eksklusivisme tafsir : diajukan untuk memenuhi salah satu
TRANSCRIPT
i
EKSKLUSIVISME TAFSIR :
KONSEP KEBERAGAMAAN DALAM TAFSI<R
MUH{AMMAD BIN S{A<LIH{ AL-‘UTHAIMI<N
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Gelar Magister
Dalam Bidang Studi Tafsir
Oleh:
Zaenal Khalid
21161200000018
KONSENTRASI TAFSIR
SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/1441 H
ii
KATA PENGANTAR
Bismillah, segala puji dan syukur bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang
telah memberikan nikmat yang begitu banyak, dan atas kehendak serta kasih
sayang-Nya lah akhirnya penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini dengan
judul "Eksklusivisme Tafsir: Konsep Keberagamaan dalam Tafsi>r muh}ammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n." karya ini merupakan hasil penelitian penulis dalam rangka
menempuh jenjang pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif
Hidayatullah, dengan konsentrasi Tafsir al-Qur'a>n.
Ide penelitian ini berawal dari pandangan penulis terhadap polemik seputar
konseptualisasi agama dalam kehidupan sosial-multikultural. Agama memiliki
peran antagonistik yang mampu memberikan energi positif dan negatif sekaligus.
Di satu sisi, agama adalah problem solver, namaun di sisi lain, agama juga dapat
menjelma sebagai parth of problems bahkan source of problems. Hal ini sangat
tergantung terhadap bagaimana seorang yang beagama dalam memandang dan
mengkonseptualisasikan agama tersebut. Dalam hal ini, tafsir sebagai cara
memahami kitab suci memiliki peran penting dalam pembentukan persepsi
terhadap agama yang turut membangun kontruksi sosial-agama.
Penyelesaian tesis ini tidak akan terealisasi tanpa ada bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis haturkan
rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada :
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (2015-
2019), Prof. Dr. Amany Lubis, Lc. MA, (2019-2024);
2. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Masykuri
Abdillah, MA (2015-2019), Prof. Dr. Jamhari, MA (2015-2019), Prof. Dr. Phill.
Asep Saepudin Jahar, MA., beserta wakil-wakil direktur dan seluruh jajaran SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dr. Yusuf Rahman MA., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan motivasi baik di kelas maupun dalam pertemuan demi pertemuan hingga
tesis ini selesai dan menjadi karya ilmiah;
4. Seluruh dosen yang telah memberikan keluasan dan kedalaman ilmu
pengetahuan secara langsung maupun tidak kepada penulis, khususnya
berkenaan dengan kajian yang penulis ajukan dalam tesis ini.;
5. Keluarga tercinta, ibunda Euis (Alm.) dan ayahanda Tahdi (Alm.) yang telah
melahirkan, mendidik dan mengurus penulis. Abah Karma (Alm.) dan Mak
Odah (Alm.), yang telah mendidik dan mengurus penulis selepas kedua orang
tua penulis tiada. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat terbaik di sisi-
iii
Mu ya Allah. Istri tercinta Arumpuspa Azizah S. Far. Apt. yang telah sudi
mendampingi penulis baik suka maupun duka, ibunda Hj. Sri Nurbaya yang
telah memberikan dukungan yang begitu besar pada penulis, nenek Hj. Musfi'ah
dengan wejangan-wejangan yang sangat berharga, dua kakak terbaik yang selalu
mendukung penulis dalam segala hal; kak Rahmat dan kak Ade, dan keluarga
penulis lainnya yang tidak bisa dituliskan satu-persatu, yang telah begitu
berjasa di kehidupan penulis. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan
berkali lipat dan senantiasa berada dalam naungan ridha dan maghfirah Allah,
ami>n ya Rabb al-‘a>lami>n.
6. Rekan-rekan seperjuangan; Ahmad Zaeni Dahlan, Islahil Umam, Bindan Niji,
Teguh Rudi Luhuring Budi, Ahmad Gunawan, Mukjizatullah Damopoli,
Fahman Mumtazi, Mujiburrahman, Rijal, Rian Agra, Asep Rifqi Abdul Aziz,
Sohibul Maulana al-Somali, Ust. Dr. Didin Dibon, Lc. MA., dan teman-teman
yang lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Kopi dan diskusi bersama
kalian adalah hal yang akan selalu dirindukan. Semoga silaturahim kita tetap
terjaga hingga dipertemukan di syurga.
7. PW PERSIS DKI Jakarta, PC PERSIS Cipayung, STAIPI Jakarta, Ust. Danil
Barkah, Ust. Aay, Ust. Pepen, Cak Fata, dan Senior-senior lainnya yang tidak
bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas ilmu dan bimbingannya.
vii
DAFTAR SINGKATAN
Cet. = Cetakan
Dkk = Dan kawan-kawan
Ed. = Editor
H = Tahun Hijriah
M = Tahun Masehi
No. = Nomor
QS. = Al-Qur'a>n Surah
Saw = S{allah Alla>hu ‘alaihi wa salla>m
Swt. = Subh}a>nahu wa Ta‘a>la>
t.th = Tanpa tahun
t.tp = Tenpa tempat
t.p = Tanpa penerbit
Terj. = Terjemahan
Vol. = Volume
W = Wafat
viii
ABSTRAK
Penelitian ini memperkuat hipotesis bahwa tafsir bukan hanya sekedar
implementasi metodologis, namun memiliki implikasi terhadap kontruksi sosial-
agama. Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode penafsiran Muh}ammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n bersifat tekstualis-literalis, kemudian ditunjang dengan
romantisme terhadap ortodoksi tafsir tradisional, hal ini berimplikasi terhadap
kontruksi keberagamaannya yang eksklusif. Pada ranah teologis-keyakinan,
eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n didasarkan pada truth claim
agama dan salvation claim dan menegasikan toleransi terhadap keyakinan
kelompok lain. Sedangkan pada ranah sosial, eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>lih}
al-‘Uthaimi>n tidak sepenuhnya menegasikan nilai-nilai toleransi, karena masih
menganjurkan bahkan mewajibkan kepada umat Islam untuk berbuat baik dan adil
sekalipun terhadap kelompok lain.
Penelitian ini mendukung Jeroen De Ridder (2011), Kevin Meeker (2006),
dan Gavin D'Costa (1996), Charles Kimball (2003), yang memandang bahwa
Eksklusivisme merupakan keniscayaan dalam beragama yang timbul secara
alamiah, serta menjadi pondasi kontruksi utuh agama yang memperkuat hubungan
simbolis antara agama dan pemeluknya. Seorang eksklusifis masih tetap rasional
meskipun dalam konteks masyarakat plural-multikultural dan masih bisa
bertoleransi terhadap agama lain. Penelitian ini menolak pandangan Erik Baldwin
(2008) Michael Thune (2008) dan John Hick (1981), yang menyatakan bahwa
eksklusivisme tidak relevan dan tidak rasional dengan konteks masyarakat yang
plural-multikultural.
Sumber primer penelitian ini adalah Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih} al-
‘Uthaimi>n yang bernama Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan beberapa karya lainnya
seperti ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, al-Qaul al-Mufi>d 'ala Kita>b al-
Tauhi>d, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah li Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, Fata>wa>
Nu>r ‘Ala> al-Darb, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, dan lainnya. Adapun untuk data sekunder,
penulis merujuk kepada beberapa buku dan jurnal yang memiliki keterkaitan
dengan tema pembahasan. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Data yang
diperoleh akan dianalisis secara kualitatif melalui metode interpretatif dengan
pendekatan teologi, linguistik-semantik, dan sosiologi agama. Tiga pendekatan ini
diproyeksikan untuk mengkaji ranah teologis terkait realitas transenden,
mengungkap makna dari terma; di>n, millah, shari‘ah, isla>m dan lainnya yang
memiliki keterkaitan dengan tema pembahasan, dan untuk mengkaji tema-tema
sosial-agama yang ada pada tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n.
ix
ABSTRACT
This research reinforces the hypothesis that interpretation is not merely a
methodological implementation, but has implications for socio-religious
construction. This study concludes that the method of interpretation of
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n is textualist-literalist, then supported by the
romanticism of the orthodoxy of traditional interpretations, this has implications
for the construction of its exclusive diversity. In the theological-belief realm, the
exclusivism Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n based on religious truth claims and
salvation claims and negates tolerance for the beliefs of other groups. Whereas in
the social sphere, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n did not completely negate the
values of tolerance, because it still advocated and even obliged Muslims to do good
and fair even to other groups.
This research supports Jeroen De Ridder (2011), Kevin Meeker (2006), and
Gavin D'Costa (1996), Charles Kimball (2003), who view that Exclusivism is a
necessity in religion that arises naturally, and becomes the foundation of the intact
construction of religion which strengthens the symbolic relationship between
religion and its adherents. An exclusivist still remains rational even though in the
context of a plural-multicultural society and can still tolerate other religions. This
research rejects the views of Erik Baldwin (2008) Michael Thune (2008) and John
Hick (1981), which states that exclusivism is irrelevant and irrational to the
context of a plural-multicultural society.
The primary source of this research is Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih} al-
‘Uthaimi>n yang bernama Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan beberapa karya lainnya
seperti 'Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, al-Qaul al-Mufi>d ‘ala Kita>b al-
Tauhi>d, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah li Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, Fata>wa>
Nu>r ‘Ala> al-Darb, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, and others. As for secondary data, the author
refers to several books and journals that are related to the theme of the discussion.
This research is a library research. The data obtained will be analyzed qualitatively
through interpretive methods with theological, linguistic-semantic, and
sociological approaches to religion. These three approaches are projected to study
the theological realm in terms of transcendent reality, revealing the meaning of the
term; di>n, millah, shari‘ah, isla>m and others that are related to the theme of the
discussion, and to study the socio-religious themes that exist in the tafsi>r
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n.
x
الملخص
على آثار له ولكن ، منهج تطبق مجرد لس التفسر بأن القائلة الفرضة الدراسة هذه تعزز
حرفة - بن صالح العثمن نصة محمد تفسر طرقة أن إلى الدراسة هذه وتخلص. الدن الاجتماع البناء
ف. الحصري الدن بناء على آثار له التقلدة، وهذا للتفسرات التقلدة العقدة من الرومانسة تدعمها ثم ،
الدنة الحققة ادعاءات على تقوم صالح العثمن بن محمد حصرة فإن ، اللاهوتة- المعتقدات عالم
الاجتماع، فإن المجال ف أنه وحث. الأخرى الجماعات معتقدات مع التسامح الناجة وتنف وادعاءات
حب بل المسلمن دعو زال أن لا لأنه ، التسامح قم تماما على بطل بن صالح العثمن، لم محمد حصرة
. الأخرى الجماعات مع حتى حسن التعامل والعدل علهم
Gavin و ، Jeroen De Ridder (2011) ، Kevin Meeker (2006) البحث هذا دعم
D'Costa (1996) ، Charles Kimball (2003) ، الدن الت ف ضرورة اىذصسج أن رون الذن
زال لا. وأتباعه الدن بن الرمزة العلاقة عزز مما للدن السلم البناء أساس وتصبح ، طبع بشكل تنشأ
ا الحصري تسامح مع بإمكانه زال ولا الثقافات متعدد- تعددي مجتمع ساق ف أنه من الرغم على عقلان
Erik Baldwin( 2008 )Michael Thune( 2008 ) Jhon البحث هذا رفض. الأخرى الأدان
Hick(1981 )، تعددي و متعدد مجتمع ساق ف الحصري لا طابق وغر معقول أن على الذن زعمون
.الثقافات
تفسر القرآن الكرم " بـ تفسر محمد بن صالح العثمن المسمى هو البحث لهذا الأساس المصدر
عقدة أهل السنة و الجماعة ، القول المفد على كتاب التوحد ، شرح العقدة : له مثل الأخرى و كتب"
الثانوة مصادر أما. الواساطة لشخ الإسلام إبن تمة ، فتاوى نور على الدرب ، أصول التفسر و غرها
بحث هو البحث أن هذا. البحث بموضوع الصلة الت لها والمجلات الكتب من المؤلفات العلمة فه ،
ثم أن البانات التى تم الحصول علها تحلل تحللا نوعا من خلال أسلوب تفسري ، باستخدام . مكتب
هذه المقاربات الثلاثة مستخدمة ف . دلالات الألفاظ و الإجتماعة الدنة- مقاربات اللاهوتة ، اللغوة
الدن ، الملة ، : المجال الاهوت من حث الواقع المتعال ، و مستخدمة لتكشف عل معان من المصطلحات
الإسلام و المصطلحات الأخرى المتعلقة بموضوع البحث ، و مستخدمة لدراسة الموضوعات الاجتماعة
.الموجودة ف تفسر محمد بن صالح العثمن الدنة
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
ALA-LC ROMANIZATION TABLES
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin
Alif A ا
Ba B ب
Ta T ت
Tha Th ث
Jim J ج
H{a h} ح
Kha Kh خ
Dal D د
Dhal Dh ذ
Ra R ر
Zay Z ز
Sin S س
Shin Sh ش
{S}ad s ص
}Dad{ d ض
T{a t} ط
Z{a z} ظ
‘ Ayn‘ ع
Ghayn Gh غ
xii
Fa F ؼ
Qaf Q ؽ
Kaf K ؾ
Lam L ؿ
Mim M ـ
Nun N ف
Wawu W و
Ha H هػ
Ya Y ي
2. Vokal
Seperti halnya bahasa Indonesia, vokal dalam bahasa Arab meliputi: vokal
tunggal [monoftong] dan vokal rangkap [diftong].
a. Monoftong
Tanda Nama Huruf Latin
ــــ Fath}ah A
Kasrah I ــــ
ــــ D}ammah U
b. Diftong
Tanda dan Huruf Nama Gabungan Huruf
ــــ Fath}ah dan Ya Ai
ـــــو Fath}ah dan Wawu Au
Contoh: دع : H{usain ده : H{aul
3. Maddah
Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda
ــــــاــــــــــ Fath}ah dan Alif atau Ya a>
ــــ Kasrah dan Ya i>
ـــــ D}ammah dan Wawu u>
4. Ta Marbut}ah
xiii
Ta Marbut}ah yang berharakat sukun (mati) dan diikuti kata lain [dalam
istilah bahasa Arabnya posisinya sebagai mud}a>f], maka transliterasinya t. Akan
tetapi, apabila tidak diikuti dengan kata lain atau bukan sebagai posisi mud}a>f,
maka menggunakan h.
Contoh:
ة al-Bi>’ah االب يػئػػػػػػػػػػػػػػػ
ة اادئابب Kulli>yat al-A<da>b ة ل ي
5. Shiddah
Shiddah/Tashdi>d di literasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf
yang sama dengan huruf yang bershiddah tersebut.
Contoh : زةا (rabbana> )
6. Kata Sandang Alif/La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh : اىقي (al-qalam)
Apabila diikuti dengan huruf shamsiyyah, ditulis al.
Contoh : اىشط (al-Shams)
7. Kata-kata Pengecualian
Untuk kata al-Qur'a>n, al-Sunnah, Hadi>th, beserta nama surat al-Qur'a>n, nama
orang, nama tempat, sekte, dan bulan dalam bahasa Arab, tidak dialih-bahasakan
sesuai dengan KBBI, namun tetap ditulis dalam bahasa Arab dengan menggunakan
pedoman transliterasi, serta tidak dimiringkan.
Contoh :
Sha‘ba>n : شعتا
Mu‘tazilah : عذصىج
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................................. iv
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ......................... v
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
TRANSLITERASI .......................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv
BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar belakang masalah .......................................................................... 1
B. Permasalahan Penelitian ......................................................................... 15
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 16
D. Signifikansi Penelitian ........................................................................... 17
E. Literatur Terdahulu yang Relevan ......................................................... 17
F. Metode Penelitian ................................................................................. 22
G. Sistematika Penelitian ........................................................................... 25
BAB II: DISKURSUS KEBERAGAMAAN DALAM KERAGAMAN ......... 27
A. Eksklusivisme: Keniscayaan dalam Beragama ...................................... 27
B. Inklusivisme: Sebuah Jalan Tengah ....................................................... 35
C. Pluralisme: Realita Keberagaman Agama .............................................. 41
BAB III: EKSKLUSIVISME DALAM TAFSI<R MUH{AMMAD BIN
S{A<LIH{ AL-‘UTHAIMI<N ................................................................................. 51
A. Sketsa Biografis Muh}ammad bin S{a>lih> al-‘Uthaimi>n ........................... 51
B. Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m : Analisis Metodologis ................................ 60
C. Eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n .............................. 71
1. Truth Claim dan Ortodoksi Tafsir Tradisional ................................... 71
xv
2. Satu Jalan Keselamatan: Konsep Soteriologis dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m ................................................................................ 79
BAB IV: KONSEP KEBERAGAMAAN DALAM TAFSI<R MUH{AMMAD
BIN S{A<LIH{ AL-‘UTHAIMI<N.......................................................................... 91
A. Kontruksi Tauhid Muh}ammad bin S{a>lih> al-‘Uthaimi>n .......................... 91
1. Iman .................................................................................................. 92
2. Islam ................................................................................................. 98
B. Non Muslim dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih> al-‘Uthaimi>n ............. 106
1. Kafir................................................................................................... 106
2. Musyrik ............................................................................................ 114
3. Ahl al-Kita>>b ...................................................................................... 119
C. Konsep al-Wala>' wa al-Bara>' dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>lih> al-
‘Uthaimi>n .............................................................................................. 126
1. Al-Wala>' : Loyalitas Tanpa Batas ..................................................... 127
2. Al-Bara>' : Kebencian Atas Nama Tuhan .......................................... 132
3. Al-Wala>' wa al-Bara>' dan Toleransi dalam beragama ...................... 138
D. Misi Suci Agama : Konsep Dakwah dalam Tafsi>r Muh}ammad bin
S{a>lih> al-‘Uthaimi>n .................................................................................. 145
1. Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar: Penyeimbang Tatanan Sosial 145
2. Jiha>d : Demi Tegaknya Kalimah Allah ............................................. 151
BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 161
A. Kesimpulan ............................................................................................ 161
B. Saran Penelitian ..................................................................................... 162
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 165
GLOSARIUM ................................................................................................... 181
INDEKS ........................................................................................................... 187
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur'a>n sebagai pedoman hidup umat Islam bukanlah dokumen Tuhan
yang berisikan kalimat-kalimat verbal yang sunyi akan makna, namun merupakan
firman suci Tuhan yang sarat dengan nilai-nilai.1 Secara identitas-fungsional, Al-
Qur’a>n berfungsi sebagai petunjuk (al-huda>), rahmat (al-rah}mah), pembeda (al-furqa>n), penyembuh (al-shifa>') dan fungsi-fungsi lainnya yang mengarah kepada
keselamatan dan kemaslahatan manusia.2 Proses penggalian nilai-nilai atau makna
guna menemukan maksud Tuhan dalam kalimat-kalimat tersebut (teks al-Qur'a>n)
disebut dengan tafsir. Yakni sebuah interpretasi melalui proses negosiasi dan
dialektika yang rumit melibatkan tiga unsur; intensitas pengarang, otoritas teks,
dan subjektifitas pembaca.3
Kerumitan dalam proses penafsiran nampak pada polemik dan perdebatan di
kalangan akademisi maupun umat Islam secara umum dalam upayanya memaknai
teks al-Qur'a>n, tidak jarang perdebatan tersebut masuk ke ranah yang bernuansa
kontroversial. Dalam menyikapi polemik pemaknaan teks al-Qur'a>n ini, dibutuhkan
pemahaman yang seimbang terhadap pola hidup klasik-tradisional sebagai konteks
ketika pertama kali teks tersebut muncul dan kondisi sosial modern dewasa ini.
1Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar
Doktrin Yang Membatu, (Jakarta: Kompas, 2001), 91. 2Dalam konsep self referentialy al-Qur'a>n, yaitu bagaimana al-Qur’a>>n
mengidentifikasi, menyebut, mendefinisikan, dan menjelaskan dirinya sendiri, atau jika
dipersonalisasikan adalah bagaimana al-Qur'a>n memeperkenal kan dirinya kepada lawan
bicara atau pembaca, yang dalam berbagai terminologi disebutkan juga oleh parasarjana
sebagai self-definition, self-referentiality, self-identification, dan self-reflective statement, Fadli Lukman mengklasifikasikan lima puluh lima terma yang didaftar oleh al-Suyu>t}i>
kepada tiga kelompok, pengelompokkan itu dilandaskan pada asosiasi makna yang dimiliki
oleh terma-terma (mufrada>t) tersebut. Kelompok pertama al-Qur’a>n menjelaskan identitas
ontologisnya. Dalam kelompok ini terdapat terma seperti al-kita>b, al-qur’a>n, al-h}ikmah, al-wahy dst. Kelompok kedua al-Qur’a>n menjelaskan identitas fungsionalnya, seperti terma
al-huda>, ar-rah}mah, al-furqa>n, dst. Sementara pada kelompok ketiga, adalah terma-terma
yang menjelaskan identitas atributif al-Qur’a>n seperti al-‘arabiyyah, al-‘aliy, al-qayyim, dst. Lihat Fadli Lukman, ‚Konsep Self-Referentiality Al-Qur’a>n‛, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis Vol. 12, No. 2, (Juli 2011).
3 Sansan "Dimensi Eksoteris dalam Tafsir Ishari" (Jakarta: Sekolah Pascasarjana
UIN SYarif Hidayatullah, 2016) 1; Menurut Abdul Mustaqim, Tafsir sebagai proses
membutuhkan keseimbangan dalam dialektikanya antara wahyu, rasio mufassir, dan
realitas (konteks). Dengan konsekuensinya bahwa al-Qur'a>n harus senantiasa dikaji ulang
dan ditafsirkan. Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 120.
2
Harmonisasi antara dua masa tersebut merupakan unsur penting yang dibutuhkan
para penafsir dalam memahami teks al-Qur'a>n.4
Teks al-Qur'a>n bersifat absolute dan statis, namun tidak dengan
penafsirannya yang bersifat dinamis. Teks al-Qura>n yang telah final dan menjadi
corpus resmi umat Islam, dituntut untuk selalu relevan dengan perkembangan
zaman dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat dewasa ini melalui tafsir.5
Pada priode klasik (abad 1-2 H/6-7 M), perkembangan tafsir masih bersifat parsial,
sebab pada masa itu objek dari kinerja penafsiran hanya berkutat pada ayat-ayat
yang belum jelas atau belum bisa difahami. Selain itu, unsur "penokohan" juga
masih terlihat dominan, yakni hanya orang-orang yang memiliki otoritas tertentu
saja yang boleh menafsirkan al-Qur'a>n. Kemudian pada priode pertengahan, (abad
3-9 H/9-15 M), penafsiran al-Qur'a>n sudah mulai secara keseluruhan dengan
metode tah}li>li>.6 Pada priode inilah gagasan-gagasan eksternal al-Qur'a>n mulai
diintegrasikan dan al-Qur'a>n mulai menjadi objek intelektual dari kecenderungan
(corak) masing-masing para penafsir dalam menginterpretasikan teks suci tersebut.
Misalnya al-Zarkashi>> dengan karya tafsirnya yang berjudul al-Kasha>f. Sebagai
seorang ahli bahasa, produk penafsiran al-Zarkashi> sangat kental dengan nuansa
kebahasaan. Lain halnya dengan al-Alu>si dengan karya tafsirnya yang berjudul
Ru>h}ul Ma‘a>ni>, corak sufistiknya begitu jelas terlihat, mengingat beliau adalah
seorang ahli tasawuf. Sedangkan pada priode modern, penafsiran al-Qur'a>n lebih
berorientasi kepada spirit al-Qur'a>n sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-na>s)
dengan jargon bahwa al-Qur'a>n selalu relevan untuk setiap waktu dan tempat (s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n). Dipelopori oleh Muh}ammad 'Abduh dan muridnya
4Dalam hal ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama: pertama,
Textualists, yaitu mereka yang mendukung bahwa pembacaan al-Qur'a>n harus dilakukan
secara literal dan meyakini bahwa pesannya harus tetap "murni" serta tidak boleh tunduk
pada tuntutan masyarakat modern. kedua, Semi-textualists, kelompok ini berbeda dari para
ahli tekstual. Mereka membuat beberapa konsesi kecil dengan kondisi modernitas dan
sering dikaitkan dengan wacana apologetis. Ketiga, Contextualists. Yakni mereka yang
percaya bahwa ajaran tertentu tentang al-Qur'a>n dapat diterapkan secara berbeda
tergantung pada waktu dan tempat tertentu. Lihat Abdullah Saeed, "Some reflections on
the Contextualist approach to ethico-legal texts of the Quran", Bulletin of the School of Oriental and African Studies, Vol. 71, No. 2, (University of London: 2008), 221-222.
5 Lihat Ahmad Taufik, "Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi
Penafsiran Tekstual)", Journal of Qur’a>>n and H{adi>>th Studies, Vol. 3, No. 2, (2014), 141-
172. Inilah alasan bagi kalangan kontekstualis yang mempromosikan bahwa proses
penafsiran tidak hanya tentang analisis teks semata, tapi juga harus melakukan contextual and historical reading, mencakup konteks historis, sosial, dan politik saat teks diturunkan.
Lihat Rachael M. Scott, ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the Qur’ān:
Readings of 4:34‛ The Muslim World, (2009), 60-85. 6Tah}li>li> adalah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat
al-Qur’a>n dari seluruh aspeknya. Seorang mufassir dengan metode ini akan menafsirkan
ayat-ayat dan surat demi surat dalam al-Qur’an secara runtut dari awal hingga akhir sesuai
urutannya. Dalam pembahasannya, terdapat unsur-unsur, di antaranya; penjelasan tentang
kosa kata (lafaz}), i’ja>z, bala>ghah, asba>b al-nuzu>l, dan muna>sabah (kolerasi). M. Al-Fatih
Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), 41-42.
3
Rashi>d Rid}a>, konsep dan orientasi penafsiran tersebut mendapat respon positif dari
para pemikir dan penafsir lainnya. Sebut saja beberapa sarjana yang merespon
paradigma Muh}ammad ‘Abduh tersebut diantaranya; Amin al-Khulli>, ‘Aishah bint
al-Sha>t}i, Ah}mad Khalaf Allah, Shukri 'Ayyad, Nas}r H{a>mid Abu Zaid dan lain
sebagainya, hingga dewasa ini proses penafsiran al-Qur'a>n berlangsung dinamis
dengan berbagai metode dan coraknya.7
Isma'i>l Ragi> al-Fa>ru>qi> dalam tulisannya yang berjudul ‚Towards a New Methodology For Qur’anic Exegesis‛, memandang bahwa umat Islam meskipun
telah mengalamai perkembangan yang baik di bidang sosial, politik, ekonomi, dan
intelektual, ‚But the progress they have made in reconstructing their methods of thinking, is alarmingly little" (akan tetapi, perkembangan yang telah mereka
lakukan dalam hal merekonstruksi metode dan cara berfikir, sangat
mengkhawatirkan).8 Sedangkan Muh}ammad ‘Abduh dalam mengamati produk-
produk tafsir terdahu, ia mengalami kegelisahan dan berasumsi bahwa produk-
produk tafsir masa lalu pada umumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas
berbagai pendapat para ulama yang beragam, hingga pada akhirnya menjauhkan
dari tujuan diturunkannya al-Qur’a>n sebagai hudan li al-na>s. Menurut ‘Abduh,
tafsir harus berfungsi menjadikan al-Qur’a>n sebagai sumber petunjuk (maṣdar al-hida>yah), bukan untuk membela ideologi tertentu. Hal ini yang mendorong ia
menulis tafsir al-Mana>r yang bercorak al-adab al-ijtima'i>, sebuah karya tafsir yang
berbeda dengan karya-karya ulama-ulama masa lalu. Senada dengan pandangan
'Abduh.9 Atau lebih vulgar lagi, apa yang diungkapkan oleh Ignaz Goldziher dalam
Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, bahwa Islam tidak dianggap sebagai ajaran yang
mengabaikan prinsip-psinsip mendukung kemajuan rasional dan sosial, kecuali
disebabkan karena adanya pengaruh dari pemahaman keagamaan yang keliru dan
bentuk-bentuk penafsiran yang salah dari (sebagian) para ulama muta’akhir. Penyelewengan ajaran Islam itulah yang selama ini menjadi penyebab utama
adanya paradoks bagi makna dan hakikat Islam berupa tidak adanya mobilisasi
Islam ke arah paradigma kebudayaan modern.10
Aktivitas penafsiran al-Qur’a>n bukan hanya merupakan implementasi
metodologi untuk memahami isi kandungan al-Qur’a>n semata, lebih dari itu, tafsir
juga memiliki implikasi terhadap pola keberagamaan melalui persepsi yang
dibentuk dari tafsir itu sendiri. Sehingga, tafsir merupakan salah satu unsur yang
7 Wali Ramadhani, "Amin Al-Khuli dan Metode Tafsir Sastrawi Atas al-Qur'a>n", al-
Tibyan Vol. II No.1 (Januari–Juni 2017), 2. 8 Isma'i>l Ragi> Al-Fa>ru>qi>, "Towards a New Methodology For Qur’anic Exegesis",
Islamic Studies, Vol. 1, No. 1 (Islamic Research Institute, International Islamic University,
Islamabad : Maret, 1962), 35-52. 9 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010),
55. 10
Ignaz Goldziher, Madhāhib al-Tafsīr al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Khanaji,
1995), Terj. Dr. Abdul Halim A, Madzhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern,
(Yogyakarta: eLSQ Press, 2003). 380.
4
membentuk kontruksi sosial-agama.11
Implikasi tafsir -sebagai proses
pembentukan persepsi terhadap agama (Islam)- terhadap sikap keberagamaan
dinyatakan oleh Muhsin Mahfudz, bahwa dari sekian banyak varian tafsir, dapat
didudukkan pada dua mainstream tafsir; penafsiran yang bersifat Skripturalis
(formalistik) dan penafsiran yang bersifat Subtansialis (terbuka). Penafsiran
Skripturalis umumnya mengekspresikan keberagamaan-nya dengan cara yang kaku
dan formalistik, sementara Subtansialis pada umumnya lebih fleksibel dan
esensialis.12
Implikasi penafsiran terhadap keberagamaan juga dinyatakan oleh
Ahmad Izzan, bahwa interpretasi terhadap teks al-Qur'a>n, baik yang bersifat
esoteris maupun eksoteris, pada gilirannya melahirkan sikap keberagamaan yang
eksklusif dan inklusif. Tafsir inklusif cenderung terbuka dan pluralis, sedangkan
tafsir eksklusif cenderung monolitik, tertutup, dan bersikap "kurang ramah".13
Selain itu, kecenderungan interpretasi pada suatu bidang ilmu juga memberikan
pengaruh tersendiri, seperti penafsiran yang bercorak fikih, biasanya cenderung
melahirkan eksklusivisme. Sedangkan corak tafsir sufistik lebih cenderung ke arah
inklusivisme, sehingga Sayyed Hossein Nasr dan Bawa Muhayyaddin begitu
semangat mempromosikan tasawuf di dunia modern Barat guna mengenalkan
wajah Islam yang sejuk, humanis dan mencintai toleransi.14
11
Lihat, Muhsin Mahfudz, "Implikasi Pemahaman Tafsir Al-Qur'an Terhadap Sikap
Keberagamaan", Tafsere, Vol. 4, No. 2, (2016), 122-148. 12
Perbedaan Keduanya mungkin sulit untuk diidentifikasi pada level wacana
mengingat keduanya merupakan akumulasi subjektivitas mufassir yang mencakup
motivasi, latar belakang intelektual dan wawasannya. Meskipun sulit diidentifikasi pada
level wacana, namun mudah dibedakan pada level praktis yang tercermin dalam ekspresi
keagamaannya. Muhsin Mahfudz, "Implikasi Pemahaman Tafsir Al-Qur'an Terhadap Sikap
Keberagamaan", Tafsere, Vol. 4, No. 2 (2016), 122-148. 13
Ahmad Izzan, Inklusifisme Tafsir: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Tafsir al-Mizan, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2013), 3.
14Bagi Sayyed Hossein Nasr, tasawuf atau dimensi esoterik dalam Islam merupakan
modal dasar bagi pergaulan antar umat beragama. Kaum sufi adalah mereka yang sangat
toleran terhadap ajaran agama-agama lain. Sedangkan Bawa Muhayyaddin (asal Srilanka),
yang telah banyak berkeliling ke Amerika Serikat untuk mengenalkan ajaran tasawuf yang
toleran, ia menulis beberapa karya yang mendapat pujian dari peneliti Barat. Salah satu
karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tasawuf Mendamaikan Dunia, yang diberi pengantar oleh Annemarie Schimmel (peneliti tasawuf asal Jerman dan
Profesor of Indo-Muslim Culture Harvard University Amerika Serikat). Lihat Andi Eka
Putra, "Islam Toleran: Membangun Toleransi dengan Jalan Spiritual", Kalam, Vol. 10, No.
2, (Desember 2016) : 381-402. Dalam seminar agama-agama XV/1995 yang
diselenggarakan oleh Badan Litbang PGI dan Yayasan Bina Darma di Salatiga, Dr. Kautsar
Azhari, pakar perbandingan agama IAIN Jakarta, menulis dalam makalahnya bahwa
berdasarkan bukti-bukti historis, seorang peneliti yang jujur harus mengakui bahwa
kelompok Islam yang paling toleran, paling simpatik, paling terbuka dan paling ramah
terhadap pemeluk agama lain adalah kelompok Islam sufi. Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin Yang Membatu, (Jakarta:
Kompas, 2001), 17.
5
Pola keberagamaan adalah ekspresi dari persepsi yang terbentuk oleh cara
intrepretasi terhadap agama itu sendiri. Dalam konteks keislaman, Abdul Kari>m
Soroush membagi dua model Islam: Islam sebagai identitas dan Islam sebagi
kebenaran. Model pertama dijadikan kedok untuk identitas budaya dan respons
untuk masalah "krisis identitas". Sedangkan model yang kedua merujuk pada Islam
sebagai sumber kebenaran yang menuntun kepada keselamatan dunia akhirat.
Soroush meyakini bahwa Islam identitas harus tunduk kepada islam sebagai
kebenaran. Sebagai kebenaran dapat berdampingan dengan kebenaran-kebenaran
lain, sedangkan Islam identitas lebih cenderung berseteru, atau Islam perang, bukan
Islam damai.15
Pada konteks masyarakat multikultural, Casram membedakan
masyarakat beragama ke dalam dua kelompok: educated people dan ordiniary people. Bagi masyarakat beragama educated people, memahami ajaran agama
harus disertai dengan analisis rasional serta menepikan pemahaman intuitif dan
simbolik. Kelompok ini cenderung lebih mudah diajak bertoleransi terhadap agama
dan pemeluk agama lain. Sedangkan masyarakat beragama ordiniary people
cenderung memahami ajaran agama penuh dengan simbol-simbol dan tidak
mempergunakan analisis rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan sangat susah
bertoleransi dengan agama dan pemeluk agama lain. Kelompok ini mudah
digerakkan oleh sekelompok orang atau komunitas baik yang beraliansi pada
politik maupun pada sosial budaya.16
Dengan tipologi yang lebih banyak,
Komarudin Hidayat menyebutkan lima tipologi keberagamaan: eksklusivisme,
inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Lanjutnya Komarudin
menjelaskan bahwa lima tipologi ini bukan berarti pengelompokan yang terpisah-
pisah dan permanen, namun lebih tepatnya sebuah kecenderungan yang
mendominasi sikap keberagamaan. Mengingat bahwa setiap agama atau sikap
keberagamaan senantiasa berpotensi untuk melahirkan kelima tipologi tersebut.17
Dari beberapa tipologi model keberagamaan di atas, setidaknya ada tiga
tipologi yang paling akrab dengan telinga publik dan banyak diperbincangkan
belakang ini, yaitu: eksklusivisme-inklusivime-pluralisme. Diskursus tiga model
keberagamaan ini menjadi pembahasan beberapa sarjana Muslim maupun non-
Muslim. Lihat misalnya Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, Gavin D‘Costa, Theology of Religions, dan David F. Ford, The Modern
15
'Abdul Kari>m Soroush menyebutkan bahwa salah satu penyakit teoritis di Dunia
Islam yang palling berat, pada umumnya, adalah bahwa orang lebih memahami Islam
sebagai Identitas daripada sebagai kebenaran. Mebangun identitas atau peradaban bukanlah
tujuan para Nabi. Umat Islam memiliki peradaban dan identitas memang benar, namun
mereka tidak boleh menggunakan Islam demi kepentingan identitas dan peradaban. Lihat
Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan dari Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of Abdulkarim Soroush, oleh
Abdullah Ali. (Bandung: Mizan, 2002), 31-33. 16
Casram, "Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural",
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016), 190. 17
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Bandung: Mizan, 2003), 45.
Dikutip oleh Casram, "Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural",
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016), 191-192.
6
Theologians: An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century.18 Gavin D'Costa dan Mun'im Sirry berkeyakinan bahwa Alan Race lah yang
memperkenalkan dan mempopulerkan tiga pendekatan itu sebagai penjelasan
standar tentang bagaimana Kristen memandang agama lain.19
Dalam Christians and Religious Pluralism (1983), Race menjadikan ‚eksklusivisme‛, ‚inklusivisme‛,
dan ‚pluralisme‛ masing-masing sebagai judul bab-bab dalam bukunya. Menurut
Mun'im, kendati tipologi tersebut berguna untuk melihat sikap seseorang terhadap
agama lain, namun tipologi tersebut juga memiliki keterbatasan teoritis dan perlu
perbaikan.20
Lebih tegas lagi, Gavin D‘Costa mengkritik dalam tulisannya yang
berjudul ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ (1996), tipologi
tersebut ‚cacat metodologis‛ dan tidak bisa dipertahankan.21
Eksklusivisme dalam sikap keberagamaan adalah sikap yang lahir dari
paradigma bahwa agama yang dipeluknyalah yang paling benar dan menganggap
sesat agama lainnya. Eksklusifis biasanya cenderung menutup diri terhadap relasi
sosial dengan pemeluk agama lain.22
Penjelasan lain tentang eksklusivisme hadir
dari Jeroen De Ridder. Menurut Jeroen, seorang ekslusifis (religious exclusivist) adalah seorang yang sangat meyakini superioritas agama yang dipeluknya dan
menganggap agamanyalah satu-satunya agama yang benar. Berdasarkan pada
Epistemologi Reformed23
, keyakinan eksklusivis (exclusivisťs religious beliefs)
18
Abu Bakar, "Argumen al-Qur’a>n tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan
Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni
2016), 45-46. 19
Gavin D'Costa dalam David F. Ford, The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology Since 1918, ( Blackwell Publishing Ltd, 2005), 631-632. Mun'im Sirry,
"Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme Dalam Beragama", Geotimes, 20 Mei 2016.
20 Mulai saat itu, tipologi tersebut secara umum digunakan, bukan hanya untuk
menggambarkan sikap Kristen terhadap agama lain, namun berkembang luas di kalangan
sarjana-sarjana Muslim sendiri, termasuk di Indonesia. Sikap kaum Muslim Indonesia
terhadap agama lain juga diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok tersebut: eksklusivis,
inklusivis, dan pluralis. Lihat Mun'im Sirry, "Mempertanyakan Eksklusivisme-
Inklusivisme-Pluralisme Dalam Beragama", Geotimes, 20 Mei 2016. 21
Lihat Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛
Religious Studies, Vol. 32, No. 2 (Cambridge University Press, Juni, 1996) : 223-232.
Kritik atas tipologi keberagamaan tersebut dimungkinkan karena sulitnya mengidentifikasi
dalam ranah teoritis, sehingga sulit menentukan instrumen sebagai standar dari tipologi
tersebut. 22
Abu Bakar, "Argumen al-Qur’ān tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan
Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni
2016), 46. 23
Epistemologi Reformed adalah suatu gerakan di dalam filsafat analitik yang
berkembang sejak pertengahan tahun 1980-an. Para filsuf yang tergabung dalam gerakan ini
berupaya untuk menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan (belief in God), khususnya
terhadap kepercayaan Kristen, adalah rasional, terjustifikasi (justified) dan terjamin
(warranted). Mereka berupaya untuk memperlihatkan bahwa secara epistemologis
kepercayaan religius (religious belief), khususnya kepercayaan Kristen, memiliki status
7
dapat dianggap rasional atau dibenarkan melalui kebenaran dasar kayakinannya
tanpa harus didasarkan pada alasan atau argumen akan kepercayaan itu. Seperti
dalam pandangan Plantinga, bahwa seseorang yang memiliki kepercayaan yang
ekslusif tidak lantas dikatakan sebagai orang yang tidak bermoral, tidak beralasan
dan tidak rasional. Ia tetap bisa dibenarkan atas kebenaran dasar kepercayaannya.24
Namun demikian, Erik Baldwin dan Michael Thune (2008) mengkritik klaim ini
dengan berargumen bahwa seorang eksklusifis yang telah sepenuhnya sadar akan
fakta pluralisme agama tidak dapat lagi rasional dalam memegang dasar keyakinan
agamanya.25
Zuly Qodir menggunakan istilah Absolutisme sebagai faham
keberagamaan yang tertutup dan menolak agama lain. Menurut Zuly, secara kon-
septual, faham Absolutisme/ekslusivisme menolak keberadaan yang lain yang
diperkuat dengan perspektif tentang kebenaran tunggal dan menganggap bahwa
kelompok lain salah dan harus dipertobatkan.26
Adapun terkait Inklusivisme, Paradigma inklusif pertama kali dimunculkan
oleh Karl Rahner adalah yang dikenal dengan istilah Kristen anonim (the Anonimous Christian) atau non-Kristiani. Menurut Karl Rehner, orang-orang non-
Kristiani memiliki peluang untuk mendapatkan keselamatan (salvation) selama
dalam hatinya tertanam ketulusan terhadap Tuhan.27
Hal ini senada dengan
pernyataan Alwi Shihab, bahwa kemunculan teologi inklusif dikaitkan dengan
pandangan Karl Rehner, seorang teolog Katolik, yang intinya menolak asumsi
bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak berkesempatan meyakini Injil. Mereka
yang mendapatkan anugerah cahaya Ilahi walaupun tidak melalui Yesus, tetap
akan mendapatkan keselamatan.28
Sedangkan dalam konteks teologi inklusif
epistemik yang positif. Tokoh-tokoh yang menjadi arsitek dan pendiri gerakan ini adalah
William P. Alston (1921– 2009), Nicholas Wolterstorff (1932– ), dan Alvin Plantinga
(1932– ). Plantinga menyebut gerakan ini sebagai epistemologi Reformed karena para
pendirinya, seperti Plantinga sendiri dan Wolterstorff, mengajar di Calvin College,
Amerika Serikat, dan mereka banyak mendapatkan inspirasi dari John Calvin serta para
teolog lain di dalam tradisi teologi Reformed. Epistemologi Reformed menolak pandangan
fondasionalisme klasik dan evidensialisme bahwa kepercayaan religius tidak rasional dan
tidak terjustifikasi. Mereka juga mengklaim bahwa kepercayaan religius memiliki status
epistemik yang positif di dalam konteks epistemologi yang lebih memadai. Lihat Thio
Christian Sulistio, "Epistemologi Reformed: Sebuah Upaya Filsuf-Filsuf Kristen Membela
Status Epistemologis Kepercayaan Kristen", VERITAS 13/2 (Oktober 2012), 217-229. 24
Kevin Meeker, "Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues", Religious Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006), 194.
25 Lihat, Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies,
Vol. 47, No. 4, Cambridge University Press, (December 2011), 449-463. 26
Zuly Qodir, "Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam",
Orientasi Baru, Vol. 17, No. 1, (April, 2008), 64. 27
Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.
4 No. 2 (Oktober, 2013), 1277. 28
Alwi Shihab dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,
"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-
Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59.
8
Islam,29
Nurcholis Madjid (Cak Nur) berpendapat bahwa kebenaran tidak lagi
menjadi monopoli suatu agama tertentu, melainkan menjadi hak semua penganut
agama. Terdapat dua poin yang ditawarkan oleh Madjid dalam memaknai
Inklusifisme Islam: Pertama, pandangan terhadap agama-agama lain sebagai
bentuk implisit dari agama tertentu. Kedua, sikap terbuka dan toleran terhadap
penganut agama non-Islam.30
Setidaknya inklusivisme memiliki tiga gagasan
utama yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya: Pertama, substansi
keimanan dan peribadatan lebih penting dari pada formalitas dan simbolisme
keagamaan yang bersifat literal. Kedua, pesan-pesan agama yang bersifat abadi
dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus selalu ditafsirkan ulang oleh
masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman yang dihadapi. Ketiga, kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tidak ada seorangpun yang dapat
memastikan bahwa pemahamannya terhadap pesan Tuhan adalah paling benar,
lebih benar atau lebih baik dari pada pemahaman orang lain.31
Tipologi ketiga, pluralisme. Beranjak dari kesadaran penuh akan
keberagaman, Séamus Murphy memandang pluralitas adalah sebuah fakta dan
pluralisme adalah sebuah nilai. Yaitu nilai positif terhadap pluralitas tersebut.32
John Hick adalah salah satu tokoh pengembang dan pembela pluralisme agama
yang paling menonjol di abad ke-20.33
Menurut Gavin D’Costa, sebagaimana
dikutip oleh Christian Sulistio, upaya John Hick dalam memperkuat teori
pluralisnya, ia mengintegrasikan dua pandangan yang berkembang di kalangan
pluralis; pertama, sebuah pandangan yang meyakini bahwa semua agama memiliki
esensi yang sama, yang dapat diidentifikasi secara historis di dalam tradisi-tradisi
mistik agama-agama dunia. Kedua, sebuah pandangan yang berangkat dari asumsi
relativitas historis. Yakni, semua tradisi bersifat relatif dan tidak dapat mengklaim
29
Paradigma Inklusif kemudian menjurus lebih pluralis dan dikenal dengan teologi
Pluralis-Inklusif. Faham ini yang paling berani mengakui bahwa adanya kebenaran agama-
agama lain yang oleh para penggagas dan penganutnya seperti, Mohamed Fathi Osman,
Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Abdul Aziz Sachdina, dll. Dianggap sebagai
perspektif teologis yang lebih toleran dan memanusiakan seluruh umat Tuhan. Zuly Qodir,
"Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam", Orientasi Baru, Vol. 17,
No. 1, (April, 2008), 64-65. 30
Nurcholis Madjid dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,
"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-
Qur'ān Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59. 31
Ahsanul Khalikin & Zirwansyah, Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kementerian
Agama RI, 2013), 18. 32
Séamus Murphy, Cultures, Pluralism, and Religious Faith, Studies: An Irish
Quarterly Review, Vol. 92, No. 365 (Spring, 2003), 35. 33
Seyyed Hassan Hosseini, "Religious Pluralism and Pluralistic Religion: John
Hick’s Epistemological Foundation of Religious Pluralism and an Explanation of Islamic
Epistemology toward Diversity of Unique Religion", The Pluralist, Vol. 5, No. 1,
University of Illinois Press on behalf of the Society for the Advancementof American
Philosophy, (2010), 95.
9
dirinya superior daripada jalan keselamatan yang lain, yang sama terbatas dan
sama relatifnya. Paham ini dianut oleh Arnold Toynbee dan Ernst Troeltsch.34
Sehingga, dalam pandangan John Hick, semua agama sama, bukan pada aspek
doktrin atau pengalaman mistiknya, namun dalam aspek pengalaman keselamatan
atau memiliki misi pembebasan yang sama.35
Hal ini dapat dilihat dari tawaran
John Hick dalam meninjau aspek soteriologis pada setiap agama36
dan eksistensi
keberagamaan sebagai produk kultural-historis.37
Yang dalam pandagangan Hick,
terdapat suatu transformasi dari self-centredness menuju reality-centredness,38
yang melahirkan kesimpulan bahwa keselamatan ada pada semua agama.39
Di sisi
lain, Teologi pluralis yang ditawarkan John Hick tersebut ternyata tidak luput dari
kritikan. beberapa sarjana. Misalnya, Kevin Meeker, dalam tulisannya yang
berjudul "Pluralism, Exclusivism, and the Theoretical Virtues",40
Gavin D‘Costa,
dalam ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛,41
atau kritikan yang
34
Gavin D’Costa, ‚Other Faiths and Christianity‛ dalam The Blackwell
Encyclopedia of Modern Christian Thought (Oxford: Blackwell, 1993) 412, dalam
Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog Kritis Dari
Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 56. 35
John Hick membangun teologi pluralisnya secara induktif, berangkat dari
pengamatannya akan kemajemukan agama, dan menurutnya, klaim masing-masing agama
sebagai pembawa keselamatan adalah absah. John Hick mengklaim terhadap dirinya
sebagai seorang yang berkomitmen kepada iman, yaitu bahwa pengalaman beragama
Kristen bukan semata-mata proyeksi manusia namun juga sebagai respons kognitif
terhadap realitas transenden. Dari sinilah John Hick mengembangkan hipotesanya dan
meyakini bahwa agama-agama di dunia memiliki pengalaman religius dan respons kognitif
yang sama terhadap yang transenden. lihat Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama
John Hick: Sebuah Dialog Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001),
56. 36
Lihat John Hick, "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4,
(Cambridge University Press: 1981) : 451-467, 453. Dalam pandangan John Hick, ajaran
tentang manusia dan keselamatan dalam agama-agama adalah sama, yaitu kondisi manusia
yang berada dalam keadaan berpusat pada diri sendiri dan perubahan untuk berpusat pada
Realitas yang ditawarkan oleh agama-agama tersebut. Dengan pemahaman demikian, ia
menyatakan bahwa keselamatan ada pada semua agama. Christian Sulistio, "Teologi
Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 60.
37Jika seseorang terlahir pada suatu tradisi keagamaan, maka besar kemungkinannya
bahwa seseorang itu akan hidup dengan cara tradisi keagamaan tersebut. Lihat John Hick,
"On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4, (Cambridge University Press:
1981), 454. 38
Pengalaman spiritual personal menuju yang Real (Tuhan, dalam istilah Hick) yang
terpusatkan. 39
Lihat John Hick, "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4,
(Cambridge University Press: 1981), 453. 40
Lihat, Kevin Meeker, Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues,
Religious Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006), 193-206. 41
Lihat, Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛
Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press, Juni, 1996), 223-232.
10
dilayangkan oleh Milbank, sebagaimana dikutip oleh Christian Sulistio, bahwa
asumsi John Hick yang meletakkan agama-agama dalam satu genus yang sama
sehingga dapat ditarik kesimpulan yang absah, justru Milbank tidak menemukan
ciri-ciri yang sama pada masing-masing agama, baik pada aspek kepercayaannya
maupun prakteknya. Menurut Milbank, persepsi John Hick dalam meletakaan
agama-agama pada satu genus merupakan satu bentuk upaya kristenisasi.42
Agama dan masyarakat memiliki ikatan kuat yang saling mempengaruhi
satu dengan yang lainnya.43
Agama memiliki peran antagonistik yang mampu
memberikan energi positif dan negatif sekaligus. Di tangan pemeluknyalah agama
dapat menjelma sebagai problem solver atau parth of problems bahkan source of problems.
44 Dalam hal ini, wacana keberagamaan menempati posisi penting dalam
rangka mewujudkan ko-eksistensi keragaman kelompok, sekaligus untuk
memperbaiki kesenjangan antara cita-cita ideal dari setiap agama dengan realitas
empirik yang ada,45
bahwa maraknya pertikaian yang mengatasnamakan agama.
Sehingga, untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, perlu adanya refleksi dan
kontruksi pemahaman keagamaan yang tepat, terutama dalam konteks
kemajemukan.46
Pluralitas dan globalisasi menghadirkan tantangan tersendiri bagi setiap
pemeluk agama di dunia. Paradigma inklusif-pluralis yang dianggap begitu sadar
akan fakta pluralitas dan sangat menekankan pentingnya toleransi, hingga pada
titik ekstrimnya mengakui kebenaran dan keselamatan ada pada semua agama.
Pandangan ini sekilas tepat dan cocok dengan fakta pluralitas agama demi
terciptanya ko-eksistensi antar masyarakat beragama dewasa ini. Namun di sisi
lain, keberagamaan tidak bisa dilepasakan dari aspek ekslusivisme-nya, dan bagi
agama-agama dakwah (missionary) yang memiliki misi suci untuk menghimpun
manusia ke dalam agamanya. Para eksklusifis yang mengklaim kebenaran dan
keselamatan hanya miliki kelompok atau agama tertentu serta menganggap sesat
pemeluk agama lainnya, rupaya tidak bisa disalahkan begitu saja, atau bisa
"dibenarkan" dalam konteks tertentu.47
Muḥammad Baharun menyebutkan bahwa
dalam pemikiran teologis terdapat asumsi dasar, yaitu tuntutan yang bersifat
42
lihat Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog
Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 61. 43
Catur Widiat Moko, "Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005)
Dalam Konteks Keindonesiaan", Medina-Te, Vol. 16, No.1, (Juni 2017 ), 62. 44
Tobroni, Relasi Kemanusiaan Dalam Keberagamaan: Mengembangkan Etika Sosial Melalui Pendidikan (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012) iii.
45 Idrus Ruslan, "Etika Islam dan Semangat Pluralisme Agama di Era Global", Al-
Adyan / Vol. V, No.1 / (Januari-Juni, 2010), 2. 46
M. Syaiful Rahman, "Islam dan Pluralisme", Fikrah, Vol. 2, No. 1, (Juni 2014),
401. 47
Lihat, Kevin Meeker, Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues,
Religious Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006) : 193-206, 194.
Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47, No. 4,
Cambridge University Press, (December, 2011), 449-463.
11
eksklusif-partikularistik, atau dikenal dengan truth claim. Agama dan truth claim
adalah satu kesatuan yang melahirkan kekuatan simbolis yang mengikat
pemeluknya.48
Dalam dunia Islam, teks-teks keagamaan yang nampak kontradiktif
menambahkan kerumitan yang terkadang memaksa pemikir keagamaan masuk
dalam nuansa dilematis. Dalam khasanah tafsir sebagai pemegang otoritas untuk
menjelaskan pandangan yang Qur'a>ni>, paradigma ekslusif-inklusif memiliki dasar
skriptual yang memadai.49
Misalnya, untuk ekslusivisme :
إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا
ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا
‚Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya‛50
Dan ayat:
عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ
‚Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi‛51
Sedangkan untuk inklusivisme mengacu pada ayat:
ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا تـ ـ ٱىص س ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا
ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي ل خ إ إ عد زة س إ أجإ ي
‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛52
Dan ayat:
ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا س ـ ٱىص تـ ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا
ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي خ
48
Muhammad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012),
18. 49
Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian
Semantik Terhadap Tafsir Al-Qurān Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3,
No. 1, (21 April 2013): 59-60. 50
(QS. Ali Imran [3]: 19). 51
(QS Ali Imran [3]: 85). 52
(QS. al-Baqarah [2]: 62).
12
‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiūn dan orangorang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛53
Dua ayat pertama (QS. Ali Imran [3]: 19, 85), bernuansa ekslusif yang secara
eksplisit menyebutkan bahwa hanya Islam yang benar. Sedangkan dua ayat
selanjutnya (QS. al-Baqarah [2]: 62) dan QS. al-Maidah [5]: 69, bernuansa inklusif
yang menjanjikan keselamatan penganut agama Kristen, Yahudi, dan S{a>biu>n,
dengan syarat percaya kepada keesaan Tuhan, hari akhir, dan mengerjakan
kebajikan.54
Mun'im Sirry menyebutkan bahwa ada ambiguitas al-Qur'a>n terkait
hal ini, mengingat al-Qur'a>n tidak memiliki sikap tunggal dalam memperlakukan
agama-agama lain. Di tengah iklim sektarian pada dua ayat pertama, al-Qur'a>n juga
memperlihatkan pandangan ekumental melalui pelebaran payung keselamatannya
hingga menaungi penganut Yahudi, Kristen dan Sabean.55
Memegang erat masalalu sebagai sebuah tradisi yang mesti terus dilanjutkan
adalah salah satu unsur yang melahirkan ekslusivisme, baik dalam cara pandang
maupun sikap keberagamaan. Ortodoksi tafsir pun cenderung hadir dari mufassir
yang terlalu bernostalgia pada para pendahulunya, sehingga produk tafsirnya kental
53
(QS. al-Maidah [5]: 69). 54
Dalam perspektif linguistik-semantik, inklusivisme dan eksklusivisme dalam tafsir
memiliki pijakan metodologi interpretasi teks yang berbeda. Rofiq Nurhadi dkk. mengkaji
kata di>n, millah, dan shari>’ah sebagai kata kunci dalam al-Qur'a>n yang berbicara tentang
keberagamaan dalam konteks pluralis. Dalam pandangan inklusivisme Islam ketiga unsur
bahasa itu memiliki relasi sinonimi. Implikasi metodologi penafsiran teksnya adalah tidak
menghadap-hadapkan teks yang mengandung ketiga unsur sinonimitas tersebut secara
diametral, kerena ketiga unsur bahasa tersebut maknanya bisa saling disubtitusikan. Dari
sini dalam penafsiran teksnya metode yang demikian ini terhindar dari persoalan ta’ārud al-
adillah. Sedangkan dalam pandangan eksklusivisme Islam, kata dīn dan syarī’ah memiliki
relasi makna hiponimi. Implikasi pandangan ini dalam penafsiran teks adalah menculnya
problem ta‘a>rud}. Adapun jalan keluarnya yang sesuai dengan relasi kedua unsur bahasa
tersebut adalah naskh juz'i (penghapusan sebagian). Dimana bila yang disebut di>n dengan
ciri islam sebagai superordinatnya maka yang dimaksud adalah syari>’ah tertentu yang
sesuai dengan ciri tersebut yaitu syari’at Muhammad saw sebagai hiponimnya. Sedang
shari>’ah - shari>‘ah yang lain tidak dimaksudkan dalam kategori di>n al-isla>m. Lihat Rofiq
Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik Terhadap
Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama", Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April
2013) : 58-67. 55
Lihat Mun'im Sirry, "Memahami Kritik al-Qur’ān terhadap Agama Lain", Journal of Qur’a>n and Hadi>th Studies – Vol. 3, No. 1, (2014): 1-15. Secara historis, ayat yang
menjanjikan keselamatan bagi non-muslim (QS. [2]: 62) dan(QS. [5]: 69) turun pada
periode akhir atau periode Madinah. Dengan fakta inilah Mahmoud Ayoub untuk
menyimpulkan, ‚baik kalimat maupun kandungan kedua ayat identik itu tidak bisa
dikatakan telah diabrogasi.‛ Mahmoud Ayoub, ‚The Qur’an and Religious Pluralism,‛
dalam Roger Boase dan Hassan Bin Talal, Islam and Global Dialogue: Religious Pluralism and the Pursuit of Peace (Burlington, VT: Ashgate, 2005), 277.
13
dengan nuansa eksklusivisme. Keyakinan bahwa warisan sejarah penafsiran Nabi
terhadap al-Qur'a>n sebagai pemegang otoritas paling terkemuka, yang dimiliki juga
oleh tiga generasi pertama (al-salaf al-s}a>li>h}) bersifat normatif, statis dan
universalistik, secara harfiah ditaati dan ditiru dalam "vakum temporal-spasial"
oleh generasi Muslim berikutnya. Inilah dasar dari interpretasi literal-
dekontekstual terhadap teks keagamaan (al-Qur'a>n dan Sunnah) baik secara
epistemologis maupun metodologis, berlabuh pada tradisi periwayatan (hadith).56
Pandangan seperti ini dimiliki oleh kalangan Ahl al-H{adi>th,57
seperti Aḥmad bin
H{anbal (W. 241 H), yang dewasa ini sering dikaitkan dengan kelompok Islam
Salafiyyah atau dalam istilah Adis Duderija "Neo-Traditional Salafi".58
Term isla>m dapat menjadi salah satu instrumen untuk menentukan
kecederungan eksklusif-inklusif. Dalam tafsir Muḥammad bin Sa>lih} al-‘Uthaimi>n,
salah satu tokoh terkemuka kelompok salafi, terma isla>m memiliki makna umum
(‘a>mm) dan makna khusus (kha>s). Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n memaknai
terma al-di>n pada QS. Ali Imrān: 19 sebagai al-'amal (amal perbuatan), sama
halnya dengan term al-di>n yang ada pada QS. Al-Ka>firu>n: 6 dan QS. Al-Bayyinah:
5, terma al-di>n adalah al-isla>m, yaitu ibadah kepada Allah dan beramal shaleh
kepada-Nya. Dalam pandangan Muḥammad bin Sa>lih} al-‘Uthaimi>n, term al-isla>m
pada QS. Ali-Imrān:19 adalah Islam kha>s} (khusus), yaitu beribadah kepada Allah
sesuai Shari'at yang dibawa Nabi Muhammad.59
Ulama-ulama klasik seperti Ibn
Jari>r al-T{abari> (839-923 M), Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (1149-1209 M), al-Zamakhshari>
(1074/ 1075 –1143/1144 M) dan Ibn Kathi>r (1300-1373 M), juga memahami Islam
56
Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'a>n-Sunnah Hermeneutic and The
Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden,
2007), 291. 57
Melchert menegaskan bahwa ahl-h}adi>th adalah mazhab pemikiran yang mana
hanya menerima al-Qur'a>n dan H{adi>th sebagai sumber hukum dan teologi. Dalam
pandangan mereka, "keahlian dalam hadits dan keahlian dalam hukum hampir sama.
mereka lebih suka untuk menjawab pertanyaan yuridis dengan membaca laporan hadith
yang relevan (termasuk, pendapat Sahabat dan tabi'in). Mereka menyebut kelompok
mereka sebagai as}h}a>b al-athar, ahl-al-sunnah atau ahl-al-sunnah wa-al-jama>'ah. Pada abad
kesembilan Baghdad, mereka adalah H{anabilah, Ahmed ibn H{anbal dan para pengikutnya.
Ch. Melchert, "Ibn Mujahid and the Establishment of Seven Qur’anic Readings", Studia Islamica 91 (2000): 5–22, Dalam Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'ān-Sunnah
Hermeneutic and The Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden, 2007), 292.
58Lihat misalnya, Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'a>n-Sunnah
Hermeneutic and The Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden, 2007) : 289-323. Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi
Qur’an-Sunna Hermeneutics and Its Interpretational Implications", Religion Compass 5/7
(2011) : 314–325. Adis Duderija, "Islamic Groups and their World-views and Identities:
Neo-Traditional Salafis and Progressive Muslims", Arab Law Quarterly 21 (2007), 339-
360. 59
Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n , Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m Su>rah A<li ‘Imra>n,
(Riyad: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M) Jil. 1, 123.
14
sebagai satu-satunya agama yang benar.60
Nalar eksklusif juga dapat ditemukan
pada pandangan Sayyid Quṭb (1972), Abu A’la al-Maudu>di> (1988), Hamka (2001),
Muh}ammad T{alib (2011), dan Adian Husaini (2007). Sedangkan nalar inklusif
dapat dilihat -di antaranya- pada pandangan Muhammad ‘Abduh (1947), Rashi>d
Rid}a (1947), Quraish Shihab (2002), Fazlur Rahman (2004), Amina Wadud (1999)
Khaled Abou al-Fadl (2005),61
Nurcholis Madjid, dan Abdulaziz Sachedina
(2001).62
Secara substansial, inklusifis-pluralis memahami Islam sebagai bentuk
kepasrahan total kepada Tuhan.
Berdasarkan pemaparan di atas, unsur eksklusivisme dalam diskursus tafsir
perlu dikaji lebih komprehenshif dan mendalam, untuk dihadirkan dalam konstelasi
dunia akademik. Dengan alasan bahwa tafsir memiliki implikasi terhadap pola
keberagamaan, sedang pola keberagamaan menentukan tingkat keharmonisan
sosial dalam masyarakat yang pluralis dan multi-kultural. Selain itu, silogisme dari
eksklusivisme menuju radikalisme-ekstremisme juga perlu dikaji ulang, alih-alih
untuk tujuan keharmonisan bermasyarakat, pemahaman ini malah mencoreng
wajah agama, seperti penggiringan mind set bahwa agama adalah sumber konflik
sosial, sehingga nilai-nilai kebaikan agamapun akan tergadai begitu saja. Dalam
konteks ini, penulis mengkaji eksklusivisme tafsir dan pola keberagamaan dalam
tafsir Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, yang bernama Tafsir al-Qur'a>n al-Kari>m.
Alasan penulis memilih tafsir ini sebagai objek material penelitian, berdasarkan
pada beberapa pertimbangan; Pertama, Muḥammad bin Sa>lih} al-‘Uthaimi>n adalah
salah satu tokoh kelompok salafi yang cukup produktif dalam berkarya dan
memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan umat Islam, khususnya bagi
kelompok salafi. Ia adalah salah satu murid dari ‘Abd al-Azi>z Ibn Ba>z yang
memiliki prestasi yang baik dalam hal intelektual-keagamaan.63
Kedua, terma
salafi atau kelompok Islam Salafiyyah -yang merupakan Islam identitasnya
Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n- dewasa ini memiliki konotasi ganda. Di satu
sisi salafi dipercayai sebagai gerakan pemurnian Islam (Islam Puritan) yang
bertujuan mengembalikan Islam pada ajaran autentiknya, namun di sisi lain, salafi
sering menjadi alamat dari istilah-istilah seperti radikalisme, fundamentalisme,
bahkan ekstrimisme dan terorisme, serta terkesan kaku dalam bersosial. Ketiga, konfrontasi yang dilakukan oleh kelompok salafi terhadap barat (anti barat) dan
modernisasi. Keempat, kajian tafsir ini masih relatif minim dikaji.
60
Alwi Shihab dalam Marjan Fadil, Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta:
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2017), 3. 61
Marjan Fadil, Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, 2017), 3. 62
Lihat Abdulaziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New
York: Oxford University Press, Inc., 2001). 63
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan Genealogi dan Ajaran Salafi, (Tangerang
Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2017), 172.
15
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah, terdapat beberapa
masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Implikasi tafsir al-Qur'a>n terhadap konsep keberagamaan.
b. Diskursus pola keberagamaan; eklusivisme-inklusivisme-pluralisme.
c. Relasi antara ortodoksi tafsir tradisional dan paradigma eksklusif dalam
beragama
d. Sinkritisme dan relativisme dalam pluralisme.
e. Relasi antara ekslusivisme dengan ekstemisme dan terorisme.
f. Landasan skriptual pola keberagamaan; eklusivisme-inklusivisme-
pluralisme dalam al-Qur'a>n
g. Polemik makna terma isla>m
h. Polemik terminologi dan batasan iman
i. Polemik makna dan batasan kafir
j. Kesenjangan antara cita-cita ideal agama tentang keharmonisan sosial
dan realitas empirik yang ada, tentang maraknya kekerasan atas nama
agama.
k. Eksklusivisme dan toleransi beragama.
l. Konsep dakwah dalam tantang masyarakat majemuk multi kultural.
m. Islam dan pluralitas
n. Konotasi ganda istilah salafi (positif-negatif). Di satu sisi ia dianggap
sebagai gerakan pemurnian Islam (Islam Puritan), namun di sisi lain kerap
menjadi alamat dari istilah ekstemisme dan terorisme.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penulis
merumuskan permasalah dalam satu pertanyaan pokok, yaitu; "Bagaimana konsep
keberagamaan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dan kaitannya dengan
eksklusivisme dalam penafsiran?"
Dari rumusan masalah tersebut, muncul beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana konsep keberagamaan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
ditinjau dari tiga pola keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-
pluralisme?
2. Bagaimana aplikasi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
tentang tema-tema teologis dan sosial-agama?
16
3. Apa relevansi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam
wacana eksklusivisme tafsir?
3. Pembatasan Masalah
Karena begitu luasnya masalah yang ada, penulis membatasi penelitian ini
pada beberapa aspek. Pembatasan masalah ini didasarkan pada urgensi masalah
yang hendak di pecahkan.
Variabel yang menjadi fokus pada penelitian ini meliputi tiga aspek;
pertama, mengkaji tiga tipologi beragama; ekslusivisme-inklusivisme-pluralisme
dalam diskursus sosial-agama. Kedua, mengkaji metode tafsir Muḥammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n beserta implikasinya dalam membentuk kontruksi sosial-agama.
Ketiga, mengkaji aplikasi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n terhadap
beberapa tema teologis dan sosial-agama.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan tema pembahasan tesis ini adalah ayat-
ayat yang menjadi landasan skriptual eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, ayat-
ayat yang mengandung terma di>n, millah, shari‘ah, Islam, ayat-ayat yang
membahas tentang keselamatan, dan ayat-ayat yang menjelaskan eksistensi non
muslim, sebagai instument untuk mengetahui kecenderungan sikap keberagamaan
Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n. Kemudian, ayat-ayat yang menjelaskan
tentang beberapa tema tentang teologis seperti ayat-ayat yang membahas tentang
hakikat iman, Islam, eksistensi kafir, musyrik, ahl kita>b, dan ayat-ayat yang
membahas tentang sosial-agama, seperti tentang pluralitas, sosial-relasional
dengan kelompok lain, konsep dakwah, toleransi, dan jihad.
Tema teologis yang akan dibahas pada tulisan ini adalah tentang tauhid, hakikat iman dan islam, konsep keselamatan (salvation). Sedangkan tema sosial-
agama yang akan dibahas adalah tentang eksistensi non-muslim dalam al-Qur'ān,
sosial-relasional dengan kelompok lain, konsep al-wala>' wa al-bara>', konsep amr ma‘ru>f wa nahy al-munkar, konsep jihad, toleransi, dan konsep dakwah
(missionary) sebagai misi suci agama. Alasan penulis dalam memilih tema-tema
teologis dan sosial-agama berdasarkan pada fakta akan stigma negatif terhadap
teologi ekslusif sebagai akar dari ekstremisme-terorisme yang melahirkan
kekerasan atas nama agama dan menyebabkan disharmonis pada kondisi sosial
masyarakat. Dengan demikian, elaborasi beberapa aspek ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang paradigma ekslusif terhadap ajaran Islam
dan visi sosial tentang keharmonisan dalam bermasyarakat.
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang terdapat pada rumusan masalah, tujuan yang hendak
dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Menganalisis konsep keberagamaan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
ditinjau dari tiga pola keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-
pluralisme.
17
2. Mengetahui aplikasi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
tentang tema-tema teologis dan sosial-agama
3. Mengetahui relevansi penafsiran Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
dalam wacana eksklusivisme tafsir.
D. Signifikansi Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam khazanah metodologi tafsir al-Qur'a>n terkait paradigma penafsiran.
Mengingat, paradigma eksklusif dalam tafsir turut membentuk pemahaman
keagamaan yang kerap dikaitkan dengan ekspresi keberagamaan yang tidak ramah,
intoleran, dan pada titik ekstrimnya mengarah pada kekerasan atas nama agama.
Adapaun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
kesadaran umat beragama (khususnya umat Islam) akan pentingnya kedewasaan
sikap beragama sehingga wajah Islam tidak tercoreng dengan stigma negatif
seperti intoleran, ekstemisme, dan terorisme. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat memberi alternatif akan kesenjangan antara cita-cita ideal agama
dan realitas empirik bahwa umat beragama sering mengalami ketegangan sosial
dan disharmoni dalam konteks masyarakat pluralis-multikultural.
E. Literatur Terdahulu yang Relevan
Wacana tipologi keberagamaan: eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme
hadir dalam tulisan Gavin D'Costa, "Theology of Religions"64
, dan " The
Impossibility of a Pluralist View of Religions". Menurut Gavin, tipologi tersebut
pertama kali dikenalkan oleh Alan Race dalam dunia Kristen untuk melihat sikap
kristiani terhadap agama-agama lain. Gavin mendefiniskan eksklusivisme sebagai
nalar yang dicirikan dengan truth claim, pluralisme dicirikan dengan menolak truth claim, dan inklusivisme berada di antara keduanya yang lebih dikategorikan
sebagai sub-pluralisme.65
Menurut Gavin, kelompok pluralis biasanya mengkritik
kelompok eksklusivis dengan dua alasan pokok: pertama, kelompok ekslusivis
tidak dapat menyangkal bukti orang baik, suci, dan penuh kasih sayang ada dalam
agama lain. Kedua, para eksklusifis memiliki kesalahan dalam pembacaan atas teks
suci agama mereka sendiri yang menuntun mereka ke arah ekslusivisme. Dalam
artikelnya, Gavin lebih cenderung memenangkan ekslusivisme dan menganggap
bahwa pluralisme mustahil ada (impossible). Menurut Gavin, tidak ada landasan
kuat dalam posisi pluralis karena pada dasar logisnya tidak berbeda dengan posisi
eksklusifis. Satu-satunya perbedaan adalah dalam hal klaim kebenaran dan kriteria
kebenaran yang dipekerjakan oleh para praktisi. Secara logisnya, pluralisme akan
selalu menjadi menjadi bentuk eksklusivisme serta tidak ada yang benar-benar
disebut sebagai pluralisme. Gavin berargumen bahwa semua pluralis berkomitmen
untuk memegang beberapa bentuk kriteria kebenaran, sehingga ia beroperasi dalam
64
Ditulis sebagai sub-tema dalam bukunya David F. Ford, The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology Since 1918, ( Blackwell Publishing Ltd, 2005).
65 David F. Ford, The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology
Since 1918, ( Blackwell Publishing Ltd, 2005), 631-632.
18
struktur logis yang sama dengan eksklusivisme. Dalam hal ini, pluralisme tidak
dapat benar-benar menegaskan nilai otonomi agamis pluralisme yang asli,
sebagaimana eklusivisme yang hanya terfokus pada satu tradisi kebenaran.66
Wacana ekslusivisme hadir dalam diskursus agama sebagai salahsatu
tipologi ekspresi keberagamaan yang lahir dari paradigma eksklusif dan selalu
disandingkan dengan tipologi lainnya; inklusivisme-pluralisme. Rasionalitas
eksklusifis menjadi perdebatan di kalangan para akademisi, terutama ketika
dibenturkan dengan fakta pluralisme agama yang menghadirkan tantangan
tersendiri bagi para pendukung ekslusivisme. Jeroen De Ridder, dalam tulisannya
yang berjudul Religious Exclusivism Unlimited (2011), menolak pendapat Erik
Baldwin dan Michael Thune (2008) yang mengkritik kelompok eksklusifis dan
berpendapat bahwa seorang eksklusifis yang telah sepenuhnya sadar akan fakta
pluralisme agama tidak dapat lagi rasional dalam memegang keyakinan agamanya.
Dalam pandangan Erik Baldwin dan Michael Thune, seseorang yang memiliki
keyakinan terhadap satu agama harus memiliki landasan epistemologis yang
signifikan (epistemically significant reasons) untuk mendukung rasionalitas
keyakinannya. Dua alasan pokok dikemukakan oleh Jeroen dalam tulisannya
sebagai penolakan terhadap Baldwin dan Thune sehingga berskesimpulan bahwa
Baldwin dan Thune telah gagal dalam menetapkan kesimpulannya. Pertama, epistemically significant reasons tidak dibutuhkan untuk mendukung rasionalitas
keyakinan eksklusifis. Kedua, jika epistemically significant reasons memang
dibutuhkan, kemudian berhasil dibuktikan, maka rasionalitas ekslusifis keluar
sebagai pemenangnya.67
Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah meneliti kadar eklusifitas dalam beragama
di indonesia, dengan judul penelitian Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia. Hasil penelitiannya kemudian diterbitkan
oleh Kementrian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, dan Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, pada tahun 2013. Penelitian tersebut diproyeksikan untuk
mengungkap sebab-sebab konflik, ketegangan atau kekerasan agama. Dalam
hipotesanya, secara psikologis, agama memiliki pengaruh spiritualitas dan
emosionalitas. Klaim kebenaran (truth claim) dalam interaksi atau dialog antar
agama berpotensi memunculkan kekerasan antar agama. Dengan kata lain,
eklusivisme dalam beragama pada gilirannya melahirkan ketegangan, konflik,
kekerasan, dan vonis salah atas ajaran agama lain sehingga timbul kesenjangan
antara cita-cita ideal agama tentang perdamaian dan realitas empirik akan
maraknya pertikaian. Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah memfokuskan
penelitiannya pada pemahaman para tokoh agama Indonesia dan pandangannya
terkait eklusivisme. Penelitian Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah tergolong sangat
luas baik dari segi lokasi maupun responden yang mencapai 700 responden. Namun
66
Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2 (Juni, 1996), 223-232.
67 Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,
No. 4, (December 2011), 449-463.
19
pembahasan terkait eklusivisme, terutama kaitannya dengan agama Islam dan
tafsir al-Qur'an bisa dikatakan kurang mendalam. Hal ini dikarenakan pembatasan
masalah yang terfokuskan pada pandangan pemuka agama dan luasnya objek
penelitian yang mencakup agama-agama yang ada di Indonesia. Meskipun,
Ahsanul Khalikin dan Zirwansyah merumuskan sedemikian rupa indikator-
indikator eklusifisme tertata rapi, sehingga kolerasi dan koefesiensi-nya antara
variabel eklusivisme dan sikap tidak toleran terbukti secara empiris.68
Ahmad Izzan menulis desertasi dengan judul Inklusifisme Tafsir: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Tafsir al-Mi>za>n (2013).
69 Dalam
desertasinya Ahmad Izzan berpendapat bahwa interpretasi teks al-Qur'a>n yang
bersifat esoteris maupun eksoteris, pada gilirannya melahirkan sikap keberagamaan
yang ekslusiv dan inklusiv. Tafsir inklusiv cenderung terbuka dan pluralis,
sedangkan tafsir ekslusiv cenderung monolitik, tertutup, dan bersikap "kurang
ramah". Tafsir bercorak fikih memiliki kecenderungan untuk melahirkan
ekslusivisme. Sedangkan interpretasi bercorak sufistik lebih cenderung ke arah
inklusivisme.70
Marjan Fadil, dalam tesisnya yang berjudul Isu Radikalisme Dalam Penafsiran al-Qur'a>n (Studi Perbandingan al-Qur'a>n dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah) (2017), berpendapat bahwa nalar eksklusif maupun inklusif
sangat erat kaitannya dengan doktrin keagamaan dan berimplikasi pada produk
tafsir. Penafsiran yang literal dan pemahaman ideal Islam masa lalu menjadi tradisi
keagamaan yang dilestarikan. Sehingga, pemahaman ideal Islam masa lalu
bertabrakan dengan kondisi ideal masyarakat saat ini. Pada titik tertentu,
penafsiran yang bersifat ekslusiv cenderung mengarah pada radikalisme. Ditambah,
terdapat teks-teks al-Qur’an, secara zahirnya, mendukung ide-ide radikalisme.71
Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., dan Suhandano, menulis sebuah
artikel dengan judul, "Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian
Semantik Terhadap Tafsir al-Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama" (2013).
68
Ahsanul Khalikin & Zirwansyah, Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kementerian
Agama RI, 2013). 69
Desertasi Ahmad Izzan fokus pada Tafsi>r al-Mi>za>n karya T{aba>t}aba>'i>, seorang
ulama syi'ah kontemporer, sebagai obejek materil penelitiannya dengan mengambil tema
relasi muslim dan non-muslim. Namun demikian, tema eklusifisme tidak luput dalam
pembahasannya, mengingat eklusifisme dan inklusivisme seperti dua sisi mata uang yang
sulit untuk dilepaskan. Dengan kata lain, Jika tema inklusivisme dibahas niscaya tema
eklusivisme pun disertakan. Dengan alasan ini, penulis meletakkan desertasi Ahmad Izzan
pada penelitian terdahulu yang relevan, mengingat keterkaitan yang erat ekslusivisme-
inklusivisme. 70
Ahmad Izzan, Inklusifisme Tafsi>r: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Tafsir al-Mii>za>>n, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2013).
71 Marjan Fadil, Isu Radikalisme dalam Penafsiran al-Qur'a>n (Studi Perbandingan
Al-Qur'a>n dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, 2017).
20
Dalam tulisannya, berpendapat bahwa agama Islam berpotensi untuk melahirkan
inklusivisme dan eksklusivisme. Pada titik ekstrim, pandangan inklusif
menekankan pentingnya apresiasi akan kebinekaan dan menghindari klaim
kebenaran. Sedangkan pandangan eksklusif, mencurigai bahkan menolak
kebinekaan dan cenderung mengklaim suatu kebenaran. Perbedaan ini disebabkan
adanya perbedaan penekanan dalam pembacaan teks-teks suci dan perbedaan
metodologi penafsiran. Terutama pada perbedaan dalam menentukan relasi makna
antara di>n, millah dan syari>’ah. Relasi sinonimi menghindari pembacaan ta‘a>rud} al-adillah (pertentangan antar dalil) sehingga sampai pada nalar yang inklusif.
Sementara relasi hiponimi antara di>n dan shari‘ah mengantarkan pada pembacaan
kontradiktif (ta‘a>rud}) dan berdampak pada penggunaan metode naskh wa al-mansu>kh (membatalkan dan dibatalkan) sehingga melahirkan pemahaman yang
eksklusif.72
Abu Bakar, dalam artikelnya "Argumen al-Qur’an tentang Eklusivisme,
Inklusivisme dan Pluralisme" (2016), berasumsi bahwa tiga pola keberagamaan:
ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme memiliki dasar skriptual agama yang
cukup. Ekslusifis, inklusifis maupun pluralis, semuanya menghadirkan argumentasi
normatifnya dari al-Qur'a>n. Kondisi rumit tersebut memunculkan pertanyaan,
seperti yang diajukan oleh Mun'im Sirry, apakah hal ini disebabkan oleh tidak
adanya visi yang jelas dari al-Qur'a>n terhadap agama-agama? Ataukah memang
perananan manusia-pembaca yang "menjadikan al-Qur'a>n berbicara" dengan cara
use and abuse dan read and misread al-Qur'ān. Perbedaan penafsiran terhadap term
isla>m merupakan letak awal dari perbedaan ini. Nalar ekslusif memahami term
islām sebagai "Islam Kha>s}", yaitu Islam yang dibawa Muh}ammad meliputi syariat
al-Qur'a>n. Sedangkan nalar inklusif-plural mengartikan term isla>m sebagai "Isla>m ‘A<m", yang tidak hanya dibatasi oleh "Islam Muh}ammad", namun secara universal
meliputi agama-agama terdahulunya. Kemudian, Islam difahami secara substansial
sebagai bentuk kepatuhan, kepasrahan dan penghambaan total kepada Tuhan
sebagaimana dimanifestasikan oleh nabi-nabi terdahulu.73
Terkait objek material dalam penelitian ini, yaitu tafsir Muḥammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, penulis menemukan beberapa sarjana yang telah mengkajinya
terlebih dahulu. Pada tahun 2005, Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibrahi>m Al-Bari>di>
telah menulis desertasi yang sudah dibukukan dengan judul Juhu>d al-Shaikh al-'Uthaimi>n wa A<ra>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n. Dalam bukunya, Ahmad
membahas bagaimana totalitas Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam
mempelajari ilmu agama, khususnya di bidang tafsir dan 'ulu>m al-Qur'a>n.
Perjalanannya menimba ilmu yang memakan waktu lebih dari setengah abad
menjadikan Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai sosok yang terkenal
72
Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano, "Dialektika Inklusivisme
dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-Qur'a>n Tentang Hubungan
Antaragama", Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April 2013), 58-67. 73
Abu Bakar, "Argumen al-Qur’a>n tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan
Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari-Juni
2016), 43-60.
21
dengan kapasitas keilmuannya yang luas dan menjadi salah satu ulama terkemuka
pada masanya. Ah}mad juga membahas kontruksi pemikiran Muḥammad bin S{a>lih}
al-'Uthaimi>n terkait tafsir dan ‘ulu>m al-Qur'a>n. Dalam tulisannya Ahmad
menyebutkan bahwa Muḥammad bin S{a>lih} al-'Uthaimi>n dalam tafsirnya banyak
merujuk kepada karya-karya Ibnu Taimiyyah, Ibn Al-Qayyim, Tafsir Ibn Jari>r
(Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta'wi>l A<y al-Qura>n), dan tafsir Ibnu Kathi>r (Tafsi>r Al-Qur'a>n al-'Āz}im), sebagai sumber-sumber yang banyak dikutip olehnya. Dalam aplikasi
penafsirannya, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta'wi>l A<yy al-Qura>n menggabungkan antara
tafsi>r bi al-ma'thu>r dan tafsi>r bi al-ra'yi> al-mah}mu>d. Dalam aspek linguistik, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta'wi>l A<yy al-Qura>n terkadang menghadirkan sya‘ir Arab dalam
rangka menjelaskan kosa-kata dalam al-Qur'a>n. Ah}mad membagi penafsiran
Muha}mmad bin S}a>lih} al-Uthaimi>n ke dalam dua kategori pokok: tafsir dan fawa>id
(faidah/pelajaran), dan tiga aspek pembahasan dominan: al-ja>nib al-‘aqadi> (aspek
akidah), al-ja>nib al-fiqhi> (aspek fikih), dan al-ja>nib al-istinbat}i> (aspek
kesimpulan/fatwa). Nuansa ekslusivisme tafsir terlihat dalam aspek akidah.
Ortodoksi akidah madzhab Ahlu Sunnah wa al-Jama‘ah dan produk penafsiran
ulama salaf begitu erat dipegang dan menolak pandangan yang bersebrangan
dengannya. Penafsiran Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n banyak dijumpai dalam
karya-karyanya seperti pada kitab Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah dan al-Qaul al-Mufi>d 'Ala Kita>b al-Tauhi>d.74
‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qaht}a>ni> menulis tesis dengan
judul Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah). Dalam penelitiannya, ‘Ali> memfokuskan pada aspek linguistik-semantik
meliputi nahwu, s}arf dan bala>ghah. Tiga pokok pembahasan dalam tesis tersebut
adalah; pertama, al-mufradah fi> al-naz}mi al-Qur'a>ni> (kosa kata dalam struktur
bahasa al-Qur'a>n). Kedua, al-naz}mu fi> al-jumlah al-Qur'a>niyyah (struktur bahasa
dalam kalimat al-Qur'a>n). Ketiga, naz}mu al-jumal wa at-tara>ki>b (struktur
kalimat/paragraf).75
Linguistik-semantik merupakan salah satu fitur penting dalam
tafsir, oleh karena itu, penulis memandang tesis yang ditulis oleh 'A<li merupakan
karya yang otoritatif untuk dijadikan sebagai penelitian terdahulu yang relevan
dalam penelitian ini.
Jeroen De Ridder dan Gavin D'Costa cenderung berfokus pada diskursus
rasionalitas nalar ekslusif-inklusif-pluralis dalam wacana keberagamaan. Ahsanul
Khalikin dan Zirwansyah menkaji ekslusivisme dan kaitannya dengan konflik
agama. Penelitian-penelitian mereka tidak memiliki pembahasan yang luas dan
mendalam terkait tafsir al-Qur'a>n. Penelitian terkait relasi ekslusivisme dan tafsir
terdapat pada tulisan Rofiq Nurhadi, dkk. dan Abu Bakar. Dalam penelitian mereka
dibahas tentang landasan skriptual paradigma ekslusif-inklusif dan karakteristik
74
Lihat Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibrahi>m Al-Bari>di>, Juhūd al-Shaikh 'Uthaimi>n wa A<ra>uhu fī al-Tafsi>r wa 'Ulu>m Al-Qur'a>n, (Riyad: Maktabah al-Rashi>d, 2005).
75 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah Al-Qaht}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi Al-Ma‘a>ni>
fi> Tafsi>r al-Shaikh Ibn 'Uthaimi>n ('Ard} wa Dira>sah). (Umm Al-Qura University: 2013).
22
metode penafsirannya. Akan tetapi ekplorasinya masih tergolong singkat dan tidak
mendalam, terutama pada tema implikasi penafsiran ekslusif terhadap pola
keberagamaan, mengingat dua karya tersebut berbentuk artikel dengan jumlah
halaman yang minim.
Desertasi Ahmad Izzan, meskipun membahas ekslusivisme dalam tafsir,
namun masih tergolong minim. Hal ini dikarenakan penelitiannya berfokus pada
pembahasan inklusivisme dengan mengangkat tema relasi muslim dan non-muslim
dan objek materil penelitiannya Tafsi>r al-Mi>za>n. Adapun tesis Marjan Fadil,
pembahasan eklusivisme dikaitkan dengan radikalisme. Dalam Studi
Perbandingannya Marjan antara al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah, rasionalitas paradigma ekslusiv dalam beragama kurang diketengahkan,
sehingga cenderung tergesa-gesa mengaitkan ekslusivisme dengan radikalisme.
Meskipun benar pada satu sisi, namun pada sisi lain perlu dibedakan antara
paradigma eksklusif dan paradigma keliru dalam menginterpratasi teks-teks
keagamaan dan implikasinya pada sikap keberagamaan. Adapun Desertasi Ah}mad
bin Muh}ammad bin Ibrahi>m Al-Bari>di> dan tesisinya 'Ali> bin Muh}ammad bin 'Ali>
A<li Naumah Al-Qah}t}a>ni>, meskipun memiliki kesamaan dalam aspek objek materil,
namun kedua penelitian tersebut tidak mengangkat tema ekslusivisme tafsir dan
relasinya dengan sikap keberagamaan.
Berangkat dari celah yang belum dikaji oleh beberapa penelitian terdahulu,
dan menghindari plagiarisme atau mengulang penelitian yang sudah ada, penulis
mengangkat tema ekslusivisme tafsir dan kaitannya dengan sikap keberagamaan,
dengan menjadikan Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m karya Muh}ammad bin S}a>lih} al-
‘Uthaimi>n sebagai objek materil dari penelitian ini.
F. Metode Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) karena
penelitian ini sangat bergantung kepada data-data dari berbagai literatur yang
merupakan bahan-bahan kepustakaan.76
Penelitian ini bersifat teoritis. Mengingat,
objek penelitian ini terkait ayat-ayat al-Qur'a>n dan penafsiran yang digunakan oleh
Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai salah satu aspek pembentuk paradigma
keagamaannya. Dengan demikian, penelitian ini dapat digolongkan ke dalam
kategori penelitian kualitatif, yang secara umum dapat didefinisikan sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa teks verbal maupun
non-verbal dan prilaku yang dapat diamati.77
2. Sumber Data
76
Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:
Paradigma, 2010), 134. 77
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), 4.
23
Sumber data pada penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori: sumber data primer dan skunder. Sumber data primer penelitian ini
adalah kitab tafsir karya Muh}ammad bin S}a>lih} al-Uthaimi>n yang berjudul Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan karya lainnya seperti, al-Qawl al-Mufi>d 'Ala Kita>b al-Tauh}i>d, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasa>t}iyyah Li Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, ‘Aqi>dah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, Us}u>l al-Tafsi>r dan lainya. Adapaun untuk data sekunder,
penulis merujuk kepada beberapa buku dan jurnal yang memiliki keterkaitan
dengan tema penelitian, meliputi disiplin ilmu tafsir, ‘ulu>m al-Qur'a>n, teologi,
linguistik-semantik, dan sosiologi agama.
3. Analisis Data
Penelitian ini mencakup tiga unsur pembahasan yang saling berkaitan
sebagai fokus objek yang akan dikaji: pertama, tiga tipologi keberagamaan;
ekslusivisme-inklusivisme-pluralisme dalam diskursus sosial-agama. Kedua,
mengkaji metode tafsir Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n beserta implikasinya
dalam membentuk kontruksi sosial-agama. Ketiga, mengkaji aplikasi penafsiran
Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n terhadap beberapa tema teologis dan sosial-
agama. metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat interpretatif
(interpretatif research) dengan menyelami pemikiran tokoh yang tertuang dalam
karya-karyanya.78
Dalam penelitian ini, penulis melibatkan beberapa disiplin ilmu
sebagai pendekatan, yaitu; pendekatan teologi, pendekatan semantik, dan
pendekatan sosiologi.
Pendekatan teologi diperlukan dalam penelitian ini, mengingat beberapa hal;
pertama, penelitian ini berkaitan dengan realitas transenden yang menjadi fokus
kajian teologi. Kedua, eksklusivisme merupakan salah satu dari tujuh sikap
teologis yang dikemukakan oleh Peter Connolly, atau satu dari tiga sikap teologis
yang diwacanakan John Hick.79
ketiga, aspek teologis dan implikasinya terhadap
sikap keberagamaan.
Pendekatan semantik diproyeksikan untuk mengungkap makna dari terma-
terma seperti; di>n, millah, shari‘ah, isla>m, i>ma>n, kufr, shirk, ahl kita>b dan terma-
terma lainnya yang berkaitan dengan tema pembahasan. Dalam pandangan
Toshihiko Izutsu, pendekatan semantik tidak hanya berorientasi pada penemuan
makna asli (denotatif) dari sebuah kata, namun lebih luas dari itu, semantik
merupakan alat untuk mengkonseptualisasikan dan menafsirkan dunia yang
mengelilinginya (weltanschuunglehre).80
Menurut Maqa>til ibn Sulaima>n, setiap
kata dalam al-Qur'a>n, selain memiliki makna spesifik (definite) ia juga memiliki
78
Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:
Paradigma, 2010), 169-173. 79
Peter Connolly, Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 344. 80
Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur'an: Semantics of the Qur'anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 3.
24
alternatif makna lainnya.81
Dalam bahasa arab, pendekatan semantik dikenal juga
dengan ‘ilm al-dala>lah.82
Adapun pendekatan sosiologi digunakan untuk mengkaji sosial keagamaan
yang terbentuk oleh interpretasi terhadap teks keagamaan. Menurut Michael S.
Northcott, fokus perhatian pendekatan sosiologis dalam studi agama adalah
interaksi antara agama dan masyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis
memiliki concern pada struktur sosial, kontruksi pengalaman manusia, dan
kebudayaan termasuk agama.83
Beberapa sosiolog menganggap bahwa agama
merupakan produk sosial dan memiliki fungsi terciptanya keteraturan sosial. Di
antara sosiolog tersebut misalnya Karl Marx dan Durkheim.84
Sedangkan dalam
anggapan Max Weber,85
agama bukan semata-mata produk sosial, melainkan lebih
merupakan sumber ide dan praktik yang mentransendenkan dunia sosial yang
imanen. Dalam perspektif Weberian, agama dapat menjadi sumber perubahan dan
tantangan sosial, sekaligus agama juga dapat menjadi sumber keteraturan sosial
dan legitimasi status quo.86
Jika pendekatan teologis lebih fokus kepada aspek
transendensi dan cenderung mengesampingkan imanensi, maka pendekatan
sosiologis yang sangat concern pada imanensi dan diproyeksikan untuk melengkapi
serta mempertajam pisau analisis dalam mengkaji data pada penelitian ini.
4. Tekhnik Penelitian
Tekhnik penulisan tesis ini mengacu pada buku Pedoman Akademik
Magister dan Doktor 2016-2020 Sekolah Pascajana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah yang diterbitkan pada tahun 2016.87
Adapun dalam penulisan
81
Lihat Muqa>til, al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur'a>n al-Kari>m, (ed.), ʻAbd Allah
Mah}mu>d Shihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mis}riyyah al-'A<mmah li al-Kita>b, 1975), 321-322.
Fathurahman, Al-Qura>n dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta:
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 82
Fathurahman, Al-Qura>n dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 98.
83Michael S. Northcott, Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, Aneka
Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 271. 84
Michael S. Northcott, Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 278
85Talcot Parson menyebutkan dalam pengantarnya pada karya Weber, The
Sociology of Religion, bahwa Perspektif Weber, khususnya pada studi sosiologi agama
berpijak di atas perspektif evolusi sosial. Max Weber, Sosiologi Agama, (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012), 28-29. 86
Michael S. Northcott, Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), 280- 281. Lihat penjelasan Max
Weber tentang lahirnya agama-agama. Max Weber, Sosiologi Agama (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012), 97-130. 87
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Magister dan Doktor 2016-2020 (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2016).
25
foot note dan transliterasi, penuils mengacu pada ALA-LC Romanization Tables dan Turabian and Chicago Styles Citation.88
G. Sistematika Penelitian
Tesis ini disajikan dalam lima bab pembahasan. Bab pertama, pengantar
dalam bentuk pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah penelitian.
Masalah-masalah yang teridentifikasi kemudian dirumuskan dan dibatasi dalam
bentuk pertanyaan yang hendak dijawab oleh penelitian ini. Pada bab ini juga
dijelaskan tujuan dan signifikansi dari penelitian ini, kemudian uraian tentang
kajian pustaka terdahulu yang relevan, juga penjelasana tentang metodologi dan
pendekatan yang digunakan sebagai instrumen analisis dan tekhnik analisis data.
Bab kedua adalah landasan teoritis sebagai pengantar untuk pembahasan
pada bab-bab berikutnya. Pada bab ini akan dibahas wacana keberagamaan yang
meliputi tiga tipologi keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme yang
dimaksudkan untuk mengetahui epistemologi dari tiga konsep keberagamaan
tersebut, yang akan dijadikan sebagai indikator dalam melihat kecenderungan
Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam diskursus sosial-agama.
Bab ketiga merupakan ranah aksiologis yang membahas tentang
eksklusifitas Muḥammad bin Ṣālīh al-‘Uthaimīn dalam tafsirnya, dimulai dengan
pembahasan biografi Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n, analisis metodologis
Tafsi>r Al-Qur'a>n al-Kari>m, kemudian relasi antara tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan
ortodoksi tafsir tradisional, truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim
(klaim keselamatan) sebagai instrumen keberagamaan yang eksklusif.
Pada bab keempat, pembahasan yang dihadirkan lebih fokus pada aplikasi
penafsiran Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n terkait tema-tema teologis dan
sosial-agama. Pembahasan pertama adalah tentang kontruksi tauhid Muh}ammad
bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai dasar agama, yang meliputi pemahamannya tentang
hakikat iman dan Islam. Kemudian pandangan Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n
tentang komunitas lain di luar Islam, meliputi penafsirannya tentang kafir, musyrik
dan ahl kitab sebagai instrument awal untuk melihat kecenderungan paradigma
Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n dalam memandang komunitas lain pada
konteks sosial-relasional dengan komunitas lain. Kemudian konsep al-wala>' wa al-bara>' dalam perspektif Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n serta hubungannya
dengan toleransi agama. Pembahasan ini untuk melihat kontruksi sosial-agama
Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai manifestasi ketauhidannya yang
diejawantahkan dalam kehidupan nyata pada konteks sosial-relasional dengan
komunitas lain. Dan pembahasan terakhir dari bab ini adalah tentang konsep
dakwah Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai misi suci agama. Pada
pembahasan ini penulis memfokuskan tentang konsep amr ma‘ru>f wa nahy al-munkar dan konsep jihad dalam perspektif Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n,
mengingat dua konsep dakwah ini menuai polemik di kalangan masyarakat umum
88
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi dan Pembuatan Notes dalam Karya Ilmiah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014).
26
yang dianggap oleh sebagian kelompok sebagai cara berdakwah yang intoleran dan
mengkampanyekan kekerasan atas nama agama.
Penelitian ini berakhir pada bab kelima sebagai penutup. Pada bab ini,
penulis akan menyimpulkan penelitian yang dilakukan sebagai jawaban dari
permasalahan-permasalahan yang diangkat pada bab pertama. Pada bab ini, penulis
juga akan menjelaskan implikasi penelitian dan saran-saran yang perlu
dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
27
BAB II
DISKURSUS KEBERAGAMAAN DALAM KERAGAMAN
Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan tiga tipologi konsep
keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, sebagai landasan teoritis
untuk melihat kecenderungan sikap keberagamaan Muh}ammad bin S}a>lih} al-
‘Uthaimi>n dalam konteks sosial-multikultural.
A. Eksklusivisme: Keniscayaan dalam Beragama
Dalam wacana keberagamaan, istilah eksklusivisme merupakan sebuah
konsep keberagamaan yang mengedepankan klaim kebenaran atas suatu agama,
yang menganggap satu agama tertentu adalah yang paling benar sedangkan agama-
agama lainnya adalah salah.1 Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa eksklusivisme
merupakan sebuah paradigma dalam memandang agama-agama lain sebagai jalan
yang salah dan menyesatkan pengikutnya.2 Alwi Shihab menuturkan, dalam tradisi
Kristen, eksklusivisme adalah klaim bahwa kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai
melalui Yesus, dan keselamatan hanya diperoleh oleh mereka yang
mempercayainya.3 Dalam pandangan Jeroen De Ridder, seorang ekslusifis
(religious exclusivist) adalah seorang yang sangat meyakini superioritas agama
yang dipeluknya dan menganggap agamanyalah satu-satunya agama yang benar.4
Eksklusivisme dalam beragama merupakan paradigma klasik dalam sejarah
agama. Dalam konteks agama-agama Abrahamik, Yohan Friedmann menyebutkan
bahwa paradigma eksklusif umat Islam yang meyakini bahwa Islam merupakan
satu-satunya agama yang benar telah ada pada generasi paling awal dalam sejarah
Islam.5 Dalam tradisi Kristen, Harold Coward menganggap bahwa doktrin-doktrin
Kristologis yang dirumuskan di Nisea dan Kalsedon menjadikan agama Kristen
selama berabad-abad tertuntut untuk bersikap eksklusif atas keunikan dan
keuniversalan Yesus, didasarkan pada doktrin "kesatuan hipostatik" yang
ditafsirkan di Kalsedon bahwa Yesus meskipun sesungguhnya manusia namun ia
juga sesungguhnya adalah Allah, pribadi kedua dari tritunggal yang sama
1Abu Bakar, "Argumen al-Qur’a>n tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan
Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni
2016), 46. 2 Nurcholis Madjid dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,
"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-
Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 60. 3 Alwi Shihab dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,
"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-
Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59-60. 4 Jeroen De Ridder, "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,
No. 4, (December 2011), 449. 5 Yohan Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relation in the
Muslim Tradition, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 34. Dalam Mun'im
Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013), 85.
28
kedudukannya. Gereja Kristen diyakini sebagai kerajaan Allah yang sepenuhnya
memiliki kebenaran dan tidak membutuhkan suara dari agama-agama lain atau dari
dunia yang lebih luas. Paradigma eksklusif dalam tradisi Kristen disebut oleh
Coward sebagai paradigma dengan pendekatan kristosentris-partikularis.6
Kemudian, Pada abad pertengahan, terdapat seorang pemikir dari Yudaisme,
Maimonides (1135-1204). ia mempelajari tradisi-tradisi Yahudi serta mendalami
gagasan-gagasan Yunani dan kalam Islam. Dia adalah seorang Yahudi yang saleh
sekaligus seorang pemikir yang rasional, secara eksklusif dia percaya bahwa agama
Yahudi adalah satu-satunya iman keagamaan yang diwahyukan Allah dan yang
paling benar dalam segala hal.7 Pandangan Maimonides menunjukkan bahwa
paradigma eksklusif juga ada pada tradisi agama Yahudi. Sebagai agama yang
paling tua dibandingkan dengan Islam dan Kristen, eksklusivisme dalam tradisi
Yahudi menunjukkan bahwa paradigma eksklusif memililiki umur yang sangat tua,
seumur dengan munculnya agama abrahamik di muka bumi ini.
Setidaknya, terdapat dua pandangan mendasar yang menjadi ciri sekaligus
melandasi eksklusivisme dalam beragama. Pertama adalah truth claim (klaim
kebenaran), dan kedua adalah salvation claim (klaim keselamatan). Unsur klaim
kebenaran dalam eksklusivisme dapat dilihat dari definisi-definisi yang dijabarkan
oleh para pemikir atau teolog di atas, seperti Nurcholis Majid, Alwi Shihab, Jeroen
De Ridder dan yang lainnya yang selalu menyertakan truth claim ketika
mendefinisikan eksklusivisme. Adapun salvation claim merupakan konsekuensi
logis dari paradigma truth claim itu sendiri. salvation claim dapat ditemukan
dalam kontruksi soteriologis agama-agama yang memiliki relasi sangat kuat
dengan eksklusivisme. Truth claim dan jaminan keselamatan (salvation) yang
eksklusif dianggap sebagai ajaran inti dari ekslusivisme oleh sebagian filsuf
teologi. Hal ini dapat dilihat dalam tradisi agama Islam, misalnya dalam (QS.
3:19), al-Qur'a>n menyebutkan dengan tegas;
إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا
ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا
"Sesungguhnya agama (yang dirihai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.".
Kemudian dipertegas oleh ayat lainnya (QS. 3:58),
عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ
6 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 33. 7 Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 15.
29
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi‛.
Dalam tradisi kristen, terdapat konsep extra ecclessiam nulla sallus (di luar
Gereja Katolik tidak ada keselamatan). Doktrin ini dapat dilihat dalam teks bibel,
seperti;
"Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." (Yohannes14: 6),
"Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul 4, 12)."8
Berdasarkan bukti skriptual yang tertulis dalam kitab suci ini Alvin
Plantinga berasumsi tentang relasi eksklusivisme dengan kontruksi soteriologis,
bahwa keselamatan sebagai jaminan teologis bagi pemeluk agama adalah inti
ajaran teologi ekslusif, yang didasari oleh keyakinan akan kebenaran mutlak suatu
agama ‚The tenets of one religions are in fact true; any propositions that are in compatible with these tenets are false‛ (Ajaran satu agama sebenarnya adalah
benar; segala proposisi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ini adalah salah)9,
atau dalam pandangan John Hick, ‚The exlusivists think that their description of God is the true description and the others are mistaken in so far they different from it‛ (Para ekslusifis berpikir bahwa deskripsi mereka tentang Tuhan adalah deskripsi
yang paling benar dan yang lainnya keliru sejauh mereka berbeda dari itu).10
Eksklusivisme dalam beragama memiliki corak dan bentuk yang bervariasi.
Hal ini mengikuti perspektif manusia tentang "kebenaran" yang sangat rumit dan
sulit untuk didefinisikan sehingga melahirkan konsep-konsep yang beragam.
Pengetahuan menusia tentang Tuhan atau hal-hal yang transenden merupakan
salah satu upaya manusia dalam memahami dan mengartikulasikan kedudukannya
di dalam kosmos. Charles Kimball menyebutkan dua faktor penting yang menjadi
rintangan dalam memahami Tuhan; pertama, terdapat banyak cara yang mungkin
untuk mengetahui Tuhan; pengalaman, observasi, nalar, intuisi, wahyu, dan
lainnya. Kedua, apapun yang difahami dan diketahui, sejauh apapun kebenaran
yang diyakini, hanya dapat dikomunikasikan kepada orang lain dengan
menggunakan simbol, salah satunya adalah simbol dari bahasa yang merupakan
8 Doktrin ini telah tertanam lama dan berkembang di kalangan Kristen, salah satu
tokohnya adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer. Lihat Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus
dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII,
no. 1 (Januari-Juni: 2018), 106-107. 9 Win Usuluddin, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas
Pluralisme Keberagamaan Era Postmodern", Ulumuna, vol. XIV, no. 1 (Juni, 2010), 215. 10
Win, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas Pluralisme
Keberagamaan Era Postmodern", 215.
30
sistem tanda yang paling besar dan kompleks dalam mengkomunikasikan
"kebenaran".11
Secara filosofis, pandangan akan kebenaran sangat bergantung terhadap
interpretasi akan kebenaran tersebut. Dalam tradisi agama, kitab suci memiliki
posisi sakral sebagai dokumen suci yang dijadikan standar dan legalitas akan
kebenaran, sehingga dalam rangka mempertahankan klaim kebenaran, terkadang
dilandaskan kepada kitab suci untuk memberikan justifikasi terhadap hal-hal yang
bersebrangan dengan kebenaran versi kitab suci tersebut. Aktifitas penafsiran
terhadap teks-teks keagamaan yang dilakukan secara tekstual-normatif lebih
cenderung melahirkan faham eksklusif terhadap suatu agama, sedangkan
penafsiran yang dilakukan secara kontekstual-substansialis cenderung melahirkan
inklusif-pluralis. Melalui penafsiran teks keagamaan inilah wajah agama akan
diperlihatkan kepada publik sebagai nilai kebenaran hasil produksi penafsiran.12
Menurut Gavin D‘Costa, kelompok pluralis biasanya mengkritik teologi
eksklusif atas dua alasan utama: pertama, bahwa kebaikan dapat ditemukan dalam
setiap tradisi agama. Kedua, kelompok eksklusifis telah keliru dalam memahami
teks-teks suci mereka sendiri yang secara salah mengarahkan mereka pada
eksklusivisme.13
Alasan pertama mengarah kepada paradigma eksklusifis yang
partikularis, sedangkan alasan untuk kedua, Kimball panjang lebar menjelaskan
tentang kerentanan teks suci agama adalah unsur yang paling mudah untuk
diselewengkan. Klaim kebenaran yang didasarkan atas penafsiran teks suci yang
kaku dan terpotong-potong menyebabkan berbagai penyelewengan dalam agama,
meskipun tidak serta merta berujung pada kekerasan, namun klaim kebenaran
mutlak yang sempit cenderung bersifaf destruktif.14
Menurut Peter Gomes, salah satu bentuk kekeliruan dalam menafsirkan teks
suci agama adalah penafsiran literal-tekstual. Pendeta di Harvard Memorial Churh
ini berasumsi bahwa ada dua kesalahan dan bahaya pendekatan literalis dalam
membaca injil, pertama, pendekatan ini mengecoh pembaca dengan gagasan
khayali, bahwa teks dalam kitab suci dapat langsung difahami dan dirasakan oleh
indra. Dengan demikian, makna teks akan langsung ditentukan oleh pembaca yang
dinisbatkan kepada penulisnya. Kedua, penilaian pribadi dapat mengaburkan
makna teks jika hanya terfokus pada apa yang dikatakan.15
Robert Alter, dalam
The Art of Biblical Narative dengan jelas menjelaskan bahwa dalam agama
Yahudi, makna bukanlah milik teks, melainkan sesuatu yang harus selalu dikaji dan
11
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Penj. Nurhadi (Bandung: Mizan,
2003), 91-92. 12
Lihat, Muhsin Mahfudz, "Implikasi Pemahaman Tafsir al-Qur'ān Terhadap Sikap
Keberagamaan", Tafsere, Vol.4, No. 2 (2016), 122-148. 13
Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press: Juni, 1996), 224.
14 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Penj. Nurhadi (Bandung: Mizan,
2003), 105. 15
Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, 106-107.
31
terus menerus dicari serta didefinisikan ulang.16
Dalam sejarah tafsir al-Qur'a>n,
pendekatan literal-tekstual merupakan pendekatan klasik-tradisional Islam yang
kerap dikritik oleh para muslim reformis abad 20 dan dianggap tidak lagi relevan
dengan konteks dunia modern. Muh}ammad ~‘Abduh (1905) mencoba menyesuikan
Islam dengan modernitas dan bergeser dari paradigma tafsir klasik. Semangat
untuk menafsirkan ulang al-Qur'a>n sehingga relevan untuk setiap zaman diikuti
oleh muridnya, Rashid Rid}a (w. 1935). Keduanya merasa tidak puas dengan tafsir
klasik yang tidak sepenuhnya mampu menjawab tantangan zaman.17
Agama memiliki tuntutan dasar terhadap pemeluknya untuk meyakini dan
berpegang teguh terhadap kebenaran dan ajarannya18
. Dalam asumsi dasar teologis,
tuntutan agama tersebut bersifat eksklusif-partikularistik yang dikenal dengan
truth claim, suatu hal yang mengikat kuat antara agama dan pemeluknya serta
melahirkan kekuatan simbolis pada agama tersebut.19
Dalam hal ini, rupanya
eksklusivisme merupakan keniscayaan dalam beragama. Win berpandangan bahwa
akan selalu ada truth claim yang mengarah pada eksklusivitas dalam kehidupan
beragama. Masing-masing pemeluk akan menganggap bahwa agamanyalah yang
paling benar, sedangkan agama yang lain adalah sesat dan menyesatkan (other religions are false paths, that misled their followers).
20 Menurut Charles Kimball,
absolute truth claim timbul secara alamiah dalam setiap agama dan menjadi
pondasi kontruksi utuh sebuah agama.21
Eksklusivisme dalam beragama terkadang menjadi alasan kuat dalam
mempertahankan identitas dan eksistensi suatu agama. Ketika bangsa Yahudi
dibebaskan dari perbudakan duniawi pada saat berada di Mesir, mereka terikat
pada suatu hubungan pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Gagasan kesetian
kepada Allah dalam perspektif Yahudi ini memberikan energi tersendiri untuk
mereka sehingga mampu berjuang mempertahankan identitas dan eksistensinya,
meskipun selama dua ribu lima ratus tahun22
orang-orang Yahudi hidup sebagai
16
Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, 109-110. 17
Pandangan-pandangan lain dari muslim reformis tentang tafsir al-Qur'a>n,
khususunya tentang respon mereka terhadap agama-agama lain bisa dilihat pada Mun'im
Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013). 18
Misalnya dalam Islam, tuntutan tersebut dapat dilihat perintah berislam secara
total, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara Kaffah..."
(QS. Al-Baqarah: 208). 19
Muhammad Baharun, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012),
18. 20
Win Usuluddin, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas
Pluralisme Keberagamaan Era Postmodern", Ulumuna, vol. XIV, no. 1 (Juni, 2010), 212. 21
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, Penj. Nurhadi (Bandung: Mizan,
2003), 84-85, Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme
Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 110-111 22
Kondisi ini disebabkan oleh beberapa peristiwa yang mengharuskan bangsa
Yahudi runtuh bahkan terusir. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah; pembuangan Babel
(587-538 SM), hancurnya Bait Allah Kedua di Yerusalem tahun 70 SM, dan
32
suatu diaspora menjadi kelompok-kelompok keagamaan yang terpencar dan hidup
sebagai kelompok minoritas di tengah-tengah masyarakat lain.23
Upaya untuk
mempertahankan identitas dan eksistensi suatu agama juga dilakukan oleh para
teolog ketika merespon wacana pluralisme. Karl Rahner, misalnya, dengan konsep
Anonymous Christians (Kristen tanpa nama) yang dibangun di atas pemahaman
bahwa Kristus ada di setiap agama, yang dinamakan Anonymous Christ (Kristus
tanpa nama), secara sistematis ia berupaya menegaskan keeksklusifan dan
universalitas Kristus, sekaligus menghormati kehendak Tuhan yang universal
terkait keselamatan semua manusia yang sejatinya berasal dari Kristus.24
Dalam tradisi Islam, upaya dalam mempertahankan kemurnian Islam serta
menjawab tantang pluralisme dilakukan oleh para teolog atau sarjana yang
memililiki paradigma eksklusif. Misalnya kelompok revivalis-fundamentalis Islam
yang berusaha memurnikan Islam dari faktor-faktor eksternal yang dianggap dapat
meracuni Islam yang original.25
Kelompok ini terkadang menolak untuk melakukan
dialog dengan komunitas lain, bahkan cenderung mencurigai kelompok lain sebagai
komunitas yang akan mengancam eksistensi Islam. Dalam ajaran salafi, terdapat
suatu konsep teologis yang mengatur tentang kesetiaan (loyality) kepada
komunitas sendiri dan penolakan (disavowal) terhadap komunitas lain. Konsep ini
dikenal dengan al-wala>' wa al-bara>'.26 Konsepsi teologis ini tidak lain bertujuan
untuk menjaga originalitas Islam.
Fakta pluralitas agama rupanya memiliki tantangan tersendiri bagi para
ekslusifis dengan teologi eksklusifnya. Di satu sisi, mereka tidak bisa menutup
mata akan realita keberagaman tersebut, tetapi di sisi lain mereka juga harus
"membunuh" fakta pluralitas itu dengan klaim kebenaran untuk mempertahankan
kebenaran teologisnya atau untuk mempertahankan identitas dan eksistensi
agamnaya. Berangkat dari kontradiksi ini, beberapa sarjana seperti John Hick,
Erick Baldwin dan Michael Thune mengkritik epitemologi religius eksklusifis
dengan asumsi bahwa seorang eksklusifis yang sepenuhnya sadar akan pluralisme
pemberontakan Bar-Kokhbah tahun 135 M. Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 9-12.
23 Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 9-17. 24
Karl Rahner dapat dikatakan sebagai eksklusifis sekaligus inklusivis, klaimnya
atas kebenaran dan keunikan Yesus menjadikan ia sebagai kelompok eksklusifis, akan
tetapi pandangannya terkait keselamatan yang terbuka untuk komunitas lain di luar
agamanya, ia dikelompokkan sebagai inklusivis. Lihat, Obet Nego, "Analisa Kritis
Terhadap Konsep Anonymous Christians Menurut Karl Rahner", Ebenhaezer, 2/1, (April
2015), 53-53. 25
Dwi Ratnasari, "Fundamentalisme Islam", Komunika, Vol.4 No.1 (Januari-Juni
2010), 40-57. 26
Lihat, Muhammad bin Sa'i>d al-Qaht}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riyad}:
Da>r al-T{ayyibah, 1413 H). Buku ini cukup lengkap dalam membahas konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' dalam Islam.
33
agama tidak lagi rasional dalam menentukan kebenaran akan keyakinannya.27
Selain mengkritik religius epistemologisnya (epistemological religious) kalangan
eksklusifis, John Hick melihat fakta historis ekslusivisme kristen tentang
penyiksaan dan pembunuhan Yahudi, peperangan yang mengerikan terhadap kaum
muslim, pengesahan imperialisme Eropa, dan penghinaan yang semena-mena
terhadap agama-agama lain, merupakan kegagalan moral teolog ekslusif kristen
yang secara historis digunakan untuk mengkampanyekan kejahatan.28
Abdul Aziz Sachdena memandang bahwa stabilitas sebuah negara akan
dihadapkan dengan kekerasan tanpa henti dan ekstrimisme radikal yang didorong
oleh sikap teologis yang ekslusif tentang kebenaran religius. Sehingga butuh
adanya pengakuan pluralisme sebagai prinsip akan pengakuan dan penghormatan
antar komunitas agama.29
Dalam pandangan Arkoun, nalar ortodoksi dan
epistemologi skolastik (klasik-tradisional) dalam kontruksi keilmuan Islam seperti
fiqih, ilmu kalam, tafsir, filsafat, dan tasawuf bersifat statis hingga sekarang,
sedangkan konteks umat Islam dewasa ini tengah berhadapan dengan dunia yang
profan dan terus mengalami perkembangan, baik dalam aspek kualitas maupun
kuantitas, intensitas maupun eksistensinya. Atas hal itu, Arkoun mengajukan
rekontruksi bidang keilmuan Islam pada tataran yang lebih mendasar, mendalam,
dan substansial yang memuat nilai-nilai normativitas, spiritualitas dan
fungsional.30
Nurcholis Madjid berasumsi bahwa lambat laun sikap eksklusif dalam
beragama akan membawa manusia ke jurang kehancuran.31
Sehingga, teologi
ekslusif dianggap tidak relevan untuk dipraktikan di dunia yang majemuk-plural.
Pluralitas agama adalah sebuah fakta sedangkan ekslusivisme adalah
ideologi dalam beragama. Alston Plantinga menolak jika ekslusivisme kristen telah
merefleksikan kegagalan moral dan digunakan untuk kampanye kejahatan.
Dampak-dampak negatif yang terekam sebagai fakta historis hendaklah tidak
dipandang sebagai konsekuensi logis dari eksklusivisme.32
Conflict is conflict. Meskipun ada unsur teologis dalam sebuah konflik, unsur-unsur lain, seperti
27
Jeroen De Ridder , "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,
No. 4, (December, 2011) : 449-463, lihat juga Kevin Meeker, "Pluralism, exclusivism, and
the theoretical virtues", Religious Studies, Vol. 42, No. 2 (Juni, 2006) : 193-206. 28
M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana
Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra
Press, 2010), 76. 29
Abdul Aziz Sachdena, Islam and the Challenge of Human Right (New York:
Oxford University Press, Inc., 2009), 186. 30
J. Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme, (Yogyakarta: LKiS,
1996), 5-17. 31
Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat (Jakarta:
Paramadina, 1999), 60. 32
M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana
Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra
Press, 2010), 76.
34
kepentingan politik ekonomi dan yang lainnya tetap harus dipandang sebagai
bagian dari penyebab konflik tersebut. Ahmad Khoirul Fata menyebutkan bahwa
kerap kali faktor historis, politik dan ekonomi bertumpang tindih dengan sikap
eksklusif dalam beragama sehingga konflik yang terjadi bersifat kompleks dan
multidimensi.33
Fata mengutip pandangan Sarlito Wirawan Sarwo yang
menyebutkan bahwa konflik komunal yang terjadi di Indonesia berakar dari
diskriminasi yang dilakukan oleh kolonial Hindia Belanda terhadap komunitas
pribumi muslim yang diperparah oleh sikap keberagamaan yang ekslusif.34
Agama bukan faktor utama yang menyebabkan konflik sosial, meskipun
agama juga tidak bisa melarikan diri dari tuduhan penyebab konflik tersebut. Tim
Institut Titian Perdamaian melakukan penelitian tentang kasus konflik dan
kekerasan yang terjadi pada priode 2008-2010 di Indonesia. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi 4.021 kasus konflik dan kekerasan di
Indonesia. Dalam jumlah kasus tersebut, konflik bernuasa agama terjadi sebanyak
90 kasus (20%), kasus bernuansa politik sebanyak 559 (13,9%), konflik antar
aparat negara 31 (0,8%), konflik sumber daya alam 313 (7,8%), konflik sumber
daya ekonomi ( 332 (8,3%), tawuran antar kelompok masyarakat 1.089 (27,1%),
penghakiman masa 1.107 (27,5%), pengeroyokan 302 (7,5%), dan lain-lain 198
(4,9%).35
Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa faktor sosial, ekonomi,
politik dan etnik lebih banyak menjadi penyebab konflik dan kekerasan
dibandingkan faktor agama.
Paradigma eksklusif sebenarnya tidak serta merta berujung pada intoleransi
dan ekstremisme. Maimonides dengan teologi eksklusifnya yang meyakini bahwa
agama Yahudi adalah satu-satunya iman keagamaan yang diwahyukan Allah dan
yang paling benar dalam segala hal, ternyata mampu menjadi orang yang sangat
toleran. Di Mesir, Maimonides bekerja sebagai dokter ribadi penguasa Islam,
Saladin. Maimonides tidak menapikan unsur kebaikan pada tradisi agama lain,
namun tidak lantas menggadaikan keyakinannya akan superioritas Yahudi hanya
karena ada kebaikan dalam tradisi agama lain. Bagi Maimonides, agama-agama
lain merupakan upaya manusia untuk menyamai atau bahwa melampaui kebenaran
Yahudi.36
Mungkin keluwesan sikap Maimonides dipengaruhi oleh pengalamannya
sebagai kelompok minoritas di tengah kebudayaan agama yang asing sehingga
33
Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama
Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 109. 34
Sarlito Wirawan Sarwono, "Hubungan Antar Agama dalam Pandangan Psikologi",
dalam Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama
Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 109. 35
Tim Penulis Institut Titian Perdamaian, Dinamika Konflik dan Kekerasan di
Indonesia (Jakarta: Institut Titian Perdamaian, 2011), h. 10 dan 14. dalam Ahmad Khoirul
Fata, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018), 119.
36 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 15-16.
35
menuntutnya untuk bersikap ramah dan baik sekaligus mempertahankan keyakinan
eksklusifnya.
Dari pemaparan di atas, ekslusivisme dalam beragama nampaknya akan sulit
bahkan tidak mungkin dihilangkan dari seorang yang beragama. Sikap eksklusif
mengalir secara alamiah beriringan dengan tuntutan keyakinan dari agama yang
dipeluknya dan menciptakan ikatan kuat antara pemeluk dan agamanya. Terkait
konflik dan kekerasan yang imoral sebagai implikasi dari sikap eksklusif dalam
beragama perlu dikaji secara komprehenshif, dengan terlebih dahulu memandang
konflik sebagai sebuah konflik tanpa terburu-buru mengaitkannya dengan dimensi
agama. Sebab, jika salah mengalamatkan, anggapan ini hanya akan menodai semua
agama yang pada hakikatnya mengajarkan dan menjunjung tinggi perdamaian.
B. Inklusivisme: Sebuah Jalan Tengah
Inklusivisme dalam beragama pertama kali dikenalkan Karl Rahner dengan
istilah Kristen anonim (the Anonimous Christian) atau non-Kristiani. Yakni,
orang-orang non-Kristiani tetap berhak mendapatkan keselamatan (salvation)
selama dalam hatinya tertanam ketulusan terhadap Tuhan.37
Alwi Shihab
menyebutkanbahwa inti teologi inklusif yang dikenalkan oleh Karl Rehner, seorang
teolog Katolik, adalah menolak asumsi bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak
berkesempatan meyakini Injil. Mereka yang mendapatkan anugerah cahaya Ilahi
walaupun tidak melalui Yesus, tetap akan mendapatkan keselamatan.38
Faham
insklusif dalam beragama tidak mengakui bahwa semua agama adalah benar,
akantetapi inklusivisme tetap menerima di luar komunitas agamanya untuk
mendapatkan berkah keselamatan.39
Dalam pandangan Nurcholis Madjid (Cak Nur), kebenaran tidak lagi menjadi
monopoli suatu agama tertentu, melainkan menjadi hak semua penganut agama.
Terdapat dua poin yang ditawarkan oleh Madjid dalam memaknai Inklusifisme
Islam: Pertama, pandangan terhadap agama-agama lain sebagai bentuk implisit
dari agama tertentu. Kedua, sikap terbuka dan toleran terhadap penganut agama
non-Islam.40
Paradigma inklusif Madjid lebih luas dari sekedar mengakui adanya
37
Lihat, Ed. David F. Ford, The Modern Teologians, An Introduction to Christian Theologt in the Twentieth Century, cet. 2 (UK: Blacckwell Published Ltd, 1997) 631-632;
Zain Abidin, Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah, Humaniora, Vol. 4 No. 2
(Oktober, 2013), 1277. 38
Alwi Shihab dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,
"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-
Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59. 39
Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4
No.2 (Oktober, 2013), 1276-1277. 40
Nurcholis Madjid dalam Rofiq Nurhadi, Syamsul Hadi, Thoyib I. M., Suhandano,
"Dialektika Inklusivisme dan Ekslusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir al-
Qur'a>n Tentang Hubungan Antar Agama", Kawistara, Vol. 3 No. 1, (21 April 2013), 59.
Paradigma Inklusif kemudian menjurus lebih pluralis dan dikenal dengan teologi Pluralis-
Inklusif. Faham ini yang paling berani mengakui bahwa adanya kebenaran agama-agama
36
peluang kelompok lain untuk mendapatkan keselamatan, namun mencakup
pengakuan akan kebenaran kelompok lain. Hal ini bisa dilihat dari konsep
universalisme Islam yang ditawarkan Madjid, atau dari jargonnya satu tuhan
banyak agama.41
Atau dengan kata lain, Madjid lebih mengarah kepada pluralisme
(inklusif-pluralis).
Dari beberapa pengertian di atas, inklusivisme dalam beragama memiliki
tiga gagasan utama yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya:
Pertama, substansi keimanan dan peribadatan lebih penting dari pada formalitas
dan simbolisme keagamaan yang bersifat literal. Kedua, pesan-pesan agama yang
bersifat abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus selalu
ditafsirkan ulang oleh masing-masing generasi umat sesuai dengan konteks zaman
yang dihadapi. Ketiga, kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan, maka tidak ada
seorangpun yang dapat memastikan bahwa pemahamannya terhadap pesan Tuhan
adalah paling benar, lebih benar atau lebih baik dari pada pemahaman orang lain.42
Zein Abdidin menyebutkan lima pokok ajaran teologi Islam inklusif;
pertama, lebih menekankan nilai-nilai dasar Islam (substansialis) ketimbang
simbol-simbol belaka, sehingga dimensi Islam doktrinal-dogmatis akan dibongkar
dan dikritisi karena dianggap kerap tidak sealur dengan substansi dari ajaran Islam
itu sendiri. Kedua, menolak ortodoksi penafsiran kitab suci dan dogma Islam.
Ketiga, bersikap kritis atau skeptis terhadap setiap argumentasi dengan
kepentingan superioritas Islam. Zein menyebutkan bahwa inklusif Islam tetap
mengakui bahwa konsep Islam adalah yang terbaik dan paling sempurna, sikap
kritis justru ditujukan untuk membuktikan kesempurnaan Islam dengan sikap
objektif dan teta memberikan apresiasi terhadap pemahaman kelompok lain.
Keempat, menjunjung tinggi prinsip-prinsip dialog dan toleransi tanpa harus
mencurigai terlabih dahulu kelompok lain. Hal ini didasari oleh paradigma semua
agama sama-sama memiliki nilai-nilai kebaikan, sehingga berdialog dibutuhkan
untuk menciptakan kehidupan yang penuh toleransi tanpa kebencian dan
kecurigaan terhadap komunitas lain. Kelima, menjunjung tinggi prinsip-prinsip
demokrasi, hak azasi manusia, persamaan kedudukan di mata hukum, dan prinsip-
prinsip moral modern lainnya.43
lain yang oleh para penggagas dan penganutnya seperti, Mohamed Fathi Osman, Nurcholis
Madjid, Abdurrahman Wahid, Abdul Aziz Sachdina, dll. Dianggap sebagai perspektif
teologis yang lebih toleran dan memanusiakan seluruh umat Tuhan. Zuly Qodir,
"Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam", Orientasi Baru, Vol. 17,
No. 1, (April, 2008) : 63-78, 64-65. 41
Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
2000). Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur. Cetakan ke-2. (Jakarta: Kompas, 2001). 42
Ahsanul Khalikin & Zirwansyah, Pandangan Pemuka Agama Tentang Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Kementerian
Agama RI, 2013), 18. 43
Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4
No.2 (Oktober, 2013), 1278-1279.
37
Dalam tulisannya, Zein sebenarnya tidak menegasikan dimensi
Eksklusivisme dalam Islam, mengutip Azyumardi Azra dan Sayyid Husain Nasr,
Zein memandang bahwa di satu sisi Islam menekankan umatnya secara ketat untuk
bersikap eksklusif, misalnya tentang persaksian terhadap ke-Esa-an Allah dan
kebenaran Muhammad sebagai rasul-Nya yang diikrarkan melalui dua kalimah
syahadat, Sayyid Husain Nasr menegaskan bahwa eksklusifitas suatu agama
merupakan perlambang yang menunjukkan bahwa ia berasal dari yang Maha
Mutlak. Namun di sisi lain, Islam juga mengajarkan nilai-nilai inklusif, yang
dijelaskan dalam al-Qur'a>n maupun hadith tentang tema-tema; tidak ada paksaan
dalam beragama, pengakuan terhadap agama lain, kesatuan pesan tuhan dan
lainnya.44
Teologi inklusif Karl Rahner dalam tradisi Kristen dan teologi Islam inklusif
versi Zein Abidin, keduanya sama-sama tetap mengakui superioritas agamanya
masing-masing. Hal ini tidak jauh beda dengan pengakuan para eksklusifis
terhadap seperioritas agamanya yang diistilahkan dengan truth claim (klaim
kebenaran). Sehingga, keduanya akan sulit dibedakan dalam ranah teologis-
esoterik, sedangkan dalam ranah praktis-eksoterik, teologi inklusif akan mirip
bahkan sama dengan teologi pluralis, sebagaimana yang ditawarkan Nurcholis
Madjid tentang teologi inklusif-pluralisnya, yang cenderung substansialis dalam
memandang agama Islam dan melahirkan gagasannya tentang universalisme
Islam.45
Pendekatan dialogis dalam memandang keberagamaan agama adalah cara
kelompok inklusifis dalam mengkonseptualisasikan ajaran teologisnya. Pendekatan
dialogis yang dimaksud adalah membiarkan agama lain membahas dan
mempengaruhi teologi kita, begitupun kita membahas teologi mereka, sehingga
kita maupun mereka dituntut untuk lebih jujur dan objektif dalam melakoni
kehidupan rohani kita. Prasyarat dalam melakukan dialog bukan untuk
penyelarasan semua keyakinan melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang
beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak secara beragam serta tidak
dapat dinisbikan. Atau, dalam pendekatan dialogis ini, masing-masing agama
dianggap memiliki sesuatu yang mutlak yang tidak mungkin dilepaskan, juga
dengan tanpa menghancurkan identitasnya yang paling pokok dari keimanan
masing-masing pemeluk agama.46
44
Zain, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", 1279-1283. 45
Jika dilihat dari tiga tipologi keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-
pluralisme, Nurcholis madjid akan sulit diposisikan, apakah ia seorang inklusifis atau
pluralis, dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai inklusifis-pluralis, mengingat
gagasannya tentang inklusivisme Islam lebih mengarah kepada konsepsi teologi pluralis.
Lihat Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004).
46 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 75-76.
38
Stanley Samartha adalah seorang pemeluk agama Kristen yang mendukung
usulan dialogis ini. Samartha mendefinisikan dialog ini sebagai upaya untuk
memahami dan menyatakan partikularitas kita dalam konteks masyarakat umum,
yakni bukan hanya dalam lingkup warisan kita sendiri tapi dalam kaitannya dengan
warisan rohani tetangga-tetangga. Bagi Samartha, cara dialog bukanlan "paksaan
teologis", namun tuntutan realitas dunia yang pluralistik terhadap masyarakat
beragama dewasa ini.47
Selain Samartha, pendukung lain dari pendekatan dialogis ini adalah
Raimundo Panikkar. Yang melandasi semangat dialogis Panikkar adalah asumsi
bahwa kebenaran yang dikemukakan oleh masing-masing agama sejatinya adalah
kebenaran universal, hanya saja perumusannya dalam menentukan kebenaran
tersebut dibatasi oleh faktor-faktor budaya, sehingga pada akhirnya kebenaran
universal itu didaku secara pratikular oleh agama-agama dengan konsepsi
teologisnya masing-masing. Melalui dialog, Panikkar optimis bahwa pengalaman-
pengalaman partikular mengenai kebenaran dapat diperluas dan diperdalam
sehingga mampu menyingkap pengalaman-pengalaman baru tentang kebenaran.
Dialog yang diusulkan Panikkar adalah dialog yang bersifat "saling menyuburkan"
(mutualisme) antara agama-agama, usulan dansikap terbuka Panikkar adalah upaya
untuk menemukan jalan tengah antara eksklusivisme dan pluralisme, di satu sisi
Panikkar menaruh simpati terhadap agama-agama lain, namun di sisi lain ia pun
tidak rela menanggalkan agamanya atau tidak mau kehilangan identitasnya sebagai
pemeluk agama Kristen.48
Tokoh-tokoh lain yang mendukung pendekatan dialogis ini, di antaranya
adalah; John Dunne, John Taylor, Klaus Klostermaier, dan Donald Swearer. Secara
umum tokoh-tokoh ini memiliki kesamaan dengan Stanley Samartha dan
Raimundo Panikkar, bahwa dialog yang dilakukan bukanlah untuk menyamakan
agama-agama partikular melainkan untuk saling memahami pengalaman rohani
dari masing-masing agama guna menghasilkan tambahan pengetahuan tentang
suatu realitas transenden bersama. Sehingga, dengan pendekatan dialogis ini
membuka jalan bagi pertemuan orang-orang Kristen, Islam, Yahudi, dalam
penganut agama lainnya. Akan tetapi, alasan teosentris dari masing-masing agama
terkadang menghambat upaya dialog ini.49
Fakta pluralitas agama adalah faktor utama yang melahirkan wacana
inklusivisme. Fakta pluralitas agama ini menuntut umat beragama untuk
menemukan cara yang tepat dalam menyikapinya, baik dalam dimensi teologis-
47
Stanley J. Samartha, Courage for Dialogue, (Maryknoll, N.Y.: Orbis Books,
1981), dalam Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 76-78. 48
Panikkar, The Trinity and the Religious Experience of Man, (Maryknoll, N.Y.:
Orbis Books, 1973), dalam Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 78-82.
49 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 83-84.
39
esoteris ataupun praktis-eksoteris. Dalam pandangan Budhy Munawar-Rahman,
terdapat dua unsur yang membangun agama-agama; eksoterik-esoterik. Unsur
esoterik merupakan titik temu antar agama secara transendental sebab ia adalah
the heart of religions. Sedangkan pada aspek eksoterik, kebenaran tunggal
terfragmentasikan mealui spektrum penangkapan setiap personal melalui beragam
dimensi, bahasa dan paradigma. Hal inilah yang menjadikan pluralitas dalam
agama.50
Selain itu, pluralitas agama juga dapat disebabkan oleh konteks historis
dan konteks intelektual masyarakat yang beragam dalam memahami ajaran
agama.51
Setiap agama berpotensi melahirkan eksklusivisme-inklusivisme. Dalam
Islam, dua paradigma ini memiliki landasan skriptual yang cukup memadai. Di
antara landasan skriptual tersebut adalah, (QS. Ali Imran: 19, 85) yang digunakan
oleh para ekslusifis untuk memperkuat argumentasi mereka, bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar yang bisa menjamin keselamatan. Sedangkan para
inklusifis-pluralis melandaskan argumentasi mereka pada (QS. al-Baqarah: 62) dan
(al-Maidah: 69) dan berpendapat bahwa jalan keselamatan tidak hanya dimonopoli
oleh Islam, melainkan dimiliki oleh setiap agama52
. Selain itu, interpretasi terhadap
terma isla>m juga turut berperan dalam wacana tersebut. Terdapat dualisme
penafsiran pada QS. 3:19;
إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا
ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا
"Sesungguhnya agama (yang dirihai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."
Dualisme penafsiran tersebut adalah islam dengan makna generik, yakni
tunduk dan patuh secara total kepada Tuhan, dan isla>m dengan makna khusus,
yakni syariat Nabi Muḥammad. Dualisme ini tidak lain disebabkan oleh paradigma
yang dihasilkan oleh metodologi penafsiran para pembacanya, meskipun
50
Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 34-52.
51 Meskipun pada dasarnya agama yang dibawa oleh para utusan Allah adalah sama,
namun faktor sosio-historis dan intelektual masyarakat dalam menangkap ajaran agama
tersebut menjadikan agama beragama. Selain itu, faktor internal-individu yang
bersangkutan sebagai pemeluk agama dan faktor eksternal, seperti sosial, ekonomi dan
politik, turut andil menciptakan pluralitas agama ini. Lihat Isma'il Raji al-Faruqi & Lois
Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Mac Millan Publ. Comp.;
London: Collier MacMillan Publ., 1986), 193. Dalam Ahmad Khoirul Fata, "Menguak
Islam Eksklusif yang Toleran", Islamica, Vol. 6, No. 1, (September 2011), 21. 52
Lihat Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme
Islam:Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Qurān Tentang Hubungan Antar agama",
Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April 2013), 58-67.
40
sebenarnya dari kedua belah pihak (eksklusifis-inklusifis) sepakat bahwa terma al-isla>m, secara bahasa memiliki makna berserah diri, tunduk, taat, dan patuh.
53
Dalam tiga tipologi keberagamaan, inklusivisme diposisikan di tengah-
tengah antara eksklusivisme dan pluralisme. Jika dilihat dari beberapa definisi di
atas, nampaknya eksistensi inklusivisme sedikit samar atau "abu-abu"
dibandingkan teologi eksklusif dan teologi pluralis. Gavin D'Costa menebutkan
bahwa inklusifis berada di tengah-tengah spektrum antara eksklusivisme dan
pluralisme yang mencoba memiliki keduanya, mereka berkomitmen untuk
mengklaim bahwa satu wahyu atau agama adalah satu-satunya yang benar dan
definitif, akan tetapi kebenaran dan jaminan keselamatan juga dapat ditemukan
dalam berbagai bentuk fragmentaris yang tidak lengkap pada agama-agama lain.
Kebenaran yang ada di pihak lain dianggap benar jika ia tidak bertentangan dengan
normatifitas wahyu dan agamanya. Agama yang diyakininya bersifat pelengkap
dari ketidak utuhan agama-agama lain.54
Inklusivisme bisa dikatakan eksklusif jika dalam konteks teologisnya tidak
meninggalkan truth claim akan keyakinannya, seperti inklusif persepsinya Alan
Race, bahwa paradigma inklusif membedakan the salvafic presence (sang
penyelamat) dan aktivitas tuhan dalam tradisi agama-agama lain dengan tetap
mengacu sepenuhnya kepada Yesus Kristus/Kristen sebagai standar the salvafic presence (sang penyelamat) dan aktivitas tuhan
55. Dengan demikian, iklusivisme
tidak memandang sema agama benar, namun orang lain di luar agamanya tetap
mendapat peluang untuk selamat.56
Kemudian, inklusivisme juga bisa ditarik ke
arah pluralisme, jika difahami lebih meluas seperti yang dipersepsikan oleh
Madjid,57
atau seperti inklusivisme yang didefinisikan oleh Smith, bahwa klaim
kebenaran (claim of truth) dan klaim keselamatan (claim of salvation) bukan
monopoli kelompok atau agama tertentu, akan tetapi dimiliki juga oleh kelompok
atau agama lain. Menurut Smith, (claim of truth) dan (claim of salvation) sama
halnya dengan ungkapan bahwa Tuhan hanya ditemukan dalam ruangan ini dan
tidak ada dalam ruangan lain atau hanya dalam busana ini, dan tidak ada dalam
busana yang lainnya.58
Inklusivisme dalam konteks sosial lebih mudah difahami dibandingkan
dalam konteks teologisnya. Dalam konteks sosial, inklusivisme dapat difahami
53
) Lihat al-T{abari, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an ta'wil a>yi al-Qur'a>n, (Beirut, Muassasah al-
Risa>lah: 1994): Vol. 2, 232. 54
D‘Costa, Gavin. ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2 (Cambridge University Press, Juni, 1996) : 224.
55 Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.
4 No.2 (Oktober, 2013), 1277. 56
Zain, "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", 1278. 57
Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
2000). Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur. Cetakan ke-2. (Jakarta: Kompas, 2001). 58
Lihat, H. Smith, The Religion of Man. Pen. Safroedin Bahar, Agama-agama Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005); Zain Abidin, "Islam Inklusif: Telaah
Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4 No.2 (Oktober, 2013), 1277.
41
sebagai sikap positif keagamaan dalam merespon fakta pluralitas. Dalam hal ini,
Azyumardi Azra menyebutnya sebagai teologi kerukunan keagamaan yang
mengedepankan sikap luwes, toleran, terbuka, dan tidak enggan berdialog dengan
komunitas lain, baik antar maupun inter agama.59
Sedangkan dalam konteks
teologis, inklusivisme akan lebih mengarah kepada pluralisme jika menganggalkan
truth claim atas satu agama, dan jika mempertahankan truth claim pada satu
agama, maka inklusivisme merupakan bagian dari eksklusivisme.
Jose Casanova berasumsi bahwa agama memiliki "dua muka" (jenus face).
Di satu sisi, secara inherent agama memiliki identitas yang bersifat ‚exclusive‛, ‚particularist‛, dan ‚primordial‛. Dan di sisi lain, agama juga kaya akan identitas
yang bersifat ‚inclusive‛, universalist‛, dan trancending‛.60
Dengan demikian, Inklusivisme dan eksklusivisme dapat berjalan berdampingan di atas satu jalan
agama yang sama dalam posisi yang berbeda. Seorang agamawan bisa secara
eksklusif dalam memegang teguh keyakinan akan kebenaran agamanya, dan ia
tetap bersikap luwes, terbuka, dan menghargai perbedaan.
C. Pluralisme: Realita Keberagaman Agama
Realita keberagaman agama (reality of religious diversity) telah melahirkan
wacana yang penuh polemik dan kompleks. Kompetisi legitimasi "siapa yang
paling benar", konflik komunal antar agama, hingga penawaran-penawaran solusi,
baik yang bersifat teoritis maupun praktis, menjadi isu hangat yang mendorong
para akademisi untuk mengkajinya. Penelitian tentang sejarah agama-agama,
perbandingan agama, dan ilmu-ilmu agama lainnya dituntut untuk menemukan
formulasi tepat tentang relasi antar agama serta menjawab pertanyaan bagaimana
supaya semua agama dapat berdampingan secara harmonis.61
Bukti empirik
tentang kisah-kisah mengerikan seperti penyiksaan dan intoleransi memenuhi
catatan sejarah agama-agama di dunia. Dalam beberapa kasus, perbedaan dan
ketidaksepakatan suatu kelompok terhadap kelompok terkadang diperuncing
dengan dimanfaatkannya oleh kaum kolonial demi kepentingan politik. Menurut
Muhammad Legenhausen, fakta sejarah tersebutlah yang menjadi landasan
sekaligus alasan akan hadirnya pluralisme, khususnya dalam tradisi agama kristen.
Legenhausen juga menegaskan bahwa pluralisme agama terlahir dari kegagalan
kaum liberal atau liberalisme dalam upayanya menghapuskan intoleransi beragama
dalam konteks masyarakat plural-multikultural.62
59
Lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1999). 60
Lihat B. Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan. Cetakan ke-1. Yogyakarta:
Galang Press., 2001), 7-23. 61
Muhammad Zia-Ul-Haq, " Religious Diversity: An Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol. 49, No. 4 (Winter 2010), 497.
62 Liberalisme merupakan respon politis terhadap beragamnya kepercayaan yang
berkembang di abad ke-18 di Eropa yang pada umumnya disulut oleh penolakan terhadap
intoleransi beragama yang ditunjukkan melalui perang-perang sektarian pada priode
42
Pluralisme adalah faham atau sikap terhadap keadaan plural-majemuk, baik
dalam konteks politik dan sosial-budaya termasuk agama.63
Dalam konteks politik,
pluralisme diartikan sebagai sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik
negara. Sedangkan dalam konteks sosial, pluralisme diartikan sebagai faham atau
sikap toleransi terhadap keragaman agama, etnis dan budaya.64
Robert J. Bentley
menyebutkan, pluralisme merupakan refleksi terhadap realita sosial yang
mengisyaratkan adanya kontrol dari suatu kelompok terhadap bahasa, etnis dan
budaya.65
Sehingga, hegemoni suatu kelompok merupakan sasaran kritik bagi
kalangan peluralis.
Terdapat kemiripan antara pluralisme dan liberalisme politik, kemiripan
tersebut di antaranya adalah faham yang senantiasa mengkampanyekan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.66
Karakteristik dari liberalisme politik
adalah tujuannya untuk memisahkan antara sektor privat dan publik, yang
menegaskan bahwa individu bisa menikmati sejumlah hak yang melindungi sektor
privat dari interpensi pemerintah, seperti kebebasan dalam berpendapat dan
kebebasan berekspresi dalam semua aspek, termasuk aspek agama. Maka,
liberalisme melegalkan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam semua aspek,
termasuk aspek agama selama tidak menyinggung kebebasan orang lain. Hal ini
sebagai metode praktis untuk melerai konflik antara klaim-klaim yang
bersebrangan.67
jika liberalisme sebagai metode praktis untuk melerai konflik antar
klaim tanpa penolakan terhadap klaim-klaim yang ada, pluralisme jauh lebih
kedepan dengan mengklaim bahwa kebenaran religius harus ditemukan di berbagai
tradisi keagamaan serta tidak boleh suatu kelompok agama manapun bertindak
sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam mengklaim suatu kebenaran, dan
reformasi. Kemudian, pada abad ke-19, liberalisme mulai meluas, tidak hanya dalam
komunitas kristen saja namun mencakup di luar kristen. Lihat M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010), 3-7.
63 Syukron Ma'mun, "Pluralisme Agama dan Toleransi dalam Islam Perspektif Yusuf
Qardhawi", Humaniora, vol. 4, no. 2, (Oktober 2013), 1222. 64
Masykuri Abdillah dalam Syukron Ma'mun, "Pluralisme Agama dan Toleransi
dalam Islam Perspektif Yusuf Qardhawi", Humaniora, vol. 4, no. 2, (Oktober 2013), 1222. 65
Robert J. Bentley , "The Challenge of Pluralism", The Journal of Negro Education, Vol. 40, No. 4 (Autumn, 1971), 337.
66 Sebagai sebuah ideologi politik, liberalisme sangat menjunjung tinggi toleransi,
hak-hak individu dan keragaman gaya hidup. Beberapa ahli politik yang memiliki
pandangan liberal di antaranya; Adam Smith (1723-1790), Thomas Paine (1737-1809),
Benjamine Constant (1767-1830), dan James Madison (1751-1836). Lihat M. Legenhausen,
"Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010), 9.
67 M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana
Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra
Press, 2010), 9-14.
43
secara eksklusif mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar serta
memandang salah agama-agama lainnya.68
Menurut aktivis INSITS, pluralisme lahir seiring proses liberasi kehidupan
di dunia Barat dalam segala bidang, khususnya di sektor sosial-politik (pluralisme
politik), kemudian merambah ke arah sosial agama yang memposisikan semua
agama adalah setara dan sama memiliki kebenaran yang relatif. 69
Adian Husaini
menegaskan bahwa liberasi di dunia barat adalah antitesa dari kondisi trauma
historis yang disebabkan oleh beberapa hal; pertama, trauma sejarah terkait masa-
masa kegelapan (the dark ages) atau zaman pertengahan (the medieval ages) yang
berawal dari jatuhnya Romawi pada tahun 476 M sampai era renaisans
(renaissance) di abad 14. Kedua, terkait dengan otentisitas teks dan makna-makna
dalam bibel. Ketiga, doktrin-doktrin teologis kristen, seperti trinitas dan doktrin
extra ecclessiam nulla salus.70
Hal-hal tersebutlah yang dikritik oleh kalangan
pluralis dengan tujuan menjauhkan manusia dari doktrin-doktrin agama
partikularis dan bersikap objektif terkait keragaman agama.
Berdasarkan tinjauan historis di atas, dapat disimpulkan bahwa pluralisme
agama memiliki kaitan yang sangat erat dengan liberalisme politik dan teologi
liberalisme kristen. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Muhammad Legenhausen,
"Islam and Religious Pluralism", dimana Legenhausen mebahas liberalisme politik
Barat dan teologi liberal kristen (protestanisme liberal) beserta kaitannya dengan
gagasan pluralisme agama dalam masing-masing bab.71
Atau dalam sumber lain,
dapat dilihat dari pandangan Anis Malik Thoha, dalam beberapa tulisannya seperti,
‚Konsep World Theology dan Global Theology,‛ Majalah Islamia, No 4 Januari-
Maret 2005; ‚Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam.‛ Paper untuk
‚Workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V,‛ Pasuruan, 4-5 April
2005; Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif, 2005).72
68
M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana
Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra
Press, 2010), 14-15. 69
Lihat Veit Bader, "Religious Diversity and Democratic Institutional Pluralism"
Political Theory, Vol. 31, No. 2 (Apr., 2003), 265-294; Ahmad Khoirul Fata, "Kritik
"INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni
2017), 31-56. 70
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal ( Jakarta: GIP, 2005), 28-51, dalam Ahmad Khoirul Fata, "Kritik
"INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni
2017), 37-38. 71
Lihat M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi &
Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta:
Shadra Press, 2010). 72
Ahmad Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama",
Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 54-56.
44
Dalam wacana keberagamaan, pluralisme berada di posisi yang bersebrangan
dengan eksklusivisme. Dimana pluralisme menganggap bahwa klaim kebenaran
(claim of truth) dan klaim keselamatan (claim of salvation) tidak dimonopoli oleh
satu agama tertentu. Menurut Ernst Troeltsch (1865-1923), agama-agama adalah
produk kondisi kultural yang ditentukan oleh sejarah, semua tradisi-tradisi agama
mengandung kebenaran yang relatif dan bersifat normatif hanya untuk pengikutnya
masing-masing. Berangkat dari relatifitas kebenaran agama inilah Ernst berasumsi
bahwa tidak ada satu agama manapun yang berhak mengklaim dirinya paling
benar.73
Selain relatifitas kebenaran agama, relatifitas sejarah (historical relativity)
juga digunakan Wilhelm Dilthey (1833-1911) sebagai suatu pendekatan dalam
memahami keberagaman agama. Filsuf berkebangsaan Jerman ini berpendapat
bahwa agama adalah produk sejarah manusia dan hanya sejarah lah yang mampu
menyingkap watak manusia secara hakiki, bukan agama.74
Agama-agama
berkembang dinamis di atas relatifitas sejarah ini, sehingga kebenaran agama-
agama dipandang relatif berdasarkan relatifitas sejarah. Sebagaimana Troeltsch
dan Dilthey, kesadaran historis dalam memahami agama juga dapat ditemukan
dalam tulisan-tulisan ahli sejarah besar asal Inggris, Arnold Toynbee (1889-1975).
Lebih dari itu, Toynbee menyarankan bagi umat kristiani untuk meninggalkan
sikap ortodok, eksklusif, dan intoleransinya dalam memandang agama-agama lain
sebagai jalan kesesatan dan menganggap bahwa kristen adalah agama yang paling
benar yang menjamin keselamatan.75
Pluralisme agama sebagai refleksi dari keberagamaan agama memiliki
gagasan yang beragam. Dalam hal ini, Anis Malik Thoha menemukan gagasan-
gagasan pluralisme tersebut yang sangat bergantung pada latar belakang keilmuan
para tokoh yang merumuskan pluralisme tersebut. Menurut Thoha, setidaknya ada
empat gagasan pluralisme sebagai corak dari konsep teologis ini, yaitu;
Humanisme Sekuler, Teologi Global, Sinkretisme dan Hikmah Abadi (Shophia Perennis)
76.
73
Ernst Troeltsch, The Absoluteness of Christianity and the History of Religions
(London: SCM Press, 1972) dalam, Ed. David F. Ford, The Modern Teologians, An Introduction to Christian Theologt in the Twentieth Century, cet. 2 (UK: Blacckwell
Published Ltd, 1997), 628. 74
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dalam M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010), 9-14.
75 M. Legenhausen, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi & Ana
Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra
Press, 2010), 25-26. Lihat Arnold Toynbee, Cristianity Among the Religion of the World
(Oxford: Oxford University Press, 1957) dan atikel "Arnold Toynbee" di New Chatolic Encyclopedia.
76 Ahmad Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama",
Kalam, Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 40.
45
Menurut Thoha, humanisme sekuler berawal dari gagasan Protagoras
tentang sentralitas manusia sebagai standar segala sesuatu. Thoha menganggap
gagasan tersebut sebagai hakikat dari relativisme, sebab gagasan tersebut akan
menapikan suatu hakikat dan kebenaran absolut.77
Prularisme dan corak seperti ini
dapat dilihat pada konsepsinya Ernst Troeltsch, Wilhelm Dilthey dan Arnold
Toynbee dengan pendekatan relatifitas kebenaran agama dan relatifitas sejarah,
seperti yang disebutkan di atas, dalam merumuskan konsep peluralismenya.
Panganan Thoha ini ditolak oleh Alwi Shihab. Shihab keberatan relativisme
disamakan dengan pluralisme, sebab pluralisme memiliki batasan-batasan yang
bersifat absolut yang tidak dapat dipertemukan atau disamakan dalam setiap
agama.78
Kemudian, gagasan kedua dari Pluralisme yang dimiripkan dengan gagasan
teologi global terletak pada kesamaan pandangan dan tujuan dari keduanya untuk
menghapuskan sekat-sekat yang ada pada agama, sehingga menurut Thoha
pluralisme sama halnya dengan globalisasi agama. Sedangkan kesamaan pluralisme
dengan gagasan sinkretisme terletak pada kecenderungan pluralisme untuk
mencampurkan dan merekonsiliasikan beberapa unsur dalam agama-agama dalam
wadah tertentu.79
Meskipun banyak dari kalangan pluralis yang menyangkal
penyamaan pluralisme dengan sinkretisme, akan tetapi, gagasan bahwa semua
agama sama dan sama-sama mengandung kebenaran, atau seperti yang
diungkapkan Nurcholis Madjid, "satu Tuhan banyak agama"80
, dan beberapa
pluralis lainya, memberikan peluang terhadap lahirnya ide sinkretisme tersebut.
Adapun kesamaan pluralisme dengan gagasan hikmah abadi (Shophia Perennis), berangkat dari pandangan bahwa agama terdiri dari dua aspek; esoteris
dan eksoteris. Aspek pertama adalah substansi dari agama, yakni hakikat
transenden yang tunggal. Sedangkan aspek kedua merupakan manifestasi eksternal
transenden yang diekspresikan secara beragam oleh para pemeluk agama.81
Keberagaman agama dengan masing-masing tradisi eksoterisnya berasal dari satu
hakikat transenden yang sama pada setiap agama. Dalam pandagangan Hick,
77
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Perspektif, 2005); Ahmad
Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam, Volume
11, Nomor 1, (Juni 2017), 40. 78
Alwi Shihab, dalam Fatonah Dzakie, "Meluruskan Pemahaman Pluralisme dan
Pluralisme Agama di Indonesia", Al-Adyan, vol. IX, no. 1 (Januari-Juni, 2014), 86-87. 79
Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam,
Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 41-43. 80
Lihat Madjid, Nurcholis, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta : Paramadina,
1994); Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan,
kemanusiaan dan Kemoderenan (cetakan ke II), (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1992);
Islam Universal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007); Catur Widiat Moko, "Pluralisme
Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005) dalam Konteks Keindonesiaan", Medina-te, vol. 16, no. 1 (Juni, 2017).
81 Ahmad Khoirul Fata, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama",
Kalam, Vol.ume 11, Nomor 1, (Juni 2017), 43-44.
46
terdapat suatu transformasi dari self-centredness menuju reality-centredness,82
yang melahirkan kesimpulan bahwa keselamatan ada pada semua agama karena
berasal dari satu hakikat transenden yang sama sebagai sang Maha Penyelamat.83
John Hick membangun teologi pluralisnya secara induktif, berangkat dari
pengamatannya akan kemajemukan agama, dan menurutnya, klaim masing-masing
agama sebagai pembawa keselamatan adalah absah. John Hick mengklaim
terhadap dirinya sebagai seorang yang berkomitmen kepada iman, yaitu bahwa
pengalaman beragama Kristen bukan semata-mata proyeksi manusia namun juga
sebagai respons kognitif terhadap realitas transenden. Jika seseorang terlahir pada
suatu tradisi keagamaan, maka besar kemungkinannya bahwa seseorang itu akan
hidup dengan cara tradisi keagamaan tersebut84
. Dari sini lah John Hick
mengembangkan hipotesanya dan meyakini bahwa agama-agama di dunia memiliki
pengalaman religius dan respons kognitif yang sama terhadap yang transenden,
meskipun diekspresikan secara berbeda.85
Pandangan lain tentang Pluralisme sebagai sebuah konsep keberagamaan
diungkapkan oleh Paul Morris, ia menuturkan bahwa pluralisme agama digunakan
secara deskriptif dan perskriptif. Secara deskriptif, klaim ini menggambarkan
tentang realitas religius kontemporer berkaitan dengan keragaman tradisi
keagamaan dan kontak yang meningkat di antara mereka. Secara preskriptif, ini
menguraikan situasi ideal tentang sebuah hubungan yang sangat harmonis antara
berbagai agama, berdasarkan toleransi, dialog, dan saling pengertian. Baik
pluralisme politik dan agama hanya dapat dipahami dalam kerangka kerja negara
demokrasi liberal. Bukanlah kebetulan bahwa pluralisme agama telah berkembang
dalam, dan hanya di, negara-negara yang sudah berkomitmen terhadap pluralisme
politik. Baik pluralisme agama maupun politik adalah varian dan koreksi terhadap
hubungan liberal klasik individu terhadap negara. Kebebasan beragama tergantung
pada konsepsi liberalisme tentang hubungan ini.86
Pluralisme secara deskriptif dalam pandangan Morris adalah kesadaran
terhadap fakta pluralitas, sedangkan pluralisme secara perspektif adalah upaya
solutif dalam menyikapi fakta pluralitas tersebut. dalam ranah perspektif inilah
pluralisme diterjemahkan secara beragam dalam berbagai opini para akademisi
atau masyarakat secara umum dan melahirkan kerumitan tersendiri, sebagaimana
yang diuraikan oleh Thaha di atas. Kerumitan tersebut dibahasakan oleh Gavin
D'Costa sebagai ambiguitas pluralisme. Menurut Gavin D'Costa, Perbedaan antara
pluralisme dan eksklusivisme terletak ada pada kriteria kebenaran yang dipegang
82
Pengalaman spiritual personal menuju yang Real (Tuhan, dalam istilah Hick) yang
terpusatkan. 83
Lihat John Hick, "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4,
(Cambridge University Press: 1981), 453. 84
Hick, "On Grading Religions", 454. 85
Christian Sulistio, "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebuah Dialog Kritis
Dari Perspektif Partikularis", Veritas, 2/1 (April 2001), 56. 86
Paul Morris, "The Limits of Pluralism", A Journal for the New Europe, Vol.
19/20, No. 2/1 (Winter 1985/Summer 1986), 61.
47
oleh masing-masing konsep keberagamaan tersebut. Secara proses logisnya,
pluralisme akan memegang kriteria kebenaran menurut persepsinya secara ekslusif,
sebagai sebuah kriteria kebenaran lain yang berbeda dengan apa yang dipegang
oleh ekslusivisme. Berangkat dari sanalah Gavin D'Costa berkesimpulan bahwa
pluralisme akan secara logis menjadi bentuk eksklusivisme, sekaligus menjadi
landasan argumentasinya tentang kemustahilah pluralisme dalam memandang
keragaman agama (the impossibility of a pluralist view of religions).87
Kehidupan yang pluralis menuntut manusia untuk berfikir kreatif dalam
menyikapinya. Pluralitas dalam ranah pemikiran, etika, dan perspektif keagamaan
pun lahir dari kreativitas manusia tersebut. Harold Coward, seorang profesor dan
pimpinan Departement of Religious Studies, University of Calgary, membahas
dengan panjang lebar tentang pluralisme dan kaitannya dengan agama-agama
dalam bukunya yang berjudul "Pluralism, Challange to Word Religions". Coward
mengkaji pluralisme dalam tinjauan historis dan kekinian dengan memposisikan
pluralisme sebagai tantangan bagi agama-agama. Coward menyimpulkan bahwa
sikap agama dalam menanggapi tantangan pluralisme menghasilkan tiga tema dan
prinsip umum pluralisme; pertama, pluralisme dalam agama dapat dipahami
dengan baik dalam kaitannya dengan konsepsi logis tentang "Satu yang berwujud
banyak", yakni realitas transenden yang menggejala dalam bermacam-macam
agama. Kedua, terdapat suatu pengakuan bersama mengenai kualitas pengalaman
agama partikular sebagai alat untuk menuju satu realitas transenden. Ketiga, spiritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada
agama-agama lain secara partikularis.88
Tema pertama, Satu yang berwujud banyak, merupakan penjelasan yang
paling tua dan paling mutakhir dalam pluralisme agama. Karl Jasper, John Hick,
Wilfred Cantwell dan pluralis lainnya menggunakan logika ini untuk membangun
argumentasinya tentang pluralisme agama, sebagai upaya untuk menjabarkan
agama pada satu ide umum atau menjadikan semua agama satu. Namun konsepsi
logis ini rupanya mendapat banyak kritikan bahkan penolakan dari agama-agama,
dan dianggap telah merenggut prinsip kebebasan beragama karena menciptakan
sebuah agama universal sama dengan paksaan terhadap agama. Hal ini
diungkapkan Charles Davis dalam ceramahnya yang dibacakan pada pertemuan
tahunan dari Canadian Society for Study of Religion, Montreal, Mei 1980.89
Tema kedua adalah agama-agama menjadi alat untuk sampai kepada realitas
transenden yang Satu. Wahyu, doktrin dan unsur-unsur dalam tiap agama adalah
sarana untuk mencapai yang Satu, agama-agama bagaikan kapal-kapal yang
membantu manusia menyebrangi lautan atau sungai untuk sampai pada pencerahan
di seberang, atau dalam istilah lain "banyak jalan menuju Tuhan". Semua agama
87
Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press, Juni, 1996), 227-228.
88 Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989), 168-169. 89
Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 189-170.
48
sepakat bahwa agama adalah media untuk mencapai realitas yang Satu sebagai
sumber keselamatan dan kebahagiaan, namun permasalahan yang akan timbul dari
tema pluralisme ini adalah ketika agama-agama memutlakkan yang Satu itu secara
beragam dengan konsepsi teologisnya masing-masing, sehingga ada banyak yang
Satu sebanyak agama yang ada di muka bumi ini.90
Kemudian, tema ketiga adalah tentang pengenaan kriteria yang
mengabsahkan. Dalam menaggapi fakta pluralitas agama, para agamawan akan
menggunakan kriteria kebenaran menurut agamanya masing-masing, begitupun
bagi sorang pluralis, baik disadari ataupun tidak, ia harus terlebih dahulu
menentukan kriteria kebenarannya untuk mengabsahkan agama berdasarkan
kriteria kebenaran yang telah dirumuskannya.91
Hal ini semacam inter subjektivitas
dalam menentukan suatu kebenaran dalam hal agama, sehingga semua agama benar
menurut perspektif dan tradisinya masing-masing, atau sebagaimana yang
asumsikan oleh Gavin D'Costa bahwa pluralisme akan menjadi bagian dari
eksklusivisme berdasarkan kinerja logika dalam mengabsahkan suatu realitas,
meskipun seorang pluralis tidak akan mengakui jika dirinya disebut sebagai bagian
dari kelompok eksklusifis.92
Agama-agama berinteraksi dan berbenturan antara satu dengan yang lainnya,
para teolog berlomba untuk memperluas pandangan eksklusifnya, entah untuk
mempertegas identitasnya atau untuk menunjukkan kredibilitasnya guna menjaga
eksistensi agamanya. Eksklusivisme sedemikian rupa ditekan demi kerukunan
beragama, sedangkan pluralisme masih sulit menemukan tempatnya di hati umat-
umat beragama. Kritikan bijak dari Rousseau, sebagaimana yang dikutip oleh Paul
Morris, hendaknya kita berhati-hati untuk tidak mengganti rasionalisme liberal
dengan kerangka lain yang bernama pluralisme, tetapi dengan membebaskan tradisi
kita dari batasan-batasan liberalisme-universal, kita dapat membiarkan tradisi
tersebut kembali menjadi tradisi total yang dinamis. Karena harga religius yang
kita bayar untuk kebebasan liberal mungkin terlalu tinggi untuk dikorbankan.93
Berdasarkan pemaparan di atas, eksklusivisme adalah sebuah keniscayaan
dalam beragama, yang memberikan kekuatan simbolis antara pemeluk dan
agamanya. Eksklusivisme dalam beragama akan lebih difahami dan bijak jika
diletakkan dalam ranah teologis atau keyakinan, tetapi ketika berada dalam ranah
sosial dengan realitasnya yang multikultural, maka eksklusivisme kerap menjadi
pencoreng wajah agama yang memberi kesan tidak ramah. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, di antaranya adalah faktor penafsiran terhadap teks-teks
keagamaan. Kemudian inklusivisme sebagai jalan tengah, adalah konsepsi dalam
beragama yang tetap mempertahankan unsur eksklusif-teologis namun lebih
90
Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 170-172. 91
Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", 172-178. 92
Lihat, Gavin D‘Costa, ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛
Religious Studies, Vol. 32, No. 2, (Cambridge University Press, Juni, 1996) : 227-228. 93
Rousseau, dalam Paul Morris, "The Limits of Pluralism", A Journal for the New Europe, Vol. 19/20, Vol. 19, no. 2/Vol.20, no. 1 (Winter 1985/Summer 1986), 65.
49
terbuka dengan komunitas lain, akan tetapi terkadang inklusivisme melangkah
terlalu jauh hingga lebih dekat dengan pluralisme, yakni mensejajarkan agama-
agama dengan meyakini bahwa semua agama adalah benar dan memberi jalan
keselamatan. Tiga tipologi konsep keberagamaan di atas, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Hemat penulis, beragama yang bijak adalah eksklusif
dalam berkeyakinan namun inklusif dalam bersosial, dengan menyadari
sepenuhnya fakta pluralitas sebagai rahmat Tuhan.
50
51
BAB III
EKSKLUSIVISME DALAM TAFSI><R MUH{AMMAD BIN S{A<LIH{
AL-‘UTHAIMI<N
Pada bab ini, penulis hendak membahas eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n yang dimulai dengan pembahasan tentang biografi Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, analisis metodologis Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, kemudian
relasi antara Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan ortodoksi tafsir tradisional, truth claim
(klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) sebagai instrumen
keberagamaan yang eksklusif. Bab ini merupakan ranah aksiologis dari teori-teori
yang dideskripsikan pada bab sebelumnya terkait konsep keberagamaan.
A. Sketsa Biografis Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
Pengetahuan tentang sejarah perkembangan hidup Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n merupakan piranti penting sebagai tahapan awal untuk dapat
menyelami pemikiran dan memahami hakikat dari segala yang dilakoninya. ‘Abba>s
Mah}mu>d al-‘A<qqa>d menyebutkan bahwa sejarah perkembangan hidup (al-nasha'ah)
sangat diperlukan sebagai tahapan awal untuk mengetahui sifat dan karakter
seseorang.1 Pada konteks pembahasan ini, penulis hendak memaparkan tentang
sketsa biografis Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, khususnya berkaitan dengan
kelahiran, perjalanan intelektual, dan otentisitas Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m.
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi}n memiliki panggilan (kunyah) Abu
‘Abdillah, hal ini dinisbahkan kepada anaknya yang paling besar.2 Adapun nama
lengkap dan silsilah beliau adalah Abu ‘Abdillah, Muh}ammad bin S{a>lih} bin
Muh}ammad bin Sulaima>n bin 'Abd al-Rah}ma>n bin ‘Uthma>n bin 'Abdullah bin 'Abd
al-Rah}ma>n bin Ah}mad bin Muqbil al-Wuhaibi> al-Tami>mi>. Nama al-‘Uthaimi>n
sendiri sebenarnya sebutan bagi kakeknya yang ke empat, yaitu ‘Uthma>n bin
'Abdullah. Namun, sebagai mana kebiasaan orang Arab pada umumnya, mereka
sering mengaitkan seseorang dengan nama ayah atau kakeknya, sehingga
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dikenal dengan sebutan S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n atau
Ibn ‘Uthaimi>n.
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi}n dilahirkan pada tanggal 27 Ramadan
tahun 1347 H., di kota ‘Unaizah, sebuah kota di wilayah Qasi>m, Najd, bagian
tengah Jazirah Arab.3 Di kota tersebut banyak yang tinggal dari kalangan ulama,
hakim, dan orang-orang yang shaleh, salah satu di antaranya adalah Shaikh al-
1 Ungkapan al-‘Aqqād tersebut dikemukankan ketika beliau membahas biografi
‘Amr bin al-‘A<s}. ‘Abba>s Mah}mu>d al-‘A<qqa>d, ‘Amr bin al-‘A<s}, (Cairo: Nahz}ah Mis}r, 2005),
18. 2 ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-
Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 19.
3 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}
al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 10.
52
Mutarjim al-Sa‘dī. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terlahir di keluarga
sederhana, ayahnya adalah seorang pebisnis yang berdagang antara Riyad} dan
'Unaizah, kemudian ia menetap di 'Unaizah dan bekerja di Da>r al-Aitam sebelum
ajal menjemputnya.4 Keluarga Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga merupakan
keluarga yang cinta ilmu dan berpegang teguh pada agama, hal ini dapat terlihat
dari awal perjalanan intelektual Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang dimulai
dari pengajaran kakeknya dari jalur ibunya, al-Shaikh 'Abdurrahman bin Sulaima>n
al-Da>migh, seorang imam dan guru di masjid al-Kharizah di kota ‘Unaizah,
padanya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belajar al-Qur'a>n dan
menyelesaikannya secara naz}ran, kemudian beliau belajar kita>bah (menulis
khat/kaligrafi) dan beberapa ilmu lainnya di Madrasah al-Ustadz ‘Abdul ‘Aziz bin
S{a>lih} al-Dāmigh.5
‘Unaizah merupakan kota kecil setingkat kabupaten. Namun demikian, kota
kecil ini memiliki sejarah panjang yang berkelanjutan hingga sekarang sebagai kota
pencetak para ulama, dan di antaranya lahir dari leluhur Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, yaitu dari kalangan Bani Tamim, al-'Alamāh Shaikh ‘Abdullah bin
Ah}mad ‘Ad}ib al-Tamimi> (w 1161 H.), beliau merupakan ulama terkemuka pada
masanya, seorang hakim ‘Unaizah pada tahun 1110 H, dan seorang guru terkemuka
sehingga dengan keluasan ilmunya banyak orang-orang belajar kepadanya. Salah
satu muridnya yang terkenal adalah Shaikh H{amda>n bin Turki> bin H{amda>n (w.
1203 H). Selain al-'Alama>h Shaikh 'Abdullah bin Ah}mad 'Ad}ib al-Tamimi>, masih
banyak ulama-ulama lainnya yang lahir di kota kecil ‘Unaizah tersebut, sebut saja
al-‘Ala>mah ‘Abdullah bin ‘Abdirrah}man bin Aba> Ba>t}i>n (w. 1282 H), seorang
hakim dan guru besar, guru dari Shaikh 'Ali> bin Muh}ammad A<li Ra>shid} (w. 1303
H), Shaikh 'Abdul ‘Aziz bin Muh}ammad bin Ma>ni‘ (w. 1307 H), Shaikh ‘Abdullah
bin ‘A<id} (w. 1322 H) yang terkenal dengan ilmu qira'ah dan memiliki suara merdu
serta tulisan kaligrafi yang bagus, dan merupakan salah satu dari guru mufassir
ternama, al-‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘di>. Kemudian Shaikh
S{a>li>h} bin ‘Uthma>n al-Qa>d}i, yang juga merupakan guru al-‘Ala>mah Shaikh
‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘dī dalam bidang ilmu tauhid, tafsir, fiqih, usul fikih,
dan nahwu, kurang lebih al-Sa‘dī beajar kepada beliau selama 20 tahun. Dan ulama
terkenal lain dari ‘Unaizah, bisa dikatakan salah satu ulama satu generasi dengan
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, yaitu Shaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrah}man al-
Bassa>m, yang dilahirkan satu tahun sebelum Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n,
pada tahun 1346 H. Beliau seorang ulama yang terkenal dengan wawasan ilmu
agama, bahasa arab dan ilmu politiknya.6
4 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-
Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 19- 22.
5 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi>
Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 9. 6 Lihat Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 45-47.
53
Keluarga yang cinta ilmu serta lingkungan dengan kultur pendidikan yang
baik turut membentuk kepribadian Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, khususnya
pada semangat beliau dalam mencari ilmu. Bisa dikatakan beliau merupakan orang
yang haus akan ilmu dan memiliki semangat tinggi dalam belajar. Dalam
penuturan Shaikh Abdullah al-Ma>ni‘, seorang seorang Qa>d}i> (hakim) di ‘Unaizah,
menyebutkan bahwa Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, sering datang ke
rumahnya di pagi hari dengan kitab-kitab dan lembaran kertas pelajaran di atas
kepalanya, mengetuk pintu dan mengucapkan salam, kemudian meminta izin untuk
naik ke ruang perpustakaan, dan di sana ia membaca dan belajar hingga waktu
menjelang dhuhur. Pada saat itu usia Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belum
mencapai usia balig.7 Tentu hal ini merupakan fenomena yang jarang di temukan di
usia anak yang pada umumnya sibuk dengan dunianya bermain. Karakter inilah
yang menjadi modal awal dan menjadikan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menjadi seorang ulama besar.
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n hidup dalam kondisi sosial masyarakat
Arab yang telah stabil, kelahiran beliau berada di era bersatunya kerajaan Arab
Saudi dan berakhirnya berbagai fitnah serta konflik yang telah terjadi di Jazirah
Arab pada masa sebelumnya.8 Yaitu ketika diproklamasikannya kerajaan Saudi
Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su‘u>diyah) oleh Raja ‘Abdul ‘Aziz Ibn
‘Abdurrah}man al-Sa‘u>d pada tanggal 23 September 1932, yang mana beliau sendiri
yang menjadi raja pertamanya, dengan menyatukan wilayah Riyad}, Najd (Nejed),
Hay al-Asir, dan Hijaz.9 Selain stabilitas keamanan, kondisi Arab pada masa itu
juga tengah berada dalam era perkembangan dan kemajuan diberbagai bidang,
seperti tekhnologi, transportasi dan lain sebagainya. Ditemukannya sumber-sumber
minyak bumi pada tahun 1357 H /1932 M yang memberikan pengaruh besar
terhadap stabilitas dan perkembangan negara, termasuk dalam hal pendidikan.10
Dari pendapatan negara yang tinggi tersebutlah Ibnu Sa‘u>d mampu beberapa
sarana pemerintah, seperti jalan-jalan raya, pemancar radio, jaringan telpon dan
lain-lain.11
Kondisi Jazirah Arab yang stabil dan makmur ini memberikan dampak
positif terhadap kemudahan hidup penduduknya, termasuk dalam hal pendidikan.
Dengan demikian, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, yang kala itu masih
7 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-
Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 25.
8 Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa
Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 27. 9 Abu Haif, "Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern)",
Jurnal Rihla, Vol 1, No. 1, (Oktober: 2015), 13. 10
‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 21.
11 Abu Haif, "Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern)",
Jurnal Rihla, Vol 1, No. 1, (Oktober: 2015), 14.
54
berumur sepuluh tahun, bisa menuntut ilmu dengan tenang dan tentram tanpa
terganggu dengan masalah konflik ataupun ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari
jawaban beliau ketika ditanya: "Apakah selain mencari ilmu engkau juga sibuk
untuk bekerja?" Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjawab: "Tidak, karena
orang tua berada di Riyad} dengan kondisi hidup yang mudah".12
Perjalanan intelektual Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dimulai sejak ia
masih kecil oleh keluarganya, yaitu melalui pengajaran kakeknya, al-Shaikh
‘Abdurraḥman bin Sulaima>n al-Da>migh.13
hingga pada umurnya yang ke tiga belas
tahun, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mulai belajar dari berbagai sumber di
berbagai tempat di kota 'Unaizah. berdasarkan penuturan al-Shaikh Ibrahi>m al-
Jat}i>li>, pada usianya yang tergolong masih beliau, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n telah menghafal al-Qur'a>n selama 6 bulan di bawah pengajaran gurunya
yang tunanetra, ‘Ali> bin ‘Abdillah al-Shahi>ta>n, kemudian perjalanannya dalam
menimba ilmu dimulai dari masjid ke masjid pada tahun 1371 Hijriyyah.14
Kemudian pada umurnya yang ke delapan belas, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n belajar kepada al-'Ala>mah Shaikh ‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘di>.
Pada tahap awal, pengajaran tidak langsung diberikan oleh al-Sa‘di>, namun oleh
dua muridnya yang memang dikhususkan untuk mengajar siswanya yang masih
anak-anak. Dua murid al-Sa'di> tersebut adalah Shaikh Muh}ammad bin ‘Abd al-
‘Aziz al-Mut}awwi‘ dan Shaikh ‘Ali> bin H{amdi al-S{a>lih}i>. Pada masa ini
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membaca dan mempelajari kitab-kitab, di
antaranya Mukhtas}ar al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah karya al-Sa‘di>, Minha>j al-Sa>liki>n fi> al-Fiqh, yaitu kitab permasalahan-permasalahan fiqih karya al-Sa'di>, kemudian
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga belajar kepadanya al-Jurumiyyah dan al-Fiyyah. Kemudian, setelah menyelesaikan tahap awal tersebut, barulah
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n secara formal masuk ke Madrasah al-Sa‘diyyah
atau al-Ja>mi‘ah al-Sa‘diyyah dan mendapatkan pengajaran langsung dari al-
‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurraḥman bin Na>s}ir al-Sa‘di>.15
Kurang lebih selama 11 tahun (1365-1376 H) Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n menimba ilmu dari al-‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurraḥman bin Na>s}ir al-Sa‘di>,
beliau belajar banyak berbagai disiplin ilmu, seperti Tauhid, Must}alah al-Hadi>th,
Tafsi>r, Fiqh, Uṣu>l Fiqh, ilmu waris, Nahwu dan Ṣaraf, dan beberapa kitab seperti
Qat}ru al-Nada> Wablu al-S{ada> karya Ibn Hisham, Za>d al-Mustaqna‘ fi Ikhtis}a>r al-
12
‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 22.
13 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi>
Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 9. 14
Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 65.
15 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h
al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta'a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 25-30.
55
Muqni‘, al-'Aqi>dah al-Wa>sat}iyah dan beberapa kitab lainnya.16
intensitas
kebersamaan yang cukup lama ini memberikan pengaruh besar dalam
pembentukan intelektual dan akhlak Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, tidak
heran jika beliau banyak kemiripan dengan al-Sa‘di> dalam metode pengajaran, cara
dakwah dan akhlaknya, hal ini diakui sendiri oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n.17
Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, dalam al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, menyebutkan empat kemiripan antara al-Sa‘di>
dan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, pertama, kemiripan dalam metode dan
retorika pengajaran dalam menyampaikan atau menjelaskan suatu masalah serta
keduanya banyak merujuk kepada pendapat Ibn Taimiyyah dan muridnya Ibn al-
Qayyim. Kedua, kemiripan tempat, karena keduanya berasal dari 'Unaizah. Ketiga,
kemiripan nasab, yaitu bani Tami>m. Keempat, kemiripan kerabat.18
Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memiliki kedudukan khusus di hati Shaikh al-Sa’di>, hal ini
terbukti ketika orang tua beliau hendak pindah ke Riyaḍ dan menginginkan beliau
supaya ikut pindah, maka Shaikh Abdurrah}man al-Sa’di> menulis surat kepada
orang tuanya supaya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak meninggalkannya di
‘Unaizah.19
Ketika Shaikh ‘Abdurrah}man bin ‘Ali> bin ‘Auda>n menjadi hakim di
‘Unaizah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belajar kepadanya ilmu fara>-id} (ilmu
waris), selain itu, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga pernah belajar kepada
Shaikh ‘Abd al-Raza>>q al-‘Afi>fi>> ilmu gramatikal bahasa arab seperti ilmu nahwu
dan balaghah.20
kemudian pada tahun 1371 H, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
diperintahkan oleh gurunya al-Sa‘di> untuk mengajar para murid yang masih
pemula, sebagaimana yang diperintahkan al-Sa‘di> kepada dua muridnya, Shaikh al-
Mut}awwi‘ dan Shaikh ‘Ali untuk mengajar Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
ketika masih pemula. Namun hal ini tidak berlangsung lama, sebab pada tahun itu
telah dibuka Ma'had al-‘Ilmi> di Riyad}, dan atas anjuran Shaikh ‘Ali> al-S{a>lihi>,
setelah meminta izin kepada Shaikh al-Sa‘di>, pada tahun 1372 H, Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n melanjutkan studinya di Ma‘had al-‘Ilmi>, Fakultas Shari‘ah, di
16
Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 35; Lihat juga,
‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta'a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 45.
17 Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h
al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 35.
18 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}
al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 70-71.
19 Wali>d, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, 66. 20
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh Usu>l fi> al-Tafsi>r, (Unaizah: Mu-
assasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H), 8.
56
Riyad}.21
Pada saat itu Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n berusia 25 tahun, beliau
masuk di tahun kedua pasca dibukanya Ma'had ‘Ilmi> tersebut.22
Pada masa itu,
Ma'had ‘Ilmi> memiliki dua program pembeajaran, yaitu umum (reguler) dan khusus
(percepatan). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengambil program khusus,
yaitu bisa memanfaatkan waktu libur untuk belajar atau pemadatan, sehingga
beliau menyelesaikan studinya hanya dalam waktu dua tahun.23
Ketika berada di Riyaḍ, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dengan karakter
yang tekun dan haus akan ilmu, tidak menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut,
beliau sangat bersungguh-sungguh dalam belajar, terlebih pada lembaga tersebut
berkumpul para ulama besar yang memiliki keilmuan yang luas, seperti al-'Ala>mah
al-Mufassir al-Shaikh Muh}ammad al-Ami>n al-Shinqi>t}i>, al-Ima>m al-Muhaddith
‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abdullah bin Ba>z, kepadanya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n belajar kitab S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Risa>lah Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah,
dan beberapa kitab fikih lainnya.24
Kemudian, di sana juga terdapat nama al-
‘Ala>mah al-Faqi>h ‘Abd al-Raza>q ‘Afi>fi> dan yang lainnya. Hal ini merupakan
nuansa baru bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n dalam perjalanan
intelektualnya, dimana beliau harus menggabungkan dua karakter pembelajaran
antara ‘Unaizah dan Riyad}, dan dengan modal kecerdasan dan ketekunan yang
dimiliki beliau, hal tersebut menjadikan wawasan keilmuan Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n semakin luas ketika berada di Riyaḍ. Tidak herah jika Shaikh ‘Abd
al-‘Aziz al-Da>wu>d (anggota Dār al-Ifta>') mengungkapakan bahwa Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memiliki keistimewaan dalam hal ilmu dan pemahaman.25
Di antara guru-guru Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, yang memberikan
pengaruh cukup banyak pada pembentukan intelektual dan karakter beliau, setelah
al-Sa‘di>, adalah ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z, Mufti 'A<m kerajaan Saudi Arabia. Ketika
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n belajar di Ma'had ‘Ilmi>, Riya>d}, ‘Abd al-‘Aziz
bin Ba>z mengajar sebagai dosen Akidah, Hadi>th, dan Fikih. Berdasarkan
pengakuan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, beliau menuturkan bahwasanya
beliau banyak sekali menimba ilmu dari gurunya tersebut, khususnya di bidang
hadi>th, tentang bagaimana mempelajari dan mengamalkan hadi>th. ‘As}a>m bin ‘Abd
al-Mun‘im al-Mari> menyebutkan bahwa setidaknya ada empat hal keterpengaruhan
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n oleh ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z, yaitu akhlak,
manhaj (metodologi), mu‘amalah (sosial), dan bagaimana cara berinteraksi dengan
al-Qur'a>n dan sunnah, baik dalam hal mempelajarinya, menjadikannya dalil dan
21
Al-‘Uthaimi>n, Sharh Usu>l fi> al-Tafsi>r, 65. 22
Lihat, ‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 45-47.
23 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}
al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 66.
24 Na>s}ir bin Musfir al-Zahra>ni>, Ibn ‘Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, (Jeddah: Da>r Ibn al-
Jauzi>, 2001), 30 25
Al-Zahra>ni>, Ibn ‘Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, 48-49.
57
mengamalkannya.26
Kuatnya pengaruh ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z terhadap sosok
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dapat dilihat juga dari kesamaan madhhab
akidah dan madhhab fikih kedunya, yaitu bermadhhab Salaf dan H{anabilah.
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n selain sebagai murid, beliau juga merupakan
penerus jejak perjuangan gurunya ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z, baik dalam hal
pendidikan maupun dakwah. Selepas ‘Abd al-‘Aziz bin Ba>z meninggal dunia,
orang pertama yang menggantikan posisi beliau adalah beliau, sejak itu,
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lah yang menjadi rujukan dalam hal fatwa.27
Pada tahun 1374 H, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kembali ke
‘Unaizah, yakni setelah dua tahun beliau menyelesaikan studinya di Ma‘'had ‘Ilmi>,
melanjutkan kembali belajar kepada Shaikh ‘Abdurraḥman al-Sa’di> sambil
melanjutkan kuliah di Fakultas Shari‘ah di Universitas Imam Muh}ammad bin
Su‘u>d al-Islamiyyah. Dan pada tahun tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
juga diangkat sebagai pengajar di Ma'had 'Ilmi> yang berada di 'Unaizah. Ketika
Shaikh ‘Abdurrah}man al-Sa’di> wafat, maka beliau lah yang menggantikan gurunya
tersebut untuk menjadi imam Masjid Jami’ al Kabir di ‘Unaizah. Kemudian beliau
menjadi tenaga pengajar di Fakultas Shari’ah dan us}u>luddi>n di Universitas Imam
Muh}ammad bin Su’u>d al-I<slamiyyah cabang Qosim. Karena keluasan ilmu dan
sosoknya yang baik, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pernah diangkat menjadi
anggota Hay'ah Kiba>r al-‘Ulama>' di kerajaan Arab Saudi.28
Selain memiliki semangat tinggi dalam belajar, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n juga begitu semangat dalam dunia dakwah, beliau sering memberikan
pengajaran dan fatwa di al-Haram al-Makki>, terutama di bulan Ramadan ketika
orang-orang banyak berkumpul di sana, beliau juga sering memberikan seminar-
seminar dan majlis taklim di banyak kota besar, di berbagai negara, di masjid-
masjid dan di berbagai Universitas.29
Dengan demikian, tidak heran jika
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjabat atau terlibat di beberapa organisasi.
Beliau adalah anggota Hay'ah Kiba>r al-‘Ulama>' di kerajaan Arab Saudi pada tahun
1407 H, anggota Majlis al-‘Ilmi> di Universitas al-Imam Muhammad bin Su‘u>d al-
Islamiyyah 1398 - 1400 H, Anggota Majlis Kuliah Shari‘ah dan Us}u>luddin, cabang
26
‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 59.
27 Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi' li H{aya>ti al-'Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}
al-'Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-'Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 31-33.
28 ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi>
Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 11. 29
Lihat Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi' li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 31-33.
58
Universitas al-Imam Muh}ammad bin Su‘u>d al-Islamiyyah di Qaṣim dan menjadi
ketua jurusan Akidah di sana, serta beberapa posisi lainnya.30
Kesibukan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n di berbagai posisi dan
jabatannya tidak menjadikan alasan baginya dalam hal berkarya, jika dilihat dari
karya-karyanya yang cukup banyak, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merupakan
ulama yang produktif dalam berkarya, lebih dari 50 buku telah beliau hasilkan,
buku pertama yang beliau tulis adalah Fath}u Rabb al-Bariyyah bi Talkhi>s} al-Hamawiyyah (1380 H), yaitu ringkasan dari buku al-Hamawiyyah karya Shaikh
Ibn Taimiyyah. Adapun karya lainnya yang ditulis beliau adalah Must}alah} al-H{adi>th, al-Us}u>l min ‘Ilmi al-Us}u>l, Risa>lah fi> al-Wud}u>' wa al-Ghasl wa al-S{ala>h, Risa>lah fi> Kufr Ta>rik al-S{ala>h, al-Ad}hiyah wa al-Zaka>h, al-Manhaj Limuri>d al-Hajj wa al-‘Umrah, Tashi>l al-Fara>-id}, Lum‘ah al-I‘tiqa>d al-Ha>di> ila> Sabi>l al-Rasha>d, ‘Aqi>dah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, al-Qawa>-id al-Mithali> fi> S{ifa>tillah wa Asma>-ihi al-Husna>, Risa>lah fa> al-H{ija>b, Risa>lah fi al-S{ala>h wa al-T{aha>rah li Ahl al-A‘dha>r, Risa>lah fi> Mawa>qit al-S{ala>h, Risa>lah fi Suju>d al-Sahwi>, al-Fata>wa> al-Nisa>iyyah, Za>d al-Da>‘iyyah ila> Allah ‘Aza wa Jalla, Fata>wa> al-H{ajj, Us}u>l al-Tafsi>r, Sharh al-Us}u>l al-I<ma>n, Silsilah Liqa>'i al-Ba>b al-Maftu>h, Ahka>m min al-Qur'a>n al-Kari>m, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, dan beberapa buku lainnya, baik berkaitan
dengan akidah, fikih, tafsir, hadith, akhlak, maupun sosial.31
Secara afiliasi madhhab fikih, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah
seorang yang bermadhhab Hanbali, sebagaimana berkembangnya madhhab tersebut
di daerah dimana beliau tumbuh dan berkembang. Beliau juga mendorong dan
mengajarkan kepada murid-muridnya untuk mempelajari madhhab tersebut,
sebagaimana beliau mengajarkan kitab Za>d al-Mustaqni‘ fi Fiqhi Madhhab al-Ima>m Ah}mad. Namun demikian, beliau bukan lah seorang yang jumud dan fanatik
pada satu madhhab, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merupakan ulama yang
cukup kritis, disebutkan bahwa terdapat 89 permasalahan fikih yang berbeda antara
beliau dan madhhab imam Ah}mad.32
Namun demikian, nalar ahl hadi>th nampaknya
cukup melekat pada karakter pemikiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, hal ini
dapat dilihat dari metodologi penafsiran beliau yang lebih mengutamakan
penafsiran berbasis riwayat atau yang dikenal dengan tafsi>r bi al-ma'thu>r.
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n wafat di kota Jeddah pada hari rabu
tanggal 15 di bulan Syawal tahun 1421 H sebelum maghrib, tepatnya jam 05.55
30
‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘Ali> A<li Naumah al-Qah}t}a>ni>, Maba>hith ‘Ilmi al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al--Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n (‘Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura University: 2013), 13.
31 Lihat, Na>s}ir bin Musfir al-Zahra>ni>, Ibn ‘Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, (Jeddah: Da>r
Ibn al-Jauzi>, 2001), 32-35. 32
Walīd bin Aḥmad al-Ḥusain, al-Ja>mi‘ li Ḥaya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-‘Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-Ḥikmah, 2002), 76.
59
waktu setempat, di usianya yang ke 74 tahun berdasarkan tahun Hijriyyah.33
Diceritakan bahwa beliau mengidap penyakit usus hingga harus berobat ke
Amerika Serikat, hingga ketika semakin dekat dengan ajalnya, beliau memutuskan
untuk kembali ke Saudi Arabia. Di sela-sela proses penyembuhannya di Rumah
Sakit al-Ma>lik Fais}al, Saudi Arabia, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n masih
menyempatkan untuk memberikan pengajaran rutinnya di Masjid al-Haram
Makkah, yaitu pada tanggal 9 Ramadan, hingga tanggal 15 Syawal Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Jenazah Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n dibawa dari Jeddah ke Makkah, kemudian ia dishalatkan di Masjid al-
Hara>m oleh ribuan orang. Disebutkan bahwa ketika Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n dishalatkan, Masjid al-Haram dibanjiri oleh lautan manusia, hingga
jalanan di sekitar itu menjadi macet.34
Berdasarkan penuturan al-Shaikh ‘Abd al-Rah}man al-Rayyis, ketika
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dimandikan dan dikafani, terpancar sinar dari
wajah beliau, dan hal itu disaksikan oleh orang-orang yang ikut memandikan dan
mangkafaninya, hingga orang-orang itu menganggap jika Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n seperti telah dimandikan sebelumnya. Wajah Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n nampak tersenyum dengan mulut terbuka hingga giginya terlihat, 'Abd
al-Rah}man, anak Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, mencoba untuk menutup
mulutnya yang tersenyum tersebut selama setengah jam, namun wajah Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tetap tersenyum, hingga akhirnya beliau di makamkan di
Makkah al-Mukarramah.35
B. Tafsi>r Al-Qur'a>n Al-Kari>m : Analisis Metodologis
Al-Qur'a>n memiliki posisi sangat istimewa di kalangan umat Islam, yaitu
sebagai sumber kebenaran dan pedoman hidup. H{usain al-T{aba>t}aba>'i> menyebutkan
bahwa peran al-Qur'a>n adalah sebagai penuntun jalan hidup manusia serta
mengajarkan kepada manusia tentang target dan tujuan hidup ini.36
Prinsip hudan li al-na>s yang terkandung pada (QS. 2:185; 3:3-4, 138) merupakan dasar skriptual
bagi para sarjana dalam berargumen bahwa al-Qur'ān merupakan petunjuk yang
membimbing manusia dalam hidup dan kehidupan mereka.37
Dalam pandangan
Rashid Rid}a, al-Qur'a>n merupakan penjelas akan esensi dari agama yang meliputi
33
'Aṣām bin 'Abd al-Mun'im al-Marī, al-Dar al-Thami>n fī Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimīn Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nashā'ah Ila al-Wafa>h, (Iskandariyah: Dār al-Baṣīrah, 2003), 394.
34 Muhammad bin Shālih al-'Uthaimīn, Sharh Usu>l fi> al-Tafsi>r (Unaizah: Mu-
assasah al-Shaikh Muh}ammad bin S}a>lih} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H), 8. 35
‘As}a>m bin ‘Abd al-Mun‘im al-Mari>, al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-Ummah al-‘Alla>mah Ibn ‘Uthaimi>n Rah}imahullah Ta‘a>la>: Tarjamah Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h, (Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003), 394-395.
36 Muḥammad H{usain al-T{aba>t}aba>'i, Mengungkap Rahasia Al-Qur'a>n, terj. A. Malik
Madani dan Hamim Ilyas, cet. VII, (Bandung: Mizan, 1994), 28. 37
Uun Yusufa, "Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus
Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta", Journal of Qur'ān and Hadīth Studies, Vol. 4, No.
2, (2015), 195.
60
nilai-nilai dari agama tersebut.38
Muin Salim mendefinisikan al-Qur'a>n sebagai
kitab suci umat Islam yang merupakan firman-firman Allah yang diwahyukan
dengan perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muh}ammad sebagai peringatan,
petunjuk, tuntunan, dan hukum bagi kehidupan umat manusia.39
Abdullah Saeed dan para sarjana muslim lainnya menganggap al-Qur'a>n
merupakan teks yang kompleks,40
atau dalam pandangan Arkoun, al-Qur'a>n
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas,41
sehingga
membutuhkan tafsir sebagai penjelas untuk mengungkap makna yang terkandung
di dalamnya,42
dengan demikian fungsi dan nilai-nilai yang terkandung dalam al-
Qur'a>n dapat tercapai dan difahami oleh para pembacanya. Terlebih jika
dihadapkan dengan problematika realitas yang kompleks dan dinamis, aktifitas
tafsir semakin dituntut untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang
ada berdasarkan al-Qur'a>n, untuk dapat membuktikan bahwa al-Qur'ān relevan
dengan semua waktu dan tempat (s}a>lih} li kulli> zama>n wa maka>n). Dalam hal ini,
cara atau metode menginterpretasikan al-Qur'ān menjadi piranti penting untuk
mengungkap pesan langit yang tercatat dalam teks al-Qur'a>n. Yunan Yusuf
menyebutkan bahwa ketepatan metode akan menghasilkan ketepatan tafsir,
sebaliknya, kesalahan metode akan menghasilkan kesalahan dalam tafsir, sehingga
metode tafsir (t}ariqah al-tafsi>r) merupakan aspek strategis dalam memahami al-
Qur'a>n.43
Secara metodologis, tafsir atau produk penafsiran memiliki tiga dimensi,
yang mana ketiganya berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Tiga dimensi
tersebut adalah sumber, metode dan corak. Sumber tafsir atau penafsiran
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, pertama, bi al-ma'thu>r atau bi al-riwa>yah,
38
Esensi agama yang terkandung dalam al-Qur'a>n meliputi: Pertama, Keimanan
kepada Allah dan hari kemudian serta amal shalih. Kedua, menjelaskan tentang kenabian
dan kerasulan beserta tugas-tugasnya. Ketiga, menjelaskan tentang Islam sebagai agama
fitrah yang tidak bertentangan dengan rasio dan ilmu pengetahuan. Keempat, membina dan
memperbaiki umat manusia dalam satu kesatuan yang meliputi kemanusiaan, agama,
undang-undang, persaudaraan, hukum dan bahasa. Kelima, menerangkan tentang
keistimewaan Islam yang membawa kepada kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Keenam, menerangkan prinsip-prinsip politik dan bernegara dan mempertahankan diri,
termasuk tentang prinsip-prinsip dasar tentang perang. Ketujuh, mengatur hak-hak wanita.
Kedelapan, memberikan petunjuk tentang kemerdekaan hak. Muhammad Rashid Rid}a, al-Wahy al-Muh}ammadi>, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1960), 126-128.
39 Mardan, Al-Qur'a>n: Sebuah Pengantar Memahaminya Secara Utuh, Cet. II,
(Jakarta: Pustaka Mapan Jakarta, 2010), 27. 40
Abdullah Saeed, Al-Qur'a>n Abad 21: Tafsir Kontekstual, Terj. Ervan Nurtawab,
Cet I, (Bandung: Mizan, 2014), 27. 41
Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 264. 42
Muḥammad H{usain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-
Nawa>dir, 2010), Jil. 1, 13. 43
Yunan Yusuf, "Metode Penafsiran al-Qur'a>n: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'a>n
Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014), 58.
61
kedua, bi al-ra'yi> atau bi al-ijtiha>d, ketiga, bi al-isha>rah. Kemudian metode tafsir
diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu Ijmali>, tah}li>li>, Muqa>rin, dan
Maud}u‘i>. Adapun tafsir dilihat dari coraknya maka terdapat banyak kategori yang
semuanya tergantung pada kecenderungan mufasir terhadap satu bidang ilmu
tertentu atau dominasi satu bidang ilmu yang terdapat pada tafsir tersebut, seperti
tafsi>r sufi> yang cenderung kepada ilmu tasawuf, tafsi>r lughawi> yang lebih
cenderung kepada ilmu kebahasaan dan lain sebagainya.44
Muhammad H{usain al-Dhahabi>, dalam karyanya al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, mengklasifikasikan sumber-sumber penafsiran secara periodik, dimulai
dari priode Rasulallah dan para sahabat. Sumber penafsiran Rasullah terhadap al-
Qur’a >n adalah wahyu, sedangkan para sahabat, mereka berpegang pada empat
sumber penafsiran: Pertama, bersumber pada Al-Qur’a>n itu sendiri, atau yang
disebut dengan tafsi>r al-Qura>n bi al-Qura>n.45 Kedua, bersumber pada Nabi,46
Ketiga, bersumber pada al-ijtiha>d wa quwwatul istinba>t} (ijtihad, pemahaman, nalar
dan kapasitasnya dalam memahami al-Qur’a >n)47
. Keempat, bersumber pada Ahl al-Kita>b dari orang-orang Yahudi dan Nashrani, khususnya tentang sejarah para Nabi
dan umat-umat terdahulu.48
Kemudian periode kedua adalah masa tabi'i>n, pada
masa ini aktifitas penafsiran bersumber pada al-Qur'a>n itu sendiri, riwayat dari
Nabi, para sahabat, dan ahl al-Kita>b, serta ijtihad para tabi‘i>n berdasarkan
kapasitas keilmuan mereka tentang al-Qur'a>n..49
Dan periode ketiga, masa tadwi>n
(kodifikasi). Yakni pada akhir masa Bani Umayyah dan awal masa Bani
Abbasiyyah. Sumber penafsiran al-Qur’a>n pada masa ini merujuk kepada riwayat;
44
Faizal Amin, "Metode Tafsi>r Tah}li>li>: Cara Menjelaskan al-Qur'a>n dari Berbagai
Segi Berdasarkan Susunan Ayat", Kalam, Vol. 11, No. 1, 235-266, (Juni,2017), 247-248. 45
Seperti pada surat al-Maidah ayat 1 yang ditafsirkan oleh ayat ke-3 dalam surat
yang sama. Yakni tentang penghalalan hewan ternak dalam ayat pertama surat al-Maidah,
dan pengecualiannya di sebutkan pada ayat ke-3, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan
yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas. Lihat, Muhammad Husain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wal Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir, 2010), Jil. 1, 37- 43.
46 Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim dan yang lainnya,
dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya para sahabat bertanya tentang makna z}ulmun yang ada pada
surat al-An’a>m ayat 82, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
z}ulmun pada ayat itu adalah syirik. Lihat, Muh}ammad Husain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir, 2010), Jil. 1, 43-44.
47Para sabahat memiliki keunggulan dalam mentafsirkan al-Qur’a >n dari para
mufassir di masa setelahnya.Karena mereka merupakan saksi sejarah turunnya al-Qur’an
kepada Nabi, memahami bahasa Arab dengan baik (sebagai bahasa ibunya), mengetahui
adat istiadat orang Arab (di mana al-Qur’an di turunkan di Arab), mengetahui kondisi
bangsa Yahudi dan Nashrani yang berada di Jazirah Arab ketika turunnya al-Qur’a>n, dan
memiliki pemahaman yang kuat serta wawasan yang luas tentang al-Qur’an.Lihat Lihat,
Muh}ammad H{usain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir,
2010), Jil. 1, 53-54. 48
Al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n,), Jil. 1, 56. 49
Al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jil. 1, 91-92.
62
baik riwayat dari Nabi, para sahabat maupun Tabi‘i>n, dan pada ijtihad mereka.50
Tiga priode yang dirumuskan oleh al-Dhahabi> merupakan penafsiran generasi awal
atau yang disebut sebagai tafsir klasik-tradisional, atau jika dilihat dari pemaparan
Abdul Mustaqim, dalam bukunya Epistemologi Tafsir Kontemporer, ketiga priode
di atas masuk kepada era formatif dan era afirmatif.51
Kemudian Abdul Mustaqim
membedakan antara sumber penafsiran di era kontemporer dan tafsir klasik-
tradisional, bahwasanya tradisi penafsiran di era kontemporer bersumber pada teks
al-Qur’a>n, akal (ijtihad), dan realitas empiris. Secara pragmatik, posisi teks, akal,
dan realitas ini berposisi sebagai objek dan subjek sekaligus, yang mana ketiganya
senantiasa berdialektik secara sirkular dan triadic menggunakan paradigma
fungsional yang mengasumsikan bahwa tafsir al-Qur'a>n harus terus menerus
dilakukan sepanjang masa.52
Metode tafsir adalah cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang maksud Allah yang tekandung dalam
ayat-ayat al-Qur'a>n.53
Dalam konteks ini, setidaknya ada dua istilah yang sering
digunakan; metodologi tafsir dan metode tafsir. Metode tafsir adalah cara yang
digunakan untuk menafsirkan al-Qur'a>n, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu
yang berkaitan dengan cara menafsirkan al-Qur'a>n.54
Dalam sejarah perkembangan
ilmu tafsir, Yunan Yusuf menyebutkan bahwa metode yang pertama muncul adalah
metode tah}li>li>, yaitu metode tafsir dengan cara menguraikan dan menganalisa ayat
demi ayat secara berurutan dengan membahas segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya.55
Berbeda dengan Sanaky, beliau lebih cenderung
berpendapat bahwa metode yang pertama adalah metode ijmali>, yaitu metode yang
digunakan pada jaman Nabi dan para sahabat yang mana pada saat itu proses
penafsiran al-Qur'a>n dilakukan secara umum atau global tanpa memberikan rincian
yang memadai,56
sehingga pada tafsir era tersebut sulit ditemukan uraian-uraian
yang rinci.57
Pada era selanjutnya (setelah era Nabi dan para Sahabat), metode ijmali>
dipraktekkan oleh al-Suyut}i> dalam tafsir Jalalain-nya, atau dapat dilihat juga dalam
Taj al-Tafsi>r karya al-Mirghami. Kemudian metode ini diikuti oleh metode tah}li>li>
50
Al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Jil. 1, 127-136. 51
Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,
2010) 34-51. 52
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 66-67. 53
Lihat, Nashrudin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur'a>n, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
1988), 1-2. 54
Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 266. 55
Yunan Yusuf, "Metode Penafsiran al-Qur'a>n: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'a>n
Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014), 59. Lihat juga, Samsul Bahri dkk,
Metodologi Studi Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), 42 56
Lihat, Samsul Bahri dkk, Metodologi Studi Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010), 45. 57
Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna dan Corak Mufassirin)", Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 268.
63
(analitis) dengan bentuk tafsi>r al-ma'thu>r (riwayat),58
lalu berkembang dan diikuti
oleh bentuk tafsi>r bi al-ra'yi> (akal/ijtihad).59 Aktifitas penafsiran berlangsung
secara dinamis, kemudian lahir pula metode komparatif (muqa>rin), hal ini ditandai
dengan ditulisnya beberapa kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi
mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil (al-Khat}ib al-Iskafi [w.240
H]) dan al-Burha>n fi Taujih Mutashabah al-Qur’a>n (Taj al-Qurra’ al-Karmani
[w.505 H]). Dan yang terakhir adalah metode tematik (maud}u‘i>),60 metode ini
terbagi menjadi dua kategori; pertama, metode tematik yang berfokus pada satu
surah dalam al-Qur'a>n, dengan mengambil ide pokok dari surah tersebut dan
membahasnya secara rinci. Panggagas pertama kategori ini adalah Shaikh al-
Azhar, Mah}mud Syaltut dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m (1960). Kedua, metode tematik berdasarkan topik, yaitu menetapkan
terlebih dahulu topik yang hendak dibahas kemudian digali penjelasannya dalam
al-Qur'a>n. Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad al-Ku>my.61
Berkaitan dengan Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m karya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, jika dilihat dari sumber penafsirannya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n memadukan penafsiran bi al-ma'thu>r dan bi al-ra'yi>. Menurut Manna al-
Qat}t}a>n, suatu penafsiran dikatakan sebagai Tafsi>r bi al-ma'thu>r atau dikenal juga
dengan istilah tafsi>r bi al-naqli/bi al-riwa>yah, adalah jika seorang mufassir
menafsirkan al-Qur'a>n dengan al-Qur'a>n, al-Qur'a>n dengan hadi>th Nabi, dan al-
Qur'a>n dengan pendapat para sahabat atau tabi'i>n.62
Berbeda dengan Manna>‘ al-
Qat}t}a>n, al-Zarqa>ni> dalam Mana>hil al-‘Irfa>n tidak memasukan pendapat tabi‘i>n
kedalam kategori tafsi>r bi al-ma'thu>r, hal ini dikarenakan para ulama masih
memperselisihkannya.63
Dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n begitu memprioritaskan penafsiran al-Qur'a>n dengan al-Qur'a>n dengan
asumsi bahwa al-Qur'a>n adalah kalam Allah dan hanya Allah-lah yang lebih tahu
maksud dari perkataannya, hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ibn
Taimiyyah dan muridnya Ibn Qayyim bahwa penafsiran al-Qur'a>n bi al-Qur'a>n
58
Tafsir dengan bentuk bi al-ma'thu>r dan metode tah}li>li> seperti ini dapat dilihat
pada kitab Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m (Ibn Kathi>r) atau pada tafsir Jami‘ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur'a>n (al-T{abari>). Lihat: Manna' Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}:
Mansyrat al-'As}r al-H{adi>th, 1971), 311. 59
Tafsir dengan bentuk bi al-ra'yi> dan metode tah}li>li> seperti ini dapat dilihat pada Ru>h al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab'u al-Matha>ni> (al-Alusi>), atau Mafa>tih} al-Ghaib (Fakh al-Di>n al-Razi>), Lihat: Manna' Qaththan, Mabah}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n,
(Riya>ḍ: Mansyrat al-‘As}r al-H{adi>th, 1971), 316. 60
Hujair A. H. Sanaky, "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 268. 61
Yunan Yusuf, "Metode Penafsiran al-Qur'a>n: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'ān
Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014), 62. 62
Manna‘ Qat}t}a>n, Mabahith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah. 1995),
337. 63
Muḥammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, 1995), Jil. 2, 13.
64
merupakan penafsiran yang paling baik.64
Kemudian pada skala prioritas
berikutnya adalah hadi>th Nabi dan pendapat para sahabat serta tabi‘i>n.65
Penafsiran al-Qur'a>n dengan al-Qur'a>n yang dipraktekkan oleh Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dapat dilihat, di antaranya, pada penafsiran QS. al-T{a>riq
ayat 1 yang ditafsirkan oleh ayat 3,66
atau ketika menafsirkan kata daha>ha pada
surat al-Na>zi'a>t ayat 30 dengan dua ayat setelahnya; 31-32.67
Ah}mad bin
Muh}ammad bin Ibrahi>m al-Bari>di> dalam kitabnya Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n menjelaskan panjang lebar bagaimana
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menerapkan kaidah al-Qur'a>n yufassiru ba‘d}uhu ba‘d}an (al-Qur'a>n saling menejelaskan antara satu dengan yang lainnya), baik
sebagai Mubayyan al-mujmal, muqayyad al-mutlaq, kha>s} al-‘a>m, atau muh}kam al-mutasha>bih.
68 Selain itu, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n banyak mengutip al-
Qur'a>n dalam tafsirnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut bukanlah sebagai penafsir
melainkan untuk memperkuat argumentasinya, baik dalam masalah fikih, teologis,
atau sebagai ayat pembanding, seperti ketika menafsirkan term al-di>n pada surah
al-Fa>tih}a>h, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n membandingkannya dengan terma
al-di>n yang ada pada surah al-Ka>firu>n untuk menjelaskan bahwa di antara makna
al-di>n adalah al-'amal (amal perbuatan).69
Menurut Quraish Shihab, penafsiran al-
Qur'a>n dengan al-Qur'a>n haruslah berdasarkan indikator yang kuat dan diduga
keras bahwa ayat tersbut memang tafsirannya, karena banyak penafsiran yang
dianggap sebagai tafsir al-Qur'a>n bi al-Qur'a>n padahal merupakan penafsiran para
ulama atas pengamatan pada suatu ayat dan memperkuat argumentasinya dengan
ayat yang lain.70
Posisi kedua dalam skala prioritas sumber rujukan penafsiran Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah hadith Nabi, beliau meyakini bahwa Nabi
Muh}ammad adalah muballigh (penyampai) risalah tuhan dan orang yang paling
tahu tenang makna dan maksud al-Qur'a>n.71
Posisi hadith Nabi sebagai penjelas al-
Qur'a>n diungkapkan oleh Imam Ah}mad yang menyebutkan bahwa Sunnah
64
Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 176.
65 Muh}ammad S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah: al-
Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 25-28. 66
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, (Riyad}: Da>r al-Thuriya>, 2002), 137.
67 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, 50-51.
68 Lihat, Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn
‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005),
176-200. 69
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Fa>tih}ah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 1, 12.
70 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 351.
71 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah:
al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 25.
65
merupakan penafsir dan penjelas al-Qur'a>n.72
Pandangan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n ini sa,a halnya dengan Ibn Taimiyyah, yang juga memposisikan hadith
nabi sebagai prioritas kedua setelah al-Qur'a>n dalam menafsirkan al-Qur'a>n, beliau
menyebutkan bahwa jika tidak terdapat penafsiran dalam al-Qur'a>n, maka
tafsirkanlah menggunakan hadith Nabi, karena ia merupakan penjelas bagi al-
Qur'a>n.73
Dalam Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, secara umum, posisi hadith Nabi terhadap al-Qur'a>n ada empat
kategori, yaitu; tafsi>ru musykil (menjelaskan ayat-ayat yang dianggap ambigu), tabyi>nu mujmal (menjelaskan ayat-ayat yang masih global), dila>lah ‘alaih (sebagai
penunjuk makna ayat), ta‘bi>r ‘anhu (mendeskripsikan al-Qur'ān).74 Meskipun
demikian, menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak menutup
kemungkinan bahwa posisi hadith Nabi terhadap al-Qur'a>n lebih luas dari empat
posisi tersebut,75
posisi lainnya yaitu sebagai penjelas makna suatu lafaz} dalam al-
Qur'a>n, seperti lafaz} ziya>datun dalam QS. Yunus : 26 ditafsirkan oleh hadith Nabi
sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim yaitu al-naz}ar ila> wajhillah (melihat wajah
Allah) sebagai tambahan nikmat yang ada di syurga. 76
Posisi hadith juga
menjelaskan kalimat yang masih mubham (samar atau belum jelas maknanya),
seperti kalimat al-shala>wa>t al-wust}a> pada QS. al-Baqarah: 238 yang ditafsirkan
oleh hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari>, yaitu shalat asar.77
Pengutipan hadith oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak hanya
dilakukan untuk menafsirkan ayat saja melainkan untuk memperkuat
argumentasinya baik dalam hal teologis, fikih atau sebagai tambahan keterangan
dan pembanding makna dari ayat yang ditafsirkan. Selain itu, Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terlihat cukup selektif dalam mengutip hadith, hal ini dilihat
dari dominasi kutipan beliau yang kebanyakannya diambil dari S{ah}i>h} Bukha>ri> dan
S{ah}i>h} Muslim. Dalam penafsirannya di surah al-Fa>tih}ah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n mengutip hadith dari imam Bukha>ri sebanyak 5 kutipan, imam Muslim
6 kutipan, dan Ibn Ma>jah 1 kutipan. Dari semua kutipan hadith yang dilakukannya
pada penafsiran surah al-Fa>tih}ah hanya 1 kutipan dari Ibn Ma>jah dan beliau pun
menegaskan keshahihannya dengan memberikan keterangan telah dishahihkan oleh
al-Albani>.78
72
Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 220.
73 Al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-
Qur'a>n, 221. 74
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 9.
75 Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa
Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 225. 76
Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m al-Bari>di>, Juhu>d al-Shaikh Ibn ‘Uthaimi>n wa Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd, 2005), 231
77 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Baqarah,
(Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), 178. 78
Lihat, al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Fa>tih}ah, Jil. 1, 3-21.
66
Ketika al-Qur'a>n diturunkan kepada Nabi Muh}ammad melalui perantara
Malaikat Jibril, yang menjadi saksi sejarah turunnya wahyu tersebut adalah para
sahabat, mereka lah generasi pertama dan disebut sebagai sebaik-baiknya generasi.
Sumber rujukan ketiga dalam skala prioritas sumber penafsiran Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah para sahabat, dengan alasan al-Qur'a>n diturunkan di
jaman dan dengan bahasa mereka, maka mereka adalah generasi yang paling tahu
konteks dimana al-Qur'a>n diturunkan.79
Al-Suyut}i> menyebutkan dalam al-Itqa>n
bahwa mufassir yang paling mashhur dari kalangan sahabat adalah al-Khulafa> al-‘Arba'ah (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Uthma>n, dan ‘Ali>), kemudian ‘Abdullah bin Mas‘u>d,
‘Abdullah bin ‘Abba>s, Ubai bin Ka‘ab, Zaid bin Tha>bit, Abu Musa> al-Asy‘ari>, dan
‘Abdullah bin al-Zubair.80
Kemudian, sumber rujukan keempat dalam skala prioritas sumber
penafsirannya adalah para tabi‘i>n. Tidak semua pendapat tabi‘i>n dalam penafsiran
al-Qur'a>n bisa dijadikan hujjah, hanya beberapa orang saja di antara mereka atau
yang dikenal dengan kiba>r al-ta>bi‘i>n. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam
Us}u>l fi> al-Tafsi>r nya menyebutkan beberapa nama tabi‘i>n, dari ahl Makkah;
Muja>hid, ‘Ikrimah, dan ‘At}a> bin abi> Raba>h, yaitu mereka para pengikut Ibnu
‘Abba>s. Kemudian dari penduduk Madinah; Zaid bin Aslam, Abu al-‘A<liyah, dan
Muh}ammad bin Ka‘ab al-Qurd}i>, yakni mereka para pengikut Ubai bin Ka‘ab. Dan
dari penduduk Kuffah, Qata>dah, ‘Alqamah, dan al-Sha‘bi>, yakni para pengikut Ibn
Mas‘u>d.81
Tradisi riwayat yang diaplikasikan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
dalam tafsirnya memang tidak begitu mendominasi seperti halnya kitab tafsir
karya Ibn Kathi>r an al-T{aba>ri>, namun demikian, otoritas tertinggi dalam penafsiran
al-Qur'a>n masih dipegang kuat dan dianggap sebagai penafsiran yang
ortodoks/resmi oleh beliau dan dengan tegasnya beliau menyebutkan bahwa jika
suatu penafsiran bersebrangan dengan empat sumber prioritas (al-Qur'a>n, Hadi>th
Nabi, pendapat sahabat, dan tabi‘i>n) tersebut, maka penafsiran tersebut dikatan
keliru atau heterodoks/tidak resmi.82
Adapun kaidah-kaidah tafsir yang digunakan
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam menafsirkan al-Qur'a>n, bisa dikatakan
bahwa beliau banyak mengutip dan mengikuti apa yang dikonsepkan oleh Ibn
Taimiyyah dalam Muqaddimah fi> al-Tafsi>r nya. Hal ini nampak jelas pada kitabnya
Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r,83, sebagaimana yang dianjurkan oleh Ibn Taimiyyah,
beliau juga sangat menganjurkan sekali untuk senantiasa mengembalikan segala
sesuatunya dalam urusan agama kepada pendapat generasi awal (salaf), yakni para
79
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah:
al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 26. 80
Jala>l al-di>n al-Suyut}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah Risa>lah
Na>shiru>n, 2008), 783. 81
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah:
al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 38. 82
Al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, 27. 83
Lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-'Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H).
67
sahabat dan tabi'i>n jika memang pembahasannya tidak ditemukan di dalam al-
Qur'a>n dan hadith Nabi.84
Bentuk penafsiran lain dalam tafsir al-Qur'a>n al-Kari>m ditinjau dari
sumbernya, yaitu tafsir bi al-ra'yi>, yakni penafsiran yang disandarkan pada nalar
dan ijtihad sang muffasir.85
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menggabungkan dua bentuk penafsiran, yakni
bi al-riwa>yah dan bi al-ra'yi>, bahkan jika dipersentasikan antara keduanya, ijtihad
beliau dalam menafsirkan al-Qur'a>n begitu dominan, hal ini dapat terlihat dari
kuatnya dimensi kebahasaan yang beliau terapkan dalam tafsirnya.86
Dalam tradisi
salaf, penafsiran berdasarkan opini pribadi sebenarnya sangat dihindari, bahkan
mereka mengecam orang yang menafsirkan al-Qur'a>n berdasarkan opini pribadi
tanpa memiliki kapasitas keilmuan yang cukup. Selain itu, sebuah hadith yang
mengecam keras orang yang berkata tentang al-Qur'a>n menggunakan akalnya
dengan ancaman maka tempat duduknya kelak dari api neraka. Hal ini semakin
menjadikannya sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur'a>n.87
Meskipun
penggunaan opini pribadi banyak dilakukan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n dalam tafsirnya, namun tidak mengurangi kehati-hatian beliau dalam
menafsirkan al-Qur'a>n. Hal ini dapat dilihat dari karakter penafsiran tekstualnya,
sehingga opini pribadi dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kebanyakan
pada ranah kebahasaan.
Pendekatan linguistik yang diterapkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
dalam tafsirnya dibangun dari kaidah-kaidah kebahasaan yang terdapat dalam ilmu
nahu, sharaf, balaghah dan kaidah-kaidah tafsir yang berkaitan dengan kebahasaan,
seperti taqdi>m wa ta'khi>r, iltifa>t dan lain sebagainya. Dimensi kebahasaan ini
terlihat pada tekhnik penulisan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, setelah beliau
menyebutkan ayat, kemudian beliau menjelaskan makna mufradat satu persatu,
baik dari segi irab, makna lafadz, atau dari sisi ilmu qira'ah, dan terkadang beliau
mengutip syair dalam menjelaskan makna lafaz} dalam al-Qur'a>n.88
Salah satu
contohnya ketika beliau menjelaskan tentang definisi takwa mengutip salah satu
syair :
: ((اىذق))ةعع قاه دعسف "
خاه اىرا صغسا متسا ذاك اىذق
84
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r Shaikh Ibn Taimiyyah, (Riya>d}: Da>r al-Wat}an, 2010), 140.
85 Manna‘ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah Wahbah.
1995), 342. 86
Dimensi kebahasaan dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dapat dilihat
pada tesisinya ‘Ali> bin Muh}ammad bin ‘A<li> A<li Naumah al-Qaht}a>ni> yang berjudul
Maba>hith ‘Ilm al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r Ibn ‘Uthaimi>n (Saudi: Umm al-Qura University, 2013). 87
Lihat, Manna‘ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi > ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Kairo : Maktabah
Wahbah. 1995), 342-344. 88
Lihat, misalnya penafsiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pada surah al-
Baqarah ayat 25, 57, 103, dan beberapa ayat dan surah lainnya.
68
اعو ماغ ق أز ض اىشك ذرز ا س
" ل دذقس صغسث ا اىجتاه اىذص
Dalam menjelaskan kata demi kata dalam al-Qur'a>n, Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n sangat menghindari pentakwilan kata, termasuk dalam menafsirkan
ayat-ayat antropomorfis, seperti ketika menjelaskan surah al-Ma>idah ayat 64, ( ةو
beliau menyebutkan bahwa ayat tersebut menetapkan dua tangan (دا تعغذا
milik Allah.90
Tekstualitas dalam menjelaskan al-Qur'a>n terlihat dari ungkapannya
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n yang dengan lugas menyebutkan,
"جب عيا اجساء اىقسآ عي ظاس، أ ل صس ع اىظاس ال ةدىو"
Kita mesti memahami al-Qur'a>n secara dhahirnya dan tidak memalingkan makna dhahir tersebut kecuali berdasarkan dalil."
91
Paradigma tekstualis-literalis seperti ini adalah paradigma yang dimiliki oleh
Ibn Taimiyyah dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Salafiyyah.
Dalam kitabnya al-Risa>lah al-Tadmuriyyah, Ibn Taimiyyah juga menetapkan dua
tangan bagi Allah dengan berdalil QS. Al-Ma>idah:64, dan menafsirkan sifat-sifat
Allah lainnya sesuai dengan makna asli dari lafaz}}nya dengan tanpa mentakwil atau
memalingkannya kepada makna yang lain. 92
Dua sumber penafsiran (riwayat dan akal) yang dielaborasikan oleh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dituliskan dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dengan menggunakan metode tahli>li> (analisis). Ayat demi ayat beliau jelaskan
secara rinci dengan beragam perspektif disiplin ilmu, secara tekhnik penulisan,
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memulainya dengan menjelaskan nama surat
yang hendak ditafsirkan, termasuk kaitannya dengan makiyyah-madaniyyah dan
fadilah-fadilah yang terkandung dalam surat tersebut, kemudian beliau
menyebutkan ayat yang hendak ditafsirkan, dan menjelaskan kata demi kata yang
pada ayat tersebut baik makna maupun gramatikalnya berdasarkan nahu, sharaf,
dan balaghah. Hal yang menjadi pembeda antara Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m dan
kitab-kitab tafsi>r lainnya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan
beberapa pelajaran dan hikmah yang terkadung pada ayat yang ditafsirkan dalam
89
Sebagian orang mendefinisikan tentang takwa:
"Sucinya diri dari dosa kecil maupun besar, itulah takwa Berbuat layaknya berjalan di atas duri, sehingga sangat hati-hati terhadap apa yang dilihat Janganlah menyepelekan yang kecil, karena gunung terbuat dari kerikil-krikil kecil"
lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Baqarah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 1, 335. 90
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Surah al-Ma>idah, (Jeddah: Da>r Ibn al-
Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 115. 91
Al-'Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, (Jeddah, Da>r Ibn al-
Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 26. 92
Lihat Ibn Taimiyyah, al-Risa>lah al-Tadmuriyyah, (Maktabah al-Sunnah al-
Muhammadiyyah)
69
al-fawa>'id (faidah-faidah) setelah beliau menjelaskan ayat tersebut. Dalam al-fawa>'id tersebut, tidak hanya pelajaran dan hikmah dari ayat yang ditafsirkan,
namun beliau juga terkadang membahas permasalahan fikih, akidah, dan
permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan tema pada ayat tersebut
dengan menghadirkan diskursus para ulama dan kemudian mentarjihnya. Misalnya
dalam Penafsiran surah al-Fa>tih}ah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membahas
tentang apakah basmalah termasuk surah al-fatihah atau tidak, dan apakah harus
dibaca jahr ketika shalat atau tidak?"93
Dalam menafsirkan al-Qur'a>n, seorang mufassir akan terlebih dahulu
dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dan ideologi tertentu. Konsekuensinya,
produk tafsir yang dihasilkan akan diwarnai oleh latar belakang keilmuan dan
ideologi mufassirnya. Misalnya, Al-Zamakhshari>, sebagai ahli bahasa yang terlahir
di basis Mu'tazilah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa warna tersebutlah yang
dominan dalam tafsirnya, atau Fakhruddi>n al-Ra>zi> dengan ideologi ash'ariyyah dan
filsafatnya, dan para mufassir lainnya dengan dengan ideologi dan coraknya
tersendiri. Kecenderungan pada suatu ideologi madhhab tertentu lahir pada priode
pertengahan dimana pada masa itu banyak lahir dan berkembangnya madhhab-
madhhab.94
Abdul Mustaqim menyebutnya sebagai era afirmatif bernalar ideologis,
dimana al-Qur'a>n sering digunakan untuk melegitimasi madhhab, ideologi,
keilmuan, bahkan kepentingan politik tertentu.95
Kecenderungan madhhab dalam menafsirkan al-Qur'a>n penulis temukan juga
dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Sebagai seorang yang bermadhhab salaf, kecenderungan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tersebut tidak dapat dupungkiri
turut mewarnai produk penafasirannya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat pada
dimensi teologis dalam tafsirnya, konsep tauhid uluhiyyah, rububiyyah, dan asma> wa al-s}ifa>t yang menjadi konsep ketauhidan kelompok salafiyyah, serta
menghindari pentakwilan dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfis, dapat
dilihat dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sekaligus menjadi indikasi
akan kecenderungannya beliau terhadap madhhab salaf. Adis Duderija
menyebutkan bahwa Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merupakan salah satu
ulama yang cukup berpengaruh dalam penyebaran madhhab salaf, nama
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n disejajarkan oleh Adis bersama para ulama
salafi lainnya, seperti N. al-Ba>ni>, A. Bin Ba>z, F. al-Athari>, R. al-Madkhali>, A. Ibn
Muh}ammad al-Dahlawi> al-Madani>. Adis Duderija menyebutnya sebagai kempok
Neo-Traditional Salafism (NTS) atau Neo-Ahl-H{adi>thism.96
93
Lihat, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Fa>tih}ah, (Jeddah, Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 7-9.
94 Mawardi, "Subjektivitas dalam Penafsiran al-Qur'an: Fenomena Tafsir Bercorak
Sektarian", At-Tibyan, Vol. 3, No. 1, (Juni, 2018), 130. 95
Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS,
2010), 45-46. 96
Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'a>n-Sunnah Hermeneutic and The
Contruction of A Normative Muslimah Image", Hawwa 5, 2-3 (Leiden, 2007), 290.
70
Dimensi lain yang terdapat pada Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, selain dimensi
teologis yang disebutkan di atas, adalah dimensi fikih. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n adalah seorang sarjana di bidang shariah islamiyyah, latar belakang
keilmuan ini tentu sangat memengaruhi terhadap warna tafsirnya, bahkan dalam
kitab lain secara khusus Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menulis kitab tafsir
yang khusus berkaitan dengan permasalahan hukum fikih, kitab tersebut adalah
Ah}ka>m min al-Qur'a>n al-Kari>m. Berdasarkan afiliasi madhhab, Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah seorang yang bermadhhab H{anbali>, sebagaimana
disebutkan dalam sketsa biografisnya, bahwa kecenderungan madhhab ini sangat
kuat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang bermadhhab H{anbali. Kitab Za>d al-Mustaqni‘ fi> Fiqhi Madhhab al-Ima>m Ah}mad adalah salah satu rujukan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n tentang masalah fikih. Namun demikian, terdapat 89 permasalahan fikih
yang berbeda antara Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dan madhhab imam
Ah}mad.97
Misalnya, Dalam mentafsirkan surah al-Nisa> ayat 22: ( ا نخ نذا ل د ا قد ظيف اىعاء ال menurut pendapat yang mashhur di kalangan madhhab ,(آةاإم
H{anbali>, jika seorang bapak berzina dengan seorang perempuan, maka perempuan
tersebut haram dinikahi oleh anaknya. Berbeda dengan pendapat Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang memperbolehkan seorang anak menikahi perempuan yang
pernah berzina dengan bapaknya, karena zina bukan lah nikah, dan tidak bisa
diqiyaskan.98
Berdasarkan pemaparan di atas, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m karya Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, jika dilihat dari sumber penafsirannya maka ia adalah tafsi>r
yang memadukan riwayat dan ijtihad (bi al-ma'thu>r dan bi al-ra'yi>). Sedangkan
metode yang digunakan adalah metode tah}li>li>, dimana Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n mentafsirkan ayat demi ayat berdasarkan susunan mushafi> dengan
beragam pendekatan keilmuan. Adapun corak (al-lawn) dalam Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, penulis menemukan tiga corak dominan pada tafsir tersebut, yaitu corak
lughawi> (linguistik), corak i‘tiqa>di> (teologis), dan corak fiqhi> (fikih). Paradigma
yang digunakan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam tafsirnya adalah
tekstualis-literalis dengan banyak merujuk kepada konsep penafsiran Ibn
Taimiyyah, atau paradigma struktural dekontekstual yang bersifat struktural-
deduktif dalam memposisikan teks, akal, dan realitas sebagaimana paradigma tafsir
klasik-tradisional pada umumnya.
C. Ekslusivisme Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
1. Truth Claim dan Ortodoksi Tafsir Tradisional
Klaim kebenaran (truth claim) agama sangat erat kaitannya dengan
ortodoksi suatu ajaran agama. Ajaran yang resmi dan telah disadari secara kolektif
97
Wali>d bin Ah}mad al-H{usain, al-Ja>mi‘ li H{aya>ti al-‘Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-‘Alamiyyah wa Ma> Qi>la Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002), 76.
98 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>',
(Jeddah, Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 1, 170.
71
oleh mayoritas pemeluknya, maka ajaran itulah yang akan dipegang erat dan
diyakini secara ekslusif akan kebenarannya. Dalam dunia Islam, al-Qur'a>n dan al-
Sunnah merupakan dua korpus peninggalan Nabi Muḥammad yang menjadi
landasan sekaligus legalitas ortodoksi ajaran Islam.99
Setiap pemahaman dan
praktik keagamaan yang tidak berlandaskan atau menyimpang dari keduanya; al-
Qur'a>n dan al-Sunnah, akan disebut sebagai ajaran Islam yang heterodoks (tidak
resmi). Meskipun hal ini telah disadari oleh seluruh masyarakat Islam, akan tetapi
dalam upaya melegitimasi ajaran mana yang benar (ortodok/resmi), adalah sesuatu
yang sangat rumit dan kompleks.
Agama memiliki sifat operasional-fungsional bagi para pemeluknya. Agama
berfungsi untuk menentukan arah dah tujuan hidup serta mengatur cara
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, baik dalam aspek ekonomi, politik
dan aspek-aspek sosial lainnya.100
Tujuan hidup dan aturan sosial ini terkumpul
pada ajaran otoritatif agama yang diajarkan oleh para pemimpin kharismatik
kepada pemeluknya, kemudian diyakini sebagai suatu ajaran yang benar, yang
dapat menyelamatkan kehidupan pemeluknya dan terbebas dari murka tuhan.
Fungsi agama ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki keyakinan akan
kebenaran agamanya. Charles Kimball menganggap bahwa keyakinan terhadap
kebenaran suatu agama merupakan pondasi dari struktur agama tersebut dan
berimplikasi terhadap kesetiaan seseorang terhadap agamanya.101
Keyakinan
terhadap kebenaran suatu agama dikenal juga dengan istilah truth claim yang
sering dikonotasikan negatif sebagai penyebab ekstremisme dan kesenjangan
sosial, sehingga truth claim dianggap sebagai suatu tantangan teologis terbesar
bagi umat beragama terkait interaksi antar umat beragama.102
Menurut Charles Kimball, klaim kebenaran agama yang autentik tidak
begitu kaku dan eksklusif seperti yang diperagakan oleh para ekstrimis.103
Meskipun Kimball menentang keras keberagamaan dengan "klaim kebenaran
mutlak", yaitu klaim kebenaran terhadap suatu interpretasi tententu yang menjadi
proposisi-proposisi dan diperlakukan sebagai doktrin yang kaku. Kimball juga
menyebutnya sebagai klaim kebenaran agama yang diselewengkan tanpa ada
kesadaran dari manusia tentang keterbatasannya dalam mencari dan
99
Hadith Nabi yang menjelaskan bahwasanya Rasulalah telah meninggalkan dua
perkara; al-Qur'a>n dan al-Sunnah, jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian
tidak akan sesat selamanya. Ma>lik ibn Anas, Muwat}t}a' Ma>lik, (Mesir: Da>r Ihya al-Tura>th
al-'Arabi>, t.th.), Jilid 2, 899, hadith no. 1594; al-Ha>kim, al-Mustadrak 'ala> al-S{ah}i>h}ain
(Beirut, Da>r al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990) jilid 1, 172, hadith no. 319. 100
Suhermanto Ja'far, "Absolutisme Agama, Ideologi dan Upaya Titik Temu", Al-Afkar, Edisi III (Juli-Desember 2000), 99.
101 Lihat Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala
Agama Jadi Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 84-87. 102
Ahmad Tajrid, "Kebenaran Hegemonik Agama, Walisongo, Vol 20, No 1 (Mei
2012); 194. 103
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi
Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 85.
72
mengartikulasikan kebenaran agama.104
Penulis memandang bahwa Kimball tidak
mengingkari adanya klaim kebenaran pada agama oleh pemeluknya, namun
Kimball mempermasalahkan bagaimana manusia memperlakukan klaim kebenaran
tersebut, apakah kebenaran agama dipandang sebagai suatu nilai tentang
kedamaian ataukah memperlakukannya secara kaku seperti para ekstremis.
Kegundahan yang diungkapkan Kimball terkait permasalah klaim kebenaran
agama dikemukakan juga oleh Suhermanto Ja'far, dalam tulisannya yang
membahas absolutisme agama dan kaitannya dengan konflik berkepanjangan yang
berlangsung secara masif melibatkan antar pemeluk agama. Ja'far
mempertanyakan, bukankah agama senantiasa mengajarkan kebaikan, atau adakah
suatu agama yang memiliki ajaran double standard? Kemudian Ja‘far menyebutkan
bahwa konflik-konflik atas nama agama biasanya disebabkan oleh persoalan
politik, sosial, ekonomi, dan kesenjangan pendidikan masyarakatnya.105
Berkaitan dengan istilah ortodoksi-heterodoksi, Sheila Mc. Donough
mendefinisikan istilah ortodoksi sebagai sebuah ajaran yang benar, sedangkan
heterodoksi adalah ajaran yang seperti benar padahal tidak benar.106
Atau dapat
dikatakan juga bahwa ortodoksi adalah ajaran resmi sedangkan heterodoksi adalah
ajaran yang tidak resmi. Istilah ortodoksi-heterodoksi dimiliki oleh seluruh tradisi
ajaran agama, meskipun awalnya istilah ini digunakan dalam tradisi agama kristen.
Dalam Islam, pada konteks teologi dan fikih, misalnya, terdapat istilah sunnah dan
bid'ah, dalam konteks tasawuf terdapat istilah mu‘tabarah dan ghayr mu‘tabarah, sedangkan dalam konteks fatwa terdapat istilah mu‘tamad dan ghyr mu‘tamad.
107
Dalam dunia tafsir, ortodoksi dan heterodoksi dapat ditemukan dalam al-Tafsīr wa al-Mufassiru>n karya Muḥammad H{usain al-Dhahabi> yang diistilahkan dengan al-tafsi>r al-s}ah}i>h} dan al-tafsi>r al-munh}arifah.
108. al-Zarqa>ni> dalam kitabnya Mana>hil
104
Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi
Bencana", 84-85. 105
Lihat Suhermanto Ja'far, "Absolutisme Agama, Ideologi dan Upaya Titik
Temu", Al-Afkar, Edisi III (Juli-Desember 2000), 99-110.
106
Lihat, Sheila Mc. Donough "Ortodoxy and Heterodoxy" dalam Mircea Eliade
(ed.), The Enclyclopedia of Religion (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1993),
Vol.2, 124-129. Istilah ortodoksi berasal dari bahasa Yunani "orth" yang maknanya
"benar" dan "doxa" yang bermakna "ajaran". Dengan demikian, istilah ortodoksi memiliki
makna "ajaran yang benar". Adapun istilah heterodoksi berasal dari kata "hetero" yang
maknanya "mirip" dan "doxa" maknanya "ajaran". Maka, makna heterodoksi adalah "ajaran
yang mirip namun tidak benar". Lihat William L. Reese, Dictionary of Philosopy and Religion, Eastern and Western Thought (New York: Humanity Books, 1996), 540.
107 Lihat Oman Faturrahman, "Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham
Keagamaan di Melayu dan Jawa (Sebuah Telaah Sumber)," Analisis II. No 2 (2011). 108
Lihat, Muhammad H{usain al-Dhahabi>, al-Ittijaha>t al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m Dawa>fi‘uha> wa Da>fiha> (Kairo: Da>r al-I'tis}a>m, 1978). Pada Bab I dan II.
73
al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, mengistilahkan pemahman-pemahaman yang
meniyimpang (heterodoksi) seputar al-Qur'a>n dengan istilah al-shubuha>t.109
Arkoun mendefinisikan ortodoksi sebagai sebuah ajaran yang telah menjadi
kesadaran kolektif kelompok mayoritas dan heterodoksi sebagai kesadaran ajaran
lain yang dipegang dan dikembangkan oleh kelompok minoritas.110
Senada dengan
Arkoun, darmawan berpendapat bahwa ortodoksi dan heterodoksi ajaran Islam
sangat tergantung pada pemegang otoritas keagamaan yang digunakan sebagai
instrumen untuk mengontrol perubahan dan perkembangan, sehingga ortodoksi-
heterodoksi bersifat relatif-dinamis.111
Relativitas ortodoksi-heterodoksi juga
disebabkan oleh subjektifitas penafsir teks keagamaan. Hal ini dikemukakan oleh
Ulya, bahwa pra-pemahaman dan kepentingan personal turut mempengaruhi
relativitas tersebut. Kemudian Ulya meminjam istilah Heidegger; vorhabe, vorsicht, vorgriff112
dan dalam istilah Gadamer disebut dengan presupposition113. Adapun Foucault mengistilahkannya dengan episteme, yaitu aturan-aturan yang
diakui dan diimplementasikan oleh masyarakat yang meliputi; larangan,
pembagian dan penolakan dan oposisi antara benar dan salah. Menurut Foucault,
episteme tersebut bagaikan kacamata yang digunakan masyarakat untuk menilai
realitas. Sehingga, apabila episteme tersebut berubah, maka berubah pula hasil
penilaiaan terhadap realitas tersebut.114
Dengan demikian, pra-pemahaman,
kepentingan, episteme yang berbeda-beda akan menjadikan wacana keagamaan
sebagai produk penafsiran yang beragam meskipun teks yang dibaca adalah
sama115
.
Lain halnya dengan kalangan tekstualis116
, kelompok ini berasumsi bahwa
makna al-Qur'a>n terdapat pada lahiriah teks yang harus difahami secara eksplisit
109
Lihat Muhammad ‘Abdul al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Da>r al-Kita>b al-'Arabi>, 1995).
110 Lihat, Moh}ammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan
dan jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994), 246; Moḥammed Arkoun, "Pemikiran tentang Wahyu
dari Ahl Kitab sampai Masyarakat Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, Vol 4 (Jakarta: LSAF,
1993), 37. 111
Dadang Darmawan, "Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir", Refleksi, Vol. 13, No. 2
(April, 2012), 182-183. 112
Vorhabe: latar belakang pendidikan, agama. Vorsicht: Sudut pandang tertentu
tentnang teks. Vorgriff : konsep-konsep yang ada pada nalar pembaca-penafsir. Lihat E.
Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 83, 107. 113
Lihat Hans George Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press,
1995), 151. 114
Michael Foucoult,Archeology of Knowledge and The Discourse on Language (New York: Pantheon Books, 1971), 149-150. Dalam Dadang Darmawan, "Ortodoksi dan
Heterodoksi Tafsir", Refleksi, Vol. 13, No. 2 (April, 2012), 181. 115
Ulya, "Ortodoksi-Heterodoksi Wacana Keagamaan Dalam Islam", Al-Tahrir, Vol. 17, No. 1, (Mei 2017), 27-28.
116 Menurut Abdullah Saeed, kelompok tekstualis adalah mereka yang sangat
bergantung pada otoritas teks dan tradisi Islam generasi awal (Nabi, sahabat, dan tabi'in)
74
pada setiap ayat supaya tidak tejadi penafsiran yang heterodoks117
. Dengan
demikian, tafsir merupakan aktifitas pemaknaan dari lafaz} ke makna yang berjalan
secara linear,118
sehingga teks tidak boleh difahami melalui realitas, akan tetapi
sebaliknya, realitas lah yang harus difahami berdasarkan teks,119
atau dengan kata
lain, fakta perbedaan konteks sosio-historis tidak lagi dipedulikan dalam proses
tafsir dan penafsiran generasi awal (salaf) dianggap sebagai penafsiran yang paling
otoritatif yang harus diikuti sepanjang masa. Hal ini diperkuat oleh asumsi Ibn
Taimiyyah, bahwa Nabi telah menjelaskan seluruh makna dan lafaz} al-Qur'a>n
kepada para sahabat sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Nah}l : 44.120
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, ketika menjelaskan pendapat Ibn Taimiyyah
menambahakan bahwa Nabi menjelaskan seluruh makna dan lafaz} al-Qur'an kepada
sahabat tanpa terkecuali, termasuk pada ayat-ayat antropomorfis yang berkaitan
dengan nama-nama dan sifat Allah.121
Dari asumsi tersebut lahir asumsi
selanjutnya bahwa ortodoksi tafsir ada pada tradisi tafsir tradisional (generasi
salaf).
Ortodoksi tafsir tradisional lahir dari paradigma bahwa penafsiran yang
paling otoritatif dan valid adalah tafsi>r al-Qur'a>n bi al-Qur'a>n, kemudian tafsi>r al-Qur'a>n bi al-sunnah, lalu tafsi>r al-Qur'a>n bi qawl al-s}ah}a>bah, dan tafsi>r al-Qur'a>n bi qawl al-tabi‘i>n. hal ini dikarenakan al-Qur'a>n adalah kala>mullah dan hanya Allah
lah yang paling tahu makna akan ucapannya. Kemudian Nabi adalah sosok
penerima wahyu, sehingga ia merupakan manusia yang paling tahu akan makna al-
Qur'a>n122
. Adapun sahabat dan tabi'in adalah dua generasi yang paling dekat
dalam proses interpretasi al-Qur'an. Lihat Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'ān Towards a Contemporary Aproach (London and New York: Routledge, 2006): 50.
117 U. Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), 39. 118
Lihat, ‘Abid al-Ja>biri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-
Wahdah al-‘Arabiyya, 2002), 64. 119
Adis Duderija, "Islamic Groups and Their World-Views and Identities: Neo-
Traditional Salafis and Progressive Muslims," Arab Law Quarterly, Vol. 21, No. 4 (2007),
351. 120
Ibn 'Uthaimi>n, Sharh Muqaddimah fi Us}u>l al-Tafsi>r li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taymiyyah (Kairo: Da>r Ibn al-Jauzi>, 2005), 91.
121 Muḥammad bin Ṣa>liḥ al-‘Uthaimi>n menolak pendapat Ahl al-Tafwi>d yang
berasumsi bahwa Nabi tidak menjelaskan seluruh makna al-Qur'an kepada sahabat.
Menurut Muḥammad bin Ṣāliḥ al-‘Uthaimi>n, Ada dua kemungkinan jika nabi tidak
menjelaskan seluruh makna dan lafadz al-Qur'ān, Nabi tidak mengetahui maknanya atau
Nabi menyembunyikan penjelasannya (kitma>n), dan hal ini mustahil terjadi pada Nabi.
Lihat Ibn ‘Uthaimin, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r al-Syaikh al-Isla>m Ibn Taymiyyah
(Riyaḍ: Da>r al-Wat}an, tth.), 21.
122 Aktifitas tafsir telah berlangsung semenjak diturunkannya al-Qur'an dan Nabi
adalah orang pertama yang memiliki otoritas untuk menjelaskan makna al-Qur'ān. Pada
saat itu Nabi menafsirkan ayat-ayat yang masih global (mujmal), umum (‘a>m), dan yang
memiliki makna tidak terbatas (mut}laq). Lihat Muhammad Ḥusain al-Dhahabī, Buh}u>th fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2005). 390.
75
dengan Nabi.123
Selain itu, secara normatif, akar ortodoksi tafsir tradisional dapat
dilacak dari hadith-hadith yang mengecam penafsiran berdasarkan opini pribadi
(tafsi>r bi al-ra'y). hadith-hadith ini sangat berpengaruh besar terhadap klaim
ortodoksi tafsir, hampir satu abad lamanya penafsiran berdasarkan opini pribadi
sangat dihindari hingga muncul kembali di masa ‘Abbasiyyah.124
T{a>hir Mah}mu>d
Muh}ammad Ya'qu>b dalam bukunya Asba>b al-Khat}a> fi> al-Tafsi>r (sebab-sebab
kesalahan dalam tafsir) dengan tegas menyebutkan bahwa penafsiran dengan al-
Qur'a>n dan riwayat s}ah}i>h} merupakan penafsiran yang paling baik dan paling
selamat dari kesalahan, dengan demikian tidak boleh akal melampaui nash (Qur'a>n
dan riwayat s}ah}i>h}) dalam menafsirkan al-Qur'a>n.125
Karakteristik tafsir klasik-tradisional dilihat dari sumbernya, ia merupakan
penafsiran yang bersumber kepada; al-Qur'a>n, al-sunnah, riwayat para sahabat,
riwayat ta>bi'i>n, riwayat ta>bi' al-ta>bi'i>n, israiliyya>t, ijtihad mufassir, dan bahasa arab
pedalaman (badui).126
Pada priode ini, Tradisi riwayat (bil al-ma'thu>r) memiliki
porsi yang sangat besar dibandingkan tradisi ijtihad-rasio dalam proses interpretasi
al-Qur'a>n. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya tafsir priode klasik-tradisional,
seperti tafsir karya al-T{abari>, Jami>‘ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n (310 H), dan Ibn
Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m (774 H). Selain itu, proses kodifikasi pada era
pasca ta>bi‘i>n yang menghimpun dan memisahkan antara hadi>th-hadi>th Nabi dan
tafsir-tafsir yang diriwayatkan dari Nabi, para sahabat dan ta>bi‘i>n, dilakukan oleh
para sarjana hadi>th, di antaranya; Yazi>d ibn H{a>ru>n al-Sulma> (117 H), Shu'bah ibn
al-H{ajjaj (160 H), dan Sufya>n ibn 'Uyaynah (198 H).127
Hal ini sangat
memungkinkan jika dominasi tradisi metode periwayatan (bil al-Mathu>r) sangat
kuat pada masa itu.
123
Lihat Manna>‘ al-Qaṭṭa>n, Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al-Qur'a>n (Riyaḍ: Da>r al-Rashi>d,
t.th.). 350. 124
Hadith-hadith anti tafsir bi al-ra'yi> dapat dilihat dalam Sunan al-Tirmidhi>, karya
imam al-Tirmidhi>, di antaranya hadith no. 2876, vol. 5, h. 99. dan lihat juga tentang
kemunculan tasir bi al-ra'yi> dalam Muh}ammad H{usain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n.
125 T{a>hir Mah}mu>d Muh}ammad Ya‘qu>b, Asba>b al-Khat}a> fi> al-Tafsi>r (Riyad}: Da>r Ibn
al-Jauzi>, 1425 H), 91. 126
Salam dan Fathi membagi kategorisasi priodik tafsir ke dalam empat priode;
klasik (III-VIII H), pertengahan (IX-XII H), modern (XIII-XIV H), dan kontemporer (XIV
H-sekarang). Lihat penelitian kolektif M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad Fathi,
Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur'an pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010, (Fakultas Ushuluddin UIN SYarif Hidayatullah
Jakarta, 2011), 16-24 127
Al-Dhahabi>, dalam penelitian kolektif M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad
Fathi, Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur'an pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010, (Fakultas Ushuluddin UIN SYarif
Hidayatullah Jakarta, 2011). 17.
76
Melalui tradisi riwayat, romantisme akan masalalu ortodoksi tafsir
tradisional berlanjut hingga dewasa ini. Termasuk eksklusivisme Islam yang
dianggap sebagai ortodoksi penafsiran tradisional difahami dan dilanjutkan oleh
generasi selanjutnya melalui interpretasi literal-dekontekstual terhadap teks
keagamaan128
. Hal ini dapat dilihat dari ortodoksi eksklusivisme Islam sebagai
produk tafsir banyak ditemukan di karya-karya tafsir klasik-tradisional, misalnya;
Ibn Jari>r al-T{abari> (839-923 M), Fakhr al-Di>n al-Ra>zi> (1149-1209 M), Al-
Zamakhshari> (1074/ 1075 –1143/1144 M) dan Ibn Kathi>r (1300-1373 M),
memaknai term isla>m pada (QS. Ali 'Imra>n: 19), sebagai satu-satunya agama yang
benar.129
Misalnya, Dalam menafsirkan Q.S Ali 'Imra>n: 19, al-T{abari> mengambil
beberapa riwayat, salah satunya adalah riwayat yang bersumber dari Qata>dah yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‚inna al-di>n ‘inda allah al-isla>m‛ adalah
Islam yang merupakan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan meyakini
apa yang datang dan terjadi padanya adalah atas kehendak Allah, serta Islam
merupakan agama Allah yang syari’atkan kepadanya dengan mengutus Rasul-rasul,
serta Islam ditunjukkan oleh wali-walinya dan tidak diterima agama lain selainnya
serta tidak bisa membawa keselamatan selain dengannya.130
Setiap agama memiliki standar kebenaran masing-masing. Menurut Ahmad
Tajrid, Antara "yang benar" dan "kebenaran" terdapat perbedaan makna yang
mendasar, "yang benar" bersifat absolut-objektif sedangkan "kebenaran" bersifat
relatif-subjektif.131
Untuk menentukan mana "yang benar" adalah permasalahan
yang rumit dan kompleks, adapun "kebenaran" sangat ditentukan oleh faktor-
faktor yang mengelilinginya. Kecenderungan dan loyalitas kepada suatu kelompok,
penghayatan mendalam terhadap ajaran-ajarannya, termasuk paradigma penafsiran
teks keagamaan, berperan banyak dalam menentukan standar kebenaran tersebut.
Menurut amin 'Abdullah, loyalitas terhadap kelompok, penghayatan mendalam
pada suatu ajaran, dan pengejawantahannya secara total dalam sikap keberagamaan
memberikan andil yang sangat besar untuk lahirnya truth claim, atau dalam istilah
Ian G. Barbour tiga unsur di atas merupakan faktor dominan dalam pembentukan
sikap fanatis-dogmatis.132
Dalam dunia Islam, dua kalimat syahadat yang diserukan Nabi Muh}ammad
dari masa awal Islam kemudian dilanjutkan hingga sekarang oleh umatnya
128
Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur'ān-Sunnah Hermeneutic and The
Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke Brill NV, Leiden,
2007) : 291. 129
Alwi Shihab dalam Marjan Fadil, Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta:
Sekolah Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2017). 3. 130
Muḥammad Ibn Jari>r al-T{abari>, Jami’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (t.tp:
Muassasah al-Risalah, 2000), juz 6, 275 131
Aḥmad Tajrid, "Kebenaran Hegemonik Agama, Walisongo, Vol 20, No 1 (Mei
2012); 196. 132
Said Masykur, "Pluralisme Dalam Konteks Studi Agama-Agama", Toleransi, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016), 62-63.
77
mengandung klaim kebenaran teologis bahwa hanya ada satu tuhan yang wajib
disembah, kemudian tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui banyak nabi
dan rasul, dan Muh}ammad adalah utusan terakhir atau "penutup"nya.133
Klaim
kebenaran teologis ini dirumuskan oleh para ulama dan dikenal dengan istilah
tauhid. Dalam konsep keberagamaan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, aspek
tauhid merupakan Sentral pemikiran beliau134
yang dipandang sebagai pondasi
sekaligus syarat utama dalam beragama Islam. Dalam hal ini, dua kalimat syahadat
difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sebagai pintu masuk pertama
dalam beragama Islam,135
dan merupakan kontruksi utuh tauhid dalam Islam.136
Selain itu, dua kalimat syahadat juga merupakan landasan argumentasi Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam mengklaim bahwa hanya Islam agama yang benar,
karena hanya Islam yang menyembah Allah dan meyakini Muh}ammad sebagai
utusan-Nya. Konsekuensi logis dari pemahaman ini, semua agama yang tidak
meyakini dan menyembah Allah sebagai Tuhan serta tidak meyakini dan mengikuti
Muh}ammad sebagai rasul-Nya maka agama tersebut adalah salah.137
Paradigma
tauhid sentris juga dimiliki oleh Sayyid Qut}b, dalam memahami dua kalimat
syahadat, Sayyid Qut}b juga berkesimpulan bahwa agama yang benar adalah Islam
yang senantiasa konsisten dengan ketundukan kepada Allah.138
Secara beragam, klaim kebenaran agama dibentuk oleh ajaran otoritatif dari
pemimpin kharismatik atau pemuka agama dan interpretasi terhadap teks suci
agama.139
Kriteria "kebenaran" yang dipegang erat secara ekslusif oleh Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n dibangun oleh beberapa faktor yang melatar belakanginya,
faktor tersebut adalah afiliasi kelompok, Penafsiran tekstual, dan misi pemurnian
agama. Tiga faktor tersebut kemudian diejawantahkan oleh beliau dalam sikap
keberagamaan yang fundamental, yakni kembali kepada dasar-dasar agama (al-
Qur'a>n dan Sunnah) secara total untuk memurnikannya kepada ajaran agama yang
133
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi
Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 86-87. 134
Tema-tema Tauhid sangat banyak dibahas dalam buku-buku karya Muḥammad
bin Ṣāliḥ al-'Uthaimīn, terutama konsep tauhid uluhiyyah, rububiyyah, dan asmā wa sifāt selalu diulang-ulang dan ditegaskan sebagai konsep ketauhidan Islam yang diangga aling
benar. 135
Fahd bin Na>s}r bin Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-
Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riya>d}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), jil. 1, hal. 79. 136
Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, jil. 1, 82.
137 Lihat Penafsiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pada (QS. Luqma>n: 30),
(QS. Al-Najm: 19-23, (QS. Yusuf: 40), (QS. Al-'Araf: 58, (QS. Al-Furqa>n: 1), beliau
menjelaskan sekaligus menegaskan tentang makna dua kalimat syahadat dalam Islam. 138
Adib Husaini, "Kontradiksi dalam Konsep politik Islam Eksklusif Sayyid Qut}b",
Episteme, Vol. 11, No. 1, (Juni, 2016), 10. 139
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi
Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 84.
78
autentik, dengan romantisme kepada generasi awal Islam (salaf al-s}a>lih}).140
Kemudian, semua faham yang menyimpang dengan salaf al-s}a>lih} akan dianggap
sebagai faham yang keliru.141
Namun demikian, cita-cita suci ini nampaknya cukup
rumit, kerumitan tersebut terletak pada cara interpretasi teks suci agama sebagai
jalan atau cara memurnikan dan mengembalikan Islam kepada sumber autentiknya.
Jika melihat pemaparan di atas, ortodoksi tafsir tradisional yang digunakan oleh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n untuk melegitimasi sebuah penafsiran memiliki
implikasi yang cukup signifikan dalam pembentukan truth claim terhadap cara
pandang Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n pada agama sekaligus menjadi salah
satu faktor yang membangun kontruksi keberagamaannya yang cenderung
eksklusif.
Kebenaran adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan, pandangan
manusia terhadap kebenaran merupakan paradigma yang dinamis-relasional.142
setiap pemeluk agama berhak untuk menegaskan kebenaran mendasar akan
agamanya, bahkan klaim kebenaran agama sepertinya mustahil untuk dihilangkan,
mengingat dalam hidup beragama dibutuhkan keyakinan yang mendalam akan
kebenaran yang dianutnya supaya terjalin ikatan kuat antara pemeluk dan
agamanya. Namun demikian, kedewasaan dalam sikap beragama merupakan aspek
penting dalam kehidupan yang bernuansa pluralis. Charles Kimball menyarankan
supaya penegasan kebenaran masing-masing umat beragama hendaklah tidak
dipertajam dengan pernyataan yang statis, mutlak dan proporsional, sehingga
agama dapat terjauh dari segala bentuk penyimpangan.143
2. Satu Jalan Keselamatan: Konsep Soteriologis dalam Tafsi>r Al-Qur'a>n Al-Kari>m
Setiap agama memiliki konsep keselamatan (salvation concept) sebagai
jaminan teologis bagi para pemeluknya. Secara konseptual, masing-masing agama
memiliki konsep keselamatan yang beragam dan berbeda, akan tetapi terdapat
kesamaan yang mengarah kepada satu tujuan, bahwa semuanya bertujuan kepada
kemaslahatan dunia dan akhirat.144
Wacana soteriologis (konsep keberagamaan)
menjadi salah satu tema dalam diskursus keagamaan di kalangan para teolog,
perdebatan tentang jalan mana yang benar dan selamat, didaku oleh masing-masing
pemeluk agama menggunakan nalar eksklusifnya, sehingga tidak herang jika dalam
140
Kembali kepada al-Qur'a>n dan Sunnah seperti konsep keberagamaan yang
dipraktekkan oleh generasi awal Islam (salaf al-s}a>li>h}) merupakan jargon yang senantiasa
digembar-gemborkan oleh kelompok Salafiyyah. Lihat, Aden Rosadi, "Gerakan Salaf,"
Toleransi, Vol.7, No.2 (Juli-Desember 2015), 194. 141
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r Shaikh Ibn Taimiyyah, (Riya>d}: Da>r al-Wat}an, 2010), 140; Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Us}u>l fi> al-Tafsi>r, ('Ain Shams al-Sharqiyyah: al-Maktabah al-Isla>miyyah, 2001), 27.
142 Lihat Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala
Agama Jadi Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 119-124. 143
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, Pen. Nurhadi, "Kala Agama Jadi
Bencana", (Bandung; Mizan, 2003), 124. 144
Abdul Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Cet. 2, (Depok: KataKita,
2009), 240.
79
pandangan eksklusivisme agama, kelompok lain di luar komunitasnya akan
dianggap sebagai orang-orang yang sesat dan tidak akan memperoleh keselamatan.
Kelompok eksklusifis ini dikritik oleh kalarang pluralis, bahwa keselamatan
manusia tidak bisa diklaim oleh suatu kelompok dan tidak boleh dimonopoli oleh
agama tertentu. Kalangan pluralis berkeyakinan bahwa keselamatan yang
ditawarkan Tuhan bersifat universal dan berlaku untuk semua manusia, tidak
berdasarkan pada suku, golongan, atau agama tertentu.
Konsep keselamatan (salvation concept) dikenal juga dengan istilah
"soteriologi", aspek soteriologis ini merupakan instrumen penting untuk dapat
mengetahui kecenderungan seseorang terhadap sikap keberagamaannya (ekslusif-
inklusif-pluralis). Secara kebahasaan, istilah soteriologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu soter yang memiliki makna penyelamat, penolong, pelindung, dan
pembebas (savior, rescuer, preserver,dan deliverer). Atau dari kata soteria yang
bermakna keselamatan atau kebebasan, mencakup aspek rohani maupun jasmani.
Istilah soteriologi juga dapat dikaitkan dengan kata kerja sodzo yang memiliki
makna tindakan penyelamatan (saving), memlihara (keeping), mendatangkan
kebaikan (befitting), dan kesehatan manusia (preserving). Kemudian istilah
tersebut diadopsi oleh para teolog untuk mendefinisikan konsep keselamatan
dalam agama.145
Di dalam al-Qur'a>n, terma keselamatan dibahasakan dan dideskripsikan
secara bervariasi. Muzammil H. Siddiqi menyebutkan beberapa contoh terma
keselamatan dalam al-Qur'a>n, yaitu waqa> (to save and protect),146 yang memiliki
makna menyelamatkan dan melindungi dari segala bentuk keburukan, kejahatan,
murka tuhan dan hal-hal negatif lainnya di kehiduan ini maupun di akhirat kelak.
Kemudian dikenal istilah taqwa, suatu konsep untuk menyelamatkan diri di dunia
maupun di akhirat. Selanjutkan terdapat kata najja>147 (to save and deliver), yang
sering diterjemahkan sebagai "keselamatan" atau "pembebasan". Allah
menyelamatkan para nabi-Nya dan para pengikutnya dari malapetaka yang
tertunda yang melanda orang-orang yang tidak percaya,148
Tuhan juga akan
menyelamatkan orang-orang percaya di akhirat dari hukuman neraka.149
Dua istilah
lain dalam al-Qur'a>n yang bermakna keselamatan adalah fala>h} dan fawz (salvation, succes, felicity, victory) yang sering diterjemahkan sebagai "keselamatan" dalam
arti "sukses", "kegembiraan" atau "kemenangan". Kata fala>h} muncul lebih dari
empat puluh kali dalam berbagai bentuknya di dalam al-Qur'a>n. Kadang itu berarti
kebahagiaan abadi dan kesuksesan di akhirat,150
dan Kata fawz dalam berbagai
bentuknya juga muncul sekitar dua puluh delapan kali dengan makna "keberhasilan
145
Erman S. Saragih, "Soteriologi Hyergrace dalam Persektif Teologi Martin Luther
dan Al-Kitab", Cultivation, Vol. 1, No. 2, (Desember 2017), 3-5. 146
Lihat, (QS. 2: 201; 3: 16; 3: 191; 40: 7). 147
Lihat, (QS. 40: 41). 148
Lihat, (QS. 11: 8; 26:94; 41:18). 149
Lihat, (QS. 19:72; 36:81; 61:10; 10: 103). 150
Lihat, (QS. 7: 8; 23: 102; 9:88).
80
dan pencapaian".151
Al-Qur'a>n menekankan dua aspek keselamatan,yaitu
keselamatan dari kejahatan, bahaya, kesulitan dan akhirnya adalah Neraka di
akhirat, dan keselamatan untuk kebaikan, kebajikan, kesejahteraan, kebahagiaan,
kesuksesan yang akhirnya adalah kebahagiaan ilahi yang abadi di Surga.152
Jalan keselamatan difahami oleh sebagian kelompok beragama secara
eksklusif, bahwa hanya melalui jalan agamanya lah keselamatan itu dapat tercapai
sedangkan agama lain adalah sesat. Contohnya pada pemahaman Gereja Katolik
Roma pra-Vatikan II dengan konsepnya extra ecclessiam nulla sallus, bahwa tidak
ada keselamatan di luar Gereja Katolik.153
Doktrin tersebut diperkuat oleh teks
bibel yang menyebutkan,
‚Akulah jalan dan kebenaran dan hidup‛ (Yohannes14: 6),
‚Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul 4, 12).‛
154
David Eko Setiawan menjelaskan tentang konsep soteriologi Kristen bahwa
sumber keselamatan adalah dari Allah, pada dasarnya manusia tidak bisa
menyelamatkan dirinya sendiri, kemudian melalui karya penebusan Yesus Kristus
atas dosa manusia maka manusia akan diselamatkan jika memiliki iman. Kematian
Kristus dipandang sebagai substitusionari, bahwa Kristus mati karena orang
berdosa dan untuk menebus dosa mereka, hal ini dinilai sebagai karya
penyelamatan sebagai wujud anugerah Allah kepada manusia. Ketika karya
tersebut ditolak oleh manusia, maka status manusia tersebut akan tetap sebagai
pendosa yang akan membawa kepada murka Allah dan penghukuman yang
mengerikan di neraka.155
Pandangan eksklusif tentang soteriologi Kristen dapat ditemukan dalam
pandangan para teolog evangelis. Harold Coward menyebutkan bahwa dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan kristosentris terhadap agama-agama lain,
kelompok ini meyakini bahwa Yesus Kristus adalah penjelmaan Allah yang unik
dan sering menganggap agama-agama lain dengan kegelapan rohani dan para
pengikutnya dengan kutukan. Di antara para teolog evangelis yang disebutkan oleh
Coward adalah John Cobb. Cobb memandang Kristus sebagai penjelmaan normatif
151
Lihat, (QS. 33:71). 152
Muzammil H. Siddiqi, "Salvation in Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol.
32, No. 1 (1993), 41-43. 153
Abu Bakar, MS, "Argumen al-Qur'an Tentang Eksklusivisme, Inklusivisme dan
Pluralisme", Toleransi, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016), 47. 154
Doktrin ini telah tertanam lama dan berkembang di kalangan Kristen, salah satu
tokohnya adalah Karl Barth dan Hendrick Kraemer. Lihat Ahmad Khoirul Fata, "Diskursus
dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama Agama di Indonesia", Miqot, vol. XLII,
no. 1 (Januari-Juni: 2018), 106-107. 155
Lihat, David Eko Setiawan, "Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjau
Dari Soteriologi Kristen: Suatu Refleksi Pastoral", Fidei, Vol.1 No.2 (Desember 2018),
257-262.
81
dari Logos untuk semua agama. Kemudian, nama lain dari kelompok evangelis
adalah Wolfhart Pannenberg yang berasumsi bahwa meskipun Allah dialami oleh
agama-agama lain, akan tetapi mereka tidak benar-benar mengetahui Allah dan
tidak dapat menyelamatkan, karena pengetahuan yang menyelamatkan hanya
datang bersama Kristus.156
Pendekatan kristosentris yang dilakukan oleh para teolog evangelis ini
berbeda dengan kalangan Kristen ortodok yang dipengaruhi faham universalisme,
yaitu faham teologis yang memandang bahwa kasih Allah tidak terbatas dan pada
akhirnya manusia akan diselamatkan. Clement dari Aleksandria (150-215 M)
merupakan filusuf Kristen pertama yang mencoba mendamaikan filsafat Yunani
dengan ajaran-ajaran Kristen pada masa itu supaya bisa diterima oleh para
penganut agama dan kepercayaan lainnya. Clement mengajarkan bahwa Allah
adalah kasih yang tidak akan tega menghukum manusia, sehingga semua manusia
akan diselamatkan oleh kasih-Nya. Faham ini diikuti oleh muridnya Origenes (185-
254 M).157
Pendekatan kristosentris juga dikritik oleh beberapa teolog lainnya yang
lebih cenderung kepada pendekatan teosentris dalam memandang agama-agama
lain selain Kristen. Para teolog yang menggunakan pendekatan teosentris ini lebih
suka menggunakan istilah "Allah" sebagai Tuhan manusia ketimbang Yesus
Kristus. Paul Tillich, misalnya, yang hendak melindungi transendensi Allah dari
setia perwujudan yang terbatas dengan ungkapan "Allah di atas Allah". Dalam
bukunya God Has Many Names, John Hick menggunakan istilah "Allah" untuk
menunjukkan realitas yang tidak terbatas yang difahami sedemikian rupa dengan
cara yang beragam melalui berbagai pengalaman beragama. Hick meyakini bahwa
setiap agama berpusat kepada Allah, sehingga dengan paradigmanya itu Hick
menganggap bahwa keselamatan milik semua agama.158
Pendekatan kristosentris-partikularis dan pendekatan teosentris-universal
menghasilkan dua konsep soteriologis yang berbeda dalam ajaran agama Kristen.
Yang pertama menghasilakn konsep soteriologi yang bersifat eksklusif, sedangkan
yang kedua melahirkan konsep soteriologi yang bersifat inklusif-pluralis. Dalam
dunia Islam, Pandangan eksklusif terkait keselamatan dalam Islam telah ada dan
diyakini sejak awal generasi Islam yang dibangun dari argumentasi finalitas Islam
yang memandang bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan menyempurnakan
yang telah menggantikan agama-agama lain. Moh}ammad Fadel, dalam tulisannya
yang berjudul "No Salvation Outside Islam": Muslim Modernists, Democratic Politics, and Islamic Theological Exclusivism, meyatakan bahwa soteriologi
eksklusif dalam Islam yang meyakini tidak ada keselamatan di luar Islam
merupakan doktrin teologis yang dominan di abad pertengahan dan merupakan
156
Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 68-73.
157 Lihat, David Eko Setiawan, "Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjau
Dari Soteriologi Kristen: Suatu Refleksi Pastoral", Fidei, Vol.1 No.2 (Desember 2018),
251-252. 158
Lihat, Harold Coward, "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 52-60.
82
fungsi dari epistemologi yang mendasari teologi spekulatif (kala>m) dalam dunia
intektual Islam.159
Mirip dengan pendekatan kristosentris-partikularis yang
dikemukakan oleh para teolog Kristen, paradigma eksklusif Islam tentang konsep
soteriologi ini lebih mengedepankan aspek teologis-teoritis untuk dijadikan
sebagai standar kebenaran dibandingkan aspek etika-praktis. Sehingga, semua
bentuk kreatifitas akal (ijtihad) harus didasari dan dikembalikan terlebih dahulu
kepada sumber autentik Islam (al-Qur'a>n dan Sunnah).160
Mun'im Sirry menyebutkan setidaknya ada tiga ayat di dalam al-Qur'a>n yang
dijadikan landasan skriptual bagi mereka yang berorientasi teologis eksklusif untuk
mendaku superioritas Islam atas agama-agama lain sebagai satu-satunya agama
yang benar sebagai jalan keselamatan. Ayat-ayat tersebut adalah:
إ إ ا ة ةغإ عيإ ٱىإ ا جاء د ةعإ ب ال ـ نذ أدا ٱىإ ذيف ٱىر ا ٱخإ ـ ي ظإ ٱلإ عد ٱلل ٱىد ا
ذعاا ظسي ٱىإ ٱلل ب خ ٱلل ـ نإ سإ ةـا
"Sesungguhnya agama (yang dirihai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (QS. 3: 19).
عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ
‚Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS. 3: 85).
ا ن ـ ي ظإ ٱلإ زظخ ىن ذ إ عإ ن إ خ عي إ أدإ إ إ ن خ ىنيإ أمإ إ ٱىإ
159
Mohammad Fadel, ‚'No Salvation Outside Islam': Muslim Modernists,
Democratic Politics, and Islamic Theological Exclusivism", dalam Mohammad Hassan
Khalil, Islam, Salvation and the Fate of Others, (Oxford University Press: November 2010),
8. 160
Pandangan Abu>> H{a>mid al-Ghaza>li>> dan Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi>, ahli hukum dan
teolog dari abad ke-11 dan ke-13, masing-masing memberikan contoh perbedaan
epistemologis teologi Islam abad pertengahan antara kebenaran teoretis dan etika praktis,
bahwa keutamaan teoretis dalam teori bentuk mengakui kebenaran dogmatis adalah suatu
kondisi preseden untuk mengakui kebajikan praktis. Baik al-Ghaza>li> dan al-Qara>fi>
berpegang pada versi doktrin yang menyatakan bahwa kesimpulan dari semua penalaran
moral (ijtiha>d) yang dilakukan dengan itikad baik dalam beberapa hal secara etika sah,
namun, mereka berdua menyangkal bahwa kebebasan etis substansial yang ada di ranah
perilaku praktis - cabang-cabang agama - berlaku untuk dogma-dogma Islam. Oleh karena
itu, mereka berdua menolak posisi "toleran" secara teologis bahwa penolakan yang salah,
tetapi dengan niat baik terhadap Islam, dapat dimaafkan. Lihat, Mohammad Fadel, ‚'No
Salvation Outside Islam': Muslim Modernists, Democratic Politics, and Islamic
Theological Exclusivism", dalam Mohammad Hassan Khalil, Islam, Salvation and the Fate of Others, (Oxford University Press: November 2010), 8-11.
83
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai al-Islam sebagai agama." (QS. 5:3).
161
Mun'im Sirry mendiskusikan pandangan-pandangan muslim klasik-ortodoks
dan muslim reformis abad ke- 20 terkait tiga ayat di atas. Muslim klasik-ortodoks
lebih cenderung kepada pandangan eksklusif terkait keselamatan dalam Islam,
sedangkan beberaa teolog muslim yang berkecenderungan reformis berupaya
menafsirkan ulang superioritas Islam dan lebih cenderung berpandangan inklusif-
pluralis terkalit keselamatan dengan berasumsi bahwa orang di luar Islam
berpeluang untuk selamat atau semua agama akan selamat selama ia memiliki
keimanan dan berbuat baik. Beberapa pemikir muslim yang dikutip oleh Mun'im
Sirry di antaranya adalah Rashid Rid}a>, dengan pandangannya yang cukup bergeser
dari pandangan muslim klasik-ortodoks pada umumnya. Mengikuti pendapat
gurunya, Muh}ammad ‘Abduh, Rid}a> meyakini bahwa ganjaran dan hukuman Tuhan
adalah seimbang, keselamtan seseorang tidak tergantung kepada afiliasi
keagamaan seseorang, sebagaimana yang diungkapkan ‘Abduh, "garis keturunan
bangsa, agama, dan sekte mereka tidak berdampak ada ridha dan murka Tuhan."162
Muslim reformis lain yang dikuti oleh Mun‘im Sirry adalah Maulana Abu al-
Kalam Azad, seorang sarjana India pemilik kitab Tarjuma>n al-Qur'a>n. Azad
mengulas panjang lebar tentang gagasan kesatuan agama (wahdat-e-di>n), Azad
mengkritik pandangan eksklusif tentang keselamatan hanya ada pada agama
tertentu dengan mengungkapkan bahwa kebencian terhadap agama lain telah
menggantikan pengabdian terhadap Tuhan dan amal shalih.163
Mirip dengan apa
yang diasumsikan Rid}a> dan ‘Abduh, Azad juga berpendapat bahwa kebenaran
Tuhan hanyalah satu yang diberikan kepada semua tanpa terkecuali dan tanpa
pengkhususan. Semua orang yang mengabdi kepada Tuhan dan hidup dalam
kesalihan maka ia akan memperoleh keselamatan, tanpa memandang afiliasinya
terhadap kelompok agama tertentu.164
Setidaknya, baik pada Rid}a> maupun Azad, terdapat dua dasar pemikiran
yang menjadi landasan argumentasi mereka. Pertama, tentang konsep kesatuan
agama (wahdat-e-di>n). Dari pemikiran ini mereka tidak menganggap Islam sebagai
suatu agama yang menghapus agama-agama sebelumnya namun hanya sebagai satu
jalan dari jalan-jalan lain menuju Tuhan. Kedua, memahami Islam sebagai
semangat universal dari agama, yaitu tunduk dan patuh kepada Tuhan. Dengan
161
Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2013), 84-85. 162
Ketika menafsirkan QS. 2:62, Rid}a> berpendapat bahwa keimanan terhadap
Muh}ammad bukanlah prasyarat dari keselamatan, karena dalam ayat tersebut tidaklah
mengharuskan demikian. Lihat, Rashid Rid}a>, dalam Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 86-99.
163 Azad memperkuat argumennya dengan (QS. 2: 111-112).
164 Maulana Abul Kalam Azad, dalam Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R.
Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), 99-112.
84
demikian setiap orang beragama yang melaksanakan shari'ah dan minha>j mereka
masing-masing maka akan memperoleh keselamatan selama dia meyakini
kebenaran universal, yaitu iman kepada Tuhan dan berbuat kebajikan.
Konsep kesatuan agama (wahdat-e-di>n) yang dikemukakan oleh kalangan
Islam reformis, mirip dengan perspektif filsafat perenial dalam memandang agama-
agama. Misalnya Frithjof Schuon, dalam asumsinya Schoun memisahkan antara
unsur eksoterik dengan esoterik dalam agama, kemudian ia menjelaskan bahwa
aspek eksoterik dalam suatu agama bersifat terbuka dan boleh diketahui oleh orang
lain di luar komunitas agamanya, sedangkan aspek esoterik bersifat privat-
eksklusif ada suatu komunitas agama. Menurut Schuon secara esoterik semua
agama pada hakikatnya adalah sama, akan tetapi secara eksoterik agama-agama
tersebut berbeda. Dalam filsafat perenial, diyakini adanya ‚Yang Suci‛ (The Sacred) atau ‚Yang Satu‛ (The One) yang memancarakan berbagai "kebenaran"
sebagai manifestasinya, dan agama merupakan salah satu manifestasinya.165
Pendekatan filsafat perenial ini bersebrangan dengan konsep soteriologi eksklusif
yang hanya mengakui keselamatan manusia ada pada agama tertentu. Maka dengan
pendekatan filsafat perenial ini, truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim
(klaim keselamatan) pada agama tertentu akan dianggap tidak relevan.166
Sedangkan dasar pemikiran kedua, tentang universalisme agama, disebut
oleh Jonathan Brown sebagai moral theism. Dalam tulisannya yang berjudul The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, menyebutkan
bahwa pemikiran ini baru muncul pada abad ke-20 nama-nama seperti Rashīd Riḍā
(w. 1935), Sarjana modernis Pakistan Fazlur Rahman (w. 1988), dan teolog
pembebasan Afrika Selatan Farid Esack, merupakan para pendukung pemikiran
tersebut. Dalam memahami ayat-ayat seperti QS. 2:62, mereka berpendapat bahwa
ayat tersebut merupakan ekspresi yang jelas dari upaya al-Qur'a>n menentang
ekslusivisme dan menyimpulkan bahwa mereka — dari bagian mana pun dari umat
manusia — yang percaya pada Tuhan dan hari akhir serta melakukan perbuatan
baik akan diselamatkan oleh Tuhan.‛167
Jonathan Brown mengkritik pemikiran moral theism dengan menyatakan ada
dua kelemahan serius dalam argumen theisme moral. Pertama, beberapa ayat yang
memberikan kritik terhadap orang-orang Kristen dan Yahudi karena menolak
untuk menerima pesan Muhammad, seperti pada (QS. 3: 20-23). kritik-kritik ini
ditujukan pada Ahli Kitab tertentu yang menyimpang (fari>q minhum), disebutkan
dalam QS. 3:23. Kemudian apresiasi bagi orang-orang saleh di antara Ahli Kitab
yang menerima bimbingan yang telah dikirim Allah melalui Muh}ammad. Maka,
akan sulit bagi mereka, yang memiliki pemikiran moral theism, untuk memaknai
165
Diantara landasan skritualnya adalah QS. 57:5, 5:15. Yang menjelaskan bahwa
semua adalah berasal dan milik Allah dan semuanya akan dikembalikan keada Allah. 166
Lihat, Siti Amalia, "Hakekat Agama Dalam Perspektif Filsafat Perenial",
Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, Vol. 1, No. 1 (2019), 8-16. 167
Jonathan Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, (Yaqeen Institute for Islamic Research, 2019), 13.
85
terma ‘isla>m’ sebagai semangat universal agama dengan makna ketundukan umum
kepada Tuhan, atau tidak semua terma di>n dalam al-Qur'a>n bisa dimaknai secara
generik sebagai bentuk kepasrahan total semata.168
Kritikan kedua dari moral theism adalah tentang sulitnya mengkompromikan pemikiran moral theism dengan
sejumlah hadith, seperti hadith-hadith yang terdapat dalam s}ah}i>h}ain, yang secara
khusus menggambarkan bagaimana komunitas non-Muslim seperti Yahudi dan
Kristen akan ditolak masuk ke Surga pada Hari Pengadilan, karena kesalahan besar
mereka yang telah menyembah tuhan palsu, atau seperti kepercayaan bahwa Yesus
itu anak Tuhan.169
Bagi Brown, agama bukan hanya sekedar menjadi "yang baik"
atau tentang berbuat baik semata, karena predikat "yang baik" atau istilah "baik"
adalah istilah yang memiliki ragam penafsiran dan merupakan perkara yang sulit
untuk didefinisikan. Faktanya, Tuhan telah mengirim utusan-Nya kepada manusia
sebagai penuntun bagi mereka sekaligus menyampaikan standar kebaikan
bernamakan agama.170
Brown menyarankan kita untuk melihat konsep keselamatan
suatu agama berdasarkan perspektif agama tersebut. Senada dengan anjuran
Sarjana Muslim Inggris T. J. Winter yang menyarankan umat Islam untuk
melakukan rekonsiliasi terhadap teks kitab suci tentang keselamatan dalam Islam
berdasarkan perspektif agama Islam dan tidak keluar darinya.171
Muzammil H. Siddiqi merumuskan tiga prinsip dasar keselamatan dalam
Islam; al-tawhi>d, al-risa>lah, dan al-a>khirah.172 Keselamatan dalam Islam mencakup
keselamatan di dunia dan akhirat. Sifat keselamatan seseorang erat kaitannya
dengan dosa dan amal shalih, sehingga kehidupan di dunia ini memiliki pengaruh
pada keselamatan di akhirat. Namun demikian, meskipun Islam menekankan
kebenaran dan hidup sesuai dengan aturan dan hukum Tuhan, ternyata kebenaran
tidak bisa menyelamatkan seseorang, keselamatan yang kekal di akhirat adalah hak
prerogatif Allah semata.173
Keimanan terhadap satu Tuhan (tawhi>d) merupakan
prasyarat keselamatan dalam Islam, kemudian keyakinan tersebut
diimplementasikan dengan mengikuti segala aturan-Nya yang dijelaskan kepada
manusia melalui risa>lah sebagai jalan menuju keselamatan, dengan meyakini
bahwa akan ada suatu masa dimana manusia akan diganjar berdasarkan
perbuatannya di dunia (al-a>khirah). Risa>lah atau jalan keselamatan tersebut
difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n secara eksklusif, yaitu risa>lah
Muh}ammad. Ia menyebutkan bahwa hanya ada satu jalan menuju Allah, jalan
168
Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, 14-15.
169 Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam,
16. 170
Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, 5 171
Brown, The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of Islam, 25
172 Muzammil H. Siddiqi, "Salvation in Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol.
32, No. 1 (1993), 43. 173
QS. 24: 21.
86
tersebut adalah syariat yang dibawa oleh Muh}ammad, dan orang yang selamat
adalah orang yang berada di jalan syariat tersebut.174
Berkenaan dengan QS. al-Baqarah: 62, yang kerap dijadikan landasan
argumentasi oleh kelompok inklusifis-pluralis dalam hal keselamatan,
ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا تـ ـ ٱىص س ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا
ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي ل خ إ إ عد زة س إ أجإ ي
"Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, secara garis besar menyebutkan bahwa
Allah tidak akan pernah menz}alimi hambanya atas apa yang dilakukannya,
siapapun dan dari kelompok manapun yang beriman kepada Allah dah hari akhir
serta melakukan amal s}alih}, maka Allah akan memberi ganjaran kepadanya, dengan
tidak akan merasa takut dan sedih.175
Sepintas penafsirannya mirip dengan yang
difahami oleh muslim reformis yang disebutkan di atas. Akan tetapi,
kecenderungan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n terhadap teologi eksklusif
nampak jelas terlihat ketika beliau menafsirkan QS. Al-Ma>idah: 69, yang memiliki
kemiripan redaksi dengan QS. al-Baqarah: 62. Secara panjang lebar Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menafsirkan ayat tersebut dan menyebutkan bahwa yang
dimaksud iman kepada Allah pada ayat tersebut adalah beriman kepada rukun iman
yang lainnya, seperti keharusan beriman kepada malaikat, para rasul, hari akhir,
kitab-kitab, qadha dan qadar.176
Bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Iman
merupakan faktor penting yang dapat mendorong seseorang menegakkan shari'ah
Allah dan menjadi syarat diterimanya amal saleh untuk menggapai keselamatan.177
Keimanan yang dimaksud oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n adalah
keimanan yang diajarkan oleh Nabi Muh}ammad. Dalam memahami kalimat al-yaum al-a>khir yang harus diimani, beliau menyamakannya dengan al-qiya>mah,
yakni akhir bagi manusia yang tidak ada hari lagi setelahnya. Kemudian, dengan
mengutip pendapat dari Ibn Taimiyyah, beliau meyakini bahwa iman kepada hari
akhir adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muh}ammad, seperti fitnah
kubur, siksa kubur, nikmat kubur, kiamat, al-hisa>b (perhitungan), syafaat dan lain
sebagainya.178
Untuk mencapai keselamatan, lebih lanjut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
'Uthaimi>n menjelaskan bahwa Iman saja tidak cukup untuk menyelamatkan, tapi
174
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d, (t.tp:
Da>r Ibn al-Jauzi>), jil. 1, hal. 42-43. 175
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 2, 221-224.
176 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 166.
177 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 166.
178 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 167.
87
harus dilengkapi dengan amal saleh.179
Kemudian beliau menjelaskan bahwa
terdapat dua syarat amal saleh supaya diterima Allah; pertama harus ikhlas kepada
Allah, kedua mengikuti apa yang dicontohkan Rasul. (al-ikhla>s} lillah wa al-muta>ba‘ah lishari>‘atihi).180
Konsep soteriologi eksklusif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dibangun
di atas penafsirannya terhadap terma isla>m sebagai agama (al-di>n) yang khusus,
yakni risalah yang dibawa oleh Muh}ammad. Dalam kumpulan fatwa Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang disusun oleh Fahd bin Na>s}ir Ibrhahi>m al-Sulaima>n,
pemahaman eksklusifnya meyakini bahwa hanya ada satu kelompok yang selamat,
yang disebut dengan firqah al-na>jiyah. Beliau menjelaskan bahwa Yahudi akan
terpecah ke dalam 71 golongan, Nashrani 72 golongan, dan umat Islam ke dalam
73 golongan, semua golongan ini akan masuk neraka kecuali satu golongan, mereka
adalah kelompok yang mengikuti Nabi dan para sahabatnya yang disebut sebagai
al-firqah al-na>jiyyah.181 Ciri-ciri kelompok yang selamat tersebut adalah mereka
yang berpegang teguh kepada Nabi, baik dalam aspek akidah (teologis), ibadah
(ritual), akhlak (moral), dan mu'amalah (sosial).182
Adapun tentang kelompok lain yang disebutkan dalam QS. 2:62, 5:69, yaitu
Yahudi, Nashrani dan Shabi'i>n, selama ia beriman kepada Allah dan hari akhir serta
mengerjakan amal saleh, maka mereka akan selamat. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n lebin memandang kepada masa dari masing-masing kelompok tersebut
sebelum Nabi Muh}ammad, yakni yang beriman dan berpegang teguh pada
ajarannya masing-masing sebelum datangnya Islam yang diajarkan Muh}ammad.183
Pendapat ini sejalan dengan konsep abrogasi yang diterapkan oleh al-Qurt}ubi>,
mengutip riwayat dari Ibn ‘Abba>s, ia berpendapat bahwa QS. 2:62 telah dinasakh
oleh QS. 3:85, sehingga keselamatan kelompok lain selain Islam tidak berlaku lagi
karena telah digantikan oleh ajaran Islam yang dibawa oleh Muh}ammad.184
Proses abrogasi Islam Muh}ammad terhadap ajaran-ajaran sebelumnya
dikemukakan juga oleh Ibn Kathi>r. Dalam menafsirkan QS. 2:62, Ibn Kathi>r
menyebutkan sebuah riwayat yang menerangkan tentang asba>b nuzu>l dari ayat
tersebut, yakni tentang Salma>n al-Fa>risi> yang bertanya kepada Nabi tentang
sahabat-sahabatnya yang telah meninggal duluan, kemudian Nabi menyebutkan
bahwa mereka adalah penghuni neraka, kemudian turunlah ayat QS. 2:62. Ibn
Kathi>r menjelaskan bahwa keimanan orang Yahudi adalah mereka yang berpegang
179
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 171. 180
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, jil. 2, 168. 181
Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), 37.
182 Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), 38. 183
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 2, 170.
184 Lihat al-Qurt}ubi>, al-Jami‘ li Ah}ka>m al-Qur'a>n, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2002) Jilid
1, 163.
88
teguh pada Taurat dan Musa sampai datangnya Isa, dan keimanan orang Nas}rani
adalah mereka yang berpegang teguh kepada injil dan Isa sampai datangnya
Muh}ammad.185
Pendapat yang sama juga dimiliki oleh al-T}abari>, bahwa orang
Yahudi yang tidak mengikuti sunnah Isa setelah datangnya Isa maka ia akan
celaka, begitupun orang Nashrani yang tidak mengikut sunnah Muh}ammad setelah
ia datang maka akan celaka.186
Pendapat Ibn Kathi>r dan al-T}abari> inilah yang diikuti oleh Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait konsep keselamatan dalam Islam. Secara tegas
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menyebutkan, " ل دذ اقاج اىذزاث الجو ال ةبقاج
-tidaklah sempurna menegakkan taurat dan injil tanpa menegakkan al) اىقسآ
Qur'a>n)".187
Berdasarkan pemaparan di atas, pandangan eksklusif Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait konsep keselamatan (salvation concept) dalam Islam
merupakan pemahaman turunan dari paradigma ekslusif tentang superioritas Islam,
bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna, yang telah menghapus agama-
agama Abrahamik sebelumnya, serta merupakan satu-satunya agama yang benar,
maka keselamatan pun hanya berada di dalam Islam.
Berdasarkan pemaparan di atas, paradigma eksklusif Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n dalam menafsirkan terma isla>m sebagai satu-satunya agama yang
benar, kemudian memonopoli keselamatan hanya ada pada agama Islam,
menunjukkan bahwa truth claim (klaim kebenaran) dan (salvation claim) ada pada
pemikiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Dua pandangan eksklusif ini sangat
dipengaruhi oleh cara pambacaan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terhadap
teks-teks keagamaan. Penafsiran tekstual-literal dan ortodoksi tafsir tradisional
yang diwarnai dengan romantisme pada masa kejayaan Islam, melahirkan produk
penafsiran yang eksklusif dari Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Berdasarkan dua
instrument di atas; truth claim (klaim kebenaran) dan (salvation claim), penulis
menyimpulkan bahwa Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah seorang
eksklusifis. Kemudian, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa
eksklusivisme dalam beragama memiliki corak yang beragam. Untuk melihat corak
eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dapat dilihat pada kontruksi
sosial-agamanya melalui aplikasi penafsiran beliau terkait tema-tema sosial-
agama, yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
185
Abu al-Fida> Isma>'i>l bin ‘Umar bin Kathi>r al-Qurashi> al-Dimashqi>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2000), 140.
186 Al-T{abari>, Ja>mi' al-Baya>n 'an Ta'wi>l A<yi al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah al-
Risa>lah, 1993), Jilid 1, 232-233. 187
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), jil. 2, 109.
89
BAB IV
KONSEP KEBERAGAMAAN DALAM TAFSI>R MUH}AMMAD BIN S{A>LI>H}
AL-‘UTHAIMI<>N
Pada bab ini, penulis akan membahas aplikasi penafsiran Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait tema-tema teologis dan sosial-agama. Pembahasan
pertama adalah tentang kontruksi tauhid Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
sebagai dasar agama, yang meliputi pemahamannya tentang hakikat iman dan
Islam. Pembahasan selanjutnya tentang pandangan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n terhadap komunitas lain di luar Islam, meliputi penafsirannya tentang
kafir, musyrik dan ahl kita>b. Kemudian konsep al-wala>' wa al-bara>' serta
hubungannya dengan toleransi agama dalam perspektif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n sebagai manifestasi ketauhidannya yang diejawantahkan dalam sikap
nyata pada konteks sosial-relasional. Dan pembahasan terakhir, penulis akan
menjelaskan tetang konsep dakwah Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sebagai
misi suci agama, yang hanya difokuskan pada konsep amr ma‘ru>f wa nahy al-munkar dan konsep jihad. Dengan alasan, polemik dan kontroversi pada dua
konsep dakwah ini di kalangan masyarakat umum yang dianggap oleh sebagian
kelompok sebagai cara berdakwah yang intoleran dan mengkampanyekan
kekerasan atas nama agama.
A. Kontruksi Tauhid Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
Secara garis besar, kontruksi tauhid Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
sama dengan kontruksi tauhid yang dikonsepsikan oleh kelompok salafi pada
umumnya, yakni membagi tauhid kepada tiga bagian; tauh}i>d rubu>biyyah, tauh}i>d ulu>hiyyah dan tauh}i>d asma> wa sifa>t. Konsepsi tauhid ini diyakini oleh kelompok
salafi sebagai konsep tauhid Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah yang ortodoks,
sebagaimana yang diajarkan oleh Rasullah dan diikuti oleh generasi setelahnya
(sahabat dan tabi‘i>n), yang disebut salaf al-s}a>lih}. Di antara ulama-ulama salafiyyah
yang diikuti dan dijadikan rujukan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n adalah
Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim, al-‘Ala>mah Shaikh ‘Abdurrah}man bin Na>s}ir al-Sa‘di>,
‘Abd ‘Azi>z bin Ba>z, dan yang lainnya. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, seperti ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah
atau Sharh ‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li Shaikh al-Isla>m ibn Taimiyyah.
Pada pembahasan ini, penulis lebih memfokuskan kepada pembahasan iman
dan Islam dalam perspektif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, sebagai inti dari
ajaran tauhid sekaligus untuk melihat eksklusifitas Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n dalam mendefinisikan iman dan Islam sebagai identitas bagi "diri
sendiri" tentang siapa yang dimaksud dengan mu'min (orang yang beriman) dan
muslim (orang yang beragama Islam), serta implikasinya terhadap sikap
keberagamaan beliau dalam konteks sosial-relasional dengan kelompok lain (non-
muslim).
90
1. Iman
Secara leksikal, al-i>ma>n berasal dari kata a-ma-na, kemudian kata dasar
tersebut membentuk beberapa kata jadian seperti al-ama>nah (amanah) yang
memiliki makna d}iddu al-khiya>nah (lawan dari khiyanat), al-amn (aman) dengan
makna d}iddu al-khauf (lawa dari rasa takut), dan al-i>ma>n (percaya) sebagai anonim
dari kata kafir (d}iddu al-kufr) yang bermakna al-tas}di>q (pembenaran) lawan dari al-takdhi>b (mendustakan).
1 Di dalam al-Qur'ān, kata al-ama>nah dapat di lihat (QS.
8:27; 33:72). Sedangkan kata al-amn terdapat pada (QS. 2:126; 3:97; 14:35; 28:57;
29:67; 41:40). Dan kata al-i>ma>n (QS. 2:108; 3:167,177,193; 5:5; 9:23; 16:106;
30:56).2 Dalam bentuk fi'il ma>d}i>, kata a>mana yang bermakna percaya atau yakin
sebagai anonim dari kufr dan takdhi>b (kafir dan mendustakan) lebih banyak
diungkapkan al-Qur'ān ketimbang bentuk lainnya. Kemudian dalam bentuk ism fa>'il (mu'min) digunakan sebagai identitas bagi orang yang percaya kepada Allah
atau sebagai orang Islam.3
Orang-orang Arab pra-Islam menggunkan terma i>ma>n sebagai bentuk
keyakinan terhadap hal-hal supranatural yang dipercaya dapat melindungi dirinya
dari segala bentuk keburukan. Terdapat beberapa keyakinan yang diekspresikan
melalu sesembahan terhadap bulan, binatang, atau berhala-berhala yang diwariskan
oleh tradisi nenek moyang mereka seperti yang terjadi di Mekkah pra-Islam yang
sangat mengagungkan Latta, ‘Uzza dan Mana>h (QS. 53:19-22). Secara diakronik
al-Qur'a>n menyebutkan definisi iman sebagai ungkapan untuk meluruskan akidah
dengan mempercayai kekuasaan Allah, kemudian menguatkannya dengan
menyertakan janji dan ancaman, serta selalu mengajak kepada kebaikan, lalu
disertai dengan kewajiban syariat atau ibadah dan hukum-hukum yang harus
dilaksanakan.4
Pada masa Islam, ketika Muh}ammad diutus menjadi rasul, iman
dikonsepsikan menjadi sebuah pembenaran terhadap ke-Esa-an Allah, hari akhir,
para malaikat, para nabi dan rasul, kitab-kitab, dan qad}a>-qadar Allah. Hal ini
berdasarkan sebuah hadith yang dicatat oleh imam Bukha>ri dan Muslim dalam
kitabnya yang menceritakan nabi ditanya oleh malaikat tentang makna iman,
kemudian nabi menjawab dengan 6 variable di atas yang wajib diimani oleh umat
Islam, kemudian dikenal dengan istilah rukun iman.5 Dalam konteks ini, terma
i>ma>n dimaknai sebagai istilah dalam syariat untuk pembenaran terhadap Allah dan
segala yang dibawa oleh Muh}ammad, dengan menggabungkan tiga aspek;
1 Ibn Manzu>}r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 140.
2 Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n
al-Kari>m, (Kairo: Dār al-Hadi>th, 1364), 81-93. 3 Al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, 81-93.
4 Dindin Moh Saepudin, M. Solahudin dan Izzah Faizah Siti Rusydati Khairani,
"Iman dan Amal Saleh dalam al-Qur'a>n; (Studi Kajian Semantik)", al-Bayan, No. 1, Vol. 2,
(Juni 2017), 12-14. 5 Lihat hadits imam Bukha>ri 1/106 dan imam Muslim 1/9, bab iman.
91
meyakini dan membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan
mengimplementasikan dengan anggota badan.6
Imam Abu H{ani>fah mendefinisikan iman, iqra>r bi al-lisa>n wa al-tas}di>q bi al-jana>n (mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati). Imam Abu H{ani>fah
tidak memasukan aspek amal pada definisinya, baginya keimanan dan kekufuran
adalah perkara yang sudah jelas disebutkan dalam al-Qur'a>n (QS. 8:4 dan 4:151),
dalam pandangannya, kemaksiatan tidak menghapuskan iman, maka semua pelaku
maksiat dari umat nabi Muh}ammad masih tergolong mukmi>n (orang yang
beriman).7 Lain halnya dengan Imam Mālik, beliau memasukkan aspek amal
kedalam definsi iman. Dalam pandangan imam Ma>lik, iman adalah gabungan
antara qaul (ucapan) dan ‘amal (perbuatan). Sebagai konsekuensi dari definisinya,
maka iman dalam asumsi imam Ma>lik bersifat fluktuatif (bertambah dan
berkurang) serta memiliki tingkatan (ba‘d}uhu afdhal min ba‘d}).8 Sependapat
dengan imam Ma>lik, imam Sha>fi‘i>,9 juga imam Ah}mad bin H{anbal memasukan
aspek amal kedalam definisi iman serta meyakini bahwa iman bersifat fluktuatif.
Diantara landasan argumentasinya adalah (QS. 9:124).10
Pendapat bahwa amal bukan syarat dari iman adalah pendapat sekte Murji‘ah
yang tidak memasukkan aspek amal ke dalam definisi iman, bahkan bagi Murji'ah
iman cukup dengan meyakininya saja (tas}di>q). Sedangkan ahli hadih, menjadikan
amal sebagai bagian (juz') dari iman, sehingga kesempurnaan iman dibangun oleh
pengakuan dan implementasinya dalam kehidupan nyata.11
Batasan iman menjadi
penting untuk menentukan batasan kufr. Maka, batasan antara i>ma>n dan kufr memiliki implikasi hukum untuk menentukan identitas untuk "diri sendiri" dan
"orang lain" dalam dunia Islam. Seperti yang diungkapkan oleh Farid Esack, bahwa
Iman, Islam, dan kufr merupakan instrument untuk mendefinisikan diri sendiri dan
orang lain.12
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n mendefinisikan iman secara bahasa
sebagai al-tas}di>q (pembenaran). Kemudian secara istilah qaul bi al-lisa>n wa ‘amal bi al-arka>n wa ‘aqd bi al-jana>n (mengucapkan dengan lisan, mengamalkan dengan
anggota badan, dan meyakini dengan hati).13
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n
memasukan tiga aspek dalam definisinya, yaitu pengakuan dengan lisan, amal, dan
6 Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,
2009), 91. 7 ‘Abdullah bin ‘Abd al-Muh}sin al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, (Riyad}:
Wiza>rah al-Syu'u>n al-Isla>miyyah, 1417 H), 37. 8 Al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, 43.
9 Al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, 46-47.
10 Al-Turki>, Mujmal I‘tiqa>d A'immah al-Salaf, 51-60.
11 Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap
Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,
Vol. 4, No. 1, (2015), 66. 12
Farid Esack, Liberation and Pluralism, (Oxford: One Word, 1998), 114). 13
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Lum‘ah al-I‘tiqa>d al-Ha>di> ila> Sabi>l al-Rasha>d, (Riyad}: Ad}wa>' al-Salaf, 1995), 99.
92
keyakinan dalam hati. Keimanan yang dimaksud oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
'Uthaimi>n adalah sama dengan apa yang disebutkan dalam hadith tentang enam
perkara yang harus diimani, yaitu ke-Esa-an Allah, hari akhir, para malaikat, para
nabi dan rasul, kitab-kitab, dan qad}a>-qadar Allah. Kemudian beliau menyebutkan
bahwa apa yang disebutkan dalam hadith tersebut adalah konsepsi keimanan yang
autentik dalam Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi kepada umatnya, yang
diikuti oleh para salaf al-s}a>lih}.14
Paradigma Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam memahami hakikat
iman dibangun di atas konsepsinya tentang tauhid, yaitu tauh}i>d ulu>hiyyah, tauh}i>d rubu>biyyah, dan tauh}i>d asma> wa sifa>t. Kemudian secara tekstual Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami hakikat keimanan seperti apa yang dijelaskan dalam
al-Qur'a>n dan hadith, sehingga apa yang telah disebutkan secara eksplisit dalam al-
Qur'a>n dan hadith maka itulah hakikat keimanan menurutnya. Hal ini dapat dilihat
dalam bukunya yang berjudul ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah yang diyakini
secara eksklusif sebagai konsep akidah yang paling benar, akidahnya firqah al-na>jiyyah (kelompok yang selamat).
15
Pendekatan tekstual dalam memahami keimanan sangat nampak ketika
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menafsirkan ayat-ayat antrofomorfime yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah dalam al-Qur'a>n. Dalam QS. 5:64,
ف شاء إ ق م عغذا تإ ا قاىا ةوإ دا ىعا ة إ د إ يىجف يخإ أ غإ د ٱلل قاىخ ٱىإ
"Orang-orang Yahudi berkata: 'Tangan Allah terbelenggu', sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki."
Secara tekstual Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ( ةوإ دا
عغذا تإ ) sebagai dalil ithba>t al-yadain lillah (ketetapan dua tangan bagi Allah).
Beliau menegaskan bahwa Allah memiliki dua tangan, dan pendapat tersebut
merupakan kesepakatan ahl salaf berdasarkan al-Qur'a>n dan sunnah.16
Begitupun
dalam memahami (QS. 11:37), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menetapkan dua
mata pada ayat tersebut sebagai sifat yang dimiliki Allah, atau pada (QS. 55:27),
beliau menyebutkan bahwa Allah memiliki wajah. Meskipun demikian, bukan
berarti Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyerupakan Allah dengan manusia
sebagai makhluk-Nya, beliau hanya menafsirkan secara dhahir ayat tanpa
melakukan takwil namun tetap mengimani bahwa tidak ada yang serupa dengan
14
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), Jil 1, 54.
15 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah,
(Riyad}: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1430 H),
17-18. 16
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, (Riyad}: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H), Jil. 2, 115.
93
Allah (laisa kamithlihi syaiun). Hal ini dapat dilihat dari catatan beliau dalam
memahmi ayat-ayat semisal di atas untuk tidak melakukan tamthi>l dan takyi>f.17
Eksistensi iman merupakan perkara us}u>l (dasar/pondasi) dalam Islam, maka
pondasi ini semestinya bersifat stabil dan tetap. Hal ini diyakini oleh kelompok
Murji'ah yang kerap dinisbahkan kepada Abu H{anifah, sehingga dalam keyakinan
mereka menolak sifat iman yang fluktuatif (yazi>d wa yanqus}).18 Pendekatan
rasional yang dilakukan oleh kelompok Murji'ah ternyata berbeda dengan apa yang
disabdakan nabi, yang secara eksplisit disebutkan bahwa iman bersifat fluktuatif,
yazi>d bi al-t}a>'ah wa yanqus} bi al-ma's}iyah (bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan).19
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n juga
berpendapat bahwa iman bersifat fluktuatif. Beliau menyebutkan bahwa dalam
akidah ahl sunnah wa al-jama>'ah, iman bisa bertambah juga bisa berkurang.
Landasan argumentasinya adalah QS. 2:260; 74:31; 9:125, serta beberapa hadith
yang menyebutkan bahwa iman dapat bertambah dengan ketaatan serta berkurang
dengan kemaksiatan.20
Dalam aspek keyakinan dalam hati (al-tas}di>q bi al-qalb),
iman dapat bertambah seiring ketenangan yang dirasakan oleh hati. Kemudian,
seseorang yang mengucapkan sesuatu sebanyak mungkin maka akan berbeda
hasilnya dengan orang yang hanya mengucapkan satu kali, maka demikian halnya
dengan iman pada aspek pengungkapan dengan lisan (iqrār bi al-lisa>n). Adapun
tentang iman bertambah dan berkurang pada aspek amal, (al-'amal bi al-arka>n)
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menganalogikan seseorang yang rajin dalam
beribadah tentunya akan berbeda dengan orang yang jarang atau tidak beribadah
dalam hal keyakinannya terhadap Allah.21
Dua pendapat ini sebenarnya telah dikompromikan oleh al-Nawawi> yang
menyebutkan bahwa polemik di kalangan mutakallimi>n terkait sifat iman apakah
fluktuatif atau tidak terletak pada sudut pandang yang mereka gunakan. Bagi yang
berpendapat bahwa iman bersifat statis, mereka melihat iman sebagai makna
dasarnya, yang lebih cenderung kepada segi kebahasaannya, yaitu al-tas}di>q (membenarkan) yang terletak dalam hati. Sedangkan yang berpendapat bahwa
17
Tamthi>l adalah meyakini dan mengatakan bahwa sifat Allah sama dengan sifat
makhluknya. Sedangkan takyi>f adalah meyakini dan mengatakan bahwa sifat Allah adalah
seperti ini dan itu. Lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, (Riyad}: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah,
1430 H), 1-56. 18
Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap
Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,
Vol. 4, No. 1, (2015), 55. 19
Lihat, Abu al-H{asan Muslim bin al-Ḥaja>j al-Ni>sa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, (Riyaḍ: Da>r
Ṭayyibah, 2006), 41-42; Abu 'Abdillah Muh}ammad bin Isma>'i>l al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r, 2002), 12.
20 Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah
al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 49-52. 21
Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Jil. 1, 49-52.
94
iman fluktuatif, mereka memandang iman beserta thamrah (buah) dari iman itu
sendiri, yaitu amal. Maka bertambah dan berkurangnya iman mengikuti intensitas
amal sebagai aktualisasi dari iman tersebut. Dengan demikian, dalil-dalil yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak dapat dikompromikan dan tidak
bertentangan.22
Ketika iman tidak hanya berpusat pada batin namun meluas kepada ranah
z}ahir (amal), maka sebagai konsekuensinya akan terjadi paradoks makna antara
iman dan Islam. Perluasan makna iman kepada ranah amal menjadikan sebagian
kelompok yang secara ekstrim mengkafirkan para pelaku dosa besar di kalangan
umat Islam sendiri. Misalnya kelompok Khawarij yang dikenal dengan kelompok
takfi>ri>, pelaku dosa besar seperti yang tidak menegakkan hukum Allah, tidak shalat
dan tidak zakat dihukumi kafir karena dianggap telah mencederai iman.23
Bahkan,
ditunjang dengan teks keagamaan yang melegitimasi kekerasan menjadikan mereka
kelompok ini semakin tidak toleran dan tega untuk memerangi siapapun yang
dianggapnya telah kafir karena telah mencedarai iman tersebut.
Dalam hal ini, penulis melihat ambiguitas dari sikap Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n terkait pemaknaan iman dan Islam. Di sisi lain Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n memasukan aspek amal dalam pengertian iman, namun beliau juga
membedakan antara iman dan Islam dengan menyebutkan bahwa iman mecakup
perkara-perkara batin seperti keyakinan yang ada dalam hati, sedangkan Islam
mencakup perkara-perkara z}ahir seperti kesaksian dengan lisan dan amal ibadah.
Pendekatan yang dilakukan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam
membedakan antara iman dan Islam adalah pendekatan ‘a>m-kha>s} (umum dan
khusus). Beliau memahami bahwa Islam lebih umum dari pada iman yang di
dalamnya mencakup iman. Dalam hal ini, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
berargumen dengan hadith dari ‘Umar bin Khat}t}a>b tentang definisi iman dan Islam
yang menyebutkan:
اىصماث، دص اىص ث، دئد ا زظه الله، دق ذدن ل اى ال الله أ أ دشدأ الظ
ظت ن اظذطعخ اى ، دذج اىتخ ا (زعا ) : قاه الا ةالل ئنذ أ دئ
شس س ةاىقدز خ اخس دئ اى زظي (مذت
"(Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan melakukan ibadah haji bagi yang mampu), dan Nabi bersabda tentang iman: (engkau beriman kepada Allah, para
22
Yahya Bin Sharaf al-Nawawi, S{ah}i>h} Muslim bi sharh al-Nawawi>, (Kairo:
Maṭba‘ah al-Maṣriyyah bi al-Azha>r, 1929), juz 1, 148. 23
Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap
Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,
Vol. 4, No. 1, (2015), 56.
95
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan qadar-Nya yang baik maupun buruk)."24
Di dalam al-Qur'a>n, iman dan amal s}aleh sering disebutkan secara
berdampingan. Dua aspek ini saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya,
keimanan belum dikatakan sempurna jika tidak lengkapi dengan amal ṣaleh,
begitupun amal ṣaleh dikatan tidak sah jika tidak dilandasi dengan iman.25
Misalnya pada surah al-‘As}r ayat 3,
س تإ ا ةٲىص إ اص د ذق ا ةٲىإ إ اص د خ ـ يذ ـ يا ٱىص ع ا ءا ال ٱىر
"kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran."
Aspek iman dan amal ṣaleh disebutkan berdampingan serta menjadi syarat
supaya manusia tidak mengalami kerugian. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menafsirkan iman sebagai keyakinan terhadap al-us}u>l al-sittah (enam rukun iman)
dan amal ṣaleh sebagai rangkaian ibadah baik yang besifat individual, seperti
shalat, haji dan yang lainnya, maupun ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat
baik kepada orang tua dan lain sebagainya. Untuk disebut sebagai amal ṣaleh,
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan tiga syarat; pertama, ikhlas
hanya untuk Allah. Kedua, al-muta>ba‘ah li al-rasu>l (sesuai atau mengikuti dengan
apa yang diajarkan rasul). Ketika amal tidak disertai dengan keikhlasn kepada
Allah, maka amal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kesyirikan.26
‘Izzudi>n ‘Abdissala>m al-Maqdisi> al-Wa>'izh (w. 678 H./1280 M.), dalam
konteks ini membedakan antara hakikat (haqi>qah) dan syariat (shari>'ah). Enam
rukun iman yang disebutkan dalam hadith nabi dikategorikan sebagai hakikat,
sedangkan amal ibadah dikategorikan sebagai syariat. Dalam hal ini ‘Izzudi>n
seseorang yang telah kafir dalam syariat belum tentu dikatakan kafir dalam
hakikat. Sebagai konsekuensi dari asumsi ini, seseorang bisa dikatakan kafir dan
mukmin sekaligus dalam dua sudut pandang yang berbeda.27
Jika melihat pembagian hakikat dan syariat yang dikonsepsikan oleh
‘Izzudi>n ‘Abdissala>m al-Maqdisi> al-Wa>'izh, seorang munafik bisa dikatakan
sebagai seorang mu'min secara syariat meskipun dia kafir secara hakikat. Akan
tetapi hal ini akan bertentangan dengan QS. 2:8,
24
Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 48-49.
25 Dindin Moh Saepudin, M. Solahudin dan Izzah Faizah Siti Rusydati Khairani,
Iman dan Amal Saleh dalam al-Qur'a>n; (Studi Kajian Semantik), al-Bayan, No. 1, Vol. 2,
(Juni 2017), 18. 26
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, (Riyad}:
Da>r al-Thuriya, 1423 H/2002 M), 310-311. 27
Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap
Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,
Vol. 4, No. 1, (2015), 56.
96
ئإ ا ة خس ٱٱإ إ ةٲىإ ا ةٲلل قه ءا ٱىاض
"Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian', padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."
Atas dasar inilah Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menolak lima
pembagian iman yang telah dirumuskan oleh sebagian ulama.28
Menurutnya,
bagaimana mungkin seorang munafik dikatakan beriman sedangkan al-Qur'a>n
secara tegas menegasikan keimanannya.29
Lain halnya dengan al-‘Izz ibn ‘Abd al-
Salam, beliau membedakan keduanya -iman dan amal- dengan istilah al-ima>n al-haqi>qi> (iman hakiki), al-ima>n al-maja>zi> (iman metaforis). Konsepsinya bertujuan
untuk menunjukkan ketetapan makna iman sebagai keyakinan dalam hati namun
berkaitan erat dengan hal-hal z}ahir, yaitu amal shaleh.30
Berdasarkan pemaparan di atas, konsep iman yang dijelaskan oleh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak dapat dilepaskan dari implementasinya
dalam bentuk tindakan z}ahir (amal), antara keimanan dan amal shaleh memiliki
ikatan kuat yang tidak bisa dipisahkan. Keimanan bersifat fluktuatif seiring
intensitas amal yang dilakukan, sedangkan amal sangat ditentukan sah atau
tidaknya berdasarkan keimanan. Pemahaman Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
ini sangat ditentukan oleh hadith dari ‘Umar tentang definisi Iman dan
menggabungkannya dengan dalil-dalil lain tentang kesatuan antara iman dan amal
yang dibaca secara tekstual berdasarkan z}ahir teks dari dalil-dalil tersebut. Dengan
konsepsi seperti ini, sebagai konsekuensinya, akan mengalami kerumitan dalam hal
menentukan indentitas "diri sendiri" dan "orang lain" juga akan menimbulkan
paradoks makna antara iman dan Islam.
2. Islam
Terma isla>m dibentuk dari tiga huruf dasar sin-lam-mim, tiga huruf dasar
tersebut membentuk beberapa kata jadian (derivasi), di antaranya adalah aslama
yang berarti menyerahkan, kemudian membentuk mas}dar yaitu al-isla>m yang
memiliki makna berserah diri, tunduk dan patuh, sedangkan subyek yang
melakukan ketundukan dan kepatuhan tersebut disebut muslim. Di dalam al-Qur'a>n
terma isla>m disebutkan dengan berbagai bentuk derivasinya juga dengan makna
yang beragam, di antaranya; al-Istisla>m (berserah diri) QS. 2:131; QS. 3:83, Sali>m
(suci/bersih) Q.S. 26: 89; 37:84, sala>m (selamat/sejahtera) QS.11:29; 13:24; 14:23;
15:46; 16:32; 19:15,33 47; 20:47; 27:59, al-salam/ al-s}ulh (perdamaian) 4:90, 91;
28
Lima macam iman tersebut adalah; 1. I<ma>n mat}bu' (imannya malaikat), 2. I<ma>n
ma's}u>m (imannya para nabi), 3. I<ma>n maqbu>l (imannya orang yang beriman), 4. I<ma>n
Mardu>d (imannya orang munafik), 5. I<ma>n mauqu>f (imannya ahl bid'ah) 29
Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 56-57.
30 Husnel Anwar Matondang, "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap
Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)", Analytica Islamica,
Vol. 4, No. 1, (2015), 57.
97
16:28,87, sedangkan terma isla>m itu sendiri disebutkan sebanyak delapan kali, QS.
3: 19,85; 5:3; 6:128; 39:22; 61:7; 49:17; 9:74.31
Terma isla>m dengan makna berserah diri diyakini sebagai substansi dari al-Isla>m dalam pengertiannya sebagai identitas sebuah agama. Hal ini berdasarkan
ungkapkan Nabi Ibrahim terhadap Tuhan-nya sehingga dia juga disebutkan dalam
al-Qur'a>n sebagai muslim (orang yang berserah diri).32
Ungkapan Nabi Ibrahi>m
tersebut dapat dilihat pada QS. 2:131;
ي ـ ع خ ىسا ٱىإ إ ي إ قاه أظإ ي اذإ قاه ى زةب ۥ أظإ
"Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: 'Tunduk patuhlah!' Ibrahim menjawab: 'Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam'."
Al-Ra>ghib al-As}faha>ni> menyebutkan bahwa yang dimaksud aslma (mennyerahkan diri) pada ayat tersebut adalah penyerahan diri secara total
terhadap seluruh qad}a dan qadar Allah.33
Sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa penyerahan diri pada ayat tersebut mencakup
aspek z}ahir dan batin, baik iman maupun amal.34
Sebagaimana halnya ketika
mendefinisikan iman sebagai gabungan dari keyakinan dan amal, dalam memahami
terma isla>m pun Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menggabungkan dua aspek
tersebut.
Pada QS. 2:131, al-Qur'a>n menyebutkan substansi dari keberagamaan, yaitu
tunduk dan patuh kepada Tuhan tanpa menyebutkan identitas agama tertentu.
Ayat lain yang menyebutkan makna isla>m sebagai penyerahan diri terhadap Tuhan
dapat dilihat pada QS. 3:83,
جع سإ إ اى ا ن سإ ا
عن إ ض غ زإ ٱٱإ ٳح ـ ٱىع ي ى ۥ أظإ غ تإ ٱلل س إ أ غ
"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan."
Berbeda dengan QS. 2:131, ayat ini menyebutkan ketundukan dan
kepasrahan diri kepada di>n Allah (agama Allah), diungkapkan dalam bentuk
tunggal (mufrad) sehingga diyakini oleh kelompok eksklusifis bahwa hanya ada
satu agama yang diridhai oleh Allah sebagai satu-satunya agama yang benar,
sebagai salah satu landasan argumentasinya adalah QS. 3:19.
31
Lihat, Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-
Qalam, 2009), 421-424; Misbahuddin Jamal, "Konsep al-Islam dalam al-Qur'a>n", Al- Ulum,
Vol. 11, No. 2, (Desember 2011), 287-288, Muh}ammad Fu'a>d 'Abd al-Ba>qi>, al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Dār al-Hadi>th, 1364), 355-358.
32 QS. 3:67.
33 Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,
2009), 423. 34
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,
(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, hal. 72.
98
Al-T}abari> memaknai terma al-isla>>>m adalah al-inqiya>d bi al-taz}li>l wa al-khushu' (melaksanakan setiap kewajiban dengan tunduk dan khusu'). Begitupun
dalam pandangan Nurcholis Madjid, sebagai salah satu dari kalangan inklusifis-
pluralis, mengartikan terma al-isla>m sebagai bentuk kepasrahan total terhadap
Yang Maha Tunggal35
. Akan tetapi, polemik yang ada adalah tentang apakah yang
dimaksud terma al-isla>m itu adalah agama yang dibawa oleh Muh}ammad secara
khusus, yakni kepasrahan total kepada Tuhan yang dikonsepsikan ajaran Islam
Muh}ammad, ataukah mencakup agama-agama lain selama mempraktikan
kepasrahan total terhadap tuhan-tuhan mereka dengan konsepsinya masing-masing
tentang realitas transenden tersebut.
Pada QS. 5:3, disebutkan terma al-isla>m sebagai identitas sebuah agama;
ا ن ـ ي ظإ ٱلإ زظخ ىن ذ إ عإ ن إ خ عي إ أدإ إ إ ن خ ىنيإ أمإ إ ٱىإ
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."
Terma al-isla>m pada ayat tersebut dijelaskan dengan terma di>n (agama)
setelahnya. Muḥammad bin Ṣāliḥ al-‘Uthaimīn meyakini bahwa al-isla>m pada ayat
tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muh}ammad sebagai pelengkap
dan penyempurna syariat-syariat sebelumnya yang dibawa oleh para nabi sebelum
Muh}ammad.36
Ibn Taimiyyah memandang terdapat kesamaan dan perbedaan antara
Islam yang dibawa Muh}ammad dan Islam yang dibawa oleh Nabi-nabi sebelumnya.
Kesamaan tersebut terletak pada aspek tauhid, sedangkan perbedaannya terletak
pada shari'atnya. Menurut Ibn Taimiyyah, terdapat abrogasi (naskh) terhadap
syari'at Islam yang dibawa oleh Nabi Musa, Isa dan para Nabi sebelumnya oleh
syari'at Islam yang dibawa Muh}ammad. Sehinga, secara tegas Ibn Taimiyyah
berpendapat bahwa orang yang hidup di jaman Nabi Muh}ammad dan setelahnya,
yang tidak beriman dan melaksanakan syari'at Islam yang dibawa oleh Muh}ammad,
maka ia tidak termasuk orang Islam.37
Abrogasi Islam Muh}ammad terhadap ajaran para Nabi sebelumnya juga
dikemukakan oleh Ibn Kathi>r. Yaitu, ketika Ibn Kathi>r memahami asbab al-nuzu>l QS. Al-Baqarah(2): 62. Ayat tersebut turun berkaitan dengan pertanyaan Salma>n
al-Fa>risi> kepada Nabi terkait sahabat-sahabatnya yang hidup dan meninggal
sebelum sempat mengimani kerasulan Muhammad, kemudian Nabi bersabda: "hum
35
Lihat Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
2000), 180-181. 36
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,
(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, hal. 44. 37
Ibn Taimiyyah, Iqtida>l al-Sirat} al-Mustaqi>m: Mukhala>fat As}h}a>b al-Jahi>m (t.tp:
Jam‘iyyah Ih}ya> al-Tura>th al-Isla>mi>, t.th.): 76-77); lihat juga Ahmad Khoirul Fata,
"Menguak Islam Eksklusif yang Toleran", Islamica, Vol. 6, No. 1, (September 2011): 19.
99
fi> al-na>r" (mereka berada di neraka).38
Ibn Kathi>r memahami bahwa imanya orang
Yahudi terhadap Taurat dan sunnahnya 'Musa, berlaku sampai datangnya 'Isa
dengan Injil dan sunnahnya. Kemudian, imannya orang nashrani terhadap Injil dan
sunnah ‘Isa berlaku hingga datangnya Muh}ammad dengan al-Qur'a>n dan
sunnahnya. Dan ketika masa Muh}ammad, maka Islam yang sah adalah al-Qur'a>n
dan sunnah Nabi Muh}ammad.39
Dalam sebuah riwayat Ibn Abi H{a>tim, dari Ibn ‘Abba>s, Ibn Shuriya> bertanya
kepada Nabi, apakah yang dimaksud dengan al-huda> (petunjuk/hidayah) sehingga
kami berada dalam naungannya, kami mengikutimu wahai Muh}ammad, maka kami
mendapat petunjuk. Akan tetapi orang-orang nas}rani pun berkata demikian
(barangsiapa yang mengikuti nashrani maka ia akan mendapat petunjuk), maka
turunlah QS. 2:135, bahwa millah Ibra>hi>m adalah ajaran yang h}ani>f (lurus) bukan
golongan orang-orang yang musyrik.40
Riwayat ini merupakan sabab al-nuzu>l dari
QS. Al-Baqarah: 135, dalam riwayat tersebut, orang nashrani pada masa Nabi
muḥammad dikategorikan segabai orang yang musyrik, sedangkan prilaku syirk
bertolak belakang dengan makna al-isla>m, yaitu patuh dan tunduk secara total
kepada Yang Maha Esa.
Senada dengan al-T}abari>, Ibn Kathi>r, Ibn Taimiyyah, dan kalangan ekslusifis
lainnya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memaknai terma al-di>n pada QS. Ali
Imra>n: 19 sebagai al-‘amal (amal perbuatan), sama halnya dengan terma al-di>n
yang ada pada QS. Al-Ka>firu>n: 6 dan QS. Al-Bayyinah: 5. Terma al-di>n adalah al-isla>m, yaitu ibadah kepada Allah dan beramal ṣaleh kepada-Nya. Dalam pandangan
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, terma isla>m pada QS. Ali-‘Imra>n:19 adalah
Islam kha>s} (khusus), yaitu beribadah kepada Allah sesuai Shari'at yang dibawa oleh
Nabi Muh}ammad.41
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membagi al-isla>m ke dalam dua kategori;
isla>m 'a>m dan isla>m kha>s}. Sebenarnya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak
menafikan substansi dari makna isla>m adalah berserah diri secara total kepada
Allah, begitu pun beliau meyakini akan risalah nabi-nabi terdahulu sebelum
Muh}ammad sebagai risalah yang sah pada masanya. Dalam menafsirkan QS. 3: 85,
عس ـ ٱىإ خسث ٱٱإ إ تو ا ي قإ ن ـ ي ظإ س ٱلإ إ ذ تإ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
38
Lihat asbab al-nuzu>l QS. Al-Baqarah: 62, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi
Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 19. 39
Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Riyad}: Dar T{ayyibah li al-Nashr wa al-
Tauzi>', 1999), jil. 1, 284. 40
Jala>l al-Di>n 'Abdu ar-Rah}ma>n bin Abi Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 31.
41 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n,
(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 123.
100
Muḥammad bin Ṣāliḥ al-'Uthaimīn menyebutkan
، -ص-الظ اى اص اىر جاء ة ذد : اىسا ةالظ ا ( س الظ ): قى
الظذع لل مو شا نا، ما ذمس اٱتاء اىعاةق أ : ا ما اٱصو طيق عي
): طيق الظ ي ـ ع زا ٱىإ لل ـ إ ي ظي خ إ ي أظإ ع خ إ إ اٱاح (قاىخإ زا ا ظي
- را مثسث، أ اىسظو أدتاع عي، ىن را الظ اىعا، أا ةعد ةعثج اىسظه
. قػ- ص-، نو ا ع اظ ا ا جاء ة اىسظه الله -ص
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menegaskan pandangan
eksklusifnya bahwa agama-agama lain selain Islam, seperti agama Naṣrani, agama
Yahudi, agama Budha, agama Majusi dan agama-agama lain tidak akan diterima
oleh Allah.44
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak hanya memahami terma
isla>m sebagai makna generikanya, yaitu berserah diri, namun beliau juga
memahaminya sebagai sebuah identitas suatu agama yang diriḍai oleh Allah, yaitu
syariat yang diturunkan Allah kepada Nabi Muh}ammad. Dalam mendefinisikan
isla>m, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merujuk kepada hadith Nabi, dari ‘Umar
bin Khat}t}a>b, sama halnya ketika ia mendefinisikan iman, yaitu;
أ دشد الظ اىصماث، دص اىص ث، دئد ا زظه الله، دق ذدن ل اى ال الله أ أ
ظت ن اظذطعخ اى ، دذج اىتخ ا (زعا
"(Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muḥammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan melakukan ibadah haji bagi yang mampu)."45
Pendapat ini dikritisi oleh Muh}ammad Shahru>r, rukun Islam yang dijelaskan
dalam hadith tersebut merupakan konsep normatif yang dijejalkan kepada umat
muslim selama beradab-abad dianggap oleh Shahru>r keliru dan tidak relevan.
Menurut Shahru>r, untuk memahami makna Islam hendaknya melakukan
reinterpretasi tentang konsep Islam mulai dari Nabi Nuh} dan berakhir pada Nabi
Muh}ammad melalui Nabi Ibrahi>m, Ya’qub, Isa dan Musa.46
Shahru>r membedakan
42
QS. Al-Naml: 44. 43
dan firman-Nya: (selain Islam), yang dimaksud dengan terma islām pada ayat ini
adalah Islam khusus, yakni shariat yang dibawa oleh Nabi Muḥammad SAW, meskipun
secara asal, makna terma islām adalah berserah diri kepada Allah dimanapun dan kapanpun
berada. sebagaimana para Nabi terdahulu -sebelum Nabi Muḥammad-, mereka juga disebut
sebagai Islam, begitupun dengan para pengikutnya yang disebut sebagai muslimūn (orang-
orang muslim). akan tetapi, makna Islam di sana adalah Islam secara umum, sedangkan
Islam secara khusus adalah setelah diutusnya Muḥammad Rasulallah SAW, dan semua
istilah Islam dewasa ini adalah tentang sḥariat yang dibawa oleh Muhammad Rasulallah
SAW saja. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 497.
44 Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n, Jil. 1, 500.
45 Lihat, Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-
Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H),, jil. 1, hal. 48-
49. 46
Lihat, Abu Muslim, "Reinterpretasi Konsep Islam dan Iman dalam al-Qur'a>n
(Telaah Pemikiran Muhammad Shahru>r)", Dialogia, Vol. 15, No. 1, (Juni 2017), 25.
101
antara Islam dan iman, meskipun ia juga mengakui adanya kesinggungan makna
antara keduanya. Menurutnya Islam merupakan fitrah insaniyyah yang diberikan
Allah kepada manusia yang tidak membutuhkan risalah langit, ritual atau ajaran
tertentu. Atas dasar inilah Sahrūr menolak empat rukun Iman yang diyakini oleh
mayoritas muslim dan hanya mengakui rukun Islam yang pertama, yaitu sahadat.
Sedangkan iman dalam artian keyakinan, pengakuan, dan perwujudan dalam
perbuatan membutuhkan petunjuk dan dan tuntunan dari Allah melalui para
utusan-Nya untuk menjelaskan ajaran dan ritual yang harus dilakukan sebagai
bentuk penghambaan kepada Tuhan.47
Kelompok inklusifis memandang bahwa terma al-isla>m pada QS. A<li 'Imra>n
19 dan 85, bukan islam sebagai "organized religion", tetapi islam berdasarkan
makna generiknya, yakni tunduk, patuh dan berserah diri.48
Dari perspektif makna
generik ini kemudian mengarah kepada pengakuan eksistensi semua agama dan
berpeluang mendapatkan berkah keselamatan. Nurcholis Madjid
mengistilahkannya dengan "Satu Tuhan Banyak Jalan". Dalam pandangannya,
agama-agama berbeda pada level eksoteriknya dan relatif sama pada level
esoteriknya. Hal ibarat roda, pusat roda adalah tuhan sedangkan jari-jari pada roda
tersebut adalah berbagai jalan menuju keselamatan dari setiap agama.49
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Isma>'il Ragi al-Faruqi, ia
berasumsi bahwa asal semua agama adalah satu dan bersumber pada satu tuhan.
Al-Faruqi mengistilahkan asal agama tersebut dengan Ur-Religion atau agama
fitrah yang bersifat meta-religion, sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Ru>m: 20,
kemudian agama fitrah tersebut berubah secara dinamis menjadi agama-agama
historis-tradisi yang spesifik dan pluralis.50
Pandangan inilah yang dikonsepsikan
oleh Maulana Abul Kalam Azad dengan istilah wahdat al-di>n (kesatuan agama),
dengan asumsi bahwa kebenaran Tuhan hanyalah satu yang diberikan kepada
semua tanpa terkecuali dan tanpa pengkhususan. Semua orang yang mengabdi
kepada Tuhan dan hidup dalam kesalihan maka ia akan memperoleh keselamatan,
tanpa memandang afiliasinya terhadap kelompok agama tertentu.51
Kalangan inklusifis-pluralis menguatkan argumentasinya dengan QS. Al-
Ma>idah: 62 dan 69. Misalnya, Khaled Abou al-Faḍl, menyebutkan bahwa al-Qur'a>n
mengakui pluralitas teologis sebagai jalan-jalan menuju keselamatan. Ia
menggunakan ayat:
47
Abu Muslim, "Reinterpretasi Konsep Islam dan Iman dalam al-Qur'a>n (Telaah
Pemikiran Muhammad Shahru>r)", Dialogia, Vol. 15, No. 1, (Juni 2017), 41 48
Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian
Semantik Terhadap Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3,
No. 1, (21 April 2013): 62. 49
Lihat buku Nurcholis Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999). 50
Lihat, Isma>'il Raji al-Faruqi, Islam dan Agama-agama Lain,dalam Altaf Gauhar
(ed.), Tantangan Islam, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1982), 102-105. 51
Mun'im Sirry, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2013), 99-112.
102
إ ا ءادٮن إ م ي تإ ن ى ـ ى ٳددثن
جن إ أ ىجعيڪ إ شاء ٱلل ى ا اجن إ عجن إ شسإ ن ا ىنو جعيإ
ذي د إ إ ا مذ ا ت ن ةعن إ ج جعڪ سإ سٳح اى ٱلل إ ذتقا ٱىإ ٲظإ
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah engkau semua akan kembali (di akhirat), lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."52
,
dan ayat,
ا يذن ـ و ص ع خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل إ ءا س ـ ٱىص تـ ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا
ص إ ذإ ل إ إ إ ف عي خ
‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orangorang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛53.
Menurut al-Faḍl, ayat tersebut mengindikasikan bahwa peluang keselamatan
(salvation) dimiliki juga oleh non-muslim. Lebih lanjut, al-Faḍl mengkritik ulama
muslim pramodern, denga menyebutkan bahwa mereka tidak memiliki dorongan
yang kuat untuk mengekplorasi makna dan implikasi akan persetujuan al-Qur'a>n
terhadap pluralitas dan interaksi antar budaya. Hal ini disebabkan oleh dominasi
politik dan superioritas peradaban Islam, yang menjadikan mereka over confident.54
Menurut Rashid Rid}a, keselamatan seseorang tidak ditentukan oleh jenis
agamanya melainkan berdasarkan keimanan dan amalnya. Keimanan yang bernar
tersebut tidak diisyaratkan oleh kekhususan mengimani syariat Muh}ammad.55
Dalam riwayat Ibn Abi Ha>tim, dari Ibn ‘Abba>s, ia berkata, bahwasanya orang-
orang Yahudi dan Nas}rani berkata, "tidak akan masuk syurga selain golongan dari
kami." Maka turunlah QS. Al-Nisa>': 123.56
Dalam riwayat lain, yakni riwayat Ibn
Jari>r, dari Masru>q, bahwasanya orang-orang Nasrani dan Islam saling
membanggakan kelompoknya masing-masing dan mengklaim bahwa kelompok
mereka lah yang paling utama. Kemudian turunlah ayat 123 dari surah al-Nisa>';
52
QS. 5: 48. 53
QS. 5: 69. 54
Khaled Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam, diterjemahkan oleh Heru
Prasetia dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam, Purotanisme versus Pluralisme,
(Bandung: Arasy PT Mizan Pustaka, 2003), 32-33. 55
M. Rashid Rid}a, Tafsir al-Qur'ān al-Ḥakīm: Tafsir al-Manār (Mesir: Dār al-Manār,
2001), jil. 1, 336. 56
Jala>l al-Di>n 'Abdu ar-Rah}ma>n bin Abi Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 99.
103
ل ا ىن ٱلل ل جدإ ى ص ةۦ ا جإ ءن وإ ظ عإ ب ـ ڪذ و ٱىإ إ أ ا ل أ إ ان ط ةؤ إ ى
ا صسن
"(Pahala dari Allah) itu bukan menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya ia akan diberi pembalasan atas kejahatan tersebut dan ia tidak mendapatkan pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain Allah."57
Penafsiran terhadap terma al-isla>m menimbulkan beragam paradigma
keberagamaan dalam Islam, khususnya berkaitan dengan sosial-relasional antara
Islam dan agama-agama lainnya. ketika terma al-isla>m dimaknai secara generik-
substansialis, yakni kepasrahan total terhadap Yang Maha Tunggal, maka
penafsiran tersebut akan mengarah kepada konsep keberagamaan yang inklusif-
pluralis yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya dimiliki oleh Islam
melainkan dimiliki juga oleh agama-agama lainnya, begitupun dengan keselamatan
tidak hanya dimonopoli oleh agama Islam melainkan hak semua agama selama
mengimplementasikan totalitas kepasrahan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, jika
terma al-isla>m dimaknai secara khusus sebagai syariat Nabi Muh}ammad, maka
arah penafsirannya cenderung menghasilkan konsep keberagamaan yang eksklusif,
yang meyakini bahwa hanya agama yang dibawa oleh Muḥammad lah yang benar
sebagai jalan menuju keselamatan.
Secara rinci, Rofiq Nurhadi dkk, menjelaskan implikasi metode penafsiran
terhadap produk tafsir, khususnya terkait ekslusivisme-inklusivisme dalam al-
Qur'a>n. Nurhadi menggunakan pendekatan semantik untuk membaca relasi terma
al-di>n, al-shari‘ah, dan millah. Dalam kajiannya, Nurhadi mengunakan teori
hiponimi dan sinonimi58
, yang dalam kesimpulannya, jika terma al-di>n dan al-shari‘ah dibaca secara hiponimi maka produk tafsir yang dihasilkan adalah faham
ekslusivisme. Secara hiponimi, terma shari‘ah ada pada terma al-di>n atau dalam al-di>n mengandung banyak shari'ah. Dengan demikian, ayat pada QS. Al-Ma>idah: 48
dan QS. Ali ‘Imra>n: 19 akan bersebrangan (ta‘a>rud). Dan solusi dari kontradiksi
ayat tersebut adalah metode abrogasi (naskh wa al-mansu>kh)59. QS. Al-Ma>idah: 48,
yang menjelaskan bahwa setiap umat diberikan syariat dan jalan yang terang,
57
. Jala>l al-Di>n ‘Abdu ar-Rah}ma>n bin Abi Bakr al-Suyu>t}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S}afa>: 2002), 99.
58 Relasi hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang
maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran lain. Sedangkan relasi sinonimi adalah
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan
ujaran lainnya. A. Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta, Rineka Cipta, 2007), dalam Rofiq
Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik Terhadap
Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April
2013): 63-65. 59
Dalam konteks ini, metode naskh wa al-mansu>kh yang digunakan adalah naskh wa al-mansu>kh juz'i, yaitu penghapusan sebagian hukum shara' yang umum sebelumnya oleh
hukum shara' yang datang setelahnya. Lihat, N. Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2001), 173.
104
dinaskh oleh QS. A<li ‘Imra>n: 19. Maka produk penafsirannya adalah syari'at-
syari'at yang ada sebelum Nabi Muh}ammad, dihapus sebagiannya oleh syari'at
Nabi Muh}ammad yang datang setelahnya. Konsekuensi logisnya, makna QS. A<li
'Imra>n: 19 adalah, al-di>n yang diridhai Allah adalah al-di>n yang berisikan syari'at
Nabi Muh}ammad serta jaminan keselamatan pada Yahudi, Naṣrani dan Shabi'i>n
dalam QS. Al-Baqarah: 62, juga dinasakh oleh QS. A<li 'Imra>n: 85 yang mewajibkan
mengikuti syari‘at Nabi Muh}ammad.60
Adapun secara sinonimi, secara umum terma al-di>n bermakna millah dan
shari‘ah, atau ketiganya memiliki makna yang sama. Jika terma al-di>n, millah dan
shari‘ah dalam al-Qur'a>n dibaca secara sinonimi, maka produk penafsirannya
adalah faham inklusivisme-pluralisme. Yakni tidak ada pertentangan antara QS.
Al-Ma>idah: 48 dan QS. Ali Imran: 19 dan jaminan keselamatan tidak dimonopoli
oleh satu agama tertentu melainkan hak semua agama selama ia berbuat baik serta
tunduk dan patuh kepada Yang Maha Tunggal.61
Berdasarkan pemaparan di atas, penafsiran terhadap terma i>ma>n dan isla>m
memiliki implikasi terhadap pembentukan identitas bagi kelompok Islam yang
disebut muslim dan kelompok yang beriman yang disebut sebagai mukmin. Dalam
hal ini, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n cenderung eksklusif dalam memaknai
terma ima>n dan isla>m, yang hanya ditunjukkan bagi orang-orang yang meyakini
Allah dan syari‘at yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Hal ini dipengaruhi oleh
pembacaan yang tekstualis oleh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n terhadap nash
al-Qur'a>n dan hadi>th yang menjelaskan dua terma tersebut, khususnya pada hadi>th
yang diriwayatkan dari 'Umar.
B. Non Muslim dalam Tafsir Muḥammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n
1. Kafir
Terma ka>fir merupakan ism al-fa>‘il (subyek) dari kata kerja (fi‘il) kafara
dengan mas}dar al-kufr. Secara bahasa al-kufr bermakna satru al-shai' (menutupi
sesuatu). Makna ini memiliki konotasi yang luas tergantung pada konteks
penggunaannya, misalkan malam dengan kegelapannya menutupi manusia dari
cahaya disebut juga sebagai al-ka>fir, atau petani juga bisa dikatakan sebagai al-ka>fir karena ia menabur benih dan menutupinya dengan tanah.
62 Dalam ranah
teologis, al-kufr merupakan kebalikan dari iman (naqi>d} al-i>ma>n), maka al-ka>firu
adalah orang yang tidak beriman, dan digunakan juga sebagai identitas kelompok
di luar Islam yang menolak dan menentang Islam (ahl da>r al-harb). Selain itu, term
al-kufr juga memiliki makna etika negatif sebagai sifat yang tidak tau terimakasih
60
Rofiq Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian
Semantik Terhadap Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", Kawistara, Vol. 3,
No. 1, (21 April 2013), 63-65. 61
Nurhadi dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik
Terhadap Tafsir Al-Qura>n Tentang Hubungan Antar agama", 65-66. 62
Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,
2009), 714.
105
atau kebalikan dari syukur (naqi>d} al-shukr) yang lebih dikenal dengan istilah kufr al-ni‘mah, yakni tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan.
63
Di dalam al-Qur'a>n, term al-kufr disebutkan sebanyak 525 kali dengan
berbagai derivasinya,64
yang secara umum mengarah kepada pengertian kufr dengan makna semantik yang disebutkan di atas. Keberagaman pengertian yang
disebutkan al-Qur'a>n tentang term kufr ini disimpulkan oleh Toshiko Izutsu bahwa
ketidakpercayaan (naqi>d} al-i>ma>n) bukan satu-satunya dasar semantik dan bukan
makna asal dari term kufr tersebut. Izutsu lebih cenderung memaknai kufr sebagai
etika negatif yang tidak berterimakasih atau tidak bersyukur (naqi>d} al-shukr).65
Asghar Ali Engineer lebih luas memahami term kufr yang berkonotasi pada
kejahatan sosial-ekonomi, menurut Ashgar, kufr bukan hanya tentang tidak
berimannya kepada Allah, rasul dan syariatnya, tapi kufr juga bermakna
penentangan terhadap masyarakat yang adil, egaliter, ekploitasi, penindasan dan
penjajahan. Maka orang kafir dalam pandangan Asghar bukan hanya orang yang
tidak beriman tapi juga orang yang tidak berani dan tidak berperan dalam melawan
kejahatan-kejahatan sosial-ekonomi.66
Term kufr sebagai anonim dari syukur disebutkan dalam QS. Al-Baqarah
ayat 152:
ل دنإ س ڪسا ى ٱشإ إ م مسإ أذإ مس ٲذإ
"Maka, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)-Ku."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat sebelumnya (QS. 2:151)
sebagai kesempurnaan nikmat yang diberikan Allah kepada manusia melalui
pengutusan rasul. Ayat tersebut berkaitan dengan (QS. 2:150), "...Dan agar Kusempurnakan ni‘mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk". Kemudian Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa nikmat allah
untuk kita adalah diutusnya Muh}ammad sebagai rasul sebagai petunjuk yang harus
diikuti.67
Berkaitan dengan dua ayat sebelumnya, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n menafsirkan QS. 2:152 sebagai perintah untuk dhikr (mengingat)
kepada Allah, perintah bersyukur, dan larangan terhadap kufur nikmat. Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefiniskan shukr sebagai bentuk ketaatan kepada sang
pemberi nikmat (al-qiya>m bi t}a>'ah al-mun‘im), sehingga syukur harus diaplikasikan
63
Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008), 3897. 64
Lihat, Muhammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 605-613.
65 Haikal Fadhil Anam, "Konsep Kafir dalam Alquran: Studi Atas Penafsiran Asghar
Ali Engineer", Nalar, Vol. 2, No. 2, (Desember 2018), 94. 66
Haikal, "Konsep Kafir dalam Alquran: Studi Atas Penafsiran Asghar Ali
Engineer", 95. 67
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,
(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 161-162.
106
oleh hati, lisan, dan anggota badan untuk taat kepada Allah. Sebaliknya, ketika
seseorang tidak menggunakan hati, lisan, dan anggota badannya untuk taat kepada
Allah, maka seseorang tersebut dikatakan sebagai orang yang tidak tau terimakasih
(kufr al-ni'mah) terhadap Allah yang telah memberinya nikmat yang sempurna.68
Jika term kufr disebutkan dalam QS. 2:152 bermakna tidak berterimakasih
kepada Allah, lain halnya dengan QS. 26:19:
ـ س ن ٱىإ أخ خ يذل ٱىذ عيإ خ عإ عيإ
"Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna".
Kata al-ka>firi>n dalam ayat tersebut menunjukkan sikap Musa yang tidak
berterimakasih kepada Fir'aun yang telah mengasuh dan membesarkannya serta
keengganan Musa untuk menuhankan Fir'aun. Sependapat dengan para mufassir
lain,69
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menegaskan bahwa kata al-ka>firi>n pada
ayat tersebut bukan kafir kepada Allah tapi kafir kepada fir'aun.70
Jika melihat dua
ayat di atas, tidak tahu terimakasih sebagai etika negatif lawan dari syukur
disebutkan al-Qur'ān sebagai pengertian dari kufr secara umum, baik tidak
berterimakasih kepada Allah ataupun yang lainnya. Pengertian kufr sebagai etika
negatif lawan dari syukur atau tidak tahu berterimakasih dapat dilihat juga pada
QS. 14:7,
عراة ىشددف إ ا د ىٮٮ سإ إ إ ٱشدن د إ ىٮٮ شڪسإ زةبن اذإ دؤذ
Dan tatkala Tuhanmu mema’lumkan: 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah [ni’mat] kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'".
Ayat tersebut menjelaskan tetang kufr al-ni‘mah, sebagaimana yang
disebutkan oleh Ibn Kathi>r ketika menafsirkan wala-in kafartum, yakni kekafiran
mereka terhadap semua nikmat dari Allah, menutup-nutupi dan menolaknya.71
Pengertian kufr sebagai etika negatif lawan dari syukur semacam ini tidak hanya
berlaku bagi umat non-muslim, namun berlaku pula bagi umat Islam yang beriman.
Pengertian lain terhadap terma kufr adalah kebalikan dari iman. Definisi
bernuansa teologis ini disebutkan al-Qur'a>n dalam berbagai bentuk, di antaranya
menggunakan fi‘il ma>d}i> (kata kerja lampau), disebutkan sebanyak 232 kali,72
baik
yang ditujukan kepada umat terdahulu, sebelum datangnya Muh}ammad, maupun
68
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, Jil. 2, 165-171. 69
Lihat, Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 2000), 1370. 70
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Shu'ara>, (‘Unaizah: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1436
H), 60. 71
Lihat, Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 2000), 1022. 72
Muhammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, dalam Muh}ammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1988), 64.
107
pada masa turunnya al-Qur'a>n. Pada QS. 14:9, disebutkan tentang penolakan umat-
umat terdahulu, seperti kaum Nabi Nuh}, kaum 'A<d, dan kaum Thamu>d terhadap
Nabi-Nabi mereka dengan mengatakan:
سبب إ عا اى ا ددإ اا ى شل ذ ةۦ ظيإ ا أزإ ا ة اا م سإ
"...Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya".
Sedangkan penolakan iman pada masa Nabi Muh}ammad dapat dilihat, di
antaranya pada QS. 2;6,
إ ل ئإ إ درزإ إ ى إ أ د إ ءأرزإ إ اءف عي م سا ظ ٱىر ا
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman".
Surat al-Baqarah termasuk kategori surat madaniyyah, yang diturunkan
pasca hijrah Nabi ke Makkah. Pada QS. 2: 6-7, al-Qur'a>n menjelaskan tentang
kerasnya hati orang-orang Makkah yang tetap menolak kebenaran yang dibawa
oleh Muh}ammad. Sehingga, dengan sifat keras hati tersebutlah orang-orang
Makkah yang menolak risalah Muh}ammad disebut sebagai orang-orang kafir,
sebutan untuk orang-orang yang berada di luar Islam sebagai komunitas lain yang
sebenarnya merupakan kerabat dekat Muh}ammad sebelum menjadi Nabi. Term
kufr pada konteks ini, bukan hanya sekedar perbedaan teologis namun juga
bernuansa politik identitas.73
T{aba>t}aba>'i> menyatakan bahwa semua term al-ladhi>na kafaru> merujuk kepada orang-orang kafir Makkah pada zaman Nabi Muh}ammad,
kecuali ada petunjuk lain yang menunjukkan kepada komunitas lain selain
mereka.74
Pengungkapan lain tentang term kufr sebagai lawan dari iman disebutkan al-
Qur'a>n dalam bentuk fi‘il mud}a>ri‘ (kata kerja sedang atau akan). Seperti pada QS.
3:70, tentang sindiran Allah kepada Ahl Kita>b atas keengganan mereka untuk
beriman kepada risalah Muh}ammad padahal mereka sebenarnya mengetahui akan
kebenarannya. Kemudian, tentang adzab atas perilaku kafir, seperti pada QS.
3:106, 8:35, 36:34. Atau tentang tentang kekafiran orang-orang Yahudi serta
perilaku yang telah membunuh nabi-nabi utusan Allah seperti yang dijelaskan pada
QS. 3:21.75
Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa pengungkapan al-Qur'a>n dengan
73
Lihat, Irfan Afandi, Mu'min, Kafir dan Munafiq: Politik Identitas Kewargaan di
Awal Islam (Kajian Tentang QS. al-Baqarah : 1-20), Jurnal Darussalam, Vol. IX, No 1,
(September 2017), 66-85. 74
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 64. 75
Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 609.
108
menggunakan fi‘il mud}a>ri‘ tidak selamanya bermakna sedang atau akan terjadi,
terkadang untuk menunjukkan peristiwa yang sudah lampau, menunjukkan sesuatu
yang terjadi secara terus menerus, atau untuk menunjukkan sesuatu yang sangat
indah atau sangat jelek, seperti kekejian orang-orang Yahudi yang membunuh para
nabi, disebutkan dalam QS.3:21, dalam bentuk fi‘il mud }a>ri‘ yaitu "yakfuru>n".76
Dalam QS. 4:136, al-Qur'a>n menjelaskan tentang perintah untuk beriman
sekaligus larangan kufr atau inkar kepada lima dari enam rukun iman, juga
menggunakan bentuk fi‘il mud}a>ri‘:
أصه ب ٱىر ـ ڪذ ٱىإ زظىۦ ه عي ب ٱىر ص ـ نذ ٱىإ زظىۦ ا ةٲلل ا ءا ءا ؤب ا ٱىر ـ
ا ـ ةعدن خس قدإ ظو ظي ٱٱإ إ ٱىإ زظيۦ مذتۦ ٮٮنذۦ ـ ي نإ سإ ةٲلل و قتإ
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memahami ayat ini sebagai tah}qi>q al-i>ma>n (pengukuhan iman) atau al-hirs} ‘ala> takmi>lih (dorongan untuk
menyempurnakan iman) dan ancaman terhadap kekufuran. Terdapat lima rukun
iman pada ayat tersebut yang harus diimani, yaitu iman kepada Allah, hari akhir,
para rasul, kitab-kitab, dan malaikat, sedangkan iman kepada qad}a> dan qadar dijelaskan pada ayat yang lain. Dalam pandangan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
'Uthaimi>n, iman kepada Allah harus meliputi; iman terhadap eksistensi-Nya
(biwuju>dihi), iman terhadap rububiyyah-Nya, iman terhadap uluhiyyah-Nya, dan
iman terhadap asma> dan s}ifa>t-Nya, dan barang siapa yang tidak beriman kepada
satu atau sebagian darinya, maka ia tidak dikatakan sebagai orang yang beriman.77
Pengingkaran terhadap rukun iman dijelaskan pada ayat tersebut sebagai
kesesatan yang amat jauh (z}alla z}ala>lan ba‘i>da). Bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, keimanan merupakan sesuatu yang final dalam Islam, yang tidak boleh
diotak-atik, dikurangi ataupun dilebihi, mengutip QS. 4:150-151, beliau
menjelaskan bahwa mengimani sebagian dari rukun iman dan mengingkari
sebagiannya sama dengan mengingkari semuanya. Seperti keimanan terhadap
kitab-kitab yang telah Allah turunkan, maka semuanya harus diimani sebagai kitab
yang bersumber dari Allah tanpa terkecuali. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menghukumi murtad bagi orang yang hanya mengimani al-Qur'ān tapi tidak
mengimani Taurat dan Injil atau kitab-kitab terdahulu, meskipun keunggulan al-
Qur'a>n sebagai kitab penutup dan penyempurna bagi kitab-kitab yang lain tetap
dipertahankan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Keimanan terhadap kitab-
76
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988) 65-66. 77
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 330-332.
109
kitab terdahulu hanya sebatas meyakini bahwa kitab-kitab tersebut bersumber dari
Allah yang pernah diturunkan kepada para rasul-Nya sebelum Muḥammad.78
Terma kufr sebagai lawan dari iman juga disebutkan dalam bentuk mas}dar (infinif). Ditemukan sebanyak 40 kali al-Qur'ān menyebut term kufr menggunakan
bentuk mashdar yang pada umumnya merupakan lawan dari iman.79
Hal ini bisa
dilihat, misalnya pada QS. 30:44, 31:23, 35:39, 2: 88 dan beberapa ayat lainnya.80
Kemudian, pengungkapan lainnya adalah dengan menggunakan ism fa>‘il (kata
benda yang menunjukkan subyek), ditemukan sebanyak 175 kali dalam al-Qur'ān
dengan makna yang lebih komplit dibandingkan bentuk-bentuk yang lainnya, sebab
dengan bentuk ism fa>‘il ini terdapat tiga makna yang ditunjuk sekaligus, yaitu
adanya peristiwa, terjadinya peristiwa, dan pelaku dari peristiwa tersebut, dan
bersifat lebih permanen.81
Dalam bentuk ini juga dijelaskan mengenai sifat-sifat
buruk yang dimiliki oleh orang kafir, seperti sombong, ingkar dan membengkang
terhadap kebenaran (2:34), mengolok-olok rasul-rasul Allah dan menuduh mereka
sebagai tukang sihir (10:2), menghalang-halangi orang dari jalan Allah (7:45),
membuat kebohongan kepda Allah (29:68), dan lainnya.82
Pada QS. 2:41, Rāghib
al-Ashfahānī menyebutkan bahwa term al-ka>fir ada umumnya digunakan untuk
orang yang mengingkari keesaan Allah, kenabian, atau syariat.83
Pada QS. 5:44, orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan oleh Allah dikategorikan sebagai al-ka>firu>n (orang-orang kafir),
ـ س ن ٱىإ ٮٮل ـ ى ؤ ا أصه ٱلل ن ة إ ذإ ى
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir".
Terkait ayat ini, Muḥammad bin Ṣāliḥ al-‘Uthaimīn menyebutkan bahwa
siapapun di antara manusia, baik dari Yahudi, Naṣrani ataupun yang lainnya, yang
tidak berhukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah maka dia adalah
kafir.84
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini, apakah khusus untuk orang
Yahudi, atau umum bagi selainnya juga. Kemudian permasalahan lainnya adalah
penisbatan kafir bagi yang tidak berhukum dengan hukum Allah, apakah ia kafir
dan keluar dari Islam, atau tidak. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjelaskan
tiga kemungkinan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, pertama,
78
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', Jil. 2, 335-337. 79
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988) 67. 80
Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Dār al-Hadi>th, 1364), 610.
81 Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 67. 82
Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, 68. 83
Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,
2009), 714. 84
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,
(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 427.
110
karena ia mengharap sesuatu selain dari Allah, seperti seorang hakim yang
mengharapkan materi dari sogokan ketika memberikan putusan hukum. Kategori
ini dihukumi sebagai fasik dan tidak keluar dari Islam. Kedua, karena ada
permasalahan pribadi sehingga bersikap diskriminasi, seperti seorang hakim yang
memenangkan orang yang berada dipihaknya. Kategori ini dianggap lebih jahat
daripada kategori pertama, namun tidka mengeluarkannya dari Islam. Ketiga, atas
dasar pengingkaran, yaitu meyakini hukum yang lain selain hukum Allah lebih baik
atau sama dengan hukum Allah. Kategori ini dianggap oleh Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n telah keluar dari Islam. Salah satu dasar argumentasinya adalah (QS.
5:50), yang menjelaskan bahwa tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum
Allah.85
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjelaskan tentang batasan atau syarat-
syarat seorang hakim dikatakan telah kafir dan keluar dari Islam ketika berhukum
bukan dengan hukum Allah. Pertama, seorang hakim harus tahu terlabih dahulu
dengan hukum Allah. Kedua, seorang hakim harus mengetahui dan menyadari
hukum yang bersebrangan dengan hukum Allah. Ketiga, seorang hakim dengan
sengaja membuat hukum bandingan yang menggantikan hukum Allah. Keempat, tidak ridha dan tidak suka dengan hukum Allah. Jika syarat-syarat tersebut
terpenuhi, maka hakim tersebut dikatakan kafir dan telah keluar dari Islam.86
Secara terminologi hukum, sebenarnya tidak ada batasan pasti antara iman
dan kufr sehingga seseorang dikatakan keluar dari Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n menyebutkan, bahwa segala sesuatu yang bersebrangan dengan Islam,
maka hal tersebut merupakan pembatalan atas keislamannya. Namun beliau
membagi pembatalan tersebut ke dalam dua kategori; pembatalan juziyyah dan
pembatalah kulliyyah. Pembatalan yang pertama disebut juga dengan nawa>qid} sughra> (pembatalan kecil) yang pada umumnya tidak mengeluarkan seseorang dari
Islam. Sedangkan kategori yang kedua disebut juga dengan nawa>qid} kubra> (pembatalan besar) yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.
87 Namun
demikian, pengkategorian kulli> dan juz'i> dalam ajaran Islam tentu akan sangat
rumit, sebab tidak ada batasan-batasan jelas mengenai hal itu terlebih banyaknya
ikhtila>fa>t (perbedaan-perbedaan pendapat) di kalangan ulama dalam memahami
ajaran Islam itu sendiri. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak menjelaskan
secara rinci batasan kulli> dan juz'i> tersebut, hanya saja beliau menjelaskan bahwa
hal-hal yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam, secara umum berada pada
dua kemungkinan, ima> al-inka>r, wa ima> al-istikba>r (bisa sebagai bentuk
pengingkaran atau sebagai kesombongan). Bentuk pengingkaran dicontohkan oleh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n seperti tidak berimannya kepada hal-hal yang
wajib diimani, seperti enam rukun iman dalam lima rukun Islam. Sedangkan
85
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, Jil. 1, 433-435. 86
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, Jil. 1, 435-436. 87
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah:
Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H ), 339-
340.
111
bentuk kesombongan adalah orang yang enggan mengikuti agama Islam, padahal
sebenarnya dia mengakui akan kebenaran Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n
juga menyebutkan bahwa hal-hal yang dapat membatalkan Islam sangat banyak
dan tidak terbatas.88
Ibn Manz}u>r menjelaskan empat kategori al-kufru sebagai lawan kata dari
iman: kufr al-inka>r, yaitu mengingkari Allah beserta syariat-syariatnya yang
diturunkan kepada para utusannya, baik dengan hati maupun dengan lisannya. kufr al-juhu>d, yaitu mengingkari dengan lisannya namun hatinya tetap mengakui. kufr al-mu'a>nadah, yaitu mengakuinya dengan hati dan lisannya, akan tetapi menolak
untuk memeluk dan menjalankan agama Allah karena ada kedengkian dan
kesesatan padanya. kemudian kufr al-nifa>q mengakui dengan lisannya sementara
hatinya menolak.89
Jika melihat penjelasan term kufr dalam al-Qur'a>n, penulis menemukan tiga
pengertian kufr yang dijelaskan al-Qur'a>n secara garis besarnya, pertama, term kufr dijelaskan dengan makna generiknya, yaitu menutupi, menghapus dan
menghilangkan. Seperti kata kaffa>rah dalam QS. 5:45, 89, dan 65, yang bermakna
penebus atau penghapus dosa. Kedua, term kufr disebutkan sebagai identitas
komunitas di luar Islam (non-muslim), seperti penyebutan terhadap musyrikin
Quraisy, Yahudi, dan Nashrani serta umat-umat lain selain umat Islam. Ketiga, term kufr sebagai etika negatif, baik etika sosial, seperti tidak tahu berterimakasih,
atau etika negatif dalam agama Islam, yakni perilaku yang berlawanan dengan
syariat Allah, baik dalam ranah teologis-keyakinan, maupun praktis-perilaku.
Dalam tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menyebutkan pengertian term kufr dengan berbagai maknanya mengikuti konteks
ayat dalam menjelaskannya, baik sebagai makna generiknya, sebagai identitas
kelompok di luar Islam, atau sebagai etika negatif sosial-agama. Namun demikian,
kecenderungan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dalam menggunakan term kufr lebih kepada segala perilaku yang berlawanan dengan Islam, baik yang dapat
mengeluarkan dari Islam ataupun tidak. Sehingga, dalam beberapa kasus,
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terdorong untuk mengkategorikan mana yang
beriman dan mana yang kafir. Dalam hal ini, asusmsi penulis didasarkan kepada;
pertama, dominasi ayat-ayat dalam al-Qur'a>n ketika menjelaskan term kufr yang
lebih banyak kepada bentuk penyelewengan atau penolakan terhadap agama,
seperti pengingkaran terhadap rukun iman dan perbuatan dosa, sehingga
memberikan porsi lebih banyak bagi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n untuk
membahasnya ketimbang kufr sebagai makna generiknya. Kedua, paradigma
eksklusif Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menuntut beliau untuk membuktikan
88
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah:
Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H ), 340-
342. Lihat juga, Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), Jil. 2, hal.121-
126. 89
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 3897-3898.
112
kesalahan-kesalahan orang yang menolak Islam dan keunggulan muslim
dibandingkan kelompok lainnya. Sehingga, identitas mukmin-kafir dibutuhkan
untuk membedakan antara "kami" dan "mereka". Ketiga, dalam karya-karya
lainnya, seperti Qaul Mufi>d ‘Ala> Kita>b al-Tauhi>d, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, dan
beberapa karya lainnya, penggunaan term kufr dalam kitab-kitab tersebut lebih
cenderung kepada identitas kelompok di luar Islam atau sebagai bentuk
penyelewengan terhadap agama Islam.
2. Mushrik
Shirk adalah menjadikan sesuatu selain Allah sebagai objek pemujaan lain
atau tempat lain untuk menggantungkan harapan.90
Term shirk berasalah dari kata
kerja ashraka, yushriku, yang secara literal memiliki makna menyekutukan.
Sedangkan orang yang menyekutukan disebut mushrik, dan sesuatu yang dijadikan
media persekutuan disebut shari>k-shura>ka>'.91 Sa‘i>d bin ‘Ali> bin Wahf al-Qah}t}a>ni>
mendefinisikn shirk sebagai sikap menyamakan selain Allah dengan Allah terkait
kekhususan yang hanya dimiliki Allah. Sa'i>d melandaskan definisinya kepada QS.
26:97-98.92
S{a>lih} bin Fauza>n menyebutkan bahwa shirk adalah menjadikan sekutu
bagi Allah pada aspek rububiyyah dan uluhiyyah-Nya.93
Lebih lengkap Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menambahkan aspek asma> dan s}ifa>t Allah. Beliau
mendefinisikan shirk dengan makna menjadikan sekutu terhadap Allah, baik pada
aspek rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, maupun asma> dan s}ifa>t-Nya.94
Meskipun
terdapat perbedaan redaksi dan cakupan dalam mendefinisikan shirk, para ulama
sepakat bahwa shirk merupakan dosa besar dalam Islam dan lawan dari tauhid yang
merupakan inti dari ajaran Islam.
Para ulama mengklasifikasikan shirk kedalam dua kategori; shirk akbar dan
shirk as}ghar. S{a>lih} bin Fauza>n menyebutkan empat perbedaan antara shirk akbar dan shirk as}ghar. Pertama, shirk akbar mengeluarkan pelakunya dari Islam
sedangkan shirk as}ghar tidak. Kedua, shirk akbar menyebabkan dia kekal di neraka
sedangkan shirk as}ghar tidak. Ketiga, shirk akbar menghapus semua amal
pelakunya sedangkan shirk as}ghar tidak. Keempat, darah dan harta pelaku shirk akbar adalah mubah berbeda dengan pelaku shirk as}ghar.95
Contoh dari shirk akbar adalah seperti menyembah selain Allah, sedangkan cotoh dari shirk as}ghar adalah
90
Harifuddin Cawadu, dalam Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1988), 69.
91 Lihat, al-Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus: Da>r al-
Qalam, 2009),451-452. Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008),
2248-2250. 92
Sa‘i>d bin ‘Alī bin Wahf al-Qah}t}a>ni>, ‘Aqi>dah al-Muslim fi> Ḍu>'i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Riya>ḍ: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wat}aniyyah, 2008), 536.
93 S}a>lih} bin Fauza>n bin ‘Abdillah al-Fauza>n, ‘Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Da>r al-
Qi>sim, tth.), 74. 94
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah,
Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H ), 412. 95
S{a>li>h} bin Fauza>n bin 'Abdillah al-Fauza>n, ‘Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Da>r al-
Qa>sim, tth.), 80.
113
riya. Selain itu, para ulama juga membagi shirk kepada shirk jalli> yang nampak
atau z}ahir seperti menyembah berhala atau bersumpah dengan selain Allah, dan
shirk khafi>, yang tidak nampak atau tersembunyi seperti perbuatan riya.96
Secara eksplisit, al-Qur'a>n menjelaskan bahwa adanya kesamaan pesan
esensial antara al-Qur'a>n dan kitab-kitab sebelumnya, yaitu misi untuk
memurnikan tauhid yang berlandaskan pada kepasrahan total kepada Tuhan.
Dalam hal ini, Ibrahim dikenal sebagai bapak monoteisme yang mengajarkan
tauhid dan menentang kemusyrikan. Agama Ibrahim disebut dalam al-Qur'a>n
sebagai millah Ibrahi>m H{ani>fa dan diyakini sebagai sumber dari agama-agama
semitik setelahnya sebagai penerus untuk mewujudkan pesan esensial tersebut.97
Upaya Ibrah}im dalam memurnikan tauḥid diabadikan dalam QS. 6:74-83. Pada
ayat-ayat tersebut dijelaskan bagaimana Ibrah}im menentang kemusyrikan dan
meyakinkan kepada kaumnya bahwa hanya Allah lah yang patut disembah dah
hanya Allah lah yang mampu mendatangkan manfaat dan maḍarat.
Perbuatan shirk sebenarnya telah dilakukan oleh umat terdahulu sebelum
Nabi Ibrahim. Secara historis al-Qur'a>n menyebutkan perbuatan shirk tersebut
telah dilakukan oleh umat manusia menjelang Nabi Nuh diutus. Ketika itu,
kemusyrikan terjadi dengan motif mengkultuskan orang-orang shaleh hingga
mempertuhankannya. Orang-orang shaleh yang dipertuhankan pada masa itu
didokumentasikan dalam QS. 71:23,
ا سن عإ عق ل غر ا اعن ل ظ ا
ن ل درز إ ءاىذن قاىا ل درز
"Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr".
Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni> dalam menafsirkan ayat tersbut menyebutkan
bahwa para pemimpin dan pemuka umat pada masa itu mengatakan "Janganlan
kalian meninggalkan penyembahan berhala, karena mereka adalah tuhan kita yang
memberikan manfaat bagi kita, dan janganlah kalian mendengarkan seruan Nuh}."98
Ibn Kathi>r, dengan mengutip hadith yang diriwayatkan oleh imam al-Bukha>ri>,
menyebutkan bahwa lima nama yang disebutkan pada ayat tersebut adalah berhala-
berhala yang disembah oleh kaum nabi Nuḥ, yang sebenaranya nama-nama tersebut
merupakan orang-orang shalih yang dikultuskan kemudian dibuatkan patung. Lima
96
Lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-
‘Unaizah: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H
), 412-414; Sa‘i>d bin ‘Alī bin Wahf al-Qah}t}a>ni>, ‘Aqi>dah al-Muslim fi> Ḍu>'i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Riyaḍ: Maktabah al-Mulk Fahd al-Waṭaniyyah, 2008), 536-537; S{a>li>h} bin Fauza>n
bin ‘Abdillah al-Fauza>n, ‘Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Da>r al-Qa>sim, tth.), 74-80. 97
Dewi Anggraeni, "Agama Pra-Islam Perspektif Al-Qur’an", Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 12, No. 1, (2016), 50.
98 Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Tafsi>r al-Wa>d}ih al-Muyassar, ( Beirut: al-Maktabah
al-‘Ashriyyah, 2007), 1474.
114
berhala tersebut kemudian diadopsi oleh bangsa Arab, Wadd oleh Bani Kalb di
Du>mat al-Jandal, Suwa> oleh Bani Huzdail, Yaghu>th oleh Bani Mura>d, Ya'u>q oleh
Bani H{amda>n, oleh Nasr, sesembahan keluarga Dzi Kila>'.99
Kemusyrikan juga dilakukan oleh kaum ‘A<d pada masa Nabi Hu>d, dalam
QS. 11:53-54 Disebutkan:
۞ ئإ ىل ة ا ذإ ىل إ ءاىذا ع ق ةذازم ا ذإ جب ذا ةت ا ج إ ـ ا قه قاىا
سم ا دشإ ءف ا أ ةس ٱشإ د د ٱلل أشإ ءب قاه ا ط ءاىذا ةع ذسٮل ةعإ ال ٱعإ
Kaum ’Ād berkata: "Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. ۞ Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. 'Hūd menjawab: "Sesungguhnya aku jadikan Allah sebagai saksiku dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan'".
Pada surat yang sama, QS. 11:62, Allah juga menceritakan kemusyrikan yang
dilakukan oleh kaum Thamu>d pada zaman Nabi S{a>lih}:
ا ا ى شل ا تد ءاةاإا ا عإ تد ٮا أ عإ إ را أد ـ و ا قتإ ن ج سإ يخ قدإ مخ ا ـ ص ـ قاىا
سبب إ عا اى ددإ
Kaum Tsamud berkata: 'Hai Saleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.'"
Di dalam al-Qur'a>n, term shirk dengan berbagai derivasinya disebutkan
sebanyak 168 kali, meskipun tidak semua mengandung makna menyekutukan
Allah, namun makna shirk sebagai penyekutuan terhadap Allah adalah makna yang
paling banyak digunakan.100
Di antaranya disebutkan dalam QS. 4:48,
menggunakan bentuk fi‘il mud}a>ri‘.
ا ن اثإ ذس قد ٱ إ سكإ ةٲلل شإ شاء ذٳىل ى ا غإ س سك ةۦ ل غإ س أ شإ ٱلل ا
ا ن عظ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa shirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (shirk) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar."
Dalam ayat ini, perbuatan shirk disebut sebagai dosa yang sangat besar dan
merupakan satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah. Muh}ammad
99
Lihat, Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur'a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2000), 1923. 100
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 69.
115
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami (an yushraka bihi) mencakup perbuatan syirik
pada aspek rububiyyah, seperti meyakini pencipta lain selain Allah. Kemudian
aspek uluhiyyah, yaitu perbuatan shirk dalam hal ibadah atau penyembahan, dan aspek al-asma>' wa al-shifa>t, seperti menyamakan sifat Allah dengan manusia atau
sebaliknya.101
Tidak diampuninya shirk oleh Allah karena perbuatan tersebut telah
menodai ajaran inti yang merupakan kebenaran terbesar dalam Islam sebagai
agama monoteisme, yaitu tauhid. Selain itu, menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, pelaku shirk sama dengan telah merenggut hak Allah sebagai Tuhan
untuk diesakan.102
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menafsirkan kalimat ma> du>na dha>lik
adalah ma> aqal wa as}ghar (yang lebih sedikit dan lebih kecil). Riya dalam ibadah
merupakan salah satu jenis shirk, maka dosa riya termasuk dosa yang tidak
diampuni. Dalam hal ini, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami term shirk
pada ayat tersebut secara tekstual yang mencakup semua macam shirk, baik akbar maupun as}ghar. Mengutip pendapat Ibn Taimiyyah dalam kitab al-Ikhtiya>ra>t, bahwa semua macam shirk tidak diampuni oleh Allah termasuk shirk as}ghar.103
Sebagian ulama menyebutkan bahwa selama dia bertaubat, maka semua dosa akan
diampuni, termasuk shirk. Dengan kata lain, dosa shirk tidak akan diampuni jika
pelakunya meninggal sebelum dia bertaubat. Hal ini seperti pendapatnya Ah}mad
bin H{anbal.104
Selain sebagai dosa besar, perbuatan shirk juga disebutkan al-Qur'a>n sebagai
penghapus amal yang telah dilakukan. Dalam QS. 39:65 disebutkan:
عس ـ ٱىإ ىذن يل ع تط خ ىذإ سمإ إ أشإ يل ىٮٮ قتإ اى ٱىر ل إ اى ىقدإ أد
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi."
Berdasarkan ayat tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menyimpulkan bahwa shirk dapat menghapus seluruh amal perbuatan yang telah
dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh syariat yang dibawa oleh para nabi
terdahulu. Beliau juga menyebutkan bahwa shirk merupakan jenis kemaksiatan
yang paling buruk yang dapat menyebabkan kerugian bagi pelakunya di dunia dan
akhirat.105
Tentang shirk menghapus amal perbuatan, disebutkan juga dalam QS.
101
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 387-389.
102 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d,
(Riyadh: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1424 H), 110. 103
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 388-391.
104 Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 71. 105
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Zumar, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 441-442.
116
6:88. Sebagaimana yang diyakini oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tentang
posisi tauhid dalam Islam merupakan syarat utama untuk diterimanya amal dalam
Islam. Ketika syarat tersebut tidak ada, maka amal perbuatan yang dilakukan tidak
memiliki nilai.106
Senada dengan gurunya, Muh}ammad bin Abd al-Wahha>b, dalam
Kita>b al-Tauh}i>d yang menyebutkan bahwa shirk akbar jali> dan shirk as}ghar khafi> adalah bentuk penegasian terhadap tauh}i>d.
107
Perbuatan shirk menegasikan tauh}i>d dan menghapus amal perbuatan yang
telah dilakukan berimplikasi terhadap aspek soteriologis. Muh}ammad bin Abd al-
Wahha>b menegaskan bahwa "wa la> tahaqqaqa al-sa‘a>dah illa bi al-sala>mah minhu", (untuk mendapatkan kebahagiaan/keselamatan, maka selamat dari shirk merupakan
keniscayaan). Sebab, siapapun yang melakukan shirk akan menjadikannya masuk
ke neraka selamanya atau diharamkan baginya syurga.108
Hal ini juga dijelaskan
dalam (QS. 5:72),
زة تدا ٱلل سٳءو ٱعإ اظإ ت ـ عخ قاه ٱىإ سإ عخ ٱةإ
ٱىإ ٱلل ا ا قاى ىقدإ س ٱىر
إ أصازب ي ـ ا ىيظ ٮ ٱىاز ؤإ جج
ٱىإ إ عي ٱلل قدإ دس سكإ ةٲلل شإ إ ا زةڪ
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya Allah adalah al Masih putera Maryam', padahal Al Masih (sendiri) berkata: 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu' Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun."
Terkait ayat tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjelaskan
bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah shirk akbar, yakni shirk yang
dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan kekal di neraka.109
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak memasukan shirk as}ghar sebagai dosa
yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka dan mengeluarkannya dari Islam.
Kemudian, beliau juga menjelaskan bahwa ayat tersebut selain menyebutkan
tentang kemusyrikan orang Nas}rani juga menetapkan hukum kafir bagi mereka atas
kemusrikannya. Meskipun ayat tersebut secara khusus berkenaan tentang kafirnya
orang Nas}rani karena melakukan shirk, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih
menerapkan keumuman hukum daripada kekhususan redaksi pada ayat tersebut,
sehingga beliau menyimpulkan bahwa tidak hanya bagi orang nashrani, siapapun
106
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d, (Riyadh: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1424 H), 54.
107 Al-Murtad}a> al-Zain Ah}mad, Kita>b Tauhi>d Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b wa
Kita>b al-Qaul al-Sadi>d fi> Maqa}s}id al-Tauhi>d li Shaikh ‘Abd al-Rah}ma>n Na>s}ir bin al-Sa‘di>, (Riyaḍ: Majmu>‘ah al-Tuhf al-Nafa>is al-Dauliyyah, 1996), 31.
108 Al-Murtad}a>, Kita>b Tauhi>d Muh}ammad bin ‘Abd al-Wahha>b wa Kita>b al-Qaul al-
Sadi>d fi> Maqa}s}id al-Tauhi>d li Shaikh ‘Abd al-Rah}ma>n Na>s}ir bin al-Sa‘di>, 32. 109
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-‘Unaizah:
Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H ), 414.
117
yang melakukan shirk maka ia dihukumi sebagi kafir yang telah keluar dari
Islam.110
Permasalahan shirk merupakan salahsatu konsentrasi Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n dalam misinya memurnikan agama Islam kepada ajaran autentiknya.
Tidak hanya menganggap shirk merupakan dosa besar dan menganggap pelakunya
sebagai "orang lain" (ka>fir), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga gencar
mengkampanyekan gerakan puritanisme dalam aktivitas dakwahnya, guna
membersihkan umat Islam dari segala bentuk shirk. Dalam beberapa karyanya,
pembahasan shirk menjadi salah satu tema penting yang dibahas Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Lihat misalnya dalam bukunya al-Qawl al-Mufi>d ‘ala> Kita>b al-Tawh}i>d, ‘Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>‘ah, atau dalam fatwa-fatwanya,
Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb.
3. Ahl al-Kitāb
Diskursus tentang ahl al-kita>b menjadi salah satu wacana penting dalam
kajian Islam, terutama kaitannya dengan konsep keberagamaan Islam dengan
kelompok lain. Mengingat interaksi kelompok ahl al-kita>b ini begitu intens dengan
kelompok Muslim di masa awal kemunculan Islam. Selain itu, penafsiran terhadap
terma ahl al-kita>b tentang kelompok mana yang dimaksud serta batasan dan
cakupannya memiliki implikasi hukum111
, dan berpengaruh terhadap pembentukan
konsep keberagamaan. Secara umum, kalangan ekslusifis memposisikan kelompok
ahl kita>b sebagai kelompok di luar Islam yang tidak memiliki peluang keselamatan.
Lain halnya dengan kelompok inklusifis-pluralis, mereka lebih memposisikan sama
dengan kelompok muslim dan memiliki peluang keselamatan. Perdebatan tersebut
juga dipicu oleh sikap ganda yang ditampilkan al-Qur'a>n terhadap kelompok ahl al-
kita>b. Di satu sisi al-Qur'a>n dengan tagas mengkritiknya, namun di sisi lain al-
Qur'ān pun mengapresiasi kelompok ahl al-kita>b.
Terma ahl al-kita>b merupakan gabungan dua kata (id}a>fah) dari al-ahl dan al-kita>b. Kata al-ahl disebutkan dalan al-Qur'a>n sebanyak 125 kali dengan
penggunaan dan makna yang beragam.112
Kata al-ahl memiliki makna ramah,
senang, suka, orang yang tinggal bersama dalam satu tempat tertentu, kelurga,
penduduk, masyarakat, komunitas, untuk menunjukkan sesuatu yang memiliki
hubungan sangat dekat baik dalam hal nasab maupun agama atau hal-hal yang
setara dengannya, seperti profesi, etnis, dan komunitas. Begitupun kata al-ahl juga
110
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 192-204
111 Implikasi hukum yang dimaksud adalah tentang pernikahan dan makanan
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah: 5. 112
Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfa>z} al-Qura>n al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 95-97.
118
digunakan untuk menghimpun suatu kelompok yang memiliki hubungan atas
ikatan ideologi atau agama.113
Adapun kata al-kita>b secara umum ia bermakna menghimpun sesuatu
dengan sesuatu yang lain, seperti menghimpun kulit binatang yang telah disamak
dengan menjahitnya.114
Kata al-kita>b juga bermakna tulisan karena sebuah tulisan
merupakan rangkaian dari beberapa huruf. Begitu juga dengan firman Allah yang
diturunkan kepada rasul-Nya disebut al-kitāb sebab ia merupakan kumpulan atau
himpunan lafazh-lafazh.115
Dalam al-Qur’an, kata al-kita>b disebutkan 319 kali
dengan bentuk dan makna yang beragam, meliputi makna tulisan, kitab, ketentuan,
dan kewajiban.116
Kata al-kita>b yang bermakna kitab suci atau firman Allah yang
diberikan kepada Rasul-Nya adalah besifat umum, yaitu mencakup semua rasul
sebelum Nabi Muh}ammad, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan Nabi ‘Isa.117
Berdasarkan penjelasan dua terminologi di atas, dapat difahami bahwa ahl al-kita>b adalah suatu komunitas atau kelompok yang memiliki kitab suci yang
diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Akan tetapi, tentang siapa atau kelompok
mana saja yang disebut dengan ahl al-kita>b masih diperdebatkan. Terma ahl al-kita>b disebutkan al-Qur'a>n secara ekplisit sebagai salah satu kelompok yang
menjalin interaksi sosial dengan umat Islam. Terma ahl al-kita>b disebutkan
sebanyak 31 kali dalam 9 surat; Al-Baqarah : 105, 109, A<li ‘Imra>n : 64, 65, 69, 70,
71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199, Al-Nisa (4): 123, 153, 159, 171, al-Ma>idah : 15,
19, 59, 65, 68, 77; al-'Ankabut : 46; al-Ah}za>b : 26; al-Ḥadīd : 29; al-Hashr : 2, 7; al-
Bayyinah : 1, 6.118
Komunitas yang ditunjuk al-Qur'a>n menggunakan terma ahl al-kita>b, secara umum menuju kepada dua kelompok; Yahudi dan Nas}rani. Dua
kelompok ini diyakini memiliki hubungan teologis yang kuat dengan umat Islam,
sebagaimana relasi teologis antara Muslim, Naṣrani, dan Yahudi dijelaskan dalam
al-Qur'a>n surat al- S{aff ayat 6, bahwa Nabi Isa menyeru kepada kelompok Yahudi
untuk mengimani dan mengikuti ajaran yang dibawanya sebagai kelanjutan dari
ajaran Nabi Musa, dan menginformasikan akan datangnya Nabi Muh}ammad,
113
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 17-18. 114
Lihat, al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1984), 440. 115
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 19. 116
Lihat al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-
Fikr, 1984), 440-443. 117
Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,
(April 2010), 73. 118
Dari sembilan surat tersebut, hanya surat al-Ankabut lah yang termasuk surat
makiyyah, sedangkan yang lainnya adalah madaniyyah. M. Quraish Shihab, Wawasan al-
Qur’an (Bandung: Mizan, 2007), 86. Dalam Zainal Anshari & Zainuddin, "Pandangan
Terhadap Ahl Al Kitab: Kontroversi Tanpa Akhir", Fenomena, Vol. 16 No. 2 (Oktober
2017), 277.
119
begitu pun umat Islam diperintahkan untuk mengimani para Nabi sebelumnya,
termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa beserta kitab suci yang dibawanya.119
Pada masa Rasulallah dan para sahabat, terma ahl al-kita>b digunakan hanya
untuk kelompok Yahudi dan Nasrani. Sedangkan terhadap kaum Majusi, meskipun
Rasullah menyuruh untuk memperlakukannya seperti ahl al-kita>b, namun tidak
disebut sebagai ahl al-kita>b.120 Hal ini dapat dilihat dari sebuah riwayat dari Imam
Malik:
‚Diriwayatkan kepadaku dari Imam Malik, dari Ja‘far Ibnu Muh}amad Ibnu ‘Ali dari bapaknya, sesungguhnya ‘Umar Ibnu al-Khat}t}a>b menyebut Majusi, lalu dia berkata: ‚Saya tidak tahu bagaimana saya berbuat tentang urusan mereka‛.Maka ‘Abd al-Rah}man Ibn ‘Auf berkata: Saya bersaksi sungguh saya telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‚Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti ahl al-Kita>b‛.121
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam memahami surat al-Baqarah ayat
105, menyebutkan bahwa ayat tersebut merupakan penjelesan tentang bagaimana
permusuhan yang ditampakkan oleh golongan non-Muslim terhadap kaum
muslimin. Dua kelompok yang disebutkan dalam ayat tersebut: ahl kita>b dan
musyriki>n adalah mencakup seluruh kelompok yang memusuhi Islam. Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa yang termasuk kelompok ahl al-kita>b
pada ayat tersebut adalah Yahudi dan Nas}rani, adapun yang temasuk kelompok
mushriki>n adalah semua kelompok yang menyembah berhala.122
Begitu pun ketika
memahami surat al-Baqarah ayat 109, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menyebutkan bahwa terma ahl al-kita>b pada ayat ini adalah kelompok Yahudi dan
Nas}rani. Yaitu mereka yang paling keras dalam memusuhi umat Islam dan ingin
menjadikan umat Islam kafir, karena iri dengan berbagai kebaikan yang dimiliki
oleh umat Islam.123
Terdapat dua ikatan teologis yang kuat antara Muslim, Yahudi, dan Nas}rani,
sebagaimana disebutkan oleh Umi Sumbulah, bahwa ketiga kelompok ini memiliki
kesamaan ajaran menyerukan monoteisme dan memiliki kesamaan genealogis yang
berasal dari keturunan yang sama, yaitu Nabi Ibrah}im. Sejarah panjang tentang
perjalanan hidup dan perjuangan Nabi Muh}ammad, seperti permintaan suaka
politik kepada Raja Negus dari gangguan kafir Quraish Makkah, perumusan
piagam Madinah yang melibatkan kelompok Yahudi, intensitas Nabi dan para
119
Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,
(April 2010), 72. 120
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 28. 121
Malik Ibn Anas, al-Muwat}a>’, dalam Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar
Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1, (April 2010), 74. 122
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,
(Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 341-342 123
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, Jil. 1, 357-358.
120
sahabat dengan Yahudi dan Nasrani, serta risalah Islam sebagai penerus risalah-
risalah para Nabi sebelumnya memberikan indikasi sekaligus argumen historis akan
kuatnya ikatan antara tiga kelompok ini.124
Abu al-‘A<liyah (w. 39 H.), yakni seorang ta>>bi‘, menyebutkan bahwa kaum
S{a>bi'u>n termasuk kelompok ahl al-kita>b yang membaca kitab suci Zabu>r.125
Quraish Shihab, dalam Wawasan al-Qur'a>n, menyebutkan bahwa terdapat sebagian
ulama salaf yang berpendapat bahwa setiap umat yang diduga memiliki kitab suci
samawi maka termasuk ke dalam kelompok ahl al-kita>b.126 Mirip dengan pendapat
Ibn H{azm127
dan Abdul Ḥamid Ḥakim yang menyebutkan bahwa kaum Majusi
termasuk kepada golongan ahl al-kita>b.128 landasan pendapat tersebut merujuk
kepada surat al-H{ajj ayat 17:
صو إ ٱلل ا ا س أشإ ٱىر جض ٱىإ س ـ ٱىص تـ ـ ٱىص ا ا ٱىر ا ءا ٱىر ا
ءب ش دف إ مو ش عي ٱلل ج ا ـ ق ٱىإ إ إ إ ة
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shābi'īn, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu."
Pendapat yang sama juga dimiliki oleh Muh}ammad Ali129
dan Muh}ammad
Rashi>d Rid}a>, yang dalam pendapatnya menyebutkan bahwa kelompok ahl al-kita>b
tidak hanya Yahudi dan Nas}rani, akan tetapi mencakup juga kelompok Majusi,
S{a>bi'u>n, bahkan kelompok lain yang tidak disebutkan oleh ayat di atas, seperti
Budha, Hindu, Kong Fu Tse dan Shinto juga termasuk kelompok ahl al-kita>b.130
Dengan ini Muh}ammad Ghalib mengatakan bahwa telah terjadi pergeseran atau
perluasan cakupan ahl al-kita>b di masa tabi‘i>n, yang tidak lagi mengkhususkan
kepada kelompok Yahudi dan Nas}rani saja.131
Di dalam al-Qur'a>n disebutkan bahwa Allah mengutus rasul kepada setiap
umat tanpa ada satu umat pun yang terabaikan,132
hanya saja tidak seluruhnya
124
Umi Sumbulah, "Islam dan Ahl al-Kita>b: Kajian Living Sunnah di Kalangan
Pimpinan NU, Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Malang", Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 (Mei
2011), 152. 125
Lihat ibn Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>, (Kairo: Must}afa> al-Ba>b al-Halabi> wa
Aula>duh, 1954), juz I, 320. 126
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'a>n, (Bandung: Mizan, 1996), 367. 127
Lihat Ibn H{azm, al-Muh}alla, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), juz VI, 445. 128
Lihat Abdul H{amid H{akim, al-Mu‘i>n al-Mubi>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
Juz IV, h. 54. 129
Lihat Maulana Muh}ammad Ali, The Religion of Islam, terjemahan R. Kaelan dan
I I. M Bachrun dengan judul Islamologi (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1977), 412. 130
Lihat Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Beirut: Da>r al-
Ma‘rifah, t.th.), juz IV, 188-190. 131
Muh}ammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 29. 132
Qs. Fa>ṭir: 24.
121
diceritakan dalam al-Qur'a>n133
menjadi argumen historis yang tidak menutup
kemungkinan bahwa agama-agama yang sekarang selain Yahudi dan Nasrani juga
memiliki kitab suci yang diwahyukan Allah, hanya saja dengan kurun waktu yang
sangat lama telah terjadi pergeseran dan perubahan besar. Dalam pandangan Fazlur
Rah}man, sebagaimana dikutip oleh Ali Mansur dalam Studi Al-Qur'a>n Kontemporer, al-Qur'a>n telah menjelaskan bahwa dakwah para Nabi terhadap
berbagai kaum yang berbeda-beda, baik konteks maupun masa, adalah bersifat
universal dan identik. Semua ajaran yang diserukannya berasal dari satu sumber,
yaitu "Ibu semua Kitab" atau "Kitab yang Tersembunyi".134
Imam Sya>fi‘i> lebih memandang ahl al-kita>b sebagai kelompok etnis, yaitu
hanya orang-orang Yahudi dan Nas}rani keturunan Israil saja yang disebut sebagai
ahl al-kita>b. Hal ini didasarkan karena Nabi Musa dan Nabi ‘Isa hanya diutus untuk
Bani Israil saja, tidak seperti Nabi Muh}amad yang diutus bagi seluruh manusia.135
Mirip dengan pendapat al-Qa>simi> (1866-1914 M.) yang memandang ahl al-kita>b
sebagai sebuah kelompok yang menjadi sasaran dakwah Nabi Musa dan Nabi Isa,
hanya saja al-Qa>simi> tetap memasukan etnis non-Israil ke dalam kategori ahl al-
kita>b hingga terutusnya Nabi Muh}ammad.136
Berbeda dengan ulama Sya>fi‘iyyah
dan mayoritas ulama H{anabilah, mereka berpendapat bahwa yang ditunjuk sebagai
ahl al-kita>b adalah kelompok Yahudi dan Nas}rani baik keturunan Israil maupun
bukan. Pendapat tersebut didasarkan pada QS. al-An‘a>m: 156:
ـ ي إ ىغ ا ما ع زاظذ يا قتإ إ غاٮٮ ذ ب عي ـ نذ ا أصه ٱىإ ا ا أ دقى
"(Kami turunkan al-Qur'ān) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan sesungguhnya kami lalai dari apa yang mereka baca."
Kelompok yang ditunjuk oleh al-Qur'a>n dengan terma ahl al-kita>b adalah
bangsa Israil dan bangsa lain yang masuk ke dalam agama Yahudi dan Nas}rani
sebelum terjadinya perubahan terhadap dua agama tersebut.137
Hal ini senada
dengan al-T{a>bari>, jika Imam Sya>fi‘i> lebih memandang ahl al-kita>b sebagai
133
QS. Al-Nisa>': 164 dan QS. Gha>fir: 78. 134
Ali Mansur, "Ahli Kitab dalam Al-Qur'a>n: Model Penafsran Fazlur Rahman",
dalam Abdul Mustaqim & Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'a>n Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002) 53.
135 Syamsani Sya’roni, "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,
(April 2010), 75. 136
Lihat Muḥamad Jamal al-Di>n, al- Qa>simi>, Tafsi>r al-Qa>si>mi>, (Kairo: Isa al-Bab al-
Halabi, 1958), Juz 4, 1863. 137
Dalam rincian Ulama Syafi >‘iyyah, Yahudi dan Nas}rani terbagi dua golongan;
etnis Israil (keturunan Nabi Ya’kub) dan etnis non-Israil. Etnis non-Israil ini ada tiga
golongan: 1. Golongan yang masuk agama Yahudi atau Nas}rani sebelum agama tersebut
mengalami perubahan seperti orang-orang romawi. 2. Golongan yang masuk agama Yahudi
dan Nas}rani setelah mengalami perubahan. 3. Golongan yang tidak diketahui kapan mereka
masuk agama Yahudi dan Nas}rani apakah sebelum atau sesudah mengalami perubahan.
Lihat Badran Abu al-Aynayn, al-Alaqah al-Ijtima‘iyyah baina al-Muslimi>n wa ghair al-Muslimi>n, (Iskandariyah : Mu’assasah Shaba>b al-Jami‘ah, 1984), 41.
122
komunitas etnis, maka al-T{a>bari> lebih memandang pada ranah ideologis atau
teologis. Menurut al-T{a>bari, yang dimaksud ahl al-kita>b adalah mereka para
penganut agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan manapun.138
Tidak ada perdebatan tentang kelompok Yahudi dan Nas}rani sebagai ahl-kita>b yang ditunjuk oleh al-Qur'a>n. Polemik yang terjadi adalah cakupan dan
kelompok selain keduanya (Yahudi dan Nashrani). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n lebih cenderung mengkhususkan ahl-kita>b hanya kepada komunitas
Yahudi dan Nas}rani. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa
Yahudi dan Nas}rani adalah dua komunitas yang memiliki mush}af atau kitab suci,
dan masih tersisa hingga masa Rasulallah.139
Dalam menafsirkan surah A{li ‘Imra>n
ayat 113, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa setiap ayat yang
mengandung terma ahl al-kita>b adalah Bani Israil yang diutus kepada mereka Nabi
Musa dan Nabi Isa.140
Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih memandang terma ahl al-kita>b dalam al-Qur'a>n hanya
pada konteks di mana al-Qur'a>n saat itu diturunkan tanpa memperluasnya atau
menarik jauh ke masa sebelumnya yang belum diketahui secara pasti.
Perdebatan selanjutnya adalah tentang posisi ahl al-kita>b, apakah termasuk
dalam konteks shirk atau tidak. Para ulama sepakat bahwa ahl al-kita>b termasuk
golongan kafir jika dilihat dari perspektif akidah Islam. Menurut Ibn Taimiyyah,
ahl al-kita>b tidak termasuk golongan orang musyrik. Alasan Ibn Taimiyyah adalah
karena agama Yahudi dan Nas}rani sebenarnya tidak mengandung syirik dan kitab
mereka tidak menyerukan kemusyrikan, justru menyerukan tauhid sebagaimana
umat Islam. Sehingga, meskipun sebagian umatnya melakukan kesyirikan, tidak
lantas kelompok Yahudi dan Nas}rani dikatakan sebagai kelompok musyrik. Sama
halnya dengan umat Islam, jika di antara umatnya ada yang melakukan
kemusyrikan, tidak lantas umat Islam dikatakan umat musyrik. Karena dasar
agama dan kitab sucinya tidak mengandung shirk.141
Pendapat yang sama juga dimiliki oleh Abdul H{a>mid H{aki>m. Secara
teologis, ahl al-kita>b dengan umat Islam tidak jauh beda, secara prinsip dasarnya,
keduanya beriman kepada Allah dan mengesakannya, beriman kepada para Nabi
dan Rasul, beriman kepada hari akhir dan perhitungan atas perbuatan baik maupun
jahat. Perbuatan syirik yang dilakukan oleh kelompok ahl al-kita>b sama halnya
138
Lihat ibn Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari>, (Kairo: Must}afa> al-Ba>b al-Halabi> wa
Aula>duh, 1954), juz VI, 102. 139
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m: Juz 'Ama, (Riyaḍ:
Da>r al-Thuriya>, 1423 H/2002 M), 276. 140
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengungkapkan: اىسا " أو اىنذاا"مو آج ا
-lihat Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al . ة ةا اظسائو اىر أزظو اى ظ ععQur'a>n al-Kari>m, Su>rah A{li ‘Imra>n, (Riyaḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 82.
141 Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 80-82.
123
dengan perbuatan syirik yang dilakukan sebagian umat Islam. Namun demikian,
tidak lantas semuanya dikatakan sebagai kaum mushriki>n.142
Berbeda dengan pendapat di atas, al-Ra>zi> memposisikan ahl al-kita>b sebagai
musyrik. Landasan argumentasinya adalah QS. al-Tawbah: 30-31, yang
menjelaskan bahwa Yahudi berkata "'Uzayr itu putra Allah", dan orang Nas}rani
mengatakan: "al-Masih itu putra Allah". Menurut al-Ra>>zi>, ayat tersebut jelas
memposisikan ahl al-kita>b (Yahudi dan Naṣrani) sebagai Musyrik. Selain itu,
argumentasi Abu Bakr al-As}am yang menyebutkan bahwa orang yang
mendustakan risalah Allah maka disebut musyrik, digunakan al-Ra>zi> dalam
memperkuat argumennya.143
Pendapat al-Ra>zi> dinilai kurang kuat oleh Muh}ammad
Ghalib, sebab pada beberapa ayat lain, al-Qur'a>n secara eksplisit membedakan
antara kelompok ahl al-kita>b dengan kelompok musyrik.144 Al-T{aba>t}aba>'i> membagi
shirk ke dalam dua kategori; pertama. Shirk z}ahir (terang-terangan), seperti
menyekutukan Allah, seperti menyembah patung atau berhala, dan mengatakan
Allah terbilang, kedua, shirk khafi> (tersembunyi), yaitu seperti yang dilakukan
oleh ahl al-kitāb yang menolak risalah kenabian Muh}ammad. Menurut al-
T{aba>t}aba>'i>, meskipun kelompok ahl al-kita>b secara jelas melakukan kemusyrikan,
namun tidak bisa digeneralisir untuk diberikan predikat kaum musyrik.145
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membagi kelompok ahl kita>b kepada
golongan yang amanah dan khianat, sebagaimana kelompok ahl kita>b terbagi
kepada golongan yang beriman dan kafir. Salahsatu contoh dari golongan yang
beriman adalah 'Abd Sala>m, salah seorang dari ah}ba>r (pemuka agama Yahudi) yang
beriman kepada Nabi Muh}ammad dan masuk Islam.146
Pendapat ini dikemukakan
Muḥammad bin Ṣāliḥ al-'Uthaimīn ketika menafsirkan QS. 3: 75-76. Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n mengakui bahwa ahl al-Kita>b beriman kepada Allah, hal ini
dapat dilihat dalam menafsirkan QS. 3: 70, yang menyebutkan ayat tersebut
merupakan kritikan terhadap ahl kita>b yang mengingkari ayat-ayat Allah yang
mereka saksikan sendiri. Kemudian Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menyebutkan bahwa kelompok ahl kita>b yang tidak mengimani Nabi Muh}ammad
adalah kafir sekalipun mereka percaya kepada Allah.147
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih cenderung mengelompokkan ahl kita>b sebagai orang kafir dari kelompok Yahudi dan Nas}rani serta membedakan
dengan kelompok mushriki>n, meskipun kedunya sama-sama dikategorikan sebagai
142
Lihat, Abdul H{amid H{aki>m, al-Mu‘i>n al-Mubi>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
Juz IV, h. 52- 54; Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-
Press, 1985), Jil. 1, 22. 143
lihat Faḥr al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H/1985 M), 59-60. 144
Muhammad Ghalib M, Ahl Al-Kita>>b: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988), 75-76. 145
Muh}ammad H{usain al- T{aba>t}aba>'i>, al-Mi>ja>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n (Beirut:
Mu'assasah al-'Alami> li Mat}bu>'ah, 1393 H/1973 M), Jil. II, 202. 146
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 1, 430. 147
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n, Jil. 1, 404.
124
orang-orang kafir oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n. Dalam surat al-Baqarah
ayat 105, Allah menjelaskan bagaimana permusuhan yang dilakukan oleh
kelompok non-muslim. Pada ayat tersebut secara eksplisit disebutkan dua
golongan, yaitu ahl kita>b dan mushriki>n. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n
menafsirkan ayat tersebut dengan menyebutkan bahwa dua kelompok yang
disebutkan dalam ayat tersebut: ahl kita>b dan mushriki>n adalah mencakup seluruh
kelompok yang memusuhi Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan
bahwa yang termasuk kelompok ahl al-kita>b pada ayat ini adalah Yahudi dan
Naṣrani, adapun yang temasuk kelompok mushriki>n adalah semua kelompok yang
menyembah berhala.148
Berdasarkan pemaparan di atas, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
memandang orang-orang musyrik, dan ahl kita>b sebagai kelompok di luar Islam
yang memiliki sejarah permusuhan dengan umat Islam. Dua kelompok ini; orang-
orang musyrik dan ahl kita>b, diposisikan sama oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n sebagai orang kafir yang memusuhi Islam, sekaligus dianggap berbeda
berdasarkan asal komunitasnya. Paradigma inilah yang menjadikan Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kerap meletakkan kecurigaan dalam memandang kelompok di
luar Islam, yakni kelompok yang mengancam dan memusuhi Islam yang harus
dihindari bahkan "diperangi".
C. Konsep al-Wala>' wa al-Bara>' dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
Al-wala>' wa al-bara>' memiliki kedudukan yang cukup penting dalam akidah
kelompok eksklusifis-salafi dan kelompok Islam lainnya. Konsep al-wala>' wa al-bara>' diyakini sebagai perwujudan keislaman seorang muslim atau sebagai
aktualisasi iman dalam kehidupan nyata. Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>
menyebutkan bahwa al- wala>' wa al-bara>' min lawa>zim "la> ila>h illa Allah" (al-wala>' wa al-bara>' merupakan kemestian dari kalimat tauhid "tidak ada tuhan selain
Allah").149
Sedangakan 'Abd al-Raza>q 'Afi>fi> memasukan al-wala>' wa al-bara>' sebagai salah satu aspek dasar atau pondasi dalam agama Islam (as}l min us}u>l al-Isla>m).
150
Secara garis besar, pengertian dari konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' adalah tentang loyalitas atau kesetian seorang yang beriman terhadap apa yang
diimaninya, termasuk loyalitas pada komunitasnya yang memiliki kesamaan
akidah, sekaligus tentang sikap penolakan terhadap hal-hal yang bersebrangan
dengan akidahnya termasuk penolakan komunitas lain yang berbeda keyakinan
dengannya. Dalam konteks sosial-relasional, hubungan sosial dan sikap kelompok
ekslusifis-salafi terhadap sesama muslim dan non-muslim dibentuk, baik secara
eksplisit maupun implisit, oleh konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' (loyalty and disavowal). Sehingga dengan konsepsi tersebut akan membentuk sebuah
148
al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah, Jil. 1, 341-342. 149
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H), 40. 150
Al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 5.
125
paradigma tentang kemestian dalam bersikap, kepada siapa mereka harus setia di
satu sisi, dan siapa yang harus disangkal sisi lain, atau tentang perbuatan dan
praktik apa yang harus didekati di satu sisi dan dijauhi di sisi lain.151
Selain itu,
dalam diskursus keberagamaan, konsep al-wala>' wa al-bara>' mendapat banyak
kritikan dari kalangan orientalis dan kalangan inklusifis-pluralis sebagai konsep
teologis yang mengajarkan kebencian atas nama agama.152
1. Al-Wala>' : Loyalitas Tanpa Batas
Dalam terminologi syariat Islam, istilah al-wala>' memiliki pengertian
mencintai terhadap apa yang dicintai dan diriḍai Allah yang diimplementasikan ke
dalam keyakinan, perkataan, dan sikap perbuatan. Secara bahasa, terma al-wala>' diambil dari kata kerja (fi'il) wala>, yang dalam berbagai derivasinya memiliki arti,
di antaranya; al-nus}rah (menolong/membela), mutawali> (wali), al-ahaq (yang
paling berhak), al-qarb wa al-dunu> (dekat), al-s}a>hib (sahabat), al-hali>f (sekutu),
man wala> al-qaum/al-sult}a>n (pemimpin suatu kaum), al-mah}abbah (kecintaan), al-ittiba>' (mengikuti). Kemudian terma al-wali> dan al-muwa>lah adalah anonim dari al-'aduw (musuh) dan al-mu'a>dah (permusuhan).
153
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni memaknai istilah al-wala>' sebagai al-nus}rah
(menolong/membela), al-mah}abbah (mencintai), al-ikra>m (memuliakan), al-ih}tira>m
(menghormati) dan hidup berdekatan bersama orang-orang yang dicintai, baik
secara z}ahir maupun ba>t}in.154
Tidak jauh beda dengan Muh}ammad bin Sa'i>d al-
Qah}t}a>ni, Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani> mendefinisikan al-wala>' kepada empat
aspek; al-mah}abbah (cinta), al-nus}rah (pertolongan/pembelaan), al-t}a>'ah
(keta'atan), dan al-muta>ba'ah al-wa>jibah lillah wa lirasu>lih wa li al-mu'mini>n (kewajiban mengikuti Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin). Menurut al-
Mada>ni>, waliyullah adalah orang yang mengikuti Allah dengan mencintai segala
yang dicintai dan diriḍai Allah serta membenci segala yang dibenci Allah,
151
Sabine Damir-Geilsdorf, Mira Menzfeld and Yasmina Hedider, "Interpretations
of al-Wala>’ wa al-Bara>’ in Everyday Lives of Salafis in Germany", Religions, 10, 124,
(January, 2019), 1. 152
Lihat, Joas Wagemakers, "Framing The "Threat to Islam": al-Walā' wa al-Barā' in
Salafi Discourse", Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008); Mohamed Bin Ali,
"Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists Perception of the Religious Other",
Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6, No. 1, (June 2018), "Forging Muslim and
Non-Muslim Relationship: Contesting the Doctrine of Al-Wala>’ wa al-Bara>'’", Rsis, No.
251, (19 November 2015); David Bukay, "Islam and the Other: The al-Wala’ wal-Bara’
Doctrine", akses online, https://acdemocracy.org/islam-and-the-other-the-al-wala>-wal-bara>-
doctrine/; Joas Wagemakers, "Framing The 'Threat to Islam': al-Wala>' wa al-Bara>' in Salafi
Discourse". 153
Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008), 4920-4926;
‘Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, al-Waji>z fi> ‘Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih}, Istanbul:
Guraba, 1435 H), 135-136. 154
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H), 89-90.
126
kemudian mengajak kepada orang lain untuk melakukan sikap tersebut.155
Sedangkan Ibn Taimiyyah memaknai terma al-wala>' sebagai lawan dari al-'ada>wah (permusuhan) yang memiliki makna al-mah}abbah (kecintaan) dan al-taqarrub
(mendekat).156
Dari beberapa pengertian di atas, dapat difahami bahwa al-wala>' adalah
loyalitas seorang hamba terhadap Allah dengan menyesuaikan diri terhadap segala
sesuatu yang dicintai dan diriḍai Allah. Dalam QS. 5: 55-56, dijelaskan bahwa
Allah beserta orang-orang yang dicintai-Nya adalah penolong (waliy),
إ زٳمع ث م ٱىص د ئإ ث ي ٱىص ق ا ٱىر ءا ٱىر زظى ٱلل ىبن ا ا
(٥٥) يت ـ غ ٱىإ ا ٱلل دصإ ا ب ءا ٱىر زظى ه ٱلل ذ (٥٦)
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (55) Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang (56).
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat di atas bahwa ada dua
penolong (waliya>n) yang paling agung, yaitu Allah dan Muh}ammad sebagai
penutup para nabi, sedangkan orang-orang yang beriman, mereka adalah penolong
antara satu dengan yang lainnya sebagaimana dijelaskan dalam QS. 9:71.157
Dalam
QS. 5: 55-56, ayat tersebut menunjukkan kewajiban bagi umat islam untuk
memiliki loyalitas tanpa batas kepada Allah, rasul, dan sesama orang beriman.158
Muhammad bin Shālih al-‘Uthaimīn menyebutkan bahwa bentuk loyalitas kepada
Allah adalah dengan menegakkan agama-Nya, karena sejatinya Allah tidak butuh
pembelaan. Sedangkan loyalitas kepada rasul adalah dengan membela rasul ketika
masih hidup dan mengikuti serta melaksanakan sunnah nya ketika setelah ia wafat.
Adapun bentuk loyalitas sesama mukmin adalah senantiasa membela mereka
dalam kebenaran hingga hari kiamat. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga
mempertegas hal ini dengan QS. 4:115159
, yang menjelaskan bahwa hakikat dari
155
Lihat, Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani>, al-Hub fi> Allah, (Iskandariyah: Da>r al-
I<ma>n, tth.) 6-7. 156
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H), 90. 157
Al-Tawbah (09): 71, د ئإ ث ي ٱىص ق نس ٱىإ ع إ إ س عإ
ةٲىإ س طب ؤإ ىاء ةعإ إ إ أ ع خ ةعإ ـ ئإ ٱىإ ئإ ٱىإ
ف عصصف دن ٱلل ا ٱلل د ٮٮل ظسإ ـ ى زظى ۥ أ ٱلل طع ث م ٱىص
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka [adalah] menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
158 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 51-52. 159
QS. Al-Nisā' (04): 115,
127
terma al-wala> (loyalitas/membela) adalah senantiasa terikat (da>iman murabbat}an)
dengan tiga hal; kita>bullah (al-Qur'a>n), sunnah rasu>lillah (Sunnah), sabi>l al-mu'mini>n (jalan orang-orang beriman).
160
'Abdullah bin 'Abd al-H{ami>d al-Athari>, dalam memahmi QS. 5: 55-56,
menyebutkan bahwa orang-orang mukmin yang meyakini Allah sebagai Tuhan-
nya, Muh}ammad sebagai rasul-Nya, dan menjalankan rangkaian shariat agama,
adalah orang-orang yang wajib dicintai secara mutlak. Al-Athari>
mengkelompokkan umat manusia ke dalam tiga kelompok, pertama, orang-orang
yang berhak dicintai secara mutlak, yaitu orang-orang yang beriman dan taat
dalam agamanya. Kedua, orang-orang yang berhak dicintai di satu sisi dan dibenci
di sisi lain, mereka adalah orang-orang mukmin yang melakukan maksiat. Ketiga, orang-orang yang tidak berhak dicintai atau harus dibenci secara mutlak, mereka
adalah orang-orang kafir.161
Klasifikasi yang dilakukan oleh al-Atharī merupakan konsekuensi logis dari
konsep al-wala>' wa al-bara>' itu sendiri, al-wala> (loyalitas) diperuntukkan bagi
komunitas sendiri sedangkan al-barā (penolakan) bagi komunitas lain. Selain itu,
al-Qur'a>n juga menyebutkan dikotomi antara mukmin dan kafir sebagai batasan
kepada siapa al-wala>' seharusnya ditujukan. Larangan menjadikan "orang lain"
sebagai penolong, sekutu atau memberikan loyalitas (al-wala>') kepada mereka
dapat dilihat, di antaranya pada QS. 3:28; 4:9; 5:51-53; 60:1-2. Bahkan, sekalipun
mereka itu merupakan saudara, seperti yang disebutkan pada QS. 9:23; 58:22.162
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam fatwanya, ketika ditanya tentang
hukum al-muwa>lah al-kuffa>r (sikap loyal terhadap orang-orang kafir), baik dalam
bentuk sikap menyangi (al-mawa>dah), menolong (al-muna>s}arah), atau
menjadikannya sebagai teman dekat (bit}a>nah), beliau menjawab haram hukumnya
bersikap loyal terhadap orang-orang kafir.163
Salah satu dalil yang dijadikan
landasan argumentasinya adalah QS. 5:51,
إ ن ى ذ طب ىاء ةعإ إ إ أ ع ىاء ةعإ إ أ س ـ ٱىص ا ل دذ را ٱىإ ءا ؤب ا ٱىر ـ
ي ـ ٱىظ إ ق د ٱىإ إ ل ٱلل إ ا إ ب
ظاءحإ يۦ ج صإ ى ا د ىۦ ئإ س ظتو ٱىإ إ ذتيإ د ى ٱىإ ا دت د ةعإ ظه شاقق ٱىس
ا صسن
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali."
160 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, h. 56-58. 161
‘Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, al-Waji>z fi> ‘Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih}, Istanbul: Guraba, 1435 H), 138-140.
162 Lihat, ‘Uthma>n Jum'ah D{amiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-
Isla>miyyah, (ttp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>‘, 1996), 359-361. 163
Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.
3, 12.
128
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani auliyā' (pemimpin, penolong); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memperluas makan terma auliya>' pada
ayat tersebut kepada sikap menolong, membantu dan mencintai. Menurut al-
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, kata auliya>' pada ayat tersebut adalah bentuk
jamak dari kata wali> - al-wila>yah, yaitu al-muna>s}arah (menolong) dan al-mu'a>wanah (membantu), termasuk juga al-mah}abbah (cinta) sebagai faktor internal
yang mendorong untuk melakukan pertolongan dan bantuan.164
Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menyebutkan bahwa tidak menjadikan orang-orang Yahudi
dan Nas}rani sebagai auliya>' merupakan tuntutan dari iman, dan jika seorang
mukmin menjadikan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang kafir yang lainnya
sebagai auliya>' maka ia telah melakukan dosa besar, dan barangsiapa yang
menolong, membantu dan mencintai orang-orang kafir maka ia termasuk dari
golongan mereka.165
Eksklusivisme Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n yang ditampilkan dalam
tafsirnya, terkait konsep al-wala>', memberikan kesan bahwa umat Islam sepatutnya
berkumpul, dekat dan saling menolong antara satu dengan yang lainnya, namun
tidak dengan komunitas lain (orang kafir). Akan tetapi realita yang ada dengan
kehidupan yang penuh dengan keragaman menjadikan umat Islam tidak bisa lari
dari fakta pluralitas tersebut, tidak mungkin umat Islam hidup secara eksklusif
hanya dalam komunitasnya sendiri. Dalam beberapa kasus, Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n tertuntut untuk berfikir lebih tentang batasan ittikha>dh al-auliya>' (dalam artian; menjadikan penolong, pemimpin, teman, sekutu, menolong,
membantu atau mencintai) kelompok lain guna menjawab tuntutan fakta pluralitas
tersebut.
Misalnya, ketika seorang muslim memiliki tetangga dari komunitas lain,
apakah berbuat baik kepada tetangga termasuk ittikha>dh al-auliya>'? atau ketika ada
tamu dari komunitas lain, kemudian tuan rumah memberikan jamuan yang baik
termasuk ittikha>dh al-auliya}'? atau bagaimana hukumnya melakukan transaksi jual
beli dengan komunitas lain? Dalam beberapa kasus tersebut, ternyata Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tidak mengkategorikan sebagai ittikha>dh al-auliya>', atau
dengan kata lain, berbuat baik kepada tetangga, memuliakan tamu, dan
bertransaksi jual beli dengan non-muslim tidak lantas menaggalkan loyalitasnya
kepada Allah, rasul-Nya, dan orang mukmin. Argumentasi yang dibangun oleh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n terkait kasus-kasus tersebut adalah, pertama,
164
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 9. 165
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, Jil. 2, 12-20.
129
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n merujuk kepada QS. 60:8-9,166
yang
menjelaskan bahwa berbuat baik (ih}sa>n) dan berlaku adil ('adl) diperintahkan Allah
sekalipun kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi umat Islam.
Kedua, kebaikan yang dilakukan kepada mereka adalah sebagai bentuk syiar atau
dakwah supaya komunitas lain tertarik untuk masuk Islam.167
Dalam merumuskan batasan ittikha>dh al-auliya>' dari kalangna non-muslim,
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n membagi tiga aspek kehidupan; 'iba>da>t (ritual/ibadah), 'a>da>t (kultur/budaya), s}ana>'a>t wa 'ama>l (industri dan profesi).
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n mengharamkan umat Islam berbaur dan
menyerupai non-muslim dalam hal ritual-ibadah dan kebiasaan atau adat, salah
satu dalil sebagai landasan argumentasinya adalah hadith Nabi yang melarang
umat Islam menyerupai (tashabuh) orang kafir. Sedangkan dalam aspek s}ana>'a>t wa a'ma>l (industri dan profesi), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tidak
mengkategorikannya sebagai bentuk dari tashabuh, selama memiliki kemaslahatan
bagi masyarakat umum. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menolak pendapat,
dalam memperbolehkan umat Islam berdampingan dengan non-muslim dalam
aspek s}ana>'a>t wa a'ma>l (industri dan profesi) sebagai konseptualisasi dari al-mas}lah}ah al-mursalah, menurutnya, al-mas}lah}ah al-mursalah tidak bisa dijadikan
dalil tunggal dalam hal ini karena rentan dengan unsur subjektifitas. Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n lebih cenderung memandang sosial-relasional tersebut
sebagai hal-hal yang bukan bagian dari hal-hal yang bersifat prinsipil (al-us}u>l), lebih lanjut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menyebutkan bahwa al-'as}l fi> al-'iba>da>t al-h}adhr (asal dalam ibadah adalah tidak diperbolehkan), sedangkan min ghair al-'iba>da>t fa al-as}l fi>ha> al-hil (yang bukan termasuk ibadah asalnya adalah
diperbolehkan).168
Jika melihat pemahaman Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n terkait konsepsi
teologis al-wala>', loyalitas terhadap Allah, rasul-Nya dan orang yang beriman
adalah harga mati sebagai perwujudan dari iman. Adapun terkait relasi antara
166
QS. Al-Mumtahanah (60): 8-9, ذبب ٱلل إ ا إ ا اى عط دقإ إ إ أ دتسب سم ـ سجم إ إ ى إ ٱىد ذيم ـ إ ق ى ٱىر ع ٱلل ٮن إ ل
عط قإ (٨)ٱىإ إ إ ى إ أ د ساجن اخإ سا عي ـ ظ إ سم ـ سج أخإ إ ٱىد ذيم ـ ق ٱىر ع ٱلل إ ٮن ا ا
ي ـ ٱىظ ٮٮل ـ ى إ ؤ ى (٩)ذ
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu [orang lain] untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang z}alim. (9)"
167 Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-
Ma>idah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 12-20; Fahd bin Na>s}r bin
Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 3, 31.
168 Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-
Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 3, 40-41.
130
muslim dan komunitas lain, dalam ranah sosial, ternyata pemahaman Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tentang al-wala>' tidak se-eksklusif ketika ia memahaminya
dalam ranah akidah-ibadah. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n masih terbuka
untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan komunitas lain, juga tidak
menghalangi untuk berbuat baik kepada mereka, hanya saja hubungan tersebut
memiliki batasan-batasan khusus, atau tidak sebebas sebagaimana yang difahami
oleh kelompok inklusiifis-pluralis.
2. Al-Bara>' : Kebencian Atas Nama Tuhan
Dalam bahasa Arab, terma al-bara>' memiliki beberapa makna sebagai dasar
semantiknya, di antaranya; al-khalq (ciptaan), al-taba>'ud (menjauh), takhalas} (mengosongkan), tana>zuh (membersihkan), al-khala>' (kosong), s}ah}i>h} al-jism wa al-‘aql (sehatnya tubuh dan akal), Ibn al-A‘ra>bi> menyebutkan makna dari al-bari>' adalah menolak segala bentuk keburukan, menghindari kebatilan dan kebohongan,
menjauh dari tuduhan, bersihnya hati dari syirik.169
Dalam terminologi syariah,
istilah al-bara>' sangat erat kaitannya dari makna-makna semantik dari istilah itu
sendiri, yaitu sikap menjauhi, tidak berpihak bahkan membenci orang-orang kafir
dan segala bentuk keburukan serta kekafiran mereka. Muh}ammad bin Sa‘i>d al-
Qah}t}a>ni mendefinisikan istilah al-bara>'; al-bu'd wa al-khala>s} wa al-'ada>wah ba‘da al-i'dha>r wa al-indha>r (menjauhi, berlepas diri dan memusuhi setelah adanya
peringatan).170
Dalam konsep al-wala>', umat Islam diperintahkan untuk menjaga kecintaan
dan kesetiaan mereka terhadap Allah, rasul-Nya dan sesama mukmin, sedangkan
dalam konsep al-bara>' terkesan tidak ramah dan provokatif, bahwa umat Islam
diperintahkan untuk membenci orang-orang kafir atas nama Tuhan. Sebagai
aktualisasi dari konsep al-bara>' ini, 'Uthma>n Jum'ah Ḍamiriyyah menuliskan lima
sikap yang harus dilakukan oleh umat Islam sebagai perwujudan dari konsep al-bara>' ini; Pertama, meninggalkan atau tidak mengikuti segala kecenderungan dan
segala urusan yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Hal ini dilandasi atas
kecurigaan terhadap orang-orang kafir, yang ditegaskan dalam QS. 2:120,
bahwasanya mereka, orang Yahudi dan Nas}rani, selamanya tidak akan riḍa kepada
umat Islam hingga mengikuti syariat dan agama mereka sehingga wajib untuk
dijauhi. Perintah yang sama juga dikemukakan pada QS. 5: 49, bahwa Allah
melarang umat Islam mengikuti keinginan dan kecenderungan orang-orang kafir.
Dan pada QS. 13:37, dijelaskan bahwa jika di antara umat Islam mengikuti orang-
orang kafir, maka Allah tidak akan lagi menjadi penolong dan pelindung mereka. Kedua, tidak melakukan dialog dan musyawarah dengan orang kafir serta tidak
menuruti intruksi dan perintah mereka. QS. 3: 100,101, 149; 18:28; 33:1. Ketiga, tidak condong kepada orang-orang kafir. QS. 11:113; 17:74,75. Keempat, tidak
169
Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 239-241;
'Uthma>n Jum'ah Ḍamiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-'Isla>miyyah, (t.tp.:
Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996), 365-367. 170
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H), 90.
131
berkasih sayang dengan musuh Allah dan tidak mencintai mereka, serta harus
berpisah dengan mereka, sekalipun mereka adalah kerabat dekat. QS. 58: 22; 60:1.
Kelima, tidak menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri
khas mereka. Hal ini berlandaskan pada hadith Nabi man tashabaha bi qaumin fahuwa minhum (barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari
kaum tersebut). 171
Dalam mengkonseptualisasikan al-bara>', paradigma awal yang dibangun oleh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n adalah memandang orang-orang musyrik, kafir
dan komunitas lain di luar Islam sebagai musuh Allah, hal ini berdasarkan pada
pemahamannya terhadap QS. 5:51,52 dan QS. 60:1.172
Kemudian, atas nama
Tuhan, semua musuh Allah itu harus dibenci dan dijauhi, sebagaimana dijelaskan
pada QS. 58: 22 dan QS. 60:4.173
Kebencian yang ditujukan bisa bersifat personal
kepada mereka yang dihukumi kafir, atau kepada perbuatan yang dianggap dibenci
dan tidak diridhai Allah. Dalam hal ini, tidak hanya orang kafir, sesama mukmin
pun bisa saja terkena al-bara>' hanya saja tidak mutlak seperti kebencian terhadap
orang kafir (QS. 49:7).174
Salah satu faktor sekaligus menjadi dalil kenapa umat Islam harus membenci
orang-orang kafir adalah kecurigaan umat Islam terhadap mereka yang
menganggap bahwa eksistensi mereka sangat berbahaya terhadap ketentraman
umat Islam. Kecurigaan tersebut sudah tertanam sejak awal kemunculan Islam,
yang dapat ditemukan dalam fakta sejarah, tentang konflik antara umat Islam dan
komunitas-komunitas di luar Islam tersebut. Kecurigaan tersebut diceritakan
dalam QS. 5:49,
ا أصه ٱلل ط ةعإ ذك ع إ أ إ رزإ ٱدإ إ اء إ ل دذتيإ أ ا أصه ٱلل ة إ ن ة ٱدإ أ عق ـ ٱىاض ى ا مثسن ا إ ط ذة أ صت ةتعإ ا سد ٱلل إ أ ي ا ٲعإ إ ى ل ب د إ اى
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling [dari hukum yang telah diturunkan Allah], maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."
171
Lihat, ‘Uthma>n Jum‘ah Ḍamiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-'Aqi>dah al-'Isla>miyyah, (t.tp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996), 367-372.
172 Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il
Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.
3, 12. 173
Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Jil. 3, 31.
174 Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, Jil. 3, 11.
132
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat tersebut sebagai isyarat
kewajiban umat Islam untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah,
melarang umat Islam mengikuti keinginan atau hawa nafsu orang-orang kafir, di
manapun dan kapanpun, dan wajib berhati-hati terhadap orang-orang kafir.
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menyebutkan bahwa tujuan utama dari
orang-orang Yahudi, Naṣrani dan kelompok kafir lainnya adalah menciptakan
fitnah di kalangan umat Islam, sehingga dalam asumsinya, mengikuti orang-orang
kafir adalah dosa besar yang memiliki dampak yang sangat buruk, yaitu akan
berpalingnya umat Islam dari agama Allah.175
Kecurigaan terhadap komunitas lain
juga ditegaskan dalam QS. 2:120, yang difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, bahwa haram hukumnya mengikuti Yahudi dan Naṣrani juga kelompok
kafir lainnya.176
Ketika kelompok kafir diposisikan sebagai musuh Allah dan dicurigai dapat
mengancam Islam serta mengganggu ketentraman kaum muslimin, maka hal ini
berimplikasi kepada hubungan sosial (social-relational) antara umat Islam dengan
komunitas lain (orang-orang kafir). Salah satu implikasinya adalah sikap tidak
ramah, bahkan dalam titik tertentu melahirkan sikap ekstrem yang intoleran
terhadap orang kafir seperti yang dipraktekkan oleh sebagian kelompok Islam.177
Sikap tidak ramah terhadap orang kafir juga ditemukan dalam konsepsinya
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tentang al-bara>' ini. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n mengharamkan umat Islam beraliansi dengan kelompok kafir dan tidak
boleh berkasih sayang dengan mereka. Hal ini diungkapkannya dalam memberikan
fatwa tentang hukm mawaddah al-kuffa>r wa tafd}i>lihim ‘ala> al-muslimi>n (hukum
berkasih sayang terhadap orang-orang kafir dan mendahulukan orang-orang
muslim). Landasan argumentasinya adalah QS. 58:22;
إ إ أ ا ءاةاء إ ا ى زظى إ دا ٱلل ا ب خس ٱٱإ إ ٱىإ ةٲلل ا ئإ ن إ ل دجد ق
إ خي دإ إ أد ةسحب ـ ٱلإ ٮٮل ذب قية ـ ى إ أ إ عشسد إ أ ٳ إ اخإ إ أ اء أةإ
أل ا ٱلل ٮٮل دصإ ـ ى أ إ زظا ع إ إ ع ٱلل ا زظ يد ـ س خ ـ إ ذ ا ٱٱإ دذإ س خب دجإ ـ ج
يذ إ ٱىإ ا ٱلل دصإ ا
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan
175
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 12-20; Fahd bin Na>s}r bin
Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 1, 478-485.
176 Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-
Baqarah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 32-33. 177
Lihat, Mohamed Bin Ali, "Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists
Perception of the Religious Other", Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6, No. 1,
(June 2018), 80-96.
133
keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap [limpahan rahmat] -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung."
Dan QS. 60:1,
ا جاءم قدإ م سا ة ث ةٲىإ إ اى ق ىاء ديإ إ إ أ م عد ا ل دذ را عد ءا ؤب ا ٱىر ـ
ا ظتي دن ـ إ ج ذ إ خسجإ إ ا مذ زةن ا ةٲلل إ أ دئإ اام ظه ٱىس سج ذق إ ٱىإ إ قدإ ن عيإ إ إ يذ ا أعإ إ ذ إ ا أخإ ة ي أا أعإ ث
ةٲىإ إ اى دعسب ظاد سإ ذغاء ٱةإ تو اء ٱىع ظو ظ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka [berita-berita Muhammad], karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan [mengusir] kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku [janganlah kamu berbuat demikian]. Kamu memberitahukan secara rahasia [berita-berita Muhammad] kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus."
Dari dua ayat tersebut, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyimpulkan
bahwa beraliansi dan berkasih sayang dengan musuh-musuh Allah adalah haram
dan berbahaya, maka wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mendahulukan umat
Islam dalam segala hal.178
Konsepsi al-bara>' tidak bisa dilepaskan dari fakta historis kehidupan sosial-
relasional umat Islam dengan kelompok lain di masa awal Islam. Jika melihat
keberagamaan umat Islam di Makkah dan Madinah, konsep al-bara>' yang
dipraktekkan oleh umat Islam bersifat transformatif atau memiliki tahapan demi
tahapan. Tahapan pertama dari implementasi konsep al-bara>' ini dimulai ketika
umat Islam berada di Makkah, yaitu perintah untuk meninggalkan kebiasaan
orang-orang jahiliyyah termasuk membebaskan diri dari kemusyrikan, kemudian
Allah memerintahkan untuk berpaling dari orang-orang kafir (QS. 53:29-30), lalu
perintah untuk bersabar dan hijrah dari Makkah (QS. 73:10; 30:60; 43:26-27).
Dalam hal ini al-Qur'a>n membangun sebuah argumentasi yang menjelaskan tentang
178
Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.
3, 14-15.
134
perbedaan antara orang musyrik sebagai kelompok yang sesat dan orang-orang
yang beriman sebagai kelompok yang benar (QS. 39:29; 41:29 43: 67; 25:27-29),
kemudian secara tegas al-Qur'a>n menyebutkan bahwa agama yang dianut oleh
musuh Islam adalah agama yang salah yang harus dijauhi (QS. 109:1-6; 10:41, 104-
105; 6:56-57).179
Ibn Qayyim memahami surah al-Kāfirun sebagai surah bara>'ah min al-shirk
(surah pemurnian dari syirik).180
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menyebutkan
bahwa surah al-Ka>firu>n merupakan salah satu dari surah-surah al-ikhla>s}, sebab
dalam surah tersebut menjelaskan tentah keikhlasan kepada Allah dan perintah
untuk bersikap al-bara>' terhadap semua orang kafir.181
Kemudian, ketika
menafsirkan ayat (lakum di>nukum wa liya di>n), Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menyebutkan "fa ana> bari>' min di>nikum wa antum bari>-u>n min di>ni> (saya berlepas
dari agama kalian dan kalian berlepas dari agama saya)". Menurut sebagian ulama,
surah ini turun sebelum ada kewajiban untuk berjihad, namun Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kembali mempertegas, bahwa surah ini adalah perintah untuk
bersikap al-bara>' terhadap agama orang-orang Yahudi, Nas}rani dan musyrik, atau
agama semua orang kafir.182
Ketika Nabi dan para pengikutnya masih berada di Makkah, keberagamaan
yang dipraktekkan cenderung tertutup, bersabar, dan tidak terang-terangan,
sehingga konsep al-bara>' yang dipraktekkan pada masa itu masih cenderung
defensif. Lain halnya ketika negara Islam sudah terbentuk di madinah, perjuangan
Nabi dan kaum muslim, bukan hanya dilakukan dengan terbuka bahkan pada masa
ini umat Islam dianjurkan untuk melawan semua musuh tanpa mengenal istilah
mengalah, sehingga pada masa ini, jihad merupakan implementasi dari konsep al-bara>' sekaligus sebagai manifestasi tertinggi dari ketauhidan.
183 Di antara contoh
perwujudan dari konsep al-bara>' adalah upaya umat Islam dalam rangka
memberantas segala kemusyrikan yang ada di Makkah. Al-bara>' min al-shirk wa al-mushriki>n (al-bara> terhadap kemusyrikan dan orang-orang musyrik) dijelaskan
secara panjang lebar pada QS. 9:1-15. Bahkan dalam ayat ke 13 dan 14, memerangi
kaum musyrikin mendapatkan legitimasi dari Tuhan demi kebaikan bagi untuk
umat Islam itu sendiri. Contoh lain dari implementasi konsep al-bara>' di priode
Madinah juga dapat dilihat pada gerakan politis dalam penyerangan terhadap orang
Yahudi Bani Qainuqa', Bani Quraiḍah, dan Bani Nad}ir.184
179
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H), 176-184. 180
Al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 180. 181
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 335. 182
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Juz 'Amma, 338. 183
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H),, 213-214. 184
Al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 218-221.
135
Dalam QS. 9:28, al-Qur'a>n menyebutkan bahwa orang-orang musyrik tidak
diperkenankan untuk masuk Masjid al-Haram, tidak hanya itu, sebagai bentuk al-bara>' terhadap mereka, umat Islam juga dilarang untuk menikah dengan orang-
orang musyrik (QS. 60:10), bahkan umat Islam juga tidak diperkenankan untuk
tinggal di da>r al-shirk (wilayah orang musyrik). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n
menjelaskan tentang hukum berpergian dan menetap di negara kafir dengan
menyebutkan bahwa tidak boleh seorang muslim berpergian ke wilayah kafir
kecuali dengan tiga syarat; pertama, harus terlebih dahulu memiliki kapasitas
keilmuan yang cukup untuk dapat menangkal al-syubuha>t (tuduhan-tuduhan).
Kedua, harus memiliki keagamaan yang kuat untuk mengimbangi keinginan hawa
nafsu (al-shahwa>t). Ketiga, memang memiliki kepentingan atau tujuan tertentu,
seperti dengan tujuan berobat. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n tidak
menganjurkan umat Islam mengunjungi negara-negara kafir dengan tujuan al-siya>h}ah (rekreasi/wisata), karena bukan merupakan kebutuhan yang penting.
185
Adapun berkenaan dengan hukum menetap di negara kafir, Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa menetap di negara kafir adalah hal yang
sangat berbahaya bagi seorang muslim, karena dalam beberapa kasus, seorang
muslim yang tinggal di negara kafir, kemudian ketika ia kembali ke asalnya, orang
tersebut murtad dari agamanya, sehingga menjadi kafir dan fasiq. Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menetapkan dua syarat bagi orang muslim yang hendak
menetap di negara kafir; pertama, harus memiliki agama yang kuat, keimanan yang
kokoh, dan tekad yang kuat, sehingga ia yakin tidak akan terpengaruh oleh godaan-
godaan orang kafir dan tetap loyal kepada Islam. Kedua, harus dipastikan bahwa di
tempat yang hendak disinggahi adalah tempat yang aman dan tidak halangan untuk
melaksanakan rangkaian syariat Islam, seperti shalat, zakat dan lain sebagainya.186
Bentuk lain dari perwujudan al-bara>' adalah larangan menyerupai orang kafir
(tashabuh al-kuffa>r). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membatasai tashabuh al-kuffa>r hanya berkaitan dengan ciri khas yang hanya dimiliki oleh orang kafir.
187
Larangan tashabuh tersebut meliputi ritual-ibadah dan kebudayaan orang kafir.
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengharamkan seorang muslim ikut serta atau
hanya sekedar mengucapkan selamat untuk hari-hari raya orang kafir, seperti
halnya mengucapkan "selamat natal" bagi orang Kristen. Menurut Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, ikut serta dalam perayaan hari raya orang kafir merupakan
salah satu bentuk berserikat dalam kemaksiatan yang disebutkan dalam QS. 5: 2.
sebagaimana Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani> memasukkan hal ini sebagai bentuk
185
Lihat, Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil.
3, hal. 24. 186
Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, 25-26.
187 Fahd, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, 47.
136
tashabuh terhadap orang kafir.188
Dalam asumsi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, ketika seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang kafir di hari
raya mereka, maka ucapan tersebut sama dengan mengakui dan rid}a terhadap
agama mereka, sedangkan hal itu jelas dilarang dalam agama Islam.189
Konsep al-bara>' merupakan kelanjutan dari konsep al-wala>'. Keimanan
seorang muslim harus diwujudkan oleh sikap loyalitas terhadap apa yang
diimaninya, juga harus menjauhkan diri dari segala hal yang bersebrangan dengan
keimanannya. Kekafiran dan kemusyrikan merupakan lawan dari keimanan,
membenci kekafiran dan kemusyrikan adalah suatu keharusan, bahkan membenci
kelompok lain (kafir dan musyrik) dianggap sah dengan mengatas namakan Tuhan.
Inilah yang difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n dan beberapa
kelompok eksklusif Islam lainnya, terkait al-wala>' dan al-bara>'. Tentu, hal ini akan
menimbulkan polemik jika dikaitkan dengan keharmonisan sosial-agama yang
dicita-citakan banyak orang di era modern ini, karena konsep al-wala>' wa al-bara>', sepintas memimiliki kesan intoleran dan akan memperuncing sentimen dalam
beragama.
3. Al-Wala>' wa al-Bara>' dan Toleransi dalam Beragama
Konsep al-wala>' wa al-bara>' memiliki empat dimensi, yaitu (1) akidah
(‘aqi>dah); (2) sosial (mu‘a>malah); (3) politik (siya>sah); dan (4) Jihad (jiha>d). Secara
umum, kelompok salafi sepakat pada konsep al-wala>' wa al-bara>' di tingkat akidah.
Mereka meyakini umat Islam harus percaya dan menjunjung tinggi konsep tersebut
karena memiliki hubungan yang sangat erat dengan agama, baik sebagai
implementasi dari keimanan juga sebagai sikap perlawanan terhadap semua
ancama dari luar, juga untuk memerangi inovasi agama (bid‘ah) apa pun yang telah
merangkak ke dalam agama. Namun, mereka berbeda dalam penerapan al-wala>' wa al-bara>' di tingkat sosial dan politik. Di tingkat sosial, al-wala>' wa al-bara>' ditandai
dengan penggambaran non-Muslim sebagai musuh potensial, dan praktik tidak
Islami sebagai tindakan berbahaya yang dapat mengancam kemurnian Islam dan
tauhid (monoteisme). Contoh dari dimensi ini termasuk memberi dan menerima
hadiah dari non-Muslim, bergabung dengan mereka dalam festival keagamaan
mereka dan bahkan menggunakan kalender non-hijriah yang menurut beberapa
Salafi merupakan al-tashabbuh bil al-kuffa>r (imitasi dari non-Muslim).190
David Bukay, seorang Professor Middle East Studies di University of Haifa,
menyebutkan bahwa doktrin al-wala>' wa al-bara>' berasal dari kehidupan sosial Arab
dengan sistem kesukuan (tribal system), dimana pembagian dan fragmentasi
188
Muh}ammad Ibra>hi>m al-Madani>, al-H{ub fi> Allah, (Iskandariyah: Da>r al-I<ma>n,
tth.), 80, 189
Fahd bin Na>s}r bin Ibra>hi>m al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa Rasa>-il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1407 H), Jil. 3, 32-33.
190 Mohamed Bin Ali, "Forging Muslim and Non-Muslim Relationship: Contesting
the Doctrine of Al-Wala’ wal Bara’", Rsis, No. 251, (19 November 2015); lihat juga, Joas
Wagemakers, "Framing The 'Threat to Islam': al-Wala' wa al-Bara' in Salafi Discourse",
Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008), 4-9.
137
merupakan hal yang paling menonjol dalam sejarah sosial-politik Arab. kecintaan
dan kesetiaan kepada komunitas sendiri, dan kecurigaan serta kebencian terhadap
yang lain ini kemudian berkembang dalam tradisi Islam, untuk menjadikan Islam
sebagai komunitas terbaik dalam konteks hubungan antar agama. Al-Qur'ān
menjelaskan bahwa Islam bukan tentang persaudaraan universal, tetapi tentang
persaudaraan orang-orang beriman di bawah Ummah Islam. Ada lebih dari 400
ayat dalam al-Qur'a>n yang menggambarkan tentang siksaan dalam api Neraka yang
telah disiapkan Allah untuk orang-orang kafir, ayat-ayat terebut sekaligus
melegitimasi kebencian atas nama Tuhan terhadap orang-orang kafir. Jika ditanya,
mengapa Islam dipenuhi dengan kebencian, maka konsep al-wala>' wa al-bara>' adalah konsep yang bertanggungjawab sekaligus jawaban dari pertanyaan
tersebut.191
Pendapat Bukay mirip dengan apa yang diasumsikan oleh Muḥammed bin
Ali. Menurut Ali, atas dasar konsep al-wala>' wa al-bara>', para ekstremis Muslim
melarang umat Islam untuk mengembangkan hubungan persahabatan dengan
orang-orang dari agama lain dapat dikritisi dan diperdebatkan. Jika kita
mempelajari ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep tersebut dalam konteksnya
yang tepat, maka kita akan melihat semua ayat tersebut berkaitan dengan
komunitas di luar Islam, seperti Yahudi, Kristen atau politeis di Arab, yang telah
terlibat dalam konfrontasi langsung atau tersembunyi dengan Islam dan kaum
Muslim. Dengan demikian, pada dasarnya al-Qur'a>n telah mengarahkan umat Islam
bahwa dalam kondisi seperti itu (konfrontasi dan perang), mereka tidak boleh
memberikan rahasia mereka (bit}a>nah) kepada komunitas lain di luar Islam dan
tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman. Ali menegaskan bahwa arahan yang
diberikan dalam konteks ini jelas tidak bisa digeneralisasi.192
Pandangan lain terkait konsep al-wala>' wa al-bara>' dikemukakan oleh Joas
Wagemakers. Wagamakers mengomentari konsep teologis ini dari sudut pandang
sosial-politik. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul Framing The "Threat to Islam": al-Wala' wa al-Bara' in Salafi Discourse, Wagamakers berasusmi bahwa
sarjana salafi sering menggunakan konsep al-wala>' wa al-bara>' untuk membentuk
sebuah framing bahwa Islam berada dalam ancaman, dalam wacana mereka,
ancaman tersebut adalah; ancaman agama dan ancaman politik (religious threats and political threats). Ancaman agama datang dari komunitas lain yang dianggap
berbahaya bagi umat Islam, atau bahkan dari komunitas sendiri yang gemar
melakukan inovasi agama (bid'ah) yang dianggap mencemari kemurnian akidah
Islam. Dalam menyikapi ancaman ini, umat Islam diperintahkan untuk bersikap al-bara>', yakni menolak dan membenci atas nama Tuhan. Sedangkan ancaman politik,
191
David Bukay, "Islam and the Other: The al-Wala’ wal-Bara’ Doctrine", akses
online, https://acdemocracy.org/islam-and-the-other-the-al-wala-wal-bara-doctrine/,
diakses pada tanggal 29-01-2020. 192
Lihat, Mohamed Bin Ali, "Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists
Perception of the Religious Other", Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6, No. 1,
(June 2018), 96.
138
mengacu pada kekeliruan sikap al-wala>' (loyalitas) yang dipraktekkan oleh para
penguasa Muslim dalam hubungan diplomatik mereka dengan non-Muslim inter-
antar negara, yang menganggap bahwa koalisi dengan komunitas lain dapat
merusak dan membahayakan orang-orang Islam. Wagamakers menyebutkan bahwa
implementasi konsep al-wala>' wa al-bara>' yang dipraktekkan kelompok salafi
dewasa ini, selain digunakan untuk dikotomi muslim-nonmuslim, konsep ini juga
digunakan sebagai legitimasi untuk melawan komunitas lain yang bersebrangan.
Kemudian di akhir tulisannya, wagamakers menyimpulkan bahwa al-wala>' wa al-bara>' tidak ada dalam kekosongan agama semata, tetapi dibentuk oleh keadaan
politik lokal dan global.193
Joas Wagamakers memandang bahwa konsep al-wala> wa al-bara>' digunakan
oleh kelompok salafi, bukan hanya untuk mempraktekkan ajaran agama semata,
namun digunakan juga sebagai alat politik identitas. David Bukay dan Muḥammed
Ali keberatan jika konsep al-wala>' wa al-bara>' diterapkan dalam konteks dewasa
ini. Jika melihat argumentasi yang dibangun oleh Bukay dan Ali, terdapat dua
kritikan terhadap konsep al-wala>' wa al-bara>'. Pertama, Bukay dan Ali memandang
konsep tersebut lahir dalam konteks masyarakat arab yang dipenuhi konfrontasi
antara umat Islam dan kelompok lain, sehingga tidak relevan jika diterapkan
dewasa ini. Kedua, konsep tersebut sangat berpeluang untuk merenggut nilai-nilai
toleransi dan akan memperuncing sentimen agama. Sabine Damir-Geilsdorf, Mira
Menzfeld dan Yasmina Hedider, meneliti kelompok salafi dan implementasinya
terhadap konsep al-wala>' wa al-bara>' di Jerman. Kelompok salafi mengalami
dilematis dalam kehidupan sehari-harinya, di sisi lain ia dituntut untuk
mempraktekkan keagamaannya secara total namun di sisi lain harus dibenturkan
dengan sekuritisasi pemerintah Jerman, karena keagamaan salafi dianggap mirip
dengan kelompok islam ekstrem-jihadis dalam wacana global. Bahkan, beberapa
orang mendapatkan perlakuan yang kurang etis dari kalangan islamphobia di
Jerman.194
Baik secara langsung ataupun tidak, hal ini memiliki hubungan dengan
anggapan publik bahwa konsepsi al-wala>' wa al-bara>' melahirkan sikap intoleran.
Berkaitan dengan toleransi, istilah tersebut berasal dari bahasa latin "tolerar" yang memiliki makna; menahan diri, bersikap sabar, menghargai pendapat orang
lain, berhati lapang, tenggang rasa terhadap pandangan atau agama lain.195
Dalam
bahasa Arab, toleransi dikenal dengan istilah al-tasa>muh} yang diambil dari kata
dasar samah}a. Secara leksikal, Ibn Manz}ur menjelaskan tentang terma samah}a
dengan berbagai derivasinya memiliki makna; al-ju>d (murah hati) yang juga
digunakan untuk menunjukkan sikap dermawan. Kemudian, kata tasa>mah}a-al-
193
Lihat, Joas Wagemakers, "Framing The "Threat to Islam": al-Wala' wa al-Bara' in
Salafi Discourse", Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008), 1-22. 194
Lihat, Sabine Damir-Geilsdorf, Mira Menzfeld and Yasmina Hedider,
"Interpretations of al-Walā’ wa al-Barā’ in Everyday Lives of Salafis in Germany",
Religions, 10, 124, (January, 2019), 1-18. 195
Muhammad Yasir, "Makna Toleransi Dalam al-Qur'a>n", Ushuluddin, Vol. 22, No.
2, (Juli 2014), 171.
139
musa>mah}ah juga bermakna tasa>hala/al-musa>halah (memudahkan atau saling
mempermudah).196
Al-Qur'a>n tidak menyebutkan secara eksplisit terma tasa>muḥ (toleransi),
namun dalam beberapa ayat ditemukan nilai-nilai yang mengarah kepada semangat
dari istilah toleransi tersebut. Misalnya, di antara nilai-nilai toleransi al-Qur'a>n
menyebutkan tentang larangan intervensi terhadap agama lain pada QS. 06:108,
atau tentang tidak ada paksaan dalam agama, seperti yang disebutkan dalam QS.
2:256, dan beberapa ayat lainnya. Meskipun toleransi diyakini sebagai salah satu
nilai luhur dalam ajaran Islam, namun tidak ada kesepakatan yang mengarah pada
satu konsep yang utuh tentang toleransi tersebut, polemik yang terjadi adalah
tentang batasan-batasan toleransi itu, apakah hanya pada ranah sosial dan sebatas
mengakui fakta pluralitas atau lebih jauh menyentuh ranah teologis dan meyakini
akan kebenaran agama lain.
Bagi Sayyid Qut}b, aspek akidah dan sosial merupakan dua variable yang
berbeda, meskipun keduanya memiliki keterkaitan, akan tetapi keduanya tidak bisa
disamakan. Sayyid Qut}b membedakan antara berbuat baik dan berlaku adil kepada
komunitas lain sebagai perwujudan dari toleransi dengan sikap al-bara>' dan
penolakan menjadikan auliya> atas komunitas lain. Sayyid Qut}b juga menegaskan
bahwa toleransi hanya berkaitan dengan urusan sosial-personal (al-mu‘a>mala>t al-shakhsiyyah), toleransi tidak berlaku pada urusan akidah dan sistem
kemasyarakatan (al-nidha>m al-ijtima>‘i). Sayyid Qut}b tidak menapikan nilai-nilai
toleransi yang ada pada ajaran Islam, seperti nilai yang diajarkan al-Qur'a>n bahwa
tidak ada paksaan dalam agama, karena akidah tidak bisa tumbuh dalam nurani jika
terdapat penolakan padanya (al-‘aqa>'id la tansha>' fi> al-d}ama>ir bi al-ikra>h), hanya
saja Sayyid Qut}b menerapkan batasan-batasan yang cukup ketat terhadap
pelaksanaan toleransi tersebut.197
Senada dengan Sayyid Qut}b, Ibn H{ajar juga membedakan antara al-wala>' (loyalitas) dengan kebaikan sosial (h}usn ta‘a>mul). Menurut Ibn H{ajar, berbuat baik
dan menjalin hubungan yang baik dengan komunitas lain, tidak lantas disebut
sebagai bentuk al-wala>' kepada komunitas tersebut, karena bersikap ramah, dan
berbuat baik tidak harus didasari dengan rasa kecintaan dan loyalitas seperti yang
dilarang dalam konsep al-wala>' wa al-bara>'.198 Sebagai permisalannya adalah kisah
Asma>' binti Abu Bakar yang bersikap ramah dan berbuat baik kepada ibunya
namun tetap menolak kekafiran Ibunya.199
Menurut ‘Uthma>n Jum'ah D{amiriyyah,
Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada komunitas lain dengan tanpa
didasari oleh kecintaan dan kecenderungan kepada mereka.200
Toleransi bukanlah
196
Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 2088. 197
Muh}ammad bin Sa‘i>d al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H), 350-351 198
al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 353. 199
al-Qah}t}a>ni>, al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, 353. 200
'Uthma>n Jum‘ah Ḍamiriyyah, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-Isla>miyyah,
(t.tp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996), 373.
140
kesetiaan terhadap komunitas lain, toleransi tidak harus mengikuti agama dan
kekhasan komunitas lain, dan toleransi bukanlah menjadikan komunitas lain sebagi
auliya>' (penolong, teman, atau sekutu). Antara toleransi dengan sikap al-bara>', ittikha>dh auliya>' (menjadikan auliya>') dan kecintaan terhadap komunitas lain
adalah hal-hal yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan.201
Pembedaan antara toleransi dan sikap loyal (al-wala>') terhadap komunitas
lain juga dikemukakan oleh 'Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, bahwa
toleransi bisa dilakukan tanpa didasari kecintaan dan kecenderungan terhadap
komunitas lain. Al-Athari> membagi al-wala>' (loyalitas) kepada komunitas lain
menjadi dua kategori; muwa>lah al-kubra> dan muwa>lah al-s}ughra>. Kategori pertama
menjadikan seorang muslim keluar dari agamanya (dihukumi kafir), kategori ini
adalah sikap loyal kepada komunitas lain secara z}ahir dan ba>t}in. Sedangkan
kategori kedua tidak menjadikan seorang muslim keluar dari agamanya. Kategori
kedua ini adalah sikap loyal kepada komunitas lain hanya pada ranah dhahir saja,
atau diistilahkan oleh al-Athari> al-muwa>lah du>na al-muwa>lah (loyalitas tanpa
kesetiaan). Sebagai contoh dari kategori kedua ini adalah keberpihakan seorang
muslim terhadap komunitas lain secara pragmatis dengan motif tertentu, seperti
mengharapkan keduniaan. Namun demikian, al-'Athari> tetap menganggap sikap
tersebut adalah dosa besar dan berbahaya. Selain itu, al-Atharī juga membedakan
antara konsep al-bara>' dengan sikap buruk terhadap komunitas lain, baik dengan
ucapan maupun perbuatan. Menurutnya, keduanya adalah hal yang berbeda dan
tidak bisa disatupadukan.202
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga tidak mempertentangkan antara
konsep al-wala>' wa al-bara>' dengan toleransi, dalam mengkompromikan keduanya,
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengutip QS. Al-Mumtah}anah (60): 8-9,
إ إ ا اى عط دقإ إ إ أ دتسب سم ـ سجم إ إ ى إ ٱىد ذيم ـ إ ق ى ٱىر ع ٱلل ٮن إ ل
عط قإ ذبب ٱىإ ٱلل إ (٨)ا سم ـ سج أخإ إ ٱىد ذيم ـ ق ٱىر ع ٱلل إ ٮن ا ا
ي ـ ٱىظ ٮٮل ـ ى إ ؤ ى ذ إ إ ى إ أ د ساجن اخإ سا عي ـ ظ (٩)
"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (8) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu [orang lain] untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (9)"
Menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, menjalin hubungan yang baik
(shilah al-rah}m) tidak mesti bermakna loyalitas (al-muwa>lah), keduanya adalah hal
201
‘Uthma>n, Madkhal li al-Dira>sah al-‘Aqi>dah al-Isla>miyyah, 372-373. 202
Lihat, ‘Abdullah bin ‘Abd al-H{ami>d al-Athari>, al-Waji>z fi> ‘Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih}, Istanbul: Guraba, 1435 H), 144.
141
yang berbeda. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga menyebutkan bahwa umat
Islam diwajibkan untuk menjalin hubungan yang baik sekalipun dengan orang
kafir, seperti diperbolehkannya mengundang mereka untuk datang ke rumah, akan
tetapi kehati-hatian dan mensyiarkan Islam supaya mereka tertarik untuk masuk
Islam tetap harus dilakukan.203
Kebebasan beragama sebagai salah satu dari nilai-nilai toleransi juga tidak
dipungkiri oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam memahami QS. 2:256,
عل إ ذ قد ٱظإ ةٲلل ئإ غح ـ نإ سإ ةٲىط غ ٱىإ د شإ ٱىسب قد دت سا ٱىد ل امإ
ف يف عي ظ ٱلل ىا ل ٱ صا ق ثإ ث ٱىإ عسإ ةٲىإ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuk) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan dua makna terkait kalimat
la> ikra>h fi> al-di>n, pertama, bermakna larangan, yakni tidak boleh membenci
seseorang atas agamanya. Kedua, bermakna nafi> (penegasian), yakni tidak ada
paksaan untuk masuk suatu agama. Dengan demikian, tidak boleh seseorang
memiliki keterpaksaan untuk masuk agama Islam dan juga tidak boleh memaksa
orang lain untuk masuk agama Islam.204
Kemudian, meskipun dalam kontruksi teologisnya terdapat konsep al-wala>' (loyalitas) yang mengharuskan umat Islam loyal dan mendahulukan kelompok
sendiri, namun dalam konteks menegakkan hukum yang berkaitan dengan
mayarakat umum, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak lantas besikap
diskriminatif atas kelompok lain. Hal ini dapat dilihat ketika ia menafsirkan QS.
4:58,
ب عي أل دعدىا اعدىا ق شآ ن ل جس شداء ةاىقعػ لل ا ا ما ق آ ا اىر ا أب
ي ا دع ختسف ة الله ا ادقا الله أقسا ىيذق
"Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu golongan mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada
203
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Fata>wa> Nu>r ‘Ala> al-Darb, (Qasim-
‘Unaizah: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H
), jil. 1, 645; Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Ma>idah, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), Jil. 2, 12-20; Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m
al-Sulaima>n, Majmu‘ Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H), Jil. 3, 31.
204 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Baqarah,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 3, 263-264.
142
takwa. Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tetap menganjurkan untuk menegakkan
keadilan sebagai nilai luhur yang diajarkan Islam, sekalipun dalam konteks sosial-
relasional dengan kelompok lain. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n juga
menyebutkan, ketika terdapat sengketa atau pertikaian antara seorang muslim dan
kafir, maka janganlah bersikap diskriminatif, sebab keadilan dalam hukum adalah
suatu kewajiban.205
Terminologi al-‘adl (keadilan) menurut Muh}ammad bin S{a>li>h}
al-‘Uthaimi>n adalah berhukum sesuai dengan syariat Allah, karena dalam
keyakinannya, tidak ada hukum yang lebih adil selain hukum Allah.206
Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n membedakan antara al-‘adl (keadilan) dan al-musa>wa>h
(persamaan/equality). Menurutnya, orang-orang banyak yang salah faham tentang
al-'adl dan al-musa>wa>h dengan menyamakan keduanya. Keadilan adalah
memberikan atau menempatkan segala sesuatu sesuai dengan yang semestinya,
sedangkan al-musa>wa>h adalah menyamaratakan. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n menegaskan bahwa al-di>n al-Isla>m di>n al-‘adl (agama Islam adalah
agama keadilan), bukan di>n al-musa>wa>h (agama kesamarataan).207
Jika melihat pemaparan di atas, konsepsi teologis al-wala>' wa al-bara>' dapat
dikatakan tidak bersebrangan dengan toleransi sekaligus juga bisa dikatakan
bersebrangan. Hal ini sangat bergantung pada terminologi dan batasan-batasan
akan toleransi itu sendiri. Dalam asumsi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-wala> wa al-bara> tidak menegasikan nilai-nilai toleransi, sebab keduanya berada
dalam ranah yang berbeda, toleransi hanya berlaku pada ranah sosial saja,
sedangkan dalam ranah ibadah dan akidah, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
tidak mengenal istilah toleransi. batasan-batasan yang diterapkan oleh Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n inilah yang turut membentuk terminologinya tentang
toleransi.
D. Misi Suci Agama : konsep Dakwah dalam Tafsi>r Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n
3. Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar: Penyeimbang Tatanan Sosial
Dalam ajaran Islam, Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar memiliki peranan
penting untuk mengatur dan menyeimbangkan tatanan kehidupan sosial, konsepsi
Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar diposisikan seperti halnya sistem sosial yang
disepakati bersama untuk menciptakan kehidupan umat yang ideal. Sistem sosial
ini telah dilakukan oleh generasi terdahulu dan menjadi tugas bagi para nabi dan
rasul dengan misi utamanya memerintahkan manusia untuk menyembah dan meng-
Esa kan Allah serta melarang mereka dari segala bentuk kemusyrikan.208
205
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', jil. 1, 442-443. 206
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', jil. 1, 440. 207
Al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-Nisa>', jil. 1, 444. 208
Abu Ya‘la> Muh}ammad bin al-H{usain bin Muh}ammad bin Khalaf bin al-Fara>' al-
H{anbali>, al-Amr bi al-Ma‘ru>f wa al-Nahy 'an al-Muka>r, (Madinah: Da>r al-Bukha>ri>, t.th.), 4.
143
'Abdurrah}man H{asan menyebutkan bahwa Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar adalah alasan Islam tetap eksis hingga dewasa ini, sekaligus kewajiban bagi umat
Islam supaya eksistensinya terjaga hingga waktu yang akan datang.
Argumentasinya dilandaskan kepada QS. 22:41, yang menyebutkan bahwa shalat,
zakat, dan Amr al-Ma‘ru>f wa Nahyi al-Munkar adalah ciri-ciri dari generasi yang
diteguhkan Allah di muka bumi ini.209
Dalam bahasa Arab, istilah al-ma‘ru>f merupakan isim maf‘u>l (kata benda
objek) yang berasal dari kata kerja (fi‘il) 'arafa yang berarti mengetahui. Ibn
Manz}u>r mendefinisikan terma al-ma‘ru>f sebagai istilah untuk segala sesuatu yang
mengarah kepada ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah, perbuatan baik
sesama manusia, dan segala kebaikan dan keburukan yang dianjurkan dan dilarang
oleh shariat.210
Al-Ra>ghib al-As}faha>ni> mengartikan terma al-ma‘ru>f sebagai istilah
untuk segala sesuatu yang diketahui kebaikannya oleh akal dan syariat.211
Kemudian, Mah}mu>d bin 'Abdillah al-Tuwayjiri> mendefinisikan istilah al-ma‘ru>f untuk segala sesuatu yang dicintai dan diriḍai Allah dari aspek keimanan dan amal
shaleh.212
Sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefiniskan istilah al-ma‘ru>f sebagai segala sesuatu yang diperintahkan oleh syariat.
213
Adapun untuk istilah al-munkar, berasal dari kata nakara-ankara yang
memiliki makna, di antaranya; kepicikan, pengingkaran, dan keburukan.
Kemudian, dalam terminologi syariat Islam, istilah al-munkar didefiniskan oleh Ibn
Manz}u>r sebagai lawan dari al-ma‘ru>f, yaitu segala sesuatu yang dianggap buruk,
diharamkan dan dimakruhkan oleh syariat.214
Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>
mendefinisikan istilah al-munkar sebagai segala sesuatu yang dianggap buruk
menurut akal sehat dan syariat.215
Sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
mendefinisikan istilah al-munkar sebagai segala sesuatu yang dilarang oleh
syariat.216
Secara garis besar, makna yang terkandung dalam ajaran amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar adalah perintah untuk menegakkan atau memerintahkan kebaikan
(al-ma‘ru>f) dan menolak serta melarang keburukan (al-munkar). Jika melihat
209
‘Abdurrah}man asan H{abinkah al-Mi>da>ni>, Fiqh al-Da‘wah ila> Allah wa Fiqh al-Nus}h wa al-Irsha>d wa Amr bi al-Ma‘ru>f wa Nahyi ‘an al-Munkar, (Damaskus: Da>r al-
Qalam, 1996), jil. 1, 90. 210
Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 2900. 211
Lihat, al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-
Qalam, 2009), 561. 212
Mahmu>d bin ‘Abdillah al-Tuwayjiri> , al-Qaul al-Muharrar fi> al-Amr bi al-Ma‘ru>f wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Riyaḍ: Muassasah al-Nu>r, t.th.), 26.
213 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wasat}iyyah li Shaikh al-
Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 329. 214
Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 2008), 4539-4540. 215
Al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,
2009), 823. 216
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 329.
144
terminologi yang dirumuskan oleh para sarjana di atas, terdapat perbedaan batasan
baik dan buruk, khususnya antara al-As}faḥa>ni> dan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n. Al-As}faḥa>ni> menyebutkan syariat dan akal sebagai standar untuk
menilai baik dan buruk, sedangkan Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n hanya
menyebutkan syariat tanpa menyertakan akal, meskipun keduanya sepakat bahwa
wahyu menjadi prioritas utama. Menurut Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, akal
tidak bisa dijadikan instrumen tunggal untuk menentukan baik dan buruk, berbeda
dengan syariat yang bersumber dari wahyu Tuhan, sekalipun akal menolak, wahyu
tidak mungkin salah.217
Mengingat pentingnya amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dalam tatanan
kehidupan sosial umat Islam, sebagian ulama bahkan menganggapnya sebagai
bagian dari rukun Islam. Hal ini dikarenakan peran sentral dari amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar yang diyakini sebagai bentuk penegakan hukum Tuhan dan media
pemersatu umat.218
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, dalam memahami QS.
3:104-105;
ٮٮل ـ ى أ نس ٱىإ ع إ إ س عإ ةٲىإ س
ؤإ س إ اى ٱىإ ع دإجف إ أ ن ذن ىإ
يذ إ إ (٤)ٱىإ ٮٮل ى ـ ى أ خ ـ ت ٱىإ ا جاء د ةعإ ذي ا ٱخإ قا د س ل دنا مٲىر ف (٥)عرااف عظ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (104) Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (105)"
Beliau menyebutkan bahwa perpecahan umat dapat terjadi karena umat
Islam meninggalkan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar.219 Menurut Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, jika semua orang berbuat atas kehendaknya masing-
masing, tanpa ada satu sistem hukum yang disepakati, maka tatanan sosial akan
menjadi tidak teratur dan menimbulkan perpecahan di antara umat. Maka dari itu,
wajib hukumnya untuk umat Islam melaksanakan hukum Allah yang
dikontekstualisasikan melalui amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar.220
Semua umat Islam sepakat bahwa amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar hukumnya adalah wajib, hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang apakah
kewajiban tersebut bersifat komunal (fard} al-kifa>yah) yang hanya cukup dilakukan
oleh sebagian orang, atau bersifat personal (fard} al-‘ain) yang menjadi kewajiban
217
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah,
(Riya>d}: Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 694. 218
Al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, 693. 219
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 25 220
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah,,
(Riya>d}: Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 693.
145
untuk setiap individu. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa
perbedaan pendapat tersebut terletak pada pemahaman atas kata (min) pada QS.
4:104, apakah bermakna li tab‘i>ḍ (menunjukkan sebagian) atau bukan. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa kewajiban amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar bersifat
komunal (fard} al-kifa>yah), termasuk pendapatnya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n.221
Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa hukum amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar adalah wajib bagi semua muslim dan bersifat komunal (al-kifa>yah), akan
tetapi dapat menjadi fard} al-‘ain (personal) jika tidak ada yang mampu
melakukannya.222
Dalam mengkontekstualisasikan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n merumuskan enam syarat yang harus dipenuhi;
pertama, seorang muslim yang hendak melaksanakan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar harus terlebih dahulu tahu tentang hukum syar‘i, yakni tentang apa yang
diperintahkan agama dan apa yang dilarang oleh agama. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n mengutip QS. 5:48; 17:36; 16:116) sebagai landasan untuk syarat
pertama ini. Kedua, seorang muslim harus tahu terlebih dahulu kondisi orang yang
menjadi objek amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar (ha>l al-ma'mu>r), apakah ia
tergolong orang yang mukallaf (yang dibebani hukum) atau bukan. Ketiga, seorang
muslim harus tahu terlebih dahulu kondisi orang yang menjadi objek amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar (ha>l al-ma'mu>r), apakah dia benar-benar telah melakukan hal
yang ma‘ru>f atau munkar. Tidak boleh seorang muslim memerintahkan hal ma‘ru>f dan melarang hal munkar atas dasar keraguan. Keempat, seorang muslim yang
hendak melaksanakan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar harus orang yang mampu
(qa>dir) atau memiliki kapasitas dan kapabilitas yang cukup, serta tidak boleh
membahayakan dirinya. Kelima, ketika melarang kemunkatan, tidak boleh
menimbulkan keburukan yang lebih besar dibandingkan ia mendiamkannya (an la> yataratab mafsadah a‘z}am min al-suku>t). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
menyebutkan empat kemungkinan sebagai konsekuensi dari nahy 'an al-munkar; (1) Menghilangkan kemunkaran tersebut, (2) Meminimalisir kemungkaran
tersebut, atau memperingan kemadharatan, (3) Menimbulkan kemaḍaratan yang
sama, (4) Menimbulkan kemaḍaratan yang lebih besar. Untuk kondisi 1 dan 2,
maka nahyi al-munkar wajib hukumnya untuk dilaksanakan, sedangkan untuk no 3
bersifat kondisional, dan untuk kondisi yang ke 4, nahyi al-munkar tidak boleh
dilakukan. Keenam, seorang muslim yang melaksanakan amr al-ma'rūf wa nahyi al-munkar harus terlebih dahulu melaksanakan apa yang diperintahkan agama dan
meninggalkan apa yang dilarang agama. Misalnya, seorang muslim yang tidak
221
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}:
Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 94; Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li 'Imra>n, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 12.
222 Mahmu>d bin ‘Abdillah al-Tuwayjiri> , al-Qaul al-Muharrar fi> al-Amr bi al-Ma‘ru>f
wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Riyaḍ: Muassasah al-Nu>r, t.th.), 86.
146
shalat tidak boleh menyuruh orang untuk melaksanakan shalat, hal ini berdasarkan
QS. 244.223
Jika melihat syarat-syarat yang dirumuskan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n, pelaksanaan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar bersifat kondisional
tergantung konteks yang ada, keilmuan yang cukup juga merupakan modal utama
dalam pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan bahwa konsep dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar yang difahami oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
bersifat fleksibel secara tekhnis dengan tanpa mengurangi urgensi dan kewajiban
bagi setiap umat Islam di berbagai elemennya, baik dengan hati, lisan, maupun
perbuatan, untuk menegakkan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar ini.
Kewajiban dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar sebagai media
pemersatu umat dan perbaikan moral-sosial masyarakat banyak ditekankan oleh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n di berbagai tempat dalam tulisannya. Sebagai
seorang aktifis dakwah, tentunya Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memiliki
cita-cita mulia untuk membangun masyarakat yang ideal. Menurut Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, masyarakat yang ideal dapat terwujud jika amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar ditegakkan. Sebaliknya, kebobrokan moral-sosial mayarakat
adalah sebab dari lemahnya implementasi amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar pada
masyarakat tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan al-Qur'a>n QS. 3:110,
إ ءا ى ةٲلل دئإ ڪس ٱىإ ع إ إ د س عإ ةٲىإ س
سجخإ ىياض دؤإ جب أخإ س أ إ إ خ مذ
عق ـ ٱىإ ثس أ إ ئإ ٱىإ إ ا ى سن إ خ ب ىنا ـ ڪذ و ٱىإ إ أ
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami ayat ini tentang superioritas
umat Islam dibandingkan kelompok lain. Ayat ini juga menjelaskan urgensi
(ahamiyyah) dan peran sentral dari amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar beserta
keimanan dalam membentuk masyarakat yang ideal. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa jika suatu umat ingin mendapatkan predikat khair ummah (umat terbaik), maka tegakkalah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar.224
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menjadikan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar sebagai barometer baik dan buruknya suatu umat, beliau menyebutkan;
أ اٱس ةاىعس اى ع اىنس ميا جد اٱج جد اى س ا، ميا ظعف "
ا ظعف اى س، ىرا ىا ماخ اٱج قج اٱس ةاىعس اى ع اىنس
ة ا ماخ اىت عي خس ا سا، ىا ظعف اٱس ةاىعس اى ع اىنس اح
." ر اىت اى س ةقدز ا ادا اٱس ةاىعس اى ع اىنس
223
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H), jil. 2, 330-336.
224Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li
‘Imra>n, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), jil. 2, 51-54.
147
"Jika amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar terdapat pada suatu umat, maka kebaikan pun akan ada pada umat tersebut, dan jika penegakkan amr al-ma‘rūf wa nahyi al-munkar lemah, maka seperti itu pula kadar kebaikan pada umat tersebut. Dengan demikian, kekuatan umat terletak pada amr al-ma‘rūf wa nahyi al-munkar, jika negara kita menegakkannya, maka kebaikan akan ada sesuai penegakkannya, dan jika negara kita lemah dalam menegakkan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar, maka negara kita akan banyak kehilangan sesuai kadar hilangnya amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dari negara ini."225
Signifikansi dari dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar adalah tegaknya
syariat Islam di muka bumi ini. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan
tiga tahapan yang harus ditempuh dalam melaksanakan misi suci agama ini;
tahapan pertama adalah al-da‘wah (seruan/ajakan), yaitu menyeru manusia kepada
Allah baik dengan pemberian harapan (targhi>b) maupun dengan ancaman (tarhi>b).
Dalam konteks ini, aktivitas dakwah dilakukan secara umum tanpa ditujukan
kepada orang atau kelompok tertentu. Kemudian tahapan yang kedua adalah al-amr wa al-nahy (perintah dan larangan), yakni memerintah kepada kebaikan dan
melarang keburukan kepada orang atau kelompok tertentu, namun hanya dilakukan
secara verbal tanpa dibarengi dengan tindakan. Dan tahapan yang ketiga adalah al-taghyi>r (merubah), yakni merubah kemunkaran yang ada pada masyarakat melalui
tindakan nyata.226
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyadari betul bahwa untuk
menegakkan syariat Islam sebagai misi suci agama ini memiliki konsekuensi yang
harus dihadapi, terutama pada tahapan ketiga (al-taghyi>r) dalam
mengkontekstualisasikan dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar melalui
tindakan yang nyata. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa
untuk tahapan ketiga ini tidak semua orang mampu dan dibebani kewajiban untuk
melakukannya, hanya orang yang mampu dan memiliki kapasitaslah yang
diwajibkan melakukan al-taghyi>r, misalnya seorang ayah terhadap keluarganya
karena kapasitasnya sebagai pemimpin keluarga, atau seorang pemimpin, tokoh
masyarakat, dan orang-orang yang memiliki pengaruh dan berkemampuan, karena
dalam pelaksanaannya terkadang sang da'i harus dihadapkan dengan hal-hal yang
tidak dinginkan yang dapat membahayakan dirinya.227
Konsekuensi dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar diisyaratkan oleh
Luqman ketika berwasiat kepada anaknya dalam QS. 31:17,
إ عصإ ذٳىل ا أصاةل ا تسإ عي ٱصإ نس ٱىإ ع إ ٱ س عإ سإ ةٲىإ
أإ ث ي ٱىص أق ت ـ
ز ٱٱإ
225
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah A<li ‘Imra>n,
(Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 53. 226
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}:
Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 708-709. 227
Al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, 709.
148
"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)."
Perintah untuk melaksanakan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar pada ayat
tersebut disertai dengan perintah bersabar. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
memahami susunan kalimat dalam ayat tersebut sebagai isyarat bahwa penegakkan
amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar memiliki konsekuensi tersendiri, baik itu
perlawanan, gangguan, bahkan bahaya bagi sang da‘i. Sehingga, dalam
mengkontekstualisasikan amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dibutuhkan kesabaran
dari seorang da'i, dan kesabaran tersebut memiliki nilai pahala di sisi Allah (QS.
11:49). Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan, "kulama> ishtadda al-adha> qaruba al-farj228 (tatkala godaan itu semakin kuat maka semakin dekatlah dengan
kebahagiaan."229
Berdasarkan keragaman tingkatan kemampun setiap individu dalam
melaksanakan dakwah amr al-ma‘ru>>f wa nahyi al-munkar dan berbagai
konsekuensi yang harus dihadapi oleh sang da‘i, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa implementasi dari konsep dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar, khususnya dalam upaya merubah kemunkaran (taghyi>r al-munkar), memiliki tiga tingkatan, tingkatan pertama adalah al-yad (tangan), yakni
melaksanakan dakwah amr al-ma‘ru>f wa nahyi al-munkar dengan tindakan yang
nyata, tingkatan ini memiliki resiko paling tinggi. Tingkatan kedua adalah al-lisa>n
(lidah), yakni menyeru manusia untuk menegakkan kebenaran dan meninggalkan
kemunkaran secara verbal. Dan tingkatan ketiga adalah al-qalb (hati), yakni
membenci kemunkaran dan tidak turut serta dalam kemunkaran tersebut.230
Dengan demikian, konseptualisasi dakwah amr ma‘ruf wa nahyi munkar memiliki
tingkatan atau bersifat fleksibel menyesuaikan kondisi sang da‘i dan medan
dakwahnya.
4. Jiha>d : Demi Tegaknya Kalimah Allah
Di bawah ideologi jihad, ekspansi dakwah Islam pernah mencapai prestasi
gemilang sehingga yang mampu menciptakan imperium terbesar dalam sejarah
peradaban Islam. Pada masa Bani ‘Umayyah (661-750 M), beberapa wilayah di
luar Jazirah Arab berhasil dikuasai oleh Mu‘awiyah, di antaranya adalah Tunisia,
kemudian di sana didirikan kota Qairawan yang salah satu pusat kebudayaan Islam.
Wilayah lain yang dikuasai Mu'awiyyah adalah Khurasan hingga Sungai Oxus, dan
Afghanistan sampai Kabul, kemudian wilayah Byzantium, Konstantinopel, juga
sampai ke Afrika Utara, bahkan pada generasi penerus Mu'awiyyah, imperium
228
Al-farj adalah ketengan dalam hati. Makna dari qaruba al-farj adalah yushrih Allah s}adrah wa yu'thi>h al-t}uma'ni>nah fi qalbih (Allah akan melapangkan dadanya dan
memberi ketenangan dalam hatinya). 229
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}:
Mada>r al-Wat}an, 1426 H), 705. 230
Al-‘Uthaimi>n, Sharh al-‘Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, 710.
149
Islam meluas hingga ke daratan Eropa, dimana salah satu panglima termasyhur
pada saat itu adalah T{āriq bin Ziya>d yang berhasil menyeberangi Selat Gibraltar
(Jabal T{ariq) dan mengalahkan tentara Raja Roderick dari Andalusia (Spanyol),
dan menguasai beberapa kota di Andalusia, seperti Toledo (ibu kota Andalusia),
Sevilla, Malaga, Elvira, dan Cordoba.231
Kegemilangan ekspansi dakwah Islam tidak hanya dicapai pada masa Bani
Umayyah saja. Pada masa Rasulallah, Islam yang mulanya merupakan kelompok
kecil sebagai masyarakat minoritas mampu menjadi negara yang besar, salah satu
prestasinya adalah fath Makkah. Dilanjutkan oleh penerusnya al-khulafa> al-ra>syidu>n, kemudian masa Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah hingga masa
‘Uthmaniyyah, yang berhasil memperluas Islam hingga keluar Jazirah Arab. Pada
priode Islam klasik dan pertengahan, kontekstualisasi jihad berhubungan erat
dengan otoritas religio-politik dunia Islam, para pemimpin yang dinobatkan
sebagai penerus Rasulallah, memiliki otoritas untuk memerintahkan umat Islam
berjihad melawan musuh-musuh Islam yang mengganggu kedamaian kaum muslim,
menghapuskan praktik-praktik yang menyimpang dalam agama, seperti
kemurtadan, kebid'ahan dan lainnya, hingga mengintruksikan untuk melakukan
jihad ofensif dengan tujuan memperluas kekuasaan Islam.232
Di sisi lain, wajah Islam juga harus torcoreng dengan konsepsi jihadnya yang
dipraktikkan oleh kelompok ekstremis Islam yang cenderung memaknai jihad
sebagai perang yang penuh dengan kekerasan. Interpretasi teks keagamaan yang
menjelaskan tentang konsepsi jihad dalam Islam merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan penyempitan makna (pejoratif) terhadap istilah jihad sebagai
peperangan semata. Secara sempit, ayat-ayat dan hadith tentang jihad terkadang
dianggap sebagai landasan skriptual yang melegitimasi kekerasan semata demi
tegaknya agama Islam. Polemik pemaknaan jihad ini kemudian ditanggapi dan
dinilai negatif oleh komunitas lain di luar Islam, yang menganggap jihad dalam
Islam adalah sesuatu yang tidak masuk akal, tidak terkendali, dan berkonotasi
perang.233
Nelson Pallmeyer dalam bukunya yang berjudul "Is Religion Killing Us?" menganggap bahwa intoleransi, kekerasan, dan peperangan dibenarkan dalam
Islam dan diperintahkan oleh Allah dan Muh}ammad, sehingga Pallmeyer
231
Wontgomery W Watt, The Majesty That Was Islam, dalam Zakiya Darajat,
"Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah Islam, Ijtihad, Vol.
16, No. 1 (2016), 9. 232
James Turner Johnson, The Holy War Idea in Western and Islamic Traditions, dalam Zakiya Darajat, "Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah
Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016), 12. 233
David Cook, Understanding Jihad, (Los Angeles: University of California Press,
2005), dalam Rif’at Husnul Ma’afi, "Konsep Jihad dalam Perspektif Islam",
Kalimah, Vol. 11, No. 1, (Maret 2013), 134.
150
mengkritik Islam tentang problematikanya yang terkait dengan kekerasan dalam
agama.234
Sebagian orientalis memahami terma jiha>d dengan makna kerja keras,
kesungguh-sungguhan, dan cenderung mengidentikkan dengan pembunuhan (qita>l), peperangan (harb), bahkan mengaitkannya dengan terorisme (irha>b). Edmund
Bosworth berkesimpulan bahwa selama lebih dari dua belas abad, aktivitas politik
muslim di wilayah Turki, Iran, Sudan, Ethiopia, Spanyol, dan India semuanya
berangkat dari seruan tentang jihad. Robin Wright bahkan menyebutkan bahwa
jihad dalam Islam adalah slogan bagi kaum muslim untuk menegakkan agama
tauhid dan mengislamkan dunia sebagai agama terakhir yang benar. Menurut
Robin Wright, selogan jihad sama dengan slogan Salib versi Islam.235
Tidak hanya
dari kalangan orientalis, sebagian sarjana muslim pun memahami istilah jihad
sebagai perang suci atas nama agama. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Salafi
Jihadis, di antara mentor kelompok ini adalah Hasan al-Banna, Sayyid Qut}b,
'Abdullah 'Azzam, dan Ayman al-Z{awahiri yang menolak konsepsi jihad sebagai
perjuangan melawan hawa nafsu yang dikenal dengan jiha>d akbar lebih penting
dari peperangan yang dikategorikan sebagai jiha>d as}ghar.236
Di dalam al-Qur'a>n, terma jihad dengan berbagai derivasinya disebutkan
sebanyak 42 kali,237
yang setidaknya terdapat empat, yaitu; qita>l (perang), hujjah
(berargumentasi), infak di jalan Allah dan bersungguh-sungguh dalam menolong
dan menjalankan syariat agama.238
Secara priodik, istilah jihad yang digunakan al-
Qur'a>n pada priode Makkah atau di masa awal Islam, lebih cenderung bermakna
234
Jack Nelson Pallmeyer, Is Religion Killing Us?, (New York: Continuum, 2003) ,
dalam Rif’at Husnul Ma’afi, "Konsep Jihad dalam Perspektif Islam", Kalimah, Vol. 11, No.
1, (Maret 2013), 135. 235
Zakiya Darajat, "Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam
Sejarah Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016), 3 236
Bagi kelompok ini, paradigma jihad sebagai perang melawan musuh termasuk
kategori jihad kecil (jiha>d as}ghar) sengaja diciptakan oleh para musuh Islam untuk
menciutkan semangat umat Muslimin dalam melawan musuh-musuh Islam. Al-Banna tetap
mengakui bahwa ada hal yang lebih berbahaya dari sekedar kampanye militer dan politik
dalam perjuangan jihad, yaitu budaya Barat. Pada tahun 1920-an al-Banna mengecam keras
ateisme dan hal-hal yang dianggap berbahaya bagi agama dan moral dengan dalih
kebebasan individu dan kebebasan intelektual. Pendiri al-Ikhwan al-Muslimun ini
menyerang Rupert Murdoch dan Barry Diller serta kaum westernis lainnya yang telah
mengimpor wanita setengah telanjang beserta dengan minuman keras, teater, tari-tarian,
novel, cerita, permainan tolol, dan sifat-sifat buruk lainnya ke negerinya. Lihat Benjamin R
Barber, Jihad vs McWorld, (New York: Ballantine Book, 1996), 210; Imam Samudera, Aku Melawan Teroris!, (Solo: Jazeera, 2004), 107-108; Zakiya Darajat, "Jihad Dinamis:
Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam Sejarah Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016), 4-5.
237 Lihat, Muh}ammad Fu‘a>d 'Abd al-Ba>qi>, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n
al-Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364), 182-183. 238
Abdul Fattah, "Memaknai Jihad dalam al-Qur'a>n dan Tinjauan Historis
Penggunaan Istilah Jihad dalam Islam, J-PAI, Vol. 3, No. 1 (Juli-Desember 2016), 68.
151
dakwah dan berdialog dengan orang-orang Quraish supaya Islam dapat diterima
dengan baik di kalangan mereka, juga bermakna kesungguhan diri dalam
mempertahankan keimanan. Pada priode Makkah, belum ada perintah untuk
berperang kepada umat Islam, sehingga pada priode ini umat Islam belum
mengenal istilah jihad dengan makna perintah berperang. Istilah jihad sebagai
perintah berperang baru muncul pada priode Madinah, tepatnya ketika Rasulallah
dan umat Islam hendak melakukan perang Badar. Pada dasarnya, jihad dalam artian
perang bertujuan untuk mempertahankan negara Islam dari ancaman dan serangan
orang-orang kafir juga untuk melindungi kebebasan dakwah.239
Asal kata dari istilah jihad adalah ja-ha-da. Al-juhdu/al-jahdu memiliki
makna al-t}a>qah wa al-was‘u (kemampuan), al-mashaqah (kesulitan), dan al-mubālaghah wa al-gha>yah (sampai kepada tujuan).
240 Al-Ra>ghib al-As}faha>ni>
mendefinisikan al-jiha>d wa al-muja>hadah sebagai totalitas diri dalam melawan
musuh (istifra>gh al-was‘i fi> muda>fa‘ah al-‘aduw). Al-As}faha>ni> menyebutkan tiga
bentuk jihad dalam melawan musuh; pertama, muja>hadah al-‘aduw al-z}a>hir (melawan musuh yang nampak). Kedua, muja>hadah al-shait}a>n (melawan setan).
Ketiga, muja>hadah al-nafs (melawan diri sendiri).241
Dalam pandangan Sayyid Sabiq, jihad merupakan perjuangan dengan
mencurahkan sepenuh tenaga dan segala upaya serta menanggung segala bentuk
konsekuensi dan kesulitan dalam memerangi musuh dan menahan agresi.242
Tidak
jauh beda dengan Sabiq, Wahbah al Zuhaili juga mendefinisikan jihad sebagai
bentuk perjuangan dalam memerangi orang kafir yang dilakukan dengan sepenuh
tenaga dan upaya baik dengan jiwa, harta dan lisan.243
Sedangkan Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan bahwa makna dari terma al-jiha>d adalah badhl al-juhd (mencurahkan kemampuan), yakni mencurahkan segala kemampuan untuk
mendapatkan atau mempertahankan suatu perkara. Secara terminologi syariat
Islam, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefinisikan istilah jihad; badhl al-juhd fi> qam'i a'da>i al-isla>m bi al-qita>l wa ghairih, litaku>n kalimah allah hiya al-‘ulya'> (mencurahkan segenap kemampuan untuk melawan atau menghancurkan
musuh-musuh Islam baik dengan perang atau dengan hal lainnya sehingga
tegaknya atau tingginya kalimah Allah).244
239
Abdul Fattah, "Memaknai Jihad dalam al-Qur'a>n dan Tinjauan Historis
Penggunaan Istilah Jihad dalam Islam, J-PAI, Vol. 3, No. 1 (Juli-Desember 2016), 84. 240
Lihat, Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008), 708. 241
Lihat, al-Ra>ghib al-As}faḥa>ni>, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-
Qalam, 2009), 208. 242
Sayyid Sabiq, dalam M. Coirun Nizar & Muhammad Aziz, "Kontekstualisasi
Jihad Perspektif Keindonesiaan", Ulul Albab, Vol. 16, No.1, (2015), 24. 243
Wahbah Juhaili, dalam M. Coirun Nizar & Muhammad Aziz, "Kontekstualisasi
Jihad Perspektif Keindonesiaan", Ulul Albab, Vol. 16, No.1, (2015), 24. 244
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-
Khairiyyah, 1436 H), 317.
152
Signifikansi jihad dalam syariat Islam adalah supaya tegaknya kalimah Allah
(i'la>'i kalimah Allah) di muka bumi. Jihad juga merupakan amalan terbaik yang
dicintai Allah (QS. 5:54). Mengingat pentingnnya eksistensi jihad dalam Islam,
amalan ini berhukum wajib menurut syari'at. Salah satu dalil yang mewajibkan
jihad dapat dilihat pada QS. 9:73,
صس ط ٱىإ ة إ إ ج ٮ
ؤإ إ إ يعإ عي ٱ إ ـ ق ٱىإ ڪ از د ٱىإ ـ ب ج ؤب ا ٱىت ـ
"Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya."
Ayat ini diulang dengan redaksi yang sama pada QS. 66:9. Ibn Qayyim
menyebutkan bahwa hukum jihad terhadap orang kafir dan munafik adalah fard} al-kifa>yah (kewajiban komunal), sehingga ketika sebagian dari umat telah
melakukannya, maka kewajiban telah gugur bagi yang lainnya.245
Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memahami ayat ini sebagai dalil akan wajibnya jihad bagi umat
Islam. Terma ja>hid pada ayat di atas adalah kata perintah (fi'il amr), Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n memahami kata ja>hid tersebut sebagai perintah untuk
mencurahkan segenap kekuatan dan kemampuan untuk melawan dan memerangi
musuh-musuh Islam. Tidak hanya memerangi, dalam ayat tersebut, Nabi juga
diperintahkan untuk tidak bersikap lemah lembut kepada dua komunitas; kuffa>r dan Munafiqi>n sebagai kelompok yang memusuhi Islam. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
'Uthaimi>n menafsirkan kuffa>r dalam ayat tersebut sebagai musuh Islam yang
secara terang-terangan memerangi dan menampakkan kekufurannya. Sedangkan al-muna>fiqu>n (orang-orang munafik) adalah musuh Islam yang menyembunyikan
permusuhan mereka di dalam hatinya sementara perbuatan mereka cenderung
melakukan tipu daya dan makar terhadap Islam. Bagi orang-orang kafir, jihad yang
dilakukan adalah dengan tindakan nyata atau berupa fisik hingga mengangkat
senjata (bi al-sila>h} al-ma>di>), sedangkan terhadap orang-orang munafik, jihad yang
dilakukan adalah berupa hujjah (berargumentasi) dan al-burha>n (menunjukkan
bukti kebenaran) yang disebut oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n sebagai
yuja>hidu>na bi al-sila>h} al-ma‘nawi> (memerangi mereka dengan senjata secara
maknawi).246
Mengutip dari Ibn ‘Abba>s, al-Mara>ghi> dalam tafsirnya membedakan
konseptualisasi jihad terhadap orang kafir dan orang munafik. Bagi orang-orang
kafir, jihad dilakukan dengan pedang (jiha>d al-kuffa>r bi al-saif), sedangkan
terhadap orang munafik, jihad dilakukan secara verbal dengan lisan (jiha>d al-muna>fiqi>n bi al-lisa>n), yakni bi al-hujjah wa al-burha>n (dengan argumentasi dan
245
Lihat, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Ma‘a>d fi> Hady Khair al-‘Iba>d, (Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, 2009), 334. 246
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-
Khairiyyah, 1436 H), 319-320.
153
bukti kebenaran).247
Sedangkan menurut Quraish Shihab, jihad dengan memerangi
orang kafir adalah tahapan akhir ketika mereka menolak seruan dakwah Islam dan
berlanjut kepada ancaman dan gangguan terhadap Islam. Bagi Quraish Shihab,
alasan jihad terhadap kelompok kafir dan munafik adalah karena dua komunitas ini
sering mencemari lingkungan baik dengan ide maupun kelakuan mereka. Perintah
jihad kepada Rasul yang harus diteladani oleh umat Islam dalam ayat tersebut
merupakan perintah dakwah, baik dengan hati, lisan, harta, jiwa dan segala yang
dimiliki, untuk meluruskan kekeliruan mereka sehingga menjadi orang yang shalih
dan beriman kepada Allah. Dengan demikian, jihad dalam artian perang merupakan
tahap akhir ketika dakwah secara verbal tidak diterima oleh orang-orang kafir,
bahkan berbalik mengancam dan mengganggu orang Islam.248
Perintah memerangi orang-orang kafir sebagai bentuk jihad diungkapkan
juga dalam QS. 9: 123,
ي ٱلل ا أ ي ٱعإ ظجن إ يإ جدا ن ىإ ڪ از ٱىإ ين ذيا ٱىر ـ ا ق ءا ؤب ا ٱىر ـ
ذق ٱىإ
"Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa."
Pada ayat di atas, terma jihad tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil
akan kewajibannya jihad memerangai orang kafir, di mulai dari orang-orang kafir
yang terdekat yang ada di sekitar kamu, hingga tegakknya agama Allah dan
hilangnya fitnah di muka bumi (QS. 8:39).249
Selain QS. 9:73 dan 123, Muh}ammad
bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n juga mengutip QS. 4:104; 8:60; dan 47:35-38 sebagai
landasan argumentasinya tentang kewajiban jihad dalam bentuk memerangi orang
kafir.250
Jika melihat tema jihad yang diwacanakan oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n dalam kitabnya al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, dalam sub judulnya tentang ayat-ayat jihad (Min Āya>t al-Jiha>d), istilah
jihad lebih cenderung bermakna perang, bahkan hampir tidak ditemukan pengertian
jihad selain sebagai perlawanan atau penyerangan terhadap orang-orang kafir.251
247
Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, (Mesir: Mus}t}afa> al-Babi> al-
H{alabi>, 1946), Jil. 10, hal. 163. 248
M. Quraish Shihab, Tafsi>r Al-Mis}ba>h, (Ciputat: Lentera Hati, 2009), Vol. XIV,
hal. 182-183. 249
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-
Khairiyyah, 1436 H), 321-322. 250
Al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, 317-332. 251
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan jihad kemudian ia membaginya dalam tiga bahasan; 1. Ayat-ayat tentang kewajiban
berjihad; 2. Ayat-ayat tentang etika yang harus dilakukan oleh pasukan perang dan hukum
154
Sepintas Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimin> terlihat melakukan penyempitan
makna (pejoratif) terhadap istilah jihad yang hanya dimaknai sebagai perlawanan
dan penyerangan terhadap musuh-musuh Allah, serta hanya mengalamatkan
kepada konteks Islam pada priode awal dalam dimensi konflik-politik dengan
komunitas lain. Namun dalam tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, ketika menafsirkan QS.
29:69,
ع ذإ ي ٱىإ ى ٱلل ا إ ظتيا د دا ا ى إ ـ ج ٱىر
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mendefinisikan jihad dalam konteks ayat
ini sebagai kesungguhan untuk sampai pada tujuan (badhl al-juhd li al-wus}u>l al-gha>yah).
252 Hal ini berbeda dengan definisi Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
sebelumnya; badhl al-juhd fi> qam‘i a‘da>i al-isla>m bi al-qita>l wa ghairih, litaku>n kalimah allah hiya al-‘ulya> (mencurahkan segenap kemampuan untuk melawan
atau menghancurkan musuh-musuh Islam baik dengan perang atau dengan hal
lainnya sehingga tegaknya atau tingginya kalimah Allah).253
Dalam pandangan
penulis, dua definisi ini memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Persamaan
keduanya terletak pada signifikansi jihad dengan tujuan menegakkan kalimah
Allah (li i‘la>i kalima allah), sedangkan perbedaannya terletak pada cakupan istilah
jihad, yang mana hal tersebut tentunya berimplikasi pada ranah konseptualisasinya.
Dalam memahami QS. 29:69, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n
memperluas cakupan jihad dari hanya sekedar melawan dan memerangi orang kafir
kepada makna yang lebih luas. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya terhadap
kalimat fi>na (untuk/dalam Kami) sebagai destinasi akhir (gha>yah) dari aktivitas
jihad. Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n menyebutkan makna dari kalimat fi>na
mencakup tentang berjihad dalam konteks menegakkan agama Allah, tentang
mencintai segala sesuatu yang dicintai Allah, tentang menjelaskan syariat Allah,
tentang mengerjakan amr al-ma‘ru>f wa al-nahy 'an al-munkar, tentang menjaga diri
dari segala yang diharamkan dan tentang melaksanakan segala yang diperintahkan,
juga termasuk tentang perang menghadapi orang-orang kafir. Muh}ammad bin S{a>li>h}
ghanimah; 3. Ayat-ayat tentang perlindungan (al-ama>n), perjanjian (al-‘ahd) dan tentang
denda/pajak (dzimmah). Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1436 H), 317-361. 252
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 413.
253 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, al-Ilma>m bi Ba‘d} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran
wa Istinba>t}an, (Qas}i>m: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-
Khairiyyah, 1436 H), 317.
155
al-‘Uthaimi>n menegaskan bahwa semua itu termasuk dalam pengertian jihad.254
Yusuf al-Qard}a>wi> bahkan tidak memasukan perang (qita>l) sebagai bagian dari
pengertian jihad dalam ayat ini, al-Qard}a>wi> jihad pada ayat ini adalah jihad
maknawi (al-jiha>d al-ma‘nawi>) yang hanya mencakup jihad melawan hawa nafsu
dan setan.255
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengklasifikasikan jihad ke dalam dua
kategori; jiha>d harb dan jiha>d nafs.256
Pembagian jihad ini sama dengan yang
disebutkan dalam Tafsi>r al-Jalalain dalam penafsirannya terhadap QS. 29:6,
ي ـ ع ٱىإ ى ع ىغ ٱلل ۥۦ ا ع د ى إ ـ ا ج د ب ـ ج
"Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."
د ") ـ ج "جا دسا أ ط (
"(wa man ja>hada), yaitu jihad dalam artian perang dan jihad melawan hawa nafsu/diri sendiri."
Jihad harb (jihad perang) adalah jihad melawan musuh Islam, sedangkan
jihad nafs (jihad diri) adalah kesunguh-sunguhan seseorang dalam melaksanakan
ketaatan kepada Allah dan meninggalkan segala yang diharamkan. Jihad dalam QS.
29:6 dimaknai oleh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n sebagai kesungguhan
mencurahkan seluruh kemampuan terhadap suatu perkara (badhl al-juhd fi> al-shai-i), atau kesungguhan untuk menggapai perkara yang sulit (badhl al-juhd li idra>k amr sa>q). Manusia akan menemui kesulitan dalam setiap perjuangannya, maka
dibutuhkan kesabaran dan kesungguhan dalam menghadapinya. Kesungguh-
sungguhan itulah yang dimaksud dengan jihad, yang mana dampak atau manfaat
daru kesunguh-sungguhan tersebut akan kembali ke pelakunya bukan untuk Allah,
karena sejatinya Allah Maha Kaya dan tidak butuh diperjuangkan oleh manusia.258
Berkaitan dengan pengklasifikasian jihad, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n sependapat bahkan mengikuti Ibn Qayyim yang menyebutkan bahwa
jihad memiliki empat tingkatan, yaitu; jiha>d al-nafs (jihad terhadap diri sendiri),
jiha>d al-shait}a>n (jihad terhadap setan), jiha>d al-kuffa>r (jihad terhadap orang kafir),
dan jiha>d al-muna>fiqi>n (jihad terhadap orang munafik). Empat tingkatan jihad ini
dijabarkan oleh Ibn Qayyim ke dalam tiga belas tingkatan jihad. Tingkatan dari
254
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 413.
255 Yusuf al-Qardha>wi>, Fiqh al-Jiha>d, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009), 148.
256 Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-
‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 26. 257
Maksud dari kalimat ( د ـ ج ) adalah jiha>d harb (jihad perang) atau jiha>d nafs
(jihad diri). Lihat, Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Tafsi>r al-Jala>lain al-Muyassar, (Beirut: Maktabah Lubna>n, 2003), 396.
258 Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, Su>rah al-
‘Ankabu>t, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1435 H/2014 M), 26-27.
156
jiha>d nafs adalah; (1) berjihad dalam mempelajari kebenaran, (2) berjihad dalam
mengamalkan apa yang dipelajari, (3) berjihad dalam berdakwah dan mengajarkan
apa yang telah dipelajari, (4) berjihad dengan penuh kesabaran dalam menghadapi
godaan dan kesulitan dalam perjuangannya. Kemudian tingkatan dari jiha>d al-shait}a>n adalah; (1) berjihad dalam menahan dari segala bentuk shubhat dan
keraguan, (2) berjihad dalam menahan keinginan buruk dan hawa nafsu. Adapun
untuk jiha>d al-kuffa>r dan jiha>d al-muna>fiqi>n, memiliki tingkatan yang sama, yaitu;
(1) bi al-qalb (dengan hati), (2) bi al-lisa>n (dengan lisan), (3) bi al-ma>l (dengan
harta), (4) bi al-yad (dengan tangan). Jihad dengan tangan dikhususkan untuk
berjihad melawan orang kafir, sedangkan untuk orang munafik, jihad dilakukan
hanya secara verbal dengan lisan. Kemudian, tingkatan jihad lainnya adalah jiha>d arba>b al-z}ulm wa al-bid‘i wa al-munkara>t (jihad terhadap orang-orang z}alim,
pelaku bid‘ah dan kemunkaran). Jihad ini memiliki tiga tingkatan; (1) bi al-yad
(dengan tangan), jika mampu melakukannya, (2) bi al-lisa>n (dengan lisan), ketika
tidak mampu dengan tangan, (3) bi al-qalb (dengan hati), ketika tangan dan lisan
tidak mampu untuk melawan kez}aliman, kebid'ahan dan kemunkaran.259
Klasifikasi yang bertingkat dalam pembagian jihad ini menunjukkan
keluasan cakupan jihad yang tidak hanya berfokus pada perang saja. Sehingga,
dalam ranah konseptualisasinya, jihad merupakan upaya sekuat tenaga dalam
perbaikan moral baik personal maupun kelompok, pencarian dan penyampaian
kebenaran, pengendalian diri, hingga pertahanan, perlawanan, dan penyerangan
terhadap musuh Islam. Semua bentuk dan tingkatan jihad dilakukan harus
bedasarkan iman dan sebagai media dakwah yang bertujuan untuk tegaknya
kalimah Allah.
Berdasarkan pemaparan di atas, aplikasi penafsiran Muh}ammad bin S{a>li>h} al-
‘Uthaimi>n terkait tema-tema teologis dan sosial agama, menunjukkan bahwa
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n memahami hakikat iman dan Islam sebagai
gabungan dari unsur keyakinan (ba>t}in) dan amal (z}a>hir), pemahaman ini
berimplikasi terhadap pemberian identitas untuk kelompok sendiri yang disebut
dengan mu'mi>n dan muslim, yaitu orang-orang yang tidak hanya meyakini Allah
sebagai tuhan tapi harus melaksanakan semua rangkaian ajarannya baik yang
bersifat ritual maupun sosial. Kemudian, dalam memandang kelompok lain,
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mengkelompokkan musyrik dan ahl kitab
sebagai sebagai orang kafir atau komunitas di luar Islam yang memiliki sejarah
konflik dengan umat Islam, sehingga Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n kerap
mencurigai mereka sebagai komunitas yang akan mengancam eksistensi Islam.
Dalam konsep al-wala>' wa al-bara>', Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n mewajibkan
umat Islam untuk loyal kepada Allah, rasul-Nya dan orang-orang mukmin, serta
dianjurkan untuk menjauhi, membenci, bahkan dalam kondisi tertentu
diperbolehkan untuk memeranginya atas nama agama. Namun demikian,
259
Lihat, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, Mukhta>r min Za>d al-Ma‘a>d fi> Hady Khair al-‘Iba>d, (Riyaḍ: Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n al-
Khairiyyah, 1433 H), 115-116; Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Za>d al-Ma‘a>d fi> Hady Khair al-‘Iba>d, (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2009), 333.
157
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tidak sepenuhnya menegasikan nilai-nilai
toleransi dalam agama, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n tetap menganjurkan
bahkan mewajibkan umat Islam untuk melakukan kebaikan dan berlaku adil
sekalipun pada komunitas lain. Adapun terkait konsep dakwah Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n, berdasarkan konsepsinya tentang amr al-ma‘ru>f wa al-nahy al-munkar dan jiha>>d, Muh}ammad bin S{a>li>h} al-‘Uthaimi>n lebih luas dalam memahami
dua konsep dakwah tersebut, pada keduanya terdapat tahapan dan tingkatan
masing-masing yang memiliki konsekuensi tersendiri.
158
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa konsep
keberagamaan Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, ditinjau dari tiga tipologi
keberagamaan; eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, adalah eksklusivisme.
Paradigma eksklusif Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n merupakan implikasi dari
metode penafsirannya yang bersifat tektualis-literalis terhadap teks-teks
keagamaan dan romantisme pada ortodoksi tafsir tradisional yang diyakini oleh
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n sebagai model penafsiran yang terbaik.
Kemudian, dari paradigma tafsir eksklusif tersebut berimplikasi terhadap
pembentukan kontruksi sosial-agama Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n yang juga
eksklusif.
Dalam ranah teologis, eksklusivisme dalam beragama merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak mungkin dihilangkan, unsur inilah yang mempererat
hubungan simbolis antara penganut dan agamanya. Sejatinya, eksklusivisme dalam
beragama tidak selalu berujung pada ekstrimisme-terorisme, dan tidak menafikan
sepenuhnya nilai-nilai toleransi. Sebab, pada dasarnya agama mengajarkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ketika nilai-nilai positif dalam agama
tersebut dipegang erat secara eksklusif, maka akan memunculkan konsep
keberagamaan yang humanis. Akan tetapi, ketika eksklusivisme tersebut ditunjang
dengan "penyelewengan" agama, baik yang bernuansa politis-pragmatis atau
penafsiran teks-teks keagamaan yang kurang tepat, maka sangat memungkinkan
eksklusivisme tersebut akan menjelma sebagai sikap keberagamaan yang tidak
humanis.
Eksklusivisme dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n ditunjukkan
dengan klaim teologisnya terhadap agama Islam sebagai satu-satunya agama yang
benar dan klaim keselamatan hanya ada dalam ajaran Islam. Sedangkan pada ranah
sosial, dapat dilihat dari konsepsinya tentang al-wala>' wa al-bara>', yang
memandang bahwa loyalitas (al-wala>') umat Islam hanya boleh dan harus
dilakukan untuk Allah, Rasul dan komunitas seiman. Sedangkan untuk komunitas
lain di luar Islam, Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n menganggapnya sebagai
kelompok yang harus dijauhi, dibenci, bahkan dalam kondisi tertentu, mereka
boleh diperangi atas dasar agama. Dalam mengkonseptualisasikan al-bara>'
(penolakan) terhadap komunitas lain, paradigma Muh}ammad bin S{a>lih} al-
‘Uthaimi>n didasari atas fakta historis yang menunjukkan adanya konfrontasi antara
umat Islam dan komunitas lain, sehingga pandangan Muh}ammad bin S{a>lih} al-
159
‘Uthaimi>n terhadap komunitas lain kerap dipenuhi dengan kecurigaan. Selain itu,
banyaknya ayat-ayat yang menjelaskan tetang eksistensi orang-orang kafir dan
kemestian bersikap terhadap mereka, difahami secara literal oleh Muh}ammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n serta digunakan untuk melegitimasi kebencian terhadap
komunitas lain atas nama agama.
Dalam konsep keberagamaan Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n terkait
sosial-relasional, sebenarnya ia tidak sepenuhnya menegasikan nilai-nilai toleransi
dalam beragama, ia tetap meyakini bahwa agama Islam mengajarkan dan
menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Hanya saja, toleransi yang dikonsepsikan
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n berlaku pada ranah sosial-personal (mu‘a>malah
al-shakhsiyyah) saja dan tidak berlaku pada ranah teologis-ritual (‘aqi>dah-‘iba>dah),
dengan batasan tidak menyerupai kekhasan dari kelompok lain (tashabuh) dan
tidak menjurus apalagi berada pada ranah teologis, seperti mengakui kebenaran
agama lain atau ikut serta dalam tradisi agama lain. Muh}ammad bin S{a>lih} al-
‘Uthaimi>n menganjurkan, bahkan mengharuskan umat Islam untuk berbuat baik
dan adil sekalipun terhadap komunitas lain, dan mengharamkan memerangi mereka
selama tidak ada ancaman dan serangan dari komunitas tersebut. Keberagamaan
Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n dapat dikatakan toleran sekaligus intoleran.
Hal ini sangat bergantung kepada konsepsi dan batasan dari toleransi tersebut. Jika
toleransi yang dikonsepsikan adalah mengakui kebenaran agama lain,
mengapresiasi, dan turut serta dalam tradisi-tradisi agama lain, maka beliau tidak
toleran. Akan tetapi, jika toleransi yang dikonsepsikan adalah sebatas bersosial
dengan baik dan berlaku adil terhadap komunitas lain sebagai perwujudan nilai-
nilai kemanusiaan tanpa adanya penggadaian ideologis, maka Muh}ammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n adalah agamawan yang toleran.
B. Saran Penelitian
Mengingat luasnya Ilmu dan keterbatasan penulis, penelitian ini masih jauh
dari kata sempurna, serta belum memberikan gambaran yang mendalam dan
komprehensif terkait konsep keberagamaan, khusunya dalam tafsi>r Muh}ammad bin
S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, sehingga masih diperlukan penelitian lain sebagai lanjutan,
guna mengembangkan dan melengkapi tema pembahasan dari penelitian ini. Maka
dari itu, penulis mengajukan beberapa saran penelitian bagi para peminat kajian
Islam, antara lain sebagai berikut:
1. Kajian sosial-agama memiliki signifikansi yang cukup sentral dalam
pembentukan ko-eksistensi, sehingga dalam kajian sosial-agama ini
dibutuhkan kehati-hatian dan kebijaksanaan, sehingga tidak ada bagian dari
agama manapun yang merasa dirugikan.
160
2. Batasan-batasan sosial-relasional dalam agama-agama perlu dikaji dan
sosialisasikan melalui dialog antar agama untuk sama-sama berkomitmen
memberikan jaminan, baik dalam ranah teologis maupun sosial.
3. Titik temu dan perbedaan konsepsi toleransi antara kelompok eksklusifis-
inklusifis-pluralis perlu dikaji lebih dalam untuk menghasilkan satu konsepsi
yang disepakati.
4. Dimensi lain dalam tafsir Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n, seperti fikih,
bahasa, sosial-ekonomi, sosial-politik dan lainnya yang belum terbahas dalam
penelitian ini perlu dikaji untuk memberikan gambaran utuh dan menyeluruh
tentang konsep keberagamaan Muh}ammad bin S{a>lih} al-‘Uthaimi>n.
161
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Artikel
Abidin, Zain. "Islam Inklusif: Telaah Atas Doktrin dan Sejarah", Humaniora, Vol.4
No.2 (Oktober, 2013), 1273-1291.
Abu Haif. "Perkembangan Islam di Arab Saudi (Studi Sejarah Islam Modern)",
Jurnal Rihla, Vol 1, No. 1, (Oktober: 2015).
Afandi, Irfan. "Mu'min, Kafir dan Munafiq: Politik Identitas Kewargaan di Awal
Islam (Kajian Tentang QS. al-Baqarah : 1-20)", Jurnal Darussalam, Vol.
IX, No 1, (September 2017).
Amalia, Siti. "Hakekat Agama Dalam Perspektif Filsafat Perenial", Indonesian
Journal of Islamic Theology and Philosophy, Vol. 1, No. 1 (2019).
Amin, Faizal. "Metode Tafsīr Tahlīlī: Cara Menjelaskan al-Qur'ān dari Berbagai
Segi Berdasarkan Susunan Ayat", Kalam, Vol. 11, No. 1, 235-266,
(Juni,2017).
Anam, Haikal Fadhil. "Konsep Kafir dalam Alquran: Studi Atas Penafsiran Asghar
Ali Engineer", Nalar, Vol. 2, No. 2, (Desember 2018).
Anggraeni, Dewi. "Agama Pra-Islam Perspektif Al-Qur’an", Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 12, No. 1, (2016).
Anshari, Zainal & Zainuddin, "Pandangan Terhadap Ahl Al Kitab: Kontroversi
Tanpa Akhir", Fenomena, Vol. 16 No. 2 (Oktober 2017).
Arkoun, Moḥammad. "Pemikiran tentang Wahyu dari Ahl Kitab sampai
Masyarakat Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, Vol 4 (Jakarta: LSAF, 1993).
Aysha Hidayatullah, "Review of Adis Duderija, Constructing a Religiously Ideal
'Believer' and 'Woman' in Islam: Neo-traditional Salafi and Progressive
Muslims’ Methods of Interpretation", Palgrave, (New York: 2011),
Bader, Veit. "Religious Diversity and Democratic Institutional Pluralism" Political
Theory, Vol. 31, No. 2 (Apr., 2003).
Bakar, Abu. "Argumen al-Qur’an tentang Eklusivisme, Inklusivisme dan
Pluralisme", Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8, No. 1,
(Januari – Juni 2016).
Bentley, Robert J. "The Challenge of Pluralism", The Journal of Negro Education,
Vol. 40, No. 4 (Autumn, 1971).
162
Bin Ali, Mohamed. "Defining the 'Enemies' of God: Muslim Extremists Perception
of the Religious Other", Journal of Islamic Studies and Culture, Vol. 6,
No. 1, (June 2018).
-----------, "Forging Muslim and Non-Muslim Relationship: Contesting the
Doctrine of Al-Wala’ wal Bara’", Rsis, No. 251, (19 November 2015).
Casram, "Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural",
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya Vol. 1, No. 2, (Juli
2016).
Darajat, Zakiya. "Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad dalam
Sejarah Islam, Ijtihad, Vol. 16, No. 1 (2016).
Darmawan, Dadang, "Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir", Refleksi, Vol. 13, No. 2
(April, 2012).
D‘Costa, Gavin. ‚The Impossibility of a Pluralist View of Religions‛ Religious
Studies, Vol. 32, No. 2 (Cambridge University Press, Juni, 1996).
Duderija. Adis, "Neo-Traditional Salafi Qur’an-Sunna Hermeneutics and Its
Interpretational Implications", Religion Compass 5/7 (2011) : 314–325.
-----------, "Islamic Groups and their World-views and Identities: Neo-Traditional
Salafis and Progressive Muslims", Arab Law Quarterly 21 (2007).
-----------, "Neo-Traditional Salafi Qur'ān-Sunnah Hermeneutic and The
Contruction Of A Normative Muslimah Image", Hawwa, (Koninklijke
Brill NV, Leiden, 2007).
Dzakie, Fatonah. "Meluruskan Pemahaman Pluralisme dan Pluralisme Agama di
Indonesia", Al-Adyan, vol. IX, no. 1 (Januari-Juni, 2014).
Fata, Ahmad Khoirul, "Diskursus dan Kritik Terhadap Teologi Pluralisme Agama
di Indonesia", Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni: 2018).
-----------, "Kritik "INSISTS" Terhadap Gagasan Pluralisme Agama", Kalam,
Volume 11, Nomor 1, (Juni 2017).
-----------, "Menguak Islam Eksklusif yang Toleran", Islamica, Vol. 6, No. 1,
(September 2011).
Fattah, Abdul. "Memaknai Jihad dalam al-Qur'ān dan Tinjauan Historis
Penggunaan Istilah Jihad dalam Islam, J-PAI, Vol. 3, No. 1 (Juli-
Desember 2016).
Faturrahman, Oman. "Sejarah Pengkafiran dan Marginalisasi Paham Keagamaan di
Melayu dan Jawa (Sebuah Telaah Sumber)," Analisis II. No 2 (2011).
163
Geilsdorf, Sabine Damir- Mira Menzfeld and Yasmina Hedider, "Interpretations of
al-Walā’ wa al-Barā’ in Everyday Lives of Salafis in Germany",
Religions, 10, 124, (January, 2019).
Haq, Muhammad Zia-Ul- " Religious Diversity: An Islamic Perspective", Islamic
Studies, Vol. 49, No. 4 (Winter 2010).
Hick, John. "On Grading Religions", Religious Studies, Vol. 17, No. 4, (Cambridge
University Press: 1981).
Husaini, Adib. "Kontradiksi dalam Konsep politik Islam Eksklusif Sayyid Quṭb",
Episteme, Vol. 11, No. 1, (Juni, 2016).
Ja'far, Suhermanto. "Absolutisme Agama, Ideologi dan Upaya Titik Temu, Al-Afkar, Edisi III (Juli-Desember 2000).
Lukman, Fadli. ‚Konsep Self-Referentiality Al-Qur’a>n‛, Jurnal Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan Hadis Vol. 12, No. 2, (Juli 2011).
Ma’afi, Rif’at Husnul. "Konsep Jihad dalam Perspektif Islam", Kalimah, Vol. 11,
No. 1, (Maret 2013).
Mahfudz, Muhsin. "Implikasi Pemahaman Tafsir Al-Qur'an Terhadap Sikap
Keberagamaan", Tafsere, Volume 4 Nomor 2 Tahun (2016).
Ma'mun, Syukron, "Pluralisme Agama dan Toleransi dalam Islam Perspektif Yusuf
Qardhawi", Humaniora, vol. 4, no. 2, (Oktober 2013).
Masykur, Said. "Pluralisme Dalam Konteks Studi Agama-Agama", Toleransi, Vol.
8, No. 1, (Januari – Juni 2016).
Matondang, Husnel Anwar. "Konsep al-Iman dan al-Islam: Analisis Terhadap
Pemikiran al-'Izz ibn 'Abd al-Salam (577-660 H. atau 1181-1262 M)",
Analytica Islamica, Vol. 4, No. 1, (2015).
Mawardi, "Subjektivitas dalam Penafsiran al-Qur'an: Fenomena Tafsir Bercorak
Sektarian", At-Tibyan, Vol. 3, No. 1, (Juni, 2018).
Meeker, Kevin. "Pluralism, exclusivism, and the theoretical virtues", Religious
Studies, Cambridge University Press, Vol. 42, No. 2 (Jun., 2006).
Morris, Paul. "The Limits of Pluralism", A Journal for the New Europe, Vol. 19/20,
Vol. 19, no. 2/Vol.20, no. 1 (Winter 1985/Summer 1986).
MS, Abu Bakar. "Argumen al-Qur'an Tentang Eksklusivisme, Inklusivisme dan
Pluralisme", Toleransi, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016).
Moko, Catur Widiat. "Pluralisme Agama Menurut Nurcholis Madjid (1939-2005)
Dalam Konteks Keindonesiaan", Medina-Te, Vol.16, NO.1, (Juni 2017 ).
164
Murphy, Séamus. "Cultures, Pluralism, and Religious Faith", Studies: An Irish
Quarterly Review, Vol. 92, No. 365 (2003).
Muslim, Abu. "Reinterpretasi Konsep Islam dan Iman dalam al-Qur'ān (Telaah
Pemikiran Muhammad Shahrūr)", Dialogia, Vol. 15, No. 1, (Juni 2017).
Nizar, M. Coirun & Muhammad Aziz, "Kontekstualisasi Jihad Perspektif
Keindonesiaan", Ulul Albab, Vol. 16, No.1, (2015).
Nurhadi, Rofiq. dkk. "Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian
Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama",
Kawistara, Vol. 3, No. 1, (21 April 2013).
Putra, Andi Eka. "Islam Toleran: Membangun Toleransi dengan Jalan Spiritual",
Kalam, Vol. 10, No. 2, (Desember 2016).
Qodir. Zuly, "Membangun Pendidikan Inklusif-Pluralis: Pengalaman Islam",
Orientasi Baru, Vol. 17, No. 1, (April, 2008) : 63-78.
Rahman, M. Syaiful. "Islam dan Pluralisme", Fikrah, Vol. 2, No. 1, (Juni 2014).
Ramadhani, Wali. "Amin Al-Khuli dan Metode Tafsir Sastrawi Atas Alquran".
At-Tibyan Vol. II No.1 (Januari–Juni 2017).
Ridder, Jeroen De. "Religious exclusivism unlimited", Religious Studies, Vol. 47,
No. 4, Cambridge University Press, (December, 2011).
Romdhoni, Ali. Al-Qur'ān dan Literasi, Sejarah Rancang-Bangun Ilmu-ilmu
Keislaman, cet. II, (Depok: Literatur Nusantara, Agustus, 2015).
Rosadi, Aden. "Gerakan Salaf," Toleransi, Vol.7, No.2 (Juli-Desember 2015).
Ruslan, Idrus. "Etika Islam dan Semangat Pluralisme Agama di Era Global", al-
Adyan Vol. V, No. 1 / (Januari-Juni/2010).
Saeed, Abdullah. "Some reflections on the Contextualist approach to ethico-legal
texts of the Quran", Bulletin of the School of Oriental and African
Studies, , Vol.71, No. 2, (University of London, 2008).
Saepudin, Dindin Moh, Dkk. "Iman dan Amal Saleh dalam al-Qur'ān; (Studi Kajian
Semantik)", al-Bayan, No. 1, Vol. 2, (Juni 2017).
Sanaky, Hujair A. H. "Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna dan Corak Mufassirin), Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008).
Saragih, Erman S. "Soteriologi Hyergrace dalam Persektif Teologi Martin Luther
dan Al-Kitab", Cultivation, Vol. 1, No. 2, (Desember 2017).
165
Scott, Rachael M. ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the Qur’ān:
Readings of 4:34‛ The Muslim World 99, (2009).
Setiawan, David Eko. "Konsep Keselamatan Dalam Universalisme Ditinjau Dari
Soteriologi Kristen: Suatu Refleksi Pastoral", Fidei, Vol.1 No.2
(Desember 2018).
Siddiqi, Muzammil H. "Salvation in Islamic Perspective", Islamic Studies, Vol. 32,
No. 1 (1993).
Sirry, Mun'im. "Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme Dalam
Beragama", Geotimes, (20 Mei 2016).
----------, "Memahami Kritik al-Qur’a>n terhadap Agama Lain", Journal of Qur’a>n
and Hadi>th Studies, Vol. 3, No. 1, (2014).
Sulistio, Thio Christian. "Teologi Pluralisme Agama John Hick: Sebiah Dialog
Kritis Dari Perspektif Partikularis", Veritas (April 2001).
Sumbulah, Umi. "Islam dan Ahl al-Kitāb: Kajian Living Sunnah di Kalangan
Pimpinan NU, Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Malang Al-Tahrir, Vol.
11, No. 1 (Mei 2011).
Sya’roni, Syamsani. "Perdebatan Seputar Ahl al-Kitab", Religia, Vol. 13, No. 1,
(April 2010).
Tajrid, Aḥmad. "Kebenaran Hegemonik Agama, Walisongo, Vol 20, No 1 (Mei
2012).
Taufik, Ahmad. "Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi
Penafsiran Tekstual)", Journal of Qur’ān and Hadīth Studies, Vol. 3, No.
2, (2014).
Ulya, "Ortodoksi-Heterodoksi Wacana Keagamaan Dalam Islam", Al-Tahrir, Vol.
17, No. 1, (Mei 2017).
Usuluddin, Win, "Elusidasi Filosofis Kebhinekaan keagamaan: Refleksi atas
Pluralisme Keberagamaan Era Postmodern", Ulumuna, vol. XIV, no. 1
(Juni, 2010).
Wagemakers, Joas. "Framing The 'Threat to Islam': al-Wala' wa al-Bara' in Salafi
Discourse", Arab Studies Quarterly, Vol. 30, No. 4 (Fall 2008).
Yasir, Muhammad. "Makna Toleransi Dalam al-Qur'ān", Ushuluddin, Vol. 22, No.
2, (Juli 2014).
Yusuf, Yunan. "Metode Penafsiran al-Qur'ān: Tinjauan atas Penafsiran al-Qur'ān
Secara Tematik", Syamil, Vol. 2, No. 1 (2014).
166
Yusufa, Uun. "Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus
Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta", Journal of Qur'ān and Hadīth
Studies, Vol. 4, No. 2, (2015).
Buku Ilmiah
'Abd al-Ba>qi>, Muh}ammad Fu'a>d. al-Mu'jam al-Mufahras li Alfa>z} al-Qura>n al-
Kari>m, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 1364).
Abu Al-'Ainain, Badran. al-'Alaqah al-Ijtima’iyyah baina al-Muslimi>n wa ghair al-
Muslimi>n, (Iskandariyah : Mu’assasah Shaba>b al-Jami’ah, 1984).
Ahmad, Al-Murtadha> al-Zain. Kitāb Tauhi>d Muh>ammad bin Abd al-Wahha>b wa
Kita>b al-Qaul al-Sadi>d fi> Maqa>s}id al-Tauhi>d li Shaikh 'Abd al-Rahma>n
Na>s}ir bin al-Sa'di>, (Riya>d}: Majmu>'ah al-Tuhf al-Nafa>is al-Dauliyyah,
1996).
al-As}faḥa>ni>, al-Ra>ghib. Mu’jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Fikr,
1984),
al-As}faḥa>ni>, al-Ra>ghib. Mufrada>t Alfa>z} al-Qur'a>n, (Damaskus, Da>r al-Qalam,
2009).
al-Athari>, 'Abdullah bin 'Abd al-H{ami>d. al-Waji>z fi> 'Aqi>dah al-Salaf al-S{a>lih},
Istanbul: Guraba, 1435 H).
Al-'A{qqa>d, 'Abba>s Mah}mu>d. 'Amr bin al-'A<s}, (Cairo: Nahd}ah Mis}r, 2005).
Ali, Maulana Muhammad. The Religion of Islam, terjemahan R. Kaelan dan I I. M
Bachrun dengan judul Islamologi (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1977).
Anas, Ma>lik ibn. Muwat}t}a' Ma>lik, (Mesir: Da>r Ihya al-Tura>th al-'Arabi, t.th.).
Arkoun, Moḥammad. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994),
Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam. Cetakan ke-
1. (Jakarta: Paramadina, 1999).
Baharun, Muhammad. Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012).
Bahri. Samsul, dkk. Metodologi Studi Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010).
Baidan, Nashrudin. Metode Penafsiran al-Qur'ān, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988).
-----------, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2001).
Barber, Benjamin R. Jihad vs McWorld, (New York: Ballantine Book, 1996).
167
Al-Bari>di>, Ah}mad bin Muh}ammad bin Ibra>hi>m. Juhu>d al-Shaikh Ibn 'Uthaimi>n wa
Ara>uhu fi> al-Tafsi>r wa 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Riyad}: Maktabah al-Rushd,
2005).
Boase, Roger dan Hassan Bin Talal, Islam and Global Dialogue: Religious
Pluralism and the Pursuit of Peace (Burlington, VT: Ashgate, 2005).
Brown, Jonathan. The Fate of Non-Muslims: Perspectives on Salvation Outside of
Islam, (Yaqeen Institute for Islamic Research, 2019).
Al-Bukha>ri>, Abu 'Abdillah Muh}ammad bin Isma>'i>l. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, (Beirut: Da>r
Ibn Kathi>r, 2002).
Burhani, Ahmad Najib. Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar
Doktrin Yang Membatu, (Jakarta: Kompas, 2001).
Connolly, Peter. Aneka Pendakatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002).
Cook, David. Understanding Jihad, (Los Angeles: University of California Press,
2005).
Coward, Harold. "Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama", (Yogyakarta:
Kanisius, 1989).
D{amiriyyah, 'Uthma>n Jum'ah. Madkhal li al-Dira>sah al-'Aqi>dah al-'Isla>miyyah,
(ttp.: Maktabah al-Sawadi> li al-Tauzi>', 1996),
Al-Dhahabi>, Muh}ammad H{usain. al-Ittijaha>t al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al-
Kari>m Dawa>fi'uha> wa Da>fiha> (Kairo: Da>r al-I'tis}a>m, 1978).
-----------, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kuwait: Da>r al-Nawa>dir, 2010).
-----------, Buhu>th fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Kairo: Dār al-Hadi>th, 2005).
Al-Dimashqi>, Abu al-Fida> Isma>'i>l bin 'Umar bin Kathi>r al-Qurashi>. Tafsi>r al-Qur'a>n
al-'Az}i>m, (Beirut: Da>r Ibn H{azm, 2000).
Effendy, B., Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Perbincangan
Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan. Cetakan
ke-1. Yogyakarta: Galang Press., 2001).
El-Fadl, Khaled Abou. The Place of Tolerance in Islam, diterjemahkan oleh Heru
Prasetia dengan judul Cita dan Fakta Toleransi Islam, Purotanisme versus
Pluralisme, cet. 1, (Bandung, Arasy PT Mizan Pustaka: 2003).
Eliade, Mircea. (ed.), The Enclyclopedia of Religion (New York: Simon &
Schuster Macmillan, 1993).
Esack, Farid. Liberation and Pluralism, (Oxford: One Word, 1998).
168
Fadil, Marjan. Isu Radikalisme Dalam Penafsiran Al-Qur'an (Studi Perbandingan
Al-Qur'an dan Terjemahannya & Tarjamah Tafsiriyah), (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2017).
Al-Fa>ru>qi>, Isma'i>l Ra>gi>. "Towards a New Methodology For Qur’anic Exegesis",
Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, Islamic Research Institute, International
Islamic University, Islamabad, (March 1962) : 35-52.
Al-Faruqi, Isma'il Raji & Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New
York: Mac Millan Publ. Comp.; London: Collier MacMillan Publ., 1986).
Fathurahman, Al-Qura>n dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu, (Jakarta:
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).
al-Fauza>n, S{a>li>h} bin Fauza>n bin 'Abdillah. 'Aqi>dah al-Tauhi>d, (Jeddah: Dār al-
Qāsim, tth.).
Ford, David F. The Modern Theologians : an Introduction to Christian Theology
Since 1918, (Blackwell Publishing Ltd, 2005).
Foucoult, Michael. Archeology of Knowledge and The Discourse on Language
(New York: Pantheon Books, 1971).
Gadamer, Hans George, Truth and Method (New York: The Seabury Press, 1995).
Ghalib M, Muhammad. Ahl Al-Kitāb: Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1988).
Ghazali, Abdul Moqsith. Argumen Pluralisme Agama, Cet. 2, (Depok: KataKita,
2009).
Goldziher, Ignaz, Madhāhib al-Tafsīr al-Islām, (Kairo: Maktabah al-Khanaji,
1995).
----------, Terj. Dr. Abdul Halim A, Madzhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga
Modern, (Yogyakarta: eLSQ Press, 2003).
Gauhar, Altaf (ed.). Tantangan Islam, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin,
(Bandung, Penerbit Pustaka: 1982).
Al-H{a>kim, al-Mustadrak 'ala> al-S{ah}i>h}ain (Beirut, Da>r al-Kutub al-'Ilmi>yyah, 1990).
Haq, Sansan Ziaul. Dimensi Eksoteris dalam Tafsir Ishari (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN SYarif Hidayatullah, 2016).
Hasyim, Arrazy. Teologi Muslim Puritan Genealogi dan Ajaran Salafi, (Tangerang
Selatan: Maktabah Darus-Sunnah, 2017).
169
Al-H{anbali>, Abu Ya'la> Muh}ammad bin al-H{usain bin Muh}ammad bin Khalaf bin
al-Fara>'. al-Amr bi al-Ma'ru>f wa al-Nahy 'an al-Muka>r, (Madinah: Da>r al-
Bukha>ri>, t.th.).
Al-H{usain, Wali>d bin Ah}mad. al-Ja>mi' li H{aya>ti al-'Alla>mah Muh}ammad bin S{a>lih}
al-'Uthaimi>n Rah}imahullah: al-'Ilmiyyah wa al-'Alamiyyah wa Ma> Qi>la
Fi>hi Min al-Mara>thi>, (Madinah: al-H{ikmah, 2002).
Hakim, Abdul Hamid. al-Mu'i>n al-Mubi>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi
Sekular-Liberal (Jakarta: GIP, 2005).
Ibn Hazm. al-Muh}alla, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.).
Ibn Taimiyyah.. Iqtida>l al-Sirat al-Mustaqi>m: Mukhala>fat As}ha>b al-Jahi>m (t.t.:
Jam'iyyah Ihya>' al-Tura>th al-Islami>, t.th.).
----------, al-Risa>lah al-Tadmuriyyah, (t.tp: Maktabah al-Sunnah al-
Muh}ammadiyyah, t.th).
Ibn 'Uthaimi>n. Sarh Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r li al-Shaikh al-Isla>m Ibn
Taymiyyah (Kairo: Da>r Ibn al-Jauzi>, 2005).
----------, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taymiyyah (Riyaḍ:
Da>r al-Wat}an, t.th).
Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Qur'an: Semantics of the Qur'anic
Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002).
Izzan, Ahmad . Inklusifisme Tafsir: Studi Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam
Tafsir al-Mizan, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN SYarif
Hidayatullah, 2013).
Al-Ja>biri, 'Abid, Takwi>n al-'Aql al-'Arabi (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wahdah al-
'Arabiyya, 2002).
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. Za>d al-Ma'a>d fi> Hady Khair al-'Iba>d, (Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, 2009).
Johnson, James Turner. The Holy War Idea in Western and Islamic Traditions,
(University Park: Pennsylvania State University Press, 1997).
Kaelan, Metode penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:
Paradigma, 2010).
Kathi>r, Ibn. Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m, (Riya>d}: Da>r T{ayyibah li al-Nashr wa al-
Tauzi>', 1999).
170
Khalikin, Ahsanul & Zirwansyah. Pandangan Pemuka Agama Tentang
Ekslusifisme Beragama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat,
Kementerian Agama RI, 2013).
Khalil, Mohammad Hassan. Islam, Salvation and the Fate of Others, (Oxford
University Press: November 2010).
Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana, trej. Nurhadi (Bandung: Mizan,
2003).
Legenhausen, Muhammad, "Islam and Religious Pluralism", penj. Arif Mulyadi &
Ana Farida, "Pluralitas dan Pluralisme Agama, Keniscayaan Pluralitas
Agama sebagai Fakta Sejarah dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama
dalam Liberalisme", (Jakarta: Shadra Press, 2010).
Madjid, Nurcholis, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta : Paramadina, 1994)
----------, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Masalah Keimanan,
kemanusiaan dan Kemoderenan (cetakan ke II), (Jakarta : Penerbit
Paramadina, 1992).
----------, Islam Universal, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007).
----------, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung, Mizan: 1999).
----------, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999).
Al-Madani>, Muh}ammad Ibra>hi>m. al-Hub fi> Allah, (Iskandariyah: Da>r al-I<ma>n, tth.).
Manz}u>r, Ibn. Lisa>n al-'Arab, (Kairo: Da>r al-Ma'a>rif, 2008).
Mardan. Al-Qur'a>n: Sebuah Pengantar Memahaminya Secara Utuh, Cet. II,
(Jakarta: Pustaka Mapan Jakarta, 2010).
Al-Mara>ghi>, Ah}mad Mus}t}afa>. Tafsi>r al-Mara>ghi>, (Mesir: Mus}t}afa al-Babi> al-
Halabi>, 1946).
Al-Mari>, 'As}a>m bin 'Abd al-Mun'im. al-Dar al-Thami>n fi> Tarjamah Faqi>h al-
Ummah al-'Alla>mah Ibn 'Uthaimi>n Rah}imahullah Ta'a>la: Tarjamah
Sha>milah Lih}aya>ti al-Shaikh Min al-Nasha>'ah Ila> al-Wafa>h,
(Iskandariyah: Da>r al-Bas}i>rah, 2003).
Meuleman, J. Tradisi, Kemodernan dan Meta Modernisme, (Yogyakarta: LKiS,
1996).
Al-Mi>da>ni>, 'Abdurrah}man H{asan Ḥabinkah. Fiqh al-Da'wah ila> Allah wa Fiqh al-Nus}h wa al-Irsya>d wa Amr bi al-Ma'ru>f wa Nahyi 'an al-Munkar, (Damaskus, Da>r al-Qalam, 1996).
171
Mustaqim, Abdul Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010).
Mustaqim, Abdul & Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur'ān Kontemporer: Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002).
Muqa>til, ʻAbd Allah Mah}mu>d. al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> al-Qur'a>n al-Kari>m,
Shihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mis}riyyah al-Ammah li al-Kita>b, 1975).
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1985).
Al-Nawawi>, Yahya Bin Sharaf. S{ah}i>h} Muslim bi sharh al-Nawawi>, (Kairo:
Mat}ba'ah al-Mas}riyyah bi al-Azha>r, 1929).
Al-Ni>sa>bu>ri>, Abu al-H{asan Muslim bin al-H{aja>j. S{ah}i>h} Muslim, (Riya>d}: Da>r
T{ayyibah, 2006).
Pallmeyer, Jack Nelson. Is Religion Killing Us?, (New York: Continuum, 2003).
Al-Qah}t}a>ni, 'Ali> bin Muh}ammad bin 'Ali> A<li Naumah>. Maba>hith 'Ilmi al-Ma'a>ni> fi> Tafsi>r al--Shaikh Ibn 'Uthaimi>n ('Ard} wa Dira>sah), (Umm al-Qura
University: 2013).
Al-Qah}t}a>ni, Muh}ammad bin Sa'i>d>. al-Wala>' wa al-Bara>' fi> al-Isla>m, (Riya>d}: Da>r al-
T{ayyibah, 1413 H).
Al-Qah}t}a>ni, Sa'i>d bin 'Ali> bin Wahf. 'Aqi>dah al-Muslim fi> D{u>-i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Riya>d}: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wat}aniyyah, 2008).
Al-Qardha>wi>, Yusuf. Fiqh al-Jiha>d, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2009).
Al-Qa>simi>, Muh}amad Jamal al-Di>n. Tafsi>r al-Qa>simi>, (Kairo: Isa al-Ba>b al-H{alabi,
1958).
Al-Qat}t}a>n, Manna>', Maba>hith fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Riya>d}: Da>r al-Rashi>d, t.t.).
Al-Qurt}ubi>. al-Jami' li Ah}ka>m al-Qur'a>n, (Kairo: Da>r al-Hadi>th, 2002).
Rahman, Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
(Jakarta: Paramadina, 2001).
Al-Ra>zi>, Fah}r. Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H/1985 M).
Reese, William L. Dictionary of Philosopy and Religion, Eastern and Western
Thought (New York: Humanity Books, 1996).
Rid}a>, Muh}ammad Rashi>d. Tafsir al-Qur'a>n al-H{aki>m: Tafsi>r al-Mana>r (Mesir: Da>r
al-Mana>r, 2001).
----------, al-Wahy al-Muh}ammadi>, (Kairo: Maktabah al-Qahirat, 1960).
----------, Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Beirut: Da>r al-Ma'rifah, t.th.)
172
Al-S{a>bu>ni>, Muh}ammad 'Ali>. Tafsi>r al-Wa>d}ih al-Muyassar, ( Beirut: al-Maktabah
al-'As}riyyah, 2007).
Sachedina, Abdulaziz. The Islamic Roots of Democratic Pluralism, (New York:
Oxford University Press Inc., 2001).
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur'a>n Towards a Contemporary Aproach
(London and New York: Routledge, 2006).
----------, Al-Qur'a>n Abad 21: Tafsir Kontekstual, Terj. Ervan Nurtawab, Cet I,
(Bandung: Mizan, 2014).
Salam, M. Isa HA & Rifqi Muhammad Fathi, Pemetaan Kajian Tafsir Al-Qur'an
pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir
Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2010, (Fakultas Ushuluddin UIN
SYarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
Samudera, Imam. Aku Melawan Teroris!, (Solo: Jazeera, 2004).
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur'ān, (Bandung: Mizan, 1996).
----------, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007).
----------, Tafsi>r Al-Mis}ba>h, (Ciputat: Lentera Hati, 2009).
----------, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
----------, Polemik Kitab Suci, Pen., R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013).
Smith, H. The Religion of Man. Pen. Safroedin Bahar, Agama-agama Manusia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
Soroush, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan dari
Reason, Freedom, and Democracy in Islam: Essential Writings of
Abdulkarim Soroush, oleh Abdullah Ali. (Bandung: Mizan, 2002).
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur. Cetakan ke-2. (Jakarta: Kompas, 2001).
Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1999).
Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n al-Maḥalli> dan Jala>l al-Di>n. Tafsi>r al-Jala>lain al-Muyassar,
(Beirut: Maktabah Lubna>n, 2003).
Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n 'Abdu al-Rah}ma>n bin Abi Bakr. Luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-
Nuzu>l, (Cairo: Maktabah al-S{afa>, 2002).
173
Al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n. al-Itqa>n fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah Risalah
Na>shiru>n, 2008).
Suryadilaga, M. Al-Fatih dkk.,Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005).
Syafruddin, U. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009).
Al-Sulaima>n, Fahd bin Na>s}ir Ibrahi>m. Majmu' Fata>wa> wa rasa>il Fad}i>lah al-Shaikh
Muh}ammad bin S{a>lih} al-'Uthaimi>n, (Riyad}: Da>r al-Wat}an, 1413 H).
Al-T{abari>, ibn Jari>r. Tafsi>r al-T{abari>, (Kairo: Must}afa al-Ba>b al-Halabi> wa
Aula>duh, 1954).
----------, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, (t.tp: Muassasah al-Risa>lah, 2000).
----------, Ja>mi' al-Baya>n 'an Ta'wi>l A<yi al-Qur'a>n, (Beirut: Muassasah al-Risālah,
1993).
Al-T{aba>t}aba>'i>, Muh}ammad H{usain. al-Mi>ja>n fi> Tafsi>r al-Qur'a>n (Beirut:
Mu'assasah al-'Alami> li Mat}bu>'ah, 1393 H/1973 M).
-----------, Mengungkap Rahasia Al-Qur'a>n, terj. A. Malik Madani dan Hamim
Ilyas, cet. VII, (Bandung: Mizan, 1994).
Al-Turki>, 'Abdullah bin 'Abd al-Muh}sin. Mujmal I'tiqa>d A'immah al-Salaf, (Riyad}:
Wiza>rah al-Syu'u>n al-Isla>miyyah, 1417 H).
Al-Tuwayjiri>, Mahmu>d bin 'Abdillah. al-Qaul al-Muharrar fi> al-Amr bi al-Ma'ru>f
wa al-Nahy 'an al-Munkar, (Riyaḍ: Muassasah al-Nūr, t.th.).
Thoha, Anis Malik. ‚Wacana Kebenaran Agama Dalam Perspektif Islam.‛ Paper
untuk ‚Workshop Pemikiran Islam dan Pemikiran Barat Putaran V,‛
Pasuruan, (4-5 April 2005).
----------, Tren Pluralisme Agama. (Jakarta: Perspektif, 2005).
Tim Penulis Institut Titian Perdamaian, Dinamika Konflik dan Kekerasan di
Indonesia (Jakarta: Institut Titian Perdamaian, 2011).
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Magister dan Doktor 2016-2020 (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2016).
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Bahasa Indonesia, Transliterasi dan Pembuatan
Notes dalam Karya Ilmiah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014).
Tobroni, Relasi Kemanusiaan Dalam Keberagamaan: Mengembangkan Etika
Sosial Melalui Pendidikan (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012).
174
Troeltsch, Ernst. The Absoluteness of Christianity and the History of Religions
(London: SCM Press, 1972).
Al-'Uthaimi>n, Muh}ammad bin S{a>li>h.} Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Riya>ḍ: Da>r Ibn al-
Jauzi>, 1435 H/2014 M).
-----------,} Tafsi>r al-Qur'a>n al-Kari>m, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1423 H).
-----------, al-Ilma>m bi Ba'd} A<ya>t al-Ah}ka>m Tafsi>ran wa Istinba>t}an, (Qas}i>m:
Muassasah al-Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah,
1436 H).
-----------, al-Qaul al-Mufi>d 'ala> Kita>b al-Tawh}i>d, (Riya>d}: Da>r Ibn al-Jauzi, 1424
H).
-----------, Aqi>dah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah, (Riya>d}: Muassasah al-Shaikh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1430 H).
-----------, Fata>wa> Nu>r 'Ala> al-Darb, (Qasim-'Unaizah: Muassasah al-Shaikh
Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n, al-Khairiyyah, 1434 H).
-----------, Lum'ah al-I'tiqa>d al-Ha>di> ila> Sabi>l al-Rasha>d, (Riya>d}: Ad}wa>' al-Salaf,
1995).
-----------, Mukhta>r min Za>d al-Ma'a>d fi> Hady Khair al-'Iba>d, (Riya>d}: Muassasah al-
Shaikh Muh}ammad bin S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1433 H).
-----------, Sharh al-'Aqi>dah al-Safa>ri>niyyah, (Riya>d}: Mada>r al-Wat}an, 1426 H).
-----------, Sharh al-'Aqi>dah al-Wa>sat}iyyah li al-Shaikh al-Isla>m Ibn Taimiyyah, (Jeddah: Da>r Ibn al-Jauzi>, 1421 H).
-----------, Sharh Usu>l fī al-Tafsi>r (Unaizah: Mu-assasah al-Shaikh Muh}ammad bin
S{a>li>h} al-'Uthaimi>n al-Khairiyyah, 1434 H).
-----------, Sharh Muqaddimah al-Tafsi>r Shaikh Ibn Taimiyyah, (Riya>d}: Da>r al-
Wat}an, 2010).
-----------, Usu>l fi> al-Tafsi>r , ('Ain Shasm al-Syarqiyyah: al-Maktabah al-
Isla>miyyah, 2001).
Weber, Max. Sosiologi Agama, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012).
Ya'qu>b, T{a>hir Mah}mu>d Muh}ammad. Asba>b al-Khat}a> fi> al-Tafsi>r (Riya>d}: Da>r Ibn
al-Jauzi>, 1425 H).
Al-Zahra>ni>, Na>s}ir bin Musfir. Ibn 'Uthaimi>n al-Ima>m al-Za>hid, (Jeddah: Da>r Ibn al-
Jauzi>, 2001).
Al-Zarqa>ni>, Muh}ammad 'Abdul al-'Aẕīm, Mana>hil al-'Irfa>n fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n,
(Beirut: Da>r al-Kita>b al-'Arabi>, 1995).
175
Website Online
Bukay, David. "Islam and the Other: The al-Wala’ wal-Bara’ Doctrine", akses
online, https://acdemocracy.org/islam-and-the-other-the-al-wala-wal-
bara-doctrine/.
176
177
GLOSARIUM
Istilah Definisi
Ahl Sunnah wa al-Jama>‘ah
Adalah kelompok atau golongan yang senantiasa
komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW, baik
dalam hal aqidah, ibadah, maupun mu'amalah.
Ahl Kita>b
Adalah sebutan bagi umat terdahulu sebelum Nabi
Muhammad SAW, yang telah diutus kepada
mereka nabi-nabi yang membawa kitab suci.
Secara umum ahl al-kita>b ditujukan kepada
kelompok Yahudi dan Nas}rani.
Al-‘Adl Keadilan, yaitu menempatkan sesuatu pada
tempatnya.
Al-Bara>'
Adalah suatu konsep dalam Islam untuk membenci,
menolak, dan menjauhi segala sesuatu yang tidak
diridhai oleh Allah.
Bid‘ah Adalah sesuatu yang baru dalam agama.
Eksklusif Khusus atau terpisah dari yang lain.
Eksklusivisme
Adalah suatu konsep keberagamaan yang
mengedepankan klaim kebenaran terhadap satu
agama dan menganggap agama-agama lain adalah
salah.
Eksoterik
Adalah sesuatu yang berada di luar, bentuk
eksternal yang dapat difahami oleh publik. Atau
aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual,
etika dan moral pada sebuah agama, yang biasa
disebut juga dengan hal-hal yang dhahir.
Epistemologi Reformed
Adalah suatu gerakan di dalam filsafat analitik
yang berkembang sejak pertengahan tahun 1980-
an. Para filsuf yang tergabung dalam gerakan ini
berupaya untuk menunjukkan bahwa kepercayaan
kepada Tuhan (belief in God), khususnya terhadap
kepercayaan Kristen, adalah rasional, terjustifikasi
(justified) dan terjamin (warranted). Mereka
berupaya untuk memperlihatkan bahwa secara
epistemologis kepercayaan religius (religious
178
belief), khususnya kepercayaan Kristen, memiliki
status epistemik yang positif. Tokoh-tokoh yang
menjadi arsitek dan pendiri gerakan ini adalah
William P. Alston (1921– 2009), Nicholas
Wolterstorff (1932– ), dan Alvin Plantinga (1932–
). Plantinga menyebut gerakan ini sebagai
epistemologi Reformed karena para pendirinya,
seperti Plantinga sendiri dan Wolterstorff,
mengajar di Calvin College, Amerika Serikat, dan
mereka banyak mendapatkan inspirasi dari John
Calvin serta para teolog lain di dalam tradisi
teologi Reformed. Epistemologi Reformed
menolak pandangan fondasionalisme klasik dan
evidensialisme bahwa kepercayaan religius tidak
rasional dan tidak terjustifikasi. Mereka juga
mengklaim bahwa kepercayaan religius memiliki
status epistemik yang positif di dalam konteks
epistemologi yang lebih memadai.
Esoterik
Adalah "bagian dalam" ( eso ) yang berkaitan
keyakinan yang lebih dalam, dari sudut pandang
yang kontemplatif, mistikal atau kondisi meditatif
yang personal, atau sering disebut juga dengan hal-
hal yang besifat batin.
Extra ecclessiam nulla sallus
Adalah konsep kelelamatan dalam agama Kristen-
Katolik bahwa tidak ada keselamatan di luar
Gereja Katolik
Fard} al-‘ain Adalah kewajiban personal yang dibebankan
kepada setiap individu.
Fard} al-kifa>yah
Adalah kewajiban komunal yang akan gugur
kewajiban tersebut jika ada salah seorang dari
komunitas tersebut telah melakukan kewajiban
tersebut.
Firqah al-na>jiyah Kelompok yang selamat
Humanisme
Adalah sebuah pemikiran filsafat yang
mengedepankan nilai dan kedudukan manusia serta
menjadikannya sebagai kriteria dalam segala hal
179
H{usn ta‘a>mul Kebaikan sosial
Ittikha>dh al-auliya>' Adalah menjadikan penolong, pemimpin, teman,
sekutu, menolong, membantu atau mencintai.
Inklusif
Artinya adalah ‚termasuk di dalamnya‛. Yaitu
suatu cara pandang dengan menempatkan dirinya
ke dalam cara pandang orang lain/ kelompok lain
dalam melihat realita, atau berusaha menggunakan
sudut pandang orang lain / kelompok lain dalam
memahami suatu masalah.
Inklusivisme
Adalah suatu konsep keberagamaan yang
memandang bahwa kebenaran dan keselamatan ada
pada agama lain meskipun tetap meyakini akan
superioritas agama yang dipeluknya.
Irha>b Terorisme
Jiha>d
Adalah kesungguh-sungguhan dalam menjalankan
agama dan membelanya, baik dengan waktu,
tenaga, harta, maupun jiwa.
Kristen anonim (the
Anonimous Christian)
Adalah gagasan yang dikemukakan oleh Karl
Rahner, seorang teolog Katolik, yang memandang
bahwa agama-agama lain juga menerima rahmat
dari Allah melalui Kristus di dalam agama-agama
lain, dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama
lain tersebut. Kristus adalah alasan Allah
memberikan rahmat-Nya kepada semua ciptaan.
Namun, orang yang belum mengenal Kristus
walaupun bisa merasakan kasih Allah yang
menyelamatkan, tidak dapat melihat ke mana arah
atau tujuan hidupnya, mereka telah menerima
rahmat Allah dan terorientasi pada Kristus, dan
kehadiran Kristus terasa dalam setiap agama
sehingga melalui agama mereka juga terorientasi
ke dalam kekristenan. Orang-orang inilah yang
disebut orang "Kristen Anonim" atau "Kristen
tanpa nama". Orang-orang Kristen anonim ini,
walaupun belum pernah mendengar Injil Kristen,
bisa diselamatkan melalui Kristus. Mereka
180
diselamatkan bukan karena moralitas tetapi karena
mereka telah mengalami kasih karunia dari Yesus
Kristus tanpa mereka menyadarinya.
Kristosentris
Adalah pandangan tentang keselamatan hanya ada
melalui kristus, atau memandang segala sesuatu
dari perspektif kristen.
Al-Ma‘ru>f Adalah segala bentuk kebaikan yang dibenarkan
oleh akal dan syariat.
Al-Munkar Segala bentuk keburukan yang tidak dibenarkan
oleh akal dan syariat.
Al-mas}lah}ah al-mursalah
Adalah kemaslahatan yang tidak disinggung oleh
syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang
Memerintahkan atau melarangnnya, akan tetapi
jika ia dikerjakan akan mendatangkan kebaikan
atau kemashlahatan.
Minha>j Adalah jalan yang terang, cara, kaidah-kaida, atau
aturan.
Mu'a>malah al-shakhsiyyah Hubungan sosial-personal
Al-Musa>wah Kesamarataan
Mu‘tabarah Adalah faham atau ajaran yang dianggap sah.
Mu‘tamad Adalah pendapat yang memiliki dasar hukum yang
jelas dan sumber yang autentik.
Naskh wa al-mansu>kh Adalah proses abrogasi atau penghapusan sesuatu
yang lama oleh sesuatu yang baru.
Ortodoksi adalah sebuah ajaran yang dianggap resmi dan
benar.
Pluralitas Adalah fakta atau realita keberagaman.
Pluralisme Adalah konsep keberagamaan yang memandang
semua agama benar dan selamat.
Salvation Keselamatan.
Salvation claim Adalah klaim keselamatan oleh suatu agama.
181
Salaf Terdahulu
Salaf al-S{a>lih} Adalah generasi pertama dalam Islam, yaitu para
sahabat, ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n.
Salafiyyah
Adalah suatu kelompok dalam Islam yang
menyerukan untuk kembali kepada ajaran Islam
yang autentik sebagaimana yang dipraktikkan oleh
generasi Islam terdahulu (salaf al-s}a>lih}).
Al-Shubuha>t Adalah tuduhan-tuduhan yang tidak sesuai dengan
fakta.
soteriologis Adalah konsep keselamatan dalam agama
(salvation concept)
substitusionari
Pemahaman dalam agama Kristen bahwa Kristus
mati karena orang berdosa dan untuk menebus dosa
mereka
Tauhi>d Adalah konsep keyakinan dalam agama Islam.
Tauh}i>d rubu>biyyah Adalah mengesakan Allah dalam hal penciptaan,
kepemilikan, dan pengurusan semua makhluk.
Tauh}i>d ulu>hiyyah
Adalah mengesakan Allah dalam hal ibadah, yakni
dengan meyakini bahwa haya Allah lah Tuhan yang
wajib disembah dan berhak diibadahi.
Tauh}i>d asma>' wa sifa>t Adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama
dan sifat-sifat Allah.
Al-Tasa>muh} Toleransi.
Truth Claim Klaim kebenaran.
Us}u>l Pokok atau dasar.
Vorhabe Adalah latar belakang pendidikan, agama.
Vorgriff Adalah konsep-konsep yang ada pada nalar
pembaca-penafsir
Vorsicht Adalah sudut pandang tertentu tentang teks
Wahda>t al-di>n
Adalah konsep teologis tentang kesatuan agama
yang memandang semua agama bersumber dari
satu.
182
Al-Wa>st}iyyah
Wasatiyyah adalah sebuah kerangka berpikir,
bersikap dan bertingkah laku yang ideal, penuh
keseimbangan dan proposional dalam syariat Islam
Al-Wala>'
Adalah sebuah konsep kesetiaan dalam agama
Islam yang memiliki pengertian mencintai terhadap
apa yang dicintai dan diriḍai Allah yang
diimplementasikan ke dalam keyakinan, perkataan,
sikap, dan perbuatan.
Waliyullah
Adalah orang yang mengikuti Allah dengan
mencintai segala yang dicintai dan diriḍai Allah
serta membenci segala yang dibenci Allah,
kemudian mengajak kepada orang lain untuk
melakukan sikap tersebut.
183
INDEKS
‘
‘Abdurrah}man al-Sa’di · 56
A
A<li Ra>shid · 51
Abbasiyyah · 61, 74, 150
'
'Abd al-'Aziz al-Da>wu>d · 56
A
Abd al-Wahha>b · 117, 169
Abduh · 3, 14, 31, 82, 83
Abdul Kari>m Soroush · 5
Abdul Mustaqim · 1, 3, 61, 69, 122
Abdulaziz Sachedina · 5, 14
'
'Abdullah 'Azzam · 151
A
Abi Ha>tim · 103
Abrahamik · 27, 88
abrogasi · 87, 99, 105
Abu H{ani>fah · 92
Ah}mad bin H{anbal · 92, 116
Ah}mad Khalaf · 3
ahl al-kita>b · 118, 119, 120, 121, 122, 123,
124, 125
ahl al-Kita>b · 61, 120, 124
Ahl al-Sunnah · 90
Ahmad Izzan · 4, 19, 22
'
'Aishah bint al-Sha>t}i · 3
A
al-'A<qqa>d · 50
al-'adl · 143
al-Alu>si · 2
Alan Race · 6, 17, 40
al-As}faha>ni> · 98, 113, 144, 152
al-Athari · 69, 126, 128, 141, 169
al-Azhar · 62
al-Ba>ni · 69
al-bara>' · 16, 25, 32, 90, 125, 128, 131, 132,
133, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142,
143, 158, 160
al-Bari>di> · 52, 54, 63, 64, 65
al-Dhahabi · 60, 61, 72, 74
al-di>n · 13, 64, 75, 86, 100, 102, 104, 105,
142, 143
al-Fa>ru>qi · 3
al-firqah al-na>jiyyah · 87
al-furqa>n · 1
al-i>ma>n · 91, 105, 106, 109
al-ijtiha>d · 60, 61
al-isha>rah · 60
al-Iskafi · 62
al-isla>m · 12, 13, 40, 75, 97, 99, 100, 102, 104,
153, 156
al-ittiba>' · 126
al-Karmani · 62
al-Kasha>f · 2
al-Kitab · 11, 28, 39, 82, 119, 120, 122, 168
al-Ku>my · 63
Allah · 3, 11, 13, 24, 27, 28, 31, 32, 34, 37, 39,
57, 59, 60, 61, 63, 65, 67, 68, 74, 75, 77,
79, 80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 91, 93, 94,
95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104,
105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,
113, 114, 115, 116, 117, 119, 121, 122,
184
123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 134, 135, 137, 138, 142,
143, 144, 146, 148, 149, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156, 157, 158, 160, 173,
174
al-mah}abbah · 126, 129
al-Mana>r · 3, 174
al-Maqdisi · 96
al-mas}lah}ah al-mursalah · 130
al-ma'thu>r · 21, 58, 60, 62, 63, 70, 75
al-Maudu>di · 14
al-mawa>dah · 128
al-mu'a>dah · 126
al-mu'a>wanah · 129
al-muna>s}arah · 128, 129
al-musa>wa>h · 143
al-Mut}awwi' · 53, 55
al-Qah}t}a>ni · 51, 53, 57, 113, 125, 126, 127,
131, 135, 136, 140, 141
al-Qaht}a>ni · 21, 32, 66
al-Qur'a>n · 1, 2, 3, 6, 7, 12, 13, 14, 15, 17, 19,
20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 31, 35, 37, 40,
50, 51, 52, 53, 54, 56, 57, 59, 60, 61, 62,
63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74,
76, 77, 79, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88,
91, 92, 93, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,
119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127,
128, 129, 130, 133, 135, 136, 138, 140,
142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 152,
153, 155, 156, 157, 168, 169, 170, 172,
174, 176, 177
Al-Qur'a>n · 1, 20, 21, 25, 59, 60, 70, 78, 79,
122, 140, 166, 173, 175, 176
al-Ra>zi> · 13, 68, 75, 124
al-rah}mah · 1
al-ra'yi> · 21, 60, 62, 63, 66, 70, 74
al-risa>lah · 85
al-riwa>yah · 60, 63, 66
al-Sa'dī · 51
al-salaf al-s}a>li>h · 13
Al-Suyut}i> · 65
al-T{abari> · 13, 62, 75, 76, 121, 123, 176
al-Tamimi · 51
al-tawhi>d · 85
al-Tuwayjiri> · 144, 145, 146
al-us}u>l · 96, 130
al-'Uthaimi>n · 13, 14, 15, 16, 17, 21, 50, 51,
52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 63, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 70, 73, 76, 77, 85, 86, 87, 88,
90, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,
106, 107, 109, 110, 111, 112, 113, 114,
116, 117, 118, 120, 123, 124, 125, 127,
128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135,
136, 137, 142, 143, 144, 145, 146, 147,
148, 149, 150, 153, 154, 155, 156, 157,
158, 160, 161, 162, 172, 176, 177
al-wala · 16, 25, 32, 90, 125, 126, 127, 128,
129, 131, 137, 138, 139, 141, 142, 143,
158, 160, 178
al-wala>' wa al-bara>' · 125, 126, 137, 138, 139
al-wali> · 126
Alwi Shihab · 7, 14, 27, 28, 35, 45, 75
Al-Zamakhshari> · 68, 75
al-Zarkashi · 2
al-Zarqa>ni> · 63, 72
Amin al-Khulli · 3
Amina Wadud · 14
Amr al-Ma'ru}> wa Nahyi al-Munkar · 144
amr ma'ru>f · 16, 26, 90
Arab · 13, 21, 50, 52, 53, 57, 61, 73, 91, 105,
112, 113, 115, 126, 131, 138, 139, 140,
144, 145, 150, 152, 164, 165, 168, 173
Arnold · 9, 44, 45
asbab al-nuzu>l · 99, 100
auliya>' · 129, 130, 141
Ayman al-Z{awahiri · 151
Azad · 83, 102
Azyumardi Azra · 37, 41
B
Baharun · 10, 11, 31, 169
Barbour · 76
Bawa Muhayyaddin · 4
bid'ah · 72, 97, 137, 139, 157
bin Ba>z · 55, 56, 90
Bosworth · 151
Bukha>ri · 55, 65, 91, 94, 114, 144, 170, 172
185
C
Casanova · 41
Casram · 5, 165
Charles Kimball · 29, 30, 31, 71, 76, 77, 78
Christian Sulistio · 7, 8, 9, 10, 46
Cobb · 80
D
D{amiriyyah · 128, 141, 170
dakwah · 10, 15, 16, 26, 54, 56, 57, 90, 122,
130, 147, 148, 149, 150, 152, 154, 158
Dār al-Ifta>' · 56
David Bukay · 126, 138, 139
E
ekonomi · 3, 34, 39, 53, 70, 71, 106, 162
eksklusivisme · 4, 5, 6, 12, 13, 14, 15, 16, 17,
20, 23, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 37, 38,
39, 40, 41, 44, 47, 48, 50, 75, 78, 88, 160
Eksklusivisme · 6, 11, 12, 15, 20, 27, 29, 31,
37, 39, 48, 79, 102, 104, 105, 129, 160,
166, 167, 168
Epistemologi · 1, 3, 6, 61, 69, 174
Ernst Troeltsch · 9, 44, 45
F
Fazlur Rahman · 14, 84, 122
Fir'aun · 107
fitrah · 59, 102
Friedmann · 27
Frithjof · 83
G
Gavin D‘Costa · 5, 6, 9, 18, 30, 47, 48
Geilsdorf · 126, 139, 140, 166
Goldziher · 3, 171
H
H. Siddiqi · 79, 85
H{anabilah · 13, 56, 122
H{anbali> · 69, 144, 172
hadith · 13, 37, 57, 64, 65, 66, 70, 74, 84, 91,
93, 94, 95, 96, 97, 101, 114, 130, 132, 151
Hamka · 14
Harold Coward · 27, 28, 32, 34, 37, 38, 47, 48,
80, 81
Hasan al-Banna · 151
heterodoks · 66, 70, 73
heterodoksi · 72
humanis · 4, 160
I
ibadah · 13, 87, 91, 95, 96, 100, 101, 116, 130,
131, 137, 144
Ibn 'Abba>s · 87, 100, 103, 154
Ibn Ba>z · 14
Ibn H{ajar · 141
Ibn Kathi>r · 13, 62, 66, 75, 87, 94, 99, 100,
107, 114, 115, 170
Ibn Manz}u>r · 105, 112, 113, 126, 131, 140,
144, 145, 152
Ibn Mas'u>d · 66
Ibn Taimiyyah · 23, 54, 55, 57, 63, 64, 66, 68,
70, 73, 77, 86, 90, 93, 99, 100, 116, 123,
127, 145, 147, 172, 177
Ibnu 'Abba>s · 66
Ibrahi>m al-Jat}i>li · 53
Iman · 86, 91, 92, 94, 95, 96, 97, 102, 166,
167
inklusivisme · 4, 5, 6, 8, 11, 12, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 22, 23, 25, 27, 35, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 104, 105, 160
isla>m · 13, 15, 20, 23, 39, 75, 84, 86, 88, 97,
98, 99, 100, 101, 104
Islam · 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15,
16, 17, 19, 20, 25, 27, 28, 29, 31, 32, 33,
34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,
45, 52, 53, 59, 70, 72, 73, 75, 76, 77, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 92, 93,
186
94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103,
104, 105, 107, 108, 109, 111, 112, 113,
114, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 123,
124, 125, 126, 129, 130, 131, 132, 133,
134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141,
142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157,
158, 160, 161, 164, 165, 166, 167, 168,
169, 170, 171, 173, 174, 175, 176, 178
ittikha>dh al-auliya>' · 130
J
Jeddah · 55, 56, 57, 58, 64, 65, 66, 67, 68, 70,
85, 86, 87, 88, 93, 113, 114, 145, 147, 171,
177
Jeroen De Ridder · 6, 7, 10, 18, 22, 27, 28, 33
jiha>d · 137, 151, 152, 153, 154, 156, 157
jihad · 16, 26, 90, 135, 150, 151, 152, 153,
154, 155, 156, 157, 158
John Hick · 8, 9, 10, 23, 29, 32, 46, 47, 81,
168
K
ka>fir · 105, 118
kafir · 11, 15, 16, 25, 28, 39, 82, 90, 91, 95,
96, 97, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,
118, 120, 123, 124, 125, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 135, 136, 137, 138, 141,
142, 143, 152, 153, 154, 155, 156, 157,
158, 161
Karl Rahner · 7, 32, 35, 37
Kevin Meeker · 7, 9, 10, 33
Khaled Abou al-Fadl · 14
klasik-tradisional · 1, 31, 33, 61, 70, 74, 75
Komarudin · 5
kontradiktif · 11, 20
Kristen · 6, 7, 9, 12, 17, 27, 29, 32, 35, 37, 38,
40, 43, 46, 79, 80, 81, 84, 137, 138, 168,
172
Kristus · 32, 40, 80, 81
kufr · 23, 91, 92, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112
M
Ma>lik · 58, 70, 92, 169
madaniyyah · 68, 108, 119
Mah}mud Syaltut · 62
Maimonides · 28, 34
Majusi · 101, 120, 121
makiyyah · 68, 119
Menzfeld · 126, 139, 140, 166
Milbank · 10
millah · 12, 16, 20, 23, 104, 105, 114
minha>j · 83
missionary · 10, 16
moral theism · 84
Muh}ammad 'Abduh · 2, 3, 82
Muh}ammad Ghalib · 107, 121, 124
Muh}ammad T{alib · 14
Muhsin Mahfudz · 4, 30
Muin Salim · 59
mukmin · 11, 12, 96, 103, 113, 126, 127, 128,
129, 130, 131, 132, 158
Mun'im Sirry · 6, 12, 20, 27, 31, 82, 83, 102
muqa>rin · 62
Muqa>rin · 60
musyrik · 16, 25, 90, 100, 121, 123, 124, 125,
132, 135, 136, 137, 158
mu'tabarah · 72
mu'tamad · 72
Mu'tazilah · 68
N
Nabi Muh}ammad · 59, 64, 65, 76, 86, 87, 99,
100, 101, 102, 104, 105, 108, 119, 120,
122, 124
nahy al-munkar · 16, 26, 90, 158
Najd · 50, 52
Nas}r H{a>mid Abu Zaid · 3
Nas}rani · 87, 103, 118, 119, 120, 121, 122,
123, 124, 125, 129, 132, 135
naskh · 12, 20, 99, 105
Nasrani · 11, 12, 85, 103, 104, 120, 121, 122,
123, 129
naz}ran · 51
187
non-Muslim · 5, 84, 120, 137, 139
Nurcholis Madjid · 8, 10, 14, 27, 33, 35, 36,
37, 40, 45, 99, 102, 166
O
ortodok · 44, 70, 80
ortodoks · 66, 82, 90
ortodoksi · 15, 25, 33, 36, 50, 70, 72, 74, 75,
77, 88, 160
Ortodoksi · 12, 21, 70, 72, 73, 74, 165, 168
P
Pannenberg · 80
Paul Morris · 46, 48
Perennis · 45
Plantinga · 7, 29, 33
pluralisme · 5, 7, 8, 15, 16, 17, 18, 20, 23, 25,
27, 32, 33, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 44,
45, 46, 47, 48, 105, 160
Pluralitas · 10, 33, 42, 43, 44, 47, 173
politik · 2, 3, 5, 34, 39, 41, 42, 43, 46, 59, 69,
70, 71, 77, 103, 108, 120, 137, 138, 139,
150, 151, 152, 155, 162, 166
Q
Qata>dah · 66, 75
qita>l · 151, 152, 153, 156
Quraish Shihab · 14, 64, 119, 121, 154
R
Rashi>d Rid}a · 3, 14, 121
reality-centredness · 9, 46
Reformed · 6
reformis · 31, 82, 83, 86
religions · 29, 31, 39, 47
Riyad · 13, 21, 32, 51, 52, 53, 54, 55, 62, 63,
64, 65, 74, 87, 92, 93, 94, 96, 97, 100, 101,
112, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 136,
137, 142, 170, 176
Robin Wright · 151
Ru>h}ul Ma'a>ni> · 2
rububiyyah · 69, 76, 109, 113, 116
S
S{a>biu>n · 12
sahabat · 60, 62, 63, 65, 66, 73, 74, 87, 90, 99,
120, 121, 126
salaf · 13, 21, 66, 69, 73, 77, 90, 93, 121
Salafi · 13, 14, 15, 69, 75, 126, 138, 139, 151,
164, 165, 168, 171
salafiyyah · 69, 90
Salafiyyah · 13, 14, 68, 77
salvation · 7, 16, 25, 28, 35, 40, 44, 50, 78, 79,
83, 88, 103
Sayyed Hossein Nasr · 4
Sayyid Qut}b · 77, 140, 141, 151
Sayyid Quṭb · 14, 166
Sayyid Sabiq · 153
self-centredness · 9, 46
Sha>fi'i> · 92
Shabiūn · 12
Shahru>r · 101, 102
shari'ah · 16, 23, 83, 86, 104, 105
Shirk · 113, 124
Shukri 'Ayyad · 3
Sinkritisme · 15
skriptual · 11, 15, 16, 20, 22, 29, 39, 59, 82,
151
Skripturalis · 4
sosial · 1, 2, 3, 4, 5, 6, 14, 15, 16, 17, 23, 24,
25, 27, 34, 39, 41, 42, 43, 52, 56, 57, 71,
87, 88, 90, 96, 104, 106, 112, 119, 125,
130, 131, 133, 135, 137, 138, 139, 140,
141, 143, 144, 145, 146, 147, 158, 160,
161, 162
soteriologi · 78, 80, 81, 83, 86
soteriologis · 9, 28, 29, 78, 81, 117
Subtansialis · 4
Sulaima>n al-Da>migh · 51, 53
188
Sunnah · 13, 14, 21, 23, 57, 64, 68, 69, 70, 75,
77, 81, 90, 93, 94, 113, 114, 118, 121, 128,
165, 168, 171, 172, 174, 177
T
T. J. Winter · 84
Tabi’i>n · 61
tadwi>n · 61
tafsir · 1, 2, 3, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19,
21, 22, 23, 25, 31, 33, 50, 51, 57, 59, 60,
61, 62, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74,
75, 77, 88, 104, 160, 162
tah}li>li> · 2, 60, 62, 70
tasawuf · 2, 4, 33, 60, 72
tashabuh · 130, 137, 161
tauh}i>d asma> wa sifa>t · 90, 93
tauh}i>d rubu>biyyah · 90, 93
tauh}i>d ulu>hiyyah · 90, 93
teologis-esoterik · 37
terorisme · 14, 15, 16, 17, 151, 160
toleransi · 4, 10, 15, 16, 25, 36, 42, 46, 90,
139, 140, 141, 142, 143, 158, 160, 161,
162
transendensi · 24, 81
truth claim · 11, 17, 18, 25, 28, 31, 37, 40, 41,
50, 70, 71, 76, 77, 83, 88
truth claim. · 11
U
uluhiyyah · 69, 76, 109, 113, 116
Umayyah · 61, 150
'
'Unaizah · 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 107, 111,
112, 113, 114, 117, 142, 177
U
universalisme · 5, 36, 37, 80, 84
Us}u>luddin · 57
'
'Uthaimi>n · 13, 14, 16, 21, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 59, 63, 64, 65, 66, 67, 68,
69, 70, 73, 76, 77, 86, 87, 88, 90, 93, 94,
95, 96, 97, 98, 100, 101, 106, 107, 109,
111, 112, 113, 114, 116, 117, 118, 120,
123, 124, 125, 128, 129, 130, 131, 133,
135, 136, 137, 142, 143, 144, 145, 146,
147, 148, 149, 153, 154, 155, 156, 157,
158, 160, 161, 162, 170, 172, 173, 174,
177
W
Wagamakers · 139
wahdat-e-di>n · 83
wahyu · 1, 29, 40, 60, 65, 74, 145
Wilhelm Dilthey · 44, 45
Y
Yahudi · 11, 12, 28, 31, 33, 34, 38, 61, 84, 85,
86, 87, 93, 100, 101, 103, 105, 108, 110,
112, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125,
129, 132, 133, 135, 136, 138
Yasmina · 126, 139, 140, 166
Yesus · 7, 27, 32, 35, 40, 80, 81, 84
Yudaisme · 28
Yunan Yusuf · 60, 62, 63
Yunani · 28, 72, 78, 80
189