hilman fitry akhlak (upi)
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Idul Adha adalah hari penuh kemenangan besar. Dalam hari yang dirayakan
kaum muslimin seluruh dunia itu terkandung nilai kepatuhan dan keikhlasan saat
menjalankan perintah Allah SWT. Idul Adha adalah wujud keikhlasan yang tak
tertandingi.
Ia adalah hari raya ketika ajaran Nabi Ibrahim AS menjadi teladan. Ia juga
menjadi salah satu monumen terbesar umat manusia untuk menandai betapa dalam
menjalankan perintah Sang Pencipta, manusia harus ikhlas merelakan apa pun yang
paling berharga dalam hidup. Termasuk melepas anak terkasih bila itu memang
dikehendaki Sang Khalik.
Dan ritual penyembelihan Ismail oleh sang ayah, Ibrahim, menjadi salah satu
hikmah terpenting dari hakikat Idul Adha. Di sana ada kepatuhan, ketulusan, dan
keikhlasan. Di sana ada pula spirit untuk berkorban. Itulah contoh pengorbanan
terbesar yang pernah dilakukan hamba Allah.
Spirit pengorbanan dengan bobot sekaliber Ibrahim saat menyembelih sang
anak, Ismail, adalah amal langka dalam konteks kekinian. Ia menjadi sebuah
kemustahilan, bahkan keajaiban.
Selanjutnya rangkaian prosesi ibadah haji merupakan ajang pendidikan akhlak
dan budi pekerti, dari mulai berangkat dari tanah air, di tanah suci, di penginapan, di
tempat ibadah hingga kembali ke rumah masing-masing. Problematika yang dihadapi
selama perjalanan ini merupakan ujian yang dapat dicari hikmahnya agar menjadi
jemaah yang mabrur. Aneh luar biasa, saat berhaji, setiap perilaku jemaah tampak
aslinya. Ketika menjadi tamu Allah, semua memperlihatkan sifat kemanusiaannya
saat bergaul dengan sesama jemaah.
Oleh karena itu penulis berkeinginan menyusun makalah ini untuk mencari
informasi, memahami, mengkaji, serta menjelaskan mengenai implikasi pelaksanaan
haji serta berkurban terhadap akhlak seseorang yang telah melaksanakannya.
B. Rumusan Masalah
Dalam proses penulisan makalah ini, penulis membatasi pembahasannya agar
tidak keluar serta menyimpang dari pembahasannya, rangkaian batasan tersebut
meliputi:
1. Bagaimana konsep Haji dan Qurban dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana konsep Haji dan Qurban dalam Al-Hadis?
3. Bagaimana konsep Haji dan Qurban dalam Kitab Ulama mutaqaddimin dan
mutakhirin?
4. Bagaimana Konsep Haji dan Qurban di jejaring internet?
5. Bagaimana pelaksanaan serta pengaruh dari Ibadah Haji terhadap Akhlak
seseorang?
6. Bagaimana pelaksanaan serta pengaruh dari Qurban terhadap Akhlak?
C. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini, penulis bermaksud untuk mengetahui serta
memahami rumusan masalah diatas yakni:
1. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Quran
2. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Hadis
3. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Kitab Ulama
Mutaqaddimin dan Mutakhirin
4. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Internet
5. Mengerti serta memahami pelaksanaan serta pengaruh dari Ibadah Haji
terhadap Akhlak seseorang
6. Mengerti serta memahami pelaksanaan serta pengaruh dari Ibadah Haji
terhadap Akhlak seseorang
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini:
1. Bagi penulis, menambah wawasan keilmuan serta pemahaman mengenai
pembahasan yang dibahas yang kemudian dapat mengaplikasikannya
dikehidupan sehari-hari.
2
2. Bagi pembaca, menambah wawasan keilmuan serta pemahaman mengenai
pembahasan yang dibahas yang kemudian dapat mengaplikasikannya
dikehidupan sehari-hari serta dapat dijadikan bahan rujukan dalam penulisan
karya tulis yang lain.
E. Metode Penulisan
Metode yang penyusun gunakan dalam membahas permasalahan-
permasalahan di atas adalah metode deskriptif, yaitu metode penelitian yang bertujuan
melukiskan secara sistematis tentang fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu
atau bidang tertentu secara factual. Untuk memecahkan problematika yang ada saat
ini. (Wahyu, MS, 1997 : 112)
Sedangkan teknik penulisannya penulis menggunakan studi literatur, yakni
mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku atau tulisan-tulisan yang berhubungan
dengan permasalahan yang penulis bahas. Selanjutnya data-data dan fakta-fakta yang
penulis dapatkan ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yaitu suatu pengolahan
data dari yang bersifat umum kepada data yang bersifat khusus. (Wahyu, MS, 1987 :
31)
3
BAB 2
Dalil-Dalil atau Teori yang Berkaitan dengan Pembahasan
A. Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Qur’an
Didalam islam pensyariatan mengenai pelaksanaan ibadah haji sering
dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim as yang diperintahkan oleh Allah swt untuk
merenovasi serta membangun bangunan ka’bah yang telah mengalami kerusakan pada
waktu terjadinya banjir besar pada zaman Nabi Nuh as. Hal itu diperintahkan karena
Allah hendak menjadikannya sebagai tempat berkumpul manusia serta untuk
dijadikan kiblat ketika manusia melaksanakan shalat. Sebagaimana tergambar dalam
firman Allah swt dalam Q.S Al-Baqarah ayat 125:
�ذ� ا و�إ �ن� ع�ل �ت� ج� �ي �ب ة� ال �اب� اس� م�ث �لن� ا ل م�ن�� ذ�وا و�أ �خ� � م�ن� و�ات ام م�ق�
اه�يم� �ر� �ب �ا م�ص�ل&ى إ �ل�ى و�ع�ه�د�ن اه�يم� إ �ر� �ب �ي� إ �ت �ي ب ا ط�ه.ر� �ن� أ م�اع�يل� �س� و�إ
الس7ج�ود� ( �ع� ك و�الر7 �ف�ين� �ع�اك و�ال �ف�ين� �لط�ائ )125ل
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul
bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim
tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan
yang sujud."
Setelah Nabi Ibrahim as merenovasi serta membangunnya maka ia pun
diberitahukan tata cara pelaksanaan haji itu yang kemudian oleh Allah swt
disyari’atkan untuk diteladani oleh umat Nabi Muhammad saw sebagaimana tertera
dalam Q.S Ali-Imran ayat 96-97:
) �م�ين� �ع�ال �ل ل و�ه�د�ى �ا ك �ار� م�ب �ة� �ك �ب ب �ذ�ي �ل ل �اس� �لن ل و�ض�ع� Cت� �ي ب و�ل�� أ �ن� �اتE) 96إ آي ف�يه�
م�ن� �ت� �ي �ب ال ح�ج7 �اس� الن ع�ل�ى �ه� �ل و�ل �ا آم�ن �ان� ك �ه� د�خ�ل و�م�ن� اه�يم� �ر� �ب إ م�ق�ام� Eات� .ن �ي ب
�م�ين� ( �ع�ال ال ع�ن� Nي� غ�ن �ه� الل �ن� ف�إ �ف�ر� ك و�م�ن� �يال� ب س� �ه� �ي �ل إ �ط�اع� ت )97اس�
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia,
ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi
4
semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam
Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.”
Ayat ini menerangkan kewajiban melaksanakan haji bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Karena pada dasarnya pelaksanaan haji
membutuhkan kesiapan mental dan fisik dalam pelaksanaannya yakni dengan cara
berkendaraan atau berjalan kaki sebagaimana terdapat dalam Q.S Al-Hajj ayat 27
sebagai berikut:
ع�م�يقC و Tف�ج �ل. ك م�ن� �ين� �ت �أ ي Cض�ام�ر �ل. ك و�ع�ل�ى ر�ج�اال� �وك� �ت �أ ي �ح�ج. �ال ب �اس� الن ف�ي �ذ.ن� أ
)27(
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Adapun untuk waktu pelaksanaan haji, Allah menjelaskannya dalam Q.S Al-
Baqarah ayat 189 dan 197 sebagai berikut:
�وا �ت �أ ت ن�� �أ ب �ر7 �ب ال �س� �ي و�ل �ح�ج. و�ال �اس� �لن ل م�و�اق�يت� ه�ي� ق�ل� �ة� �ه�ل األ� ع�ن� �ك� �ون �ل أ �س� ي
�ه� الل �ق�وا و�ات �ه�ا �و�اب ب� أ م�ن� �وت� �ي �ب ال �وا �ت و�أ �ق�ى ات م�ن� �ر� �ب ال �ك�ن� و�ل ظ�ه�ور�ه�ا م�ن� �وت� �ي �ب ال
�ح�ون� ( �ف�ل ت �م� �ك �ع�ل )189ل
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
5
ج�د�ال� و�ال� ف�س�وق� و�ال� ف�ث� ر� ف�ال� �ح�ج� ال ف�يه�ن� ف�ر�ض� ف�م�ن� Eوم�ات� م�ع�ل Eه�ر �ش� أ �ح�ج7 ال
�ق�و�ى الت اد� الز� �ر� ي خ� �ن� ف�إ و�د�وا �ز� و�ت �ه� الل �م�ه� �ع�ل ي Cر� ي خ� م�ن� �وا �ف�ع�ل ت و�م�ا �ح�ج. ال ف�ي
�اب� ( �ب �ل األ� �ول�ي أ �ا ي �ق�ون� )197و�ات
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats,
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal.”
Bulan-bulan yang dimaklumi disini ialah bulan-bulan yang diharamkan
manusia untuk menumpahkan darah serta melakukan kekejian di Haramain seperti
Rajab, Syawal, Dzulqai’dah, dan Dzulhijjah.
Sedangkan mengenai ketentuan dalam pelaksanaannya jika terdapat satu
syarat sah yang tidak bisa terpenuhi maka harus dibayar dengan DAM sebagaimana
tertera dalam Q.S Al-Baqarah ayat 196 berikut ini:
ح�ت�ى �م� ك ء�وس� ر� �ق�وا ل �ح� ت و�ال� �ه�د�ي� ال م�ن� ر� �س� �ي ت اس� ف�م�ا �م� ت �ح�ص�ر� أ �ن� ف�إ �ه� �ل ل ة� �ع�م�ر� و�ال �ح�ج� ال �م7وا ت� و�أ
و� � أ Cص�د�ق�ة و�
� أ C �ام ص�ي م�ن� Eة� ف�ف�د�ي ه� �س� أ ر� م�ن� �ذ�ى أ �ه� ب و�� أ م�ر�يض�ا �م� �ك م�ن �ان� ك ف�م�ن� �ه� ل م�ح� �ه�د�ي� ال �غ� �ل �ب ي
�ام� ف�ص�ي �ج�د� ي �م� ل ف�م�ن� �ه�د�ي� ال م�ن� ر� �س� �ي ت اس� ف�م�ا �ح�ج. ال �ل�ى إ ة� �ع�م�ر� �ال ب �ع� �م�ت ت ف�م�ن� �م� �ت �م�ن أ �ذ�ا ف�إ Cس�ك� ن
ح�اض�ر�ي �ه� ه�ل� أ �ن� �ك ي �م� ل �م�ن� ل �ك� ذ�ل Eة� �ام�ل ك Eة ر� ع�ش� �ل�ك� ت �م� ع�ت ج� ر� �ذ�ا إ Cع�ة� ب و�س� �ح�ج. ال ف�ي C �ام �ي أ �ة� ث �ال� ث
�ع�ق�اب� ( ال د�يد� ش� �ه� الل �ن� أ �م�وا و�اع�ل �ه� الل �ق�وا و�ات � ام �ح�ر� ال ج�د� �م�س� ) 196ال
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban[120] yang mudah
didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya
(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau
bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa
yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang
korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
6
Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak
berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).
Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-
Nya.”
Adapun mengenai pensyari’atan penyembelihan hewan kurban di hari Idul
Adha serta 11, 12, 13 Dzulhijjah yang kita kenal sebagai Yaumut Tasyriik selalu
dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as ketika menyembelih anaknya yaitu Nabi Isma’il
yang kemudian ketika mereka berdua akan melaksanakannya serta berserah diri atas
apa yang diperintahkan oleh Allah maka Allah pun mengganti Ismail dengan hewan
sembelihan yang besar. Sebagaimana tertera dalam surat Ash-Shafaat ayat 102-107
sebagai berikut:
م�اذ�ا �ظ�ر� ف�ان �ح�ك� �ذ�ب أ .ي �ن أ � �ام �م�ن ال ف�ي ى ر�� أ .ي �ن إ �ي� �ن ب �ا ي ق�ال� ع�ي� الس� م�ع�ه� �غ� �ل ب �م�ا ف�ل
) �ر�ين� الص�اب م�ن� �ه� الل اء� ش� �ن� إ �ي �ج�د�ن ت س� �ؤ�م�ر� ت م�ا اف�ع�ل� �ت� �ب أ �ا ي ق�ال� ى �ر� )102ت
�ين� ( ب �ج� �ل ل �ه� �ل و�ت �م�ا ل س�� أ �م�ا اه�يم�) (103ف�ل �ر� �ب إ �ا ي �ن� أ �اه� �ن �اد�ي �ا) 104و�ن ؤ�ي الر7 ص�د�ق�ت� ق�د�
�ين� ( ن �م�ح�س� ال �ج�ز�ي ن �ك� �ذ�ل ك �ا �ن �ين�) (105إ �م�ب ال ء� �ال� �ب ال �ه�و� ل ه�ذ�ا �ن� �حC) 106إ �ذ�ب ب �اه� �ن و�ف�د�ي
) C )107ع�ظ�يم
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi
bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah
diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran
keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu[1284] sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian
yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Kurban merupakan salah satu penyembelihan yang disyariatkan sebagai
ibadah dan amalan mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang dinyatakan Ibnul
Qayyim (Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman, Ithaf Al-Muslimin Bima Tayassara
Min Ahkam Ad-Din, Ilmun wa Dalilun, Cet. II, Th 1403H, hal. 2/505) dalam
pernyataannya : “Sembelihan-sembelihan yang menjadi amalan mendekatkan diri 7
kepada Allah dan ibadah adalah Al-Hadyu, Al-Adhhiyah (Kurban) dan Al-Aqiqah”.
Disyariatkannya kurban sudah merupakan ijma yang disepakati kaum muslimin.
Adapun firman Allah Ta’ala Q.S Al-Kautsar ayat 2 berikut ini merupakan dalil
yang mewajibkan penyembelihan hewan kurban;
.ك� ف�ص�ل. ب �ر� ر� ل �ح� و�ان
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah.”
Ibnu Katsir (jilid IV, 1999: 558) Rahimmahullah berkata, “Yang benar bahwa
yang dimaksud dengan an-nahr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta
dan sejenisnya.”
Dari ayat ini mengisyaratkan bahwa dalam penyembelihan kurban terdapat
upaya menghidupkan sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari pemberian Allah
kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan Pemberi
kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan mengerjakan
seluruh perintahNya.
B. Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Hadits
Ibnu Hajar Al-Asqalani (1423 H: 327-330) beberapa hadis mengenai
keutamaan haji dan kewajiban haji diantaranya ialah sebagai berikut;
: ق�ال� وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا س�ول� ر� �ن� أ عنه الله رضي ة� �ر� ي ه�ر� �ي ب� أ ع�ن�
, �ال�( إ Eاء ج�ز� �ه� ل �س� �ي ل ور� �ر� �م�ب �ل ا �ح�ج7 و�ال �ه�م�ا �ن �ي ب �م�ا ل Eة �ف�ار� ك ة� �ع�م�ر� �ل ا �ى �ل إ ة� �ع�م�ر� �ل ا�ة� ) ن �ج� �ل �ه� ا �ي ع�ل Eف�ق� م�ت
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya, dan tidak ada
pahala bagi haji mabruru kecuali surga." Muttafaq Alaihi
? ! : ) : Eه�اد ج� اء� .س� �لن ا ع�ل�ى �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي ق�ل�ت� ق�ال�ت� �ه�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� ة� �ش� ع�ائ و�ع�ن�
( , : , ة�: �ع�م�ر� و�ال �ح�ج7 �ل ا ف�يه� �ال� ق�ت ال� Eج�ه�اد �ه�ن� �ي ع�ل �ع�م� ن , ق�ال� م�اج�ه� �ن� و�اب �ح�م�د� أ و�اه� ر�
. , �لص�ح�يح� ا ف�ي �ه� ص�ل� و�أ Eص�ح�يح �اد�ه� ن �س� و�إ �ه� ل �ف�ظ� و�الل
“Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya: Wahai Rasulullah, apakah
kaum wanita itu diwajibkan jihad? Beliau menjawab: Ya, mereka diwajibkan jihad
8
tanpa perang di dalamnya, yaitu haji dan umrah." Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah
dengan lafadz menurut riwayatnya.” Sanadnya shahih dan asalnya dari shahih
Bukhari-Muslim
) : عليه الله صلى �ي� �ب �لن ا �ى �ت أ ق�ال� �ه�م�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� �ه� �لل ا �د� ع�ب �ن� ب �ر� اب ج� و�ع�ن�
: ? , ! : . ف�ق�ال� ه�ي� Eة� ب و�اج�� أ ة� �ع�م�ر� �ل ا ع�ن� �ي ن �ر� ب خ�
� أ �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي ف�ق�ال� Nي� اب �ع�ر� أ وسلم
( �ك� ل Eر� ي خ� �م�ر� �ع�ت ت �ن� و�أ . ال� , , �ن� �ب ا ج�ه� �خ�ر� و�أ و�ق�ف�ه� اج�ح� و�الر� م�ذ�ي7 .ر� �لت و�ا �ح�م�د� أ و�اه� ر�
( ) : �ان� ف�ر�يض�ت ة� �ع�م�ر� و�ال �ح�ج7 �ل ا ف�وع�ا م�ر� Cر� اب ج� ع�ن� Cض�ع�يف آخ�ر� Cو�ج�ه م�ن� Tع�د�ي
“Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang Arab Badui
datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah,
beritahukanlah aku tentang umrah, apakah ia wajib? Beliau bersabda: "Tidak,
namun jika engkau berumrah, itu lebih baik bagimu." Riwayat Ahmad dan Tirmidzi.
Menurut pendapat yang kuat hadits ini mauquf. Ibnu Adiy mengeluarkan hadits dari
jalan lain yang lemah, dari Jabir Radliyallaahu 'anhu berupa hadits marfu': Haji dan
umrah adalah wajib.
: ? , ) : اد� �لز� ا ق�ال� �يل� ب �لس� ا م�ا �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي ق�يل� ق�ال� عنه الله رضي Cس� �ن أ و�ع�ن�
�ة� ) ل اح� , و�الر� �ه� ال س� �ر� إ اج�ح� و�الر� اك�م� �ح� �ل ا و�ص�ح�ح�ه� �ي7 ق�ط�ن �لد�ار� ا و�اه� ر�
“Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah
sabil (jalan) itu? beliau bersabda: "Bekal dan kendaraan." Riwayat Daruquthni.
Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mursal menuru pendapat yang kuat.”
) ; �ا �ب ك ر� �ق�ي� ل وسلم عليه الله صلى �ي� �ب �لن ا �ن� أ �ه�م�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� Cاس� ع�ب �ن� �ب ا و�ع�ن�
: ? : . : ? : ول� س� ر� ق�ال� �ت� �ن أ م�ن� �وا ف�ق�ال �م�ون� ل �م�س� �ل ا �وا ق�ال �ق�و�م� �ل ا م�ن� ف�ق�ال� و�ح�اء� �الر� ب
" : ? : . ق�ال� Nح�ج �ه�ذ�ا ل� أ ف�ق�ال�ت� &ا �ي ص�ب Eة� أ �م�ر� ا �ه� �ي �ل إ ف�ع�ت� ف�ر� وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا
( :Eج�ر� أ �ك� و�ل �ع�م� �مE ن ل م�س� و�اه� ر�
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bertemu
dengan suatu kafilah di Rauha', lalu beliau bertanya: "Siapa rombongan ini?"
Mereka berkata: Siapa engkau? Beliau menjawab: "Rasulullah." Kemudian seorang
9
perempuan mengangkat seorang anak kecil seraya bertanya: Apakah yang ini boleh
berhaji? Beliau bersabda: Ya boleh, dan untukmu pahala." Riwayat Muslim.
) : وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا س�ول� ر� د�يف� ر� Cاس� ع�ب �ن� ب �ف�ض�ل� �ل ا �ان� ك ق�ال� �ه� و�ع�ن
�ي7 �ب �لن ا و�ج�ع�ل� �ه�، �ي �ل إ �ظ�ر� �ن و�ت �ه�ا �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي �ف�ض�ل� �ل ا ف�ج�ع�ل� ، �ع�م� ث خ� م�ن� Eة� أ �م�ر� ا ف�ج�اء�ت�
: . س�ول� ر� �ا ي ف�ق�ال�ت� خ�ر� �آل� ا ق. �لش. ا �ل�ى إ �ف�ض�ل� �ل ا و�ج�ه� �ص�ر�ف� ي وسلم عليه الله صلى
, �ت�, �ب �ث ي ال� ا �ير� �ب ك ا �خ� ي ش� �ي ب� أ �ت� ك د�ر�
� أ �ح�ج. �ل ا ف�ي �اد�ه� ب ع� ع�ل�ى �ه� �لل ا ف�ر�يض�ة� �ن� إ �ه� �لل ا
( : ? , �و�د�اع� �ل ا ح�ج�ة� ف�ي �ك� و�ذ�ل �ع�م� ن ق�ال� �ه� ع�ن ح�ج7� �ف�أ أ �ة� ل اح� �لر� ا , ع�ل�ى �ه� �ي ع�ل Eف�ق� م�ت
ار�ي. �خ� �ب �ل ل �ف�ظ� و�الل
“Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Adalah al-Fadl Ibnu Abbas Radliyallaahu
'anhu duduk di belakang Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu seorang
perempuan dari Kats'am datang. Kemudian mereka saling pandang. Lalu Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memalingkan muka al-Fadl ini ke arah lain.
Perempuan itu kemudian berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya haji yang
diwajibkan Allah atas hamba-Nya itu turun ketika ayahku sudah tua bangka, tidak
mampu duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya? Beliau menjawab:
"Ya Boleh." Ini terjadi pada waktu haji wada'. Muttafaq Alaihi dan lafadznya
menurut riwayat Bukhari.”
) : : �ب� �ت ك �ه� �لل ا �ن� إ ف�ق�ال� وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا �ن خ�ط�ب ق�ال� �ه� و�ع�ن
: ? : ق�ال� �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي C ع�ام �ل. ك �ف�ي أ ف�ق�ال� Cس� ح�اب �ن� ب ع� �ق�ر� �أل� ا ف�ق�ام� �ح�ج� �ل ا �م� �ك �ي ع�ل
( , , Eط�و7ع� ت ف�ه�و� اد� ز� ف�م�ا Eة م�ر� �ح�ج7 �ل ا �ت� �و�ج�ب ل �ه�ا �ت ق�ل �و� , ل م�ذ�ي. .ر� �لت ا �ر� غ�ي ة� �خ�م�س� �ل ا و�اه� ر�
“Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: "Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan haji atasmu." Maka berdirilah al-Aqra' Ibnu Habis dan bertanya:
Apakah dalam setiap tahun, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: "Jika aku
mengatakannya, ia menjadi wajib. Haji itu sekali dan selebihnya adalah sunat."
Riwayat Imam Lima selain Tirmidzi.”
) ; �ه�ل� أل� و�ق�ت� وسلم عليه الله صلى �ي� �ب �لن ا �ن� أ �ه�م�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� Cاس� ع�ب �ن� �ب ا ع�ن�
: , : , : , �م�ن�: �ي �ل ا �ه�ل� و�أل� �از�ل� �م�ن �ل ا ن� ق�ر� Cج�د� ن �ه�ل� و�أل� �ج�ح�ف�ة� �ل ا � ام �لش� ا �ه�ل� و�أل� �ف�ة� �ي ل �ح� ال ذ�ا �ة� �م�د�ين �ل ا
10
, �ان�, ك و�م�ن� ة� �ع�م�ر� و�ال �ح�ج� �ل ا اد� ر�� أ م�م�ن� �ر�ه�ن� غ�ي م�ن� �ه�ن� �ي ع�ل �ى �ت أ �م�ن� و�ل �ه�ن� ل ه�ن� �م� �م�ل �ل ي
( , �ة� م�ك م�ن� �ة� م�ك �ه�ل� أ �ى ت ح�� أ �ش� �ن أ �ث� ي ح� ف�م�ن� �ك� ذ�ل �ه د�ون� �ي ع�ل Eف�ق� م�ت
“Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
telah menetapkan miqat untuk penduduk Madinah: Dzul Khulaifah, Penduduk Syam:
Al-Juhfah, penduduk Nejed: Qarnul Manazil, Penduduk Yaman: Yalamlam. Miqat-
miqat itu untuk mereka dari negeri-negeri tersebut dan untuk mereka yang
melewatinya dari negeri-negeri lain yang ingin menunaikan haji dan umrah. Adapun
bagi orang-orang selain itu maka miqatnya dari tempat yang ia kehendaki, sehingga
penduduk Mekkah miqatnya dari Mekkah." Muttafaq Alaihi.”
Adapun hadis mengenai penyembelihan hewan qurban diantaranya ialah;
: Eد �ح� أ �ن� ي �ض�ح. ي � ال ف�ق�ال� �ح�ر�، الن � �و�م ي ف�ي �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى الله� س�ول� ر� �ا �ن خط�ب
Eج�ل ر� ف�ق�ال� �ص�ل.ي�، ي �ى :: ح�ت ق�ال� ،C �ح�م ل �ي� ات ش� م�ن� Eر� ي خ� ه�ي� Cن� �ب ل �اق� ع�ن �د�ي ن ع�
�ع�د�ك� ب Cح�د� أ ع�ن� Eج�ذ�ع�ة �ج�ز�ي ت � و�ال �ه�ا ب ف�ض�ح.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya
kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih
sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia lebih baik
dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan tidak sah
jadz’ah dari seorang setelahmu.” (H.R Bukhari dan Muslim)
.ر� �ب �ك و�ي م.ي� �س� ي �ان� و�ك �ن� ي �ح� م�ل� أ �ن� �ي ن �ق�ر� أ �ن� ي �ش� �ب �ك ب �ض�ح.ي� ي �ان� .ك
“Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca
basmalah dan bertakbir.”(H.R Bukhari dan Muslim)
Imam al-Bukhari (tt: 120) meriwayatkan satu hadits dengan sanadnya dari Ka’ab bin
Malik, beliau berkata:
ت� ر� �س� ف�ك �ا م�و�ت �م�ه�ا غ�ن م�ن� Cاة �ش� ب ت� �ص�ر� ب� ف�أ Cع� ل �س� ب �م�ا غ�ن ع�ى �ر� ت �ت� �ان ك �ه�م� ل �ة� ار�ي ج� �ن� أ
، �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى �ي� �ب الن �ي� آت �ى ح�ت �لـوا �ك �أ ت � ال �ه� �ه�ل أل ف�ق�ال� �ه�ا ت �ح� ف�ذ�ب ا ح�ج�ر�
11
و� � أ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى �ي� �ب الن �ى �ت ف�أ �ه� ل
� أ �س� ي م�ن� �ه� �ي �ل إ ل� س� ر�� أ �ى ح�ت و�
� أ �ه� ل� أ س�
� ف�أ
�ه�ا �ل ك� �أ ب �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى �ي7 �ب الن م�ر�
� ف�أ �ه�، �ي �ل إ �ع�ث� ب
“Seorang jariyah (budak perempuan) milik mereka menggembalakan kambing di
daerah Sil’a, lalu ia melihat seekor kambingnya akan mati. Kemudian ia memecah
batu dan menyembelih kambing tersebut. Maka Ka’ab berkata kepada keluarganya:
Jangan kalian makan dulu sampai aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk bertanya atau sampai diutus orang yang menanyakannya. Lalu
sampailah beliau ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mengutus
seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memakannya.”
ع�ر�ه� ش� م�ن� �خ�ذ� �أ ي � ف�ال �ض�ح.ي� ي �ن� أ �م� �ح�د�ك أ اد� ر�� و�أ �ح�ج�ة� ال ذ�ي �ل� ه�ال �م� �ت �ي أ ر� �ذ�ا إ
�ض�ح.ي� ي �ى ح�ت �ا �ئ ي ش� �ظ�ف�ار�ه� و�أ
“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin berkurban,
maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan kukunya sedikit pun sampai ia
menyembelih kurbannya.”(H.R Muslim, jilid 2: 189)
C. Konsep Haji Dan Qurban dalam Kitab-Kitab Ulama Mutaqodimin Wa Mutaakhirin
Pandangan para ulama (dalam Hasbi, 1966:15) mengenai pensyari’atan qurban
tidak ada perselisihan paham. Hanya mereka berselisih mengenai penetapan hukum
“perintah” itu. Ada diantara mereka yang “mewajibkan” dan ada diantara mereka
yang “menyunahkan” saja, walaupun mereka memuakkadkannya.
Untuk mengetahui mana diantara pendapat itu yang lebih pantas kita pegangi
dan kita amalkan, perhatikanlah penerangan yang dipaparkan oleh Asy-Syaukani (tt:
158) dibawah ini:
1. Kata Rabi’aah, Al-Auza’I, Abu Hanifah, Al-Laits dan An Nasaii, serta seluruh
pengikut Malik bin Anas berkata: “Udhiyah itu wajib hukumnya atas mereka
12
yang sanggup menunaikannya”. Akan tetapi An Nasaii sendiri mengecualikan
yang sedang berhaji di Mina.
2. Kata Muhammad ibn Al-Hasan: “Udhiyah itu wajib atas segala penduduk
kota”.
3. Kata Atha’, Malik, Asy-Syafi’e, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, Al
Muzani, Ibnu Mundzir, dan Daud serta Ibnu Hazm: “Udhiyah itu suatu sunat
atas orang kaya, bukan suatu pekerjaan yang diwajibkan. Sunnat ini mengenai
muqim, musafir, dan yang sedang mengerjakan haji.
4. Adapun Asy-Syaukani berpendapat: “Kelahiran perintah berqurban,
menunjukkan kepada wajibnya. Dia disuruh atas tuan rumahnya. Udhiyah itu,
jika dikatakan wajib, maka bagi isi satu rumah diwajibkan atas kepala
keluarga, orang yang mengapalainya, dan bagi orang yang tidak berkeluarga.
Dalil-dalil yang mereka (dalam Asy-Syaukani, juz 2: 219) gunakan untuk
menetapkan bahwa udhiyah itu wajib atas kepala keluarga ialah yang diriwayatkan
oleh Malik dan lain-lain dari Abi Ayyub Al-Anshary, berkata:
بيته اهل وعن عنه بالشاة يضحى الله رسول عهد في الرجل كان
“keadaan orang-orang dimasa Rasulullah, berqurban dengan seekor kambing untuk
dirinya dan ahli rumahnya. (Ar Raudhah, juz 2: 219)
Selain itu mereka berpendapat karena mengingat firman Allah;
وانحر لربك فصل
“Maka bersembahyanglah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (qurban)”.
Haji adalah rukun Islam kelima dan tidak wajib dilaksanakan kecuali terhadap
orang yang sudah memenuhi syaratnya, yaitu memiliki kemampuan (al-Istithaa-'ah)
sebagaimana firman Allah Ta'ala: "…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah…" . (Q.S. ali 'Imran/3: 97).
Berkaitan dengan ayat tersebut, terdapat beberapa poin: Pertama, berdasarkan
ayat tersebut, para ulama secara ijma' sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun 13
Islam. Kedua, mereka juga secara ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya
diwajibkan selama sekali seumur hidup. Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur
ulama sebagai dalil wajibnya haji. Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat
mengenai wajibnya haji bagi orang yang sudah mampu, namun mereka berbeda
mengenai penafsiran as-Sabiil (mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut.
Mengenai hal ini, maka kemampuan yang terdapat dalam ayat diatas ada
beberapa macam: terkadang seseorang mampu melakukannya dengan dirinya sendiri,
terkadang pula mampu melakukannya dengan perantaraan orang lain sebagaimana
yang telah menjadi ketetapan di dalam kitab-kitab al-Ahkam (tentang hukum-hukum).
Sedangkan mengenai makna as-Sabiil (dalam Ahmad Muhammad, 2009: 362)
terdapat beberapa penafsiran, yaitu:
1. Az-Zaad wa ar-Raahilah (bekal dan kendaraan); riwayat dari Ibnu 'Umar,
Anas, Ibnu 'Abbas
2. Memiliki uang sebesar 300 dirham; riwayat lain dari Ibnu 'Abbas
3. Az-Zaad wa al-Ba'iir (bekal dan keledai); riwayat lain dari Ibnu 'Abbas
4. Kesehatan jasmani ; riwayat dari 'Ikrimah
Merujuk kepada penafsiran diatas, setidaknya dapat disimpulkan satu
kesamaan, yaitu adanya kemampuan untuk mengadakan perjalanan dalam
melaksanakannya sedangkan bagi yang tidak memiliki persyaratan itu; maka tidak
wajib baginya melakukan haji.
Adapun makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : "Umrah yang satu
bersama (hingga ke) 'umrah yang lain merupakan kaffarat (penghapus) bagi (dosa
yang telah dilakukan) diantara keduanya".
Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Muslim, berkaitan
dengan makna penggalan hadits diatas, berkata: "Disini sangat jelas sekali bahwa
yang dimaksud adalah keutamaan 'umrah, yaitu menghapus dosa-dosa yang terjadi
antara kedua 'umrah tersebut. Penjelasan tentang dosa-dosa tersebut telah disinggung
14
pada kitab ath-Thaharah , demikian pula penjelasan tentang bagaimana
menyinkronkannya dengan hadits-hadits tentang kaffarat wudhu' terhadap dosa-dosa
tersebut, kaffarat semua shalat, puasa pada hari 'Arafah dan 'Asyura' ".
Dalam kitab Tuhfah al-Ahwazi Syarh Sunan at-Turmuzi, Pensyarahnya
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa disini adalah dosa-dosa kecil
bukan dosa-dosa besar (Kaba-ir ), sepertihalnya dalam sabda beliau yang berkaitan
dengan keutamaan hari Jum'at, bahwa Jum'at yang satu bersama (hingga ke) Jum'at
yang lainnya merupakan kaffarat (penghapus) dosa yang telah dilakukan diantara
keduanya.
Berkaitan dengan hal yang sama, Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap
Sunan Ibni Majah menukil perkataan Ibnu at-Tin yang menyatakan bahwa huruf (Ila)
dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: diatas dapat diartikan dengan
(Ma-'a/bersama); jadi, maknanya 'Umrah yang satu bersama 'umrah yang lain… Atau
dapat juga diartikan dengan makna huruf (Ila) itu sendiri dalam kaitannya dengan
kaffarat.
Ibnu 'Abd al-Barr mengkhususkan kaffarat dalam hadits tersebut terhadap
dosa-dosa kecil saja, akan tetapi menurut Syaikh as-Sindy, pendapat ini kurang tepat
sebab menjauhi Kaba-ir (dosa-dosa besar) juga merupakan kaffarat baginya
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa
besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke
tempat yang mulia (surga) ". (Q.S. an-Nisa'/4 : 31). Karenanya, timbul pertanyaan:
dosa apa yang dapat dihapus oleh 'umrah?. Jawabannya enteng sebab orang yang
tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecilnya dihapus dengan 'umrah
sedangkan orang yang tidak memiliki dosa kecil atau dosa-dosa kecilnya telah
dihapus melalui sebab yang lain, maka posisi 'umrah baginya disini merupakan
sebuah keutamaan.
Imam az-Zarqany dalam kitabnya Syarh Muwaththa' Malik menyatakan
bahwa makna huruf (Ila) dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam:
diatas adalah bermakna (Ma-'a); Dalam hal ini, pengertiannya sejalan dengan
15
firmanNya Ta'ala dalam ayat : "Dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu" (Q.S. an-Nisa/4:2)
Jadi, maknanya adalah " ‘Umrah yang satu bersama 'umrah yang lain
merupakan kaffarat (penghapus) bagi dosa yang telah dilakukan diantara keduanya ".
Huruf (Maa) ما dalam penggalan hadits tersebut merupakan lafazh yang bersifat
umum, maka dari sisi lafazhnya bermakna penghapusan terhadap semua dosa yang
terjadi diantara keduanya kecuali hal yang sudah dikhususkan oleh dalil tertentu.
Para pendukung mazhab asy-Syafi'i dan Jumhur ulama berpegang kepada
hadits ini mengenai dianjurkannya melakukan 'umrah berkali-kali dalam satu tahun.
Sedangkan Imam Malik dan sebagian shahabatnya menyatakan bahwa melakukannya
lebih dari satu kali adalah makruh. Al-Qadhi, ('Iyadh) berkata: 'ulama yang lain
berkata:" tidak boleh melakukan 'umrah lebih dari satu kali".
Imam an-Nawawi berkata: "Ketahuilah bahwa sebenarnya waktu melakukan
'umrah berlaku sepanjang tahun. Jadi, shah dilakukan pada setiap waktunya kecuali
bagi orang yang sedang melakukan haji dimana tidak shah 'umrahnya hingga selesai
melakukan haji. Menurut ulama kami (ulama mazhab asy-Syafi'i) tidak makruh
hukumnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji baik pada hari 'Arafah, 'Iedul
Adhha, Hari Tasyriq dan seluruh waktu sepanjang tahunnya. Pendapat semacam ini
dikemukakan oleh Imam Malik, Ahmad dan Jumhur Ulama...".
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa 'umrah tersebut makruh
dilakukan pada lima hari; hari 'Arafah, hari an-Nahr (Qurban) dan hari-hari Tasyriq
(tiga hari).
Abu Yusuf, shahabat Abu Hanifah berkata: "Makruh dilakukan pada empat
hari; hari 'Arafah dan hari-hari Tasyriq (tiga hari)".
Para ulama berbeda pendapat mengenai wajibnya 'umrah: Mazhab asy-Syafi'i
dan Jumhur menyatakan hukumnya wajib. Demikian pula 'Umar, Ibnu 'Abbas,
Thawus, 'Atha', Ibnu al-Musayyab, Sa'id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Masruq, Ibnu
Sirin, asy-Sya'bi, Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari, 'Abdullah bin Syaddad, ats-
Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu 'Ubaid dan Daud.
16
Imam Malik, Abu Hanifah dan Abu Tsaur menyatakan hukumnya sunnah
bukan wajib. Pendapat seperti ini dihikayatkan juga dari Imam an-Nakha'i.
Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : " Sedangkan haji yang mabrur
tidak ada balasan baginya selain surga"
Menurut Imam an-Nawawi dan Syaikh as-Sindy, pendapat yang paling shahih
dan masyhur adalah bahwa makna Mabrur disini; sesuatu yang tidak terkontaminasi
oleh dosa. Yakni diambil dari kata al-Birr yang maknanya adalah ath-Thaa'ah
(keta'atan).
Ada yang berpendapat maknanya adalah al-Maqbul (haji yang diterima).
Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa maknanya adalah haji yang tidak
dilakukan karena riya'.
Pendapat lainnya lagi; maknanya adalah haji yang tidak disudahi dengan
perbuatan maksiat. Kedua pendapat terakhir ini masuk dalam kategori makna
sebelumnya.
Imam al-'Iyni berkata mengenai makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi
wasallam:' Haji yang mabrur'; " berkata Ibnu Khalawaih: al-Mabrur artinya al-Maqbul
(yang diterima). Berkata selain beliau: ' (maknanya adalah) Haji yang tidak
terkontaminasi oleh sesuatu dosa. Pendapat ini didukung oleh Imam an-Nawawi..".
Imam al-Qurthubi (1964, jilid 20: 216) berkata: "pendapat-pendapat seputar
penafsirannya hampir mendekati maknanya satu sama lain, yaitu haji yang
dilaksanakan tersebut memenuhi hukum-hukum yang berkaitan dengannya dan
manakala dituntut dari seorang Mukallaf (orang yang dibebani perintah syara') agar
melakukannya secara sempurna, hajinya tersebut kemudian menempati posisi
tertentu".
Dalam syarahnya terhadap kitab Muwaththa Malik, Imam az-Zarqany
menyatakan bahwa makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : "dan haji yang
mabrur" ; dapat berarti bahwa orang yang melakukan haji tersebut
mengimplementasikan perbuatannya setelah itu ke jalan kebajikan (karena kata
Mabrur diambil dari kata al-Birr yang artinya kebajikan).
17
Sedangkan makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: "tidak ada
balasan baginya selain surga" ; menurut Imam an-Nawawi adalah bahwa balasan bagi
orang yang melakukannya tidak hanya sebatas terhapusnya sebagian dosa-dosanya
akan tetapi dia pasti masuk surga.
Selanjutnya, Imam az-Zarqany menyatakan bahwa Rasulullah menyebutkan
dan menjanjikan bahwa tidak ada balasan bagi orang yang hajinya mabrur selain
surga, dan menegaskan bahwa yang selain itu (surga) bukan merupakan balasannya
meskipun balasan dari 'umrah dan perbuatan-perbuatan kebajikan lainnya adalah
terhapusnya dosa-dosa dan kesalahan; hal itu, lantaran balasan bagi pelakunya itu
hanya berupa penghapusan terhadap sebagian dosa-dosanya saja. Oleh sebab itu, hal
tersebut pasti menggiringnya masuk ke dalam surga.
Syaikh as-Sindy berkata, berkaitan dengan pengecualian dalam sabda beliau
Shallallâhu 'alaihi wasallam : "..selain surga" : "bahwa pengecualian ini maksudnya
adalah dari sisi prinsipnya saja sebab bila tidak, sebenarnya syarat masuk ke surga itu
cukup dengan iman. Jadi, konsekuensinya adalah diampuninya seluruh dosa-dosanya
baik dosa-dosa kecil ataupun dosa-dosa besarnya bahkan yang terdahulu dan yang
akan datang".
D. Konsep Haji dan Qurban dalam internet
Id berasal dari kata ada yang artinya kembali, Ad-ha merupakan jamak dari
ad-hat yang berasal dari kata ud-hiyah yang artinya kurban. Jadi Idul Adha dapat
diartikan kembali berkurban atau hari raya penyembelihan hewan kurban,
sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya;
Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu (ia berkata); Bahwasanya Nabi
shallallaahu alaihi wa sallam telah bersabda; Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu
berpuasa, dan (Idul) Fitri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adha (yakni
hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih
hewan. (Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam: Tirmidzi No. 693, Abu Dawud
No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, ad-Daruquthni 2/163-164 dan al-Baihaqy 4/252
dengan beberapa jalan dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu sebagaimana telah saya
terangkan semua sanadnya di kitab saya “Riyadlul-Jannah” no. 721. Dan lafadz ini
dari riwayat Imam Tirmidzi)
18
Penyembelihan hewan pada hari raya Idul Adha adalah simbol pengorbanan
yang harus dilakukan setiap orang atas dirinya sendiri. Karena pada hakikatnya hewan
kurban itu kita sendiri yang akan menikmati, sedangkan yang akan sampai dihadapan
Nya adalah ketakwaan yang mendasari pengorbanan kita. Pengorbanan yang
sebenarnya adalah pengorbanan diri atas segala sesuatu yang dimilikinya. Ketika
binatang kurban disembelih melambangkan hilangnya sifat kebinatangan dalam diri
kita.
Katakanlah:, “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, kemudian Allah
akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah maha
Pengampun, Maha Penyayang”. (Ali Imran: 31)
Menurut Arek Permanu (http://www. hakekat berkurban di har raya idul
adha.com) Ketakwaan yang menjadi dasar sari pengorbanan harus dilandasi
kecintaan, karena kecintaan menjadi unsur untuk memperoleh keberhasilan dalam
pengorban. Allah SWT mencintai hamba Nya yang selalalu mencintai Nya dan
membuktikannya dengan mencintai orang-orang yang dicintai Nya. Pengorbanan
menjadi salah satu sarana untuk membuktikan cinta hamba kepada Allah SWT, yaitu
dengan jalan mengabdikan dirinya kepada utusan Nya yaitu mengikuti sunah Nabi
Muhammad SAW.
“Dagingnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah dan tidak pula darahnya,
akan tetapi ketakwaanmu-lah yang akan sampai kepada Nya. Demikianlah Dia
menundukkan mereka untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah atas
petunjukyang Dia telah berikan kepadamu. Dan berikan kabar suka kepada orang-
orang yang berbuat kebaikan”. (Al Hajj: 37)
Pada era ketika individualisme meraih pencapaian tertinggi di puncak
kejayaan materialisme seperti sekarang ini, spirit pengorbanan lebih bermakna ziarah
kepada egosentrisme.
Mengenai hal ini Annisa Farida (http://www.Mimbar Opini - Memaknai Idul
Adha.com) berpendapat kini hal-hal yang menyangkut pengorbanan telah banyak
yang hilang digantikan dengan spirit mengabdi kepada motif mendapatkan
keuntungan setinggi-tingginya. Semua dilakukan dengan pamrih yang kian lama kian
19
menjauhkan individu dari ikatan-ikatan sosial. Idul Adha mengandung spirit untuk
menautkan kembali ikatan-ikatan yang telah terlepas itu.
Karena itu, spirit yang terlahir sekian ratus tahun lalu itu menjadi sangat
relevan hingga hari ini. Dalam konteks Indonesia, semangat ini bahkan telah menjadi
sebuah urgensi. Banyak persoalan bangsa muncul akibat lemahnya spirit untuk
berkorban bagi orang lain, spirit untuk berkorban bagi sesama. Yang jauh lebih
menonjol dalam kehidupan sehari-hari sekarang adalah semangat untuk menang
sendiri, kaya sendiri, berkuasa sendiri, dan benar sendiri. Spirit seperti ini sudah
barang pasti tak menghiraukan penderitaan sesama.
Korupsi, kolusi, dan konspirasi adalah fenomena yang terlahir dari dominasi
tata nilai seperti itu. Dan menjadi sebuah kelaziman bila sebagai dampaknya lahirlah
penyakit-penyakit sosial. Seperti kemiskinan, kebodohan, kejahatan, keterbelakangan,
dan ketertindasan.
Rangkaian prosesi ibadah haji merupakan ajang pendidikan akhlak dan budi
pekerti, dari mulai berangkat dari tanah air, di tanah suci, di penginapan, di tempat
ibadah hingga kembali ke rumah masing-masing. Problematika yang dihadapi selama
perjalanan ini merupakan ujian yang dapat dicari hikmahnya agar menjadi jemaah
yang mabrur. "Aneh luar biasa, saat berhaji, setiap perilaku jemaah tampak aslinya.
Ketika menjadi tamu Allah, semua memperlihatkan sifat kemanusiaannya saat bergaul
dengan sesama jemaah," kata Dr. Karim Suryadi (dalam wachu, depag.go.id) pakar
pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Menurut Karim (dalam wahyu), Pembantu Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (FP IPS) UPI mengatakan, secara umum, tugas jemaah hanyalah
beribadah, makan dan minum. Tidak usah pergi haji, setiap Muslim di tanah air pun
berkewajiban beribadah, makan, dan minum. Bahkan, selama berhaji jemaah libur
dari berbagai pekerjaan yang selama ini menjadi beban hidupnya.
"Meski demikian, jemaah tanpa banyak pekerjaan malah mengalami tekanan
jiwa yang berat. Sekadar mau mandi, mengeluh karena harus antre, mau ke
Masjidilharam pun stres karena tak kunjung mendapatkan bus, sekadar buang air kecil
di Masjidilaharm pun harus antre panjang, dan seterusnya," kata Karim.
20
Menurut dia, rangkaian tekanan itu akan menjadi berkurang manakala jemaah
tersebut ikhlas menerima apa pun yang terjadi. Menyadari bahwa mereka datang ke
Mekah menjadi tamu Allah, maka segala kesulitan tidak akan dirasakan sebagai beban
yang berarti. "Bahkan, jemaah yang mabrur akan menikmati derita yang menimpanya
dengan ikhlas dengan tangan terbuka. Jangan-jangan selama ini kita tidak peduli
kepada orang lain, pantas juga saat berhaji tidak seorang pun yang peduli kepada
kita”.
Segala kesulitan yang dialami selama berhaji akan dijadikan bahan
introspeksi, seberapa dekat dirinya selama ini dengan Tuan Rumah, Allah SWT.
Seberapa jauh dirinya selama ini membantu sesama manusia. Orang yang berhaji
mabrur akan selalu bersikap positif terhadap setiap kejadian yang dihadapinya.
"Sebaliknya, kalau ada jemaah yang menghadapi masalah apa pun dengan
menggerutu, dengan penuh kebencian, sehingga menimbulkan pertengkaran, jemaah
harus tersebut harus mawas diri, apakah ini merupakan gejalan hajinya ditolak Tuhan
atau haji mardud"
Menjawab pertanyaan tentang pelayanan haji yang tidak maksimal dapat
menyebabkan jemaah menuntut dan kadang berdemonstrasi, Karim mengatakan,
"Pelayanan seperti apa pun yang diberikan panitia penyelenggara dari tanah air
maupun muassasah dari Arab Saudi tidak boleh menghambat seseorang menjadi haji
mabrur. Dalam hal ini, yang mabrur memang bukan hanya jemaah haji, tapi panitia
dan semua petugas haji juga harus mabrur. Kalaupun panitia tidak mabrur, jemaah
harus mabrur."
Dikatakan, yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangsa Indonesia ke depan
adalah kemabruran. Sebab, mabrur artinya berbuat baik tanpa pamrih. Bangsa
Indonesia saat ini membutuhkan sumber daya manusia dengan kualifikasi mabrur itu.
Mereka siap berbuat baik kapan pun dan di mana pun, hanya bermaksud beribadah
kepada Allah.
21
BAB 3
PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Serta Pengaruh Dari Ibadah Haji Terhadap Akhlak
Seseorang
Sesungguhnya haji adalah madrasah yang penuh keberkahan untuk
membimbing jiwa, mensucikan hati, dan menguatkan iman. Di dalam proses manasik
haji, kaum muslimin memperoleh pelajaran yang agung, hikmah yang mengesankan,
dan faidah yang mulia dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlaq. Haji sesungguhnya
22
adalah madrasah pembinaan keimanan yang akan meluluskan orang beriman yang
bertakwa serta hamba Allah yang diberi taufiq. Allah Berfirman:
: ى تعال قالالله
.…… ﴾
“dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang
datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai
manfaat bagi mereka..”
Manfaat dan faidah haji tak mungkin bisa dihitung. Begitu juga dengan
hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Sesungguhnya firman Allah dalam ayat
() ia adalah jamak dari manfaat. Kata () tampil dalam bentuk nakirah
menunjukkan banyaknya manfaat yang terkandung di dalamnya. Ditunjukkannya
menfaat-manfaat ini adalah perkara yang dimaksudkan dalam ibadah haji karena
huruf lam pada firman Allah ( supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka ) adalah lam ta’lil yang berkaitan dengan firman-Nya ( dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus ) maksudnya, jika kamu seru mereka
untuk berhaji niscaya mereka akan mendatangimu dengan berjalan kaki atau
berkendaraan supaya mereka menyaksikan manfaat-manfaat haji. Artinya, ia
menghadirkan manfaat tersebut dan yang dimaksud dengan menghadirkan manfaat
adalah ia menghasilkan dan mengambil manfaat dari hajinya.
Oleh karena itu, diantara bentuk kehormatan bagi setiap orang yang Allah
beri taufiq dan kemudahan dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah ini yaitu Allah
berikan semangat yang tinggi dalam memperoleh manfaat, faidah, dan pelajaran dari
hajinya. Di saat yang sama, ia juga mengharapkan pahala yang besar, pengampunan
dosa, dan penghapusan keburukan. Telah ditetapkan dari Nabi bahwasanya beliau
bersabda: “Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah dan ia tidak melakukan keburukan
ataupun kefasikan, ia akan kembali seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya”. (HR
Bukhari dan Muslim). Ditetapkan dari Nabi juga bahwa beliau bersabda: “ Iringilah
23
haji dengan umroh, maka sesungguhnya keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa
sebagaimana pandai besi menghilangkan karat besi.” (HR Nasa’i)
Pantaslah bagi orang yang memperoleh keuntungan dan memenangkan harta
yang berharga ini untuk kembali ke negerinya dalam keadaan yang suci, jiwa yang
baik, dan kehidupan baru yang dipenuhi oleh iman dan takwa serta kebaikan,
perbaikan diri, keistiqamahan, dan senantiasa mentaati Allah ‘Azza wa Jalla.
Para ulama telah menyebutkan bahwa perbaikan serta penyucian diri ini jika
terdapat pada seorang hamba maka itu adalah tanda keridhaan dan tanda hajinya
diterima. Jika seseorang keadaannya membaik setelah haji dimana ia berubah dari
yang tadinya buruk menjadi baik, dan yang tadinya baik menjadi lebih baik lagi, maka
sungguh itu adalah tanda bagusnya ia dalam memaknai hajinya. Karena diantara
bentuk balasan kebaikan adalah diberikan kebaikan yang lain. Allah berfirman dalam
Q.S Ar-Rahman ayat 60:
: ﴿ تعالى الله ﴾ قال
“tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
Orang yang bagus ibadah hajinya dan berusaha menyempurnakannya serta
menjauhi pengurang dan perusaknya maka ia keluar dengan kondisi yang lebih baik
dan memiliki kecendrungan pada kebaikan.
Dalam sebuah hadits yang sah dari Nabi, beliau bersabda: “Haji yang mabrur
tidak ada balasan baginya kecuali surga” (H.R Muslim). Tidak diragukan lagi bahwa
semua yang melaksanakan ibadah haji sangat mengharapkan hajinya mabrur dan
usaha serta amal shalihnya diterima. Ciri yang jelas untuk haji yang mabrur dan
diterima adalah bila seseorang menunaikannya dengan ikhlas karena Allah dan sesuai
dengan sunnah Rasulullah yang mana kedua hal ini adalah syarat diterimanya semua
jenis ibadah. Kemudian keadaannya setelah haji jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Maka ada dua ciri haji yang diterima: yang pertama ada pada saat haji
berlangsung dimana sesoerang itu ikhlas karena Allah dan mengikuti sunnah
Rasulullah dan ciri yang kedua ada setelah haji yaitu adanya perbaikan keadaan
seseorang setelah haji yang ditandai dengan bertambahnya ketaatan kepada Allah,
24
menjauhi dosa dan maksiat, dan ia memulai hidupnya dengan lebih baik yang dihiasi
dengan kebaikan, perbaikan diri, dan istiqamah.
Hal yang perlu diperhatikan disini bahwa seorang muslim tidak memiliki jalan
untuk memastikan amalannya diterima sebaik apapun dia berusaha. Allah berfirman
menjelaskan keadaan orang mukmin yang sempurna dan keadaan mereka yang
mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ketaatan:
: ﴿ تعالى الله قال
﴾
“dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati
yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada
Tuhan mereka”.(Q.S Al-Mu’minuun: 60)
Maksudnya, mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka
dari ibadah, diantaranya shalat, zakat, haji, puasa, dan selainnya. Mereka takut tidak
diterimanya amalan dan ketaatan mereka saat mempersembahkannya kepada Allah
dan ketika berdirinya mereka dihadapan Allah.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari Aisyah berkata: “ Aku
bertanya wahai Rasulullah maksud ayat (dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut) Apakah dia seseorang yang
berzina dan minum khomr? Rasulullah menjawab: tidak wahai putri Abu Bakr, atau
putri Ash-Shiddiq, akan tetapi dia adalah orang yang berpuasa, shalat, dan shadaqah,
ia takut Allah tidak menerima amalannya”.(Musnad Ahmad)
Hasan Al-Bashri (dalam Zainudin Abdurrahman, 1996:442) berkata: “
Sesungguhnya seorang mukmin menggabungkan antara iman dan takut, sedangkan
munafik ia menggabungkan antara keburukan dan perasaan tenang”.
Sungguh telah terjadi sejak zaman dahulu dan kini dimana sebagian orang
setelah selesai melaksanakan ibadah ini mengucapkan kepada yang lain: “Semoga
Allah menerima ibadah kami dan kalian dan semua orang pun mengharapkan hajinya
diterima”. Allah telah menyebutkan di dalam Al Qur’an bahwasanya Nabi-Nya
25
Ibrahim dan anaknya, Ismail- alaihimassalaam- setelah selesai membangun ka’bah
mereka berdua mengucapkan sebuah doa. Allah berfirman:
: ﴿ تعالى الله قال
﴾
“dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah
bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami
(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui".”(Q.S Al-Baqarah: 127)
Ibnu Katsier (1999: 125) berkata bahwasannya keduanya beramal shalih
kemudian meminta kepada Allah agar amalnya diterima. Diriwayatkan oleh Abu
Hatim dari Wuhaib bin Al Ward bahwasanya beliau membaca ayat ini kemudian
beliau menangis dan berkata:”Wahai Kekasih Ar Rahman.. Engkau meninggikan
rumah Ar Rahman sedangkan engkau takut amal mu tidak diterima”.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika seseorang melaksanakan haji
diantaranya ialah:
1. Haji istri dan anak-anak
Sudah selayaknya bagi para orang tua dan wali yang berkemampuan untuk
menghajikan orang-orang yang berada dibawah tanggungannya dari kalangan
putra dan putri mereka. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam :
البخاري» « ( أخرجه �ه� �ت ي ع� ر� ع�ن� Eول� ئ م�س� �م� 7ك �ل و�ك Cاع ر� �م� 7ك �ل )1829ومسلم) (7138ك
“Setiap kalian pemimpin, dan setiap kalian bertanggungjawab atas orang yang
dipimpinnya.” HR. Bukhari (7138) dan Muslim (1829).
Penekanan tersebut termasuk pada hak anak putri yang belum menikah, karena
haji seorang anak putri yang belum menikah lebih gampang dan mudah.
Berbeda jika ia sudah menikah, lalu terkadang ia terhalang dengan kondisi
26
kehamilan, menyusui dan pengasuhan anak. Maka hajinya anak putri yang
belum menikah merupakan masa yang lebih tepat.
Bukan haknya bagi seorang suami untuk melarang istrinya berhaji karena ia
merupakan kewajiban secara dasar syariah. Seyogyanya bagi seorang suami
seandainya ia berkemampuan untuk bersegera menghajikan istrinya, terlebih
bagi suami yang berikrar janji mengenai hal tersebut saat pernikahan. Maka
mudahkan kepentingannya, bisa dengan melakukan perjalanan haji
bersamanya, atau dengan mengizinkannya salah seorang saudara kandung
laki-lakinya atau selainnya dari kalangan mahramnya untuk berhaji
bersamanya. Dan ia berkewajiban untuk menggantikannya sementara dalam
menjaga anak-anaknya dan membantu urusan rumah tangga, maka sang suami
dalam hal ini akan mendapatkan ganjaran pahalanya.
2. Minta diwakilkan dalam berhaji
Diperbolehkan al-istinabah (meminta diwakilkan) dalam menjalankan
kewajiaban haji bagi orang yang berkemampuan secara harta namun renta
secara fisiknya, dimana ia tidak kuat untuk melakukan perjalanan ke Mekkah
disebabkan kelemhan fisiknya, atau penyakitnya yang tidak dapat diharapkan
kesembuhannya, atau umurnya yang sudah tua, dan demikian pula kalau ia
mampu berjalan namun dengan kesukaran perjalanan yang berat.
Demikian pula dengan orang yang telah meninggal dunia, wajib untuk
menghajikannya disebabkan ia meninggalkannya semasa hidupnya. Baik
mendiang mewasiatkan ataupun tidak, ini seandainya mendiang termasuk
orang yang memiliki kemampuan untuk berhaji di masa hidupnya, namun ia
belum berhaji juga hingga akhir hayatnya. Sebab perkara ini terbilang hutang
kepada Allah Ta’ala, sementara hutang kepada Allah lebih berhak untuk
didahulukan pelunasannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalan sunnah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Adapun orang yang meninggal dunia sebelum memiliki kemampuan untuk
berhaji, dikarenakan tidak dapat memenuhi persyaratananya, maka itu tidak
berdosa baginya dan tidak terbilang berhutang kepada Allah Ta’ala.
27
Dan ini berlaku untuk kewajiban haji, adapun al-istinabah dalam umrah
(tathawwu’nya haji) maka dikalangan ahlul ilmi ada yang melarang hal
tersebut, dengan alasan haji adalah ibadah dan perinsipnya adalah at-tauqif
(ketetapan mutlaq berdasarkan petunjuk Allah Ta’ala atau Rasul-Nya
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak ada ruang untuk ijtihad manusia di
dalamnya., pent.), dan belum ada riwayat di dalam teks agama yang
mengindikasikan diperkenankannya al-istinabah dalam ibadah sunnah (at-
tathawwu’). Namun ada pula ulama yang memperbolehkan hal tersebut,
berdasarkan analogi (qiyas) atas yang berlaku pada ibadah yang wajib (al-
faridhah).
Persyaratan bagi pihak yang menggantikannya (an-naib); dirinya telah
menjalani haji sebagai kewajiban agamanya, tidak mesti an-naib (pihak
pengganti) harus berasal dari negeri yang sama dengan pihak pertama yang
ingin berhaji dan menunjuknya sebagai penganti. Bahkan seandainya orang
yang menggantikannya berasal dari penduduk Mekkah pun dibolehkan.
Begitupula dengan hajinya seorang wanita untuk menggantikan pria dan
hajinya pria untuk menggantikan wanita.
Tidak layak bagi seorang an-naib menjadikan uang sebagai tujuannya, karena
sesungguhnya mencari rezeki dengan usaha-usaha yang seharusnya dan bukan
berkedok keshalihan. Bahkan sebaliknya, mestinya ia menjadikan tujuannya
untuk berbuat ihsan kepada saudaranya untuk melepaskan tanggungjawabnya,
sambil bertujuan menyaksikan tempat-tempat yang diagungkan (al-masya’ir)
dan melakukan peribadatan di dalamnya. Maka inilah yang disebut dengan
muhsin (seorang yang berbuat ihsan), dan Allah Ta’ala menyukai orang-orang
yang berbuat baik (al-muhsinin).
Kalaupun ia diberikan uang maka itu menjadi miliknya, maka ia boleh
membelanjakan dari uang tersebut untuk keperluannya yang lazim, seperti
makan, minum dan transportasinya. Jika masih ada sisanya, ia boleh
menggambilnya. Demikianlah yang terjadi pada orang-orang sekarang. Dan
para fukaha` (ulama fikih) memiliki pembahasan yang lebih rinci, dan di sini
bukanlah tempatnya untuk menyebutkannya.
28
Adapun sifat pelaksanaan haji, berniat di dalm hatinya untuk berihram
mewakili si fulan –yaitu orang yang digantikannya-kemudian ia
mengucapkan, “Labbaika ‘umratan ‘an fulanin (Aku penuhi panggilan-Mu
dengan mengerjakan umrah mewakili si fulan)”, atau “Labbaika hajjan wa
‘umratan (Aku penuhi panggilan-Mu dengan mengerjakan haji dan umrah) –
tergantung jenis pelaksanaan yang diminta untuk dilakukannya-, seandainya ia
lupa nama orang yang dihajikannya maka hal itu tidak merusaknya dan cukup
dengan niat saja.
Wajib atas seorang an-naib untuk bertakwa kepada Allah, dan serius dalam
menyempurnakan manasiknya, serta tidak memudah-mudahkan tahapan-
tahapannya, karena ia diamanati untuk itu.
3. Pakaian Ihram
Ihram adalah niat masuk untuk melaksanakan manasik haji, dan bukan
perbuatan mengenakan pakaian ihramnya, karena mengenakan pakaian ihram
merupakan persiapan untuk berihram yang tidak dianggap kecuali dengan niat.
Disunnahkan ihram pria dengan sarung (izar) dan selendang (rida`) yang
keduanya berwarna putih lagi bersih sebagai upaya mengikuti Nabi
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan menjalani perintahnya, sebagaimana yang
terdapat dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, diriwayatkan oleh
Ahmad (VIII/500) serta lainnya, dengan sanad yang sahih.
Pengertian al-izar (sarung) adalah kain yang menutupi bagian bawah badan
dan dikencangkan pada kedua pinggangnya. Sedangkan ar-rida` (selendang)
adalah kain yang menutupi bagian atas badan dan diletakkan pada kedua
pundak.
Sedangkan apa yang nampak di pasar-pasar di akhir-akhir ini adalah jenis izar
yang berjahit, maka tidak layak untuk dikenakan karena adanya jahitan
sehingga mengeluarkannya dari klasifikasi izar disebabkan dua alasan :
Pertama, dari sisi bahasa. Telah disebutkan dalam Tajul ‘Arus (III/11) bahwa
izar adalah kain yang tidak berjahit, dan dikuatkan dengan perkataan seorang
penyair :
29
Para petempur turun di setiap medan peperangan
Dan orang-orang baik mengikat al-uzur (sarung-sarung mereka)
Maka al-izar diikat pada kedua pinggang dan tidak dijahit.
Kedua, hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda kepadanya :
عليه» « متفق �ه� ب �ز�ر� �ت ف�ا .ق�ا ض�ي �ان� ك �ذ�ا و�إ ؛ �ه� ف�ي ط�ر� �ن� �ي ب ال�ف� ف�خ� ع�ا و�اس� �و�ب� الث �ان� ك �ن� إ
“Apabila bahan pakaian itu kelebaran (panjang) maka ikatlah kebelakang
diantara dua ujungnya, dan apabila kesempitan (pendek) maka hendaklah
bersarung dengannya.” Muttafaqun ‘Alaihi.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerangkan kepadanya kaifiat
pakaian shalat, yaitu seandainya bahan pakaiannya panjang maka tutupi
seluruh bagian badan. Namun seandainya kependekan maka cukuplah dengan
menutup bagian bawah badan. Dapat diketahui dari sini, seandainya bahan
tersebut sudah dijahit, bagaimana mungkin hal tersebut dapat dilakukan. Maka
hal itu menandai bahwa al-izar adalah suatu penamaan bagi sesuatu yang
menutupi bagian bahwa badan dan tidak berjahit.
4. Pakaian yang harus dihindari oleh seorang yang berihram
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam pernah ditanya,
�ه� » �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� ف�ق�ال� ؟ �اب� .ي الث م�ن� �م�ح�ر�م� ال �س� �ب �ل ي م�ا
�م� ل � :و�س� و�ال ، �ت� او�يال ر� الس� � و�ال ، �م� �ع�م�ائ ال � و�ال ، �ق�م�ص� ال وا �س� �ب �ل ت � ال
�ق�ط�ع�ه�م�ا �ي و�ل ، �ن� خ�ف�ي �س� �ب �ل �ي ف�ل �ن� �ي �ع�ل ن �ج�د� ي � ال Eح�د� أ � �ال إ �خ�ف�اف� ال � و�ال ، �س� ان �ر� �ب ال
� و�ال ان� ع�ف�ر� الز� ه� م�س� �ا �ئ ي ش� �اب� .ي الث م�ن� �س�وا �ب �ل ت � و�ال ، �ن� �ي �ع�ب �ك ال م�ن� ف�ل� س�� أ
البخاري « ( أخرجه �و�ر�س� له) 1177ومسلم) ( 1542ال واللفظ
“Pakaian apa yang dikenakan oleh orang berihram ?” Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kalian memakai gamis, jangan bersorban,
jangan bercelana panjang, jangan bermantel, dan bercelana, kecuali seorang 30
yang tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh memakai khuff (sepatu sandal),
maka potonglah kedua khufnya dibawah kedua matakaki, dan jangan memakai
pakaian yang tersentuh za’faran dan wars (parfum).” HR. Bukhari (1542) dan
Muslim (1177), dengan lafaz Muslim.
Hadits ini termasuk jawami’ul kalim (perkataan singkat dengan sarat makna,
pent.), maka sebenarnya beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang
apa yang harus dikenakan seorang yang berihram. Lalu beliau Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan pakaian yang tidak boleh dikenakan,
untuk menjelaskan bahwa semua yang selain yang telah disebutkan tadi dan
yang semacamnya, maka boleh dipakai oleh seorang yang berihram. Beliau
menyebutkan 6 (enam) jenis di dalam hadits ini :
a. Al-Qumush kata plural dari qamish (gamis), yaitu pakaian yang memiliki
lengan baju. Serupa dengannya semacam jubah (sejenis pakaian luar seperti
jaket, jas, dll. Pent.), kaos.
b. Al-Ama`im kata plural dari imamah (sorban), yaitu yang dililitkan diatas
kepala. Dianalogikan dengan kopiah dan yang semakna dengannya termasuk
dalam jenis ini
c. As-Sarawilat kata plural dari sarawil (celana panjang), yaitu bahan sarung
yang memiliki jahitan, dianalogikan celana pendek termasuk dalam jenis ini.
Namun dibolehkan mengenakan celana panjang disebabkan tidak
mendapatkan kain, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
d. Al-Baranis kata plural dari burnus (mantel), yaitu pakaian lengkap untuk
badan dan kepala, dianalogikan untuk semua yang serupa dengan mantel.
e. Al-Khifaf kata plural dari khuff (sepatu sandal), yaitu yang dipakai pada kaki
untuk menutupinya dan terbuat dari kulit. Boleh dipakai ketika tidak
mendapatkan sandal. Dan tidak mesti dipotong dibawah matakaki, karena
perintah tersebut sudah dibatalkan (mansukh). Inilah 5 (lima) jenis yang secara
khusus disebutkan dalam hadits ini.
f. Pakaian yang diberikan parfum za’faran atan kasturi, dianalogikan seluruh
jenis wangi-wangian. Dan ini diharamkan terhadap pria dan wanita.
31
Ketentuan baku dari apa yang telah dikemukan, bahwa setiap yang berjahit
yang dikenakan oleh badan atau oleh bagian tertentu darinya atau anggota dari
bagian-bagiannya tertentu maka diharamkan dan dilarang.
Telah populer di dalam buku-buku Manasik Haji, lafaz “al-makhith
(berjahit)”. Kata ini belum pernah diriwayatkan dalam as-Sunnah, hanya saja
sering terucap oleh lisan para tabi`in. Sehingga istilah itu banyak digunakan
dalam buku-buku fikih. Terpersepsikan kebanyakan orang bahwa yang
dimaksud dengan kata “al-makhith (berjahit)” itu adalah segala hal yang ada
jahitannya. Maka mereka berpersepsi bahwa tidak dibolehkan mengenakan
selendang yang bersambung karena kependekan, atau karena kesempitan. Atau
yang dijahit sebab robek, demikian juga dengan sepatu, ikat penggang yang
ada jahitannya. Kesemua ini tidaklah benar, bahkan yang dimaksudkan dengan
kata tersebut seperti yang telah dijelaskan di muka, dan bukan yang
dimaksudkan adalah pokoknya yang berjahit. Sekalipun para ulama fikih
menspesifikkan hanya pada apa yang diriwayatkan dalam hadits yang telah
disebutkan namun termasuk semua yang serupa dengannya, dan itu sudah
sangat jelas dan jauh dari kerancuan.
5. Pakaian yang harus dihindari oleh wanita
Adapun wanita maka berihram dengan pakaian yang dikehendakinya, tanpa
ditentukan dengan warna tertentu, dengan syarat pakaiannya tidak menarik
pandangan, atau mirip seperti pakaian berwana putih, dan dilarang dalam dua
hal :
Pertama, an-niqab (cadar) yaitu kain yang menutupi wajah yang berlubang
untuk kedua mata. Tidak boleh untuk digunakan.
Kedua, al-quffaz (sarung tangan) yaitu penutup yang memiliki tempat jari-jari
yang dimasukan ke dalamnya telapak tangan. Ia dikenal dengan kaos tangan.
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
البخاري « ( » أخرجه �ن� ي �ق�ف�از� ال �س� �ب �ل ت � و�ال �م�ح�ر�م�ة� ال �ة� أ �م�ر� ال �ق�ب� �ت �ن ت � ومسلم) (1542و�ال
البخاري) (1177 لفظ وهذا ، عنهما الله رضي عمر ابن حديث )1838من32
“Dan janganlah wanita yang sedang ihram bercadar, dan janganpula
menggunakan sarung tangan.” HR. Bukhari (1542) dan Muslim (1177) dari
hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, dan ini lafaz Bukhari (1838)
Adapun apa yang dikerjakan oleh sebagian wanita dengan mengenakan cadar
dan diatasnya jilbab untuk maksud melihat jalan. Secara tekstual –Wallahu
a’lam- bahwa keumuman larangan mengenai an-niqab secara keseluruhan
dalam penggunaannya. Jika dikatakan, “Bukankah tidak mengapa jika
dibutuhkan, sedang bentuknya tidak terlihat. Maka jawabnya, “Bahwa setiap
melakukan apa yang dilarang dalam ihram sekalipun itu mendesak (lil hajah)
akan dikenai fidyah. Sedang bentuknya yang tidak nampak, maka tidaklah
berpengaruh pada hukum, sebagaimana yang dikemukan di muka.
Dibolehkan bagi pria dan wanita mengganti baju ihramnya dan mencucinya
seusai ihram. Sementara yang diyakini oleh sebagian wanita bahwa wanita
yang sedang ihram harus tetap pada pakaian ihramnya, tidak boleh baginya
untuk mengganti dan mencucinya maka kesemuanya itu tidak ada asalnya.
6. 3 (tiga) jenis manasik haji
Mengutip Ibnu Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni (1968:82), “Para ulama
bersepakat tentang diperbolehkannya berihram dengan memilih salah satu dari
ketiga jenis manasik haji yang dikehendakinya, sedangkan perselesihan
pendapat hanya dalam konteks mana yang lebih utama (al-afdhal).”
Dan jenis menasik yang paling utama (afdhal) bagi orang yang belum
membawa hewan kurban (dam, pent.) adalah at-tamattu’, yaitu berihram
dengan niat umrah pada bulan-bulan haji, kemudian bertahallul darinya,
selanjutnya kembali berihram dengan niat haji di hari kedelapan (tarwiyah).
Sedang bagi yang telah membawa hewan kurban, maka jenis al-qiran lebih
utama (afdhal) baginya. Yaitu berihram dari miqat dengan niat umrah dan haji
secara bersama. Dan ini adalah jenis manasik yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena beliau memerintahkan sahabatnya
(yang tidak membawa hewan kurban, pent.) untuk mengambil jenis at-
tamattu’. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
�ل�ت�» « ل �ح� أل �ه�د�ي� ال م�ع�ي �ن� أ � �و�ال ل
33
“Seandainya aku tidak membawa hewan kurban, maka aku akan bertahallul.”
Dan dengan redaksional hadits lainnya :
البخاري» « ( أخرجه ل7ون� �ح� ت �م�ا ك �ل�ت� ل �ح� ل �ي ه�د�ي � �و�ال )1216ومسلم) (7367-1651و�ل
“Jika tidak ada hewan kurbanku, maka aku akan bertahallul sebagaimana
kalian bertahallul (sekarang).” HR. Bukhari (1651,7367) dan Muslim (1216).
Maka jika berihram dengan jenis qiran sementara ia tidak membawa hewan
kurban maka dibolehkan. Namun ia tetap harus berkurban menurut salah satu
dari dua pendapat para ulama, sebagai analgi (qiyas) atas jenis at-tamattu`
karena ia dalam makna yang sama.
Tidak ada perbedaan dalam hukum at-tamattu` dan al-qiran antara penduduk
Mekkah dan pendatang, kecuali bahwa penduduk Mekkah tidak wajib atas
mereka menyembelih hewan kurban, karena keberadaan mereka sebagai
penduduk sekitar Masjidil haram. Menurut salah satu pendapat, ini adalah
syarat dari firman Allah Ta’ala :
� ام �ح�ر� ال ج�د� �م�س� ال ح�اض�ر�ي �ه� ه�ل� أ �ن� �ك ي �م� ل �م�ن ل �ك� /ذ�ل [196البقرة ]
“Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang
keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang
bukan penduduk kota Mekah)..” (QS.2:196)
Kewajiban fidyah di sini dalam bentuk berpuasa atau bersedekah atau
berkorban.
Adapun orang yang berihram dengan niat berhaji saja –dinamai dengan istilah
al-ifrad- dan demikian pula dengan al-qiran yang tidak membawa hewan
kurban, maka sesungguhnya disunnahkan baginya untuk mengalihkannya ke
umrah. Sebagaimana ia merupakan pendapat dari mazhab Imam Ahmad,
sedang sekelompok ulama berpendapat pengalihan itu hukumnya wajib,
karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabatnya
untuk melakukannya.
Seandainya waktunya sangat sempit, seperti orang yang berihram pada waktu
subuh di hari Arafah, maka ada beberapa kemungkinan. Ada yang mengatakan
dimungkinkan untuk mengambil at-tamattu’, dan ada pula yang mengatakan
34
agar ia berihram dengan al-ifrad atau al-qiran. Dan pendapat inilah yang
mengemuka. Karena bentuk at-tamattu’ tidak tepat, berdasarkan firman Allah
Ta’ala :
.ح�ج� ال �ل�ى إ ة� �ع�م�ر� �ال ب �ع� �م�ت ت /ف�م�ن [196البقرة ]
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam
bulan haji) ....” (QS.2:196)
Atas dasar ini maka tetaplah pada jenis manasiknya dan tidak disyariatkan
baginya untuk mengalihkannya disebabkan waktunya yang sempit, karena al-
ifrad sendiri merupakan salah satu dari 3 (tiga) jenis manasik, lebih-lebih bagi
orang yang melakukan haji al-ifrad dengan melakukan perjalanan tersendiri
untuk umrahnya.
7. Syarat thaharah (bersuci) untuk melakukan tawaf
Mayoritas ulama berpendapat untuk mensyaratkan keadaan suci dalam
bertawaf, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
«� �م �ال �ك ال م�ن� 7وا �ق�ل ف�أ Eة� ص�ال �ت� �ي �ب �ال ب ( الط�و�اف� الترمذي« (960أخرجه والدارمي)
1/374) خزيمة) (4/222وابن في) 2/267) (1/409والحاكم) مختلف حديث وهو
ووقفه رفعه
“Tawaf di Baitullah semacam shalat, maka kurangilah pembicaraan). HR.
Tirmidzi (960), Darimi (I/374) dan Ibnu Khuzaimah (IV/222), dan Hakim
(I/409, II/268). Merupakan hadits yang diperselisihkan kemarfu’an dan
kemauqufannya.
Berdasarkan penuturan Aisyah Radhiyallahu 'Anha :
ط�اف�» �م� ث � �و�ض�أ ت �ه� ن� أ ق�د�م� ح�ين� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي7 �ب الن �ه� ب
� �د�أ ب Cي�ء ش� و�ل�� أ �ن� « أ
البخاري ( )1235ومسلم) (1536أخرجه
“Sesungguhnya pertama kali yang mulai kerjakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam saat datang (untuk berhaji), bahwa beliau berwudhu` kemudian
bertawaf.” HR. Bukhari (1536) dan Muslim (1230).
Ini seandainya bagi orang yang dapat melakukannya, sebagai penjelasan dari
firman Allah Ta’ala :
35
يق�� �ع�ت ال �ت� �ي �ب �ال ب �ط�و�ف�وا �ي /و�ل [٢٩الحج ]
“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah).” (QS.22:29)
Bagi orang yang berpendapat demikian. Namun belum pernah ada riwayat dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan bersuci
(thaharah) untuk tawaf, dan tidak ada larangan bagi orang yang berhadats
untuk bertawaf. Tetapi beliau memang bertawaf dalam keadaan suci dan
melarang wanita haid untuk bertawaf. Larangan bagi wanita haid tidak berarti
berlaku larangan pula bagi seorang yang berhadats. Tidak diragukan memang
bahwa bertawaf dengan bersuci adalah lebih utama (afdhal), lebih berhati-hati
(ahwath) dan lebih dapat dipertanggungjawabkan serta mengikuti tuntunan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bersabda :
مسلم» « ( أخرجه �م� �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت )1297ل
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).” HR. Muslim (1297).
8. Jika iqamat shalat terdengar saat bertawaf
Jika iqamat shalat dikumandangkan atau dihadirkan jenazah yang hendak
dishalatkan saat bertawaf, maka ia mendirikan shalat kemudian memulai
kembali seusai shalat dari tempat dimana ia berhenti. Dan sebagian putaran
yang telah dilakukannya sebelum ia menghentikan tawafnya tetap dihitung.
Dan ia tidak mesti memulai dari sudut hajar aswad, dan inilah pendapat yang
terkuat dari dua pendapat dikalangan ulama. Karena hal itu telah ditolerir
secara agama, dan tidak ada satu dalilpun yang menerangkan batalnya putaran
pertamanya.
Adapun jika ia berhadats saat bertawaf karena kentut atau lainnya, dan ia pergi
untuk berwudhu, lalu ia jika kembali lagi maka ia melanjutkan tawafnya dari
awal lagi –menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat ahlul ilmi-
sebagai analogi (qiyas) dari shalat, karena tawaf bagian dari jenis shalat secara
umum.
9. Shalat tahiyatul masjidil haram
36
Shalat tahiyatul masjidl haram adalah shalat dengan dua raka’at seperti shalat
tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya berdasarkan keumuman dalil-
dalilnya. Ini berlaku bagi orang yang memasuki masjidil haram untuk
menunggu waktu shalat, atau menunggu orang lain yang menemaninya, dan
lain sebagainya.
Adapun bagi orang yang memasukinya dengan tujuan bertawaf, baik untuk
niat haji atau pun umrah, atau yang bersifat tathawwu’ (sunnah) saja, maka
orang ini memulainya dengan tawaf, sebagai tahiyatul masjid pada dasarnya.
Dan bukannya dia shalat dua raka’at kemudian memulainya tawaf –
sebagaimana yang dilakuakan oleh sebagian orang-. maka sesungguhnya ini
adalah perbedaan sunnah, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika
masuk ke dalam masjidil haram memulainya dengan bertawaf, sebagaimana
yang diriwayatkan dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu dan sahabat
lainnya. Sebab maksud dari iftitah makanil ibadah (pembuka untuk masuk ke
tempat ibadah) adalah dengan ibadah, sedangkan ibadah tawaf mengantarkan
kepada tujuan ini.
10. Kewajiban untuk menetap di Arafah hingga matahari terbenam
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wukuf (hadir) di Arafah masanya hingga
terbenamnya matahari, bagi yang wukuf di siang hari menjadi hukumnya
wajib masuk dalam kewajiban-kewajiban hajinya.. Maka siapa yang keluar
sebelum matahari terbenam, berarti ia telah meninggalkan kewajibannya,
namun hajinya tetap sah. Wajibnya adalah menghimpun antara siang dan
sebagian dari periode malam, berdasarkan sebagai berikut :
a. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwukuf seperti itu, dan bersabda :
�م�» « �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت ل
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Dan keadaan beliau yang tetap berada di Arafah sampai setelah terbenam
matahari kemudian bertolak, sebagai dalil mengenai wajibnya hal tersebut.
Karena bertolak di siang hari lebih mudah, terlebih lagi di zaman sekarang ini.
Dimana orang-orang (dulu) bertolak dengan berjalan kaki dan ada yang
37
menunggangi onta, dengan kondisi seperti ini beliau tidak bertolak kecuali
setelah matahari terbenam.
b. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertolak dari Arafah sebelum shalat
maghrib, sedangkan waktu Maghrib pada saat itu sudah masuk. Seandainya
hendak bertolak sebelum terbenam matahari maka tetap dibolehkan untuk
dapat bertolak dan melakukan shalat maghrib di Muzdalifah pada awal
waktunya.
Telah diriwayakan dalam hadits ‘Urwah bin al-Mudharris bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
و�» � أ � �ال �ي ل �ك� ذ�ل �ل� ق�ب ف�ة� �ع�ر� ب و�ق�ف� و�ق�د� �د�ف�ع� ن �ى ح�ت �ا م�ع�ن و�و�ق�ف� ه�ذ�ه� �ا �ن �ت ص�ال ه�د� ش� م�ن�
) » داود أبو أخرجه �ه� �ف�ث ت و�ق�ض�ى ح�ج�ه� �م� �ت أ ف�ق�د� ا �ه�ار� (1950ن )5/263والنسائي)
) (891والترمذي ماجه) (3016وابن :( 26/142وأحمد) حديث) هذا الترمذي وقال
صحيح ) حسن
“Barangsiapa yang menyaksikan shalat kami ini, dan wukuf bersama kami
sampai kami bertolak, dan telah berwukuf di Arafah sebelumnya pada malam
atau siang hari, maka telah sempurna hajinya dan telah menunaikan
manasiknya.” HR. Abu Dawud (1950), an-Nasa`i (V/263), Tirmidzi (891),
Ibnu Majah (3016), Ahmad (XXVI/142), dan Tirmidzi berkata, “Hadits ini
hasan sahih.”
Orang-orang yang berpendapat dibolehkan untuk berangkat dari Arafah
sebelum terbenam matahari berpegang pada hadits ini. Karena sabda beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “naharan (siang hari)” menandai bahwa orang
yang wukuf di siang hari dan bertolak sebelum matahari terbenam, bahwa
hajinya telah sempurna. Dan pengungkapannya pun dengan menggunakan
redaksi yang sempurna dan tegas-tegas membolehkan hal tersebut, serta tidak
dikenai dam. Dan pengambilan argumentasinya cukup jelas, kecuali yang
menyelisihi dengan yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan para khalifah sepeninggalnya.
11. Mencukur atau memendekkan rambut
38
Mencukur atau memendekkan rambut merupakan salah satu bentuk manasik
di dalam haji dan umrah. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mendoakan ampunan bagi orang yang melakukannya, dengan sabdanya :
.ق�ين�» ل �م�ح� �ل ل اغ�ف�ر� �ه�م� الل ق�ال� �م�ق�ص.ر�ين� �ل و�ل �ه� الل س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال .ق�ين� ل �م�ح� �ل ل اغ�ف�ر� �ه�م� الل
�ه� الل س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال .ق�ين� ل �م�ح� �ل ل اغ�ف�ر� �ه�م� الل ق�ال� �م�ق�ص.ر�ين� �ل و�ل �ه� الل س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال
» �م�ق�ص.ر�ين� �ل و�ل ق�ال� �م�ق�ص.ر�ين� �ل ( و�ل البخاري (1728أخرجه أبي) 1302ومسلم) عن
– هريرة – أخرجه ، بالرحمة الدعاء عنهما الله رضي عمر ابن حديث وفي ،
)1301ومسلم) (1727البخاري (
“Ya Allah ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya)”. Para sahabat
berkata, “Ya Rasulullah, dan bagi orang-orang yang memendekkan
(rambutnya).” Beliau bersabda, “Ya Allah ampunilah orang-orang yang
mencukur (rambutnya).” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dan bagi
orang-orang yang memendekkan (rambutnya).” Beliau bersabda, “Ya Allah
ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya).” Para sahabat berkata,
“Ya Rasulullah, dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).”
Beliau bersabda, “Dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).”
HR. Bukhari (1728) dan Muslim (1302) dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu. Dan dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, memohon
rahmat-Nya diriwayatkan oleh Bukhari (1727) dan Muslim (1301).
Al-halq (cukur) adalah membuang rambut kepala secara keseluruhan dengan
pisau cukur dan lain sebagainya. Sedangkan at-taqshir (memendekkan
rambut) adalah memotong ujung-ujung seluruh bagian rambut kepala dengan
gunting atau alat-alat lain yang biasa dipakai.
Mencukur lebih utama (afdhal) bagi orang yang berhaji qiran dan ifrad, serta
orang yang berumrah saja, dan kecuali haji tamattu’ yang datang terlambat ke
Mekkah, dimana rambutnya tidak cepat tumbuh sebelum haji, maka
memendekkannya baginya lebih utama (afdhal). Sebagaimana Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan sahabatnya untuk melakukan
hal tersebut di saat haji Wada’, agar mereka bisa menghimpun antara at-
taqshir (memendekkan rambut) di pelaksanaan Umrah dan al-halq (mencukur
rambut) di pelaksanaan haji. Seandainya mereka mencukur habis rambutnya di
saat pelaksanaan umrah, niscaya tidak ada rambut yang tersisa sedikitpun di
39
kepalanya untuk dicukur pada pelaksanaan haji. Selain itu, bercukur lebih
utama (afdhal) karena Allah Ta’ala mengedepankannya di dalam firman-Nya :
و�م�ق�ص.ر�ين� �م� ك ؤ�وس� ر� .ق�ين� ل /م�ح� [27الفتح ]
“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya.” (QS.2:27)
12. Kewajiban melontar dengan 7 (tujuh) kerikil
Mayoritas ulama berpendapat bahwa melontar dilakukan dengan 7 (tujuh)
butir kerikil sebagai salah satu syarat sahnya melontar. Maka seandainya
kurang satu saja, tidak dianggap sah lontarannya. Wajib baginya untuk
kembali menyempurnakan kekurangannya. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam melontar jamrah dengan 7 (tujuh) butir kerikil –sebagaimana yang
dikutip oleh Jabir dan sahabat lainnya-. Dan beliau bersabda :
�م�» « �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت ل
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Maka wajib hukumnya untuk meneladani beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dalam hal ini, dan tidak pernah diketahui bahwa beliau mengizinkan
seseorang melakukan lontaran dengan ukuran kurang dari 7 (tujuh) butir.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa`i (V/275) dan lainnya, dari
Mujahid menuturkan, “Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
�ع�» ب �س� ب �ت� م�ي ر� �ق�ول� ي �ا �ع�ض�ن و�ب �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي. �ب الن م�ع� �ح�ج�ة� ال ف�ي �ا ج�ع�ن ر�
» Cع�ض� ب ع�ل�ى �ع�ض�ه�م� ب �ع�ب� ي �م� ف�ل Tس�ت� ب �ت� م�ي ر� �ق�ول� ي �ا �ع�ض�ن و�ب Cات� ح�ص�ي
“Sekembali kami dari berhaji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
dan sebagian dari kami berkata, ‘Aku melontar dengan 7 (tujuh) kerikil’,
sedang sebagian kami yanh lain berkata, ‘Aku melontar dengan 6 (enam)
kerikil.’ Maka tidak ada sebagian mereka mencela sebagian yang lain”
Ini adalah atsar yang terputus, karena Mujahid belum pernah mendengar
langsung dari Sa’ad bin Abi Waqqash, sebagaimana yang disinyalir oleh Ibnu
al-Qaththan dan Thahawi serta lainnya. Hal itu dikutip dari Al-Jauhar an-Naqi
(V/149). Disebutkan bahwa riwayat-riwayat mengindikasikan kewajiban
(dengan) 7 (tujuh) kerikil, dan tidak ada riwayat bahwa Rasul Shallallahu
40
‘Alaihi wa Sallam menetapkan kepada para sahabatnya mengenai hal tersebut,
dan tidak ada ijtihad dalam ruang nash.
13. Mabit di Mina
Mabit (bermalam) di Mina pada malam ke-11 dan ke-12 –demikian pula
malam ke-13 bagi orang yang hendak bersegera- merupakan salah satu
kewajiban haji. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bermalam di sana.
Dan bersabda :
�م�» « �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت ل
“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”
Dan beliau memberikan dispensasi (rukshah) kepada orang yang bertugas
memberi minuman dan para pengembala untuk tidak bermabit. Dan ungkapan
dengan rukhshah (dispensasi) menunjukkan atas diwajibkannya mabit jika
tidak ada udzur (alasan syar’i).
Siapa yang sudah berusaha namun tidak menemukan tempat untuk bermalam,
maka gugurlah kewajiban itu darinya. Dan ia dapat bermalam di luarnya, dan
tidak ada sangsi apapun baginya. Berdasarkan keumuman firman-Nya :
م�� �ط�ع�ت ت اس� م�ا �ه� الل �ق�وا [16التغابن/ ف�ات
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS.646)
dan firman-Nya yang lain :
ع�ه�ا و�س� � �ال إ � �ف�سا ن �ه� الل �ل.ف� �ك ي /ال [286البقرة ]
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (QS.2:286)
dan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
البخاري» « ( أخرجه �م� �ط�ع�ت ت اس� م�ا �ه� م�ن �وا �ت ف�أ Cم�ر� �أ ب �م� �ك ت م�ر�
� أ �ذ�ا ) 1337ومسلم) (7288و�إ
“Jika kuperintahkan kalian dengan suatu perkara, maka lakukanlah
sesanggup kalian.” HR. Bukhari (7288) dan Muslim (1337).
Itulah sekelumit penjelasan mengenai pelaksanaan haji dan pengaruhnya dalam
perbaikan akhlak.
41
B. Pelaksanaan Serta Pengaruh Dari Qurban Terhadap Akhlak Seseorang
Dalam hitungan hari, umat Islam dipelosok dunia akan merayakan Idul Adha (Idul
Qurban). Bagi umat Islam yang mampu, dianjurkan untuk menyembelih binatang
kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai
yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial.
Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah
Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena
selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan yang
sangat luas.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam
pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan
bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa
lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal
rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial,
mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah),
namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus
mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan
memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’
senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba
meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial.
Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-
kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang
menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan
dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial.
Dalam Al-Quran dalam Surat Al-Maidah : 27, Ash-Shaffat : 102 – 107 dan Al-
Kautsar : 2 yang berbunyi : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkurbanlah.” Dan Ibadah Kurban merupakan pembuktian kecintaan dan keikhlasan
kita kepada sang Khaliq.
42
Ibadah kurban memiliki sejarah yang begitu panjang. Allah SWT telah
memerintahkan ibadah kurban kepada umat manusia, sejak zaman Nabi Adam AS.
Perintah kurban mulai diperintahkan kepada dua putra Nabi Adam AS, yakni Habil
yang berprofesi sebagai petani dan Qabil seorang peternak. Keduanya diminta untuk
berkurban dengan harta terbaik yang mereka miliki.
Peristiwa kurban dua anak manusia itu dikisahkan dalam Alquran surat al-
Maaidah ayat 27. Allah SWT berfirman, ''Dan ceritakanlah (Muhammad) kepada
mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) yang sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua
(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti
membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari
orang-orang yang bertakwa.''
Seiring bergulirnya zaman, perintah berkurban juga diterima Nabi Ibrahim AS.
Setelah melalui penantian yang begitu lama, Ibrahim akhirnya dikaruniai seorang
putra bernama Ismail, dari istrinya bernama Siti Hajar. Ia pun begitu gembira dan
bahagia. Kebahagiaannya memiliki seorang putra, kemudian diuji oleh Allah SWT.
Saat berusia 100 tahun, datanglah sebuah perintah Allah SWT kepadanya melalui
sebuah mimpi. ''...Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu..?'' (QS: as-Saffat:102). Dengan
penuh keikhlasan, Ismail pun menjawab, ''...Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang
diperintahkan (Allah) kepada mu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang yang sabar.'' (QS:as-Saffat:102).
Kemudian, Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat yang sepi di Mina.
Ismail pun mengajukan tiga syarat kepada sang ayah sebelum menyembelihnya.
Pertama, sebelum menyembelih hendaknya Nabi Ibrahim AS menajamkan pisaunya.
Kedua, ketika disembelih, muka Ismail harus ditutup agar tak timbul rasa ragu dalam
hatinya. Ketiga, jika penyembelihan telah selesai, pakaiannya yang berlumur darah
dibawa kepada ibunya, sebagai saksi kurban telah dilaksanakan.
''Maka tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya
atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Lalu Kami panggil dia, 'Wahai
43
Ibrahim!' sesunggu engkau telah membenarkan mimpi itu...'' (QS: as-Saffat ayat 103-
104). Ketika pisau telah diarahkan ke arah leher Ismail, lalu Allah SWT
menggantikannya dengan seekor domba yang besar.
''Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.'' Atas
pengorbanan Ibrahim AS itu, Allah SWT berfirman, ''Dan Kami abadikan untuk
Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Selamat sejahtera
bagi Ibrahim. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.'' (QS:
as-Saffat:108-109).
Ibadah kurban pun menjadi salah satu unsur syariat Islam, yang dilaksanakan oleh
umat Muslim yang mampu pada setiap Hari Raya Idul Adha dan tiga hari setelahnya
(hari tasyrik), yakni tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah.
Melaksanakan ibadah kurban tidak semata-mata ibadah yang berhubungan dengan
Sang Pencipta, namun lebih bermakna sosial. Inti pesan ibadah kurban adalah
solidaritas, kepedulian kepada orang yang membutuhkan. Hanya sedikit dari orang
banyak yang sadar. Hanya sedikit dari orang yang sadar itu yang mau berjuang. Dan
hanya sedikit dari yang berjuang itu yang mau berkurban.
Pengorbanan sesungguhnya bukan hanya harta benda, melainkan juga jiwa, raga,
hati dan pikiran yang semata-mata karena Allah. Seorang yang beriman, akan
memberikan sesuatu yang paling dicintainya kepada Allah SWT, seperti yang
dilakukan Nabi Ibrahim AS.
Qurban memiliki beberapa syarat yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya,
yaitu.
1. Hewan qurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing, baik
domba atau kambing biasa.
2. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah
tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.
a. unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun
b. sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun
44
c. kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun adalah yang telah
sempurna berusia enam bulan
3. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah
dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
a. Buta sebelah yang jelas/tampak
b. Sakit yang jelas.
c. Pincang yang jelas
d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang
e. Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke
dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berqurban dengannya, seperti
buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh.
4. Hewan qurban tersebut milik orang yang berqurban atau diperbolehkan (di
izinkan) baginya untuk berqurban dengannya. Maka tidak sah berqurban
dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua
orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.
5. Tidak ada hubungan dengan hak orang lain. Maka tidak sah berqurban dengan
hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya dibagi.
6. Penyembelihan qurbannya harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan
syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka
sembelihan qurbannya tidak sah. (Bidaayatul Mujtahid (I/450), Al-Mugni
(VIII/637)).
Demikianlah penjelasan mengenai pelaksanaan kurban serta pengaruhnya
terhadap akhlak seseorang.
45
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Didalam islam pensyariatan mengenai pelaksanaan ibadah haji sering
dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim as yang diperintahkan oleh Allah swt untuk
merenovasi serta membangun bangunan ka’bah yang telah mengalami kerusakan pada
waktu terjadinya banjir besar pada zaman Nabi Nuh as. Hal itu diperintahkan karena
Allah hendak menjadikannya sebagai tempat berkumpul manusia serta untuk
dijadikan kiblat ketika manusia melaksanakan shalat.
Ayat Al-Quran yang terdapat dalam surat Ali-Imran memberikan pemahaman
kepada kita bahwasannya: Pertama, berdasarkan ayat tersebut, para ulama secara ijma'
sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Kedua, mereka juga secara
ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya diwajibkan selama sekali seumur hidup. 46
Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur ulama sebagai dalil wajibnya haji.
Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya haji bagi orang yang
sudah mampu, namun mereka berbeda mengenai penafsiran as-Sabiil (mengadakan
perjalanan) dalam ayat tersebut.
Diantara bentuk kehormatan bagi setiap orang yang Allah beri taufiq dan
kemudahan dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah haji ini ialah Allah berikan
semangat yang tinggi dalam memperoleh manfaat, faidah, dan pelajaran dari hajinya.
Adapun mengenai pensyari’atan penyembelihan hewan kurban di hari Idul
Adha serta 11, 12, 13 Dzulhijjah yang kita kenal sebagai Yaumut Tasyriik selalu
dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as ketika menyembelih anaknya yaitu Nabi Isma’il
yang kemudian ketika mereka berdua akan melaksanakannya serta berserah diri atas
apa yang diperintahkan oleh Allah maka Allah pun mengganti Ismail dengan hewan
sembelihan yang besar.
Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan
menyembelih sesuatu dari pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Pemilik dan Pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah
kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintahNya.
Pandangan para ulama mengenai pensyari’atan qurban tidak ada perselisihan
paham. Hanya mereka berselisih mengenai penetapan hukum “perintah” itu. Ada
diantara mereka yang “mewajibkan” dan ada diantara mereka yang “menyunahkan”
saja, walaupun mereka memuakkadkannya.
Penyembelihan hewan pada hari raya Idul Adha adalah simbol pengorbanan
yang harus dilakukan setiap orang atas dirinya sendiri. Karena pada hakikatnya hewan
kurban itu kita sendiri yang akan menikmati, sedangkan yang akan sampai dihadapan
Nya adalah ketakwaan yang mendasari pengorbanan kita. Pengorbanan yang
sebenarnya adalah pengorbanan diri atas segala sesuatu yang dimilikinya. Ketika
binatang kurban disembelih melambangkan hilangnya sifat kebinatangan dalam diri
kita.
B. Saran
Penulis ingin menyampaikan beberapa pesan diantaranya ialah:
47
1. Kepada masyarakat umum, hendaklah kalian senantiasa bertafakkur ataas
setiap apa yang Allah perintahkan kepada hambanya. karena tidaklah Dia
memerintahkan untuk ataupun melarang berbuat melainkan Dia telah
mengetahui akan adanya manfaat serta mandharat dintara keduanya.
2. Kepada teman-teman seangkatan hendaklah kalian mempelajari, memahami
serta mengkaji kembali mengenai pelaksanaan haji dan kurban ini karena di
dalamnya tersimpan banyak hikmah yang patut kita renungkan.
Penulis menyadari akan segala kekurangan serta keterbatasannya sebagai seorang
manusia yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai makhluk yang lemah. oleh karena
itu sebagai antisipasi serta dalam rangka penyempurnaan karya tulis yang akan
datang, penulis meminta agar bersedia memberikan kritik serta sarannya.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Zainuddin. (1996). Fathul Bari’ Shahih Al-Bukhari. Kairo: Maktabah Attahqiiq Darul Haramain
Al-Bukhari. (t.t). Shahih Bukhari. Beirut: Dar al Fikr
Al-Qazwaini. (t.t). Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dar al Fikr
Al-Sajastaani. (1952). Sunan Abi Daud. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi
At-Tirmidzi. (t.t). Sunan Tirmidzi. Beirut: Dar al Fikr
48
Al-Nasaii. (1964). Sunan al-Nasaii. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi
An-Nawawi. (1392 H). Syarh Shahih Muslim An-Nawawi. Beirut: Darul Ihyaa Turaas Ah’araby
Al-Qurtubi. (1964). Tafsir Al-Qurtubi. Kairo: Dar Al-Kuttub
Ash Shidiqie, Hasbie. (1966). Tuntunan Qurban. Djakarta: Bulan Bintang
Asy-Syaukani. (t.t). Nailul Authar. Mesir: Musthafa Babil Halabi
Asy-Syaukani. (t.t). Ar-Raudhah. Mesir: Musthafa Babil Halabi
Farida, Annisa. Memaknai Idul Adha. Online: 18-Nopember-2010. www.// /Mimbar Opini - Memaknai Idul Adha.com
Fu’ad, Muhammad ‘Abdul. (2003). Al-Mu'jam al-Mufahris Li alfaazh al-Qur'an al-Karim. Mesir: Darul Fikr
Ibnu Hajar al 'Asqolani. 1423 H. Bulughul Maram. Mesir: Darul ‘Aqidah
Katsier, Ibnu. (1999). Tafsirul Quranul ‘Adziim. Mesir: Dar At-Thabi’ah
Muslim, Husein. (1992). Shahih Muslim. Beirut: Dar al Fikr
Muhammad, Ahmad Yusuf. (2009). Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Quran dan Hadits. Jakarta: Widya Cahaya
Permanu, Arek. Hakikat berkurban di hari Raya Idul Adha. Online: 01 November 2011. http://www.hakekat berkurban di har raya idul adha.com
Qudamah, Ibnu. (1968). Al-Mughni Lii ibni Qudamah. Kairo: Maktabah Qahirah
Wahyu. Haji, Wahana Pendidikan Akhlak. Online: 01 November 2011. http://www. Haji, wahana pendidikan akhlak.
Wahyu MS, dkk. (1987). Petunjuk Praktis Membuat Skripsi. Surabaya: Usaha Nasional
49