Download - Lapkas Bedah I - Peritonitis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suatu kegawatan abdomen dapat digambarkan ke dalam keadaan klinik
akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan
nyerisebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera
yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perdarahan,
infeksi,obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga
terjadilah peritonitis.1
Dimana peritonitis adalah salah satu penyebab kematian tersering pada
penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Peritonitis difus sekunder
yang merupakan 90% penderita peritonitis dalam praktek bedah dan biasanya
disebabkan oleh suatu perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran.2 Selain
perforasi gaster, peritonitis dapat pula disebabkan oleh perforasi appendiks.
Dalam kasus penundaan appendiktomi dapat menimbulkan abses hingga
perforasi. Appendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendix yang
memerlukan tindakan bedah segera guna mencegah terjadinya komplikasi.
Peritonitis merupakan peradangan pada peritoneum yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut dankomplikasi berbahaya yangsering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnyaapendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal,
peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri, kontaminasi yang terus-menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.2
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil
karenasetiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat
meningkatkanmorbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan
2
penanggulangannya tergantungdari kemampuan melakukan analisis pada
anamnesis, pemeriksaan fisik danpemeriksaan penunjang.1
Peritonitis selain disebabkan oleh kelaianan didalam abdomen yang berupa
inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan.
Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak langsung yang
mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.3
1.2 Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah sebagai berikut ini :
1. Memahami definisi, etiologi, faktor risiko, gambaran klinis, patofisiologi,
diagnosis, komplikasi dan penatalaksanaan dari peritonitis.
2. Sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Bedah Umum
RSUP Haji Adam Malik Medan
1.3. Manfaat
Makalah ini adalah bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang
terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya. Diharapkan dengan
makalah ini pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami lebih mendalam
mengenai Peritonitis sehingga penanganan yang lebih cepat dan tepat dapat
dilakukan untuk mengurangi angka morbiditas pasien.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Appendiks
Appendiks merupakan suatu organ limfoid yang rumit seperti tonsil,
memiliki payer patch yang berfungsi membentuk immunoglobulin. Appendiks
adalah suatu struktur kecil seperti tabung yang menenpel pada bagial awal dari
sekum, yang pangkalnya terletak pada posteromedial sekum. Panjang appendiks
berukuran 7-10cm, dan berdiameter 0,7cm . lumennya sempit dibagian proksimal
dan melebar di distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen
tepatnya di ileosaekum dan merupakan pertemuan ketiga taenia yakni, taenia
libera, taenia colica, dan taenia omentum. Dari topografi anatomi, letak pangkal
appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilikus
dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
4
superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di
sekitar umbilicus. Pendarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis ,
cabang dari a.ileosaekalis, cabang dari a. mesenterica superior. A. appendikularis
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.
2.2. Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke saekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Dinding appendiks terdiri dari jaringan limfe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh
GALT (gutassociated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
5
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
limfoid lagi di appendiks dan terjadi obliterasi lumen appendiks komplit.
2.3. Appendisitis
2.3.1. Definisi appendicitis
Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya.(3)
2.3.2. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendiks. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah
hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan rontgen, diet rendah
serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena
kolonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks. Post operasi
appendiks juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit
ditemukan pada 40% dari kasus appendiks akut, sekitar 65% merupakan
appendiks gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus appendiks gangrenous
dengan rupture.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendiks adalah erosi mukosa
appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya appendiks. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya apendisits akut.
Flora pada appendix yang meradang berbeda dengan flora appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari appendicitis didapatkan bakteri
jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi appendix
6
yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi
mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan
iskemik dinding lumen. Flora normal kolon memainkan peranan penting pada
perubahan appendisitis akut ke appendisitis gangrenosa dan appendicitis perforata.
2.3.3. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup
disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada
peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen.
Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5
dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan
sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi thrombosis pembuluh darah intramural (dinding
appendiks). Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi
waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks
supuratif akut.
7
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang. Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi
appendiks yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding
appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan
tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular.
Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara
lambat.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam kavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).
2.3.4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain :
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau
sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen
kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya
8
sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum
biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(3)
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya
tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
2.4. Anatomi Peritoneum
Peritoneum merupakan membrane serosa tipis yang melapisi dinding
cavitas abdominalis dan cavitas pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis.
Peritoneum dapat dianggap sebagai sebuah balon yang dalamnya organ-organ
didorong ke dalam dari luar,Peritoneum parietale melapisi dinding cavitas dinding
abdominis dan cavitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-
organ. Rongga potensial di antara peritoneum parietale dan peritoneum viscerale
yang berfungsi sebagai bagian dalam dari balon dinamakan cavitas peritonealis.
Pada laki-laki cavitas perionealis merupakan ruang tertutup, tetapi pada
perempuan terdapat hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterine, uterus, dan
vagina.Di antara peritoneum parietale dan fascia yang melapisi dinding abdomen
dan pelvis terdapat selapis jaringan ikat yang disebut jaringan extra peritoneal.
Cavitas peritonealis (rongga peritoneum) dapat dibagi menjadi dua
bagian : cavitas peritonealis (kantong besar) merupakan ruang utama cavitas
peritonealis yang terbentang dari diaphragm ke bawah sampai pelvis dan bursa
omentalis (kantong kecil) yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang
gaster. Kantong besar dan kantong kecil berhubungan bebas satu dengan yang lain
melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen
epiploicum. Sekret peritoneum berbentuk cairan serosa dalam jumlah kecil yang
membasahi permukaan peritoneum dan memungkinkan pergerakan di antara
visera.
9
Hubungan Intraperitoneal dan Retroperitoneal
Istilah intraperitoneal dan retroperitoneal dipergunakan untuk melukiskan
hubungan berbagai organ peritoneum yang meliputinya. Sebuah organ dikatakan
intraperitoneal kalau hampir seluruh organ tersebut diliputi oleh peritoneum
viscerale. Gaster, jejunum, ileum, dan lien merupakan contoh organ-organ
intraperitoneal. Organ-organ retroperitoneal terletak di belakang peritoneum dan
hanya sebagian diliputi oleh peritoneum viscerale. Pancreas, colon ascendens, dan
colon descendens merupakan contoh organ retroperitoneal. Namun demikian tidak
ada organ yang seluruhnya terletak di dalam cavitas peritonealis.
Gambar 2.1. Peritoneum visceralis dan parietalis
Ligamenta peritonealia, omenta, dan mesenteria
Ligamenta peritonealia merupakan lipatan peritoneum berlapir ganda yang
merupakan viscera padat ke dinding abdomen. Sebagai contoh, hepar
dihubungkan ke diaphragm oleh ligamentum falciforme, ligamentum coronarium,
dan ligamentum triangulare dextrum dan ligamentum triangulare sinistrum
Omenta adalah lipatan peritoneum berlapis ganda yang menghubungkan
gaster dengan organ-organ berongga lainnya. Omentum majus mengubungkan
curvature major gaster dengan colon transversum. Omentum minus
menggantungkan curvature minor gaster dari fissura ligament venosi dan porta
10
hepatis pada permukaan bawah hepar. Omentum gastroplenicum menghubungan
gaster dengan hilum lienale.
Mesenteria merupakan lipatan peritoneum berlapis dua yang
menghubungkan bagian-bagian usus ke dinding posterior abdomen, misalnya
mesenterium, mesocolon transversum, dan mesocolon sigmoideum. Ligament
peritonealia, omenta, dan mesenteria memungkinkan pembuluh darah, pembuluh
limfatik, dan saraf mencapai viscera.
Persarafan Peritoneum
Peritoneum parietale peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan.
Peritoneum parietale yang membatasi anterior abdomen dipersarafi oleh enam
nervi thoracici bagian bawah dan nervus lumbalis I, yaitu saraf yang mensarafi
kulit dan otot-otot yang ada di atasnya. Bagian sentral peritoneum diaphragmatica
dipersarafi oleh nervus phrenicus; di perifer, peritoneum diaphragmatica
dipersarafi oleh enam nervi thoracici bagian bawah. Peritoneum parietale dalam
pelvis terutama dipersarafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang plexus
lumbalis.
Peritoneum visceralis hanya peka terhadap regangan dan robekan, dan
tidak peka terhadap rasa raba, tekan, atau suhu. Peritoneum viscerale dipersarafi
oleh saraf aferen otonom yang mensarafi visera atau yang berjalan melalui
mesenterium. Peregangan yang berlebihan dari organ berongga menimbulkan rasa
nyeri. Mesenterium dan mesocolon peka terhadap regangan mekanik.
Gambar 2.2. Rongga peritoneal
11
Fungsi Peritoneum
Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental,
mengandung leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin viscera
abdomen dapat bergerak dengan mudah satu dengan yang lain. Sebagai akibat
pergerakan diaphragm dan otot-otot abdomen, disertai dengan pergerakan
peristaltik saluran pencernaan, cairan peritoneal tidak statis. Bukti-bukti penelitian
menunjukkan bahwa suatu senyawa tertentu dimasukkan ke dalam bagian bawah
cavitas peritonelais akan segera sampai ke recessus subphrenicus, tidak tergantung
pada posisi tubuh. Tampaknya terdapat pergerakan cairan inraperitoneal yang
terus menerus menuju ke diaphragm, dan cairan ini dengan cepat diabsorpsi ke
dalam kapiler limfatik subperitoneal.
Peritoneum yang meliputi usus cenderung saling melekat bila terdapat
infeksi. Omentum majus yang terus menerus bergerak akibat gerakan peristaltic
saluran pencernaan yang ada di dekatnya, dapat melekat pada permukaan
peritoneum lainnya di sekitar fokus infeksi. Dengan cara ini, banyak infeksi
peritoneal di tutup dan tetap terlokalisir.Lipatan peritoneum memegang peranan
penting untuk menggantungkan berbagai organ di dalam cavitas peritonealis dan
berperan sebagai tempat jalannya pembuluh darah, pembuluh limf, dan saraf-saraf
ke organ tersebut.
2.5. Fisiologi Peritoneum
Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran
basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah.
Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam
rongga abdomen, diafragma dan organ retroperitoneum dan peritoneum visceral
yang melapisi seluruh permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum
lebih kurang 1,8 m2. Setengahnya ( ± 1 ) m2 berfungsi sebagai membrane
semipermeabel terhadap air, elektrolit dan makro serta mikro molekul8.
Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ
intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum,
yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Karakteristik cairan
12
peritoneum berupa transudat, berat jenis 1,016, konsentrasi protein kurang dari 3
g/dl, leukosit kurang dari 3000/uL, mengandung komplemen mediator sebagai
antibacterial dan aktivitas fibrinolisis. Sirkulasi cairan peritoneum melalui
kelenjar lymph dibawah permukaan diafragma dengan ecepatan pertukaran cairan
ekstraseluler 500 ml perjam. Melalui stoma di mesotelium diafragma partikel-
partikel termasuk bakteri dengan ukuran kurang dari 20 µm diberishkan,
selanjutnya dialirkan terutama ke dalam duktus thorasikus kanan6.
Periteoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatic dan visceral yang
cukup sensitive terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan
pada bagian pelvis agak kurang sensitive. Peritoneum visceral disarafi oleh
cabang aferen otonom yang kurang sensitive. Saraf ini terutama memberikan
respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan temperatur6.
Peritoneum menangani infeksi (peritonitis) dengan 3 cara :
1. Absorbs cepat bakteri melalui stomata diafragma
Pompa diafrgama akan menarik cairan dan partikel ternasuk bakteri kea
rah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah,
bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat
menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis yaitu nyeri perut atas yang disebabkan
perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii7.
Pada percobaan binatang ½ jumlah bakteri yang diletakkan di rongga
peritoneum dikeluarkan melalui limfe diafragma dan hanya dalam 6 menit sudah
ditemukan di ductus thoracicus.
Proses pengeluaran cairan dan partikel ini sangat menguntungkan bila
bakteri yang terdapat di dalamnya telah dibunh. Bila tidak, maka yang terjadi
adalah masukinya bakteri hidup ke dalam aliran sistemik yang kemudian dapat
menjadi sespsis.
Peironitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intavaskuler dan
interstisial ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu,
asam lambung, dan enzim pancreas memperbesar pergeseran cairan ini8.
13
2. Penghancuran bakteri oleh sel imun
Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesotel, netrofil, makrofag,
sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi. Tergantung berat
trauma, makrofag akan memproduksi TNF-a dan IL-1b yang mempengaruhi sel
mesotel untuk mengeluarkan IL-8, suatu kemokin yang menarik masuknya
netrofil. Proses ini dengan peningkatan ekspresi molekuln adhesi (ICAM-1 dan
VCAM-1) pada sel mesotel. Sel mast juga membentuk TNF-a yang turut
meningkatkan emigrasi netrofil. Selain melepas mediator inflamasi ia dapat
mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamine dan
prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum
sehingga menimbulkan eskudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor
pembekuan dan fibrin8.
Hubungan Peritoneum Dengan Respon Imun Usus
GALT (Gult Associated Lymphatic Tissue atau jaringan limfoid usus)
merupakan 2/3 sel limfoid tubuh oleh karena itu mereka harus terus menerus
terekspos stimulus. Rangsangan di peritoneum dapat memicu pembentukan
sitokin usus. Walaupun tidak ditemukan bakteri di daerah porta maupun di
sistemik, usus dapat membentuk IL-6 dan TNF-a. Selain bakteri, syok juga dapat
merangsang pembentukan kedua sitokin pro inflamasi diatas. Bahkan ternyata IL-
20 yang bersifat anti inflamasi juga dapat dibentuk di usus8.
Hubungan Peritoneum Dengan Sistemik
Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan mediator
pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul
mediator anti inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini
menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro dan anti-inflamasi.
Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu
yaitu : pro inflamasi atau anti inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus
meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator
14
yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi
kegagalan organ. Begaimana hubungan dengan sistemik terlihat misalnya pada
peritonitis dimana dalam peritoneum ditemukan kadar tinggi mediator pro-
inflamasi, tetapi di sistemik terjadi proses anti-inflamasi hebat. Keadaan ini
dikenal dengan Compensatory Anti-Inflammatory Response Syndrome (CARS).
Tetpai seperti telah dikemukakan tidak pada semua proses penyembuhan terjadi
mekanisme CARS terkontrol. Respon anti-inflamasi dapat terus meningkat
dengan akibat kerusakan organ8.
Bahkan ditemukan pula keadaan dimana respons pertama yang timbul
bukan pro-inflamasi tetapi langusng anti-inflamasi . belum jelas mengapa tubuh
mengadakan respon bunuh diri seperti ini. yang jelas pada keadaan ini yang
ditandai hilangnya pertahanan anti bacterial, sangat mudah terjadi kerusakan
organ yang disebabkan bakteri.
3. Lokalisasi infeksi sebagai abses
Pada peningkatan permeabilitas venule terjadi eksudasi cairan kaya protein
yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang
mengubah potrombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin
akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini
dimaksudan untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan
mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat
dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi.
Pada jaringan inflamasi dapat ditemukan Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-
1). PAI-1 sel mesotel ini menentukan apakah fibrin yang terbentuk pada trauma
akan dihancurkan atau menimbulkan adhesi. Abses yang terjadi jarang dapat
hilang sendiri. Dibagian tengah abses ini terdapat banyak bakteri dan eksoenzim,
pH rendah, tak ada pembunuhan bakteri.
Penghentian Respon Inflamasi
IL-10 salah atu sitokin anti-inflamasi meningkat di limfe mesentrika. Pada
beberapa keadaan peningkatan ini sangat tinggi. Kadar serum mediator anti-
15
inflamasi seperti kortisol, IL-1 ra, Sil-2R, sICAM dan IL-10 jauh lebih tinggi pada
pasien infeksi dibanding relawan sehat.
Mediator counter-inflammatory juga ditemukan pada infeksi. Hal ini
menunjukkan bahwa aktivitas biologic mediator inflamasi dihambat oleh zat anti-
inflamasi alami, dan tubuh dapat mrnurunkan kelebihan zat inflamasi untuk
mengembalikan homeostasis.
Pada resolusi, netrofil akan mengalami apoptosis dan di fagositosis
makrofag yang kemudian akan beremigrasi ke kelenjar limfe dan berfungsi unutk
presentasi antigrn ke sel B untuk membentuk antibody. Dengan demikian berbeda
dari makrofag resident, makrofag inflamasi akan bergerak keluar peritoneum
melalui limfe. Dikeumukakan bahwa timbulnya gejala peritonitis bakteri adalah
manifestasi respons mediator pro dan anti-inflamasi baik lokal dan sistemik8.
2.6. Peritonitis
2.6.1. Definisi
Peritnitis adalah peradangan atau suatu respon supuratif dari lapisan
peritoneum terhadap iritasi langsung.9
2.6.2. Etiologi
Peritonitis dapat terjadi akibat perforasi, inflamasi, infeksi, atau kerusakan
akibat iskemi sistem gastrointestinal atau genitourinari. 9
Keparahan Penyebab Mortality Rate
Mild
Appendicitis
<10%Perforated
gastroduodenal ulcers
Acute salpingitis
Moderate Diverticulitis (localized
perforations)
Non vascular small bowel
perforation
<20%
Gangrenous cholecystitis
Multiple trauma
16
Severe
Large bowel perforations
20-80%
Ischemic small bowel
injuries
Acute necrotizing
pancreatitis
Postoperative
complications
2.6.3. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.10
3. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan
agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,
seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.
Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia. 10,12
4. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
17
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.10
5. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.10
6. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang
kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus. 10,11
7. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat
berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya
pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang
akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat
terjadi peritonitis.12
8. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan
obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau
18
ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. 10,12
9. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul
sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat
kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya
paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas,
misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah
seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium. 10,11,13
2.6.4. Klasifikasi14
Berdasarkan infeksi peritoneal
1. Primer
Biasa disebut sebagai spontaneous bacterial peritonitis yang disebabkan
oleh penyakit hati atau ginjal yang kronis.
2. Sekunder
Berhubungan dengan proses patologi pada organ viseral seperti perforasi
atau trauma termasuk trauma iatrogenik. Dapat juga disebabka oleh infeksi
yang menyebar melalui organ pencernaan dan kemih.
3. Tersier
Infeksi yang timbul kembali atau menetap setelah pemberian terapi yang
adekuat
Berdasarkan infeksi di bagian peritoneum
1. Generelized (peritonitis)
2. Localized (intra-abdominal abscess)
Terdapat pus di abdomen.
19
2.6.5. Gejala Klinis15
1. Anoreksia dan nausea
2. Nyeri pada abdomen yang memberat apabila bergerak
3. Dinding abdomen rigid atau distensi
4. Demam
5. Nyeri ketika dilakukan pemeriksaan rektal/vagina
6. Takikardi
7. Peristaltik tidak dijumpai
8. Urine output yang sedikit
2.6.6. Diagnosa
1. Anamnesis
Pada anamnesis pasien akan mengeluhkan gejala seperti :16
a. Nyeri akut abdomen, gejala ini sangat khas nyeri yang terjadi
secara tiba-tiba dan hebat. Nyeri yang dialami biasanya menyebar
ke seluruh tubuh.
b. Demam, suhu 380 C
c. Mual
d. Muntah
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukanmuscular rigidity, nyeri tekan,
nyeri lepas (blumberg sign), rofsign, bising usus yang tak terdengar. 17
3. Laboraturium
Terdapat leukositosis (> 11.000 /mm3), penurunan jumlah PMN (
polymorpho Nuclear), sebagian kasus bisa didapati anemi, hematrokit
cendrung meningkat, asidosis metabolik. Test fungsi hati dapat
diindikasikan pada pasien peritonitis. Peningkatan amilase dan lipase
dapat dijadikan sebagai indikator penyebab peritonitis karena
pancreatitis.18
4. Pencitraan18
20
USG, dapat mendeteksi adanya peningkatan jumlah cairan
peritoneal. Bila jumlah cairannya <100 ml, maka cairan peritoneal
tersebut tidak dapat dideteksi.
Foto polos abdomen, dapat ditemukan adanya udara bebas (free
air) pada kasus perforasi. Pada foto thorak erect berguna untuk
mengidentifikasi adanya free air di bawah diafragma biasanya
disebelah kanan sebagai indikasi adanya perforasi viscus. Perlu
diingat adanya free air di bawah diafragma tidak mutlak
diidentifikasi sebagai perforasi viceral yang biasanya free air
dalam jumlah kecil diragukan dalam foto.
CT-scan, tidak dianjurkan untuk membantu penegakan peritonitis
karena dapat menunda untuk diadakannya operasi. Namun, untuk
kasus yang diragukan seperti halnya abses peritonitis CT-Scan
dapat dilakukan.
2.6.7. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Penanganan Awal( Preoperasi)
Resusitasi cairan dan pencegahan disfungsi sistem organ sekunder sangat
penting dalam pengobatan pasien dengan infeksi intra-abdominal.
Mulailah pemberian antibiotik empiris spektrum luas, terapi antibiotik
sistemik segera setelah dicurigai diagnosis infeksi intra-abdominal dan
dilanjutkan pemberian antibiotic sesuai deng
hasil kultur jika telah diketahui bakteri penyebabnya
Karena pasien dengan peritonitis sering mengalami sakit perut yang parah
maka dapat diberikan analgesia yang adekuat sesegera mungkin.
21
Antiemetik dapat diberikan pada pasien yang mengalami mual dan muntah
yang signifikan.19
Pembedahan
Operasi tetap menjadi dasar pengobatan peritonitis . Setiap operasi harus
membahas 2 prinsip utama pengobatan infeksi intraperitoneal : sebagai tindakan
awal kontrol sumber infeksi dan eliminasi bakteri dari rongga perut .
Indikasi operasi ditentukan oleh proses penyakit yang mendasari dan jenis
serta tingkat keparahan infeksi intra abdominal . Dalam banyak kasus , indikasi
operasi akan menjadi jelas , seperti dalam kasus peritonitis yang disebabkan oleh
kolitis iskemik , usus buntu yang pecah , atau divertikula kolon.19
Tindakan pembedahan mencakup mengangkat/ menghilangkan sumber
infeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi
(apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki
(perforasi), dan drainase (abses).
Antibiotika
Terapi antibiotik digunakan untuk mencegah penyebaran lokal dan hematogen
dari infeksi intra abdomen dan mengurangi komplikasi. Beberapa regimen
antibiotik yang berbeda yang tersedia untuk pengobatan infeksi intra abdomen.20
22
a. Peritonitis Primer
Spontaneous bacterial peritonitis ( SBP ) akibat penyakit hati kronis adalah
penyebab paling umum dari peritonitis primer. Cefotaxime dianggap sebagai obat
pilihan . Sefotaksim efektif terhadap 98 % dari organisme penyebab . Cefotaxime
( 2 g IV setiap 8 jam ) telah ditunjukkan untuk mencapai tingkat cairan asites yang
sangat baik . The interval pemberian dosis mungkin perlu dikurangi pada pasien
dengan insufisiensi ginjal .Amoksisilin klavulanat telah terbukti efektif sebagai
cefotaxime.Ofloksasin oral telah dilaporkan efektif seperti halnya sefotaksim
dalam pengobatan SBP . Namun ofloxacin tidak boleh diberikan kepada pasien
yang muntah , shock , pendarahan , atau gagal ginjal .Atau dapat diberikan
siprofloksasin intravena ( 200 mg/12 jam selama 2 hari ) , diikuti oleh
ciprofloxacin oral ( 500 mg/12 jam selama 5 hari).20
b. Peritonitis Sekunder
Dalam peritonitis sekunder dan tersier , terapi antibiotik sistemik adalah
pilihan pengobatan kedua setelah operasi. Terapi antibiotik sistemik dapat
mengurangi secara signifikan konsentrasi dan tingkat pertumbuhan dari bakteri
hidup dalam cairan peritoneal .Perforasi organ saluran pencernaan bagian atas
berhubungan dengan bakteri gram positif , sedangkan perforasi distal usus kecil
dan usus besar melibatkan spesies aerobik dan anaerobik polymicrobial.20
c. Peritonitis Tersier
Terapi antibiotik tampaknya kurang efektif dalam peritonitis tersier.
Organisme yang resisten dan tidak biasa ( misalnya , Enterococcus , Candida ,
Staphylococcus , Enterobacter , Pseudomonas spesies ) sering dijumpai dalam
berbagai kasus . Hasil kultur bakteri sangat penting dalam peritonitis tersier.
Durasi optimal dari terapi antibiotik bersifat individual dan tergantung
pada beratnya infeksi , kecepatan dan efektivitas mengatasi sumber infeksi dan
respon pasien terhadap terapi. Pada kasus peritonitis tanpa komplikasi yang
dideteksi lebih awal, biasanyaantibiotik cukup diberi 5-7 hari . Pemberian
23
antimikroba harus terus diberikan sampai tanda-tanda infeksi ( misalnya , demam
dan leukositosis ) telah diatasi.20
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Rekam Medis Pasien
Identitas Pasien
Nama Pasien : Mr.Z
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Tengku Hasyim LK Bandar
Status : Menikah
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Masuk : 17 April 2014
Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri pada Seluruh Lapangan Perut
Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak ± 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya
nyeri dirasakan di perut kanan bawah sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit
24
yang kemudian menyebar ke seluruh lapangan perut. Mual (+) dialami pasien
3 hari SMRS, muntah (-).Riwayat demam (+) dialami pasien 3 hari sebelum
masuk rumah sakit dan demam bersifat terus menerus. BAB (+) dalam batas
normal, BAK (+) dalam batas normal.
RPT : Tidak dijumpai
RPO : Tidak jelas
Status presens
Sensorium : Compos mentis Keadaan Umum : Baik
Tekanan darah: 120/80 mmHg Keadaan Gizi : Baik
Nadi : 92 x/i
Pernafasan : 20 x/i
Suhu : 37.8 M C
Pemeriksaan Fisik
Kepala : - Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Pupil : Isokor, diameter 3 mm, RC (+/+)
- T/H/M : Tidak dijumpai kelainan.
Leher : - Pembesaran KGB (-)
- Trakea Medial
Toraks : - Inspeksi : Simetris fusiformis
- Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan : normal
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : + Paru : SP vesikuler, ST tidak dijumpai
+ Jantung : S1 (N), S2 (N), murmur (-)
Abdomen : - Inspeksi : Simetris, distensi (-)
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (+), defens muskular (+)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : peristaltik (+) melemah
Ekstrimitas : - Superior : Pols 92x/i,reg, T/V Kuat/cukup, akral hangat,
CRT <3’’, TD: 120/80 mmHg, Fraktur (-), Edema
(-)
25
- Inferior : Fraktur (-), Edema (-)
DRE : - Perineum : dalam batas normal
- Spinkter : longgar
- Mukosa : licin
- Nyeri tekan : dirasakan di seluruh putaran arah jarum jam
- Ampula rekti : tidak berisi feses
- Handschoon : tidak terdapat sisa feses, darah, maupun lendir
26
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (17 april 2014)
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
Hematologi
Hemoglobin (HGB) g% 15 13.2-17.3
Eritrosit (RBC) 106/ mm3 4.92 4.20-4.87
Leukosit (WBC) 103/ mm3 15.2 4.5- 11.0
Hematokrit % 42.80 43-49
Trombosit (PLT) 103/ mm3 216 150- 450
MCV Fl 87.00 85-95
MCH Pg 30.50 28-32
MCHC g% 35.00 33-35
RDW % 13.00 11.6-14.8
PCT % 8.80 -
Hitung Jenis
Neutrofil % 85.90 37 – 80
Limfosit % 8.00 20 – 40
Monosit % 5.80 2 – 8
Eosinofil % 0.20 1 – 6
Basofil % 0.100 0 – 1
Neutrofil Absolut 103/µL 7.69 2.7 – 6.5
Limfosit Absolut 103/µL 0.72 1.5 – 3.7
Monosit Absolut 103/µL 0.52 0.2 – 0.4
Eosinofil Absolut 103/µL 0,02 0 - 0.10
Basofil Absolut 103/µL 0,01 0 - 0.1
27
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (17 April 2014)
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
Faal Hemostasis
Waktu Perdarahan Menit 3’ < 5PT + INRWaktu Protrombin Kontrol PasienINR
DetikDetik
13.0017,51,39
aPTT Kontrol Pasien
DetikDetik
29.937.7
Waktu Trombin Kontrol Pasien
DetikDetik
16.714.6
Hati
Amilase U/L 53 28 - 100
Lipase U/L 10 13 - 60
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa darah (sewaktu) mg/dl 116.00 < 200
Ginjal
Ureum mg/dl 37.90 < 50
Kreatinin mg/dl 1.15 0,70 – 1.20
Elektrolit
Natrium (Na) mEq/L 138 135 - 155
Kalium (K) mEq/L 4.1 3,6 – 5,5
Klorida (Cl) mEq/L 105 96 - 106
28
Foto Thoraks AP 17 April 2014
29
EKG 17 April 2014
30
Diagnosis:
- Difus peritonitis d/t Perforasi Apendiks
Penatalaksanaan:
- Puasa
- Pasang NGT
- Pasang Kateter
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1gr/8jam
- Inj. Ranitidine 50mg/12jam
- Inj. Ketorolac 30mg/8jam
Rencana:
- Ekplorasi Laparotomi
- Appendikstomi
3.2. Follow up Pasien
Tanggal 19- 20 April 2014
S : Nyeri seluruh lapangan perut berkurang
O : Abd: soepel, peristaltic (+) lemah, terpasang drain
A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi apendiks (H +1)
P : - Diet M2
- IVFD RL 20 gtt/i
- metronidazole 500 mg/8 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
31
Tgl 21-22 April 2014
S : Nyeri perut (+)
O : Abd. Soepel, peristaltic (+), terpasang drain
A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi appendiks (H+3)
P : - Diet M2
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- metronidazole 500 mg/8jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Tgl 23 April 2014
S : demam (+)
O : Abd. Soepel, peristaltic (+), T : 38O C
A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi appendiks (H+5)
P : - Diet MB
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- metronidazole 500mg/8jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- cek DL, Albumin, KGD
32
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (23 april 2014)
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
Hematologi
Hemoglobin (HGB) g% 13.10 13.2-17.3
Eritrosit (RBC) 106/ mm3 4.39 4.20-4.87
Leukosit (WBC) 103/ mm3 20.11 4.5- 11.0
Hematokrit % 37.20 43-49
Trombosit (PLT) 103/ mm3 414 150- 450
MCV fL 84.70 85-95
MCH Pg 29.80 28-32
MCHC g% 35.20 33-35
RDW % 14.10 11.6-14.8
PCT % 0.39 -
Hitung Jenis
Neutrofil % 84.10 37 – 80
Limfosit % 10.20 20 – 40
Monosit % 4.70 2 – 8
Eosinofil % 0.90 1 – 6
Basofil % 0.100 0 – 1
Neutrofil Absolut 103/µL 16.90 2.7 – 6.5
Limfosit Absolut 103/µL 2.05 1.5 – 3.7
Monosit Absolut 103/µL 0.95 0.2 – 0.4
Eosinofil Absolut 103/µL 0,18 0 - 0.10
Basofil Absolut 103/µL 0,03 0 - 0.1
Hati
33
Albumin g/dL 3.3 3.5 – 5.0
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa darah (sewaktu) mg/dl 141.90 < 200
Ginjal
Ureum mg/dl 20.90 < 50
Kreatinin mg/dl 0.74 0,70 – 1.20
Elektrolit
Natrium (Na) mEq/L 135 135 - 155
Kalsium (Ca) Mg/dL 7.8 8.8 – 10.2
Kalium (K) mEq/L 3.6 3,6 – 5,5
Klorida (Cl) mEq/L 101 96 - 106
Tgl 24-25 April 2014
S : nyeri (-), demam(-)
O : Abd. Soepel, peristaltic (+)
A : post eksplorasi Laparotomi d/t perforasi apendiks (H+6)
P : - IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Metronidazole 500mg/8jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
34
Tgl 26-27 April 2014
S : demam (-)
O : Abd.peristaltik (+), distensi (-)
A : post eksplorasi laparotomi
P : - IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Meropenem 1 gr/12 jam
- metronidazole 500 mg/8jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- rawat luka terbuka
Tgl 28 April 2014
S : demam (+)
O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)
A : post operasi eksplorasi Laparotomi (H+10)
P : - IVFD RL 20 gtt/i
- Meropenem 1 gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- cek DL, Elektrolit, KGD, Albumin
35
Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik (28 april 2014)
Jenis Pemeriksaan Satuan Hasil Rujukan
Hematologi
Hemoglobin (HGB) g% 11.9 13.2-17.3
Eritrosit (RBC) 106/ mm3 4.00 4.20-4.87
Leukosit (WBC) 103/ mm3 8.51 4.5- 11.0
Hematokrit % 35.30 43-49
Trombosit (PLT) 103/ mm3 741 150- 450
MCV fL 88.30 85-95
MCH Pg 29.80 28-32
MCHC g% 33.70 33-35
RDW % 14.50 11.6-14.8
PCT % 0.62 -
Hitung Jenis
Neutrofil % 67.90 37 – 80
Limfosit % 18.70 20 – 40
Monosit % 8.30 2 – 8
Eosinofil % 4.90 1 – 6
Basofil % 0.200 0 – 1
Neutrofil Absolut 103/µL 5.77 2.7 – 6.5
Limfosit Absolut 103/µL 1.59 1.5 – 3.7
Monosit Absolut 103/µL 0.71 0.2 – 0.4
Eosinofil Absolut 103/µL 0,42 0 - 0.10
Basofil Absolut 103/µL 0,02 0 - 0.1
Hati
36
Albumin g/dL 3.2 3.5 – 5.0
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa darah (sewaktu) mg/dl 97.70 < 200
Ginjal
Ureum mg/dl 17.30 < 50
Kreatinin mg/dl 0.71 0,70 – 1.20
Elektrolit
Natrium (Na) mEq/L 136 135 – 155
Kalsium (Ca) Mg/dL 8.6 8.8 – 10.2
Kalium (K) mEq/L 4.5 3,6 – 5,5
Klorida (Cl) mEq/L 102 96 - 106
Tgl 29 April 2014
S : demam (+) menurun
O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)
A : post operasi eksplorasi laparotomi (H+11)
P : - IVFD RL 20 gtt/i
- Meropenem 1 gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
37
Tgl 30 April 2014
S : demam (-)
O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)
A : post operasi eksplorasi laparotomi (H+12)
P : - IVFD RL 20 gtt/i
- Meropenem 1 gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
- Rawat luka terbuka
Tgl 1-4 Mei 2014
S : demam (-)
O : Abd. Peristaltic (+), distensi (-)
A : post operasi eksplorasi laparotomi(H+13)
P : - Meropenem 1 gr/12 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Peritonitis didefinisikan sebagai inflamasi dari membrane serosa yang
terletak sejajar dengan rongga abdomen dan organ-organ yang ada didalamnya.
Peritoneum, yang mana merupakan lingkungan steril, bereaksi dengan berbagai
38
stimulus patologis yang berkaitan dengan respom inflamasi. Proses inflamasi yang
terjadi dapat dibedakan menjadi localized & diffuse in nature..
Infeksi peritoneal diklasifikasikan menjadi primer, sekunder atau tersier.
Peritonitis paling sering disebabkan adanya infeksi yang terjadi pada lingkungan
steril di peritoneum melaluli perforasi organ, ataupun dapat juga berasal dari
irritant, seperti benda asing, getah empedu dari perforasi kantung empedu, atau
asam lambung dari perforasi lambung dan sebagainya.
Diagnosis dari peritonitis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. kumbah
peritoneal dapat membantu menegakkan diagnose bila dari gejala klinis pada
pemeriksaan fisik tidak dapat langsung ditegakkan.
Penatalaksanaan dari peritonitis dan abses peritoneal menargetkan untuk
mengobati penyebab dasar, pemberian antibiotik sistemik dan terapi suportif
untuk mencegah atau membatasi komplikasi akibat adanya kegagalan sistem
organ.
Kontrol awal dari sumber sepsis dapat dicapai dengan cara operatif
maupun nonoperatif. Intervensi non-operatif termasuk drainase abses secara
perkutaneus. Manajemen operasi ditujukan untuk kebutuhan dalam mengatasi
sumber infeksi dan menmbersihkan toksin serta bakteri. Jenis operasi yang
dilakukan tergantung darimana sumber proses yang mendasari dan keparahan dari
infeksi intraabdominal tersebut.
4.2. Saran
Seorang klinisi harus mengetahui pola manajemen yang benar dalam
menghadapi pasien yang datang dengan kejadian peritonitis. Hal ini penting untuk
dapat mengenali tanda – tanda kegawatdaruratan pada pasien dengan peritonitis
sehingga penanganan dan penatalaksanaan yang akan dilakukan tidak terlambat.
Sebelumnya resusitasi awal dan perbaikan status hemodinamik harus terlebih
39
dahulu dilakukan sebelum menentukan pola penanganan yang sesuai dengan
kasus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Oetomo, K.S., 2013 Makalah Peritonitis. Ilmu Bedah RSU Haji Surabaya.
Available from: http://www.scribd.com/doc/157587424/Makalah-
Peritonitis-2013-Dr-dr-Koernia-Swa-Oetomo-SpB-Peritonitis
40
2. Tarigan, MH., 2012. Peritonitis. Available from:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34725/4/Chapter%20II.pdf.
3. Amri, AK.,2008. Peritonitis. FK Universitas Malahayati SMF Bedah
RSUD Tasikmalaya.
4. Snell RS. Abdomen : bagian II cavitas abdominalis. Anatomi Klinik.
Jakarta : EGC, 2006. p.210-218.
5. Williams, Norman S. 2008. Peritpneal Cavity in Bailey & Love’s Short
Practice of Surgery 25th edition. Edward Arnold Ltd.
6. Marshall JC, Innes M. Intensive Care Management of Intra Abdominal
Infection. Ciritical Care Medicine 2003; 31(8) : 2228-37
7. Hall JC, Heel KA, Papadmitriou JM, Platell C. The Pathobiology of
Peritonitis. Gastroenterology 1998 Jan;114(1): 185-96
8. Heemken R, Gandawidjaja L, Hau T. peritonitis: patophysiology and local
defense mechanism. Hepatogastroenterology 1997 Jul-Aug;44(6):927-36
9. Doherty, Gerard M. 2010. Peritoneal Cavity In : Current Diagnosis &
Treatment: Surgery, Thirteenth Edition. The McGraw-Hill Companies,
Inc.
10. Schwartz, Shires, Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2000. Hal
489 – 493 jnj
11. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
12. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta. 1997
13. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Abdomen Akut,
dalamRadiologiDiagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta. 1999
14. Daley,B.J., 2013. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview
41
15. Williams,N.S, Bulstrode, C.J.K & O’Connell,P.R. 2008. Bailey & Love’s
Short Practice of Surgery 25th edition.The peritoneum, omentum,
mesentery and retroperitoneal space.India : Phoenix Photosetting, h993
16. Johnson, Caroline C, Baldessarre, James, Levison, Matthew E. 1997.
Update on Pathophysiology, Clinical Manifestatio, and Management. In :
Peritonitis. Allegheny University-MCP
17. Wehyn YHLN Chirrosis Guidance, 2010. Diagnosis and management of
Spontaneous Bacterial Peritonitis.
18. Daley, James Brian, MD, MBA, FACS, FCCP, CNSC. 2010. Peritonitis
and Abdominal Sepsis. Medscape.
19. Ruben Peralta, MD, FACS, Surgical Approach to Peritonitis and
Abdominal Sepsis Surgical Overview. 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/1926162-overview#aw2aab6b3
20. Kenneth L Reed. Antibiotic Therapy for Peritonitis Treatment Overview.
2013. http://emedicine.medscape.com/article/1926162-overview#a30