sikap objektif dan komprehensif. Dalam menganalisis suatu peristiwa hendaknya selalu didasari dengan sikap komprehensif dan objektif, karena tujuan seorang muslim yang sesungguhnya adalah sama, seperti tujuan yang dikehendaki Allah. Keempat, adanya akal yang bertugas menguasai aturan atau undang-undang beserta proses penerapannya dalam beberapa peristiwa. Setelah itu, menjelaskan hasil proses penelitiannya kepada seorang wali atau pemimpin. Lebih lanjut kaum Syiah mengatakan bahwa yang layak disebut sahabat adalah orang-orang yang berjuang bersama Ali dan mengakui kewaliannya. Adapun orang-orang yang menentang Ali, seperti Zubair dan Thalhah tetapi kemudian mereka menyesali perbuatannya, maka mereka hanya pantas disebut Islam saja. Sedangkan Muawiyah termasuk orang yang paling dibenci oleh Syiah. Mereka mengatakan Muawiyah adalah seorang tawanan dan juga putra dari tawanan. Ia memimpin pasukan yang berusaha untuk membunuh Nabi pada masa jahiliyah. Sementara ibunya adalah Hindun yang membunuh bahkan memakan

_____________ 13 Ahmad Husain Ya’cub, Keadilan Sahabat,… 71. 14 Ahmad Husain Ya’cub, Keadilan Sahabat,… 75 .

Page 112: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

hati paman Nabi yaitu Hamzah ketika perang Uhud. Sehingga dia masuk ke dalam Islam juga dalam keadaan terpaksa karena kalah dalam berperang. Syiah mengatakan sedikitnya ada beberapa alasan yang mendorong kaum Sunni menciptakan stigma bahwa seluruh sahabat itu adil, di antaranya adalah: a. Sebagai pembenar bagi kelicikan. 1). Pembenaran sikap mereka yang merampas kekuasaan. Muawiyah dianggap sebagai aktor intelektual di balik stigma tersebut. Hal ini bertujuan dengan adanya stigma tersebut, Muawiyah termasuk dari salah satu sahabat. Dan apabila seluruh sahabat itu adil, maka hal ini akan sangat memuluskan usahanya dalam mengelabuhi umat Islam demi meraih kedudukan sebagai khalifah. 2). Sebagai pembenaran sikap Muawiyah dan para pengikutnya.

Muawiyah dan pengikutnya dianggap telah melakukan berbagai pembunuhan yang sangat biadab. Baik itu dilakukan kepada keluarga Nabi, juga dilakukan kepada para sahabat yang sempat ikut dalam perang Badar. Untuk menutupi itu semua diciptakanlah stigma itu, sehingga umat Islam terlena dan tidak pernah menyalahkan mereka. b. Sebagai tameng untuk melawan kritikan, hinaan dan hardikan. Dengan adanya stigma ini, setiap orang yang mengkritik Muawiyah dan pengikutnya akan sangat kewalahan. Mereka akan berpikir keras dan pusing tujuh keliling untuk mengkritik seorang sahabat yang notabenenya adil, tetapi melakukan suatu perbuatan yang sangat memilukan dalam sejarah umat Islam. c. Sebagai perbandingan bagi musuh-musuh Muawiyah dan para pengikutnya. Stigma adilnya seluruh sahabat menjadi alat untuk membandingkan antara diri Muawiyah dengan orang-orang yang mengaku sebagai keluarga Nabi. Kalau ada diantara keluarga Muhammad yang menyatakan bahwa mereka telah di-sucikan oleh Allah sesuci-sucinya, maka mereka mengatakan bahwa mereka adalah sahabat Nabi yang adil, tidak pernah berdusta dan melakukan kesalahan. d. Sebagai pemecah belah kaum muslimin. Stigma ini akan mendorong terjadinya pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sehingga perselisihanpun akan terjadi dan menyebabkan umat Islam terpecah dalam berbagai kelompok. Masing-masing kelompok tersebut berusaha untuk mempertahankan pendapatnya dan berusaha untuk mencari pendukung sebanyak-banyaknya. Di antara sahabat yang paling keras mendapat kritikan dari kaum Syiah adalah: a. Umar bin Khattab Umar dianggap orang yang paling berperan dalam proses penyelewengan wasiat Nabi tentang kepemimpinan Ali bin Thalib untuk menduduk jabatan khalifah. b. Muawiyah bin Abi Sufyan Muawiyah dianggap orang yang paling berperan dalam menggulingkan Ali dari jabatan khalifah. Ia juga dianggap orang yang paling berjasa dalam mengubah alur pikir dan cerita sejarah Islam, sehingga menyebabkan terjadinya berbagai perselisihan di kalangan umat Islam. c. Marwan bin Hakam Marwan dianggap orang yang paling berjasa dalam menyusun strategi untuk mengadu domba umat Islam, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan.

MUHAMMAD AMIN: KEADILAN SAHABAT NABI … 110

Page 113: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

d. Abu Hurairah. Abu Hurairah dianggap sebagai orang yang paling banyak meriwayatkan hadits palsu. Bahkan ia dikenal sebagai orang yang menjalankan perintah Muawiyah untuk meriwayatkan hadits-hadits palsu untuk melanggengkan kekuasaan Muawiyah dan pengikutnya. Uraian di atas menggambarkan betapa kaum Syiah sangat keberatan dan menolak tentang stigma bahwa seluruh sahabat itu adil, dengan berbagai argumentasi yang mereka bangun dilengkapi dengan berbagai referensi sejarah, mereka tidak memasukkan semua sahabat dalam katagori adil. Menurut mereka sahabat adalah orang-orang biasa yang hidup pada masa Nabi yang sangat mungkin untuk melakukan berbagai kesalahan. Sehingga mereka harus di “cek” dan “ricek” kembali sejarah dan auto biografinya, sehingga orang yang benar-benar mencukupi syarat dan mumpuni baru dianggap adil, merekalah yang wajar untuk diterima periwayatan hadits-haditsnya. KESIMPULAN Perbincangan dan diskusi tentang keadilan sahabat antara dua aliran besar dalam Islam ini hampir tiada akhir. Sejarah panjang telah mencatat berbagai perdebatan antara kedua aliran tersebut, baik yang menyangkut dengan persoalan-persoalan kecil sampai kepada persoalan yang sangat prinsipil dalam Islam. Masing-masing pihak bersikukuh bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan berusaha menyebarkan kebenarannya untuk meraih pengikut dan pendukung sebanyak-banyaknya. Persoalan keadilan sahabat termasuk salah satu hal yang sangat prinsipil dalam studi ilmu keislaman khusunya ilmu hadits. Ia akan berimplikasi kepada diterima atau ditolaknya sebuah hadits yang notabenenya sebagai sumber hukum Islam kedua tertinggi di dalam Islam. Dengan adanya perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah dalam masalah ini, tak pelak membawa kepada perbedaan-perbedaan dalam hal-hal yang lain dalam ruang lingkup yang lebih luas. Hal ini mengingat sumbernya saja sudah diperdebatkan, apalagi persoalan yang menjadi turunan dari sumber itu. Setidaknya tulisan singkat ini, memberi gambaran umum bagaimana dan apa yang melatar-belakangi kedua golongan tersebut berbeda dalam memandang keadilan para sahabat Nabi. Selanjutnya muncul keinginan para pembaca untuk menelaah kembali keautentikan masing-masing referensi yang digunakan.

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012 111

Page 114: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

MUHAMMAD AMIN: KEADILAN SAHABAT NABI … 112

DAFTAR PUSTAKA A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Muktar Yahya, Jakarta: Pustaka al-

Husna Baru, 2007. http://pangkalandataab.blogspot.com/2011/10/pengantar-studi-komparatif-

hadis-Sunni. html) Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadits di Mesir, terj. Ilyas Hasan, Bandung:

Penerbt Mizan, 1999. Muchsin, Misri A., Dinamika Sejarah Politik Islam Dalam Periode awal, Banda

Aceh: ar-Raniry Press, 2007. Munawir, Ahmad Warson, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Jakarta:

Pustaka Progresif, 1984. Ya’qub, Ahmad Husain, Keadilan Sahabat: Sketsa Politik Awal Islam, terj:

Nashirul Haq dan Salman al-Farisi, Jakarta: Penerbit al-Huda, 2006. Zamzami, Daud, dkk, Pemikiran ulama Dayah Aceh, Jakarta: Prenada Media

Group, 2007.

Page 115: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

PEDOMAN PENULISAN

1. Artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia, Arab atau Inggeris, dengan

mengikuti kaidah kebahasaan yang baku dan berlaku dalam dunia ilmiah.

2. Artikel diketik 1,5 spasi pada kertas ukuran A4 dan dikirim dalam bentuk cetak (print out) sebanyak 1 eksemplar beserta CD, atau dikirim melalui email ke alamat: [email protected] atau [email protected]. Panjang tulisan 12-20 halaman. Tulisan diserahkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum jurnal diterbitkan setiap edisinya.

3. Artikel konsepsional meliputi judul, nama penulis, Abstrak yang berkisar 100 – 150 kata, kata kunci, pendahuluan, isi atau pembahasan, penutup, catatan kaki dan daftar rujukan.

4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris, kecuali untuk tulisan yang berbahasa Inggris dan Arab, abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia.

5. Artikel merupakan tulisan konsepsional atau hasil penelitian berkaitan dengan al-Qur’an atau hadits dalam berbagai perspektif.

6. Nama penulis artikel (tanpa gelar akademik, jabatan atau kepangkatan) dicantumkan disertai alamat korespondensi, alamat e-mail, dan/atau nomor telepon kantor, rumah atau telepon seluler.

7. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama dan indentitas peneliti, abstrak (100-150 kata), kata kunci, pendahuluan (masalah, tujuan dan manfaat penelitian), metode penelitian, hasil penelitian, pembahasan, kesimpulan dan saran, catatan akhir, dan daftar rujukan.

8. Kutipan ayat al-Qur'an harus menuliskan ayat dan terjemahnya serta mencantumkan nama surat dan nomor ayat.

9. Kutipan Hadits ditulis secara lengkap teks dan terjemahnya serta sumbernya.

10. Artikel yang memenuhi syarat diseleksi dan diedit penyunting untuk penyeragaman format dan gaya penulisan tanpa mengubah isinya.

11. Penulisan catatan kaki/footnote dan daftar rujukan berbeda. Perbedaannya dapat diketahui pada contoh berikut:

a. Catatan kaki/footnote 1 Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: the Macmillan Press Ltd,

1970), 87 2 Mohammad Arkoun, Islam al-Akhlaq wa al-Siyasiyah (Beirut: Markaz al-

Inna al- Qawmi, 1990), 172-173 3 Crane Brinton, “Eglightement”, dalam Encyclopedia of Philosopy, vol. 2

(New York: Macmillan and the Free Press, 1967), 521 4 M. Syamsul Huda, “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam

www. Geocities. Com/HotSprings/6774/j-40

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, Januari 2012 113

Page 116: JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/06/Muashirah-Jan12.pdf · tashrif al-fi’li (perubahan bentuk kata kerja), baik itu . ﺮﻣأ

Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, Januari 2012 114

5 M. Amin Abdullah, “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas”,

dalam Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006)

b. Daftar Pustaka

Abdullah, M.Amin, “Dialektika Agama antara Profanitas dan Sakralitas”, dalam Moh.Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006

Arkoun, Mohammad. Islam al-Akhlaq wa Siyasah. Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, Macmillan and the Free Press, 1967.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: the Macmillan Press Ltd., 1970

Huda, M.Syamsul. “Rasionalisme Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam www.geocities.com/6774/j-40.