jalan jalan tujuh hari - hardia rayya

Upload: dwi-cahyo-nugroho

Post on 13-Oct-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

RU

TRANSCRIPT

  • JALAN-JALAN

    TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu

  • hardia rayya

    JALAN-JALAN

    TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu

  • JALAN-JALAN TUJUH HARI:

    MUTER-MUTER BALARAJA BARENG HITAM PUTIH ABU-ABU Hardia Rayya

    Balaraja: Hitam Putih Abu-Abu Publishing, Febuari 2011 Hal, 13x19 cm

    Ilustrasi : Tyan Oriza Editor :Bsik Hikari, Angkasa Wirawan

    Foto Sampul: Khatta Goenawant

    Diterbitkan Oleh : Hitam Putih Abu-Abu Publishing

    Balaraja, Banten 15610

  • PENGANTAR PENULIS

    Bismillahirahmanirrahim

    Sebelumnya aku tidak pernah memikirkan untuk menulis yang di

    dalamnya terdapat petualangan dan mengambil setting lokasi di

    Balaraja. Sebab dari berbagai buku-buku fiksi yang memenuhi rak-

    rak di toko buku, kebanyakan bercerita tentang cinta, cinta dan

    cinta. Memang, tidak semua buku bertemakan cinta yang sama,

    tapi juga kemasannya yang berbeda-beda.

    Bagiku, tulisan yang kutulis ini juga berkisah tentang

    cinta, tapi cintanya berkisah tentang persahabatan, petualangan dan

    cinta daerah sendiri. Karena untuk apa mengambil seting lokasi

    dari daerah lain, sedangkan di daerah sendiri banyak sekali kisah-

    kisah menarik yang mampu menggugah hati.

    Dalam cerita yang kutulis kali ini, lebih detail

    kugambarkan berbagai kegelisahan empat orang remaja yang

    memberontak dari kehidupan remaja seusia mereka. Mereka lebih

    memilih menghabikan waktu di jalanan daripada sibuk ke salon

    memenahi diri.

    Maka, dari tulisanku kali ini, marilah kita bercermin,

    terutama kepada para remaja. Kita harus senantiasa gelisah, gelisah

    memikirkan sekitar!

    Nikmatilah ini, yang kupersembahkan untuk kalian semua

  • PROLOG

    SEJARAH NAMA BALARAJA

    Balaraja adalah nama sebuah daerah yang terletak di kabupaten

    Tangerang. Nama Balaraja berasal dari kata Bale dan Raja. Bale

    artinya tempat peristirahatan, tempat bersantai, atau tempat

    melepas lelah yang biasanya terbuat dari bambu. Raja adalah

    orang yang memimpin sebuah kerajaan atau suatu wilayah

    tertentu. Balaraja, atau biasa disebut Baleraja itu berarti tempat

    beristirahatnya raja.

    Zaman dahulu daerah Balaraja adalah daerah khusus

    tempat singgah raja dari kesultanan Banten menuju Cirebon atau

    saat ke Batavia. Letaknya di kampung Talagasari di pinggir sungai

    Cimanceuri yang asri dan dekat jalan raya.

    Penduduk Balaraja hidup dalam keramah-tamahan.

    Mereka hidup berkecukupan dengan mengandalkan pertanian.

    Sebagai daerah yang sering dilalui dan disinggahi pendatang

    (pedagang, tentara, keluarga kerajaan, bahkan perampok) wilayah

    ini jadi dikenal oleh banyak orang.

    Pada suatu hari ketika sang raja yang sedang dalam

    perjalanan pulang menuju kesultanannya di Banten, raja merasa

    lelah dan memerintahkan para prajurit untuk membangun sebuah

    bale yang terletak tak jauh dari sungai Cimanceuri. Raja itu sangat

  • senang dengan ketenangan. Ketika raja dan para prajurit sedang

    beristirahat, lewatlah seorang gadis desa yang sangat cantik di

    hadapannya. Lalu sang raja memerintahkan salah satu dari

    prajuritnya untuk membuntuti ke mana dan siapakah gadis desa

    itu.

    Tidak lama kemudian, prajurit yang diutus untuk

    membututi si gadis cantik itu kembali dengan membawa berita

    yang cukup mengejutkan sang raja. Gadis desa itu ternyata akan

    dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki. Raja merasa

    kecewa, tapi raja sebagai seorang lelaki tidak mau begitu saja

    mengalah hanya karena gadis itu akan menikah, lalu raja itu

    membuat strategi untuk mewujudkan niatnya, yaitu menikahi dan

    menjadikan gadis tersebut selir. Akhirnya raja memilih persaingan

    sebagai seorang lelaki untuk mendapatkan gadis itu.

    Ia menetap beberapa waktu di bale dan rela meninggalkan

    kerajaan demi mendapat gadis yang ia idam-idamkan. Dengan

    strategi yang pas dan taktik yang cerdas, pemuda desa yang

    menjadi kekasih gadis desa itu kalah bersaing dengannya. Raja pun

    menjadi pemenang. Sebagai bukti kemenangannya, raja membawa

    gadis itu ke kerajaan dan menjadikannya selir. Dari pernikahannya

    dengan gadis desa itu, raja mendapatkan satu orang anak.

    Daerah ini dinamakan Balaraja, balenya raja. Setelah itu,

    cerita selanjutnya sudah tidak ada lagi yang tersisa, tentang anak

    keturunan gadis desa itu. Makam yang berada di desa Bunar saja

  • yang dipercaya masyarakat memiliki keterkaitan dengan keluarga

    kerajaan. Sebagian besar percaya bahwa makam-makan itu adalah

    makam dari keluarga kerajaan.1

    1 Catatan tentang sejarah nama Balaraja ini kudapat dari sebuah blog http://endollempuyang.blogspot.com/2009/07/balaraja.html orang yang memiliki blog ini pun mendapatkannya dari sebuah blog juga http://oncepsajalah.blogspot.com. Tapi sebagian sudah

    direvisi agar terasa enak dibaca. Karena hal ini menyangkut

    sejarah nama daerahku, tak ada salahnya jika aku membuat sebuah

    persembahan untuknya, Balaraja.

  • HITAM PUTIH ABU-ABU

    Hitam putih abu-abu adalah nama sebuah kelompok remaja yang

    menginginkan adanya perubahan dari sebuah kehidupan, lebih

    tepatnya kehidupan mereka sebagai remaja. Mereka sangat muak

    melihat tingkah laku remaja saat ini yang begitu hedonis2, yang

    hanya gemar hura-hura, pesta dan sangat tak acuh terhadap

    lingkungan sekitar. Mereka adalah Hardi, Iwan, Tedi dan Tyan.

    Lalu dari wanitanya ada Ayu, Bsik dan Vera. Mereka bertujuh

    melakukan kegiatan yang berbeda dari kebanyakan remaja saat ini,

    seperti backpacking, hiking, dan diskusi (dalam diskusi ini mereka

    lebih mengarah kepada seni, sastra, fotografi, kartun dan film).

    Hitam putih abu-abu ini menolak menjadi remaja yang

    kebanyakan. Mereka menolak untuk memakai pakaian yang serba

    baru, bagus dan selalu mengikuti trend mode, menolak untuk

    melakukan hobi shopping di mall-mall untuk sekedar ngeceng.

    Kalau ke mall pun mereka lebih memusatkan diri untuk ke toko

    buku. Hitung-hitung baca gratis.

    2 Pengikut aliran hedonisme. Hedonisme sendiri artinya, pandangan hidup yang beranggapan kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan paling utama.

  • Kadang, hal-hal gila mereka lakukan untuk sekedar

    melepas jenuh di otak karena kegiatan yang begitu menyita waktu.

    Seperti berangkat malam hari pada sabtu malam dan pulang

    minggu pagi. Kegiatan gilanya antara lain mereka tidur di mana

    saja yang mereka sukai. Mereka lebih memilih tidur melihat

    bintang dan mendengar bunyi jangkrik, daripada berpesta semalam

    suntuk di diskotik atau pesta seks.

    Hitam putih abu-abu percaya kepada mimpi. Mereka juga

    yakin terhadap hal-hal yang mustahil. Seperti melakukan

    perjalanan jauh yang tak mungkin bisa. Mereka jalani walau

    dengan uang pas-pasan. Mereka semua punya mimpi dan cita-cita.

    Tak pernah takut jatuh dan berani mengkritik, juga tak jatuh

    apabila dikritik. Imajinasi tinggi dan daya khayal yang melebihi

    remaja-remaja kebanyakan, membuat mereka lebih unggul di

    bidang apapun. Tapi namanya manusia pasti punya kesalahan dan

    kekurangan. Berbagai hal yang membuat mereka sakit pun mereka

    lalui tanpa menyerah.

    Hitam putih abu-abu adalah anak alam korban

    pembangunan yang tambal sulam di negeri ini. Sesepuh desa di

    kaki gunung Pulosari, Mbah Sugi, menjuluki Hardi, Iwan, Tedi

    dan Tyan sebagai anak-anak yang terpilih. Anak-anak muda yang

    selalu berusaha menemukan jati diri mereka sendiri, mampu

    melindungi diri, kawan dan lingkungan sekitar, menegakkan

    kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir lebih maju dan

  • ganas. Mereka bertemu dengan Mbah Sugi ketika perjalanan

    mendaki di gunung Pulosari.

    MENGAPA MEMILIH NAMA HITAM PUTIH ABU-ABU?

    Karena hitam Putih abu-abu adalah sebuah jalan, dan pilihan.

    Hitam, putih, abu-abu bukanlah warna, itu semua adalah awal.

    Landasan atau alas. Hitam, putih, dan abu-abu saling berkaitan.

    Kuat bila bersama-sama. Jalan yang harus dipilih adalah hitam

    dan putih. Sedangkan abu-abu adalah saat di mana mereka hendak

    memilih jalan yang akan dilalui, bisa dibilang sebuah

    persimpangan menuju misteri yang akan terbongkar. Apakah hitam

    ataukah putih? Lalui dan pilihlah kawan!

    Hitam putih abu-abu menyebut sepak terjang mereka

    dengan sebutan petualangan mencari ujung pelangi.

    Hardi (Hardia Rayya)

    Adalah remaja yang gemar menulis puisi dan fiksi serta

    bacpacking dengan uang pas-pasan. Juga membaca (memang pada

    dasarnya hitam putih abu-abu ini adalah sekelompok remaja yang

  • hobi membaca). Ia lebih memilih tampil urakan daripada

    mengikuti mode zaman. Tubuhnya tinggi dan kurus, banyak

    omong. Tokoh favoritnya adalah Sutardji Chalzoum Bachri3, Seno

    Gumira Adjidarma4, dan Pramoedya Ananta Toer

    5. Gaya bicaranya

    lebih mengarah ke kritikan diselingi berbagai lelucon. Mudah

    bergaul dan tak membeda-bedakan teman. Cita-citanya adalah

    menjadi penulis dan bisa keliling dunia, juga mengunjungi makam

    Nabi Muhammad SAW.

    Iwan (Khatta Goenawant)

    Remaja yang satu ini memiliki wajah yang cukup tampan bila

    dibandingkan dengan anggota hitam putih abu-abu yang lain. Gaya

    berpakaiannya tidak terlalu urakan. Ia hobi membaca dan

    3 Penyair Indonesia yang dijuluki sebagai presiden penyair. Ia memperkenalkan puisi bergaya mantra. Karyanya yang fenomenal adalah O Amuk Kapak. 4 Dia adalah seorang penulis essai,cerpen, novel dan roman. Dia adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Salah satu karyanya adalah kumpulan cerpen Manusia Kamar. 5 Seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Ia sudah menghasilkan lebih dari 50 karya, diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Bukunya pernah dilarang beredar pada masa pemerintahan orde baru, karena pandangannya pro-komunis Tiongkoknya. Ia ditan tanpa pengadilan di Nusakambangan dan di pulau Buru. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah novel semi fiksi sejarah Indonesia, novel tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).

  • memotret. Apapun ia foto (memiliki obsesi menjadi seorang

    fotografer). Sifat buruknya adalah pesimis, tapi di balik

    kepesimisannya itu ia yakin, bahwa setiap hal yang ia lakukan

    pasti berhasil. Tokoh favoritnya adalah Mohammad Hatta6 dan

    Goenawan Mohammad7. Entah mengapa apabila ada nama

    Gunawan atau yang berakhiran wan, pasti ia sangat bangga

    kadang mengatakan, diakan saudara gue!. Mudah bergaul walau

    pemalu. Pertama mengenalnya pasti penilaian pertama yang

    terlintas adalah dia orang yang dingin.

    Tedi (Angkasa Wirawan)

    Adalah seorang remaja keras kepala. Foto memoto dan menulis

    puisi adalah hobinya juga memiliki obsesi menjadi seorang filsuf.

    Gemar beribadah, dan tak mudah goyah dalam mengambil

    keputusan. Gaya berpakaiannya agak rapi dan sering terlihat

    memakai celana bahan. Ia termasuk remaja yang tangguh yang tak

    mudah menyerah. Tapi dia juga punya sifat putus asa yang selalu

    datang datang apabila itu menyangkut hal-hal yang merugikan

    6 Seorang tokoh proklamasi dan seorang wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. 7 Seorang penyair, jurnalis dan penyunting. Dia juga termasuk sastrawan yang terkemuka di Indonesia, termasuk salah seorang pendiri Majalah Tempo.

  • dirinya. Ia sering mengeluh, tapi di lain waktu ia bisa terlihat lebih

    optimis dibanding yang lain. Tokoh favoritnya Jalaluddin Rumi8.

    Cita-cita terbesarnya ingin bisa berdakwah sampai ke India,

    Pakistan, Bangladesh sampai keliling dunia. Ia pun memiliki

    mimpi menjadi Harry Potter9. Tedi adalah satu-satunya orang di

    hitam putih abu-abu yang memiliki jenggot, walaupun tipis.

    Tyan (Tyan Oriza)

    Remaja yang satu ini memiliki sifat misterius. Dari penampilannya

    yang urakan seakan-akan menyatakan bahwa dia adalah seorang

    remaja tanpa masa depan. Tidak jelas cita-citanya mau jadi apa.

    Tapi dia adalah yang terhebat di hitam putih abu-abu. Tyan

    dipanggil Jenderal oleh teman-temannya karena memiliki jiwa

    pemberani dan kuat. Dia juga sangat berbakat di bidang seni rupa

    dan yang paling istimewa adalah imajinasinya sangat tinggi

    melebihi imajinasi orang dewasa. ia selalu mengidolakan Peter

    Pan10

    . Pemikirannya begitu fresh dan tinggi, walau dalam

    pelaksanaannya ada yang kurang berhasil. Cita-citanya ingin

    menjadi komikus dan bergabung dengan MARVEL COMIC dan

    8 Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi. Karya-karyanya sangat berbeda dan memiliki khas dibandingkan dengan penyair sufi lain. 9 Tokoh novel yang memilii kekuatan sihir ciptaan J.K Rowling. 10 Tokoh kartun ciptaan J. M. Barrie.

  • WARNERBROSS. Dia ingin sekali mengembangkan kegemaran

    menulis dan menggambar animasinya di Jepang dan Amerika agar

    bisa bersaing dengan para komikus yang ada di negeri Sakura dan

    negeri Paman Sam itu. Tidak narsis dibanding Hardi, Iwan dan

    Tedi. Ia begitu pendiam bagi orang yang belum mengenal dirinya.

  • 1

    Lakukanlah! Karena di dunia ini ngga ada yang ngga

    mungkin. Kecuali satu hal, makan kepala sendiri. Hardia

    Rayya

    Heufth... Tyan menguap.

    Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Tyan terlihat begitu

    mengantuk, maklumlah, ia kalau tidak kerja, kerjaannya cuma

    makan, tidur, makan, tidur plus kentut.

    Nape lu, ngantuk? tegurku, sambil mengucek mata.

    Lah Har, lu juga kaya lagi nyuci. mata lu tuh masih

    banyak belek... Iwan pun nyeletuk dengan mata yang merem-

    merem melek.

    Cuma Tedi yang tak terlihat mengantuk. Wajar saja dia

    sudah biasa bangunin ayam, kalo nggak ada yang bangun tuh para

    ayam, ia malah berkokok yang menggetarkan dunia.

    Ngantuk gue... ucapku datar.

    Kami berempat, siap berangkat untuk menghirup udara

    segar di jantungnya dunia, di punggung bumi, yaitu gunung.

    Sambut kami gunung!

    Dengan jalan yang sempoyongan, karena dari semalam

    susah tidur, kami tetap saja nekad.

  • Boi, mending video kol11 sama Mbah Sugi... heuft

    ucapku.

    Iya, Wan hape lu aja kan yang tri ji? Udeh ngehubungin

    tuh si Mbah. Pengen liat gue mukanya, masih ngantuk ga yah?

    lanjut Tyan mengiyakan.

    Kita ke sono, selain ke gunung, mau nagih hutang juga

    nih ke si Mbah? Hehe tanya Iwan sambil nyengir12.

    Ya iyalah, masa ya iya dong, jangan mentang-mentang

    dia udah kakek-kakek. Kalah tarohan ga mau n ga usah bayar...

    jawabku tak mau kalah.

    Sori yeh, jangan mau dirugiin sama kakek tua bangka

    itu... kata Tedi sambil mengepalkan tangannya. Pernah dia kalah

    bertaruh habis-habisan dengan Mbah Sugi, hampir empat ratus

    ribu. Sekarang dia akan melakukan pembalasan kepada beliau.

    Kami berempat mengadakan taruhan nonton audisi dangdut, siapa

    yang bakal keluar, ternyata pilihan kami benar, seorang wanita

    muda dengan suara jelek, cuma menang seksi aja, tapi berbeda

    dengan Mbah Sugi, beliau malah menjagokan wanita itu dengan

    alasan cantik.

    11 Fasilitas yang ada di handphone, agar bisa mengobrol sambil bertatapan muka. 12 Senyum lebar dengan kelihatan gigi.

  • Udah jangan pada ribut sih, diem nih gue lagi nelepon si

    Mbah. Iwan terlihat serius menunggu telepon diangkat oleh Mbah

    Sugi.

    Mbah Sugi adalah seorang sesepuh desa di kaki gunung

    Pulosari13

    . Perkenalan yang mengejutkan menurutku, pada waktu

    itu kami sedang tersesat di gunung Pulosari, dan muncullah

    sesosok lelaki tua yang kukira setan. Iwan saja sampai terkencing-

    kencing karena kaget melihatnya. Kami tak kuat berlari ketika

    berhadapan dengan mahluk menakutkan itu. Yang membuat seram

    adalah tawanya, begitu kencang dan menakutkan. Beliau

    mendekat, semakin dekat dan seorang pria tua renta dengan gigi

    tinggal beberapa butir saja tersenyum kepada kami. Mulai dari

    sanalah kami kenal Mbah Sugi. Beliau orang yang menyenangkan.

    Tak terlihat seperti sesepuh desa. Malah lebih condong sebagai

    seorang remaja dengan wajah keriput. Ya, gayanya itu, belagu14

    ,

    seperti remaja kebanyakan, terlebih telepon genggam yang selalu

    dijinjingnya kemana-mana. Tak tanggung-tanggung, merknya

    BLACKBERRY. Gila, orang tua yang satu ini.

    Juga hobi yang mungkin banyak digandrungi oleh semua

    kalangan, yaitu taruhan. Kami sering bertaruh segala hal, mulai

    dari sepak bola sampai audisi dangdut. Biasanya Mbah Sugi tak

    13 Nama sebuah gunung yang terletak di daerah kabupaten Pandeglang. 14 Berlagak sombong, sambil memamerkan apa yang tidak dipunyai orang lain. Juga merasa lebih hebat dari orang lain. Sebuah bahasa pergaulan dari kata sombong.

  • pernah kalah. Tapi entah mengapa kali ini kami berempat menang

    telak. Haha, biar tau rasa orang tua itu.

    Beliau tinggal di desa di kaki gunung dengan empat orang

    anak yang semuanya telah tumbuh dewasa. Istrinya telah

    meninggal saat mereka berdua berusaha menaklukkan gunung Jaya

    Wijaya. Istrinya tergelincir dan meninggal. Sangat disayangkan.

    Beliau termasuk orang yang sukses karena telah berhasil mendidik

    semua anaknya agar hidup mandiri dan semua lulus dengan gelar

    sarjana, bahkan anak terakhirnya ini sedang melanjutkan study S2-

    nya.

    Mbah Sugi adalah orang yang memberi gelar kepada kami

    sebagai anak-anak yang terpilih. Beliau biasanya menyebut kami

    sebagai anak alam korban pembangunan yang tambal sulam di

    negeri ini . Kami, anak-anak yang selalu berusaha menemukan jati

    diri sendiri, mampu melindungi diri, kawan dan lingkungan

    sekitar, menegakkan kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir

    lebih maju dan ganas di bumi ini. Mbah Sugi pun menanamkan

    kepada kami tentang betapa hebatnya sebuah mimpi. Makanya

    beliau selalu menyuruh kami untuk bermimpi. Beliau

    menganugerahi kami sebutan anak-anak yang terpilih karena

    khayalan dan mimpi kami begitu tinggi. Melebihi pemikiran

    remaja yang seusia. Seperti yang selalu diucapkan beliau, Masa

    depanmu ditentukan dari mimpi-mimpimu Mbah Sugi.

  • Setelah Mbah Sugi merasa umurnya sudah cukup tua

    sebagai pecinta keagungan Tuhan, beliau memilih untuk

    menghabiskan waktunya di kaki gunung, menghirup udara segar

    dengan kenikmatan embun ketika pagi dan gemuruh jangkrik di

    setiap malam harinya yang beliau tidak bisa mendapatkannya di

    kota besar.

    Tuuutttt..tuuuuttt...tuuuuttttt BLACKBERRY Iwan

    berdentang dengan keras, kami segera mengerubunginya.

    Woy berat-berat! Iwan marah ketika punggungnya kami

    dorong, saat berebut ingin melihat Mbah Sugi.

    Biar sih, eh lama banget nih ngga diangkat sama Mbah

    Sugi? balas Tyan.

    Iya yah, jangan-jangan bener, si Mbah masih tidur,

    atau... kata Tedi.

    Aataauuuu, ga berani ngangkat telepon dari kita-kita,

    mungkin Mbah Sugi takut kali? Ucapku menegangkan, sambil

    teriak histeris.

    Spontan kami semua tertawa.

    Tiba-tiba yang muncul wajah Rodi, anak terakhir Mbah

    Sugi. Terdengar pula lantunan salawat nabi yang mengalun keras

    sehingga tak jelaslah percakapan kami.

    Haaallooo, hallooo... Rodi panik saat mengangkat BB

    mbahnya, terlihat jelas sekali dari layar banyak orang di sana. Ada

    yang hilir mudik, ada yang sibuk bawa kue. Mereka berpakaian

  • sopan, menggunakan kerudung dan berpeci. Wajah orang-orang di

    sana sedang muram.

    Ya, halo Bang Rodi, iiini kamii, hitam putih abu-abu,

    inget ga? Iwan pun berteriak, sepertinya Rodi kurang jelas

    mendengar karena suasana ramai di rumahnya.

    Oohh iya, sebentar dulu saya keluar rumah, di sini

    ramai!

    Lalu ia keluar rumah. Nampak di luar pun suasana begitu

    ramai. Entah apa yang terjadi, kami semua bingung. Semua orang

    tergesa-gesa dan sedang berkabung.

    Ada apa di sana tuh? bisikku ke Tyan. Ia hanya

    menggelengkan kepalanya.

    Dengan serius kami mendengarkan percakapan Iwan dan

    Rodi.

    Maaf lama... ucap Rodi.

    Ga apa-apa kok. Oia bang, rame banget di rumah, emang

    ada apa sih? Terus kemana Si Mbah? tanya Iwan tergesa-gesa.

    Rodi terlihat bersedih, lalu ia melanjutkan pembicaraan,

    Mbah Sugi... air matanya tumpah, Bapak, meninggal dunia

    semalam...

    Air matanya menetes tak terbendung, kami berempat

    begitu kaget dengan kejadian ini. Apakah beliau meninggal karena

    kalah taruhan dengan kami sehingga beliau mengalami jantungan

    yang mendadak dan langsung mati di tempat? Entahlah. Kami

  • turut berduka atas meninggalnya Mbah Sugi, sang guru alam kami.

    Masa-masa indah saat di sana, masa-masa ceria saat tertawa, masa-

    masa gembira saat taruhan walau kalah atapun menang, dan

    semuanya yang terbaik di mata kami tentang Mbah Sugi telah

    sirna.

    Rodi terus saja menangis. Suaranya mulai parau. Lalu ia

    pun menyuruh kami kalau sempat main ke sana, kami pun

    mengiyakan.

    Emang kenapa Si Mbah meninggal? tanya Tyan pena-

    saran.

    Ngga ada yang tau kenapa bapak meninggal, menurut

    abang sih, bapak semalam sedang sibuk menonton kontes dangdut,

    lalu ketika idola bapak menyanyi, bapak tertawa dengan terbahak-

    bahak. Tiba-tiba bapak tersendat kacang yang sedang dimakannya.

    Dan beginilah jadinya. tutur Rodi sambil mengelap air matanya.

    Tedi dan aku cekikikan. Hal lucu yang membuat kami

    tertawa. Dengan semudah itu orang tua gunung meninggal? Ah

    sepele. Seorang laki-laki kuat itu, yang sering berdiri di puncak

    semesta, yang selalu mengutarakan janjinya di samping Sang

    Pencipta, yang setiap kali menyentuh langit, mati, meninggal

    tersendat kacang? Atau... terpesona melihat sang idola bernyanyi?

    Ah misteri.

    Masa? Aneh banget Si Mbah matinya? tanyaku asal

    ngomong.

  • Hus, lu ngomong yang bener, Har... kritik Iwan.

    Oia maaf, Bang... aku membenarkan ucapanku.

    Ya udah sih ngga apa-apa. Gini, bapak nitip pesen buat

    kalian pas lagi sekarat... Rodi nampak serius.

    Apa? kami semua mengerubungi BB Iwan yang besar

    sekali itu.

    Begini, bapak berpesan untuk kalian, jadilah orang yang

    berguna. Jangan pernah sekali pun berfikir untuk menjadi orang

    hebat. Sebab orang hebat tak hanya menyimpan kesombongan

    tentang kehebatannya. Tapi orang berguna itu selalu berbagi ilmu,

    di mata orang yang telah merasakan kebergunaannya maka kita

    bisa menjadi hebat. Tapi semua itu perlu tantangan. Juga, kalian

    semua harus menjadi orang yang berani berkata, kalian itu adalah

    beda. Berani menyuarakan kebenaran. Tak takut dikritik. Dan

    menjalankan perintah Allah. Oia ada satu lagi, jangan takut

    bermimpi. Bermimpilah! Karena Allah akan memeluk mimpi-

    mimpi kalian!

    Kami terharu mendengar pesan Mbah Sugi yang

    disampaikan Rodi tadi. Aku terdiam, termenung memikirkan apa

    yang telah dipesankan beliau tadi. Aku terhenyak. Begitu juga

    dengan Tyan, Tedi dan Iwan.

    Woy jangan bengong! Rodi mengagetkan kami semua.

    Lamunan kami buyar.

    Iiiyyaaa,... ucap Iwan kaget.

  • Ya udah minta doanya buat bapak, Mbah Sugi. Trus

    kalian mau kemana sekarang?

    Pasti kami doain, uhm rencananya kami mau ke sana.

    Mau mendaki, tapi karena keadaan di sana seperti itu, ya sudah,

    mungkin kami mau berpetualang ke tempat lagi deh, Bang... ucap

    Iwan bijak.

    Ya udah, tapi jangan lupa maen ke sini. Tengok makam

    bapak yah. Pulsa lu mau gue gantiin ga? Hehe ledek Rodi.

    Jeuh so kaya lu, Bang. Tuh Mbah Sugi yang kalah

    taruhan juga... aku kesal.

    Minta sono sama bapak gue di alam baka. Hehe...

    Kami semua tertawa. Lalu Iwan mematikan BBnya.

    Gimana kita sekarang? Udah dengerkan, seorang

    penghidup salah satu mimpi kita telah berpulang! jelas Iwan

    tegas.

    Kami semua berfikir.

    Gimana kalo kita wisata kota! ide Tedi memecahkan

    bayang-bayang kami.

    Iya, gue sama Tedi belom pernah nih wisata kota. Lu

    sama Hardi kan udah, Wan. Gimana? Pastinya asyik kalo kita jalan

    berempat... Tyan mengiyakan saran Tedi. Lagi-lagi kami

    berfikir...

    Gimana, Har, menurut lo? Iwan meminta pendapatku, ia

    mungkin setuju dengan pendapat Tedi.

  • Okelah. Tapi kita begini aja nih? aku setuju dengan

    saran mereka. Mungkin selain gunung dan alam, kami juga bisa

    melihat gambaran kehidupan jalan yang begitu rumit. Kehidupan

    yang hanya dijalankan oleh sebagian orang saja. Kehidupan yang

    hanya dilalui oleh orang-orang yang terpaksa menikmati debu

    jalanan dari pada wangi parfum mahal. Ya, kami akan hadapi

    tantangan suram itu. Kami juga tak mau dibilang sebagai

    sekumpulan orang manja. Kami juga bisa membandingkan

    kehidupan kami dengan kehidupan orang-orang yang berada di

    berbagai daerah.

    Jadi mending kita ke kota besar saja, lebih asyik, lebih

    banyak tontonan. Daripada di kota kecil. Baru jam delapan malem

    udah kunci pintu. Hehe lanjutku.

    Ya, gue setuju... ucap Iwan dengan pasti.

    Tedi dan Tyan tersenyum puas. Nampak oleh kami

    matahari yang cerah semakin mendekat. Kami menyatukan telapak

    tangan kami.

    Tedi berkata, Demi tujuan dan masa depan

    Tyan berkata, Demi langkah dan kekuatan

    Iwan berkata, Demi hidup dan harapan

    Aku berkata, Demi mimpi dan perjuangan

    Hitam putih abu-abu, Satukan kekuatan! kami berteriak

    memecah sunyi.

  • Mungkin tak pernah seperti ini bila kami tidak bertemu

    dalam kejadian saat itu. Ketika kami berempat disatukan oleh

    seorang Guru, guru yang tak boleh disebut namanya. Guru itu

    menyatukan kami dengan menanamkan sebuah jiwa laki-laki yang

    kuat, yang tak boleh hancur hanya karena diterpa angin malam,

    yang tak boleh bergetar walau topan di hadapan kami. Terus

    mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa pernah mengeluh dan

    cintai wanita yang benar-benar kami sayangi. Cukup satu saja.

    Dengan gencarnya Sang Guru menanamkan semua itu,

    kami pun semangat mencoba menyusuri jejaknya, tapi entah

    mengapa suatu kejadian yang tak pernah kami lupakan dan tak

    boleh kami sebutkan kepada siapapun membuat kami terpisah

    dengan Guru. Dan kami pun merasa jalan satu-satunya adalah

    menjadi seorang lelaki yang kuat dengan pilihan hidup kami

    sendiri. Dengan mengumpulkan filosofi hidup. Dan merangkainya,

    menjadikannya gambar yang begitu nyata dihadapan semua orang.

    Kami pun terus memegang ajaran yang telah diajarkan Sang Guru,

    agar kami menjadi seorang laki-laki. Jadi selamat tinggal, Guru,

    sebuah kata yang kami ucapkan saat mengenangnya dalam setiap

    perjalanannya.

    Mulai saat itu, kami terus melakukan perjalanan mencari

    jati diri. Bahasa kerennya adalah berpetualang mencari ujung

  • pelangi. Kami tak mau berhenti sebelum mendapatkan ujung

    pelangi itu.

    Kami pun menamakan diri kami hitam putih abu-abu.

    Mengapa hitam putih abu-abu? Karena hitam Putih abu-abu

    adalah sebuah jalan, dan pilihan. Hitam, putih, abu-abu bukanlah

    warna, itu semua adalah awal. Sebuah dasar. Hitam, putih, abu-abu

    saling berkaitan membuatnya kuat bila bersama. Jalan yang kami

    harus pilih adalah hitam dan putih. Sedangkan abu-abu adalah di

    mana saat kita hendak memilih jalan yang akan kita lalui, bisa

    dibilang sebuah persimpangan menuju misteri yang akan

    terbongkar. Apakah hitam ataukah putih? Lalui dan pilihlah

    kawan!

    Jadi kemana kita? tanyaku. Semuanya berhenti.

    Aduh aduhhhhhhhh, iya yah. Duit kita mepet. Ga bisa

    jauh-jauh nih... Iwan pun ragu karena keuangan kami yang hanya

    pas-pasan saja.

    Jakarta, langsung ke Bogor, tapi bisa juga sekalian

    mampir ke Bekasi Tyan dengan pedenya memberikan saran.

    Tyan, mikir donk lu! bentak Iwan kesal. Ia tak habis

    pikir, Tyan mengajukan tempat yang begitu jauh dan sangat

    banyak rutenya. Emang duit lu cukup!

  • Nyantai Wan,Tedi mencoba mengetengahkan masalah,

    Gue sama Tyan udah kompromi, kita bakal nyoba yang belom

    kita coba...

    Tyan tersenyum puas.

    Apaan Ted? aku masih penasaran. Apakah mencuri?

    Atau mencoba berpuasa di atas kenikmatan yang bergelimang di

    kota besar? Aku belum tahu.

    Tedi tersenyum melecehkan aku dan Iwan.

    Sial lu berdua, Apaan?! Iwan pun makin penasaran.

    Sabar, Kawan! Gini, kita bawa alat masak kan? Tedi

    menjelaskan.

    Aku dan Iwan mengangguk. Lalu Tyan melanjutkan,

    Gini, kita bisa makan dengan cara masak dan Cuma beli makanan

    mentah aja. Jauh lebih murah...

    Masalah transport? aku masih penasaran.

    Oh o-on lu Har, kita tinggal nge-BM (berani mati, dengan

    cara menghentikan mobil-mobil truk tanpa membayar) gampang,

    kan? Banyak ko supir-supir yang iba ngeliat pengembara kaya kita,

    yang bermuka melas kaya lu-lu pada ucap Tyan sambil menunjuk

    ke arah aku, Iwan dan Tedi.

    Aku dan Iwan hanya cengar-cengir. Mereka berdua mulai

    sombong.

    Ya udah kita sekarang mau ke mana? tanya Iwan sambil

    melanjutkan langkahnya.

  • Kita ke Tangerang aja dulu. Sekarang kita naek Bulan

    Jaya, gimana? ajak Tyan.

    Ok kami semua setuju.

    Tidak beberapa lama kemudian, Bulan Jaya datang,

    dengan penumpang yang sudah berdesakkan. Tidak biasanya. Oh

    ya, aku belum menceritakan apakah itu Bulan Jaya. Bulan Jaya

    adalah sebuah nama bus, tepatnya mini bus yang beroperasi

    dengan rute Balaraja Kalideres, Tenjo Kalideres, Rangkas

    Kalideres, dan Cimone Rangkas15. Yang kami naiki adalah Bulan

    Jaya rute Balaraja Kalideres. Tahukah kawan, Bulan Jaya yang

    memiliki rute Balaraja Kalideres ini disebut penguasa jalan raya

    Serang. Raja kebut jalanan, mulai dari Kilometer 10 - 23. Jangan

    tanya kecepatannya, melebihi kecepatan suara kali yah? Setiap ada

    ibu-ibu yang menjadi penumpang Bulan Jaya pasti berteriak-teriak

    minta kurangi kecepatannya, katanya Hampir copot jantungku!.

    Kernet bus dengan supirnya sangat kompak, inilah pasangan supir

    yang amat dinanti semua supir angkot. Mulai dari mengatur

    parkir,mengatur kemacetan agar bus ini bisa melaju duluan,

    membaca jalan dan menghadapi rintangan jalanan, mampu mereka

    atasi dengan kekompakan yang amat mereka junjung tinggi.

    15 Balaraja terletak di kabupaten Tangerang. Kalideres terletak di Jakarta Barat. Rangkas atau Rangkas Bitung terletak di Lebak. Cimone terletak di Kota Tangerang.

  • Begitulah Bulan Jaya. Mungkin di tol mereka tidak banyak gaya,

    tapi di km 10-23 jalan raya Serang, jangan ditanya.

    Muke gile nih supir bisikku. Kecepatan tinggi yang terus

    dipacu membuat debar jantung ini kian mencencekam. Padahal

    penumpang sudah penuh, bukan penuh lagi, tapi sudah

    membludak.

    Ayo Kokol Deres Cikokol Deres!!! teriak kernet itu.

    Wajah semangat tak kenal lelah selalu dikeluarkan oleh

    sang kernet. Kernet di Bulan Jaya ini ada dua orang, yang pertama

    berada di pintu belakang dan yang kedua berada di pintu depan.

    Yang biasa mengatur jalan adalah kernet bagian belakang. Kalau

    kernet bus bagian depan biasanya meminta ongkos. Tarifnya pun

    tak terlalu mahal, juga bisa ditawar asalkan kita tidak pelit.

    Apabila kita pelit bisa-bisa kita sebagai penumpang disuruh turun

    oleh sang kernet bus.

    Sambil merokok dan berbagi rokoknya kepada salah

    seorang temannya, kernet tadi membuka pembicaraan dengan

    temannya tadi. Aku yang persis berada di sebelahnya mendengar

    pembicaraan yang menggugah hatiku.

    Maaf sebelumnya, aku sedikit menguping.

    Jo, sial banget gue hari ini...ucap kernet bus yang tadi

    memberikan rokok.

  • Nape lu? Kayanya muke lu juga akhir-akhir ini kusut

    banget dah sambil menghembuskan rokok yang tadi diberikan,

    kernet kedua menjawab dengan santainya.

    Masa pagi-pagi gue udah diusir sama bini16 gue. Ga

    dikasih sarapan lagi kernet tadi menunduk lemas.

    Emang napa?

    Ga tau

    Mungkin lu pernah ngelakuin salah kali sama bini lu?

    Iya sih, semalem gue pulang jam sebelas. Gue abis maen

    judi sama bang Tohir, orang Ceper. Nah gue kira gue bakal

    menang telak. Tapi ternyata gue yang kalah telak. Nah duit gue

    abis lagi. Bini gue marah, pas gue pulang ga ada duit, dia bilang

    gini, udah lah Bang, kalo lu masih mau tinggal sama gue,

    mending lu berhenti judi, tobat Bang, tobat. Kalo gini terus gue ga

    kuat. Mending cerai aja gue sekalian Bang! gitu Jo. Nah pas pagi-

    paginya gue dicuekin. Pas gue ngerayu, gue langsung diusir, Jo.

    Mana bini gue sambil ngelempar piring lagi. Lah gue takut,

    langsung aja gue kabur...

    Kernet kedua diam berfikir mengasah otaknya. Diam,

    dengan gaya santai sambil memainkan asap rokok yang keluar dari

    mulutnya. Tak beberapa lama kemudian, keluarlah kalimat yang

    ditunggu-tunggu kernet pertama, Lu masih sayang sama bini lu?

    16 Sebutan untuk istri. Tapi masih berasa lebih kasar.

  • Iiyalah Jo. Gue sayang. Tapi... gue ngerasa salah juga

    jawab kernet pertama dengan lugu.

    Bener? tanyanya sekali lagi sambil melotot kearah

    kernet pertama.

    Lalu asap rokok ia hembuskan lagi.

    Gini, cara paling tepatnya menurut gue, lu ga usah judi

    lagi...

    Ttaapii...

    Ga pake tapi! Katanya lu masih sayang. Dan lu harus

    solat. Kaya gue nih udah tobat. Kernet kedua mulai terlihat serius

    dalam pembicaraan yang selanjutnya.

    Jo, gue udah lupa cara solat...kernet pertama tadi berkata

    sambil menunduk malu.

    Nah itulah kesalahan lu! Lu masih sayang kan sama bini

    lu?

    Iya jo. Gue bakal lakuin apa aja biar bini gue ga marah

    lagi sama gue. Soalnya udah parah banget nih...

    Entar pas kita istirahat, mending lu belajar solat sama

    gue, itung-itung inget-inget lagi. Dan sampe di rumah lu ga usah

    minta maaf lagi...

    Kalo gue pulang bini gue masih marah gimana?

    Gue belon selesai ngomong, Nyet ! kernet kedua marah,

    ketika ucapannya dipotong. Ia melanjutkan, Lu sampe rumah

    ngucapin salam. Bisa kaga lu ngucapin salamnya orang islam?

  • Iye bissa...

    Kalo udah, tapi masih ga ditanggepin lu langsung

    ngomong ke bini lu, bahwa lu pulang bawa duit. Kasih semua ke

    bini lu. Jangan dipake maen judi. Dan mita ajarin solat sama bini

    lu. Dijamin bini lu kaget mendengar ucapan lu...

    Bener?

    Ya sudah kalo ga mau nyoba...

    Iye gue coba...

    Percakapan berakhir di sini, karena ada penumpang yang

    masih memaksa ingin naik ke dalam bus. Tanpa ragu sang kernet

    pun berkata, Ayo masih kosong, masih kosong!

    Inilah Bulan Jaya, mini bus yang tangguh di kelasnya.

    Kami naik Bulan Jaya sampai daerah Kalideres.

    Keadaan yang begitu sumpek. Dengan polusi yang

    bertebaran di mana-mana. Inilah terminal Kalideres. Kami

    berempat telah turun dari Bulan Jaya. Siap menanti truk-truk yang

    mau mengangkut kami.

    Tedi dan Tyan mengulurkan tangannya kepada truk yang

    lewat. Tapi tak ada yang mau berhenti. Hanya diberikan knalpot

    dengan asap hitam mengepul.

    Huh sial, mana nih truknya. Ngga ada yang mau

    berhenti! Gerutu tedi.

  • Truk bangsat! teriak Tyan sembil melempar kerikil

    mengarah ke truk yang telah meninggalkan kami dengan cepat.

    Aku dan Iwan hanya menertawai mereka berdua.

    Ya udah sekarang giliran gue berdua. Huh ide kalian

    berdua ga ampuh... Iwan mencoba menegaskan keberhasilan

    kami, sambil meremehkan mereka berdua.

    Tedi cemberut saja. Tyan malah mengambil posisi duduk

    dengan sleepingbednya17

    . Aku dan Iwan merapat ke jalan. Baru

    saja kami selesai berdebat, aku dan Iwan merapat ke bibir jalan,

    sebuah truk dengan dua orang pengendara berkacamata hitam

    berhenti dihadapan kami. Kami berdua kaget.

    Heh, lu semua yang waktu itu naek bis Sahabat yang

    turun di Serang itu kan? ucap salah seorang pengemudi truk.

    Kapan, Bang? aku bertanya keheranan. Sebab sering

    sekali kami ke Serang untuk bermain dan malah selalu naik bus

    antar kota Sahabat, jurusan Kuningan Merak.

    Yang dua bulan lalu, malem-malem. Lu berlima, sama

    cewenya satu itu. Kita ketemu pas lu semua berpakean kaya gini.

    Kan gue sapa, lu bilang mau hiking... jelas pengemudi tadi,

    Alah lupa lagi. Gue pengamen yang ngasih tau lu kalo gue orang

    Semarang. Lu yang pake baju biru, menunjuk kearahku, Lu

    yang ngasih gue seribu itu...

    17 Kasur lipat yang bisa dibungkus dan berbentuk tas. Biasa dipakai oleh para pendaki, backpackers, dan para orang-orang yang keluar di jalan Allah SWT.

  • Oohhhh kata kami bersamaan. Baru ingat kami. Pada

    waktu, dua bulan yang lalu kami memang ingin hiking ke gunung

    Karang, tapi tidak jadi, malah mengambil jalur Cilegon dan ke

    pantai Marbella. Ya benar, kami menaiki bus Sahabat, dan ketika

    hendak turun di Serang , ada seorang pengamen yang menyapa

    kami. Orangnya ramah. Ternyata orang itu bertemu dengan kami

    lagi. Ia memang benar-benar baik.

    Ya udah, ngapain lu semua bengong-bengong aja, mau

    ikut ga nih? lagi-lagi pengemudi yang berprofesi pengamen ini

    menawarkan keramahannya kepada kami.

    Di truk.

    Aku, Tedi dan Tyan berada di bak belakang truk,

    sedangkan Iwan ada di depan bersama orang tadi. Iwan mengobrol

    panjang lebar, ia pun berkenalan dengan para pengemudi. Yang

    memegang stir bernama Tyo, Prastyo nama panjangnya.

    Sedangkan yang tadi mengamen dan menyapa kami tadi bernama

    Jodi.

    Jodi, lu kok dari Semarang bisa nyampe di sini. Jauh

    banget lu maen... tanya Iwan, menghilangkan keheningan.

  • Ya sama aja kaya lu semua, Wan, lu ngapain coba maen

    jauh-jauh, gembel lagi. Mana bawa kaya beginian semua, kaya

    mau perang aja lu semua ledek Jodi.

    Kami semua tertawa.

    Kalo gue sih cuma mau mencari siapa sih gue? Gitu.

    Terus kita berdua tuh cuma mau menantang hidup yang kata orang

    sulit... lanjut Jodi, terlihat dari gambaran wajahnya ia

    bersungguh-sungguh.

    Kalo gue dan hitam putih abu-abu cuma mau mengejar

    impian, cita-cita dan harapan... ucap Iwan yang mengopi kata-

    kataku.

    Juga hidup dan perjuangan lanjut Tyan.

    Ya ya ya... aku juga tak mau ketinggalan.

    Pembicaraan yang nikmat itu terhenti, karena kami

    memutuskan untuk berhenti di sebuah daerah Jakarta yang pas

    untuk menyambung truk lagi.

    Jodi, Tyo, makasih ya! Kapan-kapan kita bisa ketemu

    lagi! teriakku.

    Kami semua melambaikan tangan ke arah truk yang

    dibawa mereka. Mereka pun berlalu dengan begitu cepatnya. Jodi

    dan Tyo, dua orang yang menjadi cerita dalam perjalanan kami.

    Dengan gaya yang begitu asal-asalan, kami melanjutkan

    perjalanan. Mencari tumpangan lagi deh.

  • Kita kemana lagi nih? tanya Iwan cemas. Dia selalu

    begitu, pesimis dengan apa yang kita lakukan. Tapi anehnya dia

    selalu yakin kalau kita bisa melakukan itu semua. Di balik

    kepesimisannya, ia bisa optimis dalam berbagai hal.

    Kemana ya? Gampang... ucap Tyan santai.

    Huh slalu begitu, balas Iwan dengan senyum kecut.

    Perjalanan kali ini diteruskan dengan naik mobil angkutan

    sayur dari desa. Entah, tujuan yang tak jelas. Kami hanya merasa

    berputar-putar saja di sini. Jakarta, kota besar dengan beragam

    cerita di dalamnya. Orang-orang yang sibuk berjalan dengan

    tergesa-gesa. Ada juga sekumpulan anak remaja yang sangat

    mengikuti trend zaman, menatap kami dengan keheranan, kami tak

    fokus ke mereka. Mungkin pikiran mereka, kami ini adalah orang

    gunung yang sedang menuju ke kota. Ah biarkan saja. Lalu di

    setiap persimpangan lampu merah, masih banyak anak jalanan dan

    pengemis yang menghiasi kota besar seperti Jakarta ini. Mereka

    sibuk meminta. Ada ibu dekil menggendong bayinya dengan

    wajah mengiba menadahkan tangan dan berharap akan ada orang

    yang mau memberikan sedikit rezeki kepadanya. Ada pula remaja

    seusia kami yang sibuk mengamen. Tragis. Sebuah penderitaan

    terjadi di tengah gemerlap keglamouran dunia.

    Mari berkaca, wajah negara ini yang sesungguhnya

    tercemin di kota-kota besar. Mulai dari para bangsawan hingga

    orang-orang pinggiran, sekumpulan ustadz sampai organisasi

  • pencopet, penjual asongan sampai penjual diri, ada lelaki sejati ada

    juga lelaki setengah dewa (ngerti kali, alias waria), dari keadilan

    sampai kecurangan, dari pelacur jalanan sampai pelacur berkerah,

    dari kenikmatan sampai kesengsaraan, gedung kokoh pencakar

    langit sampai gubuk reyot yang terkena teriakan saja langsung

    roboh. Ya, mungkin setiap keberhasilan sesuatu membutuhkan

    pengorbanan. Apakah, Indonesia ini berhasil di berbagai bidang,

    yang menjadi korbannya adalah para kaum pinggiran? Aku tak

    tahu.

    Kami terus menatap keterasingan berbagai orang yang

    tersesat di kota ini dari atas mobil angkutan sayur. Aku

    menikmatinya, juga kawanku yang lain. Hitam putih abu-abu

    merenunginya.

    Boi, inilah hidup, penuh perjuangan. Ga ada yang

    sempurna di dunia ini... ucapku datar, aku memperhatikan semua

    ini yang lain pun hanya termenung, diam tanpa kata.

    Keheningan menyelimuti kami.

    Tiba di sebuah lampu merah, lalu beberapa anak jalanan

    berumur sekitar sepuluh tahunan berlari menyerbu jalan, bak

    ombak menerjang karang. Mereka bernyanyi dengan suara fals.

    Hanya berbekal sebuah botol yang diisi pasir, berbagai kendaraan

    mereka datangi, hanya untuk mendapat recehan sisa kembalian

    orang-orang kaya.

  • Gila tuh orang, tega amat ga ngasih tu pengamen.

    Sadizzz! ucap Tyan kesal. Melihat seorang pengemudi mobil

    yang hanya terdiam dan menjalankan mobilnya ketika ada seorang

    bocah menyanyi di jendela mobilnya.

    Pelit banget tuh orang kaya! Iwan ikut-ikutan mengutuk.

    Ya jangan gitu lah boi, mereka mungkin punya alesan ga

    ngasih... aku mencoba menenangkan teman-teman.

    Ah, alesan sampah! Iwan langsung melanjutkan,

    wajahnya kurang puas mendengar jawabanku.

    Kan gue belum selesai ngomong, aku mencoba

    menjelaskan lebih detail, Alesannya cuma buat ngegedein perut

    tuh. Beli sampah di mall yang cuma berisi kotoran dan keringat

    mereka sendiri! aku pun tersulut emosi.

    Ya sudahlah... Tedi merasa sudah bosan melihat

    kehidupan seperti ini.

    Aku merasa salah juga, mencekal para orang kaya yang

    terlihat angkuh ketika tak peduli kepada anak jalanan dan orang-

    orang sebangsanya. Tapi, yang bisa kami katakan hanyalah

    pengelihatan dua bola mata. Jangan salahkan mata kami.

    Perjalanan terus kami lanjutkan, setelah selesai salat isya

    di masjid Istiqlal18

    dan setelah menyantap nasi goreng khas Tyan.

    18 Sebuah masjid terkenal yang terletak di kota Jakarta.

  • Kami mencari tumpangan lagi. Sudah malam, kukira tak ada truk

    yang mau mengangkut kami.

    Bang ikut ya! teriakku, setelah memberhentikan sebuah

    truk yang dikemudikan oleh seseorang berbadan besar.

    Oke, semuanya naek... ucap supir itu dengan ramah.

    Di atas truk.

    Emang kalian semua mau kemana? tanya supir itu tanpa

    berkenalan dulu.

    Uhm, ga tau jawab Tyan. Kami semua hanya senyum-

    senyum tidak jelas.

    Hah, dasar anak muda jaman sekarang... supir itu agak

    kaget mendengar jawaban dan ekspresi kami.

    Bang, kami ikut ya, sampe pagi nanti... Tyan berharap

    supir itu mengizinkannya.

    Uhm, okelah. Tapi sampe mana aja ga apa-apa ya?

    Iya, sampe Bali juga ga apa-apa. Hehe aku mencoba

    membuat lelucon kecil. Semua tertawa, begitu juga abang supir.

    Setelah malam menunjukkan wujudnya sebagai gelap yang

    pekat tanpa bintang, juga diselimuti angin yang menusuk tulang,

    kami semua mulai terkantuk. Lalu kami pun tidur di atas truk.

    Terlelap, karena perjalanan panjang esok masih menanti kami.

  • Heufffttt ahhhhhhhh.... Tedi menguap dari tidurnya.

    Alarm telepon genggamnya yang sudah tua menggetarkan telinga

    kami semua. Tanda sudah pukul setengah lima pagi.

    Ted, berisik. Matiin geh... Iwan merasa terusik. Lalu ia

    menutupi telinganya dengan tasnya. Telepon genggam Tedi masih

    berdering kencang. Truk yang kami tumpangi pun telah berhenti.

    Entah terdampar di kehidupan mana lagi kami semua. Yang pasti

    aku kali ini sedang menikmati mimpiku.

    Woy bangun! Subuh subuh... ucap Tedi sambil

    mengucek matanya. Ia pun terlihat masih ngantuk. Matanya belum

    bisa terbuka. Di antara kami belum ada yang bangkit selain dia.

    Perlahan-lahan suasana pagi memperingati matanya. Ia pun

    perlahan-lahan membuka mata.

    Tiba-tiba, ia langsung merasa terkejut, nyawanya langsung

    menyatu seketika. Perasaan apa yang menyelimutinya ini?

    Sungguh, berkali-kali ia mengucek matanya sampai merah. Lalu ia

    mencubit Tyan, yang persis ada disebelahnya.

    Awwww, sakittt! ucap Tyan yang langsung terlelap

    kembali.

    Ia merasa sedang berada di sebuah tempat yang ia kenal,

    kenal sekali. Apakah ini tempat yang ia lihat di dalam mimpi

    semalam? Ia bingung. Tapi bukan, apakah ia sedang bermimpi?

    Tidak, buktinya Tyan merasakan sakit ketika ia cubit tadi. Apakah

    ini?

  • Goooooooobbbbbbbbbbbblllllllllooooooooooookkkkkkkk

    kkkkkkkkkkkkkkk! Tedi teriak histeris. Teriakannya

    membangunkan kami semua. Aku langsung bangun walau

    sebagian rohku masih melayang-layang di angkasa. Tyan pun

    segera bangun dan membuka matanya lebar-lebar. Iwan melihat

    sekeliling dengan mata masih terpejam. Kami pun menyadari

    semua ini. Keberadaan kami saat ini. Keadaan kami di sini.

    Aarrrrrggggghhhhhhhhhhhhh! teriak kami bersama-

    sama.

    Sang supir yang sudah bangun dari tadi tersenyum

    menatap kami sambil memegang segelas kopi dan

    menawarkannya. Lalu ia berkata tanpa merasa memiliki dosa,

    selamat datang di Balaraja...

  • 2

    Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Aku bukanlah kamu.

    Kamu bukanlah aku. Sebaik-baiknya orang adalah jika

    mereka menjadi diri mereka sendiri, bukan orang lain.

    Khatta Goenawant

    Bodoh! Kenapa lagi-lagi pulang? Huh, boseennn. gerutu Tedi

    yang dari tadi cemberut seusai solat Subuh.

    Mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali... ucap

    tyan yang lagi sibuk membuat mie instan di terminal Sentiong.

    Emang kalian bener-bener dari Balaraja? tanya supir

    yang masih berada diantara kami.

    Ya iyalah, buktinya kami begitu kesel ngeliat ni terminal.

    Bang, kenapa ga bilang sih mau ke Balaraja? jawab Tedi dengan

    emosi.

    Udah sih, Ted, biarin. Lagian juga salah kita ga nanya ni

    truk mau ke mana. Aku mencoba meredam emosinya. Ia terdiam

    tapi masih cemberut. Iwan dan Tyan masih sibuk memasak mie

    instan dengan peralatan yang telah kami siapkan sebelumnya.

    Iya, kalian tadi kan bilang mau kemana aja, ngikutin

    truk... supir tadi mencoba membela diri agar ia tak disalahkan.

    Memang, kami yang salah, tapi aku mungkin berusaha

  • menikmatinya. Apa yang akan kami kerjakan mungkin akan

    dibahas nanti setelah menyantap mie instant.

    Okelah, gue ngalah. Tapi gimana nih nasib kita

    sekarang? Tedi masih saja mengeluh sambil mempertanyakan

    nasib.

    Woy, makan-makan! teriak Iwan sambil mengangkat

    mie yang masih ada di dalam panci.

    Tedi dihiraukan saja oleh kami semua. Lima mangkuk mie

    panas tersaji dihadapan kami. Aroma yang begitu sedap menusuk

    perut lapar begitu menggoda. Supir yang terlihat lapar, semakin

    bernafsu untuk menyantap mie. Aku tersenyum melihat orang itu.

    Ya, kebaikan harus dibalas dengan kebaikan.

    Sambil memakan mie yang masih panas, aku memikirkan

    tentang perkataan Tyan tadi, mungkin kita ditakdirin muterin

    Balaraja aja kali..., ada benarnya juga, berkeliling daerah sendiri,

    mengenal lebih dekat daerah sendiri, kalau ditanya, emang udah

    semua daerah Balaraja yang dirasain? Pasti jawabannya belum.

    Ya, bagus juga muter-muter Balaraja nih. Semoga saja yang lain

    setuju.

    Supir tadi memakan mie dengan lahapnya, upz, hampir

    saja lupa, kami tak berkenalan dengan supir ini.

    Oia Bang, ucapku memecah keseriusannya yang sedang

    menyantap mie, Saya lupa nanya, nama Abang siapa?

  • Iwan terlihat kaget, Tyan sepertinya ingin memuntahkan

    mie yang sedang ia makan, Tedi tercengang tak mengunyah.

    Seakan mereka tak percaya hal yang telah kami lakukan,

    melupakan hal penting yang begitu sepele, berkenalan. Dengan

    sangat angkuh kami menaiki mobil si abang supir dan mengobrol

    panjang lebar tanpa mengetahui namanya.

    Oia ya, sampe lupa, abis keenakan ngobrol sih, nama

    Abang Jo, panggil aja Jo! ucapnya dengan tegas sambil

    mengulurkan tangannya ke arahku.

    Aku pun menyambut tangannya, kami bersalaman, terasa

    sekali kasar tangannya. Seperti menunjukkan bahwa ia telah

    melewati perjuangan yang begitu keras melawan keganasan alam,

    Saya Hardi...

    Yang lain melanjutkan, Saya Tyan..

    Saya Iwan...

    Saya Tedi...

    Kami ini hitam putih abu abu, pembeda antara remaja

    masa kini. Gaulnya kami begitu menantang, Bang... aku

    melanjutkan.

    Wou, gimana nasib kita sekarang? Tedi bertanya hal

    yang tadi lagi, Apa kita udahan aja nih....

    Huh masa pulang? Manja amat lu! Iwan terlihat kesal.

    Iya masa pulang, baru semalem, cemen lu, Ted! Tyan

    pun terlihat merendahkan Tedi.

  • Ya, jadi terserah lu, lu pada dah. Tapi abis gini ngapain

    lagi? Tedi mencoba mengalah. Sebab, dari tadi ia sendiri saja

    yang bingung memikirkan kita selanjutnya bagaimana dan mau

    kemana.

    Jah, Ted, lu mah gitu. Kan tadi Tyan udah ngomong,

    mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali iya kan? aku

    mencoba menenangkan suasana.

    Iya, kita muter-muter Balaraja. Lu semua pasti belum

    pernah, kan? Lah orang Balaraja sih belom pernah tidur di jalanan

    Balaraja, gimana sih, Lu! kata Iwan mencoba menguatkan

    argumenku. Tedi masih diam saja tak berkomentar.

    Emang lu udah pernah, Wan? tanya Tyan. Iwan

    kebingungan menjawab apa.

    Ia tersenyum malu, Gila aja lu, masa gue tidur di Balaraja

    sendirian? Ntar kalo gue diculik gimana?

    Hah sampah lu! Tyan kesal.

    Kita jadi nih muter-muter di Balaraja? aku bertanya.

    Ya iyalah, masa ya iya deh. Cape dehhh ledek Iwan

    dengan lebay.

    Semuanya tertawa, termasuk bang Jo. Hanya Tedi yang

    masih terdiam. Tak sedikitpun ia keluarkan ekspresi senang dari

    dalam dirinya. Hanya diam, membatu, membisu, menjadi patung.

    Sunyi lalu menyergapi hatinya, entah apa yang dipikirkannya. Aku

    membaca dari wajahnya, yaitu kebimbangan dalam mengambil

  • keputusan kali ini yang begitu berbeda dari sekian pilihan dalam

    hidupnya.

    Kenapa lu, Ted? Kayanya ga seneng banget? tanya

    Tyan.

    Uhm...

    Tau lu. Ga suka ya kita muterin Balaraja? aku meny-

    ambung.

    Bukan gitu, gue malu. Masa kita ngelilingin Balaraja?

    Ntar kalo temen-temen gue ngeliat gimana? Kan gue malu... ucap

    Tedi dengan polos sambil tersenyum.

    Huuuuuu serempak kami menyorakinya.

    Akhirnya kami semua sepakat, bahwa Balaraja, tanah air

    tercinta kami, akan kami kelilingi. Walaupun tak sempat

    semuanya, yang penting kami masih bisa merasakan udaranya

    bersama-sama. Tanah yang kami bisa bilang memiliki dua sisi.

    Lihat saja nanti, kawan.

    Setelah selesai makan dan merapikan peralatan masak,

    kami melanjutkan perjalanan mengitari jalan panjang nan sepi,

    tidak begitu ramai, orang-orang menyebutnya Jalan Baru. Jalan ini

    cukup bagus, tapi tak pernah dilewati angkot, kalau pun pernah, itu

    dulu selagi pembangunan jalan. Para supir angkot mengeluh

    karena melewati jalan itu pendapatannya jadi minim. Jelas saja

    pendapatannya minim, karena sepanjang jalan itu hanyalah semak

    belukar. Awalnya adalah memasuki kawasan berikat, yang kanan

  • kirinya pabrik, tapi tidak terlalu banyak dan diakhiri dengan pasar

    Sentiong.

    Duh mobil pada kenceng-kenceng aja nih, kita lewat desa

    Tobat aja yu... ajakku.

    Yang lain pun menyetujui. Mentang-mentang kendaraan

    sepi, orang-orang langsung memakai jalan dengan seenak diri

    mereka saja. Dipakai kebut-kebutanlah, pernah beberapa kali di

    jalan ini terjadi kecelakaan dan orangnya pun menurut kabar

    burung langsung meninggal di tempat. Itu karena mereka semua

    kebut-kebutan.

    Lalu kami pun mengambil rute yang berbeda, kami

    telusuri saja jalan setapak dari arah desa Tobat. Jalan sama saja,

    hanya saja lebih terhindar dari kebisingan kendaraan dan kami

    ingin menikmati aroma dan gemercik sungai. Sungai kecil yang

    biasa dipakai anak-anak kampung untuk berenang.

    Lalu keadaan mengejutkan menyelimuti kami. Tak kami

    perhatikan bahwa selama ini kejorokan masyarakat di sini kian

    menjadi-jadi. Sepertinya, belum lama pemerintah daerah telah

    melakukan program pembersihan sungai, sampai-sampai sungai ini

    mengalami reparasi yang begitu memakan biaya. Tadinya keadaan

    sungai kian membaik. Tapi, sekarang airnya makin mengeruh

    ditambah lagi tadi kulihat seorang warga yang tengah bersiap

    melempar sampah ke arah sungai dan berhamburanlah sampah-

    sampah itu di sungai, mengambang mengikuti laju air sungai. Dan

  • yang tak kalah berbahayanya adalah limbah pabrik yang ikut

    meramaikan pencemaran. Beberapa pabrik yang kami tahu telah

    membuang limbah-limbah hasil industrinya sungai. Mereka, para

    pengusaha, hanya memikirkan keuangan mereka saja, tanpa

    memikirkan keserasian lingkungan hidupnya. Nasib anak sungai

    Cimanceuri ini begitu tragis, sama dengan beberapa sungai-sungai

    di daerah Tangerang lainnya. Seperti sungai Cirarab dan sungai

    Cisadane, yang lebih dahulu tercemar.

    Bumi terpaksa menanggung dosa-dasa besar yang kian

    menumpuk di dalam tubuhnya. Berjuta-juta sampah yang

    menyakitinya di dalam tubuh mesti ia tanggung. Manusialah aktor

    di balik kisah penderitaan bumi kita ini. Ah, lagi-lagi manusia,

    mahluk sempurna yang oleh Allah SWT diberi akal dan pikiran.

    Mereka diberikan kebebasan berfikir. Maka para pemikir yang

    salah, para pemikir yang tak menggabungkan pikirannya dengan

    keyakinan kepada Allah, berfikiran bahwa dunia ini milik mereka,

    dan mereka berhak melakukan apapun kepada bumi ini. Walau

    secara tidak sadar mereka semua menganiaya bumi. Dan mereka

    setelah menyadari hal ini mulai menyalahkan sesama. Kau yang

    salah, kau yang salah! berbagai hujatan menghujani sesama

    manusia tanpa memikirkan solusi terbaik untuk bumi ini. Walau

    mereka memikirkan sebuah bahkan jutaan solusi, mereka hanya

    memberi solusi, ya itu saja, hanya solusi. Tanpa melakukan

    sosialisasi. Tidak turun ke lapangan untuk membersihkan sungai,

  • tidak ikut membersihkan got, tidak ikut megurangi polusi. Hal ini,

    hanya dilakukan sebagian orang saja, orang-orang yang benar-

    benar cinta bumi. Tapi kebanyakan yang orang kaya, yang selalu

    mengadakan solusi untuk bumi tak berani turun membersihkan

    lingkungannya. Entah mengapa, mungkin mereka takut kalau

    nantinya sampah-sampah itu akan mengotori jas-jas mereka.

    Kayanya baru kemaren deh ini sungai di kerok sampe di

    plester gini? aku memulai pembicaraan.

    Iya, kayanya baru aja kemaren sungai bersih... Iwan

    menimpali.

    Yang lain pun ikut mengangguk.

    Tapi liat tuh, sampah mulai menyebar. Airnya mulai

    keruh. Bodoh amat orang-orang sini! aku mulai emosi.

    Ya udahlah, kita juga ga bisa mencegah orang itu

    sekarang. Kalo sekarang dicegah, paling lu, Har, yang bonyok19

    digebukin20

    orang sekampung... ucap Tedi.

    Benar juga apa yang dikatakan Tedi, apabila aku

    meneriaki orang tersebut, atau aku menegurnya, maka yang aku

    dapati adalah: digebukin orang sekampung! Parah. Begitu han-

    curkah Indonesia? Memberitahukan sesuatu yang benar malah

    digebukin, terkesan akulah yang mempunyai salah. Padahal

    mereka sendiri yang memulainya. Apabila banjir datang, sungai

    19 Muka atau tubuh yang babak belur. 20 Dipukuli.

  • meluap lalu mereka merengek minta bantuan pemerintah. Itu jadi

    salah siapa? Ya kita introspeksi sendiri-sendiri sajalah.

    Kami berempat pun berjalan meninggalkan orang tadi.

    Kami bertatapan di ujung sungai. Orang tadi melihat kami santai

    saja. Dan begitulah, berlalu begitu saja semua ini.

    Sekarang kami berada di sebuah kawasan industri, pabrik-

    pabrik besar nan megah telah menancapkan cerobong-cerobongnya

    di tanah Balaraja ini. Udara mulai mereka hitamkan. Sekarang rasa

    sedih menyelimutiku lagi. Tanah yang sangat aku cintai ini

    kembali terkotori. Apa sih dosa Balaraja? Aku sekarang bertanya

    dalam hati. Mungkin dari perjalanan ini aku banyak mengambil

    kisah yang bisa dijadikan sebagai bahan perenungan diri.

    Kami tak banyak komentar ketika melewati daerah ini.

    Jalan rusak, becek ketika hujan, air sungai yang kotor, udara tak

    sejuk, bahkan embun pun sungkan berada di sini lagi, karena apa?

    Ya salah satunya adalah karena keberadaan pabrik-pabrik

    bercerobong itu!

    Kami melanjutkan perjalanan Keluarlah kami dari

    kawasan pabrik, lalu sampailah di kawasan Lampu Merah

    sebuah kawasan di Balaraja yang dulunya terdapat lampu merah

    tapi sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Letaknya persis di arah

    masuk kendaraan menuju pintu Tol Balaraja Barat. Di sini adalah

    daerah transit, tempat orang berangkat, pulang atau berganti mobil

    ketika melakukan perjalanan. Sangat berdebu dan menyesakan

  • nafas. Jutaan butir debu berterbangan menghiasi jalanan. Ditambah

    lagi suasana yang mulai panas.

    Tersiksa gue, tersiksa! kata Tedi sambil menutupi

    hidungnya.

    Ah lu, Ted, ngeluh aja. Udah sih rasakan aja... Iwan tid-

    ak senang melihat Tedi seperti itu.

    Abisnya panas banget, mana ngebul lagi. Uh shit! lan-

    jutnya. Terlihat keringat mengalir membasahi leher juga sekujur

    tubuhnya.

    ` Ya udah sih sepele, ucap Tyan santai.

    Tedi kali ini lebih banyak mengeluh. Jujur, keadaan kali

    ini begitu menyiksa. Debu-debu yang beterbangan bukan disebut

    banyak lagi, tapi semua celah jalan raya dipenuhi oleh debu.

    Aduhhh aduuuhhh... aku mengeluh kesakitan.

    Kenapa lu, Har? Ngikutin Tedi nih? tanya Tyan.

    Sambil mengucek mata yang mulai merah dan terasa

    pedih, aku menjawab, Bukan, ini kaya ada yang masuk ke mata

    gue!

    Coba gue liat... Tyan pun memperhatikan mataku di

    pinggir jalan. Setelah beberapa detik, Pantes aja, ada batu meteor

    sebesar mobil masuk ke mata lu, Har...

    Iwan dan Tedi pun langsung tertawa. Mana bisa batu

    meteor yang sebesar itu masuk ke mataku.

    Bodoh lu Tyan, udah tiupin dulu nih...

  • Puiiihhhhh...

    Ahh.. mendingan... mataku yang sebelah kiri jadi merah

    akibat kukucek dengan keras tadi.

    Kami terus menelusuri jalan Balaraja atau lebih dikenal

    sebagai Jalan Raya Serang km 24. Yang kian berdebu itu. Lalu

    kembali kami disuguhi pemandangan yang mencengangkan. Di

    Balaraja akan di buat fly over! jalan layang yang akan menghu-

    bungkan jalan yang satu ke jalan yang lain, upaya ini dilakukan

    untuk mengentaskan penyakit macet yang ada di setiap daerah.

    Jalan pun sekarang rusak parah. Semoga saja pekerjaan pembuatan

    fly over ini tidak memakan waktu lama sehingga jalan yang rusak

    tadi segera dibetulkan agar bisa menambah keindahan Balaraja.

    Jangan seperti rencana pembangunan pasar modern atau lebih

    dikenal sebagai segitiga Balaraja yang ada di samping pasar

    tradisional Balaraja. Keadaan pasar modern yang dijanjikan

    beberapa tahun yang lalu tidak membuahkan hasil. Hanya terlihat

    bongkahan-bongkahan bangunan yang berlantai satu, mirip

    bangunan mall yang belum jadi, terbengkalai begitu saja. Nah, ini

    yang salah satunya merusak pemandangan Balaraja. Tak sedap

    dipandang. Sebuah bangunan megah yang gagal karena uangnya

    dikorupsi oleh para pekerja sehingga uang untuk melanjutkan

    pekerjaannya habis dan para pekerjanya tidak tersisa sedikit pun.

    Di ujung pertigaan Balaraja terlihat seorang polisi yang

    sibuk mengatur lalulintas. Entah, perasaan kesal menyelimutiku

  • saat melihat orang-orang berbaju coklat dan berompi hijau itu.

    Mungkin aku sering melihat kejadian yang begitu memilukan hati.

    Ya, memilukan hati. Kejadian itu sudah lama terjadi, saat aku

    mengendarai sepeda motor bersama temanku di daerah Bitung.

    Aku saat itu tidak memiliki Surat Izin Mengemudi dan temanku

    tidak menggunakan helm. Memang aku memaklumi kami saat itu

    melanggar tata tertib lalu lintas. Yang jadi permasalahan adalah

    ketika polisi yang menangkapku memberikan surat tilang juga

    memberikan sebuah tarip21

    . Tarip yang berisi pelanggaran kami.

    Lalu ia berkata, Gimana, mau ditilang atau bayar ke saya?

    Nih saya pilihin, mending kamu bayar yang ngga pake helm aja.

    Soalnya lebih murah. Bayarnya ke saya...

    Ih pak, saya lagi ngga punya duit aku memelas.

    Yee, ngeyel lagi, ngga percaya saya! polisi tadi tidak

    percaya.

    Lalu temanku mengeluarkan dompetnya, tuh Pak, bener

    kan ngga ada duit, Cuma ada tiga puluh ribu doang...

    Polisi itu menengok isi dompet temanku, lalu ia segera

    meraih uang tiga puluh ribu temanku, Ya udah sini tiga puluh

    ribu dulu, tapi masih kurang nih. Coba dompet kamu.

    Bangsat! Darahku mulai naik. Oh ya, untung dompetku

    kosong. Ketika dompetku dibuka, tidak satu lembar pun uang yang

    21 Daftar harga, daftar sewa dll.

  • ia dapat, tapi lagi-lagi ia segera mengambil sesuatu dalam

    dompetku.

    Ini, apa ini? kata polisi itu sambil mengangkat kartu

    ATM-ku. Wajahnya seperti habis menemukan harta karun. Pasti

    ada duitnya ini...

    Ih Pak, ngga ada. Lagian kalo ada buat saya pacaran sama

    pacar saya. Eh maksud saya buat ongkos sebulan...

    Alah, alesan aja kamu ini. Udah sono ambil di samping

    alfamart nama sebuah minimarket. Di situ bisa ko ngambil duit.

    Sekalian saya mau ngeliat struknya. Biar kamu ga bohong!

    Ih, janganlah pa...

    Kamu ini! Cepet, nanti malem saya mau nyewa bencong

    nih, eh maksud saya mau jalan sama yang muda.

    Huh tua-tua ganjen...

    Ngomong apa kamu!

    Ngga pak...

    Ya udah cepet! Lima menit!

    Dengan perasaan yang tidak ikhlas aku segera berlari

    mengambil uangku yang ada di ATM22

    . Lalu dengan berat hati,

    uang seratus ribu yang tersisa harus aku serahkan. Setelah itu

    polisi tadi menasihatiku dengan sok baik, dengan nada-nada sok

    ustadz. Alah! Aku lebih senang memanggil mereka Pelacur

    22 Anjungan Tunai Mandiri.

  • Berkerah. Kejadian yang memilukan di tempat itu yang lain

    adalah, polisi hanya diam saja di tengah dan di pinggir jalan.

    Sedangkan yang sibuk mengatur jalan adalah Pak Ogah seorang

    polisi cepek yang mengatur jalan, bukan polisi sesunggguhnya.

    Yang berharap pengendara memberikannya uang walau hanya

    lima ratus rupiah. Pak Ogah tadi terlihat begitu serius dan

    semangat mengatur jalan. Tapi polisi sesungguhnya malah jadi

    patung polisi yang siap menilang orang di tengah jalan dan

    menguras habis kantongnya. Aku hanya bisa menyimpulkan,

    apabila nanti pada hari kiamat, mungkin saja cuma ada dua jenis

    polisi yang langaung masuk surga tanpa siksa, yaitu, patung polisi

    dan polisi tidur.

    Dengarlah polisi yang ada di seluruh Indonesia, jadikan

    kisahku di atas sebagai renungan kalian!

    Perasaan kesal dan benciku masih terselubung hingga

    sekarang. Di mana pun aku melihat polisi, perasaan benciku

    menjadi-jadi.

    Heh pelacur berkerah di pinggir jalan! Ngapain lu di situ,

    mending lu bercinta sama bencong-bencong23

    aja di salon24!

    teriakku dengan kencang, mengagetkan semua temanku, orang

    23 Sejenis orang-orang yang tak puas akan jenis kelamin yang mereka miliki. biasanya mereka mengubah diri menjadi pria, apabila yang wanita dan wanita apabila yang pria. 24 Tempat tata rias, potong rambut dan perawatan rambut.

  • yang ada di dalam mobil angkutan kota, tukang ojeg, juga polisi

    itu sendiri.

    Heh, Har, ngapain lu teriak kaya gitu sama polisi? Nyari

    mati lu?! kritik Tedi yang mulai cemas melihat polisi yang mulai

    memperhatikan gerak-gerik kami.

    Tau lu, Har, goblok banget! Iwan pun sama.

    Bagus, Har, gue suka gaya lu. Gue juga kesel sama tu

    polisi! tapi Tyan malah senang dengan perlakuanku tadi. Ia

    memberikan support25

    yang besar dan membangkitkan

    semangatku. Aku tambah bergairah.

    Boi, nyantai aja sih, kita ini kan bener, jadi jangan

    takut... dengan semangatnya, aku memandangi polisi yang ada di

    hadapan kami dengan berjuta-juta kebencian.

    Semua orang memberikan berjuta pandang terhadapku.

    Semua orang memperhatikan aku. Tukang ojeg sepertinya

    mencium bau pertempuran, segera saja merapatkan barisan di

    bagian depan untuk menonton agar tak ketinggalan. Beberapa

    orang polisi yang lain keluar dari pos polisi tempat mereka

    berjaga.

    Aku menarik nafas panjang. Dengan senyum yang

    memilukan hati para polisi, aku menunjuk mereka semua dan

    berkata, Woy pelacur berkerah, ngapain lu semua berdiri di sono

    25 Dukungan.

  • aja? Alah, katanya pengayom masyarakat, tapinya cuma bisa

    mintain duit orang miskin doang! aku mengumpulkan energi lagi

    di tengah terik matahari, polisi-polisi itu berbisik dan

    memperhatikan kami, Udahlah, ga pantes lu bekerja buat negara,

    mending lu jadi penghibur aja. Kalo nggak, lu ngadem terus tuh di

    pos ampe mati. Bukannya itu aja yang lu semua lakuin tiap hari?

    Kalo ada pimpinan aja sok sibuk!

    Huh, ampuh. Hatiku merasa tenang. Semua uneg-uneg

    yang terpendam di dalam hatiku tentang kebencian, tentang

    kekesalan, tentang segalanya, keluar semua. Kepuasan yang aku

    nantikan telah hadir. Ya, mereka yang di hadapanku patut

    menerima serapah dariku.

    Polisi-polisi itu mendekatiku, lalu ia segera mencengkram

    tanganku dan tangan teman-temanku.

    Jelaskan ini semua di kantor! Ucap salah seorang polisi

    yang mencengkramku.

    Hey rakyat, liat gue. Haha. Mereka cuma bisa menyiksa

    di dalam penjara aja! Lu liat kan, ini pengayom masyarakat kita?

    Tyan mulai menimpali, saat kami diseret ke kantor polisi.

    Tedi dan Iwan hanya garuk-garuk kepala saja. Wow,

    petualangan gila yang menyangkut nyawa dan hidup. Semua orang

    yang ada di sana memperhatikan kami semua. Aku sebisa mungkin

    mengacungkan jempolku kepada mereka dan tersenyum yang

    menyatakan bahwa aku telah menang.

  • Jarak kantor polisi dari pos polisi tempat mereka berjaga

    tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga puluh meter. Jadi kami tidak

    terlalu lama, kepanasan dan diseret pelacur berkerah ini.

    Sepanjang jalan, orang-orang memperhatikanku dengan beribu

    tanda tanya. Entahlah apa yang mereka pikirkan. Aku sih sudah

    lelah berteriak-teriak seperti tadi. Jadi aku sepanjang jalan diam

    saja. Kami ini persis seperti buronan teroris yang dicari bertahun-

    tahun dan baru tertangkap di sebuah daerah kecil ini.

    Kami memasuki kantor polisi dengan berbagai perasaan.

    Aku mulai menebak-nebak apa yang dipikirkan teman-temanku.

    Pertama Tyan, ia terlihat agak gembira ketika polisi menang-

    kapnya. Iwan dan Tedi terlihat cemas dengan menyiapkan seribu

    jawaban yang membela diri mereka sendiri ketika nanti akan

    ditanyai oleh polisi-polisi yang ada di sana. Kalau aku, perasaan

    benci yang dari dulu kupendam akhirnya meledak juga. Perasaan

    bahagia menyelimutiku.

    Polisi-polisi yang menyeretku tadi di jalan masuk ke

    sebuah ruangan dan mengetuknya. Lalu suara yang ramah keluar

    dari dalam ruangan.

    Ya, masuk. Suara yang keluar dari balik pintu, tegas dan

    ramah.

    Ketika pintu dibuka, seseorang yang tak lagi muda, rambut

    putih di berbagai celah, menggunakan kaca mata, badan besar,

  • yang pasti mengenakan seragam coklat. Orang itu memperhatikan

    kami dengan begitu jelas.

    Siapa mereka? tanyanya dengan begitu menyelidiki,

    Abis nyolong ayam? Atau nyolong kambing?

    Bukan pak, mereka ini tiba-tiba berteriak-teriak di tengah

    jalan, dengan kata-kata menghina polisi! salah satu polisi yang

    menyeret kami menjawab.

    Emang mereka ngomong apa?

    P..... , belum saja polisi itu membuka mulutnya, aku

    langsung berteriak.

    Gue bilang, lu semua pelacur berkerah!

    Iwan dan Tedi hanya geleng-geleng kepala. Hal ini

    mengagetkan polisi yang akan menanyai kami dan semua yang ada

    bersamaku.

    Polisi itu menghela nafas, lalu berkata, Kamu boleh

    keluar, Ais...

    Polisi yang menangkap kami segera meninggalkan kami.

    Lalu di hadapan kami ada seorang polisi, mungkin ia seorang

    pimpinan di sini. Ia menatap kami dengan santai. Terlihat

    kewibawaannya yang begitu tinggi, sehingga semua orang yang

    berada di sini menghormatinya. Tapi aku tetap membenci semua

    polisi yang ada di dunia.

    Kalian di penjara! ucapnya yang mengagetkan kami

    semua. Singkat, padat dan jelas. Hal yang begitu tak terpikirkan.

  • Tapi inilah hidup, setiap perbuatan harus ada pertanggung

    jawaban.

    Tttapi pa, yang bilang kaya tadi cuma si Hardi doang,

    kenapa yang laennya malah ditahan juga? tanya Tedi membela

    diri. Huh, kurang solidaritas26

    Si Tedi ini. Iwan yang dari tadi

    menunduk, kini menatap tajam Tedi. Begitu juga dengan Tyan.

    Aku sudah mengerti sifatnya, jadi sudahlah.

    Heh, lu anak muda! bentak polisi itu, mengarah ke Tedi,

    Lu kan temennya, jadi lu juga jadi tersangka, dengan tuduhan

    pencemaran nama baik di pinggir jalan. Mana rasa solidaritas lu?

    Payah lu.

    Tedi terdiam setelah dibentak oleh si polisi.

    Lalu dimasukkanlah kami ke dalam ruang tahanan.

    Ternyata di sana tidak hanya kami saja, ada juga lelaki yang

    berbadan besar, dengan tato di sekujur tubuhnya, dan lelaki kurus

    dengan tatapan mata yang sangat tajam, setajam silet. Mereka

    menatap kami dengan sinis. Lalu pintu ruang tahanan kembali

    dikunci.

    Kalian menunggu proses saja... kata polisi tadi lalu

    meninggalkan kami begitu saja.

    26 Sifat yang menunjukkan suatu kesatuan dan kesetiakawanan.

  • Ah goblok-goblok! Masa gue ditahan! Tedi terus

    menggerutu, sambil memukul-mukul tembok penjara. Ia terus

    memberontak dan mengucapkan sejuta serapah kepada polisi.

    Lalu dua tahanan tadi menaruh jari telunjuk ke bibir

    mereka, menandakan untuk tidak berisik. Tapi, Tedi malah terus

    ribut bahkan makin menjadi-jadi keributannya. Di ruang tahanan

    kami menjadi begitu bising.

    Heh, lu bisa diem ga? ucap tahanan yang berbadan besar

    dan penuh tato itu.

    Tedi balik menatap lelaki tadi dan berkata, Bawel,

    ngapain lu ceramahin gue? Songong lu!

    Gila! Tedi berani sekali mengucapkan itu kepada tahanan

    yang notabene sudah ditahan kerena kejahatannya. Mana

    menyeramkan lagi. Aku hanya menahan nafas. Iwan dan Tyan,

    hanya bisa menahan air ludahnya. Amarah orang bertato tadi

    tersulut oleh ucapan Tedi.

    Bangsat! Gue habisin juga lu di sini!

    Bos sabar bos... aku mencoba menahan perkelahian

    yang hampir berlangsung. Tapi orang itu tidak bisa diajak kom-

    promi, ia segera menyiapkan kepalan tangannya ke arah Tedi.

    Aku, Tyan dan Iwan segera menahan dengan cara memegangi

    tubuh lelaki yang berbadan besar tadi. Tapi kami tak mampu

    menahannya. Orang yang berbadan kurus, malah berkata dengan

    santainya, Udahlah, hantem aja...

  • Awas lu semua, biar, gue ngebungkem mulut temen lu!

    Kami terus menahannya sekuat tenaga. Walau yang

    dilakukan Tedi terhadapku tadi begitu menyakitkan hati, tapi aku

    mengetahui arti solidaritas itu. Sesuatu yang amat dibutuhkan

    dalam pertemanan. Sesuatu yang merasa iba bila melihat teman

    sendiri dalam kesusahan. Membantu memberikan jalan keluar

    terhadap teman yang berada dalam bahaya.

    Tedi masih saja berkomentar yang membakar amarah si

    lelaki berbadan besar.

    Ted, udah diem! Iwan berteriak, Lu ngertiin kita juga.

    Kita udah nahan ni orang, tapi kenapa lu malah ngebuat orang ini

    marah?! Mana rasa persahabatan lu?

    Lalu dengan tenaga yang besar dikeluarkan oleh lelaki itu,

    kami bertiga langsung terhempas. Lelaki itu mencengkram leher

    Tedi. Ia terlihar gemetar, ya, cuma bisa menang di mulut saja.

    Keringat yang menjadi khasnya apabila merasa tertekan, keluar

    dengan deras. Mukanya kian memelas. Lalu baru saja pukulan

    keras yang mampu merontokkan gigi itu akan di keluarkan dan

    bersarang di wajahnya, dua orang polisi datang dan mengagetkan

    kami. Pintu ruang tahanan dibuka. Lalu mereka menyuruh kami

    bangun dan menyuruh keluar dari ruangan ini.

    Masa tahanan kalian selesai... ucap salah seorang polisi.

    Hah, penjara apa ini? Masa tahanan ditahan hanya dalam

    jangka waktu setengah jam. Aneh. Wajah yang begitu tak percaya

  • keluar dari wajah lelaki yang hendak memukul Tedi tadi. Pintu

    tahanan segera dikunci, kami perlahan-lahan menjauh dari ruang

    tahanan. Ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajah lelaki

    itu.

    Kenapa mereka dibebasin, sedangkan gue engga! teriak

    lelaki itu.

    Kami pun heran melihat kejadian ini. Kami terus digiring

    pada suatu ruangan. Dan kami masuk dan melihat orang yang

    menjebloskan kami tadi. Yang memberi perintah bahwa kami

    ditahan. Tapi ditahan dalam jangka waktu setengah jam.

    Kami duduk dan terdiam. Keadaan sunyi. Di hadapan

    kami hanya ada polisi tadi.

    Hmmmm, anak muda. kalian semua emang bener-bener

    anak muda... ucapnya datar, Kalian semua emang lagi pada mau

    ke mana?

    Aku angkat bicara, Kami cuma mau berpetualang aja. Ya,

    bisa dibilang muter-muter Balaraja gitulah.

    Aku juga dulu hobi berpetualang, sama kaya kalian,

    mencoba mencari jati diri siapakah aku ini. Sama kaya kalian juga,

    aku bareng semua temanku... tiba-tiba keadaan sedih menyeli-

    mutinya.

    Aku membisiki yang lain, Jangan-jangan orang di hada-

    pan kita ini, salah satu anak-anak terpilih yang pertama. Yang telah

  • dikatakan Mbah Sugi dulu. Anak-anak yang terpilih sebelum

    kita?

    Iya juga ya? balas Iwan dengan berbisik.

    Boleh aku melanjutkan? tanyanya.

    Kami mengangguk.

    Aku yang sebenernya udah mengetahui kalian dan telah

    menunggu-nunggu hari ini. di mana kita bisa bertemu sebagai

    orang yang pernah terpilih untuk mencari siapakah kita ini.

    Tuh kan bener! Ucapku dalam hati.

    Tapi bagaimana dengan temen-temen bapak yang lain?

    Tapi emang bener, bapak dulu salah satu anak yang terpilih?

    tanya Iwan tanpa ragu bahwa yang dihadapan kami ini adalah

    salah satu anak yang terpilih.

    Sebelumnya aku pengen ngejelasin siapa aku, pake

    bahasa anak muda ajalah, ribet pake bahasa resmi mah. Panggil aja

    gue Nan, itu nama kecil gue. Gue dulu hobi banget mengelilingi

    tanah ini. Gue bentuklah kelompok Atap Langit. Nah di situ gue

    kumpulin dah tiga orang yang mempunyai aura beda dengan para

    anak muda yang lain... ia meneguk segelas kopi, lalu melanjutkan

    ceritanya, Temen-temen gue yang pertama, dia adalah orang yang

    mempunyai seribu pengetahuan, tak ada yang ia tak tahu, ia baik

    kepada setiap orang, ia mengetahui setiap pengetahuan apapun, ia

    serba bisa, ia adalah Arga Jiwa, dipanggil Jiwa. Yang kedua, ia

    menyebut dirinya seseorang ciptaan Allah SWT yang begitu

  • lemah, ia seorang penulis, kami terinspirasi berpetualang sebagian

    besar dari kisah-kisahnya, ia menyebut dirinya Inisial K...

    Aku teringat sesuatu tentang orang yang disebutkan oleh

    Pak Nan, si Inisial K, Inisial K? Apakah dia...!

    Pak Nan bingung.

    Siapa yang lu maksud, Har? tanya Iwan.

    Dia, dia, si Inisial K, ternyata anak terpilih yang per-

    tama... Aku begitu kaget.

    Siapa dia? Tyan pun penasaran.

    Dia, sang guru, sang guru yang tak boleh disebut na-

    manya! ucapku. Tedi, Tyan dan Iwan kaget.

    Apakah dia berasal dari Bandung, Pak? tanyaku.

    Ya, memang kalian mengenalnya?

    Ya kami mengenalnya, dia yang memberikan virus petu-

    alangan dan menyatukan kami!

    Oh, ya sudah nanti kita terusin tentang dia. Gue pengen

    ngelanjutin cerita tentang Atap Langit dulu. Yang terakhir adalah

    seorang seniman, namanya Miming...

    Terus nasib Atap Langit sendiri gimana? Tyan

    penasaran.

    Atap Langit yang semula telah dibentuk oleh anak-anak

    yang terpilih, hancur karena ketidaksepahaman dan kekurangan

    solidaritas sesama. Pertama, Jiwa, terpengaruh sebuah godaan

    setan yang dulu ia membencinya, nah lalu kami mengeluarkan dia.

  • Maka, hilanglah sudah ensiklopedia27

    Atap Langit, yang kedua,

    sang gurumu, si Inisial K. Dia melakukan suatu hal yang fatal,

    sehingga kami berencana menghilangkan Atap Langit dari dunia

    ini. Kalau dengan kalian, kenapa si Inisal K pergi?

    Iwan menarik nafas panjang, Beliau melakukan sesuatu

    yang tak bisa kami lupakan. Tapi maaf pak, ini tak bisa saya, atau

    yang lain ceritakan. Maaf...

    Oh, ya sudahlah.

    Terus, gimana nasib tentang si seniman Atap Langit?

    tanya Tedi.

    Gue dan si Miming, Miming Munardi, nama lengkapnya,

    masih suka ketemu. Bahkan ngopi bareng. Dia salah satu sahabat

    gue yang bener-bener sahabat. Kita sehati. Ya, walaupun udah

    ngga di Atap Langit. Dia juga yang meramalkan bahwa hari ini

    gue bakal ketemu anak-anak terpilih yang kedua. Yaitu kalian

    semua!

    Oohhhhhh....

    Makanya, gue cuma mau ngasih pesen yang diamanatin

    Mbah Sugi...

    Lalu aku teringat seseorang yang begitu kuat, yang

    menunjuk kami sebagai anak-anak yang terpilih berikutnya. Yang

    ketika bertaruh dengan hal-hal yang aneh. Yang selalu bergaya

    27 Kamus atau artikel-artikel tertentu yang tersusun secara rapi dan urutannya sesuai abjad.

  • anak muda padahal sudah duda dan tua. Ya dia, dia, Mbah Sugi,

    yang juga menunjuk Pak Nan dan yang lain sebagai anak terpilih

    yang pertama. Mbah Sugi, yang telah tenang di alamnya. Untuk

    selamanya.

    Waktu saat sakaratul maut beliau menunggu lu semua,

    tapi terlambat, sebelum lu lu pada dateng, mbah Sugi keburu

    meninggal. Si Mbah malah ngasih pesen buat lu semua, tadinya

    gue bingung, nyari lu ke mana, tapi berkat Miming yang bisa

    meramal, akhirnya lu dateng sendiri. Gini amanatnya, pertama

    solidaritas yang mesti lu bikin, solidaritas yang kuat, karena Atap

    Langit hancur salah satunya kurang solidaritas. Yang kedua

    pandanglah ilmu ke atas, tapi kalau masalah dunia, lihat ke

    bawah ok, itu doang yang diamanatin beliau. Masalah solidaritas,

    makanya tadi gue negur lu! Pak Nan menunjuk ke arah Tedi, Lu

    jangan ngurangin solidaritas temen, inget, temen itu adalah

    kekuatan kita.

    Makasih ya, Pak Nan... kata Tyan.

    Oia, coba nanti kalo ada waktu lu semua ke tempat

    Miming. Dia baik, mau menerima siapa aja. Mungkin bisa share-

    share gitu tentang seni. Ok. Oia satu lagi, nggak semua polisi itu

    yang seperti kalian pikirkan. Walau sebagian besar polisi bertindak

    seperti pelacur, tapi sebagian lagi mereka berbakti kepada negara

    dan agama. Inget itu, sebutan pelacur berkerah boleh lu pake

    buat manggil polisi, tapi inget, itu cuma sebutan buat polisi yang

  • menyalahi aturan dan yang bertindak seperti pelacur, yang hobi

    nilang sambil minta duit dan duitnya masuk ke kantong.

    Okelah Pak,... aku sadar. Hal yang aku lakukan itu

    salah. Tapi aku merasa benar, beberapa polisi memang bertindak

    seperti pelacur. Ya, pelacur berkerah.

    Silahkan lu semua mencari jati diri yang belum ketemu.

    Jadilah laki-laki yang kuat, yang tak boleh hancur hanya karena

    diterpa angin malam, yang tak boleh bergetar walau topan di

    hadapan lu. Terus mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa

    pernah mengeluh dan cintai wanita yang benar-benar lu sayangi.

    Cukup satu aja ye. Satu!

    Kami pun tertawa.

    Oia, Pak, kenapa tadi malah menahan kami? tanya Tedi

    yang masih penasaran.

    Oh, itu cuma buat ngetes kalian aja. Dan biar anak buah

    gue seneng kalo udah nangkep orang terus orang itu dipenjara. Oia

    satu lagi biar kita nggak ketahuan kalo kita anak yang terpilih.

    Hehe jawab pak Nan dengan meyakinkan.

    Oia, petualangan kami bukan sekedar mencari jati diri,

    seperti Atap Langit. Kami, Hitam Putih Abu-Abu, dengan sebutan

    petualangan mencari ujung pelangi! kataku dengan bangga. Pak

    Nan tersenyum. Ya, ternyata kami benar-benar bertemu dengan

    salah satu anak terpilih yang pertama.

  • Petualangan di lanjutkan. Kami pun mengucapkan beribu

    terima kasih kepada Pak Nan. Sedikit demi sedikit filosofi hidup

    mulai terangkai. Walau gambarnya belum jelas terlihat, tapi aku

    yakin, suatu hari nanti, aku atau bersama yang lainnya bisa melihat

    gambar yang begitu nyata di hati kami semua.

  • 3

    Hilangkanlah segala prasangka buruk di hati &

    pikiranmu.Karena aku di sini masih tetap setia. Ayu

    Lestari

    Aahhh, bosenlah makan nasi goreng bikinan Tedi...

    keluh Tyan sambil memegangi perutnya.

    Huh, lu mah. Kemaren lu yang muji masakan gue enak.

    Sekarang lu yang bilang kalo bosen makan nasi goreng buatan gue.

    Gimana kali! Tedi kesal karena Tyan tak bisa memegang

    omongannya.

    Ah berisik lu, udahlah. Gue laper nih. Makan apa ya

    enaknya? Tyan terus saja menggerutu.

    Uuhhhmmm, mending kita nyicipin makanan yang ada di

    Balaraja, gimana? saran yang begitu bagus dari Iwan. Kami pun

    menyetujui.

    Perjalanan dilanjutkan ke arah Bakung, di sana kami

    menemukan penjual kue serabi. Ya, kue serabi yang rasanya enak

    sekali, karena perut kami begitu lapar. Kalau tidak lapar, ya,

    entahlah, lidah kami saat ini sedang dibutakan oleh kelaparan.

    Emmmmm... enak Bu, serabinya, puji Tyan, seperti

    biasa, ia selalu memuji setiap makanan yang ia makan.

  • Ah yang bener? Uuhh, Ibu jadi malu... si Ibu penjual

    serabi pun merasa terbang ke langit ketika dipuji oleh Tyan.

    Ia mengatakan bahwa selama ia hidup, baru pertama kali

    ada yang memuji makanan hasil buatannya. Kata orang, ia tidak

    pandai dalam memasak makanan. Kebanyakan ia memasak dengan

    rasa asin yang berlebihan. Atau paling parahnya, gosong. Nah,

    mungkin ia menemukan jiwanya sebagai pembuat kue. Tapi bukan

    kue sembarangan, kue serabi. Sebuah kue tradisional asal jawa

    barat. Kalau membuat kue biasa, seperti kue-kue basah atau kue

    bolu, yang jadi malah gosong, atau salah masukin gula, yang

    dimasukin malah garam, ucap si Ibu.

    Katanya pula, ia tak bisa membedakan rasa manis dan

    asin. Ia seperti menderita buta rasa (bukan buta warna ya).

    Lidahnya tidak bersahabat. Makanya ia lebih memilih membuat

    kue serabi. Karena kue ini adalah kue yang sudah turun-temurun

    diwariskan oleh keluarganya.

    Lalu kami mencoba menikmati makanan WARTEG

    (warung tegal) khas Balaraja. Penjualnya orang Jawa panggilan

    untuk orang-orang yang berbicara dengan logat bahasa Jawa.

    Rasanya lumayan enak, juga yang membuat bersahabat adalah

    harganya yang terjangkau oleh kantong kalangan orang-orang

    berprofesi kuli.

    Ketika akan membayar, yang menjadi masalah adalah

    Tyan. Uangnya hilang!

  • Gimana nih duit gue ilang? katanya dengan ketakutan.

    Yang bener lu! Aku kaget mendengar hal itu. Kalau aku

    membayari Tyan makan, maka untuk besok, aku dijamin puasa.

    Karena uangku atau yang lain sudah benar-benar pas-pasan. Gawat

    ini.

    Lalu kami mencoba berunding bagaimana sebaiknya.

    Ya udah kita kumpulin aja uangnya dulu. Ak