definisi harta gono

35
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERCERAIAN, DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA A. Pengertian dan Konsepsi Perkawinan Pengertian Perkawinan dapat kita lihat dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinanyang berbunyi: Perkawinanialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasa ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 1 Menurut Prof.H.R.Sardjono,SH yang dimaksudkan dengan konsepsi Perkawinan yaitusegala sesuatu yang menjadi intisarinya perkawinan menurut suatu sistim hukum tertentu. 2 Dari batasan atau definisi tentang perkawinan tersebut dapat ditemukan konsepsi perkawinan menurut s hukum di Negara Indonesia yang juga merupakan asas-asas atau pr yaitu sebagai berikut. 1 Indonesia (I) , Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan,pasal 1. 2 Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan (Edisi Revisi),Cet.1,(Jakarta:Universitas Trisakti,2009) hal 27

Upload: agus-riedwan

Post on 21-Jul-2015

187 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERCERAIAN, DAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA

A.

Pengertian dan Konsepsi Perkawinan Pengertian Perkawinan dapat kita lihat dalam pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan yang berbunyi: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.1 Menurut Prof.H.R.Sardjono,SH yang dimaksudkan dengan konsepsi Perkawinan yaitu segala sesuatu yang menjadi intisarinya perkawinan menurut suatu sistim hukum tertentu.2 Dari batasan atau definisi tentang perkawinan tersebut dapat ditemukan konsepsi perkawinan menurut sistem hukum di Negara Indonesia yang juga merupakan asas-asas atau prinsip yaitu sebagai berikut.

1 2

Indonesia (I) , Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan,pasal 1. Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan (Edisi Revisi),Cet.1,(Jakarta:Universitas Trisakti,2009) hal 27

1. Tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, karena itu perkawinan itu harus merupakan ikatan lahir dan batin, dan tidak hanya ikatan lahir saja atau hanya ikatan batin saja. 2. Ikatan itu antara sorang pria dan seorang wanita,jadi jelas bahwa hukum perkawinan indonesia menganut asas monogami, artinya seorang pria dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang isteri atau seorang suami dalam waktu tertentu,3 3. Perkawinan itu haruslah berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha

Esa,artinya undang-undang perkawinan memakai asas bahwa sahnya suatu perkawinan harus sesuai dengan hukum agamanya dari masingmasing calon suami dan calon isteri itu (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan). Disamping itu juga perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat 2 UndangUndang Perkawinan). Artinya Indonesia menganut asas perkawinan agama (religious marriage) dan juga asas perkawinan Negara (civil marriage). 4. Undang-Undang perkawinan ini menganut asas yang mengharuskan calon suami dan calon isteri telah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal, dan tidak berakhir dengan perceraian.3

Ibid,hal 29.

5. Undang-Undang Perkawinan ini juga menganut asas bahwa perceraian adalah suatu hal yang dihindari karena tujuan perkawinan adalah kebahagiaan yang kekal dari rumah tangga. 6. Undang-Undang ini juga menganut prinsip atau asas bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan sang suami dalam kehidupan rumah tangga ataupun dalam pergaulan masyarakat.

B.

Mengenai Syarat-syarat Perkawinan: Menurut Prof.H.R.Sardjono,SH, Undang-Undang Perkawinan mengenal

dua macam syarat Perkawinan,yaitu:4 1. Syarat materiil yaitu syarat-syarat yang menyagkut pribadi calon suami dan calon isteri. Syarat materiil ini dibagi pula atas dua buah yaitu (a) syarat materiil umum yaitu syarat materiil yang berlaku untuk perkawinan pada umumnya, sedangkan (b) syarat materiil khusus hanya berlaku untuk suatu perkawinan tertentu,yaitu perkawinan yang dilarang. 2. Syarat formil yaitu syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum berlangsungnya perkawinan dan pada saat

dilangsungkannya perkawinan.

4

Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan (Edisi Revisi),Cet.1,(jakarta: Universitas Trisakti,2009), hal 32-35

Syarat materiil yag bersifat umum: a. Syarat yang terkandung dalam asas perkawinan monogami (pasal 3),di mana seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri,begitu pula seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. b. Persetujuan calon suami dan calon isteri (pasal 6 ayat 1). Sesuai dengan asas perkawinan pertama dalam Undang-Undang perkawinan ini yaitu tujuan perkawinan adalah untuk membentuk perkawinan yang kekal dan bahagia, dan juga sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka untuk perkawinan perlu adanya persetujuan atau kesepakatan antara calon suami dan calon isteri untuk melangsungkan perkawinan. c. Usia untuk bisa melangsungkan perkawinan.Dalam pasal 7 ayat 1 ditentukan bahwa usia minimal seorang wanita untuk dapat menikah adalah 16 tahun sedangkan seorang pria minimal 19 tahun. d. Calon suami dan calon isteri harus tidak terikat pada tali perkawinan dengan orang lain e. Seorang wanita yang berstatus janda karena ditinggal mati sang suami ataupun karena dicerai, harus menunggu waktu tertentu untuk bisa menikah lagi. Bila tidak terpenuhi 5 syarat yang disebut diatas , maka calon pasangan pengantin itu tidak berwenang melakukan perkawinan pada umumnya, karena itulah syarat tersebut dinamakan syarat materiil umum.

Syarat materiil khusus yag bersifat khusus:5 1. Dicantumkan dalam pasal 8 Undang-Undang Perkawinan yang berupa perkawinan-perkawinan yang dilarang yang dilakukan oleh dua calon pengantin yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping c. Berhubungan semenda d. Berhubungan susuan e. Berhungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan isteri f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang kawin. 2. Dalam pasal 10 Undang-Undang Perkawinan ditetapkan pula bahwa suami isteri yang telah bercerai dan kawin kembali dan setelah itu bercerai lagi, maka mantan suami dan mantan isteri itu tidak boleh kawin kembali lagi. 3. Yang berupa kewajiban para calon suami dan calon isteri yang belum mencapai usia 21 tahun, untuk mendapatkan izin untuk melangsungkan perkawinan dari kedua orang tuanya. Syarat-syarat formil:65

Ibid,hal 35-37.

Formalitas yang mendahului perkawinan adalah sebagai berikut: 1. Pemberitahuan (pasal 3 s/d 5 PP no.91/1975) a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan wajib

memberitahukan niatnya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di tempat perkawinan itu akan dilangsungkan (pasal 3 ayat 1 PP 9/1975). b. Pemberitahuan itu dilakukan secara lisa atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4 PP no.9/1975) c. pemberitahuan tersebut dilakukan minimal 10 hari kerja sebeluM perkawinan itu dilangsungkan. (pasal 3 ayat 2 PP 9/1975) d. Pemberitahuan harus memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan keduanya atau salah seorang berstatus jandaatau duda maka agar juga disebutkan suami atau isterinya yang sebelumnya. (pasal 5 PP 9/1975) 2. Penelitian (pasal 6 dan pasal 7 no.9/1975) a. setelah menerima pemberitahuan yang dimaksud maka pegawai meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi dan apakah idak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang (pasal 6 ayat 1 PP no.9/1975)

6

Ibid,hal 38-40.

b. Hasil penelitian tersebut, oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. (pasal 7 ayat 1 PP no.9/1975) 3. Pengumuman (pasal 8 dan 9 PP no.9/1975) Dalam hal penelitian tersebut tidak menunjukkan halangan perkawinan atau kekurangan-kekurangan lain maka Pegawai pencatat membuat suatu pengumuman tentang pemberitahuan kehendak akan dilangsungkannya perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman pada kantor Pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (pasal 8 PP no.9/1975). Pengumuman tersebut ditandatangani oleh pegawai pencatat dan memuat identitas dari calon mempelai yang akan melangsungkan

perkawinan serta hari,tanggal,jam dan tempat dimana perkawinan akan dilangsungkan.(pasal 9 PP no.9/1975).

C.

Perjanjian Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu Undang-Undang tentang

perkawinan menempatkan Perjanjian Perkawinan dalam Bab ke V dan tidak memberikan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan. Undang-Undang Perkawinan itu hanya menyebutkan pada pasal 29 sebagai berikut: 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan , setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melangggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. 3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dirubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (4) tersebut terlihat adanya perbedaan yang nyata mengenai kemungkinan perubahan perjanjian perkawinan antara undang-undang perkawinan dengan Kitab Undangundang Hukum Perdata. Dalam kitab Undang-undang Hukum perdata perubahan perjanjian perkawinan sama sekali tidak dimungkinkan walaupun dengan kata sepakat selama berlangsungnya perkawinan. Sedangkan di dalam Undang-undang perkawinan, perubahan itu dimungkinkan asalkan tidak merugikan pihak ketiga. Pada hakekatnya larangan untuk merubah perjanjian perkawinan selama berlangsungnya perkawinan ialah untuk mencegah timbulnya kerugian pada pihak ketiga, karena terjadinya perubahan dalam isi perjanjian perkawinan, yang mengatur Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengatur mengenai harta kekayaan suami isteri yang bersangkutan. Penjelasan pasal

29 itu hanya menyebutkan yag dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini termasuk taklik-talak. Undang-undang tidak menyebutkan apa yang menjadi maksuda dan tujuan perejanjian perkawinan, dan tidak pula menyebutkan apa saja yang dapat diperjanjikan. bila diperhatikan ketentuan dalam pasal 29 tersebut bahwa apa yang menjadi tujuan perjanjian perkawinan dan apa saja yang diperjanjiakan diserahkan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian itu, akan tetapi perjanjian itu harus dibuat secara tertulis dan disahkan pegawai pencatat perkawinan, dan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama. Tidak melangggar batas-bastas hukum dalam hal ini diartikan dengan arti luas. Tidak bertentangan dengan agama yang dimaksud adalah tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh para pihak yang mengadakan perjanjian perkawinan itu pada saat membuat perjanjian dan perkawinan dilangsungkan.

1.

syarat-syarat Perjanjian Perkawinan Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian perkawinan adalah : a. Perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan antara mereka yang membuat perjanjian itu. b. Dibuat atas persetujuan bersama dari kedua belah pihak c. Perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat tertulis

d. Perjanjian itu harus disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan itu. e. Perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama da kesusilaan, ketertiban umum. f. Perjanjian perkawinan itu sebaiknya diartikan hanya mengenai harta benda perkawinan. g. Yang membuat perjanjian perkawinan itu harus telah dewasa;kalau tidak harus dibantu oleh kedua orang tua atau wakil,dalam hal ini diartikan telah memenuhi syarat bagi calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan, mereka harus dibantu oleh kedua orang tua atau wakilnya. h. Perjanjian perkawinan baru berlaku sejak perkawinan

dilangsungkan i. Perjanjian perkawinan berlaku kepada pihak ketiga hanya

sepanjang pihak ketiga itu tersangkut dan berlaku sejak perkawinan berlangsung. j. Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah sepanjang perkawinan berlangsung, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

2.

Hak dan Kewajiban Suami Isteri Hak Dan Kewajiban suami istri diatur pada pasal 30 sampai dengan

pasal 37 Bab ke VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang memandang hak dan kewajiban antara suami isteri dari sudut eratnya hubungan suami isteri dalam perkawinan, dan oleh karena itu timbullah hak dan kewajiban sebagai berikut: a. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, tempat kediaman mana ditentukan bersama suami-isteri (pasal 32) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam hal menentukan tempat kediaman ini tidak dikenal kekuasaan maritaal sebagaimana dianut oleh kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Suami isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain. (pasal 31) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Suami wajib melindungi isterinya da memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

Mengenai besarnya nafkah yang harus diberikan tergantung kepada berbagai macam faktor yang harus dipenuhi sebagai berikut: a. Faktor penghasilan suami, besar kecilnya penghasilan suami

menentukan besarnya jumlah nafkah yang boleh diberikan, jika

penghasilan kecil maka jumlah yang boleh diberikan adalah kecil. Dengan perkataan lain kecilnya penghasilan yang diperoleh membatasi besarnya jumlah nafkah yang dapat diberikan. b. Besar kecilnya kekayaan yang wajib memberi nafkah;bilamana yag wajib memberi nafkah mempunyai kekayaan yang besar,maka nafkah yang harus diberikan adalah besar. c. Jumlah dan kedudukan orang yang harus diberi nafkah; jika jumlah orang yang harus diberi nafkah besar, maka nafkah yang harus diberikanpun harus besar. Kedudukan orang yang akan diberi nafkahpun menentukan sekali,oleh karena orang yang hanya

memrlukan bantuan penghidupan adalah lebih kecil nafkah yang harus diberikan guna memenuhi kebutuhannya dibandingkan dengan orangorang yang karena kedudukannya mutlak menjadi tanggungan dari yang memberi nafkah. d. Besar kecilnya kebutuhan orang yang diberi nafkah, jika kebutuhannya besar maka jumlah nafkah yang diberikan adalah besar, sedangkan dalam hal kebutuhannya kecil maka nafkah yang harus diberikanpun kecil. e. Beban yang harus dipikul pemberi nafkah; nafkah yang akan diberikan disesuaikan dengan besar kecilnya beban pemberi nafkah.

Akan tetapi mengenai faktor-faktor tersebut diatas tidak dijelaskan oleh Undang-Undang , dimana pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 hanya menyebutkan keperluan hidup rumah tangga. Walaupun faktor-faktor tersebut tidak disebutkan secara rinci dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 harus tetap diperhatikan, oleh karena prinsip tersebut berlaku dimana saja, dengan perkataan lain bahwa prinsip tersebut dapat dikatakan mempunyai nilai universal. Menurut pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1974 tentang perkawinan menentukan: a) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. b) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Dalam rumusan pasal 31 tersebut diatas jelas, bukan ditentukan bahwa hak dan kewajiban suami isteri adalah sama melainkan ditentukan bahwa hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam yang lebih ditekankan adalah kewajiban suami. Kompilasi Hukum islam,antara lain menyebutkan sebagai berikut:

1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya.akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama. 2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama.nusa, dan bangsa. 4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah,kiswah dan tempat kediaman bagi sang isteri. b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak.

D.

Perceraian Perceraian merupakan salah satu akibat dari putusnya perkawinan yang

diatur dalam Bab VIII dengan judul putusnya perkawinan serta akibatnya, yang diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 41 UUP. Pasal 38 berbunyi: Perkawinan dapat putus karena: a) kematian b) perceraian c) atas keputusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena perceraian: Tentang perceraian ini oleh peraturan perundang-undangan diatur secara mendetail yaitu dalam UUP sendiri dan peraturan pelaksanaanya yaitu peraturan Pemerintah no.9 tahun 1975. Perceraian adalah suatu malapetaka,tetapi suatu malapetaka yang perlu untuk tidak menimbulkan malapetaka yang lain yag lebih besar bahayanya. Menurut pasal 39 ayat 1: Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut pasal 39 ayat 2: Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

E.

Pengaturan Mengenai Pembagian Harta Bersama Menurut UndangUndang No 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam.

1.

Definisi Harta Bersama (Gono-gini) Istilah gono-gini merupakan sebuah istilah hukum yang sudah ppuler di

masyarakat dalam kamus besar bahasa Indonesia (2001 ; 330), istilah yang digunakan adalah gana-gini, yang secara hukum artinya harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua

suami dan istri. Dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh JS Badudu dan SM Zain (1996: 421), pengertian harta gono-gini juga sama denga definisi baku dalam kamus besar bahasa Indonesia, yaitu Harta perolehan bersama selama bersuami istri. Sebenarnya istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalam undang-

undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , kitab undang-undang hukum perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama.

2.

Dasar Hukum Harta Gono-Gini. Pada dasarnya itidak ada percampuran harta kekayaan dalam

perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini). Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita . Sehingga, dapat dikatakan ada kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemeenschsp van goederen) dalam perkawinan mereka. Percampuran harta kekayaan (harta gono-gini) ini berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri melalui undangundang dan peraturan berikut.

a. UU Perkawinan pasal 35 ayat 1, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta gono-gini (harta bersama) adalah Harta Benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut harta gono-gini. b. KUHPer pasal 119, disebutkan bahwa Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuanketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri. c. KHI pasal 85, disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau istri. Pasal ini sudah menyebutkan adanya harta gono-gini dalam perkawinan dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini). Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan, baik suami maupun istri. d. Pada KHI pasal 86 ayat 1, kembali dinyatakan bahwa Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan (ayat 1). Pada ayat 2 nya lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya.

3.

Klasifikasi Harta Benda dalam Perkawinan Ikatan prkawinan mengkondisikan adanya harta gono-gini antara suami

dan isteri, sebagaimana tertuang dala Undang-undang perkawinan Pasal 35 ayat 1. Namun, bukan berarti dalam perkawinan yang diakui hanya harta gono-gini. Berdasarkan KHI pasal 85 dinyatakan bahwa Adanya harat

bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Harta benda dalam perkawinan ada 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut :

a. Harta Gono-gini Sebagaimana telah dijelaskan diatas, harta gono-gini dalam perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan. Berdasarkan KHI pasal 91 ayat 1, harta gono-gini bisa berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud. 1) Benda berwujud, yakni benda bergerak, benda tidak bergerak, dan suratsurat berharga (ayat 2) 2) Benda tidak berwujud, yaitu hak dan kewajiban (ayat 3) Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu akibat dari perkawinan terhadap harta kekayaan adalah terjadinya persatuan yang bulat sebagaimana dinyatakan dalam KUHPer pasal 119. Suami istri harus menjaga harta gono gini dengan penuh amanah, sebagaimana diatur dalam KHI pasal 89, suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya

sendiri dan Pasal 90, Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya. Dengan kata lain, harta gonogini merupakan hak bersama yang oleh masing-masing pihsk boleh dipergunakan asalkan mendapatkan izin dari pasangannya.

b.

Harta bawaan Adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri yang

diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah. Tentang macam harta ini, UU Perkawinan pasal 35 ayat 2 mengatur, Harta bawaan masing-masing suami dan istri serta dan harta benda yang diperoleh masing-masing hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Berdasarkan ketentuan ini suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya harta bawannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan lain dalam paerjanjian perkawinan. Pernyataan yang sama juga diperkuat dalam KHI pasal 87 ayat 1. Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta gono-gini. Suami/istri berhak mempergunakan harta bawannya masing-masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Dasarnya adalah UU Perkawinan pasal 36 ayat 2, Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bendanya. Hal senada juga dinyatakan dalam KHI pasal 87 ayat 2, Suami dan Istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah, atau lainnya. Artinya, berdasarkan ketentuan ini, harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan tidak bisa di otak-atik oleh pasangannya yang lain.

c. Harta perolehan Adalah harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masingmasing pasangan (suami-istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan. Harta ini umumnya berbentuk hibah, hadiah, dan sedekah. Harta ini tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka berdua selama terjadinya perkawinan. Bedanya dengan harta bawaan yang diperoleh sebelum masa perkawinan, harta macam ini diperoleh setelah masa perkawinan. Seperti halnya bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masingmasing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak di ditentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan. Dasarnya dalam KHI pasal 87 ayat 2, Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum dalam atas harta masing-masing berupa hibah, sedekah, atau lainnya.

4.

Sifat dan Luas Harta Gono-gini Harta atau barang-barang tertentu yang diperoleh suami/istri dengan

Cuma-Cuma (omniet) karena perwarisan secara testamentair, secara legaat/hadiah, tidak bisa dianggap sebagai harta gono-gini. Hal ini diatur dalam KUHP pasal 120, Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tak bergerak suami-istri itu, baik yang ada maupun yang akan ada, juga barangbarang yang mereka peroleh cuma-cuma, kecuali jika dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menentukan kebalikannya dengan tegas. Luasnya kebersamaan (percampuran) harta kekayaan dalam

perkawinan adalah mencakup seluruh activa dan passiva, baik yang diperoleh suami-istri sebelum atau selama masa perkawinan mereka berlangsung (seperti hart bawaan dan harta perolehan), yang juga termasuk didalamnya adalah modal, bunga, dan bahkan utang-utang yang diakibatkan oleh suatu perbuatan yang melanggar hukum. Berdasarkan ketentuan di atas, ,maka kebersamaan harta kekayaan dalam perkawinan itu merupakan hak milik bersama yang terikat (gebonden medeeigendom), yaitu kebersamaan harta yang terjadi karena adanya ikatan diantara para pemiliknya. Hak milik bersama yang terikat ini berbeda denganhak milik bersama yang bebas (vrije medeeigendom), yaitu suatu bentuk eigendom (hak milik), tetapi diantara para pemiliknya tidak ada hubungan hukum kecuali mereka bersama-sama merupakan pemiliknya

(seperti dua orang yang membeli rumah). Dalam ketentuan hak milik bersama yang terikat, tidak bisa ditunjukan mana bagian mereka masingmasing, atau mana separuh milik suami/istri. Meskipun suami istri mempunyai hak atas kekayaan masing-masing, mereka tidak dapat melakukan kesalahan atau penyimpangan (beschikking) atas bagian mereka (Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan (2000:54-55)).

5.

Pembubaran Harta Gono-gini Persatuan harta kekayaan dalam sebuah perkawinan (harta gono-gini)

dibatasi oleh sejumlah sebab atau faktor yang melatarbelakanginya. Ketentuan bubarnya harta gono-gini diatur dalam KUHper pasal 126, Harta gono-gini bubar demi hukum, a. karena kematian; b. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada; c. karena Perceraian; d. karena pisah meja dan ranjang; e. karena pemisahan harta; Berdasarkan ketentuan diatas, sebab-sebab poin a-c mengadung pengertian bubarnya harta gono-gini yang terkait dengan pembubaran perkawinan, sebagaimana disyaratkan dalam KHUPer pasal 199 bahwa, Perkawinan bubar ; a. oleh kematian;

b.

oleh tidak hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang susul ole perkawinan baru istrinya atau suaminya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagin 5 Bab XVIII;

c.

oleh keputusan hakim setelah pisah menjadi

F.

KETENTUAN MENGENAI HARTA GONO-GINI Harta gono-gini diatur dalam hukum positif, yaitu UU Perkawinan,

KUHPer, maupun KHI. Dengan demikian segala urusan yang berkenaan dengan harta gono-gini perlu di dasari ketiga sumber hukum positif tersebut. Sebagai contoh, jika pasangan suami isteri ternyata harus bercerai, pembagian harta gono-gini mereka harus jelas dan didasari pada ketentuanketentuan yang berlaku dalam hukum positif tersebut.

1. Ketentuan umum harta gono-gini Ketentuan umum di bagian ini merupakan pengembangan dari dasar hukum positif tentang harta gono-gini, yaitu bagaimana memperlakukan harta gono-gini sebelum harta ini dibagi. Atau dengan kata lain, ketentuan umum mencakup pengaturan hukum bagi suami istri yang masih memiliki hubungan perkawinan terhadap harta gono-gini mereka.

a.

Pengurusan harta gono-gini Menurut ketentuan KUHPer, suami sendirilah yang berhak mengurus

harta gono-gini, termasuk berwenang melakukan berbagai perbuatan terhadap harta tersebut. Istri tidak berhak mencampuri kewenangan suami. Dasar dari ketentuan ini adalah bahwa suami merupakan kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap segala urusan yang berkenaan dengan kehidupan rumah tangga, termasuk dalam hal pengurusan harta gono-gini. Ketentuan tersebut diatur dalam KUHPer pasal 124 ayat 1 yang berbunyi hanya suami saja yang mengurus harta bersama itu. Dia boleh menjualnya, memindah-tangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur pasal 140. Artinya suami memiliki kewenangan dalam mengurus harta gono-gini karena dia merupakan kepala rumah tangga, termasuk dalam hal menjual, memindahtangankan, dan membebaninya. Namun suami tidak diperbolehkan mengurus sebagaimana dinyatakan dalam pasal 140 ayat 3 yaitu : mereka juga berhak membuat perjanjian, bahwa meskipun ada gabungan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman Negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama istri, atau selama perkawinan dari pihak istri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan istri.

Dalam pasal yang sama ayat 2 lebih lanjut ditentukan bahwa, Demikian pula perjanjian itu tidak mengurangi hak-hak yang diperuntukan bagi si suami sebagai kepala persaatuan suami istri, namun hal ini tidak mengurangi wewenang istri untuk mensyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barang-barang bergerak maupun barangbarang tidak bergerak, disamping penikmatan penghasilannya pribadi secara jelas. Wewenang atau kekuasaan suami begitu besar terhadap pengurusan harta gono-gini. Suami tidak bertanggung jawab terhadap istri berkenaan dengan pengurusan tersebut. Dia juga tidak diwajibkan oleh istri untuk memberikan perhitungan kepadanya, termasuk jika nantinya kebersamaan harta gono-gini itu bubar. Meskipun demikian, kekuasaan suami yang begitu besar itu ternyata dibatasi oleh dua hal (Soetojo Prawirohamidjojo dan Martalena Pohan, 2000) sebagai berikut : 1) Dibatasi oleh undang-undang Kekuasaan suami dalam mengurus harta gono-gini dibatasi oleh undangundang . hal ini diatur dalam KUHPer pasal 123 ayat 3 yang menentukan, Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barangbarang bergerak, jika bukan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk member suatu kedudukan. Artinya suami

tidak diperbolehkan menghibahkan (schenking) terhadap : 1) harta tidak nergerak dari harta gono-gini, dan 2) bnda-benda yang bergerak dari kebersamaan harta gono-gini seluruhnya, untuk sebagian tertentu, atau sejumlah dar itu. 2) Dibatasi dengan kesepakatan suami istri dalam perjanjian perkawinan Dalam perjanjian perkawinan dapat ditentukan bahwa suami tanpa bantuan istri tidak dapat memindahtangankan atau membebani 1) bendabenda bergerak, dan 2) surat-surat pendaftaran dalam buku besar perutangan umum, surat-surat berharga lain, piutang-piutang atas nama (benda-benda bergerak atas nama). Yang dimaksud benda-benda bergerak atas nama, misalnya atas nama istri dan dibawa masuk dalam perkawinan, atau barang-barang yang diperoleh sang istri sepanjang perkawinan. Dengan demikian, untuk dapat memindahtangankan atau membebani barang-barang tersebut harus ada kerjasama dan

kesepakatan di antara mereka berdua (suami istri).

b. Hak Istri dalam Harta Gono-gini Istri diperbolehkan membebani atau memindahtangankan barang-barang persatuan dengan kondisi sebagaimana ditentukan dalam KUHPer pasal 125 Jika si suami tidak ada, atau berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera,

maka si istri boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu, setelah dikuasakan untuk itu oleh pengadilan negeri. Istri juga mempunyai hak untuk melepaskan bagiannya dalam kebersamaan harta kekayaan perkawinan (harta gono-gini), sebagai berikut : a) istri tidak berhak lag atas bagiannya dari aktiva harta gono-gini, kecuali atas pakaian, selimut, dan seprei. Hal itu diatur dalam KUHPer pasal 132 ayat 1, istri berhak melepaskan haknya atas harta bersama, segala perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini batal, sekali melepaskan haknya, dia tidak boleh menuntut kembali apapun dari harta bersama, kecuali kain seprei dan pakaian pribadinya. Berdasarkan ketentuan ini, hak istri untuk melepaskan bagiannya tidak dihapuskan oleh perjanjian antara istri dan suami, atau antara istri dengan pihak ketiga. Artinya segala perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini menjadi batal. b) Istri dibatasi kewajibannya dalam hal membayar utang-utang gono-gini Hal ini diatur dalam KUHPer pasal 132 ayat 2, Dengan pelepasan ini dia dibebankan dari kewajiban untuk ikut membayar utang-utang harta bersama.

c.

Penggunaan Harta Gono-Gini Dengan adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami istri, maka

gono-gini menjadi hak milik keduanya. Sebenarnya ada dua macam hak

dalam harta bersama (harta gono-gini), yaitu hak milik dan hak guna. Harta gono-gini suami istri memang telah menjadi hak bersama, namun jangan dilupakan bahwa di sana juga terdapat hak gunanya. Artinya mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut dengan syarat harus mendapat bpersetujuan dari pasangannya. Jika suami oyang akan mengguanakan harta gono-gini, dia harus mendapat ijin dari istrinya. Demikian juga sebaliknya, istri harus mendapat ijin suaminya jika menggunakan harta gono-gini. Undang-undang Perkawinan pasal 36 ayat 1 menyebutkan mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Jika penggunaan harta gono-gini tidak mendapat persetujuan dari salah satu pihak dari keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena merupakan tindak pidana yang bisa saja dituntut seara hukum, dasarnya adalah KHI Pasal 92, Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Suami atau istri juga diperbolehkan menggunakan harta gono-gini sebagai barang jaminan asalkan mendapat persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini KHI pasal 91 ayat 4 mengatur, Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

d.

Harta Gono-Gini dalam Perkawinan Poligami Ketentuan hukum terhadap perkawinan poligami (beristri lebih dari

seorang), KUHPer pasal 180 mengatur bahwa, juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada harta benda menyeluruh antara suami istri, jika dalam perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Artinya ketentuan tentang harta gono-gini juga berlaku untuk perkawinan secara poligami, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan yang dibuat pasangan suami istri tersebut. KHI juga mengatur ketentuan harta gono-gini dalam perkawinan model ini. Di pasal 94 ayat 1 disebutkan. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Berdasarkan ketentuan ini, harta gono-gini dalam perkawinan poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri pertama, kedua, dan seterusny. Ayat 2 pasal yang sama mengatur ketentuan tentang masa ketentuan kepemilikan harta gono-gini dalam hal ini, pemilikan harta bersama dari oerkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang seagai tersebut ayat 1, dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Ketentuan harta gono-gini dalam poligami juga diatur dalam Undangundang perkawinan Pasal 65 ayat 1 menegaskan bahwa jika seorang suami berpiligami :

1)

Suami wajib member jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya.

2)

Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta gonogini yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi.

3)

Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta gono-gini yang terjadi sejak perkawinan masing-masing.

2.

Pembagian harta gono-gini Harta gono-gini umumnya dibagi dua sama rata diantara suami dan istri.

Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 128 KUHPer yang menyatakan bahwa setelah hubungan persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya. Sementara itu harta bawaan dan harta perolehan tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-masing yang tidak perlu dibagikan secara bersama. Secara umum pembagian harta gono-gini baru bisa dilakukan setelah adanya gugatan cerai. Artinya daftar harta gono-gini dan bukti-buktinya dapat diproses jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan dan dapat disebutkan dalam alas an pengajuan gugatan cerai (posita), yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagan harta dalam berkas tuntutan

(petitum). Namun gugatan cerai belum menyebutkan tentang pembagian harta gono-gini. Untuk itu pihak suami/istri perlu mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan yang dikeluarkan pengadilan. Bagi yang beragama islam gugatan tersebut diajukan ke pengadilan agama di wilayah tempat tinggal tergugat, sedangkan bagi yang nonmuslim gugatan diajukan ke pengadilan negri di wilayah tempat tinggal tergugat. Ketentuan pembagian harta gono-gini didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan, seperti kematian, perceraian, dan sebagainya.

a.

Cerai Mati Cerai mati biasanya dipahami sebagai bentuk perpisahan hubungan

suami istri karena meninggalnya suami/istri. Pembagian harta gono-gini untuk kasus cerai mati dibagi menjadi 50:50. Ketentuan ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat 1 bahwa Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama Status kematian salah seorang pihak, baik suami maupun istri harus jelas terlebih dahulu agar penenruan tentang pembagian harta gono-gini jadi jelas. Jika salah satu dari keduanya hilang, harus ada ketentua tentang kematian dirinya secara hukum melalui pengadilan agama. Hal ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat 2, pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya

kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama.

b.

Cerai Hidup Jika pasangan suami istri putusnya karena perceraian diantara mereka,

pembagian harta gono-gini diatur berdasarkan hukumnya masing-masing. Ketentuan ini diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal 37, Jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumya masing-masing. Yang dimaksud denga hukumnya masing-masing adalah mencakup hukum agama, hukm adat, dan sebagainya. Bagi umat islam ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam KHI, sedangkan penganut agama lainnya diatur dalam KUHPer. Pembagian harta gono-gini dalam kategori cerai hidup umat islam berdasarkan KHI pasal 97 dinyatakan bahwa, Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Artinya dalam kasus cerai hidup, jika tidak ada perjanjian perkawinan, penyelesain dalam pembagian harta bersama ditempuh berdasarkan ketentuan di dalamnya. Jika tidak ada perjanjian perkawinan, penyelesaina berdasarkan ketentuan dalam pasal 97 diatas, yaitu masing-masing berhak mendapat seperdua dari harta gono-gini. Ketentuan pembagian harta gono-gini bagi penganut agama selain islam adalah berdasarkan KUHPer pasal 128 yang menyebutkan bahwa

setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau para ahli wais mereka masing-masing dengan tidak mempedulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperoleh. Berdasarkan ketentuan tersebut, jika pasangan suami istri bercerai, harta gono-gini mereka diabgi dua (50:50). Ketentuan ini tidak berbeda dengan ketentuan dalam KHI pasal 97.

c.

Perkawinan Poligami Pembagian harta gono-gini dalam perkawinan yang kedua kalinya

(poligami) tidak semudah dalam perkawinan monogami. Namun demikian, pembagian harta gono-gini dalam perkawinan poligami adalah sama dngan pembagian harat gono-gini perkawinan monogami, yaitu amsing-masing pasangan mendapatkan bagian seperdua. Hanya saja pembagian harta gono-gini di perkawinan poligami juga harus memperhatikan bagaimana nasib anak-anak hasil perkawinan model ini. Pembagian harat gono-gini dalam perkawinan poligami diatur dalam KUHPer pasal 181, akan tetapi pada perkawinan kedua atau berikutnya, jika ada anak dan keturunan dari perkawinan yang sebelumnya, suami istri yang baru, oleh percampuran harta dan utang-utang pada suatu gabungan, tidak boleh memperoleh keuntungan yang lebih besar daipada jumlah bagian terkecil yang diperoleh seorang anak, atau jika anak itu telah meninggal lebih dahulu, oleh keturunannya dalam penggantian ahli waris, dengan ketentuan,

bahwa keuntungan ini sekali-kali tidak boleh melebii seperempat bagian dari harta benda suami atau istri yang kawin lagi itu.

3.

Aspek keadilan dalam harta gono-gini Pembagian harta gono-gini perlu didasarkan pada aspek keadilan untuk

semua pihak yang terkait. Keadilan yang diaksud mencakup pada pengertian bahwa pada pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak. Kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasikan asalkan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Dalam kasus istri yang tidak bekerja kerap mendapat perlakuan yang tidak adil dalam halpembagian harta gono-gini setelah adanya perceraian secara resmi. Sudah seharusnya istri yang tidak bekerja tetap mendapat bagian dari harta gono-gininya bersama dengan suami. Alasannya, apa yang dikerjakan istri selama hidup bersama dengan suaminya adalah termasuk kegiatan bekerja juga. Hanya pekerjaan istri lebih banyak berupa pekerjaan secara domestik (kerumahtanggan) seperti mengasuh anak, memasak, dan mengurus kebersihan rumah. Jadi, istri yang tidak bekerja tetap mendapat bagian dari harta gono-gini. Berdasarkan ketentuan yang berlaku , harta gono-gini termasuk penghasilan istri tetap dibagi dua seperti halnya dengan kondisi istri tidak bekerja (secara formal), maka suami yang tidak bekerja juga mendapat haknya dalam pembagian harta gono-gini. Hal itu didasarkan pada logika

bahwa jika salah satu pihak tidak menghasilkan, pihak yang lain tidak bisa menghasilkan tanpa bantuan yang satunya. Artinya, meskipun salah satu dari mereka tidak bekerja secara formal, ada pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat dianggap dapat membantu urusan rumah tangga.