Inkuiri Nasional Komnas HAMtentang
Hak-hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya
di Kawasan Hutan
Paska Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2102
Sandra Moniaga13 Mei 2014
Isi keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (dibacakan pada 16 Mei 2013)
Kedudukan masyarakat adat dan hak-haknya dalam hukum negara
Implikasi Keputusan MK pada hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya termasuk “hutan”nya
Komnas HAM: mandat dan fungsi Inkuiri Nasional: ruang lingkup dan alasan Inkuiri Nasional ttg Hak-hak Masyarakat
Adat di Kawasan Hutan: latar belakang dan rencana kegiatan
Keputusan MK No. 35/PUU-X/2012
Menyatakan:1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Kata ―negara‖ dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Kata ―negara‖ dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;
dstnya
(2) Menolak permohonan perubahan/pembatalan Pasal 67:
1. Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
2. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kedudukan hak-hak masyarakat adat dalam hukum negara
Periode Pemerintah Kolonial Hindia Belanda 1870 - 1942◦ Domein verklaring dalam Agrarisch Wet: awal “land grabbing”◦ Penetapan kawasan hutan
Periode Pemerintah Kolonial Militer Jepang 1942-1945◦ Dorongan untuk “reclaiming” (tanam padi, kapas dan
jarak/jathropa) tanpa didukung legalisasi – di Jawa Periode Pemerintah Orde Baru 1965-1998
◦ Melanjutkan kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda, mengabaikan kebijakan tak tertulis Pemerintah Kolonial Jepang
◦ Menyatakan secara sepihak 143 juta ha wilayah daratan RI sebagai kawasan hutan (negara).
◦ Peraturan perUUan yang tumpang tindih: UU No. 5/1960 ttg Pokok-pokok Agraria, UU No. 5/1967 ttg Pokok-pokok Kehutanan, UU No. 11/1967 ttg Pokok-pokok Pertambangan
Periode 1998 – sekarang◦ Penggantian UU Kehutanan: tidak mengoreksi kebijakan
masa lalu yang menimbulkan konflik dan melanggar hak-hak asasi manusia
◦ Pembaruan UU sudah mengakui hak-hak masyarakat adat: UU No. 39/1999 ttg Hak-hak Asasi Manusia UU No. 7/2004 ttg Sumber Daya Air UU No. 18/2004 ttg Perkebunan UU No. 27/2007 ttg Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil UU No. 32/2009 ttg Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Keputusan MK ttg UU No. 41/1999 ttg Kehutanan
◦ Disisi lain: kesadaran akan hak dari masyarakat meningkat sehingga banyak upaya ‘reclaiming’ dilakukan baik secara damai maupun dengan kekerasan, dan banyak juga “free riders” atau penunggang bebas dari kalangan spekulan tanah, calo dll yang memanfaatkan kondisi saat ini sehingga menambah kerumitan konflik.
Implikasi Hukum Keputusan MK pada hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya termasuk “hutan”nya
UU 41/99 sebelum keputusan MK: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” Keputusan MK: “Hutan adat adalah hutan
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”
Negara ‘akhirnya’ mengakui bahwa hutan adat adalah bagian dari wilayah masyarakat hukum adat dan BUKAN bagian dari hutan negara
Artinya sekarang:◦ Kawasan hutan terdiri dari:
hutan negara hutan hak (hutan-hutan milik pribadi dan hutan adat)
◦ Keputusan MK ini menjadi dasar untuk pengembalian/restitusi hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya (atau keseluruhan wilayah adatnya?)
◦ Namun, karena pasal 67 ttg Masyarakat Hukum Adat termasuk ttg “pengukuhan keberadan Masy Hukum Adat” dan pasal-pasal lainnya tetap berlaku, maka pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat harus sesuai dengan peraturan perUUan yang berlaku:
Pengakuan “hutan adat “: Peluang atau Ancaman?
Setelah berjuang sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, akhirnya Negara mengakui hutan adat sebagai bagian dari Wilayah Masyarakat Hukum Adat
Masalahnya: sebagian wilayah adat (dan hutan adat) sudah ‘terlanjur’ diakui
oleh Negara sebagai kawasan hutan negara. Sebagian sudah diberikan kepada perusahaan-perusahaan (HPH, HTI, pertambangan dll), taman nasional dll…
Sebagian masyarakat adat belum terorganisir (belum kuat)Ada pihak-pihak yang sering memanfaatkan segala peluang
untuk mengeksploitasi sumber daya alamSikap pemerintah thd masyarakat adat beragam dan tidak ada
upaya serius untuk mengembankan kebijakan pemerintah yang komprehensif:Berdampak pada lambannya proses penyusunan peraturan
pemerintah, sk menteri dll
KOMNAS HAMLembaga Mandiri, yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya, yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia
Komnas HAM bertujuan (Pasal 75 UU 39/1999):
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Kewajiban Negara dalam Konstitusi dan Hukum HAM Internasional
Konstitusi mengatur mengenai kewajiban negara dalam Hak Asasi Manusia, yaitu :
1. Perlindungan;2. Pemajuan;3. Penegakan; dan4. Pemenuhan
Dalam hukum internasional Hak Asasi Manusia, negara memiliki tiga jenis kewajiban dalam pelaksanaan Hak Asasi Manusia:5. Penghormatan (kewajiban untuk menghormati Hak Asasi
Manusia/to respect);6. Perlindungan (kewajiban untuk melindungi Hak Asasi
Manusia/to protect);7. Pemenuhan (kewajiban untuk memenuhi Hak Asasi
Manusia/to fulfill).
Inkuiri nasioal(National Inquiry)
Suatu investigasi terhadap masalah Hak Asasi Manusia yang sistematis (bukan kasus per kasus) di mana masyarakat umum diundang untuk turut serta;
Dilakukan sebagai bagian dari kegiatan untuk memenuhi mandat dengan cara transparan dan melibatkan publik;
Mencakup bukti publik dari para saksi dan ahli dan diarahkan menuju investigasi pola sistemik pelanggaran HAM serta identifikasi rekomendasi penyelesaian masalah tsb.
Apa yang dimaksud dengan Inkuiri Nasional
Sejumlah besar pengaduan individu/masyarakat dapat diatas dengan cara yang proaktif dan hemat biaya
Proses penyusunan kerangka acuan dilaksanakan melalui seri konsultasi dengan ornop dll
Penyelenggaran Dengar Kesaksian secara terbuka – pendidikan publik
Dapat mengatasi secara efektif pelanggaran HAM yang sistematis
Proses Inkuiri secara nasional memungkinkan Komnas dalam memberikan saran-saran pembaruan kebijakan yang responsif
Mengapa memilih Inkuiri Publik?
Memberikan kesempatan kepada para pengambil kebijakan (politisi, birokrat dll) untuk menyampaikan pandangan2 mereka secara terbuka
Proses public hearing (dengar kesaksian) dapat menjadi sarana pendidikan publik yang efektif ttg beberapa prinsip HAM (ketidakterpisahan dll)
Proses inkuiri nasional dapat langsung menerapkan prinsip2 perjanjian HAM dan instrumen HAM internasional sebagai tolak ukur dalam mengkaji hukum dan kebijakan nasional
Kesadaran masyarakat dan tekanan publik yang dihasilkan oleh proses Inkuiri Nasional yang dipublikasikan dengan baik memungkinkan rekomendasi utk perubahan hukum dan kebijakan dapat diterima para legislator dan pembuat kebijakan publik lainnya
Inkuiri Nasional ttg Hak-hak Masyarakat Adat di
Kawasan Hutan:
latar belakang dan rencana kegiatan
Ketergantungan terhadap sumber daya hutan 31.957 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan
& 71.06% bergantung kawasan hutan Konflik pengambilalihan lahan atas tanah adat
Sistematik: dilegitimasi kebijakan (sk menteri penunjukan/penetapan kawasan hutan dan perijinan)
Massive: melibatkan banyak korban Aktor yang diduga melakukan pelanggaran HAM:
Pemerintah (Kementerian Kehutanan), korporasi kehutanan, pertambangan, kepolisian dll
Latar Belakang
Klaim-klaim tumpang tindih masy. hukum adat di sektor kehutanan◦ 126, 8 juta hektar kawasan hutan dengan rincian
hutan konservasi (23,2 juta), hutan lindung (32,4 juta), hutan produksi terbatas (21,6 juta), hutan produksi (35,6 juta), hutan produksi konversi (14 juta)
◦ Merugikan masyarakat adat Perampasan wilayah-wilayah adat dengan klaim sepihak
negara yang menetapkan wilayah tersebut sebagai hutan negara
Penerbitan ijin untuk pihak ketiga di “hutan negara’ yang belum diverifikasi
Pasal 50 UU No.41/1999 melarang sejumlah kegiatan pertanian
Latar Belakang
Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat terkait wilayah adatnya (UU 39/1999) Hak untuk hidup (pasal 9) Hak atas kesejahteraan (pasal 36 dan 38) Hak atas rasa aman (pasal 9, 29, 33) Hak atas pekerjaan Hak atas pangan Hak atas lingkungan (pasal 9)
Kewajiban dan tanggung jawab Negara
Latar Belakang
Tujuan: Menyelidiki pelanggaran HAM tentang masyarakat
adat di kawasan hutan Menganalisa penyebab utama terjadinya pola
pelanggaran HAM Memberikan informasi kepada pemerintah dan
melakukan penyadaran kepada publik Memberikan edukasi untuk peningkatan
pemahaman mengenai HAM dan komitmen demi kepatuhan terhadap HAM yang lebih baik
Menyusun rekomendasi bagi tindakan pemulihan/restitusi atas pola pelanggaran HAM & mencegah pelenggaran HAM serupa di masa datang
Inkuiri Nasional : Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan
Pengumpulan data (melengkapi data kasus dan mengembangkan data base kasus-kasus)
Launching pada 20 Mei 2014 Verifikasi data dalam stakeholders meeting &
pertemuan dengan tim lokal Pelaksanaan publik hearing di tujuh wilayah dan 1
tingkat nasional (Sumatera (Sumut), Jawa (Banten) , Bali Nusa (NTB), Sulawesi (Sulteng), Kalimantan (Kalbar), Maluku (Pulau Buru), Papua) Satu wilayah membahas minimal 6 kasus dengan 12 saksi
korban Melibatkan saksi yang diadukan, saksi ahli dari akademisi,
pemuka masyarakat dan pendamping korban Format terbuka dan tertutup di hadapan komisi inquiry
Inkuiri Nasional : Hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan
Stake holdersM
eeting
Alur Kerja
Pengumpul-an Data
Public Hearin
g
Penyusunan Laporan dan Publikasi
Sosiialisasi & Kampanye
Rekomendasi Kebijakan
Pengumpulan data : April –September 2014 Stakeholders meeting: Mei 2014 Pra-public hearing (pemantauan di 7 wilayah): Mei –
Juni 2014 Public hearing (7 wilayah dan nasional): Juni –
September 2014 Sosialisasi, pendidikan dan kampanye (kick off): Mei
– September 2014 Pelaporan dan rekomendasi: Juni – September 2014 Follow up dan rekomendasi: Oktober
Disaion road map kasus: penyusunan peraturan baru dan pengalokasian anggaran oleh pemerintah
Jadwal kegiatan (tentatif)
25