jalan-jalan tujuh hari

168

Upload: taman-kata-balaraja

Post on 08-Mar-2016

280 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Karya Perdana Hardia Rayya

TRANSCRIPT

Page 1: JALAN-JALAN TUJUH HARI
Page 2: JALAN-JALAN TUJUH HARI

JALAN-JALAN

TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu

Page 3: JALAN-JALAN TUJUH HARI

hardia rayya

JALAN-JALAN

TUJUH HARI muter-muter balaraja bareng hitam putih abu-abu

Page 4: JALAN-JALAN TUJUH HARI

JALAN-JALAN TUJUH HARI:

MUTER-MUTER BALARAJA BARENG HITAM PUTIH ABU-ABU Hardia Rayya

Balaraja: Hitam Putih Abu-Abu Publishing, Febuari 2011 Hal, 13x19 cm

Ilustrasi : Tyan Oriza Editor :Bsik Hikari, Angkasa Wirawan

Foto Sampul: Khatta Goenawant

Diterbitkan Oleh : Hitam Putih Abu-Abu Publishing

Balaraja, Banten 15610

Page 5: JALAN-JALAN TUJUH HARI

PENGANTAR PENULIS

Bismillahirahmanirrahim

Sebelumnya aku tidak pernah memikirkan untuk menulis yang di

dalamnya terdapat petualangan dan mengambil setting lokasi di

Balaraja. Sebab dari berbagai buku-buku fiksi yang memenuhi rak-

rak di toko buku, kebanyakan bercerita tentang cinta, cinta dan

cinta. Memang, tidak semua buku bertemakan cinta yang sama,

tapi juga kemasannya yang berbeda-beda.

Bagiku, tulisan yang kutulis ini juga berkisah tentang

cinta, tapi cintanya berkisah tentang persahabatan, petualangan dan

cinta daerah sendiri. Karena untuk apa mengambil seting lokasi

dari daerah lain, sedangkan di daerah sendiri banyak sekali kisah-

kisah menarik yang mampu menggugah hati.

Dalam cerita yang kutulis kali ini, lebih detail

kugambarkan berbagai kegelisahan empat orang remaja yang

memberontak dari kehidupan remaja seusia mereka. Mereka lebih

memilih menghabikan waktu di jalanan daripada sibuk ke salon

memenahi diri.

Maka, dari tulisanku kali ini, marilah kita bercermin,

terutama kepada para remaja. Kita harus senantiasa gelisah, gelisah

memikirkan sekitar!

Nikmatilah ini, yang kupersembahkan untuk kalian semua

Page 6: JALAN-JALAN TUJUH HARI

PROLOG

SEJARAH NAMA BALARAJA

Balaraja adalah nama sebuah daerah yang terletak di kabupaten

Tangerang. Nama Balaraja berasal dari kata Bale dan Raja. Bale

artinya tempat peristirahatan, tempat bersantai, atau tempat

melepas lelah yang biasanya terbuat dari bambu. Raja adalah

orang yang memimpin sebuah kerajaan atau suatu wilayah

tertentu. Balaraja, atau biasa disebut Baleraja itu berarti tempat

beristirahatnya raja.

Zaman dahulu daerah Balaraja adalah daerah khusus

tempat singgah raja dari kesultanan Banten menuju Cirebon atau

saat ke Batavia. Letaknya di kampung Talagasari di pinggir sungai

Cimanceuri yang asri dan dekat jalan raya.

Penduduk Balaraja hidup dalam keramah-tamahan.

Mereka hidup berkecukupan dengan mengandalkan pertanian.

Sebagai daerah yang sering dilalui dan disinggahi pendatang

(pedagang, tentara, keluarga kerajaan, bahkan perampok) wilayah

ini jadi dikenal oleh banyak orang.

Pada suatu hari ketika sang raja yang sedang dalam

perjalanan pulang menuju kesultanannya di Banten, raja merasa

lelah dan memerintahkan para prajurit untuk membangun sebuah

bale yang terletak tak jauh dari sungai Cimanceuri. Raja itu sangat

Page 7: JALAN-JALAN TUJUH HARI

senang dengan ketenangan. Ketika raja dan para prajurit sedang

beristirahat, lewatlah seorang gadis desa yang sangat cantik di

hadapannya. Lalu sang raja memerintahkan salah satu dari

prajuritnya untuk membuntuti ke mana dan siapakah gadis desa

itu.

Tidak lama kemudian, prajurit yang diutus untuk

membututi si gadis cantik itu kembali dengan membawa berita

yang cukup mengejutkan sang raja. Gadis desa itu ternyata akan

dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki. Raja merasa

kecewa, tapi raja sebagai seorang lelaki tidak mau begitu saja

mengalah hanya karena gadis itu akan menikah, lalu raja itu

membuat strategi untuk mewujudkan niatnya, yaitu menikahi dan

menjadikan gadis tersebut selir. Akhirnya raja memilih persaingan

sebagai seorang lelaki untuk mendapatkan gadis itu.

Ia menetap beberapa waktu di bale dan rela meninggalkan

kerajaan demi mendapat gadis yang ia idam-idamkan. Dengan

strategi yang pas dan taktik yang cerdas, pemuda desa yang

menjadi kekasih gadis desa itu kalah bersaing dengannya. Raja pun

menjadi pemenang. Sebagai bukti kemenangannya, raja membawa

gadis itu ke kerajaan dan menjadikannya selir. Dari pernikahannya

dengan gadis desa itu, raja mendapatkan satu orang anak.

Daerah ini dinamakan Balaraja, balenya raja. Setelah itu,

cerita selanjutnya sudah tidak ada lagi yang tersisa, tentang anak

keturunan gadis desa itu. Makam yang berada di desa Bunar saja

Page 8: JALAN-JALAN TUJUH HARI

yang dipercaya masyarakat memiliki keterkaitan dengan keluarga

kerajaan. Sebagian besar percaya bahwa makam-makan itu adalah

makam dari keluarga kerajaan.1

1 Catatan tentang sejarah nama Balaraja ini kudapat dari sebuah blog http://endollempuyang.blogspot.com/2009/07/balaraja.html

orang yang memiliki blog ini pun mendapatkannya dari sebuah blog juga http://oncepsajalah.blogspot.com. Tapi sebagian sudah

direvisi agar terasa enak dibaca. Karena hal ini menyangkut

sejarah nama daerahku, tak ada salahnya jika aku membuat sebuah

persembahan untuknya, Balaraja.

Page 9: JALAN-JALAN TUJUH HARI

HITAM PUTIH ABU-ABU

Hitam putih abu-abu adalah nama sebuah kelompok remaja yang

menginginkan adanya perubahan dari sebuah kehidupan, lebih

tepatnya kehidupan mereka sebagai remaja. Mereka sangat muak

melihat tingkah laku remaja saat ini yang begitu hedonis2, yang

hanya gemar hura-hura, pesta dan sangat tak acuh terhadap

lingkungan sekitar. Mereka adalah Hardi, Iwan, Tedi dan Tyan.

Lalu dari wanitanya ada Ayu, Bsik dan Vera. Mereka bertujuh

melakukan kegiatan yang berbeda dari kebanyakan remaja saat ini,

seperti backpacking, hiking, dan diskusi (dalam diskusi ini mereka

lebih mengarah kepada seni, sastra, fotografi, kartun dan film).

Hitam putih abu-abu ini menolak menjadi remaja yang

kebanyakan. Mereka menolak untuk memakai pakaian yang serba

baru, bagus dan selalu mengikuti trend mode, menolak untuk

melakukan hobi shopping di mall-mall untuk sekedar ngeceng.

Kalau ke mall pun mereka lebih memusatkan diri untuk ke toko

buku. Hitung-hitung baca gratis.

2 Pengikut aliran hedonisme. Hedonisme sendiri artinya, pandangan hidup yang beranggapan kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan paling utama.

Page 10: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Kadang, hal-hal gila mereka lakukan untuk sekedar

melepas jenuh di otak karena kegiatan yang begitu menyita waktu.

Seperti berangkat malam hari pada sabtu malam dan pulang

minggu pagi. Kegiatan gilanya antara lain mereka tidur di mana

saja yang mereka sukai. Mereka lebih memilih tidur melihat

bintang dan mendengar bunyi jangkrik, daripada berpesta semalam

suntuk di diskotik atau pesta seks.

Hitam putih abu-abu percaya kepada mimpi. Mereka juga

yakin terhadap hal-hal yang mustahil. Seperti melakukan

perjalanan jauh yang tak mungkin bisa. Mereka jalani walau

dengan uang pas-pasan. Mereka semua punya mimpi dan cita-cita.

Tak pernah takut jatuh dan berani mengkritik, juga tak jatuh

apabila dikritik. Imajinasi tinggi dan daya khayal yang melebihi

remaja-remaja kebanyakan, membuat mereka lebih unggul di

bidang apapun. Tapi namanya manusia pasti punya kesalahan dan

kekurangan. Berbagai hal yang membuat mereka sakit pun mereka

lalui tanpa menyerah.

Hitam putih abu-abu adalah anak alam korban

pembangunan yang tambal sulam di negeri ini. Sesepuh desa di

kaki gunung Pulosari, Mbah Sugi, menjuluki Hardi, Iwan, Tedi

dan Tyan sebagai anak-anak yang terpilih. Anak-anak muda yang

selalu berusaha menemukan jati diri mereka sendiri, mampu

melindungi diri, kawan dan lingkungan sekitar, menegakkan

kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir lebih maju dan

Page 11: JALAN-JALAN TUJUH HARI

ganas. Mereka bertemu dengan Mbah Sugi ketika perjalanan

mendaki di gunung Pulosari.

MENGAPA MEMILIH NAMA HITAM PUTIH ABU-ABU?

Karena hitam Putih abu-abu adalah sebuah jalan, dan pilihan.

Hitam, putih, abu-abu bukanlah warna, itu semua adalah awal.

Landasan atau alas. Hitam, putih, dan abu-abu saling berkaitan.

Kuat bila bersama-sama. Jalan yang harus dipilih adalah hitam

dan putih. Sedangkan abu-abu adalah saat di mana mereka hendak

memilih jalan yang akan dilalui, bisa dibilang sebuah

persimpangan menuju misteri yang akan terbongkar. Apakah hitam

ataukah putih? Lalui dan pilihlah kawan!

Hitam putih abu-abu menyebut sepak terjang mereka

dengan sebutan petualangan mencari ujung pelangi.

Hardi (Hardia Rayya)

Adalah remaja yang gemar menulis puisi dan fiksi serta

bacpacking dengan uang pas-pasan. Juga membaca (memang pada

dasarnya hitam putih abu-abu ini adalah sekelompok remaja yang

Page 12: JALAN-JALAN TUJUH HARI

hobi membaca). Ia lebih memilih tampil urakan daripada

mengikuti mode zaman. Tubuhnya tinggi dan kurus, banyak

omong. Tokoh favoritnya adalah Sutardji Chalzoum Bachri3, Seno

Gumira Adjidarma4, dan Pramoedya Ananta Toer

5. Gaya bicaranya

lebih mengarah ke kritikan diselingi berbagai lelucon. Mudah

bergaul dan tak membeda-bedakan teman. Cita-citanya adalah

menjadi penulis dan bisa keliling dunia, juga mengunjungi makam

Nabi Muhammad SAW.

Iwan (Khatta Goenawant)

Remaja yang satu ini memiliki wajah yang cukup tampan bila

dibandingkan dengan anggota hitam putih abu-abu yang lain. Gaya

berpakaiannya tidak terlalu urakan. Ia hobi membaca dan

3 Penyair Indonesia yang dijuluki sebagai presiden penyair. Ia memperkenalkan puisi bergaya mantra. Karyanya yang fenomenal adalah O Amuk Kapak. 4 Dia adalah seorang penulis essai,cerpen, novel dan roman. Dia adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Salah satu karyanya adalah kumpulan cerpen Manusia Kamar. 5 Seorang pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Ia sudah menghasilkan lebih dari 50 karya, diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Bukunya pernah dilarang beredar pada masa pemerintahan orde baru, karena pandangannya pro-komunis Tiongkoknya. Ia ditan tanpa pengadilan di Nusakambangan dan di pulau Buru. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah novel semi fiksi sejarah Indonesia, novel tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).

Page 13: JALAN-JALAN TUJUH HARI

memotret. Apapun ia foto (memiliki obsesi menjadi seorang

fotografer). Sifat buruknya adalah pesimis, tapi di balik

kepesimisannya itu ia yakin, bahwa setiap hal yang ia lakukan

pasti berhasil. Tokoh favoritnya adalah Mohammad Hatta6 dan

Goenawan Mohammad7. Entah mengapa apabila ada nama

Gunawan atau yang berakhiran –wan, pasti ia sangat bangga

kadang mengatakan, “diakan saudara gue!”. Mudah bergaul walau

pemalu. Pertama mengenalnya pasti penilaian pertama yang

terlintas adalah dia orang yang dingin.

Tedi (Angkasa Wirawan)

Adalah seorang remaja keras kepala. Foto memoto dan menulis

puisi adalah hobinya juga memiliki obsesi menjadi seorang filsuf.

Gemar beribadah, dan tak mudah goyah dalam mengambil

keputusan. Gaya berpakaiannya agak rapi dan sering terlihat

memakai celana bahan. Ia termasuk remaja yang tangguh yang tak

mudah menyerah. Tapi dia juga punya sifat putus asa yang selalu

datang datang apabila itu menyangkut hal-hal yang merugikan

6 Seorang tokoh proklamasi dan seorang wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. 7 Seorang penyair, jurnalis dan penyunting. Dia juga termasuk sastrawan yang terkemuka di Indonesia, termasuk salah seorang pendiri Majalah Tempo.

Page 14: JALAN-JALAN TUJUH HARI

dirinya. Ia sering mengeluh, tapi di lain waktu ia bisa terlihat lebih

optimis dibanding yang lain. Tokoh favoritnya Jalaluddin Rumi8.

Cita-cita terbesarnya ingin bisa berdakwah sampai ke India,

Pakistan, Bangladesh sampai keliling dunia. Ia pun memiliki

mimpi menjadi Harry Potter9. Tedi adalah satu-satunya orang di

hitam putih abu-abu yang memiliki jenggot, walaupun tipis.

Tyan (Tyan Oriza)

Remaja yang satu ini memiliki sifat misterius. Dari penampilannya

yang urakan seakan-akan menyatakan bahwa dia adalah seorang

remaja tanpa masa depan. Tidak jelas cita-citanya mau jadi apa.

Tapi dia adalah yang terhebat di hitam putih abu-abu. Tyan

dipanggil Jenderal oleh teman-temannya karena memiliki jiwa

pemberani dan kuat. Dia juga sangat berbakat di bidang seni rupa

dan yang paling istimewa adalah imajinasinya sangat tinggi

melebihi imajinasi orang dewasa. ia selalu mengidolakan Peter

Pan10

. Pemikirannya begitu fresh dan tinggi, walau dalam

pelaksanaannya ada yang kurang berhasil. Cita-citanya ingin

menjadi komikus dan bergabung dengan MARVEL COMIC dan

8 Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair sufi. Karya-karyanya sangat berbeda dan memiliki khas dibandingkan dengan penyair sufi lain. 9 Tokoh novel yang memilii kekuatan sihir ciptaan J.K Rowling. 10 Tokoh kartun ciptaan J. M. Barrie.

Page 15: JALAN-JALAN TUJUH HARI

WARNERBROSS. Dia ingin sekali mengembangkan kegemaran

menulis dan menggambar animasinya di Jepang dan Amerika agar

bisa bersaing dengan para komikus yang ada di negeri Sakura dan

negeri Paman Sam itu. Tidak narsis dibanding Hardi, Iwan dan

Tedi. Ia begitu pendiam bagi orang yang belum mengenal dirinya.

Page 16: JALAN-JALAN TUJUH HARI

1

Lakukanlah! Karena di dunia ini ngga ada yang ngga

mungkin. Kecuali satu hal, makan kepala sendiri. – Hardia

Rayya

“Heufth...” Tyan menguap.

Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Tyan terlihat begitu

mengantuk, maklumlah, ia kalau tidak kerja, kerjaannya cuma

makan, tidur, makan, tidur plus kentut.

“Nape lu, ngantuk?” tegurku, sambil mengucek mata.

“Lah Har, lu juga kaya lagi nyuci. mata lu tuh masih

banyak belek...” Iwan pun nyeletuk dengan mata yang merem-

merem melek.

Cuma Tedi yang tak terlihat mengantuk. Wajar saja dia

sudah biasa bangunin ayam, kalo nggak ada yang bangun tuh para

ayam, ia malah berkokok yang menggetarkan dunia.

“Ngantuk gue...” ucapku datar.

Kami berempat, siap berangkat untuk menghirup udara

segar di jantungnya dunia, di punggung bumi, yaitu gunung.

Sambut kami gunung!

Dengan jalan yang sempoyongan, karena dari semalam

susah tidur, kami tetap saja nekad.

Page 17: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Boi, mending video kol11

sama Mbah Sugi... heuft”

ucapku.

“Iya, Wan hape lu aja kan yang tri ji? Udeh ngehubungin

tuh si Mbah. Pengen liat gue mukanya, masih ngantuk ga yah?”

lanjut Tyan mengiyakan.

“Kita ke sono, selain ke gunung, mau nagih hutang juga

nih ke si Mbah? Hehe” tanya Iwan sambil nyengir12

.

“Ya iyalah, masa ya iya dong, jangan mentang-mentang

dia udah kakek-kakek. Kalah tarohan ga mau n ga usah bayar...”

jawabku tak mau kalah.

“Sori yeh, jangan mau dirugiin sama kakek tua bangka

itu...” kata Tedi sambil mengepalkan tangannya. Pernah dia kalah

bertaruh habis-habisan dengan Mbah Sugi, hampir empat ratus

ribu. Sekarang dia akan melakukan pembalasan kepada beliau.

Kami berempat mengadakan taruhan nonton audisi dangdut, siapa

yang bakal keluar, ternyata pilihan kami benar, seorang wanita

muda dengan suara jelek, cuma menang seksi aja, tapi berbeda

dengan Mbah Sugi, beliau malah menjagokan wanita itu dengan

alasan cantik.

11 Fasilitas yang ada di handphone, agar bisa mengobrol sambil bertatapan muka. 12 Senyum lebar dengan kelihatan gigi.

Page 18: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Udah jangan pada ribut sih, diem nih gue lagi nelepon si

Mbah.” Iwan terlihat serius menunggu telepon diangkat oleh Mbah

Sugi.

Mbah Sugi adalah seorang sesepuh desa di kaki gunung

Pulosari13

. Perkenalan yang mengejutkan menurutku, pada waktu

itu kami sedang tersesat di gunung Pulosari, dan muncullah

sesosok lelaki tua yang kukira setan. Iwan saja sampai terkencing-

kencing karena kaget melihatnya. Kami tak kuat berlari ketika

berhadapan dengan mahluk menakutkan itu. Yang membuat seram

adalah tawanya, begitu kencang dan menakutkan. Beliau

mendekat, semakin dekat dan seorang pria tua renta dengan gigi

tinggal beberapa butir saja tersenyum kepada kami. Mulai dari

sanalah kami kenal Mbah Sugi. Beliau orang yang menyenangkan.

Tak terlihat seperti sesepuh desa. Malah lebih condong sebagai

seorang remaja dengan wajah keriput. Ya, gayanya itu, belagu14

,

seperti remaja kebanyakan, terlebih telepon genggam yang selalu

dijinjingnya kemana-mana. Tak tanggung-tanggung, merknya

BLACKBERRY. Gila, orang tua yang satu ini.

Juga hobi yang mungkin banyak digandrungi oleh semua

kalangan, yaitu taruhan. Kami sering bertaruh segala hal, mulai

dari sepak bola sampai audisi dangdut. Biasanya Mbah Sugi tak

13 Nama sebuah gunung yang terletak di daerah kabupaten Pandeglang. 14 Berlagak sombong, sambil memamerkan apa yang tidak dipunyai orang lain. Juga merasa lebih hebat dari orang lain. Sebuah bahasa pergaulan dari kata sombong.

Page 19: JALAN-JALAN TUJUH HARI

pernah kalah. Tapi entah mengapa kali ini kami berempat menang

telak. Haha, biar tau rasa orang tua itu.

Beliau tinggal di desa di kaki gunung dengan empat orang

anak yang semuanya telah tumbuh dewasa. Istrinya telah

meninggal saat mereka berdua berusaha menaklukkan gunung Jaya

Wijaya. Istrinya tergelincir dan meninggal. Sangat disayangkan.

Beliau termasuk orang yang sukses karena telah berhasil mendidik

semua anaknya agar hidup mandiri dan semua lulus dengan gelar

sarjana, bahkan anak terakhirnya ini sedang melanjutkan study S2-

nya.

Mbah Sugi adalah orang yang memberi gelar kepada kami

sebagai anak-anak yang terpilih. Beliau biasanya menyebut kami

sebagai anak alam korban pembangunan yang tambal sulam di

negeri ini . Kami, anak-anak yang selalu berusaha menemukan jati

diri sendiri, mampu melindungi diri, kawan dan lingkungan

sekitar, menegakkan kebenaran dengan berbagai cara, juga berfikir

lebih maju dan ganas di bumi ini. Mbah Sugi pun menanamkan

kepada kami tentang betapa hebatnya sebuah mimpi. Makanya

beliau selalu menyuruh kami untuk bermimpi. Beliau

menganugerahi kami sebutan anak-anak yang terpilih karena

khayalan dan mimpi kami begitu tinggi. Melebihi pemikiran

remaja yang seusia. Seperti yang selalu diucapkan beliau, “Masa

depanmu ditentukan dari mimpi-mimpimu – Mbah Sugi”.

Page 20: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Setelah Mbah Sugi merasa umurnya sudah cukup tua

sebagai pecinta keagungan Tuhan, beliau memilih untuk

menghabiskan waktunya di kaki gunung, menghirup udara segar

dengan kenikmatan embun ketika pagi dan gemuruh jangkrik di

setiap malam harinya yang beliau tidak bisa mendapatkannya di

kota besar.

“Tuuutttt..tuuuuttt...tuuuuttttt” BLACKBERRY Iwan

berdentang dengan keras, kami segera mengerubunginya.

“Woy berat-berat!” Iwan marah ketika punggungnya kami

dorong, saat berebut ingin melihat Mbah Sugi.

“Biar sih, eh lama banget nih ngga diangkat sama Mbah

Sugi?” balas Tyan.

“Iya yah, jangan-jangan bener, si Mbah masih tidur,

atau...” kata Tedi.

“Aataauuuu, ga berani ngangkat telepon dari kita-kita,

mungkin Mbah Sugi takut kali?” Ucapku menegangkan, sambil

teriak histeris.

Spontan kami semua tertawa.

Tiba-tiba yang muncul wajah Rodi, anak terakhir Mbah

Sugi. Terdengar pula lantunan salawat nabi yang mengalun keras

sehingga tak jelaslah percakapan kami.

“Haaallooo, hallooo...” Rodi panik saat mengangkat BB

mbahnya, terlihat jelas sekali dari layar banyak orang di sana. Ada

yang hilir mudik, ada yang sibuk bawa kue. Mereka berpakaian

Page 21: JALAN-JALAN TUJUH HARI

sopan, menggunakan kerudung dan berpeci. Wajah orang-orang di

sana sedang muram.

“Ya, halo Bang Rodi, iiini kamii, hitam putih abu-abu,

inget ga?” Iwan pun berteriak, sepertinya Rodi kurang jelas

mendengar karena suasana ramai di rumahnya.

“Oohh iya, sebentar dulu saya keluar rumah, di sini

ramai!”

Lalu ia keluar rumah. Nampak di luar pun suasana begitu

ramai. Entah apa yang terjadi, kami semua bingung. Semua orang

tergesa-gesa dan sedang berkabung.

“Ada apa di sana tuh?” bisikku ke Tyan. Ia hanya

menggelengkan kepalanya.

Dengan serius kami mendengarkan percakapan Iwan dan

Rodi.

“Maaf lama...“ ucap Rodi.

“Ga apa-apa kok. Oia bang, rame banget di rumah, emang

ada apa sih? Terus kemana Si Mbah?” tanya Iwan tergesa-gesa.

Rodi terlihat bersedih, lalu ia melanjutkan pembicaraan,

“Mbah Sugi...” air matanya tumpah, “Bapak, meninggal dunia

semalam...”

Air matanya menetes tak terbendung, kami berempat

begitu kaget dengan kejadian ini. Apakah beliau meninggal karena

kalah taruhan dengan kami sehingga beliau mengalami jantungan

yang mendadak dan langsung mati di tempat? Entahlah. Kami

Page 22: JALAN-JALAN TUJUH HARI

turut berduka atas meninggalnya Mbah Sugi, sang guru alam kami.

Masa-masa indah saat di sana, masa-masa ceria saat tertawa, masa-

masa gembira saat taruhan walau kalah atapun menang, dan

semuanya yang terbaik di mata kami tentang Mbah Sugi telah

sirna.

Rodi terus saja menangis. Suaranya mulai parau. Lalu ia

pun menyuruh kami kalau sempat main ke sana, kami pun

mengiyakan.

“Emang kenapa Si Mbah meninggal?” tanya Tyan pena-

saran.

“Ngga ada yang tau kenapa bapak meninggal, menurut

abang sih, bapak semalam sedang sibuk menonton kontes dangdut,

lalu ketika idola bapak menyanyi, bapak tertawa dengan terbahak-

bahak. Tiba-tiba bapak tersendat kacang yang sedang dimakannya.

Dan beginilah jadinya.” tutur Rodi sambil mengelap air matanya.

Tedi dan aku cekikikan. Hal lucu yang membuat kami

tertawa. Dengan semudah itu orang tua gunung meninggal? Ah

sepele. Seorang laki-laki kuat itu, yang sering berdiri di puncak

semesta, yang selalu mengutarakan janjinya di samping Sang

Pencipta, yang setiap kali menyentuh langit, mati, meninggal

tersendat kacang? Atau... terpesona melihat sang idola bernyanyi?

Ah misteri.

“Masa? Aneh banget Si Mbah matinya?” tanyaku asal

ngomong.

Page 23: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Hus, lu ngomong yang bener, Har...” kritik Iwan.

“Oia maaf, Bang...” aku membenarkan ucapanku.

“Ya udah sih ngga apa-apa. Gini, bapak nitip pesen buat

kalian pas lagi sekarat...” Rodi nampak serius.

“Apa?” kami semua mengerubungi BB Iwan yang besar

sekali itu.

“Begini, bapak berpesan untuk kalian, jadilah orang yang

berguna. Jangan pernah sekali pun berfikir untuk menjadi orang

hebat. Sebab orang hebat tak hanya menyimpan kesombongan

tentang kehebatannya. Tapi orang berguna itu selalu berbagi ilmu,

di mata orang yang telah merasakan kebergunaannya maka kita

bisa menjadi hebat. Tapi semua itu perlu tantangan. Juga, kalian

semua harus menjadi orang yang berani berkata, kalian itu adalah

beda. Berani menyuarakan kebenaran. Tak takut dikritik. Dan

menjalankan perintah Allah. Oia ada satu lagi, jangan takut

bermimpi. Bermimpilah! Karena Allah akan memeluk mimpi-

mimpi kalian!”

Kami terharu mendengar pesan Mbah Sugi yang

disampaikan Rodi tadi. Aku terdiam, termenung memikirkan apa

yang telah dipesankan beliau tadi. Aku terhenyak. Begitu juga

dengan Tyan, Tedi dan Iwan.

“Woy jangan bengong!” Rodi mengagetkan kami semua.

Lamunan kami buyar.

“Iiiyyaaa,...” ucap Iwan kaget.

Page 24: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Ya udah minta doanya buat bapak, Mbah Sugi. Trus

kalian mau kemana sekarang?”

“Pasti kami doain, uhm rencananya kami mau ke sana.

Mau mendaki, tapi karena keadaan di sana seperti itu, ya sudah,

mungkin kami mau berpetualang ke tempat lagi deh, Bang...” ucap

Iwan bijak.

“Ya udah, tapi jangan lupa maen ke sini. Tengok makam

bapak yah. Pulsa lu mau gue gantiin ga? Hehe” ledek Rodi.

“Jeuh so kaya lu, Bang. Tuh Mbah Sugi yang kalah

taruhan juga...” aku kesal.

“Minta sono sama bapak gue di alam baka. Hehe...”

Kami semua tertawa. Lalu Iwan mematikan BBnya.

“Gimana kita sekarang? Udah dengerkan, seorang

penghidup salah satu mimpi kita telah berpulang!” jelas Iwan

tegas.

Kami semua berfikir.

“Gimana kalo kita wisata kota!” ide Tedi memecahkan

bayang-bayang kami.

“Iya, gue sama Tedi belom pernah nih wisata kota. Lu

sama Hardi kan udah, Wan. Gimana? Pastinya asyik kalo kita jalan

berempat...” Tyan mengiyakan saran Tedi. Lagi-lagi kami

berfikir...

“Gimana, Har, menurut lo?” Iwan meminta pendapatku, ia

mungkin setuju dengan pendapat Tedi.

Page 25: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Okelah. Tapi kita begini aja nih?” aku setuju dengan

saran mereka. Mungkin selain gunung dan alam, kami juga bisa

melihat gambaran kehidupan jalan yang begitu rumit. Kehidupan

yang hanya dijalankan oleh sebagian orang saja. Kehidupan yang

hanya dilalui oleh orang-orang yang terpaksa menikmati debu

jalanan dari pada wangi parfum mahal. Ya, kami akan hadapi

tantangan suram itu. Kami juga tak mau dibilang sebagai

sekumpulan orang manja. Kami juga bisa membandingkan

kehidupan kami dengan kehidupan orang-orang yang berada di

berbagai daerah.

“Jadi mending kita ke kota besar saja, lebih asyik, lebih

banyak tontonan. Daripada di kota kecil. Baru jam delapan malem

udah kunci pintu. Hehe” lanjutku.

“Ya, gue setuju...” ucap Iwan dengan pasti.

Tedi dan Tyan tersenyum puas. Nampak oleh kami

matahari yang cerah semakin mendekat. Kami menyatukan telapak

tangan kami.

Tedi berkata, “Demi tujuan dan masa depan”

Tyan berkata, “Demi langkah dan kekuatan”

Iwan berkata, “Demi hidup dan harapan”

Aku berkata, “Demi mimpi dan perjuangan”

“Hitam putih abu-abu, Satukan kekuatan!” kami berteriak

memecah sunyi.

Page 26: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Mungkin tak pernah seperti ini bila kami tidak bertemu

dalam kejadian saat itu. Ketika kami berempat disatukan oleh

seorang “Guru, guru yang tak boleh disebut namanya”. Guru itu

menyatukan kami dengan menanamkan sebuah jiwa laki-laki yang

kuat, yang tak boleh hancur hanya karena diterpa angin malam,

yang tak boleh bergetar walau topan di hadapan kami. Terus

mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa pernah mengeluh dan

cintai wanita yang benar-benar kami sayangi. Cukup satu saja.

Dengan gencarnya Sang Guru menanamkan semua itu,

kami pun semangat mencoba menyusuri jejaknya, tapi entah

mengapa suatu kejadian yang tak pernah kami lupakan dan tak

boleh kami sebutkan kepada siapapun membuat kami terpisah

dengan Guru. Dan kami pun merasa jalan satu-satunya adalah

menjadi seorang lelaki yang kuat dengan pilihan hidup kami

sendiri. Dengan mengumpulkan filosofi hidup. Dan merangkainya,

menjadikannya gambar yang begitu nyata dihadapan semua orang.

Kami pun terus memegang ajaran yang telah diajarkan Sang Guru,

agar kami menjadi seorang laki-laki. “Jadi selamat tinggal, Guru”,

sebuah kata yang kami ucapkan saat mengenangnya dalam setiap

perjalanannya.

Mulai saat itu, kami terus melakukan perjalanan mencari

jati diri. Bahasa kerennya adalah berpetualang mencari ujung

Page 27: JALAN-JALAN TUJUH HARI

pelangi. Kami tak mau berhenti sebelum mendapatkan ujung

pelangi itu.

Kami pun menamakan diri kami hitam putih abu-abu.

Mengapa hitam putih abu-abu? Karena hitam Putih abu-abu

adalah sebuah jalan, dan pilihan. Hitam, putih, abu-abu bukanlah

warna, itu semua adalah awal. Sebuah dasar. Hitam, putih, abu-abu

saling berkaitan membuatnya kuat bila bersama. Jalan yang kami

harus pilih adalah hitam dan putih. Sedangkan abu-abu adalah di

mana saat kita hendak memilih jalan yang akan kita lalui, bisa

dibilang sebuah persimpangan menuju misteri yang akan

terbongkar. Apakah hitam ataukah putih? Lalui dan pilihlah

kawan!

“Jadi kemana kita?” tanyaku. Semuanya berhenti.

“Aduh aduhhhhhhhh, iya yah. Duit kita mepet. Ga bisa

jauh-jauh nih...” Iwan pun ragu karena keuangan kami yang hanya

pas-pasan saja.

“Jakarta, langsung ke Bogor, tapi bisa juga sekalian

mampir ke Bekasi” Tyan dengan pedenya memberikan saran.

“Tyan, mikir donk lu!” bentak Iwan kesal. Ia tak habis

pikir, Tyan mengajukan tempat yang begitu jauh dan sangat

banyak rutenya. “Emang duit lu cukup!”

Page 28: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Nyantai Wan,”Tedi mencoba mengetengahkan masalah,

“Gue sama Tyan udah kompromi, kita bakal nyoba yang belom

kita coba...”

Tyan tersenyum puas.

“Apaan Ted?” aku masih penasaran. Apakah mencuri?

Atau mencoba berpuasa di atas kenikmatan yang bergelimang di

kota besar? Aku belum tahu.

Tedi tersenyum melecehkan aku dan Iwan.

“Sial lu berdua, Apaan?!” Iwan pun makin penasaran.

“Sabar, Kawan! Gini, kita bawa alat masak kan?” Tedi

menjelaskan.

Aku dan Iwan mengangguk. Lalu Tyan melanjutkan,

“Gini, kita bisa makan dengan cara masak dan Cuma beli makanan

mentah aja. Jauh lebih murah...”

“Masalah transport?” aku masih penasaran.

“Oh o-on lu Har, kita tinggal nge-BM (berani mati, dengan

cara menghentikan mobil-mobil truk tanpa membayar) gampang,

kan? Banyak ko supir-supir yang iba ngeliat pengembara kaya kita,

yang bermuka melas kaya lu-lu pada” ucap Tyan sambil menunjuk

ke arah aku, Iwan dan Tedi.

Aku dan Iwan hanya cengar-cengir. Mereka berdua mulai

sombong.

“Ya udah kita sekarang mau ke mana?” tanya Iwan sambil

melanjutkan langkahnya.

Page 29: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Kita ke Tangerang aja dulu. Sekarang kita naek Bulan

Jaya, gimana?” ajak Tyan.

“Ok” kami semua setuju.

Tidak beberapa lama kemudian, Bulan Jaya datang,

dengan penumpang yang sudah berdesakkan. Tidak biasanya. Oh

ya, aku belum menceritakan apakah itu Bulan Jaya. Bulan Jaya

adalah sebuah nama bus, tepatnya mini bus yang beroperasi

dengan rute Balaraja – Kalideres, Tenjo – Kalideres, Rangkas –

Kalideres, dan Cimone – Rangkas15

. Yang kami naiki adalah Bulan

Jaya rute Balaraja –Kalideres. Tahukah kawan, Bulan Jaya yang

memiliki rute Balaraja – Kalideres ini disebut penguasa jalan raya

Serang. Raja kebut jalanan, mulai dari Kilometer 10 - 23. Jangan

tanya kecepatannya, melebihi kecepatan suara kali yah? Setiap ada

ibu-ibu yang menjadi penumpang Bulan Jaya pasti berteriak-teriak

minta kurangi kecepatannya, katanya “Hampir copot jantungku!”.

Kernet bus dengan supirnya sangat kompak, inilah pasangan supir

yang amat dinanti semua supir angkot. Mulai dari mengatur

parkir,mengatur kemacetan agar bus ini bisa melaju duluan,

membaca jalan dan menghadapi rintangan jalanan, mampu mereka

atasi dengan kekompakan yang amat mereka junjung tinggi.

15 Balaraja terletak di kabupaten Tangerang. Kalideres terletak di Jakarta Barat. Rangkas atau Rangkas Bitung terletak di Lebak. Cimone terletak di Kota Tangerang.

Page 30: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Begitulah Bulan Jaya. Mungkin di tol mereka tidak banyak gaya,

tapi di km 10-23 jalan raya Serang, jangan ditanya.

“Muke gile nih supir” bisikku. Kecepatan tinggi yang terus

dipacu membuat debar jantung ini kian mencencekam. Padahal

penumpang sudah penuh, bukan penuh lagi, tapi sudah

membludak.

“Ayo Kokol Deres Cikokol Deres!!!” teriak kernet itu.

Wajah semangat tak kenal lelah selalu dikeluarkan oleh

sang kernet. Kernet di Bulan Jaya ini ada dua orang, yang pertama

berada di pintu belakang dan yang kedua berada di pintu depan.

Yang biasa mengatur jalan adalah kernet bagian belakang. Kalau

kernet bus bagian depan biasanya meminta ongkos. Tarifnya pun

tak terlalu mahal, juga bisa ditawar asalkan kita tidak pelit.

Apabila kita pelit bisa-bisa kita sebagai penumpang disuruh turun

oleh sang kernet bus.

Sambil merokok dan berbagi rokoknya kepada salah

seorang temannya, kernet tadi membuka pembicaraan dengan

temannya tadi. Aku yang persis berada di sebelahnya mendengar

pembicaraan yang menggugah hatiku.

Maaf sebelumnya, aku sedikit menguping.

“Jo, sial banget gue hari ini...”ucap kernet bus yang tadi

memberikan rokok.

Page 31: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Nape lu? Kayanya muke lu juga akhir-akhir ini kusut

banget dah” sambil menghembuskan rokok yang tadi diberikan,

kernet kedua menjawab dengan santainya.

“Masa pagi-pagi gue udah diusir sama bini16

gue. Ga

dikasih sarapan lagi” kernet tadi menunduk lemas.

“Emang napa?”

“Ga tau”

“Mungkin lu pernah ngelakuin salah kali sama bini lu?”

“Iya sih, semalem gue pulang jam sebelas. Gue abis maen

judi sama bang Tohir, orang Ceper. Nah gue kira gue bakal

menang telak. Tapi ternyata gue yang kalah telak. Nah duit gue

abis lagi. Bini gue marah, pas gue pulang ga ada duit, dia bilang

gini, „ udah lah Bang, kalo lu masih mau tinggal sama gue,

mending lu berhenti judi, tobat Bang, tobat. Kalo gini terus gue ga

kuat. Mending cerai aja gue sekalian Bang!‟ gitu Jo. Nah pas pagi-

paginya gue dicuekin. Pas gue ngerayu, gue langsung diusir, Jo.

Mana bini gue sambil ngelempar piring lagi. Lah gue takut,

langsung aja gue kabur...”

Kernet kedua diam berfikir mengasah otaknya. Diam,

dengan gaya santai sambil memainkan asap rokok yang keluar dari

mulutnya. Tak beberapa lama kemudian, keluarlah kalimat yang

ditunggu-tunggu kernet pertama, “Lu masih sayang sama bini lu?”

16 Sebutan untuk istri. Tapi masih berasa lebih kasar.

Page 32: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Iiyalah Jo. Gue sayang. Tapi... gue ngerasa salah juga”

jawab kernet pertama dengan lugu.

“Bener?” tanyanya sekali lagi sambil melotot kearah

kernet pertama.

Lalu asap rokok ia hembuskan lagi.

“Gini, cara paling tepatnya menurut gue, lu ga usah judi

lagi...”

“Ttaapii...”

“Ga pake tapi! Katanya lu masih sayang. Dan lu harus

solat. Kaya gue nih udah tobat.” Kernet kedua mulai terlihat serius

dalam pembicaraan yang selanjutnya.

“Jo, gue udah lupa cara solat...”kernet pertama tadi berkata

sambil menunduk malu.

“Nah itulah kesalahan lu! Lu masih sayang kan sama bini

lu?”

“Iya jo. Gue bakal lakuin apa aja biar bini gue ga marah

lagi sama gue. Soalnya udah parah banget nih...”

“Entar pas kita istirahat, mending lu belajar solat sama

gue, itung-itung inget-inget lagi. Dan sampe di rumah lu ga usah

minta maaf lagi...”

“Kalo gue pulang bini gue masih marah gimana?”

“Gue belon selesai ngomong, Nyet !” kernet kedua marah,

ketika ucapannya dipotong. Ia melanjutkan, “Lu sampe rumah

ngucapin salam. Bisa kaga lu ngucapin salamnya orang islam?”

Page 33: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Iye bissa...”

“Kalo udah, tapi masih ga ditanggepin lu langsung

ngomong ke bini lu, bahwa lu pulang bawa duit. Kasih semua ke

bini lu. Jangan dipake maen judi. Dan mita ajarin solat sama bini

lu. Dijamin bini lu kaget mendengar ucapan lu...”

“Bener?”

“Ya sudah kalo ga mau nyoba...”

“Iye gue coba...”

Percakapan berakhir di sini, karena ada penumpang yang

masih memaksa ingin naik ke dalam bus. Tanpa ragu sang kernet

pun berkata, “Ayo masih kosong, masih kosong!”

Inilah Bulan Jaya, mini bus yang tangguh di kelasnya.

Kami naik Bulan Jaya sampai daerah Kalideres.

Keadaan yang begitu sumpek. Dengan polusi yang

bertebaran di mana-mana. Inilah terminal Kalideres. Kami

berempat telah turun dari Bulan Jaya. Siap menanti truk-truk yang

mau mengangkut kami.

Tedi dan Tyan mengulurkan tangannya kepada truk yang

lewat. Tapi tak ada yang mau berhenti. Hanya diberikan knalpot

dengan asap hitam mengepul.

“Huh sial, mana nih truknya. Ngga ada yang mau

berhenti!” Gerutu tedi.

Page 34: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Truk bangsat!” teriak Tyan sembil melempar kerikil

mengarah ke truk yang telah meninggalkan kami dengan cepat.

Aku dan Iwan hanya menertawai mereka berdua.

“Ya udah sekarang giliran gue berdua. Huh ide kalian

berdua ga ampuh...” Iwan mencoba menegaskan keberhasilan

kami, sambil meremehkan mereka berdua.

Tedi cemberut saja. Tyan malah mengambil posisi duduk

dengan sleepingbednya17

. Aku dan Iwan merapat ke jalan. Baru

saja kami selesai berdebat, aku dan Iwan merapat ke bibir jalan,

sebuah truk dengan dua orang pengendara berkacamata hitam

berhenti dihadapan kami. Kami berdua kaget.

“Heh, lu semua yang waktu itu naek bis Sahabat yang

turun di Serang itu kan?” ucap salah seorang pengemudi truk.

“Kapan, Bang?” aku bertanya keheranan. Sebab sering

sekali kami ke Serang untuk bermain dan malah selalu naik bus

antar kota Sahabat, jurusan Kuningan – Merak.

“Yang dua bulan lalu, malem-malem. Lu berlima, sama

cewenya satu itu. Kita ketemu pas lu semua berpakean kaya gini.

Kan gue sapa, lu bilang mau hiking...” jelas pengemudi tadi, “

Alah lupa lagi. Gue pengamen yang ngasih tau lu kalo gue orang

Semarang. Lu yang pake baju biru,” menunjuk kearahku, “ Lu

yang ngasih gue seribu itu...”

17 Kasur lipat yang bisa dibungkus dan berbentuk tas. Biasa dipakai oleh para pendaki, backpackers, dan para orang-orang yang keluar di jalan Allah SWT.

Page 35: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Oohhhh” kata kami bersamaan. Baru ingat kami. Pada

waktu, dua bulan yang lalu kami memang ingin hiking ke gunung

Karang, tapi tidak jadi, malah mengambil jalur Cilegon dan ke

pantai Marbella. Ya benar, kami menaiki bus Sahabat, dan ketika

hendak turun di Serang , ada seorang pengamen yang menyapa

kami. Orangnya ramah. Ternyata orang itu bertemu dengan kami

lagi. Ia memang benar-benar baik.

“Ya udah, ngapain lu semua bengong-bengong aja, mau

ikut ga nih?” lagi-lagi pengemudi yang berprofesi pengamen ini

menawarkan keramahannya kepada kami.

Di truk.

Aku, Tedi dan Tyan berada di bak belakang truk,

sedangkan Iwan ada di depan bersama orang tadi. Iwan mengobrol

panjang lebar, ia pun berkenalan dengan para pengemudi. Yang

memegang stir bernama Tyo, Prastyo nama panjangnya.

Sedangkan yang tadi mengamen dan menyapa kami tadi bernama

Jodi.

“Jodi, lu kok dari Semarang bisa nyampe di sini. Jauh

banget lu maen...” tanya Iwan, menghilangkan keheningan.

Page 36: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Ya sama aja kaya lu semua, Wan, lu ngapain coba maen

jauh-jauh, gembel lagi. Mana bawa kaya beginian semua, kaya

mau perang aja lu semua” ledek Jodi.

Kami semua tertawa.

“Kalo gue sih cuma mau mencari siapa sih gue? Gitu.

Terus kita berdua tuh cuma mau menantang hidup yang kata orang

sulit...” lanjut Jodi, terlihat dari gambaran wajahnya ia

bersungguh-sungguh.

“Kalo gue dan hitam putih abu-abu cuma mau mengejar

impian, cita-cita dan harapan...” ucap Iwan yang mengopi kata-

kataku.

“Juga hidup dan perjuangan” lanjut Tyan.

“Ya ya ya...” aku juga tak mau ketinggalan.

Pembicaraan yang nikmat itu terhenti, karena kami

memutuskan untuk berhenti di sebuah daerah Jakarta yang pas

untuk menyambung truk lagi.

“Jodi, Tyo, makasih ya! Kapan-kapan kita bisa ketemu

lagi!” teriakku.

Kami semua melambaikan tangan ke arah truk yang

dibawa mereka. Mereka pun berlalu dengan begitu cepatnya. Jodi

dan Tyo, dua orang yang menjadi cerita dalam perjalanan kami.

Dengan gaya yang begitu asal-asalan, kami melanjutkan

perjalanan. Mencari tumpangan lagi deh.

Page 37: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Kita kemana lagi nih?” tanya Iwan cemas. Dia selalu

begitu, pesimis dengan apa yang kita lakukan. Tapi anehnya dia

selalu yakin kalau kita bisa melakukan itu semua. Di balik

kepesimisannya, ia bisa optimis dalam berbagai hal.

“Kemana ya? Gampang...” ucap Tyan santai.

“Huh slalu begitu,” balas Iwan dengan senyum kecut.

Perjalanan kali ini diteruskan dengan naik mobil angkutan

sayur dari desa. Entah, tujuan yang tak jelas. Kami hanya merasa

berputar-putar saja di sini. Jakarta, kota besar dengan beragam

cerita di dalamnya. Orang-orang yang sibuk berjalan dengan

tergesa-gesa. Ada juga sekumpulan anak remaja yang sangat

mengikuti trend zaman, menatap kami dengan keheranan, kami tak

fokus ke mereka. Mungkin pikiran mereka, kami ini adalah orang

gunung yang sedang menuju ke kota. Ah biarkan saja. Lalu di

setiap persimpangan lampu merah, masih banyak anak jalanan dan

pengemis yang menghiasi kota besar seperti Jakarta ini. Mereka

sibuk meminta. Ada ibu dekil menggendong bayinya dengan

wajah mengiba menadahkan tangan dan berharap akan ada orang

yang mau memberikan sedikit rezeki kepadanya. Ada pula remaja

seusia kami yang sibuk mengamen. Tragis. Sebuah penderitaan

terjadi di tengah gemerlap keglamouran dunia.

Mari berkaca, wajah negara ini yang sesungguhnya

tercemin di kota-kota besar. Mulai dari para bangsawan hingga

orang-orang pinggiran, sekumpulan ustadz sampai organisasi

Page 38: JALAN-JALAN TUJUH HARI

pencopet, penjual asongan sampai penjual diri, ada lelaki sejati ada

juga lelaki setengah dewa (ngerti kali, alias waria), dari keadilan

sampai kecurangan, dari pelacur jalanan sampai pelacur berkerah,

dari kenikmatan sampai kesengsaraan, gedung kokoh pencakar

langit sampai gubuk reyot yang terkena teriakan saja langsung

roboh. Ya, mungkin setiap keberhasilan sesuatu membutuhkan

pengorbanan. Apakah, Indonesia ini berhasil di berbagai bidang,

yang menjadi korbannya adalah para kaum pinggiran? Aku tak

tahu.

Kami terus menatap keterasingan berbagai orang yang

tersesat di kota ini dari atas mobil angkutan sayur. Aku

menikmatinya, juga kawanku yang lain. Hitam putih abu-abu

merenunginya.

“Boi, inilah hidup, penuh perjuangan. Ga ada yang

sempurna di dunia ini...” ucapku datar, aku memperhatikan semua

ini yang lain pun hanya termenung, diam tanpa kata.

Keheningan menyelimuti kami.

Tiba di sebuah lampu merah, lalu beberapa anak jalanan

berumur sekitar sepuluh tahunan berlari menyerbu jalan, bak

ombak menerjang karang. Mereka bernyanyi dengan suara fals.

Hanya berbekal sebuah botol yang diisi pasir, berbagai kendaraan

mereka datangi, hanya untuk mendapat recehan sisa kembalian

orang-orang kaya.

Page 39: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Gila tuh orang, tega amat ga ngasih tu pengamen.

Sadizzz!” ucap Tyan kesal. Melihat seorang pengemudi mobil

yang hanya terdiam dan menjalankan mobilnya ketika ada seorang

bocah menyanyi di jendela mobilnya.

“Pelit banget tuh orang kaya!” Iwan ikut-ikutan mengutuk.

“Ya jangan gitu lah boi, mereka mungkin punya alesan ga

ngasih...” aku mencoba menenangkan teman-teman.

“Ah, alesan sampah!” Iwan langsung melanjutkan,

wajahnya kurang puas mendengar jawabanku.

“Kan gue belum selesai ngomong,” aku mencoba

menjelaskan lebih detail, “Alesannya cuma buat ngegedein perut

tuh. Beli sampah di mall yang cuma berisi kotoran dan keringat

mereka sendiri!” aku pun tersulut emosi.

“Ya sudahlah...” Tedi merasa sudah bosan melihat

kehidupan seperti ini.

Aku merasa salah juga, mencekal para orang kaya yang

terlihat angkuh ketika tak peduli kepada anak jalanan dan orang-

orang sebangsanya. Tapi, yang bisa kami katakan hanyalah

pengelihatan dua bola mata. Jangan salahkan mata kami.

Perjalanan terus kami lanjutkan, setelah selesai salat isya

di masjid Istiqlal18

dan setelah menyantap nasi goreng khas Tyan.

18 Sebuah masjid terkenal yang terletak di kota Jakarta.

Page 40: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Kami mencari tumpangan lagi. Sudah malam, kukira tak ada truk

yang mau mengangkut kami.

“Bang ikut ya!” teriakku, setelah memberhentikan sebuah

truk yang dikemudikan oleh seseorang berbadan besar.

“Oke, semuanya naek...” ucap supir itu dengan ramah.

Di atas truk.

“Emang kalian semua mau kemana?” tanya supir itu tanpa

berkenalan dulu.

“Uhm, ga tau” jawab Tyan. Kami semua hanya senyum-

senyum tidak jelas.

“Hah, dasar anak muda jaman sekarang...” supir itu agak

kaget mendengar jawaban dan ekspresi kami.

“Bang, kami ikut ya, sampe pagi nanti...” Tyan berharap

supir itu mengizinkannya.

“Uhm, okelah. Tapi sampe mana aja ga apa-apa ya?”

“Iya, sampe Bali juga ga apa-apa. Hehe” aku mencoba

membuat lelucon kecil. Semua tertawa, begitu juga abang supir.

Setelah malam menunjukkan wujudnya sebagai gelap yang

pekat tanpa bintang, juga diselimuti angin yang menusuk tulang,

kami semua mulai terkantuk. Lalu kami pun tidur di atas truk.

Terlelap, karena perjalanan panjang esok masih menanti kami.

Page 41: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Heufffttt ahhhhhhhh....” Tedi menguap dari tidurnya.

Alarm telepon genggamnya yang sudah tua menggetarkan telinga

kami semua. Tanda sudah pukul setengah lima pagi.

“Ted, berisik. Matiin geh...” Iwan merasa terusik. Lalu ia

menutupi telinganya dengan tasnya. Telepon genggam Tedi masih

berdering kencang. Truk yang kami tumpangi pun telah berhenti.

Entah terdampar di kehidupan mana lagi kami semua. Yang pasti

aku kali ini sedang menikmati mimpiku.

“Woy bangun! Subuh subuh...” ucap Tedi sambil

mengucek matanya. Ia pun terlihat masih ngantuk. Matanya belum

bisa terbuka. Di antara kami belum ada yang bangkit selain dia.

Perlahan-lahan suasana pagi memperingati matanya. Ia pun

perlahan-lahan membuka mata.

Tiba-tiba, ia langsung merasa terkejut, nyawanya langsung

menyatu seketika. Perasaan apa yang menyelimutinya ini?

Sungguh, berkali-kali ia mengucek matanya sampai merah. Lalu ia

mencubit Tyan, yang persis ada disebelahnya.

“Awwww, sakittt!” ucap Tyan yang langsung terlelap

kembali.

Ia merasa sedang berada di sebuah tempat yang ia kenal,

kenal sekali. Apakah ini tempat yang ia lihat di dalam mimpi

semalam? Ia bingung. Tapi bukan, apakah ia sedang bermimpi?

Tidak, buktinya Tyan merasakan sakit ketika ia cubit tadi. Apakah

ini?

Page 42: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Goooooooobbbbbbbbbbbblllllllllooooooooooookkkkkkkk

kkkkkkkkkkkkkkk!” Tedi teriak histeris. Teriakannya

membangunkan kami semua. Aku langsung bangun walau

sebagian rohku masih melayang-layang di angkasa. Tyan pun

segera bangun dan membuka matanya lebar-lebar. Iwan melihat

sekeliling dengan mata masih terpejam. Kami pun menyadari

semua ini. Keberadaan kami saat ini. Keadaan kami di sini.

“Aarrrrrggggghhhhhhhhhhhhh!” teriak kami bersama-

sama.

Sang supir yang sudah bangun dari tadi tersenyum

menatap kami sambil memegang segelas kopi dan

menawarkannya. Lalu ia berkata tanpa merasa memiliki dosa,

“selamat datang di Balaraja...”

Page 43: JALAN-JALAN TUJUH HARI

2

Aku adalah aku. Kamu adalah kamu. Aku bukanlah kamu.

Kamu bukanlah aku. Sebaik-baiknya orang adalah jika

mereka menjadi diri mereka sendiri, bukan orang lain. –

Khatta Goenawant

“Bodoh! Kenapa lagi-lagi pulang? Huh, boseennn.” gerutu Tedi

yang dari tadi cemberut seusai solat Subuh.

“Mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali...” ucap

tyan yang lagi sibuk membuat mie instan di terminal Sentiong.

“Emang kalian bener-bener dari Balaraja?” tanya supir

yang masih berada diantara kami.

“Ya iyalah, buktinya kami begitu kesel ngeliat ni terminal.

Bang, kenapa ga bilang sih mau ke Balaraja?” jawab Tedi dengan

emosi.

“Udah sih, Ted, biarin. Lagian juga salah kita ga nanya ni

truk mau ke mana.” Aku mencoba meredam emosinya. Ia terdiam

tapi masih cemberut. Iwan dan Tyan masih sibuk memasak mie

instan dengan peralatan yang telah kami siapkan sebelumnya.

“Iya, kalian tadi kan bilang mau kemana aja, ngikutin

truk...” supir tadi mencoba membela diri agar ia tak disalahkan.

Memang, kami yang salah, tapi aku mungkin berusaha

Page 44: JALAN-JALAN TUJUH HARI

menikmatinya. Apa yang akan kami kerjakan mungkin akan

dibahas nanti setelah menyantap mie instant.

“Okelah, gue ngalah. Tapi gimana nih nasib kita

sekarang?” Tedi masih saja mengeluh sambil mempertanyakan

nasib.

“Woy, makan-makan!” teriak Iwan sambil mengangkat

mie yang masih ada di dalam panci.

Tedi dihiraukan saja oleh kami semua. Lima mangkuk mie

panas tersaji dihadapan kami. Aroma yang begitu sedap menusuk

perut lapar begitu menggoda. Supir yang terlihat lapar, semakin

bernafsu untuk menyantap mie. Aku tersenyum melihat orang itu.

Ya, kebaikan harus dibalas dengan kebaikan.

Sambil memakan mie yang masih panas, aku memikirkan

tentang perkataan Tyan tadi, “mungkin kita ditakdirin muterin

Balaraja aja kali...,” ada benarnya juga, berkeliling daerah sendiri,

mengenal lebih dekat daerah sendiri, kalau ditanya, emang udah

semua daerah Balaraja yang dirasain? Pasti jawabannya belum.

Ya, bagus juga muter-muter Balaraja nih. Semoga saja yang lain

setuju.

Supir tadi memakan mie dengan lahapnya, upz, hampir

saja lupa, kami tak berkenalan dengan supir ini.

“Oia Bang,” ucapku memecah keseriusannya yang sedang

menyantap mie, “Saya lupa nanya, nama Abang siapa?”

Page 45: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Iwan terlihat kaget, Tyan sepertinya ingin memuntahkan

mie yang sedang ia makan, Tedi tercengang tak mengunyah.

Seakan mereka tak percaya hal yang telah kami lakukan,

melupakan hal penting yang begitu sepele, berkenalan. Dengan

sangat angkuh kami menaiki mobil si abang supir dan mengobrol

panjang lebar tanpa mengetahui namanya.

“Oia ya, sampe lupa, abis keenakan ngobrol sih, nama

Abang Jo, panggil aja Jo!” ucapnya dengan tegas sambil

mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku pun menyambut tangannya, kami bersalaman, terasa

sekali kasar tangannya. Seperti menunjukkan bahwa ia telah

melewati perjuangan yang begitu keras melawan keganasan alam,

“Saya Hardi...”

Yang lain melanjutkan, “Saya Tyan..”

“Saya Iwan...”

“Saya Tedi...”

“Kami ini hitam putih abu abu, pembeda antara remaja

masa kini. Gaulnya kami begitu menantang, Bang...” aku

melanjutkan.

“Wou, gimana nasib kita sekarang?” Tedi bertanya hal

yang tadi lagi, “Apa kita udahan aja nih...”.

“Huh masa pulang? Manja amat lu!” Iwan terlihat kesal.

“Iya masa pulang, baru semalem, cemen lu, Ted!” Tyan

pun terlihat merendahkan Tedi.

Page 46: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Ya, jadi terserah lu, lu pada dah. Tapi abis gini ngapain

lagi?” Tedi mencoba mengalah. Sebab, dari tadi ia sendiri saja

yang bingung memikirkan kita selanjutnya bagaimana dan mau

kemana.

“Jah, Ted, lu mah gitu. Kan tadi Tyan udah ngomong,

„mungkin kita ditakdirin muterin Balaraja kali‟ iya kan?” aku

mencoba menenangkan suasana.

“Iya, kita muter-muter Balaraja. Lu semua pasti belum

pernah, kan? Lah orang Balaraja sih belom pernah tidur di jalanan

Balaraja, gimana sih, Lu!” kata Iwan mencoba menguatkan

argumenku. Tedi masih diam saja tak berkomentar.

“Emang lu udah pernah, Wan?” tanya Tyan. Iwan

kebingungan menjawab apa.

Ia tersenyum malu, “Gila aja lu, masa gue tidur di Balaraja

sendirian? Ntar kalo gue diculik gimana?”

“Hah sampah lu!” Tyan kesal.

“Kita jadi nih muter-muter di Balaraja?” aku bertanya.

“Ya iyalah, masa ya iya deh. Cape dehhh” ledek Iwan

dengan lebay.

Semuanya tertawa, termasuk bang Jo. Hanya Tedi yang

masih terdiam. Tak sedikitpun ia keluarkan ekspresi senang dari

dalam dirinya. Hanya diam, membatu, membisu, menjadi patung.

Sunyi lalu menyergapi hatinya, entah apa yang dipikirkannya. Aku

membaca dari wajahnya, yaitu kebimbangan dalam mengambil

Page 47: JALAN-JALAN TUJUH HARI

keputusan kali ini yang begitu berbeda dari sekian pilihan dalam

hidupnya.

“Kenapa lu, Ted? Kayanya ga seneng banget?” tanya

Tyan.

“Uhm...”

“Tau lu. Ga suka ya kita muterin Balaraja?” aku meny-

ambung.

“Bukan gitu, gue malu. Masa kita ngelilingin Balaraja?

Ntar kalo temen-temen gue ngeliat gimana? Kan gue malu...” ucap

Tedi dengan polos sambil tersenyum.

“Huuuuuu” serempak kami menyorakinya.

Akhirnya kami semua sepakat, bahwa Balaraja, tanah air

tercinta kami, akan kami kelilingi. Walaupun tak sempat

semuanya, yang penting kami masih bisa merasakan udaranya

bersama-sama. Tanah yang kami bisa bilang memiliki dua sisi.

Lihat saja nanti, kawan.

Setelah selesai makan dan merapikan peralatan masak,

kami melanjutkan perjalanan mengitari jalan panjang nan sepi,

tidak begitu ramai, orang-orang menyebutnya Jalan Baru. Jalan ini

cukup bagus, tapi tak pernah dilewati angkot, kalau pun pernah, itu

dulu selagi pembangunan jalan. Para supir angkot mengeluh

karena melewati jalan itu pendapatannya jadi minim. Jelas saja

pendapatannya minim, karena sepanjang jalan itu hanyalah semak

belukar. Awalnya adalah memasuki kawasan berikat, yang kanan

Page 48: JALAN-JALAN TUJUH HARI

kirinya pabrik, tapi tidak terlalu banyak dan diakhiri dengan pasar

Sentiong.

“Duh mobil pada kenceng-kenceng aja nih, kita lewat desa

Tobat aja yu...” ajakku.

Yang lain pun menyetujui. Mentang-mentang kendaraan

sepi, orang-orang langsung memakai jalan dengan seenak diri

mereka saja. Dipakai kebut-kebutanlah, pernah beberapa kali di

jalan ini terjadi kecelakaan dan orangnya pun menurut kabar

burung langsung meninggal di tempat. Itu karena mereka semua

kebut-kebutan.

Lalu kami pun mengambil rute yang berbeda, kami

telusuri saja jalan setapak dari arah desa Tobat. Jalan sama saja,

hanya saja lebih terhindar dari kebisingan kendaraan dan kami

ingin menikmati aroma dan gemercik sungai. Sungai kecil yang

biasa dipakai anak-anak kampung untuk berenang.

Lalu keadaan mengejutkan menyelimuti kami. Tak kami

perhatikan bahwa selama ini kejorokan masyarakat di sini kian

menjadi-jadi. Sepertinya, belum lama pemerintah daerah telah

melakukan program pembersihan sungai, sampai-sampai sungai ini

mengalami reparasi yang begitu memakan biaya. Tadinya keadaan

sungai kian membaik. Tapi, sekarang airnya makin mengeruh

ditambah lagi tadi kulihat seorang warga yang tengah bersiap

melempar sampah ke arah sungai dan berhamburanlah sampah-

sampah itu di sungai, mengambang mengikuti laju air sungai. Dan

Page 49: JALAN-JALAN TUJUH HARI

yang tak kalah berbahayanya adalah limbah pabrik yang ikut

meramaikan pencemaran. Beberapa pabrik yang kami tahu telah

membuang limbah-limbah hasil industrinya sungai. Mereka, para

pengusaha, hanya memikirkan keuangan mereka saja, tanpa

memikirkan keserasian lingkungan hidupnya. Nasib anak sungai

Cimanceuri ini begitu tragis, sama dengan beberapa sungai-sungai

di daerah Tangerang lainnya. Seperti sungai Cirarab dan sungai

Cisadane, yang lebih dahulu tercemar.

Bumi terpaksa menanggung dosa-dasa besar yang kian

menumpuk di dalam tubuhnya. Berjuta-juta sampah yang

menyakitinya di dalam tubuh mesti ia tanggung. Manusialah aktor

di balik kisah penderitaan bumi kita ini. Ah, lagi-lagi manusia,

mahluk sempurna yang oleh Allah SWT diberi akal dan pikiran.

Mereka diberikan kebebasan berfikir. Maka para pemikir yang

salah, para pemikir yang tak menggabungkan pikirannya dengan

keyakinan kepada Allah, berfikiran bahwa dunia ini milik mereka,

dan mereka berhak melakukan apapun kepada bumi ini. Walau

secara tidak sadar mereka semua menganiaya bumi. Dan mereka

setelah menyadari hal ini mulai menyalahkan sesama. “Kau yang

salah, kau yang salah!” berbagai hujatan menghujani sesama

manusia tanpa memikirkan solusi terbaik untuk bumi ini. Walau

mereka memikirkan sebuah bahkan jutaan solusi, mereka hanya

memberi solusi, ya itu saja, hanya solusi. Tanpa melakukan

sosialisasi. Tidak turun ke lapangan untuk membersihkan sungai,

Page 50: JALAN-JALAN TUJUH HARI

tidak ikut membersihkan got, tidak ikut megurangi polusi. Hal ini,

hanya dilakukan sebagian orang saja, orang-orang yang benar-

benar cinta bumi. Tapi kebanyakan yang orang kaya, yang selalu

mengadakan solusi untuk bumi tak berani turun membersihkan

lingkungannya. Entah mengapa, mungkin mereka takut kalau

nantinya sampah-sampah itu akan mengotori jas-jas mereka.

“Kayanya baru kemaren deh ini sungai di kerok sampe di

plester gini?” aku memulai pembicaraan.

“Iya, kayanya baru aja kemaren sungai bersih...” Iwan

menimpali.

Yang lain pun ikut mengangguk.

“Tapi liat tuh, sampah mulai menyebar. Airnya mulai

keruh. Bodoh amat orang-orang sini!” aku mulai emosi.

“Ya udahlah, kita juga ga bisa mencegah orang itu

sekarang. Kalo sekarang dicegah, paling lu, Har, yang bonyok19

digebukin20

orang sekampung...” ucap Tedi.

Benar juga apa yang dikatakan Tedi, apabila aku

meneriaki orang tersebut, atau aku menegurnya, maka yang aku

dapati adalah: digebukin orang sekampung! Parah. Begitu han-

curkah Indonesia? Memberitahukan sesuatu yang benar malah

digebukin, terkesan akulah yang mempunyai salah. Padahal

mereka sendiri yang memulainya. Apabila banjir datang, sungai

19 Muka atau tubuh yang babak belur. 20 Dipukuli.

Page 51: JALAN-JALAN TUJUH HARI

meluap lalu mereka merengek minta bantuan pemerintah. Itu jadi

salah siapa? Ya kita introspeksi sendiri-sendiri sajalah.

Kami berempat pun berjalan meninggalkan orang tadi.

Kami bertatapan di ujung sungai. Orang tadi melihat kami santai

saja. Dan begitulah, berlalu begitu saja semua ini.

Sekarang kami berada di sebuah kawasan industri, pabrik-

pabrik besar nan megah telah menancapkan cerobong-cerobongnya

di tanah Balaraja ini. Udara mulai mereka hitamkan. Sekarang rasa

sedih menyelimutiku lagi. Tanah yang sangat aku cintai ini

kembali terkotori. Apa sih dosa Balaraja? Aku sekarang bertanya

dalam hati. Mungkin dari perjalanan ini aku banyak mengambil

kisah yang bisa dijadikan sebagai bahan perenungan diri.

Kami tak banyak komentar ketika melewati daerah ini.

Jalan rusak, becek ketika hujan, air sungai yang kotor, udara tak

sejuk, bahkan embun pun sungkan berada di sini lagi, karena apa?

Ya salah satunya adalah karena keberadaan pabrik-pabrik

bercerobong itu!

Kami melanjutkan perjalanan Keluarlah kami dari

kawasan pabrik, lalu sampailah di kawasan Lampu Merah –

sebuah kawasan di Balaraja yang dulunya terdapat lampu merah

tapi sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Letaknya persis di arah

masuk kendaraan menuju pintu Tol Balaraja Barat. Di sini adalah

daerah transit, tempat orang berangkat, pulang atau berganti mobil

ketika melakukan perjalanan. Sangat berdebu dan menyesakan

Page 52: JALAN-JALAN TUJUH HARI

nafas. Jutaan butir debu berterbangan menghiasi jalanan. Ditambah

lagi suasana yang mulai panas.

“Tersiksa gue, tersiksa!” kata Tedi sambil menutupi

hidungnya.

“Ah lu, Ted, ngeluh aja. Udah sih rasakan aja...” Iwan tid-

ak senang melihat Tedi seperti itu.

“Abisnya panas banget, mana ngebul lagi. Uh shit!” lan-

jutnya. Terlihat keringat mengalir membasahi leher juga sekujur

tubuhnya.

` “Ya udah sih sepele,” ucap Tyan santai.

Tedi kali ini lebih banyak mengeluh. Jujur, keadaan kali

ini begitu menyiksa. Debu-debu yang beterbangan bukan disebut

banyak lagi, tapi semua celah jalan raya dipenuhi oleh debu.

“Aduhhh aduuuhhh...” aku mengeluh kesakitan.

“Kenapa lu, Har? Ngikutin Tedi nih?” tanya Tyan.

Sambil mengucek mata yang mulai merah dan terasa

pedih, aku menjawab, “Bukan, ini kaya ada yang masuk ke mata

gue!”

“Coba gue liat...” Tyan pun memperhatikan mataku di

pinggir jalan. Setelah beberapa detik, “ Pantes aja, ada batu meteor

sebesar mobil masuk ke mata lu, Har...”

Iwan dan Tedi pun langsung tertawa. Mana bisa batu

meteor yang sebesar itu masuk ke mataku.

“Bodoh lu Tyan, udah tiupin dulu nih...”

Page 53: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Puiiihhhhh...”

“Ahh.. mendingan...” mataku yang sebelah kiri jadi merah

akibat kukucek dengan keras tadi.

Kami terus menelusuri jalan Balaraja – atau lebih dikenal

sebagai Jalan Raya Serang km 24. Yang kian berdebu itu. Lalu

kembali kami disuguhi pemandangan yang mencengangkan. Di

Balaraja akan di buat fly over! – jalan layang yang akan menghu-

bungkan jalan yang satu ke jalan yang lain, upaya ini dilakukan

untuk mengentaskan penyakit macet yang ada di setiap daerah.

Jalan pun sekarang rusak parah. Semoga saja pekerjaan pembuatan

fly over ini tidak memakan waktu lama sehingga jalan yang rusak

tadi segera dibetulkan agar bisa menambah keindahan Balaraja.

Jangan seperti rencana pembangunan pasar modern atau lebih

dikenal sebagai segitiga Balaraja yang ada di samping pasar

tradisional Balaraja. Keadaan pasar modern yang dijanjikan

beberapa tahun yang lalu tidak membuahkan hasil. Hanya terlihat

bongkahan-bongkahan bangunan yang berlantai satu, mirip

bangunan mall yang belum jadi, terbengkalai begitu saja. Nah, ini

yang salah satunya merusak pemandangan Balaraja. Tak sedap

dipandang. Sebuah bangunan megah yang gagal karena uangnya

dikorupsi oleh para pekerja sehingga uang untuk melanjutkan

pekerjaannya habis dan para pekerjanya tidak tersisa sedikit pun.

Di ujung pertigaan Balaraja terlihat seorang polisi yang

sibuk mengatur lalulintas. Entah, perasaan kesal menyelimutiku

Page 54: JALAN-JALAN TUJUH HARI

saat melihat orang-orang berbaju coklat dan berompi hijau itu.

Mungkin aku sering melihat kejadian yang begitu memilukan hati.

Ya, memilukan hati. Kejadian itu sudah lama terjadi, saat aku

mengendarai sepeda motor bersama temanku di daerah Bitung.

Aku saat itu tidak memiliki Surat Izin Mengemudi dan temanku

tidak menggunakan helm. Memang aku memaklumi kami saat itu

melanggar tata tertib lalu lintas. Yang jadi permasalahan adalah

ketika polisi yang menangkapku memberikan surat tilang juga

memberikan sebuah tarip21

. Tarip yang berisi pelanggaran kami.

Lalu ia berkata, “Gimana, mau ditilang atau bayar ke saya?

Nih saya pilihin, mending kamu bayar yang ngga pake helm aja.

Soalnya lebih murah. Bayarnya ke saya...”

“Ih pak, saya lagi ngga punya duit” aku memelas.

“Yee, ngeyel lagi, ngga percaya saya!” polisi tadi tidak

percaya.

Lalu temanku mengeluarkan dompetnya, “ tuh Pak, bener

kan ngga ada duit, Cuma ada tiga puluh ribu doang...”

Polisi itu menengok isi dompet temanku, lalu ia segera

meraih uang tiga puluh ribu temanku, “ Ya udah sini tiga puluh

ribu dulu, tapi masih kurang nih. Coba dompet kamu.”

Bangsat! Darahku mulai naik. Oh ya, untung dompetku

kosong. Ketika dompetku dibuka, tidak satu lembar pun uang yang

21 Daftar harga, daftar sewa dll.

Page 55: JALAN-JALAN TUJUH HARI

ia dapat, tapi lagi-lagi ia segera mengambil sesuatu dalam

dompetku.

“Ini, apa ini?” kata polisi itu sambil mengangkat kartu

ATM-ku. Wajahnya seperti habis menemukan harta karun. “Pasti

ada duitnya ini...”

“Ih Pak, ngga ada. Lagian kalo ada buat saya pacaran sama

pacar saya. Eh maksud saya buat ongkos sebulan...”

“Alah, alesan aja kamu ini. Udah sono ambil di samping

alfamart – nama sebuah minimarket. Di situ bisa ko ngambil duit.

Sekalian saya mau ngeliat struknya. Biar kamu ga bohong!”

“Ih, janganlah pa...”

“Kamu ini! Cepet, nanti malem saya mau nyewa bencong

nih, eh maksud saya mau jalan sama yang muda.”

“Huh tua-tua ganjen...”

“Ngomong apa kamu!”

“Ngga pak...”

“Ya udah cepet! Lima menit!”

Dengan perasaan yang tidak ikhlas aku segera berlari

mengambil uangku yang ada di ATM22

. Lalu dengan berat hati,

uang seratus ribu yang tersisa harus aku serahkan. Setelah itu

polisi tadi menasihatiku dengan sok baik, dengan nada-nada sok

ustadz. Alah! Aku lebih senang memanggil mereka Pelacur

22 Anjungan Tunai Mandiri.

Page 56: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Berkerah. Kejadian yang memilukan di tempat itu yang lain

adalah, polisi hanya diam saja di tengah dan di pinggir jalan.

Sedangkan yang sibuk mengatur jalan adalah Pak Ogah – seorang

polisi cepek yang mengatur jalan, bukan polisi sesunggguhnya.

Yang berharap pengendara memberikannya uang walau hanya

lima ratus rupiah. Pak Ogah tadi terlihat begitu serius dan

semangat mengatur jalan. Tapi polisi sesungguhnya malah jadi

patung polisi yang siap menilang orang di tengah jalan dan

menguras habis kantongnya. Aku hanya bisa menyimpulkan,

apabila nanti pada hari kiamat, mungkin saja cuma ada dua jenis

polisi yang langaung masuk surga tanpa siksa, yaitu, patung polisi

dan polisi tidur.

Dengarlah polisi yang ada di seluruh Indonesia, jadikan

kisahku di atas sebagai renungan kalian!

Perasaan kesal dan benciku masih terselubung hingga

sekarang. Di mana pun aku melihat polisi, perasaan benciku

menjadi-jadi.

“Heh pelacur berkerah di pinggir jalan! Ngapain lu di situ,

mending lu bercinta sama bencong-bencong23

aja di salon24

!”

teriakku dengan kencang, mengagetkan semua temanku, orang

23 Sejenis orang-orang yang tak puas akan jenis kelamin yang mereka miliki. biasanya mereka mengubah diri menjadi pria, apabila yang wanita dan wanita apabila yang pria. 24 Tempat tata rias, potong rambut dan perawatan rambut.

Page 57: JALAN-JALAN TUJUH HARI

yang ada di dalam mobil angkutan kota, tukang ojeg, juga polisi

itu sendiri.

“Heh, Har, ngapain lu teriak kaya gitu sama polisi? Nyari

mati lu?!” kritik Tedi yang mulai cemas melihat polisi yang mulai

memperhatikan gerak-gerik kami.

“Tau lu, Har, goblok banget!” Iwan pun sama.

“Bagus, Har, gue suka gaya lu. Gue juga kesel sama tu

polisi!” tapi Tyan malah senang dengan perlakuanku tadi. Ia

memberikan support25

yang besar dan membangkitkan

semangatku. Aku tambah bergairah.

“Boi, nyantai aja sih, kita ini kan bener, jadi jangan

takut...” dengan semangatnya, aku memandangi polisi yang ada di

hadapan kami dengan berjuta-juta kebencian.

Semua orang memberikan berjuta pandang terhadapku.

Semua orang memperhatikan aku. Tukang ojeg sepertinya

mencium bau pertempuran, segera saja merapatkan barisan di

bagian depan untuk menonton agar tak ketinggalan. Beberapa

orang polisi yang lain keluar dari pos polisi tempat mereka

berjaga.

Aku menarik nafas panjang. Dengan senyum yang

memilukan hati para polisi, aku menunjuk mereka semua dan

berkata, “Woy pelacur berkerah, ngapain lu semua berdiri di sono

25 Dukungan.

Page 58: JALAN-JALAN TUJUH HARI

aja? Alah, katanya pengayom masyarakat, tapinya cuma bisa

mintain duit orang miskin doang!” aku mengumpulkan energi lagi

di tengah terik matahari, polisi-polisi itu berbisik dan

memperhatikan kami, “Udahlah, ga pantes lu bekerja buat negara,

mending lu jadi penghibur aja. Kalo nggak, lu ngadem terus tuh di

pos ampe mati. Bukannya itu aja yang lu semua lakuin tiap hari?

Kalo ada pimpinan aja sok sibuk!”

Huh, ampuh. Hatiku merasa tenang. Semua uneg-uneg

yang terpendam di dalam hatiku tentang kebencian, tentang

kekesalan, tentang segalanya, keluar semua. Kepuasan yang aku

nantikan telah hadir. Ya, mereka yang di hadapanku patut

menerima serapah dariku.

Polisi-polisi itu mendekatiku, lalu ia segera mencengkram

tanganku dan tangan teman-temanku.

“Jelaskan ini semua di kantor!” Ucap salah seorang polisi

yang mencengkramku.

“Hey rakyat, liat gue. Haha. Mereka cuma bisa menyiksa

di dalam penjara aja! Lu liat kan, ini pengayom masyarakat kita?”

Tyan mulai menimpali, saat kami diseret ke kantor polisi.

Tedi dan Iwan hanya garuk-garuk kepala saja. Wow,

petualangan gila yang menyangkut nyawa dan hidup. Semua orang

yang ada di sana memperhatikan kami semua. Aku sebisa mungkin

mengacungkan jempolku kepada mereka dan tersenyum yang

menyatakan bahwa aku telah menang.

Page 59: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Jarak kantor polisi dari pos polisi tempat mereka berjaga

tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga puluh meter. Jadi kami tidak

terlalu lama, kepanasan dan diseret pelacur berkerah ini.

Sepanjang jalan, orang-orang memperhatikanku dengan beribu

tanda tanya. Entahlah apa yang mereka pikirkan. Aku sih sudah

lelah berteriak-teriak seperti tadi. Jadi aku sepanjang jalan diam

saja. Kami ini persis seperti buronan teroris yang dicari bertahun-

tahun dan baru tertangkap di sebuah daerah kecil ini.

Kami memasuki kantor polisi dengan berbagai perasaan.

Aku mulai menebak-nebak apa yang dipikirkan teman-temanku.

Pertama Tyan, ia terlihat agak gembira ketika polisi menang-

kapnya. Iwan dan Tedi terlihat cemas dengan menyiapkan seribu

jawaban yang membela diri mereka sendiri ketika nanti akan

ditanyai oleh polisi-polisi yang ada di sana. Kalau aku, perasaan

benci yang dari dulu kupendam akhirnya meledak juga. Perasaan

bahagia menyelimutiku.

Polisi-polisi yang menyeretku tadi di jalan masuk ke

sebuah ruangan dan mengetuknya. Lalu suara yang ramah keluar

dari dalam ruangan.

“Ya, masuk.” Suara yang keluar dari balik pintu, tegas dan

ramah.

Ketika pintu dibuka, seseorang yang tak lagi muda, rambut

putih di berbagai celah, menggunakan kaca mata, badan besar,

Page 60: JALAN-JALAN TUJUH HARI

yang pasti mengenakan seragam coklat. Orang itu memperhatikan

kami dengan begitu jelas.

“Siapa mereka?” tanyanya dengan begitu menyelidiki,

“Abis nyolong ayam? Atau nyolong kambing?”

“Bukan pak, mereka ini tiba-tiba berteriak-teriak di tengah

jalan, dengan kata-kata menghina polisi!” salah satu polisi yang

menyeret kami menjawab.

“Emang mereka ngomong apa?”

“P..... ,” belum saja polisi itu membuka mulutnya, aku

langsung berteriak.

“Gue bilang, lu semua pelacur berkerah!”

Iwan dan Tedi hanya geleng-geleng kepala. Hal ini

mengagetkan polisi yang akan menanyai kami dan semua yang ada

bersamaku.

Polisi itu menghela nafas, lalu berkata, “Kamu boleh

keluar, Ais...”

Polisi yang menangkap kami segera meninggalkan kami.

Lalu di hadapan kami ada seorang polisi, mungkin ia seorang

pimpinan di sini. Ia menatap kami dengan santai. Terlihat

kewibawaannya yang begitu tinggi, sehingga semua orang yang

berada di sini menghormatinya. Tapi aku tetap membenci semua

polisi yang ada di dunia.

“Kalian di penjara!” ucapnya yang mengagetkan kami

semua. Singkat, padat dan jelas. Hal yang begitu tak terpikirkan.

Page 61: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Tapi inilah hidup, setiap perbuatan harus ada pertanggung

jawaban.

“Tttapi pa, yang bilang kaya tadi cuma si Hardi doang,

kenapa yang laennya malah ditahan juga?” tanya Tedi membela

diri. Huh, kurang solidaritas26

Si Tedi ini. Iwan yang dari tadi

menunduk, kini menatap tajam Tedi. Begitu juga dengan Tyan.

Aku sudah mengerti sifatnya, jadi sudahlah.

“Heh, lu anak muda!” bentak polisi itu, mengarah ke Tedi,

“Lu kan temennya, jadi lu juga jadi tersangka, dengan tuduhan

pencemaran nama baik di pinggir jalan. Mana rasa solidaritas lu?

Payah lu.”

Tedi terdiam setelah dibentak oleh si polisi.

Lalu dimasukkanlah kami ke dalam ruang tahanan.

Ternyata di sana tidak hanya kami saja, ada juga lelaki yang

berbadan besar, dengan tato di sekujur tubuhnya, dan lelaki kurus

dengan tatapan mata yang sangat tajam, setajam silet. Mereka

menatap kami dengan sinis. Lalu pintu ruang tahanan kembali

dikunci.

“Kalian menunggu proses saja...” kata polisi tadi lalu

meninggalkan kami begitu saja.

26 Sifat yang menunjukkan suatu kesatuan dan kesetiakawanan.

Page 62: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Ah goblok-goblok! Masa gue ditahan!” Tedi terus

menggerutu, sambil memukul-mukul tembok penjara. Ia terus

memberontak dan mengucapkan sejuta serapah kepada polisi.

Lalu dua tahanan tadi menaruh jari telunjuk ke bibir

mereka, menandakan untuk tidak berisik. Tapi, Tedi malah terus

ribut bahkan makin menjadi-jadi keributannya. Di ruang tahanan

kami menjadi begitu bising.

“Heh, lu bisa diem ga?” ucap tahanan yang berbadan besar

dan penuh tato itu.

Tedi balik menatap lelaki tadi dan berkata, “Bawel,

ngapain lu ceramahin gue? Songong lu!”

Gila! Tedi berani sekali mengucapkan itu kepada tahanan

yang notabene sudah ditahan kerena kejahatannya. Mana

menyeramkan lagi. Aku hanya menahan nafas. Iwan dan Tyan,

hanya bisa menahan air ludahnya. Amarah orang bertato tadi

tersulut oleh ucapan Tedi.

“Bangsat! Gue habisin juga lu di sini!”

“Bos sabar bos...” aku mencoba menahan perkelahian

yang hampir berlangsung. Tapi orang itu tidak bisa diajak kom-

promi, ia segera menyiapkan kepalan tangannya ke arah Tedi.

Aku, Tyan dan Iwan segera menahan dengan cara memegangi

tubuh lelaki yang berbadan besar tadi. Tapi kami tak mampu

menahannya. Orang yang berbadan kurus, malah berkata dengan

santainya, “Udahlah, hantem aja...”

Page 63: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Awas lu semua, biar, gue ngebungkem mulut temen lu!”

Kami terus menahannya sekuat tenaga. Walau yang

dilakukan Tedi terhadapku tadi begitu menyakitkan hati, tapi aku

mengetahui arti solidaritas itu. Sesuatu yang amat dibutuhkan

dalam pertemanan. Sesuatu yang merasa iba bila melihat teman

sendiri dalam kesusahan. Membantu memberikan jalan keluar

terhadap teman yang berada dalam bahaya.

Tedi masih saja berkomentar yang membakar amarah si

lelaki berbadan besar.

“Ted, udah diem!” Iwan berteriak, “Lu ngertiin kita juga.

Kita udah nahan ni orang, tapi kenapa lu malah ngebuat orang ini

marah?! Mana rasa persahabatan lu?”

Lalu dengan tenaga yang besar dikeluarkan oleh lelaki itu,

kami bertiga langsung terhempas. Lelaki itu mencengkram leher

Tedi. Ia terlihar gemetar, ya, cuma bisa menang di mulut saja.

Keringat yang menjadi khasnya apabila merasa tertekan, keluar

dengan deras. Mukanya kian memelas. Lalu baru saja pukulan

keras yang mampu merontokkan gigi itu akan di keluarkan dan

bersarang di wajahnya, dua orang polisi datang dan mengagetkan

kami. Pintu ruang tahanan dibuka. Lalu mereka menyuruh kami

bangun dan menyuruh keluar dari ruangan ini.

“Masa tahanan kalian selesai...” ucap salah seorang polisi.

Hah, penjara apa ini? Masa tahanan ditahan hanya dalam

jangka waktu setengah jam. Aneh. Wajah yang begitu tak percaya

Page 64: JALAN-JALAN TUJUH HARI

keluar dari wajah lelaki yang hendak memukul Tedi tadi. Pintu

tahanan segera dikunci, kami perlahan-lahan menjauh dari ruang

tahanan. Ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajah lelaki

itu.

“Kenapa mereka dibebasin, sedangkan gue engga!” teriak

lelaki itu.

Kami pun heran melihat kejadian ini. Kami terus digiring

pada suatu ruangan. Dan kami masuk dan melihat orang yang

menjebloskan kami tadi. Yang memberi perintah bahwa kami

ditahan. Tapi ditahan dalam jangka waktu setengah jam.

Kami duduk dan terdiam. Keadaan sunyi. Di hadapan

kami hanya ada polisi tadi.

“Hmmmm, anak muda. kalian semua emang bener-bener

anak muda...” ucapnya datar, “Kalian semua emang lagi pada mau

ke mana?”

Aku angkat bicara, “Kami cuma mau berpetualang aja. Ya,

bisa dibilang muter-muter Balaraja gitulah.”

“Aku juga dulu hobi berpetualang, sama kaya kalian,

mencoba mencari jati diri siapakah aku ini. Sama kaya kalian juga,

aku bareng semua temanku...” tiba-tiba keadaan sedih menyeli-

mutinya.

Aku membisiki yang lain, “Jangan-jangan orang di hada-

pan kita ini, salah satu anak-anak terpilih yang pertama. Yang telah

Page 65: JALAN-JALAN TUJUH HARI

dikatakan Mbah Sugi dulu. Anak-anak yang terpilih sebelum

kita?”

“Iya juga ya?” balas Iwan dengan berbisik.

“Boleh aku melanjutkan?” tanyanya.

Kami mengangguk.

“Aku yang sebenernya udah mengetahui kalian dan telah

menunggu-nunggu hari ini. di mana kita bisa bertemu sebagai

orang yang pernah terpilih untuk mencari siapakah kita ini.”

Tuh kan bener! Ucapku dalam hati.

“Tapi bagaimana dengan temen-temen bapak yang lain?

Tapi emang bener, bapak dulu salah satu anak yang terpilih?”

tanya Iwan tanpa ragu bahwa yang dihadapan kami ini adalah

salah satu anak yang terpilih.

“Sebelumnya aku pengen ngejelasin siapa aku, pake

bahasa anak muda ajalah, ribet pake bahasa resmi mah. Panggil aja

gue Nan, itu nama kecil gue. Gue dulu hobi banget mengelilingi

tanah ini. Gue bentuklah kelompok Atap Langit. Nah di situ gue

kumpulin dah tiga orang yang mempunyai aura beda dengan para

anak muda yang lain...” ia meneguk segelas kopi, lalu melanjutkan

ceritanya, “Temen-temen gue yang pertama, dia adalah orang yang

mempunyai seribu pengetahuan, tak ada yang ia tak tahu, ia baik

kepada setiap orang, ia mengetahui setiap pengetahuan apapun, ia

serba bisa, ia adalah Arga Jiwa, dipanggil Jiwa. Yang kedua, ia

menyebut dirinya seseorang ciptaan Allah SWT yang begitu

Page 66: JALAN-JALAN TUJUH HARI

lemah, ia seorang penulis, kami terinspirasi berpetualang sebagian

besar dari kisah-kisahnya, ia menyebut dirinya Inisial K...”

Aku teringat sesuatu tentang orang yang disebutkan oleh

Pak Nan, si Inisial K, “Inisial K? Apakah dia...!”

Pak Nan bingung.

“Siapa yang lu maksud, Har?” tanya Iwan.

“Dia, dia, si Inisial K, ternyata anak terpilih yang per-

tama...” Aku begitu kaget.

“Siapa dia?” Tyan pun penasaran.

“Dia, sang guru, sang guru yang tak boleh disebut na-

manya!” ucapku. Tedi, Tyan dan Iwan kaget.

“Apakah dia berasal dari Bandung, Pak?” tanyaku.

“Ya, memang kalian mengenalnya?”

“Ya kami mengenalnya, dia yang memberikan virus petu-

alangan dan menyatukan kami!”

“Oh, ya sudah nanti kita terusin tentang dia. Gue pengen

ngelanjutin cerita tentang Atap Langit dulu. Yang terakhir adalah

seorang seniman, namanya Miming...”

“Terus nasib Atap Langit sendiri gimana?” Tyan

penasaran.

“Atap Langit yang semula telah dibentuk oleh anak-anak

yang terpilih, hancur karena ketidaksepahaman dan kekurangan

solidaritas sesama. Pertama, Jiwa, terpengaruh sebuah godaan

setan yang dulu ia membencinya, nah lalu kami mengeluarkan dia.

Page 67: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Maka, hilanglah sudah ensiklopedia27

Atap Langit, yang kedua,

sang gurumu, si Inisial K. Dia melakukan suatu hal yang fatal,

sehingga kami berencana menghilangkan Atap Langit dari dunia

ini. Kalau dengan kalian, kenapa si Inisal K pergi?”

Iwan menarik nafas panjang, “Beliau melakukan sesuatu

yang tak bisa kami lupakan. Tapi maaf pak, ini tak bisa saya, atau

yang lain ceritakan. Maaf...”

“Oh, ya sudahlah.”

“Terus, gimana nasib tentang si seniman Atap Langit?”

tanya Tedi.

“Gue dan si Miming, Miming Munardi, nama lengkapnya,

masih suka ketemu. Bahkan ngopi bareng. Dia salah satu sahabat

gue yang bener-bener sahabat. Kita sehati. Ya, walaupun udah

ngga di Atap Langit. Dia juga yang meramalkan bahwa hari ini

gue bakal ketemu anak-anak terpilih yang kedua. Yaitu kalian

semua!”

“Oohhhhhh....”

“Makanya, gue cuma mau ngasih pesen yang diamanatin

Mbah Sugi...”

Lalu aku teringat seseorang yang begitu kuat, yang

menunjuk kami sebagai anak-anak yang terpilih berikutnya. Yang

ketika bertaruh dengan hal-hal yang aneh. Yang selalu bergaya

27 Kamus atau artikel-artikel tertentu yang tersusun secara rapi dan urutannya sesuai abjad.

Page 68: JALAN-JALAN TUJUH HARI

anak muda padahal sudah duda dan tua. Ya dia, dia, Mbah Sugi,

yang juga menunjuk Pak Nan dan yang lain sebagai anak terpilih

yang pertama. Mbah Sugi, yang telah tenang di alamnya. Untuk

selamanya.

“Waktu saat sakaratul maut beliau menunggu lu semua,

tapi terlambat, sebelum lu lu pada dateng, mbah Sugi keburu

meninggal. Si Mbah malah ngasih pesen buat lu semua, tadinya

gue bingung, nyari lu ke mana, tapi berkat Miming yang bisa

meramal, akhirnya lu dateng sendiri. Gini amanatnya, „pertama

solidaritas yang mesti lu bikin, solidaritas yang kuat, karena Atap

Langit hancur salah satunya kurang solidaritas. Yang kedua

pandanglah ilmu ke atas, tapi kalau masalah dunia, lihat ke

bawah‟ ok, itu doang yang diamanatin beliau. Masalah solidaritas,

makanya tadi gue negur lu!” Pak Nan menunjuk ke arah Tedi, “Lu

jangan ngurangin solidaritas temen, inget, temen itu adalah

kekuatan kita.”

“Makasih ya, Pak Nan...” kata Tyan.

“Oia, coba nanti kalo ada waktu lu semua ke tempat

Miming. Dia baik, mau menerima siapa aja. Mungkin bisa share-

share gitu tentang seni. Ok. Oia satu lagi, nggak semua polisi itu

yang seperti kalian pikirkan. Walau sebagian besar polisi bertindak

seperti pelacur, tapi sebagian lagi mereka berbakti kepada negara

dan agama. Inget itu, sebutan „pelacur berkerah‟ boleh lu pake

buat manggil polisi, tapi inget, itu cuma sebutan buat polisi yang

Page 69: JALAN-JALAN TUJUH HARI

menyalahi aturan dan yang bertindak seperti pelacur, yang hobi

nilang sambil minta duit dan duitnya masuk ke kantong.”

“Okelah Pak,...” aku sadar. Hal yang aku lakukan itu

salah. Tapi aku merasa benar, beberapa polisi memang bertindak

seperti pelacur. Ya, pelacur berkerah.

“Silahkan lu semua mencari jati diri yang belum ketemu.

Jadilah laki-laki yang kuat, yang tak boleh hancur hanya karena

diterpa angin malam, yang tak boleh bergetar walau topan di

hadapan lu. Terus mengikuti alur hidup dengan semangat tanpa

pernah mengeluh dan cintai wanita yang benar-benar lu sayangi.

Cukup satu aja ye. Satu!”

Kami pun tertawa.

“Oia, Pak, kenapa tadi malah menahan kami?” tanya Tedi

yang masih penasaran.

“Oh, itu cuma buat ngetes kalian aja. Dan biar anak buah

gue seneng kalo udah nangkep orang terus orang itu dipenjara. Oia

satu lagi biar kita nggak ketahuan kalo kita anak yang terpilih.

Hehe” jawab pak Nan dengan meyakinkan.

“Oia, petualangan kami bukan sekedar mencari jati diri,

seperti Atap Langit. Kami, Hitam Putih Abu-Abu, dengan sebutan

petualangan mencari ujung pelangi!” kataku dengan bangga. Pak

Nan tersenyum. Ya, ternyata kami benar-benar bertemu dengan

salah satu anak terpilih yang pertama.

Page 70: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Petualangan di lanjutkan. Kami pun mengucapkan beribu

terima kasih kepada Pak Nan. Sedikit demi sedikit filosofi hidup

mulai terangkai. Walau gambarnya belum jelas terlihat, tapi aku

yakin, suatu hari nanti, aku atau bersama yang lainnya bisa melihat

gambar yang begitu nyata di hati kami semua.

Page 71: JALAN-JALAN TUJUH HARI

3

Hilangkanlah segala prasangka buruk di hati &

pikiranmu.Karena aku di sini masih tetap setia. – Ayu

Lestari

“Aahhh, bosenlah makan nasi goreng bikinan Tedi...”

keluh Tyan sambil memegangi perutnya.

“Huh, lu mah. Kemaren lu yang muji masakan gue enak.

Sekarang lu yang bilang kalo bosen makan nasi goreng buatan gue.

Gimana kali!” Tedi kesal karena Tyan tak bisa memegang

omongannya.

“Ah berisik lu, udahlah. Gue laper nih. Makan apa ya

enaknya?” Tyan terus saja menggerutu.

“Uuhhhmmm, mending kita nyicipin makanan yang ada di

Balaraja, gimana?” saran yang begitu bagus dari Iwan. Kami pun

menyetujui.

Perjalanan dilanjutkan ke arah Bakung, di sana kami

menemukan penjual kue serabi. Ya, kue serabi yang rasanya enak

sekali, karena perut kami begitu lapar. Kalau tidak lapar, ya,

entahlah, lidah kami saat ini sedang dibutakan oleh kelaparan.

“Emmmmm... enak Bu, serabinya, ” puji Tyan, seperti

biasa, ia selalu memuji setiap makanan yang ia makan.

Page 72: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Ah yang bener? Uuhh, Ibu jadi malu...” si Ibu penjual

serabi pun merasa terbang ke langit ketika dipuji oleh Tyan.

Ia mengatakan bahwa selama ia hidup, baru pertama kali

ada yang memuji makanan hasil buatannya. Kata orang, ia tidak

pandai dalam memasak makanan. Kebanyakan ia memasak dengan

rasa asin yang berlebihan. Atau paling parahnya, gosong. Nah,

mungkin ia menemukan jiwanya sebagai pembuat kue. Tapi bukan

kue sembarangan, kue serabi. Sebuah kue tradisional asal jawa

barat. “Kalau membuat kue biasa, seperti kue-kue basah atau kue

bolu, yang jadi malah gosong, atau salah masukin gula, yang

dimasukin malah garam,” ucap si Ibu.

Katanya pula, ia tak bisa membedakan rasa manis dan

asin. Ia seperti menderita buta rasa (bukan buta warna ya).

Lidahnya tidak bersahabat. Makanya ia lebih memilih membuat

kue serabi. Karena kue ini adalah kue yang sudah turun-temurun

diwariskan oleh keluarganya.

Lalu kami mencoba menikmati makanan WARTEG

(warung tegal) khas Balaraja. Penjualnya orang Jawa – panggilan

untuk orang-orang yang berbicara dengan logat bahasa Jawa.

Rasanya lumayan enak, juga yang membuat bersahabat adalah

harganya yang terjangkau oleh kantong kalangan orang-orang

berprofesi kuli.

Ketika akan membayar, yang menjadi masalah adalah

Tyan. Uangnya hilang!

Page 73: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Gimana nih duit gue ilang?” katanya dengan ketakutan.

“Yang bener lu!” Aku kaget mendengar hal itu. Kalau aku

membayari Tyan makan, maka untuk besok, aku dijamin puasa.

Karena uangku atau yang lain sudah benar-benar pas-pasan. Gawat

ini.

Lalu kami mencoba berunding bagaimana sebaiknya.

“Ya udah kita kumpulin aja uangnya dulu.” Aku mencoba

memberikan solusi.

“Iya, abis itu kita kabur. Abis bayar langsung kabur ya!”

jelas Tyan dengan gembira.

“Ok” kata Tedi menyetujui.

“Tapi masalahnya siapa yang bakal ngasih uangnya nih?”

tanya Iwan.

Kami bingung. Lalu aku punya ide lagi, “Tyan aja, diakan

yang ga punya duit”

“Iya ya, gue setuju.” Tedi kegirangan. Ia merasa senang

dengan harapan Tyan segera ditegur oleh di Ibu WARTEG. Ia

begitu kesal terhadap Tyan karena masalah makanan nasi goreng

tadi.

Sebaliknya. Muka Tyan terlihat begitu ketakutan. Ia

sedikit gemetar, “Kok gue sih, kan gue takut, nanti kalo ketauan,

gue malu seumur hidup nih...”

Page 74: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Alah, banyak ngomong lu, Tyan. Udah nih duitnya.” Tedi

pun menyerahkan uang yang sudah terkumpul. Uangnya seribuan

semua, agar bisa mengecoh si Ibu WARTEG itu.

Ketika akan membayar, Tyan terlihat gemetaran. Kami

semua sudah menunggu di seberang jalan. Lalu ketika ia ingin

keluar dengan terburu-buru, si ibu WARTEG itu berkata, “Tunggu

dulu sebentar...”

Lama kami menunggu di seberang jalan, Tyan tak keluar

dari WARTEG. Kami tak berani menyusulnya. Karena kami

bertiga sejujurnya sangat malu untuk menanggung malu. Haha,

sekumpulan orang egois. Hampir satu setengah jam. Lalu Tyan

keluar sambil berlari dan berteriak, “kabur!”

Kami yang sedang cemas menunggunya di bawah pohon,

segera bangkit dan berlari ketika melihatnya lari dengan kencang.

Di tengah berlari, Iwan bertanya, “kenapa lu lama banget,

Tyan?”

“Gue ketauan!” nafasnya terengah-engah.

“Kenapa?” aku penasaran.

“Gila, gue disiksa!”

“Maksud lu?” tanya Tedi.

Sekitar tiga ratus meter, kami berhenti karena kelelahan

berlari. Nafas kami terengah-engah. Jantung kami berdetak

kencang, tapi yang paling kencang berdetak jantungnya adalah

Tyan. Dari wajahnya, terlihat bahwa ia sangat ketakutan.

Page 75: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Sambil mengatur nafas, ia menjawab pertanyaan Tedi,”

Ggguee takut, soalnya gue langsung disuruh nyuci piring...” ia

terus mengatur nafasnya, “Ggue sih sah-sah saja sama nyuci

piring. Si Ibu WARTEG-nya juga nyuruh dengan lembut. Padahal

tu gue takut banget. Eh pas lagi nyuci, tiba-tiba gue dipeluk sama

si Ibu WARTEG!”

“Hah gila!” kami kaget bersamaan.

“Iya, kata Si Ibu WARTEG itu „maen sama saya yu mas

ganteng. Suami saya lagi ngojek di depan‟ gue udah takut tuh,

tapi gue masih sabar. Gue ikutin aja pas dia ngajak ke kamarnya.

Tapi pas dia buka baju gue langsung lari! Dan ngunciin tu Ibu

WARTEG. Gila! Takut gue!” ia mencoba menjelaskan dengan

detail.

“Oh, makanya lu langsung lari?” tanyaku.

Ia mengangguk.

“Haha gila si Tyan dibilang ganteng. Hihi. Si Indah, cewe

lu aja belom pernah bilang lu ganteng!” ledek Iwan. Kami semua

tertawa.

Ketika dicari, ternyata uang Tyan terselip di kantongnya.

Dasar bodoh! Ah, biasa, dia selalu begitu pelupa. Katanya ia

mengidap penyakit lupa yang begitu akut. Karena ia kebanyakan

tidur.

Page 76: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Karena uangnya telah ditemukan, kami segera membeli

martabak, makanan favorit kami, untuk dimakan nanti malam.

Martabak, oh martabak.

Page 77: JALAN-JALAN TUJUH HARI

4

Bentangkanlah sayap-sayapmu dan selalu tempa

impianmu. Tinggalkanlah semua rasa sakit dan bersalah

yang selama ini kau dera. Jadikanlah hidup ini lebih

bermakna dari sebelumnya. – Tyan Oriza

Hari ini adalah hari keempat kami dalam mengelilingi Balaraja,

kami masih kuat. Perjalanan mencari ujung pelangi belumlah

berakhir. Karena mencari adalah sesuatu yang begitu meyakinkan

dan menjanjikan dibandingkan dengan menunggu, menanti yang

tak pasti, hanya diam saja berharap pelangi jatuh di dalam kamar.

Sebagai anak-anak yang terpilih, kami akan menafsirkan

dunia ke dalam kehidupan kami. Mengumpulkan filosofi hudup.

Dan merangkainya, menjadikannya gambar yang begitu nyata di

hadapan semua orang. Kami akan selalu membuktikan bahwa

setiap detik dalam hidup itu berarti. Kami juga siap menantang

bahaya apapun yang berada di ujung jalan terakhir kami.

Kali ini matahari membuat kami bermalas-malasan di

pematang sawah. Panas yang begitu membakar dibanding hari-hari

sebelumnya menyengat kulit kami.

“Heuft males banget gue...” keluhku sambil menguap.

Memang, panas-panas seperti ini lebih enak minum es.

Page 78: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Iya males banget...” lanjut Iwan.

“Heuft...” Tedi menguap.

Tyan malah sudah terbang dengan mimpi-mimpinya.

Sawah ternyata begitu indah. Dengan warna hijau membentang

sepanjang mata memandang. Burung-burung blekok28

berkejaran

menikmati senandung alam. Gemericik air dari pengairan

menambah tenteram hati. Beberapa tikus pun sibuk menggerogoti

padi dengan cermatnya, walau kadang mereka kabur ketika

mendengar suara gemuruh kaleng yang dipasang di badan orang-

orangan sawah, atau Bebegig. Lalu kulihat beberapa orang petani

yang juga sedang beristirahat di sebuah gubuk. Mereka dengan

semangat melahap makanan yang mungkin telah disiapkan oleh

istri atau anak-anaknya. Mereka saling bercanda, melepas lelah,

bahkan ada juga yang tertidur. Aku sangat merindukan semua ini.

Ya, merindukan semua ini, suatu hari nanti.

Semua temanku telah terlelap. Hanya aku saja yang masih

menikmati alam Balaraja ini. mimpi-mimpiku mungkin agak

berbeda dengan yang lain pada siang ini. Tedi, Iwan dan Tyan

mungkin bermimpi sambil tertidur, sedangkan aku bermimpi

dengan menatap langit, membayangkan seandainya saja anak

cucuku masih bisa merasakan suasana seperti ini di sini. Suasana

yang menyejukkan hati. Suasana yang memasyarakat. Yang begitu

28 Sebutan untuk burung Bangau. Biasanya sebutan burung Blekok ini digunakan oleh orang-orang Tangerang.

Page 79: JALAN-JALAN TUJUH HARI

dijaga oleh orang-orang zaman dahulu. Suasana yang mampu

menciptakan rasa kekeluargaan di antara masyarakat. Bukan

suasana pada kehidupan industri, berangkat kerja pagi, pulang

malam. Tak ada waktu untuk bermasyarakat dengan sesama

tetangga. Sebuah kehidupan yang serba uang, tahta dan harta

menjadi Tuhan. Lalu ketika kehidupan yang dirasakan oleh orang-

orang zaman dahulu mulai berubah menjadi kehidupan serba uang,

mereka mengatakan bahwa tiada tempat nikmat selain di penjara.

Dengan seketika, kehidupan ini segera berubah menjadi

surganya polusi. Berjuta masyarakat dipaksa tunduk dengan

industrialisasi. Menuhankan uang. Berusaha mengejar sesuatu

yang tak pasti. Kehidupan yang dicemari pemikiran-pemikiran

yang sempit. Mengerucutkan imajinasi seorang kreatif.

Lalu mimpi-mimpi mulai ditancapi oleh semua bocah ke

dalam pabrik, tahukah kalian, pabrik. Pabrik sepatu, pabrik

makanan, pabrik spare part kendaraan, pabrik narkoba, pabrik

racun, pabrik kabel, pabrik plastik, tapi yang pasti semua pabrik itu

adalah pabrik limbah. Di mana bumi tak kuat lagi menahan limbah

akibat meledaknya industri. Bahkan kalau kalian belum tahu, di

samudera pasifik itu ada sebuah pulau yang terbentuk dari

tumpukan sampah plastik. Tanpa tanah, semuanya plastik.

Sampah-sampah plastik itu tak dapat hancur, mereka hanya

menjadi kecil-kecil seukuran plangton. Saking banyaknya plastik

di sana, ketika diteliti, kadar air di pulau sampah itu, kandungan

Page 80: JALAN-JALAN TUJUH HARI

plastik yang sebesar plangton itu lebih banyak enam kali dari pada

plangton itu sendiri. Mencengangkan.

Style, atau gaya hidup remaja pun segera berubah menjadi

masyarakat hedonis, masyarakat dengan kehidupan serba uang.

Mementingkan fashion. Mementingkan trend. Atau pemikiran

yang membutakan hati, bahwa kehiduan itu bukan hanya hura-hura

dan pesta saja. Mereka, masyarakat hedonis, lebih gemar hura-

hura, berpesta bahkan kehidupan seks yang bebas. Semuanya serba

free.

Uuppzzz. Angan-anganku malah semakin jauh. Labih baik

aku menyusul yang lain bermimpi di alam khayal. Aku mencoba

terbang jauh ke awan. Awan yang biru dengan begitu cerah.

Terbang jauh. Walau garis finis masih tak terlihat. Jiwaku

melayang-layang jauh menembus surga, melewati neraka, memetik

bunga surga yang tak henti aku nikmati harumnya.

Setelah berasyik-asyik tidur di saung, di tengah sawah tadi

sore. Kami mencoba mengelilingi Balaraja pada malam hari.

Keadaan yang tak pernah kami lakukan sebelumnya. Merasakan

udara dingin di daerah ini. menghisap udara yang berhembus

ketika keadaan sepi menyelimuti.Jalan-jalan malam, kami

menyebutnya. Sebelumnya, kami memang sering jalan-jalan

malam di kota-kota besar, seperti di Bogor. Pada waktu itu, aku

sangat merasakan kehidupan malam kota itu. Di mana para

gelandangan Bogor sibuk berkeliaran, pasar-pasar malam yang

Page 81: JALAN-JALAN TUJUH HARI

digelar di sekitar stasiun, dan lampu-lampu jalan yang kelap-kelip

menghilangkan gelapnya malam.

“Mana nih tukang martabak?” tanya Tyan sambil melihat

sekitar.

“Iya ya, ko pada sepi? Tukang martabak yang biasa enak

itu pergi ke mana ya?” Tedi pun ikut mempertanyakan hal yang

sama.

Memang, tukang jualan di sekitar jalan raya Serang,

sekitar km 22,5 – 24, sudah berpindah tempat sejak pembangunan

jalan layang alias fly over sejak beberapa bulan lalu. Kebanyakan

tukang martabak dan tukang kue-kue kering telah meninggalkan

tempat ini.

“Tuh, di depan SMA ada tukangnya!” ucapku sambil

menunjuk ke arah tukang martabak.

Yang lain pun melihat ke arah yang aku tunjuk.

“Itu mah tukang martabak yang di depan toko sepatu.

Kurang enak!” jelas Tedi.

“Yah, udah ngga ada lagi. Martabak yang kemaren kita

beli, tukangnya cuma sampe sore. Udah sih ngga apa-apa.” Aku

berusaha meyakinkan yang lain.

“Trus gimana donk?” tanya Iwan.

“Ya udahlah, ngga apa-apa...” ucap Tyan.

Page 82: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Kami pun membeli martabak di tukang itu, walau kurang

enak, kami tetap membelinya, karena martabak adalah salah satu

makanan kesukaan kami.

Setelah membeli martabak, kami menyimpannya, sengaja

tidak memakannya untuk mencari tempat yang cocok bersantai

malam ini. Perjalanan dilanjutkan menuju gerbang tol Balaraja

Barat. Gerbang tol ini menuju Jakarta dan Merak. Kami biasa

melewati jalan tol ini apabila sedang bermain ke Serang atau ke

Cilegon. Kami duduk-duduk di pinggir jalan tol. Merasakan

senandung kelelahan malam para manusia yang berada di

mobilnya. Melihat anggunnya gelap malam yang dihiasi bintang-

gemintang. Dengan sekoteng di samping kami dan tak lupa juga

martabak, kami memandang langit.

“Coba deh kita tunjuk salah satu bintang. Anggap aja itu

adalah cita-cita, mimpi dan harapan kita...” ajakku sambil me-

mandang langit. Lalu yang lain pun menunjuk bintang-bintang

yang mereka pilih.

“Sejauh itulah cita-cita, mimpi dan harapan kita. Kita

sepertinya tidak akan mampu meraihnya” kata Iwan.

“Ngga juga, Boi, asalkan kita mau berusaha, berdoa yang

bakal jadi perjuangan kita, pasti bintang yang kita pilih itu bakan

kita dapetin” lanjutku.

Page 83: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Ah, lebay29

lu semua. Tapi iya juga sih, karena usaha dan

doa adalah perjuangan kita.” Kata Tyan.

Kami sangat lama terlelap memandangi bintang di tengah

malam.

“Jalan lagi yu...” ajak Tedi yang segera bangkit dan

berdiri.

Aku langsung bangun dan berkata, “Ke mana lagi

emang?”

“Lah, ke mana aja deh. Daripada di sini, mending jalan-

jalan. Diem-diem aja mah dingin, Lu!” nasehat Tedi. Aku

mengangguk.

Sekarang kami berempat berjalan-jalan tak jelas tujuan.

Kendaraan saat ini sudah sepi ekali. Hanya terlihat satu atau dua

mobil yang lewat. Begitu juga dengan motor-motor. Di pos polisi

simpang tiga Balaraja, tempat kami beberapa waktu lalu ditanggap

polisi, yang biasanya banyak tukang ojeg berkumpul menanti

penumpang, hanya dapat dihitung dengan jempol kaki saja jumlah

mereka saat ini.

Juga dengan mobil Angkot atau angkutan kota, yang biasa

parkir di bahu jalan sambil menunggu penumpang, malam ini

karena sudah larut, mereka semua sudah tidak ada, yang tersisa

29 Suatu sifap berlebihan terhadap sesuatu. Biasanya orang-orang yang memiliki sifat lebay ini terlalu menday-dayu, banyak omong, mendramatisir, dan terlalu over akting.

Page 84: JALAN-JALAN TUJUH HARI

hanya ada satu mobil Angkot saja. Itu juga tidak ada penum-

pangnya seorang pun. Sepi sekali malam ini.

Kami terus memperhatikan setiap sisi jalan yang mulai

tidur. Lalu perjalanan terus kami lanjutkan menelusuri jalan raya

Kresek. Beberapa ruas jalan ini banyak yang rusak, ya, walau

sebelumnya bagus karena sudah diperbaiki. Namun lubang tetap

saja berpenghuni di jalan ini. Entah, apakah dana yang dipakai

untuk membangun jalan ini kurang? Atau sebenarnya dana yang

dipakai untuk pembangunan jalan sudah melebihi dari kecukupan

sehingga dikorupsi para kontraktor? Ini merupakan pertanyaan

besar yang ditujukan kepada aparat pemerintahan yang telah

dipilih oleh rakyat.

Kalau bicara pemerintahan memang sulit. Karena aku atau

teman-teman hitam putih abu-abu yang lain tak ada satu pun yang

mengerti tentang tatanan negara atau hukum sekali pun. Kami

memang kerjanya suka mengkritik. Ya, walau sebagian orang dari

pemerintahan sendiri kewalahan mengurusi negara atau daerahnya.

Tapi, sesungguhnya, kami tak merasakan apapun yang

membangun di daerah kami. Walau harus berganti jutaan

pemimpin atau aparat pemerintahan di sini, tapi apa? Apa yang

kami rasakan? Kurasa hanya sebagian kecil.

Pernah pada suatu hari aku menanyakan kepada beberapa

aparat pemerintah tentang cara kerja mereka di pemerintahan.

Tahukah kau kawan, semua hal itu begitu mengejutkanku.

Page 85: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Pertama, mereka melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi dari

Strata 1 hanya untuk medapatkan kenaikan gaji, lalu bagaimana

kutanya tentang jam kerja mereka, mereka hanya mengatakan

bahwa, kerja di pemerintahan atau dinas seperti ini memang enak.

Biasanya mereka datang seenaknya. Walau tiga kali seminggu juga

tidak apa-apa. Dan apabila mereka mendapat amanah untuk

memberi bantuan untuk orang miskin, maka mereka akan

mendapatkan keuntungan besar dari bantuan itu. Bukan sebuah

bonus dari pimpinan mereka, melainkan dari dana orang miskin itu

sendiri. Tapi hal ini kudapati dari seseorang aparat pemerintahan

yang bukan bertugas di Balaraja.

Ah, sudahlah. Membicarakan keburukan orang memang

tiada habisnya. Lalu kami melanjutkan perjalanan. Terus, terus dan

terus.

Malam kini semakin dingin. Begitu menusuk tulangku

dingin malam ini.

Lalu sampailah kami di dekat pom bensin di daerah

Kedaung. Tak jauh di depan kami, terlihat seorang wanita seksi,

sangat seksi, sedang jalan di depan kami. Mata kami yang tadinya

mulai kabur karena mengantuk, sekarang melek lagi. Dingin yang

sedari tadi menyetubuhi seluruh badan, kini lenyap, rasa hangat

seketika datang. Kami berempat senyum-senyum sendiri, lalu

saling pandang.

“Gue mimpi, Boi!” ucapku penuh semangat.

Page 86: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Subhanallah!” ujar Tedi dengan kegembiraannya.

“Haha, rejeki yang mantep tengah malem!” kata Tyan

sambil mengucek kedua matanya.

“Hah, cubit gue cubit gue!” kata Iwan. Aku segera

mencubitnya, “Ini beneran mimpi, ga berasa!”

“Hah mimpi!” teriakku. Mata kami tak bisa berkedip

sedikit pun dari wanita seksi di hadapan kami ini.

“Masa mimpi?!” Tedi terlihat begitu kecewa.

“Iwan mah kulit badak, makanya ga berasa! Coba tampar

gue!” suruh Tyan.

Seketika aku langsung menampar Tyan. Ia pun mengerang

kesakitan.

“Awww, sakit gila!” teriak Tyan.

“Wah, berarti bukan mimpi donk?” tanya Tedi yang

kembali memancarkan wajah kegembiraannya.

“Ribut mulu! Mending gue duluanlah yang ngembat tu

waniitaaa” ucap Iwan dengan wajah yang begitu tak sabaran. Ia

langsung saja berlari mengejar wanita itu.

“Wan! Tunggu duu....” aku tadinya ingin memperingati

Iwan sambil menyusun strategi. Tapi ia langsung lari begitu saja.

Dan ketika ia berada di hadapan wanita itu, wajahnya langsung

berubah ketakutan. Kami yang mengikutinya dari belakang,

melihat jelas sebuah ketakutan di wajahnya, ia pun menjerit

histeris, “Aaaaarrrrrggggghhhhh!”

Page 87: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Kenapa, Wan!” teriak Tyan tak sabaran.

Aku dan yang lain mengejarnya dan berada di hadapan

wanita itu sekarang, wanita yang kami puji-puji dari belakang.

Yang dari belakangnya terlihat bagus, tanpa cacat sedikit pun.

Yang dari belakang terlihat mengenakan pakaian super seksi.

Cantik, cantik dari belakang. Lalu kami sekarang ada di hadapan

wanita itu. Ya, wanita itu segera menebarkan senyumnya.

“Aaaarrrggghhhhh!” aku, Tyan dan Tedi mengikuti Iwan,

mengikuti teriakannya yang lebih dahulu menggema. Serasa hawa

hangat yang baru saja menyelimutiku, berubah menjadi api yang

membakar degup jantungku ketika melihat wanita yang ada di

hadapanku.

“Gila!” aku segera berlari.

Ternyata, wanita yang ada di hadapan kami ini seorang

siluman (seorang waria atau banci, alias wanita setengah pria).

Dari belakang aja mulus, ternyata dari depan penuh bulu30

. Penuh

jenggot dan kumis tuh muka. Sumpah, aku sangat takut ketika

melihat mahluk yang satu ini, dengan berwujud wanita dari

belakang dan pria di depannya, ia mampu menjelma menjadi

manusia.

Yang lain pun mengikutiku berlari.

30 Sebenarnya bukan Bulu, melainkan rambut-rambut halus yang memenuhi wajah. Bisa merupakan jenggot atau kumis.

Page 88: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Eh, ganteng, tunggu dulu, mau kemana? Sini donk

temenin, Eik. Temenin, Eik malem iniii, ” ucap waria tadi dengan

nada pusing. Ia sepertinya sedang mabuk, sebab dari mulutnya

tercium aroma alkohol dan gaya bicara yang seenaknya. Juga

jalannya yang terlihat sempoyongan.

“Tuh siluman manggil lu, Wan!” ucap Tedi sambil lari.

“Gila aja, masa gue dikasih monster kaya gitu?! Ihh, najis”

balas Iwan dengan nada yang begitu ketakutan.

“Haha, tadi lu yang keliatan agresif ngejar-ngejar tu

banci!” aku ikut-ikutan meledek.

“Huh gila!” teriak Iwan.

Sejuta cara yang dilakukan manusia di zaman sekarang

hanya untuk mendapatkan uang. Halal atau pun haram yang

penting mendapatkan uang maka dijalaninya. Contohnya menjadi

seorang waria seperti tadi. Benar-benar sudah rusak zaman ini.

Mungkinkah sudah susah mencari sebuah pekerjaan halal yang

bisa dilakukan? Ataukah pada zaman sekarang yang namanya

pekerjaan hanya dapat dijalankan oleh orang-orang tertentu?

Ironis, sebuah bangsa kaya raya, namun anak bangsanya menderita

dan terpaksa menggadaikan harga diri, demi selembar kertas.

Mengenaskan.

“Woy, berhenti dulu...” ucapku dengan nafas terengah-

engah.

Page 89: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Dari tadi kami berlari dengan kecepatan maksimal,

padahal jarak yang kami tempuh hanya beberapa meter namun

staminaku sudah lelah. Yang lain pun segera memberhentikan

langkahnya.

“Ngga ngejarkan tuh banci?” tanya Tedi sambil menarik

nafas panjang.

“Udah, udah...” jawab Tyan.

“Gila tuh, gila!” Iwan dari tadi terlihat menyesali

tindakannya selalu menggerutu.

“Ya udahlah, jalan aja ga usah lari segala...” kata Tedi

yang terlihat makin lelah.

Setelah puas berlari beberapa meter menjauh dari waria

tadi, kami pun berjalan santai untuk mengembalikan energi yang

hilang.

Kami sekarang berada di daerah Kedaung atau biasa

disebut-sebut daerah Mandiri, karena di dekat sini berdiri sebuah

sekolah lanjutan tingkat atas dengan nama SMA dan SMK Mandiri

Balaraja.

“Udahlah cape, istirahat dulu yu” ucap Tedi dengan

keringat yang mengucur deras.

“Ya udah nanti aja tuh di depan sana kan ada ruko-ruko

baru yang ada optik. Sekalian buat tidur.” Aku memberi saran

kepadanya.

Yang lain hanya mengangguk.

Page 90: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Setelah 30 detik berjalan akhirnya kami sampai di depan

ruko yang kubicarakan tadi.

“Cepet yu, Cepet! Gue udah cape nih...” Tedi tidak

sabaran.

Ia pun berlari duluan mendahului kami. Aku, Tyan dan

Iwan berjalan santai. Seketika, Tedi tercengang. Entah apa yang

dilihatnya. Ia berdiri mematung. Kami segera menyusulnya. Lalu...

“Hai mas-mas yang guanteng...” salah seorang waria

menyapa kami.

Terlihat di tempat itu berkumpul para waria. Jumlahnya

sekitar 15 orang. Mereka tepat mangkal di depan sebuah optik

yang tadi kubicarakan. Para waria itu tersenyum menggoda ke arah

kami. Perasaan mual dan jijik menghantui diriku. “Ah, godaan apa

lagi ini” .

“Hadooohhh, Har, lu salah milih tempat” bisik Tyan, tepat

di telingaku.

“Ini cuma kebetulan, Tyan...” balasku dengan sangat

perlahan.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Iwan

yang tak berani menoleh ke mana pun. Para waria itu berjalan

mendekati kami. Tedi yang dari roman mukanya terlihat begitu

gugup dan ketakutan, masih mematung dengan mulut menganga.

Page 91: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Ya udeh, kita jalan ninggalin nih para banci. Pelan-pelan

abis itu kita lari...” Tyan memberikan saran. Kami semua

mengangguk.

Waria-waria itu pun semakin dekat. Dengan rokok di

tangan mereka. Dekat, dekat dan semakin sampai. Lalu aku mulai

menelan ludahku.

Aku memberi aba-aba, “Satu, dua, tiiiigaaa....”

“Lari!” teriak Iwan dengan begitu kerasnya.

Kami berempat pun mengeluarkan tenaga yang tersisa

berlari meninggalkan gerombolan waria itu. Dengan begitu

semangat, aku berlari mendahului yang lain. Tapi kudengar jelas

teriakan itu.

“Aduuhhh! Tolong hitam putih abu-abu! Tolong gue!”

Itu teriakan Tedi. Ia terjatuh saat berlari tadi. Ia sekarang

dikerumuni para waria. Wajahnya terlihat dari jauh begitu pucat.

Sepertinya ia menangis.

“Tolong gue, Cuy! Tolong!”

Aku, Tyan dan Iwan segera menghentikan lari. Lalu

rasanya aku tak ingin menolongnya. Karena kurangnya rasa

solidaritas dari Tedi membuatku kesal.

“Tolong, jangan?” tanya Tyan ragu.

“Ehm... pikir-pikir dulu...” jawabku sambil berlagak

berfikir.

Page 92: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Udeh tinggalin ajalah. Buat pelajaran buat dia” kata Iwan

datar, dengan gayanya, berjalan meninggalkan masalah yang ada

di depannya.

Tapi, ketika aku berfikir untuk meninggalkannya, aku

teringat akan arti persahabatan yang kita bangun selama ini. Juga

tentang solidaritas yang telah diamanatkan Mbah Sugi dan

disampaikan oleh Pak Nan.

“Lu inget ga apa yang diomongin Pak Nan waktu kita

ketangkep di kantor polisi tempo hari?” aku mencoba membuka

hati Iwan.

Ia hanya terdiam. Aku melanjutkan, “Inget ga lu, tentang

solidaritas? Kan lu semua yang bilang kalo kita saling

ngelindungin satu sama lain?”

“Iya Har, tapi kan...” Iwan mencoba membela diri.

“Tapi apa? Lu tega, ngeliat temen sendiri hilang

keperjakaannya gara-gara kita, sahabat sejatinya,

meninggalkannya begitu saja di antara banci-banci kampung!”

“Ok, gue maju!” Tyan segera berbalik mencoba menolong

Tedi.

“Terserah lu, Wan...” aku pun menyusul Tyan.

Sedikit berlari, kami berdua menyelamatkan Tedi.

“Gue dateng, Ted!” Iwan seketika berlari sambil teriak

mendahului aku dan Tyan.

Page 93: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Aku hanya bisa tersenyum melihat semangat temanku

yang satu ini. Ternyata solidaritas kami begitu kuat. Tanpa berat

hati, ia langsung berada di hadapan para waria-waria itu.

Terlihat dengan jelas, Tedi sudah menangis dengan air

mata yang hampir kering. Ia berada di pelukan waria-waria itu. Ia

pun tak mampu berkutik. Tangan dan kakinya benar-benar dikunci.

Benar-benar menderita, Tedi dicium, diraba-raba dan, ya hampir

saja keperjakaannya itu hilang kalau kami tak datang.

“Heh banci, lepasin temen gue!” teriak Iwan dengan keras.

Lalu di kedua tangannya, telah siap dua buah batu yang

besar dan segera mendarat di wajah para waria, Tyan siap dengan

jurus-jurus silatnya yang sangat ia banggakan, ia telah memasang

kuda-kuda, lalu aku pun telah siap, dengan mengangkat kedua

tangan ke atas dan pandangan sambil menengadah ke langit, aku

konsentrasi.

“Har, lu ngapain?” tanya Tyan yang mengganggu

konsentrasiku.

“Lu ga liat gue lagi ngapain?” aku kembali bertanya

kepadanya.

Tyan memperhatikanku dengan seksama. Sepertinya ia tak

mampu mengartikan gerak-gerikku.

“Gue jelasin, Iwan udah siap dengan batunya, lu juga udah

siap dengan jurus silat lu, nah yang kurang apa? Cuma doa, jadi

gue nolong Tedi dengan doa aja ya. Hehe.” Ucapku dengan bangga

Page 94: JALAN-JALAN TUJUH HARI

dan aku meneruskan sambil berteriak, “Gue doain lu, Ted, semoga

lu ga hamil!”

Wajah Tedi langsung pucat ketika mendengar ucapanku

tadi.

“Serius dikit donk, Har!” ucap Iwan.

“Iye gue serius, Wan!”

“Woy, cepet tolong gue!” Tedi meringis.

Ketika kami bertiga sibuk meributkan masalah kecil yang

akan kulakukan, salah satu waria tadi langsung berdiri dan berkata,

“Tyan, kamukah Tyan?”

Ucapannya begitu wanita seutuhnya, hanya saja masih

nampak di wajahnya gurat seorang pria dewasa yang tak dapat

hilang.

Kami yang sibuk berdebat dikagetkan dengan salah

seorang yang waria yang mengenal Tyan.

“Apakah benar kamu Tyan? Tyan, kamukah itu?” waria

tadi mencoba mendekati kami. Para waria yang lainnya pun

memperhatikannya.

Tyan mengangguk.

“Tyan, lu pernah tidur sama tu banci? Ternyata kau,

Tyan...” tanya Iwan.

“Ga pernah, gila siapa nih banci?” jawab Tyan sambil

berbisik.

Page 95: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Lalu semakin dekat banci itu menghampiri kami. Ia

dengan muka yang begitu penuh harap mencoba mendekati kami

bertiga. Tubuhku gemetar ketika salah seorang waria mendekati

kami. Ia tersenyum ke arahku.

“Lu siapa banci rombeng!” tanya Tyan dengan begitu

galaknya.

“Ih pelan-pelan dikit donk, aku juga kan manusia...” waria

itu membela diri.

“Tapi lu siluman!” ucapku dan Iwan dengan bersamaan.

Lalu waria tadi menoleh ke arah Iwan, ia pun tersenyum

kepadanya.

“Iwan, kau Iwankan? Ternyata kalian berdua bersama

terus. Sejak dulu...” semakin ganjil kata-kata waria ini. Ia seperti

mengenal begitu dekat Iwan dan Tyan.

“Emangnya lu siapa? Ko lu kenal gue en Iwan?” tanya

Tyan memberanikan diri.

“Masa lu semua ga kenal sama aku? Coba perhatiin lagi

deh...”

Iwan dan Tyan memperhatikannya dari atas sampai

bawah, dari jempol sampai ujung rambutnya. Iwan menggeleng,

Tyan juga.

“Tolong gue, tolong!” Tedi menjerit makin keras.

“Lepasin temen gue!” teriakku.

Page 96: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Lepasin aja temen-temen, kasian anak orang,” ucap waria

yang mengenal Tyan.

Rambut lurus keriting di bawahnya, dengan warna pirang,

alis mata yang begitu panjang, wajah dipoles dengan bedak, tapi

tipis karena ia memang pada awalnya sudah putih, mata agak sipit,

badan agak berisi, dadanya, sepertinya hanya diisi dengan bantal,

bukan disuntik silikon, sepatu berhak. Lagi-lagi ia tersenyum.

Begitu menakutkan bagiku.

“Inget sama aku, Tyan, Iwan?” pertanyaan yang penuh

harap keluar dari mulutnya.

Tyan menggeleng, begitu juga dengan Iwan.

“Coba perhatikan lagi...”

“Ga kenal gue” ucap Iwan.

“Ini aku, aku,...” si waria mencoba memberi penjelasan,

lalu nada suaranya berubah, menjadi suara seorang lelaki yang

begitu mereka berdua kenal dekat, “Aku, Ferdian”

Perasaan tidak percaya tergambar di wajah mereka berdua.

“Gila!” ucap Iwan kaget, “Bule, lu kenapa jadi...”

“Jadi siluman gini!” lanjut Tyan sambil teriak.

“Ehmm!” para waria berdehem mendengar kata siluman

yang keluar dari mulut Tyan.

“Maaf-maaf..” ucapnya dengan wajah takut kepada para

waria itu.

Page 97: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Aku pernah bertemu dengan Ferdian, dulu, ketika kami –

aku, Tyan dan Iwan, pergi menonton film di bioskop. Ia terlihat

begitu gagah, menurutku. Ya, sebagai seorang lelaki muda, ia

mempunyai karisma yang begitu menawan. Wajahnya yang

tampan, gaya pakaiannya yang tak ketinggalan zaman, dan

kendaraannya, motor gede, yang selalu menemaninya setiap

waktu. Walau ia tak sekaya orang-orang yang memiliki motor gede

lainnya. Bagiku, hal ini yang membuatnya bisa menarik hati

wanita, kalau ia mau.

Tapi entah mengapa ia sekarang berubah seperti ini, ya,

walau aku tak mengenalnya lebih dekat, tidak seperti Tyan dan

Iwan, tapi aku pernah mengenalnya juga dari berbagai cerita Tyan.

“Duduk dulu yu, nanti aku ceritain semuanya.” ajak

Ferdian sambil mempersilahkan kami duluan. Ia mengarahkan

kami ke tempat teman-temannya.

“Tapi gue ngga lu mangsa kan?” Iwan sedikir ragu.

“Ya nggak lah, paling ilang keperjakaan kalian semua.

Hehe” jawab Ferdian sambil tertawa nakal.

Dengan rasa was-was dan hati-hati, aku pun segera duduk

di antara para waria, begitu juga dengan Tyan dan Iwan. Kulihat

Tedi tak dapat berkata-kata, dengan tubuh yang gemetaran, yang

sedari tadi telah berada diantara kawanan waria itu.

Page 98: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Ferdian pun duduk. Ia mengambil nafas panjang dan

memulai pembicaraan, “Lu semua pada ngapain malem-malem

gini?”

“Kami, biasalah, lagi berpetualang” jawab Iwan dengan

bangga.

“Sama aja kalian, seperti masih sekolah dulu, sibuk jalan-

jalan yang ngga jelas kaya gini.” Ferdian melanjutkan dengan

suara wanitanya.

“Trus lu kenapa jadi gini, Fer ?” tanya Iwan.

Aku hanya diam saja, belum saatnya aku ikut dalam

percakapan mereka, percakapan teman lama yang sudah tak

bertemu sekian lamanya. Aku sekarang sedang sibuk memper-

hatikan sekelilingku, para waria, yang dari tadi mulai mencolek-

colek kami. Ngeri, sekaligus geli.

“Kalian berdua tahu kan kisah cintaku dengan gadis

minang dulu?”

Kami bertiga mengangguk.

“Ya, aku frustasi gara-gara hubungan kami berakhir...” ia

mulai merasa bersedih, air matanya perlahan menetas, keadaan

hening seketika.

“Emang kenapa? Kayanya lu berdua ngga pernah

bertengkar sedikit pun, malahan seperti yang gue liat, hubungan

cinta kalian seperti kisah cinta yang pasti dibawa mati.” Tyan

berusaha mendapatkan alasan dari Ferdian.

Page 99: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Emang sih, hubungan kami berakhir bukan karena kami

bertengkar, bahkan kalau salah satu dari kami mati, aku atau dia,

lalu aku atau dia yang masih hidup pun akan menyusulnya...”

Ferdian menunduk dan melanjutkan, “Kami bertiga ngga pernah

bertengkar, seperti kisah cinta kalian semua, kami juga saling

mengerti dan telah mengetahui seluruh isi hati masing-masing,

juga sifat, dan semuanya. Kecuali...”

“Kecuali apa? Kan lu berdua sudah seperti itu, sepertinya

ngga ada alesan lagi hancurnya hubungan kalian?” aku pun ikut

membuka mulut.

“Kecuali diriku, yang tak pernah tahu apa yang dipikirkan

kedua orang tuanya.”

Kami semua termasuk para waria diam, fokus

mendengarkan penuturannya.

“Kedua orang tuanya telah merencanakan perjodohan

dirinya dengan seorang lelaki yang telah mapan. Mereka berbeda

usia begitu jauh, 15 tahun!”

“ Apa?! Lima belas tahun!” kami semua yang berada di

tempat itu berkata dengan nada kaget bersama-sama.

“Ya, benar, lelaki yang telah dijodohkannya itu telah

mapan, orang tuanya ternyata telah merencanakan perjodohan itu

sudah empat tahun yang lalu...”

“Lalu lu diem aja, Fer?” tanya Tyan.

Page 100: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Ferdian langsung berlinangan air mata tak kuat untuk

melanjutkan ceritanya itu.

Salah seorang waria yang berada di sebelahnya

memeluknya, dan berkata, “Sudahlah cantik, ngga usah nangis

gitu, kan masih ada kita-kita, PBW, perserikatan banci waria, yang

selalu ada di sampingmu, cantik”

“Apa, Perserikatan Banci Waria! Apa aku tak salah

dengar, gila, waria-waria juga punya organisasi,” ucapku dalam

hati.

“Iya, Mih, makasih, aku lanjutin yah ceritanya?” ia terlihat

begitu sedih, tapi ketika bersama waria di sampingnya, ia terlihat

ada orang yang selalu menemaninya. Waria yang dipanggil

MAMIH itu mengangguk.

“Ketika itu datanglah waktu yang aku dan gadis minang

itu takutkan, waktu di mana kami berdua akan dipisahkan oleh

adat...”

“Sebentar, emang si cewek lu itu ga bisa ngelawan gitu?”

Iwan memotong penuturan Ferdian.

“Orang aku lagi mau ngejelasin juga, makanya dengerin

dulu...”

Iwan mengangguk.

“Ya, setelah kami berdua telah mengetahui waktu

perjodohan itu, kami berdua syok berat, terlebih aku sudah

diancam bapaknya gadis minang itu, untuk tidak menemuinya lagi,

Page 101: JALAN-JALAN TUJUH HARI

selamanya. Walau dia bilang akan mati kalau kau mati, tapi ia

tidak berani mengambil resiko membantah perintah orang tuanya.

Ia takut adat. Seluruh perkataan orang tuanya, baik ataupun buruk,

menguntungkan atau merugikan, harus selalu ia patuhi. Karena ia

selalu patuh terhadap adat istiadat keluarganya.” Ferdian menarik

nafas panjang, lalu melanjutkan, “Setelah itu, ia selalu menolak

untuk bertemu denganku. Aku memohon dengan baik, ia menolak

dengan halus, aku meminta dengan agak kasar, ia memakiku

dengan sadis, sepertinya aku maling saja. Aku memang bisa

membaca pikirannya, ia terpaksa melakukan itu demi kedua orang

tuanya yang begitu keras. Padahal hatinya masih mengarah

kepadaku.”

“Tapi lu jangan nyerah gitu!” aku mencoba memberi

semangat.

“Terlambat kau mengucapkannya, aku sejak saat itu sering

melamun, kadang kalau ditegur marah-marah. Kerjaanku, yang

dulu menjaga toko, sering aku tutup dan aku pun pergi berkeliling

tidak jelas, seperti yang selalu kalian ucapkan, Iwan dan Tyan,

„pergilah ke mana pun yang kau inginkan apabila hatimu gundah,

lalu kembalilah kau apabila telah menerima ketenangan hati dari-

Nya.‟”

“Wah ternyata kata-kata gue sudah ada yang

mengamalkannya dalam perbuatan. Hehe” seketika itu Iwan

merasa berbangga hati.

Page 102: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Hah sampah!” gerutuku.

“Ya, karena seringnya aku gundah dan stres, aku pun

sering pergi kemana pun hatiku menyuruh, dan sering pula toko

aku tutup dan karena toko aku tutup, lalu penghasilan keluargaku

berkurang secara drastis, sejak saat itu pula kedua orang tuaku

terlalu sering memarahiku. Membentakku dengan kasar, padahal

aku tak senang apabila ada seseorang, sejahat apa pun, berkata

dengan nada yang begitu tinggi.” Ferdian terus berlinangan air

mata, ia terus melanjutkan kisahnya, “Aku pun memberontak, aku

pergi dari rumah, motor yang dulu aku banggakan juga kalian

sering pinjem buat ngejemput wanita cantik yang ngga jelas, aku

bakar, ketika aku akan pergi dari rumah.”

“Emang ngga ada wanita lain apa?” Tedi yang dari tadi

gemetaran mulai angkat bicara. Ia kami kenal sebagai seseorang

yang tangguh dalam permasalahan cinta, kisah cintanya tidak

pernah gagal. Menurut Tyan yang pernah menginap di rumahnya,

ia menyimpan suatu buku atau sejenis kitab pusaka yang berisi

doa-doa untuk menarik hati wanita, isinya bahasa arab, gundul

semua. Makanya ia mampu menaklukan hati sejuta wanita. Tapi

yang membuat ia tak mengerti kepada hatinya sendiri adalah

mengapa ia tak pernah betah dengan seluruh wanita yang ia pacari.

Dengan mudah ia mengambil kesimpulan, bahwa ia belum

menemukan pasangan hidup yang setia sampai mati. Hah, dasar

anak muda.

Page 103: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Bagiku tiada wanita terindah selain si gadis Minang

pujaan hatiku. Lebih baik mati kalau aku tak pernah bisa

menikmati kehidupanku bersamanya...”

“Lalu kenapa lu ngga mati aja?” Iwan keceplosan

Lalu para waria pun menatapnya dengan tajam, selah satu

dari mereka mencubitnya dan berkata, “Eh ganteng, jangan

ngomong gitu donk sama temen eik, dia bisa selamat kaya gini kan

berkat eik en temen-temen yang sudah nolongin dia, emang lu mau

ngeliat sahabat lu mati gara-gara plustasi ?!”

Iwan yang terlihat takut, hanya mengangguk saja.

“Seperti yang dibilang Mas Marno tadi, eh maaf mba,

maksudku Mba Marni tadi. Aku tadinya prustasi dan hampir saja

bunuh diri karena kemana lagi aku akan kembali. Lalu saat itu aku

ternyata berhenti di depan sebuah salon. Lalu aku yang sudah tak

lagi mementingkan diriku, mencoba akan ngiris urat nadiku,

datanglah Mas Marno, eh salah, Mba Marni, yang akan membuka

salonnya. Ia langsung mencegahku dan memarahiku. Saat itu aku

menceritakan semua kepadanya, ia pun mencoba menolongku

sebisanya. Ia langsung memanggil para anggota PBW saat itu juga

dan segera merapatkan semuanya, aku pun diajaknya kerja di

salonnya. Makanya aku berterima kasih sekali kepadanya...”

Ferdian pun langsung memeluk erat Mas Marno, eh salah, Mba

Marni.

Page 104: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Tapi kenapa Mba Marni nyuruh lu jadi kaya gini?” tanya

Iwan.

“Siapa yang bilang kalo eik yang nyuruh. Ga ada lagi, eik

kasih tau yah, kenapa orang memilih jadi kaya gini, pertama

lingkungan, awalnya si cantik ini juga bukan kaya gini, tapi dia

memilih jalannya sendiri karena lingkungan, kedua adalah ia kesal

kepada kehidupannya yang sama apabila ia menjalani seperti itu

terus, makanya ia memilih jalan yang berbeda. Ia pun menjadi

seseorang yang memiliki dua kepribadian, ketiga karena ia kesal

dan menyimpan dendam yang teramat sangat terhadap wanita..”

Mba Marni menjelaskan dengan detail. Ternyata faktor yang

kuanggap sepele, adalah faktor yang dapat menentukan seseorang

melangkah dalam kehidupannya. Menakutkan.

“Makasih ya Mba...” air mata yang terus berlinang mem-

basahi pipinya.

Mas Marno, eh salah, Mba Marni pun hanya tesenyum.

“Benar apa yang tadi dijelaskan sama Mba Marni ini, aku

hanya melihat, ternyata yang lebih tau perasaanku adalah mereka

semua, jadi aku mencoba jadi seperti ini agar bisa mengerti

perasaan sesama...”

Ini salah! Salah besar! Hatiku memberontak.

“Ini bukan jalan lu, Ferdian!” ucap Iwan dengan begitu

mengagetkan kami, ia melanjutkan, “Bukan juga jalan kalian

semua, mas-mas!”

Page 105: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Iya bener, inget, lu semua masih punya Tuhan, tempat

kita mengadu! Tempat kita menyerahkan diri. Tempat kita

berharap keajaiban datang! Bukannya lari dari kenyataan seperti

ini. Yang lu semua lakukan sekarang adalah perbuatan dosa! Dosa

besar!” dengan marah, Tedi langsung memperlihatkan keahliannya

dalam berkhutbah.

Para waria pun kaget mendengar kemarahan Tedi dan

Iwan. Mereka agak gentar dan gemetar sepengelihatanku.

“Tapikan menurut kami ini ba....” belum sempat waria

yang dipanggil MAMIH tadi berkata, langsung dipotong Tedi.

“Menurut kalian apa? Baik? Menurut kalian baik, bagus.

Tapi lihat menurut Tuhan, menurut Allah Swt, itu adalah

perbuatan merubah kenyataan. Menyalahi takdir. Berkhianat

terhadap apa yang diciptakan Allah. Ngga mensyukuri nikmat lu

semua!”

Saat itu pulalah hati mereka semua bergetar, mereka saling

berpelukan dan menangis satu sama lain. Begitu juga dengan

Ferdian. Ah dasar waria, mudah sekali hati kalian tersentuh.

“Tobatlah, tobat31

! Sesungguhnya Allah maha penga-

mpun” ucapan Tedi mulai melemah. Ia kelihatannya bisa menya-

dari hati para waria ini.

31 Sesal atau menyesal akan dosanya, perbuatannya yang jahat dan berniat berbuat baik.

Page 106: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Mereka semua menangis, aku pun ingin ikut menangis,

tapi, tak usahlah. Iwan dan Tyan pun berlinangan air mata juga

dengan Tedi.

Saat inilah waktu yang tepat untuk menenangkan hati

mereka semua.

“Semuanya, di tengah malam ini, izinkanlah gue,

membacakan sebuah puisi yang telah lama gue siapin buat waktu

ini. Puisi yang telah gue buat untuk mencairkan hati dan kerasnya

sifat ini. Juga untuk menghilangkan kesedihan ini.”

DI SISI JALAN INI32

:untuk malam yang tak lagi sunyi

Di sisi jalan ini aku memperhatikan semua

Keadaan malam yang berlalu lalang seperti kunangkunang

Merah kuning kelapkelip menyorot aspal yang diselimuti sejuta

tetes embun

Betisbetis bahkan dadadada yang diobral murah

Diskon besarbesaran

Seperti jual baju kurang bahan

Atau salah jahitan

32 Sebuah puisi yang termasuk di dalam buku kumpulan puisi : Sajak Sebutir Peluru, Hardia Rayya.

Page 107: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Para kerah berdasi yang berkeliaran memasuki lingkaran

Garis pembatas yang tak boleh dilewati

Membawa sejuta tanya

Lelah dan peluh di sekujur tubuh

Yang disulap menjadi berbagai kupukupu

Juga mereka dengan tawanya yang berdusta

Lalu anak bangsa yang menikmati kelakuan ibunya

Bertindak semenamena

Mereka berkata dengan air mata,“Ternyata ibu kota lebih kejam

daripada ibu tiri!“

Mengais rejeki di kolong kali

Lalu dosa berkembang biak

Bagai jamur yang diternak

Sedang pahala

Angkat kaki karena tak punya tempat lagi

Lalu aku bertanya kepada dingin

“Apakah kau punya mantel untuk menyelimutiku

Dari keganasan nafsumu?”

Dia hanya menjawab, “Di sana kau mendapatkan kehangatan

Seperti sebatang lilin yang terus meleleh”

Aku hanya mendapati

Seorang lelaki tua tak bergigi

Page 108: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Sujud sembari memandangi

Sajadah menunggu pagi

Di bangunan yang tak lagi

Berdiri

Dengan satu kaki

Lalu langit memunculkan mentari

Mengganti malam menjadi pagi

Dan kesibukan mulai menerangi

Lalu tawa tak ada lagi

Aku menatap suatu kebebasan di wajah mereka semua.

Perasaan bahagia dan gembira terukir jelas pada senyum

bercampur air mata itu. Aku senang, mereka semua semoga saja

mampu bertobat secara utuh, sempurna. Dalam hati ini rasanya

bangga apabila melihat salah seorang teman mampu kembali ke

jalan-Mu, Ya Allah.

Tak lama mereka semua berpelukan dengan air mata

pertobatan, Tedi berdiri, dengan semangatnya ia berkata, “Mari

kita mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagai tanda kita semua

menyesali perbuatan kita, sebagai tanda kita, gue, lu, dan

Page 109: JALAN-JALAN TUJUH HARI

semuanya akan kembali ke jalan yang lurus dan menjalankan

perintah-Nya. Bareng-bareng ya...”

“Assyhaduallailahaillalah, wa assyhaduannam-uhamma-

darrasulullah...” dengan hati ikhlas kami mengucapkan syahadat.

Aku merasa ada sesuatu yang berubah dari diriku ini, sesuatu

penyesalan tentang perbuatan salah yang sering aku lakukan.

Para waria itu menunduk sambil mengelap sisa-sisa air

mata yang masih menetes. Fajar hampir tiba, kumandang azan

subuh pun sebentar lagi akan menggema. Udara dingin masih

menyelimuti detik-detik ini. Embun pun masih enggan

meninggalkan bumi ini.

“Lu semua, janji kan buat bertobat?” tanya Tedi.

Mereka semua mengangguk.

“Iya tobatlah. Kerjaan di salon itu ga perlu jadi siluman

kaya gini kok. Jadi seorang lelaki utuh seutuh-utuhnya juga bisa.

Ga apa-apa kerja di mana pun, cara apapun, yang penting halal.

Kerja di salon itu halal, tapi kenapa lu semua ngebikin gaya hidup

kaya gini? Yang ngebuat seluruh kehidupan lu menjadi dosa...”

ucapku karena tergerak untuk mengingatkan semua orang, betapa

pentingnya hidup ini dengan kebaikan. Ya, kalau kita bertemu

dengan orang, baik dikenal maupun tidak, usahakan selalu

mengingatkan kebaikan, ibadah dan keharmonisan karena

terjaganya keberlangsungan hidup antara manusia dengan

manusia, manusia dengan Allah, juga manusia dengan alam. Kalau

Page 110: JALAN-JALAN TUJUH HARI

kita jauh, maka tugas kita adalah saling mendoakan. Karena

kekuatan doa itu lebih hebat dari pada apapun.

“Mungkin kita mau ngelanjutin perjalanan nih...” kata

Tyan sambil melirik jam yang ada di handphonenya.

“Iya, ok. Oia tapi buat Ferdian, inget orang tua lu

nungguin lu. Sejahat atau sejelek apapun sifat seorang anak, orang

tua pasti kangen kepada anaknya. Dan kembalilah ke rumah,

karena rumah adalah awal perjalanan dan akhir perjalanan.

Pulanglah, karena tempat terakhir kau dalam perjalanan itu adalah

rumah. Minta maaflah kawan...” kata Iwan dengan idealismenya.

Kami bersalaman dengan para waria sebagai tanda

perpisahan. Kami pun melanjutkan perjalanan. Tapi baru beberapa

meter kami melangkah, Mba Marni, eh salah, Mas Marno

memanggil kami, “ Eh lu semua, tunggu sebentar!”

Kami pun menoleh ke belakang secara bersamaan.

Ferdian berdiri dan menghampiri kami. Ia mendekat ke

arah Iwan. Lalu ia memberikan sebuah syal dan berkata, “Wan,

dan semuanya, aku terima kasih, begitu juga temen-temen yang

lain. Terima kasih, aku dan yang lain mencoba untuk bertobat dan

memulai kehidupan baru dalam hidup kami...”

Iwan hanya bisa tersenyum. Lalu Ferdian memeluk Iwan

dan Tyan dengan erat, lalu mencium mereka berdua. Aku hanya

tertawa kecil, ia pun langsung lari. Iwan dan Tyan yang agak ngeri

Page 111: JALAN-JALAN TUJUH HARI

dan syok, menatapnya dengan kekesalan, lalu Iwan berkata,

“Banci gila!”

Para banci hanya tersenyum sambil melambaikan tangan

mereka.

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju masjid untuk

solat subuh.

Page 112: JALAN-JALAN TUJUH HARI

5

Jalani dan nikmati hari-harimu dengan penuh semangat

dan percaya diri. Usaha yang setengah-setengah tidak akan

membuat kita meraih tujuan. Tapi, kalau berusaha mati-

matian kita pasti mencapai tujuan. Kemudian semua jerih

payah itu pasti akan dapat imbalannya. – Bsik Hikari

Siang yang melelahkan. Seharian ini kami hanya tidur-tiduran di

sebuah masjid. Hawa panas dan rasa kantuk akibat semalaman tak

terlelap, membuat kami bermalas-malasan sambil tidur.

Mengingat-ingat setiap kejadian kemarin-kemarin, aku hanya bisa

tersenyum sendiri. Aku sepertinya merasakan suatu kehidupan

yang tak ada tandingnya. Apakah di luar sana banyak remaja-

remaja yang gemar berpetualang seperti kami, hitam putih abu-

abu? Aku belum menemukan jawabnya.

Yang kami dapati dari setiap petualangan banyak sekali,

yang pasti pengalaman dan pelajaran hidup yang begitu berharga.

Menatap dunia secara langsung adalah sebuah kata yang tepat

untuk menggambarkan istilah petualangan.

Aku terbangun dari tidurku. Waktu hampir menunjukkan

pukul 12 siang. Si muadzin sepertinya sudah bersiap-siap untuk

mengumandangkan seruan illahi siang ini. Segera kubangunkan

yang lain. Mereka tidur nyenyak sekali. Ya, walau sesekali

Page 113: JALAN-JALAN TUJUH HARI

mengigau seperti ketakutan dikejar-kejar sesuatu. Yang paling

banyak mengigau adalah Tedi. Sepertinya ia masih syok akibat

ditangkap waria semalam.

Aku tersenyum kepada si muadzin33

. Ia pun membalas

senyumanku dengan ramahnya. Ia hanya menggeleng ketika aku

berkata untuk memaklumi teman-temanku masih tidur. Mungkin

dalam hatinya mengatakan, “Dasar anak muda, kerjaannya cuma

begadang, begadang dan begadang”.

Lalu, ketika adzan dzuhur berkumandang, barulah nyawa

mereka semua bersatu. Walau ya, masih setengah masuk ke dalam

raganya. Mereka bertiga masih sibuk menggeliat sambil mengucek

mata.

“Emang jam berapa nih udah adzan?” tanya Tedi.

“Lu liat aja, Ted, sendiri...” jawabku sambil menunjuk ke

arah jam dinding. Wajahku telah segar karena baru selesai

berwudhu.

“Ayo semuanya, wudhu juga gih. Kita segera solat

berjamaah!” ucap si muadzin dengan lembutnya.

Setelah selesai berwudhu, si muadzin segera iqomah. Aku

bingung, masa solat berjamaah di masjid ini cuma ada tujuh orang,

itu pun termasuk kami. Kalau kami tidak ada, berarti, ya cuma

sekitar tiga orang, lebihnya paling sedikit, atau paling parahnya

33 Orang yang mengumandangkan adzan, ketika masuk waktu solat, di masjid atau di mushalla.

Page 114: JALAN-JALAN TUJUH HARI

cuma dua orang saja. Padahal, masjid di tempat tinggalku,

walaupun itu solat dzuhur, pasti orang yang melaksanakan solat

berjamaah bisa berjumlah lima puluh orang atau lebih. Kalau solat

subuh, di mana waktu setiap orang masih sibuk terlelap dalam

tidurnya, di masjid tempat tinggalku pasti hampir semua shaf34

penuh oleh jamaah.

Entahlah, padahal masjid ini termasuk dekat dengan

pemukiman warga.

Dengan khusyu dan khidmad, kami bertujuh

melaksanakan solat dzuhur.

Selesai solat, Tyan segera mengambil posisi yang pas

untuk melanjutkan petualangannya di alam mimpi. Disambung

dengan Iwan. Lalu aku. Tapi Tedi masih khusyu berzikir.

Sepertinya ia sudah tidak mengantuk lagi.

Aku masih mencoba memejamkan mata. Padahal hawa

kantuk ini sudah menjalar ke seluruh tubuh. Tapi mata belum bisa

terpejam. Aku masih melihat Tedi berzikir. Sangat jarang sekali ia

melakukan zikir sehabis solat selama ini.

“Gue coba ajak ngobrol aja nih si Tedi...” ucapku dalam

hati.

Aku yang tak bisa tidur mendekatinya.

“Ted, lu ga ngantuk?” tanyaku. Ia diam saja. Khusyu

sekali dia.

34 Barisan dalam solat.

Page 115: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Aku mendekatinya dan mencoleknya. Ia tetap tidak mau

menoleh ke arahku. Aku menggoyang-goyangkan badannya, “Ted,

Ted, so sibuk lu!”

Ketika digoyang-goyang berkali-kali, ia pun langsung

jatuh. Matanya terpejam. Dengkurannya terdengar, pertanda begitu

lelahnya ia. Dalam hati, aku berkata, “Sial lu, Ted, bisa bisanya

tidur sambil duduk!”.

Tyan datang dengan tergopoh-gopoh. Kami yang sedang

berkumpul mengelilingi api unggun menatapnya dengan penuh

harap. Samar-samar kutangkap senyuman darinya yang

memuaskan kami. Wajah yang gelap ditambah lagi gelapnya

malam membuatnya hampir tidak terlihat di tengah rimbunnya

ilalang.

“Nih gue dapet...” ucapnya bangga.

Aku sejenak melirik. Banyak sekali singkong dan jagung

yang ia dapat.

“Boleh nyolong di mana, Lu?” tanya Iwan penuh selidik.

“Ah, biasalah. Kemaren gue ngeliat suatu tempat yang

menyimpan sumber daya alam yang cukup memuaskan. Dan,

inilah hasilnya.” Ia pun tersenyum bangga. Memang, prestasi

Tyan dalam berbagai hal tidak boleh diremehkan, walau

kelihatannya ia urakan.

Page 116: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Banyak sih banyak. Tapi tetep aja boleh nyolong!” Tedi

terlihat kurang puas dengan hasil yang didapat Tyan. Lalu Tyan

memandangnya dengan penuh keseriusan. Ia pun langsung

mengacungkan jari telunjuknya.

“Ssst, ssst ssstt. Hari gini nyolong. Sori yah. Gue ini orang

cerdas. Ga pake cara haram, Cuy.” Ia lagi-lagi membesarkan

dirinya. Huh, selalu begitu.

Kami bertiga kaget, lalu ia mendapatkan jagung dan

singkong itu bagaimana? Apakah ia mempunyai uang banyak

untuk mendapatkan singkong dan jagung itu Kukira tidak begitu.

Sudah jelas, saat itu, saat ia makan di WARTEG, ia kehabisan

uang. Lalu bagaimana? Apakah ia rela menggadaikan tubuhnya

kepada seorang tante-tante hanya demi mendapatkan singkong dan

jagung itu? Tapi pakaiannya tidak lusuh, dan celananya tidak

basah? Lalu?

“Terus lu gimana bisa dapet harta karun banyak banget?

Lu ngepet buat dapet duit ya?” tanyaku.

“Enak aja lu, Har. Gue kan pekerja keras, jadi wajar donk

Allah memberikan upah yang lebih kepada hamba-Nya yang

lemah ini. He...he...” jawab Tyan yang makin membuat kami

semua bingung.

“Ah lu. Yang bener nih?” Iwan makin ragu dengan

jawabannya.

Page 117: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Kasian gue sama lu semua. Haha. Oke, gue kasih tau

semuanya...” Tyan menarik nafas yang dalam dan melanjutkan

ceritanya, “Gue bingung pas lu semua cari makanan, sedangkan

kita ada di tengah sawah gini, tempat yang kurang strategis buat

makan enak. Ya udah, gue ambil keputusan aja buat nyolong ni

harta karun...”

Tedi segera memotong cerita Tyan, “Apa gue bilang, lu

nyolong. Udeh, dari awal aja ngaku susah amat!”

“Sabar, Ted, gue kan belom beres.” ucapnya dengan

senyum khas, “Gue udah ngeluarin jurus andalan gue padahal.

Jurus menghilang, yang udah diajarin sama nenek moyang gue

turun temurun...”

Aku kaget, ternyata Tyan punya jurus yang langka.

Memang, daerah Kresek tempat tinggalnya masih menyimpan

cerita-cerita mistis tentang kekuatan yang magis dan ilmu-ilmu

hitam untuk menyantet orang. Lalu Iwan tertawa geli. Aku pun

heran melihatnya, begitu juga dengan Tedi.

“Ilmu apa?” Iwan masih tertawa geli.

“Ah lu, Wan.” Tyan agak malu melihat Iwan.

“Iya ilmu apa? Si Tyan kan item, trus sekarang malem.

Kalo dia masuk ke tempat gelap dan penuh rerimbunan pohon dan

ilalang, jadinya... taaaraaaaa, tidak kelihatan deh lu...” Iwan men-

coba memberi penjelasan sambil tertawa.

“Hahaha...” kami tertawa keras.

Page 118: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Tyan melanjutkan, “Iya, jadi ternyata yang punya kebun

tuh pak haji, lupa gue, pak haji siapa, yang jelas dia punya ilmu

tinggi dan bisa ngeliat gue dalam kegelapan. Terus gue langsung

lari, kaget gue pas pak haji tadi mergokin gue. Eh gue malah

kesandung. Jatoh dah gue. Pak haji tadi langsung nangkep gue

sambil berkata, „ Heh nak, kamu mau ngapain? Nyolong ya?‟. Gue

gugup...”. Tyan menarik nafas, “Terus gue jawab dah „Aaaanuu

pak...‟, beliau langsung motong jawaban gue, „udahlah ngaku aja.

Nih saya kasih, ambil aja satu karung sama jagungnya‟. Gue

langsung kaget. Kaget banget. „tapi ada satu syarat...‟ gue

bertanya-tanya dalam hati tuh, syarat apaan? Gue saat itu diam

mendengarkan, „syaratnya adalah kamu harus bakarin saya jagung,

tujuh buah, ok?‟. Gue seneng banget, langsung aja gue ngangguk

dan nyium tangan tuh pak haji. Makanya abis kita bakar-bakar nih

harta karun, gue langsung ngasihin jagung ke beliau...”

Ada-ada saja Si Tyan. Ternyata masih banyak juga orang

baik di dunia ini. Tak percuma aku dilahirkan di zaman sekarang.

Kami semua, malam ini bersenda gurau, bercerita sampai larut

malam. Bercerita tentang malam, tentang bintang-bintang, tentang

mimpi ketika kami kecil, mimpi ketika sudah menginjak dewasa

yang sudah berbeda jauh ketika bermimpi di waktu kecil, tentang

angan, tentang harapan, tentang tuntutan, tentang kebebasan, ya

tentang segalanya.

Page 119: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Aku langsung terhanyut ketika kami berbagi cerita di

waktu kecil. Aku teringat kembali, ketika aku tak membatasi setiap

mimpi. Ketika bermimpi menjadi seorang penjelajah yang sedang

tersesat di daerah Mesir, tepatnya peradaban Mesir kuno. Saat itu

aku bermimpi menemukan suatu peradaban yang hilang di tengah

padang pasir yang tandus dan gersang tanpa air. Dan ketika itu aku

bertemu sesosok peri, entah peri apakah itu. Ia hanya mengatakan

bahwa ia utusan Fir‟aun yang bisa memberikan satu pilihan dari

tiga buah pilihan, pertama adalah emas yang sebesar gunung,

pastinya kalau aku memilih itu semua aku bisa kaya raya, pilihan

yang kedua adalah sebuah pulau yang berisi istana megah hanya

untukku, pastinya kalau aku memilih yang ini, aku bisa menjadi

seorang raja, pilihan yang ketiga adalah sebotol air yang mampu

menghilangkan kehausanku dalam perjalanan di tempat ini.

Aku masih bingung saat itu. tapi ketika kehausanku sudah

mencapai puncaknya, aku tak menghiraukan harta dan tahta, aku

lebih membutuhkan air, air yang dapat menghilangkan

kehausanku. Ya, langsung saja kupilih pilihan yang ketiga tadi.

Lalu peri itu memberikan sebotol air dengan botol emas, yang

airnya berasal dari sebuah pulau, pulau yang masih asri, belum

terjamah suatu kehidupan penghancur. Aku bangga, ketika peri

utusan Fir‟aun tadi mengatakan bahwa aku memiliki hati yang

lebih indah dari emas, dan memiliki tahta di dalam diri, juga

Page 120: JALAN-JALAN TUJUH HARI

seorang raja yang mampu mengatur hawa nafsunya. Ah, dasar

mimpi-mipi anak kecil, sulit dimengerti.

Berikutnya adalah cerita Iwan, ketika kecil, ia sudah

bermimpi terhempas pada sebuah dunia yang ia sendiri pun tak

mengerti. Di dunia itu, hanya ada hewan-hewan aneh, mulai yang

baik sampai yang buas, hewan-hewan itu berbicara selayaknya

manusia. Di dunia itu, ia bertemu dengan beberapa teman. Ia pun

berkelana mengelilingi dunia yang tak ia mengerti, bersama

teman-temannya yang juga tak pernah saling mengerti terhadap

dunia itu. Bertarung menghadapi kejahatan dan mendirikan

kerajaan monster dengan kebijaksanaan di dalamnya.

Berikutnya adalah cerita Tyan. Tyan termasuk satu dari

seribu anak kecil yang mampu menggambar mengalahkan orang

dewasa. Saat itu ia menggambar sebuah kota dengan berjuta-juta

kejahatan di dalamnya. Ia pun langsung tersedot ke dalam

gambarnya itu. Ketika itu ia bisa berubah menjadi sang pembela

kebenaran. Ia mampu menciptakan berbagai senjata di sana. Hanya

dengan berbekal krayon andalannya. Ia pun mampu menjadikan

kota itu menjadi lebih aman dan ia diangkat sebagai pelindung

oleh presiden di kota itu.

Lalu Tedi, ia sangat bercita-cita menjadi seorang profesor

yang mampu membuat robot. Robot terhebat di dunia. Robot yang

bisa berubah menjadi apapun, yang merupakan replika dirinya .

Tapi dalam ceritanya, robot ciptaannya itu berubah menjadi ganas

Page 121: JALAN-JALAN TUJUH HARI

karena dia memasukkan sebuah ingatan seorang penjahat. Ia pun

bertarung melawan robot ciptaannya sendiri, yang berarti melawan

dirinya sendiri. Kemampuannya yang begitu cerdas mampu

dikalahkan sang robot, pertarungan seimbang. Lalu dia berfikir

tentang kelemahan dirinya. Dia pun mampu mengalahkan robot itu

sekaligus mampu berkaca diri akan kelemahan yang dimiliki.

Kebanyakan, bahkan sebagian besar mimpi anak kecil

adalah menjadi seorang pemenang dalam pertarungan. Juga

tentang petualangan melawan mahluk asing, atau menemukan

harta karun di sebuah daerah antah berantah. Sebuah imajinasi

yang tanpa batas. Berbeda ketika seseorang menginjak dewasa.

Imajinasi dan mimpinya mereka batasi dengan sebuah

kebohongan, ego, minder, gengsi, dan sudah lupa dengan

imajinasi. Mimpi mulai dipersempit dengan batas-batas wilayah

yang tak sewajarnya. Entahlah, apakah di pikiran orang dewasa,

mimpi itu seperti membeli sebuah benda yang berharga sangat

mahal, sehingga mereka semua sayang untuk bermimpi? Aku

merasakan hal itu.

Mimpi, sebuah kata yang tak asing lagi di telinga anak

kecil. Sebuah khayalan, sebuah imajinasi kehidupan yang timbul

dari pemberontakan pikiran. Hal-hal yang jenius lahir tanpa ada

paksaan dan belum terkontaminasi sebuah kehidupan yang kotor

dan berpolusi. Tapi kata mimpi mungkin asing dan begitu sepele di

dalam pemikiran orang dewasa, mereka kebanyakan memikirkan

Page 122: JALAN-JALAN TUJUH HARI

hal-hal yang riil saja. Sesuatu yang nyata dan tanpa tantangan yang

berarti untuk dilalui dalam sebuah kehidupan. Hanya memikirkan

sesuatu yang dapat dicapai dengan pas-pasan. Kurang memak-

simalkan pikiran.

Terlalu sibuk memikirkan sesuatu yang hanya kasat mata,

orang dewasa itu. tidak pernah sadar, bahwa banyak hal yang

menunggu di depan. Dan semua itu adalah tidak kasat mata. Belum

terlihat. Maka dari itu, “mimpimu adalah masa depanmu!” kata

sebuah iklan reklame di pinggir jalan.

Lewat mimpi, kita bisa mengembangkan dan mengubah

jalan hidup ke arah yang lebih baik. Seperti, kita bermimpi untuk

berkelana menjelajahi dunia, maka dengan mati-matian kita akan

mengumpulkan cara untuk berkelana menjelajahi dunia, entah

dengan cara mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya atau

dengan cara nekat. Atau bermimpi menjadi seorang pecinta

lingkungan. Dengan segenap pemikiran kita, bagaimana cara alam

sekitar kita menjadi kembali asri. Bagaimana kita memaksimalkan

otak kita berfikir untuk menjaga lingkungan dapat dilakukan setiap

orang. Atau bagaimana menyadarkan orang lain agar ikut

melestarikan lingkungan.

Itulah dasyatnya mimpi. Mimpi yang maksimal dan

membakar nafsu untuk mencapainya. Keinginan yang besar, suatu

ambisi yang untuk mendapatkannya diperlukan semangat yang

menggebu-gebu. Maka dari itu marilah bermimpi untuk dapat

Page 123: JALAN-JALAN TUJUH HARI

menafsirkan kehidupan yang begitu indah. Jagan menyerah, karena

setiap kegagalan itu berarti. Belajarlah! Berdiri dan bangkit! Lalu

berlari! Teriak, bahwa kita adalah sesuatu yang nyata dan patut

untuk dipandang dunia. Patutlah kita, para pemimpi, disejajarkan

dengan Albert Einstein, Issac Newton, Jalaludin Rumi, Pramoedya

Anantatoer, Soe Hok Gie, Mahatma Ghandi, David Beckham,

Tony Hawk, Ibnu Sina, Bill Gate, Soekarno, Andrea Hirata, Gajah

Mada, Christophorus Colombus juga yang lainnya.

Bermimpi, Bermimpi dan BERMIMPI bersama kami,

Hitam Putih Abu-Abu.

Page 124: JALAN-JALAN TUJUH HARI

6

Aku mendengar dan aku melupakan. Aku melihat dan aku

melupakan. Kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi di

catatan perjalanan hidupmu, Kawan. Kau sendiri yang

akan menentukan akhir cerita, hanya usaha dan doamu.

Ingatlah dirimu dan carilah dirimu. Jadi jangan pernah

takut menatap dunia! – Angkasa Wirawan

“Oke semuanya, tarik nafas...” perintah seseorang yang berambut

gondrong itu.

Kami yang sedang duduk bersila pun mematuhinya. Ya,

dia, dia adalah seorang seniman Balaraja, Miming Munardi.

Sahabatnya Pak Nan, juga seorang anak yang terpilih terdahulu.

Kami saat ini berinisiatif untuk menemuinya karena bagi kami

berkenalan dengan sesama anak yang terpilih adalah suatu

keharusan. Ia pun termasuk orang yang dikenal di Balaraja ini,

sebagai seorang seniman. Lukisannya sangat bagus, menurutku.

Dengan gayanya yang terlihat amburadul35

, rambut gondrong, tapi

wajahnya memancarkan suatu kebersihan dan ketenangan hati,

membuat setiap orang yang berbicara dengannya merasa senang.

Wajahnya seperti menggambarkan sebuah ketidakpedulian

35 Berantakan, tak terurus.

Page 125: JALAN-JALAN TUJUH HARI

terhadap apapun, tapi malah sebaliknya, sifat ingin membantu

sesamanya sangatlah tinggi.

Yang sebenarnya berhasrat ingin bertemu dengan Pak

Miming Munardi adalah Tyan. Mungkin kesamaan hobi yang

membuatnya berambisi belajar kepada pak Miming, yaitu tentang

seni rupa. Tyan bagiku ahli dalam memainkan pensil, pena, spidol

atau alat tulis lainnya, tapi ia sepertinya belum terlalu mahir

memainkan kuas di atas kanvas.

Dan ketika kami memberitahukan kami ini siapa, mengapa

kami tahu dia, juga maksud kedatangan kami, Pak Miming segera

menyambut kami dengan senang hati. Makanya, sebelum memulai

melukis, dia menyuruh kami untuk melakukan ritual yang harus

dilakukan seorang pelukis agar mendapatkan ketenangan hati.

“Tahan... keluarkan...” Pak Miming memerintah sambil

berjalan berputar-putar mengelilingi kami.

“Tahan...keluarkan...”

Aku diam saja. Dengan konsentrasi yang khusyu

mengikuti jalannya ritual.

“Tahan...diam, agak lama. Jangan dikeluarkan dulu...”

“Oke, keluarkan...”

“Haaaaaahhhh...” aku masih belum kuat menahan nafas

berlama-lama.

Page 126: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Sekarang harus benar-benar konsentrasi kalian semua.

Sekarang, tahan lagi, tahan nafas lagi. Tenangkan pikiran. Rileks.

Tahan...”

Konsentrasi yang penuh adalah suatu teknik untuk

mencapai ketenangan hati. Apabila kita sudah tenang, maka

pekerjaan yang kita lakukan pun Insyaallah akan baik, pekerjaan

kita akan selalu kita hayati dan yang terpenting adalah sebuah rasa

syukur yang bisa kita kita nikmati apabila kita telah mencapai

ketenangan hati. Hidup tidak dibuat susah, mencoba menghadapi

masalah dengan kepala dingin, marah-marah pun dapat terhindari.

Itu yang pertama kali dijelaskan oleh Pak Miming.

“Tahan... tahan.. tahan!”

Konsentrasiku hampir mencapai titiknya. Lalu sebuah

bunyi mengganggu bahkan menghancurkan semua konsentrasiku.

Bunyi yang nyata dan jelas sebuah bunyi yang biasa aku dengar

selama ini.

Aku mencoba melirik sekitar. Tedi, ia pun melirikku

dengan tatapan aneh. Iwan, ia juga sama, sepertinya nafasnya yang

ia tahan sudah keluar dan sepertinya ia keracunan. Tyan, wajahnya

gembira, senang tak terkira, senyum-senyum sendiri, sambil

mengangkat kedua jempolnya. Bau itu, ya, bau itu menusuk sela-

sela hidungku, yang awalnya telah menusuk hidung Iwan lalu

hidung Tedi.

Page 127: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Aaahhhh, mantab. Sedap baunya...” ucap Tyan setelah

mengeluarkan angin surganya.

“Uuhhhkkk, uuhhhkkk. Telor busukk!” Aku menggerutu

sambil memegang hidung yang pesek ini.

“Pantat meledak, racun, racun septictank kena bom!” Tedi

seperti tercekik lehernya.

“Gila! Bom Hirosima meledak di Balaraja!” ucap Iwan

sambil menutup hidung dengan tangannya.

Pak Miming kok diam saja? Apakah orang yang sudah

mencapai ketenangan hati itu tak dapat merasakan sebuah pahitnya

dunia, seperti kentutnya Tyan. Di hadapanku ia tak ada, di

samping kami, dia juga tak ada. Lalu aku menoleh ke belakang.

Aku kaget sambil teriak, “Pak Miming pingsan! pak Miming

pingsan!” Seketika itu yang lain pun menengok ke belakang. Ia

pingsan terkena kentut supernya Tyan yang tepat meledak di

hadapannya.

Setelah sepuluh menit pingsan, Pak Miming akhirnya

sadar. Ia menatap tajam ke arah Tyan. Tyan hanya senyum-

senyum merasa tidak enak kepada beliau.

Pak Miming segera bangun dan menepuk pundaknya,

“Jadilah pelukis yang hebat, guncang dunia lewat penafsiran

sebuah alam dengan karya-karyamu...”

Page 128: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Tyan terpana mendengar kata-katanya. Kami semua kaget.

Apakah mungkin, Tyan mampu menjadi pelukis hebat seperti yang

diucapkan Pak Miming tadi? Seperti yang telah dikatakan Pak

Nan tempo hari, bahwa Pak Miming itu mempunyai kemampuan

meramal yang hebat. Mungkin hanya dengan melihat cara

seseorang bertingkah laku, bergerak, berpendapat, berbicara,

mengeluarkan argumen, ia sudah bisa menebak akan jadi seperti

apa orang itu nantinya.

“Jadilah pelukis yang hebat...” kata-kata itu beliau ulangi

lagi, “Jadilah pelukis yang hebat dengan banyak melukis,

memandang alam, membaca alam, menjaga alam, melestarikan

alam, bersyukur karena Allah telah menciptakan alam yang indah,

pergi ke alam dan, lihatlah! Lihatlah apa yang ada di sana!”

Petuah yang begitu berharga bagi kami. Ia bukan hanya

guru bagi lukisan kami, tetapi juga guru yang bisa mengarahkan

kami cinta terhadap sesama ciptaan-Nya. Tak salah, ia menjadi

salah satu anak yang terpilih.

Tanpa banyak berkomentar, Pak Miming segera bangun

dan mengajak kami melanjutkan latihan.

“Berikutnya, pikirkanlah apa yang akan kalian semua

gambar atau lukis. Pikirkan saja...” beliau pun segera membagikan

kuas, “Lalu anggap aja kalian lagi ngelukis. Lukislah. Pejamkan

mata kalian!”

Page 129: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Kami memejamkan mata, “Dan di hadapan kalian

sekarang ada kanvas, cat, berbagai jenis kuas, pinsil dan sebuah

ide. Cepat, lukis!”

Aku mencoba mengikuti apa yang disuruh Pak Miming.

Mungkin orang yang melihat kami saat ini bisa memanggil kami

orang gila, tapi aku juga agak tidak percaya dengan apa yang

dikatakan pak Miming barusan. Entahlah, tapi aku ikuti sajalah

apa yang dikatakannya.

Aku mulai berimajinasi dengan apa yang sedang aku

gambar di hadapanku. Mulai dari langit-langit oranye yang

terbentang luas. Dicampur dengan berbagai warna gelap, bersatu

padu. Membentuk semburat tentang kegelisahan hatiku yang tak

menentu. Aku pun menggambarkan seseorang yang berlari

mencoba menangkap pelangi. Dengan dandanan seadanya, ia

berlari menangkap pelangi di senja ini.

“Terus melukis. Gambarkan, gambarkan, gambarkan!”

Pak Miming memberi semangat kepada kami.

“Tedi, kamu buat apa?” Pak Miming menanyakan satu

persatu apa yang kami buat.

“Saya melukis jutaaan berlian yang indah dan kuat!”

jawab Tedi dengan tegas.

“Iwan, kamu gambar apa?”

“Saya menggambar jutaan orang sedang berlari menuju

sebuah titik cahaya...”

Page 130: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Hardi, kamu sendiri ?”

“Saya bikin seseorang yang berlari ingin menggapai

pelangi ketika senja hari dan angin yang sedang berhembus sepoi-

sepoi...”

“Kamu Tyan ?”

“Saya membuat sekelompok orang terbang mengitari

langit,”

Ternyata, kukira mereka tak serius berkhayal. Dasar, hitam

putih abu-abu. Selalu saja bermain-main dengan khayalan kalian.

“Oia pak, apa maksudnya bapak tadi menyuruh kami

melukis di alam pikiran kami? Apakah cuma iseng-seng saja atau

ada maksud lainnya?” aku masih belum yakin tentang teknik

melukis yang diajarkannya tadi.

“Ehmm, begini anak muda, kalian tadi mencoba mengem-

bangkan imajinasi kalian, mengeluarkan apa yang ada di pikiran

kalian, meledakkan otak kalian dengan semua khayalan-khayalan

yang kalian punya. Dengan cara ini, apabila kalian hendak melukis

di atas kanvas langsung bisa melukiskannya. Bagi pemula, melukis

di atas kanvas, apabila langsung melukis saja tanpa melakukan

metode penenang hati itu bakal susah mengeluarkan imajinasinya.

Gambar pun masih jauh dari harapan.”

“Ooo...” kami berempat ber-O ria.

Ternyata, dari tadi kami melakukan konsentrasi itu ada

manfaatnya. Salah satunya adalah mengeluarkan imajinasi seperti

Page 131: JALAN-JALAN TUJUH HARI

yang dikatakan Pak Miming tadi. Oke, aku mulai menangkap ke

arah mana beliau mengajarkan kami.

Lalu Pak Miming mengeluarkan peralatan melukisnya.

Kami pun memperhatikan bagaimana dia mengguratkan kuas-

kuasnya. Perlahan-lahan, perlahan-lahan dan segurat warna

muncul. Warna yang indah.

“Melukis itu yang sebenarnya gampang, engga ada di

dunia ini yang susah, kecuali kalian malas. Mencoba itu lebih baik,

walaupun gagal. Ketimbang kalian hanya tidur, nonton, tidur,

nonton, tidur dan ngga bangun lagi.” Ucap Pak Miming di sela-

sela guratan kuasnya.

Setelah selesai mengajari kami dasar-dasar melukis, kami

berlima bercerita panjang lebar, tentang anak yang terpilih dahulu,

tentang Mbah Sugi, tentang kehidupan pilunya Pak Miming,

tentang atap langit yang telah membawanya sadar akan kehidupan

ini, juga tentang banyak hal. Kami berempat pun menceritakan

perjalanan kami, tentang pertemuan kami dengan Mbah Sugi,

tentang Pak Nan, juga tentang mimpi-mimpi kami.

“Udah, nih kopi,” kata pak Miming menawarkan segelas

kopi, hitam pekat. Ia tadi sempat membuat kopi. Katanya kopi itu

penghilang stres dan membuat pikiran jernih untuk mengambil

suatu keputusan. Segelas kopi.

“Diminum ya, Pak...” ucap Iwan sambil mengangkat gelas

kopi. Pak Miming pun mengangguk.

Page 132: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Hitam...” kataku, yang juga mengangkat gelas.

“Putih...” Tyan melanjutkan.

“Abu...” Iwan ikutan.

“Abu...” Tedi juga.

“Bersulang...” ucap kami berbarengan, kami pun bersulang

dan menenggak kopi bersama-sama.

Kopi itu perlahan mengalir di bibir kami, melesat

melewati lidah, terjelembab di dalam tenggorokan. Tapi, ada suatu

hal yang janggal, sepertinya aku belum pernah merasakan rasa

yang begitu aneh seperti ini.

“Mmbbbuuuuaahhhhh....” kopi yang telah masuk ke mulut

Tedi, dimuntahkan kembali, Iwan menyemburkannya, kopi di

mulut Tyan mengalir keluar. Aku hanya bisa menahannya dan

membiarkan cairan kopi itu masuk ke tubuhku.

“Pak, mau ngeracunin kami apa?!” Iwan kelihatan marah.

“Iya nih, kopi kok pahit banget, dikasih racun ya!” Tedi

ikut menimpali.

Aku coba menjatuhkan tubuhku ke lantai lalu bangun dan

teriak, “Pahit! Betul betul pahit!”

Pak Miming tersenyum. Aku tak mengerti arti senyum itu.

Lalu ia berkata seperti tak berdosa, “Gula lagi mahal, juga

ngga baik buat tubuh, entar pada kencing manis lagi...”.

“Dicampur apaan nih kopi? Racun tikus?” tanyaku dengan

rasa pahit yang tak kunjung pergi dari lidahku.

Page 133: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Pak Miming menggeleng.

“Lalu?” tanya kami bersama-sama.

“Kopi murni, asli, tanpa campuran MSG, mecin, garam,

racun tikus, apalagi gula...” jawabnya dengan polos.

Aku menghela nafas.

Pertemuan kami dengan Pak Miming memberikan kesan

tersendiri di hati kami. Masing-masing dan berbeda. Aku senang

bisa bertemu orang ini. Dia juga menyampaikan bahwa kalau ada

waktu, berkunjunglah ke tempat itu lagi. Ia pun dengan senang hati

menerima kami apabila ingin belajar melukis lagi.

Singkat tapi sangatlah berkesan. Kami jalan lagi, mencoba

untuk melewati batu karang yang ada di depan. Lalu, entah ini

sebuah ilusi atau bukan, suara yang datangnya entah dari mana

bergetar di telingaku, “Carilah! Cari dan kejarlah ujung pelangi itu

sampai dapat!”

Page 134: JALAN-JALAN TUJUH HARI

7

Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak

pernah ada cinta yg disembunyikan, kecuali oleh seseorang

yang terlalu mencintai dirinya sendiri – Vera Kristin

“Haha, ngapain ke sini lagi?” tanya Tedi sambil melirik ke

telepon genggamnya.

“Ada hal yang harus kita selesaikan, Ted!” jawab Iwan

dengan tegas.

“Ya, bener kata Iwan. Hal yang menyangkut ketentraman

perumahan kita!” aku melanjutkan jawaban Iwan.

Sekarang tepat pukul sebelas malam. Kami berempat ada

di depan gerbang perumahan Permata Balaraja, yang tidak lain

adalah perumahan tempat tinggal aku dan Tedi. Aku mempunyai

alasan yang kuat untuk kembali ke perumahan ini. Aku dan Iwan

yang telah mengetahui rencana jahat seseorang untuk merusak

ketentraman perumahan. Kami sekarang mencoba untuk

mengembalikan ketentraman yang hampir hilang itu.

Tedi dan Tyan menampilkan wajah penuh sejuta tanda

tanya. Kami berempat melangkah perlahan memasuki perumahan

Permata Balaraja. Sedikit informasi tentang perumahan ini,

perumahan permata Balaraja ini dibangun pada tahun 1994 yang

lalu. Dahulu daerah ini merupakan wilayah pesawahan yang

Page 135: JALAN-JALAN TUJUH HARI

membentang luas. Entah mengapa warga desa Balaraja tergiur

dengan uang yang ditawarkan oleh pemilik perumahan ini

sehingga menyerahkan tanahnya untuk pembangunan perumahan.

Dan berdirilah rumah-rumah sederhana dengan berbagai ukuran

luas tanah. Bagiku beberapa puluh tahun lagi perumahan ini hanya

akan menjadi perumahan orang tua, karena para remaja yang mulai

beranjak dewasa memilih untuk berkelana mencari tempat tinggal

sesuai hati mereka masing-masing. Tapi entahlah, biar waktu yang

menunjukkan. Rumahku persis berada sebelahan dengan rumah

Tedi. Kami berarti memiliki rumah dengan satu tembok.

Keadaan hening menyelimuti perjalanan kami. Suasana

jalan yang rusak dan keadaan gelap membuat kengerian yang

menjadi, tapi untungnya perumahan ini sudah dihuni semuanya.

Jadi dari pinggir jalan utama sampai belakang ramai oleh para

keluarga. Tapi sekarang ketentraman itu diusik oleh rencana juga

perbuatan jahat seseorang, tepatnya sebuah teror.

“Emang ada apa sih?” Tedi masih saja diselimuti

penasaran dengan rencanaku dan Iwan.

“Lu tau kan mitos tentang pocong di sini? Tepatnya di RT

7 pocong36

itu sering berkeliaran?” kataku yang balik bertanya.

36 Suatu mahluk gaib yang berbentuk seperti mayat, dibungkus kain kafan putih. Biasanya, ini mitos yang terjadi karena apabila ada orang yang meninggal, tapi tidak dilepaskan ikatan kain kafannya. Pocong ini bergerak sambil melompat.

Page 136: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Tedi mengangguk.

“Iya, Ted, udah satu bulan gue sama Hardi nyusun rencana

dan melakukan penelitian tentang mahluk apakah pocong di sini.

Jadi sekarang bukti udah jelas. Kita bakal nangkep pocong itu dan

kita telanjangin trus diarak keliling Balaraja.” Terang Iwan sambil

tersenyum.

“Tapi emang itu pocong bener orang?” Tedi masih

bingung.

“Lu liat aja sendiri. Gue belom bisa mastiin sih,” jawabku.

“Apa ga sayang tuh kalo pocong kita ngga gebukin dulu ?”

Tyan ikut bertanya.

“Sip, ide bagus. Kita bikin jebakan dulu!” kataku

mengiyakan saran Tyan.

Mitos yang benar-benar mengusik. Membuat teror yang

mencekam. Pocong itu sudah beraksi selama tiga bulan. Keluar

setiap malam jumat. Kabarnya dia selalu menakuti orang-orang

yang lewat. Siapa pun. Pernah pula dicoba seorang Ustadz

berusaha mengusir pocong itu, tapi tidak berhasil. Kata Si Ustadz,

sinyal pocong itu sulit ditangkap (emang hape?). Katanya pula

bahwa pocong itu berilmu tinggi, jadi susah dilacak. Atau saja

Ustadz itu yang berilmu rendah sehingga tidak bisa membedakan

mana jin, setan atau manusia. Entahlah. Belum ada bukti-bukti

yang membuat kejelasan tentang kejadian ini. Hanya cerita-cerita

dari mulut ke mulut.

Page 137: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Lalu aku dan Iwan berinisiatif untuk memecahkan kasus

ini. dari beberapa bukti yang telah kami kumpulkan dari saksi-

saksi yang pernah melihat, kemungkinan besar ini hanya sebuah

teror dari seorang pencuri kampung. Karena kebanyakan ketika

kutanya kepada para saksi, mereka menjawab bahwa ketika akan

pulang ke rumah, mereka melihat kain putih melayang seperti

sedang memperhatikan sesuatu, lalu kain putih itu menoleh ke arah

mereka, ketika nampak wajahnya, mukanya rusak sekali, sangat

menyeramkan. Itu tidak lain adalah mahluk dari dunia bawah

bernama pocong yang tersesat tak tahu jalan pulang ke alamnya.

Kami berdua hanya geleng-geleng ketika mendengar penuturan

para saksi.

Lalu kami berdua membuktikan apakah itu benar-benar

pocong atau bukan. Ketika bukti-bukti sudah jelas, dan kami pun

melakukan penelitian lapangan. Yaitu membuktikan bahwa

pocong itu hanyalah mitos belaka.

Dua minggu lalu kami beraksi. Kami bersembunyi di

berbagai tempat untuk menyelidiki di mana pocong itu beraksi

malam itu. Lalu kami memang benar melihat sesosok kain putih,

entahlah. Pokoknya kain putih. Dari balik kain itu muncul tangan

yang mengeluarkan kantong plastik merah, pocong itu seperti

mengendap-endap. Dan dihabisilah jambu dari sebuah pohon di

RT 4 itu. Dan demikianlah, kami langsung kabur dengan kepuasan

tersendiri di dalam hati.

Page 138: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Dan malam ini, waktunya kami, hitam putih abu-abu

menangkap pocong yang amat meresahkan itu. Tugas besar

sebagai penanggung beban sebagai remaja yang beda dengan

remaja lain. Malam ini adalah malam Jum‟at, petang tiga puluh

(kata orang melayu adalah malam yang tergelap tanpa cahaya

bulan atau bintang sedikit pun). Rumah-rumah pun sudah gelap,

karena mereka semua takut dengan teror sang pocong.

Angin malam menyapa kami. Dengan nada pemberani

yang tak gentar kami terus melangkah dan mencari di mana lokasi

pocong itu berada. Strategi demi strategi kami susun, walau kami

yakin itu semua tidak akan berjalan lancar, diacak-acak oleh

keangkuhan kami yang berniat menghabisi pocong itu.

“Sstt, jangan pada ribut ya...” bisik Iwan seraya menge-

ndap-endap melewati gang demi gang di RT 5.

Kami mengangguk. Daerah RT belakang ini adalah

kekuasaan Iwan. Makanya ia sekarang memimpin jalan.

Memperhatikan jalan setiap gang. Betul-betul sepi sekali

malam ini. Hanya ada dinginnya malam. Sampai-sampai jangkrik

pun enggan menggesekkan sayapnya demi sebuah suara untuk

memeriahkan malam.

Di RT 5 tidak ada. Sekarang kami melaju menuju RT 6.

Lalu pandangan kami dikejutkan ketika melihat kain putih berjalan

di hadapan kami, itu dia, pocong yang kami cari. Tapi, nampaknya

Page 139: JALAN-JALAN TUJUH HARI

ia tak melihat kami berada di sini. Sebab ia tak bereaksi. Lalu kami

menjalani rencana yang tadi disusun.

“Oke, seperti yang tadi gue omongin...” aku mencoba

mengambil kendali.

“Sebentar, emang lu ngomong apa tadi, Har?” tanya Tedi.

“Iya, Har, emang lu tadi ngomong apa?” Iwan ikut

bertanya.

“Masa lu lupa sih, nih Tedi, lu jadi umpannya, pas pocong

ngeliat, lu pura-pura kaget. Iwan lu juga bareng Tedi, lu berdua

keliatan lagi mabok. Pake gaya orang mabok. Oke?” aku

menjelaskan. Oh ya, kayaknya aku tadi tak berbicara seperti itu

deh.

“Emang lu tadi ngomong kaya gitu, Har ?” Tedi kelihatan

bingung.

“Iya, Har, terus kenapa ga lu sama Tyan aja yang jadi

umpannya?!” Iwan malah memberondongku dengan perasaan

kesalnya.

“Tadi kan, Ted? Barusan kan gue ngomong. Hehe...” aku

senyum ketahuan berbohong, “Wan, kan hitam putih abu-abu

sutradaranya gue? Masa lu lupa? Katanya lu mau jadi bintang

film? Kalo Tyan yang jadi tokoh utamanya, ntar pocongnya malah

takut ngeliat dia...”

Kami semua tertawa.

“Huh, selalu begitu!” gerutu Iwan.

Page 140: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Iwan dan Tedi pun memulai aksinya. Mereka berdua

berjalan seperti orang mabuk. Berjalan sambil jatuh-jatuhan

bernyanyi-nyanyi yang tidak jelas. Sambil bergoyang-goyang, lalu

jatuh. Berjalan lagi, bernyanyi dan bergoyang. Mereka berdua itu

sangat ahli dalam mendalami suatu peran. Jadi memasang wajah

apapun mereka bisa. Kali ini mereka piawai sekali memasang

wajah orang yang sedang mabuk. Sendawa dan kecegukan, muka

kumal, dengan suara yang amburadul saat bernyanyi, mata sipit.

Aku dan Tyan memperhatikan mereka dari jarak yang tak jauh.

“Malammm, iiiniii maalammm juummaaattt...” Tedi

bernyanyi.

“Juuuummaaaatttt, juuuuuu... ukkhhkk uuhhhkkk...”

sambung Iwan sambil terbatuk-batuk.

“Kknnnhaaapeee lu Iiwaaannn ?”

“Ahh, lu Tedd, hahahaaa, putus cinntaaaaaa...”

“Jaaangggaaannn mabookk lu, Wann, masuk

nnerraaa...kaaaa. hahahaaa”

“Kataa bapaa ddii nerakaaa bannyaaaakkk cewee cakeep,

Teed. Masuk neeeraaakaa yuuu.hahaha!”

Mereka berdua sudah dekat dengan pocong itu.

Sepertinya si pocong tak menyadari kehadiran mereka. Ia sedang

asyik menyodok jambu, satu-persatu.

“Loh, mas-mas nnggpaaiihhnn. Uhhhkkk uhhhkkk” ucap

Iwan berpas-pasan dengan pocong itu.

Page 141: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Pocong itu menoleh ke arah mereka berdua. Mereka

bertiga saling bertatapan. Iwan dan Tedi terlihat kaget sekali,

karena muka pocong itu begitu menakutkan, mukanya hancur.

Tapi menurutku itu hanya sebuah topeng saja. Pocong itu pun

kaget, jambu yang ia ambil jatuh berhamburan ke bawah.

Tedi dan Iwan segera berlari.

“Pppppooocong!” teriak Iwan.

Mereka berdua terus berlari menuju ke arah kami. Lalu

Tedi terjatuh, ah kebiasaan, atau ia masih berusaha menjadi peran

pemabuk. Sebab dari cara bicaranya ia terlihat seperti orang

mabuk.

“Tttooo...looongg gue Iiwannn... tttooolll...llooonggg...lo-

ntooooongggg!” teriak Tedi.

Iwan melirik Tedi, segera saja ia membantu Tedi bangkit.

Pocong itu dari belakang berusaha mengejar dan menakut-nakuti

mereka berdua.

“Bangun cepet, Ted!”

“Merinding gue, Wan, gemeteran nih kaki gue. Serem

banget tuh pocong!”

“Dikit lagi, Ted, dikit lagi!”

Iwan langsung menarik Tedi. Ia berhasil berdiri, tapi jatuh

lagi, karena Iwan pun terjatuh ke belakang. Pocong mendekat. Aku

sudah siap dengan kayu di tangan. Rencananya akan kupukul

Page 142: JALAN-JALAN TUJUH HARI

pocong itu sekuat tenaga agar semua orang memandangku sebagai

pahlawan. Haha, ide yang aneh.

“Pocong! Gue matiin lu!” teriak Tyan sambil berlari deng-

an membawa bambu di tangannya. Ah sial, seperti biasa, dia

menggagalkan rencanaku. Hampir saja aku jadi terkenal.

Pocong kulihat kaget dengan keluarnya Tyan sambil

berteriak. Iwan dan Tedi tercengang melihat tingkah Tyan. Pocong

itu berbalik dan terjatuh karena tersangkut kain kafan yang ia

gunakan. Tapi ternyata ia langsung bangkit dan mencoba

menghadapi Tyan. Ia memasang kuda-kuda. Tyan bersemangat,

karena pocong itu berani menantangnya.

“Ga dapet banci, pocong pun gue tiduri!” ia mencoba

mengeluarkan pantun-pantun andalannya. Ia memasang kuda-kuda

juga, seperti pendekar shaolin yang memegang tongkat.

Angin malam mulai menusuk tulang kami. Tapi

pertarungan malam ini memanas. Iwan dan Tedi masih terpana

melihat pertarungan Tyan, mereka berdua belum sempat berdiri,

aku masih bersembunyi dan belum bergerak.

Tyan mengayunkan bambunya, gayanya persis pendekar

shaolin37

di televisi. Tidak percuma ia belajar silat di perguruan

Sundul Langit di daerahnya. Pocong itu berhasil menghindari

bambunya Tyan. Ternyata benar, pocong itu adalah manusia,

karena mana mungkin ada pocong yang jago silat, lalu memakai

37 Pendekar biksu yang berasal dari negeri China, beragama Budha.

Page 143: JALAN-JALAN TUJUH HARI

sepatu ala pemain skate board. Tyan mengayuhkan bambunya ke

bawah, mengarah ke kakinya pocong. Pocong melompat dengan

lincahnya. Diayunkannya lagi bambu ke arah dada si pocong, tapi

pocong itu berhasil menghindarinya dengan sikap khayang yang

andal.

Mereka berdua mengambil jarak untuk mengambil

ancang-ancang. Diangkatnya kain kafan pocong itu sampai

pinggang, lalu diikatkan di pinggang. Dia memakai celana jeans

ketat. Gaya anak muda zaman sekarang. Kulihat dari cara

bertarung mereka, sepertinya mereka mempunyai jurus yang sama.

“Jurus tendangan sapi terbang!” teriak pocong itu, yang

mulai membuka mulutnya. Ia melompat.

“Jurus sapi tidur!” Tyan pun mengambil posisi tidur.

Kabarnya, jurus sapi tidur ini adalah teknik pertahanan

andalannya. Ia tak dapat merasakan apapun apabila ia sudah

mengeluarkan jurus ini. Tubuhnya menjadi kebal. Badannya

menjadi berat dan sangat keras. Apabila ada yang mencoba

memukul atau menendangnya pasti akan merasakan sakit.

Oh ya, kawan, menurutku pertarungan mereka seperti film

anak kecil saja, atau yang ada di film kartun. Kalau mengeluarkan

jurus saja harus berteriak-teriak segala.

Pocong tadi tak dapat membuat Tyan sakit. Ia sepertinya

nyenyak tidur. Pocong itu mundur. Lalu bersiap dengan jurus

lainnya.

Page 144: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Jurus membelah bulan!” teriak si pocong.

Tyan segera terbangun. Pocong itu melompat tinggi sekali.

Lalu Tyan mengangkat tangan kanannya ke atas. Kami tegang

melihat kejadian ini, apakah ia akan kalah?

“Stop!” Tyan mencoba menghentikan jurus si pocong.

Pocong itu pun turun ke bawah, dengan perasaan heran. Lalu

mereka berhadapan.

“Tadi lu ngeluarin jurus apa?” tanya Tyan keheranan, apa-

kah Tyan tahu jurus ini? Ataukah ini jurus yang amat menakutkan?

“Jurus membelah bulan. Emang kenapa?” pocong itu

menjawab dengan lugunya.

“Lu liat donk ke langit...” ucap Tyan menunjuk ke atas.

Kami semua melihat ke atas, langit begitu gelap, gelap sekali, “Ga

ada bulan kan? Jadi jangan ngeluarin jurus membelas bulan kalo

ngga ada bulannya. Bakal kalah lu sama gue.”

Tyan bodoh! Untuk apa dia memberi tahu hal sepele sema-

cam itu. huh.

“Ya udah, gue ganti jurus...” pocong itu ikut-ikutan lagi,

“Jurus andalan!”

“Sebentar!” teriak Tyan, teriakannya menghentikan gera-

kan si pocong.

“Mau apa lagi?”

Page 145: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Mau kentut dulu...” ucap Tyan dengan muka menahan

sesuatu. Lalu, “Breeettttt....” suara kentutnya membahana ke

seluruh penjuru. Kami semua tertawa.

“Oke, gue serius, ini jurus yang terakhir. Serius lu,

Pocong!” ucap Tyan sambil menantang pocong itu. Serius?

Memang dari tadi siapa yang tidak serius?

“Oke, gue juga, gue pake jurus andalan gue, jurus yang

gue dapet dari goa karang. Jurus andalan, jurus pocong nyolong

jambu!” teriak pocong itu sambil melompat. Ia menghilang di

tengah kegelapan malam. Kain kafannya berkibar-kibar di langit.

Kabut seakan mengangkat dia terbang. Tak diragukan lagi, dia

memiliki jurus yang menakutkan, pantas saja orang-orang bilang

pocong itu bisa menghilang.

Tyan terlihat wajahnya gugup, seperti sedang menahan

sesuatu, seperti dia mau mengeluarkan angin lagi.

“Hitam putih abu-abu, tutup hidung kalian!” perintah

Tyan. Seketika kami segera menutup hidung kami. Begitu juga

dengannya.

“Jurus andalan, Krakatau Meletus!” Tyan berteriak sambil

mengeluarkan sesuatu dari bokongnya.

Sebuah suara yang begitu kencang. Bahkan, aku lihat dari

kejauhan, celananya sampai sobek, seperti dari bokongnya keluar

suatu benda yang mengarah ke pocong itu, tapi tak terlihat. Dan

baunya, padahal kami sudah menutup hidung kami, masih tercium,

Page 146: JALAN-JALAN TUJUH HARI

bau sekali. Daun-daun yang ada di sekelilingnya langsung rontok

dan layu. Dasyat sekali. Pocong yang tadi tak terlihat rupanya,

sekarang seperti kertas melayang di udara. Ia mencoba

menghindari jurusnya Tyan. Sepertinya gagal. Ia terpental, dan

jatuh ke bawah seperti sehelai kertas. Ia terkena jurus Tyan. Jurus

krakatau meletus, jurus yang telah menjatuhkan Pak Miming.

Kami melihat pocong itu jatuh dari langit. Kalau kau mau

tahu kawan, getaran angin saat itu sangatlah kuat, benar-benar

mengejutkan. Lalu si pocong tergeletak tak berdaya. Kami

menghampiri Tyan dan merangkulnya.

“Lu ngga kenapa-kenapa, Tyan?” tanya Iwan.

“Santai aja, Cuma celana nih sobek...” jawabnya sambil

tersenyum.

Kami lalu melihat pocong dan membuka topengnya. Ia

terlihat lemah tak berdaya. Kami menatapnya dengan iba.

“Jurus dahsyat...” ucap si pocong itu yang ternyata

manusia. Tyan hanya tersenyum.

“Gue menyerah...” langsung saja ia pingsan.

“Kita apain nih pocong?” tanya Tyan. Ia terlihat gagah

setelah mengalahkan pocong itu.

“Baru aja mau diarak keliling Balaraja sambil telanjang,

malah pingsan. Payah...” kata Tedi.

“Tau nih, mending dibawa ke kantor polisi yuk...” ajak

Iwan.

Page 147: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Lalu kami membopong pocong ini ke kantor polisi. Dalam

keadaan pingsan. Ah, gagal deh jadi pahlawan.

Di sela-sela perjalanan menuju kantor polisi, kami

berempat bercakap-cakap.

“Tyan, jurus lu aneh banget?” tanyaku.

“Iya, mana ada jagoan jurusnya kentut,” Iwan menimpali.

“Gini, gue bingung abisnya...” Tyan mengambil nafas.

“Bingung kenapa?” tanya Tedi.

“Gue bingung, soalnya jurus nyolong jambu itu adalah

jurus legendaris. Jurus yang tak bisa disentuh oleh siapapun.

Ketika si pocong melompat dan menghilang di langit, kita

kebingungan nyari dia. Lalu dia tiba-tiba muncul dan menghilang

di kegelapan malam, sambil meloncat-loncat. Persis pocong

sungguhan. Gue juga bingung abis itu, kata guru gue, kalo jurus itu

ga bisa dikalahin sama apapun, kecuali serangan jarak jauh,”

tuturnya dengan semangat.

“Terus lu diajarin jurus krakatau meletus itu sama guru

lu?” tanya Tedi.

“Ngga, ngga ada yang ngajarin. Gue inget kalo kentut gue

itu ampuh, pernah waktu berkemah dulu, Wan. Waktu pramuka, lu

inget ngga?” tanya Tyan, Iwan mengangguk, “Waktu itu api

unggun seketika mati waktu gue kentut, padahal itu ngga ada

suaranya, tapi baunya semerbak harummm.”

Page 148: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Oh pantes, gue kira waktu itu ada setan!” Iwan mencoba

mengingat kembali kejadian waktu dulu itu.

“Iya, tapi ngga ada yang tahu, kakak pembina aja yang ada

di sebelah gue pingsan. Kan Trus gue pake aja, dengan menge-

luarkan segenap tenaga yang ada. Meletuslah Krakatau...”

Tawa meledak di antara kami, di tengah perjalanan menuju

kantor polisi dengan angkot.

“Kok, lu bisa-bisanya namain kentut lu itu Krakatau Mele-

tus?” tanya Iwan.

“Gue waktu tadi inget kalo letusan paling dasyat itu

letusan Krakatau. Jadi gue namain aja Krakatau Meletus, lagian

pantat gue kan bentuknya kaya gunung Krakatau. Hehe”

Kami terus saja tertawa. Lalu sampailah kami di kantor

polisi. Kami menyerahkan peneror perumahan Permata Balaraja, si

pocong jambu. Kami menjelaskan semuanya kepada polisi, bahwa

betapa bahayanya pocong ini.

“Kalian semua telah berhasil menangkap pocong ini, mitos

yang menakutkan. Jadi, saya sebagai kepala polisi mengucapkan

terima kasih, sebagai imbalannya, kami akan memberi kalian 3

permintaan,” ucap polisi itu yang menggantikan tugas jaga Pak

Nan.

Kami semua berebut untuk meminta. Aku mencoba

mengambil alih lagi.

“Stop semua, stop! Biar gue yang ambil alih kendali!”

Page 149: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Kenapa mesti lu, Har?!” Iwan tak setuju.

“Gue kan sutradaranya...”jawabku sambil tersenyum.

“Huuuu” semua menyorakiku.

“Oke, yang pertama saya minta agar pak polisi memberi

tahu warga Permata Balaraja agar tak usah cemas, karena pocong

sudah tertangkap oleh hitam putih abu-abu. Bapak harus kum-

pulkan semua warga dan katakanlah semua itu, dan ketentraman

sudah kembali. Oke?”

Polisi mengangguk.

“Yang kedua, berikan Tyan, teman kami ini, celana.

Karena dia yang berhasil melumpuhkan pocong itu dan celananya

harus dikorbankan...”

“Iya, celana tentara, pak!” pinta Tyan.

“Ais...!” polisi tadi memanggil anak buahnya. Seorang

polisi yang kami kenal menghampirinya. Ya, polisi yang telah

menyeret kami ke hadapan Pak Nan. Ia melirik kami dengan

angkuh. Sepele.

“Ambilkan celana yang baru, celana sisa latihan kemarin.

Masih ada, kan?” Polisi tadi memerintahkan anak buahnya untuk

mengambil celana untuk Tyan.

Lalu kepada Tyan diberikanlah sebuah celana. Ya, celana

tentara.

“Keren...” ucap Tyan.

Page 150: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Yang ketiga...” aku bingung dengan permintaan yang

ketiga ini. Aku menggaruk kepala.

Aku mencoba mengajak berdiskusi yang lain.

“Gimana nih, gue bingung...”

“Udahlah jangan bingung-bingung, minta aja pistol...”

Tedi memberikan ide.

“Jangan, ntar kalo salah tembak, bisa mati orang, trus mau

lu dipenjara lagi?”

“Kaga dah...”

“Jadi?”

“Uang!” ucap kami secara bersamaan. Karena keuangan

kami sudah hampir habis.

“Begini pak...” aku mencoba memberi penjelasan kepada

pak polisi, “Karena keuangan kami menipis...” aku masih

cengengesan, “Kami minta uang aja deh, buat bekal petualangan

kami.”

“Gampang, ntar saya kasih...”

“Oia pak, izinin kami juga donk, dibolehin nongkrong di

belakang kantor polisi, soalnya ga ada tempat nongkrong lagi nih

di Balaraja...” Tyan langsung menyerobot dengan permohonan

yang bagus.

“Boleh-boleh, tapi inget jangan berbuat kejahatan...”

jawab pak polisi itu sambil tersenyum.

Kami semua mengangguk.

Page 151: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Lalu kami pun pergi meninggalkan kantor polisi dengan

perasaan senang karena mengantongi uang tiga ratus lima puluh

ribu rupiah, buat pesta besok nih.

Keesokan paginya di perumahan Permata Balaraja.

Pengumuman membahana di mana-mana. Di masjid dan

musallah, orang yang berkeliling dengan speaker. Mengatakan

bahwa segera warga Permata Balaraja untuk berkumpul di kantor

pemasaran, karena akan ada pengumuman penting dari polisi.

Seketika, seluruh warga pun beramai-ramai mendatangi

kantor pemasaran dengan penasaran.

Sekitar sepuluh orang polisi pun sudah siap dengan

berjuta-juta pidatonya yang membosankan. Karena, di mana-mana

tidak ada pidato yang mengasyikkan, kecuali pengumuman libur

panjang sekolah yang disampaikan oleh kepala sekolah saat

upacara. Polisi itu mengambil posisi.

“Selamat pagi semuanya! Salam sejahtera..” polisi yang

berbicara adalah polisi yang semalam berbincang dengan kami.

“Hari ini semuanya harus semangat dan jangan lagi

terprovokasi isu-isu yang membuat resah warga. Karena saya dan

teman-teman membawa kabar gembira. Yaitu tertangkapnya

pocong yang meneror daerah kita ini!”

Page 152: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Semua warga tepuk tangan, di antara riuh tepuk tangan ada

bisik-bisik sesama warga, “Saya bilang juga apa, bu, itu bukan

pocong. Itu orang...”

“Eh, wong sampeyan sendiri yang bilang dan pertama

ngasih gosip kalo di Permata ada pocong”

Polisi tadi melanjutkan, “Pocong itu hanyalah keisengan

orang yang ingin mencuri jambu. Lalu si pocong itu sekarang

sudah tertangkap. Semuanya, sekarang jangan panik lagi!”

Tepuk tangan kembali membahana.

“Ya, karena ketentraman ini dikembalikan oleh

sekelompok anak muda yang telah menyerahkan pocong itu, yang

tidak lain hanya manusia, mereka adalah hitam putih abu-abu!”

Tepuk tangan kembali membahana.

Di antara tepuk tangan, terdengar lagi bisik-bisik, tapi kali

ini dari para remaja wanitanya.

“Wah pasti pada ganteng ya si hitam putih abu-abu itu”

“Ah kata siapa, gue udah pernah ngedenger nama hitam

putih abu-abu, mereka anak alay, anak layang layang, yang tidak

laen tidak bukan cuma segerombol anak kampung”

“Yang bener lu?”

“Bener gue, tapi mereka ganteng-ganteng tau...”

“Kaga lah, orang gue sering ngeliat foto mereka di

Facebook...”

“Ohh”

Page 153: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Gembel semua...”

Parah....

“Yang pastinya, sekarang Permata Balaraja tentram

semua, tanpa mitos dan teror. Saya hanya ingin menghimbau,

apabila ada teror semacam ini lagi, segeralah menghubungi kantor

polisi, agar polisi mampu mengambil tindakan dengan cepat...”

Pidato polisi-polisi itu pun diakhiri dengan tepuk tangan

meriah, para warga pun bertepuk tangan dengan meriah.

Ketentraman kembali tercipta di perumahan ini.

Page 154: JALAN-JALAN TUJUH HARI

8

Percuma kalo ngumpul tapi negatif, percuma kalo ngobrol

tapi cuma ketawa, percuma kalo saling komunikasi kalo

buat nanyain kabar, percuma kalo kenal tapi nggak

berguna.

Katanya teman, ayo gebrak dunia bersama-sama! – Hardia

Rayya

Sore yang indah, ketika senja memancarkan semburat jingganya

ke langit. Warna-warna seakan meledak bersatu padu, berputar-

putar di langit yang maha luas ini. Burung-burung camar

beterbangan, juga burung bangau dengan anggunnya berkelompok

terbang menuju arah timur laut.

Kami sedang menikmati akhir-akhir petualangan di

Balaraja ini dengan sebuah pesta di dalam senja. Terlelap. Angin

sepoi-sepoi. Pesta bagi kami bukanlah sebuah acara mewah

dengan dentuman musik khas disko, pesta bagi kami adalah

berkumpulnya teman-teman dalam suatu tempat sambil bercerita

pengalaman, baik suka maupun duka, berbagi beban, saling

meminta maaf dan bermaafan satu sama lain. Apabila diantara

kami ada yang mengalami kesulitan, hendaknya kami saling

membantu mencari penyelesaiannya. Tak jarang kami semua turun

tangan membantu apabila seseorang itu tak bisa menyelesaikan

Page 155: JALAN-JALAN TUJUH HARI

masalahnya sendiri. Itulah pesta bagi kami, saat-saat tepat untuk

saling berbagi.

Lalu teringatlah aku kepada semuanya, kepada semua

orang yang telah hadir dalam setiap petualangan hitam putih abu-

abu, seperti seseorang yang menginspirasi kami, Guru yang tidak

boleh disebut namanya. Yang telah menanamkan pada kami

tentang kecintaannya pada petualangan yang telah mengajari kami

arti dari sebuah hidup. Juga Mbah Sugi, seorang guru yang telah

memanggil kami sebagai anak-anak yang terpilih, yang ditugaskan

untuk menjadikan diri sendiri seseorang yang benar-benar menjadi

orang, guru yang benar-benar mampu menjadi sebuah teman dan

ilmu di alam, guru yang tak terlihat seperti seorang guru. Pak Nan

dan pak Miming, anak-anak yang terpilih sebelum kami, yang

telah mengajarkan kami arti solidaritas, pentingnya sebuah usaha

dalam meraih mimpi, mengajarkan kami menilai seseorang tidak

dari kebanyakan, mengajarkan kami pentingnya imajinasi dan

sebuah ketenangan.

Aku yakin itu semua bermanfaat bagiku dan bagi teman-

teman yang lain.

“Halo, Wan...” suara perempuan terdengar dari balik BB-

nya Iwan.

“Ya halo, Ncik lu semua di mana?” Iwan mencoba

menjawab suara tadi. kami mengerubunginya.

Page 156: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Gue sama yang laen lagi di depan masjid Al-Jihad, lagi

jalan nih. Lu sama yang laen sendiri, di mana?”

“Gue di Talang, cepet lu semua ke sini...”

“Iya tunggu gue ya...”

Lalu telepon ditutup. Tamu kami datang. Teman lama,

para perempuan hitam putih abu-abu, yang hampir tak bertemu

sekian lama.

Dari kejauhan, dari atas, kami melihat tiga orang

perempuan muda berjalan menuju tempat kami. Mereka

melambaikan tangan. Kami pun berteriak-teriak menyatakan

bahwa kami ada di sini, di atas sini, di sebelah pintu air (orang-

orang Balaraja menyebutnya daerah talang). Tepat di bawah kami

sungai Cimanceuri yang anggun walau sudah kotor tercemar,

disebelahnya sawah terbentang luas dan di ujungnya terlihat

perumahan Permata Balaraja. Indah sekali sore ini.

Kami lalu bersalaman, perempuan yang pertama, yang

paling tua di antara mereka, namanya Bsik, Bsik Hikari, dia adalah

seorang wanita perkasa. Dengan gaya tomboi, dia tidak mudah

menyerah, tak takut kepada siapapun, ia jago karate. Tapi dibalik

semua itu, dia amatlah perhatian kepada teman-temannya, ia pun

sangat baik hati, terkadang manja. Sudah lama aku tak bertemu

dengannya, sekarang ia terlihat lebih dewasa. Oh ya, Bsik ini

sangat mengagumi kebudayaan Jepang, dia sampai-sampai sangat

ahli membuat origami, seni lipat kertas dari jepang.

Page 157: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Yang kedua adalah Ayu Lestari, perempuan yang satu ini

seperti biasa, walau manis wajahnya ia sangatlah judes dan jutek.

Banyak kenalan laki-lakinya. Walau begitu ia sangat lebay di

depan kenalannya. Keahilannya hebat membuat essai. Sudah lama

aku tak bertemu dengannya, ia sekarang mengenakan jilbab.

Yang terakhir adalah Vera Kristin, seorang perempuan

cerewet keturunan Tionghoa. Ia begitu cermat dalam hitung-

hitungan, sistem pengeluarannya sangatlah rumit, ia adalah

seorang ahli keuangan. Meskipun begitu ia baik sekali kepada

teman, walau kami semua berbeda agama dengannya, tak ada

batasan dan diskriminasi antara kami semua. Kami sangat

menghormati perbedaan. Dia juga jago merias wajah.

Ini adalah momen yang kunantikan sedari dulu. Saat kami

semua merindukan kebersamaan yang entah kapan lagi bisa

terjalin. Karena kami semua mungkin sudah dewasa juga memiliki

kesibukan yang benar-benar menyita waktu, sehingga memakan

seluruh kebersamaan ini yang dulu kami junjung tinggi.

Saatnya bersantai.

“Gila lu semua! Ngapain muter-muter Balaraja. Kurang

kerjaan!” Ucap Bsik. Dia amat terbuka orangnya.

“Tau lu, mending dapet oleh-oleh buat gue!” lanjut Ayu

dengan juteknya.

Page 158: JALAN-JALAN TUJUH HARI

“Iya kalian semua. Ternyata kalian hebat, kalian tidur di

mana aja sih? Pasti di kebon-kebon. Ih, aku mah ga mau jadi

seperti kalian. Nanti pada gatel-getel kena ulet bulu lagi. Iihh”

“lebay lu, Ver!” teriak kami bersamaan.

Tawa kembali bergema.

“Kapan nih jalan-jalan lagi bareng? Nyari komik atau

nyari novel, kek?” ajak Bsik.

“Iya, tunggu aja. Nyantailah” jawab Iwan.

“Ah lu mah, ga pernah ngajak-ngajak gue...” Ayu kesal,

karena dari dulu dia tak pernah diajak hunting bersama karena

kesibukannya.

“Lu mah, Yu, ngomongnya gitu. Kalo kita ajak, lu pasti

berjuta alesan, ya lembur lah, ya jalan lah sama tukang ojeg lu. Ya

mau kawin lah sama sapi. Hehe” kataku mengingat berjuta alasan

yang disampaikannya apabila kami mau pergi hunting barang.

“Ah, lu mah...”

Tawa kembali berderai.

“Iya nih, bulan depan kita jalan yu, kita ngeborong novel

sama komik!” ajak Tedi dengan semangat. Mengingat bulan depan

adalah hari ulang tahunnya.

“Iya, kita beli komik sama novel setumpuk dan beli

makanan dan beli sendal, sepatu dan...” sambung Tyan.

“Dan makan!” teriak Iwan.

Page 159: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Kami pun saling berbagi kisah yang selama ini kami

hadapi. Kisah perjalanan, kisah masing-masing dari kami, juga

tentang segala hal. Tidak ada benci, tidak ada dendam, tidak ada

kesalah pahaman, yang pasti saling memaafkan dan senyuman

yang terpancar di sore ini. Sampai senja tenggelam, senandung

persahabatan terus menggema.

Petualangan hitam putih abu-abu belum berakhir, malah

baru sampai sini. Tak pernah ada kata berakhir untuk sebuah

petualangan apabila ujung pelangi belum didapat. Kami mencari

jalan hidup ini. Dengan mengumpulkan filosofi hidup. Dan

merangkainya, menjadikannya gambar yang begitu nyata di

hadapan semua orang. Biarkan semua orang tahu, bahwa

kebenaran itu selalu benar, kebenaran itu harus dicari dan tak

mungkin datang sendiri.

Hidup itu, perjuangan yang harus diperjuangkan.

Lalu kami bersulang dan terlarut dalam senja.

Page 160: JALAN-JALAN TUJUH HARI

SAJAK SENJA V38

: untuk hitam putih abu-abu

kapankah kita bersama lagi menggurat takdir?

juga menanti halhal yang merindu

aku ingat

saat kita berpelukan sambil berdendang

mengutarakan sajaksajak

yang berisi tentang perjalanan menuju maut

ketika kita dulu bersulang menikmati kekalahan

merenungi kemenangan yang mungkin

tak sepatutnya kita dapati

aku merindu

merindu ketika menghadap kepada sore

yang tersenyum menyajikan oranyenya di hadapan kita

juga saat kita menyatukan kekuatan

untuk saling melindungi

kapan kita bersama lagi menggurat takdir?

kalau kalian semua tak sempat untuk berkumpul lagi

maka sisipkanlah

setiap hari

38 Sebuah puisi yang terkumpul dalam buku kumpulan puisi: Sajak Sebutir Peluru, Hardia Rayya.

Page 161: JALAN-JALAN TUJUH HARI

untuk melihat senja

sebagai tanda kita pernah

mabuk dalam kesunyian

Page 162: JALAN-JALAN TUJUH HARI

EPILOG

Tak ingin kusebutkan ini sebuah akhir. Tapi ini adalah

awal sebuah pijakan untuk melompat.

AWAL YANG BUKAN AKHIR

Balaraja, sebuah daerah yang berisi berbagai macam cerita, tawa,

air mata, suka, duka dari semua orangnya. Tak dapat dipastikan

apakah sebuah keyakinan atau pilihan di Balaraja ini. Yang nyata

adalah sebuah daerah yang terus digerus industrialisasi. Nafas

hijaunya mulai habis, polusi mulai menggurui, tak ada yang benar-

benar peduli, tanah hijau ini mulai digenangi kapitalisasi. Tak

terjaga karena merasa dikhianati. Mata air bersih kini sunyi tak

ditemui di sumur-sumur timba warga. Jalan yang rusak semoga

segera diperbaiki.

Daerah yang memiliki dua kepribadian, hijau dan kelabu,

kayu dan besi, asri dan polusi, petani dan buruh, burung dan

bisingnya mesin, segala hal yang berlawanan berdampingan di

sini, di Balaraja ini, di tanah yang dulu memang pernah menjadi

saksi bisu perhentian raja. Di mana orang-orangnya dari berbagai

suku, Sabang sampai Merauke.

Page 163: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Lalu sejenak renungkanlah apa yang bisa kita perbuat untuk

daerah kita sendiri, kalau daerahku Balaraja ini. Entah daerah

kalian di mana. Lihat sekeliling. Apa yang menyedihkan. Apa

yang mengenaskan. Segera ambil tindakan. Lalu apa yang manfaat

dan apa yang membawa khasiat, manfaatkkan. Beritahu bahwa

kita, sebagai warga itu bisa, saling berbagi dan buktikan, buktikan,

buktikan, bahwa kita bisa menjaga daerah kita dan

memanfaatkannya tanpa merusak. Bangun daerah kita itu, buatlah

sesuatu yang bisa membanggakan. Biarkan orang mengenal wajah

sesungguhnya daerah kita yang sangat kita banggakan.

Sebarkan kabar gembira bahwa ketentraman sekarang akan

ada!

Hitam Putih Abu-Abu

Page 164: JALAN-JALAN TUJUH HARI

UCAPAN TERIMA KASIH

Kepada Allah SWT dan Baginda Nabi Muhammad SAW.

Berikutnya kepada orang yang begitu mempengaruhi hidupku :

Mama dan Bapak, kedua adikku, Oi dan Ica, juga keponakanku,

Lola. Juga kepada sumber inspirasiku, Hitam Putih Abu-Abu,

Tedi, Iwan, Tyan, Ayu, Vera dan Bsik, kapan neh traveling lagi ke

luar pulau? Hehe. Juga kepada Toni yang sedang bertapa di

kalimantan, Leona. Teman-temanku di komunitas Balebambu, A

Atma, A Miming, A Nana, Yayu, Nina, Jannah, Jati, Mumun,

Nisa, Fitri, Nita, Doni, Gie, Romly. Juga orang yang

mengenalkanku kepada dunia tulis menulis, Khairi Hamba

(terimakasihku begitu besar untuk kalian semua).

Berikutnya, untuk Bunda Elis Tating Bardiyah, ibu di jejaring

sosialku. Teh Iis Istiana, tetehku yang paling tersayang, Kemala

Hayati. Putri Pratiwi Bharata yang hampir ketinggalan.

Abah Yoyok dengan Tangerang Serumpunnya dan kawan-kawan

yang lain. Mas Langlang Rhandawa, Gola Gong dan Roy Goozly

dengan Rumah Dunianya.Teteh Rifka juga. Sanggar Matahariku,

komunitas yang kubentuk dengan keringatku sendiri. Juga untuk

Five Oods Reaching The Rainbow, Dika, Bayu, Tedi, Babul,

teman-teman bandku, kapan-kapan kita bikin lagu buat soundtrack

film ya, hehe (mimpi lagi gua dah).

Page 165: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Teman-temanku sewaktu kecil, di SDN KELAPA DUA II di

tangerang. Juga Neni Susanti.

Dan seluruh kawan-kawan lain yang mungkin luput dari

penyebutan di atas, aku berterimakasih sebesar-besarnya kepada

kalian semua, karena tanpa kalian, mungkin aku bukanlah apa-apa.

Page 166: JALAN-JALAN TUJUH HARI

Tentang penulis

Hardia rayya, tinggal di daerah seribu pabrik, Balaraja. Hobi

traveling dan menulis. Bersama teman-temannya, hitam putih abu-

abu, ia mengadakan beragam petualangan ke berbagai tempat.

Keresahannya terhadap kehidupan remaja dan dunianya, ia

tuangkan dalam berbagai tulisan.

Kumpulan puisi, Sajak Sebutir Peluru adalah karyanya yang

pertama. Saat ini, dia tengah sibuk mengaktifkan diri di Sanggar

Matahari.

Email : [email protected]

Facebook : [email protected]

Page 167: JALAN-JALAN TUJUH HARI
Page 168: JALAN-JALAN TUJUH HARI