bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Kepuasan Perawat
a. Pengertian Kepuasan Perawat
Kepuasan kerja (job satisfaction) menyangkut sikap umum
seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat
kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap
pekerjaannya itu (Robbins & Judge, 2008). Kepuasan kerja adalah
perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja adalah
penilaian dari pekerja yaitu seberapa jauh pekerjaannya secara
keseluruhan memuaskan kebutuhannya (Anoraga, 2006).
Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap dari karyawan
terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan
dan sesama karyawan. Kepuasan kerja menurut Blum merupakan sikap
umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap
faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu
diluar kerja (Muninjaya, 2007). Pelayanan terhadap pelanggan perawat
adalah mengarah atau mempengaruhi kepuasan pasien. Layanan
pelanggan perawat merupakan jasa layanan yang diberikan atau
disediakan oleh karyawan dan bagian lain didalam organisasinya,
seperti halnya seseorang pengusaha dengan para penyalurnya
(supplier) (Sari, 2009).
b. Pembentukan kepuasan dan ketidakpuasan pelanggan perawat
Menurut Morgan (2007), salah satu model yang dapat
digunakan untuk menjelaskan pembentukan kepuasan atau
ketidakpuasan pelanggan perawat adalah expectancy disconfirmation
model. Berdasarkan penggunaan suatu produk pelayanan tertentu,
pelanggan membangun harapan bagaimana seharusnya kinerja suatu
produk. Harapan ini dikonfirmasikan dengan pengalaman aktual dari
8
kinerja produk layanan tersebut. Jika mutu tidak sesuai dengan harapan
maka akan muncul perasaan tidak puas. Jika kinerja melebihi harapan,
maka akan dihasilkan perasaan puas dan jika kinerja tidak berbeda
dengan harapan akan dikatakan harapan telah terkonfirmasi. Meskipun
harapan yang terkonfirmasi adalah pernyataan yang positif untuk
pelanggan, tetapi hal ini jika akan menghasilkan perasaan puas yang
cukup kuat. Kepuasan baru benar-benar dirasakan oleh pelanggan bila
kinerja melebihi harapan mereka.
Bagan 2.1 Model pembentukan kepuasan/ ketidakpuasan
pelanggan internal
Sumber: Morgan (2007)
Karyawan yang loyal dan produktif tentu tidak otomatis terjadi
tanpa terbangunnya terlebih dahulu rasa kepuasan dari dalam diri
karyawan, terhadap pekerjaannya, atasannya, peralatan dan fasilitas,
serta aspek-aspek lainnya. Banyak terjadi karyawan ditekan untuk
bekerja demi mencapai target-target tertentu, namun tidak didukung
Pengalaman terhadap produk layanan yang lalu
Harapan bagaimana pelayanan ditampilkan
Evaluasi penampilan produk layanan yang baru
Evaluasi perbandingan antara harapan dan
kenyataan
Kegagalan penyampaian produk layanan sesuai
harapan
Pencapaian yang melebihi harapan
Pencapaian dengan harapan tidak jelas
perbedaannya
9
dengan peralatan/ sarana, otoritas, bimbingan atasan, sehingga hasilnya
akan berdampak kepada buruknya proses dan hasil (produk) yang
diberikan kepada pelanggan pun akan buruk. Dengan kata lain, banyak
perusahaan yang menekankan kepada kepuasan pelanggan, tanpa
banyak melihat bahwa salah satu kunci sukses dalam mencapainya
adalah kepuasan karyawan.
c. Indikator kepuasan kerja perawat
Indikator kepuasan kerja perawat antara lain (Morgan, 2007):
1) Perawat yang puas cenderung bekerja dengan kualitas yang lebih
tinggi
Perawat yang menghasilkan kinerja baik, mempunyai sifat-sifat
antara lain:
a) Merasa senang
b) Rasional
c) Punya harga diri sebagai manusia
d) Punya visi dan cita-cita
2) Perawat yang puas cenderung bekerja dengan lebih produktif
Perawat yang mempunyai motivasi tinggi akan menyenangi
pekerjaannya sehingga akan lebih produktif daripada mereka yang
kurang menyenangi pekerjaannya. Perawat tersebut mempunyai
sifat aktualisasi diri:
a) Realistis
b) Dapat menerima dirinya sendiri
c) Spontanitas, praktis, sederhana dan alamiah
d) Fokus pada inti masalah
e) Otonom, bebas dari pengaruh budaya dan lingkungan
f) Hubungan baik antar manusia
g) Memiliki nilai dan sifat-sifat demokratis
h) Mampu membedakan antara cara dan tujuan
i) Filosofis dan mempunyai rasa humor yang tinggi
j) Mempunyai nilai-nilai (values) dan harga diri (self esteem)
10
3) Perawat yang puas cenderung bertahan lebih lama dalam
perusahaan
Banyak kejadian tentang kepindahan seorang perawat dari
perusahaan yang memberikan gaji lebih besar ke perusahaan lain
yang memberikan gaji lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena
penyebab kepuasan bukan hanya menyangkut gaji atau pendapatan,
tetapi terpenuhinya lain sesuai dengan kebutuhan Maslow.
Terpenuhinya kebutuhan ini akan menyebabkan perawat menjadi
betah bekerja di rumah sakit tempat kerjanya.
4) Perawat yang puas cenderung dapat menciptakan pelanggan/
pasien yang puas
Kepuasan pasien berarti pengakuan/ penghargaan pasien atas
kinerja yang telah dilakukan oleh perawat. Pengakuan prestasi
kerja ini dapat dilihat dari ungkapan yang paling sederhana dari
pasien yaitu ucapan terima kasih.
d. Aspek-Aspek Kepuasan Kerja
Menurut Mobley (2006) aspek-aspek kepuasan kerja antara
lain:
1) Aspek pekerjaan meliputi jenis pekerjaan, bobot pekerjaan dan
melibatkan ketrampilan serta kemampuan individu dalam
mengerjakan pekerjaan tersebut.
2) Aspek imbalan merupakan faktor utama untuk mencapai kepuasan
kerja sehingga banyak pihak manajemen dalam upaya
meningkatkan kerja karyawan dengan meningkatkan imbalan kerja.
3) Aspek kepangkatan, kurang atau sedikitnya kesempatan untuk
memperoleh jabatan dan kepangkatan sering dikaitkan dengan
ketidakpuasan karyawan terhadap promosi jabatan atau
kepangkatan yang ada.
4) Aspek pimpinan atau atasan menyangkut hubungan dengan
bawahan atas kebijaksanaannya yang dikaitkan dengan kepuasan
kerja.
11
5) Aspek rekan kerja, hubungan antara pekerja satu dengan yang lain
berkaitan erat dengan kepuasan kerja. Pekerja yang mengalami
ketidakpuasan kerja karena memiliki rekan kerja yang tidak bisa
diajak kerjasama, tidak menyenangkan dan tidak memuaskan.
e. Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja
Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan antara lain:
1) Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk
kaitannya dengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau
atribut tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan).
Prioritas yang dimaksud dapat berbeda antara para karyawan dari
berbagai bidang dalam organisasi yang sama dan antara organisasi
yang satu dengan yang lainnya.
2) Mengetahui persepsi setiap karyawan terhadap organisasi atau
perusahaan. Sampai seberapa dekat persepsi tersebut sesuai dengan
harapan mereka dan bagaimana perbandingannya dengan karyawan
lain.
3) Mengetahui atribut-atribut mana yang termasuk dalam kategori
kritis (critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara
signifikan terhadap kepuasan karyawan. Atribut yang bersifat kritis
tersebut merupakan prioritas untuk diadakannya peningkatan
kepuasan karyawan.
4) Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat
membandingkannya dengan indeks milik perusahaan atau instansi
saingan atau yang lainnya.
f. Dampak Kepuasan dan ketidakpuasan kerja
1) Terhadap Produktivitas Kerja
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa produktivitas dapat
dinaikkan dengan menaikkan kepuasan kerja, namun hasil
penelitian tidak mendukung pandangan ini, karena hubungan
antara produktivitas kerja dengan kepuasan kerja sangat kecil.
Produktivitas kerja dipengaruhi oleh banyak faktor-faktor
12
moderator disamping kepuasan kerja. Lawler dan Porter
berpendapat produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan
dari kepuasan kerja jika tenaga kerja mempresepsikan bahwa
ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan
ganjaran intrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua-duanya adil
dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja yang unggul (Ashar,
2011).
2) Terhadap Kemangkiran dan Keluarnya Tenaga Kerja
Ketidakhadiran lebih bersifat spontan dan kurang mencerminkan
ketidakpuasan kerja, berbeda dengan berhenti atau keluar dari
pekerjaan. Steers dan Rhodes mengembangkan model pengaruh
dari kehadiran. Ada dua faktor pada perilaku hadir yaitu motivasi
untuk hadir dan kemampuan untuk hadir. Mereka percaya bahwa
motivasi untuk hadir dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Model
meninggalkan pekerjaan dari Mobley, Horner, dan Hollingworth
menunjukkan bahwa setelah tenaga kerja menjadi tidak puas terjadi
beberapa (misalnya berfikir untuk meninggalkan pekerjaan)
sebelum keputusan untuk meninggalkan pekerjaan diambil.
Menurut Robbins (2001) ketidakpuasan kerja pada karyawan dapat
diungkapkan melalui berbagai cara misalkan selain meninggalkan
pekerjaan, karyawan dapat mengeluh, membangkang, mencuri
barang milik organisasi, menghindar dari tanggung jawab (Ashar,
2011).
13
g. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Perawat
Bagan 2.2 Pendekatan sistem dalam menggali lingkungan kerja perawat
1) Karakteristik Individu
Karakteristik individu merupakan sifat atau ciri seseorang
yang menggambarkan keadaan individu tersebut yang sebenarnya
dan membedakannya dari individu lain (Poerwodarminto (1990)
dalam Wuryanto (2010). Karakteristik individu atau karakteristik
biografis merupakan variabel yang sering dianalisis dalam bidang
ilmu perilaku organisasi karena variabel ini mempunyai dampak
terhadap kepuasan kerja. Secara umum karakteristik individu
memiliki hubungan bermakna dengan kepuasan kerja, seperti
penelitian Dewi (2004) yang menemukan bahwa karakteristik
individu seperti umur, jenis kelamin, lama kerja dan status
pernikahan berhubungan bermakna dengan kepuasan kerja.
Input Proses Output
Proses manajamen dalam menciptakan lingkungan kerja: 1. Kualitas kepemimpinan 2. Gaya manajemen 3. Program dan kebijakan
ketenagaan 4. Otonomi 5. Hubungan interdisiplin 6. Pengembangan
profesional
Karakteristik individu perawat: 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Lama kerja 5. Status pernikahan
Persepsi perawat tentang kepuasan kerja
14
Karakteristik individu meliputi:
a) Umur
Berdasarkan penelitian-penelitian yang mempelajari
hubungan antara usia dengan kepuasan kerja ditemukan bahwa
terdapat hubungan positif antara usia dengan kepuasan kerja,
sekurang-kurangnya sampai usia 60 tahun (Robbins, 2001).
Tetapi penelitian lain menemukan hubungan yang tidak
konsisten antara usia dengan kepuasan kerja. Akan tetapi jika
dibedakan antara karyawan yang profesional dan tidak
profesional maka kepuasan cenderung terus menerus
meningkat pada para profesional dengan bertambahnya usia
mereka, sedangkan pada non profesional kepuasa merosot
selama usia setengah baya dan meningkat lagi dalam tahun-
tahun berikutnya (Robbins, 2001). Hal tersebut karena pada
karyawan profesional semakin meningkatnya usia, semakin
berpengalaman dan semakin meningkat kemampuan
profesionalnya, sedangkan pada non profesional cenderung
menurun kemampuannya (Robbins, 2001). McCarthy (2007)
menemukan bahwa usia muda memiliki kepuasan yang lebih
tinggi. Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan
kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40-
45 tahun adalah merupakan umur yang bisa menimbulkan
perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.
Usia merupakan salah satu faktor yang cukup dominan
terhadap pembentukan kerja seseorang. Menurut Gibson
(1996), usia sebagai sub variabel demografik mempunyai efek
tidak langsung pada perilaku kerja individu. Hal tersebut akan
berpengaruh terhadap kemampuan dan keterampilannya.
Menurut Siagian (2002), terdapat korelasi antara kinerja dan
kepuasan kerja dengan umur seorang karyawan, artinya
kecenderungan yang sering terlihat ialah bahwa semakin lanjut
15
umur karyawan, kinerja dan tingkat kepuasan kerjanya pun
biasanya semakin tinggi. Berbagai alasan yang sering
dikemukakan menjelaskan fenomena ini, antara lain adalah:
a. Bagi karyawan yang sudah lanjut usia, makin sulit memulai
karir baru di tempat lain.
b. Sikap yang dewasa dan matang mengenai tujuan hidup,
harapan, keinginan, dan cita-cita.
c. Gaya hidup yang sudah mapan.
d. Sumber penghasilan yang relatif terjamin.
e. Adanya ikatan batin dan tali persahabatan antara yang
bersangkutan dengan rekan-rekannya dalam organisasi.
Pada karyawan yang berusia tua dianggap kurang luwes
dan menolak teknologi baru. Namun di lain pihak ada sejumlah
kualitas positif yang ada pada karyawan yang lebih tua,
meliputi pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan
komitmen terhadap mutu (Robbins & Judge, 2008).
Sebaliknya, para karyawan yang lebih muda usianya, kepuasan
kerja cenderung lebih kecil, karena berbagai pengharapan yang
lebih tinggi, kurang penyesuaian dan penyebab-penyebab
lainnya serta pengalaman yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan karyawan yang berusia lebih tua
(Handoko, 2001).
Karyawan yang lebih muda cenderung mempunyai fisik
yang kuat, sehingga diharapkan dapat bekerja keras dan pada
umumnya mereka belum berkeluarga atau bila sudah
berkeluarga anaknya relatif masih sedikit. Tetapi karyawan
yang lebih muda umumnya kurang berdisiplin, kurang
bertanggung jawab dan sering berpindah-pindah pekerjaan
dibandingkan karyawan yang lebih tua (Isemito, 1992).
16
Karyawan yang lebih tua kecil kemungkinan akan
berhenti karena masa kerja mereka yang lebih panjang
cenderung memberikan kepada mereka tingkat upah yang lebih
tinggi, liburan dengan upah yang lebih panjang, dan tunjangan
pensiun yang lebih menarik. Kebanyakan studi juga
menunjukkan suatu hubungan yang positif antara kepuasan
kerja dengan usia, sekurangnya sampai usia 60 tahun.
Kepuasan kerja akan cenderung terus-menerus meningkat pada
para karyawan yang profesional dengan bertambahnya usia
mereka, sedangkan pada karyawan yang nonprofesional
kepuasan itu merosot selama usia setengah baya dan kemudian
naik lagi dalam tahun-tahun berikutnya (Robbins & Judge,
2008).
b) Jenis Kelamin
Penelitian tentang variabel jenis kelamin pada
penelitian-penelitian psikologis telah menemukan bahwa pria
lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya dalam memiliki
pengharapan untuk sukses, sehingga pria cenderung lebih tidak
puas dengan pekerjaannya dibanding wanita. Hubungan antara
jenis kelamin dengan perilaku kerja ditemukan bahwa secara
konsisten wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih
tinggi dibanding pria. Penjelasan yang paling logis adalah
bahwa secara historis kondisi telah menempatkan wanita pada
tanggung jawab terhadap rumah tangga dan keluarga (Robbins,
2001). Penelitian lain oleh McCarty (2007) menemukan bahwa
perawat wanita memiliki kepuasan yang lebih tinggi.
Tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan
wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, ketrampilan
analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau
kemampuan belajar. Namun studi-studi psikologi telah
menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi
17
wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar
kemungkinannya daripada wanita dalam memiliki pengharapan
untuk sukses. Bukti yang konsisten juga menyatakan bahwa
wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi
daripada pria (Robbins & Judge, 2008).
Tetapi terdapat teori lain yang berpendapat bahwa
perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya kepuasan kerja, teori ini diungkapkan oleh Glenn,
Taylor, dan Wlaver (1977) yang menyatakan bahwa ada
perbedaan tingkat kepuasan kerja antara pria dengan wanita,
dimana kebutuhan wanita untuk merasa puas dalam bekerja
ternyata lebih rendah dibandingkan pria (As’ad, 1995).
c) Status perkawinan
Studi tentang status perkawinan secara konsisten
menunjukkan bahwa karyawan yang menikah lebih puas
dengan pekerjaannya dibanding dengan rekan sekerjanya yang
tidak menikah (Robbins, 2001). Tampaknya perkawinan
memaksakan peningkatan tanggungjawab yang dapat membuat
suatu pekerjaan yang tetap menjadi lebih berharga dan penting
(Robbins, 2001).
d) Masa Kerja
Penelitian untuk mengidentifikasi hubungan antara
masa kerja dan kepuasan menunjukkan adanya hubungan yang
positif antara keduanya. Semakin meningkat masa kerja
seseorang semakin meningkat kepuasan kerjanya. Bila usia dan
masa kerja diperlakukan secara terpisah, tampaknya masa kerja
akan merupakan peramal yang lebih konsisten dan mantap dari
kepuasan kerja daripada usia kronologis (Robbins, 2001). Studi
oleh Blegen (1993) dalam Chen (2008) menunjukkan bahwa
kepuasan kerja perawat rumah sakit memiliki hubungan yang
lemah dengan pengalaman kerja dalam tahun.
18
Masa kerja ternyata konsisten berhubungan secara
negatif dengan keluar masuknya karyawan dan kemangkiran,
namun memiliki hubungan yang positif terhadap produktivitas
kerja (Robbins & Judge, 2008). Masa kerja yang lama akan
cenderung membuat seorang karyawan atau perawat lebih
merasa betah dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan
diantaranya karena telah beradaptasi dengan lingkungannya
yang cukup lama sehingga seorang karyawan akan merasa
nyaman dengan pekerjaannya. Penyebab lain juga dikarenakan
adanya kebijakan dari instansi atau perusahaan mengenai
jaminan hidup dihari tua (Kreitner & Kinicki, 2013).
e) Pendidikan
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan
positif antara taraf pendidikan dengan kepuasan. Latar
belakang pendidikan yang tinggi merasa kurang puas dengan
pekerjannya, dan pendapatnya berbanding terbalik dengan
mereka yang berpendidikan rendah (Giwangkara, 2002). Studi
oleh Blegen (1993) dalam Chen (2008) menunjukkan bahwa
kepuasan kerja perawat di rumah sakit memiliki hubungan
dengan pendidikan. McCarthy (2007) menemukan bahwa
perawat lulusan akademi memiliki kepuasan lebih tinggi.
Sedangkan penelitian Suyoto (2003) menunjukkan bahwa
perawat berpendidikan SPK merasa lebih puas terhadap gaji/
insentif, kebijakan organisasi, tuntutan tugas dan status
profesional dibanding DIII/ DIV.
2) Lingkungan Kerja
a) Pengertian lingkungan kerja
Lingkungan kerja yang positif adalah suatu pengaturan
praktek yang dapat memaksimalkan kesehatan dan
kesejahteraan perawat, meningkatkan kualitas hasil pasien dan
kinerja organisasi (RNAO 2006, dalam Baumann, 2007).
19
Lingkungan kerja positif menunjukkan bahwa karyawan tetap
mengarah pada kerja tim yang lebih baik, peningkatan
kontinuitas perawatan dan perbaikan hasil pasien. Para
pimpinan telah mulai menyadari bahwa perubahan lingkungan
kerja positif mengakibatkan karyawan tetap tinggal dan
memiliki komitmen yang tinggi dalam organisasi.
b) Karakteristik Lingkungan Kerja Positif.
Karakteristik lingkungan kerja positif menurut
International Council of Nursing (ICN) yang dijabarkan oleh
Baumann (2007) adalah sebagai berikut:
(1) Kerangka kebijakan inovatif yang difokuskan pada
perekrutan dan retensi.
(2) Strategi untuk melanjutkan pendidikan dan pelatihan.
(3) Kompensasi karyawan yang memadai.
(4) Program pengakuan.
(5) Peralatan dan persediaan yang cukup.
(6) Lingkungan kerja yang aman.
Lebih luas, Kristensen's (1999), dalam Baumann (2007)
mengembangkan Model Sosial dan Psikologi, bahwa untuk
mengoptimalkan kesejahteraan sosial dan psikologis diperlukan
sebagai berikut:
(1) Tuntutan yang sesuai dengan sumber daya manusia (tidak
ada tekanan dalam pekerjaan).
(2) Prediktabilitas tingkat tinggi (keamanan bekerja dan
keselamatan kerja).
(3) Dukungan sosial yang baik, terutama dari rekan kerja dan
manajer, serta akses pendidikan dan kesempatan
pengembangan profesional (team work, ijin belajar).
(4) Pekerjaan yang bermakna (identitas profesional).
(5) Tingkat pengaruh yang tinggi (otonomi, kontrol atas
penjadwalan, kepemimpinan).
20
(6) Keseimbangan antara usaha dan imbalan (remunerasi,
pengakuan, penghargaan).
Sementara itu College Of Registered Nurse of British
Columbia (CRNBC) menyusun pedoman untuk meningkatkan
lingkungan kerja yang berkualitas bagi perawat terdiri atas:
(1) Manajemen beban kerja.
Adanya jumlah perawat yang mencukupi untuk
memberikan pelayanan keperawatan yang aman, kompeten
dan peduli pada etik. Indikator-indikatornya adalah: 1)
adanya sistem pelayanan keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk mengembangkan hubungan yang bermakna,
terus menerus dengan klien; 2) adanya sistim penerimaan
dan pelayanan klien yang berdasar pada kemampuan
perawat dalam memberikan pelayanan yang aman,
kompeten dan sesuai dengan etik; 3) adanya waktu yang
cukup untuk mendiskusikan dan merencanakan perawatan
pasien dengan klien dan perawat dilibatkan dalam
menentukan ketenagaan dan perbandingan jumlah perawat-
pasien; 4) adanya keterlibatan perawat dalam penentuan
alokasi sumber-sumber dan pengambilan keputusan
penggunaannya; 6) adanya jaminan perawat tidak sering
lembur (overtime) dan lembur bukan merupakan kewajiban;
7) adanya jadwal kerja yang fleksibel dan inovatif.
(2) Kepemimpinan keperawatan.
Adanya pimpinan keperawatan yang kompeten dan
disiapkan secara baik pada semua tingkat kepemimpinan di
organisasi. Indikator-indikatornya adalah: 1) pimpinan
keperawatan didukung untuk berperan sebagai kolaborator,
komunikator, mentor, pengambil resiko (risk taker), role
models, visioner dan advokator dalam kualitas
keperawatan; 2) pimpinan keperawatan memiliki otoritas
21
untuk mendukung praktek keperawatan yang aman; 3)
manajer eksekutif keperawatan melaporkan pada tingkat
pimpinan eksekutif yang lain dalam organisasi; 4) bila
tujuan utama unit atau program adalah pemberian
pelayanan keperawatan, maka manager utamanya adalah
perawat; 5) dalam melakukan praktik, perawat memperoleh
dukungan akses dan perawat ahli yang berpengalaman.
(3) Kontrol praktik
Perawat memiliki tanggung jawab, wewenang dan
akontabilitas dalam praktek keperawatan. Indikar-
indikatornya adalah : 1) pengambilan keputusan partisipasif
pada semua level kebijakan, praktek dan lingkungan kerja;
2) sumber-sumber yang tersedia untuk mendukung
evidence based pelayanan keperawatan; 3) perawat dan
profesional kesehatan yang lain bekerja secara kooperatif
dan kolaborasi dalam pengambilan keputusan; 4) perawat
menentukan kompetensi yang dibutuhkan dalam
pengaturan praktek keperawatan di lingkungan kerjanya; 5)
perawat memperoleh dukungan yang cukup dalam
mengerjakan tugas-tugas non keperawatan.
(4) Pengembangan profesional.
Organisasi mendukung dan mendorong filosofi belajar
seumur hidup dan meningkatkan proses pembelajaran di
lingkungan. Indikator-indikatornya adalah: 1) perawat
memperoleh orientasi yang cukup untuk semua posisi baru
dan pengaturan praktek; 2) tersedianya program mentoring
dan bimbingan; 3) staf keperawatan memperoleh peluang
pelatihan, pendidikan berkelanjutan, dan pengembangan
profesional; 4) staf keperawatan memperoleh peluang
tanya jawab dan refleksi dalam pelayanan; 5) adanya
program evaluasi kinerja di tempat kerja.
22
(5) Dukungan organisasi.
Misi, nilai, kebijakan organisasi dan dukungan praktik dan
nilai perawat dan pelayanan yang aman dan asuhan
keperawatan yang tepat. Indikator-indiktornya adalah: 1)
adanya forum tepat yang dapat diakses untuk
menyelesaikan isue-isue etik dan praktek profesional; 2)
adanya pengakuan, penghargaan dan penilaian terhadap
perawat yang berpengalaman dan memberikan pelayanan
yang prima; 3) adanya dorongan untuk ide-ide kreatif dan
inovatif serta peningkatan pengetahuan keperawatan; 4)
adanya program keamanan, keselamatan dan kesehatan
secara menyeluruh; 5) adanya langkah-langkah untuk
mencegah dan menghilangkan segala bentuk agresi,
kekerasan dan penyiksaan; 6) adanya kompensasi yang
sesuai dengan keahlian, pengalaman dan tanggungjawab;
7) adanya program-program peningkatan kualitas yang
terus menerus di tempat kerja; 8) adanya faslitas fisik,
peralatan, perlengkapan dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan staf dan klien; 9) adanya kebijakan bagian
sumber daya manusia (SDM) yang mempertimbangkan
keinginan pegawai dan keluarganya; 10) adanya sistem
informasi dan komunikasi yang efektif dan terintegrasi; 11)
adanya penggunaan teknologi yang tepat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown (2005),
bahwa ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu:
1) Kedudukan (posisi)
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja
pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada
yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak
selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah
yang mempengaruhi kepuasan kerja.
23
2) Golongan
Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya
memiliki gaji, wewenang, dan kedudukan yang lebih dibandingkan
yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas
terhadap pekerjaannya.
3) Umur
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan
kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40-45 tahun
adalah merupakan umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang
puas terhadap pekerjaan.
4) Jaminan finansial dan jaminan sosial
Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh
terhadap kepuasan kerja.
5) Mutu Pengawasan
Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan
hubungan yang baik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga
karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang
penting dari organisasi kerja.
h. Tingkat kepuasan perawat
Menurut Morgan (2007), tingkat kepuasan pelanggan perawat
sangat tergantung pada harapan dan mutu yang dirasakan secara
subyektif, dimana harapan tersebut tergantung pada beberapa hal
sebagai berikut:
1) Persyaratan dari pelayanan, persyaratan ini kurang lebih
merupakan hasil dari kebutuhan dan keinginan pelanggan perawat
2) Kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pemberi pelayanan dan
citra pemberi pelayanan tersebut yang sangat mempengaruhi
harapan dan persepsi pelanggan pada saat yang bersamaan.
Komunikasi dan citra para pemberi pelayanan ini membangun
profil dari bentuk pelayanan yang dihasilkan dan hal inilah yang
akan dibandingkan dengan nilai aktual yang diterima
24
3) Pengalaman dengan produk layanan dan jasa yang pernah diterima
oleh pelanggan perawat di masa yang lalu
Menurut Sari (2009), terdapat empat faktor yang berperan
dalam pembentukan kepuasan kerja atau kepuasan perawat antara lain:
1) Pekerjaan yang penuh tantangan
Dewasa ini telah umum diakui bahwa sebagian besar pekerja,
pekerjaan yang tidak menarik, misalnya karena sangat teknis dan
repetitif sehingga tidak lagi menuntut imajinasi, inovasi dan
kreativitas dalam pelaksanaannya sehingga memunculkan tingkat
kebosanan yang tinggi. Suatu pekerjaan yang mengandung
tantangan apabila terselesaikan dengan baik merupakan salah satu
sumber kepuasan kerja (kepuasan perawat). Sebaliknya, sifat
pekerjaan yang harus diselesaikan oleh seseorang hendaknya
jangan demikian sukarnya sehingga kemungkinan berhasil kecil
meskipun sudah dengan pengerahan kemampuan, ketrampilan,
waktu dan tenaga yang dimiliki oleh seseorang. Hal demikian
biasanya akan menimbulkan frustasi yang berlangsung secara terus
menerus dan apabila berlangsung dalam jangka waktu yang lama
akan mengakibatkan tingkat kepuasan yang rendah.
2) Penerapan sistem penghargaan yang adil
Dalam kehidupan organisasional, masalah keadilan
sesungguhnya adalah masalah persepsi. Secara sederhana
dinyatakan bahwa biasanya seseorang akan merasa diperlakukan
secara adil apabila perlakuan itu menguntungkannya dan
sebaliknya merasa diperlakukan tidak adil apabila perlakuan itu
dilihatnya sebagai suatu hal yang sangat merugikan. Dalam
kehidupan berkarya, persepsi itu dikaitkan dengan berbagai hal
antara lain:
a) Pengupahan atau penggajian
Upah atau gaji adalah imbalan yang diterima oleh
seseorang dari organisasi atas jasa yang telah diberikannya,
25
baik berupa waktu, tenaga, keahlian atau ketrampilan. Biasanya
seseorang melihat upah atau gaji itu dengan “kaca mata”
perbandingan. Perbandingan pertama dikaitkan dengan harapan
seseorang berdasarkan tingkat pendidikan, pengalaman, masa
kerja, jumlah tanggung jawab, status sosial dan kebutuhan
ekonominya. Perbandingan kedua dikaitkan dengan orang lain
dalam organisasi terutama mereka yang memiliki karakteristik
yang serupa dengan diri pembanding seperti dikemukakan
diatas, yaitu pendidikan, pengalaman, masa kerja, jumlah
tanggungan, status sosial dan kebutuhan ekonominya dan
melakukan pekerjaan yang sejenis, serta memikul tanggung
jawab professional yang relatif sama.
Insentif adalah penghargaan di luar gaji pokok yang
diberikan kepada karyawan atas segala jerih payahnya dalam
meningkatkan tugas dalam memberikan pelayanan kepada
pelanggan yang diterima setiap bulan dengan jumlah yang
berubah-ubah sesuai dengan hasil kinerja, insentif ini dapat
memberikan motivasi karyawan untuk meningkatkan
produktivitas kerjanya.
b) Sistem promosi
Dalam pengelolaan sumber daya manusia, salah satu kebutuhan
nyata seseorang ialah memenuhi kebutuhan untuk maju dalam
karier. Sulit bagi pegawai akan merasa puas apabila berada
pada tangga karir yang sama dari sejak mulai masuk dalam
organisasi sampai dia meninggalkan organisasi tersebut. Dalam
sebuah organisasi memerlukan kejelasan tentang berbagai
“anak tangga” karier yang mungkin dinaiki oleh seseorang
apabila berbagai kriteria persyaratan yang telah ditetapkan
terpenuhi dengan baik. Apabila menurut persepsi seseorang
promosi dalam sebuah organisasi berdasarkan pada berbagai
pertimbangan yang tidak didasarkan pada kriteria yang
26
objektif, melainkan berdasarkan pertimbangan yang subjektif,
seperti “personal likes an dislikes, nepotisme, kesukuan, asal
daerah dan lain sebagainya, akan sering menimbulkan perasaan
diperlakukan tidak adil yang pada gilirannya akan berakibat
pada tingkat kepuasan yang rendah yang mustahil akan
bermuara kepada perilaku yang negatif.
c) Kondisi kerja
Kondisi kerja tidak hanya terbatas pada kondisi kerja di tempat
pekerjaan masing-masing, seperti nyamannya tempat kerja,
ventilasi yang cukup, penerangan lampu yang memadai,
kebersihan tempat pekerjaan, keamanan dan hal lain sejenis,
tetapi juga misalnya lokasi pekerjaan. Faktor lain yang tidak
kecil artinya dalam menentukan kepuasan kerja adalah sejauh
mana seseorang dilibatkan dalam menentukan isi pekerjaannya
maupun dalam pengaturan jam kerjanya. Penerapan jam kerja
sistem “flexitime” memungkinkan para pekerja dapat
menentukan jam kerjanya secara bebas (masuk jam berapa dan
jam berapa ia pulang) dengan ketentuan bahwa kelancaran
penyelesaian tugas organisasi sebagai keseluruhan tidak
terganggu dan jumlah jam kerja, misalnya delapan jam sehari
tetap terpenuhi.
3) Kondisi yang sifatnya mendukung
Kondisi kerja yang mendukung secara relevan untuk menekankan
bahwa meskipun benar bahwa efisiensi, efektivitas dan
produktivitas kerja pada analisis terakhir tergantung pada unsur
manusia dalam organisasi, tetap diperlukan kondisi kerja yang
mendukung, hal ini termasuk dalam tersedianya prasarana dan
sarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus
diselesaikan. Bagaimanapun positifnya perilaku manusia seperti
tercermin dalam kesetiaan yang besar, disiplin yang tinggi dan
dedikasi yang tidak diragukan, tanpa prasarana dan sarana kerja ia
27
tidak akan dapat berbuat banyak, apalagi meningkatkan efisiensi,
efektivitas dan produktivitas kerjanya.
4) Sikap rekan kerja dan atasan
Seseorang dalam organisasi mau tidak mau harus
melakukan interaksi dengan orang lain, apakah itu rekan kerja,
atasannya, dan bagi mereka yang menduduki jabatan manajerial
harus berinteraksi dengan para bawahan. Keharusan melakukan
interaksi itu timbul karena adanya saling ketergantungan dan
keterkaitan antara satu tugas dengan tugas lainnya. Kebenaran
berpendapat dewasa ini semakin disadari karena satuan-satuan
kerja yang terdapat dalam suatu organisasi. Keberhasilan
penyelesaian suatu pekerjaan ditentukan oleh interaksi antara
orang-orang yang terdapat dalam suatu satuan kerja. Hubungan dan
keterbukaan antara bawahan dan atasan juga sangat menentukan
terselesaikannya suatu pekerjaan, gaya kepemimpinan yang
demokratis akan lebih memberikan kepuasan bagi pekerja
dibandingkan dengan gaya kepemimpinan yang otoriter. Kepuasan
kerja bawahan (pekerja) ditentukan oleh sifat mendukung atasan
terhadap pelaksanaan pekerjaan yang menggunakan gaya
manajerial yang demokratik.
Menurut Nursalam (2008), gaya kepemimpinan dapat
mempengaruhi moral, kepuasan kerja, keamanan dan kualitas
kehidupan pekerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi,
gaya kepemimpinan ini sangat mempengaruhi kinerja pegawai dan
dapat berbentuk antara lain: the autocratic leader, the participate
leader, the free rein leader. Kepemimpinan seorang pemimpin
sangat penting atau berpengaruh dalam menciptakan kesatuan arah
dan tujuan organisasi, menciptakan dan mempertahankan
lingkungan internal sehingga personel terlibat secara penuh untuk
mencapai tujuan organisasi dan dihasilkan sebuah pencapaian
organisasi yang sesuai dengan harapan.
28
Menurut Suarli dan Bahtiar (2009), kepemimpinan adalah
kemampuan memberi inspirasi kepada orang lain untuk bekerja
sama sebagai suatu kelompok, agar dapat mencapai tujuan umum.
Kemampuan memimpin diperoleh melalui pengalaman hidup
sehari-hari. Pengertian lain tentang kepemimpinan ialah segala hal
yang bersangkutan dengan pemimpin dalam menggerakkan,
membimbing dan mengarahkan orang lain agar melaksanakan
tugas dan mewujudkan sasaran yang ditetapkan.
2. Umur
Usia merupakan salah satu faktor yang cukup dominan terhadap
pembentukan kerja seseorang. Menurut Gibson (1996), usia sebagai sub
variabel demografik mempunyai efek tidak langsung pada perilaku kerja
individu. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap kemampuan dan
keterampilannya. Menurut Siagian (2002), terdapat korelasi antara kinerja
dan kepuasan kerja dengan umur seorang karyawan, artinya
kecenderungan yang sering terlihat ialah bahwa semakin lanjut umur
karyawan, kinerja dan tingkat kepuasan kerjanya pun biasanya semakin
tinggi. Berbagai alasan yang sering dikemukakan menjelaskan fenomena
ini, antara lain adalah:
a. Bagi karyawan yang sudah lanjut usia, makin sulit memulai karir baru
di tempat lain.
b. Sikap yang dewasa dan matang mengenai tujuan hidup, harapan,
keinginan, dan cita-cita.
c. Gaya hidup yang sudah mapan.
d. Sumber penghasilan yang relatif terjamin.
e. Adanya ikatan batin dan tali persahabatan antara yang bersangkutan
dengan rekan-rekannya dalam organisasi.
Pada karyawan yang berusia tua dianggap kurang luwes dan
menolak teknologi baru. Namun di lain pihak ada sejumlah kualitas positif
yang ada pada karyawan yang lebih tua, meliputi pengalaman,
pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu
29
(Robbins & Judge, 2008). Sebaliknya, para karyawan yang lebih muda
usianya, kepuasan kerja cenderung lebih kecil, karena berbagai
pengharapan yang lebih tinggi, kurang penyesuaian dan penyebab-
penyebab lainnya serta pengalaman yang relatif lebih rendah dibandingkan
dengan karyawan yang berusia lebih tua (Handoko, 2001).
Karyawan yang lebih muda cenderung mempunyai fisik yang kuat,
sehingga diharapkan dapat bekerja keras dan pada umumnya mereka
belum berkeluarga atau bila sudah berkeluarga anaknya relatif masih
sedikit. Tetapi karyawan yang lebih muda umumnya kurang berdisiplin,
kurang bertanggung jawab dan sering berpindah-pindah pekerjaan
dibandingkan karyawan yang lebih tua (Isemito, 1992).
Karyawan yang lebih tua kecil kemungkinan akan berhenti karena
masa kerja mereka yang lebih panjang cenderung memberikan kepada
mereka tingkat upah yang lebih tinggi, liburan dengan upah yang lebih
panjang, dan tunjangan pensiun yang lebih menarik. Kebanyakan studi
juga menunjukkan suatu hubungan yang positif antara kepuasan kerja
dengan usia, sekurangnya sampai usia 60 tahun. Kepuasan kerja akan
cenderung terus-menerus meningkat pada para karyawan yang profesional
dengan bertambahnya usia mereka, sedangkan pada karyawan yang
nonprofesional kepuasan itu merosot selama usia setengah baya dan
kemudian naik lagi dalam tahun-tahun berikutnya (Robbins & Judge,
2008).
3. Pendidikan
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan positif
antara taraf pendidikan dengan kepuasan. Latar belakang pendidikan yang
tinggi merasa kurang puas dengan pekerjannya, dan pendapatnya
berbanding terbalik dengan mereka yang berpendidikan rendah
(Giwangkara, 2002). Studi oleh Blegen (1993) dalam Chen (2008)
menunjukkan bahwa kepuasan kerja perawat di rumah sakit memiliki
hubungan dengan pendidikan. McCarthy (2007) menemukan bahwa
perawat lulusan akademi memiliki kepuasan lebih tinggi. Sedangkan
30
penelitian Suyoto (2003) menunjukkan bahwa perawat berpendidikan SPK
merasa lebih puas terhadap gaji/ insentif, kebijakan organisasi, tuntutan
tugas dan status profesional dibanding DIII/ DIV.
4. Masa Kerja
Penelitian untuk mengidentifikasi hubungan antara masa kerja dan
kepuasan menunjukkan adanya hubungan yang positif antara keduanya.
Semakin meningkat masa kerja seseorang semakin meningkat kepuasan
kerjanya. Bila usia dan masa kerja diperlakukan secara terpisah,
tampaknya masa kerja akan merupakan peramal yang lebih konsisten dan
mantap dari kepuasan kerja daripada usia kronologis (Robbins, 2001).
Studi oleh Blegen (1993) dalam Chen (2008) menunjukkan bahwa
kepuasan kerja perawat rumah sakit memiliki hubungan yang lemah
dengan pengalaman kerja dalam tahun.
Masa kerja ternyata konsisten berhubungan secara negatif dengan
keluar masuknya karyawan dan kemangkiran, namun memiliki hubungan
yang positif terhadap produktivitas kerja (Robbins & Judge, 2008). Masa
kerja yang lama akan cenderung membuat seorang karyawan atau perawat
lebih merasa betah dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya
karena telah beradaptasi dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga
seorang karyawan akan merasa nyaman dengan pekerjaannya. Penyebab
lain juga dikarenakan adanya kebijakan dari instansi atau perusahaan
mengenai jaminan hidup dihari tua (Kreitner & Kinicki, 2013).
5. Gaya Kepemimpinan
a. Pengertian Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan memberi inspirasi kepada
orang lain untuk bekerja sama sebagai suatu kelompok, agar dapat
mencapai tujuan umum. Pengertian lain tentang kepemimpinan ialah
segala hal yang bersangkutan dengan pemimpin dalam menggerakkan,
membimbing dan mengarahkan orang lain agar melaksanakan tugas
dan mewujudkan sasaran yang ditetapkan (Suarli & Bahtiar, 2009).
31
Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang
untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu,
untuk mencapai suatu tujuan. Dasar yang sering digunakan untuk
mengelompokkan gaya kepemimpinan adalah: (1) tugas yang harus
dilakukan oleh pemimpin, (2) kewajiban pemimpin, dan (3) falsafah
yang dianut oleh pemimpin (Nursalam, 2008).
b. Kegiatan kepemimpinan
Kegiatan kepemimpinan dalam keperawatan mencakup banyak
hal. Dengan demikian, kegiatan kepemimpinan selalu bersinggungan
dengan kegiatan dalam manajemen. Kepemimpinan paling sedikit
mencakup empat hal yang terkait dengan kegiatan manajerial, yaitu
perencanaan, pengorganisasian, motivasi dan pengendalian (Arwani &
Supriyatno, 2005):
1) Perencanaan
Dalam kegiatan perencanaan, kepemimpinan diarahkan pada
kegiatan yang menyangkut pengenalan masalah yang terjadi di
lingkungan kerja dalam area kepemimpinan: penetapan tujuan baik
jangka pendek maupun jangka panjang untuk pemecahan masalah
yang ada, termasuk pengembangan dari tujuan tersebut dalam
uraian bagaimana tujuan dan sasaran yang ditentukan tersebut akan
dicapai. Perencanaan yang baik akan menentukan keberhasilan
kegiatan dan pencapaian tujuan serta menghindari
“keterperangkapan” dalam “ketidaksiapan” dari seluruh komponen
kepemimpinan.
2) Pengorganisasian
Kegiatan ini dilakukan melalui pelibatan semua sumber daya yang
ada dalam suatu sistem untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam
konteks ini, seorang pimpinan harus mampu memasukkan semua
unsur manusia dan situasi ke dalam suatu sistem yang ada, dan
mengatur mereka dengan kemampuan “kepemimpinannya”
sedemikian rupa sehingga kelompok mampu melakukan pekerjaan
32
yang diberikan secara baik untuk pencapaian tujuan organisasi.
Menghadapi kondisi demikian seorang pimpinan paling tidak
memiliki empat kapabilitas, yaitu cerdas (intelligent), matang
sosial dan luas pengetahuan (social maturity and breath), memiliki
motivasi yang baik (inner motivation), dan kemampuan yang
memadai dalam berhubungan dengan orang lain (human relation
attitude).
3) Motivasi
Kegiatan ketiga kepemimpinan merupakan faktor yang cukup
penting dalam menentukan tingkat kinerja karyawan dan kualitas
pencapaian tujuan yaitu motivasi. Motivasi ini menjadi penting
karena dapat meningkatkan kapasitas pekerjaan seseorang sekitar
60-70%. Dengan dasar ini maka seorang pimpinan harus memiliki
pengetahuan yang cukup tentang motivasi dan teori-teori yang
mendasarinya agar mampu memotivasi karyawan secara benar.
4) Pengendalian
Pengendalian berguna untuk menentukan kegiatan yang akan
datang. Pengendalian merupakan kegiatan mengumpulkan umpan
balik dan hasil-hasil yang secara benar periodik ditindaklanjuti
dalam rangka membandingkan hasil yang diperoleh dengan
perencanaan yang dibuat. Jika terjadi kesenjangan, seorang
pimpinan dapat melakukan upaya penggalian masalah yang
menyebabkan kondisi tersebut lantas melakukan beberapa
penyesuaian dalam perencanaan yang akan datang.
c. Ciri-ciri kepemimpinan
Ciri-ciri kepemimpinan menurut Suarli dan Bahtiar (2009),
antara lain:
1) Pendidikan umum yang luas
Memiliki pengetahuan yang luas baik yang didapat secara formal
maupun nonformal.
33
2) Kemampuan analisis
Pimpinan mampu menganalisa dalam menetukan langkah-langkah
dalam pencapaian tujuan.
3) Keterampilan berkomunikasi
Memilki kemampuan berkomunikasi yang baik dalam
penyampaian perintah kepada para karyawan.
4) Rasionalitas dan objektivitas
Pimpinan dalam menentukan tujuan haruslah bersifat rasional dan
dalam menilai para bawahannya hendaknya bersifat objektif.
5) Programatis
Pimpinan dalam menyusun langkah-langkah dalam proses
pencapaian tujuan harus terprogram, tersusun dan terkonsep.
6) Kesederhanaan
Pimpinan hendaknya mampu memberikan contoh dengan
kesederhanaan terhadap para karyawan agar tidak terlalu royal.
7) Keberanian mengambil keputusan
Dalam pelaksanaan pengambilan keputusan pimpinan berani
mengambil resiko.
d. Bentuk gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan dibagi menjadi empat bagian yaitu (Suarli
& Bahtiar, 2009):
1) Kepemimpinan otokratik (autocratic leadership)
Seorang pemimpin yang menerapkan gaya kepemimpinan
otokratik menganggap bahwa semua kewajiban untuk mengambil
keputusan, menjalankan tindakan, mengarahkan, memberikan
motivasi, dan mengawasi bawahannya berpusat di tangannya.
Pemimpin seperti ini merasa bahwa hanya ia yang berkompeten
untuk memutuskan dan menganggap bahwa bawahannya tidak
mampu untuk mengarahkan diri mereka sendiri. Di lain pihak, ia
mungkin mempunyai alasan-alasan untuk mengambil posisi yang
kuat untuk mengarahkan dan berinisiatif. Seorang otokrat juga
34
mengawasi pelaksanaan pekerjaan dengan maksud untuk
meminimalkan penyimpangan dari arahan yang ia berikan.
2) Kepemimpinan demokratis
Seorang pimpinan menunjukkan perilaku yang banyak
memberikan arahan dan banyak memberikan dukungan. Pemimpin
dalam gaya ini mau menjelaskan keputusan dan kebijakan yang
diambil dan mau menerima pendapat dari pengikutnya, tetapi
masih tetap memberikan pengawasan dan pengarahan dalam
penyelesaian tugas pengikutnya. Ciri yang membedakan dengan
gaya otokratik adalah komunikasi yang sudah dua arah dan peran
serta pengikut tentang keputusan dengan berusaha mendengar
perasaan pengikut tentang keputusan yang mereka buat, ide, saran,
dan pengawasan terhadap pengambilan keputusan tetap pada
pimpinan.
3) Kepemimpinan partisipatif (participate leadership)
Seorang pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya secara
konsultatif adalah pemimpin yang menggunakan gaya partisipatif.
Artinya, ia tidak mendeklarasikan wewenangnya untuk membuat
keputusan akhir dan untuk memberikan pengarahan tertentu kepada
staff/ bawahannya. Akan tetapi, ia mencari berbagai pendapat dan
pemikiran dari para bawahan mengenai keputusan yang akan
diambil. Pemimpin dengan gaya partisipatif akan secara serius
mendengarkan dan menilai pemikiran para bawahannya dan
menerima sumbangan pemikiran mereka, sejauh pemikiran tersebut
bisa dipraktikan. Pemimpin seperti itu akan mendorong
kemampuan mengambil keputusan dari para staff / bawahannya.
Selain itu, ia juga mendorong staff agar meningkatkan kemampuan
mengendalikan diri dan menerima tanggung jawab yang lebih luas.
Pemimpin akan menjadi lebih suportif dalam kontak dengan para
staff / bawahan dan bukan bersikap diktator.
35
4) Kepemimpinan free reign / bebas tindak (free reign leadership)
Dalam gaya kepemimpinan free reign, pemimpin mendelegasikan
wewenang untuk pengambilan keputusan kepada para bawahan
dengan agak lengkap. Pada prinsipnya pemimpin akan
mengatakan, “Inilah pekerjaan yang harus dilakukan. Saya tidak
peduli bagaimana mengerjakannnya, asalkan pekerjaan tersebut
dapat diselesaikan dengan baik”. Di sini pemimpin menyerahkan
tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan tersebut kepada para
staff/ bawahan. Dalam hal ini, pemimpin menginginkan agar para
staff/ bawahan dapat mengendalikan diri mereka masing-masing
dalam menyelesaikan tugas tersebut.
e. Faktor yang mempengaruhi kepemimpinan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan antara lain
(Suyanto, 2009):
1) Karakteristik pribadi
Karakter pimpinan keperawatan sangat berpengaruh terhadap
proses kepemimpinan yang dijalankannya. Berikut ini adalah
beberapa karakteri kepemimpinan keperawatan yang efektif:
a) Jujur
Kejujuran merupakan karakter mutlak yang harus dimiliki oleh
pimpinan keperawatan agar dapat menjalankan proses
kepemimpinan dengan baik dan benar.
b) Terbuka
Pimpinan keperawatan mau menerima masukan, saran dan
kritik baik dari perawat maupun dari tim kesehatan lain guna
meningkatkan kemampuan diri. Keterbukaan seorang pimpinan
dapat dilihat secara langsung pada kemampuannya
berkomunikasi dengan bawahan. Semakin baik komunikasi
yang dilakukan, maka seorang pimpinan akan semakin terbuka.
36
c) Terus belajar
Sebagai seorang pimpinan, seharusnya terus belajar baik secara
formal maupun informal untuk mengikuti perkembangan ilmu
dan pengetahuan keperawatan serta perkembangan teknologi
terkini dalam bidang keperawatan.
d) Enterpreuner (Wira Usaha)
Enterpreuner adalah sikap wira usaha yang harus
dikembangkan oleh pemimpin keperawatan. Sebagaimana kita
pahami bahwa keperawatan adalah sebuah profesi yang
menawarkan jasa pelayanan keperawatan dimana saat ini harus
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan wira usaha.
Dengan menerapkan sikap enterpreuner, maka pelayanan
keperawatan akan dapat memenuhi tuntutan masyarakat terkini.
e) Disiplin
Pasien sebagai penerima pelayanan keperawatan akan dilayani
dengan baik dan professional manakala perawat memiliki
disiplin yang tinggi. Keselamatan pasien akan terjamin jika
asuhan keperawatan diberikan oleh perawat yang disiplin.
Kedisiplinan perawat akan mudah tercipta jika pimpinan
perawatan juga memiliki kedisiplinan yang tinggi. Oleh karena
itu kedisiplinan adalah salah satu sikap mutlak yang harus
dimiliki oleh pimpinan keperawatan yang sejak menjalani
pendidikan keperawatan hingga bertugas sebagai pimpinan
mutlak terus ditegakkan.
f) Intelegen
Faktor kemampuan berpikir merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam proses kepemimpinan. Dengan
kepemimpinan intelegen yang tinggi maka diharapkan
pemimpin dapat menjalankan kepemimpinannya dengan
berbagai pendekatan keilmuan yang dimiliki sehingga masalah
dapat diatasi dan dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah
37
maupun praktis. Kemampuan intelegen tidak hanya
menyangkut keilmuan tetapi juga kemampuan pengendalian
emosional dan kemampuan spiritual.
2) Kelompok yang dipimpin
Keberhasilan seorang pemimpin dalam menjalankan
organisasinya dipengaruhi oleh kelompok yang dipimpinnya.
Semakin besar kelompok yang dipimpin semakin sulit menjalankan
kepemimpinan. Oleh karena itu agar memudahkan proses
kepemimpinan maka perlu dilakukan pembagian tugas
kepemimpinan kepada unit-unit atau tim.
Kita melihat bahwa hal tersebut saat ini banyak
dikembangkan dibeberapa rumah sakit dengan dibentuknya unit-
unit pelayanan keperawatan spesialistik dan dikembangkannya
metode pemberian asuhan keperawatan menggunakan metode
penugasan tim dan metode kasus.
Selain besarnya kelompok, maka jumlah perawat yang
menjadi anggota kelompok juga akan mempengaruhi proses
kepemimpinan yang dijalankan. Rentang kendali (span of controle)
pada staff sangat luas sehingga tidak terjangkau. Sehingga saat ini
penggunaan berbagai metode penugasan dalam pemberian asuhan
keperawatan diterapkan agar memudahkan seorang kepala ruang
perawatan dalam mengendalikan staff perawatan. Dengan rentang
kendali yang terjangkau proses kepemimpinan dan manajemen
dapat dilaksanakan dengan maksimal.
3) Situasi yang dihadapi
Beberapa situasi ruang perawatan berikut ini akan mempengaruhi
proses kepemimpian dalam pelayanan asuhan keperawatan yaitu:
b) Kemampuan dan pengalaman anggota
c) Peraturan dan kebijakan rumah sakit
38
B. Kerangka Teori
Bagan 2.3 Kerangka Teori
Sumber: Robbins (2001)
C. Kerangka Konsep
Bagan 2.4 Kerangka Konsep
Kepuasan kerja perawat
Variabel Independen Variabel Dependen
1. Umur 2. Pendidikan 3. Masa Kerja 4. Gaya Kepemimpinan
Kepala Ruang
Proses manajamen dalam menciptakan lingkungan kerja: 1. Kualitas kepemimpinan 2. Gaya Kepemimpinan 3. Program dan kebijakan
ketenagaan 4. Otonomi 5. Hubungan interdisiplin 6. Pengembangan
profesional
Karakteristik individu perawat: 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Pendidikan 4. Masa kerja 5. Status pernikahan
Kepuasan Kerja Perawat
39
D. Variabel Penelitian
Variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati
(Sugiyono, 2011). Variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel Independen (variabel bebas)
Variabel independen adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau
yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah umur, pendidikan, masa
kerja dan gaya kepemimpinan.
2. Variabel Dependen (variabel terikat)
Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kepuasan kerja perawat
E. Hipotesis
Menurut Notoatmodjo (2010), hipotesis penelitian adalah jawaban
sementara penelitian, patokan duga atau sementara, yang kebenarannya akan
dibuktikan dalam penelitian tersebut. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
1. Ada hubungan umur dengan kepuasan perawat di RSUD Kota Semarang
2. Ada hubungan pendidikan dengan kepuasan kerja perawat di RSUD Kota
Semarang
3. Ada hubungan masa kerja dengan kepuasan kerja perawat di RSUD Kota
Semarang
4. Ada hubungan gaya kepemimpinan kepala ruang dengan kepuasan kerja
perawat di RSUD Kota Semarang