dakwah partisipatif
DESCRIPTION
Setiap bulan ramadlan, kegiatan dakwah dan kajian-kajian keagamaan senantiasa lebih ramai dan padat pengunjung. Akan tetapi, kesemarakan dakwah tersebut agaknya tidak secara otomatis meningkatkan kesadaran moral masyarakat. Maksudnya, kesadaran moral masyarakat belum juga menjadi semakin baik dengan gencarnya proses dakwah tersebut. Kenyataannya, problem-problem moral dan keagamaan terus saja berlangsung, mulai dari pemerkosaan, seks bebas, perjudian sampai korupsi, bahkan ada kecenderungan bahwa masalah ini semakin meningkat. Perilaku korupsi dan penyimpangan moral saat ini justru dilakukan secara lebih vulgar dan berani dibanding waktu-waktu tahun lalu.TRANSCRIPT
MEMPERTANYAKAN EFEKTIFITAS DAKWAH Oleh: Achmad Khudori Soleh
Setiap bulan ramadlan, kegiatan dakwah dan kajian-kajian
keagamaan senantiasa lebih ramai dan padat pengunjung.
Mushalla dan masjid-masjid, di kampus maupun di kampung,
penuh dengan jamaah. Media massapun ikutan meramaikan
bulan rahmat ini dengan ulasan-ulasannya tentang masalah
keruhaniaan. Beberapa media elektonika bahkan menambah jam
siarnya untuk menyemarakkan ramadlan. Para artis juga
berganti busana rapi, pakai kerundung dan ikut berdakwah
melebihi seorang ustad.
Akan tetapi, kesemarakan dakwah tersebut agaknya tidak
secara otomatis meningkatkan kesadaran moral masyarakat.
Maksudnya, kesadaran moral masyarakat belum juga menjadi
semakin baik dengan gencarnya proses dakwah tersebut.
Kenyataannya, problem-problem moral dan keagamaan terus
saja berlangsung, mulai dari pemerkosaan, seks bebas, perjudian
sampai korupsi, bahkan ada kecenderungan bahwa masalah ini
semakin meningkat. Perilaku korupsi dan penyimpangan moral
saat ini justru dilakukan secara lebih vulgar dan berani dibanding
waktu-waktu tahun lalu.
Adakah yang salah dalam sistem dakwah kita? Ini penting,
karena target utama dari gerakan dakwah sesungguhnya adalah
munculnya kesadaran dalam diri masyarakat bagaimana mereka
harus hidup sesuai dengan ketentuan-Nya. Yang penting adalah
perbaikan perilaku secara sadar dari masyarakat sendiri
berdasarkan pemahamannya tentang nilai-nilai moral
keagamaan yang dianutnya. Lebih dari itu, juga timbulnya sikap
kritis dalam memahami berbagai persoalan yang timbul,
sehingga dengan menggunakan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai
terms of reference-nya, mereka dapat menganalisa dan
memberikan alternatifnya.
Komunikasi Searah.
Kelemahan atau kekurang efektifan gerakan dakwah
selama ini disebabkan oleh pola dakwah yang kurang tepat.
Gerakan-gerakan dakwah atau hubungan antara dai dan
masyarakat, sampai sejauh ini, tampaknya masih lebih banyak
menggunakan pola hubungan komunikasi searah. Paradigma
yang digunakan adalah pandangan bahwa masyarakat adalah
objek yang harus dituntun karena kedlaifannya, sedang dai
(lembaga dakwah) adalah subjek yang bertugas menjaga
masyarakat agar tetap berjalan pada aturan yang benar (lurus).
Model dakwah seperti itu tidak berbeda dengan kosep bank
dimana masyarakat diibaratkan wadah kosong yang harus diisi
dengan keyakinan, nilai-nilai moral serta praktek-praktek
kehidupan agar disimpan untuk kemudian dikeluarkan pada saat
dibutuhkan. Model dakwah tersebut juga mengingatkan kita
pada pola hubungan antara guru dan murid yang pernah dikritik
keras oleh Paulo Freire. Keduanya memang ada kemiripan: (1)
dai mengajar, masyarakat diajar; (2) dai berbicara masyarakat
mendengarkan; (3) dai berfikir masyarakat difikirkan; (4) dai
berbuat masyarakat mencontoh.
Model dakwah dengan komunikasi searah seperti diatas
mengandung kelemahan-kelemahan. Pertama, ketika dai
bertindak sebagai subjek, maka masyarakat yang menjadi objek
menjadi cenderung untuk lebih bersikap pasif dan diam. Mereka
mengidentifikasikan diri dengan segenap aspirasi dan nilai yang
dianut dainya. Juga, menerima bulat-bulat apa yang disampaikan
dai tanpa ada kemauan dan keberanian untuk bertanya dan
memprotes. Karena itu, jika kemudian terjadi perbedaan
pendapat diantara para dai, mereka menjadi resah dan bingung.
Menurut ustad itu hukumnya boleh, menurut ustad ini hukumnya
tidak boleh, mana yang benar dan harus diikuti? Artinya,
masyarakat tetap tidak mampu dan mau berpikir sendiri meski
telah aktif mengikuti pengajian sekian lama.
Lebih jauh, pola dakwah seperti itu mudah untuk
menggiring terciptanya rasa “fanatisme dai”. Masyarakat
mempersepsikan diri sebagai milik dai tertentu yang disukai.
Karena itu, tidak jarang dijumpai sebagian masyarakat yang mau
datang ke majlis taklim ketika yang ceramah adalah dai idolanya
dan sebaliknya menjadi malas datang bila orang lain.
Kedua, dari sisi sang dai sendiri, bisa dengan mudah
memberikan materi ceramah sesuai dengan “pesan sponsor”
atau kepentingan tertentu. Kenyataannya, tidak jarang kita
temui ceramah-ceramah keagamaan yang isinya mengikuti dan
menyesuaikan dengan kebutuhan lembaga yang mengundang,
atau untuk mensukseskan kepentingan-kepentingan kelompok
tertentu. Apa yang terjadi saat kampanye adalah salah satu
contoh tentang hal ini.
Ketiga, dari aspek materi. Dalam dakwah model satu arah
dimana seorang dai berhadapan dengan banyak massa, maka
materi yang disampaikan biasanya lebih bersifat umum tanpa
melihat kenyataan empirik yang dihadapi masyarakat, sehingga
ceramah atau majlis taklim hanya berfungsi sebagai “santapan
ruhani”; setelah disantap kenyang, puas dan selesai. Lebih dari
itu, materi-materi dakwah yang disampaikan bahkan lebih
bersifat seperti “obat bius”, dimana kajian-kajian keislaman
disampaikan sedemikian rupa sehingga pendengar terharu dan
menangis tapi tanpa ada motivasi untuk berbuat sesuatu guna
meningkatkan kualitas iman dan status sosial mereka.
Karena itu, model dakwah seperti itu, ukuran berhasil dan
tidaknya lebih didasarkan atas aspek formal: jumlah pengunjung,
jumlah murid atau banyaknya santri. Dari sisi dai sendiri, dai
yang baik adalah yang lebih fasih mengucapkan dalil, yang
namanya arab, berhaji dan seterusnya. Bagaimana pengaruh dan
aplikasinya dalam kehidupan masyarakat kurang dan bahkan
tidak terperhatikan.
Dakwah Partisipatif.
Untuk mengatasi kelemahan model dakwah satu arah
diatas, diperlukan model dakwah alternatif yang disebut sebagai
pola dakwah partisipatif. Dalam dakwah model ini, masyarakat
bukan hanya berdiri sebagai objek, tetapi sekaligus juga subjek.
Mereka tidak hanya dipikirkan, tetapi juga ikut memikirkan
nasibnya sendiri. Hubungan antara dai dan masyarakat bukan
lagi “saya” dan “kalian”, tetapi “kita”, sehingga ada
kebersamaan, kesetaraan dan keterbukaan. Materi-materi
dakwahnya bukan disodorkan dari luar tetapi dari pengalaman
masyarakat sendiri. Dari problem-probem kehidupan mereka
sendiri.
Model dakwah ini dimaksudkan untuk mendorong
timbulnya pemikiran kritis pada masyarakat. Disini, dai tidak
memberikan ceramah atau jawaban kunci pada persoalan yang
dibahas, tetapi hanya bertindak sebagai fasilitator dengan
menyediakan ayat-ayat atau hadits sebagai landasan hukum.
Masyarakat sebagai peserta dakwah, diajak dan diberi
kesempatan untuk berfikir aktif, belajar dan mencoba memahami
ayat atau hadits-hadits tersebut, bahkan juga diberi kesempatan
untuk keliru. Namun, ketika terjadi kekeliruan, sang dai maju
untuk memberikan penjelasan. Disini, dibutuhkan dai yang
berkemampuan tinggi, partisipatif serta adil.
Pola dakwah ini lebih bersifat dialog atau diskusi bersama.
Dari situ diharapkan muncul kesadaran dan jawaban atas
masalah-masalah yang dihadapi dan dibicarakan. Selain itu,
diharapkan akan muncul sikap kritis dan bebas walau tidak
sejalan dengan pandangan sang dai. Sebab, tidak mustahil
refleksi Islam versi dai tidak sama dengan refleksi masyarakat
berdasarkan pengalaman hidup mereka masing-masing. Inilah
yang dimaksud sebagai pemahaman kontekstual, dan Islam
sesungguhnya adalah ajaran yang kontekstual. Ia dapat
dipahami dan dilaksanakan masyarakat sesuai dengan konteks
dan tingkat intelektualitasnya masing-masing. Yang penting
dapat dipertanggung jawabkan.
**) A Khudori Soleh adalah dosen UIN Malang.