eksklusivisme tafsir : diajukan untuk memenuhi salah satu

201
i EKSKLUSIVISME TAFSIR : KONSEP KEBERAGAMAAN DALAM TAFSI<R MUH{AMMAD BIN S{A<LIH{ AL-UTHAIMI<N Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Gelar Magister Dalam Bidang Studi Tafsir Oleh: Zaenal Khalid 21161200000018 KONSENTRASI TAFSIR SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/1441 H

Upload: others

Post on 03-Feb-2022

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

i

EKSKLUSIVISME TAFSIR :

KONSEP KEBERAGAMAAN DALAM TAFSI<R

MUH{AMMAD BIN S{A<LIH{ AL-‘UTHAIMI<N

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Gelar Magister

Dalam Bidang Studi Tafsir

Oleh:

Zaenal Khalid

21161200000018

KONSENTRASI TAFSIR

SEKOLAH PASCASARJANA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020 M/1441 H

Page 2: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

ii

KATA PENGANTAR

Bismillah, segala puji dan syukur bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang

telah memberikan nikmat yang begitu banyak, dan atas kehendak serta kasih

sayang-Nya lah akhirnya penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini dengan

judul "Eksklusivisme Tafsir: Konsep Keberagamaan dalam Tafsi>r muh}ammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n." karya ini merupakan hasil penelitian penulis dalam rangka

menempuh jenjang pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif

Hidayatullah, dengan konsentrasi Tafsir al-Qur'a>n.

Ide penelitian ini berawal dari pandangan penulis terhadap polemik seputar

konseptualisasi agama dalam kehidupan sosial-multikultural. Agama memiliki

peran antagonistik yang mampu memberikan energi positif dan negatif sekaligus.

Di satu sisi, agama adalah problem solver, namaun di sisi lain, agama juga dapat

menjelma sebagai parth of problems bahkan source of problems. Hal ini sangat

tergantung terhadap bagaimana seorang yang beagama dalam memandang dan

mengkonseptualisasikan agama tersebut. Dalam hal ini, tafsir sebagai cara

memahami kitab suci memiliki peran penting dalam pembentukan persepsi

terhadap agama yang turut membangun kontruksi sosial-agama.

Penyelesaian tesis ini tidak akan terealisasi tanpa ada bantuan dan dorongan

dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis haturkan

rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada :

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (2015-

2019), Prof. Dr. Amany Lubis, Lc. MA, (2019-2024);

2. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Masykuri

Abdillah, MA (2015-2019), Prof. Dr. Jamhari, MA (2015-2019), Prof. Dr. Phill.

Asep Saepudin Jahar, MA., beserta wakil-wakil direktur dan seluruh jajaran SPs

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dr. Yusuf Rahman MA., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan

dan motivasi baik di kelas maupun dalam pertemuan demi pertemuan hingga

tesis ini selesai dan menjadi karya ilmiah;

4. Seluruh dosen yang telah memberikan keluasan dan kedalaman ilmu

pengetahuan secara langsung maupun tidak kepada penulis, khususnya

berkenaan dengan kajian yang penulis ajukan dalam tesis ini.;

5. Keluarga tercinta, ibunda Euis (Alm.) dan ayahanda Tahdi (Alm.) yang telah

melahirkan, mendidik dan mengurus penulis. Abah Karma (Alm.) dan Mak

Odah (Alm.), yang telah mendidik dan mengurus penulis selepas kedua orang

tua penulis tiada. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat terbaik di sisi-

Page 3: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

iii

Mu ya Allah. Istri tercinta Arumpuspa Azizah S. Far. Apt. yang telah sudi

mendampingi penulis baik suka maupun duka, ibunda Hj. Sri Nurbaya yang

telah memberikan dukungan yang begitu besar pada penulis, nenek Hj. Musfi'ah

dengan wejangan-wejangan yang sangat berharga, dua kakak terbaik yang selalu

mendukung penulis dalam segala hal; kak Rahmat dan kak Ade, dan keluarga

penulis lainnya yang tidak bisa dituliskan satu-persatu, yang telah begitu

berjasa di kehidupan penulis. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan

berkali lipat dan senantiasa berada dalam naungan ridha dan maghfirah Allah,

ami>n ya Rabb al-‘a>lami>n.

6. Rekan-rekan seperjuangan; Ahmad Zaeni Dahlan, Islahil Umam, Bindan Niji,

Teguh Rudi Luhuring Budi, Ahmad Gunawan, Mukjizatullah Damopoli,

Fahman Mumtazi, Mujiburrahman, Rijal, Rian Agra, Asep Rifqi Abdul Aziz,

Sohibul Maulana al-Somali, Ust. Dr. Didin Dibon, Lc. MA., dan teman-teman

yang lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Kopi dan diskusi bersama

kalian adalah hal yang akan selalu dirindukan. Semoga silaturahim kita tetap

terjaga hingga dipertemukan di syurga.

7. PW PERSIS DKI Jakarta, PC PERSIS Cipayung, STAIPI Jakarta, Ust. Danil

Barkah, Ust. Aay, Ust. Pepen, Cak Fata, dan Senior-senior lainnya yang tidak

bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas ilmu dan bimbingannya.

Page 4: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

vii

DAFTAR SINGKATAN

Cet. = Cetakan

Dkk = Dan kawan-kawan

Ed. = Editor

H = Tahun Hijriah

M = Tahun Masehi

No. = Nomor

QS. = Al-Qur'a>n Surah

Saw = S{allah Alla>hu ‘alaihi wa salla>m

Swt. = Subh}a>nahu wa Ta‘a>la>

t.th = Tanpa tahun

t.tp = Tenpa tempat

t.p = Tanpa penerbit

Terj. = Terjemahan

Vol. = Volume

W = Wafat

Page 5: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

viii

ABSTRAK

Penelitian ini memperkuat hipotesis bahwa tafsir bukan hanya sekedar

implementasi metodologis, namun memiliki implikasi terhadap kontruksi sosial-

agama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode penafsiran Muh}ammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n bersifat tekstualis-literalis, kemudian ditunjang dengan

romantisme terhadap ortodoksi tafsir tradisional, hal ini berimplikasi terhadap

kontruksi keberagamaannya yang eksklusif. Pada ranah teologis-keyakinan,

eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n didasarkan pada truth claim

agama dan salvation claim dan menegasikan toleransi terhadap keyakinan

kelompok lain. Sedangkan pada ranah sosial, eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>lih}

al-‘Uthaimi>n tidak sepenuhnya menegasikan nilai-nilai toleransi, karena masih

menganjurkan bahkan mewajibkan kepada umat Islam untuk berbuat baik dan adil

sekalipun terhadap kelompok lain.

Penelitian ini mendukung Jeroen De Ridder (2011), Kevin Meeker (2006),

dan Gavin D'Costa (1996), Charles Kimball (2003), yang memandang bahwa

Eksklusivisme merupakan keniscayaan dalam beragama yang timbul secara

alamiah, serta menjadi pondasi kontruksi utuh agama yang memperkuat hubungan

simbolis antara agama dan pemeluknya. Seorang eksklusifis masih tetap rasional

meskipun dalam konteks masyarakat plural-multikultural dan masih bisa

bertoleransi terhadap agama lain. Penelitian ini menolak pandangan Erik Baldwin

(2008) Michael Thune (2008) dan John Hick (1981), yang menyatakan bahwa

eksklusivisme tidak relevan dan tidak rasional dengan konteks masyarakat yang

plural-multikultural.

Sumber primer penelitian ini adalah Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih} al-

‘Uthaimi>n yang bernama Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan beberapa karya lainnya

seperti ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, al-Qaul al-Mufi>d 'ala Kita>b al-

Tauhi>d, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah li Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, Fata>wa>

Nu>r ‘Ala> al-Darb, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, dan lainnya. Adapun untuk data sekunder,

penulis merujuk kepada beberapa buku dan jurnal yang memiliki keterkaitan

dengan tema pembahasan. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Data yang

diperoleh akan dianalisis secara kualitatif melalui metode interpretatif dengan

pendekatan teologi, linguistik-semantik, dan sosiologi agama. Tiga pendekatan ini

diproyeksikan untuk mengkaji ranah teologis terkait realitas transenden,

mengungkap makna dari terma; di>n, millah, shari‘ah, isla>m dan lainnya yang

memiliki keterkaitan dengan tema pembahasan, dan untuk mengkaji tema-tema

sosial-agama yang ada pada tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n.

Page 6: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

ix

ABSTRACT

This research reinforces the hypothesis that interpretation is not merely a

methodological implementation, but has implications for socio-religious

construction. This study concludes that the method of interpretation of

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n is textualist-literalist, then supported by the

romanticism of the orthodoxy of traditional interpretations, this has implications

for the construction of its exclusive diversity. In the theological-belief realm, the

exclusivism Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n based on religious truth claims and

salvation claims and negates tolerance for the beliefs of other groups. Whereas in

the social sphere, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n did not completely negate the

values of tolerance, because it still advocated and even obliged Muslims to do good

and fair even to other groups.

This research supports Jeroen De Ridder (2011), Kevin Meeker (2006), and

Gavin D'Costa (1996), Charles Kimball (2003), who view that Exclusivism is a

necessity in religion that arises naturally, and becomes the foundation of the intact

construction of religion which strengthens the symbolic relationship between

religion and its adherents. An exclusivist still remains rational even though in the

context of a plural-multicultural society and can still tolerate other religions. This

research rejects the views of Erik Baldwin (2008) Michael Thune (2008) and John

Hick (1981), which states that exclusivism is irrelevant and irrational to the

context of a plural-multicultural society.

The primary source of this research is Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih} al-

‘Uthaimi>n yang bernama Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan beberapa karya lainnya

seperti 'Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, al-Qaul al-Mufi>d ‘ala Kita>b al-

Tauhi>d, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah li Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, Fata>wa>

Nu>r ‘Ala> al-Darb, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, and others. As for secondary data, the author

refers to several books and journals that are related to the theme of the discussion.

This research is a library research. The data obtained will be analyzed qualitatively

through interpretive methods with theological, linguistic-semantic, and

sociological approaches to religion. These three approaches are projected to study

the theological realm in terms of transcendent reality, revealing the meaning of the

term; di>n, millah, shari‘ah, isla>m and others that are related to the theme of the

discussion, and to study the socio-religious themes that exist in the tafsi>r

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n.

Page 7: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

x

الملخص

على آثار له ولكن ، منهج تطبق مجرد لس التفسر بأن القائلة الفرضة الدراسة هذه تعزز

حرفة - بن صالح العثمن نصة محمد تفسر طرقة أن إلى الدراسة هذه وتخلص. الدن الاجتماع البناء

ف. الحصري الدن بناء على آثار له التقلدة، وهذا للتفسرات التقلدة العقدة من الرومانسة تدعمها ثم ،

الدنة الحققة ادعاءات على تقوم صالح العثمن بن محمد حصرة فإن ، اللاهوتة- المعتقدات عالم

الاجتماع، فإن المجال ف أنه وحث. الأخرى الجماعات معتقدات مع التسامح الناجة وتنف وادعاءات

حب بل المسلمن دعو زال أن لا لأنه ، التسامح قم تماما على بطل بن صالح العثمن، لم محمد حصرة

. الأخرى الجماعات مع حتى حسن التعامل والعدل علهم

Gavin و ، Jeroen De Ridder (2011) ، Kevin Meeker (2006) البحث هذا دعم

D'Costa (1996) ، Charles Kimball (2003) ، الدن الت ف ضرورة اىذصسج أن رون الذن

زال لا. وأتباعه الدن بن الرمزة العلاقة عزز مما للدن السلم البناء أساس وتصبح ، طبع بشكل تنشأ

ا الحصري تسامح مع بإمكانه زال ولا الثقافات متعدد- تعددي مجتمع ساق ف أنه من الرغم على عقلان

Erik Baldwin( 2008 )Michael Thune( 2008 ) Jhon البحث هذا رفض. الأخرى الأدان

Hick(1981 )، تعددي و متعدد مجتمع ساق ف الحصري لا طابق وغر معقول أن على الذن زعمون

.الثقافات

تفسر القرآن الكرم " بـ تفسر محمد بن صالح العثمن المسمى هو البحث لهذا الأساس المصدر

عقدة أهل السنة و الجماعة ، القول المفد على كتاب التوحد ، شرح العقدة : له مثل الأخرى و كتب"

الثانوة مصادر أما. الواساطة لشخ الإسلام إبن تمة ، فتاوى نور على الدرب ، أصول التفسر و غرها

بحث هو البحث أن هذا. البحث بموضوع الصلة الت لها والمجلات الكتب من المؤلفات العلمة فه ،

ثم أن البانات التى تم الحصول علها تحلل تحللا نوعا من خلال أسلوب تفسري ، باستخدام . مكتب

هذه المقاربات الثلاثة مستخدمة ف . دلالات الألفاظ و الإجتماعة الدنة- مقاربات اللاهوتة ، اللغوة

الدن ، الملة ، : المجال الاهوت من حث الواقع المتعال ، و مستخدمة لتكشف عل معان من المصطلحات

الإسلام و المصطلحات الأخرى المتعلقة بموضوع البحث ، و مستخدمة لدراسة الموضوعات الاجتماعة

.الموجودة ف تفسر محمد بن صالح العثمن الدنة

Page 8: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

ALA-LC ROMANIZATION TABLES

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin

Alif A ا

Ba B ب

Ta T ت

Tha Th ث

Jim J ج

H{a h} ح

Kha Kh خ

Dal D د

Dhal Dh ذ

Ra R ر

Zay Z ز

Sin S س

Shin Sh ش

{S}ad s ص

}Dad{ d ض

T{a t} ط

Z{a z} ظ

‘ Ayn‘ ع

Ghayn Gh غ

Page 9: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

xii

Fa F ؼ

Qaf Q ؽ

Kaf K ؾ

Lam L ؿ

Mim M ـ

Nun N ف

Wawu W و

Ha H هػ

Ya Y ي

2. Vokal

Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab meliputi: vokal

tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].

a. Monoftong

Tanda Nama Huruf Latin

ــــ Fath}ah A

Kasrah I ــــ

ــــ D}ammah U

b. Diftong

Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf

ــــ Fath}ah dan Ya Ai

ـــــو Fath}ah dan Wawu Au

Contoh: دع : H{usain ده : H{aul

3. Maddah

Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda

ــــــاــــــــــ Fath}ah dan Alif atau Ya a>

ــــ Kasrah dan Ya i>

ـــــ D}ammah dan Wawu u>

4. Ta Marbut}ah

Page 10: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

xiii

Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata lain [dalam

istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka transliterasinya t. Akan

tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain atau bukan sebagai posisi mud}a>f,

maka menggunakan h.

Contoh:

ة al-Bi>’ah االب يػئػػػػػػػػػػػػػػػ

ة اادئابب Kulli>yat al-A<da>b ة ل ي

5. Shiddah

Shiddah/Tashdi>d di literasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf

yang sama dengan huruf yang bershiddah tersebut.

Contoh : زةا (rabbana> )

6. Kata Sandang Alif/La>m

Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.

Contoh : اىقي (al-qalam)

Apabila diikuti dengan huruf shamsiyyah, ditulis al.

Contoh : اىشط (al-Shams)

7. Kata-kata Pengecualian

Untuk kata al-Qur'a>n, al-Sunnah, Hadi>th, beserta nama surat al-Qur'a>n, nama

orang, nama tempat, sekte, dan bulan dalam bahasa Arab, tidak dialih-bahasakan

sesuai dengan KBBI, namun tetap ditulis dalam bahasa Arab dengan menggunakan

pedoman transliterasi, serta tidak dimiringkan.

Contoh :

Sha‘ba>n : شعتا

Mu‘tazilah : عذصىج

Page 11: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................................. iv

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ......................... v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... vi

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. vii

ABSTRAK ...................................................................................................... viii

TRANSLITERASI .......................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv

BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar belakang masalah .......................................................................... 1

B. Permasalahan Penelitian ......................................................................... 15

C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 16

D. Signifikansi Penelitian ........................................................................... 17

E. Literatur Terdahulu yang Relevan ......................................................... 17

F. Metode Penelitian ................................................................................. 22

G. Sistematika Penelitian ........................................................................... 25

BAB II: DISKURSUS KEBERAGAMAAN DALAM KERAGAMAN ......... 27

A. Eksklusivisme: Keniscayaan dalam Beragama ...................................... 27

B. Inklusivisme: Sebuah Jalan Tengah ....................................................... 35

C. Pluralisme: Realita Keberagaman Agama .............................................. 41

BAB III: EKSKLUSIVISME DALAM TAFSI<R MUH{AMMAD BIN

S{A<LIH{ AL-‘UTHAIMI<N ................................................................................. 51

A. Sketsa Biografis Muh}ammad bin S{a>lih> al-‘Uthaimi>n ........................... 51

B. Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m : Analisis Metodologis ................................ 60

C. Eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n .............................. 71

1. Truth Claim dan Ortodoksi Tafsir Tradisional ................................... 71

Page 12: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

xv

2. Satu Jalan Keselamatan: Konsep Soteriologis dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m ................................................................................ 79

BAB IV: KONSEP KEBERAGAMAAN DALAM TAFSI<R MUH{AMMAD

BIN S{A<LIH{ AL-‘UTHAIMI<N.......................................................................... 91

A. Kontruksi Tauhid Muh}ammad bin S{a>lih> al-‘Uthaimi>n .......................... 91

1. Iman .................................................................................................. 92

2. Islam ................................................................................................. 98

B. Non Muslim dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih> al-‘Uthaimi>n ............. 106

1. Kafir................................................................................................... 106

2. Musyrik ............................................................................................ 114

3. Ahl al-Kita>>b ...................................................................................... 119

C. Konsep al-Wala>' wa al-Bara>' dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih> al-

‘Uthaimi>n .............................................................................................. 126

1. Al-Wala>' : Loyalitas Tanpa Batas ..................................................... 127

2. Al-Bara>' : Kebencian Atas Nama Tuhan .......................................... 132

3. Al-Wala>' wa al-Bara>' dan Toleransi dalam beragama ...................... 138

D. Misi Suci Agama : Konsep Dakwah dalam Tafsi>r Muh}ammad bin

S{a>lih> al-‘Uthaimi>n .................................................................................. 145

1. Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar: Penyeimbang Tatanan Sosial 145

2. Jiha>d : Demi Tegaknya Kalimah Allah ............................................. 151

BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 161

A. Kesimpulan ............................................................................................ 161

B. Saran Penelitian ..................................................................................... 162

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 165

GLOSARIUM ................................................................................................... 181

INDEKS ........................................................................................................... 187

Page 13: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur'a>n sebagai pedoman hidup umat Islam bukanlah dokumen Tuhan

yang berisikan kalimat-kalimat verbal yang sunyi akan makna, namun merupakan

firman suci Tuhan yang sarat dengan nilai-nilai.1 Secara identitas-fungsional, Al-

Qur’a>n berfungsi sebagai petunjuk (al-huda>), rahmat (al-rah}mah), pembeda (al-furqa>n), penyembuh (al-shifa>') dan fungsi-fungsi lainnya yang mengarah kepada

keselamatan dan kemaslahatan manusia.2 Proses penggalian nilai-nilai atau makna

guna menemukan maksud Tuhan dalam kalimat-kalimat tersebut (teks al-Qur'a>n)

disebut dengan tafsir. Yakni sebuah interpretasi melalui proses negosiasi dan

dialektika yang rumit melibatkan tiga unsur; intensitas pengarang, otoritas teks,

dan subjektifitas pembaca.3

Kerumitan dalam proses penafsiran nampak pada polemik dan perdebatan di

kalangan akademisi maupun umat Islam secara umum dalam upayanya memaknai

teks al-Qur'a>n, tidak jarang perdebatan tersebut masuk ke ranah yang bernuansa

kontroversial. Dalam menyikapi polemik pemaknaan teks al-Qur'a>n ini, dibutuhkan

pemahaman yang seimbang terhadap pola hidup klasik-tradisional sebagai konteks

ketika pertama kali teks tersebut muncul dan kondisi sosial modern dewasa ini.

1Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar

Doktrin Yang Membatu, (Jakarta: Kompas, 2001), 91. 2Dalam konsep self referentialy al-Qur'a>n, yaitu bagaimana al-Qur’a>>n

mengidentifikasi, menyebut, mendefinisikan, dan menjelaskan dirinya sendiri, atau jika

dipersonalisasikan adalah bagaimana al-Qur'a>n memeperkenal kan dirinya kepada lawan

bicara atau pembaca, yang dalam berbagai terminologi disebutkan juga oleh parasarjana

sebagai self-definition, self-referentiality, self-identification, dan self-reflective statement, Fadli Lukman mengklasifikasikan lima puluh lima terma yang didaftar oleh al-Suyu>t}i>

kepada tiga kelompok, pengelompokkan itu dilandaskan pada asosiasi makna yang dimiliki

oleh terma-terma (mufrada>t) tersebut. Kelompok pertama al-Qur’a>n menjelaskan identitas

ontologisnya. Dalam kelompok ini terdapat terma seperti al-kita>b, al-qur’a>n, al-h}ikmah, al-wahy dst. Kelompok kedua al-Qur’a>n menjelaskan identitas fungsionalnya, seperti terma

al-huda>, ar-rah}mah, al-furqa>n, dst. Sementara pada kelompok ketiga, adalah terma-terma

yang menjelaskan identitas atributif al-Qur’a>n seperti al-‘arabiyyah, al-‘aliy, al-qayyim, dst. Lihat Fadli Lukman, ‚Konsep Self-Referentiality Al-Qur’a>n‛, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis Vol. 12, No. 2, (Juli 2011).

3 Sansan "Dimensi Eksoteris dalam Tafsir Ishari" (Jakarta: Sekolah Pascasarjana

UIN SYarif Hidayatullah, 2016) 1; Menurut Abdul Mustaqim, Tafsir sebagai proses

membutuhkan keseimbangan dalam dialektikanya antara wahyu, rasio mufassir, dan

realitas (konteks). Dengan konsekuensinya bahwa al-Qur'a>n harus senantiasa dikaji ulang

dan ditafsirkan. Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:

LKiS, 2010), 120.

Page 14: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

2

Harmonisasi antara dua masa tersebut merupakan unsur penting yang dibutuhkan

para penafsir dalam memahami teks al-Qur'a>n.4

Teks al-Qur'a>n bersifat absolute dan statis, namun tidak dengan

penafsirannya yang bersifat dinamis. Teks al-Qura>n yang telah final dan menjadi

corpus resmi umat Islam, dituntut untuk selalu relevan dengan perkembangan

zaman dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat dewasa ini melalui tafsir.5

Pada priode klasik (abad 1-2 H/6-7 M), perkembangan tafsir masih bersifat parsial,

sebab pada masa itu objek dari kinerja penafsiran hanya berkutat pada ayat-ayat

yang belum jelas atau belum bisa difahami. Selain itu, unsur "penokohan" juga

masih terlihat dominan, yakni hanya orang-orang yang memiliki otoritas tertentu

saja yang boleh menafsirkan al-Qur'a>n. Kemudian pada priode pertengahan, (abad

3-9 H/9-15 M), penafsiran al-Qur'a>n sudah mulai secara keseluruhan dengan

metode tah}li>li>.6 Pada priode inilah gagasan-gagasan eksternal al-Qur'a>n mulai

diintegrasikan dan al-Qur'a>n mulai menjadi objek intelektual dari kecenderungan

(corak) masing-masing para penafsir dalam menginterpretasikan teks suci tersebut.

Misalnya al-Zarkashi>> dengan karya tafsirnya yang berjudul al-Kasha>f. Sebagai

seorang ahli bahasa, produk penafsiran al-Zarkashi> sangat kental dengan nuansa

kebahasaan. Lain halnya dengan al-Alu>si dengan karya tafsirnya yang berjudul

Ru>h}ul Ma‘a>ni>, corak sufistiknya begitu jelas terlihat, mengingat beliau adalah

seorang ahli tasawuf. Sedangkan pada priode modern, penafsiran al-Qur'a>n lebih

berorientasi kepada spirit al-Qur'a>n sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-na>s)

dengan jargon bahwa al-Qur'a>n selalu relevan untuk setiap waktu dan tempat (s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n). Dipelopori oleh Muh}ammad 'Abduh dan muridnya

4Dalam hal ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama: pertama,

Textualists, yaitu mereka yang mendukung bahwa pembacaan al-Qur'a>n harus dilakukan

secara literal dan meyakini bahwa pesannya harus tetap "murni" serta tidak boleh tunduk

pada tuntutan masyarakat modern. kedua, Semi-textualists, kelompok ini berbeda dari para

ahli tekstual. Mereka membuat beberapa konsesi kecil dengan kondisi modernitas dan

sering dikaitkan dengan wacana apologetis. Ketiga, Contextualists. Yakni mereka yang

percaya bahwa ajaran tertentu tentang al-Qur'a>n dapat diterapkan secara berbeda

tergantung pada waktu dan tempat tertentu. Lihat Abdullah Saeed, "Some reflections on

the Contextualist approach to ethico-legal texts of the Quran", Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 71, No. 2, (University of London: 2008), 221-222.

5 Lihat Ahmad Taufik, "Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi

Penafsiran Tekstual)", Journal of Qur’a>>n and H{adi>>th Studies, Vol. 3, No. 2, (2014), 141-

172. Inilah alasan bagi kalangan kontekstualis yang mempromosikan bahwa proses

penafsiran tidak hanya tentang analisis teks semata, tapi juga harus melakukan contextual and historical reading, mencakup konteks historis, sosial, dan politik saat teks diturunkan.

Lihat Rachael M. Scott, ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the Qur’ān:

Readings of 4:34‛ The Muslim World, (2009), 60-85. 6Tah}li>li> adalah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat

al-Qur’a>n dari seluruh aspeknya. Seorang mufassir dengan metode ini akan menafsirkan

ayat-ayat dan surat demi surat dalam al-Qur’an secara runtut dari awal hingga akhir sesuai

urutannya. Dalam pembahasannya, terdapat unsur-unsur, di antaranya; penjelasan tentang

kosa kata (lafaz}), i’ja>z, bala>ghah, asba>b al-nuzu>l, dan muna>sabah (kolerasi). M. Al-Fatih

Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), 41-42.

Page 15: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

3

Rashi>d Rid}a>, konsep dan orientasi penafsiran tersebut mendapat respon positif dari

para pemikir dan penafsir lainnya. Sebut saja beberapa sarjana yang merespon

paradigma Muh}ammad ‘Abduh tersebut diantaranya; Amin al-Khulli>, ‘Aishah bint

al-Sha>t}i, Ah}mad Khalaf Allah, Shukri 'Ayyad, Nas}r H{a>mid Abu Zaid dan lain

sebagainya, hingga dewasa ini proses penafsiran al-Qur'a>n berlangsung dinamis

dengan berbagai metode dan coraknya.7

Isma'i>l Ragi> al-Fa>ru>qi> dalam tulisannya yang berjudul ‚Towards a New Methodology For Qur’anic Exegesis‛, memandang bahwa umat Islam meskipun

telah mengalamai perkembangan yang baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan

intelektual, ‚But the progress they have made in reconstructing their methods of thinking, is alarmingly little" (akan tetapi, perkembangan yang telah mereka

lakukan dalam hal merekonstruksi metode dan cara berfikir, sangat

mengkhawatirkan).8 Sedangkan Muh}ammad ‘Abduh dalam mengamati produk-

produk tafsir terdahu, ia mengalami kegelisahan dan berasumsi bahwa produk-

produk tafsir masa lalu pada umumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas

berbagai pendapat para ulama yang beragam, hingga pada akhirnya menjauhkan

dari tujuan diturunkannya al-Qur’a>n sebagai hudan li al-na>s. Menurut ‘Abduh,

tafsir harus berfungsi menjadikan al-Qur’a>n sebagai sumber petunjuk (maṣdar al-hida>yah), bukan untuk membela ideologi tertentu. Hal ini yang mendorong ia

menulis tafsir al-Mana>r yang bercorak al-adab al-ijtima'i>, sebuah karya tafsir yang

berbeda dengan karya-karya ulama-ulama masa lalu. Senada dengan pandangan

'Abduh.9 Atau lebih vulgar lagi, apa yang diungkapkan oleh Ignaz Goldziher dalam

Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, bahwa Islam tidak dianggap sebagai ajaran yang

mengabaikan prinsip-psinsip mendukung kemajuan rasional dan sosial, kecuali

disebabkan karena adanya pengaruh dari pemahaman keagamaan yang keliru dan

bentuk-bentuk penafsiran yang salah dari (sebagian) para ulama muta’akhir. Penyelewengan ajaran Islam itulah yang selama ini menjadi penyebab utama

adanya paradoks bagi makna dan hakikat Islam berupa tidak adanya mobilisasi

Islam ke arah paradigma kebudayaan modern.10

Aktivitas penafsiran al-Qur’a>n bukan hanya merupakan implementasi

metodologi untuk memahami isi kandungan al-Qur’a>n semata, lebih dari itu, tafsir

juga memiliki implikasi terhadap pola keberagamaan melalui persepsi yang

dibentuk dari tafsir itu sendiri. Sehingga, tafsir merupakan salah satu unsur yang

7 Wali Ramadhani, "Amin Al-Khuli dan Metode Tafsir Sastrawi Atas al-Qur'a>n", al-

Tibyan Vol. II No.1 (Januari–Juni 2017), 2. 8 Isma'i>l Ragi> Al-Fa>ru>qi>, "Towards a New Methodology For Qur’anic Exegesis",

Islamic Studies, Vol. 1, No. 1 (Islamic Research Institute, International Islamic University,

Islamabad : Maret, 1962), 35-52. 9 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010),

55. 10

Ignaz Goldziher, Madhāhib al-Tafsīr al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Khanaji,

1995), Terj. Dr. Abdul Halim A, Madzhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern,

(Yogyakarta: eLSQ Press, 2003). 380.

Page 16: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

4

membentuk kontruksi sosial-agama.11

Implikasi tafsir -sebagai proses

pembentukan persepsi terhadap agama (Islam)- terhadap sikap keberagamaan

dinyatakan oleh Muhsin Mahfudz, bahwa dari sekian banyak varian tafsir, dapat

didudukkan pada dua mainstream tafsir; penafsiran yang bersifat Skripturalis

(formalistik) dan penafsiran yang bersifat Subtansialis (terbuka). Penafsiran

Skripturalis umumnya mengekspresikan keberagamaan-nya dengan cara yang kaku

dan formalistik, sementara Subtansialis pada umumnya lebih fleksibel dan

esensialis.12

Implikasi penafsiran terhadap keberagamaan juga dinyatakan oleh

Ahmad Izzan, bahwa interpretasi terhadap teks al-Qur'a>n, baik yang bersifat

esoteris maupun eksoteris, pada gilirannya melahirkan sikap keberagamaan yang

eksklusif dan inklusif. Tafsir inklusif cenderung terbuka dan pluralis, sedangkan

tafsir eksklusif cenderung monolitik, tertutup, dan bersikap "kurang ramah".13

Selain itu, kecenderungan interpretasi pada suatu bidang ilmu juga memberikan

pengaruh tersendiri, seperti penafsiran yang bercorak fikih, biasanya cenderung

melahirkan eksklusivisme. Sedangkan corak tafsir sufistik lebih cenderung ke arah

inklusivisme, sehingga Sayyed Hossein Nasr dan Bawa Muhayyaddin begitu

semangat mempromosikan tasawuf di dunia modern Barat guna mengenalkan

wajah Islam yang sejuk, humanis dan mencintai toleransi.14

11

Lihat, Muhsin Mahfudz, "Implikasi Pemahaman Tafsir Al-Qur'an Terhadap Sikap

Keberagamaan", Tafsere, Vol. 4, No. 2, (2016), 122-148. 12

Perbedaan Keduanya mungkin sulit untuk diidentifikasi pada level wacana

mengingat keduanya merupakan akumulasi subjektivitas mufassir yang mencakup

motivasi, latar belakang intelektual dan wawasannya. Meskipun sulit diidentifikasi pada

level wacana, namun mudah dibedakan pada level praktis yang tercermin dalam ekspresi

keagamaannya. Muhsin Mahfudz, "Implikasi Pemahaman Tafsir Al-Qur'an Terhadap Sikap

Keberagamaan", Tafsere, Vol. 4, No. 2 (2016), 122-148. 13

Ahmad Izzan, Inklusifisme Tafsir: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Tafsir al-Mizan, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2013), 3.

14Bagi Sayyed Hossein Nasr, tasawuf atau dimensi esoterik dalam Islam merupakan

modal dasar bagi pergaulan antar umat beragama. Kaum sufi adalah mereka yang sangat

toleran terhadap ajaran agama-agama lain. Sedangkan Bawa Muhayyaddin (asal Srilanka),

yang telah banyak berkeliling ke Amerika Serikat untuk mengenalkan ajaran tasawuf yang

toleran, ia menulis beberapa karya yang mendapat pujian dari peneliti Barat. Salah satu

karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tasawuf Mendamaikan Dunia, yang diberi pengantar oleh Annemarie Schimmel (peneliti tasawuf asal Jerman dan

Profesor of Indo-Muslim Culture Harvard University Amerika Serikat). Lihat Andi Eka

Putra, "Islam Toleran: Membangun Toleransi dengan Jalan Spiritual", Kalam, Vol. 10, No.

2, (Desember 2016) : 381-402. Dalam seminar agama-agama XV/1995 yang

diselenggarakan oleh Badan Litbang PGI dan Yayasan Bina Darma di Salatiga, Dr. Kautsar

Azhari, pakar perbandingan agama IAIN Jakarta, menulis dalam makalahnya bahwa

berdasarkan bukti-bukti historis, seorang peneliti yang jujur harus mengakui bahwa

kelompok Islam yang paling toleran, paling simpatik, paling terbuka dan paling ramah

terhadap pemeluk agama lain adalah kelompok Islam sufi. Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membatu, (Jakarta:

Kompas, 2001), 17.

Page 17: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

5

Pola keberagamaan adalah ekspresi dari persepsi yang terbentuk oleh cara

intrepretasi terhadap agama itu sendiri. Dalam konteks keislaman, Abdul Kari>m

Soroush membagi dua model Islam: Islam sebagai identitas dan Islam sebagi

kebenaran. Model pertama dijadikan kedok untuk identitas budaya dan respons

untuk masalah "krisis identitas". Sedangkan model yang kedua merujuk pada Islam

sebagai sumber kebenaran yang menuntun kepada keselamatan dunia akhirat.

Soroush meyakini bahwa Islam identitas harus tunduk kepada islam sebagai

kebenaran. Sebagai kebenaran dapat berdampingan dengan kebenaran-kebenaran

lain, sedangkan Islam identitas lebih cenderung berseteru, atau Islam perang, bukan

Islam damai.15

Pada konteks masyarakat multikultural, Casram membedakan

masyarakat beragama ke dalam dua kelompok: educated people dan ordiniary people. Bagi masyarakat beragama educated people, memahami ajaran agama

harus disertai dengan analisis rasional serta menepikan pemahaman intuitif dan

simbolik. Kelompok ini cenderung lebih mudah diajak bertoleransi terhadap agama

dan pemeluk agama lain. Sedangkan masyarakat beragama ordiniary people

cenderung memahami ajaran agama penuh dengan simbol-simbol dan tidak

mempergunakan analisis rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan sangat susah

bertoleransi dengan agama dan pemeluk agama lain. Kelompok ini mudah

digerakkan oleh sekelompok orang atau komunitas baik yang beraliansi pada

politik maupun pada sosial budaya.16

Dengan tipologi yang lebih banyak,

Komarudin Hidayat menyebutkan lima tipologi keberagamaan: eksklusivisme,

inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Lanjutnya Komarudin

menjelaskan bahwa lima tipologi ini bukan berarti pengelompokan yang terpisah-

pisah dan permanen, namun lebih tepatnya sebuah kecenderungan yang

mendominasi sikap keberagamaan. Mengingat bahwa setiap agama atau sikap

keberagamaan senantiasa berpotensi untuk melahirkan kelima tipologi tersebut.17

Dari beberapa tipologi model keberagamaan di atas, setidaknya ada tiga

tipologi yang paling akrab dengan telinga publik dan banyak diperbincangkan

belakang ini, yaitu: eksklusivisme-inklusivime-pluralisme. Diskursus tiga model

keberagamaan ini menjadi pembahasan beberapa sarjana Muslim maupun non-

Muslim. Lihat misalnya Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, Gavin D‘Costa, Theology of Religions, dan David F. Ford, The Modern

15

'Abdul Kari>m Soroush menyebutkan bahwa salah satu penyakit teoritis di Dunia

Islam yang palling berat, pada umumnya, adalah bahwa orang lebih memahami Islam

sebagai Identitas daripada sebagai kebenaran. Mebangun identitas atau peradaban bukanlah

tujuan para Nabi. Umat Islam memiliki peradaban dan identitas memang benar, namun

mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas dan peradaban. Lihat

Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan dari Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdulkarim Soroush, oleh

Abdullah Ali. (Bandung: Mizan, 2002), 31-33. 16

Casram, "Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural",

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016), 190. 17

Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Mizan, 2003), 45.

Dikutip oleh Casram, "Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural",

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016), 191-192.

Page 18: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

6

Theologians: An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century.18 Gavin D'Costa dan Mun'im Sirry berkeyakinan bahwa Alan Race lah yang

memperkenalkan dan mempopulerkan tiga pendekatan itu sebagai penjelasan

standar tentang bagaimana Kristen memandang agama lain.19

Dalam Christians and Religious Pluralism (1983), Race menjadikan ‚eksklusivisme‛, ‚inklusivisme‛,

dan ‚pluralisme‛ masing-masing sebagai judul bab-bab dalam bukunya. Menurut

Mun'im, kendati tipologi tersebut berguna untuk melihat sikap seseorang terhadap

agama lain, namun tipologi tersebut juga memiliki keterbatasan teoritis dan perlu

perbaikan.20

Lebih tegas lagi, Gavin D‘Costa mengkritik dalam tulisannya yang

berjudul ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ (1996), tipologi

tersebut ‚cacat metodologis‛ dan tidak bisa dipertahankan.21

Eksklusivisme dalam sikap keberagamaan adalah sikap yang lahir dari

paradigma bahwa agama yang dipeluknyalah yang paling benar dan menganggap

sesat agama lainnya. Eksklusifis biasanya cenderung menutup diri terhadap relasi

sosial dengan pemeluk agama lain.22

Penjelasan lain tentang eksklusivisme hadir

dari Jeroen De Ridder. Menurut Jeroen, seorang ekslusifis (religious exclusivist) adalah seorang yang sangat meyakini superioritas agama yang dipeluknya dan

menganggap agamanyalah satu-satunya agama yang benar. Berdasarkan pada

Epistemologi Reformed23

, keyakinan eksklusivis (exclusivisťs religious beliefs)

18

Abu Bakar, "Argumen al-Qur’a>n tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan

Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni

2016), 45-46. 19

Gavin D'Costa dalam David F. Ford, The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology Since 1918, ( Blackwell Publishing Ltd, 2005), 631-632. Mun'im Sirry,

"Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme Dalam Beragama", Geotimes, 20 Mei 2016.

20 Mulai saat itu, tipologi tersebut secara umum digunakan, bukan hanya untuk

menggambarkan sikap Kristen terhadap agama lain, namun berkembang luas di kalangan

sarjana-sarjana Muslim sendiri, termasuk di Indonesia. Sikap kaum Muslim Indonesia

terhadap agama lain juga diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok tersebut: eksklusivis,

inklusivis, dan pluralis. Lihat Mun'im Sirry, "Mempertanyakan Eksklusivisme-

Inklusivisme-Pluralisme Dalam Beragama", Geotimes, 20 Mei 2016. 21

Lihat Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛

Religious Studies, Vol. 32, No. 2 (Cambridge University Press, Juni, 1996) : 223-232.

Kritik atas tipologi keberagamaan tersebut dimungkinkan karena sulitnya mengidentifikasi

dalam ranah teoritis, sehingga sulit menentukan instrumen sebagai standar dari tipologi

tersebut. 22

Abu Bakar, "Argumen al-Qur’ān tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan

Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni

2016), 46. 23

Epistemologi Reformed adalah suatu gerakan di dalam filsafat analitik yang

berkembang sejak pertengahan tahun 1980-an. Para filsuf yang tergabung dalam gerakan ini

berupaya untuk menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan (belief in God), khususnya

terhadap kepercayaan Kristen, adalah rasional, terjustifikasi (justified) dan terjamin

(warranted). Mereka berupaya untuk memperlihatkan bahwa secara epistemologis

kepercayaan religius (religious belief), khususnya kepercayaan Kristen, memiliki status

Page 19: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

7

dapat dianggap rasional atau dibenarkan melalui kebenaran dasar kayakinannya

tanpa harus didasarkan pada alasan atau argumen akan kepercayaan itu. Seperti

dalam pandangan Plantinga, bahwa seseorang yang memiliki kepercayaan yang

ekslusif tidak lantas dikatakan sebagai orang yang tidak bermoral, tidak beralasan

dan tidak rasional. Ia tetap bisa dibenarkan atas kebenaran dasar kepercayaannya.24

Namun demikian, Erik Baldwin dan Michael Thune (2008) mengkritik klaim ini

dengan berargumen bahwa seorang eksklusifis yang telah sepenuhnya sadar akan

fakta pluralisme agama tidak dapat lagi rasional dalam memegang dasar keyakinan

agamanya.25

Zuly Qodir menggunakan istilah Absolutisme sebagai faham

keberagamaan yang tertutup dan menolak agama lain. Menurut Zuly, secara kon-

septual, faham Absolutisme/ekslusivisme menolak keberadaan yang lain yang

diperkuat dengan perspektif tentang kebenaran tunggal dan menganggap bahwa

kelompok lain salah dan harus dipertobatkan.26

Adapun terkait Inklusivisme, Paradigma inklusif pertama kali dimunculkan

oleh Karl Rahner adalah yang dikenal dengan istilah Kristen anonim (the Anonimous Christian) atau non-Kristiani. Menurut Karl Rehner, orang-orang non-

Kristiani memiliki peluang untuk mendapatkan keselamatan (salvation) selama

dalam hatinya tertanam ketulusan terhadap Tuhan.27

Hal ini senada dengan

pernyataan Alwi Shihab, bahwa kemunculan teologi inklusif dikaitkan dengan

pandangan Karl Rehner, seorang teolog Katolik, yang intinya menolak asumsi

bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak berkesempatan meyakini Injil. Mereka

yang mendapatkan anugerah cahaya Ilahi walaupun tidak melalui Yesus, tetap

akan mendapatkan keselamatan.28

Sedangkan dalam konteks teologi inklusif

epistemik yang positif. Tokoh-tokoh yang menjadi arsitek dan pendiri gerakan ini adalah

William P. Alston (1921– 2009), Nicholas Wolterstorff (1932– ), dan Alvin Plantinga

(1932– ). Plantinga menyebut gerakan ini sebagai epistemologi Reformed karena para

pendirinya, seperti Plantinga sendiri dan Wolterstorff, mengajar di Calvin College,

Amerika Serikat, dan mereka banyak mendapatkan inspirasi dari John Calvin serta para

teolog lain di dalam tradisi teologi Reformed. Epistemologi Reformed menolak pandangan

fondasionalisme klasik dan evidensialisme bahwa kepercayaan religius tidak rasional dan

tidak terjustifikasi. Mereka juga mengklaim bahwa kepercayaan religius memiliki status

epistemik yang positif di dalam konteks epistemologi yang lebih memadai. Lihat Thio

Christian Sulistio, "Epistemologi Reformed: Sebuah Upaya Filsuf-Filsuf Kristen Membela

Status Epistemologis Kepercayaan Kristen", VERITAS 13/2 (Oktober 2012), 217-229. 24

Kevin Meeker, "Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues", Religious Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006), 194.

25 Lihat, Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies,

Vol. 47, No. 4, Cambridge University Press, (December 2011), 449-463. 26

Zuly Qodir, "Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam",

Orientasi Baru, Vol. 17, No. 1, (April, 2008), 64. 27

Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.

4 No. 2 (Oktober, 2013), 1277. 28

Alwi Shihab dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,

"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-

Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59.

Page 20: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

8

Islam,29

Nurcholis Madjid (Cak Nur) berpendapat bahwa kebenaran tidak lagi

menjadi monopoli suatu agama tertentu, melainkan menjadi hak semua penganut

agama. Terdapat dua poin yang ditawarkan oleh Madjid dalam memaknai

Inklusifisme Islam: Pertama, pandangan terhadap agama-agama lain sebagai

bentuk implisit dari agama tertentu. Kedua, sikap terbuka dan toleran terhadap

penganut agama non-Islam.30

Setidaknya inklusivisme memiliki tiga gagasan

utama yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya: Pertama, substansi

keimanan dan peribadatan lebih penting dari pada formalitas dan simbolisme

keagamaan yang bersifat literal. Kedua, pesan-pesan agama yang bersifat abadi

dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus selalu ditafsirkan ulang oleh

masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman yang dihadapi. Ketiga, kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tidak ada seorangpun yang dapat

memastikan bahwa pemahamannya terhadap pesan Tuhan adalah paling benar,

lebih benar atau lebih baik dari pada pemahaman orang lain.31

Tipologi ketiga, pluralisme. Beranjak dari kesadaran penuh akan

keberagaman, Séamus Murphy memandang pluralitas adalah sebuah fakta dan

pluralisme adalah sebuah nilai. Yaitu nilai positif terhadap pluralitas tersebut.32

John Hick adalah salah satu tokoh pengembang dan pembela pluralisme agama

yang paling menonjol di abad ke-20.33

Menurut Gavin D’Costa, sebagaimana

dikutip oleh Christian Sulistio, upaya John Hick dalam memperkuat teori

pluralisnya, ia mengintegrasikan dua pandangan yang berkembang di kalangan

pluralis; pertama, sebuah pandangan yang meyakini bahwa semua agama memiliki

esensi yang sama, yang dapat diidentifikasi secara historis di dalam tradisi-tradisi

mistik agama-agama dunia. Kedua, sebuah pandangan yang berangkat dari asumsi

relativitas historis. Yakni, semua tradisi bersifat relatif dan tidak dapat mengklaim

29

Paradigma Inklusif kemudian menjurus lebih pluralis dan dikenal dengan teologi

Pluralis-Inklusif. Faham ini yang paling berani mengakui bahwa adanya kebenaran agama-

agama lain yang oleh para penggagas dan penganutnya seperti, Mohamed Fathi Osman,

Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Abdul Aziz Sachdina, dll. Dianggap sebagai

perspektif teologis yang lebih toleran dan memanusiakan seluruh umat Tuhan. Zuly Qodir,

"Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam", Orientasi Baru, Vol. 17,

No. 1, (April, 2008), 64-65. 30

Nurcholis Madjid dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,

"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-

Qur'ān Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59. 31

Ahsanul Khalikin & Zirwansyah, Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kementerian

Agama RI, 2013), 18. 32

Séamus Murphy, Cultures, Pluralism, and Religious Faith, Studies: An Irish

Quarterly Review, Vol. 92, No. 365 (Spring, 2003), 35. 33

Seyyed Hassan Hosseini, "Religious Pluralism and Pluralistic Religion: John

Hick’s Epistemological Foundation of Religious Pluralism and an Explanation of Islamic

Epistemology toward Diversity of Unique Religion", The Pluralist, Vol. 5, No. 1,

University of Illinois Press on behalf of the Society for the Advancementof American

Philosophy, (2010), 95.

Page 21: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

9

dirinya superior daripada jalan keselamatan yang lain, yang sama terbatas dan

sama relatifnya. Paham ini dianut oleh Arnold Toynbee dan Ernst Troeltsch.34

Sehingga, dalam pandangan John Hick, semua agama sama, bukan pada aspek

doktrin atau pengalaman mistiknya, namun dalam aspek pengalaman keselamatan

atau memiliki misi pembebasan yang sama.35

Hal ini dapat dilihat dari tawaran

John Hick dalam meninjau aspek soteriologis pada setiap agama36

dan eksistensi

keberagamaan sebagai produk kultural-historis.37

Yang dalam pandagangan Hick,

terdapat suatu transformasi dari self-centredness menuju reality-centredness,38

yang melahirkan kesimpulan bahwa keselamatan ada pada semua agama.39

Di sisi

lain, Teologi pluralis yang ditawarkan John Hick tersebut ternyata tidak luput dari

kritikan. beberapa sarjana. Misalnya, Kevin Meeker, dalam tulisannya yang

berjudul "Pluralism, Exclusivism, and the Theoretical Virtues",40

Gavin D‘Costa,

dalam ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛,41

atau kritikan yang

34

Gavin D’Costa, ‚Other Faiths and Christianity‛ dalam The Blackwell

Encyclopedia of Modern Christian Thought (Oxford: Blackwell, 1993) 412, dalam

Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog Kritis Dari

Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 56. 35

John Hick membangun teologi pluralisnya secara induktif, berangkat dari

pengamatannya akan kemajemukan agama, dan menurutnya, klaim masing-masing agama

sebagai pembawa keselamatan adalah absah. John Hick mengklaim terhadap dirinya

sebagai seorang yang berkomitmen kepada iman, yaitu bahwa pengalaman beragama

Kristen bukan semata-mata proyeksi manusia namun juga sebagai respons kognitif

terhadap realitas transenden. Dari sinilah John Hick mengembangkan hipotesanya dan

meyakini bahwa agama-agama di dunia memiliki pengalaman religius dan respons kognitif

yang sama terhadap yang transenden. lihat Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama

John Hick: Sebuah Dialog Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001),

56. 36

Lihat John Hick, "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4,

(Cambridge University Press: 1981) : 451-467, 453. Dalam pandangan John Hick, ajaran

tentang manusia dan keselamatan dalam agama-agama adalah sama, yaitu kondisi manusia

yang berada dalam keadaan berpusat pada diri sendiri dan perubahan untuk berpusat pada

Realitas yang ditawarkan oleh agama-agama tersebut. Dengan pemahaman demikian, ia

menyatakan bahwa keselamatan ada pada semua agama. Christian Sulistio, "Teologi

Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 60.

37Jika seseorang terlahir pada suatu tradisi keagamaan, maka besar kemungkinannya

bahwa seseorang itu akan hidup dengan cara tradisi keagamaan tersebut. Lihat John Hick,

"On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4, (Cambridge University Press:

1981), 454. 38

Pengalaman spiritual personal menuju yang Real (Tuhan, dalam istilah Hick) yang

terpusatkan. 39

Lihat John Hick, "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4,

(Cambridge University Press: 1981), 453. 40

Lihat, Kevin Meeker, Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues,

Religious Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006), 193-206. 41

Lihat, Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛

Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press, Juni, 1996), 223-232.

Page 22: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

10

dilayangkan oleh Milbank, sebagaimana dikutip oleh Christian Sulistio, bahwa

asumsi John Hick yang meletakkan agama-agama dalam satu genus yang sama

sehingga dapat ditarik kesimpulan yang absah, justru Milbank tidak menemukan

ciri-ciri yang sama pada masing-masing agama, baik pada aspek kepercayaannya

maupun prakteknya. Menurut Milbank, persepsi John Hick dalam meletakaan

agama-agama pada satu genus merupakan satu bentuk upaya kristenisasi.42

Agama dan masyarakat memiliki ikatan kuat yang saling mempengaruhi

satu dengan yang lainnya.43

Agama memiliki peran antagonistik yang mampu

memberikan energi positif dan negatif sekaligus. Di tangan pemeluknyalah agama

dapat menjelma sebagai problem solver atau parth of problems bahkan source of problems.

44 Dalam hal ini, wacana keberagamaan menempati posisi penting dalam

rangka mewujudkan ko-eksistensi keragaman kelompok, sekaligus untuk

memperbaiki kesenjangan antara cita-cita ideal dari setiap agama dengan realitas

empirik yang ada,45

bahwa maraknya pertikaian yang mengatasnamakan agama.

Sehingga, untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, perlu adanya refleksi dan

kontruksi pemahaman keagamaan yang tepat, terutama dalam konteks

kemajemukan.46

Pluralitas dan globalisasi menghadirkan tantangan tersendiri bagi setiap

pemeluk agama di dunia. Paradigma inklusif-pluralis yang dianggap begitu sadar

akan fakta pluralitas dan sangat menekankan pentingnya toleransi, hingga pada

titik ekstrimnya mengakui kebenaran dan keselamatan ada pada semua agama.

Pandangan ini sekilas tepat dan cocok dengan fakta pluralitas agama demi

terciptanya ko-eksistensi antar masyarakat beragama dewasa ini. Namun di sisi

lain, keberagamaan tidak bisa dilepasakan dari aspek ekslusivisme-nya, dan bagi

agama-agama dakwah (missionary) yang memiliki misi suci untuk menghimpun

manusia ke dalam agamanya. Para eksklusifis yang mengklaim kebenaran dan

keselamatan hanya miliki kelompok atau agama tertentu serta menganggap sesat

pemeluk agama lainnya, rupaya tidak bisa disalahkan begitu saja, atau bisa

"dibenarkan" dalam konteks tertentu.47

Muḥammad Baharun menyebutkan bahwa

dalam pemikiran teologis terdapat asumsi dasar, yaitu tuntutan yang bersifat

42

lihat Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog

Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 61. 43

Catur Widiat Moko, "Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005)

Dalam Konteks Keindonesiaan", Medina-Te, Vol. 16, No.1, (Juni 2017 ), 62. 44

Tobroni, Relasi Kemanusiaan Dalam Keberagamaan: Mengembangkan Etika Sosial Melalui Pendidikan (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012) iii.

45 Idrus Ruslan, "Etika Islam dan Semangat Pluralisme Agama di Era Global", Al-

Adyan / Vol. V, No.1 / (Januari-Juni, 2010), 2. 46

M. Syaiful Rahman, "Islam dan Pluralisme", Fikrah, Vol. 2, No. 1, (Juni 2014),

401. 47

Lihat, Kevin Meeker, Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues,

Religious Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006) : 193-206, 194.

Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47, No. 4,

Cambridge University Press, (December, 2011), 449-463.

Page 23: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

11

eksklusif-partikularistik, atau dikenal dengan truth claim. Agama dan truth claim

adalah satu kesatuan yang melahirkan kekuatan simbolis yang mengikat

pemeluknya.48

Dalam dunia Islam, teks-teks keagamaan yang nampak kontradiktif

menambahkan kerumitan yang terkadang memaksa pemikir keagamaan masuk

dalam nuansa dilematis. Dalam khasanah tafsir sebagai pemegang otoritas untuk

menjelaskan pandangan yang Qur'a>ni>, paradigma ekslusif-inklusif memiliki dasar

skriptual yang memadai.49

Misalnya, untuk ekslusivisme :

إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا

ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا

‚Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya‛50

Dan ayat:

عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ

‚Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi‛51

Sedangkan untuk inklusivisme mengacu pada ayat:

ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا تـ ـ ٱىص س ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا

ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي ل خ إ إ عد زة س إ أجإ ي

‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛52

Dan ayat:

ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا س ـ ٱىص تـ ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا

ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي خ

48

Muhammad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012),

18. 49

Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian

Semantik Terhadap Tafsir Al-Qurān Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3,

No. 1, (21 April 2013): 59-60. 50

(QS. Ali Imran [3]: 19). 51

(QS Ali Imran [3]: 85). 52

(QS. al-Baqarah [2]: 62).

Page 24: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

12

‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiūn dan orangorang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛53

Dua ayat pertama (QS. Ali Imran [3]: 19, 85), bernuansa ekslusif yang secara

eksplisit menyebutkan bahwa hanya Islam yang benar. Sedangkan dua ayat

selanjutnya (QS. al-Baqarah [2]: 62) dan QS. al-Maidah [5]: 69, bernuansa inklusif

yang menjanjikan keselamatan penganut agama Kristen, Yahudi, dan S{a>biu>n,

dengan syarat percaya kepada keesaan Tuhan, hari akhir, dan mengerjakan

kebajikan.54

Mun'im Sirry menyebutkan bahwa ada ambiguitas al-Qur'a>n terkait

hal ini, mengingat al-Qur'a>n tidak memiliki sikap tunggal dalam memperlakukan

agama-agama lain. Di tengah iklim sektarian pada dua ayat pertama, al-Qur'a>n juga

memperlihatkan pandangan ekumental melalui pelebaran payung keselamatannya

hingga menaungi penganut Yahudi, Kristen dan Sabean.55

Memegang erat masalalu sebagai sebuah tradisi yang mesti terus dilanjutkan

adalah salah satu unsur yang melahirkan ekslusivisme, baik dalam cara pandang

maupun sikap keberagamaan. Ortodoksi tafsir pun cenderung hadir dari mufassir

yang terlalu bernostalgia pada para pendahulunya, sehingga produk tafsirnya kental

53

(QS. al-Maidah [5]: 69). 54

Dalam perspektif linguistik-semantik, inklusivisme dan eksklusivisme dalam tafsir

memiliki pijakan metodologi interpretasi teks yang berbeda. Rofiq Nurhadi dkk. mengkaji

kata di>n, millah, dan shari>’ah sebagai kata kunci dalam al-Qur'a>n yang berbicara tentang

keberagamaan dalam konteks pluralis. Dalam pandangan inklusivisme Islam ketiga unsur

bahasa itu memiliki relasi sinonimi. Implikasi metodologi penafsiran teksnya adalah tidak

menghadap-hadapkan teks yang mengandung ketiga unsur sinonimitas tersebut secara

diametral, kerena ketiga unsur bahasa tersebut maknanya bisa saling disubtitusikan. Dari

sini dalam penafsiran teksnya metode yang demikian ini terhindar dari persoalan ta’ārud al-

adillah. Sedangkan dalam pandangan eksklusivisme Islam, kata dīn dan syarī’ah memiliki

relasi makna hiponimi. Implikasi pandangan ini dalam penafsiran teks adalah menculnya

problem ta‘a>rud}. Adapun jalan keluarnya yang sesuai dengan relasi kedua unsur bahasa

tersebut adalah naskh juz'i (penghapusan sebagian). Dimana bila yang disebut di>n dengan

ciri islam sebagai superordinatnya maka yang dimaksud adalah syari>’ah tertentu yang

sesuai dengan ciri tersebut yaitu syari’at Muhammad saw sebagai hiponimnya. Sedang

shari>’ah - shari>‘ah yang lain tidak dimaksudkan dalam kategori di>n al-isla>m. Lihat Rofiq

Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik Terhadap

Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama", Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April

2013) : 58-67. 55

Lihat Mun'im Sirry, "Memahami Kritik al-Qur’ān terhadap Agama Lain", Journal of Qur’a>n and Hadi>th Studies – Vol. 3, No. 1, (2014): 1-15. Secara historis, ayat yang

menjanjikan keselamatan bagi non-muslim (QS. [2]: 62) dan(QS. [5]: 69) turun pada

periode akhir atau periode Madinah. Dengan fakta inilah Mahmoud Ayoub untuk

menyimpulkan, ‚baik kalimat maupun kandungan kedua ayat identik itu tidak bisa

dikatakan telah diabrogasi.‛ Mahmoud Ayoub, ‚The Qur’an and Religious Pluralism,‛

dalam Roger Boase dan Hassan Bin Talal, Islam and Global Dialogue: Religious Pluralism and the Pursuit of Peace (Burlington, VT: Ashgate, 2005), 277.

Page 25: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

13

dengan nuansa eksklusivisme. Keyakinan bahwa warisan sejarah penafsiran Nabi

terhadap al-Qur'a>n sebagai pemegang otoritas paling terkemuka, yang dimiliki juga

oleh tiga generasi pertama (al-salaf al-s}a>li>h}) bersifat normatif, statis dan

universalistik, secara harfiah ditaati dan ditiru dalam "vakum temporal-spasial"

oleh generasi Muslim berikutnya. Inilah dasar dari interpretasi literal-

dekontekstual terhadap teks keagamaan (al-Qur'a>n dan Sunnah) baik secara

epistemologis maupun metodologis, berlabuh pada tradisi periwayatan (hadith).56

Pandangan seperti ini dimiliki oleh kalangan Ahl al-H{adi>th,57

seperti Aḥmad bin

H{anbal (W. 241 H), yang dewasa ini sering dikaitkan dengan kelompok Islam

Salafiyyah atau dalam istilah Adis Duderija "Neo-Traditional Salafi".58

Term isla>m dapat menjadi salah satu instrumen untuk menentukan

kecederungan eksklusif-inklusif. Dalam tafsir Muḥammad bin Sa>lih} al-‘Uthaimi>n,

salah satu tokoh terkemuka kelompok salafi, terma isla>m memiliki makna umum

(‘a>mm) dan makna khusus (kha>s). Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n memaknai

terma al-di>n pada QS. Ali Imrān: 19 sebagai al-'amal (amal perbuatan), sama

halnya dengan term al-di>n yang ada pada QS. Al-Ka>firu>n: 6 dan QS. Al-Bayyinah:

5, terma al-di>n adalah al-isla>m, yaitu ibadah kepada Allah dan beramal shaleh

kepada-Nya. Dalam pandangan Muḥammad bin Sa>lih} al-‘Uthaimi>n, term al-isla>m

pada QS. Ali-Imrān:19 adalah Islam kha>s} (khusus), yaitu beribadah kepada Allah

sesuai Shari'at yang dibawa Nabi Muhammad.59

Ulama-ulama klasik seperti Ibn

Jari>r al-T{abari> (839-923 M), Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (1149-1209 M), al-Zamakhshari>

(1074/ 1075 –1143/1144 M) dan Ibn Kathi>r (1300-1373 M), juga memahami Islam

56

Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'a>n-Sunnah Hermeneutic and The

Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden,

2007), 291. 57

Melchert menegaskan bahwa ahl-h}adi>th adalah mazhab pemikiran yang mana

hanya menerima al-Qur'a>n dan H{adi>th sebagai sumber hukum dan teologi. Dalam

pandangan mereka, "keahlian dalam hadits dan keahlian dalam hukum hampir sama.

mereka lebih suka untuk menjawab pertanyaan yuridis dengan membaca laporan hadith

yang relevan (termasuk, pendapat Sahabat dan tabi'in). Mereka menyebut kelompok

mereka sebagai as}h}a>b al-athar, ahl-al-sunnah atau ahl-al-sunnah wa-al-jama>'ah. Pada abad

kesembilan Baghdad, mereka adalah H{anabilah, Ahmed ibn H{anbal dan para pengikutnya.

Ch. Melchert, "Ibn Mujahid and the Establishment of Seven Qur’anic Readings", Studia Islamica 91 (2000): 5–22, Dalam Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'ān-Sunnah

Hermeneutic and The Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden, 2007), 292.

58Lihat misalnya, Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'a>n-Sunnah

Hermeneutic and The Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden, 2007) : 289-323. Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi

Qur’an-Sunna Hermeneutics and Its Interpretational Implications", Religion Compass 5/7

(2011) : 314–325. Adis Duderija, "Islamic Groups and their World-views and Identities:

Neo-Traditional Salafis and Progressive Muslims", Arab Law Quarterly 21 (2007), 339-

360. 59

Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n , Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m Su>rah A<li ‘Imra>n,

(Riyad: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M) Jil. 1, 123.

Page 26: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

14

sebagai satu-satunya agama yang benar.60

Nalar eksklusif juga dapat ditemukan

pada pandangan Sayyid Quṭb (1972), Abu A’la al-Maudu>di> (1988), Hamka (2001),

Muh}ammad T{alib (2011), dan Adian Husaini (2007). Sedangkan nalar inklusif

dapat dilihat -di antaranya- pada pandangan Muhammad ‘Abduh (1947), Rashi>d

Rid}a (1947), Quraish Shihab (2002), Fazlur Rahman (2004), Amina Wadud (1999)

Khaled Abou al-Fadl (2005),61

Nurcholis Madjid, dan Abdulaziz Sachedina

(2001).62

Secara substansial, inklusifis-pluralis memahami Islam sebagai bentuk

kepasrahan total kepada Tuhan.

Berdasarkan pemaparan di atas, unsur eksklusivisme dalam diskursus tafsir

perlu dikaji lebih komprehenshif dan mendalam, untuk dihadirkan dalam konstelasi

dunia akademik. Dengan alasan bahwa tafsir memiliki implikasi terhadap pola

keberagamaan, sedang pola keberagamaan menentukan tingkat keharmonisan

sosial dalam masyarakat yang pluralis dan multi-kultural. Selain itu, silogisme dari

eksklusivisme menuju radikalisme-ekstremisme juga perlu dikaji ulang, alih-alih

untuk tujuan keharmonisan bermasyarakat, pemahaman ini malah mencoreng

wajah agama, seperti penggiringan mind set bahwa agama adalah sumber konflik

sosial, sehingga nilai-nilai kebaikan agamapun akan tergadai begitu saja. Dalam

konteks ini, penulis mengkaji eksklusivisme tafsir dan pola keberagamaan dalam

tafsir Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, yang bernama Tafsir al-Qur'a>n al-Kari>m.

Alasan penulis memilih tafsir ini sebagai objek material penelitian, berdasarkan

pada beberapa pertimbangan; Pertama, Muḥammad bin Sa>lih} al-‘Uthaimi>n adalah

salah satu tokoh kelompok salafi yang cukup produktif dalam berkarya dan

memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan umat Islam, khususnya bagi

kelompok salafi. Ia adalah salah satu murid dari ‘Abd al-Azi>z Ibn Ba>z yang

memiliki prestasi yang baik dalam hal intelektual-keagamaan.63

Kedua, terma

salafi atau kelompok Islam Salafiyyah -yang merupakan Islam identitasnya

Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n- dewasa ini memiliki konotasi ganda. Di satu

sisi salafi dipercayai sebagai gerakan pemurnian Islam (Islam Puritan) yang

bertujuan mengembalikan Islam pada ajaran autentiknya, namun di sisi lain, salafi

sering menjadi alamat dari istilah-istilah seperti radikalisme, fundamentalisme,

bahkan ekstrimisme dan terorisme, serta terkesan kaku dalam bersosial. Ketiga, konfrontasi yang dilakukan oleh kelompok salafi terhadap barat (anti barat) dan

modernisasi. Keempat, kajian tafsir ini masih relatif minim dikaji.

60

Alwi Shihab dalam Marjan Fadil, Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta:

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2017), 3. 61

Marjan Fadil, Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah, 2017), 3. 62

Lihat Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New

York: Oxford University Press, Inc., 2001). 63

Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan Genealogi dan Ajaran Salafi, (Tangerang

Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2017), 172.

Page 27: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

15

B. Permasalahan Penelitian

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah, terdapat beberapa

masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

a. Implikasi tafsir al-Qur'a>n terhadap konsep keberagamaan.

b. Diskursus pola keberagamaan; eklusivisme-inklusivisme-pluralisme.

c. Relasi antara ortodoksi tafsir tradisional dan paradigma eksklusif dalam

beragama

d. Sinkritisme dan relativisme dalam pluralisme.

e. Relasi antara ekslusivisme dengan ekstemisme dan terorisme.

f. Landasan skriptual pola keberagamaan; eklusivisme-inklusivisme-

pluralisme dalam al-Qur'a>n

g. Polemik makna terma isla>m

h. Polemik terminologi dan batasan iman

i. Polemik makna dan batasan kafir

j. Kesenjangan antara cita-cita ideal agama tentang keharmonisan sosial

dan realitas empirik yang ada, tentang maraknya kekerasan atas nama

agama.

k. Eksklusivisme dan toleransi beragama.

l. Konsep dakwah dalam tantang masyarakat majemuk multi kultural.

m. Islam dan pluralitas

n. Konotasi ganda istilah salafi (positif-negatif). Di satu sisi ia dianggap

sebagai gerakan pemurnian Islam (Islam Puritan), namun di sisi lain kerap

menjadi alamat dari istilah ekstemisme dan terorisme.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penulis

merumuskan permasalah dalam satu pertanyaan pokok, yaitu; "Bagaimana konsep

keberagamaan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dan kaitannya dengan

eksklusivisme dalam penafsiran?"

Dari rumusan masalah tersebut, muncul beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana konsep keberagamaan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

ditinjau dari tiga pola keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-

pluralisme?

2. Bagaimana aplikasi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

tentang tema-tema teologis dan sosial-agama?

Page 28: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

16

3. Apa relevansi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam

wacana eksklusivisme tafsir?

3. Pembatasan Masalah

Karena begitu luasnya masalah yang ada, penulis membatasi penelitian ini

pada beberapa aspek. Pembatasan masalah ini didasarkan pada urgensi masalah

yang hendak di pecahkan.

Variabel yang menjadi fokus pada penelitian ini meliputi tiga aspek;

pertama, mengkaji tiga tipologi beragama; ekslusivisme-inklusivisme-pluralisme

dalam diskursus sosial-agama. Kedua, mengkaji metode tafsir Muḥammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n beserta implikasinya dalam membentuk kontruksi sosial-agama.

Ketiga, mengkaji aplikasi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n terhadap

beberapa tema teologis dan sosial-agama.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan tema pembahasan tesis ini adalah ayat-

ayat yang menjadi landasan skriptual eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, ayat-

ayat yang mengandung terma di>n, millah, shari‘ah, Islam, ayat-ayat yang

membahas tentang keselamatan, dan ayat-ayat yang menjelaskan eksistensi non

muslim, sebagai instument untuk mengetahui kecenderungan sikap keberagamaan

Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n. Kemudian, ayat-ayat yang menjelaskan

tentang beberapa tema tentang teologis seperti ayat-ayat yang membahas tentang

hakikat iman, Islam, eksistensi kafir, musyrik, ahl kita>b, dan ayat-ayat yang

membahas tentang sosial-agama, seperti tentang pluralitas, sosial-relasional

dengan kelompok lain, konsep dakwah, toleransi, dan jihad.

Tema teologis yang akan dibahas pada tulisan ini adalah tentang tauhid, hakikat iman dan islam, konsep keselamatan (salvation). Sedangkan tema sosial-

agama yang akan dibahas adalah tentang eksistensi non-muslim dalam al-Qur'ān,

sosial-relasional dengan kelompok lain, konsep al-wala>' wa al-bara>', konsep amr ma‘ru>f wa nahy al-munkar, konsep jihad, toleransi, dan konsep dakwah

(missionary) sebagai misi suci agama. Alasan penulis dalam memilih tema-tema

teologis dan sosial-agama berdasarkan pada fakta akan stigma negatif terhadap

teologi ekslusif sebagai akar dari ekstremisme-terorisme yang melahirkan

kekerasan atas nama agama dan menyebabkan disharmonis pada kondisi sosial

masyarakat. Dengan demikian, elaborasi beberapa aspek ini diharapkan dapat

memberikan gambaran yang jelas tentang paradigma ekslusif terhadap ajaran Islam

dan visi sosial tentang keharmonisan dalam bermasyarakat.

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang terdapat pada rumusan masalah, tujuan yang hendak

dicapai pada penelitian ini adalah:

1. Menganalisis konsep keberagamaan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

ditinjau dari tiga pola keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-

pluralisme.

Page 29: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

17

2. Mengetahui aplikasi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

tentang tema-tema teologis dan sosial-agama

3. Mengetahui relevansi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

dalam wacana eksklusivisme tafsir.

D. Signifikansi Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

dalam khazanah metodologi tafsir al-Qur'a>n terkait paradigma penafsiran.

Mengingat, paradigma eksklusif dalam tafsir turut membentuk pemahaman

keagamaan yang kerap dikaitkan dengan ekspresi keberagamaan yang tidak ramah,

intoleran, dan pada titik ekstrimnya mengarah pada kekerasan atas nama agama.

Adapaun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah

kesadaran umat beragama (khususnya umat Islam) akan pentingnya kedewasaan

sikap beragama sehingga wajah Islam tidak tercoreng dengan stigma negatif

seperti intoleran, ekstemisme, dan terorisme. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan dapat memberi alternatif akan kesenjangan antara cita-cita ideal agama

dan realitas empirik bahwa umat beragama sering mengalami ketegangan sosial

dan disharmoni dalam konteks masyarakat pluralis-multikultural.

E. Literatur Terdahulu yang Relevan

Wacana tipologi keberagamaan: eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme

hadir dalam tulisan Gavin D'Costa, "Theology of Religions"64

, dan " The

Impossibility of a Pluralist View of Religions". Menurut Gavin, tipologi tersebut

pertama kali dikenalkan oleh Alan Race dalam dunia Kristen untuk melihat sikap

kristiani terhadap agama-agama lain. Gavin mendefiniskan eksklusivisme sebagai

nalar yang dicirikan dengan truth claim, pluralisme dicirikan dengan menolak truth claim, dan inklusivisme berada di antara keduanya yang lebih dikategorikan

sebagai sub-pluralisme.65

Menurut Gavin, kelompok pluralis biasanya mengkritik

kelompok eksklusivis dengan dua alasan pokok: pertama, kelompok ekslusivis

tidak dapat menyangkal bukti orang baik, suci, dan penuh kasih sayang ada dalam

agama lain. Kedua, para eksklusifis memiliki kesalahan dalam pembacaan atas teks

suci agama mereka sendiri yang menuntun mereka ke arah ekslusivisme. Dalam

artikelnya, Gavin lebih cenderung memenangkan ekslusivisme dan menganggap

bahwa pluralisme mustahil ada (impossible). Menurut Gavin, tidak ada landasan

kuat dalam posisi pluralis karena pada dasar logisnya tidak berbeda dengan posisi

eksklusifis. Satu-satunya perbedaan adalah dalam hal klaim kebenaran dan kriteria

kebenaran yang dipekerjakan oleh para praktisi. Secara logisnya, pluralisme akan

selalu menjadi menjadi bentuk eksklusivisme serta tidak ada yang benar-benar

disebut sebagai pluralisme. Gavin berargumen bahwa semua pluralis berkomitmen

untuk memegang beberapa bentuk kriteria kebenaran, sehingga ia beroperasi dalam

64

Ditulis sebagai sub-tema dalam bukunya David F. Ford, The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology Since 1918, ( Blackwell Publishing Ltd, 2005).

65 David F. Ford, The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology

Since 1918, ( Blackwell Publishing Ltd, 2005), 631-632.

Page 30: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

18

struktur logis yang sama dengan eksklusivisme. Dalam hal ini, pluralisme tidak

dapat benar-benar menegaskan nilai otonomi agamis pluralisme yang asli,

sebagaimana eklusivisme yang hanya terfokus pada satu tradisi kebenaran.66

Wacana ekslusivisme hadir dalam diskursus agama sebagai salahsatu

tipologi ekspresi keberagamaan yang lahir dari paradigma eksklusif dan selalu

disandingkan dengan tipologi lainnya; inklusivisme-pluralisme. Rasionalitas

eksklusifis menjadi perdebatan di kalangan para akademisi, terutama ketika

dibenturkan dengan fakta pluralisme agama yang menghadirkan tantangan

tersendiri bagi para pendukung ekslusivisme. Jeroen De Ridder, dalam tulisannya

yang berjudul Religious Exclusivism Unlimited (2011), menolak pendapat Erik

Baldwin dan Michael Thune (2008) yang mengkritik kelompok eksklusifis dan

berpendapat bahwa seorang eksklusifis yang telah sepenuhnya sadar akan fakta

pluralisme agama tidak dapat lagi rasional dalam memegang keyakinan agamanya.

Dalam pandangan Erik Baldwin dan Michael Thune, seseorang yang memiliki

keyakinan terhadap satu agama harus memiliki landasan epistemologis yang

signifikan (epistemically significant reasons) untuk mendukung rasionalitas

keyakinannya. Dua alasan pokok dikemukakan oleh Jeroen dalam tulisannya

sebagai penolakan terhadap Baldwin dan Thune sehingga berskesimpulan bahwa

Baldwin dan Thune telah gagal dalam menetapkan kesimpulannya. Pertama, epistemically significant reasons tidak dibutuhkan untuk mendukung rasionalitas

keyakinan eksklusifis. Kedua, jika epistemically significant reasons memang

dibutuhkan, kemudian berhasil dibuktikan, maka rasionalitas ekslusifis keluar

sebagai pemenangnya.67

Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah meneliti kadar eklusifitas dalam beragama

di indonesia, dengan judul penelitian Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia. Hasil penelitiannya kemudian diterbitkan

oleh Kementrian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, dan Puslitbang Kehidupan

Keagamaan, pada tahun 2013. Penelitian tersebut diproyeksikan untuk

mengungkap sebab-sebab konflik, ketegangan atau kekerasan agama. Dalam

hipotesanya, secara psikologis, agama memiliki pengaruh spiritualitas dan

emosionalitas. Klaim kebenaran (truth claim) dalam interaksi atau dialog antar

agama berpotensi memunculkan kekerasan antar agama. Dengan kata lain,

eklusivisme dalam beragama pada gilirannya melahirkan ketegangan, konflik,

kekerasan, dan vonis salah atas ajaran agama lain sehingga timbul kesenjangan

antara cita-cita ideal agama tentang perdamaian dan realitas empirik akan

maraknya pertikaian. Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah memfokuskan

penelitiannya pada pemahaman para tokoh agama Indonesia dan pandangannya

terkait eklusivisme. Penelitian Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah tergolong sangat

luas baik dari segi lokasi maupun responden yang mencapai 700 responden. Namun

66

Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2 (Juni, 1996), 223-232.

67 Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,

No. 4, (December 2011), 449-463.

Page 31: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

19

pembahasan terkait eklusivisme, terutama kaitannya dengan agama Islam dan

tafsir al-Qur'an bisa dikatakan kurang mendalam. Hal ini dikarenakan pembatasan

masalah yang terfokuskan pada pandangan pemuka agama dan luasnya objek

penelitian yang mencakup agama-agama yang ada di Indonesia. Meskipun,

Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah merumuskan sedemikian rupa indikator-

indikator eklusifisme tertata rapi, sehingga kolerasi dan koefesiensi-nya antara

variabel eklusivisme dan sikap tidak toleran terbukti secara empiris.68

Ahmad Izzan menulis desertasi dengan judul Inklusifisme Tafsir: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Tafsir al-Mi>za>n (2013).

69 Dalam

desertasinya Ahmad Izzan berpendapat bahwa interpretasi teks al-Qur'a>n yang

bersifat esoteris maupun eksoteris, pada gilirannya melahirkan sikap keberagamaan

yang ekslusiv dan inklusiv. Tafsir inklusiv cenderung terbuka dan pluralis,

sedangkan tafsir ekslusiv cenderung monolitik, tertutup, dan bersikap "kurang

ramah". Tafsir bercorak fikih memiliki kecenderungan untuk melahirkan

ekslusivisme. Sedangkan interpretasi bercorak sufistik lebih cenderung ke arah

inklusivisme.70

Marjan Fadil, dalam tesisnya yang berjudul Isu Radikalisme Dalam Penafsiran al-Qur'a>n (Studi Perbandingan al-Qur'a>n dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah) (2017), berpendapat bahwa nalar eksklusif maupun inklusif

sangat erat kaitannya dengan doktrin keagamaan dan berimplikasi pada produk

tafsir. Penafsiran yang literal dan pemahaman ideal Islam masa lalu menjadi tradisi

keagamaan yang dilestarikan. Sehingga, pemahaman ideal Islam masa lalu

bertabrakan dengan kondisi ideal masyarakat saat ini. Pada titik tertentu,

penafsiran yang bersifat ekslusiv cenderung mengarah pada radikalisme. Ditambah,

terdapat teks-teks al-Qur’an, secara zahirnya, mendukung ide-ide radikalisme.71

Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., dan Suhandano, menulis sebuah

artikel dengan judul, "Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian

Semantik Terhadap Tafsir al-Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama" (2013).

68

Ahsanul Khalikin & Zirwansyah, Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kementerian

Agama RI, 2013). 69

Desertasi Ahmad Izzan fokus pada Tafsi>r al-Mi>za>n karya T{aba>t}aba>'i>, seorang

ulama syi'ah kontemporer, sebagai obejek materil penelitiannya dengan mengambil tema

relasi muslim dan non-muslim. Namun demikian, tema eklusifisme tidak luput dalam

pembahasannya, mengingat eklusifisme dan inklusivisme seperti dua sisi mata uang yang

sulit untuk dilepaskan. Dengan kata lain, Jika tema inklusivisme dibahas niscaya tema

eklusivisme pun disertakan. Dengan alasan ini, penulis meletakkan desertasi Ahmad Izzan

pada penelitian terdahulu yang relevan, mengingat keterkaitan yang erat ekslusivisme-

inklusivisme. 70

Ahmad Izzan, Inklusifisme Tafsi>r: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Tafsir al-Mii>za>>n, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2013).

71 Marjan Fadil, Isu Radikalisme dalam Penafsiran al-Qur'a>n (Studi Perbandingan

Al-Qur'a>n dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah, 2017).

Page 32: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

20

Dalam tulisannya, berpendapat bahwa agama Islam berpotensi untuk melahirkan

inklusivisme dan eksklusivisme. Pada titik ekstrim, pandangan inklusif

menekankan pentingnya apresiasi akan kebinekaan dan menghindari klaim

kebenaran. Sedangkan pandangan eksklusif, mencurigai bahkan menolak

kebinekaan dan cenderung mengklaim suatu kebenaran. Perbedaan ini disebabkan

adanya perbedaan penekanan dalam pembacaan teks-teks suci dan perbedaan

metodologi penafsiran. Terutama pada perbedaan dalam menentukan relasi makna

antara di>n, millah dan syari>’ah. Relasi sinonimi menghindari pembacaan ta‘a>rud} al-adillah (pertentangan antar dalil) sehingga sampai pada nalar yang inklusif.

Sementara relasi hiponimi antara di>n dan shari‘ah mengantarkan pada pembacaan

kontradiktif (ta‘a>rud}) dan berdampak pada penggunaan metode naskh wa al-mansu>kh (membatalkan dan dibatalkan) sehingga melahirkan pemahaman yang

eksklusif.72

Abu Bakar, dalam artikelnya "Argumen al-Qur’an tentang Eklusivisme,

Inklusivisme dan Pluralisme" (2016), berasumsi bahwa tiga pola keberagamaan:

ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme memiliki dasar skriptual agama yang

cukup. Ekslusifis, inklusifis maupun pluralis, semuanya menghadirkan argumentasi

normatifnya dari al-Qur'a>n. Kondisi rumit tersebut memunculkan pertanyaan,

seperti yang diajukan oleh Mun'im Sirry, apakah hal ini disebabkan oleh tidak

adanya visi yang jelas dari al-Qur'a>n terhadap agama-agama? Ataukah memang

perananan manusia-pembaca yang "menjadikan al-Qur'a>n berbicara" dengan cara

use and abuse dan read and misread al-Qur'ān. Perbedaan penafsiran terhadap term

isla>m merupakan letak awal dari perbedaan ini. Nalar ekslusif memahami term

islām sebagai "Islam Kha>s}", yaitu Islam yang dibawa Muh}ammad meliputi syariat

al-Qur'a>n. Sedangkan nalar inklusif-plural mengartikan term isla>m sebagai "Isla>m ‘A<m", yang tidak hanya dibatasi oleh "Islam Muh}ammad", namun secara universal

meliputi agama-agama terdahulunya. Kemudian, Islam difahami secara substansial

sebagai bentuk kepatuhan, kepasrahan dan penghambaan total kepada Tuhan

sebagaimana dimanifestasikan oleh nabi-nabi terdahulu.73

Terkait objek material dalam penelitian ini, yaitu tafsir Muḥammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, penulis menemukan beberapa sarjana yang telah mengkajinya

terlebih dahulu. Pada tahun 2005, Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibrahi>m Al-Bari>di>

telah menulis desertasi yang sudah dibukukan dengan judul Juhu>d al-Shaikh al-'Uthaimi>n wa A<ra>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n. Dalam bukunya, Ahmad

membahas bagaimana totalitas Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam

mempelajari ilmu agama, khususnya di bidang tafsir dan 'ulu>m al-Qur'a>n.

Perjalanannya menimba ilmu yang memakan waktu lebih dari setengah abad

menjadikan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai sosok yang terkenal

72

Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano, "Dialektika Inklusivisme

dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-Qur'a>n Tentang Hubungan

Antaragama", Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April 2013), 58-67. 73

Abu Bakar, "Argumen al-Qur’a>n tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan

Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari-Juni

2016), 43-60.

Page 33: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

21

dengan kapasitas keilmuannya yang luas dan menjadi salah satu ulama terkemuka

pada masanya. Ah}mad juga membahas kontruksi pemikiran Muḥammad bin S{a>lih}

al-'Uthaimi>n terkait tafsir dan ‘ulu>m al-Qur'a>n. Dalam tulisannya Ahmad

menyebutkan bahwa Muḥammad bin S{a>lih} al-'Uthaimi>n dalam tafsirnya banyak

merujuk kepada karya-karya Ibnu Taimiyyah, Ibn Al-Qayyim, Tafsir Ibn Jari>r

(Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta'wi>l A<y al-Qura>n), dan tafsir Ibnu Kathi>r (Tafsi>r Al-Qur'a>n al-'Āz}im), sebagai sumber-sumber yang banyak dikutip olehnya. Dalam aplikasi

penafsirannya, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta'wi>l A<yy al-Qura>n menggabungkan antara

tafsi>r bi al-ma'thu>r dan tafsi>r bi al-ra'yi> al-mah}mu>d. Dalam aspek linguistik, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta'wi>l A<yy al-Qura>n terkadang menghadirkan sya‘ir Arab dalam

rangka menjelaskan kosa-kata dalam al-Qur'a>n. Ah}mad membagi penafsiran

Muha}mmad bin S}a>lih} al-Uthaimi>n ke dalam dua kategori pokok: tafsir dan fawa>id

(faidah/pelajaran), dan tiga aspek pembahasan dominan: al-ja>nib al-‘aqadi> (aspek

akidah), al-ja>nib al-fiqhi> (aspek fikih), dan al-ja>nib al-istinbat}i> (aspek

kesimpulan/fatwa). Nuansa ekslusivisme tafsir terlihat dalam aspek akidah.

Ortodoksi akidah madzhab Ahlu Sunnah wa al-Jama‘ah dan produk penafsiran

ulama salaf begitu erat dipegang dan menolak pandangan yang bersebrangan

dengannya. Penafsiran Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n banyak dijumpai dalam

karya-karyanya seperti pada kitab Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah dan al-Qaul al-Mufi>d 'Ala Kita>b al-Tauhi>d.74

‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qaht}a>ni> menulis tesis dengan

judul Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah). Dalam penelitiannya, ‘Ali> memfokuskan pada aspek linguistik-semantik

meliputi nahwu, s}arf dan bala>ghah. Tiga pokok pembahasan dalam tesis tersebut

adalah; pertama, al-mufradah fi> al-naz}mi al-Qur'a>ni> (kosa kata dalam struktur

bahasa al-Qur'a>n). Kedua, al-naz}mu fi> al-jumlah al-Qur'a>niyyah (struktur bahasa

dalam kalimat al-Qur'a>n). Ketiga, naz}mu al-jumal wa at-tara>ki>b (struktur

kalimat/paragraf).75

Linguistik-semantik merupakan salah satu fitur penting dalam

tafsir, oleh karena itu, penulis memandang tesis yang ditulis oleh 'A<li merupakan

karya yang otoritatif untuk dijadikan sebagai penelitian terdahulu yang relevan

dalam penelitian ini.

Jeroen De Ridder dan Gavin D'Costa cenderung berfokus pada diskursus

rasionalitas nalar ekslusif-inklusif-pluralis dalam wacana keberagamaan. Ahsanul

Khalikin dan Zirwansyah menkaji ekslusivisme dan kaitannya dengan konflik

agama. Penelitian-penelitian mereka tidak memiliki pembahasan yang luas dan

mendalam terkait tafsir al-Qur'a>n. Penelitian terkait relasi ekslusivisme dan tafsir

terdapat pada tulisan Rofiq Nurhadi, dkk. dan Abu Bakar. Dalam penelitian mereka

dibahas tentang landasan skriptual paradigma ekslusif-inklusif dan karakteristik

74

Lihat Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibrahi>m Al-Bari>di>, Juhūd al-Shaikh 'Uthaimi>n wa A<ra>uhu fī al-Tafsi>r wa 'Ulu>m Al-Qur'a>n, (Riyad: Maktabah al-Rashi>d, 2005).

75 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah Al-Qaht}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi Al-Ma‘a>ni>

fi> Tafsi>r al-Shaikh Ibn 'Uthaimi>n ('Ard} wa Dira>sah). (Umm Al-Qura University: 2013).

Page 34: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

22

metode penafsirannya. Akan tetapi ekplorasinya masih tergolong singkat dan tidak

mendalam, terutama pada tema implikasi penafsiran ekslusif terhadap pola

keberagamaan, mengingat dua karya tersebut berbentuk artikel dengan jumlah

halaman yang minim.

Desertasi Ahmad Izzan, meskipun membahas ekslusivisme dalam tafsir,

namun masih tergolong minim. Hal ini dikarenakan penelitiannya berfokus pada

pembahasan inklusivisme dengan mengangkat tema relasi muslim dan non-muslim

dan objek materil penelitiannya Tafsi>r al-Mi>za>n. Adapun tesis Marjan Fadil,

pembahasan eklusivisme dikaitkan dengan radikalisme. Dalam Studi

Perbandingannya Marjan antara al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah, rasionalitas paradigma ekslusiv dalam beragama kurang diketengahkan,

sehingga cenderung tergesa-gesa mengaitkan ekslusivisme dengan radikalisme.

Meskipun benar pada satu sisi, namun pada sisi lain perlu dibedakan antara

paradigma eksklusif dan paradigma keliru dalam menginterpratasi teks-teks

keagamaan dan implikasinya pada sikap keberagamaan. Adapun Desertasi Ah}mad

bin Muh}ammad bin Ibrahi>m Al-Bari>di> dan tesisinya 'Ali> bin Muh}ammad bin 'Ali>

A<li Naumah Al-Qah}t}a>ni>, meskipun memiliki kesamaan dalam aspek objek materil,

namun kedua penelitian tersebut tidak mengangkat tema ekslusivisme tafsir dan

relasinya dengan sikap keberagamaan.

Berangkat dari celah yang belum dikaji oleh beberapa penelitian terdahulu,

dan menghindari plagiarisme atau mengulang penelitian yang sudah ada, penulis

mengangkat tema ekslusivisme tafsir dan kaitannya dengan sikap keberagamaan,

dengan menjadikan Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m karya Muh}ammad bin S}a>lih} al-

‘Uthaimi>n sebagai objek materil dari penelitian ini.

F. Metode Penelitian

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) karena

penelitian ini sangat bergantung kepada data-data dari berbagai literatur yang

merupakan bahan-bahan kepustakaan.76

Penelitian ini bersifat teoritis. Mengingat,

objek penelitian ini terkait ayat-ayat al-Qur'a>n dan penafsiran yang digunakan oleh

Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai salah satu aspek pembentuk paradigma

keagamaannya. Dengan demikian, penelitian ini dapat digolongkan ke dalam

kategori penelitian kualitatif, yang secara umum dapat didefinisikan sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa teks verbal maupun

non-verbal dan prilaku yang dapat diamati.77

2. Sumber Data

76

Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:

Paradigma, 2010), 134. 77

Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya, 2013), 4.

Page 35: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

23

Sumber data pada penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam dua

kategori: sumber data primer dan skunder. Sumber data primer penelitian ini

adalah kitab tafsir karya Muh}ammad bin S}a>lih} al-Uthaimi>n yang berjudul Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan karya lainnya seperti, al-Qawl al-Mufi>d 'Ala Kita>b al-Tauh}i>d, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasa>t}iyyah Li Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, ‘Aqi>dah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, Us}u>l al-Tafsi>r dan lainya. Adapaun untuk data sekunder,

penulis merujuk kepada beberapa buku dan jurnal yang memiliki keterkaitan

dengan tema penelitian, meliputi disiplin ilmu tafsir, ‘ulu>m al-Qur'a>n, teologi,

linguistik-semantik, dan sosiologi agama.

3. Analisis Data

Penelitian ini mencakup tiga unsur pembahasan yang saling berkaitan

sebagai fokus objek yang akan dikaji: pertama, tiga tipologi keberagamaan;

ekslusivisme-inklusivisme-pluralisme dalam diskursus sosial-agama. Kedua,

mengkaji metode tafsir Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n beserta implikasinya

dalam membentuk kontruksi sosial-agama. Ketiga, mengkaji aplikasi penafsiran

Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n terhadap beberapa tema teologis dan sosial-

agama. metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat interpretatif

(interpretatif research) dengan menyelami pemikiran tokoh yang tertuang dalam

karya-karyanya.78

Dalam penelitian ini, penulis melibatkan beberapa disiplin ilmu

sebagai pendekatan, yaitu; pendekatan teologi, pendekatan semantik, dan

pendekatan sosiologi.

Pendekatan teologi diperlukan dalam penelitian ini, mengingat beberapa hal;

pertama, penelitian ini berkaitan dengan realitas transenden yang menjadi fokus

kajian teologi. Kedua, eksklusivisme merupakan salah satu dari tujuh sikap

teologis yang dikemukakan oleh Peter Connolly, atau satu dari tiga sikap teologis

yang diwacanakan John Hick.79

ketiga, aspek teologis dan implikasinya terhadap

sikap keberagamaan.

Pendekatan semantik diproyeksikan untuk mengungkap makna dari terma-

terma seperti; di>n, millah, shari‘ah, isla>m, i>ma>n, kufr, shirk, ahl kita>b dan terma-

terma lainnya yang berkaitan dengan tema pembahasan. Dalam pandangan

Toshihiko Izutsu, pendekatan semantik tidak hanya berorientasi pada penemuan

makna asli (denotatif) dari sebuah kata, namun lebih luas dari itu, semantik

merupakan alat untuk mengkonseptualisasikan dan menafsirkan dunia yang

mengelilinginya (weltanschuunglehre).80

Menurut Maqa>til ibn Sulaima>n, setiap

kata dalam al-Qur'a>n, selain memiliki makna spesifik (definite) ia juga memiliki

78

Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:

Paradigma, 2010), 169-173. 79

Peter Connolly, Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 344. 80

Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur'an: Semantics of the Qur'anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 3.

Page 36: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

24

alternatif makna lainnya.81

Dalam bahasa arab, pendekatan semantik dikenal juga

dengan ‘ilm al-dala>lah.82

Adapun pendekatan sosiologi digunakan untuk mengkaji sosial keagamaan

yang terbentuk oleh interpretasi terhadap teks keagamaan. Menurut Michael S.

Northcott, fokus perhatian pendekatan sosiologis dalam studi agama adalah

interaksi antara agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis

memiliki concern pada struktur sosial, kontruksi pengalaman manusia, dan

kebudayaan termasuk agama.83

Beberapa sosiolog menganggap bahwa agama

merupakan produk sosial dan memiliki fungsi terciptanya keteraturan sosial. Di

antara sosiolog tersebut misalnya Karl Marx dan Durkheim.84

Sedangkan dalam

anggapan Max Weber,85

agama bukan semata-mata produk sosial, melainkan lebih

merupakan sumber ide dan praktik yang mentransendenkan dunia sosial yang

imanen. Dalam perspektif Weberian, agama dapat menjadi sumber perubahan dan

tantangan sosial, sekaligus agama juga dapat menjadi sumber keteraturan sosial

dan legitimasi status quo.86

Jika pendekatan teologis lebih fokus kepada aspek

transendensi dan cenderung mengesampingkan imanensi, maka pendekatan

sosiologis yang sangat concern pada imanensi dan diproyeksikan untuk melengkapi

serta mempertajam pisau analisis dalam mengkaji data pada penelitian ini.

4. Tekhnik Penelitian

Tekhnik penulisan tesis ini mengacu pada buku Pedoman Akademik

Magister dan Doktor 2016-2020 Sekolah Pascajana Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah yang diterbitkan pada tahun 2016.87

Adapun dalam penulisan

81

Lihat Muqa>til, al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur'a>n al-Kari>m, (ed.), ʻAbd Allah

Mah}mu>d Shihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mis}riyyah al-'A<mmah li al-Kita>b, 1975), 321-322.

Fathurahman, Al-Qura>n dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta:

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 82

Fathurahman, Al-Qura>n dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 98.

83Michael S. Northcott, Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, Aneka

Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 271. 84

Michael S. Northcott, Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 278

85Talcot Parson menyebutkan dalam pengantarnya pada karya Weber, The

Sociology of Religion, bahwa Perspektif Weber, khususnya pada studi sosiologi agama

berpijak di atas perspektif evolusi sosial. Max Weber, Sosiologi Agama, (Jogjakarta:

IRCiSoD, 2012), 28-29. 86

Michael S. Northcott, Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 280- 281. Lihat penjelasan Max

Weber tentang lahirnya agama-agama. Max Weber, Sosiologi Agama (Jogjakarta:

IRCiSoD, 2012), 97-130. 87

Tim Penyusun, Pedoman Akademik Magister dan Doktor 2016-2020 (Jakarta: UIN

Syarif Hidayatullah, 2016).

Page 37: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

25

foot note dan transliterasi, penuils mengacu pada ALA-LC Romanization Tables dan Turabian and Chicago Styles Citation.88

G. Sistematika Penelitian

Tesis ini disajikan dalam lima bab pembahasan. Bab pertama, pengantar

dalam bentuk pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah penelitian.

Masalah-masalah yang teridentifikasi kemudian dirumuskan dan dibatasi dalam

bentuk pertanyaan yang hendak dijawab oleh penelitian ini. Pada bab ini juga

dijelaskan tujuan dan signifikansi dari penelitian ini, kemudian uraian tentang

kajian pustaka terdahulu yang relevan, juga penjelasana tentang metodologi dan

pendekatan yang digunakan sebagai instrumen analisis dan tekhnik analisis data.

Bab kedua adalah landasan teoritis sebagai pengantar untuk pembahasan

pada bab-bab berikutnya. Pada bab ini akan dibahas wacana keberagamaan yang

meliputi tiga tipologi keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme yang

dimaksudkan untuk mengetahui epistemologi dari tiga konsep keberagamaan

tersebut, yang akan dijadikan sebagai indikator dalam melihat kecenderungan

Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam diskursus sosial-agama.

Bab ketiga merupakan ranah aksiologis yang membahas tentang

eksklusifitas Muḥammad bin Ṣālīh al-‘Uthaimīn dalam tafsirnya, dimulai dengan

pembahasan biografi Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n, analisis metodologis

Tafsi>r Al-Qur'a>n al-Kari>m, kemudian relasi antara tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan

ortodoksi tafsir tradisional, truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim

(klaim keselamatan) sebagai instrumen keberagamaan yang eksklusif.

Pada bab keempat, pembahasan yang dihadirkan lebih fokus pada aplikasi

penafsiran Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n terkait tema-tema teologis dan

sosial-agama. Pembahasan pertama adalah tentang kontruksi tauhid Muh}ammad

bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai dasar agama, yang meliputi pemahamannya tentang

hakikat iman dan Islam. Kemudian pandangan Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n

tentang komunitas lain di luar Islam, meliputi penafsirannya tentang kafir, musyrik

dan ahl kitab sebagai instrument awal untuk melihat kecenderungan paradigma

Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam memandang komunitas lain pada

konteks sosial-relasional dengan komunitas lain. Kemudian konsep al-wala>' wa al-bara>' dalam perspektif Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n serta hubungannya

dengan toleransi agama. Pembahasan ini untuk melihat kontruksi sosial-agama

Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai manifestasi ketauhidannya yang

diejawantahkan dalam kehidupan nyata pada konteks sosial-relasional dengan

komunitas lain. Dan pembahasan terakhir dari bab ini adalah tentang konsep

dakwah Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai misi suci agama. Pada

pembahasan ini penulis memfokuskan tentang konsep amr ma‘ru>f wa nahy al-munkar dan konsep jihad dalam perspektif Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n,

mengingat dua konsep dakwah ini menuai polemik di kalangan masyarakat umum

88

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).

Page 38: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

26

yang dianggap oleh sebagian kelompok sebagai cara berdakwah yang intoleran dan

mengkampanyekan kekerasan atas nama agama.

Penelitian ini berakhir pada bab kelima sebagai penutup. Pada bab ini,

penulis akan menyimpulkan penelitian yang dilakukan sebagai jawaban dari

permasalahan-permasalahan yang diangkat pada bab pertama. Pada bab ini, penulis

juga akan menjelaskan implikasi penelitian dan saran-saran yang perlu

dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

Page 39: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

27

BAB II

DISKURSUS KEBERAGAMAAN DALAM KERAGAMAN

Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan tiga tipologi konsep

keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, sebagai landasan teoritis

untuk melihat kecenderungan sikap keberagamaan Muh}ammad bin S}a>lih} al-

‘Uthaimi>n dalam konteks sosial-multikultural.

A. Eksklusivisme: Keniscayaan dalam Beragama

Dalam wacana keberagamaan, istilah eksklusivisme merupakan sebuah

konsep keberagamaan yang mengedepankan klaim kebenaran atas suatu agama,

yang menganggap satu agama tertentu adalah yang paling benar sedangkan agama-

agama lainnya adalah salah.1 Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa eksklusivisme

merupakan sebuah paradigma dalam memandang agama-agama lain sebagai jalan

yang salah dan menyesatkan pengikutnya.2 Alwi Shihab menuturkan, dalam tradisi

Kristen, eksklusivisme adalah klaim bahwa kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai

melalui Yesus, dan keselamatan hanya diperoleh oleh mereka yang

mempercayainya.3 Dalam pandangan Jeroen De Ridder, seorang ekslusifis

(religious exclusivist) adalah seorang yang sangat meyakini superioritas agama

yang dipeluknya dan menganggap agamanyalah satu-satunya agama yang benar.4

Eksklusivisme dalam beragama merupakan paradigma klasik dalam sejarah

agama. Dalam konteks agama-agama Abrahamik, Yohan Friedmann menyebutkan

bahwa paradigma eksklusif umat Islam yang meyakini bahwa Islam merupakan

satu-satunya agama yang benar telah ada pada generasi paling awal dalam sejarah

Islam.5 Dalam tradisi Kristen, Harold Coward menganggap bahwa doktrin-doktrin

Kristologis yang dirumuskan di Nisea dan Kalsedon menjadikan agama Kristen

selama berabad-abad tertuntut untuk bersikap eksklusif atas keunikan dan

keuniversalan Yesus, didasarkan pada doktrin "kesatuan hipostatik" yang

ditafsirkan di Kalsedon bahwa Yesus meskipun sesungguhnya manusia namun ia

juga sesungguhnya adalah Allah, pribadi kedua dari tritunggal yang sama

1Abu Bakar, "Argumen al-Qur’a>n tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan

Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni

2016), 46. 2 Nurcholis Madjid dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,

"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-

Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 60. 3 Alwi Shihab dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,

"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-

Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59-60. 4 Jeroen De Ridder, "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,

No. 4, (December 2011), 449. 5 Yohan Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relation in the

Muslim Tradition, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 34. Dalam Mun'im

Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2013), 85.

Page 40: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

28

kedudukannya. Gereja Kristen diyakini sebagai kerajaan Allah yang sepenuhnya

memiliki kebenaran dan tidak membutuhkan suara dari agama-agama lain atau dari

dunia yang lebih luas. Paradigma eksklusif dalam tradisi Kristen disebut oleh

Coward sebagai paradigma dengan pendekatan kristosentris-partikularis.6

Kemudian, Pada abad pertengahan, terdapat seorang pemikir dari Yudaisme,

Maimonides (1135-1204). ia mempelajari tradisi-tradisi Yahudi serta mendalami

gagasan-gagasan Yunani dan kalam Islam. Dia adalah seorang Yahudi yang saleh

sekaligus seorang pemikir yang rasional, secara eksklusif dia percaya bahwa agama

Yahudi adalah satu-satunya iman keagamaan yang diwahyukan Allah dan yang

paling benar dalam segala hal.7 Pandangan Maimonides menunjukkan bahwa

paradigma eksklusif juga ada pada tradisi agama Yahudi. Sebagai agama yang

paling tua dibandingkan dengan Islam dan Kristen, eksklusivisme dalam tradisi

Yahudi menunjukkan bahwa paradigma eksklusif memililiki umur yang sangat tua,

seumur dengan munculnya agama abrahamik di muka bumi ini.

Setidaknya, terdapat dua pandangan mendasar yang menjadi ciri sekaligus

melandasi eksklusivisme dalam beragama. Pertama adalah truth claim (klaim

kebenaran), dan kedua adalah salvation claim (klaim keselamatan). Unsur klaim

kebenaran dalam eksklusivisme dapat dilihat dari definisi-definisi yang dijabarkan

oleh para pemikir atau teolog di atas, seperti Nurcholis Majid, Alwi Shihab, Jeroen

De Ridder dan yang lainnya yang selalu menyertakan truth claim ketika

mendefinisikan eksklusivisme. Adapun salvation claim merupakan konsekuensi

logis dari paradigma truth claim itu sendiri. salvation claim dapat ditemukan

dalam kontruksi soteriologis agama-agama yang memiliki relasi sangat kuat

dengan eksklusivisme. Truth claim dan jaminan keselamatan (salvation) yang

eksklusif dianggap sebagai ajaran inti dari ekslusivisme oleh sebagian filsuf

teologi. Hal ini dapat dilihat dalam tradisi agama Islam, misalnya dalam (QS.

3:19), al-Qur'a>n menyebutkan dengan tegas;

إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا

ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا

"Sesungguhnya agama (yang dirihai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.".

Kemudian dipertegas oleh ayat lainnya (QS. 3:58),

عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ

6 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 33. 7 Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 15.

Page 41: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

29

"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi‛.

Dalam tradisi kristen, terdapat konsep extra ecclessiam nulla sallus (di luar

Gereja Katolik tidak ada keselamatan). Doktrin ini dapat dilihat dalam teks bibel,

seperti;

"Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." (Yohannes14: 6),

"Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul 4, 12)."8

Berdasarkan bukti skriptual yang tertulis dalam kitab suci ini Alvin

Plantinga berasumsi tentang relasi eksklusivisme dengan kontruksi soteriologis,

bahwa keselamatan sebagai jaminan teologis bagi pemeluk agama adalah inti

ajaran teologi ekslusif, yang didasari oleh keyakinan akan kebenaran mutlak suatu

agama ‚The tenets of one religions are in fact true; any propositions that are in compatible with these tenets are false‛ (Ajaran satu agama sebenarnya adalah

benar; segala proposisi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ini adalah salah)9,

atau dalam pandangan John Hick, ‚The exlusivists think that their description of God is the true description and the others are mistaken in so far they different from it‛ (Para ekslusifis berpikir bahwa deskripsi mereka tentang Tuhan adalah deskripsi

yang paling benar dan yang lainnya keliru sejauh mereka berbeda dari itu).10

Eksklusivisme dalam beragama memiliki corak dan bentuk yang bervariasi.

Hal ini mengikuti perspektif manusia tentang "kebenaran" yang sangat rumit dan

sulit untuk didefinisikan sehingga melahirkan konsep-konsep yang beragam.

Pengetahuan menusia tentang Tuhan atau hal-hal yang transenden merupakan

salah satu upaya manusia dalam memahami dan mengartikulasikan kedudukannya

di dalam kosmos. Charles Kimball menyebutkan dua faktor penting yang menjadi

rintangan dalam memahami Tuhan; pertama, terdapat banyak cara yang mungkin

untuk mengetahui Tuhan; pengalaman, observasi, nalar, intuisi, wahyu, dan

lainnya. Kedua, apapun yang difahami dan diketahui, sejauh apapun kebenaran

yang diyakini, hanya dapat dikomunikasikan kepada orang lain dengan

menggunakan simbol, salah satunya adalah simbol dari bahasa yang merupakan

8 Doktrin ini telah tertanam lama dan berkembang di kalangan Kristen, salah satu

tokohnya adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer. Lihat Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus

dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII,

no. 1 (Januari-Juni: 2018), 106-107. 9 Win Usuluddin, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas

Pluralisme Keberagamaan Era Postmodern", Ulumuna, vol. XIV, no. 1 (Juni, 2010), 215. 10

Win, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas Pluralisme

Keberagamaan Era Postmodern", 215.

Page 42: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

30

sistem tanda yang paling besar dan kompleks dalam mengkomunikasikan

"kebenaran".11

Secara filosofis, pandangan akan kebenaran sangat bergantung terhadap

interpretasi akan kebenaran tersebut. Dalam tradisi agama, kitab suci memiliki

posisi sakral sebagai dokumen suci yang dijadikan standar dan legalitas akan

kebenaran, sehingga dalam rangka mempertahankan klaim kebenaran, terkadang

dilandaskan kepada kitab suci untuk memberikan justifikasi terhadap hal-hal yang

bersebrangan dengan kebenaran versi kitab suci tersebut. Aktifitas penafsiran

terhadap teks-teks keagamaan yang dilakukan secara tekstual-normatif lebih

cenderung melahirkan faham eksklusif terhadap suatu agama, sedangkan

penafsiran yang dilakukan secara kontekstual-substansialis cenderung melahirkan

inklusif-pluralis. Melalui penafsiran teks keagamaan inilah wajah agama akan

diperlihatkan kepada publik sebagai nilai kebenaran hasil produksi penafsiran.12

Menurut Gavin D‘Costa, kelompok pluralis biasanya mengkritik teologi

eksklusif atas dua alasan utama: pertama, bahwa kebaikan dapat ditemukan dalam

setiap tradisi agama. Kedua, kelompok eksklusifis telah keliru dalam memahami

teks-teks suci mereka sendiri yang secara salah mengarahkan mereka pada

eksklusivisme.13

Alasan pertama mengarah kepada paradigma eksklusifis yang

partikularis, sedangkan alasan untuk kedua, Kimball panjang lebar menjelaskan

tentang kerentanan teks suci agama adalah unsur yang paling mudah untuk

diselewengkan. Klaim kebenaran yang didasarkan atas penafsiran teks suci yang

kaku dan terpotong-potong menyebabkan berbagai penyelewengan dalam agama,

meskipun tidak serta merta berujung pada kekerasan, namun klaim kebenaran

mutlak yang sempit cenderung bersifaf destruktif.14

Menurut Peter Gomes, salah satu bentuk kekeliruan dalam menafsirkan teks

suci agama adalah penafsiran literal-tekstual. Pendeta di Harvard Memorial Churh

ini berasumsi bahwa ada dua kesalahan dan bahaya pendekatan literalis dalam

membaca injil, pertama, pendekatan ini mengecoh pembaca dengan gagasan

khayali, bahwa teks dalam kitab suci dapat langsung difahami dan dirasakan oleh

indra. Dengan demikian, makna teks akan langsung ditentukan oleh pembaca yang

dinisbatkan kepada penulisnya. Kedua, penilaian pribadi dapat mengaburkan

makna teks jika hanya terfokus pada apa yang dikatakan.15

Robert Alter, dalam

The Art of Biblical Narative dengan jelas menjelaskan bahwa dalam agama

Yahudi, makna bukanlah milik teks, melainkan sesuatu yang harus selalu dikaji dan

11

Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Penj. Nurhadi (Bandung: Mizan,

2003), 91-92. 12

Lihat, Muhsin Mahfudz, "Implikasi Pemahaman Tafsir al-Qur'ān Terhadap Sikap

Keberagamaan", Tafsere, Vol.4, No. 2 (2016), 122-148. 13

Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press: Juni, 1996), 224.

14 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Penj. Nurhadi (Bandung: Mizan,

2003), 105. 15

Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, 106-107.

Page 43: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

31

terus menerus dicari serta didefinisikan ulang.16

Dalam sejarah tafsir al-Qur'a>n,

pendekatan literal-tekstual merupakan pendekatan klasik-tradisional Islam yang

kerap dikritik oleh para muslim reformis abad 20 dan dianggap tidak lagi relevan

dengan konteks dunia modern. Muh}ammad ~‘Abduh (1905) mencoba menyesuikan

Islam dengan modernitas dan bergeser dari paradigma tafsir klasik. Semangat

untuk menafsirkan ulang al-Qur'a>n sehingga relevan untuk setiap zaman diikuti

oleh muridnya, Rashid Rid}a (w. 1935). Keduanya merasa tidak puas dengan tafsir

klasik yang tidak sepenuhnya mampu menjawab tantangan zaman.17

Agama memiliki tuntutan dasar terhadap pemeluknya untuk meyakini dan

berpegang teguh terhadap kebenaran dan ajarannya18

. Dalam asumsi dasar teologis,

tuntutan agama tersebut bersifat eksklusif-partikularistik yang dikenal dengan

truth claim, suatu hal yang mengikat kuat antara agama dan pemeluknya serta

melahirkan kekuatan simbolis pada agama tersebut.19

Dalam hal ini, rupanya

eksklusivisme merupakan keniscayaan dalam beragama. Win berpandangan bahwa

akan selalu ada truth claim yang mengarah pada eksklusivitas dalam kehidupan

beragama. Masing-masing pemeluk akan menganggap bahwa agamanyalah yang

paling benar, sedangkan agama yang lain adalah sesat dan menyesatkan (other religions are false paths, that misled their followers).

20 Menurut Charles Kimball,

absolute truth claim timbul secara alamiah dalam setiap agama dan menjadi

pondasi kontruksi utuh sebuah agama.21

Eksklusivisme dalam beragama terkadang menjadi alasan kuat dalam

mempertahankan identitas dan eksistensi suatu agama. Ketika bangsa Yahudi

dibebaskan dari perbudakan duniawi pada saat berada di Mesir, mereka terikat

pada suatu hubungan pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Gagasan kesetian

kepada Allah dalam perspektif Yahudi ini memberikan energi tersendiri untuk

mereka sehingga mampu berjuang mempertahankan identitas dan eksistensinya,

meskipun selama dua ribu lima ratus tahun22

orang-orang Yahudi hidup sebagai

16

Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, 109-110. 17

Pandangan-pandangan lain dari muslim reformis tentang tafsir al-Qur'a>n,

khususunya tentang respon mereka terhadap agama-agama lain bisa dilihat pada Mun'im

Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2013). 18

Misalnya dalam Islam, tuntutan tersebut dapat dilihat perintah berislam secara

total, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara Kaffah..."

(QS. Al-Baqarah: 208). 19

Muhammad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012),

18. 20

Win Usuluddin, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas

Pluralisme Keberagamaan Era Postmodern", Ulumuna, vol. XIV, no. 1 (Juni, 2010), 212. 21

Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Penj. Nurhadi (Bandung: Mizan,

2003), 84-85, Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme

Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 110-111 22

Kondisi ini disebabkan oleh beberapa peristiwa yang mengharuskan bangsa

Yahudi runtuh bahkan terusir. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah; pembuangan Babel

(587-538 SM), hancurnya Bait Allah Kedua di Yerusalem tahun 70 SM, dan

Page 44: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

32

suatu diaspora menjadi kelompok-kelompok keagamaan yang terpencar dan hidup

sebagai kelompok minoritas di tengah-tengah masyarakat lain.23

Upaya untuk

mempertahankan identitas dan eksistensi suatu agama juga dilakukan oleh para

teolog ketika merespon wacana pluralisme. Karl Rahner, misalnya, dengan konsep

Anonymous Christians (Kristen tanpa nama) yang dibangun di atas pemahaman

bahwa Kristus ada di setiap agama, yang dinamakan Anonymous Christ (Kristus

tanpa nama), secara sistematis ia berupaya menegaskan keeksklusifan dan

universalitas Kristus, sekaligus menghormati kehendak Tuhan yang universal

terkait keselamatan semua manusia yang sejatinya berasal dari Kristus.24

Dalam tradisi Islam, upaya dalam mempertahankan kemurnian Islam serta

menjawab tantang pluralisme dilakukan oleh para teolog atau sarjana yang

memililiki paradigma eksklusif. Misalnya kelompok revivalis-fundamentalis Islam

yang berusaha memurnikan Islam dari faktor-faktor eksternal yang dianggap dapat

meracuni Islam yang original.25

Kelompok ini terkadang menolak untuk melakukan

dialog dengan komunitas lain, bahkan cenderung mencurigai kelompok lain sebagai

komunitas yang akan mengancam eksistensi Islam. Dalam ajaran salafi, terdapat

suatu konsep teologis yang mengatur tentang kesetiaan (loyality) kepada

komunitas sendiri dan penolakan (disavowal) terhadap komunitas lain. Konsep ini

dikenal dengan al-wala>' wa al-bara>'.26 Konsepsi teologis ini tidak lain bertujuan

untuk menjaga originalitas Islam.

Fakta pluralitas agama rupanya memiliki tantangan tersendiri bagi para

ekslusifis dengan teologi eksklusifnya. Di satu sisi, mereka tidak bisa menutup

mata akan realita keberagaman tersebut, tetapi di sisi lain mereka juga harus

"membunuh" fakta pluralitas itu dengan klaim kebenaran untuk mempertahankan

kebenaran teologisnya atau untuk mempertahankan identitas dan eksistensi

agamnaya. Berangkat dari kontradiksi ini, beberapa sarjana seperti John Hick,

Erick Baldwin dan Michael Thune mengkritik epitemologi religius eksklusifis

dengan asumsi bahwa seorang eksklusifis yang sepenuhnya sadar akan pluralisme

pemberontakan Bar-Kokhbah tahun 135 M. Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 9-12.

23 Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 9-17. 24

Karl Rahner dapat dikatakan sebagai eksklusifis sekaligus inklusivis, klaimnya

atas kebenaran dan keunikan Yesus menjadikan ia sebagai kelompok eksklusifis, akan

tetapi pandangannya terkait keselamatan yang terbuka untuk komunitas lain di luar

agamanya, ia dikelompokkan sebagai inklusivis. Lihat, Obet Nego, "Analisa Kritis

Terhadap Konsep Anonymous Christians Menurut Karl Rahner", Ebenhaezer, 2/1, (April

2015), 53-53. 25

Dwi Ratnasari, "Fundamentalisme Islam", Komunika, Vol.4 No.1 (Januari-Juni

2010), 40-57. 26

Lihat, Muhammad bin Sa'i>d al-Qaht}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riyad}:

Da>r al-T{ayyibah, 1413 H). Buku ini cukup lengkap dalam membahas konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' dalam Islam.

Page 45: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

33

agama tidak lagi rasional dalam menentukan kebenaran akan keyakinannya.27

Selain mengkritik religius epistemologisnya (epistemological religious) kalangan

eksklusifis, John Hick melihat fakta historis ekslusivisme kristen tentang

penyiksaan dan pembunuhan Yahudi, peperangan yang mengerikan terhadap kaum

muslim, pengesahan imperialisme Eropa, dan penghinaan yang semena-mena

terhadap agama-agama lain, merupakan kegagalan moral teolog ekslusif kristen

yang secara historis digunakan untuk mengkampanyekan kejahatan.28

Abdul Aziz Sachdena memandang bahwa stabilitas sebuah negara akan

dihadapkan dengan kekerasan tanpa henti dan ekstrimisme radikal yang didorong

oleh sikap teologis yang ekslusif tentang kebenaran religius. Sehingga butuh

adanya pengakuan pluralisme sebagai prinsip akan pengakuan dan penghormatan

antar komunitas agama.29

Dalam pandangan Arkoun, nalar ortodoksi dan

epistemologi skolastik (klasik-tradisional) dalam kontruksi keilmuan Islam seperti

fiqih, ilmu kalam, tafsir, filsafat, dan tasawuf bersifat statis hingga sekarang,

sedangkan konteks umat Islam dewasa ini tengah berhadapan dengan dunia yang

profan dan terus mengalami perkembangan, baik dalam aspek kualitas maupun

kuantitas, intensitas maupun eksistensinya. Atas hal itu, Arkoun mengajukan

rekontruksi bidang keilmuan Islam pada tataran yang lebih mendasar, mendalam,

dan substansial yang memuat nilai-nilai normativitas, spiritualitas dan

fungsional.30

Nurcholis Madjid berasumsi bahwa lambat laun sikap eksklusif dalam

beragama akan membawa manusia ke jurang kehancuran.31

Sehingga, teologi

ekslusif dianggap tidak relevan untuk dipraktikan di dunia yang majemuk-plural.

Pluralitas agama adalah sebuah fakta sedangkan ekslusivisme adalah

ideologi dalam beragama. Alston Plantinga menolak jika ekslusivisme kristen telah

merefleksikan kegagalan moral dan digunakan untuk kampanye kejahatan.

Dampak-dampak negatif yang terekam sebagai fakta historis hendaklah tidak

dipandang sebagai konsekuensi logis dari eksklusivisme.32

Conflict is conflict. Meskipun ada unsur teologis dalam sebuah konflik, unsur-unsur lain, seperti

27

Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,

No. 4, (December, 2011) : 449-463, lihat juga Kevin Meeker, "Pluralism, exclusivism, and

the theoretical virtues", Religious Studies, Vol. 42, No. 2 (Juni, 2006) : 193-206. 28

M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana

Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra

Press, 2010), 76. 29

Abdul Aziz Sachdena, Islam and the Challenge of Human Right (New York:

Oxford University Press, Inc., 2009), 186. 30

J. Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme, (Yogyakarta: LKiS,

1996), 5-17. 31

Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat (Jakarta:

Paramadina, 1999), 60. 32

M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana

Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra

Press, 2010), 76.

Page 46: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

34

kepentingan politik ekonomi dan yang lainnya tetap harus dipandang sebagai

bagian dari penyebab konflik tersebut. Ahmad Khoirul Fata menyebutkan bahwa

kerap kali faktor historis, politik dan ekonomi bertumpang tindih dengan sikap

eksklusif dalam beragama sehingga konflik yang terjadi bersifat kompleks dan

multidimensi.33

Fata mengutip pandangan Sarlito Wirawan Sarwo yang

menyebutkan bahwa konflik komunal yang terjadi di Indonesia berakar dari

diskriminasi yang dilakukan oleh kolonial Hindia Belanda terhadap komunitas

pribumi muslim yang diperparah oleh sikap keberagamaan yang ekslusif.34

Agama bukan faktor utama yang menyebabkan konflik sosial, meskipun

agama juga tidak bisa melarikan diri dari tuduhan penyebab konflik tersebut. Tim

Institut Titian Perdamaian melakukan penelitian tentang kasus konflik dan

kekerasan yang terjadi pada priode 2008-2010 di Indonesia. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi 4.021 kasus konflik dan kekerasan di

Indonesia. Dalam jumlah kasus tersebut, konflik bernuasa agama terjadi sebanyak

90 kasus (20%), kasus bernuansa politik sebanyak 559 (13,9%), konflik antar

aparat negara 31 (0,8%), konflik sumber daya alam 313 (7,8%), konflik sumber

daya ekonomi ( 332 (8,3%), tawuran antar kelompok masyarakat 1.089 (27,1%),

penghakiman masa 1.107 (27,5%), pengeroyokan 302 (7,5%), dan lain-lain 198

(4,9%).35

Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa faktor sosial, ekonomi,

politik dan etnik lebih banyak menjadi penyebab konflik dan kekerasan

dibandingkan faktor agama.

Paradigma eksklusif sebenarnya tidak serta merta berujung pada intoleransi

dan ekstremisme. Maimonides dengan teologi eksklusifnya yang meyakini bahwa

agama Yahudi adalah satu-satunya iman keagamaan yang diwahyukan Allah dan

yang paling benar dalam segala hal, ternyata mampu menjadi orang yang sangat

toleran. Di Mesir, Maimonides bekerja sebagai dokter ribadi penguasa Islam,

Saladin. Maimonides tidak menapikan unsur kebaikan pada tradisi agama lain,

namun tidak lantas menggadaikan keyakinannya akan superioritas Yahudi hanya

karena ada kebaikan dalam tradisi agama lain. Bagi Maimonides, agama-agama

lain merupakan upaya manusia untuk menyamai atau bahwa melampaui kebenaran

Yahudi.36

Mungkin keluwesan sikap Maimonides dipengaruhi oleh pengalamannya

sebagai kelompok minoritas di tengah kebudayaan agama yang asing sehingga

33

Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama

Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 109. 34

Sarlito Wirawan Sarwono, "Hubungan Antar Agama dalam Pandangan Psikologi",

dalam Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama

Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 109. 35

Tim Penulis Institut Titian Perdamaian, Dinamika Konflik dan Kekerasan di

Indonesia (Jakarta: Institut Titian Perdamaian, 2011), h. 10 dan 14. dalam Ahmad Khoirul

Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 119.

36 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 15-16.

Page 47: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

35

menuntutnya untuk bersikap ramah dan baik sekaligus mempertahankan keyakinan

eksklusifnya.

Dari pemaparan di atas, ekslusivisme dalam beragama nampaknya akan sulit

bahkan tidak mungkin dihilangkan dari seorang yang beragama. Sikap eksklusif

mengalir secara alamiah beriringan dengan tuntutan keyakinan dari agama yang

dipeluknya dan menciptakan ikatan kuat antara pemeluk dan agamanya. Terkait

konflik dan kekerasan yang imoral sebagai implikasi dari sikap eksklusif dalam

beragama perlu dikaji secara komprehenshif, dengan terlebih dahulu memandang

konflik sebagai sebuah konflik tanpa terburu-buru mengaitkannya dengan dimensi

agama. Sebab, jika salah mengalamatkan, anggapan ini hanya akan menodai semua

agama yang pada hakikatnya mengajarkan dan menjunjung tinggi perdamaian.

B. Inklusivisme: Sebuah Jalan Tengah

Inklusivisme dalam beragama pertama kali dikenalkan Karl Rahner dengan

istilah Kristen anonim (the Anonimous Christian) atau non-Kristiani. Yakni,

orang-orang non-Kristiani tetap berhak mendapatkan keselamatan (salvation)

selama dalam hatinya tertanam ketulusan terhadap Tuhan.37

Alwi Shihab

menyebutkanbahwa inti teologi inklusif yang dikenalkan oleh Karl Rehner, seorang

teolog Katolik, adalah menolak asumsi bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak

berkesempatan meyakini Injil. Mereka yang mendapatkan anugerah cahaya Ilahi

walaupun tidak melalui Yesus, tetap akan mendapatkan keselamatan.38

Faham

insklusif dalam beragama tidak mengakui bahwa semua agama adalah benar,

akantetapi inklusivisme tetap menerima di luar komunitas agamanya untuk

mendapatkan berkah keselamatan.39

Dalam pandangan Nurcholis Madjid (Cak Nur), kebenaran tidak lagi menjadi

monopoli suatu agama tertentu, melainkan menjadi hak semua penganut agama.

Terdapat dua poin yang ditawarkan oleh Madjid dalam memaknai Inklusifisme

Islam: Pertama, pandangan terhadap agama-agama lain sebagai bentuk implisit

dari agama tertentu. Kedua, sikap terbuka dan toleran terhadap penganut agama

non-Islam.40

Paradigma inklusif Madjid lebih luas dari sekedar mengakui adanya

37

Lihat, Ed. David F. Ford, The Modern Teologians, An Introduction to Christian Theologt in the Twentieth Century, cet. 2 (UK: Blacckwell Published Ltd, 1997) 631-632;

Zain Abidin, Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah, Humaniora, Vol. 4 No. 2

(Oktober, 2013), 1277. 38

Alwi Shihab dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,

"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-

Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59. 39

Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4

No.2 (Oktober, 2013), 1276-1277. 40

Nurcholis Madjid dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,

"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-

Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59.

Paradigma Inklusif kemudian menjurus lebih pluralis dan dikenal dengan teologi Pluralis-

Inklusif. Faham ini yang paling berani mengakui bahwa adanya kebenaran agama-agama

Page 48: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

36

peluang kelompok lain untuk mendapatkan keselamatan, namun mencakup

pengakuan akan kebenaran kelompok lain. Hal ini bisa dilihat dari konsep

universalisme Islam yang ditawarkan Madjid, atau dari jargonnya satu tuhan

banyak agama.41

Atau dengan kata lain, Madjid lebih mengarah kepada pluralisme

(inklusif-pluralis).

Dari beberapa pengertian di atas, inklusivisme dalam beragama memiliki

tiga gagasan utama yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya:

Pertama, substansi keimanan dan peribadatan lebih penting dari pada formalitas

dan simbolisme keagamaan yang bersifat literal. Kedua, pesan-pesan agama yang

bersifat abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus selalu

ditafsirkan ulang oleh masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman

yang dihadapi. Ketiga, kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tidak ada

seorangpun yang dapat memastikan bahwa pemahamannya terhadap pesan Tuhan

adalah paling benar, lebih benar atau lebih baik dari pada pemahaman orang lain.42

Zein Abdidin menyebutkan lima pokok ajaran teologi Islam inklusif;

pertama, lebih menekankan nilai-nilai dasar Islam (substansialis) ketimbang

simbol-simbol belaka, sehingga dimensi Islam doktrinal-dogmatis akan dibongkar

dan dikritisi karena dianggap kerap tidak sealur dengan substansi dari ajaran Islam

itu sendiri. Kedua, menolak ortodoksi penafsiran kitab suci dan dogma Islam.

Ketiga, bersikap kritis atau skeptis terhadap setiap argumentasi dengan

kepentingan superioritas Islam. Zein menyebutkan bahwa inklusif Islam tetap

mengakui bahwa konsep Islam adalah yang terbaik dan paling sempurna, sikap

kritis justru ditujukan untuk membuktikan kesempurnaan Islam dengan sikap

objektif dan teta memberikan apresiasi terhadap pemahaman kelompok lain.

Keempat, menjunjung tinggi prinsip-prinsip dialog dan toleransi tanpa harus

mencurigai terlabih dahulu kelompok lain. Hal ini didasari oleh paradigma semua

agama sama-sama memiliki nilai-nilai kebaikan, sehingga berdialog dibutuhkan

untuk menciptakan kehidupan yang penuh toleransi tanpa kebencian dan

kecurigaan terhadap komunitas lain. Kelima, menjunjung tinggi prinsip-prinsip

demokrasi, hak azasi manusia, persamaan kedudukan di mata hukum, dan prinsip-

prinsip moral modern lainnya.43

lain yang oleh para penggagas dan penganutnya seperti, Mohamed Fathi Osman, Nurcholis

Madjid, Abdurrahman Wahid, Abdul Aziz Sachdina, dll. Dianggap sebagai perspektif

teologis yang lebih toleran dan memanusiakan seluruh umat Tuhan. Zuly Qodir,

"Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam", Orientasi Baru, Vol. 17,

No. 1, (April, 2008) : 63-78, 64-65. 41

Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,

2000). Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur. Cetakan ke-2. (Jakarta: Kompas, 2001). 42

Ahsanul Khalikin & Zirwansyah, Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kementerian

Agama RI, 2013), 18. 43

Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4

No.2 (Oktober, 2013), 1278-1279.

Page 49: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

37

Dalam tulisannya, Zein sebenarnya tidak menegasikan dimensi

Eksklusivisme dalam Islam, mengutip Azyumardi Azra dan Sayyid Husain Nasr,

Zein memandang bahwa di satu sisi Islam menekankan umatnya secara ketat untuk

bersikap eksklusif, misalnya tentang persaksian terhadap ke-Esa-an Allah dan

kebenaran Muhammad sebagai rasul-Nya yang diikrarkan melalui dua kalimah

syahadat, Sayyid Husain Nasr menegaskan bahwa eksklusifitas suatu agama

merupakan perlambang yang menunjukkan bahwa ia berasal dari yang Maha

Mutlak. Namun di sisi lain, Islam juga mengajarkan nilai-nilai inklusif, yang

dijelaskan dalam al-Qur'a>n maupun hadith tentang tema-tema; tidak ada paksaan

dalam beragama, pengakuan terhadap agama lain, kesatuan pesan tuhan dan

lainnya.44

Teologi inklusif Karl Rahner dalam tradisi Kristen dan teologi Islam inklusif

versi Zein Abidin, keduanya sama-sama tetap mengakui superioritas agamanya

masing-masing. Hal ini tidak jauh beda dengan pengakuan para eksklusifis

terhadap seperioritas agamanya yang diistilahkan dengan truth claim (klaim

kebenaran). Sehingga, keduanya akan sulit dibedakan dalam ranah teologis-

esoterik, sedangkan dalam ranah praktis-eksoterik, teologi inklusif akan mirip

bahkan sama dengan teologi pluralis, sebagaimana yang ditawarkan Nurcholis

Madjid tentang teologi inklusif-pluralisnya, yang cenderung substansialis dalam

memandang agama Islam dan melahirkan gagasannya tentang universalisme

Islam.45

Pendekatan dialogis dalam memandang keberagamaan agama adalah cara

kelompok inklusifis dalam mengkonseptualisasikan ajaran teologisnya. Pendekatan

dialogis yang dimaksud adalah membiarkan agama lain membahas dan

mempengaruhi teologi kita, begitupun kita membahas teologi mereka, sehingga

kita maupun mereka dituntut untuk lebih jujur dan objektif dalam melakoni

kehidupan rohani kita. Prasyarat dalam melakukan dialog bukan untuk

penyelarasan semua keyakinan melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang

beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak secara beragam serta tidak

dapat dinisbikan. Atau, dalam pendekatan dialogis ini, masing-masing agama

dianggap memiliki sesuatu yang mutlak yang tidak mungkin dilepaskan, juga

dengan tanpa menghancurkan identitasnya yang paling pokok dari keimanan

masing-masing pemeluk agama.46

44

Zain, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", 1279-1283. 45

Jika dilihat dari tiga tipologi keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-

pluralisme, Nurcholis madjid akan sulit diposisikan, apakah ia seorang inklusifis atau

pluralis, dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai inklusifis-pluralis, mengingat

gagasannya tentang inklusivisme Islam lebih mengarah kepada konsepsi teologi pluralis.

Lihat Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004).

46 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 75-76.

Page 50: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

38

Stanley Samartha adalah seorang pemeluk agama Kristen yang mendukung

usulan dialogis ini. Samartha mendefinisikan dialog ini sebagai upaya untuk

memahami dan menyatakan partikularitas kita dalam konteks masyarakat umum,

yakni bukan hanya dalam lingkup warisan kita sendiri tapi dalam kaitannya dengan

warisan rohani tetangga-tetangga. Bagi Samartha, cara dialog bukanlan "paksaan

teologis", namun tuntutan realitas dunia yang pluralistik terhadap masyarakat

beragama dewasa ini.47

Selain Samartha, pendukung lain dari pendekatan dialogis ini adalah

Raimundo Panikkar. Yang melandasi semangat dialogis Panikkar adalah asumsi

bahwa kebenaran yang dikemukakan oleh masing-masing agama sejatinya adalah

kebenaran universal, hanya saja perumusannya dalam menentukan kebenaran

tersebut dibatasi oleh faktor-faktor budaya, sehingga pada akhirnya kebenaran

universal itu didaku secara pratikular oleh agama-agama dengan konsepsi

teologisnya masing-masing. Melalui dialog, Panikkar optimis bahwa pengalaman-

pengalaman partikular mengenai kebenaran dapat diperluas dan diperdalam

sehingga mampu menyingkap pengalaman-pengalaman baru tentang kebenaran.

Dialog yang diusulkan Panikkar adalah dialog yang bersifat "saling menyuburkan"

(mutualisme) antara agama-agama, usulan dansikap terbuka Panikkar adalah upaya

untuk menemukan jalan tengah antara eksklusivisme dan pluralisme, di satu sisi

Panikkar menaruh simpati terhadap agama-agama lain, namun di sisi lain ia pun

tidak rela menanggalkan agamanya atau tidak mau kehilangan identitasnya sebagai

pemeluk agama Kristen.48

Tokoh-tokoh lain yang mendukung pendekatan dialogis ini, di antaranya

adalah; John Dunne, John Taylor, Klaus Klostermaier, dan Donald Swearer. Secara

umum tokoh-tokoh ini memiliki kesamaan dengan Stanley Samartha dan

Raimundo Panikkar, bahwa dialog yang dilakukan bukanlah untuk menyamakan

agama-agama partikular melainkan untuk saling memahami pengalaman rohani

dari masing-masing agama guna menghasilkan tambahan pengetahuan tentang

suatu realitas transenden bersama. Sehingga, dengan pendekatan dialogis ini

membuka jalan bagi pertemuan orang-orang Kristen, Islam, Yahudi, dalam

penganut agama lainnya. Akan tetapi, alasan teosentris dari masing-masing agama

terkadang menghambat upaya dialog ini.49

Fakta pluralitas agama adalah faktor utama yang melahirkan wacana

inklusivisme. Fakta pluralitas agama ini menuntut umat beragama untuk

menemukan cara yang tepat dalam menyikapinya, baik dalam dimensi teologis-

47

Stanley J. Samartha, Courage for Dialogue, (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books,

1981), dalam Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 76-78. 48

Panikkar, The Trinity and the Religious Experience of Man, (Maryknoll, N.Y.:

Orbis Books, 1973), dalam Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 78-82.

49 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 83-84.

Page 51: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

39

esoteris ataupun praktis-eksoteris. Dalam pandangan Budhy Munawar-Rahman,

terdapat dua unsur yang membangun agama-agama; eksoterik-esoterik. Unsur

esoterik merupakan titik temu antar agama secara transendental sebab ia adalah

the heart of religions. Sedangkan pada aspek eksoterik, kebenaran tunggal

terfragmentasikan mealui spektrum penangkapan setiap personal melalui beragam

dimensi, bahasa dan paradigma. Hal inilah yang menjadikan pluralitas dalam

agama.50

Selain itu, pluralitas agama juga dapat disebabkan oleh konteks historis

dan konteks intelektual masyarakat yang beragam dalam memahami ajaran

agama.51

Setiap agama berpotensi melahirkan eksklusivisme-inklusivisme. Dalam

Islam, dua paradigma ini memiliki landasan skriptual yang cukup memadai. Di

antara landasan skriptual tersebut adalah, (QS. Ali Imran: 19, 85) yang digunakan

oleh para ekslusifis untuk memperkuat argumentasi mereka, bahwa Islam adalah

satu-satunya agama yang benar yang bisa menjamin keselamatan. Sedangkan para

inklusifis-pluralis melandaskan argumentasi mereka pada (QS. al-Baqarah: 62) dan

(al-Maidah: 69) dan berpendapat bahwa jalan keselamatan tidak hanya dimonopoli

oleh Islam, melainkan dimiliki oleh setiap agama52

. Selain itu, interpretasi terhadap

terma isla>m juga turut berperan dalam wacana tersebut. Terdapat dualisme

penafsiran pada QS. 3:19;

إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا

ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا

"Sesungguhnya agama (yang dirihai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."

Dualisme penafsiran tersebut adalah islam dengan makna generik, yakni

tunduk dan patuh secara total kepada Tuhan, dan isla>m dengan makna khusus,

yakni syariat Nabi Muḥammad. Dualisme ini tidak lain disebabkan oleh paradigma

yang dihasilkan oleh metodologi penafsiran para pembacanya, meskipun

50

Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 34-52.

51 Meskipun pada dasarnya agama yang dibawa oleh para utusan Allah adalah sama,

namun faktor sosio-historis dan intelektual masyarakat dalam menangkap ajaran agama

tersebut menjadikan agama beragama. Selain itu, faktor internal-individu yang

bersangkutan sebagai pemeluk agama dan faktor eksternal, seperti sosial, ekonomi dan

politik, turut andil menciptakan pluralitas agama ini. Lihat Isma'il Raji al-Faruqi & Lois

Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Mac Millan Publ. Comp.;

London: Collier MacMillan Publ., 1986), 193. Dalam Ahmad Khoirul Fata, "Menguak

Islam Eksklusif yang Toleran", Islamica, Vol. 6, No. 1, (September 2011), 21. 52

Lihat Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme

Islam:Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Qurān Tentang Hubungan Antar agama",

Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April 2013), 58-67.

Page 52: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

40

sebenarnya dari kedua belah pihak (eksklusifis-inklusifis) sepakat bahwa terma al-isla>m, secara bahasa memiliki makna berserah diri, tunduk, taat, dan patuh.

53

Dalam tiga tipologi keberagamaan, inklusivisme diposisikan di tengah-

tengah antara eksklusivisme dan pluralisme. Jika dilihat dari beberapa definisi di

atas, nampaknya eksistensi inklusivisme sedikit samar atau "abu-abu"

dibandingkan teologi eksklusif dan teologi pluralis. Gavin D'Costa menebutkan

bahwa inklusifis berada di tengah-tengah spektrum antara eksklusivisme dan

pluralisme yang mencoba memiliki keduanya, mereka berkomitmen untuk

mengklaim bahwa satu wahyu atau agama adalah satu-satunya yang benar dan

definitif, akan tetapi kebenaran dan jaminan keselamatan juga dapat ditemukan

dalam berbagai bentuk fragmentaris yang tidak lengkap pada agama-agama lain.

Kebenaran yang ada di pihak lain dianggap benar jika ia tidak bertentangan dengan

normatifitas wahyu dan agamanya. Agama yang diyakininya bersifat pelengkap

dari ketidak utuhan agama-agama lain.54

Inklusivisme bisa dikatakan eksklusif jika dalam konteks teologisnya tidak

meninggalkan truth claim akan keyakinannya, seperti inklusif persepsinya Alan

Race, bahwa paradigma inklusif membedakan the salvafic presence (sang

penyelamat) dan aktivitas tuhan dalam tradisi agama-agama lain dengan tetap

mengacu sepenuhnya kepada Yesus Kristus/Kristen sebagai standar the salvafic presence (sang penyelamat) dan aktivitas tuhan

55. Dengan demikian, iklusivisme

tidak memandang sema agama benar, namun orang lain di luar agamanya tetap

mendapat peluang untuk selamat.56

Kemudian, inklusivisme juga bisa ditarik ke

arah pluralisme, jika difahami lebih meluas seperti yang dipersepsikan oleh

Madjid,57

atau seperti inklusivisme yang didefinisikan oleh Smith, bahwa klaim

kebenaran (claim of truth) dan klaim keselamatan (claim of salvation) bukan

monopoli kelompok atau agama tertentu, akan tetapi dimiliki juga oleh kelompok

atau agama lain. Menurut Smith, (claim of truth) dan (claim of salvation) sama

halnya dengan ungkapan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini dan

tidak ada dalam ruangan lain atau hanya dalam busana ini, dan tidak ada dalam

busana yang lainnya.58

Inklusivisme dalam konteks sosial lebih mudah difahami dibandingkan

dalam konteks teologisnya. Dalam konteks sosial, inklusivisme dapat difahami

53

) Lihat al-T{abari, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an ta'wil a>yi al-Qur'a>n, (Beirut, Muassasah al-

Risa>lah: 1994): Vol. 2, 232. 54

D‘Costa, Gavin. ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2 (Cambridge University Press, Juni, 1996) : 224.

55 Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.

4 No.2 (Oktober, 2013), 1277. 56

Zain, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", 1278. 57

Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,

2000). Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur. Cetakan ke-2. (Jakarta: Kompas, 2001). 58

Lihat, H. Smith, The Religion of Man. Pen. Safroedin Bahar, Agama-agama Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005); Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah

Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4 No.2 (Oktober, 2013), 1277.

Page 53: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

41

sebagai sikap positif keagamaan dalam merespon fakta pluralitas. Dalam hal ini,

Azyumardi Azra menyebutnya sebagai teologi kerukunan keagamaan yang

mengedepankan sikap luwes, toleran, terbuka, dan tidak enggan berdialog dengan

komunitas lain, baik antar maupun inter agama.59

Sedangkan dalam konteks

teologis, inklusivisme akan lebih mengarah kepada pluralisme jika menganggalkan

truth claim atas satu agama, dan jika mempertahankan truth claim pada satu

agama, maka inklusivisme merupakan bagian dari eksklusivisme.

Jose Casanova berasumsi bahwa agama memiliki "dua muka" (jenus face).

Di satu sisi, secara inherent agama memiliki identitas yang bersifat ‚exclusive‛, ‚particularist‛, dan ‚primordial‛. Dan di sisi lain, agama juga kaya akan identitas

yang bersifat ‚inclusive‛, universalist‛, dan trancending‛.60

Dengan demikian, Inklusivisme dan eksklusivisme dapat berjalan berdampingan di atas satu jalan

agama yang sama dalam posisi yang berbeda. Seorang agamawan bisa secara

eksklusif dalam memegang teguh keyakinan akan kebenaran agamanya, dan ia

tetap bersikap luwes, terbuka, dan menghargai perbedaan.

C. Pluralisme: Realita Keberagaman Agama

Realita keberagaman agama (reality of religious diversity) telah melahirkan

wacana yang penuh polemik dan kompleks. Kompetisi legitimasi "siapa yang

paling benar", konflik komunal antar agama, hingga penawaran-penawaran solusi,

baik yang bersifat teoritis maupun praktis, menjadi isu hangat yang mendorong

para akademisi untuk mengkajinya. Penelitian tentang sejarah agama-agama,

perbandingan agama, dan ilmu-ilmu agama lainnya dituntut untuk menemukan

formulasi tepat tentang relasi antar agama serta menjawab pertanyaan bagaimana

supaya semua agama dapat berdampingan secara harmonis.61

Bukti empirik

tentang kisah-kisah mengerikan seperti penyiksaan dan intoleransi memenuhi

catatan sejarah agama-agama di dunia. Dalam beberapa kasus, perbedaan dan

ketidaksepakatan suatu kelompok terhadap kelompok terkadang diperuncing

dengan dimanfaatkannya oleh kaum kolonial demi kepentingan politik. Menurut

Muhammad Legenhausen, fakta sejarah tersebutlah yang menjadi landasan

sekaligus alasan akan hadirnya pluralisme, khususnya dalam tradisi agama kristen.

Legenhausen juga menegaskan bahwa pluralisme agama terlahir dari kegagalan

kaum liberal atau liberalisme dalam upayanya menghapuskan intoleransi beragama

dalam konteks masyarakat plural-multikultural.62

59

Lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam,

(Jakarta: Paramadina, 1999). 60

Lihat B. Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan. Cetakan ke-1. Yogyakarta:

Galang Press., 2001), 7-23. 61

Muhammad Zia-Ul-Haq, " Religious Diversity: An Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol. 49, No. 4 (Winter 2010), 497.

62 Liberalisme merupakan respon politis terhadap beragamnya kepercayaan yang

berkembang di abad ke-18 di Eropa yang pada umumnya disulut oleh penolakan terhadap

intoleransi beragama yang ditunjukkan melalui perang-perang sektarian pada priode

Page 54: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

42

Pluralisme adalah faham atau sikap terhadap keadaan plural-majemuk, baik

dalam konteks politik dan sosial-budaya termasuk agama.63

Dalam konteks politik,

pluralisme diartikan sebagai sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik

negara. Sedangkan dalam konteks sosial, pluralisme diartikan sebagai faham atau

sikap toleransi terhadap keragaman agama, etnis dan budaya.64

Robert J. Bentley

menyebutkan, pluralisme merupakan refleksi terhadap realita sosial yang

mengisyaratkan adanya kontrol dari suatu kelompok terhadap bahasa, etnis dan

budaya.65

Sehingga, hegemoni suatu kelompok merupakan sasaran kritik bagi

kalangan peluralis.

Terdapat kemiripan antara pluralisme dan liberalisme politik, kemiripan

tersebut di antaranya adalah faham yang senantiasa mengkampanyekan dan

menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.66

Karakteristik dari liberalisme politik

adalah tujuannya untuk memisahkan antara sektor privat dan publik, yang

menegaskan bahwa individu bisa menikmati sejumlah hak yang melindungi sektor

privat dari interpensi pemerintah, seperti kebebasan dalam berpendapat dan

kebebasan berekspresi dalam semua aspek, termasuk aspek agama. Maka,

liberalisme melegalkan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam semua aspek,

termasuk aspek agama selama tidak menyinggung kebebasan orang lain. Hal ini

sebagai metode praktis untuk melerai konflik antara klaim-klaim yang

bersebrangan.67

jika liberalisme sebagai metode praktis untuk melerai konflik antar

klaim tanpa penolakan terhadap klaim-klaim yang ada, pluralisme jauh lebih

kedepan dengan mengklaim bahwa kebenaran religius harus ditemukan di berbagai

tradisi keagamaan serta tidak boleh suatu kelompok agama manapun bertindak

sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam mengklaim suatu kebenaran, dan

reformasi. Kemudian, pada abad ke-19, liberalisme mulai meluas, tidak hanya dalam

komunitas kristen saja namun mencakup di luar kristen. Lihat M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010), 3-7.

63 Syukron Ma'mun, "Pluralisme Agama dan Toleransi dalam Islam Perspektif Yusuf

Qardhawi", Humaniora, vol. 4, no. 2, (Oktober 2013), 1222. 64

Masykuri Abdillah dalam Syukron Ma'mun, "Pluralisme Agama dan Toleransi

dalam Islam Perspektif Yusuf Qardhawi", Humaniora, vol. 4, no. 2, (Oktober 2013), 1222. 65

Robert J. Bentley , "The Challenge of Pluralism", The Journal of Negro Education, Vol. 40, No. 4 (Autumn, 1971), 337.

66 Sebagai sebuah ideologi politik, liberalisme sangat menjunjung tinggi toleransi,

hak-hak individu dan keragaman gaya hidup. Beberapa ahli politik yang memiliki

pandangan liberal di antaranya; Adam Smith (1723-1790), Thomas Paine (1737-1809),

Benjamine Constant (1767-1830), dan James Madison (1751-1836). Lihat M. Legenhausen,

"Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010), 9.

67 M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana

Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra

Press, 2010), 9-14.

Page 55: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

43

secara eksklusif mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar serta

memandang salah agama-agama lainnya.68

Menurut aktivis INSITS, pluralisme lahir seiring proses liberasi kehidupan

di dunia Barat dalam segala bidang, khususnya di sektor sosial-politik (pluralisme

politik), kemudian merambah ke arah sosial agama yang memposisikan semua

agama adalah setara dan sama memiliki kebenaran yang relatif. 69

Adian Husaini

menegaskan bahwa liberasi di dunia barat adalah antitesa dari kondisi trauma

historis yang disebabkan oleh beberapa hal; pertama, trauma sejarah terkait masa-

masa kegelapan (the dark ages) atau zaman pertengahan (the medieval ages) yang

berawal dari jatuhnya Romawi pada tahun 476 M sampai era renaisans

(renaissance) di abad 14. Kedua, terkait dengan otentisitas teks dan makna-makna

dalam bibel. Ketiga, doktrin-doktrin teologis kristen, seperti trinitas dan doktrin

extra ecclessiam nulla salus.70

Hal-hal tersebutlah yang dikritik oleh kalangan

pluralis dengan tujuan menjauhkan manusia dari doktrin-doktrin agama

partikularis dan bersikap objektif terkait keragaman agama.

Berdasarkan tinjauan historis di atas, dapat disimpulkan bahwa pluralisme

agama memiliki kaitan yang sangat erat dengan liberalisme politik dan teologi

liberalisme kristen. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Muhammad Legenhausen,

"Islam and Religious Pluralism", dimana Legenhausen mebahas liberalisme politik

Barat dan teologi liberal kristen (protestanisme liberal) beserta kaitannya dengan

gagasan pluralisme agama dalam masing-masing bab.71

Atau dalam sumber lain,

dapat dilihat dari pandangan Anis Malik Thoha, dalam beberapa tulisannya seperti,

‚Konsep World Theology dan Global Theology,‛ Majalah Islamia, No 4 Januari-

Maret 2005; ‚Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam.‛ Paper untuk

‚Workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V,‛ Pasuruan, 4-5 April

2005; Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif, 2005).72

68

M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana

Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra

Press, 2010), 14-15. 69

Lihat Veit Bader, "Religious Diversity and Democratic Institutional Pluralism"

Political Theory, Vol. 31, No. 2 (Apr., 2003), 265-294; Ahmad Khoirul Fata, "Kritik

"INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni

2017), 31-56. 70

Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal ( Jakarta: GIP, 2005), 28-51, dalam Ahmad Khoirul Fata, "Kritik

"INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni

2017), 37-38. 71

Lihat M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi &

Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta:

Shadra Press, 2010). 72

Ahmad Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama",

Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 54-56.

Page 56: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

44

Dalam wacana keberagamaan, pluralisme berada di posisi yang bersebrangan

dengan eksklusivisme. Dimana pluralisme menganggap bahwa klaim kebenaran

(claim of truth) dan klaim keselamatan (claim of salvation) tidak dimonopoli oleh

satu agama tertentu. Menurut Ernst Troeltsch (1865-1923), agama-agama adalah

produk kondisi kultural yang ditentukan oleh sejarah, semua tradisi-tradisi agama

mengandung kebenaran yang relatif dan bersifat normatif hanya untuk pengikutnya

masing-masing. Berangkat dari relatifitas kebenaran agama inilah Ernst berasumsi

bahwa tidak ada satu agama manapun yang berhak mengklaim dirinya paling

benar.73

Selain relatifitas kebenaran agama, relatifitas sejarah (historical relativity)

juga digunakan Wilhelm Dilthey (1833-1911) sebagai suatu pendekatan dalam

memahami keberagaman agama. Filsuf berkebangsaan Jerman ini berpendapat

bahwa agama adalah produk sejarah manusia dan hanya sejarah lah yang mampu

menyingkap watak manusia secara hakiki, bukan agama.74

Agama-agama

berkembang dinamis di atas relatifitas sejarah ini, sehingga kebenaran agama-

agama dipandang relatif berdasarkan relatifitas sejarah. Sebagaimana Troeltsch

dan Dilthey, kesadaran historis dalam memahami agama juga dapat ditemukan

dalam tulisan-tulisan ahli sejarah besar asal Inggris, Arnold Toynbee (1889-1975).

Lebih dari itu, Toynbee menyarankan bagi umat kristiani untuk meninggalkan

sikap ortodok, eksklusif, dan intoleransinya dalam memandang agama-agama lain

sebagai jalan kesesatan dan menganggap bahwa kristen adalah agama yang paling

benar yang menjamin keselamatan.75

Pluralisme agama sebagai refleksi dari keberagamaan agama memiliki

gagasan yang beragam. Dalam hal ini, Anis Malik Thoha menemukan gagasan-

gagasan pluralisme tersebut yang sangat bergantung pada latar belakang keilmuan

para tokoh yang merumuskan pluralisme tersebut. Menurut Thoha, setidaknya ada

empat gagasan pluralisme sebagai corak dari konsep teologis ini, yaitu;

Humanisme Sekuler, Teologi Global, Sinkretisme dan Hikmah Abadi (Shophia Perennis)

76.

73

Ernst Troeltsch, The Absoluteness of Christianity and the History of Religions

(London: SCM Press, 1972) dalam, Ed. David F. Ford, The Modern Teologians, An Introduction to Christian Theologt in the Twentieth Century, cet. 2 (UK: Blacckwell

Published Ltd, 1997), 628. 74

Wilhelm Dilthey (1833-1911) dalam M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010), 9-14.

75 M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana

Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra

Press, 2010), 25-26. Lihat Arnold Toynbee, Cristianity Among the Religion of the World

(Oxford: Oxford University Press, 1957) dan atikel "Arnold Toynbee" di New Chatolic Encyclopedia.

76 Ahmad Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama",

Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 40.

Page 57: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

45

Menurut Thoha, humanisme sekuler berawal dari gagasan Protagoras

tentang sentralitas manusia sebagai standar segala sesuatu. Thoha menganggap

gagasan tersebut sebagai hakikat dari relativisme, sebab gagasan tersebut akan

menapikan suatu hakikat dan kebenaran absolut.77

Prularisme dan corak seperti ini

dapat dilihat pada konsepsinya Ernst Troeltsch, Wilhelm Dilthey dan Arnold

Toynbee dengan pendekatan relatifitas kebenaran agama dan relatifitas sejarah,

seperti yang disebutkan di atas, dalam merumuskan konsep peluralismenya.

Panganan Thoha ini ditolak oleh Alwi Shihab. Shihab keberatan relativisme

disamakan dengan pluralisme, sebab pluralisme memiliki batasan-batasan yang

bersifat absolut yang tidak dapat dipertemukan atau disamakan dalam setiap

agama.78

Kemudian, gagasan kedua dari Pluralisme yang dimiripkan dengan gagasan

teologi global terletak pada kesamaan pandangan dan tujuan dari keduanya untuk

menghapuskan sekat-sekat yang ada pada agama, sehingga menurut Thoha

pluralisme sama halnya dengan globalisasi agama. Sedangkan kesamaan pluralisme

dengan gagasan sinkretisme terletak pada kecenderungan pluralisme untuk

mencampurkan dan merekonsiliasikan beberapa unsur dalam agama-agama dalam

wadah tertentu.79

Meskipun banyak dari kalangan pluralis yang menyangkal

penyamaan pluralisme dengan sinkretisme, akan tetapi, gagasan bahwa semua

agama sama dan sama-sama mengandung kebenaran, atau seperti yang

diungkapkan Nurcholis Madjid, "satu Tuhan banyak agama"80

, dan beberapa

pluralis lainya, memberikan peluang terhadap lahirnya ide sinkretisme tersebut.

Adapun kesamaan pluralisme dengan gagasan hikmah abadi (Shophia Perennis), berangkat dari pandangan bahwa agama terdiri dari dua aspek; esoteris

dan eksoteris. Aspek pertama adalah substansi dari agama, yakni hakikat

transenden yang tunggal. Sedangkan aspek kedua merupakan manifestasi eksternal

transenden yang diekspresikan secara beragam oleh para pemeluk agama.81

Keberagaman agama dengan masing-masing tradisi eksoterisnya berasal dari satu

hakikat transenden yang sama pada setiap agama. Dalam pandagangan Hick,

77

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Perspektif, 2005); Ahmad

Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam, Volume

11, Nomor 1, (Juni 2017), 40. 78

Alwi Shihab, dalam Fatonah Dzakie, "Meluruskan Pemahaman Pluralisme dan

Pluralisme Agama di Indonesia", Al-Adyan, vol. IX, no. 1 (Januari-Juni, 2014), 86-87. 79

Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam,

Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 41-43. 80

Lihat Madjid, Nurcholis, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta : Paramadina,

1994); Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan,

kemanusiaan dan Kemoderenan (cetakan ke II), (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1992);

Islam Universal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007); Catur Widiat Moko, "Pluralisme

Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005) dalam Konteks Keindonesiaan", Medina-te, vol. 16, no. 1 (Juni, 2017).

81 Ahmad Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama",

Kalam, Vol.ume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 43-44.

Page 58: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

46

terdapat suatu transformasi dari self-centredness menuju reality-centredness,82

yang melahirkan kesimpulan bahwa keselamatan ada pada semua agama karena

berasal dari satu hakikat transenden yang sama sebagai sang Maha Penyelamat.83

John Hick membangun teologi pluralisnya secara induktif, berangkat dari

pengamatannya akan kemajemukan agama, dan menurutnya, klaim masing-masing

agama sebagai pembawa keselamatan adalah absah. John Hick mengklaim

terhadap dirinya sebagai seorang yang berkomitmen kepada iman, yaitu bahwa

pengalaman beragama Kristen bukan semata-mata proyeksi manusia namun juga

sebagai respons kognitif terhadap realitas transenden. Jika seseorang terlahir pada

suatu tradisi keagamaan, maka besar kemungkinannya bahwa seseorang itu akan

hidup dengan cara tradisi keagamaan tersebut84

. Dari sini lah John Hick

mengembangkan hipotesanya dan meyakini bahwa agama-agama di dunia memiliki

pengalaman religius dan respons kognitif yang sama terhadap yang transenden,

meskipun diekspresikan secara berbeda.85

Pandangan lain tentang Pluralisme sebagai sebuah konsep keberagamaan

diungkapkan oleh Paul Morris, ia menuturkan bahwa pluralisme agama digunakan

secara deskriptif dan perskriptif. Secara deskriptif, klaim ini menggambarkan

tentang realitas religius kontemporer berkaitan dengan keragaman tradisi

keagamaan dan kontak yang meningkat di antara mereka. Secara preskriptif, ini

menguraikan situasi ideal tentang sebuah hubungan yang sangat harmonis antara

berbagai agama, berdasarkan toleransi, dialog, dan saling pengertian. Baik

pluralisme politik dan agama hanya dapat dipahami dalam kerangka kerja negara

demokrasi liberal. Bukanlah kebetulan bahwa pluralisme agama telah berkembang

dalam, dan hanya di, negara-negara yang sudah berkomitmen terhadap pluralisme

politik. Baik pluralisme agama maupun politik adalah varian dan koreksi terhadap

hubungan liberal klasik individu terhadap negara. Kebebasan beragama tergantung

pada konsepsi liberalisme tentang hubungan ini.86

Pluralisme secara deskriptif dalam pandangan Morris adalah kesadaran

terhadap fakta pluralitas, sedangkan pluralisme secara perspektif adalah upaya

solutif dalam menyikapi fakta pluralitas tersebut. dalam ranah perspektif inilah

pluralisme diterjemahkan secara beragam dalam berbagai opini para akademisi

atau masyarakat secara umum dan melahirkan kerumitan tersendiri, sebagaimana

yang diuraikan oleh Thaha di atas. Kerumitan tersebut dibahasakan oleh Gavin

D'Costa sebagai ambiguitas pluralisme. Menurut Gavin D'Costa, Perbedaan antara

pluralisme dan eksklusivisme terletak ada pada kriteria kebenaran yang dipegang

82

Pengalaman spiritual personal menuju yang Real (Tuhan, dalam istilah Hick) yang

terpusatkan. 83

Lihat John Hick, "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4,

(Cambridge University Press: 1981), 453. 84

Hick, "On Grading Religions", 454. 85

Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog Kritis

Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 56. 86

Paul Morris, "The Limits of Pluralism", A Journal for the New Europe, Vol.

19/20, No. 2/1 (Winter 1985/Summer 1986), 61.

Page 59: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

47

oleh masing-masing konsep keberagamaan tersebut. Secara proses logisnya,

pluralisme akan memegang kriteria kebenaran menurut persepsinya secara ekslusif,

sebagai sebuah kriteria kebenaran lain yang berbeda dengan apa yang dipegang

oleh ekslusivisme. Berangkat dari sanalah Gavin D'Costa berkesimpulan bahwa

pluralisme akan secara logis menjadi bentuk eksklusivisme, sekaligus menjadi

landasan argumentasinya tentang kemustahilah pluralisme dalam memandang

keragaman agama (the impossibility of a pluralist view of religions).87

Kehidupan yang pluralis menuntut manusia untuk berfikir kreatif dalam

menyikapinya. Pluralitas dalam ranah pemikiran, etika, dan perspektif keagamaan

pun lahir dari kreativitas manusia tersebut. Harold Coward, seorang profesor dan

pimpinan Departement of Religious Studies, University of Calgary, membahas

dengan panjang lebar tentang pluralisme dan kaitannya dengan agama-agama

dalam bukunya yang berjudul "Pluralism, Challange to Word Religions". Coward

mengkaji pluralisme dalam tinjauan historis dan kekinian dengan memposisikan

pluralisme sebagai tantangan bagi agama-agama. Coward menyimpulkan bahwa

sikap agama dalam menanggapi tantangan pluralisme menghasilkan tiga tema dan

prinsip umum pluralisme; pertama, pluralisme dalam agama dapat dipahami

dengan baik dalam kaitannya dengan konsepsi logis tentang "Satu yang berwujud

banyak", yakni realitas transenden yang menggejala dalam bermacam-macam

agama. Kedua, terdapat suatu pengakuan bersama mengenai kualitas pengalaman

agama partikular sebagai alat untuk menuju satu realitas transenden. Ketiga, spiritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada

agama-agama lain secara partikularis.88

Tema pertama, Satu yang berwujud banyak, merupakan penjelasan yang

paling tua dan paling mutakhir dalam pluralisme agama. Karl Jasper, John Hick,

Wilfred Cantwell dan pluralis lainnya menggunakan logika ini untuk membangun

argumentasinya tentang pluralisme agama, sebagai upaya untuk menjabarkan

agama pada satu ide umum atau menjadikan semua agama satu. Namun konsepsi

logis ini rupanya mendapat banyak kritikan bahkan penolakan dari agama-agama,

dan dianggap telah merenggut prinsip kebebasan beragama karena menciptakan

sebuah agama universal sama dengan paksaan terhadap agama. Hal ini

diungkapkan Charles Davis dalam ceramahnya yang dibacakan pada pertemuan

tahunan dari Canadian Society for Study of Religion, Montreal, Mei 1980.89

Tema kedua adalah agama-agama menjadi alat untuk sampai kepada realitas

transenden yang Satu. Wahyu, doktrin dan unsur-unsur dalam tiap agama adalah

sarana untuk mencapai yang Satu, agama-agama bagaikan kapal-kapal yang

membantu manusia menyebrangi lautan atau sungai untuk sampai pada pencerahan

di seberang, atau dalam istilah lain "banyak jalan menuju Tuhan". Semua agama

87

Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press, Juni, 1996), 227-228.

88 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989), 168-169. 89

Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 189-170.

Page 60: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

48

sepakat bahwa agama adalah media untuk mencapai realitas yang Satu sebagai

sumber keselamatan dan kebahagiaan, namun permasalahan yang akan timbul dari

tema pluralisme ini adalah ketika agama-agama memutlakkan yang Satu itu secara

beragam dengan konsepsi teologisnya masing-masing, sehingga ada banyak yang

Satu sebanyak agama yang ada di muka bumi ini.90

Kemudian, tema ketiga adalah tentang pengenaan kriteria yang

mengabsahkan. Dalam menaggapi fakta pluralitas agama, para agamawan akan

menggunakan kriteria kebenaran menurut agamanya masing-masing, begitupun

bagi sorang pluralis, baik disadari ataupun tidak, ia harus terlebih dahulu

menentukan kriteria kebenarannya untuk mengabsahkan agama berdasarkan

kriteria kebenaran yang telah dirumuskannya.91

Hal ini semacam inter subjektivitas

dalam menentukan suatu kebenaran dalam hal agama, sehingga semua agama benar

menurut perspektif dan tradisinya masing-masing, atau sebagaimana yang

asumsikan oleh Gavin D'Costa bahwa pluralisme akan menjadi bagian dari

eksklusivisme berdasarkan kinerja logika dalam mengabsahkan suatu realitas,

meskipun seorang pluralis tidak akan mengakui jika dirinya disebut sebagai bagian

dari kelompok eksklusifis.92

Agama-agama berinteraksi dan berbenturan antara satu dengan yang lainnya,

para teolog berlomba untuk memperluas pandangan eksklusifnya, entah untuk

mempertegas identitasnya atau untuk menunjukkan kredibilitasnya guna menjaga

eksistensi agamanya. Eksklusivisme sedemikian rupa ditekan demi kerukunan

beragama, sedangkan pluralisme masih sulit menemukan tempatnya di hati umat-

umat beragama. Kritikan bijak dari Rousseau, sebagaimana yang dikutip oleh Paul

Morris, hendaknya kita berhati-hati untuk tidak mengganti rasionalisme liberal

dengan kerangka lain yang bernama pluralisme, tetapi dengan membebaskan tradisi

kita dari batasan-batasan liberalisme-universal, kita dapat membiarkan tradisi

tersebut kembali menjadi tradisi total yang dinamis. Karena harga religius yang

kita bayar untuk kebebasan liberal mungkin terlalu tinggi untuk dikorbankan.93

Berdasarkan pemaparan di atas, eksklusivisme adalah sebuah keniscayaan

dalam beragama, yang memberikan kekuatan simbolis antara pemeluk dan

agamanya. Eksklusivisme dalam beragama akan lebih difahami dan bijak jika

diletakkan dalam ranah teologis atau keyakinan, tetapi ketika berada dalam ranah

sosial dengan realitasnya yang multikultural, maka eksklusivisme kerap menjadi

pencoreng wajah agama yang memberi kesan tidak ramah. Hal ini dipengaruhi oleh

beberapa faktor, di antaranya adalah faktor penafsiran terhadap teks-teks

keagamaan. Kemudian inklusivisme sebagai jalan tengah, adalah konsepsi dalam

beragama yang tetap mempertahankan unsur eksklusif-teologis namun lebih

90

Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 170-172. 91

Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 172-178. 92

Lihat, Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛

Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press, Juni, 1996) : 227-228. 93

Rousseau, dalam Paul Morris, "The Limits of Pluralism", A Journal for the New Europe, Vol. 19/20, Vol. 19, no. 2/Vol.20, no. 1 (Winter 1985/Summer 1986), 65.

Page 61: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

49

terbuka dengan komunitas lain, akan tetapi terkadang inklusivisme melangkah

terlalu jauh hingga lebih dekat dengan pluralisme, yakni mensejajarkan agama-

agama dengan meyakini bahwa semua agama adalah benar dan memberi jalan

keselamatan. Tiga tipologi konsep keberagamaan di atas, masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan. Hemat penulis, beragama yang bijak adalah eksklusif

dalam berkeyakinan namun inklusif dalam bersosial, dengan menyadari

sepenuhnya fakta pluralitas sebagai rahmat Tuhan.

Page 62: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

50

Page 63: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

51

BAB III

EKSKLUSIVISME DALAM TAFSI><R MUH{AMMAD BIN S{A<LIH{

AL-‘UTHAIMI<N

Pada bab ini, penulis hendak membahas eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n yang dimulai dengan pembahasan tentang biografi Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, analisis metodologis Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, kemudian

relasi antara Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan ortodoksi tafsir tradisional, truth claim

(klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) sebagai instrumen

keberagamaan yang eksklusif. Bab ini merupakan ranah aksiologis dari teori-teori

yang dideskripsikan pada bab sebelumnya terkait konsep keberagamaan.

A. Sketsa Biografis Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

Pengetahuan tentang sejarah perkembangan hidup Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n merupakan piranti penting sebagai tahapan awal untuk dapat

menyelami pemikiran dan memahami hakikat dari segala yang dilakoninya. ‘Abba>s

Mah}mu>d al-‘A<qqa>d menyebutkan bahwa sejarah perkembangan hidup (al-nasha'ah)

sangat diperlukan sebagai tahapan awal untuk mengetahui sifat dan karakter

seseorang.1 Pada konteks pembahasan ini, penulis hendak memaparkan tentang

sketsa biografis Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, khususnya berkaitan dengan

kelahiran, perjalanan intelektual, dan otentisitas Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m.

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi}n memiliki panggilan (kunyah) Abu

‘Abdillah, hal ini dinisbahkan kepada anaknya yang paling besar.2 Adapun nama

lengkap dan silsilah beliau adalah Abu ‘Abdillah, Muh}ammad bin S{a>lih} bin

Muh}ammad bin Sulaima>n bin 'Abd al-Rah}ma>n bin ‘Uthma>n bin 'Abdullah bin 'Abd

al-Rah}ma>n bin Ah}mad bin Muqbil al-Wuhaibi> al-Tami>mi>. Nama al-‘Uthaimi>n

sendiri sebenarnya sebutan bagi kakeknya yang ke empat, yaitu ‘Uthma>n bin

'Abdullah. Namun, sebagai mana kebiasaan orang Arab pada umumnya, mereka

sering mengaitkan seseorang dengan nama ayah atau kakeknya, sehingga

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dikenal dengan sebutan S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n atau

Ibn ‘Uthaimi>n.

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi}n dilahirkan pada tanggal 27 Ramadan

tahun 1347 H., di kota ‘Unaizah, sebuah kota di wilayah Qasi>m, Najd, bagian

tengah Jazirah Arab.3 Di kota tersebut banyak yang tinggal dari kalangan ulama,

hakim, dan orang-orang yang shaleh, salah satu di antaranya adalah Shaikh al-

1 Ungkapan al-‘Aqqād tersebut dikemukankan ketika beliau membahas biografi

‘Amr bin al-‘A<s}. ‘Abba>s Mah}mu>d al-‘A<qqa>d, ‘Amr bin al-‘A<s}, (Cairo: Nahz}ah Mis}r, 2005),

18. 2 ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-

Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 19.

3 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}

al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 10.

Page 64: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

52

Mutarjim al-Sa‘dī. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terlahir di keluarga

sederhana, ayahnya adalah seorang pebisnis yang berdagang antara Riyad} dan

'Unaizah, kemudian ia menetap di 'Unaizah dan bekerja di Da>r al-Aitam sebelum

ajal menjemputnya.4 Keluarga Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga merupakan

keluarga yang cinta ilmu dan berpegang teguh pada agama, hal ini dapat terlihat

dari awal perjalanan intelektual Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang dimulai

dari pengajaran kakeknya dari jalur ibunya, al-Shaikh 'Abdurrahman bin Sulaima>n

al-Da>migh, seorang imam dan guru di masjid al-Kharizah di kota ‘Unaizah,

padanya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belajar al-Qur'a>n dan

menyelesaikannya secara naz}ran, kemudian beliau belajar kita>bah (menulis

khat/kaligrafi) dan beberapa ilmu lainnya di Madrasah al-Ustadz ‘Abdul ‘Aziz bin

S{a>lih} al-Dāmigh.5

‘Unaizah merupakan kota kecil setingkat kabupaten. Namun demikian, kota

kecil ini memiliki sejarah panjang yang berkelanjutan hingga sekarang sebagai kota

pencetak para ulama, dan di antaranya lahir dari leluhur Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, yaitu dari kalangan Bani Tamim, al-'Alamāh Shaikh ‘Abdullah bin

Ah}mad ‘Ad}ib al-Tamimi> (w 1161 H.), beliau merupakan ulama terkemuka pada

masanya, seorang hakim ‘Unaizah pada tahun 1110 H, dan seorang guru terkemuka

sehingga dengan keluasan ilmunya banyak orang-orang belajar kepadanya. Salah

satu muridnya yang terkenal adalah Shaikh H{amda>n bin Turki> bin H{amda>n (w.

1203 H). Selain al-'Alama>h Shaikh 'Abdullah bin Ah}mad 'Ad}ib al-Tamimi>, masih

banyak ulama-ulama lainnya yang lahir di kota kecil ‘Unaizah tersebut, sebut saja

al-‘Ala>mah ‘Abdullah bin ‘Abdirrah}man bin Aba> Ba>t}i>n (w. 1282 H), seorang

hakim dan guru besar, guru dari Shaikh 'Ali> bin Muh}ammad A<li Ra>shid} (w. 1303

H), Shaikh 'Abdul ‘Aziz bin Muh}ammad bin Ma>ni‘ (w. 1307 H), Shaikh ‘Abdullah

bin ‘A<id} (w. 1322 H) yang terkenal dengan ilmu qira'ah dan memiliki suara merdu

serta tulisan kaligrafi yang bagus, dan merupakan salah satu dari guru mufassir

ternama, al-‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘di>. Kemudian Shaikh

S{a>li>h} bin ‘Uthma>n al-Qa>d}i, yang juga merupakan guru al-‘Ala>mah Shaikh

‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘dī dalam bidang ilmu tauhid, tafsir, fiqih, usul fikih,

dan nahwu, kurang lebih al-Sa‘dī beajar kepada beliau selama 20 tahun. Dan ulama

terkenal lain dari ‘Unaizah, bisa dikatakan salah satu ulama satu generasi dengan

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, yaitu Shaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrah}man al-

Bassa>m, yang dilahirkan satu tahun sebelum Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n,

pada tahun 1346 H. Beliau seorang ulama yang terkenal dengan wawasan ilmu

agama, bahasa arab dan ilmu politiknya.6

4 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-

Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 19- 22.

5 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi>

Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 9. 6 Lihat Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 45-47.

Page 65: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

53

Keluarga yang cinta ilmu serta lingkungan dengan kultur pendidikan yang

baik turut membentuk kepribadian Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, khususnya

pada semangat beliau dalam mencari ilmu. Bisa dikatakan beliau merupakan orang

yang haus akan ilmu dan memiliki semangat tinggi dalam belajar. Dalam

penuturan Shaikh Abdullah al-Ma>ni‘, seorang seorang Qa>d}i> (hakim) di ‘Unaizah,

menyebutkan bahwa Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, sering datang ke

rumahnya di pagi hari dengan kitab-kitab dan lembaran kertas pelajaran di atas

kepalanya, mengetuk pintu dan mengucapkan salam, kemudian meminta izin untuk

naik ke ruang perpustakaan, dan di sana ia membaca dan belajar hingga waktu

menjelang dhuhur. Pada saat itu usia Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belum

mencapai usia balig.7 Tentu hal ini merupakan fenomena yang jarang di temukan di

usia anak yang pada umumnya sibuk dengan dunianya bermain. Karakter inilah

yang menjadi modal awal dan menjadikan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menjadi seorang ulama besar.

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n hidup dalam kondisi sosial masyarakat

Arab yang telah stabil, kelahiran beliau berada di era bersatunya kerajaan Arab

Saudi dan berakhirnya berbagai fitnah serta konflik yang telah terjadi di Jazirah

Arab pada masa sebelumnya.8 Yaitu ketika diproklamasikannya kerajaan Saudi

Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su‘u>diyah) oleh Raja ‘Abdul ‘Aziz Ibn

‘Abdurrah}man al-Sa‘u>d pada tanggal 23 September 1932, yang mana beliau sendiri

yang menjadi raja pertamanya, dengan menyatukan wilayah Riyad}, Najd (Nejed),

Hay al-Asir, dan Hijaz.9 Selain stabilitas keamanan, kondisi Arab pada masa itu

juga tengah berada dalam era perkembangan dan kemajuan diberbagai bidang,

seperti tekhnologi, transportasi dan lain sebagainya. Ditemukannya sumber-sumber

minyak bumi pada tahun 1357 H /1932 M yang memberikan pengaruh besar

terhadap stabilitas dan perkembangan negara, termasuk dalam hal pendidikan.10

Dari pendapatan negara yang tinggi tersebutlah Ibnu Sa‘u>d mampu beberapa

sarana pemerintah, seperti jalan-jalan raya, pemancar radio, jaringan telpon dan

lain-lain.11

Kondisi Jazirah Arab yang stabil dan makmur ini memberikan dampak

positif terhadap kemudahan hidup penduduknya, termasuk dalam hal pendidikan.

Dengan demikian, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, yang kala itu masih

7 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-

Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 25.

8 Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa

Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 27. 9 Abu Haif, "Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern)",

Jurnal Rihla, Vol 1, No. 1, (Oktober: 2015), 13. 10

‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 21.

11 Abu Haif, "Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern)",

Jurnal Rihla, Vol 1, No. 1, (Oktober: 2015), 14.

Page 66: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

54

berumur sepuluh tahun, bisa menuntut ilmu dengan tenang dan tentram tanpa

terganggu dengan masalah konflik ataupun ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari

jawaban beliau ketika ditanya: "Apakah selain mencari ilmu engkau juga sibuk

untuk bekerja?" Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjawab: "Tidak, karena

orang tua berada di Riyad} dengan kondisi hidup yang mudah".12

Perjalanan intelektual Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dimulai sejak ia

masih kecil oleh keluarganya, yaitu melalui pengajaran kakeknya, al-Shaikh

‘Abdurraḥman bin Sulaima>n al-Da>migh.13

hingga pada umurnya yang ke tiga belas

tahun, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mulai belajar dari berbagai sumber di

berbagai tempat di kota 'Unaizah. berdasarkan penuturan al-Shaikh Ibrahi>m al-

Jat}i>li>, pada usianya yang tergolong masih beliau, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n telah menghafal al-Qur'a>n selama 6 bulan di bawah pengajaran gurunya

yang tunanetra, ‘Ali> bin ‘Abdillah al-Shahi>ta>n, kemudian perjalanannya dalam

menimba ilmu dimulai dari masjid ke masjid pada tahun 1371 Hijriyyah.14

Kemudian pada umurnya yang ke delapan belas, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n belajar kepada al-'Ala>mah Shaikh ‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘di>.

Pada tahap awal, pengajaran tidak langsung diberikan oleh al-Sa‘di>, namun oleh

dua muridnya yang memang dikhususkan untuk mengajar siswanya yang masih

anak-anak. Dua murid al-Sa'di> tersebut adalah Shaikh Muh}ammad bin ‘Abd al-

‘Aziz al-Mut}awwi‘ dan Shaikh ‘Ali> bin H{amdi al-S{a>lih}i>. Pada masa ini

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membaca dan mempelajari kitab-kitab, di

antaranya Mukhtas}ar al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah karya al-Sa‘di>, Minha>j al-Sa>liki>n fi> al-Fiqh, yaitu kitab permasalahan-permasalahan fiqih karya al-Sa'di>, kemudian

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga belajar kepadanya al-Jurumiyyah dan al-Fiyyah. Kemudian, setelah menyelesaikan tahap awal tersebut, barulah

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n secara formal masuk ke Madrasah al-Sa‘diyyah

atau al-Ja>mi‘ah al-Sa‘diyyah dan mendapatkan pengajaran langsung dari al-

‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurraḥman bin Na>s}ir al-Sa‘di>.15

Kurang lebih selama 11 tahun (1365-1376 H) Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n menimba ilmu dari al-‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurraḥman bin Na>s}ir al-Sa‘di>,

beliau belajar banyak berbagai disiplin ilmu, seperti Tauhid, Must}alah al-Hadi>th,

Tafsi>r, Fiqh, Uṣu>l Fiqh, ilmu waris, Nahwu dan Ṣaraf, dan beberapa kitab seperti

Qat}ru al-Nada> Wablu al-S{ada> karya Ibn Hisham, Za>d al-Mustaqna‘ fi Ikhtis}a>r al-

12

‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 22.

13 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi>

Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 9. 14

Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 65.

15 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h

al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta'a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 25-30.

Page 67: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

55

Muqni‘, al-'Aqi>dah al-Wa>sat}iyah dan beberapa kitab lainnya.16

intensitas

kebersamaan yang cukup lama ini memberikan pengaruh besar dalam

pembentukan intelektual dan akhlak Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, tidak

heran jika beliau banyak kemiripan dengan al-Sa‘di> dalam metode pengajaran, cara

dakwah dan akhlaknya, hal ini diakui sendiri oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n.17

Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, dalam al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, menyebutkan empat kemiripan antara al-Sa‘di>

dan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, pertama, kemiripan dalam metode dan

retorika pengajaran dalam menyampaikan atau menjelaskan suatu masalah serta

keduanya banyak merujuk kepada pendapat Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibn al-

Qayyim. Kedua, kemiripan tempat, karena keduanya berasal dari 'Unaizah. Ketiga,

kemiripan nasab, yaitu bani Tami>m. Keempat, kemiripan kerabat.18

Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memiliki kedudukan khusus di hati Shaikh al-Sa’di>, hal ini

terbukti ketika orang tua beliau hendak pindah ke Riyaḍ dan menginginkan beliau

supaya ikut pindah, maka Shaikh Abdurrah}man al-Sa’di> menulis surat kepada

orang tuanya supaya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak meninggalkannya di

‘Unaizah.19

Ketika Shaikh ‘Abdurrah}man bin ‘Ali> bin ‘Auda>n menjadi hakim di

‘Unaizah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belajar kepadanya ilmu fara>-id} (ilmu

waris), selain itu, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga pernah belajar kepada

Shaikh ‘Abd al-Raza>>q al-‘Afi>fi>> ilmu gramatikal bahasa arab seperti ilmu nahwu

dan balaghah.20

kemudian pada tahun 1371 H, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

diperintahkan oleh gurunya al-Sa‘di> untuk mengajar para murid yang masih

pemula, sebagaimana yang diperintahkan al-Sa‘di> kepada dua muridnya, Shaikh al-

Mut}awwi‘ dan Shaikh ‘Ali untuk mengajar Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

ketika masih pemula. Namun hal ini tidak berlangsung lama, sebab pada tahun itu

telah dibuka Ma'had al-‘Ilmi> di Riyad}, dan atas anjuran Shaikh ‘Ali> al-S{a>lihi>,

setelah meminta izin kepada Shaikh al-Sa‘di>, pada tahun 1372 H, Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n melanjutkan studinya di Ma‘had al-‘Ilmi>, Fakultas Shari‘ah, di

16

Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 35; Lihat juga,

‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta'a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 45.

17 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h

al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 35.

18 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}

al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 70-71.

19 Wali>d, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, 66. 20

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh Usu>l fi> al-Tafsi>r, (Unaizah: Mu-

assasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H), 8.

Page 68: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

56

Riyad}.21

Pada saat itu Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n berusia 25 tahun, beliau

masuk di tahun kedua pasca dibukanya Ma'had ‘Ilmi> tersebut.22

Pada masa itu,

Ma'had ‘Ilmi> memiliki dua program pembeajaran, yaitu umum (reguler) dan khusus

(percepatan). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengambil program khusus,

yaitu bisa memanfaatkan waktu libur untuk belajar atau pemadatan, sehingga

beliau menyelesaikan studinya hanya dalam waktu dua tahun.23

Ketika berada di Riyaḍ, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dengan karakter

yang tekun dan haus akan ilmu, tidak menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut,

beliau sangat bersungguh-sungguh dalam belajar, terlebih pada lembaga tersebut

berkumpul para ulama besar yang memiliki keilmuan yang luas, seperti al-'Ala>mah

al-Mufassir al-Shaikh Muh}ammad al-Ami>n al-Shinqi>t}i>, al-Ima>m al-Muhaddith

‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abdullah bin Ba>z, kepadanya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n belajar kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Risa>lah Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah,

dan beberapa kitab fikih lainnya.24

Kemudian, di sana juga terdapat nama al-

‘Ala>mah al-Faqi>h ‘Abd al-Raza>q ‘Afi>fi> dan yang lainnya. Hal ini merupakan

nuansa baru bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n dalam perjalanan

intelektualnya, dimana beliau harus menggabungkan dua karakter pembelajaran

antara ‘Unaizah dan Riyad}, dan dengan modal kecerdasan dan ketekunan yang

dimiliki beliau, hal tersebut menjadikan wawasan keilmuan Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n semakin luas ketika berada di Riyaḍ. Tidak herah jika Shaikh ‘Abd

al-‘Aziz al-Da>wu>d (anggota Dār al-Ifta>') mengungkapakan bahwa Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memiliki keistimewaan dalam hal ilmu dan pemahaman.25

Di antara guru-guru Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, yang memberikan

pengaruh cukup banyak pada pembentukan intelektual dan karakter beliau, setelah

al-Sa‘di>, adalah ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z, Mufti 'A<m kerajaan Saudi Arabia. Ketika

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belajar di Ma'had ‘Ilmi>, Riya>d}, ‘Abd al-‘Aziz

bin Ba>z mengajar sebagai dosen Akidah, Hadi>th, dan Fikih. Berdasarkan

pengakuan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, beliau menuturkan bahwasanya

beliau banyak sekali menimba ilmu dari gurunya tersebut, khususnya di bidang

hadi>th, tentang bagaimana mempelajari dan mengamalkan hadi>th. ‘As}a>m bin ‘Abd

al-Mun‘im al-Mari> menyebutkan bahwa setidaknya ada empat hal keterpengaruhan

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n oleh ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z, yaitu akhlak,

manhaj (metodologi), mu‘amalah (sosial), dan bagaimana cara berinteraksi dengan

al-Qur'a>n dan sunnah, baik dalam hal mempelajarinya, menjadikannya dalil dan

21

Al-‘Uthaimi>n, Sharh Usu>l fi> al-Tafsi>r, 65. 22

Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 45-47.

23 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}

al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 66.

24 Na>s}ir bin Musfir al-Zahra>ni>, Ibn ‘Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, (Jeddah: Da>r Ibn al-

Jauzi>, 2001), 30 25

Al-Zahra>ni>, Ibn ‘Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, 48-49.

Page 69: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

57

mengamalkannya.26

Kuatnya pengaruh ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z terhadap sosok

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dapat dilihat juga dari kesamaan madhhab

akidah dan madhhab fikih kedunya, yaitu bermadhhab Salaf dan H{anabilah.

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n selain sebagai murid, beliau juga merupakan

penerus jejak perjuangan gurunya ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z, baik dalam hal

pendidikan maupun dakwah. Selepas ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z meninggal dunia,

orang pertama yang menggantikan posisi beliau adalah beliau, sejak itu,

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lah yang menjadi rujukan dalam hal fatwa.27

Pada tahun 1374 H, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kembali ke

‘Unaizah, yakni setelah dua tahun beliau menyelesaikan studinya di Ma‘'had ‘Ilmi>,

melanjutkan kembali belajar kepada Shaikh ‘Abdurraḥman al-Sa’di> sambil

melanjutkan kuliah di Fakultas Shari‘ah di Universitas Imam Muh}ammad bin

Su‘u>d al-Islamiyyah. Dan pada tahun tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

juga diangkat sebagai pengajar di Ma'had 'Ilmi> yang berada di 'Unaizah. Ketika

Shaikh ‘Abdurrah}man al-Sa’di> wafat, maka beliau lah yang menggantikan gurunya

tersebut untuk menjadi imam Masjid Jami’ al Kabir di ‘Unaizah. Kemudian beliau

menjadi tenaga pengajar di Fakultas Shari’ah dan us}u>luddi>n di Universitas Imam

Muh}ammad bin Su’u>d al-I<slamiyyah cabang Qosim. Karena keluasan ilmu dan

sosoknya yang baik, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pernah diangkat menjadi

anggota Hay'ah Kiba>r al-‘Ulama>' di kerajaan Arab Saudi.28

Selain memiliki semangat tinggi dalam belajar, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n juga begitu semangat dalam dunia dakwah, beliau sering memberikan

pengajaran dan fatwa di al-Haram al-Makki>, terutama di bulan Ramadan ketika

orang-orang banyak berkumpul di sana, beliau juga sering memberikan seminar-

seminar dan majlis taklim di banyak kota besar, di berbagai negara, di masjid-

masjid dan di berbagai Universitas.29

Dengan demikian, tidak heran jika

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjabat atau terlibat di beberapa organisasi.

Beliau adalah anggota Hay'ah Kiba>r al-‘Ulama>' di kerajaan Arab Saudi pada tahun

1407 H, anggota Majlis al-‘Ilmi> di Universitas al-Imam Muhammad bin Su‘u>d al-

Islamiyyah 1398 - 1400 H, Anggota Majlis Kuliah Shari‘ah dan Us}u>luddin, cabang

26

‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 59.

27 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi' li H{aya>ti al-'Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}

al-'Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-'Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 31-33.

28 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi>

Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 11. 29

Lihat Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi' li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 31-33.

Page 70: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

58

Universitas al-Imam Muh}ammad bin Su‘u>d al-Islamiyyah di Qaṣim dan menjadi

ketua jurusan Akidah di sana, serta beberapa posisi lainnya.30

Kesibukan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n di berbagai posisi dan

jabatannya tidak menjadikan alasan baginya dalam hal berkarya, jika dilihat dari

karya-karyanya yang cukup banyak, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merupakan

ulama yang produktif dalam berkarya, lebih dari 50 buku telah beliau hasilkan,

buku pertama yang beliau tulis adalah Fath}u Rabb al-Bariyyah bi Talkhi>s} al-Hamawiyyah (1380 H), yaitu ringkasan dari buku al-Hamawiyyah karya Shaikh

Ibn Taimiyyah. Adapun karya lainnya yang ditulis beliau adalah Must}alah} al-H{adi>th, al-Us}u>l min ‘Ilmi al-Us}u>l, Risa>lah fi> al-Wud}u>' wa al-Ghasl wa al-S{ala>h, Risa>lah fi> Kufr Ta>rik al-S{ala>h, al-Ad}hiyah wa al-Zaka>h, al-Manhaj Limuri>d al-Hajj wa al-‘Umrah, Tashi>l al-Fara>-id}, Lum‘ah al-I‘tiqa>d al-Ha>di> ila> Sabi>l al-Rasha>d, ‘Aqi>dah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, al-Qawa>-id al-Mithali> fi> S{ifa>tillah wa Asma>-ihi al-Husna>, Risa>lah fa> al-H{ija>b, Risa>lah fi al-S{ala>h wa al-T{aha>rah li Ahl al-A‘dha>r, Risa>lah fi> Mawa>qit al-S{ala>h, Risa>lah fi Suju>d al-Sahwi>, al-Fata>wa> al-Nisa>iyyah, Za>d al-Da>‘iyyah ila> Allah ‘Aza wa Jalla, Fata>wa> al-H{ajj, Us}u>l al-Tafsi>r, Sharh al-Us}u>l al-I<ma>n, Silsilah Liqa>'i al-Ba>b al-Maftu>h, Ahka>m min al-Qur'a>n al-Kari>m, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, dan beberapa buku lainnya, baik berkaitan

dengan akidah, fikih, tafsir, hadith, akhlak, maupun sosial.31

Secara afiliasi madhhab fikih, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah

seorang yang bermadhhab Hanbali, sebagaimana berkembangnya madhhab tersebut

di daerah dimana beliau tumbuh dan berkembang. Beliau juga mendorong dan

mengajarkan kepada murid-muridnya untuk mempelajari madhhab tersebut,

sebagaimana beliau mengajarkan kitab Za>d al-Mustaqni‘ fi Fiqhi Madhhab al-Ima>m Ah}mad. Namun demikian, beliau bukan lah seorang yang jumud dan fanatik

pada satu madhhab, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merupakan ulama yang

cukup kritis, disebutkan bahwa terdapat 89 permasalahan fikih yang berbeda antara

beliau dan madhhab imam Ah}mad.32

Namun demikian, nalar ahl hadi>th nampaknya

cukup melekat pada karakter pemikiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, hal ini

dapat dilihat dari metodologi penafsiran beliau yang lebih mengutamakan

penafsiran berbasis riwayat atau yang dikenal dengan tafsi>r bi al-ma'thu>r.

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n wafat di kota Jeddah pada hari rabu

tanggal 15 di bulan Syawal tahun 1421 H sebelum maghrib, tepatnya jam 05.55

30

‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 13.

31 Lihat, Na>s}ir bin Musfir al-Zahra>ni>, Ibn ‘Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, (Jeddah: Da>r

Ibn al-Jauzi>, 2001), 32-35. 32

Walīd bin Aḥmad al-Ḥusain, al-Ja>mi‘ li Ḥaya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-Ḥikmah, 2002), 76.

Page 71: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

59

waktu setempat, di usianya yang ke 74 tahun berdasarkan tahun Hijriyyah.33

Diceritakan bahwa beliau mengidap penyakit usus hingga harus berobat ke

Amerika Serikat, hingga ketika semakin dekat dengan ajalnya, beliau memutuskan

untuk kembali ke Saudi Arabia. Di sela-sela proses penyembuhannya di Rumah

Sakit al-Ma>lik Fais}al, Saudi Arabia, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n masih

menyempatkan untuk memberikan pengajaran rutinnya di Masjid al-Haram

Makkah, yaitu pada tanggal 9 Ramadan, hingga tanggal 15 Syawal Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Jenazah Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n dibawa dari Jeddah ke Makkah, kemudian ia dishalatkan di Masjid al-

Hara>m oleh ribuan orang. Disebutkan bahwa ketika Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n dishalatkan, Masjid al-Haram dibanjiri oleh lautan manusia, hingga

jalanan di sekitar itu menjadi macet.34

Berdasarkan penuturan al-Shaikh ‘Abd al-Rah}man al-Rayyis, ketika

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dimandikan dan dikafani, terpancar sinar dari

wajah beliau, dan hal itu disaksikan oleh orang-orang yang ikut memandikan dan

mangkafaninya, hingga orang-orang itu menganggap jika Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n seperti telah dimandikan sebelumnya. Wajah Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n nampak tersenyum dengan mulut terbuka hingga giginya terlihat, 'Abd

al-Rah}man, anak Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, mencoba untuk menutup

mulutnya yang tersenyum tersebut selama setengah jam, namun wajah Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tetap tersenyum, hingga akhirnya beliau di makamkan di

Makkah al-Mukarramah.35

B. Tafsi>r Al-Qur'a>n Al-Kari>m : Analisis Metodologis

Al-Qur'a>n memiliki posisi sangat istimewa di kalangan umat Islam, yaitu

sebagai sumber kebenaran dan pedoman hidup. H{usain al-T{aba>t}aba>'i> menyebutkan

bahwa peran al-Qur'a>n adalah sebagai penuntun jalan hidup manusia serta

mengajarkan kepada manusia tentang target dan tujuan hidup ini.36

Prinsip hudan li al-na>s yang terkandung pada (QS. 2:185; 3:3-4, 138) merupakan dasar skriptual

bagi para sarjana dalam berargumen bahwa al-Qur'ān merupakan petunjuk yang

membimbing manusia dalam hidup dan kehidupan mereka.37

Dalam pandangan

Rashid Rid}a, al-Qur'a>n merupakan penjelas akan esensi dari agama yang meliputi

33

'Aṣām bin 'Abd al-Mun'im al-Marī, al-Dar al-Thami>n fī Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimīn Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nashā'ah Ila al-Wafa>h, (Iskandariyah: Dār al-Baṣīrah, 2003), 394.

34 Muhammad bin Shālih al-'Uthaimīn, Sharh Usu>l fi> al-Tafsi>r (Unaizah: Mu-

assasah al-Shaikh Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H), 8. 35

‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 394-395.

36 Muḥammad H{usain al-T{aba>t}aba>'i, Mengungkap Rahasia Al-Qur'a>n, terj. A. Malik

Madani dan Hamim Ilyas, cet. VII, (Bandung: Mizan, 1994), 28. 37

Uun Yusufa, "Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus

Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta", Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, Vol. 4, No.

2, (2015), 195.

Page 72: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

60

nilai-nilai dari agama tersebut.38

Muin Salim mendefinisikan al-Qur'a>n sebagai

kitab suci umat Islam yang merupakan firman-firman Allah yang diwahyukan

dengan perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muh}ammad sebagai peringatan,

petunjuk, tuntunan, dan hukum bagi kehidupan umat manusia.39

Abdullah Saeed dan para sarjana muslim lainnya menganggap al-Qur'a>n

merupakan teks yang kompleks,40

atau dalam pandangan Arkoun, al-Qur'a>n

memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas,41

sehingga

membutuhkan tafsir sebagai penjelas untuk mengungkap makna yang terkandung

di dalamnya,42

dengan demikian fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam al-

Qur'a>n dapat tercapai dan difahami oleh para pembacanya. Terlebih jika

dihadapkan dengan problematika realitas yang kompleks dan dinamis, aktifitas

tafsir semakin dituntut untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang

ada berdasarkan al-Qur'a>n, untuk dapat membuktikan bahwa al-Qur'ān relevan

dengan semua waktu dan tempat (s}a>lih} li kulli> zama>n wa maka>n). Dalam hal ini,

cara atau metode menginterpretasikan al-Qur'ān menjadi piranti penting untuk

mengungkap pesan langit yang tercatat dalam teks al-Qur'a>n. Yunan Yusuf

menyebutkan bahwa ketepatan metode akan menghasilkan ketepatan tafsir,

sebaliknya, kesalahan metode akan menghasilkan kesalahan dalam tafsir, sehingga

metode tafsir (t}ariqah al-tafsi>r) merupakan aspek strategis dalam memahami al-

Qur'a>n.43

Secara metodologis, tafsir atau produk penafsiran memiliki tiga dimensi,

yang mana ketiganya berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Tiga dimensi

tersebut adalah sumber, metode dan corak. Sumber tafsir atau penafsiran

diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, pertama, bi al-ma'thu>r atau bi al-riwa>yah,

38

Esensi agama yang terkandung dalam al-Qur'a>n meliputi: Pertama, Keimanan

kepada Allah dan hari kemudian serta amal shalih. Kedua, menjelaskan tentang kenabian

dan kerasulan beserta tugas-tugasnya. Ketiga, menjelaskan tentang Islam sebagai agama

fitrah yang tidak bertentangan dengan rasio dan ilmu pengetahuan. Keempat, membina dan

memperbaiki umat manusia dalam satu kesatuan yang meliputi kemanusiaan, agama,

undang-undang, persaudaraan, hukum dan bahasa. Kelima, menerangkan tentang

keistimewaan Islam yang membawa kepada kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Keenam, menerangkan prinsip-prinsip politik dan bernegara dan mempertahankan diri,

termasuk tentang prinsip-prinsip dasar tentang perang. Ketujuh, mengatur hak-hak wanita.

Kedelapan, memberikan petunjuk tentang kemerdekaan hak. Muhammad Rashid Rid}a, al-Wahy al-Muh}ammadi>, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1960), 126-128.

39 Mardan, Al-Qur'a>n: Sebuah Pengantar Memahaminya Secara Utuh, Cet. II,

(Jakarta: Pustaka Mapan Jakarta, 2010), 27. 40

Abdullah Saeed, Al-Qur'a>n Abad 21: Tafsir Kontekstual, Terj. Ervan Nurtawab,

Cet I, (Bandung: Mizan, 2014), 27. 41

Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti

Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 264. 42

Muḥammad H{usain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-

Nawa>dir, 2010), Jil. 1, 13. 43

Yunan Yusuf, "Metode Penafsiran al-Qur'a>n: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'a>n

Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014), 58.

Page 73: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

61

kedua, bi al-ra'yi> atau bi al-ijtiha>d, ketiga, bi al-isha>rah. Kemudian metode tafsir

diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu Ijmali>, tah}li>li>, Muqa>rin, dan

Maud}u‘i>. Adapun tafsir dilihat dari coraknya maka terdapat banyak kategori yang

semuanya tergantung pada kecenderungan mufasir terhadap satu bidang ilmu

tertentu atau dominasi satu bidang ilmu yang terdapat pada tafsir tersebut, seperti

tafsi>r sufi> yang cenderung kepada ilmu tasawuf, tafsi>r lughawi> yang lebih

cenderung kepada ilmu kebahasaan dan lain sebagainya.44

Muhammad H{usain al-Dhahabi>, dalam karyanya al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, mengklasifikasikan sumber-sumber penafsiran secara periodik, dimulai

dari priode Rasulallah dan para sahabat. Sumber penafsiran Rasullah terhadap al-

Qur’a >n adalah wahyu, sedangkan para sahabat, mereka berpegang pada empat

sumber penafsiran: Pertama, bersumber pada Al-Qur’a>n itu sendiri, atau yang

disebut dengan tafsi>r al-Qura>n bi al-Qura>n.45 Kedua, bersumber pada Nabi,46

Ketiga, bersumber pada al-ijtiha>d wa quwwatul istinba>t} (ijtihad, pemahaman, nalar

dan kapasitasnya dalam memahami al-Qur’a >n)47

. Keempat, bersumber pada Ahl al-Kita>b dari orang-orang Yahudi dan Nashrani, khususnya tentang sejarah para Nabi

dan umat-umat terdahulu.48

Kemudian periode kedua adalah masa tabi'i>n, pada

masa ini aktifitas penafsiran bersumber pada al-Qur'a>n itu sendiri, riwayat dari

Nabi, para sahabat, dan ahl al-Kita>b, serta ijtihad para tabi‘i>n berdasarkan

kapasitas keilmuan mereka tentang al-Qur'a>n..49

Dan periode ketiga, masa tadwi>n

(kodifikasi). Yakni pada akhir masa Bani Umayyah dan awal masa Bani

Abbasiyyah. Sumber penafsiran al-Qur’a>n pada masa ini merujuk kepada riwayat;

44

Faizal Amin, "Metode Tafsi>r Tah}li>li>: Cara Menjelaskan al-Qur'a>n dari Berbagai

Segi Berdasarkan Susunan Ayat", Kalam, Vol. 11, No. 1, 235-266, (Juni,2017), 247-248. 45

Seperti pada surat al-Maidah ayat 1 yang ditafsirkan oleh ayat ke-3 dalam surat

yang sama. Yakni tentang penghalalan hewan ternak dalam ayat pertama surat al-Maidah,

dan pengecualiannya di sebutkan pada ayat ke-3, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan

yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang

ditanduk, dan yang diterkam binatang buas. Lihat, Muhammad Husain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wal Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir, 2010), Jil. 1, 37- 43.

46 Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim dan yang lainnya,

dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya para sahabat bertanya tentang makna z}ulmun yang ada pada

surat al-An’a>m ayat 82, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

z}ulmun pada ayat itu adalah syirik. Lihat, Muh}ammad Husain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir, 2010), Jil. 1, 43-44.

47Para sabahat memiliki keunggulan dalam mentafsirkan al-Qur’a >n dari para

mufassir di masa setelahnya.Karena mereka merupakan saksi sejarah turunnya al-Qur’an

kepada Nabi, memahami bahasa Arab dengan baik (sebagai bahasa ibunya), mengetahui

adat istiadat orang Arab (di mana al-Qur’an di turunkan di Arab), mengetahui kondisi

bangsa Yahudi dan Nashrani yang berada di Jazirah Arab ketika turunnya al-Qur’a>n, dan

memiliki pemahaman yang kuat serta wawasan yang luas tentang al-Qur’an.Lihat Lihat,

Muh}ammad H{usain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir,

2010), Jil. 1, 53-54. 48

Al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n,), Jil. 1, 56. 49

Al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jil. 1, 91-92.

Page 74: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

62

baik riwayat dari Nabi, para sahabat maupun Tabi‘i>n, dan pada ijtihad mereka.50

Tiga priode yang dirumuskan oleh al-Dhahabi> merupakan penafsiran generasi awal

atau yang disebut sebagai tafsir klasik-tradisional, atau jika dilihat dari pemaparan

Abdul Mustaqim, dalam bukunya Epistemologi Tafsir Kontemporer, ketiga priode

di atas masuk kepada era formatif dan era afirmatif.51

Kemudian Abdul Mustaqim

membedakan antara sumber penafsiran di era kontemporer dan tafsir klasik-

tradisional, bahwasanya tradisi penafsiran di era kontemporer bersumber pada teks

al-Qur’a>n, akal (ijtihad), dan realitas empiris. Secara pragmatik, posisi teks, akal,

dan realitas ini berposisi sebagai objek dan subjek sekaligus, yang mana ketiganya

senantiasa berdialektik secara sirkular dan triadic menggunakan paradigma

fungsional yang mengasumsikan bahwa tafsir al-Qur'a>n harus terus menerus

dilakukan sepanjang masa.52

Metode tafsir adalah cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk

mencapai pemahaman yang benar tentang maksud Allah yang tekandung dalam

ayat-ayat al-Qur'a>n.53

Dalam konteks ini, setidaknya ada dua istilah yang sering

digunakan; metodologi tafsir dan metode tafsir. Metode tafsir adalah cara yang

digunakan untuk menafsirkan al-Qur'a>n, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu

yang berkaitan dengan cara menafsirkan al-Qur'a>n.54

Dalam sejarah perkembangan

ilmu tafsir, Yunan Yusuf menyebutkan bahwa metode yang pertama muncul adalah

metode tah}li>li>, yaitu metode tafsir dengan cara menguraikan dan menganalisa ayat

demi ayat secara berurutan dengan membahas segala makna dan aspek yang

terkandung di dalamnya.55

Berbeda dengan Sanaky, beliau lebih cenderung

berpendapat bahwa metode yang pertama adalah metode ijmali>, yaitu metode yang

digunakan pada jaman Nabi dan para sahabat yang mana pada saat itu proses

penafsiran al-Qur'a>n dilakukan secara umum atau global tanpa memberikan rincian

yang memadai,56

sehingga pada tafsir era tersebut sulit ditemukan uraian-uraian

yang rinci.57

Pada era selanjutnya (setelah era Nabi dan para Sahabat), metode ijmali>

dipraktekkan oleh al-Suyut}i> dalam tafsir Jalalain-nya, atau dapat dilihat juga dalam

Taj al-Tafsi>r karya al-Mirghami. Kemudian metode ini diikuti oleh metode tah}li>li>

50

Al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jil. 1, 127-136. 51

Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,

2010) 34-51. 52

Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 66-67. 53

Lihat, Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur'a>n, (Jakarta: Pustaka Pelajar,

1988), 1-2. 54

Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti

Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 266. 55

Yunan Yusuf, "Metode Penafsiran al-Qur'a>n: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'a>n

Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014), 59. Lihat juga, Samsul Bahri dkk,

Metodologi Studi Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), 42 56

Lihat, Samsul Bahri dkk, Metodologi Studi Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), 45. 57

Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti

Warna dan Corak Mufassirin)", Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 268.

Page 75: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

63

(analitis) dengan bentuk tafsi>r al-ma'thu>r (riwayat),58

lalu berkembang dan diikuti

oleh bentuk tafsi>r bi al-ra'yi> (akal/ijtihad).59 Aktifitas penafsiran berlangsung

secara dinamis, kemudian lahir pula metode komparatif (muqa>rin), hal ini ditandai

dengan ditulisnya beberapa kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi

mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil (al-Khat}ib al-Iskafi [w.240

H]) dan al-Burha>n fi Taujih Mutashabah al-Qur’a>n (Taj al-Qurra’ al-Karmani

[w.505 H]). Dan yang terakhir adalah metode tematik (maud}u‘i>),60 metode ini

terbagi menjadi dua kategori; pertama, metode tematik yang berfokus pada satu

surah dalam al-Qur'a>n, dengan mengambil ide pokok dari surah tersebut dan

membahasnya secara rinci. Panggagas pertama kategori ini adalah Shaikh al-

Azhar, Mah}mud Syaltut dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m (1960). Kedua, metode tematik berdasarkan topik, yaitu menetapkan

terlebih dahulu topik yang hendak dibahas kemudian digali penjelasannya dalam

al-Qur'a>n. Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad al-Ku>my.61

Berkaitan dengan Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m karya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, jika dilihat dari sumber penafsirannya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n memadukan penafsiran bi al-ma'thu>r dan bi al-ra'yi>. Menurut Manna al-

Qat}t}a>n, suatu penafsiran dikatakan sebagai Tafsi>r bi al-ma'thu>r atau dikenal juga

dengan istilah tafsi>r bi al-naqli/bi al-riwa>yah, adalah jika seorang mufassir

menafsirkan al-Qur'a>n dengan al-Qur'a>n, al-Qur'a>n dengan hadi>th Nabi, dan al-

Qur'a>n dengan pendapat para sahabat atau tabi'i>n.62

Berbeda dengan Manna>‘ al-

Qat}t}a>n, al-Zarqa>ni> dalam Mana>hil al-‘Irfa>n tidak memasukan pendapat tabi‘i>n

kedalam kategori tafsi>r bi al-ma'thu>r, hal ini dikarenakan para ulama masih

memperselisihkannya.63

Dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n begitu memprioritaskan penafsiran al-Qur'a>n dengan al-Qur'a>n dengan

asumsi bahwa al-Qur'a>n adalah kalam Allah dan hanya Allah-lah yang lebih tahu

maksud dari perkataannya, hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ibn

Taimiyyah dan muridnya Ibn Qayyim bahwa penafsiran al-Qur'a>n bi al-Qur'a>n

58

Tafsir dengan bentuk bi al-ma'thu>r dan metode tah}li>li> seperti ini dapat dilihat

pada kitab Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m (Ibn Kathi>r) atau pada tafsir Jami‘ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur'a>n (al-T{abari>). Lihat: Manna' Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}:

Mansyrat al-'As}r al-H{adi>th, 1971), 311. 59

Tafsir dengan bentuk bi al-ra'yi> dan metode tah}li>li> seperti ini dapat dilihat pada Ru>h al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab'u al-Matha>ni> (al-Alusi>), atau Mafa>tih} al-Ghaib (Fakh al-Di>n al-Razi>), Lihat: Manna' Qaththan, Mabah}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n,

(Riya>ḍ: Mansyrat al-‘As}r al-H{adi>th, 1971), 316. 60

Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti

Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 268. 61

Yunan Yusuf, "Metode Penafsiran al-Qur'a>n: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'ān

Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014), 62. 62

Manna‘ Qat}t}a>n, Mabahith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah. 1995),

337. 63

Muḥammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1995), Jil. 2, 13.

Page 76: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

64

merupakan penafsiran yang paling baik.64

Kemudian pada skala prioritas

berikutnya adalah hadi>th Nabi dan pendapat para sahabat serta tabi‘i>n.65

Penafsiran al-Qur'a>n dengan al-Qur'a>n yang dipraktekkan oleh Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dapat dilihat, di antaranya, pada penafsiran QS. al-T{a>riq

ayat 1 yang ditafsirkan oleh ayat 3,66

atau ketika menafsirkan kata daha>ha pada

surat al-Na>zi'a>t ayat 30 dengan dua ayat setelahnya; 31-32.67

Ah}mad bin

Muh}ammad bin Ibrahi>m al-Bari>di> dalam kitabnya Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n menjelaskan panjang lebar bagaimana

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menerapkan kaidah al-Qur'a>n yufassiru ba‘d}uhu ba‘d}an (al-Qur'a>n saling menejelaskan antara satu dengan yang lainnya), baik

sebagai Mubayyan al-mujmal, muqayyad al-mutlaq, kha>s} al-‘a>m, atau muh}kam al-mutasha>bih.

68 Selain itu, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n banyak mengutip al-

Qur'a>n dalam tafsirnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut bukanlah sebagai penafsir

melainkan untuk memperkuat argumentasinya, baik dalam masalah fikih, teologis,

atau sebagai ayat pembanding, seperti ketika menafsirkan term al-di>n pada surah

al-Fa>tih}a>h, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n membandingkannya dengan terma

al-di>n yang ada pada surah al-Ka>firu>n untuk menjelaskan bahwa di antara makna

al-di>n adalah al-'amal (amal perbuatan).69

Menurut Quraish Shihab, penafsiran al-

Qur'a>n dengan al-Qur'a>n haruslah berdasarkan indikator yang kuat dan diduga

keras bahwa ayat tersbut memang tafsirannya, karena banyak penafsiran yang

dianggap sebagai tafsir al-Qur'a>n bi al-Qur'a>n padahal merupakan penafsiran para

ulama atas pengamatan pada suatu ayat dan memperkuat argumentasinya dengan

ayat yang lain.70

Posisi kedua dalam skala prioritas sumber rujukan penafsiran Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah hadith Nabi, beliau meyakini bahwa Nabi

Muh}ammad adalah muballigh (penyampai) risalah tuhan dan orang yang paling

tahu tenang makna dan maksud al-Qur'a>n.71

Posisi hadith Nabi sebagai penjelas al-

Qur'a>n diungkapkan oleh Imam Ah}mad yang menyebutkan bahwa Sunnah

64

Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 176.

65 Muh}ammad S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah: al-

Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 25-28. 66

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, (Riyad}: Da>r al-Thuriya>, 2002), 137.

67 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, 50-51.

68 Lihat, Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn

‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005),

176-200. 69

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Fa>tih}ah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 1, 12.

70 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 351.

71 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah:

al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 25.

Page 77: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

65

merupakan penafsir dan penjelas al-Qur'a>n.72

Pandangan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n ini sa,a halnya dengan Ibn Taimiyyah, yang juga memposisikan hadith

nabi sebagai prioritas kedua setelah al-Qur'a>n dalam menafsirkan al-Qur'a>n, beliau

menyebutkan bahwa jika tidak terdapat penafsiran dalam al-Qur'a>n, maka

tafsirkanlah menggunakan hadith Nabi, karena ia merupakan penjelas bagi al-

Qur'a>n.73

Dalam Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, secara umum, posisi hadith Nabi terhadap al-Qur'a>n ada empat

kategori, yaitu; tafsi>ru musykil (menjelaskan ayat-ayat yang dianggap ambigu), tabyi>nu mujmal (menjelaskan ayat-ayat yang masih global), dila>lah ‘alaih (sebagai

penunjuk makna ayat), ta‘bi>r ‘anhu (mendeskripsikan al-Qur'ān).74 Meskipun

demikian, menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak menutup

kemungkinan bahwa posisi hadith Nabi terhadap al-Qur'a>n lebih luas dari empat

posisi tersebut,75

posisi lainnya yaitu sebagai penjelas makna suatu lafaz} dalam al-

Qur'a>n, seperti lafaz} ziya>datun dalam QS. Yunus : 26 ditafsirkan oleh hadith Nabi

sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim yaitu al-naz}ar ila> wajhillah (melihat wajah

Allah) sebagai tambahan nikmat yang ada di syurga. 76

Posisi hadith juga

menjelaskan kalimat yang masih mubham (samar atau belum jelas maknanya),

seperti kalimat al-shala>wa>t al-wust}a> pada QS. al-Baqarah: 238 yang ditafsirkan

oleh hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari>, yaitu shalat asar.77

Pengutipan hadith oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak hanya

dilakukan untuk menafsirkan ayat saja melainkan untuk memperkuat

argumentasinya baik dalam hal teologis, fikih atau sebagai tambahan keterangan

dan pembanding makna dari ayat yang ditafsirkan. Selain itu, Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terlihat cukup selektif dalam mengutip hadith, hal ini dilihat

dari dominasi kutipan beliau yang kebanyakannya diambil dari S{ah}i>h} Bukha>ri> dan

S{ah}i>h} Muslim. Dalam penafsirannya di surah al-Fa>tih}ah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n mengutip hadith dari imam Bukha>ri sebanyak 5 kutipan, imam Muslim

6 kutipan, dan Ibn Ma>jah 1 kutipan. Dari semua kutipan hadith yang dilakukannya

pada penafsiran surah al-Fa>tih}ah hanya 1 kutipan dari Ibn Ma>jah dan beliau pun

menegaskan keshahihannya dengan memberikan keterangan telah dishahihkan oleh

al-Albani>.78

72

Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 220.

73 Al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-

Qur'a>n, 221. 74

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 9.

75 Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa

Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 225. 76

Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 231

77 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Baqarah,

(Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), 178. 78

Lihat, al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Fa>tih}ah, Jil. 1, 3-21.

Page 78: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

66

Ketika al-Qur'a>n diturunkan kepada Nabi Muh}ammad melalui perantara

Malaikat Jibril, yang menjadi saksi sejarah turunnya wahyu tersebut adalah para

sahabat, mereka lah generasi pertama dan disebut sebagai sebaik-baiknya generasi.

Sumber rujukan ketiga dalam skala prioritas sumber penafsiran Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah para sahabat, dengan alasan al-Qur'a>n diturunkan di

jaman dan dengan bahasa mereka, maka mereka adalah generasi yang paling tahu

konteks dimana al-Qur'a>n diturunkan.79

Al-Suyut}i> menyebutkan dalam al-Itqa>n

bahwa mufassir yang paling mashhur dari kalangan sahabat adalah al-Khulafa> al-‘Arba'ah (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n, dan ‘Ali>), kemudian ‘Abdullah bin Mas‘u>d,

‘Abdullah bin ‘Abba>s, Ubai bin Ka‘ab, Zaid bin Tha>bit, Abu Musa> al-Asy‘ari>, dan

‘Abdullah bin al-Zubair.80

Kemudian, sumber rujukan keempat dalam skala prioritas sumber

penafsirannya adalah para tabi‘i>n. Tidak semua pendapat tabi‘i>n dalam penafsiran

al-Qur'a>n bisa dijadikan hujjah, hanya beberapa orang saja di antara mereka atau

yang dikenal dengan kiba>r al-ta>bi‘i>n. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam

Us}u>l fi> al-Tafsi>r nya menyebutkan beberapa nama tabi‘i>n, dari ahl Makkah;

Muja>hid, ‘Ikrimah, dan ‘At}a> bin abi> Raba>h, yaitu mereka para pengikut Ibnu

‘Abba>s. Kemudian dari penduduk Madinah; Zaid bin Aslam, Abu al-‘A<liyah, dan

Muh}ammad bin Ka‘ab al-Qurd}i>, yakni mereka para pengikut Ubai bin Ka‘ab. Dan

dari penduduk Kuffah, Qata>dah, ‘Alqamah, dan al-Sha‘bi>, yakni para pengikut Ibn

Mas‘u>d.81

Tradisi riwayat yang diaplikasikan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

dalam tafsirnya memang tidak begitu mendominasi seperti halnya kitab tafsir

karya Ibn Kathi>r an al-T{aba>ri>, namun demikian, otoritas tertinggi dalam penafsiran

al-Qur'a>n masih dipegang kuat dan dianggap sebagai penafsiran yang

ortodoks/resmi oleh beliau dan dengan tegasnya beliau menyebutkan bahwa jika

suatu penafsiran bersebrangan dengan empat sumber prioritas (al-Qur'a>n, Hadi>th

Nabi, pendapat sahabat, dan tabi‘i>n) tersebut, maka penafsiran tersebut dikatan

keliru atau heterodoks/tidak resmi.82

Adapun kaidah-kaidah tafsir yang digunakan

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam menafsirkan al-Qur'a>n, bisa dikatakan

bahwa beliau banyak mengutip dan mengikuti apa yang dikonsepkan oleh Ibn

Taimiyyah dalam Muqaddimah fi> al-Tafsi>r nya. Hal ini nampak jelas pada kitabnya

Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r,83, sebagaimana yang dianjurkan oleh Ibn Taimiyyah,

beliau juga sangat menganjurkan sekali untuk senantiasa mengembalikan segala

sesuatunya dalam urusan agama kepada pendapat generasi awal (salaf), yakni para

79

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah:

al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 26. 80

Jala>l al-di>n al-Suyut}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah Risa>lah

Na>shiru>n, 2008), 783. 81

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah:

al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 38. 82

Al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, 27. 83

Lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-'Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H).

Page 79: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

67

sahabat dan tabi'i>n jika memang pembahasannya tidak ditemukan di dalam al-

Qur'a>n dan hadith Nabi.84

Bentuk penafsiran lain dalam tafsir al-Qur'a>n al-Kari>m ditinjau dari

sumbernya, yaitu tafsir bi al-ra'yi>, yakni penafsiran yang disandarkan pada nalar

dan ijtihad sang muffasir.85

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menggabungkan dua bentuk penafsiran, yakni

bi al-riwa>yah dan bi al-ra'yi>, bahkan jika dipersentasikan antara keduanya, ijtihad

beliau dalam menafsirkan al-Qur'a>n begitu dominan, hal ini dapat terlihat dari

kuatnya dimensi kebahasaan yang beliau terapkan dalam tafsirnya.86

Dalam tradisi

salaf, penafsiran berdasarkan opini pribadi sebenarnya sangat dihindari, bahkan

mereka mengecam orang yang menafsirkan al-Qur'a>n berdasarkan opini pribadi

tanpa memiliki kapasitas keilmuan yang cukup. Selain itu, sebuah hadith yang

mengecam keras orang yang berkata tentang al-Qur'a>n menggunakan akalnya

dengan ancaman maka tempat duduknya kelak dari api neraka. Hal ini semakin

menjadikannya sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur'a>n.87

Meskipun

penggunaan opini pribadi banyak dilakukan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n dalam tafsirnya, namun tidak mengurangi kehati-hatian beliau dalam

menafsirkan al-Qur'a>n. Hal ini dapat dilihat dari karakter penafsiran tekstualnya,

sehingga opini pribadi dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kebanyakan

pada ranah kebahasaan.

Pendekatan linguistik yang diterapkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

dalam tafsirnya dibangun dari kaidah-kaidah kebahasaan yang terdapat dalam ilmu

nahu, sharaf, balaghah dan kaidah-kaidah tafsir yang berkaitan dengan kebahasaan,

seperti taqdi>m wa ta'khi>r, iltifa>t dan lain sebagainya. Dimensi kebahasaan ini

terlihat pada tekhnik penulisan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, setelah beliau

menyebutkan ayat, kemudian beliau menjelaskan makna mufradat satu persatu,

baik dari segi irab, makna lafadz, atau dari sisi ilmu qira'ah, dan terkadang beliau

mengutip syair dalam menjelaskan makna lafaz} dalam al-Qur'a>n.88

Salah satu

contohnya ketika beliau menjelaskan tentang definisi takwa mengutip salah satu

syair :

: ((اىذق))ةعع قاه دعسف "

خاه اىرا صغسا متسا ذاك اىذق

84

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r Shaikh Ibn Taimiyyah, (Riya>d}: Da>r al-Wat}an, 2010), 140.

85 Manna‘ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah.

1995), 342. 86

Dimensi kebahasaan dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dapat dilihat

pada tesisinya ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘A<li> A<li Naumah al-Qaht}a>ni> yang berjudul

Maba>hith ‘Ilm al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r Ibn ‘Uthaimi>n (Saudi: Umm al-Qura University, 2013). 87

Lihat, Manna‘ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi > ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah

Wahbah. 1995), 342-344. 88

Lihat, misalnya penafsiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pada surah al-

Baqarah ayat 25, 57, 103, dan beberapa ayat dan surah lainnya.

Page 80: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

68

اعو ماغ ق أز ض اىشك ذرز ا س

" ل دذقس صغسث ا اىجتاه اىذص

Dalam menjelaskan kata demi kata dalam al-Qur'a>n, Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n sangat menghindari pentakwilan kata, termasuk dalam menafsirkan

ayat-ayat antropomorfis, seperti ketika menjelaskan surah al-Ma>idah ayat 64, ( ةو

beliau menyebutkan bahwa ayat tersebut menetapkan dua tangan (دا تعغذا

milik Allah.90

Tekstualitas dalam menjelaskan al-Qur'a>n terlihat dari ungkapannya

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n yang dengan lugas menyebutkan,

"جب عيا اجساء اىقسآ عي ظاس، أ ل صس ع اىظاس ال ةدىو"

Kita mesti memahami al-Qur'a>n secara dhahirnya dan tidak memalingkan makna dhahir tersebut kecuali berdasarkan dalil."

91

Paradigma tekstualis-literalis seperti ini adalah paradigma yang dimiliki oleh

Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Salafiyyah.

Dalam kitabnya al-Risa>lah al-Tadmuriyyah, Ibn Taimiyyah juga menetapkan dua

tangan bagi Allah dengan berdalil QS. Al-Ma>idah:64, dan menafsirkan sifat-sifat

Allah lainnya sesuai dengan makna asli dari lafaz}}nya dengan tanpa mentakwil atau

memalingkannya kepada makna yang lain. 92

Dua sumber penafsiran (riwayat dan akal) yang dielaborasikan oleh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dituliskan dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dengan menggunakan metode tahli>li> (analisis). Ayat demi ayat beliau jelaskan

secara rinci dengan beragam perspektif disiplin ilmu, secara tekhnik penulisan,

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memulainya dengan menjelaskan nama surat

yang hendak ditafsirkan, termasuk kaitannya dengan makiyyah-madaniyyah dan

fadilah-fadilah yang terkandung dalam surat tersebut, kemudian beliau

menyebutkan ayat yang hendak ditafsirkan, dan menjelaskan kata demi kata yang

pada ayat tersebut baik makna maupun gramatikalnya berdasarkan nahu, sharaf,

dan balaghah. Hal yang menjadi pembeda antara Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan

kitab-kitab tafsi>r lainnya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan

beberapa pelajaran dan hikmah yang terkadung pada ayat yang ditafsirkan dalam

89

Sebagian orang mendefinisikan tentang takwa:

"Sucinya diri dari dosa kecil maupun besar, itulah takwa Berbuat layaknya berjalan di atas duri, sehingga sangat hati-hati terhadap apa yang dilihat Janganlah menyepelekan yang kecil, karena gunung terbuat dari kerikil-krikil kecil"

lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Baqarah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 1, 335. 90

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Ma>idah, (Jeddah: Da>r Ibn al-

Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 115. 91

Al-'Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, (Jeddah, Da>r Ibn al-

Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 26. 92

Lihat Ibn Taimiyyah, al-Risa>lah al-Tadmuriyyah, (Maktabah al-Sunnah al-

Muhammadiyyah)

Page 81: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

69

al-fawa>'id (faidah-faidah) setelah beliau menjelaskan ayat tersebut. Dalam al-fawa>'id tersebut, tidak hanya pelajaran dan hikmah dari ayat yang ditafsirkan,

namun beliau juga terkadang membahas permasalahan fikih, akidah, dan

permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan tema pada ayat tersebut

dengan menghadirkan diskursus para ulama dan kemudian mentarjihnya. Misalnya

dalam Penafsiran surah al-Fa>tih}ah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membahas

tentang apakah basmalah termasuk surah al-fatihah atau tidak, dan apakah harus

dibaca jahr ketika shalat atau tidak?"93

Dalam menafsirkan al-Qur'a>n, seorang mufassir akan terlebih dahulu

dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dan ideologi tertentu. Konsekuensinya,

produk tafsir yang dihasilkan akan diwarnai oleh latar belakang keilmuan dan

ideologi mufassirnya. Misalnya, Al-Zamakhshari>, sebagai ahli bahasa yang terlahir

di basis Mu'tazilah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa warna tersebutlah yang

dominan dalam tafsirnya, atau Fakhruddi>n al-Ra>zi> dengan ideologi ash'ariyyah dan

filsafatnya, dan para mufassir lainnya dengan dengan ideologi dan coraknya

tersendiri. Kecenderungan pada suatu ideologi madhhab tertentu lahir pada priode

pertengahan dimana pada masa itu banyak lahir dan berkembangnya madhhab-

madhhab.94

Abdul Mustaqim menyebutnya sebagai era afirmatif bernalar ideologis,

dimana al-Qur'a>n sering digunakan untuk melegitimasi madhhab, ideologi,

keilmuan, bahkan kepentingan politik tertentu.95

Kecenderungan madhhab dalam menafsirkan al-Qur'a>n penulis temukan juga

dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Sebagai seorang yang bermadhhab salaf, kecenderungan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tersebut tidak dapat dupungkiri

turut mewarnai produk penafasirannya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada

dimensi teologis dalam tafsirnya, konsep tauhid uluhiyyah, rububiyyah, dan asma> wa al-s}ifa>t yang menjadi konsep ketauhidan kelompok salafiyyah, serta

menghindari pentakwilan dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfis, dapat

dilihat dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sekaligus menjadi indikasi

akan kecenderungannya beliau terhadap madhhab salaf. Adis Duderija

menyebutkan bahwa Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merupakan salah satu

ulama yang cukup berpengaruh dalam penyebaran madhhab salaf, nama

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n disejajarkan oleh Adis bersama para ulama

salafi lainnya, seperti N. al-Ba>ni>, A. Bin Ba>z, F. al-Athari>, R. al-Madkhali>, A. Ibn

Muh}ammad al-Dahlawi> al-Madani>. Adis Duderija menyebutnya sebagai kempok

Neo-Traditional Salafism (NTS) atau Neo-Ahl-H{adi>thism.96

93

Lihat, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Fa>tih}ah, (Jeddah, Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 7-9.

94 Mawardi, "Subjektivitas dalam Penafsiran al-Qur'an: Fenomena Tafsir Bercorak

Sektarian", At-Tibyan, Vol. 3, No. 1, (Juni, 2018), 130. 95

Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,

2010), 45-46. 96

Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'a>n-Sunnah Hermeneutic and The

Contruction of A Normative Muslimah Image", Hawwa 5, 2-3 (Leiden, 2007), 290.

Page 82: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

70

Dimensi lain yang terdapat pada Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, selain dimensi

teologis yang disebutkan di atas, adalah dimensi fikih. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n adalah seorang sarjana di bidang shariah islamiyyah, latar belakang

keilmuan ini tentu sangat memengaruhi terhadap warna tafsirnya, bahkan dalam

kitab lain secara khusus Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menulis kitab tafsir

yang khusus berkaitan dengan permasalahan hukum fikih, kitab tersebut adalah

Ah}ka>m min al-Qur'a>n al-Kari>m. Berdasarkan afiliasi madhhab, Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah seorang yang bermadhhab H{anbali>, sebagaimana

disebutkan dalam sketsa biografisnya, bahwa kecenderungan madhhab ini sangat

kuat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang bermadhhab H{anbali. Kitab Za>d al-Mustaqni‘ fi> Fiqhi Madhhab al-Ima>m Ah}mad adalah salah satu rujukan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n tentang masalah fikih. Namun demikian, terdapat 89 permasalahan fikih

yang berbeda antara Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dan madhhab imam

Ah}mad.97

Misalnya, Dalam mentafsirkan surah al-Nisa> ayat 22: ( ا نخ نذا ل د ا قد ظيف اىعاء ال menurut pendapat yang mashhur di kalangan madhhab ,(آةاإم

H{anbali>, jika seorang bapak berzina dengan seorang perempuan, maka perempuan

tersebut haram dinikahi oleh anaknya. Berbeda dengan pendapat Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang memperbolehkan seorang anak menikahi perempuan yang

pernah berzina dengan bapaknya, karena zina bukan lah nikah, dan tidak bisa

diqiyaskan.98

Berdasarkan pemaparan di atas, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m karya Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, jika dilihat dari sumber penafsirannya maka ia adalah tafsi>r

yang memadukan riwayat dan ijtihad (bi al-ma'thu>r dan bi al-ra'yi>). Sedangkan

metode yang digunakan adalah metode tah}li>li>, dimana Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n mentafsirkan ayat demi ayat berdasarkan susunan mushafi> dengan

beragam pendekatan keilmuan. Adapun corak (al-lawn) dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, penulis menemukan tiga corak dominan pada tafsir tersebut, yaitu corak

lughawi> (linguistik), corak i‘tiqa>di> (teologis), dan corak fiqhi> (fikih). Paradigma

yang digunakan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam tafsirnya adalah

tekstualis-literalis dengan banyak merujuk kepada konsep penafsiran Ibn

Taimiyyah, atau paradigma struktural dekontekstual yang bersifat struktural-

deduktif dalam memposisikan teks, akal, dan realitas sebagaimana paradigma tafsir

klasik-tradisional pada umumnya.

C. Ekslusivisme Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

1. Truth Claim dan Ortodoksi Tafsir Tradisional

Klaim kebenaran (truth claim) agama sangat erat kaitannya dengan

ortodoksi suatu ajaran agama. Ajaran yang resmi dan telah disadari secara kolektif

97

Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 76.

98 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>',

(Jeddah, Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 170.

Page 83: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

71

oleh mayoritas pemeluknya, maka ajaran itulah yang akan dipegang erat dan

diyakini secara ekslusif akan kebenarannya. Dalam dunia Islam, al-Qur'a>n dan al-

Sunnah merupakan dua korpus peninggalan Nabi Muḥammad yang menjadi

landasan sekaligus legalitas ortodoksi ajaran Islam.99

Setiap pemahaman dan

praktik keagamaan yang tidak berlandaskan atau menyimpang dari keduanya; al-

Qur'a>n dan al-Sunnah, akan disebut sebagai ajaran Islam yang heterodoks (tidak

resmi). Meskipun hal ini telah disadari oleh seluruh masyarakat Islam, akan tetapi

dalam upaya melegitimasi ajaran mana yang benar (ortodok/resmi), adalah sesuatu

yang sangat rumit dan kompleks.

Agama memiliki sifat operasional-fungsional bagi para pemeluknya. Agama

berfungsi untuk menentukan arah dah tujuan hidup serta mengatur cara

berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, baik dalam aspek ekonomi, politik

dan aspek-aspek sosial lainnya.100

Tujuan hidup dan aturan sosial ini terkumpul

pada ajaran otoritatif agama yang diajarkan oleh para pemimpin kharismatik

kepada pemeluknya, kemudian diyakini sebagai suatu ajaran yang benar, yang

dapat menyelamatkan kehidupan pemeluknya dan terbebas dari murka tuhan.

Fungsi agama ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki keyakinan akan

kebenaran agamanya. Charles Kimball menganggap bahwa keyakinan terhadap

kebenaran suatu agama merupakan pondasi dari struktur agama tersebut dan

berimplikasi terhadap kesetiaan seseorang terhadap agamanya.101

Keyakinan

terhadap kebenaran suatu agama dikenal juga dengan istilah truth claim yang

sering dikonotasikan negatif sebagai penyebab ekstremisme dan kesenjangan

sosial, sehingga truth claim dianggap sebagai suatu tantangan teologis terbesar

bagi umat beragama terkait interaksi antar umat beragama.102

Menurut Charles Kimball, klaim kebenaran agama yang autentik tidak

begitu kaku dan eksklusif seperti yang diperagakan oleh para ekstrimis.103

Meskipun Kimball menentang keras keberagamaan dengan "klaim kebenaran

mutlak", yaitu klaim kebenaran terhadap suatu interpretasi tententu yang menjadi

proposisi-proposisi dan diperlakukan sebagai doktrin yang kaku. Kimball juga

menyebutnya sebagai klaim kebenaran agama yang diselewengkan tanpa ada

kesadaran dari manusia tentang keterbatasannya dalam mencari dan

99

Hadith Nabi yang menjelaskan bahwasanya Rasulalah telah meninggalkan dua

perkara; al-Qur'a>n dan al-Sunnah, jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian

tidak akan sesat selamanya. Ma>lik ibn Anas, Muwat}t}a' Ma>lik, (Mesir: Da>r Ihya al-Tura>th

al-'Arabi>, t.th.), Jilid 2, 899, hadith no. 1594; al-Ha>kim, al-Mustadrak 'ala> al-S{ah}i>h}ain

(Beirut, Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990) jilid 1, 172, hadith no. 319. 100

Suhermanto Ja'far, "Absolutisme Agama, Ideologi dan Upaya Titik Temu", Al-Afkar, Edisi III (Juli-Desember 2000), 99.

101 Lihat Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala

Agama Jadi Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 84-87. 102

Ahmad Tajrid, "Kebenaran Hegemonik Agama, Walisongo, Vol 20, No 1 (Mei

2012); 194. 103

Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi

Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 85.

Page 84: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

72

mengartikulasikan kebenaran agama.104

Penulis memandang bahwa Kimball tidak

mengingkari adanya klaim kebenaran pada agama oleh pemeluknya, namun

Kimball mempermasalahkan bagaimana manusia memperlakukan klaim kebenaran

tersebut, apakah kebenaran agama dipandang sebagai suatu nilai tentang

kedamaian ataukah memperlakukannya secara kaku seperti para ekstremis.

Kegundahan yang diungkapkan Kimball terkait permasalah klaim kebenaran

agama dikemukakan juga oleh Suhermanto Ja'far, dalam tulisannya yang

membahas absolutisme agama dan kaitannya dengan konflik berkepanjangan yang

berlangsung secara masif melibatkan antar pemeluk agama. Ja'far

mempertanyakan, bukankah agama senantiasa mengajarkan kebaikan, atau adakah

suatu agama yang memiliki ajaran double standard? Kemudian Ja‘far menyebutkan

bahwa konflik-konflik atas nama agama biasanya disebabkan oleh persoalan

politik, sosial, ekonomi, dan kesenjangan pendidikan masyarakatnya.105

Berkaitan dengan istilah ortodoksi-heterodoksi, Sheila Mc. Donough

mendefinisikan istilah ortodoksi sebagai sebuah ajaran yang benar, sedangkan

heterodoksi adalah ajaran yang seperti benar padahal tidak benar.106

Atau dapat

dikatakan juga bahwa ortodoksi adalah ajaran resmi sedangkan heterodoksi adalah

ajaran yang tidak resmi. Istilah ortodoksi-heterodoksi dimiliki oleh seluruh tradisi

ajaran agama, meskipun awalnya istilah ini digunakan dalam tradisi agama kristen.

Dalam Islam, pada konteks teologi dan fikih, misalnya, terdapat istilah sunnah dan

bid'ah, dalam konteks tasawuf terdapat istilah mu‘tabarah dan ghayr mu‘tabarah, sedangkan dalam konteks fatwa terdapat istilah mu‘tamad dan ghyr mu‘tamad.

107

Dalam dunia tafsir, ortodoksi dan heterodoksi dapat ditemukan dalam al-Tafsīr wa al-Mufassiru>n karya Muḥammad H{usain al-Dhahabi> yang diistilahkan dengan al-tafsi>r al-s}ah}i>h} dan al-tafsi>r al-munh}arifah.

108. al-Zarqa>ni> dalam kitabnya Mana>hil

104

Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi

Bencana", 84-85. 105

Lihat Suhermanto Ja'far, "Absolutisme Agama, Ideologi dan Upaya Titik

Temu", Al-Afkar, Edisi III (Juli-Desember 2000), 99-110.

106

Lihat, Sheila Mc. Donough "Ortodoxy and Heterodoxy" dalam Mircea Eliade

(ed.), The Enclyclopedia of Religion (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1993),

Vol.2, 124-129. Istilah ortodoksi berasal dari bahasa Yunani "orth" yang maknanya

"benar" dan "doxa" yang bermakna "ajaran". Dengan demikian, istilah ortodoksi memiliki

makna "ajaran yang benar". Adapun istilah heterodoksi berasal dari kata "hetero" yang

maknanya "mirip" dan "doxa" maknanya "ajaran". Maka, makna heterodoksi adalah "ajaran

yang mirip namun tidak benar". Lihat William L. Reese, Dictionary of Philosopy and Religion, Eastern and Western Thought (New York: Humanity Books, 1996), 540.

107 Lihat Oman Faturrahman, "Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham

Keagamaan di Melayu dan Jawa (Sebuah Telaah Sumber)," Analisis II. No 2 (2011). 108

Lihat, Muhammad H{usain al-Dhahabi>, al-Ittijaha>t al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m Dawa>fi‘uha> wa Da>fiha> (Kairo: Da>r al-I'tis}a>m, 1978). Pada Bab I dan II.

Page 85: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

73

al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, mengistilahkan pemahman-pemahaman yang

meniyimpang (heterodoksi) seputar al-Qur'a>n dengan istilah al-shubuha>t.109

Arkoun mendefinisikan ortodoksi sebagai sebuah ajaran yang telah menjadi

kesadaran kolektif kelompok mayoritas dan heterodoksi sebagai kesadaran ajaran

lain yang dipegang dan dikembangkan oleh kelompok minoritas.110

Senada dengan

Arkoun, darmawan berpendapat bahwa ortodoksi dan heterodoksi ajaran Islam

sangat tergantung pada pemegang otoritas keagamaan yang digunakan sebagai

instrumen untuk mengontrol perubahan dan perkembangan, sehingga ortodoksi-

heterodoksi bersifat relatif-dinamis.111

Relativitas ortodoksi-heterodoksi juga

disebabkan oleh subjektifitas penafsir teks keagamaan. Hal ini dikemukakan oleh

Ulya, bahwa pra-pemahaman dan kepentingan personal turut mempengaruhi

relativitas tersebut. Kemudian Ulya meminjam istilah Heidegger; vorhabe, vorsicht, vorgriff112

dan dalam istilah Gadamer disebut dengan presupposition113. Adapun Foucault mengistilahkannya dengan episteme, yaitu aturan-aturan yang

diakui dan diimplementasikan oleh masyarakat yang meliputi; larangan,

pembagian dan penolakan dan oposisi antara benar dan salah. Menurut Foucault,

episteme tersebut bagaikan kacamata yang digunakan masyarakat untuk menilai

realitas. Sehingga, apabila episteme tersebut berubah, maka berubah pula hasil

penilaiaan terhadap realitas tersebut.114

Dengan demikian, pra-pemahaman,

kepentingan, episteme yang berbeda-beda akan menjadikan wacana keagamaan

sebagai produk penafsiran yang beragam meskipun teks yang dibaca adalah

sama115

.

Lain halnya dengan kalangan tekstualis116

, kelompok ini berasumsi bahwa

makna al-Qur'a>n terdapat pada lahiriah teks yang harus difahami secara eksplisit

109

Lihat Muhammad ‘Abdul al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-'Arabi>, 1995).

110 Lihat, Moh}ammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan

dan jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994), 246; Moḥammed Arkoun, "Pemikiran tentang Wahyu

dari Ahl Kitab sampai Masyarakat Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, Vol 4 (Jakarta: LSAF,

1993), 37. 111

Dadang Darmawan, "Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir", Refleksi, Vol. 13, No. 2

(April, 2012), 182-183. 112

Vorhabe: latar belakang pendidikan, agama. Vorsicht: Sudut pandang tertentu

tentnang teks. Vorgriff : konsep-konsep yang ada pada nalar pembaca-penafsir. Lihat E.

Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 83, 107. 113

Lihat Hans George Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press,

1995), 151. 114

Michael Foucoult,Archeology of Knowledge and The Discourse on Language (New York: Pantheon Books, 1971), 149-150. Dalam Dadang Darmawan, "Ortodoksi dan

Heterodoksi Tafsir", Refleksi, Vol. 13, No. 2 (April, 2012), 181. 115

Ulya, "Ortodoksi-Heterodoksi Wacana Keagamaan Dalam Islam", Al-Tahrir, Vol. 17, No. 1, (Mei 2017), 27-28.

116 Menurut Abdullah Saeed, kelompok tekstualis adalah mereka yang sangat

bergantung pada otoritas teks dan tradisi Islam generasi awal (Nabi, sahabat, dan tabi'in)

Page 86: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

74

pada setiap ayat supaya tidak tejadi penafsiran yang heterodoks117

. Dengan

demikian, tafsir merupakan aktifitas pemaknaan dari lafaz} ke makna yang berjalan

secara linear,118

sehingga teks tidak boleh difahami melalui realitas, akan tetapi

sebaliknya, realitas lah yang harus difahami berdasarkan teks,119

atau dengan kata

lain, fakta perbedaan konteks sosio-historis tidak lagi dipedulikan dalam proses

tafsir dan penafsiran generasi awal (salaf) dianggap sebagai penafsiran yang paling

otoritatif yang harus diikuti sepanjang masa. Hal ini diperkuat oleh asumsi Ibn

Taimiyyah, bahwa Nabi telah menjelaskan seluruh makna dan lafaz} al-Qur'a>n

kepada para sahabat sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Nah}l : 44.120

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, ketika menjelaskan pendapat Ibn Taimiyyah

menambahakan bahwa Nabi menjelaskan seluruh makna dan lafaz} al-Qur'an kepada

sahabat tanpa terkecuali, termasuk pada ayat-ayat antropomorfis yang berkaitan

dengan nama-nama dan sifat Allah.121

Dari asumsi tersebut lahir asumsi

selanjutnya bahwa ortodoksi tafsir ada pada tradisi tafsir tradisional (generasi

salaf).

Ortodoksi tafsir tradisional lahir dari paradigma bahwa penafsiran yang

paling otoritatif dan valid adalah tafsi>r al-Qur'a>n bi al-Qur'a>n, kemudian tafsi>r al-Qur'a>n bi al-sunnah, lalu tafsi>r al-Qur'a>n bi qawl al-s}ah}a>bah, dan tafsi>r al-Qur'a>n bi qawl al-tabi‘i>n. hal ini dikarenakan al-Qur'a>n adalah kala>mullah dan hanya Allah

lah yang paling tahu makna akan ucapannya. Kemudian Nabi adalah sosok

penerima wahyu, sehingga ia merupakan manusia yang paling tahu akan makna al-

Qur'a>n122

. Adapun sahabat dan tabi'in adalah dua generasi yang paling dekat

dalam proses interpretasi al-Qur'an. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'ān Towards a Contemporary Aproach (London and New York: Routledge, 2006): 50.

117 U. Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009), 39. 118

Lihat, ‘Abid al-Ja>biri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-

Wahdah al-‘Arabiyya, 2002), 64. 119

Adis Duderija, "Islamic Groups and Their World-Views and Identities: Neo-

Traditional Salafis and Progressive Muslims," Arab Law Quarterly, Vol. 21, No. 4 (2007),

351. 120

Ibn 'Uthaimi>n, Sharh Muqaddimah fi Us}u>l al-Tafsi>r li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taymiyyah (Kairo: Da>r Ibn al-Jauzi>, 2005), 91.

121 Muḥammad bin Ṣa>liḥ al-‘Uthaimi>n menolak pendapat Ahl al-Tafwi>d yang

berasumsi bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh makna al-Qur'an kepada sahabat.

Menurut Muḥammad bin Ṣāliḥ al-‘Uthaimi>n, Ada dua kemungkinan jika nabi tidak

menjelaskan seluruh makna dan lafadz al-Qur'ān, Nabi tidak mengetahui maknanya atau

Nabi menyembunyikan penjelasannya (kitma>n), dan hal ini mustahil terjadi pada Nabi.

Lihat Ibn ‘Uthaimin, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r al-Syaikh al-Isla>m Ibn Taymiyyah

(Riyaḍ: Da>r al-Wat}an, tth.), 21.

122 Aktifitas tafsir telah berlangsung semenjak diturunkannya al-Qur'an dan Nabi

adalah orang pertama yang memiliki otoritas untuk menjelaskan makna al-Qur'ān. Pada

saat itu Nabi menafsirkan ayat-ayat yang masih global (mujmal), umum (‘a>m), dan yang

memiliki makna tidak terbatas (mut}laq). Lihat Muhammad Ḥusain al-Dhahabī, Buh}u>th fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2005). 390.

Page 87: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

75

dengan Nabi.123

Selain itu, secara normatif, akar ortodoksi tafsir tradisional dapat

dilacak dari hadith-hadith yang mengecam penafsiran berdasarkan opini pribadi

(tafsi>r bi al-ra'y). hadith-hadith ini sangat berpengaruh besar terhadap klaim

ortodoksi tafsir, hampir satu abad lamanya penafsiran berdasarkan opini pribadi

sangat dihindari hingga muncul kembali di masa ‘Abbasiyyah.124

T{a>hir Mah}mu>d

Muh}ammad Ya'qu>b dalam bukunya Asba>b al-Khat}a> fi> al-Tafsi>r (sebab-sebab

kesalahan dalam tafsir) dengan tegas menyebutkan bahwa penafsiran dengan al-

Qur'a>n dan riwayat s}ah}i>h} merupakan penafsiran yang paling baik dan paling

selamat dari kesalahan, dengan demikian tidak boleh akal melampaui nash (Qur'a>n

dan riwayat s}ah}i>h}) dalam menafsirkan al-Qur'a>n.125

Karakteristik tafsir klasik-tradisional dilihat dari sumbernya, ia merupakan

penafsiran yang bersumber kepada; al-Qur'a>n, al-sunnah, riwayat para sahabat,

riwayat ta>bi'i>n, riwayat ta>bi' al-ta>bi'i>n, israiliyya>t, ijtihad mufassir, dan bahasa arab

pedalaman (badui).126

Pada priode ini, Tradisi riwayat (bil al-ma'thu>r) memiliki

porsi yang sangat besar dibandingkan tradisi ijtihad-rasio dalam proses interpretasi

al-Qur'a>n. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya tafsir priode klasik-tradisional,

seperti tafsir karya al-T{abari>, Jami>‘ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n (310 H), dan Ibn

Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m (774 H). Selain itu, proses kodifikasi pada era

pasca ta>bi‘i>n yang menghimpun dan memisahkan antara hadi>th-hadi>th Nabi dan

tafsir-tafsir yang diriwayatkan dari Nabi, para sahabat dan ta>bi‘i>n, dilakukan oleh

para sarjana hadi>th, di antaranya; Yazi>d ibn H{a>ru>n al-Sulma> (117 H), Shu'bah ibn

al-H{ajjaj (160 H), dan Sufya>n ibn 'Uyaynah (198 H).127

Hal ini sangat

memungkinkan jika dominasi tradisi metode periwayatan (bil al-Mathu>r) sangat

kuat pada masa itu.

123

Lihat Manna>‘ al-Qaṭṭa>n, Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al-Qur'a>n (Riyaḍ: Da>r al-Rashi>d,

t.th.). 350. 124

Hadith-hadith anti tafsir bi al-ra'yi> dapat dilihat dalam Sunan al-Tirmidhi>, karya

imam al-Tirmidhi>, di antaranya hadith no. 2876, vol. 5, h. 99. dan lihat juga tentang

kemunculan tasir bi al-ra'yi> dalam Muh}ammad H{usain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.

125 T{a>hir Mah}mu>d Muh}ammad Ya‘qu>b, Asba>b al-Khat}a> fi> al-Tafsi>r (Riyad}: Da>r Ibn

al-Jauzi>, 1425 H), 91. 126

Salam dan Fathi membagi kategorisasi priodik tafsir ke dalam empat priode;

klasik (III-VIII H), pertengahan (IX-XII H), modern (XIII-XIV H), dan kontemporer (XIV

H-sekarang). Lihat penelitian kolektif M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad Fathi,

Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur'an pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010, (Fakultas Ushuluddin UIN SYarif Hidayatullah

Jakarta, 2011), 16-24 127

Al-Dhahabi>, dalam penelitian kolektif M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad

Fathi, Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur'an pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010, (Fakultas Ushuluddin UIN SYarif

Hidayatullah Jakarta, 2011). 17.

Page 88: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

76

Melalui tradisi riwayat, romantisme akan masalalu ortodoksi tafsir

tradisional berlanjut hingga dewasa ini. Termasuk eksklusivisme Islam yang

dianggap sebagai ortodoksi penafsiran tradisional difahami dan dilanjutkan oleh

generasi selanjutnya melalui interpretasi literal-dekontekstual terhadap teks

keagamaan128

. Hal ini dapat dilihat dari ortodoksi eksklusivisme Islam sebagai

produk tafsir banyak ditemukan di karya-karya tafsir klasik-tradisional, misalnya;

Ibn Jari>r al-T{abari> (839-923 M), Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (1149-1209 M), Al-

Zamakhshari> (1074/ 1075 –1143/1144 M) dan Ibn Kathi>r (1300-1373 M),

memaknai term isla>m pada (QS. Ali 'Imra>n: 19), sebagai satu-satunya agama yang

benar.129

Misalnya, Dalam menafsirkan Q.S Ali 'Imra>n: 19, al-T{abari> mengambil

beberapa riwayat, salah satunya adalah riwayat yang bersumber dari Qata>dah yang

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‚inna al-di>n ‘inda allah al-isla>m‛ adalah

Islam yang merupakan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan meyakini

apa yang datang dan terjadi padanya adalah atas kehendak Allah, serta Islam

merupakan agama Allah yang syari’atkan kepadanya dengan mengutus Rasul-rasul,

serta Islam ditunjukkan oleh wali-walinya dan tidak diterima agama lain selainnya

serta tidak bisa membawa keselamatan selain dengannya.130

Setiap agama memiliki standar kebenaran masing-masing. Menurut Ahmad

Tajrid, Antara "yang benar" dan "kebenaran" terdapat perbedaan makna yang

mendasar, "yang benar" bersifat absolut-objektif sedangkan "kebenaran" bersifat

relatif-subjektif.131

Untuk menentukan mana "yang benar" adalah permasalahan

yang rumit dan kompleks, adapun "kebenaran" sangat ditentukan oleh faktor-

faktor yang mengelilinginya. Kecenderungan dan loyalitas kepada suatu kelompok,

penghayatan mendalam terhadap ajaran-ajarannya, termasuk paradigma penafsiran

teks keagamaan, berperan banyak dalam menentukan standar kebenaran tersebut.

Menurut amin 'Abdullah, loyalitas terhadap kelompok, penghayatan mendalam

pada suatu ajaran, dan pengejawantahannya secara total dalam sikap keberagamaan

memberikan andil yang sangat besar untuk lahirnya truth claim, atau dalam istilah

Ian G. Barbour tiga unsur di atas merupakan faktor dominan dalam pembentukan

sikap fanatis-dogmatis.132

Dalam dunia Islam, dua kalimat syahadat yang diserukan Nabi Muh}ammad

dari masa awal Islam kemudian dilanjutkan hingga sekarang oleh umatnya

128

Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'ān-Sunnah Hermeneutic and The

Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden,

2007) : 291. 129

Alwi Shihab dalam Marjan Fadil, Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta:

Sekolah Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2017). 3. 130

Muḥammad Ibn Jari>r al-T{abari>, Jami’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (t.tp:

Muassasah al-Risalah, 2000), juz 6, 275 131

Aḥmad Tajrid, "Kebenaran Hegemonik Agama, Walisongo, Vol 20, No 1 (Mei

2012); 196. 132

Said Masykur, "Pluralisme Dalam Konteks Studi Agama-Agama", Toleransi, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016), 62-63.

Page 89: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

77

mengandung klaim kebenaran teologis bahwa hanya ada satu tuhan yang wajib

disembah, kemudian tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui banyak nabi

dan rasul, dan Muh}ammad adalah utusan terakhir atau "penutup"nya.133

Klaim

kebenaran teologis ini dirumuskan oleh para ulama dan dikenal dengan istilah

tauhid. Dalam konsep keberagamaan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, aspek

tauhid merupakan Sentral pemikiran beliau134

yang dipandang sebagai pondasi

sekaligus syarat utama dalam beragama Islam. Dalam hal ini, dua kalimat syahadat

difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sebagai pintu masuk pertama

dalam beragama Islam,135

dan merupakan kontruksi utuh tauhid dalam Islam.136

Selain itu, dua kalimat syahadat juga merupakan landasan argumentasi Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam mengklaim bahwa hanya Islam agama yang benar,

karena hanya Islam yang menyembah Allah dan meyakini Muh}ammad sebagai

utusan-Nya. Konsekuensi logis dari pemahaman ini, semua agama yang tidak

meyakini dan menyembah Allah sebagai Tuhan serta tidak meyakini dan mengikuti

Muh}ammad sebagai rasul-Nya maka agama tersebut adalah salah.137

Paradigma

tauhid sentris juga dimiliki oleh Sayyid Qut}b, dalam memahami dua kalimat

syahadat, Sayyid Qut}b juga berkesimpulan bahwa agama yang benar adalah Islam

yang senantiasa konsisten dengan ketundukan kepada Allah.138

Secara beragam, klaim kebenaran agama dibentuk oleh ajaran otoritatif dari

pemimpin kharismatik atau pemuka agama dan interpretasi terhadap teks suci

agama.139

Kriteria "kebenaran" yang dipegang erat secara ekslusif oleh Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n dibangun oleh beberapa faktor yang melatar belakanginya,

faktor tersebut adalah afiliasi kelompok, Penafsiran tekstual, dan misi pemurnian

agama. Tiga faktor tersebut kemudian diejawantahkan oleh beliau dalam sikap

keberagamaan yang fundamental, yakni kembali kepada dasar-dasar agama (al-

Qur'a>n dan Sunnah) secara total untuk memurnikannya kepada ajaran agama yang

133

Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi

Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 86-87. 134

Tema-tema Tauhid sangat banyak dibahas dalam buku-buku karya Muḥammad

bin Ṣāliḥ al-'Uthaimīn, terutama konsep tauhid uluhiyyah, rububiyyah, dan asmā wa sifāt selalu diulang-ulang dan ditegaskan sebagai konsep ketauhidan Islam yang diangga aling

benar. 135

Fahd bin Na>s}r bin Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-

Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riya>d}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), jil. 1, hal. 79. 136

Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, jil. 1, 82.

137 Lihat Penafsiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pada (QS. Luqma>n: 30),

(QS. Al-Najm: 19-23, (QS. Yusuf: 40), (QS. Al-'Araf: 58, (QS. Al-Furqa>n: 1), beliau

menjelaskan sekaligus menegaskan tentang makna dua kalimat syahadat dalam Islam. 138

Adib Husaini, "Kontradiksi dalam Konsep politik Islam Eksklusif Sayyid Qut}b",

Episteme, Vol. 11, No. 1, (Juni, 2016), 10. 139

Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi

Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 84.

Page 90: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

78

autentik, dengan romantisme kepada generasi awal Islam (salaf al-s}a>lih}).140

Kemudian, semua faham yang menyimpang dengan salaf al-s}a>lih} akan dianggap

sebagai faham yang keliru.141

Namun demikian, cita-cita suci ini nampaknya cukup

rumit, kerumitan tersebut terletak pada cara interpretasi teks suci agama sebagai

jalan atau cara memurnikan dan mengembalikan Islam kepada sumber autentiknya.

Jika melihat pemaparan di atas, ortodoksi tafsir tradisional yang digunakan oleh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n untuk melegitimasi sebuah penafsiran memiliki

implikasi yang cukup signifikan dalam pembentukan truth claim terhadap cara

pandang Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pada agama sekaligus menjadi salah

satu faktor yang membangun kontruksi keberagamaannya yang cenderung

eksklusif.

Kebenaran adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan, pandangan

manusia terhadap kebenaran merupakan paradigma yang dinamis-relasional.142

setiap pemeluk agama berhak untuk menegaskan kebenaran mendasar akan

agamanya, bahkan klaim kebenaran agama sepertinya mustahil untuk dihilangkan,

mengingat dalam hidup beragama dibutuhkan keyakinan yang mendalam akan

kebenaran yang dianutnya supaya terjalin ikatan kuat antara pemeluk dan

agamanya. Namun demikian, kedewasaan dalam sikap beragama merupakan aspek

penting dalam kehidupan yang bernuansa pluralis. Charles Kimball menyarankan

supaya penegasan kebenaran masing-masing umat beragama hendaklah tidak

dipertajam dengan pernyataan yang statis, mutlak dan proporsional, sehingga

agama dapat terjauh dari segala bentuk penyimpangan.143

2. Satu Jalan Keselamatan: Konsep Soteriologis dalam Tafsi>r Al-Qur'a>n Al-Kari>m

Setiap agama memiliki konsep keselamatan (salvation concept) sebagai

jaminan teologis bagi para pemeluknya. Secara konseptual, masing-masing agama

memiliki konsep keselamatan yang beragam dan berbeda, akan tetapi terdapat

kesamaan yang mengarah kepada satu tujuan, bahwa semuanya bertujuan kepada

kemaslahatan dunia dan akhirat.144

Wacana soteriologis (konsep keberagamaan)

menjadi salah satu tema dalam diskursus keagamaan di kalangan para teolog,

perdebatan tentang jalan mana yang benar dan selamat, didaku oleh masing-masing

pemeluk agama menggunakan nalar eksklusifnya, sehingga tidak herang jika dalam

140

Kembali kepada al-Qur'a>n dan Sunnah seperti konsep keberagamaan yang

dipraktekkan oleh generasi awal Islam (salaf al-s}a>li>h}) merupakan jargon yang senantiasa

digembar-gemborkan oleh kelompok Salafiyyah. Lihat, Aden Rosadi, "Gerakan Salaf,"

Toleransi, Vol.7, No.2 (Juli-Desember 2015), 194. 141

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r Shaikh Ibn Taimiyyah, (Riya>d}: Da>r al-Wat}an, 2010), 140; Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah: al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 27.

142 Lihat Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala

Agama Jadi Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 119-124. 143

Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi

Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 124. 144

Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Cet. 2, (Depok: KataKita,

2009), 240.

Page 91: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

79

pandangan eksklusivisme agama, kelompok lain di luar komunitasnya akan

dianggap sebagai orang-orang yang sesat dan tidak akan memperoleh keselamatan.

Kelompok eksklusifis ini dikritik oleh kalarang pluralis, bahwa keselamatan

manusia tidak bisa diklaim oleh suatu kelompok dan tidak boleh dimonopoli oleh

agama tertentu. Kalangan pluralis berkeyakinan bahwa keselamatan yang

ditawarkan Tuhan bersifat universal dan berlaku untuk semua manusia, tidak

berdasarkan pada suku, golongan, atau agama tertentu.

Konsep keselamatan (salvation concept) dikenal juga dengan istilah

"soteriologi", aspek soteriologis ini merupakan instrumen penting untuk dapat

mengetahui kecenderungan seseorang terhadap sikap keberagamaannya (ekslusif-

inklusif-pluralis). Secara kebahasaan, istilah soteriologi berasal dari bahasa

Yunani, yaitu soter yang memiliki makna penyelamat, penolong, pelindung, dan

pembebas (savior, rescuer, preserver,dan deliverer). Atau dari kata soteria yang

bermakna keselamatan atau kebebasan, mencakup aspek rohani maupun jasmani.

Istilah soteriologi juga dapat dikaitkan dengan kata kerja sodzo yang memiliki

makna tindakan penyelamatan (saving), memlihara (keeping), mendatangkan

kebaikan (befitting), dan kesehatan manusia (preserving). Kemudian istilah

tersebut diadopsi oleh para teolog untuk mendefinisikan konsep keselamatan

dalam agama.145

Di dalam al-Qur'a>n, terma keselamatan dibahasakan dan dideskripsikan

secara bervariasi. Muzammil H. Siddiqi menyebutkan beberapa contoh terma

keselamatan dalam al-Qur'a>n, yaitu waqa> (to save and protect),146 yang memiliki

makna menyelamatkan dan melindungi dari segala bentuk keburukan, kejahatan,

murka tuhan dan hal-hal negatif lainnya di kehiduan ini maupun di akhirat kelak.

Kemudian dikenal istilah taqwa, suatu konsep untuk menyelamatkan diri di dunia

maupun di akhirat. Selanjutkan terdapat kata najja>147 (to save and deliver), yang

sering diterjemahkan sebagai "keselamatan" atau "pembebasan". Allah

menyelamatkan para nabi-Nya dan para pengikutnya dari malapetaka yang

tertunda yang melanda orang-orang yang tidak percaya,148

Tuhan juga akan

menyelamatkan orang-orang percaya di akhirat dari hukuman neraka.149

Dua istilah

lain dalam al-Qur'a>n yang bermakna keselamatan adalah fala>h} dan fawz (salvation, succes, felicity, victory) yang sering diterjemahkan sebagai "keselamatan" dalam

arti "sukses", "kegembiraan" atau "kemenangan". Kata fala>h} muncul lebih dari

empat puluh kali dalam berbagai bentuknya di dalam al-Qur'a>n. Kadang itu berarti

kebahagiaan abadi dan kesuksesan di akhirat,150

dan Kata fawz dalam berbagai

bentuknya juga muncul sekitar dua puluh delapan kali dengan makna "keberhasilan

145

Erman S. Saragih, "Soteriologi Hyergrace dalam Persektif Teologi Martin Luther

dan Al-Kitab", Cultivation, Vol. 1, No. 2, (Desember 2017), 3-5. 146

Lihat, (QS. 2: 201; 3: 16; 3: 191; 40: 7). 147

Lihat, (QS. 40: 41). 148

Lihat, (QS. 11: 8; 26:94; 41:18). 149

Lihat, (QS. 19:72; 36:81; 61:10; 10: 103). 150

Lihat, (QS. 7: 8; 23: 102; 9:88).

Page 92: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

80

dan pencapaian".151

Al-Qur'a>n menekankan dua aspek keselamatan,yaitu

keselamatan dari kejahatan, bahaya, kesulitan dan akhirnya adalah Neraka di

akhirat, dan keselamatan untuk kebaikan, kebajikan, kesejahteraan, kebahagiaan,

kesuksesan yang akhirnya adalah kebahagiaan ilahi yang abadi di Surga.152

Jalan keselamatan difahami oleh sebagian kelompok beragama secara

eksklusif, bahwa hanya melalui jalan agamanya lah keselamatan itu dapat tercapai

sedangkan agama lain adalah sesat. Contohnya pada pemahaman Gereja Katolik

Roma pra-Vatikan II dengan konsepnya extra ecclessiam nulla sallus, bahwa tidak

ada keselamatan di luar Gereja Katolik.153

Doktrin tersebut diperkuat oleh teks

bibel yang menyebutkan,

‚Akulah jalan dan kebenaran dan hidup‛ (Yohannes14: 6),

‚Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul 4, 12).‛

154

David Eko Setiawan menjelaskan tentang konsep soteriologi Kristen bahwa

sumber keselamatan adalah dari Allah, pada dasarnya manusia tidak bisa

menyelamatkan dirinya sendiri, kemudian melalui karya penebusan Yesus Kristus

atas dosa manusia maka manusia akan diselamatkan jika memiliki iman. Kematian

Kristus dipandang sebagai substitusionari, bahwa Kristus mati karena orang

berdosa dan untuk menebus dosa mereka, hal ini dinilai sebagai karya

penyelamatan sebagai wujud anugerah Allah kepada manusia. Ketika karya

tersebut ditolak oleh manusia, maka status manusia tersebut akan tetap sebagai

pendosa yang akan membawa kepada murka Allah dan penghukuman yang

mengerikan di neraka.155

Pandangan eksklusif tentang soteriologi Kristen dapat ditemukan dalam

pandangan para teolog evangelis. Harold Coward menyebutkan bahwa dengan

menggunakan pendekatan-pendekatan kristosentris terhadap agama-agama lain,

kelompok ini meyakini bahwa Yesus Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik

dan sering menganggap agama-agama lain dengan kegelapan rohani dan para

pengikutnya dengan kutukan. Di antara para teolog evangelis yang disebutkan oleh

Coward adalah John Cobb. Cobb memandang Kristus sebagai penjelmaan normatif

151

Lihat, (QS. 33:71). 152

Muzammil H. Siddiqi, "Salvation in Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol.

32, No. 1 (1993), 41-43. 153

Abu Bakar, MS, "Argumen al-Qur'an Tentang Eksklusivisme, Inklusivisme dan

Pluralisme", Toleransi, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016), 47. 154

Doktrin ini telah tertanam lama dan berkembang di kalangan Kristen, salah satu

tokohnya adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer. Lihat Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus

dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII,

no. 1 (Januari-Juni: 2018), 106-107. 155

Lihat, David Eko Setiawan, "Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjau

Dari Soteriologi Kristen: Suatu Refleksi Pastoral", Fidei, Vol.1 No.2 (Desember 2018),

257-262.

Page 93: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

81

dari Logos untuk semua agama. Kemudian, nama lain dari kelompok evangelis

adalah Wolfhart Pannenberg yang berasumsi bahwa meskipun Allah dialami oleh

agama-agama lain, akan tetapi mereka tidak benar-benar mengetahui Allah dan

tidak dapat menyelamatkan, karena pengetahuan yang menyelamatkan hanya

datang bersama Kristus.156

Pendekatan kristosentris yang dilakukan oleh para teolog evangelis ini

berbeda dengan kalangan Kristen ortodok yang dipengaruhi faham universalisme,

yaitu faham teologis yang memandang bahwa kasih Allah tidak terbatas dan pada

akhirnya manusia akan diselamatkan. Clement dari Aleksandria (150-215 M)

merupakan filusuf Kristen pertama yang mencoba mendamaikan filsafat Yunani

dengan ajaran-ajaran Kristen pada masa itu supaya bisa diterima oleh para

penganut agama dan kepercayaan lainnya. Clement mengajarkan bahwa Allah

adalah kasih yang tidak akan tega menghukum manusia, sehingga semua manusia

akan diselamatkan oleh kasih-Nya. Faham ini diikuti oleh muridnya Origenes (185-

254 M).157

Pendekatan kristosentris juga dikritik oleh beberapa teolog lainnya yang

lebih cenderung kepada pendekatan teosentris dalam memandang agama-agama

lain selain Kristen. Para teolog yang menggunakan pendekatan teosentris ini lebih

suka menggunakan istilah "Allah" sebagai Tuhan manusia ketimbang Yesus

Kristus. Paul Tillich, misalnya, yang hendak melindungi transendensi Allah dari

setia perwujudan yang terbatas dengan ungkapan "Allah di atas Allah". Dalam

bukunya God Has Many Names, John Hick menggunakan istilah "Allah" untuk

menunjukkan realitas yang tidak terbatas yang difahami sedemikian rupa dengan

cara yang beragam melalui berbagai pengalaman beragama. Hick meyakini bahwa

setiap agama berpusat kepada Allah, sehingga dengan paradigmanya itu Hick

menganggap bahwa keselamatan milik semua agama.158

Pendekatan kristosentris-partikularis dan pendekatan teosentris-universal

menghasilkan dua konsep soteriologis yang berbeda dalam ajaran agama Kristen.

Yang pertama menghasilakn konsep soteriologi yang bersifat eksklusif, sedangkan

yang kedua melahirkan konsep soteriologi yang bersifat inklusif-pluralis. Dalam

dunia Islam, Pandangan eksklusif terkait keselamatan dalam Islam telah ada dan

diyakini sejak awal generasi Islam yang dibangun dari argumentasi finalitas Islam

yang memandang bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan menyempurnakan

yang telah menggantikan agama-agama lain. Moh}ammad Fadel, dalam tulisannya

yang berjudul "No Salvation Outside Islam": Muslim Modernists, Democratic Politics, and Islamic Theological Exclusivism, meyatakan bahwa soteriologi

eksklusif dalam Islam yang meyakini tidak ada keselamatan di luar Islam

merupakan doktrin teologis yang dominan di abad pertengahan dan merupakan

156

Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 68-73.

157 Lihat, David Eko Setiawan, "Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjau

Dari Soteriologi Kristen: Suatu Refleksi Pastoral", Fidei, Vol.1 No.2 (Desember 2018),

251-252. 158

Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 52-60.

Page 94: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

82

fungsi dari epistemologi yang mendasari teologi spekulatif (kala>m) dalam dunia

intektual Islam.159

Mirip dengan pendekatan kristosentris-partikularis yang

dikemukakan oleh para teolog Kristen, paradigma eksklusif Islam tentang konsep

soteriologi ini lebih mengedepankan aspek teologis-teoritis untuk dijadikan

sebagai standar kebenaran dibandingkan aspek etika-praktis. Sehingga, semua

bentuk kreatifitas akal (ijtihad) harus didasari dan dikembalikan terlebih dahulu

kepada sumber autentik Islam (al-Qur'a>n dan Sunnah).160

Mun'im Sirry menyebutkan setidaknya ada tiga ayat di dalam al-Qur'a>n yang

dijadikan landasan skriptual bagi mereka yang berorientasi teologis eksklusif untuk

mendaku superioritas Islam atas agama-agama lain sebagai satu-satunya agama

yang benar sebagai jalan keselamatan. Ayat-ayat tersebut adalah:

إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا

ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا

"Sesungguhnya agama (yang dirihai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (QS. 3: 19).

عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ

‚Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. 3: 85).

ا ن ـ ي ظإ ٱلإ زظخ ىن ذ إ عإ ن إ خ عي إ أدإ إ إ ن خ ىنيإ أمإ إ ٱىإ

159

Mohammad Fadel, ‚'No Salvation Outside Islam': Muslim Modernists,

Democratic Politics, and Islamic Theological Exclusivism", dalam Mohammad Hassan

Khalil, Islam, Salvation and the Fate of Others, (Oxford University Press: November 2010),

8. 160

Pandangan Abu>> H{a>mid al-Ghaza>li>> dan Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi>, ahli hukum dan

teolog dari abad ke-11 dan ke-13, masing-masing memberikan contoh perbedaan

epistemologis teologi Islam abad pertengahan antara kebenaran teoretis dan etika praktis,

bahwa keutamaan teoretis dalam teori bentuk mengakui kebenaran dogmatis adalah suatu

kondisi preseden untuk mengakui kebajikan praktis. Baik al-Ghaza>li> dan al-Qara>fi>

berpegang pada versi doktrin yang menyatakan bahwa kesimpulan dari semua penalaran

moral (ijtiha>d) yang dilakukan dengan itikad baik dalam beberapa hal secara etika sah,

namun, mereka berdua menyangkal bahwa kebebasan etis substansial yang ada di ranah

perilaku praktis - cabang-cabang agama - berlaku untuk dogma-dogma Islam. Oleh karena

itu, mereka berdua menolak posisi "toleran" secara teologis bahwa penolakan yang salah,

tetapi dengan niat baik terhadap Islam, dapat dimaafkan. Lihat, Mohammad Fadel, ‚'No

Salvation Outside Islam': Muslim Modernists, Democratic Politics, and Islamic

Theological Exclusivism", dalam Mohammad Hassan Khalil, Islam, Salvation and the Fate of Others, (Oxford University Press: November 2010), 8-11.

Page 95: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

83

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai al-Islam sebagai agama." (QS. 5:3).

161

Mun'im Sirry mendiskusikan pandangan-pandangan muslim klasik-ortodoks

dan muslim reformis abad ke- 20 terkait tiga ayat di atas. Muslim klasik-ortodoks

lebih cenderung kepada pandangan eksklusif terkait keselamatan dalam Islam,

sedangkan beberaa teolog muslim yang berkecenderungan reformis berupaya

menafsirkan ulang superioritas Islam dan lebih cenderung berpandangan inklusif-

pluralis terkalit keselamatan dengan berasumsi bahwa orang di luar Islam

berpeluang untuk selamat atau semua agama akan selamat selama ia memiliki

keimanan dan berbuat baik. Beberapa pemikir muslim yang dikutip oleh Mun'im

Sirry di antaranya adalah Rashid Rid}a>, dengan pandangannya yang cukup bergeser

dari pandangan muslim klasik-ortodoks pada umumnya. Mengikuti pendapat

gurunya, Muh}ammad ‘Abduh, Rid}a> meyakini bahwa ganjaran dan hukuman Tuhan

adalah seimbang, keselamtan seseorang tidak tergantung kepada afiliasi

keagamaan seseorang, sebagaimana yang diungkapkan ‘Abduh, "garis keturunan

bangsa, agama, dan sekte mereka tidak berdampak ada ridha dan murka Tuhan."162

Muslim reformis lain yang dikuti oleh Mun‘im Sirry adalah Maulana Abu al-

Kalam Azad, seorang sarjana India pemilik kitab Tarjuma>n al-Qur'a>n. Azad

mengulas panjang lebar tentang gagasan kesatuan agama (wahdat-e-di>n), Azad

mengkritik pandangan eksklusif tentang keselamatan hanya ada pada agama

tertentu dengan mengungkapkan bahwa kebencian terhadap agama lain telah

menggantikan pengabdian terhadap Tuhan dan amal shalih.163

Mirip dengan apa

yang diasumsikan Rid}a> dan ‘Abduh, Azad juga berpendapat bahwa kebenaran

Tuhan hanyalah satu yang diberikan kepada semua tanpa terkecuali dan tanpa

pengkhususan. Semua orang yang mengabdi kepada Tuhan dan hidup dalam

kesalihan maka ia akan memperoleh keselamatan, tanpa memandang afiliasinya

terhadap kelompok agama tertentu.164

Setidaknya, baik pada Rid}a> maupun Azad, terdapat dua dasar pemikiran

yang menjadi landasan argumentasi mereka. Pertama, tentang konsep kesatuan

agama (wahdat-e-di>n). Dari pemikiran ini mereka tidak menganggap Islam sebagai

suatu agama yang menghapus agama-agama sebelumnya namun hanya sebagai satu

jalan dari jalan-jalan lain menuju Tuhan. Kedua, memahami Islam sebagai

semangat universal dari agama, yaitu tunduk dan patuh kepada Tuhan. Dengan

161

Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2013), 84-85. 162

Ketika menafsirkan QS. 2:62, Rid}a> berpendapat bahwa keimanan terhadap

Muh}ammad bukanlah prasyarat dari keselamatan, karena dalam ayat tersebut tidaklah

mengharuskan demikian. Lihat, Rashid Rid}a>, dalam Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 86-99.

163 Azad memperkuat argumennya dengan (QS. 2: 111-112).

164 Maulana Abul Kalam Azad, dalam Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R.

Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 99-112.

Page 96: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

84

demikian setiap orang beragama yang melaksanakan shari'ah dan minha>j mereka

masing-masing maka akan memperoleh keselamatan selama dia meyakini

kebenaran universal, yaitu iman kepada Tuhan dan berbuat kebajikan.

Konsep kesatuan agama (wahdat-e-di>n) yang dikemukakan oleh kalangan

Islam reformis, mirip dengan perspektif filsafat perenial dalam memandang agama-

agama. Misalnya Frithjof Schuon, dalam asumsinya Schoun memisahkan antara

unsur eksoterik dengan esoterik dalam agama, kemudian ia menjelaskan bahwa

aspek eksoterik dalam suatu agama bersifat terbuka dan boleh diketahui oleh orang

lain di luar komunitas agamanya, sedangkan aspek esoterik bersifat privat-

eksklusif ada suatu komunitas agama. Menurut Schuon secara esoterik semua

agama pada hakikatnya adalah sama, akan tetapi secara eksoterik agama-agama

tersebut berbeda. Dalam filsafat perenial, diyakini adanya ‚Yang Suci‛ (The Sacred) atau ‚Yang Satu‛ (The One) yang memancarakan berbagai "kebenaran"

sebagai manifestasinya, dan agama merupakan salah satu manifestasinya.165

Pendekatan filsafat perenial ini bersebrangan dengan konsep soteriologi eksklusif

yang hanya mengakui keselamatan manusia ada pada agama tertentu. Maka dengan

pendekatan filsafat perenial ini, truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim

(klaim keselamatan) pada agama tertentu akan dianggap tidak relevan.166

Sedangkan dasar pemikiran kedua, tentang universalisme agama, disebut

oleh Jonathan Brown sebagai moral theism. Dalam tulisannya yang berjudul The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, menyebutkan

bahwa pemikiran ini baru muncul pada abad ke-20 nama-nama seperti Rashīd Riḍā

(w. 1935), Sarjana modernis Pakistan Fazlur Rahman (w. 1988), dan teolog

pembebasan Afrika Selatan Farid Esack, merupakan para pendukung pemikiran

tersebut. Dalam memahami ayat-ayat seperti QS. 2:62, mereka berpendapat bahwa

ayat tersebut merupakan ekspresi yang jelas dari upaya al-Qur'a>n menentang

ekslusivisme dan menyimpulkan bahwa mereka — dari bagian mana pun dari umat

manusia — yang percaya pada Tuhan dan hari akhir serta melakukan perbuatan

baik akan diselamatkan oleh Tuhan.‛167

Jonathan Brown mengkritik pemikiran moral theism dengan menyatakan ada

dua kelemahan serius dalam argumen theisme moral. Pertama, beberapa ayat yang

memberikan kritik terhadap orang-orang Kristen dan Yahudi karena menolak

untuk menerima pesan Muhammad, seperti pada (QS. 3: 20-23). kritik-kritik ini

ditujukan pada Ahli Kitab tertentu yang menyimpang (fari>q minhum), disebutkan

dalam QS. 3:23. Kemudian apresiasi bagi orang-orang saleh di antara Ahli Kitab

yang menerima bimbingan yang telah dikirim Allah melalui Muh}ammad. Maka,

akan sulit bagi mereka, yang memiliki pemikiran moral theism, untuk memaknai

165

Diantara landasan skritualnya adalah QS. 57:5, 5:15. Yang menjelaskan bahwa

semua adalah berasal dan milik Allah dan semuanya akan dikembalikan keada Allah. 166

Lihat, Siti Amalia, "Hakekat Agama Dalam Perspektif Filsafat Perenial",

Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, Vol. 1, No. 1 (2019), 8-16. 167

Jonathan Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, (Yaqeen Institute for Islamic Research, 2019), 13.

Page 97: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

85

terma ‘isla>m’ sebagai semangat universal agama dengan makna ketundukan umum

kepada Tuhan, atau tidak semua terma di>n dalam al-Qur'a>n bisa dimaknai secara

generik sebagai bentuk kepasrahan total semata.168

Kritikan kedua dari moral theism adalah tentang sulitnya mengkompromikan pemikiran moral theism dengan

sejumlah hadith, seperti hadith-hadith yang terdapat dalam s}ah}i>h}ain, yang secara

khusus menggambarkan bagaimana komunitas non-Muslim seperti Yahudi dan

Kristen akan ditolak masuk ke Surga pada Hari Pengadilan, karena kesalahan besar

mereka yang telah menyembah tuhan palsu, atau seperti kepercayaan bahwa Yesus

itu anak Tuhan.169

Bagi Brown, agama bukan hanya sekedar menjadi "yang baik"

atau tentang berbuat baik semata, karena predikat "yang baik" atau istilah "baik"

adalah istilah yang memiliki ragam penafsiran dan merupakan perkara yang sulit

untuk didefinisikan. Faktanya, Tuhan telah mengirim utusan-Nya kepada manusia

sebagai penuntun bagi mereka sekaligus menyampaikan standar kebaikan

bernamakan agama.170

Brown menyarankan kita untuk melihat konsep keselamatan

suatu agama berdasarkan perspektif agama tersebut. Senada dengan anjuran

Sarjana Muslim Inggris T. J. Winter yang menyarankan umat Islam untuk

melakukan rekonsiliasi terhadap teks kitab suci tentang keselamatan dalam Islam

berdasarkan perspektif agama Islam dan tidak keluar darinya.171

Muzammil H. Siddiqi merumuskan tiga prinsip dasar keselamatan dalam

Islam; al-tawhi>d, al-risa>lah, dan al-a>khirah.172 Keselamatan dalam Islam mencakup

keselamatan di dunia dan akhirat. Sifat keselamatan seseorang erat kaitannya

dengan dosa dan amal shalih, sehingga kehidupan di dunia ini memiliki pengaruh

pada keselamatan di akhirat. Namun demikian, meskipun Islam menekankan

kebenaran dan hidup sesuai dengan aturan dan hukum Tuhan, ternyata kebenaran

tidak bisa menyelamatkan seseorang, keselamatan yang kekal di akhirat adalah hak

prerogatif Allah semata.173

Keimanan terhadap satu Tuhan (tawhi>d) merupakan

prasyarat keselamatan dalam Islam, kemudian keyakinan tersebut

diimplementasikan dengan mengikuti segala aturan-Nya yang dijelaskan kepada

manusia melalui risa>lah sebagai jalan menuju keselamatan, dengan meyakini

bahwa akan ada suatu masa dimana manusia akan diganjar berdasarkan

perbuatannya di dunia (al-a>khirah). Risa>lah atau jalan keselamatan tersebut

difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n secara eksklusif, yaitu risa>lah

Muh}ammad. Ia menyebutkan bahwa hanya ada satu jalan menuju Allah, jalan

168

Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, 14-15.

169 Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam,

16. 170

Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, 5 171

Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, 25

172 Muzammil H. Siddiqi, "Salvation in Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol.

32, No. 1 (1993), 43. 173

QS. 24: 21.

Page 98: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

86

tersebut adalah syariat yang dibawa oleh Muh}ammad, dan orang yang selamat

adalah orang yang berada di jalan syariat tersebut.174

Berkenaan dengan QS. al-Baqarah: 62, yang kerap dijadikan landasan

argumentasi oleh kelompok inklusifis-pluralis dalam hal keselamatan,

ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا تـ ـ ٱىص س ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا

ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي ل خ إ إ عد زة س إ أجإ ي

"Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, secara garis besar menyebutkan bahwa

Allah tidak akan pernah menz}alimi hambanya atas apa yang dilakukannya,

siapapun dan dari kelompok manapun yang beriman kepada Allah dah hari akhir

serta melakukan amal s}alih}, maka Allah akan memberi ganjaran kepadanya, dengan

tidak akan merasa takut dan sedih.175

Sepintas penafsirannya mirip dengan yang

difahami oleh muslim reformis yang disebutkan di atas. Akan tetapi,

kecenderungan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n terhadap teologi eksklusif

nampak jelas terlihat ketika beliau menafsirkan QS. Al-Ma>idah: 69, yang memiliki

kemiripan redaksi dengan QS. al-Baqarah: 62. Secara panjang lebar Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menafsirkan ayat tersebut dan menyebutkan bahwa yang

dimaksud iman kepada Allah pada ayat tersebut adalah beriman kepada rukun iman

yang lainnya, seperti keharusan beriman kepada malaikat, para rasul, hari akhir,

kitab-kitab, qadha dan qadar.176

Bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Iman

merupakan faktor penting yang dapat mendorong seseorang menegakkan shari'ah

Allah dan menjadi syarat diterimanya amal saleh untuk menggapai keselamatan.177

Keimanan yang dimaksud oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n adalah

keimanan yang diajarkan oleh Nabi Muh}ammad. Dalam memahami kalimat al-yaum al-a>khir yang harus diimani, beliau menyamakannya dengan al-qiya>mah,

yakni akhir bagi manusia yang tidak ada hari lagi setelahnya. Kemudian, dengan

mengutip pendapat dari Ibn Taimiyyah, beliau meyakini bahwa iman kepada hari

akhir adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muh}ammad, seperti fitnah

kubur, siksa kubur, nikmat kubur, kiamat, al-hisa>b (perhitungan), syafaat dan lain

sebagainya.178

Untuk mencapai keselamatan, lebih lanjut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

'Uthaimi>n menjelaskan bahwa Iman saja tidak cukup untuk menyelamatkan, tapi

174

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d, (t.tp:

Da>r Ibn al-Jauzi>), jil. 1, hal. 42-43. 175

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 2, 221-224.

176 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 166.

177 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 166.

178 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 167.

Page 99: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

87

harus dilengkapi dengan amal saleh.179

Kemudian beliau menjelaskan bahwa

terdapat dua syarat amal saleh supaya diterima Allah; pertama harus ikhlas kepada

Allah, kedua mengikuti apa yang dicontohkan Rasul. (al-ikhla>s} lillah wa al-muta>ba‘ah lishari>‘atihi).180

Konsep soteriologi eksklusif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dibangun

di atas penafsirannya terhadap terma isla>m sebagai agama (al-di>n) yang khusus,

yakni risalah yang dibawa oleh Muh}ammad. Dalam kumpulan fatwa Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang disusun oleh Fahd bin Na>s}ir Ibrhahi>m al-Sulaima>n,

pemahaman eksklusifnya meyakini bahwa hanya ada satu kelompok yang selamat,

yang disebut dengan firqah al-na>jiyah. Beliau menjelaskan bahwa Yahudi akan

terpecah ke dalam 71 golongan, Nashrani 72 golongan, dan umat Islam ke dalam

73 golongan, semua golongan ini akan masuk neraka kecuali satu golongan, mereka

adalah kelompok yang mengikuti Nabi dan para sahabatnya yang disebut sebagai

al-firqah al-na>jiyyah.181 Ciri-ciri kelompok yang selamat tersebut adalah mereka

yang berpegang teguh kepada Nabi, baik dalam aspek akidah (teologis), ibadah

(ritual), akhlak (moral), dan mu'amalah (sosial).182

Adapun tentang kelompok lain yang disebutkan dalam QS. 2:62, 5:69, yaitu

Yahudi, Nashrani dan Shabi'i>n, selama ia beriman kepada Allah dan hari akhir serta

mengerjakan amal saleh, maka mereka akan selamat. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n lebin memandang kepada masa dari masing-masing kelompok tersebut

sebelum Nabi Muh}ammad, yakni yang beriman dan berpegang teguh pada

ajarannya masing-masing sebelum datangnya Islam yang diajarkan Muh}ammad.183

Pendapat ini sejalan dengan konsep abrogasi yang diterapkan oleh al-Qurt}ubi>,

mengutip riwayat dari Ibn ‘Abba>s, ia berpendapat bahwa QS. 2:62 telah dinasakh

oleh QS. 3:85, sehingga keselamatan kelompok lain selain Islam tidak berlaku lagi

karena telah digantikan oleh ajaran Islam yang dibawa oleh Muh}ammad.184

Proses abrogasi Islam Muh}ammad terhadap ajaran-ajaran sebelumnya

dikemukakan juga oleh Ibn Kathi>r. Dalam menafsirkan QS. 2:62, Ibn Kathi>r

menyebutkan sebuah riwayat yang menerangkan tentang asba>b nuzu>l dari ayat

tersebut, yakni tentang Salma>n al-Fa>risi> yang bertanya kepada Nabi tentang

sahabat-sahabatnya yang telah meninggal duluan, kemudian Nabi menyebutkan

bahwa mereka adalah penghuni neraka, kemudian turunlah ayat QS. 2:62. Ibn

Kathi>r menjelaskan bahwa keimanan orang Yahudi adalah mereka yang berpegang

179

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 171. 180

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 168. 181

Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), 37.

182 Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), 38. 183

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 2, 170.

184 Lihat al-Qurt}ubi>, al-Jami‘ li Ah}ka>m al-Qur'a>n, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2002) Jilid

1, 163.

Page 100: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

88

teguh pada Taurat dan Musa sampai datangnya Isa, dan keimanan orang Nas}rani

adalah mereka yang berpegang teguh kepada injil dan Isa sampai datangnya

Muh}ammad.185

Pendapat yang sama juga dimiliki oleh al-T}abari>, bahwa orang

Yahudi yang tidak mengikuti sunnah Isa setelah datangnya Isa maka ia akan

celaka, begitupun orang Nashrani yang tidak mengikut sunnah Muh}ammad setelah

ia datang maka akan celaka.186

Pendapat Ibn Kathi>r dan al-T}abari> inilah yang diikuti oleh Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait konsep keselamatan dalam Islam. Secara tegas

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menyebutkan, " ل دذ اقاج اىذزاث الجو ال ةبقاج

-tidaklah sempurna menegakkan taurat dan injil tanpa menegakkan al) اىقسآ

Qur'a>n)".187

Berdasarkan pemaparan di atas, pandangan eksklusif Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait konsep keselamatan (salvation concept) dalam Islam

merupakan pemahaman turunan dari paradigma ekslusif tentang superioritas Islam,

bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna, yang telah menghapus agama-

agama Abrahamik sebelumnya, serta merupakan satu-satunya agama yang benar,

maka keselamatan pun hanya berada di dalam Islam.

Berdasarkan pemaparan di atas, paradigma eksklusif Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n dalam menafsirkan terma isla>m sebagai satu-satunya agama yang

benar, kemudian memonopoli keselamatan hanya ada pada agama Islam,

menunjukkan bahwa truth claim (klaim kebenaran) dan (salvation claim) ada pada

pemikiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Dua pandangan eksklusif ini sangat

dipengaruhi oleh cara pambacaan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terhadap

teks-teks keagamaan. Penafsiran tekstual-literal dan ortodoksi tafsir tradisional

yang diwarnai dengan romantisme pada masa kejayaan Islam, melahirkan produk

penafsiran yang eksklusif dari Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Berdasarkan dua

instrument di atas; truth claim (klaim kebenaran) dan (salvation claim), penulis

menyimpulkan bahwa Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah seorang

eksklusifis. Kemudian, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa

eksklusivisme dalam beragama memiliki corak yang beragam. Untuk melihat corak

eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dapat dilihat pada kontruksi

sosial-agamanya melalui aplikasi penafsiran beliau terkait tema-tema sosial-

agama, yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

185

Abu al-Fida> Isma>'i>l bin ‘Umar bin Kathi>r al-Qurashi> al-Dimashqi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2000), 140.

186 Al-T{abari>, Ja>mi' al-Baya>n 'an Ta'wi>l A<yi al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah al-

Risa>lah, 1993), Jilid 1, 232-233. 187

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 2, 109.

Page 101: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

89

BAB IV

KONSEP KEBERAGAMAAN DALAM TAFSI>R MUH}AMMAD BIN S{A>LI>H}

AL-‘UTHAIMI<>N

Pada bab ini, penulis akan membahas aplikasi penafsiran Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait tema-tema teologis dan sosial-agama. Pembahasan

pertama adalah tentang kontruksi tauhid Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

sebagai dasar agama, yang meliputi pemahamannya tentang hakikat iman dan

Islam. Pembahasan selanjutnya tentang pandangan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n terhadap komunitas lain di luar Islam, meliputi penafsirannya tentang

kafir, musyrik dan ahl kita>b. Kemudian konsep al-wala>' wa al-bara>' serta

hubungannya dengan toleransi agama dalam perspektif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n sebagai manifestasi ketauhidannya yang diejawantahkan dalam sikap

nyata pada konteks sosial-relasional. Dan pembahasan terakhir, penulis akan

menjelaskan tetang konsep dakwah Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sebagai

misi suci agama, yang hanya difokuskan pada konsep amr ma‘ru>f wa nahy al-munkar dan konsep jihad. Dengan alasan, polemik dan kontroversi pada dua

konsep dakwah ini di kalangan masyarakat umum yang dianggap oleh sebagian

kelompok sebagai cara berdakwah yang intoleran dan mengkampanyekan

kekerasan atas nama agama.

A. Kontruksi Tauhid Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

Secara garis besar, kontruksi tauhid Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

sama dengan kontruksi tauhid yang dikonsepsikan oleh kelompok salafi pada

umumnya, yakni membagi tauhid kepada tiga bagian; tauh}i>d rubu>biyyah, tauh}i>d ulu>hiyyah dan tauh}i>d asma> wa sifa>t. Konsepsi tauhid ini diyakini oleh kelompok

salafi sebagai konsep tauhid Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah yang ortodoks,

sebagaimana yang diajarkan oleh Rasullah dan diikuti oleh generasi setelahnya

(sahabat dan tabi‘i>n), yang disebut salaf al-s}a>lih}. Di antara ulama-ulama salafiyyah

yang diikuti dan dijadikan rujukan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah

Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, al-‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘di>,

‘Abd ‘Azi>z bin Ba>z, dan yang lainnya. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, seperti ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah

atau Sharh ‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li Shaikh al-Isla>m ibn Taimiyyah.

Pada pembahasan ini, penulis lebih memfokuskan kepada pembahasan iman

dan Islam dalam perspektif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, sebagai inti dari

ajaran tauhid sekaligus untuk melihat eksklusifitas Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n dalam mendefinisikan iman dan Islam sebagai identitas bagi "diri

sendiri" tentang siapa yang dimaksud dengan mu'min (orang yang beriman) dan

muslim (orang yang beragama Islam), serta implikasinya terhadap sikap

keberagamaan beliau dalam konteks sosial-relasional dengan kelompok lain (non-

muslim).

Page 102: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

90

1. Iman

Secara leksikal, al-i>ma>n berasal dari kata a-ma-na, kemudian kata dasar

tersebut membentuk beberapa kata jadian seperti al-ama>nah (amanah) yang

memiliki makna d}iddu al-khiya>nah (lawan dari khiyanat), al-amn (aman) dengan

makna d}iddu al-khauf (lawa dari rasa takut), dan al-i>ma>n (percaya) sebagai anonim

dari kata kafir (d}iddu al-kufr) yang bermakna al-tas}di>q (pembenaran) lawan dari al-takdhi>b (mendustakan).

1 Di dalam al-Qur'ān, kata al-ama>nah dapat di lihat (QS.

8:27; 33:72). Sedangkan kata al-amn terdapat pada (QS. 2:126; 3:97; 14:35; 28:57;

29:67; 41:40). Dan kata al-i>ma>n (QS. 2:108; 3:167,177,193; 5:5; 9:23; 16:106;

30:56).2 Dalam bentuk fi'il ma>d}i>, kata a>mana yang bermakna percaya atau yakin

sebagai anonim dari kufr dan takdhi>b (kafir dan mendustakan) lebih banyak

diungkapkan al-Qur'ān ketimbang bentuk lainnya. Kemudian dalam bentuk ism fa>'il (mu'min) digunakan sebagai identitas bagi orang yang percaya kepada Allah

atau sebagai orang Islam.3

Orang-orang Arab pra-Islam menggunkan terma i>ma>n sebagai bentuk

keyakinan terhadap hal-hal supranatural yang dipercaya dapat melindungi dirinya

dari segala bentuk keburukan. Terdapat beberapa keyakinan yang diekspresikan

melalu sesembahan terhadap bulan, binatang, atau berhala-berhala yang diwariskan

oleh tradisi nenek moyang mereka seperti yang terjadi di Mekkah pra-Islam yang

sangat mengagungkan Latta, ‘Uzza dan Mana>h (QS. 53:19-22). Secara diakronik

al-Qur'a>n menyebutkan definisi iman sebagai ungkapan untuk meluruskan akidah

dengan mempercayai kekuasaan Allah, kemudian menguatkannya dengan

menyertakan janji dan ancaman, serta selalu mengajak kepada kebaikan, lalu

disertai dengan kewajiban syariat atau ibadah dan hukum-hukum yang harus

dilaksanakan.4

Pada masa Islam, ketika Muh}ammad diutus menjadi rasul, iman

dikonsepsikan menjadi sebuah pembenaran terhadap ke-Esa-an Allah, hari akhir,

para malaikat, para nabi dan rasul, kitab-kitab, dan qad}a>-qadar Allah. Hal ini

berdasarkan sebuah hadith yang dicatat oleh imam Bukha>ri dan Muslim dalam

kitabnya yang menceritakan nabi ditanya oleh malaikat tentang makna iman,

kemudian nabi menjawab dengan 6 variable di atas yang wajib diimani oleh umat

Islam, kemudian dikenal dengan istilah rukun iman.5 Dalam konteks ini, terma

i>ma>n dimaknai sebagai istilah dalam syariat untuk pembenaran terhadap Allah dan

segala yang dibawa oleh Muh}ammad, dengan menggabungkan tiga aspek;

1 Ibn Manzu>}r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 140.

2 Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n

al-Kari>m, (Kairo: Dār al-Hadi>th, 1364), 81-93. 3 Al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, 81-93.

4 Dindin Moh Saepudin, M. Solahudin dan Izzah Faizah Siti Rusydati Khairani,

"Iman dan Amal Saleh dalam al-Qur'a>n; (Studi Kajian Semantik)", al-Bayan, No. 1, Vol. 2,

(Juni 2017), 12-14. 5 Lihat hadits imam Bukha>ri 1/106 dan imam Muslim 1/9, bab iman.

Page 103: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

91

meyakini dan membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan

mengimplementasikan dengan anggota badan.6

Imam Abu H{ani>fah mendefinisikan iman, iqra>r bi al-lisa>n wa al-tas}di>q bi al-jana>n (mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati). Imam Abu H{ani>fah

tidak memasukan aspek amal pada definisinya, baginya keimanan dan kekufuran

adalah perkara yang sudah jelas disebutkan dalam al-Qur'a>n (QS. 8:4 dan 4:151),

dalam pandangannya, kemaksiatan tidak menghapuskan iman, maka semua pelaku

maksiat dari umat nabi Muh}ammad masih tergolong mukmi>n (orang yang

beriman).7 Lain halnya dengan Imam Mālik, beliau memasukkan aspek amal

kedalam definsi iman. Dalam pandangan imam Ma>lik, iman adalah gabungan

antara qaul (ucapan) dan ‘amal (perbuatan). Sebagai konsekuensi dari definisinya,

maka iman dalam asumsi imam Ma>lik bersifat fluktuatif (bertambah dan

berkurang) serta memiliki tingkatan (ba‘d}uhu afdhal min ba‘d}).8 Sependapat

dengan imam Ma>lik, imam Sha>fi‘i>,9 juga imam Ah}mad bin H{anbal memasukan

aspek amal kedalam definisi iman serta meyakini bahwa iman bersifat fluktuatif.

Diantara landasan argumentasinya adalah (QS. 9:124).10

Pendapat bahwa amal bukan syarat dari iman adalah pendapat sekte Murji‘ah

yang tidak memasukkan aspek amal ke dalam definisi iman, bahkan bagi Murji'ah

iman cukup dengan meyakininya saja (tas}di>q). Sedangkan ahli hadih, menjadikan

amal sebagai bagian (juz') dari iman, sehingga kesempurnaan iman dibangun oleh

pengakuan dan implementasinya dalam kehidupan nyata.11

Batasan iman menjadi

penting untuk menentukan batasan kufr. Maka, batasan antara i>ma>n dan kufr memiliki implikasi hukum untuk menentukan identitas untuk "diri sendiri" dan

"orang lain" dalam dunia Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Farid Esack, bahwa

Iman, Islam, dan kufr merupakan instrument untuk mendefinisikan diri sendiri dan

orang lain.12

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n mendefinisikan iman secara bahasa

sebagai al-tas}di>q (pembenaran). Kemudian secara istilah qaul bi al-lisa>n wa ‘amal bi al-arka>n wa ‘aqd bi al-jana>n (mengucapkan dengan lisan, mengamalkan dengan

anggota badan, dan meyakini dengan hati).13

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n

memasukan tiga aspek dalam definisinya, yaitu pengakuan dengan lisan, amal, dan

6 Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,

2009), 91. 7 ‘Abdullah bin ‘Abd al-Muh}sin al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, (Riyad}:

Wiza>rah al-Syu'u>n al-Isla>miyyah, 1417 H), 37. 8 Al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, 43.

9 Al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, 46-47.

10 Al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, 51-60.

11 Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap

Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,

Vol. 4, No. 1, (2015), 66. 12

Farid Esack, Liberation and Pluralism, (Oxford: One Word, 1998), 114). 13

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Lum‘ah al-I‘tiqa>d al-Ha>di> ila> Sabi>l al-Rasha>d, (Riyad}: Ad}wa>' al-Salaf, 1995), 99.

Page 104: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

92

keyakinan dalam hati. Keimanan yang dimaksud oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

'Uthaimi>n adalah sama dengan apa yang disebutkan dalam hadith tentang enam

perkara yang harus diimani, yaitu ke-Esa-an Allah, hari akhir, para malaikat, para

nabi dan rasul, kitab-kitab, dan qad}a>-qadar Allah. Kemudian beliau menyebutkan

bahwa apa yang disebutkan dalam hadith tersebut adalah konsepsi keimanan yang

autentik dalam Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi kepada umatnya, yang

diikuti oleh para salaf al-s}a>lih}.14

Paradigma Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam memahami hakikat

iman dibangun di atas konsepsinya tentang tauhid, yaitu tauh}i>d ulu>hiyyah, tauh}i>d rubu>biyyah, dan tauh}i>d asma> wa sifa>t. Kemudian secara tekstual Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami hakikat keimanan seperti apa yang dijelaskan dalam

al-Qur'a>n dan hadith, sehingga apa yang telah disebutkan secara eksplisit dalam al-

Qur'a>n dan hadith maka itulah hakikat keimanan menurutnya. Hal ini dapat dilihat

dalam bukunya yang berjudul ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah yang diyakini

secara eksklusif sebagai konsep akidah yang paling benar, akidahnya firqah al-na>jiyyah (kelompok yang selamat).

15

Pendekatan tekstual dalam memahami keimanan sangat nampak ketika

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menafsirkan ayat-ayat antrofomorfime yang

berkaitan dengan sifat-sifat Allah dalam al-Qur'a>n. Dalam QS. 5:64,

ف شاء إ ق م عغذا تإ ا قاىا ةوإ دا ىعا ة إ د إ يىجف يخإ أ غإ د ٱلل قاىخ ٱىإ

"Orang-orang Yahudi berkata: 'Tangan Allah terbelenggu', sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki."

Secara tekstual Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ( ةوإ دا

عغذا تإ ) sebagai dalil ithba>t al-yadain lillah (ketetapan dua tangan bagi Allah).

Beliau menegaskan bahwa Allah memiliki dua tangan, dan pendapat tersebut

merupakan kesepakatan ahl salaf berdasarkan al-Qur'a>n dan sunnah.16

Begitupun

dalam memahami (QS. 11:37), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menetapkan dua

mata pada ayat tersebut sebagai sifat yang dimiliki Allah, atau pada (QS. 55:27),

beliau menyebutkan bahwa Allah memiliki wajah. Meskipun demikian, bukan

berarti Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyerupakan Allah dengan manusia

sebagai makhluk-Nya, beliau hanya menafsirkan secara dhahir ayat tanpa

melakukan takwil namun tetap mengimani bahwa tidak ada yang serupa dengan

14

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), Jil 1, 54.

15 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah,

(Riyad}: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1430 H),

17-18. 16

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, (Riyad}: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 2, 115.

Page 105: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

93

Allah (laisa kamithlihi syaiun). Hal ini dapat dilihat dari catatan beliau dalam

memahmi ayat-ayat semisal di atas untuk tidak melakukan tamthi>l dan takyi>f.17

Eksistensi iman merupakan perkara us}u>l (dasar/pondasi) dalam Islam, maka

pondasi ini semestinya bersifat stabil dan tetap. Hal ini diyakini oleh kelompok

Murji'ah yang kerap dinisbahkan kepada Abu H{anifah, sehingga dalam keyakinan

mereka menolak sifat iman yang fluktuatif (yazi>d wa yanqus}).18 Pendekatan

rasional yang dilakukan oleh kelompok Murji'ah ternyata berbeda dengan apa yang

disabdakan nabi, yang secara eksplisit disebutkan bahwa iman bersifat fluktuatif,

yazi>d bi al-t}a>'ah wa yanqus} bi al-ma's}iyah (bertambah dengan ketaatan dan

berkurang dengan kemaksiatan).19

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n juga

berpendapat bahwa iman bersifat fluktuatif. Beliau menyebutkan bahwa dalam

akidah ahl sunnah wa al-jama>'ah, iman bisa bertambah juga bisa berkurang.

Landasan argumentasinya adalah QS. 2:260; 74:31; 9:125, serta beberapa hadith

yang menyebutkan bahwa iman dapat bertambah dengan ketaatan serta berkurang

dengan kemaksiatan.20

Dalam aspek keyakinan dalam hati (al-tas}di>q bi al-qalb),

iman dapat bertambah seiring ketenangan yang dirasakan oleh hati. Kemudian,

seseorang yang mengucapkan sesuatu sebanyak mungkin maka akan berbeda

hasilnya dengan orang yang hanya mengucapkan satu kali, maka demikian halnya

dengan iman pada aspek pengungkapan dengan lisan (iqrār bi al-lisa>n). Adapun

tentang iman bertambah dan berkurang pada aspek amal, (al-'amal bi al-arka>n)

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menganalogikan seseorang yang rajin dalam

beribadah tentunya akan berbeda dengan orang yang jarang atau tidak beribadah

dalam hal keyakinannya terhadap Allah.21

Dua pendapat ini sebenarnya telah dikompromikan oleh al-Nawawi> yang

menyebutkan bahwa polemik di kalangan mutakallimi>n terkait sifat iman apakah

fluktuatif atau tidak terletak pada sudut pandang yang mereka gunakan. Bagi yang

berpendapat bahwa iman bersifat statis, mereka melihat iman sebagai makna

dasarnya, yang lebih cenderung kepada segi kebahasaannya, yaitu al-tas}di>q (membenarkan) yang terletak dalam hati. Sedangkan yang berpendapat bahwa

17

Tamthi>l adalah meyakini dan mengatakan bahwa sifat Allah sama dengan sifat

makhluknya. Sedangkan takyi>f adalah meyakini dan mengatakan bahwa sifat Allah adalah

seperti ini dan itu. Lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, (Riyad}: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah,

1430 H), 1-56. 18

Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap

Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,

Vol. 4, No. 1, (2015), 55. 19

Lihat, Abu al-H{asan Muslim bin al-Ḥaja>j al-Ni>sa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, (Riyaḍ: Da>r

Ṭayyibah, 2006), 41-42; Abu 'Abdillah Muh}ammad bin Isma>'i>l al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 2002), 12.

20 Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah

al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 49-52. 21

Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Jil. 1, 49-52.

Page 106: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

94

iman fluktuatif, mereka memandang iman beserta thamrah (buah) dari iman itu

sendiri, yaitu amal. Maka bertambah dan berkurangnya iman mengikuti intensitas

amal sebagai aktualisasi dari iman tersebut. Dengan demikian, dalil-dalil yang

dikemukakan oleh kedua belah pihak dapat dikompromikan dan tidak

bertentangan.22

Ketika iman tidak hanya berpusat pada batin namun meluas kepada ranah

z}ahir (amal), maka sebagai konsekuensinya akan terjadi paradoks makna antara

iman dan Islam. Perluasan makna iman kepada ranah amal menjadikan sebagian

kelompok yang secara ekstrim mengkafirkan para pelaku dosa besar di kalangan

umat Islam sendiri. Misalnya kelompok Khawarij yang dikenal dengan kelompok

takfi>ri>, pelaku dosa besar seperti yang tidak menegakkan hukum Allah, tidak shalat

dan tidak zakat dihukumi kafir karena dianggap telah mencederai iman.23

Bahkan,

ditunjang dengan teks keagamaan yang melegitimasi kekerasan menjadikan mereka

kelompok ini semakin tidak toleran dan tega untuk memerangi siapapun yang

dianggapnya telah kafir karena telah mencedarai iman tersebut.

Dalam hal ini, penulis melihat ambiguitas dari sikap Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n terkait pemaknaan iman dan Islam. Di sisi lain Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n memasukan aspek amal dalam pengertian iman, namun beliau juga

membedakan antara iman dan Islam dengan menyebutkan bahwa iman mecakup

perkara-perkara batin seperti keyakinan yang ada dalam hati, sedangkan Islam

mencakup perkara-perkara z}ahir seperti kesaksian dengan lisan dan amal ibadah.

Pendekatan yang dilakukan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam

membedakan antara iman dan Islam adalah pendekatan ‘a>m-kha>s} (umum dan

khusus). Beliau memahami bahwa Islam lebih umum dari pada iman yang di

dalamnya mencakup iman. Dalam hal ini, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

berargumen dengan hadith dari ‘Umar bin Khat}t}a>b tentang definisi iman dan Islam

yang menyebutkan:

اىصماث، دص اىص ث، دئد ا زظه الله، دق ذدن ل اى ال الله أ أ دشدأ الظ

ظت ن اظذطعخ اى ، دذج اىتخ ا (زعا ) : قاه الا ةالل ئنذ أ دئ

شس س ةاىقدز خ اخس دئ اى زظي (مذت

"(Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan melakukan ibadah haji bagi yang mampu), dan Nabi bersabda tentang iman: (engkau beriman kepada Allah, para

22

Yahya Bin Sharaf al-Nawawi, S{ah}i>h} Muslim bi sharh al-Nawawi>, (Kairo:

Maṭba‘ah al-Maṣriyyah bi al-Azha>r, 1929), juz 1, 148. 23

Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap

Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,

Vol. 4, No. 1, (2015), 56.

Page 107: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

95

malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan qadar-Nya yang baik maupun buruk)."24

Di dalam al-Qur'a>n, iman dan amal s}aleh sering disebutkan secara

berdampingan. Dua aspek ini saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya,

keimanan belum dikatakan sempurna jika tidak lengkapi dengan amal ṣaleh,

begitupun amal ṣaleh dikatan tidak sah jika tidak dilandasi dengan iman.25

Misalnya pada surah al-‘As}r ayat 3,

س تإ ا ةٲىص إ اص د ذق ا ةٲىإ إ اص د خ ـ يذ ـ يا ٱىص ع ا ءا ال ٱىر

"kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."

Aspek iman dan amal ṣaleh disebutkan berdampingan serta menjadi syarat

supaya manusia tidak mengalami kerugian. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menafsirkan iman sebagai keyakinan terhadap al-us}u>l al-sittah (enam rukun iman)

dan amal ṣaleh sebagai rangkaian ibadah baik yang besifat individual, seperti

shalat, haji dan yang lainnya, maupun ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat

baik kepada orang tua dan lain sebagainya. Untuk disebut sebagai amal ṣaleh,

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan tiga syarat; pertama, ikhlas

hanya untuk Allah. Kedua, al-muta>ba‘ah li al-rasu>l (sesuai atau mengikuti dengan

apa yang diajarkan rasul). Ketika amal tidak disertai dengan keikhlasn kepada

Allah, maka amal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kesyirikan.26

‘Izzudi>n ‘Abdissala>m al-Maqdisi> al-Wa>'izh (w. 678 H./1280 M.), dalam

konteks ini membedakan antara hakikat (haqi>qah) dan syariat (shari>'ah). Enam

rukun iman yang disebutkan dalam hadith nabi dikategorikan sebagai hakikat,

sedangkan amal ibadah dikategorikan sebagai syariat. Dalam hal ini ‘Izzudi>n

seseorang yang telah kafir dalam syariat belum tentu dikatakan kafir dalam

hakikat. Sebagai konsekuensi dari asumsi ini, seseorang bisa dikatakan kafir dan

mukmin sekaligus dalam dua sudut pandang yang berbeda.27

Jika melihat pembagian hakikat dan syariat yang dikonsepsikan oleh

‘Izzudi>n ‘Abdissala>m al-Maqdisi> al-Wa>'izh, seorang munafik bisa dikatakan

sebagai seorang mu'min secara syariat meskipun dia kafir secara hakikat. Akan

tetapi hal ini akan bertentangan dengan QS. 2:8,

24

Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 48-49.

25 Dindin Moh Saepudin, M. Solahudin dan Izzah Faizah Siti Rusydati Khairani,

Iman dan Amal Saleh dalam al-Qur'a>n; (Studi Kajian Semantik), al-Bayan, No. 1, Vol. 2,

(Juni 2017), 18. 26

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, (Riyad}:

Da>r al-Thuriya, 1423 H/2002 M), 310-311. 27

Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap

Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,

Vol. 4, No. 1, (2015), 56.

Page 108: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

96

ئإ ا ة خس ٱٱإ إ ةٲىإ ا ةٲلل قه ءا ٱىاض

"Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."

Atas dasar inilah Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menolak lima

pembagian iman yang telah dirumuskan oleh sebagian ulama.28

Menurutnya,

bagaimana mungkin seorang munafik dikatakan beriman sedangkan al-Qur'a>n

secara tegas menegasikan keimanannya.29

Lain halnya dengan al-‘Izz ibn ‘Abd al-

Salam, beliau membedakan keduanya -iman dan amal- dengan istilah al-ima>n al-haqi>qi> (iman hakiki), al-ima>n al-maja>zi> (iman metaforis). Konsepsinya bertujuan

untuk menunjukkan ketetapan makna iman sebagai keyakinan dalam hati namun

berkaitan erat dengan hal-hal z}ahir, yaitu amal shaleh.30

Berdasarkan pemaparan di atas, konsep iman yang dijelaskan oleh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak dapat dilepaskan dari implementasinya

dalam bentuk tindakan z}ahir (amal), antara keimanan dan amal shaleh memiliki

ikatan kuat yang tidak bisa dipisahkan. Keimanan bersifat fluktuatif seiring

intensitas amal yang dilakukan, sedangkan amal sangat ditentukan sah atau

tidaknya berdasarkan keimanan. Pemahaman Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

ini sangat ditentukan oleh hadith dari ‘Umar tentang definisi Iman dan

menggabungkannya dengan dalil-dalil lain tentang kesatuan antara iman dan amal

yang dibaca secara tekstual berdasarkan z}ahir teks dari dalil-dalil tersebut. Dengan

konsepsi seperti ini, sebagai konsekuensinya, akan mengalami kerumitan dalam hal

menentukan indentitas "diri sendiri" dan "orang lain" juga akan menimbulkan

paradoks makna antara iman dan Islam.

2. Islam

Terma isla>m dibentuk dari tiga huruf dasar sin-lam-mim, tiga huruf dasar

tersebut membentuk beberapa kata jadian (derivasi), di antaranya adalah aslama

yang berarti menyerahkan, kemudian membentuk mas}dar yaitu al-isla>m yang

memiliki makna berserah diri, tunduk dan patuh, sedangkan subyek yang

melakukan ketundukan dan kepatuhan tersebut disebut muslim. Di dalam al-Qur'a>n

terma isla>m disebutkan dengan berbagai bentuk derivasinya juga dengan makna

yang beragam, di antaranya; al-Istisla>m (berserah diri) QS. 2:131; QS. 3:83, Sali>m

(suci/bersih) Q.S. 26: 89; 37:84, sala>m (selamat/sejahtera) QS.11:29; 13:24; 14:23;

15:46; 16:32; 19:15,33 47; 20:47; 27:59, al-salam/ al-s}ulh (perdamaian) 4:90, 91;

28

Lima macam iman tersebut adalah; 1. I<ma>n mat}bu' (imannya malaikat), 2. I<ma>n

ma's}u>m (imannya para nabi), 3. I<ma>n maqbu>l (imannya orang yang beriman), 4. I<ma>n

Mardu>d (imannya orang munafik), 5. I<ma>n mauqu>f (imannya ahl bid'ah) 29

Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 56-57.

30 Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap

Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,

Vol. 4, No. 1, (2015), 57.

Page 109: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

97

16:28,87, sedangkan terma isla>m itu sendiri disebutkan sebanyak delapan kali, QS.

3: 19,85; 5:3; 6:128; 39:22; 61:7; 49:17; 9:74.31

Terma isla>m dengan makna berserah diri diyakini sebagai substansi dari al-Isla>m dalam pengertiannya sebagai identitas sebuah agama. Hal ini berdasarkan

ungkapkan Nabi Ibrahim terhadap Tuhan-nya sehingga dia juga disebutkan dalam

al-Qur'a>n sebagai muslim (orang yang berserah diri).32

Ungkapan Nabi Ibrahi>m

tersebut dapat dilihat pada QS. 2:131;

ي ـ ع خ ىسا ٱىإ إ ي إ ‌ قاه أظإ ي اذإ قاه ى زةب ۥ أظإ

"Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: 'Tunduk patuhlah!' Ibrahim menjawab: 'Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam'."

Al-Ra>ghib al-As}faha>ni> menyebutkan bahwa yang dimaksud aslma (mennyerahkan diri) pada ayat tersebut adalah penyerahan diri secara total

terhadap seluruh qad}a dan qadar Allah.33

Sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa penyerahan diri pada ayat tersebut mencakup

aspek z}ahir dan batin, baik iman maupun amal.34

Sebagaimana halnya ketika

mendefinisikan iman sebagai gabungan dari keyakinan dan amal, dalam memahami

terma isla>m pun Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menggabungkan dua aspek

tersebut.

Pada QS. 2:131, al-Qur'a>n menyebutkan substansi dari keberagamaan, yaitu

tunduk dan patuh kepada Tuhan tanpa menyebutkan identitas agama tertentu.

Ayat lain yang menyebutkan makna isla>m sebagai penyerahan diri terhadap Tuhan

dapat dilihat pada QS. 3:83,

جع سإ إ اى ا ن سإ ا

عن إ ض غ زإ ٱٱإ ٳح ـ ٱىع ي ى ۥ أظإ غ تإ ٱلل س إ أ غ

"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan."

Berbeda dengan QS. 2:131, ayat ini menyebutkan ketundukan dan

kepasrahan diri kepada di>n Allah (agama Allah), diungkapkan dalam bentuk

tunggal (mufrad) sehingga diyakini oleh kelompok eksklusifis bahwa hanya ada

satu agama yang diridhai oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang benar,

sebagai salah satu landasan argumentasinya adalah QS. 3:19.

31

Lihat, Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-

Qalam, 2009), 421-424; Misbahuddin Jamal, "Konsep al-Islam dalam al-Qur'a>n", Al- Ulum,

Vol. 11, No. 2, (Desember 2011), 287-288, Muh}ammad Fu'a>d 'Abd al-Ba>qi>, al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Dār al-Hadi>th, 1364), 355-358.

32 QS. 3:67.

33 Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,

2009), 423. 34

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,

(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, hal. 72.

Page 110: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

98

Al-T}abari> memaknai terma al-isla>>>m adalah al-inqiya>d bi al-taz}li>l wa al-khushu' (melaksanakan setiap kewajiban dengan tunduk dan khusu'). Begitupun

dalam pandangan Nurcholis Madjid, sebagai salah satu dari kalangan inklusifis-

pluralis, mengartikan terma al-isla>m sebagai bentuk kepasrahan total terhadap

Yang Maha Tunggal35

. Akan tetapi, polemik yang ada adalah tentang apakah yang

dimaksud terma al-isla>m itu adalah agama yang dibawa oleh Muh}ammad secara

khusus, yakni kepasrahan total kepada Tuhan yang dikonsepsikan ajaran Islam

Muh}ammad, ataukah mencakup agama-agama lain selama mempraktikan

kepasrahan total terhadap tuhan-tuhan mereka dengan konsepsinya masing-masing

tentang realitas transenden tersebut.

Pada QS. 5:3, disebutkan terma al-isla>m sebagai identitas sebuah agama;

ا ن ـ ي ظإ ٱلإ زظخ ىن ذ إ عإ ن إ خ عي إ أدإ إ إ ن خ ىنيإ أمإ إ ٱىإ

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."

Terma al-isla>m pada ayat tersebut dijelaskan dengan terma di>n (agama)

setelahnya. Muḥammad bin Ṣāliḥ al-‘Uthaimīn meyakini bahwa al-isla>m pada ayat

tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muh}ammad sebagai pelengkap

dan penyempurna syariat-syariat sebelumnya yang dibawa oleh para nabi sebelum

Muh}ammad.36

Ibn Taimiyyah memandang terdapat kesamaan dan perbedaan antara

Islam yang dibawa Muh}ammad dan Islam yang dibawa oleh Nabi-nabi sebelumnya.

Kesamaan tersebut terletak pada aspek tauhid, sedangkan perbedaannya terletak

pada shari'atnya. Menurut Ibn Taimiyyah, terdapat abrogasi (naskh) terhadap

syari'at Islam yang dibawa oleh Nabi Musa, Isa dan para Nabi sebelumnya oleh

syari'at Islam yang dibawa Muh}ammad. Sehinga, secara tegas Ibn Taimiyyah

berpendapat bahwa orang yang hidup di jaman Nabi Muh}ammad dan setelahnya,

yang tidak beriman dan melaksanakan syari'at Islam yang dibawa oleh Muh}ammad,

maka ia tidak termasuk orang Islam.37

Abrogasi Islam Muh}ammad terhadap ajaran para Nabi sebelumnya juga

dikemukakan oleh Ibn Kathi>r. Yaitu, ketika Ibn Kathi>r memahami asbab al-nuzu>l QS. Al-Baqarah(2): 62. Ayat tersebut turun berkaitan dengan pertanyaan Salma>n

al-Fa>risi> kepada Nabi terkait sahabat-sahabatnya yang hidup dan meninggal

sebelum sempat mengimani kerasulan Muhammad, kemudian Nabi bersabda: "hum

35

Lihat Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,

2000), 180-181. 36

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,

(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, hal. 44. 37

Ibn Taimiyyah, Iqtida>l al-Sirat} al-Mustaqi>m: Mukhala>fat As}h}a>b al-Jahi>m (t.tp:

Jam‘iyyah Ih}ya> al-Tura>th al-Isla>mi>, t.th.): 76-77); lihat juga Ahmad Khoirul Fata,

"Menguak Islam Eksklusif yang Toleran", Islamica, Vol. 6, No. 1, (September 2011): 19.

Page 111: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

99

fi> al-na>r" (mereka berada di neraka).38

Ibn Kathi>r memahami bahwa imanya orang

Yahudi terhadap Taurat dan sunnahnya 'Musa, berlaku sampai datangnya 'Isa

dengan Injil dan sunnahnya. Kemudian, imannya orang nashrani terhadap Injil dan

sunnah ‘Isa berlaku hingga datangnya Muh}ammad dengan al-Qur'a>n dan

sunnahnya. Dan ketika masa Muh}ammad, maka Islam yang sah adalah al-Qur'a>n

dan sunnah Nabi Muh}ammad.39

Dalam sebuah riwayat Ibn Abi H{a>tim, dari Ibn ‘Abba>s, Ibn Shuriya> bertanya

kepada Nabi, apakah yang dimaksud dengan al-huda> (petunjuk/hidayah) sehingga

kami berada dalam naungannya, kami mengikutimu wahai Muh}ammad, maka kami

mendapat petunjuk. Akan tetapi orang-orang nas}rani pun berkata demikian

(barangsiapa yang mengikuti nashrani maka ia akan mendapat petunjuk), maka

turunlah QS. 2:135, bahwa millah Ibra>hi>m adalah ajaran yang h}ani>f (lurus) bukan

golongan orang-orang yang musyrik.40

Riwayat ini merupakan sabab al-nuzu>l dari

QS. Al-Baqarah: 135, dalam riwayat tersebut, orang nashrani pada masa Nabi

muḥammad dikategorikan segabai orang yang musyrik, sedangkan prilaku syirk

bertolak belakang dengan makna al-isla>m, yaitu patuh dan tunduk secara total

kepada Yang Maha Esa.

Senada dengan al-T}abari>, Ibn Kathi>r, Ibn Taimiyyah, dan kalangan ekslusifis

lainnya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memaknai terma al-di>n pada QS. Ali

Imra>n: 19 sebagai al-‘amal (amal perbuatan), sama halnya dengan terma al-di>n

yang ada pada QS. Al-Ka>firu>n: 6 dan QS. Al-Bayyinah: 5. Terma al-di>n adalah al-isla>m, yaitu ibadah kepada Allah dan beramal ṣaleh kepada-Nya. Dalam pandangan

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, terma isla>m pada QS. Ali-‘Imra>n:19 adalah

Islam kha>s} (khusus), yaitu beribadah kepada Allah sesuai Shari'at yang dibawa oleh

Nabi Muh}ammad.41

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membagi al-isla>m ke dalam dua kategori;

isla>m 'a>m dan isla>m kha>s}. Sebenarnya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak

menafikan substansi dari makna isla>m adalah berserah diri secara total kepada

Allah, begitu pun beliau meyakini akan risalah nabi-nabi terdahulu sebelum

Muh}ammad sebagai risalah yang sah pada masanya. Dalam menafsirkan QS. 3: 85,

عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

38

Lihat asbab al-nuzu>l QS. Al-Baqarah: 62, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi

Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 19. 39

Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Riyad}: Dar T{ayyibah li al-Nashr wa al-

Tauzi>', 1999), jil. 1, 284. 40

Jala>l al-Di>n 'Abdu ar-Rah}ma>n bin Abi Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 31.

41 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n,

(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 123.

Page 112: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

100

Muḥammad bin Ṣāliḥ al-'Uthaimīn menyebutkan

، -ص-الظ اى اص اىر جاء ة ذد : اىسا ةالظ ا ( س الظ ): قى

الظذع لل مو شا نا، ما ذمس اٱتاء اىعاةق أ : ا ما اٱصو طيق عي

): طيق الظ ي ـ ع زا ٱىإ لل ـ إ ي ظي خ إ ي أظإ ع خ إ إ اٱاح (قاىخإ زا ا ظي

- را مثسث، أ اىسظو أدتاع عي، ىن را الظ اىعا، أا ةعد ةعثج اىسظه

. قػ- ص-، نو ا ع اظ ا ا جاء ة اىسظه الله -ص

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menegaskan pandangan

eksklusifnya bahwa agama-agama lain selain Islam, seperti agama Naṣrani, agama

Yahudi, agama Budha, agama Majusi dan agama-agama lain tidak akan diterima

oleh Allah.44

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak hanya memahami terma

isla>m sebagai makna generikanya, yaitu berserah diri, namun beliau juga

memahaminya sebagai sebuah identitas suatu agama yang diriḍai oleh Allah, yaitu

syariat yang diturunkan Allah kepada Nabi Muh}ammad. Dalam mendefinisikan

isla>m, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merujuk kepada hadith Nabi, dari ‘Umar

bin Khat}t}a>b, sama halnya ketika ia mendefinisikan iman, yaitu;

أ دشد الظ اىصماث، دص اىص ث، دئد ا زظه الله، دق ذدن ل اى ال الله أ أ

ظت ن اظذطعخ اى ، دذج اىتخ ا (زعا

"(Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muḥammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan melakukan ibadah haji bagi yang mampu)."45

Pendapat ini dikritisi oleh Muh}ammad Shahru>r, rukun Islam yang dijelaskan

dalam hadith tersebut merupakan konsep normatif yang dijejalkan kepada umat

muslim selama beradab-abad dianggap oleh Shahru>r keliru dan tidak relevan.

Menurut Shahru>r, untuk memahami makna Islam hendaknya melakukan

reinterpretasi tentang konsep Islam mulai dari Nabi Nuh} dan berakhir pada Nabi

Muh}ammad melalui Nabi Ibrahi>m, Ya’qub, Isa dan Musa.46

Shahru>r membedakan

42

QS. Al-Naml: 44. 43

dan firman-Nya: (selain Islam), yang dimaksud dengan terma islām pada ayat ini

adalah Islam khusus, yakni shariat yang dibawa oleh Nabi Muḥammad SAW, meskipun

secara asal, makna terma islām adalah berserah diri kepada Allah dimanapun dan kapanpun

berada. sebagaimana para Nabi terdahulu -sebelum Nabi Muḥammad-, mereka juga disebut

sebagai Islam, begitupun dengan para pengikutnya yang disebut sebagai muslimūn (orang-

orang muslim). akan tetapi, makna Islam di sana adalah Islam secara umum, sedangkan

Islam secara khusus adalah setelah diutusnya Muḥammad Rasulallah SAW, dan semua

istilah Islam dewasa ini adalah tentang sḥariat yang dibawa oleh Muhammad Rasulallah

SAW saja. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 497.

44 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n, Jil. 1, 500.

45 Lihat, Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-

Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H),, jil. 1, hal. 48-

49. 46

Lihat, Abu Muslim, "Reinterpretasi Konsep Islam dan Iman dalam al-Qur'a>n

(Telaah Pemikiran Muhammad Shahru>r)", Dialogia, Vol. 15, No. 1, (Juni 2017), 25.

Page 113: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

101

antara Islam dan iman, meskipun ia juga mengakui adanya kesinggungan makna

antara keduanya. Menurutnya Islam merupakan fitrah insaniyyah yang diberikan

Allah kepada manusia yang tidak membutuhkan risalah langit, ritual atau ajaran

tertentu. Atas dasar inilah Sahrūr menolak empat rukun Iman yang diyakini oleh

mayoritas muslim dan hanya mengakui rukun Islam yang pertama, yaitu sahadat.

Sedangkan iman dalam artian keyakinan, pengakuan, dan perwujudan dalam

perbuatan membutuhkan petunjuk dan dan tuntunan dari Allah melalui para

utusan-Nya untuk menjelaskan ajaran dan ritual yang harus dilakukan sebagai

bentuk penghambaan kepada Tuhan.47

Kelompok inklusifis memandang bahwa terma al-isla>m pada QS. A<li 'Imra>n

19 dan 85, bukan islam sebagai "organized religion", tetapi islam berdasarkan

makna generiknya, yakni tunduk, patuh dan berserah diri.48

Dari perspektif makna

generik ini kemudian mengarah kepada pengakuan eksistensi semua agama dan

berpeluang mendapatkan berkah keselamatan. Nurcholis Madjid

mengistilahkannya dengan "Satu Tuhan Banyak Jalan". Dalam pandangannya,

agama-agama berbeda pada level eksoteriknya dan relatif sama pada level

esoteriknya. Hal ibarat roda, pusat roda adalah tuhan sedangkan jari-jari pada roda

tersebut adalah berbagai jalan menuju keselamatan dari setiap agama.49

Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Isma>'il Ragi al-Faruqi, ia

berasumsi bahwa asal semua agama adalah satu dan bersumber pada satu tuhan.

Al-Faruqi mengistilahkan asal agama tersebut dengan Ur-Religion atau agama

fitrah yang bersifat meta-religion, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Ru>m: 20,

kemudian agama fitrah tersebut berubah secara dinamis menjadi agama-agama

historis-tradisi yang spesifik dan pluralis.50

Pandangan inilah yang dikonsepsikan

oleh Maulana Abul Kalam Azad dengan istilah wahdat al-di>n (kesatuan agama),

dengan asumsi bahwa kebenaran Tuhan hanyalah satu yang diberikan kepada

semua tanpa terkecuali dan tanpa pengkhususan. Semua orang yang mengabdi

kepada Tuhan dan hidup dalam kesalihan maka ia akan memperoleh keselamatan,

tanpa memandang afiliasinya terhadap kelompok agama tertentu.51

Kalangan inklusifis-pluralis menguatkan argumentasinya dengan QS. Al-

Ma>idah: 62 dan 69. Misalnya, Khaled Abou al-Faḍl, menyebutkan bahwa al-Qur'a>n

mengakui pluralitas teologis sebagai jalan-jalan menuju keselamatan. Ia

menggunakan ayat:

47

Abu Muslim, "Reinterpretasi Konsep Islam dan Iman dalam al-Qur'a>n (Telaah

Pemikiran Muhammad Shahru>r)", Dialogia, Vol. 15, No. 1, (Juni 2017), 41 48

Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian

Semantik Terhadap Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3,

No. 1, (21 April 2013): 62. 49

Lihat buku Nurcholis Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999). 50

Lihat, Isma>'il Raji al-Faruqi, Islam dan Agama-agama Lain,dalam Altaf Gauhar

(ed.), Tantangan Islam, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka,

1982), 102-105. 51

Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2013), 99-112.

Page 114: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

102

إ ‌ ا ءادٮن إ م ي تإ ن ى ـ ى ٳددثن

جن إ أ ىجعيڪ إ شاء ٱلل ى ا اجن إ عجن إ شسإ ن ا ىنو جعيإ

ذي د إ إ ا مذ ا ت ن ةعن إ ج جعڪ سإ سٳح اى ٱلل إ ذتقا ٱىإ ٲظإ

"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah engkau semua akan kembali (di akhirat), lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."52

,

dan ayat,

ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا س ـ ٱىص تـ ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا

ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي خ

‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orangorang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛53.

Menurut al-Faḍl, ayat tersebut mengindikasikan bahwa peluang keselamatan

(salvation) dimiliki juga oleh non-muslim. Lebih lanjut, al-Faḍl mengkritik ulama

muslim pramodern, denga menyebutkan bahwa mereka tidak memiliki dorongan

yang kuat untuk mengekplorasi makna dan implikasi akan persetujuan al-Qur'a>n

terhadap pluralitas dan interaksi antar budaya. Hal ini disebabkan oleh dominasi

politik dan superioritas peradaban Islam, yang menjadikan mereka over confident.54

Menurut Rashid Rid}a, keselamatan seseorang tidak ditentukan oleh jenis

agamanya melainkan berdasarkan keimanan dan amalnya. Keimanan yang bernar

tersebut tidak diisyaratkan oleh kekhususan mengimani syariat Muh}ammad.55

Dalam riwayat Ibn Abi Ha>tim, dari Ibn ‘Abba>s, ia berkata, bahwasanya orang-

orang Yahudi dan Nas}rani berkata, "tidak akan masuk syurga selain golongan dari

kami." Maka turunlah QS. Al-Nisa>': 123.56

Dalam riwayat lain, yakni riwayat Ibn

Jari>r, dari Masru>q, bahwasanya orang-orang Nasrani dan Islam saling

membanggakan kelompoknya masing-masing dan mengklaim bahwa kelompok

mereka lah yang paling utama. Kemudian turunlah ayat 123 dari surah al-Nisa>';

52

QS. 5: 48. 53

QS. 5: 69. 54

Khaled Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam, diterjemahkan oleh Heru

Prasetia dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam, Purotanisme versus Pluralisme,

(Bandung: Arasy PT Mizan Pustaka, 2003), 32-33. 55

M. Rashid Rid}a, Tafsir al-Qur'ān al-Ḥakīm: Tafsir al-Manār (Mesir: Dār al-Manār,

2001), jil. 1, 336. 56

Jala>l al-Di>n 'Abdu ar-Rah}ma>n bin Abi Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 99.

Page 115: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

103

ل ا ىن ٱلل ل جدإ ى ص ةۦ ا جإ ءن وإ ظ عإ ب ـ ڪذ و ٱىإ إ أ ا ل أ إ ان ط ةؤ إ ى

ا صسن

"(Pahala dari Allah) itu bukan menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya ia akan diberi pembalasan atas kejahatan tersebut dan ia tidak mendapatkan pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain Allah."57

Penafsiran terhadap terma al-isla>m menimbulkan beragam paradigma

keberagamaan dalam Islam, khususnya berkaitan dengan sosial-relasional antara

Islam dan agama-agama lainnya. ketika terma al-isla>m dimaknai secara generik-

substansialis, yakni kepasrahan total terhadap Yang Maha Tunggal, maka

penafsiran tersebut akan mengarah kepada konsep keberagamaan yang inklusif-

pluralis yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya dimiliki oleh Islam

melainkan dimiliki juga oleh agama-agama lainnya, begitupun dengan keselamatan

tidak hanya dimonopoli oleh agama Islam melainkan hak semua agama selama

mengimplementasikan totalitas kepasrahan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, jika

terma al-isla>m dimaknai secara khusus sebagai syariat Nabi Muh}ammad, maka

arah penafsirannya cenderung menghasilkan konsep keberagamaan yang eksklusif,

yang meyakini bahwa hanya agama yang dibawa oleh Muḥammad lah yang benar

sebagai jalan menuju keselamatan.

Secara rinci, Rofiq Nurhadi dkk, menjelaskan implikasi metode penafsiran

terhadap produk tafsir, khususnya terkait ekslusivisme-inklusivisme dalam al-

Qur'a>n. Nurhadi menggunakan pendekatan semantik untuk membaca relasi terma

al-di>n, al-shari‘ah, dan millah. Dalam kajiannya, Nurhadi mengunakan teori

hiponimi dan sinonimi58

, yang dalam kesimpulannya, jika terma al-di>n dan al-shari‘ah dibaca secara hiponimi maka produk tafsir yang dihasilkan adalah faham

ekslusivisme. Secara hiponimi, terma shari‘ah ada pada terma al-di>n atau dalam al-di>n mengandung banyak shari'ah. Dengan demikian, ayat pada QS. Al-Ma>idah: 48

dan QS. Ali ‘Imra>n: 19 akan bersebrangan (ta‘a>rud). Dan solusi dari kontradiksi

ayat tersebut adalah metode abrogasi (naskh wa al-mansu>kh)59. QS. Al-Ma>idah: 48,

yang menjelaskan bahwa setiap umat diberikan syariat dan jalan yang terang,

57

. Jala>l al-Di>n ‘Abdu ar-Rah}ma>n bin Abi Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 99.

58 Relasi hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang

maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran lain. Sedangkan relasi sinonimi adalah

hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan

ujaran lainnya. A. Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta, Rineka Cipta, 2007), dalam Rofiq

Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik Terhadap

Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April

2013): 63-65. 59

Dalam konteks ini, metode naskh wa al-mansu>kh yang digunakan adalah naskh wa al-mansu>kh juz'i, yaitu penghapusan sebagian hukum shara' yang umum sebelumnya oleh

hukum shara' yang datang setelahnya. Lihat, N. Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2001), 173.

Page 116: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

104

dinaskh oleh QS. A<li ‘Imra>n: 19. Maka produk penafsirannya adalah syari'at-

syari'at yang ada sebelum Nabi Muh}ammad, dihapus sebagiannya oleh syari'at

Nabi Muh}ammad yang datang setelahnya. Konsekuensi logisnya, makna QS. A<li

'Imra>n: 19 adalah, al-di>n yang diridhai Allah adalah al-di>n yang berisikan syari'at

Nabi Muh}ammad serta jaminan keselamatan pada Yahudi, Naṣrani dan Shabi'i>n

dalam QS. Al-Baqarah: 62, juga dinasakh oleh QS. A<li 'Imra>n: 85 yang mewajibkan

mengikuti syari‘at Nabi Muh}ammad.60

Adapun secara sinonimi, secara umum terma al-di>n bermakna millah dan

shari‘ah, atau ketiganya memiliki makna yang sama. Jika terma al-di>n, millah dan

shari‘ah dalam al-Qur'a>n dibaca secara sinonimi, maka produk penafsirannya

adalah faham inklusivisme-pluralisme. Yakni tidak ada pertentangan antara QS.

Al-Ma>idah: 48 dan QS. Ali Imran: 19 dan jaminan keselamatan tidak dimonopoli

oleh satu agama tertentu melainkan hak semua agama selama ia berbuat baik serta

tunduk dan patuh kepada Yang Maha Tunggal.61

Berdasarkan pemaparan di atas, penafsiran terhadap terma i>ma>n dan isla>m

memiliki implikasi terhadap pembentukan identitas bagi kelompok Islam yang

disebut muslim dan kelompok yang beriman yang disebut sebagai mukmin. Dalam

hal ini, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n cenderung eksklusif dalam memaknai

terma ima>n dan isla>m, yang hanya ditunjukkan bagi orang-orang yang meyakini

Allah dan syari‘at yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Hal ini dipengaruhi oleh

pembacaan yang tekstualis oleh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n terhadap nash

al-Qur'a>n dan hadi>th yang menjelaskan dua terma tersebut, khususnya pada hadi>th

yang diriwayatkan dari 'Umar.

B. Non Muslim dalam Tafsir Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n

1. Kafir

Terma ka>fir merupakan ism al-fa>‘il (subyek) dari kata kerja (fi‘il) kafara

dengan mas}dar al-kufr. Secara bahasa al-kufr bermakna satru al-shai' (menutupi

sesuatu). Makna ini memiliki konotasi yang luas tergantung pada konteks

penggunaannya, misalkan malam dengan kegelapannya menutupi manusia dari

cahaya disebut juga sebagai al-ka>fir, atau petani juga bisa dikatakan sebagai al-ka>fir karena ia menabur benih dan menutupinya dengan tanah.

62 Dalam ranah

teologis, al-kufr merupakan kebalikan dari iman (naqi>d} al-i>ma>n), maka al-ka>firu

adalah orang yang tidak beriman, dan digunakan juga sebagai identitas kelompok

di luar Islam yang menolak dan menentang Islam (ahl da>r al-harb). Selain itu, term

al-kufr juga memiliki makna etika negatif sebagai sifat yang tidak tau terimakasih

60

Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian

Semantik Terhadap Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3,

No. 1, (21 April 2013), 63-65. 61

Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik

Terhadap Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", 65-66. 62

Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,

2009), 714.

Page 117: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

105

atau kebalikan dari syukur (naqi>d} al-shukr) yang lebih dikenal dengan istilah kufr al-ni‘mah, yakni tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan.

63

Di dalam al-Qur'a>n, term al-kufr disebutkan sebanyak 525 kali dengan

berbagai derivasinya,64

yang secara umum mengarah kepada pengertian kufr dengan makna semantik yang disebutkan di atas. Keberagaman pengertian yang

disebutkan al-Qur'a>n tentang term kufr ini disimpulkan oleh Toshiko Izutsu bahwa

ketidakpercayaan (naqi>d} al-i>ma>n) bukan satu-satunya dasar semantik dan bukan

makna asal dari term kufr tersebut. Izutsu lebih cenderung memaknai kufr sebagai

etika negatif yang tidak berterimakasih atau tidak bersyukur (naqi>d} al-shukr).65

Asghar Ali Engineer lebih luas memahami term kufr yang berkonotasi pada

kejahatan sosial-ekonomi, menurut Ashgar, kufr bukan hanya tentang tidak

berimannya kepada Allah, rasul dan syariatnya, tapi kufr juga bermakna

penentangan terhadap masyarakat yang adil, egaliter, ekploitasi, penindasan dan

penjajahan. Maka orang kafir dalam pandangan Asghar bukan hanya orang yang

tidak beriman tapi juga orang yang tidak berani dan tidak berperan dalam melawan

kejahatan-kejahatan sosial-ekonomi.66

Term kufr sebagai anonim dari syukur disebutkan dalam QS. Al-Baqarah

ayat 152:

ل دنإ س ڪسا ى ٱشإ إ م مسإ أذإ مس ٲذإ

"Maka, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat sebelumnya (QS. 2:151)

sebagai kesempurnaan nikmat yang diberikan Allah kepada manusia melalui

pengutusan rasul. Ayat tersebut berkaitan dengan (QS. 2:150), "...Dan agar Kusempurnakan ni‘mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk". Kemudian Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa nikmat allah

untuk kita adalah diutusnya Muh}ammad sebagai rasul sebagai petunjuk yang harus

diikuti.67

Berkaitan dengan dua ayat sebelumnya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n menafsirkan QS. 2:152 sebagai perintah untuk dhikr (mengingat)

kepada Allah, perintah bersyukur, dan larangan terhadap kufur nikmat. Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefiniskan shukr sebagai bentuk ketaatan kepada sang

pemberi nikmat (al-qiya>m bi t}a>'ah al-mun‘im), sehingga syukur harus diaplikasikan

63

Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008), 3897. 64

Lihat, Muhammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 605-613.

65 Haikal Fadhil Anam, "Konsep Kafir dalam Alquran: Studi Atas Penafsiran Asghar

Ali Engineer", Nalar, Vol. 2, No. 2, (Desember 2018), 94. 66

Haikal, "Konsep Kafir dalam Alquran: Studi Atas Penafsiran Asghar Ali

Engineer", 95. 67

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,

(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 161-162.

Page 118: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

106

oleh hati, lisan, dan anggota badan untuk taat kepada Allah. Sebaliknya, ketika

seseorang tidak menggunakan hati, lisan, dan anggota badannya untuk taat kepada

Allah, maka seseorang tersebut dikatakan sebagai orang yang tidak tau terimakasih

(kufr al-ni'mah) terhadap Allah yang telah memberinya nikmat yang sempurna.68

Jika term kufr disebutkan dalam QS. 2:152 bermakna tidak berterimakasih

kepada Allah, lain halnya dengan QS. 26:19:

ـ س ن ٱىإ أخ خ يذل ٱىذ عيإ خ عإ عيإ

"Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna".

Kata al-ka>firi>n dalam ayat tersebut menunjukkan sikap Musa yang tidak

berterimakasih kepada Fir'aun yang telah mengasuh dan membesarkannya serta

keengganan Musa untuk menuhankan Fir'aun. Sependapat dengan para mufassir

lain,69

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menegaskan bahwa kata al-ka>firi>n pada

ayat tersebut bukan kafir kepada Allah tapi kafir kepada fir'aun.70

Jika melihat dua

ayat di atas, tidak tahu terimakasih sebagai etika negatif lawan dari syukur

disebutkan al-Qur'ān sebagai pengertian dari kufr secara umum, baik tidak

berterimakasih kepada Allah ataupun yang lainnya. Pengertian kufr sebagai etika

negatif lawan dari syukur atau tidak tahu berterimakasih dapat dilihat juga pada

QS. 14:7,

عراة ىشددف إ ا د ىٮٮ سإ إ ‌ إ ٱشدن د إ ىٮٮ شڪسإ زةبن اذإ دؤذ

Dan tatkala Tuhanmu mema’lumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah [ni’mat] kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'".

Ayat tersebut menjelaskan tetang kufr al-ni‘mah, sebagaimana yang

disebutkan oleh Ibn Kathi>r ketika menafsirkan wala-in kafartum, yakni kekafiran

mereka terhadap semua nikmat dari Allah, menutup-nutupi dan menolaknya.71

Pengertian kufr sebagai etika negatif lawan dari syukur semacam ini tidak hanya

berlaku bagi umat non-muslim, namun berlaku pula bagi umat Islam yang beriman.

Pengertian lain terhadap terma kufr adalah kebalikan dari iman. Definisi

bernuansa teologis ini disebutkan al-Qur'a>n dalam berbagai bentuk, di antaranya

menggunakan fi‘il ma>d}i> (kata kerja lampau), disebutkan sebanyak 232 kali,72

baik

yang ditujukan kepada umat terdahulu, sebelum datangnya Muh}ammad, maupun

68

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, Jil. 2, 165-171. 69

Lihat, Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 2000), 1370. 70

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Shu'ara>, (‘Unaizah: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1436

H), 60. 71

Lihat, Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 2000), 1022. 72

Muhammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, dalam Muh}ammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1988), 64.

Page 119: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

107

pada masa turunnya al-Qur'a>n. Pada QS. 14:9, disebutkan tentang penolakan umat-

umat terdahulu, seperti kaum Nabi Nuh}, kaum 'A<d, dan kaum Thamu>d terhadap

Nabi-Nabi mereka dengan mengatakan:

سبب إ عا اى ا ددإ اا ى شل ذ ةۦ ظيإ ا أزإ ا ة اا م سإ

"...Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya".

Sedangkan penolakan iman pada masa Nabi Muh}ammad dapat dilihat, di

antaranya pada QS. 2;6,

إ ل ئإ إ درزإ إ ى إ أ د إ ءأرزإ إ اءف عي م سا ظ ٱىر ا

"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman".

Surat al-Baqarah termasuk kategori surat madaniyyah, yang diturunkan

pasca hijrah Nabi ke Makkah. Pada QS. 2: 6-7, al-Qur'a>n menjelaskan tentang

kerasnya hati orang-orang Makkah yang tetap menolak kebenaran yang dibawa

oleh Muh}ammad. Sehingga, dengan sifat keras hati tersebutlah orang-orang

Makkah yang menolak risalah Muh}ammad disebut sebagai orang-orang kafir,

sebutan untuk orang-orang yang berada di luar Islam sebagai komunitas lain yang

sebenarnya merupakan kerabat dekat Muh}ammad sebelum menjadi Nabi. Term

kufr pada konteks ini, bukan hanya sekedar perbedaan teologis namun juga

bernuansa politik identitas.73

T{aba>t}aba>'i> menyatakan bahwa semua term al-ladhi>na kafaru> merujuk kepada orang-orang kafir Makkah pada zaman Nabi Muh}ammad,

kecuali ada petunjuk lain yang menunjukkan kepada komunitas lain selain

mereka.74

Pengungkapan lain tentang term kufr sebagai lawan dari iman disebutkan al-

Qur'a>n dalam bentuk fi‘il mud}a>ri‘ (kata kerja sedang atau akan). Seperti pada QS.

3:70, tentang sindiran Allah kepada Ahl Kita>b atas keengganan mereka untuk

beriman kepada risalah Muh}ammad padahal mereka sebenarnya mengetahui akan

kebenarannya. Kemudian, tentang adzab atas perilaku kafir, seperti pada QS.

3:106, 8:35, 36:34. Atau tentang tentang kekafiran orang-orang Yahudi serta

perilaku yang telah membunuh nabi-nabi utusan Allah seperti yang dijelaskan pada

QS. 3:21.75

Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa pengungkapan al-Qur'a>n dengan

73

Lihat, Irfan Afandi, Mu'min, Kafir dan Munafiq: Politik Identitas Kewargaan di

Awal Islam (Kajian Tentang QS. al-Baqarah : 1-20), Jurnal Darussalam, Vol. IX, No 1,

(September 2017), 66-85. 74

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 64. 75

Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 609.

Page 120: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

108

menggunakan fi‘il mud}a>ri‘ tidak selamanya bermakna sedang atau akan terjadi,

terkadang untuk menunjukkan peristiwa yang sudah lampau, menunjukkan sesuatu

yang terjadi secara terus menerus, atau untuk menunjukkan sesuatu yang sangat

indah atau sangat jelek, seperti kekejian orang-orang Yahudi yang membunuh para

nabi, disebutkan dalam QS.3:21, dalam bentuk fi‘il mud }a>ri‘ yaitu "yakfuru>n".76

Dalam QS. 4:136, al-Qur'a>n menjelaskan tentang perintah untuk beriman

sekaligus larangan kufr atau inkar kepada lima dari enam rukun iman, juga

menggunakan bentuk fi‘il mud}a>ri‘:

أصه ب ٱىر ـ ڪذ ٱىإ زظىۦ ه عي ب ٱىر ص ـ نذ ٱىإ زظىۦ ا ةٲلل ا ءا ءا ؤب ا ٱىر ـ

ا ـ ةعدن خس قدإ ظو ظي ٱٱإ إ ٱىإ زظيۦ مذتۦ ٮٮنذۦ ـ ي نإ سإ ةٲلل و قتإ

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memahami ayat ini sebagai tah}qi>q al-i>ma>n (pengukuhan iman) atau al-hirs} ‘ala> takmi>lih (dorongan untuk

menyempurnakan iman) dan ancaman terhadap kekufuran. Terdapat lima rukun

iman pada ayat tersebut yang harus diimani, yaitu iman kepada Allah, hari akhir,

para rasul, kitab-kitab, dan malaikat, sedangkan iman kepada qad}a> dan qadar dijelaskan pada ayat yang lain. Dalam pandangan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

'Uthaimi>n, iman kepada Allah harus meliputi; iman terhadap eksistensi-Nya

(biwuju>dihi), iman terhadap rububiyyah-Nya, iman terhadap uluhiyyah-Nya, dan

iman terhadap asma> dan s}ifa>t-Nya, dan barang siapa yang tidak beriman kepada

satu atau sebagian darinya, maka ia tidak dikatakan sebagai orang yang beriman.77

Pengingkaran terhadap rukun iman dijelaskan pada ayat tersebut sebagai

kesesatan yang amat jauh (z}alla z}ala>lan ba‘i>da). Bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, keimanan merupakan sesuatu yang final dalam Islam, yang tidak boleh

diotak-atik, dikurangi ataupun dilebihi, mengutip QS. 4:150-151, beliau

menjelaskan bahwa mengimani sebagian dari rukun iman dan mengingkari

sebagiannya sama dengan mengingkari semuanya. Seperti keimanan terhadap

kitab-kitab yang telah Allah turunkan, maka semuanya harus diimani sebagai kitab

yang bersumber dari Allah tanpa terkecuali. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menghukumi murtad bagi orang yang hanya mengimani al-Qur'ān tapi tidak

mengimani Taurat dan Injil atau kitab-kitab terdahulu, meskipun keunggulan al-

Qur'a>n sebagai kitab penutup dan penyempurna bagi kitab-kitab yang lain tetap

dipertahankan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Keimanan terhadap kitab-

76

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988) 65-66. 77

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 330-332.

Page 121: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

109

kitab terdahulu hanya sebatas meyakini bahwa kitab-kitab tersebut bersumber dari

Allah yang pernah diturunkan kepada para rasul-Nya sebelum Muḥammad.78

Terma kufr sebagai lawan dari iman juga disebutkan dalam bentuk mas}dar (infinif). Ditemukan sebanyak 40 kali al-Qur'ān menyebut term kufr menggunakan

bentuk mashdar yang pada umumnya merupakan lawan dari iman.79

Hal ini bisa

dilihat, misalnya pada QS. 30:44, 31:23, 35:39, 2: 88 dan beberapa ayat lainnya.80

Kemudian, pengungkapan lainnya adalah dengan menggunakan ism fa>‘il (kata

benda yang menunjukkan subyek), ditemukan sebanyak 175 kali dalam al-Qur'ān

dengan makna yang lebih komplit dibandingkan bentuk-bentuk yang lainnya, sebab

dengan bentuk ism fa>‘il ini terdapat tiga makna yang ditunjuk sekaligus, yaitu

adanya peristiwa, terjadinya peristiwa, dan pelaku dari peristiwa tersebut, dan

bersifat lebih permanen.81

Dalam bentuk ini juga dijelaskan mengenai sifat-sifat

buruk yang dimiliki oleh orang kafir, seperti sombong, ingkar dan membengkang

terhadap kebenaran (2:34), mengolok-olok rasul-rasul Allah dan menuduh mereka

sebagai tukang sihir (10:2), menghalang-halangi orang dari jalan Allah (7:45),

membuat kebohongan kepda Allah (29:68), dan lainnya.82

Pada QS. 2:41, Rāghib

al-Ashfahānī menyebutkan bahwa term al-ka>fir ada umumnya digunakan untuk

orang yang mengingkari keesaan Allah, kenabian, atau syariat.83

Pada QS. 5:44, orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang

diturunkan oleh Allah dikategorikan sebagai al-ka>firu>n (orang-orang kafir),

ـ س ن ٱىإ ٮٮل ـ ى ؤ ا أصه ٱلل ن ة إ ذإ ى

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".

Terkait ayat ini, Muḥammad bin Ṣāliḥ al-‘Uthaimīn menyebutkan bahwa

siapapun di antara manusia, baik dari Yahudi, Naṣrani ataupun yang lainnya, yang

tidak berhukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah maka dia adalah

kafir.84

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini, apakah khusus untuk orang

Yahudi, atau umum bagi selainnya juga. Kemudian permasalahan lainnya adalah

penisbatan kafir bagi yang tidak berhukum dengan hukum Allah, apakah ia kafir

dan keluar dari Islam, atau tidak. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjelaskan

tiga kemungkinan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, pertama,

78

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', Jil. 2, 335-337. 79

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988) 67. 80

Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Dār al-Hadi>th, 1364), 610.

81 Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 67. 82

Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, 68. 83

Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,

2009), 714. 84

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,

(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 427.

Page 122: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

110

karena ia mengharap sesuatu selain dari Allah, seperti seorang hakim yang

mengharapkan materi dari sogokan ketika memberikan putusan hukum. Kategori

ini dihukumi sebagai fasik dan tidak keluar dari Islam. Kedua, karena ada

permasalahan pribadi sehingga bersikap diskriminasi, seperti seorang hakim yang

memenangkan orang yang berada dipihaknya. Kategori ini dianggap lebih jahat

daripada kategori pertama, namun tidka mengeluarkannya dari Islam. Ketiga, atas

dasar pengingkaran, yaitu meyakini hukum yang lain selain hukum Allah lebih baik

atau sama dengan hukum Allah. Kategori ini dianggap oleh Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n telah keluar dari Islam. Salah satu dasar argumentasinya adalah (QS.

5:50), yang menjelaskan bahwa tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum

Allah.85

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjelaskan tentang batasan atau syarat-

syarat seorang hakim dikatakan telah kafir dan keluar dari Islam ketika berhukum

bukan dengan hukum Allah. Pertama, seorang hakim harus tahu terlabih dahulu

dengan hukum Allah. Kedua, seorang hakim harus mengetahui dan menyadari

hukum yang bersebrangan dengan hukum Allah. Ketiga, seorang hakim dengan

sengaja membuat hukum bandingan yang menggantikan hukum Allah. Keempat, tidak ridha dan tidak suka dengan hukum Allah. Jika syarat-syarat tersebut

terpenuhi, maka hakim tersebut dikatakan kafir dan telah keluar dari Islam.86

Secara terminologi hukum, sebenarnya tidak ada batasan pasti antara iman

dan kufr sehingga seseorang dikatakan keluar dari Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n menyebutkan, bahwa segala sesuatu yang bersebrangan dengan Islam,

maka hal tersebut merupakan pembatalan atas keislamannya. Namun beliau

membagi pembatalan tersebut ke dalam dua kategori; pembatalan juziyyah dan

pembatalah kulliyyah. Pembatalan yang pertama disebut juga dengan nawa>qid} sughra> (pembatalan kecil) yang pada umumnya tidak mengeluarkan seseorang dari

Islam. Sedangkan kategori yang kedua disebut juga dengan nawa>qid} kubra> (pembatalan besar) yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.

87 Namun

demikian, pengkategorian kulli> dan juz'i> dalam ajaran Islam tentu akan sangat

rumit, sebab tidak ada batasan-batasan jelas mengenai hal itu terlebih banyaknya

ikhtila>fa>t (perbedaan-perbedaan pendapat) di kalangan ulama dalam memahami

ajaran Islam itu sendiri. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak menjelaskan

secara rinci batasan kulli> dan juz'i> tersebut, hanya saja beliau menjelaskan bahwa

hal-hal yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam, secara umum berada pada

dua kemungkinan, ima> al-inka>r, wa ima> al-istikba>r (bisa sebagai bentuk

pengingkaran atau sebagai kesombongan). Bentuk pengingkaran dicontohkan oleh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n seperti tidak berimannya kepada hal-hal yang

wajib diimani, seperti enam rukun iman dalam lima rukun Islam. Sedangkan

85

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, Jil. 1, 433-435. 86

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, Jil. 1, 435-436. 87

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah:

Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H ), 339-

340.

Page 123: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

111

bentuk kesombongan adalah orang yang enggan mengikuti agama Islam, padahal

sebenarnya dia mengakui akan kebenaran Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n

juga menyebutkan bahwa hal-hal yang dapat membatalkan Islam sangat banyak

dan tidak terbatas.88

Ibn Manz}u>r menjelaskan empat kategori al-kufru sebagai lawan kata dari

iman: kufr al-inka>r, yaitu mengingkari Allah beserta syariat-syariatnya yang

diturunkan kepada para utusannya, baik dengan hati maupun dengan lisannya. kufr al-juhu>d, yaitu mengingkari dengan lisannya namun hatinya tetap mengakui. kufr al-mu'a>nadah, yaitu mengakuinya dengan hati dan lisannya, akan tetapi menolak

untuk memeluk dan menjalankan agama Allah karena ada kedengkian dan

kesesatan padanya. kemudian kufr al-nifa>q mengakui dengan lisannya sementara

hatinya menolak.89

Jika melihat penjelasan term kufr dalam al-Qur'a>n, penulis menemukan tiga

pengertian kufr yang dijelaskan al-Qur'a>n secara garis besarnya, pertama, term kufr dijelaskan dengan makna generiknya, yaitu menutupi, menghapus dan

menghilangkan. Seperti kata kaffa>rah dalam QS. 5:45, 89, dan 65, yang bermakna

penebus atau penghapus dosa. Kedua, term kufr disebutkan sebagai identitas

komunitas di luar Islam (non-muslim), seperti penyebutan terhadap musyrikin

Quraisy, Yahudi, dan Nashrani serta umat-umat lain selain umat Islam. Ketiga, term kufr sebagai etika negatif, baik etika sosial, seperti tidak tahu berterimakasih,

atau etika negatif dalam agama Islam, yakni perilaku yang berlawanan dengan

syariat Allah, baik dalam ranah teologis-keyakinan, maupun praktis-perilaku.

Dalam tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menyebutkan pengertian term kufr dengan berbagai maknanya mengikuti konteks

ayat dalam menjelaskannya, baik sebagai makna generiknya, sebagai identitas

kelompok di luar Islam, atau sebagai etika negatif sosial-agama. Namun demikian,

kecenderungan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam menggunakan term kufr lebih kepada segala perilaku yang berlawanan dengan Islam, baik yang dapat

mengeluarkan dari Islam ataupun tidak. Sehingga, dalam beberapa kasus,

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terdorong untuk mengkategorikan mana yang

beriman dan mana yang kafir. Dalam hal ini, asusmsi penulis didasarkan kepada;

pertama, dominasi ayat-ayat dalam al-Qur'a>n ketika menjelaskan term kufr yang

lebih banyak kepada bentuk penyelewengan atau penolakan terhadap agama,

seperti pengingkaran terhadap rukun iman dan perbuatan dosa, sehingga

memberikan porsi lebih banyak bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n untuk

membahasnya ketimbang kufr sebagai makna generiknya. Kedua, paradigma

eksklusif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menuntut beliau untuk membuktikan

88

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah:

Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H ), 340-

342. Lihat juga, Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), Jil. 2, hal.121-

126. 89

Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 3897-3898.

Page 124: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

112

kesalahan-kesalahan orang yang menolak Islam dan keunggulan muslim

dibandingkan kelompok lainnya. Sehingga, identitas mukmin-kafir dibutuhkan

untuk membedakan antara "kami" dan "mereka". Ketiga, dalam karya-karya

lainnya, seperti Qaul Mufi>d ‘Ala> Kita>b al-Tauhi>d, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, dan

beberapa karya lainnya, penggunaan term kufr dalam kitab-kitab tersebut lebih

cenderung kepada identitas kelompok di luar Islam atau sebagai bentuk

penyelewengan terhadap agama Islam.

2. Mushrik

Shirk adalah menjadikan sesuatu selain Allah sebagai objek pemujaan lain

atau tempat lain untuk menggantungkan harapan.90

Term shirk berasalah dari kata

kerja ashraka, yushriku, yang secara literal memiliki makna menyekutukan.

Sedangkan orang yang menyekutukan disebut mushrik, dan sesuatu yang dijadikan

media persekutuan disebut shari>k-shura>ka>'.91 Sa‘i>d bin ‘Ali> bin Wahf al-Qah}t}a>ni>

mendefinisikn shirk sebagai sikap menyamakan selain Allah dengan Allah terkait

kekhususan yang hanya dimiliki Allah. Sa'i>d melandaskan definisinya kepada QS.

26:97-98.92

S{a>lih} bin Fauza>n menyebutkan bahwa shirk adalah menjadikan sekutu

bagi Allah pada aspek rububiyyah dan uluhiyyah-Nya.93

Lebih lengkap Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menambahkan aspek asma> dan s}ifa>t Allah. Beliau

mendefinisikan shirk dengan makna menjadikan sekutu terhadap Allah, baik pada

aspek rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, maupun asma> dan s}ifa>t-Nya.94

Meskipun

terdapat perbedaan redaksi dan cakupan dalam mendefinisikan shirk, para ulama

sepakat bahwa shirk merupakan dosa besar dalam Islam dan lawan dari tauhid yang

merupakan inti dari ajaran Islam.

Para ulama mengklasifikasikan shirk kedalam dua kategori; shirk akbar dan

shirk as}ghar. S{a>lih} bin Fauza>n menyebutkan empat perbedaan antara shirk akbar dan shirk as}ghar. Pertama, shirk akbar mengeluarkan pelakunya dari Islam

sedangkan shirk as}ghar tidak. Kedua, shirk akbar menyebabkan dia kekal di neraka

sedangkan shirk as}ghar tidak. Ketiga, shirk akbar menghapus semua amal

pelakunya sedangkan shirk as}ghar tidak. Keempat, darah dan harta pelaku shirk akbar adalah mubah berbeda dengan pelaku shirk as}ghar.95

Contoh dari shirk akbar adalah seperti menyembah selain Allah, sedangkan cotoh dari shirk as}ghar adalah

90

Harifuddin Cawadu, dalam Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1988), 69.

91 Lihat, al-Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus: Da>r al-

Qalam, 2009),451-452. Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008),

2248-2250. 92

Sa‘i>d bin ‘Alī bin Wahf al-Qah}t}a>ni>, ‘Aqi>dah al-Muslim fi> Ḍu>'i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Riya>ḍ: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wat}aniyyah, 2008), 536.

93 S}a>lih} bin Fauza>n bin ‘Abdillah al-Fauza>n, ‘Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Da>r al-

Qi>sim, tth.), 74. 94

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah,

Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H ), 412. 95

S{a>li>h} bin Fauza>n bin 'Abdillah al-Fauza>n, ‘Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Da>r al-

Qa>sim, tth.), 80.

Page 125: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

113

riya. Selain itu, para ulama juga membagi shirk kepada shirk jalli> yang nampak

atau z}ahir seperti menyembah berhala atau bersumpah dengan selain Allah, dan

shirk khafi>, yang tidak nampak atau tersembunyi seperti perbuatan riya.96

Secara eksplisit, al-Qur'a>n menjelaskan bahwa adanya kesamaan pesan

esensial antara al-Qur'a>n dan kitab-kitab sebelumnya, yaitu misi untuk

memurnikan tauhid yang berlandaskan pada kepasrahan total kepada Tuhan.

Dalam hal ini, Ibrahim dikenal sebagai bapak monoteisme yang mengajarkan

tauhid dan menentang kemusyrikan. Agama Ibrahim disebut dalam al-Qur'a>n

sebagai millah Ibrahi>m H{ani>fa dan diyakini sebagai sumber dari agama-agama

semitik setelahnya sebagai penerus untuk mewujudkan pesan esensial tersebut.97

Upaya Ibrah}im dalam memurnikan tauḥid diabadikan dalam QS. 6:74-83. Pada

ayat-ayat tersebut dijelaskan bagaimana Ibrah}im menentang kemusyrikan dan

meyakinkan kepada kaumnya bahwa hanya Allah lah yang patut disembah dah

hanya Allah lah yang mampu mendatangkan manfaat dan maḍarat.

Perbuatan shirk sebenarnya telah dilakukan oleh umat terdahulu sebelum

Nabi Ibrahim. Secara historis al-Qur'a>n menyebutkan perbuatan shirk tersebut

telah dilakukan oleh umat manusia menjelang Nabi Nuh diutus. Ketika itu,

kemusyrikan terjadi dengan motif mengkultuskan orang-orang shaleh hingga

mempertuhankannya. Orang-orang shaleh yang dipertuhankan pada masa itu

didokumentasikan dalam QS. 71:23,

ا سن عإ عق ل غر ا اعن ل ظ ا

ن ل درز إ ءاىذن قاىا ل درز

"Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr".

Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni> dalam menafsirkan ayat tersbut menyebutkan

bahwa para pemimpin dan pemuka umat pada masa itu mengatakan "Janganlan

kalian meninggalkan penyembahan berhala, karena mereka adalah tuhan kita yang

memberikan manfaat bagi kita, dan janganlah kalian mendengarkan seruan Nuh}."98

Ibn Kathi>r, dengan mengutip hadith yang diriwayatkan oleh imam al-Bukha>ri>,

menyebutkan bahwa lima nama yang disebutkan pada ayat tersebut adalah berhala-

berhala yang disembah oleh kaum nabi Nuḥ, yang sebenaranya nama-nama tersebut

merupakan orang-orang shalih yang dikultuskan kemudian dibuatkan patung. Lima

96

Lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-

‘Unaizah: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H

), 412-414; Sa‘i>d bin ‘Alī bin Wahf al-Qah}t}a>ni>, ‘Aqi>dah al-Muslim fi> Ḍu>'i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Riyaḍ: Maktabah al-Mulk Fahd al-Waṭaniyyah, 2008), 536-537; S{a>li>h} bin Fauza>n

bin ‘Abdillah al-Fauza>n, ‘Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Da>r al-Qa>sim, tth.), 74-80. 97

Dewi Anggraeni, "Agama Pra-Islam Perspektif Al-Qur’an", Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 12, No. 1, (2016), 50.

98 Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Tafsi>r al-Wa>d}ih al-Muyassar, ( Beirut: al-Maktabah

al-‘Ashriyyah, 2007), 1474.

Page 126: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

114

berhala tersebut kemudian diadopsi oleh bangsa Arab, Wadd oleh Bani Kalb di

Du>mat al-Jandal, Suwa> oleh Bani Huzdail, Yaghu>th oleh Bani Mura>d, Ya'u>q oleh

Bani H{amda>n, oleh Nasr, sesembahan keluarga Dzi Kila>'.99

Kemusyrikan juga dilakukan oleh kaum ‘A<d pada masa Nabi Hu>d, dalam

QS. 11:53-54 Disebutkan:

۞ ئإ ىل ة ا ذإ ىل إ ءاىذا ع ق ةذازم ا ذإ جب ذا ةت ا ج إ ـ ا قه قاىا

سم ا دشإ ءف ا أ ةس ٱشإ د د ٱلل أشإ ءب قاه ا ط ءاىذا ةع ذسٮل ةعإ ال ٱعإ

Kaum ’Ād berkata: "Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. ۞ Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. 'Hūd menjawab: "Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan'".

Pada surat yang sama, QS. 11:62, Allah juga menceritakan kemusyrikan yang

dilakukan oleh kaum Thamu>d pada zaman Nabi S{a>lih}:

ا ا ى شل ا تد ءاةاإا ا عإ تد ٮا أ عإ إ را ‌ أد ـ و ا قتإ ن ج سإ يخ قدإ مخ ا ـ ص ـ قاىا

سبب إ عا اى ددإ

Kaum Tsamud berkata: 'Hai Saleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.'"

Di dalam al-Qur'a>n, term shirk dengan berbagai derivasinya disebutkan

sebanyak 168 kali, meskipun tidak semua mengandung makna menyekutukan

Allah, namun makna shirk sebagai penyekutuan terhadap Allah adalah makna yang

paling banyak digunakan.100

Di antaranya disebutkan dalam QS. 4:48,

menggunakan bentuk fi‘il mud}a>ri‘.

ا ن اثإ ذس قد ٱ إ سكإ ةٲلل شإ شاء ذٳىل ى ا غإ س سك ةۦ ل غإ س أ شإ ٱلل ا

ا ن عظ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa shirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (shirk) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."

Dalam ayat ini, perbuatan shirk disebut sebagai dosa yang sangat besar dan

merupakan satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah. Muh}ammad

99

Lihat, Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2000), 1923. 100

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 69.

Page 127: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

115

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami (an yushraka bihi) mencakup perbuatan syirik

pada aspek rububiyyah, seperti meyakini pencipta lain selain Allah. Kemudian

aspek uluhiyyah, yaitu perbuatan shirk dalam hal ibadah atau penyembahan, dan aspek al-asma>' wa al-shifa>t, seperti menyamakan sifat Allah dengan manusia atau

sebaliknya.101

Tidak diampuninya shirk oleh Allah karena perbuatan tersebut telah

menodai ajaran inti yang merupakan kebenaran terbesar dalam Islam sebagai

agama monoteisme, yaitu tauhid. Selain itu, menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, pelaku shirk sama dengan telah merenggut hak Allah sebagai Tuhan

untuk diesakan.102

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menafsirkan kalimat ma> du>na dha>lik

adalah ma> aqal wa as}ghar (yang lebih sedikit dan lebih kecil). Riya dalam ibadah

merupakan salah satu jenis shirk, maka dosa riya termasuk dosa yang tidak

diampuni. Dalam hal ini, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami term shirk

pada ayat tersebut secara tekstual yang mencakup semua macam shirk, baik akbar maupun as}ghar. Mengutip pendapat Ibn Taimiyyah dalam kitab al-Ikhtiya>ra>t, bahwa semua macam shirk tidak diampuni oleh Allah termasuk shirk as}ghar.103

Sebagian ulama menyebutkan bahwa selama dia bertaubat, maka semua dosa akan

diampuni, termasuk shirk. Dengan kata lain, dosa shirk tidak akan diampuni jika

pelakunya meninggal sebelum dia bertaubat. Hal ini seperti pendapatnya Ah}mad

bin H{anbal.104

Selain sebagai dosa besar, perbuatan shirk juga disebutkan al-Qur'a>n sebagai

penghapus amal yang telah dilakukan. Dalam QS. 39:65 disebutkan:

عس ـ ٱىإ ىذن يل ع تط خ ىذإ سمإ إ أشإ يل ىٮٮ قتإ اى ٱىر ل إ اى ىقدإ أد

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi."

Berdasarkan ayat tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menyimpulkan bahwa shirk dapat menghapus seluruh amal perbuatan yang telah

dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh syariat yang dibawa oleh para nabi

terdahulu. Beliau juga menyebutkan bahwa shirk merupakan jenis kemaksiatan

yang paling buruk yang dapat menyebabkan kerugian bagi pelakunya di dunia dan

akhirat.105

Tentang shirk menghapus amal perbuatan, disebutkan juga dalam QS.

101

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 387-389.

102 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d,

(Riyadh: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1424 H), 110. 103

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 388-391.

104 Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 71. 105

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Zumar, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 441-442.

Page 128: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

116

6:88. Sebagaimana yang diyakini oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tentang

posisi tauhid dalam Islam merupakan syarat utama untuk diterimanya amal dalam

Islam. Ketika syarat tersebut tidak ada, maka amal perbuatan yang dilakukan tidak

memiliki nilai.106

Senada dengan gurunya, Muh}ammad bin Abd al-Wahha>b, dalam

Kita>b al-Tauh}i>d yang menyebutkan bahwa shirk akbar jali> dan shirk as}ghar khafi> adalah bentuk penegasian terhadap tauh}i>d.

107

Perbuatan shirk menegasikan tauh}i>d dan menghapus amal perbuatan yang

telah dilakukan berimplikasi terhadap aspek soteriologis. Muh}ammad bin Abd al-

Wahha>b menegaskan bahwa "wa la> tahaqqaqa al-sa‘a>dah illa bi al-sala>mah minhu", (untuk mendapatkan kebahagiaan/keselamatan, maka selamat dari shirk merupakan

keniscayaan). Sebab, siapapun yang melakukan shirk akan menjadikannya masuk

ke neraka selamanya atau diharamkan baginya syurga.108

Hal ini juga dijelaskan

dalam (QS. 5:72),

زة تدا ٱلل سٳءو ٱعإ اظإ ت ـ عخ قاه ٱىإ ‌ سإ عخ ٱةإ

ٱىإ ٱلل ا ا قاى ىقدإ س ٱىر

إ أصازب ي ـ ا ىيظ ٮ ٱىاز ‌ ؤإ جج

ٱىإ إ عي ٱلل قدإ دس سكإ ةٲلل شإ إ ‌ ا زةڪ

"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Allah adalah al Masih putera Maryam', padahal Al Masih (sendiri) berkata: 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu' Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun."

Terkait ayat tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjelaskan

bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah shirk akbar, yakni shirk yang

dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan kekal di neraka.109

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak memasukan shirk as}ghar sebagai dosa

yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka dan mengeluarkannya dari Islam.

Kemudian, beliau juga menjelaskan bahwa ayat tersebut selain menyebutkan

tentang kemusyrikan orang Nas}rani juga menetapkan hukum kafir bagi mereka atas

kemusrikannya. Meskipun ayat tersebut secara khusus berkenaan tentang kafirnya

orang Nas}rani karena melakukan shirk, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih

menerapkan keumuman hukum daripada kekhususan redaksi pada ayat tersebut,

sehingga beliau menyimpulkan bahwa tidak hanya bagi orang nashrani, siapapun

106

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d, (Riyadh: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1424 H), 54.

107 Al-Murtad}a> al-Zain Ah}mad, Kita>b Tauhi>d Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b wa

Kita>b al-Qaul al-Sadi>d fi> Maqa}s}id al-Tauhi>d li Shaikh ‘Abd al-Rah}ma>n Na>s}ir bin al-Sa‘di>, (Riyaḍ: Majmu>‘ah al-Tuhf al-Nafa>is al-Dauliyyah, 1996), 31.

108 Al-Murtad}a>, Kita>b Tauhi>d Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b wa Kita>b al-Qaul al-

Sadi>d fi> Maqa}s}id al-Tauhi>d li Shaikh ‘Abd al-Rah}ma>n Na>s}ir bin al-Sa‘di>, 32. 109

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah:

Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H ), 414.

Page 129: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

117

yang melakukan shirk maka ia dihukumi sebagi kafir yang telah keluar dari

Islam.110

Permasalahan shirk merupakan salahsatu konsentrasi Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n dalam misinya memurnikan agama Islam kepada ajaran autentiknya.

Tidak hanya menganggap shirk merupakan dosa besar dan menganggap pelakunya

sebagai "orang lain" (ka>fir), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga gencar

mengkampanyekan gerakan puritanisme dalam aktivitas dakwahnya, guna

membersihkan umat Islam dari segala bentuk shirk. Dalam beberapa karyanya,

pembahasan shirk menjadi salah satu tema penting yang dibahas Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Lihat misalnya dalam bukunya al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d, ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, atau dalam fatwa-fatwanya,

Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb.

3. Ahl al-Kitāb

Diskursus tentang ahl al-kita>b menjadi salah satu wacana penting dalam

kajian Islam, terutama kaitannya dengan konsep keberagamaan Islam dengan

kelompok lain. Mengingat interaksi kelompok ahl al-kita>b ini begitu intens dengan

kelompok Muslim di masa awal kemunculan Islam. Selain itu, penafsiran terhadap

terma ahl al-kita>b tentang kelompok mana yang dimaksud serta batasan dan

cakupannya memiliki implikasi hukum111

, dan berpengaruh terhadap pembentukan

konsep keberagamaan. Secara umum, kalangan ekslusifis memposisikan kelompok

ahl kita>b sebagai kelompok di luar Islam yang tidak memiliki peluang keselamatan.

Lain halnya dengan kelompok inklusifis-pluralis, mereka lebih memposisikan sama

dengan kelompok muslim dan memiliki peluang keselamatan. Perdebatan tersebut

juga dipicu oleh sikap ganda yang ditampilkan al-Qur'a>n terhadap kelompok ahl al-

kita>b. Di satu sisi al-Qur'a>n dengan tagas mengkritiknya, namun di sisi lain al-

Qur'ān pun mengapresiasi kelompok ahl al-kita>b.

Terma ahl al-kita>b merupakan gabungan dua kata (id}a>fah) dari al-ahl dan al-kita>b. Kata al-ahl disebutkan dalan al-Qur'a>n sebanyak 125 kali dengan

penggunaan dan makna yang beragam.112

Kata al-ahl memiliki makna ramah,

senang, suka, orang yang tinggal bersama dalam satu tempat tertentu, kelurga,

penduduk, masyarakat, komunitas, untuk menunjukkan sesuatu yang memiliki

hubungan sangat dekat baik dalam hal nasab maupun agama atau hal-hal yang

setara dengannya, seperti profesi, etnis, dan komunitas. Begitupun kata al-ahl juga

110

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 192-204

111 Implikasi hukum yang dimaksud adalah tentang pernikahan dan makanan

sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah: 5. 112

Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 95-97.

Page 130: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

118

digunakan untuk menghimpun suatu kelompok yang memiliki hubungan atas

ikatan ideologi atau agama.113

Adapun kata al-kita>b secara umum ia bermakna menghimpun sesuatu

dengan sesuatu yang lain, seperti menghimpun kulit binatang yang telah disamak

dengan menjahitnya.114

Kata al-kita>b juga bermakna tulisan karena sebuah tulisan

merupakan rangkaian dari beberapa huruf. Begitu juga dengan firman Allah yang

diturunkan kepada rasul-Nya disebut al-kitāb sebab ia merupakan kumpulan atau

himpunan lafazh-lafazh.115

Dalam al-Qur’an, kata al-kita>b disebutkan 319 kali

dengan bentuk dan makna yang beragam, meliputi makna tulisan, kitab, ketentuan,

dan kewajiban.116

Kata al-kita>b yang bermakna kitab suci atau firman Allah yang

diberikan kepada Rasul-Nya adalah besifat umum, yaitu mencakup semua rasul

sebelum Nabi Muh}ammad, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi ‘Isa.117

Berdasarkan penjelasan dua terminologi di atas, dapat difahami bahwa ahl al-kita>b adalah suatu komunitas atau kelompok yang memiliki kitab suci yang

diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Akan tetapi, tentang siapa atau kelompok

mana saja yang disebut dengan ahl al-kita>b masih diperdebatkan. Terma ahl al-kita>b disebutkan al-Qur'a>n secara ekplisit sebagai salah satu kelompok yang

menjalin interaksi sosial dengan umat Islam. Terma ahl al-kita>b disebutkan

sebanyak 31 kali dalam 9 surat; Al-Baqarah : 105, 109, A<li ‘Imra>n : 64, 65, 69, 70,

71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199, Al-Nisa (4): 123, 153, 159, 171, al-Ma>idah : 15,

19, 59, 65, 68, 77; al-'Ankabut : 46; al-Ah}za>b : 26; al-Ḥadīd : 29; al-Hashr : 2, 7; al-

Bayyinah : 1, 6.118

Komunitas yang ditunjuk al-Qur'a>n menggunakan terma ahl al-kita>b, secara umum menuju kepada dua kelompok; Yahudi dan Nas}rani. Dua

kelompok ini diyakini memiliki hubungan teologis yang kuat dengan umat Islam,

sebagaimana relasi teologis antara Muslim, Naṣrani, dan Yahudi dijelaskan dalam

al-Qur'a>n surat al- S{aff ayat 6, bahwa Nabi Isa menyeru kepada kelompok Yahudi

untuk mengimani dan mengikuti ajaran yang dibawanya sebagai kelanjutan dari

ajaran Nabi Musa, dan menginformasikan akan datangnya Nabi Muh}ammad,

113

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 17-18. 114

Lihat, al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-

Fikr, 1984), 440. 115

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 19. 116

Lihat al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-

Fikr, 1984), 440-443. 117

Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,

(April 2010), 73. 118

Dari sembilan surat tersebut, hanya surat al-Ankabut lah yang termasuk surat

makiyyah, sedangkan yang lainnya adalah madaniyyah. M. Quraish Shihab, Wawasan al-

Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), 86. Dalam Zainal Anshari & Zainuddin, "Pandangan

Terhadap Ahl Al Kitab: Kontroversi Tanpa Akhir", Fenomena, Vol. 16 No. 2 (Oktober

2017), 277.

Page 131: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

119

begitu pun umat Islam diperintahkan untuk mengimani para Nabi sebelumnya,

termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa beserta kitab suci yang dibawanya.119

Pada masa Rasulallah dan para sahabat, terma ahl al-kita>b digunakan hanya

untuk kelompok Yahudi dan Nasrani. Sedangkan terhadap kaum Majusi, meskipun

Rasullah menyuruh untuk memperlakukannya seperti ahl al-kita>b, namun tidak

disebut sebagai ahl al-kita>b.120 Hal ini dapat dilihat dari sebuah riwayat dari Imam

Malik:

‚Diriwayatkan kepadaku dari Imam Malik, dari Ja‘far Ibnu Muh}amad Ibnu ‘Ali dari bapaknya, sesungguhnya ‘Umar Ibnu al-Khat}t}a>b menyebut Majusi, lalu dia berkata: ‚Saya tidak tahu bagaimana saya berbuat tentang urusan mereka‛.Maka ‘Abd al-Rah}man Ibn ‘Auf berkata: Saya bersaksi sungguh saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‚Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti ahl al-Kita>b‛.121

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam memahami surat al-Baqarah ayat

105, menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan penjelesan tentang bagaimana

permusuhan yang ditampakkan oleh golongan non-Muslim terhadap kaum

muslimin. Dua kelompok yang disebutkan dalam ayat tersebut: ahl kita>b dan

musyriki>n adalah mencakup seluruh kelompok yang memusuhi Islam. Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa yang termasuk kelompok ahl al-kita>b

pada ayat tersebut adalah Yahudi dan Nas}rani, adapun yang temasuk kelompok

mushriki>n adalah semua kelompok yang menyembah berhala.122

Begitu pun ketika

memahami surat al-Baqarah ayat 109, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menyebutkan bahwa terma ahl al-kita>b pada ayat ini adalah kelompok Yahudi dan

Nas}rani. Yaitu mereka yang paling keras dalam memusuhi umat Islam dan ingin

menjadikan umat Islam kafir, karena iri dengan berbagai kebaikan yang dimiliki

oleh umat Islam.123

Terdapat dua ikatan teologis yang kuat antara Muslim, Yahudi, dan Nas}rani,

sebagaimana disebutkan oleh Umi Sumbulah, bahwa ketiga kelompok ini memiliki

kesamaan ajaran menyerukan monoteisme dan memiliki kesamaan genealogis yang

berasal dari keturunan yang sama, yaitu Nabi Ibrah}im. Sejarah panjang tentang

perjalanan hidup dan perjuangan Nabi Muh}ammad, seperti permintaan suaka

politik kepada Raja Negus dari gangguan kafir Quraish Makkah, perumusan

piagam Madinah yang melibatkan kelompok Yahudi, intensitas Nabi dan para

119

Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,

(April 2010), 72. 120

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 28. 121

Malik Ibn Anas, al-Muwat}a>’, dalam Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar

Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1, (April 2010), 74. 122

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,

(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 341-342 123

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, Jil. 1, 357-358.

Page 132: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

120

sahabat dengan Yahudi dan Nasrani, serta risalah Islam sebagai penerus risalah-

risalah para Nabi sebelumnya memberikan indikasi sekaligus argumen historis akan

kuatnya ikatan antara tiga kelompok ini.124

Abu al-‘A<liyah (w. 39 H.), yakni seorang ta>>bi‘, menyebutkan bahwa kaum

S{a>bi'u>n termasuk kelompok ahl al-kita>b yang membaca kitab suci Zabu>r.125

Quraish Shihab, dalam Wawasan al-Qur'a>n, menyebutkan bahwa terdapat sebagian

ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap umat yang diduga memiliki kitab suci

samawi maka termasuk ke dalam kelompok ahl al-kita>b.126 Mirip dengan pendapat

Ibn H{azm127

dan Abdul Ḥamid Ḥakim yang menyebutkan bahwa kaum Majusi

termasuk kepada golongan ahl al-kita>b.128 landasan pendapat tersebut merujuk

kepada surat al-H{ajj ayat 17:

صو إ ٱلل ا ا س أشإ ٱىر جض ٱىإ س ـ ٱىص تـ ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا

ءب ش دف إ مو ش عي ٱلل ج ا ـ ق ٱىإ إ إ إ ة

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shābi'īn, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu."

Pendapat yang sama juga dimiliki oleh Muh}ammad Ali129

dan Muh}ammad

Rashi>d Rid}a>, yang dalam pendapatnya menyebutkan bahwa kelompok ahl al-kita>b

tidak hanya Yahudi dan Nas}rani, akan tetapi mencakup juga kelompok Majusi,

S{a>bi'u>n, bahkan kelompok lain yang tidak disebutkan oleh ayat di atas, seperti

Budha, Hindu, Kong Fu Tse dan Shinto juga termasuk kelompok ahl al-kita>b.130

Dengan ini Muh}ammad Ghalib mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran atau

perluasan cakupan ahl al-kita>b di masa tabi‘i>n, yang tidak lagi mengkhususkan

kepada kelompok Yahudi dan Nas}rani saja.131

Di dalam al-Qur'a>n disebutkan bahwa Allah mengutus rasul kepada setiap

umat tanpa ada satu umat pun yang terabaikan,132

hanya saja tidak seluruhnya

124

Umi Sumbulah, "Islam dan Ahl al-Kita>b: Kajian Living Sunnah di Kalangan

Pimpinan NU, Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Malang", Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 (Mei

2011), 152. 125

Lihat ibn Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>, (Kairo: Must}afa> al-Ba>b al-Halabi> wa

Aula>duh, 1954), juz I, 320. 126

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'a>n, (Bandung: Mizan, 1996), 367. 127

Lihat Ibn H{azm, al-Muh}alla, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), juz VI, 445. 128

Lihat Abdul H{amid H{akim, al-Mu‘i>n al-Mubi>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),

Juz IV, h. 54. 129

Lihat Maulana Muh}ammad Ali, The Religion of Islam, terjemahan R. Kaelan dan

I I. M Bachrun dengan judul Islamologi (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1977), 412. 130

Lihat Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Beirut: Da>r al-

Ma‘rifah, t.th.), juz IV, 188-190. 131

Muh}ammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 29. 132

Qs. Fa>ṭir: 24.

Page 133: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

121

diceritakan dalam al-Qur'a>n133

menjadi argumen historis yang tidak menutup

kemungkinan bahwa agama-agama yang sekarang selain Yahudi dan Nasrani juga

memiliki kitab suci yang diwahyukan Allah, hanya saja dengan kurun waktu yang

sangat lama telah terjadi pergeseran dan perubahan besar. Dalam pandangan Fazlur

Rah}man, sebagaimana dikutip oleh Ali Mansur dalam Studi Al-Qur'a>n Kontemporer, al-Qur'a>n telah menjelaskan bahwa dakwah para Nabi terhadap

berbagai kaum yang berbeda-beda, baik konteks maupun masa, adalah bersifat

universal dan identik. Semua ajaran yang diserukannya berasal dari satu sumber,

yaitu "Ibu semua Kitab" atau "Kitab yang Tersembunyi".134

Imam Sya>fi‘i> lebih memandang ahl al-kita>b sebagai kelompok etnis, yaitu

hanya orang-orang Yahudi dan Nas}rani keturunan Israil saja yang disebut sebagai

ahl al-kita>b. Hal ini didasarkan karena Nabi Musa dan Nabi ‘Isa hanya diutus untuk

Bani Israil saja, tidak seperti Nabi Muh}amad yang diutus bagi seluruh manusia.135

Mirip dengan pendapat al-Qa>simi> (1866-1914 M.) yang memandang ahl al-kita>b

sebagai sebuah kelompok yang menjadi sasaran dakwah Nabi Musa dan Nabi Isa,

hanya saja al-Qa>simi> tetap memasukan etnis non-Israil ke dalam kategori ahl al-

kita>b hingga terutusnya Nabi Muh}ammad.136

Berbeda dengan ulama Sya>fi‘iyyah

dan mayoritas ulama H{anabilah, mereka berpendapat bahwa yang ditunjuk sebagai

ahl al-kita>b adalah kelompok Yahudi dan Nas}rani baik keturunan Israil maupun

bukan. Pendapat tersebut didasarkan pada QS. al-An‘a>m: 156:

ـ ي إ ىغ ا ما ع زاظذ يا قتإ إ غاٮٮ ذ ب عي ـ نذ ا أصه ٱىإ ا ا أ دقى

"(Kami turunkan al-Qur'ān) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami lalai dari apa yang mereka baca."

Kelompok yang ditunjuk oleh al-Qur'a>n dengan terma ahl al-kita>b adalah

bangsa Israil dan bangsa lain yang masuk ke dalam agama Yahudi dan Nas}rani

sebelum terjadinya perubahan terhadap dua agama tersebut.137

Hal ini senada

dengan al-T{a>bari>, jika Imam Sya>fi‘i> lebih memandang ahl al-kita>b sebagai

133

QS. Al-Nisa>': 164 dan QS. Gha>fir: 78. 134

Ali Mansur, "Ahli Kitab dalam Al-Qur'a>n: Model Penafsran Fazlur Rahman",

dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'a>n Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002) 53.

135 Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,

(April 2010), 75. 136

Lihat Muḥamad Jamal al-Di>n, al- Qa>simi>, Tafsi>r al-Qa>si>mi>, (Kairo: Isa al-Bab al-

Halabi, 1958), Juz 4, 1863. 137

Dalam rincian Ulama Syafi >‘iyyah, Yahudi dan Nas}rani terbagi dua golongan;

etnis Israil (keturunan Nabi Ya’kub) dan etnis non-Israil. Etnis non-Israil ini ada tiga

golongan: 1. Golongan yang masuk agama Yahudi atau Nas}rani sebelum agama tersebut

mengalami perubahan seperti orang-orang romawi. 2. Golongan yang masuk agama Yahudi

dan Nas}rani setelah mengalami perubahan. 3. Golongan yang tidak diketahui kapan mereka

masuk agama Yahudi dan Nas}rani apakah sebelum atau sesudah mengalami perubahan.

Lihat Badran Abu al-Aynayn, al-Alaqah al-Ijtima‘iyyah baina al-Muslimi>n wa ghair al-Muslimi>n, (Iskandariyah : Mu’assasah Shaba>b al-Jami‘ah, 1984), 41.

Page 134: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

122

komunitas etnis, maka al-T{a>bari> lebih memandang pada ranah ideologis atau

teologis. Menurut al-T{a>bari, yang dimaksud ahl al-kita>b adalah mereka para

penganut agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan manapun.138

Tidak ada perdebatan tentang kelompok Yahudi dan Nas}rani sebagai ahl-kita>b yang ditunjuk oleh al-Qur'a>n. Polemik yang terjadi adalah cakupan dan

kelompok selain keduanya (Yahudi dan Nashrani). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n lebih cenderung mengkhususkan ahl-kita>b hanya kepada komunitas

Yahudi dan Nas}rani. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa

Yahudi dan Nas}rani adalah dua komunitas yang memiliki mush}af atau kitab suci,

dan masih tersisa hingga masa Rasulallah.139

Dalam menafsirkan surah A{li ‘Imra>n

ayat 113, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa setiap ayat yang

mengandung terma ahl al-kita>b adalah Bani Israil yang diutus kepada mereka Nabi

Musa dan Nabi Isa.140

Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih memandang terma ahl al-kita>b dalam al-Qur'a>n hanya

pada konteks di mana al-Qur'a>n saat itu diturunkan tanpa memperluasnya atau

menarik jauh ke masa sebelumnya yang belum diketahui secara pasti.

Perdebatan selanjutnya adalah tentang posisi ahl al-kita>b, apakah termasuk

dalam konteks shirk atau tidak. Para ulama sepakat bahwa ahl al-kita>b termasuk

golongan kafir jika dilihat dari perspektif akidah Islam. Menurut Ibn Taimiyyah,

ahl al-kita>b tidak termasuk golongan orang musyrik. Alasan Ibn Taimiyyah adalah

karena agama Yahudi dan Nas}rani sebenarnya tidak mengandung syirik dan kitab

mereka tidak menyerukan kemusyrikan, justru menyerukan tauhid sebagaimana

umat Islam. Sehingga, meskipun sebagian umatnya melakukan kesyirikan, tidak

lantas kelompok Yahudi dan Nas}rani dikatakan sebagai kelompok musyrik. Sama

halnya dengan umat Islam, jika di antara umatnya ada yang melakukan

kemusyrikan, tidak lantas umat Islam dikatakan umat musyrik. Karena dasar

agama dan kitab sucinya tidak mengandung shirk.141

Pendapat yang sama juga dimiliki oleh Abdul H{a>mid H{aki>m. Secara

teologis, ahl al-kita>b dengan umat Islam tidak jauh beda, secara prinsip dasarnya,

keduanya beriman kepada Allah dan mengesakannya, beriman kepada para Nabi

dan Rasul, beriman kepada hari akhir dan perhitungan atas perbuatan baik maupun

jahat. Perbuatan syirik yang dilakukan oleh kelompok ahl al-kita>b sama halnya

138

Lihat ibn Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>, (Kairo: Must}afa> al-Ba>b al-Halabi> wa

Aula>duh, 1954), juz VI, 102. 139

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m: Juz 'Ama, (Riyaḍ:

Da>r al-Thuriya>, 1423 H/2002 M), 276. 140

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengungkapkan: اىسا " أو اىنذاا"مو آج ا

-lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al . ة ةا اظسائو اىر أزظو اى ظ ععQur'a>n al-Kari>m, Su>rah A{li ‘Imra>n, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 82.

141 Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 80-82.

Page 135: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

123

dengan perbuatan syirik yang dilakukan sebagian umat Islam. Namun demikian,

tidak lantas semuanya dikatakan sebagai kaum mushriki>n.142

Berbeda dengan pendapat di atas, al-Ra>zi> memposisikan ahl al-kita>b sebagai

musyrik. Landasan argumentasinya adalah QS. al-Tawbah: 30-31, yang

menjelaskan bahwa Yahudi berkata "'Uzayr itu putra Allah", dan orang Nas}rani

mengatakan: "al-Masih itu putra Allah". Menurut al-Ra>>zi>, ayat tersebut jelas

memposisikan ahl al-kita>b (Yahudi dan Naṣrani) sebagai Musyrik. Selain itu,

argumentasi Abu Bakr al-As}am yang menyebutkan bahwa orang yang

mendustakan risalah Allah maka disebut musyrik, digunakan al-Ra>zi> dalam

memperkuat argumennya.143

Pendapat al-Ra>zi> dinilai kurang kuat oleh Muh}ammad

Ghalib, sebab pada beberapa ayat lain, al-Qur'a>n secara eksplisit membedakan

antara kelompok ahl al-kita>b dengan kelompok musyrik.144 Al-T{aba>t}aba>'i> membagi

shirk ke dalam dua kategori; pertama. Shirk z}ahir (terang-terangan), seperti

menyekutukan Allah, seperti menyembah patung atau berhala, dan mengatakan

Allah terbilang, kedua, shirk khafi> (tersembunyi), yaitu seperti yang dilakukan

oleh ahl al-kitāb yang menolak risalah kenabian Muh}ammad. Menurut al-

T{aba>t}aba>'i>, meskipun kelompok ahl al-kita>b secara jelas melakukan kemusyrikan,

namun tidak bisa digeneralisir untuk diberikan predikat kaum musyrik.145

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membagi kelompok ahl kita>b kepada

golongan yang amanah dan khianat, sebagaimana kelompok ahl kita>b terbagi

kepada golongan yang beriman dan kafir. Salahsatu contoh dari golongan yang

beriman adalah 'Abd Sala>m, salah seorang dari ah}ba>r (pemuka agama Yahudi) yang

beriman kepada Nabi Muh}ammad dan masuk Islam.146

Pendapat ini dikemukakan

Muḥammad bin Ṣāliḥ al-'Uthaimīn ketika menafsirkan QS. 3: 75-76. Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n mengakui bahwa ahl al-Kita>b beriman kepada Allah, hal ini

dapat dilihat dalam menafsirkan QS. 3: 70, yang menyebutkan ayat tersebut

merupakan kritikan terhadap ahl kita>b yang mengingkari ayat-ayat Allah yang

mereka saksikan sendiri. Kemudian Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menyebutkan bahwa kelompok ahl kita>b yang tidak mengimani Nabi Muh}ammad

adalah kafir sekalipun mereka percaya kepada Allah.147

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih cenderung mengelompokkan ahl kita>b sebagai orang kafir dari kelompok Yahudi dan Nas}rani serta membedakan

dengan kelompok mushriki>n, meskipun kedunya sama-sama dikategorikan sebagai

142

Lihat, Abdul H{amid H{aki>m, al-Mu‘i>n al-Mubi>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),

Juz IV, h. 52- 54; Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-

Press, 1985), Jil. 1, 22. 143

lihat Faḥr al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H/1985 M), 59-60. 144

Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988), 75-76. 145

Muh}ammad H{usain al- T{aba>t}aba>'i>, al-Mi>ja>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n (Beirut:

Mu'assasah al-'Alami> li Mat}bu>'ah, 1393 H/1973 M), Jil. II, 202. 146

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 430. 147

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n, Jil. 1, 404.

Page 136: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

124

orang-orang kafir oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Dalam surat al-Baqarah

ayat 105, Allah menjelaskan bagaimana permusuhan yang dilakukan oleh

kelompok non-muslim. Pada ayat tersebut secara eksplisit disebutkan dua

golongan, yaitu ahl kita>b dan mushriki>n. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n

menafsirkan ayat tersebut dengan menyebutkan bahwa dua kelompok yang

disebutkan dalam ayat tersebut: ahl kita>b dan mushriki>n adalah mencakup seluruh

kelompok yang memusuhi Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan

bahwa yang termasuk kelompok ahl al-kita>b pada ayat ini adalah Yahudi dan

Naṣrani, adapun yang temasuk kelompok mushriki>n adalah semua kelompok yang

menyembah berhala.148

Berdasarkan pemaparan di atas, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

memandang orang-orang musyrik, dan ahl kita>b sebagai kelompok di luar Islam

yang memiliki sejarah permusuhan dengan umat Islam. Dua kelompok ini; orang-

orang musyrik dan ahl kita>b, diposisikan sama oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n sebagai orang kafir yang memusuhi Islam, sekaligus dianggap berbeda

berdasarkan asal komunitasnya. Paradigma inilah yang menjadikan Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kerap meletakkan kecurigaan dalam memandang kelompok di

luar Islam, yakni kelompok yang mengancam dan memusuhi Islam yang harus

dihindari bahkan "diperangi".

C. Konsep al-Wala>' wa al-Bara>' dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

Al-wala>' wa al-bara>' memiliki kedudukan yang cukup penting dalam akidah

kelompok eksklusifis-salafi dan kelompok Islam lainnya. Konsep al-wala>' wa al-bara>' diyakini sebagai perwujudan keislaman seorang muslim atau sebagai

aktualisasi iman dalam kehidupan nyata. Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>

menyebutkan bahwa al- wala>' wa al-bara>' min lawa>zim "la> ila>h illa Allah" (al-wala>' wa al-bara>' merupakan kemestian dari kalimat tauhid "tidak ada tuhan selain

Allah").149

Sedangakan 'Abd al-Raza>q 'Afi>fi> memasukan al-wala>' wa al-bara>' sebagai salah satu aspek dasar atau pondasi dalam agama Islam (as}l min us}u>l al-Isla>m).

150

Secara garis besar, pengertian dari konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' adalah tentang loyalitas atau kesetian seorang yang beriman terhadap apa yang

diimaninya, termasuk loyalitas pada komunitasnya yang memiliki kesamaan

akidah, sekaligus tentang sikap penolakan terhadap hal-hal yang bersebrangan

dengan akidahnya termasuk penolakan komunitas lain yang berbeda keyakinan

dengannya. Dalam konteks sosial-relasional, hubungan sosial dan sikap kelompok

ekslusifis-salafi terhadap sesama muslim dan non-muslim dibentuk, baik secara

eksplisit maupun implisit, oleh konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' (loyalty and disavowal). Sehingga dengan konsepsi tersebut akan membentuk sebuah

148

al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, Jil. 1, 341-342. 149

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H), 40. 150

Al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 5.

Page 137: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

125

paradigma tentang kemestian dalam bersikap, kepada siapa mereka harus setia di

satu sisi, dan siapa yang harus disangkal sisi lain, atau tentang perbuatan dan

praktik apa yang harus didekati di satu sisi dan dijauhi di sisi lain.151

Selain itu,

dalam diskursus keberagamaan, konsep al-wala>' wa al-bara>' mendapat banyak

kritikan dari kalangan orientalis dan kalangan inklusifis-pluralis sebagai konsep

teologis yang mengajarkan kebencian atas nama agama.152

1. Al-Wala>' : Loyalitas Tanpa Batas

Dalam terminologi syariat Islam, istilah al-wala>' memiliki pengertian

mencintai terhadap apa yang dicintai dan diriḍai Allah yang diimplementasikan ke

dalam keyakinan, perkataan, dan sikap perbuatan. Secara bahasa, terma al-wala>' diambil dari kata kerja (fi'il) wala>, yang dalam berbagai derivasinya memiliki arti,

di antaranya; al-nus}rah (menolong/membela), mutawali> (wali), al-ahaq (yang

paling berhak), al-qarb wa al-dunu> (dekat), al-s}a>hib (sahabat), al-hali>f (sekutu),

man wala> al-qaum/al-sult}a>n (pemimpin suatu kaum), al-mah}abbah (kecintaan), al-ittiba>' (mengikuti). Kemudian terma al-wali> dan al-muwa>lah adalah anonim dari al-'aduw (musuh) dan al-mu'a>dah (permusuhan).

153

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni memaknai istilah al-wala>' sebagai al-nus}rah

(menolong/membela), al-mah}abbah (mencintai), al-ikra>m (memuliakan), al-ih}tira>m

(menghormati) dan hidup berdekatan bersama orang-orang yang dicintai, baik

secara z}ahir maupun ba>t}in.154

Tidak jauh beda dengan Muh}ammad bin Sa'i>d al-

Qah}t}a>ni, Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani> mendefinisikan al-wala>' kepada empat

aspek; al-mah}abbah (cinta), al-nus}rah (pertolongan/pembelaan), al-t}a>'ah

(keta'atan), dan al-muta>ba'ah al-wa>jibah lillah wa lirasu>lih wa li al-mu'mini>n (kewajiban mengikuti Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin). Menurut al-

Mada>ni>, waliyullah adalah orang yang mengikuti Allah dengan mencintai segala

yang dicintai dan diriḍai Allah serta membenci segala yang dibenci Allah,

151

Sabine Damir-Geilsdorf, Mira Menzfeld and Yasmina Hedider, "Interpretations

of al-Wala>’ wa al-Bara>’ in Everyday Lives of Salafis in Germany", Religions, 10, 124,

(January, 2019), 1. 152

Lihat, Joas Wagemakers, "Framing The "Threat to Islam": al-Walā' wa al-Barā' in

Salafi Discourse", Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008); Mohamed Bin Ali,

"Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists Perception of the Religious Other",

Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6, No. 1, (June 2018), "Forging Muslim and

Non-Muslim Relationship: Contesting the Doctrine of Al-Wala>’ wa al-Bara>'’", Rsis, No.

251, (19 November 2015); David Bukay, "Islam and the Other: The al-Wala’ wal-Bara’

Doctrine", akses online, https://acdemocracy.org/islam-and-the-other-the-al-wala>-wal-bara>-

doctrine/; Joas Wagemakers, "Framing The 'Threat to Islam': al-Wala>' wa al-Bara>' in Salafi

Discourse". 153

Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008), 4920-4926;

‘Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, al-Waji>z fi> ‘Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih}, Istanbul:

Guraba, 1435 H), 135-136. 154

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H), 89-90.

Page 138: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

126

kemudian mengajak kepada orang lain untuk melakukan sikap tersebut.155

Sedangkan Ibn Taimiyyah memaknai terma al-wala>' sebagai lawan dari al-'ada>wah (permusuhan) yang memiliki makna al-mah}abbah (kecintaan) dan al-taqarrub

(mendekat).156

Dari beberapa pengertian di atas, dapat difahami bahwa al-wala>' adalah

loyalitas seorang hamba terhadap Allah dengan menyesuaikan diri terhadap segala

sesuatu yang dicintai dan diriḍai Allah. Dalam QS. 5: 55-56, dijelaskan bahwa

Allah beserta orang-orang yang dicintai-Nya adalah penolong (waliy),

إ زٳمع ث م ٱىص د ئإ ث ي ٱىص ق ا ٱىر ءا ٱىر زظى ٱلل ىبن ا ا

(٥٥) يت ـ غ ٱىإ ا ٱلل دصإ ا ب ءا ٱىر زظى ه ٱلل ذ (٥٦)

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (55) Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (56).

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat di atas bahwa ada dua

penolong (waliya>n) yang paling agung, yaitu Allah dan Muh}ammad sebagai

penutup para nabi, sedangkan orang-orang yang beriman, mereka adalah penolong

antara satu dengan yang lainnya sebagaimana dijelaskan dalam QS. 9:71.157

Dalam

QS. 5: 55-56, ayat tersebut menunjukkan kewajiban bagi umat islam untuk

memiliki loyalitas tanpa batas kepada Allah, rasul, dan sesama orang beriman.158

Muhammad bin Shālih al-‘Uthaimīn menyebutkan bahwa bentuk loyalitas kepada

Allah adalah dengan menegakkan agama-Nya, karena sejatinya Allah tidak butuh

pembelaan. Sedangkan loyalitas kepada rasul adalah dengan membela rasul ketika

masih hidup dan mengikuti serta melaksanakan sunnah nya ketika setelah ia wafat.

Adapun bentuk loyalitas sesama mukmin adalah senantiasa membela mereka

dalam kebenaran hingga hari kiamat. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga

mempertegas hal ini dengan QS. 4:115159

, yang menjelaskan bahwa hakikat dari

155

Lihat, Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani>, al-Hub fi> Allah, (Iskandariyah: Da>r al-

I<ma>n, tth.) 6-7. 156

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H), 90. 157

Al-Tawbah (09): 71, د ئإ ث ي ٱىص ق نس ٱىإ ع إ إ س عإ

ةٲىإ س طب ؤإ ىاء ةعإ إ إ أ ع خ ةعإ ـ ئإ ٱىإ ئإ ٱىإ

ف عصصف دن ٱلل ا ٱلل د ٮٮل ظسإ ـ ى زظى ۥ أ ٱلل طع ث م ٱىص

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka [adalah] menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

158 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 51-52. 159

QS. Al-Nisā' (04): 115,

Page 139: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

127

terma al-wala> (loyalitas/membela) adalah senantiasa terikat (da>iman murabbat}an)

dengan tiga hal; kita>bullah (al-Qur'a>n), sunnah rasu>lillah (Sunnah), sabi>l al-mu'mini>n (jalan orang-orang beriman).

160

'Abdullah bin 'Abd al-H{ami>d al-Athari>, dalam memahmi QS. 5: 55-56,

menyebutkan bahwa orang-orang mukmin yang meyakini Allah sebagai Tuhan-

nya, Muh}ammad sebagai rasul-Nya, dan menjalankan rangkaian shariat agama,

adalah orang-orang yang wajib dicintai secara mutlak. Al-Athari>

mengkelompokkan umat manusia ke dalam tiga kelompok, pertama, orang-orang

yang berhak dicintai secara mutlak, yaitu orang-orang yang beriman dan taat

dalam agamanya. Kedua, orang-orang yang berhak dicintai di satu sisi dan dibenci

di sisi lain, mereka adalah orang-orang mukmin yang melakukan maksiat. Ketiga, orang-orang yang tidak berhak dicintai atau harus dibenci secara mutlak, mereka

adalah orang-orang kafir.161

Klasifikasi yang dilakukan oleh al-Atharī merupakan konsekuensi logis dari

konsep al-wala>' wa al-bara>' itu sendiri, al-wala> (loyalitas) diperuntukkan bagi

komunitas sendiri sedangkan al-barā (penolakan) bagi komunitas lain. Selain itu,

al-Qur'a>n juga menyebutkan dikotomi antara mukmin dan kafir sebagai batasan

kepada siapa al-wala>' seharusnya ditujukan. Larangan menjadikan "orang lain"

sebagai penolong, sekutu atau memberikan loyalitas (al-wala>') kepada mereka

dapat dilihat, di antaranya pada QS. 3:28; 4:9; 5:51-53; 60:1-2. Bahkan, sekalipun

mereka itu merupakan saudara, seperti yang disebutkan pada QS. 9:23; 58:22.162

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam fatwanya, ketika ditanya tentang

hukum al-muwa>lah al-kuffa>r (sikap loyal terhadap orang-orang kafir), baik dalam

bentuk sikap menyangi (al-mawa>dah), menolong (al-muna>s}arah), atau

menjadikannya sebagai teman dekat (bit}a>nah), beliau menjawab haram hukumnya

bersikap loyal terhadap orang-orang kafir.163

Salah satu dalil yang dijadikan

landasan argumentasinya adalah QS. 5:51,

إ ن ى ذ طب ىاء ةعإ إ إ أ ع ىاء ةعإ إ أ س ـ ٱىص ا ل دذ را ٱىإ ءا ؤب ا ٱىر ـ

ي ـ ٱىظ إ ق د ٱىإ إ ل ٱلل إ ا إ ب

ظاءحإ ‌ يۦ ج صإ ى ا د ىۦ ئإ س ظتو ٱىإ إ ذتيإ د ى ٱىإ ا دت د ةعإ ظه شاقق ٱىس

ا صسن

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali."

160 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, h. 56-58. 161

‘Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, al-Waji>z fi> ‘Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih}, Istanbul: Guraba, 1435 H), 138-140.

162 Lihat, ‘Uthma>n Jum'ah D{amiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-

Isla>miyyah, (ttp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>‘, 1996), 359-361. 163

Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.

3, 12.

Page 140: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

128

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani auliyā' (pemimpin, penolong); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memperluas makan terma auliya>' pada

ayat tersebut kepada sikap menolong, membantu dan mencintai. Menurut al-

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, kata auliya>' pada ayat tersebut adalah bentuk

jamak dari kata wali> - al-wila>yah, yaitu al-muna>s}arah (menolong) dan al-mu'a>wanah (membantu), termasuk juga al-mah}abbah (cinta) sebagai faktor internal

yang mendorong untuk melakukan pertolongan dan bantuan.164

Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menyebutkan bahwa tidak menjadikan orang-orang Yahudi

dan Nas}rani sebagai auliya>' merupakan tuntutan dari iman, dan jika seorang

mukmin menjadikan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang kafir yang lainnya

sebagai auliya>' maka ia telah melakukan dosa besar, dan barangsiapa yang

menolong, membantu dan mencintai orang-orang kafir maka ia termasuk dari

golongan mereka.165

Eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang ditampilkan dalam

tafsirnya, terkait konsep al-wala>', memberikan kesan bahwa umat Islam sepatutnya

berkumpul, dekat dan saling menolong antara satu dengan yang lainnya, namun

tidak dengan komunitas lain (orang kafir). Akan tetapi realita yang ada dengan

kehidupan yang penuh dengan keragaman menjadikan umat Islam tidak bisa lari

dari fakta pluralitas tersebut, tidak mungkin umat Islam hidup secara eksklusif

hanya dalam komunitasnya sendiri. Dalam beberapa kasus, Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n tertuntut untuk berfikir lebih tentang batasan ittikha>dh al-auliya>' (dalam artian; menjadikan penolong, pemimpin, teman, sekutu, menolong,

membantu atau mencintai) kelompok lain guna menjawab tuntutan fakta pluralitas

tersebut.

Misalnya, ketika seorang muslim memiliki tetangga dari komunitas lain,

apakah berbuat baik kepada tetangga termasuk ittikha>dh al-auliya>'? atau ketika ada

tamu dari komunitas lain, kemudian tuan rumah memberikan jamuan yang baik

termasuk ittikha>dh al-auliya}'? atau bagaimana hukumnya melakukan transaksi jual

beli dengan komunitas lain? Dalam beberapa kasus tersebut, ternyata Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tidak mengkategorikan sebagai ittikha>dh al-auliya>', atau

dengan kata lain, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, dan

bertransaksi jual beli dengan non-muslim tidak lantas menaggalkan loyalitasnya

kepada Allah, rasul-Nya, dan orang mukmin. Argumentasi yang dibangun oleh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait kasus-kasus tersebut adalah, pertama,

164

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 9. 165

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, Jil. 2, 12-20.

Page 141: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

129

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n merujuk kepada QS. 60:8-9,166

yang

menjelaskan bahwa berbuat baik (ih}sa>n) dan berlaku adil ('adl) diperintahkan Allah

sekalipun kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi umat Islam.

Kedua, kebaikan yang dilakukan kepada mereka adalah sebagai bentuk syiar atau

dakwah supaya komunitas lain tertarik untuk masuk Islam.167

Dalam merumuskan batasan ittikha>dh al-auliya>' dari kalangna non-muslim,

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n membagi tiga aspek kehidupan; 'iba>da>t (ritual/ibadah), 'a>da>t (kultur/budaya), s}ana>'a>t wa 'ama>l (industri dan profesi).

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n mengharamkan umat Islam berbaur dan

menyerupai non-muslim dalam hal ritual-ibadah dan kebiasaan atau adat, salah

satu dalil sebagai landasan argumentasinya adalah hadith Nabi yang melarang

umat Islam menyerupai (tashabuh) orang kafir. Sedangkan dalam aspek s}ana>'a>t wa a'ma>l (industri dan profesi), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tidak

mengkategorikannya sebagai bentuk dari tashabuh, selama memiliki kemaslahatan

bagi masyarakat umum. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menolak pendapat,

dalam memperbolehkan umat Islam berdampingan dengan non-muslim dalam

aspek s}ana>'a>t wa a'ma>l (industri dan profesi) sebagai konseptualisasi dari al-mas}lah}ah al-mursalah, menurutnya, al-mas}lah}ah al-mursalah tidak bisa dijadikan

dalil tunggal dalam hal ini karena rentan dengan unsur subjektifitas. Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n lebih cenderung memandang sosial-relasional tersebut

sebagai hal-hal yang bukan bagian dari hal-hal yang bersifat prinsipil (al-us}u>l), lebih lanjut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menyebutkan bahwa al-'as}l fi> al-'iba>da>t al-h}adhr (asal dalam ibadah adalah tidak diperbolehkan), sedangkan min ghair al-'iba>da>t fa al-as}l fi>ha> al-hil (yang bukan termasuk ibadah asalnya adalah

diperbolehkan).168

Jika melihat pemahaman Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n terkait konsepsi

teologis al-wala>', loyalitas terhadap Allah, rasul-Nya dan orang yang beriman

adalah harga mati sebagai perwujudan dari iman. Adapun terkait relasi antara

166

QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9, ذبب ٱلل إ ا إ ا اى عط دقإ إ إ أ دتسب سم ـ سجم إ إ ى إ ٱىد ذيم ـ إ ق ى ٱىر ع ٱلل ٮن إ ل

عط قإ (٨)ٱىإ إ إ ى إ أ د ساجن اخإ سا عي ـ ظ إ سم ـ سج أخإ إ ٱىد ذيم ـ ق ٱىر ع ٱلل إ ٮن ا ا

ي ـ ٱىظ ٮٮل ـ ى إ ؤ ى (٩)ذ

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu [orang lain] untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang z}alim. (9)"

167 Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-

Ma>idah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 12-20; Fahd bin Na>s}r bin

Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 3, 31.

168 Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-

Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 3, 40-41.

Page 142: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

130

muslim dan komunitas lain, dalam ranah sosial, ternyata pemahaman Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tentang al-wala>' tidak se-eksklusif ketika ia memahaminya

dalam ranah akidah-ibadah. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n masih terbuka

untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan komunitas lain, juga tidak

menghalangi untuk berbuat baik kepada mereka, hanya saja hubungan tersebut

memiliki batasan-batasan khusus, atau tidak sebebas sebagaimana yang difahami

oleh kelompok inklusiifis-pluralis.

2. Al-Bara>' : Kebencian Atas Nama Tuhan

Dalam bahasa Arab, terma al-bara>' memiliki beberapa makna sebagai dasar

semantiknya, di antaranya; al-khalq (ciptaan), al-taba>'ud (menjauh), takhalas} (mengosongkan), tana>zuh (membersihkan), al-khala>' (kosong), s}ah}i>h} al-jism wa al-‘aql (sehatnya tubuh dan akal), Ibn al-A‘ra>bi> menyebutkan makna dari al-bari>' adalah menolak segala bentuk keburukan, menghindari kebatilan dan kebohongan,

menjauh dari tuduhan, bersihnya hati dari syirik.169

Dalam terminologi syariah,

istilah al-bara>' sangat erat kaitannya dari makna-makna semantik dari istilah itu

sendiri, yaitu sikap menjauhi, tidak berpihak bahkan membenci orang-orang kafir

dan segala bentuk keburukan serta kekafiran mereka. Muh}ammad bin Sa‘i>d al-

Qah}t}a>ni mendefinisikan istilah al-bara>'; al-bu'd wa al-khala>s} wa al-'ada>wah ba‘da al-i'dha>r wa al-indha>r (menjauhi, berlepas diri dan memusuhi setelah adanya

peringatan).170

Dalam konsep al-wala>', umat Islam diperintahkan untuk menjaga kecintaan

dan kesetiaan mereka terhadap Allah, rasul-Nya dan sesama mukmin, sedangkan

dalam konsep al-bara>' terkesan tidak ramah dan provokatif, bahwa umat Islam

diperintahkan untuk membenci orang-orang kafir atas nama Tuhan. Sebagai

aktualisasi dari konsep al-bara>' ini, 'Uthma>n Jum'ah Ḍamiriyyah menuliskan lima

sikap yang harus dilakukan oleh umat Islam sebagai perwujudan dari konsep al-bara>' ini; Pertama, meninggalkan atau tidak mengikuti segala kecenderungan dan

segala urusan yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Hal ini dilandasi atas

kecurigaan terhadap orang-orang kafir, yang ditegaskan dalam QS. 2:120,

bahwasanya mereka, orang Yahudi dan Nas}rani, selamanya tidak akan riḍa kepada

umat Islam hingga mengikuti syariat dan agama mereka sehingga wajib untuk

dijauhi. Perintah yang sama juga dikemukakan pada QS. 5: 49, bahwa Allah

melarang umat Islam mengikuti keinginan dan kecenderungan orang-orang kafir.

Dan pada QS. 13:37, dijelaskan bahwa jika di antara umat Islam mengikuti orang-

orang kafir, maka Allah tidak akan lagi menjadi penolong dan pelindung mereka. Kedua, tidak melakukan dialog dan musyawarah dengan orang kafir serta tidak

menuruti intruksi dan perintah mereka. QS. 3: 100,101, 149; 18:28; 33:1. Ketiga, tidak condong kepada orang-orang kafir. QS. 11:113; 17:74,75. Keempat, tidak

169

Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 239-241;

'Uthma>n Jum'ah Ḍamiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-'Isla>miyyah, (t.tp.:

Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996), 365-367. 170

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H), 90.

Page 143: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

131

berkasih sayang dengan musuh Allah dan tidak mencintai mereka, serta harus

berpisah dengan mereka, sekalipun mereka adalah kerabat dekat. QS. 58: 22; 60:1.

Kelima, tidak menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri

khas mereka. Hal ini berlandaskan pada hadith Nabi man tashabaha bi qaumin fahuwa minhum (barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari

kaum tersebut). 171

Dalam mengkonseptualisasikan al-bara>', paradigma awal yang dibangun oleh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n adalah memandang orang-orang musyrik, kafir

dan komunitas lain di luar Islam sebagai musuh Allah, hal ini berdasarkan pada

pemahamannya terhadap QS. 5:51,52 dan QS. 60:1.172

Kemudian, atas nama

Tuhan, semua musuh Allah itu harus dibenci dan dijauhi, sebagaimana dijelaskan

pada QS. 58: 22 dan QS. 60:4.173

Kebencian yang ditujukan bisa bersifat personal

kepada mereka yang dihukumi kafir, atau kepada perbuatan yang dianggap dibenci

dan tidak diridhai Allah. Dalam hal ini, tidak hanya orang kafir, sesama mukmin

pun bisa saja terkena al-bara>' hanya saja tidak mutlak seperti kebencian terhadap

orang kafir (QS. 49:7).174

Salah satu faktor sekaligus menjadi dalil kenapa umat Islam harus membenci

orang-orang kafir adalah kecurigaan umat Islam terhadap mereka yang

menganggap bahwa eksistensi mereka sangat berbahaya terhadap ketentraman

umat Islam. Kecurigaan tersebut sudah tertanam sejak awal kemunculan Islam,

yang dapat ditemukan dalam fakta sejarah, tentang konflik antara umat Islam dan

komunitas-komunitas di luar Islam tersebut. Kecurigaan tersebut diceritakan

dalam QS. 5:49,

ا أصه ٱلل ط ةعإ ذك ع إ أ إ رزإ ٱدإ إ اء إ ل دذتيإ أ ا أصه ٱلل ة إ ن ة ٱدإ أ عق ـ ٱىاض ى ا مثسن ا إ ط ذة أ صت ةتعإ ا سد ٱلل إ أ ي ا ٲعإ إ ى ل ‌ ب د إ اى

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling [dari hukum yang telah diturunkan Allah], maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."

171

Lihat, ‘Uthma>n Jum‘ah Ḍamiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-'Aqi>dah al-'Isla>miyyah, (t.tp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996), 367-372.

172 Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il

Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.

3, 12. 173

Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Jil. 3, 31.

174 Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, Jil. 3, 11.

Page 144: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

132

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat tersebut sebagai isyarat

kewajiban umat Islam untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,

melarang umat Islam mengikuti keinginan atau hawa nafsu orang-orang kafir, di

manapun dan kapanpun, dan wajib berhati-hati terhadap orang-orang kafir.

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menyebutkan bahwa tujuan utama dari

orang-orang Yahudi, Naṣrani dan kelompok kafir lainnya adalah menciptakan

fitnah di kalangan umat Islam, sehingga dalam asumsinya, mengikuti orang-orang

kafir adalah dosa besar yang memiliki dampak yang sangat buruk, yaitu akan

berpalingnya umat Islam dari agama Allah.175

Kecurigaan terhadap komunitas lain

juga ditegaskan dalam QS. 2:120, yang difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, bahwa haram hukumnya mengikuti Yahudi dan Naṣrani juga kelompok

kafir lainnya.176

Ketika kelompok kafir diposisikan sebagai musuh Allah dan dicurigai dapat

mengancam Islam serta mengganggu ketentraman kaum muslimin, maka hal ini

berimplikasi kepada hubungan sosial (social-relational) antara umat Islam dengan

komunitas lain (orang-orang kafir). Salah satu implikasinya adalah sikap tidak

ramah, bahkan dalam titik tertentu melahirkan sikap ekstrem yang intoleran

terhadap orang kafir seperti yang dipraktekkan oleh sebagian kelompok Islam.177

Sikap tidak ramah terhadap orang kafir juga ditemukan dalam konsepsinya

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tentang al-bara>' ini. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n mengharamkan umat Islam beraliansi dengan kelompok kafir dan tidak

boleh berkasih sayang dengan mereka. Hal ini diungkapkannya dalam memberikan

fatwa tentang hukm mawaddah al-kuffa>r wa tafd}i>lihim ‘ala> al-muslimi>n (hukum

berkasih sayang terhadap orang-orang kafir dan mendahulukan orang-orang

muslim). Landasan argumentasinya adalah QS. 58:22;

إ إ أ ا ءاةاء إ ا ى زظى إ دا ٱلل ا ب خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل ا ئإ ن إ ل دجد ق

إ خي دإ ‌ إ أد ةسحب ـ ٱلإ ٮٮل ذب قية ـ ى إ أ إ عشسد إ أ ٳ إ اخإ إ أ اء أةإ

أل ا ٱلل ٮٮل دصإ ـ ى أ إ زظا ع إ إ ع ٱلل ا زظ يد ـ س خ ـ إ ذ ا ٱٱإ دذإ س خب دجإ ـ ج

يذ إ ٱىإ ا ٱلل دصإ ا

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan

175

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 12-20; Fahd bin Na>s}r bin

Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 478-485.

176 Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-

Baqarah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 32-33. 177

Lihat, Mohamed Bin Ali, "Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists

Perception of the Religious Other", Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6, No. 1,

(June 2018), 80-96.

Page 145: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

133

keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap [limpahan rahmat] -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung."

Dan QS. 60:1,

ا جاءم قدإ م سا ة ث ةٲىإ إ اى ق ىاء ديإ إ إ أ م عد ا ل دذ را عد ءا ؤب ا ٱىر ـ

ا ظتي دن ـ إ ج ذ إ خسجإ إ ا مذ زةن ا ةٲلل إ أ دئإ اام ظه ٱىس سج ذق إ ٱىإ إ قدإ ن عيإ إ إ يذ ا أعإ إ ذ إ ا أخإ ة ي أا أعإ ث

ةٲىإ إ اى دعسب ظاد سإ ذغاء ٱةإ تو اء ٱىع ظو ظ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka [berita-berita Muhammad], karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan [mengusir] kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku [janganlah kamu berbuat demikian]. Kamu memberitahukan secara rahasia [berita-berita Muhammad] kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus."

Dari dua ayat tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyimpulkan

bahwa beraliansi dan berkasih sayang dengan musuh-musuh Allah adalah haram

dan berbahaya, maka wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mendahulukan umat

Islam dalam segala hal.178

Konsepsi al-bara>' tidak bisa dilepaskan dari fakta historis kehidupan sosial-

relasional umat Islam dengan kelompok lain di masa awal Islam. Jika melihat

keberagamaan umat Islam di Makkah dan Madinah, konsep al-bara>' yang

dipraktekkan oleh umat Islam bersifat transformatif atau memiliki tahapan demi

tahapan. Tahapan pertama dari implementasi konsep al-bara>' ini dimulai ketika

umat Islam berada di Makkah, yaitu perintah untuk meninggalkan kebiasaan

orang-orang jahiliyyah termasuk membebaskan diri dari kemusyrikan, kemudian

Allah memerintahkan untuk berpaling dari orang-orang kafir (QS. 53:29-30), lalu

perintah untuk bersabar dan hijrah dari Makkah (QS. 73:10; 30:60; 43:26-27).

Dalam hal ini al-Qur'a>n membangun sebuah argumentasi yang menjelaskan tentang

178

Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.

3, 14-15.

Page 146: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

134

perbedaan antara orang musyrik sebagai kelompok yang sesat dan orang-orang

yang beriman sebagai kelompok yang benar (QS. 39:29; 41:29 43: 67; 25:27-29),

kemudian secara tegas al-Qur'a>n menyebutkan bahwa agama yang dianut oleh

musuh Islam adalah agama yang salah yang harus dijauhi (QS. 109:1-6; 10:41, 104-

105; 6:56-57).179

Ibn Qayyim memahami surah al-Kāfirun sebagai surah bara>'ah min al-shirk

(surah pemurnian dari syirik).180

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menyebutkan

bahwa surah al-Ka>firu>n merupakan salah satu dari surah-surah al-ikhla>s}, sebab

dalam surah tersebut menjelaskan tentah keikhlasan kepada Allah dan perintah

untuk bersikap al-bara>' terhadap semua orang kafir.181

Kemudian, ketika

menafsirkan ayat (lakum di>nukum wa liya di>n), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menyebutkan "fa ana> bari>' min di>nikum wa antum bari>-u>n min di>ni> (saya berlepas

dari agama kalian dan kalian berlepas dari agama saya)". Menurut sebagian ulama,

surah ini turun sebelum ada kewajiban untuk berjihad, namun Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kembali mempertegas, bahwa surah ini adalah perintah untuk

bersikap al-bara>' terhadap agama orang-orang Yahudi, Nas}rani dan musyrik, atau

agama semua orang kafir.182

Ketika Nabi dan para pengikutnya masih berada di Makkah, keberagamaan

yang dipraktekkan cenderung tertutup, bersabar, dan tidak terang-terangan,

sehingga konsep al-bara>' yang dipraktekkan pada masa itu masih cenderung

defensif. Lain halnya ketika negara Islam sudah terbentuk di madinah, perjuangan

Nabi dan kaum muslim, bukan hanya dilakukan dengan terbuka bahkan pada masa

ini umat Islam dianjurkan untuk melawan semua musuh tanpa mengenal istilah

mengalah, sehingga pada masa ini, jihad merupakan implementasi dari konsep al-bara>' sekaligus sebagai manifestasi tertinggi dari ketauhidan.

183 Di antara contoh

perwujudan dari konsep al-bara>' adalah upaya umat Islam dalam rangka

memberantas segala kemusyrikan yang ada di Makkah. Al-bara>' min al-shirk wa al-mushriki>n (al-bara> terhadap kemusyrikan dan orang-orang musyrik) dijelaskan

secara panjang lebar pada QS. 9:1-15. Bahkan dalam ayat ke 13 dan 14, memerangi

kaum musyrikin mendapatkan legitimasi dari Tuhan demi kebaikan bagi untuk

umat Islam itu sendiri. Contoh lain dari implementasi konsep al-bara>' di priode

Madinah juga dapat dilihat pada gerakan politis dalam penyerangan terhadap orang

Yahudi Bani Qainuqa', Bani Quraiḍah, dan Bani Nad}ir.184

179

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H), 176-184. 180

Al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 180. 181

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 335. 182

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, 338. 183

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H),, 213-214. 184

Al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 218-221.

Page 147: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

135

Dalam QS. 9:28, al-Qur'a>n menyebutkan bahwa orang-orang musyrik tidak

diperkenankan untuk masuk Masjid al-Haram, tidak hanya itu, sebagai bentuk al-bara>' terhadap mereka, umat Islam juga dilarang untuk menikah dengan orang-

orang musyrik (QS. 60:10), bahkan umat Islam juga tidak diperkenankan untuk

tinggal di da>r al-shirk (wilayah orang musyrik). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n

menjelaskan tentang hukum berpergian dan menetap di negara kafir dengan

menyebutkan bahwa tidak boleh seorang muslim berpergian ke wilayah kafir

kecuali dengan tiga syarat; pertama, harus terlebih dahulu memiliki kapasitas

keilmuan yang cukup untuk dapat menangkal al-syubuha>t (tuduhan-tuduhan).

Kedua, harus memiliki keagamaan yang kuat untuk mengimbangi keinginan hawa

nafsu (al-shahwa>t). Ketiga, memang memiliki kepentingan atau tujuan tertentu,

seperti dengan tujuan berobat. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tidak

menganjurkan umat Islam mengunjungi negara-negara kafir dengan tujuan al-siya>h}ah (rekreasi/wisata), karena bukan merupakan kebutuhan yang penting.

185

Adapun berkenaan dengan hukum menetap di negara kafir, Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa menetap di negara kafir adalah hal yang

sangat berbahaya bagi seorang muslim, karena dalam beberapa kasus, seorang

muslim yang tinggal di negara kafir, kemudian ketika ia kembali ke asalnya, orang

tersebut murtad dari agamanya, sehingga menjadi kafir dan fasiq. Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menetapkan dua syarat bagi orang muslim yang hendak

menetap di negara kafir; pertama, harus memiliki agama yang kuat, keimanan yang

kokoh, dan tekad yang kuat, sehingga ia yakin tidak akan terpengaruh oleh godaan-

godaan orang kafir dan tetap loyal kepada Islam. Kedua, harus dipastikan bahwa di

tempat yang hendak disinggahi adalah tempat yang aman dan tidak halangan untuk

melaksanakan rangkaian syariat Islam, seperti shalat, zakat dan lain sebagainya.186

Bentuk lain dari perwujudan al-bara>' adalah larangan menyerupai orang kafir

(tashabuh al-kuffa>r). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membatasai tashabuh al-kuffa>r hanya berkaitan dengan ciri khas yang hanya dimiliki oleh orang kafir.

187

Larangan tashabuh tersebut meliputi ritual-ibadah dan kebudayaan orang kafir.

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengharamkan seorang muslim ikut serta atau

hanya sekedar mengucapkan selamat untuk hari-hari raya orang kafir, seperti

halnya mengucapkan "selamat natal" bagi orang Kristen. Menurut Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, ikut serta dalam perayaan hari raya orang kafir merupakan

salah satu bentuk berserikat dalam kemaksiatan yang disebutkan dalam QS. 5: 2.

sebagaimana Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani> memasukkan hal ini sebagai bentuk

185

Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.

3, hal. 24. 186

Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, 25-26.

187 Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, 47.

Page 148: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

136

tashabuh terhadap orang kafir.188

Dalam asumsi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, ketika seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang kafir di hari

raya mereka, maka ucapan tersebut sama dengan mengakui dan rid}a terhadap

agama mereka, sedangkan hal itu jelas dilarang dalam agama Islam.189

Konsep al-bara>' merupakan kelanjutan dari konsep al-wala>'. Keimanan

seorang muslim harus diwujudkan oleh sikap loyalitas terhadap apa yang

diimaninya, juga harus menjauhkan diri dari segala hal yang bersebrangan dengan

keimanannya. Kekafiran dan kemusyrikan merupakan lawan dari keimanan,

membenci kekafiran dan kemusyrikan adalah suatu keharusan, bahkan membenci

kelompok lain (kafir dan musyrik) dianggap sah dengan mengatas namakan Tuhan.

Inilah yang difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dan beberapa

kelompok eksklusif Islam lainnya, terkait al-wala>' dan al-bara>'. Tentu, hal ini akan

menimbulkan polemik jika dikaitkan dengan keharmonisan sosial-agama yang

dicita-citakan banyak orang di era modern ini, karena konsep al-wala>' wa al-bara>', sepintas memimiliki kesan intoleran dan akan memperuncing sentimen dalam

beragama.

3. Al-Wala>' wa al-Bara>' dan Toleransi dalam Beragama

Konsep al-wala>' wa al-bara>' memiliki empat dimensi, yaitu (1) akidah

(‘aqi>dah); (2) sosial (mu‘a>malah); (3) politik (siya>sah); dan (4) Jihad (jiha>d). Secara

umum, kelompok salafi sepakat pada konsep al-wala>' wa al-bara>' di tingkat akidah.

Mereka meyakini umat Islam harus percaya dan menjunjung tinggi konsep tersebut

karena memiliki hubungan yang sangat erat dengan agama, baik sebagai

implementasi dari keimanan juga sebagai sikap perlawanan terhadap semua

ancama dari luar, juga untuk memerangi inovasi agama (bid‘ah) apa pun yang telah

merangkak ke dalam agama. Namun, mereka berbeda dalam penerapan al-wala>' wa al-bara>' di tingkat sosial dan politik. Di tingkat sosial, al-wala>' wa al-bara>' ditandai

dengan penggambaran non-Muslim sebagai musuh potensial, dan praktik tidak

Islami sebagai tindakan berbahaya yang dapat mengancam kemurnian Islam dan

tauhid (monoteisme). Contoh dari dimensi ini termasuk memberi dan menerima

hadiah dari non-Muslim, bergabung dengan mereka dalam festival keagamaan

mereka dan bahkan menggunakan kalender non-hijriah yang menurut beberapa

Salafi merupakan al-tashabbuh bil al-kuffa>r (imitasi dari non-Muslim).190

David Bukay, seorang Professor Middle East Studies di University of Haifa,

menyebutkan bahwa doktrin al-wala>' wa al-bara>' berasal dari kehidupan sosial Arab

dengan sistem kesukuan (tribal system), dimana pembagian dan fragmentasi

188

Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani>, al-H{ub fi> Allah, (Iskandariyah: Da>r al-I<ma>n,

tth.), 80, 189

Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 3, 32-33.

190 Mohamed Bin Ali, "Forging Muslim and Non-Muslim Relationship: Contesting

the Doctrine of Al-Wala’ wal Bara’", Rsis, No. 251, (19 November 2015); lihat juga, Joas

Wagemakers, "Framing The 'Threat to Islam': al-Wala' wa al-Bara' in Salafi Discourse",

Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008), 4-9.

Page 149: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

137

merupakan hal yang paling menonjol dalam sejarah sosial-politik Arab. kecintaan

dan kesetiaan kepada komunitas sendiri, dan kecurigaan serta kebencian terhadap

yang lain ini kemudian berkembang dalam tradisi Islam, untuk menjadikan Islam

sebagai komunitas terbaik dalam konteks hubungan antar agama. Al-Qur'ān

menjelaskan bahwa Islam bukan tentang persaudaraan universal, tetapi tentang

persaudaraan orang-orang beriman di bawah Ummah Islam. Ada lebih dari 400

ayat dalam al-Qur'a>n yang menggambarkan tentang siksaan dalam api Neraka yang

telah disiapkan Allah untuk orang-orang kafir, ayat-ayat terebut sekaligus

melegitimasi kebencian atas nama Tuhan terhadap orang-orang kafir. Jika ditanya,

mengapa Islam dipenuhi dengan kebencian, maka konsep al-wala>' wa al-bara>' adalah konsep yang bertanggungjawab sekaligus jawaban dari pertanyaan

tersebut.191

Pendapat Bukay mirip dengan apa yang diasumsikan oleh Muḥammed bin

Ali. Menurut Ali, atas dasar konsep al-wala>' wa al-bara>', para ekstremis Muslim

melarang umat Islam untuk mengembangkan hubungan persahabatan dengan

orang-orang dari agama lain dapat dikritisi dan diperdebatkan. Jika kita

mempelajari ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep tersebut dalam konteksnya

yang tepat, maka kita akan melihat semua ayat tersebut berkaitan dengan

komunitas di luar Islam, seperti Yahudi, Kristen atau politeis di Arab, yang telah

terlibat dalam konfrontasi langsung atau tersembunyi dengan Islam dan kaum

Muslim. Dengan demikian, pada dasarnya al-Qur'a>n telah mengarahkan umat Islam

bahwa dalam kondisi seperti itu (konfrontasi dan perang), mereka tidak boleh

memberikan rahasia mereka (bit}a>nah) kepada komunitas lain di luar Islam dan

tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman. Ali menegaskan bahwa arahan yang

diberikan dalam konteks ini jelas tidak bisa digeneralisasi.192

Pandangan lain terkait konsep al-wala>' wa al-bara>' dikemukakan oleh Joas

Wagemakers. Wagamakers mengomentari konsep teologis ini dari sudut pandang

sosial-politik. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul Framing The "Threat to Islam": al-Wala' wa al-Bara' in Salafi Discourse, Wagamakers berasusmi bahwa

sarjana salafi sering menggunakan konsep al-wala>' wa al-bara>' untuk membentuk

sebuah framing bahwa Islam berada dalam ancaman, dalam wacana mereka,

ancaman tersebut adalah; ancaman agama dan ancaman politik (religious threats and political threats). Ancaman agama datang dari komunitas lain yang dianggap

berbahaya bagi umat Islam, atau bahkan dari komunitas sendiri yang gemar

melakukan inovasi agama (bid'ah) yang dianggap mencemari kemurnian akidah

Islam. Dalam menyikapi ancaman ini, umat Islam diperintahkan untuk bersikap al-bara>', yakni menolak dan membenci atas nama Tuhan. Sedangkan ancaman politik,

191

David Bukay, "Islam and the Other: The al-Wala’ wal-Bara’ Doctrine", akses

online, https://acdemocracy.org/islam-and-the-other-the-al-wala-wal-bara-doctrine/,

diakses pada tanggal 29-01-2020. 192

Lihat, Mohamed Bin Ali, "Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists

Perception of the Religious Other", Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6, No. 1,

(June 2018), 96.

Page 150: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

138

mengacu pada kekeliruan sikap al-wala>' (loyalitas) yang dipraktekkan oleh para

penguasa Muslim dalam hubungan diplomatik mereka dengan non-Muslim inter-

antar negara, yang menganggap bahwa koalisi dengan komunitas lain dapat

merusak dan membahayakan orang-orang Islam. Wagamakers menyebutkan bahwa

implementasi konsep al-wala>' wa al-bara>' yang dipraktekkan kelompok salafi

dewasa ini, selain digunakan untuk dikotomi muslim-nonmuslim, konsep ini juga

digunakan sebagai legitimasi untuk melawan komunitas lain yang bersebrangan.

Kemudian di akhir tulisannya, wagamakers menyimpulkan bahwa al-wala>' wa al-bara>' tidak ada dalam kekosongan agama semata, tetapi dibentuk oleh keadaan

politik lokal dan global.193

Joas Wagamakers memandang bahwa konsep al-wala> wa al-bara>' digunakan

oleh kelompok salafi, bukan hanya untuk mempraktekkan ajaran agama semata,

namun digunakan juga sebagai alat politik identitas. David Bukay dan Muḥammed

Ali keberatan jika konsep al-wala>' wa al-bara>' diterapkan dalam konteks dewasa

ini. Jika melihat argumentasi yang dibangun oleh Bukay dan Ali, terdapat dua

kritikan terhadap konsep al-wala>' wa al-bara>'. Pertama, Bukay dan Ali memandang

konsep tersebut lahir dalam konteks masyarakat arab yang dipenuhi konfrontasi

antara umat Islam dan kelompok lain, sehingga tidak relevan jika diterapkan

dewasa ini. Kedua, konsep tersebut sangat berpeluang untuk merenggut nilai-nilai

toleransi dan akan memperuncing sentimen agama. Sabine Damir-Geilsdorf, Mira

Menzfeld dan Yasmina Hedider, meneliti kelompok salafi dan implementasinya

terhadap konsep al-wala>' wa al-bara>' di Jerman. Kelompok salafi mengalami

dilematis dalam kehidupan sehari-harinya, di sisi lain ia dituntut untuk

mempraktekkan keagamaannya secara total namun di sisi lain harus dibenturkan

dengan sekuritisasi pemerintah Jerman, karena keagamaan salafi dianggap mirip

dengan kelompok islam ekstrem-jihadis dalam wacana global. Bahkan, beberapa

orang mendapatkan perlakuan yang kurang etis dari kalangan islamphobia di

Jerman.194

Baik secara langsung ataupun tidak, hal ini memiliki hubungan dengan

anggapan publik bahwa konsepsi al-wala>' wa al-bara>' melahirkan sikap intoleran.

Berkaitan dengan toleransi, istilah tersebut berasal dari bahasa latin "tolerar" yang memiliki makna; menahan diri, bersikap sabar, menghargai pendapat orang

lain, berhati lapang, tenggang rasa terhadap pandangan atau agama lain.195

Dalam

bahasa Arab, toleransi dikenal dengan istilah al-tasa>muh} yang diambil dari kata

dasar samah}a. Secara leksikal, Ibn Manz}ur menjelaskan tentang terma samah}a

dengan berbagai derivasinya memiliki makna; al-ju>d (murah hati) yang juga

digunakan untuk menunjukkan sikap dermawan. Kemudian, kata tasa>mah}a-al-

193

Lihat, Joas Wagemakers, "Framing The "Threat to Islam": al-Wala' wa al-Bara' in

Salafi Discourse", Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008), 1-22. 194

Lihat, Sabine Damir-Geilsdorf, Mira Menzfeld and Yasmina Hedider,

"Interpretations of al-Walā’ wa al-Barā’ in Everyday Lives of Salafis in Germany",

Religions, 10, 124, (January, 2019), 1-18. 195

Muhammad Yasir, "Makna Toleransi Dalam al-Qur'a>n", Ushuluddin, Vol. 22, No.

2, (Juli 2014), 171.

Page 151: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

139

musa>mah}ah juga bermakna tasa>hala/al-musa>halah (memudahkan atau saling

mempermudah).196

Al-Qur'a>n tidak menyebutkan secara eksplisit terma tasa>muḥ (toleransi),

namun dalam beberapa ayat ditemukan nilai-nilai yang mengarah kepada semangat

dari istilah toleransi tersebut. Misalnya, di antara nilai-nilai toleransi al-Qur'a>n

menyebutkan tentang larangan intervensi terhadap agama lain pada QS. 06:108,

atau tentang tidak ada paksaan dalam agama, seperti yang disebutkan dalam QS.

2:256, dan beberapa ayat lainnya. Meskipun toleransi diyakini sebagai salah satu

nilai luhur dalam ajaran Islam, namun tidak ada kesepakatan yang mengarah pada

satu konsep yang utuh tentang toleransi tersebut, polemik yang terjadi adalah

tentang batasan-batasan toleransi itu, apakah hanya pada ranah sosial dan sebatas

mengakui fakta pluralitas atau lebih jauh menyentuh ranah teologis dan meyakini

akan kebenaran agama lain.

Bagi Sayyid Qut}b, aspek akidah dan sosial merupakan dua variable yang

berbeda, meskipun keduanya memiliki keterkaitan, akan tetapi keduanya tidak bisa

disamakan. Sayyid Qut}b membedakan antara berbuat baik dan berlaku adil kepada

komunitas lain sebagai perwujudan dari toleransi dengan sikap al-bara>' dan

penolakan menjadikan auliya> atas komunitas lain. Sayyid Qut}b juga menegaskan

bahwa toleransi hanya berkaitan dengan urusan sosial-personal (al-mu‘a>mala>t al-shakhsiyyah), toleransi tidak berlaku pada urusan akidah dan sistem

kemasyarakatan (al-nidha>m al-ijtima>‘i). Sayyid Qut}b tidak menapikan nilai-nilai

toleransi yang ada pada ajaran Islam, seperti nilai yang diajarkan al-Qur'a>n bahwa

tidak ada paksaan dalam agama, karena akidah tidak bisa tumbuh dalam nurani jika

terdapat penolakan padanya (al-‘aqa>'id la tansha>' fi> al-d}ama>ir bi al-ikra>h), hanya

saja Sayyid Qut}b menerapkan batasan-batasan yang cukup ketat terhadap

pelaksanaan toleransi tersebut.197

Senada dengan Sayyid Qut}b, Ibn H{ajar juga membedakan antara al-wala>' (loyalitas) dengan kebaikan sosial (h}usn ta‘a>mul). Menurut Ibn H{ajar, berbuat baik

dan menjalin hubungan yang baik dengan komunitas lain, tidak lantas disebut

sebagai bentuk al-wala>' kepada komunitas tersebut, karena bersikap ramah, dan

berbuat baik tidak harus didasari dengan rasa kecintaan dan loyalitas seperti yang

dilarang dalam konsep al-wala>' wa al-bara>'.198 Sebagai permisalannya adalah kisah

Asma>' binti Abu Bakar yang bersikap ramah dan berbuat baik kepada ibunya

namun tetap menolak kekafiran Ibunya.199

Menurut ‘Uthma>n Jum'ah D{amiriyyah,

Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada komunitas lain dengan tanpa

didasari oleh kecintaan dan kecenderungan kepada mereka.200

Toleransi bukanlah

196

Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 2088. 197

Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H), 350-351 198

al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 353. 199

al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 353. 200

'Uthma>n Jum‘ah Ḍamiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-Isla>miyyah,

(t.tp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996), 373.

Page 152: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

140

kesetiaan terhadap komunitas lain, toleransi tidak harus mengikuti agama dan

kekhasan komunitas lain, dan toleransi bukanlah menjadikan komunitas lain sebagi

auliya>' (penolong, teman, atau sekutu). Antara toleransi dengan sikap al-bara>', ittikha>dh auliya>' (menjadikan auliya>') dan kecintaan terhadap komunitas lain

adalah hal-hal yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan.201

Pembedaan antara toleransi dan sikap loyal (al-wala>') terhadap komunitas

lain juga dikemukakan oleh 'Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, bahwa

toleransi bisa dilakukan tanpa didasari kecintaan dan kecenderungan terhadap

komunitas lain. Al-Athari> membagi al-wala>' (loyalitas) kepada komunitas lain

menjadi dua kategori; muwa>lah al-kubra> dan muwa>lah al-s}ughra>. Kategori pertama

menjadikan seorang muslim keluar dari agamanya (dihukumi kafir), kategori ini

adalah sikap loyal kepada komunitas lain secara z}ahir dan ba>t}in. Sedangkan

kategori kedua tidak menjadikan seorang muslim keluar dari agamanya. Kategori

kedua ini adalah sikap loyal kepada komunitas lain hanya pada ranah dhahir saja,

atau diistilahkan oleh al-Athari> al-muwa>lah du>na al-muwa>lah (loyalitas tanpa

kesetiaan). Sebagai contoh dari kategori kedua ini adalah keberpihakan seorang

muslim terhadap komunitas lain secara pragmatis dengan motif tertentu, seperti

mengharapkan keduniaan. Namun demikian, al-'Athari> tetap menganggap sikap

tersebut adalah dosa besar dan berbahaya. Selain itu, al-Atharī juga membedakan

antara konsep al-bara>' dengan sikap buruk terhadap komunitas lain, baik dengan

ucapan maupun perbuatan. Menurutnya, keduanya adalah hal yang berbeda dan

tidak bisa disatupadukan.202

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga tidak mempertentangkan antara

konsep al-wala>' wa al-bara>' dengan toleransi, dalam mengkompromikan keduanya,

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengutip QS. Al-Mumtah}anah (60): 8-9,

إ إ ا اى عط دقإ إ إ أ دتسب سم ـ سجم إ إ ى إ ٱىد ذيم ـ إ ق ى ٱىر ع ٱلل ٮن إ ل

عط قإ ذبب ٱىإ ٱلل إ (٨)ا سم ـ سج أخإ إ ٱىد ذيم ـ ق ٱىر ع ٱلل إ ٮن ا ا

ي ـ ٱىظ ٮٮل ـ ى إ ؤ ى ذ إ إ ى إ أ د ساجن اخإ سا عي ـ ظ (٩)

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu [orang lain] untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (9)"

Menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, menjalin hubungan yang baik

(shilah al-rah}m) tidak mesti bermakna loyalitas (al-muwa>lah), keduanya adalah hal

201

‘Uthma>n, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-Isla>miyyah, 372-373. 202

Lihat, ‘Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, al-Waji>z fi> ‘Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih}, Istanbul: Guraba, 1435 H), 144.

Page 153: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

141

yang berbeda. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menyebutkan bahwa umat

Islam diwajibkan untuk menjalin hubungan yang baik sekalipun dengan orang

kafir, seperti diperbolehkannya mengundang mereka untuk datang ke rumah, akan

tetapi kehati-hatian dan mensyiarkan Islam supaya mereka tertarik untuk masuk

Islam tetap harus dilakukan.203

Kebebasan beragama sebagai salah satu dari nilai-nilai toleransi juga tidak

dipungkiri oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam memahami QS. 2:256,

عل إ ذ قد ٱظإ ةٲلل ئإ غح ـ نإ سإ ةٲىط غ ٱىإ د شإ ٱىسب ‌ قد دت سا ٱىد ل امإ

ف يف عي ظ ٱلل ىا ل ٱ صا ق ثإ ث ٱىإ عسإ ةٲىإ

"Tidak ada paksaan untuk (memasuk) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan dua makna terkait kalimat

la> ikra>h fi> al-di>n, pertama, bermakna larangan, yakni tidak boleh membenci

seseorang atas agamanya. Kedua, bermakna nafi> (penegasian), yakni tidak ada

paksaan untuk masuk suatu agama. Dengan demikian, tidak boleh seseorang

memiliki keterpaksaan untuk masuk agama Islam dan juga tidak boleh memaksa

orang lain untuk masuk agama Islam.204

Kemudian, meskipun dalam kontruksi teologisnya terdapat konsep al-wala>' (loyalitas) yang mengharuskan umat Islam loyal dan mendahulukan kelompok

sendiri, namun dalam konteks menegakkan hukum yang berkaitan dengan

mayarakat umum, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak lantas besikap

diskriminatif atas kelompok lain. Hal ini dapat dilihat ketika ia menafsirkan QS.

4:58,

ب عي أل دعدىا اعدىا ق شآ ن ل جس شداء ةاىقعػ لل ا ا ما ق آ ا اىر ا أب

ي ا دع ختسف ة الله ا ادقا الله أقسا ىيذق

"Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu golongan mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada

203

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-

‘Unaizah: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H

), jil. 1, 645; Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 12-20; Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m

al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), Jil. 3, 31.

204 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 3, 263-264.

Page 154: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

142

takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tetap menganjurkan untuk menegakkan

keadilan sebagai nilai luhur yang diajarkan Islam, sekalipun dalam konteks sosial-

relasional dengan kelompok lain. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga

menyebutkan, ketika terdapat sengketa atau pertikaian antara seorang muslim dan

kafir, maka janganlah bersikap diskriminatif, sebab keadilan dalam hukum adalah

suatu kewajiban.205

Terminologi al-‘adl (keadilan) menurut Muh}ammad bin S{a>li>h}

al-‘Uthaimi>n adalah berhukum sesuai dengan syariat Allah, karena dalam

keyakinannya, tidak ada hukum yang lebih adil selain hukum Allah.206

Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membedakan antara al-‘adl (keadilan) dan al-musa>wa>h

(persamaan/equality). Menurutnya, orang-orang banyak yang salah faham tentang

al-'adl dan al-musa>wa>h dengan menyamakan keduanya. Keadilan adalah

memberikan atau menempatkan segala sesuatu sesuai dengan yang semestinya,

sedangkan al-musa>wa>h adalah menyamaratakan. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n menegaskan bahwa al-di>n al-Isla>m di>n al-‘adl (agama Islam adalah

agama keadilan), bukan di>n al-musa>wa>h (agama kesamarataan).207

Jika melihat pemaparan di atas, konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' dapat

dikatakan tidak bersebrangan dengan toleransi sekaligus juga bisa dikatakan

bersebrangan. Hal ini sangat bergantung pada terminologi dan batasan-batasan

akan toleransi itu sendiri. Dalam asumsi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-wala> wa al-bara> tidak menegasikan nilai-nilai toleransi, sebab keduanya berada

dalam ranah yang berbeda, toleransi hanya berlaku pada ranah sosial saja,

sedangkan dalam ranah ibadah dan akidah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

tidak mengenal istilah toleransi. batasan-batasan yang diterapkan oleh Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n inilah yang turut membentuk terminologinya tentang

toleransi.

D. Misi Suci Agama : konsep Dakwah dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n

3. Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar: Penyeimbang Tatanan Sosial

Dalam ajaran Islam, Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar memiliki peranan

penting untuk mengatur dan menyeimbangkan tatanan kehidupan sosial, konsepsi

Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar diposisikan seperti halnya sistem sosial yang

disepakati bersama untuk menciptakan kehidupan umat yang ideal. Sistem sosial

ini telah dilakukan oleh generasi terdahulu dan menjadi tugas bagi para nabi dan

rasul dengan misi utamanya memerintahkan manusia untuk menyembah dan meng-

Esa kan Allah serta melarang mereka dari segala bentuk kemusyrikan.208

205

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', jil. 1, 442-443. 206

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', jil. 1, 440. 207

Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', jil. 1, 444. 208

Abu Ya‘la> Muh}ammad bin al-H{usain bin Muh}ammad bin Khalaf bin al-Fara>' al-

H{anbali>, al-Amr bi al-Ma‘ru>f wa al-Nahy 'an al-Muka>r, (Madinah: Da>r al-Bukha>ri>, t.th.), 4.

Page 155: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

143

'Abdurrah}man H{asan menyebutkan bahwa Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar adalah alasan Islam tetap eksis hingga dewasa ini, sekaligus kewajiban bagi umat

Islam supaya eksistensinya terjaga hingga waktu yang akan datang.

Argumentasinya dilandaskan kepada QS. 22:41, yang menyebutkan bahwa shalat,

zakat, dan Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar adalah ciri-ciri dari generasi yang

diteguhkan Allah di muka bumi ini.209

Dalam bahasa Arab, istilah al-ma‘ru>f merupakan isim maf‘u>l (kata benda

objek) yang berasal dari kata kerja (fi‘il) 'arafa yang berarti mengetahui. Ibn

Manz}u>r mendefinisikan terma al-ma‘ru>f sebagai istilah untuk segala sesuatu yang

mengarah kepada ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah, perbuatan baik

sesama manusia, dan segala kebaikan dan keburukan yang dianjurkan dan dilarang

oleh shariat.210

Al-Ra>ghib al-As}faha>ni> mengartikan terma al-ma‘ru>f sebagai istilah

untuk segala sesuatu yang diketahui kebaikannya oleh akal dan syariat.211

Kemudian, Mah}mu>d bin 'Abdillah al-Tuwayjiri> mendefinisikan istilah al-ma‘ru>f untuk segala sesuatu yang dicintai dan diriḍai Allah dari aspek keimanan dan amal

shaleh.212

Sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefiniskan istilah al-ma‘ru>f sebagai segala sesuatu yang diperintahkan oleh syariat.

213

Adapun untuk istilah al-munkar, berasal dari kata nakara-ankara yang

memiliki makna, di antaranya; kepicikan, pengingkaran, dan keburukan.

Kemudian, dalam terminologi syariat Islam, istilah al-munkar didefiniskan oleh Ibn

Manz}u>r sebagai lawan dari al-ma‘ru>f, yaitu segala sesuatu yang dianggap buruk,

diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.214

Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>

mendefinisikan istilah al-munkar sebagai segala sesuatu yang dianggap buruk

menurut akal sehat dan syariat.215

Sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

mendefinisikan istilah al-munkar sebagai segala sesuatu yang dilarang oleh

syariat.216

Secara garis besar, makna yang terkandung dalam ajaran amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar adalah perintah untuk menegakkan atau memerintahkan kebaikan

(al-ma‘ru>f) dan menolak serta melarang keburukan (al-munkar). Jika melihat

209

‘Abdurrah}man asan H{abinkah al-Mi>da>ni>, Fiqh al-Da‘wah ila> Allah wa Fiqh al-Nus}h wa al-Irsha>d wa Amr bi al-Ma‘ru>f wa Nahyi ‘an al-Munkar, (Damaskus: Da>r al-

Qalam, 1996), jil. 1, 90. 210

Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 2900. 211

Lihat, al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-

Qalam, 2009), 561. 212

Mahmu>d bin ‘Abdillah al-Tuwayjiri> , al-Qaul al-Muharrar fi> al-Amr bi al-Ma‘ru>f wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Riyaḍ: Muassasah al-Nu>r, t.th.), 26.

213 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah li Shaikh al-

Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 329. 214

Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008), 4539-4540. 215

Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,

2009), 823. 216

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 329.

Page 156: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

144

terminologi yang dirumuskan oleh para sarjana di atas, terdapat perbedaan batasan

baik dan buruk, khususnya antara al-As}faḥa>ni> dan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n. Al-As}faḥa>ni> menyebutkan syariat dan akal sebagai standar untuk

menilai baik dan buruk, sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n hanya

menyebutkan syariat tanpa menyertakan akal, meskipun keduanya sepakat bahwa

wahyu menjadi prioritas utama. Menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, akal

tidak bisa dijadikan instrumen tunggal untuk menentukan baik dan buruk, berbeda

dengan syariat yang bersumber dari wahyu Tuhan, sekalipun akal menolak, wahyu

tidak mungkin salah.217

Mengingat pentingnya amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dalam tatanan

kehidupan sosial umat Islam, sebagian ulama bahkan menganggapnya sebagai

bagian dari rukun Islam. Hal ini dikarenakan peran sentral dari amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar yang diyakini sebagai bentuk penegakan hukum Tuhan dan media

pemersatu umat.218

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam memahami QS.

3:104-105;

ٮٮل ـ ى أ نس ٱىإ ع إ إ س عإ ةٲىإ س

ؤإ س إ اى ٱىإ ع دإجف إ أ ن ذن ىإ

يذ إ إ (٤)ٱىإ ٮٮل ى ـ ى أ خ ـ ت ٱىإ ا جاء د ةعإ ذي ا ٱخإ قا د س ل دنا مٲىر ف (٥)عرااف عظ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (104) Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (105)"

Beliau menyebutkan bahwa perpecahan umat dapat terjadi karena umat

Islam meninggalkan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar.219 Menurut Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, jika semua orang berbuat atas kehendaknya masing-

masing, tanpa ada satu sistem hukum yang disepakati, maka tatanan sosial akan

menjadi tidak teratur dan menimbulkan perpecahan di antara umat. Maka dari itu,

wajib hukumnya untuk umat Islam melaksanakan hukum Allah yang

dikontekstualisasikan melalui amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar.220

Semua umat Islam sepakat bahwa amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar hukumnya adalah wajib, hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang apakah

kewajiban tersebut bersifat komunal (fard} al-kifa>yah) yang hanya cukup dilakukan

oleh sebagian orang, atau bersifat personal (fard} al-‘ain) yang menjadi kewajiban

217

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah,

(Riya>d}: Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 694. 218

Al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, 693. 219

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 25 220

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah,,

(Riya>d}: Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 693.

Page 157: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

145

untuk setiap individu. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa

perbedaan pendapat tersebut terletak pada pemahaman atas kata (min) pada QS.

4:104, apakah bermakna li tab‘i>ḍ (menunjukkan sebagian) atau bukan. Mayoritas

ulama berpendapat bahwa kewajiban amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar bersifat

komunal (fard} al-kifa>yah), termasuk pendapatnya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n.221

Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa hukum amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar adalah wajib bagi semua muslim dan bersifat komunal (al-kifa>yah), akan

tetapi dapat menjadi fard} al-‘ain (personal) jika tidak ada yang mampu

melakukannya.222

Dalam mengkontekstualisasikan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merumuskan enam syarat yang harus dipenuhi;

pertama, seorang muslim yang hendak melaksanakan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar harus terlebih dahulu tahu tentang hukum syar‘i, yakni tentang apa yang

diperintahkan agama dan apa yang dilarang oleh agama. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n mengutip QS. 5:48; 17:36; 16:116) sebagai landasan untuk syarat

pertama ini. Kedua, seorang muslim harus tahu terlebih dahulu kondisi orang yang

menjadi objek amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar (ha>l al-ma'mu>r), apakah ia

tergolong orang yang mukallaf (yang dibebani hukum) atau bukan. Ketiga, seorang

muslim harus tahu terlebih dahulu kondisi orang yang menjadi objek amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar (ha>l al-ma'mu>r), apakah dia benar-benar telah melakukan hal

yang ma‘ru>f atau munkar. Tidak boleh seorang muslim memerintahkan hal ma‘ru>f dan melarang hal munkar atas dasar keraguan. Keempat, seorang muslim yang

hendak melaksanakan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar harus orang yang mampu

(qa>dir) atau memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup, serta tidak boleh

membahayakan dirinya. Kelima, ketika melarang kemunkatan, tidak boleh

menimbulkan keburukan yang lebih besar dibandingkan ia mendiamkannya (an la> yataratab mafsadah a‘z}am min al-suku>t). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

menyebutkan empat kemungkinan sebagai konsekuensi dari nahy 'an al-munkar; (1) Menghilangkan kemunkaran tersebut, (2) Meminimalisir kemungkaran

tersebut, atau memperingan kemadharatan, (3) Menimbulkan kemaḍaratan yang

sama, (4) Menimbulkan kemaḍaratan yang lebih besar. Untuk kondisi 1 dan 2,

maka nahyi al-munkar wajib hukumnya untuk dilaksanakan, sedangkan untuk no 3

bersifat kondisional, dan untuk kondisi yang ke 4, nahyi al-munkar tidak boleh

dilakukan. Keenam, seorang muslim yang melaksanakan amr al-ma'rūf wa nahyi al-munkar harus terlebih dahulu melaksanakan apa yang diperintahkan agama dan

meninggalkan apa yang dilarang agama. Misalnya, seorang muslim yang tidak

221

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}:

Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 94; Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 12.

222 Mahmu>d bin ‘Abdillah al-Tuwayjiri> , al-Qaul al-Muharrar fi> al-Amr bi al-Ma‘ru>f

wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Riyaḍ: Muassasah al-Nu>r, t.th.), 86.

Page 158: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

146

shalat tidak boleh menyuruh orang untuk melaksanakan shalat, hal ini berdasarkan

QS. 244.223

Jika melihat syarat-syarat yang dirumuskan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n, pelaksanaan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar bersifat kondisional

tergantung konteks yang ada, keilmuan yang cukup juga merupakan modal utama

dalam pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan bahwa konsep dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar yang difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

bersifat fleksibel secara tekhnis dengan tanpa mengurangi urgensi dan kewajiban

bagi setiap umat Islam di berbagai elemennya, baik dengan hati, lisan, maupun

perbuatan, untuk menegakkan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar ini.

Kewajiban dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar sebagai media

pemersatu umat dan perbaikan moral-sosial masyarakat banyak ditekankan oleh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n di berbagai tempat dalam tulisannya. Sebagai

seorang aktifis dakwah, tentunya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memiliki

cita-cita mulia untuk membangun masyarakat yang ideal. Menurut Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, masyarakat yang ideal dapat terwujud jika amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar ditegakkan. Sebaliknya, kebobrokan moral-sosial mayarakat

adalah sebab dari lemahnya implementasi amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar pada

masyarakat tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan al-Qur'a>n QS. 3:110,

إ ءا ى ةٲلل دئإ ڪس ٱىإ ع إ إ د س عإ ةٲىإ س

سجخإ ىياض دؤإ جب أخإ س أ إ إ خ مذ

عق ـ ٱىإ ثس أ إ ئإ ٱىإ إ ا ى سن إ خ ب ىنا ـ ڪذ و ٱىإ إ أ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat ini tentang superioritas

umat Islam dibandingkan kelompok lain. Ayat ini juga menjelaskan urgensi

(ahamiyyah) dan peran sentral dari amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar beserta

keimanan dalam membentuk masyarakat yang ideal. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa jika suatu umat ingin mendapatkan predikat khair ummah (umat terbaik), maka tegakkalah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar.224

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjadikan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar sebagai barometer baik dan buruknya suatu umat, beliau menyebutkan;

أ اٱس ةاىعس اى ع اىنس ميا جد اٱج جد اى س ا، ميا ظعف "

ا ظعف اى س، ىرا ىا ماخ اٱج قج اٱس ةاىعس اى ع اىنس

ة ا ماخ اىت عي خس ا سا، ىا ظعف اٱس ةاىعس اى ع اىنس اح

." ر اىت اى س ةقدز ا ادا اٱس ةاىعس اى ع اىنس

223

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 330-336.

224Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li

‘Imra>n, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 51-54.

Page 159: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

147

"Jika amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar terdapat pada suatu umat, maka kebaikan pun akan ada pada umat tersebut, dan jika penegakkan amr al-ma‘rūf wa nahyi al-munkar lemah, maka seperti itu pula kadar kebaikan pada umat tersebut. Dengan demikian, kekuatan umat terletak pada amr al-ma‘rūf wa nahyi al-munkar, jika negara kita menegakkannya, maka kebaikan akan ada sesuai penegakkannya, dan jika negara kita lemah dalam menegakkan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar, maka negara kita akan banyak kehilangan sesuai kadar hilangnya amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dari negara ini."225

Signifikansi dari dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar adalah tegaknya

syariat Islam di muka bumi ini. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan

tiga tahapan yang harus ditempuh dalam melaksanakan misi suci agama ini;

tahapan pertama adalah al-da‘wah (seruan/ajakan), yaitu menyeru manusia kepada

Allah baik dengan pemberian harapan (targhi>b) maupun dengan ancaman (tarhi>b).

Dalam konteks ini, aktivitas dakwah dilakukan secara umum tanpa ditujukan

kepada orang atau kelompok tertentu. Kemudian tahapan yang kedua adalah al-amr wa al-nahy (perintah dan larangan), yakni memerintah kepada kebaikan dan

melarang keburukan kepada orang atau kelompok tertentu, namun hanya dilakukan

secara verbal tanpa dibarengi dengan tindakan. Dan tahapan yang ketiga adalah al-taghyi>r (merubah), yakni merubah kemunkaran yang ada pada masyarakat melalui

tindakan nyata.226

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyadari betul bahwa untuk

menegakkan syariat Islam sebagai misi suci agama ini memiliki konsekuensi yang

harus dihadapi, terutama pada tahapan ketiga (al-taghyi>r) dalam

mengkontekstualisasikan dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar melalui

tindakan yang nyata. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa

untuk tahapan ketiga ini tidak semua orang mampu dan dibebani kewajiban untuk

melakukannya, hanya orang yang mampu dan memiliki kapasitaslah yang

diwajibkan melakukan al-taghyi>r, misalnya seorang ayah terhadap keluarganya

karena kapasitasnya sebagai pemimpin keluarga, atau seorang pemimpin, tokoh

masyarakat, dan orang-orang yang memiliki pengaruh dan berkemampuan, karena

dalam pelaksanaannya terkadang sang da'i harus dihadapkan dengan hal-hal yang

tidak dinginkan yang dapat membahayakan dirinya.227

Konsekuensi dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar diisyaratkan oleh

Luqman ketika berwasiat kepada anaknya dalam QS. 31:17,

إ عصإ ذٳىل ا أصاةل ‌ ا تسإ عي ٱصإ نس ٱىإ ع إ ٱ س عإ سإ ةٲىإ

أإ ث ي ٱىص أق ت ـ

ز ٱٱإ

225

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n,

(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 53. 226

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}:

Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 708-709. 227

Al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, 709.

Page 160: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

148

"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."

Perintah untuk melaksanakan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar pada ayat

tersebut disertai dengan perintah bersabar. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

memahami susunan kalimat dalam ayat tersebut sebagai isyarat bahwa penegakkan

amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar memiliki konsekuensi tersendiri, baik itu

perlawanan, gangguan, bahkan bahaya bagi sang da‘i. Sehingga, dalam

mengkontekstualisasikan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dibutuhkan kesabaran

dari seorang da'i, dan kesabaran tersebut memiliki nilai pahala di sisi Allah (QS.

11:49). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan, "kulama> ishtadda al-adha> qaruba al-farj228 (tatkala godaan itu semakin kuat maka semakin dekatlah dengan

kebahagiaan."229

Berdasarkan keragaman tingkatan kemampun setiap individu dalam

melaksanakan dakwah amr al-ma‘ru>>f wa nahyi al-munkar dan berbagai

konsekuensi yang harus dihadapi oleh sang da‘i, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa implementasi dari konsep dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar, khususnya dalam upaya merubah kemunkaran (taghyi>r al-munkar), memiliki tiga tingkatan, tingkatan pertama adalah al-yad (tangan), yakni

melaksanakan dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dengan tindakan yang

nyata, tingkatan ini memiliki resiko paling tinggi. Tingkatan kedua adalah al-lisa>n

(lidah), yakni menyeru manusia untuk menegakkan kebenaran dan meninggalkan

kemunkaran secara verbal. Dan tingkatan ketiga adalah al-qalb (hati), yakni

membenci kemunkaran dan tidak turut serta dalam kemunkaran tersebut.230

Dengan demikian, konseptualisasi dakwah amr ma‘ruf wa nahyi munkar memiliki

tingkatan atau bersifat fleksibel menyesuaikan kondisi sang da‘i dan medan

dakwahnya.

4. Jiha>d : Demi Tegaknya Kalimah Allah

Di bawah ideologi jihad, ekspansi dakwah Islam pernah mencapai prestasi

gemilang sehingga yang mampu menciptakan imperium terbesar dalam sejarah

peradaban Islam. Pada masa Bani ‘Umayyah (661-750 M), beberapa wilayah di

luar Jazirah Arab berhasil dikuasai oleh Mu‘awiyah, di antaranya adalah Tunisia,

kemudian di sana didirikan kota Qairawan yang salah satu pusat kebudayaan Islam.

Wilayah lain yang dikuasai Mu'awiyyah adalah Khurasan hingga Sungai Oxus, dan

Afghanistan sampai Kabul, kemudian wilayah Byzantium, Konstantinopel, juga

sampai ke Afrika Utara, bahkan pada generasi penerus Mu'awiyyah, imperium

228

Al-farj adalah ketengan dalam hati. Makna dari qaruba al-farj adalah yushrih Allah s}adrah wa yu'thi>h al-t}uma'ni>nah fi qalbih (Allah akan melapangkan dadanya dan

memberi ketenangan dalam hatinya). 229

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}:

Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 705. 230

Al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, 710.

Page 161: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

149

Islam meluas hingga ke daratan Eropa, dimana salah satu panglima termasyhur

pada saat itu adalah T{āriq bin Ziya>d yang berhasil menyeberangi Selat Gibraltar

(Jabal T{ariq) dan mengalahkan tentara Raja Roderick dari Andalusia (Spanyol),

dan menguasai beberapa kota di Andalusia, seperti Toledo (ibu kota Andalusia),

Sevilla, Malaga, Elvira, dan Cordoba.231

Kegemilangan ekspansi dakwah Islam tidak hanya dicapai pada masa Bani

Umayyah saja. Pada masa Rasulallah, Islam yang mulanya merupakan kelompok

kecil sebagai masyarakat minoritas mampu menjadi negara yang besar, salah satu

prestasinya adalah fath Makkah. Dilanjutkan oleh penerusnya al-khulafa> al-ra>syidu>n, kemudian masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah hingga masa

‘Uthmaniyyah, yang berhasil memperluas Islam hingga keluar Jazirah Arab. Pada

priode Islam klasik dan pertengahan, kontekstualisasi jihad berhubungan erat

dengan otoritas religio-politik dunia Islam, para pemimpin yang dinobatkan

sebagai penerus Rasulallah, memiliki otoritas untuk memerintahkan umat Islam

berjihad melawan musuh-musuh Islam yang mengganggu kedamaian kaum muslim,

menghapuskan praktik-praktik yang menyimpang dalam agama, seperti

kemurtadan, kebid'ahan dan lainnya, hingga mengintruksikan untuk melakukan

jihad ofensif dengan tujuan memperluas kekuasaan Islam.232

Di sisi lain, wajah Islam juga harus torcoreng dengan konsepsi jihadnya yang

dipraktikkan oleh kelompok ekstremis Islam yang cenderung memaknai jihad

sebagai perang yang penuh dengan kekerasan. Interpretasi teks keagamaan yang

menjelaskan tentang konsepsi jihad dalam Islam merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan penyempitan makna (pejoratif) terhadap istilah jihad sebagai

peperangan semata. Secara sempit, ayat-ayat dan hadith tentang jihad terkadang

dianggap sebagai landasan skriptual yang melegitimasi kekerasan semata demi

tegaknya agama Islam. Polemik pemaknaan jihad ini kemudian ditanggapi dan

dinilai negatif oleh komunitas lain di luar Islam, yang menganggap jihad dalam

Islam adalah sesuatu yang tidak masuk akal, tidak terkendali, dan berkonotasi

perang.233

Nelson Pallmeyer dalam bukunya yang berjudul "Is Religion Killing Us?" menganggap bahwa intoleransi, kekerasan, dan peperangan dibenarkan dalam

Islam dan diperintahkan oleh Allah dan Muh}ammad, sehingga Pallmeyer

231

Wontgomery W Watt, The Majesty That Was Islam, dalam Zakiya Darajat,

"Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah Islam, Ijtihad, Vol.

16, No. 1 (2016), 9. 232

James Turner Johnson, The Holy War Idea in Western and Islamic Traditions, dalam Zakiya Darajat, "Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah

Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016), 12. 233

David Cook, Understanding Jihad, (Los Angeles: University of California Press,

2005), dalam Rif’at Husnul Ma’afi, "Konsep Jihad dalam Perspektif Islam",

Kalimah, Vol. 11, No. 1, (Maret 2013), 134.

Page 162: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

150

mengkritik Islam tentang problematikanya yang terkait dengan kekerasan dalam

agama.234

Sebagian orientalis memahami terma jiha>d dengan makna kerja keras,

kesungguh-sungguhan, dan cenderung mengidentikkan dengan pembunuhan (qita>l), peperangan (harb), bahkan mengaitkannya dengan terorisme (irha>b). Edmund

Bosworth berkesimpulan bahwa selama lebih dari dua belas abad, aktivitas politik

muslim di wilayah Turki, Iran, Sudan, Ethiopia, Spanyol, dan India semuanya

berangkat dari seruan tentang jihad. Robin Wright bahkan menyebutkan bahwa

jihad dalam Islam adalah slogan bagi kaum muslim untuk menegakkan agama

tauhid dan mengislamkan dunia sebagai agama terakhir yang benar. Menurut

Robin Wright, selogan jihad sama dengan slogan Salib versi Islam.235

Tidak hanya

dari kalangan orientalis, sebagian sarjana muslim pun memahami istilah jihad

sebagai perang suci atas nama agama. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Salafi

Jihadis, di antara mentor kelompok ini adalah Hasan al-Banna, Sayyid Qut}b,

'Abdullah 'Azzam, dan Ayman al-Z{awahiri yang menolak konsepsi jihad sebagai

perjuangan melawan hawa nafsu yang dikenal dengan jiha>d akbar lebih penting

dari peperangan yang dikategorikan sebagai jiha>d as}ghar.236

Di dalam al-Qur'a>n, terma jihad dengan berbagai derivasinya disebutkan

sebanyak 42 kali,237

yang setidaknya terdapat empat, yaitu; qita>l (perang), hujjah

(berargumentasi), infak di jalan Allah dan bersungguh-sungguh dalam menolong

dan menjalankan syariat agama.238

Secara priodik, istilah jihad yang digunakan al-

Qur'a>n pada priode Makkah atau di masa awal Islam, lebih cenderung bermakna

234

Jack Nelson Pallmeyer, Is Religion Killing Us?, (New York: Continuum, 2003) ,

dalam Rif’at Husnul Ma’afi, "Konsep Jihad dalam Perspektif Islam", Kalimah, Vol. 11, No.

1, (Maret 2013), 135. 235

Zakiya Darajat, "Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam

Sejarah Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016), 3 236

Bagi kelompok ini, paradigma jihad sebagai perang melawan musuh termasuk

kategori jihad kecil (jiha>d as}ghar) sengaja diciptakan oleh para musuh Islam untuk

menciutkan semangat umat Muslimin dalam melawan musuh-musuh Islam. Al-Banna tetap

mengakui bahwa ada hal yang lebih berbahaya dari sekedar kampanye militer dan politik

dalam perjuangan jihad, yaitu budaya Barat. Pada tahun 1920-an al-Banna mengecam keras

ateisme dan hal-hal yang dianggap berbahaya bagi agama dan moral dengan dalih

kebebasan individu dan kebebasan intelektual. Pendiri al-Ikhwan al-Muslimun ini

menyerang Rupert Murdoch dan Barry Diller serta kaum westernis lainnya yang telah

mengimpor wanita setengah telanjang beserta dengan minuman keras, teater, tari-tarian,

novel, cerita, permainan tolol, dan sifat-sifat buruk lainnya ke negerinya. Lihat Benjamin R

Barber, Jihad vs McWorld, (New York: Ballantine Book, 1996), 210; Imam Samudera, Aku Melawan Teroris!, (Solo: Jazeera, 2004), 107-108; Zakiya Darajat, "Jihad Dinamis:

Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016), 4-5.

237 Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d 'Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n

al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 182-183. 238

Abdul Fattah, "Memaknai Jihad dalam al-Qur'a>n dan Tinjauan Historis

Penggunaan Istilah Jihad dalam Islam, J-PAI, Vol. 3, No. 1 (Juli-Desember 2016), 68.

Page 163: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

151

dakwah dan berdialog dengan orang-orang Quraish supaya Islam dapat diterima

dengan baik di kalangan mereka, juga bermakna kesungguhan diri dalam

mempertahankan keimanan. Pada priode Makkah, belum ada perintah untuk

berperang kepada umat Islam, sehingga pada priode ini umat Islam belum

mengenal istilah jihad dengan makna perintah berperang. Istilah jihad sebagai

perintah berperang baru muncul pada priode Madinah, tepatnya ketika Rasulallah

dan umat Islam hendak melakukan perang Badar. Pada dasarnya, jihad dalam artian

perang bertujuan untuk mempertahankan negara Islam dari ancaman dan serangan

orang-orang kafir juga untuk melindungi kebebasan dakwah.239

Asal kata dari istilah jihad adalah ja-ha-da. Al-juhdu/al-jahdu memiliki

makna al-t}a>qah wa al-was‘u (kemampuan), al-mashaqah (kesulitan), dan al-mubālaghah wa al-gha>yah (sampai kepada tujuan).

240 Al-Ra>ghib al-As}faha>ni>

mendefinisikan al-jiha>d wa al-muja>hadah sebagai totalitas diri dalam melawan

musuh (istifra>gh al-was‘i fi> muda>fa‘ah al-‘aduw). Al-As}faha>ni> menyebutkan tiga

bentuk jihad dalam melawan musuh; pertama, muja>hadah al-‘aduw al-z}a>hir (melawan musuh yang nampak). Kedua, muja>hadah al-shait}a>n (melawan setan).

Ketiga, muja>hadah al-nafs (melawan diri sendiri).241

Dalam pandangan Sayyid Sabiq, jihad merupakan perjuangan dengan

mencurahkan sepenuh tenaga dan segala upaya serta menanggung segala bentuk

konsekuensi dan kesulitan dalam memerangi musuh dan menahan agresi.242

Tidak

jauh beda dengan Sabiq, Wahbah al Zuhaili juga mendefinisikan jihad sebagai

bentuk perjuangan dalam memerangi orang kafir yang dilakukan dengan sepenuh

tenaga dan upaya baik dengan jiwa, harta dan lisan.243

Sedangkan Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa makna dari terma al-jiha>d adalah badhl al-juhd (mencurahkan kemampuan), yakni mencurahkan segala kemampuan untuk

mendapatkan atau mempertahankan suatu perkara. Secara terminologi syariat

Islam, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefinisikan istilah jihad; badhl al-juhd fi> qam'i a'da>i al-isla>m bi al-qita>l wa ghairih, litaku>n kalimah allah hiya al-‘ulya'> (mencurahkan segenap kemampuan untuk melawan atau menghancurkan

musuh-musuh Islam baik dengan perang atau dengan hal lainnya sehingga

tegaknya atau tingginya kalimah Allah).244

239

Abdul Fattah, "Memaknai Jihad dalam al-Qur'a>n dan Tinjauan Historis

Penggunaan Istilah Jihad dalam Islam, J-PAI, Vol. 3, No. 1 (Juli-Desember 2016), 84. 240

Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 708. 241

Lihat, al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-

Qalam, 2009), 208. 242

Sayyid Sabiq, dalam M. Coirun Nizar & Muhammad Aziz, "Kontekstualisasi

Jihad Perspektif Keindonesiaan", Ulul Albab, Vol. 16, No.1, (2015), 24. 243

Wahbah Juhaili, dalam M. Coirun Nizar & Muhammad Aziz, "Kontekstualisasi

Jihad Perspektif Keindonesiaan", Ulul Albab, Vol. 16, No.1, (2015), 24. 244

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-

Khairiyyah, 1436 H), 317.

Page 164: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

152

Signifikansi jihad dalam syariat Islam adalah supaya tegaknya kalimah Allah

(i'la>'i kalimah Allah) di muka bumi. Jihad juga merupakan amalan terbaik yang

dicintai Allah (QS. 5:54). Mengingat pentingnnya eksistensi jihad dalam Islam,

amalan ini berhukum wajib menurut syari'at. Salah satu dalil yang mewajibkan

jihad dapat dilihat pada QS. 9:73,

صس ط ٱىإ ة إ ‌ إ ج ٮ

ؤإ إ إ يعإ عي ٱ إ ـ ق ٱىإ ڪ از د ٱىإ ـ ب ج ؤب ا ٱىت ـ

"Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya."

Ayat ini diulang dengan redaksi yang sama pada QS. 66:9. Ibn Qayyim

menyebutkan bahwa hukum jihad terhadap orang kafir dan munafik adalah fard} al-kifa>yah (kewajiban komunal), sehingga ketika sebagian dari umat telah

melakukannya, maka kewajiban telah gugur bagi yang lainnya.245

Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memahami ayat ini sebagai dalil akan wajibnya jihad bagi umat

Islam. Terma ja>hid pada ayat di atas adalah kata perintah (fi'il amr), Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memahami kata ja>hid tersebut sebagai perintah untuk

mencurahkan segenap kekuatan dan kemampuan untuk melawan dan memerangi

musuh-musuh Islam. Tidak hanya memerangi, dalam ayat tersebut, Nabi juga

diperintahkan untuk tidak bersikap lemah lembut kepada dua komunitas; kuffa>r dan Munafiqi>n sebagai kelompok yang memusuhi Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

'Uthaimi>n menafsirkan kuffa>r dalam ayat tersebut sebagai musuh Islam yang

secara terang-terangan memerangi dan menampakkan kekufurannya. Sedangkan al-muna>fiqu>n (orang-orang munafik) adalah musuh Islam yang menyembunyikan

permusuhan mereka di dalam hatinya sementara perbuatan mereka cenderung

melakukan tipu daya dan makar terhadap Islam. Bagi orang-orang kafir, jihad yang

dilakukan adalah dengan tindakan nyata atau berupa fisik hingga mengangkat

senjata (bi al-sila>h} al-ma>di>), sedangkan terhadap orang-orang munafik, jihad yang

dilakukan adalah berupa hujjah (berargumentasi) dan al-burha>n (menunjukkan

bukti kebenaran) yang disebut oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n sebagai

yuja>hidu>na bi al-sila>h} al-ma‘nawi> (memerangi mereka dengan senjata secara

maknawi).246

Mengutip dari Ibn ‘Abba>s, al-Mara>ghi> dalam tafsirnya membedakan

konseptualisasi jihad terhadap orang kafir dan orang munafik. Bagi orang-orang

kafir, jihad dilakukan dengan pedang (jiha>d al-kuffa>r bi al-saif), sedangkan

terhadap orang munafik, jihad dilakukan secara verbal dengan lisan (jiha>d al-muna>fiqi>n bi al-lisa>n), yakni bi al-hujjah wa al-burha>n (dengan argumentasi dan

245

Lihat, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Ma‘a>d fi> Hady Khair al-‘Iba>d, (Beirut:

Muassasah al-Risa>lah, 2009), 334. 246

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-

Khairiyyah, 1436 H), 319-320.

Page 165: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

153

bukti kebenaran).247

Sedangkan menurut Quraish Shihab, jihad dengan memerangi

orang kafir adalah tahapan akhir ketika mereka menolak seruan dakwah Islam dan

berlanjut kepada ancaman dan gangguan terhadap Islam. Bagi Quraish Shihab,

alasan jihad terhadap kelompok kafir dan munafik adalah karena dua komunitas ini

sering mencemari lingkungan baik dengan ide maupun kelakuan mereka. Perintah

jihad kepada Rasul yang harus diteladani oleh umat Islam dalam ayat tersebut

merupakan perintah dakwah, baik dengan hati, lisan, harta, jiwa dan segala yang

dimiliki, untuk meluruskan kekeliruan mereka sehingga menjadi orang yang shalih

dan beriman kepada Allah. Dengan demikian, jihad dalam artian perang merupakan

tahap akhir ketika dakwah secara verbal tidak diterima oleh orang-orang kafir,

bahkan berbalik mengancam dan mengganggu orang Islam.248

Perintah memerangi orang-orang kafir sebagai bentuk jihad diungkapkan

juga dalam QS. 9: 123,

ي ٱلل ا أ ي ٱعإ ظجن إ يإ جدا ن ىإ ڪ از ٱىإ ين ذيا ٱىر ـ ا ق ءا ؤب ا ٱىر ـ

ذق ٱىإ

"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa."

Pada ayat di atas, terma jihad tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil

akan kewajibannya jihad memerangai orang kafir, di mulai dari orang-orang kafir

yang terdekat yang ada di sekitar kamu, hingga tegakknya agama Allah dan

hilangnya fitnah di muka bumi (QS. 8:39).249

Selain QS. 9:73 dan 123, Muh}ammad

bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n juga mengutip QS. 4:104; 8:60; dan 47:35-38 sebagai

landasan argumentasinya tentang kewajiban jihad dalam bentuk memerangi orang

kafir.250

Jika melihat tema jihad yang diwacanakan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n dalam kitabnya al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, dalam sub judulnya tentang ayat-ayat jihad (Min Āya>t al-Jiha>d), istilah

jihad lebih cenderung bermakna perang, bahkan hampir tidak ditemukan pengertian

jihad selain sebagai perlawanan atau penyerangan terhadap orang-orang kafir.251

247

Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, (Mesir: Mus}t}afa> al-Babi> al-

H{alabi>, 1946), Jil. 10, hal. 163. 248

M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mis}ba>h, (Ciputat: Lentera Hati, 2009), Vol. XIV,

hal. 182-183. 249

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-

Khairiyyah, 1436 H), 321-322. 250

Al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, 317-332. 251

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan

dengan jihad kemudian ia membaginya dalam tiga bahasan; 1. Ayat-ayat tentang kewajiban

berjihad; 2. Ayat-ayat tentang etika yang harus dilakukan oleh pasukan perang dan hukum

Page 166: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

154

Sepintas Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimin> terlihat melakukan penyempitan

makna (pejoratif) terhadap istilah jihad yang hanya dimaknai sebagai perlawanan

dan penyerangan terhadap musuh-musuh Allah, serta hanya mengalamatkan

kepada konteks Islam pada priode awal dalam dimensi konflik-politik dengan

komunitas lain. Namun dalam tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, ketika menafsirkan QS.

29:69,

ع ذإ ي ٱىإ ى ٱلل ا إ ظتيا د دا ا ى إ ـ ج ٱىر

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefinisikan jihad dalam konteks ayat

ini sebagai kesungguhan untuk sampai pada tujuan (badhl al-juhd li al-wus}u>l al-gha>yah).

252 Hal ini berbeda dengan definisi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

sebelumnya; badhl al-juhd fi> qam‘i a‘da>i al-isla>m bi al-qita>l wa ghairih, litaku>n kalimah allah hiya al-‘ulya> (mencurahkan segenap kemampuan untuk melawan

atau menghancurkan musuh-musuh Islam baik dengan perang atau dengan hal

lainnya sehingga tegaknya atau tingginya kalimah Allah).253

Dalam pandangan

penulis, dua definisi ini memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Persamaan

keduanya terletak pada signifikansi jihad dengan tujuan menegakkan kalimah

Allah (li i‘la>i kalima allah), sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan istilah

jihad, yang mana hal tersebut tentunya berimplikasi pada ranah konseptualisasinya.

Dalam memahami QS. 29:69, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n

memperluas cakupan jihad dari hanya sekedar melawan dan memerangi orang kafir

kepada makna yang lebih luas. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya terhadap

kalimat fi>na (untuk/dalam Kami) sebagai destinasi akhir (gha>yah) dari aktivitas

jihad. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan makna dari kalimat fi>na

mencakup tentang berjihad dalam konteks menegakkan agama Allah, tentang

mencintai segala sesuatu yang dicintai Allah, tentang menjelaskan syariat Allah,

tentang mengerjakan amr al-ma‘ru>f wa al-nahy 'an al-munkar, tentang menjaga diri

dari segala yang diharamkan dan tentang melaksanakan segala yang diperintahkan,

juga termasuk tentang perang menghadapi orang-orang kafir. Muh}ammad bin S{a>li>h}

ghanimah; 3. Ayat-ayat tentang perlindungan (al-ama>n), perjanjian (al-‘ahd) dan tentang

denda/pajak (dzimmah). Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1436 H), 317-361. 252

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 413.

253 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran

wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-

Khairiyyah, 1436 H), 317.

Page 167: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

155

al-‘Uthaimi>n menegaskan bahwa semua itu termasuk dalam pengertian jihad.254

Yusuf al-Qard}a>wi> bahkan tidak memasukan perang (qita>l) sebagai bagian dari

pengertian jihad dalam ayat ini, al-Qard}a>wi> jihad pada ayat ini adalah jihad

maknawi (al-jiha>d al-ma‘nawi>) yang hanya mencakup jihad melawan hawa nafsu

dan setan.255

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengklasifikasikan jihad ke dalam dua

kategori; jiha>d harb dan jiha>d nafs.256

Pembagian jihad ini sama dengan yang

disebutkan dalam Tafsi>r al-Jalalain dalam penafsirannya terhadap QS. 29:6,

ي ـ ع ٱىإ ى ع ىغ ٱلل ۥۦ ا ع د ى إ ـ ا ج د ب ـ ج

"Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

د ") ـ ج "جا دسا أ ط (

"(wa man ja>hada), yaitu jihad dalam artian perang dan jihad melawan hawa nafsu/diri sendiri."

Jihad harb (jihad perang) adalah jihad melawan musuh Islam, sedangkan

jihad nafs (jihad diri) adalah kesunguh-sunguhan seseorang dalam melaksanakan

ketaatan kepada Allah dan meninggalkan segala yang diharamkan. Jihad dalam QS.

29:6 dimaknai oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sebagai kesungguhan

mencurahkan seluruh kemampuan terhadap suatu perkara (badhl al-juhd fi> al-shai-i), atau kesungguhan untuk menggapai perkara yang sulit (badhl al-juhd li idra>k amr sa>q). Manusia akan menemui kesulitan dalam setiap perjuangannya, maka

dibutuhkan kesabaran dan kesungguhan dalam menghadapinya. Kesungguh-

sungguhan itulah yang dimaksud dengan jihad, yang mana dampak atau manfaat

daru kesunguh-sungguhan tersebut akan kembali ke pelakunya bukan untuk Allah,

karena sejatinya Allah Maha Kaya dan tidak butuh diperjuangkan oleh manusia.258

Berkaitan dengan pengklasifikasian jihad, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n sependapat bahkan mengikuti Ibn Qayyim yang menyebutkan bahwa

jihad memiliki empat tingkatan, yaitu; jiha>d al-nafs (jihad terhadap diri sendiri),

jiha>d al-shait}a>n (jihad terhadap setan), jiha>d al-kuffa>r (jihad terhadap orang kafir),

dan jiha>d al-muna>fiqi>n (jihad terhadap orang munafik). Empat tingkatan jihad ini

dijabarkan oleh Ibn Qayyim ke dalam tiga belas tingkatan jihad. Tingkatan dari

254

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 413.

255 Yusuf al-Qardha>wi>, Fiqh al-Jiha>d, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009), 148.

256 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-

‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 26. 257

Maksud dari kalimat ( د ـ ج ) adalah jiha>d harb (jihad perang) atau jiha>d nafs

(jihad diri). Lihat, Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Tafsi>r al-Jala>lain al-Muyassar, (Beirut: Maktabah Lubna>n, 2003), 396.

258 Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-

‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 26-27.

Page 168: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

156

jiha>d nafs adalah; (1) berjihad dalam mempelajari kebenaran, (2) berjihad dalam

mengamalkan apa yang dipelajari, (3) berjihad dalam berdakwah dan mengajarkan

apa yang telah dipelajari, (4) berjihad dengan penuh kesabaran dalam menghadapi

godaan dan kesulitan dalam perjuangannya. Kemudian tingkatan dari jiha>d al-shait}a>n adalah; (1) berjihad dalam menahan dari segala bentuk shubhat dan

keraguan, (2) berjihad dalam menahan keinginan buruk dan hawa nafsu. Adapun

untuk jiha>d al-kuffa>r dan jiha>d al-muna>fiqi>n, memiliki tingkatan yang sama, yaitu;

(1) bi al-qalb (dengan hati), (2) bi al-lisa>n (dengan lisan), (3) bi al-ma>l (dengan

harta), (4) bi al-yad (dengan tangan). Jihad dengan tangan dikhususkan untuk

berjihad melawan orang kafir, sedangkan untuk orang munafik, jihad dilakukan

hanya secara verbal dengan lisan. Kemudian, tingkatan jihad lainnya adalah jiha>d arba>b al-z}ulm wa al-bid‘i wa al-munkara>t (jihad terhadap orang-orang z}alim,

pelaku bid‘ah dan kemunkaran). Jihad ini memiliki tiga tingkatan; (1) bi al-yad

(dengan tangan), jika mampu melakukannya, (2) bi al-lisa>n (dengan lisan), ketika

tidak mampu dengan tangan, (3) bi al-qalb (dengan hati), ketika tangan dan lisan

tidak mampu untuk melawan kez}aliman, kebid'ahan dan kemunkaran.259

Klasifikasi yang bertingkat dalam pembagian jihad ini menunjukkan

keluasan cakupan jihad yang tidak hanya berfokus pada perang saja. Sehingga,

dalam ranah konseptualisasinya, jihad merupakan upaya sekuat tenaga dalam

perbaikan moral baik personal maupun kelompok, pencarian dan penyampaian

kebenaran, pengendalian diri, hingga pertahanan, perlawanan, dan penyerangan

terhadap musuh Islam. Semua bentuk dan tingkatan jihad dilakukan harus

bedasarkan iman dan sebagai media dakwah yang bertujuan untuk tegaknya

kalimah Allah.

Berdasarkan pemaparan di atas, aplikasi penafsiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-

‘Uthaimi>n terkait tema-tema teologis dan sosial agama, menunjukkan bahwa

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami hakikat iman dan Islam sebagai

gabungan dari unsur keyakinan (ba>t}in) dan amal (z}a>hir), pemahaman ini

berimplikasi terhadap pemberian identitas untuk kelompok sendiri yang disebut

dengan mu'mi>n dan muslim, yaitu orang-orang yang tidak hanya meyakini Allah

sebagai tuhan tapi harus melaksanakan semua rangkaian ajarannya baik yang

bersifat ritual maupun sosial. Kemudian, dalam memandang kelompok lain,

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengkelompokkan musyrik dan ahl kitab

sebagai sebagai orang kafir atau komunitas di luar Islam yang memiliki sejarah

konflik dengan umat Islam, sehingga Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kerap

mencurigai mereka sebagai komunitas yang akan mengancam eksistensi Islam.

Dalam konsep al-wala>' wa al-bara>', Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mewajibkan

umat Islam untuk loyal kepada Allah, rasul-Nya dan orang-orang mukmin, serta

dianjurkan untuk menjauhi, membenci, bahkan dalam kondisi tertentu

diperbolehkan untuk memeranginya atas nama agama. Namun demikian,

259

Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Mukhta>r min Za>d al-Ma‘a>d fi> Hady Khair al-‘Iba>d, (Riyaḍ: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-

Khairiyyah, 1433 H), 115-116; Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Ma‘a>d fi> Hady Khair al-‘Iba>d, (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2009), 333.

Page 169: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

157

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak sepenuhnya menegasikan nilai-nilai

toleransi dalam agama, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tetap menganjurkan

bahkan mewajibkan umat Islam untuk melakukan kebaikan dan berlaku adil

sekalipun pada komunitas lain. Adapun terkait konsep dakwah Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, berdasarkan konsepsinya tentang amr al-ma‘ru>f wa al-nahy al-munkar dan jiha>>d, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih luas dalam memahami

dua konsep dakwah tersebut, pada keduanya terdapat tahapan dan tingkatan

masing-masing yang memiliki konsekuensi tersendiri.

Page 170: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

158

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa konsep

keberagamaan Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, ditinjau dari tiga tipologi

keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, adalah eksklusivisme.

Paradigma eksklusif Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n merupakan implikasi dari

metode penafsirannya yang bersifat tektualis-literalis terhadap teks-teks

keagamaan dan romantisme pada ortodoksi tafsir tradisional yang diyakini oleh

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai model penafsiran yang terbaik.

Kemudian, dari paradigma tafsir eksklusif tersebut berimplikasi terhadap

pembentukan kontruksi sosial-agama Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n yang juga

eksklusif.

Dalam ranah teologis, eksklusivisme dalam beragama merupakan sebuah

keniscayaan yang tidak mungkin dihilangkan, unsur inilah yang mempererat

hubungan simbolis antara penganut dan agamanya. Sejatinya, eksklusivisme dalam

beragama tidak selalu berujung pada ekstrimisme-terorisme, dan tidak menafikan

sepenuhnya nilai-nilai toleransi. Sebab, pada dasarnya agama mengajarkan dan

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ketika nilai-nilai positif dalam agama

tersebut dipegang erat secara eksklusif, maka akan memunculkan konsep

keberagamaan yang humanis. Akan tetapi, ketika eksklusivisme tersebut ditunjang

dengan "penyelewengan" agama, baik yang bernuansa politis-pragmatis atau

penafsiran teks-teks keagamaan yang kurang tepat, maka sangat memungkinkan

eksklusivisme tersebut akan menjelma sebagai sikap keberagamaan yang tidak

humanis.

Eksklusivisme dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n ditunjukkan

dengan klaim teologisnya terhadap agama Islam sebagai satu-satunya agama yang

benar dan klaim keselamatan hanya ada dalam ajaran Islam. Sedangkan pada ranah

sosial, dapat dilihat dari konsepsinya tentang al-wala>' wa al-bara>', yang

memandang bahwa loyalitas (al-wala>') umat Islam hanya boleh dan harus

dilakukan untuk Allah, Rasul dan komunitas seiman. Sedangkan untuk komunitas

lain di luar Islam, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n menganggapnya sebagai

kelompok yang harus dijauhi, dibenci, bahkan dalam kondisi tertentu, mereka

boleh diperangi atas dasar agama. Dalam mengkonseptualisasikan al-bara>'

(penolakan) terhadap komunitas lain, paradigma Muh}ammad bin S{a>lih} al-

‘Uthaimi>n didasari atas fakta historis yang menunjukkan adanya konfrontasi antara

umat Islam dan komunitas lain, sehingga pandangan Muh}ammad bin S{a>lih} al-

Page 171: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

159

‘Uthaimi>n terhadap komunitas lain kerap dipenuhi dengan kecurigaan. Selain itu,

banyaknya ayat-ayat yang menjelaskan tetang eksistensi orang-orang kafir dan

kemestian bersikap terhadap mereka, difahami secara literal oleh Muh}ammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n serta digunakan untuk melegitimasi kebencian terhadap

komunitas lain atas nama agama.

Dalam konsep keberagamaan Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n terkait

sosial-relasional, sebenarnya ia tidak sepenuhnya menegasikan nilai-nilai toleransi

dalam beragama, ia tetap meyakini bahwa agama Islam mengajarkan dan

menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Hanya saja, toleransi yang dikonsepsikan

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n berlaku pada ranah sosial-personal (mu‘a>malah

al-shakhsiyyah) saja dan tidak berlaku pada ranah teologis-ritual (‘aqi>dah-‘iba>dah),

dengan batasan tidak menyerupai kekhasan dari kelompok lain (tashabuh) dan

tidak menjurus apalagi berada pada ranah teologis, seperti mengakui kebenaran

agama lain atau ikut serta dalam tradisi agama lain. Muh}ammad bin S{a>lih} al-

‘Uthaimi>n menganjurkan, bahkan mengharuskan umat Islam untuk berbuat baik

dan adil sekalipun terhadap komunitas lain, dan mengharamkan memerangi mereka

selama tidak ada ancaman dan serangan dari komunitas tersebut. Keberagamaan

Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dapat dikatakan toleran sekaligus intoleran.

Hal ini sangat bergantung kepada konsepsi dan batasan dari toleransi tersebut. Jika

toleransi yang dikonsepsikan adalah mengakui kebenaran agama lain,

mengapresiasi, dan turut serta dalam tradisi-tradisi agama lain, maka beliau tidak

toleran. Akan tetapi, jika toleransi yang dikonsepsikan adalah sebatas bersosial

dengan baik dan berlaku adil terhadap komunitas lain sebagai perwujudan nilai-

nilai kemanusiaan tanpa adanya penggadaian ideologis, maka Muh}ammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n adalah agamawan yang toleran.

B. Saran Penelitian

Mengingat luasnya Ilmu dan keterbatasan penulis, penelitian ini masih jauh

dari kata sempurna, serta belum memberikan gambaran yang mendalam dan

komprehensif terkait konsep keberagamaan, khusunya dalam tafsi>r Muh}ammad bin

S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, sehingga masih diperlukan penelitian lain sebagai lanjutan,

guna mengembangkan dan melengkapi tema pembahasan dari penelitian ini. Maka

dari itu, penulis mengajukan beberapa saran penelitian bagi para peminat kajian

Islam, antara lain sebagai berikut:

1. Kajian sosial-agama memiliki signifikansi yang cukup sentral dalam

pembentukan ko-eksistensi, sehingga dalam kajian sosial-agama ini

dibutuhkan kehati-hatian dan kebijaksanaan, sehingga tidak ada bagian dari

agama manapun yang merasa dirugikan.

Page 172: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

160

2. Batasan-batasan sosial-relasional dalam agama-agama perlu dikaji dan

sosialisasikan melalui dialog antar agama untuk sama-sama berkomitmen

memberikan jaminan, baik dalam ranah teologis maupun sosial.

3. Titik temu dan perbedaan konsepsi toleransi antara kelompok eksklusifis-

inklusifis-pluralis perlu dikaji lebih dalam untuk menghasilkan satu konsepsi

yang disepakati.

4. Dimensi lain dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, seperti fikih,

bahasa, sosial-ekonomi, sosial-politik dan lainnya yang belum terbahas dalam

penelitian ini perlu dikaji untuk memberikan gambaran utuh dan menyeluruh

tentang konsep keberagamaan Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n.

Page 173: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

161

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Artikel

Abidin, Zain. "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4

No.2 (Oktober, 2013), 1273-1291.

Abu Haif. "Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern)",

Jurnal Rihla, Vol 1, No. 1, (Oktober: 2015).

Afandi, Irfan. "Mu'min, Kafir dan Munafiq: Politik Identitas Kewargaan di Awal

Islam (Kajian Tentang QS. al-Baqarah : 1-20)", Jurnal Darussalam, Vol.

IX, No 1, (September 2017).

Amalia, Siti. "Hakekat Agama Dalam Perspektif Filsafat Perenial", Indonesian

Journal of Islamic Theology and Philosophy, Vol. 1, No. 1 (2019).

Amin, Faizal. "Metode Tafsīr Tahlīlī: Cara Menjelaskan al-Qur'ān dari Berbagai

Segi Berdasarkan Susunan Ayat", Kalam, Vol. 11, No. 1, 235-266,

(Juni,2017).

Anam, Haikal Fadhil. "Konsep Kafir dalam Alquran: Studi Atas Penafsiran Asghar

Ali Engineer", Nalar, Vol. 2, No. 2, (Desember 2018).

Anggraeni, Dewi. "Agama Pra-Islam Perspektif Al-Qur’an", Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 12, No. 1, (2016).

Anshari, Zainal & Zainuddin, "Pandangan Terhadap Ahl Al Kitab: Kontroversi

Tanpa Akhir", Fenomena, Vol. 16 No. 2 (Oktober 2017).

Arkoun, Moḥammad. "Pemikiran tentang Wahyu dari Ahl Kitab sampai

Masyarakat Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, Vol 4 (Jakarta: LSAF, 1993).

Aysha Hidayatullah, "Review of Adis Duderija, Constructing a Religiously Ideal

'Believer' and 'Woman' in Islam: Neo-traditional Salafi and Progressive

Muslims’ Methods of Interpretation", Palgrave, (New York: 2011),

Bader, Veit. "Religious Diversity and Democratic Institutional Pluralism" Political

Theory, Vol. 31, No. 2 (Apr., 2003).

Bakar, Abu. "Argumen al-Qur’an tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan

Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1,

(Januari – Juni 2016).

Bentley, Robert J. "The Challenge of Pluralism", The Journal of Negro Education,

Vol. 40, No. 4 (Autumn, 1971).

Page 174: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

162

Bin Ali, Mohamed. "Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists Perception

of the Religious Other", Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6,

No. 1, (June 2018).

-----------, "Forging Muslim and Non-Muslim Relationship: Contesting the

Doctrine of Al-Wala’ wal Bara’", Rsis, No. 251, (19 November 2015).

Casram, "Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural",

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya Vol. 1, No. 2, (Juli

2016).

Darajat, Zakiya. "Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam

Sejarah Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016).

Darmawan, Dadang, "Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir", Refleksi, Vol. 13, No. 2

(April, 2012).

D‘Costa, Gavin. ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious

Studies, Vol. 32, No. 2 (Cambridge University Press, Juni, 1996).

Duderija. Adis, "Neo-Traditional Salafi Qur’an-Sunna Hermeneutics and Its

Interpretational Implications", Religion Compass 5/7 (2011) : 314–325.

-----------, "Islamic Groups and their World-views and Identities: Neo-Traditional

Salafis and Progressive Muslims", Arab Law Quarterly 21 (2007).

-----------, "Neo-Traditional Salafi Qur'ān-Sunnah Hermeneutic and The

Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke

Brill NV, Leiden, 2007).

Dzakie, Fatonah. "Meluruskan Pemahaman Pluralisme dan Pluralisme Agama di

Indonesia", Al-Adyan, vol. IX, no. 1 (Januari-Juni, 2014).

Fata, Ahmad Khoirul, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama

di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018).

-----------, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam,

Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017).

-----------, "Menguak Islam Eksklusif yang Toleran", Islamica, Vol. 6, No. 1,

(September 2011).

Fattah, Abdul. "Memaknai Jihad dalam al-Qur'ān dan Tinjauan Historis

Penggunaan Istilah Jihad dalam Islam, J-PAI, Vol. 3, No. 1 (Juli-

Desember 2016).

Faturrahman, Oman. "Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan di

Melayu dan Jawa (Sebuah Telaah Sumber)," Analisis II. No 2 (2011).

Page 175: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

163

Geilsdorf, Sabine Damir- Mira Menzfeld and Yasmina Hedider, "Interpretations of

al-Walā’ wa al-Barā’ in Everyday Lives of Salafis in Germany",

Religions, 10, 124, (January, 2019).

Haq, Muhammad Zia-Ul- " Religious Diversity: An Islamic Perspective", Islamic

Studies, Vol. 49, No. 4 (Winter 2010).

Hick, John. "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4, (Cambridge

University Press: 1981).

Husaini, Adib. "Kontradiksi dalam Konsep politik Islam Eksklusif Sayyid Quṭb",

Episteme, Vol. 11, No. 1, (Juni, 2016).

Ja'far, Suhermanto. "Absolutisme Agama, Ideologi dan Upaya Titik Temu, Al-Afkar, Edisi III (Juli-Desember 2000).

Lukman, Fadli. ‚Konsep Self-Referentiality Al-Qur’a>n‛, Jurnal Studi Ilmu-ilmu

Al-Qur’an dan Hadis Vol. 12, No. 2, (Juli 2011).

Ma’afi, Rif’at Husnul. "Konsep Jihad dalam Perspektif Islam", Kalimah, Vol. 11,

No. 1, (Maret 2013).

Mahfudz, Muhsin. "Implikasi Pemahaman Tafsir Al-Qur'an Terhadap Sikap

Keberagamaan", Tafsere, Volume 4 Nomor 2 Tahun (2016).

Ma'mun, Syukron, "Pluralisme Agama dan Toleransi dalam Islam Perspektif Yusuf

Qardhawi", Humaniora, vol. 4, no. 2, (Oktober 2013).

Masykur, Said. "Pluralisme Dalam Konteks Studi Agama-Agama", Toleransi, Vol.

8, No. 1, (Januari – Juni 2016).

Matondang, Husnel Anwar. "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap

Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)",

Analytica Islamica, Vol. 4, No. 1, (2015).

Mawardi, "Subjektivitas dalam Penafsiran al-Qur'an: Fenomena Tafsir Bercorak

Sektarian", At-Tibyan, Vol. 3, No. 1, (Juni, 2018).

Meeker, Kevin. "Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues", Religious

Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006).

Morris, Paul. "The Limits of Pluralism", A Journal for the New Europe, Vol. 19/20,

Vol. 19, no. 2/Vol.20, no. 1 (Winter 1985/Summer 1986).

MS, Abu Bakar. "Argumen al-Qur'an Tentang Eksklusivisme, Inklusivisme dan

Pluralisme", Toleransi, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016).

Moko, Catur Widiat. "Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005)

Dalam Konteks Keindonesiaan", Medina-Te, Vol.16, NO.1, (Juni 2017 ).

Page 176: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

164

Murphy, Séamus. "Cultures, Pluralism, and Religious Faith", Studies: An Irish

Quarterly Review, Vol. 92, No. 365 (2003).

Muslim, Abu. "Reinterpretasi Konsep Islam dan Iman dalam al-Qur'ān (Telaah

Pemikiran Muhammad Shahrūr)", Dialogia, Vol. 15, No. 1, (Juni 2017).

Nizar, M. Coirun & Muhammad Aziz, "Kontekstualisasi Jihad Perspektif

Keindonesiaan", Ulul Albab, Vol. 16, No.1, (2015).

Nurhadi, Rofiq. dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian

Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama",

Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April 2013).

Putra, Andi Eka. "Islam Toleran: Membangun Toleransi dengan Jalan Spiritual",

Kalam, Vol. 10, No. 2, (Desember 2016).

Qodir. Zuly, "Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam",

Orientasi Baru, Vol. 17, No. 1, (April, 2008) : 63-78.

Rahman, M. Syaiful. "Islam dan Pluralisme", Fikrah, Vol. 2, No. 1, (Juni 2014).

Ramadhani, Wali. "Amin Al-Khuli dan Metode Tafsir Sastrawi Atas Alquran".

At-Tibyan Vol. II No.1 (Januari–Juni 2017).

Ridder, Jeroen De. "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,

No. 4, Cambridge University Press, (December, 2011).

Romdhoni, Ali. Al-Qur'ān dan Literasi, Sejarah Rancang-Bangun Ilmu-ilmu

Keislaman, cet. II, (Depok: Literatur Nusantara, Agustus, 2015).

Rosadi, Aden. "Gerakan Salaf," Toleransi, Vol.7, No.2 (Juli-Desember 2015).

Ruslan, Idrus. "Etika Islam dan Semangat Pluralisme Agama di Era Global", al-

Adyan Vol. V, No. 1 / (Januari-Juni/2010).

Saeed, Abdullah. "Some reflections on the Contextualist approach to ethico-legal

texts of the Quran", Bulletin of the School of Oriental and African

Studies, , Vol.71, No. 2, (University of London, 2008).

Saepudin, Dindin Moh, Dkk. "Iman dan Amal Saleh dalam al-Qur'ān; (Studi Kajian

Semantik)", al-Bayan, No. 1, Vol. 2, (Juni 2017).

Sanaky, Hujair A. H. "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti

Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008).

Saragih, Erman S. "Soteriologi Hyergrace dalam Persektif Teologi Martin Luther

dan Al-Kitab", Cultivation, Vol. 1, No. 2, (Desember 2017).

Page 177: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

165

Scott, Rachael M. ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the Qur’ān:

Readings of 4:34‛ The Muslim World 99, (2009).

Setiawan, David Eko. "Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjau Dari

Soteriologi Kristen: Suatu Refleksi Pastoral", Fidei, Vol.1 No.2

(Desember 2018).

Siddiqi, Muzammil H. "Salvation in Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol. 32,

No. 1 (1993).

Sirry, Mun'im. "Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme Dalam

Beragama", Geotimes, (20 Mei 2016).

----------, "Memahami Kritik al-Qur’a>n terhadap Agama Lain", Journal of Qur’a>n

and Hadi>th Studies, Vol. 3, No. 1, (2014).

Sulistio, Thio Christian. "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebiah Dialog

Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas (April 2001).

Sumbulah, Umi. "Islam dan Ahl al-Kitāb: Kajian Living Sunnah di Kalangan

Pimpinan NU, Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Malang Al-Tahrir, Vol.

11, No. 1 (Mei 2011).

Sya’roni, Syamsani. "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,

(April 2010).

Tajrid, Aḥmad. "Kebenaran Hegemonik Agama, Walisongo, Vol 20, No 1 (Mei

2012).

Taufik, Ahmad. "Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi

Penafsiran Tekstual)", Journal of Qur’ān and Hadīth Studies, Vol. 3, No.

2, (2014).

Ulya, "Ortodoksi-Heterodoksi Wacana Keagamaan Dalam Islam", Al-Tahrir, Vol.

17, No. 1, (Mei 2017).

Usuluddin, Win, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas

Pluralisme Keberagamaan Era Postmodern", Ulumuna, vol. XIV, no. 1

(Juni, 2010).

Wagemakers, Joas. "Framing The 'Threat to Islam': al-Wala' wa al-Bara' in Salafi

Discourse", Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008).

Yasir, Muhammad. "Makna Toleransi Dalam al-Qur'ān", Ushuluddin, Vol. 22, No.

2, (Juli 2014).

Yusuf, Yunan. "Metode Penafsiran al-Qur'ān: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'ān

Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014).

Page 178: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

166

Yusufa, Uun. "Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus

Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta", Journal of Qur'ān and Hadīth

Studies, Vol. 4, No. 2, (2015).

Buku Ilmiah

'Abd al-Ba>qi>, Muh}ammad Fu'a>d. al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n al-

Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364).

Abu Al-'Ainain, Badran. al-'Alaqah al-Ijtima’iyyah baina al-Muslimi>n wa ghair al-

Muslimi>n, (Iskandariyah : Mu’assasah Shaba>b al-Jami’ah, 1984).

Ahmad, Al-Murtadha> al-Zain. Kitāb Tauhi>d Muh>ammad bin Abd al-Wahha>b wa

Kita>b al-Qaul al-Sadi>d fi> Maqa>s}id al-Tauhi>d li Shaikh 'Abd al-Rahma>n

Na>s}ir bin al-Sa'di>, (Riya>d}: Majmu>'ah al-Tuhf al-Nafa>is al-Dauliyyah,

1996).

al-As}faḥa>ni>, al-Ra>ghib. Mu’jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr,

1984),

al-As}faḥa>ni>, al-Ra>ghib. Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,

2009).

al-Athari>, 'Abdullah bin 'Abd al-H{ami>d. al-Waji>z fi> 'Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih},

Istanbul: Guraba, 1435 H).

Al-'A{qqa>d, 'Abba>s Mah}mu>d. 'Amr bin al-'A<s}, (Cairo: Nahd}ah Mis}r, 2005).

Ali, Maulana Muhammad. The Religion of Islam, terjemahan R. Kaelan dan I I. M

Bachrun dengan judul Islamologi (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1977).

Anas, Ma>lik ibn. Muwat}t}a' Ma>lik, (Mesir: Da>r Ihya al-Tura>th al-'Arabi, t.th.).

Arkoun, Moḥammad. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994),

Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam. Cetakan ke-

1. (Jakarta: Paramadina, 1999).

Baharun, Muhammad. Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012).

Bahri. Samsul, dkk. Metodologi Studi Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010).

Baidan, Nashrudin. Metode Penafsiran al-Qur'ān, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988).

-----------, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2001).

Barber, Benjamin R. Jihad vs McWorld, (New York: Ballantine Book, 1996).

Page 179: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

167

Al-Bari>di>, Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m. Juhu>d al-Shaikh Ibn 'Uthaimi>n wa

Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd,

2005).

Boase, Roger dan Hassan Bin Talal, Islam and Global Dialogue: Religious

Pluralism and the Pursuit of Peace (Burlington, VT: Ashgate, 2005).

Brown, Jonathan. The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of

Islam, (Yaqeen Institute for Islamic Research, 2019).

Al-Bukha>ri>, Abu 'Abdillah Muh}ammad bin Isma>'i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, (Beirut: Da>r

Ibn Kathi>r, 2002).

Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar

Doktrin Yang Membatu, (Jakarta: Kompas, 2001).

Connolly, Peter. Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002).

Cook, David. Understanding Jihad, (Los Angeles: University of California Press,

2005).

Coward, Harold. "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:

Kanisius, 1989).

D{amiriyyah, 'Uthma>n Jum'ah. Madkhal li al-Dira>sah al-'Aqi>dah al-'Isla>miyyah,

(ttp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996),

Al-Dhahabi>, Muh}ammad H{usain. al-Ittijaha>t al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-

Kari>m Dawa>fi'uha> wa Da>fiha> (Kairo: Da>r al-I'tis}a>m, 1978).

-----------, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir, 2010).

-----------, Buhu>th fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Kairo: Dār al-Hadi>th, 2005).

Al-Dimashqi>, Abu al-Fida> Isma>'i>l bin 'Umar bin Kathi>r al-Qurashi>. Tafsi>r al-Qur'a>n

al-'Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 2000).

Effendy, B., Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Perbincangan

Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan. Cetakan

ke-1. Yogyakarta: Galang Press., 2001).

El-Fadl, Khaled Abou. The Place of Tolerance in Islam, diterjemahkan oleh Heru

Prasetia dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam, Purotanisme versus

Pluralisme, cet. 1, (Bandung, Arasy PT Mizan Pustaka: 2003).

Eliade, Mircea. (ed.), The Enclyclopedia of Religion (New York: Simon &

Schuster Macmillan, 1993).

Esack, Farid. Liberation and Pluralism, (Oxford: One Word, 1998).

Page 180: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

168

Fadil, Marjan. Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan

Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta: Sekolah

Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2017).

Al-Fa>ru>qi>, Isma'i>l Ra>gi>. "Towards a New Methodology For Qur’anic Exegesis",

Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, Islamic Research Institute, International

Islamic University, Islamabad, (March 1962) : 35-52.

Al-Faruqi, Isma'il Raji & Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New

York: Mac Millan Publ. Comp.; London: Collier MacMillan Publ., 1986).

Fathurahman, Al-Qura>n dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta:

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).

al-Fauza>n, S{a>li>h} bin Fauza>n bin 'Abdillah. 'Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Dār al-

Qāsim, tth.).

Ford, David F. The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology

Since 1918, (Blackwell Publishing Ltd, 2005).

Foucoult, Michael. Archeology of Knowledge and The Discourse on Language

(New York: Pantheon Books, 1971).

Gadamer, Hans George, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1995).

Ghalib M, Muhammad. Ahl Al-Kitāb: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:

Paramadina, 1988).

Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama, Cet. 2, (Depok: KataKita,

2009).

Goldziher, Ignaz, Madhāhib al-Tafsīr al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Khanaji,

1995).

----------, Terj. Dr. Abdul Halim A, Madzhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga

Modern, (Yogyakarta: eLSQ Press, 2003).

Gauhar, Altaf (ed.). Tantangan Islam, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin,

(Bandung, Penerbit Pustaka: 1982).

Al-H{a>kim, al-Mustadrak 'ala> al-S{ah}i>h}ain (Beirut, Da>r al-Kutub al-'Ilmi>yyah, 1990).

Haq, Sansan Ziaul. Dimensi Eksoteris dalam Tafsir Ishari (Jakarta: Sekolah

Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2016).

Hasyim, Arrazy. Teologi Muslim Puritan Genealogi dan Ajaran Salafi, (Tangerang

Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2017).

Page 181: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

169

Al-H{anbali>, Abu Ya'la> Muh}ammad bin al-H{usain bin Muh}ammad bin Khalaf bin

al-Fara>'. al-Amr bi al-Ma'ru>f wa al-Nahy 'an al-Muka>r, (Madinah: Da>r al-

Bukha>ri>, t.th.).

Al-H{usain, Wali>d bin Ah}mad. al-Ja>mi' li H{aya>ti al-'Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}

al-'Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-'Alamiyyah wa Ma> Qi>la

Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002).

Hakim, Abdul Hamid. al-Mu'i>n al-Mubi>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi

Sekular-Liberal (Jakarta: GIP, 2005).

Ibn Hazm. al-Muh}alla, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.).

Ibn Taimiyyah.. Iqtida>l al-Sirat al-Mustaqi>m: Mukhala>fat As}ha>b al-Jahi>m (t.t.:

Jam'iyyah Ihya>' al-Tura>th al-Islami>, t.th.).

----------, al-Risa>lah al-Tadmuriyyah, (t.tp: Maktabah al-Sunnah al-

Muh}ammadiyyah, t.th).

Ibn 'Uthaimi>n. Sarh Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r li al-Shaikh al-Isla>m Ibn

Taymiyyah (Kairo: Da>r Ibn al-Jauzi>, 2005).

----------, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taymiyyah (Riyaḍ:

Da>r al-Wat}an, t.th).

Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Qur'an: Semantics of the Qur'anic

Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002).

Izzan, Ahmad . Inklusifisme Tafsir: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam

Tafsir al-Mizan, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN SYarif

Hidayatullah, 2013).

Al-Ja>biri, 'Abid, Takwi>n al-'Aql al-'Arabi (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wahdah al-

'Arabiyya, 2002).

Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. Za>d al-Ma'a>d fi> Hady Khair al-'Iba>d, (Beirut:

Muassasah al-Risa>lah, 2009).

Johnson, James Turner. The Holy War Idea in Western and Islamic Traditions,

(University Park: Pennsylvania State University Press, 1997).

Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:

Paradigma, 2010).

Kathi>r, Ibn. Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m, (Riya>d}: Da>r T{ayyibah li al-Nashr wa al-

Tauzi>', 1999).

Page 182: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

170

Khalikin, Ahsanul & Zirwansyah. Pandangan Pemuka Agama Tentang

Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat,

Kementerian Agama RI, 2013).

Khalil, Mohammad Hassan. Islam, Salvation and the Fate of Others, (Oxford

University Press: November 2010).

Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana, trej. Nurhadi (Bandung: Mizan,

2003).

Legenhausen, Muhammad, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi &

Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas

Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama

dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010).

Madjid, Nurcholis, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta : Paramadina, 1994)

----------, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan,

kemanusiaan dan Kemoderenan (cetakan ke II), (Jakarta : Penerbit

Paramadina, 1992).

----------, Islam Universal, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007).

----------, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung, Mizan: 1999).

----------, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999).

Al-Madani>, Muh}ammad Ibra>hi>m. al-Hub fi> Allah, (Iskandariyah: Da>r al-I<ma>n, tth.).

Manz}u>r, Ibn. Lisa>n al-'Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008).

Mardan. Al-Qur'a>n: Sebuah Pengantar Memahaminya Secara Utuh, Cet. II,

(Jakarta: Pustaka Mapan Jakarta, 2010).

Al-Mara>ghi>, Ah}mad Mus}t}afa>. Tafsi>r al-Mara>ghi>, (Mesir: Mus}t}afa al-Babi> al-

Halabi>, 1946).

Al-Mari>, 'As}a>m bin 'Abd al-Mun'im. al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-

Ummah al-'Alla>mah Ibn 'Uthaimi>n Rah}imahullah Ta'a>la: Tarjamah

Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h,

(Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003).

Meuleman, J. Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme, (Yogyakarta: LKiS,

1996).

Al-Mi>da>ni>, 'Abdurrah}man H{asan Ḥabinkah. Fiqh al-Da'wah ila> Allah wa Fiqh al-Nus}h wa al-Irsya>d wa Amr bi al-Ma'ru>f wa Nahyi 'an al-Munkar, (Damaskus, Da>r al-Qalam, 1996).

Page 183: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

171

Mustaqim, Abdul Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010).

Mustaqim, Abdul & Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'ān Kontemporer: Wacana

Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,

2002).

Muqa>til, ʻAbd Allah Mah}mu>d. al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur'a>n al-Kari>m,

Shihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mis}riyyah al-Ammah li al-Kita>b, 1975).

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1985).

Al-Nawawi>, Yahya Bin Sharaf. S{ah}i>h} Muslim bi sharh al-Nawawi>, (Kairo:

Mat}ba'ah al-Mas}riyyah bi al-Azha>r, 1929).

Al-Ni>sa>bu>ri>, Abu al-H{asan Muslim bin al-H{aja>j. S{ah}i>h} Muslim, (Riya>d}: Da>r

T{ayyibah, 2006).

Pallmeyer, Jack Nelson. Is Religion Killing Us?, (New York: Continuum, 2003).

Al-Qah}t}a>ni, 'Ali> bin Muh}ammad bin 'Ali> A<li Naumah>. Maba>hith 'Ilmi al-Ma'a>ni> fi> Tafsi>r al--Shaikh Ibn 'Uthaimi>n ('Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura

University: 2013).

Al-Qah}t}a>ni, Muh}ammad bin Sa'i>d>. al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-

T{ayyibah, 1413 H).

Al-Qah}t}a>ni, Sa'i>d bin 'Ali> bin Wahf. 'Aqi>dah al-Muslim fi> D{u>-i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Riya>d}: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wat}aniyyah, 2008).

Al-Qardha>wi>, Yusuf. Fiqh al-Jiha>d, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009).

Al-Qa>simi>, Muh}amad Jamal al-Di>n. Tafsi>r al-Qa>simi>, (Kairo: Isa al-Ba>b al-H{alabi,

1958).

Al-Qat}t}a>n, Manna>', Maba>hith fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Riya>d}: Da>r al-Rashi>d, t.t.).

Al-Qurt}ubi>. al-Jami' li Ah}ka>m al-Qur'a>n, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2002).

Rahman, Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman

(Jakarta: Paramadina, 2001).

Al-Ra>zi>, Fah}r. Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H/1985 M).

Reese, William L. Dictionary of Philosopy and Religion, Eastern and Western

Thought (New York: Humanity Books, 1996).

Rid}a>, Muh}ammad Rashi>d. Tafsir al-Qur'a>n al-H{aki>m: Tafsi>r al-Mana>r (Mesir: Da>r

al-Mana>r, 2001).

----------, al-Wahy al-Muh}ammadi>, (Kairo: Maktabah al-Qahirat, 1960).

----------, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Beirut: Da>r al-Ma'rifah, t.th.)

Page 184: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

172

Al-S{a>bu>ni>, Muh}ammad 'Ali>. Tafsi>r al-Wa>d}ih al-Muyassar, ( Beirut: al-Maktabah

al-'As}riyyah, 2007).

Sachedina, Abdulaziz. The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New York:

Oxford University Press Inc., 2001).

Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur'a>n Towards a Contemporary Aproach

(London and New York: Routledge, 2006).

----------, Al-Qur'a>n Abad 21: Tafsir Kontekstual, Terj. Ervan Nurtawab, Cet I,

(Bandung: Mizan, 2014).

Salam, M. Isa HA & Rifqi Muhammad Fathi, Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur'an

pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir

Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010, (Fakultas Ushuluddin UIN

SYarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

Samudera, Imam. Aku Melawan Teroris!, (Solo: Jazeera, 2004).

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur'ān, (Bandung: Mizan, 1996).

----------, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007).

----------, Tafsi>r Al-Mis}ba>h, (Ciputat: Lentera Hati, 2009).

----------, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).

----------, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2013).

Smith, H. The Religion of Man. Pen. Safroedin Bahar, Agama-agama Manusia

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).

Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan dari

Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of

Abdulkarim Soroush, oleh Abdullah Ali. (Bandung: Mizan, 2002).

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur. Cetakan ke-2. (Jakarta: Kompas, 2001).

Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,

1999).

Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n al-Maḥalli> dan Jala>l al-Di>n. Tafsi>r al-Jala>lain al-Muyassar,

(Beirut: Maktabah Lubna>n, 2003).

Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n 'Abdu al-Rah}ma>n bin Abi Bakr. Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-

Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S{afa>, 2002).

Page 185: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

173

Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n. al-Itqa>n fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah Risalah

Na>shiru>n, 2008).

Suryadilaga, M. Al-Fatih dkk.,Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005).

Syafruddin, U. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009).

Al-Sulaima>n, Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m. Majmu' Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh

Muh}ammad bin S{a>lih} al-'Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H).

Al-T{abari>, ibn Jari>r. Tafsi>r al-T{abari>, (Kairo: Must}afa al-Ba>b al-Halabi> wa

Aula>duh, 1954).

----------, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (t.tp: Muassasah al-Risa>lah, 2000).

----------, Ja>mi' al-Baya>n 'an Ta'wi>l A<yi al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah al-Risālah,

1993).

Al-T{aba>t}aba>'i>, Muh}ammad H{usain. al-Mi>ja>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n (Beirut:

Mu'assasah al-'Alami> li Mat}bu>'ah, 1393 H/1973 M).

-----------, Mengungkap Rahasia Al-Qur'a>n, terj. A. Malik Madani dan Hamim

Ilyas, cet. VII, (Bandung: Mizan, 1994).

Al-Turki>, 'Abdullah bin 'Abd al-Muh}sin. Mujmal I'tiqa>d A'immah al-Salaf, (Riyad}:

Wiza>rah al-Syu'u>n al-Isla>miyyah, 1417 H).

Al-Tuwayjiri>, Mahmu>d bin 'Abdillah. al-Qaul al-Muharrar fi> al-Amr bi al-Ma'ru>f

wa al-Nahy 'an al-Munkar, (Riyaḍ: Muassasah al-Nūr, t.th.).

Thoha, Anis Malik. ‚Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam.‛ Paper

untuk ‚Workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V,‛

Pasuruan, (4-5 April 2005).

----------, Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Perspektif, 2005).

Tim Penulis Institut Titian Perdamaian, Dinamika Konflik dan Kekerasan di

Indonesia (Jakarta: Institut Titian Perdamaian, 2011).

Tim Penyusun, Pedoman Akademik Magister dan Doktor 2016-2020 (Jakarta: UIN

Syarif Hidayatullah, 2016).

Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi dan Pembuatan

Notes dalam Karya Ilmiah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2014).

Tobroni, Relasi Kemanusiaan Dalam Keberagamaan: Mengembangkan Etika

Sosial Melalui Pendidikan (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012).

Page 186: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

174

Troeltsch, Ernst. The Absoluteness of Christianity and the History of Religions

(London: SCM Press, 1972).

Al-'Uthaimi>n, Muh}ammad bin S{a>li>h.} Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-

Jauzi>, 1435 H/2014 M).

-----------,} Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H).

-----------, al-Ilma>m bi Ba'd} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m:

Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah,

1436 H).

-----------, al-Qaul al-Mufi>d 'ala> Kita>b al-Tawh}i>d, (Riya>d}: Da>r Ibn al-Jauzi, 1424

H).

-----------, Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah, (Riya>d}: Muassasah al-Shaikh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1430 H).

-----------, Fata>wa> Nu>r 'Ala> al-Darb, (Qasim-'Unaizah: Muassasah al-Shaikh

Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H).

-----------, Lum'ah al-I'tiqa>d al-Ha>di> ila> Sabi>l al-Rasha>d, (Riya>d}: Ad}wa>' al-Salaf,

1995).

-----------, Mukhta>r min Za>d al-Ma'a>d fi> Hady Khair al-'Iba>d, (Riya>d}: Muassasah al-

Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1433 H).

-----------, Sharh al-'Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}: Mada>r al-Wat}an, 1426 H).

-----------, Sharh al-'Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H).

-----------, Sharh Usu>l fī al-Tafsi>r (Unaizah: Mu-assasah al-Shaikh Muh}ammad bin

S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H).

-----------, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r Shaikh Ibn Taimiyyah, (Riya>d}: Da>r al-

Wat}an, 2010).

-----------, Usu>l fi> al-Tafsi>r , ('Ain Shasm al-Syarqiyyah: al-Maktabah al-

Isla>miyyah, 2001).

Weber, Max. Sosiologi Agama, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012).

Ya'qu>b, T{a>hir Mah}mu>d Muh}ammad. Asba>b al-Khat}a> fi> al-Tafsi>r (Riya>d}: Da>r Ibn

al-Jauzi>, 1425 H).

Al-Zahra>ni>, Na>s}ir bin Musfir. Ibn 'Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, (Jeddah: Da>r Ibn al-

Jauzi>, 2001).

Al-Zarqa>ni>, Muh}ammad 'Abdul al-'Aẕīm, Mana>hil al-'Irfa>n fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n,

(Beirut: Da>r al-Kita>b al-'Arabi>, 1995).

Page 187: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

175

Website Online

Bukay, David. "Islam and the Other: The al-Wala’ wal-Bara’ Doctrine", akses

online, https://acdemocracy.org/islam-and-the-other-the-al-wala-wal-

bara-doctrine/.

Page 188: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

176

Page 189: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

177

GLOSARIUM

Istilah Definisi

Ahl Sunnah wa al-Jama>‘ah

Adalah kelompok atau golongan yang senantiasa

komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW, baik

dalam hal aqidah, ibadah, maupun mu'amalah.

Ahl Kita>b

Adalah sebutan bagi umat terdahulu sebelum Nabi

Muhammad SAW, yang telah diutus kepada

mereka nabi-nabi yang membawa kitab suci.

Secara umum ahl al-kita>b ditujukan kepada

kelompok Yahudi dan Nas}rani.

Al-‘Adl Keadilan, yaitu menempatkan sesuatu pada

tempatnya.

Al-Bara>'

Adalah suatu konsep dalam Islam untuk membenci,

menolak, dan menjauhi segala sesuatu yang tidak

diridhai oleh Allah.

Bid‘ah Adalah sesuatu yang baru dalam agama.

Eksklusif Khusus atau terpisah dari yang lain.

Eksklusivisme

Adalah suatu konsep keberagamaan yang

mengedepankan klaim kebenaran terhadap satu

agama dan menganggap agama-agama lain adalah

salah.

Eksoterik

Adalah sesuatu yang berada di luar, bentuk

eksternal yang dapat difahami oleh publik. Atau

aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual,

etika dan moral pada sebuah agama, yang biasa

disebut juga dengan hal-hal yang dhahir.

Epistemologi Reformed

Adalah suatu gerakan di dalam filsafat analitik

yang berkembang sejak pertengahan tahun 1980-

an. Para filsuf yang tergabung dalam gerakan ini

berupaya untuk menunjukkan bahwa kepercayaan

kepada Tuhan (belief in God), khususnya terhadap

kepercayaan Kristen, adalah rasional, terjustifikasi

(justified) dan terjamin (warranted). Mereka

berupaya untuk memperlihatkan bahwa secara

epistemologis kepercayaan religius (religious

Page 190: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

178

belief), khususnya kepercayaan Kristen, memiliki

status epistemik yang positif. Tokoh-tokoh yang

menjadi arsitek dan pendiri gerakan ini adalah

William P. Alston (1921– 2009), Nicholas

Wolterstorff (1932– ), dan Alvin Plantinga (1932–

). Plantinga menyebut gerakan ini sebagai

epistemologi Reformed karena para pendirinya,

seperti Plantinga sendiri dan Wolterstorff,

mengajar di Calvin College, Amerika Serikat, dan

mereka banyak mendapatkan inspirasi dari John

Calvin serta para teolog lain di dalam tradisi

teologi Reformed. Epistemologi Reformed

menolak pandangan fondasionalisme klasik dan

evidensialisme bahwa kepercayaan religius tidak

rasional dan tidak terjustifikasi. Mereka juga

mengklaim bahwa kepercayaan religius memiliki

status epistemik yang positif di dalam konteks

epistemologi yang lebih memadai.

Esoterik

Adalah "bagian dalam" ( eso ) yang berkaitan

keyakinan yang lebih dalam, dari sudut pandang

yang kontemplatif, mistikal atau kondisi meditatif

yang personal, atau sering disebut juga dengan hal-

hal yang besifat batin.

Extra ecclessiam nulla sallus

Adalah konsep kelelamatan dalam agama Kristen-

Katolik bahwa tidak ada keselamatan di luar

Gereja Katolik

Fard} al-‘ain Adalah kewajiban personal yang dibebankan

kepada setiap individu.

Fard} al-kifa>yah

Adalah kewajiban komunal yang akan gugur

kewajiban tersebut jika ada salah seorang dari

komunitas tersebut telah melakukan kewajiban

tersebut.

Firqah al-na>jiyah Kelompok yang selamat

Humanisme

Adalah sebuah pemikiran filsafat yang

mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta

menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal

Page 191: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

179

H{usn ta‘a>mul Kebaikan sosial

Ittikha>dh al-auliya>' Adalah menjadikan penolong, pemimpin, teman,

sekutu, menolong, membantu atau mencintai.

Inklusif

Artinya adalah ‚termasuk di dalamnya‛. Yaitu

suatu cara pandang dengan menempatkan dirinya

ke dalam cara pandang orang lain/ kelompok lain

dalam melihat realita, atau berusaha menggunakan

sudut pandang orang lain / kelompok lain dalam

memahami suatu masalah.

Inklusivisme

Adalah suatu konsep keberagamaan yang

memandang bahwa kebenaran dan keselamatan ada

pada agama lain meskipun tetap meyakini akan

superioritas agama yang dipeluknya.

Irha>b Terorisme

Jiha>d

Adalah kesungguh-sungguhan dalam menjalankan

agama dan membelanya, baik dengan waktu,

tenaga, harta, maupun jiwa.

Kristen anonim (the

Anonimous Christian)

Adalah gagasan yang dikemukakan oleh Karl

Rahner, seorang teolog Katolik, yang memandang

bahwa agama-agama lain juga menerima rahmat

dari Allah melalui Kristus di dalam agama-agama

lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama

lain tersebut. Kristus adalah alasan Allah

memberikan rahmat-Nya kepada semua ciptaan.

Namun, orang yang belum mengenal Kristus

walaupun bisa merasakan kasih Allah yang

menyelamatkan, tidak dapat melihat ke mana arah

atau tujuan hidupnya, mereka telah menerima

rahmat Allah dan terorientasi pada Kristus, dan

kehadiran Kristus terasa dalam setiap agama

sehingga melalui agama mereka juga terorientasi

ke dalam kekristenan. Orang-orang inilah yang

disebut orang "Kristen Anonim" atau "Kristen

tanpa nama". Orang-orang Kristen anonim ini,

walaupun belum pernah mendengar Injil Kristen,

bisa diselamatkan melalui Kristus. Mereka

Page 192: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

180

diselamatkan bukan karena moralitas tetapi karena

mereka telah mengalami kasih karunia dari Yesus

Kristus tanpa mereka menyadarinya.

Kristosentris

Adalah pandangan tentang keselamatan hanya ada

melalui kristus, atau memandang segala sesuatu

dari perspektif kristen.

Al-Ma‘ru>f Adalah segala bentuk kebaikan yang dibenarkan

oleh akal dan syariat.

Al-Munkar Segala bentuk keburukan yang tidak dibenarkan

oleh akal dan syariat.

Al-mas}lah}ah al-mursalah

Adalah kemaslahatan yang tidak disinggung oleh

syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang

Memerintahkan atau melarangnnya, akan tetapi

jika ia dikerjakan akan mendatangkan kebaikan

atau kemashlahatan.

Minha>j Adalah jalan yang terang, cara, kaidah-kaida, atau

aturan.

Mu'a>malah al-shakhsiyyah Hubungan sosial-personal

Al-Musa>wah Kesamarataan

Mu‘tabarah Adalah faham atau ajaran yang dianggap sah.

Mu‘tamad Adalah pendapat yang memiliki dasar hukum yang

jelas dan sumber yang autentik.

Naskh wa al-mansu>kh Adalah proses abrogasi atau penghapusan sesuatu

yang lama oleh sesuatu yang baru.

Ortodoksi adalah sebuah ajaran yang dianggap resmi dan

benar.

Pluralitas Adalah fakta atau realita keberagaman.

Pluralisme Adalah konsep keberagamaan yang memandang

semua agama benar dan selamat.

Salvation Keselamatan.

Salvation claim Adalah klaim keselamatan oleh suatu agama.

Page 193: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

181

Salaf Terdahulu

Salaf al-S{a>lih} Adalah generasi pertama dalam Islam, yaitu para

sahabat, ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n.

Salafiyyah

Adalah suatu kelompok dalam Islam yang

menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam

yang autentik sebagaimana yang dipraktikkan oleh

generasi Islam terdahulu (salaf al-s}a>lih}).

Al-Shubuha>t Adalah tuduhan-tuduhan yang tidak sesuai dengan

fakta.

soteriologis Adalah konsep keselamatan dalam agama

(salvation concept)

substitusionari

Pemahaman dalam agama Kristen bahwa Kristus

mati karena orang berdosa dan untuk menebus dosa

mereka

Tauhi>d Adalah konsep keyakinan dalam agama Islam.

Tauh}i>d rubu>biyyah Adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan,

kepemilikan, dan pengurusan semua makhluk.

Tauh}i>d ulu>hiyyah

Adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah, yakni

dengan meyakini bahwa haya Allah lah Tuhan yang

wajib disembah dan berhak diibadahi.

Tauh}i>d asma>' wa sifa>t Adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama

dan sifat-sifat Allah.

Al-Tasa>muh} Toleransi.

Truth Claim Klaim kebenaran.

Us}u>l Pokok atau dasar.

Vorhabe Adalah latar belakang pendidikan, agama.

Vorgriff Adalah konsep-konsep yang ada pada nalar

pembaca-penafsir

Vorsicht Adalah sudut pandang tertentu tentang teks

Wahda>t al-di>n

Adalah konsep teologis tentang kesatuan agama

yang memandang semua agama bersumber dari

satu.

Page 194: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

182

Al-Wa>st}iyyah

Wasatiyyah adalah sebuah kerangka berpikir,

bersikap dan bertingkah laku yang ideal, penuh

keseimbangan dan proposional dalam syariat Islam

Al-Wala>'

Adalah sebuah konsep kesetiaan dalam agama

Islam yang memiliki pengertian mencintai terhadap

apa yang dicintai dan diriḍai Allah yang

diimplementasikan ke dalam keyakinan, perkataan,

sikap, dan perbuatan.

Waliyullah

Adalah orang yang mengikuti Allah dengan

mencintai segala yang dicintai dan diriḍai Allah

serta membenci segala yang dibenci Allah,

kemudian mengajak kepada orang lain untuk

melakukan sikap tersebut.

Page 195: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

183

INDEKS

‘Abdurrah}man al-Sa’di · 56

A

A<li Ra>shid · 51

Abbasiyyah · 61, 74, 150

'

'Abd al-'Aziz al-Da>wu>d · 56

A

Abd al-Wahha>b · 117, 169

Abduh · 3, 14, 31, 82, 83

Abdul Kari>m Soroush · 5

Abdul Mustaqim · 1, 3, 61, 69, 122

Abdulaziz Sachedina · 5, 14

'

'Abdullah 'Azzam · 151

A

Abi Ha>tim · 103

Abrahamik · 27, 88

abrogasi · 87, 99, 105

Abu H{ani>fah · 92

Ah}mad bin H{anbal · 92, 116

Ah}mad Khalaf · 3

ahl al-kita>b · 118, 119, 120, 121, 122, 123,

124, 125

ahl al-Kita>b · 61, 120, 124

Ahl al-Sunnah · 90

Ahmad Izzan · 4, 19, 22

'

'Aishah bint al-Sha>t}i · 3

A

al-'A<qqa>d · 50

al-'adl · 143

al-Alu>si · 2

Alan Race · 6, 17, 40

al-As}faha>ni> · 98, 113, 144, 152

al-Athari · 69, 126, 128, 141, 169

al-Azhar · 62

al-Ba>ni · 69

al-bara>' · 16, 25, 32, 90, 125, 128, 131, 132,

133, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142,

143, 158, 160

al-Bari>di> · 52, 54, 63, 64, 65

al-Dhahabi · 60, 61, 72, 74

al-di>n · 13, 64, 75, 86, 100, 102, 104, 105,

142, 143

al-Fa>ru>qi · 3

al-firqah al-na>jiyyah · 87

al-furqa>n · 1

al-i>ma>n · 91, 105, 106, 109

al-ijtiha>d · 60, 61

al-isha>rah · 60

al-Iskafi · 62

al-isla>m · 12, 13, 40, 75, 97, 99, 100, 102, 104,

153, 156

al-ittiba>' · 126

al-Karmani · 62

al-Kasha>f · 2

al-Kitab · 11, 28, 39, 82, 119, 120, 122, 168

al-Ku>my · 63

Allah · 3, 11, 13, 24, 27, 28, 31, 32, 34, 37, 39,

57, 59, 60, 61, 63, 65, 67, 68, 74, 75, 77,

79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 91, 93, 94,

95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104,

105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,

113, 114, 115, 116, 117, 119, 121, 122,

Page 196: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

184

123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130,

131, 132, 133, 134, 135, 137, 138, 142,

143, 144, 146, 148, 149, 150, 151, 152,

153, 154, 155, 156, 157, 158, 160, 173,

174

al-mah}abbah · 126, 129

al-Mana>r · 3, 174

al-Maqdisi · 96

al-mas}lah}ah al-mursalah · 130

al-ma'thu>r · 21, 58, 60, 62, 63, 70, 75

al-Maudu>di · 14

al-mawa>dah · 128

al-mu'a>dah · 126

al-mu'a>wanah · 129

al-muna>s}arah · 128, 129

al-musa>wa>h · 143

al-Mut}awwi' · 53, 55

al-Qah}t}a>ni · 51, 53, 57, 113, 125, 126, 127,

131, 135, 136, 140, 141

al-Qaht}a>ni · 21, 32, 66

al-Qur'a>n · 1, 2, 3, 6, 7, 12, 13, 14, 15, 17, 19,

20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 31, 35, 37, 40,

50, 51, 52, 53, 54, 56, 57, 59, 60, 61, 62,

63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74,

76, 77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88,

91, 92, 93, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,

103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,

111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,

119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127,

128, 129, 130, 133, 135, 136, 138, 140,

142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 152,

153, 155, 156, 157, 168, 169, 170, 172,

174, 176, 177

Al-Qur'a>n · 1, 20, 21, 25, 59, 60, 70, 78, 79,

122, 140, 166, 173, 175, 176

al-Ra>zi> · 13, 68, 75, 124

al-rah}mah · 1

al-ra'yi> · 21, 60, 62, 63, 66, 70, 74

al-risa>lah · 85

al-riwa>yah · 60, 63, 66

al-Sa'dī · 51

al-salaf al-s}a>li>h · 13

Al-Suyut}i> · 65

al-T{abari> · 13, 62, 75, 76, 121, 123, 176

al-Tamimi · 51

al-tawhi>d · 85

al-Tuwayjiri> · 144, 145, 146

al-us}u>l · 96, 130

al-'Uthaimi>n · 13, 14, 15, 16, 17, 21, 50, 51,

52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 63, 64, 65, 66,

67, 68, 69, 70, 73, 76, 77, 85, 86, 87, 88,

90, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,

106, 107, 109, 110, 111, 112, 113, 114,

116, 117, 118, 120, 123, 124, 125, 127,

128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135,

136, 137, 142, 143, 144, 145, 146, 147,

148, 149, 150, 153, 154, 155, 156, 157,

158, 160, 161, 162, 172, 176, 177

al-wala · 16, 25, 32, 90, 125, 126, 127, 128,

129, 131, 137, 138, 139, 141, 142, 143,

158, 160, 178

al-wala>' wa al-bara>' · 125, 126, 137, 138, 139

al-wali> · 126

Alwi Shihab · 7, 14, 27, 28, 35, 45, 75

Al-Zamakhshari> · 68, 75

al-Zarkashi · 2

al-Zarqa>ni> · 63, 72

Amin al-Khulli · 3

Amina Wadud · 14

Amr al-Ma'ru}> wa Nahyi al-Munkar · 144

amr ma'ru>f · 16, 26, 90

Arab · 13, 21, 50, 52, 53, 57, 61, 73, 91, 105,

112, 113, 115, 126, 131, 138, 139, 140,

144, 145, 150, 152, 164, 165, 168, 173

Arnold · 9, 44, 45

asbab al-nuzu>l · 99, 100

auliya>' · 129, 130, 141

Ayman al-Z{awahiri · 151

Azad · 83, 102

Azyumardi Azra · 37, 41

B

Baharun · 10, 11, 31, 169

Barbour · 76

Bawa Muhayyaddin · 4

bid'ah · 72, 97, 137, 139, 157

bin Ba>z · 55, 56, 90

Bosworth · 151

Bukha>ri · 55, 65, 91, 94, 114, 144, 170, 172

Page 197: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

185

C

Casanova · 41

Casram · 5, 165

Charles Kimball · 29, 30, 31, 71, 76, 77, 78

Christian Sulistio · 7, 8, 9, 10, 46

Cobb · 80

D

D{amiriyyah · 128, 141, 170

dakwah · 10, 15, 16, 26, 54, 56, 57, 90, 122,

130, 147, 148, 149, 150, 152, 154, 158

Dār al-Ifta>' · 56

David Bukay · 126, 138, 139

E

ekonomi · 3, 34, 39, 53, 70, 71, 106, 162

eksklusivisme · 4, 5, 6, 12, 13, 14, 15, 16, 17,

20, 23, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 37, 38,

39, 40, 41, 44, 47, 48, 50, 75, 78, 88, 160

Eksklusivisme · 6, 11, 12, 15, 20, 27, 29, 31,

37, 39, 48, 79, 102, 104, 105, 129, 160,

166, 167, 168

Epistemologi · 1, 3, 6, 61, 69, 174

Ernst Troeltsch · 9, 44, 45

F

Fazlur Rahman · 14, 84, 122

Fir'aun · 107

fitrah · 59, 102

Friedmann · 27

Frithjof · 83

G

Gavin D‘Costa · 5, 6, 9, 18, 30, 47, 48

Geilsdorf · 126, 139, 140, 166

Goldziher · 3, 171

H

H. Siddiqi · 79, 85

H{anabilah · 13, 56, 122

H{anbali> · 69, 144, 172

hadith · 13, 37, 57, 64, 65, 66, 70, 74, 84, 91,

93, 94, 95, 96, 97, 101, 114, 130, 132, 151

Hamka · 14

Harold Coward · 27, 28, 32, 34, 37, 38, 47, 48,

80, 81

Hasan al-Banna · 151

heterodoks · 66, 70, 73

heterodoksi · 72

humanis · 4, 160

I

ibadah · 13, 87, 91, 95, 96, 100, 101, 116, 130,

131, 137, 144

Ibn 'Abba>s · 87, 100, 103, 154

Ibn Ba>z · 14

Ibn H{ajar · 141

Ibn Kathi>r · 13, 62, 66, 75, 87, 94, 99, 100,

107, 114, 115, 170

Ibn Manz}u>r · 105, 112, 113, 126, 131, 140,

144, 145, 152

Ibn Mas'u>d · 66

Ibn Taimiyyah · 23, 54, 55, 57, 63, 64, 66, 68,

70, 73, 77, 86, 90, 93, 99, 100, 116, 123,

127, 145, 147, 172, 177

Ibnu 'Abba>s · 66

Ibrahi>m al-Jat}i>li · 53

Iman · 86, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 102, 166,

167

inklusivisme · 4, 5, 6, 8, 11, 12, 15, 16, 17, 18,

19, 20, 22, 23, 25, 27, 35, 36, 37, 38, 39,

40, 41, 104, 105, 160

isla>m · 13, 15, 20, 23, 39, 75, 84, 86, 88, 97,

98, 99, 100, 101, 104

Islam · 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15,

16, 17, 19, 20, 25, 27, 28, 29, 31, 32, 33,

34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,

45, 52, 53, 59, 70, 72, 73, 75, 76, 77, 81,

82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93,

Page 198: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

186

94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103,

104, 105, 107, 108, 109, 111, 112, 113,

114, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123,

124, 125, 126, 129, 130, 131, 132, 133,

134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141,

142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,

150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157,

158, 160, 161, 164, 165, 166, 167, 168,

169, 170, 171, 173, 174, 175, 176, 178

ittikha>dh al-auliya>' · 130

J

Jeddah · 55, 56, 57, 58, 64, 65, 66, 67, 68, 70,

85, 86, 87, 88, 93, 113, 114, 145, 147, 171,

177

Jeroen De Ridder · 6, 7, 10, 18, 22, 27, 28, 33

jiha>d · 137, 151, 152, 153, 154, 156, 157

jihad · 16, 26, 90, 135, 150, 151, 152, 153,

154, 155, 156, 157, 158

John Hick · 8, 9, 10, 23, 29, 32, 46, 47, 81,

168

K

ka>fir · 105, 118

kafir · 11, 15, 16, 25, 28, 39, 82, 90, 91, 95,

96, 97, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,

118, 120, 123, 124, 125, 128, 129, 130,

131, 132, 133, 135, 136, 137, 138, 141,

142, 143, 152, 153, 154, 155, 156, 157,

158, 161

Karl Rahner · 7, 32, 35, 37

Kevin Meeker · 7, 9, 10, 33

Khaled Abou al-Fadl · 14

klasik-tradisional · 1, 31, 33, 61, 70, 74, 75

Komarudin · 5

kontradiktif · 11, 20

Kristen · 6, 7, 9, 12, 17, 27, 29, 32, 35, 37, 38,

40, 43, 46, 79, 80, 81, 84, 137, 138, 168,

172

Kristus · 32, 40, 80, 81

kufr · 23, 91, 92, 105, 106, 107, 108, 109, 110,

111, 112

M

Ma>lik · 58, 70, 92, 169

madaniyyah · 68, 108, 119

Mah}mud Syaltut · 62

Maimonides · 28, 34

Majusi · 101, 120, 121

makiyyah · 68, 119

Menzfeld · 126, 139, 140, 166

Milbank · 10

millah · 12, 16, 20, 23, 104, 105, 114

minha>j · 83

missionary · 10, 16

moral theism · 84

Muh}ammad 'Abduh · 2, 3, 82

Muh}ammad Ghalib · 107, 121, 124

Muh}ammad T{alib · 14

Muhsin Mahfudz · 4, 30

Muin Salim · 59

mukmin · 11, 12, 96, 103, 113, 126, 127, 128,

129, 130, 131, 132, 158

Mun'im Sirry · 6, 12, 20, 27, 31, 82, 83, 102

muqa>rin · 62

Muqa>rin · 60

musyrik · 16, 25, 90, 100, 121, 123, 124, 125,

132, 135, 136, 137, 158

mu'tabarah · 72

mu'tamad · 72

Mu'tazilah · 68

N

Nabi Muh}ammad · 59, 64, 65, 76, 86, 87, 99,

100, 101, 102, 104, 105, 108, 119, 120,

122, 124

nahy al-munkar · 16, 26, 90, 158

Najd · 50, 52

Nas}r H{a>mid Abu Zaid · 3

Nas}rani · 87, 103, 118, 119, 120, 121, 122,

123, 124, 125, 129, 132, 135

naskh · 12, 20, 99, 105

Nasrani · 11, 12, 85, 103, 104, 120, 121, 122,

123, 129

naz}ran · 51

Page 199: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

187

non-Muslim · 5, 84, 120, 137, 139

Nurcholis Madjid · 8, 10, 14, 27, 33, 35, 36,

37, 40, 45, 99, 102, 166

O

ortodok · 44, 70, 80

ortodoks · 66, 82, 90

ortodoksi · 15, 25, 33, 36, 50, 70, 72, 74, 75,

77, 88, 160

Ortodoksi · 12, 21, 70, 72, 73, 74, 165, 168

P

Pannenberg · 80

Paul Morris · 46, 48

Perennis · 45

Plantinga · 7, 29, 33

pluralisme · 5, 7, 8, 15, 16, 17, 18, 20, 23, 25,

27, 32, 33, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 44,

45, 46, 47, 48, 105, 160

Pluralitas · 10, 33, 42, 43, 44, 47, 173

politik · 2, 3, 5, 34, 39, 41, 42, 43, 46, 59, 69,

70, 71, 77, 103, 108, 120, 137, 138, 139,

150, 151, 152, 155, 162, 166

Q

Qata>dah · 66, 75

qita>l · 151, 152, 153, 156

Quraish Shihab · 14, 64, 119, 121, 154

R

Rashi>d Rid}a · 3, 14, 121

reality-centredness · 9, 46

Reformed · 6

reformis · 31, 82, 83, 86

religions · 29, 31, 39, 47

Riyad · 13, 21, 32, 51, 52, 53, 54, 55, 62, 63,

64, 65, 74, 87, 92, 93, 94, 96, 97, 100, 101,

112, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136,

137, 142, 170, 176

Robin Wright · 151

Ru>h}ul Ma'a>ni> · 2

rububiyyah · 69, 76, 109, 113, 116

S

S{a>biu>n · 12

sahabat · 60, 62, 63, 65, 66, 73, 74, 87, 90, 99,

120, 121, 126

salaf · 13, 21, 66, 69, 73, 77, 90, 93, 121

Salafi · 13, 14, 15, 69, 75, 126, 138, 139, 151,

164, 165, 168, 171

salafiyyah · 69, 90

Salafiyyah · 13, 14, 68, 77

salvation · 7, 16, 25, 28, 35, 40, 44, 50, 78, 79,

83, 88, 103

Sayyed Hossein Nasr · 4

Sayyid Qut}b · 77, 140, 141, 151

Sayyid Quṭb · 14, 166

Sayyid Sabiq · 153

self-centredness · 9, 46

Sha>fi'i> · 92

Shabiūn · 12

Shahru>r · 101, 102

shari'ah · 16, 23, 83, 86, 104, 105

Shirk · 113, 124

Shukri 'Ayyad · 3

Sinkritisme · 15

skriptual · 11, 15, 16, 20, 22, 29, 39, 59, 82,

151

Skripturalis · 4

sosial · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 14, 15, 16, 17, 23, 24,

25, 27, 34, 39, 41, 42, 43, 52, 56, 57, 71,

87, 88, 90, 96, 104, 106, 112, 119, 125,

130, 131, 133, 135, 137, 138, 139, 140,

141, 143, 144, 145, 146, 147, 158, 160,

161, 162

soteriologi · 78, 80, 81, 83, 86

soteriologis · 9, 28, 29, 78, 81, 117

Subtansialis · 4

Sulaima>n al-Da>migh · 51, 53

Page 200: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

188

Sunnah · 13, 14, 21, 23, 57, 64, 68, 69, 70, 75,

77, 81, 90, 93, 94, 113, 114, 118, 121, 128,

165, 168, 171, 172, 174, 177

T

T. J. Winter · 84

Tabi’i>n · 61

tadwi>n · 61

tafsir · 1, 2, 3, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19,

21, 22, 23, 25, 31, 33, 50, 51, 57, 59, 60,

61, 62, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74,

75, 77, 88, 104, 160, 162

tah}li>li> · 2, 60, 62, 70

tasawuf · 2, 4, 33, 60, 72

tashabuh · 130, 137, 161

tauh}i>d asma> wa sifa>t · 90, 93

tauh}i>d rubu>biyyah · 90, 93

tauh}i>d ulu>hiyyah · 90, 93

teologis-esoterik · 37

terorisme · 14, 15, 16, 17, 151, 160

toleransi · 4, 10, 15, 16, 25, 36, 42, 46, 90,

139, 140, 141, 142, 143, 158, 160, 161,

162

transendensi · 24, 81

truth claim · 11, 17, 18, 25, 28, 31, 37, 40, 41,

50, 70, 71, 76, 77, 83, 88

truth claim. · 11

U

uluhiyyah · 69, 76, 109, 113, 116

Umayyah · 61, 150

'

'Unaizah · 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 107, 111,

112, 113, 114, 117, 142, 177

U

universalisme · 5, 36, 37, 80, 84

Us}u>luddin · 57

'

'Uthaimi>n · 13, 14, 16, 21, 50, 51, 52, 53, 54,

55, 56, 57, 58, 59, 63, 64, 65, 66, 67, 68,

69, 70, 73, 76, 77, 86, 87, 88, 90, 93, 94,

95, 96, 97, 98, 100, 101, 106, 107, 109,

111, 112, 113, 114, 116, 117, 118, 120,

123, 124, 125, 128, 129, 130, 131, 133,

135, 136, 137, 142, 143, 144, 145, 146,

147, 148, 149, 153, 154, 155, 156, 157,

158, 160, 161, 162, 170, 172, 173, 174,

177

W

Wagamakers · 139

wahdat-e-di>n · 83

wahyu · 1, 29, 40, 60, 65, 74, 145

Wilhelm Dilthey · 44, 45

Y

Yahudi · 11, 12, 28, 31, 33, 34, 38, 61, 84, 85,

86, 87, 93, 100, 101, 103, 105, 108, 110,

112, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125,

129, 132, 133, 135, 136, 138

Yasmina · 126, 139, 140, 166

Yesus · 7, 27, 32, 35, 40, 80, 81, 84

Yudaisme · 28

Yunan Yusuf · 60, 62, 63

Yunani · 28, 72, 78, 80

Page 201: EKSKLUSIVISME TAFSIR : Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu

189