TRADISI PINANG SIRIH DALAM ADAT PEMINANGAN
MELAYU JAMBI
(Studi Hukum Islam Terhadap Perkawinan Masyarakat Adat Melayu Jambi
di Desa Seling Kabupaten Merangin)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memperoleh Gelar Hukum (S.H) Sarjana
Oleh :
RIYADH ASSOMADY
NIM. 11140440000108
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2019 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 Juli 2019
Riyadh Assomady
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk untuk mengetahui makna filosofi pandangan
bagaimana praktek tradisi Pinang Sirih, untuk mengetahui dasar hukum adat
dalam pembawaan Pinang sirih (Jambah) dan untuk mengetahui korelasi tradisi
ini dalam peminangan di adat Melayu Jambi dengan prespektif hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research),
dan merupakan jenis penelitian etnografi. Penelitian ini bersifat analitik
merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya
sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan
menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi. Kriteria data yang
digunakan adalah obvervasi, wawancara,studi pustaka, dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tradisi Pinang Sirih (Jambah), sebagai
salah satu syarat untuk melakukan peminangan di Desa Seling, adat ini sudah
dilaksanakan dari zaman dahulu. Tradisi ini sangat melekat dan dikenal oleh
masyarakat setempat, proses pembawaan pinang sirih (Jambah) biasa dilakukan
ketika mau melaksanakan peminangan, dan yang membawa ini dari pihak laki-
laki untuk diserahkan kepada pihak perempuan. Bagi masyarakat yang tidak
melaksanakan tradisi tersebut maka akan mengakibatkan seseorang diberikan
sanksi sosial oleh masyarakat dan yang paling buruk dapat menghalangi untuk
dilangsungkannya perkawinan.
Adat ini di anggap baik oleh masyarakat setempat dan dilestarikan pula,
akan tetapi tradisi ini boleh ditinggalkan apabila sudah keluar dari norma-norma
agama karena padasarnya tidak ada penjelasan dalam syariat islam. Dan mengenai
status hukum yang ada pada tradisi pinang sirih (jambah) di desa Seling
Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin provinsi jambi, tersebut ialah ‘urf shahih
kerena tradisi ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan norma-norma
yang ada.
Kata kunci : Pinang Sirih, Perkawinan Adat, Peminangan, Jambah
Pembimbing : Dr.H. Abdul Halim, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1979-2019
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena
berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul. TRADISI PINANG SIRIH DALAM ADAT
PEMINANGAN MELAYU JAMBI (Studi Hukum Islam Terhadap Perkawinan
Masyarakat Adat Melayu Jambi di Desa Seling Kabupaten Merangin) Sholawat
serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’Alayhi wa
Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang
terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, dan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H. M.A. M.H Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Mesraini, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam beserta
Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga,
yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Dr.H. Abdul Halim, M.Ag., sebagai pembimbing skripsi penulis, yang
telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memberikan ilmu serta tidak hentinya membimbing penulis selama
proses perkuliahan berlangsung, Staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, dan Staf Perpustakaan utama pelayanan kepada penulis serta
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
5. Teristimewa kedua orang tua saya Ayahanda dan Ibunda (Suhaimi dan
Ramidah) yang telah begitu banyak mencurahkan perhatian, pengorbanan
serta kasih sayangnya. Adik saya Ahmad Hasani dan Tasya Maulidya
yang selalu memberikan suport untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat idiot Rezaldi Hidayat dan Imam Arrasyidi, terima kasih atas
semua waktu dan kenangan dari kekanak-kanakan sampai sekarang,
hangatnya canda tawa hingga terjalinnya persahabatan tidak akan pernah
terlupakan oleh penulis. Semoga persahabatan kita menjadi amal ibadah
dan yang dicita-citakan menjadi kenyataan.
7. Sahabat seperjuangan Ciputat Angga, Sidik, Ilham, Neng, yang selalu
memberi semangat dan warna bagi penulis. Semoga Allah memeberikan
yang terbaik untuk persahabatan kita, terimakasih atas kenangan yang
telah terukir selama ini.
8. Sahabat tersayang Salma Apriliani dan ARWAH PONDOS Indra, Rifqi,
Qhofal, Yunizar, Pace, Botem, Arif, Hidayat, Mas Boy, Kurnia, Ulhaq,
Ipeh, Ajeng, shofie, Afdal, Iman Teguh, Fitrah, Dani, yang senantiasa
meluangkan waktu berdiskusi dan bercanda. Sehingga penulis bisa
terhibur dari sulitnya menyelesaikan tugas akhir. Semoga apa yang kita
inginkan tercapai nantinya.
9. Keluarga besar Futsal FSH, Coach Syifullah Nur, Akbar, Shabir, Reza,
Manda, Pakong, Kicong, Agung, Haikal, Bogel, Odoy, Icun, Munzir,
Daffa, Tocing, Ayub, Rendra, terkhusus sahabat TUMANGERS Haji Oji,
Dimas Wakwaw, Wildan Mauludi Capung, AL- Kausar Dunggio
(Apengers) dan kalian yang belum bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terimaksih untuk canda tawa dan cerita yang selalu hadir dan akan nada
ayunan rindu untuk kalian semua. Semoga silahturrahmi ini terjalin sampai
kapanpun.
10. Keluarga besar HMI Komfaksy, teman seperjuangan 2014, Azmi, Bens,
Aulia, Andika, Aziz, Togar dan Kanda –Yunda yang tidak bisa disebutkan
satu persatu. Terkhusus keluarga HMI Hukum Keluarga, Kanda Yunda,
Ricki A Muchtar, Eka, Ais, Alim, Iqbal, Legina, Zaki, Hilman, Aris
Munandar Ei, Helmi, Windi, Ila, Ilham, Luthfi, Upay, Nanda, Sarah, Aini,
Brian, Anjas, Rafi, Fadli, Zanuba, Rambo, Habib, Aqila dan kalian yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga silatirrahmi .ini menjadi
ibadah bagi kita semua,
11. Seluruh dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf Perpustakaan utama yang
telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
12. Terimakasih kepada abangda Andi Asraf, S.H, Ricki Ahmad Faisal
Mukhtar S.H yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
13. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Tidak ada yang bisa penulis berikan untuk membalas jasa-jasa kalian
kecuali dengan ucapan doa dan terima kasih.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan
Terima kasih.
Jakarta, 11 Juni 2019
Riyadh Assomady
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i
LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 6
C. Batasan dan Perumusan Masalah .............................................. 7
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 8
E. Studi Terdahulu ......................................................................... 9
F. Metode Penelitian.................................................................... 11
G. Sitematika Penulisan ............................................................... 16
BAB II LEGAL PLURALISM DALAM TRADISI LAMARAN
A. Teori Pluralisme Hukum ........................................................ 16
B. Pengertian Peminangan ........................................................... 18
C. Landasan Dasar Peminangan .................................................. 19
D. Rukun dan Syarat Peminangan ............................................... 22
E. Iktilaf Ulama Mengenai Anggota Tubuh Peminangan Yang
Boleh Dipandang ..................................................................... 23
F. Kriteria Memilih Pasangan Dalam Islam ................................ 26
G. Pembatalan Peminangan ......................................................... 28
H. Hikmah Peminangan ............................................................... 29
I. ‘Urf Dalam Islam .................................................................... 31
BAB III INTERAKSI ISLAM DAN TRADISI MELAYU JAMBI
A. Perkembangan Adat Jambi ...................................................... 35
1. Zaman Hindu Budha ......................................................... 35
2. Islamisasi Melayu Jambi ................................................... 36
B. Jambi Bekerajaan Islam .......................................................... 40
C. Profil Kabupaten Merangin ..................................................... 41
1. Geografis ........................................................................... 46
2. Topografis ......................................................................... 46
D. Sejarah Desa Seling................................................................. 46
E. Geografis Desa Seling ............................................................. 47
F. Keadaan Agama dan Pendidikan ............................................ 48
G. Keadaan Sosial Budaya ........................................................... 51
H. Keadaan Ekonomi ................................................................... 53
BAB IV TRADISI PINANG SIRIH DAN RELEVANSI TERHADAP
HUKUM ISLAM
A. Pelaksaan Tradisi Pinang Sirih dalam Adat Melayu Jambi .... 54
B. Relasi Hukum Islam Terhadap Tradisi Pinang Sirih dalam
Peminangan Adat Melayu Jambi ............................................ 62
C. Tradisi Pinang Sirih dalam Pluralisme Hukum …………..….68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 70
B. Saran ........................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72
LAMPIRAN-LAMPIR
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengalaman hidup manusia dalam sebuah komunitas bermasyarakat
selalu dihadapkan pada nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan
membentuk tingkah laku masyarakat, secara umum harus diindahkan dan
dihormati oleh warga masyarakat dilingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup
yang membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan
membentuk norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuannya
untuk mengatur kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dinamakan
dengan hukum yang hidup didalam masyarakat atau dikenal dengan adat
istiadat.1
Adat istiadat mengandung sifat yang sangat tradisional, dimata rakyat
Indonesia, hukum adat berpangkal pada kehendak nenek moyang yang
biasanya didewa-dewakan. Hal ini juga menarik perhatian, bahwa peraturan-
peraturan hukum adat umumnya oleh rakyat dianggap berasal dari nenek
moyang yang legendaris (hanya ditemukan dalam cerita-cerita orang tua).
Terang lah agaknya bahwa, kepada hukum yang sedang berlaku diberikan
penghormatan sebesar-sebesarnya sesuai dengan kehendak yang suci dari
nenek moyang (dewa-dewa) itu. Ini merupakan suatu rem yang kuat terhadap
keinginan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang mungkin
merusak ketertiban tersebut. Karena barang siapa yang menyalahi peraturan
adat, akan tertimpa kutukan nenek moyang (ketulahan) yang menguasai
peratutaran tersebut. Sebab selama itu rakyat Indonesia berpegang teguh pada
kepercayaan dan tradisi lama, peraraturan-peraturan itu akan kekal adanya.2
1 Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta Sinar Grafika, 2006) h.47
2 R.Van Dijk, Pengantar Hukum Adat di Indonesia” penerjemah Soehardi. A (Sumur
Bandung, 1979) h. 10
2
Berlakunya hukum adat di Indonesia diakui secara implisit oleh
Undang-Undang Dasar 1945 melalui penjelasan umum yang menyebutkan
bahwa: “Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis,
sedangkan disampingnya yang berlaku Undang-Undang dasar itu berlaku
juga hukum dasar yang tidak tertulis yaitu aturan-aturan dasar yang timbul
terpelihara dalam Praktik penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis.3
Adapun setiap budaya/adat mempunyai bingkai norma tersendiri,
misalnya masyarakat Muslim diatur perilakunya oleh hukum Islam, dan yang
berkaitan dengan hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. titik
fungsional hukum Islam terus menerus membentuk struktur sosial masyarakat
Muslim dalam menjalani kehidupan sosialnya.4 Hubungan sosial ataupun
sistem sosial berawal sebuah lingkungan keluarga. Terbentuknya suatu
keluarga biasanya melalui tali silaturrahmi dua insan sosial dalam sebuah
ikatan suci yaitu perkawinan.5
Dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu bertujuan
untuk membangun, membina dan memelihara hubugan keluarga serta
kekerabatan yang rukun dan damai.6 Pernikahan diselenggarakan dalam
sebuah prosesi khusus dan tata cara khusus, yang disesuaikan dengan
ketentuan agama maupun tradisi didalam masyarakat, dimana prosesi tersebut
akan dilaksanakan.7
3 Ilhami Bisri,Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di
Indonesia, (PT Raja Grapindo Perseda, 2004) h.122
4 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11
5 Tihami dan Sohari Fahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Lengkap, (Jakarta:
Rajawalipers, 2009), h. 24
6 Khairunnas, Hantaran Perkawinan Dalam Peminangan Secara Adat Rempak Ditinjau
Menurut Hukum Islam, Riau, (skripsi S1 2012, diakses di http://ejournal.uin-suska.ac.id/ diakses
pada 1 November 2018) h. 6
7 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. II, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 14
3
Hukum perkawinan, di pengaruhi oleh hukum Islam. Dengan kata lain
hukum adat itu mempunyai unsur-unsur asli maupun unsur-unsur keagamaan,
walaupun pengaruh agama tidak terlalu besar dan hanya beberapa daerah
saja. Namun dalam arti sempit dan sehari-hari, maka yang dimaksud dengan
“hukum adat” ialah hukum asli yang tidak tertulis, yang berdasarkan
kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang memberi pedoman
sebagian besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, dalam
hubungan antara yang satu dangan yang lain baik di kota maupun di desa.8
Adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan-aturan
dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan
tahapan yang harus dilalui oleh pasangan pengantin dan pihak-pihak yang
terlibat didalamnya sehingga perkawinan ini dapat pengabsahan dari
masyarakat, tata cara rangkaian adat perkawinan itu terangkat dalam suatu
rentetan kegiatan upacara perkawinan. Adapun rangkaian upacara perkawinan
adat yang diselanggarakan secara besar-besaran dapat meliputi berbagai
kegiatan adat yang diatur dan dilaksanakan oleh suatu panitia khusus yang
terdiri dari tua-tua adat, kaum ibu, dan bujang gadis9
Mengenai pernikahan, memang banyak adat yang mengatur di setiap
daerah baik yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak
dapat kita pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di
daerah tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang
mengikuti berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan masyarakat tetap
berpegang teguh kepada hukum adat yang masih berlaku di dalam sebuah
adat pernikahan tersebut. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai
basis sosial yang relatif kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh
warga masyarakat secara sukarela.10
8 Muhammad bushar, Asas-Asas Hukum Adat (Pradnya paramita, 1988) h.15
9 Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Kencana
Prenamedia Group, 2014), h. 36-37
10 Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 340
4
Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk
dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum
dilakukan oleh masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal
peminangan pada tiap masyarakat (Hukum Adat) yang ada di Indonesia cara
yang digunakan dalam melakukan lamaran atau peminangan pada hakikatnya
terdapat kesamaan, namun perbedaan perbedaannya hanyalah (kira-kira)
terdapat pada alat atau sarana pendukung proses peminangan tersebut.11
Peminangan adalah ajakan atau permintaan nikah dari pihak laki kepada
pihak perempuan, terkadang ajakan ini diucapkan secara jelas dan terkadang
tidak diucapkan secara jelas atau dengan kalimat kiyasan dan sindiran.12
hukum Islam mengkehendaki pelaksanaan Peminangan untuk menyikapi
kecintaan kedua pasangan manusia yang akan mengadakan akad nikah supaya
dapat mewujudkan keluraga yang didasarkan dengan kecintaan, dan juga
akan melahirkan keturunan yang baik, sebagai penerus generasi, proses awal
sebelum menuju perkawinan biasanya laki-laki dan perempuan melakukan
perkenalan terlebih dahulu, proses ini biasa disebut pinangan. Peminangan
dalam hukum Islam biasanya disebut dengan khitbah. Jadi pinangan adalah
tahap awal menuju pernikahan antara laki dan perempuan, karena hukum
perkawinan Islam menghendaki agar para calon pengantin saling mengenal,
yaitu mengetahui keturunan, agamanya, kekayaan dan kecantikannya atau
ketampanan para pasangan, sebagai mana yang diperintahkan Rasulullah
SAW.13
Tentang peminangan ini, dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada
upacara tunangan, calon mempelai lelaki memberi sesuatu pemberian seperti
perhiasan atau cendera mata lainnya sebagai kesungguhan untuk melanjutkan
kejenjang pernikahan. Pemberian ini harus dibedakan dengan mahar, karena
11
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 12
12 Mahammad Ra‟fat „utsman, Fikih Khitbah dan Nikah (Fathan Media Prima, 2017) h.23
13 Aulia Muthiah, Hukum Islam – Dinamika Perkembangan Seputar Hukum Perkawinan
dan Hukum Kewarisan (Pustaka Baru Press, 2017) h.51
5
mahar adalah pemberian yang di ucapkan secara eksplisit dalam akad nikah
sementara pemberian ini, termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah,
akibat yang ditimbulkan dari pembagian hadiah, berbeda dari pemberian
dalam bentuk mahar. Apabila pinangan itu berlanjut kepada jenjang
pernikahan memang tidak menimbul kan masalah. Akan tetapi jika pemberian
itu dalam peminagan tersebut tidak berlanjut ke jenjang pernikahan,
diperlukan di jelaskan tentang setatus pemberian itu, agar tidak menimbulkan
dampak yang negative.14
Lalu bagaimana dengan masyarakat suku Melayu Jambi yang
melaksanakan adat peminangan dengan membawa sesuatu dalam sebelum
peminangan, agama yang ada di suku Melayu Jambi yang menganut agama
islam, dengan adat dan hukum adat yang di warnai dengan hukum islam
yang membuat pengaruh terhadap adat dan hukum adat sangat besar
sehingga melahirkan semacam keyakinan bahwa adat tidak boleh
bertentangan dengan agama islam, dengan keyakinan ini membuahkan
kesepakatan terbentuknya adagium yang sangat dipegang oleh masyarakat
jambi, yaitu: Adat Bersendi Syara‟, Syara‟ Bersendi Kitabullah, adapun dari
tahapan-tahapan adat-istiadat dalam proses perkawinan yang dijalankan oleh
suku atau masyarakat Jambi, memang menarik untuk di telaah secara garis
besar, dapat dilihat bahwa tahap pernikahan adat Jambi mirip dengan adat-
adat melayu pada umumnya, karena mereka masih satu rumpun. Tetapi, jika
dicermati secara mendalam, adat pernikahan di Jambi ada perbedaan yang
cukup mencolok, itu bisa di lihat dari jalannya proses perkawinan yang
dimulai dari tahap lamaran, ijab kobul, hingga dihantarkannya kerumah orang
tua pengantin.
Tahap peminangan di suku Melayu Jambi, umumnya biasa disebut
sebagai Antar Tando, sebelum diadakan acara peminangan biasanya akan ada
utusan dari pihak laki-laki, yang akan bertanya, atau bersilahturahmi
kekeluarga perempuan. Utusan ini akan mencari tahu, apakah perempuan atau
14
Ahmad Rafiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Rajagrapindo Persada, 2013) h.83
6
gadis yang ingin dilamar itu sudah ada yang meminang atau belum, walaupun
selama proses pacaran mereka sudah tahu, tetapi secara formal adat itu harus
dilakukan.15
Lamaran ini biasanya dihadiri oleh Tuo Tangganai dari kedua belah
pihak keluarga. Pada saat lamaran keluarga laki-laki akan membawa syarat
adat perkawinan, berupa hantaran atau biasa disebut Jambah sebagi syarat
wajib seseorang yang ingin melamar. proses ini sangat sering dilakukan
ditengah masyarakat, apabila syarat tersebut tidak dibawa maka dari pihak
perempuan tidak akan mau menerima lamaran tersebut, bahkan kedatangan
dari pihak yang melamar akan ditolak, adat tersebut masih dilaksanakan
didalam adat Melayu Jambi maka syarat yang wajib apabila tidak membawa
Pinang Sirih maka lamran tersebut akan di tolak dan tidak akan diterima.16
Ada satu desa di Provinsi jambi yang bernama desa Seling yang terletak
di Kabupen Merangin. Dalam adat peminangan Melayu Jambi di Desa Seling
disebut dengan Nyasat. yang melakukan yakni dari pihak perempuan yang
melaksanakan pinangan terhadap pihak laki-laki. Hal ini tidak lepas dari adat
yang telah dibangun dari dahulu yaitu dari seorang patih yang disebut atau
kepala Desa, prosesi peminangan dalam adat ini memiliki beberapa tahap.17
Tahap pertama pihak perempuan yang ingin melamar seorang laki-laki
tersebut diwakili oleh kelurga terdekat, tahapan yang kedua kembali lagi
kerumah laki-laki yang ingin dilamar dengan menggunakan selako adat yang
ada di desa tersebut, tahapan ketiga Antar Tando yaitu memberikan sesuat
untuk mengikat satu sama lain dan yang terakhir Duduk Nenek Mamak yang
mana untuk membicarkan tentang pernikhannya.18
15
https://www.netralnews.com/news/rsn/read/92426/ini-tradisi-lamaran-dalam-pernikahan-
jambi-sumatra. Artikel diakses pada 30 Desember 2018 pukul 23:00 WIB.
16 Pemerintah Kota Jambi dan Lembaga Adat Tanah PIlih Pesako Betuah Kota jambi,
Ikhitisar Adat Melayu Kota Jambi, Cet.II, Jambi; 2004, h.49
17 Wawancara pribadi dengan Ramlah (Ilmuan jambi) jambi, 30 September 2018
18 Wawancara Pribadi dengan Saman (tokoh masyarakat). Seling, 30 september 2018
7
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih
dalam terkait tentang bagaimana hukum Islam menyikapi permasalahan adat
seperti ini. Sebagaimana dalam qaidha fiqhiyyah setiap adat merupakan
syariat yang dikukuhkan sebagai hukum. Maka apakah adat ini bisa dijadikan
hukum. Ataukah termasuk kebiasaan yang buruk dalam Islam. Karena adat
atau kebiasaan yang boleh dijadikan landasan hukum yaitu urf yang sahih.19
Maka Studi ini penting dilakukan yakni sebagai berikut:
1. Untuk melihat bagaimana urf shahih diterapkan, dan seperti apa
kebiasaan yang ada.
2. Seperti apa penggalian hukum terhadap tradisi peminangan yang ada di
desa tersebut.
3. Apakah hukum Islam membolehkan tradisi itu dilaksanakan, atau urf
fasid yang mereka lakukan.
4. Perlu ada kajian hukum yang dilakukan terhadap tradisi ini, agar
mengetahui bertentangan atau tidak terhadap hukum islam.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam
latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:
1. Bagaimana asal-muasal ditetapkannya Pinang Sirih dalam lamaran adat
suku Melayu Jambi Kabupaten Merangin Desa Seling ?
2. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan Pinang Sirih oleh
masyarakat adat suku Melayu Jambi Kabupaten Merangin Desa Seling?
3. Bagaimana praktik tradisi Pinang Sirih yang berlangsung pada
masyarakat adat suku Melayu Jambi Kabupaten Merangin Desa Seling?
4. Apa nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat
adat suku Melayu Jambi Kabupaten Merangin Desa Seling terhadap
Pinang Sirih ?
19
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama1994) h.124
8
5. Bagaimana korelasi hukum positif dengan Pinang Sirih dalam lamaran
adat suku Melayu Jambi Kabupaten Merangin Desa Seling ?
6. Bagaimana integrasi hukum Islam terhadap tradisi Pinang Sirih pada
masyarakat adat suku Melayu Jambi Kabupaten Merangin Desa Seling ?
7. Apa sanksi untuk masyarakat yang tidak melaksanakan tradisi Pinang
Sirih tersebut?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar tidak terlalu luasnya penafsiran mengenai permasalahan ini, maka
perlu adanya pembatasan masalah sehingga penelitian ini terpusat pada
masalah yang menjadi objek penelitian. Maka penulis membatasi ruang
lingkup penelitian peminangan Pinang Sirih dalam suku Melayu Jambi yang
ada di Kabupaten Merangain Kecamatan Bangko Desa Seling yang mana
menjadi syarat utama sebuah peminangan.
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana proses dan makna yang ada didalam tradisi pinang sirih
dalam peminangan adat Melayu Jambi ?
2. Bagaimana relasi hukum islam terhadap tradisi pinang sirih dalam
peminangan adat Melayu Jambi ?
3. Bagaimana Tradisi Pinang Sirih dalam Pluralisme Hukum ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan
penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui proses yang terjadi dan makna yang terkandung
didalam adat tersebut, yang mana selalu dilakukan ketika proses
peminangan itu dilaksanakan atau dilakukan, kemudian bagaimana
tinjauan hukum Islam yaitu Al-urf yang ada didalam adat tersebut.
9
Membolehkan adat ini atau malah bertentangan dengan hukum Islam itu
sendiri.
2. Manfaat Penelitian
Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari
hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan bagi peneliti
mengenai kajian hukum adat untuk dapat dikembangkan kemudian
hari, serta kontribusi ilmiah dalam bidang studi Hukum Keluarga
(ahwal al-syakhshiyyah).
b. Bagi Akademisi
Bagi sesama mahasiswa ataupun kalangan akademisi di kampus,
hasil penelitian ini akan menjadi tambahan referensi di masa yang
akan datang dan menjadi sumbangsih kepustakaan bagi para
mahsiswa yang memungkinkan akan dilakukannya banyak penelitian
sejenis oleh kalangan akademisi lainnya.
c. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat memberikan sebuah khazanah keilmuan tentang
tradisi Pinang Sirih bagi masyarakat, dan bagi semua pihak ataupun
kalangan tertentu yang mempunyai kepentingan dengan tradisi
Pinang Sirih. Dan hasil penelitian ini akan menjadi dokumen
tersendiri, dan terkhusus bagi masyarakat suku Melayu Jambi dan
lebih bisa mensinergikan kehidupan di Indonesia yang memiliki
bermacam budaya, suku maupun adat istiadatnya masing-masing
dengan Islam.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Penelitian seputar tradisi peminangan telah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya, diantaranya: Hoirum Kodrisiah Skripsi ini
membahas tentang praktek khitbah khusus masyarakat Betawi di
10
Rawajati, bahwa ada praktek meminang yang tidak sesusai dengan
hukum islam. Adapun dalam hal ini penulis membahas tentang adat
melayu jambi dalam sebuah praktik pinangan dan membawa sesuatu
sebelum melaksanakan pinangan tersebut, salah satunya pinang sirih
sebagai syarat utama untuk meminang seorang wanita.20
, Siti Nurhayati
Skiripsi ini membahas terkait ganti rugi apabila terjadi pembatalan
khitbah (pinangan) dan bagaimana bentuk aspek sosisologisnya terhadap
masyarakat Desa Pulang rejo. Berdasarkan telaah pustaka yang penyusun
lakukan, memang secara umum ada kesamaan dalam tema, tapi pada
skripsi ini penyusun lebih membahas kepada praktik membawa pinang
sirih sebagai syarat untuk meminang/mengkhitbah.21
, Malik Ibrahim
Skripsi ini membahas terkait masalah tradisi hantaran, serta
mencantumkan mengenai sejarah serta tata cara dalam peminangan Adat
Melayu Kalimatan Barat, adapun dalam penelitian yang dilakukan oleh
peneliti, akan membahas terkait tradisi Melayu Jambi yang mana lebih
tertuju pada adat peminangan membawa pinang sirih sebelum melakukan
peminangan, sebagai mana syarat wajib adat untuk melaksanakan
lamaran.22
, Fina Musfiroh dimana tradisi yang berkembang yakni saat
peminangan calon mempelai laki-laki memberikan hadiah-hadiah kepada
calon mempelai perempuan berupa barang dan perhiasan yang kemudian
ketika akad nikah hadiah tersebut dijadikan sebagai mahar. Fenomena ini
sudah menjadi tradisi, dan lebih menjelaskan barang pemberian
peminangan yang dijadikan mahar di Desa Sriwulan Kecamatan
Limbangan Kabupaten Kendal, terus bagaimana tinjauan hukum Islam
terhadap praktek barang pemberian peminangan yang dijadikan mahar.
20
Hoirum Khodrisiah, “Tradisi Khitbah di Kalangan Masyarakat Betawi Menurut Hukum
islam”, (Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
21 Siti Nurhayati, Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Dalam Tinjauan Sosiologis (Studi Kasus
Masyarakat Desa Pulang rejo kecamatan Rimbo Ilir Jambi), (Jakarta: Skripsi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).
22 Malik Ibrahim, “Tradisi Hantaran dalam Pinangan Adat Melayu Singgau Kalimatan
Barat”, (Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2007).
11
Pebedaan dengan skripsi yang akan penyusun teliti adalah penyusun
lebih berobjek kepada praktek membawa Pinang Sirih sebelum
meminang seorang perempuan, yang mana telah ada dalam syarat-syarat
yang di tentukan oleh adat Melayu Jambi, serta mengetahui filosofi yang
terkandung didalamnya.23
F. Metode Penelitian
Metodologi penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.24
Untuk itu maka
penulis dalam hal ini menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam pendekatan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
empiris. Pendekatan empiris adalah pengetahuan didasarkan atas berbagai
fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi.25
Selain itu
metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga
menggunakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologi yang
mana lebih banyak mempelajari kebudayaan dengan manusianya. Namun
dalam hal ini, penekanannya lebih kepada pendekatan antropologi
hukum. Antropologi hukum adalah ilmu tentang manusia dalam
kaitannya dengan kaidah-kaidah sosial yang bersifat hukum.26
2. Jenis Penelitian
23
Fina Musfiroh, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Barang Pemberian
Peminangan yang Dijadikan Mahar (Studi Kasus di Desa Sriwulan Kecematan Limbangan
Kabupaten Kendal)”,(Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011).
24 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet. Ke-3, h.
17.
25 Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar,2009) h. 19
26 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni,2010), Cet
ke-3, h. 10
12
Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, penelitian
kualitatif merupakan salah satu cara dalam penelitian yang mana
bertujuan untuk memahami masyarakat, masalah atau gejala yang ada
didalam masyarakat dengan mengumpulkan sebanyak mungkin fakta
secara mendalam. Dan data disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam
bentuk angka.27
Penelitian ini juga merupakan penelitian etnografi. Ethnography
merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ethno dan graphic. Ethno berarti
orang atau anggota kelompok sosial atau budaya, sedangkan graphic
berarti tulisan atau catatan. Jadi secara literer ethnography berarti
menulis/catatan tentang orang atau anggota kelompok sosial budaya.
Maka dalam arti luas merupakan suatu sekelompok orang untuk
menggambarkan kegiatan dan pola sosial-budaya mereka.28
Jadi dapat
dikatakan bahwa dalam penelitian etnografi adalah suatu kebudayaan
yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan
pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai
macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna untuk
membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua
kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi berikut: pengetahuan
dari semua kebudayaan itu sangat tinggi nilainya.29
Dan juga disini
menggunakan sebuah penelitian antropologi, antropologi adalah ilmu
yang mempelajari manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka
warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan.30
27
Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pilar Media, 1996), cet ke-
3, h. 2
28 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta
:Prenadamedia Group, 2014) cet, ke-1, h. 358
29James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12
30
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta, Bulan Bintang,1998), h. 10
13
3. Sumber Penelitian
Adapun sumber penelitian antara lain:
a. Sumber Primer, yang diperoleh dari masyarakat, tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh adat, ilmuan dan ulama maupun pelaku
perkawinan yang melakukan praktik tradisi pinang sirih dengan
melakukan wawancara para sumber yang dirasa kompeten dan ahli
dalam permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
b. Sumber Sekunder, yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, artikel,
karya ilmiah dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data-data yang relevan dalam penelitian
ini, ada beberapa teknik yang dilakukan, antara lain:
a) Data Primer, yang diperoleh dari:
1) Field Research (Penelitian Lapangan), yakni penulis terjun
langsung ke lapangan guna mendapatkan data-data yang
dibutuhkan, dengan menggunakan alat pengumpulan data
sebagai berikut:
a) Observasi atau pengamatan, yakni pengumpulan data
melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematik
terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian.31
Di
sini pengamatan dilakukan terhadap tradisi pinang sirih
dalam masyarakat suku melayu jambi.
b) Interview, yakni metode pengumpulan data atau informasi
dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk
dijawab secara lisan pula.32
Dalam interview ini akan
31
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), Cet. Ke-XII, h. 106.
32 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2007), Cet. Ke-XII, h. 118.
14
melibatkan beberapa masyarakat setempat sebagai
informan/responden yang kiranya dapat memberikan data
yang peneliti butuhkan.
2) Penelitian Kepustakaan, yakni penulis mengambil sumber data
dari tulisan-tulisan (sumber bacaan) yang telah diterbitkan,
seperti dari buku, hasil penelitian, jurnal, buletin, review,
majalah, surat kabar, dan bahan-bahan dokumentasi resmi.33
a) Data Sekunder, yang diperoleh dari beberapa data secara
langsung oleh peneliti dari objeknya, akan tetapi melalui
sumber lainnya, baik secara tertulis maupun lisan.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Merangin. Kabupaten
Merangin adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi yang merupakan
tempat tinggal dari masyarakat yang masih melakukan praktik tradisi
suku Melayu Jambi . Salah satunya adalah praktik pinang sirih.
6. Teknik Analisis Data
Penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan memakai analisis
domain berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan. Kemudian data
yang terkumpul dianalisis dan diinterpretasikan dalam interpretasi data.34
Analisis ini data ini menggunakan metode analisis kualitatif sebagai
berikut :
a. Metode induktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari data yang
khusus kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum. Artinya
penyusun berusaha memaparkan praktik pinang sirih pada
masyarakat suku melayu jambi, kemudian melakukan analisis
sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesimpulan yang umum.
33
Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, Buku Ajar, 2010), h.
32.
34 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan ,
(Jakarta : Prenadamedia Group, 2014 ), h. 413.
15
b. Metode deduktif, yakni analisis yang bertitik tolak dari suatu kaedah
yang umum menuju suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya
ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam nash dijadikan sebagai
pedoman untuk menganalisis status hukum praktik pinang sirih pada
masyarakat suku melayu jambi di Kabupaten Merangin.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini merujuk pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Syariah dan Hukum. Untuk mengetahui gambaran secara keseluruhan isi
penulisan dalam penelitian ini, penyusun menguraikan secara singkat sebagai
berikut:
Bab Kesatu, pada bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang
meliputi latar belakang masalah, identifiksasi masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu
dan metode penelitian.
Bab Kedua, kajian pustaka dibahas dalam bab ini. Dimulai dari
pemaparan kajian teori mengenai filosofi pinangan/lamran (khitbah) dalam
Islam, dari pengertian, dasar hukum, macam serta ketentuan-ketentuan
mengenai peminangan/lamaran.
Bab Ketiga, memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian, yang
meliputi setting sosial berkaitan dengan letak geografis, keadaan alam,
keadaan penduduk, potensi ekonomi, pendidikan, karakteristik
informan/penelitian, agama, budaya dan lokasi penelitian.
Bab Keempat, membahas tentang pelaksanaan tradisi pinang sirih di
Kabupaten Merangin. Juga menjelaskan bagaimana pemahaman masyarakat
tentang nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam praktik tradisi pinang sirih
serta pemahaman masyarakat mengenai tradisi tersebut dalam perspektif
Islam, dilanjutkan dengan analisis penulis.
16
Bab Kelima, tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok
permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, dan ditutup dengan saran-
saran.
17
BAB II
LEGAL PLURALISM DALAM TRADISI LAMARAN
A. Teori Pluralisme Hukum
Pluralisme hukum yang menunjukan kondisi adanya lebih dari satu
sistem atau institusi hukum yang secara bersamaan dalam berbagai aktifitas
dan hubungan.1 Kondisi hukum seperti ini sangat kental dengan keberadaan
hukum di Indonesia. Salah satu hukum yang berlaku adalah hukum adat,
dimana di dalamnya sebagai kesatuan. Mengacu teori Griffiths bahwa adanya
lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena social “ by legal pluralism‟I
mean the presence in a social field of more than one legal order”.2
Selanjutnya Griffiiths membedakan pluralisme hukum menjadi dua yaitu
weak legal pluralism dan strong legal pluralism . Pluralisme hukum yang
lemah adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui
adanya pluralisme hukum tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai
superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarki di
bawah hukum negara. Pluralisme hukum yang lemah juga disebut dengan
pluralisme hukum negara. Pluralisme hukum yang kuat memandang semua
sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat,
tidak terdapat hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi
dari yang lain.3 Sementara pandangan Sally Falk Moore dengan teorinya the
semi-autonomous social field yang menyatakan ”Law is the self regulation of
a semiautonomous social field”. Teori semi-autonomous social field
dipahami bahwa sistem hukum yang satu berada di lingkungan atau lingkaran
1 Sulistyiowati Irianto, Pluralism Hukum Waris dan Keadilan Perempuan, (Jakarta :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016) h.12
2 John Griffiths, 1986, “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism and
Unofficial Law, Vol 24, 1986, ISSN 0732-9113, h. 1
3 Sulistyowati Irianto, “Pluralisme Hukum Dan Masyarakat Saat Krisis” , (Yayasan Obor
Indonesia 2003), h.66-67.
18
sistem hukum lain yang lebih besar (sistem hukum adat berada dalam
lingkaran sistem hukum negara). Selanjutnya Werner Menski dengan konsep
segitiga pluralisme (triangle pluralist) menegaskan bahwa ada tiga (3) unsur
utama yaitu unsur masyarakat, unsur negara dan unsur nilai dan etika yang
saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dalam konteks praktek hukum
tiga (3) unsur utama segitiga pluralisme tersebut saling berinteraksi dan
bernegosiasi antara hukum masyarakat, hukum Negara dan hukum agama.
Masing-masing tipe hukum tersebut bersifat pluralistik. Sebagaimana
ditegaskan Menski, pada tipe hukum masyarakat ada norma hukum asli tanpa
dipengaruhi hukum lain, di sisi lain aturan yang ada dalam masyarakat
mendapat pengaruh dari hukum Negara dan hukum agama. Dalam tipe
hukum Negara juga berlaku hal yang sama. Selanjutnya tipe hukum agama
murni lahir dari input-input moral,etika dan agama sendiri, namun disi lain
sebagaian besar eksistensi dan bentuknya berasal dari hukum Negara dan
input-input sosial.4
Berdasarkan pada pemahaman segitiga pluralisme hukum Menski,
maka tidak bisa semerta-merta mengabaikan begitu saja fenomena hukum
yang tidak kasat mata (nilai, etika) yang melekat dalam peraturan-peraturan
resmi maupun tidak resmi. Bentuk peraturan-peraturan yang dipengaruhi oleh
nilai dan norma sosial hanya dapat dianalisis dengan sadar-pluralistis.5
B. Pengertian Peminangan
Sebagai salah satu kegiatan pendahuluan nikah, khitbah memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam pelancaran akad nikah, bahkan bagi
kemungkinan kelanggengan penikahan itu sendiri. Terutama dihubungkan
dengan kesempatan untuk mempertemukan dan saling mengenal satu sama
4 Sally Falk Moore, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai
Suatu Topik Studi Yang Tepat”, dalam T.O. Ihromi (editor), Antropologi Hukum Sebuah Bunga
Rampai,(Yayasan Obor Indonesia,2001),h. 150.
5 Werner Menski, 2015, Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global Sistem Eropa, Asia
Dan Afrika: Comparative Law In A Global Context,( Nusamedia, Bandung 2015), h. 816-819.
19
lain secara formal antara calon istri dan calon suami. Maka dari itu ada
beberapa pendapat tentang defenisi khitbah itu sendiri yaitu sebagai berikut:6
Peminangan dalam ilmu fiqih disebut dengan “khitbah” yang
mempunyai arti permintaan. Menurut istilah mempunyai arti menunjukkan
(menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-laki pada
seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seorang yang
dipercaya.7
Asal kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja).
Meminang menurut etimologi adalah sama dengan melamar, yang dalam
bahasa arab adalah khitbah. Khitbah merupakan suatu bentuk keinginan untuk
melaksanakan ikatan pernikahan. Dalam bahasa Melayu disebut dengan
peminangan. Menurut terminologi pinangan ialah kegiatan atau upaya ke arah
terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita, atau
seorang laki laki yang meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
isterinya dengan cara yang lebih umum di masyarakat.8
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah mengartikan
peminangan dengan permintaan seorang laki-laki kepada anak perempuan
orang lain atau seorang perempuan yang ada dibawah kekuasaan seseorang (
curator untuk dikawini, sebagai pendahuluan perkawinan ).9
Abdullah Sidik, dalam karyanya Hukum Perkawinan Islam, beliau
menyampaikan peminangan adalah melakukan permintaan oleh pihak calon
6 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (PT.Rajagrafindo
Persada, Jakarta 2004), h.87
7 Abd, Shomad, Hukum Islam; Penormaan Perinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia
(kencana prenada grup 2010) h.287
8 Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fikih Munakahat dan
Undang Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006) ,h.49
9 Abd, Shomad, Hukum Islam; Penormaan Perinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia
(kencana prenada grup 2010) h.287
20
suami kepada calon istri untuk memperistrikan calon istri tersebut dengan
cara yang sudah biasa dilakuakn dikalangan masyarakat.10
Pendapat Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya Al- fiqh Al- Islami Wa
Adilatuh terkait khitbah ialah mengungkapkan keinginan untuk menikah
dengan seorang perempuan tertentu dan memberi tahu keinginan tersebut
kepada perempuan dan walinya. pemberitahuan tersebut bisa dilaksanakan
langsung oleh pria yang hendak meminang atau bisa juga diwakili melalui
perantara yang di utus oleh pihak perempuan.11
Menurut pendapat lain terkait khitbah (peminangan) adalah suatu
aktivitas yang menjadi pembuka untuk melangsungkan pernikahan. Allah
swt. Memberlakukan pinangan sebagai langkah awal untuk menikah, agar
orang yang melangsungkan pernikahan saling mengenal satu sama lain baik
itu antara calon istri maupun calon suami, sehingga keduanya mantap untuk
melangsungkan pernikahan.12
Kompilasi Hukum Islam pasal 11 menjelaskan sebagai berikut,
“Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak
mencari pasangan jodoh, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang
dapat dipercaya”.13
C. Landasan Dasar Hukum Peminangan
Memang terdapat dalam Al-Qur‟an dan dalam banyak hadist nabi yang
membicarakan hal peminangan. Akan tetapi tidak ditemukan secara jelas dan
terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana
perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik
dalam Al-Qur‟an maupun dalam hadist nabi. Oleh karena itu dalam
10
Abd, Shomad, Hukum Islam; Penormaan Perinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia
(kencana prenada grup 2010) h.287
11 Wahbah al- Zuhaili, Al- fiqh Al- Islami Wa Adilatuh: Pernikahan, Talak,Khulu‟meng
Iila‟ Istri, Li‟an, Zihar Masa Iddah, Jil.9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, (Jakarta:
Gema Insani,2011), h.20-21
12 Sayyid Sabiq, fikih sunnah 3, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin (Dar Fath Lil
I‟lami al-Arabiy, Jakarta: Cakrawala Publishing 2011), h.225
13 KHI (Kompilasi Hukum Islam), pasal 11
21
menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya,
dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyd dalam Bidayat al-
Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy yang mengatakan
hukumnya adalah wajib, ulama ini berpendapat berdasarkan perbuatan dan
tradisi yang dilakukan oleh nabi dalam peminangan tersebut.14
Dalam melaksanakan kegiatan peminangan ( khitbah ) merupakan suatu
hal yang sangat baik bagi kedua calon pasangan, karena dengan adanya
kegiatan tersebut maka kedua pasangan bisa saling mengenal satu sama lain,
didalam Al-Qur‟an dan hadist telah diatur dengan jelas tentang dasar hukum
dari peminangan yaitu :
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al Qur‟an Surah Al Baqarah
ayat 235:
أنكم الل علم أنفسكم في أكن نتم أو النسآء خطبة من بو عرضتم فيما عليكم جناح ول
النكاح عقدة ت عزموا ول روفاامع ق ولا ت قولوا أن إل سرا ت واعدوىن ل ولكن ستذكرون هن لغ حتى الل أن واعلموا فاحذروه أنفسكم في ما ي علم الل أن واعلموا أجلو كتاب ال ي ب {2} حليم غفور
Artinya: Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan
yang ma‟ruf. Dan janganlah kamu ber‟azam (bertetap hati) untuk beraqad
nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-
Baqarah: 235).
14
Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fikih Munakahat dan
Undang Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006) ,h.50
22
Dalam nash hadist dijelaskan dari Jabir bin Abdullah riwayat Abu Daud:
عن ج ا ب ر ي ن عبد الل أ ن ر س ول الل ص ل ي ع ل ي و و س ل م ق ال ا ذ ا خط ب ا ح د ك م الم ر ا ة ف ا ن اس ت ط اع لأي نط ر ا لى ما ي د ع وه ا لى ن كا ح ه ا ف ل ي ف ع ل )رواه أبودا ود(
Artinya: Dari Ibnu Jabir r.a. berkata, Rasullah SAW bersabda: “Apabila
seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat
melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk menikahinya,
maka laksakanlah. (HR. Abu Daud).15
Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah di atur juga
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12
dan 13, yang menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh
orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, Tapi dapat pula diwakilkan
atau dilakukan oleh orang perantara yang dapat dipercaya.16
Dapat disimpulkan bahwasanya khitbah (meminang) adalah langkah
pertama menuju kepada ikatan suci yaitu perkawinan, maka dari itu seseorang
harus menempuh beberapa tahap yang harus dilalui olehnya, salah satunya
peminangan ataupun khitbah. Khitbah (meminang) ialah merupakan
penyataan yang jelas atas keinginan menikah, ia merupakan langkah-langkah
menuju pernikahan meskipun khitbah tidak berurutan dengan mengikuti
ketetapan, yang merupakan dasar dalam penetapan, dan oleh karena
seharusnya dijelaskan dengan keinginan yang benar dan kerelaan
penglihatan.17
15
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid Muhammad,Ibnu
Ali dan Muhammad Khuzainal Arif, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah,2007), h. 480.
16 KHI (Kompilasi Hukum Islam) BAB III
17 Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010) cet ke-2, h. 66.
23
Jumhur ulama berpendapat khitbah tidak menjadi syarat sahnya
penikahan, oleh karena itu tanpa lamaran pernikahan dapat dilangsungkan
dengan cara memenuhi syarat dan rukunnya. Berdasakan ayat diatas jumhur
berpendapat bahwa hukum melaksanakan khitbah adalah “jaiz” (boleh).18
Pengikut Imam Syafii (al-syaf‟iyah) berpandangan hukum khitbah
adalah sunnah, sesuai dengan Sunnah Fi‟liyah Nabi Muhammad SAW, bahwa
beliau telah mengkhitbah (melamar) Aisyah binti Abi Bakar dan melamar
Hafsah binti Umar Bin Al Khattab.19
Hal ini boleh dilakukan apabila seorang
perempuan yang akan dinikahi itu tidak termasuk ke dalam kategori
perempuan yang haram dinikahi. Sebagian ulama berpendapat bahwa khitbah
memiliki berbagai hukum yang sama dengan hukum perkawinan, yaitu :
wajib, sunnah,makhruh, haram dan mubah.20
Mayoritas ulama menyatakan bahwa peminangan tidak wajib, Akan
tetapi praktik yang dilakukan dalam masyarakat menunjukkan bahwa
peminangan merupakan suatu kegiatan pendahuluan pernikahan yang pasti
dilakukan. Karena di dalamnya ada pesan moral dan tata karama untuk
mengawali rencana membangun rumah tangga yang bahagia hingga pada
tujuan , yaitu menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dan
dirahmati oleh Allah SWT.21
D. Rukun dan Syarat Peminangan
Demikian syarat peminangan yang telah diatur dan diuraikan dalam
suatu subpembahasan, peminangan dalam alquran disebut juga dengan
khitbah. Hal ini telah dijelaskan dalam surat al-baqarah (2) ayat 235, seperti
18
Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: PT Prima Heza Lestari,2006) h.92
19 Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: PT Prima Heza Lestari,2006) h.93
20 Ahmad Abu Nada Syaik, Kode Etik Melamar Isteri, (Solo: Kiswa Media,2009) h. 10
21 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h.18.
24
yang telah di ungkapkan sebelumnya. Sehingga garis hukum peminangan
terinci didalam pasal 12 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur syarat
peminangan, bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita
yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya,
selain itu, pasal 12 ayat 2,3 dan 4 menyebutkan larangan peminangan
terhadap wanita yang mempunyai karakteristik sebagai berikut;
1. Ayat 2 : Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah
raj‟iah, haram dan dilarang untuk menikahinya.
2. Ayat 3 : Dilarang juga meminang wanita yang sedang dalam pinangan
orang lain, selama itu belum putus pinangannya.
3. Ayat 4 : Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusanya hubungan atau secara diam-diam pria yang meminang telah
mejauhi atau meninggalkan wanita yang hendak dipinang.
Dari pasal 12 ayat 2,3 dan 4 KHI diatas, dapat ditentukan bahwa wanita
yang termasuk untuk dipinang adalah sebagi berikut:
1. Wanita yang dipinang bukan istri orang.
2. Wanita yang dipinang tidak dalam keadaan dipinang oleh laki-laki lain.
3. Wanita yang di pinang tidak dalam masa iddah raj‟i. karena masih ada
hak bekas suaminya umtuk merujukinya.22
E. Ikhtilaf Ulama Mengenai Anggota Tubuh Peminangan Yang Boleh
Dipandang
Dalam melihat wanita yang dipinang agama menganjurkan hal tersebut.
Tujuannya adalah supaya laki-laki itu dapat mengetahui keadaan wanita itu
sebetulnya, tidak hanya mendengar dari orang lain. Dengan melihat sendiri,
maka ia dapat mempertimbangkan apakah wanita itu sudah cocok dengan
hatinya. Jangan sampai penyesalan datang dikemudian hari setelah
22
Zainudin Ali M.A, Hukum Perdata Islam diIndonesia (Jakarta : Sinar Grafika 2006)
h.10
25
pernikahan berlangsung, sehingga mengakibatkan pernikahan menjadi
putus.23
Syariat Islam membolehkan seorang laki-laki melihat wanita yang ingin
dinikahinya, bahkan dianjurkan dan disunnahkan karena pandangan
peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan
hidup pernikahan dan ketenteraman. Diantara dalil yang menunjukkan
bolehnya memandang wanita karena khitbah sebagaimana yang diriwayatkan
dari Nabi bersabda kepada Al-Mughirah bin Syu‟bah yang telah meminang
seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda telah melihatnya ?” Ia
menjawab: “Belum”. Beliau bersabda:
Artinya: Lihatlah ia, sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk
mempertemukan antara anda berdua. (maksudnya menjaga kasih sayang
dan kesesuaian).
Anggota tubuh terpinang yang boleh dipandang menurut mayoritas
ulama (fuqaha‟) seperti Imam Malik, Asy-Syafi‟i, dalam salah satu
pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh
dilihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Karena wajah tempat
menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan,
kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator
kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalilnya adalah firman Allah
QS. An-Nur (24) ayat 31:
ها () ول ي بدين زي نت هن ال ما ظهر من
Artinya: Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),
kecuali apa yang biasa terlihat darinya.
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “apa yang biasa terlihat darinya” Yang
dimaksud dengan wajah dan kedua telapak tangan. Mereka juga menyatakan,
pandangan disini diperbolehkan karena kondisi darurat maka hanya
sekedarnya, wajah menunjukkan arti keindahan dan kecantikan, sedangkan
23
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:
Liberty, 1992) h. 26
26
kedua talapak tangan menunjukkan kehalusan dan kelemahan tubuh
seseorang. Tidak boleh memandang selain kedua anggota tubuh tersebut
apabila tidak ada keadaan darurat yang mendorongnya.24
Namun, imam Abu Hanifah membolehkan untuk melihat kedua telapak
kaki perempuan yang hendak dikhitbah, sedangkan ulama Hambali
membolehkan melihat anggota badan yang yang tampak tatkala si perempuan
beraktivitas. Dan anggota badan yang boleh dilihat menurut mazhab ini ada
enam anggota badan yang boleh dilihat, yaitu : wajah, leher, tangan, telapak
kaki, kepala, dan betis.25
Terkait waktu melihat wanita terpinang yaitu mayoritas ulama
berpendapat bahwasanya waktu yang diperbolehkan melihat wanita terpinang
adalah pada saat seorang laki-laki memliki azam (keinginan kuat) untuk
menikahi wanita tersebut, baik secara fisik maupun materil. Syarat lain
berkenaan wanita yang dipinang pada saat dilihat baik untuk dinikahi, bukan
wanita penghibur atau bukan istri orang lain. Ini berarti, melihat wanita yang
terpinang itu diperbolehkan pada waktu meminang. Imam Asy-Syafi‟i
menjelaskan, hendaknya melihat wanita sebelum khitbah dengan niat akan
menikahinya, baik tanpa sepengetahuan yang bersangkutan maupu
sepengetahuan keluarganya. Hal tersebut dikarenakan hukum bolehnya
melihat, tidak ada syarat izin wanita terpinang maupun dari walinya.26
Adapun empat mata dengan wanita yang akan dipinangan syariat islam
memperbolehkan laki-laki melihat wanita terpinang, demikian juga wanita
terpinang boleh melihat laki-laki peminang. Penglihatan masing-masing ini
dimaksudkan agar saling memahami dan menerima sebelum melangkah ke
24
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak, Penerjemah: Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), cet ke-2,
h.1016.
25 Wahbah al- Zuhaili, Al- fiqh Al- Islami Wa Adilatuh: Pernikahan, Talak,Khulu‟meng
Iila‟ Istri, Li‟an, Zihar Masa Iddah, Jil.9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, (Jakarta:
Gema Insani,2011), hal 34
26 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak, Penerjemah: Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), cet ke-2,
h.1016.
27
pernikahan. Kebolehan melihat tersebut hanya pada saat khitbah.
Memperbolehkannya melihat wanita terpinang karena maslahat, sedangkan
segala bentuk yang menimbulkan bencana atau kerusakan (mafsadat) maka
itu dilarang. Larangan ini pun berlaku umum sebagaimana sabda Nabi :
ل يخلون رجل بإمر أة فإن ثا لث هما الشيطا ن
Artinya: Tidak boleh berduan seorang laki-laki dengan seorang
wanita sesungguhnya yang ketiga adalah setan.
Hadist di atas bukan berarti melarang duduk dan berbincang-bincang
antara peminang dan terpinang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat
adanya mahram yang menyertainya atau minimal di bawah pengawasan
keluarga dan kerabat.27
F. Kreteria Memilih Pasangan Dalam Islam
Dalam Memilih seseorang untuk dijadikan pendamping sesuai kriteria
memang tidak mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam
memilih siapa yang pantas untuk mendampingi sepanjang hidup, agar tidak
adanya kata menyesal setelah terjadinya pernikahan. Agama Islam sangat
menginginkan akan keabadian pernikahan dengan berpegang teguh dengan
pilihan yang baik dan asas yang kuat sehingga mampu menghasilkan
kejernihan, ketentraman, kebahagian dan ketenangan. Semua itu dapat diraih
dengan adanya agama dan akhlak. Agama dapat semakin menguat seiring
dengan bertambahnya umur, sedangkan akhlak akan semakin lurus seiring
dengan berjalannya waktu dan pengalaman hidup. Adapun tujuan lainnya
yang sering mempengaruhi manusia seperti harta, kecantikan, dan jabatan,
27
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak, Penerjemah: Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2011), cet ke-2,
h.1016.
28
semuanya itu bersifat temporal. Hal itu tidak dapat menciptakan keabadian
dalam hubungan.28
Dalam sebuah hadist di jelaskan:
الل عليو و سلم قل : ت نكح المرأة يرة رضي الل عنو عن النبي صل عن أبي ىري ين، تربت يداك.ها ل ، ولحسبها، ولجما ا له لما لأربع: ، ولدينها، فاظفر بذات الد
Artinya: Dari Abu Hurairah dari nabi, beliau berkata, Wanita itu
dinikahi karena empat hal, yaitu hartanya, keturunannya, kecantikannya
dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, kamu akan bahagia.29
Seseorang (laki-laki) yang ingin menikah dianjurkan mencari jodohnya
yang sekufu, sederajat, setingkat dan sepaham, karena jodoh merupakan salah
satu yang menentukan terciptanya keharmonisan rumah tangga dan
komunikasi antara keluarga dari pihak suami dan pihak istri supaya tidak
adanya pembatasan maupun jurang pemisah antara kedua belah. Dari hal
tersebutlah sebaiknya dilakukan oleh seseorang yang pengen mencari jodoh,
karena dari hal yang demikian itu bisa membentuk kekuatan batin dari yang
akan menikah.30
Adapun perempuan yang sholehah akan mendapatkan laki-laki yang
shaleh juga dan yang berakhlak mulia, hingga mempergaulinya dengan cara
yang baik pula nantinya, dan nanti apabila bercerai, maka hal itu akan ia
lakukan dengan cara yang baik pula. Imam Ghazali berkata: “Berhati-hati
28
Muhammad Shofwan Nidhomi, “ Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di Madura”
(Jakarta: Skripsi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 25.
29 24 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, penerjemah Zaid
Muhammad,Ibnu Ali dan Muhammad Khuzainal Arif, h. 478.
30 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Jakarta:
Darussalam,2004) cet ke-1, h. 148.
29
terhadap hak-hak wanita sebagai isteri adalah penting. Karena, mereka (kaum
wanita) merupakan makhluk yang lemah. Adapun jika wanita muslimah
memilih calon suami zhalim, fasiq atau peminum minuman keras, maka
berarti agamanya menjadi ternoda serta akan menjadi penyebab kemurkaan
Allah Azza Wa Jalla, karena ia telah memutuskan tali tali silaturrahim dan
salah pilih31
G. Pembatalan Peminangan
Membatalkan sebuah pinangan (khitbah) tidak menimbulkan hukum
dan pengaruh apapun selagi belum terjadinya sebuah akad, adapun mahar
yang sudah dibelikan oleh laki-laki (yang mengkhitbah) , boleh ia minta lagi
baik masih utuh, rusak, berkurang kulitasnya. Ketika barang itu rusak atau
berkurang kualitasnya maka dikembalikan dengan seharga barang tersebut.32
Adapun pembatalan peminangan ini menjadi hak masing-masing pihak yang
telah mengikat janji, dalam islam tidak ada hukuman yang mengkhususkan
yang melanggar janji yang terlah terjalin.33
Masalah pemutusan peminangan
telah di atur didalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 12 ayat (4) pasal 13
yakni:34
Pasal 12 ayat 4 Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya
pernyataan tentang adanya pernyataan putusnya hubungan pinangan atau
secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan
yang dipinang.
Pasal 13 Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak
bebas memutuskan hubungan peminangan.
31
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Alih bahasa M. Abdul Ghoffar E.M,
(Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2007), cet ke-24, h. 398.
32 Wahbah al- Zuhaili, Al- fiqh Al- Islami Wa Adilatuh: Pernikahan, Talak,Khulu‟meng
Iila‟ Istri, Li‟an, Zihar Masa Iddah, Jil.9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, (Jakarta:
Gema Insani,2011), h.36.
33 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 292.
34 Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB III P.12-P.13
30
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata
cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
Dalam pelaksanaan diberbagai daerah memiliki tata cara sendiri, ada
yang mewajibkan uang hantaran, memberi perabotan rumah tangga dan lain-
lain, adapun itu hukumnya bisa dikata hibah atau hadiah.
Adapun pandangan ulama perihal pembatalan peminangan ialah
Menurut madzab Syafii, terkait barang-barang hadiahnya harus dikembalikan
jika masih utuh, apabila sudah rusak harus diganti sesuai dengan harganya.
Sedang menurut mazhab Maliki, jika yang membatalkan dari pihak pria,
maka tidak berhak lagi atas barang-barang yang dihadiahkan. Tetapi jika
pihak perempuan yang membatalkan, maka pihak laki-laki berhak meminta
kembali semua barang yang sudah dihadiahkan baik masih utuh atau sudah
rusak, jika sudah rusak, maka harus diganti terkecuali ada perjanjian
sebelumnya, atau berdasarkan pada urf berlaku.35
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pembatalan peminangan terkait
barang-barang hadiah dari pihak laki-laki berhak baginya meminta kembali
baik secara utuh dan tidak berubah, apabila hadiah tersebut sudah rusak maka
tidak boleh meminta kembali pemberian yang telah diberikan maupun
meminta ganti maka itu tidak boleh36
Walaupun islam memeperbolehkan melakukan pembatalan
peminangan, akan tetapi Apabila ingin melakukan pembatalan peminangan
haruslah dengan alasan yang rasional dan jelas, agar tidak terlalu melukai
perasan salah satu pihak diantara yang sedang dalam perjajian (khitbah), dan
juga tidak boleh melakukan tanpa alasan yang jelas karena itu bisa
35
Fajri Ilhami, “ Tradisi Sasuduik dalam Peminangan diNagari Larau lima Puluh Kota
Sumatera Barat” (Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018),
h.23,td.
36 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.293.
31
mengecewakan salah satu pihak, hal ini pun tidak dibenarkan didalam
syara‟.37
H. Hikmah Peminangan
Sebagaimana sebuah tuntutan, peminangan memiliki banyak hikmah
dan keutamaan. Peminangan bukan sekedar peristiwa sosial, juga bukan
semata-mata peristiwa ritual. Ia memiliki sejumlah ke utamaan yang
membuat pernikahan yang akan dilakukan menjadi lebih berkah. Diantaranya
hikmah yang terkandung didalam peminangan atau khitbah adalah:
Khitbah sebagaimana pendahuluan dari sebuah pernikahan yang mana
sebuah cara untuk masing-masing pihak saling mengenal satu sama lain.
Karena khitbah tersebut merupakan jalan untuk mempelajari akhlak, tabiat
dan kecenderungan masing-masing dari keduanya, akan tetapi hal itu hanya
dilakukan sebatas yang di perbolehkan secara syariat. Jika telah ditemukan
rasa kecocokan dan keselarasan maka sudah mungkin untuk dilangsungkan
sebuah pernikahan yang merupakan ikatan abadi dalam kehidupan.38
Dengan adanya kebiasaan meminang, seseorang bisa mengetahui
bagaimana karakter, perilaku dan akhlak dari calon pinangannya, sehingga
keduanya dapat meletakkan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta,
puas, bahagia dan ketenangan. Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak
mendatanngkan akibat kecuali keburukan bagi kedua belah pihak atau salah
satu pihak. Inilah di antara hikmah adanya khitbah dalam Islam untuk
mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.39
Peminangan ini pun bisa bersifat postif terhadap seseorang yang mau
menikah, postif untuk mereka lebih menjaga diri dari perbutan maksiat atau
37
Subki Djunaedi, Pedoman Mencari dan Memilih Jodoh, (Bandung: CV. Sinar baru,
1992), h.118.
38 Wahbah al- Zuhaili, Al- fiqh Al- Islami Wa Adilatuh: Pernikahan, Talak,Khulu‟meng
Iila‟ Istri, Li‟an, Zihar Masa Iddah, Jil.9, Penerjemah, Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, (Jakarta:
Gema Insani,2011), h.21
39 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawaas, Fiqh Munakahat
Khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2009), h.10
32
zina. Dikarenakan Mereka tengah mulai menapaki perjalanan menuju
kehidupan rumah tangga, oleh karena itu mencoba senantiasa menjaga diri
agar terjauhkan dari hal-hal yang merusakkan kebahagiaan pernikahan
nantinya. Kedua belah pihak dari yang meminang maupun yang dipinang
harus berusaha menjaga kepercayaan pihak lainnya. Allah telah
memerintahkan agar lelaki beriman bisa menjaga kesucian dirinya, dan telah
di jelaskan juga dalam Al Quran surat An Nur ayat 30:
ن الل خبير قل للمؤ منين يغضوا من أبصا ر ىم ويحفظوا ف ر و جهم ذلك أزكي لهم ا
(بما يصن عون )
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat.40
Maka peminangan pun dapat menumbuhkan ketentraman jiwa, apabila
telah ada jawaban penerimaan, maka akan menimbulkan perasaan kepastian
kepada kedua belah pihak, terutama pihak perempuan akan lebih merasa
tenang maupun tentram karena telah terkirim calon pasangan hidup yang
telah sesuai dengan harapannya, adapun kekhawatiran bahwa dirinya tidak
mendapatkan jodoh terjawab sudah. Sedangkan bagi laki-laki yang
meminang, ia merasa tentram karena perempuan ideal yang diinginkan telah
bersdia menerima pinangannya.41
I. Urf Dalam Islam
40
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah 6, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990) h.45
41 Sayyid Sabiq, Fikih Sunah 6, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990) h.45
33
pengertian „urf dari segi bahasa berasal dari kata „arafa ya‟rifu عرف–
sering juga disebut dengan alma‟ruf yang berarti suatu yang dikenal يعرف
atau berarti yang baik. Jadi „urf secara bahasa adalah sesuatu yang dipandang
baik dan diterima oleh akal sehat.42
Sedangkan secara istilah ialah sesuatau yang telah sering dikenal oleh
manusia dan telah menjadi tradisi, baik berupa ucapan atau pun perbuatan.
Dan ada juga mendefinisikan bahwa „urf ialah sesuatu yang dikenal khalyak
orang ramai dimana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun
perbuatan.43
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah „urf ialah sesuatu yang
telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan yang dilakukan
dikalangan mereka baik berupa perbuata atau pantangan-pantangan dan juga
biasa disebut dengat adat. Namun dalam pemhaman biasa diartikan bahwa
pengertian „urf lebih umum disbanding dengan pengertian adat karena adat
ddilain sisi telah dikenal oleh masyarakat, dan juga telah biasa dikerjakan
dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga
ada sangsi-sangsi terhadap orang yang melanggarnya.44
Adat „urf yang dimaksud sebagi sumbr hukum islam bukan hanya adat
orang arab, melainkan semua adat yang berlaku disuatu tempat dan
masyarakat tertentu, dalam arti adat yang terjadi disuatu tempat bisa
dijadikam sebagi sumber hukum, dan produk huku yang berlaku dan bersifat
lokalitas, tanpa mengingat pada tempat yang lain.45
„Urf dibagi menjadi dua macam:
a. „Urf shahih ialah sesuatu yang saling dikenal oleh mausia, dan
tidak bertentangan dengan dalil syara‟, tidak menghalalkan sesuatu
yang diharamkan, dan tidak pula membatalkan sesuatau yang
42
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Cet I, (Jakarta: Amzah. 2005), h.333.
43 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum islam, (Jakarta: Rajawali, 1993), h.134.
44 Mu‟min Umar dkk, Ushul Fiqh I, (Jakarta, Depag RI, 1986), h. 150
45 Nourouzzaman Siddiqi, Fiqih Indonesia, ( Yogyakarta: Putaka Pelajar,1997), h 122
34
wajib46
Urf yang sahih wajib dipelihara dalam dalam pembentukan
hukum dalam peradilan. Seorang mujtahid haruslah memperhatikan
tradisi dalam membuat hukum. Karena sesungguhnya sesuatu yang
telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka
jalani maka itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan
sesuai pula dengan kemaslahatan mereka yang ada.47
b. ‟Urf yang fasid: kebiasaan di masyarakat yang bertentangan dengan
syariat Islam yang menimbulkan mufsadat (kerusakan)bagi
umat.48
Urf fasid atau biasa disebut kebiasaan yang rusak, maka ia
tidak wajib diperhatikan, karena sudah jelas kebiasaan ini
bertentangan dengan dalil syar‟i, atau membatalkan hukum
syar‟i.49
Dalam qaidah fiqhiyyah dikatakan, sebagai berikut :
محكمة العادة
Artinya : adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai
hukum.
مكنةزمنة والأ حكام بتغير الأ تغير الأ
Artinya: Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan
zaman dan tempat.50
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu urf baru dapat dijadikan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟ apabila memenuhi
syarat-syarat yaitu:51
46
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Semarang:Toha Putra Group,1994), h.123.
47 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Semarang:Toha Putra Group,1994), h.123.
48 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al Fiqh, Cet. Ke 16, Penerjemah, Saefullah Ma‟shum
Dkk, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2012)., h.418.
49 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Semarang:Toha Putra Group,1994), h.125.
50 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 2008), h.223
35
1. Urf itu berlaku secara umum (baik yang bersifat khusus dan umum
maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan). Artinya, urf berlaku dalam
mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2. Urf itu telah memasyarakat ketika persoalah yang akan dijadikan
sandaran hukum lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan
hukumnya.
3. Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak
telah menetukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan.
4. Urf itu tidak bertentangan dengan nash, maka menyebabkan hukum yang
dikandung nash itu tidak bisa diterapkan.
Urf bukanlah dalil syar‟i yang berdiri sendiri. Dalam kajian ushul fiqih
dikenal istilah maslahat. Maslahat adalah cara mengambil manfaat dan
menolak kemudharataan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara‟ dan
Urf merupakan salah satu istibath hukum, urf bisa menjadi dalil apabila tidak
ada dalil ditemukan dalam nash. maka dapat disimpulkan bahwa urf atau
(kebudayaan) yang diperbolehkan dalam agama Islam adalah „urf yang sahih
(benar).52
51
Muhammad Shofwan Nidhomi, “ Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di Madura”
(Jakarta: Skripsi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 39,td.
52 Muhammad Shofwan Nidhomi, “ Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di Madura”
(Jakarta: Skripsi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 39
36
37
BAB III
INTERAKSI ISLAM DAN TRADISI MELAYU JAMBI
A. Perkembangan Adat Jambi
Perkembangan dan perjalanan adat Jambi ada pasang surut dan pasang
naiknya sesuai dengan perjalanan sejarah kerajaan Melayu Jambi. Yang
dimaksud dengan pasang surut dan pasang naik adalah perubahan dari
peradaban yang dialami mulai dari pra sejarah sampai pada saat ini sudah
beberapa kali mengalami perubahan antara lain sebagai berikut.1
1. Zaman Hindu Budha
Adat jambi pada zaman Hindu-Budha atau sebelum agama Islam
masuk ke Jambi, kita mempergunakan dan memakai kebudayaan Hindu-
Budha. Pemerintahan waktu itu mengatur kebudayaan rakyat dan
masyarakatnya dari berbagai aspek dasar yang menjadi pegang pakainya
oleh pemerintahan bernama Jamhue. 2
Jamhur adalah undang-undang hukum adat yang dipakai dalam
mengatur pemerintahan dimana kebiasaan dan adat yang masih dapat kita
lihat sekarang ini. Sebagai suatu contoh adat menggarap sawah dengan
ternak kerbau, membajak dengan sapi dan lain-lain, dan kalau mau
mengadakan kenduri harus pakai membakar kemenyan dan lain-lain. Itu
semua merupakan peninggalan yang masih dapat kita saksikan sekarang
dengan dan cara beribadah masih kita temui adanya candi serta peralatan
makan minum seperti cangkir dan senjata dari bambo, menangkap ikan
dengan pancing, dengan tiruk dari guyung enau atau aren dan lain-lain
semacamnya. Itulah adat yang dipakai pada masa itu yang kita tidak
dapat menguranginya secara panjang lebar dan pengajaran Hindu-Budha
1 https://infojambi.com/islam-dan-perdaban-melayu-jambi Tulisan M. Iqbal Shiddiki.
Diakses pada 5 Desember 2018 Pukul 22:00 WIB.
2 Pemerintah Kota Jambi dan Lembaga Adat Tanah PIlih Pesako Betuah Kota jambi,
Ikhitisar Adat Melayu Kota Jambi, Cet.II, Jambi; 2004, h. 8-9
38
tersebut masih kita jumpai dengan sejarah Jambi dibawah kepemimpinan
Tuntalanai dan Putri Selaro Pinang Masak.3
2. Islamisasi Melayu Jambi
Pada saat kerajaan melayu Jambi dipimpin oleh Putri Selaro Pinang
Masak, situasi adat istiadat masih menurut adat lamo Pusako Usang yaitu
adat yang sesuai dengan agama Hindu dan Budha.4 Namun tidak diduga
bahwa sejarah adat istiadat tersebut secara perlahan berubah dengan
masuknya agama islam ke Jambi yang dibawah pedagang Turki bernama
A. Salim. Dimana A. Salim tersebut misinya sambil menyelam minum
air artinya ialah melaksanakan perdagangan dan menyebarkan agama
Islam ke seantero negeri melayu Jambi. Karena A. Salim tersebut sangat
alim, gagah dan pintar serta sangat simpatik orangnya konon menurut
sejarah beliaulah yang menumbangkan berhalo-halo tempat
penyembahan agama Hindu Budha di pulau kecil yang ditemuinya yang
sekarang terkenal dengan Pulau Berhalo di Laut Cina Selatan yaitu
bagian dari wilayah kekuasaan Putri Selaro Pinang Masak Rajo Melayu
Tanah Jambi. Karena Putri Selaro Pinang Masak yang beristana di Ujung
Jabung atau Kabupaten Tanjung Jabung Timur sekarang mendapat
laporan bahwa armada laut yang datang dan berhenti serta berlabuh di
pulau pemujaan atau pulau berhalo sekarang, dengan berita tersebut Putri
Selaro Pinang Masak memerintahkan angkatan laut anak buahnya untuk
mengadakan pemeriksaan dan ternyata benar ditemui armada pedagang
Turki yang dipimpin oleh A. Salim dan kawan-kawan.
Serta merta diminta untuk menghadap Putri Salero Pinang Masak.
Sesampainya di Istana Rajo Jambi tersebut A. Salim diinterogasi,
ditanyai darimana datangnya dan hendak kemana serta apa keperluan
3 Pemerintah Kota Jambi dan Lembaga Adat Tanah PIlih Pesako Betuah Kota jambi,
Ikhitisar Adat Melayu Kota Jambi, Cet.II, Jambi; 2004, hlm.8-9
4 https://infojambi.com/islam-dan-perdaban-melayu-jambi Tulisan M. Iqbal Shiddiki.
Diakses pada 5 Desember 2018 Pukul 22:00 WIB.
39
datang ke tanah Jambi ini. Dari hasil pemeriksaan dan pembicaraan
tersebut dapatlah kesimpulan bahwa A. Salim dan kawan-kawan adalah
pedagang Turki yang sekali merengkuh dayung duo tigo pulau
terlampaui sekali membuka puro duo tigo hutang terbayar artinya
kedatangan mereka adalah untuk berdagang dan sekaligus
mengembangkan agama Islam. Pada akhirnya karena A. Salim orangnya
sangat alim, gagah dan pintar serta sangat simpatik dan dianggap orang
yang tidak membahayakan kerajaan, maka diizinkan untuk tinggal
menetap di Pulau Berhalo tersebut.5 Kemudian tidak berapa lama
berselang Putri Selaro Pinang Masak beserta pengawal-pengawal
kerajaan masuk Agama Islam. Selanjutnya A. Salim kawin dengan Putri
Salero Pinang Masak, oleh orang Jambi pada masa itu A. Salim di
anugerahi satu gelar yaitu Datuk Paduko Berhalo, karena beliaulah yang
pertama kali melarang orang untuk menyembah berhalo dan pertama kali
pula mengislamkan Putri Selaro Pinang Masak, dan mulai saat itu
diajarkan mana yang dilarang dan mana yang disuruh oleh agama Islam
diikuti oleh masyarakat, dan dari perkawinan beliau ini mendapat anak
sebanyak empat orang yang bernama:6
1. Rang Kayo Pingai
2. Rang Kayo Gemuk
3. Rang Kayo Pedataran
4. Rang Kayo Hitam
Dengan demikian perjalanan adat istiadat sudah mulai bergeser dari
Adat Agama Hindu Budha kepada adat yang didasarkan Islam dalam
seloko mengatakan Buruk Li Beganti Li Lapuk Puar Jelepung Tumbuh
Bak Napuh di Ujung tanjung Ilang Sikuk Beganti Sikuk Patah Tumbuh
Silih Beganti maka pergantian pimpinan pun terjadi antara Putri Salero
5 Hasan Basri Agus, Perjuangan Ulama dan Ulama Pejuang Negri Melayu (Pusat Kajian
Pengebangan Sejarah dan Budaya Jambi, Jambi 2012 ) h.13
6 https://www.merdeka.com/pendidikan/kerajaan-jambi-kerajaan-islam-yang-dikhianati-
voc.html Ditulis oleh Dewi Ratna Diakses pada 6 Desember 2018 Pukul 22:00 WIB.
40
Pinang Masak dengan anak beliau yang bernama Rang Kayo Pingai
kemudian diganti oleh Rang Kayo Pedataran dan terakhir diganti oleh
Rang Kayo Hitam namun adat istiadat belum secara keseluruhan sudah
menjalankan sesuai dengan agama Islam tetapi masih banyak juga yang
menganut agama Hindu Budha oleh karena Rajo Rang Kayo Hitam
menetapkan adat Jambi itu bernama Teliti, fungsinya adalah untuk
meneliti adat istiadat Hindu Budha mana yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam maka adat kebudayaan Hindu Budha tersebut tetap dipakai
oleh adat yang berdasarkan Islam (syariah) pada masa kebudayaan
melayu yang bernama teliti pada waktu yang bersamaan pula di Minang
Kabau bernama Adat, sedangkan di Palembang bernama Simbur
Cahaya.7 Untuk menetapkan pelaksanaan budaya dan adat istiadat yang
berdasarkan teliti Jambi yang bertempat:
1. Tanjung Samalidu
2. Bukit Sitinjau Laut
Untuk mempermadukan antara adat dengan teliti dimana yang tidak
sesuai dibuang yang dirasa baik yang dipakai maksudnya adat yang
bertentangan dengan hukum syarak itu yang dibuang baik dipakai
semenjak dari pertemuan tersebut maka terjadi lagi pergeseran nama adat
Jambi yaitu: Dari teliti menjadi Adat Bersendi Syarak, Syarak bersendi
Kitabullah. Menurut sejarah adat yang mempermadukan adat dengan
teliti di Tanjung Samalidu dan Bukit Sitinjau lau ialah Pangeran Puspo
Yudo Dwipa dalam abad ke-14 dan 15, beliau ini hidup 200 tahun dan
beliau pulalah yang bernama Pang Lima Mandala. Undang-Undang
hukum adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah itu dengan segala
undang-undang lainnya yang dapat berjalan dengan baik dan lancar di
7 Hasan Basri Agus, Perjuangan Ulama dan Ulama Pejuang Negeri Melayu (Pusat Kajian
Pengebangan Sejarah dan Budaya Jambi, Jambi 2012 ) h.17
41
tengah-tengah kehidupan masyarakat Jambi. Sampai kepada penjajahan
Belanda:8
1. Tahun 1905 kekuasaan hukum adat diambil alih oleh Belanda sebab
Jambi sudah menjadi jajahan negeri Belanda, tetapi adatnya masih
berlaku dan dihormati
2. Tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia merdeka undang-undang
hukum adatnya masih berlaku bagaimana di zaman Belanda.
3. Tahun 1963, pengadilan rapat asli yang mempergunakan hukum adat
oleh pemerintah RI dihapuskan, di Jambi tinggal semacam saja
pengadilan yaitu pengadilan negeri namanya, pengadilan hukum adat
Jambi ini tidak begitu lama pindah ke tangan Belanda kalau
dibandingkan dengan daerah lain berdasarkan Circulaire Residen
Jambi tanggal 22 Agustus 1905 No.2334/25 dan tanggal 10 Februari
1906 No. 411/25. Sedangkkan tahun 1908 menurut keterangan yang
dapat dipercaya dari tokoh adat bahwa seluruh tokoh adat dari
seluruh Jambi dikumpulkan ke Jambi untuk mengadakan rapat besar
guna mencocokan dan menyesuaikan hukum-hukum adat itu seperti
yang sudah disusun Belanda menurut tingkat-tingkatnya agar satu
Uni-Farom seluruh Keresidenan Jambi. 9
Walaupun begitu Belanda mengerti juga bahwa Undang-Undang
adat itu selain dari yang tertulis ada yang tidak tertulis dan ada yang
tersurat ada yang tidak tersurat, selain itu ada juga yang tersirat. Segala
yang tidak tertulis dan tersirat itu inilah satu undang yang hidup
namanya, sebab tidak mempunyai batas ia hidup menurut masa seperti di
Inggris, banyak hukum yang tidak tertulis yang dipegang oleh mereka
secara turun temurun dari nenek moyang merek, dan hukum adat
Indonesia oleh Prof. Pollim Hoven diajarkan di Universitas Leden lebih-
8 https://www.merdeka.com/pendidikan/kerajaan-jambi-kerajaan-islam-yang-dikhianati-
voc.html Ditulis oleh Dewi Ratna Diakses pada 6 Desember 2018 Pukul 22:00 WIB.
9 Pemerintah Kota Jambi dan Lembaga Adat Tanah PIlih Pesako Betuah Kota jambi,
Ikhitisar Adat Melayu Kota Jambi, Cet.II, Jambi; 2004, h. 9-12
42
lebih kepada Belanda yang akan menjadi Bestuur Contriliur di Indonesia
harus tahu adat istiadat masyarakat Indonesia.10
Adat itu berubah dan tidak tetap tergantung menurut masanya atau
zamannya, seperti zaman dahulu orang jalan kaki, kemudian berjalan
kaki pakai sandal, kemudian pakai sepatu, kemudian naik sepeda mobil
dan pesawat terbang. Akan tetapi dasar perkataan tetap pada jalan atau
berjalan yang tetap dan yang tidak berubah adalah yang sebenar-benar
adalah hukum syarak.11
B. Jambi Berkerajaan Islam
Jambi menjadi kerajaan melayu Islam adalah dibawah kepemimpinan
Datuk Rang Kayo Hitam anak Datuk Paduka Berhala. Oleh karena kerajaan
melayu Jambi sudah mengikuti ajaran Islam dan penduduknya sebahagian
besar sudah masuk Islam, maka sebahagian kecil yang belum masuk Islam
oleh Datu Rang Kayu Hitam Kerajaan Melayu Jambi diumumkan atau
diproklamirkan menjadi Kerajaan Islam Jambi. Konon kabarnya
pengumuman tersebut dilaksanakan pada tanggall 1 Muharram hari Kamis
waktu Zuha, tahun 700 Masehi, pada saat itu dinyatakan Jambi Serambi Aceh
– Aceh Serambi Mekkah.12
Maka semua rakyat Jambi disuruh mengucap Dua Kalimah Syahadat,
sembahyang lima waktu sehari semalam, puasa bulan Ramadhan,
mengeluarkan zakat dan menunaikan ibadah kebaitullah kalau cukup
syaratnya dan yang disembah hanya Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT)
patung dan berhala tidak boleh disembah lagi.13
Dari Undang-Undang hukum adat yang bernama Jamhurr, maka
Undang-Undang hukum adat disebut teliti. Teliti adalah nama Undang-
Undang daerah Jambi yang mempunyai arti norma atau aturan khusus yang
10
Ridwan, Islamisasi Di Abad XIII M, Yogyakarta (skripsi S1 2016, diakses di
http://digilib.uinsuka.ac.id/ diakses pada 1 November 2018) h. 16
11 Pemerintah Kota Jambi dan Lembaga Adat Tanah PIlih Pesako Betuah Kota jambi,
Ikhitisar Adat Melayu Kota Jambi, Cet.II, Jambi; 2004, h. 9-12
12 Kasful Anwar, Kepemimpinan Pesantren: Menawarkan Model Kepemimpinan Kolektif
dan Responsif (Sultan Thaha Press IAIN Sultan Thaha Saifuddi Jambi, 2011) h.126
13 https://journal.uir.ac.id/ Ditulis oleh Fahlefi Diakses pada 10 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB. H.301
43
berasal dari kesepakatan para tokoh masyarakat yaitu para penghulu, alim
ulama, cerdik pandai, tuo tengganai.14
Teliti merupakan penjabaran dari undang-undang demi kesempurnaan
undang-undang tersebut, sebagaimana Seloko adat mengatakan “Undang-
Undang boleh dikundung mangelak, negeri berpagar dengan undang terpian
berpaga dengan baso, rumah berpaga dengan adat.15
Sedangkan teliti sesuai dengan Seloko adat mengatakan teliti nang
boleh dititi, rantau diturut dengan telit, kampong dilito dengan adat, artinya
teliti itu mempunyai fungsi sebagai alat untuk meneliti undang-undang yang
ada, apakah sesuai dengan adat bersendikan syarak-syarak bersendikan
Kitabullah.16
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa undang-undang adalah
mengatur hal-hal pokok dalam kehidupan dan mempunyai kekuatan yang
tetap dan bersifat umum. Sedangkan teliti adalah penjabaran dari aturan-
aturan yang berasal dari undang-undang yang berupa kesepakatan seluruh ahli
adat terhadap tambahan dan perubahan, serta penjabaran dari undang-undang
tersebut, sehingga adat di sepucuk Jambi Sembilan Lurah betul-betul adat
bersendikan Syarak, Syarak bersendikan Kitabullah, Syarak mengato Adat
memakai.
Maka sejak itu hukum-hukum dan peradaban yang dipakai ialah
menurut undang-undang yang bernama Adat Bersendi Syarak, Syarak
Bersendi Kitabullah.17
C. Profil Kabupaten Merangin
Kabupaten Merangin merupakan salah satu Kabupaten tertua di
Provinsi Jambi bahkan lebih tua dari Provinsi Jambi sendiri. Kabupaten
14
https://journal.uir.ac.id/ Ditulis oleh Fahlefi Diakses pada 10 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB. H.301
15 https://journal.uir.ac.id/ Ditulis oleh Fahlefi Diakses pada 10 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB. H.302
16 https://journal.uir.ac.id/ Ditulis oleh Fahlefi Diakses pada 10 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB. H.302
17Pemerintah Kota Jambi dan Lembaga Adat Tanah PIlih Pesako Betuah Kota jambi,
Ikhitisar Adat Melayu Kota Jambi, Cet.II, Jambi; 2004, hlm.13-14
44
Merangin ini memiliki luas wilayah 7679 km2.
Kabupaten Merangin yang
berseleko adat “Bumi Tali Undang Tambang Teliti”, merupakan salah satu
Kabupaten Strategis yang berada ditengah-tengah Provinsi Jambi.18
Ditinjau dari sejarah, Kabupaten Merangin sebelum penjajahan Belanda
merupakan suatu wilayah yang subur yang berada didataran tinggi Jambi dan
sebagian berada didataran rendah dialiri oleh beberapa Sungai yaitu Sungai
(Batang) Tembesi, Sungai (Batang) Merangin dan Sungai (Batang) Tabir dan
banyak lagi sungai-sungai kecil. Daerah ini sebelum penjajahan Kolonial
Hindia Belanda merupakan pendukung kerajaan Melayu Jambi namun
mempunyai Pemerintahan sendiri dibawah tiga Depati, yaitu Depati Setiyo
Nyato berkedudukan di Tanah Renah Sungai Manau, Depati Setiyo Rajo
berada di Tanah Lubuh Gaung dan Depati Setiyo Beti berada di Nalo Tantan,
ditambah dengan Pemuncak Pulau Rengas dan Pembarab Pamenang serta
Serampas Sungai Terang.
Kekuasaan tiga Depati ini lebih dikenal dengan Depati Tigo dibaruh
yang merupakan satu kesatuan dari kekuasaan (kerajaan) Pucuk Jambi yang
dikenal dengan Depati Tujuh Helai kain yaitu empat diatas di Kerinci yaitu
Depati Muara Langkap, Depati Hatur Bumi, depati Biangsari dan Depati
Rancong Talang dan wilayah Pucuk Jambi ini mendapat pengaruh
Pagaruyung (Minangkabau) yang dapat dibuktikan bahwa Adat Istiadat dan
hukum adatnya ada kesamaan yang mendasar dari Hukum Adat Pagaruyung
(Minang Kabau).19
Pada zaman Penjajahan Belanda yang dimulai pada saat Sultan Thaha
gugur Tahun 1906, semenjak itu Pemerintahan Kolonial Belanda
menggunakan Pemerintahan Lokal untuk menjalankan kekuasaannya,
Pemerintahan Hindia Belanda membentuk dan membagi Wilayah
Kewedanaan Bangko dalam beberapa Marga, Penetapan Marga-marga
18
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id Penulis Anstasia Wiwik Swastiwi di akses pada
tanggal 30 April 2019 Pukul 01:00 WIB
19 www.meranginkab.go.id, Website di akses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB.
45
tersebut dimulai pada tahun 1916 dengan membagi wilayah kewedanaan
Bangko dalam 14 (empat belas) Marga, dan setiap Marga diperintah oleh
Pasirah selaku Kepala Marga, secara Administratif Pemerintah Hindia
Belanda menetapkan wilayah Merangin merupakan Pemerintahan Lokal
untuk menjalankan kekuasaannya, Pemerintah Hindia Belanda membentuk
dan membagi Wilayah Kewedanaan Bangko dalam beberapa Marga,,
Penetapan Marga-marga tersebut dimulai pada tahun 1916 dengan membagi
wilayah kewedanaan Bangko dalam 14 (empat belas) Marga, dan setiap
Marga diperintah oleh Pasirah selaku Kepala Marga,s ecara Administratif
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Wilayah Merangin merupakan
Subdivisi Bangko dibawah devisi Jambi yang masuk kedalam Keresidenan
Jambi, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan wilayah Kewedanaan Bangko
menjadi Bagian dari Keresidenan Jambi.
Pada awal kemerdekaan Jambi masih terdiri dari beberapa Kewedanaan
yaitu Kewedanaan Jambi, Kewedanaan Muara Tambesi, Kewedanaan Muara
Bungo dan Kewedanaan Muara Tebo. Selanjutnya dengan dibentuknya
beberapa daerah Otonom di Provinsi Sumatera Tengah, maka Keresidenan
Jambi di bagi atas dua Kabupaten yaitu Kabupaten Merangin dan Kabupaten
Batanghari.20
Pada saat terjadinya Agresi Belanda I dan Agresi Belanda II,
Pemerintahan Kewedanaan Jambi berada dalam Wilayah Gubernar Militer
Sumatera Selatan Nomor 252/1949 tanggal 22 Desember 1949 ditetapkanlah
M.Kamil sebagai Bupati Kepala Pemerintahan Bangko di Bangko.21
Namun oleh karena Kewedanaan Bangko merupakan bagian dari
Pemerintah Sumatera Tengah, dan ketika Belanda melakukan Penyerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia maka Menteri Dalam negeri
20
https://online-journal.unja.ac.id Sejarah Kota Modern Masakolonial Belanda Studi Kasus
Kota Tua Muaro Tembesi Batanghari, Penulis Siti Syuhada, Supiandan Reka Suprina
diaksestanggal 5 Mei 2019 pukul 01:50 WIB
21 https://online-journal.unja.ac.id Sejarah Kota Modern Masakolonial Belanda Studi Kasus
Kota Tua Muaro Tembesi Batanghari, Penulis Siti Syuhada, Supiandan Reka Suprina
diaksestanggal 5 Mei 2019 pukul 01:50 WIB
46
menetapkan Muahammad Kamil sebagai Bupati Merangin terhitung Sejak
tanggal 1 Januari 1950 dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
32/30/1952.22
Kemudian berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 tentang
pembentukan daerah otonom kabupaten dalam lingkungan daerah Provinsi
Sumatera Tengah, maka dibentuklah beberapa kabupaten di Provinsi
Sumatera Tengah, dan salah satunya adalah Kabupaten Merangin yang
berkedudukan d Muara Bungo. Namun dikarenakan sarana dan prasarana
pemerintahan diMuara Bungo belum lengkap, maka kegiatan pemerintahan
(Kantor Bupati) Kabupaten Merangin tetap dilaksanakan di Bangko, dan pada
tahun 1958 sewaktu terjadi pemberontakan PRRI Kantor Bupati Merangin di
Bangko dibakar, maka pemerintahan Kabupaten Merangin dipindahkan ke
Muara Bungo.23
Dibakarnya kantor Bupati waktu itu, selanjutnya dibangun kembali
pada tahun 1965. Seiring dengan kejadian Pemberontakan tersebut, dilakukan
pemekaran Kabupaten Merangin menjadi dua, yaitu Kabupaten Sarolangun
Bangko dan Kabupaten Bungo Tebo. Setelah berdirinya Kabupaten
Sarolangun Bangko melalui UU No.7 Tahun 1965, maka pusat pemerintahan
Kabupaten Sarolangun Bangko ditempatkan di Kota Bangko, tepatnya di
pasar Bawah kawasan Ujung Tanjung. Sebagai akibat dirasakan kurang
memenuhi persyarakat untuk pemberian pelayanan sekaligus pengembangan
pemerintahan, kemudian dari kantor tersebut dipindahkan ke kantor yang
baru di jalan Jenderal Sudirman Km 2 Bangko, sedangkan kantor lama saat
ini menjadi anjungan Biduk Amo dan Museum Geopark.24
22
www.meranginkab.go.id, Website diakses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB.
23 https://daerah.sindonews.com/ , Penulis Nanang Shobirin diakses pada tanggal 29 April
2019 Pukul 22:00 WIB.
24 Lindayati dkk, Jambi dalam Sejarah 1500-1942 (Jambi: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi, 2013).
47
Dengan adanya pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 54 tahun
1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten tebo,
Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Sarolangun Bangko dimekarkan
mejadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.
Kabupaten Sarolangun beribukota di Sarolangun dan Kabupaten Sarolangun
bangko dirubah namanya kembali ke nama asal yakni Kabupaten Merangin
beribukota di Bangko. Sebagai dasar pembentukan wilayah Kabupaten
Merangin Undang-Undang Nomor 7 tahun 1965 tentang Pembentukan
Daerah Tingkat II Sarolangun-bangko dan Daerah Tingkat II tanjung Jabung
TLN tahu 1965 Nomor 50, TN Nomor 2755 sebagai landasan yuridis
pembentukan Kabupaten Sarolangun Daerah tingkat II Sarolangun. Namun
demikian, dalam rangka mengenang tonggak sejarah Pemerintahan
Kabupaten Merangin melakukan penelitian atas serangkaian fakta-fakta
sejarah. Dari hasil penelusuran tersebut, pada tahun 2016 Pemerintahan
Kabupaten Merangin dan DPRD Kabupaten Merangin yang semula jatuh
pada tanggal 5 Agustus 1965 dirubah menjadi 22 Desember 1949 yang telah
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2016 tentang Penetapan
hari Lahir Kabupaten Merangin. Dengan demikian, Hari Ulang Tahun (HUT)
Kabupaten Merangin pada tahun 2017 merupakan hari jadi yang ke-68.25
Dalam sejarah pemerintahan, sampai saat ini Kabupaten Merangin telah
dipimpin beberapa Kepala Daerah (Bupati) dan Wakil kepala Daerah (Wakil
Bupati) yaitu:
Kabupaten Merangin Periode 1949-1965, H. Muhammad Kamil, Masa
Jabatan Tahun 1950-1952 (1 Januari 1950-1 November 1952), Khusus
Periode1952-1959 Terdapat 3 (tiga) orang pejabat Bupati yang dimulai dari
Jarjis, kemudian A.Manaf, dan dilanjutkan A.Laman, H. Alisyudin, Masa
Jabatan 1959-1965. KDH DATI II Sarolangun Bangko (SARKO) Periode
25
www.meranginkab.go.id Website diakses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB.
48
1965-1999, Alamsyah Braksan, Masa jabatan Tahun 1965-1968, H.
Syamsudin Uban, Masa Jabatan Tahun 1968-1971.26
1. Geografis
Kabupaten Merangin merupakan salah satu Kabupaten dari 11
(sebelas) Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Jambi. Wilayah
Kabupaten Merangin berada di bagian barat Provinsi jambi dan secara
geografis terletak antara 101,32,11-1,52,00 bujur selatan. Kabupaten
Merangin memiliki luas wilayah 7.679 km2
atau 745,130 Ha yang terdiri
dari 4.607 km2 berupa dataran rendah dam 3.027 km
2 berupa dataran
tinggi, dengan ketinggian berkisar 46-1.206 m dari permukaan air laut
dengan batas wilayah meliputi:
a. Sebalah Timur : kabupaten Sarolangun.
b. Sebelah Barat : Kabupaten Kerinci.
c. Sebelah Utara : Kabupaten Bungo dan Kabupaten tebo.
d. Sebelah Selatan : Kabupaten Rejang Lebong (Provinsi Bengkulu.27
2. Topografis
Kondisi topografis wilayah Kabupaten Merangin secara umum
dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu dataran rendah, dataran sedang, dan
dataran tinggi. Ketinggian berkisar antara 10-1.206 mdpl dengan bentang
alam rata-rata bergelombang. Pada dataran rendah terletak pada
ketinggian 0-100 mdpl dengan luasan 42.77 persen luas kabupaten,
sedangkan dataran tinggi yang terletak lebih dari 500 mdpl seluas 14.5
persen dari luas Kabupaten Merangin meliputi Kecamatan jangkat,
Muara Siau, Lembah Masurai, Sungai Manau dan sebagian Tabir Ulu.
26
www.meranginkab.go.id Website diakses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB.
27 www.meranginkab.go.id Website diakses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB.
49
Dataran rendah meliputi Kecamatan Bangko, Pamenang, Tabir, Tabir
Selatan dan sebagian Tabir Ulu.28
Wilayah Kabupaten Merangin pada saat ini terdiri atas 24
Kecamatan, 203 Desa dan 10 Kelurahan dengan rincian:Kecamatan
Jangkat terdiri dari 12 Desa, Kecamatan Sungai tenang terdiri dari 12
Desa, Kecamatan Muara Siau terdiri dari 17 Desa, Kecamatan lembah
Masurai terdiri dari 15 Desa, Kecamatan Tiang Pungpung terdiri dari 6
Desa, Kecamatan Pamenang terdiri dari 13 Desa dan 1 Kelurahan,
Kecamatan Pamenang Barat terdiri dari 8 Desa, Kecamatan Renah
Pamenang terdiri dari 4 Desa, Kecamatan Pamenang Selatan terdiri dari 4
Desa. Kecamatan Bangko terdiri dari 4 Desa dan 4 Kelurahan.
Kecamatan Bangko Barat terdiri dari 6 Desa. Kecamatan Nalo Tantan
terdiri 7 Desa. Kecamatan Batang Mesumai terdiri dari 10 Desa.
Kecamatan Sungai Manau terdiri dari 10 Desa. Kecamatan Renah
Pembarap terdiri dari 12 Desa, Kecamatan Pangkalan Jambu terdiri dari 8
Desa, Kecamatan Tabir terdiri dari 6 Desa dan 5 Kelurahan Kecamatan
Tabir Ulu terdiri dari 6 Desa. Kecamatan Tabir Ilir Selatan terdiri dari 7
Desa, Kecamatan Tabir Ilir terdiri dari 7 Desa, Kecamatan Tabir Timur
terdiri dari 4 Desa, Kecamatan Tabir Lintas terdiri dari 5 Desa,
Kecamatan Margo Tabir terdiri dari 6 Desa, Kecamatan Tabir Barat
terdiri dari 14 Desa.29
D. Sejarah Desa Seling
Desa Seling berdiri pada tahun 1912 yang dipimpin oleh seorang rio
bernama Rio H. Saman (Ntah Rioh). Desa Seling merupakan desa non-
transmigrasi masyarakat, masyarakat yang mendiaminya adalah penduduk
pribumi yang berada di wilayah Kecamatan Tabir. Pada awal berdirinya Desa
28
www.meranginkab.go.id Website diakses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB.
29 www.meranginkab.go.id, Website diakses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul 22:00
WIB.
50
Seling hanya terdiri dari 1 dusun, dan saat ini sudah dimekarkan menajdi 3
dusun dan rukun tetangga (Rt) yaitu 1, Dusun Bungkuh berada di Rt 3, Dusun
Tengah berada di Rt 3 dan 4,3 Dusun Genting berada di Rt 4 dan 3.30
Populasi awal terbentuknya Desa Seling lebih kurang hanya terdapat 60
KK dan saat ini telah berkembang menjadi 580 KK. Sebagian besar penduduk
Desa Seling bekerja di sektor perkebunan karet dan petani sawah irigasi
Sembilang Seling. Dari awal berdiri hingga saat ini Desa Seling sudah
berganti rio/kepala Desa sebanyak 15 kali yang 1 diantaranya adalah pejabat
sementara.
Berdasarkan data di atas, pada tahun 1912 sampai dengan awal tahun
1982 Desa Seling dipimpin oleh seorang rio sedangkan pada akhir tahun 1982
sampai dengan sekarang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Pada nomor 7
dan 10 nama Abu Hasan merupakan orang yang sama. Abu Hasan memimpin
Desa Seling pada tahun 1963 yang pada saat itu disebut rio, kemudian pada
tahun 1982 s/d 1993 Abu Hasan kembali memimpin Desa Seling yang saat itu
sudah berubah nama menjadi Kepala Desa.31
Pergantian nama rio menjadi Kepala Desa berdasarkan diberlakukannya
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa. Pada
masa itu yang menjabat sebagai pemimpin Desa Seling adalah Rio Hasan
Husin, tetapi karena masa jabatannya sedang berlangsung serta merta segera
mengganti nama rio menjadi Kepala Desa, melainkan setelah masa
jabantannya berakhir barulah nama rio dganti menjadi kepala desa yaitu pada
saat masa jabatannya Abu Hasan, bersamaan dengan itu nama pasirah
berubah menjadi camat.
E. Geografis Desa Seling
Desa Seling terletak di wilayah Kecamatan Tabirr kabupaten Merangin.
Luas wilayah Desa: 20Ha (Pada tahun 1982 pemekaran Koto Baru sampai
tahun 2012, luas desa menjadi: 16.500 a). Lahan sawah: 360 Ha, Lahan
pertanian lainnya: 450 Ha, dan permukiman: 34 Ha. Batas desa Seling:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kandang Kecamatan Tabir. Sebelah
30
Sumber: Dokumen Kantor Desa Seling tahun 2018
31 Sumber: Dokumen Kantor Desa Seling tahun 2018
51
Selatan berbatasan dengan Desa Koto Baru (Seling 2) Kecamatan Tabir
Lintas. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Mampun Kecamatan
Tabir. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Kapuk Kecamatan Tabir Ulu.32
Jarak dari Ibu Kota Kecamatan +/- 5 Km, dan jarak dengan Ibu Kota
kabupaten +/- 31,5 km, Jumlah KK 578 da pada tahun 2015 menjadi 588 KK.
Dan jumlah penduduk 2.205 Jiwa. Laki-laki; 1.087 Jiwa pada tahun 2015 s/d
1141 Jiwa. Dan perempuan 1.118 jiwa, pada 2015 menjadi 1147 jiwa dan
2289 jiwa
F. Keadaan Agama dan Pendidikan
Penduduk Desa Seling beragama Islam mayoritasnya, bahkan sejak
dahulu kala, hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari,
terdapatnya rumah ibadah, madrasah, dan bahkan pada zaman dahulu desa
Seling terkena tempat pengajian tidak saja penduduk asli tapi juga pendatang
dari daerah sekitarnya yang giat menuntut ilmu agama islam. Hal ini
dijalankan banyak penduduk setempat yang pergi menuntut ilmu ke luar
daerah seperti Nurul Iman Kota Jambi. Jawa dan bahkan ke mancanegara
seperti Malaysia, Arab Saudi setelah tamat para penuntut ilmu
mengembangkan ilmunya di kampung sendiri.
Selanjutnya keadaan pendidikan, pendidikan merupakan masalah yang
urgen dalam kehdidupan dunia dan akhirat, karena untuk mencapai
kebahagiaan keduanya harus dengan ilmu pengetahuan. Sejak zaman dahulu
penduduk Desa Seling sudah banyak yang berpendidikan terutama dalam hal
pendidikan madrasah dan non formal (seperti tempat pengajian yang di
sebutkan di atas), walaupun penduduk desa ini tidak begitu banyak yang
berkiprah di bidang ilmu umum dan berkiprah di Instansi pemerintah, tapi
tidak ketinggalan dari desa-desa di sekitarnya. Adapun data yang tamat
hinhha sekrang ialah SD 326 orang , SMP 80 orang, SMA 200 orang, D3 15
32
Sumber: Dokumen Kantor Kepala Desa Seling tahun 2018
52
orang, S1 20 orang, S2 8 orang, S3 3 orang, dan guru besar 1 orang yakni
Prof. Dr. Hafis Aima.33
Pembangunan sektor pendidikan merupakan hal yang sangat penting.
Keberhasilan pembangunan sektor pendidikan dapat dijadikan sebagai
indikator kemajuan suatu bangsa. Selain itu pendidikan adalah bahagian
integral bagi suatu negara, tanpa sektor pendidikan maka dengan sendirinya
pemerintah tidak akan berjalan dengan baik dan akan terjadi berbagai
hambatan di semua sendi kehidupan masyarakat.
33
Sumber: Dokumen Kantor Kepala Desa Seling tahun 2018
53
G. Keadaan Sosial Budaya
Penduduk yang menetap di Desa Seling dalam kehidupan sehari-hari
mereka hidup saling berdampingan dan saling tolong-menolong satu dengan
yang lainnya. Dalam pergaulan sehari-hari mereka masih memperhatikan
adat-istiadat. Adat-istiadat merupakan pedoman yang dipegang teguh oleh
orang tua dan anak di Desa Seling. Di sisi lain masyarakat Desa Seling juga
memiliki jiwa sosial yang baik. Untuk menjaga kesehatan dan kebersihan
lingkungan, 1 sampai 2 kali dalam sebulan warga Desa Seling selalu
mengadakan kerja bakti membersihkan lingkungan, parit dan sarana umum
lainnya yang terdapat di Desa Seling. Pemuda dan orang tua membaur
menjadi satu bekerja membersihkan lingkungan tempat mereka hidup dan
tinggal di sana, tepatnya di Desa Seling. Sifat gotong royong juga
ditampakkan oleh masyarakat Desa Seling dalam berbagai hal, seperti dalam
kegiatan pesta pernikahan di mana di antara masyarakat saling membantu
dalam kegiatan tersebut. Seperti diketahui bagi masyarakat Melayu Jambi
yang mengenal dengan Undang-Undang adat secara turun-temurun, hal
tersebut masih dapat dipertahankan, mereka tetap mengenal istilah-istilah
sebagai berikut: Titian teras bertangga batu, maksudnya titian teras
merupakan adat, sedangkan bertangga batu adalah syara′ dan kitabullah.
Sehingga hukum adat tersebut haruslah dijalankan dengan wibawa yang kuat,
sedangkan teras adalah bagian dari pada inti kayu yang tidak mudah
dipatahkan namun dapat dipindahkan atau dialihkan.34
Sehingga hukum syara′ yang disebut bertangga batu, hukum yang
positif dan permanen baik menghadap ke bawah maupun menghadap ke atas,
dan tidak dapat dipikuli diajak (dipindahkan) dan tidak mempunyai prioritas
bagi seseorang, bila sesuatu haram haruslah dikatakan haram, najis haruslah
dikatakan najis, makruh tetaplah makruh, yang benar dibela yang salah
dihukum seperti ungkapnya di bawah ini: Raja Adil raja disembah, Raja
zalim raja disanggah, Jalan berabah yang diturut dan Amar makruf nahi
34
Sumber: Dokumen Kantor Kepala Desa Seling tahun 2018
54
munkar. Berbuat di luar kebiasaan, berarti menentang orang banyak
menentang adat dan syara′, adat dan syara′ merupakan cermin gendang yang
tak pernah kabur, pedoman yang jelas haruslah diikuti tanpa ada pilihan lain.
Tak lapuk di hujan tak lekang di panas, maksudnya yang salah tetap
dihukum, hutang haruslah dibayar, hilang ganti, ngilih menggantikan lantak
nan tak goyah. Maksudnya tugas menjalankan keadilan dan kebenaran bagi
pemimpin yang adil, tetap dalam pendiriannya, sifat pemimpin yang baik.35
Penduduk yang berdomisili di Desa Seling mempunyai suatu tata cara
dan aturan-aturan, dalam hal ini adalah berupa adat yang sudah dijalani sejak
lama. Tata cara atau aturan tersebut itulah yang dinamakan adat-istiadat yang
harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Adat adalah suatu tata cara dan
aturan yang diadatkan dan jelas yang ada dalam masyarakat di Desa
Seling ini adat yang bersendikan syara′ dan syara′ yang bersendikan
Kitabullah. Adapun ciri-ciri adat-istiadat yang ada dalam masyarakat di Desa
Seling ini adalah, karena mayoritas penduduknya adalah beragama Islam,
untuk segala adat dan aturan yang dilakukan dalam masyarakat ini
bersendikan Islam dan keagamaan seperti pelaksanaan dalam acara-acara
perkawinan, pernikahan, pembacaan do‟a selamat, pencukuran, akikah
maupun mengkhitankan anak. Masyarakat Desa Seling pada hari besar
keagamaan, seperti Idul Fitri, Idul Adha mereka saling kunjung-mengunjungi,
dan tak lupa juga mereka selalu membantu saudara mereka yang tertimpa
musibah. Dengan sedikit menyisihkan rizki untuk diberikan kepada orang-
orang yang berhak menerimanya. Terutama untuk anak-anak yatim piatu,
janda-janda tua yang ada di Desa Seling. Biasanya pemberian sedekah ini
dilakukan pada bulan Ramadhan dan menjelang hari Raya Idul Fitri. Bentuk
pertolongan yang mereka berikan berupa materi, uang, tenaga, dan nasehat
yang baik, itu semuanya diberikan dengan ikhlas tanpa ada rasa pamrih.
Adat-istiadat penduduk Desa Seling juga melambangkan simbol-simbol
keagamaan seperti dalam hal pakaian laki-laki pakai kain sarung, peci,
35
Sumber: Dokumen Kantor Kepala Desa Seling tahun 2018
55
sedangkan wanitanya pakai kain sarung, dan pakai jilbab. Tentang jilbab ini
sudah lama membudaya di Desa Seling yaitu kira-kira tahun 1977 bagi siswi
Madrasah Nurul Falah dan bagi orang dewasa tetap memakai selendang. Dan
juga dapat dilihat dari adat perkawinan yang tidak begitu bermewah-mewah
dan sampai sekarang musik organ tunggal atau Bent dilarang masuk ke
kampung ini.36
Kemudian terdapat adat kenduri yang selalu dilaksanakan oleh
masyarakat Desa Seling apalagi dalam masa menyambut Bulan Puasa
Ramadhan, masa hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, turun baumu yaitu
menanam padi dan mau panen dengan menggunakan berzanji. Hal ini
dilakukan agar buah padinya berkah dan berhasil yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup paling tidak untuk satu tahun, begitulah adanya didalam
desa Seling adat yang ada akan selalu dikembangkan hingga di era modern
seperti saaat ini ini
H. Keadaan Ekonomi
Desa Seling termasuk desa terdekat dari pusat ibu kota Kecamatan
Tabir Induk yaitu Pasar Rantau Panjang yang berjarak +/- 5 Km, dan +/- 3
Km dari Lintas Sumatera. Mengingat dekatnya arus transformasi ke pusat
kota, menunjukan desa ini tidak termasuk desa tertinggal, tapi termasuk desa
penghasil beras di wilayah Kecamatan Tabir sekitar. Mengingat dekatnya
jarak desa ke pusat ibu kota pemerintahan, maka penduduk yang berulang
sekolah banyak sekali karena ini mempunyai lembaga pendidikan Pondok
Pesantren Darul Fiqhi yang berlokasi di Desa Seling II (Koto Baru). Wilayah
pesantren ini masih dalam lingkup wilayah Desa Seling. Dan santrinya
berasal dari penduduk Desa Seling dan dari wilayah lain di Kabupaten
Merangin. Kemudian terdapat juga Lembaga Pendidikan penghafal al-Quran
dan Bahasa Arab, santrinya tidak saja berasal dari wilayah Desa Seling tapi
juga dari provinsi lain seperti Jawa Slawesi, NTB dan lain-lain. Lembaga ini
baru didirikan khusus mempelajari Bahsa Arab dan menghafal al-Quran.37
36
Sumber: Dokumen Kantor Kepala Desa Seling tahun 2018
37 Sumber: Dokumen Kantor kepala Desa Seling tahun 2018
56
BAB IV
TRADISI PINANG SIRIH DAN RELEVANSI DALAM HUKUM ISLAM
A. Tradisi Pinang Sirih Dalam Peminangan Adat Melayu Jambi
Banyaknya hukum adat yang dimiliki oleh masyarakat diIndonesia,
juga eksistensi beberapa agama yang dipeluk oleh anak bangsa memang
memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap perkawinan. Akibatnya aturan
perkawinan yang berlaku bermacam-macam, dan ini sudah lama terjadi, tidak
saja tetap hidup saat belanda menjajah nusantara jauh sebelum itu
keanekaragaman tersebut sudah tumbuh subur.1
Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari ribuan pulau
yang tentunya pulau tersebut memiliki penduduk asli daerah tersebut.
Sebagaimana diketahui di Indonesia ada beberapa suku yang sangat dikenal
masyarakat umum. Antara lain Suku Jawa, Suku Cina, Suku Minangkabau,
Suku Batak, Suku Bugis, Suku Melayu dan masih banyak lagi.2 Dalam
melakukan peminangan tentu diantara beberapa suku mempunyai tradisi yang
berbeda.
Sedangkan peminangan tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebelum melaksanakan pernikahan. Kebiasaan peminangan ini
tidak ada yang mengatur, baik dalam undang-undang perkawinan maupun
dalam agama Islam. Dalam Islam, apabila ingin melakukan pernikahan hanya
di sunnahkan untuk melakukan ta‟aruf (berkenalan) diantara kedua calon.
Karena Taaruf (perkenalan) minangan merupakan langkah awal dalam proses
menuju perkawinan dan orientasinya untuk mengetahui sifat dan karakter
antara pihak perempuan dan pihak laki-laki. Berbeda halnya dengan hukum
adat. Dalam hukum adat sebuah perkawinan yang tidak diawali dengan
1 Moch. Isnaini, Hukum Perkawinan di Indonesia ( Bandung: PT Rafika Aditama) 2016 h.
11
2 Koleksi Perlengkapan Upacara, Perkawinan Adat Palembang, (Sumatera Selatan: Proyek
Rehabilitas dan Musium: 1978/1979), h.1
57
kegiatan peminangan itu merupakan perbuatan yang tidak baik. Karena
perkawinan bukan saja perbuatan suci sebagaimana diketahui ajaran agama,
melainkan juga menyangkut nilai-nilai kehidupan keluarga dan masyarakat.3
Dengan demikian setiap yang ingin melaksankan peminangan dinegara ini
harus sesuai dengan cara dan jalanya adat masing-masing, begitu juga
dengan langkah awal terbentuknya proses peminangan itu yang melalui
histori yang amat panjang.
Historis munculnya adat didaerah tersebut ialah dari adat Melayu
Jambi, yang terbagi dari beberapa hal. khususnya di desa Seling ini, awal
mula terbentuk adat ini yaitu disebut dengan Margo Batin Limo4 dikuasi oleh
Pasirah (Camat), Rio (Kepala Desa) Patih (Kepala Dusun) Mangku (tetua
diasana) ketika itu, karena sudah berubah undang-undang maka berubah pula
nama tersebut. Singkat cerita datang sekelompok orang dari daerah lain ke
Tabir5 yang berjumlah sebanyak 60 orang. Mereka ini berpencar-pencar
terdiri dari beberapa kelompok, masing-masing kelompok membuat suatu
tempat yang layak baginya untuk berdomisili dan mencari kebutuhan hidup,
akhirnya tempat tersebut menjadi sebuah desa, desa tersebut adalah:
1. 19 orang pendiri Desa Rantau Panjang.
2. 13 orang pendiri Desa Pulau Aro.
3. 14 orang pendiri Desa Seling.
4. 9 orang pendiri Desa Kapuk.
5. 5 orang pendiri Desa Muara Jernih.6
3 Abdul Hadi, Pergaulan Calon Suami Istri Pada Masa Pra Peminangan Di Sawunggaling
Wonokromo Surabaya, Jurnal Al-Hukama Vol 04, No 02, Desember 2014, h. 386.
4 Margo Batin Limo adalah sebuah julukan untuk seorang pendiri dari setiap desa yang
berada di kawasan Tabir yang mana desa tersebut terbagi menjadi lima bagian, dari lima bagian
tersebutlah mereka pendirinya yang disebut margo batin limo (pendiri setiap lima desa yang ada
di kawasan Tabir).
5Tabir adalah sebuah kecamatan yang terletak di wilayah kabupaten merangin yang
mencakupi beberapa desa didalamnya yakni Rantau Panjang, Pulo Aro, Seling, Muaro Jernih,
Kapuk. Pendiri kampung ini berjumlah 60 orang yang mana meraka berpencar untuk mendirikan
desanya masing-masing.
6 Wawancara Pribadi dengan Ahmad IB (tokoh adat). Seling, 04 januari 2019
58
Mereka yang pertama mengijak tempat Tabir dan disebut dengan
Margo Batin Limo dari dari sinalah awal berpijaknya sebuah hukum adat di
desa Seling, dan apabila keluar dari tatanan adat yang ada di desa tersebut
maka akan ada kutukan yang terjadi untuk yang tidak menjalankan adat
setempat. seloko7 adatnya adalah “Kunyit ditanam Putih Isi, Padi ditanam
Lalang Tumbuh” artinya kalau sebuah desa melakukan pelanggaran adat dan
tidak mau melaksanakan peraturan-peraturan yang ada maka, “Kinyit ditanam
Putih Isi” dalam artian sebuah kunyit yang kuning bisa putih isinya dan
sedangkan kunyit gak ada yang putih dalamnya, terus “Padi ditanam Lalang
Tumbuh” sebuah padi yang memiliki biji yang besar manfaatnya ketika
ditanam malah menjadi sebuah tumbuhan ilalang yang gak bisa dimanfaatkan
sepeti padi, maka maksud dari seloko adat tersebut dia mengutuk sebuah desa
yang keluar dari peraturan adat setempat yakni dari Margo Batin Limo yang
mana mereka tidak menghargai leluhurnya, kutukan itulah yang dapat terjadi
oleh desa dan warganya (tempat tersebut tidak akan subur lagi). Sangsi adat
yang didapat apabila melanggarnya terbagi 4 macam yaitu harus membayar
dengan kerbau, sapi, kambing, dan ayam, maka terbentuknya adat sesuai
dengan potensi yang ada didesa tersebut.8
Dalam adat peminangan Melayu Jambi di Desa Seling disebut dengan
Nyasat9 yang melakukan yakni dari pihak perempuan yang melaksanakan
pinangan terhadap pihak laki-laki10
. Hal ini tidak lepas dari adat yang telah
dibangun dari dahulu yaitu dari seorang patih yang disebut dengan kepala
Dusun tadi, prosesi melamar dalam adat ini memiliki beberapa tahap:
7 Seloko adalah pantun khusus adat melayu jambi yang berisi terkait apapun yang ingin
disampaikan dengan bahsa adat yang ada di daerah setempat, seloko ini digunakan disaat upacara
adat, baik ketika pernikahan maupun pelanggaran adat dari personal yang menjalani adat ini.
8 Wawancara Pribadi dengan Abu Bakar (Ketua Pemuda). Seling, 07 januari 2019
9 Nyasat (bertanya) adalah suatu proses untuk melakukan perundingan antara keluarga yang
melamar seseorang melalui cara-cara yang telah ditetapkan oleh adat setempat, kalau didalam
bahasa islamnya ialah khitbah atau indonesianya peminangan, didaerah jambi ini pun setiap
kabupanten dan setiap dasa berbeda bahasa untuk peminngan ini.
10 Wawancara Pribadi dengan M. Saman (Tokoh Masyarakat). Seling, 01 januari 2019
59
1. Tahap pertama pihak perempuan yang ingin melamar seorang laki-laki
tersebut diwakili oleh kelurga terdekat terlebih dahulu, yaitu melalui
perantara bibi,paman atau yang masih ada ikatan darah dan lain-lain sama
perempuan yang ingin melamar tersebut, perempuan dan orang tua pihak
pelamar tidak ikut serta dalam tahap ini.
2. Tahapan kedua bertanya dilakukanlah proses pertanyaan yang digunakan
dengan saloko adat (pantun) yang berbunyi:
Assalamualaikum
Pihak perempuan : Bulih kami numpang minum?.
Pihak laki-laki : Bulihlah, kalau embuh pulo minum aik kami
yang ado ko kalau embuh go makan nasi kami yang aso duhi ko…
Pihak laki-laki : Apo maksud biko ko? Sesat biko ko?sesat beko
Jangan pulo takicuh dinan tehak tang budi di nan gelap.
Pihak perempuan :idak kami ado minat…
Pihak laki-laki :apo minat?.
Phak perempuan :Maksud kamin tu kalau embuh kalau emang bungo
bebuah dian ko diadang tu embuh kami nak ngambah padang dian tu, ko
lah lebat nian bungo dian ko…
Pihak laki-laki :Ai apolah dian kami ko dian amba…
Puhak perempuan :amba kato biko manis go kato kami…
Inilah sedikit banyaknya dari seloko adat Melayu Jambi, hingga
sampailah kesempulannya nanti kepenghujung pembahasan keseriusan
terhadap laki-laki yang ingin dilamar tersebut. Adapun bahasa yang
digunakan tidak jauh dari kata sindirian terhadap keluarga yang ingin dilamar
atau dipinang.11
3. Tahap ketiga Anta Tando12
apabila lamaran sudah sesuai dan telah satu
presepsi kedua belah pihak maka pihak perempuan datang kembali
11
Wawancara Pribadi dengan Abu Bakar (tokoh adat). Seling, 07 januari 2019
12 Anta tando adalah memberikan sesuatu untuk mengikat kedua belah pihak yang ingin
menikah, barang tersebut bisa berupa cincin, kain, sarung, emas, perak, dan apa saja berupa suatu
barang yang bisa dipegang (tanda bahwa dia telah mengikat janji atau tunangan).
60
memberikan barang untuk menandakan bahwa perempuan dan laki-laki
tersebut telah bertungan. dalam tahap inilah baru di pertemukan semua
keluarga dari yang jauh hingga kepada orang tua masing-masing
pasangan yang akan melaksankan tunangan tersebut.13
Sebelum berlanjut
kepada jenjang selanjutnya dalam proses peminangan, ada kebiasaan adat
yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat yaitu biasa disebut oleh
masyarakat setempat dengan sebutan jambah ritual ini wajib dilakukan
setiap warga yang hendak melakukan pernikahan, disinilah terjadinya
adat Melayu Pinang Sirih desa Seling, dimana kebiasaan ini memiliki
makna penting bagi masyarakat setempat, dikarenakan sudah menjadi
budaya yang tidak bisa ditinggalkan maka wajib dilakukan. Apabila tidak
dilakukan maka ada sangsi dari lembaga adat, tapi bukan berupa barang
atau materi akan tetapi berupa sosial dalam artian apa pun yang dilakukan
oleh keluarga yang menikah tersebut, apabila mereka melanggar
ketentuan adat atau permasalah rumah tangga yang berkaitan dengan desa
atau adat setempat maka tidak akan dibantu sedikit pun untuk
menyelesaikannya. Baik lembaga adat hingga masyarakat enggan untuk
membantu permasalahan mereka, tentu tidak sebatas yang menikah saja
dampak dari tidak membawa Jambah tersebut, damapak paling besar
ialah sampai kepada anak dan cucu-cucunya kelak.14
Bahkan ada yang
menyebutkan sampi kepada tidak diterimanya peminangan apabila tidak
membawa jambah tersebut.
4. Tahap akhir Duduk Nenek Mamak,15
ketika sudah melakukan semua
tahapan yang di atas maka tiba kepada akhir pertemuan. dalam
melakukan pertemuan ini terjadilah perbincangan Nenek Mamak dari
13
Wawancara Pribadi dengan Ahmad IB (tokoh adat). Seling, 04 januari 2019
14 Wawancara Pribadi dengan Sawiyah (Pelaksana Jambah). Seling, 09 januari 2019
15 Nenek mamak adalah keluraga besar dari kedua calon yang hendak menikah. Baik itu
paman, bibi, ayah, ibu, adik dari ayah dan ibu hingga kakek dan nenek. Meraka berbincang dalam
satu forum untuk membahas secara dalam terkait pernikahan anaknya. Tahapan terkahir dari
proses nyasat.
61
kedua belah pihak keluarga, yang mana dihadiri dan disaksikan oleh
lembaga adat, kepala desa dan ketua masyarakat setempat untuk
mengeratkan perjanjian yang telah dibahas dari pertemuan-pertemuan
sebelumnya. Dan juga waktu proses keempat ini akan membahas lebih
dalam, baik berupa bahasan terkait mahar, hari pernikahan atau akad dan
lain sebagainya.16
Demikian tahap yang berlangsung dalam adat Melayu Jambi Desa
Seling, dan selama proses itu berlangsung dari nyasat hingga timbul
kesepakatan untuk menikah. Tidak lupa pula dari pembahasan terkait
batalnya suatu perjanjian atau peminangan baik dari pihak perempuan
maupun dari pihak laki-laki, dalam khasus yang pernah terjadi dimasyarakat,
ada sedikit tradisi perjodohan yang beralngsung di Desa setempat dan
mengakibatkan batalnya peminangan dikarenakan perjodohan yang dilakukan
dari pihak keluarga. Namun pasangan tersebut tidak menginginkan
perjodohan yang telah dilakukan oleh masing-masing keluarganya. Maka
dalam adat setempet ada sangsi adat yang berlaku bagi meraka yang
membatalkan perjanjian tersebut. Apabila yang melakukan pembatalan
perjanjian atau peminangan dari pihak perempuan yang melamar, maka akan
dikenakan denda dari apa yang telah diberikan kepada pihak laki-laki yaitu
sebesar 2x lipat dari barang yang telah diberikan sebelumnya. Akan tetapi
apabila yang melakukan pembatalan dari pihak laki-laki maka hanya
memberikan barang yang telah diberikan kepada pihak perempuan tersebut
tidak mengganti 2x lipat seperti pihak perempuan.17
Sebatas yang menikah saja dampak dari tidak membawa jambah
tersebut, damapak paling besar ialah sampai kepada anak dan cucu-cucunya
kelak.18
16
Wawancara Pribadi dengan Ahamad IB (Pemuka Adat). Seling, 04 januari 2019
17 Wawancara Pribadi dengan Hasan (Kepala Desa). Seling, 07 januari 2019
18 Wawancara Pribadi dengan Sawiyah (Pelaksana Jambah). Seling, 09 januari 2019
62
Pelaksana mengahantarkan jambah (pinang sirih) ini pada saat sebelum
melaksanakn akad nikah, jambah ini dibawa dari pihak laki-laki yang hendak
menikah, jambah yang dibawa kepada pihak perempuan ialah sirih, daun
gambir, setangkai pinang muda, pinang tua, dua buah kelapa tua, ayam atau
burung puyuh. Maka pelaksanaannya berlangsung dirumah siperempuan dan
petugas membawa jambah tersebut ialah keluarga perempuan dari pihak laki-
laki.19
Dari awal hingga akhir proses adat lamaran tersebut dan selesai semua
rangkaian adat barulah masuk kepada jenjang akad, maka terjadilah
pernikahan yang selanjutnya proses ijab qobul hingga pesta pernikahan,
demikian tahap-tahapan selama prosesi peminangan hingga terlaksananya
sebuah ikatan yang kuat tau mitssaqan ghalidzan dalam rangka mentaati
perintah allah dan melaksankan perintahnya.20
Dikarenakan penelitian ini bagian dari penelitian etnografis. Maka
wajiblah bagi penulis untuk menggali makna yang terkandung didalam tradisi
peminangan (nyasat) dan pinang sirih tersebut. Tradisi (pinang sirih) ini pun
sudah menjadi kebiasaan turun temurun yang tidak bisa ditinggalkan oleh
masyatrakat setempat, begitu juga dengan jambah yang memiliki makna
tersendiri.
Dalam melaksanakan budaya ataupun tradisi yang sudah hidup
ditengah-tengah masyarakat dan dialektika antara ajaran keagamaan dengan
kebudayaan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam masyarakat
Melayu Jambi. Realitas tersebut agama dipahami sebagai fenomena sosial
yang tidak tunggal. Agama bisa menjadi ajaran sekaligus perilaku dalam
lingkup sebuah kebudayaan.21
Adapun nilai filosofis yang terkandung dalam tradisi nyasat itu sendiri
ialah untuk menjalin silahturahmi yang lebih mendalam antara dua kelurga
19
Wawancara Pribadi dengan Sawiyah (Pelaksana Jambah). Seling, 09 januari 2019
20 Wawancara Pribadi dengan Syamsul Bahri (Masyarakat). Seling, 09 januari 2019
21 Wawancara pribadi dengan Ramlah (Ilmuan jambi) jambi, 30 September 2018
63
yang belum saling mengenal atau mempererat bagi keluraga yang hendak
melaksanakan pernikahan. Proses peminangan yang terjadi dilingkungan desa
tersebut adalah bentuk saling menghargai satu sama lain, menghargai
keinginan dari orang yang ingin menikah, dengan pola komunikasi yang baik
dan menghargai kebiasaan adat yang berlaku. Maka timbulah sisi kebaikan
dalam menjalin silahturahmi.22
Dari tahapan yang dijelaskan diatas ada sebuah perundingan, hal ini
dilakukan untuk lebih mengenal saudara-saudari dari kedua belah pihak yang
mau berakad, hingga memiliki makna berkumpul. Dan hal tersebut
menjadikan forum yang lebih baik untuk menyusun rangkaian acara
pernikhannya.
Setelah peminangan telah terwujud maka pinang sirih menjadi pondasi
kehidupan atau menjadi filosofi seorang yang hendak melamar. yang mana
masyarakat setempat biasa menyebutnya dengan jambah. Didalam
melaksankan jambah tersebut ada beberapa barang yang menjadi landasan
pokok seorang yang ingin melamar, Yakni yang di simbolkan dengan berupa
buah-buahan (pinang satu tangkai), biji-bijian (beras), dedaunan (sirih), dan
hewan (burung puyuh/ ayam).
Membawa hal tersebut untuk menghargai pihak wanita yang
melaksankan akad dirumah nya dan menjalin ikatan kekeluargaan melalui
barang bawaan yang telah diberikan (jambah), supaya pekawinan yang
dilaksanankan ini terus berlajut hingga ajal menjempun mereka berdua, dan
barang ini pun menjadi simbol mencari rezki untuk kehidupan mereka kelak.
Hingga saling menopang untuk membangun rumah tangga yang lebih baik
dan bermartabat, sampai kepada anak dan cucu mereka nanti.23
Jambah merupakan salah satu simbol kerendahan diri atau kerendahan
hati, yang mana sadar akan semua yang kita miliki hanya milik tuhan semata,
maka dari itu adat setempat menanamkan keyakian tersebut karena semata-
mata hanya untuk mengharapkan keridhoan tuhan semata, dan diharapkan
22
Wawancara Pribadi dengan M. Saman (Tokoh Masyarakat). Seling, 01 januari 2019
23 Wawancara Pribadi dengan M. Saman (Tokoh Masyarakat). Seling, 01 januari 2019
64
ikatan yang terjalin tidak akan putus walaupun badai yang dasyat menerjang
bantera rumah tangga merka nanti.24
Sedikit pandangan penulis untuk pesan moral yang terkandung didalam
semua rangkaian pembahasan diatas ialah saling menghargai satu sama lain
baik itu berupa norma kesopanan, keagamaan, dan norma adat. Disisi lain
terbentuklah sebuah karakter untuk tidak saling membedakan derejat masing-
masing pasangan, dalam artian tidak membedakan mana yang kaya dan mana
yang miskin dikarenakan jambah tadilah sebagai simbol terpenting dalam
adat pernikahan yang tercantum didalam proses peminangan di desa tersebut.
Tidak lupa akan tanah leluhur mereka, tempat berpijak adalah tempat
mencari kehidupan baik untuk memenuhi kebutuhan keluraga maupun
keberlangsungan hidup bermasyarakat dan bernegara, dan tidak
meninggalkan norma agama yang ada di suku Melayu Jambi yang menganut
agama Islam, dengan adat dan hukum adat yang di warnai dengan hukum
Islam yang membuat pengaruh terhadap adat dan hukum adat sangat besar
sehingga melahirkan semacam keyakinan bahwa adat tidak boleh
bertentangan dengan agama islam, dengan keyakinan ini membuahkan
kesepakatan terbentuknya dagium yang sangat dipegang oleh masyarakat
Jambi, yaitu: Adat Bersendi Syara‟, Syara‟ Bersendi Kitabullah.25
B. Relasi Hukum Islam Tradisi Pinang Sirih Dalam Peminangan Adat
Melayu Jambi
Dimana ada masyarakat, disana ada hukum yang mengikat (adat). Inilah
sutau kenyataan umum diseluruh dunia. Tidaklah cicero lebih kurang 2000
tahun yang lalu telah mengikrarkan adagium, uni societas, ibi ius. hukum
yang terdapat disetiap masyarakat manusia, betapa sederhana dan kecilnya
masyarakat itu, menjadi cerminnya. Karena setiap masyarakat, mempunyai
kebudayaannya sendiri, dengan corak tersendri pula, dan mempunyai cara
24
Wawancara Pribadi dengan Maryam (Masyarakat). Seling, 09 januari 2019
25 Sejarah Adat Jambi, Jilid 1 LAD (lembaga adat daerah) 2001 h.12
65
berfikir geestresstructuur sendiri, maka hukum di dalam tiap masyarakat,
sebgai salah satu penjelmaan geestresstructuur masyarakat yang
bersangkutan, mempunyai corak dan sifatnya tersendiri26
Begitupun hukum adat di Indonesia, seperti halnya dengan semua
system hukum di bagian dunia lainnya. Maka hukum adat itu senangtiasa
tumbuh dari sesuatau kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup maupun cara
pandang untuk hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.27
Disamping itu, masyarakat Indoneisa adalah masyarakat yang serba
keagamaan, oleh karenanya walaupun negara bukan negara agama, tapi tidak
dapat dipungkiri bahwa Indonesia Negara keagamaan, negara yang
memperhatikan agama, namun bukan Negara sekuler yang hanya mengurus
tentang keduniawian saja. Jadi agama bagi masyarakat indonesiam bukan
untuk tujuan hidup melainkan bagian dari hidup itu sendiri.28
Disini adat istiadat dan hukum adat Melayu Jambi tetap dihormati akan
tetapi mana yang bertentangan dengan ajaran agama tentulah diberantas,
memang pandangan islam terhadap masyarakat yang yang telah berkembang
tidaklah bersifat apriori mengakui atau menolak. Tetapi tidak bertentangan
dengan syariat tetap diakui (adat muktabharoh), yang bertentangan di tolak
(adat mulghah) dan jika ada dalam suatu perbuatan adat terhadap aspek yang
tidak bertentangan disamping aspek yang bertentangan maka di buang aspek
yang bertentangan dengan ajaran agama tersebut.29
Hukum mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar akan
kenyataan bahwa adat kebiasaan dan tradisi telah berperan penting dalam
26
Bushar Muhammad, asas-asa hukum adat (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), cet. 14,
h.41-42
27 Bushar Muhammad, asas-asa hukum adat (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013), cet. 14,
h.43-44
28 Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan adat, (Bandung:Penerbit Alumni, 1981), h.
160
29 Sejarah Adat Jambi, Jilid 1 LAD (lembaga adat daerah) 2001 h. 16
66
mengatur pola kehidupan manusia, khusunya dikalangan anggota masyarakat.
Adat kebiasaan inilah sebagi hukum yang tidak tertulis namun sangat di
patuhi oleh masyrakat.30
Dalam kehidupan manusia banyak sekali kegiatan dan aturan yang ada
dan berasal dari nenek moyang, adat atau tradisi ini telah turun temurun dari
generasi ke generasi yang tetap terpelihara hingga sekarang. Dalam aktivitas
praktis manusia, tradisi menjadi hal yang begitu penting, dikarenakan fungsi
tradisi tersebut memberikan pedoman untuk bertindak dan memberikan setiap
orang nilai-nilai perilaku sesuai adat atau kebiasaan yang berlaku.
Terkait denga tradisi jambah (pinang sirih) yang berlaku di desa seling
tidak bisa ditinggalkan karena sudah menjadi adat yang harus dilakukan oleh
setiap masyarakat yang ada disana. Adat ini telah menjadi hukum yang tidak
tertulis yang wajib dipatuhi dan dilaksakan bagi mereka yang berhimpun
didaerah tersebut.31
Dari penelusuran literature, penulis tidak menemukan nash al-Qur‟an
baik yang bersifat qhoth‟i maupun dzonni yang membahas tentang membawa
barang jambah ketika pelaksanaan peminangan, yang mana itu sebuah syarat
peminangan dan pernikahan, begitupun dengan hadist, ijma‟ maupun
pembahasan pada kitab-kitab fiqh klasik yang tidak ada menerangkan tentang
membawa barang jambah sebagai syarat peminangan. Maka dari itu peneliti
akan menggunakan tinjuan al-„urf (adat kebiasaan) sebagai upaya pencarian
hukum.
Pelaksanaan tradisi ini memang tidak tercantum dalam hukum islam,
namun hal ini tidak bertentangan dengan syariat Islam dan tidak pula merusak
akidah, karena salah satu fungsi dari membawa jambah (pinang sirih) ini
adalah sebagai tanda kesanggupan atau menandakan bahwasanya mempelai
laki-laki siap menjadi pemimpin dan memikul beban serta taggung jawab
sebagai kepala rumah tangga. Adat ini biasa di sebut dalam islam ialah al-„urf
30
Wawancara pribadi dengan Ramlah (Ilmuan jambi) jambi, 30 September 2018
31 Wawancara Pribadi dengan abdullah (pemuka agama). Seling, 05 januari 2019
67
shahih yaitu adat kebiasaan yang baik dan benar yang bisa dijadikan
pertimbangan hukum.
Adapun persyaratan bisa diterimanya al-„urf ialah sebagi berikut:
1. Adat atau „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat
2. Adat atau „urf berlaku umum kepada masyarakat yang ada dilingkungan
adat tersebut.
3. „Urf dijadikan sandaran dalam penetapan hukum apabila telah berlaku
pada saat itu, bukan yang baru muncul, karena yang baru akan di tinjau
ulang hukumnya.
4. Adat tidak bertentangan dengan dalil syara‟ atau bertentangan dengan
hukum islam.
Tradisi membawa barang jambah sebagai syarat peminangan dan
pernikahan dalam sebuah problematika ketentuan peminangan merupakan
tradisi yang tidak bertentangan dengan syarat-syarat al-„urf, karena adat
kebisaan ini berpatok kepada saling menghargai, maka dibawalah berupa
bahan pangan tersebut.32
Tinjauan penulis terhadap hukum islam dari prosesi tradisi membawa
jambah dalam peminangan dan pernikahan yaitu:
1. „Urf shahih yaitu sesuatau yang telah mashur dikenal oleh manusia dan
tidak bertenangan dengan dalil syara‟, tidak menghalalkan suatu yang
haram dan tidak pula membatalkan yang wajib.33
Tradisi membawa
jambah didalam peminangan dan pernikahan di desa Seling sudah
diketahui oleh masyarakat disana, dan terus dilaksankan tradisi dan
kebiasaan ini. Tradisi ini pun tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara‟
ataupun tidak menghalalkan yang haram dan mengahramkan yang wajib.
2. „Urf Fi‟li yaitu kebisaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan. Tradisi
ini merupakan tradisi membawa barang pangan yang disebut oleh
masyarakat disana dengan sebutan jambah.
32
Wawancara Pribadi dengan Abdullah (pemuka agama). Seling, 05 januari 2019
33 Dr. Juaini Syukri Shofia, Ilmu Ushul Fiqh ( Ponpes Roudhotul Mubtadiin). Edisi I, h.271
68
3. „Urf Khusus yaitu kebisaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat
tertentu dan di waktu tertentu, dan tidak berlaku disemua tempat. Tradisi
jambah ini didalam peminangan di desa Seling merupakan tradisi khusus
karena bentuknya berupa membawa bahan pangan ketika pelaksanaan
peminangan. Yang dilaksanakan hanya didesa setempat, karena setiap
desa di provisi jambi memiliki adat yang berbeda terrkait barang bawaan
ketika lamran.34
Adapun dalil tentang ke hujjahan al-„urf sebagai sumber hukum islam
ialah: Surat Al- A‟raaf ayat 199.
( 11:خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين )الأعراف
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma‟ruf, serta berpaling dari pada orang-orang yang bodoh (QS. Al-
A‟raaf”199).
Kata „urf dalam ayat tersebut, yang mana manusia disuruh untuk
mengerjakannya, oleh ulama ushul fiqh dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah menjadi suatu tradisi
oleh masyarakat setempat. Kata al ma‟ruf ialah diartikan dengan sebuah
kebaikan. Ayat diatas jelas mengatakan bahwa seruan ini didasarkan pada
pertimbangan yang baik pada umatnya. Oleh karena itu kata al-ma‟ruf
disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama
manusia, baik dalam soal mu‟amalah maupun adat istiadat. Dan ayat ini pun
juga bisa dikatagorikan sebuah isyarat agar manusia mengerjakan kebiasaan
yang baik.
Apabila ditinjau dari kaidah fiqhiyyah yaitu Al-„Adah Al-Muhakkamah.
Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa disuatu keadaan, adat bisa dijadikan
pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil dari syari‟, namun
tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Tetapi bnayak sekali tradisi
34
Satria Efendi, Usulul Fiqh, Cet Ke I, (Jakarta: Kencana, 2005),h 154
69
atau adat yang sudah melebur kedalam kehidupan masyarakat, termasuk
tradisi jambah (pinang sirih) ini. Tradisi jambah merupakan bagian dari pada
adat kebiasaan yang ada di masyarakat dan harus ditaati karena sudah
menjadi kesepakatan masyarakat banyak, khususnya di desa Seling. Dan
apabila tradisi ini tidak dijalankan dapat mengakibatkan terhalangnya
seseorang laki-laki dan permpuan untuk melamar bahkan menikah sekalipun.
Jadi menurut Ahmad selaku pemuka adat disana alangkah baiknya
tetap dilaksanakn, agar yang dalam tahap peminangan dapat berlanjut ke
jenjang pernikhan. Karean jika tidak dilaksanakan bisa menyebabkan kedua
calon yang ssedang dalam proses meminang akan menimbulkan mafsadat
yaitu tidak jadi menikah.35
Membawa sebuah jambah di desa Seling merupakan suatu kewajiban
yang harus terpenuhi. Namun demikian dari hasil wawancara yang diperoleh
bahwa laki-laki yang sedang dalam proses peminangan yang ingin menikah,
haruslah membawa hal tersebut. Karena menjadi syarat penting bagi calon
yang hendak menikah.
Selama bawaan jambah ini tidak mempersulit terjadinya pernikhan
maka hal ini tidak bertentangan dengan hukum islam dan paling penting
adalah jangan sampai ada unsur keterpaksaan dalam membawanya.36
Hukum Islam mengakui adat sebagi sumber hukum karena sadar akan
kenyakinan bahwa adat telah mendapat peran penting dalam mengatur
ketertiban hubungan sosial dikalangan anggota masyarakat. Adat kebiasaan
berkedudukan pula sebagi hukum yang tidak tertulis dan adat kebiasan yang
tetap sudah menjadi tradisi dan telah mendarah daging dalam kehidupan
manusia.
Menurut pemuka adat dan agama desa Seling Kabupaten Merangin
membawa seserahan yang disebut jambah ini adalah sebagai „urf kerena
sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di masyarakat setempat, dan rata-rata
35
Wawancara Pribadi dengan Ahamad IB (pemuka adat). Seling, 04 januari 2019
36 Wawancara Pribadi dengan Saman (tokoh masyarakat). Seling, 08 januari 2019
70
sudah menjadi sebuah tradisi pada adat Melayu Jambi, yang mana adat
istiadatnya masih kental.
Namun penulis tidak sepakat apabila pelaksanaan jambah cenderung
memberatkan serta menimbulkan dampak buruk bagi kedua calon yang akan
menikah. Maka apabila itu terjadi bisa dianggap bahwa adat tersebut ialah
„urf fasid dikarena memiliki kemudharatan yang sangat besar. Sedangkan
apabila tidak memberatkan dan tidak ada dampak buruk bagi calon yang
hendak menikah maka bisa katagorikan „urf shahih sepantasnya kebiasaan
dan adat ini terus bisa dilaksankan.
C. Tradisi Pinang Sirih dalam Pluralisme Hukum
Salah satu aspek kajian sosiologi hukum adalah dengan melihat
interaksi antara berjalannya hukum ditengah masyarakat apakah sudah
bekerja dengan baik dan efektif serta tetap eksis keberadaannya, sebab hukum
tidak boleh dianggap bahwa pekerjaannya sudah selesai dengan sekedar kredo
rasionalistas di atas segalanya.37
Berjalannya hukum ditengah-tengah masyarakat tidaklah selalu bersifat
formal dalam bentuk perundang-undangan melainkan ada hukum yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai kebiasaan seperti tradisi
pinang sirih. Tradisi ini menjadi sebuah konsep pluralisme hukum ditengah
masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemajemukan yang
ada dinegara Indonesia.
Sebagaimana pluralisme hukum yang menunjukan kondisi adanya lebih
dari satu sistem hukum yang secara bersamaan dalam berbagai aktifitas
menunjukan bahwa tradisi pinang sirih merupakan bagian dari sebuah hukum
yang diatur dinegara Indonesia yang diakui secara implisit oleh Undang-
Undang Dasar 1945 melalui penjelasan umum yang menyebutkan bahwa:
“Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan
disampingnya yang berlaku Undang-Undang dasar itu berlaku juga hukum
37
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006,
hlm 12-13
71
dasar yang tidak tertulis yaitu aturan-aturan dasar yang timbul terpelihara
dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Pinang Sirih tidak bisa dipisahkan dari tradisi masyarakat Jambi dalam
prosesi peminangan, sebab hal tersebut diakui sebagai bentuk hukum yang
khusus disuatu wilayah sehingga memunculkan sistem keberagaman hukum.
Pinang sirih sebagai bagian tradisi yang menjadi hukum kebiasaan yang kuat,
sehingga kedudukannya dipandang sama dengan sistem hukum lainnya.
Pelaksanaan tradisi pinang sirih dalam prosesi peminangan tidaklah
diatur didalam hukum Islam ataupun hukum di Indonesia, akan tetapi suatu
kebiasaan yang menjadi tradisi disebuah wilayah dan menjadi sumber hukum
bagi masyarakat bisalah diterima sebagai sumber hukum. Karena apa yang
ada didalam hukum adat namun tidak ada didalam hukum Islam bukan berarti
aturan tersebut tidak boleh diterapkan. Pinang sirih tidak dapat diterapkan
apabila telah secara nyata diterangkan didalam hukum Islam bahwa hal
tersebut dilarang untuk dilaksanakan sehingga demikian tradisi ini menjadi
bagian sebuah pluralisme hukum yang berlaku pada masyarakat tertentu.
Hazairin dan Sayuti Thalib juga mengungkapkan dalam konsep reciptie
a contrario yang menegaskan pelaksanaan hukum adat diperbolehkan
ditengah masyarakat sepanjang tidak dilarang oleh hukum agama yang dianut
masyarakat yang melaksanakannya. Dalam hal ini pinang sirih yang
merupakan hukum adat, dapat diterima sepanjang tidak dilarang didalam
hukum Islam.38
38
Akh. Minhaji, Islamic Law and Local Tradition: A Socio-Hsitorical Approach,
(Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta Press, 2008), h.278
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah meneliti dan mengamati dan memahami system yang ada.
Adapun pelaksanaan dan kewajiban berupa membawa pinang sirih (jambah)
didesa Seling Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin provinsi Jambi, maka
penyususn dapat menyimpulkan bahwa:
1. Makna yang terkandung dalam tradisi ini adalah untuk menjunjung tinggi
nilai persaudaraan dan merendahkan diri dalam segi status sosial, yang
mana semata-mata hanya mengharapkan keridhoan allah. Dengan adanya
tradisi ini tidak ada pihak yang merasa tersudutkan akan setatus sosial
yang dimilikinya. Dan membawa pinang sirih ini sebagai tanda bukti
keseriusan dalam menjalin rumah tangga. namun dari segi lain pinang
sirih ini, yang mana biasa disebut jambah oleh masyrakat setempat,
maka untuk mengatarkan atau membawa suatu bahan pangan kepada
pihak perempuan. Hal ini hanya berlaku di Desa Seling, tidak untuk satu
provinsi jambi. Dikarenakan stetiap desa memiliki cara dan adatnya
masing-masing akan tetapi secara garis besar penamaan adat Suku
Melayu Jambi ialah tetap kepada pinang sirih.
2. Landasan dasar pemberian ataupun pelaksanaan tradisi pinang sirih ini
ialah merupakan sebuah tradisi turun temurun dari nenek moyang
terdahulu, yang menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk
melaksankannya.
3. Tradisi membawa jambah ini sudah dilaksanakan sepenuhnya oleh siapa
saja yang menikah di desa tersebut, karena adat ini di anggap baik oleh
masyarakat setempat dan dilestarikan pula, akan tetapi tradisi ini boleh
ditinggalkan apabila sudah keluar dari norma-norma agama karena
padasarnya tidak ada penjelasan dalam syariat Islam.
73
4. Mengenai status hukum yang ada pada tradisi pinang sirih (jambah)
didesa Seling Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin provinsi Jambi,
tersebut ialah „urf shahih kerena tradisi ini tidak bertentangan dengan
dalil-dalil syara‟ dan norma-norma yang ada.
B. Saran
1. Bagi masyarakat hendaknya terus berupaya untuk mempartahankan dan
melestarikan tradisi pinang sirih ini, yang mana merupakan salah satu
identitas kebangsaan yang sangat penting karena setiap tradisi yang
berlangsung ditengah-tengah masyarakat mengadung nilai-nilai positif
dan memimilik makna tersendiri bagi kehidupan. Seiring perkembangan
zaman sepatutnya untuk tidak menghilangkan tradisi ini.
2. Untuk kebudayaan yang ada dindonesia hendaknya mampu menjadi one
of solution dalam menyikapi dampak perkembangan teknologi dan
globalisasi supaya tidak kehilangan indentitas atau jati diri. Ilmuan dan
ulama memiliki keajiban untuk memberi penjelasan mengenai kearifan
local yang teritegritasi dengan islam, tanpa menghindari perkembangan
zaman.
74
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sudirman, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: PT Prima Heza Lestari,2006)
h.92
Ahmad Abu Nada Syaik, Kode Etik Melamar Isteri, (Solo: Kiswa Media,2009) h.
10
Al- Zuhaili, Wahbah Al- fiqh Al- Islami Wa Adilatuh: Pernikahan,
Talak,Khulu‟meng Iila‟ Istri, Li‟an, Zihar Masa Iddah, Jil.9, Penerjemah,
Abdul Hayyie Al Kattani Dkk, (Jakarta: Gema Insani,2011), h.20-21
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. II, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002),
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet.
Ke-3, h. 17.
Ali, Zainudin, sosiologi hukum (Jakarta Sinar Grafika, 2006) h.47
Al-Zuhaily, wahbah, al fiqh al-Islami wa Adillatatuhu (Damsyiq Dar al Fikr,
1984) juz III, h. 10
Anwar, Kasful, Kepemimpinan Pesantren: Menawarkan Model Kepemimpinan
Kolektif dan Responsif (Sultan Thaha Press IAIN Sultan Thaha Saifuddi
Jambi, 2011) h.126
Asnawi,Mohammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Jakarta:
Darussalam,2004) cet ke-1, h. 148.
Aziz, Abdul, Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, Penerjemah: Abdul Majid Khon,
(Jakarta: Amzah, 2011), cet ke-2, h.1016.
Basri, Hasan, Agus, Perjuangan Ulama dan Ulama Pejuang Negri Melayu
(PusatKajian Pengebangan Sejarah dan Budaya Jambi, Jambi 2012 ) h.13
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013),
cet. 14, h.43-4
Hadi, Abdul, Pergaulan Calon Suami Istri Pada Masa Pra Peminangan Di
Sawunggaling Wonokromo Surabaya, Jurnal Al-Hukama Vol 04, No 02,
Desember 2014, h. 386.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Ketatanegaraan adat, (Bandung:Penerbit Alumni,
1981), h. 160
75
Hajar, Al-Hafizh, Ibnu Al-Asqalani, Bulughul Maram, Penerjemah Zaid
Muhammad,Ibnu Ali dan Muhammad Khuzainal Arif, (Jakarta: Pustaka as-
Sunnah,2007), h. 480.
Ilhami Bisri, sistem hokum Indonesia prinsip-prinsip dan implementasi hukum di
Indonesia, (PT Raja Grapindo Perseda, 2004) h.122
Ilhami, Fajri, “ Tradisi sasuduik dalam peminangan dinagari harau lima puluh
kota sumatera barat” (Jakarta: Skripsi Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018), h.23.
Isnaini, Moch, Hukum Perkawinan di Indonesia ( Bandung: PT Rafika Aditama)
2016 h. 11
James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12
KHI (Kompilasi Hukum Islam), pasal 11
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta, Bulan Bintang,1998), h. 10.
Koleksi Perlengkapan Upacara, Perkawinan Adat Palembang, (Sumatera Selatan:
Proyek Rehabilitas dan Musium: 1978/1979), h.1
Lindayati dkk, Jambi dalam Sejarah 1500-1942 (Jambi: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Jambi, 2013).
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h.18.
Muhammad Suma Amin, hukum keluarga islam di dunia islam (PT.Rajagrafindo
Peserda, Jakarta 2004), h.87
Muhammad, Syaikh, Kamil, Uwaidah, Fiqih Wanita, Alih bahasa M. Abdul
Ghoffar E.M, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2007), cet ke-24, h. 398.
Muthia, Aulia, Hukum Islam – Dinamika Perkembangan Seputar Hukum
Perkawinan dan Hukum Kewarisan (Pustaka Baru Press, 2017) h.51
Nasution, Rosramadhana, Ketertindasan Perempuan dalam Tradisi Kawin Anom:
Subaltern Perempuan Pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 60.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), Cet. Ke-XII, h. 118.
Pemerintah Kota Jambi dan Lembaga Adat Tanah PIlih Pesako Betuah Kota
jambi, Ikhitisar Adat Melayu Kota Jambi, Cet.II, Jambi; 2004, hlm.8-9
Pide, Suriyaman Mustari , Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta:
Kencana Prenamedia Group, 2014), h. 36-37
76
R.Van Dijk, pengantar, “hukum adat di Indonesia” penerjemah A. Soehardi
(Sumur Bandung, 1979) h. 10
Rafiq, Ahmad, hukum perdata islam di Indonesia (Rajagrapindo Persada, 2013)
h.83
„Utsman, Mahammad Ra‟fat , fikih khitbah dan nikah (Fathan Media Prima, 2017)
h.23
Sabiq, Sayyid, fikih sunnah 3, penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin (Dar Fath
Lil I‟lami al-Arabiy, Jakarta: Cakrawala Publishing 2011), h.225
Sejarah Adat Jambi, Jilid 1 LAD (lembaga adat daerah) 2001 h. 16
Shofwan, Muhammad, Nidhomi, “ Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di
Madura” (Jakarta: Skripsi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h.
25.
Shomad, Abd, Hukum Islam; Penormaan Perinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia (kencana prenada grup 2010) h.287
Soekanto, soejono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 340
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
1992) h. 26
Sopyan yayan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11
Sudiyat, imam, Hukum Adat Sketsa Asas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h.
12
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fikih
Munakahat dan Undang Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana 2006) ,h.49
Syukri, Juaini, Shofia, Ilmu Ushul Fiqh ( Ponpes Roudhotul Mubtadiin). Edisi I,
h.271
Sopyan Yayan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar,2009) h. 19
Tihami dan Fahrani Sohari, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Lengkap, (Jakarta:
Rajawalipers, 2009), h. 24
Yusuf, Ali, As-Subki, Fiqih keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010) cet ke-2, h. 66.
Yusuf A Muri, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif & Penelitian Gabungan,
(Jakarta :Prenadamedia Group, 2014) cet, ke-1, h. 358
Zainudin H, Ali, Hukum perdata islam diIndonesia (Jakarta : Sinar Grafika 2006)
h.10.
77
Jurnal
Gafar, Abdoel “Peranan Selako Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Di
Kota Jambi” FKIP Universitas Batanghari Jambi, Vol. 2012, 2, (2012) :
45-47.
Artikel dan Internet
https://daerah.sindonews.com/ , Penulis Nanang Shobirin diakses pada tanggal 29
April 2019 Pukul 22:00 WIB.
https://infojambi.com/islam-dan-perdaban-melayu-jambi Tulisan M. Iqbal
Shiddiki. Diakses pada 30 Desember 2018 Pukul 22:00 WIB.
https://journal.uir.ac.id/ Ditulis oleh Fahlefi Diakses pada 10 Desember 2018
Pukul 22:00 WIB. H 301
https://online-journal.unja.ac.id Sejarah Kota Modern Masakolonial Belanda
Studi Kasus Kota Tua Muaro Tembesi Batanghari, Penulis Siti Syuhada,
Supiandan Reka Suprina diaksestanggal 5 Mei 2019 pukul 01:50 WIB.
https://www.netralnews.com/news/rsn/read/92426/ini-tradisi-lamaran-dalam-
pernikahan-jambi-sumatra. Artikel diakses pada 30 Desember 2018 pukul
23:00 WIB.
Khairunnas, Hantaran Perkawinan Dalam Peminangan Secara Adat Rempak
Ditinjau Menurut Hukum Islam, Riau, (skripsi S1 2012, diakses di
http://ejournal.uin-suska.ac.id/ diakses pada 1 November 2018) h. 6
Ridwan, Islamisasi Di Abad XIII M, Yogyakarta (skripsi S1 2016, diakses di
http://digilib.uinsuka.ac.id/ diakses pada 1 November 2018)
Shofwan Muhammad Nidhomi, “ Tradisi Nyabek Toloh dalam Peminangan di
Madura” (Jakarta: Skripsi Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h.
39
www.meranginkab.go.id Website diakses pada tanggal 29 Desember 2018 Pukul
22:00 WIB.
Wawancara
Sumber: Dokumen Kantor Desa Seling Tahun 2018
Wawancara Pribadi dengan Ahmad IB (tokoh adat). Seling, 04 januari 2019
Wawancara pribadi dengan Ramlah (Ilmuan jambi) jambi, 30 September 2018
78
Wawancara Pribadi dengan Maryam (Masyarakat). Seling, 09 januari 2019
Wawancara Pribadi dengan Sawiyah (Pelaksana Jambah). Seling, 09 januari 2019
Wawancara Pribadi dengan Syamsul Bahri (Masyarakat). Seling, 09 januari 2019
Wawancara Pribadi dengan Abu Bakar (Ketua Pemuda). Seling, 07 januari 2019
Wawancara Pribadi dengan M. Saman (Tokoh Masyarakat). Seling, 01 januari
2019
Wawancara Pribadi dengan Saman (tokoh masyarakat). Seling, 08 januari 2019
Wawancara Pribadi dengan Abdullah (pemuka agama). Seling, 05 januari 2019
WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT DESA SELING
KABUPATEN MERANGIN
Nama : Syamsul Bahri S.Ag
Umur : 39 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Wirasuwasta
Pertanyaan : Mohon disampaikan waktu bapak menikah istri?
Jawaban : saya menikah tahun 2006
Pertanyaan : Menurut bapak apa itu peminagan ?
Jawaban :peminagan kalau di desa ini biasa di sebut dengan nyasat dalam
artian ingin melamar seseorang untuk melangkah ke pernikahan.
Pertanyaan : apakah nyasat/peminangan di desa ini tidak keluar dari norma
agama?
Jawaban : tentu tidak.
Pertanyaan : Menurut bapak apa itu pinang sirih (jambah)?
Jawaban :jambah
Pertanyaan : Apakah istri bapak orang desa ini?
Jawaban : Bukan, Istri saya berasal dari luar desa ini.
Pertanyaan : Apakah bapak menggunakan adat desa Seling dalam melamar
dia?
Jawaban : Tidak karena sudah berbeda adatnya, kita menyesuikan adat yang
ada di desa tempat istri saya berada.
Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui tentang pinang sirih (jambah)?
Jawaban : Jambah adalah membawa Sesuatu ketika mau lamaran
berlangsung.
Pertanyaan : Pada waktu itu apakah anda membawa pinang sirih (jambah) saat
peminangan?
Jawaban : Iya, karena kita mengkombinasikan antara adat yang ada ditempat
istri saya dengan adat yang ada di disa ini
Pertanyaan : Apakah adat ini memberatkan anda?
Jawaban : Tentu tidak
Pertanyaan : Dengan adanya adat seperti ini apakah anda setuju dengan adat
yang berlaku?
Jawaban : Saya setuju aja selagi itu baik dan tidak bertentangan dengan
agama islam.
WAWANCARA DENGAN ELEMEN MASYARAKAT DESA SELING
KABUPATEN MERANGIN
Nama : Maryam M.Pd
Umur : 27 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Dosen STAI (Sekolah Tinggi Agama Islam) Maulana Qory
Bangko
Pertanyaan : Kapan ibu menikah ?
Jawaban : Saya menikah 30 Agustus tahun 2018
Pertanyaan : Menurut ibu lamaran didesa ini seperti apa?
Jawaban : Lamaran yang berlangsung di desa ini sesuai dengan agama
islam, akan tetapi ada sedikit acara adat yang wajib dilakasankan
selama prosesi lamaran berlangsung.
Pertanyaan : Apakah suami ibu orang desa ini?
Jawaban : Iya
Pertanyaan : Apakah ibu mengetahui tentang jambah?
Jawaban : Iya, tahu.
Pertanyaan : Waktu prosesi lamaran apakah suami ibu membawanya?
Jawaban : Sudah pasti dibawa, karena suatu kewajiban adat setempat untuk
membawa jambah tersebut.
Pertanyaan : Menurut ibu apakah adat ini memberatkan orang yang mau
menikah?
Jawaban : Kalau menurut saya tidak memberatkan, karena yang diberikan
bukan berupa barang yang mahal atau memiliki harga tinggi.
Melainkan bahan pangan yang memiliki arti kehidupan.
Pertanyaan : Dengan adanya adat seperti ini apakah anda setuju dengan adat
yang berlaku?
Jawaban : Saya pribadi setuju aja, asalkan adat ini tidak memberatkan atau
bertentangan dengan norma-norma yang ada bahkan agama sekali
pun.
Pertanyaan : Apakah ada filosofi membawa jambah tersebut bu?
Jawaban : Ada, karena kambah merupakan salah satu simbol kerendahan
diri atau kerendahan hati, yang mana sadar akan semua yang kita
miliki hanya milik tuhan semata, maka dari itu adat setempat
menanamkan keyakian tersebut karena semata-mata hanya untuk
mengharapkan keridhoan tuhan semata, dan diharapkan ikatan
yang terjalin tidak akan putus walaupun badai yang dasyat
menerjang bantera rumah tangga merka nanti.
WAWANCARA DENGAN KETUA PEMUDA DESA SELING
KABUPATEN MERANGIN
Nama : Abu Bakar
Umur : 50 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Petani
Pertanyaan : Apakah bapak sudah menikah ?
Jawaban : Sudah.
Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui dengan awal muculnya adat didesa ini?
Jawaban : Historis munculnya adat didaerah tersebut ialah dari adat Melayu
Jambi, yang terbagi dari beberapa hal. khususnya di desa Seling
ini, awal mula terbentuk adat ini yaitu disebut dengan Margo Batin
Limo.
Pertanyaan : Yang di maksud dengan margo batin limo itu apa pak?
Jawaban : Mereka yang pertama mengijak tempat Tabir dan disebut dengan
margo batin limo dari dari sinalah awal berpijaknya sebuah hukum
adat di desa Seling
Pertanyaan : Apakah ada sangsi adat apabila melanggar peraturan adat?
Jawaban : Tentu ada.
Pertanyaan : Dalam melanggar adat, apakah ada yang harus dibayar atau ada
yang lain?
Jawaban : Tentu ada, apabila melanggarnya terbagi 4 macam yaitu harus
membayar dengan kerbau, sapi, kambing, dan ayam.
Pertanyaan : Apakah pernah terjadi yang melanggar adat setempat?
Jawaban : Pernah ada, dan mereka diharuskan membayar dengan 4 macam
saya sebutkan tadi.
WAWANCARA DENGAN MASYARAKAT PETUGAS PENGANTAR
JAMBAH DESA SELING KABUPATEN MERANGIN
Nama : Sawiyah
Umur : 60 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Petani
Pertanyaan : Sudah berapa kali ibu menjadi petugas pengantar jambah ?
Jawaban : Sudah sering, gak kehitung pokoknya
Pertanyaan : Mengapa didesa ini harus membawa hal tersebut ?
Jawaban : Karena sudah kewajiban adat desa sini
Pertanyaan : Boleh diceritakan sedikit mengenai prosesnya ?
Jawaban : Kita berkumpul terlebih dahulu di tempat atau dirumah laki-laki
yang hendak menikah untuk mempersiapkan barang yang akan
dibawa. Selanjutanya kita jalan menuju rumah si-perempuan
petugasnya ada skitar 10 orang wanita.
Pertanyaan : Barang yang dibawa berupa apa?
Jawaban : Jambah yang dibawa kepada pihak perempuan ialah sirih, daun
gambir, setangkai pinang muda, pinang tua, dua buah kelapa tua,
ayam atau burung puyuh.
Pertanyaan : Pelaksanaanya di rumah perempuan
Jawaban : Iya, pelaksanaannya berlangsung dirumah siperempuan dan
petugas membawa jambah tersebut ialah keluarga perempuan dari
pihak laki-laki.
Pertanyaan : Selama proses jambah apakah ibu keberatan dengan
melaksanakan adat ini ?
Jawaban : Tentu tidak, justru ini menurut saya bisa lebih mengeratkan
keluarga besar antara keluarga laki-laki dan perempuan.
Pertanyaan : Menurut ibu apakah adat ini harus dilesatrikan terus ?
Jawaban : Itu harus, karena inilah budaya leluhur yang perlu di pertahankan
oleh muda mudi zaman sekarang.
Pertanyaan : apa pesan ibu untuk pemuda zaman sekarang ?
Jawaban : Pesan untuk anak muda zaman sekarang haruslah melestarikan
budaya kita Indonesia walaupun beragam-ragam tapi itu adalah ciri
khas bangsa ini.
WAWANCARA DENGAN KEPALA DESA SELING KABUPATEN
MERANGIN
Nama : Hasan
Umur : 41 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Kepala Desa Seling
Pertanyaan : Mohon disampaikan waktu bapak menikah istri?
Jawaban : saya menikah tahun 2007
Pertanyaan : Bagaimana pandangan bapak terhadap adat yang ada didesa ini?
Jawaban : Alhamdulillah, adat disini tidak keluar dari norma-norma
pancasila dan agama dikarenakan juga mayoritas penduduknya
beragama islam, adapun adat yang berlaku selama ini khususnya
dilingkup pernikahan sangat baik, akan tetapi mungkin ada sedikit
yang tidak ada dalam agama, namun itu tidak bertentangan karena
adat kebiasaan yang menjujung nilai-nilai sosial warganya, paling
itu saja
Pertanyaan : Apakah adat yang ada di desa ini sama dengan seluruh adat
melayu jambi?
Jawaban : Kalau itu tentu tidak, karena dijambi ini setiap desa dan tempat,
memiliki adat pernikahannya masing-masing.
Pertanyaan : Sebelum melaksankan pernikahan ada yang namanya
peminangan, kalau peminangan yang ada di desa ini seperti apa ?
Jawaban : Peminnagan disini biasa disebut nyasat, sebelum melaksankan
peminangan ada tahapan-tahapan adat yang harus dilaksanakan
terlebih dahulu, karena kembali lagi kepada kebiasa yang ada
didesa ini.
Pertanyaan : Apakah ada sangsi dalam pembatalan peminangan?
Jawaban : pembahasan terkait batalnya suatu perjanjian atau peminangan
baik dari pihak perempuan maupun dari pihak laki-laki, dalam
khasus yang pernah terjadi dimasyarakat, ada sedikit tradisi
perjodohan yang beralngsung di Desa setempat dan mengakibatkan
batalnya peminangan dikarenakan perjodohan yang dilakukan dari
pihak keluarga. Namun pasangan tersebut tidak menginginkan
perjodohan yang telah dilakukan oleh masing-masing keluarganya.
Maka dalam adat setempet ada sangsi adat yang berlaku bagi
meraka yang membatalkan perjanjian tersebut. Apabila yang
melakukan pembatalan perjanjian atau peminangan dari pihak
perempuan yang melamar, maka akan dikenakan denda dari apa
yang telah diberikan kepada pihak laki-laki yaitu sebesar 2x lipat
dari barang yang telah diberikan sebelumnya. Akan tetapi apabila
yang melakukan pembatalan dari pihak laki-laki maka hanya
memberikan barang yang telah diberikan kepada pihak perempuan
tersebut tidak mengganti 2x lipat seperti pihak perempuan.
WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT DESA SELING KABUPATEN
MERANGIN
Nama : Ahmad IB
Umur : 50 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Petani
Pertanyaan : Bagaimana adat istiadat didesa ini terkait peminangan ?
Jawaban : peminangan di desa ini biasanya di sebut dengan nyasat.
Pertanyaan : Bagaimana makanisme nyasat atau peminangan yang ada didesa
ini ?
Jawaban : maknismenya ialah ada 4 tahapan. Yang pertama itu pihak
perempuan yang ingin melamar seorang laki-laki tersebut diwakili
oleh kelurga terdekat terlebih dahulu, yaitu melalui perantara
bibi,paman atau yang masih ada ikatan darah dan lain-lain sama
perempuan yang ingin melamar tersebut, perempuan dan orang tua
pihak pelamar tidak ikut serta dalam tahap ini. Yang kedua
bertanya dilakukanlah proses pertanyaan yang digunakan dengan
saloko adat (pantun). Yang ketiga antar tando apabila lamaran
sudah sesuai dan telah satu presepsi kedua belah pihak maka pihak
perempuan datang kembali memberikan barang untuk menandakan
bahwa perempuan dan laki-laki tersebut telah bertungan. dalam
tahap inilah baru di pertemukan semua keluarga dari yang jauh
hingga kepada orang tua masing-masing pasangan yang akan
melaksankan tunangan tersebut. Dan terakhir duduk nenek mamak.
Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui dengan jambah ?
Jawaban : Suatu bahan pangan yang dikumpulkan didalam suatu tempat dan
di berikan kepada pihak perempuan.
Pertanyaan : Bagaimana proses mengatar jambah tersebut ?
Jawaban : Pelaksana mengahantarkan jambah (pinang sirih) ini pada saat
sebelum melaksanakn akad nikah, jambah ini dibawa dari pihak
laki-laki yang hendak menikah, jambah yang dibawa kepada pihak
perempuan ialah sirih, daun gambir, setangkai pinang muda,
pinang tua, dua buah kelapa tua, ayam atau burung puyuh. Maka
pelaksanaannya berlangsung dirumah siperempuan dan petugas
membawa jambah tersebut ialah keluarga perempuan dari pihak
laki-laki.
Pertanyaan : Apa saja bahan yang dibawa ketika pelaksanaan jambah ?
Jawaban : sirih, daun gambir, setangkai pinang muda, pinang tua, dua buah
kelapa tua, ayam atau burung puyuh.
Pertanyaan : Apa kegunaan melaksanakan adat tersebut ?
Jawaban : Setidaknya meghargai leluhur yang telah membangun pradaban
yang ada di desa ini, dan menghormati sesama. Tidak memandang
ekonomi masing-masing calon dan menjunjung tinggi nilai agama.
Pertanyaan : Apa ada sanksi apabila terjadi pembatalan peminangan ?
Jawaban : Ada, dan itu wajib dibayar.
Pertanyaan : Berupa apa saja sanksinya ?
Jawaban : Dalam adat setempet ada sangsi adat yang berlaku bagi meraka
yang membatalkan perjanjian tersebut. Apabila yang melakukan
pembatalan perjanjian atau peminangan dari pihak perempuan
yang melamar, maka akan dikenakan denda dari apa yang telah
diberikan kepada pihak laki-laki yaitu sebesar 2x lipat dari barang
yang telah diberikan sebelumnya. Akan tetapi apabila yang
melakukan pembatalan dari pihak laki-laki maka hanya
memberikan barang yang telah diberikan kepada pihak perempuan
tersebut tidak mengganti 2x lipat seperti pihak perempuan.
WAWANCARA DENGAN TOKOH AGAMA DESA SELING
KABUPATEN MERANGIN
Nama : Drs. Abdullah
Umur : 53 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Pimpinan Ponpes Darul Fiqh Desa Seling
Pertanyaan : Secara umum, kehidupan keagamaan di desa Seling menurut
bapak bagaimana ?
Jawaban : alahamdulilah mayoritas warga didesa ini beragama islam, 99%
masyrakat desa seling menganut agama islam.
Pertanyaan : Menurut bapak, bagaimana posisi islam terhadap adat istiadat di
desa Seling ini ?
Jawaban : penompang hukum islam itu adalahhukum adat, dan sudah jelas
dengan kaidah hukum al-„aadatu muhakkamah adat itu adalah
suatu bentuk hukum yang dilestarikan, yang bisa menopang
kehidupan umat Islam. Maka menurut saya tidak ada perbedaan
yang menyalahkan hukum islam dalam hukum adat.
Pertanyaan : Apakah ada keterkitan terhadap hukum islam ?
Jawaban : keterkaitan terhadap hukum islam yang Terkait denga tradisi
jambah (pinang sirih) yang berlaku di desa seling tidak bisa
ditinggalkan karena sudah menjadi adat yang harus dilakukan oleh
setiap masyarakat yang ada disana. Adat ini telah menjadi hukum
yang tidak tertulis yang wajib dipatuhi dan dilaksakan bagi mereka
yang berhimpun didaerah tersebut. Pelaksanaan tradisi ini memang
tidak tercantum dalam hukum islam, namun hal ini tidak
bertentangan dengan syariat islam dan tidak pula merusak akidah,
karena salah satu fungsi dari membawa jambah (pinang sirih) ini
adalah sebagai tanda kesanggupan atau menandakan bahwasanya
mempelai laki-laki siap menjadi pemimpin dan memikul beban
serta taggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Adat ini biasa di
sebut dalam islam ialah al-„urf shahih yaitu adat kebiasaan yang
baik dan benar yang bisa dijadikan pertimbangan hukum.
Pertanyaan : Apakah adat ini bertentangan dengan hukum islam ?
Jawaban : Kalau bertentangan dengan hukum islam, sejauh ini tidak ada
kaarena kebiasaan yang di bangun ialah tidak jauh dari hukum
islam itu sendiri, kerena kembali kepada al-‟urf atau kebiasaan,
yang mana kebiasaan ini tidak melanggar kaidah-kaidah atau
norma-norma agama. Melainkan mengkombinasikan antaranya,
kalau dari segi muamalah yang kita kerjakan dan itu bersifat baik,
maka dibolehkan.
Pertanyaan : Apakah jambah sebagai syarat suatu peminangan ?
Jawaban : Memang ketentuan ini tidak ada dibicarakan didalam islam, akan
tetapi maksud adanya adat ini bukanlah untuk bertentangan dengan
hukum islam itu sendiri, karena yang ditekankan disi ialah saling
menghargai satu sama lain, dilain sisi agama mengharuskan kita
saling bertoleransi sesame manusia. Maka adat ini ada juga
berlandasakan islam itu sediri.
Pertanyaan : Apakah ada makna dalam menjalankan adat istidat yang berlaku
di desa ini ?
Jawaban : setidaknya kita tidak meninggalkan budaya kita sendiri, yang
mana telah lama ada dan ini menjadi ciri khas masing-masing
tempat. Sebagaimana islam masuk ketanah Indonesia dan
menyebarkan ajaran islam salah satunya melalui budaya-budaya
local. Begitu juga para walisongo berdakwah ketika masanya.
Pertanyaan : Apakah adat seperti ini memberatkan warga setempat ?
Jawaban : Setahu saya selama ini tidak ada yang mengomentari terkait adat
yang ada, dalam artian masyarakat setuju-setuju aja dan juga tidak
ada omongan kalau tradisi ini memberatkan mereka tau tidak.
Pertanyaan : Menurut bapak apa seberapa penting menjalankan adat seperti ini
?
Jawaban : sangat penting ya, karena tanpa budaya kita bukan siapa-siapa.
Kita tidak memiliki ciri khas dalam bermasyarakat, karena budaya
itu hadir karena kebiasaan. Begitu juga islam hadir di tanah arab.
Budaya yang ada di komnasikan kedalam hukum islam, dan yang
bertentangan secara zhahir maka akan diabuang.
WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT DESA SELING
KABUPATEN MERANGIN
Nama : M.Saman. S.Pd
Umur : 58 Tahun
Alamat : Desa Seling Kecematan Tabir Kabupaten Merangin
Pekerjaan : Wirasuasta
Pertanyaan : Apakah bapak mengetahui tradisi lamaran didesa Seling ?
Jawaban : iya, mengetahuinya.
Pertanyaan : Bagaiman asal usul tradisi peminangan di desa ini ?
Jawaban : Historis munculnya adat didaerah tersebut ialah dari adat Melayu
Jambi, yang terbagi dari beberapa hal. khususnya di desa Seling
ini, awal mula terbentuk adat ini yaitu disebut dengan Margo Batin
Limo.
Pertanyaan : Apakah masih banyak yang mempertahankan tradisi peminagan
di desa ini ?
Jawaban : Sampai saat ini masih
Pertanyaan : Apa makna yang terkandung apabila kita melaksanakan tradisi di
desa ini ?
Jawaban : Menghargai pihak wanita yang melaksankan akad dirumah nya
dan menjalin ikatan kekeluargaan melalui barang bawaan yang
telah diberikan (jambah), supaya pekawinan yang dilaksanankan
ini terus berlajut hingga ajal menjempun mereka berdua, dan
barang ini pun menjadi simbol mencari rezki untuk kehidupan
mereka kelak. Hingga saling menopang untuk membangun rumah
tangga yang lebih baik dan bermartabat, sampai kepada anak dan
cucu mereka nanti.
Pertanyaan : apakah ada akibat hukum, apabila tidak melaksankan tradisi
tersebut ?
Jawaban : Tentu ada, akibat hukum yang terjadi apabila tidak melaksankan
tradisi ini, pelaku disuruh membayar berupa hewan ternak yang
telah ditentukan oleh lembaga adat.
Pertanyaan : Apakah adat ini memberatkan pagi yang melangsungkan
peminangan ?
Jawaban : Kalau menurut saya tidak karena, sudah ketentuan adatnya dan
juga barang yang diberikan berupa bahan pangan, jadi modalnya
gak terlalu besar
Pertanyaan : Menurut bapak apakah ada manfaat dari tradisi ini ?
Jawaban : Yang saya ketahaui manfaat dari tradisi ini salah satunya untuk
lebih menghargai satu sama lain, baik dari segi ekonomi dan
sosialnya.
l