Perayaan Grebeg Sekaten biasa disebut juga Grebeg Maulud atau Grebeg Gunungan
dan atau Grebeg Ageng yang diadakan untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW
diakhiri dengan acara Grebeg Maulud. “Grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti
riuh, ribut, dan ramai. Grebeg mempunyai arti dihadiri atau dikerumuni orang banyak secara
bersama-sama. Tentu saja ini menggambarkan suasana kebersamaan dalam perayaan grebeg
yang memang ramai dan riuh.
Acara sekaten merupakan acara rutin tahunan yang diadakan oleh pihak Kraton
Yogyakarta yang diperuntukkan bagi masyarakat Yogyakarta khususnya yang bertempat
tinggal dekat dengan lingkungan kraton dan sekitarnya untuk memperingati perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW, selepas acara sekaten tersebut biasanya pihak kraton melanjutkan
dengan upacara Grebeg Maulud. Kegiatan upacara ini merupakan sedekah dan ucapan syukur
Kraton Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Jalannya prosesi upacara tradisional Grebeg
Maulud diawali dengan iring-iringan Gunungan Lanang, Wadon, Gepak, Pawuhan dan
Dharat serta Gunungan Bromo yang dikeluarkan dari dalam Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat melewati Siti Hinggil, Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir di halaman
masjid Gede Kauman Yogyakarta. Meski kirap Gunungan Grebeg Maulud ini digelar setiap
tahun, namun tetap saja menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya. Gunungan pun memiliki makna filosofi tertentu. Substansi dari Gunungan terdiri
dari aneka hasil bumi (sayur dan buah) dan jajanan (rengginang) ini merupakan simbol dari
kemakmuran yang kemudian dibagikan kepada rakyat. Esensi dari acara Grebeg Gunungan
tersebut adalah syiar agama Islam.
Tradisi grebeg, atau biasa disebut dengan gunungan, telah ada sejak lama, setidaknya
sejak Kerajaan Mataram berdiri beberapa abad lalu, atau sejak Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat berdiri. Berdasarkan teori kefilsafatan, tradisi grebeg telah menjadi suatu
realisme, yakni dimana subjek menemukan kenyataan sesungguhnya dari objek, yaitu apabila
tradisi grebeg gunungan tidak dilaksanakan, maka Kraton Kesultanan Yogyakarta dan
masyarakatnya merasa khawatir dan terancam bahwa bencana dan malapetaka akan menimpa
mereka, ini yang menyebabkan ketergantungan akan sesuatu objek. Hingga kini tradisi
grebeg masih tetap dilaksanakan dan dirayakan secara sistematis atau berurutan sesuai
dengan penaggalan jawa dan penanggalan Islam, menurut dasar ilmu filsafat , tradisi grebeg
itu sendiri memiliki beberapa makna yang mendasar yang termasuk ke dalam filosofi
dasar ciri-ciri filsafat yakni:
1. Refleksif, yaitu kesadaran atau berkaca diri dari hasil perenungan dan pemikiran, maksudnya
dalam tradisi grebeg yang dilaksanakan secara rutin setahun sekali ini memiliki makna bahwa
Raja memiliki kesadaran untuk saling berbagi kepada rakyatnya melalui acara grebeg
tersebut dengan membagikan aneka hasil bumi yang diarak oleh para abdi dalem dan setelah
selesai arak-arakan itu, gunungan merupakan puncak tindakan simbolis dalam rangkaian
upacara sekaten yaitu dengan dibagi-bagikannya sesaji gunungan atau aneka hasil bumi dan
makanan dipelataran Masjid Agung Kraton gunungan yang berisi aneka hasil bumi pun
menjadi bahan rebutan masyarakat sekitar lingkungan Kraton yang telah lama menunggu dan
berdesak-desakan, walau begitu mereka tetap senang mengikuti perayaan tersebut.
2. Radikal, yaitu mengakar atau mendalam, perayaan grebeg kirab gunungan ini sudah ada
sejak zaman Kerajaan Mataram berdiri atau sejak Kraton Yogyakarta berdiri. Di dalam
masyarakat pedesaan di Jawa pada umumnya ada pengetahuan tentang alam secara terbatas.
Segala sesuatu yang tampak dapat mereka identifikasi sedang segala sesuatu yang tidak
tampak atau diluar kemampuan akalnya, mereka hubungkan dengan hal-hal yang
supranatural. Untuk itulah mereka percaya ada sesuatu yang mengatasi segalanya di dunia
dimana manusia berada. Untuk mempengaruhi kekuatan alam supranatural, maka mereka
menggunakan upacara-upacara tertentu, misalnya dengan sesaji, berkurban dan lain
sebagainya. Pihak kesultanan Yogyakarta dan masyarakat sekitarnya percaya, bahwa dengan
diadakannya upacara ini, maka wilayah mereka akan terhindar dari bencana ataupun petaka
yang bisa mengancam kehidupan mereka. Acara ini menjadi upacara sakral yang sangat
dinanti, untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
3. Integral, yaitu berkaitan, yang memiliki makna bahwa perayaan kirab gunungan tersebut
merupakan acara ritual keagamaan yang khusus dilaksanakan untuk mengucapkan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karna telah memberi anugerah kesuburan dan
kemakmuran alam, dalam bentuk sayuran, umbi-umbian, tanaman dan sebagainya yang bisa
dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu gunungan yang terdiri
dari aneka hasil bumi itu dibuat semata-mata karna rasa syukur dan meminta keselamatan
juga senantiasa diberikan perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
4. Logis, yaitu masuk akal atau sesuai dengan logika. Di dalam menjaga keseimbangan alam
masyarakat Yogyakarta yang masih mempercayai mitos memiliki kepercayaan tertentu, yang
berhubungan dengan supranatural dan mereka tidak menyadari makna apa yang ada dibalik
kepercayaan itu jika berdasarkan logika. Sekalipun kepercayaan itu sepintas lalu bersifat
takhayul dan tidak masuk akal, namun apabila kita renungkan ternyata memiliki tujuan
tertentu, yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Misalnya kepercayaan orang Jawa tabu
ketika menebang pohon besar di dekat kuburan, memperlakukan barang atau sesuatu pusaka
(keris, tombak milik Kraton dengan tidak sewajarnya). Mereka percaya adanya kekuatan gaib
yang mencelakakan apabila larangan itu dilanggarnya, sehingga seringkali memberikan
sesaji,
5. Sistematis, yaitu berurutan, menurut penanggalan jawa dan penanggalan Islam, Kraton
Yogyakarta setiap tahun mengadakan upacara grebeg sebanyak 3 kali, yaitu Grebeg Syawal
pada saat hari raya Idul Fitri, Grebeg Besar pada saat hari raya Idul Adha, dan Grebeg
Maulud atau sering disebut dengan Grebeg Sekaten pada peringatan Maulid Nabi
Muhammad.
6. Universal, yaitu dapat diterima, masyarakat Yogyakarta pada umumnya menilai bahwa acara
Grebeg adalah sebuah ritual yang harus diadakan setiap tahunnya karena sudah menjadi
tradisi dan peninggalan dari nenek moyang mereka. Dalam perspektif umum, tradisi Grebeg
sudah menjadi bagian dari warisan budaya bangsa Indonesia, yang harus dijaga dan
dilindungi keberadaannya.
Grebeg Ageng merupakan salah satu bentuk kebudayaan Jawa yang telah terbina
berabad-abad tahun lamanya, serta dalam penyampaiannya penuh dengan simbol-simbol dan
nilai-nilai yang memerlukan suatu studi epistemologi yang mendalam untuk mengetahuinya
dan menggalinya. Untuk itu perlu kita melihat atau menyoroti secara lebih mendalam
mengenai nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam upacara Grebeg Ageng serta
relevansinya bagi masyarakat Yogyakarta seiring dengan perkembangan modernitas dan arus
globalisasi.
Di dalam upacara grebeg corak pemikiran metafisik itu terlihat pada upacara
pembagian sesaji atau selametan gunungan, sesuatu yang tidak bisa ditangkap panca indera
atau immanen tetapi memiliki makna dan sudah menjadi warisan tradisi turun-temurun.
Upacara sesaji tampak terlihat ketika diboyongnya gamelan sekaten ke serambi masjid.
Upacara selametan tampak pada waktu persiapan pembuatan tumpeng gunungan dan lainnya.
Di samping itu terlihat dikalangan masyarakat tentang kepercayaan mengenai daya atau
kekuatan dari sirih (kinang) yang diyakini dapat membuat awet muda ketika dimakan
bersamaan pada waktu gamelan dibunyikan, dan masyarakat yang paling berharap di sini
adalah kaum tani karena menganggap bagian-bagian dari gunungan ini umumnya memiliki
daya tuah dengan menanamnya dilahan persawahan mereka, untuk memperkuat doanya agar
lahannya menjadi subur dan terhindar dari berbagai hama perusak tanaman. Dengan
kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa corak pemikiran metafisik ada pada masyarakat
Jawa.
Hal yang juga menarik adalah, ratusan masyarakat dari Yogyakarta dan sekitarnya
menanti acara penggrebekan tersebut, untuk ikut berebutan. Bahkan mereka rela berhimpitan
dan berdesakan untuk berebut gunungan yang terdiri dari palawija dan aneka hasil bumi
lainnya yang dirangkai menjadi gunungan secara menarik.
Menurut kepercayaan masyarakat Yogyakarta, barang yang diperebutkan (digrebeg)
tersebut bisa membawa berkah atau rejeki tersendiri. Ini berkaitan denganhati nurani yang
bersifat prospektif, yaitu melihat ke depan, untuk melihat perbuatan-perbuatan kita di masa
depan, karena menurut kepercayaan mereka sesuatu yang didapatkan dari gunungan tersebut
dapat membawa kepada sesuatu yang lebih baik di masa yang akan datang, dan
harus berefleksi pada hati nurani retrospektif, yaitu tentang perbuatan-perbuatan yang
dilakukan di masa lampau, menilai ke belakang baik atau buruk perbuatan yang kita lakukan
dan tidak merasa bersalah akan sesuatu yang telah terjadi atau “Quilty Teeling” agar tidak
terulang lagi di masa depan.
Maka tidaklah heran kalau acara tersebut selalu dipadati oleh ratusan manusia untuk
berharap mendapat berkah dari Grebeg Ageng ataupun wisatawan serta para wartawan yang
datang untuk menyaksikan upacara yang unik dan menarik tersebut. Dalam bidang ilmu
filsafat ini bisa dibilang tidak adil, karna sudah pasti yang mendapatkan barangyang
diperebutkan (digrebeg) adalah mereka yang ada di posisi paling depan, dan yang berada di
belakang kemungkinan tidak mendapatkan apa pun. Menurut pemikiran Jhon Rawls,
keadilan adalah sesuatu objek yang memilikifearness (artinya manusia harus menerima
keadaan/nasib manusia lainnya) yang layak menerima kondisinya. Keadilan adalah cara
mendistribusikan hak-hak dan kewajiban yang berimbang dalam masyarakat.
Pada setiap acara Grebeg Gunungan, selalu pula didatangi wartawan manca negara.
Secara tidak langsung dari seluruh urutan prosesi acara tersebut menjadi suatu alternatif
tontonan peristiwa budaya yang menarik di Yogyakarta. Acara ini diselenggarakan dihalaman
kraton dan di Masjid Agung yang berseberangan dengan kawasan kraton itu sendiri. Biasanya
masyarakat rela menunggu dari pagi hari, hingga acara ini berakhir di siang hari. Masyarakat
yang masih percaya dengan kesakralan upacara tersebut, akan rela datang lebih pagi untuk
mendapat tempat terbaik saat akan memperebutkan gunungan yang digrebeg, terdapat hal
yang menggembirakan. Yakni jika melihat Kraton yang dibanjiri ribuan orang untuk
menghadiri dan mengikuti kegiatan ritual sakral.
Mengingat bahwa dalam perkembangan zaman perayaan upacara Grebeg Ageng
selalu menarik perhatian ribuan masyarakat yang meluangkan waktunya untuk datang dan
ikut berdesak-desakan berebut mendapatkan bagian gunungan, maka Grebeg Ageng disini
perlu dilestarikan sebagai salah satu warisan dari kebudayaan Kraton. Disamping itu
kebudayaan tersebut juga merupakan salah satu ciri khas dari masyarakat Jawa yang
ditempatkan sebagai satu bagian dari warisan budaya Indonesia.
Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selamatan (dalam bahasa jawa disebut sajen wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam selamatan negara (dalam bahasa jawa wilujengan negari) setiap garebeg dan maleman/selikuran.
Sesajian gunungan adalah sesajian sakral yang sudah disucikan dengan doa mantra oleh karenanya gunungan dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu menolak bala. Anggapan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa sesajian gunungan dilandasi kain banguntulak.
Bangunan khusus untuk pembuatan gunungan dinamakan omah. Gunungan (omah = rumah) Ada 6 (enam) jenis gunungan yaitu gunungan Lanang, Wadon, Gepak, pawuhan. Dharat, Kutug/Bromo.
Gunungan Kutug/Bromo hanya dibuat setiap delapan tahunsekali bertepatan dengan tahun Dal, untuk disajikan dalam selamatan negara Garebeg Maulud Dal.Gunungan Dharat
Gunungan ini pada bagian puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan disekelilingnya ditancapi dengan sejumlah besar kue ketan berbentuk lidah yang disebut ilat-Ilatan ( idah) . Gunungan ini diletakkan tegak diatas sebuah nampan raksasa berkerangka kayu dan diberi alas kain bangun tulak dibawah nampan dipasang dua batang kayu/bambu panjang sebagai alat pemikul.Gunungan Gepak Gunungan ini- bukan sebagai gunungan yang berdiri sendiri tetapi merupakan deretan tonjolan-tonjolan tumpul (gepak) yang terdiri dari empat puluh buah keranjang berisi beraneka macam kue kecil-kecil yang terdiri atas lima macam warna yaitu merah, biru, kuning, hijau dan hitam. Diatas tumpukan kue-kue tersebut dalam setiap keranjang diberi buah-buahan.
Semua keranjang diletakkan diatas nampan raksasa berkerangka kayu dengan ukuran 2 x 1,5 meter dan diselimuti dengan kain bangun tulak serta keempat penjurunya dihiasi dengan potongan kain berwarna kuning.
Perayaan Garebeg di Jogjakarta dan Surakarta
Garebeg merupakan perayaan ritual yang sangat
popular dan disenangi masyarakat. Karaton Jogjakarta dan
Surakarta menyelenggarakan prosesi Garebeg, tiga kali
dalam setahun, yaitu :
Untuk sekedar informasi Tahun 2011 ini sama dengan
Tahun BE Jawa 1944
Garebeg Mulud yang diadakan pada tanggal 12
Mulud, pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW
Garebeg Sawal yang diadakan pada tanggal 1 Sawal,
setelah bulan puasa.
Garebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10
Besar, pada hari raya Idul Adha
Pada penyelenggaraan Garebeg, Sultan Jogja dan
Sunan Solo memerintahkan aparat karaton masing-masing
untuk melakukan upacara tradisional berupa sesaji dalam
bentuk gunungan. Sesaji ini merupakan rasa syukur dan
permohonan kepada Gusti Allah, Tuhan untuk keselamatan
dan kemakmuran negeri, kerajaan dan rakyatnya.
Prosesi Garebeg
Pagi hari dihari Garebeg, ribuan orang telah berada
didepan Pagelaran di Alun-alun Utara. Banyak orang telah
berderet di Alun-Alun Utara dan Mesjid Ageng, disepanjang
500 meter rute yang akan dilewati arak-arakan- prosesi
gunungan.
Dari dalam Pagelaran terdengar alunan musik
gamelan, trompet, tambor, lalu muncul barisan prajurit
karaton dengan berbagai uniform warna-warni dengan
menyandang berbagai senjata tradisional dan bedil-bedil
kuno.
Prajurit karaton dari berbagai kesatuan dengan
seragamnya yang khas dan indah dan masing-masing
kesatuan menyandang bangga lambang dan petakanya
masing-masing, berbaris mantap didepan sederet
gunungan sesaji yang dikirabkan dari Karaton menunuju ke
Masjid Ageng di Kauman.
Di halaman masjid, sesudah upacara doa selesai,
gunungan yang berupa sesaji nasi tumpeng, sayur-mayur,
buah-buahan, kue-kue dan lain-lain makanan akan
dibagikan kepada warga masyarakat yang menghadiri
upacara ini. Mereka percaya bahwa sedikit makanan,
pemberian ratu memberi berkah keberuntungan dan
ketentraman hidup. Oleh karena itu ,untuk mendapatkan
sedikit makanan, orang harus mau berebutan. “ Orang
yang beruntung” dengan senang hati membawa makanan
itu kerumah untuk disantap bersama keluarganya.
Tujuan Upacara Garebeg
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, upacara ritual
Garebeg adalah upacara karaton dimana Ratu memberikan
sesaji gunungan dengan memohon berkah Gusti Allah
untuk keselamatan dan kemakmuran negeri,
kerajaan/karaton dan seluruh rakyatnya.
Kata”garebeg” itu sendiri berarti mengawal ratu atau
pejabat tinggi karaton untuk menerima pisowanan/audiensi
dari keluarga maupun pegawainya selama Upacara
Garebeg. Upacara Garebeg yang terbesar adalah Garebeg
Mulud pada tahun Jawa Dal. Seperti diketahui Kalender
Jawa mengenal adanya 8/delapan tahun yang
berputar ,yaitu : Tahun Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be,
Wawu dan Jimakir.
Untuk sekedar informasi : Tahun 2011 ini sama
dengan Tahun BE Jawa 1944.
Perayaan Garebeg tahun 2011 ini diselenggarakan
pada :
Garebeg Mulud telah diadakan 15 Februari 2011.
Garebeg Sawal akan diadakan 31 Agustus 2011.
Garebeg Besar akan diadakan 6 Nopember 2011.
( Sebaiknya anda tanyakan kepada Biro Perjalanan
atau Kantor Pariwisata atau Informasi dari Karaton untuk
mengecek tanggal yang tepat).
Perayaan Garebeg adalah satu upacara ritual kerajaan
yang telah ada sejak masa kuno yaitu dimasa Jawa
Timur/Majapahit diabad ke 12. Sesudah kejatuhan Kerajaan
Majapahit diabad ke 15, muncul Kerajaan Demak di Jawa
Tengah.
Pada masa awal Demak, Perayaan Garebeg tidak
diselenggarakan. Hal ini membuat orang-orang yang sudah
terbiasa dengan tradisi tersebut, tidak senang
perasaannya. Sunan Kalijaga yang bijak dan peka,
menasihati Raja supaya Perayaan Garebeg dihidupkan lagi.
Sejak saat itu, Garebeg juga dipakai untuk penyebaran
agama Islam. Gamelan ditabuh didekat masjid dan hal
tersebut menarik banyak orang.
Sunan Kalijaga adalah seorang Wali yang bijak, tutur
katanya sopan dan lembut, beliau mengajak orang untuk
masuk Islam tanpa menjelekkan agama dan kepercayaan
lain.
Penabuhan gamelan selama perayaan Garebeg
disebut ‘Sekaten”. Dari zaman kuno sampai kini, Sekaten
tetap menarik banyak orang.
Gunungan
Yang menjadi perhatian dalam Upacara Ritual
Garebeg adalah sesaji yang berupa gunungan. Ada 6/enam
macam gunungan, yaitu :
Gunungan Lanang
Gunungan Pria yang tingginya 1.5 meter ini diletakkan
diatas nampan kayu berukuran 2x 1.5 meter.
Mustoko yaitu bagian atas gunungan dihias dengan
Baderan, kue-kue kecil terbuat dari beras dan berbentuk
ikan. 5/lima buah rangkaian bunga dari melati dan kanthil
digantungkan pada Baderan.
Bendhul yaitu kue-kue dari beras berbentuk bola-bola
kecil dan telur-telur asin juga menghiasi bagian atas
gunungan. Seluruh badan gunungan ditutupi dengan
kacang panjang hijau dan Lombok merah.
Ujung dari setiap deretan kacang panjang hijau dihias
dengan kucu, kue kecil dari beras ketan dalam bentuk
cincin dan upil-upil yang berbentuk segitiga.
Diatas nampan kayu digelar kain dengan motif
Bangun Tulak untuk mengusir gangguan mahluk halus
jahat dan gangguan –gangguan lain. Diatas nampan itu
diletakkan : 12 buah nasi tumpeng; 4 buah wadah dari
daun pisang yang diisi bermacam laik pauk; sepasang daun
pisang muda. Disetiap sudut nampan, digantungi dengan
rangkaian bunga melati.
Gunungan Wadon
Bagian atas dari Gunungan Wadon atau Gunungan
Putri ini berbentuk seperti payung yang terbuka yang
dihiasi dengan sebuah kue besar yang rata, dikelilingi oleh
rengginan ,kue-kue kecil berbentuk daun dan kuncup
bunga. Badan gunungan dihiasi dengan kue-kue dari beras
ketan berbentuk bintang, cincin dan segitiga. Dihiasi pula
dengan kue-kue lain seperti eblek yang bentuknya persegi;
betetan yang seperti paruh burung betet; wajik, kue manis
warna cokelat dan berbagai macam buah.
Seperti gunungan yang lain,nampan kayunya juga
digelar kain bermotif Bangun Tulak untuk tolak bala.
Gunungan Wadon bentuknya mirip sebuah bunga besar.
Gunungan Gepak
Gunungan yang puncaknya rata ini juga diletakkan
diatas nampan kayu ukuran 2x 1.5 meter, nampannya juga
ditutup dengan kain Bangun Tulak dengan maksud yang
sama.
Di atas nampan diletakkan sesaji yang berupa : 40
buah keranjang yang berisi kue-kue dengan lima macam
warna ,yaitu : merah, biru, kuning, hijau dan hitam dan
berbagai macam buah-buahan.
Gunungan Pawuhan
Gunungan Pawuhan mirip dengan Gunungan Wadon.
Dipuncaknya beberapa bendera putih ditancapkan. Badan
gunungan dihias dengan bendera-bendera bulat warna
hitam.
Gunungan Darat
Puncak gunungan ini juga rata. Beberapa kue warna
hitam ditaruh disitu, dikelilingi oleh kue-kue kecil dari beras
ketan berbentuk seperti bibir manusia.
Gunungan Kutug/Bromo
Kutug dalam bahasa Jawa artinya membakar
kemenyan. Banyak orang yang percaya bahwa kutug/
membakar kemenyan adalah untuk memudahkan
komunikasi dengan alam halus.
Gunungan Kutug bentuknya mirip Gunungan Putri,
tetapi hiasannya berupa kue-kue dan buah-buahan seperti
Gunungan Lanang. Seperti gunungan yang lain
ditempatkan diatas nampan kayu yang ditutup dengan
kain Bangun Tulak.
Di puncak gunungan ini ada sebuah lobang untuk
menempatkan sebuah anglo/tungku untuk membakar
kemenyan. Selama parade gunungan, asap kemenyan
terus menerus keluar dari gunungan ini.
Gunungan Kutug atau Bromo hanya keluar pada saat
Garebeg Mulud ditahun Dal, artinya sekali setiap delapan
tahun. Sesaji gunungan Kutug diperebutkan oleh para putri
Karaton.
Setiap gunungan yang dikirab diusung oleh
16/enambelas abdidalem/pegawai raja dari Karaton sampai
Masjid Ageng. Untuk Gunungan Lanang ditambah dengan
2/dua orang yang mendukung gunungan itu dengan dua
buah galah supaya gunungan tetap tegak.
Lalu berapa buah gunungan yang dibuat untuk
Perayaan Garebeg?
Pada zaman kuno untuk Garebeg Mulud ditahun Dal
dibuat 31/ tiga puluh satu buah gunungan, terdiri dari :
10 Gunungan Lanang
4 Gunungan Wadon
4 Gunungan Pawuhan
4 Gunungan Darat
8 Gunungan Gepak
1 Gunungan Kutug/Bromo
Untuk Garebeg Sawal disiapkan 12 gunungan.
Garebeg Besar disiapkan 30/ tigapuluh buah
gunungan (seperti Garebeg Mulud Tahun Dal, hanya tanpa
Gunungan Bromo).
Pada saat ini jumlah gunungan yang dikirab lebih
sedikit. Karaton Jogjakarta biasanya membuat 6/enam
buah gunungan, yaitu : 2 Gunungan Lanang; 1 Gunungan
Wadon; 1 Gunungan Gepak; 1 Gunungan Pawuhan; 1
Gunungan Darat.
Puro Pakualaman menerima 1 Gunungan Lanang dari
Karaton Jogjakarta.
Karaton Surakarta biasanya mengkirab 4 buah
gunungan.
Persiapan Upacara Ritual Garebeg
Upacara Numplak Wajik
Upacara Numplak Wajik menandakan dimulainya
perayaan Garebeg. Upacara ini dilakukan di Kemagangan
Kidul dikompleks Karaton, disaksikan oleh keluarga raja
dan seorang pejabat tinggi Karaton.
Disore hari, beberapa hari sebelum Garebeg,
beberapa pegawai karaton memainkan music tradisional
yang disebut “Gejogan”, yaitu memukuli lesung kayu
dengan alu, mereka menendangkan Tembang Tundhung
Setan, sebuah tembang kuno untuk mengusir mahluk halus
jahat.
Pembuatan Gunungan
Pembuatan gunungan dilakukan oleh para seniman
karaton yang ahli dalam bidang ini. Untuk menghormati
tradisi yang sudah berlaku sejak dulu, yang dibuat terlebih
dahulu adalah Gunungan Putri, ini untuk menghormati
tugas mulia wanita dalam proses kehidupan. Berbagai
macam benda disajikan untuk pembuatan gunungan
ini ,yaitu ; kosmetik, sebuah sisir, sirih ayu, kain bangun
tulak, sehelai kain mori warna putih, sumekan- pakaian
penutup dada wanita.
Baru kemudian dibuat jenis gunungan yang lain.
Gunungan yang sudah jadi sementara disimpan di Omah
Gunungan- Rumah Gunungan yang berada di Kemagangan
Timur dan Barat.
Gamelan Sekaten
Untuk Garebeg Mulud, 2 set gamelan dipersiapkan.
Gamelan ini dikenal oleh umum sebagai gamelan Sekati
yang terdiri dari :
Kyai Gunturmadu yang berarti mendapat berkah yang
baik.
Kyai Nogowilogo ,artinya selalu menang dalam
perang.
Kyai Gunturmadu berasal dari Karaton Majapahit, Kyai
Nogowilogo merupakan duplikat dari Kyai Gunturmadu.
Setiap set gamelan terdiri dari : 1 saron demung, 2
saron barung. 1 saron penerus, 2 bende, I set kempyang, 1
bedug dan 1 gong.
Sebelum tanggal 5 Mulud, gamelan dibersihkan dan
diberi sesaji. Para Wiyogo, penabuh gamelan harus
menyucikan diri dengan cara berpuasa sehari, mandi suci
dan mencuci rambut/keramas, lalu ikut menghadiri
Kenduri atau Selamatan, berdoa bersama beberapa orang
dengan sesaji berupa makanan untuk mohon selamat dari
Gusti Allah, Tuhan.
Dimalam hari pada 5 Mulud, gamelan dibunyikan di
Karaton sebagai tanda dimulainya Sekaten. Pertama kali
ditabuh dulu Kyai Gunturmadu dengan gendhing/lagu
Wirangrong. Pada saat itu beberapa pangeran
menyebarkan udhik-udhik yang terdiri dari uang logam,
beberapa macam bunga, beras kuning dan irisan-irisan
daun pandan kepada pemain gamelan dan gamelan.
Jam 23.00 permainan gamelan dihentikan dan tepat
tengah malam jam 24.00, 2 set gamelan tersebut di usung
ke kompleks Mesjid Ageng.
Kyai Gunturmadu ditempatkan di Pagongan Kidul dan
Kyai Nogowilogo di Pagongan Lor.
Gamelan selalu ditabuh kecuali saat Adzan dan sholat
lima waktu.
Pada tanggal 11 Mulud, jam 23.00 tepat, kedua set
gamelan itu diangkut kembali ke Karaton.
Prosesi pengusungan gamelan dari Karaton ke Masjid
dan sebaliknya dilaksanakan sesuai tradisi yang berlaku,
dengan khusuk, dikawal oleh beberapa petinggi karaton
dan prajurit-prajurit karaton, merupakan satu prosesi
menarik yang disaksikan banyak peminat.
Palace Regalia / Benda-benda Kebesaran Raja
Pihak karaton juga mempersiapkan 9/Sembilan benda
emas kebesaran raja, yaitu:
Banyak ( Angsa) lambang kesucian.
Dhalang (Kijang) lambang kepandaian.
Sawung (ayam jago) lambang keberanian.
Galing (burung merak) lambang kekuasaan.
Ardawalika (naga) lambang tanggung jawab.
Kacu Mas ( saputangan emas) lambang kebersihan.
Kutug ( sebangsa ikan) lambang keindahan.
Kandhil ( lentera) lambang kecerahan.
Saput ( kotak perhiasan) lambang kesiapan.
Tanda-tanda kebesaran raja itu akan dibawa oleh
Manggung, petugas putri karaton dalam kirab Garebeg.
Ampilan
Ampilan adalah benda-benda kelengkapan Sultan
yang bernilai sakral, terdiri dari ;
Dampar Kencono – Kursi Emas, Singgasana Raja
Pancadan - Tempat menapakkan kaki)
Cepuri – Kotak tempat sirih ayu
Wijikan – Tempat cuci tangan
Badak – Kipas dari bulu burung merak
Pusaka
Beberapa benda pusaka seperti keris, tombak dll ,ikut
dikirabkan dalam Garebeg untuk mengawal Sultan.
Abdi Dalem Polowijo
Abdi Dalem Polowijo adalah kelompok khusus
abdidalem/pegawai karaton yang bentuk badannya cacat,
tetapi mentalnya waras, seperti pincang, bule/albino, ada
juga orang kate/cebol yang disebut cebolan.
Mereka ikut kirab Garebeg berjalan didepan kelompok
putri Manggung. Di upacara khusus karaton seperti
pisowanan, mereka berada dekat Sultan. Ini merupakan
bukti bahwa Sultan memperhatikan semua warga, meski
mereka cacat fisik, tetapi mampu mengabdi kepada
Negara.
Kunjungan Sultan ke Masjid Ageng
Malam sebelum Garebeg Mulud yang akan
dilaksanakan hari besok,Sultan melakukan kunjungan ke
Masjid Ageng di Kauman. Pertama kali , beliau
mengunjungi Pagongan Kidul dan Pagongan Lor untuk
menyebarkan udhik-udhik berupa uang logam dan
berbagai macam bunga kepada pemain gamelan dan
gamelannya.
Kemudian Sri Sultan berkunjung ke masjid. Di serambi
mesjid beliau disambut oleh Kepala Penghulu dengan cium
tangan Sultan dengan hormat. Kemudian Sultan dan
rombongan beserta seluruh hadirin mendengarkan dengan
khidmat pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW,
dilanjutkan dengan doa selawat. Sebelumnya Sultan masuk
kedalam masjid untuk memberikan sumbangan dan udhik-
udhik didekat empat saka guru masjid.
Sesudah selawatan Kepala Penghulu
mempersembahkan kepada Sultan dan pengikutnya bunga
melati dan kanthil. Sultan dan yang lain menyelipkan
masing-masing sebuah bunga diatas telinganya. Tradisi ini
disebut “Caos Sumping” yang melambangkan kesucian.
Sebelum tengah malam ,Sultan dan pengiringnya kembali
ke karaton.
Kirab Gunungan
Dipagi hari pada hari Garebeg, semua pejabat dan
petugas karaton telah siap untuk melaksanakan Perayaan
Garebeg. Kirab dimulai dari dalam karaton. Sultan duduk di
singgasananya di Bangsala Kencono ( Bangsal Emas)
memerintahkan kepada Pangeran senior yang mendapat
tugas untuk memimpin dan memulai kirab gunungan.
Kirab dari prajurit dan perwira karaton, gunungan dan
lain-lain benda sakral karaton, mulai bergulir dari Bangsal
Kencono menuju Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil.
Sultan kemudian duduk di singgasana diatas Selo
Gilang didampingi oleh beberapa pangeran dan pejabat-
pejabat karaton. Korps music karaton memainkan lagu
kuno “ Munggang” , kemudian beberapa kesatuan prajurit
karaton dengan uniformnya dan petaka-petakanya yang
indah dan berwarna-warni berbaris dan memberikan
hormat kepada Sultan. Mereka berbaris turun ke Pagelaran
untuk selanjutnya ke Masjid Ageng. Pada baris terakhir
adalah kesatuan Mantrijero yang membawa dan
memainkan gamelan Kyai Guntursari selama prosesi
berlangsung.
Kemudian terdengan alunan lagu “Kodok Ngorek” dari
dua set gamelan karaton Kyai Keboganggang dan Kyai
Gunturlaut. Dengan diiringi lagu ini, gunungan mulai
muncul dengan didahului oleh sebuah Gagarmayang yang
indah dan besar, berupa rangkaian bunga dan dedaunan.
Yang muncul pertama adalah Gunungan Kutug/Bromo yang
mengepulkan semerbak dupa kemenyan yang dibakar, lalu
diikuti oleh gunungan-gunungan yang lain.
Munculnya barisan gunungan disambut salvo prajurit
karaton dan tepuk tangan gempita para pengunjung.
Orang-orang di Alun-alun Lor berteriak gembira, secara
tradisi mereka percaya mendapatkan berkah dari Sultan
sehingga akan mendapatkan keberuntungan dalam
hidupnya dan para petani yang hadir percaya bahwa panen
tahun ini akan bagus.
Prosesi mulai memasuki Alun-alun Lor. Mula-mula
terlihat barisan prajurit karaton dan perwira-perwiranya,
beberapa pangeran dan pejabat tinggi karaton, abdi dalem
khusus Polowijo dan Cebolan( cacat fisik), pusaka raja dan
pengawal-pengawal raja. Beberapa pusaka selalu
dipayungi dan diasapi dupa kemenyan.
Pada masa kini, Sultan tidak berada dalam kirab
gunungan, Sultan Hamengku Buwono VIII almarhum adalah
Sultan terakhir yang ikut kirab gunungan.
Di Masjid Ageng, Kenduri dipimpin Kepala Penghulu.
Ini merupakan Wilujengan Negari untuk keselamatan
negeri. Sesudah acara ini selesai, dilanjutkan dengan
makan bersama, dhahar kembul
Sementara itu, dihalaman masjid, ratusan orang
dengan riuh rendah berusaha mendapatkan sedikit
makanan dari sesaji gunungan, mereka percaya akan
mendapatkan kehidupan yang lebih tentram dan baik.
Sesudah makan siang bersama, raja atau wakilnya
dan para pejabat mengambil dan membawa sedikit
makanan, ini disebut “berkat” untuk disantap bersama
keluarga dirumah. Secara tradisi hal ini dipercaya bahwa
siapapun yang menyantap “berkat” akan mendapat berkah
dari Sang Pencipta Hidup, Tuhan.
Puro Pakualaman
Dihari Garebeg, pagi hari, beberapa pembesar Puro
Pakualaman, didampingi oleh prajurit-prajurit Pakualaman,
telah siap dan berada dihalaman depan Puro yang luas dan
tertata apik.
Mereka menunggu utusan-utusan Karaton
Ngayogyokarto Hadiningrat yang ditunjuk Sultan untuk
menyampaikan sebuah gunungan sesaji berupa sebuah
Gunungan Lanang.
Puro Pakualamaman tidak membuat gunungan,
dengan terhormat Puro Pakualaman menerima pemberian
gunungan dari Karaton Jogjakarta.
Gunungan Lanang kiriman Karaton Jogjakarta kepada
Puro Pakualaman itu dilakukan melalui sebuah parade
yang sangat menarik dan megah.
Gunungan tersebut dikawal oleh Prajurit Kavaleri
Karaton termasuk 4 ekor gajah dan diperkuat oleh 2
peleton prajurit Pakualaman dari kesatuan Lombok Abang
dan Plangkir. Sepanjang jalan kirab sejauh kira-kira 2
kilometer itu dipenuhi oleh penonton yang sangat
menikmati prosesi itu.
Proses serah terima gunungan berjalan dengan
khusuk tetapi juga gembira. Salah seorang pangeran senior
dari Pakualaman atas nama Sri Paku Alam IX menerima
dengan tulus anugerah dari Sultan Hamengku Buwono X.
Kemudian gunungan digotong oleh para prajurit
Pakualaman ke halaman masjid Puro Pakualaman. Sesaji
gunungan langsung dibagikan kepada kawula dan yang
membutuhkan.
Pisowanan di Karaton
Pada saat garebeg Mulud dan Sawal, di karaton
diadakan pisowanan,dimana Sultan menerima audiensi dari
anggota keluarga, pejabat karaton dan pejabat daerah
lainnya.
Dalam pisowanan, mereka yang menghadap
menghormat Sultan sesuai dengan protokol karaton yaitu
“sembah bekti” kepada Sultan.
( Sembah: Menghormat dengan menyatukan kedua
telapak tangan dengan kedua ibu jari menyentuh pucuk
hidung. Bekti : Menghormat dengan tulus dan taat).
Sultan dan para tamu mengenakan busana Jawa
kebesaran. Sultan duduk dengan posisi tubuh tegak. Para
tamu yang memberikan “sembah bekti”, satu persatu
berlutut didepan Sultan,lalu menghaturkan sembah ,
mencium lutut kanan raja dengan menempelkan sedikit
ujung hidungnya ke lutut raja, kedua telapak tangannya
kanan dan kiri memegang lutut Sultan dan menghaturkan :
“ Saya menghaturkan “sembah bekti”, maafkan segala
kesalahan saya dan saya memohon berkah Sultan/ Ngarso
Dalem”. ( Dalam bahasa akrab sopan, kawula Jogja
menyebut Sultan sebagai “Ngarso Dalem”). Dalam
jawabannya, Sultan akan menepuk-nepuk secara pelahan
punggung atas dari yang menghadap dan memberkahinya.
Di Karaton Surakarta, “sembah bekti” dihaturkan
kepada Sinuwun ( raja), tidak melakukan cium lutut kanan
tetapi ke jempol kaki kanan raja.
( Sampai dengan saat ini, keluarga dan keturunan raja
yang tinggal diluar Karaton, yang masih melestarikan
tradisi Jawa, melakukan “sembah bekti” yang sama kepada
orang tua dan kakek neneknya, pada saat perayaan
Lebaran, hari saling memaafkan di bulan Sawal)
Ada tata cara khusus bagi saudara Sultan yang lebih
tua untuk menyampaikan “sembah bekti” kepada Sultan.
Seorang Pangeran, paman Sultan, berjalan menghampiri
Sultan yang duduk di singgasananya, kira-kira dua meter
dari Sultan berhenti, sedikit menekuk lututnya,
mengangkat kedua tangannya , jempol kiri dan kanan
tangannya menyentuh telinga kiri kanannya sendiri dan
menghaturkan”sembah bekti’. Sultan menjawab dengan
cara yang sama dari tempat duduknya.
Dimasa kuno, pada masa kekuasaan ditangan raja,
bawahan yang tidak melakukan”sembah bekti” kepada
raja, dinilai tidak setia, bahkan memberontak dan akan
menerima hukuman.
Sembah bekti di Puro Pakualaman disampaikan
kepada Sri Paku Alam IX.
Sembah bekti di Puro Mangkunegaran dihaturkan
kepada Sri Mangkoe Nagoro IX.
Karaton Surakarta Hadiningrat
Karaton Surakarta juga menyelenggarakan upacara
Garebeg yang waktunya sama dengan garebeg di
Jogjakarta.
Di karaton Surakarta, gunungan disiapkan dikompleks
karaton yang bernama Koken, artinya dapur, 4/empat hari
sebelum hari Garebeg dibulan-bulan Jawa Mulud, Sawal
dan Besar.
Beberapa priyayi karaton ditunjuk untuk
melaksanakan Perayaan Garebeg yang dikeluarkan oleh
Parentah Karaton. Raja, Susuhunan Pakoe Boewono XIII,
dari tempat semayamnya memberi perintah kepada
Pejabat Karaton, Mas Tumenggung Bupati untuk
meneruskan kepada pejabat-pejabet terkait di Bangsal
Marakata untuk melaksanakan upacara Garebeg.
Untuk Garebeg Mulud, Gamelan karaton Kanjeng Nyai
Sekati yang terdiri dari Gamelan Kanjeng Kyai Gunturmadu
dan Gamelan Kanjeng Kyai Guntursari dikeluarkan dari
Bangsal Parangkarso.
Abdi dalem, pegawai karaton dari kesatuan Semut
Ireng mengangkut gamelan-gamelan tersebut dipundaknya
ke Mesjid Ageng di sebelah barat Alun-alun Lor. Gamelan-
gamelan itu ditempatkan di Bangsal Pagongan.
Selama Pasar Malam Sekaten untuk memperingati
kelahiran Nabi Muhammad SAW, ,gamelan selalu
dibunyikan kecuali pada saat sholat wajib lima waktu..
Gunungan dibawa kembali ke karaton pada saat
berakhirnya Sekaten.
Sesaji gunungan dibagikan kepada yang hadir
dihalaman masjid saat Garebeg dan kepada pegawai
karaton di istana.
Banyak orang Solo, orang biasa dan petani yang
senang sekali menikmati gendhing-gendhing/ musik yang
ditabuh oleh Gamelan Sekati Mereka itu mendengarkan
selama berjam-jam didepan Pagongan menikmati lagu-lagu
favoritnya terutama komposisi musik gamelan “Rembu”
dan “Rangkung”
“Rembu” intinya merupakan pujaan kepada Gusti
Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa; sedangkan “Rangkung”
mengajak orang untuk mempunyai jiwa besar dalam hidup
ini. Untuk orang-orang ini, lantunan Gamelan Sekaten
adalah obat penenang yang nikmat dalam kehidupan
duniawi yang hiruk pikuk ini, sehingga sangat berguna
untuk keseimbangan hidup.
Pada saat Garebeg Mulud, Sawal dan Besar, diadakan
pisowanan kepada Sinuwun, dimana para abdi dalem,
pejabat karaton diwajibkan untuk turut ambil bagian
sebagai tanda hormat dan setia kepada Raja.
Jagadkejawen,
Suryo S.Negoro