bab ii tinjauan pustaka a. self...
TRANSCRIPT
13
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Self monitoring
1. Pengertian Self monitoring
Self monitoring merupakan konsep yang berhubungan dengan
konsep pengaturan kesan (impression management) atau konsep
pengaturan diri (Snyder & Gangestad, 1986). Teori tersebut
nenitikberatkan perhatian pada kontrol diri individu untuk memanipulasi
citra dan kesan orang lain tentang dirinya dalam melakukan interaksi
sosial (Shaw & Constanzo, 1982). Individu baik secara sadar maupun
tidak sadar memang selalu berusaha untuk menampilkan kesan tertentu
mengenai dirinya terhadap orang lain pada saat berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya.
Menurut Snyder (Watson et al., 1984), self monitoring merupakan
suatu usaha yang dilakukan individu untuk menampilkan dirinya
dihadapan orang lain dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada
pada dirinya atau petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya. Berdasarkan
konsep ini Mark Snyder mengajukan konsep self monitoring, yang
menjelaskan mengenai proses yang dialami setiap individu dalam
menampilkan impression management dihadapan orang lain.
Snyder & Cantor (Fiske & Taylor. 1991) mendefinisikan self-
monitoring sebagai cara individu dalam membuat perencanaan, bertindak,
13
14
dan mengatur keputusan dalam berperilaku terhadap situasi sosial. Hal mi
diperkuat dengan pendapat Robbins (1996) yang menyatakan bahwa self
monitoring merupakan suatu ciri kepribadian yang mengukur kemampuan
individu untuk menyesuaikan perilakunya pada faktor-faktor situasional
luar.
Menurut Baron & Byrne (2004) self monitoring merupakan
tingkatan individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan situasi
eksternal dan reaksi orang lain (self monitoring tinggi) atau atas dasar
faktor internal seperti keyakinan, sikap, dan minat (self monitoring
rendah).
Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para
ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa self monitoring merupakan
kemampuan individu dalam menampilkan dirinya terhadap orang lain
dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada pada dirinya maupun
petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya guna mendapatkan informasi
yang diperlukan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan kondisi dan
situasi yang dihadapi dalam lingkungan sosialnya.
2. Ciri-ciri Self monitoring
Berdasarkan teori self monitoring, sewaktu individu akan
menyesuaikan diri dengan situasi tertentu, secara umum menggunakan
banyak petunjuk yang ada pada dirinya (self monitoring rendah) ataupun
di sekitarnya (self monitoring tinggi) sebagai informasi. Individu dengan
self monitoring tinggi selalu ingin menampilkan citra diri yang positif
15
dihadapan orang lain. Menurut Snyder & Monson (Raven & Rubin, 1983).
seorang individu yang memiliki self monitoring tinggi cenderung lebih
mudah dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya dan berusaha untuk
berperilaku sesuai situasi saat itu dengan menggunakan informasi yang
diterimanya. Hal ini mencerminkan bahwa individu yang mempunyai self
monitoring tinggi biasanya sangat memperhatikan penyesuaian tingkah
lakunya pada situasi sosial dan hubungan interpersonal yang dihadapinya.
Snyder (Baron & Byrne. 1997: 169) menambahkan bahwa individu
dengan self monitoring tinggi mampu untuk rnenyesuaikan diri pada
situasi dan mempunyai banyak teman serta berusaha untuk menerima
evaluasi positif dari orang lain. Singkatnya, individu dengan self
monitoring tinggi cenderung fleksibel, penyesuaian dirinya baik dan
cerdas sehingga cenderung lebih cepat mempelajari apa yang menjadi
tuntutan di lingkungannya pada situasi tertentu (Wrightsman & Deaux,
1981).
Selanjutnya Snyder & Cantor (Fiske & Taylor, 1991) menyatakan
bahwa individu dengan self monitoring tinggi juga sangat sensitif terhadap
norma sosial dan berbagai situasi yang ada di sekitarnya sehingga dapat
lebih mudah untuk dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Hal ini
mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring yang tinggi
cenderung peka terhadap aturan yang ada di sekitar dirinya sehingga
selain berusaha untuk menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan situasi
(Brehm & Kassin, 1993).
16
Sejalan dengan pendapat tersebut. Hoyle & Sowards (Baron &
Byrne, 1997) menyatakan bahwa individu dengan self monitoring tinggi
cenderung melakukan analisis terhadap situasi sosial dengan cara
membandingkan dirinya dengan standar perilaku sosial dan berusaha
untuk mengubah dirinya sesual dengan situasi saat itu.
Individu dengan self monitoring rendah memiliki ciri-ciri yang
berkebalikan dengan individu yang memiliki self monitoring tinggi.
Individu yang mempunyai self monitoring rendah lebih mempercayai
informasi yang bersifat internal. Menurut Snyder (Fiske & Taylor. 1991),
individu dengan self monitoring rendah dalam menampilkan dirinya
terhadap orang lain cenderung hanya didasarkan pada apa yang
diyakininya adalah benar menurut dirinya sendiri. Hal ini mencerminkan
bahwa individu dengan self monitoring rendah kurang peka akan hal-hal
yang ada di lingkungannya sehingga kurang memperhatikan tuntutan-
tuntutan dari lingkungannya tersebut yang ditujukan kepada dirinya.
Snyder (Baron & Byrne. 1994) menambahkan bahwa individu yang
memiliki self monitoring rendah menunjukkan perilaku yang konsisten.
Hal ini dikarenakan faktor internal seperti kepercayaan, sikap, dan
minatnya yang mengatur tingkah lakunya (Kreitner dan Kinicki, 2005).
Engel dkk (1995) juga menyatakan bahwa individu dengan self monitoring
rendah tidak peduli dengan pendapat orang lain dan lebih mementingkan
perasaan dan faktor internal yang dimilikinya. Tidak mengherankan
apabila individu ini menjadi cenderung memegang teguh pendiriannya dan
17
tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dan luar dirinya
sehingga kurang berhasil dalam melakukan hubungan sosial (Baron &
Byrne, 2004). Hal ini mencerminkan bahwa individu dengan self
monitoring rendah tidak berusaha untuk meugubah perilakunya sesuai
dengan situasi dan tidak tertarik dengan informasi-informasi sosial dari
lingkungan di sekitarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa individu
yang memiliki self monitoring tinggi menunjukkan ciri-ciri tanggap
terhadap tuntutan lingkungan di sekitarnya, memperhatikan informasi
sosial yang merupakan petunjuk baginya untuk menampilkan diri sesuai
dengan informasi dan petunjuk tersebut, mempunyai kontrol yang baik
terhadap tingkah laku yang akan ditampilkan, mampu menggunakan
kemampuan yang dimilikinya untuk berperilaku dalam situasi-situasi yang
penting dan mampu mengendalikan diri, menjaga sikap, perilaku serta
ekspresif.
Sebaliknya, individu yang memiliki self monitoring rendah
menunjukkan ciri-ciri kurang tanggap terhadap situasi-situasi yang
menuntutnya untuk menampilkan dirinya, kurang memperhatikan
pendapat orang lain dan kurang memperhatikan informasi sosial, kurang
dapat menjaga dan tidak peduli dengan kata orang lain, kurang berhasil
dalam menjalin hubungan interpersonal, perilaku dan ekspresi diri lebih
dipengaruhi oleh pendapat dirinya pada situasi sekitarnya.
18
3. Aspek-Aspek Self monitoring
Menurut Snyder (Shaw & Constanzo, 1982) self monitoring
mempunyai aspek yang meliputi:
a. Kesesuaian lingkungan sosial dengan presentasi diri seorang individu
berarti menyesuaikan peran seperti yang diharapkan orang lain dalam
situasi sosial.
b. Memperhatikan informasi perbandingan sosial sebagai petunjuk dalam
rnengekspresikan diri agar sesuai dengan situasi tertentu berarti
memperhatikan informasi eksternal yang berasal dan lingkungan
sekitarnya sebagai pedoman bagi dirinya dalam berperilaku.
c. Kemampuan mengontrol dan memodifikasi presentasi diri berarti
berhubungan dengan kemampuan untuk mengontrol dan mengubah
perilakunya.
d. Kesediaan untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya pada
situasi-situasi khusus berarti mampu untuk menggunakan kemampuan
yang dimilikinya pada situasi-situasi yang penting.
e. Kemampuan membentuk tingkah laku ekspresi dan presentasi diri pada
situasi yang berbeda-beda agar sesuai dengan situasi di lingkungan
sosialnya berarti tingkah lakunya bervariasi pada berbagai macam
situasi di lingkungan sosial.
Briggs & Cheek pada tahun 1986 (Snyder & Gangestad, 1986)
menyempurnakan pendapat Snyder (1974) maupun Lennox & Wolfe
(1984) mengenai komponen self monitoring. Briggs & Cheek (Snyder &
19
Gangestad. (1986) menyatakan bahwa pendapat para pendahuluya tersebut
kurang dapat digunakan untuk mengukur secara individual. Ketiga
komponen self monitoring yang dikemukakan oleh Briggs & Cheek
(Snyder & Gangestad. 1986) adalah sebagai berikut:
a. Expressive self control. yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk
secara aktif mengontrol tingkah lakunya. Individu yang mempunyai self
monitoring tinggi suka mengontrol tingkah lakunya agar terlihat baik.
Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1) Acting. termasuk didalamnya kemampuan untuk bersandiwara,
berpura-pura, dan melakukan kontrol ekspresi baik secara verbal
maupun non verbal serta kontrol emosi. Penderita memperlihatkan
perilakunya seperti orang yang tidak menderita diabetes mellitus
dengan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang tidak
menderita diabetes mellitus.
2) Entertaining. yaitu menjadi penyegar suasana. Penderita bersikap
humoris tanpa ada perasaan tertekan akibat penyakit yang
dideritanya. Penderita diabetes mellitus mengabaikan kondisinya dan
berperilaku seperti penderita diabetes mellitus pada saat berinteraksi
dengan orang lain.
3) Berbicara di depan umum secara spontan. Penderita memiliki rasa
percaya diri tinggi, sehingga dapat berperan pada saat berinteraksi
dengan orang lain.
20
b. Social Stage Presence. yaitu kemampuan untuk bertingkah laku yang
sesuai dengan situasi yang dihadapi, kemampuan untuk mengubah-ubah
tingkah laku dan kemampuan untuk menarik perhatian sosial. Ciri-
cirinya adalah:
1) Ingin tampil menonjol atau menjadi pusat perhatian. Penderita
diabetes mellitus tidak merasa tertekan dengan keadaannya sehingga
dapat selalu tampil di muka umum secara wajar.
2) Suka melucu. Penderita diabetes mellitus dapat bersikap humoris
pada saat berinteraksi dengan orang lain.
3) Suka menilai kemudian memprediksi secara tepat pada suatu perilaku
yang belum jelas. Penderita diabetes mellitus dapat memahami orang
lain sehingga mudah dalam berkomunikasi dengan orang lain.
c. Other directed selfpresent. yaitu kemampuan untuk memainkan peran
seperti apa yang diharapkan oleh orang lain dalam suatu situasi sosial,
kemampuan untuk menyenangkan orang lain dan kemampuan untuk
tanggap terhadap situasi yang dihadapi. Ciri-cirinya adalah:
1) Berusaha untuk menyenangkan orang lain. Penderita diabetes
mellitus berusaha untuk dapat memotivasi orang lain dengan
mengabaikan keadaan dirinya.
2) Berusaha untuk tampil menyesuaikan diri dengan orang lain
(conformity). Penderita diabetes mellitus tidak bersikap konfrontatif
pada saat berinteraksi dengan orang lain.
21
3) Suka menggunakan topeng untuk menutupi perasaannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
self monitoring meliputi: expressive self control, social stage presence dan
other directed self presen.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self Monitoring
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self monitoring seseorang
adalah bentuk pergaulan sosial, kebutuhan sosial (Wrightsman & Deaux,
1993).
Sejak manusia dilahirkan, mereka tidak memiliki kemampuan
untuk hidup sendiri. Setiap manusia selalu membutuhkan orang lain untuk
memenuhi berbagai kebutuhannya. Naluri manusia untuk selalu hidup
dengan orang lain menurut Soekanto disebut dengan gregariousness dan
karena itu manusia juga disebut dengan social animal, hewan yang
mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama. Sejak manusia
dilahirkan, manusia sudah mempunyai dua hasrat yaitu keinginan untuk
menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya, dan keinginan untuk
menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya (Soekanto, 2001).
Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, yang
paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-
hubungan tersebut. Reaksi tersebut kemudian menyebabkan tindakan
seseorang menjadi bertambah luas. Untuk dapat menghadapi dan
menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut di atas, manusia
menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Kesemuanya ini
22
menimbulkan kelompok-kelompok sosial di dalam kehidupan manusia.
Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-
kesatuan manusia yang hidup bersama.
Suatu himpunan manusia dapat disebut sebagai kelompok sosial
apabila memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :
a. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian
dari kelompok yang bersangkutan.
b. Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang satu dengan anggota
yang lainnya.
c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga antara mereka
bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama,
kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama
dan lain-lain.
d. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
e. Bersistem dan berproses (Soekanto, S. 2001).
Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat
terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskan norma-norma
masyarakat. Norma-norma yang ada dalam masyarakat, mempunyai
kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk membedakan kekuatan
mengikat dari norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal adanya
empat pengertian tentang norma-norma dalam masyarakat, yaitu
(Soekanto, 2001).
23
1) Cara (usage), yang menunjukkan pada suatu bentuk perbuatan
misalnya setiap orang mempunyai cara-cara tersendiri untuk minum
pada waktu bertemu orang. Penyimpangan terhadap cara (usage)
tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar
celaan dari individu yang berhubungan.
2) Kebiasaan (folkways), yang menunjuk pada perbuatan yang diulang-
ulang dalam bentuk yang sama misalnya kebiasaan menghormati
orang tua.
3) Tata kelakuan, yang menunjuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tidak
hanya dipandang sebagai perilaku, tetapi diterima sebagai mores
atau tata kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang
hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat
pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat.
4) Adat istiadat, yang menunjuk pada tata kelakuan yang telah
terintegrasi dengan pola-pola perilaku masyarakat. Sanggota
masyarakat yang melanggar adat istiadat, akan menderita sanksi
keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlukan.
Contohnya adat dalam perkawinan.
Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses, pada
akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan.
Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan, yaitu suatu proses yang
dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu
24
lembaga kemasyarakatan. Norma tersebut dikenal masyarakat, diakui,
dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap masyarakat terdapat apa yang dinamakan pola-pola
perilaku atau paterns of behavior. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara
masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh
semua anggota masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan
harus diikuti oleh semua anggita masyarakat tersebut. Pola-pola perilaku
dab norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan pada khususnya
apabila seseorang berhubungan dengan orang lain dinamakan social
organization) (Soekanto, 2001).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa bentuk pergaulan
sosial, kebutuhan sosial (Wrightsman & Deaux, 1993), serta latar belakang
budaya merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self monitoring
seseorang.
5. Self Monitoring Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2
Rubin dan Peyrot (dalam Keers, dkk., 2004) menyebutkan bahwa
banyak penderita mengalami kesulitan untuk melakukan self monitoring,
sehingga mengakibatkan kontrol gula darah buruk atau mengalami
masalah psikologis. Self monitoring penderita diabetes mellitus Type-2
yang dikeluarkan oleh International Diabetes Federation (2005) yaitu:
a. Modifikasi gaya hidup dapat efektif, berdasarkan mengubah pola
makan dan aktivitas fisik, dalam pengendalian faktor risiko buruk yang
ditemukan dalam kondisi tersebut.
25
b. Mendatangi praktisi profesional kesehatan, yang dilatih dalam prinsip
nutrisi untuk berkonsultasi.
c. Mengikuti penyuluhan secara rutin, tentang perubahan pengobatan
yang diperlukan.
d. Makan sesuai dengan kebutuhan, kebiasaan dan kultur.
e. Mengendalikan makanan dengan kandungan gula, lemak, atau alkohol
yang tinggi.
f. Mengintegrasikan terapi obat ke dalam gaya hidup yang dipilih
individu.
g. Bagi orang yang memilih untuk memakai regimen insulin tetap, perlu
memperhatikan asupan konsumsi karbohidrat yang konsisten saat
makan.
h. Meningkatkan durasi dan frekuensi aktivitas fisik, sampai 30-45 menit
per hari selama 3-5 hari per minggu, atau akumulasi 150 menit aktivitas
fisik per minggu.
i. Untuk reduksi berat badan pada diabetes mellitus tipe-2 yang obesitas,
kadang-kadang patut untuk mempertimbangkan obat penurun berat
badan sebagai terapi tambahan.
j. Monitor glukosa darah dengan metoda berpresisi tinggi dari HbA yang
dilakukan tiap 2 – 6 bulan tergantung level dan perubahan terapi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self monitoring
penderita diabetes mellitus tipe-2 diantaranya adalah mengubah pola
26
makan dan aktivitas fisik, konsultasi dengan dokter, mengikuti anjuran
dokter dalam menjaga pola makan, minum dan istirahat.
B. Stress
1. Pengertian Stress
Selye (1982) dalam Nasrudin (2010 ) menjelaskan stres sebagai
respon non-spesifik yang timbul terhadap tuntutan lingkungan. Respon ini
disebut General Adaptation Syndrome dana dibagi dalam tiga fase, yaitu
fase sinyal, fase perlawanan, dan fase keletihan. Fase sinyal adanya
peningkatan hormon kortikol, emosi, dan ketegangan. Fase perlawanan
terjadi bila adaptif tidak mengurangi persepsi terhadap ancaman, reaksi ini
ditandai oleh hormon kortikol tinggi sehingga mencapai kapasitas penuh
dan mengadakan perlawanan melalui mekanisme pertahanan diri. Fase
keletihan, yaitu perlawanan terhadap stres menurun, yang berdampak pada
penurunan sistem metabolisme tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh
menurun menjadikan mudah terserang penyakit. Hal tersebut apabila tidak
dikelola dengan baik, maka akan dapat berdampak lebih lanjut pada
penderita seperti mudah terjadi gangguan atau terkena penyakit (Hidayat,
2004).
Menurut Dadang Hawari (dalam Sunaryo 2004) mengartikan bahwa
stress adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stressor psikososial
tekanan mental atau beban kehidupan. Anoraga (2001) menyebutkan
bahwa stress merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi
27
emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Stress yang terlalu besar
akan mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan.
seseorang yang mengalami stress sering menjadi mudah marah dan
menunjukkan sikap tidak kooperatif.
Sutikno, (2009 ) mengatakan bahwa stress adalah satu tekanan yang
dialami oleh seseorang dan sifatnya bisa positif, disebut eustress bila
menjadi pendorong semangat atau bisa negatif yang disebut distress jika
kondisi tersebut menghambat atau dianggap merugikan. Sutikno memberi
contoh eustress, bila seorang anak yang ingin sekolah desain tetapi orang
tuanya bersikeras harus masuk sekolah kedokteran. anak tertekanan orang
tuanya sebagai eustress dia akan menunjukkan pada orang tuanya bahwa
dia mampu. Tetapi apabila dia menuruti kemauan orang tuanya dan tidak
mengikuti kata hatinya, maka dia akan terjerumus dalam pola pikir negatif
sehingga menimbulkan keluhan fisik.
Robbins (2009) memberikan pengertian mengenai stress sebagai
suatu kondisi dinamik dalam mana seorang individu dikonfrontasi dengan
sebuah peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang
sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti
dan penting. Stress menurut Robbins tidak selalu berdampak negatif
terhadap orang yang mengalaminya. penderita terkadang dapat
memanfaatkan kondisinya yang stress menjadi motivasi dalam pencapaian
hasil yang lebih optimal, meskipun secara umum stress lebih berpengaruh
negatif.
28
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan
respon dari seseorang terhadap tantangan fisik maupun mental yang datang
dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Keadaan tersebut selalu terjadi
pada setiap orang dalam perjalanan hidupnya.
2. Faktor Penyebab Stress
Robbins (2009) menggambarkan suatu model yang dapat
menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stress dan
dampak yang ditimbulkan dari adanya stress tersebut. Model ini
mengidentifikasikan tiga perangkat faktor yaitu lingkungan,
organisasional, dan individual yang menjadi sumber potensial dari stress.
Penderita yang mengalami stress dengan berbagai penyebabnya akan
menimbulkan dampak yang bersifat fisiologis, psikologis, dan perilakunya.
Menurut Hardjana dalam Nasrudin (2010) stress diartikan sebagai
keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang
mengalami stress dan hal yang dianggap sebagai faktor pemicu stress akan
membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara
keadaaan atau kondisi dan sistem sumberdaya biologis, psikologis, dan
sosial yang ada padanya. Kondisi fisiologis yang tertekan pada diri
penderita akan menimbulkan berbagai penyakit baik yang masih ringan
sampai penyakit yang berat.
29
Menurut Lazarus dan Cohen (Gatchel, Baum & Krantz, 1989),
sumber stres dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a. Perubahan menyeluruh (cataclymic stressor ). Kejadian yang dapat
menimbulkan stres dan terjadi secara tiba-tiba serta dirasakan oleh
banyak orang secara bersamaan seperti bencana alam (banjir, badai,
tsunami).
b. Sumber stres dari pribadi (personal stressor).Perubahan yang terjadi
dalam kehidupan seseorang turut berpotensi menimbulkan stres,
misalnya: pernikahan, perceraian, kematian pasangan, mencari atau
kehilangan pekerjaan.
c. Sumber stres dari lingkungan fisik. Kejadian atau keadaan yang berupa
ketidaknyamanan dalam keseharian seseorang. Kejadian ini merupakan
gangguan kecil tetapi berlangsung terus-menerus, sehingga menjadi
masalah yang mengganggu dan menekan emosional, contohnya:
lingkungan rumah/kerja yang bising, pencahayaan yang tidak terang dan
sebagainya.
Lazarus (1976) membagi sumber stres berdasarkan sifatnya, yaitu:
a. Sumber stres yang bersifat fisik. Atwater (1983) menyebut stres yang
disebabkan oleh sumber stres fisik ini sebagai stres biologis. Stres
biologisdapat mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi.
b. Sumber stres bersifat psikososial.Menurut Atwater (1983) stres
psikologis dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber
stres yangbersifat psikososial yaitu :
30
1. Tekanan
Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal daridalam
diri, luar, atau gabungan keduanya. Dalam porsi yang
tidakberlebihan tekanan dalam individu memang diperlukan untuk
dapatberbuat yang terbaik. Sebaliknya, bila berlebihan tekanan dapat
merugikanindividu atau membuatnya tidak berdaya
2. Frustasi
Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya
atautidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dapat pula
diakibatkan olehtidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.
3. Konflik
Konflik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua
ataulebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu
pilihan akandapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.
4. Kecemasan
Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan aman.Dalam
keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseorang untuklebih
menyadari akan situasi bahaya tertentu. Sebaliknya, bila
berlebihandapat memperburuk perilaku individu
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi stress yaitu lingkungan, organisasional, dan
individual yang menjadi sumber potensial dari stress.
31
5. Klasifikasi Tingkat Stress
Struart dan Sudeen (1998) dalam Maramis (2009)
mengklasifikasikan tingkat stress, yaitu :
a. Stress ringan
Pada tingkat stress ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan
kondisi dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana
mencegah beebagai kemungkinan akan terjadi. Stress ini tidak termasuk
aspek fisiologik seseorang. Pada respon psikologi didapatkan merasa
mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa
disadari cadangan energi semakin menipis, pada respon perilaku
didapatkan semangat kerja berlebihan, merasa mudah lelah dan tidak
bisa santai. Situasi ini akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi
terus menerus.
b. Stress sedang
Pada tingkat ini individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan
mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan
persepsinya. Respon fisiologis dari tingkat stress ini didapat gangguan
pada lambung dan usus misalnya maag, buang air besar tidak teratur,
ketegangan pada otot, gangguan pola tidur dan mulai terjadi gangguan
siklus dan pola menstruasi. Respon psikologis dapat berupa perasaan
ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat, merasa
aktivitas menjadi membosankan dan terasa lebih sulit, serta timbul
perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan
32
penyebabnya. Pada respon perilaku sering merasa badan terasa akan
jatuh dan serasa mau pingsan kehilangan respon tanggap terhadap
situasai, ketidak mampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-
hari, daya konsentrasi dan daya ingat menurun. Keadaan ini bisa terjadi
hingga beberapa hari.
c. Stress berat
Pada tingkat stress ini, persepsi individu sangat menurun dan cenderung
memusatkan perhatian hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi stress. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian
pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan. Pada tingkat stress
ini juga mempengaruhi aspek fisiologik yang didapat seperti, gangguan
sistem pencernaan berat, debar jantung semakin keras, sesak napas dan
sekujur tubuh terasa gemetar. Pada respon psikologis didapatkan,
merasa kelelahan fisik semakin mendalam, timbul perasaan takut,
cemas yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik. Respon
perilaku dan dapat terjadi tidak dapat menyelesaikan tugas sehari – hari.
d. Stress sangat berat
Orang dengan keadaan stress dangat berat melakukan sesuatu dengan
pengarahan sudah sulit dan dapat menimbulkan tanda dan gejala seperti,
debar jantung teramat keras, susah bernafas, sekujur tubuh kaku dan
keringat bercucuraan, ketiadaan tenaga untuk hal – hal yang ringan.
33
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkatan stress ada 4,
yaitu : stress ringan, stress sedang, stress berat, dan stress sangat berat.
Masing – masing tingkatan stress memiliki dampak tanda dan gejala
fisiologis serta psikologis yang berbeda.
6. Tahapan Stress
Menurut Robert J. Van Amberg (1979, dalam Sunaryo, 2004),
bahwa tahapan stres sebagai berikut:
a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan
nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan
pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan
penglihatan menjadi tajam.
b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi
tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah
sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman,
jantung berdebar, otot tengkuk, dan punggung tegang. Hal tersebut
karena cadangan tenaga tidak memadai.
c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi
tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional,
insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali, bangun terlalu pagi
dan sulit tidur kembali, koordinasi tubuh terganggu, dan mudah jatuh
pingsan.
d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak
mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerja terasa sulit dan
menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu,
34
gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat
menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.
e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan
fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang
sedang dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut
dan cemas, bingung, dan panik.
f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-
tanda seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar,
dingin, dan banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.
Hans Selye (1976, dalam Sunaryo 2004) membagi stres menjadi
dua macam, yaitu stres negatif biasa disebut distres dan seringkali
menghasilkan perilaku seseorang yang disfungsional seperti sering
melakukan kesalahan, moral yang rendah, bersikap masa bodoh dan absen
tanpa keterangan. Di sisi lain, stres positif atau biasa disebut eustres
menciptakan tantangan dan perasaan untuk selalu berprestasi dan berperan
sebagai faktor motivator kritis yang akan meningkatkan kinerjanya. Proses
stress meliputi tiga tahapan yaitu:
a. The initial alarm reaction (reaksi terhadap tanda bahaya), tubuh
bereaksi terhadap tantangan/ancaman dari luar. Misalkan meningkatnya
detak jantung, keringat dingin. Penderita diabetes mellitus tipe-2
menyadari sedang mengalami stress jika sudah mulai berkeringat dan
jantung berdetak lebih cepat.
35
b. Resistance Stage (Taraf perlawanan); suhu tubuh normal, tetapi
adrenalin tetap dikeluarkan (bertahan, berdaptasi) sehingga kondisi
fisiologis tetap terjaga. Misalkan perubahan pola makan, imsomnia,
nightmares, cemas, panik. Penderita diabetes mellitus tipe-2 mencoba
menghindari makan makanan yang harus dihindari oleh penderita
diabetes mellitus tipe-2.
c. Exhaustion Stage (Taraf kelelahan); masa kelelahan, bila terus
berlangsung akan mengakibatkan kematian. Misalkan gangguan
pencernaan, sakit kepala, tekanan darah. Penderita diabetes mellitus
tipe-2 berusaha mengatasi kondisinya dengan mendatangi tempat
pelayanan kesehatan dan memperbanyak istirahat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui tentang tahapan stress meliputi the initial
alarm reaction (reaksi terhadap tanda bahaya), resistance stage (taraf
perlawanan) dan exhaustion stage (taraf kelelahan).
7. Stress pada Penderita Diabetes Mellitus
Menurut Fisher dkk. (1982), salah satu alasan munculnya perhatian
yang besar dari psikologi terhadap diabetes adalah kenyataan bahwa
diabetes merupakan penyakit kronis yang mempunyai muatan psikologis
dan perilaku yang besar. Diabetes sebagai suatu proses regulasi diri
karena penderita perlu meregulasi proses metabolisme dalam tubuh,
seperti memonitor dan menyesuaikan kadar glukosa darah (Cox &
Gonder-Frederick, 1992).
36
Menurut Hasanat (2010) bahwa ketika penderita pertama kali
didiagnosis diabetes mellitus muncul emosi/perasaan takut, sulit menerima
kenyataan, tidak percaya, kaget, diam saja, bingung dan sedih. Ada juga
penderita pada awalnya merasa takut, akhirnya pasrah. Selama melakukan
pengelolaan penyakit, sebagian penderita merasa shock, tidak nyaman saat
menjalani pengobatan, takut pada saat awal harus diet. Selain itu sebagian
penderita mempunyai kesulitan dalam menjalankan diet, yaitu sulit
mengendalikan diri, mengontrol keinginan, mengatur 3J (jenis, jumlah, dan
jadwal) makan, dan merasa bosan, jenuh. Kesulitan lain yang dialami
penderita adalah adanya ketidakdisiplinan dalam meminum obat dan
melakukan olahraga. Bahkan terdapat penderita yang tidak berpantang
terhadap makanan-makanan tertentu yang sebaiknya dihindari oleh
penderita diabetes Adanya informasi tentang pengobatan altematif
mengakibatkan beberapa subjek mengalami kebingungan dan merasa
terganggu. Kondisi sakit juga menyebabkan penderita mudah tersinggung,
muncul perasaan jengkel, karena kadar gula darah tidak turun.
Stress fisiologik seperti infeksi dan pembedahan turut menimbulkan
hiperglikemia dan dapat memicu diabetes ketoasidosis. Stress emosional
dapat memberi dampak yang negatif terhadap pengendalian diabetes yang
meliputi (Smeltzer &Bare,2002) :
a. Tingginya kadar gula darah
b. Dukungan keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami
diabetes mellitus
37
c. Motivasi seorang penderita diabetes mellitus terhadap perawatan
komplikasi yang mungkin terjadi
d. Spiritualitas dalam diri seseorang
Uraian di atas menunjukkan bahwa penderita diabetes mellitus
mengalami stress yang dapat diamati dari perilakunya sehari-hari dalam
menghadapi penyakitnya.
C. Hubungan Antara Stress Dengan Self Monitoring Penderita Diabetes
Mellitus
Terdiagnosa diabetes mellitus menentukan beban psikologis jangka
panjang atas seseorang dan keluarganya. Menderita diabetes mellitus dapat
dilihat sebagai faktor resiko tambahan untuk mengembangkan problem
psikologis, dan prevalensi dari problem kesehatan mental dalam banyak
individu dengan diabetes mellitus ternyata cenderung melebihi yang
ditemukan dalam populasi umum. Fungsi psikologis yang buruk
menyebabkan penderitaan dapat secara serius mencampuri pengelolaan
diabetes harian, dan dihubungkan dengan hasil medis yang buruk dan biaya
tinggi (De Groot et al., 2001).
Stress menyebabkan produksi berlebih pada hormon kortisol, jika
penderita mengalami stress berat maka hormon kortisol akan semakin banyak,
sehingga sensitivitas tubuh terhadap insulin berkurang. Hormon kortisol
merupakan musuh dari insulin sehingga membuat gula darah meningkatkan
(Watkins, 2010). Berbagai cara dapat secara langsung atau tidak langsung
dalam memecahkan masalah psikologis dan perilaku seperti terjadinya stress
38
akibat penyakit yang diderita atau faktor lainnya, dengan maksud untuk
melindungi dan tetap menjaga kesehatan emosional (kualitas hidup).
Orang yang berjuang dalam diabetes mellitus cenderung dipengaruhi
oleh problem psikologis termasuk stress. Stress berat dapat mengakibatkan
peningkatan kadar gula darah. Gejala yang muncul apabila kadar gula darah
meningkat, yaitu lemas, banyak minum, pusing, dan sering buang air kecil.
Sehingga penderita dalam melakukan aktivitasnya menjadi terhambat.
Perlunya pengelolaan stress agar penderita diabetes mellitus ini dapat
melakukan kontrol perilaku agar gula darah tetap normal, hal tersebut dapat
mempengaruhi self monitoring.
Snyder (Watson et al., 1984), self monitoring merupakan suatu usaha
yang dilakukan individu untuk menampilkan dirinya dihadapan orang lain
dengan menggunakan petunjuk yang ada pada dirinya atau petunjuk-petunjuk
yang ada di sekitarnya. Dengan demikian self monitoring sangat diperlukan
agar penderita dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya. Self monitoring
merupakan upaya penting dilakukan penderita diabetes mellitus dalam
mengendalikan kadar gula darah. Hal ini disebabkan karena penyakit diabetes
mellitus tipe-2 tidak dapat disembuhkan, namun hanya dapat dikendalikan.
39
D. Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penderita diabetes mellitus tipe-2
Stress
Self Monitoring tinggi : - Menjaga sikap dan
perilaku didepan orang lain
Pengelolaan Stress Baik : - Disiplin - Olah raga teratur - Masalah terselesaikan - Pemeriksaan rutin
Pengelolaan Stress Buruk : - Peningkatan hormon
kortisol - Keringat dingin - Kelelahan - Pusing
Self Monitoring rendah : - Mempertahankan sikap
sendiri seperti cuek, tidak peduli kata orang lain, dan acuh