bab ii tinjuan pustaka a. orang tua dengan anak …repository.unimus.ac.id/1697/3/bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Orang Tua dengan Anak Tunawicara
1. Orang Tua
a. Definisi Orang tua
Orang tua adalah ayah dan ibu adalah figur atau contoh yang akan
selalu ditiru oleh anak-anaknya (Mardiya, 2000).
Orang tua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup
bersama dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan
sehari-hari.“ (Gunarsa, 1976 : 27).
Orang tua adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan
dan siap sedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari
anak-anak yang dilahirkannya.“ (Kartono, 1982 : 27).
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang
dituakan, namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah
orang yang telah melahirkan yaitu ibu dan bapak, selain yang telah
melahirkan kita ke dunia ini ibu dan bapak juga yang mengasuh dan yang
telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik
dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kata orang tua merupakan kalimat
majemuk, yang secara leksikal berarti “Ayah ibu kandung: orang yang
dianggap tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya), orang-orang yang
dihomati (disegani). Berdasarkan pengertian etimologi, pengertian orang
tua yang dimaksud pada pembahasan ini ialah seseorang yang telah
melahirkan dan mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak baik anak
sendiri maupun anak yang diperoleh melalui jalan adopsi, orang tua akibat
adopsi dimaksudkan yaitu dalam kategori “Orang tua” yang sebenarnya
karena dalam praktek kehidupan sehari-hari, orang tua karena adopsi
mempunyai tanggung jawab yang sama dengan orang tua yang
sebenarnya, dalam berbagai hal yang menyangkut seluruh indikator
kehidupan baik lahiriyah maupun batiniyah, orang tua dalam hal ini yaitu
repository.unimus.ac.id
11
suami istri, adalah figur utama dalam keluarga, tidak ada orang yang lebih
utama bagi anaknya selain dari pada orang tuanya sendiri, apalagi bagi
adat ketimuran, orang tua merupakan simbul utama kehormatan, maka
orang tua bagi para anak merupakan tumpuan segalanya.
Selain itu orang tua juga memperkenalkan anaknya ke dalam hal-
hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu
yang tidak dimengerti oleh anak, maka pengetahuan pertama diterima oleh
anak adalah dari orang tuanya karena orang tua adalah pusat kehidupan
rohani sianak dan sebagai penyebab berkenalnya dengan alam luar, maka
setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya di kemudian hari terpengaruh
oleh sikapnya terhadap orang tua atau ibu dan bapak memegang peranan
yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anak.
Istilah orang tua atau keluarga dalam sosialisasi menjadi salah satu
bagian ikon yang mendapat perhatian khusus, keluarga dianggap penting
sebagai bagian bagi masyarakat secara umum. Individu terbentuk karena
adanya orang tua dan dari keluarga pada akhirnya akan membentuk
masyarakat, sedemikian penting peran orang tua atau posisi keluarga
dalam pembentukan masyarakat. (Setiawan, 2015).
Dari definisi tersebut secara umum dapat diambil pengertian bahwa
orang tua atau keluarga adalah:
Merupakan kelompok kecil yang umumnya terdiri atas ayah,
ibu dan anak-anak.
Hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana afeksi
dan rasa tanggung jawab.
Hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan
didasarkan atas ikatan darah, perkawinan atau adopsi.
Orang tua berkewajiban memelihara, merawat, dan melindungi
anak dalam rangka sosialisasinya agar meraka mampu
mengendalikan diri dan berjiwa sosial.
repository.unimus.ac.id
12
2. Tunawicara
Menurut Heri Purwanto dalam buku Ortopedagogik
Umum (1998) tuna wicara adalah apabila seseorang mengalami kelainan
baik dalam pengucapan (artikulasi) bahasa maupun suaranya dari bicara
normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi lisan
dalam lingkungan.
Sedangkan menurut Menurut Frieda Mangunsong,dkk
dalam Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa, tuna wicara atau
kelainan bicara adalah hambatan dalam komunikasi verbal yang efektif.
Kemudian menurut Dr. Muljono Abdurrachman dan Drs.Sudjadi S
dalam Pendidikan Luar Biasa Umum (1994) gangguan wicara atau
tunawicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi
dari bunyi bicara, dan atau kelancaran berbicara.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan anak tunawicara adalah
individu yang mengalami gangguan atau hambatan dalam dalam
komunikasi verbal sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
a. Faktor Penyebab Tuna Wicara
Drs.Sardjono mengutip (Moh. Amni dkk,1979,hal 23) Anak
tunawicara dapat terjadi karena gangguan ketika :
Sebelum anak dilahirkan/ masih dalam kandungan (pre natal)
Pada waktu proses kelahiran dan baru dilahirkan (umur neo
natal)
Setelah dilahirkan ( pos natal)
b. Karakteristik tunawicara
Menurut Heri Purwanto dalam Ortopedagogik umum (1998) yang
merupakan karakterisktik anak tunawicara adalah :
Karakteristik bahasa dan wicara Pada umumnya anak
tunawicara memiliki kelambatan dalam perkembangan bahasa
wicara bila dibandingkan dengan perkembangan bicara anak-
anak normal.
repository.unimus.ac.id
13
Kemampuan intelegensi Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak
berbeda dengan anak-anak normal, hanya pada skor IQ
verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya
Penyesuaian emosi,sosial dan perilaku Dalam melakukan
interaksi sosial di masyarakat banyak mengandalkan
komunikasi verbal, hal ini yang menyebabkan tuna wicara
mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosialnya.Sehingga
anak tunawicara terkesan agak eksklusif atau terisolasi dari
kehidupan masyarakat normal.
Sedangkan yang merupakan ciri-ciri fisik dan psikis anak
tunawicara adalah
o Berbicara keras dan tidak jelas,
o Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya,
Telinga mengeluarkan cairan,
o Bibir sumbing
o Suka melakukan gerakan tubuh
o Cenderung pendiam
o Suara sengau
Anak tunawicara memiliki keterbatasan dalam berbicara atau
komunikasi verbal, sehingga mereka memiliki hambatan dan kesulitan
dalam berkomunikasi dan menyampaikan apa yang ingin mereka rasakan.
Kesulitan dalam berkomunikasi akan semakin parah apabila anak
tunawicara ini menderita tungarungu juga. Adapun hambatan - hambatan
yang sering ditemui pada anak tuna wicara :
a. Sulit berkomunikasi dengan orang lain
b. Sulit bersosialisasi.
c. Sulit mengutarakan apa yang diinginkannya.
d. Perkembangan pskis terganggu karena merasa berbeda atau minder.
e. Mengalami gangguan dalam perkembangan intelektual, kepribadian,
dan kematangan sosial.
repository.unimus.ac.id
14
3. Konsep Diri
a. Konsep Diri
Konsep diri (self concept) merupakan masalah psikososial yang
tidak didapat sejak lahir, akan tetapi bertahap sesuai dari pengalaman
seseorang terhadap dirinya. Secara umum konsep diri adalah semua tanda,
keyakinan, serta pendirian sebagai suatu nilai yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain termasuk
karakter, nilai, ide, tujuan, kemampuan (Hidayat, 2006). Konsep diri
adalah representative fisik seorang individu , pusat inti dari “ Aku” dimana
semua pesepsi dan pengalaman terorganisir.
Komponen Konsep diri :
1) Citra tubuh (Body Image) merupakan sikap individu terhadap
dirinya baik disadari maupun tidak disadari mencakup persepsi
masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan dinamis karena
secara konstan berubah seiring dengan persepsi dan
pengalaman baru.
2) Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus
bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Hal ini akan
dibentuk sejak masa anak-anak dipengaruhi orang dekat dan
lingkungan
3) Harga diri penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
analisa seberapa banyak kesesuaian dengan tingkah laku dan
ideal diri. Harga diri akan meningkat sesuai dengan
meningkatnya usia
4) Peran serangakaian perilaku dan tujuan yang diharapakan
masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu didalam
kelompok sosial
5) Identitas diri merupakan kesadaran mengenai diri sendri yang
didapatkan individu dari observasi atau penilaian dirinya
Konsep diri adalah kombinasi dinamis yang dibentuk selama
bertahun-tahun yang didasarkan pada :
repository.unimus.ac.id
15
1) Reaksi orang lain terhadap tubuh seseorang;
2) Persepsi berkelanjutan tentang reaksi orang lain terhadap diri
3) Hubungan diri dengan orang lain;
4) Struktur kepribadian;
5) Persepsi terhadap stimulus yang mempunyai dampak terhadap
diri;
6) Pengalaman baru atau sebelumnya;
7) Perasaan saat ini tentang fisik, emosional, social diri;
8) Harapan tentang diri ( Potter, 2005)
b. Rentang konsep Diri
Konsep diri terdiri atas 5 komponen yaitu perubahan dalam Citra
Tubuh, Harga Diri, Ideal Diri, Peran Diri dan Identitas personal.Respon
konsep diri sepanjang rentang rentang 14 sehat-sakit berkisar dari status
aktualisasi diri yang paling adaptif sampai status kerancunan identitas
serta depersonalisasi yang lebih maladaptive serta depersonalisasi.
Keranuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak ke dalam
kepribadian psikososial yang harmonis. Depersonalisasi adalah suatu
perasaan takrealistis dan keasingan dari diri sendiri. Ini berhubungan
dengan tingkat ansietas panic dan kegagalan dalam pengujian realitas.
Individu mengalami kesulitan unuk membedakan diri sendiri dari orang
lain, dan tubuhnya sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa
tidak nyata dan asing baginya ( Sundden, 2006).
Gambar 2.1 Rentang respon konsep diri ( Sumber : Sundden,
2006 )
repository.unimus.ac.id
16
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu sumber eksternal
dan internal,
1. Sumber internal meliputi : Tingkat perkembangan dan
kematangan Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian
berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mengenal dan
membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan
kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari
lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi
lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh,
nama panggilan, pengalaman budaya dan hubungan 15
interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai pada
diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan
merealisasikan potensi yang nyata (Sundden, 2006).
Perkembangan anak seperti dukungan mental, perlakuan dan
pertumbuhan anak akan mempengaruhi terhadap konsep
tentang dirinya ( Wartonah, 2004)
Significant other ( orang yang terpenting / terdekat)
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan
pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui
kontak dan pengalaman dengan orang lain (Sundden, 2006)
Self perception ( persepsi diri sendiri)
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan
penilaiannya serta persepsi individu terhadap
pengalamannya terhadap situasi tertentu. Konsep diri
terbentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang
positif. Sehingga konsep diri merupakan aspek yang kritikal
dan dasar dari perilaku individu dengan perilaku yang
positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan
penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang
repository.unimus.ac.id
17
negative dapat dilihat dari hubungan individu dan social
yang terganggu. Menurut stuart sundden penilaian tentang
konsep diri dapat dilihat berdasarkan rentang respon konsep
diri ( Sundden, 2006)
2. Sumber eksternal meliputi:
Budaya Pada usia anak-anak akan mengadopsi nilai-nilai
dari orang tuanya, kelompok dan lingkungannya. Orang tua
yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat
terhadap lingkungannya ( Wartonah, 2004)
Pengalaman sukses dan gagal Riwayat sukses akan
meningkatkan konsep diri demikian sebaliknya ( Wartonah,
2004) 16
Stressor Stressor dalam kehidupan seperti perkawinan,
pekerjaan baru, ujian dan ketakutan. Jika koping individu
tidak adekuat maka dapat menimbulkan depresi, menarik
diri, dan kecemasan ( Wartonah, 2004)
Usia, keadaan sakit, dan trauma Usia tua, keadaan sakit
akan mempengaruhi persepsi terhadap dirinya ( Wartonah,
2004)
4. Konsep diri Orang Tua pada anak Tuna Wicara
a. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri di
mana individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan
baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi.
Individu yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang
dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi
positif dan dapat menerima dirinya apa adanya. Orang dengan konsep
diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu: (Hutagalung, 2007).
1) Yakin dengan kemampuannya dalam mengatasi masalah
2) Merasa setara dengan orang lain
repository.unimus.ac.id
18
3) Menerima pujian tanpa rasa malu
4) Menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan,
keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh
masyarakat,
5) Mampu memperbaiki dirinya sendiri karena ia sanggup
6) Mengungkapkan aspek kepribadian yang tidak ia senangi dan
berusaha mengubahnya.
b. Konsep diri negative
Calhoun dan Acocella membagi konsep diri negatif
menjadi dua tipe, yaitu: (Lita, 2003)
1) Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar
tidak teratur, tidak memiliki perasaan, kestabilan dan keutuhan
diri.
2) Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya,
kekuatan dan kelemahannya atau yang dihargai dalam
kehidupannya.
3) Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur.
Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang
sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak
mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum
yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.
Orang dengan konsep diri negatif ditandai dengan lima hal, yaitu:
1) Peka terhadap kritik, dalam arti orang tersebut tidak tahan
terhadap kritik yang diterimanya dan mudah marah.
2) Responsif terhadap pujian. Semua embel-embel yang
menunjang harga diri menjadi pusat perhatiannya.
3) Bersikap hiperkritis, artinya selalu mengeluh, mencela, dan
meremehkan apapun dan siapapun. Tidak mampu memberi
penghargaan pada kelebihan orang lain.
4) Merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan. Orang lain
adalah musuh.
repository.unimus.ac.id
19
Bersikap pesimis terhadap kompetisi. Enggan bersaing dan
merasa tidak berdaya jika berkompetisi dengan orang lain
Konsep diri yang terbentuk pada manusia tidak diperoleh
secara instan sepanjang hidup manusia. Konsep diri berasal dan
berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat hubungannya
dengan individu dan lingkungan sekitanya. Ketika individu lahir,
individu tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak
memiliki harapan-harapan yang ingin dicapainya serta tidak
memiliki penilaian terhadap dirinya sendiri, namun seiring
berjalannya waktu individu mulai bisa membedakan antara dirinya,
orang lain dan benda-benda di sekitranya dan pada individu mulai
mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan serta dapat melakukan
penelitian terhadap dirinya sendiri. Menurut Willey, dalam
perkembangan konsep diri yang digunakan sebagai pokok
informasi adalah interaksi individu dan orang lain (Singgih, 2004).
Balwin dan Holmes, juga mengatakan bahwa konsep diri adalah
hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain. Yang
dimaksud “Orang Lain”adalah: (Sarlito, 2004) Orang tua adalah
kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh seseorang dan yang
paling kuat. Pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap
atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi
bagi remaja untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu,
seringkali remaja-remaja yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola
asuh yang keliru dan negatif, atau pun lingkungan yang kurang
mendukung, cenderung mempunyai konsep diri yang negatif. Hal
ini disebabkan sikap orang tua seperti suka memukul, mengabaikan,
kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil,
tidak pernah memuji, suka marah marah dianggap sebagai hukuman
akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi
remaja menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan
repository.unimus.ac.id
20
dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan
positif, maka remaja akan merasa dirinya cukup berharga sehingga
tumbuhlah konsep diri yang positif
5. Masalah Orang Tua Dengan Anak Tunawicara
Berdasarkan hasil penelitian Gambaran Penyesuaian Diri Orang Tua
Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus Di Banda Aceh Self Adaptation
Description Of Parents Who Have Children With Special Needs In Banda
Aceh Sri Intan Rahayuningsih1 , Rizki Andriani2 1 Bidang Keilmuan
Keperawatan Maternitas dan Anak, maka dapat disimpulkan bahwa
gambaran penyesuaian diri orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus di Banda Aceh tahun 2011 berada pada kategori baik dengan
persentase 54,05%. Para orang tua yang memiliki ABK diharapkan agar
selalu mengupayakan hal yang terbaik untuk anak, karena bagaimanapun
kondisi anak, anak adalah anugerah dan titipan dari Tuhan yang harus dijaga,
dirawat, diberikan kasih sayang dan dibekali ilmu yang bermanfaat bagi anak
kelak. Bagi Institusi Pendidikan Sekolah Khusus/Bimbingan Khusus,
diharapkan semakin giat membentuk lebih banyak forum pertemuan orang
tua yang dapat meringankan beban psikologis orang tua karena mempunyai
tempat untuk saling berbagi pengalaman.
18% (13 dari 74) ibu bertindak kasar ketika sedang marah
pada anak,
5% (4 dari 74) ibu menggunakan kata-kata kasar dan
8% (6 dari 74) ibu membanting barang bila sedang kesal.
Hal ini sejalan dengan pendapat Scheneiders (1955, dalam Ummah,
2010) yang menjelaskan bahwa agresif merupakan luapan emosi sebagai
reaksi terhadap kegagalan individu yang ditampakkan dalam bentuk
pengrusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang
diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan perilaku non verbal.
Hurlock (1978) mengungkapkan keadaan anak yang serba kekurangan
(pertumbuhan dan perkembangannya) akan menimbulkan kekecewaan yang
sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit dan kutukan yang harus
repository.unimus.ac.id
21
dihadapi orang tua. Pada penelitian ini menunjukkan 54% para ibu berhasil
menyesuaikan diri secara baik terhadap masalah yang dihadapinya selama
mengasuh ABK.
Stress yang dialami oleh orang tua dengan anak berkebutuhan khusus
berpengaruh pada perkembangan anak (Hintermain, 2006, dalam
Susanandari, 2009). Susanandari (2009) menyebutkan bahwa seseorang baru
bisa mengatasi stress ketika ia telah berhasil menyesuaikan diri dengan
keadaan yang dihadapi. Penerimaan orang tua sangat berarti untuk
membentuk konsep diri anak yang positif, anak merasa diinginkan,
membentuk perasaan yang aman, mengembangkan rasa percaya diri, reaksi
emosional yang positif dan kepatuhan serta mampu melakukan penyesuaian
diri secara baik. Orang tua yang dapat bersikap menerima keadaan dirinya
yang mempunyai anak tidak sempurna diharapkan dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya (Ningrum, 2007; Schneiders, 1964, dalam Lubis,
2009).
Dalam proses menyesuaikan diri, seorang orang tua akan mengalami ,
perasaan frustrasi, malu dan konflik batin serta menyelaraskan tuntutan
tuntutan batin dengan tuntutan-tuntutan yang dikenakan kepada individu oleh
dunia dimana individu itu hidup (Muninggar, 2008). Sunarto & Hartono
(2008) menyebutkan respon penyesuaian diri yang baik ataupun buruk,
merupakan upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan
untuk memelihara kondisi keseimbangan yang lebih wajar. Menurut
Saronson dkk (Suhita, 2005), dukungan sosial memiliki peranan penting
untuk melindungi individu dari ancaman kesehatan mental. Individu yang
memiliki dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan untuk
mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Sementara individu yang
memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi individu lebih optimis
dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih
terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki tingkat
kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi keterampilan interpersonal,
memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan, serta lebih
repository.unimus.ac.id
22
mampu untuk mengupayakan dirinya dalam beradaptasi dengan stress.
Berbagai penelitian yang dikemukakan oleh Atkinson (Suhita, 2005) juga
menunjukkan bahwa orang yang memiliki banyak ikatan sosial cenderung
untuk memiliki usia yang lebih panjang, dan relatif lebih tahan terhadap
stress yang berhubungan dengan penyakit daripada orang yang memiliki
sedikit ikatan sosial.
Bagi anak berkebutuhan khusus, peran aktif orangtua ini merupakan
bentuk dukungan sosial yang menentukan kesehatan dan perkembangannya,
baik secara fisik maupun psikologis. Dukungan sosial pada umumnya
menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan
oleh orang lain yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan
rekan kerja. Johnson dan Johnson menyatakan bahwa dukungan sosial adalah
pemberian bantuan seperti materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh
terhadap kesejahteraan manusia. Dukungan sosial juga dimaksudkan sebagai
keberadaan dan kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya
untuk membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu.
Penerimaan diri menurut Hurlock adalah suatu tingkat
kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik
dirinya (Hurlock, 2004). Individu yang dapat menerima dirinya diartikan
sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak
memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih
banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Penerimaan orangtua yaitu suatu efek psikologis dan perilaku dari
orangtua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian,
dukungan dan pengasuhan dimana orangtua tersebut bisa merasakan dan
mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya (Hurlock, 2004).
Sedangkan menurut Carson dan Butcher (dalam Handayani,2008)
menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah sejauh mana seseorang dapat
menyadari dan mengakui karakteristik pribadi dan menggunakannya
dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Jadi dari teori diatas
dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah suatu konsep dimana
repository.unimus.ac.id
23
seseorang memahami akan kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya
dan menggunakan dalam menjalani kehidupannya.
Penerimaan orang tua yaitu suatu efek psikologis dan perilaku
dari orangtua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian,
dukungan dan pengasuhan dimana orangtua tersebut bisa merasakan dan
mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya (Hurlock, 2004). Dalam
pengertian yang dipaparkan oleh Hurlock terdapat beberapa aspek yang bisa
dijadikan tolak ukur penerimaan orang tua diantaranya aspek rasa
sayang, kelekatan, kepedulian, dukungan, dan pengasuhan. Hal ini
senada dengan yang diungkapkan oleh Rohner et al (2007) bahwa aspek
penerimaan orang tua terdiri dari kehangatan kasih sayang, perawatan,
kenyamanan, perhatian, pemeliharaan, serta dukungan dari orang tua untuk
anaknya.
Penerimaan orang tua tidak semudah itu dapat seketika muncul
saat orang tua mengetahui diagnosa dokter terhadap anak mereka. Orang
tua yang mendapat “vonis” bahwa buah hatinya termasuk anak
berkebutuhan khusus biasanya belum bisa langsung menunjukkan suatu
penerimaan terhadap sang anak. Seperti yang diungkapkan oleh Rose
(dalam Sarasvati, 2004) bahwa untuk mencapai suatu tahap dimana
orang tua benar – benar telah menerima kondisi anak, maka orang tua
biasanya akan melalui beberapa tahapan.
a. Tahapan Penerimaan orang tua
Rose (dalam Sarasvati, 2004) membagi tahap – tahap
penerimaan menjadi beberapa tahap:
1) Tahap denial (penolakan)
Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari
seorang ahli. Perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi
kebingungan. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa
yangharus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini
dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat
manusiawi, karena umumnya, orang tua mengharapkan yang
repository.unimus.ac.id
24
terbaik untuk keturunan mereka. Kadang, orangtua
memiliki perasaan yang kuat untuk menolak keadaan bahwa
anaknya merupakan anak CP. Tindakan penolakan ini bukan
untuk meredakan kesedihan orangtua, tetapi akan semakin
menyiksa perasaan orangtua. Tidak mudah bagi orang tua
manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya
terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk
mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga
mereka. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk, jika
keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari
lingkungan untuk memberikan keturunan yang
”sempurna”. Kadang dalam hati muncul pernyataan ”tidak
mungkin hal ini terjadi pada anak saya” atau ”tidak pernah
terjadi keadaan seperti ini di keluarga kami”. (Smith, 2003)
2) Tahap anger (marah)
Tahapan yang ditandai dengan adanya reaksi emosi / marah
pada orangtua yang memiliki anak tuna rungu dan orangtua
menjadi peka dan sensitif terhadap masalah – masalah kecil
yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan. Kemarahan
tersebut biasanya ditujukan pada dokter, saudara, keluarga,
atau teman – teman. Pernyataan yang sering muncul dalam
hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk
”Tidak adil rasanya...”, ” Mengapa kami yang mengalami
ini?” atau ”Apa salah kami?” (Smith, 2003)
3) Tahap bargainning (tawar – menawar)
Tahapan dimana orangtua mulai berusaha untuk menghibur
diri dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau kami
menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan
sendirinya” dan berpikir tentang upaya apa yang akan
dilakukan untuk membantu proses penyembuhan anak.
(Safaria, 2005)
repository.unimus.ac.id
25
4) Tahap Depression (depresi)
Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan
kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga
menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu, yang
khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian
selama hamil, atau akibat dosa di masa lalu. Ayah pun sering
dihinggapi rasa bersalah, karena merasa tidak dapat
memberikan keturunan yang sempurna (Safaria, 2005). Putus
asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua
mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang
anak. Terutama jika mereka memikirkan siapa yang dapat
mengasuh anak mereka, pada saat mereka meninggal. Harapan
atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul
dalam bentuk pertanyaan ”Akankah anak kami mampu hidup
mandiri dan berguna bagi orang lain?”. Pada tahap
depresi, orang tua cenderung murung, menghindar dari
lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan
kehilangan gairah hidup.
5) Tahap Acceptance (penerimaan)
Tahapan dimana orangtua telah mencapai pada titik
pasrah dan mencoba untuk menerima keadaan anaknya dengan
tenang. Orang tua pada tahap in icenderung mengharapkan
yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak
mereka. (Safaria, 2005) Kemampuan penyesuaian diri dari
ibu akan mempengaruhi psikologis dari ibu sendiri dan juga
perkembangan anak tuna rungu. Ibu yang mampu
menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi
psikologis yang sehat dan akan berdampak positif bagi
perkembangan anaknya. Sebaliknya, ibu yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi
repository.unimus.ac.id
26
psikologis yang tidak sehat dan akan berdampak negatif
bagi perkembangan anaknya. (Singgih D. Gunarsa, 2003).
Tahap – tahap penerimaan tersebut tidak selalu
berakhir dengan adanya sikap penerimaan yang muncul,
namun ada kalanya dalam beberapa kasus, orang tua tetap
tidak mampu menerima kondisi anak sepenuhnya. Hal inilah
yang akhirnya memunculkan perilaku – perilaku penolakan
dari orang tua terhadap anak. Namun jika orang tua telah
benar – benar menyadari dan memahami kondisi anaknya dan
menerima apapun yang terjadi pada anaknya maka akan
muncul sikap – sikap penerimaan terhadap kekurangan serta
keterbatasan yang ada pada anak mereka.
b. Sikap Penerimaan Orangtua
Sikap didefinisikan sebagai ekspresi sederhana dari
bagaimana kita suka atau tidak suka terhadap suatu hal. Pada
dasarnya, sikap dapat bersifat positif dan juga bersifat negatif
(Purwanto, 2008). Tingkat penerimaan orang tua dalam
menerima anak dengan problematika tuna rungu sangat
dipengaruhi oleh tingkat kestabilan dan kematangan emosinya,
pendidikan, status sosial ekonomi, dukungan anggota keluarga,
struktur dalam keluarga, dan kultur yang
melatarbelakanginya. Ketika orangtua menunjukkan
kerjasama, kehangatan, saling menghormati, komunikasi yang
seimbang, dan penyesuaian terhadap kebutuhan masing –
masing akan membantu anak dalam membentuk sikap
yang positif. Sebaliknya, bila orang tua menunjukkan
koordinasi yang buruk, peremehan yang dilakukan secara aktif
oleh orangtua, kurangnya kerjasama dan kehangatan, dan
pemutusan hubungan oleh salah satu orangtua merupakan
kondisi yang membuat anak menghadapi risiko terjadinya
gangguan perkembangan. (Santrock, 2007).
repository.unimus.ac.id
27
Sikap menerima setiap anggota keluarga mengandung
pengertian bahwa dengan segala kelemahan, kekurangan, serta
kelebihn yang dimiliki oleh anak, anak seharusnya mendapat
tempat dalam keluarga dan setiap anggota keluarga berhak atas
kasih sayang dari orang tuanya. Sesuai dengan pemahaman yang
dimiliki seorang ibu, maka ibu akan menerima kondisi anaknya
dengan memberikan kasih sayang, perhatian, dan mampu untuk
memahami perkembangan anak sejak dini. (Singgih D.
Gunarsa, 2003). Menurut Puspita (dalam Marijani 2003), bentuk
penerimaan orang tua adalah sebagai berikut
1) Memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif,
kelebihan dan kekurangan). Langkah ini justru yang paling
sulit dicapai orang tua karena banyak diantara orangtua sulit
atau enggan menangani sendiri anaknya sehari-hari
dirumah. Mereka mengandalkan bantuan pengasuh,
pembantu, audara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak.
Padahal pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik
bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang
tuanya. Orang tua yang telah menerima kondisi anaknya
dengan tulus akan berusaha mencari tahu sisi positif
dan negatifnya serta memahami apa yang dilakukan oleh anak
mereka.
2) Memahami kebiasaan-kebiasaan anak. Orang tua sudah
seharusnya mengerti apa saja yang biasa dilakukan sang
anak. Bila kebiasaan itu memang berhubungan dengan
keterbatasan sang anak. Dengan begitu akan membuat orang
tua dapat berinteraksi dengan anak tanpa menyinggung
perasaan sang anak.
3) Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak.
Orang tua hendaknya memaklumi perilaku yang belum bisa
dilakukan dan tidak bisia dilakukan oleh anak mengingat
repository.unimus.ac.id
28
keterbatasan yang dimiliki oleh anak tersebut. Dari sini
orang tua akan faham apa saja yang perlu dilakukan untuk
dapat meningkatkan apa – appa yang belum bisa dilakukan
oleh anak dan tidak menuntut lebih terhadap apa – apa yang
memang tidak bisa dilakukan oleh anak.
4) Memahami penyebab perilaku buruk atau baik anak-
anak. Anak berkebutuhan khusus terutama tuna rungu
memiliki keterbatasan dalam pendengaran. Disini orang tua
harus cermat menyikapinya sehingga anak tidak akan
merasa minder dengan kesalahan yang diperbuatnya dan
membantu memberi penjelasan yang tepat agar anak
memahami.
5) Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan
diperlukan dalam kehidupan dimasa depan. Ikatan batin
antara orang tua dan anak akan muncul jika hubungan yang
harmonis terjalin diantara keduanya.
c. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orangtua
Penerimaan orang tua terhadap anak yang berkebutuhan
khusus merupakan suatu teori yang telah diteliti oleh banyak
ilmuan selama beberapa tahun silam. Penelitian tersebut bukan
hanya berfokus pada penerimaan orang tua terhadap anak yang
berkebutuhan khusus namun juga penerimaan orang tua
terhadap anak – anak mereka yang normal. Hal ini dilakukan
karenga mengingat besarnya pengaruh penerimaan orang tua
terhadap perkembangan anak baik secara fisik maupun psikis
(Rohner et al, 2007).
Dalam beberapa kasus banyak orang tua yang tidak mampu
menerima kondisi anaknya. Atas hal ini orang tua juga tidak boleh
seratus persen disalahkan karena untuk dapan menerima suatu
kondisi anak berkebutuhan khusus seperti anak tuna rungu,
repository.unimus.ac.id
29
banyak factor yang mempengaruhi hal tersebut (Hurlock, 2007)
antara lain:
1) Dukungan dari keluarga besar.
Keluarga adalah sumber kekuatan utama. Jika kita
memiliki maslah kita akan membaginya kepada keluarga.
Inilah peran keluarga besar bagi orang tua yang memiliki
anak tuna rungu. Dengan adanya dukungan keluarga besar,
orang tua tersebut memiliki tempat untuk berbagi,
mendapatkan semangat serta tidak merasa sendiri dalam
menghadapi masalah yang dialaminya ( Sarasvati, 2004).
2) Factor ekonomi keluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa factor ekonomi juga turut andil
dalam menumbuhkan penerimaan orang tua. Orang tua yang
memilki tingkat ekonomi yang lebih akan memiliki
cukup uang untuk tetap mengusahakan pengobatan dan
terapi – terapi yang dibutuhkan oleh anak cerebral palsy.
3) Latar belakang agama. Keyakinan yang kuat terhadap
Tuhan Yang Maha Esa akan membuat orang tua berusaha
untuk ikhlas terhadap apa yang dialami oleh anak mereka.
Karena itu pula orang tua akan berusaha membesarkan hati
dan memahami bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan
yang tidak dapat dilalui oleh hambanya (Sarasvati, 2004).
4) Sikap para ahli yang mendiaknosa anak mereka. Jika para
ahli yang mendiagnosa tersebut terlihat pesimis terhadap
kemajuan dan kesembuhan dari sang anak maka
kemungkinan besar orang tua juga akan putus asa. Karena
orang yang diangga memiliki pengetahuan lebih untuk
menangani anak mereka saja sudah pesimis apalagi orang tua
yang tidak mengetahui banyak hal dalam menyembuhkan anak
mereka. Ini akan berpengaruh pada perilaku yang ditunjukkan
kepada anak. Selain itu jika para ahli simpatik pada orang
repository.unimus.ac.id
30
tua tersebut, makan akan membuat orang tua merasa
dimengerti dan dihargai. (Sarasvati, 2004).
5) Tingkat pendidikan pasangan suami istri. Pasangan suami istri
dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah
mencari informasi tentan masalah ketunaan yang dialami anak
mereka. Apa lagi tuna rungu bisa dikatakan kasus yang
belum banyak dikaji secara umum. maka tidak semua orang
dapat menerima anak dengan tuna rungu dan dapat sesegera
mungkin mencari penyembuhan.
6) Status perkawinan, keluarga dengan status perkawinan yang
harmonis biasanya akan membuat pasangan suami istri saling
bekerja sama, saling bahu – membahu dalam menghadapi
cobaan hidup (Sarasvati, 2004). Dengan demikian beban dan
tekanan yang dirasakan dapat dibagi bersama,
7) Sikap masyarakat umum. Masyarakat yang sudah lebih
”menerima”, mereka akan berusaha memberikan dukungan
secara tidak berlebihan (pada saat berhadapan dengan anak-
anak dengan kebutuhan khusus). Menanyakan secara halus
apakah orangtua perlu bantuan, memberikan senyuman
kepada sang anak, memperlakukan orangtua seperti
layaknya orangtua lain (dengan anak yang normal),
merupakan hal-hal sederhana yang sebetulnya sangat
membantu menghilangkan stres pada keluarga dari anak
dengan kebutuhan khusus (Sarasvati, 2004)
repository.unimus.ac.id
31
B. Kerangka Teori
Skema 2.2 (Ningrum, 2007; Schneiders, 1964, dalam Lubis, 2009)
(Hintermain, 2006, dalam Susanandari, 2009). Susanandari (2009)
C. Kerangka konsep
Skema 2.3 kerangka Konsep
D. Variabel penelitian
Variabel Penelitian ini adalah Konsep diri orang tua pada anak
tunawicara antara lain Peran ; Identitas diri; Harga diri; Ideal Diri: Citra tubuh
Orang Tua dengan Anak
tunawicara
Masalah orang tua pada
anak Tunawicara
1. Malu
2. Kecewa
3. Frustasi
4. Sensitive dan
emosinal
5. Stres
6. Merasa itu kutukan
7. Beban Psikologis
Konsep Diri Orang Tua
pada anak Tunawicara
1. Citra tubuh
2. Peran
3. Identitas diri
4. Harga diri
5. Ideal Diri
Konsep diri orang tua
pada anak
Tunawicara
1. Citra tubuh
2. Peran
3. Identitas diri
4. Harga diri
5. Ideal Diri
repository.unimus.ac.id