jurnal ilmiah issn 1693-7562 -...

Download JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562 - al-muashirah.comal-muashirah.com/wp-content/uploads/2014/08/0-pengurus-edited.pdf · Pedoman Penulisan, ... Ibadah ini dikenal serta diamalkan oleh

If you can't read please download the document

Upload: lythuy

Post on 06-Feb-2018

230 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

  • JURNAL ILMIAH ISSN 1693-7562

    TERBIT 2 KALI SETAHUN PADA BULAN JANUARI DAN JULI

    PENGURUS

    VOL. 11, NO. 1, JANUARI 2014

    Penanggung Jawab Samsul Bahri

    Ketua Penyunting

    Damanhuri Basyir

    Wakil Ketua Penyunting

    Muhammad Zaini

    Sekretaris Penyunting

    Zulihafnani

    Wakil Sekretaris Penyunting Nurlaila

    Anggota Penyunting

    Abd. Wahid Taslim H.M.Yasin

    Zainuddin Firdaus

    Fauzi Saleh Salman Abdul Muthalib

    Muqni Affan Syukri Zulfan

    Zuherni Safrilsyah

    Lukman Hakim

    Finansial Nuraini

    Sirkulasi Nurullah

    Muhammad Amin

    Diterbitkan Oleh: SEAR FIQH, Banda Aceh

    Alamat Redaksi: Kantor SEAR FIQH Jl. Tgk. Chik Pantekulu No. 13 Dusun Utara, Kopelma Darussalam,

    Kota Banda Aceh, 23111, telp. 08126950111 WEBSITE: ALMUASHIRAH.COM

    Email: [email protected], [email protected]

    Media Kajian Al-Quran dan Al-Hadits Multi Perspektif

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 (i)

    ISSN 1693-7562

    Vol. 11, Nomor 1, Januari 2014

    DAFTAR ISI

    Daftar Isi, i

    Burhanuddin A. Gani: Jumlah Rakaat Shalat Tarwih dalam Perspektif Sunnah Nabi Dan Implementasinya Pada Masa Kini / 1-19

    Hasbullah Bin Mohamad: Shaykh Dawud Bin Abdullah Al-Fatanis Dealing

    With The Authoritative Creedal Argumentation Of Revealed Sources With

    Special Reference To Ward Al-Zawahir / 20-30

    Siti Maimunah:

    " " : / 31-50

    Mira Fauziah: Beriman Kepada Qadha Dan Qadar Dalam Al-Qur'an / 51-64

    Abdullah Usman: Keadilan Penguasa Dalam Pandangan Al-Quran / 65-73

    Fajri Chairawati: Emansipasi Wanita menurut Perspektif Al-Quran Dan Hadits

    / 74-94

    Muzakir Sulaiman / Penakaran Sifat Boros Dalam Al-Qur`an / 95-103

    Pedoman Penulisan, 104

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 1

    JUMLAH RAKAAT SHALAT TARWI DALAM PERSPEKTIF SUNNAH NABI DAN IMPLEMENTASINYA PADA MASA KINI

    Burhanuddin A. Gani

    Fakultas Syari'ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry

    Kopelma Darussalam Kota Banda Aceh

    ABSTRACT

    The problems discussed in this paper is twofold, namely: How does the

    number of cycles of tarawih prayer practiced by Prophet Muhammad ?, how

    implications for community practice in the current context? To find answers to the

    problems mentioned above, the literature study done (library research). Literature

    review of studies conducted with books relating to the issues discussed. From this

    review of the literature, the data obtained to the desired depth and then analyzed

    using descriptive method of analysis, ie, analyzing and describing the findings

    obtained. From the results of research on a variety of sources related to this issue,

    found that the number of tarawih rakaats prayers have occurred scholars dissent.

    From the search results to the Hadiths which forms the basis of the number of

    tarawih rakaats prayers, respectively, we can conclude that the Hadith-Hadith

    Hadith used equally well grounded. The occurrence of differences of opinion,

    because differ in understanding and interpreting the Hadith-Hadith about tarawih

    prayers.

    Kata Kunci: Shalat Tarawih, Bulan Ramadhan, Qiyam al-Lail

    Pendahuluan

    Shalat tarwih adalah salah satu ibadah malam pada bulan ramadhan

    selain dari shalat witir, yang dilakukan setelah shalat isya berlangsung sampai

    dengan waktu shubuh tiba. Ibadah ini khusus berlaku dalam bulan Ramadhan.

    Ibadah ini dikenal serta diamalkan oleh umat Islam sejak Rasulullah saw hidup,

    Sahabat, tbi'n sampai dengan sekarang ini. Mereka melakukannya adakalanya

    secara berjama'ah maupun munfarid (sendirian), baik di rumah-rumah maupun di

    mesjid-mesjid. Shalat tarwih hukumnya adalah sunnat muakkad.1

    Banyak umat Islam yang mengamalkan ibadah ini dengan tekun karena

    pelakunya dapat menghapuskan dosa di masa-masa yang lampau, demikian

    maksud Hadth Nabi saw:

    : )

    2(Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ismail, dia berkata: telah menceritakan

    kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Hamid bin Abdul Rahman dari

    _____________ 1Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz I (Cet. IV; Beirut: Darul Fikri, 1983), 174. 2Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz I (Bandung: Dahlan, t.th), 305.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 2

    Abi Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa

    berpuasa di bulan Ramadhan dan mendirikannya (ibadah shalat malam,

    tarwih dan witir) dengan iman dan ikhlas, Allah akan mengampuni

    dosa-dosanya di masa-masa yang lampau.

    Dalam Hadth yang lain juga disebutkan:

    : )

    3 (Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bakir, telah menceritakan

    kepada kami Al-Laits, dari Aql dari Ibnu Syihhab, dia berkata telah

    memberitakan kepada kami Abu Salamah bahwasanya Abi Hurairah ra.

    berkata: saya mendengar Rasulullah saw. bersabda tentang ramadhan

    yaitu barangsiapa mendirikan qiyam al-lail di dalamnya dengan penuh

    keimanan dan keikhlasan, maka dia diampuni dosa-dosanya yang

    terdahulu.

    Harun Nasution mengatakan bahwa shalat tarwih ialah shalat sunat yang

    dilakukan di malam hari bulan ramadn, juga ibadah ini disebut dengan istilah

    Qiym ramadn. Shalat ini dinamakan dengan shalat tarwih adalah karena

    shalat yang jumlah raka'atnya cukup banyak ini dilakukan sedikit santai dan

    setiap habis salam terutama pada setiap empat raka'at beristirahat sejenak. Ini

    sesuai dengan pendapat asy-Syarqwi bahwa shalat itu dinamakan tarwih, karena

    beristirahat setiap dua kali salam.4

    Para ulama telah berbeda pendapat tentang jumlah raka'atnya antara dua

    puluh dan delapan raka'at bahkan ada yang mengatakan lebih dari ini. Pendapat

    yang sangat menonjol di kalangan umat Islam masa kini adalah antara dua puluh

    dan delapan raka'at. Kalau disimak apa yang pernah disampaikan para ulama

    dahulu, mereka tidak seragam dalam menetapkan dan mengamalkan jumlah

    raka'at shalat tarwih. Perbedaan pendapat seperti ini telah terulang lagi dengan

    tajam di pertengahan abad keduapuluh antara dua ulama besar di Indonesia ini,

    yaitu antara Sirajuddin Abbas dengan A. Hasan Bandung. Sirajuddin Abbas

    berpendapat bahwa shalat tarwih itu duapuluh raka'at. Kalau tidak dikerjakan

    duapuluh raka'at bukan tarwih namanya. Jika sekiranya duapuluh raka'at ini

    bukan amalan Nabi, di samping sudah pasti Umar bin al-Khattb tidak akan

    berani menyuruh jama'ah melakukan sebanyak itu, demikian juga jama'ah tidak

    akan mau mengikutinya karena tidak bersumber dari Nabi saw.5 Sementara

    A.Hasan berpendapat bahwa shalat tarwih yang resmi dikerjakan oleh Nabi

    adalah delapan raka'at. Jika dikerjakan lebih dari ini, berarti tidak resmi dan

    merupakan hak masing-masing pribadi jama'ah. Mengamalkan yang tidak resmi

    dari Nabi, seperti yang diamalkan di masa Umar bin al-Khattb, tidak menjadi

    pegangan bagi umat Islam, karena sahabat tidak mempunyai wewenang untuk

    mengadakan atau meresmikan sesuatu ibadah yang mesti dikerjakan oleh umat

    Islam.6

    _____________ 3Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I (Bandung: Dahlan, t.th), 762. 4Harun Nasution dkk.,Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992),

    941. 5Sirajuddin Abbas, Empat Puluh Masalah Agama, Jilid I (Cet. II; Jakarta:

    PustakaTarbiyah, 1972), 334. 6A. Hasan Bandung, Soal Jawab Agama Islam, Jilid II, 449-450.

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 3

    Polemik ini tidak hanya terhenti pada dua ulama ini saja akan tetapi telah

    terjadi secara besar-besaran di kalangan umat Islam baik di kota-kota maupun

    sampai ke desa-desa sejak dahulu sampai sekarang ini. Perbedaan pendapat ini

    membawa pengaruh besar bagi umat Islam sendiri, sehingga mereka pecah

    menjadi dua golongan besar, yaitu:

    1. Golongan yang melakukan shalat tarwih dua puluh raka'at dengan kaifiyat-nya dua raka'at sekali salam. Dan mereka mengatakan ini adalah amalan dari

    Rasulullah saw.

    2. Golongan yang melakukan shalat tarwih dengan jumlah raka'atnya delapan raka'at dengan kaifiyat-nya ada dua-dua raka'at sekali salam, ada empat-empat

    raka'at sekali salam. Mereka juga mengatakan bahwa ini adalah sunnah

    Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Siti 'Aisyah Ummul Mukminin.

    Kedua golongan ini saling menunding dan menyalahkan satu sama lain

    bahkan telah tergiring kepada hal-hal yang tidak diinginkan dalam agama, seperti

    saling mengkafirkan dan saling menyesatkan.

    Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, terutama di kalangan

    organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama,

    pelaksanaan shalat tarwih pada kedua organisasi tersebut secara nyata sangat

    berbeda. Dalam hal ketentuan bahwa shalat tarwih adalah ibadah yang khusus

    dikerjakan pada bulan Ramadan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat

    Tarwih bisa dikerjakan berjamaah, maupun dengan cara munfarid (sendiri),

    Shalat Tarwih hukumnya sunnah muakad, Muhammadiyah dan Nahdhatul

    Ulama memiliki kesamaan pandangan. Dengan kata lain, beberapa hal tersebut

    tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan

    NU maupun Muhammadiyah.

    Namun demikian, pada cara pelaksanaannya, terjadi ikhtilaf yang banyak

    antara Muhammadiyah dan Nahdhatul ulama. Di kalangan warga NU shalat

    tarwih biasa dikerjakan dengan 20 rakaat, 2 rakaat sekali salam dan diakhiri

    dengan 3 rakaat witir. Sementara di kalangan warga Muhammadiyah, tarwih

    biasa dilaksanakan 8 rakaat, dan diakhiri dengan 3 rakaat witir. Pada

    pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat tarwih pun terdapat ikhtilf.

    Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat witir tiga rakaat sekali salam, dan

    tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan NU

    melakukan shalat witir 3 rakaat dengan dua rakaat salam, dan satu rakaat salam,

    juga qunut witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Apa yang sudah

    dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut sebenarnya berbeda dengan

    apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai

    jumlah rakaat shalat tarwih. Dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah diterangkan

    bahwa jumlah rakakat shalat tarwih plus witir tidak harus 11 rakaat (sudah

    termasuk witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah rakaatnya ganjil.

    Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih Muhammadiyah memberikan beberapa

    pilihan, tidak hanya 3 rakaat saja

    Berbeda dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga memiliki ciri khas

    tersendiri dalam mengerjakan shalat tarwih dan witir, khususnya yang dikerjakan

    berjamaah. Ciri khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga NU, yakni ada

    pada suratan yang dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya dimulai dari surat

    at-Takastur sampai al-Lahab untuk shalat tarwih.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 4

    Untuk melihat persoalan ini secara utuh, maka dibutuhkan kajian

    komprehensif tentang persoalan tersebut di atas dengan tentu saja membahasnya

    dengan tidak hanya menekankan pada kajian di seputar perbedaan pendapat ulama

    akan tetapi lebih jauh melakukan kajian secara mendalam tentang bagaimana

    konstruksi shalat tarwih pada masa Rasulullah dan praktek pada masa sahabat

    dan selanjutnya mengaitkannya dengan praktek shalat tarwih dalam konteks

    kekinian.

    Kaifiyat Shalat Tarwi Nabi Muhammad saw. Setiap ibadah shalat yang dilakukan Rasulullah saw tentunya mempunyai

    tata cara tersendiri, baik ibadah shalat wajib maupun shalat sunnat. Kaifiyat yang

    dimaksudkan di sini adalah mencakup seluruh perbuatan shalat sejak dari

    takbiratul-ihram sampai dengan raka'at dan salam. Demikian juga halnya dengan

    shalat malam Nabi Muhammad yang dilakukan pada bulan ramadhan. Sepanjang

    yang ditela'ah dari kitab-kitab adth telah ditemui dua versi konstruksi Shalat Tarwi Nabi saw: a. Dua-dua raka'at sekali salam

    Ada beberapa adth yang menjelaskan versi konstruksi shalat tarwi Nabi, yaitu:

    a. adth dari Ibnu Umar:

    7 :

    Artinya: Dari Ibnu Umar ia mengatakan adalah Rasulullah saw melaksanakan

    shalat malam dua-dua raka'at [dua-dua rakaat sekali salam]. (HR. Ibnu

    Majah).

    Dalam sanad yang lain terdapat redaksi yang berbeda:

    8 ) ( . :

    Artinya: Dari Ibnu Umar, ia mengatakan adalah Rasuiullah saw bersabda: shalat

    malam itu dua-dua raka'at (dua-dua rakaat sekali salam). HR. Ibnu

    Majah).

    Dalam suatu dialog antara Ibnu Umar dengan seorang abah tentang shalat malam Rasulullah saw Ibnu Umar memberikan komentar bahwa shalat

    malam Rasulullah saw., dua-dua raka'at dan bila khawatir tiba waktu shubuh lalu

    beliau melaksanakan shalat witir satu raka'at sebagaimana tersebut dalam matan

    adth :

    : )

    9 ( . .

    Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah

    saw tentang shalat malam, lalu Rasulullah menjawab bahwa shalat

    malam itu dua-dua raka'at (sekali salam). Apabila salah seorang kamu

    khawatir sampai waktu shalat subuh, maka shalatlah satu rakaat

    _____________ 7Ibnu Majah, Sunan Bnu Majah, Juz I (Dar Al-Ihya AlBaby Al-Halaby, t.th), 546. 8Ibid. 9Ibid.

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 5

    sebagai shalat witir (penutup terhadap shalat sebelumnya. (HR. Ibnu

    Majah).

    adth yang semakna dengan ini dapat dijumpai dalam Shahih Muslim, juga dari Ibnu Umar:

    10 ( .

    Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah

    tentang shalat malam, lalu Rasul menjawab bahwa shalat malam

    dilakukan dua-dua raka'at (sekali salam). Apabila salah seorang kamu

    takut tiba waktu shubuh maka hendaklah ia melaksanakan shalat witir

    satu raka'at sebagai penutup pelaksanaan shalat sebelumnya. (HR.

    Muslim).

    adth Qauli ini menerangkan tentang kaifiyat shalat malam dua-dua raka'at sekali salam dan apabila salah seorang di antara kamu masuk waktu

    shubuh shalatlah satu raka'at sebagai shalat witir.

    Sementara itu, adth yang disampaikan melalui sanad Qutaibah sebagaimana tersebut di bawah ini:

    :

    11 Artinya: Qutaibah telah memceritakan kepada kami, al-Layts telah me-

    nyampaikan kepada kami dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi saw,

    beliau bersabda: Shalat malam dua-dua raka'at. Apabila ia khawatir tiba

    waktu shubuh lalu ia berwitirsatu raka'at dan kerjakan witir satu rak'at

    dan kerjakanlah witir pada akhir shalatmu (HR. Turmuzi).

    adth-adth tersebut di atas dapat dibagi dua bahagian yaitu adth yang bersifat qaul dan adth-adth yang bersifat fi'l. Kedua-duanya menerangkan bahwa kaifiyat shalat malam Rasulullah saw adalah dua-dua raka'at

    sekali salam dan akhir shalatnya terdapat shalat witir satu rak'at.

    b. Empat-empat raka'at sekali salam

    Pelaksanaan empat raka'at sekali salam hanya merujuk kepada adth Nabi saw yang disampaikan oleh Sitti 'Aisyah ra.:

    :

    .

    12(. )

    Artinya: Dari Abu Salamah ibn Abdir-Rahman bertanya kepada 'Aisyah

    r.a.bagaimana shalat Rasulullah saw dalam bulan Ramadhan ? 'Aisyah

    menjawab bahwa Rasulullah saw tidak pernah melebihkan di bulan

    _____________ 10Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I (Bandung: Dahlan), 301. 11Imam Al-Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi, Juz I (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), 273. 12Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz II (Dar Asy-Syabi, t.th), 67.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 6

    Ramadhan dan di luar Ramadhan dengan sebelas raka'at. Pertama-tama

    beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanyakan tentang indah

    dan panjangnya shalat Nabi, kemudian beliau lanjutkan dengan empat

    raka'at lagi.Maka 'Aisyah jangan kamu tanyakan tentang indah dan

    panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga raka'at. Lalu Sitti

    'Aisyah mengatakan : Wahai Rasulullah! Apakah kamu tidur sebelum

    kamu berwitir ? Rasulullah menjawab : Wahai'Aisyah! Sesungguhnya

    dua mataku ingin tidur sedangkan hatiku tidak.(HR.Al-Bukhari).

    'Aisyah ra. telah menuturkan tentang perbuatan diri Rasulullah mengenai

    shalat malam yang dilakukan ketika berada di rumahnya. Ia menuturkan kembali

    kepada seseorang penanya, ini dapat dikatakan adth yang bersifat fi'li. 'Aisyah adalah salah seorang di antara isteri Nabi yang tahu persis sesuatu perbuatan yang

    pernah dilakukan oleh Rasulullah saw baik melalui penglihatan di dalam rumah

    maupun kadangkadangdi luar rumah (kalau diikut-sertakan Rasul).

    adth ini sebagai dalil bahwa kaifiyat Rasulullah shalat malam adalah empat raka'at sekali salam dan witir tiga raka'at. Dan perlu diingat bahwa

    pelaksanaan ini hanya dilakukan sendirian di rumah, sedangkan 'Aisyah ra. sendiri

    tidak ikut berbuat seperti amalan Rasulullah saw.

    Tujuh maupun lima raka'at atau lebih sekali salam shalat Nabi tidak

    dibicarakan disini, karena kafiiyatnya seperti ini hanya berlaku untuk shalat witir.

    Bacaan Nabi saw, dalam shalat (tsani) pada malam itu tidak jelas, surat apa yang

    dibacakannya, berapa jumlah ayat yang dibaca, baik pada raka'at pertama sampai

    raka'at terakhir, tetapi secara umum dapat diketahui bahwa shalat Nabi sangat

    lama dan bagus.

    Bacaan dalam shalat ini Nabi saw, tidak memberikan suatu petunjuk yang

    jelas, tetapi beliau hanya membaca ayat Al-Qurn sangat panjang dan indah

    shalatnya, demikian berita yang disampaikan oleh Siti'Aisyah.

    Dalam hal ini ulama salaf pernah mengupas secara lebar bahwa shalat

    tarwi dengan tsaninya (bacaan) pada shalat delapan raka'at membaca satu surat al-Baqarah, apabila seorang imam melanjutkan dua belas raka'at lagi, jama'ah

    melihat imam menyederhanakan shalatnya demikian kata Imam Malik. Dalam

    riwayat yang lain dijelaskan pula bahwa Imam membaca sampai 200 ayat,

    sehingga para makmum terpaksa memegang tongkat karena lamanya berdiri kami

    tidak akan meninggalkan jama'ah hingga waktu fajar.13 Umar bin al-Khab mengajak kepada imam membacakan ayat dalam shalat tarwi dengan tiga macam bacaan, yaitu:

    1. Beliau perintahkan dengan membaca 30 ayat dalam bacaan cepat 2. Membacakan dua puluh lima ayat (bacaan sederhana) 3. Membacakan dua puluh ayat (bacaan lambat)14

    Badruddin Abi Muhammad bin Ahmad Al-'Ainy telah menyetir pendapat

    orang lain dalam kitabnya'Umdah Al-Qari, al-Bukhary, bahwa bacaan dalam

    shalat tarwi lama seperti shalat maghrib.15

    _____________ 13An-Nawawi, Al-MajmuSyarah Al-Muhazzab, Juz III (Mesir: Al-Imam), 526. Lihat

    juga Said Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 175. 14An-Nawawi, Ibid., 527. 15Imam Badruddin Abi Muhammad bin Ahmad Al-Aini, Umdah Al-Qari; Syarah

    Shahih Al-Bukhari, Juz VI (Dar Al-Fikr, t.th), 178.

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 7

    adth-adth tentang Bilangan Rakaat Shalat Tarwi adth-adth yang membicarakan tentang bilangan rakaat shalat

    Tarwi, di sini dibatasi dalam al-Kutub al-Sittah ada yang dihimpun di bagian judulnya adalah kitab dan ada yang dihimpun di bagian judulnya adalah bab.

    Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab pertama, pengkajian adth tersebut harusnya berdasarkan pada matan tanpa mengkaji sanadnya dengan

    tujuan untuk melihast berapa banyak adth yang membicarakan tentang raka'at shalat tarwi dan bagaimana konstruk shalat tarwi Nabi Muhammad saw dalam hal jumlah rakaatnya.

    Secara umum adth-adth tersebut termaktub pada kitab dan bab dalam kutub al-Sittah. Di antara adth-adth tentang bilangan raka'at shalat tarwi yang dimuat dalam kutub al-sittah antara lain adalah:

    1. adth-adth tentang shalat tarwi delapan rakaat a. adth dari Abi Salamah bin Abdurrahman dalam riwayat Shahih al-Bukhary

    adalah sebagai berikut:

    : .1

    . ) .

    16 (

    Artinya: Dari Abu Salamah ibn Abdir-Rahman bertanya kepada 'Aisyah

    r.a.bagaimana shalat Rasulullah saw dalam bulan Ramadhan ? 'Aisyah

    menjawab bahwa Rasulullah saw tidak pernah melebihkan di bulan

    Ramadhan dan di luar Ramadhan dengan sebelas raka'at. Pertama-tama

    beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanyakan tentang indah

    dan panjangnya shalat Nabi, kemudian beliau lanjutkan dengan empat

    raka'at lagi.Maka 'Aisyah jangan kamu tanyakan tentang indah dan

    panjangnya shalat beliau. Kemudian beliau shalat tiga raka'at. Lalu Sitti

    'Aisyah mengatakan : Wahai Rasulullah! Apakah kamu tidur sebelum

    kamu berwitir ? Rasulullah menjawab : Wahai'Aisyah! Sesungguhnya

    dua mataku ingin tidur sedangkan hatiku tidak.(HR.Al-Bukhari).

    adth ini memberi pengertian bahwa shalat tarwi yang dilaksanakan Rasulullah tidak lebih dari delapan raka'at. Hal itu jika dilihat dalam bentuk

    bilangan tetapi lama penyelesaian delapan rakaat itu tidak seperti delapan rakaat

    yang dilakukan sekarang hanya dalam tiga puluh menit selesai sampai witir.

    Dalam adth tersebut di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. melakukan shalat di malam-malam ramadhan dengan sebelas rakaat, beliau shalat

    empat rakaat dan tidak merincikan empat rakaat sekali salam atau dua rakaat

    sekali salam, tetapi harus diyakini shalat Nabi pada malam tersebut sangat lama

    dan indah.

    : .2

    _____________ 16Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz II, (Dar Asy-Syabi, t.th), 67.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 8

    Artinya: Dari Aisyah ra katanya rasulullah Saw shalat malam delapan raka'at. Dua

    raka'at sambil duduk dan dua raka'at di antara azan dan iqamat. Beliau

    mengekalkan amalan tersebut selama hayatnya. (H.R. Al-Bukhary)

    Berdasarkan kedua adth tersebut di atas dapat dipahami bahwa ibadah rasulullah di bulan Ramadhan walaupun diperintahkan dngan aktivitas shalat

    sunat terutama shalat sunat tarawih, namun rasul tidak pernah melupakan aktivitas

    shalat yang biasa dilaksanakan di luar bulan Ramadhan. Dengan kata lain karena

    bulan ini merupakan bulan yang istimewa dari sebelas bulan lainnya. Maka

    pemanfa'atan waktu di bulan Ramadhan pun Nabi Muhammad mengistimewakan

    dari bulan yang lain. Salah satu aktivitas yang ditambahkan Nabi adalah

    penambahan sebelas raka'at dengan shalat witir.

    Dalam adth tersebut di atas shalat malam yang dilaksanakan oleh rasulullah adalah delapan rakaat dengan shalat witrir dilakukan dalam kadaan

    duduk sambil menunggu masuknya waktu shubuh

    b. adth dari Jabir yang berbunyi:

    )

    17(Artinya: Kami bersama Rasulullah saw shalat di bulan Ramadhan dengan delapan

    rakaat, kemudian ia berwitir. (HR. Ibnu Majah)

    c. adth lain yang diriwayatkan oleh Jabir yang berbunyi:

    18) ( Artinya: Rasulullah saw telah melaksanakan shalat bersama mereka dengan

    delapan kemudian beliau berwitir. (HR. Ibnu Hibban)

    d. adth yang tersebut dalam kitab Tanwirul Hawalik yang berbunyi:

    19.Artinya: Ibnu Hibban telah meriwayatkan dalam kitab shahih dari Jabir bahwa

    sesungguhnya Rasulullah telah melaksanakan shalat bersama mereka

    dengan delapan rakaat, kemudian ia berwitir. Ini pendapat yang paling

    ashah.

    e. adth dari Saib bin Yazid:

    :

    ,

    20 .

    Artinya: Dari Saib bin Yazid bahwasanya dia berkata: Umar bin al-Khab telah

    memerintahkan kepada Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dari untuk

    melakukan shalat tarawih bersama manusia dengan sebelas rakaat, imam

    _____________ 17Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Aunul Mabud, Juz IV (Cet. II; Madinah Al-Munawwarah:

    Al-Maktabah Al-Salafiyah, 1968), 250. 18Asy-Syaukani, Nailul Autar, Juz III (Cet.III; Mesr: Mushtafa Al-Baby Al-Halaby,

    1961), 57. 19Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafii, Tanwirul Hawalik: Syarah Al-Muwaththa, Juz I

    (Mesir: Darul Ahya), 135. 20Al-Baihaqi, Sunan AL-Kubara, Juz II (Cet. I; Mesir: Dairatul Maarif Al-Usmaniyah,

    1346 H), 496.

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 9

    membaca beratus-ratus ayat sehingga kami memegang tongkat karena

    lamanya berdiri dan kami tidak berpaling sampai keluar fajar (HR.

    Baihaqi)

    2. adth-adth tentang shalat tarwi dua puluh rakaat a. adth dari As-Saib bin Yazid Ash-Shabi menjelaskan:

    21 Artinya: Dari Saib bin Yazid, ia berkata: umat Islam melakukan shalat tarawih

    pada bulan ramadhan dua puluh rakaat, ia mengatakan mereka

    membaca di dalamnya beratus-ratus ayat dan terpaksa memegang

    tongkatnya karena lamanya berdiri. Ini terjadi pada masa khalifah

    Uthmn bin Affn. (HR. Baihaqi).

    b. adth

    :

    . : . 22

    Artinya: Dari Ali bin Ab lib, ia berkata Seseorang imam shalat mendakwakan di bulan ramadhan dan memerintahkan umat Islam shalat tarawih 20

    rakaat. Ia berkata Ali bin Ab lib shalat witir bersama mereka.

    c. adth dari Ibnu Abbas ra. yang berbunyi:

    23) (Artinya: Rasulullah saw melaksanakan shalat di bulan ramadhan tanpa berjamaah

    dengan dua puluh rakaat dan witir. adth ini sanadnya dhaif. (HR. Al-Baihaqi)

    d. adth dari Saib bin Yazid

    Artinya: Dari Saib bin Yazid, ia berkata: umat Islam melakukan shalat tarawih

    pada bulan ramadhan dua puluh rakaat, ia mengatakan mereka

    membaca di dalamnya beratus-ratus ayat dan terpaksa memegang

    tongkatnya karena lamanya berdiri. (HR. Malik)

    e. adth dari Yazid bin Ruman

    _____________ 21Ibid. 22Ibid. 23Ibid.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 10

    Artinya: Dari Yazid bin Ruman bahwasanya dia berkata: umat Islam

    melaksanakan shalat tarawih pada bulan ramadhan pada masa Umar

    bin al-Khab 23 rakaat (HR. Malik).

    Pendapat Para Ulama terhadap Riwayat tentang Jumlah Rakaat Shalat

    Tarwi Dari uraian yang telah dijelaskan tentang jumlah raka'at shalat Tarwi

    dalam adth-adth tentang bilangan rakaat shalat tarwi, dapat disimpulkan bahwa secara faktual ada beberapa versi bilangan jumlah rakaat. Dari sekian

    versi bilangan jumlah rakaat dalam adth-adth Rasulullah, ulama kemudian memiliki beragam pendapat. Pendapat para ulama yang paling menonjol adalah

    dua pendapat yaitu pendapat yang mengatakan shalat tarwi dua puluh rakaat dan pendapat yang mengatakan delapan rakaat, di samping itu ada pendapat yang

    lain yang mengatakan lebih dari dua puluh raka'at.

    Dalam Nailul Authar disebutkan perbedaan pendapat para ulama tentang

    jumlah rakaat shalat Tarwi dan witir sebagaimana ditabulasikan berikut ini:

    Perbedaan Pendapat Ulama tentang Jumlah Raka'at

    Shalat Tarwi dan Witir

    No. Nama Ulama Jumlah Raka'at

    Tarwi Jumlah Raka'at

    Witir

    1 Imam Malik 36 3

    2 Abdul Bar 40 7

    3 At-Turmuzi 40 1

    4 Aban ibn Usman 36 3

    5 Zarrah ibn 'Awfah 43 3

    6 Sa'd ibn Zubair 24 3

    7 Muhammad ibn Nashar 20 3

    8 Muhammad ibn Yusuf 20 3

    Dari sekian banyak perbedaan pendapat para ulama tersebut sepenjang

    penelitian penulis, tiga di antaranya yang merupakan pendapat masyhur dan

    menjadi mainstream adalah sebagai berikut:

    1. Pendapat yang mengatatakan jumlah raka' at shalat tarwi delapan raka' at 2. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat tarwi adalah dua puluh

    raka'at

    3. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat tarwi tiga puluh enam raka'at

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 11

    Ad. 1. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat Tarwi delapan raka'at adalah berdasarkan pada bilangan raka'at yang berasal dari shalat Rasulullah di

    bulan Ramadhan sebelas raka'at termasuk witir tiga raka'at di dalamnya. adth yang meriwayatkan tentang ini:

    :

    .

    . . )

    24 (

    Artiny: Dari Abi Salamah sesungguhnya Aisyah ditanya tentang shalat

    Rasulullah pada bulan Ramadhan. Jawabnya: Rasulullah saw tidak

    pernah melebihkan shalatnya pada bulan Ramadhan atau pun pada bulan-

    bulan lainnya dari pada sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at tak

    perlu ditanyakan tentang kebagusan dan kepenjangannya, kemudian

    beliau shalat lagi empat raka'at juga tak perlu ditanyakan tentang

    kebagusan dan kepanjangannya, kemudian beliau shalat lagi tiga raka'at

    (witir). Lalu Aisyah bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah engkau tidak

    tidur sebelum mengerjakan shalat witir? Jawab beliau: Wahai Aisyah:

    sesungguhnya hanya kedua mataku yang tidur tidak hatiku.

    Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah telah menguatkan adth di atas bahwa shalat tarwi dan witir sebelas raka'at adalah yang dikerjakan oleh Nabi saw bahkan ulama-ulama lain mendukung pendapat tersebut dengan

    mengatakan bahwa yang disunatkan sebelas raka'at termasuk witir.

    Ad.2. Pendapat yang mengatakan jumlah raka'at shalat tarwi adalah dua puluh raka'at berdasarkan kata-kata Umar bin al-Khab sebagaimana dinyatakan oleh Abdurrahman al- Jaziry dalam kitabnya: Sungguh telah jelas praktek Umar ra

    bahwa bilangan raka'at shalat tarwi adalah dua puluh raka'at, akhirnya ia mengumpulkan orang-orang untuk shalat di masjid dalam jumlah raka'at tersebut,

    para shahabat menyetujui praktek demikian.

    Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa Muhammad ibn Basyir telah memberi

    tahqiq apa yang diakui oleh Ibnu Qudamah tentang jumlah tarwi dua puluh raka'at adalah ijma' shahabat. Pendapat ini berdasarkan perbuatan Umar bin al-

    Khab yang mengumpulkan para jama'ah dimami oleh Ubay ibn Ka'b sebanyak dua puluh raka'at dan pendapat tersebut tidak dibantah oleh shahabat-shahabat

    lainnya.

    Ad.3. Pendapat yang mengatakan`jumlah raka'at shalat Tarwi adalah tiga puluh enam raka'at hanya dilaksanakan oleh Imam Malik dan pengikutnya di Madinah

    pada zaman Umar ibn Abdil-Aziz mereka shalat tiga puluh enam dan tiga raka'at

    witir.

    Dilihat secara geografis antara Mekah dan Madinah adalah dua daerah

    yang berdekatan jadi apa yang dianggap ada nilai lebih dalam ubudiyah yang

    dipraktekkan oleh penduduk Mekah penduduk Madinah tentu berupaya untuk

    mendapatkan nilai yang sama maka dalam pelaksanaan shalat tarwi yang

    _____________ 24Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz II (Dar Asy-Syabi, t.th), 67.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 12

    pertamanya disepakati dua puluhraka'at ditambah menjadi tiga puluh enam

    sebagai penyamaan mendapatkan nilai tambah seperti yang dilakukan penduduk

    Makkah yang pada sa'at Tarwi boleh thawaf karena dekat dengan Ka'bah. Sebagai bukti argumentasi di atas dalam kitab Fiqh Empat Mazhab

    diterangkan bahwa pada masa khalifah Umar ibn Abdul-Aziz dua puluh raka'at

    Tarwi masih ditambah lagi sehingga menjadi tiga puluh enam raka'at.Tujuan penambahan tersebut adalah untuk menyamai penduduk Makkah dalam hal

    keutamaan sebab penduduk Makkah bisa melakukan thawaf di Baitullah setiap

    empat raka'at satu kali thawaf. Maka oleh Umar ibn Abdul-Aziz menganggap baik

    untuk menggantikan thawaf dengan shalat empat raka'at, sehingga menjadi tiga

    puluh enam raka'at.

    Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa penambahan jumlah

    raka'at shalat tarwi yang dilakukan oleh para shahabat terutama Khulafaur-Rasyidin didorong oleh kesungguhan dalam menjalani dan memanfa'atkan

    kesempatan yang didapat satu bulan dalam setahun yaitu bulan Ramadhan. Dan

    apa yang dilakukannya bukan atas dasar mempertahankan prinsip sendiri pasti

    mempunyai dasar yang kuat. Imam Abu Hanifah pernah ditanya tentang apa yang

    dikerjakan oleh Umar bin al-Khab maka beliau menjawab shalat tarwi itu sunat muakkad dan Umar bin al-Khab tidak mengerjakannya berdasarkan pendapat pribadi ia bukanlah pelaku bid'ah, ia tidak memerintahkan melainkan

    dari dasar yang ada padanya dan janji Rasulullah saw.

    Di dalam ajaran agama Islam persatuan sangat diutamakan oleh karena

    itulah setiap ibadah yang disyari'atkan sering berkaitan dengan jama'ah yang mana

    antara lain seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya menuntut ummat Islam agar

    melaksanakanibadah dalam keadaan berjama'ah dengan artian setiap ibadah yang

    dikerjakan janganlah dikerjakan bersendirian.

    Relevansi Jumlah Rakaat Shalat Tarwi Nabi Muhammad saw dan Implementasinya pada Masa Kini

    Untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana relevansi konstruksi

    shalat tarwi Nabi Muhammad saw. dan implementasinya masa kini, maka penulis akan melakukan perbandingan antara praktek shalat tarwi pada masa Nabi Muhammad saw dengan implementasi shalat tarwi pada masa kini, dalam konteks kekinian dan keindonesiaan. Untuk tujuan tersebut, maka penulis akan

    mengemukakan praktek shalat tarwi yang diimplementasikan oleh Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU). Pemilihan Muhammadiyah dan NU

    sebagai poros penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa Muhammadiyah

    dan NU merupakan ormas terbesar di Indonesia yang memiliki basis massa yang

    sangat banyak yang tersebar di seluruh Indonesia. Dan tentu saja implementasi

    shalat tarwi yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU menjadi gambaran nyata dan konkrit tentang praktek shalat tarwi pada masa kini khususnya di Indonesia.

    Muhammadiyah

    Pembahasan masalah shalat tarwi dimasukkan pada sub bab tersendiri, disatukan dengan tuntunan mengenai shalat lail. Majelis Tarjih menjelaskan

    bahwa shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 13

    waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat

    tahajjud, qiyamul-lail dan qiyamu Ramadlan. Di samping itu juga sering disebut

    dengan shalat witir. Shalat lail hukumnya sunnah, tetapi tarjih lebih senang

    menggunakan istilah tathawwu untuk ragam shalat semacam ini.

    Majelis Tarjih memberi pengertian bahwa: Qiyamu ramadhan ialah

    shalat sunnat malam (qiyam al-lail) di bulan ramadhan. Qiyamu ramadhan pada

    lazimnya disebut shalat tarwi25 a. Jumlah rakaat Shalat Tarwi

    Jumlah rakaat yang dituntunkan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam

    shalat tarwi adalah 11 rakaat, dikerjakan dengan cara dua-dua rakaat (sebanyak 4 kali) ditambah tiga rakaat witir.26

    Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Rasulullah saw yang artinya:

    Beralasan hadis Ibnu Umar yang mengatakan: Seorang lelaki bangkit

    berdiri lalu menanyakan: Bagaimana cara shalat malam, hai Rasulullah? Jawab

    Rasulullah: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika engkau khawatir akan

    terkejar shubuh, hendaklah engkau kerjakan witir atau satu rakaat saja. (HR.

    Jamaah)

    Juga berdasar pada hadist Ibnu Abbas, yang artinya: Lalu aku berdiri di

    samping rasulullah; kemudian ia letakkan tangan kanannya pada kepala saya dan

    digangnya telinga kanan saya dan ditelitinya, lali ia shalat dua rakaat kemudian

    dua rakaat lagi, lalu dua rakaat lagi kemudian dua rakaat, lalu shalat witir,

    kemudian ia tiduran menyamping sehingga datang bilal menyerukan adzan. Maka

    bangunlah ia dan shalat dua rakaat singkat-singkat, kemudian pergi shalat

    shubuh. (HR. Muslim)

    Juga hadis Rasulullah yang artinya: Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany

    ia berkata, sungguh saya mencermati shalat Rasulullah saw. pada suatu malam,

    beliau shalat dua rakaat yang ringan-ringan, kemudian shalat dua rakaat yang

    panjang (lama) sekali, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat

    sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat

    sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat

    sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat

    sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tiga belas

    rakaat. [HR Abu Dawud, bab fi Shalat al-Lail]

    Dalil lain yang digunakan Dewan Tarjih Muhammadiyah adalah hadist

    dari Abu Salamah yang artinya sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abu Salamah

    Ibn Abdul Rahman bahwa, ia bertanya kepada Aisyah r.a bagaimana shalat

    Rasulullah saw di bulan Ramadlan. Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan

    ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih

    dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat; dan jangan ditanyakan tentang

    baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi empat

    rakaat; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat

    _____________ 25Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yoyakarta, Tuntunan Ramadhan,

    Tuntunan Qiyamul Lail, Tuntunan Shalat Idul Fitri dan Zakat Fitri, (Diperbanyak oleh Panitian

    Pembangunan Gedung Dakwah dan Masjid Taqwa Muhammadiyah Daerah Istimewa Aceh, 1995),

    12 26Ibid., 13. Lihat juga Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah,

    Fatwa-Fatwa Tarjih-Tanya Jawab Agama 6, Cet. III (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2012),

    64-65.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 14

    yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat tiga rakaat. (HR al-Bukhari, Kitab

    Shalat at-Tarwi, Bab Man Qama Ramadlan)

    Nahdhatul Ulama (NU) NU memiliki basis massa tidak hanya dipelosok-pelosok pedesaan, tetapi

    juga di pesantren-pesantren. Praktik shalat tarwi di lingkungan pesantren dan luar pesantren yang nota bene masih sama-sama NU ternyata memiliki ciri khas

    sendiri-sendiri. Jumlah rakaatnya kalangan NU menyepakati yang 20 rakaat

    ditambah dengan 3 rakaat witir. Ciri khas tersebut terletak pada suratan yang

    dibaca setelah fatihah.27

    Dasar-dasar yang digunakan NU berkaitan dengan shalat tarwi. Bahwa shalat tarwi secara berjamaah adalah mengikuti tuntunan dari shahabat Umar bin Khaththab r.a. dan Sahabat Umar beserta pada shabat yang lain

    menjalankannya 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir. Hal ini sebagaimana

    disebutkan dalam kitab al-Muwaththa, juz I, yang artinya sebagai berikut:

    Dari Yazid bin Hushaifah, Orang-orang (kaum muslimin) pada masa

    Umar melakukan shalat tarwi di bulan Ramadhan 23 rakaat. Selain dasar di atas, sebagaimana ditulis KH Munawwir Abdul Fattah

    dari Pesantren Krapyak Yogyakarta, bahwa Warga Nahdliyyin yang memilih

    Tarwi 20 rakaat ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang

    menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar,

    Utsman dan Ali sebanyak 20 rakaat.28

    Juga berdasar dari hadis Ibnu Abbas yang meriwayatkan bahwa

    Rasulullah SAW shalat Tarwi di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).Ibnu Hajar juga menyatakan

    bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam

    Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun

    Rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:

    Aku takut kalau-kalau tarwi diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.

    Hadits tersebut di atas disepakati kesahihannya dan tanpa

    mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan

    rakaatnya. (Dalam hamsy Muhibah, Juz II, hlm. 466-467)

    Pada suatu malam Rasulullah saw. keluar dan shalat di masjid, maka ada

    beberapa bermakmum padanya dan pada pagi harinya orang bicara, bahwa

    ia telah shalat bersama Rasulullah semalam, maka berkumpullah orang-

    orang dan ikut shalat bersama Nabi saw. Dan pada pagi hari mereka juga

    memberitahu kepada kawan-kawannya sehingga banyak orang yang shalat

    di malam ketiga, dan Rasulullah saw. tetap keluar untuk shalat bersama

    mereka, kemudian pada malam keempat penuhlah masjid sehingga tidak

    muat masjid karena banyaknya orang, tetapi Rasulullah saw sengaja tidak

    keluar kecuali setelah adzan subuh untuk shalat subuh, kemudian setelah

    _____________ 27http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-

    shalat.html, Diakses pada tanggal 17 Desember 2012. 28http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-

    shalat.html, Diakses pada tanggal 17 desember 2012.

    http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.html

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 15

    shalat subuh menghadap kepada Shahabat dan membaca dua kalimat

    syahadat lalu bersabda: Amma badu, sebenarnya keadaanmu semalam

    telah aku ketahui, tetapi sengaja aku tidak keluar karena kuatir kalau-kalau

    shalat malam ini diwajibkan atas kalian sehingga kalian mereasa tidak kuat

    melaksanakannya. (HR. Bukkhari dan Muslim)

    Demikianlah dasar shalat tarwi di kalangan NU, meskipun tidak terlalu panjang tetapi sudah dianggap cukup untuk mengambil cara pelaksanaan

    shalat tarwi yang 20 rakaat. Shalat tarwi dikerjakan dengan cara dua rakaat salam. Pada tiap

    rakaat pertama biasanya setelah al-Fatihah membaca surat-surat pendek, yang

    diawali dengan surat at-Takastur, demikian seterusnya hingga pada surat al-

    Lahab. Sementara untuk rakaat yang kedua suratan yang dibaca adalah surat al-

    Ikhlas. Para imam Tarwi NU umumnya, demikian Munawir Fattah memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: "Di belakang Anda

    ada orang tua yang punya kepentingan. Maka, 23 rakaat umumnya shalat

    Tarwi lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.29 Tetapi di lingkungan pesantren terkadang berbeda. Ada beberapa

    pesantren NU yang mengerjakan tarwi dengan membaca surat-surat yang panjang. Dalam 20 rakaat tarwi ada yang sampai menyelesaikan 2 juz al-Quran. Apa yang dilakukan di pesantren tidak berbeda jauh dengan shalat

    tarwi di Masjidil Haram, Makkah. Di sana, 23 rakaat diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-

    Quran dari awal, terus berurutan menuju akhir al-Quran.30

    Kesimpulan

    Shalat tarwi adalah ibadah yang khusus dikerjakan pada bulan Ramadhan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat Tarwi bisa dikerjakan berjamaah, maupun dengan cara munfarid (sendiri). Shalat Tarwi hukumnya sunnah muakad. Semua keterangan di atas tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati

    oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan NU maupun Muhammadiyah.

    Ikhtilaf bab shalat Tarwi terdapat pada cara pelaksanaannya, lebih khusus lagi pada jumlah rakaatnya. Di kalangan warga NU shalat tarwi biasa dikerjakan dengan 20 rakaat dan diakhiri dengan 3 rakaat witir. Sementara di

    kalangan warga Muhammadiyah tarwi biasa dilaksanakan 8 rakaat, dan diakhiri dengan 3 rakaat witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat

    tarwi pun terdapat ikhtilaf. Kalangan Muhammadiyah melakukan shalat witir tiga rakaat sekali salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan

    Ramadhan. Sedangkan NU melakukan shalat witir 3 rakaat dengan dua rakaat

    salam, dan satu rakaat salam, juga qunut witir pada separuh terakhir bulan

    Ramadhan. Apa yang sudah dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut

    sebenarnya berbeda dengan apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih

    Muhammadiyah mengenai jumlah rakaat shalat tarwi. Dalam Majelis Tarjih diterangkan bahwa jumlah rakakat shalat tarwi plus witir tidak harus 11 rakaat

    _____________ 29http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-

    shalat.html, Diakses pada tanggal 17 desember 2012. 30http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-

    shalat.html, Diakses pada tanggal 17 desember 2012.

    http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.html

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 16

    (sudah termasuk witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah rakaatnya

    gasal. Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih Muhammadiyah memberikan

    beberapa pilihan, tidak hanya 3 rakaat saja

    Berbeda dengan Muhammadiyah, kalangan NU juga memiliki ciri khas

    tersendiri dalam mengerjakan shalat tarwi dan witir, khususnya yang dikerjakan berjamaah. Ciri khas, meski tidak dikerjakan oleh semua warga NU,

    yakni ada pada suratan yang dibaca setelah membaca al-Fatihah, biasanya dimulai

    dari surat at-Takastur sampai al-Lahab untuk shalat tarwi. Jika dikaitkan dengan konstruksi shalat tarwi pada masa Rasulullah

    saw., maka apa yang dipraktekkan dalam konteks kekinian khususnya

    Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama di Indonesia maka dapat dikemukakan

    bahwa kedua organisasi massa terbesar di Indonesia tersebut memiliki landasan

    yang sangat kuat dalam adth-adth Rasulullah serta amalan para abah Rasulullah.

    Penulis berasumsi bahwa nampaknya Muhammadiyah lebih menekankan

    praktek shalat tarwi pada masa Rasulullah terutama dalam hal jumlah rakaatnya. Akan tetapi dari segi waktu pelaksanaannya dan bacaan dalam shalat

    tarwi ternyata sangat berbeda dengan konstruk shalat tarwi pada masa Rasulullah. Muhammadiyah memilih pelaksanaan shalat tarwi di awal malam sepanjang ramadhan sementara pada praktek shalat tarwi Rasulullah di bulan ramadhan adalah pada malam pertama sampai dengan ketiga dilaksanakan di

    Masjid dan malam selanjutnya dilaksanakan di rumah saja. Hal ini tercermin

    dalam adth sebagai berikut:

    :

    )

    ( .

    31.

    Artinya: Siti Aisyah ra. telah menceritakan bahwa Rasulullah saw. telah keluar

    pada suatu malam ke mesjid, lalu ia shalat dan para abah juga ikut shalat bersamanya. Pada esok harinya para abah menceritakan kepada orang-orang lain, lalu mereka semakin banyak shalat bersama

    Nabi (pada malam ketiga). Pada malam keempat Rasulullah saw. tidak

    keluar lagi bersama mereka. Rasulullah saw. hadir kembali pada waktu

    subuh dan Rasulullah saw. bersabda: saya tidak keluar tadi malam

    untuk shalat bersama kamu karena saya khawatir shalat ini akan

    diwajibkan kepada kamu sedangkan kamu tidak akan mampu

    melakukannya. Setelah Rasulullah saw wafat, ibadah ini tetap

    berlangsung seperti sediakala.32

    _____________ 31Sahih Bukhari, bab Kitab al-shalatu tarwi 32Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz II, (Dar Asy-Syabi, t.th), hlm. 763.

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 17

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Hasan, Tanya Jawab, Jilid I, Penerbit CV Diponegoro, Bandung, 1977.

    ------------, Soal Jawab Agama Islam, Jilid II.

    A. Qadir Hasan, Al-Muslimun, Nomor 124, Januari 1982.

    A1-Hamid al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyyah.

    Abdul Wahab Khallaf, Sejatah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,

    disadur oleh Wajidi Sayadi, Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

    2001.

    Abdullah bin Hijazi Asy-Syarqawi, Fathu Al-Mubdi: Syarah Mukhtaar Az-Zabid, Juz II, t.t, t.tp., t.th.

    Abdur-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh 'ala al- Madhhib Al-Arba'ah, Juz. I,

    (Bairut, Libanon: Dar al-Kutub, 1990.

    Abi Zakariyyah Mahyuddin bin Syarif al-Naway, al-Majmu Syarh al-

    Muhadzdzab Beirut:Dar al-Fikr, t.th.

    Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz I, Musthafa -Al-Baby Al-Halaby, cetakan

    pertama, 1371 H-1952 M.

    ------------, Sunan Abu Daud, Juz II, Musthafa -Al-Baby Al-Halaby, cetakan

    pertama, 1371 H-1952 M.

    Ahmad Ash-Shawi, Ash-Shawi Ala Jalalaini, Juz III, Daru Haya' Isa Al-Babi Al-

    Halabi Wasyirkah, t.th.

    Al-Asqalani, Fath Al-Bari, Juz IV, Mesir: Al-Azhar, 1938.

    Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, Juz II, Dai-rati Al-Ma'arif Al-Usmaniyhn, Cetakan

    ke satu, 1346.

    Al-Hamid al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyyah, Cet. I; Bandung:

    Pustaka Hidayah, 1996.

    Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Sayuthi, Al-Asybah wa An-Nadhair, Daru

    Ihyai Isa Al-Baby Al-Halaby wa Syirkah.

    Al-Kirmani, Syarah Shahih Al-Bukhari, Juz. I, (Mesir: Muassiah Al-Islamiyah,

    1937.

    Al-Qashthalani, Irsyadu As-Sari Syarah Shahih Bukhari, Jilid II, Cet. VI; Dari Al-

    Fakdi Li Thiba'ati An-Nasyri wat-TausiI, , 1304 H.

    An-Nasaiy, Sunan An-Nasaiy. Juz III, Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa

    Auladuhu, Mesir.

    An-Nawawi, Al-MajmuSyarah Al-Muhazzab, Juz III, Mesir: Al-Imam.

    Arif Abdul-Fattah, Ruh Shalat dalam Islam, Semarang: PT.Salam Setia Budi, t.th.

    Ash-Shan'ani, Subulu As-Salam, Juz II, Multazam Ath-Thabi'i Wan-Kasyri

    Dahlan, Bandung, t.th.

  • Burhanuddin A. Gani: Jumlah Raka'at Shalat Tarawih 18

    As-Said bin Umar Asy-Thari, Al-Qayuti An-Nafis fi Mazahibi Al-Idrisi.

    Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz III, Cet. III; Mesir: Musthafa Al-Babi Al-

    Halabi, 1371 H - 1952 M.

    Bahauddin Abdurrahman bin Ibrahim al-Muqaddsi, al-Uddah: Syarah al-Umdah

    (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1990.

    Departemen Pendidikan dan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi

    Ketiga Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

    Harun Nasution dkk.,Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

    http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.html, Diakses

    pada tanggal 17 desember 2012.

    Ibnu Abidin, Hasyiah Daru Al-Mukhtar, Juz II, Cet. II; Mesir: Musthafa Al-Babi

    Al-Halabi Wa Auladuhu, 1386 H-1966 M.

    Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Daru Al-Kutubi Isa Al-Baby Al-Halaby wa

    Syirkah, l373 H/1952 M.

    Ibnu Qasim Al-Ghazi, Al-Bajuri, Juz I, Al-5abi Al-Halabi Wa Auladuhu bi

    Mishra, 1343.

    Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ilm al-Muwaqqin an Rabbil lamn, Jilid I,

    Mesir: Dr Al-Hadith, 2002.

    ------------, 'Aunul Ma'bud, Juz IV Shahibul Al-Maktabah Al-Salaiyah AI-

    Madinah Al-Munawarah, Cetakan kedua, 1388 H/1968 M.

    Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz II, (Mesir: Al-Masyru Al-Tsaqafah Al-Islami

    Biharakati Al-Khasyni.

    Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, [Terj.] Cet.III; Jakarta:

    Pustaka Amani, 2007.

    Idris Al-Marbawi, Kamus Marbawi, Juz I, (Mesir: Musthafa Al-Baby Al-Halaby

    Wa Auladuhu, 1350 H.

    Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Bandung: Dahlan, t.th.

    ------------, Sahih Bukhari, Juz II, Dar Asy-Syabi, t.th.

    Imam Al-Turmudzi, Sunan Al-Turmudzi, Juz I, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.

    Imam Badruddin Abi Muhammad bin Ahmad Al-Aini, Umdah Al-Qari; Syarah

    Shahih Al-Bukhari, Juz VI, Dar Al-Fikr, t.th.

    Imam Bukhari, Shahih Bukhari Syarah Al-Kirmani, Juz I, Muassiah Al-Islamiyah,

    Mesir, 1336 H-1937 M.

    Imam Jalaluddin As-Sayuthi Asy-Syafi 'iy, Tanwiru Al-Hawalik, Syarah Al-

    Muwaththa', Juz I, Daru Ahya, Mesir, (t.t.).

    Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

    Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz. I, Bandung: Dahlan, t.th.

    -------------, Shahih Muslim, Juz.II, Semarang: Maktabah TohaPutra, t.th.

    http://semuaguru.blogspot.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-shalat.htmlhttp://da.ru/

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 19

    Imam Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab, Juz IV, Mesir: Lisyirkati Al-

    Ulama' Al-Azhar.

    Kumpulan Fatwa Majlis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh,

    I967.

    M.Alfatih Suryadilaga (ed.), Studi Kitab Hadis, Cet. I; Yogyakarta: Teras, 2003.

    Mahmud Syaltout, Mintaujihati Al-Islam. Daru Asy-Syuruqi bil Qahirah, t.th.

    Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-Fatwa Tarjih-

    Tanya Jawab Agama 6, Cet. III; Yogyakarta; Suara Muhammadiyah,

    2012.

    Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yoyakarta, Tuntunan Ramadhan,

    Tuntunan Qiyamul Lail, Tuntunan Shalat Idul Fitri dan Zakat Fitri,

    (Diperbanyak oleh Panitian Pembangunan Gedung Dakwah dan Masjid

    Taqwa Muhammadiyah Daerah Istimewa Aceh, 1995.

    Muhammad Al-Allan AlShiddiq Al-Syafii, Dall Al-Falihn: Syarah Riyadhu

    al-Shalihin, Juz III, t.p., t.th.

    Muhammad Idris Asy-Syafi'iy, Al-Um, Juz I, Cet. I; Mesir: Maktabah A1-Kulliah

    Al-Azhariah, 1381H-1961 M.

    Muhammad Syarbaini Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Juz II, (Mesir: Al-Baby Al-

    Halaby Wa Auladuhu, 1958.

    Muhammad Syarbaini Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Juz II, Mesir: Al-Baby Al-

    Halaby Wa Auladuhu, 1958.

    PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Indonsia, Jilid VII.

    Sayid Sbiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. I, Beirut: Dr al-Fikr, 1987.

    -------------, Fiqh al-Sunnah, Jilid. II, Beirut: Dr al-Fikr, 1987.

    Sirajuddin Abbas, Empat Puluh Masalah Agama, Jilid I, Cet. II, Jakarta:

    PustakaTarbiyah, 1972.

    Syihabuddin Abi al-Abbas Ahmad bin Idris bin Abdirrahman al-Shanhaji al-

    Mishry, al-Dzakhirah fi Furu al-Malikiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-

    Ilmiyyah, t.th),

    T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih, Jakarta: CV Mulja.

    ------------, Pedoman Shalat, Cet. XXIII: Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1994.

    Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Jilid I, Cet. IV; Suriah: Dar

    al-Fikr, 2004.

    http://d_a.er.ah/

  • Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 20

    SHAYKH DAWUD BIN ABDULLAH AL-FATANIS DEALING WITH

    THE AUTHORITATIVE CREEDAL ARGUMENTATION

    OF REVEALED SOURCES WITH SPECIAL REFERENCE

    TO WARD AL-ZAWAHIR.

    Hasbullah bin Mohamad

    ABSTRAK Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's telah menggunakan pendekatan

    yang signifikan dalam penggunaan dalil-dalil dari sumber wahyu (naqliyah)

    dengan hanya menerima dalil-dalil yang memiliki otoritas dari al-Quran dan

    Hadith sebagai hujjah utama di dalam akidah. Beliau banyak menggunakan nash

    al-Quran secara langsung sebagai dalil-dalil akidah karena kedudukan al-Quran

    tidak dipertikaikan lagi otoritasnya. Sementara di dalam penggunaan Hadith-

    Hadith, beliau hanya menerima Hadith Shahih dan Hadith Hasan sebagai hujjah

    dalam akidah. Sebaliknya Hadith Dha'if hanya boleh digunakan di dalam Fadha'il

    al-Amal dan perkara cabang syariat (furu') di samping ia bertindak sebagai hujjah

    tambahan bagi hujjah utama akidah dari sumber yang lebih kuat.

    Key Word: Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's, Creedal Argumentation

    Introduction

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's (d. 1263 AH/1847AD) is one of

    the most influential and prolific Malay scholars of the nineteenth century whose

    works are considered among the most important references of the Malay

    Archipelago. He authored at least sixty-nine works of which the most well-known

    are Munyat al-Mualli (1242 AH), Furu' al-Masail (1257 AH), al-Durr al-

    Thamin (1232 AH), Minhaj al-'Abidin (1240 AH), and Sullam al-Mubtadi (1252

    AH). Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's has written substantially in diverse

    disciplines yet his main contributions are in Islamic creed, Islamic jurisprudence,

    and Sufism. His creedal thought would be illustrated within his significant creedal

    works which are al-Durr al-Thamin (1232 AH) and Ward al-Zawahir (1245 AH).

    A study of the sources and methodological approaches of Shaykh Dawud

    bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir reveals the doctrinal climate that

    prevailed in Mecca and the Malay Archipelago. The doctrinal climate in the

    Mecca (ijaz) regions in the late eighteenth and early nineteenth centuries (18th-

    19th AD) was one of dispute concerning the Islamic creed (Aqidah) and the

    various religious acts of worship (fiqh). Thus, as a response to the theological

    background in Mecca and the Malay Archipelago, Shaykh Dawud bin Abdullah

    al-Fatani's as in his Ward al-Zawahir, focuses the prime creedal objective i.e.

    knowing God (ma'rifat Allah). Towards this end, Shaykh Dawud bin Abdullah al-

    Fatani's emphasizes the need to refer to the authoritative prime sources of

    religious scholarship -the divinely revealed texts (naqliyah) and sound

    ratiocination ('aqliyah)- when formulating the creedal argumentation. For that,

    they must avoid blind imitation (taqlid) and learn the proofs and evidences of the

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 21

    existence of Allah to the level of certitude (yaqin) whether it is in a general

    schema (ijmali) or in detail (tafshiliy).

    Therefore, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's attempts to refer to the

    authoritative sources and qualified scholarship in the interpretation of the revealed

    sources (naqliyah) so as to guard against deviation and exceeding the proper

    limits of methodological practices. In regard of the authority of the naqliyah, he

    asserts that only the undisputable arguments of the Quranic verses and authorized

    Hadith of the authentic one (Shahih) and fair (Hasan) are valid for the

    authoritative argumentation.

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir is a great

    creedal work that has been claimed to be the most comprehensive work in ushul

    al-din in jawi script. Due to its comprehensive discussion and a large number of

    pages (430 pages) as compared to other creedal works written in the classical jawi

    script, Ward al-Zawahir needs to be reviewed and examined in order to verify

    such a claim. Ward al-Zawahir distinguishes the optimal use of creedal proofs of

    the naqliyah and 'aqliyah especially compared to other previous Malay scholars in

    their creedal works of jawi script.

    As a commentary work (shar'i) on the al-Laqanis Jawharat al-Tawhid, his

    Ward al-Zawahir, like the other Malay scholars methodology of commentary

    (shar), attempted to translate from the original language particularly from Arabic

    into Malay accompanied by related commentaries. Ward al-Zawahir is a

    commentary (shar) to his work 'Iqdat al-Jawahir, which was translated and

    commented from the text (matn) of al-Laqanis Jawharat al-Tawhid in the form of

    poetic meter into jawi script according to the Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ahs

    creed. In Ward al-Zawahir, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's referred

    mainly to the commentaries of Jawharat al-Tawhid written by previous scholars

    such as 'Abd al-Salam ibn Ibrahims Ittiaf al-Murid, Amad ibn Muammad Ibn

    'Ali al-Suaymis Shar Ittiaf al-Murid, 'Abd al-Mu'i al-Shamlawis Tufat al-

    Muarrarah, and Shar Tufat al-Muarrarah of Sayyid 'Ali al-Wafai.

    Other than these major references of his Ward al-Zawahir, he cited the

    opinions of qualified scholars in Aqidah, taawwuf, Shafi'i fiqh, Hadith, and tafsir.

    In his creedal discussion, the opinions of prominent scholars of kalim

    (mutakallimin) such as al-Ash'ariy (d. 330 AH), al-Bagillani (d. 403 AH), al-

    Asfirayny (d. 418 AH), al-Baghdadi, Imam al-aramayn al-Juwayni (d. 478 AH),

    al-Ghazaly (d. 505 AH), al-Shahrastani (d. 548 AH), Ibn 'Asakir (d. 571 AH), al-

    Razy (d. 606 AH), al-Subky (d. 771 AH), al-Sanusy (d. 895 AH), and al-Laqiny

    (d. 1041 AH) were cited numerous times in Ward al-Zawahir. He also cited the

    opinion of other mutakallimin who have a distinct relationship with the two

    important seminal creedal works, namely al-Sanusis Umm al-Barahin and al-

    Laqanis Jawharat al-Tawhid, that have dominated the creedal thought of the

    Muslim community particularly in the Malay Archipelago. His dependence upon

    these sources obviously shows that he consistently upholds the Asharites

    thinking in the company of other relevant schools of thought based on the

    authority of the naqliyah and 'aqliyah.

    The emphasis on the propositions (adillah) whether literal revealed

    sources (naqliyah) or logical interpretive reasoning ('aqliyah) in Ward al-Zawahir

  • Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 22

    is noticeable because he has paid serious attention to the authoritative sources of

    the naqliyah especially the transmissions of Hadith. His insertion of the

    transmissions of the Companions (rawy al-a'la) who narrated the Hadith from the

    Prophet (P.B.U.H) or by mentioning the direct sources as stated in the

    compendium of the source-critics of Hadith (takhrij) are among the advantages of

    Ward al-Zawahir. The existence of these elements has conferred an authority to

    the sources in Ward al-Zawahir compared especially to other creedal works of the

    Malay scholars indicated his creedal reform within his writing of jawi script.

    Regarding the presentation of the naqliyah, Shaykh Dawud bin Abdullah

    al-Fatani'ss Ward al-Zawahir determines that these revealed sources must be

    authoritative and only receives from the Hadith of Shahih, Hasan and consensus

    (ijma'), whereas the Hadith dha'if is applicable to the branches of religious

    practices (furu') and the merit of certain deeds (fadhail al-amal). For that, he

    included the well-recognized authoritative sources that of al-Bukhari and Muslim

    as well as the well-known sources of Sunan al-Sittah and Sunan al-Tis'ah. Apart

    from that, he reported from other the sources from Ibn Abu Shaybah, Ibn Abu al-

    Dunyy, Abu Ya'la, al-'Uqayli, al-abarani, Abu al-Shaykh, Abu Nu'aym, al-

    Bayhaqy, al-Daylamy, Ibn 'Asakir, and Ibn al-Najjar which are partly associated

    with fadhail al-amal. Similarly, he included the isnad of Companions (rawy al-

    a'la) from Abu Hurayrah, Ibn 'Umar, Ibn Mas'ud, Anas ibn Malik, Jabir, and

    'Aishah. He sometimes stated the Hadith marfu', which is attributed to the

    Prophet (P.B.U.H) and sometimes without any reference to further review its

    authority. Thus, some of these sources require further verification to determine its

    authority.

    In Ward al-Zawahir, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's included the

    literal Quranic verses as the main creedal proofs without any further

    interpretation or explanation. He sometimes briefly interpreted the meaning

    (mufradah) of certain verses which could be observed especially in the Surat

    Yusuf, al-Kahf, and Maryam. He occasionally attached some verses related to the

    Quranic interpretation based on transmitted tradition (tafsir bi al-mathur) such

    as al-sabab al-nuzul particularly from al-abaris and al-Suyuis works quoted

    from Ibn 'Abbas, 'Alqamah, 'Ikrimah, Muqatil, and Kisaiy. Thus, these indicate

    his special treatment to the authority of creedal argumentation especially that of

    the naqliyah.

    The Quran and Commentary Based on Tradition (Tafsir bi al-Mathur)

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's includes the literal Quranic

    verses as the main creedal proofs without any further interpretation or

    explanation. This is due to his attitude towards the Quran as the undisputable

    argument based on its transmission which has consensually been agreed upon as

    mutawatir. He prefers to employ the literal Quranic verses (nuu al-Quran) in

    Ward al-Zawahir on the basis as the undisputed creedal authority of the Quranic

    verses. He sometimes attempts to briefly explain either from the view of scholars

    (mufassirin) or through his own understanding particularly to translate the

    meaning (mufradah) of the verses into Malay to facilitate the readers to

    understand these verses. The use of Quranic verses and hadith in large quantity in

    Ward al-Zawahir is significant to support one another in the respective creedal

    issues particularly that could only be proven by the revealed sources (naqliyah),

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 23

    like the unseen matters (sam'iyyat). The employment of the literal Quranic

    verses in almost all parts of Ward al-Zawahir is due to his consideration that such

    verses are the undisputable arguments along with its interpretation.

    Apart from the use of literal Quranic verses, he sometimes utilizes the

    commentary based on tradition (tafsir bi al-mathur) by bringing up

    the transmissions that of al-sabab al-nuzul as well as the views of the Companions

    and Successors. In this respect, his Ward al-Zawahir refers to al-sabab al-nuzul

    and the views of the Companions and Successors such as Ibn 'Abbas (d. 68 AH),

    'Alqamah (d. 62 AH), 'Ikrimah (d. 105 AH), Muqatil (d. 150 AH), and Kisaiy (d.

    189 AH) as well as the well-known figures of the Israiliyyat like Ka'b al-

    Abar (d. 32 AH) and Wahb al- Munabbih (d. 114 AH). For that, he refers to the

    mufassirins works of tafsir bi al-mathur such as al-abaris Jami' al-Bayan and

    al-Suyuis al-Durr al-Manthur along with the commentaries that contain both

    the tafsir bi al-mathur and al-ray such as al-Qurtuby, al-Razy, and al-

    BayDhawi. For instance, Ward al-Zawahir explains the reference to al-sabab al-

    nuzul as narrated by Ibn Abbas describing the question in the grave and talqin as it

    quotes:

    Narrated from Ibn 'Abbas on the verse, Allah says: Allah keeps firm those

    who believe, with the firm word, in worldly life and in the Hereafter. And

    Allah sends astray the wrongdoers, and Allah does what He wills.

    According to Ibn 'Abbas, the verse explains about shahadatayn (ashadu an

    la ilaha illa Allah) while being questioned in the grave. 'Ikrimah views that

    yuthabbit Allah they will be asked about their belief of Muhammad,

    Tawhid, and the answers would be on the basis of their faith, either mumin

    or kafir. Al-sabab al-nuzul of this verse that the Prophets aunt, afiyyah

    'Abd al-Muththalib, when she was buried, the Prophet sat on her tomb, and

    said: the Munkar and Nakir will ask you about your religion, so that you

    answer them that my nephew is our Prophet. The Companions asked the

    Prophet: do you teach your aunt, then what about us? Then Allah revealed

    this verse: Allah keeps firm those who believe, with the firm word

    The above attachment of al-bab al-nuzul clearly shows that Shaykh Dawud bin

    Abdullah al-Fatani's attempts to employ the commentary based on tradition (tafsir

    bi al-mathur) as the authoritative naqliyah by inserting the Hadith of al-Bukhary,

    Muslim, Abu Dawud, and others from al-Barra Ibn 'zib. In this respect, the al-

    sabab al-nuzul comes with the authoritative transmission along with reference to

    the view of Ibn 'Abbas and 'Ikrimah. Even, there are also the hadith ai related

    to the talqin and the question of the dead as in Ward al-Zawahir with the isnad

    marfu' from Ibn Abu Shaybah, Ibn Jarir, Ibn Al-Munzir, al-Bayhaqy, al-

    abaranis al-Awsa, and Ibn ibbans ai as well as the reported hadith of the

    Sunan al-Sittah. As such, he seems to maintain with the Quran as

    definite undisputable sources in Ward al-Zawahir. In fact, a brief explanation

    of the meaning (mufradah) of the Quranic verses in the Malay version provides a

    proper understanding of textual interpretation to the Malay readers.

    The Authority of Hadith

  • Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 24

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward determines the

    authoritative sources of the naqliyah especially the transmission of Hadith

    (riwayah) that of authentic (Shahih) and fair (Hasan) whether from solitary

    Hadith (Ahad) or recurrent (mutawatir). Regarding the authority of

    the naqliyah, he states:

    The names of Allah are strictly determined by God alone. These names

    only come from the revealed sources of the Quran, and Hadith. The

    sources of hadith must be authoritative, which are only from the authentic

    hadith (Shahih) and fair ones (Hasan).

    As the above, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss methodology to be in

    line with the muhaddithin and fuqaha of the Ahl al-Sunnah that only recognizes

    the Hadith Sahih and Hasan as the authoritative creedal argumentation instead of

    the Hadith Dha'if whether it is mutawatir or ahad. Such method differs from

    Mu'tazilite who only accepts the mutawatir.

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss emphasis on the authoritative

    naqliyah could be observed since his Ward al-Zawahir attempts to verify the

    sources of hadith treatises, especially that of al-Shaykhayn of al-Bukhari (d. 256

    AH) and Muslim (d. 261 AH). In Ward al-Zawahir, he often reveals the term al-

    Shaykhayn and al-aiayn referring to both of them of the reported Hadith as

    either its literal speech (lafdhi) or meaning (maknawiy). In addition, Shaykh

    Dawud bin Abdullah al-Fatani's sometimes includes the authentic Hadith which is

    reported by only one reporter of al-aiayn either al-Bukhari or Muslim while

    sometimes he attempts to attach such transmission (of Bukhari or Muslim) with

    accompaniment of other similar attested transmissions in respective creedal

    matters. Even there are similar attested hadith reported by numerous chains of

    transmitters (isnad) which would strengthen its authority and thus, its

    authority becomes more reliable (ziyadat thiqah) when these transmissions

    reported together along with the isnad of al-Shaykhayn.

    He occasionally quoted from the undisputable transmitted sources of the

    hadith mutawatir as well as the sources gathered the authoritative hadith such as

    Ibn Khuzaymahs ai, al-akims al-Mustadrak, and Ibn ibbans ai. His

    attachment of the hadith mutawatir in Ward al-Zawahir among them are; Hadith

    of the Isra and Mi'raj, the miracle of release water from the Prophets hands, the

    moon divided into two portions, the Quran was sent down in seven modes (sab'at

    aruf), the blessing and punishment in grave (barzakh), and the questions of

    Munkar and Nakir in grave.

    Likewise, his reference to the transmissions of the well-known sources of

    the Sunan al-Sittah and Sunan al-Tis'ah especially Abu Dawud (d. 275 AH), al-

    Tirmidhy (d. 279 AH), Ibn Majah (d. 273 AH), and Amad ibn anbal (d. 241

    AH). These indicate his attempt to authorize the transmissions. However, Ward

    al-Zawahirs references to aHadith, which are from other sources such as Ibn Abu

    Shaybah (d. 235 AH), Ibn Abu al-Dunya (d. 281 AH), Abu Ya'la (d. 307 AH), al-

    'Uqayly (d. 322 AH), Ibn Hibban (d. 354 AH), al-abarani (d. 360 AH), Abu al-

    Shaykh (d. 369 AH), al-Hakim (d. 405 AH), Abu Nu'aym (d. 430 AH), al-

    Bayhaqy (d. 458 AH), al-Daylamy (d. 509 AH), Ibn 'Asakir (d. 571 AH), and Ibn

    al-Najjar (d. 636 AH) need further clarification.

    In fact, his approach of the commentary (shar) with great emphasis on the

    authoritative literal revealed argumentations distinguished himself from the other

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 25

    Malay scholars in dealing with the hadith in their works. For instance, in dealing

    with the concept of predestination (qaDha and qadr), he noted the need for the

    authoritative proofs (i.e. Hadith maqbul of the ai and asan) by the reference

    to the al-Shaykhayn and supported by al-Tirmidhi and others of the Sunan al-

    Sittah. He states:

    Reported by al-Tirmidhi (with his chains of transmissions) of the

    Prophet (P.B.U.H) said: Do not believe a Muslim until he believes in

    good and bad of the destiny (qadr). Whenever God determined it to be

    good, then it be. But if He determines bad, it to be bad, then let it be. This

    Hadith also reported by al-Shaykhayn (al-Bukhari and Muslim) and the

    four people (scholars) who have sunan (Shahib al-sunan), the Prophet

    (P.B.U.H) says: None of the person (nafs) who was born, but surely

    has been determined by God the place of heaven and hell as well as to be

    woeful or happy.

    Apart from the quoted sources of the Sunan al-Sittah, the Hadith was also quoted

    from al-abarani, Ahmad, Abu Nu'aym as well as sourced from the Companions

    (rawi al-adil) such as Abu Hurayrah, Ibn 'Umar, Anas, 'Aishah, and

    Mu'adh ibn Jabal. In this respect, the superiority of the authoritative

    naqliyah (dalil sam') is well recognized.

    Likewise, the priority of the naqliyah was complied in dealing with

    creedal discourse whose subject was not attainable through the intellect and senses

    especially pertaining to the unseen matters (sam'iyyat). For that, besides his

    employment of authoritative naqliyah particularly that from al-Jalalayn,

    he sometimes referred to the revealed sources that of the elevated Hadith (marfu')

    which is directly attributed to the Prophet (P.B.U.H) and also sourced

    from the Companion (rawy al-adil). In addition, he also sometimes referred to the

    other hadith sources of the similar attested hadith. Thus, the numerous chains of

    transmitters (isnad) would elevate the authority of the Hadith, which support one

    another. For instance, regarding the question in the graves, he referred to the

    different isnads, which are similar to the attested Hadith literally and

    interpretively (lafdh and ma'nawy). He says:

    Reported by Ibn Abu Shaybah, Ibn Jarir, Ibn al-Munzir, al-abarani and

    Ibn ibbans ai from Abu Hurayrah marfu' the Prophet (P.B.U.H)

    says: O me in the Hands of God that the dead when delivered in his grave

    you will hear Ghaws voice, so you turn away from it if he is mukmin,

    his prayer (alah) will be on his head, and charity on the right and

    fasting on the left and charitable, good deeds (ma'ruf), and courtesy (isan)

    sitting on his legs

    Despite his reference to the Hadith marfu and the source of the

    Companions (rawi al-a'la) in Ward al-Zawahir, it did not sufficiently reflect on

    the authenticity of the Hadith. However, he has given significant credit to his

    work by stating his cited sources to facilitate the efforts for further verification of

    these hadith. He sometimes verified the position of the hadith which parallels his

    creedal attitude of the authoritative Hadith of the Shahih and Hasan. Hence, this

    indicates his consistency with his creedal methodology of the Hadith. For that, he

    notices:

    Al-afi Ibn Kathir asserts that there is Hadith reported by Ahmad:

    Cheer for all believers (mukminun) the spirit that they were in heaven as a

  • Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 26

    martyr walking in heaven and will eat the fruits and see the beauty

    and pleasure, and it would honor God who provided for them from the

    privilege (karimah).Isnad of this Hadith is authentic and reliable which

    assemble three of four imam madhhab. So that the transmission of

    the Shafi'i from Malik ibn Anas from Zuhri.

    The above clearly shows his verification of the quoted sources of Hadith.

    However, he frequently referred to the hadith from the sources related to the merit

    of certain deeds (Fadha'il al-Amal) as in al-'Uqaylys al-u'afa, Ibn 'Adys al-

    Kamil fi al-Dhu'afa, Abu Nu'ayms ilyat al-Awliya, al-Bayhaqys Shu'ab al-

    iman, and al- Daylamis Musnad al-Firdaws. Likewise, the hadith from other

    sources contain Hadith Shahih, Hasan, and Dha'if such as the hadith of Ibn Abu

    Shaybah, Ibn Abu al-Dunya, Abu Ya'la, al-abarani, Abu al-Shaykh, Ibn 'Asakir,

    and Ibn al-Najjar require further verification through the examination of the

    chains of transmitters (isnad) and the textual Hadith (matn).

    In addition, there were reported hadith without any reference to either the

    sources of takhrij or the isnad of the Companions as well as Successors (rawiy al-

    a'la) in Ward al-Zawahir. Otherwise, Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's

    cited either the Prophet (P.B.U.H) said so or even partly reported

    or that only brought through storytelling and narrative techniques (ikayah). Thus,

    these complicated verification the transmitters of the Hadith. For instance, he

    qoutes:

    The transmission (riwayah) states that there is a river under 'Arash that

    Jibril had been bathing in and when he removed the water from his body, then He

    created the angels from the teardrops, while the other riwayah reports

    that some angels were created from fire (nar) and some others from the dew.

    The riwayah is that God created the angels for one-third of the numbers of the

    creations in the universe; meanwhile others indicate that the number of the angels

    consists of two-thirds of the creations

    Elevated Hadith (marfu'), Weak Transmissions (riwayat dha'ifah), and the

    Merit of Certain Deeds (Fadha'il al-Amal)

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward al-Zawahir frequently

    refers to the Hadith marfu' and the isnad of the Companions (rawy al-adil), which

    significantly facilitates in detecting the original sources and its authority.

    He also refers to the Hadith marfu' that from al-Shaykhayn i.e. al-Bukhari and

    Muslim. Likewise his reference especially to the Sunan al-Sittah and Sunan al-

    Tis'ah as well as from other transmissions such Ibn Abu Shaybah, Ibn Abu al-

    Dunya, Abu Ya'la, al-'Uqayy, Ibn Hibban, al-abarani, al-Hakim, Abu al-Shaykh,

    , Abu Nu'aym, al-Bayhaqy, al-Daylamy, Ibn 'Asakir, and Ibn al-Najjar. While the

    Hadith marfu' which refers to isnad of rawy al-a'la of the Companions is most

    abundant in Ward al-Zawahir such as from Abu Hurayrah, Ibn Mas'ud,

    Ibn 'Abbas, Anas, Ibn 'Umar, Aishah, Abu Sa'id al-Khudry, 'Ali ibn Abu Thalib,

    Jabir, and Mu'adh ibn Jabal. Thus for, his reference to the Hadith marfu' and the

    isnad of rawy al-a'la needs further verification, as these transmissions have yet to

    determine its authority, but he simplifies it to merely mention as reported from

    Hadith marfu' or from the Companion without any justification.

    Although he highly strives to deliver its sources, there are also

    transmissions that have proven Dha'if after examination through the study of the

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 27

    source-critics (takhrij) and the science of criticizing of the reporters of Hadith (al-

    jarh wa al-ta'dil). He even verifies the position of the Hadith Dha'if as he states:

    Reported by Ibn 'Asakir in his Tarikh by which Dha'if isnad from Anas

    marfu' that a man is dead with nothing of the Quran except Surat al-Mulk

    -he had recited and memorized- when the angel (malak) came to him in

    the grave. The Surat (al-Mulk) then covered his face, and the angel said (to

    the Surat al-Mulk): You come from the Book of Allah (al-Quran), so I

    hate to harm you, but if you want to intercede him, you might go

    to your God for the intercession (shafinah). This chapter (Surat al-

    Mulk) then went to God (Rabb al-'Alamin), and asked: O my Lord! Your

    servant (reader) had recited me with the few chapters of the Quran and

    learnt from me (the Quranic verses), will you burn and torment him in the

    fire? While I (the Quranic verses) am in his cavity (of reading and

    memorization) - (O Allah! I plead You to intercede him) if you punish

    him, while I am in his cavity (recitation), please eliminate me from Your

    Book (al-Quran). The Almighty replied: You attempt to intercede him,

    therefore I give permission to you (Surat al-Mulk) to intercede him.

    The above transmission reported by Ibn 'Asakirs al-Tarikh and al-Daylamis al-

    Firdaws from Anas is Dha'if in which such Hadith could be classified of the

    Fadha'il al-Amal pertaining to the benefits of reciting Surat al-Mulk in

    connection with the torment of the grave. In fact, there are some authoritative

    hadith (i.e. ai) reported by Muslim, Amad ibn anbal, and al-Darimi

    concerning the Quran would be considered as intercession (shafa'ah) to the

    readers in hereafter. Similarly, the attested Hadith reported by al-

    Tirmidhi with the isnad asan. Thus, by the attachment of numerous isnad, he

    attempts to maintain with his creedal approach to deal with the authoritative

    Hadith.

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss approach in certifying the

    authoritative hadith within the use of Hadith marfu' and the isnad of the

    Companions (rawi al-a'la) has provided a significant effort to the authority of

    Hadith. However, the transmissions whose authority could not yet be identified

    and therefore, these transmissions require further verification with the help of the

    science of source-critics (takhrij) as well as the science of criticizing of the

    reporters of Hadith (al-jarh wa al-ta'dil). Thus, his Ward al-Zawahirs approaches

    of the revealed sources (naqliyah) seem consistent with his authoritative creedal

    argumentation with some inadequacies of the method of certification.

    Regarding the weak Hadith (Dha'if), Shaykh Dawud bin Abdullah al-

    Fatani's attempts to employ the hadith Dha'if based on his attitude that such

    Hadith is applicable in the branches of religious practices (furu') and the merit of

    certain deeds (Fadha'il al-Amal) . Thus, hadith Dha'if is arguable in Fadha'il al-

    Amal except for those of the very weak Hadith which are the fabricated Hadith

    (mawDhu'), abandoned Hadith (matruk), and denounced one (munkar). The use of

    Hadith in Ward al-Zawahir was plentiful and obvious, especially in Fadha'il al-

    Amal. He consistently attempts to maintain with his attitude of the authoritative

    Hadith as well as the Dha'if one, as he sometimes verifies the cited hadith

    including the Dha'if in his composition. Among the Hadith dha'if in Ward al-

    Zawahir as he verifies:

  • Hasbullah bin Muhammad: Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani's 28

    Reported by Syafi'y in Rawy al-Riyain that people who died on Friday

    night will not be tortured. This is to honour him, as reported by the isnad

    Dha'if from Anas ibn Malik: The torment of the grave would be removed

    for those who died in the month of Ramadhan. According to him,

    yatamil is imposed specifically to disobeying Muslims ('aah).

    Based on the above Hadith Dha'if pertaining to Fadha'il al-Amal which is in line

    with his creedal attitude as he clearly stated in Ward al-Zawahir and Jam' al-

    Fawaid indicating that the Hadith Dha'if serves to support the authoritative

    traditions connected therewith. Thus, he attempts to gather many similarly

    attested hadith of the subject matter for the sake of authority. These transmissions

    of the numerous isnad would be classified as the shawahid and mutaba'ah.

    Therefore, with the strength of undisputable authority of the isnad and coupled

    with the way he facilitates the understanding of the meaning of the

    Hadith enables him to provide solid creedal argumentation.

    Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss attitude of dealing with Hadith

    Dha'if, which is to support and strengthen his authoritative creedal argumentation

    in Ward al-Zawahir to be consistent with his employment of the Hadith Dha'if

    along with the ai and asan. For that, his citation of the reported hadith of the

    muaddithun which usually associated with Hadith Dha'if and Fadha'il al-Amal

    indicates the usage of hadith Dha'if in Ward al-Zawahir. Among those of

    reporters are: Ibn Abi Shaybah, Ibn Abi al-Dunya, Abu Ya'la, al-'Uqayli, al-

    abarani, Abu al-Shaykh, Abu Nu'aym, al-Bayhaqy, al-Daylami, Ibn 'Asakir,

    Ibn Mandah, al-Bazzar, and Ibn al-Najjar.

    Based on the observation of these circumstances, it would signify that the

    role of the Hadith Dha'if cited in Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani'ss Ward

    al-Zawahir serves as Fadha'il al-Amal as well as to support the authoritative

    arguments which would function as the mutaba'ah or shawahid. Thus, his creedal

    approach and consistency of the authoritative Hadith has not changed. Concerning

    the fabricated Hadith (mawdhu'), Shaykh Dawud bin Abdullah al-Fatani's seems

    to maintain with his attitude of weak Hadith (Dha'if), indicates that the Hadith

    mawdhu' (i.e. very weak) is totally rejected in all religious circumstances. His

    Ward al-Zawahir even attempts to validate certain hadith as mawDhu such as the

    Hadith of the quantity of the prophets, which is based on Ibn al-Jawzis

    verification. Despite the existence of hadith Dha'if in Ward al-Zawahir, generally

    it is difficult to detect fabricated Hadith. This would indicate that he seems

    consistent with the creedal approach of the authoritative Hadith even though he

    could have accidentally or unintentionally attached such hadith due to human

    factor, or overlooked the aspect of the Israelites (Israiliyyat) transmissions.

    Regarding the Israiliyyat, there were especially the narrations pertaining

    to the story of the previous prophets, and the ancients such as in the story of

    Prophet dam, Nuh, Ibrahim, Yusuf, Yunus, Sulayman, 'Isa and Maryam, Ashab

    al-Kahf, and al-Ifk ('Aishah). The commentary based on transmissions of the

    Israiliyyat were frequently cited in the form of a narrative telling without its

    sources and chains of transmitters (isnad), hence the unknown sources

    complicated the examination of its authority. In addition, the incomplete

    transmissions (usually in the form of narrative story) as in Ward al-Zawahir

    caused the process of verification became difficult. The story of the prophets and

    events of the past were associated with the Israiliyyat sources such as the story of

  • Al-Muashirah Vol. 11, No. 1, Januari 2014 29

    'Adam, Nuh, Luth, Ibrahim, Yusuf, Yunus, 'Isa and Maryam, and Sulayman in

    relation to Balqis, Hud-hud, karamah of his minister (wazir - if Barkhiya), and

    magic (sir). For instance, he presented the Israiliyyat of Sulayman, Hud-hud,

    if Barkhiya, and Balqis in a very long story, in which a part describes:

    Some of the privileges (karamah) of if Barkhiya is that the Prophet

    Sulaymans minister brought him the throne ('arash) of Balqis from Saba

    to the