josetta maria remila tupattinaja: cemas : normal atau...
TRANSCRIPT
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .......................................................................................... i
Daftar Isi ...................................................................................................ii
Bab I. PENDAHULUAN .........................................................................1
Bab 11. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................4
1. Batasan Perilaku Normal dan Tidak Normal (abnormal) ............4
2. Gambaran tentang Anxiety ..........................................................8
a. Jenis-jenis Anxiety Disorders ...................................................9
1. Panic Disorder ......................................................................11
2. General Anxiety Disorder .....................................................15
b. Etiologi Anxiety Disorder .......................................................17
c. Penanganan terhadap Anxiety Disorder ..................................22
Bab III. Cemas : Normal atau Tidak Normal ............................................26
Bab IV. Kesimpulan ..................................................................................27
Daftar Pustaka
ii
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
BAB I
PENDAHULUAN
Bila dicermati lebih jauh, dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1998 kehidupan kita
sebagai masyarakat di negeri Indonesia tercinta ini sering di warnai situasi yang tidak
nyaman. Beberapa kali terjadi perubahan dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan
pokok maupun kebutuhan pendukung lainnya. Belum lagi kerusuhan yang melanda di
beberapa kota yang meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan sehari-hari yang biasa dijalani
dan menimbulkan trauma pada sebagian besar anggota masyarakat, baik anak-anak maupun
orang dewasa lainnya. Demonstrasi dari berbagai kelompok masyarakat juga semakin marak.
Jika dulu, di tahun 1980-an, kegiatan demonstrasi merupakan hal yang unik dan menjadi
tontonan walaupun mendebarkan, sekarang justru relatif tidak mendapat perhatian
masyarakat lagi. Terlalu seringnya melihat atau mendengar kata demonstrasi membuat
masyarakat tidak gentar lagi dan bersembunyi di rumah. Mereka tetap menjalani rutinitas
kehidupan sehari-hari sebagaimana biasanya, asalkan tetap berhati-hati dan menghindari
daerah-daerah sasaran demonstrasi di gelar.
Ternyata serangkaian kejadian atau perubahan yang terjadi selama beberapa tahun
belakangan ini belum juga tuntas. Di awal tahun 2003, kembali masyarakat Indonesia harus
berhadapan dengan perubahan tarif dasar listrik, peningkatan biaya telepon dan air serta
harga BBM - yang tentu saja akan diikuti dengan serangkaian perubahan harga-harga
kebutuhan dasar pokok, yang tidak mau atau tidak dapat ketinggalan, terpaksa harus
‘melonjak’.
Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada para pengusaha yang harus tetap menjaga
ritme produksi agar bisa terus memproduksi, tetapi juga berpengaruh pada rakyat kecil yang
bertanya-tanya mengapa mereka juga harus menanggung kesulitan ini.
1
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Ketidak-mampuan seseorang dalam menghadapi perubahan yang demikian cepat
dan dirasakan semakin bertambah berat dapat menimbulkan perasaan cemas karena
ketidak-mampuan atau ketidakberdaya untuk apa-apa selain mengikuti saja alur keputusan
yang ada dan berupaya melewati hari demi hari sebagaimana adanya.
Kecemasan, yang menurut kamus lengkap psikologi disebut sebagai anxiety ini, oleh
Neale (2001) digambarkan sebagai suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan.
Sebagaimana diketahui, perasaan manusia ada yang positif, seperti bahagia, gembira, senang -
tetapi ada juga yang negatif, seperti kecewa, bingung, khawatir dan sebagainya. Tidak ada
satupun dari kita yang memilih untuk mengembangkan perasaan negatif. Tetapi seringkali
kita tidak punya pilihan lain, selain menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan dan harus
masuk kedalam perasaan yang negatif.
Ilustrasi cerita yang disampaikan Acocella dkk (1996) tentang Richard Benson adalah
salah satu contoh individu yang mengalami anxiety. Pria berusia 37 tahun ini sering kelihatan
seperti sedang mendapat serangan jantung secara tiba-tiba; dia mengalami kesakitan di
bagian dada dan jantung yang berdebar-debar, mati rasa dan nafas yang pendek-pendek.
Masa kecilnya memang pernah mengalami infeksi pada kandung kemih dan ginjal tetapi
sudah sembuh sejak usia 11 tahun. Namun pengalamannya saat kecil membuat ia yakin dan
memastikan dirinya belum sembuh sehingga ia mudah panik dengan nafas yang pendek dan
cepat jika berada di suatu lokasi yang tidak dikenal sementara ia tidak menemukan kamar
kecil saat ia merasa butuh buang air kecil. Hat ini berkepanjangan hingga ia dewasa, ia tidak
dapat bertahan lama untuk melakukan pekerjaannya, apalagi yang menuntutnya untuk pergi
ke kantor lain yang sulit baginya untuk dapat segera menemukan kamar mandi.
Kasus lain yang juga mencerminkan gejala anxiety adalah adanya rasa takut yang
berlebihan terhadap suatu objek atau situasi tertentu.
2
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Jika objek tersebut adalah ular misalnya, maka kecemasan yang muncul dalam diri
seseorang dapat dikatakan sebagai suatu perasaan yang wajar dan memang sudah
semestinya demikian. Tetapi jika ternyata yang ditakutinya adalah terowongan, ruangan
tertutup, kerumunan orang atau berada di dalam lift, elevator dan sejenisnya maka hal ini
dapat menjadi eksklusif. Maksudnya adalah hanya dialami oleh beberapa orang saja
sementara sebagian besar orang lain umumnya tidak mengalami kecemasan.
Sebenarnya masih banyak contoh kasus yang menceminkan adanya anxiety dan perlu
ditangani secara profesional sehubungan dengan pikiran atau perasaan maupun tindakan
mereka yang tidak lazim atau tidak umum dialami oleh kebanyakan orang.
Masyarakat melihat normal-tidaknya suatu perilaku seseorang terpulang pada dua
pertanyaan dalam mendefinisikan istilah tidak-normal (abnormal), yang oleh Acocella dkk
(1996) diuraikan sebagai pertama, bagaimana masyarakat meletakkan batasan antara
perilaku yang dapat diterima (acceptable behavior) dan perilaku yang tidak dapat diterima
(unacceptable behavior). Kedua, masyarakat melihat perilaku yang tidak dapat diterima
(unacceptable behavior) sebagai gangguan (disorder) daripada sekedar perilaku yang tidak
diinginkan (undesirable).
Dengan gambaran seperti tersebut maka dapatkah dikatakan bahwa perasaan cemas
atau kecemasan atau anxiety menghadapi perubahan dan kesulitan hidup yang beruntut
merupakan suatu fenomena yang menggambarkan atau yang mengarah ke perilaku yang
normal, ataukah tidak-normal (abnormal) ?. Sementara kita tahu bahwa setiap individu
dalam menjalani kehidupan ini bisa saja secara sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka
harus masuk kedalam suatu situasi yang bisa menimbulkan perasaan cemas.
3
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Batasan Perilaku Normal dan Tidak Normal (abnormal)
Acocella dkk (1995) memberikan beberapa kriteria dalam upaya memahami apakah
suatu perilaku dapat dikatakan normal atau tidak normal (abnormal), walaupun mungkin
yang paling umum adalah norma-norma yang ada dalam satu masyarakat. Adapun kriteria
tersebut adalah:
1. Norm Violation:
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah mahluk sosial sehingga ia selalu
berada bersama-sama dengan manusia lain dalam satu komunitas. Di setiap
komunitas ada tata-cara atau norma-norma yang mengatur perilaku dari setiap
manusia yang di dalamnya saling berinteraksi satu dengan lainnya. Tata cara atau
norma ini merupakan aturan main yang bisa saja berlaku sama pada dua atau
beberapa komunitas, tetapi juga bisa berbeda. Oleh sebab itu, satu perilaku yang
diterima sebagai peritaku yang ‘benar’ bisa saja menjadi perilaku yang ‘salah’ jika
kita berada pada komunitas lain.
“Every human groups lives by a set of norms - rules that tell us what it it ‘right’
and ‘wrong’ to do, and when and where and with, whom.”
Jika lingkungan komunitas dimana seseorang itu berada termasuk kecil dan terintegrasi
dengan baik maka ketidaksetujuan terhadap norma yang berlaku juga semakin kecil.
Sebaliknya, jika ternyata lingkungan komunitasnya besar dan merupakan masyarakat yang
kompleks lebih mungkin menimbulkan ketidak-setujuan mengenai mana perilaku yang
diterima dan mana yang tidak.
4
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
2. Statistical Rarity:
Kriteria ini berdasaran sudut pandang statistik yang menyatakan bahwa suatu perilaku
itu normal atau tidak normal (abnormal) tergantung pada dimana perilaku tersebut
muncul. Suatu perilaku dinyatakan abnormal jika berada pada titik deviasi dari
penyebaran rata-rata, baik itu rata-rata atas maupun rata-rata bawah dari kurve normal.
“abnormality is any substantial deviation from a statistically calculated
average. Those who fall within the ‘golden mean’ -those, in short, who do
what most other people do - are normal, while those behavior differs from
what of the majority are abnormal.”
3. Personal Discomfort:
Penetapan suatu perilaku apakah normal atau tidak normal (abnormal) tergantung pada
penghayatan masing-masing individu atas pengalaman atau aktivitas kehidupannya
sehari-hari. Kriteria ini lebih liberal karena tidak ditetapkan oleh pihak di luar dirinya
sebagaimana dua kriteria sebelumnya, melainkan ditentukan oleh normalitas keadaan diri
mereka sendiri. Memang kelemahan dari kriteria ini adalah karena tidak adanya standar
untuk mengevaluasi perilaku itu sendiri, tetapi banyak digunakan dalam sesi psikoterapi
dimana penetapan perilaku seseorang bukan dari orang lain tetapi oleh diri mereka
sendiri yang menetapkan apakah mereka merasa tidak bahagia (unhappy) dengan
beberapa aspek dalam kehidupannya.
“If people are content with their lives, then their lives are of no concern to the
mental health establishment. If, on the other hand, they are distressed over
their thoughts or behavior, then they require treatment”
5
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
4. Maladaptive Behavior:
Kriteria ini bisa tumpang-tindih dengan kriteria pertama (norm violation) karena
perilaku normal atau tidak normal (abnormal) menurut kriteria ini berkaitan dengan
adaptif-tidaknya suatu perilaku. Jika seseorang menampilkan perilaku yang sesuai
dengan tuntutan lingkungan sekitar maka perilakunya termasuk kategori normal.
Sebaliknya, jika ternyata perilaku yang ditampilkan tidak sesuai dengan tuntutan
lingkungan sekitar maka perilakunya adalah perilaku yang tidak-normal (abnormal).
“Many norms are rules for adapting our behavior to our own and our
society’s requirements”
5. Deviation from an Ideal:
Yang menjadi tolok ukur dalam menetapkan tidak normalnya (abnormal) suatu perilaku
adalah segala penyimpangan dari ideally well adjusted personality. Hal ini berkaitan
dengan teori-teori psikologis yang pada akhirnya membuat individu mengatakan bahwa
dirinya tidak normal atau minimal membutuhkan penanganan psikologis, sekalipun
tidak ada simptom-simptom yang nyata.
“Several psychological theories describes an ideally well-adjusted
personality, any deviation from which is interpreted as abnormal, to a greater
or lesser degree.”
6. A Combined Standard:
Psikolog saat ini lebih melihat suatu perilaku tidak hanya berdasarkan fakta-fakta ilmu
atau sekedar nilai-nilai sosial tetapi merupakan penggabungan dari fakta dan nilai yang
berlaku, sebagaimana yang dikombinasikan pada Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM).
“The definition of mental disorder must rest on both facts and values.”
6
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Maher dkk (dalam Acocella, 1995) mengemukakan 4 kategori dasar dari suatu
perilaku sebagai indikasi dari gangguan mental, yaitu:
1. Tingkah laku yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain tanpa
memperhatikan minat dirinya.
2. Kontak realitas yang rendah.
3. Reaksi emosi yang tidak tepat terhadap situasi interaksi.
4. Tingkah laku yang erratic, yang tidak dapat diprediksikan.
Upaya memahami perilaku yang tidak normal (abnormal) juga disampaikan oleh
Neale dkk (2001). Kriteria yang diajukan hampir sama dengan yang diajukan oleh Acocella
dkk, yaitu yang berkaitan dengan statistical frequency dan violation of norms, juga adanya
personal distress yang relatif sama dengan kriteria ke-3 yaitu personal discomfort. Tetapi
selain ketiga hal tersebut, ia juga mengajukan kriteria disability or dysfunction dan
unexpectedness. Disability or dysfunction berkaitan dengan terkendalanya individu dalam
menjalani kegiatan di beberapa area kehidupannya, seperti pekerjaan atau dalam menjalin
hubungan personal karena keabnormalannya. Distress dan disability dianggap abnormal
ketika hal tersebut merupakan respon yang tidak diharapkan terhadap stresor lingkungan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa suatu perasaan cemas atau
kecemasan atau anxiety dapat dikatakan normal jika :
1. Hampir seluruh atau sebagian besar orang lain juga mengalami kecemasan.
2. Individu itu sendiri tidak merasa terganggu secara emosional akan perasaan cemasnya.
Maksudnya, ia tahu bahwa ia cemas hanya saja hal tersebut tidak membuatnya terkendala
dalam menjalani aktivitas sehari-harinya, baik yang berkaitan dengan aktivitas belajar,
pekerjaannya maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari/bergaul. Ia
7
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
bisa tetap berkarya serta memahami dan mentaati peraturan atau norma sosial yang
berlaku.
Jika ternyata individu mengalami hal yang justru sebaliknya, maka dapat dikatakan bahwa
anxiety yang dialami tidak-normal.
II. 2.Gambaran tentang Anxiety
Neale dkk (2001) mengatakan bahwa anxiety sebagai perasaan takut yang tidak
menyenangkan dan apprehension, dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatotogis
sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan atau anxiety disorder.
Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak, kita bisa saja mengalami anxiety, namun
anxiety pada orang normal berlangsung dalam intensitas atau durasi yang tidak
berkepanjangan sehingga individu dapat tetap memberikan respon yang adaptif.
Untuk memahami anxiety yang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-fungsi
individu, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa anxiety seharusnya melibatkan atau
memiliki 3 komponen dasar, yaitu :
1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan, ketakutan
dan tidak adanya harapan untuk dapat mengatasinya.
2. Respon-respon perilaku (behavioral responses), seperti menghindari situasi yang ditakuti,
kerusakan pada fungsi bicara dan motorik, dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas
kognitif yang kompleks.
3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot,
peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering,
nausea, diare dan dizziness.
Akhirnya, anxiety menjadi gangguan dan diagnosa anxiety disorder dapat ditegakkan
ketika individu menyatakan bahwa ada
8
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
perasaan cemas yang secara nyata dialami secara subjektif dan hal ini mengganggu aktivitas
sehari-hari serta menimbulkan beberapa respon fisiologis yang tidak nyaman. Anxiety dapat
dialami dalam beberapa cara yang variatif.
II.2.a. Jenis-jenis anxiety disorder
Untuk dapat memahami anxiety disorder secara menyeluruh maka menurut Neale
dkk (2001) ada 6 kategori utama yang termasuk di dalamnya, yaitu terdiri dari :
1. Panic Disorder, yang umumnya diawali dengan panic attacks atau serangan panik
berulang yang ditandai dengan adanya gejala fisiologis, seperti pusing, detak jantung
yang cepat, gemetar, perasaan tercekik dan ketakutan ‘menjadi gila’ atau ‘mau mati’.
2. Generalized Anxiety Disorder dikarakteristikan dengan kekhawatiran yang tidak dapat
dikuasai dan menetap, biasanya terhadap hal-hal yang sepete/ tidak utama.
3. Phobia yaitu perasaan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang realitanya
atau kenyataannya tidak berbahaya.
4. Obssessive-compulsive disorder ditandai dengan adanya ide-ide dalam pikiran yang
muncul secara berulang-ulang dan tidak terkendali, serta menimbulkan perilaku yang
berulang atau adanya tindakan mental.
5. Posttraumatic stress disorder merupakan akibat dari pengalaman traumatik dari suatu
kejadian disertai gejala peningkatan arousal dan dorongan kuat untuk menghindari
stimulus yang berhubungan dengan trauma tersebut.
6. Acute stress disorder, gejalanya sama dengan posttraumatic stress disorder yang terjadi
secara langsung dan bertahan selama 4 minggu atau kurang.
9
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Sedangkan yang diajukan oleh Acocella dkk (1996) adalah adanya 3 pola dasar
dalam memahami gejala-gejala anxiety disorder yang dialami oleh seseorang, yaitu yang
berkaitan dengan panic disorder dan generalized anxiety disorder, phobias serta obsessive
compulsive disorder. Secara umum dikatakan bahwa kecemasan pada penderita panic
disorder dan generalized anxiety disorder tidak terfokus
“..either it is with the person continually or it seems to descend ‘out of
nowhere’, unconnected to any special stimulus.”
Pada phobia, ketakutan muncul/ditimbulkan oleh suatu objek atau situasi yang di
identifikasikan sebagai hal yang menakutkan, walaupun sebenarnya baik objek maupun
situasi itu sendiri tidaklah menakutkan. Sementara pada penderita obsessive compulsive
disorder, kecemasan muncul ketika ia tidak mampu memutuskan kaitan antara munculnya
pemikiran-pemikiran secara intens dengan/atau tidak diikuti dengan memunculkan
perilaku-perilaku tertentu yang sulit untuk dikontrol.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (1994) memberikan
gambaran yang lebih rinci mengenai gangguan-gangguan tersebut di atas. Namun perlu
diingat bahwa ada beberapa gejala yang muncul pada satu gangguan dapat juga muncul
pada gangguan lain. Hal ini disebut sebagai cormobidity (Neale dkk, 2001) :
“Often someone with one anxiety disorder meets the diagnostic criteria for
another disorder as well”
Oleh sebab itu, kita pertu memahami dengan jelas dan pasti persamaan dan perbedaan yang
esensi dari masing-masing gangguan agar tidak terjadi kekeliruan dalam menegakkan
diagnosa.
Sehubungan dengan situasi negara kita yang belum stabil yang dapat menimbulkan
perasaan tidak nyaman/ketegangan yang juga berdampak pada kelancaran pelaksanaan
kegiatan rutinitas sehari-hari
10
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
maka pembahasan mengenai anxiety disorder akan dibatasi pada panic disorder dan
generalized anxiety disorder. Berikut ini akan disampaikan ciri-ciri diagnostik dari panic
disorder dan generalized anxiety disorder sebagaimana yang dipaparkan pada Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder IV (1994).
II.2.a.1. Panic disorder
Sesuai dengan DSM IV, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa individu disebut
mengalami panic disorder jika is secara berulang-ulang mengalami serangan panik (panic
attacks) yang tidak diharapkan, dan keadaan ini menimbulkan masalah secara psikologis
ataupun perilaku :
“A person has panic disorder when she or he has had recurrent unexpected
panic attacks, followed by psychological or behavioral problems - that is
implications or consequences of the attack, or significant changes in behavior
(e.g., staying home from work) as a result of the attacks.”
Ciri-ciri diagnostik dari panic attacks oleh DSM IV (1994) digambarkan secara
terpisah karena keadaan ini terjadi dalam beberapa konteks yang berbeda pada anxiety
disorder. Adapun ciri-ciri dari keadaan panic attacks adalah :
1. Munculnya rasa takut yang sangat kuat atau ketidak-nyamanan yang disertai paling
sedikit 4 dari 13 gejala somatis atau kognitif berikut ini :
- Jantung berdebar-debar.
- Berkeringat.
- Gemetar.
- Perasaan nafas semakin sulit atau sesak atau tercekik.
- Perasaan susah menetan.
- Sakit di dada atau perasaan 'tidak enak'.
11
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
- Mual atau gangguan pada perut.
- Pusing.
- Perasaan takut kehilangan kendali atau ‘menjadi gila’.
- Perasaan takut mati.
- Paresthesias.
- Perasaan dingin atau panas.
- Depersonalisasi atau derealisasi
Neale dkk (2001) menggambarkan depersonalisasi sebagai :
“a feeling of being outside one’s body.”
Sedangkan derealisasi digambarkan sebagai :
“a feeling of the world’s not being real, as well as fears of losing control, of
going crazy, or even of dying may beset and overhelm the patient.”
2. Pemunculannya ini secara tiba-tiba dan memuncak secara cepat, biasanya dalam waktu
10 menit atau lebih disertai adanya perasaan bahwa bahaya akan terjadi sehingga timbul
dorongan untuk melarikan diri.
Ada 3 jenis karakteristik dari panic attack dengan hubungan yang berbeda antara
serangan dari attack dan ada-tidaknya pemicu situasi :
1. Unexpected panic, yaitu serangan dari panic attack tidak ada hubungannya dengan
pemicu situasi panik. Hal ini biasa muncul pada individu yang mengalami panic disorder
- dengan atau tanpa agoraphobia. Yang dimaksud dengan agoraphobia adalah keadaan
cemas yang terjadi pada situasi dimana melarikan diri mungkin akan sulit atau terhambat,
atau tidak adanya pertolongan yang bisa diharapkan saat terjadi panic attack.
2. Situational bound (cued) panic attack yaitu munculnya panic attack secara tiba-tiba
dalam waktu yang bervariasi, atau merupakan
12
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
antisipasi dari isyarat/pemicu situasi. Hat ini biasanya muncul pada social phobia atau
social anxiety disorder maupun pada spesific phobia. Yang dimaksud dengan social
phobia atau social anxiety disorder adalah ketakutan yang menetap terhadap satu atau
lebih situasi sosial, yang diakui oleh individu sebagai perasaan yang berlebihan dan tidak
beralasan sehingga menimbulkan perasaan sensitif terhadap kritikan, evaluasi negatif
atau penolakan serta menimbulkan perasaan harga diri yang rendah. Contoh sederhana
dari social phobia adalah adanya sikap menghindar makan di pinggir jalan misalnya
sehubungan dengan adanya perasan khawatir akan penilaian negatif dari orang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan spesific phobia adalah ketakutan yang menetap, yang
tidak beralasan dan berlebihan sebagai akibat dari kehadiran atau antisipasi terhadap
objek atau situasi tertentu. Perasaan takut ini disadari oleh yang bersangkutan tetapi tidak
dapat dikendalikan dan akan menjadi gangguan jika sudah sampai mengganggu rutinitas
sehari-hari. Contohnya, individu tidak mau makan di kantor hanya karena ia khawatir
akan tercekik.
3. Situationally predisposed panic attack terjadi jika panic atttack terjadi justru di saat
individu mengendalikan diri atau sewaktu individu mengalami anxiety setelah
pengendalian diri berlangsung selama setengah jam.
Karena khawatir terhadap panic attacks dan implikasinya, banyak individu yang
akhirnya melaporkan adanya perasaan anxiety yang menetap atau sebentar tanpa terkait pada
suatu situasi atau peristiwa yang khusus. Hal ini kemudian akan berkembang menjadi
gangguan panik (panic disorder). Untuk dapat menegakkan diagnosa adanya panic disorder,
perhatikan ciri-ciri diagnostik utama sebagaimana yang digambarkan pada DSM IV (1994),
yaitu sebagai berikut:
13
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
A. Pemunculan kembali panic attacks yang tidak diharapkan secara berulang-ulang yang
diikuti 1 bulan atau lebih salah satu/lebih hal-hal berikut ini:
- Bersifat menetap tentang adanya attacks.
- Khawatir terhadap implikasi dari attacks.
- Perubahan pada perilaku tertentu sehubungan dengan attacks.
B. Tidak adanya agoraphobia.
C. Panic attacks tidak berhubungan langsung dengan efek fisiologis dari pengaruh zat kimia
ataupun kondisi umum medis.
D. Panic attacks tidak dapat memberikan penjelasan yang lebih baik dari gangguan mental
lainnya, seperti social phobia, spesific phobia, obsessive compulsive disorder,
posttraumatic stress disorder ataupun separation anxiety disorder.
Pada DSM IV (1994), panic disorder juga didiagnosa dengan atau tanpa
agographobia. Hal ini juga diungkapkan oleh Neale dkk (2001) sebagai berikut :
“In DSM IV, panic disorder is diagnosed as with or without agofraphobia.
Agoraphobia (from the Greek agora, meaning ‘marketplace’) is a cluster of
fears centering on public places and being unable to escape or find help should
one become incapacitated.”
Jadi, individu yang mengalami panic disorder with or without agoraphobia ditandai dengan
ada-tidaknya perilaku menghindar (avoidant behavior). Penghindaran ini diasosiasikan
dengan ketakutan akan mengalami panic attacks mengenai tempat atau situasi dimana sulit
untuk melarikan diri atau tidak mungkin mendapat bantuan.
14
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
II.2.a.2. Generalized Anxiety Disorder
Individu dengan gangguan generalized anxiety akan terns-menerus merasa khawatir
tentang hal-hal yang kecil/sepele tetapi kekhawatiran ini berlebihan, tidak dapat dikontrol
dan menyangkut beberapa aspek kehidupan. Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa :
“As the name suggest, the main feature of generalized anxiety disorder is a
chronic state of diffuse anxiety. DSM IV defines the syndrome as exessive
worry, over a period of at least six months, about several life circumstances.
The most common areas of worry are family, money, work, and health (Rapee
Et Barlow, 1993).”
Beberapa individu yang normal bisa saja cemas terhadap berbagai hal, tetapi jika
berlebihan dan tidak mampu dikendalikan maka inilah yang akhirnya menjadi gangguan.
Individu dengan generalized anxiety disorder seolah-olah menunggu ‘sesuatu yang buruk’
akan terjadi pada diri mereka sehingga merasa merasa gelisah, mudah terpengaruh dan sulit
konsentrasi.
DSM IV (1994) menggambarkan ciri-ciri diagnostik dari gangguan ini agar dapat
ditegakkannya diagnosa yang tepat. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
A. Adanya kecemasan dan keresahan yang berlebihan (apprehensive expectation) yang
terjadi sehari-hari sampai minimal 6 bulan, mengenai sejumlah kegiatan atau kejadian
seperti pekerjaan, sekolah).
B. Individu sulit mengkontrol keresahannya.
C. Kecemasan dan keresahan diasosiasikan dengan 3 atau lebih gejala berikut ini (beberapa
gejala hadir dalam beberapa hari sampai sedikitnya 6 bulan)
- Kurang istirahat atau merasa terkurung/terkunci.
- Mudah lelah atau kelelahan yang berlebihan.
15
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
- Sulit konsentrasi atau pikiran kosong.
- Mudah tersinggung.
- Ketegangan otot.
- Gangguan tidur (sulit tidur atau semakin banyak tidur ataupun tidur tidak puas).
D. Kecemasan, keresahan atau gejala fisik yang disebabkan distress klinis atau kelemahan
pada sosial, pekerjaan atau area penting lainnya.
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari substansi (pengobatan)
ataupun kondisi umum medis.
Disamping generalized anxiety disorder, gangguan kecemasan juga bisa muncul
sebagai akibat dari kondisi umum medis (anxiety disorder due to general medical condition)
ataupun yang merupakan efek langsung dari pemakaian substansi-substansi tertentu
(substance-induce anxiety disorder). Dua kondisi ini di diagnosa terpisah dari general
anxiety disorder karena mereka memiliki ciri-ciri diagnostik tersendiri
Yang termasuk dalam anxiety disorder due to ... (indicated the general medical
condition) dikarakteristikan sebagai berikut :
1. Kecemasan yang menonjol (prominent-anxiety), panic attacks atau obsessive compulsive
yang dominan pada gambar klinis.
2. Adanya keterangan bahwa gangguan adalah akibat langsung fisiologis terhadap kondisi
umum medis.
3. Gangguan tersebut tidak menyebabkan gangguan mental lainnya.
4. Diagnosa tidak dibuat jika gejala kecemasan terjadi hanya dalam keadaan delirium,
seperti dalam keadaan koma atau penurunan kesadaran.
5. Gejala kecemasan membuat terkendalanya aktivitas kerja, jalinan hubungan sosial atau
daerah fungsi penting lainnya.
16
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Sedangkan diagnosa subtance-induced anxiety disorder ditegakkan jika memiliki
ciri-ciri diagnostik yang relatif sama dengan digambarkan pada anxiety disorder due to ...
(indicated the general medical condition), hanya saja perlu adanya keterangan dari sejarah
atau pemeriksaan fisik atau laboratorium bahwa gambaran klinis berlangsung dalam satu
bulan berkaitan dengan subtance intoxication atau withdrawal sehingga dapat dikatakan
bahwa pemakaian obat-obatan merupakan penyebab yang berhubungan langsung dengan
gangguan.
Jika ternyata individu menampilkan gejala adanya kecemasan yang menonjol
(prominent anxiety) atau phobic avoidance yang kriteria lainnya tidak ditemukan pada
gangguan kecemasan lainnya, atau berkaitan dengan gangguan penyesuaian diri (adjustment
disorder with anxiety) maka ia dapat didiagnosa mengalami anxiety disorder not otherwise
specified. Jadi, ahli ktlnis harus menyimpulkan ada tampilan anxiety disorder tetapi tidak
dapat ditentukan apakah hal itu primer, atau karena general medical disorder, atau substance
induce.
II.2.b. Etiotogi Anxiety Disorder
Upaya untuk menjetaskan penyebab dari munculnya anxiety disorder, Accocella dkk
(1976) memaparkannya dari beberapa sudut pandang teori. Menurut para ahli psikodinamika,
anxiety disorder bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi
lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu :
“Psychodynamic theorists view the anxiety disorder as neuroses resulting from
uncounscious conflicts between id impulses and ego actions.”
17
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Sebagaimana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan
psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang
muncul dipermukaan dari gunung es itu, bagian yang terkecil dari kejiwaan yang disebut
sebagai bagian kesadaran (uncounsciousness). Agak di bawah permukaan air adalah bagian
yang disebut pra-kesadaran (subcounsciousness atau precounsciousness), dan bagian yang
terbesar dari gunung es itu ada di bawah sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam
ketidaksadaran (uncounsciousness). Ketidak-sadaran ini berisi id, yaitu dorongan-dorongan
primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan yang ada di
lingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ke kesadaran, sedangkan
tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur
dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidak-sadaran
karena ketidak-sesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi
norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika
ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah
kelainan-kelainan atau gangguan-gangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan
kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari ketidak-mampuan ego menahan dorongan id.
Acocella dkk (1996) menggambarkannya sebagai berikut :
“The neurotic individual experiences conscious anxiety over these conflicts or
keeps the anxiety at bay through rigid defense menchanism.”
Jadi, individu yang mengalami anxiety disorder, menurut pendekatan psikodinamika,
berakar dari ketidak-mampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang muncul
dari dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri.
Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam
dirinya dan
18
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini
dipergunakan secara secara kaku, terns-menerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat
menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis. Ada beberapa mekanisme
pertahanan diri yang bisa dipergunakan individu, antara lain :
1. Represi (repression), yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak
menyenangkan dan dirasakan mengancam ego masuk ke ketidak-sadaran dan
disimpan di sana agar tidak mengganggu ego lagi. Tetapi sebenarnya pengalaman
yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung terhadap tingkah laku
si individu.
2. Rasionalisasi (rasionalisation), yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran
sedemikian rupa terhadap dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil oleh
superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan.
3. Kompensasi (compensation), yaitu upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di
salah satu sisi kehidupan dengan membuat prestasi atau membedakan kesan
sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari ejekan atau rasa
rendah diri.
4. Penempatan yang keliru (displacement), yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu
perasaan tertentu ke pihak lain atau hal lain karena tidak bisa melampiaskan secara
langsung perasaannya ke sumber masalah.
5. Regresi (regression), yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau
ancaman terhadap ego dengan menampilkan pikiran atau perilaku yang mundur
kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah.
Para ahli dari aliran humanistik-eksistensial mengatakan bahwa konsep anxiety bukan
hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara
individu dengan masyarakat
19
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
atau lingkungan sosiainya. Acocella dkk (1996) menjabarkannya sebagai berikut :
“... they see anxiety not just as an individual problem but as the outcome of
conflicts between the person’s self concept and society’s ideal.”
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya
sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat dalam
menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan atau anxiety.
Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis, pusat kecemasan adalah konsep diri; yang
terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real self)
dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hat ini muncul sehubungan dengan tidak adanya
kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya
menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani
hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep
diri yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk menjadi
diri sendiri (authenticity), sedangkan individu yang neurotis atau yang mengalami anxiety
disorder adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri (inauthenticity) karena mereka
mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu (false self).
Sementara para ahli dari pendekatan behaviaristik mengatakan bahwa kecemasan
muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik
intrapsikis/unconsciousness conflict; individu belajar menjadi cemas. Hal ini digambarkan
oleh Acocella dkk (1996) sebagai berikut :
“... people may also learn to associate a neutral stimulus with the
anxiety-producing stimulus and then be conditioned to habitually avoid that
stimulus.”
20
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu, yang menghasilkan
kecemasan, yaitu :
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak berbahaya atau tidak
menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan stimulus yang menyakitkan (aversive)
akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent conditioning).
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak
penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon
menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui operant conditioning).
Dari sudut pandang kognitif, anxiety disorder terjadi karena adanya kesalahan dalam
mempersepsikan hal-hal yang menakutkan, yang oleh Acocella dkk (1996) dijabarkan
sebagai berikut :
“... people with anxiety disorder misperceive or misinterpret internal and
external stimuli. Events and sensations that are not really threatening are
interpreted as threatening, and anxiety result.”
Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi pada individu yang mengalami anxiety
disorder adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan interpretasi terhadap stimulus
internal ataupun eksternal. Individu yang mengalami anxiety disorder akan melihat suatu hal
yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika individu
mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidak biasa, lalu menginterpretasikannya
sebagai sensasi yang bersifat catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami
sesuatu hal seperti serangan jantung, maka akan timbul rasa panik. Kegiatan interpretasi
negatif terhadap sensasi tubuh dapat menghasilkan panic attack yang kemudian dapat
berkembang menjadi panic disorder.
21
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
II.2.c. Penanganan terhadap Anxiety Disorder
Upaya menangani anxiety disorder juga dapat dijelaskan melalui pendekatan
psikodinamika, humanistik-eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun kognitif.
Menurut para ahli psikodinamika, karena, gangguan ini berakar pada keadaan
internal individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu
sehingga ia mengembangkan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya
menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk mengeluarkan
seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul dalam dirinya. Asumsinya adalah jika
individu bisa menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih bebas dan
tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang dikembangkannya.
Hal ini oleh Acocella dkk (1996) digambarkan sebagai berikut :
“The goal of psychodynamic therapy is to remedy this situation by exposing
and neutralizing the material that the ego is wasting its energy trying to
repress”
Tehnik dasar yang digunakan disebut free association; individu diminta untuk menjelaskan
secara sederhana tentang hal-hal yang ada dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis
atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau
tidak sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini
juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan tehnik dream interpretation; individu diminta
untuk menceritakan mimpinya secara detail dan tepat. Masing-masing tehnik ini memiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan tehnik-tehnik tersebut di
atas, ada dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu
individu bertahan atau beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada bagian
yang
22
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
sensitif), dan transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya pada terapis dan
menjadi bergantung.
Sementara para ahli dari pendekatan humanistik-eksistensial yang melihat kecemasan
sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri
menjadi terhambat, maka mereka lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang
rusak (damaged self). Tehniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang
berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat
dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi
dirinya semaksimal mungkin. Acocella dkk (1996) menggambarkan pendapat Carl Rogers,
yang mendesain client centered therapy ini sebagai berikut :
“...psychological troubleed people need is not to be analyzed or advised but
simply to be ‘heard’ - that is to be trully understood and respected by another
human being.”
Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang
paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu
sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu
dirinya.
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas)
maka untuk menanganinya perlu ditakukan pembelajaran utang agar terbentuk pola perilaku
baru, yaitu pola perilaku yang tidak cemas. Oleh Acocella dkk (1996) digambarkan sebagai
berikut :
“For the anxiety disorders behaviorists have evolved a set of related techniques
aimed at reducing anxiety through graduated exposure to the feared stimulus.”
23
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic desentisitization,
yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarkhi ketakutan,
menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana
sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat
digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward -
jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment - jika
tidak ada perubahan perilaku atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang
dengan rencana perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan
menjadi contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran
yang mencemaskan.
Pendekatan kognitif yang melihat anxiety disorders sebagai hasil dari kesalahan
dalam mempersepsi ancaman (misperception of threat) menawarkan upaya mengatasinya
dengan mengajak individu berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk
(dalam Acocella dkk, 1996) mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3 bagian
yaitu :
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi
tubuhnya.
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif interpretasi, yang
non-catastrophic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dari alternatif-alternatif tersebut.
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan dari terapi
sebagai upaya menangani anxiety disorders adalah membantu individu melakukan
interpretasi sensasi tubuh dalam cara yang non-catastrophic.
24
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita anxiety disorders tidak selalu
hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah seorang ahli dari
suatu pendekatan saja. Terapi yang diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari
satu pendekatan atau lebih dari satu tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya
juga terinci dengan jelas terarah pada tujuan terapi.
25
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
BAB III
CEMAS : NORMAL ATAU TIDAK NORMAL
Melihat uraian di atas dapat dikatakan bahwa situasi-kondisi negara kita yang sedang
tidak tentu arahnya ini dapat menjadi pencetus munculnya perasaan cemas. Setiap orang
berpeluang untuk menjadi cemas. Dalam batasan tertentu, cemas dapat ditolerir sebagai
perilaku yang normal - dalam pengertian tidak menghambat aktivitas rutin sehari-hari, dalam
belajar, bekerja dan bergaul, ataupun tidak ada gangguan fisiologis ataupun perilaku. Tetapi
jika individu sudah mulai terkendala dalam melaksanakan aktivitas rutin sehari-harinya atau
adanya gangguan fisik atau sensasi tubuh yang sulit dikenali atau dikendali lagi maka hal ini
perlu mendapat perhatian.
Merujuk pada uraian tentang batasan antara normal dan tidak -normalnya suatu
perilaku maka dapat dikatakan jika hampir sebagian besar masyarakat kita mengalami
kecemasan, dan hanya kita saja yang tidak mengalami kecemasan maka dapat dikatakan
bahwa justru kitalah yang mengalami keadaan tidak-normal. Tetapi tentu saja penegakan
diagnosa mengenai normal-tidaknya suatu perilaku, tidak semata-mata ditentukan oleh
jumlah populasi yang mengalaminya atau tidak, tetapi juga terkait dengan sisi-sisi kehidupan
lainnya. Pengungkapan diri yang subjektif sifatnya dari individu yang mengalami kecemasan
dapat dijadikan indikator ia mengalami kecemasan, sekalipun orang lain di sekitarnya tidak
merasakan atau mengalami hal itu. Apalagi jika keluhannya ini diikuti dengan adanya
respon-respon fisiologis seperti ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan
darah, nafas yang cepat dsb. Adanya respon-respon perilaku, seperti kerusakan fungsi bicara,
motorik ataupun tampilan tugas kognitif juga bisa menjadi indikator bahwa kecemasan yang
di alami seseorang sudah masuk dalam kategori kecemasan yang tidak-normal.
26
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
BAB IV
KESIMPULAN
1. Perasaan cemas bisa saja hinggap pada setiap individu. Takut, bingung, tidak bahagia
adalah perasaan umum yang bisa dialami setiap dari kita.
2. Manifestasi dari rasa cemas ini bisa berbeda-beda dari satu individu ke individu yang
lain.
3. Ada individu yang mengalami kecemasan tetapi bisa tetap menjalankan aktivitas
sehari-hari secara rutin, dan tidak melaporkan atau mengungkapkan adanya gangguan
pada perilaku atau penurunan fungsi kognitif maupun gangguan pada respon
fisiologisnya.
4. Ada individu yang mengalami kecemasan dan sudah terganggu dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari. Sulit belajar, tidak produktif dalam bekerja ataupun menarik diri
dari pergaulan/lingkungan sosialnya. Hat ini dapat di katakan bahwa individu tersebut
mengalami kecemasan yang sudah mengarah pada gangguan, yang disebut sebagai
anxiety disorders.
5. Untuk menegakkan diagnosa akan ada-tidaknya anxiety disorders, perlu memperhatikan
ciri-ciri diagnostik yang dijabarkan pada DSM IV (1994).
6. Apapun latar belakang munculnya anxiety disorders, namun secara umum ada berbagai
tehnik yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menangani gangguan ini.
27
Josetta Maria Remila Tupattinaja: Cemas : Normal atau Tidak Normal, 2003 USU Repository©2006
DAFTAR PUSTAKA
Acocella, J. Alloy, LB., Bootzin, RR. (1996). Abnormal Psychology : Current
Perspectives. New York : Mc Graw Hill, Inc.
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (4th edition). Washington DC : APA
Atkinson, RL. Atkinson, RC. Smith, EE. Bem, DJ. (2002). Hilgard's Introduction to
Psychology (13th edition). New York : Harcourt College Publishers.
Chaplin, J.P. (1997). Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan Dr.Kartini Kartono). Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada
Neale, JM. Davidson, GC. (2001). Abnormal Psychology. New York : John Wiley & Sons,
Inc.
28