ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · variasi juga terjadi pada panjang rambut3. di daerah...

41
10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Macan Tutul 2.1.1 Taksonomi Macan tutul merupakan salah satu jenis kucing besar dari genus Panthera dalam famili Felidae. Spesies macan tutul adalah Panthera pardus Linnaeus, 1758. Berdasarkan analisis taksonomi moderen ada delapan atau sembilan sub spesies, salah satunya adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) yang hanya terdapat di Pulau Jawa 1 . Di beberapa daerah di Indonesia macan tutul dikenal dengan nama lokal, misalnya di Jawa dikenal dengan nama macan, sima, macan tutul, seruni, kombang, gogor, pogoh, bungbak; di Jawa Barat disebut meong hideung, kerud anjing, rimau lalat, meong krut; di Madura dikenal dengan nama macan totol (Direktorat PPA, 1978). Di Indonesia, macan tutul jawa sudah menjadi satwa yang dilindungi sejak tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970. Pada tahun 1999 status perlindungannya dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Sejak tahun 1978 macan tutul telah dimasukkan ke dalam Red list IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) dengan kategori Vulnerable. Sejak itu kategorinya terus berubah, tahun 1988 menjadi Threatened, tahun 1994 menjadi Indeterminate, pada tahun 1996 menjadi Endangered dan pada tahun 2008 menjadi Critically Endangered (IUCN-The World Conservation Union, 1996; Ario et al., 2008). 2.1.2 Deskripsi Fisik Wilayah dan habitat memiliki pengaruh pada penampilan macan tutul. Di Afrika, macan tutul yang hidup di daerah berbukit cenderung lebih besar daripada yang hidup di dataran rendah (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Secara umum ukuran tubuh macan tutul jantan 20 – 40 % lebih besar daripada betina (Garman, 1997). Ukuran rata- rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 2.1 (Hoogerwerf, 1970). 1 http://www.lioncrusher.com/animal.asp?animal=57

Upload: buinguyet

Post on 13-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Macan Tutul

2.1.1 Taksonomi

Macan tutul merupakan salah satu jenis kucing besar dari genus Panthera dalam

famili Felidae. Spesies macan tutul adalah Panthera pardus Linnaeus, 1758.

Berdasarkan analisis taksonomi moderen ada delapan atau sembilan sub spesies, salah

satunya adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) yang hanya

terdapat di Pulau Jawa1. Di beberapa daerah di Indonesia macan tutul dikenal dengan

nama lokal, misalnya di Jawa dikenal dengan nama macan, sima, macan tutul, seruni,

kombang, gogor, pogoh, bungbak; di Jawa Barat disebut meong hideung, kerud anjing,

rimau lalat, meong krut; di Madura dikenal dengan nama macan totol (Direktorat PPA,

1978).

Di Indonesia, macan tutul jawa sudah menjadi satwa yang dilindungi sejak tahun

1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970. Pada

tahun 1999 status perlindungannya dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.

Sejak tahun 1978 macan tutul telah dimasukkan ke dalam Red list IUCN

(International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) dengan kategori

Vulnerable. Sejak itu kategorinya terus berubah, tahun 1988 menjadi Threatened, tahun

1994 menjadi Indeterminate, pada tahun 1996 menjadi Endangered dan pada tahun

2008 menjadi Critically Endangered (IUCN-The World Conservation Union, 1996;

Ario et al., 2008).

2.1.2 Deskripsi Fisik

Wilayah dan habitat memiliki pengaruh pada penampilan macan tutul. Di

Afrika, macan tutul yang hidup di daerah berbukit cenderung lebih besar daripada yang

hidup di dataran rendah (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Secara umum ukuran tubuh

macan tutul jantan 20 – 40 % lebih besar daripada betina (Garman, 1997). Ukuran rata-

rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 2.1 (Hoogerwerf,

1970).

1 http://www.lioncrusher.com/animal.asp?animal=57

11

Tabel 2.1. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa.

Jenis Kelamin Panjang Total (cm)* Tinggi (cm) Berat (Kg)

Jantan 215 60 – 65 52

Betina 185 60 - 65 39

Sumber : Hoogerwerf (1970) Keterangan : *) diukur dari ujung moncong sampai ke ujung ekor.

Macan tutul memiliki cakar yang dapat ditarik masuk, berkait dan tajam. Hal ini

memungkinkannya untuk memanjat pohon dengan mudah, merobek daging mangsanya

serta menangkap dan menjatuhkan mangsanya. Macan tutul memelihara ketajaman

cakarnya dengan mencakar batang kayu yang membantunya melepaskan lapisan kuku

bagian luar2.

Warna dasar kulit sangat bervarasi tergantung pada lokasi, mulai dari kuning

keemasan di padang rumput terbuka, kuning-krem di daerah padang pasir sampai

kuning gelap di pegunungan dan daerah berhutan (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997).

Variasi juga terjadi pada panjang rambut3. Di daerah tropis rambut mereka cenderung

lebih pendek dan lebih halus, sementara di daerah dengan iklim yang lebih dingin

rambut mereka lebih panjang dan padat (Guggisberg, 1975; Nowak 1997).

Tutul-tutul hitam pada macan tutul tersusun dalam bentuk kembangan (rosette)

atau seperti bunga mawar. Bentuk kembangan ini terbatas pada punggung dan rusuk,

sedangkan tutul-tutul tunggal terdapat di kepala, kaki, telapak kaki, bagian bawah tubuh

yang warna dasarnya putih atau abu-abu dan ekor yang sisi bawahnya berwarna putih

(Grzimek, 1975; Lekagul & McNeely, 1977).

Terdapat kecenderungan melanisme (warna hitam) pada macan tutul

(Guggisberg, 1975; Nowak, 1997) dan yang mengalami melanisme dinamakan macan

kumbang (black panther) (Gambar 2.1). Macan kumbang masih memiliki tutul rosette

walaupun tersamar oleh warna rambut yang gelap dan hanya terlihat di bawah cahaya

yang kuat (Lekagul & McNeely, 1977; Garman, 1997). Menurut Garman (1997) macan

tutul yang mengalami melanisme kebanyakan ditemukan di hutan yang lebat dan basah,

2 http://www.lioncrusher.com/animal.asp?animal=57 3 http://www.felidtag.org/pages/Educational/FactSheets/leopard.htm

12

dimana warna ini bermanfaat dalam perburuan. Di Jawa sebagian besar macan tutul

mengalami melanisme4.

Robinson (1969) dalam Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa bila fase tutul

kawin dengan fase tutul maka perbandingan anak-anaknya adalah tiga tutul dan satu

kumbang, bila fase tutul kawin dengan fase kumbang maka perbandingan anak-anaknya

adalah satu tutul dan satu kumbang, dan bila fase kumbang kawin dengan fase kumbang

maka seluruh anaknya adalah kumbang.

Gambar 2.1. Kiri: Macan tutul yang mengalami melanisme; kanan: macan tutul

dengan pola warna normal (kanan).

2.1.3 Penyebaran Geografis

Macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas di antara jenis kucing

(Guggisberg, 1975; Lekagul & McNeely, 1977). Dari Afrika (melampaui Sahara

Tengah), macan tutul menyebar ke Asia Kecil, Afganistan, Turki, Iran, India, Srilanka,

Jawa, China termasuk China Utara (Manchuria), hingga Amar Ussuri (Grzimek, 1975;

Nowak, 1997; Sanderson, 1972). Ke arah utara macan tutul menyebar ke Rusia Timur

Jauh5.

Di Indonesia, macan tutul jawa (Panthera pardus melas) hanya ditemukan di

Pulau Jawa dan Pulau Kangean (Direktorat PPA, 1978; 1982). Sisa fosil yang

ditemukan menunjukkan umur satu juta tahun (Hemmer & Schutt, 1973). Van Helvoort

et al. (1985) memperkirakan macan tutul diintroduksi ke Pulau Kangean yang letaknya

4 http://www.felidtag.org/pages/Educational/factSheets/leopard.htm 5 http://www.felidtag.org/pages/Educational/FactSheets/leopard.htm

Sumber : UCN - The World Conservation Union (1996)

Sumber : http://globalcrossing.net/∼brendel/leopard.htm (2007)

13

lebih jauh dari Jawa dibandingkan Pulau Bali, di mana macan tutul tidak ada. Macan

tutul tidak terdapat di Sumatera, Kalimantan maupun Bali (Hoogerwerf, 1970).

Seidensticker (1986) berspekulasi bahwa macan tutul (dan harimau) mungkin tidak ada

di Pulau Borneo karena tidak adanya mangsa utama berupa ungulata besar dan macan

tutul tidak ada di Pulau Bali karena adanya harimau Bali dan tidak ada di Sumatra

karena melimpahnya anggota Felidae lainnya (tujuh spesies). Pada tahun 1996

ekspedisi yang dilakukan oleh Konservasi Satwa bagi Kehidupan (KSBK) di Cagar

Alam Pulau Sempu (Kabupaten Malang) menemukan macan kumbang di pulau seluas

877 ha tersebut (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996).

Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/Image:Panthera_pardushistoric_distribution.gif

Gambar 2.2. Sejarah penyebaran macan tutul di dunia.

Di Jawa Tengah macan tutul terdapat di Randublatung, Pati, Kendal, Semarang,

Telawa, Gunung Muria dan Gunung Lawu (Hoogerwerf, 1970). Menurut Direktorat

Jenderal PHPA (1987) daerah penyebaran macan tutul di Jawa Tengah dan Daerah

Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut: Pulau Nusa Kambangan, Batang,

Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Kebasen, Notog, Jatilawang, Gunung Slamet,

Gunung Muria, Gunung Kidul, Gunung Merapi dan Kulon Progo.

Di Jawa Timur macan tutul terdapat di Taman Nasional Meru Betiri, TN.

Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun dan

Gundih. Di Jawa Barat macan tutul terdapat di Cianjur Selatan, Gunung Gede, Gunung

Pangrango, Cirebon dan Taman Nasional Ujung Kulon (Hoogerwerf, 1970). Suatu

14

penelitian yang dilakukan oleh tim LIPI, PHPA dan JICA berhasil memotret macan

tutul di TN. Gunung Halimun (Departemen Kehutanan, 1997).

Gunawan (1988) menemukan bukti keberadaan macan tutul berupa feces, jejak

dan bekas cakaran di pohon serta garukan di tanah di Cagar Alam (CA) Pringombo

(Kab. Banjarnegara), hutan jati BKPH Subah (Kab. Batang), Serang (Kab. Purbalingga)

dan CA. Nusa Kambangan Timur (Kab. Cilacap). Sementara Di Gunung Kidul tidak

berhasil diperoleh bukti keberadaan macan tutul.

2.1.4 Habitat

Macan tutul menempati berbagai tipe habitat dengan toleransi yang tinggi

terhadap variasi iklim dan makanan (Guggisberg, 1975; Lekagul & McNeely, 1977).

Macan tutul merupakan spesies yang sangat mudah beradaptasi. Mereka ditemukan di

setiap tipe hutan, savana, padang rumput, semak, setengah gurun, hutan hujan tropis

berawa, pegunungan yang terjal, hutan gugur yang kering, hutan konifer sampai sekitar

pemukiman (Cat Specialist Group, 2002).

Di Asia macan tutul terdapat di hampir semua tipe lingkungan6. Macan tutul

sangat tangguh menghadapi perkembangan pemukiman manusia, akibat meningkatnya

kepadatan populasi manusia di sekitar hampir seluruh habitatnya. Macan tutul masih

ditemukan di seluruh Jawa meskipun dalam jumlah yang sedikit, padahal pulau ini

merupakan salah satu pulau terpadat penduduknya di dunia (IUCN - The World

Conservation Union, 1996).

Macan tutul lebih toleran daripada harimau terhadap temperatur ekstrim dan

lingkungan yang kering (Santiapillai & Ramono, 1992), sebagai contoh, mereka lebih

umum di hutan monsoon tropika yang kering musiman daripada harimau, yang

tergantung pada sumber air permanen (Kleiman & Eisenberg, 1973; Sunquist, 1981;

Johnsingh, 1983; Rabinowitz, 1989).

Di Afrika macan tutul lebih menyukai semak yang tebal di lingkungan berbatu

dan hutan tepi sungai untuk habitat mereka7. Macan tutul sangat menyukai daerah yang

memiliki pohon untuk aktivitas berlindung dan mengintai karena mereka merupakan

pemanjat yang menakjubkan8.

6 http://www.felidtag.org/pages/Educational/factSheets/leopard.htm 7 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/Friedman/habitat.html 8 http://library.thinkquest.org/11234/leopard. html

15

Betina harus memiliki tempat untuk bersarang di dalam home range-nya

(Bailey, 1993). Tempat bersarang biasanya vegetasi tebal atau singkapan batu. Sarang

sangat penting untuk kelangsungan hidup anak-anaknya karena melindung mereka dari

pemangsa9.

2.1.5 Daerah Jelajah dan Teritori

Macan tutul jantan memiliki home range yang sering overlap dengan beberapa

home range betina. Home range macan tutul umumnya terpusat di sekitar badan air di

mana mangsa terkonsentrasi (Seidentsicker and Susan, 1991). Home range macan tutul

jantan lebih besar karena mangsanya biasanya lebih besar daripada mangsa macan tutul

betina (Sunquist, 2001). Ukuran home range macan tutul sangat bervarasi dan sangat

tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN - The World

Conservation Union, 1996).

Aspek-aspek seperti pelindung, perburuan serta penyebaran dan kelimpahan

mangsa adalah penting dalam menentukan ukuran jelajah karnivora pada umumnya,

khususnya Felidae. Semua daerah jelajah memiliki sedikitnya satu badan air dan

beberapa lainnya memiliki lebih dari satu badan air, tetapi macan tutul tampaknya tidak

menggunakan sungai baik secara eksklusif ataupun sebagai batas alam jelajahnya10.

Ukuran home range macan tutul jantan berkisar antara 30 – 78 km2 dan betina

23 – 33 km2 di kawasan yang dilindungi (Bailey, 1993). Home range mungkin jauh

lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang. Sebagai contoh, home range

berkisar antara 338 - 478 km2 ditemukan Norton & Lawson (1985) di dataran tinggi.

Bothma and Knight (1997) menemukan bahwa di Kalahari Selatan yang kering dan

miskin mangsa, rata-rata home range macan tutul jantan dewasa adalah 2.182 ± 492

km2 dan betina dewasa 489 ± 293 km2. Sementara di Taman Nasional Royal Chitwan,

Nepal, yang memiliki kepadatan populasi ungulata sangat tinggi, home range macan

tutul betina hanya 6 – 13 km2 dan di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika

Timur, teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2 (IUCN - The World Conservation

Union, 1996).

Penelitian pada sebuah ranch di Laikipia, Kenya seluas 200 km2 menunjukkan

bahwa macan tutul betina memiliki home range eksklusif rata-rata 14,0 km² dan 9 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 10 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/Friedman/socialsystem.html

16

beberapa diantaranya overlap dengan betina dewasa muda. Home range macan tutul

jantan rata-rata 32,8 km² dan tidak overlap antar sesama jantan tetapi overlap dengan

teritori-teritori betina (Mizutani & Jewell, 1998). Macan tutul muda tidak memiliki

home range tetap sampai mendapatkan home range karena yang dewasa mati11.

Macan tutul mempertahankan teritorinya dari individu lain sesama jenis

kelamin. Jantan dan betina menandai tertorinya dengan menyemprotkan urin dan

meninggalkan tanda cakaran pada batang pohon di pinggiran teritori mereka12. Menurut

Grzimek (1975) macan tutul tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan cukup

tersedia dan mudah didapat.

2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makan

Menurut Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970), macan tutul akan membunuh

dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya. Kebanyakan mangsa macan tutul

adalah satwa yang masih anak-anak (infant/juvenile) atau yang sudah tua karena

biasanya keadaannya lemah dan mudah ditangkap (Grzimek, 1975). Macan tutul lebih

menyukai ungulata dengan berat tubuh 20 sampai 50 kg13, tetapi kadang-kadang

berburu mangsa yang jauh lebih besar14.

Mangsa macan tutul di Jawa antara lain : babi hutan, kijang, rusa, monyet,

landak, lutung dan burung (Direktorat PPA, 1978). Menurut Bartels (1929) dalam

Hoogerwerf (1970) macan tutul memangsa teledu, musang dan owa abu-abu. Grzimek

(1975) menyatakan bahwa satwa-satwa kecil seperti kelinci, binatang pengerat, ikan dan

burung juga dimangsa macan tutul, bahkan juga buah-buahan yang manis.

Menurut Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul memangsa

binatang melata dan ketam, bahkan menurut Schaller (1969) dalam Lekagul & McNeely

(1977), macan tutul juga memangsa serangga. Westra (1931) dalam Hoogerwerf (1970)

menjumpai macan tutul memburu dan memangsa kelelawar. Sementara menurut

Direktorat PPA (1982) macan tutul memangsa penyu laut yang sedang atau baru selesai

bertelur di pantai. Di daerah yang kepadatan mangsanya rendah, macan tutul juga

11 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 12 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 13 http://www.katzenseite.net/infos/habitat.htm 14 http://www.katzenseite.net/infos/habitat.htm

17

memakan landak, trenggiling, burung merak, ayam hutan, monyet di pohon dan anjing

yang tersesat di pinggiran desa15.

Bila di lingkungan hidupnya persediaan makanan sudah sangat berkurang,

macan tutul kadang-kadang masuk ke perkampungan di sekitar hutan dan memangsa

hewan ternak (Direktorat PPA, 1978). Hewan ternak yang sering dimangsa oleh macan

tutul adalah unggas dan kambing (Veevers-Carter, 1978). Seperti kebanyakan predator

besar, macan tutul dapat menjadi satwa kanibal (Hoogerwerf, 1970).

Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul di Jawa

memakan korbannya mulai dari jantung, hati dan bagian-bagian lunak lainnya. Giginya

mengagumkan dan efisien untuk membunuh; taringnya membuat gigitan mematikan

dan merobek menembus kulit jangat, sementara molar-nya yang setajam pisau cukur

dan lidahnya yang kasar membuat daging cepat tertelan16.

Macan tutul kadang-kadang menyimpan sisa makanannya dengan cara

menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah. Sering pula sisa makanannya

disimpan di atas pohon untuk menghindari jangkauan binatang pemakan bangkai (Van

Dooren, 1949 dalam Hoogerwerf, 1970; Grzimek, 1975). Macan tutul mampu

mengangkat mangsa seberat 125 kg (2 – 3 kali beratnya) ke atas pohon setinggi 5,8 m

(Hamilton, 1976).

Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970), macan tutul kembali ke

tempat penyimpanan sisa makanannya setelah dua atau tiga hari, bahkan kadang-kadang

lebih. Home (1927) dalam Hoogerwerf (1970) mengatakan bahwa macan tutul kembali

ke tempat penyimpanan sisa makanannya setelah lelah dan gagal dalam berburu.

Kebiasaan memakan bangkai yang disimpannya memungkinkan macan tutul mudah

keracunan (Bailey, 1993)

Bailey (1993) menemukan interval rata-rata antara pemangsaan ungulata

berkisar 7 – 13 hari dan konsumsi harian rata-rata macan tutul dewasa jantan adalah 3,5

kg dan betina 2,8 kg. Menurut Hart et al. (1996) komposisi makanan macan tutul terdiri

atas 53,5 % ungulata dan 25,4 % primata dengan rata-rata berat mangsa 24,6 kg.

Menurut Karanth & Melvin (1995) mangsa macan tutul berimbang antara ungulata dan

primata yaitu 89-98 %. Setelah makan, macan tutul biasanya mencari air untuk minum.

Macan tutul dapat bertahan hidup dengan baik pada musim kering yang panjang 15http://www.katzenseite.net/infos/habitat.htm 16 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/ Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm

18

walaupun hanya minum tiap 2 - 3 hari sekali (Grzimek, 1975). Macan tutul tidak

membutuhkan banyak air karena cairan yang terkandung pada mangsanya sudah cukup

untuknya17.

2.1.7 Kebiasaan dan Perilaku

a. Kebiasaan

Macan tutul termasuk satwa yang gemar mengembara dan kurang bersifat

menetap, tetapi suka kembali ke tempat persembunyiannya semula (Direktorat PPA,

1978). Macan tutul pemalu, cerdik dan berbahaya, khususnya ketika terluka18.

Seperti halnya harimau loreng (Panthera tigris), macan tutul biasanya hidup

menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan masa mengasuh anak. Di Jawa

tidak ada peneliti yang menyebutkan adanya kelompok macan tutul yang lebih dari dua

ekor atau seekor induk yang diikuti oleh lebih dari dua ekor anak (Hoogerwerf, 1970).

Walaupun mungkin merupakan pemangsa paling nokturnal, tetapi macan tutul

juga berburu di siang hari19. Di siang hari yang panas, macan tutul berteduh, baik di

pohon, gua maupun naungan batu. Pohon dan batu berfungsi ganda sebagai tempat

yang baik untuk mengamati areal perburuan dan untuk berlindung. Macan tutul

kadang-kadang berjemur matahari pagi20.

Macan tutul membuang kotoran (feces) tanpa disembunyikan, tetapi diletakkan

di tempat-tempat terbuka misalnya di atas batu-batu besar (Medway, 1975). Gunawan

(1988) mendapati kotoran macan tutul di tengah-tengah persimpangan jalan di hutan jati

Perum Perhutani di Subah (Kabupaten Batang) dan batas kawasan Cagar Alam

Pringombo (Kabupaten Banjarnegara).

Macan tutul adalah perenang yang baik tetapi tidak akan berendam dalam air

seperti harimau, bahkan macan tutul menghindari genangan air seperti kucing rumah

yang tidak senang menjadi basah21. Seperti halnya kucing besar lainnya, secara umum

macan tutul menghabiskan waktu sekitar dua per tiga waktu untuk istirahat dan

17 http://www.katzenseite.net/infos/habitat.htm 18 http://www.sa-venues.com/wildlife/wildlife_leopard.htm 19 http://www.dataid.com/junglegallery.htm 20 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big5/Leopard/Leopard_Information.htm 21 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm

19

mempelajari lingkungannya (Seidentsicker and Susan, 1991). Sebagian besar waktunya

untuk berbaring di pohon, di atas batu besar atau di sarangnya22.

Macan tutul adalah satwa arboreal, yang berarti mereka makan, tidur, kawin dan

memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton, 1998). Mata mereka sangat spesialis

untuk melihat pada malam hari dengan lapisan pemantul di belakang matanya yang

disebut tapetum lucidum yang membuat cahaya melewati mata dua kali, menciptakan

image yang lebih cemerlang bahkan di cahaya yang redup (Kitchener, 1991). Seperti

halnya banyak kucing lainnya, macan tutul menggunakan kumisnya untuk merasakan

jalan mereka ketika melewati semak yang lebat di malam yang gelap (La Brasca,

2007).

b. Perilaku Berburu

Macan tutul merupakan pemburu soliter23. Pada umumnya macan tutul mencari

mangsa pada senja hingga malam hari, jarang mereka berburu pada siang hari (Grzimek,

1975). Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970), waktu aktif macan tutul

mengadakan perburuan adalah antara pukul 15.00 sampai 20.00 dan antara pukul 03.00

sampai 06.00, jadi tidak selalu dalam keadaan gelap. Tidak ada kecenderungan yang

kuat baik pada aktivitas nokturnal maupun diurnal (Rabinowitz, 1989). Di Afrika macan

tutul berburu pada siang hari untuk menghindari kompetisi dengan singa dan hyena

(Guggisberg, 1975; Leyhausen & Tonkin, 1979). Dalam beberapa kasus, macan tutul di

Pulau Jawa juga berburu pada siang hari.

Macan tutul adalah pemburu dan penyergap yang berburu dengan indera

penglihatannya, suaranya dan penciumannya. Macan tutul mengincar atau mengintai

mangsanya dari atas pohon atau dari balik semak-semak (Direktorat PPA, 1978).

Ketika mengintai, macan tutul merundukkan badannya ke tanah dan ekornya horisontal,

sementara matanya melokalisir mangsanya menggunakan penglihatan malamnya yang

tajam, berdiam jika mangsanya menengok ke sekitar karena curiga; kemudian macan

tutul menyergap dengan tepat dan cepat24.

22 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 23 http://library.thinkquest.org/11234/leopard.html 24 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm

20

Macan tutul memburu mangsanya pada jarak pendek (umumnya kurang dari 30

m) dengan meloncat mangsanya disergap dan diterkam bagian tengkuknya25. Jika

mangsa tertangkap, lehernya digigit dan moncongnya dicakar dengan kaki depan serta

diserangnya sampai mangsa tidak berdaya (Direktorat PPA, 1978). Mangsa dibunuh

dengan mencekik atau menggigit bagian belakang kepala sehingga memutuskan saluran

syaraf tulang belakang26.

c. Perilaku Berkomunikasi

Macan tutul umumnya pendiam. Karakteristik suaranya paling banyak adalah

suara geraman parau, batuk serak berulang-ulang dalam interval, yang mirip dengan

suara gergaji mesin (chainsaw). Panggilan serak biasanya dikeluarkan oleh macan tutul

jantan untuk mengumumkan teritorinya yang akan dibalas oleh macan tutul lainnya, jika

ada individu lain di sekitarnya maka akan terus berulang-ulang mengeluarkan suara

tersebut sampai individu lain itu pergi. Macan tutul mempunyai suara individual yang

berbeda dan ini mungkin menguntungkan bagi satwa soliter seperti macan tutul untuk

mengenali satu dengan lainnya dari kejauhan melalui suara seperti juga mereka saling

menghindar satu sama lain. Dua macan tutul jantan teritorial akan selalu saling

menggeram. Macan tutul betina akan memanggil bila sedang oestrus. Macan tutul juga

dikenal mendengkur selama makan27.

Penandaan teritori oleh macan tutul juga merupakan cara yang penting dalam

komunikasi intra spesifik28. Batas-batas teritori secara teratur ditandai dengan urin,

feces, kemunculan/kehadiran, cakaran di tanah dan pohon29.

d. Perilaku Sosial

Sistem sosial merupakan cara adaptasi macan tutul, karena macan tutul

merupakan karnivora berukuran sedang sehingga tidak memiliki banyak pemangsa dan

dapat berburu sendiri dengan efisien. Cara berburu mereka membuat mereka harus

hidup menyendiri tanpa tergantung pada saudara kandung atau induknya untuk

keberhasilan perkembangbiakan. Tekanan seleksi utama yang membentuk sistem sosial

25 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 26 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 27 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 28 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_Information.htm 29 http://www.lioncrusher.com/animal.asp?animal=57

21

macan tutul adalah lingkungan. Keanekaragaman jenis mangsa macan tutul merupakan

penyumbang utama sistem sosial ini. Karena macan tutul tidak tergantung pada satu

jenis sumber makanan, maka jumlah pesaingnya sedikit30.

Dalam sistem sosial, macan tutul jantan mempertahankan teritorinya yang dapat

mencakup teritori dari dua atau tiga macan tutul betina. Macan tutul jantan

mempertahankan teritori dari jantan lain, dan betina mempertahankan teritori dari betina

lain. Tampaknya anak betina membangun teritorinya di dalam teritori induknya,

sementara anak jantan dikeluarkan dari teritori induk jantan sampai membentuk teritori

di luar tempat kelahirannya31.

Karena macan tutul soliter, pertemuan para dewasa dari jenis kelamin yang sama

umumnya jarang. Macan tutul dewasa dari jenis kelamin yang sama dan memiliki

daerah jelajah bersebelahan atau overlap biasanya saling menghindar, tetapi perkelahian

bisa terjadi khususnya untuk memperebutkan mangsa32.

Interaksi antara macan tutul dan spesies pemangsa besar lainnya sangat

kompleks (Bertram, 1982). Macan tutul cenderung menghindari daerah kekuasaan

harimau33. Keberadaan pohon atau batu sebagai tempat menyelamatkan diri

memungkinkan macan tutul dapat hidup bersama (co-exist) dengan pesaing-pesaing

besarnya. Macan tutul dapat masuk dalam teritori singa yang kosong (Bertram 1982).

Dimana ada harimau, macan tutul cenderung sedikit (Schaller, 1967; 1972; M.K.

Ranjitsinh pers. comm. dalam La Brasca, 2007), tetapi ini bukan aturan yang baku. Di

Taman Nasional Chitwan, Nepal, macan tutul dan harimau co-exist dengan cara berburu

pada waktu yang berbeda dan mangsa yang berbeda serta menggunakan komplek

vegetasi yang berbeda (Seidensticker, 1976). Macan tutul makan mangsa yang lebih

kecil (biasanya kurang dari 75 kg) (Seidensticker, 1976; Johnsingh, 1983), pembagian

mangsa juga terjadi antara singa dan macan tutul di Serengeti (Bertram, 1982) dan Gir

Forest (R. Chellam in litt., 1993 dalam La Brasca, 2007).

30 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 31 http://www.travelafricamag.com/content/view/176/56 32 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 33 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm

22

2.1.8 Perkembangbiakan dan perilaku berkembangbiak

a. Sistem Perkawinan dan Perilaku Kawin

Sistem perkawinan macan tutul adalah promiscuity yaitu jantan dan betina kawin

dengan lebih dari satu pasangan dan tidak ada ikatan jangka panjang34. Betina akan

kawin dengan jantan-jantan yang lebih tua yang memiliki home range overlap

dengannya. Sistem perkawinan ini berkembang karena betina dapat membesarkan

anak-anaknya tanpa bantuan dan perlindungan jantan35.

Macan tutul tidak memiliki musim berkembang biak khusus36. Jika musim

memungkinkan, macan tutul akan kawin sepanjang tahun (Guggisberg, 1975;

Kithchener, 1991; Nowak, 1997), tetapi puncaknya selama musim kelahiran mangsa

utamanya 37.

Seekor betina mengalami oestrus rata-rata tujuh hari (4 – 14 hari)38 dengan

siklus sekitar 46 hari39. Betina yang oestrus akan menarik perhatian jantan dangan

memanggil, dan akan meninggalkan tanda bau pada pohon atau semak-semak, ia juga

menjadi sering mengembara keluar dari home range-nya. Jantan dan betina membentuk

asosiasi sementara, dan seekor betina oestrus mungkin dikawini oleh beberapa jantan

dalam rentang waktu yang singkat40.

Jantan memiliki ritual perkawinan dengan betina-betina yang memiliki teritori

overlap dengan teritorinya (Estes, 1991). Jantan akan mengikuti betina yang birahi dan

berkelahi dengan jantan lain untuk mendapatkan hak kawin (Estes, 1991; Nowak,

1997). Macan tutul betina siap dikawini dalam interval 3-7 minggu dan periode ini

berlanjut sampai beberapa hari di mana terjadi perkawinan41.

Seekor betina mungkin dirayu oleh beberapa jantan. Jantan yang berhasil akan

menggigit bagian belakang leher betina dengan giginya, betina akan menampar jantan

ketika kopulasi telah sempurna. Kopulasi sangat sering, dari 70 sampai 100 kali

sehari42. Laman & Cheryl (1997) yang mengamati perilaku kawin macan tutul di

Taman Nasional Serengeti, Tanzania menemukan kopulasi sebanyak 13 kali selama satu 34 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 35 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 36 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_ Information.htm 37 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 38 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 39 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 40 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_ Information.htm 41 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Leopard 42 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm

23

setengah jam pengamatan. Semua kopulasi tercatat dan semua dimulai dengan betina

berjalan mundur dan maju di depan jantan yang sedang beristirahat, menggosokkan

badannya dan menggoyang-goyangkan ekornya di wajah sang jantan. Jantan seringkali

menggigit betina di bagian tengkuknya selama interaksi ini. Perkawinan disertai dengan

suara geraman, baik dari jantan maupun betina. Puncaknya berlangsung rata-rata tiga

detik dengan interval rata-rata antara kopulasi 6,5 menit. Dalam kandang, kopulasi

tercatat 100 kali sehari (Kitichner, 1991) dan kopulasi yang terlihat bisa jadi merupakan

bagian dari percumbuan43.

Rata-rata lamanya waktu jantan dan betina dewasa bersama adalah 2,1 hari.

Ketika betina dan jantan menghabiskan waktu bersama, mereka akan kawin, jantan akan

mengikuti betina kemanapun pergi dan kadang-kadang mereka berbagi mangsa

buruan44. Perkawinan berlangsung selama dua atau tiga hari. Interval dengan

pekawinan berikutnya dua tahun45. Setelah musim kawin berakhir, jantan dan betina

akan berpisah46.

b. Masa Bunting dan Jumlah Anak Per Kelahiran

Macan tutul betina akan mencapai kematangan seksual pada umur rata-rata 33

bulan (30 – 36 bulan)47. Seekor betina, pertama melahirkan pada umur 2,5 tahun

sampai 3 tahun48. Masa kehamilan rata-rata 96 hari (90 – 112 hari)49. Laporan lain

menyebutkan masa kebuntingan macan tutul 3 - 5 bulan50.

Induk yang bunting mencari gua, celah batu besar, lubang pohon atau semak

belukar untuk melahirkan dan membuat sarang (Nowak, 1997; Guggisberg, 1975).

Anak-anak macan tutul dilahirkan dalam gua, lobang pohon, lubang tanah atau tempat

berlindung lain yang sesuai51. Macan tutul umumnya melahirkan dua anak per

kelahiran, kadang-kadang tiga atau empat,52 tetapi juga ada yang melaporkan sampai

43 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 44 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 45 http://www.travelafricamag.com/content/ view/176/56 46 http://www.naturalia.org/ ZOO/AN_TERRA/e_leopardo.html 47 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 48 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Leopard 49 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 50 http://www.naturalia.org/ ZOO/AN_TERRA/e_leopardo.html 51 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_

Information.htm 52 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Leopard

24

enam ekor setiap kelahiran53. Rasio kelamin dalam setiap kelahiran adalah satu banding

satu54.

Angka kematian bayi tinggi sehingga hanya tersisa satu atau dua anak

(Guggisberg, 1975; Kithchener, 1991; Nowak, 1997). Menurut Garman (1997) angka

kematian anak macan tutul 40-50%, sehingga biasanya jarang dijumpai induk bersama

anak lebih dari 1 - 2 ekor55.

Anak-anak macan tutul lahir dalam keadaan mata tertutup dan lemah dengan

berat kurang dari dua pound56 atau sekitar 0,5 kg57. Anak macan tutul yang baru

dilahirkan berwarna keabu-abuan karena tutul rosette-nya belum tampak jelas58.

Rambutnya lebih panjang dan lebih lembut dibandingkan yang dewasa, warna kulitnya

agak abu-abu pucat dengan tutul-tutul kecil yang kurang jelas59. Mata anak macan tutul

terbuka setelah sekitar enam hari60 sampai 10 hari61. Anak-anak dapat berjalan setelah

13 hari62. Macan tutul beranak lagi setelah 15 bulan (jika anak-anaknya mati) sampai

lebih dua tahun. Rata-rata umur perkembangbiakan terakhir adalah 8,5 tahun63.

c. Pemeliharaan Anak

Macan tutul betina membesarkan anak-anaknya di tempat bersarang dan

mengajarinya berburu64. Mereka disembunyikan sekitar delapan minggu dan induknya

akan berhenti berpindah-pindah sampai anak-anak dapat bergabung mengikuti

perjalanan65.

Anak macan tutul disusui induknya selama tiga bulan atau lebih66. Mereka

dibimbing makan daging sampai kira-kira umur 10 bulan, ketika mereka begabung

dengan induk mereka pada perburuan67.

53 http://www.catsurvivalstrust.org//leopard.htm 54 http://www.travelafricamag.com/content/view/176/56 55 http://en.wikipedia.org/wiki/Leopard.htm 56 http://library.thinkquest.org/11234/leopard.html 57 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 58 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 59 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 60 http://www.travelafricamag.com/content/view/176/56 61 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 62 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 63 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 64 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 65 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 66 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html

25

Anak-anak macan tutul disapih setelah tiga bulan dan mulai bergabung dengan

induknya berburu di mana mereka akan belajar untuk bertahan hidup68. Pada umur lima

bulan mereka dapat menangkap hewan kecil dan kebanyakan dapat mencari makan

sendiri pada umur satu tahun69.

Anak-anak macan tutul belajar dengan meniru tingkah laku induknya, dan

mereka biasanya membunuh mangsa utama pertamanya pada umur 11 bulan, walaupun

mereka dapat membunuh hewan kecil seperti garangan atau bangsa pengerat pada umur

sekitar empat bulan. Induknya mungkin membawa mangsa hidup atau mati untuk anak-

anaknya, di mana mereka belajar menerkamnya dan belajar menguasainya dengan

cakarnya70.

Betina mungkin pergi meninggalkan anak-anak untuk waktu lama, kadang-

kadang meninggalkan mereka sampai satu setengah hari sendirian71. Induk macan tutul

memindahkan anak-anaknya ke tempat berlindung baru setiap dua atau tiga hari72, cara

membawanya dengan menggigit tengkuknya dan bahkan bisa membawanya sambil

berenang73.

Ketika berpindah dengan anak-anaknya, ekor induk macan tutul melengkung

ke atas, menunjukkan warna keputihan bagian bawah ekor yang mungkin berperan

sebagai petunjuk bagi anak-anaknya di antara rumput yang tinggi. Pemangsaan pada

anak-anak macan tutul, khususnya yang dilakukan oleh macan tutul lain sangat umum

terjadi sehingga jarang lebih dari satu atau dua anak yang selamat dan dapat bertahan

hidup74.

Pada umur satu tahun, macan tutul muda mungkin dapat menjaga dirinya sendiri

tetapi masih bersama induknya sampai umur 18 – 24 bulan (Nowak, 1997; Guggisberg,

1975), ketika mulai perkembangbiakan berikutnya75. Setelah umur dua tahun menjadi

67 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_

Information.htm 68 http://library.thinkquest.org/11234/leopard.html 69 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 70 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_

Information.htm 71 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 72 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_

Information.htm 73 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm 74 http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/Leopard/Leopard_

Information.htm 75 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_Leopard

26

dewasa muda (sub-adult) anak-anak macan tutul akan meninggalkan induknya untuk

membangun teritori mereka sendiri76. Anak-anak menjadi dewasa secara seksual sekitar

dua setengah tahun77.

Pemencaran mungkin tertunda di wilayah yang melimpah mangsanya,

khususnya jika macan tutul lain menghuni habitat di sekitarnya78. Sistem pemencaran

macan tutul muda tampaknya fleksibel dan anak yang masih muda tidak selalu

meninggalkan tempat kelahirannya ketika sudah bisa mandiri. Tetapi sebaliknya

beberapa jantan muda meninggalkan tempat kelahirannya pada umur 15 – 16 bulan

(Seidensticker and Susan, 1991).

Macan tutul jantan tidak ambil bagian dalam membesarkan anak dan hanya

bertemu dengan betina untuk kawin79. Guggisberg (1975) melaporkan bahwa jantan

juga membantu betina yang mengasuh anak-anak seperti dengan memberi mereka hasil

buruan. Induk jantan mungkin dijauhkan dari anak-anak oleh betina, tetapi jantan

memberikan daging kepada anak-anaknya80.

2.1.9 Masa Hidup

Di berbagai negara macan tutul yang hidup dalam kandang dapat mencapai

umur 21 – 23 tahun. Di alam, umurnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan antara tujuh

dan sembilan tahun (Guggisberg, 1975). Menurut Garman (1997) masa hidup macan

tutul antara 12-17 tahun.

2.2 Habitat, Relung, Daerah Jelajah dan Teritori

2.2.1 Habitat

Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas biotik di

mana seekor satwa atau populasi hidup (Bailey, 1984). Habitat adalah suatu unit

lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover dan air) dimana seekor

satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan normal hidup dan berkembang (Helms,

1998). Definisi habitat terbaru yang relevan untuk pengelola satwa liar datang dari Hall

et al. (1997) yaitu sumberdaya dan kondisi yang ada pada suatu tempat yang

76 http://library.thinkquest.org/11234/leopard.html 77 http://www.travelafricamag.com/content/view/176/56 78 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/friedman/Matingsystem.html 79 http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/bunton.html#social 80 http://www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm

27

memberikan tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi suatu

organisme. Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah sumberdaya

spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies (Hall et al., 1997).

Semua jenis satwa dapat hidup di suatu tempat hanya jika kebutuhan pokoknya

seperti makanan, air, dan cover tersedia dan jika satwa memiliki daya adaptasi yang

memungkinkannya menghadapi iklim yang ekstrim, kompetitor dan predator (Morrison

et al., 1992). Empat komponen dasar habitat adalah makanan, cover, air dan ruang

(Shaw, 1985).

Komponen habitat paling penting bagi satwa adalah makanan. Ketersediaan

(availability) makanan biasanya berubah menurut musim. Bagi karnivora atau jenis

pemangsa, ketersediaan makanan berarti ketersediaan satwa mangsa (Shaw, 1985).

Kuantitas dan kualitas makanan yang dibutuhkan oleh setiap satwaliar bervariasi

menurut spesies, jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan lokasi

geografis (Bailey, 1984). Karnivora mengeluarkan banyak energi untuk mencari,

memburu, menangkap dan membunuh mangsa, tetapi diimbangi dengan kandungan

energi yang tinggi dari satwa mangsanya. Karena kandungan nutrisi daging mangsa

yang lengkap dan mudah dicerna, spesies pemangsa jarang atau tidak pernah mengalami

kekurangan gizi dari mangsa alaminya (Shaw, 1985). Masalah nutrisi bagi karnivora

adalah masalah kuantitas dan ketersediaan (availability), bukan kualitas makanan

(Bailey, 1984).

Cover didefinisikan sebagai sumberdaya struktural dari lingkungan yang

mendukung perkembangbiakan (reproduksi) dan/atau daya hidup (survival) satwa

dengan menyediakan fungsi-fungsi alami untuk spesies tersebut (Bailey, 1984). Cover

biasanya digunakan untuk melarikan diri dari predator, walaupun predator yang

memburu mangsanya juga memerlukan cover untuk dapat mendekati mangsanya.

Cover juga memberikan perlindungan yang penting terhadap iklim yang keras, tempat

berteduh dari panas, angin dan hujan atau perlindungan dari udara malam yang dingin

(Shaw, 1985).

Vegetasi bukan satu-satunya komponen struktural dari lingkungan yang

mempengaruhi satwaliar. Badan air yang besar mungkin penting bagi itik penyelam,

tebing penting bagi kambing gunung, lereng ke arah selatan penting bagi rusa karena

lebih hangat dan makanannya tidak tertutup salju (Bailey, 1984). Cover dari vegetasi

28

seringkali lebih penting strukturnya daripada jenisnya. Sebagai pelindung, cover

mungkin lebih memberikan kesejahteraan satwa melalui fungsi-fungsi alaminya sebagai

tempat berkembang biak, makan, perjalanan, melarikan diri, bersarang dan beristirahat

(Bailey, 1984). Komponen struktural dari cover yang penting mungkin bentuk vegetasi

(rumput, semak, perdu, pohon), kerapatan vegetasi, kedalaman air, topografi, lereng dan

lain-lain. Komponen mikro-klimat yang penting mungkin temperatur, kelembaban,

angin, intensitas cahaya dan lain-lain (Bailey, 1984).

Air merupakan komponen habitat yang dibutuhkan dalam banyak proses kimia

dan fisik di dalam tubuh satwa. Air juga digunakan untuk pendinginan melalui

evaporasi di lingkungan yang panas (Bailey, 1984). Kebanyakan satwa memenuhi

kebutuhan airnya dengan minum dari air permukaan. Air dapat mempengaruhi satwa

secara tidak langsung melalui perubahan di dalam habitat (Shaw, 1985). Respon satwa

terhadap kelangkaan air ada tiga macam, menggali dasar sungai (seperti dilakukan

gajah), migrasi ke sumber air dan meninggalkan daerah jelajahnya yang kekeringan

selama musim kering dan berkumpul di sekitar sumber air. Hal ini dapat

menguntungkan bagi satwa predator tetapi juga dapat menjadi media penularan penyakit

dan parasit (Bailey, 1984).

Satwaliar secara individu membutuhkan berbagai ukuran ruang untuk

mendapatkan makanan, cover dan air dengan cukup serta untuk menemukan

pasangannya. Populasi satwaliar membutuhkan ruang yang lebih banyak. Ukuran luas

yang dibutuhkan oleh suatu spesies tergantung pada ukuran satwa (biasanya semakin

besar satwa, membutuhkan ruang semakin luas), makanan (karnivora membutuhkan

ruang lebih luas daripada herbivora) dan produktivitas serta keanekaragaman habitat

berkaitan dengan kebutuhan habitat dari spesies tersebut (Shaw, 1985).

2.2.2 Relung (Niche)

Satu hal terpenting dari konsep ekologi adalah relung (niche) atau peran yang

dimainkan oleh setiap spesies dalam habitat alaminya. Karena relung lebih berbicara

peran daripada tempat, maka hanya dapat digambarkan dengan interaksi antara spesies

dan lingkungannya. Bagian paling penting dari relung adalah pemisahan makanan,

walaupun relung lain juga penting seperti cara penggunaan cover, air, atau bahkan ruang

(Shaw, 1985).

29

Konsep relung ekologi berkaitan dengan evolusi, adaptasi dan pembatasan. Ahli

ekologi umumnya menggunakan dua definisi relung, satu lebih menekankan pada fungsi

satwa, yang kedua menekankan pada sumberdaya habitat. Secara fungsional, relung

ekologi adalah peran suatu spesies dalam komunitas biotiknya seperti yang dibedakan

oleh penyebaran geografis dan ekologis serta oleh serangkaian adaptasi yang

memisahkannya dari semua spesies lainnya. Fungsi makan biasanya menjadi pokok

bahasan dalam konsep ini. Dalam karnivora terdapat spesialis pemangsa mamalia

besar, mamalia kecil, burung, serangga dan sebagainya (Bailey, 1984).

Suatu relung ekologi adalah sekumpulan sumberdaya habitat (makanan, tipe

cover, air, dan lain-lain) yang digunakan oleh suatu spesies yang ditentukan oleh

wilayah geografis, ekologis dan adaptasinya. Sumberdaya makanan sering menjadi

penekanan dalam konsep niche ini, karena penggunaan makanan seringkali lebih mudah

diukur dibandingkan penggunaan sumberdaya habitat lainnya. Relung makan (feeding

niche) digunakan untuk membatasi definisi pada sumberdaya makanan (Bailey, 1984).

2.2.3 Daerah Jelajah dan Teritori

Daerah jelajah (home range) adalah daerah yang digunakan oleh individu satwa

untuk mendapatkan makanan, pasangan dan memelihara anak (Burt, 1943 dalam Shaw,

1985). Suatu home range adalah daerah yang dijelajahi oleh seekor satwa atau populasi

dalam aktivitas normal hariannya. Seekor satwa harus menemukan semua kebutuhan

habitatnya di dalam home range-nya, jika tidak, ia akan memperluas home range-nya.

Satwa penetap, mungkin hanya memiliki satu home range. Beberapa spesies biasanya

memiliki beberapa home range yang digunakan secara musiman. Rute perjalanan atau

migrasi antara home range bukan bagian dari home range karena pergerakan sepanjang

rute ini bukan aktivitas harian (Bailey, 1984).

Ukuran home range bervariasi di antara jenis satwa (Sanderson, 1966 dalam

Bailey, 1984). Umumnya karnivora memiliki home range lebih besar daripada

herbivora walaupun ukuran tubuhnya sama. Home range jantan sering kali lebih besar

daripada betina spesies yang sama. Home range dapat mengecil pada beberapa musim,

seperti masa mengasuh anak atau musim salju. Home range di habitat yang baik (kaya)

akan lebih kecil daripada di habitat yang buruk (miskin). Home range populasi dengan

30

kepadatan tinggi lebih kecil karena mereka menempati habitat yang baik dan karena

interaksi sosial mereka mungkin membatasi pergerakan (Bailey, 1984).

Teritori (territory) adalah bagian atau keseluruhan dari suatu home range yang

dipertahankan dari satwa lain, khususnya dari spesies yang sama. Teritori mungkin

dipertahanakan secara individual, pasangan yang sedang berkembang biak, atau

kelompok sosial sepanjang tahun atau secara musiman. Sifat teritorial penting dalam

pengaturan populasi pada beberapa spesies (Bailey, 1984). Schoener (1968) dalam

Shaw (1985) mendefinisikan secara sederhana bahwa teritori adalah daerah ekslusif,

bisa secara spasial seperti pada banyak burung atau temporal seperti pada banyak

mamalia karnivora

2.3 Teori Biogeografi Pulau

Teori Biogeografi pulau pertama dikemukakan oleh MacArthur & Wilson

(1967). Dalam teorinya mereka berusaha memprediksi jumlah spesies yang mungkin

akan bertahan pada suatu pulau yang baru tercipta. Dalam biogeografi pulau dipelajari

dan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman spesies dari suatu

komunitas tertentu. Dalam konteks ini, “pulau” dapat berupa areal habitat yang

dikelilingi oleh areal lain yang tidak sesuai untuk spesies dalam “pulau” tersebut; bukan

hanya pulau sesungguhnya yang dikelilingi lautan, tetapi juga gunung yang dikelilingi

oleh gurun pasir, danau yang dikelilingi daratan, dan fragment hutan yang dikelilingi

oleh lansekap yang terganggu oleh manusia.

Menurut teori biogeografi, jumlah spesis (jumlah equilibrium) yang terdapat di

suatu pulau ditentukan oleh dua faktor, yaitu jarak dari daratan utama dan ukuran pulau.

Keduanya akan mempengaruhi laju kepunahan di pulau dan tingkat imigrasi. Pulau-

pulau yang dekat dengan daratan utama kemungkinan menerima imigran dari daratan

utama lebih besar daripada pulau-pulau yang jauh dari daratan utama. Pada pulau-pulau

yang lebih kecil peluang kepunahan lebih besar daripada pulau-pulau besar. Pulau-

pulau besar memiliki jumlah spesies lebih banyak daripada pulau-pulau kecil

(MacArhtur & Wilson, 1967).

Menurut teori biogeografi pulau (MacArthur & Wilson, 1967), kekayaan spesies

suatu pulau tergantung pada:

31

a. Isolasi pulau, karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi. Pulau yang terisolasi

atau jauh, memiliki spesies yang lebih sedikit daripada pulau yang dekat dengan

sumber spesies yang mengkolonisasi. Pulau yang lebih jauh, lebih sedikit didatangi

pengkoloni dibandingkan pulau yang lebih dekat. Jika ada pulau-pulau di antara

sumber kolonisasi (daratan utama) dengan pulau, maka dapat berperan sebagai batu

loncatan (stepping stones) dan dapat meningkatkan laju kolonisasi pulau yang jauh.

Jika ada dua pulau dengan jarak yang sama dari sumber kolonisasi, maka pulau yang

lebih besar akan memiliki laju kolonisasi yang lebih tinggi karena adanya Target

Effect (The bigger targets are easier to hit).

b. Luas pulau, karena luas pulau mempengaruhi laju kepunahan. Pulau yang besar

memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibandingkan pulau yang kecil. Pulau

kecil memiliki ukuran populasi yang lebih kecil, lebih sedikit refugia dan memiliki

laju kepunahan lebih tinggi.

c. Dinamika kolonisasi dan kepunahan, kolonisasi menggantikan spesies yang

punah (species turnover).

d. Kekayaan spesies mencerminkan suatu kesetimbangan (equilibrium) antara

kolonisasi dan kepunahan.

Hubungan antara jumlah spesies dan luas pulau digambarkan dengan rumus

sebagai berikut: zcAS = ..................................................................... (Formula 2.1)

Dimana S = jumlah spesies, A = luas pulau, z dan c adalah konstanta yang diperlukan

untuk menyesuaikan data luas (dalam m2, km2, dll) dengan jumlah spesies. Hubungan

ini dapat dibuat linier dengan menggunakan log sehingga rumusnya menjadi :

zLogALogcLogS += ................................................ (Formula 2.2)

Laju kolonisasi lebih tinggi pada pulau yang dekat dengan daratan utama karena

lebih banyak spesies yang dapat menyeberang laut yang relatif dekat. Laju kepunahan

lebih besar pada pulau yang lebih kecil karena populasi-populasi berukuran lebih kecil

dan kemungkinan terkena penyakit dan kejadian merugikan lainnya yang lebih besar

yang dapat menghabiskan populasi atau menurunkannya sampai tingkat yang tidak

32

viable. Hubungan ini merupakan prinsip dasar teori biogeografi pulau seperti

dtunjukkan pada (Gambar 2.3) (Mac Arthur & Wilson, 1967).

Gambar 2.3 Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b) pulau-pulau

besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulau-pulau besar, dekat.

Biogeografi pulau dapat diaplikasikan pada fragmentasi lansekap sebagai model

bagaimana “pulau-pulau” habitat kecil dapat berpengaruh buruk pada keragaman hayati

habitat aslinya (Harris, 1984). Teori ini sangat penting dalam mendisain kawasan

konservasi karena memberikan panduan kuantitatif tentang luas kawasan dan

kesinambungan antara kawasan konservasi yang bertetangga, berdasarkan karakteristik

ekologi di wilayah tersebut (Diamond, 1975).

2.4 Ekologi Lansekap

Ekologi lansekap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang mempelajari

bagaimana struktur lansekap mempengaruhi kelimpahan dan distribusi organisme.

Ekologi lansekap juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh pola

(pattern) dan proses, di mana pola di sini khususnya mengacu pada struktur lansekap.

Dengan demikian secara lengkap ekologi lansekap dapat didefinisikan sebagai ilmu

Laju Imigrasi Laju Kepunahan

Jumlah spesies pada sebuah pulau

Jauh

Dekat

Kecil

Besar

a b c

33

yang mempelajari bagaimana struktur lansekap mempengaruhi (memproses dan

membentuk) kelimpahan dan distribusi organisme81.

Ekologi lansekap menekanankan dinamika heterogenitas spasial-temporal dan

pengaruhnya pada proses-proses biotik dan abiotik pada lansekap (Forman & Godron,

1986; Turner & Gardner, 1991). Paradigma dinamika metapopulasi menghubungkan

proses populasi dengan karakteristik spasial lansekap dan menjadi bagian integral dari

ekologi lansekap (Singleton et al., 2002).

Teori biogeografi pulau dari MacArtur dan Wilson merupakan fokus dari

ekologi lansekap yang oleh Levin digunakan untuk menjelaskan model metapopulasi.

Dalam ekologi lansekap dapat dipelajari bagaimana fragmentasi habitat mempengaruhi

daya hidup suatu populasi (population viability). Dalam perkembangannya, ekologi

lansekap banyak menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan banyak

data habitat yang tersedia (seperti citra satelit dan foto udara)82.

Ada tiga pendekatan pada ekologi spasial, pertama teori ekologi yang

mengasumsikan ruang homogen kontinu atau deskrit, kedua ekologi lansekap yang

bertujuan menganalisis struktur lansekap sesungguhnya yang kompleks dengan sedikit

penekanan pada pemodelan dinamika populasi dan ketiga ekologi metapopulasi yang

berada di tengah-tengah, membuat penyederhanaan asumsi bahwa habitat yang cocok

(suitable) untuk spesies target terjadi sebagai jejaring (network) dari kantong-kantong

habitat (habitat patches) yang ideal dengan luas, derajat isolasi dan kualitas yang

bervariasi serta tenggelam di tengah-tengah habitat yang tidak cocok (unsuitable) yang

seragam (Hanski, 1998).

2.4.1 Matrix

Matrix merupakan latar belakang (background) sistem ekologi dari suatu

lansekap dengan derajat konektivitas yang tinggi. Konektivitas adalah ukuran

bagaimana suatu koridor, jaringan (network) atau matrix terhubungkan atau

berkesinambungan (Forman, 1995). Sebagai contoh, suatu lansekap berhutan (matrix)

dengan lebih sedikit gap dalam tutupan hutan (patch terbuka) akan memiliki

konektivitas lebih tinggi. Koridor memiliki fungsi penting sebagai jalur (strip) dari

suatu tipe khusus dalam lansekap yang berbeda dengan tetangga di kedua sisinya 81 http://www.carleton.ca/l ands-ecol/whatisle.html 82 http://en.wikipedia.org/wiki/Landscape.ecology

34

(Forman, 1995). Suatu jaringan (network) merupakan suatu sistem hubungan antar

koridor, sementara mosaik menggambarkan pola (pattern) dari patch, koridor dan

matrix yang membentuk suatu lansekap dalam satu kesatuan (Forman, 1995).

2.4.2 Patch

Patch, merupakan suatu terminologi dasar dalam ekologi lansekap didefinisikan

sebagai sebuah area yang relatif homogen yang berbeda dengan sekelilingnya (Forman,

1995). Patch merupakan unit dasar dari lansekap yang berubah dan berfluktuasi, suatu

proses yang disebut dinamika patch. Patch memiliki bentuk tertentu dan konfigurasi

spasial, serta dapat digambarkan secara komposisi oleh variabel-variabel internalnya

seperti jumlah pohon, jumlah jenis pohon, tinggi pohon, atau ukuran-ukuran serupa

lainnya (Forman, 1995).

2.4.3 Edge

Patch bisa memiliki batas (boundary) yang jelas atau tidak jelas (kabur)

(Sanderson & Harris, 2000). Suatu zona yang tersusun atas edge-edge dari ekosistem

yang berdekatan (berbatasan) adalah boundary (Forman, 1995). Edge berarti bagian dari

suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis kelilingnya (perimeter), di mana

pengaruh-pengaruh dari patch yang berdekatan dapat menyebabkan perbedaan

lingkungan antara interior suatu patch dengan tepiannya (edge). Efek tepi (edge effect)

ini meliputi pebedaan komposisi spesies atau kelimpahan di bagian luar patch (Forman,

1995). Sebagai contoh, ketika suatu lansekap merupakan sebuah mosaik dari tipe-tipe

yang jelas, seperti suatu hutan berdekatan dengan suatu padang rumput, edge-nya

adalah lokasi di mana kedua tipe tersebut bergabung. Dalam lansekap yang kontinyu,

seperti suatu hutan ke daerah berkayu yang terbuka, lokasi edge pastinya kabur dan

kadang-kadang dibedakan oleh gradien lokal melampaui suatu ambang batas, seperti

halnya suatu titik dimana penutupan pohon menurun di bawah 35 persen (Turner &

Gardner, 1991).

2.4.4 Koridor

Koridor merupakan komponen lansekap berbentuk strip atau jalur lahan yang

berbeda dengan matrix di sekitarnya. Koridor merupakan areal yang menghubungkan

antar patch-patch sehingga berperan sebagai lintasan atau saluran bagi organisme untuk

35

bertukar atau berpindah dari suatu patch ke patch yang lain. Koridor dapat menjadi

saluran untuk perpindahan, penghalang (barrier) atau penyaring (filter), misalnya untuk

aliran gen. Bentuk lain konektivitas habitat adalah batu loncatan (stepping stone) yaitu

satu atau lebih kantong habitat (habitat patches) yang secara ekologis terisolasi tapi

memberikan sumberdaya dan tempat pengungsian bagi satwa dalam perpindahan

menjelajahi suatu lansekap (Forman & Gordon, 1986).

2.4.5 Fragmentasi

Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem atau tipe land-

use menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil. Fragmentasi juga merupakan suatu

hasil dimana proses fragmentasi mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu

lansekap. Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat

(habitat patch) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan hubungan antara

kantong-kantong habitat asli karena terselingi oleh mosaik yang luas atau tipe habitat

lain yang tidak sesuai bagi spesies yang ada (Wiens, 1995).

Franklin et al. (2002) mengembangkan definisi baru tantang fragmentasi sebagai

hasil (outcome) dan sebagai proses. Hasil (outcome) dari fragmentasi habitat adalah

diskontinuitas yang dihasilkan dari serangkaian mekanisme, di dalam distribusi spasial

suatu sumberdaya dan kondisi yang ada dalam suatu areal pada skala tertentu yang

mempengaruhi penghunian (occupancy), reproduksi atau survival suatu spesies. Proses

fragmentasi habitat didefinsikan sebagai serangkaian mekanisme yang mengakibatkan

diskontinuitas distribusi spasial suatu habitat. Ada empat komponen kunci dari dua

defininisi tersebut yaitu: (1) diskontinuitas, (2) mekanisme, (3) distribusi spasial dari

suatu sumberdaya dalam suatu areal, dan (4) atribut demografik (Franklin et al., 2002).

Konsep fragmentasi habitat diturunkan dari teori biogeografi pulau (MacArthur

& Wilson, 1967), di mana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya ukuran

pulau (Haila, 2002). Fragmentasi penting mendapat perhatian karena berpengaruh pada

kekayaan spesies dari komunitas, kecenderungan populasi beberapa spesies dan

keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Morrison et al., 1992).

Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat cara

fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal: (1) spesies mulai keluar dari kantong

habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat gagal menyediakan habitat karena

36

pengurangan luas atau hilangnya heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan

populasi lebih kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana,

variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4) fragmentasi dapat

mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga dapat menimbulkan sebab

sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci dan pengaruh merugikan dari

lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).

Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat (habitat loss),

sebaliknya hilangnya habitat dapat dipandang sebagai akibat fragmentasi. Tetapi

fragmentasi dapat disertai hilangnya habitat (berkurangnya jumlah) seiring dengan

pemecahan atau pembagian kantong habitat besar menjadi kantong-kantong habitat

berukuran kecil dan lebih terisolasi (Hunter, 1997; Haila, 1999; Franklin et al., 2002;

Fahrig, 2003). Ketika hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secara terpisah,

hilangnya habitat memiliki konsekuensi lebih signifikan bagi kelangsungan hidup

(viability) spesies (Haila, 2002; Fahrig, 2003). Meskipun demikian, karena fragmentasi

dan hilangnya habitat terjadi bersamaan, maka sangat sulit untuk menentukan mana

yang lebih penting bagi perubahan habitat (Haila, 1999).

Fragmentasi bekerja dalam empat cara ketika hilangnya habitat dan fragmentasi

digabung untuk menggambarkan dan mengkategorikan prosesnya (Franklin et al., 2002;

Fahrig, 2003): (1) habitat hilang tanpa fragmentasi; (2) pengaruh kombinasi hilangnya

habitat dan pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil; (3) pemecahan habitat

menjadi patch-patch lebih kecil tanpa kehilangan habitat; dan (4) hilangnya habitat dan

pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil serta penurunan kualitas habitat.

Contoh ini berlaku untuk lansekap yang terdiri lebih dari satu habitat dan dikelilingi

oleh matrix dalam suatu kesatuan lansekap. Kasus pertama dan kedua berlaku ketika

lansekap keseluruhan berisi satu habitat dan tidak ada matrix di sekelilingnya. Dalam

kenyataan, kasus dua dan empat merupakan cara yang paling umum untuk habitat

terfragmentasi.

Fragmentasi habitat merupakan satu aspek dari tahapan proses yang secara

spasial dan temporal mengubah habitat dan lansekap yang diakibatkan oleh sebab-sebab

alami maupun antropogenik (Forman, 1995). Walaupun demikian, perubahan habitat

tidak dapat dihindari karena tidak ada habitat atau lansekap yang tetap (Forman, 1995).

Lanskap berubah melalui lima proses spasial dengan berbagai derajat overlap sepanjang

37

periode perubahan lahan (Forman, 1995), dan fragmentasi hanyalah satu outcome.

Proses ini dapat diakibatkan oleh penyebab alami dan antropogenik. Perforasi

(perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam habitat. Pemotongan

(dissection) adalah pemotongan atau pembagian area menjadi habitat berbeda dengan

lebar yang relatif sama. Fragmentasi (fragmentation) adalah pemecahan habitat

menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Penyusutan (shrinkage) terjadi seiring

potongan habitat berlanjut dengan penurunan luas. Erosi habitat (attrition) adalah

proses dimana kantong habitat yang tersisa berangsur hilang karena degradasi habitat

atau suksesi

Fragmentasi dimulai dengan dissection ketika jalan, jaringan transmisi, sungai

dan fitur linear lainnya menjadi penghalang pergerakan. Kemudian diikuti perforation

ketika muncul kantong-kantong habitat (patches) kecil yang dibuat oleh manusia atau

sebab alami dan efek tepi menjadi nyata. Fragmentasi merupakan tahap ketiga yang

terjadi ketika kantong habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan berkurang

luasnya sampai pada tingkat di mana habitat yang terfragmentasi mulai mendominasi

lansekap. Attrition merupakan tahap akhir di mana lahan alami atau habitat asli tersisa

sebagai kantong yang kecil dan terisolasi di tengah-tengah lansekap yang sekarang

didominasi oleh suatu mosaik habitat yang telah berubah dan terfragmentasi. Proses

fragmentasi membuat habitat menjadi tidak sesuai atau memiliki kesesuaian rendah

bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat satwaliar. Sebaliknya, jika proses

gangguan mengubah mosaik habitat tetapi tidak ada perubahan kualitas habitat berarti

tidak terjadi fragmentasi, atau habitatnya berubah tetapi tidak terfragmentasi (Hunter,

1997)

Menurut Kupfer et al. (2004) ada empat cara primer fragmentasi hutan dapat

mempengaruhi keanekaragaman hayati, yaitu: (1) pengaruh perwakilan (sample effect);

(2) pengaruh luas (area effect); (3) pengaruh isolasi (isolation effect) dan (4) pengaruh

tepi (edge effect). Masing-masing pada gilirannya akan berpengaruh pada sebaran

populasi, komunitas dan proses ekosistem (Gambar 2.4).

.

Gambar 2

M

pengaruh

2003). A

dengan fr

(Franklin

Fr

positifnya

yang ber

Fragment

terbentuk

(3) habita

aktifitas n

merugika

2.4. Model

Mekanisme d

h ukuran patc

Ahli satwalia

fragmentasi h

n et al., 2002

ragmentasi h

a adalah m

rmanfaat, da

tasi member

k kantong ha

at-habitat tid

non kehutan

an spesies int

l konseptual

dan proses

ch; (2) peng

ar harus me

habitat dan m

2; Fahrig, 200

habitat dapa

meningkatkan

an meningk

rikan penga

abitat lebih k

dak lagi bersa

nan; dan (4)

terior (Barne

pengaruh fr

fragmentas

aruh tepi (ed

emperhatikan

masing-mas

03).

at dipandang

n keragaman

atkan edge

aruh negatif

kecil yang m

ambungan, k

) jumlah edg

es, 2000).

ragmentasi .

si menghasi

dge effect); d

n semua kar

ing memerlu

g dari segi

n habitat, m

yang disuk

ketika : (1

endorong pa

khususnya ji

ge meningka

.

ilkan tiga t

dan (3) peng

rena ketigan

ukan penang

positif dan

menciptakan

kai spesies

) ada habit

ada kepunah

ika fragment

at sehingga

tipe pengar

garuh isolasi

nya biasanya

ganan yang

negatif. P

penjajaran

satwaliar ge

at yang hila

an lokal dan

tasi disebabk

fragmentasi

38

ruh: (1)

(Fahrig

a terjadi

berbeda

engaruh

habitat

eneralis.

ang; (2)

n isolasi;

kan oleh

i habitat

39

2.4.6 Mengukur Fragmentasi

Indeks-indeks struktur lansekap seringkali digunakan untuk

mengkuantifikasikan fragmentasi habitat. Indeks-indeks telah dikembangkan untuk

mengukur tiga aspek struktur lansekap : (1) komposisi lansekap; (2) konfigurasi

lansekap; dan (3) bentuk-bentuk patch di dalam lansekap. Komposisi menunjukkan

jumlah dari tipe penutupan (cover) yang berbeda yang ditemukan dalam lansekap.

Konfigurasi menunjukkan bagaimana patch-patch dari tipe cover yang sama atau

berbeda tersusun di dalam lansekap dan hubungannya satu sama lain. Lanskap dengan

komposisi sama dapat memiliki konfigurasi yang berbeda, sehingga diperlukan

beberapa indeks aspek untuk menggambarkan suatu lansekap. Harus dicatat bahwa

beberapa indeks tidak sesuai benar untuk ketiga kategori tersebut83.

Program patch analyst yang kompatibel dengan ArcView 3.x cukup handal

untuk menghitung statistik fragmentasi, karena merupakan modifikasi dari program

Fragstats dan dapat digunakan untuk menghitung statistik spasial, baik file polygon

(seperti shape files) maupun file raster (seperti Arc grids) (Elkie et al., 1999). Empat

parameter fragmentasi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Class Area (CA)

Class area (luas kelas) bisa dihitung dari data vektor ataupun raster dan memiliki

satuan hektar. Nilai luas kelas berkisar > 0 sampai tak terhingga. Nilai Class area

akan mendekati 0 seiring tipe patch menjadi semakin jarang di dalam lansekap. Class

area = Total area (TA) ketika seluruh lansekap berisi satu tipe patch, yaitu ketika

seluruh citra berisi hanya satu patch. Class area sama dengan jumlah luas (m2) seluruh

patch dari semua tipe patch dibagi 10.000 (untuk konversi menjadi hektar) atau

diformulakan sebagai berikut:

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛= ∑

= 000.101

1

n

jijaCA ............................................. Formula 2.3.

dimana aij luas patch ij (m2), dimana j = 1, ... , n patches, dan i = 1, ... , m or m’ tipe

patch (class).

83 http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/

40

(2) Number of Patches (NumP)

Number of patches (jumlah patch) sama dengan jumlah patch dari semua tipe

patch (class). Jumlah patch berkisar dari satu sampai tak terbatas. Jumlah patch sama

dengan satu jika lansekap hanya berisi satu patch atau ketika kelas terdiri dari satu

patch. Jumlah patch tidak memiliki satuan dan formulanya adalah sebagai berikut:

niNP = ................................................... Formula 2.4.

dimana ni adalah jumlah patch dalam lansekap dari tipe patch (class) i.

(3) Total Edge (TE)

Total edge adalah jumlah panjang (m) dari semua segmen edge dari semua tipe

patch. Jika ada batas tepi (border) lansekap. TE mecakup segmen boundary lansekap

meliputi tipe patch dan hanya menggambarkan edge sebenarnya (disebut contrast

weight > 0). Jika suatu lansekap tidak memiliki border, TE mencakup proporsi segmen

boundary lansekap yang ditentukan oleh pemakai dari tipe patch yang dimaksud.

Tanpa memperhatikan apakah border lansekap ada atau tidak, TE mencakup proporsi

segmen edge background yang ditentukan oleh pemakai dari tipe patch dimaksud. TE =

0 ketika tidak ada edge kelas dari lansekap, yaitu ketika seluruh lansekap dan border

lansekap, jika ada, berisi tipe patch yang dimaksud dan ketentuan dari pemakai tidak

ada boundary lansekap dan background edge diperlakukan sebagai edge. TE bisa

dihitung dari data vaktor maupun raster dan satuannya adalah meter, dengan formula

sebagai berikut:

∑=

='

1

m

kjkeTE ............................................................ Formula 2.5.

dimana eik adalah panjang total (m) dari edge dalam lansekap antara tipe-tipe patch

(kelas-kelas) i dan k; mencakup segmen-segmen boundary lansekap yang

menggambarkan pohon edge (tree edge) hanya melibatkan tipe patch i; k = 1, ... , m

atau m’ tipe patch (kelas); m’ adalah jumlah tipe patch (kelas) yang ada di dalam

lansekap tidak termasuk border lansekap, jika ada.

(4) Edge Density (ED)

Edge density (kepadatan edge) sama dengan jumlah panjang (m) dari semua

segmen edge meliputi tipe patch yang dimaksud, dibagi dengan total luas lansekap (m2),

41

dikalikan dengan 10.000 (untuk konversi ke hektar). Jika ada border lansekap, ED

mencakup segmen boundary lansekap meliputi tipe patch dimaksud dan hanya

menggambarkan edge yang sebenarnya (disebut contrast weight > 0). Jika border

lansekap tidak ada, ED mencakup proporsi segmen boundary lansekap yang ditetapkan

oleh pemakai yang meliputi tipe patch dimaksud. Terlepas dari apakah suatu border

lansekap ada atau tidak, ED mencakup proporsi segmen edge background yang

ditetapkan oleh pemakai yang meliputi tipe patch dimaksud. ED bisa diperoleh dari

data vektor atau raster dengan satuan meter per hektar. Kisaran nilai ED ≥0 sampai tak

terhingga. Formula ED adalah sebagai berikut:

)100(

'

1

AED

m

kjke∑

== ............................................. Formula 2.6.

eik adalah panjang total (m) edge dalam lansekap antar tipe-tipe patch (kelas) i dan k;

meliputi segmen boundary lansekap hanya menggambarkan tree edge meliputi tipe

patch i; m’ adalah jumlah tipe patch (kelas) yang ada dalam lansekap, mencakup border

lansakap, jika ada; dan A adalah luas total lansekap.

2.5 Metapopulasi

Memahami dan memprediksi respon satwaliar terhadap konfigurasi patch dan

fragmentasi pada skala lansekap memerlukan pemahaman tentang dinamika

metapopulasi (Morrison et al. 1992). Levins (1970) merupakan orang pertama yang

menggunakan istilah metapopulasi dan memperkenalkan konsep metapopulasi sebagai

suatu populasi yang tersusun atas populasi-populasi lokal yang dianggap akan mati dan

dikolonisasi lagi secara lokal. Ia memperkenalkan model matematik untuk

menggambarkan metapopulasi:

dp/dt = m p (1 - p) - e p , ................................................. (Formula 2.7)

di mana p adalah proporsi (fraksi) pusat-pusat populasi (seperti pulau habitat atau

patch), m adalah laju migrasi (kolonisasi), dan e adalah laju dimana populasi lokal

menjadi punah.

Pada equilibrium p*=1 – e/m. Metapopulasi akan terjadi (yaitu p* > 0) hanya jika e <

m.

42

Suatu metapopulasi dapat hidup di suatu wilayah hanya jika laju rata-rata

kepunahan lebih kecil dari laju rata-rata migrasi. Populasi-populasi lokal terbangun

pada patch habitat tertentu yang bisa ditempati atau kosong pada suatu waktu.

Beberapa individu yang menyebar dapat meninggalkan suatu patch pergi untuk

mengkolonisasi suatu elemen kosong atau mengisi kembali (reinforce) suatu populasi

kecil. Populasi-populasi yang terbentuk di dalam sebuah patch dapat menghilang

megikuti kejadian lingkungan (kebakaran, pohon tumbang) atau kejadian demografik

(epidemik, penuaan). Model Levins sangat sederhana. Ia memberikan setiap patch

nilai yang sama sebagai sumber individu yang menyebar dan memiliki peluang

kepunahan yang sama, dan peluang keberhasilan dispersal adalah sama di semua patch

(Burel dan Baudry, 2003).

Model dan konsep Levins telah menjadi metapopulasi klasik. Definisi yang

lebih baru dibuat oleh Hanski dan Gilpin (1991), yaitu sekumpulan (set) populasi-

populasi lokal yang berinteraksi melalui perpindahan individu antar populasi-populasi

tersebut. Hanski dan Simberloff (1997) mendefinisikan metapopulasi sebagai

sekumpulan (set) populasi-populasi lokal di dalam beberapa area yang lebih besar, di

mana ditandai migrasi dari satu populasi lokal ke beberapa patch lain yang

memungkinkan.

Metapopulasi umumnya terjadi ketika kondisi lingkungan dan karakteristik

spesies memberikan pertukaran yang kurang sempurna dari sumber individu dan genetik

di antara sub populasi. Ini terjadi khususnya ketika habitat berada pada kondisi

heterogen pada suatu wilayah, provinsi atau lansekap yang menyebabkan isolasi parsial

individu yang berkembangbiak (Morrison et al., 1992).

Tidak semua kumpulan kantong-kantong populasi (patchy populations)

merupakan metapopulasi (Hanski & Simberloff, 1997), ada tiga tipe metapopulasi yang

berbeda menyimpang dari satu atau lebih asumsi metapopulasi model Levins (Harrison

& Taylor 1997) (Gambar 2.5). Asumsi metapopulasi model Levins adalah: (1) habitat

yang sesuai terjadi dalam patches diskrit di mana perkembangbiakan populasi lokal

mungkin ada; (2) semua populasi lokal memiliki resiko kepunahan yang besar. Jika

tidak, metapopulasi ”mainland-islands” dapat menjadi bukti karena keberadaan

metapopulasi akan tergantung hanya pada keberadaan populasi terbesar; (3) isolasi

patches tidak menghalangi rekolonisasi. Jika rekolonisasi tidak dapat terjadi,

43

metapopulasi akan berada pada keadaan non equilibrium dan dalam bahaya kepunahan;

(4) dinamika di antara populasi lokal tidak seluruhnya sempurna. Jika populasi lokal

mengalami proses-proses secara simultan, metapopulasi yang ada akan bergantung

hanya pada keberadaan populasi lokal dengan resiko kepunahan terkecil.

Gambar 2.5. Tipe-tipe metapopulasi.

Gambar 2.5 dapat dijelaskan sebagai berikut (Harrison & Taylor 1997):

Classic metapopulation: suatu jaringan besar dari patches kecil yang serupa, dengan

dinamika lokal terjadi pada skala waktu yang jauh lebih cepat dibandingkan

dinamika metapopulasi, dalam arti luas digunakan untuk sistem di mana semua

populasi lokal, meski mungkin mereka berbeda dalam ukuran, tapi memiliki satu

resiko kepunahan yang signifikan.

Mainland-island: sistem dari habitat patches (islands) berlokasi di dalam jarak

sebaran dari suatu habitat yang sangat besar (mainland) di mana populasi lokal tidak

akan pernah punah.

Nonequilibrium metapopulation: metapopulasi di mana laju kepunahan (jangka

panjang) melampaui laju kolonisasi atau sebaliknya; suatu kasus ekstrim di mana

“Classic” (Levins) metapopulation

Mainland – Island metapopulation

Nonequilibrium metapopulation Patchy Population

Keterangan : patch hitam berpenghuni, patch putih kosong Sumber: Hanski & Simberloff (1997); Harrison & Taylor (1997)

44

populasi-populasi lokal berlokasi sangat berjauhan satu sama lain sampai tidak ada

migrasi di antara mereka sehingga tidak ada peluang rekolonisasi. Sesungguhnya,

mereka mungkin tidak mengambarkan metapopulasi sama sekali, tetapi lebih

sebagai kumpulan populasi terisolasi yang tidak saling berinteraksi

Patchy population: suatu model metapopulasi di mana laju migrasi antar sub

populasi sangat tinggi sehingga dapat dikatakan secara efektif merupakan satu

populasi. Dalam patchy population, suatu individu mungkin merupakan bagian dari

lebih satu sub populasi sepanjang hidupnya.

Model metapopulasi memandang suatu populasi sebagai sejumlah sub populasi

deskrit di dalam kantong-kantong habitat (habitat patches) atau “pulau-pulau” yang

terhubungkan oleh dispersal. Seiring waktu, sub populasi bisa menjadi punah dan

dikolonisasi kembali, tetapi metapopulasi yang lebih besar dapat bertahan (Levins,

1969a; 1970). Paradigma dinamika metapopulasi juga serupa dengan model

biogeografi pulau dari MacArthur & Wilson (1967) dalam memandang kepunahan dan

kolonisasi (Hanski & Gilpin, 1991). Bedanya dalam biogeografi pulau ada daratan

utama sebagai sumber kolonisasi sedangkan dalam metapopulasi, kolonisasi terjadi di

antara sub populasi (Singleton et al., 2002).

Suatu metapopulasi merupakan kumpulan dari populasi-populasi kecil yang

menempati sejumlah kantong habitat (Gambar 2.6)84. Individu-individu secara tidak

teratur berpindah antar patch, dan populasi dapat menjadi punah di dalam patch

individual sebagai akibat dari peluang kejadian (chance events). Sebagai contoh, dua

jantan dalam suatu populasi dari enam betina dapat dimakan predator. Jika tidak ada

jantan lain yang imigrasi ke dalam patch tersebut dari patch lain, populasi di dalam

patch tersebut akan mengalami kepunahan. Populasi-populasi kecil dianggap rawan

mengalami tipe peluang kepunahan ini. Tetapi, karena individu-individu secara tidak

teratur berpindah antar patch, maka patch yang kosong akhirnya akan dikolonisasi dan

ditempati lagi di masa mendatang (Gambar 2.7)85.

84 http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp 85 http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp

45

Sumber : http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp

Gambar 2.6. Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh populasi-populasi penghuni

hutan. Tebal tipisnya panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebih banyak pertukaran).

Sumber : http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp

Gambar 2.7. Penghunian sekumpulan patch hutan yang mendukung suatu metapopulasi

spesies penghuni hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam ditempati dan patch putih tidak ditempati.

Jika laju kolonisasi pada patch-patch kosong lebih tinggi dari laju kepunahan,

metapopulasi akan bertahan. Hal ini karena ketika beberapa patch mengalami

kepunahan, yang lainnya dikolonisasi. Akibatnya, perpindahan individu-individu antar

populasi mengikat semua populasi ke dalam suatu metapopulasi yang dapat bertahan

dalam lansekap yang terganggu86.

86 http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp

46

2.6. Seleksi Habitat

Satwaliar mungkin menilai dan memilih habitatnya yang cocok (sesuai)

sehingga dapat bertahan hidup dan berkembangbiak yang terbaik dengan melihat faktor-

faktor nutrisi dan struktural. Meskipun demikian kebanyakan studi tentang mekanisme

seleksi habitat menitik beratkan pada respon satwa terhadap faktor-faktor struktural

(Bailey, 1984).

Seleksi habitat merupakan spesialisasi, bagi suatu spesies memilih tipe habitat

tertentu berarti membatasi diri pada habitat tersebut dan akan mencapai adaptasi

terutama kecocokan dalam penggunaan sumberdaya makanan dan cover dari habitat

terpilih. Oleh karena itu seleksi habitat menyerupai isolasi relung dan diperkuat oleh

kompetisi interspesifik (Svardson, 1949 dalam Bailey, 1984). Seleksi habitat

bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana gigihnya suatu jenis satwa setia pada

pilihannya terhadap struktur habitat tertentu. Meskipun belajar, kesan terhadap tempat

lahirnya mungkin mempengaruhi preferensi habitat, preferensi ini sangat mungkin

adalah bawaan sejak lahir (Bailey, 1984; Robinson dan Bolen, 1984).

Dalam seleksi habitat, beberapa vertebrata lebih mementingkan life form atau

fisiognomi habitat mereka, daripada keberadaan spesies tumbuhan tertentu. Satwaliar

mungkin hanya tergantung pada kebutuhan cover (aspek struktural dari lingkungannya)

seperti halnya ketergantungannya pada kebutuhuan mereka akan makanan tertentu.

Beberapa spesies adalah generalis, tak tarbatasi oleh ketersediaan bentuk-bentuk cover,

sedangkan jenis lainnya spesialis, memiliki kebutuhan cover tertentu saja (Bailey, 1984)

Evolusi preferensi habitat ditentukan oleh struktur morfologi dan fungsi-fungsi

tingkah laku, kemampuannya memperoleh makanan dan lindungan (shelter) dengan

sukses di habitatnya. Faktor-faktor yang mendorong untuk memilih suatu habitat antara

lain adalah ciri struktural dari lansekap, peluang mencari makan dan bersarang atau

keberadaan spesies lain (Cody, 1985). Studi seleksi habitat di mana menekankan pada

ekologi, tingkah laku dan fisiologi akan bermanfaat jika dapat menunjukkan, misalnya,

bahwa ciri-ciri habitat tertentu menentukan perbedaan fisiologi antara spesies yang

sekerabat atau bahwa suatu spesies mengembangkan tingkah laku tertentu dalam

mencari makan sehubungan dengan ciri-ciri struktural tertentu dari habitatnya (Cody,

1985).

47

Memahami seleksi habitat merupakan dasar yang penting untuk mengerti sejarah

alami satwaliar (Manly et al., 1993). Dengan demikian tidak mengherankan banyak

penelitian dilakukan bertujuan untuk mengembangkan perhitungan analisis habitat (Neu

et al., 1974; Johnson, 1980; Marcum & Lohftsgaarden, 1980; Aebischer et al., 1993;

McCracken et al., 1998). Seleksi habitat ditentukan berdasarkan penggunaan habitat

yang tercatat dan penggunaan habitat yang diharapkan sebagaimana ditetapkan sebagai

sebuah model null (Johnson, 1980). Jika habitat yang digunakan relatif lebih besar dari

yang diharapkan maka habitat tersebut dianggap “sangat disukai” dan jika habitat yang

digunakan relatif lebih sedikit dari yang diharapkan maka habitat tersebut dianggap

sebagai “kurang disukai”.

Lebih lanjut, habitat yang digunakan lebih dari yang diharapkan disebut sebagai

“habitat yang disukai” (Preferred habitat) dan habitat yang kurang digunakan dari yang

diharapkan disebut sebagai habitat yang dihindari (avoided habitat) (Neu et al., 1974).

Banyak perhitungan seleksi habitat mengandalkan klasifikasi lokasi satwaliar

berdasarkan tipe habitatnya dan menghitung proporsi penggunaannya (Neu et al., 1974;

Johnson, 1980; Aebischer et al., 1993). Teknik seperti ini disebut sebagai “pendekatan

klasifikasi” (classification approaches). Sebaliknya, metode yang didasarkan pada

penghitungan jarak Euclidean dari lokasi satwaliar ke habitat fiturnya disebut sebagai

“pendekatan jarak” (distance based approaches) (Krebs, 1999).

Metode Neu telah digunakan untuk menghitung indeks seleksi habitat yang

kemudian distandarisasi untuk studi perbandingan. Metode ini menggunakan proporsi

lokasi ditemukannya satwaliar di dalam tipe-tipe habitat yang diteliti dibandingkan dengan

proporsi ketersediaan (availability) tipe-tipe habitat tersebut (Manly et al., 1993).

Seleksi habitat diukur menggunakan fungsi-fungsi seleksi sumberdaya (Manly et

al., 2002) untuk memperkirakan peluang suatu unit contoh digunakan oleh seekor

satwa, sebagai fungsi dari variabel vegetasi habitat (Sawyer et al., 2009). Pengujian

signifikansi menggunakan uji Chi-square (χ2) (Fleis, 1981). Chundawat (1990)

menentukan preferensi habitat macan tutul salju (Panthera uncia) dengan uji Chi

Square seperti yang disarankan Neu et al. (1974).

48

2.7. Kesesuaian Habitat (Habitat Suitability)

Habitat satwaliar terus-menerus mengalami perubahan (dinamis), baik oleh

sebab alami maupun akibat kegiatan manusia. Perubahan habitat banyak disebabkan

oleh kegiatan manusia yang mengubah tutupan lahan (land cover) atau penggunaan

lahan (land use) seperti pengembangan pertanian, pemukiman, industri, jaringan

tranportasi, jaringan listrik dan lain-lain (Bureau of Land Management, 2004).

Pengetahuan hubungan antara penyebaran satwa dengan habitatnya memegang

peranan sangat penting dalam merancang pengelolaan spesies terancam punah (Lecis &

Noris, 2004). Sementara pengetahuan tentang preferensi habitat juga penting untuk

mengetahui distribusi spasial satwa dalam habitat-habitat yang sesuai (Osborne et al.,

2001). Habitat yang sesuai (suitable) adalah habitat yang dengan kondisinya mampu

menyediakan kebutuhan hidup suatu spesies (Juntti & Rumble, 2006). Kesesuaian

habitat saat ini sudah banyak dibuat dalam suatu model menggunakan piranti lunak

berbasis komputer. Model kesesuaian habitat (habitat suitability) merupakan metode

yang efisien dan murah serta cepat untuk menilai kualitas habitat satwaliar (Brooks

1997; Schamberger et al., 1982; Cole & Smith, 1983).

Geographic Information System (GIS), merupakan alat yang handal untuk

menilai dan mengevaluasi pola-pola lansekap dan perubahannya pada wilayah yang luas

(Sessions et al., 1994). GIS banyak diaplikasikan untuk menilai fragmentasi habitat dan

membuat pemodelan distribusi spesies (Apan, 1996; Jorge & Garcia 1997; He et al.,

1998). Model-model kesesuaian habitat telah banyak digunakan untuk mengevaluasi

habitat satwaliar serta dampak kegiatan manajemen dan pembangunan sejak awal tahun

1980-an. Model-model tersebut didasarkan pada hubungan fungsional antara satwaliar

dan variabel-variabel habitat (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981).

Pemodelan spasial adalah prosedur analitik yang diaplikasikan dengan Sistim

Informasi Geografis (SIG), di mana serangkaian prosedur mensimulasikan kondisi

dunia nyata ke dalam SIG dengan menggunakan hubungan spasial dari fitur-fitur

geografis (AGI, 2010). Pembuatan pemodelan spasial bertujuan membantu pengambil

keputusan ataupun analis untuk memahami, menggambarkan dan memperkirakan

bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui penyederhanaan fenomena

maupun fitur (Jaya, 2007). Pemodelan spasial kesesuaian habitat secara kuantitaif

sangat penting untuk pengelolaan populasi satwaliar dan perencanaan strategi

49

konservasi pada skala lansekap (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981; Osborne et

al., 2001) serta prioritasisasi upaya-upaya konservasi dengan lebih efisien dan efektif

(Kushwaha et al., 2004).

Kesesuaian habitat dinilai untuk setiap fitur spasial dalam wilayah yang diteliti

untuk setiap periode waktu. Salah satu pendekatan umum untuk evaluasi kuantitatif

habitat adalah dengan membuat model indeks kesesuaian habitat (Habitat Suitability

Index) untuk membangun nilai dari suatu habitat tertentu berdasarkan pada preferensi

satwa terhadap penggunaan komponen-komponen habitat (U.S. Fish and Wildlife

Service, 1981; Rickers et al,. 1995). McLellan et al. (1995) mengembangkan suatu

model HSI untuk caribou gunung berdasarkan elevasi, slope, land cover atau tipe

habitat dan umur tegakan dengan notasi sebagai berikut:

HSItotal = (HSIelevation * HSIslope * HSIhabitat unit * HSIstand age)1/4 ................. (Formula 2.8)

Kesesuaian (suitability) didefinisikan sebagai kemampuan habitat dalam

kondisinya saat ini untuk menyediakan kebutuhan hidup suatu spesies. Ini merupakan

suatu perkiraan bagaimana suatu kondisi habitat sekarang memberikan kebutuhan hidup

tertentu suatu spesies. Rangking kesesuaian diberikan kepada setiap struktur dari setiap

tipe vegetasi. Struktur-struktur dengan rangking kesesuaian tertingi menggambarkan

kemampuannya untuk beberapa ekosistem tertentu. Untuk membuat kesesuaian, maka

diberikan rangking (rating) pada struktur habitat untuk potensinya mendukung spesies

tertentu pada musim tertentu. Hal tersebut menggambarkan suatu proporsi dari habitat

terbaik yang mencerminkan harapan penggunaan habitat oleh spesies satwaliar (Juntti

and Rumble, 2006). Secara numerik, indeks kesesuaian habitat (HSI) dibuat oleh U.S.

Fish and Wildlife Service (1980) sebagai berikut :

........................... (Formula 2.9)

Jika kondisi-kondisi aktual identik dengan kondisi-kondisi optimum, maka HSI

sama dengan satu. Nilai indeks kesesuaian habitat biasanya dihitung menggunakan

formula matematis yang menggambarkan hubungan hipotetik di antara SI individual.

Hubungan satwaliar-habitat dapat didukung data empiris, pendapat ahli atau keduanya

(U.S. Fish and Wildlife Service 1980; 1981). Secara tradisional model HSI diterapkan

pada suatu contoh lokasi dalam tipe-tipe penutupan lahan atau tipe-tipe vegetasi

HSI = Study Area Habitat Conditions Optimum Habitat Conditions

50

dominan. Kualitas habitat pada suatu area merupakan penjumlahan unit-unit habitat

yang menggambarkan hasil dari rata-rata nilai HSI di setiap tipe vegetasi dan area dari

suatu lahan pada tipe vegetasi tersebut, dijumlahkan seluruh area studi (Larson et al.,

2003).