era baru bernama free trade.doc

Upload: hardy-santosa

Post on 19-Oct-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Era Baru Bernama Free Trade

Globalisasi adalah era dimana jarak tempat dan waktu bukanlah menjadi masalah lagi. Globalisasi merupakan sebuah keniscayaan di era modern saat ini. Teknologi informasi yang terus berkembang dan tanpa batas memungkinkan semua orang untuk saling berkomunikasi dan terhubung satu sama lain. Batasan terhadap individu sudah dianggap tidak ada, bahkan seolah olah batas dunia pun menjadi semu. Begitu pula perdagangan yang tidak mengenal batas.

Perdagangan bebas (free trade) yang bersifat internasional merupakan implikasi dari adanya efek bernama globalisasi dan merupakan hal mutlak yang tidak bisa dihindari oleh bangsa-bangsa di dunia. Secara teori, perdagangan antarnegara menimbulkan sirkulasi modal yang menimbulkan pemerataan dan simbiosis mutualisme antar negara yang berdagang. Sejarah pun telah membuktikan bahwa perdagangan bebas telah ada sejak zaman dahulu, contohnya adalah ketenaran Jalan Sutra yang menjadi akses distribusi barang. Pada zaman perdagangan bebas era terdahulu, perdagangan menjadi tolak ukur sebuah kekuatan bangsa. Demi menjaga keuntungan perdagangan negaranya, sebuah negara atau bangsa rela untuk melakukan dan mengerahkan berbagai kapabilitas dan kompetensinya di bidang militer untuk menjaga dan memproteksi kekuasaan perdagangannya. Dampak dari penghalalan segala cara dalam melakukan perdagangan adalah timbulnya sebuah negara persemakmuran atau kolonialisasi.

Jika terdapat istilah free trade, maka ada pula istilah fear trade, ini menunjuk pada perdagangan yang berdasar pada kondisi ketakutan. Definisi ini ditujukan pada masa perdagangan di era kolonialisasi yang salah satunya terjadi pada masa penjajahan Indonesia selama 350 tahun oleh Belanda. Perdagangan antara negara kolonial Belanda dan Indonesia bukan merupakan perdagangan yang didasari prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak, namun terjadi karena adanya suatu tekanan dari Belanda. Inilah perdagangan yang berbasis simbiosis parasitisme. Perdagangan ini menguntungkan satu pihak sementara di sisi lain menghancurkan.

Seiring majunya perkembangan zaman dan transformasi masyarakat dunia kearah tingkat intelektual yang lebih tinggi, pola perdagangan juga mulai berubah pada tingkatan baru. Demi mendapatkan hak yang sama dalam perdagangan, negara-negara di dunia mulai berkoordinasi dan membuat suatu kesepakatan yang merujuk pada sistem perdagangan simbiosis mutualisme, maka lahirlah sebuah era baru yang disebut free trade. Demi mencapai tujuan egaliter dan saling menguntungkan, negara-negara di dunia sepakat untuk mengurangi hambatan-hambatan perdagangan di negara-negara terkait. Hal ini langsung diinisisasi dengan dibentuknya berbagai organisasi-organisasi moneter dan perdagangan pasca perang dunia. Sebut saja IBRD (International Bank for Reconstrution dan Development) dan IMF (International Monetary Fund). Tak hanya itu, banyak perjanjian serta nota kesepahaman bersifat internasional yang dibuat oleh beberapa negara demi terwujudnya free trade, contohnya adalah OPEC, APEC, dan yang terbaru adalah ACFTA.

Perdagangan Internasional juga menjadi harapan bagi negara berkembang yang saat ini masih kurang diuntungkan dalam kancah perdagangan internasional. Hegemoni negara maju dalam memproduksi dan memasarkan barang dagangannya di kancah internasional menjadi sebuah ironi di tengah banyaknya produk dalam negeri yang berusaha bersaing. Adalah sistem fair trade, dimana sebuah perjanjian perdagangan seharusnya dibuat dengan sistem keadilan dan saling menguntungkan antar pihak. Dalam perjanjian ini harus timbul kejelasan dan prinsip kesamaan dalam penerapan sebuah kebijakan perdagangan internasional. Hal inilah yang nampaknya belum terjadi pada negara-negara di dunia. Salah satu faktor yang akan mendukung hal tersebut tercapai adalah penguasaan intelektual yang merata tentang perekonomian internasional pada seluruh negara, sehingga negoisasi akan berjalan harmonis dan seimbang dan terhindar dari kolonialisme baru berkedok perdagangan internasional.

Menilik uraian panjang diatas berkaitan dengan perdagangan bebas yang kini telah menjadi sebuah trend baru dalam dunia perdagangan internasional, maka negara Indonesia juga harus siap bertarung dengan segala konsekuensinya. Hal ini menjadi suatu keharusan bagi kita, karena pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian perdagangan internasional. Sebagai negara yang besar, tentu tidak layak bagi Pemerintah Indonesia untuk menjilat kembali keputusannya.

Bila kita melihat dampak perdagangan bebas, maka sebetulnya banyak perubahan bagi kehidupan perekonomian di negara kita. Jika dikaitkan dengan salah satu masalah terbesar negara ini yang belum selesai sampai saat ini yakni kemiskinan, ada berbagai peluang untuk mengatasinya dengan memanfaatkan momentum besar ini. Namun, seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, resiko sebaliknya selalu mengintai, memungkinkan meningkatnya jumlah penduduk miskin dan semakin rendahnya kualitas hidup mereka.

Perdagangan bebas merupakan sebuah keniscayaan pada era modern ini. Berbagai sektor industri turut berperan dalam meraup keuntungan sistem ini, tak ayal hal ini sangat relevan jika kita berbicara dalam konteks penciptaan lapangan kerja yang dapat menyerap banyak pekerja. Namun, perlu diingat juga bahwa sebelum adanya impor--resmi maupun ilegal--, bangsa kita sudah mampu memenuhi pasar domestik dengan pangsa konsumen yang besar.

Hal yang harus dilihat kembali dalam perdagangan bebas adalah kemampuan kita untuk bertanding dan melihat lawan yang akan kita hadapi. Di dalam perdagangan bebas, minimal kita harus menyetarakan kemampuan produksi maupun kualitas pasar yang lebih luas. Hal inilah yang membuat banyak pelaku perdagangan bebas, dalam hal ini sektor kecil yang ikut serta ambil bagian menjadi tersisihkan. Masalah yang timbul adalah ketidakmampuan para pelaku perdagangan bebas dalam beradapatasi dengan dunia luar. Jika kita melihat secara lebih dekat, para pelaku industri di negara kita masih sangat jauh kompetensinya dengan negara lain. Teknik produksi, mesin-mesin produksi yang digunakan, bahan-bahan yang digunakan, serta pembiayaan menjadi beberapa faktor dalam lemahnya daya saing kita.

Hal yang paling utama adalah dalam selisih harga yang cukup besar, ditambah lagi masih rendahnya kesadaran konsumen dalam negeri untuk memprioritaskan penggunaan produk nasional. Konsumen dalam negeri cenderung melihat prestise sebagai syarat wajib membeli sebuah produk, padahal tak jarang bahwa produk tersebut merupakan produk yang dapat dibeli di dalam negeri dengan harga dan kualitas yang hampir sama dan tentunya buatan Indonesia. Jika demikian, maka industri yang menyerap tenaga kerja nasional bisa kian merosot. Akibatnya, bukan hanya para produsen saja yang merugi, industri-industri penunjang lainnya pun akan terancam.

Perdagangan bebas kini telah memasuki ranah baru, kita tentu perlu mengantisipasinya agar tidak menjadi bumerang bagi ketahanan perekonomian bangsa kita. Berbagai solusi harus kita tawarkan sebagai bagian dari entitas besar bangsa Indonesia. Pemberian informasi mengenai tata cara membuat perdagangan internasional, informasi mengenai alat-alat terbaru dalam industri, serta cara mendapatkan pinjaman lunak menjadi beberapa solusi dari hadirnya perdagangan bebas.

Dari uraian di atas, kita semakin melihat realita bahwa perdagangan bebas merupakan suatu trend dunia yang sulit kita hindari, kita selaku generasi penerus bangsa ini hendaklah bersiap diri karena realita di depan telah menunggu kita setelah dinyatakan telah melepas status sebagai mahasiswa. Yang harus kita kerjakan adalah menyiapkan strategi agar memaksimalkan peluang positif yang dapat dicapai dengan kelebihan yang kita miliki, dan meminimalkan segala dampak negatif tentunya. Dan, yang paling penting adalah bagaimana rancangan solutif tersebut tetap bertarung terhadap kemiskinan yang sebagian besar masih melanda saudara sebangsa kita.