bab iii mulla sadra biografi dan pemikirannya...

24
24 BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA TENTANG EPISTEMOLOGI A. Biografi Mulla Sadra 1. Riwayat Hidup Shadr al-Din Shirazi adalah salah seorang filosof yang paling dihormati dalam Islam, khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang ini. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrahim al-Qawami al-Shirazi, yang dikenal dengan Mulla Sadra. Gelar kehormatannya Shadr al-Din (Ahli Agama), menunjukkan derajat tingginya di dalam lingkaran teologis tradisional, sementara sebutannya sebagai “Teladan” atau Otoritas Filosof- filosof Ilahi (Sadr al-Muta’allihin) menandakan posisi uniknya di mata generasi-generasi filosof yang datang setelahnya. Ia lahir di Shiraz, Persia Selatan, pada 979 H/1572 M dari sebuah keluarga yang berada. Ayahnya konon adalah menteri dalam istana Shafawiyyah, sekaligus seorang ulama. Shadr al-Din, menurut suatu riwayat, telah berhaji ke Makkah sebanyak enam kali, dan dalam perjalanan yang ketujuh pada 1050 H/1640 M ia meninggal dan di kuburkan di Basrah. 1 Kebanyakan sejarawan dan komentator atas karya-karyanya membagi kehidupannya menjadi tiga periode terpisah. 1. Masa Pendidikan Formal Masa ini dia lalui di Shiraz dan Isfahan. Perlu diketahui bahwa selama berabad-abad, sebelum kemunculan dinasti Safawi, Shiraz telah menjadi pusat filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional lainnya. Posisi ini terus berlanjut sampai abad ke-10/ke-16, meskipun fungsinya tidak lagi sehebat sebelumnya. Di dalam tradisi pendidikan inilah Mulla Sadra memperoleh pendidikan awalnya. 1 Hossein Ziai, ”Mulla Sadra : Kehidupan dan Karyanya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Terj Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 902.

Upload: ngoduong

Post on 03-Feb-2018

237 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

24

BAB III

MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA

TENTANG EPISTEMOLOGI

A. Biografi Mulla Sadra

1. Riwayat Hidup

Shadr al-Din Shirazi adalah salah seorang filosof yang paling

dihormati dalam Islam, khususnya di kalangan intelektual Muslim sekarang

ini. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrahim al-Qawami al-Shirazi,

yang dikenal dengan Mulla Sadra. Gelar kehormatannya Shadr al-Din (Ahli

Agama), menunjukkan derajat tingginya di dalam lingkaran teologis

tradisional, sementara sebutannya sebagai “Teladan” atau Otoritas Filosof-

filosof Ilahi (Sadr al-Muta’allihin) menandakan posisi uniknya di mata

generasi-generasi filosof yang datang setelahnya. Ia lahir di Shiraz, Persia

Selatan, pada 979 H/1572 M dari sebuah keluarga yang berada. Ayahnya

konon adalah menteri dalam istana Shafawiyyah, sekaligus seorang ulama.

Shadr al-Din, menurut suatu riwayat, telah berhaji ke Makkah sebanyak enam

kali, dan dalam perjalanan yang ketujuh pada 1050 H/1640 M ia meninggal

dan di kuburkan di Basrah.1

Kebanyakan sejarawan dan komentator atas karya-karyanya membagi

kehidupannya menjadi tiga periode terpisah.

1. Masa Pendidikan Formal

Masa ini dia lalui di Shiraz dan Isfahan. Perlu diketahui bahwa

selama berabad-abad, sebelum kemunculan dinasti Safawi, Shiraz telah

menjadi pusat filsafat Islam dan disiplin-disiplin tradisional lainnya. Posisi

ini terus berlanjut sampai abad ke-10/ke-16, meskipun fungsinya tidak lagi

sehebat sebelumnya. Di dalam tradisi pendidikan inilah Mulla Sadra

memperoleh pendidikan awalnya.

1 Hossein Ziai, ”Mulla Sadra : Kehidupan dan Karyanya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,

Terj Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 902.

Page 2: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

25

Merasa tidak puas dengan apa yang diperolehnya di Shiraz, dia

berangkat ke Isfahan. Ketika itu, Isfahan telah menjadi pusat intelektual

yang penting di Persia, dan mungkin di belahan Timur dunia Islam secara

keseluruhan.2

Isfahan tidak mengecewakan Sadra, karena di sini ia menjumpai

beberapa orang mursyid yang memberikan pengaruh mendalam terhadap

dirinya. Di sini ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh-tokoh

terkemuka saat itu : Baha’ al-Din al-Amili (w. 1622 M), Mir Damad (w.

1631 M) dan Mir Abu al-Qasim Findirishi (w. 1641 M).

Al-Amili adalah seorang saintis, ahli hukum (fiqh), teolog, arsitek

dan pujangga, sedangkan Mir Damad adalah seorang teolog, filosof dan

mistikus di samping pujangga, mengajar filsafat Ibn Sina dengan

interpretasi Isyraqiyyah (illuminatif). Karya yang merupakan master

piecenya, Qabasat (Fire Brands) menjelaskan tentang pergumulan antara

filsafat, teologi dan gnosis. Tokoh inilah yang mendirikan ajaran yang

kemudian dikembangkan Mulla Sadra, yakni al-hikmah al-muta’aliyah

(Transcendent Theosophy). Sementara itu al-Findirishi adalah seorang

guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

komentar tentang Hindu dan Yoga.3

Di bawah bimbingan para mursyid tersebut, Mulla Sadra dengan

cepat menjadi tokoh yang berwibawa dalam bidang ilmu keislaman dan

kemudian mencari peringkat yang melebihi gurunya sendiri.

2. Masa Pelatihan Spiritual

Setelah periode formal studinya, Mulla Sadra uzlah dari

masyarakat dan kehidupan kota sekaligus. Ia memilih mengasingkan diri

di desa kecil, Kahak, tidak jauh dari kota suci Qum. Periode ini menandai

kesibukan Mulla Sadra yang kian meningkat dengan kehidupan

kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-dasar

bagi kebanyakan karya utamanya. Periode ini ditandai dengan periode

2 Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 44. 3 A Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 157 – 8.

Page 3: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

26

panjang meditasi dan praktek spiritual yang menyertai dan melengkapi

studi formalnya. Sehingga menyempurnakan program untuk melatih

seorang filosof sejati menurut Suhrawardi. Selama periode inilah tercapai

pengetahuan yang kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.4

Bagi Sadra latihan rohani adalah satu keperluan asas dan penting

bagi mereka yang bercita-cita untuk mencapai “rahasia Ilahi” dan

menghirup udara suci ilmu hakikat yang dinamakan Hikmat Ilahi atau

ilmu Ilahiyat (teosofi). Dengan sunyi menyendiri semua keperluan jiwa

yang ingin bermujahadah akan dapat dicapai dan pertemuan dengan alam

ruhani pada “diri batin yang tentram” adalah syarat awal bagi penghidupan

spiritual yang sebenarnya.

Sadra menjalani kehidupan menyendiri ini dalam jangka waktu

kira-kira tujuh tahun, tetapi ada sumber lain yang menyatakan sebelas

tahun dan ada pula yang menyatakan lima belas tahun. Sadra mengabdikan

dirinya dengan renungan kalbu dan latihan ruhani lainnya hingga akhirnya

keluar dari persemadian ini sebagai seorang hukama yang jiwa metafisika

(ilahiyah) bukan lagi pemahaman akal tetapi yang diturunkan sampai ke

hati.5

Alasan lain, dari kemunduran Mulla Sadra dari kehidupan ramai

adalah didorong oleh kekecewaannya terhadap orang-orang sezamannya

yang sudah kehilangan sifat-sifat terpuji, berperilaku tidak beradab, dan

kehilangan sifat intelektual, juga kaum intelektual yang hanya terlihat

secara lahiriah saja, namun senantiasa melakukan kejahatan dan

keburukan. Demikian pula para mutakallimun telah keluar dari logika

yang benar dan berada di luar kebenaran. Sedangkan para fuqaha telah

kehilangan rasa penghambaan diri, menyimpang dari kepercayaan

terhadap metafisika, bersifat taqlid dan menyangkal keberadaan darwisy.

Disamping itu pengunduran dirinya juga didorong oleh rasa

ketidakpuasan terhadap kebenaran-kebenaran filosofis yang bersumber 4 Hossein Ziai, Op.cit., hlm.904. 5 Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi dan Hikmat Muta’aliyah, Terj. Baharuddin Ahmad,

Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992, hlm. 23 – 27

Page 4: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

27

dari metode rasional, yang menurutnya bersifat dangkal dan tidak dapat

mencapai kebenaran hakiki dan perasaan bersalah karena dia begitu

tergantung kepada kemampuan intelektualnya sendiri, bukan meng-

hambakan diri kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dengan jiwa yang

suci dan ikhlas.6

3. Periode ketiga, masa Mengajar dan Menulis

Periode ini berawal dari tawaran yang diberikan Gubernur Syiraz,

Allahwirdi Khan, untuk memimpin madrasah yang baru dibangunnya di

kota itu. Memenuhi panggilan itu, Mulla Sadra kembali ke kota

kelahirannya untuk mendidik sejumlah murid. Perwatakan dan ilmunya

menarik perhatian pelajar dari jauh dan dekat dan menjadikan Syiraz

kembali sebagai sebuah kota pusat ilmu seperti dulu. Pusat Kajian Khan

atau Madrasah Khan menjadi sangat masyhur hingga ia menarik perhatian

pengembara luar. Thomas Herbert, pengembara abad ke-11 H / 17 M yang

pernah melawat ke Syiraz semasa hidup Sadra, menulis bahwa di Syiraz

terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia dan

matematika yang menyebabkannya termasyhur di seluruh Parsi.7

Dalam karirnya sebagai guru, Mulla Sadra telah berhasil

melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di

dalam aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Ada dua murid

yang paling terkemuka yang perlu disebutkan karena karya-karya mereka

masih tetap dikaji hingga kini yaitu Mulla Abdul Razzaq Lahiji

(w. 1072 H / 1661 M) dan Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H /

1680 M).8

Disamping bertugas sebagai pendidik di Madrasah Khan yang

dilaluinya selama tiga puluh tahun, di periode ini juga beliau banyak

menulis karya-karyanya.9

6 Syaifan Nur, Op.cit..,hlm. 48 – 49. 7 Seyyed Hossen Nasr, Op.cit.,hlm. 27 – 28. 8 Syaifan Nur, Op cit.,hlm.55. 9 Ibid., hlm.56.

Page 5: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

28

Sepanjang periode ini juga, Mulla Sadra melakukan beberapa kali

perjalanan haji ke kota Makkah yang kesemuanya dilakukan dengan

berjalan kaki. Intensitas kesalehannya tidak hanya semakin meningkat,

tetapi bahkan semakin tercerahkan melalui pandangan spiritual yang

dihasilkannya dari praktek-praktek spiritual selama bertahun-tahun.

Sekembalinya dari perjalanan haji yang ketujuh, Mulla Sadra jatuh sakit

dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050 H / 1640 M.10

2. Karya-Karya Mulla Sadra

Mulla Sadra menyusun tidak kurang dari lima puluh buah karya

yang sebagian besarnya dalam bahasa Arab. Menurut Fazlur Rahman,

karya Mulla Sadra seluruhnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Kebanyakan

karya Sadra diterbitkan sejak seperempat terakhir abad ke-19, sebagian

lebih dari satu kali, sedang risalah-risalah tertentu yang lebih kecil belum

diterbitkan.11

Dari keseluruhan karya Mulla Sadra itu ada yang berusaha

membaginya menjadi karya murni bersifat filosofis dan karya yang

bersifat religius, berdasarkan tema sentral yang dikandungnya. Begitu

juga, berdasarkan orisinalitas ide dalam karya Mulla Sadra, ada yang

membaginya menjadi karya asli dan karya yang memuat penjelasan-

penjelasan tentang tulisan-tulisan filosofis sebelumnya; seperti

penjelasannya tentang metafisika Ibnu Sina yang terdapat di dalam al-

Syifa dan Hikmat al-Isyraq Suhrawardi.12

Namun Mulla Sadra sendiri menganggap bahwa kedua komponen

atau kumpulan ilmu itu berkaitan dan tidak boleh dipisahkan satu sama

lain. Keduanya lahir dari suatu puncak atau sumber yang sama, yaitu

hadirat Tuhan (Nasr, 1992 : 30). Dengan itu maka kita dapati Sadra

membincangkan persoalan ilmu akal atau intelek di dalam kumpulan kitab

ilmu naqli, dan sebaliknya pula membincangkan ilmu ketuhanan di dalam 10 Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm.28. 11 Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin, Pustaka, Bandung, 2000, hlm.23. 12 Ibid.

Page 6: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

29

kumpulan kitab ilmu akal. Oleh karena itu, sebenarnya pembagian di atas

tidak dapat dipertahankan meskipun bukan tanpa makna sama sekali.13

Karya-karya Mulla Sadra tidak hanya merupakan khazanah

mistikal dan pandangan kosmologisnya serta penjelasan tentang eskatologi

yang telah ditemukan dalam sejumlah teks-teks Filsafat Islam, tetapi juga

menghubungkan pandangan-pandangan berbagai ajaran pemikiran Islam

maupun pra Islam. Oleh karena itu, karya-karyanya benar-benar

merupakan ensiklopedi Filsafat Islam yang memadukan ajaran Avicennan,

Suhrawardi, Ibnu ‘Arabi, serta pemikiran Kalam.14

Di sini akan dipaparkan sebagian dari karya-karya utama Sadra,

antara lain :

1. Al-Hikmat Al-Muta’aliyah fil-Asfar Al-Aqliyyah Al-Arba’ah (Hikmah

Muta’aliyah Tentang Empat Perjalanan Akal pada Jiwa), yang lebih

dikenal dengan judul Asfar (Perjalanan) saja.

Merupakan karya yang paling fundamental dan

monumental. Kitab ini dipandang sebagai summa philosophiae al-

Syirazi, karena menjadi dasar dari karyanya yang lebih pendek dan

juga sebagai risalah pemikiran pasca Avicennian pada umumnya. Di

dalamnya memuat simbol-simbol pengembaraan intelektual dan

spiritual manusia ke hadirat Tuhan. Juga memuat hampir semua

persoalan seperti Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf. Dalam

pengajiannya menggunakan pendekatan morfologis, metafisis dan

historis. Sampai saat ini di Iran, Asfar digunakan sebagai teks tertinggi

dalam memahami hikmah dan hanya dibaca oleh mereka yang telah

memahami teks-teks standar ilmu kalam, filsafat peripatetik, teosofi

isyraqi dan dasar-dasar ajaran ‘irfan.

2. Mafatih Al-Ghaib (Kunci Alam Ghaib)

Merupakan karya Sadra yang sangat mendasar dalam masa

kematangan dalam ilmu. Ramuan ilmu berdasarkan doktrin ‘irfan 13 Syaifan Nur, Op.cit., hlm.57. 14 Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi Filsafat dan Gnosis, Terj. Suharsono dan

Jamaluddin MZ, CIIS Press, Yogyakarta, 1991, hlm.80.

Page 7: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

30

tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi dan mengandung

rujukan yang banyak terhadap al Qur’an dan hadis.

Al-Shawahid Al-Rububiyyah fil-Manahij Al-Sulukiyyah

(Penyaksian Ilahi akan Jalan ke Arah Kesadaran Rohani)

Merupakan adi karya pribadi Mulla Sadra dengan lima bab

ditulis dari pandangan ‘irfan. Merupakan ringkasan doktrinnya yang

paling lengkap.

3. Al-Masya’ir (Kitab)

Merupakan salah satu dari kitab Sadra yang utama dan paling

banyak dikaji dewasa ini, mengandung ringkasan teori ontologinya.15

B. Konstruksi Pemikiran Mulla Sadra

Sebagai sebuah kontruksi pemikiran, al-hikmah al-muta’aliyah tentu

saja tidak dibangun berdasarkan hasil kreasi individualistik Mulla Sadra

semata-mata, tetapi bersumber pada bahan-bahan atau unsur-unsur yang telah

tersedia sebelumnya, baik yang bersifat tradisional maupun historis.

Sumber pertama bagi al-hikmah al-muta’aliyah adalah sumber-sumber

tradisi Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an. Pengaruh al-Qur’an terhadap dirinya

tidak saja terbatas pada penafsiran-penafsirannya secara formal, sebagaimana

tertuang di dalam karya-karya tafsirnya, tetapi juga di dalam hampir seluruh

tulisannya, yang secara praktis disinari oleh ayat-ayat Al-Qur’an.16

Dengan demikian jelas bahwa al Qur’an telah dijadikan Mulla Sadra

sebagai fondasi utama di dalam membangun struktur al-hikmah al-

muta’aliyah.

Al-hikmah al-muta’aliyah juga menggunakan hadis sebagai dasar atau

sumber kedua yang melengkapi pesan-pesan al Qur’an. Menurut Mulla Sadra,

hadis juga memiliki tingkatan-tingkatan makna yang bersifat esoterik seperti

halnya al-Qur’an, yang hanya dapat disentuh melalui pertolongan iluminasi

15 Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm 38 – 50. 16 Syaifan Nur, Op.cit., hlm.109.

Page 8: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

31

spiritual. Makna inilah yang lebih dulu terbuka kepada seorang pencari

kebenaran, sebelum terungkap di hadapannya makna batin dari teks suci.17

Selain kedua sumber yang fundamental tersebut, sebagai aliran yang

dilahirkan dan berkembang di lingkungan tradisi Syi’ah, al-hikmah al-

muta’aliyah juga bersumber kepada ucapan-ucapan para imam, khususnya

Imam ‘Ali, yang juga dianggap sebagai teks-teks suci.

Disamping sumber-sumber yang bersifat tradisional tersebut di atas,

al-hikmah al-muta’aliyah juga dibangun berdasarkan sumber-sumber yang

bersifat historis.

Dalam disiplin kalam atau teologi, Mulla Sadra, meskipun diselubungi

oleh pemikiran Syi’ah, ia memahami aliran ilmu kalam Sunni sebaik

pengetahuannya tentang aliran kalam Syi’ah.

Mengenai kalam Syi’ah, yang menjadi sumber utamanya adalah karya

Nasir al-Din al-Tusi yang berjudul Tajrid al-Aqa’id beserta seluruh komentar

dan penjelasannya yang merupakan suatu kumpulan tulisan dalam bidang

filsafat kalam, karya-karya kalam Syi’ah yang bersifat filosofis dan mistis,

atau yang menggunakan metode-metode pembuktian secara filosofis dan

berusaha memadukannya dengan sufisme, serta kalam Syi’ah Isma’iliyah,

yang telah membentuk kalam dan filsafat secara khusus sejak periode awal

sejarah Islam, seperti tulisan dari Hamid al-Din al-Kirmani(w.412H/1021 M)

yang berjudul Rahat al-‘Aql dan juga Rasa’il dari Ikhwan al-Safa.

Sumber-sumber yang berasal dari kalam Sunni, baik Asy’ariyah

maupun Mu’tazilah juga memiliki peranan yang berarti terhadap al-hikmah al-

muta’aliyah terutama Asy’ariyah melalui karya-karya al-Gazali, Fakhr al-Din

al-Razi, dan ‘Adud al-Din al-Iji (701-756 H/1301-1355 M) serta Sayyid Syarif

Jurjani (740 – 816 H/1339-1413 M).18

Dalam bidang filsafat, Sadra mengambil filsafat sejak dari pra-

Sokrates hingga berbagai pemikiran yang hidup pada zamannya. Namun,

17 Ibid, hlm. 110. 18 Ibid., hlm. 111 – 112.

Page 9: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

32

hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi pondasi

bagi sistem pemikiran Sadra.

Pertama, pemikiran Ibn Sina (980-1037 M). Pengetahuan Mulla Sadra

terhadap pemikiran Ibn Sina adalah yang paling luas dan terperinci dan

dipandang sebagai sumber terpentingnya selain Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi.

Mulla Sadra mengenal karya-karya filosofis Ibn Sina seperti al-Syifa, al-

Najat, al Mabda wa al-Ma’ad, Risalah fi al-‘Isyq, dan ‘Uyun al-Hikmah, dan

juga sering mengutip sebagian karya penting Ibn Sina lainnya seperti Ta’liqat

dan Mubahasat. Mengenai filosof peripatetik yang kemudian, yang paling

memperoleh perhatian khusus adalah Nasir al-Din al-Tusi dengan karya

filosofisnya yang penting seperti Syarh al-Isyarat.19

Ajaran Ibnu Sina menjadi pondasi bagi seluruh pembahasan Filsafat

Sadra, sehingga semua persoalan selalu diawali dengan apa yang dikatakan al-

Syaikh al-Rais (guru kepala), gelar bagi Ibn Sina. Ia juga mengambil

pendapat-pendapat Ibn Sina untuk mendukung konsep-konsepnya sendiri,

seperti soal realitas wujud dan kelemahan essensi. Namun, Sadra juga

mengkritik dan memodifikasi Filsafat Ibn Sina. Menurut Fazlur Rahman,

kritik Sadra yang paling keras terhadap Ibn Sina adalah dalam soal

epistemologi, yakni ketika Ibn Sina menolak kesatuan absolut antara subyek

dan obyek yang diketahui.20

Kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M). Suhrawardi

merupakan sumber utama pengetahuan Mulla Sadra dalam aliran Isyraqi. Ia

menggunakan karya-karya Suhrawardi seperti Talwihat, Mutarahat, dan

Hayakil al-Nur, yang semuanya dijadikan rujukan, baik di dalam Al-Hikmah

al-Muta’aliyah maupun buku-bukunya yang lain. Pengaruh Suhrawardi dapat

dilihat dalam kritikan dan penolakannya, dan sebagian yang lain dalam

penerimaannya.

Pandangan Suhrawardi bahwa essensi bukan realitas diambil Sadra

dengan doktrinnya tentang ashalah al-wujud, (principiality of being) bahwa

19 Ibid., hlm. 115 – 6. 20 A. Khudhori Soleh, Op.cit., hlm. 60.

Page 10: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

33

yang pokok dalam realitas adalah eksistensi, bukan essensi. Essensi hanya

sesuatu yang ada dalam pikiran, bukan realitas yang sebenarnya. Sementara

itu, gagasan Suhrawardi tentang “jenjang cahaya” mengilhami Sadra untuk

menelorkan gagasannya tentang tasykik al-wujud (gradation of being), bahwa

meski realitas ini tunggal tetapi muncul dalam berbagai tingkat intensitas dan

manifestasi.21

Ketiga, pemikiran Ibn ‘Arabi (1165-1240 M). Menurut Fazlur

Rahman, pengaruh Ibn ‘Arabi terhadap Mulla Sadra terutama terlihat dalam

tiga persoalan penting, yaitu : Ketidaknyataan mahiyyah, hakikat sifat-sifat

Tuhan, dan peranan psikologis eskatologis dari ‘alam al-khayyal (dunia

imajinasi). Dalam persoalan yang pertama, Mulla Sadra sering mengutip

pernyataan Ibn ‘Arabi yang terkenal : “mahiyyah-mahiyyah tidak akan pernah

mencium keharuman wujud”, untuk mendukung prinsip asalah al-wujud, dan

cukup memungkinkan bahwa Syaikh Akbar berperan dalam mengilhami

prinsip tersebut.22

Sedangkan dalam persoalan yang kedua, di bawah pengaruh ajaran-

ajaran Ibn ‘Arabi, Mulla Sadra memodifikasi secara drastis pandangan

peripatetik neo Platonik tentang tentang akal-akal, menjadikannya sebagai

bagian dari Tuhan, dan menyamakannya dengan sifat-sifat Tuhan serta Dunia

Ide dari Plato. Selanjutnya, dia menerangkan seluruh uraian tentang emanasi

dalam bahasa Ibn ‘Arabi dan alirannya.

Dalam pemikiran Mulla Sadra, kedua persoalan tersebut di atas

menjadi lebih terkait erat daripada dalam sistem Ibn ‘Arabi, dimana

mahiyyah-mahiyyah dianggap masih tetap menyimpan realitas, dan Mulla

Sadra mengkritik Ibn ‘Arabi dalam hal ini. Kejeniusan Mulla Sadra terletak

dalam keberhasilannya memadukan kedua ide di atas, dengan memahami

secara utuh implikasi-implikasi dari masing-masing ide tersebut, dan

menjadikannya menghasilkan suatu prinsip yang unik, yang dikenal dengan

istilah al-harakah al-jauhariyyah.

21 Ibid., hlm. 160 – 161. 22 Syaifan Nur, Op.cit., hlm. 118 – 9.

Page 11: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

34

Mengenai persoalan ketiga, Dunia Imajinasi, meskipun pada awalnya

berasal dari al-Gazali dan kemudian diformalkan oleh Suhrawardi, namun Ibn

‘Arabi tidak saja yang menguraikannya secara menyeluruh, tetapi memberikan

kepada jiwa manusia, terutama di hari kemudian, suatu peranan penting dalam

membangkitkan imajinasi-imajinasi yang dapat ditangkap dengan jelas.

Doktrin ini digunakan oleh Mulla Sadra dalam membuktikan adanya

kebangkitan jasmani dan kenikmatan-kenikmatan serta penderitaan-

penderitaan yang bersifat fisik.23

Dalam kaitan ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa melalui al-

hikmah al-muta’aliyah pengaruh Ibn ‘Arabi sampai kepada para hukama’ dan

‘urafa Persia generasi berikutnya.

Disamping pentingnya pengaruh Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibn

‘Arabi, pendahulu yang juga paling berpengaruh terhadap Mulla Sadra adalah

gurunya sendiri, yaitu Mir Damad, pendiri Aliran Isfahan. Mir Damad adalah

pengikut Ibn Sina dengan warna isyraqi, dan dalam beberapa hal berbeda

dengan Mulla Sadra. Akan tetapi, gurunya itulah yang mempersiapkan jalan

bagi kemunculannya, yang memperlihatkan prestasi puncak “Aliran Isfahan”.

Mulla Sadra memahami sepenuhnya pandangan-pandangan gurunya itu, dan

dijadikannya sebagai rujukan dalam berbagai karyanya, terutama al-Hikmah

al-Muta’aliyah. Karya Mir Damad yang paling sering dikutipnya adalah

Qobasat.24

Berdasarkan paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa seluruh ide yang

diambil Mulla Sadra dari berbagai sumber tersebut digunakannya sebagai

penyangga-penyangga konstruksi pemikirannya, dengan kreativitas dan

gayanya yang khas, yang menunjukkan adanya suatu perspektif intelektual

baru dalam pandangan dunia Islam tradisional.

Di lingkungan tradisional, kreativitas tidak berarti adanya penemuan

atau penciptaan suatu “kebenaran” oleh seseorang, melainkan adanya suatu

visi baru tentang realitas. Sebagai suatu visi yang baru, kreativitas berarti

23 Ibid., hlm. 119 – 120. 24 Ibid., hlm. 120.

Page 12: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

35

adanya suatu tindakan kreatif, dimana kebenaran-kebenaran universal yang

sama memperoleh interpretasi dan aplikasi yang baru, sesuai dengan

momentum tertentu perjalanan historis suatu tradisi.25

Iluminasi intelektual yang diperolehnya melalui penghayatan spiritual,

unsur-unsur yang berasal dari para ‘urafa, hukama’ dan filosof-filosof muslim

sebelumnya, dengan landasan al-Qur’an dan Hadis Nabi serta ajaran-ajaran

para Imam Syi’ah, kesemuanya menghantarkannya untuk menciptakan suatu

sintesa besar miliknya sendiri, yang dikenal sebagai al-hikmah al-muta’aliyah.

Bangunan metafisis raksasa yang diciptakan oleh Mulla Sadra serta

teologi, kosmologi, psikologi, eskatologinya semua bertumpu pada prinsip-

prinsip : wahdah al-wujud, tasykik al-wujud, ashalah al-wujud, dan gerak

susbtansi (harakah jauhariyah) hanya dari sudut pandang prinsip-prinsip

inilah doktrin-doktrin Mulla Sadra dapat dipahami.

1. Wahdah al-Wujud ( Kesatuan Wujud )

Mulla Sadra membedakan dengan tegas antara konsep tentang

mafhum al-wujud (wujud) dan haqiqah al-wujud (realitas wujud). Yang

pertama, adalah konsep yang terjelas dan yang paling mudah dipahami

dari semua konsep, sedangkan yang kedua, adalah yang terkabur dan

tersulit karena ia mensyaratkan persiapan mental ekstensif dan juga

penyucian jiwa agar memungkinkan intelek yang berada dalam diri

seseorang berfungsi sepenuhnya tanpa selubung-selubung nafsu, dan agar

dapat melihat wujud sebagai realitas.26

Mulla Hadi Sabziwari, murid dan penerus ajaran Mulla Sadra,

meringkas ajaran gurunya dalam buku Syarh al-Manzamah sebagai

berikut :

Gagasan (tentang wujud)-nya adalah sesuatu yang sudah umum

diketahui, namun realitas terdalaminya berada di ujung ketersembunyian.

Konsekuensi dari pengalaman gnostik tentang wujud adalah tuntutan atau

persatuan dengannya (hakikat wujud). Mulla Sadra menyebutnya Wahdah

25 Ibid., hlm. 121. 26 Seyyed Hossen Nasr, Op.cit., hlm.915 – 916.

Page 13: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

36

al-Wujud (Kesatuan Transenden Wujud). Menurut Ibn ‘Arabi dan Ibn

Sabi’in, kesatuan transenden wujud bermakna “hanya Tuhan yang nyata,

kewujudan yang lain hanya sementara atau tidak nyata”. Bagi Ibn Arabi

penampakan wujud yang berbagai-bagai itu merupakan bentuk dari tajalli

(teofani) nama dan sifat-Nya di depan cermin ketiadaan. Dalam pandangan

Sadra, yang membandingkan ajaran kesatuan transenden wujud dan

pelbagai wujud dengan hubungan matahari dan berkas sinar matahari yang

dipancarkannya, berkas sinar matahari itu bukan matahari dan pada saat

yang sama bukan apa-apa selain matahari.27

2. Tasykik al-Wujud ( Gradasi Wujud )

Seperti disinggung di atas, Sadra berpendapat bahwa semesta ini

bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti

eksistensi Tuhan. Namun demikian, Sadra tidak menyimpulkan sebagai

wahdah al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud, yakni bahwa

eksistensi ini mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra,

dari Ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi”

yang tak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub

Tiada mutlak sampai kutub Ada mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas

dan intensitasnya.28

Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi

tentang gradasi cahaya, tetapi Sadra mengubah prinsip dasar tersebut

secara mendasar. Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada essensi

seperti pada Suhrawardi tetapi pada eksistensi, sebab bagi Sadra,

eksistensilah realitas asli satu-satunya. Kedua, bahwa eksistensi tidak

hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi yang sistematis, sebab

kenyataannya wujud tidak statis melainkan bergerak terus menerus.

Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih tidak

menentu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar kepada bentuk-

bentuk eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih menyatu.

27 Ibid. 28 A. Khudhori Soleh, Op.cit., 164.

Page 14: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

37

Setiap model eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau

materi kemudian tertelan ke dalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang

bertindak sebagai diferensia atau bentuk. Daya dorong gerak universal ini

adalah ‘isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu bergerak ke

arah yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke

arah yang lebih sempurna ini tidak dapat dibalik, karena eksistensi

memang tidak pernah bergerak ke belakang.29

Selanjutnya, karena eksistensi merupakan obyek keinginan

universal, maka eksistensi berarti baik dan eksistensi mutlak adalah

kebaikan mutlak. Ini sekaligus menunjukkan bahwa eksistensi adalah riil,

bukan sekedar konsep. Juga menunjukkan bahwa eksistensi mutlak tidak

mempunyai lawan atau tandingan, karena lawan atau genus dapat

digolongkan ke dalam genus. Sebaliknya, keburukan tidak mutlak tetapi

hanya relatif, parsial dan negatif, dan muncul dari wujud parsial yang

memiliki essensi.30

3. Ashalah al-Wujud ( Keutamaan Wujud )

Pandangan tentang wujud di atas dilengkapi dengan prinsip

ashalah al-wujud atau keutamaan eksistensi. Untuk memahami doktrin ini,

pertama-tama kita perlu beralih ke perbedaan klasik dalam Filsafat Islam

antara eksistensi (wujud dalam maknanya yang terkait dengan dunia yang

majemuk) dan mahiyyah atau kuiditas yang dalam bentuk orisinal

Latinnya diturunkan langsung dari bahasa Arab, mahiyyah.31

Semua obyek tersusun dari dua komponen, pertama, yang

berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan “apa?”, dan kedua, atas

pertanyaan “bagaimana?”. Pertanyaan yang diajukan dalam Filsafat Islam

terkemudian, dan khususnya oleh Mulla Sadra, adalah manakah di antara

kedua unsur ini yang lebih utama dan memberikan realitas kepada suatu

obyek.

29 Ibid., hlm. 165. 30 Ibid. 31 Seyyed Hossein Nasr, Op.cit., hlm. 917 – 8.

Page 15: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

38

Menurut Mulla Sadra wujudlah yang memberikan realitas kepada

sesuatu dan bahwa mahiyyah secara literal bukan apa-apa dalam dirinya

sendiri, melainkan diabstraksikan oleh akal dari keterbatasan-keterbatasan

suatu tindakan tertentu wujud. Ketika kita menyatakan ada seekor kuda,

dengan mengikuti akal sehat kita berpikir bahwa kuda itu adalah suatu

realitas yang eksistensinya merupakan tambahan baginya. Namun dalam

realitas, apa yang kita pahami adalan tindakan tertentu wujud yang melalui

fakta itulah ia tampak secara terbatas pada bentuk tertentu yang kita

pahami sebagai kuda. Bagi orang-orang yang telah menyadari kebenaran

tersebut, fakta bahwa seekor kuda itu ada kemudian ditransformasikan ke

dalam realitas yang telah dimanifestasikan, oleh tindakan wujud itu sendiri

ke dalam suatu bentuk tertentu yang kita sebut kuda. Bentuk atau

mahiyyah kuda tidak mempunyai realitas sendiri, tetapi mendapatkan

semua realitasnya dari tindakan wujud.32

Jadi, realitas itu tak lain tak bukan adalah wujud, yang satu

sekaligus bergradasi, yang mengeksistensikan realitas segala sesuatu.

Metafisika Mulla Sadra sebetulnya dapat dipahami bukan hanya dengan

memahami prinsip-prinsip ini melainkan juga dengan memahami

hubungan antar prinsip itu. Wujud bukan hanya satu, melainkan juga

bergradasi. Dan wujud bukan hanya bergradasi, melainkan juga sejati,

atau, dengan perkataan lain, yang memberikan realitas kepada semua

kuiditas, yang itu tidak memiliki realitas sama sekali dalam diri mereka.

4. Gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah)

Teori gerak substansial (al-harakah al-jauhariyah), menurut

Rahman, adalah sumbangan orisinal Sadra terhadap filsafat Islam. Ajaran

ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi

wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat

rendah menuju eksistensi tingkat tinggi.33

32 Ibid. 33 Fazkur Rahman, Op.cit., hlm.15.

Page 16: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

39

Menurut para filosof sebelum Sadra, gerak membutuhkan

pendukung dasar berupa sesuatu yang diam sekaligus bergerak, yakni

wujud potensial sekaligus aktual, sebab aktualitas terjadi dalam gerak.

Karena itu, bagi mereka, gerak tidak mengenai substansi tetapi hanya

terjadi dalam aksiden, yakni kualitas, kuantitas, posisi dan tempat.

Substansi tidak ikut bergerak karena jika itu terjadi, ia tidak bisa menerima

judgement. Begitu kita memberi judgement ia telah berubah menjadi yang

lain.

Sadra tidak bisa menerima pendapat seperti itu. Menurutnya, gerak

tidak bisa disebabkan karena sesuatu yamg diam, karena ia hanya mengerti

dirinya sebagai sesuatu yang tetap dan kenyataan saat ini. entitas semacam

ini bisa mempunyai essensi yang tetap tetapi bukan eksistensi tetap yang

hanya ada dalam perubahan dan perpindahan. Karena itu, menururt Sadra,

mesti ada perubahan gerak lain disamping gerak aksiden, gerak yang lebih

fundamental, yakni gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah), di mana

gerak aksiden pada akhirnya bisa dilacak.34

Dengan kata lain, bagi Sadra, gerak atau perubahan hanya terjadi

pada empat kategori aksiden, tetapi juga pada substansi. Bahkan, gerak

substansi inilah yang paling penting dan fundamental. Karena aksiden

bergantung pad substansi, maka gerak substansi menyebabkan perubahan

pada aksiden. Buah apel berubah dari hijau tua menjadi hijau muda,

kemudian kuning dan merah, karena disana ada perubahan rasa, berat dan

lainnya. Semua realitas wujud yang bersifat gradasi berada dalam gerak

yang terus menerus ini. Hasilnya, (1) tingkatan-tingkatan wujud tidak lagi

statis tetapi terus bergerak dan mencapai bentuk-bentuk yang labih tinggi

dalam waktu. (2) gerak semesta berkahir pada alam ketuhanan dan bersatu

dengan sifat-sifat Tuhan. (3) wujud dapat diterapkan pada seluruh tangga

evolusi dengan gradasi. (4) masing-masing tangga wujud yang lebih

melampaui dan meliputi semua tangga yang lebih rendah. (5) semakin

sempurna eksistensi sesuatu semakin sedikit essensi yang dimiliki, karena 34 A. Khudori Sholeh, Op.cit., hlm. 166 – 7.

Page 17: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

40

eksistensi bersifat riil, konkret, individual dan bercahaya, sedang essensi

adalah kebalikan eksistensi dan hanya ada dalam pikiran karena pengaruh

eksistensi.35

C. Pemikiran Mulla Sadra Tentang Epistemologi

Dalam epistemologi Mulla Sadra, al-Qur’an merupakan jalan utama

untuk mencapai pengetahuan hakiki. Kitab suci bagi Mulla Sadra merupakan

sumber ilham pemikiran filsafat dan teosofi yang tak dapat diganti oleh kitab

lain.36

Mulla Sadra menilai al-Qur’an dengan wujud itu sendiri. Wujud,

seperti al-Qur’an, mempunyai huruf-huruf (huruf) yang merupakan “kunci-

kunci menuju dunia gaib” dan dari gabungan huruf terbentuklah ayat-ayat dan

dari ayat-ayat tersusun surah-surah Kitab Suci. Selanjutnya, dari kombinasi

surah dihasilkan “kitab wujud”yang memanifestasikan diri dalam dua cara:

sebagai al-furqon atau pembeda, dan al-Qur’an atau bacaan (kedua istilah ini

merupakan nama al-Qur’an). Aspek furqani kitab suci adalah makrokosmos

dengan segala keragamannya, sedangkan aspek qur’aninya adalah realitas

spiritual da arketipe manusia atau yang umum disebut manusia

universal/sempurna (al-insan al-kamil). Karena itu, kunci-kunci (mafatih)

menuju dunia gaib, sejauh wahyu al-Qur’an dikaji, juga merupakan kunci-

kunci bagi pemahaman akan dimensi tak tampak dari dunia eksistensi

eksternal dan wujud batin manusia dan sebaliknya.37

Mengenai akal sebagai sumber pengetahuan, Mulla Sadra berpendapat

bahwa akal yang di dalam pikiran merupakan pantulan bayangan akal semesta

dalam jiwa manusia, merupakan semacam nabi atau pembimbing manusia

menuju pesan ilahi, yakni apabila orang tersebut memahami kandungan al-

Qur’an secara mendalam.Dalam hal ini beliau membedakan akal menjadi

empat tingkat: potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah), akal posesif (al-‘aql bi al-

35 Ibid., hlm. 167. 36 Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Sadra dan Ajaran-ajarannya”, Ensiklopedi Tematis Filsafat

Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan, bandung, 2003, hlm. 930. 37 Ibid.

Page 18: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

41

malakah), akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l), dan akal yang diperoleh ( al’aql bi al-

mustafad).38

Pada tingkat potensi akal (al-‘aql bi al-quwwah) disertakan pada jiwa

dari sejak awalnya dan sebagaimana jiwa itu sendiri, tidak memiliki

pembuktian terhadap dirinya sendiri, dan pemahaman-pemahaman spekulatif.

Kondisi eksistensi jiwa ini adalah tahap terakhir dalam alam fisik dan tahap

pertama untuk memasuki alam metafisika.

Tingkat akal posesif (al-‘aql bi al-malakah) terjadi tepat setelah yang

sebelumnya, dikatualkan melalui pemerolehan pemahman-pemahaman primer

(konsep dan kesepakatan) atau data primer, data melalui eksperimen, data

melalui transmisi, dsb. (yang sama pada seua orang) seperti “keseluruhan itu

lebih besar dari bagian”, “berbohong itu bukan perbuatan baik”, stau adalah

setengah dari dua”, dan seterusnya. Persepsi-persepsi tersebut diperlukan

untuk mengaktualkan tingkatan yang berikutnya.

Tingkat ketiga adalah akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l). Ketika

pemahaman-pemahaman tersebut digerakkan menuju jiwa, maka refleksi dan

kerinduan untuk menyimpulkan pemahaman-pemahaman yang belum

dipahaminya akan muncul dalam diri manusia, yang pada gilirannya akan

membuatnya secara sukarela merenung menggunakan dengan apa yang

sebelumnya telah ia miliki untuk memperoleh pemahaman mental yang baru.

Walaupun pemahaman-pemahaman intelektual spekulatif tidak secara aktual

hadir bersama dengan akal, mereka akan dpahami segera setelah jiwa mau

melakukannya, dan tidak akan dilakukan pencarian bukti dan gerak pemikiran

(menuju yang dipahami, kemudian dari yang dipahami menuju kapda yang

tidak dipahami); karena pengamatan yang sering terhadap pemahaman

spekulatif dan intelektual ini, gerak intelektual menuju prinsip yang begitu

banyak, dan terhubungan dengan prinsip tersebut, telah menyebabkan suatu

hubungan kepemilikan dan pemahaman akal, dan karenanya, akan hadir secara

aktual bersamanya.

38 Seyyed Mohsen Miri, “Mulla Sadra Kehidupan dan Pemikirannya”, jurnal Al-Huda, Vol.2

No.8, Islamic Center, Jakarta, 2003, hlm.137.

Page 19: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

42

Tingkat keempat, akal yang diperoleh (al-‘aql bi al-mustafad).

Tingkatan ini sama persis dengan akal katual kecuali bahwa semua

pemahaman spekulatif sebenarnya hadir bersamanya, dan tidak membutuhkan

kemauan dan perhatian. Alasannya adalah bahwa jiwa mencari semua

pembuktian atas dirinya sendiri dan semua bentuk pemahaman spekulatif,

yang sesuai dengan kebenaran yang lebih tinggi atau yang lebih rendah, tanpa

adanya perantara material pada saat ia dihubungkan dengan Akal aktif (al-‘Aql

al-fa’al), dan oelh karenanya dunia intelektual semacam itu menjadi sama

dengan alam obyektif. Itulah mengapa akal seperti itu disebut diperoleh :

karena manfaat yang diterimanya berasal dari luar, yaitu akal aktif.39

Dari segi ini manusia merupakan kesempurnaan tempat kembali,

sebagaimana akal aktif merupakan suatu kesempurnaan dan akhir bagi alam

yang menjadi awal; karena puncak dari penciptaan alam material adalah

penciptaan manusia dan puncak dari penciptaan manusia adalah tahap akal

yang diperoleh, yakni pencarian tahap pemahaman dan hubungan terhadap

alam yang lebih tinggi.

Selanjutnya Mulla Sadra meyakini sepenuhnya bahwa metode yang

paling berhasil untuk mencapai pengetahuan yang sejati adalah kasyf, yang

ditopang oleh wahyu, dan tidak bertentangan dengan burhan. Di dalam Tafsir

Surah al-Waqi’ah, Mulla Sadra mengemukakan bahwa pada mulanya dia

disibukkan dengan pengkajian terhadap buku-buku yang bersifat diskursif,

sehingga dia merasa bahwa dirinya telah memiliki pengetahuan yang luas.

Akan tetapi, ketika visi spiritualnya mulai terbuka, dia baru menyadari bahwa

ternyata dirinya kosong dari ilmu yang sejati dan hakikat yang meyakinkan,

sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui zauq dan wijdan.40

Menurut Mulla Sadra hakikat pengetahuan seperti itu tidak dapat

diperoleh kecuali melalui pengajaran langsung dari Tuhan, dan tidak akan

terungkap kecuali melalui cahaya kenabian dan kewalian. Untuk mencapai hal

itu, diperlukan proses penyucian kalbu dari segala hawa nafsu, mendidiknya

39 Ibid., hlm. 138. 40 Syaifan Nur, Op.cit., hlm. 123.

Page 20: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

43

agar tidak terpesona kepada kemegahan duniawi, dengan mengasingkan diri

dar pergaulan, merenungkan ayat-ayat Tuhan dan Hadis Nabi, dan mencontoh

perilaku kehidupan orang-orang saleh.

Ketika dia menyadari kelemahan dirinya dan meyakini bahwa dia tidak

memiliki sesuatu apa pun, dibangkitkannyalah semangatnya dengan sekuat-

kuatnya dan berkobarlah kalbunya dengan cahaya yang gilang-gemilang. Di

saat itulah, ketika dirinya dipenuhi oleh sinar cemerlang yang merupakan

karunia Tuhan, tebuka di hadapannya rahasia dari sebagian ayat-ayat Tuhan

dan bukti-bukti yang meyakinkan.41

Mulla Sadra mengakui bahwa permasalahan ketuhanan mengandung

dasar-dasar pemikiran dan konsep-konsep yang fundamental. Permasalahan

ketuhanan tersebut baru bisa dipahami setelah dasar-dasar pemikiran dan

konsep-konsep fundamentalnya dipahami lebih dulu. Pemahaman ini bisa

terjadi dengan dua cara, yaitu: melalui intuisi intelektual dan gerak cepat, atau

melaui pemikiran konseptual dan gerak lambat. Para nabi, orang-orang suci,

dan mereka yang memiliki visi spiritual memperolehnya dengan cara yang

pertama, sedangkan cara yang kedua ditempuh oleh para ilmuwan, ahli pikir,

dan mereka yang selalu menggunakan pertimbangan akal.42

Mulla Sadra menegaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh pada

tingkat kewalian sekalipun tidak bisa diterima jika mustahil menurut

keputusan akal. Namun, harus diingat bahwa jika hanya mengandalkan akal

semata, pengetahuan semacam itu kemungkinan tidak bisa terjangkau.

Mulla Sadra menegaskan perlunya dibedakan antara sesuatu yang

mustahil menurut akal dan sesuatu yang tidak dapat terjangkau oleh akal.

menurutnya, untuk mengukur kebenaran akal dan menghindarinya dari

kesalahan, diperlukan timbangan wahyu. Dia menyatakan bahwa hikmah

harus berdasarkan pada agama, dan mereka yang tidak memiliki pengetahuan

yang mendalam tentang hakikat sesuatu tidak pantas disebut sebagai ahli

hikmah. Seperti halnya burhan yang meyakinkan selalu sesuai dan selamanya

41 Ibid., hlm. 42 Ibid., hlm. 124

Page 21: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

44

tidak akan bertentangan dengan agama, demikian pula agama, selalu sesuai

dengan akal.43

Mulla Sadra menyatakan bahwa untuk memperoleh petunjuk yang

benar tidak cukup hanya dengan bertaklid kepada keterangan-keterangan

agama, tetapi harus disertai penyelidikan dan penalaran. Sebab, tidak ada

tempat bersandar bagi agama kecuali ucapan-ucapan Nabi dan pembuktian

akal yang menjelaskan tentang kebenaran misinya. Akan tetapi, petunjuk yang

benar tidak akan diperoleh jika hanya mengandalkan akal, tanpa sinar agama.

Dengan kata lain, langkah akal akan terbatas dan kemampuannya menjadi

berkurang jika dia tidak diberi petunjuk oleh sinar agama.

Oleh karena itu, harus terjadi kombinasi yang serasi antara agama dan

akal, salah satunya tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Agama yang benar dan

bersinar terang tidak akan menjadikan hukum-hukumnya bertentangan dengan

pengetahuan yang meyakinkan dan pasti. Agama yang disertai akal adalah

cahaya di atas cahaya.44

Menurut Sadra metode kasyf dapat menyampaikan seseorang kepada

pengetahuan yang sejati .Ia menegaskan bahwa hakikat hikmah diperoleh

melalui ilmu ladunni, dan selama seseorang belum sampai pada tingkatan

tersebut, maka jangan dijadikan sebagai ahli hikmah, yang merupakan salah

satu karunia ketuhanan. Diadakan penjelasannya dia mengemukakan bahwa

ada dua macam cara untuk memperoleh pengetahuan, yaitu dengan belajar dan

usaha sendiri dan melalui karunia ketuhanan yang berupa ketersingkapan.

Cara pertama dapat berasal dari dalam dan dari luar, atau melalui perenungan

pribadi dan yang didengar dari guru serta membaca tulisan yang

digoreskannya. Sedangkan cara yang kedua adalah melalui pengajaran

langsung dari Tuhan tanpa perantara. Inilah yang disebut ilmu ladunni atau

kasyfiyyah atau ilhamiyyah, yang hanya dapat diperoleh melalui dzauq dan

wijdan.45

43Ibid. hlm. 44 Ibid. hlm. 125 45 Ibid., hlm. 125 – 6

Page 22: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

45

Mulla Sadra mengakui bahwa memang banyak orang yang

mengingkari keberadaan ilmu yang diperoleh secara gaib tersebut, yang

menjadi landasan bagi para pengembara ruhani dan ahli makrifat. Padahal

ilmu tersebut adalah yang paling kuat dan paling kokoh di antara seluruh ilmu

yang ada. Mereka yang mengingkarinya beranggapan bahwa tidak ada ilmu

kecuali yang diperoleh melalui belajar, perenungan atau periwayatan. Mereka

yang berpandangan seperti itu seolah-lah tidak mengerti al-Qur’an dan tidak

membenarkan bahwa al-Qur’an itu merupakan lautan yang luas yang

mencakup seluruh realitas. Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa

seseorang akan mengikari sesuatu yang di luar pengetahuanya, dan ini

merupakan penyakit kronis, yaitu sekedar bertaklid kepada mazhab guru dan

orang-orang terdahulu serta berhebti pada pemindahan kata-kata belaka.

Seperti halnya akal, seluruh pencapaian kasyf harus ditimbang oleh

agama, dan kasyf tidak akan berarti jika tidak sesuai dengan ukuran agama. Di

samping itu, pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf tidak mungkin

dijelaskan kepada orang lain kecuali d engan menggunakan burhan.

Oleh karena itu, di dalam al-hikmah al-muta’aliyah disyaratkan

pengetahuan tentang burhan, penyaksian bukti-bukti kebenaransecara

intuitifmelalui kasyf, dan komitmen yang tinggi terhadap agama. Mengenai

hal ini, Mulla Sadra mengatakan :

“Pembicaraan kami tidak semata-mata berkaitan dengan dzauq dan kasyf, atau hanya mengikuti agama tanpa argumentasi dan burhan serta komitmen terhadap hukum-hukumnya. Sesungguhnya, kasyf semata-mata, tanpa burhan, tidak mencukupi dalam pencarian kebenaran. Demikian pula, dengan mengandalkan penyelidikan semata-mata, tanpa kasyf, merupakan suatu kekurangan yang besar.”46

Dalam pandangan Mulla sadra, hikmah tidak bertentangan dengan

agama, bahkan keduanya memiliki tujuan yang sama. Orang yang

menganggapnya berbeda berarti tidak mengetahui kesesuaian antara

keputusan-keputusan agama dan pembuktian-pembuktian hikmah.

46 Mulla Sadra, Al-Himah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah, Dar Ihya’ al-Turas al

‘Arabi, Beirut, 1981, Jilid V, hlm. 205

Page 23: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

46

Pengetahuan tentang hal itu hanya bisa diperoleh melalui bantuan Tuhan,

pengetahuan yang utuh tentang hikmah, dan pemahaman terhadap rahasia-

rahasia kenabian.

Selanjutnya Mulla Sadra menggunakan simbol perjalanan atau safar

bagi menggambarkan proses intelek manusia mencapai hakekat kebenaran.

Empat perjalanan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.47

Perjalanan pertama adalah dari makhluk (khalq) menuju Hakikat

Kebesaran atau Pencipta (Haqq). Perjalanan pertama ini menunjukkan

pengembaraan dari maqam nafsu (nafs) ke maqam hati (qalb), dari maqam

hati ke maqam ruh, dan dari maqam ruh menuju tujuan akhir (al-maqshad al-

aqsha) atau tujuan tertinggi (al-bahjah al-kubra).

Setiap manusia pada umumnya melalui tiga maqam ini. Manakala

seseorang manusia telah mnecapai al-maqsha al-aqsha, berarati ia telah

menghadapkan wajahnya kepada Keindahan Hadirat Tuhan dan ia fana’ di

dalam-Nya. Maqam terakhir ini disebut juga maqam fana’ di dalam Dzat

Tuhan (al-fana’ al-Dzat) yang di dalamnya terkandung rahasia (sirr) dan yang

paling tersembunyi (al-akhfa).

Perjalanan kedua adalah dari Hakikat ke Hakikat dengan Hakikat (min

al-Haqq ila al-Haqq bi al-Haqq). Perjalanan dimulai dari maqam Dzat

menuju maqam Kamalat hingga hadir dalam Kesempurnaan Tuhan dan

mengetahui seluruh Nama Tuhan. Seseorang yang telah mencapai maqam ini,

dzatnya, sifatnya dan perbuatannya fana’ di dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan

Tuhan. Sirr adalah kefana’an dzatnya khafa adalah kefana’an sifat dan

perbuatannya. Perjalanan kedua ini berakhir sampai daerah kewalian (dairat

al-waliyat).

Perjalanan ketiga adalah dari Hakikat menuju makhluk dengan Hakikat

(min al-Haqq ila al-khlaq bi al-Haqq). Setelah menempuh perjalanan melalui

maqam-maqam, kefana’annya berakhir lalu ia kekal (baqa’) dalam kekekalan

(baqa’) Tuhan. Kemudian ia menempuh perjalanan melalui alam jabarut,

alam malakut, dan alam nasut, melihat alam semesta melalui Dzat, Sifat dan 47 Ibid., Jilid I hlm. 13 – 6

Page 24: BAB III MULLA SADRA BIOGRAFI DAN PEMIKIRANNYA …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · guru besar bidang filsafat Ibn Sina yang banyak belajar dan menulis

47

Perbuatan Tuhan. Ia (salik) mengecap nikmat kenabian meskipun ia bukan

nabi. Di sini berakhir perjalan ketiga dan bermula perjalanan keempat.

Perjalanan keempat dari makhluk menuju makhluk dengan Hakikat

(min al-khalq ila al-khalq bi al-Haqq). Seorang salik mengamati makhluk dan

menangkap kesan-kesan yang pada makhluk. Ia mengetahui kebaikan dan

kejahatan makhluk, lahir dan batinnya, didunia ini dan dunia yang akan

dating. Ia membawa ilmu yang dibutuhkan makhluk, mengetahui mana yang

mudarat dan mana yang manfaat. Dalam kehidupannya ia senantiasa bersama

yang Haqq karena wujudnya telah terpaut dengan Tuhan dan perhatiannnya

kepada makhluk tidak mengganggu perhatiannya pada Tuhan.

Demikianlah Mulla Sadra menggambarkan sebuah perjalanan akal

yang lengkap, yang membawa fikiran melalui tahap atau martabat penjauhan

dari ketidaksempurnaan, atau sebagai “katarsis” (tajrid) satu pemikiran dalam

arti kata fikir yang sebenarnya ke arah ketuhanan dan dari sana ke arah segala

kejadian dilihat dari kacamata metafisika dalam pengertiannya yang

sebenarnya.