gaung aman edisi xxxvi

9
Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN 2 3 GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011 Penanggungjawab Sekretaris Jendral AMAN Pemimpin Redaksi Abdon Nababan Redaktur Pelaksana Jopi Peranginangin Staf Redaksi Mahir, Mina Setra, Kamardi, Monang, Taryudi, Rukmini, Annas, Erasmus, Simon, Elizabeth, Rainny, Snik Tata Letak Jopi Peranginangin Alamat Redaksi Pengurus Besar AMAN Jalan Tebet Utara II Blok C No. 22, Jakarta Selatan 12820, Indonesia Telp/Fax: +6221-8297954 E-mail [email protected]. website http://www.aman.or.id GAUNG AMAN terbit setiap dua bulan un- tuk memuat perkembangan dan kegiatan organisasi. Redaksi menerima sumbangan tulisan yang bertujuan memajukan gerakan raky- at, dan berhak mengedit-nya tanpa men- gubah substansi. Desain Sampul : Jopi Peranginangin LAPORAN UTAMA Hak Adat Diabaikan, AMAN Tolak REDD hingga Masa Depan RUU PPHMA... halaman 03 Alot, Konsultasi RUU Masyarakat Adat Sulawesi...halaman 08 Konsultasi Publik Sumatera : RUU PPHMA Adalah Amanat Konstitu- si...halaman 09 Perkembangan Advokasi RUU PPHMA....halaman 12 POJOK GAUNG Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara XII : Mengelola Titi- pan Leluhur Dengan Gotong Royong ...... halaman 14 BERITA KOMUNITAS Komunitas Adat Cek Bocek : Mengelola Kekayaan Alam Secara Mandiri...... halaman 18 INFO PB AMAN Kegiatan AMAN Periode Maret - April 2011.... halaman 19 TAJUK Pada 17 Maret lalu, masyarakat di Nusantara merayakan Hari Kebangki- tan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN). Ini sekaligus memperingati hari lahirnya organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN. Semangat kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara itu digelorakan sejak 12 tahun lalu untuk membangkitkan kembali kemuliaan dari masyarakat adat, yang selama ini terpuruk atau didiskriminasi. Dalam bahasa sederhana, selama berpuluh- puluh tahun, masyarakat adat belum merdeka. AMAN mencatat konflik dan kebanyakan diskriminasi yang menimpa ma- syarakat adat didominasi oleh perampasan tanah-tanah adat oleh negara. dan alihfungsikan untuk koorporasi. Tak hanya AMAN, Komnas HAM juga melansir data tentang kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat sebagai pihak korban. Banyaknya pengadu- an yang masuk ke KOMNAS HAM lantaran pemerintah masih memandang ma- syarakat adat sebagai warga kelas dua. Padahal ada wilayah yang mesti dihor- mati bila berbicara soal masyarakat adat, di mana kearifan lokal dan aturan adat harus dijunjung. RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPH- MA) bisa menjadi tumpuan dan harapan masyarakat adat di tanah air. Sekjen AMAN, Abdon Nababan mengatakan, RUU itu untuk melindungi supaya hak- hak masyarakat adat tak terlanggar dan terpinggirkan oleh penguasa dan pe- modal yang tiba-tiba datang ke kampung mereka mereka. Pada edisi kali ini, redaksi Gaung AMAN menempatkan perdebatan dan perkembangan RUU PPHMA sebagai laporan utama. Banyak perdebatan yang mencuat terkait dengan substansi. Dengan memakai arena virtual atau du- nia maya, perdebatan mengalir dengan dinamis. Hal ini menandakan bahwa seluruh aktivis gerakan masyarakat adat mempunyai kesamaan pandangan tentang pentingnya RUU ini. Perdebatan pada ruang maya tersebut kami olah dan dijadikan tulisan sebagai laporan utama pada edisi 37 ini. Disamping perdebatan tentang RUU PPHMA, kami juga memuat laporan kegiatan perayaan HKMAN XII yang dipusatkan di Cikotok. Dan beberapa in- formasi penyelenggaraan kegiatan HKMAN XII yang berlangsung diberbagai daerah. Selamat membaca. Salam Adat. A da beberapa topik yang cukup hangat didiskusikan dalam milis aman (adat- [email protected]). Beberapa diantaranya adalah kasus MIFFE, sengketa tanah adat dan se- bagainya. Topik teranyar adalah dis- kusi tentang hak-hak masyarakat adat. Dalam artikel ini, kami menyajikan rangkuman perdebatan tentang topik tersebut. Berangkat dari sebuah postingan tentang sikap AMAN yang menolak REDD jika hak adat diabaikan. Sikap tersebut dimuat dalam situs kantor berita 68 H Jakarta. Respon atas in- formasi tersebut segera bermunculan. Ada yang tegas-tegas mendukung, ada yang kritik atas kelambanan sikap AMAN tentang REDD, dan ada yang menanyakan kembali untuk memas- tikan sikap AMAN tersebut. Yang ter- akhir tersebut kemudian berkembang perdebatannya hingga ke RUU Hak- Hak Masyarakat Adat. Perdebatan ini menjadi sangat relevan untuk mem- perkaya naskah akademik yang se- dang dikonsultasikan diberbagai wi- layah. Pemilik akun Gatot Sugiharto mendukung sikap AMAN dan menya- takan bahwa REDD hanya akal-aka- lan penguasa dan pengusaha untuk mendapatkan manfaat dari hutan, dan tetap tidak menghargai hak-hak adat. Atas dasar apa mereka menda- patkan konsesi hutan untuk dagang karbon? Mereka ini tidak pernah menjaga hutan walau punya modal. Penurunan emisi penting tapi lebih penting adalah menghormati hak-hak masyarakat adat. Sementara Yati ter- kesan ”menggugat” sikap AMAN ter- sebut yang cenderung telat. Kenapa baru sekarang AMAN bersikap meno- lak REDD? Sejak awal Yati tidak setuju dengan konsep REDD. Karena masy- arakat adat akan menjadi korban dari program ini. Tanah siapa yang akan di- rampas untuk mensukseskan program ini? Pasti tanah masyarakat adat. Pemi- lik akun Alma Adventa menanyakan si- tuasi dan perkembangan projek REDD yang ada di Kalimantan Tengah. Ketua BPH AMAN Kalteng menjelaskan per- kembangan projek REDD yang menga- baikan prinsip-prinsip Free Prior and Inform Consent (FPIC). Karena ham- pir sebagaian pengurus wilayah adat di daerah dan komunitas tidak pernah pernah mendapatkan informasi ten- tang projek REDD di wilayah adatnya. R. Yando Zakaria kemudian melon- tarkan pertanyaan kritis, bahwa men- urut buku terbitan HUMA , Antara Teks dan konteks, Dinamika pengakuan hu- kum terhadap hak masyarakat adat atas sumberdaya alam di Indonesia, setidanya ada 7 UU, 1 RUU, dan 1 RPP yang telah ’mengakui dan mengatur’ hak-hak masyarakat adat itu. Walau- pun menurut buku tersebut, terdapat keberagaman dalam hal ’defenisi dan kriteria’, hak-hak yang diakui dan dia- tur, kewajiban negara atasnya, proses Hak Adat Diabaikan, AMAN Tolak REDD hingga Masa Depan RUU PPHMA Rangkuman diskusi di mailing list AMAN Sumber Foto: Dokumen AMAN Daftar isi Edisi No. XXXVI/April 2011 Laporan Utama

Upload: aradinsyarif

Post on 05-Dec-2014

1.967 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

Berita-berita tentang masyarakat adat dalam mendesak RUU PPMA

TRANSCRIPT

Page 1: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN2 3GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

Penanggungjawab Sekretaris Jendral AMAN

Pemimpin Redaksi Abdon Nababan

Redaktur Pelaksana Jopi Peranginangin

Staf Redaksi Mahir, Mina Setra, Kamardi, Monang,

Taryudi, Rukmini, Annas, Erasmus, Simon, Elizabeth, Rainny, Snik

Tata LetakJopi Peranginangin

Alamat Redaksi Pengurus Besar AMAN

Jalan Tebet Utara II Blok C No. 22, Jakarta Selatan 12820, Indonesia

Telp/Fax: +6221-8297954

E-mail [email protected].

websitehttp://www.aman.or.id

GAUNG AMAN terbit setiap dua bulan un-tuk memuat perkembangan dan kegiatan organisasi.Redaksi menerima sumbangan tulisan yang bertujuan memajukan gerakan raky-at, dan berhak mengedit-nya tanpa men-gubah substansi.

Desain Sampul : Jopi Peranginangin

LAPORAN UTAMA � Hak Adat Diabaikan, AMAN Tolak REDD hingga Masa Depan RUU

PPHMA...halaman 03 � Alot, Konsultasi RUU Masyarakat Adat Sulawesi...halaman 08 � Konsultasi Publik Sumatera : RUU PPHMA Adalah Amanat Konstitu-

si...halaman 09 � Perkembangan Advokasi RUU PPHMA....halaman 12

POJOK GAUNG � Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara XII : Mengelola Titi-

pan Leluhur Dengan Gotong Royong ...... halaman 14

BERITA KOMUNITAS � Komunitas Adat Cek Bocek : Mengelola Kekayaan Alam Secara

Mandiri...... halaman 18

INFO PB AMAN � Kegiatan AMAN Periode Maret - April 2011.... halaman 19

TAJUKPada 17 Maret lalu, masyarakat di Nusantara merayakan Hari Kebangki-

tan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN). Ini sekaligus memperingati hari lahirnya organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN. Semangat kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara itu digelorakan sejak 12 tahun lalu untuk membangkitkan kembali kemuliaan dari masyarakat adat, yang selama ini terpuruk atau didiskriminasi. Dalam bahasa sederhana, selama berpuluh-puluh tahun, masyarakat adat belum merdeka.

AMAN mencatat konflik dan kebanyakan diskriminasi yang menimpa ma-syarakat adat didominasi oleh perampasan tanah-tanah adat oleh negara. dan alihfungsikan untuk koorporasi.

Tak hanya AMAN, Komnas HAM juga melansir data tentang kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat sebagai pihak korban. Banyaknya pengadu-an yang masuk ke KOMNAS HAM lantaran pemerintah masih memandang ma-syarakat adat sebagai warga kelas dua. Padahal ada wilayah yang mesti dihor-mati bila berbicara soal masyarakat adat, di mana kearifan lokal dan aturan adat harus dijunjung.

RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPH-MA) bisa menjadi tumpuan dan harapan masyarakat adat di tanah air. Sekjen AMAN, Abdon Nababan mengatakan, RUU itu untuk melindungi supaya hak-hak masyarakat adat tak terlanggar dan terpinggirkan oleh penguasa dan pe-modal yang tiba-tiba datang ke kampung mereka mereka.

Pada edisi kali ini, redaksi Gaung AMAN menempatkan perdebatan dan perkembangan RUU PPHMA sebagai laporan utama. Banyak perdebatan yang mencuat terkait dengan substansi. Dengan memakai arena virtual atau du-nia maya, perdebatan mengalir dengan dinamis. Hal ini menandakan bahwa seluruh aktivis gerakan masyarakat adat mempunyai kesamaan pandangan tentang pentingnya RUU ini. Perdebatan pada ruang maya tersebut kami olah dan dijadikan tulisan sebagai laporan utama pada edisi 37 ini.

Disamping perdebatan tentang RUU PPHMA, kami juga memuat laporan kegiatan perayaan HKMAN XII yang dipusatkan di Cikotok. Dan beberapa in-formasi penyelenggaraan kegiatan HKMAN XII yang berlangsung diberbagai daerah. Selamat membaca.

Salam Adat.

Ada beberapa topik yang cukup hangat didiskusikan dalam milis aman ([email protected]).

Beberapa diantaranya adalah kasus MIFFE, sengketa tanah adat dan se-bagainya. Topik teranyar adalah dis-kusi tentang hak-hak masyarakat adat. Dalam artikel ini, kami menyajikan rangkuman perdebatan tentang topik tersebut.

Berangkat dari sebuah postingan tentang sikap AMAN yang menolak REDD jika hak adat diabaikan. Sikap tersebut dimuat dalam situs kantor berita 68 H Jakarta. Respon atas in-formasi tersebut segera bermunculan. Ada yang tegas-tegas mendukung, ada yang kritik atas kelambanan sikap AMAN tentang REDD, dan ada yang menanyakan kembali untuk memas-tikan sikap AMAN tersebut. Yang ter-akhir tersebut kemudian berkembang perdebatannya hingga ke RUU Hak-Hak Masyarakat Adat. Perdebatan ini menjadi sangat relevan untuk mem-perkaya naskah akademik yang se-dang dikonsultasikan diberbagai wi-layah.

Pemilik akun Gatot Sugiharto mendukung sikap AMAN dan menya-takan bahwa REDD hanya akal-aka-lan penguasa dan pengusaha untuk mendapatkan manfaat dari hutan, dan tetap tidak menghargai hak-hak adat. Atas dasar apa mereka menda-patkan konsesi hutan untuk dagang karbon? Mereka ini tidak pernah menjaga hutan walau punya modal. Penurunan emisi penting tapi lebih penting adalah menghormati hak-hak masyarakat adat. Sementara Yati ter-kesan ”menggugat” sikap AMAN ter-sebut yang cenderung telat. Kenapa baru sekarang AMAN bersikap meno-lak REDD? Sejak awal Yati tidak setuju dengan konsep REDD. Karena masy-

arakat adat akan menjadi korban dari program ini. Tanah siapa yang akan di-rampas untuk mensukseskan program ini? Pasti tanah masyarakat adat. Pemi-lik akun Alma Adventa menanyakan si-tuasi dan perkembangan projek REDD yang ada di Kalimantan Tengah. Ketua BPH AMAN Kalteng menjelaskan per-kembangan projek REDD yang menga-baikan prinsip-prinsip Free Prior and Inform Consent (FPIC). Karena ham-pir sebagaian pengurus wilayah adat di daerah dan komunitas tidak pernah pernah mendapatkan informasi ten-

tang projek REDD di wilayah adatnya. R. Yando Zakaria kemudian melon-tarkan pertanyaan kritis, bahwa men-urut buku terbitan HUMA , Antara Teks dan konteks, Dinamika pengakuan hu-kum terhadap hak masyarakat adat atas sumberdaya alam di Indonesia, setidanya ada 7 UU, 1 RUU, dan 1 RPP yang telah ’mengakui dan mengatur’ hak-hak masyarakat adat itu. Walau-pun menurut buku tersebut, terdapat keberagaman dalam hal ’defenisi dan kriteria’, hak-hak yang diakui dan dia-tur, kewajiban negara atasnya, proses

Hak Adat Diabaikan, AMAN Tolak REDD hingga Masa Depan RUU PPHMARangkuman diskusi di mailing list AMAN

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

Daftar isiEdisi No. XXXVI/April 2011

Laporan Utama

Page 2: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN4 5GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

Laporan Utama Laporan Utamadan bentuk pengakuan, dan sebagai-nya. Lalu, pengakuan seperti apa lagi yang dibutuhkan dalam penyelengga-raan REDD+ ini?

Pertanyaan Yando ini coba dijaw-ab Rizal Mahfud, ketua BPH AMAN Sulteng. Rizal mengtakan bahwa yang di inginkan masyarakat adat dalam skema REDD+ adalah “Hak”. Dan ma-syarakat adat mempunyai beberapa jenis hak yang harus dihormati pelak-sana proyek REDD+. Hak-hak tersebut mencakup beberapa hal, diantaranya Hak atas pengelolaan wilayah adat, Hak untuk melaksanakan pengeta-huan/kearifan tradsional masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Dan yang terakhir hak-hak yang tercantum dalam prinsip-prinsip FPIC.

Hak-hak tersebut sebenarnya telah ada dalam berbagai produk ke-bijakan negara. Namun saat pelak-sanaan dilapangan, seringkali ber-benturan dengan kapasitas tenaga pelaksana dari pemerintah. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui apa itu REDD+ dan hak-hak Masyra-kat Adat. Dalam beberapa kesempatan yang ada misalnya, kami sering mene-mui staf kantor pemerintah pelaksana program REDD yang tidak bisa menje-laskan tentang REDD+. Menyambung pertanyaan Yando, Luhut Simanjun-tak (LEI) coba membalik pertanyaan, bagaimana kalau AMAN yang menjadi pelaksana proyek REDD ini? Abdon Nababan, Sekjend AMA menjawab lontaran pertanyaan tersebut. Menutu Abdon, kalau masyarakat adat yang melakukan sendiri REDD+ di wilayah adatnya sendiri, sudah tentu tidak di-perlukan proses FPIC. REDD+ jenis ini pernah ditawarkan AMAN ke Presiden SBY. Model seperti ini harusnya jadi skema utama pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Kalau menggunakan skema yang ditawarkan oleh AMAN ini maka

yang diperlukan oleh masyarakat adat untuk melaksanakan REDD+ hanya pengakuan dan perlindungan hukum yang pasti atas tanah, wilayah dan hu-tan adatnya.

FPIC menjadi menonjol dibica-rakan karena REDD+ ini akan dilaks-anakan oleh Pemerintah dalam se-buah kawasan. Kemungkinan besar kawasan tersebut adalah wilayah adat dari satu atau beberapa komunitas adat. REDD+ model Kemenhut ini se-benarnya merupakan bagian dari sis-tim/rejim konsesi yang berlaku saat Rezim ORBA berkuasa. ”Pemerintah mengambil hak rakyatnya untuk di-serahklan sebagai konsesi ke pihak ketiga”. Skema inilah yang harus di-lawan oleh gerakan masyarakat adat nusantara. REDD+ tidak boleh lagi menggunakan Rejim Konsesi yang merupakan instrument penjajahan Negara atas rakyatnya sendiri. Dalam hal ini, AMAN tidak sedang menem-patkan REDD+ sebagai tujuan, hanya salah satu jalan untuk mempercepat penumpasan karakter Negara kolo-nialisme yang masih hidup di dalam tubuh NKRI.

Pada email lain, Abdon Nababan

menjawab pertanyaan yang dilontar-kan Yando, terkait dengan pengakuan atas masyatakat adat yang terdapat dalam beberapa kebijakan negara. Se-bagai bagian dari Hak Azasi Manusia, hak-hak adat ini tidak cukup hanya diakui, tetapi dijamin perlindungan-nya dan dipastikan pemenuhannya oleh Negara, dan dihormati semua pihak (Negara dan non-negara). Con-toh paling nyata adalah UU 41. UU ini mengakui keberadaan masyarakat (hukum) adat, tetapi sama sekali ti-dak memberikan perlindungan dan penghormatan. Bahkan pengakuan ini malah digunakan untuk meram-pas/mengambil secara sepihak hak masyarakat adat atas hutan adatnya, dengan memasukkan hutan adat men-jadi bagian dari hutan Negara. Secara normatif, dengan posisi hak adat seba-gai HAM maka sudah menjadi kewa-jiban Negara untuk mengakui, men-ghormati, melindungi dan menjamin pemenuhannya.

Pertanyaannya sekarang, bagai-mana cara Negara mengakui, mel-indungi dan menjamin pemenuhan hak-hak adat ini dalam peraturan per-UU-an kita di Indonesia? Bagaimana

menempatkan masyarakat adat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kelembagaan Negara dan pe-merintahan yang ada saat ini, atau tata pemerintahan saat ini tidak lagi cukup sehingga diperlukan institusi tambahan/baru? Bagaimana pihak non-negara bisa dipaksa oleh Negara untuk menghormati masyarakat adat dengan semua hak bawaannya? Jawa-ban normative dan umum terhadap pertanyaan ini sebagian besar sudah dituangkan dalam keputusan-kepu-tusan KMAN I s/d III. Tapi jawaban operasionalnya saat ini sedang kita didiskusikan/perdebatkan melalui proses konsultasi RUU Hak-Hak Ma-syarakat Adat. Jawaban akhirnya, kita tunggu saja hasil akhir dari konsultasi masyarakat adat yang saat ini sedang bergulir.

Emil Kleden (PUSAKA) menulis-kan tanggapannya kemudian, bahwa ada satu soal yang perlu diperjelas dalam diskusi tentang “Pengakuan” atas keberadaan dan hak-hak masy-arakat adat. Hal yang perlu diperjelas adalah makna dari “Pengakuan”. Per-tama, kalau yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah pengakuan le-gal, maka sifatnya adalah textual dan ukurannya adalah legitimasi. Artinya, teks undang-undang itu sudah ada dan keabsahannyapun sudah tidak dipertanyakan lagi. Namun tetap saja ada jurang yang memisahkan dua ke-lompok sosial politik. Kelompok per-tama adalah masyarakat dan kedua adalah aparat hukum Negara. Pada dua kelompok ini bisa ditemukan sumber masalah. Masyarakat bisa saja karena kurang informasi ten-tang peraturan perundangan yang dimaksud lalu tidak tahu bagaimana memanfaatkannya. Di sisi lain, aparat hukum Negara bisa saja karena tidak tahu lalu lalai menjalankan kewaji-

bannya untuk mengimplementasikan undang-undang; atau karena sangat paham kekuatan dan kelemahan un-dang-undang lalu memelintirnya. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau terjadi interferensi antara faktor-faktor peng-hambat implementasi ini.

Kedua, dengan mengambil UU 41 sebagai contoh, pasal-pasal UU 41 ti-dak cukup tegas memberikan pernya-taan tekstual tentang pengakuan ini. Mungkin itu bagian dari politik hukum kita yang mahir memainkan politik bahasa sebagai alat manipulasi (Coba telisik bunyi pasal 67 itu dan banding-kan dengan teks yang misalnya berbu-nyi seperti ini: “Negara mengakui hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Masyarakat adat yang dimaksud ada-lah masyarakat yang memiliki hak asal usul. Hak asal-usul adalah hak yang bersifat bawaan berdasarkan (a), (b), (c)….. dan bukan diberikan oleh Nega-ra). Dengan pasal-pasal yang tidak te-gas, terbukalah ruang penafsiran yang luas bagi siapa pun. Penafsiran mana yang berlaku sangat tergantung pada tingkat kuasa yang dimiliki si penafsir. Dan dalam hal itu di pihak masyara-kat tingkat kuasanya memang sangat

lemah. Salah satu faktor penyebab le-mahnya kuasa masyarakat adalah le-mahnya pengorganisasian masyarakat dan rendahnya tingkat melek politik hukum. Jadi di manakah letak masalah pengakuan itu sesungguhnya?

Benardus Steny (HUMA) me-nyampaikan sebuah temuan reflektif yakni soal subyek. Dalam semua teori hukum dan keseluruhan struktur pen-gaturan subyek hukum saat ini, dua subyek hukum yakni subyek hukum individu (manusia) dan subyek hukum berdasarkan konstruksi hukum yang disebut badan hukum. Teori subyek hukum yang pertama kali lahir adalah subyek hukum individual yang diang-gap lahir secara alamiah, sehingga se-mua manusia disebut sebagai subyek hukum. Mengapa individual ? Karena teori ini lahir dari tradisi individualis-me Eropa yang secara tegas mengatur dan mengakui manusia secara orang per orang, bukan kelompok. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, manakala orang per orang berkumpul dan hendak melakukan tindakan ber-sama dan berusaha mencapai tujuan bersama, dibentuklah teori hukum baru yang menghasilkan subyek hu-

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

� Aksi Menuntut Pengakuan Hukum oleh Komunitas Adat Rakyat Penunggu, Medan � Suasana kampung di Komunitas Adat Sasak di Lombok

Page 3: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN6 7GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

� Komunitas Adat Kajang di Sulawesi Selatan

� Foto: Dokumen AMAN

� Komunitas Adat Papua yang sedang membuat perahu

Sumber Foto: D

okumen A

MA

NLaporan Utama Laporan Utamakum baru yang disebut badan hukum. Badan hukum dipahami sebagai orga-nisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang da-pat menyandang hak dan kewajiban. Negara dan Perseroan Terbatas, mis-alnya, adalah organisasi atau kelom-pok manusia yang merupakan badan hukum. Baik negara maupun PT bisa melakukan tindakan dan akibat hu-kum yang hampir sama persis dengan manusia. Bahkan dianggap sama-sa-ma pernah lahir dan kemudian mati. Perbedaannya adalah pada jenis pen-gaturan untuk menentukan peristiwa hukum.

Berkaitan dengan masyarakat adat, sejak jaman Kolonial dan dalam sejumlah peraturan perundang-un-dangan saat ini, ada kategori yang di-sebut dengan masyarakat hukum adat. Ter Haar bahkan merumuskan definisi kategori tersebut tetapi hanya ber-henti menjadi temuan. Tidak ada satu pun ahli hukum yang meneruskannya menjadi teori ketiga untuk mengkon-struksikan jenis subyek hukum baru. Karena itu, secara hukum, kerumitan syarat, ukuran dan apapun yang dikri-tik oleh teman-teman sebagai penga-kuan bersyarat terhadap masyarakat adat pertama-tama berasal dari kega-mangan konstruksi subyek. Sementara di sisi lain, saya menangkap tuntutan sebagaian besar orang yang ada di fo-rum ini agar masyarakat (hukum) adat diakui secara penuh, termasuk tinda-kan (hukum) yang dia lakukan, baik ke dalam maupun ke luar. Suatu saat dan memang seringkali terjadi, masyara-kat (hukum) adat berhadapan dengan subyek hukum tertentu, seperti PT A, B atau Koperasi A, B.. Pertanyaan hu-kum yang akan selalu muncul adalah apa yang disebut dengan masyara-kat (hukum) adat, apakah dia sebuah subyek hukum baru yang menyandang

hak dan kewajiban atau hanya diperla-kukan seperti organisasi biasa.

Berkaitan dengan rencana mendorong RUU Masyarakat adat, pertanyaan subyek hukum kembali muncul karena sebagai sebuah pro-duk hukum modern, aturan itu harus jelas mengkategorikan subyek hukum mana yang diatur, apa saja obyek hak dan kewajibannya. Dan bagaimana pengaturan hubungan hukumnya dengan subyek hukum yang lain. Se-lama ini, konstruksi hak menjadi tegas dan punya legitimasi jika subyeknya jelas. Hak milik pribadi, misalnya, se-mua orang tahu itu milik si A karena memang konstruksi subyek-nya jelas. Tapi legitimasi akan loyo kalau krite-ria saja kita tidak punya.

Kembali ke pertanyaan bang Yan-do, pengakuan mana lagi. Menurut saya, yang penting bukan aturannya dulu tapi merumuskan teori-nya apa-kah memang masyarakat adat disebut subyek hukum penyandang hak dan kewajiban atau sesuatu yang lain.

Pendapat Steny tersebut kemudi-

an memicu penggantian subjek email menjaid Hak Adat Diabaikan --> masa depan RUU PPMA.

Para peserta milis adat kemudian memasuki perdebatan baru dengan adanya lontaran pertanyaan penggu-naan istilah Masyarakat Adat atau Ma-syarakat hukum adat?

Pertanyaan tersebut bagi Yando tidak harus dipertentangkan. Karena kedua hal tersebut lebih banyak sama ketimbang bedanya. Kemudian Yando menyarankan untuk tidak mengha-biskan energi dengan mempertentang kedua istilah tersebut. Lebih baik en-ergi dan pikiran ditumpahkan untuk menguraikan esensi bagi keniscayaan rekognisi atas keberadaan masyara-kat hukum adat cq. masyarakat adat itu. Dalam hal penggunaannya secara praktis dalam proses legislasi misal-nya, mungkinkah ada jalan lain selain merujuk pada apa yang telah disebut konstitusi, pasca amandemen dan juga sebelumnya.

Yance Arizona (EPISTEMA) ke-mudian mengurai pendapatnya. Selain

dihadapkan pada persoalan sosial dan ekologis, tantangan lain dalam peny-usunan RUU PPMA adalah menyele-saikan persoalan normatif. Hal ini ter-jadi karena simpangsiurnya pengatu-ran tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat yang ada selama ini.

Kalau ingin mempertentangkan-nya, ada banyak sekali istilah yang bisa dilekatkan kepada masyarakat adat. Selain istilah ’masyarakat adat’ itu sendiri, ada istilah lain seperti ’masyarakat hukum adat’, ’kesatuan masyarakat hukum adat’, ’masyarakat tradisional’ bahkan istilah ’komunitas adat terpencil’. Kesemua istilah itu sah karena digunakan dalam peraturan perundang-undangan.

RUU PPMA dirancang untuk men-gatasi persoalan normatif tersebut. Misalkan dengan merumuskan da-lam salah satu pasalnya kelak: ”Ma-syarakat adat adalah apa yang juga dikenal dengan istilah masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hu-kum adat, masyarakat tradisional dan komunitas adat terpencil”.

Erasmus Cahyadi (PB AMAN) mengutarakan pendapatnya berda-sarkan pelaksanaan konsultasi yang telah dilakukan. Dalam beberapa konsultasi yang telah dilakukan, ke-banyakan profesor yang hadir mem-pertanyakan soal istilah yang dipakai. Beberapa diantaranya malah khawatir bahwa penggunaan istilah ”MASYARA-KAT ADAT” dalam Naskah Akademik yang nanti akan dipakai juga dalam Draft RUU, justeru berdampak pada ”kemandegan” proses pembahasan di DPR. Karena cantolan dalam konsti-tusi adalah istilah ”Masyarakat Hukum Adat”, bukan istilah Masyarakat Adat. Kecuali kalau memang dapat dibukti-kan bahwa semua istilah yang dipakai selama ini merujuk pada satu subjek yang sama.

Selanjutnya, Abdon Nababan kembali menguraikan gagasan-gagas-anya yang cenderung merefleksi sys-tem ilmu pengetahuan dan teori yang didominasi kelompok pemenang atau kaum penjajah. Karena hingga saat ini, Abdon pun belum yakin bahwa ilmu hukum dengan segala teorinya bisa digunakan untuk menggapai keadi-lan. Hukum itu sudah pasti hasil dari proses politik. Artinya hukum sangat ditentukan oleh dinamika kelompok kepentingan pada masa hukum itu dibuat. Seperti juga sejarah, hukum pun adalah miliknya para pemenang, mereka yang terwakili di dalam insti-tusi-institusi politik!

Namun semua teori-teori ter-sebut tidak boleh menghambat kita untuk membangun sistim, teori dan praktek hukum baru yang berkeadi-lan, yang menjamin (suatu saat nanti) masyarakat adat bisa berdaulat secara politik, Mandiri secara ekonomi dan tetap bermartabat secara budaya.

Pilihan JAPHAMA tahun 1993 dan KMAN I tahun 1999 untuk meng-

gunakan istilah “masyarakat adat” sudah sangat jelas acuan dasarnya, yaitu hak-hak dasar masyarakat adat, atau disingkat hak-hak adat, seba-gai HAM, mengikuti diskursus global tentang hak-hak kolektif pada masa itu dengan terminology “indigenous peoples”. Proses penciptaan dan pe-nerimaan istilah “masyarakat adat” sebagai padanan “indigenous peoples” merupakan capaian paling penting dari gerakan masyarakat adat nusan-tara. Dengan konsistensi dan persis-tensi kita selama ini, terbukti bahwa diskursus/wacana ini terus menjalar ke ruang-ruang publik, ruang-ruang politik di negeri ini dan bahkan ke-mudian diadopsi menjadi kebijakan. Istilah dan pengertian “masyarakat adat” bukan lagi diskursus/wacana tetapi sudah berubah atau (diterima Negara) menjadi pengertian politik/kebijakan/hukum yang baru. Sungguh memperihatinkan jika kita yang bera-da di barisan depan gerakan masyara-kat adat nusantara kemudian menjadi ragu terhadap istilah dan pengertian

Page 4: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN8 9GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

� Wilayah Adat komunitas adat Seko yang kaya akan Sumber Daya Alam

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

Laporan Utama Laporan Utama

“masyarakat adat” sebagai padanan, bahkan penerjemahan operasional di Indonesia, untuk istilah dan pengertian “in-digenous peoples” yang hak-hak dasar sudah mendapatkan penegasan sebagai HAM (Konvesi ILO 169, UNDRIP, dll.)

Dari konsep dan sejarah “masyarakat adat” di atas sangat jelas bahwa konstruksi hukum untuk hak-hak adat ini tidak boleh tidak, harus sesuai dengan konstruksi hu-kum HAM! Teori hukum HAM untuk hak-hak adat juga se-dang berkembang dan kita di Indonesia sangat potensial menyumbangkan pikiran untuk membangun konstruksi hukum HAM ini. Kita memang dituntut menjadi produsen teori baru, bukan terus menerus menjadi konsumen teori yang dibuat oleh pihak lain yang kita sendiri belum tahu pasti apa motivasi dibalik teori-teori ini. Konsep dan teori tentang hukum adat memang merupakan konsep/teori yang progresif di abad 19. Tapi kalau kita bandingkan kon-sep/teori jaman Ter Haar itu dengan perkembangan teori hukum HAM 20 tahun terakhir ini maka konsep/teori ten-tang hukum adat dari abad 19 itu sudah sangat primitive, ketinggalan jaman. Cukuplah konsep/teori hukum lama itu kita gunakan sebagai catatan sejarah dari masa lalu. Gera-kan ini akan mati dengan sendirinya kalau teori-teori pri-mitive semacam itu masih kita gunakan untuk merancang jalan baru menuju masa depan masyarakat adat yang ber-daulat, Mandiri dan bermartabat.

Abdon juga memahami bahwa pikiran pribadinya ini

tidaklah sama dengan pemikiran kolektif yang hidup di AMAN maupun dalam gerakan masyarakat adat nusantara yang lebih luas. Dari pengalamannya selama ini, Abdon berkesimpulan bahwa hukum memang dibuat oleh para pemenang untuk menciptakan tertib sosial (untuk mence-gah kekacauan social dan anarki) menurut keinginan (kri-teria dan indikator) mereka yang punya kekuasaan politik dalam pembuatan hukum. Sekarang (melalui proses kon-sultasi Nasakah Akademik dan draft RUU PPMA) ada ruang bagi masyarakat adat untuk membuat sendiri hukum yang akan berlaku untuk diri mereka. Mari kita buat NA dan draft RUU yang paling baik, paling ideal, paling sesuai men-urut masyarakat adat untuk bisa hidup dengan aman dan damai di Negara Republik Indonesia, bukan menurut teori A, B atau Z. Kalau pun nanti RUU yang kita buat ini belum bisa dibahas dan disahkan menjadi UU nasional di NKRI, paling tidak KMAN IV di Tobelo nanti bisa mensahkannya sebagai hukum yang berlaku di AMAN. Masyarakat adat memberlakukannya secara sepihak sesuai dengan motto perjuangan “Kalau Negara Tidak Mengakui Kami, Kami pun Tidak Mengakui Negara”.

Kita harus memegang teguh istilah dan definisi “ma-syarakat adat” versi JAPHAMA dan KMAN I sebagai opera-sionalisasi konsep dalam istilah “indigenous peoples” di Indonesia.

�Disusun oleh Jopi Peranginangin

Konsultasi regional Sulawesi untuk Penyusunan ancangan Undang-Undang Pengakuan dan Per-lindungan Masyarakat Adat berlangsung alot di akassar. Kegiatan yang dilaksanakan AMAN

Sulsel bekerjasama dengan Pusat Kajian Hukum Agraria an Hukum Adat Universitas Hasanuddin, Pusat Studi Hak Azasi Manusia (Pusham) Universitas asanuddin ini dihadiri pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) se-Sulawesi dan omunitas-komunitas adat di Sulawesi.

Kegiatan yang digelar di pusat pelatihan LPMP Makas-sar berlangsung mulai Kamis (7/4/2011) dan berakhir Jumat (18/4/2011) petang. Kegiatan ini kemudian dirang-kaikan dengan Konsolidasi AMAN Sulsel dimulai Sabtu-Minggu (9-10/4/2011) di tempat yang sama. kegiatan yang dibuka salah satu satu staf ahli Gubernur Sulawesi Selatan ini diawali dengan seminar dan lokakarya dengan menam-pilkan pembicara masing-masing Prof.Dr. Andi Suryaman Mustari Pide, SH, MH, Kepala Pusat Kajian Hukum Agraria dan Hukum Adat Unhas, M. Yusran Kabag Perundang-Un-dangan, Biro Hukum, Pemprov Sulawesi Selatan, dan Yance Arizona dari Epistema Institute yang juga salah satu ang-gota tim substansi naskah akademik RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.

Suasana seminar berlangsung alot ketika Prof. Surya-man menyampaikan materi tentang hak-hak serta penga-kuan terhadap masyarakat adat oleh negara. Suryaman yang berbicara berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan untuk beberapa komunitas adat di Indonesia mencoba mengemukakan kondisi riil perlakuan negara atau pemerintah terhadap eksistensi masyarakat adat dan hukum adat. Suryaman yang mencoba mengacu pada indi-kator-indikator formal untuk menjadi acuan untuk melihat eksistensi dan potensi masyarakat adat saat ini, mendapat tanggapan antusias dari peserta lokakarya.

Para tokoh adat menghawatirkan jika kemudian indi-kator-indikator formal serta hukum positif peninggalan kolonial itu terus menjadi acuan untuk menguatkan eksis-tensi masyarakat adat, maka jalan menuju ke pengakuan kedaulatan masyarakat adat tidak akan tercapai. (jc)

Jangan Terlena di ProlegnasKepala Pusat Studi Hukum Agraria dan Masyarakat

Adat Universitas Hasanuddin, meminta kepada Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan jaringan orga-nisasi masyarakat sipil yang mendukung pengajuan draft Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat agar tidak terlena dengan capaian RUU tersebut yang sudah sampai di Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Capaian ini bisa saja ”erpending”atau bahkan mengendap lama di Senayan, jika tidak dikawal dan diper-juangan dengan serius. Apalagi undang-undang ini secara politis maupun ekonomi, tidak dianggap penting di tengah-tengah gencarnya melahirkan undang-undang yang ber-dampak pada investasi.

Berbicara sebagai narasumber pada Konsultasi Regio Sulawesi untuk Penyusunan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, di Makassar, Kamis (7/4/2011), Suryaman mengatakan, selama 2010, ada 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) namun dari jumlah ter-sebut baru 7 RUU yang disahkan menjadi Undang-Undang. Hal ini, menurut dia, harus menjadi pembelajaran bagi AMAN, jaringan organisasi masyarakat sipil, serta segenap masyarakat adat, bahwa kemungkinan sulit untuk menwu-judkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat ini secara formal.

Apalagi, menurut Suryaman, di tahun 2011 ini, DPR masih cenderung memberi perhatian pada RUU yang dianggap perioritas, salah satunya adalah draft RUU Zakat yang sedang dibahas Komisi 8 DPR. Karena itu, jika draft RUU kemudian tidak memperoleh dukungan politik yang kuat, terutama dari masyarakat adat sendiri, akan tersen-dat, dan tidak tertutup kemungkinan akan didahuli oleh draft RUU lain yang dianggap mendesak.

Suryaman menganggap penting memperkuat naskah akademik RUU ini. Selain itu, persoalan istilah juga mesti disepakati, yakni antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. Di kalangan masyarakat adat dan publik me-nyebut masyarakat adat, tetapi di kalangan akademis me-nyebut masyarakat hukum adat.

’’Kita harus menyepakati dan menyamakan persepsi, karena jika tidak akan disalahtafsirkan oleh DPR atau pi-hak-pihak yang terkait wewenang dalam proses dan peng-esahan RUU ini,’’ kata peneliti masyarakat adat ini.

Konsultasi Regional Sulawesi dilaksanakan selama dua hari di Makassar, yang diikuti AMAN se-Sulawesi, serta per-wakilan dan komunitas-komunitas masyarakat adat. (jc)

Alot, Konsultasi RUU Masyarakat Adat Sulawesi

Page 5: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN10 11GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

Laporan Utama Laporan Utama

Pada 9 – 10 Maret yang baru lalu, AMAN didukung oleh PUSAKA, EPISTEMA, HuMa, FWI dan Tela-pak, bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) menyelenggarakan konsultasi pu-

blik untuk menjaring masukan dari berbagai kalangan di wilayah Sumatera dalam rangka menyempurnakan Naskah Akademik RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Medan, Sumatera Utara. Sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya, konsultasi itu juga dimaksudkan untuk menginformasikan kepada publik di region Sumatera mengenai inisiatif RUU, serta mengkonso-lidasikan jaringan gerakan pendukung masyarakat adat di region Sumatera untuk turut serta mendukung inisiatif ini. Konsultasi di wilayah Sumatera ini merupakan awal dari rangkaian konsultasi yang akan dilaksanakan di 6 region lain di seluruh nusantara hingga Mei 2011.

Konsultasi di Sumatera dihadiri oleh sedikitnya 150 orang, tiga kali lebih banyak dari perkiraan sebelumnya. Peserta terdiri dari berbagai kalangan, yaitu anggota komu-nitas masyarakat adat anggota AMAN di region Sumatera, para pengurus AMAN wilayah dan/atau daerah di seluruh region Sumatera, kalangan akademisi dari Universitas Su-matera Utara, DPRD Provinsi Sumatera Utara dan organi-

sasi non-pemerintah dan juga kalangan pers yang berada di Medan dan sekitarnya.

Bertempat di Gedung Peradilan Semu USU, konsultasi diawali dengan sambutan dari Harun Nuh sebagai Ketua Badan Pengurus AMAN Sumatera Utara sekaligus sebagai Ketua Panitia Pelaksana kegiatan. Kemudian diikuti dengan sambutan dari Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum USU, serta Abdon Nababan sebagai Sekjend AMAN. Dengan gaya bahasa yang berbeda-beda semua sambutan menunjukkan bahwa undang-undang yang sedang didorong itu adalah perintah Konstitusi. Tidak hanya itu, undang-undang yang mengakui dan melindun-gi hak-hak masyarakat adat semakin penting mengingat marginalisasi terhadap masyarakat adat semakin kentara sehingga segala hal ikhwal tentang masyarakat adat haru-slah diatur secara normatif di dalam satu undang-undang. Semua bersepakat bahwa undang-undang itu haruslah di-buat dalam rangka me-rekonstruksi hubungan antara ma-syarakat adat dengan negara di masa depan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Begitu pula pada sesi seminar yang menghadirkan 3 orang narasumber, yaitu Samsul Hilal dari DPRD Provinsi Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum dari

Konsultasi Publik Sumatera

RUU PPHMA Adalah Amanat KonstitusiUSU, dan Emilianus Ola Kleden sebagai anggota penyusun naskah akademik RUU tentang Pengakuan dan Perlindun-gan Hak-Hak Masyarakat Adat. Semua narasumber meny-ambut baik inisiatif mendorong undang-undang penga-kuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Samsul Hilal mengingatkan bahwa saat ini masyarakat adat tengah berada ditengah kemiskinan yang akut. Oleh karena itu, undang-undang yang sedang didorong harus mampu mem-berikan jawaban dan mengangkat masyarakat adat dari ke-terpurukan ekonominya. Ia juga menyuarakan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang selama ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat adat. Tidak ada gunanya undang-undang ini jika nanti tidak ada upaya harmonisasi antara undang-undang sektoral dengan undang-undang yang sedang kita dorong ini, tandasnya.

Sementara itu, Emilianus Ola Kleden mengemukakan nilai penting dari tanah pada masyarakat adat. Baginya, hak atas tanah tidak saja merupakan prasyarat bagi tercip-tanya kesejahteraan pada masyarakat adat tetapi juga me-rupakan unsur utama pembentuk jati diri masyarakat adat. Dalam sessi tanya jawab, pendapat Emil Kleden mengenai pentingnya tanah bagi eksistensi masyarakat adat diamini oleh Profesor Bungaran dari USU. Profesor Runtung Sitepu dari USU mengingatkan bahwa jangan sampai inisiatif yang berkembang justeru melemahkan unsur pengakuan yang terdapat di dalam konstitusi. Karena itu Profesor Runtung menyampikan beberapa usulan mulai dari judul sampai pada isi yang menurutnya masih harus dijelaskan secara lebih mendalam dalam naskah akademik. Ia juga menam-bahkan bahwa fakta empiris termasuk mengenai kasus-ka-sus pelanggaran terhadap hak masyarakat adat selama ini perlu dipertegas dalam naskah akademik karena fakta em-piris itulah yang dapat memberikan gambaran mengenai “urgensi” dari RUU yang sedang didorong.

Nada yang sama juga disuarakan ketika konferensi pers. Sekjend AMAN, Dekan Fakultas Hukum USU dan per-wakilan masyarakat adat dari seluruh wilayah di Sumatera yang hadir sama-sama menyampaikan kepada media men-genai pentingnya undang-undang ini.

Setelah konferensi pers, acara dilanjutkan dengan lo-kakarya yang hanya diikuti oleh unsur masyarakat adat. Fasilitator pada lokakarya adalah Yando Zakaria dan Emilianus Ola Kleden dan dibantu oleh Erasmus Cahyadi, Rhendhard Sirait dan Arifin Saleh sebagai fasilitator pada diskusi-diskusi kelompok. Peserta lokakarya dibagi ke da-lam 4 kelompok diskusi yang akan membahas 1 topik yang sama, yaitu mengenai masyarakat adat sebagai subjek. Dis-kusi-diskusi kelompok sangat dinamis dan konstruktif. Ini terbukti dari banyak dan beragamnya penyampaian pre-senter diskusi kelompok pada pleno. Secara umum, diskusi

kelompok sessi pertama ini berhasil memperkaya gagasan mengenai siapa saja yang disebut sebagai masyarakat adat dan sedikit banyak juga mengurai tentang pandangan me-reka terhadap yang bukan masyarakat adat.

Lokakarya dilanjutkan pada malam hari. Jika siang hari sampai sore hari lokakarya dilakukan di Gedung Pe-radilan Semu Fakultas Hukum USU, lokakarya pada malam malam harinya dilakukan di Asrama Haji yang sekaligus menjadi tempat menginap bagi peserta. Yando Zakaria kembali menjelaskan secara singkat mengenai konsepsi hak bawaan pada masyarakat adat supaya peserta menda-patkan gambaran dalam merumuskan apa saja yang men-jadi hak-hak mereka. Untuk mengurai jawaban itu, maka peserta kembali dibagi ke dalam 4 kelompok. Hasil diskusi kelompok kemudian dibahas di dalam pleno. Hasilnya? Me-reka menyampaikan begitu banyak daftar mengenai objek hak, jenis-jenis hak maupun sifat dari masing-masing hak itu. Bahkan peserta juga mendaftar hak-hak yang tidak berwujud, termasuk sistem pengetahuan mereka (kearifan tradisional).

Pada pagi hari di tanggal 10 Maret, peserta kembali di-bagi ke dalam 4 kelompok dengan topik diskusi mengenai posisi masyarakat adat terhadap negara. Pada sessi ini, peserta diharapkan mampu merancang berdasarkan pen-genalan terhadap diri dan hak-hak mereka pada dua sessi sebelumnya, posisi masyarakat adat terhadap negara yang seharusnya di masa depan. Ada dua pendapat yang disam-paikan pada pleno. Pertama, sebagian peserta mengingin-kan agar masyarakat adat otonom terhadap negara, terma-suk dalam urusan pemerintahan. Peserta pada kelompok ini menganjurkan supaya negara tidak campur tangan dalam urusan masyarakat adat termasuk urusan pemerin-tahan. Sebagian peserta menganjurkan agar otonomi ma-syarakat adat itu tetap diletakkan dalam konteks pemerin-tahan formal, seperti desa atau disebut dengan nama lain.

Secara keseluruhan, lokakarya dilakukan dalam pro-ses yang cukup menarik dan hidup. Para fasilitator tidak saja menjadi teman diskusi bagi peserta, tetapi juga mem-berikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi peser-ta dalam merumuskan diskusi-diskusi kelompok. Mereka juga berhasil mengatur ritme dari perdebatan, meskipun ada beberapa peserta ngotot untuk terus bicara. Tapi di sanalah letak dinamika dari sebuah lokakarya. Akhirnya konsultasi berakhir dengan makan siang dan foto bersama di salah satu sudut Asrama Haji. Selanjutnya, para peserta berangkat menuju kampong Secanggang, untuk mengikuti kegiatan konsolidasi anggota AMAN dalam rangka persia-pan Kongres AMAN yang ke empat yang direncanakan akan dilakukan di Halmahera Utara pada Maret 2012.***

�Disusun oleh Erasmus Cahyadi

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

Page 6: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN12 13GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

Perkembangan politik yang tidak menjanjikan

Masih ingat pidato Presiden So-esilo Bambang Yudhoyono pada pe-rayaan hari internasional masyarakat adat pada tahun 2006 di Taman Mini Indonesia Indah? Pada perayaan yang tidak saja dihadiri oleh perwakilan masyarakat adat dari seluruh nusan-tara, tetapi juga oleh banyak utusan masyarakat adat dari mancanegara, sang Presiden dengan cukup tegas mengungkapkan bahwa masyarakat adat berada pada posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-hak nya. Lebih lanjut Presiden menyatakan ba-hwa pemerintah tentu harus berpihak kepada yang lemah itu. Pidato sang presiden itu sempat mempertebal asa di kalangan masyarakat adat dan pegi-at masyarakat adat di Indonesia, teru-tama AMAN yang sejak tahun 2004 te-lah intens mendorong gagasan terma-suk melakukan beberapa konsultasi di wilayah mengenai pentingnya sebuah undang-undang yang mengakuai dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Ternyata pidato sang Presiden hanyalah sebuah teks yang telah ber-hasil mempermanis suasana perayaan kala itu. Hampir 5 tahun berselang, teks pidato sang presiden mungkin sudah tersimpan rapih di lemari arsip. Implementasinya? Sejauh ini masih nihil…!!! Penindasan dan pengabaian hak-hak masyarakat adat terus me-nerus terjadi tanpa upaya penyele-saian. Bahkan perkembangan politik di Pemerintah dan DPR akhir-akhir ini menunjukkan gelagat yang kurang baik di mana RUU Pengakuan dan Per-lindungan Hak-Hak Masyarakat Adat tidak termasuk dalam daftar RUU pri-oritas dalam Prolegnas tahun 2011.

Menyikapi apatisme negara ter-hadap masyarakat adat

Melihat situasi politik yang tidak menjanjikan itu, masyarakat adat di seluruh nusantara tentu tidak boleh berpangku tangan. Diperlukan tinda-kan-tindakan nyata dan segera dalam rangka mewujudkan mimpi penga-kuan dan perlindungan hak-hak masy-arakat adat. Karena itu, AMAN meng-konsolidasikan diri dengan jaringan pendukung agar undang-undang yang mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat segera ada. Berun-tung karena ada begitu banyak orga-nisasi non-pemerintah yang bekerja pada isu masyarakat adat. Hasil-hasil diskusi dan penelitian yang diseleng-garakan oleh berbagai organisasi non-pemerintah yang bekerja pada isu masyarakat adat itu dan juga diskusi-diskusi yang dilakukan oleh AMAN sendiri telah memperkaya gagasan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Pada awal September 2010, AMAN melaksanakan sebuah lokaka-rya di Jakarta yang dihadiri oleh ber-bagai kalangan termasuk 7 lembaga non-pemerintah yang selama ini be-kerja di lingkup isu masyarakat adat, seperti PUSAKA, EPISTEMA, HUMA, TELAPAK, SAWIT WATCH, FOREST WATCH INDONESIA dan AMAN sen-diri. Peserta lokakarya bersepakat tentang pentingnya pembentukan tim yang akan mengawal proses ad-vokasi. Karena itu maka pada akhir September 2010, dibentuk 4 tim, yang terdiri dari: tim penyusun naskah aka-demik, tim kampanye, tim pendanaan, dan tim lobby. Setelah tim terbentuk, AMAN dan jaringannya melaksana-kan serangkaian diskusi dan seminar

dalam rangka memperkaya wacana dalam penyusunan naskah akademik, juga menyusun rencana-rencana kam-panye dan lobby. Hasil kerja selama ini telah menunjukkan hasil. Naskah aka-demik telah selesai disusun. Naskah ini berisi 9 hal pokok, yaitu: pemba-hasan mengenai situasi masyarakat adat saat ini, alasan-alasan mengapa masyarakat adat perlu sebuah un-dang-undang, pembahasan menge-nai masyarakat adat sebagai subjek, prinsip-prinsip pengakuan dan per-lindungan hak-hak masyarakat adat, kedudukan masyarakat adat di hada-pan negara, hak-hak masyarakat adat, bentuk pengakuan hukum dan prose-dur pengakuan terhadap masyarakat adat, tanggungjawab pemerintah, dan terakhir adalah penyelesaian konflik. • Sebagai bahan dasar dalam me-

nyusun RUU, naskah akademik itu perlu dikonsultasikan ke kalangan yang lebih luas, yang meliputi komunitas-komunitas masyara-kat adat beserta pengurus wilay-ah dan daerah, pemerintah, DPR, akademisi, dan organisasi non-pemerintah. Konsultasi bertujuan untukMemperdengarkan kepada kalangan luas gagasan-gagasan tentang pentingnya satu aturan hukum (UU) yang mengakuai dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

• Menjaring masukan dari berba-gai kalangan di tingkat nasional dan wilayah dalam rangka mem-perkaya dan memperkuat naskah akademik yang telah dibuat;

• Mengkonsolidasikan jaringan pro gerakan masyarakat adat, mu-lai dari komunitas masyarakat adat, kalangan perguruan tinggi,

organisasi non-pemerintah, ek-sekutif pada berbagai tingkatan (Pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten), serta legislatif (DPR, DPD dan DPRD) untuk turut men-dukung suksesnya undang-un-dang ini yang mengakui dan mel-indungi hak-hak masyarakat adat;Konsultasi akan dilakukan dalam

dua tahap. Pertama, konsultasi di 7 region yaitu: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali dan Nusa Tengga-ra, Maluku, dan Papua. Kedua adalah 1 kali konsultasi nasional yang akan dilaksanakan Jakarta setelah semua konsultasi region selesai dilakukan. Konsultasi region pertama dilaku-kan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 9 – 10 Maret 2011. Konsultasi region Sumatera akan melibatkan ko-munitas masyarakat adat dari seluruh wilayah di seluruh region Sumatera, unsur pemerintah daerah, DPRD dan juga organisasi non-pemerintah di wi-layah Sumatera. Begitu pula konsulta-si di region yang lain akan melibatkan peserta dari unsur-unsur demikian.

Merancang tindakan yang berdam-pak Politis

Konsultasi tidak akan berge-ma kuat jika tidak disertai dengan upaya-upaya lobby, kampanye dan aksi massa, apalagi di saat pemerin-tah dan DPR sangat lamban dalam merespon tuntutan-tuntutan masy-arakat adat. Ada 2 faktor utama yang menjadi pertimbangan pemerintah dan DPR dalam memasukkan sebuah RUU ke dalam prolegnas, yaitu faktor politik dan faktor ekonomi. Jika ingin agar RUU Pengakuan dan Perlindun-gan Hak-Hak Masyarakat adat dibahas pada masa sidang DPR tahun 2011 maka masyarakat adat nusantara dan pegiat masyarakat adat harus dapat menunjukkan bahwa RUU ini menja-wab dua faktor itu. Ini bukanlah hal yang mustahil meskipun RUU ini tidak terdaftar dalam RUU prioritas pemba-

hasan tahun 2011. RUU Hortikultura yang telah menjadi UU adalah contoh nyata bagaimana faktor politik dan ekonomi memainkan hal penting da-lam penentuan RUU prioritas dalam Prolegnas. Pada awalnya RUU Horti-kultura tidak masuk agenda prioritas pembahasan tahun 2010. Tetapi para pengusungnya yang konon kabarnya adalah korporat-korporat berhasil menunjukkan kepada DPR bahwa RUU itu penting secara ekonomi maka RUU itu kemudian masuk menjadi prioritas tahun 2010.

Sayangnya, RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat adat sejauh ini tidak menunjukkan “bau” uang (ekonomi). Bahkan boleh

Perkembangan Advokasi RUU PPHMAErasmus Cahyadi

� Suasana pelaksanaan konsultasi RUU PPHMA untuk region Bali-Nusra di Denpasar

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

jadi RUU ini akan mendapatkan tan-tangan berat dari kalangan pengusaha yang jelas-jelas berkepentingan pada tanah-tanah masyarakat adat. Lalu ba-gaimana masyarakat adat harus me-nunjukkan bahwa RUU ini penting dan harus dibahas segera? Uang dan kuasa boleh jadi tidak dimiliki oleh masyara-kat adat. Di samping lobby dan kam-panye media, sebuah aksi massa da-lam skala luas boleh jadi merupakan beberapa tindakan yang masuk akal untuk menghadirkan dampak politis sehingga para pengambil kebijakan merasa perlu segera membahas RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan hak-Hak Masyarakat Adat. SEMOGA…

Laporan Utama Laporan Utama

Page 7: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN14 15GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

Pojok Gaung Pojok Gaung

Tak dapat disangkal bahwa Bangsa Indonesia diban-gun dari ribuan suku yang berbudaya gotong-royong.

Ironisnya gotong-royong yang meru-pakan intisari dari Pancasila sudah mulai ditinggalkan bersama dengan hilangnya budaya ber-musyawarah (mufakat).

AMAN menyampaikan kepriha-tinannya atas ancaman kepunahan gotong-royong dan musyawarah adat dalam kehidupa n masyarakat. “Hilan-gnya kedaulatan bangsa, karena kita melupakan gotong-royong dan musy-awarah dalam ke hidupan bernegara”. Pidato Sekretaris Jenderal AMAN pada perayaan Hari Kebangkitan Masyara-kat Adat Nusantara ke-12 (HKMAN XII), 17 Maret 2011.

Keprihatinan tersebut sangat beralasan. Pasalnya, gotong-royong yang dilandasi musyawarah sering di-

lecehkan oleh pemangku k ebijakan, penguasa dan modal. Atas nama pem-bangunan.

“Konservasi” dan “Konsesi” di-jalankan di atas wilayah adat tanpa FPIC (Free, Prior and Informed Cons ent) melalui musyawarah adat. Hal ini selalu menimbulkan konflik. Ma-syarakat adat selalu menjadi korban dari keganasan “agresi pembangunan” tersebut.

Oleh karena itu, tema kali ini adalah dengan bergotong-royong yang dilandasi Musyawarah Adat un-tuk Mufakat “Kita Pelihara dan Ke-lola Kekayaan Titipan Leluhur Kita Untuk mewujudkan Kehidupan Ma-syarakat Adat Yang mandiri secara Ekonomi”. Semangat ini digaungkan ke seluruh penjuru Nusantara dalam perayaan HKMAN XII.

Secara Nasional, AMAN telah menetapkan perayaan HKMAN XII di

Cikotok, Kecamatan Cibeber, Banten. Terselenggara atas kerjasama Pengu-rus Daerah AMAN SABAKI (PD AMAN PEDAS), Pengurus Besar (PB AMAN), Komunitas Adat Kasepuhan Banten Kidul dan Pemerintah Daerah.

Perayaan kali ini cukup meriah. Peserta mencapai 3000 orang yang berasal dari Komunitas Adat, Lemba-ga Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Tingkat Daerah maupun Nasional.

Acara dimulai dengan festival bu-daya Kasepuhan Banten Kidul. Pagi itu, para Olot Lembur atau sesepuh adat diikuti incu putu, dengan iringan Rengkong, Dog-dog Lojor, Tanjidor, dan Klarinet menuju lapangan Cikotok. Me-reka berkumpul ditengah lapangan dan mengelar atraksi budaya, seperti De-bus, Pencak Silat, Lisung, Gondang dan Tembang Buhun yang diiringi Kecapi.

Sukanta selaku Ketua Panitia pe-

rayaan HKMAN XII mengajak semua pihak (baik Masyarakat Adat, Peme-rintah dan Lembaga Lain) untuk me-nyamakan persepsi dalam memban-gun Bangsa Indonesia. “Tilu sapamulu, dua sakarupa, Anu Hiji eta-eta keneh” merupakan prinsip yang dijalankan oleh masyarakat adat Kasepuhan yang berpegang pada aturan Negara, Adat dan Agama.

Pada kesempatan ini, Masyarakat adat se-Banten Kidul menyampaikan tuntutan kepada pemerintah Indone-sia, yaitu; 1. Menuntut pemerintah (pusat dan

daerah) agar segera mengeluar-kan payung hukum untuk perlin-dungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Baik Undang-Undang maupun Peraturan Dae-rah.

2. Menuntut adanya tatabatas ulang, agar lahan garapan masyarakat adat dikeluarkan dari “wilayah” Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Karena konflik yang terjadi selama ini diakibatkan oleh tidak adanya kejelasan tatabatas terse-but.

3. Meminta Pemerintah Daerah un-tuk memperbaiki infrastruktur di Banten Kidul untuk kelancaran masyarakat adat dalam mengak-ses dan memasarkan hasil bumi mereka.Menurut Ugis Suganda, PD AMAN

PEDAS, secara defacto masyarakat adat sudah ratusan tahun mengelola wilayah adat. Namun secara yuridis status tersebut masih lemah. Diperlu-kan payung hukum yang kuat agar ma-syarakat tenang dan aman dalam men-gelola wilayah adat. Dengan demikian masyarakat adat akan sejahtera.

Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah dalam pidatonya menyampaikan bah-wa Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak akan memproses secepatnya Peratuan Daerah (PERDA) untuk Kas-epuhan Banten Kidul. Sehingga ma-

syarakat adat dapat mengakses sum-berdaya alamnya secara maksimal. PEMDA Lebak juga telah membentuk Tim Teknis untuk meninjau ulang ta-tabatas wilayah.

“Di Kabupaten Lebak, ada komu-nitas adat di delapan (8) kecamatan yang wilayah adatnya berada di dalam wilayah Taman Nasional Halimun-Sal-ak. Rata-rata penduduknya miskin den-gan pendapatan 300 ribu perbulan” kata Amir Hamzah. Oleh karena itu, selain PERDA pemerintah juga men-janjikan pembangunan infrastruktur bagi di Banten Kidul.

Dalam pidatonya, Drs. Gendro Nurhadi M.Pd, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Kementerian Budaya dan Pariwisata “mengingat-kan” bahwa rencana pembangunan di Banten Kidul, jangan sampai meru-sak nilai-nilai budaya dan adat istia-dat dari masyarakat adat. Beliau juga mengajak masyarakat adat di seluruh Nusantara agar menjaga dan meles-tarikan nilai budaya bangsa warisan leluhur. Nilai-nilai tersebut jika dia-preasi dan diserap dengan baik akan dapat menjadi sumber inspirasi bagi perubahan pelestarian budaya secara luas (global). Jika tidak, keragaman

budaya akan tercerai berai dan tidak dikenali oleh anak cucu kita.

Abdon Nababan, SEKJEN AMAN mengajak bangsa Indonesia untuk menghidupkan kembali ajaran leluhur akan pentingnya gotong -royong dan musyawarah. Inilah agenda utama gerakan AMAN saat ini. Mengingat Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada situasi yang memprihatinkan.

Perampasan wilayah adat terus terjadi. Masyarakat adat semakin hari makin menderita. Jauh dari cita-cita kemerdekaan yang diproklamasikan oleh founding father kita, Soekarno.

Untuk itu, kesadaran memetakan wilayah adat harus ditingkatkan. “Pe-takan Wilayah Adat Anda Sebelum Dipetakan Orang Lain” kata Abdon Nababan. Supaya kita tahu bahwa le-luhur menitipkan harta dan kekayaan yang terkandung didalam wilayah adat kita,,,!!!.

Warisan leluhur harus dipelihara dan dikelola untuk kesejahteraan ma-syarakat adat. Caranya dengan bergo-tong-royong melaui musyawarah adat.

****Perayaan HKMAN juga diadakan

di berbagai daerah di Nusantara. At-raksi-atraksi budaya dan “ritual-ritual

Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara XII Mengelola Titipan Leluhur Dengan Gotong Royong

Annas RS

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

� Partisipasi kaum perempuan dalam perayaan HKMAN XII di Cikotok

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

Page 8: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN16 17GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

Pojok Gaungadat” digelar dalam perayaan HKMAN XII di tempatnya masing-masing.

Di Lombok Utara, masyarakat adat dan PD AMAN Paer Daya merayakan HKMAN XII dengan menggelar Fes-tival Gangsingan. Perayaan diselenggarakan pada 17 Ma-ret 2011, bertempat di Goar Segoar, Desa Sukadana, Ke-camatan Bayan yang dihadiri oleh Ratusan Tokoh Adat di Gumi Paer Daya, Lombok Utara. Diawali dengan pembacaan Lontar oleh Pepaos, Saidah Nurcandra dan Remadi yang menyanyikan tembang Jinanti. Diakhiri dengan penampi-lan Rudat dari Sukadana.

PD AMAN Paer Daya juga menyampaikan kepriha-tinannya atas ancaman kepunahan gotong-royong dan musyawarah adat (Gundem) dalam kehidupan masyarakat di Lombok Utara. Selain itu, mereka mendesak pemerintah agar mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adat di gumi paer daya Lombok Utara.

Pawing (hutan adat) serta kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam agar dijadikan dasar untuk menentukan kebijakan dalam Rencana Tataruang Wilayah di Kaupaten Lombok Utara (RTRW KLU). Selain itu, mendesak pemerintah daerah untuk menjalankan Maj-lis Karma Adat (Peradilan Adat) dalam proses penyelesaian sengketa. Baik di intern masyarakat adat, maupun antara masyarakat adat dengan pihak lain.

Di Kalimantan Tengah, pada tanggal 12 Maret 2011 PW AMAN Kalimantan Tengah telah melaksanakan diskusi yang bertemakan Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat. Bertempat di Sekretariat AMAN Kalteng, Palangka Raya. Di-hadiri oleh beberapa NGO lokal, BEM dan MAPALA UNPAR serta perwakilan Kerasulan Keadilan.

Diskusi ini menghasilkan press reales yang isinya ada-lah desakan kepada pemerintah untuk melibatkan program REDD+ (pilot project) di Kalimantan Tengah, sebagai pilot province. Press realease ini dimuat di harian Tabengan (kor-an lokal) edisi 18 Maret 2011.

Di Sumatera, AMAN melakukan aksi lapang disejum-lah wilayah untuk mendesak pemerintah mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat. Wilayah Sumatera Utara melakukan aksinya di komunitas-komunitas anggota AMAN secara sporadis. Begitu juga di Wilayah Sumatera Selatan, aksi dilakukan di lahan “reklaim-ing” tanah adat. Untuk Wilayah Jambi, diadakan diskusi ten-tang tambang batu bara.

Di Sulawesi, AMAN Sulawesi Tengah kerjasama dengan kelompok seni PEDATI Palu menggelar acara “Silaturahmi Budaya” pada 26 Maret 2011. Bertempat di gedung Pertun-jukan Hasan Bahyuan, Palu. Dihadiri oleh masyarakat adat se-Palu, Telapak, Media (Palu TV, Nuansa TV, dan TVRI Palu), Pemerintah Daerah, Mahasiswa dan Pelajar Kota Palu.

Berbagai seni dan budaya dari komunitas adat dit-ampilkan secara bergantian. Selain itu, juga ada orasi-orasi terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Ditutup dengan penandatangan kain putih, sebagai desakan untuk pemer-intah agar RUU PPMA segera disahkan menjadi UU. Kain ini akan dibawa pada saat konsultasi RUU di makassar nan-tinya.

*****Budaya adalah simbol kedaulatan Bangsa. Masyarakat

Adat sebagai kelompok masyarakat yang terikat akan ke-satuan wilayah dan adat-istiadatnya, merupakan benteng terakhir bagi kelestarian nilai-nilai budaya bangsa. Dianta-ranya gotong-royong dan musyawarah adat yang terkikis oleh “globalisasi”.

Masyarakat adat sudah sepatutnya menjadi “Tuan di tanahnya sendiri”. Bukan sebaliknya, menjadi “orang asing diatas tanahnya sendiri”. Sehingga perlu payung hukum yang kuat untuk memastikannya.

Kedaulatan masyarakat adat adalah kedaulatan Bangsa. Karena mereka elemen terbesar pembentuk Bang-sa Indonesia. Mari kita dorong percepatan pengesahan Un-dang-Undang tentang Hak-hak Masyarakat Adat.

Pojok Gaung

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

� Sekjen AMAN saat berpidato pada HKMAN XII di Cikotok

12 tahun lalu, tepatnya pada 17 Maret 1999, para pe-mimpin pergerakan masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara membulatkan tekad untuk bersatu, berganden-gan tangan, menata langkah untuk bangkit bersama mela-wan penindasan. Pada tanggal tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dibentuk sebagai alat untuk men-gawal kebangkitan tersebut. Pada saat itu juga dideklarasi-kan sebagai Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) dan selanjutnya melahirkan slogan yang penuh gelora perlawanan, Jika Negara Tidak Mengakui Kami maka Kami Tidak akan Mengakui Negara!

Dan kini, Masyarakat Adat Nusantara terus mengasah kemampuan berorganisasinya dan dengan tegas menolak menjadi korban untuk alasan apa pun, termasuk atas ala-san pembangunan. Masyarakat Adat harus kembali ber-martabat secara budaya, mandiri secara ekonomi dan ber-daulat secara politik.

Hal tersebut ditegaskan oleh Abdon Nababan, Sekre-taris Jendral AMAN pada perayaan Hari Kebangkitan Ma-syarakat Adat Nusantara (HKMAN) XII. Abdon menyatakan bahwa masyarakat adat harus terus mengobarkan seman-gat untuk tetap konsisten menjaga garis-garis perjuangan organisasi yang sudah amanatkan oleh para tetua adat yang bergabung di AMAN. Masyarakat adat harus terus belajar untuk makin terorganisir pada semua tingkatan, komunitas, kabupaten, propinsi hingga internasional. Dan AMAN sudah sudah memulainya dan tidak boleh lagi ada kata mundur atau kembali ke masa kegelapan seperti di masa lalu.

Saat ini, AMAN tengah memperjuangkan lahirnya se-buah Undang-Undang yang mengakui Hak-Hak Masyarakat Adat. Perjuangan ini sebagai bagian dari upaya menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada satu kesempatan pada beberapa tahun lalu, Presiden SBY meny-atakan bahwa pemerintah akan segera menyusun rancan-gan undang-undang (RUU) yang menjamin dan mengatur hak-hak tradisional masyarakat hukum adat di Indonesia.

Abdon mengatakan bahwa PB AMAN tengah menga-gendakan serangkaian konsultasi Naskah Akademik dan Darft RUU tersebut di 7 region. Naskah Akademik dan draft RUU ini akan diupayakan untuk diserahkan secara resmi ke DPR RI dan Pemerintah pada tahun 2011 ini juga. Untuk perkembangan yang baik ini, Abdon menambahkan bah-wa PB AMAN menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya pada banyak pihak yang sudah menyampaikan dukungan, termasuk kementerian Negara yang selama ini

telah bekerjasama dengan AMAN dan para politisi dan pengurus partai-partai politik yang demikian antusias me-nunggu hasil konsultasi tersebut.

Di akhir pidatonya, Abdon menyerukan ke komunitas-komunitas adat yang hadir untuk terus mempertahankan titipan leluhur sebagai berkah. Mempertahankan agar ber-kah ini tidak menjadi kutukan. Masyarakat adat harus me-melihara, mengelola, memanfaatkan kekayaan leluhur ma-sing-masing, baik yang ada bentuknya maupun yang tidak berbentuk, harta yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, untuk kemandirian ekonomi masyarakat adat saat ini di anak-cucu berikutnya di masa depan. Jalannya pun sudah dipilihkan oleh leluhur, yaitu gotong-royong. Masyarakat adat harus kembali bermusyawarah, membicarakan semua masalah, memutuskan yang terbaik untuk kampung, untuk komunitas adat, untuk negeri besar yang sedang memikul banyak masalah ini, untuk dunia baru yang lebih adil. Masy-arakat adat harus menyatukan langkah, bergotong-royong untuk madiri secara ekonomi.

Sementara itu Wakil Bupati Kabupaten Lebak, Ir H Amir Hamzah, M.Si dalam sambutannya menyambut posi-tif kegiatan perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara. Bahwa dengan pelaksanaan kegiatan tersebut, berbagai kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat adat Kasepuhan akan terus lestari dan terpelihara dengan baik. Lebih jauh, Wakil Bupati menyatakan bahwa Pemkab Lebak akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Kasepuhan terkait dengan konflik yang ada, terutama konflik dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Karena perluasan TNGHS dilakukan secara se-pihak oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Kehu-tanan. Bahwa memelihara hutan itu sangat penting, tapi menjadi tidak berguna jika masyarakat adat yang ada di sekitar TNGHS itu hidup miskin dan menderita, lanjutnya. Oleh karena itu, Pemkab Lebak akan memperjuangkan wilayah-wilayah masyarakat Kasepuhan yang ada didalam kawasan TNGHS untuk dikeluarkan dari TNGHS dan dijadi-kan sebuah enclave.

Perayaan HKMAN XII yang dipusatkan di lapangan Kecamatan Cikotok tersebut dihadiri tak kurang dari 5000 orang. Mereka hadir untuk merayakan perayaan HK-MAN yang juga dirayakan seluruh komunitas adat anggota AMAN di seluruh Nusantara.

Cikotok, 17 Maret 2011

Siaran PersPerayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) XII

17 Maret 2011

Page 9: Gaung aman edisi xxxvi

Edisi No. XXXVI/April 2011 GAUNGAMAN18 19GAUNGAMAN Edisi No. XXXVI/April 2011

Komunitas Adat Cek Bocek

Mengelola Kekayaan Alam Secara Mandiri

Komunitas adat Cek Bocek yang berada di Desa Lawin mempunyai ritual adat “Sedekah Sekat” yang diselenggarakan setiap tahun. Komunitas adat ini secara administrasi berada di Kecama-

tan Ropang, Kabupaten Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Bahasa pengantar komunitas adat ini adalah “Ber-co” dan mayoritas tersebar di 2 desa yakni Desa Lawin dan Lebangkar. Komunitas Adat Cek Bocek yang menyebar di Desa Lawin dan Lebangkar merupakan satu garis keturu-nan dari Komunitas Adat Cek Bocek Reen Sury. Pusat pe-mukimannya hanya dipisahkan oleh sebuah badan sungai kecil yang masuk ke sungai utama yaitu Songe Sengane.

Untuk menuju komunitas Cek Bocek, dari pelabuhan penyeberangan Pototano ke ibukota Kabupaten Sumbawa jarak tempuhnya sekitar 93 km. K, kemudian dilanjutkan ke arah selatan yang harus menempuh jarak sekitar 76 km melewati ibukota Kecamatan Ropang hingga tiba di Komu-nitas Cek Bocek. Kalau dari ibukota Kecamatan Ropang ke Komunitas Cek Bocek jaraknya sekitar 7 km.

Mereka yang ingin berkunjung ke komunitas adat ini harus mempersiapkan fisiknya karena medan yang dila-lui sangat berat. Jalanan rusak dan belum di aspal adalah menu santapan sepanjang perjalanan. Jika hujan, maka

Kamardi

Berita Komunitas Berita Komunitas

jalanan akan berlumpur dan semakin berat untuk dilalui. Hancurnya infrastruktur transportasi ini kontras dengan pemandangan indah yang tampak sepanjang perjalanan. Juga sangat kontras dengan potensi emas yang terkandung di perut bumi yang berada dalam wilayah adat komunitas adat Cek Bocek.

Pada 17 April 2011, sekjen AMAN mendapatkan ke-sempatan untuk berkunjung ke komunitas adat ini. Ikut dalam rombongan adalah Koko (JKPP), Manaek Hutaba-rat (BPN Pusat), Kamardi (Fasilitator wilayah Bali Nusra AMAN), Rd. Agus Hadianto (Sekwil AMAN NTB) dan seo-rang kru TV Indosiar, Akhmad Sianturi.

Begitu tiba di Sumbawa, rombongan ini dikawal pu-luhan sepeda motor, 2 Jeep Hardtop. Bendera AMAN tam-pak berkibar dan makin memeriahkan suasana penjempu-tan.

Sepanjang jalan mendekati ibu kota kecamatan lan-tung, tampak pemandangan sepanjang bukit masyarakat menambang emas. Di pinggir jalan tampak berjejer tenda-tenda darurat para penambang. Dan tampak juga peralatan yang memisahkan batu-batu dengan emas.

Setelah menempuh perjalanan berat dan menguras stamina, rombongan sekjen AMAN tiba di Desa Lawin

KEGIATAN AMAN PERIODE MARET - APRIL 2011 : � Kegiatan Lokakarya Pemetaan oleh BRWA di Uenumpu, Sulteng (28 Februari - 2 Maret 2011) � Pertemuan Asia Regional Preparatory Meeting on UN Mechanisms and Procedures Relating to Indigenous Peoples di

Chiang Mai, Thailand (26 Februari – 1 Maret 2011) � Perayaan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke-12, 17 Maret 2011 di Cikotok, Jawa Barat. � Pertemuan UN-REDD Programme sixth Policy BoardMeeting, di Da Lat, Viet Nam (21 - 23 Maret 2011) � Pelaksanaan Musyawarah Daerah (MUSDA) AMAN Mentawai, 20 Maret 2011 � Kegiatan Seminar RUU Masyarakat Adat (24 – 25 Maret 2011), di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. � Konferensi Regional Asia/Pasific Indigenous Peoples Resource Sustainability and Funders Summit oleh IFIP (26-30

Maret 2011) di Bali dan Lombok. � Kegiatan Workshop Penulisan dan Pokja Perempuan Adat (30 Maret - 4 April 2011) di Hotel Medina, Bogor � Pelaksanaan Rapat Pengurus Besar ke-VII AMAN (RPB VII AMAN) 5 – 6 April 2011, di Hotel Medina, Bogor. � Kegiatan Seminar RUU Masyarakat Adat (8 – 9 April 2011) di Makassar, Sulawesi Selatan. � Pelaksanaan RAKERWIL SULSEL pada 9 April 2011 di Makassar Sulawesi Selatan. � Kegiatan Seminar RUU Masyarakat Adat (14 – 15 April 2011) di Jayapura, Papua. � Pelaksanaan Kegiatan Penyerahan Peta dan Upacara Adat pada 18 April 2011 di Cek Bocek, Sumbawa. � Kegiatan Diskusi Berseri AMAN-AJI pada 21 April 2011, di Café 26 Gondangdia, Jakarta. � Kegiatan Seminar RUU Masyarakat Adat (28 – 29 April 2011) di Ambon, Maluku.

pada pukul 19.00 wita. Hari sudah mulai gelap, namun tak menyurutkan antusiasme masyarakat adat menyambut kehadiran rombongan sekjen AMAN. Upacara penyambu-tan secara adat dilakukan. Para tetua adat dan masyarakat adat Cekbocek menorehkan tanda selamat datang kepada Sekjen AMAN, dengan memberi gelang adat “Tabar Alit” dan “Selonteng” (warna merah dari sirih) yang ditorehkan di dahi dan dan dibelakang telinga Sekjen AMAN. Semen-tara itu seorang perempuan tua sesepuh adat sebagai ‘Sandro” atau Tabib datang meniup tengkuk Sekjen AMAN. Tabib tersebut membacakan mantra keselamatan. Bebe-rapa perempuan lainnya menaburkan beras kuning (Loto kuning). Selanjutnya Sekjen AMAN diusung beramai-ramai menuju tangga balai adat suku Berco. Selanjutnya pak Ma-naek Hutabarat dan Wayan Rata dari BPN pusat dan BPN Kabupaten Sumbawa juga diusung menuju tangga Balai Adat.

Keesokan harinya, Senin 18 April 2011, upacara ritual Sedekah Sekat dilangsungkan secara meriah. Pelaksanaan upacara adat ini dirangkaikan dengan acara penyerahan peta wilayah masyarakat Adat Cekbocek Selesek Reen. Upacara adat diawali dengan pemasangan pakaian adat suku Berco kepada Sekjend AMAN. Selanjutnya Sekjen AMAN menyampaikan kata sambutan sekaligus menyerah-kan peta wilayah adat Cekbocek selesek reen suri.

Peta wilayah adat Cekbocek Selesek adalah hasil pe-metaan partisipatif masyarakat adat Cekbocek. Dan Peta tersebut diserahkan oleh Sekjen AMAN ke ketua adat Datok Sukanda RHD yang didampingi oleh para pemangku adat. Upacara penyerahan peta tersebut disaksikan oleh BPN Pu-sat dan Kabupaten Sumbawa. Selanjutnya oleh ketua adat, peta tersebut diserahkan ke para pemangku kepentingan

seperti Kepala desa (Gabung) Desa Lebangkar, Camat Ro-pang, BPN Kabupaten Sumbawa, BPN Pusat Jakarta dll.

Pada malam harinya, dilakukan dialog antara Sekjen AMAN dengan komunitas adat Cek Bocek. Acara dimode-ratori ketua PD AMAN Sumbawa, Jasardi. Diskusi berlangs-ung sangat dinamis. Hal ini terjadi karena antusiasme ang-gota komunitas adat dalam melontarkan pertanyaan-per-tanyaan maupun gagasan.

Secara umum, alur diskusi berkisar pada sistem dan pengelolaan sumber daya alam yang berada di wilayah adat komunitas Cek Bocek. Mau diapakan potensi yang ter-kandung di wilayah adat tersebut. Apakah dikelola secara mandiri oleh komunitas, diserahkan pengelolaannya ke pihak luar dalam bentuk kontrak karya, atau sebagian di-serahkan ke pihak lain dan sebagai dikelola secara mandiri atau dijual.

Sebagaian besar anggota komunitas adat Cek Bocek menghendaki agar kekayaan alam yang ada dikelola secara mandiri, dengan terlebih dahulu menyusun rencana peng-elolaan. Hal terpenting dalam penyusunan rencana ter-sebut adalah pelibatan seluruh unsur anggota komunitas adat dengan menggunakan instrumen lembaga adat mela-lui musyawarah adat.

Kemenangan kecil kini sudah ditangan komunitas adat Cek Bocek, yakni Wilayah Adat yang telah terpetakan. Se-hingga pemerintah dan perusahaan-perusahaan tambang tidak bisa seenaknya mengambil atau merampas tanah adat komunitas adat Cek Bocek. Pertahankan itu dan mari menyesejahterakan komunitas adat Cek Bocek bersama-sama. Sehingga tujuan untuk Berdaulat, Mandiri dan Ber-martabat akan segera terwujud.***

Sumber Foto: D

okumen A

MA

N

� Sekjen AMAN menyerahkan Peta Partisipatif ke Tetua Adat Cek Bocek