chaopter ii tonsilitis

Upload: atmayadi-gunawan

Post on 14-Apr-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    1/12

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. ANATOMI RONGGA MULUT

    Tonsil adalah satu struktur yang sangat penting dalam sistem pertahanan

    tubuh terutama pada protein asing yang dimakan atau dihirup. Sifat mekanisme

    pertahanan pada tonsil adalah secara spesifik atau non spesifik. Sel-sel fagositik

    mononuklear akan mengenal dan mengeliminasi antigen apabila patogen

    menembus lapisan epitel. Tonsil berbentuk oval dan berada di ruang berbentuk

    segitiga yang dibentuk oleh palatum dan lidah (palatoglossus) yang juga dikenal

    sebagai plika anterior dan ruang antara palatum dan faring (palatofaringeus) yang

    juga dikenali sebagai plika posterior. Pada masa anak, ukuran tonsil adalah paling

    besar dan ukuran ini akan mengecil secara bertahap pada saat pubertas (Farokah et

    al., 2007).

    Jaringan limfoid di dalam mulut tidak berhubungan dengan mulut, tidak

    seperti jaringan limfoid pada usus yang berhubungan dengan usus (gut-associated

    lymphoid tissues) serta jaringan limfoid pada paru-paru yang berhubungan dengan

    bronkus. Agregasi limfoid di dalam mulut terdiri dari 3 tipe yang utama dan

    berperanan sebagai pengawasan imunologi jaringan mulut.

    1. Tonsil palatum : Tonsil palatum merupakan massa limfoid yang berpasangan

    antara mulut dan faring yang tertanam di antara glosso-palatinal dan

    lengkungan faringopalatinal. Tonsil ini dibungkus oleh sel-sel gepeng yang

    menyusup ke dalam jaringan limfoid membentuk 10-20 lubang. Sel-sel

    retikulum dan limfosit ditemukan di bawah epitel. Peningkatan permeabilitas

    benda-benda asing dikawal oleh epitel kripta yang dapat ditemukan di dalam

    makrofag. Folikel limfoid mengandung sel-sel B yang berpoliferasi dalam

    pusat germinal dan bergerak sebagai limfosit B atau sel plasma; karena itu sel-

    sel ini berkembang secara lokal di dalam tonsil. Studi imunofluresensi

    menunjukkan bahwa sel selaput IgG yang terwarnai jauh lebih banyak

    dibanding dengan IgA dan selaput IgA sebaliknya lebih banyak dibandingkan

    dengan sel IgM, IgD sedangkan yang paling jarang adalah sel IgF. Antigen

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    2/12

    serta mitogen sel-T dan sel-B yang dapat menimbulkan kekebalan primer dan

    sekunder bereaksi in vintro dengan sel tonsil yang menyerupai kelenjar getah

    bening. Jalur aferen antigen langsung melewati kripta, sehingga hanya antigen

    lokal yang dapat masuk. Antibodi dan sel-sel yang peka dapat melewati epitel

    dan oleh itu mempunyai fungsi perlindungan lokal dalam membentengi saluran

    pencernaan dan pernafasan.

    2. Tonsil lidah : Merupakan struktur yang kurang menonjol pada tiap sisi lidah, di

    belakang papilla sirkumvalat. Kripta terhasil daripada epitel-epitel gepeng yang

    menyusup masuk ke dalam jaringan limfoid. Sel-sel dibersihkan dengan

    adanya duktus kelenjar mukosa yang bermuara ke dalam kripta. Semua ini

    memungkinkan tonsil lidah bebas dari sisa-sisa kotoran dan infeksi.

    3. Tonsil faring (adenoid) : Merupakan massa jaringan limfoid yang sederhana,

    terdapat di bawah mukosa nasofaring. Walaupun terdapat di luar rongga mulut,

    adenoid melengkapi cincin jaringan limfoid yang memisahkan mulut dan

    hidung dari faring (Lehner, 1995).

    2.2. TONSILITIS KRONIK

    2.2.1. Definisi

    Secara umum, tonsilitis kronik dapat didefinisikan sebagai infeksi atau

    peradangan pada tonsila palatina lebih dari 3 bulan. Kronik yang dimaksudkan

    adalah terjadinya perubahan histologi pada tonsil, dan terdapatnya jaringan

    fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel radang.

    Mikroabses pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi

    bagi organ-organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi

    adalah sumber bakteri / kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-

    produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat

    menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau

    bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau

    gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi (Siswantoro,

    2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    3/12

    2.2.2. Etiologi

    Tonsilitis kronik dapat disebabkan oleh tonsilitis akut yang tidak diterapi,

    diobati dengan obat yang tidak adekuat, atau menyebarnya infeksi kronik seperti

    sinusitis dan rinitis. Higiene mulut yang jelek, iritasi kronik akibat rokok atau

    makanan, sistem imun tubuh yang rendah, dan pengaruh cuaca dapat menjadi

    faktor risiko terjadinya tonsilitis kronik. Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak

    mungkin disebabkan oleh karena anak sering menderita infeksi saluran pernafasan

    akut (ISPA) atau karena tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat atau

    dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat

    pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. Dari hasil

    penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) : streptokokus alfa merupakan penyebab

    tersering dan diikuti stafilokokus aureus, streptokokus beta hemolitikus grup A,

    stafilokokus epidermis dan kuman gram negatif yaitu enterobakter, pseudomonas

    aeruginosa,klebsiella dan E. coli yang didapat ketika dilakukan kultur apusan

    tenggorok. (Farokah et al., 2007)

    Produksi bahan-bahan oksidasi terjadi semasa proses inflamasi

    berlangsung. Antioksidan berperan dalam meneutralkan kerusakan yang berlaku

    akibat proses inflamasi. Oleh karena tonsilitis kronik merupakan proses

    peradangan yang kronik pada orofaring dan nasofaring, terdapat satu

    kemungkinan yang bermakna pada keseimbangan bahan oksidan dan antioksidan

    yang terlibat dalam proses dan tingkat keparahan penyakit ini. Walau

    bagaimanapun, patogenesis bagaimana bahan oksidan dan antioksidan ini dalam

    menyebabkan terjadinya tonsilitis kronik belum dapat difahami dengan sempurna

    (Ylmaz et al., 2004).

    2.2.3. Patofisiologi

    Terdapat beberapa barier dalam rongga mulut yang dapat mencegah

    terjadinya penetrasi bakteri dari plak gigi ke jaringan :

    1. Barier fisis pada permukaan epitel mukosa

    2. Peptida pada epitel mukosa mulut

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    4/12

    3. Barier elektrik dimana terdapat beda muatan pada dinding sel antara

    pejamu dan mikroba

    4. Barier imunologik dari sel-sel pembentuk imunologi

    5. Barier fagosit yang terdiri dari sistem retikuloendotelial

    Penetrasi bakteri dapat dicegah dan dikurangi oleh sistem barier ini yang

    bekerjasama pada keadaan normal. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik

    atau gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri

    dan produknya yang merupakan faktor virulen (lipopolisakaraida=LPS) akan

    melakukan interaksi dengan sel-sel tertentu di rongga mulut. Tonsil yang

    bertindak sebagai mekanisme pertahanan tubuh di mulut akan berespons terhadap

    stimulasi bakteri dan tubuh melakukan respons imunologis dengan mengaktivasi

    sel-sel mediator inflamasi yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme

    jaringan ikat sebagai tanda klinis awal radang pada tonsil (Santoso et al., 2009).

    Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke

    tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan

    dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil

    berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak

    memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa

    membunuh kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan

    akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi

    pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.

    Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan

    imun yang menurun (Siswantoro, 2003).

    2.2.4. Manifestasi Klinis

    Manifestasi klinis tonsilitis ditandai oleh gejala-gejala di hidung, nyeri

    tenggorok, dan kemerahan yang menyeluruh pada tonsil. Umumnya disebabkan

    oleh virus. Tonsilitis streptokokus lebih jarang ditemukan dan biasanya ditandai

    dengan demam (Hull dan Johnston, 2008).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    5/12

    Tonsilitis kronik dapat menimbulkan gejala lokal ataupun sistemik. Gejala

    yang bisa terjadi adalah mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan

    menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang akibat daripada gejala sistemik

    tonsilitis kronik. Gejala lokal pula termasuklah nyeri tenggorok atau merasa tidak

    enak di tenggorok, nyeri telan ringan kadang-kadang seperti benda asing

    (pancingan) di tenggorok. Pada tonsil yang mengalami infeksi kronik, akan terjadi

    fibrotasasi yaitu sebagian jaringan tonsil akan rusak dan digantikan oleh jaringan

    ikat. Tarikan-tarikan pada lobuli tonsil akan terjadi karena adanya fibrosis

    sehingga kripta akan melebar dan menyebabkan permukaan tonsil akan menjadi

    tidak rata dan berbenjol-benjol. Pembesaran kelenjar limfe subangulus dapat

    terjadi karena tonsil mempunyai saluran limfe eferen ke kelenjar tersebut dan

    menyebabkan infeksi kelenjar subangulus (Farokah et al., 2007).

    Tonsilitis kronik akan menyebabkan sakit tenggorokan rekuren, atau

    persisten dan gangguan menelan atau pernafasan, walaupun yang terakhir

    disebabkan oleh kelenjar adenoid yang membesar. Tonsila akan memperlihatkan

    pelbagai darjat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah. Nafas penderita

    bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat, mungkin terdapat

    obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan bagian atas yang dapat

    menyebabkan hipertensi pulmonal (Delf dan Manning, 1996).

    2.2.5. Pemeriksaan

    Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi

    kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan detritus

    atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah. Kelenjar leher

    dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan (Herawati dan Rukmini S, 2003).

    Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau

    atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 T4. Cody& Thane

    (1993) membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut :

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    6/12

    T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar

    anterior uvula

    T2 = batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai

    jarak pilar anterior-uvula

    T3 = batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai

    jarak pilar anterior-uvula

    T4 = batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula atau lebih.

    Fokal infeksi pada tonsil dapat diperiksa dengan melakukan beberapa tes.

    Dasar dari tes-tes ini adalah adanya kuman yang bersarang pada tonsil dan apabila

    tes dilakukan, terjadi transportasi bakteri, toksin bakteri, protein jaringan fokal,

    material lymphocyte yang rusak ke dalam aliran darah ataupun dengan perkataan

    lain akan terjadi bakterimia yang dapat menimbulkan kenaikan pada jumlah

    lekosit dan LED. Dalam keadaan normal jumlah lekosit darah berkisar antara

    4000-10000/mm3 darah. Tes yang dapat dilakukan adalah seperti :

    1.Tes masase tonsil : salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang lebih 5menit dengan kain kasa, jikalau 3 jam kemudian didapati kenaikan lekosit lebih

    dari 1200/mm3

    atau kenaikan laju endap darah (LED) lebih dari 10 mm

    dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.

    2.Penyinaran dengan UKG : tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan 4 jamkemudian diperiksa jumlah lekosit dan LED. Jika terdapat kenaikan jumlah

    lekosit lebih dari 2000/mm3

    atau kenaikan LED lebih dari 10 mm dibandingkan

    sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.

    3.Tes hialuronidase : periksa terlebih dahulu jumlah lekosit, LED dan temperaturoral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam setelah diinjeksi, jika

    didapati kenaikan temperatur 0.3o

    C, kenaikan jumlah lekosit lebih dari

    1000/mm3 serta kenaikan LED lebih dari 10 mm maka tes ini dianggap positif.

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    7/12

    Terjadinya peningkatan lekosit karena lekosit terutama akan tertarik

    terhadap produk-produk yang dihasilkan kuman dan dilepaskan oleh jaringan

    yang cedera. Namun, bakterimia yang terjadi karena rangsang terhadap fokal

    infeksi biasanya bersifat sementara dengan demikian akan terjadi kenaikan jumlah

    lekosit dan LED yang bersifat sementara juga (Siswantoro, 2003).

    2.2.6. Penatalaksanaan

    Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering

    dilakukan pasa pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan

    pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi

    dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi

    seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi (Amarudin dan

    Christanto, 2007).

    Tonsilitis kronik merupakan salah satu penyakit otorinolaring yang paling

    sering dan tonsilektomi merupakan satu dari bermacam prosedur operasi yang

    dilakukan sebagai tatalaksana untuk pasien yang menderita penyakit tonsilitis

    kronik. Masih terdapat kontroversi tentang keefektifan tonsilektomi yang

    dilakukan pada pasien yang dewasa karena kurangnya bukti tentang hal tersebut.

    Penelitian banyak menunjukkan bahwa kaedah tonsilektomi sangat efektif

    dilakukan pada pasien anak-anak yang menderita tonsilitis berulang (Skevas et al.,

    2010).

    Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik.

    Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala

    yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh

    streptokokus perlu diobati dengan penisilin V secara oral, cefalosporin, makrolid,

    klindamicin, atau injeksi secara intramuskular penisilin benzatin G. Terapi yang

    menggunakan penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh itu penggunaan antibiotik

    tambahan mungkin akan berguna (Desai et al., 2008).

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    8/12

    2.2.7. Komplikasi

    Tonsil dan adenoid yang sangat besar dapat menyebabkan obstruksi jalan

    nafas sehingga menimbulkan apnea ketika tidur dan hipertensi pulmonal yang

    jarang terjadi. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada pasien dengan tonsilitis

    kronik adalah scarlet fever, glomerulonefritis akut dan demam rematik tetapi

    jarang dijumpai (Hull dan Johnston, 2008).

    Anak dengan tonsilitis kronik dapat terganggu fisiologisnya bahkan

    kadang sampai tidak sekolah karena sakit yang selanjutnya dapat mempengaruhi

    proses dan hasil belajarnya. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan

    obstruksi saluran nafas atas yang dapat mengakibatkan gangguan pada kondisi

    fisiologis dan psikologis sehingga proses belajar menjadi terganggu yang pada

    akhirnya mempengaruhi prestasi belajar. Ganong (1977) menyebutkan bahwa

    dalam keadaan hipoksia maka otak merupakan salah satu organ yang pertama

    terkena akibatnya. Hipoksia dapat menyebabkan mengantuk, gelisah, perasaan

    sakit yang samar-samar, sakit kepala, anoreksia, nausea, takikardi dan hipertensi

    pada hipoksia yang berat. (Farokah et al., 2007)

    2.3. KEBERSIHAN MULUT

    2.3.1. Definisi

    Kebersihan mulut adalah kondisi atau perlakuan dalam menjaga jaringan

    dan struktur dalam rongga mulut tetap berada di tahap yang sehat. Rongga mulut

    telah diketahui dapat menjadi satu tempat yang efektif untuk patogen membiak.

    Kebersihan mulut yang jelek dapat menyebabkan terjadinya komplikasi seperti

    tonsilitis, gingivitis, halitosis, xerostomia, pembentukan plak dan karies gigi.

    Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara infeksi

    pada rongga toraks dengan kebersihan mulut yang jelek. Penjagaan kebersihan

    mulut adalah sangat penting dan perlu dijadikan sebagai satu rutin kebersihan

    secara general pada seseorang (Satku, 2004).

    Penjagaan kebersihan mulut yang jelek dapat meningkatkan risiko

    seseorang untuk mendapat penyakit pada mulut terutamanya akumulasi bakteri

    pada rongga mulut yang bisa menyebabkan tonsilitis. Hubungan antara kejadian

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    9/12

    infeksi terutamanya infeksi bakterigroup A -hemolytic Streptococcus (GABHS)

    sehingga berlanjut ke komplikasi yang lebih parah telah lama diketahui. Satu

    penelitian mendapati adanya hubungan antara infeksi GABHS yang persisten dan

    penggunaan sikat gigi yang dicuci dengan cairan steril mendapati kultur GABHS

    adalah negatif dalam masa 3 hari, dan pada sikat gigi yang tidak dicuci dengan

    cairan steril, kultur GABHS adalah persisten hingga 15 hari (Desai et al., 2008).

    2.3.2. Pembersihan Rongga Mulut Secara Mekanik

    Kebersihan sisi-sisi mulut secara alami dipertahankan oleh kerja otot lidah,

    pipi dan bibir. Aktivitas ini banyak dibantu oleh saliva dengan penambahan

    lubrikasi pada pergerakan semasa berbicara, menghisap, menelan yang

    memungkinkan bakteria, leukosit, jaringan dan sisa-sisa makanan ke dalam perut,

    tempat di mana bakteria atau bahan-bahan yang dapat menyebabkan penyakit

    menjadi tidak aktif.

    Kebiasaan meludah, secara fisiologik adalah efektif bagi individu dalam

    mempertahankan kebersihan mulut, tetapi berbahaya terhadap lingkungan karena

    dapat menyebarkan jasad renik yang infeksius. Aliran terus-menerus dari saliva

    tanpa stimulasi ataupun pada keadaan istirahat, menunjukkan rata-rata 19 ml/jam.

    Jumlah ini akan meningkat dengan rangsangan psikis, seperti pada saat

    memikirkan makanan. Walau bagaimanapun, terdapat perbedaan yang besar pada

    aliran saliva pada masing-masing individu semasa keadaan istirahat (0,5-

    111ml/jam). Pada suatu waktu penderita dengan demam dan dehidrasi sering

    mengalami infeksi sepanjang duktus kelenjar liur, yang disebabkan oleh

    penurunan aliran saliva dan seterusnya menyebabkan menurunnya tahap

    kebersihan mulut. Hal ini akan mengakibatkan stasis dan infeksi pada duktus,

    yang sering menyebabkan parotitis dan tonsilitis (Lehner, 1995).

    Penggunaan sikat gigi merupakan lini pertama dalam pembersihan mulut

    kecuali pada pasien yang sering mengalami perdarahan, nyeri atau aspirasi.

    Rasional menggunakan sikat gigi karena sikat gigi sangat efektif untuk

    mengurangkan plak dan mengelakkan terjadinya infeksi pada mulut. Selain itu,

    sikat gigi juga berperan dengan lebih baik dalam membersihkan daerah yang

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    10/12

    aproksimal dan celah-celah gigi serta lebih ekonomis. Sikat gigi yang bagus

    digunakan adalah sikat gigi yang mempunyai bulu yang lembut dan ujung yang

    kecil karena dapat menyingkirkan plak dengan efisien dan meminimalkan

    kejadian trauma pada gusi. Gigi harus disikat sekurang-kurangnya 2 kali sehari,

    sebaiknya selepas bangun dari tidur dan sebelum tidur.

    Busa pembersih (foam swabs) pula kebanyakannya digunakan apabila

    penggunaan sikat gigi tidak direkomendasikan seperti pada orang-orang tua dan

    pasien yang sering mengalami pendarahan gusi. Rasionalnya adalah karena busa

    pembersih lebih lembut berbanding sikat gigi dan dapat mengurangkan terjadinya

    trauma pada rongga mulut. Pasien dengan jumlah platlet yang kurang lebih rentan

    terhadap terjadinya pendarahan gusi semasa menyikat gigi. Oleh itu, busa

    pembersih dapat digunakan sebagai pengganti sikat gigi untuk tetap menjaga

    kebersihan dan kesehatan mukosa pada rongga mulut serta mengurangkan

    terjadinya abrasi dan trauma pada rongga mulut. Busa pembersih juga dapat

    meningkatkan peredaran darah pada rongga mulut dan seterusnya meningkatkan

    produksi saliva yang bertindak secara alami dalam menjaga rongga mulut agar

    tetap bersih dan sehat. Walau bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa penggunaan

    busa pembersih tidak boleh digunakan berlama-lama tanpa keperluan. Berbanding

    sikat gigi, busa pembersih menyingkirkan debris dan plak lebih sedikit pada gigi,

    terutama di area yang terlindung pada gigi dan jaringan gusi. Penggunaan yang

    berlama-lama boleh memperparah masalah gigi tersebut (Satku, 2004).

    2.3.3. Tingkat Kebersihan Mulut

    Secara klinis tingkat kebersihan mulut dinilai dalam suatu kriteria

    penilaian khusus yaitu Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) dari Greene dan

    Vermillion. Kriteria ini dinilai berdasarkan keadaan endapan lunak atau debris

    dan karang gigi kalkulus. Indeks debris yang dipakai adalah Debris Index (D.I)

    Greene and Vermillion (1964) dengan kriteria sebagai berikut:

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    11/12

    Tabel 2.3.3.1Debris Index (D.I) Greene and Vermillion (1964)

    NILAI KRITERIA DEBRIS LUNAK

    0 tidak ada debris lunak

    1 terdapat selapis debris lunak menutupi tidak lebih dari1/3 permukaan

    gigi

    2 terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi

    tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi

    3 terdapat selapis debris lunak menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi

    Sumber : Indeks-indeks untuk penyakit gigi (Bahan Ajar). Medan: Bagian Ilmu

    Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat FKG USU, 2001

    Sedangkan indeks kalkulus yang digunakan adalah Calculus Index (C.I.)

    Greene and Vermillion (1964) yaitu :

    Tabel 2.3.3.2 Calculus Index (C.I.) Greene and Vermillion (1964)

    NILAI KRITERIA KALKULUS SUPRAGINGIVA

    0 tidak ada kalkulus

    1 kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari permukaan gigi

    2 kalkulus supragingiva menutupi lebih dari permukaan gigi tetapi

    tidak lebih dari permukaan gigi atau kalkulus subgingival berupa

    bercak hitam di sekitar leher gigi atau terdapat keduanya

    3 kalkulus supragingiva menutupi lebih dari permukaan gigi atau

    kalkulus subgingiva berupa cincin hitam di sekitar leher gigi atau

    terdapat keduanya

    Sumber : Indeks-indeks untuk penyakit gigi (Bahan Ajar). Medan: Bagian Ilmu

    Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat FKG USU, 2001

    Universitas Sumatera Utara

  • 7/30/2019 Chaopter II Tonsilitis

    12/12

    Kriteria debris lunak dan kalkulus supragingiva diperiksa pada 1 buah gigi

    di setiap 6 segmen tertentu yaitu bukal kiri, labial dan bukal kanan untuk rahang

    atas dan rahang bawah. Jadi, jumlah gigi yang diperiksa adalah 6 buah. Untuk

    mengetahui indeks debris lunak, nilai kriteria debris lunak yang didapat pada

    setiap segmen dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah segmen yaitu 6. Pengiraan

    yang sama dilakukan untuk mengetahui indeks kalkulus supragingiva. Indeks

    kebersihan mulut diperoleh dengan menjumlahkan nilai indeks debris dan indeks

    kalkulus (Raharjanto, 2006).

    2.3.4. Faktor Yang MempengaruhiTingkat Kebersihan Mulut

    Kesehatan mulut tergantung pada keutuhan mukosa yang merupakan

    kesatuan sejumlah struktur anatomi berkaitan dengan kesinambungan kulit bibir

    pada pertemuan mukokutaneus dengan faring ataupun laring melalui orofaring.

    Terdapat faktor lain yang berperan dalam mempertahankan kesehatan mulut

    supaya tetap berada di tahap yang sehat yaitu aliran saliva, cairan saku gingival,

    dan sistem pertahanan humoral dan selular (Lehner, 1995).

    Pada bidang kesehatan gigi, kebersihan mulut mempunyai peranan

    penting, karena kebersihan mulut yang buruk dapat mengakibatkan timbulnya

    berbagai macam penyakit baik lokal maupun sistemik. Tingkat kebersihan mulut

    yang telah dijelaskan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pola makan,

    kebiasaan menggosok gigi secara benar dan teratur, susunan gigi geligi dan

    komposisi dan sekresi saliva (Beck, 2002).

    U i it S t Ut