bab iii pemikiran al-ghazali tentang taubat a....

27
54 BAB III PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG TAUBAT A. Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Karya-karyanya 1. Riwayat hidup al-Ghazali Nama asli al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazalah Thus, suatu kota di Khurasan Persia (Ahmad, 1975: 27). Sesudah ia berumah tangga mendapat putra laki-laki yang bernama Hamid, sehingga ia dipanggil dengan sebutan Abu Hamid (bapak Hamid). Karena pengetahuannya yang luas beliau mendapat gelar Hujjah al-Islam (Zainuddin dkk, 1991: 7). Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dua z). hal ini karena kata itu berasal dari ghazzal yang artinya tukang pintal benang wol, karena pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang wol. Sedangkan al-Ghazali (dengan satu z) diambil dari kata ghazzalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali. Dari dua pendapat tersebut yang terakhirlah yang banyak dipakai (Poerwantana dan Ahmadi Rosali, 1998: 166). Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasihat kepada umatnya (Zainuddin, 1991: 7).

Upload: trinhthuy

Post on 15-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

54

BAB III

PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG TAUBAT

A. Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Karya-karyanya

1. Riwayat hidup al-Ghazali

Nama asli al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin

Muhammad bin Ahmad. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazalah

Thus, suatu kota di Khurasan Persia (Ahmad, 1975: 27). Sesudah ia

berumah tangga mendapat putra laki-laki yang bernama Hamid, sehingga

ia dipanggil dengan sebutan Abu Hamid (bapak Hamid). Karena

pengetahuannya yang luas beliau mendapat gelar Hujjah al-Islam

(Zainuddin dkk, 1991: 7).

Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dua z).

hal ini karena kata itu berasal dari ghazzal yang artinya tukang pintal

benang wol, karena pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang

wol. Sedangkan al-Ghazali (dengan satu z) diambil dari kata ghazzalah,

nama kampung kelahiran al-Ghazali. Dari dua pendapat tersebut yang

terakhirlah yang banyak dipakai (Poerwantana dan Ahmadi Rosali, 1998:

166). Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana sebagai pemintal

benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti

terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya

menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasihat kepada umatnya (Zainuddin,

1991: 7).

55

Al-Ghazali mempelajari banyak ilmu. Beliau mempelajari ilmu

fiqh dari Ahmad al-Radzkani dan Abu Nas al-Ismaili. Beliau belajar

tasawuf pada Yusuf al-Nassaj, dan belajar beberapa disiplin ilmu pada al-

Juwaini, yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain. Dari al-juwaini

tersebut ia belajar ilmu teologi, dialektika, sains kealaman, filsafat dan

logika. Semua disiplin ilmu tersebut beliau kuasai dalam waktu yang

relatif singkat (Al-Quasem dan A. Kamil, 1975: 3-7).

Setelah al-Juwaini wafat, pengembaraan intelektual al-Ghazali

dilanjutkan ke daerah Muaskar dan bergabung dengan para intelektual di

sana dalam majelis seminar yang didirikan oleh Nizam al-Mulk. Setelah

melihat kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki al-Ghazali, analisis

dan argumentasi yang dikemukakannya, Nizam al-Mulk tertarik untuk

mengangkat al-Ghazali sebagai guru besar di Perguruan tinggi Nizamiah

(Al-Quasem dan A. Kamil, 1975: 71-72).

Ia melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga banyak para

penuntut ilmu memadati halaqahnya. Namanya menjadi lebih dikenal di

kawasan itu, kareana berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya. Di

samping mengajar, al-Ghazali juga menulis tentang fiqh, serta beberapa

kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran-aliran bathiniah, isma’iliah,

dan falsafah (Poerwantana dan Ahmadi Rosali, 1998: 166).

Pada tahun 488 H/1095 M. al-Ghazali dilanda keragu-raguan

skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, dan

filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya,

56

sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena

itu al-Ghazali tidak dapat menjalani tugasnya sebagai guru besar di

madrasah Nizamiah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad dan menuju kota

Damaskus selama kira-kira dua setengah tahun. Di kota ini ia melakukan

uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis

Palestina untuk melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam

Rasululah SAW. Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali mengunjungi kota

kelahirannya yaitu Thus. Di sini ia tetap berkhalwat, keadaan skeptis al-

Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis

karyanya yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulum al-Din (menghidupkan kembali

ilmu-ilmu agama).

Karena desakan penguasa Saljuk, al-Ghazali mengajar kembali

pada madrasah Nizamiyah di Nisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2

tahun. Kemudian ia kembali ke Thus (untuk mendirikan madrasah bagi

para fuqaha dan sebuah zawiyah atau halaqah untuk para mutasawifin).

Dikota inilah ia wafat tahun 505 H/1111 M (Jaelani, 2000: 26).

2. Karya-karya al-Ghazali

Seperti lazimnya para ilmuwan dan ruhaniawan klasik lainnya,

pandangan-pandangan al-ghazali pun mencakup berbagai ilmu

pengetahuan yang ada pada zamannya serta mengemukakan asas-asas

ilmiah yang tetap menarik perhatian para ilmuwan modern dan ahli agama

generasi kemudian yang menjadikannya sebagai bahan kajian. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa karya-karya al-Ghazali bersifat

57

komprehensif dan mendasar, serta belum memisahkan secara tegas antara

agama dengan filsafat dan sains. Namun demikian harus diakui selama

hampir seribu tahun pandangan-pandangan beliau, terutama Ihya

‘Ulumuddin-nya, tetap popular dan up to date sebagai bahan yang

inspiratif bagi penelaahan para pakar timur dan barat (Bastaman, 1995:

76).

Adapun kitab-kitab karya al-Ghazali di antaranya adalah,

Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filosof), Tahafut al-Falasifah

(kerancuan pikiran para filosof), Mi’yar al-‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu), Ihya

‘Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), Al-Munqidh

Min al-Dhalal (untuk mencapai kepada penyelamatan kesesatan),

Ma’rifah al-Aqliyah (pengetahuan yang rasional), Misykat al-Anwar

(lampu yang bersinar banyak), Minhaj al-Abidin (jalan mengabdi diri

kepada Allah SWT), Ayyuha al-Walad (hai anakku), Al-Mustasyfa

(pilihan), Iljam al-‘Awwam ‘An ‘Ilm al-Kalam (menghalangi orang awam

dari ilmu kalam), Mizan al-Amal (timbangan amal) (Zainuddin, 1991: 19-

21).

B. Pemikiran Al Ghazali Tentang Manusia

Pandangan dan ajaran al-Ghazali mengenai manusia berangkat dari

pemahaman beliau mengenai penciptan manusia, seperti diungkapkan dalam

al-Qur’an :

58

و هتيوفإذا ساجدينس وا لهوحي فقعر فيه من تفخ29(ن(

Artinya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr, 15: 29).

Dari ayat di atas, Bastaman (1995: 77) memberikan penjelasan tentang

ayat tersebut, bahwa peristiwa tersebut mengisyaratkan :

1. Terjadinya proses penggabungan unsur materi yang berasal dari saripati

tanah dengan unsur ruh yang berasal dari Tuhan yang berlangsung pada

saat embrio sudah siap dan matang menerimanya. Dan pada saat

perpaduan ini terjadi, maka terjadilah makhluk baru manusia yang

“meraga-ruhani”, yakni selama ini masih hidup : raganya meruhani, dan

ruhnya meraga. Hanya kematianlah yang memisahkan keduanya.

2. Sekalipun ruh manusia berasal dari Allah SWT. dan bahkan disebut “ruh-

Ku”, tetapi ia bukannya Tuhan ataupun “bagian” dari Tuhan, melainkan

semata-mata ciptaan-Nya yang hubungannya dengan Tuhan sering

dikiaskan sebagai sinar matahari dengan sang surya. Dengan demikian

harus dihapus anggapan bahwa ajaran al-Ghazali mengenai manusia

bercorak phanteisme.

3. Karena ruh berasal dari alam ketuhanan, yakni alam malakut dan alam

amr, maka sifat asli (fitrah) ruh adalah suci dan selalu mencari

pengetahuan tentang Tuhan dan jalan ketuhanan sebagai bekal kembali

lagi kepada-Nya.

59

Menurut al-Ghazali pada hakikatnya manusia itu tersusun dari unsur

materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan

khalifah di bumi. Al-Ghazali menekankan pengertian dan hakikat kejadian

manusia pada rohani atau jiwa manusia itu sendiri. Manusia itu pada

hakikatnya jiwanya, karena dengan jiwa manusia bisa berpikir, berkemauan,

dan berbuat. Tegasnya, jiwa adalah yang menjadi hakekat yang hakiki dari

manusia karena sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati.

Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak

bergantung pada keadaan jiwanya. Karena jiwalah yang pada hakikatnya taat,

durhaka atau ingkar kepada Allah. Jadi unsur jiwa sangat ditekankan al-

Ghazali dalam konsepnya tentang manusia dari unsur badan (materi) (Jaelani,

2000: 26).

Al-Ghazali dalam Bastaman (1995: 78) membahas empat unsur utama

struktur kejiwaan manusia, yakni (al-Qalb), ruh (al-Ruh), akal (al-‘Aql), dan

nafsu (al-Nafs). Menurut al-Ghazali keempat unsur itu masing-masing

memiliki dua arti, yakni arti jasmaniah dan rohaniah.

Pertama, al-Qalb dalam arti jasmani digambarkan al-Ghazali sebagai

segumpal daging berbentuk lonjong seperti buah shanubar yang terletak

dalam rongga dada sebelah kiri yang terus menerus berdetak selama manusia

masih hidup. Al-Qalb dalam artian ini terdapat pada manusia dan juga pada

hewan. Sedangkan kalbu dalam artian rohaniah menurut al-Ghazali adalah

kekuatan atau potensi untuk mengenal dan mengetahui segalanya, serta

60

menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntunan dari Tuhan (Bastaman,

1995: 78).

Al-Qalb dalam arti ini merupakan karunia Tuhan berupa substansi

halus dan indah (latifah al-Rabbaniyah), berasal dari Tuhan dan bersifat

rohaniah. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia yang

berpotensi untuk memiliki daya tangkap atau persepsi, yang mengetahui dan

mengenal yang ditujukan kepada segala pembicaraan dan penilaian dan yang

dikecam dan dimintai pertanggungjawaban (Rahmat, 2000: 205-206).

Menurut para sufi, al-Qalb juga merupakan bagian dari diri yang dapat

menyingkap ilmu-ilmu yang gaib. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa diri

mempunyai dua pasang mata, yaitu mata lahir yang berada di kepala dan mata

batin yang ada di dalam al-Qalb. Karena al-Qalb adalah lathifah yang

mempunyai mata untuk bisa melihat atau menembus hal-hal gaib. Dengan hati

juga Tuhan dapat dilihat. Hati dapat membawa kepada ilmu mukasyafah,

yakni ilmu untuk menyingkap hal-hal gaib (Rahmat, 2000: 206).

Kedua, al-Ruh yang juga mempunyai dua arti. Pertama al-Ruh yang

berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung yang beredar

bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi, dan jantung

sudah berhenti, al-Ruh itu tidak ada. Dengan kata lain al-Ruh itu nyawa bagi

makhluk hidup. Selain itu al-Ruh mempunyai arti yang sama dengan hati,

yaitu lathifah al-Rabaniyah (Rahmat, 2000: 206).

61

Ketiga. Adalah al-‘Aql, yang mempunyai dua makna, yaitu al-‘Aql

sebagai daya pikir atau potensi inteligensi, dan yang kedua al-‘Aql diartikan

sama dengan al-Qalb sebagai lathifah al-Rabaniyah (Bastaman, 1995: 78)

Keempat, al-Nafs yang mempunyai dua arti, pertama adalah nafsu-

nafsu rendah yang erat kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan

agresif (al-ghadhab) dan dorongan erotik (syahwat) yang keduanya dimiliki

oleh hewan dan manusia. Adapun nafsu dalam artian kedua adalah Nafsu

Muthmainnah yang lembut, halus, suci, dan tenang yang diundang oleh Tuhan

sendiri dengan lembutnya untuk masuk ke dalam surga-Nya (QS. Al-Fajr: 27-

28) yang lebih menggambarkan Ruh dan Akal masing-masing mengandung

pengertian fisik-biologis, mental-psikologis, dan spiritual religius. Dalam

artian metafisik keempat unsur tadi semuanya semakna dan tak dibedakan satu

dari lainnya; semua bersifat ruhaniah, suci, mampu mengenali dan memahami

sesuatu, diciptakan Tuhan dengan sifat keka, serta merupakan inti

kemanusiaan yang disebut dengan bermacam-macam nama, antara lain al-

latigah al-ruhaniyyah atau al-latifah al rabbaniyyah (Bastaman, 1995: 78).

Unsur jiwa dalam konsepsi al-Ghazali tentang manusia sama sekali

tidak berarti mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga ia

pentingkan, karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan

kewajibannya beribadat kepada Allah SWT. dan menjadi khalifah di bumi.

Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah SWT. dan beramal

dengan baik di dunia selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang

sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Dengan

62

menghubungkan kehidupan jasmani dan kehidupan dunia, maka dunia akan

menjadi ladang bagi kehidupan akhirat, dan merupakan salah satu faktor

penyebab turunnya hidayah Allah SWT.

Dari deskripsi di atas jelas bahwa jiwa merupakan hakikat, diri, dan

zat manusia karena fungsinya yang besar dalam kehidupan, dan penentu nasib

baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat. Ibarat kerajaan atau

kendaraan, jiwa adalah raja atau pengemudi yang amat menentukan

keselamatan atau kesengsaraan rakyat atau penumpangnya. Sementara

jasmani adalah alat jiwa untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Untuk bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka

diperlukan kriteria-kriteria sebagai berikut :

1. Adanya keseimbangan antara jasmani dan rohani dalam kehidupan

manusia

2. Memiliki ketinggian akhlak dan kesucian jiwa

3. Memiliki ma’rifah dan tauhid kepada Allah SWT.

Orang yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di dalam dirinya

disebut sebagai insan al-Kamil. Menurut al-Ghazali, faktor keseimbangan dan

ketinggian akhlak merupakan kriteria pokok dalam menentukan insan kamil

(Jaelani, 2000: 41). Keseimbangan yang dimaksud al-Ghazali adalah

keseimbangan dalam menggunakan potensi syahwah, ghadab, dan al-‘Aql.

Keseimbangan tersebut membuahkan ketinggian akhlak dan kesucian jiwa.

Ketinggian akhlak dan kesucian jiwa merupakan modal untuk mencapai

ma’rifah dan tauhid kepada Allah SWT.

63

C. Pemikiran Al Ghazali Tentang Taubat

1. Hakikat taubat

a. Pengertian taubat

Taubat merupakan pengertian yang tersusun dari tiga perkara,

yaitu ilmu, keadaan, dan perbuatan. Yang pertama menjadi penyebab

bagi timbulnya yang kedua, dan yang kedua menimbulkan yang ketiga

(Al-Ghazali, 1983: 3). Artinya jika seseorang bertaubat, tentu

memiliki ilmu, dalam hal ini adalah iman dan yakin, karena iman

merupakan suatu pengertian yang membenarkan bahwa dosa adalah

suatu hal yang merusakkan. Jikalau dalam hati telah menyala api

penyesalan, maka ia akan merasa sedih, sebab dengan cahaya iman itu

ia mengetahui bahwa di hatinya terhijab dari yang dicintainya.

b. Kewajiban taubat

Telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa taubat

wajib dilakukan oleh setiap orang. Hal ini dapat dilihat dari ayat dan

hadits di bawah ini :

ياأيها الذين ءامنوا توبوا إلى الله توبة نصوحا

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. (QS. At-Tahrim, 66: 8).

64

إن الله يحب التوابني ويحب المتطهرين

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al-Baqarah, 2: 222).

Taubat hendaklah dilakukan dengan segera, artinya jika telah

mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan hal yang

dilarang oleh Allah, maka hukum taubat adalah wajib dan harus segera

dilaksanakan (Al-Ghazali, 1983:15 ).

Seseorang dikatakan telah melaksanakan kewajiban bertaubat,

apabila telah mengetahui dan menyadari, yang kemudian dengan

kesadarannya itu menyebabkan dirinya menghindarkan barang-barang

yang terlarang. Kesadaran demikian bukanlah termasuk ilmu

mukasyafat yang tidak ada hubungannya dengan amal sebaliknya

termasuk ilmu mualamat. Karena setiap ilmu dimaksudkan agar

menjadi pendorong bagi seseorang untuk beramal, maka seseorang

yang berilmu belum lepas tanggungannya selama ilmunya belum jadi

pendorong baginya untuk berbuat sesuatu amal (Al-Ghazali, 1983

:16).

Seseorang tidaklah akan pernah lepas dari kewajiban

bertaubat, karena telah jelas Allah berfirman kepada manusia :

وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون

Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur, 24: 31).

65

Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa arti taubat adalah

kembali dari jalan yang menjauhkan dari Allah dan mendekat kepada

syetan menuju jalan yang Allah ridhai.

Al-Ghazali memberikan pengertian, bahwa seseorang

bertaubat juga tidak lepas dari adanya petunjuk hati nurani. Artinya

naluri (gharizah) dan akal tidak bisa sempurna kecuali sesudah

sempurnanya syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya yang

menjadi senjata syaitan untuk menyesatkan para manusia. Namun jika

akal telah sempurna dan kuat, maka akan mudah mematahkan bujuk

rayu syetan untuk dibawa ke arah ibadat. Inilah makna taubat, yaitu

kembali dari jalan yang berdalilkan syahwat dan berimankan syaitan,

menuju ke jalan Allah SWT (Al-Ghazali, 1983: 20).

Jadi dengan demikian, maka semua orang dewasa dalam

keadaan kafir dan bodoh, ia wajib baginya untuk bertaubat dan

kembali dari kebodohan serta kekufuran.

Kewajiban bertaubat memang harus dilaksanakan terus

menerus (istiqomah) dan setiap waktu, artinya setiap pribadi manusia

tidak akan sunyi dari kemaksiatan anggota-anggota badannya, sebab

para nabipun tidak sunyi dari padanya pula. Oleh karena itu al-Quran

dan khabar-khabarnya telah menceritakan kesalahan para Nabi, dan

hal taubat serta ratapan mereka terhadap kesalahan-kesalahan itu (Al-

Ghazali, 1983: 21).

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

66

رواه (واهللا انى الستغفراهللا واتوب اليه فى اليوم أكثرمن سبعني مرة

)البخاري عن اىب هريرة

Artinya : “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar selalu

membaca istighfar dan bertaubat kepada Allah tiap hari, lebih dari tujuh puluh kali”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA.)

Dari sabda Nabi di atas bisa di ambil penjelasan, bahwa jika

Nabi Muhammad SAW. mempunyai sikap seperti tersebut, bagaimana

dengan manusia biasa yang telah jelas tidak mendapatkan jaminan dari

Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya :

رأخا تمو بكذن من مقدا تم الله لك فرغلي

Artinya : “Untuk Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus”. (QS. Al-Fath, 48: 2).

c. Syarat di kabulkannya taubat

Orang-orang yang bisa melihat dengan cahaya hati nuraninya

yang diterangi al-Qur’an, merakalah orang-orang yang diterima di sisi

Allah dan berbahagia. Dan mereka tahu bahwasanya hati pada asalnya

dijadikan dengan selamat, hal ini dapat diketahui bahwa setiap anak

dilahirkan dalam keadaan suci. Hanya saja kesucian itu bisa keruh dan

kotor akibat noda dan dosa.

Diterimanya taubat merupakan suatu karunia dari Allah SWT.,

maka orang yang tidak mampu mengetahui dengan pasti, bahwa hati

itu bisa dipegaruhi maksiat dan taat yang dipengaruhi itu bertentangan,

67

maka seolah-olah agamanya baginya hanyalah kulit dan nama belaka,

sedangkan dihatinya ada tutup tebal yang menghalanginya mengetahui

hakikat agamanya, bahkan hakikat, sifat dan kebodohan dirinya

sendiri. Oleh karena itu oleh al-Ghazali (1983: 30) dikatakan“barang

siapa meragukan tidak diterimanya taubat yang memenuhi syarat,

maka sama halnya meragukan bisanya cahaya matahari mengusir

kegelapan”. Artinya bahwa taubat bisa diterima Allah jika syarat-

syarat dilaksanakan.

Sebagaimana firman Allah SWT :

وهو الذي يقبل التوبة عن عباده ويعفو عن السيئات

Artinya : “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan…”. (QS. Asy-Syuura, 42: 25).

Adapun syarat-syarat taubat menurut al-Ghazali ada 4 (empat)

di antara adalah sebagai berikut :

1. Meninggalkan dengan sekuat hati dan sekuat azam, berarti tidak

akan kembali mengerjakan hal-hal seperti itu sama sekali.

2. Menghentikan dan meninggalkan semua dosa yang dikerjakan

sebelum ia taubat, karena jika tidak melaksanakan dosa seperti

yang lalu namanya itu adalah menjaga, bukan taubat.

3. Bahwa dosa yang dilakukannya itu harus setimpal dengan dosa

yang ditinggalkannya sekarang. Contoh seorang pencuri, maka ia

harus meninggalkan perbuatan mencuri tersebut.

68

4. Harus meninggalkannya karena mengagungkan Allah SWT. bukan

takut karena apa-apa, tetapi dimurkai Allah SWT. dan takut

hukumannya yang pedih (Al-Ghazali, 1983: 52-53).

2. Masalah Dosa

Taubat adalah meninggalkan dosa, maka dalam pembahasan

tentang taubat tidak mungkin lepas dari pengertian dosa itu sendiri. Dalam

hal ini yang dinamakan dosa adalah semua yang menyalahi perintah Allah

SWT. baik tentang maninggalkan sesuatu atau memperbuatnya (Al-

Ghazali, 1983: 36).

a) Sifat dosa

1) Sifat ketuhanan (rububiyah)

Sifat ketuhanan adalah seperti sombong, bermegah-

megahan, berkepala besar, gila pujian, sanjungan, kemuliaan dan

kekayaan, senang kekekalan, berusaha mengatasi atau

mengendalikan orang-orang lain, sehingga seolah-olah ia

mengatakan : “sayalah Tuhanmu yang Maha Tinggi”

2) Sifat kesyaitanan (syaithaniyah)

Sifat kesyaitanan yaitu seperti timbul sifat-sifat dengki,

penyelewengan, penipuan, merintahkan kerusakan dan

kemungkaran, termasuk pula ke dalamnya penipuan, kemunafikan,

mengajak kepada kesesatan, dan kebid’ahan.

3) Sifat kebinatangan (bahimiyah)

69

Sifat kebinatangan adalah dosa yang dari padanya timbul

sifat keinginan kuat untuk memenuhi tuntutan syahwat perut dan

kelamin. Dari sini timbullah perzinaan dan liwat (zina lewat

dubur). Pencurian, memakan harta anak yatim, dan mengumpulkan

harta demi kepentingan syahwat.

4) Sifat keserigalaan (sabu’iyah)

Sifat keserigalaan, yang daripadanya akan timbul sifat

marah, dengki dan menghancurkan orang lain, baik dengan

memaki, memukul, membunuh ataupun merusakkan hartanya (Al-

Ghazali, 1983: 37).

Sifat-sifat dosa di atas merupakan induk dan pangkal berbagai

dosa, karena dari padanyalah timbul dosa-dosa yang disalurkan lewat

anggota badan manusia. Sebagian khusus di hati seperti kufur,

kebid’ahan, kemunafikan, dan berniat jahat terhadap manusia.

Sebagian tersalur kepada mata dan telinga, sebagian kepada lidah,

sebagian kepada perut dan kelamin, sebagian kepada kedua tangan dan

kaki, dan sebagian lainnya kepada seluruh badan (Al-Ghazali, 1983:

37).

b) Jenis dosa

1) Dosa antara manusia dengan Allah SWT

Dosa yang kedudukannya terletak antara manusia dengan

Tuhan asalkan tidak berbentuk syirik, bisa diharapkan dan dekat

sekali dimaafkan-Nya.

70

2) Dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat

Dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat yaitu

seperti meninggalkan zakat, membunuh jiwa orang

menyelewengkan harta, mencela kehormatan orang lain, setiap

perebutan dari hak orang lain baik berupa jiwa, anggota badan,

harta, kehormatan, agama, ataupun kedudukan. Juga setiap

perampasan agama, baik dengan cara mengajak kepada

kebid’ahan, melangsungkan kemaksiatan, ataupun sengaja

mengobarkan hal-hal yang menyebabkan menentang Allah SWT.

3) Dosa yang berhubungan dengan manusia itu sendiri

Dosa yang berhubungan dengan manusia ini diperoleh

karena meninggalkan perintah Allah seperti meninggalkan shalat,

puasa dan kewajiban-kewajiban yang khusus baginya (Al-Ghazali,

1983: 38).

c) Dosa kecil dan dosa besar

Suatu dosa bisa dikatakan besar jika dipandang dari segi dosa

lain yang lebih kecil. Bisa pula dikatakan dosa kecil bila ditinjau dari

dosa yang lebih besar. Misalnya seseorang yang bertidur-tiduran

dengan jenis lain yang bukan mahramnya adalah dosa besar,

dibandingkan dengan memandangnya saja. Bisa pula dikatakan dosa

kecil dibandingkan dengan berbuat zina dengannya. Seseorang yang

memotong tangan orang muslim lain adalah berdosa besar

dibandingkan dengan perbuatan memukul. Bisa dikatakan berdosa

71

kecil dibandingkan dengan perbuatan membunuh (Al-Ghazali, 1983:

41).

Memang seseorang boleh memutlakan bahwa setiap perbuatan

yang diancam dengan api neraka adalah dosa besar. Boleh mengatakan

besar itu sebab siksa api neraka itu adalah dahsyat. Boleh pula

memutlakkan bahwa setiap perbuatan yang mewajibkan siksa atau

hukuman dunia adalah dosa besar (Al-Ghazali, 1983: 42).

Sebagaimana dalam firman Allah

من كسب سيئة وأحاطت به خطيئته فأولئك أصحاب النار هم فيها )81(خالدون

Artinya : “Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah, 2: 81).

Firman Allah pula :

مإال اللم احشالفواإلثم و ائرون كبنبتجي الذين

Artinya : “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil “. (QS. An-Najm, 53: 32).

d) Hal yang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam dosa

Peranan taubat dalam mencegah gangguan kejiwaan terletak

pada usaha orang yang bertaubat untuk meghindarkan dirinya dari

dosa-dosa lahir dan batin serta pengaruh-pengaruh dosanya pada masa

yang lalu. Dalam hal ini al-Ghazali (1983: 135-137) menerangkan

72

tentang sebab-sebab seseorang jatuh ke dalam dosa adalah sebagai

berikut :

Pertama, sebab siksa yang diancamkannya itu tidak kelihatan

dan tidak datang seketika. Sedang watak dari nafsu adalah lebih

tertarik kepada hal-hal yang sekarang dari pada yang akan datang.

Maka perhatian kepada hukuman yang sekarang daripada hukuman

yang akan datang itu kurang dibandingkan dengan perhatiannya

kepada apa yang terjadi masa sekarang.

Kedua, sebab kelezatan syahwat yang mendorong itu

terlaksana seketika dan terjadi pada waktu itu juga. Hal ini bisa

bertambah kuat kalau jadi kebiasaan. Sedang menghindari kelezatan

sekarang karena takut siksa masa datang adalah berat bagi nafsu.

Ketiga, hampir-hampir tidak ada seorang mu’min berbuat dosa

yang tidak berazam (berniat) berbuat taubat dan menghapus

keburukannya itu dengan kebaikan. Hanya saja angan-angan yang

melantur-lantur bisa mengalahkan hal itu, sehingga tiada henti-

hentinya taubat dan penghapusan itu tertunda. Malahan karena

harapan pertolongan diterima taubatnya inilah yang kadang-kadang

justeru mendorongnya berbuat dosa, walaupun iman tetap ada

padanya.

Keempat, hampir-hampir setiap mu’min yang percaya,

semuanya beranggapan bahwa tidak ada dosa yang secara pasti

mewajibkan siksa yang tak mungkin terampunkan lagi. Ia berbuat

73

dosa dan mengharapkan ampunan atas dosanya itu dengan

mengandalkan kemurahan Allah, hal inilah yang mengakibatkan

seseorang terus menerus berkecimpung di dalam dosa, padahal pokok

iman tetap ada padanya.

Kelima, yaitu meragukan akan kebenaran Rasulullah SAW.

dan inilah yang menyebabkan kufur. Sama halnya seperti orang sakit

yang dilarang dokter memakan yang membahayakan penyakitnya,

namun tetap dimakan.

3. Syarat kesempurnaan taubat

Taubat sebagaimana dijelaskan di atas ialah rasa menyesal yang

diakibatkan oleh kesadaran bahwa maksiat itu bisa menjadi penghalang

antara seseorang dengan Tuhannya. Menyesal dan kembali kepada

Allahpun tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, maka agar

rasa penyesalan semakin kuat dan yakin bahwa Allah akan menerima

taubatnya, maka dalam hal ini perlu dijelaskan tentang syarat

kesempurnaan taubat.

Adapun syarat kesempurnaan taubat yang diungkapkan al-Ghazali

adalah sebagai berikut :

a) Sikap yang dilakukan orang yang bertaubat benar-benar menyesal

akan perbuatan dosa yang telah dilakukannya, karena penyesalan yang

dalam bisa menghapus dosa.

74

b) Orang yang bertaubat merasakan dosa terasa pahit bukan manis seperti

sebelumnya, maka rasa condong kepada kemaksiatan berganti benci

dan rasa tertarik berganti menjauhi.

c) Bertaubat bukan sesaat, namun taubat yang dilakukan hendaklah

berlangsung sampai mati.

d) Selalu timbul dari dalam hatinya rasa penyesalan dan selalu ada hasrat

untuk memperbaiki diri, baik yang berhubungan dengan waktu

lampau, sekarang, maupun yang akan datang.

e) Memperbanyak fikiran tentang nikmat-nikmat akhirat, agar semakin

bertambah rindu kepada Allah SWT (Al-Ghazali, 1983: 79-99).

4. Pentingnya dakwah dari para ‘alim ulama’ tentang taubat

Al-Ghazali dalam hal ini menyatakan, bahwa orang yang berhak

berdakwah pada masalah taubat adalah para ulama’ yang menjadi pewaris

para nabi. Maka seorang pelaku maksiat yang menyadari kemaksiatannya

wajiblah baginya mencari seorang ‘alim agama. Andaikata ia tidak

menyadari bahwa perbuatannya itu adalah berdosa, maka orang ‘alim

itulah yang harus memberitahukan hal itu kepadanya. Dengan demikian

sikap orang ‘alim, baik di desa, kota, masjid ataupun dimanapun mereka

berada. Ia harus mengajarkan agama kepada penghuni tempat-tempat itu,

menunjukkan perbedaan antara yang bermanfaat bagi mereka, serta

menerangkan mana yang membahayakan dan mana pula yang

membahagiakan mereka.

75

Oleh karena itu sikap para da’i (‘alim ‘ulama) menurut pandangan

al-Ghazali yaitu janganlah sabar menunggu sampai orang-orang bertanya,

tapi seyogyanya ia mengajak orang-orang kepadanya.

Hal ini karena ‘ulama adalah pewaris para Nabi, sedang para Nabi

tidak membiarkan orang-orang menjadi bodoh. Bahkan mereka menarik

orang-orang ke dalam pertemuan-pertemuan yang mereka adakan,

malahan pada saat-saat pertama mereka berkeliling dari satu pintu ke pintu

lainnya, menemui orang-orang satu demi satu dan memberi penerangan

kepada mereka.

Hal-hal yang yang sebaiknya diberikan oleh para ‘alim ‘ulama

dalam memberikan dakwahnya menurut al-Ghazali hendaklah

menguraikan dalil-dalil yang mengandung pengharapan atau mengandung

ancaman, adalah dua macam obat yang pemakaiannya berbeda-beda.

Misalnya seseorang yang sudah demikian dikuasai rasa takut sehingga dia

menjauhkan diri dari dunia samasekali. Dan membebani dirinya dengan

beban yang tak terpikul serta menyempitkan penghidupan diri sendiri,

maka memberantas ketakutan yang berlebih-lebihan itu adalah tepat sekali

dengan menguraikan dalil-dalil yang mengandung pengharapan. Agar

kembali tegak dan lurus.

Demikian pula untuk mengobati orang yang terus-menerus

menjalankan dosa, yang merindukan taubat dan bisa berhenti dari dosanya

itu, tapi dirinya dikuasai oleh rasa putus asa sebab menganggap dosanya

terlalu besar, maka kepada orang inipun tepat jika diobati dengan uraian

76

yang mengandung pengharapan, sehingga berkobarlah keinginannya

untuk bertaubat (Al-Ghazali, 1983: 120).

Adapun untuk mengobati orang-orang yang tertipu dan selalu

tenggelam dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka menguraikan dalil-

dalil yang mengandung pengharapan kepadanya adalah seperti mengobati

orang sakit panas dengan madu. Demikian itu adalah perilaku orang

bodoh dan dungu (Al-Ghazali, 1983: 121).

Dari pengertian di atas, al-Ghazali (1983: 122-129) menerangkan

cara-cara yang seharusnya dilakukan oleh para da’i dalam melepaskan

seseorang dari ikatan dosanya yang terus menerus dalam melepaskan

seseorang dari ikatan dosanya yang terus menerus, dalam hal ini ada 4

(empat) macam.

Pertama, menerangkan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang

mengandung ancaman kepada orang-orang yang berdosa dan maksiat, di

antaranya seperti :

إن الله يمسك السموات واألرض أن تزوال ولئن زالتا إن أمسكهما من أحد من بعده

Artinya : “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan

lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah”. (QS. Fathir, 35: 41).

Dalam suatu hadits diriwayatkan oleh Umar Ibnul-Khattab r.a.

disebutkan bahwa tiap Arasy digantungkan sebuah stempel. Jika

77

seseorang melanggar larangan, maka Allah memerintahkan sehingga hati

orang itu tertempel dengan perbuatan yang dilanggar itu.

Kedua, yaitu hikayat-hikayat para Nabi dan para Salafsalihin serta

musibah-musibah yang menimpa mereka akibat kesalahan-kesalahan yang

mereka lakukan, karena hal itu besar pengaruhnya untuk menaklukkan

hati manusia. Seperti hal maksiat yang dilakukan Adam A.S. Serta

peristiwa pengusiran dari surga yang dialaminya.

Ketiga, yaitu hendaknya ditekankan mereka bahwa segera jatuhnya

balasan itu di dunia adalah disebabkan karena dosa, dan setiap musibah

yang menimpa seseorang adalah disebabkan karena pelanggaran-

pelanggaran yang pernah dilakukannya. Adapun orang yang taat, maka

berkat ketaatannya itu, semua nikmat yang ditemui merupakan balasan

atas ketaatannya dan bersyukurlah ia atasnya, karena setiap kecelakaan

atau bala yang ditemuinya merupakan penebus atas dosa-dosanya dan

malah menambah derajatnya.

Keempat, yaitu menerangkan apa balasan dan siksaan masing-

masing dosa itu. Seperti minum minuman keras, mencuri, membunuh,

mengumpat, sombong, dan dengki.

5. Kesehatan mental menurut al-Ghazali

Memahami masalah kesehatan mental secara luas dan mendalam

adalah penting pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini

walaupun kemajuan ilmu teknologi dan industri dapat memberikan

kemudahan dan kesenangan hidup kepada manusia. Tetapi semuanya itu

78

belum tentu dapat menjamin kesejahteraan, ketenteraman dan kebahagiaan

hidup karena kemajuan ilmu teknologi dan industri membawa kepada

perubahan dalam bidang sosial dan budaya manusia, yang sudah barang

tentu mempengaruhi kehidupan mentalnya. Semakin maju kebudayaan

dan peradaban manusia semakin meningkat pula kebutuhan hidupnya.

Jika kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin maju

tersebut tidak diimbangi dengan sikap mental keagamaan yang kuat maka

manusia akan mudah terkena gangguan kejiwaan. Al-Ghazali (1983: 5)

mengatakan, bahwa manusia akan mudah sekali terganggu jiwanya jika ia

jauh dari sang penciptanya. Oleh karena itu mental yang sehat menurutnya

adalah seseorang yang bisa menggunakan akalnya untuk mengetahui suatu

kebenaran dan kebenaran itu dilaksanakannya, serta mengetahui bahwa

dosa-dosa itu menyebabkan seseorang jauh dari yang dicintainya.

Al-Ghazali (1983: 120) juga menjelaskan, bahwa seseorang yang

terkena penyakit jiwa, sebenarnya mereka tidak menyadari sakitnya.

Artinya mereka tidak tahu apakah yang mereka lakukan itu benar atau

tidak, seperti halnya orang yang sakit sopak di mukanya, tanpa memiliki

cermin ia tidak akan bisa melihat penyakitnya itu di mukanya. Oleh

karena itu al-Ghazali mendiskripsikan mengapa seseorang mengalami

sakit jiwa. Hal ini karena, pertama orang yang sakit jiwa tidak menyadari

bahwa dirinya sedang menderita sakit. Kedua akibat dari penyakit ini

tidak tampak di dunia. Artinya jika penyakit jasmani bisa dilihat dengan

mata kepala, tetapi apa yang terjadi sesudah mati tentu tidak bisa

79

disaksikan. Akibat dari dosa yaitu matinya hati, tidak bisa disaksikan di

alam dunia ini. Ketiga penyakit jiwa juga bisa mengenai pada orang-orang

yang pintar sekalipun.

Dokter penyakit jiwa adalah para ‘ulama, tetapi pada masa

sekarang mereka juga menderita penyakit yang sangat dan tidak bisa

diobati sendiri, justeru mereka melupakan penyakit yang merata ini,

sehingga tidak tampak kekurangan mereka itu, akhirnya mau tidak mau

mereka mencelakakan orang lain, bahkan lebih parah sakitnya daripada

penyakitnya sendiri. Adapun penyakit yang menyebabkan mental mereka

rusak adalah penyakit cinta dunia (Al-Ghazali, 1983: 120).

Oleh Karena itu, kesehatan mental dapat timbul jika adanya

keserasian hidup dari diri sendiri, lingkungan yang berlandaskan

keimanan dan ketaqwaan. Artinya memahami masalah kesehatan mental

yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan penyesuaian

diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungan atau masyarakat, hanya

dapat terwujud dan tercapai secara sempurna apabila usaha itu

berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Jadi faktor agama

memainkan peranan penting dalam mencapai kesejahteraan dan

kesetabilan mental.

80