jalan jalan tujuh hari - hardia rayya
DESCRIPTION
RUTRANSCRIPT
-
JALAN-JALAN
TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu
-
hardia rayya
JALAN-JALAN
TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu
-
JALAN-JALAN TUJUH HARI:
MUTER-MUTER BALARAJA BARENG HITAM PUTIH ABU-ABU Hardia Rayya
Balaraja: Hitam Putih Abu-Abu Publishing, Febuari 2011 Hal, 13x19 cm
Ilustrasi : Tyan Oriza Editor :Bsik Hikari, Angkasa Wirawan
Foto Sampul: Khatta Goenawant
Diterbitkan Oleh : Hitam Putih Abu-Abu Publishing
Balaraja, Banten 15610
-
PENGANTAR PENULIS
Bismillahirahmanirrahim
Sebelumnya aku tidak pernah memikirkan untuk menulis yang di
dalamnya terdapat petualangan dan mengambil setting lokasi di
Balaraja. Sebab dari berbagai buku-buku fiksi yang memenuhi rak-
rak di toko buku, kebanyakan bercerita tentang cinta, cinta dan
cinta. Memang, tidak semua buku bertemakan cinta yang sama,
tapi juga kemasannya yang berbeda-beda.
Bagiku, tulisan yang kutulis ini juga berkisah tentang
cinta, tapi cintanya berkisah tentang persahabatan, petualangan dan
cinta daerah sendiri. Karena untuk apa mengambil seting lokasi
dari daerah lain, sedangkan di daerah sendiri banyak sekali kisah-
kisah menarik yang mampu menggugah hati.
Dalam cerita yang kutulis kali ini, lebih detail
kugambarkan berbagai kegelisahan empat orang remaja yang
memberontak dari kehidupan remaja seusia mereka. Mereka lebih
memilih menghabikan waktu di jalanan daripada sibuk ke salon
memenahi diri.
Maka, dari tulisanku kali ini, marilah kita bercermin,
terutama kepada para remaja. Kita harus senantiasa gelisah, gelisah
memikirkan sekitar!
Nikmatilah ini, yang kupersembahkan untuk kalian semua
-
PROLOG
SEJARAH NAMA BALARAJA
Balaraja adalah nama sebuah daerah yang terletak di kabupaten
Tangerang. Nama Balaraja berasal dari kata Bale dan Raja. Bale
artinya tempat peristirahatan, tempat bersantai, atau tempat
melepas lelah yang biasanya terbuat dari bambu. Raja adalah
orang yang memimpin sebuah kerajaan atau suatu wilayah
tertentu. Balaraja, atau biasa disebut Baleraja itu berarti tempat
beristirahatnya raja.
Zaman dahulu daerah Balaraja adalah daerah khusus
tempat singgah raja dari kesultanan Banten menuju Cirebon atau
saat ke Batavia. Letaknya di kampung Talagasari di pinggir sungai
Cimanceuri yang asri dan dekat jalan raya.
Penduduk Balaraja hidup dalam keramah-tamahan.
Mereka hidup berkecukupan dengan mengandalkan pertanian.
Sebagai daerah yang sering dilalui dan disinggahi pendatang
(pedagang, tentara, keluarga kerajaan, bahkan perampok) wilayah
ini jadi dikenal oleh banyak orang.
Pada suatu hari ketika sang raja yang sedang dalam
perjalanan pulang menuju kesultanannya di Banten, raja merasa
lelah dan memerintahkan para prajurit untuk membangun sebuah
bale yang terletak tak jauh dari sungai Cimanceuri. Raja itu sangat
-
senang dengan ketenangan. Ketika raja dan para prajurit sedang
beristirahat, lewatlah seorang gadis desa yang sangat cantik di
hadapannya. Lalu sang raja memerintahkan salah satu dari
prajuritnya untuk membuntuti ke mana dan siapakah gadis desa
itu.
Tidak lama kemudian, prajurit yang diutus untuk
membututi si gadis cantik itu kembali dengan membawa berita
yang cukup mengejutkan sang raja. Gadis desa itu ternyata akan
dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki. Raja merasa
kecewa, tapi raja sebagai seorang lelaki tidak mau begitu saja
mengalah hanya karena gadis itu akan menikah, lalu raja itu
membuat strategi untuk mewujudkan niatnya, yaitu menikahi dan
menjadikan gadis tersebut selir. Akhirnya raja memilih persaingan
sebagai seorang lelaki untuk mendapatkan gadis itu.
Ia menetap beberapa waktu di bale dan rela meninggalkan
kerajaan demi mendapat gadis yang ia idam-idamkan. Dengan
strategi yang pas dan taktik yang cerdas, pemuda desa yang
menjadi kekasih gadis desa itu kalah bersaing dengannya. Raja pun
menjadi pemenang. Sebagai bukti kemenangannya, raja membawa
gadis itu ke kerajaan dan menjadikannya selir. Dari pernikahannya
dengan gadis desa itu, raja mendapatkan satu orang anak.
Daerah ini dinamakan Balaraja, balenya raja. Setelah itu,
cerita selanjutnya sudah tidak ada lagi yang tersisa, tentang anak
keturunan gadis desa itu. Makam yang berada di desa Bunar saja
-
yang dipercaya masyarakat memiliki keterkaitan dengan keluarga
kerajaan. Sebagian besar percaya bahwa makam-makan itu adalah
makam dari keluarga kerajaan.1
1 Catatan tentang sejarah nama Balaraja ini kudapat dari sebuah blog http://endollempuyang.blogspot.com/2009/07/balaraja.html orang yang memiliki blog ini pun mendapatkannya dari sebuah blog juga http://oncepsajalah.blogspot.com. Tapi sebagian sudah
direvisi agar terasa enak dibaca. Karena hal ini menyangkut
sejarah nama daerahku, tak ada salahnya jika aku membuat sebuah
persembahan untuknya, Balaraja.
-
HITAM PUTIH ABU-ABU
Hitam putih abu-abu adalah nama sebuah kelompok remaja yang
menginginkan adanya perubahan dari sebuah kehidupan, lebih
tepatnya kehidupan mereka sebagai remaja. Mereka sangat muak
melihat tingkah laku remaja saat ini yang begitu hedonis2, yang
hanya gemar hura-hura, pesta dan sangat tak acuh terhadap
lingkungan sekitar. Mereka adalah Hardi, Iwan, Tedi dan Tyan.
Lalu dari wanitanya ada Ayu, Bsik dan Vera. Mereka bertujuh
melakukan kegiatan yang berbeda dari kebanyakan remaja saat ini,
seperti backpacking, hiking, dan diskusi (dalam diskusi ini mereka
lebih mengarah kepada seni, sastra, fotografi, kartun dan film).
Hitam putih abu-abu ini menolak menjadi remaja yang
kebanyakan. Mereka menolak untuk memakai pakaian yang serba
baru, bagus dan selalu mengikuti trend mode, menolak untuk
melakukan hobi shopping di mall-mall untuk sekedar ngeceng.
Kalau ke mall pun mereka lebih memusatkan diri untuk ke toko
buku. Hitung-hitung baca gratis.
2 Pengikut aliran hedonisme. Hedonisme sendiri artinya, pandangan hidup yang beranggapan kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan paling utama.
-
Kadang, hal-hal gila mereka lakukan untuk sekedar
melepas jenuh di otak karena kegiatan yang begitu menyita waktu.
Seperti berangkat malam hari pada sabtu malam dan pulang
minggu pagi. Kegiatan gilanya antara lain mereka tidur di mana
saja yang mereka sukai. Mereka lebih memilih tidur melihat
bintang dan mendengar bunyi jangkrik, daripada berpesta semalam
suntuk di diskotik atau pesta seks.
Hitam putih abu-abu percaya kepada mimpi. Mereka juga
yakin terhadap hal-hal yang mustahil. Seperti melakukan
perjalanan jauh yang tak mungkin bisa. Mereka jalani walau
dengan uang pas-pasan. Mereka semua punya mimpi dan cita-cita.
Tak pernah takut jatuh dan berani mengkritik, juga tak jatuh
apabila dikritik. Imajinasi tinggi dan daya khayal yang melebihi
remaja-remaja kebanyakan, membuat mereka lebih unggul di
bidang apapun. Tapi namanya manusia pasti punya kesalahan dan
kekurangan. Berbagai hal yang membuat mereka sakit pun mereka
lalui tanpa menyerah.
Hitam putih abu-abu adalah anak alam korban
pembangunan yang tambal sulam di negeri ini. Sesepuh desa di
kaki gunung Pulosari, Mbah Sugi, menjuluki Hardi, Iwan, Tedi
dan Tyan sebagai anak-anak yang terpilih. Anak-anak muda yang
selalu berusaha menemukan jati diri mereka sendiri, mampu
melindungi diri, kawan dan lingkungan sekitar, menegakkan
kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir lebih maju dan
-
ganas. Mereka bertemu dengan Mbah Sugi ketika perjalanan
mendaki di gunung Pulosari.
MENGAPA MEMILIH NAMA HITAM PUTIH ABU-ABU?
Karena hitam Putih abu-abu adalah sebuah jalan, dan pilihan.
Hitam, putih, abu-abu bukanlah warna, itu semua adalah awal.
Landasan atau alas. Hitam, putih, dan abu-abu saling berkaitan.
Kuat bila bersama-sama. Jalan yang harus dipilih adalah hitam
dan putih. Sedangkan abu-abu adalah saat di mana mereka hendak
memilih jalan yang akan dilalui, bisa dibilang sebuah
persimpangan menuju misteri yang akan terbongkar. Apakah hitam
ataukah putih? Lalui dan pilihlah kawan!
Hitam putih abu-abu menyebut sepak terjang mereka
dengan sebutan petualangan mencari ujung pelangi.
Hardi (Hardia Rayya)
Adalah remaja yang gemar menulis puisi dan fiksi serta
bacpacking dengan uang pas-pasan. Juga membaca (memang pada
dasarnya hitam putih abu-abu ini adalah sekelompok remaja yang
-
hobi membaca). Ia lebih memilih tampil urakan daripada
mengikuti mode zaman. Tubuhnya tinggi dan kurus, banyak
omong. Tokoh favoritnya adalah Sutardji Chalzoum Bachri3, Seno
Gumira Adjidarma4, dan Pramoedya Ananta Toer
5. Gaya bicaranya
lebih mengarah ke kritikan diselingi berbagai lelucon. Mudah
bergaul dan tak membeda-bedakan teman. Cita-citanya adalah
menjadi penulis dan bisa keliling dunia, juga mengunjungi makam
Nabi Muhammad SAW.
Iwan (Khatta Goenawant)
Remaja yang satu ini memiliki wajah yang cukup tampan bila
dibandingkan dengan anggota hitam putih abu-abu yang lain. Gaya
berpakaiannya tidak terlalu urakan. Ia hobi membaca dan
3 Penyair Indonesia yang dijuluki sebagai presiden penyair. Ia memperkenalkan puisi bergaya mantra. Karyanya yang fenomenal adalah O Amuk Kapak. 4 Dia adalah seorang penulis essai,cerpen, novel dan roman. Dia adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Salah satu karyanya adalah kumpulan cerpen Manusia Kamar. 5 Seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Ia sudah menghasilkan lebih dari 50 karya, diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Bukunya pernah dilarang beredar pada masa pemerintahan orde baru, karena pandangannya pro-komunis Tiongkoknya. Ia ditan tanpa pengadilan di Nusakambangan dan di pulau Buru. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah novel semi fiksi sejarah Indonesia, novel tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).
-
memotret. Apapun ia foto (memiliki obsesi menjadi seorang
fotografer). Sifat buruknya adalah pesimis, tapi di balik
kepesimisannya itu ia yakin, bahwa setiap hal yang ia lakukan
pasti berhasil. Tokoh favoritnya adalah Mohammad Hatta6 dan
Goenawan Mohammad7. Entah mengapa apabila ada nama
Gunawan atau yang berakhiran wan, pasti ia sangat bangga
kadang mengatakan, diakan saudara gue!. Mudah bergaul walau
pemalu. Pertama mengenalnya pasti penilaian pertama yang
terlintas adalah dia orang yang dingin.
Tedi (Angkasa Wirawan)
Adalah seorang remaja keras kepala. Foto memoto dan menulis
puisi adalah hobinya juga memiliki obsesi menjadi seorang filsuf.
Gemar beribadah, dan tak mudah goyah dalam mengambil
keputusan. Gaya berpakaiannya agak rapi dan sering terlihat
memakai celana bahan. Ia termasuk remaja yang tangguh yang tak
mudah menyerah. Tapi dia juga punya sifat putus asa yang selalu
datang datang apabila itu menyangkut hal-hal yang merugikan
6 Seorang tokoh proklamasi dan seorang wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. 7 Seorang penyair, jurnalis dan penyunting. Dia juga termasuk sastrawan yang terkemuka di Indonesia, termasuk salah seorang pendiri Majalah Tempo.
-
dirinya. Ia sering mengeluh, tapi di lain waktu ia bisa terlihat lebih
optimis dibanding yang lain. Tokoh favoritnya Jalaluddin Rumi8.
Cita-cita terbesarnya ingin bisa berdakwah sampai ke India,
Pakistan, Bangladesh sampai keliling dunia. Ia pun memiliki
mimpi menjadi Harry Potter9. Tedi adalah satu-satunya orang di
hitam putih abu-abu yang memiliki jenggot, walaupun tipis.
Tyan (Tyan Oriza)
Remaja yang satu ini memiliki sifat misterius. Dari penampilannya
yang urakan seakan-akan menyatakan bahwa dia adalah seorang
remaja tanpa masa depan. Tidak jelas cita-citanya mau jadi apa.
Tapi dia adalah yang terhebat di hitam putih abu-abu. Tyan
dipanggil Jenderal oleh teman-temannya karena memiliki jiwa
pemberani dan kuat. Dia juga sangat berbakat di bidang seni rupa
dan yang paling istimewa adalah imajinasinya sangat tinggi
melebihi imajinasi orang dewasa. ia selalu mengidolakan Peter
Pan10
. Pemikirannya begitu fresh dan tinggi, walau dalam
pelaksanaannya ada yang kurang berhasil. Cita-citanya ingin
menjadi komikus dan bergabung dengan MARVEL COMIC dan
8 Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi. Karya-karyanya sangat berbeda dan memiliki khas dibandingkan dengan penyair sufi lain. 9 Tokoh novel yang memilii kekuatan sihir ciptaan J.K Rowling. 10 Tokoh kartun ciptaan J. M. Barrie.
-
WARNERBROSS. Dia ingin sekali mengembangkan kegemaran
menulis dan menggambar animasinya di Jepang dan Amerika agar
bisa bersaing dengan para komikus yang ada di negeri Sakura dan
negeri Paman Sam itu. Tidak narsis dibanding Hardi, Iwan dan
Tedi. Ia begitu pendiam bagi orang yang belum mengenal dirinya.
-
1
Lakukanlah! Karena di dunia ini ngga ada yang ngga
mungkin. Kecuali satu hal, makan kepala sendiri. Hardia
Rayya
Heufth... Tyan menguap.
Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Tyan terlihat begitu
mengantuk, maklumlah, ia kalau tidak kerja, kerjaannya cuma
makan, tidur, makan, tidur plus kentut.
Nape lu, ngantuk? tegurku, sambil mengucek mata.
Lah Har, lu juga kaya lagi nyuci. mata lu tuh masih
banyak belek... Iwan pun nyeletuk dengan mata yang merem-
merem melek.
Cuma Tedi yang tak terlihat mengantuk. Wajar saja dia
sudah biasa bangunin ayam, kalo nggak ada yang bangun tuh para
ayam, ia malah berkokok yang menggetarkan dunia.
Ngantuk gue... ucapku datar.
Kami berempat, siap berangkat untuk menghirup udara
segar di jantungnya dunia, di punggung bumi, yaitu gunung.
Sambut kami gunung!
Dengan jalan yang sempoyongan, karena dari semalam
susah tidur, kami tetap saja nekad.
-
Boi, mending video kol11 sama Mbah Sugi... heuft
ucapku.
Iya, Wan hape lu aja kan yang tri ji? Udeh ngehubungin
tuh si Mbah. Pengen liat gue mukanya, masih ngantuk ga yah?
lanjut Tyan mengiyakan.
Kita ke sono, selain ke gunung, mau nagih hutang juga
nih ke si Mbah? Hehe tanya Iwan sambil nyengir12.
Ya iyalah, masa ya iya dong, jangan mentang-mentang
dia udah kakek-kakek. Kalah tarohan ga mau n ga usah bayar...
jawabku tak mau kalah.
Sori yeh, jangan mau dirugiin sama kakek tua bangka
itu... kata Tedi sambil mengepalkan tangannya. Pernah dia kalah
bertaruh habis-habisan dengan Mbah Sugi, hampir empat ratus
ribu. Sekarang dia akan melakukan pembalasan kepada beliau.
Kami berempat mengadakan taruhan nonton audisi dangdut, siapa
yang bakal keluar, ternyata pilihan kami benar, seorang wanita
muda dengan suara jelek, cuma menang seksi aja, tapi berbeda
dengan Mbah Sugi, beliau malah menjagokan wanita itu dengan
alasan cantik.
11 Fasilitas yang ada di handphone, agar bisa mengobrol sambil bertatapan muka. 12 Senyum lebar dengan kelihatan gigi.
-
Udah jangan pada ribut sih, diem nih gue lagi nelepon si
Mbah. Iwan terlihat serius menunggu telepon diangkat oleh Mbah
Sugi.
Mbah Sugi adalah seorang sesepuh desa di kaki gunung
Pulosari13
. Perkenalan yang mengejutkan menurutku, pada waktu
itu kami sedang tersesat di gunung Pulosari, dan muncullah
sesosok lelaki tua yang kukira setan. Iwan saja sampai terkencing-
kencing karena kaget melihatnya. Kami tak kuat berlari ketika
berhadapan dengan mahluk menakutkan itu. Yang membuat seram
adalah tawanya, begitu kencang dan menakutkan. Beliau
mendekat, semakin dekat dan seorang pria tua renta dengan gigi
tinggal beberapa butir saja tersenyum kepada kami. Mulai dari
sanalah kami kenal Mbah Sugi. Beliau orang yang menyenangkan.
Tak terlihat seperti sesepuh desa. Malah lebih condong sebagai
seorang remaja dengan wajah keriput. Ya, gayanya itu, belagu14
,
seperti remaja kebanyakan, terlebih telepon genggam yang selalu
dijinjingnya kemana-mana. Tak tanggung-tanggung, merknya
BLACKBERRY. Gila, orang tua yang satu ini.
Juga hobi yang mungkin banyak digandrungi oleh semua
kalangan, yaitu taruhan. Kami sering bertaruh segala hal, mulai
dari sepak bola sampai audisi dangdut. Biasanya Mbah Sugi tak
13 Nama sebuah gunung yang terletak di daerah kabupaten Pandeglang. 14 Berlagak sombong, sambil memamerkan apa yang tidak dipunyai orang lain. Juga merasa lebih hebat dari orang lain. Sebuah bahasa pergaulan dari kata sombong.
-
pernah kalah. Tapi entah mengapa kali ini kami berempat menang
telak. Haha, biar tau rasa orang tua itu.
Beliau tinggal di desa di kaki gunung dengan empat orang
anak yang semuanya telah tumbuh dewasa. Istrinya telah
meninggal saat mereka berdua berusaha menaklukkan gunung Jaya
Wijaya. Istrinya tergelincir dan meninggal. Sangat disayangkan.
Beliau termasuk orang yang sukses karena telah berhasil mendidik
semua anaknya agar hidup mandiri dan semua lulus dengan gelar
sarjana, bahkan anak terakhirnya ini sedang melanjutkan study S2-
nya.
Mbah Sugi adalah orang yang memberi gelar kepada kami
sebagai anak-anak yang terpilih. Beliau biasanya menyebut kami
sebagai anak alam korban pembangunan yang tambal sulam di
negeri ini . Kami, anak-anak yang selalu berusaha menemukan jati
diri sendiri, mampu melindungi diri, kawan dan lingkungan
sekitar, menegakkan kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir
lebih maju dan ganas di bumi ini. Mbah Sugi pun menanamkan
kepada kami tentang betapa hebatnya sebuah mimpi. Makanya
beliau selalu menyuruh kami untuk bermimpi. Beliau
menganugerahi kami sebutan anak-anak yang terpilih karena
khayalan dan mimpi kami begitu tinggi. Melebihi pemikiran
remaja yang seusia. Seperti yang selalu diucapkan beliau, Masa
depanmu ditentukan dari mimpi-mimpimu Mbah Sugi.
-
Setelah Mbah Sugi merasa umurnya sudah cukup tua
sebagai pecinta keagungan Tuhan, beliau memilih untuk
menghabiskan waktunya di kaki gunung, menghirup udara segar
dengan kenikmatan embun ketika pagi dan gemuruh jangkrik di
setiap malam harinya yang beliau tidak bisa mendapatkannya di
kota besar.
Tuuutttt..tuuuuttt...tuuuuttttt BLACKBERRY Iwan
berdentang dengan keras, kami segera mengerubunginya.
Woy berat-berat! Iwan marah ketika punggungnya kami
dorong, saat berebut ingin melihat Mbah Sugi.
Biar sih, eh lama banget nih ngga diangkat sama Mbah
Sugi? balas Tyan.
Iya yah, jangan-jangan bener, si Mbah masih tidur,
atau... kata Tedi.
Aataauuuu, ga berani ngangkat telepon dari kita-kita,
mungkin Mbah Sugi takut kali? Ucapku menegangkan, sambil
teriak histeris.
Spontan kami semua tertawa.
Tiba-tiba yang muncul wajah Rodi, anak terakhir Mbah
Sugi. Terdengar pula lantunan salawat nabi yang mengalun keras
sehingga tak jelaslah percakapan kami.
Haaallooo, hallooo... Rodi panik saat mengangkat BB
mbahnya, terlihat jelas sekali dari layar banyak orang di sana. Ada
yang hilir mudik, ada yang sibuk bawa kue. Mereka berpakaian
-
sopan, menggunakan kerudung dan berpeci. Wajah orang-orang di
sana sedang muram.
Ya, halo Bang Rodi, iiini kamii, hitam putih abu-abu,
inget ga? Iwan pun berteriak, sepertinya Rodi kurang jelas
mendengar karena suasana ramai di rumahnya.
Oohh iya, sebentar dulu saya keluar rumah, di sini
ramai!
Lalu ia keluar rumah. Nampak di luar pun suasana begitu
ramai. Entah apa yang terjadi, kami semua bingung. Semua orang
tergesa-gesa dan sedang berkabung.
Ada apa di sana tuh? bisikku ke Tyan. Ia hanya
menggelengkan kepalanya.
Dengan serius kami mendengarkan percakapan Iwan dan
Rodi.
Maaf lama... ucap Rodi.
Ga apa-apa kok. Oia bang, rame banget di rumah, emang
ada apa sih? Terus kemana Si Mbah? tanya Iwan tergesa-gesa.
Rodi terlihat bersedih, lalu ia melanjutkan pembicaraan,
Mbah Sugi... air matanya tumpah, Bapak, meninggal dunia
semalam...
Air matanya menetes tak terbendung, kami berempat
begitu kaget dengan kejadian ini. Apakah beliau meninggal karena
kalah taruhan dengan kami sehingga beliau mengalami jantungan
yang mendadak dan langsung mati di tempat? Entahlah. Kami
-
turut berduka atas meninggalnya Mbah Sugi, sang guru alam kami.
Masa-masa indah saat di sana, masa-masa ceria saat tertawa, masa-
masa gembira saat taruhan walau kalah atapun menang, dan
semuanya yang terbaik di mata kami tentang Mbah Sugi telah
sirna.
Rodi terus saja menangis. Suaranya mulai parau. Lalu ia
pun menyuruh kami kalau sempat main ke sana, kami pun
mengiyakan.
Emang kenapa Si Mbah meninggal? tanya Tyan pena-
saran.
Ngga ada yang tau kenapa bapak meninggal, menurut
abang sih, bapak semalam sedang sibuk menonton kontes dangdut,
lalu ketika idola bapak menyanyi, bapak tertawa dengan terbahak-
bahak. Tiba-tiba bapak tersendat kacang yang sedang dimakannya.
Dan beginilah jadinya. tutur Rodi sambil mengelap air matanya.
Tedi dan aku cekikikan. Hal lucu yang membuat kami
tertawa. Dengan semudah itu orang tua gunung meninggal? Ah
sepele. Seorang laki-laki kuat itu, yang sering berdiri di puncak
semesta, yang selalu mengutarakan janjinya di samping Sang
Pencipta, yang setiap kali menyentuh langit, mati, meninggal
tersendat kacang? Atau... terpesona melihat sang idola bernyanyi?
Ah misteri.
Masa? Aneh banget Si Mbah matinya? tanyaku asal
ngomong.
-
Hus, lu ngomong yang bener, Har... kritik Iwan.
Oia maaf, Bang... aku membenarkan ucapanku.
Ya udah sih ngga apa-apa. Gini, bapak nitip pesen buat
kalian pas lagi sekarat... Rodi nampak serius.
Apa? kami semua mengerubungi BB Iwan yang besar
sekali itu.
Begini, bapak berpesan untuk kalian, jadilah orang yang
berguna. Jangan pernah sekali pun berfikir untuk menjadi orang
hebat. Sebab orang hebat tak hanya menyimpan kesombongan
tentang kehebatannya. Tapi orang berguna itu selalu berbagi ilmu,
di mata orang yang telah merasakan kebergunaannya maka kita
bisa menjadi hebat. Tapi semua itu perlu tantangan. Juga, kalian
semua harus menjadi orang yang berani berkata, kalian itu adalah
beda. Berani menyuarakan kebenaran. Tak takut dikritik. Dan
menjalankan perintah Allah. Oia ada satu lagi, jangan takut
bermimpi. Bermimpilah! Karena Allah akan memeluk mimpi-
mimpi kalian!
Kami terharu mendengar pesan Mbah Sugi yang
disampaikan Rodi tadi. Aku terdiam, termenung memikirkan apa
yang telah dipesankan beliau tadi. Aku terhenyak. Begitu juga
dengan Tyan, Tedi dan Iwan.
Woy jangan bengong! Rodi mengagetkan kami semua.
Lamunan kami buyar.
Iiiyyaaa,... ucap Iwan kaget.
-
Ya udah minta doanya buat bapak, Mbah Sugi. Trus
kalian mau kemana sekarang?
Pasti kami doain, uhm rencananya kami mau ke sana.
Mau mendaki, tapi karena keadaan di sana seperti itu, ya sudah,
mungkin kami mau berpetualang ke tempat lagi deh, Bang... ucap
Iwan bijak.
Ya udah, tapi jangan lupa maen ke sini. Tengok makam
bapak yah. Pulsa lu mau gue gantiin ga? Hehe ledek Rodi.
Jeuh so kaya lu, Bang. Tuh Mbah Sugi yang kalah
taruhan juga... aku kesal.
Minta sono sama bapak gue di alam baka. Hehe...
Kami semua tertawa. Lalu Iwan mematikan BBnya.
Gimana kita sekarang? Udah dengerkan, seorang
penghidup salah satu mimpi kita telah berpulang! jelas Iwan
tegas.
Kami semua berfikir.
Gimana kalo kita wisata kota! ide Tedi memecahkan
bayang-bayang kami.
Iya, gue sama Tedi belom pernah nih wisata kota. Lu
sama Hardi kan udah, Wan. Gimana? Pastinya asyik kalo kita jalan
berempat... Tyan mengiyakan saran Tedi. Lagi-lagi kami
berfikir...
Gimana, Har, menurut lo? Iwan meminta pendapatku, ia
mungkin setuju dengan pendapat Tedi.
-
Okelah. Tapi kita begini aja nih? aku setuju dengan
saran mereka. Mungkin selain gunung dan alam, kami juga bisa
melihat gambaran kehidupan jalan yang begitu rumit. Kehidupan
yang hanya dijalankan oleh sebagian orang saja. Kehidupan yang
hanya dilalui oleh orang-orang yang terpaksa menikmati debu
jalanan dari pada wangi parfum mahal. Ya, kami akan hadapi
tantangan suram itu. Kami juga tak mau dibilang sebagai
sekumpulan orang manja. Kami juga bisa membandingkan
kehidupan kami dengan kehidupan orang-orang yang berada di
berbagai daerah.
Jadi mending kita ke kota besar saja, lebih asyik, lebih
banyak tontonan. Daripada di kota kecil. Baru jam delapan malem
udah kunci pintu. Hehe lanjutku.
Ya, gue setuju... ucap Iwan dengan pasti.
Tedi dan Tyan tersenyum puas. Nampak oleh kami
matahari yang cerah semakin mendekat. Kami menyatukan telapak
tangan kami.
Tedi berkata, Demi tujuan dan masa depan
Tyan berkata, Demi langkah dan kekuatan
Iwan berkata, Demi hidup dan harapan
Aku berkata, Demi mimpi dan perjuangan
Hitam putih abu-abu, Satukan kekuatan! kami berteriak
memecah sunyi.
-
Mungkin tak pernah seperti ini bila kami tidak bertemu
dalam kejadian saat itu. Ketika kami berempat disatukan oleh
seorang Guru, guru yang tak boleh disebut namanya. Guru itu
menyatukan kami dengan menanamkan sebuah jiwa laki-laki yang
kuat, yang tak boleh hancur hanya karena diterpa angin malam,
yang tak boleh bergetar walau topan di hadapan kami. Terus
mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa pernah mengeluh dan
cintai wanita yang benar-benar kami sayangi. Cukup satu saja.
Dengan gencarnya Sang Guru menanamkan semua itu,
kami pun semangat mencoba menyusuri jejaknya, tapi entah
mengapa suatu kejadian yang tak pernah kami lupakan dan tak
boleh kami sebutkan kepada siapapun membuat kami terpisah
dengan Guru. Dan kami pun merasa jalan satu-satunya adalah
menjadi seorang lelaki yang kuat dengan pilihan hidup kami
sendiri. Dengan mengumpulkan filosofi hidup. Dan merangkainya,
menjadikannya gambar yang begitu nyata dihadapan semua orang.
Kami pun terus memegang ajaran yang telah diajarkan Sang Guru,
agar kami menjadi seorang laki-laki. Jadi selamat tinggal, Guru,
sebuah kata yang kami ucapkan saat mengenangnya dalam setiap
perjalanannya.
Mulai saat itu, kami terus melakukan perjalanan mencari
jati diri. Bahasa kerennya adalah berpetualang mencari ujung
-
pelangi. Kami tak mau berhenti sebelum mendapatkan ujung
pelangi itu.
Kami pun menamakan diri kami hitam putih abu-abu.
Mengapa hitam putih abu-abu? Karena hitam Putih abu-abu
adalah sebuah jalan, dan pilihan. Hitam, putih, abu-abu bukanlah
warna, itu semua adalah awal. Sebuah dasar. Hitam, putih, abu-abu
saling berkaitan membuatnya kuat bila bersama. Jalan yang kami
harus pilih adalah hitam dan putih. Sedangkan abu-abu adalah di
mana saat kita hendak memilih jalan yang akan kita lalui, bisa
dibilang sebuah persimpangan menuju misteri yang akan
terbongkar. Apakah hitam ataukah putih? Lalui dan pilihlah
kawan!
Jadi kemana kita? tanyaku. Semuanya berhenti.
Aduh aduhhhhhhhh, iya yah. Duit kita mepet. Ga bisa
jauh-jauh nih... Iwan pun ragu karena keuangan kami yang hanya
pas-pasan saja.
Jakarta, langsung ke Bogor, tapi bisa juga sekalian
mampir ke Bekasi Tyan dengan pedenya memberikan saran.
Tyan, mikir donk lu! bentak Iwan kesal. Ia tak habis
pikir, Tyan mengajukan tempat yang begitu jauh dan sangat
banyak rutenya. Emang duit lu cukup!
-
Nyantai Wan,Tedi mencoba mengetengahkan masalah,
Gue sama Tyan udah kompromi, kita bakal nyoba yang belom
kita coba...
Tyan tersenyum puas.
Apaan Ted? aku masih penasaran. Apakah mencuri?
Atau mencoba berpuasa di atas kenikmatan yang bergelimang di
kota besar? Aku belum tahu.
Tedi tersenyum melecehkan aku dan Iwan.
Sial lu berdua, Apaan?! Iwan pun makin penasaran.
Sabar, Kawan! Gini, kita bawa alat masak kan? Tedi
menjelaskan.
Aku dan Iwan mengangguk. Lalu Tyan melanjutkan,
Gini, kita bisa makan dengan cara masak dan Cuma beli makanan
mentah aja. Jauh lebih murah...
Masalah transport? aku masih penasaran.
Oh o-on lu Har, kita tinggal nge-BM (berani mati, dengan
cara menghentikan mobil-mobil truk tanpa membayar) gampang,
kan? Banyak ko supir-supir yang iba ngeliat pengembara kaya kita,
yang bermuka melas kaya lu-lu pada ucap Tyan sambil menunjuk
ke arah aku, Iwan dan Tedi.
Aku dan Iwan hanya cengar-cengir. Mereka berdua mulai
sombong.
Ya udah kita sekarang mau ke mana? tanya Iwan sambil
melanjutkan langkahnya.
-
Kita ke Tangerang aja dulu. Sekarang kita naek Bulan
Jaya, gimana? ajak Tyan.
Ok kami semua setuju.
Tidak beberapa lama kemudian, Bulan Jaya datang,
dengan penumpang yang sudah berdesakkan. Tidak biasanya. Oh
ya, aku belum menceritakan apakah itu Bulan Jaya. Bulan Jaya
adalah sebuah nama bus, tepatnya mini bus yang beroperasi
dengan rute Balaraja Kalideres, Tenjo Kalideres, Rangkas
Kalideres, dan Cimone Rangkas15. Yang kami naiki adalah Bulan
Jaya rute Balaraja Kalideres. Tahukah kawan, Bulan Jaya yang
memiliki rute Balaraja Kalideres ini disebut penguasa jalan raya
Serang. Raja kebut jalanan, mulai dari Kilometer 10 - 23. Jangan
tanya kecepatannya, melebihi kecepatan suara kali yah? Setiap ada
ibu-ibu yang menjadi penumpang Bulan Jaya pasti berteriak-teriak
minta kurangi kecepatannya, katanya Hampir copot jantungku!.
Kernet bus dengan supirnya sangat kompak, inilah pasangan supir
yang amat dinanti semua supir angkot. Mulai dari mengatur
parkir,mengatur kemacetan agar bus ini bisa melaju duluan,
membaca jalan dan menghadapi rintangan jalanan, mampu mereka
atasi dengan kekompakan yang amat mereka junjung tinggi.
15 Balaraja terletak di kabupaten Tangerang. Kalideres terletak di Jakarta Barat. Rangkas atau Rangkas Bitung terletak di Lebak. Cimone terletak di Kota Tangerang.
-
Begitulah Bulan Jaya. Mungkin di tol mereka tidak banyak gaya,
tapi di km 10-23 jalan raya Serang, jangan ditanya.
Muke gile nih supir bisikku. Kecepatan tinggi yang terus
dipacu membuat debar jantung ini kian mencencekam. Padahal
penumpang sudah penuh, bukan penuh lagi, tapi sudah
membludak.
Ayo Kokol Deres Cikokol Deres!!! teriak kernet itu.
Wajah semangat tak kenal lelah selalu dikeluarkan oleh
sang kernet. Kernet di Bulan Jaya ini ada dua orang, yang pertama
berada di pintu belakang dan yang kedua berada di pintu depan.
Yang biasa mengatur jalan adalah kernet bagian belakang. Kalau
kernet bus bagian depan biasanya meminta ongkos. Tarifnya pun
tak terlalu mahal, juga bisa ditawar asalkan kita tidak pelit.
Apabila kita pelit bisa-bisa kita sebagai penumpang disuruh turun
oleh sang kernet bus.
Sambil merokok dan berbagi rokoknya kepada salah
seorang temannya, kernet tadi membuka pembicaraan dengan
temannya tadi. Aku yang persis berada di sebelahnya mendengar
pembicaraan yang menggugah hatiku.
Maaf sebelumnya, aku sedikit menguping.
Jo, sial banget gue hari ini...ucap kernet bus yang tadi
memberikan rokok.
-
Nape lu? Kayanya muke lu juga akhir-akhir ini kusut
banget dah sambil menghembuskan rokok yang tadi diberikan,
kernet kedua menjawab dengan santainya.
Masa pagi-pagi gue udah diusir sama bini16 gue. Ga
dikasih sarapan lagi kernet tadi menunduk lemas.
Emang napa?
Ga tau
Mungkin lu pernah ngelakuin salah kali sama bini lu?
Iya sih, semalem gue pulang jam sebelas. Gue abis maen
judi sama bang Tohir, orang Ceper. Nah gue kira gue bakal
menang telak. Tapi ternyata gue yang kalah telak. Nah duit gue
abis lagi. Bini gue marah, pas gue pulang ga ada duit, dia bilang
gini, udah lah Bang, kalo lu masih mau tinggal sama gue,
mending lu berhenti judi, tobat Bang, tobat. Kalo gini terus gue ga
kuat. Mending cerai aja gue sekalian Bang! gitu Jo. Nah pas pagi-
paginya gue dicuekin. Pas gue ngerayu, gue langsung diusir, Jo.
Mana bini gue sambil ngelempar piring lagi. Lah gue takut,
langsung aja gue kabur...
Kernet kedua diam berfikir mengasah otaknya. Diam,
dengan gaya santai sambil memainkan asap rokok yang keluar dari
mulutnya. Tak beberapa lama kemudian, keluarlah kalimat yang
ditunggu-tunggu kernet pertama, Lu masih sayang sama bini lu?
16 Sebutan untuk istri. Tapi masih berasa lebih kasar.
-
Iiyalah Jo. Gue sayang. Tapi... gue ngerasa salah juga
jawab kernet pertama dengan lugu.
Bener? tanyanya sekali lagi sambil melotot kearah
kernet pertama.
Lalu asap rokok ia hembuskan lagi.
Gini, cara paling tepatnya menurut gue, lu ga usah judi
lagi...
Ttaapii...
Ga pake tapi! Katanya lu masih sayang. Dan lu harus
solat. Kaya gue nih udah tobat. Kernet kedua mulai terlihat serius
dalam pembicaraan yang selanjutnya.
Jo, gue udah lupa cara solat...kernet pertama tadi berkata
sambil menunduk malu.
Nah itulah kesalahan lu! Lu masih sayang kan sama bini
lu?
Iya jo. Gue bakal lakuin apa aja biar bini gue ga marah
lagi sama gue. Soalnya udah parah banget nih...
Entar pas kita istirahat, mending lu belajar solat sama
gue, itung-itung inget-inget lagi. Dan sampe di rumah lu ga usah
minta maaf lagi...
Kalo gue pulang bini gue masih marah gimana?
Gue belon selesai ngomong, Nyet ! kernet kedua marah,
ketika ucapannya dipotong. Ia melanjutkan, Lu sampe rumah
ngucapin salam. Bisa kaga lu ngucapin salamnya orang islam?
-
Iye bissa...
Kalo udah, tapi masih ga ditanggepin lu langsung
ngomong ke bini lu, bahwa lu pulang bawa duit. Kasih semua ke
bini lu. Jangan dipake maen judi. Dan mita ajarin solat sama bini
lu. Dijamin bini lu kaget mendengar ucapan lu...
Bener?
Ya sudah kalo ga mau nyoba...
Iye gue coba...
Percakapan berakhir di sini, karena ada penumpang yang
masih memaksa ingin naik ke dalam bus. Tanpa ragu sang kernet
pun berkata, Ayo masih kosong, masih kosong!
Inilah Bulan Jaya, mini bus yang tangguh di kelasnya.
Kami naik Bulan Jaya sampai daerah Kalideres.
Keadaan yang begitu sumpek. Dengan polusi yang
bertebaran di mana-mana. Inilah terminal Kalideres. Kami
berempat telah turun dari Bulan Jaya. Siap menanti truk-truk yang
mau mengangkut kami.
Tedi dan Tyan mengulurkan tangannya kepada truk yang
lewat. Tapi tak ada yang mau berhenti. Hanya diberikan knalpot
dengan asap hitam mengepul.
Huh sial, mana nih truknya. Ngga ada yang mau
berhenti! Gerutu tedi.
-
Truk bangsat! teriak Tyan sembil melempar kerikil
mengarah ke truk yang telah meninggalkan kami dengan cepat.
Aku dan Iwan hanya menertawai mereka berdua.
Ya udah sekarang giliran gue berdua. Huh ide kalian
berdua ga ampuh... Iwan mencoba menegaskan keberhasilan
kami, sambil meremehkan mereka berdua.
Tedi cemberut saja. Tyan malah mengambil posisi duduk
dengan sleepingbednya17
. Aku dan Iwan merapat ke jalan. Baru
saja kami selesai berdebat, aku dan Iwan merapat ke bibir jalan,
sebuah truk dengan dua orang pengendara berkacamata hitam
berhenti dihadapan kami. Kami berdua kaget.
Heh, lu semua yang waktu itu naek bis Sahabat yang
turun di Serang itu kan? ucap salah seorang pengemudi truk.
Kapan, Bang? aku bertanya keheranan. Sebab sering
sekali kami ke Serang untuk bermain dan malah selalu naik bus
antar kota Sahabat, jurusan Kuningan Merak.
Yang dua bulan lalu, malem-malem. Lu berlima, sama
cewenya satu itu. Kita ketemu pas lu semua berpakean kaya gini.
Kan gue sapa, lu bilang mau hiking... jelas pengemudi tadi,
Alah lupa lagi. Gue pengamen yang ngasih tau lu kalo gue orang
Semarang. Lu yang pake baju biru, menunjuk kearahku, Lu
yang ngasih gue seribu itu...
17 Kasur lipat yang bisa dibungkus dan berbentuk tas. Biasa dipakai oleh para pendaki, backpackers, dan para orang-orang yang keluar di jalan Allah SWT.
-
Oohhhh kata kami bersamaan. Baru ingat kami. Pada
waktu, dua bulan yang lalu kami memang ingin hiking ke gunung
Karang, tapi tidak jadi, malah mengambil jalur Cilegon dan ke
pantai Marbella. Ya benar, kami menaiki bus Sahabat, dan ketika
hendak turun di Serang , ada seorang pengamen yang menyapa
kami. Orangnya ramah. Ternyata orang itu bertemu dengan kami
lagi. Ia memang benar-benar baik.
Ya udah, ngapain lu semua bengong-bengong aja, mau
ikut ga nih? lagi-lagi pengemudi yang berprofesi pengamen ini
menawarkan keramahannya kepada kami.
Di truk.
Aku, Tedi dan Tyan berada di bak belakang truk,
sedangkan Iwan ada di depan bersama orang tadi. Iwan mengobrol
panjang lebar, ia pun berkenalan dengan para pengemudi. Yang
memegang stir bernama Tyo, Prastyo nama panjangnya.
Sedangkan yang tadi mengamen dan menyapa kami tadi bernama
Jodi.
Jodi, lu kok dari Semarang bisa nyampe di sini. Jauh
banget lu maen... tanya Iwan, menghilangkan keheningan.
-
Ya sama aja kaya lu semua, Wan, lu ngapain coba maen
jauh-jauh, gembel lagi. Mana bawa kaya beginian semua, kaya
mau perang aja lu semua ledek Jodi.
Kami semua tertawa.
Kalo gue sih cuma mau mencari siapa sih gue? Gitu.
Terus kita berdua tuh cuma mau menantang hidup yang kata orang
sulit... lanjut Jodi, terlihat dari gambaran wajahnya ia
bersungguh-sungguh.
Kalo gue dan hitam putih abu-abu cuma mau mengejar
impian, cita-cita dan harapan... ucap Iwan yang mengopi kata-
kataku.
Juga hidup dan perjuangan lanjut Tyan.
Ya ya ya... aku juga tak mau ketinggalan.
Pembicaraan yang nikmat itu terhenti, karena kami
memutuskan untuk berhenti di sebuah daerah Jakarta yang pas
untuk menyambung truk lagi.
Jodi, Tyo, makasih ya! Kapan-kapan kita bisa ketemu
lagi! teriakku.
Kami semua melambaikan tangan ke arah truk yang
dibawa mereka. Mereka pun berlalu dengan begitu cepatnya. Jodi
dan Tyo, dua orang yang menjadi cerita dalam perjalanan kami.
Dengan gaya yang begitu asal-asalan, kami melanjutkan
perjalanan. Mencari tumpangan lagi deh.
-
Kita kemana lagi nih? tanya Iwan cemas. Dia selalu
begitu, pesimis dengan apa yang kita lakukan. Tapi anehnya dia
selalu yakin kalau kita bisa melakukan itu semua. Di balik
kepesimisannya, ia bisa optimis dalam berbagai hal.
Kemana ya? Gampang... ucap Tyan santai.
Huh slalu begitu, balas Iwan dengan senyum kecut.
Perjalanan kali ini diteruskan dengan naik mobil angkutan
sayur dari desa. Entah, tujuan yang tak jelas. Kami hanya merasa
berputar-putar saja di sini. Jakarta, kota besar dengan beragam
cerita di dalamnya. Orang-orang yang sibuk berjalan dengan
tergesa-gesa. Ada juga sekumpulan anak remaja yang sangat
mengikuti trend zaman, menatap kami dengan keheranan, kami tak
fokus ke mereka. Mungkin pikiran mereka, kami ini adalah orang
gunung yang sedang menuju ke kota. Ah biarkan saja. Lalu di
setiap persimpangan lampu merah, masih banyak anak jalanan dan
pengemis yang menghiasi kota besar seperti Jakarta ini. Mereka
sibuk meminta. Ada ibu dekil menggendong bayinya dengan
wajah mengiba menadahkan tangan dan berharap akan ada orang
yang mau memberikan sedikit rezeki kepadanya. Ada pula remaja
seusia kami yang sibuk mengamen. Tragis. Sebuah penderitaan
terjadi di tengah gemerlap keglamouran dunia.
Mari berkaca, wajah negara ini yang sesungguhnya
tercemin di kota-kota besar. Mulai dari para bangsawan hingga
orang-orang pinggiran, sekumpulan ustadz sampai organisasi
-
pencopet, penjual asongan sampai penjual diri, ada lelaki sejati ada
juga lelaki setengah dewa (ngerti kali, alias waria), dari keadilan
sampai kecurangan, dari pelacur jalanan sampai pelacur berkerah,
dari kenikmatan sampai kesengsaraan, gedung kokoh pencakar
langit sampai gubuk reyot yang terkena teriakan saja langsung
roboh. Ya, mungkin setiap keberhasilan sesuatu membutuhkan
pengorbanan. Apakah, Indonesia ini berhasil di berbagai bidang,
yang menjadi korbannya adalah para kaum pinggiran? Aku tak
tahu.
Kami terus menatap keterasingan berbagai orang yang
tersesat di kota ini dari atas mobil angkutan sayur. Aku
menikmatinya, juga kawanku yang lain. Hitam putih abu-abu
merenunginya.
Boi, inilah hidup, penuh perjuangan. Ga ada yang
sempurna di dunia ini... ucapku datar, aku memperhatikan semua
ini yang lain pun hanya termenung, diam tanpa kata.
Keheningan menyelimuti kami.
Tiba di sebuah lampu merah, lalu beberapa anak jalanan
berumur sekitar sepuluh tahunan berlari menyerbu jalan, bak
ombak menerjang karang. Mereka bernyanyi dengan suara fals.
Hanya berbekal sebuah botol yang diisi pasir, berbagai kendaraan
mereka datangi, hanya untuk mendapat recehan sisa kembalian
orang-orang kaya.
-
Gila tuh orang, tega amat ga ngasih tu pengamen.
Sadizzz! ucap Tyan kesal. Melihat seorang pengemudi mobil
yang hanya terdiam dan menjalankan mobilnya ketika ada seorang
bocah menyanyi di jendela mobilnya.
Pelit banget tuh orang kaya! Iwan ikut-ikutan mengutuk.
Ya jangan gitu lah boi, mereka mungkin punya alesan ga
ngasih... aku mencoba menenangkan teman-teman.
Ah, alesan sampah! Iwan langsung melanjutkan,
wajahnya kurang puas mendengar jawabanku.
Kan gue belum selesai ngomong, aku mencoba
menjelaskan lebih detail, Alesannya cuma buat ngegedein perut
tuh. Beli sampah di mall yang cuma berisi kotoran dan keringat
mereka sendiri! aku pun tersulut emosi.
Ya sudahlah... Tedi merasa sudah bosan melihat
kehidupan seperti ini.
Aku merasa salah juga, mencekal para orang kaya yang
terlihat angkuh ketika tak peduli kepada anak jalanan dan orang-
orang sebangsanya. Tapi, yang bisa kami katakan hanyalah
pengelihatan dua bola mata. Jangan salahkan mata kami.
Perjalanan terus kami lanjutkan, setelah selesai salat isya
di masjid Istiqlal18
dan setelah menyantap nasi goreng khas Tyan.
18 Sebuah masjid terkenal yang terletak di kota Jakarta.
-
Kami mencari tumpangan lagi. Sudah malam, kukira tak ada truk
yang mau mengangkut kami.
Bang ikut ya! teriakku, setelah memberhentikan sebuah
truk yang dikemudikan oleh seseorang berbadan besar.
Oke, semuanya naek... ucap supir itu dengan ramah.
Di atas truk.
Emang kalian semua mau kemana? tanya supir itu tanpa
berkenalan dulu.
Uhm, ga tau jawab Tyan. Kami semua hanya senyum-
senyum tidak jelas.
Hah, dasar anak muda jaman sekarang... supir itu agak
kaget mendengar jawaban dan ekspresi kami.
Bang, kami ikut ya, sampe pagi nanti... Tyan berharap
supir itu mengizinkannya.
Uhm, okelah. Tapi sampe mana aja ga apa-apa ya?
Iya, sampe Bali juga ga apa-apa. Hehe aku mencoba
membuat lelucon kecil. Semua tertawa, begitu juga abang supir.
Setelah malam menunjukkan wujudnya sebagai gelap yang
pekat tanpa bintang, juga diselimuti angin yang menusuk tulang,
kami semua mulai terkantuk. Lalu kami pun tidur di atas truk.
Terlelap, karena perjalanan panjang esok masih menanti kami.
-
Heufffttt ahhhhhhhh.... Tedi menguap dari tidurnya.
Alarm telepon genggamnya yang sudah tua menggetarkan telinga
kami semua. Tanda sudah pukul setengah lima pagi.
Ted, berisik. Matiin geh... Iwan merasa terusik. Lalu ia
menutupi telinganya dengan tasnya. Telepon genggam Tedi masih
berdering kencang. Truk yang kami tumpangi pun telah berhenti.
Entah terdampar di kehidupan mana lagi kami semua. Yang pasti
aku kali ini sedang menikmati mimpiku.
Woy bangun! Subuh subuh... ucap Tedi sambil
mengucek matanya. Ia pun terlihat masih ngantuk. Matanya belum
bisa terbuka. Di antara kami belum ada yang bangkit selain dia.
Perlahan-lahan suasana pagi memperingati matanya. Ia pun
perlahan-lahan membuka mata.
Tiba-tiba, ia langsung merasa terkejut, nyawanya langsung
menyatu seketika. Perasaan apa yang menyelimutinya ini?
Sungguh, berkali-kali ia mengucek matanya sampai merah. Lalu ia
mencubit Tyan, yang persis ada disebelahnya.
Awwww, sakittt! ucap Tyan yang langsung terlelap
kembali.
Ia merasa sedang berada di sebuah tempat yang ia kenal,
kenal sekali. Apakah ini tempat yang ia lihat di dalam mimpi
semalam? Ia bingung. Tapi bukan, apakah ia sedang bermimpi?
Tidak, buktinya Tyan merasakan sakit ketika ia cubit tadi. Apakah
ini?
-
Goooooooobbbbbbbbbbbblllllllllooooooooooookkkkkkkk
kkkkkkkkkkkkkkk! Tedi teriak histeris. Teriakannya
membangunkan kami semua. Aku langsung bangun walau
sebagian rohku masih melayang-layang di angkasa. Tyan pun
segera bangun dan membuka matanya lebar-lebar. Iwan melihat
sekeliling dengan mata masih terpejam. Kami pun menyadari
semua ini. Keberadaan kami saat ini. Keadaan kami di sini.
Aarrrrrggggghhhhhhhhhhhhh! teriak kami bersama-
sama.
Sang supir yang sudah bangun dari tadi tersenyum
menatap kami sambil memegang segelas kopi dan
menawarkannya. Lalu ia berkata tanpa merasa memiliki dosa,
selamat datang di Balaraja...
-
2
Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Aku bukanlah kamu.
Kamu bukanlah aku. Sebaik-baiknya orang adalah jika
mereka menjadi diri mereka sendiri, bukan orang lain.
Khatta Goenawant
Bodoh! Kenapa lagi-lagi pulang? Huh, boseennn. gerutu Tedi
yang dari tadi cemberut seusai solat Subuh.
Mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali... ucap
tyan yang lagi sibuk membuat mie instan di terminal Sentiong.
Emang kalian bener-bener dari Balaraja? tanya supir
yang masih berada diantara kami.
Ya iyalah, buktinya kami begitu kesel ngeliat ni terminal.
Bang, kenapa ga bilang sih mau ke Balaraja? jawab Tedi dengan
emosi.
Udah sih, Ted, biarin. Lagian juga salah kita ga nanya ni
truk mau ke mana. Aku mencoba meredam emosinya. Ia terdiam
tapi masih cemberut. Iwan dan Tyan masih sibuk memasak mie
instan dengan peralatan yang telah kami siapkan sebelumnya.
Iya, kalian tadi kan bilang mau kemana aja, ngikutin
truk... supir tadi mencoba membela diri agar ia tak disalahkan.
Memang, kami yang salah, tapi aku mungkin berusaha
-
menikmatinya. Apa yang akan kami kerjakan mungkin akan
dibahas nanti setelah menyantap mie instant.
Okelah, gue ngalah. Tapi gimana nih nasib kita
sekarang? Tedi masih saja mengeluh sambil mempertanyakan
nasib.
Woy, makan-makan! teriak Iwan sambil mengangkat
mie yang masih ada di dalam panci.
Tedi dihiraukan saja oleh kami semua. Lima mangkuk mie
panas tersaji dihadapan kami. Aroma yang begitu sedap menusuk
perut lapar begitu menggoda. Supir yang terlihat lapar, semakin
bernafsu untuk menyantap mie. Aku tersenyum melihat orang itu.
Ya, kebaikan harus dibalas dengan kebaikan.
Sambil memakan mie yang masih panas, aku memikirkan
tentang perkataan Tyan tadi, mungkin kita ditakdirin muterin
Balaraja aja kali..., ada benarnya juga, berkeliling daerah sendiri,
mengenal lebih dekat daerah sendiri, kalau ditanya, emang udah
semua daerah Balaraja yang dirasain? Pasti jawabannya belum.
Ya, bagus juga muter-muter Balaraja nih. Semoga saja yang lain
setuju.
Supir tadi memakan mie dengan lahapnya, upz, hampir
saja lupa, kami tak berkenalan dengan supir ini.
Oia Bang, ucapku memecah keseriusannya yang sedang
menyantap mie, Saya lupa nanya, nama Abang siapa?
-
Iwan terlihat kaget, Tyan sepertinya ingin memuntahkan
mie yang sedang ia makan, Tedi tercengang tak mengunyah.
Seakan mereka tak percaya hal yang telah kami lakukan,
melupakan hal penting yang begitu sepele, berkenalan. Dengan
sangat angkuh kami menaiki mobil si abang supir dan mengobrol
panjang lebar tanpa mengetahui namanya.
Oia ya, sampe lupa, abis keenakan ngobrol sih, nama
Abang Jo, panggil aja Jo! ucapnya dengan tegas sambil
mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku pun menyambut tangannya, kami bersalaman, terasa
sekali kasar tangannya. Seperti menunjukkan bahwa ia telah
melewati perjuangan yang begitu keras melawan keganasan alam,
Saya Hardi...
Yang lain melanjutkan, Saya Tyan..
Saya Iwan...
Saya Tedi...
Kami ini hitam putih abu abu, pembeda antara remaja
masa kini. Gaulnya kami begitu menantang, Bang... aku
melanjutkan.
Wou, gimana nasib kita sekarang? Tedi bertanya hal
yang tadi lagi, Apa kita udahan aja nih....
Huh masa pulang? Manja amat lu! Iwan terlihat kesal.
Iya masa pulang, baru semalem, cemen lu, Ted! Tyan
pun terlihat merendahkan Tedi.
-
Ya, jadi terserah lu, lu pada dah. Tapi abis gini ngapain
lagi? Tedi mencoba mengalah. Sebab, dari tadi ia sendiri saja
yang bingung memikirkan kita selanjutnya bagaimana dan mau
kemana.
Jah, Ted, lu mah gitu. Kan tadi Tyan udah ngomong,
mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali iya kan? aku
mencoba menenangkan suasana.
Iya, kita muter-muter Balaraja. Lu semua pasti belum
pernah, kan? Lah orang Balaraja sih belom pernah tidur di jalanan
Balaraja, gimana sih, Lu! kata Iwan mencoba menguatkan
argumenku. Tedi masih diam saja tak berkomentar.
Emang lu udah pernah, Wan? tanya Tyan. Iwan
kebingungan menjawab apa.
Ia tersenyum malu, Gila aja lu, masa gue tidur di Balaraja
sendirian? Ntar kalo gue diculik gimana?
Hah sampah lu! Tyan kesal.
Kita jadi nih muter-muter di Balaraja? aku bertanya.
Ya iyalah, masa ya iya deh. Cape dehhh ledek Iwan
dengan lebay.
Semuanya tertawa, termasuk bang Jo. Hanya Tedi yang
masih terdiam. Tak sedikitpun ia keluarkan ekspresi senang dari
dalam dirinya. Hanya diam, membatu, membisu, menjadi patung.
Sunyi lalu menyergapi hatinya, entah apa yang dipikirkannya. Aku
membaca dari wajahnya, yaitu kebimbangan dalam mengambil
-
keputusan kali ini yang begitu berbeda dari sekian pilihan dalam
hidupnya.
Kenapa lu, Ted? Kayanya ga seneng banget? tanya
Tyan.
Uhm...
Tau lu. Ga suka ya kita muterin Balaraja? aku meny-
ambung.
Bukan gitu, gue malu. Masa kita ngelilingin Balaraja?
Ntar kalo temen-temen gue ngeliat gimana? Kan gue malu... ucap
Tedi dengan polos sambil tersenyum.
Huuuuuu serempak kami menyorakinya.
Akhirnya kami semua sepakat, bahwa Balaraja, tanah air
tercinta kami, akan kami kelilingi. Walaupun tak sempat
semuanya, yang penting kami masih bisa merasakan udaranya
bersama-sama. Tanah yang kami bisa bilang memiliki dua sisi.
Lihat saja nanti, kawan.
Setelah selesai makan dan merapikan peralatan masak,
kami melanjutkan perjalanan mengitari jalan panjang nan sepi,
tidak begitu ramai, orang-orang menyebutnya Jalan Baru. Jalan ini
cukup bagus, tapi tak pernah dilewati angkot, kalau pun pernah, itu
dulu selagi pembangunan jalan. Para supir angkot mengeluh
karena melewati jalan itu pendapatannya jadi minim. Jelas saja
pendapatannya minim, karena sepanjang jalan itu hanyalah semak
belukar. Awalnya adalah memasuki kawasan berikat, yang kanan
-
kirinya pabrik, tapi tidak terlalu banyak dan diakhiri dengan pasar
Sentiong.
Duh mobil pada kenceng-kenceng aja nih, kita lewat desa
Tobat aja yu... ajakku.
Yang lain pun menyetujui. Mentang-mentang kendaraan
sepi, orang-orang langsung memakai jalan dengan seenak diri
mereka saja. Dipakai kebut-kebutanlah, pernah beberapa kali di
jalan ini terjadi kecelakaan dan orangnya pun menurut kabar
burung langsung meninggal di tempat. Itu karena mereka semua
kebut-kebutan.
Lalu kami pun mengambil rute yang berbeda, kami
telusuri saja jalan setapak dari arah desa Tobat. Jalan sama saja,
hanya saja lebih terhindar dari kebisingan kendaraan dan kami
ingin menikmati aroma dan gemercik sungai. Sungai kecil yang
biasa dipakai anak-anak kampung untuk berenang.
Lalu keadaan mengejutkan menyelimuti kami. Tak kami
perhatikan bahwa selama ini kejorokan masyarakat di sini kian
menjadi-jadi. Sepertinya, belum lama pemerintah daerah telah
melakukan program pembersihan sungai, sampai-sampai sungai ini
mengalami reparasi yang begitu memakan biaya. Tadinya keadaan
sungai kian membaik. Tapi, sekarang airnya makin mengeruh
ditambah lagi tadi kulihat seorang warga yang tengah bersiap
melempar sampah ke arah sungai dan berhamburanlah sampah-
sampah itu di sungai, mengambang mengikuti laju air sungai. Dan
-
yang tak kalah berbahayanya adalah limbah pabrik yang ikut
meramaikan pencemaran. Beberapa pabrik yang kami tahu telah
membuang limbah-limbah hasil industrinya sungai. Mereka, para
pengusaha, hanya memikirkan keuangan mereka saja, tanpa
memikirkan keserasian lingkungan hidupnya. Nasib anak sungai
Cimanceuri ini begitu tragis, sama dengan beberapa sungai-sungai
di daerah Tangerang lainnya. Seperti sungai Cirarab dan sungai
Cisadane, yang lebih dahulu tercemar.
Bumi terpaksa menanggung dosa-dasa besar yang kian
menumpuk di dalam tubuhnya. Berjuta-juta sampah yang
menyakitinya di dalam tubuh mesti ia tanggung. Manusialah aktor
di balik kisah penderitaan bumi kita ini. Ah, lagi-lagi manusia,
mahluk sempurna yang oleh Allah SWT diberi akal dan pikiran.
Mereka diberikan kebebasan berfikir. Maka para pemikir yang
salah, para pemikir yang tak menggabungkan pikirannya dengan
keyakinan kepada Allah, berfikiran bahwa dunia ini milik mereka,
dan mereka berhak melakukan apapun kepada bumi ini. Walau
secara tidak sadar mereka semua menganiaya bumi. Dan mereka
setelah menyadari hal ini mulai menyalahkan sesama. Kau yang
salah, kau yang salah! berbagai hujatan menghujani sesama
manusia tanpa memikirkan solusi terbaik untuk bumi ini. Walau
mereka memikirkan sebuah bahkan jutaan solusi, mereka hanya
memberi solusi, ya itu saja, hanya solusi. Tanpa melakukan
sosialisasi. Tidak turun ke lapangan untuk membersihkan sungai,
-
tidak ikut membersihkan got, tidak ikut megurangi polusi. Hal ini,
hanya dilakukan sebagian orang saja, orang-orang yang benar-
benar cinta bumi. Tapi kebanyakan yang orang kaya, yang selalu
mengadakan solusi untuk bumi tak berani turun membersihkan
lingkungannya. Entah mengapa, mungkin mereka takut kalau
nantinya sampah-sampah itu akan mengotori jas-jas mereka.
Kayanya baru kemaren deh ini sungai di kerok sampe di
plester gini? aku memulai pembicaraan.
Iya, kayanya baru aja kemaren sungai bersih... Iwan
menimpali.
Yang lain pun ikut mengangguk.
Tapi liat tuh, sampah mulai menyebar. Airnya mulai
keruh. Bodoh amat orang-orang sini! aku mulai emosi.
Ya udahlah, kita juga ga bisa mencegah orang itu
sekarang. Kalo sekarang dicegah, paling lu, Har, yang bonyok19
digebukin20
orang sekampung... ucap Tedi.
Benar juga apa yang dikatakan Tedi, apabila aku
meneriaki orang tersebut, atau aku menegurnya, maka yang aku
dapati adalah: digebukin orang sekampung! Parah. Begitu han-
curkah Indonesia? Memberitahukan sesuatu yang benar malah
digebukin, terkesan akulah yang mempunyai salah. Padahal
mereka sendiri yang memulainya. Apabila banjir datang, sungai
19 Muka atau tubuh yang babak belur. 20 Dipukuli.
-
meluap lalu mereka merengek minta bantuan pemerintah. Itu jadi
salah siapa? Ya kita introspeksi sendiri-sendiri sajalah.
Kami berempat pun berjalan meninggalkan orang tadi.
Kami bertatapan di ujung sungai. Orang tadi melihat kami santai
saja. Dan begitulah, berlalu begitu saja semua ini.
Sekarang kami berada di sebuah kawasan industri, pabrik-
pabrik besar nan megah telah menancapkan cerobong-cerobongnya
di tanah Balaraja ini. Udara mulai mereka hitamkan. Sekarang rasa
sedih menyelimutiku lagi. Tanah yang sangat aku cintai ini
kembali terkotori. Apa sih dosa Balaraja? Aku sekarang bertanya
dalam hati. Mungkin dari perjalanan ini aku banyak mengambil
kisah yang bisa dijadikan sebagai bahan perenungan diri.
Kami tak banyak komentar ketika melewati daerah ini.
Jalan rusak, becek ketika hujan, air sungai yang kotor, udara tak
sejuk, bahkan embun pun sungkan berada di sini lagi, karena apa?
Ya salah satunya adalah karena keberadaan pabrik-pabrik
bercerobong itu!
Kami melanjutkan perjalanan Keluarlah kami dari
kawasan pabrik, lalu sampailah di kawasan Lampu Merah
sebuah kawasan di Balaraja yang dulunya terdapat lampu merah
tapi sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Letaknya persis di arah
masuk kendaraan menuju pintu Tol Balaraja Barat. Di sini adalah
daerah transit, tempat orang berangkat, pulang atau berganti mobil
ketika melakukan perjalanan. Sangat berdebu dan menyesakan
-
nafas. Jutaan butir debu berterbangan menghiasi jalanan. Ditambah
lagi suasana yang mulai panas.
Tersiksa gue, tersiksa! kata Tedi sambil menutupi
hidungnya.
Ah lu, Ted, ngeluh aja. Udah sih rasakan aja... Iwan tid-
ak senang melihat Tedi seperti itu.
Abisnya panas banget, mana ngebul lagi. Uh shit! lan-
jutnya. Terlihat keringat mengalir membasahi leher juga sekujur
tubuhnya.
` Ya udah sih sepele, ucap Tyan santai.
Tedi kali ini lebih banyak mengeluh. Jujur, keadaan kali
ini begitu menyiksa. Debu-debu yang beterbangan bukan disebut
banyak lagi, tapi semua celah jalan raya dipenuhi oleh debu.
Aduhhh aduuuhhh... aku mengeluh kesakitan.
Kenapa lu, Har? Ngikutin Tedi nih? tanya Tyan.
Sambil mengucek mata yang mulai merah dan terasa
pedih, aku menjawab, Bukan, ini kaya ada yang masuk ke mata
gue!
Coba gue liat... Tyan pun memperhatikan mataku di
pinggir jalan. Setelah beberapa detik, Pantes aja, ada batu meteor
sebesar mobil masuk ke mata lu, Har...
Iwan dan Tedi pun langsung tertawa. Mana bisa batu
meteor yang sebesar itu masuk ke mataku.
Bodoh lu Tyan, udah tiupin dulu nih...
-
Puiiihhhhh...
Ahh.. mendingan... mataku yang sebelah kiri jadi merah
akibat kukucek dengan keras tadi.
Kami terus menelusuri jalan Balaraja atau lebih dikenal
sebagai Jalan Raya Serang km 24. Yang kian berdebu itu. Lalu
kembali kami disuguhi pemandangan yang mencengangkan. Di
Balaraja akan di buat fly over! jalan layang yang akan menghu-
bungkan jalan yang satu ke jalan yang lain, upaya ini dilakukan
untuk mengentaskan penyakit macet yang ada di setiap daerah.
Jalan pun sekarang rusak parah. Semoga saja pekerjaan pembuatan
fly over ini tidak memakan waktu lama sehingga jalan yang rusak
tadi segera dibetulkan agar bisa menambah keindahan Balaraja.
Jangan seperti rencana pembangunan pasar modern atau lebih
dikenal sebagai segitiga Balaraja yang ada di samping pasar
tradisional Balaraja. Keadaan pasar modern yang dijanjikan
beberapa tahun yang lalu tidak membuahkan hasil. Hanya terlihat
bongkahan-bongkahan bangunan yang berlantai satu, mirip
bangunan mall yang belum jadi, terbengkalai begitu saja. Nah, ini
yang salah satunya merusak pemandangan Balaraja. Tak sedap
dipandang. Sebuah bangunan megah yang gagal karena uangnya
dikorupsi oleh para pekerja sehingga uang untuk melanjutkan
pekerjaannya habis dan para pekerjanya tidak tersisa sedikit pun.
Di ujung pertigaan Balaraja terlihat seorang polisi yang
sibuk mengatur lalulintas. Entah, perasaan kesal menyelimutiku
-
saat melihat orang-orang berbaju coklat dan berompi hijau itu.
Mungkin aku sering melihat kejadian yang begitu memilukan hati.
Ya, memilukan hati. Kejadian itu sudah lama terjadi, saat aku
mengendarai sepeda motor bersama temanku di daerah Bitung.
Aku saat itu tidak memiliki Surat Izin Mengemudi dan temanku
tidak menggunakan helm. Memang aku memaklumi kami saat itu
melanggar tata tertib lalu lintas. Yang jadi permasalahan adalah
ketika polisi yang menangkapku memberikan surat tilang juga
memberikan sebuah tarip21
. Tarip yang berisi pelanggaran kami.
Lalu ia berkata, Gimana, mau ditilang atau bayar ke saya?
Nih saya pilihin, mending kamu bayar yang ngga pake helm aja.
Soalnya lebih murah. Bayarnya ke saya...
Ih pak, saya lagi ngga punya duit aku memelas.
Yee, ngeyel lagi, ngga percaya saya! polisi tadi tidak
percaya.
Lalu temanku mengeluarkan dompetnya, tuh Pak, bener
kan ngga ada duit, Cuma ada tiga puluh ribu doang...
Polisi itu menengok isi dompet temanku, lalu ia segera
meraih uang tiga puluh ribu temanku, Ya udah sini tiga puluh
ribu dulu, tapi masih kurang nih. Coba dompet kamu.
Bangsat! Darahku mulai naik. Oh ya, untung dompetku
kosong. Ketika dompetku dibuka, tidak satu lembar pun uang yang
21 Daftar harga, daftar sewa dll.
-
ia dapat, tapi lagi-lagi ia segera mengambil sesuatu dalam
dompetku.
Ini, apa ini? kata polisi itu sambil mengangkat kartu
ATM-ku. Wajahnya seperti habis menemukan harta karun. Pasti
ada duitnya ini...
Ih Pak, ngga ada. Lagian kalo ada buat saya pacaran sama
pacar saya. Eh maksud saya buat ongkos sebulan...
Alah, alesan aja kamu ini. Udah sono ambil di samping
alfamart nama sebuah minimarket. Di situ bisa ko ngambil duit.
Sekalian saya mau ngeliat struknya. Biar kamu ga bohong!
Ih, janganlah pa...
Kamu ini! Cepet, nanti malem saya mau nyewa bencong
nih, eh maksud saya mau jalan sama yang muda.
Huh tua-tua ganjen...
Ngomong apa kamu!
Ngga pak...
Ya udah cepet! Lima menit!
Dengan perasaan yang tidak ikhlas aku segera berlari
mengambil uangku yang ada di ATM22
. Lalu dengan berat hati,
uang seratus ribu yang tersisa harus aku serahkan. Setelah itu
polisi tadi menasihatiku dengan sok baik, dengan nada-nada sok
ustadz. Alah! Aku lebih senang memanggil mereka Pelacur
22 Anjungan Tunai Mandiri.
-
Berkerah. Kejadian yang memilukan di tempat itu yang lain
adalah, polisi hanya diam saja di tengah dan di pinggir jalan.
Sedangkan yang sibuk mengatur jalan adalah Pak Ogah seorang
polisi cepek yang mengatur jalan, bukan polisi sesunggguhnya.
Yang berharap pengendara memberikannya uang walau hanya
lima ratus rupiah. Pak Ogah tadi terlihat begitu serius dan
semangat mengatur jalan. Tapi polisi sesungguhnya malah jadi
patung polisi yang siap menilang orang di tengah jalan dan
menguras habis kantongnya. Aku hanya bisa menyimpulkan,
apabila nanti pada hari kiamat, mungkin saja cuma ada dua jenis
polisi yang langaung masuk surga tanpa siksa, yaitu, patung polisi
dan polisi tidur.
Dengarlah polisi yang ada di seluruh Indonesia, jadikan
kisahku di atas sebagai renungan kalian!
Perasaan kesal dan benciku masih terselubung hingga
sekarang. Di mana pun aku melihat polisi, perasaan benciku
menjadi-jadi.
Heh pelacur berkerah di pinggir jalan! Ngapain lu di situ,
mending lu bercinta sama bencong-bencong23
aja di salon24!
teriakku dengan kencang, mengagetkan semua temanku, orang
23 Sejenis orang-orang yang tak puas akan jenis kelamin yang mereka miliki. biasanya mereka mengubah diri menjadi pria, apabila yang wanita dan wanita apabila yang pria. 24 Tempat tata rias, potong rambut dan perawatan rambut.
-
yang ada di dalam mobil angkutan kota, tukang ojeg, juga polisi
itu sendiri.
Heh, Har, ngapain lu teriak kaya gitu sama polisi? Nyari
mati lu?! kritik Tedi yang mulai cemas melihat polisi yang mulai
memperhatikan gerak-gerik kami.
Tau lu, Har, goblok banget! Iwan pun sama.
Bagus, Har, gue suka gaya lu. Gue juga kesel sama tu
polisi! tapi Tyan malah senang dengan perlakuanku tadi. Ia
memberikan support25
yang besar dan membangkitkan
semangatku. Aku tambah bergairah.
Boi, nyantai aja sih, kita ini kan bener, jadi jangan
takut... dengan semangatnya, aku memandangi polisi yang ada di
hadapan kami dengan berjuta-juta kebencian.
Semua orang memberikan berjuta pandang terhadapku.
Semua orang memperhatikan aku. Tukang ojeg sepertinya
mencium bau pertempuran, segera saja merapatkan barisan di
bagian depan untuk menonton agar tak ketinggalan. Beberapa
orang polisi yang lain keluar dari pos polisi tempat mereka
berjaga.
Aku menarik nafas panjang. Dengan senyum yang
memilukan hati para polisi, aku menunjuk mereka semua dan
berkata, Woy pelacur berkerah, ngapain lu semua berdiri di sono
25 Dukungan.
-
aja? Alah, katanya pengayom masyarakat, tapinya cuma bisa
mintain duit orang miskin doang! aku mengumpulkan energi lagi
di tengah terik matahari, polisi-polisi itu berbisik dan
memperhatikan kami, Udahlah, ga pantes lu bekerja buat negara,
mending lu jadi penghibur aja. Kalo nggak, lu ngadem terus tuh di
pos ampe mati. Bukannya itu aja yang lu semua lakuin tiap hari?
Kalo ada pimpinan aja sok sibuk!
Huh, ampuh. Hatiku merasa tenang. Semua uneg-uneg
yang terpendam di dalam hatiku tentang kebencian, tentang
kekesalan, tentang segalanya, keluar semua. Kepuasan yang aku
nantikan telah hadir. Ya, mereka yang di hadapanku patut
menerima serapah dariku.
Polisi-polisi itu mendekatiku, lalu ia segera mencengkram
tanganku dan tangan teman-temanku.
Jelaskan ini semua di kantor! Ucap salah seorang polisi
yang mencengkramku.
Hey rakyat, liat gue. Haha. Mereka cuma bisa menyiksa
di dalam penjara aja! Lu liat kan, ini pengayom masyarakat kita?
Tyan mulai menimpali, saat kami diseret ke kantor polisi.
Tedi dan Iwan hanya garuk-garuk kepala saja. Wow,
petualangan gila yang menyangkut nyawa dan hidup. Semua orang
yang ada di sana memperhatikan kami semua. Aku sebisa mungkin
mengacungkan jempolku kepada mereka dan tersenyum yang
menyatakan bahwa aku telah menang.
-
Jarak kantor polisi dari pos polisi tempat mereka berjaga
tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga puluh meter. Jadi kami tidak
terlalu lama, kepanasan dan diseret pelacur berkerah ini.
Sepanjang jalan, orang-orang memperhatikanku dengan beribu
tanda tanya. Entahlah apa yang mereka pikirkan. Aku sih sudah
lelah berteriak-teriak seperti tadi. Jadi aku sepanjang jalan diam
saja. Kami ini persis seperti buronan teroris yang dicari bertahun-
tahun dan baru tertangkap di sebuah daerah kecil ini.
Kami memasuki kantor polisi dengan berbagai perasaan.
Aku mulai menebak-nebak apa yang dipikirkan teman-temanku.
Pertama Tyan, ia terlihat agak gembira ketika polisi menang-
kapnya. Iwan dan Tedi terlihat cemas dengan menyiapkan seribu
jawaban yang membela diri mereka sendiri ketika nanti akan
ditanyai oleh polisi-polisi yang ada di sana. Kalau aku, perasaan
benci yang dari dulu kupendam akhirnya meledak juga. Perasaan
bahagia menyelimutiku.
Polisi-polisi yang menyeretku tadi di jalan masuk ke
sebuah ruangan dan mengetuknya. Lalu suara yang ramah keluar
dari dalam ruangan.
Ya, masuk. Suara yang keluar dari balik pintu, tegas dan
ramah.
Ketika pintu dibuka, seseorang yang tak lagi muda, rambut
putih di berbagai celah, menggunakan kaca mata, badan besar,
-
yang pasti mengenakan seragam coklat. Orang itu memperhatikan
kami dengan begitu jelas.
Siapa mereka? tanyanya dengan begitu menyelidiki,
Abis nyolong ayam? Atau nyolong kambing?
Bukan pak, mereka ini tiba-tiba berteriak-teriak di tengah
jalan, dengan kata-kata menghina polisi! salah satu polisi yang
menyeret kami menjawab.
Emang mereka ngomong apa?
P..... , belum saja polisi itu membuka mulutnya, aku
langsung berteriak.
Gue bilang, lu semua pelacur berkerah!
Iwan dan Tedi hanya geleng-geleng kepala. Hal ini
mengagetkan polisi yang akan menanyai kami dan semua yang ada
bersamaku.
Polisi itu menghela nafas, lalu berkata, Kamu boleh
keluar, Ais...
Polisi yang menangkap kami segera meninggalkan kami.
Lalu di hadapan kami ada seorang polisi, mungkin ia seorang
pimpinan di sini. Ia menatap kami dengan santai. Terlihat
kewibawaannya yang begitu tinggi, sehingga semua orang yang
berada di sini menghormatinya. Tapi aku tetap membenci semua
polisi yang ada di dunia.
Kalian di penjara! ucapnya yang mengagetkan kami
semua. Singkat, padat dan jelas. Hal yang begitu tak terpikirkan.
-
Tapi inilah hidup, setiap perbuatan harus ada pertanggung
jawaban.
Tttapi pa, yang bilang kaya tadi cuma si Hardi doang,
kenapa yang laennya malah ditahan juga? tanya Tedi membela
diri. Huh, kurang solidaritas26
Si Tedi ini. Iwan yang dari tadi
menunduk, kini menatap tajam Tedi. Begitu juga dengan Tyan.
Aku sudah mengerti sifatnya, jadi sudahlah.
Heh, lu anak muda! bentak polisi itu, mengarah ke Tedi,
Lu kan temennya, jadi lu juga jadi tersangka, dengan tuduhan
pencemaran nama baik di pinggir jalan. Mana rasa solidaritas lu?
Payah lu.
Tedi terdiam setelah dibentak oleh si polisi.
Lalu dimasukkanlah kami ke dalam ruang tahanan.
Ternyata di sana tidak hanya kami saja, ada juga lelaki yang
berbadan besar, dengan tato di sekujur tubuhnya, dan lelaki kurus
dengan tatapan mata yang sangat tajam, setajam silet. Mereka
menatap kami dengan sinis. Lalu pintu ruang tahanan kembali
dikunci.
Kalian menunggu proses saja... kata polisi tadi lalu
meninggalkan kami begitu saja.
26 Sifat yang menunjukkan suatu kesatuan dan kesetiakawanan.
-
Ah goblok-goblok! Masa gue ditahan! Tedi terus
menggerutu, sambil memukul-mukul tembok penjara. Ia terus
memberontak dan mengucapkan sejuta serapah kepada polisi.
Lalu dua tahanan tadi menaruh jari telunjuk ke bibir
mereka, menandakan untuk tidak berisik. Tapi, Tedi malah terus
ribut bahkan makin menjadi-jadi keributannya. Di ruang tahanan
kami menjadi begitu bising.
Heh, lu bisa diem ga? ucap tahanan yang berbadan besar
dan penuh tato itu.
Tedi balik menatap lelaki tadi dan berkata, Bawel,
ngapain lu ceramahin gue? Songong lu!
Gila! Tedi berani sekali mengucapkan itu kepada tahanan
yang notabene sudah ditahan kerena kejahatannya. Mana
menyeramkan lagi. Aku hanya menahan nafas. Iwan dan Tyan,
hanya bisa menahan air ludahnya. Amarah orang bertato tadi
tersulut oleh ucapan Tedi.
Bangsat! Gue habisin juga lu di sini!
Bos sabar bos... aku mencoba menahan perkelahian
yang hampir berlangsung. Tapi orang itu tidak bisa diajak kom-
promi, ia segera menyiapkan kepalan tangannya ke arah Tedi.
Aku, Tyan dan Iwan segera menahan dengan cara memegangi
tubuh lelaki yang berbadan besar tadi. Tapi kami tak mampu
menahannya. Orang yang berbadan kurus, malah berkata dengan
santainya, Udahlah, hantem aja...
-
Awas lu semua, biar, gue ngebungkem mulut temen lu!
Kami terus menahannya sekuat tenaga. Walau yang
dilakukan Tedi terhadapku tadi begitu menyakitkan hati, tapi aku
mengetahui arti solidaritas itu. Sesuatu yang amat dibutuhkan
dalam pertemanan. Sesuatu yang merasa iba bila melihat teman
sendiri dalam kesusahan. Membantu memberikan jalan keluar
terhadap teman yang berada dalam bahaya.
Tedi masih saja berkomentar yang membakar amarah si
lelaki berbadan besar.
Ted, udah diem! Iwan berteriak, Lu ngertiin kita juga.
Kita udah nahan ni orang, tapi kenapa lu malah ngebuat orang ini
marah?! Mana rasa persahabatan lu?
Lalu dengan tenaga yang besar dikeluarkan oleh lelaki itu,
kami bertiga langsung terhempas. Lelaki itu mencengkram leher
Tedi. Ia terlihar gemetar, ya, cuma bisa menang di mulut saja.
Keringat yang menjadi khasnya apabila merasa tertekan, keluar
dengan deras. Mukanya kian memelas. Lalu baru saja pukulan
keras yang mampu merontokkan gigi itu akan di keluarkan dan
bersarang di wajahnya, dua orang polisi datang dan mengagetkan
kami. Pintu ruang tahanan dibuka. Lalu mereka menyuruh kami
bangun dan menyuruh keluar dari ruangan ini.
Masa tahanan kalian selesai... ucap salah seorang polisi.
Hah, penjara apa ini? Masa tahanan ditahan hanya dalam
jangka waktu setengah jam. Aneh. Wajah yang begitu tak percaya
-
keluar dari wajah lelaki yang hendak memukul Tedi tadi. Pintu
tahanan segera dikunci, kami perlahan-lahan menjauh dari ruang
tahanan. Ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajah lelaki
itu.
Kenapa mereka dibebasin, sedangkan gue engga! teriak
lelaki itu.
Kami pun heran melihat kejadian ini. Kami terus digiring
pada suatu ruangan. Dan kami masuk dan melihat orang yang
menjebloskan kami tadi. Yang memberi perintah bahwa kami
ditahan. Tapi ditahan dalam jangka waktu setengah jam.
Kami duduk dan terdiam. Keadaan sunyi. Di hadapan
kami hanya ada polisi tadi.
Hmmmm, anak muda. kalian semua emang bener-bener
anak muda... ucapnya datar, Kalian semua emang lagi pada mau
ke mana?
Aku angkat bicara, Kami cuma mau berpetualang aja. Ya,
bisa dibilang muter-muter Balaraja gitulah.
Aku juga dulu hobi berpetualang, sama kaya kalian,
mencoba mencari jati diri siapakah aku ini. Sama kaya kalian juga,
aku bareng semua temanku... tiba-tiba keadaan sedih menyeli-
mutinya.
Aku membisiki yang lain, Jangan-jangan orang di hada-
pan kita ini, salah satu anak-anak terpilih yang pertama. Yang telah
-
dikatakan Mbah Sugi dulu. Anak-anak yang terpilih sebelum
kita?
Iya juga ya? balas Iwan dengan berbisik.
Boleh aku melanjutkan? tanyanya.
Kami mengangguk.
Aku yang sebenernya udah mengetahui kalian dan telah
menunggu-nunggu hari ini. di mana kita bisa bertemu sebagai
orang yang pernah terpilih untuk mencari siapakah kita ini.
Tuh kan bener! Ucapku dalam hati.
Tapi bagaimana dengan temen-temen bapak yang lain?
Tapi emang bener, bapak dulu salah satu anak yang terpilih?
tanya Iwan tanpa ragu bahwa yang dihadapan kami ini adalah
salah satu anak yang terpilih.
Sebelumnya aku pengen ngejelasin siapa aku, pake
bahasa anak muda ajalah, ribet pake bahasa resmi mah. Panggil aja
gue Nan, itu nama kecil gue. Gue dulu hobi banget mengelilingi
tanah ini. Gue bentuklah kelompok Atap Langit. Nah di situ gue
kumpulin dah tiga orang yang mempunyai aura beda dengan para
anak muda yang lain... ia meneguk segelas kopi, lalu melanjutkan
ceritanya, Temen-temen gue yang pertama, dia adalah orang yang
mempunyai seribu pengetahuan, tak ada yang ia tak tahu, ia baik
kepada setiap orang, ia mengetahui setiap pengetahuan apapun, ia
serba bisa, ia adalah Arga Jiwa, dipanggil Jiwa. Yang kedua, ia
menyebut dirinya seseorang ciptaan Allah SWT yang begitu
-
lemah, ia seorang penulis, kami terinspirasi berpetualang sebagian
besar dari kisah-kisahnya, ia menyebut dirinya Inisial K...
Aku teringat sesuatu tentang orang yang disebutkan oleh
Pak Nan, si Inisial K, Inisial K? Apakah dia...!
Pak Nan bingung.
Siapa yang lu maksud, Har? tanya Iwan.
Dia, dia, si Inisial K, ternyata anak terpilih yang per-
tama... Aku begitu kaget.
Siapa dia? Tyan pun penasaran.
Dia, sang guru, sang guru yang tak boleh disebut na-
manya! ucapku. Tedi, Tyan dan Iwan kaget.
Apakah dia berasal dari Bandung, Pak? tanyaku.
Ya, memang kalian mengenalnya?
Ya kami mengenalnya, dia yang memberikan virus petu-
alangan dan menyatukan kami!
Oh, ya sudah nanti kita terusin tentang dia. Gue pengen
ngelanjutin cerita tentang Atap Langit dulu. Yang terakhir adalah
seorang seniman, namanya Miming...
Terus nasib Atap Langit sendiri gimana? Tyan
penasaran.
Atap Langit yang semula telah dibentuk oleh anak-anak
yang terpilih, hancur karena ketidaksepahaman dan kekurangan
solidaritas sesama. Pertama, Jiwa, terpengaruh sebuah godaan
setan yang dulu ia membencinya, nah lalu kami mengeluarkan dia.
-
Maka, hilanglah sudah ensiklopedia27
Atap Langit, yang kedua,
sang gurumu, si Inisial K. Dia melakukan suatu hal yang fatal,
sehingga kami berencana menghilangkan Atap Langit dari dunia
ini. Kalau dengan kalian, kenapa si Inisal K pergi?
Iwan menarik nafas panjang, Beliau melakukan sesuatu
yang tak bisa kami lupakan. Tapi maaf pak, ini tak bisa saya, atau
yang lain ceritakan. Maaf...
Oh, ya sudahlah.
Terus, gimana nasib tentang si seniman Atap Langit?
tanya Tedi.
Gue dan si Miming, Miming Munardi, nama lengkapnya,
masih suka ketemu. Bahkan ngopi bareng. Dia salah satu sahabat
gue yang bener-bener sahabat. Kita sehati. Ya, walaupun udah
ngga di Atap Langit. Dia juga yang meramalkan bahwa hari ini
gue bakal ketemu anak-anak terpilih yang kedua. Yaitu kalian
semua!
Oohhhhhh....
Makanya, gue cuma mau ngasih pesen yang diamanatin
Mbah Sugi...
Lalu aku teringat seseorang yang begitu kuat, yang
menunjuk kami sebagai anak-anak yang terpilih berikutnya. Yang
ketika bertaruh dengan hal-hal yang aneh. Yang selalu bergaya
27 Kamus atau artikel-artikel tertentu yang tersusun secara rapi dan urutannya sesuai abjad.
-
anak muda padahal sudah duda dan tua. Ya dia, dia, Mbah Sugi,
yang juga menunjuk Pak Nan dan yang lain sebagai anak terpilih
yang pertama. Mbah Sugi, yang telah tenang di alamnya. Untuk
selamanya.
Waktu saat sakaratul maut beliau menunggu lu semua,
tapi terlambat, sebelum lu lu pada dateng, mbah Sugi keburu
meninggal. Si Mbah malah ngasih pesen buat lu semua, tadinya
gue bingung, nyari lu ke mana, tapi berkat Miming yang bisa
meramal, akhirnya lu dateng sendiri. Gini amanatnya, pertama
solidaritas yang mesti lu bikin, solidaritas yang kuat, karena Atap
Langit hancur salah satunya kurang solidaritas. Yang kedua
pandanglah ilmu ke atas, tapi kalau masalah dunia, lihat ke
bawah ok, itu doang yang diamanatin beliau. Masalah solidaritas,
makanya tadi gue negur lu! Pak Nan menunjuk ke arah Tedi, Lu
jangan ngurangin solidaritas temen, inget, temen itu adalah
kekuatan kita.
Makasih ya, Pak Nan... kata Tyan.
Oia, coba nanti kalo ada waktu lu semua ke tempat
Miming. Dia baik, mau menerima siapa aja. Mungkin bisa share-
share gitu tentang seni. Ok. Oia satu lagi, nggak semua polisi itu
yang seperti kalian pikirkan. Walau sebagian besar polisi bertindak
seperti pelacur, tapi sebagian lagi mereka berbakti kepada negara
dan agama. Inget itu, sebutan pelacur berkerah boleh lu pake
buat manggil polisi, tapi inget, itu cuma sebutan buat polisi yang
-
menyalahi aturan dan yang bertindak seperti pelacur, yang hobi
nilang sambil minta duit dan duitnya masuk ke kantong.
Okelah Pak,... aku sadar. Hal yang aku lakukan itu
salah. Tapi aku merasa benar, beberapa polisi memang bertindak
seperti pelacur. Ya, pelacur berkerah.
Silahkan lu semua mencari jati diri yang belum ketemu.
Jadilah laki-laki yang kuat, yang tak boleh hancur hanya karena
diterpa angin malam, yang tak boleh bergetar walau topan di
hadapan lu. Terus mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa
pernah mengeluh dan cintai wanita yang benar-benar lu sayangi.
Cukup satu aja ye. Satu!
Kami pun tertawa.
Oia, Pak, kenapa tadi malah menahan kami? tanya Tedi
yang masih penasaran.
Oh, itu cuma buat ngetes kalian aja. Dan biar anak buah
gue seneng kalo udah nangkep orang terus orang itu dipenjara. Oia
satu lagi biar kita nggak ketahuan kalo kita anak yang terpilih.
Hehe jawab pak Nan dengan meyakinkan.
Oia, petualangan kami bukan sekedar mencari jati diri,
seperti Atap Langit. Kami, Hitam Putih Abu-Abu, dengan sebutan
petualangan mencari ujung pelangi! kataku dengan bangga. Pak
Nan tersenyum. Ya, ternyata kami benar-benar bertemu dengan
salah satu anak terpilih yang pertama.
-
Petualangan di lanjutkan. Kami pun mengucapkan beribu
terima kasih kepada Pak Nan. Sedikit demi sedikit filosofi hidup
mulai terangkai. Walau gambarnya belum jelas terlihat, tapi aku
yakin, suatu hari nanti, aku atau bersama yang lainnya bisa melihat
gambar yang begitu nyata di hati kami semua.
-
3
Hilangkanlah segala prasangka buruk di hati &
pikiranmu.Karena aku di sini masih tetap setia. Ayu
Lestari
Aahhh, bosenlah makan nasi goreng bikinan Tedi...
keluh Tyan sambil memegangi perutnya.
Huh, lu mah. Kemaren lu yang muji masakan gue enak.
Sekarang lu yang bilang kalo bosen makan nasi goreng buatan gue.
Gimana kali! Tedi kesal karena Tyan tak bisa memegang
omongannya.
Ah berisik lu, udahlah. Gue laper nih. Makan apa ya
enaknya? Tyan terus saja menggerutu.
Uuhhhmmm, mending kita nyicipin makanan yang ada di
Balaraja, gimana? saran yang begitu bagus dari Iwan. Kami pun
menyetujui.
Perjalanan dilanjutkan ke arah Bakung, di sana kami
menemukan penjual kue serabi. Ya, kue serabi yang rasanya enak
sekali, karena perut kami begitu lapar. Kalau tidak lapar, ya,
entahlah, lidah kami saat ini sedang dibutakan oleh kelaparan.
Emmmmm... enak Bu, serabinya, puji Tyan, seperti
biasa, ia selalu memuji setiap makanan yang ia makan.
-
Ah yang bener? Uuhh, Ibu jadi malu... si Ibu penjual
serabi pun merasa terbang ke langit ketika dipuji oleh Tyan.
Ia mengatakan bahwa selama ia hidup, baru pertama kali
ada yang memuji makanan hasil buatannya. Kata orang, ia tidak
pandai dalam memasak makanan. Kebanyakan ia memasak dengan
rasa asin yang berlebihan. Atau paling parahnya, gosong. Nah,
mungkin ia menemukan jiwanya sebagai pembuat kue. Tapi bukan
kue sembarangan, kue serabi. Sebuah kue tradisional asal jawa
barat. Kalau membuat kue biasa, seperti kue-kue basah atau kue
bolu, yang jadi malah gosong, atau salah masukin gula, yang
dimasukin malah garam, ucap si Ibu.
Katanya pula, ia tak bisa membedakan rasa manis dan
asin. Ia seperti menderita buta rasa (bukan buta warna ya).
Lidahnya tidak bersahabat. Makanya ia lebih memilih membuat
kue serabi. Karena kue ini adalah kue yang sudah turun-temurun
diwariskan oleh keluarganya.
Lalu kami mencoba menikmati makanan WARTEG
(warung tegal) khas Balaraja. Penjualnya orang Jawa panggilan
untuk orang-orang yang berbicara dengan logat bahasa Jawa.
Rasanya lumayan enak, juga yang membuat bersahabat adalah
harganya yang terjangkau oleh kantong kalangan orang-orang
berprofesi kuli.
Ketika akan membayar, yang menjadi masalah adalah
Tyan. Uangnya hilang!
-
Gimana nih duit gue ilang? katanya dengan ketakutan.
Yang bener lu! Aku kaget mendengar hal itu. Kalau aku
membayari Tyan makan, maka untuk besok, aku dijamin puasa.
Karena uangku atau yang lain sudah benar-benar pas-pasan. Gawat
ini.
Lalu kami mencoba berunding bagaimana sebaiknya.
Ya udah kita kumpulin aja uangnya dulu. Ak