bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan mengenai putusan
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai Putusan Pengadilan
A. 1 Putusan Hakim
Menurut Lilik Mulyadi., Putusan Hakim adalah putusan yang
diucapkan oleh hakim dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk
umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada
umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala
tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan
perkara.1
Putusan Hakim sebagaimana tindakan akhir dari Hakim di dalam
persidangan. menentukan pelaku di hukum atau tidak, sehingga putusan
Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan
suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde). Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik
peradilan maka putusan Hakim itu merupakan:
“Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam
persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui
proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar
1 Lilik Mulyadi, 2007, “Kompilasi Hukum Pidana Dalam Prespektif Teoritis Dan
Prakter Pradilan”, Mandar Maju, Bandung, hal. 127.
17
pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat
dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.2
Hakim dalam membuat Putusan pengadilan, harus memperhatikan apa
yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang harus
dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus
dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan
dalam pasal 197 KUHAP: Sistematikan putusan hakim adalah sebagai berikut:
Nomor Putusan; Kepala Putusan/Irah-irah (Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa); Identitas Tergugat; Tahapan penahanan (kalau
ditahan); Surat Dakwaan; Tuntutan Pidana; Pledoi; Fakta Hukum;
Pertimbangan Hukum; Peraturan perundangan yang menjadi dasar
pertimbangan; Terpenuhinya Unsur-unsur tindak pidana; Pernyataan
kesalahan Tergugat; Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman;
Kualifikasi dan pemidanaan; Penentuan status barang bukti; Biaya perkara;
Hari dan tanggal musyawarah serta putusan; Nama Hakim, Penuntut Umum,
Panitera Pengganti, Tergugat dan Penasehat Hukumnya.
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13 KUHAP
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan
sekuran-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
2 Ibid. hal 127
18
melakukannya”.3 sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah dalam hukum acara
pidana adalah: keterangan saksi; keterangan ahli; Surat; Petunjuk; dan
keterangan terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga
tidak perlu dibuktikan (Pasal 184).4
Pengetahuan hakim disini tentunya tidak hanya menyangkut teknis
hukum semata, namun lebih dari itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan
hakim yang bersifat rahasia. Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa “dalam
sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedangdiperiksa dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.
Menurut Lilik Mulyadi, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan
sempurnahendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria
dasar pertanyaan (the 4 way test), yakni: 5
1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan?
3 Eddy O.S. Hiariej, 2012, “Teori & Hukum Pembuktian”, Penerbit Airlangga,
Jakarta, hal. 17.
4 Satjipto Rahardjo, 1998, “Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana”, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, hal. 1
5 Lilik Mulyadi, 2007, “Kekuasaan Kehakiman”, Bina Ilmu, Surabaya, hal.119.
19
3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
4. Bermanfaatkah putusanku ini?
Meskipun Praktiknya bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim
yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat pertanyaan
di atas, maka hakim juga seorang manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurang
hati-hatian, dan kesalahan. Sehingga praktik peradilan, ada saja aspek-aspek
tertentu yang kelepasan dan kerap tidak ditinjau hakim dalam membuat
keputusan. Putusan hakim adalah puncak dari suatu perkara, sehingga hakim
harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis,
sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis,
filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-
pertimbangan hakim diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan
hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void)
karena kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiverd).
Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan
hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:6
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
6 Ahmad Rifai, 2010, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum
Progresif”, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 103
20
3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsi yudisialnya.
A. 2 Teori-teori Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1
angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Dalam mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian
proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan
demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai
berikut: 7
1. Teori Koherensi atau Konsistensi
Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara
bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan
saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling
berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-
alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP). Dalam hal seperti
ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifat rasional a priori.
7 Lilik Mulyadi, Op Cit, hal. 47
21
2. Teori Utilitas
Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang
bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat
dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory
result), Teori ini memandan pemidanaan bukan sebagai pembalasan
atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan.
Dalam teori ini tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan yaitu
pencegahan umum yang ditujukan kepada masyarakat. Hukumnya
yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari
hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai
akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus di pandang secara ideal
selain dari itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)
kejahatan.8
Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam
perkara pidana, yaitu:
1) Pembuktian berdasarkan conviction in time yang berarti keyakinan
semata. Artinya, dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya
semata-mata diserahkan kepaada keyakinan hakim. Dia tidak terikat
kepada alat bukti, namun atas dasar keyakinan yang timbul dari hati
8 Leden Marpaung, 2009, “Asas Teori Praktek Hukum Pidana” Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 106
22
nuraini dan sifat bijaksana seorang hakim, ia dapat menjatuhkan
putusan.9
2) Pembuktian berdasarkan conviction raisonee. Artinya, dasar
pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas
alasan yang logis. Di dengan alasan yang logis. Dalam konteks hukum
acara pidana di Indonesia, conviction raisonee digunakan dalam
persidangan tindak pidana ringan, termasuk perkara lalu lintas dan
persidangan perkara pidana dalam acara cepat yang tidak
membutuhkan jaksa penuntut umum untuk mengjadirkan terdakwa,
tetapi polisi yang mendapatkan kuasa dari jaksa penuntut umum dapat
menghadirkan terdakwa dala sidang pengadilan.10
3) Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal dengan sistem
pembuktian posiitf, adalah Menurut Simons, bahwa sistem atau
teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positif
wettelijke bewijs theorie). “untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat
menurut peraturan pembuktian yang keras”.11.
4) Pembuktian berdasarkan Undang-undang negative (Negatief wetelijk
stelse)l adalah Merupakan suatu percampuran antara pembuktian
conviction raisonnee dengan system pembuktian menurut undang-
udanng secara psoitif. Rumusan Negatief wetelijk salah atau tidaknya
seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.12
9 Op.Cit., Eddy O.S. Hiariej, hal 16..
10 Ibid, hal 17.
11Andi Sofyan, 2013, “Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar”, Rangkang
Education, Yogyakarta, hal. 245
12Tolib Effendi, Op.cit, hal 171.
23
Lebih lanjut, Asas materiil yang menyangkut aturan-aturan tidak
tertulis yang mengacu atau merunjuk pada suatu nilai sosial etis penting, suatu
cita-cita atau ideal hukum tertentu. Asas ini mengandung makna bahwa pada
saat melakukan interpretasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan,
hakim harus memperhatikan asas tersebut selama asas itu memang diakui
dalam dunia hukum sebagai dibuktikan dalam dokrin atau yurisprudensi.13
Asas materiil ini sangat erat kaitannya dengan sifat melawan hukum materiil
dilihat dari sudut pandang sumber hukumnya secara garis besar dibagi
menjadi dua, yakni sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
negatif dan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif.
Sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat
dipidannya suatu perbuatan. Sifat melawan hukum formal menandung arti
semua bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. Sedangkan
sifat melawan hukum formal menandung arti semua materiil memuat dua
pandangan. Pertama, sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuatnya. Hal ini
mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan
hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan
delik tertentu. Kedua, sifat melawan hukum materiil dilihat dari sumber
hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak
13 Remmelink Jan, 2003, “Hukum Pidana: komentar atas Pasal-Pasal Terpenting
dalam Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 49
24
tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau
nilai-nilai keadilan dan kehidupan dalam masyarakat.14
Berdasarkan penjelasan diatas sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif merupakan alasan pemaaf dan telah dianut dalam
praktek pengadilan, sementara sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya
yang positif pada dasarnya bertentangan dengan asas legalitas.
B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Narkotika
B.1 Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh
sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari
dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-
larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap
warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-
peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.15
14 Eddy O.ScHiariej, 2006, “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan
Dampaknya Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Mimbar Hukum, Fakultas Hukum UGM
Volume 1, Nomor 3, Oktober 2006.
15P.A.F. Lamintang, 1996, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, PT. Citra
Adityta Bakti, Bandung, hal. 7
25
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah
demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.16
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai
berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan
antara kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang
dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi
“kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan merupakan dasar bagi
pembagian KUHP menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan
juga sebagaimana dasar seluruh sistem hukum pidana di dalam
perundang-undangan secara keseluruhan. Sebagaimana UUD 1945
Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara
hukum prismatik. Artinya menggabungkan segi-segi positif antara
rechtsstaat dan the rule of law.17
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana
formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil
Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah
melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu
16 Ibid, hal. 16
17 Op.Cit, Eddy O.S. Hiariej, hal 39.
26
tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah
pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung
jawabkan dan dipidana.
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak
pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja
(culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang
diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP
(pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya
nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai
orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana
jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan
matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal
188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif),
perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan
untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh
orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan
Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan
menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana
murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau
tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa
perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552
27
KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara
tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang
tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal
338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut
meninggal.18
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa macam-
macam tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana
pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana
sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:19
a) Kelakuan dan akibat dalam hal ini perbuatan lahiriah (Actus Reus)
b) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan (mens rea)
c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d) Unsur melawan hukum yang objektif
e) Unsur melawan hukum yang subyektif.
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyatujuan-tujuantertentu yang bermafaat. Oleh karena itu teori ini pun
sering disebut juga teori tujuan (Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran
adanya tindak pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana
18 Andi Hamzah, 2001, “Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana”, Ghalia
Indonesian, Jakarta, hal. 25-27
19 Ibid. hal. 27
28
dijatuhkan bukan ”quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan).
Inilah makna ucapan yang dikenal dari SENECA sebagai seorang filosof
Romawi: “Nemo prudens puin quia peccatum est, sed ne peccetur” yang
artinya tidak seorang normal pun dipidana karena suatu perbuatan jahat, tetapi
ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat.20
B.2 Tindak Pidana Narkotika
Masyarakat luas mengenal istilah Narkotika yang kini telah menjadi
simbol berbahaya yang populer di tengah masyarakat kita. Ada pula istilah
lain yang kadang digunakan adalah Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan
berbahaya). Selain itu ada pula istilah yang digunakan oleh Departemen
Kesehatan (DepKes RI) yaitu NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika,
Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah tersebut mengacu pada
sekelompok zat yang mempunyai resiko kecanduan atau adiksi. Narkotika dan
Psikotropika itulah yang secara umum biasa di kenal dengan Narkoba atau
NAPZA. Namun karena hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke
dalam perundang-undangan yang baru.
20 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni, Bandung, hal. 31.
29
C. Tinjauan tentang Narkotika
C.1 Definisi Narkotika
Secara Etimologi narkotika berasal dari kata “Narkoties” yang sama
artinya dengan kata “Narcosis” yang berarti membius.21 UU No 35 tahun 2009
tentang narkotika pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilngnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan.22
Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah suatu kelompok
zat yang bila dimasukkan dalam tubuh maka akan membawa pengaruh
terhadap tubuh pemakai yang bersifat:
a) Menenangkan
b) Merangsang
c) Menimbulkan khayalan
C.2 Jenis-Jenis Narkotika
Penggolongan Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika terbagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:23
a) Narkotika Golongan I: Jenis narkotika dilarang digunakan
kepentingan masyarakat dan hanya dapat digunakan untuk tujuan
21 Muhammad Taufik Makarao, 2003, “Tindak Pidana Narkotika”, Ghalia Indonesia.
Jakarta, hal. 21
22 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.
23 Ibid.
30
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: opium, tanaman koka, kokain, tanaman
ganja, heroin, dan lai-lain.
b) Narkotika Golongan II: Yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai tujuan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, Narkotika golongan
II mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : metadona, morfin, petidina, fentanyl, dan lain-lain.
c) Narkotika Golongan III: Yaitu narkotika yang berkhasiat
pengobatan dan biasa digunakan dalam terapi, dan atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Narkotika Golongan
IImempunyai potensi ringan menyebabkan ketergantungan. Contoh:
etilmorfina, kodeina, propiram, buprenorfina dan lain-lain.
C.3 Penyalahguna Narkotika
Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika tidak memberikan penjelasan yang jelas mengenai
istilah penyalahgunaan tersebut. Hanya istilah penyalahguna yaitu
orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua
macam yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk
dalam kategori narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine,
heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika ala mini
31
termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan
narkotika sitetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk
didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.24
Penyalahgunaan Narkoba dapat menyebabkan dampak yang
merugikan dan tentu saja berbahaya bagi penggunanya, Adapun
Bahaya dari Narkoba adalah sebagai berikut25:
a) Halusinogen, efek dari narkoba ini bisa mengakibatkan bila
dikonsumsi dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan
seseorang menjadi ber-halusinasi dengan melihat suatu hal/benda
yang sebenarnya tidak ada / tidak nyata contohnya kokain & LSD.
b) Stimulan, efek dari narkoba ini bisa mengakibatkan kerja organ
tubuh seperti jantung dan otak bekerja lebih cepat dari kerja
biasanya sehingga mengakibatkan seseorang lebih bertenaga untuk
sementara waktu , dan cenderung membuat seorang pengguna lebih
senang dan gembira untuk sementara waktu.
c) Depresan, efek dari narkoba ini bisa menekan sistem syaraf pusat
dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai
merasa tenang bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tidak
sadarkan diri. Contohnya putaw.
24 Hari Sasangka, 2003, “Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana”,
Mandar Maju, Bandung, Hal. 34.
25Dedi, “Efek dan Bahaya Narkoba”, https://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel,
Diakses pada 10 Januari 2020.
32
d) Adiktif, Seseorang yang sudah mengkonsumsi narkoba biasanya
akan ingin dan ingin lagi karena zat tertentu dalam narkoba
mengakibatkan seseorang cenderung bersifat pasif, karena secara
tidak langsung narkoba memutuskan syaraf-syaraf dalam otak
,contohnya ganja, heroin, putaw. Masalah yang diakibatkan
mengkonsumsi narkoba bukan hanya individu penggunanya, tapi
juga terkait dengan masalah keluarga, masalah generasi,masalah
sosial, masalah ekonomi, masalah keamanan, masalah ketahanan,
dan sebagainya, bahkan pada akhirnya menjadi masalah bangsa.26
Penyalahgunaan narkotika dan penyalahgunaan obat (drug abuse)
dapat pula artikan mempergunakan obat atau narkotika bukan untuk tujuan
pengobatan, padahal fungsi obat narkotika adalah untuk membantu
penyembuhan dan sebagai obat terapi. Apabila orang yang tidak sakit
mempergunakan narkotika, maka ia akan merasakan segala hal yang berbau
abnormal. 27
D. Tinjauan Tentang Tujuan Hukum
Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan kosep ide
unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar sebagai tiga tujuan hukum.
26 Mukhtar Samad., 2016, “Penggunaan Narkoba: Solusi Masalah Narkoba dar
Perspektif Islam”, SunriseArt, Yogjakarta, hal. 4
27 Ibid.
33
Dengan perkataan lain, Tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum.28
D.1. Teori Keadilan
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan
dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik
dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan
bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya
bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.29
Teori keadilan menurut aristoteles diantaranya adalah :
a) Keadilan Komutatif, yaitu keadilan dengan mempersamakan antara
prestasi dan kontraprestasi.30
b) Keadilan Distributif, yaitu keadilan yang secara proporsional
ditetapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Sebagai
contoh, negara hanya akan mengangkat seorang menjadi hakim
apabila orang itu memiliki kecakapan untuk menjadi hakim.31
28 Ahmad Ali, 2015, “Menguak Takbir Hukum”, Kencana, Yogyakarta, hal 98-99
29 L. J. Van Apeldoorn, 1996, “Pengantar Ilmu Hukum”, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 11-12
30 Darji Darmnodiharjo dan Shidarta, 2006, “Pokok-pokok Filsafat Hukum”,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.156-157.
31 Ibid.
34
c) Keadilan Legal, yaitu keadilan berdasarkan undang-undang. Yang
menjadi objek dari keadilan legal adalah tata masyarakat. Tata
masyarakat itu dilindungi oleh undang-undang.
d) Keadilan Vindikatif, yaitu keadilan dalam hal menjatuhkan
hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang
dianggap adil apabila ia dipidana badan sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang
dilakukannya.32
D.2. Teori Kepastian Hukum
Kepastian Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti
sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu
harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena
bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan
fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar
tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu
hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang
buruk, melainkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk
paham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).33
Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan
dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
32 Ibid.
33 Shidarta, 2006, “Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir”, PT
Revika Aditama, Bandung, hal.79-80.
35
kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan
pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum
(di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum).34
D.3. Teori Kemanfaatan Hukum
Jermmy Bentham mengemukakan bahwa selain pembalasan,
sifat-sifat penting selain pemidaan ialah harus bermanfaat. Ada tiga
kemanfaatan dari pidana. Pertama, pemidanaan akan bermanfaat jika
hal itu dapat meningkatkan perbaikan diri pada si pelaku kejahatan.
Kedua, pemidaan harus menghilangkan kemampuan si pelaku
kejahatan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, pemidanaan harus
memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.35
Menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh Mohamad
Aunurrohim mengatakan, “hukum barulah dapat diakui sebagai
hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya
terhadap sebanyak-banyaknya orang”. 36
Konsep aliran utilitis menganggap bahwa tujuan hukum
semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagian sebesar-
besarnya bagi banyak warga masyarakat. Prinsip utilitarianisme
34 Sudikno Mertokusumo dalam H. Salim, 2010, “Perkembangan Teori Dalam Ilmu
Hukum”, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 82
35 Eddy O.S. Hiariej, 2009, “Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum
Pidana”, Erlangga, Jakarta, hal 11.
36 Jeremy Bentham, 2006, “Teori Perundang-undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi,
Hukum Perdata dan Hukum Pidana”, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hal. 34.
36
dikemukan oleh Jeremy Bentham, menurutnya suatu perbuatan adalah
baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan
saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Konsep utilitarianisme adalah kriteria untuk menentukan baik
buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the
greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang
terbesar. Prinsip kegunaan ini menjadi tujuan peraturan perundang-
undangan dalam pembentukannya yaitu; to provide subsistence (untuk
memberi nafkah hidup), to provide abundance (untuk memberikan
makanan yang berlimpah), to provide security (untuk memberikan
perlindungan) dan to attain equility (untuk mencapai persamaan).37
37 Ahmad Ali, 2011, “Menguak Tabir Hukum”, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 204-
205.