Download - LP KEJANG DEMAM.doc
KEJANG DEMAM
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul
akibat kenaikan suhu tubuh. “Kejang demam ialah bangkitan kejang yg
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).
Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam,
salah satu diantaranya adalah : “Kejang demam adalah suatu kejadian pada
bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan sampai 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang
demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).
2. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan
Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf
terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang terdiri dari
cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta medulla
spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous
system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua
cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib (autonomic nervous
system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan
parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan
dibungkus oleh selaput otak yang disebut meningen yang berfungsi untuk
melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan atau
guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan
piamater.
1
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :
a. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan
superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum
cranialis anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan
medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum ialah pusat motorik, pusat
bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan
/ visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah
substansia alba sehingga tidak berada di corteks cerebri lagi tepi sudah
berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri
inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali
impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri. Fungsi
thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.
Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III
hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masing-masing
mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus
merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam
seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun, suhu
tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila
terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-
perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus
berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang
mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya
proses-proses patologik ekstrakranium.
2
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang
otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi
aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini
terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan
dikirim ke cortex cerebri.
b. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati
fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari cerebrum
yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung
keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus
cranialis ada 12 pasang :
1) N. I : Nervus Olfaktorius
2) N. II : Nervus Optikus
3) N. III : Nervus Okulamotorius
4) N. IV : Nervus Troklearis
5) N. V : Nervus Trigeminus
6) N. VI : Nervus Abducen
7) N. VII : Nervus Fasialis
8) N. VIII : Nervus Akustikus
9) N. IX : Nervus Glossofaringeus
10) N. X : Nervus Vagus
11) N. XI : Nervus Accesorius
12) N. XII : Nervus Hipoglosus.
System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf
pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf
aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada 2 di
mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system
simpatis dan parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
3
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus
symphatis
3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari
ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:
1. Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang
otak
2. Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis.
3. Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan
Pasti, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak
selalu tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia
(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia,
alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang
disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus
pencetusnya dihilangkan (Corwin, 2001).
4. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali ion clorida.
Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron
terjadi keadaan sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dan ini dapat
dirubah dengan adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
4
b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya
mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang
kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang
kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih. Untuk lebih jelas
dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
Kejang demam
Inflamasi
Infeksi
Peningkatan suhu tubuh
Metabolisme basal meningkat
Kebutuhan O2 meningkat
Glukosa ke otak menurun
Perubahan konsentrasi dan jenis ion
di dalam dan di luar sel
Difusi ion Na+ dan K+
5
Kejang
Durasi pendek Durasi lama
Sembuh Apnea
O2 menurun
Kebutuhan O2 meningkat
Hipoxemia
Aktivitas otot meningkat
Hipoxia
Permeabilitas meningkat
Edema otak
Kerusakan sel neuron otak
Epilepsi
5. Tanda dan Gejala
Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data
antara lain klien kurang selera makan (anoreksia), klien tampak gelisah,
badan klien panas dan berkeringat, mukosa bibir kering (Ngastiyah, 1997).
6
Hiperkapnia
Hipotensi arterialMetabolisme otak
meningkat
6. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya
terjadi hemiparesis. Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang
terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid, tetapi setelah 2 minggu
timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsy.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan
kejang demam :
a. Pneumonia aspirasi
b. Asfiksia
c. Retardasi mental
7. Penatalaksanaan / Pengobatan
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
a. Memberantas kejang secepat mungkin
Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat
pilihan utama adalah diazepam secara intravena. Apabila diazepam
tidak tersedia dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.
b. Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring
untuk mencegah aspirasi isi lambung, usahakan jalan nafas bebas agar
oksigen terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan pengobatan
ditambah dengan pemberian oksigen. Tanda – tanda vital diobservasi
secara ketat, cairan intravena diberikan dengan monitoring.
c. Pengobatan di rumah
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah.
Pengobatan ini dibagi atas 2 golongan yaitu :
1) Profilaksis intermitten
7
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari
diberikan obat campuran anti konvulsan dan anti piretik yang harus
diberikan pada anak bila menderita demam lagi
2) Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang
stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah
terulangnya kejang di kemudian hari.
d. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy
yang diprovokasi oleh demam, biasanya infeksi traktus respiratorius
bagian atas dan otitis media akut.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta
menganalisa data sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan
perawatan klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data sebagai
langkah awal dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam
pengkajian adalah pengumpulan data dan merumuskan prioritas masalah.
Sedangkan tujuan dari pengkajian keperawatan adalah mengumpulkan
data–data, mengelompokkan dan menganalisa data sehingga ditemukan
diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997).
Tahapan pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan
asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu. Oleh karena itu
pengkajian yang akurat dan lengkap sesuai dengan kenyataan, kebenaran
data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan sesuai
dengan respon individu sebagaimana yang ditentukan dalam standar
praktek keperawatan dari American Nursing Association.
Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif adalah
kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan klien untuk
8
mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri dan hasil konsultasi dari
medis (terapis) atau profesi kesehatan lainnya (Taylor, Lilis Le Mone,
1997).
Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi dua, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari klien, yaitu data tersebut diperoleh dari klien yang sadar
maupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi misalnya
data tentang kebersihan diri atau data tentang kesadaran. Data sekunder
adalah data yang diperoleh selain dari klien, seperti dari perawat, dokter,
catatan perawat, serta dari pemeriksaan seperti pemeriksaan laboratorium
atau pemeriksaan diagnostik lainnya, dari keluarga atau dari kerabat dekat.
Secara umum ada beberapa cara pengumpulan data dengan observasi,
konsultasi, validasi data, anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi adalah
pengumpulan data melalui hasil pengamatan (melihat, meraba atau
mendengarkan) tentang kondisi klien dalam kerangka asuhan keperawatan.
Konsultasi adalah seorang spesialis diminta untuk
mengidentifikasikan cara–cara untuk pengobatan dan penanganan penyakit
klien.
Anamnesa atau wawancara adalah cara pengumpulan data melalui
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan
klien, seperti inspeksi kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan
otot bantu pernafasan, inspeksi adanya lesi pada kulit dan sebagainya.
Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetukkan jari
tengah kejari tengah yang lainnya untuk normal atau tidaknya suatu organ
tubuh.
Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba klien
seperti lokasi pada rongga abdomen untuk mengetahui lokasi nyeri atau
untuk mengetahui adanya massa.
9
Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan
stetoskop, misalnya auskultasi dinding abdomen untuk mengetahui bising
usus, mendengarkan suara paru – paru, bunyi jantung.
Adapun pengkajian untuk mengumpulkan data–data yang akurat
terhadap Kejang Demam yaitu dimulai dengan anamnesa kepada klien dan
keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Hal – hal yang perlu dikaji antara lain :
a. Identitas pasien dan keluarga
1) Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa
dan alamat
2) Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku
dan bangsa
3) Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku
dan bangsa.
b. Kesehatan fisik
1) Pola nutrisi
Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat
disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi sebelum sakit, porsi
makan sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa,
frekuensi makan, nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.
2) Pola eliminasi
3) Pola tidur
Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan
lamanya tidur serta kebiasaan sebelum tidur
4) Pola hygiene tubuh
Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong
kuku dan rambut
5) Pola aktifitas
Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.
c. Riwayat kesehatan yang lalu
1) Riwayat prenatal
10
Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan
kehamilan, keluhan ibu saat hamil, kelainan kehamilan dan obat –
obatan yang diminum saat hamil.
2) Riwayat kelahiran
Kelahiran spontan atau dengan bantuan – bantuan, aterm atau
premature. Perlu juga ditanyakan berat badan lahir, panjang badan,
ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa,
pernahkah menderita penyakit yang gawat.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada
keluarga yang pernah menderita kejang.
4) Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak
sesuai dengan tingkat usia, baik perkembangan emosi dan sosial.
5) Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur
pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika belum apa
alasannya.
d. Riwayat penyakit sekarang
1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul
setelah 24 jam pertama setelah demam
2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu
badan meningkat
3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan
dan apabila pasien berada di rumah, tiindakan apa yang dilakukan
untuk mengatasi kejang.
4) Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
5) Riwayat psikologis
11
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua
sehubungan dengan penyakit dan hospitalisasi.
e. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala
2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38 C, nadi cepat,
pernafasan (mungkin dyspnea nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise
4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit
5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut
serta kebersihannya
6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media
Akut / Kronis
8) Hidung umumnya tidak ada kelainan
9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis
10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada
11) Paru – paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
12) Jantung : Umumnya normal
13) Abdomen : Mual – mual dan muntah
14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut
dikelompokkan. Pengelompokan data dapat dibagi atas data dasar dan data
khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data fisiologis, data
psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus adalah data
yang bersifat khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
rontgen dan sebagainya.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada Febrile
Convulsion adalah :
12
a. Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
b. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
c. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-
rata, proses infeksi
d. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Sedangkan menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang
terdapat pada kasus Febrile Convulsion adalah :
a. Resiko tinggi tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan
dengan relaksasi lidah, sekunder terhadap gangguan inversi otot
b. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata,
proses infeksi.
3. Perencanaan
Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut
Doenges (2002), yaitu :
1. Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan
kesadaran, kehilangan koordinasi otot besar dan kecil
Tujuan dan kriteria hasil :
Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :
Menunjukkan efektifitas pernafasan selama kejang dan
sesudahnya
Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh
Rencana Tindakan :
1.1 Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang
dapat menjadi pencetus kejang
Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin
komplikasi yang dapat terjadi
1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang
terpasang dengan posisi tempat tidur rendah
13
Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat
tidur
1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu
melalui lubang telinga jika perlu
Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut
1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama
/ setelah kejang
Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi
gejala lanjut
1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan
kepala ke salah satu sisi dan lakukan suction pada jalan nafas
sesuia indikasi
Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret,
dan memfasilitasi saat melakukan suction
1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau
bantu meletakkan pada lantai jika keluar dari tempat tidur
Rasional : Menurunkan resiko cedera
2. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan
dengan gangguan neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
Tujuan dan kriteria hasil :
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam
batas normal, jalan nafas bersih
Rencana Tindakan :
2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan
Rasional : menurunkan resiko aspirasi
2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan
kepala, selama serangan kejang
Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah
jatuh, dan menyumbat jalan nafas
2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada
14
2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda
lunak sesuai dengan indikasi
Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat
melakukan suction
2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-
rata, proses infeksi
Tujuan dan kriteria hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal, yang ditunjukkan dengan
mendemontrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan,
tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
Rencana Tindakan :
3.1 Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius
akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis
3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di
tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
3.3 Berikan kompres hangat
Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek
vasodilatasi air hangat melalui proses evaporase
3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi
sentranya pada hipotalamus meskipun demam mungkin dapat
berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan
meningkatkan autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.
4 Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan
pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, kesalahan persepsi
Tujuan dan kriteria hasil :
15
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang
yang dapat menyebabkan aktifitas kejang, dengan kriteria :
Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara
sederhana.
Rencana Tindakan :
4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit
Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan
persepsi dan keadaan penyakit yang ada sesuai dengan yang
ditangani
4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat
Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat
merupakan penyebab kecemasan keluarga
16
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media
Aesculapius, Jakarta
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3,
EGC, Jakarta
Gaffar, La Ode Jumadi (1997), Pengantar Keperawatan Profesional, EGC,
Jakarta
Hasan, Dr. Rusepno (1995), Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Pusponegoro, Titut S., dkk (2000) Perinatologi, EGC, Jakarta
Saifuddin (1997), Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC, Jakarta
Susan Martin, dkk (1998), Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan,
Diagnosa dan Evaluasi, Edisi 5, EGC, Jakarta
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4,
EGC, Jakarta
17