cerita rakyat talaud porodisa kabupaten kepulauan talaud
DESCRIPTION
Cerita rakyat ini kami susun berdasarkan pertimbangan dan data-data dari narasumber, dalam hubungannya dengan penyusunan sejarah Talaud Porodisa yang kita cintai. Didorong oleh keinginan, bersama ini kami tampilkan sebuah cerita rakyat yang berasal dari desa Bannada, suatu kerajaan yang tertua di Kepulauan Talaud.Berdasarkan pengalaman, bahwa saat ini sedang berkembang berbagai jenis cerita rakyat yang menyangkut sejarah Porodisa sesuai dengan versi wilayah masing-masing sehingga kelihatannya tidak mempunyai satu kesatuan pendapat yang sama dalam mengungkapkan sejarah budaya Talaud Porodisa tidak sesuai proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu sebagai tokoh masyarakat Talaud, kami tidak mau membiarkan keadaan ini berlarut-larut dan sebagai wujud kecintaan kami terhadap Tanah Leluhur Porodisa. Bersama ini kami ingn menguraikan lembaran sejarah Porodisa sesuai versi yang kami miliki.TRANSCRIPT
CERITA RAKYAT TALAUD PODISA
JUDUL :
PAYUNG UTARA
WINOSO BERGELAR WOI
TALODA
TALAUD
KATA PENGANTAR
Cerita rakyat ini kami susun berdasarkan pertimbangan dan data-data
dari narasumber, dalam hubungannya dengan penyusunan sejarah Talaud
Porodisa yang kita cintai. Didorong oleh keinginan, bersama ini kami tampilkan
sebuah cerita rakyat yang berasal dari desa Bannada, suatu kerajaan yang tertua
di Kepulauan Talaud.
Berdasarkan pengalaman, bahwa saat ini sedang berkembang berbagai
jenis cerita rakyat yang menyangkut sejarah Porodisa sesuai dengan versi
wilayah masing-masing sehingga kelihatannya tidak mempunyai satu kesatuan
pendapat yang sama dalam mengungkapkan sejarah budaya Talaud Porodisa
tidak sesuai proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu sebagai tokoh masyarakat
Talaud, kami tidak mau membiarkan keadaan ini berlarut-larut dan sebagai
wujud kecintaan kami terhadap Tanah Leluhur Porodisa. Bersama ini kami ingn
menguraikan lembaran sejarah Porodisa sesuai versi yang kami miliki.
Maka dari penyusun maupun penulis naskah sejarah ini, kami menyadari
tidak luput dari semua kekurangan dan belum sempurna oleh karenanya kami
selalu mengharapkan saran-saran yang membangun dari penyempurnaannya.
Kepada semua pihak yang dapat membantu dalam penyusunan dan
penyempurnaan sejarah Talaud Porodisa ini kami ucapkan banyak terima kasih.
Bannada, 20 Juli 1994
Penanggung jawab
Narasamber Penulis
Fredik Mangombo Wellem Lalende
CERITA RAKYAT TALAUD PORODIA
Judul :
Payung Utara Winoso Bergelar Woi Taloda
Bagian I
Dari zaman prasejarah sampai pada abad 1 Masehi penduduk kepuluan
Talaud masih belum mengetahui pasti dan jelas dalam menentukan garis sejarah
budaya talaud Porodisa. Bahwa bukan cerita mengada-ada, akan tetapi untuk
mengetahui cerita rakyat Talaud Porodisa dengan pasti ialah :
Pada zaman dahulu kala kira-kira pada abad 10 sebelum masehi terjadinya
manusia pertama ialah seorang wanita yang bertempat tinggal di sebuah gunung
yang bernama “GUNUNG LALOROAN”, 5 Km jauhnya dari desa Bannada.
Seorang wanita yang mengalami suatu kehidupan yang menyendiri tinggal di
tempat yang sunyi sepi dan tidak ada seorang pun jadi temannya untuk bercerita
dan bercanda setiap hari. Hatinya pilu dirundung kesepian, hanya kicauan
burung yang menjadi pelipur lara diwaktu siang dan jeritan cengkerik dijadikan
pengantar tidur di waktu malam.
Begitulah keadaan yang dialami seorang wanita itu setiap hari. Hanya
berdiam diridi Gunung Laloroan pada waktu itu. Dihalaman muka rumahnya ada
sebuah kolam yang dipinggirnya tumbuh sebatang pohon bunga. Daunnya
rimbun bersusun-susn berbentuk seperti payung. Kelhatan indah sekali bagaikan
burung elang yang mengembangkan sayapnya.
Pohon bunga payung itu menjadi tempat ia berteduh diwaktu siang dan
malang. Disinilah tempat tinggal asal usul leluhur kita, seorang manusia pertama
yang mendiami gunung Laloroan yang disebut Payung Utara bernama Winiso
bergelar Woi Taloda. Pada suatu ketika ia sedang duduk diatas sebuah batu yang
timbul di bawah pohon bunga payung itu. Pikirannya sedang melamun seorang
diri di dalam kesepian. Tiba-tiba wanita itu terkejut oleh suatu suara yang penuh
di bawah dan penuh kasih sayang membuyarkan lamunannya dan berkata “Hai
engkau seorang wanita yang hanya hidup seorang diri, jangan engkau bersusah
hati dan bersedih lagi, karena aku akan memberikan kepadamu seorang
pelindung dan pendamping dalam hidupmu selama hayat dikandung badan”.
Wanita itu heran dan tersengang atas kejadian itu, akan tetapi ia masih tetap
dalam keadaan bingung mendengar suatu mendengar suara tadi dan suara itu
bergema terus menerus dan berkata “tanah yang engkau tempati dan engkau
diami sekarang ini, serta seluruh gugusan kepulauan yang ada di sekitarnya,
akan aku berikan kepadamu bersama-sama dengan keturunanmu untuk
menguasai pulau-pulau itu.
Wanita itu belum habis berpikir tentang kejadian itu, masih terdengar
suara tadi bahwa ada sesuatu perintah selama delapan hari berturut-turut
engkau menghadap delapan penjuru mata angin dan semua yang disampaikan
lewat suara tadi dilaksanakan dengan penuh keyakinan. Untuk melaksanakan
perintah itu, pada hari pertama ia menghadap penjuru mata angin barat daya.
Pada hari kedua ia menghadap mata angin selatan dan begitulah seterusnya.
Setelah sampai pada hari yang kedelapan yaitu hari yang terakhir ia menghadap
mata angin barat.
Sesudahnya ia melaksanakan perintah itu dengan setia dan penuh
keyakinan, wanita itu berpikir-pikir tidak terkira apa yang terjadi pada dirinya.
Didalam hatinya bahwa dalam keadaaan ini telah diterima dengan penuh suka
cita dan penuh ucapan syukur kepada Dewata pencipta alam semesta. Menjelang
usia kandungan 6 bulan, wanita itu kembali menerima ilham melalui suara lagi
dan berkata “selama tiga malam berturut-turut, kolam yang berada di halaman
muka rumahmu harus dijaga baik-baik”. Pada petang hari menjelang malam
pertama, ia sedang duduk diatas batu dibawah pohon bunga payung itu, terjadi
suatu tanda ajaib yaitu terlihat ada seekor ikan mas besar yang berenang kian
kemari, berkeliling sedang mengitari bunga-bunga di kolam itu. Akan tetapi
setelah pada siang harinya wanita ini melihat dan menyaksikan seakan akan
adegan dalam suatu sandiwara yang terjadi semalam. Selain ikan emas yang
besar itu tidak ada sesuatu apapun yang dilihatnya didalam kolam itu. Satu
peristiwa tanda ajaib yang luar biasa terjadi pada malam ketiga, bahwa seekor
ikan mas yang besar itu telah menjelma menjadi seorang pemuda yang gagah
perkasa keluar dari kolam itu. Sambil berdiri dengan langkah yang tegap ia
memegang dua buah keris emas, satu ditangan kanan dan satunya lagi di tangan
kiri. Wanita tersebut kemudian bingung dan heran melihat kejadian itu. Akan
tetapi ia sempat bertanya kepada pemuda itu apakah maksud dan artinya semua
kejadian ini? Pemuda itu menjawab “semua ilham yang engkau dengar melalui
suara pada waktu itu sudah terjadi hari ini. Aku telah ditakdirkan menjadi
pelindungmu dan engkau telah ditakdirkan menjadi pendampingku yang setia
selama hayat dikandung badan.” Wanita itu sejenak memikirkan kata-kata
pemuda yang berdiri di hadapannya. Pada saat itu juga teringat semua ilham
melalui suara yang didengarnya pada waktu yang lalu. Didalam hati mereka
sama-sama bersuka cita dan sama-sama bertatap muka dengan senyuman
manis, hati yang riang gembira adalah suatu tanda hati yang tulus ikhlas. Lalu
keduanya bergandengan tangan dengan ucapan selamat berjumpa, dan mereka
bersama-sama untuk menata hidup baru, masa depan yang cerah. Keduanya
membangun rumah tangga yang rukun dan bahagia. Kedua insan in masing-
masing belum memiliki nama panggilan sehari-hari. Maka atas persetujuan kedua
insan ini, bagi pihak suami memberikan nama panggilan untuk istrinya bernama
WINOSO bergelah WOI TALODA, berikutnya dari pihak istrinya membrkan nama
panggilan kepada suaminya bernama WINUNGKAN (RUNG BIRISAN). Dalam
ungkapan bahasa talaud arti Wiinoso dan Winungkan ialah
- Winoso = Mamamosone
- Winungkan = niwungkangnge.
Nama Winoso dan Winungkan itu mempunyai arti tersendiri yang artinya
Penjelmaan. Oleh karena keduanya bukan dilahirkan melalui rahim seorang ibu.
Stelah umur kandungan sembilan bulan, Winoso mendapat ilham melalui suara
dan berkata pada mulanya inilah sebuah pulau Parorone Indi Nusa, artinya
Poro-di-sa
- Poro : Parorone
- Di :Indi
- Sa : Nusa
Nama Porodisa ini mencakup seluruh pulau-pulau Talaud yang disebut
Talaud-Porodisa, yang artinya :
POI NUSA NIRUMARANTO
BUNTUANNE TINU MATIRAPUNG
PUIDE PUIDI TANNA
NUSANE NUSA BANNA
TUWONE NILUMONDO LAU
ATALANE ATALA LINANG ALABOENG
ISEGO I PORODISA
Tidak lama lagi winoso (woi taloda) melahirkan dua anak kembar, anak
pertama bernama Porodisa dan anak kedua bernama Woi Loro Wanua
Bagian II
Zaman Buntuan Porodisa I
Pada Abab Ke – 8 Sebelum Masehi
Cerita rakyat Talaud – Porodisa ini berasal dari desa Bannada adalah
kerajaan yang tertua di pulau-pulau Talaudyang disebut Payung Utara (Payung
Keramat). Asal mulanya manusia pertama yang hidup pada zaman itu atau
zaman purba. Manusia pertama Winoso di beri gelar Woi Taloda. Winoso dan
Winungkan yang hidup pada abad ke 10 sebelum masehi. Manusia ini
mengangkat sejarah Talaud Porodisa, dari Porodisa I sampai Porodisa V.
Kehidupan masyarakat pada zaman Porodisa I masih berkelompok.
Dahulu jumlah manusia belum banyak atau masyarakat zaman purba
atau zaman batu, kehidupan masyarakat dalam zaman itu terdiri dari berjenis-
jenis kelompok, ada yang menurut pekerjaan dan ada pula menurut
kepercayaan, masyarakatnya masyarakat pertanian. Desa Bannada tempat
kerajaan yang tertua di pulau-pulau Talaud dengan bukti-bukti sejarah masih ada
yaitu Benteng Batu di Gunung Sarak, 2 km jauhnya dari Desa bannada. Dan
bukti lain ada di desa Malat, benteng batu juga. Bukti-bukti sejarah pada zaman
itu adalah sebagai benteng pertahanan bila ada serangan musuh yang
mengganggu keamanan dan ketentraman rakyat. Desa Bannada pada zaman
buntuan Porodisa I berkuasa wilayahnya luas dan besar. Masyarakatnya dapat
dipersatukan mulai dari Pulau Miangas, Pulau Karangkelang, Salibabu Kabaruan
dan sampai pulau-pulau Nanusa. Pada saat itu bantuan Porodisa I rakyatnya
aman dan tentram (Matino Malangan)
Pada abad ke 6 sebelum masehi yang pertama kali mendapatkan api ialah
WOI MELIN SANGIAN. Ia berlayar ke pulau Mindanau dan tinggal dengan Ratu
Saluba namanya bertempat tinggal di gunung Saluba. Woi Melin Sangien tinggal
beberapa tahun disana, dan ia kembali membawa sepotong bulu (eawan batu)
yang disebut KALESONO. Pada waktu itu mulai ada api dan masyarakat waktu itu
sudah merasakan penganan yang dimasak. Pada zaman buntuan Porodisa I
sampai pada keturunan ke delapan pada abad I sesudah masehi, manusia pada
waktu itu sudah bertambah banyak dan terbentuklah suatu masyarakat kecil
karena tersebar mendiami gunung-gunung di seluruh pulau-pulau talaud antara
lain :
1. Gumansalangi, di Gunung Padian, Desa Mangarang
2. Tumole, di Gunung Towo, Desa Toaduwale
3. Ratu Pilu, di Gunung Ayambanna, Desa Lirung
4. Parame Nusa, di Gunung Rarameo, Desa Musi
5. Sumariangin, di Gunung Ampa Pitu, Desa Tule
6. Malaa, di Gunung Sinambung, Desa Bowombaru
7. Ratun See, di di Gunung Piapi, Desa Pulutan
8. Yusak Gunia, di Gunung Biala, Desa Bantane-Rainis
9. Laemanu, di Gunung Biala, Desa Bantane-Rainis
10. Pato, di Gunung Saleane, Desa Ammat
11. Wio Wentengan, di Gunung Melanggi, Desa Merampit
12. Hando Ape, di Gunung Manongga, Desa Kakorotan
13. Langu Banua di Gunung Tanna, Desa Bannada
14. Lua Barawan, di Gunung Barawan
15. Pantaren di Gunung Duata
Bagian III
Paradys Digelar Poro-Dissa Ialah Porodia Ke II
Paradys, nama yang diberi ibu kandungnya. Ketika Paradys masih kecil
sang ibu membawanya berlayar ke Pulau ternate. Mereka hidup dan bermukim
disana selama beberapa tahun. Menginjak usia dewasa, dengan sebuah kapal
dagang Portugis, Paradys mendapat suasana baru di negara itu. Paradys selama
itu mengenal negara Portugis dalam tingkat ilmu pengetahuannya sudah maju,
dalam bidang teknologinya sudah tinggi. Ia masuk salah satu pendidikan sekolah
pelayaran dibawah pimpinan Colombus sampai tamat. Paradys berkeinginan
menjadi pelaut. Pada abad ke 16 teknik pelayaran orang barat memang lebih
berkembang daripada pelayaran kita di Indonesia. Kapal mereka lebih besar dan
perlengkapannya lebih maju. Pada waktu uji coba dalam ilmu pelayaran dengan
sebuah kapal portugis, Paradys jadi nahkodanya. Seorang nahkoda yang
berpengalaman dapat menentukan lokasinya dan membawa kapalnya ke tujuan
dengan selamat. Untuk menentukan lokasi arah pelayarannya, Paradys
menggunakan tanda-tanda yang sudah disediakan oleh alam, sperti pulau,
gunung, tanjung, teluk dan sebagainya. Dalam pelyaran uji coba ini Paradys juga
berpegang pada bintang di langit pada malam hari dan mengenai gugusan
bintang seperti orang tua dahulu disebut bintang wayang, biduk, waluku dan
sebagainya. Paradys juga dalam ilmu Pelayaran dapat mengenal dua musim yang
dipengaruhi oleh bintang sawakoi (orion) dan romng wandi (scorpio).
Paradys bersama empat orang awak kapalnya berlayar menuju Indonesia
dengan menggunakan pedoman atau kompas dan peta. Kapal yang berlayar
mempunyai banyak urusan, karena itu nahkoda kapal mempunyai kekuasaan
yang sangat besar. Seolah olah nahkoda itu pengganti Raja di lautan. Tentu
nahkoda kapal seseorang yang berwibawa dan bijaksana serta harus menjaga
tata tertib. Paradys sebagai nahkoda bertanggung jawab atas keselamatan
pelayaran, dan mengetahui tentang barang yang dibeli dan dijual dan ia pula
yang mengurus uang masuk dan uang keluar. Seorang nahkoda ada golongan
pembantu nahkoda adalah juru mudi, juru batu dan mualim. Juru mudi
bertanggung jawab atas jangkar, ia harus menjaga supaya kapalnya tidak
sampai menabrak batu karang.
Pada tahun 1511 kapal paradys tiba di pelabuhan Bannada. Benteng
pertahanan kerajaan Bannada di gunung sara, tempat kerajaan berada di
gunung Tanna, yang disebut piatu (ngara). Paradys turun dari kapal menuju
tempat itu. Pada zaman itu pemimpin kerajaan ialah Ratu Tallaunge. Kapal
Paradys disangka kapal musuh yang mengganggu keamanan dan ketentraman
rakyat. Paradys tiba di tempat pasukan kerajaan di Gunung Sara, disambut
dengan teriakan PORO, dan Pasukan kerajaan di gunung Tannau menyambut
lagi dengan teriakan DISSA. Ia berjalan terus melewati pasukan barisan depan
tidak berdaya apa-apa. Paradys tiba ditempat kerajaan, memperlihatkan sebuah
peta kerajaan Bannada. Ratu Tallaunge mengenal bahwa Paradys adalah anak
kerajaan atau anak kandungnya. Ratu Tallaunge mengadakan upacara untuk
memberi nama kepada anaknya PORODISSA. Jadi nama Paradys diberi gelar
PORO-DISSA adalah Porodisa II dan di beri gelar RATU. Ratu Tallaunge
menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Porodissa II untuk menduduki tahta
kerajaan Bannada.
Ratu Porodissa II berkuasa memegang tanggung jawab penud dalam
memimpin kerajaan dan dia menciptakan hukum adat. Kata adat adalah Allah
dalam tubuh, yangberarti kuasa HENGGONA dalam tubuh manusia dan tubuh
manusia adalah bait Allah (Henggona). Tentang hukum adat terdiri dari dua
huruf yaitu E dan H. E artiya larangan, jangan berbuat segla sesuatau yang
dialarang. H artinya hukum, ialah hukum adat. Jika larangan itu tidak diindahkan
atau sudah melanggar hukum adat, akan dikenakan sangsi hukum adat.
Pada zaman Porodissa II mulai saat itu timbul perlawasan terhadap
Henggona dan terhadap sesama manusia. Ratu Porodissa II berkuasa antara
tahun 1511-1558. Pemerintahannya aman dan sentosa.
Bagian IV
Tegaknya Kekusaan Kerajaan Bannada
Pada Zaman Ratu Porodissa III
Pada pertengahan abad ke 16 tahun 1558 Ratu Porodissa memimpin
kerajaan Bannada, memegang tanggung jawab penuh dalam tahta kerajaan dan
memelihara kerukunan seperti halnya pada zaman buntuan Porodissa I.
Kekuasaan ratu Porodissa III sangat berasa di seluruh pulau-pulau talaud.
Perkembangan penduduk pada zaman itu masih sangat kurang jauh dibanding
dengan penduduk talaud seperti sekarang. Selama pemerintahan Ratu Porodisso
III berkuasa, rakyatnya aman, tenteram dan sentosa. Kemajuan kehidupan
rakyat talaud pada waktu itu maish kental sekali rasa kelompok kesukuan. Di
pesisir pantai terdapat perkampungan rakyat dan sebagian rakyat masih tinggal
di pegunungan. Bangunan rumah rakyat dibuat dari kayu dan bambu, atapnya
dari daun rumbia. Kebanyakan bangunan rumah berdiri diatas tiang, gunanya
untuk keamanan binatang buas dan bahaya banjir. Pada zaman itu sarana
perhubungan masih terbatas, dengan melalui darat dan melalui air yang sungai
dan laut. Pada zaman ratu porodissa III untuk mengunjungi wilayah kerajaan
menggunakan perahu terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan layar. Dahulu
terkenal dengan perahu Lesung dan perahu papan. Perahu Lesung terdiri dari
satu batang kayu yang dikeruh dalamnya, sehingga berbentuk seperti lesung.
Cara pembuatan perahu lesung lebih tua dari perahu papan. Perahu papan tidak
terdiri dari satu batang pohon, tetapi terdiri dari banyak papan. Pada zaman
dahulu, ahli perkapalan belum mengenal sekrup, baut atau paku logam. Mereka
menggunakan pena kayu atau pasak untuk menempelkan papan-papan, malahan
cara ini lebih baik karena pasak kayu tidak akan berkarat. Di kepulauan Talaud
pada waktu itu dengan menggunakan perahu-perahu hubungan antar pulau
dapat terjangkau. Di tanah air kepulauan Talaud terdapat pula banyak bahasa.
Masyarakat di tepi pantai lebih banyak memakai atau mengenal bahasa melayu.
Bahasa melayu ini mudah menyerap kata-kata dari bahasa asing kedalam bahasa
melayu, yang sekarang menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Talaud asli mirip juga
atau hampir sama dengan bahasa sangir. Pada waktu dahulu hubungan bahasa
antara manusia kebanyakan secara lisan.
Dahulu desa Bannda menjadi pusat keterampilan pekerjaan kaum wanita
membuat periuk atau peranga dari tanah liat, masyarakatnya masyarakat
pertanian, belum mengenal industry. Pada zaman Ratu Porodissa III, diciptakan
pemerintahan :
1. Ratu, disamping ratu disebut Pangataseng yaitu kepala pasukan
(panglima perang)
2. Inganu Wanua = Mangku Bumi II
3. Ratu ruangan = Kepala Suku
4. Marinu = menerima semua peraturan-peraturan dari ratu unutk
disampaikan unutk seluruh rakyat
Kehidupan rakyat Talaud pada zaman Ratu Porodissa III, sebagai wujud
kekusasaan :
1. Pemerintahannya dapat dipersatukan
2. Sejarah dan kebudayaannya belum juga dapat dipersatukan
3. Begitu juga soal bahasa, yatitu bahan Talaud, masih sangat sukar dan
berbeda-beda menurut dialeg bahsa masing-masing
4. Menegenai hokum adat istiadat pada waktu itu belum juga dapat
dipersatukan sampai sekarang
Dalam kedudukan sebagai Ratu Porodissa III selama berkuasa dalam
wilayah kerajaan Bannda, bersimpati kepada rakyatnya dan terus menciptakan
persatuan dan kesatuan dari pulau Miangas, Pulau Karakelang, Pulau Salibabu,
Pulau Kabaruan dan mencakup sampai pulau-pulau Nanusa. Dalam ungkapan
bahasa Talaud sebagai berikut
DOEN SUPATIWA – SUPARORONE
PAPIAGE SARA TINONDA
ABUWUNE SARA NAPOMBARU
NANANTA WUAN SARA LODA BATU NAPATO
NATALIMPU RINGIDE SAMBUA
MAPARARISTU ARARATUANI PORODISA
Kemudian kekuasaan Ratu Porodissa III berakhir dan diganti oleh Ratu
Porodissa IV yang memerintah dari tahun 1633-1825.
Bagian V
Keadaan Talaud Zaman Ratu Porodiisa IV
Meskipun Kampung (Desa) Bannada merupakan salah satu bekas
kerajaan yang tertua di kepulauan Talaud, tetapi karena kurangnya penduduk,
belum begitu padat menjadi alas an mengapa perkembangan tidak dapat
berjalan dengan cepat. Kekusaaannya yang dahulu dari zaman Buntun Porodissa
I sampai Ratu Porodissa IV sangat terasa diseluruh pelosok tanah air pulau-pulau
Talaud. Suatu masyarakat memerlukan ketenteraman dan keamanan supaya
dapat hidup, bekerja, melakukan tugasnya dengan baik dan selamat. Unutk
diperlukan pimpinan yang tepat yang menyebabkan masyarakat merasa
terjamin. Pada zaman dahulu pimpinan itu berwujud Raja yaitu Ratu Porodissa.
Masyarakat menganggap raja itu keturunan keluarag yang terpilih. Karena itu
rakyat patuh kepada Raja. Tetapi tidak semua orang menjadi raja, tetapi mesti
berasal dari keturunan Raja juga. Dengan demikian masyarakat akan tenang,
karena tidak setiap kali mengalami perselisihan tentang pergantian raja.
Seperti halnya pada zaman kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, seringkali
bersengketa satu sama lain, maupun berbagai tokoh didalam masing-masing
kerajaan itu. Saling dongkel-mendongkel, sangat mudah bagi kaum imperialisme
asing manapun dating untuk mengadakan politk adu dombanya. Dan pada
akhirnya menambah pengaruh yang buruk, bahkan kekuasaan mereka dalam
urusan kerajaan-kerajaan itu terhalang. Mendekati pertengahan abad 18 yaitu
tahun 1752 terjadi pergeseran suatu wilayah kekuasaan. Sebuah kapal ekspedisi
kompeni belanda datang di Desa Bannada unutk mengadakan perundingan
paksa dengan Ratu Porodissa IV dan tak ada perlawanan waktu itu. Meskipun
kerajaan Bannada mempunyai wilayah yang sangat luas, dari Tinnoda sampai
Napombalu mencakup sampai pulau-pulauu Nanusa, tetapi akibat politik
Kolonialisme belanda ingin memecah belah persatuan, dengan mudah mereka
menguasai wilayah pulau-pulau Talaud. Sebaliknya Kekuasaan ratu Bannda yang
sangat luas wilayahnya dipersempit lagi hingga tinggal 24 Desa yaitu dari DEsa
Sambuara dampai Desa Tabang. Dalam ungkapan Bahasa Talaud :
ETE NIOSSO OSSO UTITA
NIAU AU UPARENTA
TATAALLUTAMPANE SUANTUPAN
ETE WOWA SU WATU WAHEWA (SAMBUARA)
SUSABANGEN TATAALLE DOSO SU TOADUWATTA
Kekuasaan Ratu Porodissa IV dari Desa Sambuara seblah barat dan
sampai desa Tabang bagian timur. Maka berakhirlah kekuasaan pemerintahan
Ratu Porodissa IV dan wafat pada tahun 1825. Kemudian diganti oleh Ratu
Porodissa V.
Bagian VI
Raja Porodissa v dan Ratu Tappa ( Tappa Bannada)
Berakhirlah kekuasaan Ratu Porodissa IV dan sebagai penggantinya Raja
Porodissa V yang berkuasa dalam kerajaan Bannada dari tahun 1825 sampai
tahun 1942. Masyarakat dalam suatu kerajaan terdiri dari berjenis-jenis
kelompok, ada kelompok memnurut suku dapaula yang menurut kepercayaan
dan ada juga yang menurut rukun keluarga. Pada zaman dahulu kelompok atau
golongan dalam masyarakat tidak luas seperti sekarang. Dahulu jumlah manusia
belum banyak, masyarakat dalam kerajaan kita umumnya masyarakat pertanian
dan perdagangan dan belum mengenal industry. Pada waktu itu dan sampai
sekarang kota lirung dan Beo merupakan gerbang kepulauan Talaud yang
menjadi pusat kota perdagangan. Banyak kapal-kapal berdatangan dan berlabuh
di kota itu. Pasar dari dua kota itu terlihat Ramai dengan para pedagang yang
berjual beli. Perdagangan itu membawa keuntungan yang menyebabkan
kepualauan Talaud berkembang dengan pesat. Pengaruhnya meluas hingga
terasa di seluruh pelosok pedesaan. Pada waktu itu pemakaian uang logam
sudah dikenal. Masyarakat pada zaman Raja Porodissa V masih kuat diatur oleh
adat dan agama. Agama Kristen masuk di tanah air kepulauan talaud pada
tanggal 1 Oktober 1859. Mulai sejak itu injil disebar luaskan di kepulauan talaud,
dengan 4 orang missioner dari tanah belanda antara lain
- TOCHMAN, berkedudukan di Beo
- RICHTER, berkedudukan di Rainis
- VANNEZEN, berkedudukan di Salibabu
- NUCHTER, berkedudukan di Mangaran
Dari semua pelosok penduduk Talaud pemeluk agama Kristen. Bangunan
gereja merupakan pusat peribadatan. Pada zaman Porodissa V berkuasa,
muncullah suatu tragedy yang tidak dapat dihindarkan. Pada tanggal 23 Juli 1895
datanglah di pelabuhan Arangkan sebuah kapal perang belanda yang dilengkapi
dengan senjata modern seperti meriam dan senapan serta para prajurit dengan
diiringi seratus lima buah perahu yang memuat orang-orang kuiat dengan
persenjataannya.
Kampung Arangka ada seorang Pangatasen Raja Larenggam yang tidak
mau menyerah dan tidak mau tunduk pada peraturan penjajah belanda. Suatu
penyerangan kampong arangka oleh penjajah belandayang diatur dan dikoordinir
oleh pemerintah belanda dari Lirong. Pangatasen raja Larenggam dipanngil naik
ke kapal unutk berunding, tetapi raja Larenggam tidak mau yang menolak.
Setelah menerima laporan dari dua utusan pemerintah belanda, bahwa Raja
Larenggam tetap menolak. Dentaman meriam sampai beberapa kali kea rah
gunung arangkitu memanggil Raja Larenggam, tetapi sang raja tak kunjung
datang.
Iring-iringan perahu diperintahkan mendarat dan terjadilah pertempuran
yang hebat berlangsung. Raja Larenggam memimpin langsung pasukan
tentaranya mengadakan perlawanan yang sengit dengan memakai alat senjata
kuno, yaitu pedang, elung dan tumbak. Raja larenggam terkena tembakan di
tangan kirinya. Beberapa anggota pasukannya dengan segera mebawa Raja
Larenggam ke rumahnya. Sementara pertempuran berlangsung, banyak yang
gugur, salah seorang anggota perwira Pasukan Raja Larenggam bernama
MAYAMPO terkena tembakan dan menghembukan nafas terakhirnya di tepi
pantai Arangkaa.
Pasukan belanda mengepung rumah raja Larenggam serta pasukan
belanda berkata “ Ayo ikut ke Kapal!”. Tapi dengan tegas Raja Larenggam
berkata “biar larenggam menjadi abu sekalipun aku tidak akan mundur dan
menyerah kepada penjajah, mati ya mati.” Dengan tembakan sebuah peluru dari
pasukan belanda menembus dahi Raja Larenggam, pada saat itulah Raja
Larenggam gugur sebagai pahlawan bangsa unutk mempertahankan kehormatan
ibu pertiwi. Mayat Raja Larenggam dibakar bersama rumahnya. Pasukan
penjajah belanda membakar seluruh rumah – rumah rakyat. Si jago merah
mengamuk, hancurlah kampong arangka di saat itu. Semua rakyat lari
mengungsi mencari perlindungan di gunung-gung dan gua-gua. Pasukan
penjajah belanda datang di Taruan-Bunne. Kampong Taruan-Bunne semakin
mempersiapkan diri unutk bertempur dengan tekad, tetapi rencana belanda yang
berkobar-kobar gagal karena prajuritnya tidak mengikuti perintah tentang
belanda. Pasukan penjajah belanda sore harinya datang di kampong taturan.
Dan dua orang tokoh masyarakat yaitu Lambertus dan Timbangunusa.
Lambertus kemudian dibuang ke Timur Kupang dan Panaha Timbangunusa di
buang ke ambon.
Pada waktu itu masyarakat dari lima desa yakni Arangka, Taruan, Bunne,
Taturan, Gemeh terdorong oleh semangat putus harapan terbunuhnya Raja
Larenggam oleh tindakan penjajah Belanda, yang sebenarnya oleh sejarah
Indonesia peristiwa ini menjadi suatu lembaran sejarah di dalam sejarah perang
Arangka.
Meskipun raja Porodissa sudah tua, sebelum masuk dalam perhentiannya
raja mengadakan upacara serah terima kepada pemangku adat ialah Ratu tappa
yang disebut Tappa Bannada. Kekuasaan ratu Tappa tetap masih dibudayakan
dan dilestarikan sampai sekarang. Tidak berapa lama kemudian berakhirlah
kekuasaan kerajaan Bannada. Porodissa V wafat pada tanggal 5 oktober 1942
pada usia 152 tahun.
Demikian cerita rakyat yang berasal dari desa Bannada tentang asalah
usul leluhur Talaud Porodissa.