hilman fitry akhlak (upi)

75
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Idul Adha adalah hari penuh kemenangan besar. Dalam hari yang dirayakan kaum muslimin seluruh dunia itu terkandung nilai kepatuhan dan keikhlasan saat menjalankan perintah Allah SWT. Idul Adha adalah wujud keikhlasan yang tak tertandingi. Ia adalah hari raya ketika ajaran Nabi Ibrahim AS menjadi teladan. Ia juga menjadi salah satu monumen terbesar umat manusia untuk menandai betapa dalam menjalankan perintah Sang Pencipta, manusia harus ikhlas merelakan apa pun yang paling berharga dalam hidup. Termasuk melepas anak terkasih bila itu memang dikehendaki Sang Khalik. Dan ritual penyembelihan Ismail oleh sang ayah, Ibrahim, menjadi salah satu hikmah terpenting dari hakikat Idul Adha. Di sana ada kepatuhan, ketulusan, dan keikhlasan. Di sana ada pula spirit untuk berkorban. Itulah contoh pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan hamba Allah. Spirit pengorbanan dengan bobot sekaliber Ibrahim saat menyembelih sang anak, Ismail, adalah amal langka dalam konteks kekinian. Ia menjadi sebuah kemustahilan, bahkan keajaiban. Selanjutnya rangkaian prosesi ibadah haji merupakan ajang pendidikan akhlak dan budi pekerti, dari mulai

Upload: hilman-fitry

Post on 02-Aug-2015

271 views

Category:

Spiritual


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hilman fitry akhlak (upi)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Idul Adha adalah hari penuh kemenangan besar. Dalam hari yang dirayakan

kaum muslimin seluruh dunia itu terkandung nilai kepatuhan dan keikhlasan saat

menjalankan perintah Allah SWT. Idul Adha adalah wujud keikhlasan yang tak

tertandingi.

Ia adalah hari raya ketika ajaran Nabi Ibrahim AS menjadi teladan. Ia juga

menjadi salah satu monumen terbesar umat manusia untuk menandai betapa dalam

menjalankan perintah Sang Pencipta, manusia harus ikhlas merelakan apa pun yang

paling berharga dalam hidup. Termasuk melepas anak terkasih bila itu memang

dikehendaki Sang Khalik.

Dan ritual penyembelihan Ismail oleh sang ayah, Ibrahim, menjadi salah satu

hikmah terpenting dari hakikat Idul Adha. Di sana ada kepatuhan, ketulusan, dan

keikhlasan. Di sana ada pula spirit untuk berkorban. Itulah contoh pengorbanan

terbesar yang pernah dilakukan hamba Allah.

Spirit pengorbanan dengan bobot sekaliber Ibrahim saat menyembelih sang

anak, Ismail, adalah amal langka dalam konteks kekinian. Ia menjadi sebuah

kemustahilan, bahkan keajaiban.

Selanjutnya rangkaian prosesi ibadah haji merupakan ajang pendidikan akhlak

dan budi pekerti, dari mulai berangkat dari tanah air, di tanah suci, di penginapan, di

tempat ibadah hingga kembali ke rumah masing-masing. Problematika yang dihadapi

selama perjalanan ini merupakan ujian yang dapat dicari hikmahnya agar menjadi

jemaah yang mabrur. Aneh luar biasa, saat berhaji, setiap perilaku jemaah tampak

aslinya. Ketika menjadi tamu Allah, semua memperlihatkan sifat kemanusiaannya

saat bergaul dengan sesama jemaah.

Oleh karena itu penulis berkeinginan menyusun makalah ini untuk mencari

informasi, memahami, mengkaji, serta menjelaskan mengenai implikasi pelaksanaan

haji serta berkurban terhadap akhlak seseorang yang telah melaksanakannya.

Page 2: Hilman fitry akhlak (upi)

B. Rumusan Masalah

Dalam proses penulisan makalah ini, penulis membatasi pembahasannya agar

tidak keluar serta menyimpang dari pembahasannya, rangkaian batasan tersebut

meliputi:

1. Bagaimana konsep Haji dan Qurban dalam Al-Qur’an?

2. Bagaimana konsep Haji dan Qurban dalam Al-Hadis?

3. Bagaimana konsep Haji dan Qurban dalam Kitab Ulama mutaqaddimin dan

mutakhirin?

4. Bagaimana Konsep Haji dan Qurban di jejaring internet?

5. Bagaimana pelaksanaan serta pengaruh dari Ibadah Haji terhadap Akhlak

seseorang?

6. Bagaimana pelaksanaan serta pengaruh dari Qurban terhadap Akhlak?

C. Tujuan

Dalam penulisan makalah ini, penulis bermaksud untuk mengetahui serta

memahami rumusan masalah diatas yakni:

1. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Quran

2. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Hadis

3. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Kitab Ulama

Mutaqaddimin dan Mutakhirin

4. Mengetahui serta memahami Konsep Haji dan Qurban dalam Internet

5. Mengerti serta memahami pelaksanaan serta pengaruh dari Ibadah Haji

terhadap Akhlak seseorang

6. Mengerti serta memahami pelaksanaan serta pengaruh dari Ibadah Haji

terhadap Akhlak seseorang

D. Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini:

1. Bagi penulis, menambah wawasan keilmuan serta pemahaman mengenai

pembahasan yang dibahas yang kemudian dapat mengaplikasikannya

dikehidupan sehari-hari.

2

Page 3: Hilman fitry akhlak (upi)

2. Bagi pembaca, menambah wawasan keilmuan serta pemahaman mengenai

pembahasan yang dibahas yang kemudian dapat mengaplikasikannya

dikehidupan sehari-hari serta dapat dijadikan bahan rujukan dalam penulisan

karya tulis yang lain.

E. Metode Penulisan

Metode yang penyusun gunakan dalam membahas permasalahan-

permasalahan di atas adalah metode deskriptif, yaitu metode penelitian yang bertujuan

melukiskan secara sistematis tentang fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu

atau bidang tertentu secara factual. Untuk memecahkan problematika yang ada saat

ini. (Wahyu, MS, 1997 : 112)

Sedangkan teknik penulisannya penulis menggunakan studi literatur, yakni

mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku atau tulisan-tulisan yang berhubungan

dengan permasalahan yang penulis bahas. Selanjutnya data-data dan fakta-fakta yang

penulis dapatkan ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yaitu suatu pengolahan

data dari yang bersifat umum kepada data yang bersifat khusus. (Wahyu, MS, 1987 :

31)

3

Page 4: Hilman fitry akhlak (upi)

BAB 2

Dalil-Dalil atau Teori yang Berkaitan dengan Pembahasan

A. Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Qur’an

Didalam islam pensyariatan mengenai pelaksanaan ibadah haji sering

dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim as yang diperintahkan oleh Allah swt untuk

merenovasi serta membangun bangunan ka’bah yang telah mengalami kerusakan pada

waktu terjadinya banjir besar pada zaman Nabi Nuh as. Hal itu diperintahkan karena

Allah hendak menjadikannya sebagai tempat berkumpul manusia serta untuk

dijadikan kiblat ketika manusia melaksanakan shalat. Sebagaimana tergambar dalam

firman Allah swt dalam Q.S Al-Baqarah ayat 125:

�ذ� ا و�إ �ن� ع�ل �ت� ج� �ي �ب ة� ال �اب� اس� م�ث �لن� ا ل م�ن�� ذ�وا و�أ �خ� � م�ن� و�ات ام م�ق�

اه�يم� �ر� �ب �ا م�ص�ل&ى إ �ل�ى و�ع�ه�د�ن اه�يم� إ �ر� �ب �ي� إ �ت �ي ب ا ط�ه.ر� �ن� أ م�اع�يل� �س� و�إ

الس7ج�ود� ( �ع� ك و�الر7 �ف�ين� �ع�اك و�ال �ف�ين� �لط�ائ )125ل

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul

bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim

tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:

"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan

yang sujud."

Setelah Nabi Ibrahim as merenovasi serta membangunnya maka ia pun

diberitahukan tata cara pelaksanaan haji itu yang kemudian oleh Allah swt

disyari’atkan untuk diteladani oleh umat Nabi Muhammad saw sebagaimana tertera

dalam Q.S Ali-Imran ayat 96-97:

) �م�ين� �ع�ال �ل ل و�ه�د�ى �ا ك �ار� م�ب �ة� �ك �ب ب �ذ�ي �ل ل �اس� �لن ل و�ض�ع� Cت� �ي ب و�ل�� أ �ن� �اتE) 96إ آي ف�يه�

م�ن� �ت� �ي �ب ال ح�ج7 �اس� الن ع�ل�ى �ه� �ل و�ل �ا آم�ن �ان� ك �ه� د�خ�ل و�م�ن� اه�يم� �ر� �ب إ م�ق�ام� Eات� .ن �ي ب

�م�ين� ( �ع�ال ال ع�ن� Nي� غ�ن �ه� الل �ن� ف�إ �ف�ر� ك و�م�ن� �يال� ب س� �ه� �ي �ل إ �ط�اع� ت )97اس�

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia,

ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi

4

Page 5: Hilman fitry akhlak (upi)

semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam

Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang

sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban

haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta

alam.”

Ayat ini menerangkan kewajiban melaksanakan haji bagi orang yang sanggup

mengadakan perjalanan ke Baitullah. Karena pada dasarnya pelaksanaan haji

membutuhkan kesiapan mental dan fisik dalam pelaksanaannya yakni dengan cara

berkendaraan atau berjalan kaki sebagaimana terdapat dalam Q.S Al-Hajj ayat 27

sebagai berikut:

ع�م�يقC و Tف�ج �ل. ك م�ن� �ين� �ت �أ ي Cض�ام�ر �ل. ك و�ع�ل�ى ر�ج�اال� �وك� �ت �أ ي �ح�ج. �ال ب �اس� الن ف�ي �ذ.ن� أ

)27(

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan

datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang

datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Adapun untuk waktu pelaksanaan haji, Allah menjelaskannya dalam Q.S Al-

Baqarah ayat 189 dan 197 sebagai berikut:

�وا �ت �أ ت ن�� �أ ب �ر7 �ب ال �س� �ي و�ل �ح�ج. و�ال �اس� �لن ل م�و�اق�يت� ه�ي� ق�ل� �ة� �ه�ل األ� ع�ن� �ك� �ون �ل أ �س� ي

�ه� الل �ق�وا و�ات �ه�ا �و�اب ب� أ م�ن� �وت� �ي �ب ال �وا �ت و�أ �ق�ى ات م�ن� �ر� �ب ال �ك�ن� و�ل ظ�ه�ور�ه�ا م�ن� �وت� �ي �ب ال

�ح�ون� ( �ف�ل ت �م� �ك �ع�ل )189ل

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu

adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah

kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah

kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-

pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

5

Page 6: Hilman fitry akhlak (upi)

ج�د�ال� و�ال� ف�س�وق� و�ال� ف�ث� ر� ف�ال� �ح�ج� ال ف�يه�ن� ف�ر�ض� ف�م�ن� Eوم�ات� م�ع�ل Eه�ر �ش� أ �ح�ج7 ال

�ق�و�ى الت اد� الز� �ر� ي خ� �ن� ف�إ و�د�وا �ز� و�ت �ه� الل �م�ه� �ع�ل ي Cر� ي خ� م�ن� �وا �ف�ع�ل ت و�م�ا �ح�ج. ال ف�ي

�اب� ( �ب �ل األ� �ول�ي أ �ا ي �ق�ون� )197و�ات

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang

menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats,

berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa

yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,

dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai

orang-orang yang berakal.”

Bulan-bulan yang dimaklumi disini ialah bulan-bulan yang diharamkan

manusia untuk menumpahkan darah serta melakukan kekejian di Haramain seperti

Rajab, Syawal, Dzulqai’dah, dan Dzulhijjah.

Sedangkan mengenai ketentuan dalam pelaksanaannya jika terdapat satu

syarat sah yang tidak bisa terpenuhi maka harus dibayar dengan DAM sebagaimana

tertera dalam Q.S Al-Baqarah ayat 196 berikut ini:

ح�ت�ى �م� ك ء�وس� ر� �ق�وا ل �ح� ت و�ال� �ه�د�ي� ال م�ن� ر� �س� �ي ت اس� ف�م�ا �م� ت �ح�ص�ر� أ �ن� ف�إ �ه� �ل ل ة� �ع�م�ر� و�ال �ح�ج� ال �م7وا ت� و�أ

و� � أ Cص�د�ق�ة و�

� أ C �ام ص�ي م�ن� Eة� ف�ف�د�ي ه� �س� أ ر� م�ن� �ذ�ى أ �ه� ب و�� أ م�ر�يض�ا �م� �ك م�ن �ان� ك ف�م�ن� �ه� ل م�ح� �ه�د�ي� ال �غ� �ل �ب ي

�ام� ف�ص�ي �ج�د� ي �م� ل ف�م�ن� �ه�د�ي� ال م�ن� ر� �س� �ي ت اس� ف�م�ا �ح�ج. ال �ل�ى إ ة� �ع�م�ر� �ال ب �ع� �م�ت ت ف�م�ن� �م� �ت �م�ن أ �ذ�ا ف�إ Cس�ك� ن

ح�اض�ر�ي �ه� ه�ل� أ �ن� �ك ي �م� ل �م�ن� ل �ك� ذ�ل Eة� �ام�ل ك Eة ر� ع�ش� �ل�ك� ت �م� ع�ت ج� ر� �ذ�ا إ Cع�ة� ب و�س� �ح�ج. ال ف�ي C �ام �ي أ �ة� ث �ال� ث

�ع�ق�اب� ( ال د�يد� ش� �ه� الل �ن� أ �م�وا و�اع�ل �ه� الل �ق�وا و�ات � ام �ح�ر� ال ج�د� �م�س� ) 196ال

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung

(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban[120] yang mudah

didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat

penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya

(lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau

bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa

yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia

menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang

korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh

hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.

6

Page 7: Hilman fitry akhlak (upi)

Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak

berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah).

Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-

Nya.”

Adapun mengenai pensyari’atan penyembelihan hewan kurban di hari Idul

Adha serta 11, 12, 13 Dzulhijjah yang kita kenal sebagai Yaumut Tasyriik selalu

dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as ketika menyembelih anaknya yaitu Nabi Isma’il

yang kemudian ketika mereka berdua akan melaksanakannya serta berserah diri atas

apa yang diperintahkan oleh Allah maka Allah pun mengganti Ismail dengan hewan

sembelihan yang besar. Sebagaimana tertera dalam surat Ash-Shafaat ayat 102-107

sebagai berikut:

م�اذ�ا �ظ�ر� ف�ان �ح�ك� �ذ�ب أ .ي �ن أ � �ام �م�ن ال ف�ي ى ر�� أ .ي �ن إ �ي� �ن ب �ا ي ق�ال� ع�ي� الس� م�ع�ه� �غ� �ل ب �م�ا ف�ل

) �ر�ين� الص�اب م�ن� �ه� الل اء� ش� �ن� إ �ي �ج�د�ن ت س� �ؤ�م�ر� ت م�ا اف�ع�ل� �ت� �ب أ �ا ي ق�ال� ى �ر� )102ت

�ين� ( ب �ج� �ل ل �ه� �ل و�ت �م�ا ل س�� أ �م�ا اه�يم�) (103ف�ل �ر� �ب إ �ا ي �ن� أ �اه� �ن �اد�ي �ا) 104و�ن ؤ�ي الر7 ص�د�ق�ت� ق�د�

�ين� ( ن �م�ح�س� ال �ج�ز�ي ن �ك� �ذ�ل ك �ا �ن �ين�) (105إ �م�ب ال ء� �ال� �ب ال �ه�و� ل ه�ذ�ا �ن� �حC) 106إ �ذ�ب ب �اه� �ن و�ف�د�ي

) C )107ع�ظ�يم

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama

Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi

bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai

bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan

mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Tatkala keduanya telah berserah

diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran

keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah

membenarkan mimpi itu[1284] sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan

kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian

yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Kurban merupakan salah satu penyembelihan yang disyariatkan sebagai

ibadah dan amalan mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang dinyatakan Ibnul

Qayyim (Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman, Ithaf Al-Muslimin Bima Tayassara

Min Ahkam Ad-Din, Ilmun wa Dalilun, Cet. II, Th 1403H, hal. 2/505) dalam

pernyataannya : “Sembelihan-sembelihan yang menjadi amalan mendekatkan diri 7

Page 8: Hilman fitry akhlak (upi)

kepada Allah dan ibadah adalah Al-Hadyu, Al-Adhhiyah (Kurban) dan Al-Aqiqah”.

Disyariatkannya kurban sudah merupakan ijma yang disepakati kaum muslimin.

Adapun firman Allah Ta’ala Q.S Al-Kautsar ayat 2 berikut ini merupakan dalil

yang mewajibkan penyembelihan hewan kurban;

.ك� ف�ص�ل. ب �ر� ر� ل �ح� و�ان

“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu, dan berkurbanlah.”

Ibnu Katsir (jilid IV, 1999: 558) Rahimmahullah berkata, “Yang benar bahwa

yang dimaksud dengan an-nahr adalah menyembelih kurban, yaitu menyembelih unta

dan sejenisnya.”

Dari ayat ini mengisyaratkan bahwa dalam penyembelihan kurban terdapat

upaya menghidupkan sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari pemberian Allah

kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada Pemilik dan Pemberi

kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan mengerjakan

seluruh perintahNya.

B. Konsep Haji dan Qurban dalam Al-Hadits

Ibnu Hajar Al-Asqalani (1423 H: 327-330) beberapa hadis mengenai

keutamaan haji dan kewajiban haji diantaranya ialah sebagai berikut;

: ق�ال� وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا س�ول� ر� �ن� أ عنه الله رضي ة� �ر� ي ه�ر� �ي ب� أ ع�ن�

, �ال�( إ Eاء ج�ز� �ه� ل �س� �ي ل ور� �ر� �م�ب �ل ا �ح�ج7 و�ال �ه�م�ا �ن �ي ب �م�ا ل Eة �ف�ار� ك ة� �ع�م�ر� �ل ا �ى �ل إ ة� �ع�م�ر� �ل ا�ة� ) ن �ج� �ل �ه�  ا �ي ع�ل Eف�ق� م�ت

“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa

Sallam bersabda: "Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya, dan tidak ada

pahala bagi haji mabruru kecuali surga." Muttafaq Alaihi

? ! : ) : Eه�اد ج� اء� .س� �لن ا ع�ل�ى �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي ق�ل�ت� ق�ال�ت� �ه�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� ة� �ش� ع�ائ و�ع�ن�

( , : , ة�: �ع�م�ر� و�ال �ح�ج7 �ل ا ف�يه� �ال� ق�ت ال� Eج�ه�اد �ه�ن� �ي ع�ل �ع�م� ن ,  ق�ال� م�اج�ه� �ن� و�اب �ح�م�د� أ و�اه� ر�

. , �لص�ح�يح� ا ف�ي �ه� ص�ل� و�أ Eص�ح�يح �اد�ه� ن �س� و�إ �ه� ل �ف�ظ� و�الل

“Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia bertanya: Wahai Rasulullah, apakah

kaum wanita itu diwajibkan jihad? Beliau menjawab: Ya, mereka diwajibkan jihad

8

Page 9: Hilman fitry akhlak (upi)

tanpa perang di dalamnya, yaitu haji dan umrah." Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah

dengan lafadz menurut riwayatnya.” Sanadnya shahih dan asalnya dari shahih

Bukhari-Muslim

) : عليه الله صلى �ي� �ب �لن ا �ى �ت أ ق�ال� �ه�م�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� �ه� �لل ا �د� ع�ب �ن� ب �ر� اب ج� و�ع�ن�

: ? , ! : . ف�ق�ال� ه�ي� Eة� ب و�اج�� أ ة� �ع�م�ر� �ل ا ع�ن� �ي ن �ر� ب خ�

� أ �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي ف�ق�ال� Nي� اب �ع�ر� أ وسلم

( �ك� ل Eر� ي خ� �م�ر� �ع�ت ت �ن� و�أ .  ال� , , �ن� �ب ا ج�ه� �خ�ر� و�أ و�ق�ف�ه� اج�ح� و�الر� م�ذ�ي7 .ر� �لت و�ا �ح�م�د� أ و�اه� ر�

( ) : �ان� ف�ر�يض�ت ة� �ع�م�ر� و�ال �ح�ج7 �ل ا ف�وع�ا م�ر� Cر� اب ج� ع�ن� Cض�ع�يف آخ�ر� Cو�ج�ه م�ن� Tع�د�ي

“Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang Arab Badui

datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah,

beritahukanlah aku tentang umrah, apakah ia wajib? Beliau bersabda: "Tidak,

namun jika engkau berumrah, itu lebih baik bagimu." Riwayat Ahmad dan Tirmidzi.

Menurut pendapat yang kuat hadits ini mauquf. Ibnu Adiy mengeluarkan hadits dari

jalan lain yang lemah, dari Jabir Radliyallaahu 'anhu berupa hadits marfu': Haji dan

umrah adalah wajib.

: ? , ) : اد� �لز� ا ق�ال� �يل� ب �لس� ا م�ا �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي ق�يل� ق�ال� عنه الله رضي Cس� �ن أ و�ع�ن�

�ة� ) ل اح� ,  و�الر� �ه� ال س� �ر� إ اج�ح� و�الر� اك�م� �ح� �ل ا و�ص�ح�ح�ه� �ي7 ق�ط�ن �لد�ار� ا و�اه� ر�

“Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah

sabil (jalan) itu? beliau bersabda: "Bekal dan kendaraan." Riwayat Daruquthni.

Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mursal menuru pendapat yang kuat.”

) ; �ا �ب ك ر� �ق�ي� ل وسلم عليه الله صلى �ي� �ب �لن ا �ن� أ �ه�م�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� Cاس� ع�ب �ن� �ب ا و�ع�ن�

: ? : . : ? : ول� س� ر� ق�ال� �ت� �ن أ م�ن� �وا ف�ق�ال �م�ون� ل �م�س� �ل ا �وا ق�ال �ق�و�م� �ل ا م�ن� ف�ق�ال� و�ح�اء� �الر� ب

" : ? : . ق�ال� Nح�ج �ه�ذ�ا ل� أ ف�ق�ال�ت� &ا �ي ص�ب Eة� أ �م�ر� ا �ه� �ي �ل إ ف�ع�ت� ف�ر� وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا

( :Eج�ر� أ �ك� و�ل �ع�م� �مE  ن ل م�س� و�اه� ر�

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bertemu

dengan suatu kafilah di Rauha', lalu beliau bertanya: "Siapa rombongan ini?"

Mereka berkata: Siapa engkau? Beliau menjawab: "Rasulullah." Kemudian seorang

9

Page 10: Hilman fitry akhlak (upi)

perempuan mengangkat seorang anak kecil seraya bertanya: Apakah yang ini boleh

berhaji? Beliau bersabda: Ya boleh, dan untukmu pahala." Riwayat Muslim.

) : وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا س�ول� ر� د�يف� ر� Cاس� ع�ب �ن� ب �ف�ض�ل� �ل ا �ان� ك ق�ال� �ه� و�ع�ن

�ي7 �ب �لن ا و�ج�ع�ل� �ه�، �ي �ل إ �ظ�ر� �ن و�ت �ه�ا �ي �ل إ �ظ�ر� �ن ي �ف�ض�ل� �ل ا ف�ج�ع�ل� ، �ع�م� ث خ� م�ن� Eة� أ �م�ر� ا ف�ج�اء�ت�

: . س�ول� ر� �ا ي ف�ق�ال�ت� خ�ر� �آل� ا ق. �لش. ا �ل�ى إ �ف�ض�ل� �ل ا و�ج�ه� �ص�ر�ف� ي وسلم عليه الله صلى

, �ت�, �ب �ث ي ال� ا �ير� �ب ك ا �خ� ي ش� �ي ب� أ �ت� ك د�ر�

� أ �ح�ج. �ل ا ف�ي �اد�ه� ب ع� ع�ل�ى �ه� �لل ا ف�ر�يض�ة� �ن� إ �ه� �لل ا

( : ? , �و�د�اع� �ل ا ح�ج�ة� ف�ي �ك� و�ذ�ل �ع�م� ن ق�ال� �ه� ع�ن ح�ج7� �ف�أ أ �ة� ل اح� �لر� ا , ع�ل�ى �ه� �ي ع�ل Eف�ق� م�ت

ار�ي. �خ� �ب �ل ل �ف�ظ� و�الل

“Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Adalah al-Fadl Ibnu Abbas Radliyallaahu

'anhu duduk di belakang Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu seorang

perempuan dari Kats'am datang. Kemudian mereka saling pandang. Lalu Nabi

Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memalingkan muka al-Fadl ini ke arah lain.

Perempuan itu kemudian berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya haji yang

diwajibkan Allah atas hamba-Nya itu turun ketika ayahku sudah tua bangka, tidak

mampu duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya? Beliau menjawab:

"Ya Boleh." Ini terjadi pada waktu haji wada'. Muttafaq Alaihi dan lafadznya

menurut riwayat Bukhari.”

) : : �ب� �ت ك �ه� �لل ا �ن� إ ف�ق�ال� وسلم عليه الله صلى �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا �ن خ�ط�ب ق�ال� �ه� و�ع�ن

: ? : ق�ال� �ه� �لل ا س�ول� ر� �ا ي C ع�ام �ل. ك �ف�ي أ ف�ق�ال� Cس� ح�اب �ن� ب ع� �ق�ر� �أل� ا ف�ق�ام� �ح�ج� �ل ا �م� �ك �ي ع�ل

( , , Eط�و7ع� ت ف�ه�و� اد� ز� ف�م�ا Eة م�ر� �ح�ج7 �ل ا �ت� �و�ج�ب ل �ه�ا �ت ق�ل �و� ,  ل م�ذ�ي. .ر� �لت ا �ر� غ�ي ة� �خ�م�س� �ل ا و�اه� ر�

“Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam

berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: "Sesungguhnya Allah telah

mewajibkan haji atasmu." Maka berdirilah al-Aqra' Ibnu Habis dan bertanya:

Apakah dalam setiap tahun, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: "Jika aku

mengatakannya, ia menjadi wajib. Haji itu sekali dan selebihnya adalah sunat."

Riwayat Imam Lima selain Tirmidzi.”

) ; �ه�ل� أل� و�ق�ت� وسلم عليه الله صلى �ي� �ب �لن ا �ن� أ �ه�م�ا ع�ن �ه� �لل ا ض�ي� ر� Cاس� ع�ب �ن� �ب ا ع�ن�

: , : , : , �م�ن�: �ي �ل ا �ه�ل� و�أل� �از�ل� �م�ن �ل ا ن� ق�ر� Cج�د� ن �ه�ل� و�أل� �ج�ح�ف�ة� �ل ا � ام �لش� ا �ه�ل� و�أل� �ف�ة� �ي ل �ح� ال ذ�ا �ة� �م�د�ين �ل ا

10

Page 11: Hilman fitry akhlak (upi)

, �ان�, ك و�م�ن� ة� �ع�م�ر� و�ال �ح�ج� �ل ا اد� ر�� أ م�م�ن� �ر�ه�ن� غ�ي م�ن� �ه�ن� �ي ع�ل �ى �ت أ �م�ن� و�ل �ه�ن� ل ه�ن� �م� �م�ل �ل ي

( , �ة� م�ك م�ن� �ة� م�ك �ه�ل� أ �ى ت ح�� أ �ش� �ن أ �ث� ي ح� ف�م�ن� �ك� ذ�ل �ه  د�ون� �ي ع�ل Eف�ق� م�ت

“Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam

telah menetapkan miqat untuk penduduk Madinah: Dzul Khulaifah, Penduduk Syam:

Al-Juhfah, penduduk Nejed: Qarnul Manazil, Penduduk Yaman: Yalamlam. Miqat-

miqat itu untuk mereka dari negeri-negeri tersebut dan untuk mereka yang

melewatinya dari negeri-negeri lain yang ingin menunaikan haji dan umrah. Adapun

bagi orang-orang selain itu maka miqatnya dari tempat yang ia kehendaki, sehingga

penduduk Mekkah miqatnya dari Mekkah." Muttafaq Alaihi.”

Adapun hadis mengenai penyembelihan hewan qurban diantaranya ialah;

: Eد �ح� أ �ن� ي �ض�ح. ي � ال ف�ق�ال� �ح�ر�، الن � �و�م ي ف�ي �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى الله� س�ول� ر� �ا �ن خط�ب

Eج�ل ر� ف�ق�ال� �ص�ل.ي�، ي �ى :: ح�ت ق�ال� ،C �ح�م ل �ي� ات ش� م�ن� Eر� ي خ� ه�ي� Cن� �ب ل �اق� ع�ن �د�ي ن ع�

�ع�د�ك� ب Cح�د� أ ع�ن� Eج�ذ�ع�ة �ج�ز�ي ت � و�ال �ه�ا ب ف�ض�ح.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami di hari raya

kurban, lalu beliau berkata, ‘Janganlah seorang pun (dari kalian) menyembelih

sampai di selesai shalat’. Seseorang berkata, ‘Aku memiliki inaq laban, ia lebih baik

dari dua ekor kambing pedaging’. Beliau berkata, ‘Silahkan disembelih dan tidak sah

jadz’ah dari seorang setelahmu.” (H.R Bukhari dan Muslim)

.ر� �ب �ك و�ي م.ي� �س� ي �ان� و�ك �ن� ي �ح� م�ل� أ �ن� �ي ن �ق�ر� أ �ن� ي �ش� �ب �ك ب �ض�ح.ي� ي �ان� .ك

“Beliau menyembelih dua ekor kambing bertanduk dan gemuk dan beliau membaca

basmalah dan bertakbir.”(H.R Bukhari dan Muslim)

Imam al-Bukhari (tt: 120) meriwayatkan satu hadits dengan sanadnya dari Ka’ab bin

Malik, beliau berkata:

ت� ر� �س� ف�ك �ا م�و�ت �م�ه�ا غ�ن م�ن� Cاة �ش� ب ت� �ص�ر� ب� ف�أ Cع� ل �س� ب �م�ا غ�ن ع�ى �ر� ت �ت� �ان ك �ه�م� ل �ة� ار�ي ج� �ن� أ

، �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى �ي� �ب الن �ي� آت �ى ح�ت �لـوا �ك �أ ت � ال �ه� �ه�ل أل ف�ق�ال� �ه�ا ت �ح� ف�ذ�ب ا ح�ج�ر�

11

Page 12: Hilman fitry akhlak (upi)

و� � أ �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى �ي� �ب الن �ى �ت ف�أ �ه� ل

� أ �س� ي م�ن� �ه� �ي �ل إ ل� س� ر�� أ �ى ح�ت و�

� أ �ه� ل� أ س�

� ف�أ

�ه�ا �ل ك� �أ ب �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله� ص�ل�ى �ي7 �ب الن م�ر�

� ف�أ �ه�، �ي �ل إ �ع�ث� ب

“Seorang jariyah (budak perempuan) milik mereka menggembalakan kambing di

daerah Sil’a, lalu ia melihat seekor kambingnya akan mati. Kemudian ia memecah

batu dan menyembelih kambing tersebut. Maka Ka’ab berkata kepada keluarganya:

Jangan kalian makan dulu sampai aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

sallam untuk bertanya atau sampai diutus orang yang menanyakannya. Lalu

sampailah beliau ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mengutus

seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memakannya.”

ع�ر�ه� ش� م�ن� �خ�ذ� �أ ي � ف�ال �ض�ح.ي� ي �ن� أ �م� �ح�د�ك أ اد� ر�� و�أ �ح�ج�ة� ال ذ�ي �ل� ه�ال �م� �ت �ي أ ر� �ذ�ا إ

�ض�ح.ي� ي �ى ح�ت �ا �ئ ي ش� �ظ�ف�ار�ه� و�أ

“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin berkurban,

maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan kukunya sedikit pun sampai ia

menyembelih kurbannya.”(H.R Muslim, jilid 2: 189)

C. Konsep Haji Dan Qurban dalam Kitab-Kitab Ulama Mutaqodimin Wa Mutaakhirin

Pandangan para ulama (dalam Hasbi, 1966:15) mengenai pensyari’atan qurban

tidak ada perselisihan paham. Hanya mereka berselisih mengenai penetapan hukum

“perintah” itu. Ada diantara mereka yang “mewajibkan” dan ada diantara mereka

yang “menyunahkan” saja, walaupun mereka memuakkadkannya.

Untuk mengetahui mana diantara pendapat itu yang lebih pantas kita pegangi

dan kita amalkan, perhatikanlah penerangan yang dipaparkan oleh Asy-Syaukani (tt:

158) dibawah ini:

1. Kata Rabi’aah, Al-Auza’I, Abu Hanifah, Al-Laits dan An Nasaii, serta seluruh

pengikut Malik bin Anas berkata: “Udhiyah itu wajib hukumnya atas mereka

12

Page 13: Hilman fitry akhlak (upi)

yang sanggup menunaikannya”. Akan tetapi An Nasaii sendiri mengecualikan

yang sedang berhaji di Mina.

2. Kata Muhammad ibn Al-Hasan: “Udhiyah itu wajib atas segala penduduk

kota”.

3. Kata Atha’, Malik, Asy-Syafi’e, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, Al

Muzani, Ibnu Mundzir, dan Daud serta Ibnu Hazm: “Udhiyah itu suatu sunat

atas orang kaya, bukan suatu pekerjaan yang diwajibkan. Sunnat ini mengenai

muqim, musafir, dan yang sedang mengerjakan haji.

4. Adapun Asy-Syaukani berpendapat: “Kelahiran perintah berqurban,

menunjukkan kepada wajibnya. Dia disuruh atas tuan rumahnya. Udhiyah itu,

jika dikatakan wajib, maka bagi isi satu rumah diwajibkan atas kepala

keluarga, orang yang mengapalainya, dan bagi orang yang tidak berkeluarga.

Dalil-dalil yang mereka (dalam Asy-Syaukani, juz 2: 219) gunakan untuk

menetapkan bahwa udhiyah itu wajib atas kepala keluarga ialah yang diriwayatkan

oleh Malik dan lain-lain dari Abi Ayyub Al-Anshary, berkata:

بيته اهل وعن عنه بالشاة يضحى الله رسول عهد في الرجل كان

“keadaan orang-orang dimasa Rasulullah, berqurban dengan seekor kambing untuk

dirinya dan ahli rumahnya. (Ar Raudhah, juz 2: 219)

Selain itu mereka berpendapat karena mengingat firman Allah;

وانحر لربك فصل

“Maka bersembahyanglah kamu karena Tuhanmu dan sembelihlah (qurban)”.

Haji adalah rukun Islam kelima dan tidak wajib dilaksanakan kecuali terhadap

orang yang sudah memenuhi syaratnya, yaitu memiliki kemampuan (al-Istithaa-'ah)

sebagaimana firman Allah Ta'ala: "…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia

terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke

Baitullah…" . (Q.S. ali 'Imran/3: 97).

Berkaitan dengan ayat tersebut, terdapat beberapa poin: Pertama, berdasarkan

ayat tersebut, para ulama secara ijma' sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun 13

Page 14: Hilman fitry akhlak (upi)

Islam. Kedua, mereka juga secara ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya

diwajibkan selama sekali seumur hidup. Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur

ulama sebagai dalil wajibnya haji. Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat

mengenai wajibnya haji bagi orang yang sudah mampu, namun mereka berbeda

mengenai penafsiran as-Sabiil (mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut.

Mengenai hal ini, maka kemampuan yang terdapat dalam ayat diatas ada

beberapa macam: terkadang seseorang mampu melakukannya dengan dirinya sendiri,

terkadang pula mampu melakukannya dengan perantaraan orang lain sebagaimana

yang telah menjadi ketetapan di dalam kitab-kitab al-Ahkam (tentang hukum-hukum).

Sedangkan mengenai makna as-Sabiil (dalam Ahmad Muhammad, 2009: 362)

terdapat beberapa penafsiran, yaitu:

1. Az-Zaad wa ar-Raahilah (bekal dan kendaraan); riwayat dari Ibnu 'Umar,

Anas, Ibnu 'Abbas

2. Memiliki uang sebesar 300 dirham; riwayat lain dari Ibnu 'Abbas

3. Az-Zaad wa al-Ba'iir (bekal dan keledai); riwayat lain dari Ibnu 'Abbas

4. Kesehatan jasmani ; riwayat dari 'Ikrimah

Merujuk kepada penafsiran diatas, setidaknya dapat disimpulkan satu

kesamaan, yaitu adanya kemampuan untuk mengadakan perjalanan dalam

melaksanakannya sedangkan bagi yang tidak memiliki persyaratan itu; maka tidak

wajib baginya melakukan haji.

Adapun makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : "Umrah yang satu

bersama (hingga ke) 'umrah yang lain merupakan kaffarat (penghapus) bagi (dosa

yang telah dilakukan) diantara keduanya".

Imam an-Nawawi dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Muslim, berkaitan

dengan makna penggalan hadits diatas, berkata: "Disini sangat jelas sekali bahwa

yang dimaksud adalah keutamaan 'umrah, yaitu menghapus dosa-dosa yang terjadi

antara kedua 'umrah tersebut. Penjelasan tentang dosa-dosa tersebut telah disinggung

14

Page 15: Hilman fitry akhlak (upi)

pada kitab ath-Thaharah , demikian pula penjelasan tentang bagaimana

menyinkronkannya dengan hadits-hadits tentang kaffarat wudhu' terhadap dosa-dosa

tersebut, kaffarat semua shalat, puasa pada hari 'Arafah dan 'Asyura' ".

Dalam kitab Tuhfah al-Ahwazi Syarh Sunan at-Turmuzi, Pensyarahnya

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa disini adalah dosa-dosa kecil

bukan dosa-dosa besar (Kaba-ir ), sepertihalnya dalam sabda beliau yang berkaitan

dengan keutamaan hari Jum'at, bahwa Jum'at yang satu bersama (hingga ke) Jum'at

yang lainnya merupakan kaffarat (penghapus) dosa yang telah dilakukan diantara

keduanya.

Berkaitan dengan hal yang sama, Syaikh as-Sindy dalam syarahnya terhadap

Sunan Ibni Majah menukil perkataan Ibnu at-Tin yang menyatakan bahwa huruf (Ila)

dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: diatas dapat diartikan dengan

(Ma-'a/bersama); jadi, maknanya 'Umrah yang satu bersama 'umrah yang lain… Atau

dapat juga diartikan dengan makna huruf (Ila) itu sendiri dalam kaitannya dengan

kaffarat.

Ibnu 'Abd al-Barr mengkhususkan kaffarat dalam hadits tersebut terhadap

dosa-dosa kecil saja, akan tetapi menurut Syaikh as-Sindy, pendapat ini kurang tepat

sebab menjauhi Kaba-ir (dosa-dosa besar) juga merupakan kaffarat baginya

sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa

besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus

kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke

tempat yang mulia (surga) ". (Q.S. an-Nisa'/4 : 31). Karenanya, timbul pertanyaan:

dosa apa yang dapat dihapus oleh 'umrah?. Jawabannya enteng sebab orang yang

tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecilnya dihapus dengan 'umrah

sedangkan orang yang tidak memiliki dosa kecil atau dosa-dosa kecilnya telah

dihapus melalui sebab yang lain, maka posisi 'umrah baginya disini merupakan

sebuah keutamaan.

Imam az-Zarqany dalam kitabnya Syarh Muwaththa' Malik menyatakan

bahwa makna huruf (Ila) dalam sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam:

diatas adalah bermakna (Ma-'a); Dalam hal ini, pengertiannya sejalan dengan

15

Page 16: Hilman fitry akhlak (upi)

firmanNya Ta'ala dalam ayat : "Dan jangan kamu makan harta mereka bersama

hartamu" (Q.S. an-Nisa/4:2)

Jadi, maknanya adalah " ‘Umrah yang satu bersama 'umrah yang lain

merupakan kaffarat (penghapus) bagi dosa yang telah dilakukan diantara keduanya ".

Huruf (Maa) ما dalam penggalan hadits tersebut merupakan lafazh yang bersifat

umum, maka dari sisi lafazhnya bermakna penghapusan terhadap semua dosa yang

terjadi diantara keduanya kecuali hal yang sudah dikhususkan oleh dalil tertentu.

Para pendukung mazhab asy-Syafi'i dan Jumhur ulama berpegang kepada

hadits ini mengenai dianjurkannya melakukan 'umrah berkali-kali dalam satu tahun.

Sedangkan Imam Malik dan sebagian shahabatnya menyatakan bahwa melakukannya

lebih dari satu kali adalah makruh. Al-Qadhi, ('Iyadh) berkata: 'ulama yang lain

berkata:" tidak boleh melakukan 'umrah lebih dari satu kali".

Imam an-Nawawi berkata: "Ketahuilah bahwa sebenarnya waktu melakukan

'umrah berlaku sepanjang tahun. Jadi, shah dilakukan pada setiap waktunya kecuali

bagi orang yang sedang melakukan haji dimana tidak shah 'umrahnya hingga selesai

melakukan haji. Menurut ulama kami (ulama mazhab asy-Syafi'i) tidak makruh

hukumnya dilakukan oleh orang yang sedang berhaji baik pada hari 'Arafah, 'Iedul

Adhha, Hari Tasyriq dan seluruh waktu sepanjang tahunnya. Pendapat semacam ini

dikemukakan oleh Imam Malik, Ahmad dan Jumhur Ulama...".

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa 'umrah tersebut makruh

dilakukan pada lima hari; hari 'Arafah, hari an-Nahr (Qurban) dan hari-hari Tasyriq

(tiga hari).

Abu Yusuf, shahabat Abu Hanifah berkata: "Makruh dilakukan pada empat

hari; hari 'Arafah dan hari-hari Tasyriq (tiga hari)".

Para ulama berbeda pendapat mengenai wajibnya 'umrah: Mazhab asy-Syafi'i

dan Jumhur menyatakan hukumnya wajib. Demikian pula 'Umar, Ibnu 'Abbas,

Thawus, 'Atha', Ibnu al-Musayyab, Sa'id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Masruq, Ibnu

Sirin, asy-Sya'bi, Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy'ari, 'Abdullah bin Syaddad, ats-

Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu 'Ubaid dan Daud.

16

Page 17: Hilman fitry akhlak (upi)

Imam Malik, Abu Hanifah dan Abu Tsaur menyatakan hukumnya sunnah

bukan wajib. Pendapat seperti ini dihikayatkan juga dari Imam an-Nakha'i.

Makna Sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : " Sedangkan haji yang mabrur

tidak ada balasan baginya selain surga"

Menurut Imam an-Nawawi dan Syaikh as-Sindy, pendapat yang paling shahih

dan masyhur adalah bahwa makna Mabrur disini; sesuatu yang tidak terkontaminasi

oleh dosa. Yakni diambil dari kata al-Birr yang maknanya adalah ath-Thaa'ah

(keta'atan).

Ada yang berpendapat maknanya adalah al-Maqbul (haji yang diterima).

Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa maknanya adalah haji yang tidak

dilakukan karena riya'.

Pendapat lainnya lagi; maknanya adalah haji yang tidak disudahi dengan

perbuatan maksiat. Kedua pendapat terakhir ini masuk dalam kategori makna

sebelumnya.

Imam al-'Iyni berkata mengenai makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi

wasallam:' Haji yang mabrur'; " berkata Ibnu Khalawaih: al-Mabrur artinya al-Maqbul

(yang diterima). Berkata selain beliau: ' (maknanya adalah) Haji yang tidak

terkontaminasi oleh sesuatu dosa. Pendapat ini didukung oleh Imam an-Nawawi..".

Imam al-Qurthubi (1964, jilid 20: 216) berkata: "pendapat-pendapat seputar

penafsirannya hampir mendekati maknanya satu sama lain, yaitu haji yang

dilaksanakan tersebut memenuhi hukum-hukum yang berkaitan dengannya dan

manakala dituntut dari seorang Mukallaf (orang yang dibebani perintah syara') agar

melakukannya secara sempurna, hajinya tersebut kemudian menempati posisi

tertentu".

Dalam syarahnya terhadap kitab Muwaththa Malik, Imam az-Zarqany

menyatakan bahwa makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam : "dan haji yang

mabrur" ; dapat berarti bahwa orang yang melakukan haji tersebut

mengimplementasikan perbuatannya setelah itu ke jalan kebajikan (karena kata

Mabrur diambil dari kata al-Birr yang artinya kebajikan).

17

Page 18: Hilman fitry akhlak (upi)

Sedangkan makna sabda beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam: "tidak ada

balasan baginya selain surga" ; menurut Imam an-Nawawi adalah bahwa balasan bagi

orang yang melakukannya tidak hanya sebatas terhapusnya sebagian dosa-dosanya

akan tetapi dia pasti masuk surga.

Selanjutnya, Imam az-Zarqany menyatakan bahwa Rasulullah menyebutkan

dan menjanjikan bahwa tidak ada balasan bagi orang yang hajinya mabrur selain

surga, dan menegaskan bahwa yang selain itu (surga) bukan merupakan balasannya

meskipun balasan dari 'umrah dan perbuatan-perbuatan kebajikan lainnya adalah

terhapusnya dosa-dosa dan kesalahan; hal itu, lantaran balasan bagi pelakunya itu

hanya berupa penghapusan terhadap sebagian dosa-dosanya saja. Oleh sebab itu, hal

tersebut pasti menggiringnya masuk ke dalam surga.

Syaikh as-Sindy berkata, berkaitan dengan pengecualian dalam sabda beliau

Shallallâhu 'alaihi wasallam : "..selain surga" : "bahwa pengecualian ini maksudnya

adalah dari sisi prinsipnya saja sebab bila tidak, sebenarnya syarat masuk ke surga itu

cukup dengan iman. Jadi, konsekuensinya adalah diampuninya seluruh dosa-dosanya

baik dosa-dosa kecil ataupun dosa-dosa besarnya bahkan yang terdahulu dan yang

akan datang".

D. Konsep Haji dan Qurban dalam internet

Id berasal dari kata ada yang artinya kembali, Ad-ha merupakan jamak dari

ad-hat yang berasal dari kata ud-hiyah yang artinya kurban. Jadi Idul Adha dapat

diartikan kembali berkurban atau hari raya penyembelihan hewan kurban,

sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya;

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu (ia berkata); Bahwasanya Nabi

shallallaahu alaihi wa sallam telah bersabda; Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu

berpuasa, dan (Idul) Fitri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adha (yakni

hari raya menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih

hewan. (Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam: Tirmidzi No. 693, Abu Dawud

No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, ad-Daruquthni 2/163-164 dan al-Baihaqy 4/252

dengan beberapa jalan dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu sebagaimana telah saya

terangkan semua sanadnya di kitab saya “Riyadlul-Jannah” no. 721. Dan lafadz ini

dari riwayat Imam Tirmidzi)

18

Page 19: Hilman fitry akhlak (upi)

Penyembelihan hewan pada hari raya Idul Adha adalah simbol pengorbanan

yang harus dilakukan setiap orang atas dirinya sendiri. Karena pada hakikatnya hewan

kurban itu kita sendiri yang akan menikmati, sedangkan yang akan sampai dihadapan

Nya adalah ketakwaan yang mendasari pengorbanan kita. Pengorbanan yang

sebenarnya adalah pengorbanan diri atas segala sesuatu yang dimilikinya. Ketika

binatang kurban disembelih melambangkan hilangnya sifat kebinatangan dalam diri

kita.

Katakanlah:, “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, kemudian Allah

akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah maha

Pengampun, Maha Penyayang”. (Ali Imran: 31)

Menurut Arek Permanu (http://www. hakekat berkurban di har raya idul

adha.com) Ketakwaan yang menjadi dasar sari pengorbanan harus dilandasi

kecintaan, karena kecintaan menjadi unsur untuk memperoleh keberhasilan dalam

pengorban. Allah SWT mencintai hamba Nya yang selalalu mencintai Nya dan

membuktikannya dengan mencintai orang-orang yang dicintai Nya. Pengorbanan

menjadi salah satu sarana untuk membuktikan cinta hamba kepada Allah SWT, yaitu

dengan jalan mengabdikan dirinya kepada utusan Nya yaitu mengikuti sunah Nabi

Muhammad SAW.

“Dagingnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah dan tidak pula darahnya,

akan tetapi ketakwaanmu-lah yang akan sampai kepada Nya. Demikianlah Dia

menundukkan mereka untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah atas

petunjukyang Dia telah berikan kepadamu. Dan berikan kabar suka kepada orang-

orang yang berbuat kebaikan”. (Al Hajj: 37)

Pada era ketika individualisme meraih pencapaian tertinggi di puncak

kejayaan materialisme seperti sekarang ini, spirit pengorbanan lebih bermakna ziarah

kepada egosentrisme.

Mengenai hal ini Annisa Farida (http://www.Mimbar Opini - Memaknai Idul

Adha.com) berpendapat kini hal-hal yang menyangkut pengorbanan telah banyak

yang hilang digantikan dengan spirit mengabdi kepada motif mendapatkan

keuntungan setinggi-tingginya. Semua dilakukan dengan pamrih yang kian lama kian

19

Page 20: Hilman fitry akhlak (upi)

menjauhkan individu dari ikatan-ikatan sosial. Idul Adha mengandung spirit untuk

menautkan kembali ikatan-ikatan yang telah terlepas itu.

Karena itu, spirit yang terlahir sekian ratus tahun lalu itu menjadi sangat

relevan hingga hari ini. Dalam konteks Indonesia, semangat ini bahkan telah menjadi

sebuah urgensi. Banyak persoalan bangsa muncul akibat lemahnya spirit untuk

berkorban bagi orang lain, spirit untuk berkorban bagi sesama. Yang jauh lebih

menonjol dalam kehidupan sehari-hari sekarang adalah semangat untuk menang

sendiri, kaya sendiri, berkuasa sendiri, dan benar sendiri. Spirit seperti ini sudah

barang pasti tak menghiraukan penderitaan sesama.

Korupsi, kolusi, dan konspirasi adalah fenomena yang terlahir dari dominasi

tata nilai seperti itu. Dan menjadi sebuah kelaziman bila sebagai dampaknya lahirlah

penyakit-penyakit sosial. Seperti kemiskinan, kebodohan, kejahatan, keterbelakangan,

dan ketertindasan.

Rangkaian prosesi ibadah haji merupakan ajang pendidikan akhlak dan budi

pekerti, dari mulai berangkat dari tanah air, di tanah suci, di penginapan, di tempat

ibadah hingga kembali ke rumah masing-masing. Problematika yang dihadapi selama

perjalanan ini merupakan ujian yang dapat dicari hikmahnya agar menjadi jemaah

yang mabrur. "Aneh luar biasa, saat berhaji, setiap perilaku jemaah tampak aslinya.

Ketika menjadi tamu Allah, semua memperlihatkan sifat kemanusiaannya saat bergaul

dengan sesama jemaah," kata Dr. Karim Suryadi (dalam wachu, depag.go.id) pakar

pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Menurut Karim (dalam wahyu), Pembantu Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial (FP IPS) UPI mengatakan, secara umum, tugas jemaah hanyalah

beribadah, makan dan minum. Tidak usah pergi haji, setiap Muslim di tanah air pun

berkewajiban beribadah, makan, dan minum. Bahkan, selama berhaji jemaah libur

dari berbagai pekerjaan yang selama ini menjadi beban hidupnya.

"Meski demikian, jemaah tanpa banyak pekerjaan malah mengalami tekanan

jiwa yang berat. Sekadar mau mandi, mengeluh karena harus antre, mau ke

Masjidilharam pun stres karena tak kunjung mendapatkan bus, sekadar buang air kecil

di Masjidilaharm pun harus antre panjang, dan seterusnya," kata Karim.

20

Page 21: Hilman fitry akhlak (upi)

Menurut dia, rangkaian tekanan itu akan menjadi berkurang manakala jemaah

tersebut ikhlas menerima apa pun yang terjadi. Menyadari bahwa mereka datang ke

Mekah menjadi tamu Allah, maka segala kesulitan tidak akan dirasakan sebagai beban

yang berarti. "Bahkan, jemaah yang mabrur akan menikmati derita yang menimpanya

dengan ikhlas dengan tangan terbuka. Jangan-jangan selama ini kita tidak peduli

kepada orang lain, pantas juga saat berhaji tidak seorang pun yang peduli kepada

kita”.

Segala kesulitan yang dialami selama berhaji akan dijadikan bahan

introspeksi, seberapa dekat dirinya selama ini dengan Tuan Rumah, Allah SWT.

Seberapa jauh dirinya selama ini membantu sesama manusia. Orang yang berhaji

mabrur akan selalu bersikap positif terhadap setiap kejadian yang dihadapinya.

"Sebaliknya, kalau ada jemaah yang menghadapi masalah apa pun dengan

menggerutu, dengan penuh kebencian, sehingga menimbulkan pertengkaran, jemaah

harus tersebut harus mawas diri, apakah ini merupakan gejalan hajinya ditolak Tuhan

atau haji mardud"

Menjawab pertanyaan tentang pelayanan haji yang tidak maksimal dapat

menyebabkan jemaah menuntut dan kadang berdemonstrasi, Karim mengatakan,

"Pelayanan seperti apa pun yang diberikan panitia penyelenggara dari tanah air

maupun muassasah dari Arab Saudi tidak boleh menghambat seseorang menjadi haji

mabrur. Dalam hal ini, yang mabrur memang bukan hanya jemaah haji, tapi panitia

dan semua petugas haji juga harus mabrur. Kalaupun panitia tidak mabrur, jemaah

harus mabrur."

Dikatakan, yang dibutuhkan untuk memperbaiki bangsa Indonesia ke depan

adalah kemabruran. Sebab, mabrur artinya berbuat baik tanpa pamrih. Bangsa

Indonesia saat ini membutuhkan sumber daya manusia dengan kualifikasi mabrur itu.

Mereka siap berbuat baik kapan pun dan di mana pun, hanya bermaksud beribadah

kepada Allah.

21

Page 22: Hilman fitry akhlak (upi)

BAB 3

PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Serta Pengaruh Dari Ibadah Haji Terhadap Akhlak

Seseorang

Sesungguhnya haji adalah madrasah yang penuh keberkahan untuk

membimbing jiwa, mensucikan hati, dan menguatkan iman. Di dalam proses manasik

haji, kaum muslimin memperoleh pelajaran yang agung, hikmah yang mengesankan,

dan faidah yang mulia dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlaq. Haji sesungguhnya

22

Page 23: Hilman fitry akhlak (upi)

adalah madrasah pembinaan keimanan yang akan meluluskan orang beriman yang

bertakwa serta hamba Allah yang diberi taufiq. Allah Berfirman:

: ى تعال قالالله

.…… ﴾

“dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan

datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang

datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai

manfaat bagi mereka..”

Manfaat dan faidah haji tak mungkin bisa dihitung. Begitu juga dengan

hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Sesungguhnya firman Allah dalam ayat

() ia adalah jamak dari manfaat. Kata () tampil dalam bentuk nakirah

menunjukkan banyaknya manfaat yang terkandung di dalamnya. Ditunjukkannya

menfaat-manfaat ini adalah perkara yang dimaksudkan dalam ibadah haji karena

huruf lam pada firman Allah ( supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi

mereka ) adalah lam ta’lil yang berkaitan dengan firman-Nya ( dan berserulah kepada

manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan

berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus ) maksudnya, jika kamu seru mereka

untuk berhaji niscaya mereka akan mendatangimu dengan berjalan kaki atau

berkendaraan supaya mereka menyaksikan manfaat-manfaat haji. Artinya, ia

menghadirkan manfaat tersebut dan yang dimaksud dengan menghadirkan manfaat

adalah ia menghasilkan dan mengambil manfaat dari hajinya.

Oleh karena itu, diantara bentuk kehormatan bagi setiap orang yang Allah

beri taufiq dan kemudahan dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah ini yaitu Allah

berikan semangat yang tinggi dalam memperoleh manfaat, faidah, dan pelajaran dari

hajinya. Di saat yang sama, ia juga mengharapkan pahala yang besar, pengampunan

dosa, dan penghapusan keburukan. Telah ditetapkan dari Nabi bahwasanya beliau

bersabda: “Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah dan ia tidak melakukan keburukan

ataupun kefasikan, ia akan kembali seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya”. (HR

Bukhari dan Muslim). Ditetapkan dari Nabi juga bahwa beliau bersabda: “ Iringilah

23

Page 24: Hilman fitry akhlak (upi)

haji dengan umroh, maka sesungguhnya keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa

sebagaimana pandai besi menghilangkan karat besi.” (HR Nasa’i)

Pantaslah bagi orang yang memperoleh keuntungan dan memenangkan harta

yang berharga ini untuk kembali ke negerinya dalam keadaan yang suci, jiwa yang

baik, dan kehidupan baru yang dipenuhi oleh iman dan takwa serta kebaikan,

perbaikan diri, keistiqamahan, dan senantiasa mentaati Allah ‘Azza wa Jalla.

Para ulama telah menyebutkan bahwa perbaikan serta penyucian diri ini jika

terdapat pada seorang hamba maka itu adalah tanda keridhaan dan tanda hajinya

diterima. Jika seseorang keadaannya membaik setelah haji dimana ia berubah dari

yang tadinya buruk menjadi baik, dan yang tadinya baik menjadi lebih baik lagi, maka

sungguh itu adalah tanda bagusnya ia dalam memaknai hajinya. Karena diantara

bentuk balasan kebaikan adalah diberikan kebaikan yang lain. Allah berfirman dalam

Q.S Ar-Rahman ayat 60:

: ﴿ تعالى الله ﴾ قال

“tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”

Orang yang bagus ibadah hajinya dan berusaha menyempurnakannya serta

menjauhi pengurang dan perusaknya maka ia keluar dengan kondisi yang lebih baik

dan memiliki kecendrungan pada kebaikan.

Dalam sebuah hadits yang sah dari Nabi, beliau bersabda: “Haji yang mabrur

tidak ada balasan baginya kecuali surga” (H.R Muslim). Tidak diragukan lagi bahwa

semua yang melaksanakan ibadah haji sangat mengharapkan hajinya mabrur dan

usaha serta amal shalihnya diterima. Ciri yang jelas untuk haji yang mabrur dan

diterima adalah bila seseorang menunaikannya dengan ikhlas karena Allah dan sesuai

dengan sunnah Rasulullah yang mana kedua hal ini adalah syarat diterimanya semua

jenis ibadah. Kemudian keadaannya setelah haji jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Maka ada dua ciri haji yang diterima: yang pertama ada pada saat haji

berlangsung dimana sesoerang itu ikhlas karena Allah dan mengikuti sunnah

Rasulullah dan ciri yang kedua ada setelah haji yaitu adanya perbaikan keadaan

seseorang setelah haji yang ditandai dengan bertambahnya ketaatan kepada Allah,

24

Page 25: Hilman fitry akhlak (upi)

menjauhi dosa dan maksiat, dan ia memulai hidupnya dengan lebih baik yang dihiasi

dengan kebaikan, perbaikan diri, dan istiqamah.

Hal yang perlu diperhatikan disini bahwa seorang muslim tidak memiliki jalan

untuk memastikan amalannya diterima sebaik apapun dia berusaha. Allah berfirman

menjelaskan keadaan orang mukmin yang sempurna dan keadaan mereka yang

mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai ketaatan:

: ﴿ تعالى الله قال

“dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati

yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada

Tuhan mereka”.(Q.S Al-Mu’minuun: 60)

Maksudnya, mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka

dari ibadah, diantaranya shalat, zakat, haji, puasa, dan selainnya. Mereka takut tidak

diterimanya amalan dan ketaatan mereka saat mempersembahkannya kepada Allah

dan ketika berdirinya mereka dihadapan Allah.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya dari Aisyah berkata: “ Aku

bertanya wahai Rasulullah maksud ayat (dan orang-orang yang memberikan apa

yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut) Apakah dia seseorang yang

berzina dan minum khomr? Rasulullah menjawab: tidak wahai putri Abu Bakr, atau

putri Ash-Shiddiq, akan tetapi dia adalah orang yang berpuasa, shalat, dan shadaqah,

ia takut Allah tidak menerima amalannya”.(Musnad Ahmad)

Hasan Al-Bashri (dalam Zainudin Abdurrahman, 1996:442) berkata: “

Sesungguhnya seorang mukmin menggabungkan antara iman dan takut, sedangkan

munafik ia menggabungkan antara keburukan dan perasaan tenang”.

Sungguh telah terjadi sejak zaman dahulu dan kini dimana sebagian orang

setelah selesai melaksanakan ibadah ini mengucapkan kepada yang lain: “Semoga

Allah menerima ibadah kami dan kalian dan semua orang pun mengharapkan hajinya

diterima”. Allah telah menyebutkan di dalam Al Qur’an bahwasanya Nabi-Nya

25

Page 26: Hilman fitry akhlak (upi)

Ibrahim dan anaknya, Ismail- alaihimassalaam- setelah selesai membangun ka’bah

mereka berdua mengucapkan sebuah doa. Allah berfirman:

: ﴿ تعالى الله قال

“dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah

bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami

(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui".”(Q.S Al-Baqarah: 127)

Ibnu Katsier (1999: 125) berkata bahwasannya keduanya beramal shalih

kemudian meminta kepada Allah agar amalnya diterima. Diriwayatkan oleh Abu

Hatim dari Wuhaib bin Al Ward bahwasanya beliau membaca ayat ini kemudian

beliau menangis dan berkata:”Wahai Kekasih Ar Rahman.. Engkau meninggikan

rumah Ar Rahman sedangkan engkau takut amal mu tidak diterima”.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika seseorang melaksanakan haji

diantaranya ialah:

1. Haji istri dan anak-anak

Sudah selayaknya bagi para orang tua dan wali yang berkemampuan untuk

menghajikan orang-orang yang berada dibawah tanggungannya dari kalangan

putra dan putri mereka. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu

‘Alaihi wa Sallam :

البخاري» « ( أخرجه �ه� �ت ي ع� ر� ع�ن� Eول� ئ م�س� �م� 7ك �ل و�ك Cاع ر� �م� 7ك �ل )1829ومسلم) (7138ك

“Setiap kalian pemimpin, dan setiap kalian bertanggungjawab atas orang yang

dipimpinnya.” HR. Bukhari (7138) dan Muslim (1829).

Penekanan tersebut termasuk pada hak anak putri yang belum menikah, karena

haji seorang anak putri yang belum menikah lebih gampang dan mudah.

Berbeda jika ia sudah menikah, lalu terkadang ia terhalang dengan kondisi

26

Page 27: Hilman fitry akhlak (upi)

kehamilan, menyusui dan pengasuhan anak. Maka hajinya anak putri yang

belum menikah merupakan masa yang lebih tepat.

Bukan haknya bagi seorang suami untuk melarang istrinya berhaji karena ia

merupakan kewajiban secara dasar syariah. Seyogyanya bagi seorang suami

seandainya ia berkemampuan untuk bersegera menghajikan istrinya, terlebih

bagi suami yang berikrar janji mengenai hal tersebut saat pernikahan. Maka

mudahkan kepentingannya, bisa dengan melakukan perjalanan haji

bersamanya, atau dengan mengizinkannya salah seorang saudara kandung

laki-lakinya atau selainnya dari kalangan mahramnya untuk berhaji

bersamanya. Dan ia berkewajiban untuk menggantikannya sementara dalam

menjaga anak-anaknya dan membantu urusan rumah tangga, maka sang suami

dalam hal ini akan mendapatkan ganjaran pahalanya.

2. Minta diwakilkan dalam berhaji

Diperbolehkan al-istinabah (meminta diwakilkan) dalam menjalankan

kewajiaban haji bagi orang yang berkemampuan secara harta namun renta

secara fisiknya, dimana ia tidak kuat untuk melakukan perjalanan ke Mekkah

disebabkan kelemhan fisiknya, atau penyakitnya yang tidak dapat diharapkan

kesembuhannya, atau umurnya yang sudah tua, dan demikian pula kalau ia

mampu berjalan namun dengan kesukaran perjalanan yang berat.

Demikian pula dengan orang yang telah meninggal dunia, wajib untuk

menghajikannya disebabkan ia meninggalkannya semasa hidupnya. Baik

mendiang mewasiatkan ataupun tidak, ini seandainya mendiang termasuk

orang yang memiliki kemampuan untuk berhaji di masa hidupnya, namun ia

belum berhaji juga hingga akhir hayatnya. Sebab perkara ini terbilang hutang

kepada Allah Ta’ala, sementara hutang kepada Allah lebih berhak untuk

didahulukan pelunasannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalan sunnah

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Adapun orang yang meninggal dunia sebelum memiliki kemampuan untuk

berhaji, dikarenakan tidak dapat memenuhi persyaratananya, maka itu tidak

berdosa baginya dan tidak terbilang berhutang kepada Allah Ta’ala.

27

Page 28: Hilman fitry akhlak (upi)

Dan ini berlaku untuk kewajiban haji, adapun al-istinabah dalam umrah

(tathawwu’nya haji) maka dikalangan ahlul ilmi ada yang melarang hal

tersebut, dengan alasan haji adalah ibadah dan perinsipnya adalah at-tauqif

(ketetapan mutlaq berdasarkan petunjuk Allah Ta’ala atau Rasul-Nya

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak ada ruang untuk ijtihad manusia di

dalamnya., pent.), dan belum ada riwayat di dalam teks agama yang

mengindikasikan diperkenankannya al-istinabah dalam ibadah sunnah (at-

tathawwu’). Namun ada pula ulama yang memperbolehkan hal tersebut,

berdasarkan analogi (qiyas) atas yang berlaku pada ibadah yang wajib (al-

faridhah).

Persyaratan bagi pihak yang menggantikannya (an-naib); dirinya telah

menjalani haji sebagai kewajiban agamanya, tidak mesti an-naib (pihak

pengganti) harus berasal dari negeri yang sama dengan pihak pertama yang

ingin berhaji dan menunjuknya sebagai penganti. Bahkan seandainya orang

yang menggantikannya berasal dari penduduk Mekkah pun dibolehkan.

Begitupula dengan hajinya seorang wanita untuk menggantikan pria dan

hajinya pria untuk menggantikan wanita.

Tidak layak bagi seorang an-naib menjadikan uang sebagai tujuannya, karena

sesungguhnya mencari rezeki dengan usaha-usaha yang seharusnya dan bukan

berkedok keshalihan. Bahkan sebaliknya, mestinya ia menjadikan tujuannya

untuk berbuat ihsan kepada saudaranya untuk melepaskan tanggungjawabnya,

sambil bertujuan menyaksikan tempat-tempat yang diagungkan (al-masya’ir)

dan melakukan peribadatan di dalamnya. Maka inilah yang disebut dengan

muhsin (seorang yang berbuat ihsan), dan Allah Ta’ala menyukai orang-orang

yang berbuat baik (al-muhsinin).

Kalaupun ia diberikan uang maka itu menjadi miliknya, maka ia boleh

membelanjakan dari uang tersebut untuk keperluannya yang lazim, seperti

makan, minum dan transportasinya. Jika masih ada sisanya, ia boleh

menggambilnya. Demikianlah yang terjadi pada orang-orang sekarang. Dan

para fukaha` (ulama fikih) memiliki pembahasan yang lebih rinci, dan di sini

bukanlah tempatnya untuk menyebutkannya.

28

Page 29: Hilman fitry akhlak (upi)

Adapun sifat pelaksanaan haji, berniat di dalm hatinya untuk berihram

mewakili si fulan –yaitu orang yang digantikannya-kemudian ia

mengucapkan, “Labbaika ‘umratan ‘an fulanin (Aku penuhi panggilan-Mu

dengan mengerjakan umrah mewakili si fulan)”, atau “Labbaika hajjan wa

‘umratan (Aku penuhi panggilan-Mu dengan mengerjakan haji dan umrah) –

tergantung jenis pelaksanaan yang diminta untuk dilakukannya-, seandainya ia

lupa nama orang yang dihajikannya maka hal itu tidak merusaknya dan cukup

dengan niat saja.

Wajib atas seorang an-naib untuk bertakwa kepada Allah, dan serius dalam

menyempurnakan manasiknya, serta tidak memudah-mudahkan tahapan-

tahapannya, karena ia diamanati untuk itu.

3. Pakaian Ihram

Ihram adalah niat masuk untuk melaksanakan manasik haji, dan bukan

perbuatan mengenakan pakaian ihramnya, karena mengenakan pakaian ihram

merupakan persiapan untuk berihram yang tidak dianggap kecuali dengan niat.

Disunnahkan ihram pria dengan sarung (izar) dan selendang (rida`) yang

keduanya berwarna putih lagi bersih sebagai upaya mengikuti Nabi

Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan menjalani perintahnya, sebagaimana yang

terdapat dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma, diriwayatkan oleh

Ahmad (VIII/500) serta lainnya, dengan sanad yang sahih.

Pengertian al-izar (sarung) adalah kain yang menutupi bagian bawah badan

dan dikencangkan pada kedua pinggangnya. Sedangkan ar-rida` (selendang)

adalah kain yang menutupi bagian atas badan dan diletakkan pada kedua

pundak.

Sedangkan apa yang nampak di pasar-pasar di akhir-akhir ini adalah jenis izar

yang berjahit, maka tidak layak untuk dikenakan karena adanya jahitan

sehingga mengeluarkannya dari klasifikasi izar disebabkan dua alasan :

Pertama, dari sisi bahasa. Telah disebutkan dalam Tajul ‘Arus (III/11) bahwa

izar adalah kain yang tidak berjahit, dan dikuatkan dengan perkataan seorang

penyair :

29

Page 30: Hilman fitry akhlak (upi)

Para petempur turun di setiap medan peperangan

Dan orang-orang baik mengikat al-uzur (sarung-sarung mereka)

Maka al-izar diikat pada kedua pinggang dan tidak dijahit.

Kedua, hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam bersabda kepadanya :

عليه» « متفق �ه� ب �ز�ر� �ت ف�ا .ق�ا ض�ي �ان� ك �ذ�ا و�إ ؛ �ه� ف�ي ط�ر� �ن� �ي ب ال�ف� ف�خ� ع�ا و�اس� �و�ب� الث �ان� ك �ن� إ

“Apabila bahan pakaian itu kelebaran (panjang) maka ikatlah kebelakang

diantara dua ujungnya, dan apabila kesempitan (pendek) maka hendaklah

bersarung dengannya.” Muttafaqun ‘Alaihi.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerangkan kepadanya kaifiat

pakaian shalat, yaitu seandainya bahan pakaiannya panjang maka tutupi

seluruh bagian badan. Namun seandainya kependekan maka cukuplah dengan

menutup bagian bawah badan. Dapat diketahui dari sini, seandainya bahan

tersebut sudah dijahit, bagaimana mungkin hal tersebut dapat dilakukan. Maka

hal itu menandai bahwa al-izar adalah suatu penamaan bagi sesuatu yang

menutupi bagian bahwa badan dan tidak berjahit.

4. Pakaian yang harus dihindari oleh seorang yang berihram

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

wa Sallam pernah ditanya,

�ه� » �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ه� الل س�ول� ر� ف�ق�ال� ؟ �اب� .ي الث م�ن� �م�ح�ر�م� ال �س� �ب �ل ي م�ا

�م� ل � :و�س� و�ال ، �ت� او�يال ر� الس� � و�ال ، �م� �ع�م�ائ ال � و�ال ، �ق�م�ص� ال وا �س� �ب �ل ت � ال

�ق�ط�ع�ه�م�ا �ي و�ل ، �ن� خ�ف�ي �س� �ب �ل �ي ف�ل �ن� �ي �ع�ل ن �ج�د� ي � ال Eح�د� أ � �ال إ �خ�ف�اف� ال � و�ال ، �س� ان �ر� �ب ال

� و�ال ان� ع�ف�ر� الز� ه� م�س� �ا �ئ ي ش� �اب� .ي الث م�ن� �س�وا �ب �ل ت � و�ال ، �ن� �ي �ع�ب �ك ال م�ن� ف�ل� س�� أ

البخاري « ( أخرجه �و�ر�س� له) 1177ومسلم) ( 1542ال واللفظ

“Pakaian apa yang dikenakan oleh orang berihram ?” Rasulullah Shallallahu

'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kalian memakai gamis, jangan bersorban,

jangan bercelana panjang, jangan bermantel, dan bercelana, kecuali seorang 30

Page 31: Hilman fitry akhlak (upi)

yang tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh memakai khuff (sepatu sandal),

maka potonglah kedua khufnya dibawah kedua matakaki, dan jangan memakai

pakaian yang tersentuh za’faran dan wars (parfum).” HR. Bukhari (1542) dan

Muslim (1177), dengan lafaz Muslim.

Hadits ini termasuk jawami’ul kalim (perkataan singkat dengan sarat makna,

pent.), maka sebenarnya beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang

apa yang harus dikenakan seorang yang berihram. Lalu beliau Shallallahu

‘Alaihi wa Sallam menjawabnya dengan pakaian yang tidak boleh dikenakan,

untuk menjelaskan bahwa semua yang selain yang telah disebutkan tadi dan

yang semacamnya, maka boleh dipakai oleh seorang yang berihram. Beliau

menyebutkan 6 (enam) jenis di dalam hadits ini :

a. Al-Qumush kata plural dari qamish (gamis), yaitu pakaian yang memiliki

lengan baju. Serupa dengannya semacam jubah (sejenis pakaian luar seperti

jaket, jas, dll. Pent.), kaos.

b. Al-Ama`im kata plural dari imamah (sorban), yaitu yang dililitkan diatas

kepala. Dianalogikan dengan kopiah dan yang semakna dengannya termasuk

dalam jenis ini

c. As-Sarawilat kata plural dari sarawil (celana panjang), yaitu bahan sarung

yang memiliki jahitan, dianalogikan celana pendek termasuk dalam jenis ini.

Namun dibolehkan mengenakan celana panjang disebabkan tidak

mendapatkan kain, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits Ibnu

Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.

d. Al-Baranis kata plural dari burnus (mantel), yaitu pakaian lengkap untuk

badan dan kepala, dianalogikan untuk semua yang serupa dengan mantel.

e. Al-Khifaf kata plural dari khuff (sepatu sandal), yaitu yang dipakai pada kaki

untuk menutupinya dan terbuat dari kulit. Boleh dipakai ketika tidak

mendapatkan sandal. Dan tidak mesti dipotong dibawah matakaki, karena

perintah tersebut sudah dibatalkan (mansukh). Inilah 5 (lima) jenis yang secara

khusus disebutkan dalam hadits ini.

f. Pakaian yang diberikan parfum za’faran atan kasturi, dianalogikan seluruh

jenis wangi-wangian. Dan ini diharamkan terhadap pria dan wanita.

31

Page 32: Hilman fitry akhlak (upi)

Ketentuan baku dari apa yang telah dikemukan, bahwa setiap yang berjahit

yang dikenakan oleh badan atau oleh bagian tertentu darinya atau anggota dari

bagian-bagiannya tertentu maka diharamkan dan dilarang.

Telah populer di dalam buku-buku Manasik Haji, lafaz “al-makhith

(berjahit)”. Kata ini belum pernah diriwayatkan dalam as-Sunnah, hanya saja

sering terucap oleh lisan para tabi`in. Sehingga istilah itu banyak digunakan

dalam buku-buku fikih. Terpersepsikan kebanyakan orang bahwa yang

dimaksud dengan kata “al-makhith (berjahit)” itu adalah segala hal yang ada

jahitannya. Maka mereka berpersepsi bahwa tidak dibolehkan mengenakan

selendang yang bersambung karena kependekan, atau karena kesempitan. Atau

yang dijahit sebab robek, demikian juga dengan sepatu, ikat penggang yang

ada jahitannya. Kesemua ini tidaklah benar, bahkan yang dimaksudkan dengan

kata tersebut seperti yang telah dijelaskan di muka, dan bukan yang

dimaksudkan adalah pokoknya yang berjahit. Sekalipun para ulama fikih

menspesifikkan hanya pada apa yang diriwayatkan dalam hadits yang telah

disebutkan namun termasuk semua yang serupa dengannya, dan itu sudah

sangat jelas dan jauh dari kerancuan.

5. Pakaian yang harus dihindari oleh wanita

Adapun wanita maka berihram dengan pakaian yang dikehendakinya, tanpa

ditentukan dengan warna tertentu, dengan syarat pakaiannya tidak menarik

pandangan, atau mirip seperti pakaian berwana putih, dan dilarang dalam dua

hal :

Pertama, an-niqab (cadar) yaitu kain yang menutupi wajah yang berlubang

untuk kedua mata. Tidak boleh untuk digunakan.

Kedua, al-quffaz (sarung tangan) yaitu penutup yang memiliki tempat jari-jari

yang dimasukan ke dalamnya telapak tangan. Ia dikenal dengan kaos tangan.

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

البخاري « ( » أخرجه �ن� ي �ق�ف�از� ال �س� �ب �ل ت � و�ال �م�ح�ر�م�ة� ال �ة� أ �م�ر� ال �ق�ب� �ت �ن ت � ومسلم) (1542و�ال

البخاري) (1177 لفظ وهذا ، عنهما الله رضي عمر ابن حديث )1838من32

Page 33: Hilman fitry akhlak (upi)

“Dan janganlah wanita yang sedang ihram bercadar, dan janganpula

menggunakan sarung tangan.” HR. Bukhari (1542) dan Muslim (1177) dari

hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, dan ini lafaz Bukhari (1838)

Adapun apa yang dikerjakan oleh sebagian wanita dengan mengenakan cadar

dan diatasnya jilbab untuk maksud melihat jalan. Secara tekstual –Wallahu

a’lam- bahwa keumuman larangan mengenai an-niqab secara keseluruhan

dalam penggunaannya. Jika dikatakan, “Bukankah tidak mengapa jika

dibutuhkan, sedang bentuknya tidak terlihat. Maka jawabnya, “Bahwa setiap

melakukan apa yang dilarang dalam ihram sekalipun itu mendesak (lil hajah)

akan dikenai fidyah. Sedang bentuknya yang tidak nampak, maka tidaklah

berpengaruh pada hukum, sebagaimana yang dikemukan di muka.

Dibolehkan bagi pria dan wanita mengganti baju ihramnya dan mencucinya

seusai ihram. Sementara yang diyakini oleh sebagian wanita bahwa wanita

yang sedang ihram harus tetap pada pakaian ihramnya, tidak boleh baginya

untuk mengganti dan mencucinya maka kesemuanya itu tidak ada asalnya.

6. 3 (tiga) jenis manasik haji

Mengutip Ibnu Qudamah di dalam kitabnya al-Mughni (1968:82), “Para ulama

bersepakat tentang diperbolehkannya berihram dengan memilih salah satu dari

ketiga jenis manasik haji yang dikehendakinya, sedangkan perselesihan

pendapat hanya dalam konteks mana yang lebih utama (al-afdhal).”

Dan jenis menasik yang paling utama (afdhal) bagi orang yang belum

membawa hewan kurban (dam, pent.) adalah at-tamattu’, yaitu berihram

dengan niat umrah pada bulan-bulan haji, kemudian bertahallul darinya,

selanjutnya kembali berihram dengan niat haji di hari kedelapan (tarwiyah).

Sedang bagi yang telah membawa hewan kurban, maka jenis al-qiran lebih

utama (afdhal) baginya. Yaitu berihram dari miqat dengan niat umrah dan haji

secara bersama. Dan ini adalah jenis manasik yang dilakukan oleh Nabi

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena beliau memerintahkan sahabatnya

(yang tidak membawa hewan kurban, pent.) untuk mengambil jenis at-

tamattu’. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

�ل�ت�» « ل �ح� أل �ه�د�ي� ال م�ع�ي �ن� أ � �و�ال ل

33

Page 34: Hilman fitry akhlak (upi)

“Seandainya aku tidak membawa hewan kurban, maka aku akan bertahallul.”

Dan dengan redaksional hadits lainnya :

البخاري» « ( أخرجه ل7ون� �ح� ت �م�ا ك �ل�ت� ل �ح� ل �ي ه�د�ي � �و�ال )1216ومسلم) (7367-1651و�ل

“Jika tidak ada hewan kurbanku, maka aku akan bertahallul sebagaimana

kalian bertahallul (sekarang).” HR. Bukhari (1651,7367) dan Muslim (1216).

Maka jika berihram dengan jenis qiran sementara ia tidak membawa hewan

kurban maka dibolehkan. Namun ia tetap harus berkurban menurut salah satu

dari dua pendapat para ulama, sebagai analgi (qiyas) atas jenis at-tamattu`

karena ia dalam makna yang sama.

Tidak ada perbedaan dalam hukum at-tamattu` dan al-qiran antara penduduk

Mekkah dan pendatang, kecuali bahwa penduduk Mekkah tidak wajib atas

mereka menyembelih hewan kurban, karena keberadaan mereka sebagai

penduduk sekitar Masjidil haram. Menurut salah satu pendapat, ini adalah

syarat dari firman Allah Ta’ala :

� ام �ح�ر� ال ج�د� �م�س� ال ح�اض�ر�ي �ه� ه�ل� أ �ن� �ك ي �م� ل �م�ن ل �ك� /ذ�ل [196البقرة ]

“Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang

keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil-haram (orang-orang yang

bukan penduduk kota Mekah)..” (QS.2:196)

Kewajiban fidyah di sini dalam bentuk berpuasa atau bersedekah atau

berkorban.

Adapun orang yang berihram dengan niat berhaji saja –dinamai dengan istilah

al-ifrad- dan demikian pula dengan al-qiran yang tidak membawa hewan

kurban, maka sesungguhnya disunnahkan baginya untuk mengalihkannya ke

umrah. Sebagaimana ia merupakan pendapat dari mazhab Imam Ahmad,

sedang sekelompok ulama berpendapat pengalihan itu hukumnya wajib,

karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan para sahabatnya

untuk melakukannya.

Seandainya waktunya sangat sempit, seperti orang yang berihram pada waktu

subuh di hari Arafah, maka ada beberapa kemungkinan. Ada yang mengatakan

dimungkinkan untuk mengambil at-tamattu’, dan ada pula yang mengatakan

34

Page 35: Hilman fitry akhlak (upi)

agar ia berihram dengan al-ifrad atau al-qiran. Dan pendapat inilah yang

mengemuka. Karena bentuk at-tamattu’ tidak tepat, berdasarkan firman Allah

Ta’ala :

.ح�ج� ال �ل�ى إ ة� �ع�م�ر� �ال ب �ع� �م�ت ت /ف�م�ن [196البقرة ]

“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam

bulan haji) ....” (QS.2:196)

Atas dasar ini maka tetaplah pada jenis manasiknya dan tidak disyariatkan

baginya untuk mengalihkannya disebabkan waktunya yang sempit, karena al-

ifrad sendiri merupakan salah satu dari 3 (tiga) jenis manasik, lebih-lebih bagi

orang yang melakukan haji al-ifrad dengan melakukan perjalanan tersendiri

untuk umrahnya.

7. Syarat thaharah (bersuci) untuk melakukan tawaf

Mayoritas ulama berpendapat untuk mensyaratkan keadaan suci dalam

bertawaf, berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Nabi

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

«� �م �ال �ك ال م�ن� 7وا �ق�ل ف�أ Eة� ص�ال �ت� �ي �ب �ال ب ( الط�و�اف� الترمذي« (960أخرجه والدارمي)

1/374) خزيمة) (4/222وابن في) 2/267) (1/409والحاكم) مختلف حديث وهو

ووقفه رفعه

“Tawaf di Baitullah semacam shalat, maka kurangilah pembicaraan). HR.

Tirmidzi (960), Darimi (I/374) dan Ibnu Khuzaimah (IV/222), dan Hakim

(I/409, II/268). Merupakan hadits yang diperselisihkan kemarfu’an dan

kemauqufannya.

Berdasarkan penuturan Aisyah Radhiyallahu 'Anha :

ط�اف�» �م� ث � �و�ض�أ ت �ه� ن� أ ق�د�م� ح�ين� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي7 �ب الن �ه� ب

� �د�أ ب Cي�ء ش� و�ل�� أ �ن� « أ

البخاري ( )1235ومسلم) (1536أخرجه

“Sesungguhnya pertama kali yang mulai kerjakan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa

Sallam saat datang (untuk berhaji), bahwa beliau berwudhu` kemudian

bertawaf.” HR. Bukhari (1536) dan Muslim (1230).

Ini seandainya bagi orang yang dapat melakukannya, sebagai penjelasan dari

firman Allah Ta’ala :

35

Page 36: Hilman fitry akhlak (upi)

يق�� �ع�ت ال �ت� �ي �ب �ال ب �ط�و�ف�وا �ي /و�ل [٢٩الحج ]

“Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu

(Baitullah).” (QS.22:29)

Bagi orang yang berpendapat demikian. Namun belum pernah ada riwayat dari

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan bersuci

(thaharah) untuk tawaf, dan tidak ada larangan bagi orang yang berhadats

untuk bertawaf. Tetapi beliau memang bertawaf dalam keadaan suci dan

melarang wanita haid untuk bertawaf. Larangan bagi wanita haid tidak berarti

berlaku larangan pula bagi seorang yang berhadats. Tidak diragukan memang

bahwa bertawaf dengan bersuci adalah lebih utama (afdhal), lebih berhati-hati

(ahwath) dan lebih dapat dipertanggungjawabkan serta mengikuti tuntunan

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang bersabda :

مسلم» « ( أخرجه �م� �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت )1297ل

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).” HR. Muslim (1297).

8. Jika iqamat shalat terdengar saat bertawaf

Jika iqamat shalat dikumandangkan atau dihadirkan jenazah yang hendak

dishalatkan saat bertawaf, maka ia mendirikan shalat kemudian memulai

kembali seusai shalat dari tempat dimana ia berhenti. Dan sebagian putaran

yang telah dilakukannya sebelum ia menghentikan tawafnya tetap dihitung.

Dan ia tidak mesti memulai dari sudut hajar aswad, dan inilah pendapat yang

terkuat dari dua pendapat dikalangan ulama. Karena hal itu telah ditolerir

secara agama, dan tidak ada satu dalilpun yang menerangkan batalnya putaran

pertamanya.

Adapun jika ia berhadats saat bertawaf karena kentut atau lainnya, dan ia pergi

untuk berwudhu, lalu ia jika kembali lagi maka ia melanjutkan tawafnya dari

awal lagi –menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat ahlul ilmi-

sebagai analogi (qiyas) dari shalat, karena tawaf bagian dari jenis shalat secara

umum.

9. Shalat tahiyatul masjidil haram

36

Page 37: Hilman fitry akhlak (upi)

Shalat tahiyatul masjidl haram adalah shalat dengan dua raka’at seperti shalat

tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya berdasarkan keumuman dalil-

dalilnya. Ini berlaku bagi orang yang memasuki masjidil haram untuk

menunggu waktu shalat, atau menunggu orang lain yang menemaninya, dan

lain sebagainya.

Adapun bagi orang yang memasukinya dengan tujuan bertawaf, baik untuk

niat haji atau pun umrah, atau yang bersifat tathawwu’ (sunnah) saja, maka

orang ini memulainya dengan tawaf, sebagai tahiyatul masjid pada dasarnya.

Dan bukannya dia shalat dua raka’at kemudian memulainya tawaf –

sebagaimana yang dilakuakan oleh sebagian orang-. maka sesungguhnya ini

adalah perbedaan sunnah, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika

masuk ke dalam masjidil haram memulainya dengan bertawaf, sebagaimana

yang diriwayatkan dalam hadits Jabir Radhiyallahu ‘Anhu dan sahabat

lainnya. Sebab maksud dari iftitah makanil ibadah (pembuka untuk masuk ke

tempat ibadah) adalah dengan ibadah, sedangkan ibadah tawaf mengantarkan

kepada tujuan ini.

10. Kewajiban untuk menetap di Arafah hingga matahari terbenam

Mayoritas ulama berpendapat bahwa wukuf (hadir) di Arafah masanya hingga

terbenamnya matahari, bagi yang wukuf di siang hari menjadi hukumnya

wajib masuk dalam kewajiban-kewajiban hajinya.. Maka siapa yang keluar

sebelum matahari terbenam, berarti ia telah meninggalkan kewajibannya,

namun hajinya tetap sah. Wajibnya adalah menghimpun antara siang dan

sebagian dari periode malam, berdasarkan sebagai berikut :

a. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwukuf seperti itu, dan bersabda :

�م�» « �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت ل

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”

Dan keadaan beliau yang tetap berada di Arafah sampai setelah terbenam

matahari kemudian bertolak, sebagai dalil mengenai wajibnya hal tersebut.

Karena bertolak di siang hari lebih mudah, terlebih lagi di zaman sekarang ini.

Dimana orang-orang (dulu) bertolak dengan berjalan kaki dan ada yang

37

Page 38: Hilman fitry akhlak (upi)

menunggangi onta, dengan kondisi seperti ini beliau tidak bertolak kecuali

setelah matahari terbenam.

b. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertolak dari Arafah sebelum shalat

maghrib, sedangkan waktu Maghrib pada saat itu sudah masuk. Seandainya

hendak bertolak sebelum terbenam matahari maka tetap dibolehkan untuk

dapat bertolak dan melakukan shalat maghrib di Muzdalifah pada awal

waktunya.

Telah diriwayakan dalam hadits ‘Urwah bin al-Mudharris bahwa Nabi

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

و�» � أ � �ال �ي ل �ك� ذ�ل �ل� ق�ب ف�ة� �ع�ر� ب و�ق�ف� و�ق�د� �د�ف�ع� ن �ى ح�ت �ا م�ع�ن و�و�ق�ف� ه�ذ�ه� �ا �ن �ت ص�ال ه�د� ش� م�ن�

) » داود أبو أخرجه �ه� �ف�ث ت و�ق�ض�ى ح�ج�ه� �م� �ت أ ف�ق�د� ا �ه�ار� (1950ن )5/263والنسائي)

) (891والترمذي ماجه) (3016وابن :( 26/142وأحمد) حديث) هذا الترمذي وقال

صحيح ) حسن

“Barangsiapa yang menyaksikan shalat kami ini, dan wukuf bersama kami

sampai kami bertolak, dan telah berwukuf di Arafah sebelumnya pada malam

atau siang hari, maka telah sempurna hajinya dan telah menunaikan

manasiknya.” HR. Abu Dawud (1950), an-Nasa`i (V/263), Tirmidzi (891),

Ibnu Majah (3016), Ahmad (XXVI/142), dan Tirmidzi berkata, “Hadits ini

hasan sahih.”

Orang-orang yang berpendapat dibolehkan untuk berangkat dari Arafah

sebelum terbenam matahari berpegang pada hadits ini. Karena sabda beliau

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “naharan (siang hari)” menandai bahwa orang

yang wukuf di siang hari dan bertolak sebelum matahari terbenam, bahwa

hajinya telah sempurna. Dan pengungkapannya pun dengan menggunakan

redaksi yang sempurna dan tegas-tegas membolehkan hal tersebut, serta tidak

dikenai dam. Dan pengambilan argumentasinya cukup jelas, kecuali yang

menyelisihi dengan yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

dan para khalifah sepeninggalnya.

11. Mencukur atau memendekkan rambut

38

Page 39: Hilman fitry akhlak (upi)

Mencukur atau memendekkan rambut merupakan salah satu bentuk manasik

di dalam haji dan umrah. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

mendoakan ampunan bagi orang yang melakukannya, dengan sabdanya :

.ق�ين�» ل �م�ح� �ل ل اغ�ف�ر� �ه�م� الل ق�ال� �م�ق�ص.ر�ين� �ل و�ل �ه� الل س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال .ق�ين� ل �م�ح� �ل ل اغ�ف�ر� �ه�م� الل

�ه� الل س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال .ق�ين� ل �م�ح� �ل ل اغ�ف�ر� �ه�م� الل ق�ال� �م�ق�ص.ر�ين� �ل و�ل �ه� الل س�ول� ر� �ا ي �وا ق�ال

» �م�ق�ص.ر�ين� �ل و�ل ق�ال� �م�ق�ص.ر�ين� �ل ( و�ل البخاري (1728أخرجه أبي) 1302ومسلم) عن

– هريرة – أخرجه ، بالرحمة الدعاء عنهما الله رضي عمر ابن حديث وفي ،

)1301ومسلم) (1727البخاري (

“Ya Allah ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya)”. Para sahabat

berkata, “Ya Rasulullah, dan bagi orang-orang yang memendekkan

(rambutnya).” Beliau bersabda, “Ya Allah ampunilah orang-orang yang

mencukur (rambutnya).” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, dan bagi

orang-orang yang memendekkan (rambutnya).” Beliau bersabda, “Ya Allah

ampunilah orang-orang yang mencukur (rambutnya).” Para sahabat berkata,

“Ya Rasulullah, dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).”

Beliau bersabda, “Dan bagi orang-orang yang memendekkan (rambutnya).”

HR. Bukhari (1728) dan Muslim (1302) dari Abu Hurairah Radhiyallahu

‘Anhu. Dan dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, memohon

rahmat-Nya diriwayatkan oleh Bukhari (1727) dan Muslim (1301).

Al-halq (cukur) adalah membuang rambut kepala secara keseluruhan dengan

pisau cukur dan lain sebagainya. Sedangkan at-taqshir (memendekkan

rambut) adalah memotong ujung-ujung seluruh bagian rambut kepala dengan

gunting atau alat-alat lain yang biasa dipakai.

Mencukur lebih utama (afdhal) bagi orang yang berhaji qiran dan ifrad, serta

orang yang berumrah saja, dan kecuali haji tamattu’ yang datang terlambat ke

Mekkah, dimana rambutnya tidak cepat tumbuh sebelum haji, maka

memendekkannya baginya lebih utama (afdhal). Sebagaimana Nabi

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan sahabatnya untuk melakukan

hal tersebut di saat haji Wada’, agar mereka bisa menghimpun antara at-

taqshir (memendekkan rambut) di pelaksanaan Umrah dan al-halq (mencukur

rambut) di pelaksanaan haji. Seandainya mereka mencukur habis rambutnya di

saat pelaksanaan umrah, niscaya tidak ada rambut yang tersisa sedikitpun di

39

Page 40: Hilman fitry akhlak (upi)

kepalanya untuk dicukur pada pelaksanaan haji. Selain itu, bercukur lebih

utama (afdhal) karena Allah Ta’ala mengedepankannya di dalam firman-Nya :

و�م�ق�ص.ر�ين� �م� ك ؤ�وس� ر� .ق�ين� ل /م�ح� [27الفتح ]

“Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya.” (QS.2:27)

12. Kewajiban melontar dengan 7 (tujuh) kerikil

Mayoritas ulama berpendapat bahwa melontar dilakukan dengan 7 (tujuh)

butir kerikil sebagai salah satu syarat sahnya melontar. Maka seandainya

kurang satu saja, tidak dianggap sah lontarannya. Wajib baginya untuk

kembali menyempurnakan kekurangannya. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi

wa Sallam melontar jamrah dengan 7 (tujuh) butir kerikil –sebagaimana yang

dikutip oleh Jabir dan sahabat lainnya-. Dan beliau bersabda :

�م�» « �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت ل

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”

Maka wajib hukumnya untuk meneladani beliau Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam dalam hal ini, dan tidak pernah diketahui bahwa beliau mengizinkan

seseorang melakukan lontaran dengan ukuran kurang dari 7 (tujuh) butir.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa`i (V/275) dan lainnya, dari

Mujahid menuturkan, “Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu berkata,

�ع�» ب �س� ب �ت� م�ي ر� �ق�ول� ي �ا �ع�ض�ن و�ب �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل �ه� الل ص�ل�ى �ي. �ب الن م�ع� �ح�ج�ة� ال ف�ي �ا ج�ع�ن ر�

» Cع�ض� ب ع�ل�ى �ع�ض�ه�م� ب �ع�ب� ي �م� ف�ل Tس�ت� ب �ت� م�ي ر� �ق�ول� ي �ا �ع�ض�ن و�ب Cات� ح�ص�ي

“Sekembali kami dari berhaji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

dan sebagian dari kami berkata, ‘Aku melontar dengan 7 (tujuh) kerikil’,

sedang sebagian kami yanh lain berkata, ‘Aku melontar dengan 6 (enam)

kerikil.’ Maka tidak ada sebagian mereka mencela sebagian yang lain”

Ini adalah atsar yang terputus, karena Mujahid belum pernah mendengar

langsung dari Sa’ad bin Abi Waqqash, sebagaimana yang disinyalir oleh Ibnu

al-Qaththan dan Thahawi serta lainnya. Hal itu dikutip dari Al-Jauhar an-Naqi

(V/149). Disebutkan bahwa riwayat-riwayat mengindikasikan kewajiban

(dengan) 7 (tujuh) kerikil, dan tidak ada riwayat bahwa Rasul Shallallahu

40

Page 41: Hilman fitry akhlak (upi)

‘Alaihi wa Sallam menetapkan kepada para sahabatnya mengenai hal tersebut,

dan tidak ada ijtihad dalam ruang nash.

13. Mabit di Mina

Mabit (bermalam) di Mina pada malam ke-11 dan ke-12 –demikian pula

malam ke-13 bagi orang yang hendak bersegera- merupakan salah satu

kewajiban haji. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bermalam di sana.

Dan bersabda :

�م�» « �ك ك �اس� م�ن �خ�ذ�وا �أ �ت ل

“Ambillah manasik (tata cara haji) kalian (dariku).”

Dan beliau memberikan dispensasi (rukshah) kepada orang yang bertugas

memberi minuman dan para pengembala untuk tidak bermabit. Dan ungkapan

dengan rukhshah (dispensasi) menunjukkan atas diwajibkannya mabit jika

tidak ada udzur (alasan syar’i).

Siapa yang sudah berusaha namun tidak menemukan tempat untuk bermalam,

maka gugurlah kewajiban itu darinya. Dan ia dapat bermalam di luarnya, dan

tidak ada sangsi apapun baginya. Berdasarkan keumuman firman-Nya :

م�� �ط�ع�ت ت اس� م�ا �ه� الل �ق�وا [16التغابن/ ف�ات

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS.646)

dan firman-Nya yang lain :

ع�ه�ا و�س� � �ال إ � �ف�سا ن �ه� الل �ل.ف� �ك ي /ال [286البقرة ]

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya.” (QS.2:286)

dan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

البخاري» « ( أخرجه �م� �ط�ع�ت ت اس� م�ا �ه� م�ن �وا �ت ف�أ Cم�ر� �أ ب �م� �ك ت م�ر�

� أ �ذ�ا ) 1337ومسلم) (7288و�إ

“Jika kuperintahkan kalian dengan suatu perkara, maka lakukanlah

sesanggup kalian.” HR. Bukhari (7288) dan Muslim (1337).

Itulah sekelumit penjelasan mengenai pelaksanaan haji dan pengaruhnya dalam

perbaikan akhlak.

41

Page 42: Hilman fitry akhlak (upi)

B. Pelaksanaan Serta Pengaruh Dari Qurban Terhadap Akhlak Seseorang

Dalam hitungan hari, umat Islam dipelosok dunia akan merayakan Idul Adha (Idul

Qurban). Bagi umat Islam yang mampu, dianjurkan untuk menyembelih binatang

kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai

yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial.

Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah

Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena

selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan yang

sangat luas.

Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam

pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan

bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa

lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal

rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial,

mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah),

namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus

mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan

memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’

senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.

Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba

meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial.

Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-

kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang

menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan

dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial.

Dalam Al-Quran dalam Surat Al-Maidah : 27, Ash-Shaffat : 102 – 107 dan Al-

Kautsar : 2 yang berbunyi : “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan

berkurbanlah.” Dan Ibadah Kurban merupakan pembuktian kecintaan dan keikhlasan

kita kepada sang Khaliq.

42

Page 43: Hilman fitry akhlak (upi)

Ibadah kurban memiliki sejarah yang begitu panjang. Allah SWT telah

memerintahkan ibadah kurban kepada umat manusia, sejak zaman Nabi Adam AS.

Perintah kurban mulai diperintahkan kepada dua putra Nabi Adam AS, yakni Habil

yang berprofesi sebagai petani dan Qabil seorang peternak. Keduanya diminta untuk

berkurban dengan harta terbaik yang mereka miliki.

Peristiwa kurban dua anak manusia itu dikisahkan dalam Alquran surat al-

Maaidah ayat 27. Allah SWT berfirman, ''Dan ceritakanlah (Muhammad) kepada

mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) yang sebenarnya, ketika keduanya

mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua

(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti

membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari

orang-orang yang bertakwa.''

Seiring bergulirnya zaman, perintah berkurban juga diterima Nabi Ibrahim AS.

Setelah melalui penantian yang begitu lama, Ibrahim akhirnya dikaruniai seorang

putra bernama Ismail, dari istrinya bernama Siti Hajar. Ia pun begitu gembira dan

bahagia. Kebahagiaannya memiliki seorang putra, kemudian diuji oleh Allah SWT.

Saat berusia 100 tahun, datanglah sebuah perintah Allah SWT kepadanya melalui

sebuah mimpi. ''...Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku

menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu..?'' (QS: as-Saffat:102). Dengan

penuh keikhlasan, Ismail pun menjawab, ''...Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang

diperintahkan (Allah) kepada mu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk

orang yang sabar.'' (QS:as-Saffat:102).

Kemudian, Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat yang sepi di Mina.

Ismail pun mengajukan tiga syarat kepada sang ayah sebelum menyembelihnya.

Pertama, sebelum menyembelih hendaknya Nabi Ibrahim AS menajamkan pisaunya.

Kedua, ketika disembelih, muka Ismail harus ditutup agar tak timbul rasa ragu dalam

hatinya. Ketiga, jika penyembelihan telah selesai, pakaiannya yang berlumur darah

dibawa kepada ibunya, sebagai saksi kurban telah dilaksanakan.

''Maka tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya

atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Lalu Kami panggil dia, 'Wahai

43

Page 44: Hilman fitry akhlak (upi)

Ibrahim!' sesunggu engkau telah membenarkan mimpi itu...'' (QS: as-Saffat ayat 103-

104). Ketika pisau telah diarahkan ke arah leher Ismail, lalu Allah SWT

menggantikannya dengan seekor domba yang besar.

''Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.'' Atas

pengorbanan Ibrahim AS itu, Allah SWT berfirman, ''Dan Kami abadikan untuk

Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Selamat sejahtera

bagi Ibrahim. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.'' (QS:

as-Saffat:108-109).

Ibadah kurban pun menjadi salah satu unsur syariat Islam, yang dilaksanakan oleh

umat Muslim yang mampu pada setiap Hari Raya Idul Adha dan tiga hari setelahnya

(hari tasyrik), yakni tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah.

Melaksanakan ibadah kurban tidak semata-mata ibadah yang berhubungan dengan

Sang Pencipta, namun lebih bermakna sosial. Inti pesan ibadah kurban adalah

solidaritas, kepedulian kepada orang yang membutuhkan. Hanya sedikit dari orang

banyak yang sadar. Hanya sedikit dari orang yang sadar itu yang mau berjuang. Dan

hanya sedikit dari yang berjuang itu yang mau berkurban.

Pengorbanan sesungguhnya bukan hanya harta benda, melainkan juga jiwa, raga,

hati dan pikiran yang semata-mata karena Allah. Seorang yang beriman, akan

memberikan sesuatu yang paling dicintainya kepada Allah SWT, seperti yang

dilakukan Nabi Ibrahim AS.

Qurban memiliki beberapa syarat yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya,

yaitu.

1. Hewan qurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing, baik

domba atau kambing biasa.

2. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah

tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.

a. unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun

b. sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun

44

Page 45: Hilman fitry akhlak (upi)

c. kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun adalah yang telah

sempurna berusia enam bulan

3. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah

dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

a. Buta sebelah yang jelas/tampak

b. Sakit yang jelas.

c. Pincang yang jelas

d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang

e. Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke

dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berqurban dengannya, seperti

buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh.

4. Hewan qurban tersebut milik orang yang berqurban atau diperbolehkan (di

izinkan) baginya untuk berqurban dengannya. Maka tidak sah berqurban

dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua

orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.

5. Tidak ada hubungan dengan hak orang lain. Maka tidak sah berqurban dengan

hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya dibagi.

6. Penyembelihan qurbannya harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan

syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka

sembelihan qurbannya tidak sah. (Bidaayatul Mujtahid (I/450), Al-Mugni

(VIII/637)).

Demikianlah penjelasan mengenai pelaksanaan kurban serta pengaruhnya

terhadap akhlak seseorang.

45

Page 46: Hilman fitry akhlak (upi)

BAB 4

PENUTUP

A. Kesimpulan

Didalam islam pensyariatan mengenai pelaksanaan ibadah haji sering

dikaitkan dengan kisah Nabi Ibrahim as yang diperintahkan oleh Allah swt untuk

merenovasi serta membangun bangunan ka’bah yang telah mengalami kerusakan pada

waktu terjadinya banjir besar pada zaman Nabi Nuh as. Hal itu diperintahkan karena

Allah hendak menjadikannya sebagai tempat berkumpul manusia serta untuk

dijadikan kiblat ketika manusia melaksanakan shalat.

Ayat Al-Quran yang terdapat dalam surat Ali-Imran memberikan pemahaman

kepada kita bahwasannya: Pertama, berdasarkan ayat tersebut, para ulama secara ijma'

sepakat bahwa haji merupakan salah satu rukun Islam. Kedua, mereka juga secara

ijma' dan nash menyatakan bahwa haji hanya diwajibkan selama sekali seumur hidup. 46

Page 47: Hilman fitry akhlak (upi)

Ketiga, Ayat tersebut dijadikan oleh Jumhur ulama sebagai dalil wajibnya haji.

Keempat, para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya haji bagi orang yang

sudah mampu, namun mereka berbeda mengenai penafsiran as-Sabiil (mengadakan

perjalanan) dalam ayat tersebut.

Diantara bentuk kehormatan bagi setiap orang yang Allah beri taufiq dan

kemudahan dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah haji ini ialah Allah berikan

semangat yang tinggi dalam memperoleh manfaat, faidah, dan pelajaran dari hajinya.

Adapun mengenai pensyari’atan penyembelihan hewan kurban di hari Idul

Adha serta 11, 12, 13 Dzulhijjah yang kita kenal sebagai Yaumut Tasyriik selalu

dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as ketika menyembelih anaknya yaitu Nabi Isma’il

yang kemudian ketika mereka berdua akan melaksanakannya serta berserah diri atas

apa yang diperintahkan oleh Allah maka Allah pun mengganti Ismail dengan hewan

sembelihan yang besar.

Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan

menyembelih sesuatu dari pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa

syukur kepada Pemilik dan Pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah

kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintahNya.

Pandangan para ulama mengenai pensyari’atan qurban tidak ada perselisihan

paham. Hanya mereka berselisih mengenai penetapan hukum “perintah” itu. Ada

diantara mereka yang “mewajibkan” dan ada diantara mereka yang “menyunahkan”

saja, walaupun mereka memuakkadkannya.

Penyembelihan hewan pada hari raya Idul Adha adalah simbol pengorbanan

yang harus dilakukan setiap orang atas dirinya sendiri. Karena pada hakikatnya hewan

kurban itu kita sendiri yang akan menikmati, sedangkan yang akan sampai dihadapan

Nya adalah ketakwaan yang mendasari pengorbanan kita. Pengorbanan yang

sebenarnya adalah pengorbanan diri atas segala sesuatu yang dimilikinya. Ketika

binatang kurban disembelih melambangkan hilangnya sifat kebinatangan dalam diri

kita.

B. Saran

Penulis ingin menyampaikan beberapa pesan diantaranya ialah:

47

Page 48: Hilman fitry akhlak (upi)

1. Kepada masyarakat umum, hendaklah kalian senantiasa bertafakkur ataas

setiap apa yang Allah perintahkan kepada hambanya. karena tidaklah Dia

memerintahkan untuk ataupun melarang berbuat melainkan Dia telah

mengetahui akan adanya manfaat serta mandharat dintara keduanya.

2. Kepada teman-teman seangkatan hendaklah kalian mempelajari, memahami

serta mengkaji kembali mengenai pelaksanaan haji dan kurban ini karena di

dalamnya tersimpan banyak hikmah yang patut kita renungkan.

Penulis menyadari akan segala kekurangan serta keterbatasannya sebagai seorang

manusia yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai makhluk yang lemah. oleh karena

itu sebagai antisipasi serta dalam rangka penyempurnaan karya tulis yang akan

datang, penulis meminta agar bersedia memberikan kritik serta sarannya.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Zainuddin. (1996). Fathul Bari’ Shahih Al-Bukhari. Kairo: Maktabah Attahqiiq Darul Haramain

Al-Bukhari. (t.t). Shahih Bukhari. Beirut: Dar al Fikr

Al-Qazwaini. (t.t). Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dar al Fikr

Al-Sajastaani. (1952). Sunan Abi Daud. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi

At-Tirmidzi. (t.t). Sunan Tirmidzi. Beirut: Dar al Fikr

48

Page 49: Hilman fitry akhlak (upi)

Al-Nasaii. (1964). Sunan al-Nasaii. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi

An-Nawawi. (1392 H). Syarh Shahih Muslim An-Nawawi. Beirut: Darul Ihyaa Turaas Ah’araby

Al-Qurtubi. (1964). Tafsir Al-Qurtubi. Kairo: Dar Al-Kuttub

Ash Shidiqie, Hasbie. (1966). Tuntunan Qurban. Djakarta: Bulan Bintang

Asy-Syaukani. (t.t). Nailul Authar. Mesir: Musthafa Babil Halabi

Asy-Syaukani. (t.t). Ar-Raudhah. Mesir: Musthafa Babil Halabi

Farida, Annisa. Memaknai Idul Adha. Online: 18-Nopember-2010. www.// /Mimbar Opini - Memaknai Idul Adha.com

Fu’ad, Muhammad ‘Abdul. (2003). Al-Mu'jam al-Mufahris Li alfaazh al-Qur'an al-Karim. Mesir: Darul Fikr

Ibnu Hajar al 'Asqolani. 1423 H. Bulughul Maram. Mesir: Darul ‘Aqidah

Katsier, Ibnu. (1999). Tafsirul Quranul ‘Adziim. Mesir: Dar At-Thabi’ah

Muslim, Husein. (1992). Shahih Muslim. Beirut: Dar al Fikr

Muhammad, Ahmad Yusuf. (2009). Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Quran dan Hadits. Jakarta: Widya Cahaya

Permanu, Arek. Hakikat berkurban di hari Raya Idul Adha. Online: 01 November 2011. http://www.hakekat berkurban di har raya idul adha.com

Qudamah, Ibnu. (1968). Al-Mughni Lii ibni Qudamah. Kairo: Maktabah Qahirah

Wahyu. Haji, Wahana Pendidikan Akhlak. Online: 01 November 2011. http://www. Haji, wahana pendidikan akhlak.

Wahyu MS, dkk. (1987). Petunjuk Praktis Membuat Skripsi. Surabaya: Usaha Nasional

49