ii kajian kepustakaan 2.1 kitosan 2.1.1 deskripsi...

21
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Kitosan 2.1.1 Deskripsi Kitosan Kitosan merupakan biopolimer alami turunan dari kitin. Kitin merupakan zat penyusun pada cangkang udang. Menurut Knorr, cangkang udang mengandung 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat dan kalsium fosfat, dan 20-30% kitin. Dalam pembuatan kitosan yang merupakan turunan dari kitin ini, diperlukan penghilangan protein, kalsium karbonat dan kalsium fosfat yang ada (Fernandez, 2004). Kitosan diperoleh melalui beberapa tahapan proses yaitu deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dari cangkang udang sehingga diperoleh kitin. Kitin kemudian dideasetilasi melalui proses hidrolisis basa menggunakan basa kuat dan pekat sehingga diperoleh kitosan. Proses deasetilasi melibatkan pembuangan gugus asetil dengan reaksi kimia dari rantai molekul, meninggalkan gugus kitosan dalam berbagai tingkatan gugus amino . Dalam tahap ini kitosan didapat dengan menggunakan larutan natrium hidroksida (40-50%) pada suhu atau lebih dalam waktu 30 menit hingga gugus asetil hilang sebagian atau seluruhnya dari polimer (No HK and Lee, 1995). Kitosan mempunyai karakteristik kimia dan biologi sebagai berikut (Dutta, 2004) : Karakteristik Kimia Memiliki gugus amino reaktif Memiliki gugus hidroksil reaktif Mampu mengkelat logam-logam transisi

Upload: hoangnhu

Post on 03-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kitosan

2.1.1 Deskripsi Kitosan

Kitosan merupakan biopolimer alami turunan dari kitin. Kitin merupakan

zat penyusun pada cangkang udang. Menurut Knorr, cangkang udang

mengandung 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat dan kalsium fosfat, dan

20-30% kitin. Dalam pembuatan kitosan yang merupakan turunan dari kitin ini,

diperlukan penghilangan protein, kalsium karbonat dan kalsium fosfat yang ada

(Fernandez, 2004). Kitosan diperoleh melalui beberapa tahapan proses yaitu

deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dari cangkang udang sehingga

diperoleh kitin. Kitin kemudian dideasetilasi melalui proses hidrolisis basa

menggunakan basa kuat dan pekat sehingga diperoleh kitosan. Proses deasetilasi

melibatkan pembuangan gugus asetil dengan reaksi kimia dari rantai molekul,

meninggalkan gugus kitosan dalam berbagai tingkatan gugus amino .

Dalam tahap ini kitosan didapat dengan menggunakan larutan natrium hidroksida

(40-50%) pada suhu atau lebih dalam waktu 30 menit hingga gugus asetil

hilang sebagian atau seluruhnya dari polimer (No HK and Lee, 1995).

Kitosan mempunyai karakteristik kimia dan biologi sebagai berikut (Dutta,

2004) :

Karakteristik Kimia

Memiliki gugus amino reaktif

Memiliki gugus hidroksil reaktif

Mampu mengkelat logam-logam transisi

11

Karekteristik Biologi :

Biokompatibel (polimer alami, biodegradabel di dalam tubuh manusia,

aman, dan tidak toksis)

Mampu berikatan dengan sel mamalia dan mikroba dengan kuat

Mempercepat pembentukan osteoblas yang bertanggung jawab untuk

pembentukan tulang

Hemostatik

Fungistatik dan spermisid

Antitumor dan antikolestrol

2.1.2 Struktur Kimia Kitosan

Kitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β(1-4)-D-glukopiranosa) dengan

rumus molekul ( )n yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan

juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme (Sugita, 2009).

Gambar 1. Kitosan

Pada Gambar 1 Terlihat perbedaan kitin dan kitosan, pada –NH- -CO

yang dimiliki kitin, dan gugus –NH-H pada kitosan. Proses penyingkiran gugus

12

asetil yang merupakan proses deasetilasi, bertujuan untuk membuat kitin menjadi

kitosan.

Gambar 2.2 Perbedaan antara kitosan dan kitin

Gambar 2. Perbedaan antara Kitin dan Kitosan

Sumber; Fernandez-Kim S-O. Physicochemilcal and Functional Properties of

Crawfish Chitosan as Affected by Different Processing Protocols. Louisiana:

Louisiana State University: 2004.

Kitosan bersifat nontoksis dan mudah terdegradasi. Kitosan merupakan

amina polisakarida hasil proses deasetilasi kitin. Senyawa kitosan bersifat

polikationik sehingga dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti adsorben

logam, penyerap zat warna tekstil, bahan pembuatan kosmetik serta agen

antibakteri (Bhuvana, 2006). Kitin dan kitosan merupakan bahan yang berasal dari

alam sehingga lebih bersifat biodergradable, biokompetibel dan juga nontoksik

dibanding dengan polimer sintetik. Sifat kristalinitas kitosan yang disebabkan oleh

ikatan hidrogen intermolekuler maupun intramolekuler lebih rendah dibandingkan

kitin sehingga lebih mudah diaplikasikan dalam beberapa bahan.

Kitosan memiliki gugus amino yang relatif lebih banyak

dibandingkan kitin sehingga lebih nukleofilik dan bersifat basa. Sifat yang basa

ini menjadikan kitosan :

13

a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan yang kental

sehingga dapat digunakan dalam pembuatan gel. Dalam beberapa variasi

konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.

b. Membentuk kompleks yang tidak larut dengan air dengan polianion yang

dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran.

c. Dapat digunakan sebagai pengkelat ion logam berat dimana gelnya

menyediakan system produksi terhadap efek dekstruksi dari ion (Meriaty,

2002).

2.1.3 Manfaat Kitosan

Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang mulai dari

pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, industri dan sebagainya. Situs aktif

kitosan baik dalam bentuk ataupun dalam keadaan terprontonasi NH3+

mampu mengadsorbsi logam–logam berat melalui mekanisme pembentukan

khelat dan atau penukar ion. Kitosan telah digunakan secara luas di industri

makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan

limbah. Di industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat,

pengawet, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan

hewan dan sebagainya (Aranaz et al., 2009).

Sifat polikationik kitosan dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal

dalam penanganan limbah terutama limbah berprotein yang kemudian dapat

dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada penanganan limbah cair, kitosan sebagai

chelating agent yang dapat menyerap logam beracun seperti mercuri, timah,

tembaga, pluranium, dan uranium dalam perairan dan untuk mengikat zat warna

tekstil dalam air limbah (Krissetiana, 2004).

14

Sifat kitosan yang khas seperti bioaktivitas, biodegradasi, dan

kelihatannya kitosan dapat memberikan kegunaan yang diterapkan dalam berbagai

bidang (Manskarya, 1968). Aktivitas kitosan akan meningkat seiring dengan

peningkatan derajat deasetilasi (DD) kitosan, karena semakin besar DD

menunjukkan semakin banyaknya gugus asetil dari kitin yang diubah menjadi

situs aktif dalam kitosan.

2.2 Timbal (Pb)

2.2.1 Definisi dan Sifat Timbal

Timbal atau dikenal dengan sebutan timah hitam, dan dalam bahasa ilmiah

disebut logam plumbum dengan simbol Pb. Timbal merupakan bahan kimia yang

termasuk kelompok logam berat berwarna abu-abu kebiruan atau kelabu

keperakan. Logam berat merupakan bahan kimia golongan logam yang sama

sekali tidak dibutuhkan oleh tubuh, dan jika masuk kedalam tubuh organisme

hidup dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan efek negatif terhadap

fungsi fisiologis tubuh (Palar, 2008).

Timbal (Pb) pada awalnya adalah logam berat yang terbentuk secara

alami. Namun, Pb juga bisa berasal dari kegiatan manusia bahkan mampu

mencapai jumlah 300 kali lebih banyak dibandingkan Pb alami. Pb meleleh pada

suhu 328ºC (662ºF); titik didih 1740ºC (3164ºF); dan memiliki berat jenis 11,34

dengan berat atom 207,20 (Widowati, 2008). Timbal adalah logam yang

lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat dan memiliki bilangan oksidasi +2

(Sunarya, 2007). Menurut Palar (1994), bahwa logam Pb pada suhu 500-600ºC

dapat menguap dan membentuk oksigen di udara dalam bentuk timbal oksida

(PbO).

15

2.2.2 Sumber Pencemar Timbal

Penyebaran logam timbal (Pb) di bumi sangat sedikit. Menurut Palar

(2008), jumlah Pb yang terdapat di seluruh lapisan bumi hanya 0,0002% dari

jumlah seluruh kerak bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan

jumlah kandungan logam berat lainnya yang ada di bumi. Pb secara alami terdapat

di lingkungan. Tetapi walaupun begitu, sebagian besar keberadaan Pb di

lingkungan berasal dari kegiatan manusia. Pb dapat masuk ke lingkungan dari

kegiatan pertambangan Pb dan logam lainnya, juga dari industri yang

menggunakan Pb atau pun dalam bentuk alloy (ATSDR, 2005).

Industri yang berpotensi sebagai sumber pencemaran Pb adalah semua

industri yang memakai Pb sebagai bahan baku maupun bahan tambahan,

misalnya:

a. Industri pengecoran maupun pemurnian. Industri ini menghasilkan

timbal konsentrat (primary lead), maupun secondary lead yang

berasal dari potongan logam (scrap).

b. Industri baterai. Industri ini banyak menggunakan logam Pb terutama

lead antimony alloy dan lead oxides sebagai bahan dasarnya.

c. Industri bahan bakar. Pb berupa tetra ethyl lead dan tetra methyl lead

banyak dipakai sebagai anti knock pada bahan bakar, sehingga baik

industri maupun bahan bakar yang dihasilkan merupakan sumber

pencemaran Pb.

d. Industri kabel. Industri kabel memerlukan Pb untuk melapisi kabel.

Saat ini pemakaian Pb di industri kabel mulai berkurang, walaupun

masih digunakan campuran logam Cd, Fe, Cr, Au dan arsenik yang

juga membahayakan untuk kehidupan makluk hidup.

16

e. Industri kimia, yang menggunakan bahan pewarna. Pada industri ini

seringkali dipakai Pb karena toksisitasnya relatif lebih rendah jika

dibandingkan dengan logam pigmen yang lain. Sebagai pewarna

merah pada cat biasanya dipakai red lead, sedangkan untuk warna

kuning dipakai lead chromate (Sudarmaji dkk, 2006).

Meningkatnya pemanfaatan laut dapat menyebabkan pencemaran, yang

akan mempengaruhi produktivitasnya (Michael, 1995). Manusia menyerap timbal

melalui udara, debu, air dan makanan. Salah satu pencemaran timbal yang dapat

terjadi yaitu di laut. Laut juga merupakan tempat pembuangan langsung sampah

atau limbah dari berbagai aktivitas manusia dengan cara yang mudah dan murah

(Siahainenia, 2001). Pembuangan limbah logam berat ke lingkungan muara dan

pantai mendapat perhatian serius dari para pemerhati lingkungan, karena (1)

beracun bagi organisme dan persisten di lingkungan akuatik; (2) kebanyakan

berasal dari sumber antropogenik yang terus meningkat; (3) informasi mengenai

perilaku dan biotoksisitasnya masih terbatas; dan (4) terjadi akumulasi pada

organisme akuatik (Cohen et al., 2001 dalam Setyawan dkk., 2004)

2.2.3 Bahaya Timbal terhadap Kesehatan Ternak

Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi

makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai

dalam jangka waktu lama (Brass & Strauss, 1981). Logam berat Cd, Hg, dan Pb

dinamakan sebagai logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam

beracun bagi makhluk hidup (Subowo dkk, 1999). Hewan ruminansia

mengabsorpsi mineral Pb dalam jumlah yang relatif rendah dibandingkan dengan

17

hewan non ruminansia. Absorpsi mineral melalui paru-paru mencapai 30–40 %

dari mineral yang dihirup (Pilliang, 2002).

Menurut Sudarmaji (2006), efek dari paparan Pb akan menimbulkan

gangguan pada organ tubuh, sebagai berikut:

1) Gangguan terhadap Sintesa Hemoglobin

Pb dapat menyebabkan terjadinya anemia akibat penurunan sintesis globin,

walaupun tak tampak adanya penurunan kadar zat besi dalam serum. Anemia

ringan yang terjadi disertai dengan sedikit peningkatan kadar ALA (Amino

Levulinic Acid). Dapat dikatakan bahwa gejala anemia merupakan gejala dini dari

keracunan Pb pada manusia. Jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak

lebih sensitif terhadap terjadinya anemia akibat paparan Pb.

2) Gangguan terhadap Sistem Syaraf

Paparan menahun dengan Pb dapat menyebabkan lead encephalopathy.

Gambaran klinis yang timbul adalah rasa malas, mudah tersinggung, sakit kepala,

tremor, halusinasi, mudah lupa, sulit konsentrasi dan menurunnya kecerdasan.

Pada anak dengan kadar Pb darah (Pb-B) sebesar 40–80 μg/100 ml dapat timbul

gejala gangguan hematologis, namun belum tampak adanya gejala lead

encephalopathy. Gejala yang timbul pada lead encephalopathy antara lain adalah

rasa canggung, mudah tersinggung, dan penurunan pembentukan konsep. Apabila

pada masa bayi sudah mulai terpapar oleh Pb, maka pengaruhnya pada profil

psikologis dan penampilan pendidikannya akan tampak pada umur sekitar 5–15

tahun.

3) Gangguan terhadap Fungsi Ginjal

Pb dapat menyebabkan tidak berfungsinya tubulus renal, nephropati

irreversible, sclerosis vaskuler, sel tubulus atropi, fibrosis dan sclerosis

18

glumerolus. Akibatnya dapat menimbulkan aminoaciduria dan glukosuria, dan

jika paparannya terus berlanjut dapat terjadi nefritis kronis.

4) Gangguan terhadap Sistem Reproduksi

Logam Pb dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi berupa

keguguran, kesakitan dan kematian janin. Logam berat Pb mempunyai efek racun

terhadap gamet dan dapat menyebabkan cacat kromosom. Anak-anak sangat peka

terhadap paparan timbal di udara. Paparan timbal dengan kadar yang rendah yang

berlangsung cukup lama dapat menurunkan IQ.

2.2.4 Mekanisme Toksisitas Timbal

Logam berat merupakan bahan pencemar berbahaya karena bersifat toksik

dan mempengaruhi berbagai aspek biologi dan ekologi (Dahuri dkk, 1996).

Logam merupakan kelompok toksikan yang unik. Logam dapat ditemukan dan

menetap di alam, tetapi bentuk kimianya dapat berubah akibat pengaruh fisika,

kimia, biologis atau akibat aktivitas manusia. Toksisitasnya dapat berubah drastis

apabila bentuk kimianya berubah. Umumnya logam bermanfaat bagi manusia

karena penggunaannya di bidang industri, pertanian atau kedokteran. Sebagian

merupakan unsur penting karena dibutuhkan dalam berbagai fungsi biokimia atau

faali, di lain pihak, logam dapat berbahaya bagi kesehatan bila terdapat dalam

makanan, air atau udara (Darmono, 2001). Pb tidak larut dalam air, akan tetapi

larut dalam cairan saluran pencernaan. Timbal yang diserap dalam saluran

pencernaan, terutama disimpan dalam hati dan ginjal. Bila konsumsi Pb

meningkat, maka akan terakumulasi dalam hati, ginjal, tulang dan rambut (Dinius

et al., 1973) dalam Parakkasi (1999).

19

Berdasarkan toksisitasnya, logam berat di golongkan ke dalam tiga

golongan, yaitu:

1. Hg, Cd, Pb, As, Cu dan Zn yang mempunyai sifat toksik yang tinggi

2. Cr, Ni dan Co yang mempunyai sifat toksik menengah

3. Mn dan Fe yang mempunyai sifat toksik rendah

(Connel and Miller, 1995)

Pb menjadi beracun yaitu karena menggantikan kation-kation logam yang

bersifat aktif seperti kalsium dan seng dari protein-proteinnya. Calmodulin

mengikat empat kation kalsium dan apabila plumbum menggantikan empat kation

tersebut maka akan terjadi defisiensi enzim, dan ketika Pb menggantikan kation

Zn tunggal maka akan mengganggu proses pembentukan darah sehingga akan

anemia yang parah.

2. 2. 5 Penyimpanan Timbal dalam Tubuh

Timbal yang masuk melalui saluran pencernaan bersumber dari makanan

dan minuman yang tercemar Pb, sedangkan yang masuk melalui saluran

pernapasan bersumber dari udara yang tercemar Pb. Pb yang diabsorpsi melalui

saluran pencernaan didistribusikan ke dalam jaringan lain melalui darah

(Darmono, 1995). Masuknya Pb ke aliran darah tergantung pada ukuran partikel

daya larut, volume pernafasan dan variasi faal antar individu (Palar, 1994).

Timbal menurut Lu (1995), dapat diserap dari usus dengan sistem

transport aktif. Transport aktif melibatkan carrier untuk memindahkan molekul

melalui membran berdasarkan perbedaan kadar atau jika molekul tersebut

merupakan ion. Pada saat terjadi perbedaan muatan transport, maka terjadi

pengikatan dan membutuhkan energi untuk metabolisme (Rahde, 1991). Menurut

20

Ardyanto (2005), Pb yang diabsorpsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh,

sebanyak 95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian Pb disimpan dalam

jaringan lunak dan tulang, sebagian lagi diekskresikan lewat kulit, ginjal dan usus

besar. Sebagian Pb plasma dalam bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan

dalam keseimbangan dengan pool Pb tubuh lainnya dibagi menjadi dua yaitu ke

jaringan lunak (sumsum tulang, sistem saraf, ginjal, hati) dan ke jaringan keras

(tulang, kuku, rambut, gigi) (Palar, 1994). Gigi dan tulang panjang mengandung

Pb yang lebih banyak dibandingkan tulang lainnya. Pada gusi dapat terlihat lead

line yaitu pigmen berwarna abu-abu pada perbatasan antara gigi dan gusi

(Goldstein & Kipen, 1994 dalam Ardyanto, 2005). Hal itu merupakan ciri khas

keracunan Pb. Pada jaringan lunak sebagian Pb disimpan dalam aorta, hati, ginjal,

otak, dan kulit. Timah hitam yang ada di jaringan lunak bersifat toksik.

Menurut Darmono (2001), menyatakan bahwa logam berat seperti timbal

dapat masuk kedalam tubuh hewan melalui pembuluh darah, selanjutnya berkaitan

dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh.

Kerusakan jaringan timbal biasanya terdapat baik pada tempat masuknya maupun

tempat penimbunannya. Tetapi, karena keterbatasan fungsi organ penetralisir

racun (hati) dan organ filtrasi (ginjal) maka timbal dapat terakumulasi di berbagai

jaringan dalam tubuhnya seperti daging, selain itu proses penyerapan nutrisi-

nutrisi esensial juga akan terganggu sehingga menghambat produktivitas dan

pertumbuhan ternak (Darmono, 1995).

21

2.2.6 Ekskresi Timbal

Ekskresi Pb melalui beberapa cara, yang terpenting adalah melalui ginjal

dan saluran cerna (Ardiyanto, 2005). Ekskresi Pb selain dapat melalui urine, dan

feses, sebagian kecil lainnya dapat melalui empedu dan keringat. Ekskresi Pb

melalui urine sebanyak 75–80%, melalui feces 15% dan lainnya melalui empedu,

keringat, rambut, dan kuku (Palar,1994). Ekskresi Pb melalui saluran cerna

dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva, pankreas dan kelenjar

lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel, dan ekskresi empedu, sedangkan

proses eksresi Pb melalui ginjal adalah melalui filtrasi glomerulus (Goldstein &

Kippen, 1994).

2.2.7 Interaksi antara Timbal dan Kalsium

Sejumlah zat nutrisi yang berbeda mempengaruhi kerentanan terhadap

toksisitas Pb. Dari berbagai zat makanan ini termasuk beberapa mineral yaitu

kalsium, fosfor, ferrum, dan zincum. Beberapa vitamin juga mempengaruhi

absorbsi plumbum, termasuk vitamin B1, vitamin C dan vitamin E (Mahaffey,

1990). Toksisitas Pb mempengaruhi kandungan logam essensial seperti contohnya

besi (Fe), kalsium (Ca), seng (Zn) dan yang lainnya. Pada umumnya, defisiensi

mineral esensial tersebut akan dapat meningkatkan absorpsi Pb sehingga dapat

menyebabkan keracunan. Sebaliknya bila kelebihan mineral essensial, akan dapat

mencegah toksisitas Pb (Darmono, 1999).

22

2. 3 Kalsium (Ca)

2.3.1 Deskripsi dan Fungsi Kalsium

Kalsium adalah unsur kimia dengan nomor atom 20 dan massa atom 40,08.

Berupa logam, dengan titik lebur 842°C dan titik didih 1480°C. Ditemukan pada

tahun 1808 oleh H. Davy, J Berzelias, dan M. Portin. Kalsium adalah mineral

yang sangat penting dalam tubuh, terbentuk dari 1,5 sampai 2 % dari berat badan

dan 39 % dari total mineral tubuh (Mahan Kathlen, 2000). Kalsium merupakan

mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Sekitar 99 persen total kalsium

ditemukan dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam

hidoksiapatit, hanya sebagian kecil dalam plasma cairan ekstravaskuler

(Almatsier, 2000). Fungsi penting kalsium di luar sel (ekstraselkuler) ialah

mencegah terjadinya gumpalan darah, gumpalan ini adalah merupakan protein

darah yang tidak larut, sedangkan peranan Ca dalam sel (intraseluler) yang

penting adalah dalam eksitasi saraf dan kontraksi otot. Kalsium juga berperan

dalam proses pembentukan darah dan kontraksi otot, apabila tubuh kekurangan

kalsium maka otot tidak akan rileks setelah kontraksi sehingga tubuh akan

menampakkan gejala kejang-kejang (Nieves, 2005). Kontraksi otot merupakan

proses yang kompleks dimana terjadinya perubahan permeabilitas membran

sehingga terbebaskan dan menyebabkan kontraksi. Aktifitas Ca tersebut

dalam protein tidak dapat digantikan oleh ion lain (Darmono, 1995).

2.3.2 Absorbsi dan Eksresi Kalsium

Absorbsi kalsium terutama terjadi dibagian atas usus halus yaitu

duodenum. Dalam keadaan normal, dari sekitar 1000 mg Ca++

yang rata-rata

dikonsumsi perhari, hanya sekitar dua pertiga yang diserap di usus halus dan

23

sisanya keluar melalui feses (Sherwood, 2001). Namun absorbsi kalsium dapat

terjadi dalam dua cara yaitu transpor aktif dan difusi pasif. Transpor aktif

dipengaruhi oleh status kalsium dan vitamin D individu. Umur, kehamilan dan

laktasi. Transfor aktif terjadi saat asupan kalsium rendah. Transpor aktif diatur

melalui 1,25-dihidroksi vitamin D dan reseptor usus (Gibson, 2005).

Kalsium diabsorbsi dari saluran cerna dan pengeluaran kalsium terjadi

melalui saluran cerna, ginjal dan tulang, absorbsi kalsium terutama terjadi di

dalam usus halus yang ditingkatkan oleh kerja hormon paratiroid yang sinergis

serta metabolit aktif dari vitamin D (Rachmawati, 2006).

Faktor-faktor yang meningkatkan Absorbsi :

Lemak meningkatkan waktu transit makanan melalui saluran cerna, dengan

demikian memberi waktu lebih banyak untuk absorbsi kalsium. Absorbsi

kalsium lebih baik bila dikonsumsi bersamaan dengan makanan (Almatsier,

2004).

Ransum yang memiliki kandungan nutrient cukup lengkap akan membantu

dalam proses absorbsi kalsium, sedangkan ransum yang memiliki kandungan

nutrient tidak lengkap akan menjadikan kalsium sulit untuk diserap (Piliang,

2000)

Jumlah kalsium yang dikonsumsi mempengaruhi absorbsi kalsium.

Penyerapan akan meningkat apabila kalsium yang dikonsumsi menurun

(Almatsier, 2004).

Vitamin D dalam bentuk aktif 1,25 (OH)D3 merangsang absorbsi kalsium

melalui langkah-langkah kompleks. Vitamin D meningkatkan absorbsi pada

mukosa usus dengan cara merangsang produksi-protein pengikat kalsium.

24

Absorbsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Asam klorida yang

dikeluarkan lambung membantu absorbsi kalsium dengan cara menurunkan

pH di bagian atas duodenum. Asam amino tertentu meningkatkan pH saluran

cerna, dengan demikian membantu absorbsi kalsium (Almatsier, 2004).

Faktor-faktor yang menghambat absorbsi :

Kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif menghambat absorbsi kalsium.

Asam fitat, ikatan yang mengandung fosfor yag terutama terdapat di dalam

sekam serealia, membentuk kalsium fosfat yang juga tidak dapat larut

sehingga tidak dapat diabsorbsi (Almatsier, 2004).

Mengkonsumsi tinggi serat dapat menurunkan absorpsi kalsium, diduga

karena serat menurunkan waktu transit makanan dalam saluran cerna

sehingga mengurangi kesempatan untuk absorbsi (Guthrie dan Picciano,

1995; Krummel, 1996).

Kalsium yang dikonsumsi dan tidak diserap setiap harinya akan dibuang

melalui ekresi (urine dan feses), keringat, dan paru-paru saat bernapas dan hal

tersebut adalah normal. Kalsium feses bervariasi tergantung pada ransum

yang dikonsumsi pada setiap individunya (Martin, Rodwell dan Graner,

1987).

2.3.3 Gangguan Metabolisme Kalsium

Terdapat beberapa kelainan yang disebabkan oleh gangguan kadar kalsium

tubuh diantaranya yaitu :

a. Steatorea

Steatorea terjadi akibat dari peningkatan hebat eksresi kalsium feses,

ditemukan bila absorbsi kalsium berkurang (Baron, 1995).

25

b. Hipokalsemia

Disebabkan oleh defisiensi masukkan dan atau absorbsi kalsium karena

hipoparatiroidisme atau karena kehilangan kalsium yang berlebihan melalui

ginjal pada kerusakan tubulus atau asidosis. Sering hipokalsemia merupakan

sindroma kegagalan ginjal kronik. Kadang-kadang juga terlihat pada

pankreatitis akut. Pada neonantus, hal ini mungkin disebabkan oleh makanan

yang tinggi fosfat, sehingga meningkatkan kalsium di dalam usus (Baron,

1995).

c. Hiperkalsemia

Biasanya karena kelebihan pemecahan tulang, baik karena

hiperparatiroidisme, maupun karena keganasan, termasuk mielomatosis atau

kadang-kadang karena imobilisasi. Hal ini hanya akibat absorbsi berlebihan,

bila terdapat kelebihan dosis atau hipersensitivitas terhadap vitamin D atau

kelebihan kemasukan alkali beserta kalsium di dalam diet. Hiperkalsemia

menyebabkan kelemahan otot, gejala-gejala gastrointestinalis, giddiness, haus

hebat dan kelemahan yang nyata serta kerusakan ginjal disertai poliuria.

(Baron, 1995).

Gejala permukaan kalsifikasi ginjal adalah poliuria karena kerusakan tubulus

dan kegagalan ginjal timbul jika hiperkalsemia memanjang. Hiperkalsemia

menyebabkan hiperkalsiuria dan sering menyebabkan kalkulus renalis.

Hiperkalsemia berat membawa resiko bagi berhentinya jantung (cardiac

arrest). (Baron, 1995).

d. Osteoporosis

Pada saat terjadi osteoporosis, terdapat pengurangan masa tulang yang

normal, matriks dan kalsium. Osteoporosis timbul jika pembentukan matriks

26

dan kalsium. Bila ada efek kalsium yang memanjang, destruksi tulang

mungkin meningkat dan gangguan tulang akibatnya dapat menyerupai

osteoporosis. Pada osteoporosis kronik, umumnya kadar kalsium ke dalam

urin dapat meningkat (Baron, 1995).

2.4 Ginjal

2.4.1 Deskripsi Ginjal

Ginjal pada unggas berjumlah satu pasang. Ginjal unggas mempunyai tipe

metanephros yaitu evolusi dan kombinasi dari tipe ren mamalia dan reptilia

(Sakas, 2002; Kardong, 2002) Sekresi urine unggas didominasi oleh asam urat

( ) yang proses pengeluaran asam urat tersebut hampir sempurna dari

ginjal, karena adanya aliran darah ke ginjal melalui sistem porta renalis. Saat urine

terkonsentrasi akibat pemindahan air di tubulus ginjal, maka asam urat dan urea

terpresipitasi namun tidak mempengaruhi tekanan osmolaritas urine. Hal ini

menyebabkan kemampuan unggas untuk mensekresi urine yang hypotonik dengan

konsentrasi asam yang tinggi (Marshall, 1960).

Pada unggas sepasang ginjalnya berbentuk irreguler, dengan warna coklat

gelap, terletak pada dorsal abdomen di dinding eksternal peritoneum dalam

rongga synsacrum, ukurannya bervariasi menurut jenis dan umur unggas. Batas

kranial sepasang ginjal tepat di kaudal paru diantara vertebrae toraksalis ke 6 dan

7 mengikuti bentuk tulang synsacrum, sedangkan bagian ventralnya terlihat lebih

rata dan terbagi-bagi menjadi 3-4 bagian yang disebut lobus (Hodges, 1974).

Tiap-tiap lobus dibagi lagi menjadi beberapa lobulus yang lebih kecil (Andrew

and Hickman, 1974). Berbeda dengan hewan karnivora dan ruminansia kecil,

karena setiap ginjalnya berbentuk seperti kacang polong, halus. Pada kuda, ginjal

27

cenderung mirip dengan bentuk jantung. Pada sapi, kambing, domba dan unggas,

ginjal terdiri dari beberapa lobus (Bank’s, 1993). Akumulasi logam berat yang

tertinggi biasanya dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal), (Darmono,

2001).

2.4.2 Peranan Serta Ekskresi Pada Ginjal

Ginjal berperanan penting dalam fungsi tubuh, tidak hanya berfungsi

menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan

menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit dalam tubuh, mengontrol tekanan

darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah. Menurut Marshall

(1960), Sistema urinasi pada manusia dan hewan dimulai dari ginjal. Sekresi urine

unggas didominasi oleh asam urat ( ) proses pengeluaran asam urat

hampir seluruhnya dari ginjal, karena adanya aliran darah ke ginjal melalui sistem

porta renalis. Saat urin terkonsentrasi akibat pemindahan air di tubulus ginjal,

maka asam urat dan urea terpresipitasi namun tidak mempengaruhi tekanan

osmolaritas urine. Hal ini yang menyebabkan unggas memiliki kemampuan untuk

mensekresi urine yang hipotonik dengan konsentrasi asam yang tinggi.

Pada ginjal terdapat beberapa proses yang terjadi di dalam ginjal yaitu

ultrafiltrasi, reabsorbsi dan sekresi dimana tiga hal tersebut sangat penting bagi

tubuh. Ultrafiltrasi merupakan proses penyaringan semua molekul berukuran kecil

sperti air, glukosa dan urea. Prinsip penyaringan pada glomerulus adalah

perpindahan cairan menuju kapsul bownman dengan menembus membran filtrasi

(Reece, 2005).

28

2.5 Daging

Otot hewan dapat dikatakan daging setelah terjadi pemotongan karena

fungsi fisiologis tubuhnya telah berhenti, dapat diartikan sebagai jaringan otot dari

hewan yang telah disembelih (Heinz dan Hautzinger, 2007) dan telah mengalami

perubahan post-mortem. Serat-serat daging terdiri dari miofibril, sedangkan

miofibril tersusun oleh beberapa miofilamen, dimana miofilamen merupakan

struktur terkecil pembentuk daging. Serat-serat daging tersebut dipersatukan oleh

sarkoplama dan terbungkus oleh lapisan sarkolema yang sangat tipis (Muchtadi,

2010).

Daging merupakan bagian dari karkas, namun tidak termasuk lemak (yang

terdapat dibawah kulit maupun yang melindungi organ dalam), yang juga sering

disebut dengan lean meat. Proporsi lean meat dari karkas berbeda-beda pada

setiap jenis ternak, 35% pada sapi, 45% pada babi, 38% pada sapi muda

(veal),dan 35% pada domba (Feiner, G. 2006).

Daging merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Komposisi

daging relatif mirip satu dengan yang lainnya, terutama kandungan protein

sebesar 15-20%. Jika dibandingkan dengan bahan pangan sumber protein nabati,

kandungan asam amino di dalam daging lebih tinggi dan bervariasi sehingga

memberikan pengaruh yang baik bagi pertumbuhan tubuh. Daging juga

merupakan sumber Niasin, Riboflavin, dan Tiamin (Deptan, 2001).

2.6 Puyuh

Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas yang mendukung

ketersediaan protein hewani sebagai penghasil telur dan daging yang banyak

diminati. Puyuh tipe liar memiliki bulu dengan warna dominan coklat gelap. Akan

29

tetapi, puyuh betina dewasa memiliki bulu dengan warna yang pucat dengan

bintik-bintik gelap. Berbeda dengan puyuh betina, puyuh jantan dewasa memiliki

warna bulu yang gelap dan seragam pada bagian dada dan pipi (Vali, 2008).

Klasifikasi zoologi burung puyuh, menurut Radiopoetro (1996) adalah :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata

Class : Aves

Ordo : Galliformes

Famili : Phasianidae

Sub Famili : Phasianidae

Genus : Coturnix

Species : Coturnix-coturnix japonica

Puyuh (coturnix-coturnix japonica) atau japanese quail telah tersebar luas

di Eropa dan Asia. Puyuh dapat dibedakan jenis kelaminnya pada umur 3 minggu

berdasarkan warna kulitnya. Puyuh jantan memiliki warna bulu coklat pada

bagian leher dan dada serta mencapai dewasa kelamin pada umur 5-6 minggu

dengan bobot badan 100-140 gram. Puyuh betina dapat diidentifikasi dengan

melihat bulu pada bagian leher dan dada yang warnanya lebih cerah. Puyuh betina

mulai bertelur pada umur 35 hari pada kondisi yang baik dan memproduksi sekitar

200-300 telur per tahun (Varghese, 2007).

Puyuh merupakan hewan yang memiliki saluran pencernaan yang dapat

menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan. Gizzard dan usus halus puyuh

30

memberikan respons yang fleksibel terhadap ransum dengan kandungan serat

kasar yang tinggi (Starck dan Rahmaan, 2003).

Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan yaitu fase pertumbuhan dan fase

produksi (bertelur). Fase pertumbuhan dibagi menjadi dua fase yaitu starter (0-3

minggu) dan grower (3-5 minggu), sedangkan fase produksi berumur di atas 5

minggu. Anak puyuh yang baru berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25%

dan energi metabolisme 2900 kkal/kg. Pada umur 3-5 minggu kadar protein

dikurangi menjadi 20% dan energi metabolisme 2600 kkal/kg. Kebutuhan energi

dan protein puyuh lebih dari 5 minggu sama dengan kebutuhan energi dan protein

puyuh umur 3-5 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2000).

Manfaat umum dari puyuh yaitu (1) sebagai unggas penghasil telur dan

daging dengan cita rasa yang unik, (2) biaya pemeliharaan murah yang

diasosiasikan dengan ukuran tubuh yang kecil (80 – 300 gram), (3) memiliki

selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun) sehingga memungkinkan

memiliki generasi yang lebih banyak dalam setahun, (4) tahan (resisten) terhadap

wabah dan penyakit unggas, (5) memiliki produksi telur yang tinggi, (6) dapat

digunakan sebagai hewan percobaan, dan (7) merupakan unggas dengan ukuran

tubuh terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging (Vali,

2008).