Download - Refarat (Blm Fix)
Bagian ilmu Kesehatan kulit dan Kelamin Referat
Fakultas kedokteran April 2015
Universitas Halu oleo
“Tinea Pedis”
Oleh :
Muhammad Ali Badar
K1A2 10 033
Pembimbing : dr. Shinta Novianti Barnas, M.Kes, Sp.KK
KEPANITERAAN BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO/
RUMAH ABU NAWAS
KENDARI
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Ali Badar
Stambuk : K1 A2 10 033
Judul Refarat : Tinea Pedis
Telah menyelesaikan pembacaan Refarat dalam rangka kepanitraan klinik pada
bagian ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Halu
Oleo pada hari ………, ….. April 2015.
Kendari,…..April 2015
Pembimbing
dr. Shinta Novianti Barnas, M.Kes, Sp.KK
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Tinea pedis adalah infeksi kulit dari jamur superfisial pada kaki. Tinea
pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari
dan telapak kaki. Tinea pedis merupakan golongan dermatofitosis pada kaki.
Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis.
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk
atau stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku
yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita merupakan arti umum,
yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.
Hampir semua orang dalam populasi umumnya terkena jamur yang
menyebabkan Tinea pedis. Sistem kekebalan tubuh masing-masing orang
menentukan apakah hasil infeksi dari eksposur tersebut. Sebagai orang usia
dewasa, retak kecil berkembang di kulit kaki, meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi tinea. Prevalensi Tinea pedis sekitar 10%, terutama
disebabkan oleh oklusif alas kaki.
Indonesia termasuk wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur,
sehingga dapat ditemukan hampir di semua tempat. Menurut Adiguna MS,
insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di
Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak
menggambarkan populasi umum.
Dermatomikosis atau mikosis superfisialis cukup banyak diderita
penduduk negara tropis. Di Indonesia angka yang tepat, berapa
sesungguhnya insiden dermatomikosis belum ada. Di Denpasar, golongan
penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Angka insiden
tersebut diperkirakan kurang lebih sama dengan di kota-kota besar
Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman angka ini mungkin akan meningkat
dengan variasi penyakit yang berbeda.Sebuah penelitian retrospektif yang
dilakukan pada penderita dermatomikosis yang dirawat di IRNA Penyakit
Kulit Dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya dalam kurun waktu antara 2
Januari 1998 sampai dengan 31 Desember 2002. Dari pengamatan selama 5
tahun didapatkan 19 penderita dermatomikosis. Kasus terbanyak terjadi
pada usia antara 15-24 tahun (26,3%), penderita wanita hampir sebanding
dengan laki-laki(10:9). Dermatomikosis terbanyak ialah Tinea kapitis,
Aktinomisetoma, Tinea kruris et korporis, Kandidiasis oral, dan Kandidiasis
vulvovaginalis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi Tinea pedis
Tinea manus et Pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-
jari tangan dan kaki, serta daerah interdigital 1
Tinea pedis atau ringworm of the foot adalah infeksi dermatofita pada kaki,
terutama pada sela jari dan telapak kaki. Tinea pedis merupakan infeksi jamur
yang paling sering terjadi. Penyebabnya yang paling sering adalah
Trichophyton rubrum yang memberikan kelainan menahun. Paling banyak
ditemukan diantara jari ke-4 dan ke-5, dan seringkali meluas ke bawah jari dan
sela jari-jari lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering terlihat maserasi
berupa kulit putih dan rapuh. Jika bagian kulit yang mati ini dibersihkan,
maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang jamur 2
Pada umumnya, jamur tumbuh pada kulit kaki karena faktor kelembaban.
Hal itu dapat disebabkan kaki yang sering berkeringat, kaos kaki kurang dijaga
kebersihannya, atau sepatu terlalu tertutup. Jari-jari kaki sangat rentan terinfeksi
jamur Tinea pedis, terutama pada orang yang sering memakai sepatu tertutup
pada kesehariannya.
Jadi dapat dikatakan di sini bahwa Tinea berhubungan
dengan kebersihan, dan keringat. Bentuk klinis dapat terjadi bertahun-tahun,
tanpa keluhan berarti. Bahkan sebagian di antara penderitanya total bebas gejala.
Sebagian penderitanya baru merasa terganggu ketika muncul bau tak sedap dari
kulit kaki mereka. Tidak menutup kemungkinan munculnya infeksi bakteri
(infeksi sekunder) yang dapat menunjukkan gejala mulai dari yang ringan
(bintil-bintil merah yang perih) 2
2. Etiologi Patogenesis
Penyebab yang sering adalah T. Rubrum, T. Mentagrophytes, E. Floccosum1
Tabel 1 Klasifikasi Tinea Mentagrophytes Dikutip dari kepustakaan 3
Kingdom -Fungi Phylum
-Ascomycota Class
-Euascomycetes Order
-Onygenales
Family Arthrodermataceae
Genus Trichophyton
Spesies Trichophyton mentagrophytes
Morfologi
Bentuk makroskopis Trichophyton mentagrophytes adalah merupakan
tenunan lilin, berwarna putih sampai putih kekuningan yang agak terang atau
berwarna violet merah. Kadang bahkan berwarna pucat kekuningan dan coklat.
Karakter dari jamur: merupakan jamur filamentous yang menyerang kulit
yang menggunakan keratin sebagai nutrisinya. Keratin adalah protein utama
dalam kulit, rambut dan kuku 3
Gambar 1 : Trichophyton mentagrophytes (dikutip dari kepustakaan No. 3)
Siklus Hidup
Pada Trichophyton mentagrophytes, penggabungan sitoplasma tidak diikuti
segera dengan penggabungan inti. Hal ini menyebabkan terjadinya fase pendek
dikaryotic. Hifa dikariotik dilindungi dan diberi makan oleh hifa haploid yang
berdiferensiasi menjadi ascoma. Ascospora dilepaskan dari ascoma dan
berkecambah membentuk miselium haploid baru 3
Patogenesis dermatofita memiliki 3 step: 5
1. Adherence/pengikatan. Fungi selalu mempunyai hambatan dalam proses
infeksinya, fungi harus resisten terhadap sinar UV, tahan terhadap berbagai
temperatur dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal kulit, spingosine
yang di hasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yg diproduksi oleh glandula
sebasea bersifat fungistatik (menghambat pertumbuhan jamur). Mulainya
diproduksi asam lemak pada anak anak post-pubertas mungkin menerangkan
menurunnya kejadian Tinea kapitis secara drastis.
2. Penetrasi setelah fase adherence, spora akan tumbuh dan memasuki stratum
korneum dengan kecepatan yang lebih cepat dari waktu deskuamasi epidermis.
Penetrasi juga di dukung dengan keluarnya enzim proteinase, lipase dan
musinolitik yang juga membantu dalam pembuatan nutrisi fungi. Trauma dan
maserasi merupakan faktor penting dalam memudahkan penetrasi fungi
terutama pada kasus Tinea pedis. Fungal mannans yang ada di dinding sel
dermatofita juga dapat menurunkan poliferasi sel keratinosit. Pertahanan terbaru
pada lapisan epidermis yang lebih dapat tercapai diantaranya berkompetisi
dengan besi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur oleh progesteron.
3. Development a host response/respon host. Proses inflamasi yang terjadi
sangat tergantung dari sistem imun host dan juga oleh jenis organisme.
Beberapa fungi dapat menghasilkan faktor kemotaktik dengan berat melekul
rendah seperti yang dihasilkan bakteri. Antibodi tidak terlihat pada infeksi
dermatofita, tetapi hanya menggunakan jalur reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Infeksi yang sangat ringan sering hanya menimbulkan inflamasi yang ringan
juga, pertama muncul berupa eritema dan scale / skuama yang menandakan
terjadinya peningkatan pergantian keratinosit(keratinocyte turnover). Antigen
dermatofit diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan di nodus
limpa lokal menuju ke limfosit T. Kemudian limfosit T mengalami poliferasi
dan bermigrasi ke lokasi untuk membunuh jamur dan pada waktu ini lesi
menjadi mendadak inflamasi. Oleh sebab ini barier epidermal menjadi
permeable terhadap transferin dan migrasi sel.
3. Faktor risiko Tinea pedis
Tinea pedis yang mempunyai nama lain Athlete's foot, ring worm of the foot atau
kutu air, (padahal bukan betul-betul kutu, melainkan kapang jamur yang menyukai
bagian kulit yang sering dibiarkan basah dan lembab). Beberapa faktor lain
penyebab Tinea pedis adalah pemakaian sepatu tertutup untuk waktu yang lama,
bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena mekanis, dan
paparan terhadap jamur di gedung olah raga atau kolam renang 2
Selain itu pemakaian kaus kaki dengan bahan yang tidak dapat menyerap keringat
dapat menambah kelembaban di sekitar kaki yang cenderung mendukung jamur
dapat tumbuh subur. Kondisi sosial ekonomi serta kurangnya kebersihan pribadi juga
memegang peranan penting pada infeksi jamur (insiden penyakit jamur pada sosial
ekonomi lebih rendah lebih sering terjadi daripada sosial ekonomi yang lebih baik, hal
ini terkait dengan status gizi yang mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap
penyakit). Kebersihan pribadi (mencuci kaki setiap hari, menjaga kaki selalu kering)
yang kurang diperhatikan turut mendukung tumbuhnya jamur 2
4. Gejala Klinis Tinea pedis
Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai
sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di
sawah dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai
mengeluh sangat gatal dan nyeri Karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan2
Tinea Pedis ialah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela- sela jari
dan telapak kaki, yang secara klinik dapat kita jumpai yakni: 4
1. Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis. Diantara jari
IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini
dapat meluas kebawah jari (subdigitalis) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh
karena daerah ini lembab, sehingga sering dilihat maserasi. Aspek klinik
maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini
dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah
diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun
dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan
ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulilitis,
limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula disertai erysipelas, yang disertai
gejala- gejala umum.
2. Bentuk lain ialah yang disebut moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari telapak,
tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema
biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi
dapat pula dilihat papul dan kadang- kadang vesikel.
3. Pada bagian subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang bula.
Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas pada
punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental.
Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran
yang disebut koleret. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk ini,
sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang- kadang
menyerupai erysipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk
menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa
secara sediaan langsung atau untuk dibiak.
Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari
banyak bersepatu tertutup disertai perwatan kaki yang buruk dan para pekerja
dengan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering
basah. Penderita biasnya orang dewasa. Di Indonesia penyakit ini tidak begitu
sering dilihat di poliklinik penyakit kulit dan kelamin diberbagai kota besar 4
5. Pemeriksaan Kulit dan Gambaran Histopatologi
a. Pemeriksaan Kulit6
- Lokalisasi : Interdigitalis, antara jari- jari ke-3, 4 dan 5;
serta telapak kaki.
- Efloresensi/ sifat : 1. Fissure pada sisi kaki, beberapa millimeter
sampai 0,5 cm
2. Sisik halus putih kecoklatan
3. vesikula miliar dan dalam.
4. vesikopustula miliar sampai lentikular
pada telapak kaki dan sela jari.
5. hiperkeratotik biasanya pada telapak kaki
- Gambaran Histopatologi: keadaan akut, pada epidermis tampak
migrasi leukosit, edema intraseluler, spongiosis dan parakeratosis.
Jika terdapat vesikel intraepidermal, biasanya superfisialis,
multinukleus, mengandung serum, fibrin dan neutrofil. Pada lesi yang
aktif tampak akantosis, dan pada dermis terlihat infiltrasi sel radang
akut, filament dan spora 6
6. Diagnosis Tinea pedis
Diagnosis tinea pada umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala-gejala
klinis yang khas dan pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% dan
biakan. Untuk mendiagnosis diperlukan skuama dari bagian tepi lesi yang
diambil dengan menggunakan skalpel. Skuama tersebut ditaruh pada slide yang
ditetesi oleh larutan kalium hidroksida. Diagnosis dibuat dengan memeriksa
skuama yang terinfeksi tersebut secara mikroskopis dan mengisolasi
mikroorganisme penyebab dalam media kultur 2
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan
kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20 % yang menunjukkan elemen jamur 1
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan langsung menggunakan
mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran
10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.
Sediaan basah dilakukan dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KoH. Konsentrasi larutan untuk sediaan rambut adalah
10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan
KoH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah diatas
api kecil. Pada saat mulai keluar uap pada sediaan tersebut, pemanasan sudah
cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KoH, sehingga tujuan
yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KoH, misalnya tinta Parker superchoom
blue black. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang maupun spora berderet (artrospora)
pada kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati. 5
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dextrosa Sabouraud. Pada agar
Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula
klorheksimit. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan.5
Gambar 2 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)
Gambar 3 : Gambaran histopatologi dari Tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial dari epidermis
7. Diagnosis Banding Tinea pedis
Tinea pedis perlu dibedakan dengan penyakit lain di kaki, ada beberapa diagnosis
banding yang perlu diketahui, antara lain: 2
a. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergik dapat menyebabkan gatal disertai eritema, vesikel,
skuamasi terutama pada jari-jari, punggung, dan kaki. Disebabkan oleh kontak
dengan bahan yang dapat menimbulkan reaksi alergi.
b. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik dapat menyebabkan skuamasi kering yang disertai gatal di bagian
punggung kaki. Atau yang lebih dikenal sebagai eksim, timbul pada penderita
dengan riwayat atopi (urtikaria, rinitis alergika, hay fever dan asma).
c. Psoriasis pustulosa
Merupakan penyakit yang diturunkan (cacat herediter yang menyebabkan over
produksi keratin), bersifat kronik yang dapat terjadi pada setiap usia. Penyakit
inflamasi noninfeksius yang kronik pada kulit di mana produksi sel-sel
epidermis terjadi dengan kecepatan ± enam hingga sembilan kali
lebih besar daripada kecepatan yang normal. Berupa plak bersisik putih
yang terdapat pada daerah lutut, siku, dan kulit kepala. Juga dapat dijumpai di jari-
jari tangan dan jari-jari kaki memperlihatkan plak-plak yang licin dan merah dengan
permukaan yang mengalami maserasi.
d. Skabies pada kaki
Disebabkan oleh kutu atau tungau skabies yang masuk ke dalam kulit
manusia, menimbulkan perasan gatal. Dapat menghinggapi badan, sela jari tangan,
sela paha dan lipatan siku.
8. Pengobatan Tinea pedis 5
Secara umum penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi
dan tipenya.
Tabel 2. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya
Tipe Organisme Penyebab
Gejala Klinis Pengobatan
Moccasin Trichophyton rubrum
Epidermophyton floccosum
Scytalidium hyalinum
S. dimidiatum
Hiperkeratosis yang difus, eritema dan retakan pada permukaan telapak kaki; pada umumnya sifatnya kronik dan sulit disembuhkan; berhubungan dengan defisiensi Cell Mediated Immunity (CMI)
Antifungal topikal disertai dengan obat-obatan keratolitik asam salisilat, urea dan asam laktat untuk mengurangi hiperkeratosis; dapat juga ditambahkan dengan obat-obatan oral
Interdigital T. mentagrophytes
(var. interdigitale)
T. rubrum
E. floccosum
S. hyalinum
S. dimidiatum
Candida spp.
Tipe yang paling sering; eritema, krusta dan maserasi yang terjadi pada sela-sela jari kaki,
Obat-obatan topikal; bisa juga menggunakan obat-obatan oral dan pemberian antibiotik jika terdapat infeksi bakteri; kronik : ammonium klorida hexahidrate 20 %
Inflamasi / Vesikobulosa
T. mentagrophytes
(var. mentagrophytes)
Vesikel dan bula pada pertengahan kaki; berhubungan dengan reaksi dermatofit
Obat-obatan topikal biasanya cukup pada fase akut, namun apabila dalam keadaan berat maka indikasi pemberian glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
Eksaserbasi pada daerah interdigital; Ulserasi dan erosi; biasanya terdapat infeksi sekunder oleh bakteri; biasanya terdapat pada pasien imunokompromais dan pasien diabetes
Obat-obatan topikal; antibiotik digunakan apabila terdapat infeksi sekunder
ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang
terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi
dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen
yang lain.
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis Tinea pedis tetapi lebih
cocok pada pengobatan Tinea pedis interdigitalis karena efektif pada
dermatofit dan kandida.
Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan
menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua
kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping
obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.(13)
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas
golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan
komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel
jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.(13)
Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan
menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel
meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga
berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada
daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu.(13)
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian
besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan
secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam.
Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari.
Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian
dengan salep asam salisilat 10 %.
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas
dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat
digunakan dalam berbagai jenis jamur.
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis,
kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia
dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari.
Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga
berguna pada Tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik
kronik).
Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang
mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1
sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa
terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine
10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih
kecil dan lebih aman.
e. Antijamur Topikal Lainnya.
Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan
asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini
dikenal sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek
fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik.
Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru
tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas
seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian,
juga ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para
pemakainya karena salep ini berlemak.
Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama
dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk
salep campuran yang mengandung 5 % undesilenat dan 20% seng
undesilenat.
Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik,
berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut
dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan
dengan kadar 1 %.
ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal
gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara
lain
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin
dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau
10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah
sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian
yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara
pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup
baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama
2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari
griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah
sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain
dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan
diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat
mengganggu fungsi hepar.
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis
yaitu ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang
resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut
sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari
setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk
penderita kelainan hepar.
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat
digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat
hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari.
Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur
dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam
sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela
membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan
selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg
sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat
lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus),
amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema),
sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia).
Itrakonazole diindikasikan pada Tinea pedis tipe moccasion.
4. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat
diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu,
dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan.
Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase
sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan
gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare
dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat
berupa gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil.
Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa
minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat
pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 %
kasus. Terbinafin baik digunakan pada pasien Tinea pedis tipe
moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata
ditemukan bahwa pengobatan Tinea pedis dengan terbinafine lebih
efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.5
9. Pencegahan
Untuk menghindari penyakit kulit, hal yang harus dilakukan adalah
menghambat pertumbuhan dari jamur kulit. Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk menghambat pertumbuhan jamur kulit. Dimulai dari mencuci kaki setiap
hari. Kaki yang telah dicuci dikeringkan dengan baik, khususnya di sela-sela kaki.
Jika menggunakan kaus kaki, gunakan kaus kaki yang bersih. Jangan
menggunakan kaus kaki yang basah dan lembab. Usahakan menggunakan kaus
kaki yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat 3
10. Prognosis
Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki biasanya
dapat menyembuhkan Tinea pedis (Athlete’s Foot) pada penderita dengan gejala
yang baru. Infeksi Tinea pedis kronis atauberulangjugabisa disembuhkandengan
cara ini, tetapimungkin memerlukanperubahan signifikan dalamperawatan
kakidan beberapaminggu pengobatan. Kasus yang lebih parahmungkin
memerlukanobat oral. Bahkan setelahpengobatan berhasil, penderita tetap berisiko
terhadapinfeksi ulangjika mereka tidakmengikuti pedomanpencegahan 5
Sebagian besar kasusAthlete’s foot sembuh dalam waktu dua minggu. Kasus
yang lebih parahdapat mencapai waktu satu bulanatau bahkan lebih lamadengan
asumsipenyebabnya adalahinfeksi jamur.5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela- sela jari
dan telapak kaki.
- Tinea pedis dapat disebabkan oleh epidermophyton, trichophyton, dan C.
Albicans, yang ditularkan secara kontak langsung atau tidak langsung.
- Gejala klinis dapat dilihat sesuai dengan lokalisasi yang dapat dilihat
dalam bentuk interdigitalis, bentuk mocassain foot dan bentuk subakut.
- Diagnosis dapat di tegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang seperti kerokan kulit+KOH 10 % : hifa positif,
biakan agar sabouraud : tumbuh koloni- koloni jamur, sinar wood :
fluoresensi positif.
- Pencegahan dan pengobatan adekuat pada penyakit tinea pedis dapat
memberikan prognosis yang baik.
A. Saran
-
DAFTAR PUSTAKA
1) Marwali H. in Tinea manus et Pedis. Ilmu Penyakit Kulit. Penyakit. Yogyakarta:
Hipokrates; 2006. p. 79-80
2) Ratna DK. Tesis Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Tinea Pedis Pada
Pemulung Di TPA Jatibarang. Semarang : Undip ; 2006.
3) Iskandar, Japari, All about tinea Pedis. Lampung : Bagian Ilmu kulit dan Kelamin; 2002
4) Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104
5) Agustya, Dwi. Refarat Tinea Pedis. Lampung : SMF Kulit dan Kelamin ; 2013
6) Siregar, R.S. in Tinea Pedis. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2. Palembang :
EGC; 2004. p. 23-26
7) Robin G, dkk. In Tinea Pedis. Lecture Notes Dermatologi. Surabaya : EMS ; 2005. p. 23
8) Claire J. Carlo, MD. Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. Tinea pedis(Athlete’s Foot)
9) Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. inTinea pedis: An Update. Asian
Journal of Medical Sciences 2 (2011)