bab. ii tinjauan pustaka kalium yodida (ki 2, atau yang umum dikenal sebagai larutan yodium) dapat...
TRANSCRIPT
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
Jagung Pulut (waxy corn)
Pemanfaatan jagung pulut di beberapa daerah adalah sebagai jagung rebus dan
jagung bakar karena rasanya enak dan gurih. Kegenjahan umur dari jagung pulut cukup
menarik untuk dikembangkan karena pada umur sekitar 65 - 70 hari dapat dipanen
muda sebagai jagung rebus. Pemanfaatan yang lain adalah sebagai bahan baku
pembuatan kue dan jagung marning. Namun sampai saat ini peningkatan potensi hasil
jagung pulut belum mendapat perhatian serius.
Jagung pulut merupakan jagung lokal yang mempunyai ukuran tongkol kecil,
dengan diameter 10 - 12 mm dan sangat peka terhadap penyakit bulai
(Perenosclerospora sp). Karakter pulut diatur oleh gen resesif wx (waxy corn). Gen wx
ini mudah ditransfer ke jagung bukan pulut (Hallauer 1990). Larutan kalium yodida
(KI2, atau yang umum dikenal sebagai larutan yodium) dapat digunakan untuk
mengidentifikasi amilum jagung pulut, yaitu ditandai dengan reaksi warna merah
kecoklatan pada bagian dalam biji yang dicelupkan ke dalam larutan tersebut. Pada
jagung bukan pulut menunjukkan reaksi warna biru sampai hitam, demikian juga
tepungsari jagung pulut apabila bereaksi terhadap larutan yodium warnanya menjadi
coklat kemerahan.
Jagung pulut yang ada ditanam petani dan di pasaran sekarang ini merupakan
jagung pulut lokal, termasuk golongan varietas komposit. Jagung pulut ini merupakan
salah satu sumber plasma nutfah. Kebanyakan petani menggunakan benih mereka
sendiri atau dari tetangga hasil tanaman sebelumnya dan umumnya menanam benih
yang berasal dari beberapa tongkol saja, demikian dilakukan bertahun-tahun sehingga
tanaman menjadi nampak seragam (sebagai akibat dari small sample inbreeding).
Produksi benih varietas sintetik relatif mudah dan petani dapat menggunakan benih dari
hasil pertanamannya sendiri. Varietas komposit dan sintetik merupakan suatu populasi
yang mempunyai keragaman genetik yang luas sehingga daya adaptasinya luas, tetapi
kurang seragam dalam hal ukuran tongkol.
Varietas jagung bersari bebas dapat berupa varietas sintetik maupun komposit.
Varietas sintetik dibentuk dari galur inbrida yang memiliki daya gabung umum baik,
-10-
sedangkan varietas komposit dibentuk dari galur inbrida, varietas bersari bebas, dan
atau hibrida. Dalam pembentukan varietas bersari bebas yang perlu diperhatikan adalah
adanya populasi dasar yang akan diperbaiki dan metode pemuliaan yang digunakan
dalam perbaikan populasi tersebut. Varietas sintetik adalah populasi bersari bebas yang
berasal dari silang sesamanya (intercross) antar galur, yang diikuti dengan perbaikan
melalui seleksi. Pembentukan varietas sintetik diawali dengan pengujian silang puncak
(persilangan galur dengan penguji atau tester) untuk menguji daya gabung umum galur-
galur yang jumlahnya banyak.
Jagung Bermutu Protein Tinggi
Sebagai bahan pangan dan pakan, jenis jagung yang ada di Indonesia masih
mempunyai kelemahan dilihat dari nilai nutrisinya. Kandungan protein biji jagung
biasanya berkisar antara 8 - 11% tetapi mengandung dua asam amino esensial lisin dan
triptofan yang rendah, yaitu masing-masing hanya 0,225% dan 0,05% dari total protein
biji. Angka ini kurang dari separuh konsentrasi yang disarankan oleh WHO/FAO
(WHO 1985). Bila jagung digunakan sebagai pakan, maka protein untuk ternak juga
kekurangan dua asam amino tersebut. Oleh karena itu diet sehat untuk manusia dan
ternak monogastik harus memasukkan lisin dan triptofan dari sumber lain. Mertz et al.
(1964) menemukan mutan jagung pada biji opak yang mengandung lisin tinggi yang
kemudian diketahui bahwa karakter tersebut diatur oleh gen opaque-2 (oo). Gen
opaque-2 yang mampu meningkatkan kadar lisin dan triptofan pada endosperm jagung
telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produk riset yang disebut Quality Protein
Maize (QPM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemindahan gen opaque-2 ke
dalam jagung biasa dapat meningkatkan kualitas protein jagung yang bersangkutan,
sebab disamping kandungan protein jagung meningkat, juga kandungan triptofan dan
lisinnya lebih tinggi.
Jagung QPM semula tidak diminati karena pengaruh pleiotrofik sifat fisik
endospermnya yang lunak, rentan hama gudang dan busuk tongkol, hasil rendah, dan
biji lama mengering. Peneliti Centro Internacional de Mejoramiento de Maizy Trigo
(CIMMYT) telah berhasil menggabungkan gen oo dengan ‘oo endosperm modifier
gene’(Vasal et al. 1980). Melalui suatu program seleksi berulang (recurrent selection)
dan setelah beberapa siklus seleksi, akhirnya dihasilkan jagung QPM dengan
-11-
endosperm lebih keras (Bjarnason and Vasal 1992). Kini kandungan protein jagung
tersebut meningkat dari 9,0 menjadi 11,0-13,5%, juga kandungan triptofan dan lisinnya
meningkat dari 0,05 dan 0,225 menjadi 0,11% dan 0,475%. Jagung QPM yang
sekarang memiliki produksi hampir sama dengan jagung biasa, malah ada yang hasilnya
lebih tinggi (Cordova 2001). Keberhasilan CIMMYT perlu dimanfaatkan baik secara
langsung sebagai bahan introduksi maupun sebagai bahan donor perbaikan genetik
materi jagung nasional. Meskipun dari tempat asalnya bahan genetik introduksi telah
berupa improved germplasm namun perlu diintegrasikan dengan materi genetik
nasional, dan pada saatnya dapat dikembangkan.
Upaya meningkatkan kadar protein pada biji jagung sudah lama dilakukan.
Publikasi klasik tentang ini adalah‘Seventy Generations of Selection for Oil and Protein
in Maize’oleh Dudley tahun 1974. Dilaporkan oleh Dudley et al. (1974) bahwa kadar
protein berhasil ditingkatkan dari 10,9% (populasi asal) menjadi 26,6% pada galur
jagung ‘Illinois High Protein’. Belakangan Dudley (1977) menyimpulkan bahwa ada
korelasi negatif antara kenaikan kadar protein dengan hasil. Biji jagung yang telah
matang terdiri atas perikarp (6%), endosperm (82%), dan embrio/lembaga (12%). Pada
lembaga, kadar dan mutu protein tinggi tetapi protein pada endosperm bermutu rendah.
Berdasarkan kelarutannya, protein pada endosperm biji jagung terdiri atas fraksi-fraksi
albumin larut dalam air, globulin larut dalam garam, prolamin atau zein larut dalam
alkohol, dan glutelin larut dalam asam atau basa (Bjarnason and Vasal 1992). Proporsi
zein ini pada endosperm cukup tinggi yakni sekitar 60%. Pada fraksi zein tidak terdapat
lisin dan triptofan sedangkan pada ketiga fraksi lainnya, asam amino cukup seimbang.
Oleh karena proporsi zein pada biji tinggi, tidak adanya lisin dan triptofan pada zein
inilah yang berkaitan dengan rendahnya mutu protein pada jagung biasa (Vasal 2000,
2001). Dengan demikian pemuliaan jagung bermutu protein tinggi mesti diarahkan
kepada perbaikan genetik endosperm.
Awal dari perbaikan genetik terhadap mutu protein dipicu oleh penemuan gen-gen
opaque dan floury. Gen-gen ini dilaporkan dapat mengubah kandungan lisin dan
triptofan pada endosperm biji. Walaupun sejumlah gen diidentifikasi, namun yang
sering dimanfaatkan dalam memperbaiki sifat endosperm jagung adalah opaque-2 (oo)
dan floury 2 (fl2), masing-masing pertama sekali ditemukan oleh Mertz et al. (1964) dan
Nelson et al. (1965). CIMMYT semula menggunakan kedua gen ini tetapi dalam
-12-
perkembangan berikutnya lebih memfokuskan kepada pemanfaatan gen oo (Vasal
2000).
Pemanfaatan gen oo dan fl2 dalam kegiatan pemuliaan jagung mulai intensif pada
dekade 1970-an. Untuk mentransfer kedua gen itu ke bahan genetik target biasanya
digunakan metode seleksi silang balik (back-cross). Biji yang mengandung gen oo dan
fl2 memperlihatkan sifat lunak berkapur (soft chalky) dan merupakan penanda atau
marka morfologis yang efektif dalam seleksi pada populasi yang bersegregasi (Vasal
2001). Oleh karena sifat yang resesif, pada setiap tahap back-cross diperlukan satu
generasi‘selfing’untuk pemulihan oo.
Fenotipe biji yang lunak ini ternyata berkaitan dengan kelemahan yang dimiliki
oleh jagung opak waktu itu (Bjarnason dan Vasal 1992). Penggunaan materi genetik fl2
juga berkurang karena munculnya karakter jelek (undesirable) dari mutan fl2.
Selanjutnya selama satu dekade CIMMYT menitikberatkan program konversi jagung
normal baik jenis varietas bersari bebas atau open polinated variety (OPV) maupun
inbrida elit menjadi materi QPM. Pengujian dan penanaman secara komersial jagung
opak jenis OPV dan hibrida meluas di negara-negara seperti Brazil, Colombia, India,
USA, Afrika Selatan, dan Hungaria. Setelah mengevaluasi sejumlah besar materi
jagung opak di banyak lingkungan, pada pertengahan 1970-an diketahui adanya
beberapa kelemahan dari tipe QPM lunak. Karena pengaruh pleiotrofik, kelemahan
terekspresi pada biji yakni hasil biji rendah, rentan terhadap hama (gudang) dan
penyakit (busuk tongkol), biji lama mengering sesudah masak fisiologis. Penampilan
biji yang lunak, tumpul, dan kusam tidak disukai oleh petani jagung yang sudah biasa
dengan tipe endosperm keras.
Arah pemuliaan beralih untuk memperkeras endosperm. Upaya memuliakan
jagung opak berendosperm keras (Hard Endosperm QPM) dimulai dengan mencari
sumber gen baru. Walaupun teridentifikasi mutan-mutan lain seperti o6 dan fl3 tetapi
belum bisa mengungguli gen oo dalam meningkatkan mutu protein. Gen oo dan fl2
secara tunggal hanya akan menghasilkan fenotipe dengan endosperm lunak. Kemudian
para peneliti mencoba: a) menggunakan gabungan dua gen (oo dan fl2 atau oo dan su2)
dan b) penggunaan serempak gen oodengan gen ‘modifier o2’. Ternyata gen‘modifier
oo’yang pertama sekali dilaporkan oleh Paez et al. (1969) bila digabung dengan gen oo
cukup efektif dalam mengubah kekerasan endosperm. Bahan genetik yang diperbaiki
-13-
juga memperlihatkan proporsi berbeda antara fenotipe yang opak/buram dan yang
transluscent/jernih. Lebih penting dari semua itu, penggabungan gen oo dengan
‘modifier oo’ini terbukti dapat mengubah fenotipe biji sambil tetap mempertahankan
mutu biji protein (Bjarnason and Vasal 1992).
Sama pentingnya pemikiran untuk meningkatkan rasio lembaga: endosperm dan
proporsi lapisan aleuron pada biji jagung biasa. Sebagaimana dikemukakan, kadar dan
mutu protein lebih tinggi pada lembaga. Namun pembentukan varietas jagung berkadar
lisin tinggi dengan cara ini pada jagung biasa tidak berhasil walaupun melalui seleksi
berulang (Zuber et al. 1975). Sebagaimana dikemukakan, upaya awal perbaikan jagung
opaque adalah terhadap fenotipe biji. Dari sejumlah bahan genetik hasil konversi
populasi jagung opak dipilih tongkol-tongkol yang membawa sifat ‘modified’ opaque,
yakni keopakannya telah berubah ke arah lebih jernih. Biji-biji terbaik dari tongkol
terpilih digunakan pada generasi-generasi seleksi selanjutnya. Kriteria seleksi yang
diterapkan termasuk ketat, antara lain dengan membuang sifat biji yang tampilannya
kabur dan kurang menarik. Mutu protein selalu dimonitor di laboratorium terutama
kandungan lisin dan triptofan pada endosperm. Pada populasi yang bersegregasi,
tongkol-tongkol dengan biji renggang juga dibuang (Vasal 2000, 2001).
Beberapa literatur mengenai jagung bermutu ini dikenal dua istilah: High Quality
Protein Corn, HQPC dan Quality Protein Maize, QPM. Tampaknya yang lebih populer
digunakan adalah QPM. Terjemahan bahasa Indonesia yang mendekati untuk QPM
adalah jagung bermutu protein tinggi.
Marka Simple Sequence Repeats (SSRs)
Marka molekuler pada awal perkembangannya diperkenalkan untuk mengatasi
kesulitan seleksi secara konvensional. Apabila marka molekuler yang terpaut dengan
gen-gen yang dimaksud sudah diidentifikasi, maka marka tersebut dapat membantu
mengurangi ukuran populasi dan waktu yang dibutuhkan dalam program pemuliaan per
siklus seleksi. Beberapa kelebihan marka molekuler adalah memiliki kemampuan
menyeleksi tanaman pada tahap pembibitan untuk sifat yang baru bisa diamati setelah
tanaman tumbuh menjadi besar dan kemampuan menyeleksi sifat yang sangat sulit bila
menggunakan seleksi fenotipe saja yang membutuhkan waktu relatif panjang (Couch et
al. 1991).
-14-
Marka SSRs atau biasa disebut mikrosatelit telah menjadi sistem marka yang
sering digunakan pada tanaman jagung (Smith et al. 1997). Mikrosatelit atau SSRs
terdiri dari susunan DNA dengan motif 1 - 6 pasang basa, berulang sebanyak lima kali
atau lebih secara tandem (Vigouroux et al. 2002). SSRs polimorfis telah digunakan
secara ekstensif sebagai marka genetik pada studi genetik jagung seperti pada
konstruksi pemetaan keterpautan gen dan pemetaan quantitative trait loci (QTL)
(Romero-Severson 1998; Frova et al. 1999) atau analisis keragaman genetik dan evolusi
(Senior et al. 1998; Pejic et al. 1998; Lu and Bernardo 2001; Matsuoka 2002).
Primer SSRs dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved
flanking region). Variasi dalam jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara
genotip-genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR) (Hamada et al. 1982; Powell et al. 1996). Kemudahan SSRs
dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen Deoxyribo Nucleic Acid
(DNA), serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkannya menyebabkan metode
ini ideal untuk dipakai dalam studi genetik, terutama pada studi dengan jumlah sampel
yang banyak. Selain itu, teknik PCR pada SSRs hanya menggunakan DNA dalam
jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, sekitar 100 - 300 bp (base-pair) dari
genom. Selain itu, SSRs dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena
hanya sedikit saja yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan
bagian lain, seperti biji atau polen (Senior et al. 1996).
Marka SSRs juga bersifat multialelik dan mudah diulangi sehingga penggunaan
marka SSRs lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di antara genotip-
genotip yang berbeda (Senior et al. 1998). Keunggulan lain adalah selain produk PCR
dari SSRs dapat dielektroforesis dengan gel agarose, juga dapat dielektroforesis dengan
menggunakan gel akrilamid terutama pada alel suatu karakter memiliki tingkat
polimorfis yang rendah, dimana gel agarose tidak mampu digunakan. Dengan
demikian, gel akrilamid mampu mendeteksi lebih banyak alel per lokus daripada gel
agarose (Macaulay et al. 2001).
Beberapa pertimbangan lain sehingga marka mikrosatelit banyak digunakan
dalam studi genetik diantaranya: terdistribusi secara melimpah dan merata dalam
genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), dan sifatnya yang
kodominan dengan lokasi genom yang telah diketahui. Dengan demikian, marka
-15-
mikrosatelit merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang
sangat tinggi sehingga banyak digunakan dalam membedakan genotip, evaluasi
kemurnian benih, pemetaan gen, sebagai alat bantu seleksi, studi genetik populasi, dan
analisis diversitas genetik.
Peningkatan Produksi Jagung dan Permasalahannya
Beberapa fenomena penting dalam produksi jagung di Indonesia, di antaranya:
a. Kedepan areal pertanaman jagung akan bergeser dari pulau Jawa ke luar pulau
Jawa, utamanya Sumatera. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan areal
tanam jagung yang jauh lebih cepat di Sumatera dibandingkan dengan di Jawa,
laju pertumbuhan di Jawa 0,15% pada musim hujan dan 1,92% pada musim
kemarau, sedangkan di Sumatera 11,89% pada musim hujan dan 12,52% pada
musim kemarau per tahun (Subandi et al. 2004). Ini berarti ke depan areal
tanam jagung akan bergeser dari lahan subur ke lahan yang kurang subur (sub-
optimal/marjinal).
b. Laju peningkatan areal jagung pada lahan sawah lebih cepat dari pada lahan
kering, dan petani di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur dan Lampung,
sebagai dua propinsi penghasil jagung utama, lebih tertarik menanam jagung
dari pada palawija lainnya (terutama kedelai) dan/atau padi. Ini semua
nampaknya terkait oleh perolehan pendapatan yang lebih baik dari usaha
menanam jagung, karena pada musim kemarau umumnya harga jagung baik
sebab disamping kualitas biji baik juga pasokan kurang (Subandi et al. 2004).
Produktivitas jagung di tingkat petani sangat bervariasi, berkisar antara 0,80 –
7,50 t ha-1, tergantung pada wilayah, ekologi dan penerapan teknologi produksi
(Swastika dan Sudana 2002). Meskipun produksi jagung nasional meningkat, namun
secara umum tingkat produktivitas jagung dalam negeri relatif rendah yaitu baru
mencapai 3,34 t.ha-1 (Deptan 2004) karena berbagai sebab. Hasil rendah karena belum
menerapkan teknologi produksi jagung sepenuhnya dan adanya cekaman biotis dan
abiotis. Cekaman abiotis utama adalah kekeringan dan kemasaman tanah pada lahan
kering. Jagung sebagian besar ditanam pada lahan kering yang kebutuhan air untuk
pertumbuhan tergantung pada curah hujan.
-16-
Cekaman air (water stress) meliputi kekeringan/kurang air, banyak dijumpai pada:
1) lahan kering beriklim kering seperti di Nusa Tenggara, 2) pertanaman jagung kedua
pada lahan kering beriklim lembab/basah, dan 3) lahan sawah setelah padi tanpa
dukungan irigasi yang cukup. Penambahan luas areal jagung dari tahun ketahun relatif
kecil terutama karena pergeseran musim hujan, sehingga untuk memacu peningkatan
produksi perlu dilakukan melalui peningkatan produksi per satuan luas. Peningkatan
produktifitas jagung di lahan tegal/lahan kering dapat dengan menanam varietas unggul
yang toleran terhadap kekeringan. Masa kritis tanaman jagung terhadap kekurangan air
adalah pada waktu berbunga sampai pengisian biji, dan hasilnya dapat berkurang
sampai 22%. Karena itu pemuliaan jagung untuk toleran terhadap kekeringan memiliki
arti penting (Slamet 1994). Dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia terhadap
jagung yang dinamis dan beragam, diperlukan penyediaan varietas yang mempunyai
sifat unggul dan beragam sesuai dengan kebutuhan pengguna yang berbeda. Oleh
karena itu upaya koleksi terhadap plasma nutfah yang potensial untuk digunakan dalam
menghasilkan varietas yang lebih unggul perlu dilakukan.
Seleksi terhadap varietas dan galur-galur jagung yang telah ada merupakan salah
satu langkah yang perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat toleransi tanaman jagung
yang memiliki ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Perlu langkah-langkah
perbaikan genetik lebih lanjut sesuai yang diinginkan. Untuk mendukung program
pemuliaan tersebut diperlukan informasi yang mendasar mengenai mekanisme
ketahanan tanaman jagung terhadap cekaman kekeringan sehingga proses seleksi dapat
berjalan secara efisien dan efektif. Selain itu pengetahuan tersebut juga sangat
bermanfaat dalam membantu menentukan strategi pengembangan tanaman jagung
toleran kekeringan di masa yang akan datang. Salah satu alternatif dalam mengatasi
kendala tersebut adalah dengan jalan perakitan varietas yang toleran terhadap cekaman
kekeringan. Adanya varietas unggul yang adaptif pada kondisi lahan kering akan lebih
memudahkan petani dalam mengadopsi teknologi.
Strategi Pengembangan Varietas Toleran Kekeringan
Salah satu cara untuk mengatasi cekaman kekeringan ialah menggunakan varietas
yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Perbaikan varietas yang toleran terhadap
cekaman kekeringan telah menghasilkan varietas Wisanggeni dan Lamuru yang
-17-
hasilnya lebih baik dari hasil varietas Arjuna baik pada lahan irigasi maupun pada
cekaman kekeringan.
Tanaman mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi
cekaman. Beberapa cara telah dilakukan untuk menilai toleransi terhadap cekaman
kekeringan diantaranya dengan mengukur rasio akar/tajuk, kedalaman akar, kecepatan
pertumbuhan akar, indeks kepekaan terhadap kekeringan (Blum 1980; Rosielle and
Hamblin 1981; Blum 1988).
Cristiansen dan Lewis, 1982 menyatakan bahwa tanaman mempunyai karakter
xeromorphic yang muncul jika mendapat cekaman. Karakter ini dapat berbeda untuk
setiap tanaman dan untuk setiap tingkat cekaman kekeringan. Disarankan agar efektif,
seleksi sebaiknya dilakukan dalam keadaan tercekam. Karakter yang dapat digunakan
dalam seleksi antara lain:
a) Pertumbuhan akar berupa panjang dan densitas akar, bobot kering akar yang tinggi
atau rasio akar/tajuk yang tinggi juga merupakan suatu indikasi tanaman untuk
menghindar dari cekaman kekeringan (Hamim 1995). Menurut Creellman et al.
(1990) tanaman yang mendapat cekaman kekeringan akan mengalami peningkatan
rasio akar/tajuk. Dari banyak studi yang telah dilakukan terdapat indikasi bahwa
terdapat hubungan yang erat antara absorbsi dengan perkembangan akar yang
menurut Mackill et al. (1996) hubungan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1)
perakaran yang dalam dan padat berpengaruh terhadap meningkatnya absorbsi air,
2) besarnya daya tembus (penetrasi) akar pada lapisan tanah untuk mencapai air
tanah dalam.
b) Kendali Stomata. Merupakan faktor yang turut menentukan proses metabolisme,
berperan pada fotosintesis dan respirasi yang berhubungan dengan pembentukan dan
penggunaan karbohidrat, jadi hubungannya dalam hal penyimpanan dan penggunaan
energi. Selanjunya stomata juga berfungsi sebagai alat yang mengurangi kehilangan
air. Struktur yang berhubungan dengan transpirasi, respirasi dan fotosintesis ada
dalam kendali genetik.
c) Tahanan Kutikula. Schonherr (1976) menunjukkan bahwa permeabilitas kutikular
daun ditentukan sepenuhnya oleh jumlah lilin kutikular. Studi yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa laju transpirasi ditentukan oleh lapisan kutikular (Christiansen
dan Lewis 1982). Akan tetapi walaupun kendali stomata dan kutikular efektif dalam
-18-
mengurangi kehilangan air, hal tersebut juga mengurangi pertukaran gas dan
fotosintesis.
d) Jumlah Stomata. Jumlah stomata yang berbeda pada tiap genotipe dan dikendalikan
secara genetik (Tan and Dunn 1975, 1976). Tanaman yang mempunyai jumlah
stomata rendah transpirasinya kurang akan tetapi tidak mempengaruhi laju
fotosintesis (Miskin et al. 1972).
e) Penggulungan dan senescence daun. Banyak tanaman mempunyai mekanisme
dalam daun untuk mengurangi transpirasi apabila air terbatas, melalui penggulungan
daun dan percepatan penuaan daun tanaman bagian bawah seperti pada tanaman
jagung.
f) Karakter Biokimia. Penelitian Biokimia telah banyak dilakukan untuk mengukur
kaitannya dengan ketahanan terhadap cekaman, diantaranya akumulasi prolin, asam
absisat dan aktivitas nitrat reduktase, akan tetapi hasilnya tidak konsisten
(Chritiansen dan Lewis 1982).
Beberapa strategi dalam perakitan dan pengembangan varietas toleran lingkungan
tercekam kekeringan melalui program pemuliaan tanaman:
1. Peranan Plasma Nutfah
Plasma nutfah tanaman merupakan sumber daya alam yang dapat dilestarikan
(conserveable) tetapi sekali musnah maka plasma nutfah tersebut tidak dapat
diketemukan kembali dan tidak dapat dihidupkan kembali (non reviable). Plasma
nutfah berfungsi sebagai sumber daya hayati, sumber gen dalam program
pemuliaan, dan sistem penyangga kehidupan (Sutrisno dan Silitonga 2003).
Kegiatan pemulian sebagian besar tergantung pada sumberdaya genetik dengan
keragaman karakter dan jumlah yang memadai. Keragaman plasma nutfah tanaman
jagung merupakan aset penting sebagai sumber gen bagi para pemulia untuk lebih
berpeluang dalam menghasilkan kultivar-kultivar jagung yang lebih unggul (Mejaya
dan Moejiono 1995). Sehubungan dengan hal tersebut koleksi plasma nutfah jagung
merupakan bahan genetik pembentukan populasi dasar yang dapat disediakan
dengan cara koleksi varietas lokal, kerabat liar, introduksi, varieatas unggul
baru/lama, mutasi gen, dan persilangan.
Berbagai ancaman terhadap pelestarian plasma nutfah sebagai dampak dari
berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan yang
-19-
semakin meningkat antara lain dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian
dengan cara sistem pertanaman monokultur. Hal ini selain membawa keuntungan
juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yaitu tersingkirnya varietas-
varietas liar dan varietas lokal sehingga mengakibatkan terdesaknya atau bahkan
musnahnya varietas tersebut ini berarti juga hilangnya sumber-sumber gen potensial
yang terkandung di dalamnya yang mungkin suatu saat akan bermanfaat.
Berbagai cara yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kehilangan sumber
daya plasma nutfah tanaman pada umumnya dan khususnya plasma nutfah jagung
dengan melakukan konservasi plasma nutfah. Kegiatan ini berupa pengelolaan
koleksi dan pemeliharaan sumber keanekaragaman plasma nutfah jagung seperti
koleksi kultivar lokal, kultivar liar atau introduksi dari luar negeri (Braw 1978).
Varietas unggul diperoleh melalui rekayasa genetik dengan memanfaatkan plasma
nutfah elite yang dilakukan secara berkesinambungan. Varietas unggul dapat
berasal dari introduksi dan hasil rakitan pada lingkungan spesifik. Jagung komposit
dan hibrida unggul merupakan hasil penelitian yang perlu terus dipertahankan
sebagai sumber gen yang diperlukan dalam pembentukan varietas unggul baru.
Untuk mencegah terjadinya kehilangan sumber daya plasma nutfah jagung maka
dilakukan konservasi plasma nutfah.
2. Varietas Unggul
Diantara komponen teknologi produksi, varietas unggul sangat berperan dalam
upaya meningkatkan produktivitas jagung, baik dalam hasil per satuan luas maupun
sebagai komponen pengendalian hama dan penyakit. Selain itu, sifat tanaman yang
dipertimbangkan dalam merakit varietas jagung unggul adalah kesesuaiannya
dengan kondisi lingkungan (tanah, iklim) dan preferensi petani terhadap sifat
lainnya diantaranya umur; warna, ukuran, dan rendemen biji; serta sifat brangkasan
tetap hijau pada saat panen tongkol (masak fisiologis). Jagung unggul bersari bebas
tersebut hampir semuanya dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Sebelum tahun
1981, dari 17 varietas yang dilepas semuanya jenis jagung bersari bebas, namun
mulai tahun 1981 hingga sekarang jagung jenis hibrida adalah yang paling dominan.
Kecenderungan ini terkait dengan keinginan mendapatkan varietas jagung unggul
yang memiliki produktivitas tinggi. Upaya perbaikan produktivitas varietas unggul
nyata kemajuannya baik dari jenis bersari bebas maupun hibrida. Potensi hasil
-20-
jagung bersari bebas yang dilepas sebelum tahun 1981 umumnya dibawah 7,0 t.ha-1,
setelah tahun 1981 meningkat menjadi 7,0–8,0 t.ha-1.
Blum (2000) menjelaskan varietas toleran kekeringan suatu tanaman memiliki
keragaman genetik yang dapat dikategorikan dalam 3 domain: (a) sel dan jaringan
tanaman dapat mempertahankan turgor sehingga tanaman mundur menjadi layu
dengan berbagai mekanisme, (b) tanaman dapat mempertahankan fungsinya
walaupun status air dalam tanaman rendah, dan (c) tanaman pulih setelah terjadi
cekaman kekeringan. Kekeringan dapat terjadi pada awal pertumbuhan, fase
pengisian biji dan fase berbunga sampai panen.
Prosedur CIMMYT (Banziger et al. 2000) dalam seleksi untuk kekeringan
adalah dengan mengevaluasi galur atau famili dengan cekaman pada waktu
berbunga atau waktu pengisian biji (cekaman sedang) sehingga hasilnya dapat
mencapai 30 - 60% dari hasil normal, dan cekaman kekeringan waktu berbunga
sampai panen dan hasilnya 15 - 30%. Evaluasi dilakukan di tempat yang tidak ada
curah hujan sehingga dapat diatur pengairannya. Seleksi dilakukan dengan
menggunakan indeks untuk mempertahankan umur berbunga, meningkatkan hasil
baik pada cekaman maupun tanpa cekaman kekeringan, menurunkan interval
anthesis dan tongkol berambut anthesis silking interval (ASI), tingkat senesen (daun
kering), jumlah tanaman mandul, dan daun menggulung. Banziger et al. (1999)
melaporkan bahwa seleksi untuk toleran kekeringan ternyata memberikan hasil pada
beberapa aras N.
Peningkatan hasil per daur seleksi saudara kandung (full sib) 81 kg ha-1,
sedang seleksi S1 meningkat 187 kg ha-1. Edmeades et al. (1992) membuat seleksi
berdasar indeks dari hasil biji, ASI, temperatur kanopi, senesen daun, tingkat
pemanjangan batang dan daun. Hasil seleksi ini meningkatkan rerata hasil dari 10
lokasi ialah 229 kg ha-1 pada cekaman kekeringan, dan 53 kg ha-1 pada tanpa
cekaman per daur seleksi. Seleksi untuk cekaman kekeringan ternyata dapat
meningkatkan hasil pada lingkungan tanpa cekaman walaupun lebih rendah dari
yang diperoleh pada kondisi cekaman kekeringan. Ternyata seleksi untuk cekaman
kekeringan juga meningkatkan total biomas pada La Posta Sequa tetapi tidak nyata
untuk Pool 26 Sequa dan Tuxpeno Sequa sedang indeks panen meningkat pada
ketiga populasi tersebut. Seleksi untuk toleran kekeringan selain meningkatkan
-21-
hasil biji pada kondisi cekaman juga meningkatkan jumlah tongkol pertanaman,
jumlah biji per tongkol, dan jumlah biji per meter persegi, dan menurunkan ASI,
umur anthesis, tinggi tanaman, senesen dan ukuran malai, sedang bobot 1000 biji
tidak terpengaruh. Pada lingkungan tanpa cekaman pengaruh ini lebih rendah
(Chapman and Edmeades 1992).
Pembentukan varietas unggul meliputi komposit dan hibrida dengan karakter-
karakter berorientasi pada produksi biji untuk pakan diantaranya produktivitas
tinggi (Komposit > 8 t.ha-1, Hibrida > 9 t.ha-1), toleran kekeringan atau Stay green,
warna biji jingga dan ukuran biji besar untuk pakan ternak dan industri lainnya, biji
kecil untuk burung (super genjah), dan rendemen biji tinggi (sekitar 80%)
sedangkan untuk karakter dengan orientasi produksi biji untuk pangan yakni
produksi tinggi ( > 7,0 t.ha-1), warna biji umumnya putih, toleran kekeringan atau
stay green, kualitas nutrisi tinggi, dan agak pulen (amilopektin tinggi).
3. Pembentukan Varietas Toleran
Laju pertumbuhan luas pertanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan telah
mencapai 10 - 15% dan pada sawah irigasi 20 - 30%. Wilayah Indonesia bagian
timur mempunyai masalah terhadap kekeringan. Tanaman memiliki kemampuan
untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan. Levitt,
Christiansen dan Lewis (1982) menyatakan bahwa tanaman mempunyai
“xeromorphic karakter” yang akan muncul bila mendapat cekaman. Selanjutnya
Hammim (1995) mengemukakan bahwa perubahan struktur tanaman terjadi sebagai
respon terhadap sifat toleransinya. Perubahan struktur yang mengarah kepada
bentuk yang menghindarkan tanaman dari cekaman banyak terjadi pada beberapa
tanaman, misalnya perkembangan sistem perakaran, perubahan bentuk daun,
mekanisme penutupan stomata dan sebagainya. Agar perakitan tanaman dapat
berjalan efektif dan efesien, harus ditentukan karakter yang erat kaitannya dengan
cekaman kekeringan dan potensi hasil. Salah satu metode untuk mengevaluasi
hubungan antara suatu karakter dengan produktivitas adalah melalui populasi
persilangan komposit (composite cross population). Beberapa genotipe tanaman
dengan suatu karakter yang dipilih disilangkan secara komposit (disilangkan ke
segala arah). Populasi ini kemudian digalurkan sampai mencapai homozigot untuk
mendapatkan galur murni (Herawati dan Setiamiharja 2000).
-22-
Seleksi pada lingkungan kering yakni pertanaman diatur dengan pemberian air
secukupnya sampai umur 42 hari setelah tanam atau tanaman dalam fase keluarnya
malai (tasseling stage), sedangkan pada lingkungan normal diberikan sampai
menjelang panen (maturity stage). Famili jagung dalam populasi mempunyai sifat
genotipe yang berbeda sehingga famili terbaik yang diseleksi toleran kering dapat
direkombinasi guna memperoleh calon varietas berdaya hasil tinggi. Pada wilayah
berperiode hujan pendek pembentukan jagung yang berumur genjah akan lebih
toleran kering, karena berpeluang terhindar dari fenomena kekeringan sehingga
produktivitasnya lebih tinggi dari yang berumur dalam. Sumartono (1995)
mengemukakan perakitan varietas unggul yang toleran cekaman abiotik termasuk
toleran kekeringan dapat dilakukan melalui pemuliaan konvensional dan invitro
(para seksual) yakni dengan memanfaatkan sejumlah bahan genetik introduksi atau
perbaikan varietas lokal setelah melalui seleksi dan persilangan famili superior.
Peningkatan frekuensi gen baik (favorable) pada populasi dapat diarahkan
untuk pembentukan varietas toleran lingkungan tercekam abiotik termasuk
kekeringan. Tuxpeno adalah landrace asal Mexico yang merupakan sumber
plasmanutfah untuk varietas toleran kering. Populasi ini dapat menghasilkan 4,0 t
ha-1 dalam kondisi tercekam saat periode generatif. Disamping tuxpeno juga telah
banyak dirakit varietas dengan warna biji kuning. Edmeades et al. (1992)
melaporkan bahwa evaluasi hasil dari enam kultivar pada lingkungan kering
diperoleh hasil tertinggi 5,0 t ha-1 (Tabel 1).
Tabel 1 Evaluasi Populasi pada Cekaman Kekeringan
Populasi Hasil (t.ha-1)Rerata Maksimal Minimal
Pool-16 C20 4.1 4.8 2.8DTP1 C5 Across 89 4.8 5.6 4.0La Costa Sequia C3 3.5 4.6 2.5Pool-28 Sequia C5 5.0 5.9 3.7DTP2 C4 4.7 6.5 3.9DK 888 0.0 2.2 0.9
Sumber: Edmeades et al. (1992)
Selanjutnya Dahlan et al. (1996) mengemukakan bahwa perbaikan populasi
Pool 2 (FSD) yang dirakit untuk varietas toleran kering memperlihatkan kemajuan
-23-
seleksi dari siklus C1 sampai C5 yakni 0,9 t.ha-1, hal ini menunjukkan bahwa famili
dalam populasi dapat diseleksi sebagai calon varietas (Tabel 2).
Tabel 2 Peningkatan Populasi Pool 2 atas Cekaman Kekeringan
Populasi Hasil (t.ha-1) Umur Berbunga Betina (hari)Pool-2(FSD)C1 3.1 57Pool-2(FSD)C2 4.1 55Pool-2(FSD)C3 3.3 56Pool-2(FSD)C4 3.5 56Pool-2(FSD)C5 4.0 53
Sumber: Dahlan et al. (1996)
Pandey (1998), mengemukakan bahwa varietas baru dapat dibentuk dengan
peningkatan gen baik setiap siklus antara dan di dalam populasi, disamping
dilakukan persilangan dengan varietas yang telah adaptif pada lingkungan tertentu.
Edmeades et al. (1992) mengemukakan bahwa Tuxpeno Sequia merupakan populasi
toleran cekaman kering dan pada status siklus C0 hasilnya 1,8 t ha-1, populasi ini
adalah sumber plasma nutfah untuk varietas toleran kering.
4. Hubungan Umur Genjah dan Tanggap Terhadap Kekeringan
Fenotipe tanaman merupakan sifat tanaman yang terlihat dari luar dan
merupakan hasil interaksi antara faktor genotipe dan lingkungan sudah lama
menarik perhatian pemulia tanaman, karena hasil yang dicapai suatu tanaman
ditentukan oleh interaksi tersebut. Nilai-nilai interaksi digunakan sebagai dasar
untuk mengukur stabilitas suatu varietas. Varietas unggul jagung berumur genjah
(<90 hari) diperlukan oleh banyak petani terutama untuk menyesuaikan pola tanam
dan ketersediaan air. Di lahan sawah tanaman jagung biasanya diusahakan setelah
panen padi, sehingga diperlukan varietas-varietas jagung berumur genjah. Varietas
jagung berumur genjah umumnya cukup tenggang terhadap kekeringan.
Sebagian besar tanaman jagung di Indonesia terdapat di lahan tegal sehingga
air yang tersedia untuk tanaman jagung tergantung pada curah hujan. Oleh karena
itu diperlukan varietas yang hasilnya stabil dan tahan kekeringan. Lebih lanjut
Slamet dan Dahlan (1993) melaporkan bahwa terdapat interaksi antara genotipe
dengan cekaman kekeringan, sehingga dapat dipilih famili yang tahan terhadap
kekeringan. Cekaman kekeringan akan menurunkan hasil jagung. Pengairan yang
-24-
dilaksanakan 2 kali dan 4 kali akan menurunkan hasil 62,3% dan 13,5% dari
pengairan 6 kali untuk Pool 2 dan 77,7 dan 37,8% untuk Malang Komposit 9.
Terdapat interaksi antara genotipe dengan tingkat pengairan.
Tanaman jagung pada lahan tegal sering mengalami kekeringan pada fase
pengisian biji. Kerugian hasil yang ditimbulkannya mencapai 22%, sehingga
adanya varietas jagung yang toleran terhadap kekeringan pada fase pengisian biji
dapat mencegah kehilangan jagung sebesar 26 - 50%. Terdapat indikasi bahwa
perbaikan didalam populasi untuk daya hasil dan toleran terhadap kekeringan pada
populasi berumur genjah dapat dilakukan baik pada lingkungan kekeringan maupun
normal (Slamet 1994). Keadaan kekeringan akan menurunkan hasil biji, berat
tongkol, memperlambat waktu berbunga dan memperbesar interval berbunga
(perbedaan antara antesis dan keluarnya rambut tongkol), memperpendek tanaman
dan memperbesar tanaman yang mandul. (Dahlan dan Slamet 1991). Selanjutnya
Grant et al. 1989 menyatakan bahwa periode ekstrim cekaman kekeringan pada
jagung adalah dua hari sebelum berbunga dan 22 hari setelah berbunga (Gambar 2).
Varietas-varietas lokal yang berumur genjah umumnya berdaya hasil rendah,
sehingga varietas-varietas lokal tersebut ditambah dengan varietas introduksi dan
varietas unggul perlu diperbaiki daya hasilnya dengan menggunakan seleksi
berulang. Beberapa pemulia telah melaporkan hasil seleksi untuk umur genjah.
Subandi (1985), melaporkan bahwa seleksi untuk umur genjah telah mempengaruhi
daya hasil, tongkol hampa dan rebah batang secara nyata, tetapi tinggi tongkol dan
tinggi tanaman berkurang masing-masing 3,1 dan 1,9% per siklus. Troyer dan
Larkins (1985), melakukan seleksi untuk umur genjah terhadap 10 varietas jagung
sintetik umur dalam 11 daur. Kerugian seleksi per daur adalah 167 kg ha-1 (5%)
peningkatan hasil biji dan 0,3 hari penurunan penundaan keluar rambut tongkol.
Semakin genjah umur masak populasi diikuti oleh meningkatnya persentase rebah
batang yaitu 2,8% per daur (Troyer and Brown 1976).
Pada seleksi umur genjah umumnya diikuti perubahan terhadap hasil, sebab
biasanya umur berkorelasi positif dengan hasil (Lonnquist et al. 1966). Zairin dan
Machfud (1993), melaporkan bahwa untuk jagung golongan umur genjah varietas
Arjuna P-18 memberikan penampilan yang paling baik dan berpotensi hasil tinggi
diantaranya varietas lainnya, yakni 7,01 ton/ha pipilan atau 41% diatas produksi
-25-
Arjuna. Lebih lanjut Slamet (1994) melaporkan bahwa varietas jagung Suwan-2,
Malang Sintetik-12, Pool-2 (FSI)C3, Acer, Acer (S1)C4, Muneng 8331 dan P31D
(S1)C2 mempunyai hasil stabil, artinya mempunyai tingkat hasil dan umur panen
yang sama dengan varietas Arjuna. Lamuru merupakan varietas yang toleran
kekeringan (Tabel 3).
Gambar 2 Hubungan antara hasil (g/tanaman) dengan waktu keluarnya rambut padakondisi lingkungan cekaman kekeringan (Grant et al. 1989)
Varietas jagung unggul bersari bebas (komposit) yang banyak berkembang
dan/atau mulai populer di petani adalah Arjuna, Bisma, Lamuru, dan Sukmaraga.
Varietas Lamuru populer di kawasan timur Indonesia seperti Gorontalo, Nusa
Tenggara, dan Sulawesi Selatan karena selain produksinya tinggi (6–8 t ha-1) juga
agak toleran kekeringan dan bijinya berwarna oranye sangat sesuai sebagai bahan
baku pembuatan pakan ternak terutama pakan ternak unggas.
Tabel 3 Varietas umur genjah dan toleran kekeringan yang telah dilepas oleh BadanLitbang Pertanian
Varietas Tahundilepas
Potensi hasil(t ha-1)
Umurpanen(hari)
Ketahananpenyakit
bulai
Keunggulanspesifik
WisanggeniGumarangLamuru
199620002000
8,08,07,6
908295
ToleranAgak ToleranAgak Toleran
Toleran kekeringanUmur genjah
Toleran kekeringan
Waktu keluarnya bunga betina (hari)
Bob
otbi
ji(g
/tan
aman
)