Download - 183419123 Anemia Inflamasi Doc
ANEMIA INFLAMASI: PERANAN HEPSIDIN
PENDAHULUAN
Anemia inflamasi, disebut juga anemia inflamasi kronik atau anemia penyakit kronik,
merupakan anemia kedua tersering setelah anemia defisiensi besi.1
Anemia inflamasi pada mulanya diduga berhubungan terutama dengan infeksi,
inflamasi, dan keganasan. Akan tetapi, penelitian selanjutnya membuktikan bahwa anemia
inflamasi juga ditemukan pada keadaan lainnya seperti trauma yang berat, penyakit jantung,
diabetes melitus, dan dalam keadaan aktivasi sistem imun akut maupun kronik. Gambaran
anemia inflamasi biasanya normokromik, normositik, dan hipoproliferatif 2
Prevalensi anemia meningkat pada usia di atas 50 tahun dan ditemukan pada 11,0%
laki-laki dan 10,5% wanita dan 1/3 - nya disebabkan oleh anemia inflamasi. 1 Anemia
inflamasi berhubungan dengan infeksi baik akut maupun kronis, keganasan, kelainan
autoimun, trauma, rejeksi kronis setelah transplantasi organ, dan gagal ginjal kronik. 3
Patogenesis anemia inflamasi dan regulasi, absorpsi, serta distribusi zat besi
merupakan salah satu masalah klasik di bidang hematologi yang belum sepenuhnya
terpecahkan. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat perkembangan pesat dalam peranan
hepsidin, yakni suatu hormon yang mengatur metabolisme zat besi, pada anemia inflamasi.
Dalam referat ini akan dibahas defmisi, etiologi, dan patofisiologi, terutama peranan
hepcidin pada anemia inflamasi.
DEFINISI
Anemia inflamasi merupakan anemia dengan jumlah cadangan zat besi {iron stores)
normal, dengan jumlah zat besi yang beredar {circulating iron) rendah, dengan kadar kurang
dari60 μg/dL.1
Anemia inflamasi adalah suatu kelainan yang didapat yang ditemukan pada penderita
dengan berbagai gangguan inflamasi. Anemia inflamasi saat ini merupakan bentuk anemia
yang tersering didapatkan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dan pasien dengan
penyakit kronis. Anemia karena inflamasi biasanya ringan sampai sedang, namun dapat juga
berat sehingga memerlukan transfusi.4
Anemia inflamasi seringkali dipikirkan sebagai diagnosa eksklusi. Pada anemia inflamasi,
kadar zat besi yang beredar berkurang meskipun jumlah cadangan zat besi normal atau
bahkan meningkat. Agak sulit untuk membedakan anemia inflamasi dengan anemia
defisiensi besi. Anemia inflamasi harus dipikirkan apabila kadar serum zat besi menurun dan
serum iron binding capacity (transferin) juga rendah, bukan meningkat. Hal ini menunjukkan
bahwa kelainan utama bukan semata-mata defisiensi zat besi biasa. Kadar serum feritin dapat
normal atau meningkat pada anemia inflamasi.4 Gambaran zat besi yang dapat diwarnai yang
dapat terlihat pada sediaan sumsum tulang, dan juga pemeriksaan yang baru seperti reseptor
serum transferin dan kadar hepsidin, membantu membedakan anemia defisiensi besi dan
anemia inflamasi.1
Istilah anemia inflamasi menggambarkan konsep patofisiologi keadaan ini, yaitu
adanya peningkatan sitokin akibat proses inflamasi yang selanjutnya merangsang produksi
hepsidin yang mengakibatkan berkurangnya absorpsi zat besi di usus serta berkurangnya
pelepasan zat besi oleh makrofag.
ETIOLOGI
Anemia inflamasi dapat ditemukan pada keadaan infeksi akut maupun kronis,
keganasan, keadaan autoimun, rejeksi kronik setelah transplantasi organ, dan gagal ginjal
kronik. Penyebab anemia inflamasi serta prevalensinya dapat dilihat pada tabel 1.Tabel 1.
Etiologi anemia inflamasi.3
Kelainan Dasar Prevalensi (%)Infeksi (akut dan
kronik) Virus Bakteri Parasit Fungal
18-95
KKeganasan Hematologis Tumor solid
30 - 77
AAutoimun Rheumatoid arthritis Systemic lupus erythematosus dan penyakit jaringan ikat lainnya Vasculitis Sarcoidosis Inflammatory bowel disease
8-71
Rejeksi kronik setelah transplantasi 8-70Gagal ginjal kronik dan inflamasi 23-50
Variasi lainnya pada anemia inflamasi yaitu anemia yang berkaitan dengan keadaan
akut {acute-event related anemia) atau anemia penyakit kritis (anemia of critical illness) dan
ditemukan pada keadaan post operasi, trauma berat, infark miokard, maupun sepsis. Anemia
yang berkaitan dengan keadaan akut ini memiliki gambaran yang sama dengan anemia
inflamasi dan merupakan variasi dari anemia inflamasi.2 Pada sepsis, anemia inflamasi
bahkan dapat terjadi dalam beberapa hari.3
PATOFISIOLOGI
Pada tahun 1932, Locke et al meneliti bahwa infeksi berhubungan dengan kadar
serum zat besi yang rendah (hipoferemia) sehingga anemia seringkali ditemukan pada pasien
dengan inflamasi kronis. Cartwright dan Wintrobe membuktikan bahwa hipoferemia pada
anemia karena inflamasi, termasuk pada infeksi, terjadi akibat sekuestrasi zat besi dari
retikuloendothelial dan gangguan absorpsi zat besi di usus halus. Sitokin yang banyak
dikeluarkan pada keadaan inflamasi memiliki peranan penting dalam gangguan metabolisme
zat besi.6
Anemia inflamasi diduga terutama merupakan akibat penurunan produksi eritrosit di
sumsum tulang. Namun komponen lainnya juga adalah akibat pemendekan masa hidup
eritrosit yang ringan. Terdapat 3 faktor utama yang berperan dalam hipoproliferasi pada
anemia inflamasi yakni:
1. Hipoferemia, yaitu suatu keadaan di mana kadar serum zat besi rendah sebagai akibat
terperangkapnya zat besi di dalam makrofag, sehingga zat besi relatif tidak cukup
untuk sintesa hemoglobin yang baru.
2. Respon prekursor erithroid yang kurang baik terhadap erithropoietin, serta penurunan
produksi erithropoietin relatif
1. Masa hidup eritosit yang memendek.4'7'8'9
Peranan hepsidin dan IL6
Hepsidin ditemukan pertama kali oleh Park saat mengisolasi suatu jenis protein dari
urine manusia dan menamakannya berdasarkan asal sintesisnya (hepar, hep-) dan
kemampuan anti bakterialnya secara in vitro (cidin). Secara terpisah, Krause et al mengisolasi
protein yang sama dari ultrafiltrasi plasma dan menamakannya LEAP-1 (liver-expressed
antimicrobial peptide). Hepsidin merupakan suatu protein kation dengan 25 asam amino
dengan 4 jembatan disulfida. Pada manusia, protein ini terdiri dari 84 asam amino
prepropeptida dengan C terminus, yang dihasilkan oleh mRNA berukuran 0,4 kB yang terdiri
dari 3 exons dengan gen berukuran 2,5 kB pada kromosom 19.10 Struktur hepsidin dapat
dilihatpada gambar1.10,11
Hepsidin memperjelas hubungan antara respon imun terhadap homeostasis zat
besi dan anemia karena inflamasi. Ekspresi hepsidin dirangsang oleh liposakarida dan
interleukin-6, serta dihambat oleh tumor necrosis factor a (TNF-a). Dalam penelitian pada
tikus, ekspresi hepsidin yang berlebihan menyebabkan anemia defisiensi besi yang berat.
Inflamasi pada tikus yang mengalami defisiensi hepsidin tidak menyebabkan
hipoferemia, dan hal ini menunjukkan bahwa hepsidin terlibat secara sentral dalam
metabolisme zat besi dengan cara mengurangi absorpsi zat besi di duodenum dan
menghambat pelepasan zat besi dari makrofag yang terjadi pada anemia inflamasi.
Selama beberapa tahun terakhir ini telah dilakukan berbagai penelitian tentang peranan
hepsidin, suatu protein yang dihasilkan hepar yang mengatur metabolisme zat besi dan
sebagai mediator utama pada hipoferemia pada inflamasi.3'5'10'11'12 Pada percobaan pada
tikus dan manusia, IL6 bekerja langsung pada hepatosit untuk memproduksi hepsidin.
Hepsidin menghambat absorpsi zat besi di usus dan pelepasan zat besi dari makrofag
(Gambar 2)6
Induksi hepsidin oleh infeksi dan inflamasi
Hubungan antara hepsidin dan infeksi / inflamasi saat ini menjadi semakin jelas. Shike
et al menunjukkan pada jaringan hati ikan laut? infeksi Streptococcus iniae meningkatkan
ekspresi hepsidin mRNA hingga 4500 kali lipat. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Nicholas et al, injeksi turpentine, suatu stimulus inflamasi, pada tikus merangsang hepsidin
mRNA sebanyak 4 kali lipat dan menurunkan kadar zat besi sampai 1/2 kadar normal Respon
hipoferemia ini tidak didapatkan pada tikus yang mengalami defisiensi USF2/hepsidin, suatu
gen yang mengatur hepsidin; dan hal ini membuktikan bahwa respon hipoferemia ini sangat
tergantung pada hepsidin.10'12'15
Faktor-faktor lain yang berperan dalam disregulasi homeostasis zat besi pada inflamasi
Salah satu tanda dari anemia karena inflamasi adalah gangguan homeostasis zat besi,
dengan peningkatan uptake dan retensi zat besi di dalam sel retikuloendothelial. Hal ini
menyebabkan masuknya zat besi dari sirkulasi dan disimpan di sistem retikuloendothelial,
sehingga mengakibatkan terbatasnya persediaan zat besi untuk sel-sel progenitor erithroid dan
erithropoiesis.
Pada tikus yang disuntik dengan sitokin proinflamatori interleukin-1 dan TNF-a,
hipoferemia dan anemia terjadi. Kedua keadaan ini berkaitan dengan sintesis feritin, sejenis
protein yang berhubungan erat dengan penyimpanan zat besi; yang disintesa oleh makrofag
dan hepatosit akibat stimulasi sitokin. Pada inflamasi kronis, zat besi yang terdapat di dalam
makrofag terutama terjadi akibat eritrophagositosis dan perpindahan ferrous masuk ke dalam
sel secara transmembran oleh protein divelent metal transporter 1 (DMT1).3
Interferon-γ, liposakarida, dan TNF-α mengatur ekspresi DMT1 dengan meningkatkan
uptake zat besi ke dalam makrofag. Rangsang proinflamatori ini juga membuat zat besi
tertahan di dalam makrofag dengan menghambat ekspresi ferroportin yang selanjutnya akan
menghambat lepasnya zat besi dari dalam sel makrofag ini. Ferroportin merupakan suatu
transmembrane exporter, yaitu suatu proses yang bertanggung jawab dalam perpindahan
ferrous yang telah diserap dari eritrosit keluar ke sirkulasi. Selanjutnya, sitokin antiinflamatori
seperti interleukin-10 dapat menyebabkan terjadinya anemia melalui stimulasi transferin
sehingga meningkatkan uptake zat besi yang terikat oleh transferin ke dalam makrofag.3'15
Gangguan proliferasi sel progenitor eritroid
Pada anemia inflamasi terdapat gangguan proliferasi dan diferensiasi pada erythroid
burst-forming units dan erythroid colony-forming units, yang merupakan prekursor erithroid.
Pertumbuhan prekursor erithroid ini juga dihambat oleh interferon-α, -β, -γ, TNF-α, dan
interleukin-γ. Interferon-γ merupakan inhibitor yang paling poten, sebagaimana jumlahnya
yang berbanding terbalik dengan kadar hemoglobin dan jumlah retikiifbsit Mekanismenya
melibatkan induksi apoptosis oleh sitokin, yang berhubungan dengan pembentukan ceramide,
gangguan ekspresi reseptor erithropoietin pada sel progenitor, gangguan pembentukan dan
aktifitas erithropoietin, dan berkurangnya ekspresi faktor prohematopoetik lainnya. Sitokin
juga mempunyai efek toksik langsung terhadap sel-sel progenitor dengan membentuk radikal
bebas yang labil sepertinitrit oksidadananionsuper-peroksida.3,15 Secara keseluruhan, faktor-
faktor yang berperan dalam anemia inflamasi dapat dilihat padagambar 3.3
GAMBARAN LABORATORIUM
Derajat anemia pada anemia inflamasi bervariasi. Kebanyakan penderita anemia
inflamasi menunjukkan gambaran anemia yang ringan dengan kadar hemoglobin 10-11
mg/dL. Namun demikian, anemia yang lebih berat dengan kadar hemoglobin < 8 mg/dL
ditemukan pada sekitar 20% kasus. Jumlah retikulosit absolut seringkali rendah dengan kadar
< 25.000 / mikro L, yang menggambarkan rendahnya produksi eritrosit.
Anemia ini disertai dengan peningkatan sitokin (misalnya IL-6) serta acute
phase reactant lainnya seperti fibrinogen, laju endap darah, dan C-reactive protein, Kadar zat
besi dan transferin (yang diukur dalam bentuk total iron binding capacity / TIBC) rendah dan
persentasi saturasi transferin biasanya normal. Hal ini membedakan anemia inflamasi dari
anemia defisiensi besi di mana saturasi transferin rendah. Akan tetapi, sekitar 20% penderita
dengan anemia inflamasi memiliki saturasi transferin yang rendah meskipun hanya V4 dari
mereka yang benar-benar mengalami defisiensi besi. Pada keadaan ini, ketidakmampuan
makrofag untuk melepaskan zat besi diduga menyebabkan kadar zat besi dan saturasi
transferin yang rendah.2'8
Serum feritin yang biasanya normal atau meningkat pada anemia inflamasi menjadi
indeks yang kurang baik untuk menggambarkan cadangan zat besi pada keadaan inflamasi
karena feritin juga merupakan acute phase reactant216 Dalam keadaan di mana terjadi
destruksi jaringan hepar dan lien akibat penyakit dasar, feritin dalam jumlah besar pun dapat
dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Pengukuran kadar soluble transferrin receptor (sTfR) membantu untuk membedakan
anemia inflamasi dan anemia defisiensi besi. Pada defisiensi besi, densitas membran sel
reseptor transferin meningkat sehingga kadar sTfR juga meningkat.317 Algoritma untuk
membedakan anemia inflamasi dan anemia defisiensi besi dapat dilihat pada gambar 4.
Hepsidin, yang merupakan mediator utama pada anemia inflamasi, juga dapat diukur
kadarnya dalam plasma dan urine.10'18 Konsentrasi hepsidin dalam urine ditunjukkan dalam
satuan nanogram/mg kreatinin dengan nilai terendah 1 ng/mg kreatinin
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Anemia inflamasi merupakan anemia normokrom hipoproliferatif yang tidak
mempengaruhi sel-sel darah lainnya. Keadaan lain yang mempunyai gambaran yang mirip
dengan anemia inflamasi antara lain gagal ginjal kronik dan beberapa kelainan endokrin
seperti hipertiroidisme, hipotiroidisme, panhipopituitarisme, serta hiperparatiroidisme primer
dan sekunder.2
Dalam beberapa kasus, anemia inflamasi dapat terjadi dengan kadar hemoglobin yang
lebih rendah (< 8 g/dL) dengan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer. Pada keadaan
ini, diferensial diagnosis termasuk anemia defisiensi besi kronik, thalasemia, serta sindroma
mielodisplasi dengan variasi sideroblastik. Pemeriksaan kadar serum zat besi, transferin
(TIBC), dan feritin suiit untuk membedakan keadaan tersebut. Untuk membedakannya,
riwayat inflamasi akut atau kronik tanpa bukti adanya perdarahan memperkuat dugaan ke
arah anemia inflamasi.
Pemeriksaan sumsum tulang akan sangat berguna. Pada kebanyakan kasus anemia inflamasi
yang klasik, makrofag pada sumsum tulang mengandung cadangan zat besi yang normal
atau meningkat, sedangkan prekursor eritrosit menunjukkan berkurangnya pewarnaan untuk
zat besi atau bahkan tidak ada sama sekali (misalnya jumlah sideroblast yang berkurang).
Dalam keadaan yang sulit, diagnosis biasanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
sumsum tulang. Pada anemia inflamasi, pewarnaan zat besi biasanya normal atau meningkat.
Makrofag pada sediaan sumsum tulang biasanya menunjukkan zat besi yang normal atau
meningkat, sedangkan sel-sel prekursor erithroid menunjukkan kadar zat besi yang rendah atau
bahkan sama sekali tidak ada (berkurangnya sideroblast atau tidak ada sama sekali). Pada
anemia defisiensi besi, tidak ditemukan zat besi dalam pewarnaan. Pada sindroma mielodisplasi,
terdapat perubahan displastik dengan atau tanpa peningkatan jumlah sideroblast.2 Tabel 2
menunjukkan perbedaan variabel antara anemia inflamasi dan anemia defisiensi besi.
TERAPI
Terapi pilihan untuk anemia inflamasi adalah mengobati penyakit dasar, dan hal ini
merupakan pilihan yang lebih baik daripada terapi pengganti dengan transfusi PRC maupun
pemberian erithropoietin. Penderita dengan anemia yang ringan seringkali asimptomatik,
sedangkan penderita dengan anemia yang lebih berat mengakibatkan gangguan fungsi dan
kualitas hidup.
Faktor-faktor komplikasi lainnya, seperti perdarahan, defisiensi zat besi, folat, dan / atau
vitamin B12 harus dikoreksi bila ada. Jika anemia disebabkan oleh penyakit dasar keganasan,
terapi kombinasi dengan tindakan operasi, kemoterapi, dan / atau radioterapi dapat memperbaiki
anemia. Namun demikian, anemia dapat berulang akibat efek mielosupresi dari kemoterapi dan
radiasi, serta dapat diperbaiki dengan penggunaan recombinant human erythropoietin2,3
Transfusi Transfusi PRC merupakan suatu intervensi terapi yang banyak
dipergunakan serta terbukti efektif dan cepat.2'8 Transfiisi juga sangat bermanfaat pada
anemia yang berat di mana kadar hemoglobin kurang dari 8 g/dL, maupun anemia yang
mengancam jiwa di mana kadar hemoglobin kurang dari 6,5 g/dL, terlebih lagi jika
keadaan ini diperberat oleh adanya perdarahan. Akan tetapi perlu diingat pula bahwa
transfusi darah jangka panjang tidak direkomendasikan pada anemia inflamasi pada
keganasan maupun gagal ginjal kronik karena risiko penimbunan zat besi.3
Suplemen zat besi
Pada anemia inflamasi, suplemen zat besi yang diberikan per oral tidak diabsorpsi dengan baik
akibat adanya gangguan absorpsi di usus halus. Hanya sedikit zat besi yang diabsorpsi yang mampu
mencapai proses erithropoiesis karena sitokin menyebabkan terperangkapnya zat besi dalam sistem
retikuloendotelial. Oleh karena itu, pemberian suplemen zat besi pada anemia inflamasi masih
kontroversial. Akan tetapi, defisiensi zat besi masih dapat menyertai anemia inflamasi. Penderita anemia
inflamasi dengan defisiensi zat besi haras mendapatkan suplemen zat besi. Pemberian suplemen zat besi
perlu dipertimbangkan bagi mereka yang tidak responsif terhadap pemberian erithropoietin karena
defisiensi zat besi yang fungsional. Pada anemia inflamasi karena keganasan dan gagal ginjal kronik,
pemberian zat besi secara parenteral meningkatkan respon terapi terhadap pemberian erithropoietin.
Namun demikian, suplemen zat besi tidak direkomendasikan untuk anemia inflamasi dengan kadar feritin
yang normal atau tinggi (di atas 100 ng/mL).2'3
Erithropoiefin
Pengukuran kadar plasma erithropoietin (EPO) sangat berguna pada anemia inflamasi. Penderita
dengan keganasan, arthritis rheumatoid, maupun AIDS yang memiliki kadar <500 IU/mL seringkali
responsif terhadap pemberian recomhinant human erythropoietin. Perbaikan kualitas hidup terlihat nyata
pada kadar hemoglobin >10 g/dL, dan kualitas hidup akan maksimal bila kadar hemoglobin berkisar
antara 11-13 g/dL.2
Pemberian EPO dimulai dengan dosis awal 100 - 150 U/kg secara subkutan 3 kali setiap minggu
bersama dengan suplemen zat besi per oral. Kadar hemoglobin diharapkan meningkat sedikitnya 0,5 g/dL
dalam 2-4 minggu. Jika tidak ada peningkatan kadar hemoglobin dalam 6 hingga 8 minggu, pemberian
EPO dapat ditingkatkan menjadi setiap hari atau 300 U/kg 3 kali setiap minggu. Alternatif lain pemberian
EPO adalah pemberian dengan dosis awal 40.000 U secara subkutan sekali setiap minggunya. EPO tidak
perlu diteruskan apabila tidak ada perbaikan klinis setelah 12 minggu.
Darbepoietin
Darbepoietin merupakan formulasi baru erithropoietin yang berasal dari sel-sel ovarium hamster
dengan teknik rekombinan DNA dan memiliki waktu paruh yang lebih panjang daripada erithropoietin.
Efisiensi darbepoietin terbukti dengan pemberian setiap 3 hingga 4 minggu pada pasien dengan
keganasan hematologis maupun non hematologis.
Darbepoietin disetujui oleh FDA sebagai salah satu terapi untuk anemia akibat kemoterapi pada
keganasan non mieloid. Dosis awal pada keadaan ini adalah 2?25 jug/kg BB subkutan lx setiap minggu.
Untuk anemia pada gagal ginjal kronis, dosis rekomendasi adalah 0,45 |ig/kg BB subkutan atau intravena
lx setiap minggu.2
Panduan pemberian darbepoietin pada anemia akibat kemoterapi dapat dilihat pada tabel3.
Tabel 3. Panduan pemberian darbepoietin pada anemia inflamasi akibat kemoterapi
Indikasi : Hb < 11 g/dL
Dosis awal:
Dosis awal adalah 200 jig subkutan setiap 2 minggu atau 100 jig subkutan setiap minggu
Target:
Dosis titrasi untuk mempertahankan kadar Hb mencapai atau mendekati 12 g/dL
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan awal dan monitor berkala kadar zat besi, TIBC, saturasi transferin, dan feritin
Penyesuaian dosis :
Dosis darbepoietin disesuaikan dengan menaikkan atau menurunkan dosis sebanyak 25%
sesuai respon Hb setelah terapi selama 6 minggu
RINGKASAN
Anemia inflamasi seringkali ditemukan pada keadaan infeksi akut maupun kronis, keganasan,
keadaan autoimun, rejeksi kronik setelah transplantasi organ, dan gagal ginjal kronik, serta dapat juga
ditemukan pada keadaan akut (acute-event related anemia) atau penyakit kritis (anemia of critical
illness), dan pada keadaan post operasi, trauma berat, infark miokard, maupun sepsis. Terdapat 3 faktor
utama yang berperanan dalam patofisiologi anemia inflamasi yaitu hipoferemia, yaitu suatu keadaan di
mana kadar serum zat besi rendah sebagai akibat terperangkapnya zat besi di dalam makrofag, sehingga
zat besi relatif tidak cukup untuk sintesa hemoglobin yang baru; respon prekursor erithroid yang kurang
baik terhadap erithropoietin, disertai dengan penurunan produksi erithropoietin relatif; dan masa hidup
eritosit yang memendek.
Hepsidin merupakan suatu protein yang sangat berperan dalam mengatur metabolisme zat besi dan
merupakan mediator utama pada hipoferemia pada inflamasi. Hepsidin mengurangi absorpsi zat besi di
duodenum dan menghambat pelepasan zat besi dari makrofag yang terjadi pada anemia inflamasi.
Terapi terhadap anemia inflamasi mencakup pengobatan penyakit dasar? transfusi PRC, pemberian
suplemen zat besi, serta erithropoietin maupun darbepoietin.
DAFTAR PUSTAKA1. Guralnik JM, Eisenstaedt RS, Ferrussi L, Klein HG, Woodman RC. Prevalence of anemia in persons 65 years and older in the United States : evidence for a high rate of unexplained anemia. Blood. 2004; 104:2263-68.2. Schrier. Anemia of chronic inflammation. UpToDate [serial online] 2006 [cited 2006 May 9]. Available from URL ; tep:^www,uptc^atezcoiii3. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. NEJM. 2005;352:1011-23.4. Roy CN, Weinstein DA, Andrews NC. E. Mead Johnson award for research in pediatrics lecture : the molecular biology of the anemia of chronic disease : a hypothesis. Pediatric research. 2003;53:507-12.
5. Ganz T. Hepcidin and its role in regulating systemic iron metabolism. Hematology. 2006:29-35.6. Andrews NC. Anemia of inflammation: the cytokine - hepcidin link. J. Clin. Invest. 2004;! 13:1251-537. Weinstein DA, Roy CN, Fleming MD, Loda MF, Wolfsdorf JI, Andrews NC. Inappropriate expression of hepcidin is associated with iron refractory anemia: implications for the anemia of chronic disease. Blood. 2002; 100:3776-81.8. Ganz T. Anemia of chronic disease. In : Lichtman MA, Beutler E, Kipps TJ, Seligsohn U7
Kaushansky K, Prchal JT\ Williams Hematology. 7th ed. New York: McGraw-Hill;2006. p565-70.9. Supandiman I, Sumantri R, Fadjari H? Irani, P, Oehadian A. Anemi penyakit kronis. Pedoman diagnosis dan terapi . Hematologi onkologi medik 2003. 1st ed. Bandung.Q-Communication;1997. p 167-17L10. Ganz T. Hepcidin, key regulator of iron metabolism and mediator of anemia of inflammation. Blood. 2003;102:783-88.11. Robson KJ. Hepcidin and its role in iron absorption. Gut.2004;53.617-19.12. Lee P, Peng H? Gelbart T, Wang L? Beutler E. Regulation of hepcidin transcription by interleukin-1 and interleukin-6. PNAS [serial online] 2004 [cited 2005 Feb 8]. Available from : URL : ^^aSj13. McGrath H, Rigby PG. Hepcidin, Inflammation's iron curtain. Rheumatology. 2004;43:1323-2514. Kemna E, Pickkers P, Nemeth E, Hoeven HV, Swinkels D. Time-course analysis of hepcidin, serum iron, and plasma cytokine levels in human injected with LPS. Blood. 20G5;106:1864-66.15. Nakano Y, Imagawa S, Matsumoto K, Stockmann C, Obara N, Suzuki N, et al. Oral administration of K-11706 inhibits GAT A binding avtivity, enhances hypoxia-inducible factor 1 binding activity, and restores indicators in an in vivo mouse model of anemia of chronic disease. Blood. 2004; 104:4300-07.16. Kushner I. Acute phase proteins. UpToDate [serial online] 2006 [cited 2006 May 9]. Available from URL : Jitt|).i/www,iij^ditex0fii17. Brugnara C. Iron deficiency and erythropoiesis : new diagnosis approaches. Clinical chemistry. 2003;10:1573-78.18. Nemeth E, Valore EV, Territo M, Schiller G, Lichtenstein A, Ganz T. Hepcidin, a putative mediator of anemia of inflammation, is a type II acute-phase protein. Blood. 2003;101:2461-63.19. Detivaud L, Nemeth E, Boudjema K, Turlin B, Troadec MB, Leroyer P5 et al. Hepcidin levels in human are coreiated with hepatic iron stores, hemoglobin levels, and hepatic function. Blood. 2005; 106:746-48.