dakwah partisipatif

6
MEMPERTANYAKAN EFEKTIFITAS DAKWAH Oleh: Achmad Khudori Soleh Setiap bulan ramadlan, kegiatan dakwah dan kajian- kajian keagamaan senantiasa lebih ramai dan padat pengunjung. Mushalla dan masjid-masjid, di kampus maupun di kampung, penuh dengan jamaah. Media massapun ikutan meramaikan bulan rahmat ini dengan ulasan- ulasannya tentang masalah keruhaniaan. Beberapa media elektonika bahkan menambah jam siarnya untuk menyemarakkan ramadlan. Para artis juga berganti busana rapi, pakai kerundung dan ikut berdakwah melebihi seorang ustad. Akan tetapi, kesemarakan dakwah tersebut agaknya tidak secara otomatis meningkatkan kesadaran moral masyarakat. Maksudnya, kesadaran moral masyarakat belum juga menjadi semakin baik dengan gencarnya proses dakwah tersebut. Kenyataannya, problem-problem moral dan keagamaan terus saja berlangsung, mulai dari pemerkosaan, seks bebas, perjudian sampai korupsi, bahkan ada kecenderungan bahwa masalah ini semakin meningkat. Perilaku korupsi dan penyimpangan moral saat ini justru dilakukan secara lebih vulgar dan berani dibanding waktu-waktu tahun lalu. Adakah yang salah dalam sistem dakwah kita? Ini penting, karena target utama dari gerakan dakwah

Upload: a-khudori-soleh

Post on 07-Jun-2015

389 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Setiap bulan ramadlan, kegiatan dakwah dan kajian-kajian keagamaan senantiasa lebih ramai dan padat pengunjung. Akan tetapi, kesemarakan dakwah tersebut agaknya tidak secara otomatis meningkatkan kesadaran moral masyarakat. Maksudnya, kesadaran moral masyarakat belum juga menjadi semakin baik dengan gencarnya proses dakwah tersebut. Kenyataannya, problem-problem moral dan keagamaan terus saja berlangsung, mulai dari pemerkosaan, seks bebas, perjudian sampai korupsi, bahkan ada kecenderungan bahwa masalah ini semakin meningkat. Perilaku korupsi dan penyimpangan moral saat ini justru dilakukan secara lebih vulgar dan berani dibanding waktu-waktu tahun lalu.

TRANSCRIPT

Page 1: DAKWAH PARTISIPATIF

MEMPERTANYAKAN EFEKTIFITAS DAKWAH Oleh: Achmad Khudori Soleh

Setiap bulan ramadlan, kegiatan dakwah dan kajian-kajian

keagamaan senantiasa lebih ramai dan padat pengunjung.

Mushalla dan masjid-masjid, di kampus maupun di kampung,

penuh dengan jamaah. Media massapun ikutan meramaikan

bulan rahmat ini dengan ulasan-ulasannya tentang masalah

keruhaniaan. Beberapa media elektonika bahkan menambah jam

siarnya untuk menyemarakkan ramadlan. Para artis juga

berganti busana rapi, pakai kerundung dan ikut berdakwah

melebihi seorang ustad.

Akan tetapi, kesemarakan dakwah tersebut agaknya tidak

secara otomatis meningkatkan kesadaran moral masyarakat.

Maksudnya, kesadaran moral masyarakat belum juga menjadi

semakin baik dengan gencarnya proses dakwah tersebut.

Kenyataannya, problem-problem moral dan keagamaan terus

saja berlangsung, mulai dari pemerkosaan, seks bebas, perjudian

sampai korupsi, bahkan ada kecenderungan bahwa masalah ini

semakin meningkat. Perilaku korupsi dan penyimpangan moral

saat ini justru dilakukan secara lebih vulgar dan berani dibanding

waktu-waktu tahun lalu.

Adakah yang salah dalam sistem dakwah kita? Ini penting,

karena target utama dari gerakan dakwah sesungguhnya adalah

munculnya kesadaran dalam diri masyarakat bagaimana mereka

harus hidup sesuai dengan ketentuan-Nya. Yang penting adalah

perbaikan perilaku secara sadar dari masyarakat sendiri

berdasarkan pemahamannya tentang nilai-nilai moral

keagamaan yang dianutnya. Lebih dari itu, juga timbulnya sikap

kritis dalam memahami berbagai persoalan yang timbul,

Page 2: DAKWAH PARTISIPATIF

sehingga dengan menggunakan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai

terms of reference-nya, mereka dapat menganalisa dan

memberikan alternatifnya.

Komunikasi Searah.

Kelemahan atau kekurang efektifan gerakan dakwah

selama ini disebabkan oleh pola dakwah yang kurang tepat.

Gerakan-gerakan dakwah atau hubungan antara dai dan

masyarakat, sampai sejauh ini, tampaknya masih lebih banyak

menggunakan pola hubungan komunikasi searah. Paradigma

yang digunakan adalah pandangan bahwa masyarakat adalah

objek yang harus dituntun karena kedlaifannya, sedang dai

(lembaga dakwah) adalah subjek yang bertugas menjaga

masyarakat agar tetap berjalan pada aturan yang benar (lurus).

Model dakwah seperti itu tidak berbeda dengan kosep bank

dimana masyarakat diibaratkan wadah kosong yang harus diisi

dengan keyakinan, nilai-nilai moral serta praktek-praktek

kehidupan agar disimpan untuk kemudian dikeluarkan pada saat

dibutuhkan. Model dakwah tersebut juga mengingatkan kita

pada pola hubungan antara guru dan murid yang pernah dikritik

keras oleh Paulo Freire. Keduanya memang ada kemiripan: (1)

dai mengajar, masyarakat diajar; (2) dai berbicara masyarakat

mendengarkan; (3) dai berfikir masyarakat difikirkan; (4) dai

berbuat masyarakat mencontoh.

Model dakwah dengan komunikasi searah seperti diatas

mengandung kelemahan-kelemahan. Pertama, ketika dai

bertindak sebagai subjek, maka masyarakat yang menjadi objek

menjadi cenderung untuk lebih bersikap pasif dan diam. Mereka

mengidentifikasikan diri dengan segenap aspirasi dan nilai yang

dianut dainya. Juga, menerima bulat-bulat apa yang disampaikan

dai tanpa ada kemauan dan keberanian untuk bertanya dan

Page 3: DAKWAH PARTISIPATIF

memprotes. Karena itu, jika kemudian terjadi perbedaan

pendapat diantara para dai, mereka menjadi resah dan bingung.

Menurut ustad itu hukumnya boleh, menurut ustad ini hukumnya

tidak boleh, mana yang benar dan harus diikuti? Artinya,

masyarakat tetap tidak mampu dan mau berpikir sendiri meski

telah aktif mengikuti pengajian sekian lama.

Lebih jauh, pola dakwah seperti itu mudah untuk

menggiring terciptanya rasa “fanatisme dai”. Masyarakat

mempersepsikan diri sebagai milik dai tertentu yang disukai.

Karena itu, tidak jarang dijumpai sebagian masyarakat yang mau

datang ke majlis taklim ketika yang ceramah adalah dai idolanya

dan sebaliknya menjadi malas datang bila orang lain.

Kedua, dari sisi sang dai sendiri, bisa dengan mudah

memberikan materi ceramah sesuai dengan “pesan sponsor”

atau kepentingan tertentu. Kenyataannya, tidak jarang kita

temui ceramah-ceramah keagamaan yang isinya mengikuti dan

menyesuaikan dengan kebutuhan lembaga yang mengundang,

atau untuk mensukseskan kepentingan-kepentingan kelompok

tertentu. Apa yang terjadi saat kampanye adalah salah satu

contoh tentang hal ini.

Ketiga, dari aspek materi. Dalam dakwah model satu arah

dimana seorang dai berhadapan dengan banyak massa, maka

materi yang disampaikan biasanya lebih bersifat umum tanpa

melihat kenyataan empirik yang dihadapi masyarakat, sehingga

ceramah atau majlis taklim hanya berfungsi sebagai “santapan

ruhani”; setelah disantap kenyang, puas dan selesai. Lebih dari

itu, materi-materi dakwah yang disampaikan bahkan lebih

bersifat seperti “obat bius”, dimana kajian-kajian keislaman

disampaikan sedemikian rupa sehingga pendengar terharu dan

Page 4: DAKWAH PARTISIPATIF

menangis tapi tanpa ada motivasi untuk berbuat sesuatu guna

meningkatkan kualitas iman dan status sosial mereka.

Karena itu, model dakwah seperti itu, ukuran berhasil dan

tidaknya lebih didasarkan atas aspek formal: jumlah pengunjung,

jumlah murid atau banyaknya santri. Dari sisi dai sendiri, dai

yang baik adalah yang lebih fasih mengucapkan dalil, yang

namanya arab, berhaji dan seterusnya. Bagaimana pengaruh dan

aplikasinya dalam kehidupan masyarakat kurang dan bahkan

tidak terperhatikan.

Dakwah Partisipatif.

Untuk mengatasi kelemahan model dakwah satu arah

diatas, diperlukan model dakwah alternatif yang disebut sebagai

pola dakwah partisipatif. Dalam dakwah model ini, masyarakat

bukan hanya berdiri sebagai objek, tetapi sekaligus juga subjek.

Mereka tidak hanya dipikirkan, tetapi juga ikut memikirkan

nasibnya sendiri. Hubungan antara dai dan masyarakat bukan

lagi “saya” dan “kalian”, tetapi “kita”, sehingga ada

kebersamaan, kesetaraan dan keterbukaan. Materi-materi

dakwahnya bukan disodorkan dari luar tetapi dari pengalaman

masyarakat sendiri. Dari problem-probem kehidupan mereka

sendiri.

Model dakwah ini dimaksudkan untuk mendorong

timbulnya pemikiran kritis pada masyarakat. Disini, dai tidak

memberikan ceramah atau jawaban kunci pada persoalan yang

dibahas, tetapi hanya bertindak sebagai fasilitator dengan

menyediakan ayat-ayat atau hadits sebagai landasan hukum.

Masyarakat sebagai peserta dakwah, diajak dan diberi

kesempatan untuk berfikir aktif, belajar dan mencoba memahami

ayat atau hadits-hadits tersebut, bahkan juga diberi kesempatan

untuk keliru. Namun, ketika terjadi kekeliruan, sang dai maju

Page 5: DAKWAH PARTISIPATIF

untuk memberikan penjelasan. Disini, dibutuhkan dai yang

berkemampuan tinggi, partisipatif serta adil.

Pola dakwah ini lebih bersifat dialog atau diskusi bersama.

Dari situ diharapkan muncul kesadaran dan jawaban atas

masalah-masalah yang dihadapi dan dibicarakan. Selain itu,

diharapkan akan muncul sikap kritis dan bebas walau tidak

sejalan dengan pandangan sang dai. Sebab, tidak mustahil

refleksi Islam versi dai tidak sama dengan refleksi masyarakat

berdasarkan pengalaman hidup mereka masing-masing. Inilah

yang dimaksud sebagai pemahaman kontekstual, dan Islam

sesungguhnya adalah ajaran yang kontekstual. Ia dapat

dipahami dan dilaksanakan masyarakat sesuai dengan konteks

dan tingkat intelektualitasnya masing-masing. Yang penting

dapat dipertanggung jawabkan.

**) A Khudori Soleh adalah dosen UIN Malang.