ii. tinjauan pustaka a. sistem irigasi tetes · airnya melalui jalur pipa ekstensif biasanya dengan...
TRANSCRIPT
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SISTEM IRIGASI TETES
Irigasi tetes (trickle irrigation) merupakan sistem irigasi yang pemberian
airnya melalui jalur pipa ekstensif biasanya dengan diameter kecil ke tanah
dekat tanaman. Pada sistem irigasi tetes, pemberian air dilakukan dengan
menggunakan beberapa nozel yang diletakkan di permukaan tanah dekat
dengan perakaran tanaman. Alat pengeluaran air pada pipa disebut emitter
(penetes) yang mengeluarkan air hanya beberapa liter per jam. Dari penetes,
air menyebar secara horizontal dan vertikal oleh gaya kapiler tanah yang
diperbesar pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi. Luas daerah yang
terbasahi oleh penetes tergantung pada besarnya aliran, jenis tanah,
kelembaban tanah, dan permeabilitas tanah vertikal dan horizontal (Hansen et
al., 1986).
Secara teoritis efisiensi irigasi tetes relatif lebih tinggi dari irigasi yang
lain, karena sistem irigasi tetes hanya memberikan air pada daerah perakaran,
sehingga mengurangi kehilangan air irigasi pada bagian lahan yang tidak
efektif untuk pertumbuhan tanaman. Namun demikian dalam aplikasinya di
lapangan, nilai efisiensi irigasi tetes yang relatif tinggi ini dapat tercapai bila
memenuhi dua persyaratan (Prastowo dan Liyantono, 2002), yaitu :
1. Jaringan irigasi tetes yang dibangun dapat memberikan air secara seragam.
2. Pengoperasian jaringan irigasi dilakukan dengan jadwal yang tepat.
Sistem irigasi tetes ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
sistem irigasi lainnya antara lainnya (Keller dan Bliesner, 1990):
1. Efisiensi irigasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sistem irigasi
lain, karena pemberian air dilakukan dengan kecepatan lambat dan hanya
dilakukan di daerah perakaran tanaman sehingga mengurangi penetrasi air
berlebihan, evaporasi dan limpasan permukaan.
2. Mencegah timbulnya penyakit leaf burn (daun terbakar) pada tanaman
tertentu, karena hanya daerah perakaran yang terbasahi sedangkan bagian
tanaman lain dibiarkan dalam kondisi kering.
4
3. Mengurangi terjadinya hama penyakit tanaman dan timbulnya gulma yang
disebabkan kondisi terlalu basah. Hal ini karena pada sistem irigasi tetes
hanya membasahi daerah perakaran tanaman.
4. Pemberian pupuk ataupun pestisida dapat dilakukan secara efektif dan
efisien, karena pemberian pestisida ataupun pupuk dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian air irigasi.
5. Menghemat kebutuhan akan tenaga kerja untuk kegiatan pemberian air
irigasi dan pemupukan, karena sistem irigasi tetes bisa dioperasikan secara
otomatis.
Selain mempunyai kelebihan, sistem irigasi tetes juga mempunyai
kekurangan dalam penerapannya, antara lain :
1. Terjadinya penyumbatan yang disebabkan oleh faktor fisik, kimia, dan
biologi yang dapat mengurangi efisiensi dan kinerja irigasi tetes.
2. Terjadinya penumpukan garam di daerah yang tidak terbasahi
3. Pemberian air yang tidak memenuhi kebutuhan air tanaman karena
kurangnya kontrol terhadap pengoperasian jaringan irigasi, menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan tanaman.
4. Membutuhkan investasi yang relatif tinggi dan membutuhkan penguasaan
teknik yang tinggi dalam desain, instalasi, dan pengoperasian.
Menurut Keller dan Bleisner (1990) terdapat empat tipe dalam sistem
irigasi tetes, yaitu :
1. Drip System : memberikan air perlahan-lahan ke permukaan tanah terus
menerus melalui penetes (emitter). Penetes dapat berupa single outlet
emitter, mutiple outlet emitter atau line source emitter type. Tipe dan
pengaturannya tergantung pada tanaman yang diirigasi.
2. Sub Surface System : sama dengan drip system tetapi lateral dan penetes
diletakkan di bawah permukaan tanah. Selama pemberian air, air mengalir
dari penetes ke daerah perakaran melalui gaya kapiler.
3. Bubbler system : memberikan air ke permukaan tanah berupa arus kecil.
Laju keluaran penetes dibatasi dengan laju tanah mengabsorbsi air.
5
4. Spray System : memberikan air melalui curahan kecil atau kabut ke
permukaan tanah. Angin lebih mempengaruhi distribusi air daripada
tanah.
Micro spray merupakan suatu metode irigasi yang memakai teknik
pembuatan hujan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Secara umum
komponen micro spray sama dengan komponen pada sistem irigasi tetes,
yaitu:
1. Emitter atau penetes, merupakan komponen yang menyalurkan air dari
pipa lateral ke tanah di sekitar tanaman secara sinambung dengan debit
yang rendah dan tekanan yang mendekati tekanan atmosfir. Kinerja
beberapa macam emitter disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kinerja Beberapa Macam Emitter
Jenis Kapasitas
(1/jam)
Tek.. kerja
(psi)
Button Dripper 2,4,8 10
Pot Dripper 2,4,8 10
Wood Pecker Dripper 1,2,3,4 10
Pot Line Dripper 1,2 10
Pressure Compensating Dripper 2,4,8 20 - 45
Regulating stick 0.5, 2 20
Micro Spray 69 20
Sumber: PT Daya Sentosa Rekayasa (1992), dalam Cahyadi (1997)
2. Lateral, merupakan pipa dimana emitter ditempatkan. Bahan yang
diguanakan untuk lateral biasanya terbuat dari pipa PVC (Polyvinil
Chlorida) atau PE (Polyetilen) dengan diameter antara 12.7 mm ( ½ inch)
– 38.1 mm ( 1 ½ inch).
3. Pipa sub-utama atau manifold, merupakan pipa yang mendistribusikan air
ke pipa-pipa lateral. Pipa sub utama atau manifold biasanya dari bahan
pipa PVC dengan diameter 50.8 mm (2 inch) – 76.2 mm (3 inch)
4. Pipa utama, merupakan komponen yang menyalurkan air dari sumber air
ke pipa-pipa distribusi dalam jaringan. Bahan pipa utama biasanya dipilih
dari pipa PVC atau paduan antara semen dan asbes.
6
5. Pompa atau tenaga penggerak, berfungsi mengangkat air dari sumber,
selanjutnya dialirkan ke lahan melalui jaringan-jaringan perpipaan.
6. Komponen pendukung terdiri dari katub-katub, pengukur tekanan,
pengatur debit, tangki bahan kimia, sistem pengontrol dan lain-lain.
Komponen-komponen penyusun sistem irigasi tetes dan tata letaknya
dalam jaringan disajikan pada Gambar 1.
Air yang masuk ke dalam sistem irigasi micro spray memerlukan
penyaringan, yang besarnya tergantung pada jumlah dan karakteristik
campuran dalam air. Sistem irigasi micro spray cocok digunakan untuk
tanaman pohon, belukar atau tanaman merambat serta dapat disesuaikan
dengan kemiringan lahan.
Gambar 1. Komponen-komponen penyusun sistem irigasi tetes dan tata letaknya
dalam jaringan (Jensen dan Malter (1995), dalam Prastowo (2002))
Keterangan : 1. Pompa 7. Pengukur tekanan 13. Manifold 2. Pressure relief valve 8. Penyaring 14. Lateral 3. Ventilasi udara 9. Meteran air 15. Penyambung manifold-lateral 4. Check valve 10.Pipa utama 16. Katup pembersih 5. tangki penyaring 11.Penyaring sekunder 17. Pengontrol system 6. Katup utama 12.Katup pengontrol
7
B. SIFAT FISIK TANAH
1. Tekstur Tanah
Sifat fisik tanah yang paling penting adalah tekstur dan struktur.
Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dan yang dimaksud
dengan struktur tanah adalah susunan dari partikel tanah itu sendiri.
Berdasar atas perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu, liat maka
tanah dikelompokkan ke dalam beberapa macam kelas tekstur
(Harjowigeno, 1995).
Klasifikasi tekstur tanah menurut United States Departemen of
Agriculture (USDA) yang didasarkan pada pasir, debu, dan liat sebagai
penyusunnya dapat dilihat pada diagram segitiga tekstur menurut USDA
pada Gambar 2.
Gambar 2. Segitiga Tekstur Tanah USDA
8
2. Bulk Density
Bulk density merupakan perbandingan antara berat tanah kering
dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Bulk density
dapat dijadikan sebagai petunjuk kepadatan tanah. Semakin padat suatu
tanah maka semakin tinggi nilai bulk density, yang berarti semakin sulit
tanah tersebut meneruskan air ataupun ditembus oleh akar tanaman
(Hardjowigeno, 1995).
Bulk density dipenharuhi oleh struktur tanah (susunan partikel tanah),
tekstur tanah dan kepadatan tanah. Bulk density berhubungan denagn
kemampuan tanah untuk menahan air irigasi (Hansen et al., 1986).
3. Porositas
Porositas diartikan sebagai perbandingan volume ruang kosong
(udara dan air sebagai pengisi udara) terhadap volume total tanah
ditambah air dan udara (Hansen et al., 1986). Ruang pori juga
mempengaruhi kapasitas tanah menahan air.
Ruang pori mempunyai suatu penahan langsung terhadap nilai
produksi tanah disebabkan oleh pengaruhnya terhadap kapasitas menahan
air terhadap gerakan udara, air, dan akar-akaran melalui tanah (Hansen et
al., 1986).
4. Laju Infiltrasi
Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam lapisan
permukaan tanah namun berbeda dengan perkolasi yang merupakan
pergerakan air melalui profile tanah (Schwab et al., 1981). Laju infiltrasi
digunakan untuk menentukan pemberian air irigasi agar tidak melebihi laju
infiltrasi. Pemberian air irigasi yang melebihi laju infiltrasi dapat
menyebabkan limpasan permukaan. Rata-rata laju infiltrasi pada berbagai
tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 2.
Laju infiltrasi dapat dihitung dengan persamaan Kostiakov :
F = (K/(n+1)) t(n-1) ............................................................................. (1)
fp = dF/dt = K.tn ................................................................................ (2)
dimana :
F : Laju infiltrasi kumulatif (mm)
9
K,n : koefisien tanah yang dipengaruhi sifat-sifat fisik tanah setempat
t : waktu (jam)
fp : Laju infiltrasi (mm/jam)
Tabel 2. Rata-rata Laju Infiltrasi pada Berbagai Tekstur Tanah (Raes,
1987)
Tekstur tanah Laju Infiltrasi (mm/jam)
Debit Penyiraman (I/det/ha)
Pasir 50 (25 – 250) 140 Lempung berpasir 25 (15 – 75) 70 Lempung 12.5 (8 – 20) 35 Lempung berliat 8 (2.5 – 15) 22 Liat berdebu 2.5 (0.03 – 15) 7 Liat 5 (5 – 15) 14
5. Air Tanah Tersedia
Air tanah tersedia dapat diartikan sebagai kemampuan tanah
memegang air (Water Holding Capacity) yaitu besarnya air yang dapat
disimpan di daerah perakaran pada kondisi antara kadar air kapasitas
lapang (pF 2.54) dan kadar air pada titik layu permanen (pF 4.20). Di
antara kapasitas lapang dan titik layu permanen terdapat titik kritis.
Kandungan air antara kapasitas lapang dan titik kritis disebut dengan
Readily Available Water (RAW). Perbandingan TAW dan RAW diberikan
oleh MAD (Management Allowable Deficit) atau faktor-p yang
dipengaruhi oleh iklim, ETc. tekstur tanah, jenis dan tingkat pertumbuhan
tanaman (Doorenbos dan Kassam, 1979).
Tanaman akan tumbuh optimal pada kondisi antara kapasitas lapang
dan titik layu permanen, sehingga pemberian air irigasi dimaksudkan agar
kelembaban tanah berada pada kondisi ini (Doorenboss dan Pruitt, 1977).
Kemampuan tanah dalam menahan air untuk berbagai tekstur tanah dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar Air Tersedia dari Beberapa Tekstur Tanah (Keller,1990)
Tekstur Tanah
Kadar Air Tersedia (mm/m)
Pasir 42 Lempung berpasir 125 Lempung 167 Liat 192
10
Jumlah total air tersedia dapat dihitung dengan persamaan
(Doorenbos dan Kassam, 1979) :
( ) RzWPFCTAW ×−= ..................................................................... (3)
dimana :
TAW : total air tanah tersedia (mm)
FC : kadar air tanah pada kapasitas lapang (% berat)
WP : kadar air pada titik layu permanen (% berat)
Rz : kedalaman perakaran efektif tanaman (mm)
Perbandingan antara total air tanah tersedia (TAW) dengan lengas
tanah tersedia (RAW) dinyatakan dengan faktor-p yang dipengaruhi oleh
iklim, evapotranspirasi, tanah, dan tanaman. Nilai titik kritis lengas tanah
dapat ditentukan dengan persamaan (Doorenbos dan Kassam, 1979) :
( )TAWpFCRAW ×−= .............................................................. (4)
dimana :
RAW : Titik kritis lengas tanah (mm)
FC : kadar air tanah pada kapasitas lapang (% berat)
p : Fraksi ketersediaan air
TAW : total air tanah tersedia (mm)
C. KEBUTUHAN AIR TANAMAN
Kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang digunakan untuk
memenuhi evapotranspirasi tanaman (ETc) agar dapat tumbuh normal. ETc
merupakan kebutuhan air tanaman yang dinyatakan dalam kedalaman air yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman yang optimal, bebas penyakit,
didukung oleh lingkungan yang baik (tumbuh tanpa stagnasi dari kadar air
tanah dan kondisi media tumbuh yang subur). ETc dipengaruhi oleh iklim,
karakteristik tanaman (jenis dan tingkat pertumbuhan), dan kondisi media
tumbuh (Doorenbos dan Pruitt, 1977; Raes et al., 1987).
1. Pendugaan Evapotranspirasi Acuan (Eto)
Untuk menduga ETo ada beberapa metode yang dapat dipergunakan,
antara lain adalah : Metode Radiasi, Metode Blaney-Criddle, Metode
11
Penman, dan Metode Panci Evaporasi. Persamaan untuk menduga ETo
dengan menggunakan metode Radiasi adalah sebagai berikut (Doorenbos
dan Pruitt, 1977):
ETo = c x (W.Rs) ................................................................................. (5)
Rs = Ra x (0.25+0.50 n/N) .................................................................. (6)
dimana :
c : faktor penyesuaian yang bergantung pada kelembaban udara rata-rata
dan kondisi kecepatan angin.
W : faktor pembobot yang bergantung pada suhu dan ketinggian tempat
Rs : radiasi matahari setara dengan evaporasi (mm/jam)
N : lama penyinaran matahari maksimum (jam/hari)
n : lama penyinaran matahari aktual (jam/hari)
Ra : radiasi matahari yang diterima pada puncak atmosfeir (mm/hari).
Metode Radiasi dipergunakan bila tersedia data suhu udara, penyinaran
matahari dan awan.
2. Penentuan nilai Kc
Besarnya nilai koefisien tanaman (Kc) tergantung dari jenis tanaman
dan tingkat pertumbuhan tanaman. Besarnya evapotranspirasi tanaman
diperoleh dari persamaan :
ETc = kc x ETo ................................................................................... (7)
dimana :
ETc : Evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
ETo : evapotranspirasi acuan (mm/hari)
Kc : koefisien tanaman
Menurut Cumulus (1992), nilai kebutuhan air tanaman meningkat dari
periode vegetatif diikuti periode pembungaan dan periode pembentukan buah.
Pada periode pematangan kebutuhan air menurun kembali.
D. CURAH HUJAN EFEKTIF
Curah hujan tidak semuanya dikategorikan sebagai curah hujan efektif
karena sebagian hilang sebagai aliran permukaan, perkolasi, dan evaporasi,
sehingga hanya sebagian curah hujan yang masuk dan terakumulasi di daerah
12
perakaran tanaman (Doorenbos dan Kassam,1977). Curah Hujan Efektif
adalah curah hujan yang jatuh dan efektif untuk pertumbuhan tanaman
tergantung pada intensitas hujan, topografi daerah, sistem penanaman dan
tahap pertumbuhan tanaman (Odelman dan Sjarifuddin, 1977).
Curah hujan efektif (CHE) dapat dihitung dengan metode USDA (United
States Departement of Agricultur), yang menghubungkan curah hujan andalan
(CHA) dengan nilai penggunaan konsumtif tanaman bulanan (Dastane, 1974,
di dalam Prastowo, 2002). Curah hujan andalan dapat dihitung menurut
distribusi Weibull, yaitu :
1+=
nmf ................................................................................................ (8)
dimana:
f = peluang curah hujan (%)
m = nomor urut data dari terbesar ke data terkecil
n = jumlah data
E. KESERAGAMAN PENYEBARAN DAN EFISIENSI IRIGASI
Efisiensi sistem irigasi tetes terutama dipengaruhi oleh keseragaman
penyebaran air (Emission Uniformity, EU), selain kehilangan minor, perkolasi
yang tak terhindari dan kebutuhan untuk pencucian. Rekomendasi nilai EU
pada sistem irigasi tetes disajikan pada Tabel 4 (Keller dan Bliesner, 1990).
Nilai keseragaman penyebaran irigasi tetes dapat diketahui dengan
persamaan berikut (Keller dan Bliesner, 1990) :
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛−=
− qaqn
NvEU 5.0
27.10.1100 ........................................................ (9)
dimana :
v : Koefisien keseragaman penetes
qn : Debit penetes minimum (l/jam)
qa : Debit penetes rata-rata (l/jam)
N : Jumlah minimum penetes tiap tanaman
13
Tabel 4. Rekomendasi nilai keseragaman penyebaran air (EU) dalam
pengggunaan sistem irigasi tetes (Keller dan Bliesner, 1990)
Tipe Emitter Σ Emitter per tanaman Topografi Nilai EU (%)
Point Source ≥3 ≤ 2% 90-95
Point Source <3 ≤2% 85-90
Point Source ≥3 >2% 85-90
Point Source <3 >2% 80-90
Spray Semua ≤2% 90-95
Spray Semua >2% 85-90
Line Source Semua ≥2% 80-90
Line Source Semua >2% 70-85
Koefisien variasi penetes diperoleh untuk mengetahui variasi debit
penetes yang keluar dari masing-masing penetes. Klasifikasi koefisien variasi
penetes (v) berdasarkan jenis emitter dapat dilihat pada Tabel 5. Cara lain
untuk mengetahui variasi penetes dapat diperoleh dengan persamaan (Keller
dan Bleisner,1990) :
( ) ( )( ) ( )qa
nqanqnqqqv
1/...321 22222 −×−++++= ............................ (10)
dimana :
v : Koefisien keseragaman penetes
q : Debit penetes (l/jam)
qa : Debit penetes rata-rata (l/jam)
1,2,3,…,n : Jumlah minimum penetes tiap tanaman
Tabel 5. Klasifikasi Koefisien Variasi Penetes (v) Berdasarkan Jenis Emitter
(Keller dan Bliesner, 1990)
Kualitas Drip dan Spray
Baik v < 0.05
Cukup Baik 0.05 < v < 0.097
Kurang Baik 0.07 < v < 0.11
Buruk 0.11 < v < 0.15
Sangat Buruk 0.15 < v
14
Kebutuhan air untuk memperhitungkan perkolasi yang tak terhindarkan
dinyatakan oleh rasio Transmisi Penggunaan Puncak (Tr) seperti yang
disajikan pada Tabel 6 (Keller dan Bliesner, 1990).
Tabel 6. Rasio Transmisi puncak (Tr) untuk berbagai tekstur tanah dan
kedalaman perakaran tanaman (Keller dan Bliesner, 1990)
Kedalaman Perakaran Tanaman
Tekstur Tanah Sangat Kasar
Kasar Sedang Halus
Dangkal (<0.8 m) 1.10 1.10 1.05 1.00
Sedang (0.8-1.5 m) 1.10 1.05 1.00 1.00
Dalam (>1.5m) 1.05 1.00 1.00 1.00
Apabila Tr ≤ 1.0/(1.0 – LRt), maka efisiensi irigasi menjadi :
Es = EU ................................................................................................... (11)
Apabila Tr ≥1.0/(1.0 – LRt), maka efisiensi irigasi menjadi :
)0.1/( LRtTrEUEs−
= .......................................................................... (12)
dimana :
Es : Efisiensi irigasi tetes (%)
EU : Keseragaman penyebaran air (%)
Tr : Rasio tranmisi puncak
LRt : Rasio kebutuhan air untuk pencucian (%)
Menurut Mutiaresmi (1997), nilai keseragaman penyebaran (EU) micro
spray sebesar 70.87 %, menunjukkan bahwa debit penetes yang terjadi tidak
seragam. Dan dengan nilai Tr ≤ 1.0/(1.0 – LRt), nilai efisiensi irigasi (Es)
sama dengan nilai keseragaman penyebaran (EU) yaitu sebesar 70.87 %.
F. JADWAL IRIGASI
Penentuan interval irigasi dan jumlah air sangat dibutuhkan untuk
mengairi seluruh lahan sehingga hasil dapat optimal. Kedalaman bersih
maksimum air irigasi yang dapat diberikan per irigasi pada suatu tekstur tanah
tertentu dinyatakan dengan beberapa persamaan sebagai berikut (Prastowo dan
Liyantono, 2002) :
15
xZBDxWaxPwxMADd x )()100
()100
(= ....................................................... (13)
dimana:
dx = kedalaman bersih maksimum air per irigasi (mm)
MAD= Management Allowable Deficit atau disebut juga faktor-p
Pw = presentasi areal yang terbasahi (%)
Wa = Kapasitas tanah menahan air (mm/m)
Z = Kedalaman perakaran tanaman (m)
BD = Bulk density tanah (g/cm3)
Interval irigasi maksimum dapat dihitung dengan persamaan :
fx = dx/Td ................................................................................................. (14)
dimana :
fx = interval irigasi maksimum
Td = Transpirasi harian rata – rata pada periode penggunaan puncak
(mm/hari)
Td dihitung dengan persamaan :
Td = Ud x (0.1Pd0.5) ................................................................................ (15)
dimana :
Ud = Penggunaan konsumtif harian (mm/hari)
Pd = Presentase area ternaungi kanopi pada masa penggunaan puncak (%)
Kedalaman bersih air irigasi yang diberikan pada setiap operasi irgasi
dihitung dengan persamaan :
dn = Td x fa ............................................................................................. (16)
dimana:
dn = kedalaman bersih air irigasi yang diberikan per irigasi untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif tanaman (mm)
fa = interval irigasi aktual (hari)
Volume kotor air irigasi yang harus diberikan pertanaman untuk setiap
operasi irigasi dihitung dengan persamaan berikut :
G = d x Sp x Sr ....................................................................................... (17)
16
dimana:
G = volume kotor air irigasi yang diberikan pertanaman per operasi
(l/hari)
d = kedalaman kotor air irigasi (mm)
Sp Sr = jarak tanaman (m x m)
Waktu yang dibutuhkan untuk pemberian air irigasi selama masa
penggunaan puncak dihitung dengan persamaan :
( )qaNpGTa×
= ........................................................................................ (18)
dimana:
Ta = lama irigasi selama masa penggunaan puncak (jam/hari)
Np = jumlah emitter per tanaman
qa = debit emitter rata – rata (l/jam)
Laju pemberian air irigasi dihitung dengan persamaan :
( )faTadI n ×
= ......................................................................................... (19)
dimana :
In = laju pemberian air irigasi (mm/jam)
Syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan nilai In adalah In <= f,
dimana f adalah laju infiltrasi tanah. Kapasitas sistem yang dibutuhkan untuk
mengairi suatu lahan tertentu dihitung dengan persamaan :
( )SeSiNsqaA
Qs××××
=778.2
................................................................................ (20)
dimana:
Qs = kapasitas sistem yang dibutuhkan (l/detik)
A = Luas lahan yang akan diirigasi (ha)
Ns = Jumlah stasiun dioperasikan
Si = Jarak antar lateral (m)
Se = Jarak antar penetes dalam satu lateral (m)
17
G. TANAMAN MELON
Tanaman melon (Cucumis melo L) merupakan tanaman yang tumbuh
baik di daerah yang kering. Suhu optimum pertumbuhan tanaman melon pada
siang hari berkisar antara 28 oC – 30 oC dan malam hari berkisar antara 18 oC
– 20 oC. Tanaman akan terhambat pertumbuhannya, apabila suhu turun lebih
rendah dari 15 oC atau naik lebih tinggi dari 35 oC (Setiadi, 2001).
Setiadi (2001) selanjutnya menyatakan, tanaman melon tidak akan
tumbuh baik pada tanah tandus, dikarenakan sistem perakarannya
menghendaki persyaratan tertentu. Hampir 80 % dari sistem perakarannya,
berada di dalam tanah bagian atas, yang dalamnya kira-kira 5 - 25 cm dari
permukaan tanah. Sisanya dapat menembus tanah sampai sedalam 1 m atau
lebih.