ekaristi sumber dan puncak iman dan imamatku - sharing pengalaman imamat

70

Click here to load reader

Upload: wahyu-setiawan

Post on 31-Dec-2015

519 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

TRANSCRIPT

Page 1: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku140

Llife of penance 97lucis mysterium 100lumen fi dei 99lumen gloriae 100

MMane Nobiscum, Domine 98mengorbankan diri 19Misa Kudus 35, 67mukjizat Ekaristi 121Mukjizat Ekaristi 95Musa 66

PParokialisme 11parokialistis 14parsialistik 11parsialistis 14Pastores Dabo Vobis 90penanggalan liturgi 17Perjamuan 19Persiapan dekat 21Persiapan jauh 21pertanyaan kehidupan 22perutusan 12pesan pokok 22pewartaan 17Pewartaan Sabda 21pietistik 13pola relasi 12Presbyterorum Ordinis 116profanisasi 11, 16profesi 12profesioanlisme 11profesionalisme 10prosesi 66purgatif 100

RRedemptionis Sacramentum 72rekoleksi 119roti 19

SSabda 17Sabda-Nya 18Sacramentum Caritatis 69Sakramen Ekaristi 9Sakramen Imamat 9sakrilegi 94sekularisasi 16sistem hierarkis 12solidaritas 14soliter 15spesialisasi 10Spiritualitas Kristiani 13St. Alfonsus de Liguori 7strategi pastoral 10

Ttahta doa 65Tahun Imam 131tema APP 10“teologi inkarnatoris” 13teologi inkarnatoris 13the Cure of Ars 126transsubstatiatio 29Tubuh 19

Vvia illuminativa 100via purgativa 100via unitiva 101Visi 9Visibilis signum invisibilis gratiae

71visio beatifi ca 100visi spiritualitas 13vita consecrata 130

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 1

E K A R I S T I SUMBER DAN PUNCAKIMAN DAN IMAMATKU

Sharing Pengalaman Imamat

Page 2: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku2

Editor:RD. Boedi Prasetijo

Penerbit Komisi Liturgi Keuskupan SurabayaCetakan pertama: Juni 2012Layout: F.X. Joko Triyono

© Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 139

AAbel 65Alexius 97Alter Christi 9alter Kristus 13altruistis 14amanah 128anggur 19antapan ilahi 32anthropos tou Theou 97anugerah 127Arah Dasar Keuskupan 9

BBalita 85Beato Giovanni 65Benediktus XVI 46bernuansa “daging” 13

Ccaritas 20Cesarino 120ciuman eklesiologis 66cultus 20

DDarah 19Deus Caritas Est 129devaluasi 16disorientasi 12diversifi kasi 10

EEcclesia de Eucharistia 7, 72Ekaristi 19, 24, 27, 60, 66, 69, 71,

75, 84, 99EKARISTI 17Ekaristis 10eksklusif 11, 14Epiklese 81

INDEXepistemologis 64evangelisasi 38ex opera operato 7ex opere operato Christi 30

Fformation 90

Ggratia fi dei 99

Hhabit 35holistik 14homili 66Homili 22, 70

IImam Agung 13Imamat 13inklusif 14in Nomine Ecclesiae 132in persona Christi 7, 25, 65in persona Christi capitis 90in persona Christi Capitis 100Ishak 65Ite, missa est 95

JJosemaria Escriva 37

KKabar Gembira 22kairos 64kolegialitas 15komunio 127komunitas 12Kongres Ekaristi 7Konsekrasi 23korban 58, 65kronos 64

Page 3: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku138

atau uskupnya (semoga dia itu bukan saya!), merasakan diri sebagai habis manis sepah dibuang (karena sudah lanjut usia dan diabaikan), merasa lelah dan kesepian dan sebagainya …. menanggung segala resiko siap mewartakan Kristus jalan kebenaran dan hidupnya bukan diri anda sendiri…” Dan terus menerus hidup dalam suka cita dan rasa syukur akan panggilan dan pilihan Tuhan sendiri sambil menguatkan diri untuk berani mengatakan setiap kali, kepada Tuhan Yesus, seperti Simon: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa Aku mengasihi Engkau” (Yoh 21:15-19).

Homili dalam Misa Krisma-Pembaharuan Janji Imamat

3 April 2012Msgr. V. Sutikno Wisaksono

Uskup Surabaya

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 3

DAFTAR ISI

PEMBUKA ...........................................................................................6SAMBUTAN BAPAK USKUP SURABAYA .....................................7

Satu : Hakekat Ekaristi1. RP. Robertus Wijanarko, CM Imamat dan Ekaristi – Konteks, Imam dan Ekaristi, Penutup ......92. RD. Antonius Luluk Widyawan Ekaristi dalam Imamatku – Mempersiapkan, Mewartakan,

Menghadirkan, Menghayati dalam Keseharian ...........................173. RP. Antonius Sad Budianto, CM Ekaristi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku –

Persiapan, Pewartaan Sabda Allah, Menghayati Konsekrasi dan Komuni, Ekaristi dan Pelayanan Imamat Sehari-hari, Aturan Liturgi ..........................................................................................21

4. RP. Antonius Sapta Widada, CM Menghayati Ekaristi ....................................................................26

Dua: Masa Kecil5. RD. Bernardinus Yustisianto Ekaristi Sejak Kecil......................................................................296. RD. Alphonsus Boedi Prasetijo Bertumbuh dalam Ekaristi berkat Cinta Orangtua – Pentingnya

Persiapan, Tetap Rajin dan Setia, Berpartisipasi Aktif, Hening dan Sujud Menyembah, Bersama Maria Selalu ..............347. RP. Sebastianus W. Bu’ulölö, CM Pesona Ekaristi – Pengantar, Berada dalam Dekapan Bunda,

Teropong Hidup, Wow… Aku Jadi Imam, Membagi Roti dan Piala Keselamatan, Penutup ........................................................40

8. RD. Bruno Joko Santoso Membentuk Diri bersama Ekaristi – Pengalaman di Paroki

Ngawi, Persiapan Fisik, Persiapan Homili, Persiapan Tata Upacara Perayaan Ekaristi, Penutup ..........................................49

Page 4: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku4

Tiga: In Persona Christi9. RD. Adrianus Akik Purwanto Refl eksi Ekaristi – Persiapan sebelum Mempersembahkan Ekaristi,

Penghayatan sebagai Pewarta Sabda Allah, Penghayatan Saat Liturgi Ekaristi khususnya Konsekrasi, Penghayatan Ekaristi dalam Kehidupan Sehari-hari sebagai Imam, Pentingnya Rubrik dan Aturan-aturan Liturgi dalam sebagai in Persona Christi .......57

10. RD. Agustinus Tri Budi Utomo “In Persona Christi, Oh…” - Persiapan, Pada Waktu Melayani

Misa .............................................................................................6311. RD. Antonius Padua Dwi Joko Melestarikan Martabat Sakramen Ekaristi – Pentingnya

Persiapan, Merayakan Hidup Harian, Melestarikan Martabat Sakramen Ekaristi: Setia pada Norma-norma Liturgi .................69

Empat: Menatap Umat12. RD. Fanny Stephanus Hure Menatap Umat Dalam Ekaristi – Pemahaman akan Ekaristi,

Penghayatan akan Ekaristi ..........................................................7513. RD. Gregorius Dhani Driantoro Ekaristi: Menghadirkan Rahmat Bagi Umat – Pentingnya

Persiapan sebelum Misa, Menghadirkan Kurban Kristus, Menghayati Ekaristi dalam Rutinitas, Rubrik: Rambu-rambu untuk Belajar Berliturgi yang Baik, Review: Hasil Sharing tentang Ekaristi pada Saat Rekoleksi Imam, Penutup .................79

14. RP. Emanuel Prasetyono, CM Apakah Kamu Mencintai Aku? – Pertanyaan Sang Guru

pada Simon Petrus, Pertanyaan Sang Guru pada Para Imam, “Diingatkan” oleh Sakramen Ekaristi .........................................87

15. RP. Noel Villafuerte, SDB Mukjizat Ekaristi (Di Altar Pengorbanan dan Di Altar

Kehidupan) ..................................................................................93

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 137

dalam bagian pengantar saja ia sudah mengingatkan kita akan bahaya penyepelean dan pemiskinan misteri ekaristi sebagai hanya perjamuan persaudaraan, dimiskinkan dan bahkan dilepaskan dari makna sakrifi sialnya: “Terkadang terjadilah pemiskinan yang hebat pada pemahaman misteri Ekaristi. Dilucuti dari makna kurbannya, Ekaristi dirayakan hanya sebagai perjamuan persaudaraan saja” (art. 10). Dalam perayaan ekaristi atau lebih tepat perayaan kurban ekaristi, imam diingatkan bahwa dia tidak hanya mempersembahkan kurban Kristus di salib bagi keselamatan kita, tetapi ia mempersembahkan dirinya sebagai kurban (suka duka hidupnya, kelelahan, keputusaasaan, jerih payahnya mengikuti Kristus, dsb) bersama dengan kurban salib Kristus untuk keselamatan dirinya dan dunia. Kurban Kristus ialah salib dan penyalibannya untuk menyerah kepada kehendak Bapa sampai mati, mati di kayu salib.

Hari ini tanggal 3 april 2012. Kebetulan tepat tanggal 3 April ini, lima tahun yang lalu, dalam misa krisma yang sama ada pengumuman bahwa saya ditunjuk sebagai uskup Surabaya. Umat bersorak gembira bahwa ada berita uskup baru bagi Keuskupan Surabaya. Seorang sahabat imam berkomentar: “Selamat dan profi siat, siap-siap untuk disalib untuk kedua kalinya!”. Lho, kok begitu? Ia menjawab: “Lho kan kita waktu ditahbiskan menjadi imam itu kan siap disalib untuk pertama kalinya, dan kalau ditahbiskan menjadi uskup itu berarti disalib untuk kedua kalinya!”.

Benar saudara-saudara, anda pada lima tahun yang lalu bersorak gembira karena ada seorang yang siap disalib, dikurbankan menjadi uskup. Mengikuti kata-kata bijaksana seorang imam tadi, penunjukan jadi uskup oleh Paus ini saya terima dengan hati yang bergetar. Tanyakan kepada setiap imam apakah ia mau menjadi uskup? Kalau ia menjawab langsung ya, itu berarti ia tidak tahu dan sadar apa yang ia katakan.

Akhirnya, saya mengajak para imam mengulangi janji imamat dengan kembali ke hakekat imamat ialah mau menjadi kurban hidup yang menyerupai kurban salib Tuhan kita. Maka berhentilah mengeluh seperti litani serba salah seorang imam tadi. Siap untuk disalib dalam bentuk pengalaman “tidak diterima, ditolak, disalahmengerti oleh umat, bahkan uskup anda, diperlakukan sewenang-wenang oleh umat

Page 5: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku136

imam. Tahbisan imamat bukan seperti janji politik (yang digembar-gemborkan dengan kontrak politik para pemimpin politik). Para imam diminta untuk berjanji bersatu lebih erat dengan Kristus dan dengan demikian menjadi serupa dengan Kristus, confi guratio cum Christo (bahasa Pastores Dabo Vobis).

Memang imamat bisa dilihat sebagai pejabat atau katakanlah pelayan Gereja, pelayan umat dalam hidup rohani. Ini tentang hidup dan karyanya dalam Gereja. Ini secara eklesiologis benar, tetapi kalau kita bicara benar-benar, imamat selalu harus diartikan pertama-tama secara kristologis. Apakah ia mempunyai hubungan yang erat dengan Kristus. Itulah imamat perjanjian baru, yang mencirikan persatuan seorang imam dengan Kristus yang menjadikan diriNya kurban. Bukan imamat perjanjian Lama yang sekedar mengantarai persembahan kurban manusia pada Allah. Itulah yang dimaksud dengan imamat perjanjian baru.

Maka bagaimanapun ia perbuat apakah ia perbuat selalu dalam rangka in persona Christi, seperti tepat seorang imam mempersembahkan misa, kurban misa ini in persona Christi. Ia mengambil bagian dari imamat Kristus yang menjadikan dirinya kurban sepanjang masa. Bacaan injil hari ini mengisahkan bagaimana Yesus harus menanggung diri menjadi kurban bahkan menjadi kurban pengkhianatan muridnya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku”…”Tuhan, siapakah itu?”. Benar seluruh hidup Tuhan Yesus Kristus adalah kurban. Kesadaran itu sudah terungkap sejak kecil … Tuhan Yesus menjawab ibuNya, setelah menemukan Dia dalam bait Allah: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa aku harus berada dalam rumah BapaKu?” Tidak ada jalan hidup yang normal wajar menurut dunia selain terus mencari kehendak Bapa dan melaksanakan serta berkurban.Terus dan terus dan sampai kulminasi: “Biji gandum harus jatuh ke tanah dan mati, kalau tidak ia akan menjadi sebiji saja…tetapi kalau mati ia akan menghasilkan banyak buah.”

Dalam rekoleksi krisma hari ini, kita semua dicerahi oleh renungan imamat dan ekaristi. Sebagai pelayan ekaristi atau misa kita diingatkan lagi akan “in persona Christi sacrifi cium”. Paus Yohanes Paulus dalam ensiklik Ecclesia de Eucharistia 2003, bahkan

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 5

Lima: Menjadi Ekaristis16. RD. Petrus Kanisius Edi Laksito Imamat dan Hidup yang Berakar dalam Ekaristi........................9717. RD. Yuventius Fusi Nusantoro Kehadiran Allah yang Istimewa dalam di dalam Ekaristi (Sebuah Refl eksi untuk Para Pelayan Sakramen Ekaristi) –

Pengantar, Kehadiran Allah di luar Gereja, Kehadiran Allah di dalam Ekaristi, Konsekuensi Keagungan ini bagi Imam,

Pelayan Ekaristi, Penutup ..........................................................10518. RD. Daniel Setiawan Siapkan Ekaristi dengan Baik (Sebuah Refl eksi) – Pengantar,

Siapkan Ekaristi dengan Baik!, Mempersiapkan Sabda, Merayakan Ekaristi dengan Baik: Mengawali Penghayatan dan Daya Guna Ekaristi bagi Hidup Imam (at), Penutup ................114

19. RD. Stefanus Iswadi Prayidno Ternyata Ekaristi yang Menguatkan Aku – Jejak-jejak yang

Meneguhkan, Merasakan Keindahan Ekaristi, Ekaristi dan Hidupku sebagai Seorang Imam ...............................................119

20. RP. Canisius Sigit Tridrianto, CM Imamat: Berproses Menjadi Manusia Ekaristis – Aku Dipanggil

Menjadi Imam, Berangkat dari Identitas Imam, Manusia Ekaristis: Pribadi yang Dicintai dan Mencintai, Aku Adalah Mempelai Gereja, Aku adalah Manusia Rohani yang Berpusat pada Kristus, Aku Dipanggil Menjadi Insan Persekutuan, Pewarta Sabda, dan Pelayan Misteri Allah. ............................................126

21. Msgr. V. Sutikno Wisaksono Imam dan Ekaristi......................................................................135

Page 6: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku6

PEMBUKA

BUKU berjudul “Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku” ini berisi aneka sharing iman para romo yang

berkarya di Keuskupan Surabaya sebagai refl eksi pada Tahun Liturgi dan sekaligus menyongsong Kongres Ekaristi. Dari 20 tulisan yang masuk kami pilah dalam lima bagian, yakni (1) Hakekat Ekaristi, (2) Masa Kecil, (3) In Persona Christi, (4) Menatap Umat, dan (5) Menjadi Ekaristis. Ternyata sharing pengalaman iman para imam kita beraneka. Semoga pengelompokan di atas membantu kita untuk menimba lebih dalam akan penghayatan Sakramen Ekaristi bagi para imam khususnya, juga bagi umat kebanyakan.

Anda bisa membaca aneka pengalaman di atas secara tersendiri. Karena bunga rampai ini ditulis oleh beraneka imam yang berpengalaman yang berbeda. Namun satu benang merah menyangkut persiapan, penghayatan Sabda dan Ekaristi, baik berdasarkan rubrik dan aturan serta penghayatan hidup sehari-hari bisa kita ikuti sebagai alur sharing pengalaman hidup imamat para imam.

Selamat membaca. Semoga bermanfaat.

EDITOR

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 135

IMAM DAN EKARISTIOleh Msgr. V. Sutikno Wisaksono

Tahun 1997, majalah Hidup pernah memuat sebuah karangan berjudul “litani serba salah seorang imam”. Sebaris litani berbunyi

begini: Kalau imamnya rajin berdoa, umat menganggap ia sok suci…kalau imamnya mempersiapkan kotbah dengan baik dan menarik hati banyak umat, umat menganggap dia sok populer, kalau ia rela dan rajin mempersembahkan misa, ia bisa dianggap tukang misa … dan sebagainya. Kira-kira litani serba salah ini adalah sebagian dari jeritan, keluhan seorang imam yang sudah jenuh menjadi sorotan publik.

Bagaimanapun harus diakui imam dan imamat tetap mendapat sorotan publik dan diharapkan banyak oleh umat. Terakhir malah dalam majalah yang sama ada wacana tentang imam yang kompeten (terpengaruh oleh pendidikan kurikulum berbasis kompetensi mungkin). Kita tahu bahwa banyak harapan kepada pribadi imam sehingga seolah-olah imam itu harus begini dan begitu sesuai dengan harapan umat dan harapan umat pada jamannya.

Umat bisa berganti generasi dan jaman bisa berganti jaman, tetapi hakekat imamat ialah imamat Kristus. Orang bilang ada macam-macam krisis. Ada krisis moral, ada krisis sosial, ada krisis iman dan ada imamat, bahkan lebih tepat disebut krisis identitas imamat. Terjadi krisis karena imam kehilangan jati diri cenderung untuk membuktikan diri menonjolkan diri. Padahal pertama-tama imam harus dilihat sebagai siapakah dia, hakekatnya bukan aksinya. Ingat akan maxim dari fi lsafat skolastik “agere sequitur esse”. Apanya seseorang itu mengikuti siapakah dia atau hekekatnya. Bukan karena dia bisa ini, hebat ini dan itu lalu dia ini ..... Bacaan pertama dari kitab nabi Yesaya mengungkapkan peneguhan diri nabi Yesaya di tengah rasa ragu dan frustrasi di tolak umat sebagai nabi dengan berkata: “Tuhan telah memanggil aku sejak dari kandungan, telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku. Ia telah membuat mulutku sebagai pedang yang tajam dan membuat aku berlindung dalam naungan tanganNya…”

Sore ini para imam keuskupan Surabaya membaharui janji imamat. Dalam janji itu diingatkan akan hakekat imamat bukan pertama karya, kesuksesan diri atau apa yang bisa dibuatnya sebagai

Page 7: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku134

DAFTA PUSTAKA :Briere, Emile, Imam Membutuhkan Imam, (terj.), Malang, Penerbit

Dioma, 2003.Nouwen, Henri J.M., Diambil, Diberkati, Dipecahkan, Dibagikan:

Spiritualitas Ekaristi dalam Dunia Sekuler, Yogyakarta: Pener-bit Kanisius, 2008.

Ramadhani, Deshi (Pengantar), Kesetiaan Kristus Kesetiaan Para Imam, Bahan Retret Imam Keuskupan Agung Jakarta, 4 - 11 Juni 2010.

Sudhiarsa, Raymundus (Ed.), SVD, Romo, Aku Cinta Kamu: Pe-layanan Imam Di Desa-Desa dan Kota-Kota Jawa Timur, Ma-lang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2010.

DOKUMEN GEREJA :Imam, Gembala, dan Pemimpin Paroki, Instruksi Konggregasi Klerus.

Katekismus Gereja Katolik.Pastores Dabo Vobis, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang

Pembinaan Imam dalam Situasi Zaman SekarangPresbyterorum Ordinaris, Dekrit Tentang Pelayanan dan Kehidupan

Para Imam. Vita Consevrata, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang

Hidup Bakti bagi para Religius.Direktorium tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam

RP. Canisius Sigit Tridrianto, CM, Pengurus Yayasan Pendidikan Lazaris, Guru SMAK St. Louis, Surabaya dan Pastor

Rekan di Paroki St. Marinus Yohanes, Kenjeran, Surabaya. Motto Imamat: “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan

kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya.” (Rom 8:28)

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 7

SAMBUTAN BAPAK USKUP SURABAYA

Bila Ekaristi adalah pusat dan puncak hidup Gereja, maka haruslah juga menjadi pusat dan puncak dari pelayanan imamat. Dengan demikian, penuh dengan rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, saya ulangi bahwa, Ekaristi ‘adalah prinsip dan inti alasan (raison d’etre) pengadaan Sakramen Imamat,

yang memang timbul pada saat pendasaran Ekaristi.” (Ensiklik Ecclesia de Eucharistia, Yoh. Paulus II, 31).

SAYA menyambut gembira terbitnya buku “Ekaristi sebagai Sum-ber dan Puncak Hidup Iman dan Imamatku” yang merupakan

kompilasi sharing penghayatan para imam dari Keuskupan Surabaya dalam rangka Kongres Ekaristi Keuskupan Surabaya, 22-24 Juni 2012. Memang sungguh benar apa yang ditegaskan Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Ecclesia de Eucharistia di atas, bahwa hanya imam yang tertahbiskan untuk bertindak dalam pribadi Kristus, in persona Chris-ti, menghadirkan kurban Kristus bagi keselamatan manusia, sepertinya mengatakan “untuk itulah imam ditahbiskan”.

Sharing-sharing para imam yang terkompilasi dalam buku ini hen-daknya memperkaya penghayatan para imam untuk mempersembahkan hidup imamatnya dalam Roh. Bukankah setiap kali imam membuka Perayaan Ekaristi, bahkan dalam misa yang paling sederhana pun, ia berkata: “Tuhan sertamu”, dan dijawab umat, “Dan serta rohmu”. Se-moga setiap kali imam mengawali misa dengan menyelaraskan roh den-gan Roh Kudus yang akan membebaskan imam dari “asal misa, dan parahnya asal mengucapkan kata-kata dalam misa”, mengatasi rasa bo-san ( ex opera operato, asal bunyi saja)… karena para imam sungguh in persona Christi!

Penghayatan Ekaristi yang personal, dan in persona Christi ini akan menjadi kaya dengan berkat rohaninya jika ditunjang oleh iman dan cinta kasih, seperti dinyatakan oleh St. Alfonsus de Liguori: Dari se-mua devosi, sembah sujud terhadap Yesus dalam Sakramen Mahakudus adalah yang paling agung daripada sakramen lain, yang paling berkenan kepada Allah dan paling bermanfaat bagi kita.

Semoga hidup imamat kita semakin Ekaristis karena untuk itulah kita ditahbiskan!

Berkat Tuhan, Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono

Uskup Surabaya

Page 8: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku8

Satu: Hakekat Ekaristi

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 133

Sikap lepas bebas dan kesiapsediaan merupakan buah karya Roh yang selalu saya rindukan untuk semakin memurnikan dan membebaskan saya dari segala keterikatan.

3. AKU DIPANGGIL MENJADI INSAN PERSEKUTUAN, PEWARTA SABDA, DAN PELAYAN MISTERI ALLAH

Hidup dan jati diri imam bersumber pada Allah Tri Tunggal Maha Kudus. Persekutuan Allah Tri Tunggal menjadi sumber inspirasi hidup para imam untuk menjalankan tugasnya dalam kesatuan dengan Gereja. Hidup imam adalah hidup dalam “persaudaraan sakramental” (Presbyterium). Melalui imamat yang sama, para imam menjadi anggota persatuan yang diinkardinasikan pada suatu keuskupan. Karena itu, hidup bersama dalam komunitas imam, menjalin relasi harmonis dengan sesama imam baik mereka yang hadir dalam tugas perutusan yang sama maupun dengan para imam dari berbagai tarekat dan deoses akan membantu saya untuk semakin memperkaya hidup rohani dan kualitas pelayanan saya. Dukungan sesama imam sangat penting untuk memelihara anugerah luar biasa dari Sang Imam Agung ini.

Berkat Imamat saya diperkenankan Tuhan untuk ikut ambil bagian dalam karya-Nya dan itu menjadi bukti nyata bahwa Tuhan sungguh mencintaiku. Saya sangat bersyukur atas anugerah mulia tersebut. Ekaristi dengan demikian tidak terbatas pada saat saya mempersembahkan Perayaan Ekaristi. Kualitas Perayaan Ekaristi sebagai tanda dan sarana menghadirkan Kristus di tengah-tengah umat Allah yang saya persembahkan justru tergantung pada bagaimana kualitas ungkapan syukur saya dalam bentuk persembahan diri dan hidup secara tuntas sebagai manusia ekaristis. Yakni, sebagai pribadi yang dipilih, diberkati, dan dipecah-pecahkan untuk dibagi-bagikan. Saya dipilih, diberkati, dan dipecah-pecahkan tidak hanya demi diri sendiri, melainkan terutama bagi hidup Gereja dan seluruh umat Allah. Semoga saya tetap setia berada dalam panggilan hidup yang penuh rahmat ini.*

Page 9: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku132

khusus Kristus dengan Gereja-Nya, sehingga Ia juga disebut Mempelai Gereja, menjadi dasar dan inspirasi bagi relasi imam terhadap Gereja. Karena itu, saya hidup tidak lagi demi dan untuk diri sendiri. Apapun yang saya lakukan kini berkaitan langsung dengan hidup Gereja.

Hal paling saya syukuri dalam hidup adalah bahwa dengan mem-persembahkan Ekaristi, saya yang lemah dan rapuh ini diperkenankan untuk bertindak in Persona Christi Capitis et in Nomine Ecclesiae. Saya diperkenankan menjadi pelayan rekonsiliasi dengan Tuhan dan sesama. Saya diutus untuk melayani Gereja dan mengantar umat kepada Allah. Saya diperkenankan ikut ambil bagian dalam melaksanakan tugas Kris-tus mewujudkan dan menyebarkan kasih pengampunan Bapa. Anugerah pelayanan penggembalaan tersebut bersumber pada cinta dan kekuatan Allah. Kristus memperkenaankan saya dalam naungan khusus-Nya, yaitu dalam genggaman tangan dan cinta-Nya. Oleh karena itu, saya tidak boleh bosan untuk terus menenggelamkan diri dalam cinta-Nya.

2. AKU ADALAH MANUSIA ROHANI YANG BERPUSAT PADA KRISTUS

Menjadi imam berarti diplih untuk menjadi manusia rohani. Berkat sakramen tahbisan, imam dijadikan secitra dengan Kristus Sang Imam Agung. Cara hidup dan pelayanan para imam berpolakan pada cara hidup dan pelayanan Kristus. Dengan demikian Kristus menjadi titik tolak sekaligus pusat hidup pelayanan para imam. Dalam dan melalui pelayanan yang tulus dan tuntas, para imam mengupayakan kesempurnaan hidup mereka. Melalui tugas panggilan itu, para imam mengejar kekudusannya agar semakin serupa dengan Kristus. Hidup rohani imam terpancar dari relasi mesranya dengan Kristus. Karena itu, Ekaristi menghantar saya untuk ada dan tinggal bersama Kristus. Menjadi manusia ekaristis tidak hanya pada saat mempersembahkan ekaristi, namun dalam setiap tarikan nafas saya mestinya mengupayakan hidup seperti Kristus.

Selibat dan nasehat-nasehat injili: ketaatan, kemurniaan, dan kemiskinan menjadi sarana bagi saya untuk membangun hidup rohani dan pelayanan. Selibat merupakan kurnia karena dengan itu saya diperkenankan untuk hidup secara khusus bagi Kristus agar bisa lebih bebas melayani Allah dan sesama, sekaligus memampukan saya untuk mengungkapkan keintiman dengan Allah dan Gereja-Nya. Rahmat tahbisan tidak dengan sendirinya membebaskan saya dari kecenderungan melakukan dosa, juga dari segala kelemahan dan keterbatasan. Maka,

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 9

IMAMAT DAN EKARISTIOleh RP. Robertus Wijanarko, CM

DALAM Perayaan Kamis Putih Gereja memperingati dan merayakan penginstitusian dua sakramen penting yang saling berkaitan

dalam Gereja, yaitu Sakramen Imamat dan Ekaristi. Kedua sakramen tersebut mengalir dari sebuah kehendak yang sama. Tanpa Sakramen Imamat, tidak ada “presentia realis” dalam Perayaan Ekaristi; demikian pula sebaliknya tanpa Sakramen Ekaristi makna pelayanan imamat tidak akan menyentuh titik kepenuhanya. Karena tindakan imamlah, kehadiran Allah dalam sakramen menjadi nyata. Dan berkat Sakramen Ekaristilah, seorang imam tidak sekedar menjadi seorang pekerja dengan keahlian tertentu, tetapi menjadi saksi iman dan sekaligus alter Kristus ( Alter Christi). Kesaksian dan tindakan iman seorang imam membuat kehadiran yang ilahi di dalam dunia menjadi nyata.

Dalam kesempatan ini saya mengajak kita semua untuk merenungkan makna Ekaristi bagi kita para imam. Supaya refl eksi kita tidak jatuh pada refl eksi-refl eksi murni teologis yang steril dari situasi kita, di mana untuk wilayah ini kita sudah akrab dengan ajaran-ajaran teologis yang kita terima, saya mengajak para romo untuk merefl eksikan kehidupan imamat dari sebuat konteks, yakni konteks kehidupan Gereja kita di Keuskupan Surabaya. Untuk itu kita pertama-tama akan melihat beberapa kecenderungan dalam kehidupan Gereja, yang mempengaruhi pandangan imam dan bahkan juga gambaran diri imam. Kemudian kita akan melihat hubungan antara citra imam dari konteks tersebut dengan Sakramen Ekaristi.

KONTEKSBeberapa tahun terakhir ini kita berbicara tentang Arah Dasar

Keuskupan dan penataan aneka bentuk pelayanan Gereja di Keuskupan Surabaya. Kita tidak berhenti pada upaya untuk menciptakan sebuah Visi (ide), tetapi mengorganisasi suatu gerakan terprogram dan tersistem. Fenomena ini menandai sebuah kesadaran bahwa sudah saatnya kita mengelola dan mewujudkan kehidupan Gereja yang lebih terarah dan terprogram. Karenanya dalam kesempatan kunjungan-kunjungan pastoral, perhatian para pimpinan Gereja tidak hanya terarah pada dinamika pastoral paroki, tetapi juga pengelolaan uang paroki, dan bahkan juga keuangan rumah tangga pastoran dan kehidupan rohani dari

Page 10: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku10

para imam. Pendek kata penataan berbagai aspek kehidupan pastoral diperhatikan karena kita ingin menjadi terang dan garam yang lebih berdaya guna di tengah kehidupan masyarakat dengan aneka tantangan barunya.

Arah baru tersebut semakin dimungkinkan ketika jumlah personel imam yang berkarya di Keuskupan Surabaya juga dirasa semakin mencukupi. Mulai tahun kemarin hampir di semua paroki atau unit karya tersedia sekurang-kurangnya dua tenaga imam. Karena jumlah tenaga imam yang mencukupi keinginan untuk menata aneka karya di Keuskupan juga semakin terasa longgar. Usaha untuk mempersiapakan secara khusus para imam untuk berkarya di bidang-bidang tertentu, dengan keahlian khusus, menjadi semakin dimungkinkan. Program study lanjut para imam juga mulai tertata, mengikuti aneka kebutuhan.

Upaya-upaya untuk menata arah dan strategi pastoral, yang antara lain dilakukan dengan mempersiapkan para imam dengan bekal keahlian khusus dan menempatkan mereka sesuai dengan keahlian yang mereka miliki, menandakan bahwa perjalanan kehidupan Gereja itu seiring dengan arah perjalanan masyarakat kita. Sebagaimana kita ketahui, kehidupan sosial dan budaya masyarakat kita, - berkat perkembangan organisasi sosial-budaya-ekonomi masyarakat, mengarah ke bentuk-bentuk spesialisasi, diversifi kasi karya-usaha, dan profesionalisme. Perjalanan kehidupan Gereja, sebagaimana saya utarakan, sudah seiring dengan arah perkembangan masyarakat. Sebagaimana halnya yang terjadi dalam arah perkembangan masyarakat, konsekuensi-konsekuensi yang mengiringi adanya spesialisasi, diversifi kasi, dan profesioanlisme, juga dihadapi oleh Gereja.

Selain itu, Gereja Keuskupan Surabaya juga ingin tetap menerus-kan panggilanya untuk terlibat dalam masalah-masalah sosial-ekonomi-politik yang dihadapi oleh masyarakat kita. Refl eksi Surat Gembala Pra-paskah tahun ini (dengan tema APP: Mewujudkan Hidup Sejahtera yang Ekaristis) dengan sengaja mengajak kita semua untuk berani memban-gun budaya kehidupan yang berlawanan arus dengan apa yang menjadi arus umum masyarakat dewasa ini: egoisme, kerakusan, korupsi dsb. Hidup sejahtera yang Ekaristis adalah hidup sejahtera yang dibangun berdasarkan kerelaan berbagi. Pendek kata, seruan tersebut menegaskan tekad Gereja Keuskupan Surabaya untuk tetap masuk dan terlibat di da-lam jantung persoalan masyarakat kita. Tentu saja ajakan ini bukanlah komitmen baru dalam sejarah kehidupan keuskupan kita.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 131

kepada mereka yang belum mengenal-Nya, yang melupakannya, dan kepada kaum miskin sebagai prioritas. (Bdk. VC 75).

Oleh karena itu, Paus Benediktus XVI dalam surat gembalanya menggarisbawahi makna “ Tahun Imam” sebagai tahun yang dimaksud-kan untuk memperdalam komitmen semua imam demi pembaruan inter-nalnya bagi kepentingan kesaksian yang lebih berdaya dan lebih tajam akan Injil dalam dunia dewasa ini. Semua orang yang telah dipercaya-kan tanggung jawab untuk penggembalaan umat terus-menerus dituntut pembaktian dirinya bagi pembangunan jemaat dan kesejahteraan umat. Hidup dan kehadiran imam diharapkan menjadi teladan bagi umatnya. (Bdk. 1Ptr 5:2). Imam dipanggil bukan untuk melakukan karya-karya hebat, tapi terutama diutus untuk melaksanakan semuanya itu dengan penuh cinta dan kesetiaan, seperti halnya Yesus Kristus yang sungguh setia dan cinta kepada Bapa-Nya.

Seperti Kristus, imam merupakan pribadi yang dikasihi oleh Al-lah. Imamat adalah cinta hati Yesus yang melanjutkan karya penebusan di dunia. St. Yohanes Maria Vianney mengatakan bahwa imamat itu adalah kasih hati Yesus. (Bdk. KGK 1589). Maka sebagaimana Kristus, ia juga hadir sebagai makhluk ekaristis. Imam dipilih, diberkati, dan dipecah-pecahkan untuk dibagi-bagikan. Dengan dibagi-bagikan, men-jadi jelas bahwa imam dipilih, diberkati, dan dipecah-pecahkan tidak hanya demi diri sendiri, melainkan terutama bagi hidup sesamanya.7

Kesadaran tersebut perlu terus menerus saya pelihara untuk meng-hayati panggilan imamat, yakni menghadirkan Kristus terutama dalam mempersembahkan Ekaristi Suci. Dalam setiap kesempatan, khusus-nya saat mempersiapkan diri sebelum mempersembahkan ekaristi, saya berusaha membiasakan diri untuk memeditasikan peran Kristus dalam kehidupan pribadi saya. Dalam butir-butir refl eksi itu setidaknya ada tiga hal yang terus-menerus saya maknai dalam pergulatan panggilan imamat saya.

1. AKU ADALAH MEMPELAI GEREJA Melalui rahmat tahbisan, saya secara khusus dipanggil untuk

melaksanakan karya penebusan Allah. Imam diangkat menjadi pelayan suci dengan ditandai oleh meterai yang tak terhapuskan, yakni diku-duskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah. Hubungan 7 Bdk. Henri J.M. Nouwen, Diambil, Diberkati, Dipecahkan, Dibagikan: Spiri-

tualitas Ekaristi dalam Dunia Sekuler, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008. Hal. 125.

Page 11: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku130

benaran dengan memberikan hidupnya, maka setiap orang perlu berbuat kasih agar kebenaran dan kehidupan itu semakin diwartakan. Ensiklik ini memberi inspirasi bagi Gereja untuk mengembangkan praksis hidup beragama yang berpihak dan berpijak pada kehidupan manusia, yakni kesiapsediaannya untuk melayani umat manusia.

Seorang imam mampu melakukan banyak hal sebagai wujud pem-berian diri itu bukan karena dia hebat, tapi karena ia sadar dan merasa-kan cinta yang telah ia terima, dan terus menerimanya dari Allah, dari sesamanya dan semua ciptaan. Imam adalah pencinta yang berdiri se-bagai jembatan antara cinta Kristus dan cinta semua orang. Di dalam diri imam, hadir dan tinggal Roh Kudus, yakni Roh Cinta. Ia memiliki rahasia hati Allah dan jiwa manusia.

Para imam dengan demikian adalah imam Gereja dalam dunia, yakni Gereja yang mempunyai tugas pengutusan dalam dunia. Gereja yang memberi kesaksian mengenai belas kasih Allah dalam Yesus Kristus untuk mengambil bagian dalam perubahan dunia, ke arah dunia yang lebih manusiawi. Imam Gereja adalah imam yang bersama-sama komunitas imamatnya terpanggil untuk terlibat dalam persoalan-persoalan yang dihadapi dunia. Ia menjadi imam yang terlibat dalam rencana belas kasih Allah untuk semua manusia. Bagi komunitas vita consecrata (kaum tertahbis), compassion for humanity adalah via consecrata, yakni jalan ilahi di atas bumi yang dibuka oleh Yesus Kristus sendiri sebagai Sang Terurapi (Consecratus = Mesias= Almasih). Secara istimewa via censecrata yang ditempuh oleh Sang Terurapi itu dibeberkan oleh Yesus dalam kisah tokoh rekaan-Nya: pria Samaria (Luk 10: 25-37). Kisah pria Samaria itu disampaikan oleh Yesus untuk menjawab pertanyaan: Siapa sesamaku? Pada awal abad ke-21 ini, kaum tertakdis diingatkan dan diajak untuk menempuh via consecrata : jalan compassion yang bergerak untuk merengkuh bagian tubuh humanity yang paling menderita.6 Semangat pelayanan para imam hendaknya didasarkan pada penyerahan dirinya kepada Allah, untuk mengasihi Tuhan dan melayani-Nya dalam diri mereka yang miskin dan menderita, sebagaimana dikehendaki oleh Penyelenggaraan Ilahi. Pelayanan dan cinta kasih secara tuntas kepada dunia saat ini tidak lain adalah mewartakan dengan penuh semangat tentang Yesus Kristus

6 Digemakan kembali dalam Kongres Vita Consecrata yang diselenggarakan di Roma, 23-27 November 2004, oleh USG (Union of Superiors General) dan UISG (International Union of Superiors General), mengangkat tema: With a Passion for Christ and a Passion for Humanity.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 11

Berangkat dari beberapa kecenderungan dan komitmen komuni-tas Gereja kita, berikut ini saya menyajikan beberapa refl eksi tentang gejala-gejala yang muncul-menyertai dalam kehidupan Gereja dan ber-pengaruh terhadap pandangan para Imam:

Pola Berpikir Parokialisme. Upaya mengikuti kecenderungan spe-sialisasi bisa membawa kita pada kecenderungan pola berpikir “paroki-alisme”. Pola berpikir eksklusif, hanya berorientesi pada “paroki” (apa yang dianggap sebagai wilayahnya sendiri). Bentuk-bentuk sikap atau pola berpikir parokialisme tidak tercetus dalam pikiran atau sikap yang secara eksplisit bertentangan atau berbenturan dengan pola berpikir mereka yang berkarya di wilayah “paroki” lain. Tetapi, tercetus pada kecenderungan untuk mencurahkan minat dan perhatiaan hanya pada “apa yang menjadi spesialisasinya”, sambil tanpa sadar menunjukkan kurang minatnya terhadap perutusan-perutusan lain atau aspek-aspek lain dari kehidupan Gereja. Sikap dan pola berpikir parokialisme tercer-min melalui cara membuat pertimbangan yang cenderung parsialistik, kurang melirik ke dimensi-dimensi lain yang lebih utuh dari kehidupan Gereja. Para imam, yang menjadi bagian dari masyarakat dan Gereja, juga tidak terlepas dari kecenderungan untuk berpola pikir parokialistis semacam ini, dan pelan-pelan menjadi tidak mampu untuk keluar dari cara pandang yang hanya bertolak dari “parokinya”. Secara laten sikap dan pola berpikir parokialisme ini bisa muncul dalam berbagai wajah.

Tuntutan profesioanlisme. Seiring dengan perkembangan tuntutan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, Gereja juga membekali diri dengan upaya-upaya yang mengarah ke bentuk-bentuk pelayanan yang profesional. Kita para imam juga mengalami apa yang menjadi konsekuensinya, yang dalam konteks kehidupan imamat adalah “ profanisasi” tugas imamat. Mungkin kita tidak secara ekplisit mengejar sebuah karir dalam profesi atau perutusan kita. Tetapi kita menjadi dan merasa “baik-baik saja” ketika perutusan kita berkembang (peran dan “citra” kita menanjak). Dan perutusan yang kita miliki meletakkan kita pada status atau peran sosial tertentu. Sementara itu kita tidak terlalu menaruh perhatian apakah kehidupan kita sebagai seorang imam bertumbuh atau tidak. Kesuksesan perutusan kita, tidak beriringan dengan kematangan kehidupan imamat kita. Beberapa peristiwa sungguh mengejutkan kita. Tiba-tiba seorang imam memutuskan untuk meninggalkan imamat dengan alasan tertentu, seolah-olah keluhuran nilai imamat tidak menjadi bahan pertimbangan yang berarti. Contoh ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa seorang imam karena tuntutan

Page 12: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku12

profesionalisme, bisa jatuh pada pemikiran yang berorientasi pada profesi atau jabatan (yang memberikan status dan peran sosial tertentu); dan lupa untuk terus menerus memupuk kehidupan imamatnya. Tugas dan nilai imamat seolah-olah melekat pada tugas perutusan yang diembanya, yang memang memberi dia peran dan status sosial tertentu. Karenanya ketika dia kehilangan status dan peran sosial tersebut atau tidak mampu mengkaitkan perutusan tersebut dengan imamatnya, dia mengalami disorientasi. Dengan demikian tuntutan profesionalisme bisa menciptakan jarak antara keberhasilan dalam pekerjaan (doing) dengan pertumbuhan pemahaman dan penghayatan akan hakekat imamat (being).

Tambahan lagi, ketika institusi-institusi Gereja harus menyesuai-kan budaya dan sistem kerjanya dengan tuntutan profesionalisme, mau tidak mau para petugas Gereja, termasuk para imamnya, juga harus tun-duk pada tuntutan-tuntutan institusi. Bentuk-bentuk relasi yang terpola berdasarkan sistem hierarkis dalam institusi-institusi Gereja (jabatan, jenjang kepangkatan, gaji, lingkunagn sosial dsb), perlahan-lahan juga mempengaruhi pola relasi kita di dalam kehidupan rumah/komunitas. Kedekatan hati, kesatuan, kesetaraan, dan spontanitas bisa jadi terping-girkan oleh kebiasaan relasi yang terpola di lingkungan institusi-institu-si karya Gereja. Mulai tidak asing bagi kita ketika kita mendengar ada imam yang merasa bangga karena memberi sumbangan keuangan lebih besar kepada komunitas dibandingan imam yang lain. Ada yang merasa lebih dari yang lain karena gelar atau jenjang kepangkatan. Ada yang merasa elite karena mempunyai lingkungan dan kehidupan sosial yang lebih tinggi dan terpelajar dibandingkan dengan rekan-rekan imam yang lain. Ada yang merasa bahwa rekan-rekan imamnya adalah anak buah-nya, karena sama-sama bekerja di sebuah unit karya perutusan. Karena itu, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa tuntutan profesioanlisme yang melahirkan pola relasi tertentu, yang juga mempengaruhi pola relasi dalam kehidupan komunitas bisa menjadi tantangan tersendiri bagi upaya untuk membangun sebuah komunio para imam.

Seruan-seruan supaya kita terlibat ke jantung persoalan yang dih-adapi masyarakat kita juga tanpa resiko. Dalam sejarah Gereja Katolik, kita mengalami jatuh bangun untuk mewujudkan keterlibatan sosial se-cara tepat tanpa kehilangan misi kita yang terdalam. Bahkan di dalam sejarah keuskupan kita sendiri kita juga bisa menengarai keterlibataan para imam kita baik secara langsung maupun tidak langsung di ranah so-sial dan ekonomi, (dan politik) yang menggiring ke sebuah keterlibatan

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 129

C. MANUSIA EKARISTIS: PRIBADI YANG DICINTAI DAN MENCINTAI

Banyak orang bertanya, mengapa untuk menjadi imam itu diperlukan proses yang panjang dan berliku. Saya dalam hati juga pernah mengajukan pertanyaan yang sama. Namun setelah melewati proses pembinaan secara sistematis selama di seminari, mata hati saya makin terbuka bahwa proses “menjadi” imam itu ternyata tidak pernah mengenal titik akhir. Karena, “Para imam itu penting bagi umat Allah, bukan hanya karena apa yang dilakukannya melainkan juga karena siapa dia.”4 Hidup para imam merupakan suatu proses identifi kasi diri yang dinamis dan bersinambung dari para imam ke arah inkorporasi dalam pribadi Yesus Kristus. Proses inkorporasi membutuhkan komitmen, ketulusan, dan pengurbanan diri dalam terang kebijaksanaan salib, yakni “kehilangan nyawa untuk menyelamatkannya.” (Bdk. Luk 9:24). Oleh karena itu, hidup seorang imam berada dalam kisaran cinta. Ia membawa cinta Allah kepada manusia dan cinta manusia kepada Allah. Imam dipanggil menjadi pencinta sejati.5 Melalui tahbisan, ia dipanggil untuk memberikan diri tanpa pamrih. Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa melalui penumpangan tangan pada saat imam ditahbiskan, Kristus menempatkan imam dalam naungan khusus-Nya, yaitu dalam genggaman tangan dan cinta-Nya. Imam perlu menenggelamkan diri dalam cinta-Nya. Proses mencintai memang tidak pernah mengenal kata akhir.

Dalam Ensiklik pertamanya, Paus Benediktus XVI ( Deus Caritas Est) menegaskan adanya kesatuan cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama. Cinta pada sesama adalah jalan yang mengantar manusia menuju perjumpaan dengan Allah. Sebaliknya, mereka yang menutup diri pada sesama, juga buta akan Allah. Hanya mereka yang bersedia mencintai sesama juga akan peka terhdap kerahiman Allah. Cinta kasih pada Allah dan sesama dengan demikian tidak dapat dipisahkan. Salah satu wujud kegagalan umat manusia adalah jika mereka lalai menghargai martabat manusia dan kurang peka terhadap penderitaan orang lain. Melindungi iman kristiani termasuk di dalamnya berarti mengasah kepekaan mereka akan kehadiran sesama, khususnya mereka yang paling mederita, lemah, dan paling ditolak dalam masyarakat. Allah telah membagi kasih dan ke-

4 Pernyataan Kardinal Claudio Hummes, Prefek dari Konggregasi untuk Imam, dalam surat untuk membuka Tahun Bagi Para Imam, www.mirifi ca.net/artDetail.php?aid=5770, akses 24 Agustus 2010.

5 Emile Briere, Imam Membutuhkan Imam, (terj.), Malang, Penerbit Dioma, 2003, hlm.77-79.

Page 13: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku128

pelayanan kepada manusia seperti nampak dalam persembahan Ekaristi (Bdk. Luk 22-19-20). Melalui tugas itu Gereja tak henti-hentinya dibangun menjadi umat Allah, Tubuh Mistik Kristus dan Roh Kudus di dunia ini. Sebagai nabi, tugas utama imam adalah mewartakan sabda Allah. Dalam tugas tersebut, para imam mewartakan iman Gereja akan Yesus Kristus yang disalibkan dan bangkit, maka Gereja sangat menekankan pentingnya iman-eksistensial dari para imam yaitu kesatuan mendalam antara hidup dan Sabda Allah di dalam diri mereka. Imam yang beriman eksistensial akan gelisah ketika menjumpai manusia yang telah ditebus oleh Allah itu tak berdaya karena teralienasi oleh komunitasnya sendiri. Imam dengan demikian tidak bisa menutup diri terhadap realitas yang ada disekitarnya.

Imamat bagi saya merupakan “ amanah”, karena jati diri imam dan perutusannya bertitik tolak dari hakekat Imamat sebagai sakramen yang secara fungsional mempunyai arti dan makna khusus bagi kehidupan Gereja. Imamat diberi tempat terhormat sebagai sakramen menunjukkan bahwa di dalam Gereja, dimensi pelayanan iman Gerejawi mendapat porsi yang sangat penting dan mendasar. Mengapa? Karena, sakramen hakekatnya dikehendaki dan diadakan oleh Yesus Kristus untuk menyatakan keberlanjutan karyanya dan guna menyampaikan berkat penebusan-Nya. “Semua imam, bersama dengan para uskup, mengambil bagian dalam imamat Yesus Kristus yang satu dan sama sedemikian rupa, sehingga kesatuan tahbisan dan perutusan itu sendiri menuntut hubungan hirarkis para imam dan jabatan uskup.” (PO 7). Pilihan dan komitmen seumur hidup sesuai dengan tuntutan-tuntutan rohani yang khas dalam kehidupan para imam, yakni kerendahan hati dan ketaatan (PO 15), selibat yang diterima dan dihargai sebagai karunia (PO 16), dan sikap terhadap dunia dan harta dunia, yaitu kemiskinan sukarela (PO 17). Karena itu bagi setiap imam, termasuk saya, martabat imamat adalah suatu pilihan hidup, sebuah komitmen untuk identifi kasi diri terus menerus dengan Yesus Kristus dan dengan tugas-tugas misianis-Nya.

Anugerah sekaligus amanah itu tentu tidak mampu saya terima dan laksanakan dengan usaha dan kerja keras sendiri. Diperlukan ker-ja sama dengan pemilik rahmat itu, yakni Yesus Kristus Sang Imam Agung. Saya makin disadarkan bahwa relasi harmonis seorang imam dengan Yesus Kristus tidak hanya merupakan kebutuhan tapi terutama adalah sebuah keutamaan yang terus harus dikejar sepanjang hidup.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 13

bernuansa “daging” yang kurang digerakkan dan diarahkan ke “Sabda”. Keterlibatan kita bukan merupakan manifestasi dari sebuah “ teologi inkarnatoris”, tetapi terjerembab ke sebuah keterlibatan tanpa spiritu-alitas. Atau, biarpun didasarkan pada sebuah visi spiritualitas, tetapi pelaku-pelakunya terseret ke arus keterlibatan seraya menjadi permisif terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang imam sebagai makhluk rohani.

IMAM DAN EKARISTI Spiritualitas Kristiani, adalah spiritualitas yang bercorak Inkar-

natoris. Dasar dari spiritualitas Inkarnatoris adalah kebenaran iman bahwa Allah yang kita imani adalah Allah menjelma menjadi daging. Allah menjadi Allah sejati dan bermakna bagi kehidupan dan kesela-matan manusia karena ia menjelma menjadi daging, masuk dan ambil bagian dalam sejarah kehidupan manusia. Allah juga berinkarnasi un-tuk menyempurnakan semua yang sudah diciptakanya. Kebenaran iman yang fundamental inilah yang memberi corak refl eksi teologis kita ten-tang Sakramen Imamat dan Ekaristi. Di dalam Sakramen Ekaristi Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya supaya manusia dengan menyantap Tubuh dan Darah-Nya masuk ke dalam kehidupan Ilahi. Imamat adalah juga sakramen yang membuat mampu seorang imam menghadirkan se-cara nyata kehidupan ilahi, melalui tindakan memberkati air dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus.

Tindakan iman umat Allah yang disatukan dengan tindakan iman seorang imam dalam konsekrasi ini menjadi semakin otentik jika imam juga memupuk, menyelaraskan, dan menyatukan kehidupannya dengan kehidupan Kristus sendiri, sebagai sang Imam Agung. Karena itu Sakramen Imamat semestinya tidak hanya dihayati sebagi status atau kuasa yang memberi kemampuan (potestas) seseorang untuk bisa menghadirkan Allah secara real, tetapi perlu dihayati sebagai karunia yang perlu terus dipupuk dan dikembangkan sehingga kehidupan kita bertumbuh selaras dengan kemampuan dan status yang kita miliki. Kita semakin menyerupai Kristus dan pantas menyandang perdikat alter Kristus. Mengingat spiritualitas imamat adalah juga spiritualitas inkarnatoris maka tugas seorang imam untuk menyelaraskan hidupnya dengan kehidupan Kristus tidak terbatas pada upaya untuk memupuk kesalehan-kesalahen yang bisa mengarah kehidupan yang pietistik, tetapi juga kehidupan yang terlibat dalam realitas sosial masyarakat. Upaya untuk memupuk kehidupan yang membuat tindakanya dalam

Page 14: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku14

pelayanan sakramen, utamanya Sakramen Ekaristi, menjadi otentik juga harus dilakukan dalam bentuk-bentuk keprihatinan dan keterlibatan. Di wilayah ini dia diharapkan menjadi saksi iman. Pendek kata, tindakan imam dalam menghadirkan Kristus (mengubah roti-anggur, menjadi Tubuh dan Darah Kristus) dalam Ekaristi menjadi otentik, hanya kalau apa yang sedang dirayakanya dalam Ekaristi sungguh merupakan puncak dari apa yang dihayatinya dalam kehidupan keseharian.

Kesatuan sebagai dasar untuk bisa berbagi. Dalam Ekaristi, dengan menyantap Tubuh dan darah Kristus, kita semua disatukan un-tuk masuk ke dalam kesatuan Tubuh Mistik Kristus. Kita semua tanpa dibedakan diberi karunia Sabda dan Tubuh-Nya. Semua yang menjadi anggota Gereja diberi kesempatan yang sama untuk menerima karunia kehidupan Ilahinya. Rahasia keselamata-Nya diperuntukkan untuk se-mua orang. Tidak ada kelompok eksklusif. Kita yang berasal dari aneka latar belakang dan kelompok yang berbeda dipersatukan dengan Allah dan dengan sesama untuk masuk dalam kehidupan Ilahi-Nya. Dengan demikian Ekaristi merupakan peristiwa yang sangat inklusif; semua disatukan dengan kehidupan Ilahi dan dengan kehidupan sesama ang-gota jemaat. Perbedaan dan keaneka ragaman latar belakang dipersatu-kan dalam persatuan dengan kehidupan Allah dan sesama. Kita berbeda-beda anggota tetapi tetap satu Tubuh, setiap bagian adalah bagian dari Tubuh yang satu dan sama. Penghayatan Ekaristi yang sungguh-sung-guh akan menjauhkan sikap dan pikiran-pikiran eksklusif dan paroki-alitis. Keterbukaan dan ketekunan kita untuk membiarkan diri dibentuk dan dimasukkan dalam misteri hidup IlahiNya, akan mengikis sikap dan pikiran yang eksklusif, parsialistis dan parokialistis.

Konsekuensinya, sebagai imam Gereja katolik, dalam tingkat apapun kelompok yang kita “imami”, kita perlu memupuk sikap-sikap yang inklusif, pola berpikir holistik, dan mengembangkan semangat ke-satuan di dalam Gereja. Dan hanya ketika sikap-sikap dan pola pikir semacam itu menjadi sikap keseharian kita, Ekaristi sungguh menjadi puncak selebrasi kehidupan kita, dan menjadi sumber kekuatan untuk meneruskan perjuangan kita. Tanpa didasari oleh semangat kesatuan, tekad kita untuk terlibat dan ambil bagian dalam masalah-masalah yang terjadi di masyarakat kita, hanyalah omong kosong belaka. Kita hanya bisa memupuk semangat solidaritas dan altruistis (yang bisa memeran-gi virus-virus korupsi), kalau kita hidup dalam semangat kesatuan dan keutuhan. Namun sebelum kita melangkah ke tahap yang lebih jauh, baik juga kalau kita merefl eksikan upaya-upaya kita dalam menghayati

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 127

B. BERANGKAT DARI IDENTITAS IMAMBagi saya, panggilan Imamat itu adalah anugerah sekaligus “ama-

nah”. Suasana batin demikianlah yang saya rasakan pada saat akhirnya diijinkan untuk menerima tahbisan suci. Merupakan anugerah karena melalui rahmat tahbisan, seseorang imam secara khusus dipanggil untuk melaksanakan karya penebusan Allah. Hal itu dengan jelas dinyatakan dalam Kanon 1008, KHK 1983: “Dengan sakramen tahbisan menurut ketetapan ilahi sejumlah orang dari kaum beriman kristiani diangkat menjadi pelayan-pelayan suci, dengan ditandai meterai yang tak terha-puskan, yakni dikuduskan dan ditugaskan untuk menggembalakan umat Allah, dengan melaksanakan dalam pribadi Kristus Kepala, masing-masing menurut tingkatannya, tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin.”. Dasar dari rahmat khusus ini adalah relasi sentral funda-mentalnya dengan Kristus, Kepala dan Gembala, sebagai representasi sakramental. Relasi imam terhadap Gereja tertera dalam relasi imam terhadap Kristus, sedemikian rupa sehingga “representasi sakramental” terhadap Kristus menjadi dasar dan inspirasi bagi relasi imam terhadap Gereja. (Bdk. PDV 16)

Hakekat sakramen imamat dengan demikian merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah bagi (1) Gereja, sebagai ungkapan kasih Ilahi bagi seluruh umat Allah, dan (2) para imam, sebagai anugerah istimewa karena dilibatkan secara khusus ke dalam martabat mesianis Kristus.2 Meterai sakramen tahbisan yang diterima seorang imam menghasilkan penyerupaan dengan Kristus dan ikatan penuh dengan seluruh Gereja.3 Oleh karena itu, para imam sesungguhnya mengemban tugas luhur ikut ambil bagian secara khusus dalam tri tugas ministerial sebagai raja, imam dan nabi.

Dalam tugas perutusan sebagai pemimpin (raja), imam bertugas membina jemaat sebagai komunio yang hidup, yaitu keluarga Allah. Sedangkan tugas menguduskan (sebagai imam), setiap imam terhubung secara eksklusif dengan pelayanan sakramen-sakramen bagi pembangunan umat Allah. Tugas perutusan Yesus sebagai imam dalam Perjanjian Baru dikaitkan dengan persembahan diri-Nya demi pembebasan umat manusia dari belenggu dosa (Bdk. Rm 3:23-26). Persembahan diri tersebut secara nyata diwujudkan dalam bentuk

2 Raymundus Sudhiarsa, (Ed.), SVD, Romo, Aku Cinta Kamu: Pelayanan Imam Di Desa-Desa dan Kota-Kota Jawa Timur, Malang : Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2010, hlm. 6-7.

3 Direktorium tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, No. 21; Bdk. PO 4-6.

Page 15: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku126

IMAMAT: BERPROSES MENJADI MANUSIA EKARISTIS

Oleh RP. Canisius Sigit Tridrianto, CM,

A. AKU DIPANGGIL MENJADI IMAMSaya bersyukur bahwa saat-saat terakhir studi untuk mempersiapkan

diri menerima tahbisan imamat, Gereja secara khusus mengangkat tema imamat dalam agenda tahunannya. Bersamaan dengan peringatan 150 tahun wafat Yohanes Maria Vianney, Paus Benediktus XVI mencanangkan tahun 2009–2010 sebagai “Tahun untuk Para Imam”. Tahun Imam yang bertema “Kesetiaan Kristus, Kesetiaan Para Imam”, selain mengajak para imam untuk mengingat kembali teladan the Cure of Ars (Sang Gembala dari Ars) itu, juga dimaksudkan sebagai “retret setahun” para imam untuk merefl eksikan kembali jati dirinya, dalam rangka pembaruan semangat ministerial dan penyegaran komitmen pembaktian diri para tertahbis tersebut. St. Yohanes Maria Vianney merupakan tokoh teladan bagi para imam. Ia dengan penuh kesetiaan membaktikan hidupnya untuk meneruskan karya pelayanan Yesus Kristus. Dengan tema itu diharapkan para imam makin setia pada panggilan dan tugas pelayanannya sebagaimana Kristus telah setia dan taat kepada kehendak Bapa-Nya.1 Pembaruan internal pribadi para imam, terutama bagi Gereja dewasa ini, dianggap merupakan salah satu langkah penting bagi pembaruan Gereja dan bagi pemberdayaannya sebagai komunitas yang dipanggil untuk meneruskan misi Kristus, yaitu melaksanakan karya Keselamatan Allah.

Refl eksi para imam untuk kembali melihat jati dirinya dan upaya pembaruan semangat ministerial serta penyegaran komitmen pembaktian diri itu sangat membantu saya untuk mulai dengan serius belajar berproses mengidentifi kasikan diri menjadi imam Kristus. Saat-saat persiapan terakhir sebelum tahbisan, khususnya ketika retret, hal yang masih dan makin menggelisahkan adalah apakah saya layak menjadi sarana kehadiran Kristus melalui sakramen-sakramen-Nya, khususnya dalam mempersembahkan Ekaristi Suci. Kegelisahan tersebut muncul selaras dengan kesadaran bahwa totalitas kehadiran imam diperlukan dalam perayaan Ekaristi yang merupakan pusat sekaligus puncak seluruh liturgi Gereja.

1 Deshi Ramadhani, (Pengantar), Kesetiaan Kristus Kesetiaan Para Imam, Bahan Retret Imam Keuskupan Agung Jakarta, 4 - 11 Juni 2010.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 15

Ekaristi: sudahkah Ekaristi menjadi sebuah perjamuan yang menyatu-kan kita, yang memupuk semangat kolegialitas di antara kita? Apakah Ekaristi sudah berdaya guna untuk mengembangkan semangat imamat yang kolegialistik? Ekaristi menghindarkan kita jatuh dari semangat se-orang imam soliter (solipsistis).

Di dalam Ekaristi, seorang imam menjadi “profesional” karena ia menghadirkan Kristus secara nyata dalam sakramen (presentia realis). Kristus mengosongkon diri dan mengurbankan diri-Nya demi kesela-matan manusia. Bukan seorang raja, atau presiden, atau ahli ilmu-ilmu atau bidang keahlian tertentu, atau bahkan pakar teologi atau spirituali-tas, yang berkat tindakanya bisa menghadirkan Tuhan dalam perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, tetapi seorang imam. “Profesionalisme” seorang imam pertama-tama dan terutama adalah berkat kuasa dan imanya, membuat kehadirkan Allah menjadi nyata dalam perayaan ekaristi dan menghadirkan kurban Kristus untuk umat Allah. Berkat imam kehadiran Allah dan kurban keselamatan menjadi nyata. Dengan demikian imam dan ekaristi saling mengandaikan. Hanya imam yang bisa mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, yang ilahi hadir secara nyata ke dunia. Dan dalam ekaristi peran dan tugas imam menemukan maknanya yang paling dalam.

Nilai Ekaristi semacam ini, dan hubungan timbal balik antara Imamat dan Ekaristi tersebut, mempunyai beberapaa implikasi. Pertama, panggilan terdalam dari seorang imam adalah menjadi saksi iman yang mampu menghadirkan yang Ilahi dan menghadirkan kurban penyelamatan Tuhan menjadi berdaya guna dan terus efektif. Bisa jadi seorang imam mempunyai aneka kepiawaian, keahlian, atau mampu menempati tugas-tugas profesional tertentu; bisa jadi tugasnya adalah bersinggungan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, atau science sekalipun; tetapi tetap saja tugas utama dan terdalam dari seorang imam adalah menjadi saksi iman. Dia belum menjalankan tugas utamanya sebelum dia me-“rayakan” segala pekerjaanya dalam Ekaristi. Kedua, supaya tindakanya menghadirkan kurban Kristus menjadi otentik, imam juga perlu menghayati hidupnya sendiri sebagai kurban persembahan bagi manusia dan bagi Allah. Imamat perlu dihayati sebagai kehidupan untuk berkurban. Karena itu, sebagai seorang imam, kita perlu belajar untuk tidak merasa puas ketika ide-ide kita diterima dan dipakai, pekerjaan-pekerjaan kita dianggap baik dan menjadi contoh, atau posisi kita memberikan pintu untuk mempunyai akses yang luas dalam memberi pengaruh. Tetapi, kita merasa menjadi imam yang

Page 16: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku16

baik ketika kita mampu melatih mendisiplinkan kehendak, harapan, ide-ide, dan kemaauan kita sesuai dengan kehendak Tuhan melalui dan di dalam Gereja. Jika imamat kita hayati sebagaimana seharusnya, maka seprofan apapun tugas kita, seprofesional apapun kecakapan kita, kita tidak akaan terseret ke sikap-sikap yang menjurus ke profanisasi atau sekularisasi pekerjaan imam.

PENUTUPImamat dan Ekaristi mengalir dari kehendak yang satu dan sama,

yakni kehendak Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Namun sering-kali nilai-nilai luhur dalam ekaristi kurang efektif dan berdaya guna kar-ena kelemahan kita dalam menghayati tugas imamat kita. Di sana sini nilai Ekaristi mengalami devaluasi. Kita merayakan Ekaristi kalau pas tugas (bisa seminggu sekali). Atau karena sudah demikian rutin meraya-kan Ekaristi, kita merayakannya tanpa persiapan dan penghayatan. Kita merayakan misa tanpa persiapan memadai, atau dengan tergesa-gesa karena sudah ditunggu oleh tugas lain. Atau karena ritme hidup yang padat dan tidak seimbang tubuh kita tidak segar dan tidak siap untuk merayakan Ekaristi dengan baik. Ketika penghayatan semacam itu yang terjadi, Ekaristi tidak pernah menjadi santapan kita untuk bertumbuh.

RP. Robertus Wijanarko, CM, Visitator CM Propinsi Indonesia

yang tinggal di Jalan Kepanjen no. 9, Surabaya.

SUMBER BACAAN:Komisi PSE/APP KAJ, Dipersatukan Dalam Ekaristi, Diutus Untuk

BerbagiJohn A. Hardon SJ, The Priesthood and the EucharistJohn Paul II, The Eucharist is at the Heart of the Priest’s Spirituality

(General Audience, June 9, 1993)Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Surat Gembala Prapaska 2012

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 125

Suatu kali dalam bimbingan rohani aku bertanya kepada para romo yang sudah sepuh tentang rahasia imamatnya. Dia hanya tersenyum, tetapi lalu mengatakan bahwa seorang imam mesti bahagia dengan imamatnya. Seorang imam mesti menemukan kebahagiaan itu dari persahabatan dengan sesama imam, dari doa-doa dan lebih-lebih dari Ekaristi yang dipersembahkannya setiap hari. Romo menambahkan bahwa itu bukan berarti menjadi tukang misa, melainkan bahwa dalam Ekaristi itulah dirasakan kehadiran Tuhan yang paling dekat. Keyakinan iman bahwa Tuhan ada di sana, dalam perayaan Ekaristi, itulah yang membahagiakan hati. Hanya itu? Ya, itu yang terpenting, katanya.

Barangkali memang benar apa yang dikatakan oleh romo sepuh itu. Kehadiran umat memang sangat membahagiakan, tetapi dalam pen-galamanku, ternyata itu ada batasnya, paling tidak batas jarak dan wak-tu. Keberhasilan dalam karya pastoral begitu menggembirakan, tetapi ternyata juga ada batasnya, karena adakalanya aku tidak berhasil. Jika demikian, baiklah, aku akan belajar untuk menjadi bahagia pertama-tama berkat Ekaristi. Dengan ini aku boleh berharap untuk sedikit demi sedikit membangun bangunan imamat, yang semoga saja hari demi hari menjadi semakin indah.

Menyadari semua itu, dengan Ekaristi setiap hari, aku mencoba bergabung dengan dua orang murid yang pergi ke Emaus itu. Aku ingin merasakan ditemani oleh Tuhan Yesus yang bangkit. Aku ingin berkata pada hari itu, hari ini dan hari-hari selanjutnya: “Tuhan, tinggalah ber-sama-sama dengan kami” (bdk. Luk 24:29a). Aku berdoa dan berharap, semoga perjalanan ini menjadi sebuah perjalanan sederhana yang mem-bahagiakan, dengan hati yang berkobar-kobar.

Dengan permenungan ini, aku mengingat kembali bahwa ternyata, dulu, Ekaristi pernah begitu menguatkan aku, menjaga dan menyemai-kan benih panggilanku untuk menjadi seorang imam. Aku juga ber-syukur boleh mengalami dan merasakan indahnya merayakan Ekaristi, merasakan kehadiran Tuhan dalam misa-misa yang boleh kupersembah-kan. Sekaligus aku memohon penyertaan dan rahmat Tuhan untuk per-jalanan hidupku. Ternyata rahmat Tuhan dalam Ekaristi pernah begitu menguatkanku. Semoga ia juga menguatkan kita semua.

Pamplona, Hari Minggu Panggilan 2012RD. Stefanus Iswadi Prayidno

Tugas belajar Ilmu Filsafat Theologi di Pamplona, Spanyol

Page 17: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku124

masih punya teman-teman baru di tempat baru ini, dan lebih-lebih, kami masih punya Sang Sahabat Sejati, Tuhan sendiri. Nampaknya ini juga benar adanya.

Maka mulailah aku meluangkan waktu-waktu tertentu di sore hari untuk berdoa sendirian di kapel, di hadapan Sakramen Mahakudus. Di situ aku ungkapkan segala keluh-kesah dan harapan-harapan. Mungkin lebih dari sebelum-sebelumnya, saat inilah aku paling banyak berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus. Dan nyatanya, lagi-lagi, ini sangat meneguhkan.

Aku cukup bersyukur bahwa kami merayakan Ekaristi bersama setiap hari. Kapel di tempat tinggalku tidak cukup besar. Kurang lebih hanya cukup untuk maksimal sepuluh orang. Di altarnya tidak ada bunga. Biasanya sebelum misa ada beberapa orang berdoa di sana, dan itu kadang menghasilkan aroma yang kurang sedap. Lebih-lebih, karena bersama kami ada seorang pastor tua yang ikut misa, biasanya semua jendela dan pintu ditutup rapat agar tidak dingin. Ya, begitulah kurang lebih keadaan kapel di tempatku berada. Memang tidak cukup ideal, tetapi sekali lagi, aku mencoba untuk menjalankan dan menghayati apa yang baik yang pernah kualami selama di paroki. Dengan begini, aku merasakan saat-saat Tuhan begitu dekat. Aku merasa tidak sendirian, sebab Tuhan menemani.

Tugas belajar ini memungkinkan aku untuk banyak sendirian di kamar, bergelut dengan diktat-diktat. Selain itu, memungkinkan aku untuk banyak merenung tentang imamat. Ternyata imamat itu bukan perkara yang sekali jadi. Dia seperti sebuah bangunan, yang semestinya, semakin hari semakin indah. Atau, seperti sebuah kebun kosong yang masih harus ditanami dan dijaga dari waktu ke waktu. Dan tentu saja, itu berarti juga bahwa bisa saja kemudian yang terjadi adalah sebaliknya. Dia akan seperti sebuah bangunan yang keropos sedikit demi sedikit hingga pada suatu saat runtuh tertiup angin kencang. Atau, seperti sebuah kebun yang kering tanpa menghasilkan apa pun.

Aku menyadari bahwa menjadi seorang imam adalah sebuah panggilan yang baik, yang luhur dan mulia. Sekaligus aku menginsyafi bahwa Tuhan menganugerahkan panggilan yang mulia itu kepada seorang yang rapuh dan lemah, bukan kepada seorang manusia super. Panggilan yang berharga itu layaknya harta yang berada di dalam bejana tanah liat. Lalu aku bertanya, seberapa hebatnya sih aku menjaganya? Rasanya tidak mungkin menjalaninya sendirian. Lalu bagaimana?

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 17

EKARISTI DALAM IMAMATKUOleh RD. Antonius Luluk Widyawan

MEMPERSIAPKAN EKARISTI, tidak bisa dilepaskan dengan persiapan. Persia-

pan membuat mantap merayakan Ekaristi. Persiapan yang biasa ialah membaca Kitab Suci yang akan dijadikan bacaan pada hari tersebut. Di antara bacaan pertama, bacaan kedua dan bacaan Injil, bacaan Injil selalu menjadi pusat perhatian. Saat membaca Injil yang paling utama ialah memperhatikan pesan Injil. Hal ini dapat diketahui dari Sabda atau sikap Yesus dalam perikop tersebut. Tentu dengan memperhatikan kon-teks kisah di mana Yesus menyampaikan Sabda atau sikap-Nya.

Untuk mendukung pewartaan Sabda, tak bisa dilepaskan dari penanggalan liturgi, apakah bacaan itu pada Masa Biasa, Masa Khusus, Peringatan, Pesta atau Hari Raya tertentu. Bacaan Injil selalu dikaitkan dengan masa dalam penanggalan liturgi. Karena tema-tema tertentu selalu dikaitkan dengan pesan Sabda yang akan diwartakan. Dalam hal ini, konteks Injil dan bagaimanana Sabda Yesus dalam konteks tersebut, selalu dikaitkan dengan konteks sekarang berkenaan dengan tema tertentu dan apa pesan yang akan disampaikan dalam konteks sekarang. Memang pewartaan Sabda dalam Ekaristi selalu menjadi bagian yang terpenting, yang bisa direnungkan, dibawa pulang sebagai bekal dalam kehidupan, sebagai refl eksi untuk menilai diri dalam menghayati menjadi pengikut Yesus, tawaran sekaligus tantangan untuk diwujudkan.

Selain persiapan pewartaan Sabda, tak kalah penting ialah persiapan fi sik dan mental. Persiapan ini lebih berkenaan dengan menata agar seluruh jiwa dan raga pantas untuk menjadi pelayanan bagi Tuhan dan sesama yang mengikuti Ekaristi. Yang terpenting ialah mengkondisikan tubuh sehat. Hal ini berkenaan dengan istirahat yang cukup sebelum merayakan Ekaristi. Entah dalam waktu yang terbatas atau keesokan hari. Jika dalam waktu terbatas, paling tidak ada kesempatan untuk hening sejenak, entah di kamar atau di sakristi. Kesempatan hening dalam doa yang singkat, menjadi kesempatan memohon kepada Tuhan agar Ekaristi yang akan dilakukan lancar dan sungguh menjadi tanda kehadiran Tuhan.

Persiapan batin dalam keheningan sejenak, selain menata diri un-tuk tenang, juga menjadi kesempatan menyadari diri dengan rendah hati, yang terkadang merasa tidak pantas untuk melayaniNya. Namun dalam

Page 18: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku18

ketidakpantasan itulah selalu sadar untuk tetap diperkenankan melayani Tuhan dan sesama.

MEWARTAKANSabda Tuhan adalah Sabda kebenaran dan kehidupan. Sabda Tuhan

adalah kebenaran, yang tidak salah, meskipun terkadang tidak mudah dipahami, tidak mudah dijadikan pegangan, tidak mudah diwujudkan. Entah karena suasana hati saat itu, karena konteks ketika Sabda itu dibawakan atau karena tawaran jaman yang seringkali bertentangan dengan Sabda Tuhan.

Namun Sabda Tuhan adalah kebenaran yang harus terus dimenger-ti secara perlahan, dikaitkan dengan suasana hati, konteks atau tawaran jaman sehingga pada akhirnya menjadi tawaran. Tawaran bagi mereka yang mau mengikuti jalan Tuhan. Jika menerima tawaran berdasarkan Sabda Tuhan, niscaya seperti ada pegangan yang hendaknya dipegang kuat sehingga tidak goyah karena berbagai tawaran lain.

Inilah yang kemudian menjadi Sabda yang menghidupkan. Tetap meyakini Sabda-Nya sekalipun tidak mudah memahami, menjadikannya sebagai pegangan dan pelan-pelan mewujudkan meskipun ada semacam banyak halangan. Justru di situ arti menghidupkan menjadi nyata, ketika tidak mudah, ketika ada halangan namun tetap selalu memohon campur tangan-Nya lewat doa.

Memang terkadang Sabda Tuhan sungguh menjadi penghiburan yang memberi kekuatan, menjadi semangat untuk melangkah dalam ke-hidupan. Ada kalanya Sabda-Nya menjadi teguran, yang mengkritik diri sang pewarta dan pendengarnya untuk terus kembali ke jalan yang benar dan memperbaiki diri sesuai dengan ajaran-Nya.

Namun mewartakan Sabda-Nya tidak bisa memilih, ada saatnya memberi kekuatan dan semangat dengan Sabda-Nya yang menghibur. Namun ada saatnya menegur dan membangunkan agar Sabda-Nya mempertobatkan kembali ke jalan yang benar. Semua itu harus disam-paikan sebagai kabar sukacita.

Karena Sabda-Nya adalah Kabar Gembira, maka mewartakan Sabda-Nya adalah sebuah kesukaan besar. Tetap menaburkan Sabda, meskipun terkadang seperti tidak ada hasilnya. Sabda yang menghibur seakan tidak membuat menjadi gembira. Sabda yang menegur seakan tidak mengubah hati untuk bertobat. Karena ibarat benih, Sabda bisa jatuh ke tanah kering, tanah berbatu atau tanah yang subur. Dengan keyakinan, bahwa di antara Sabda yang ditabur adalah benih yang

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 123

seorang imam. Kristus hadir dalam diri imam yang merayakan misa. Bersama kedua tangan imam, tangan Tuhan sendiri yang pada akhirnya mengangkat roti-anggur tubuh-darah-Nya. Kristus sendiri yang pada akhirnya memberkati dan mengangkat persembahan itu. Inilah pula yang membantuku untuk menghayati perayaan Ekaristi dengan lebih sungguh.

Beberapa bulan di paroki, aku senang menyalami dan berbincang dengan umat sehabis misa. Suatu Minggu pagi sehabis misa, setelah gereja sudah agak sepi, seorang bapak datang mendekat. Saya agak terkejut dengan apa yang dikatakannya. Katanya, pada saat konsekrasi, dia seperti melihat “sesuatu”, seperti cahaya yang indah. Aku sendiri tidak bisa melihat dan merasakannya. Mendengar itu, aku hanya terse-nyum dan dalam hati kecil aku bilang, “Ah, si bapak ini aneh-aneh saja”. Akan tetapi, sepulang dari gereja, melihat kesungguhan si bapak itu, aku hanya bisa tertunduk. Ini sebuah pengalaman iman yang indah. Tu-han telah mencurahkan rahmat-Nya. Aku hanya bisa terharu dan merasa diteguhkan. Aku menjadi insyaf bahwa Ekaristi memang bukan semba-rang upacara, bukan sembarang perayaan. Aku menjadi ingat kembali kisah-kisah iman yang pernah kubaca. Ini adalah perayaan yang suci. Tuhan sungguh hadir di sini.

EKARISTI DAN HIDUPKU SEBAGAI SEORANG IMAMBelum cukup lama aku bertugas mengajar dan menjadi pastor

di paroki, kira-kira baru sembilan bulan, datang tugas baru untuk melanjutkan belajar di negeri lain. Ternyata di sini tidak segampang membalikkan telapak tangan. Orang tidak berbicara dengan bahasa Indonesia, sehingga sering kali aku hanya manggut-manggut dan tersenyum, padahal tidak mengerti apa-apa. Tempat dan suasana baru ini mengharuskanku untuk berusaha lebih keras daripada sebelum-sebelumnya. Dan yang paling terasa, sekarang hampir tidak ada lagi umat beriman yang dikenal. Kadang-kadang aku menjadi kangen teman-teman Romo di Surabaya, kangen umat di paroki, kangen rumah.

Pimpinan komunitas kami rupanya cukup berpengalaman menghadapi para romo yang baru datang. Beberapa kali ia mengingatkan bahwa di sini kami jauh dari orangtua, jauh dari teman-teman sesama romo, jauh dari keuskupan, jauh dari paroki tempat kami tinggal dulu. Dia mengatakan bahwa di tempat baru ini kami seperti tidak punya siapa-siapa, tidak punya apa-apa. Ah, sepertinya benar juga yang dikatakannya. Lalu ia mencoba menghibur kami dengan mengatakan bahwa kami

Page 19: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku122

Di ruangan sakristi Paroki Stefanus Surabaya aku belajar sebuah kebiasaan yang baik. Di ruangan ini aku sadar betul bahwa hari ini kami, aku dan para petugas lain, akan menjalankan tugas kami masing-masing. Sedapat mungkin kami membawa diri kami sendiri menghadap Tuhan dan sedapat mungkin pula membantu umat yang hadir untuk bisa merasakan kehadiran Tuhan. Sementara itu, di bawah salib di sakristi itu tertempel sebuah doa untuk para imam yang akan mempersembah-kan misa hari itu. Dalam doa itu imam memohon kerahiman dan belas kasih Tuhan atas segala kerapuhan hidupnya agar layak untuk mem-persembahkan misteri agung Ekaristi kudus. Oleh karenanya, aku selalu menyempatkan diri untuk diam dan mengucapkan doa itu sebelum misa. Doa ini ternyata sungguh meneguhkan.

Berjalan memasuki gereja, melihat banyak umat yang hadir, aku berusaha menyatukan iman dan harapan-ku sendiri dengan iman dan harapan umat yang hadir. Aku membayangkan diriku berada di tengah-tengah umat. Kami bersama-sama datang menghadap Tuhan. Kami datang bersama-sama, membawa serta rasa syukur, kegembiraan, serta duka-derita dan kekhawatiran kami. Aku membayangkan bahwa kami bersama-sama menantikan curahan berkat dari Tuhan. Kami bersama-sama melangkah, mendekati Dia yang menyambut kami di depan altar pada saat komuni kudus.

Aku bersyukur bahwa dulu ada romo yang menasihatkan bahwa dalam Ekaristi seorang imam harus benar-benar menghayati misteri Kristus. Beliau bilang bahwa hanya dengan begitulah maka seorang imam akan banyak merasakan berkat dari perayaan Ekaristi. Awalnya aku tidak mengerti apa artinya nasihat romo ini. Tetapi lambat-laun, ter-utama pada saat konsekrasi, aku belajar untuk mengenang Yesus dalam perjamuan malam terakhir bersama para murid, mengenang Kristus yang dulu bergantung di atas salib, mengenang darah dan air yang mengalir dari lambungnya. Dan lebih-lebih, aku mengenang Tuhan yang bangkit, yang memungkinkan kehadiran-Nya dalam Ekaristi kudus. Pada saat-saat seperti ini aku bisa merasakan keagungan misteri Ekaristi.

Di internet aku menemukan satu-dua buah lukisan yang sangat indah. Di situ digambarkan seorang imam sedang membungkuk menjelang konsekrasi. Lalu di belakang imam, digambarkan Yesus yang sedang membungkuk pula bersama dengan imam itu. Pada gambar yang lain dilukiskan Yesus yang sedang memanggul salib turut membungkuk bersama imam itu. Sungguh dalam pelukis dari lukisan itu menggambarkan misteri Ekaristi yang dipersembahkan oleh

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 19

niscaya ada yang jatuh di tanah subur, meskipun mungkin hanya satu, sedikit atau tidak kelihatan.

MENGHADIRKANKesempatan Liturgi Ekaristi ialah, kesempatan yang terasa sangat

dekat dengan-Nya. Ia dikenangkan, dihadirkan kembali dan dijadikan korban yang memberi hidup. Yesus sendiri telah berpesan, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku.” Kesempatan melakukan sebagaima-na pesan Yesus merupakan kesempatan yang istimewa boleh menjadi wakil-Nya, meskipun dalam kesempatan ritual.

Ritual yang dilakukan Yesus seharusnya memberi inspirasi. Karena pada saat Perjamuan Terakhir Ia mengungkapkan kesatuan dalam perse-kutuan bersama para murid. Perjamuan adalah saat yang sungguh sangat dekat untuk terus dan kembali bersatu dengan Yesus. Dalam persatuan itu, Yesus mengungkapkan pentingnya saling melayani dengan memba-suh kaki. Tidak hanya itu, persekutuan itu juga menekankan pentingnya, rela berkorban, bahkan mengorbankan diri untuk sesama. Ritual yang tidak sekedar menyantap hidangan, tetapi ritual yang memberi dasar bagi persekuatan yang sejati.

Ketika menghadirkan kembali korban Yesus yang satu dan sama, yang terasa bukan sekedar perasaan bangga, karena umat meyakini kehadiran-Nya dalam rupa roti dan anggur. Namun mengingatkan kembali bahwa demikianlah seharusnya umat, ialah saling melayani dan mengorbankan diri sebagaimana yang diajarkan Yesus. Yang seharusnya tidak cukup disambut dengan memandang atau menunduk hormat, tetapi setuju dan siap melakukan simbolisasi itu dalam kehidupan nyata sehingga tercipta persekutuan kasih yang sesungguhnya.

Kehadiran Yesus sungguh nyata dalam Ekaristi, merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan dalam imam. Kepercayaan akan daya Roh, yang akan menguduskan persembahan agar menjadi Tubuh dan Darah Putera-Nya merupakan campur tangan Tuhan sendiri melalui tangan seorang imam. Dengan demikian roti dan anggur hanyalah tampilan, yang menjadi sarana bagi kehadiran Tuhan. Saat seperti inilah saat yang istimewa karena Yesus sungguh hadir.

Seperti ada perasaan tak pantas, takut karena yang hadir adalah Yesus yang luar biasa, yang agung, kudus, yang Illahi hadir di hada-pan. Betapa tak pantas, tak sempurna menampilkan-Nya dengan segala kelemahan dan dosa. Tetapi sekaligus ada perasaan luar biasa, Yesus yang hadir memberikan diri, mengorbankan diri kepada manusia yang

Page 20: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku20

lemah ini, sungguh memberi semangat dan kekuatan bagi manusia yang merasa diri tak layak. Ia mau hadir untuk menyertai dan menguatkan manusia di tengah dunia.

Menghadirkan-Nya kepada sesama dalam komuni suci, sungguh pengalaman yang melegakan, bagi mereka yang letih, lesu dan berbeban, kehadiran-Nya menguatkan. Bagi mereka yang sakit, kehadiran-Nya menyembuhkan. Bagi mereka yang berdosa, tak pantas, kehadiran-Nya adalah sapaan yang hangat, tanpa penolakan. Sungguh, Sakramen Mahakudus ialah Allah yang mau bersolider hadir dalam suka duka kecemasan manusia. Allah yang bahkan rela mengorbankan diri, mau dipecah-pecah dan dibagi agar manusia selamat.

MENGHAYATI DALAM KESEHARIANYesus telah memberikan amanat dalam Perjamuan Malam

Terakhir, lakukanlah ini sebagai peringatan akan Aku. Ekaristi memang merupakan amanat Yesus untuk melaksanakan suatu perayaan liturgi. Namun tidak hanya itu, Ia juga memberi amanat untuk melakukan karya cinta kasih bagi sesama, sebagaimana diteladankan-Nya dengan cara simbolis membasuh kaki para murid. Ada keterkaitan utuh di antara, cultus dan caritas dari amanat Yesus. Ritus atau cultus yang dipahami dan dihayati dengan baik, menjadi sumber yang mengantar umat beriman mengamalkan kasih atau caritas, kepada sesama.

Seringkali inilah yang tidak mudah dan sekaligus menjadi suatu tantangan. Perayaan Ekaristi menjadi kesempatan yang indah dan agung terbatas dalam ritual, tetapi dalam hidup sosial yang terjadi masih jauh dari indah dan agung. Hidup sosial seringkali masih jauh dari penga-malan dari amanat karya cinta kasih bagi sesama. Kegiatan liturgi begitu dominan, sedangkan kegiatan sosial tidak maksimal.

RD. Antonius Luluk Widyawan, Ketua Bidang Kerasulan Umum di Keuskupan Surabaya yang menjadi Pastor Rekan

di Paroki Hati Kudus Yesus, Surabaya

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 121

lisan: “Terima kasih, Sahabat-Ku, karena cintamu yang besar kepada-Ku. Besok tidak perlu lagi kamu bawa apel untuk-Ku. Sudah cukuplah cintamu bagi-Ku.”

Aku terkesan membaca cerita ini. Aku membayangkan diriku seperti si anak kecil itu. Betapa indahnya memiliki persahabatan yang sederhana namun dalam dengan Yesus. Aku ingin memiliki persahabatan semacam itu. Kisah ini seakan-akan melengkapi cerita tentang mukjizat Ekaristi. Dan sedikit demi sedikit kisah-kisah itu membantu menumbuhkan iman dan cinta akan Ekaristi kudus. Aku tahu bahwa mukjizat-mukjizat semacam itu bukanlah yang terpenting, namun demikian, nyatanya hal itu sudah terjadi.

Selesai sekolah aku sempat bekerja. Aku bersyukur tempat kos cukup dekat dengan tempat kerja. Karena itu, sedapat mungkin aku ikut misa harian. Mengikuti misa harian membuatku merasa lebih damai, lebih tenang dalam bekerja. Aku percaya betul bahwa rahmat yang kuterima dalam misa kudus pagi itu menjadi modalku untuk hidup sepanjang hari itu. Aku merasa damai, karena aku yakin bahwa Tuhan ada bersamaku hari itu.

Ya, begitulah, sejenak aku menoleh ke pengalaman-pengalaman masa lalu. Memang, nampaknya satu pengalaman dengan pengalaman lain tidak saling berkaitan. Namun, itu seperti pecahan-pecahan kaca yang memantulkan satu tulisan. Dan tulisan itu berbunyi: “Kristus hadir dalam Ekaristi Kudus”. Dan kehadiran-Nya itu dulu pernah membuatku ingin dekat dengan-Nya seperti yang dialami para romo, membuatku ingin menimba rahmat untuk hidupku sehari-hari.

MERASAKAN KEINDAHAN EKARISTI Sore dan malam hari, 4 Agustus 2010, aku merasa sangat bahagia.

Bersama dengan beberapa orang teman diakon, kami merayakan dan menerima Tahbisan Imamat Suci. Beberapa hari kemudian, aku mulai dengan tugas baru untuk mengajar dan menjadi pastor rekan. Rasanya menyenangkan menjalani tugas baru ini. Pada hari-hari tertentu mengajar, sementara selebihnya berada di paroki. Sebagai romo baru, aku masih ingat bagaimana pada saat pertama kali mempersembahkan misa kudus, mengangkat roti dan anggur saat konsekrasi dan saat membagikan komuni, tangan ini rasa-rasanya bergetar. Sebenarnya kami sudah berlatih mempersembahkan misa di seminari, tetapi tetap saja aku merasa gemetaran. Aku merasa tidak pantas untuk mempersembahkan misteri iman seagung itu.

Page 21: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku120

karena dia adalah orang yang paling dekat dengan Tuhan, orang yang setiap hari berada di tempat yang suci, di gereja. Betapa menyenangkan hal itu. Mungkin karena itulah, tumbuh pula keinginan di dalam hati kecilku untuk bisa seperti para romo yang kukagumi itu.

Sejak saat itu aku menjadi sering membayangkan diriku sebagai seorang romo. Pada hari Minggu, aku berangkat ke gereja pagi-pagi dengan bersepeda, menempuh jarak kira-kira 6 km. Aku menjadi suka datang ke gereja lebih awal, berlutut dan berdoa agak lama. Dalam misa kerap aku memohon agar suatu hari nanti boleh menjadi seorang romo. Sepulang misa biasanya ada semangat baru. Tak peduli jalannya menan-jak terus, sekali lagi menempuh jarak 6 km, di atas sepeda ontel, sesekali aku bernyanyi menirukan romo waktu misa: “... Tuhan sertamu ... ”. Aku menjadi begitu mengagumi seorang romo, karena dengan mem-persembahkan Misa Kudus, ia begitu dekat dengan Tuhan.

Selesai SMP aku melanjutkan sekolah di tempat lain. Aku bersyukur sekali bahwa pada saat itu aku menemukan buku tentang kisah hidup para orang kudus. Aku senang sekali membaca kisah-kisah mukjizat Ekaristi yang dialami oleh para kudus itu. Aku juga cukup beruntung karena pada waktu itu ada sebuah majalah yang cukup menarik, sebuah majalah rohani bernama Ave Maria. Dari majalah itu pula aku ingat sebuah kisah yang menyentuh hati. Aku tidak ingat persis apa judulnya dan bagaimana ceritanya, tetapi kira-kira judulnya Cesarino dan ceritanya kira-kira seperti berikut ini.

Suster yang biasa mempersiapkan altar sebelum misa terkejut mendapati bahwa di balik taplak altar terdapat sebuah apel. Kejadian itu berlangsung selama beberapa kali. Suster lalu memberitahukan kejadian itu kepada romo paroki, sebab jangan-jangan ada orang yang sengaja melakukan itu untuk melecehkan Sakramen Mahakudus. Hari berikut-nya romo memutuskan untuk melihat apa yang terjadi. Sambil memba-wa buku doanya, romo duduk di tempat pengakuan tanpa lampu. Cukup lama romo menunggu, tetapi kemudian pintu gereja terbuka. Dilihatnya seorang anak kecil berjalan berjingkat-jingkat, lalu mendekati altar, ber-lutut. Setelahnya ia meraba-raba meja altar. Lalu katanya, “Nah, bagus, Yesus. Engkau sudah mengambil apel yang aku bawakan kemarin. Ini, sekarang aku bawakan lagi satu untuk-Mu.” Diletakkannya apel itu di bawah meja altar. Dan sekali lagi, ia berlutut dan meninggalkan gereja.

Romo tak kuasa menahan air matanya. Sekarang jelas sudah apa yang terjadi. Keesokan harinya, romo pergi ke rumah si anak kecil itu dan memberikan sekeranjang buah-buahan. Di atasnya diberinya tu-

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 21

EKARISTI PUNCAK DAN SUMBER HIDUP IMAN DAN IMAMATKU

Oleh RP. Antonius Sad Budianto, CM

PERSIAPANPada hemat saya untuk mempersembahkan Ekaristi dengan

baik diperlukan persiapan jauh dan persiapan dekat. Persiapan jauh menyangkut seluruh hidup saya. Saya merasa menyiapkan Ekaristi mendorong saya untuk kembali menyadari panggilan Tuhan untuk mengasihi, dan ini membantu saya untuk melindungi saya dari perbuatan dosa. Misalnya walau marah, saya tidak memelihara kemarahan saya, apalagi mengembangkannya menjadi dendam, karena ini jelas bertentangan dengan Ekaristi. Ekaristi juga mendorong saya untuk berusaha berbuat kasih. Termasuk persiapan jauh juga menyiapkan renungan (lihat 2 di bawah).

Persiapan dekat menjelang merayakan dengan doa hening. Harus diakui kadang ini tak sempat saya lakukan, apalagi kalau habis ada acara lain. Selain itu kadang suasana sakristi juga kurang mendukung keheningan menjelang Ekaristi.

PEWARTAAN SABDA ALLAH Pewartaan Sabda bagi saya harus memerhatikan langit dan bumi.

Maksudnya apa yang mau disampaikan Tuhan (langit) sesuai situasi dan keadaan umat (bumi). Memerhatikan langit saja membuat pewartaan itu melayang-layang, tidak mengena, tidak membumi. Saya ingat itu-lah yang dulu saya lakukan ketika masih menjadi frater pada awal saya diminta memberi renungan dalam doa lingkungan. Berangsur-angsur kemudian renungan saya semakin membumi. Sebaliknya memerhati-kan bumi saja pewartaan hanya mengandalkan pemikiran manusia yang umumnya memakai logika aksi reaksi, sehingga tak jelas arahnya.

Saya berusaha memberikan renungan singkat untuk misa harian. Untuk itu saya membaca bacaan misa esok hari sesudah Ibadat Sore atau Ibadat Malam. Lalu juga sebelum atau setelah Ibadat Pagi keeso-kan harinya. Pada pengantar misa renungan saya dasarkan pada Bacaan I yang pada umumnya sering dilewatkan saja. Selain untuk memberi bekal hidup hari itu, renungan ini dimaksudkan agar mereka lebih me-merhatikan Bacaan I tersebut . Juga untuk mengajak mereka membaca Kitab Suci di luar Injil yang banyak berisi pelajaran hidup yang sangat

Page 22: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku22

bermanfaat. Setelah Injil saya juga memberikan renungan singkat, seh-ingga Misa Harian biasanya sekitar 35 menit.

Untuk Misa Minggu saya membaca Sabda Tuhan Minggu itu be-berapa hari sebelumnya hingga saya pahami intinya. Lalu dalam per-jalanan saya mencoba melihat relevansi (kaitannya) dengan kehidupan umat. Saya jarang menuliskan kotbah/homili saya. Kalau menuliskan biasanya malah saya lakukan setelah mengotbahkannya. Memang ka-dang saya menuliskan, tapi seringkali kotbah saya justru lain daripada yang saya tuliskan. Kotbah Minggu saya berlangsung sekitar 12-20 me-nit. Biasanya saya menemukan satu pesan pokok dari Sabda Tuhan hari itu bagi kehidupan umat. Pesan tersebut sedapat mungkin berhubungan dengan tiga Bacaan Minggu, sedikitnya berhubungan dengan Bacaan I dan Injil. Namun Bacaan II sering juga mengandung penegasan praktis dalam hidup. Saya berusaha mencamkan bahwa pesan tersebut harus membawa kegembiraan dan harapan bagi umat, sebagaimana makna Injil memang Kabar Gembira. Bahwa untuk memperoleh/menggapai kegembiraan itu manusia perlu berusaha antara lain mengoreksi hidup dan bertobat itu wajar. Namun saya prihatin jika homili/kotbah ser-ing berisi melulu kritik, teguran, bahkan kemarahan. Dulu pada awal imamat saya hal ini juga sering saya lakukan, namun kemudian saya semakin sadar betapa buruknya kotbah yang demikian. Apalagi ketika saya semakin sadar kenyataan hidup umat yang berat dan hidup saya sendiri yang penuh kelemahan. Koreksi memang perlu, namun memberi harapan dan kekuatan rahmat jauh lebih perlu untuk memperbaiki ke-hidupan moral dan memperdalam hidup rohani kita.

Berdasarkan pesan pokok tersebut sedapat mungkin saya rumuskan pertanyaan kehidupan yang saya lontarkan dalam Pengantar misa. Mis-alnya: Apa sebenarnya kerinduan kita yang paling dalam? Bagaimana kita dapat merasakan damai sejati? Bagaimana kita dapat kuat meng-hadapi masalah-masalah berat dalam hidup ini? Bagaimana kita dapat berdamai dengan masa lalu kita yang buruk? Bagaimana kita dapat mengampuni dengan besar hati? Saya rasa ini akan sangat membantu umat untuk lebih fokus dalam mendengarkan bacaan dan homili, serta aplikasinya dalam hidup.

Homili umumnya saya susun menurut metode sederhana: menga-pa, apa, bagaimana. Saya mulai dengan ilustrasi dari hidup sehari-hari yang mengarah pada mengapa kita perlu memerhatikan pesan Sabda Tuhan. Berikutnya saya menyampaikan apa pesan pokok Sabda Tuhan, dilengkapi dengan contoh-contoh agar lebih mendarat dan dimengerti.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 119

TERNYATA EKARISTI YANG MENGUATKAN AKU

Oleh RD. Stefanus Iswadi Prayidno

MENULIS permenungan tentang Ekaristi mengingatkanku pada sebuah pengantar buku panduan rekoleksi. Penulis buku

itu mengumpamakan rekoleksi itu seperti orang yang mendulang emas. Pendulang emas mengambil pasir dari bawah permukaan air, mengayaknya, hingga akhirnya menemukan butiran kecil emas berharga. Yang lain mengumpamakan rekoleksi atau retret itu seperti berrekreasi bersama kura-kura. Maksudnya, orang diajak untuk menepi sejenak, melihat pengalaman lebih teliti dan berharap menemukan keindahan hidup yang selama ini terabaikan begitu saja.

Untuk menulis sebuah permenungan tentang Ekaristi, sikap yang sama ternyata diperlukan. Rutinitas harian menjadi seperti riak air yang mengalir deras. Nilai Ekaristi yang diikuti setiap hari Minggu, bahkan setiap hari, bisa jadi telah terendap begitu saja di bawah permukaan riak aktivitas dan tidak disadari lagi. Perayaan Ekaristi telah menjadi bagian rutinitas wajib setiap hari. Kalau hari ini aku merasa tidak memiliki cukup gagasan untuk direfl eksikan tentang Ekaristi, barangkali yang terjadi adalah bahwa Ekaristi itu telah menjadi terlalu biasa. Maka aku perlu sejenak diam, melihat jejak-jejak pengalamanku ber-Ekaristi, teristimewa peristiwa-peristiwa yang sangat berkesan dalam hidupku. Semoga bisa aku temukan keindahan Ekaristi.

JEJAK-JEJAK YANG MENEGUHKANAku ingat akan sebuah peristiwa sederhana masa kecilku. Siang

itu cuaca cerah dan cukup panas. Gereja penuh dengan umat yang hadir. Asap dupa mengepul di dalam gereja. Rasanya aku masih bisa membayangkan kepulan itu dan mencium aroma khasnya. Aku tidak ingat umur berapa kala itu, yang jelas sudah terjadi lebih dari dua puluh tahun. Itulah pengalaman misa pertama yang bisa aku ingat. Dan kala itu, mengikuti misa kudus adalah pengalaman langka, karena misa di stasi dirayakan sekali dalam sebulan.

Menulis refl eksi tentang Ekaristi juga mengingatkanku pada pengalaman masa remajaku. Mengingatkanku pada para romo yang mempersembahkan misa, yang membuatku merasa kagum dengan mereka. Dalam angan-anganku, hidup seorang romo itu begitu indah,

Page 23: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku118

orang imam. Sebab Hidup seorang imam senantiasa berpusat dan ber-puncak pada Ekaristi. Bagi seorang imam, Ekaristi setiap hari adalah ke-butuhan, mempersiapkan dengan baik, dan mari berekaristi. Akhirnya : Ekaristi bikin hidup Imam(at) lebih jeger. GBU.

REFERENSIKongregasi untuk Klerikus, Direktorium Tentang Pelayanan dan Hidup

Para Imam,(Terj. R. Hardawiryana), Jakarta: DOKPEN KWI, 1996.

---------------------------------- “THE PRIEST and the Third Christian Millennium – Teacher of the Word, Minister of the Sacraments and Leader of the Community, 1999

Konsili Vatikan II dalam Presbyterorum Ordinis (terj: R. Hardawiryana SJ) Jakarta: OBOR, 2004.

--------------------------------- Konstitusi Dogmatis Dei Verbum, (Terj: R. Hardawiryana SJ) Jakarta: OBOR, 2004

Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (terj: J.Hadiwikarta, Pr) Jakarta: DOKPEN KWI, 1990. KITAB HUKUM KANONIK 1983

RD. Daniel Setyawan, Anggota Tim Pelayanan Pastoral Mahasiswa yang menjadi Pastor Rekan

di Paroki St. Stefanus, Tandes, Surabaya

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 23

Kemudian saya menyampaikan bagaimana kita dapat menghayati pe-san tersebut dalam hidup sehari-hari. Kalau perlu juga didukung dengan ilustrasi hidup. Metode sederhana ini sekarang seolah otomatis saya ikuti. Dan umat akan mudah mengikutinya karena jalan pikiran yang runtut.

MENGHAYATI KONSEKRASI DAN KOMUNISaya menghayati Ekaristi sebagai Perjamuan Tuhan Yesus bersama

murid-murid-Nya. Konsekrasi adalah saat kudus pemberian diri Yesus yang kuhayati juga sebagai pemberian diri saya bagi Tuhan dan umat-Nya. Menarik sekali pada malam Kamis Putih yang dianggap Gereja sebagai pendirian Sakramen Ekaristi, Bacaan Injil justru diambil dari Injil Yohanes yang tidak mengandung kata-kata konsekrasi. Sebaliknya justru ditonjolkan kesediaan Yesus melayani hingga membasuh kaki para murid-Nya. Beberapa kali media menampilkan foto Paus membasuh dan mencium kaki pada Misa Kamis Putih. Gambar yang berbicara sangat lantang mengenai hakekat agama dan Gereja kita, yakni kasih yang nyata dalam kerendahan hati untuk melayani. Dunia akan damai sejahtera bila kita mau saling melayani dengan rendah hati.

Pemberian diri ini diteguhkan dalam kata-kata konsekrasi: Inilah TubuhKu – Inilah DarahKu . Yesus tidak mengatakan inilah Roh Ku, tapi Tubuh Ku untuk menunjukkan bahwa Dia menebus manusia seutuhnya, bukan hanya rohnya. Sekaligus dengan menyantap Tubuh dan Darah Nya kita juga diajak untuk hidup seperti Dia, bukan hanya dalam roh dan doa kita, tapi dalam seluruh keberadaan kita. Tubuh-Nya menyatu dengan tubuh kita, Darah-Nya menyatu dengan darah kita. Kita menghayati kesatuan dengan Tuhan ini dalam kesediaan saya untuk melayani sesama dengan rendah hati. Saya mulai ini dalam liturgi. Saya sering mendahulukan umat misalnya dalam ajakan Doa Persiapan Persembahan: “Berdoalah .... supaya persembahanmu dan persembahanku .....” Saya juga mendahulukan umat dalam menyambut komuni dengan lebih dulu membagikan kepada umat, baru kemudian saya menyambut komuni. Saya percaya Yesus juga selalu mendahulukan murid-Nya daripada diri-Nya sendiri. Kepemimpinan-Nya adalah kepemimpinan yang melayani. Kepemimpinan imamat yang selalu mau mendahului yang dipimpin berbau imamat Perjanjian Lama, atau kepemimpinan jaman kerajaan. Kepemimpinan seperti ini cenderung arogan dan mau menguasai daripada melayani.

Page 24: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku24

EKARISTI DAN PELAYANAN IMAMAT SEHARI-HARIApa yang saya hayati dalam Ekaristi perlu saya wujudkan dalam

hidup sehari-hari, lebih-lebih sebagai imam. Sesudah berkat penutup saya suka mengatakan : semoga hidup kita menjadi berkat bagi sesama. Alangkah indahnya kalau kita sungguh menyadari dan mewujudkan ini dalam hidup kita. Itu juga yang saya usahakan terwujud dalam hidup saya. Harus saya akui ini menjadi perjuangan saya terus. Terutama tat-kala saya tidak menyadarinya, maka saya juga bersikap seenaknya pada sesama, tak jarang juga saya terbawa emosi. Apalagi saat kesibukan membuat hidup saya tak seimbang, sehingga mudah sekali melalaikan kesadaran menjadi berkat tersebut.

Saya melihat penghayatan Ekaristi dalam hidup sehari-hari bagi imam adalah pelayanan sakramen yang lain yakni Sakramen Tobat, Pengurapan dan Komuni Orang Sakit. Kebetulan dalam wilayah Paroki Kristus Raja (KR) ada lima rumah sakit. Maka selain umat paroki sendiri juga umat dari paroki lain yang ada di Rumah Sakit tersebut juga kami layani. Saya bersyukur bahwa kami para romo KR sepakat untuk siap melayani mereka tanpa mempersulit. Cuma kadang kami jengkel juga kalau masih diminta melayani di rumah sakit di luar wilayah paroki KR, karena umat kesulitan menghubungi romo di paroki tersebut. Padahal dalam wilayahnya hanya ada satu rumah sakit itu.

Bentuk penghayatan lain adalah kunjungan dan sapaan imam. Pada umumnya umat merasa sangat bahagia bila dikunjungi oleh imam. Mereka merasa rumah dan keluarganya terberkati oleh kunjungan tersebut. Secara teologis saya melihat keindahan kunjungan dan sapaan itu sejalan dengan peristiwa inkarnasi Putra Allah mengunjungi dan menyapa manusia sebagai sesamanya. Selanjutnya kunjungan dan sapaan itu sekaligus merupakan undangan dan ajakan bagi manusia untuk ambil bagian dalam hidup Allah, dalam Ekaristi. Dalam kenyataan konkrit seringkali kunjungan dan sapaan imam membuat umat mau terlibat dalam Ekaristi nyata: ambil bagian dalam pelayanan gereja.

ATURAN LITURGISaya bangga dan bersyukur atas Ekaristi karena di manapun Gereja

Roma Katolik mempersembahkan Ekaristi di seluruh dunia rumusan-nya ya demikian. Dalam perjalananku ke berbagai negara aku bersyukur bahwa aku dapat mengikuti perayaan Ekaristi di mana saja termasuk dalam bahasa yang tidak kupahami.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 117

tengah umat. Lalu digunakan sebagai bahan homili. Kerap kali saya tergoda untuk memakai itu. Padahal percuma saja, umat kan sudah baca. Maka menjadi lebih indah dan bermakna kalau homili benar-benar disiapkan dengan baik dan disesuaikan dengan kebutuhan umat setempat. Yang diwartakan adalah Sabda Allah sendiri dan bukan diri sendiri.

MERAYAKAN EKARISTI DENGAN BAIK: MENGAWALI PENGHAYATAN DAN DAYA GUNA EKARISTI BAGI HIDUP IMAM(AT)

Tak terbantahkan lagi bahwa seorang imam harus melayani Ekaristi. Sebab imam ditahbisakan pada dasarnya sebagai pelayan sakraman. Dengan ditahbiskan, imam menyerahkan seluruh hidupnya demi pelayanan Ekaristi. Dalam posisi ini, janganlah terlalu jatuh untuk memposisikan diri secara mutlak hanya sebagai pelayan. Bahwa pelayanan Sakramen Ekaristi itu bisa sungguh bermakna dan berdaya kalau sang pelayan juga hidup dalam Ekaristi.

Ekaristi adalah sumber kekuatan seorang imam. Bagi hidup imam(at), Ekaristi adalah pusat dan akar. Dalam Ekaristi pula terkandung seluruh harta rohani Gereja. Untuk menampakkan daya Ekaristi itulah dibutuhkan perjuangan terus menerus. Perjuangan itu bukan pekerjaan instan dan dilakukan hanya sekali. Tetapi merupakan proses hidup yang berlangsung terus menerus. Hari demi hari membiarkan diri masuk dalam misteri Ekaristi dengan bimbingan Roh Kudus.

Persiapan yang baik adalah awal. Persiapan menentukan hasil. Semakin baik mempersiapkan Ekaristi, diharapkan hasilnya pun juga makin baik.

PENUTUP

SEBAGAI penutup, saya teringat dengan iklan dari Didi Kempot. Kurang lebih begini dialognya. “Waduuuuuuuuuh … kurang jeger kok mandi. Nih… jegger”! Juss ginseng energi ginseng energi jegger. Juss ginseng bukan rasa-rasa. Juss ginseng energi ginseng bikin energi jeg-ggeeeer”. Dari iklan ini kita bisa belajar bahwa hidup membutuhkan suplemen. Suplemen yang benar-benar membuat hidup bersemangat dan jeger.

Tanpa bermaksud menafsir Ekaristi hanya secara materiil dan meng-ganggap Ekaristi sebagai “jamu” belaka, kita bisa mengatakan bahwa hanya lewat Ekatistilah kekuatan rohani diperoleh. Lebih lagi bagi se-

Page 25: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku116

menyebutkan bahwa umat beriman pertama-tama dihimpun oleh Sabda Allah, dan karena itu para pelayan suci harus menjunjung tinggi tugas berkotbah. Sebab salah satu tugas utama adalah mewartakan injil ke-pada semua orang. 4

Bagaimana imam harus menjalankan pelayanan Sabda ini. Presbyterorum Ordinis artikel 4 memberikan nasehat demikian: (1) para imam mempunyai cara hidup yang baik di tengah bangsa-bangsa dan mengajak mereka memuliakan Allah 5; (2) Pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum beriman; (3) Memberikan katekese kristiani; (4) menguraikan ajaran Gereja; (5) Mengkaji persoalan aktual dalam terang Kristus; (6) Mengajar bukan kebijaksanaan mereka, melainkan Sabda Allah dan tiada jemunya mengundang semua orang untuk bertobat dan menuju kesucian.

Hebat bukan nasehat dokumen-dokumen Gereja. Secara konseptual memang menarik, tapi tantangan sebenarnya adalah pada pelaksanaannya. Bagaimana hidup itu senantiasa dekat dengan Sabda. Pertanyaan yang harus direnungkan adalah sudahkan mewartakan Sabda Allah dengan baik dalam Ekaristi. Ingat Sabda dan Ekaristi adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Tentu saja mempersiapkan Sabda bukan persoalan yang mudah. Banyak jatuh bangun dalam mempersiapkan Sabda. Inilah yang saya hadapi setiap hari selama 8 bulan terakhir. Tantangannya adalah menyampaikan pesan Injil dan mengaktualkan pesan itu dalam konteks sekarang dan kontekstual di tengah-tengah umat yang dilayani serta gampang dimengerti oleh umat yang tidak sekolah sekalipun.

Mempersiapkan jauh-jauh hari nampaknya menjadi jalan keluar yang konkret. Namun meski sudah disiapkan jauh-jauh hari tetap saja masih ada kesulitan. Membaca berkali-kali dan menulis! Ya, menuliskan homili. Itulah yang saya lakukan. Bagi saya ini cukup membantu. Saya berusaha membatasi dan menentukan pesan apa yang akan saya sampai-kan sehingga tidak nglantur. Menuliskan saja tidak cukup. Persiapan itu harus dikuasai dengan baik sehingga terhindarkan kesan membacakan homili saja. Akhirnya memberi ruang bagi Roh Kudus unntuk bekerja.

Dalam sharing dengan umat, ternyata homili sungguh dinantikan. Dinantikan karena digunakan sebagai pegangan dalam hari itu. Kalau demikian tidak ada alasan untuk tidak mempersiapkan homili. Godaan terbesar dalam dunia internet sekarang adalah tersedianya berbagai renungan. Banyak pula buku-buku renungan yang beredar di tengah-4 Bdk. Kitab Hukum Kanonik Kanon 757 dan 762 ; Bdk Pula Dei Verbum Art. 75 Bdk. 1 Ptr 2,12 “

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 25

Sebagai imam yang memimpin misa tentu saja saya memerhatikan aturan liturgi dan rubrik dalam merayakan Ekaristi. Saya juga bukan tipe imam yang membuat kreasi aneh-aneh sehingga membingungkan umat. Di lain pihak saya juga bukan imam yang begitu teliti dan skrupulus dalam mengikuti aturan, juga bukan imam penjaga yang mewajibkan umat untuk mengikuti aturan hingga sekecil-kecilnya. Aku ditahbiskan untuk menjadi imam seperti Kristus ( in persona Christi) yang menekankan penghayatan hati, bukan seperti Farisi yang begitu menekankan aturan.

RP. Antonius Sad Budianto, CM, Pastor Kepala Paroki Kristus Raja Surabaya.

Motto Imamat: “Belajarlah daripadaku sebab Aku lembut dan rendah hati “ (Mat 11: 29)

Page 26: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku26

MENGHAYATI EKARISTI. Oleh RP. Antonius Sapta Widada, CM

DALAM kehidupan keseharian seorang Imam tak lepas dengan Per-ayaan Ekaristi. Ekaristi yang dirayakan dalam kenyataannya men-

jadi sumber hidup dan karya seorang imam. Tentu merayakan Ekaristi bukan soal kewajiban belaka akan tetapi merupakan kebutuhan untuk memperkuat kehidupan rohani agar dapat menghayati hidup imamat yang dianugerahkan oleh Allah sendiri. Karena merupakan kebutuhan hidup maka dengan sendirinya perlu dihayati dengan sungguh-sung-guh.

Penghayatan Ekaristi yang sesungguhnya berkaitan dengan selu-ruh perjalanan hidup saya. Maka mulai dari persiapan sebelum Ekaristi sampai pada penghayatan dalam hidup keseharian yang terwujud dalam pelayanan bagi sesama. Pada persiapan awal Ekaristi saya biasanya me-mulai dengan persiapan batin, hati, berdoa dan mempersiapkan keselu-ruhan perayaan dengan melihat tata liturginya, doa-doa dan isi bacaan Kitab Sucinya. Selain bagian-bagian itu semua yang tak kalah penting-nya dalam persiapan adalah mempersiapkan peralatan Perayaan Ekaristi yang bersih dan rapi. Inilah tahap awal menghayati Ekaristi.

Pada tahap penghayatan berikutnya adalah menghayati Ekaristi sebagai pewarta Sabda Allah. Langkah pertama agar bisa menghayati Sabda Allah tentu saja saya membaca berkali-kali Sabda Allah itu sendiri, apa maksudnya Sabda Allah diwartakan, bagaimana Sabda Allah ini juga berbicara kepada saya dan umat beriman di sekitar saya yang mendapat pewartaan? Selain mempersiapkan diri dengan membaca Sabda Allah, saya juga mencari dan membaca buku-buku referensi/ pendukung untuk dapat memahami maksud pewartaan Sabda Allah itu sendiri. Sehingga Sabda Allah semakin dapat dipertanggung-jawabkan sewaktu saya wartakan kepada sesama.

Tahap-tahap selanjutnya dalam penghayatan Ekaristi yaitu pada waktu Ekaristi dirayakan. Memang suatu kesatuan yang tak terpisahkan dari Ritus Pembuka sampai Ritus Penutup. Namun saat-saat khusus seper-ti konsekrasi mempunyai penghayatan tersendiri. Doa konsekrasi sangat menyentuh hati karena sebagai seorang imam boleh mengulangi Sabda Yesus saat perjamuan Kudus. Sabda yang mengingatkan untuk menjadi Roti yang dipecah-pecah dan dibagi-bagi sesama yang lain, dan menjadi Anggur yang ditumpahkan bagi semua orang untuk penebusan dosa.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 115

pribadi tetapi perayaan Gereja. Karena itu perlu dipersiapkan dengan baik agar umat yang mengikuti Perayaan Ekaristi benar-benar merasa-kan daya Ekaristi bagi hidupnya. Mungkin pengalaman bertahun-tahun menjadi imam juga mempengaruhi persiapan ini. Semakin imam itu se-nior, kiranya persiapannya juga lebih baik dibandingkan dengan imam baru. Apa yang harus aku siapkan? Dari sisi tempat, penting untuk memperhatikan suasana sakral. Suasana sakral ini bisa ditunjang oleh kerapian, kebersihan altar, panti imam, dan kebersihan gereja yang wa-jar. Membersihkan altar dan menyingkirkan benda-benda atau buku-buku yang tidak terpakai pada Perayaan Ekaristi. Sehingga altar tampak bersih dan tidak dipenuhi dengan benda-benda yang tidak berguna. Hal ini sangat logis, bila kebersihan gereja terabaikan (misalnya: berdebu, bau) tentu kenyamanan dalam ber-Ekaristi menjadi berkurang pula.

Imam perlu persiapan pribadi. Mempersiapkan diri dengan doa-doa pribadi, hening atau meditasi, tidak terlambat. Menguasai Tata Perayaan Ekaristi dengan baik, membaca dengan vokal dan intonasi yang jelas dan tidak tergesa-gesa. Agar umat dapat mendengar dan mengerti dengan baik apa yang kita ucapkan. Tentunya persiapan-persiapan itu tidak dimaksud-kan agar Ekaristi disempitkan pada persoalan ritual belaka. Tetapi den-gan persiapan yang baik diharapkan Ekaristi benar-benar dihayati tidak hanya bagi imam tapi juga bagi umat. Ekaristi adalah pusat pelayanan imam, karena itu penting untuk melayani Ekaristi dengan baik.

MEMPERSIAPKAN SABDAPaus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi artikel 68 menegaskan

peran uskup (dan imam) dalam mewartakan injil.2 Presbyterorum Or-dinis artikel 4 menekankan bahwa imam adalah pelayan Sabda.3 KHK 1983 kanon 757 mengatakan “Tugas khas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempu-nyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan presbiterium-nya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda. Kanon 762 2 Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi (terj: J.Hadiwikarta, Pr) Jakarta: DOKPEN

KWI, 1990, Art 68.3 Konsili Vatikan II dalam Presbyterorum Ordinis (terj: R. Hardawiryana SJ) Ja-

karta: OBOR, 2004 Art 4. Bdk. Pula Kongregasi untuk Imam “THE PRIEST and the Third Christian Millennium – Teacher of the Word, Minister of the Sacraments and Leader of the Community. Khususnya Bab II

Page 27: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku114

SIAPKAN EKARISTI DENGAN BAIK(Sebuah Refl eksi)

Oleh: RD. Daniel Setiawan

PENGANTARIMAM dan Ekaristi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kongregasi

untuk Klerikus dalam “Direktorium Tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam” menegaskan bahwa Ekaristi sangat vital bagi kehidupan imam. Ekaristi adalah kenangan sakramental akan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus yang adalah sumber dan puncak hidup kristiani dan merupakan pusat evangelisasi dan tujuan pelayanan imam. Dengan ditahbiskan seorang imam mempersembahkan seluruh hidupnya demi pelayanan Ekaristi.1 Pelayanan Ekaristi hendaknya jangan dipandang sekedar kewajiban atau tugas. Sehingga kalau tidak bertugas dapat digunakan sebagai alasan untuk tidak merayakan Ekaristi. Tentu yang ideal adalah tetap merayakan Ekaristi meskipun pada saat itu sedang tidak bertugas.

Ekaristi yang sangat vital bagi kehidupan imam, sesungguhnya memiliki daya atau kekuatan bagi hidup imam yang merayakannya. Na-mun saya sebagai seorang imam baru, kerap kali daya Ekaristi yang he-bat itu kurang terasa. Padahal seluruh rubrik dan ketentuan liturgi sudah diikuti. Lalu apa yang kurang? Pada akhirnya saya menyadari bahwa merayakan Ekaristi tidak sekedar membacakan Ekaristi. Ekaristi perlu dipersiapkan. Tidak hanya memahami ketentuan liturgis dan menjalan-kannya, tetapi juga perlu persiapan batin dan hati sebelum merayakan Ekaristi. Sudah cukupkah ini untuk menampakkan daya Ekaristi bagi hidup imam(at)? Dengan jujur saya harus mengatakan belum cukup. Lalu bagaimana? Berjuang terus seumur hidup agar Ekaristi menjadi bagian dari hidup yang terus dihidupi dengan segala tantangannya. Pada akhirnya membiarkan Roh Kudus sendiri yang membimbing kita para imam tanpa melupakan usaha-usaha insani untuk merayakan Ekarusti dengan baik.

SIAPKAN EKARISTI DENGAN BAIK!Itulah nasehat yang saya terima dari seorang dosen menjelang saya

ditahbiskan menjadi imam 8 bulan yang lalu. Ekaristi bukan perayaan

1 Bdk. Kongregasi untuk Klerikus, Direktorium Tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam,(Terj. R. Hardawiryana), Jakarta: DOKPEN KWI, 1996. Art. 48.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 27

Sebagai seorang imam Ekaristi adalah bagian pokok dalam hidupku. Selama menjadi imam Ekarisit dirayakan setiap hari, baik pada waktu saya memimpin perayaan itu sendiri atau mengikuti Ekaristi yang dirayakan oleh imam yang lain, maka Ekaristi dihayatinya sebagai sumber kehidupan dan sumber pelayanan kasih bagi yang lain. Ekaristi menjadi sumber hidupku yang tak pernah kering. Merayakan Perayaan Ekaristi bagiku bukan suatu tugas yang memberatkan atau membosankan walaupun kadang sehari harus lebih dari sekali, walaupun kadang para petugas liturgi kurang sesuai dengan yang saya kehendaki/ingini.

Sedangkan tuntunan dari rubrik dan aturan-aturan liturgi mem-bantu saya dalam penghayatan dalam merayakan Ekaristi. Rubrik dan aturan liturgi bagiku pada dasarnya adalah lebih pada tuntunan untuk bisa merayakan Ekaristi dengan baik, benar dan indah.

RP. Antonius Sapta Widada, Romo Vikep Blitar dan Pastor Kepala Paroki St. Maria, Blitar.

Motto Imamat: “Ini Aku, Utuslah Aku” ( Yes.6:8)

Page 28: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku28

Dua: Masa Kecil

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 113

kita diajak untuk semakin penuh syukur dan serius di dalam menghidupi sakramen ini.

Di sisi lain, keagungan dan keluhuran ini juga memiliki konsekuensi spiritual bagi para pelayan Ekaristi, yakni para imam, agar mereka juga semakin mensyukuri rahmat tahbisan yang karenanya mereka dipercaya untuk menjadi pelayan atas upacara suci ini. Imam di tengah kelemahan dan kemanusiaannya terus dipanggil untuk menyucikan diri, selaras dengan Sang Imam Agung. Penghayatan hidup imamat ini juga tidak dapat lepas dari kesatuan imam dengan uskup. Bahkan demi mendukung pelaksanaan pelayanan yang semakin baik, para imam juga dipanggil untuk semakin tekun dalam Ekaristi itu sendiri serta dengan kerendahan hati menerima Sakramen Tobat.

Dan akhirnya, melalui Ekaristi, para imam diutus untuk mengajak umat beriman semakin memasuki Misteri Paskah Kristus sendiri, dan karenanya mereka harus terlebih dahulu memasuki misteri paskah tersebut dengan iman yang semakin besar. Kemurahan Allah yang menghadirkan diri-Nya secara luar biasa ini perlu senantiasa menjadi pegangan hidup bagi semua umat beriman, terutama para imam, selaku pelayan Sakramen Ekaristi. Dengan semakin hidup suci dan layak, diharapkan pelayanan Ekaristi yang dipersembahkan oleh para imam dapat semakin efektif dan berdayaguna bagi kesatuan relasi antara umat beriman dengan Kristus sendiri, Sang Kepala.

Ponorogo, 26 Mei 2012

RD. Yuventius Fusi Nusantoro, Pastor Kepala Paroki St. Cornelius, Madiun dan pengajar di STKIP Madiun

REFERENSI DOKUMEN KONSILI VATIKAN II:Ad Gentes (Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja)Sacrosanctum Consilium (Konstitusi tentang Liturgi Suci)Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja)Christus Dominus (Dekrit tentang Tugas Pastoral Para Uskup)Optatam Totius (Dekrit tentang Pembinaan Imam)Dei Verbum (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi)Presbyterorum Ordinis (Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam)

Page 29: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku112

dalam Ibadat Ekaristi atau synaxis. Di situ mereka bertindak atas nama Kristus, dan dengan memaklumkan misteri-Nya mereka menggabungkan doa-doa umat beriman dengan korban Kepala mereka” (Lumen Gentium art. 28).

Dengan melihat keluhuran Ekaristi dan sekaligus panggilan imam untuk semakin dapat menghadirkan Kristus dengan sebaik-baiknya di dalam perayaan suci ini maka kita diajak untuk semakin mensyukuri berkat yang istimewa di dalam Sakramen Ekaristi ini. Di sisi lain, imam sebagai pelayannya juga dipanggil untuk semakin serupa dengan Kristus di dalam hidup dan pelayanan mereka.

Membangun hidup imamat yang diselaraskan dengan Kristus sendiri perlu dibangun sejak dalam pendidikan persiapan menjadi imam. Karena itu, para Bapa Konsili sudah mengingatkan bagi para penanggungjawab pendidikan calon imam agar memperhatikan hal tersebut. Salah satu yang diperlukan adalah dengan adanya pembimbing rohani yang diharapkan dapat membantu para calon imam untuk dapat sejak awal membangun hidup yang selaras dengan Kristus, karena tahbisan suci imamat, dan sekaligus karena dirinya nanti akan menjadi pelayan atas sebuah upacara agung dan suci, yang di dalamnya Kristus sendiri hadir dan berkarya secara istimewa, yakni di dalam Ekaristi.

“Terutama dengan bantuan pembimbing rohani hendaknya pembinaan rohani diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga para seminaris belajar hidup dalam persekutuan mesra dan terus menerus dengan Bapa, melalui Putera-Nya Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. Karena dengan ditahbiskan mereka harus menjadi secitra dengan Kristus Sang Imam, maka hendaknya juga dengan hidup dalam persekutuan akrab yang meliputi seluruh hidup mereka membiasakan diri untuk sebagai sahabat berpaut pada-Nya. Hendaklah mereka menghayati misteri paskah-Nya sedemikian rupa, sehingga tahu juga mengantar umat yang akan mereka bimbing memasuki misteri itu” (Optatam Totius art. 8).

PENUTUPDemikian agung dan luhurnya Sakramen Ekaristi yang di dalamnya

Allah menghadirkan diri-Nya secara istimewa dan nyata, meski dengan kehendak bebas-Nya Allah juga bisa hadir di luar sakramen agung ini. Dengan semakin melihat keluhuran dan keagungan Ekaristi yang menjadi tanda dan sarana kasih Allah kepada manusia, maka sekaligus

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 29

EKARISTI SEJAK KECILOleh RD. Bernardinus Yustisianto

SAYA mengenal Ekaristi sejak kecil. Menerima Komuni Pertama bersama nonik dan sinyo Belanda (tepatnya tanggal 21-05-1956).

Tiap pagi jam 04.30 WIB saya dibangunkan ayah untuk melayani Misa di RKZ Surabaya jam 05.05 WIB (sekitar tahun 1957-1959). Kadang-kadang dengan cara digrujug air, muka saya. Misa waktu itu masih pakai bahasa Latin. Dibuka dengan “Introibo ad altare Dei” (Aku akan naik ke altar Allah.), yang dijawab oleh Misdinar: “Ad Deum qui laetifi cat iuventutem meam” (Kepada Allah yang menggembirakan masa mudaku).

Terlalu kecil badan saya sehingga saya menemui kesukaran untuk mengangkat regal (kayu penopang buku misa) yang harus dipindahkan dari kanan ke kiri meja altar. Suatu ketika buku misa yang tebal itu meloncat dari regal melalui kepala saya dan jatuh ke tanah.

Sebelum misa berakhir, pikiran saya sudah melayang ke sakristi, di mana Suster Koster (oude Hollander, orang Belanda tua) dengan penuh kasih sudah menyediakan sebuah mangga yang dipetiknya dari kebun susteran. Juga ke dapur rumah sakit, di mana saya harus mampir untuk makan setangkep roti tawar dengan mentega dan segelas susu, sambil berdiri. Artinya apa? Artinya, Ekaristi tumbuh dalam hidup saya, dengan sponsor dan dukungan grujugan-air, mangga, roti tawar dan susu. Wah.

***Di Seminari Garum-Blitar dan Seminari Tinggi Kentungan-

Yogyakarta, saya makin mencintai Ekaristi karena sering mendapat tugas menjadi koster. Tiap hari jam 20.30 WIB saya siapkan peralatan misa. Lalu paginya jam 05.00 WIB saya teruskan dengan sulak-sulak altar, kursi imam, dan bangku umat, agar misa dapat dilaksanakan oleh romo dan diikuti umat dengan nyaman. Tiap Minggu jam 17.00 WIB, saya siapkan arang menyala dalam wirok untuk Adorasi Sakramen Mahakudus. Ternyata tugas sebagai Koster juga memberi sumbangan besar kepada saya untuk mencintai Ekaristi.

Sejak tahbisan imam hingga 37 tahun ini, saya tidak pernah habis pikir, kok bisa-bisanya saya seorang manusia biasa menjadi perantara transsubstatiatio (perubahan roti menjadi Tubuh Kristus). Dan memang terjadi transsubstatiatio, kok bisa ya? Dalam hati, saya yakin, iman gerejalah yang mengubahnya. Memang iman saya juga ikut. Tapi di

Page 30: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku30

situ saya tidak pernah berpikir untuk memakai suara ngebass, bergetar, disyahdu-syahdukan, dipelan-pelankan, serta memusatkan ”tenaga da-lam” ke dalam hosti, agar menjadi Tubuh Kristus. Niente di niente (sama sekali tidak).

Saya yakin transsubstatiatio terjadi karena iman umat, artinya tentu saja, pertama-tama, sebelum misa, Allah tanpa tergantung iman umat, sudah lebih dulu dengan setia terus-menerus tiap hari mencintai dan memelihara umat-Nya walaupun mereka tidak tahu terima kasih, malah berdosa mengkhianati Dia.

Kedua, ex opere operato Christi (dari upacara suci yang dikerja-kan langsung oleh Kristus sendiri) rahmat mengalir berlimpah.

Tapi, ketiga, rahmat itu diimani-disambut-diterima oleh umat. Se-bab tanpa iman-sambutan-penerimaan umat, rahmat ilahi tidak efektif. Dari satu pihak memang tidak tergantung iman umat. Tapi dari lain pi-hak di tanah yang berbatu dan semak duri, biji tidak tumbuh, tapi malah mati.

***Saya kagum dan terharu menyaksikan iman umat. Ada yang datang

sejam sebelumnya lalu berdoa rosario. Mereka berangkat dari rumah lebih pagi. Tidak ada angkot yang lewat, ada yang jalan kaki. Tentunya mereka sudah bangun jam 4 untuk misa jam 7 pagi. Membangunkan anak dan memandikannya. Nanti sampai rumah lagi jam 9-10. Kalau ditelusur lebih jauh, persiapan mereka sudah seminggu yang lalu ketika mereka mengadakan janjian untuk pergi ke misa, menyuci dan menye-telika baju yang pantas. Malah persiapannya sudah beberapa lama sebe-lumnya, ketika mereka mengaku dosa, karena merasa harus berpantas diri untuk misa suci.

Lihatlah, bagaimana mereka begitu bersungguh-sungguh dalam mengikuti misa. Untuk bisa melihat iman mereka, jangan menghiraukan umat lain yang ikut misa secara ngawur. Lihat saja, bagaimana mereka dengan perhatian (dan sedikit terkantuk-kantuk) mendengarkan khotbah. Mereka menyembah Tubuh dan Darah Kristus dengan sangat hormat pada waktu konsekrasi, dan antre dengan sopan-sopan untuk menyambut-Nya. Setelah misa, mereka masih menyalami Romo, lalu omong-omong satu sama lain beberapa waktu.

Namun walaupun iman umat mengefektifkan transsubstatiatio, saya tidak mau mereka berjalan sendiri tanpa pendampingan saya. Sea-kan-akan biar pun dalam Ekaristi sikap saya awur-awuran, umat pasti

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 111

Para Bapa Konsili melihat bahwa Sakramen Tobat akan sangat mendukung bagi Umat Beriman untuk dapat menghidupi Sakramen Ekaristi dengan sungguh berdaya guna. Itu artinya, para imam juga dipanggil untuk dengan setia dan penuh perhatian melayani dan mempersembahkan Sakramen Tobat dengan sebaik-baiknya bagi Umat Beriman, terutama karena hal itu nantinya akan berdampak besar pada penghayatan mereka terhadap Ekaristi.

Akan tetapi para Bapa Konsili juga melihat bahwa Sakramen Tobat juga sekaligus berguna bagi para imam sebagai pelayan sakramen. Dengan sering menerima Sakramen Tobat, para pelayan sakramen akan semakin dipersatukan secara mesra dengan Kristus sendiri. Kerendahan hati dan keterbukaan diri imam terhadap imam lainnya dalam menerima Sakramen Tobat dinilai sangat besar manfaatnya bagi pelayanan imam atas sakramen-sakramen yang mereka kerjakan, terutama Ekaristi.

“Para pelayan rahmat sakramental dipersatukan mesra dengan Kristus Sang Penyelamat dan Gembala melalui penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering menerima Sakramen Tobat, yang bila disiapkan melalui pemeriksaan batin harian, sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan” (Presbyterorum Ordinis art. 18).

Para Imam juga dipanggil untuk semakin menghidupi imamat mereka dalam kesatuan dengan uskup, berdasarkan berkat Sakramen Tahbisan. Di dalam imamat uskuplah imam mengambil bagian dalam imamat yang dipercayakan kepada mereka, dengan tugas suci melaksanakan Ekaristi. Di dalam pelayanan tugas suci tersebut, imam bertindak atas nama Kristus dan menggabungkan doa-doa umat beriman dengan korban Kristus sendiri.

Kesatuan ikatan imam dengan uskup menjadi sebuah bagian penting dalam pelayanan imam atas Ekaristi. Hanya di dalam kesatuan hirarkial inilah maka kehadiran Allah di dalam Ekaristi dapat dinyatakan oleh imam, melalui Sakramen Tahbisan. Dengan kata lain, imam tidak dapat berdiri sendiri di dalam pelayanan suci atas Ekaristi.

“Para imam tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para uskup. Namun mereka sama-sama imam seperti uskup, dan berdasarkan Sakramen Tahbisan mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung yang abadi… Tetapi tugas suci mereka terutama mereka laksanakan

Page 31: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku110

KONSEKUENSI KEAGUNGAN INI BAGI IMAM, PELAYAN EKARISTI

Dengan permenungan akan kehadiran Allah yang begitu luar biasa di dalam Ekaristi, meski Allah juga dengan bebasnya bisa menghadirkan diri-Nya di luar Ekaristi, mengajak kita untuk juga melihat konsekuensi bagi imam, sang pelayan Ekaristi.

Melalui pelayanan Ekaristi, para imam dipanggil untuk melayani kaum beriman untuk mencapai kepenuhan korban rohani mereka. Dengan kehadiran Kristus di dalam Ekaristi, maka kaum beriman menyatukan dan menyempurnakan persembahan hidup mereka. Karena itu, para imam dipanggil untuk memiliki kesadaran bahwa pelayanan Ekaristi yang dilaksanakannya bukanlah sebuah aktivitas personal, melainkan tindakan Gereja yang sekaligus menyatukan semua hidup rohani kaum beriman dalam Ekaristi.

“Melalui pelayanan para imam korban rohani kaum beriman mencapai puncak kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus Pengantara tunggal, yang melalui tangan para imam, atas nama seluruh Gereja, dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi, sampai kedatangan Tuhan sendiri” (Presbyterorum Ordinis art. 2).

Di sisi lain, menjadi tanggung jawab pastor paroki agar pelayanan Ekaristi yang di dalamnya kaum beriman dipersatukan dengan Kristus sendiri, dapat terlaksana dengan baik. Secara defi nitif, pastor paroki perlu berusaha agar kaum beriman dapat menghidupi Perayaan Ekaristi dalam kesatuannya dengan sakramen-sakramen Gereja yang lainnya. Kesatuan Ekaristi dengan Sakramen Tobat menjadi salah satu bentuk sinergi sakramental yang perlu dihidupi oleh kaum beriman, melalui peran dan usaha para imam, terutama pastor paroki.

“Dalam menjalankan karya pengudusan hendaklah pastor paroki berusaha, supaya perayaan korban Ekaristi menjadi pusat dan puncak seluruh kehidupan jemaat kristiani. Begitu pula hendaknya ia berusaha, supaya umat beriman menerima santapan rohani dengan seringkali menerima sakramen-sakramen penuh khidmat, dan dengan ikut berperan secara sadar dan aktif dalam liturgi. Hendaklah pastor ingat pula betapa sungguh banyak Sakramen Tobat membantu dalam memupuk hidup kristiani” (Christus Dominus art. 30).

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 31

tetap sujud hormat menyembah. Dan misa tetap sah. Saya tidak mau itu. Saya adalah bagian dari iman mereka. Lucu, kalau iman umat tanpa iman Romonya.

Kalau iman saya baik, iman umat terdukung. Tetapi kalau hidup saya gak beres (pemalas, mangione manjone tukang makan, konsumtif uang untuk diri sendiri, dan jalan hidup saya menggak-menggok), saya sangat sadar, umat itu tahu kok, lalu mereka bilang dalam hati ”gaya!” Dan lama-lama mereka muak. Akibatnya, dari Ekaristi, untuk saya gak jadi apa-apa.

***Maka melayani iman umat itulah yang saya usahakan sekuat te-

naga sejak semula. Pertama-tama, saya sendiri sebisa-bisanya harus juga menyediakan

iman yang sama. Konkritnya: hati suci, sikap yang beres dalam hidup, dan perilaku yang baik dalam upacara Ekaristi. Saya coba jauhi dua hal: ”gaya-gayaan” dan sikap ”kosro”(awur-awuran). Sering saya khawatir kalau-kalau sikap saya tidak pas. Beberapa kali pikiran saya lari ke luar gereja. Ini yang saya takuti. Sebab dengan lamunan itu, bukan hanya tiba-tiba lupa bagaimana kelanjutan kata ”Atas petunjuk penyelamat kita .....” (terus piye?), tapi bisa juga salah ucap untuk Piala ”Inilah Tu-buh-Ku” (lho?). Nah, apa yang saya takuti walaupun sudah saya jauhi, sangat mungkin terjadi.

Ketika di Ponorogo (tahun 1982-1985) penghayatan iman yang menjadi syarat Ekaristi terasa hancur lebur. Sebab saya harus melayani misa Sabtu-Minggu sebanyak 4-5 kali. Dalam misa ke-5 di Jurug atau Pulung, misdinar menyentuh lengan saya dengan kata-kata: ”Sudah Romo!”. Saya terbangun karena Bacaan pertama-kedua dan Mazmur Antar Bacaan sudah selesai. Dengan berpegang erat-erat pada mimbar karena sangat lelah dan ngantuk, saya baca Injil dan berkhotbah. Itu hanya perasaan saya saja bahwa iman saya hancur lebur. Namun moga-moga Tuhan memperhitungkan kesungguhan saya dalam melayani misa, entah 1 kali entah 5 kali itu sebagai pernyataan iman saya.

***Pelayanan iman umat dalam bentuk lain yang saya kerjakan antara

lain: rajin melatih Putera Altar dan memberi pendalaman Liturgi. Baik untuk Asisten Imam pada khususnya, maupun umat seluruhnya pada umumnya.

Page 32: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku32

Dalam Ekaristi, saya suruh anak SMP maju duduk di bangku de-pan. Kalau tidak mau, saya tidak akan mulai misa. Sebab kalau baru SMP saja sudah duduk di belakang, nanti SMA duduk di luar, dan kalau sudah tua, berdiri di luar di jalan sana.

Koor juga dari dulu sangat saya pentingkan. Prinsip saya, walau-pun misdinar atau dekorasi kacau, masih tidak apa-apa, asalkan koornya jangan kacau. Saya rajin mengunjungi latihan mereka. Saya carikan di-rigen yang baik. Saya beri konsumsi. Misa Hari Raya tidak boleh men-jadi tempat praktek koor yang sederhana, melainkan hanya untuk koor yang hebat. Waktu Misa Hari Raya koor sederhana minggir. Sebab koor itu demi Ekaristi. Ekaristi nomor satu, bukan sebaliknya.

***Saya juga punya keyakinan bahwa yang disebut santapan ilahi

dalam Ekaristi, yang memberi kehidupan dan kekuatan kepada umat itu adalah Firman dan Tubuh Kristus. Maka tidak hanya transsubstatiatio saja yang harus saya layani dengan baik, tetapi juga Firman.

Menurut pengalaman saya, iman umat kepada transsubstatiatio ternyata tidak kuat-kuat amat. Iman mereka tidak hanya terganggu, tapi juga sangat dilumpuhkan oleh Firman yang buruk. Saya tidak boleh me-nyalahkan iman mereka yang rapuh, kalau mereka ngomel mengenai Firman setelah pulang dari gereja. Adalah salah saya, kalau Firman yang saya bawakan buruk sekali. Maka Firman juga menjadi kegelisahan dan kecemasan saya. Jangan sampai saya menjadi penghalang santapan suci ini. Jangan sampai gara-gara khotbah saya yang buruk, umat tidak mem-peroleh santapan kehidupan. Saya baru bisa melayani iman umat dengan baik kalau saya mempersiapkan-Nya sungguh-sungguh.

Dalam pelayanan iman umat tersebut, saya baru ngerti arti ”Ekaristi sebagai puncak dan sumber hidup umat Allah”. Ketika saya bawa praktek hidup saya sehari-hari ke dalam Ekaristi untuk mendukung iman umat, hidup saya yang ”bukan apa-apa” tapi saya seriusi itu, dipersatukan dalam korban salib Kristus yang paling berkenan kepada Bapa. Bukan sekedar dijadikan satu, tetapi ditingkatkan makin baik. Akan celaka saya ini, kalau hidup saya yang ”bukan apa-apa” ini masih juga tidak saya seriusi pula dalam pelayanan Ekaristi.

Menurut keyakinan saya, kalau saya semberono dalam hidup saya, umat pun akan segera tahu bahwa saya cuma ”gaya” dalam transsub-statiatio dan ”nggombal” dalam Firman. Sebaliknya setelah Ekaristi saya layani dengan baik, saya selalu merasa membawa sesuatu yang

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 109

Akan tetapi kita tidak dapat melihat Ekaristi hanya dalam sepenggal pengulangan tindakan dan kata-kata Yesus, di dalam Perjamuan Terakhir. Ekaristi perlu dilihat dalam kesatuan ritus suci mulai dari Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi sampai dengan Ritus Penutupnya. Di dalam keseluruhan rangkaian ini kita akan mengalami sebuah peristiwa iman atas kehadiran dan kasih Yesus melalui Sakramen Ekaristi.

Kehadiran Allah di dalam Sakramen Ekaristi tidak hanya terbatas pada perayaan liturgi saja tetapi juga meluas berhubungan dengan karya misioner Gereja di tengah dunia. Melalui sakramen-sakramennya, yang berpuncak pada Ekaristi, Allah hadir di tengah peristiwa-peristiwa karya misioner Gereja untuk menampakkan rencana keselamatan-Nya.

“Kegiatan misioner tidak lain dan tidak kurang dari pada penampakan rencana Allah atau ‘Epiphania’, serta pelaksanaannya di dunia dan dalam sejarahnya, saatnya Allah, melalui perutusan, secara terbuka menyempurnakan sejarah keselamatan. Melalui sabda pewartaan dan perayaan sakramen-sakramen, yang pusat dan puncaknya Ekaristi suci, kegiatan itu menghadirkan Kristus Sang Penyelamat” (Ad Gentes art. 9).

Kehadiran Allah di dalam Ekaristi tidak dapat lepas dari keberadaan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus. Di dalam Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik inilah secara istimewa menghadirkan Kristus, terutama di dalam Ekaristi, dan sekaligus memberi daya kekuatan untuk mempersatukan kumpulan umat Allah yang tersebar di mana-mana, dengan berbagai kondisi yang berbeda satu sama lain.

“Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup, tampillah lambang cinta kasih dan ‘kesatuan Tubuh Mistik itu, syarat mutlak untuk keselamatan’. Di jemaat-jemaat itu, meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus; dan berkat kekuatanNya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik” (Lumen Gentium art. 26).

Begitu besar peristiwa ilahi yang tersimpan di dalam Ekaristi. Akan tetapi seringkali kita mengalami keterasingan dengan kekayaan rohani yang berlimpah ini, akibat kurangnya katekese ataupun karena pengaruh sekularisme yang juga menggerogoti hidup rohani kita. Melalui berbagai macam pendekatan dan usaha, baik di tingkat tokoh-tokoh umat maupun umat pada umumnya, diharapkan akan dapat membantu semua yang terlibat di dalam Ekaristi untuk mengalami peristiwa iman yang berlimpah di dalam Ekaristi ini.

Page 33: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku108

pun yang baik dan benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai kurnia Dia, yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan” (Lumen Gentium art. 16).

Pemahaman ini semakin menguatkan pemahaman kita sebagai anggota Gereja Allah akan kemurahan Allah yang begitu besar bagi dunia, karena memang wafat Kristus diperuntukkan bagi semua orang, dan dengan cara-Nya yang indah Allah bermaksud mengundang semua orang untuk dapat digabungkan dengan Misteri Paskah Kristus. Keterbukaan Gereja untuk dapat melihat bahwa Allah memiliki kerinduan yang begitu besar untuk membawa semua orang ke dalam pangkuan-Nya, perlu dilihat sebagai keilahian kasih Allah, yang tidak membatasi kasih-Nya hanya bagi mereka yang bersekutu di dalam Tubuh Mistik-Nya, yakni Gereja.

KEHADIRAN ALLAH DI DALAM EKARISTISetiap kali kita merayakan Ekaristi, senantiasa disatukan dengan

kata-kata seperti yang terdapat di dalam Injil Lukas 22:19, “…Inilah TubuhKu yang diserahkan bagi kamu, perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”. Kalimat tersebut dikatakan Yesus setelah Ia mengambil roti, mengucap syukur dan memberikannya kepada para murid. Dan hal tersebut juga dilakukan Yesus atas cawan di dalam Perjamuan Terakhir bersama para murid, sambil berkata, “Cawan ini adalah Perjanjian Baru oleh DarahKu, yang ditumpahkan bagi kamu” (Luk 22:20).

Maka setiap kali kita mengulangi “perbuatan ini”, atas roti dan cawan, dengan mengambil, mengucap syukur dan membagikannya, maka setiap kali pula kita mengenang Yesus sendiri. Dan dengan kenangan tersebut, kita mengimani bahwa Yesus sendiri yang hadir dalam setiap tindakan tersebut.

“Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Korban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-Nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan ini Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (Sacrosanctum Concilium art. 47).

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 33

indah ke kamar dan ke tengah umat sebagai oleh-oleh. Tidak hanya rasa puas mengalir dalam hati saya, tapi juga riang gembira. Variasi hidup yang macam-macam, kekuatan dan semangat berkobar memenuhi hidup saya.

RD. Bernardinus Yustisianto Pastor Kepala Paroki St. Maria Annunciata, Sidoarjo

Page 34: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku34

BERTUMBUH DALAM EKARISTI BERKAT CINTA ORANGTUA

Oleh RD. Boedi Prasetijo

TANPA kita sadari ternyata orangtua kita berperan besar untuk pertumbuhan iman seorang remaja hingga usia dewasa dalam ber-

Ekaristi. Setidaknya itulah yang menjadi pengalaman saya. Peran bapak yang mengingatkan untuk menyiapkan Perayaan

Ekaristi mingguan bersama keluarga di gereja. Peran ibu yang selalu mengingatkan untuk rajin berdoa dan sekaligus memberi contoh dalam ber-Ekaristi secara aktif dan bersemangat. Tulisan berikut sebagai sharing sekaligus ungkapan terima kasih atas bekal yang disiapkan dan diwariskan orangtua pada kami, anaknya, hingga menjadi seorang imam.

PENTINGNYA PERSIAPAN

“Besok”. Kadang-kadang kata itu adalah kata yang bijaksana,tetapi kata itu merupakan kata-kata mereka yang kalah

(Josemaria Escriva, CAMINO no 251).

MASIH segar diingatanku ajakan seorang ayah kepada kami, anak-anaknya, pada setiap mendekati akhir pekan untuk menyemir sepatu. “Ayo aja lali, sepatunya disemir sekarang buat misa ke gereja.” begitulah seruan ajakannya. Masih ada satu dua ajakan lain yang berisi peringatan dan ajakan untuk mempersiapkan segala sesuatu sekarang, saat itu, sebelum hari-H-nya. Contoh dan teladan dari orangtua, khususnya bapakku dalam mempersiapkan untuk mengikuti Perayaan Ekaristi di gereja setiap hari Sabtu atau Minggu itu menjadi sebuah irama kebersamaan kami sekeluarga dalam menyambut Hari Tuhan.

Memang kami kadang tidak bisa merayakan Misa bersama pada hari Sabtu atau Minggu. Malah kami atur jadual siapa yang Misa Sabtu atau siapa yang akan ikut Misa Minggu. Bersama ibu kadang saya sebelum menjadi misdinar diajak misa hari Sabtu sore. Apa pun harinya, yang jelas kami sekeluarga menyambut Hari Minggu dengan penuh kegembiraan. Bapakku yang kerjanya di luar kota tiap hari, berangkat pagi pulang sore, kalau tidak menginap itu, saat-saat weekend bersama keluarga adalah saat yang penuh arti. Dan bapaklah yang selalu

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 107

“Maksudnya supaya mereka yang bukan kristiani, berkat Roh Kudus yang membuka hati mereka (lih. Kis 16:14), menjadi beriman dan dengan sukarela bertobat kepada Tuhan, serta dengan jujur berpegang teguh pada Dia, yang merupakan ‘jalan, kebenaran dan kehidupan’ (Yoh 14:6),… Itu memang harus dimengerti sebagai pertobatan awal, tetapi bagi manusia sudah mencukupi untuk menangkap, bahwa ia telah dibebaskan dari dosa dan diantar masuk ke dalam misteri cinta kasih Allah, yang memanggilnya untuk menjalin hubungan pribadi dengan diri-Nya dalam Kristus. Sebab berkat rahmat Allah orang yang baru saja bertobat menempuh perjalanan rohani; di situ ia, yang karena iman sudah ikut menghayati misteri Wafat dan Kebangkitan, beralih dari manusia lama kepada manusia baru yang sempurna dalam Kristus (lih. Kol 3:5-10; Ef 4:20-24)” (Ad Gentes art. 13).

Mungkin muncul pertanyaan yang menggelitik. Jika memang Allah, dengan cara dan kehendak-Nya yang bebas, juga hadir dan berkarya di luar Ekaristi, dan sakramen-sakramen lainnya, lalu mengapa kita harus mengarahkan hidup kita kepada Ekaristi? Bukankah Allah juga tetap akan menyertai dan menghadirkan kasih-Nya, meskipun tidak harus melalui Ekaristi?

Gereja berpendapat bahwa perbuatan baik dan ketulusan hati dalam mencari Allah dipahami sebagai sebuah awal dari keterbukaan manusia untuk dapat menerima Kabar Gembira Injil Yesus Kristus. Kesemuanya itu memang dapat menghasilkan rahmat berkat, namun belumlah sepenuhnya sama seperti jika berkat itu dialami di dalam sakramen Gereja. Melalui pembaptisan, manusia diajak untuk masuk lebih dalam kepada pengetahuan dan iman yang semakin jelas tentang Allah. Dan karena itulah, apa yang baik ini tetap perlu untuk disempurnakan di dalam rahmat istimewa sakramental Gereja.

“Sebab mereka yang tanpa salah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan Ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar. Sebab apa

Page 35: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku106

yang tak terhingga besarnya. Karena melalui dan di dalam sakramen-sakramen inilah secara istimewa Allah hadir dan menyapa manusia agar semakin dipersatukan di dalam kasih ALLah.

Salah satu sakramen yang menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah adalah Ekaristi. Di dalam Ekaristi terdapat berbagai macam Ritus Suci yang menghantar manusia untuk dapat mengalami peristiwa iman, akan kehadiran dan panggilan Allah bagi dirinya. Karena itu, perlulah dengan berbagai macam usahanya, Gereja mengajak orang-orang yang bersekutu di dalamnya, untuk senantiasa tanpa henti mendalami kekayaan misteri suci di dalam Ekaristi ini.

KEHADIRAN ALLAH DI LUAR GEREJAKehadiran Allah yang istimewa di dalam Ekaristi, tidaklah berarti

bahwa Allah hanya “bisa” dan “berkenan” hadir di dalam Ekaristi, serta sakramen-sakramen Gereja lainnya. Kuasa kehadiran Allah secara mengagumkan nyata di tengah siapa pun yang berkumpul di dalam nama Yesus, sebagaimana yang disampaikan Sang Putera, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Perkumpulan dalam nama Yesus, dalam konteks ayat ini bisa sangat luas, dan tidak selalu berada di tengah perjamuan Ekaristi, misalnya di tengah doa lingkungan, doa keluarga, ibadat sabda, ziarah, persekutuan doa, dll.

Bahkan di tengah kerasulan dan karya misi, Yesus senantiasa menyertai para murid-Nya, “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:20). Penyertaan Allah Putera, dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus, menjadi sebuah janji kasih Allah bagi para murid dalam melakukan karya pemberitaan Kabar Gembira, di tengah dunia. Kehadiran dan penyertaan ini menjadi sebuah kekuatan, meski tidak selalu dimaknai dalam wadah Ekaristi.

Dengan kata lain, kehadiran Allah yang istimewa di dalam Ekaristi, dan sakramen-sakramen lainnya, tidaklah berarti “membatasi” gerak Allah dalam menghadirkan diri-Nya di tengah dunia ini. Secara ilahi Roh Kudus juga bekerja dan berkarya bahkan di tengah orang yang bukan kristiani. Roh Kudus, diyakini oleh Gereja, membuka hati orang, termasuk mereka yang bukan kristiani, agar akhirnya menjadi beriman dan dengan sukarela bertobat kepada Tuhan. Meski memang langkah ini masih merupakan langkah awal untuk semakin masuk ke dalam misteri wafat dan kebangkitan Kristus.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 35

mengingatkan kami untuk persiapan menyongsong ikut Misa pada akhir pekan dengan kerja bersih-bersih bersama atau pun sendiri juga.

Irama persiapan untuk menyambut Hari Tuhan itu juga lebih intens dalam menyambut Hari Raya, baik Natal maupun Paskah. Selanjutnya, waktu di seminari hingga menjadi seorang imam irama persiapan itu sudah menjadi “ habit”. Jadi, tiada Ekaristi tanpa persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir menyangkut busana dan sepatu, serta sarana-sarana dan alat-alat yang lain. Sedang persiapan batin menyangkut persiapan liturgi dan hati kita masing-masing. Betapa indahnya apabila saat-saat persiapan lahir dan batin itu menjadi irama hidup kita.

Sebagai seorang imam, praktis tiap Sabtu dan Minggu kami berkot-bah untuk umat. Persiapan membuat homili tentu membutuhkan waktu sendiri. Kerja keras dengan membuat power point presentation dalam minimal 10 slide tiap pekan menjadi latihan rohani demi pelayanan ke-pada umat. Tentu saja persiapn homili Misa Sekolah dan Misa Wilayah tiap bulan, serta Misa Novena Roh Kudus seperti hari-hari menjelang Hari Raya Pentakosta seperti sekarang ini menjadi sukacita tersendiri, berkat bimbingan Roh Kudus, Sumber Inspirasi batin kita.

TETAP RAJIN DAN SETIA

“Satu ciri yang amat penting bagi seorang rasul adalahcintanya akan Misa Kudus”

(Josemaria Escriva, CAMINO no 528).

SETIAP pagi ibuku selalu membangunkan aku untuk pergi ke gereja. Kadang ibu membangunkan aku lebih pagi lagi, agar aku bela-jar atau mengerjakan pekerjaan rumah sebelum misa pagi, sambil ibu pamit untuk pergi belanja ke pasar. Hikmah dari upaya ibuku itu selalu membekas di dalam hidupku. Kebiasaan bangun pagi untuk rajin dan setia mengikuti misa pagi di paroki akhirnya menjadi irama hidup ha-rianku. Bahkan dengan penuh harap, ibu memberi tugas dan mandat, agar keikutsertaanku dalam misa pagi sebagai wakil ibu dan keluarga, bila memang ibu dan saudara-saudariku yang lain sedang repot pagi itu, sehingga tidak bisa hadir dalam misa harian.

Tugas dari ibu itu ternyata membentuk kebiasaan harianku. Tiada hari tanpa doa dan misa pagi. Dan memang, kebiasaan untuk bangun pagi itu menjadi kekayaan rohaniku. Dalam perkembangan waktu, bu-kan hanya untuk doa dan misa pagi saja, namun dengan bangun pagi aku

Page 36: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku36

juga bisa belajar dan membaca buku. Hal ini berlajut waktu aku masuk seminari, baik di Seminari Menengah maupun Seminari Tinggi, bangun lebih pagi bisa menjadi kekayaan tersendiri untuk memupuk semangat kerajinan dan kesetiaan dalam doa, Ekaristi dan membaca buku rohani.

Sebagai seorang imam yang pernah bertugas di Seminari Menengah Garum, lalu berkarya di Paroki dan melaksanakan tugas studi ke luar negeri, menemukan irama hidup rohani di pagi hari sungguh telah memperkaya panggilan tugas pelayanan kami. Mengamankan suasana pagi hari untuk Tuhan sungguh memupuk sikap untuk tetap rajin dan setia dalam tugas pelayanan kepada umat, lebih-lebih untuk Perayaan Ekaristi di pagi hari.

BERPARTISIPASI AKTIF

“Jangan engkau lupa akan doa-doa masa kecilmu, yang mungkin kaupelajari dari bibir ibumu. Ucapkanlah doa-doa itu setiap hari

dengan cara yang sederhana seperti waktu dahulu.” (Josemaria Escriva, CAMINO no 553).

TERNYATA apa yang menjadi kebiasaanku dalam doa dan mengangkat lagu pujian dalam Perayaan Ekaristi itu adalah warisan dari ibuku. Mengapa tidak? Sebelum aku menjadi misdinar dan mulai berangkat mengikuti Perayaan Ekaristi mingguan atau harian, setiap hari Sabtu sore dalam Perayaan Ekaristi aku selalu duduk dekat dengan ibu. Dan selalu ibu mengajakku untuk ikut aktif dalam menjawab dialog misa dan sikap liturgi, kapan saat duduk atau berdiri dalam Perayaan Ekaristi.

Yang hingga saat ini membekas ialah saat mengangkat lagu pujian, ibuku selalu menyanyikan lagu dengan suara lantang. Getar-getar suara ibu itu dengan perlahan menarik semangatku untuk mengikuti nada dan iramanya. Dan akhirnya, dengan spontan aku mengikuti alunan nada dan lagu pujian dalam Perayaan Ekaristi seperti yang dilakukan oleh ibuku. Aku tidak takut dan canggung dalam mengangkat lagu pujian. Nada dan irama lagu-lagu Misa akhirnya menjadi hapalan bagiku, berkat alunan suara merdu ibuku selama kita mengikuti Perayaan Ekaristi. Terima kasih, Ibu! Sungguh, semangat Ibu dalam berpartisipasi aktif dalam Ekaristi itu menjadi warisan abadi dan spiritualitas pelayanan imamat bagi umat dalam Ekaristi.

Seorang imam misionaris dari Italia, Romo Silvano Ponticelli, CM, pernah memberi nasihat kepadaku saat aku masih menjadi seminaris kelas

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 105

KEHADIRAN ALLAH YANG ISTIMEWA DI DALAM EKARISTI

(Sebuah Refl eksi untuk Para Pelayan Sakramen Ekaristi)Oleh RD. Yuventius Fusi Nusantoro

PENGANTAR MERENUNGKAN misteri kehadiran Allah di tengah kehidupan

manusia merupakan sebuah permenungan yang penuh kekaguman sekaligus mengandung misteri keilahian yang agung. Banyak cara dilakukan manusia di sepanjang jaman untuk bisa menemukan kehadiran Allah yang mulia di dalam kehidupan mereka. Berbagai macam cara dilakukan untuk mendapatkan pencerahan atas peristiwa besar tersebut, baik melalui pendekatan pemikiran fi losofi s, ritual mistik, meditasi dan laku tapa, berbagai macam peziarahan, dll.

Kerinduan besar yang terpendam di dalam jiwa manusia mengundang manusia untuk senantiasa merasa haus dan rindu untuk dapat semakin mendekat dengan Sang Sumber Kehidupan. Hanya saja tidak banyak yang menyadari bahwa di tengah misteri yang tak terpahami ini, Allah sendirilah yang sebenarnya justru membuka Diri-Nya seluas-luasnya agar manusia dapat mengenal Kasih-Nya yang penuh rahmat. Baik melalui kehadiran para nabi, dan berpuncak pada perutusan Allah Putera ke dunia. Allah jugalah yang mengundang manusia untuk semakin rindu datang kepada-Nya, agar manusia dapat dipersatukan di dalam kasih Allah.

“Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef 1:9); berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut serta dalam kodrat ilahi (lih. Ef 2:18; 2 Ptr 1:4). Maka dengan wahyu itu Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1 Tim 1:17) dari kelimpahan cinta-Nya menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya” (Dei Verbum art. 2).

Secara luar biasa Gereja memiliki sakramen, yang merupakan tanda dan sarana kehadiran Allah yang istimewa. Kehadiran Allah yang istimewa di dalam sakramen-sakramen Gereja ini merupakan anugerah

Page 37: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku104

perlu saya tingkatkan menjadi misi pribadi. Lebih daripada sekedar tugas apalagi keterpaksaan, Ekaristi perlu saya tempatkan sebagai ungkapan syukur dan kerelaan untuk dibentuk dalam pembinaan yang pembinanya adalah Allah sendiri. Di sini saya mempersiapkan diri dan mengantisipasi perjumpaan Ekaristis dalam perjamuan abadi.

STPD, 30 April 2012.RD. Petrus Canisius Edi Laksito,

Romo Rektor Seminari Tinggi Providentia Dei, Keuskupan Surabaya sejak 2011. Motto Tahbisan Imam : “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima”

(Kis 20:35)

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 37

IV di stasi Wonodadi (dulu paroki St. Yusuf Blitar, sekarang masuk St. Maria Blitar). Yang penting bagi seorang imam itu ada dua: yang per-tama: dia harus bisa berkhotbah dan yang kedua: dia harus bisa me-nyanyi dengan baik! Nasihat Romo Ponti memberi semangat kepadaku dalam tugas pelayanan Misa bagi umat. Untuk membangkitkan partisi-pasi aktif bagi umat, maka seorang imam hendaknya bisa berkhotbah yang baik dan menyanyikan doa-doa presidential (doa pembuka, doa persiapan persembahan dan doa sesudah komuni), nyanyian prefasi, dia-log dan aklamasi-aklamasi dalam Misa Minggu dan Hari Raya. Dengan semangat warisan ibuku kuingin mewujudkan seruan para Bapa Kon-sili: “… Para gembala jiwa lainnya hendaklah berusaha dengan tekun agar dalam setiap ibadat yang dirayakan dengan nyanyian segenap umat beriman dapat berpartisipasi secara aktif membawakan bagian-bagian yang dikhususkan bagi mereka seturut kaidah liturgi yang ada” (SC art. 114).

HENING DAN SUJUD MENYEMBAH

“Misa Kudus itu panjang, katamu. Dan saya menjawab: sebab cintamu sedikit”

(Josemaria Escriva, CAMINO no 529).

UNGKAPAN dua kalimat pendek dari Santo Josemaria Escriva ini dulu menjadi bacaan pilihan para seminaris yang favorit. Bukan kar-ena isinya, tapi karena pendeknya. Dan lagi isinya yang menyindir kita itu acapkali menjadi polemik para seminaris yang hidupnya tergesa-ge-sa dan ingin serba cepat selesai, terlebih dalam acara doa dan Ekaristi. Memang, cinta akan Ekaristi itu soal hati. Di sini saya diingatkan akan Sabda Yesus, “Di mana hartamu, di situ pula hatimu.” (Mat 6:21).

Dari orangtua saya diajar untuk berani memilih untuk mengikuti Tuhan dan panggilan-Nya, serta prioritas hidup dalam tugas pelayanan di sekitar altar-Nya. Seperti halnya ibu yang memilih untuk berangkat misa lebih awal, agar selain mendapatkan tempat duduk yang biasa dia pakai, namun lebih dari itu… ibu ingin berdoa dan sujud menyembah Tuhan yang ada di gereja sebelum Perayaan Ekaristi. Hati ibu sudah di-tarik oleh cintanya kepada Tuhan. Makan kadang hampir seluruh buku dia doakan sebelum misa.

Sebagai seorang imam, keheningan dibutuhkan dan mutlak. Di saat mempersiapkan homili, di saat berdoa pribadi dan meditasi, terlebih da-

Page 38: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku38

lam merayakan Ekaristi. Bahkan saat berkhotbah pun sikap hening itu diperlukan. Mengapa? Karena keheningan bukan berarti tidak berbicara. “Keheningan adalah unsur utuh dari komunikasi; tanpa keheningan, kata yang kaya pesan tak akan ada. Dalam keheningan, kita lebih mampu mendengar dan memahami diri kita sendiri, gagasan-gagasan dapat lahir dan mencapai kedalaman makna.” (Pesan Bapa Suci Benediktus XVI pada Hari Komunikasi Sedunia ke-50, 20 Mei 2012).

Perayaan Ekaristi yang dipersembahkan dengan penuh ketenangan dan penghayatan, baik dalam kata-kata dan tindakan, serta hening dan sujud menyembah Tuhan yang kita kurbankan itu menjadi kerinduan dan harapanku selalu.

Sejenak mari kita resapkan lebih jauh lagi pesan Bapa Suci Benediktus XVI pada Hari Komunikasi Sedunia 2012: “Kata dan ke-heningan: belajar berkomunikasi adalah belajar untuk mendengar dan merenung sebagaimana berbicara. Hal ini terutama penting bagi mereka yang terlibat dalam karya evangelisasi: baik keheningan maupun kata adalah unsur hakiki, bagian utuh karya komunikasi Gereja demi pemba-ruan karya pewartaan Kristus zaman ini.”

BERSAMA MARIA SELALU

“Cinta akan Bunda Maria adalah suatu bukti dari suatu semangat yang baik bagi semua karya dan bagi setiap manusia.

Janganlah percaya akan usaha yang tak memiliki corak ini.”(Josemaria Escriva, CAMINO no 505).

KEBIASAAN devosi kepada Bunda Maria, yang menjadi devosi kesukaan ibuku, memang merasuk di hati sanubariku. Baik sebagai seorang misdinar dan pengurus Legio Mariae waktu masih SMP di parokiku, hingga menjadi seminaris dan frater di Seminari Tinggi. Motto: “Ad Jesum per Mariam” (Menuju Yesus melalui Maria) menjadi semangat pribadiku hingga saat ini sebagai seorang imam. Perayaan Ekaristi yang kupersembahkan tiap hari, aku persembahkan kepada Bunda Maria untuk melayani Yesus di altar sebagai seorang imam. Usai misa tak lupa kudoakan doa Tiga Salam Maria di sankristi, khusus buat ibuku. Tentu saja kadang bisa tambah intensi untuk setiap orang yang memohonkan untuk didoakan.

Rasa cinta dan kedekatan dengan Bunda Maria memberi semangat dan kehangatan dalam melaksanakan tugas pelayanan, khususnya dalam

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 103

SAYA sendiri saat ini menjalani tahun ke-16 imamat. Saya merasa bahwa perjalanan imamat saya “diselamatkan” oleh tugas Ekaristi yang harus saya laksanakan di tempat saya ditugaskan. Tetapi Ekaristi sebagai “tugas yang menyelamatkan” ini lebih memiliki arti dangkal dan duniawi, kurang cukup mendalam. Belum sungguh-sungguh saya hayati sebagai suatu “Ekaristi Emmaus”, yang melibatkan kesadaran dan niat untuk menggulati makna hidup, salib dan kebangkitan. Suatu Ekaristi yang dirayakan dalam keterbukaan akan Sabda Tuhan dan pengajaran-Nya hingga hati berkobar-kobar dan pikiran menjadi sadar akan kedalaman misteri-misteri Tuhan. Ekaristi yang mendorong saya meminta kepada Tuhan agar diizinkan masuk ke kedalaman misteri-Nya, dan yang membuat saya memohon “Tinggallah beserta kami, Tuhan”, sembari dengan penuh semangat mewartakan perjumpaan dengan-Nya yang menguatkan.

Dan apakah arti Ekaristi yang dilaksanakan sebagai tugas dangkal, yang dilakukan karena diwajibkan, yang menyelamatkan imam karena dengan merayakannya ia toh masih menjadi imam? St. Yohanes Maria Vianney mengatakan: “Ketika kewajiban memanggil kita datang ke tempat-Nya yang kudus, tidakkah orang akan mengatakan bahwa kita lebih menyerupai kriminal-kriminal yang digiring ke hadapan hakim untuk dijatuhi hukuman aniaya yang paling ngeri, daripada sebagai umat Kristiani yang oleh kasih semata dihantar kepada Tuhan? Betapa amat butanya kita, saudara-saudaraku terkasih, memiliki minat yang begitu sedikit terhadap hal-hal surgawi, sementara pada saat yang sama kita terpikat oleh hal-hal yang duniawi! Sungguh, apabila masalahnya menyangkut hal-hal duniawi atau bahkan kenikmatan, semua orang akan terpikat olehnya. Mereka akan memikirkannya jauh sebelumnya. Mereka akan asyik merenungkannya. Tetapi, sayangnya, apabila masalahnya menyangkut salah satu pelayanan kepada Tuhan dan keselamatan jiwa-jiwa kita yang malang, maka seluruhnya akan menjadi masalah rutinitas dan keacuhan yang tak terpahami.”

Kata-kata di atas memberi saya dorongan untuk lebih dalam memaknai kebanggaan dan rasa syukur imamat. Membayangkan bahwa imamat bisa menjadi seperti “gong yang berkumandang dan canang bergemerincing” karena imam tidak berakar dalam Ekaristi dan tidak hidup, dibentuk, dibarui serta diubah oleh Ekaristi menyadarkan saya bahwa kata-kata Yohanes Maria Vianney perlu saya renungkan untuk memajukan hidup dan pelayanan saya sebagai imam. Membina hidup yang berakar dalam Ekaristi beserta seluruh kelimpahan maknanya

Page 39: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku102

oleh berbagai pertimbangan. Alasan-alasan “baik” dapat membuat kesempatan-kesempatan itu lenyap dari pandangan.

Maka ziarah menuju kedalaman Ekaristi di tengah situasi dan pikiran yang mendangkalkan perlu terus diperjuangkan. Pertemuan hati ke hati dalam kelompok kecil bahkan sharing Emmaus atau perjumpaan berdua-dua dapat menjadi pilihan, yang dalam situasi jenuh dan sibuk justru perlu diupayakan. Studi pribadi tentang Kitab Suci dan sharing penghayatan Ekaristi juga akan membantu imam untuk lama-kelamaan sampai pada kedalaman cinta dan pelayanan yang berakar dalam Ekaristi. Di antara imam diosesan, kesempatan berbagi hati ke hati dalam UNIO penting untuk dikembangkan. Demikian pula di antara para imam secara umum, forum-forum perjumpaan yang memberi ruang berbagi dan meneguhkan perlu mendapat dukungan. Kegiatan-kegiatan bersama saat tertentu perlu dilihat ulang agar tetap berkontribusi terhadap pembinaan ekaristis imam.

Kardinal John O’Connor, Uskup Agung New York (1920-2000), menggarisbawahi pentingnya menempatkan Ekaristi sebagai pusat kehidupan dalam pembinaan terus-menerus imam. Kehidupan imam yang ekaristislah menurutnya yang akan memberi bobot bagi berbagai karisma dan pelayanan serta tindakan dan tutur kata imam. Dalam suatu konferensi kepada para imam di Fatima pada 1996 ia berkata demikian: “... menurut penilaian saya, jika kita sebagai imam tidak berakar dalam, hidup serta dibentuk, diperbarui dan diubah oleh Ekaristi secara terus menerus, segalanya yang lain ada dalam bahaya menjadi gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing“.

Merenungkan Mazmur 139 tentang Allah yang membentuk manusia sejak dari lahirnya, ia berkata: “Ayat-ayat dari Mazmur, nampak bagi saya, berbicara tentang inti seluruh pembinaan, baik yang awal maupun yang berkelanjutan. Tuhanlah yang membentuk kita, membarui kita, mengubah kita, tiap hari dalam hidup kita. Dan saya berpendapat bahwa sebagaimana kita dibentuk dalam kemanusiaan oleh Tuhan dalam rahim ibu kita, kita juga dibentuk dalam keimamatan kita oleh Allah dalam Ekaristi. Jika demikian, maka pembinaan berkelanjutan paling radikal yang mungkin bagi kita sebagai imam adalah pembinaan di mana kita mengizinkan Kristus Ekaristis membentuk dan membarui dan mengubah kita dalam dan melalui Kurban Ekaristi, tiap hari dalam hidup kita”.

****

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 39

Perayaan Ekaristi setiap hari. Semangat Maria menjadi semangat kami pula. Dan aku ingin nama Maria memenuhi seluruh langkah hidupku. Dan biarkanlah syair lagu “Ya Namamu Maria” ini merasuk di hati dan budi kita.

Ya namamu, Maria, Bunda yang kucinta.Merdu menawan hati, segala anakmuPatutlah nama itu, hidup di batinkuDan nanti kuucapkan di saat ajalku…

RD. Alphonsus Boedi Prasetijo, Pastor Kepala Paroki Gereja Santa Maria DTBA

(Dengan Tidak Bernoda Asal) Tulungagung. Motto Imamat: “Belajarlah pada-Ku, karna Aku lemah lembut dan rendah hati”

(Mat 11:29)

Page 40: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku40

PESONA EKARISTIOleh RP. Sebastianus W. Bu’ulölö, CM

PENGANTARPertama-tama saya ingin mengatakan bahwa tulisan ini adalah han-

ya sebuah sharing pengalaman hidup ber-Ekaristi. Ketika merenungkan tema “Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Iman dan Imamatku”, saya menemukan bahwa pengalaman hidup ber-Ekaristi tidak hanya saya alami ketika menjadi seorang imam. Pengalaman ber-Ekaristi itu amat menentukan sikap dan penghayatan iman saya akan Ekaristi sebagai se-orang imam hingga saat ini. Oleh karena itu, saya juga akan membagi-kan pengalaman itu kepada Anda.

Kedua, sebagai imam saya lebih sering merayakan Ekaristi di sem-inari. Sikap dan tindakan saya dalam merayakan dan menghidupi Ekar-isti selalu disaksikan oleh para seminaris, suster dan karyawan. Lantas, pengalaman mereka dalam ber-Ekaristi bersama dengan saya amat be-rarti dalam membantu saya untuk merefl eksi hidup saya sebagai imam, pelayan sakramen Ekaristi. Oleh karena itu, kesan-kesan mereka akan saya sertakan dalam sharing ini.

BERADA DALAM DEKAPAN BUNDASaya dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga beriman Kristen

Protestan. Sejak kecil, Ibu selalu mengajak saya untuk mengikuti keg-iatan Gereja, seperti Sekolah Minggu. Jika saya tidak ke Gereja, ibu selalu marah. “Kamu harus ikut Sekolah Minggu. Anak yang malas ikut Sekolah Minggu akan membuat Tuhan marah!”, demikian ibu saya me-nanamkan nilai iman. Di samping itu, ketika makan, sebelum atau sesu-dah bangun tidur, ibu dan ayah selalu mengajak berdoa, bahkan secara bergantian kami memimpin doa bersama. Jika ada seorang pengemis yang buta, Ibu menyuruh saya untuk mengambil beras atau uang untuk diberikan kepada pengemis itu. Jika ibu yang mengambil uang, uang itu akan diberikan kepada saya untuk diberikan kepada si pengemis. Betapa iman dan praktek hidup sebagai seorang anak yang beriman kristiani sudah ditanamkan dalam hidup saya.

Ketika melanjutkan sekolah di SMP, kedua orangtua saya me-nyekolahkan saya di sekolah Katolik yang jauh dari rumah saya. Demi pembinaan diri saya yang lebih baik, kedua orangtua saya memutuskan untuk menitipkan saya di sebuah asrama yang dibina oleh para imam

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 101

untuk mendengar dan menerima pengajaran Yesus tentang makna salib dan kebangkitan yang harus terjadi agar Kitab Suci tergenapi. Imam dalam Liturgi Sabda ini seperti berada dalam perjalanan bersama Yesus yang menemani pembacaan Kitab Suci dan menyingkapkan misteri penyertaan-Nya yang nyata dan membangkitkan semangatnya.

Divinus Peregrinator fi t continenter noster socius. Peziarah ilahi senantiasa menjadi rekan pendamping kita (MND 3). Begitu nyata penyertaan itu hingga dari lubuk hati imam terlontar doa: Mane nobiscum, Domine, tinggallah beserta kami, Tuhan. Sebuah doa untuk beralih dari episode kedua menuju episode ketiga drama Emmaus. Seperti di Emmaus demikian juga dalam Ekaristi, Yesus masuk ke dalam rumah yang diinapi kedua murid dan tinggal di situ bersama dengan mereka. Ia masuk dalam senja dunia yang senantiasa dihadapi oleh para imam dan digulati dalam hatinya. Inilah saat bagi imam memasuki via unitiva atau jalan persatuan dengan Yesus yang hadir nyata dan sepenuhnya dalam rupa roti dan anggur. Ia yang masuk ke rumah Emmaus berkenan pula masuk dalam diri imam yang memandang, menerima dan menyantap tubuh dan darah-Nya.

****DALAM pengalaman dua murid di Emmaus, jelas bahwa pengalaman

ekaristis tidak terjadi dalam satu kilatan cahaya, atau muncul sebagai “mujizat” hasil pertukangan manusia. Pengalaman Emmaus tampil sebagai pengalaman ziarah sehari-hari yang terbuka terhadap kebenaran Sabda dan kecintaan akan Kitab Suci, serta terhadap kehadiran Yesus yang terselubung namun nyata di dalam Ekaristi. Mengingat bahwa imam tak jarang mengalami saat-saat sulit, Emmaus menjadi cerminan bahwa imam tidak sendirian. Bahwa Yesus bekerja dan mendampingi perjalanan. Namun dari pihak imam terbentuknya keterbukaan hati terhadap Sabda Tuhan dalam Kitab Suci dan penghayatan yang kian dalam akan Ekaristi tidak dapat diandaikan. Tak dapat ditumbuhkan dengan berpangku tangan.

Di lain sisi, dalam keseharian imam kesempatan-kesempatan berbagi dan memaknai keluh kesah bersama rekan imam dalam Yesus “yang tak kelihatan” dapat dengan mudah tergerus karena seribu satu alasan. Pemahaman akan Sabda Tuhan juga bisa jadi tidak tumbuh berkembang seiring dengan bertambahnya usia tahbisan imam. Demikian pula intensi untuk menghayati kehadiran Yesus yang sakramental dalam Ekaristi yang dirayakan dapat dilemahkan

Page 41: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku100

jiwa terpisah dari badan dan persatuannya yang sakramental dengan Allah diganti dengan perjumpaan muka ke muka dalam penglihatan membahagiakan ( visio beatifi ca) diterangi cahaya kemuliaan ( lumen gloriae), yang dalam refl eksi Yohanes Maria Vianney berdimensi khas: ekaristis.

Dengan pemahaman ekaristis di atas, dapat direfl eksikan bagaimana pribadi imam yang secara sakramental mengemban tugas in persona Christi Capitis membingkai dan mengorientasikan hidupnya, merawat imamatnya dan melaksanakan tugas Ekaristinya. Bagaimana Ekaristinya tidak berhenti pada dimensi profan tugas, keuntungan duniawi, suka-tak suka dan pemahaman dangkal, namun dihayati dan dialami sebagai peristiwa cahaya ( lucis mysterium) dalam ziarah menuju hidup abadi. Ekaristi yang dibingkai dengan makna ini kiranya akan lebih menggerakkan hidup dan pelayanan, membangkitkan semangat dan keyakinan imam dalam melayani serta menyingkap ketidakpahamannya akan makna salib dan kurban hidup sehari-hari, yang merupakan inti Ekaristi.

Kepada para murid di Emmaus Yesus tampil sebagai tokoh bahkan sebagai cerita itu sendiri. Ia menjumpai mereka yang menyesali kepahitan salib dan ketakbermaknaannya dengan tampil sebagai Peziarah yang “tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini” (Luk 24:18). Ternyata Dia yang seakan tidak terlibat dalam hidup mereka justru merupakan pendengar luar biasa. Pengalaman imamat serta kepahitan dan ketakbermaknaan yang dialami oleh imam selayaknya juga dikisahkan kepada Yesus. Ditilik dari sisi dramaturgi kisah Emmaus, panggilan untuk berbagi dengan dan dalam Yesus haruslah mendapat tempat pertama dalam perjumpaan imam dengan Yesus.

Inilah via purgativa atau jalan pemurnian yang juga merupakan titik berangkat Ekaristi. Hidup bersama dan pergulatan dengan rekan imam bersama Yesus yang mengangkat pengalaman salib diziarahi, menjadi momen perjumpaan yang mendahului Ekaristi. Momen pemurnian, tobat atau purgatif ini mendapat tempat dalam Liturgi Pembukaan, ketika imam dalam jemaat menyadari keberdosaan dan membuka diri untuk menerima belas kasih Allah yang memulihkan.

Pada episode kedua kisah Emmaus, Kitab Suci diuraikan hingga tersingkap maknanya. Inilah via illuminativa atau jalan penerangan yang dialami imam dalam Liturgi Sabda yang mengandaikan kecintaannya pada Sabda dalam Kitab Suci. Dinamika episode ini tidak terletak dalam berbagi keluh kesah dan kepahitan, tapi dalam membuka diri

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 41

dan Bruder Kapusin, tidak jauh dari sekolah. Di asrama, saya mulai me-lihat kebiasaan baru dalam praktek beriman. Dulu ketika keluarga kami berdoa, kami langsung mengucapakan apa yang ingin kami ucapkan. Tetapi, di asrama ini, kami harus memulai doa dengan sebuah tanda salib: Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin. Setiap pagi, kami diwajibkan pergi ke Gereja untuk merayakan misa. Saya dan te-man protestan lainnya suka protes tentang apa yang kami lihat di dalam Gereja Katolik. Singkatnya, kami menempatkan diri sebagai penonton yang tidak senang dengan apa yang kami saksikan.

Setelah berbulan-bulan berada di asrama dan mengikuti kegiatan beriman di Gereja Katolik, secara bertahap perayaan Ekaristi yang kami rayakan setiap hari menarik perhatian saya. Keheningan dan keterli-batan batin dari seluruh umat Katolik selama perayaan misa sungguh mengagumkan bagi saya. Pemandangan ini berbeda dengan apa yang saya alami sebelumnya di gereja saya di mana umat lebih suka bercer-itera sendiri daripada mengikuti penuh kebaktian yang sedang berlang-sung. Mungkin jika pada waktu itu sudah ada HP/Blackberry, mereka akan lebih sibuk mengirim SMS/BBM. Suasana Perayaan Ekaristi yang sakral dan penuh keheningan telah mempesona saya.

Pesona Ekaristi telah membuat saya untuk lebih suka menghadiri Perayaan Ekaristi atau Ibadat Sabda di Gereja Katolik. Bahkan, pesona Ekaristi telah menghantar saya pada keputusan untuk menjadi seorang Katolik. Saya bahagia berada dalam dekapan Bunda Gereja yang kudus hingga saat ini. Perayaan Ekaristi pun tetap mempesona!

TEROPONG HIDUPKetika saya masih kecil, guru saya selalu bercerita tentang

benda hebat, yakni teropong. Katanya, alat itu bisa membantu orang untuk melihat benda yang sangat jauh. Saya selalu memikirkan dan mencoba menggunakan benda itu. Setelah bertahun-tahun, saya baru menggunakan benda itu. Betapa kagumnya saya ketika bisa melihat orang lain yang berada di tempat yang jauh. Tinggalkan teropong itu! Sekarang saya ingin bercerita kepada Anda tentang sebuah teropong yang lebih istimewa dan mengagumkan. Teropong ini membantu saya untuk melihat sebuah pengalaman hidup yang biasa dengan kacamata lain. Teropong hidup itu bernama Ekaristi.

Di sebuah kota kecil ketika masih SMA, saya selalu melewati sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP). Setiap kali melewati LP, saya selalu bertanya kira-kira seperti apa kehidupan yang tinggal di dalam-

Page 42: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku42

nya. Tibalah kesempatan bagi saya sebagai remaja Katolik yang belum bertahun-tahun berada dalam pangkuan Bunda Gereja Kudus untuk mengunjungi saudara-saudara yang berada di dalam LP itu. Sebelum be-rangkat, saya ingat apa yang biasa diajar Ibu saya: berilah sedekah bagi orang yang membutuhkan. Saya berniat untuk memberikan uang saku saya kepada salah seorang yang menarik perhatian saya. Mata dan hati saya jatuh kepada seorang bapak yang berbadan kurus dan cara berdirin-ya sudah tidak tegap lagi. Kondisinya sudah mulai sakit-sakitan. Ketika dia meletakkan pantatnya yang tinggal tulang, wajahnya memancarkan ekspresi kesakitan. Sementara itu, dia masih menjalani 2 tahun dari 13 tahun masa hukumannya.

Ketika acara pamitan, saya menyalami tangan bapak itu. Dia lang-sung memeluk saya ketika mengetahui ada amplop yang berpindah dari tangan saya ke tangannya. Dia memeluk saya sambil menangis dengan bercucuran air mata. Semua orang yang hadir di sana mengira bapak yang baru saya jumpai itu adalah anggota keluarga saya. Pengalaman ini begitu mengesan. Pengalaman ini bukan peristiwa biasa. Saya yakin bapak itu menangis bukan karena menerima uang, melainkan karena ada yang memperhatikannya.

Setelah peristiwa itu, dalam suatu Perayaan Ekaristi, kata-kata se-orang imam - ketika mengambil Roti: “Terimalah dan makanlah, ini-lah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu” dan ketika mengambil piala: “... Inilah piala Darah-Ku... yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa...” - sungguh bermakna bagi saya. Be-tapa Tuhan itu sungguh menaruh belas kasih kepada manusia. Dia me-nyerahkan hidupnya demi keselamatan orang lain.

Kata-kata imam dalam Perayaan Ekaristi ini mengingatkan saya pada pengalaman perjumpaan dengan bapak itu. Tangisan bapak itu mewakili tangisan orang yang kehilangan harapan hidup dan yang terpinggirkan dalam panggung kehidupan. Pelukan bapak itu mewakili kerinduan ribuan orang yang kehilangan kasih dan perhatian dari orang-orang yang mereka cintai. Dan mereka membutuhkan tangan Yesus untuk menghapus air mata mereka. Mereka membutuhkan pelukan Yesus yang membangkitkan harapan mereka sebagai orang yang dicintai dan tidak berjalan sendiri. Tetapi, siapa yang membawa Yesus kepada mereka?

Kata-kata imam dalam Perayaan Ekaristi itu mengisahkan kasih dan kepedulian Yesus kepada manusia yang menderita karena dosa. Ka-ta-kata itu begitu hidup dalam diri saya: saya akan menjadi tangan Yesus yang menghapus air mata dan menyalurkan kasih kepada mereka yang

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 99

kecemasan kita juga bukan tak pernah frustrasi-frustrasi kita yang pahit, Sang Peziarah ilahi senantiasa menjadi rekan pendamping kita, agar kita dibimbing melalui penafsiran Kitab-kitab Suci menuju pengetahuan akan misteri-misteri Allah. Ketika terjadi pertemuan sepenuhnya, menyalalah, tepat di depan cahaya Sabda, cahaya yang bersinar dari ‘Roti kehidupan’, yang dengannya Kristus dengan segala upaya memenuhi janjinya untuk tinggal bersama kita ‘senantiasa sampai pada kepenuhan zaman’ (Mat 28:20)” (MND 2).

Demikian Ekaristi bukanlah perjamuan yang maknanya berhenti sebatas pada keduniawian hidup sebagaimana sering kita hayati. Lebih jauh, Ekaristi adalah antisipasi Yesus terhadap titik akhir perjalanan manusia, yakni perjamuan abadi Yerusalem surgawi. Paus berkata: “’Pemecahan roti’ – sebagaimana awalnya Ekaristi itu disebut – senantiasa berada pada tempat utama hidup Gereja. Pada perjalanan waktu, melaluinya Kristus menghadirkan misteri wafat dan kebangkitan-Nya. Dalamnya, sebagai ‘roti yang hidup, yang turun dari surga’ (Yoh 6:51), Ia laksana pribadi diterima, dan dengan cara yang sama, bersama Dia, jaminan hidup abadi bagi kita diberikan. Melalui jaminan itulah dipracecap (praegustatur) perjamuan abadi Yerusalem surgawi” (MND 3). Kesadaran antisipatif ini ditulis pula dalam pujian O Sacrum Convivium: Mens impletur gratia et futurae gloriae nobis pignus datur. Jiwa dipenuhi rahmat dan jaminan kemuliaan masa depan diberikan kepada kita.

****DUA momen ekaristis di atas, yakni perjumpaan kedua jiwa

dengan Kristus setelah kematian dan perjumpaan pertama dengan-Nya dalam Ekaristi yang mengantisipasi perjamuan surgawi, dapat menuntun refl eksi kita mengenai penghayatan hidup ekaristis. Keduanya dapat mendorong kita untuk meninjau makna hidup kita di hadapan Ekaristi, menata ulang tempat Ekaristi dalam hidup dan pelayanan kita serta mengevaluasi cara kita menghayati dan melayani misteri agung ini.

Tentulah refl eksi ini dibarengi dengan pengakuan bahwa pemahaman akal budi tentang Ekaristi senilai dengan ketidakmampuannya menembus misteri kehadiran Yesus dalam Sakramen ini. Di dunia ini kita mengetahui kebenaran Ekaristi karena akal budi kita diterangi oleh rahmat iman ( gratia fi dei) atau cahaya iman ( lumen fi dei). Meskipun dialami dan diyakini dalam iman, namun kebenaran itu tetap terselubung. Di sisi lain, meskipun terselubung, kebenaran yang diperoleh dari terang iman itu mengantisipasi, menjamin dan mempersiapkan masa depan, ketika

Page 43: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku98

mulianya misteri kehadiran nyata Yesus dalam hidup duniawinya. Menggambarkan hal itu Vianney berkata: “Kalau ibunda St. Alexius akhirnya mengenali puteranya dalam tubuh tak bernyawa seorang pengemis yang telah 30 tahun tinggal di bawah tangga istananya, ia berseru pilu: ‘Oh, puteraku, puteraku, mengapakah aku begitu terlambat mengenalimu?’ ... Jiwa, saat lepas dari kehidupan ini, akan melihat Dia yang hadir nyata dalam Ekaristi Kudus; dan melihat penghiburan, keagungan dan kemuliaan yang gagal dikenalinya, jiwa juga akan berseru pilu: ‘Oh, Yesus! Oh, Yesus! Mengapakah aku begitu terlambat mengenali Engkau?’”

****DARI jurusan berbeda, Beato Yohanes Paulus II menjelang akhir

hayatnya merefl eksikan misteri Ekaristi dalam Surat Apostolik Mane Nobiscum, Domine (2004), yang ia tulis menyambut Tahun Ekaristi Oktober 2004-Oktober 2005 – Tahun Ekaristi yang ia jalani satu semester di dunia kita yang suram, dan sisanya ia selesaikan di tanah air seberang yang terang benderang cahayanya bagi jiwa. Refl eksi Paus saya katakan “dari jurusan berbeda” karena misteri Kristus Ekaristi ia renungkan tidak dalam dimensi eskatologis melainkan dari titik peziarahan kita di bumi, berkaca dari peristiwa dua murid yang menuju Emmaus dalam suasana hati yang pahit karena “kegagalan duniawi” yang dialami karena penyaliban Yesus. Mereka berjumpa dengan seorang peziarah, yang tak dapat dikenali sampai ia menyingkapkan diri: Ia yang sejatinya adalah Yesus, Sang Guru itu sendiri.

Dalam refl eksi pastoral mendalami Ekaristi sebagai misteri cahaya ini, Yohanes Paulus II berkata: “Di antara bayang-bayang hari yang telah berlalu dan kegelapan yang meliputi jiwa mereka, Sang Peziarah membawa secercah cahaya itu yang menyalakan kembali harapan mereka dan membimbing jiwa mereka untuk memperoleh kepenuhan cahaya. ‘Tinggallah bersama kami’, pinta mereka. Dan Ia sepakat. Tak lama setelah itu, wajah Yesus menghilang, tetapi Sang Guru ‘tetap tinggal’ dalam rupa ‘roti yang dipecah’, yang membuat mata mereka terbuka” (MND 1).

Bagi Paus, gambaran mengenai murid-murid yang berjalan ke Emmaus ini amat tepat untuk membimbing kita menghayati misteri Ekaristi dalam peziarahan di bumi ini. Bahwa melalui Ekaristi Yesus secara nyata menyertai kita setiap hari sampai kepenuhan zaman. Katanya: “Di persimpangan pertanyaan-pertanyaan kita dan kecemasan-

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 43

terpinggirkan dengan menjadi seorang imam. Betapa Ekaristi telah mem-bantu saya untuk melihat pesan di balik pengalaman yang sederhana.

Saya ingin bercerita kepada Anda tentang kisah lain. Saya pernah mengalami saat-saat tidak berarti menjadi seorang calon imam. Kisah ini berawal dari pengalaman sakit. Penyakit kulit yang saya derita bisa menular kepada orang lain. Karena itu, saya memilih untuk tidak berkontak dengan orang lain agar mereka tidak tertular dan bisa melayani orang lain dengan baik. Saya mengobati diri saya sendiri dengan obat yang diberikan oleh dokter. Tetapi saya mengalami kesulitan untuk mengobati bagian punggung yang sulit dijangkau oleh tangan saya. Saya sedih! Menangis! Saya berpikir jika berkeluarga, maka istri atau anak saya akan berada di samping saya tanpa takut untuk menolong saya. Apa yang akan terjadi jika saya bertugas di tempat yang sulit? Maka, saya memikirkan jalan hidup yang lain. Saya berada dalam krisis pilihan hidup menjadi seorang imam.

Sekali lagi Tuhan berbicara kepada saya melalui Ekaristi! Injil yang dibacakan dalam perayaan itu adalah pesan Yesus tentang hal mengikuti Dia. Yesus berkata: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagiku” (Mat 10:38). Pesan ini semakin hidup dalam Doa Syukur Agung yang mengisahkan tindakan pemberian diri Yesus dalam peristiwa sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Saya sadar bah-wa menjadi seorang imam harus memanggul salib, berani melepaskan apa yang menjamin kepastian dan rasa nyaman demi Kristus. Seorang imam harus berani kehilangan dan menerima kesendirian, kesepiaan dan kekeringannya seperti Kristus sendiri. Betapa Ekaristi telah menun-jukkan kepada saya bahwa menjadi seorang imam tidak lain mengambil bagian kurban Kristus yang menyelamatkan! Lantas, saya menegaskan kembali bahwa jalan hidup saya adalah menjadi imam!

WOW... AKU JADI IMAMPada tgl 9 September 2009, saya menerima tahbisan imamat. Tah-

bisan imamat ini merupakan saat-saat yang berahmat dan yang senan-tiasa saya syukuri dalam hidup saya. Sekalipun saya penuh dengan kelemahan, kerapuhan dan kedosaan, Allah sendiri memilih saya untuk menjadi seorang imam. Melalui tahbisan imamat, Allah sendiri semakin mendekatkan dan bahkan menjadikan saya sebagai pelayan Ekaristi yang telah menuntun saya kepada dekapan Bunda Gereja, yang telah memaknai setiap peristiwa hidup saya, dan yang telah menuntun dan menyelamatkan saya hingga menjadi seorang imam.

Page 44: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku44

Selama menjadi imam, Perayaan Ekaristi merupakan perayaan sakramen yang paling akrab dalam hidup saya. Perayaan Ekaristi yang saya rayakan ini merupakan warisan besar yang Tuhan berikan kepada Gereja-Nya. Hal ini ditegaskan dalam KGK art. 1323: “Pada perjamuan malam terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat mengadakan kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia meng-abadikan kurban salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja, mempelai-Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-Nya. Sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, Per-jamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai jaminan kemuliaan yang akan datang.” Se-bagai warisan abadi Kristus, “Ekaristi adalah suatu misteri iman yang unggul: rangkuman dan ringkasan dari iman kita (Sacramentum Cari-tatis, 6). Lantas, setiap kali merayakan Ekaristi, saya menyadari bahwa saya sedang merayakan perayaan iman yang paling berharga yang kita miliki sebagai anggota Gereja.

Akibatnya, saya selalu belajar untuk merayakan Ekaristi dalam iman Gereja. Saya belajar untuk tidak pernah berusaha menempatkan diri saya atau pendapat-pendapat pribadi saya di tempat yang pertama. Saya belajar untuk tidak menjadikan diri saya sebagai pusat kegiatan liturgis (bdk. Sacramentum Caritatis, 23). Mengapa? Saya sadar bahwa perutusan saya sebagai imam adalah pembina para calon imam. Saya berusaha mengajak seminaris untuk mencari Kristus dengan setia me-renungkan Sabda Allah, dalam keakraban yang aktif dengan Misteri-misteri Suci Gereja, terutama dalam Ekaristi...(OT, 8). Bagaimana hal itu saya kerjakan?

Pertama, merayakan Ekaristi dengan sebuah persiapan yang baik. Pada malam hari, saya membaca Sabda Tuhan yang akan dibacakan da-lam Perayaan Ekaristi dan merenungkan pesan yang akan diwartakan; khusus untuk persiapan homili pada hari minggu dilakukan berhari-hari sebelumnya. Jika merayakan Ekaristi dalam bahasa asing (Jawa/Latin/Inggris), dengan rendah hati saya meminta rekan imam atau orang lain untuk melatih saya membaca secara benar. Sebelum Perayaan Ekaristi, saya mempersiapkan diri saya dengan berdoa, baik pribadi maupun ber-sama dengan para petugas lainnya.

Ketika saya mengajukan pertanyaan ini - “Menurut Anda, bagaimanakah persiapan yang saya lakukan sebelum Perayaan Ekaristi Kudus (kehadiran awal di ruang sakristi; hening, berdoa)?Adakah saya sungguh-sungguh mempersiapakan Ekaristi yang saya rayakan?” -

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 97

IMAMAT DAN HIDUP YANG BERAKAR DALAM EKARISTI

Oleh RD. Petrus Canisius Edi Laksito

SANTO Yohanes Maria Vianney menjelaskan pemahaman yang terlambat yang akan kita alami mengenai realitas ilahi yang

terselubung dalam Ekaristi, yaitu Yesus yang hadir nyata dalam rupa roti anggur (realis praesentia), melalui suatu perbandingan. Fokus perbandingannya adalah peristiwa yang terjadi berkenaan dengan St. Alexius, beberapa waktu setelah kematiannya pada 417 M.

Alexius adalah pengembara dan pertapa putera Efremianus, seorang kristiani Roma yang kaya, dari kalangan senator. Kisahnya berawal pada hari pernikahan yang direncanakan untuknya, ketika ia diam-diam pergi mengikuti panggilan hatinya untuk meninggalkan kekayaan ayahnya dan hidup miskin demi Allah semata. Ia mengembara hingga sampai ke Edessa, Siria, dan hidup di sana sebagai pengemis pertapa. Derma yang ia peroleh ia bagikan kepada orang-orang miskin. Karena keluhuran pribadinya yang hidup hanya untuk Allah, ia kelak amat dihormati di lingkungan Gereja Timur, dan dikenal dengan sebutan anthropos tou Theou, manusia Allah.

Demikian setelah 17 tahun di Edessa, Alexius kembali ke Roma sebagai pengemis tak dikenal. Ia diberi tempat di bawah tangga istana ayahnya. Ia berdoa dan mengajar katekismus kepada anak-anak. Tujuh belas tahun kemudian ia meninggal, dan baru setelah itu ia dikenali sebagai Alexius, dari tulisan-tulisan yang ditemukan pada jenazahnya, yang menceritakan hidup yang dijalaninya sebagai denda atas dosa-dosa ( life of penance) sejak hari pernikahannya demi kasih kepada Allah semata.

Kisah Alexius ini rupanya menjadi inspirasi yang tepat bagi Yohanes Maria Vianney untuk mengungkapkan dalamnya misteri Ekaristi. Ia membandingkan ketidakmampuan manusia mengenali Kristus yang hadir nyata dalam rupa roti dan anggur dengan ketidakmampuan keluarga Alexius mengenalinya dalam sosok kurus miskin pengemis yang sepanjang hari tinggal di rumah mereka. Seperti keluarga Alexius tidak mampu mengenalinya sampai wafatnya, demikian pula jiwa tidak mampu mengenali Yesus sedemikian nyata, sampai jiwa meninggalkan badan pada saat kematian.

Tiap hari bertemu dengan Kristus dalam Sakramen Mahakudus, jiwa tak mampu menjangkau dan menyadari betapa dalam, agung dan

Page 45: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku96

Lima: Menjadi Ekaristis

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 45

kepada seminaris, suster dan umat yang berpartisipasi dalam Perayaan Ekaristi yang saya rayakan, sebagian besar dari mereka menjawab bahwa saya sudah mempersiapakan Perayaan Ekaristi dengan baik. Mereka melihat kehadiran awal saya di ruang sakristi. Mereka melihat saya diam dan berdoa.

Kedua, merayakan Ekaristi dengan hati, iman dan ketaatan. Di tengah dunia yang penuh keramaian, kesibukan dan dikejar oleh banyak hal, kita tergoda untuk melakukan sesuatu dalam ketergesa-gesaan. Kita ingin menyelesaikan segala sesuatu secepat yang kita harapkan. Godaan ini juga seringkali menghinggapi kita para imam yang merayakan ekaristi. Kita sungguh senang jika umat memuji karena kita merayakan misa dengan cepat. Tetapi, sayang sekali kita tergoda mengabaikan aturan-aturan liturgis yang sudah ditetapkan oleh Gereja. Kita merayakan perayaan iman tanpa keterlibatan hati dan iman.

Sebagai seorang imam muda, saya belajar untuk merayakan Ekaristi dengan hati dan penuh ketaatan. Saya membaca bacaan atau teks doa dalam Perayaan Ekaristi dengan melibatkan seluruh hati dan iman saya. Saya terus belajar untuk tidak membacakan dan merayakannya untuk diri saya sendiri, tetapi untuk seluruh umat Allah. Karena itu, rubrik selalu menjadi tuntunan bagi setiap tindakan liturgis yang saya lakukan. Saya belajar untuk taat terhadap apa yang ditetapkan oleh Gereja Kudus dalam hal merayakan iman.

Syukur kepada Allah! Sebagian besar para seminaris, suster dan umat yang ikut dalam Perayaan Ekaristi yang saya rayakan berpenda-pat bahwa saya sungguh merayakan Ekaristi dengan hikmat dan penuh iman. Mereka berakata:

“Menurut saya, Romo memimpin Ekaristi dengan iman dan hikmat serta tidak tergesa-gesa meskipun kami, para seminaris, berdoa dengan tergesa-gesa. Romo memimpin Ekaristi dengan baik dan mampu menciptakan suasana yang penuh rahmat dalam Perayaan Ekaristi.” (M3)

“Perayaan Ekaristi yang Romo pimpin mengajak orang lain masuk dalam suasana hikmat dan saya dapat merasakan bahwa Allah benar-benar hadir dalam Ekaristi; dan dengan cinta-Nya [Allah] berbagi cinta untuk semua yang hadir. Dengan kata lain, Romo dapat menghadirkan Allah lewat kata-kata dan bacaan-bacaan yang dibaca dengan hati dan tidak tergesa-gesa.” (S3)

Maka, saya semakin percaya bahwa merayakan Ekaristi dengan indah akan menghantar semua orang pada perjumpaan dengan Kristus yang hadir secara nyata dalam Ekaristi.

Page 46: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku46

MEMBAGI ROTI DAN PIALA KESELAMATAN“Tidak ada sesuatu pun yang lebih indah daripada terposan oleh

Injil, oleh perjumpaan dengan Kristus. Tidak ada sesuatu pun yang lebih indah daripada mengenal Dia dan menuturkan persahabatan kita dengan-Nya kepada orang lain.” (Paus Benediktus XVI)

Pengalaman terpesona, berjumpa dan mengalami Kristus telah saya alami dalam Perayaan Ekaristi. Pengalaman-pengalaman itu selalu membantu saya untuk melihat lebih jauh makna di balik setiap peris-tiwa hidup yang saya alami. Pengalaman itu juga membantu saya un-tuk menjalani peziarahan hidup saya sebagai seorang kristiani, terlebih sebagai seorang imam dalam kegembiraan. Seperti apa yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI, pengalaman itu tidak untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk dituturkan atau diwartakan kepada orang lain.

Perutusan pertama yang saya terima sebagai seorang imam adalah menjadi pembina calon imam di Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo, Garum - Blitar. Ritme hidup yang serba tertata di Seminari Tinggi CM yang saya alami bertahun-tahun kembali saya alami dalam perutu-san saya sebagai seorang imam. Hidup dalam rutinitas bukan tanpa tan-tangan. Seringkali hidup yang seperti ini sangat membosankan. Tetapi, dalam situasi yang seperti inilah, saya dipanggil untuk menghidupi pang-gilan saya dalam kegembiraan dan ketenangan batin serta dalam iman. Apa yang saya tunjukan dan hayati ketika mempersembahkan Ekaristi sungguh menjadi perjuangan saya dalam hidup sehari-hari. Apakah ini sangat berarti bagi para seminaris yang saya layani?

Kegembiraan dan ketenangan dalam menjalani rutinitas hidup sebagai seorang terpanggil adalah kesaksian hidup bagi seminaris yang hendak menjalani cara hidup yang sama. Mereka adalah remaja yang dibesarkan oleh zamannya. Mereka punya banyak energi dan impian. Mereka ingin menjadi seperti orang-orang yang mereka idolakan. Mereka ingin bergerak ke sana ke mari untuk menunjukkan bahwa mereka ada. Lantas, rutinitas hidup menjadi sesuatu yang membosankan. Tata hidup dipandang sebagai aturan yang membatasi kebebasan. Dalam situasi seperti ini, saya dipanggil untuk memberi kesaksian akan kegembiraan dan ketenangan menjadi seorang imam yang hidup dalam rutinitas yang sama.

Inilah ungkapan hati dari seorang seminaris yang belajar melihat hidup saya: “[hidup Romo, sebagai Pelayan Ekaristi] sangat menginspirasi [saya]. Melihat sikap Romo yang tenang-hening membuat saya kagum. Saya sendiri masih belajar bagaimana melakukan

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 95

Bulan demi bulan… tahun demi tahun berlalu… dan setelah 200 tahun hosti-hosti itu tak pernah berubah ataupun hancur! Pada tahun 1914, 1922, dan 1950, pemeriksaan dan penyelidikan diadakan dengan hasil yang sama: roti tak beragi dan dibuat tanpa bahan pengawet itu adalah tetap roti yang baik dan utuh. Itu berarti bahwa selama ini, hosti-hosti itu adalah sungguh-sungguh Sakramen Mahakudus! Selama 250 tahun sudah banyak orang yang datang ke tempat sederhana itu, termasuk St. Yohanes Bosco. Kami juga sangat bersyukur dapat kesempatan untuk berziarah ke tempat suci itu dan menyaksikan serta menyembah suatu Mukjizat Ekaristi!

Saya sendiri merasa begitu terharu dan dengan gemeteran saya memandang dan menyembah Hosti-hosti kudus itu dari jarak yang cukup dekat. Begitu baiknya Tuhan sehingga Dia mau menguatkan iman umat-Nya dengan kejadian dan mukjizat luar biasa seperti itu! Tetapi Tuhan seolah-olah langsung menegur saya dengan membuat saya sadar bahwa sesungguhnya, tiap saat saya merayakan Misa Kudus, ada Mukjizat yang terjadi persis di depan mata saya. Roti dan anggur biasa, pada saat Konsekrasi, berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus! Mukjizat Ekaristi seharusnya tidak selesai di Misa itu. Saya harus melanjutkannya di dalam hidup yang nyata di bawah altar dan di luar pintu gereja; dan saya pun menjadi alat Tuhan dengan mengutus umat untuk pergi dan menjadi Mukjizat Ekaristi bagi sesama... “ Ite, missa est.” Inilah kekayaan kita yang sungguh agung dan mulia, dan yang tak seorang pun dapat merampas dari kita. Semoga Tuhan Yesus Kristus disembah dan dipuji senantiasa di dalam Sakramen Mahakudus! Amin.

RP. Noel Villafuerte, SDB, Pastor Kepala Paroki Santo Mikael – Tanjung Perak, Surabaya

Page 47: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku94

Di dalam Sakramen Ekaristi yang saya rayakan tiap hari, saya menyantap Tubuh dan Darah Kristus. Dalam menghadapi dan melayani saudara-saudara yang paling hina dan menderita, sesungguhnya sayalah yang disantap! Saya menjadi “santapan” bagi mereka. Seperti Kristus di dalam Perjamuan Malam Terakhir saya bisa berkata kepada mereka, “Inilah tubuhku yang diserahkan bagimu... inilah darahku yang di-tumpahkan bagimu.” Di dalam Sakramen Ekaristi, saya datang kepa-da Kristus, saya mengulurkan tangan saya dan menyantap Tubuh dan Darah-Nya. Saya disegarkan, dikuatkan dan diberdayakan. Saya turun dari altar Ekaristi dan yang terjadi setelah itu adalah yang sebaliknya. Saudara-saudara yang paling hina dan menderita itu datang kepada saya, mengulurkan tangannya dan saya memberikan diri sebagai santapan bagi mereka. Seharusnya begitu... iman saya akan kehadiran Kristus di dalam Ekaristi terungkap di dalam keyakinan saya akan kehadiran-Nya di dalam setiap saudara yang paling hina dan menderita.

Namun dengan rendah hati saya harus akui bahwa kenyataannya tidaklah selalu demikian. Hubungan dan relasi saya dengan sesama tidak selalu mencerminkan cinta saya kepada Tuhan yang Ekaristis itu. Betapa saya merindukan saat-saat Tuhan menjamah saya dengan teguran-Nya, sebab di saat-saat seperti itulah iman saya selalu diteguhkan. Satu pengalaman yang tak terlupakan bagi saya adalah Tur-Ziarah dengan sekelompok umat Katolik yang pernah saya dampingi pada tahun 2006. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah sebuah gereja kecil di Kota Siena, Italia. Di dalam gereja itu yang dipelihara imam-imam dari Ordo Fransiskan disimpan hosti-hosti kudus yang merupakan bukti suatu Mukjizat Ekaristi sekitar 250 tahun yang lalu.

Peristiwa itu terjadi pada malam menjelang Hari Raya Maria Diangkat ke Surga pada tahun 1730. Sekelompok pencuri memasuki gerejanya dan mengambil sibori yang berisi hosti dari tabernakel. Pada saat perampokan itu diketahui, Uskup Agung memerintahkan agar seluruh umat berdoa silih atas sakrilegi itu dan segera dilakukan penyelidikan. Dua hari kemudian seorang imam menemukan hosti-hosti tersebut di kotak persembahan, beberapa diantarnya tergantung pada sarang laba-laba dan yang lain tersebar berantakan. Dengan hati-hati hosti dibersihkan dan disimpan di dalam tabernakel dan tak pernah dibagikan dalam Komuni sebab umat setempat ingin berdoa di depannya sebagai silih atas dosa-dosa mereka dan terutama sakrilegi yang terjadi dahulu. Lagipula seperti halnya terjadi jika hosti itu menjadi kotor, itu tidak disantap tapi dibiarkan sampai hancur dengan sendirinya. Dan itulah mukjizatnya!

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 47

segala sesuatu dengan sikap tenang dan tidak tergesa-gesa. Romo, pertahankan sikap Romo. Itu adalah inspirasi bagi saya bagaimana memaknai keheningan dan ketenangan di dalam hidup panggilan. Ini sangatlah menginspirasi saya” (F5). Ungkapan hati seminaris ini mau mengatakan betapa berartinya bagi mereka fi gur imam yang tenang di tengah dunia yang seringkali bising. Ketenangan akan memampukan seorang seminaris berjalan dengan mantap untuk mengikuti Kristus di jalan imamat!

Kebenaran iman yang saya alami dari Perayaan Ekaristi adalah Allah sungguh mengasihi siapapun. Dia menyerahkan Tubuh-Nya. Dia menumpahkan Darah-Nya. Inilah tindakan kasih yang tiada batasnya. Benarlah apa yang dikatakan-Nya: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu” (Yoh 15:13-14). Kasih dan kepedulian Allah ini adalah panggilan hidup saya sebagai seorang imam.

Menjadi imam tidak hanya untuk merayakan iman di sekitar altar. Tetapi, imam juga dipanggil untuk merayakan iman di tengah kehidu-pan sehari-hari. Iman bahwa Allah sungguh mengasihi dan peduli bagi semua orang, terutama yang miskin hendaknya menjadi kebenaran iman yang bisa dirasakan oleh mereka yang sungguh membutuhkan.

Ketika saya bertanya kepada para seminaris: “Menurut Anda, apakah penghayatan nilai-nilai Ekaristi tampak dalam pengalaman hidup saya sehari-hari?”, Seorang seminaris menjawab: “Penghayatan itu tampak. Nampak ketika saya melihat Anda mau bergaul dengan karyawan belakang, terkhusus dengan Mbah Hadi. Dan juga kerelaan Anda untuk mau membina hidup doa kami, para seminaris (kepekaan Anda)” (C4). Ya, saya memang belajar untuk dekat dengan karyawan. Saya belajar mendengarkan dan menyapa mereka. Saya juga belajar berkata pada diri saya sendiri bahwa mereka adalah pembina. Saya bukanlah satu-satunya yang mengambil andil dalam pembinaan hidup para seminaris. Lantas, saya perlu belajar dan mendengar mereka.

Dengan rendah hati, saya mengakui bahwa saya bukanlah imam yang sudah sempurna. Saya bukanlah imam yang sudah rampung proses pembinaan dan pemberian diri sebagai imam. Perjalanan saya masih panjang. Dalam peziarahan hidup saya untuk menjadi imam yang baik, tidak jarang hidup dan sikap saya bertentangan dengan apa yang saya rayakan dan ajarkan. Ketika saya mengajarkan tentang ajaran kasih, pada waktu yang berbeda saya kurang menyapa dan tersenyum kepada orang

Page 48: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku48

lain. Ketika saya berkata tentang keindahan dan keagungan Ekaristi, saya merayakannya dengan terlambat dan tanpa hati. Inilah pengalaman jatuh-bangun menjadi seorang imam. Tetapi, saya yakin bahwa Allah yang telah mempesona dan telah menuntun saya sejak semula dalam Perayaan Ekaristi akan juga membimbing saya untuk menjadi imam yang baik.

PENUTUPAnda telah membaca refl eksi kecil dari pengalaman hidup saya se-

bagai imam muda dalam mengahayati Ekaristi. Jika Anda selesai mem-baca tulisan ini, buanglah dalam pikiran Anda sebuah penilaian bahwa saya adalah imam yang baik. TIDAK! Saya belum menjadi imam yang baik. Saya hanyalah imam muda yang jatuh bangun untuk bediri dan berjalan menjadi seorang imam yang baik.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mengutip apa yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI dan seorang sahabat yang telah melihat dan menyaksikan hidup saya sebagai seorang imam:

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih indah daripada terpesona oleh Injil, oleh perjumpaan dengan Kristus. Tidak ada sesuatu pun yang lebih indah daripada mengenal Dia dan menuturkan persahabatan kita dengan-Nya kepada orang lain.” (Paus Benediktus XVI)

“Saat saya melihat Romo dengan wajah lelah dan badan lemas tetap pergi menjalankan tugas membuat saya lebih memahami bahwa setiap panggilan hidup adalah komitmen dan kerjas keras. Dan pada saat saya melihat Romo bersikap keras pada sesuatu hal, saya melihat bahwa terkadang ada nilai yang harus tetap kita pertahankan walaupun itu berarti harus bertentangan dengan orang lain, dan membuat saya berani melawan arus yang tidak benar” (Q5)

RP. Sebastianus W. Bu’ulölö, CMPastor Pembina dan Ekonom Seminari Menengah Garum, Blitar.

Motto Imamat: “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai

dengan rencana Allah” (Rm 8:28)

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 93

MUKJIZAT EKARISTI(Di Altar Pengorbanan dan Di Altar Kehidupan)

Oleh RP. Noel Villafuerte, SDB

PEMUDA yang datang ke kantor saya sopan dan berpakaian rapi. Saya pun menyambutnya dengan ramah dan setelah menyalami-

nya seperti halnya dengan tamu-tamu lain, kami mulai ngobrol-ngobrol. Dan pada saat itulah dia mengatakan sesuatu yang membuat saya seolah-olah kesetrum. “Pastur,” katanya, “aku baru saja dapat hasil tes darah dan saya ini terinfeksi virus HIV. Saya tidak sanggup berobat di Jakarta. Saya ingin pulang kembali saja ke kampung halaman saya. Paling tidak di sana masih ada keluarga yang bisa memperhatikan saya apa pun yang terjadi nanti. Hanya aku mau minta bantuan pastur untuk ongkos transportasi….” Saya tidak tunggu lagi untuk akhir pembicaraannya. Saya begitu ingin keluar pada saat itu juga untuk segera membasuh tangan saya dengan sabun dan antiseptik! Sikap saya yang ramah tadi sekejap berubah menjadi dingin… bahkan tidak sabar lagi melihat dia keluar… mengapa dia masih di sini berdiri di depan saya! Saya mengambil uang yang saya kira cukup untuk pulangnya dan saya memberikan kepadanya dengan sangat hati-hati… jangan sampai tangan saya kesentuh tangannya! Beberapa saat setelah dia pergi, betapa saya sangat menyesal atas sikap saya yang angkuh dan sombong. Saya pergi ke kapel dan meminta maaf dari Tuhan….

Pengalaman saya itu adalah suatu contoh yang menggambarkan ba-gaimana begitu mudah bagi kita untuk mengimani kehadiran Kristus di dalam Ekaristi, tetapi sekaligus mengabaikan kehadiran-Nya di dalam saudara yang paling hina dan menderita. Mengapa demikian? Sebab Roti yang telah menjadi Tubuh Kristus itu sama sekali bukan ancaman bagi kita, dan Dia pun tidak mengganggu atau menyakiti kita. Ekaristi itu tidak mempunyai bau ngga enak! Roti yang Suci itu tak pernah menghina kita, melawan kita ataupun menyusahi kita. Namun saudara-saudara kita itu bukanlah orang-orang yang sempurna, apalagi santo-santa! Saudara kita yang mengemis di persimpangan jalan itu kotor dan berbau ngga enak; jika kita melihat mereka mendekat, kita langsung mengunci kendaraan karena kita menganggap mereka “ancaman!” Kadang-kadang saudara kita mengatakan hal-hal yang menyinggung perasaan kita; mereka me-lawan perintah kita; mereka cuek, kasar dan tidak tahu berterima kasih; mereka memanfaatkan dan memperalatkan kita!

Page 49: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku92

dan Guru, seraya berbisik di telinga kita: “Jangan takut! Aku besertamu selalu. Gembalakanlah domba-dombaKu!” Dan kita boleh menjawab apa saja kepadaNya, asalkan kita sungguh belajar untuk mencintaiNya pula dengan sepenuh hati dalam panggilan imamat kita.

R.P. Emanuel Prasetyono, CM, Pastor Rekan Paroki Ratu Pencinta Damai, Pogot, Surabaya dan Pengajar pada

Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya

BAHAN BACAANPASTORES DABO VOBIS, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Pau-

lus II tentang Pembinaan Imam dalam Situasi Zaman SekarangDOKUMEN KONSILI VATIKAN IIIMAMAT DAN EKARISTI, Makalah yang disampaikan oleh RP

Robertus Widjanarko, CM, dalam kesempatan rekoleksi para Imam di Keuskupan Surabaya di Paroki HKY, Surabaya, tanggal 3 April 2012.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 49

MEMBENTUK DIRI BERSAMA EKARISTIOleh RD. Bruno Joko Santoso

WAKTU itu Bulan September 2007, ketika usia imamatku masih belum genap satu bulan dan untuk pertama kalinya aku menda-

pat perutusan sebagai seorang imam di Paroki St. Yosef Ngawi, spon-tan aku mendengar celetukkan salah seorang kakak tingkat kapadaku: “Selamat mabuk misa…ha..ha..ha.” Aku hanya menanggapinya dengan senyum saja. Ada sedikit rasa penasaran tetapi sebenarnya aku langsung menangkap apa arti celetukkan itu.. Tentu yang dimaksud mabuk bukan karena kebanyakan minum anggur, melainkan karena banyaknya misa yang harus dipersembahkan.

PENGALAMAN DI PAROKI NGAWIAku sendiri sadar bahwa di Paroki Ngawi memang memiliki ban-

yak stasi, sehingga dalam satu minggu tidak kurang dari delapan kali misa Hari Minggu, belum termasuk misa harian di Paroki dan di Ngram-be. Misa hari Minggu: Sabtu-Minggu tiga atau empat kali, Senin sore satu/dua kali, Selasa sore satu/dua kali, Rabu sore satu, Jumat sore satu kali. Belum lagi kalau ada misa dengan ujub tertentu, seperti misa ultah lingkungan, misa arwah dan lain-lain. Praktis sebagai imam baru tugas yang aku terima pertama kali bekerja di paroki adalah memenuhi jadwal Perayaan Ekaristi.

“Mabuk misa-kah aku?” ahh ..tidak juga, cuma kelelahan iya. Mengingat para romo yang bertugas sebelumnya pun mengalami hal yang sama, bahkan mereka ada yang bertugas selama lebih dari tu-juh atau sembilan tahun di sana. Masakan aku yang masih muda usia/imamat ini mengeluh? Kalaupun aku pernah jatuh sakit sampai tiga kali keluar masuk rumah sakit itu bukan karena mabuk misa, melaink-an karena aku yang belum mampu menjaga stamina saja, alias san-gat kurang olah raga di awal hidup sebagai imam. Padahal waktu aku masuk rumah sakit itu adalah yang pertama kalinya aku akan melayani Sakramen Pengakuan Dosa di paroki. Sakramen Pengakuan yang se-harusnya menjadi tugasku terpaksa diganti oleh romo rekanku. “Masih muda kok sakit-sakitan!!” kataku dalam hati. Yah, begitulah akibat-nya kalau hanya mengandalkan kekuatan akal, tanpa mengimbanginya dengan okol. Jiwa boleh kuat bersemangat dalam pelayanan, tapi raga juga harus mendukungnya.

Page 50: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku50

Dari pengalaman sakit sebagai seorang imam, sekurang-kurangnya aku dapat belajar bahwa persiapan fi sik sebelum merayakan sakramen adalah hal pokok yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku ingat betul peristiwa demi peristiwa, mengapa aku sampai harus opname. Pertama, hari Jumat pagi aku menjenguk orang sakit di Solo, di tengah-tengah jalan diminta Sakramen Perminyakan untuk umat di Stasi Piji, sehingga tergesa-gesa tidak sempat makan siang. Pulang dari Solo langsung ke Piji, sampai pastoran jam 20.00 WIB. Malam itu badan sudah terasa tidak enak dan sedikit pusing. Sabtu pagi janjian kanonik calon manten, Sabtu sore misa 2 kali, Minggu misa 2 kali, Senin pagi memakamkan jenasah di Kedunggalar, siangnya berangkat Temu Unio ke Surabaya. Selasa malam masuk RKZ langsung opname. Sekuat-kuatnya orang pasti pernah mera-sa kelelahan. Mestinya ada waktu istirahat yang cukup di sela-sela peker-jaan/tugas yang beruntun. Mestinya aku berani berkata “tidak”, ketika badan benar-benar butuh istirahatkan. Artinya, aku harus mampu mengu-kur kekuatan diri. Syukur bahwa aku boleh mengalami semua itu.

PERSIAPAN FISIKUntuk merayaan Ekaristi aku butuh persiapan fi sik, agar badan cu-

kup segar/fi t ketika memimpin Ekaristi. Apalagi untuk memimpin Per-ayaan Ekaristi jam 13.00 siang dan jam 16.00 di stasi. Biasanya aku bu-tuh istirahat dulu satu atau setengah jam, sebelum berangkat sekitar jam 11.30. Tentang persiapan fi sik sebelum merayakan Ekaristi ini aku bela-jar banyak dari seorang imam senior yang tertib untuk tidur tidak terlalu larut, kemudian bangun jam 04.00 lalu lari pagi, buat kopi, kemudian mandi pagi. Setelah itu siap di sankristi 05.15 untuk merayakan Ekaristi 05.30. Aku kagum dengan ritme hidup beliau yang begitu tertata dengan baik. Aku melihat dan mengamati beliau selalu fi t dan fresh, baik saat memimpin Ekaristi atau pun saat duduk sebagai umat. Sementara aku melihat diriku acap kali tidur larut malam, bangun ngepres jam 05.00 atau bahkan jam 05.25, mandi kilat pelan-pelan, agar tidak kedengaran he..he..he… Segera pake jubah sambil memikirkan bahan untuk homili, lalu cepat-cepat masuk sankristi karena sudah ditunggu misdinar. Aku merasa tidak nyaman sekali ketika harus tergesa-gesa dalam persiapan, dan hampir pasti saat seperti itu sulit sekali bagiku untuk menghayati perayaan yang aku pimpin, sekalipun semua berjalan lancar.

Belajar melatih diri untuk konsekuen bangun pagi adalah syarat pertama untuk mempersiapkan diri merayakan Ekaristi di pagi hari. Persiapan yang baik membutuhkan waktu yang cukup. Sementara per-

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 91

pelayanannya dalam kurban rohani Ekaristi dan melalui tangan para imam, umat beriman dapat “mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus Perantara tunggal” (PO, 2) menuju kepada Bapa di Sorga. Sakramen Ekaristi tidak mungkin dirayakan dan terjadi tanpa tangan-tangan imam yang mau melayani dengan hati, kesetiaan, dan ketekunan. Demikian mulianya tugas dan status imamat ini sehingga lewat pela-yanan sakramen keselamatan ini, umat beriman sungguh dibantu untuk berkembang dalam kehidupan ilahi, untuk berpartisipasi dalam rencana keselamatan Allah bagi dunia. Bila umat beriman sungguh merasakan kehadiran Allah dalam pelayanan Ekaristi para imam, tercapailah tujuan pelayanan ini, yakni demi menambah kemuliaan Bapa dalam Kristus.

Apa yang saya tulis di atas adalah pemahaman teologis tentang penghayatan imamat dalam perutusan pelayanan Sakramen Ekaristi. Pemahaman teologis itu menempatkan kemuliaan status hidup seorang imam dalam perayaan Ekaristi. Kemuliaan itu mesti disadari, disyukuri, dan dihidupi. Kemuliaan panggilan imamat disadari sebagai panggilan Allah yang luhur, yang menuntut tingkah laku yang sepadan dengan derajat kemuliaan itu. Kesadaran itulah yang senantiasa mendorong saya untuk selalu mempersiapkan diri (batin, hati, dan pikiran) dengan doa-doa sebelum merayakan Ekaristi, termasuk mempersiapkan kotbah dengan setia, tekun, dan serius. Saya bahkan memiliki buku khusus untuk persiapan kotbah sejak saya ditahbiskan. Sudah ada beberapa buku kotbah yang menumpuk. Doa yang paling sering saya doakan sebelum memimpin perayaan Ekaristi adalah Doa Mohon Kedatangan Roh Kudus. Saya meyakini bahwa Roh Kudus benar-benar datang membimbing hati dan budi saya, menguasai mulut dan tangan saya, memantaskan diri saya dan menguatkan jiwa saya agar layak menjadi pemimpin Sakramen Ekaristi. Roh Kudus menggenapi apa yang kurang dari kemanusiaan saya.

Kemuliaan imamat itu juga pantas disyukuri dan dihidupi. Dalam hal ini, memimpin Perayaan Ekaristi perlu dilaksanakan dengan ikhlas dan gembira. Keikhlasan dan kegembiraan dalam memimpin Perayaan Ekaristi adalah tanda yang kuat bagi “kesehatan panggilan imamat”. Ke-tika kebiasaan-kebiasaan baik itu telah menjadi keutamaan, maka pang-gilan imamat dalam pelayanan sakramen-sakramen (utamanya Sakra-men Ekaristi) menjadi darah dan daging yang mengalir dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat itulah, Yesus datang kembali kepada kita, para imam, dan sekali lagi memeluk kita dengan kehangatan seorang Bapa

Page 51: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku90

memanggilnya. Dekrit Presbyterorum Ordinis tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam dari Dokumen Konsili Vatikan II artikel 2 ten-tang “Hakekat Imam” menegaskan bahwa:

“Imamat para imam biasa memang mengandaikan Sakramen-sakramen insiasi kristiani, tetapi secara khas diterimakan melalui Sakramen, yang melambangkan bahwa para imam, berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala ( in persona Christi capitis).”

Atas dasar itulah, Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Pastores Dabo Vobis (PDV) menekankan betapa pentingnya formation (pembinaan bagi calon imam) bagi kematangan dan kedewasaan pribadi sebagai dasar dari segala bentuk pembinaan lainnya. Seiring dengan tuntutan pelayanan yang baik di jaman modern, seorang imam dituntut untuk bertumbuh dalam kepribadian yang seimbang, pribadi yang bebas dan tidak terikat untuk melakukan pelayanan dengan gembira dan tulus, serta pribadi yang kuat dan tabah menghadapi kesulitan dan beban-beban tugas pelayanan (PDV art. 43).

Kesempatan untuk merefl eksikan hakekat panggilan imamat dalam masa-masa krisis hidup para imam semacam inilah yang saya gambarkan dengan saat Yesus datang kepada kita dan bertanya: “Apakah kamu masih mencintai Aku?” Pertanyaan itu terasa menusuk dan nyeri di hati bila kita ingat bahwa jawaban “ya” kita pada saat tahbisan ternyata tidak sekuat dan selantang pada masa-masa ini. Ketika jawaban “ya” itu telah digerogoti oleh “penyangkalan-penyangkalan” dalam bentuk gaya hidup modern dan selera pribadi, atau dalam kekerasan sikap dan kebebalan hati kita sendiri, pada saat itulah kita bisa bersama-sama dengan Santo Petrus merasakan kesedihan yang amat sangat ketika Sang Guru menantang kembali cinta kita kepadaNya untuk ketiga kalinya. Tatapan mata Sang Guru seakan mau menelanjangi kita untuk jujur pada diri kita sendiri bahwa gaung cinta kita kepadaNya sudah melemah. Bahwa kita membutuhkan peneguhanNya yang hangat, yang memeluk kita dan berkata sekali lagi dengan bisikan ke telinga kita: “Aku tahu, jawabanmu sudah mulai melemah. Tetapi jangan takut! Aku besertamu selalu. Gembalakanlah domba-dombaKu!”

“DIINGATKAN” OLEH SAKRAMEN EKARISTISakramen Ekaristi adalah Sakramen istimewa yang selalu

mengingatkan para imam akan jati diri panggilannya. Melalui

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 51

siapan yang ala kadarnya, ya bisa sambil lalu saja. Dua belas tahun di Seminari ternyata belum cukup untuk membentuk disiplin diri, di awal hidup menjadi imam yang penuh dengan ketegangan, di masa transisi antara frater dan imam. Sebab tugas dan tanggung jawab sebagai se-orang calon imam/frater berbeda dengan ketika menjadi imam. Ritme hidup di Seminari tidak sepenuhnya cocok diterapkan di Paroki.

PERSIAPAN HOMILIPersiapan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya sebelum

memimpin Perayaan Ekaristi adalah menyiapkan Homili. Aku jadi ter-ingat ketika dosen homiletika-ku mengatakan bahwa pada awalnya me-nyiapkan homili dengan baik adalah sebuah penderitaan, apalagi jika kita tidak mampu melihat proses menyiapkan homili ini, sebagai tanda cinta imam akan umat Allah. Benar… memang tidak mudah untuk se-tia membaca perikop Injil Minggu depan mulai hari Senin pagi. Sebab hari Senin-Sabtu sudah ada Bacaan Injil Harian, atau ada tugas-tugas lain yang harus dikerjakan. Selain itu juga hari Senin sering dipakai semacam “day off” oleh para imam. Memang semua itu hanya alasan. Dan sayangnya, selalu ada saja alasan untuk tidak bisa menyempatkan membaca perikop Injil Minggu depan mulai dari hari Senin. Padahal bukankah aku pernah ingat Sabda-Nya, saat Ia dicobai iblis di padang gurun, setelah berpuasa empat puluh hari lamanya: “Manusia bukan hidup dari roti saja, melainkan dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.” Aku juga sadar bahwa sering-sering ayat ini aku ucapkan dalam homiliku.

Tetapi mengapa selalu ada alasan untuk tidak bertekun mempersiapkan homili dengan baik? Bukankah kalau hidup ini juga dari setiap Firman Allah, berarti seperti aku makan tiga kali, plus dua kali snack, aku harus makan Sabda-Nya? Kalau hanya membaca dan merenungkan dari Bacaan Harian, maka sebenarnya masih “satu kali makan” Sabda-Nya. Sehingga masih kurang dua kali makan dan dua kali snack. Lalu apa, kapan makan kedua dan snack-nya? Acap kali aku merasa sudah cukup ketika sudah makan Sabda sekali saat Misa Harian. Karena aku berpikir, cukuplah satu hari dengan merenungkan satu perikop Injil Harian, apalagi dengan mengingat-ingatnya untuk seluruh hari ini, rasanya seolah-olah puas-lah hari ini dengan satu perikop Injil itu.

Kembali pada soal makan roti/nasi, apakah setelah aku makan satu kali, rasa puas setelah makan itu tetap kurasakan setelah tiga atau bah-kan lima jam sesudahnya? Tidak, pengalaman perut tidak demikian. Set-

Page 52: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku52

elah tiga atau lima jam makan, perut sudah siap diisi kembali, bahkan memasuki jam keempat dan kelima rasa lapar sudah terasa lagi.. Aku sadar, rasa puas karena satu kali makan Sabda (atau puas berhomili) itu juga seperti puas makan nasi/roti satu kali itu. Sekalipun Sabda itu tidak fana seperti dengan nasi/roti, pada kenyataan kalau hanya sesekali saja aku makan, aku pun hanya sebentar saja menjadi semangat, tapi tidak lama kemudian layu dan menjadi kering. Lantas bagaimana aku bisa hidup dari Sabda-Nya?

Rasa puas dalam diri setelah membaca Injil atau setelah berhomili bukanlah ukuran bahwa orang sungguh hidup dari Sabda Tuhan. Rasa puas adalah sekedar keinginan sementara manusia. Keinginan/kehendak Allah adalah keselamatan dan bukan memenuhi hati manusia dengan kepuasan akan Sabda-Nya. Membaca Sabda Tuhan bukan untuk kepuasan, melainkan untuk semakin mengenal, mencintai dan selalu merindukan Tuhan. Tidak cukuplah membaca sekali atau sesekali kalau mau hidup dari Sabda-Nya. Aku teringat doa indah Pemazmur pada hari Minggu I: “Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau. Hatiku haus dan rindu akan Dikau, seperti tanah kering dan tandus merindukan air. Demikian aku ingin memandang Engkau di tempat kediaman-Mu, untuk merasakan kekuatan dan kemuliaan-Mu..dan seterusnya. Demikianlah ungkapan isi hati seorang yang ingin sungguh-sungguh hidup dari Sabda-Nya. Sekali lagi bukan sekedar mencari kepuasan dalam merenungkan Sabda-Nya, tetapi untuk sungguh-sungguh memandang Tuhan, merasakan kekuatan dan kemuliaan Tuhan. Tentu orang butuh Kekuatan dan kemuliaan-Nya setiap saat, sehingga tidak cukup hanya dengan sekali makan puas untuk sehari. Apalagi dalam kerinduan, tentu ingin terus menerus bertemu dan bertemu dengan Tuhan untuk mendengarkan Sabda-Nya.

Pertemuan yang sering dan ajeg dengan Tuhan melalui Sabda-Nya sungguh meneguhkan hidup dan panggilanku. Dari pertemuan itu selalu ada saja hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Hal ini membuatku se-makin percaya bahwa Sabda Tuhan adalah tulisan yang sungguh-sung-guh hidup. Kebenaran-Nya sungguh terbukti dalam kehidupan nyata. Semakin aku menyediakan waktu untuk mendengarkan-Nya, semakin banyak pula pesan yang bisa aku tangkap dari Sabda Tuhan.

Ada kalanya memang aku merasa Tuhan tidak mengatakan apa-apa padaku. Sehingga aku merasa kosong. Bahkan parahnya, hal itu terka-dang terjadi sampai Perayaan Ekaristi berlangsung. Aku pasrah meski cemas. Waktu homili pun aku mengatakan sekenanya, sebisaku. Aku

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 89

Surat Keputusan (SK) dari uskup atau pimpinan komunitasnya, yang menandakan bahwa tugas seorang imam tidak cukup hanya melayani sakramen-sakramen saja. Beberapa rekan imam mendapat SK sebagai pastor rekan, pengurus yayasan atau kepala sekolah, kapelan rumah sakit, pendamping kelompok-kelompok kategorial ini dan itu. Beberapa jabatan penting yang menuntut profesionalisme dan dedikasi tinggi diemban oleh beberapa rekan imam. Dari situ bisa digambarkan tingkat kesibukan para imam di jaman modern.

Dalam situasi itu, rekan-rekan imam muda tidak jarang demikian “larut” dengan karya-karya dan tugas-tugasnya. Mereka penuh semangat, idealisme tinggi, dedikasi tinggi, tenaga masih kuat dan badan sehat. Beberapa rekan imam muda sudah memegang jabatan-jabatan penting dan vital di keuskupan atau komunitasnya. Seperti yang telah saya sharingkan dalam pengalaman imamat saya sendiri, jiwa muda ini seringkali sedemikian rupa mengidentifi kasikan diri dengan pekerjaannya atau karya-karyanya. Idenfi tikasi ini bisa menjalar pada sikap seakan-akan panggilan imamat sebagai jalan hidup (way of life) melekat dalam kesuksesan karya-karyanya. Akibatnya, ketika ada banyak kendala dan kesulitan di sana-sini, sementara jiwa muda ini tidak bisa membendung emosi dan idealisme tinggi, panggilan imamat seakan-akan dipandang ikut “larut” dengan perutusannya. Beberapa rekan imam mengalami hambatan dan kesulitan yang amat besar dalam karyanya karena beberapa sebab, entah memang tugas itu sendiri memang sudah berat karena berkait-mengait dengan masalah-masalah sosial-struktural yang kompleks, atau karena memang rekan imam itu sendiri bermasalah dengan kepribadiannya. Malah beberapa memiliki keinginan mengundurkan diri dari imamat karena tidak kuatnya menanggung beban berat tugas pelayanan dan panggilan.

Dalam sudut pandang positif, masa krisis semacam itu justru men-guak kenyataan yang nampaknya terlupakan dalam hari-hari hidup para imam. Di sini nampaklah bahwa hidup imamat sebagai panggilan hidup atau way of life seorang imam tidak otomatis melekat pada jabatan-jaba-tan atau tugas-tugas fungsionalnya. Masa-masa sulit dalam hidup imam sejatinya justru mengundang setiap imam untuk mengingat kembali hakekat hidup dan panggilannya. Hampir setiap krisis hidup seorang imam dimulai dari mengendornya relasi dengan Kristus yang telah me-manggilnya sebagai imam. Dengan kata lain, krisis hidup imamat itu sekaligus adalah krisis hidup rohani. Hakekat panggilan dan jati diri imam sesungguhnya terletak pada relasinya dengan Kristus yang telah

Page 53: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku88

berhadapan dengan ramalan Yesus akan penderitaan-Nya. Waktu itu Petrus berkata: “Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!” (Yohanes 13:37). Pada saat itulah, Guru seakan tersenyum simpul saja mendengar betapa lantang dan semangat berapi-apinya seorang pemuda seperti aku. Dia mungkin berkata dalam hati: “Kamu masih muda. Masih banyak yang harus kamu pelajari dan geluti dengan penuh ketabahan, kesetiaan, dan ketekunan. Sanggupkah kamu? Suatu saat kamu akan menerima godaan untuk mengingkari dan menyangkal Aku. Sanggupkah kamu untuk mengakui kelemahan itu dan kembali kepada-Ku?” Inilah persisnya jawaban Sang Guru kepada Petrus: “Nyawamu akan kauberikan kepada-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (Yohanes 13:38).

Waktu berlalu beberapa tahun setelah “gegap gempita” tahbisan dan masa-masa indah imamat pada tahun-tahun pertama. Kesibukan-kesibukan “melalap” hari-hariku sebagai imam muda. Sebagai imam muda, tidak jarang idealisme tinggi demikian mendominasiku sehingga seakan aku mau menyelesaikan semua pekerjaan dengan sempurna. “Kesuksesan demi kesuksesan” dalam karya mewarnai pelbagai karya itu. Namun, sejujurnya, tidak jarang kesepian dan kelelahan mental merasuki hidupku. Pekerjaan-pekerjaan yang semula menjadi “dewa” yang kusembah kini justru menjadi beban mental yang mendera batin. Kelelahan tidak jarang memancing emosi, yang pada akhirnya berdampak pada kelemahan relasi dan komunikasi dengan rekan kerja dan umat. Pada saat itulah, aku sadar akan kebutuhan untuk retret pribadi. Saat retret pribadi, Yesus datang kembali dengan pertanyaan yang kedua: “Apakah kamu mencintai aku?” Pada pertanyaan kali ke dua ini, aku menjawabNya: “Ya Tuhan, aku mencintaiMu. Engkau tahu itu!” Akan tetapi, kali ini jawabanku tidak selantang jawaban pertama pada saat tahbisan imamat. Aku menjawabnya dalam kelelahan. Kepalaku menunduk menandakan rasa lelah dengan jawaban atas pertanyaan Sang Guru. Guru datang dan lantas memelukku sambil berbisik di dekat telingaku: “Aku tahu, jawabanmu sudah mulai melemah. Tetapi jangan takut! Aku besertamu selalu. Gembalakanlah domba-domba-Ku!” Dan masa-masa kehidupan imamatku berjalan kembali.

PERTANYAAN SANG GURU KEPADA PARA IMAMTuntutan hidup seorang imam di jaman modern ini memang sangat

tinggi. Kehidupan seorang imam seringkali diwarnai oleh beberapa

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 53

sedih dan merasa hampa, tidak berguna. Aku hanya bisa berkata dalam hati, “ampuni aku Tuhan”.

Lain halnya ketika aku sudah benar-benar siap untuk berhomili, sesudah homili selalu muncul kebenaran-kebenaran iman yang sebelumnya belum aku temukan. Semua pesan atau bahkan Sabda Tuhan yang baru saja dimaklumkan dalam Ekaristi itu menyatu dalam Iman, Harapan, dan Kasih. Semua gandengannya terlihat dengan jelas dan gamblang, termasuk pula contoh-contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Saat seperti itulah aku merasakan hatiku seperti terbakar, berkobar oleh kebenaran Sabda-Nya. Saat itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam perjalanan hidupku sebagai seorang imam. Kebahagiaannya melebihi kebahagiaan seseorang yang merasa dicintai atau mungkin kebahagiaan setelah memberikan sesuatu kepada mereka yang sangat membutuhkan.

Tepatlah kata pemazmur yang mengatakan :” Sabda Tuhan sem-purna, menyegarkan jiwa. Peraturan Tuhan teguh, membuat arif orang bersahaja. Titah Tuhan tepat, menyenangkan hati. Perintah Tuhan jelas, menerangi mata. Hikmat Tuhan baik, tetap selamanya. Keputusan Tu-han benar, adil selalu. Lebih indah dari pada emas murni, lebih manis dari pada madu lebah” (Mzm 18B). Atau dalam bahasa Rasul Paulus dikatakan: “Semula yang aku anggap keuntungan bagiku, sekarang aku anggap rugi karena Kristus, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tu-hanku, lebih mulia daripada semuanya” (Flp 3: 7-8).

Terkadang aku juga jadi berpikir tentang Perumpamaan tentang Tal-enta yang dikatakan Yesus: “Setiap orang yang mempunyai kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan.Tetapi siapa yang tidak mem-punyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya”. Arti harafi ah “Talenta” adalah mata uang. Tetapi menurut saya, Talenta itu sebenarnya adalah kepatuhan, kesetiaan. Semua telah diberi talenta untuk dikembangkan, tetapi mereka yang memeliliki kepatuhan, ketaa-tan, kesetiaan untuk mengembangkan talenta-lah yang akan diberi sampai berkelimpahan. Demikian dengan Sabda Tuhan. Sabda Tuhan itu akan mendatangkan kelimpahan, jika kita dengan setia memberikan ruang bagi Sabda itu dalam hati kita. Dan kita akan terus bertumbuh dan bertumbuh.

PERSIAPAN TATA UPACARA PERAYAAN EKARISTIPersiapan selanjutnya adalah Persiapan Tata Upacara Perayaan

Ekaristi itu sendiri. Secara umum persiapan ini berkaitan dengan bagaimana jalannya Tata Perayaan yang akan dilaksanakan.

Page 54: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku54

Pernah suatu kali dalam perayaan aku kurang mempersiapkan dengan cermat. Pengandaianku aku pasti bisa. Pikirku kan semua telah aku pelajari di kuliah, toh sejak menjadi seminaris aku sudah pernah mengikuti perayaan-perayaan liturgi. Paling-paling yang begitu-begitu aja. Demikian aku mempersiapkan Perayaan Malam Paskah sambil lalu saja. “di teks misa semua sudah lengkap tinggal membaca, sehingga mu-dah saja kan? lagi pula kan aku tugas di stasi jadi tidak rumit seperti di gereja paroki,” kataku dalam hati. Lantas apa yang terjadi? Benar, aku benar-benar terpukul dengan ketidaksiapanku.

Waktu memberkati Lilin Paskah, aku kebingungan, karena tidak ada rubrik dalam teks. Memang aku mengucapkan dengan tepat, tapi lambang yang aku buat tidak karu-karuan. Aku harus membuat gerakan yang bagaimana aku bingung. Waktu Pemberkatan Api pun, aku lupa mereciki dengan air suci, padahal misdinar sudah siap dengan air suci. “Bodoh… benar-benar bodoh aku saat itu, mengapa aku tidak latihan dulu bagaimana gerakan yang benar?” Memang dulu pernah dijelaskan saat kuliah, tetapi memang aku terlalu “nggampangke”. Memang sih saat itu tidak ada yang menegurku, tapi aku seperti ditampar. Aku malu dengan diriku sendiri. Aku sudah ditahbiskan, tapi tidak mau melatih diri dalam memimpin upacara dengan benar.

Harusnya aku membaca dan mempelajari dahulu semua rubrik da-lam Buku Misale sebelum aku memimpin perayaan. Tapi itu tidak aku lakukan, karena aku terlalu mengandalkan pengalaman. Padahal pen-galamanku hanya sebagai umat/seminaris/frater yang hanya mengikuti perayaan, bukan sebagai pemimpin. Aku sadar ternyata menjadi imam berarti menjadi pemimpin perayaan dan konsekuensinya harus paham dan tahu memimpin Perayaan Liturgi dengan benar.

Pernah juga aku merasa bingung pada saat mendoakan Doa Syukur Agung I yang panjang dan banyak alternatif doa sesuai dengan masa liturgi. Hal ini terjadi karena aku tidak mempersiapkan dahulu uru-tan yang harus dipilih. Kacau memang jadinya. Ada doa yang sampai tumpuk dua kali aku baca. Demikian juga pernah terjadi kebingungan memilih Prefasi. Aku berpikir TPE itu lengkap, ternyata pada Hari Raya Minggu Palma aku tidak menemukan Prefasi yang Khusus untuk Min-ggu Palma. Lagi-lagi kacaulah Perayaan Liturgi, kalau aku tidak mem-persiapkan segala sesuatu terlebih dahulu..

Kiranya kalau aku ingat-ingat dengan sungguh-sungguh, masih banyak lagi pengalamaku berkenaan dengan kesalahan-kesalahan dalam memimpin Upacara Liturgi. Terkadang aku mudah menilai dan

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 87

APAKAH KAMU MENCINTAI AKU?Oleh RP. Emanuel Prasetyono, CM

PERTANYAAN SANG GURU PADA SIMON PETRUSSEJAK lama saya tidak terlalu memberi perhatian pada cerita

tentang pertanyaan Yesus yang diajukan kepada Petrus tiga kali berturut-turut (Yohanes 21:15-19). Baru-baru ini, kisah itu sering mengisi relung batin permenungan saya. Yesus bertanya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” Petrus menjawab: “Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Demikianlah dialog antara Yesus dan Petrus berlanjut sampai tiga kali. Pada pertanyaan kali ketiga, Petrus merasa sedih dan berkata: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu! Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Petrus benar-benar merasa sedih. Dan dia layak untuk sedih mendengar pertanyaan yang sama diulangi oleh Guru tiga kali. Petrus sadar bahwa dia memang sangat menghormati dan mencintai Gurunya itu. Betapa banyak pengalaman luar biasa yang sudah didapatnya dari Guru. Bersama dengan Yakobus dan Yohanes, Petrus telah melihat sendiri kemuliaan Sang Guru ketika sedang berdoa dan berbincang-bincang dengan Musa dan Elia (Lukas 9:28-36 dsj). Namun Petrus juga telah “jatuh” ke dalam sikap menyangkal Sang Guru sampai dengan tiga kali (Lukas 22:54-62 dsj). Petrus sadar bahwa dia mencintai Gurunya tetapi juga sekaligus dia tidak mampu untuk sungguh-sungguh setia kepada Guru justru ketika Dia sedang mengalami penderitaan dan kesepian ditinggalkan semua orang dekat-Nya. Jawaban Petrus yang ketiga adalah jawaban dari seseorang yang sadar bahwa meskipun dia mencintai Gurunya, tapi cinta itu masih “kalah” ketika dihadapkan pada penderitaan salib. Jawaban Petrus seakan mau menegaskan: “Guru, Engkau tahu isi hatiku. Aku sungguh mencintai-Mu. Tetapi aku sadar bahwa aku ini manusia lemah yang takut akan penderitaan dan salib. Mencintai-Mu itu sungguh berat bagiku. Engkau tahu hatiku. Tolonglah aku untuk mencintai-Mu, Guru!”

Ketika saya mencoba menempatkan perjalanan panggilan imam-atku ke dalam posisi Petrus, saya bisa merasakan kesedihan yang sama pada pertanyaan terakhir.

Ketika menerima tahbisan imamat, sambil bersujud di hadapan uskup penahbis, aku seperti Petrus menjawab pertanyaan Tuhan dengan sangat lantang:“Ya Tuhan, aku mencintai-Mu. Engkau tahu itu, ya Tuhan!” Jawaban lantang ini bisa dianalogikan dengan jawaban Petrus

Page 55: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku86

memberikan sharing, saya sempat bingung sendiri. Apa yang mau saya katakan. Saya ini masih muda. Akhirnya saya memberanikan diri untuk saling berbagi. Yang saya tekankan adalah bahwa saya melaksanakan Ekaristi sebagai tanggung jawab saya sebagai seorang Imam. Saya belajar taat rubrik, meskipun kenyataannya tidak mudah. Penghayatan terus saya bangun dari hari ke hari. Saya juga semakin tidak grogi dalam memimpin misa.

Dari obrolan tersebut saya merefl eksikan bahwa setiap masing-masing Imam memiliki kekhasan tersendiri dalam menghayati dan me-maknai hidup pelayanan mereka. Usia ternyata tidak mempengaruhi kedalaman refl eksi. Soal banyaknya pengalaman memang tidak bisa dipungkiri. Namun, masing-masing Imam memiliki kekayaan rohani tersendiri. Ada Imam yang sudah berusaha sekitar 30 tahun imamat, merasakan pengalaman yang begitu mendalam. Ada juga Imam yang berusia imamat baru 5-10 tahun memiliki pengalaman mendalam juga.

Bagi saya, Ekaristi memberikan daya kekuatan bagi saya. Minimal saya semakin dikuatkan setelah merayakan Ekaristi. Ekaristi sekaligus melelahkan (jasmani), sekaligus juga memberikan kekuatan rohani (spiritual). Saya semakin percaya bahwa Tuhan senantiasa memberikan kekuatan pada yang lemah itu. Saya yang dilemah ditopang dengan tangan-Nya yang kokoh. Saya diteguhkan lewat Firman dan Tubuh-Nya sendiri dalam Kurban Kristus di altar.

PENUTUPInilah refl eksi saya. Mungkin belum terlalu mendalam. Saya

bersyukur bisa berbagi dan menggoreskan refl eksi ini. Refl eksi yang sederhana ini berawal dari pengalaman saya. Semoga Allah yang memulai karya-Nya ini dalam diri saya, juga menguatkan dan menuntun saya dalam tugas dan karya pelayanan yang baru saya rintis ini. Ekaristi sungguh menghadirkan rahmat Allah yang berlimpah bagi saya dan umat beriman. Berkah Dalem.

RD. Gregorius Dhani Driantoro, Pastor Rekan di Paroki St. Cornelius, Madiun dan Pengajar di STKIP Madiun.

Motto Imamat: “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.” (Amsal 16:2)

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 55

mengomentari para petugas liturgi yang bersikap/bertindak tidak pas/pantas dalam melaksanakan, tetapi sebenarnya kalau aku melihat diriku sendiri dengan sungguh-sungguh ada banyak kekurangan di sana-sini dalam memimpin Perayaan Liturgi.. Memang kita lebih sering melihat selumbar di seberang daripada balok di mata kita..

PENUTUPApa yang aku tulis ini adalah sekedar sharing dari pengalaman-

pengalaman sederhana sebagai imam balita dalam mempersiapkan Per-ayaan Liturgi. Aku menyadari masih banyak lagi persiapan-persiapan yang dituntut dari seorang pemimpin liturgi sebelum memimpin Per-ayaan Liturgi, yang mungkin belum disinggung dalam tulisan ini. Tetapi sekurang-kurangnya dengan melihat kembali pengalaman-pengalaman dalam mempersiapkan Ekaristi, aku disadarkan bahwa Ekaristi benar-benar menjadi formatio diri… Amin.

RD. Bruno Joko Santoso, Pembina Seminari Tinggi Tahun Orientasi Rohani Jatijejer Trawas yang

beralamat di Sasana Krida Jatijejer Tromol Pos 15 Mojosari. Motto Imamat:“Karena Engkau yang menyuruhnya,

aku akan menebarkan jala juga” ( Luk 5:5).

Page 56: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku56

Tiga: In Persona Christi

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 85

yang diatur dalam Ekaristi. Dengan begitu, Ekaristi dapat berjalan dengan baik, benar dan indah. Memang terkadang rambu-rambu dalam berliturgi tidak disukai umat. Umat ingin banyak variasi lagu-lagu dan bentuk variasi dalam misa. Di sinilah Imam berperan. Imam bertugas menuntun umat untuk memberikan arahan yang benar dan tidak membuat mereka menjadi tersinggung dan malas dalam pelayanan liturgi. Imam juga diajak untuk perlu hati-hati dalam “melayani” selera umat dalam perayaan liturgi.

Dalam Ekaristi, Imam bertindak “in persona Christi” Imam yang merayakan Ekaristi bertindak atas nama Kristus. Dia yang adalah manu-sia, tapi juga sekaligus mewakili Kristus dalam kurban Ekaristi. Dengan belajar untuk mentaati aturan-aturan liturgi, saya juga berharap dapat semakin mendalam dalam merefl eksikan kehadiran Kristus dalam diri saya. Aturan dalam liturgi membuat Imam dan umat dapat menyajikan sebuah perayaan liturgi yang semakin berkenan kepada Tuhan. Liturgi yang sungguh sakral dan dapat dihayati oleh umat.

REVIEW: HASIL SHARING TENTANG EKARISTI PADA SAAT REKOLEKSI IMAM (Judul: “Ekaristi dan Imamat”, 3 April 2012)

Ada beberapa hal menarik yang saya dapatkan dalam sharing be-berapa waktu yang lalu, saat Rekoleksi Para Imam dalam rangka Misa Krisma di Katedral Surabaya (3 Mei 2012). Dalam kesempatan tersebut mulai dari Imam yang senior sampai yang Balita (bawah lima tahun imamat) saling berbagi pengalaman mereka. Tema utamanya adalah daya kekuatan apa yang para Imam peroleh selama dan setelah meraya-kan Ekaristi.

Obrolan dipandu oleh RD. Kholik. Ikut serta dalam kelompok saya: RD. Agustinus Supriyadi, RD. Luluk, RD. Yitno, RP. Lukas Kilatwono SVD, RP. Dasi SVD, RD. Ikwan Wibowo dan beberapa Imam yang lain. Sebagai Imam muda saya merasa minder. Pasti pengalaman para Imam senior lebih banyak dibandingkan pengalaman saya. Akhirnya, saya mencoba melihat kembali pengalaman dan refl eksi saya atas Ekaristi.

Salah satu bahan obrolan yang terlontar adalah soal daya atau kekuatan rohani apa yang diperoleh setelah merayakan Ekaristi bertahun-tahun? Ada Imam yang diingatkan bahwa Ekaristi sungguh menguatkan. Ketika Imam tersebut mengalami sakit berat, beliau merasakan kuasa dan kekuatan yang begitu besar dari Ekaristi. Imam tersebut juga dapat merasakan kerinduan untuk merayakan Ekaristi. Ketika saatnya diminta

Page 57: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku84

waktu yang lalu sempat membuat heboh banyak orang. Di saat orang sedang fokus merayakan Paskah terdengar berita ini. Banyak tanggapan orang muncul di berbagai media massa. Berita ini ter-upload di media jejaring facebook, blog-blog dan situs-situs bernuansa Katolik. Dengan cepat berita tersebut menyebar. Bagi saya peristiwa itu merupakan campur tangan. Namun lebih dari itu, saya setuju dengan pernyataan Uskup Agung Semarang dalam merespon peristiwa itu. Menurut Mgr. Pujasumarta, yang terpenting dalam penghormatan kita akan Ekaristi. Itu yang perlu dibangun. Saya pun menyadari bahwa membangun sikap hormat terhadap Ekaristi itulah yang sungguh penting.

Di tengah rutinitas Imam, ternyata Ekaristi sungguh memberikan warna tersendiri. Saya bersyukur dapat memimpin misa dan menghad-irkan Tuhan bagi umat beriman. Lewat Ekaristi, rahmat-rahmat Allah tercurah bagi Imam dan umat beriman.

RUBRIK: RAMBU-RAMBU UNTUK BELAJAR BERLITURGI YANG BAIK

Meskipun banyak “aturan”, bagi saya Liturgi kita bukanlah yang melulu kaku. Saya masih teringat dengan dosen Liturgi waktu saya ku-liah di Malang. Beliau mengajarkan, “buatlah liturgi itu seindah mung-kin”. Saya kira banyak aspek yang harus dibangun supaya liturgi itu menjadi indah.

Beberapa hal yang saya ajarkan kepada umat antara lain: pilihan lagu yang dapat diikuti oleh umat (bisa dari buku Puji Syukur, Madah Bhakti atau teks yang dibagikan.), sikap tubuh (sesuai dengan tata gerak yang tercantum dalam TPE), membaca Firman dan doa-doa dengan yang lantang, sopan dalam bertugas (misdinar, lektor, pemazmur dan siapa saja yang terlibat langsung dalam perayaan), ketenangan dalam Ekaristi (baik petugas maupun umat yang ikut merayakan). Inilah rambu-rambu yang biasanya saya “tlateni” untuk saya ajarkan kepada umat. Banyak komentar memang yang akan muncul, “mengapa koq tidak seperti tahun-tahun yang lalu?”, “mengapa banyak perubahan?”, “mana yang benar?’ dsb. Meski dengan penuh semangat saya mendampingi umat, saya tetap menghormati “kebiasaan” setempat yang sudah ada. Kalau memang ada sesuatu yang tidak sesuai, saya memberikan masukan kepada mereka. Sejauh ini, umat menerima baik kritikan, masukan dan arahan dari saya.

Bagi saya, rubrik membuat orang menjadi semakin menghayati Ekaristi. Dengan adanya rubrik, Imam belajar untuk taat dengan apa

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 57

REFLEKSI EKARISTIOleh: RD. Adrianus Akik Purwanto

PERSIAPAN SEBELUM MEMPERSEMBAHKAN EKARISTI KUDUS

DALAM melaksanakan sesuatu pekerjaan atau tugas, suatu persia-pan adalah hal penting yang diamini oleh banyak orang. Apalagi kalau pekerjaan atau tugas tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi dirinya. Demikian pula saat-saat awal sebagai imam saya mengalami hal seperti disebut di atas.

Memang merayakan Ekaristi bukanlah hal baru, sebaliknya sudah ‘biasa’ dan ‘rutin’, namun sebagai seorang pemimpin Perayaan Ekar-isti tentunya merupakan hal baru bagi seorang imam baru. Apalagi saya mengalami sekitar 60% Ekaristi yang saya pimpin saat itu memakai ba-hasa Jawa. Saya merefl eksikan persiapan yang saya lakukan cenderung ke soal-soal teknis, mengingat tentunya dalam kuliah liturgi tidak bisa mencakup ke hal-hal yang detil dalam suatu Perayaan Ekaristi, semisal gerak tubuh selama memimpin Perayaan Ekaristi. Juga persiapan untuk homili, karena harus ekstra dengan bahasa Jawa.

Selama perjalanan waktu sampai lima tahun imamat, saya mere-nungkan persiapan batin saya masih kurang. Saat-saat itu saya ingat ada 89 kali jadwal tetap Perayaan Ekaristi di paroki, entah yang di gereja paroki, kapel-kapel stasi dan susteran, namun yang melayani hanya den-gan dua imam. Tugas tambahan sebagai pengurus di yayasan pendidikan juga membuat waktu-waktu persiapan untuk Ekaristi dan homili tidak-lah sesuai dengan waktu yang saya harapkan. Saya masih ingat, kalau selesai tugas tertentu langsung sambung dengan pergi ke stasi untuk Perayaan Ekaristi. Tentunya hal ini melelahkan dan juga mengurangi kuantitas dan kualitas dalam mempersiapan diri untuk mempersembah-kan Ekaristi.

Setahun terakhir ini saya merefl eksikan bahwa persiapan pribadi sebelum mempersembahkan Ekaristi lebih ke arah persiapan homili. Saya menyadari bahwa dimensi spiritualitas Ekaristi begitu kaya, na-mun belum seluruhnya saya menggalinya. Dimensi ini akan semakin terasa jika saya semakin mampu tahu dan paham akan makna-makna simbol-simbol serta menghayatinya dalam persiapan sebelum Perayaan Ekaristi. Sebagai contoh ajaran untuk puasa satu jam sebelum komuni, saya masih ingat bagaimana hal ini selalu diingatkan oleh kakek nenek

Page 58: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku58

serta orangtua saya, bahwa persiapan ini bukanlah fi sik belaka, namun mengarah kepada sikap korban yang merupakan dimensi Ekaristi yang akan dirayakan dan juga secara istimewa mau menerima Tubuh Kristus. Pemahaman ini semakin saya sadari penting maknanya karena menyang-kut disposisi batin yang bagi saya dalam merayakan Ekaristi bukan un-tuk merasakan, namun untuk memohonkan rahmat karunia Sakramen Ekaristi. Inilah sebenarnya yang saya fokuskan dalam setiap persiapan sebelum merayakan Ekaristi.

Ya Allah, buatlah aku, hamba-Mu, orang yang berdosa ini, layak menerima dan menyalurkan rahmat karunia Sakramen Ekaristi, yang menjadi karya keselamatan-Mu yang nyata dan sempurna bagi umat-Mu.

PENGHAYATAN SEBAGAI PEWARTA SABDA ALLAHSaya merefl eksikan persiapan sebelum mempersembahkan Ekaristi

agak menurun, saat saya tinggal di Manila kurang lebih empat setengah tahun, karena saya lebih banyak mengikuti Perayaan Ekaristi daripada sebagai pemimpin/pelayan dalam Ekaristi. Namun ini bukan berarti saya mengabaikan Perayaan Ekaristi, karena tentu saja persiapan mini-mal yaitu membaca bacaan-bacaan Kitab Suci Harian dan Mingguan untuk Perayaan Ekaristi, selalu saya baca sebagai persiapan pribadi. Ini menjadi sesuatu yang harus, seperti yang saya sharingkan saat di awal imamat saya, karena sering mepet waktu apalagi dengan berkendaraan ke stasi yang cukup jauh, maka membaca Bacaan Kitab Suci sebagai bahan homili sangat penting. Meski tidak sampai mendalam, setidaknya saya mengalami dan meyakini inspirasi-inspirasi batin akan keluar ka-lau saya membaca sebelumnya, meski itu mepet waktu.

Saya menghayati bahwa sebagai pewarta Sabda, saya harus memi-liki dulu hal yang akan saya wartakan. Ini menimbulkan konsekuensi, saya merenungkan dulu pengalaman-pengalaman apa yang sesuai den-gan warta/pesan Kitab Suci hari itu untuk saya bagikan. Memang tentu-nya tidak hanya pengalaman pribadi, namun juga menyampaikan pesan dan warta dari bacaan-bacaan saat itu dengan tegas, lugas, jelas, seder-hana, tidak bertele-tele kepada umat yang merayakan Ekaristi.

Sebagai pewarta Sabda Allah, secara khusus pada Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi, bagi saya sungguh cukup berat. Saya sadar, bahwa kekuatan Sabda Allah justru terletak pada keyakinan pribadi pewarta itu sendiri, akan kebenaran Sabda Allah yang muncul dalam diri pribadinya tanpa sadar. Bagi saya, ini merupakan pemuridan terus-

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 83

Sebagai Imam muda, saya mulai merasakan rutinitas tersebut. Syukurlah saya sudah “mencicipi” rutinitas dalam formasi di seminari. Seminari adalah media kecil pembinaan untuk senantiasa bertahan dan “enjoy” dalam menjalani pembinaan. Bukan sesuatu yang mudah me-mang. Selama ini, saya menikmati sekali hari-hari pelayanan di paroki tempat saya bertugas, termasuk juga dalam menghayati Ekaristi.

Ekaristi sebagai bagian hidup merupakan kekuatan saya untuk terus menjalani imamat ini. Ekaristi menghadirkan rahmat yang berlimpah yang saya butuhkan dalam keseharian hidup. Berikut ini adalah penghayatan saya akan Ekaristi dalam rutinitas keseharian.

Ekaristi Memberikan Kekuatan Rohani. Hal inilah yang saya rasakan. Meskipun terkadang merasakan lelah usai mempersembah-kan misa, namun saya merasa semakin dikuatkan. Saya percaya, Allah berkarya dengan segala cara-Nya sendiri. Allah tahu keadaan anak-anak-Nya. Segala rutinitas dalam persoalan hidup sehari-hari saya bawa dalam Kurban Kristus di altar. Inilah refl eksi saya. Manusia yang kuat sekalipun membutuhkan Allah yang terus menuntun. Apalagi saya yang lemah dan rapuh ini sungguh membutuhkan kehadiran Allah. Saya mem-butuhkan rahmat-rahmat dalam hidup sehari-hari. Ekaristi memberikan rahmat tersebut. Ekaristi sungguh memberikan kekuatan kepada saya.

Imam Menjadi “Penyalur” Aspirasi Umat. Dalam Ekaristi, Imam menjadi “penyalur” aspirasi umat beriman. Imam mendoakan ujub atau permohonan dari umat. Keluh kesah dan doa-doa permohonan umat Imam sampaikan kepada Allah. Tujuannya supaya doa-doa mereka dikabulkan. Saya pun juga menghaturkan permohonan-permohonan dalam Ekaristi. Saya menyampaikan segala keluh-kesah, persoalan, dan mungkin rutinitas yang membosankan kepada Tuhan. Itu semua disatukan dalam Kurban Ekaristi.

Ekaristi sebagai Sarana untuk Menyapa Umat. Misa adalah saat berkumpulnya umat dari berbagai tempat. Mereka berkumpul untuk merayakan Ekaristi. Bagi saya, Ekaristi adalah kesempatan bagi saya untuk semakin mengenal umat. Dengan berjumpa, bertegur sapa dan menyalami, saya dapat menyapa mereka. Itulah yang saya lakukan usai misa. Sesuatu yang sederhana namun sungguh saya rasakan manfaat-nya. Sapaan yang sederhana inilah yang juga mewarnai rutinitas sebagai imam. Tidak jarang obrolan usai misa berlanjut dalam obrolan saat kon-sultasi di lain kesempatan di luar misa.

Membangun Sikap Hormat terhadap Ekaristi. Peristiwa “Hosti Berdarah” yang terjadi di Paroki Kidul Loji-Yogyakarta beberapa

Page 59: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku82

semua diajak juga untuk dengan penuh hormat menerima Tuhan Allah yang hadir. Dengan membungkuk dan memberikan hormat kepada Tu-buh dan Darah Kristus, Imam belajar untuk semakin hormat akan ke-hadiran Allah. Hal itu juga dilakukan oleh umat.

Anamnesis. Menurut TPE yang baru, ada beberapa aklamasi anamnesis yang mungkin dirasa baru bagi umat. Saya pun juga tertantang untuk perlahan-lahan belajar mengaplikasikan pilihan-pilihan anamnesis tersebut. Ini juga bagian untuk membangun liturgi yang baik. Umat ikut terlibat dalam perayaan. Dengan berbagai pilihan yang disediakan, harapannya umat juga semakin bersemangat dalam menyerukan atau menyanyikan anamnesis ini.

Terus belajar dalam konselebrasi. Selama melakukan safari Misa Perdana, saya merasakan sungguh bagaimana perlunya koordinasi dalam konselebrasi. Dirasa perlu juga untuk membagi tugas dalam pelayanan misa bersama. Seorang selebran juga perlu tetap rendah hati untuk mengajak konselebran (rekan-rekan Imam yang ikut merayakan misa) dalam doa-doa, terlebih Doa Syukur Agung. Dalam hal ini, kerendahan hati perlu terus dibangun. Selebran tidaklah sendirian. Dia bersama-sama merayakan Ekaristi dengan Imam yang lain. Kebersamaan dalam melambungkan doa kiranya bisa membuat perayaan menjadi sungguh khidmat.

MENGHAYATI EKARISTI DALAM RUTINITASSesuatu yang rutin belum tentu menyenangkan bagi sebagian orang.

Bisa jadi orang menjadi bosan dan mencoba untuk mencari kesibukan. Di tengah karya pelayanan, Imam adalah bagian dari umat. Imam masuk dalam roda kehidupan umat yang bermacam-macam. Imam tidak hanya menjumpai sesuatu yang menyenangkan, tapi juga melelahkan saat menghadapi persoalan-persoalan yang sulit. Setiap Imam memiliki jadwal yang rutin setiap hari atau minggu atau bulan.

Dalam rutinitas itulah, Ekaristi termasuk dalam sebuah karya pelayanan seorang Imam. Selain itu, Imam juga menjadi pelayan sakramen-sakramen lainnya. Itu juga menjadi rutinitas seorang Imam. Ekaristi yang adalah sumber kekuatan hidup Imam. Ekaristi menawarkan sebuah kekuatan rohani yang dibutuhkan Imam. Mungkin di suatu saat, seorang Imam mengalami kelelahan karena rutinitas yang membosan. Ekaristi menjadi sesuatu yang penting. Imam bersatu dengan Sang Pokok Anggur sendiri yang adalah Yesus. Pokok Anggur yang memberikan kekuatan kepada setiap orang yang bersatu pada-Nya.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 59

menerus untuk belajar akan Sabda Allah, meyakininya dan tekun melak-sanakannya. Kalau dalam diri saya sebagai pewarta belum ada atau kurang penghayatan pribadi akan hal ini, tentulah kemunafi kan yang muncul dan tentunya juga hal ini akan dirasakan oleh umat serta rekan imam.

Saya menyadari bahwa saya masih lemah dan rapuh untuk hal ini, maka seperti motto imamat saya yakni, “Jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik (Titus 2:7a)”. Saya selalu mengusaha-kan sebagai pewarta untuk berbagi akan makna dan pesan Sabda Allah sesuai dengan yang saya miliki dan saya lakukan serta saya alami dalam kehidupan pribadi saya. “Verba movent, exempla trahunt” – kata-kata menggerakkan orang, teladan mendorong mereka. Bukan dengan kata-kata, namun dengan perbuatanlah kita memberi contoh yang menarik orang.

PENGHAYATAN SAAT LITURGI EKARISTI, KHUSUSNYA KONSEKRASI

Sejauh permenungan saya sampai saat ini, saya tidak membedakan-bedakan penghayatan dengan mementingkan suatu bagian tertentu. Saya menghayati bahwa semuanya penting sesuai dengan bagian-bagiannya, sehingga bagi saya penghayatan Liturgi Ekaristi haruslah menyeluruh. Saya berusaha selalu untuk setia mengarah sesuai dengan anjuran-anjuran dari ajaran gereja mengenai hal ini. Penghayatan ini saya maknai bahwa saya ini pelayan bukanlah tuannya. Saya melayani dalam Ekaristi bukan untuk kreativitas saya, bukan untuk usahaku, bukan korbanku, namun sebagai pelayan korban Kristus, Sang Imam Agung, yang memberikan hidup-Nya sebagai karunia hidup bagi diriku serta umat yang merayakan Ekaristi. Saya dalam memimpin Perayaan Ekaristi berusaha untuk menghayati makna setiap bagian agar melayani semuanya dengan baik, bagi saya pribadi dan juga umat yang hadir. Saya memandang Ekaristi suatu perayaan dan korban kudus, yang terangkai dengan indah sebagai puncak dan sumber hidup manusia, serta sebagai wujud karya keselamatan Allah bagi dunia.

Penghayatan saat liturgi tidak bisa dipisahkan dari persiapan sebe-lumnya. Saya berusaha untuk menghayati perayaan liturgi seperti yang telah saya sebut beberapa hal di atas: meneliti batin sebelumnya, memo-hon rahmat pengampunan terlebih juga dengan Sakramen Tobat yang ru-tin, meluangkan waktu sebelum Ekaristi supaya tidak “kemrungsung”, tergesa-gesa/tergopoh-gopoh, membaca bacaan Kitab Suci, bila ada

Page 60: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku60

hal-hal khusus dalam perayaan mempersiapkan juga dengan membaca rubrik perayaan. Saat hening dalam penelitian batin di bagian Pembuka Ekaristi, disamping pengakuan dan penyesalan dosa, saya juga mempu-nyai kebiasaan untuk mengingat permohonan-permohonan dari orang-orang yang meminta doa dari saya. Saya merangkum semua yang saya ingat dan tidak ingat intensi tersebut di Doa Pembuka. Saat hening bagi saya sangat membantu proses penghayatan.

PENGHAYATAN EKARISTI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI SEBAGAI IMAM

Salah satu tugas dari panggilan seorang imam adalah pelayan sakramen-sakramen. Sakramen Ekaristi sebagai sumber dan puncak ke-hidupan orang Katolik menjadi sentral dalam pelayanan. Oleh karena itu Sakramen Ekaristi dirayakan setiap hari. Karena merupakan sumber dan puncak hidup iman orang Katolik, maka hendaknya dalam hidup sehari-hari selalu mengingat dan melaksanakan pesan Sabda Tuhan yang didengar, khususnya hari yang bersangkutan, dalam Ekaristi serta menyadari terus-menerus akan Allah yang berdiam dalam diri kita se-bagai ‘makanan’ rohani dalam tugas dan pekerjaan kita, agar semakin disucikan sesuai dengan rencana keselamatan-Nya.

Sebagai imam, saya memaknai kalau Ekaristi sebagai makanan un-tuk hidup, maka kalau aku tidak memakannya, saya akan mati. Demikian sebaliknya, kalau aku memakannya, aku akan hidup. Ekaristi juga men-jadi Pokok Anggur, jika aku sebagai carangnya, tidak bersatu dengan Sang Pokok Anggur, aku tidak akan berbuah dengan baik. Ini yang saya rasakan, kalau Ekaristi hanya menjadi rutinitas dan kewajiban, hidup saya mengarah kepada kematian imamat. Saya mengalami hal ini sebagai pasang-surut hidup imamatku. Saya merasa kosong, ‘nggelundung’ saja, apabila saya jatuh dalam rutinitas dan kewajiban. Saya menyadarinya, se-hingga saya berusaha dengan iman untuk semakin sadar bahwa hidupku bukan karena usaha dan karyaku, melainkan hidupku dan karyaku men-jadi tumbuh subur, karena Allah sendiri yang bekerja dalam diriku den-gan bantuan sakramen-sakramen-Nya. Dengan semakin mengerti akan kebutuhan ini, bahwa aku tidak bisa berbuah dengan baik kalau tidak tinggal dalam pokok, saya berusaha terus untuk setia merayakan Ekaristi sebagai sumber karunia, rahmat untuk hidupku dan berkat untuk sesama. Supaya dalam segala tugas-tugas pelayanan sehari-hari bukan aku yang menjadi pusat, yang menjadi besar, namun Kristuslah yang menjadi pusat dan semakin dimuliakan demi keselamatan jiwa-jiwa.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 81

MENGHADIRKAN KURBAN KRISTUSDoa Syukur Agung adalah puncak dari seluruh rangkaian dalam

Perayaan Ekaristi. Pada bagian ini, Yesus dihadirkan kembali dalam kurban di altar. Dia yang adalah Allah mengurbankan diri-Nya bagi manusia. Dia yang juga manusia memberikan totalitas hidup demi cinta-Nya kepada manusia lewat kurban di salib. Salib adalah bentuk cinta Yesus yang begitu total bagi manusia.

Sebagai bagian yang sakral dan sentral, saya merasakan bahwa inilah saat yang harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh di dalam Ekaristi. Memang, saya terus-menerus belajar untuk tetap disiplin da-lam memperhatikan rubrik. Inilah yang tetap harus saya perhatikan se-bagai seorang Imam muda. Bukan sesuatu yang mudah memang. Bagi saya, belajar untuk tertib rubrik adalah sebuah keahlian mendasar. Ru-brik bagaikan rambu-rambu dalam sebuah perjalanan. Ketika kita sudah mengenali, mengerti baik dan mentaati rambu-rambu tersebut, mungkin untuk selanjutnya akan semakin mudah. Selanjutnya, Ekaristi bukan lagi sebagai sebuah perayaan yang kaku karena berbagai catatan dalam rubrik, namun perayaan yang mengalir dengan indah, khusuk dan penuh makna.

Peran Imam dalam Doa Syukur Agung sungguh sentral. Peran ini tidak tergantikan oleh siapa pun. Doa Syukur Agung merupakan doa khusus bagi Imam (doa presidensial). Seorang Imam menghadirkan Kristus dalam Kurban di altar. Saya menyadari bahwa ini peran yang sungguh agung dan mulia. Melalui tahbisan, saya memiliki kuasa untuk menghadirkan Tuhan bagi umat beriman.

Epiklese. Pada bagian ini Imam memohon kehadiran pencurahan Roh Kudus atas bahan persembahan yang telah dipersiapkan. Allah yang Mahatinggi berkenan hadir mengunjungi umat-Nya. Lewat berkat atas bahan persembahan, Imam memohon kehadiran Roh Kudus supaya menjadi Tubuh dan Darah Kristus.

Sampai sekitar 8 bulan menjadi imam, saya memang masih be-lum terlalu khusuk untuk setiap detail bagian Doa Syukur Agung. Saya masih belajar untuk tertib dalam membaca rubrik (dalam misa harian, peringatan wajib, pesta, hari raya). Bila tidak hati-hati bisa jadi Imam lupa untuk memperhatikan rambu-rambu dalam suatu misa. Meskipun penghayatan saya belum mendalam, tetapi saya tetap membangun sikap hormat akan bagian-bagian dalam Ekaristi.

Kata-kata Institusi. Ketika Tubuh dan Darah Kristus diangkat, umat diajak untuk memandang hosti kudus dengan penuh hormat. Kita

Page 61: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku80

Sejauh saya dengar dari sharing umat, mereka sungguh menantikan homili yang berkesan dari para Imam. Saya kira ini juga terjadi di lain tempat. Umat mengharapkan homili yang dapat menggugah semangat umat. Ini merupakan tantangan sekaligus pembelajaran bagi saya. Tantangan untuk bisa membawakan homili yang berkenan dan belajar untuk semakin mendalam dalam merenungkan Firman dan menyiapkan homili. Bagi saya, bukanlah sesuatu yang mudah dalam menyiapkan homili setiap harinya. Pernah suatu kali saya kurang siap dalam merenungkan Firman saat Misa Harian. Efeknya, saya kurang bisa memberikan permenungan dan memberikan pesan homili atas Firman yang direnungkan waktu itu dengan baik. Dalam hal ini, sebagai Imam muda harus banyak belajar.

Firman adalah salah satu kekuatan dalam Perayaan Ekaristi. Tu-han Allah sendiri yang bersabda dalam Ekaristi. Dialah yang mengajar umat-Nya. Imam berperan sebagai Tuhan yang bersabda dan mengajar. Imam bertugas sebagai pewarta Sabda Allah. Dalam setiap persiapan misa, ada Firman yang perlu untuk direnungkan. Perlu direnungkan karena nantinya dibagikan kepada umat dalam wujud homili. Biasanya saya merumuskan dulu pesan apa yang diambil dari teks Kitab Suci yang direnungkan. Selanjutnya, saya merumuskan pengembangan da-lam bahasa yang mudah dimengerti. Sampai-sampai orang desa pun harusnya bisa mengerti dan menangkap homili saya. Homili saya tidak lama, mungkin sekitar 7-10 menit saja. Saya mencoba membuat bahasa homili yang sederhana, “dekat” dengan situasi umat dan mengandung pesan yang aktual bagi umat.

Mempersiapkan diri dengan baik. Persiapan diri terdiri dari fi sik, pikiran dan hati. Sebelum misa, saya berusaha untuk persiapan terlebih dahulu. Hal ini penting. Kalau tidak, bisa jadi misa berjalan kurang lancar. Persiapan fi sik juga dilakukan dengan menjaga kesehatan tubuh, sering berolahraga dan menjaga stamina. Saya sangat menikmati dan menentukan jadwal yang rutin untuk olahraga. Apalagi setelah lu-lus dari seminari, saya harus berinisiatif sendiri untuk berolahraga di paroki. Bersama dengan misdinar, OMK dan juga umat yang memiliki hobby olahraga sama, saya ikut serta mereka.

Selain persiapan fi sik, saya juga mempersiapkan pikiran dan hati. Tidak jarang karena banyaknya tugas membuat saya kurang bersiap diri. Memimpin Ekaristi yang merupakan kegiatan rutin (setiap hari, pekan, bulan) merupakan tugas seorang Imam. Imam yang selalu “siap” dalam setiap Ekaristi sungguh dinanti-nanti oleh umat.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 61

PENTINGNYA RUBRIK DAN ATURAN-ATURAN LITURGI DALAM SEBAGAI IN PERSONA CHRISTI

Seperti yang saya sampaikan di atas, saya menghayati Liturgi Ekaristi secara menyeluruh sesuai dengan bagian-bagiannya, tanpa mengkhususkan suatu bagian tertentu saja menjadi terpenting dari yang lainnya. Maka salah satu pentingnya rubrik dan pedoman serta aturan dalam Liturgi Ekaristi ialah untuk membantu pemahaman dan penghayatan, akan setiap bagian dari Perayaan Ekaristi, sebagai satu kesatuan perayaan dan korban Kristus bagi kehidupan dan keselamatan Gereja-Nya. Saya merenungkan dan memaknai bahwa pedoman, aturan, rubrik Liturgi Ekaristi merupakan warisan yang luhur, didirikan oleh Yesus sendiri dan dilaksanakan, dihayati dalam Gereja Katolik yang sudah berabad-abad dengan berbagai macam prosesnya di dalam sejarah Tradisi Gereja. Sebagai pelayan Gereja, saya ini melayani Gereja, sehingga bagi saya spiritualitas pelayan sangatlah penting.

Dengan spiritualitas pelayan terhadap rubrik dan aturan liturgi, saya berusaha terus-menerus untuk menghayati Liturgi Ekaristi agar sesuai dengan yang diharapkan Gereja, bukan karena menuruti perasaan pribadi. Maka saya selalu berusaha untuk mempimpin Perayaan Ekaristi sesuai/taat dengan rubrik dan aturannya. Ini dimaksudkan juga agar Liturgi Ekaristi menampakkan keindahan, keanggunan, ke-universal-annya sehingga tidak membingungkan bagi umat. Saya merenungkan dan mencoba taat menghayatinya dengan belajar terus-menerus tentang makna-makna di balik rubrik dan aturan tersebut.

Saya pribadi menjadi kurang ‘sreg’ kalau melihat Perayaan Ekaristi dilaksanakan kurang sesuai dengan rubrik dan aturan. Kalau hal ini terjadi maka timbul pertanyaan, “Mengapa kok kalau di gereja A, begini atau begitu? Mengapa kalau romo A yang memimpin misa tidak sama caranya (gerak-gerik tubuh)? Mengapa romo B rumusan kata-katanya berbeda dengan buku liturgi? Mengapa kalau di gereja A lilin altar dinyalakan saat Liturgi Ekaristi? Mana yang benar?” Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang akan menjadi kegelisahan dan tentunya batu sandungan bagi umat yang merayakannya. Maka bagi saya, mengikuti dengan taat pedoman, aturan dan rubrik dalam Ekaristi amatlah berharga sebagai wujud kesatuan Gereja dengan juga masih luwes dalam pelaksanaan apabila memang dibutuhkan perubahan dalam pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip. Hal ini dikarenakan, bagi saya pribadi, masih membutuhkan banyak katekesenya.

Page 62: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku62

Demikianlah sekilas refl eksi pribadi diriku sebagai imam akan Liturgi Ekaristi. Semoga membawa manfaat dan berkat bagi Anda seka-lian yang membacanya. Tuhan memberkati!

RD. Adrianus Akik Purwanto, Pastor Rekan Paroki HKY Surabaya,

Kepala Kantor Koordinasi Pastoral Keuskupan Surabaya, Ketua Yayasan Yohannes Gabriel Perwakilan I Surabaya.

Motto Imamat: “Jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik” (Titus 2:7a)

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 79

EKARISTI: MENGHADIRKAN RAHMAT BAGI UMAT

Oleh RD. Gregorius Dhani Driantoro

SAKRAMEN Imamat merupakan rahmat yang sungguh besar dari Allah yang boleh saya terima. Setelah melalui perjuangan dan

proses formasi di seminari, akhirnya Allah mengizinkan hamba-Nya ini untuk maju ke altar Allah dan ditahbiskan menjadi imam-Nya. Saya sadar bahwa saya adalah manusia yang lemah dan rapuh. Namun, Tu-han memilih hamba-Nya ini untuk melaksanakan tugas perutusan. Allah memilih saya untuk menjadi alat-Nya.

Sebagai imam, saya memiliki kuasa untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Dalam Ekaristi, saya yang tidak pantas tapi dipilih Tuhan, menghadirkan Yesus Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya. Ini keistimewaan seorang Imam. Dia orang yang sederhana, tapi dipilih Tuhan. Saya sungguh bersyukur atas rahmat imamat ini. Tidak semua orang dapat melakukan semua ini. Hanyalah Imam yang dapat melaku-kannya. Hanya Imam yang mampu menghadirkan Allah yang Berbe-laskasih dalam Kurban Ekaristi di meja altar.

Goresan tulisan yang singkat ini berisi refl eksi penulis atas Ekaristi yang dihidupi selama kurang lebih delapan (8) bulan ini. Ini masih awal. Perjuangan dan waktu saya masih panjang untuk merenungkan karya Tuhan dan mensyukuri rahmat-Nya yang begitu berlimpah-limpah. Se-moga refl eksi tentang Ekaristi ini akhirnya terus dapat semakin menda-lam dan berkembang seiring berjalannya waktu.

PENTINGNYA PERSIAPAN SEBELUM MISAPersiapan misa itu penting bagi seorang Imam. Dia yang akan

memimpin perayaan bersama umat hendaknya juga mempersiapkan diri dengan maksimal. Sebagai sebuah perayaan bersama, Ekaristi adalah sesuatu yang sakral dan agung. Tuhan hadir untuk menyapa umat-Nya. Oleh karena itu, Ekaristi perlu dipersiapkan dengan baik. Persiapan yang biasanya saya lakukan adalah membaca Firman, menyiapkan homili dan mempersiapkan diri dengan baik.

Membaca Firman, Menyiapkan Homili dan Menjadi Pewarta Sabda Allah. Tuhan tidak hanya hadir dalam Kurban Ekaristi. Tuhan juga hadir dalam Firman yang terus menyapa umat beriman. Untuk itu, Imam juga perlu merenungkan Sabda Tuhan yang akan dibawakan dalam Misa.

Page 63: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku78

Kristus senantiasa menyertai peziarahan hidup kita dalam seminggu ke depan, agar kita mampu menjalankan perutusanNya dalam mewartakan keselamatan Allah dalam diriNya kepada keluarga, komunitas dan sesama yang kita jumpai.

Demikianlah perjuangan saya dalam memahami dan menghayati Ekaristi. Saya menyadari bahwa Kristuslah yang saya wartakan dalam Ekaristi kepada umatNya, bukanlah kehebatan, popularitas atau kesalehan diriku. Saya tidak tahu apakah pemahaman dan penghayatanku akan Ekaristi mampu memberikan siraman rohani kepada umat yang hadir dalam Ekaristi. Saya hanya menghadirkan Kristus yang penuh belas kasih pada umat dan menghantar umat kepada Kristus. Saya hanyalah perantara antara Kristus dan umatNya. Semoga perjumpaan umat dengan Kristus dalam Ekaristi mampu memenuhi harapan umat di tengah persoalan hidup mereka sehari-hari.

Pesta Santo Markus, 25 April 2012RD. Fanny Stephanus Hure,

Pastor Rekan Paroki St. Yosef, Mojokerto. Motto Imamat: “Hendaklah kamu selalu berakar dalam Dia” (Kolose 2:7).

Dia yang telah menyerahkan diriNya di kayu salib untuk menyelamatkan manusia.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 63

“IN PERSONA CHRISTI, OH…”Oleh: RD. Agustinus Tri Budi Utomo

PADA tanggal 27 Agustus 2012 ini, saya dan 13 te-

man imam genap 16 tahun usia tahbisan. Selama 16 tahun saya diperkenankan Tuhan melayani Misa. Jikalau, anggaplah secara hitungan matematis bahwa setiap hari melayani Misa selama 16 tahun dan setiap misa memakan waktu satu jam, maka saya ada dalam perayaan ekaristi selama 5.840 jam. Seandainya seluruh jam dikumpulkan maka sama dengan 243 hari atau 8 bulan. Belum ada 1 tahun. 2,3% dari usiaku. 4,1% dari usia tahbisanku. Dalam kenyataan pasti kurang dari itu. Suatu prosentase yang kecil. Seringkali terbersit dalam suasana sedih dibenak saya, apakah prosentase kecil tersebut sungguh menjadi ‘garam’ dan ‘terang’ bagi seluruh hidup dan pastoralku?

Aku memimpin Perayaan Ekaristi, untuk itu aku ditahbiskan. Dalam hidup ini ada sangat banyak perbuatan mulia yang sangat bernilai, misalnya: menjadi bapak keluarga, menjadi aktivis sosial-kemanusiaan, pejuang HAM, penggiat lingkungan hidup, guru, buruh, pekerja medis, petani, ilmuwan, budayawan, agamawan, dsb. Namun dengan menjadi imam berarti aku memilih bahwa Ekaristi, pelayanan sakramental dan penggembalaan jiwa-jiwa sebagai ‘core bussines’ ku. Menjadi pelayan Ekaristi adalah pilihan strategis eksistensial hidup dan kebahagiaan (keselamatan). Sudah semestinya Perayaan Ekaristi seharusnya menjadi pusat dan sumber aktivitas, pusat pergulatan dan arah dasar pemberdayaan diri. Saat Ekaristi adalah secuwil waktu yang kecil yang mestinya disiapkan dengan kesungguhan dan cinta terbesar. Namun dalam kenyataannya, sejauh mana aku menyiapkan diri untuk waktu kecil yang suci itu? Berapa lama dan seserius apa aku menyiapkan Misa Harian? Kapan dan sejauh mana aku menyiapkan Perayaan Ekaristi Hari Minggu? Mengapa seringkali persiapan penting ini aku kalahkan oleh kesibukan lain?

Page 64: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku64

Pertanyaan matematis yang diajukan Romo Yustisianto di Celaket 75 Malang, ketika saya di tahun 1988 wawancara melamar menjadi imam Projo Keuskupan Surabaya, masih terus mengiang dalam benakku:“Berapa persen kamu yakin atas panggilanmu? Bagiku pertanyaan yang nampaknya naïf itu sebenarnya merupakan pertanyaan epistemologis terhadap penghayatan imamatku. Tentu saja ini bukan dimaksudkan oleh Romo Yus sebagai riset statistik. Dari pertanyaan aneh itu seringkali memunculkan dalam benakku pertanyaan-pertanyaan lain: berapa persen buku yang kubeli yang berguna bagi pengenalan akan Yesus yang kamu imani? Berapa persen penampilanmu yang mencerminkan hidup imamatmu? Berapa persen kamu mengenali Ekaristi? Berapa persen kamu melakukan pembinaan umat untuk semakin mendalami iman mereka? Berapa persen …

Sampai saat ini, khususnya 10 tahun terakhir ini, semenjak saya pastoral di Kalimantan, saya menyadari bahwa Ekaristi adalah saat paling berharga dalam hari-hari hidup saya. Ekaristi adalah bukan sekedar ‘ kronos’ atau salah satu acara di suatu jam tertentu, melainkan suatu ‘ kairos’ atau kesempatan mulia yang menebus dan menyelamatkanku. Saat yang menjadikanku bernilai. Maka tidaklah mengherankan, aku berupaya apa yang paling berharga / terbaik dari apa yang kumiliki (perasaan, talenta, pikiran dan perilaku) dapat sebisanya aku persembahkan pada saat memimpin Perayaan Ekaristi. Sekali lagi tidak selalu mulus dalam mewujudkan kesadaran ini. Perang melawan kedagingan seringkali tidak berujung kemenangan. Setidak-tidaknya, dalam menyiapkan dan ketika memimpin Perayaan Ekaristi, saya sharingkan sisi subyektif beberapa momen yang saya alami, demikian:

PERSIAPAN: Malam sebelum Misa, saya membaca teks Kitab Suci, jikalau

kesulitan menemukan pesan maka kucari di buku tafsir atau Kamus Alkitab. Aku membayangkan (secara imaginer) kehidupan macam apa dari umat yang akan hadir di misa. Lalu saya seperti nonton Tanya jawab antara umat dengan Tuhan Yesus. Aku memposisikan diri menjadi seperti wartawan yang menangkap dan merangkum diskusi mereka. Biasanya aku memilih pertanyaan umat yang paling sederhana. Aku berusaha mendengarkan bagaimana Tuhan Yesus menjawab/menjelaskan bagi umat yang berfi kir sederhana tentang topik tersebut.

Aku menyadari bahwa aku bukanlah apa-apa. Aku sering gagal dalam mencintai Tuhan. Aku mohon pengampunan karena kurang

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 77

Sedangkan untuk Liturgi Sabda, saya memusatkan perhatian pada Injil, karena Injil mengungkapkan kisah-kisah mengenai Yesus serta kumpulan ajaranNya yang menjadikan Dia sebagai “Master-ku”. Injil juga merupakan bahan permenunganku akan homili untuk Misa pada hari Minggu. Agar homili sungguh mampu memberikan pencerahan bagi umat dalam beriman kepada Yesus, maka saya berusaha untuk membaca Perikop Injil untuk Misa Minggu tersebut pada hari senin, lalu hari-hari berikutnya berteologi akan Injil tersebut dengan dibimbing oleh buku-buku tafsir Kitab Suci dan buku-buku persiapan homili. Upaya dalam memahami Sabda Allah tersebut menjadi sarana terbaikku untuk memelihara hidup rohaniku. Karena, saya sekarang jarang membaca buku-buku bacaan rohani yang bisa menyuburkan hidup rohaniku secara pribadi.

Untuk itu tepatnya pada hari sabtu saya merenungkan kembali dan menuangkan pesan iman yang akan saya wartakan dalam Misa. Pada hari tersebut saya berada di kamar pribadi, tidak melayani permintaan untuk melayani umat, kecuali kalau ada permintaan akan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Hari tersebut adalah hari yang baik bagi saya untuk menyiapkan seluruh diriku untuk Perayaan Ekaristi pada Sabtu Sore dan Minggu. Memang dengan sikap tersebut, pada mulanya saya merasabahwa umat sulit menerima, namun akhirnya umat bisa menerima hal tersebut. Ini disebabkan karena homili yang saya wartakan dapat memberikan pencerahan pada umat. Saya bahagia dengan pengakuan umat akan apa yang saya komitmenkan untuk hari Sabtu tersebut.

Selanjutnya dengan Liturgi Ekaristi, saya perlu memperhatikan pe-doman umum, dokumen-dokumen dan buku-buku yang mengulas ten-tang Ekaristi. Dalam Ekaristi saya mengarahkan diri pada Doa Syukur Agung. Karena Doa Syukur Agung merupakan pusat dan puncak dalam Perayaan Ekaristi. Dalam Doa Syukur Agung Gereja mengenangkan karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus yang wafat dan bangkit. Oleh karena itu saya mengajak seluruh umat untuk sunguh-sungguh menciptakan keheningan untuk mengucap syukur akan kehadiran Kris-tus dalam rupa roti dan anggur yang akan kita santap. Dengan ini Kristus selalu mencintai kita. Kristus selalu mengampuni kita. Kristus selalu hadir menyertai peziarahan hidup kita.

Sedangkan untuk Liturgi Penutup, saya berusaha untuk peneguhan akan apa yang sudah kita alami dalam Liturgi Pembukaan sampai dengan Liturgi Ekaristi. Peneguhan akan karya Penyelamatan Allah dalam diri Kristus yang rela sengsara, wafat dan bangkit untuk keselamatan kita.

Page 65: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku76

lah kepada Kristus dan menghadirkan Kristus kepada umat allah dalam peristiwa pengenangan akan penebusan Allah kepada umat dalam diri Kristus. Untuk itulah seluruh dinamika hidup Gereja tetap mengarahkan dirinya pada Ekaristi.

Menyadari ini semua, saya perlu merenungkan kembali akan sejauh mana relasiku selama ini dengan Kristus. Relasiku dengan Kristus seiring dengan peziarahan imamatku selama hampir lima belas tahun. Relasi tersebut membentuk pemahamanku tentang Dia. Bagiku Kristus adalah seorang “Master”. Seluruh hidup-Nya mengarahkanku untuk bagaimana aku harus memandang dan ber-sikap terhadap umat, sesuai dengan kehendak Allah.

Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghaki-mi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. (Yoh 3:17). Pe-mahamanku akan Dia sungguh berpengaruh dalam seluruh dirku dalam Ekaristi. Dengan ini, saya dipanggil untuk merayakan Ekaristi sebagai jalan bagi setiap pribadi untuk mengalami keselamatan dari Allah dalam Kristus.

PENGHAYATAN AKAN EKARISTIUntuk bisa menghadirkan Allah yang menyelamatkan dalam

Kristus dalam Ekaristi maka ada hal yang perlu kusikapi, yakni persiapan diriku sebelum Ekaristi dan menghidupi empat liturgi dalam Ekaristi. Berkaitan dengan persiapan diri, saya berusaha lima belas menit sebelum Ekaristi dimulai, saya sudah berada di sakristi. Saya merenung dan bersyukur akan panggilanku sebagai seorang imam yang dipilih dan dipercaya oleh Kristus dan Gereja untuk merayakan Ekaristi, serta memohon bimbingan Roh Kudus agar aku mampu menghadirkan Kristus bagi umat dan menghantar umat kepada Kristus dalam Ekaristi. Kesadaran akan hal ini meneguhkanku dalam memimpin Ekaristi.

Selain itu, saya juga mendalami Liturgi dalam Ekaristi, yang terdiri dari empat bagian yakni, Liturgi Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Liturgi Penutup. Setelah sekian lama bergulat dengan empat bagian liturgi tersebut, saya menanggapinya sebagai berikut. Untuk Liturgi Pembukaan, saya berusaha bagaimana kata pengantar itu sungguh membantu umat untuk menyadari akan belas kasih Allah yang agung dalam Kristus yang menerima kelemahan kita, mengampuni dosa kita dan mengundang kita, seluruh umat beriman masuk dalam karya penyelamatanNya.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 65

serius dalam mengabdi-Nya. Aku kagum dan heran mengapa besok aku diminta mewartakan Injil dan memimpin perayaan ilahi itu. Aku bersyukur dan berserah diri pada Roh Kudus untuk dipakai-Nya dalam Ekaristi besok. Itulah sebabnya sering saya menggelari diriku sebagai ‘beloved nothing’, bukan apa apa yang dicintai/dipakai oleh Seniman Agung dan diutus.

Seringkali saya memperingatkan diriku sendiri (dalam bahasa Jawa: wanti-wanti), “Hati-hati lho, ya! Besok dalam Ekaristi kamu ‘memerankan’ Kristus , in persona Christi. Bukan kamu sendiri, tetapi Kristus yang sebenarnya memimpin Misa itu ! kamu adalah ‘alat’ yang menghadirkan, jangan menghalang-halangi. Ingat motto tahbisanmu dulu! “supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada dalam mereka (Yoh 17: 26)”. Siapkan dirimu, supaya entah bagaimana Roh Kudus punya kerja, sehingga Umat mengalami Kasih Yesus yang menguatkan, menebus dan mencintai mereka.

Beato Giovanni (Paus Yohanes XXIII) punya kebiasaan ketika selesai berdoa sebelum tidur, dia naik ke tempat tidur membayangkan dirinya menjadi Ishak yang dijadikan korban dan diletakkan di atas altar korban. Dipersembahkan seperti korban Abel. Menurutku kebiasaan menyadari sebagai korban semacam itu mengubah istirahat malam menjadi persiapan Misa yang bagus. Menjadi satu rangkaian dengan prosesi persiapan misa esok hari.

PADA WAKTU MELAYANI MISA:Memakai jubah dan mengenakan pakaian Misa, menurutku

bukanlah ‘macak’ demi penampilan, melainkan menyiapkan kelengkapan upacara suci. Itulah sebabnya diusahakan dalam suasana batin yang hening dan hormat. Biasanya selain dalam rangka koordinasi tata upacara aku berusaha diam tidak omong, dalam hati berusaha doa hening, mengosongkan ruangan batin supaya menjadi ruang ‘ tahta doa’. Saya sering merasakan sedih, namun berusaha tidak mengeluarkata kata kemarahan, hanya mbatin, kalau ternyata asisten imam dan misdinar ramai bincang-bincang padahal sudah memakai pakaian liturgis. Aku hanya diam hening mencoba mengajak (tanpa kata-kata) untuk hening, dengan sikap doa. Aku tidak berani teguran saya justru merusak suasana batin mereka. Maka biasanya begitu saya selesai memakai pakaian misa, langsung berdiri dengan sikap doa menghadap salib atau menghadap para petugas yang sedang menyiapkan diri. Biasanya mereka terpengaruh menjadi hening, atau sungkan kalau ramai.

Page 66: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku66

Pada waktu prosesi saya membayangkan perjalanan Musa bersa-ma bangsa terpilih menuju tanah terjanji atau rombongan para Murid mengikuti Tuhan Yesus menuju ruang senakel atau Gunung Tabor.

Setelah hormat lalu mencium Altar. Pada saat mencium, anehnya justru terbayang oleh ciuman Yudas. Maka lalu tiba-tiba ada semacam teriakan batin, “Tuhan semoga ini bukan menjadi ciuman Yudas di Getsmani, semoga di hadirat-Mu aku tidak salah memposisikan diri dalam perayaan Ekaristi ini. Persatukan aku dengan batu karang Petrus dan para Kudus.” Cium altar bagiku merupakan ‘ ciuman eklesiologis’. Persatuan cinta dengan seluruh Gereja sepanjang jaman. Menjadi satu dengan seluruh perayaan Misa yang dirayakan sejak terbitnya matahari sampai terbenamnya di seluruh permukaan bumi. Secara material pada saat mencium altar aku membayangkan mencium Keuskupan Surabaya dan Tahta Suci St. Petrus.

Sesampai di mimbar imam, selalu saya menyapukan pandangan kepada wajah seluruh umat dalam gereja. Dari ujung ke ujung, depan ke belakang. Sambil menunggu selesainya lagu, kupandang mereka sebagai kesatuan, seperti nahkoda terhadap penumpang sebuah kapal. Kubayangkan kerinduan mereka akan Tuhan. Roh mereka haus akan Tuhan seperti rusa mendamba air. Aku sangat sepakat bahwa terjemahan baru di TPE yang dijawabkan Umat atas sapaan ‘Tuhan bersamamu’, adalah “bersama rohmu!” Karena apa yang akan dilaksanakan ini bukan aku sebagai diri pribadi yang sedang tampil di panggung entertain me-lainkan kehadiran dan peran roh-aniku sebagai wakil Kristus. Pada saat itu sering terbersit kata-kata batin,” Tuhan aku hendak melayani Engkau yang mencintai mereka ini. Tuhan aku juga mencintai mereka”.

Pada saat Homili inilah saat godaan cukup besar. Saya tergoda untuk menjadikan Homili sebagai pusat dan puncak prestasi, yang mengalahkan Ekaristi. Saya tergoda dengan tuntutan pasar yang seringkali terungkap “Kalau homili tidak bagus, maka umat tak akan mendapat apa-apa untuk dibawa pulang”. Di lain sisi juga tergoda bersembunyi di balik teologi yang mengajarkan bahwa Ekaristi adalah puncak, sehingga melupakan kesungguhan dalam berhomili. Apalagi para pastor sering dibandingkan bahwa pendeta atau pengkotbah gereja lain lebih bagus. Tanpa mengurangi kesungguhan dalam menyiapkan dan menyampaikan homili dengan optimal, peristiwa Emmaus sungguh mengubah pandangan saya terhadap homili. Liturgi Sabda saya paralelkan dengan perjalanan dua murid dari Yerusalem sampai gerbang kapung Emaus. Para Murid berkobar hatinya mendengarkan penjelasan Yesus tentang Kitab Suci. Memang homili

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 75

MENATAP UMAT DALAM EKARISTIOleh RD. Fanny Stefanus Hure

SETIAP kali merayakan Ekaristi saya berusaha untuk memandang seluruh umat. Mereka menampilkan diri dalam raut wajah yang

ceria, manis, antusias, dan semangat. Ada juga yang menampilkan raut wajah yang murung, sedih, “kosong”. Berhadapan dengan realitas itu, yang muncul dalam diri saya adalah “apa yang ada dalam benak mereka?” Saya tidak tahu apa yang bergulat dalam diri mereka. Namun, yang pasti bahwa mereka hadir dalam Ekaristi untuk mendambakan siraman rohani yang bisa memberi semangat, ketangguhan dan ketabahan dalam menghadapi persoalan hidup yang mereka alami setiap hari.

Menyikapi akan dambaan umat dalam Ekaristi, saya bertanya dalam hati,”Mampukah Ekaristi menanggapi harapan umat?” “Mampukah Ekaristi menjawabi persoalan hidup yang umat alami?” Bergulat dengan pertanyaan tersebut, betapa pentingnya saya memahami Ekaristi dengan baik. Karena dengan memahaminya, saya akan mampu menghayati Ekaristi yang dapat memberikan pencerahan pada umat. Upaya yang saya lakukan dalam memahami dan menghayati Ekaristi adalah sebagai berikut:

PEMAHAMAN AKAN EKARISTIAda beberapa buku yang saya baca untuk memahami Ekaristi

dalam konteks imamat yang saya hidupi. Ada kalimat tentang Ekaristi yang menyentuh saya, yakni “ Ekaristi, yakni kenangan sakramental wafat dan kebangkitan Kristus, representasi yang sejati dan efektif Kurban penebusan yang tunggal, sumber dan puncak hidup Kristiani dalam seluruh evangelisasi, merupakan awal, upaya dan tujuan pelayanan imam, sebab semua pelayanan gerejawi dan karya kerasulan berkaitan dengan Ekaristi dan terarahkan kepadanya. (R. Hardawiryana SJ, Direktorium Tentang Pelayanan Dan Hidup Para Imam, Art. 48, Dokpen KWI, Jakarta, 1996). Kalimat ini menyadarkan saya akan betapa agungnya Ekaristi dan betapa menentukan peranan imam dalam Ekaristi.

Ekaristi itu begitu agung karena Kristus yang wafat dan bangkit, menjadi pusat dari karya penebusan Allah bagi seluruh umat Allah. Keagungan Ekaristi tidak bisa dilepaskan dari imam. Karena, imam yang menjadi pribadi yang menghantar umat Al-

Page 67: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku74

Empat: Menatap Umat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 67

adalah perjalanan (proses komunikasi) hingga menjadikan hati berkobar pada Tuhan. Para pengkotbah protestan tergoda untuk berhenti di tahap ini, bahkan menjadikan hati yang berkobar adalah tujuan peribadatan mereka. Segala cara di pakai supaya hati berkobar. Namun bagi liturgi Katolik tidak boleh berhenti di situ. Dua Murid lalu masuk ke rumah dan Ekaristi. Yesus yang memecah dan membagikan Roti. Yesus yang bertamu berubah menjadi tuan rumah yang mengadakan perjamuan korban. Pada saat itulah mereka terbuka dan masuk dalam perjumpaan mistik dalam pengenalan akan Yesus sebagai Tuhan. Liturgi Sabda berlanjut ke Liturgi Ekaristi. Hati yang berkobar harus berlajut ke perjumpaan mistik dengan Kristus dalam Ekaristi. Lalu perutusan. Dua Murid kembali ke Yerusalem bersatu dengan persekutuan para Murid menjadi pewarta keselamatan Paskah.

Hal yang paling sulit digambarkan dengan kata-kata adalah ketika memasuki Liturgi Ekaristi. Di satu sisi ada semacam keminderan atas ketidaklayakan diri, namun sekaligus aku tidak boleh sibuk dengan diri tetapi segera meninggalkan diri dan membiarkan seluruh kata dan perbuatan dipakai oleh Yesus untuk melaksanakan korban Ekaristi. Dahulu pada saat masih usia tahbisan balita, saya mengahyati in persona Christi ini seperti seorang pendekar yang menghimpun tenaga dalam. Memusatkan kekuatan kehendak seakan-akan kesaktianku menentukan efektifi tas sakramen. Saya malu dengan itu semua saat ini. Tetapi bersyukur Tuhan membimbingku untuk menemukan tahap berikutnya. Bukan aku tetapi Kristus yang melakukan Ekaristi. Seluruh rangkaian Liturgi Ekaristi adalah ritus mistik tertinggi umat Kristiani. Perjumpaan intim sebuah ‘persetubuhan roh’ antara Kristus dan Gereja-Nya. Menjadi satu tubuh. Maka sungguh sedih dan memprihatinkan bahwa akhir-akhir ini ada upaya gencar memerosotkan mistik Ekaristi ke tataran entertainment demi kepuasan sensasional. Saya bayangkan seperti pornografi , proses desakralisasi sex demi hiburan.

Tentang penghayatan ‘in persona Christi’ tersebut, saya terkesan tulisan Pastor Benedict Groeschel, CFR, dalam pengantarnya bagi buku ‘The Lamb Supper’ karya Scott Hahn, dia sedih karena banyak tempat menurunkan martabat Misa menjadi ‘Kebaktian Rohani’, dikatakan demikian: “ Misa Kudus bukan suatu kebaktian rohani. Bila orang Katolik berdoa pagi, Rosario, adorasi, itulah kebaktian. Kebaktian adalah apa yang kita perbuat bagi Allah. Tetapi kurban Ekaristi, liturgi ilahi, bukan sama sekali dilakukan oleh manusia. Saya ceritakan kepada Anda, saya sudah 40 tahun menjadi pastor dan saya belum pernah melakukan

Page 68: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku68

kebaktian yang disebut Misa Kudus. Saya adalah ‘pengganti’ untuk Imam Agung, saya berdiri di altar berfungsi sebagai in persona Christi, mewakili pribadi Kristus. Orang datang ke Misa bukan untuk menerima tubuh dan darah saya, dan saya tidak dapat memberinya kalau mereka memintanya. Mereka datang untuk bersatu dengan Kristus. ... misa kudus di bumi adalah persembahan dari perjamuan kawin Anak Domba”

Ada banyak hal mistik yang bisa disharingkan, namun saya akan memilih di sini, saat roti dipecah lalu dicuwil dan di masukkan ke da-lam piala. Diiringi paduan suara ‘Agnus Dei’, cuwilan kecil hosti putih dan keras tersebut mengapung lalu pelan pelan diresapi anggur. Anggur melunakkannya dan mengubah warna putih menjadi kemerahan oleh anggur. Darah yang mengaliri pembuluh-pembuluh tubuh. Korban cinta yang mengaliri tubuh Gereja. Aku yang diresapi, dilunakkan dan diubah oleh cinta, korban dan penebusan-Nya. Seluruh Umat dialiri, diresapi dan dipersatukan menjadi tubuh yang hidup. Menjadi Tubuh-Nya.

Ekaristi, oh! Sungguh agung dan mulia, indah dan mempesona. Aku menirukan kata-kata Santo Agustinus, dalam merayakan Ekaristi, ”Sentuhlah sesaat Mata Air Kehidupan di mana Ia menghidupi umat Israel selamanya”. Dan Santo Thomas Aquinas dalam syair Adoro Te Devote melambungkan pujian: Allah yang tersamar, Dikau ku sembah. Sungguh tersembunyi, roti wujudnya. Sluruh hati hamba berserah. Ku memandang Dikau, hampa lainnya ... ku memandang Dikau yang senyatanya, bahagia kulihat Dikau mulia. Berkah Dalem.

RD. Agustinus Tri Budi Utomo,Romo Vikjen Keuskupan Surabaya tinggal di Wisma Keuskupan Surabaya.

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 73

Allah di masa lampau. Seperti dalam Perayaan Ekaristi: Yesus tidak disalibkan lagi, Yesus tidak dikurbankan untuk kedua kalinya. Dalam kenyataannya, kurban Yesus Kristus di Salib, yang berlaku sekali untuk selama-lamanya, dihadirkan melalui kata-kata yang diucapkan di atas roti dan anggur oleh imam (bdk. Katekismus 1366-1367).

Karenanya, sebagai imam saya membutuhkan bimbingan teologis, pastoral dan yuridis dalam perayaan liturgi. Bimbingan itu akan mem-bantu kita semua untuk lebih memahami, menghayati dan mempersiap-kan hati dan budi dalam merayakan liturgi Gereja secara baik dan be-nar.

RD. Antonius Padua Dwi Joko, Romo Vikaris Yudisial Keuskupan Surabaya dan

tinggal di Wisma Keuskupan Surabaya

Page 69: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku72

kurban salib yang dilakukanNya. Kristus menderita untuk semua orang, dan itu tidak terbatas pada masa lalu, tetapi melampaui waktu.

Pengorbanan Kristus dihadirkan secara baru, dilaksanakan secara sakramental dalam setiap komunitas melalui pelayan yang telah disuci-kan. Gereja mengakui dengan iman teguh dalam Sakramen Ekaristi, Sakramen Penebusan yang harus dirayakan secara benar dengan mengi-kuti semua norma liturgis, sehingga membuat orang beriman memiliki partisipasi yang lebih sadar, aktif dan berbuah dalam Kurban altar ku-dus.

Sebagai imam, saya harus merayakan dengan setia misteri-misteri Kristus untuk memuji Allah dan pengudusan dari orang-orang Kristen, sesuai dengan tradisi Gereja, terutama dalam kurban Ekaristi, karena itu adalah tanggung jawab imam untuk memimpin Ekaristi in persona Christi. Tindakan “merusak” perayaan liturgi baik melalui perubahan atau kelalaian, atau melalui penambahan sewenang-wenang, justru akan mengurangi arti terdalam pelayanan itu sendiri.

Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensiklik tentang Ekaristi Mahakudus Ecclesia de Eucharistia diterbitkan pada 17 April 2003, telah menggarisbawahi keprihatinan akan penyalahgunaan dalam perayaan Ekaristi dalam beberapa tahun terakhir dengan cara adaptasi dan inovasi. Paus menyerukan untuk sebuah pemurnian dengan mengikuti norma-norma liturgi yang ditetapkan oleh Gereja, dan dengan demikian dilestarikan martabat Sakramen Ekaristi.

Sebagai tindak lanjut dari ensiklik, Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen mempublikasikan Instruksi Redemptionis Sacramentum pada tanggal 19 Maret 2004. Dokumen ini tidak lebih dari pada menegaskan kembali norma liturgi yang berlaku. Dalam dokumen ini, menyebutkan tidak hanya penegasan norma-norma liturgi, tetapi juga perbaikan sanksi kanonik atas pelanggaran atau penyelewengan norma-norma, dalam perayaan liturgi. Tetapi secara lebih mendalam Instruksi menanggapi kebutuhan mendesak mengenai “spiritualitas” liturgi.

Saya mengamini apa yang dinyatakan dalam Redemptionis Sacramentum bahwa Liturgi tidak bisa dijadikan zona bebas untuk bereksperimen atau mengembangkan kemauan dan penilaian pribadi. Pelanggaran dalam perayaan tak dapat dibenarkan dengan mengatas namakan adaptasi pastoral.

Saya menyakini bahwa kesetiaan pada norma-norma liturgi membantu saya untuk semakin menghayati fungsi sakramen. Suatu Sakramen menghadirkan rahmat penyelamatan yang dikerjakan

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 69

MELESTARIKAN MARTABAT SAKRAMEN EKARISTI

Oleh RD. Antonius Padua Dwi Joko

PERAYAAN Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama segenap umat Allah. Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan

Kristen, sebab dalam Perayaan Ekaristi, terletak puncak karya Allah untuk menguduskan dunia, dan sekaligus puncak karya manusia untuk memuliakan Bapa lewat Kristus, Putera Allah, dalam Roh Kudus. Perayaan Ekaristi adalah kurban Kristus sendiri dan merupakan pula pengenangan misteri penebusan Kristus bagi dunia yang dirayakan segenap umat beriman sepanjang tahun.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa misteri penebusan tersebut, dihadirkan untuk kepentingan seluruh umat beriman. Segala perayaan ibadat lainnya, juga pekerjaan dan karya pelayanan sehari-hari dalam kehidupan kristiani, sangat berkaitan erat dengan Perayaan Ekaristi, bersumber pada Ekaristi dan tertuju kepada Ekaristi.

Sakramen Ekaristi yang saya terima sungguh merupakan rahmat yang menguatkan untuk mewartakan cinta-Nya dalam kehidupan se-hari-hari. Di dalam Ekaristi kita dipersatukan dalam persekutuan Gereja kudus agar kita dapat saling berbagi kehidupan dengan sesama, seperti Kristus sendiri. Dia telah membagikan diri-Nya untuk keselamatan ma-nusia.

PENTINGNYA PERSIAPAN Melalui liturgi, terutama dalam perayaan ekaristi terlaksana karya

penebusan kita. Liturgi yang baik membantu umat mengungkapkan misteri Kristus dan hakekat asli Gereja. Oleh karena itu persiapan liturgi adalah pekerjaan yang tidak mudah. Seringkali rutinitas dapat menjebak imam merayakan sakramen ekaristi dengan motif-motif yang kurang pas.

Kan. 909 Kodeks 1983 menyatakan bahwa seorang imam harus mempersiapkan diri untuk misa dengan doa dan harus bersyukur kepada Allah sesudahnya. Meskipun seorang imam adalah seorang pendoa, dia tetap diminta untuk segera mengambil waktu persiapan untuk Ekaristi Kudus. Lampiran di Misale Romawi menyediakan beberapa doa untuk persiapan dan ucapan syukur sesudah misa.

Demikian pula Sacramentum Caritatis no. 94 mengungkapkan: “Para imam, diakon, dan semua yang melaksanakan pelayanan ekaristis

Page 70: Ekaristi Sumber Dan Puncak Iman Dan Imamatku - Sharing Pengalaman Imamat

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku70

hendaknya selalu melaksanakan Ekaristi dengan cermat dan persiapan yang terus menerus. Dalam pelayanan ini hendaknya mereka selalu mampu menemukan kekuatan serta inspirasi yang diperlukan untuk perjalanan personal dan komunal mereka menuju kesucian.”

Selain persiapan teknis seperti misalnya koordinasi para petugas liturgi, saya juga mengusahakan adanya persiapan spiritual. Persiapan spiritual yang dilakukan antara lain doa hening, acapkali saya pergi ke kapel untuk berdoa sejenak, memohon rahmat Tuhan; kemudian datang di sakristi 10-15 menit sebelum perayaan mulai.

Persiapan spiritual yang terasa berat adalah persiapan homili. Anjuran dosen Kitab Suci semasa kuliah dulu agar mempersiapkan homili mulai hari Senin dengan membaca bacaan-bacaan untuk minggu mendatang, memang sukar saya jalankan, tapi saya tetap berusaha mencoba. Sebagai imam saya harus bisa menghargai Ekaristi. Penghargaan itu saya wujudkan dengan kemauan untuk mempersiapkan lahir batin, cara membawakan (merayakan) yang baik dan homili yang dipersiapkan.

Homili merupakan usaha menyampaikan isi lubuk hati Allah/kehendak Allah dalam arti “pewahyuan diri-Nya” kepada umat yang hadir dalam sebuah perayaan liturgi. Di sini saya mengalami jatuh bangun, cukup sukar karena harus mengkaitkan bacaan saat itu, hubungan bacaan dengan situasi pendengar serta hubungannya dengan liturgi yang sedang dirayakan.

Kesukaran itu tidak melemahkan saya untuk tetap mengusaha-kan persiapan sebaik-baiknya. Yang mendorong saya adalah kesadaran bahwa panggilan imam adalah anugerah, bukan jasa manusia. Segala persiapan dan cara membawakan yang baik adalah sebagai ungkapan syukur. Sebagai imam saya bertugas membantu umat supaya umat bisa menghargai dan menimba sumber rahmat dari Ekaristi. Dalam setiap perayaan Ekaristi hadirlah karya keselamatan Allah, artinya Yesus Kris-tus yang disalibkan kini hidup, hadir dan terlibat dalam perjuangan ma-nusia.

MERAYAKAN HIDUP HARIANSaya menyadari betapa pentingnya Ekaristi bagi penghayatan

iman saya sebagai imam. Menghayati Ekaristi ternyata bukan perkara mudah. Pengetahuan tentang Ekaristi tidak serta merta membangkitkan penghayatan iman akan Ekaristi. St. Agustinus mengungkapkan tentang Ekaristi sebagai “ Visibilis signum invisibilis gratiae”, tanda kelihatan

Ekaristi Menjadi Puncak dan Sumber Hidup Iman dan Imamatku 71

dari rahmat yang tidak kelihatan. Saya sadar kerapkali saya lebih mementingkan tanda yang kelihatan, namun lupa akan peran Allah yang tidak kelihatan. Saya sadar mengapa selama ini Ekaristi kerap kali terasa kering dan membosankan.

Saya belajar untuk mensyukuri hidup, mensyukuri apa yang terjadi dalam hidup, kegembiraan, penderitaan, kesedihan, harapan, kemalangan ataupun keberuntungan. Melalui Ekaristi saya dapat mempersembahkan semua yang saya alami kepada Tuhan. Saya yakin Allah sumber kasih menyertai perjalanan dan pergulatan hidup saya. Kehadiran-Nya menjadi nyata dalam Ekaristi. Ekaristi menjadi sumber air yang tak pernah kering.

Hidup adalah sebuah perayaan terus-menerus. Bagi saya, ekaristi adalah sebuah perayaan iman. Dengan merayakan Ekaristi, saya dipanggil untuk mempersatukan diri dalam cinta Kristus yang nyata dalam pemberian diri-Nya di atas altar. Ekaristi adalah warisan cintakasih Kristus yang menyerahkan diri-Nya supaya Gereja dibangun dalam kesatuan dan supaya Gereja mewartakan harapan bagi dunia: Ekaristi itu mewarnai segala yang ada pada kita dan segala yang kita alami. Itu berarti ke dalam perayaan, saya membawa segala usaha dan karya, keluh kesah dan permohonan, tetapi sekaligus juga kerinduan untuk memperoleh peneguhan dan semangat baru untuk menapaki hidup yang penuh liku. Dengan perayaan itu saya merasa memperoleh kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup. Saya merasa menjadi lebih tabah, sabar, murah hati, dan setia.

Dalam perayaan iman kita, Allah memberikan Roh-Nya. Secara khusus dalam perayaan Ekaristi, Yesus memberikan Tubuh dan Darah-Nya sendiri dalam rupa roti dan anggur. Itu Ia lakukan sebagai tanda cinta-Nya kepada kita. Tubuh-Nya yang kita santap menyatu dengan seluruh diri kita. Ia ada dalam kita, dan kita ada dalam Dia. Itu berarti kita menjadi bagian dari Dia yang kudus, penuh kasih, taat kepada Bapa, peduli, siap untuk melayani.

MELESTARIKAN MARTABAT SAKRAMEN EKARISTI: SETIA PADA NORMA-NORMA LITURGI

Gereja didirikan oleh Yesus Kristus sebagai sakramen keselamatan untuk memberitakan kabar baik kepada semua makhluk di dunia sampai akhir zaman (Mat. 28:19). Gereja terus hidup dan tumbuh karena Sakra-men Ekaristi. Gereja menjadikan Ekaristi sebagai pusat hidup, suatu sakramen misteri Paskah dalam cara yang luar biasa. Ekaristi adalah