bab ii tinjauan pustaka a. self...

28
13 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Self monitoring 1. Pengertian Self monitoring Self monitoring merupakan konsep yang berhubungan dengan konsep pengaturan kesan (impression management) atau konsep pengaturan diri (Snyder & Gangestad, 1986). Teori tersebut nenitikberatkan perhatian pada kontrol diri individu untuk memanipulasi citra dan kesan orang lain tentang dirinya dalam melakukan interaksi sosial (Shaw & Constanzo, 1982). Individu baik secara sadar maupun tidak sadar memang selalu berusaha untuk menampilkan kesan tertentu mengenai dirinya terhadap orang lain pada saat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Menurut Snyder (Watson et al., 1984), self monitoring merupakan suatu usaha yang dilakukan individu untuk menampilkan dirinya dihadapan orang lain dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada pada dirinya atau petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya. Berdasarkan konsep ini Mark Snyder mengajukan konsep self monitoring, yang menjelaskan mengenai proses yang dialami setiap individu dalam menampilkan impression management dihadapan orang lain. Snyder & Cantor (Fiske & Taylor. 1991) mendefinisikan self- monitoring sebagai cara individu dalam membuat perencanaan, bertindak, 13

Upload: dinhque

Post on 19-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Self monitoring

1. Pengertian Self monitoring

Self monitoring merupakan konsep yang berhubungan dengan

konsep pengaturan kesan (impression management) atau konsep

pengaturan diri (Snyder & Gangestad, 1986). Teori tersebut

nenitikberatkan perhatian pada kontrol diri individu untuk memanipulasi

citra dan kesan orang lain tentang dirinya dalam melakukan interaksi

sosial (Shaw & Constanzo, 1982). Individu baik secara sadar maupun

tidak sadar memang selalu berusaha untuk menampilkan kesan tertentu

mengenai dirinya terhadap orang lain pada saat berinteraksi dengan

lingkungan sosialnya.

Menurut Snyder (Watson et al., 1984), self monitoring merupakan

suatu usaha yang dilakukan individu untuk menampilkan dirinya

dihadapan orang lain dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada

pada dirinya atau petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya. Berdasarkan

konsep ini Mark Snyder mengajukan konsep self monitoring, yang

menjelaskan mengenai proses yang dialami setiap individu dalam

menampilkan impression management dihadapan orang lain.

Snyder & Cantor (Fiske & Taylor. 1991) mendefinisikan self-

monitoring sebagai cara individu dalam membuat perencanaan, bertindak,

13

14

dan mengatur keputusan dalam berperilaku terhadap situasi sosial. Hal mi

diperkuat dengan pendapat Robbins (1996) yang menyatakan bahwa self

monitoring merupakan suatu ciri kepribadian yang mengukur kemampuan

individu untuk menyesuaikan perilakunya pada faktor-faktor situasional

luar.

Menurut Baron & Byrne (2004) self monitoring merupakan

tingkatan individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan situasi

eksternal dan reaksi orang lain (self monitoring tinggi) atau atas dasar

faktor internal seperti keyakinan, sikap, dan minat (self monitoring

rendah).

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para

ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa self monitoring merupakan

kemampuan individu dalam menampilkan dirinya terhadap orang lain

dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada pada dirinya maupun

petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya guna mendapatkan informasi

yang diperlukan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan kondisi dan

situasi yang dihadapi dalam lingkungan sosialnya.

2. Ciri-ciri Self monitoring

Berdasarkan teori self monitoring, sewaktu individu akan

menyesuaikan diri dengan situasi tertentu, secara umum menggunakan

banyak petunjuk yang ada pada dirinya (self monitoring rendah) ataupun

di sekitarnya (self monitoring tinggi) sebagai informasi. Individu dengan

self monitoring tinggi selalu ingin menampilkan citra diri yang positif

15

dihadapan orang lain. Menurut Snyder & Monson (Raven & Rubin, 1983).

seorang individu yang memiliki self monitoring tinggi cenderung lebih

mudah dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya dan berusaha untuk

berperilaku sesuai situasi saat itu dengan menggunakan informasi yang

diterimanya. Hal ini mencerminkan bahwa individu yang mempunyai self

monitoring tinggi biasanya sangat memperhatikan penyesuaian tingkah

lakunya pada situasi sosial dan hubungan interpersonal yang dihadapinya.

Snyder (Baron & Byrne. 1997: 169) menambahkan bahwa individu

dengan self monitoring tinggi mampu untuk rnenyesuaikan diri pada

situasi dan mempunyai banyak teman serta berusaha untuk menerima

evaluasi positif dari orang lain. Singkatnya, individu dengan self

monitoring tinggi cenderung fleksibel, penyesuaian dirinya baik dan

cerdas sehingga cenderung lebih cepat mempelajari apa yang menjadi

tuntutan di lingkungannya pada situasi tertentu (Wrightsman & Deaux,

1981).

Selanjutnya Snyder & Cantor (Fiske & Taylor, 1991) menyatakan

bahwa individu dengan self monitoring tinggi juga sangat sensitif terhadap

norma sosial dan berbagai situasi yang ada di sekitarnya sehingga dapat

lebih mudah untuk dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Hal ini

mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring yang tinggi

cenderung peka terhadap aturan yang ada di sekitar dirinya sehingga

selain berusaha untuk menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan situasi

(Brehm & Kassin, 1993).

16

Sejalan dengan pendapat tersebut. Hoyle & Sowards (Baron &

Byrne, 1997) menyatakan bahwa individu dengan self monitoring tinggi

cenderung melakukan analisis terhadap situasi sosial dengan cara

membandingkan dirinya dengan standar perilaku sosial dan berusaha

untuk mengubah dirinya sesual dengan situasi saat itu.

Individu dengan self monitoring rendah memiliki ciri-ciri yang

berkebalikan dengan individu yang memiliki self monitoring tinggi.

Individu yang mempunyai self monitoring rendah lebih mempercayai

informasi yang bersifat internal. Menurut Snyder (Fiske & Taylor. 1991),

individu dengan self monitoring rendah dalam menampilkan dirinya

terhadap orang lain cenderung hanya didasarkan pada apa yang

diyakininya adalah benar menurut dirinya sendiri. Hal ini mencerminkan

bahwa individu dengan self monitoring rendah kurang peka akan hal-hal

yang ada di lingkungannya sehingga kurang memperhatikan tuntutan-

tuntutan dari lingkungannya tersebut yang ditujukan kepada dirinya.

Snyder (Baron & Byrne. 1994) menambahkan bahwa individu yang

memiliki self monitoring rendah menunjukkan perilaku yang konsisten.

Hal ini dikarenakan faktor internal seperti kepercayaan, sikap, dan

minatnya yang mengatur tingkah lakunya (Kreitner dan Kinicki, 2005).

Engel dkk (1995) juga menyatakan bahwa individu dengan self monitoring

rendah tidak peduli dengan pendapat orang lain dan lebih mementingkan

perasaan dan faktor internal yang dimilikinya. Tidak mengherankan

apabila individu ini menjadi cenderung memegang teguh pendiriannya dan

17

tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dan luar dirinya

sehingga kurang berhasil dalam melakukan hubungan sosial (Baron &

Byrne, 2004). Hal ini mencerminkan bahwa individu dengan self

monitoring rendah tidak berusaha untuk meugubah perilakunya sesuai

dengan situasi dan tidak tertarik dengan informasi-informasi sosial dari

lingkungan di sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa individu

yang memiliki self monitoring tinggi menunjukkan ciri-ciri tanggap

terhadap tuntutan lingkungan di sekitarnya, memperhatikan informasi

sosial yang merupakan petunjuk baginya untuk menampilkan diri sesuai

dengan informasi dan petunjuk tersebut, mempunyai kontrol yang baik

terhadap tingkah laku yang akan ditampilkan, mampu menggunakan

kemampuan yang dimilikinya untuk berperilaku dalam situasi-situasi yang

penting dan mampu mengendalikan diri, menjaga sikap, perilaku serta

ekspresif.

Sebaliknya, individu yang memiliki self monitoring rendah

menunjukkan ciri-ciri kurang tanggap terhadap situasi-situasi yang

menuntutnya untuk menampilkan dirinya, kurang memperhatikan

pendapat orang lain dan kurang memperhatikan informasi sosial, kurang

dapat menjaga dan tidak peduli dengan kata orang lain, kurang berhasil

dalam menjalin hubungan interpersonal, perilaku dan ekspresi diri lebih

dipengaruhi oleh pendapat dirinya pada situasi sekitarnya.

18

3. Aspek-Aspek Self monitoring

Menurut Snyder (Shaw & Constanzo, 1982) self monitoring

mempunyai aspek yang meliputi:

a. Kesesuaian lingkungan sosial dengan presentasi diri seorang individu

berarti menyesuaikan peran seperti yang diharapkan orang lain dalam

situasi sosial.

b. Memperhatikan informasi perbandingan sosial sebagai petunjuk dalam

rnengekspresikan diri agar sesuai dengan situasi tertentu berarti

memperhatikan informasi eksternal yang berasal dan lingkungan

sekitarnya sebagai pedoman bagi dirinya dalam berperilaku.

c. Kemampuan mengontrol dan memodifikasi presentasi diri berarti

berhubungan dengan kemampuan untuk mengontrol dan mengubah

perilakunya.

d. Kesediaan untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya pada

situasi-situasi khusus berarti mampu untuk menggunakan kemampuan

yang dimilikinya pada situasi-situasi yang penting.

e. Kemampuan membentuk tingkah laku ekspresi dan presentasi diri pada

situasi yang berbeda-beda agar sesuai dengan situasi di lingkungan

sosialnya berarti tingkah lakunya bervariasi pada berbagai macam

situasi di lingkungan sosial.

Briggs & Cheek pada tahun 1986 (Snyder & Gangestad, 1986)

menyempurnakan pendapat Snyder (1974) maupun Lennox & Wolfe

(1984) mengenai komponen self monitoring. Briggs & Cheek (Snyder &

19

Gangestad. (1986) menyatakan bahwa pendapat para pendahuluya tersebut

kurang dapat digunakan untuk mengukur secara individual. Ketiga

komponen self monitoring yang dikemukakan oleh Briggs & Cheek

(Snyder & Gangestad. 1986) adalah sebagai berikut:

a. Expressive self control. yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk

secara aktif mengontrol tingkah lakunya. Individu yang mempunyai self

monitoring tinggi suka mengontrol tingkah lakunya agar terlihat baik.

Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1) Acting. termasuk didalamnya kemampuan untuk bersandiwara,

berpura-pura, dan melakukan kontrol ekspresi baik secara verbal

maupun non verbal serta kontrol emosi. Penderita memperlihatkan

perilakunya seperti orang yang tidak menderita diabetes mellitus

dengan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang tidak

menderita diabetes mellitus.

2) Entertaining. yaitu menjadi penyegar suasana. Penderita bersikap

humoris tanpa ada perasaan tertekan akibat penyakit yang

dideritanya. Penderita diabetes mellitus mengabaikan kondisinya dan

berperilaku seperti penderita diabetes mellitus pada saat berinteraksi

dengan orang lain.

3) Berbicara di depan umum secara spontan. Penderita memiliki rasa

percaya diri tinggi, sehingga dapat berperan pada saat berinteraksi

dengan orang lain.

20

b. Social Stage Presence. yaitu kemampuan untuk bertingkah laku yang

sesuai dengan situasi yang dihadapi, kemampuan untuk mengubah-ubah

tingkah laku dan kemampuan untuk menarik perhatian sosial. Ciri-

cirinya adalah:

1) Ingin tampil menonjol atau menjadi pusat perhatian. Penderita

diabetes mellitus tidak merasa tertekan dengan keadaannya sehingga

dapat selalu tampil di muka umum secara wajar.

2) Suka melucu. Penderita diabetes mellitus dapat bersikap humoris

pada saat berinteraksi dengan orang lain.

3) Suka menilai kemudian memprediksi secara tepat pada suatu perilaku

yang belum jelas. Penderita diabetes mellitus dapat memahami orang

lain sehingga mudah dalam berkomunikasi dengan orang lain.

c. Other directed selfpresent. yaitu kemampuan untuk memainkan peran

seperti apa yang diharapkan oleh orang lain dalam suatu situasi sosial,

kemampuan untuk menyenangkan orang lain dan kemampuan untuk

tanggap terhadap situasi yang dihadapi. Ciri-cirinya adalah:

1) Berusaha untuk menyenangkan orang lain. Penderita diabetes

mellitus berusaha untuk dapat memotivasi orang lain dengan

mengabaikan keadaan dirinya.

2) Berusaha untuk tampil menyesuaikan diri dengan orang lain

(conformity). Penderita diabetes mellitus tidak bersikap konfrontatif

pada saat berinteraksi dengan orang lain.

21

3) Suka menggunakan topeng untuk menutupi perasaannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

self monitoring meliputi: expressive self control, social stage presence dan

other directed self presen.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self Monitoring

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self monitoring seseorang

adalah bentuk pergaulan sosial, kebutuhan sosial (Wrightsman & Deaux,

1993).

Sejak manusia dilahirkan, mereka tidak memiliki kemampuan

untuk hidup sendiri. Setiap manusia selalu membutuhkan orang lain untuk

memenuhi berbagai kebutuhannya. Naluri manusia untuk selalu hidup

dengan orang lain menurut Soekanto disebut dengan gregariousness dan

karena itu manusia juga disebut dengan social animal, hewan yang

mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama. Sejak manusia

dilahirkan, manusia sudah mempunyai dua hasrat yaitu keinginan untuk

menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya, dan keinginan untuk

menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya (Soekanto, 2001).

Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, yang

paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-

hubungan tersebut. Reaksi tersebut kemudian menyebabkan tindakan

seseorang menjadi bertambah luas. Untuk dapat menghadapi dan

menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut di atas, manusia

menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Kesemuanya ini

22

menimbulkan kelompok-kelompok sosial di dalam kehidupan manusia.

Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-

kesatuan manusia yang hidup bersama.

Suatu himpunan manusia dapat disebut sebagai kelompok sosial

apabila memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :

a. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian

dari kelompok yang bersangkutan.

b. Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang satu dengan anggota

yang lainnya.

c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga antara mereka

bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama,

kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama

dan lain-lain.

d. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.

e. Bersistem dan berproses (Soekanto, S. 2001).

Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat

terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskan norma-norma

masyarakat. Norma-norma yang ada dalam masyarakat, mempunyai

kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk membedakan kekuatan

mengikat dari norma-norma tersebut, secara sosiologis dikenal adanya

empat pengertian tentang norma-norma dalam masyarakat, yaitu

(Soekanto, 2001).

23

1) Cara (usage), yang menunjukkan pada suatu bentuk perbuatan

misalnya setiap orang mempunyai cara-cara tersendiri untuk minum

pada waktu bertemu orang. Penyimpangan terhadap cara (usage)

tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi hanya sekedar

celaan dari individu yang berhubungan.

2) Kebiasaan (folkways), yang menunjuk pada perbuatan yang diulang-

ulang dalam bentuk yang sama misalnya kebiasaan menghormati

orang tua.

3) Tata kelakuan, yang menunjuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tidak

hanya dipandang sebagai perilaku, tetapi diterima sebagai mores

atau tata kelakuan. Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang

hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat

pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat.

4) Adat istiadat, yang menunjuk pada tata kelakuan yang telah

terintegrasi dengan pola-pola perilaku masyarakat. Sanggota

masyarakat yang melanggar adat istiadat, akan menderita sanksi

keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlukan.

Contohnya adat dalam perkawinan.

Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses, pada

akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan.

Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan, yaitu suatu proses yang

dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu

24

lembaga kemasyarakatan. Norma tersebut dikenal masyarakat, diakui,

dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam setiap masyarakat terdapat apa yang dinamakan pola-pola

perilaku atau paterns of behavior. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara

masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh

semua anggota masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan

harus diikuti oleh semua anggita masyarakat tersebut. Pola-pola perilaku

dab norma-norma yang dilakukan dan dilaksanakan pada khususnya

apabila seseorang berhubungan dengan orang lain dinamakan social

organization) (Soekanto, 2001).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa bentuk pergaulan

sosial, kebutuhan sosial (Wrightsman & Deaux, 1993), serta latar belakang

budaya merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self monitoring

seseorang.

5. Self Monitoring Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2

Rubin dan Peyrot (dalam Keers, dkk., 2004) menyebutkan bahwa

banyak penderita mengalami kesulitan untuk melakukan self monitoring,

sehingga mengakibatkan kontrol gula darah buruk atau mengalami

masalah psikologis. Self monitoring penderita diabetes mellitus Type-2

yang dikeluarkan oleh International Diabetes Federation (2005) yaitu:

a. Modifikasi gaya hidup dapat efektif, berdasarkan mengubah pola

makan dan aktivitas fisik, dalam pengendalian faktor risiko buruk yang

ditemukan dalam kondisi tersebut.

25

b. Mendatangi praktisi profesional kesehatan, yang dilatih dalam prinsip

nutrisi untuk berkonsultasi.

c. Mengikuti penyuluhan secara rutin, tentang perubahan pengobatan

yang diperlukan.

d. Makan sesuai dengan kebutuhan, kebiasaan dan kultur.

e. Mengendalikan makanan dengan kandungan gula, lemak, atau alkohol

yang tinggi.

f. Mengintegrasikan terapi obat ke dalam gaya hidup yang dipilih

individu.

g. Bagi orang yang memilih untuk memakai regimen insulin tetap, perlu

memperhatikan asupan konsumsi karbohidrat yang konsisten saat

makan.

h. Meningkatkan durasi dan frekuensi aktivitas fisik, sampai 30-45 menit

per hari selama 3-5 hari per minggu, atau akumulasi 150 menit aktivitas

fisik per minggu.

i. Untuk reduksi berat badan pada diabetes mellitus tipe-2 yang obesitas,

kadang-kadang patut untuk mempertimbangkan obat penurun berat

badan sebagai terapi tambahan.

j. Monitor glukosa darah dengan metoda berpresisi tinggi dari HbA yang

dilakukan tiap 2 – 6 bulan tergantung level dan perubahan terapi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self monitoring

penderita diabetes mellitus tipe-2 diantaranya adalah mengubah pola

26

makan dan aktivitas fisik, konsultasi dengan dokter, mengikuti anjuran

dokter dalam menjaga pola makan, minum dan istirahat.

B. Stress

1. Pengertian Stress

Selye (1982) dalam Nasrudin (2010 ) menjelaskan stres sebagai

respon non-spesifik yang timbul terhadap tuntutan lingkungan. Respon ini

disebut General Adaptation Syndrome dana dibagi dalam tiga fase, yaitu

fase sinyal, fase perlawanan, dan fase keletihan. Fase sinyal adanya

peningkatan hormon kortikol, emosi, dan ketegangan. Fase perlawanan

terjadi bila adaptif tidak mengurangi persepsi terhadap ancaman, reaksi ini

ditandai oleh hormon kortikol tinggi sehingga mencapai kapasitas penuh

dan mengadakan perlawanan melalui mekanisme pertahanan diri. Fase

keletihan, yaitu perlawanan terhadap stres menurun, yang berdampak pada

penurunan sistem metabolisme tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh

menurun menjadikan mudah terserang penyakit. Hal tersebut apabila tidak

dikelola dengan baik, maka akan dapat berdampak lebih lanjut pada

penderita seperti mudah terjadi gangguan atau terkena penyakit (Hidayat,

2004).

Menurut Dadang Hawari (dalam Sunaryo 2004) mengartikan bahwa

stress adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stressor psikososial

tekanan mental atau beban kehidupan. Anoraga (2001) menyebutkan

bahwa stress merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi

27

emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Stress yang terlalu besar

akan mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan.

seseorang yang mengalami stress sering menjadi mudah marah dan

menunjukkan sikap tidak kooperatif.

Sutikno, (2009 ) mengatakan bahwa stress adalah satu tekanan yang

dialami oleh seseorang dan sifatnya bisa positif, disebut eustress bila

menjadi pendorong semangat atau bisa negatif yang disebut distress jika

kondisi tersebut menghambat atau dianggap merugikan. Sutikno memberi

contoh eustress, bila seorang anak yang ingin sekolah desain tetapi orang

tuanya bersikeras harus masuk sekolah kedokteran. anak tertekanan orang

tuanya sebagai eustress dia akan menunjukkan pada orang tuanya bahwa

dia mampu. Tetapi apabila dia menuruti kemauan orang tuanya dan tidak

mengikuti kata hatinya, maka dia akan terjerumus dalam pola pikir negatif

sehingga menimbulkan keluhan fisik.

Robbins (2009) memberikan pengertian mengenai stress sebagai

suatu kondisi dinamik dalam mana seorang individu dikonfrontasi dengan

sebuah peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang

sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti

dan penting. Stress menurut Robbins tidak selalu berdampak negatif

terhadap orang yang mengalaminya. penderita terkadang dapat

memanfaatkan kondisinya yang stress menjadi motivasi dalam pencapaian

hasil yang lebih optimal, meskipun secara umum stress lebih berpengaruh

negatif.

28

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan

respon dari seseorang terhadap tantangan fisik maupun mental yang datang

dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Keadaan tersebut selalu terjadi

pada setiap orang dalam perjalanan hidupnya.

2. Faktor Penyebab Stress

Robbins (2009) menggambarkan suatu model yang dapat

menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stress dan

dampak yang ditimbulkan dari adanya stress tersebut. Model ini

mengidentifikasikan tiga perangkat faktor yaitu lingkungan,

organisasional, dan individual yang menjadi sumber potensial dari stress.

Penderita yang mengalami stress dengan berbagai penyebabnya akan

menimbulkan dampak yang bersifat fisiologis, psikologis, dan perilakunya.

Menurut Hardjana dalam Nasrudin (2010) stress diartikan sebagai

keadaan atau kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang

mengalami stress dan hal yang dianggap sebagai faktor pemicu stress akan

membuat orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara

keadaaan atau kondisi dan sistem sumberdaya biologis, psikologis, dan

sosial yang ada padanya. Kondisi fisiologis yang tertekan pada diri

penderita akan menimbulkan berbagai penyakit baik yang masih ringan

sampai penyakit yang berat.

29

Menurut Lazarus dan Cohen (Gatchel, Baum & Krantz, 1989),

sumber stres dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

a. Perubahan menyeluruh (cataclymic stressor ). Kejadian yang dapat

menimbulkan stres dan terjadi secara tiba-tiba serta dirasakan oleh

banyak orang secara bersamaan seperti bencana alam (banjir, badai,

tsunami).

b. Sumber stres dari pribadi (personal stressor).Perubahan yang terjadi

dalam kehidupan seseorang turut berpotensi menimbulkan stres,

misalnya: pernikahan, perceraian, kematian pasangan, mencari atau

kehilangan pekerjaan.

c. Sumber stres dari lingkungan fisik. Kejadian atau keadaan yang berupa

ketidaknyamanan dalam keseharian seseorang. Kejadian ini merupakan

gangguan kecil tetapi berlangsung terus-menerus, sehingga menjadi

masalah yang mengganggu dan menekan emosional, contohnya:

lingkungan rumah/kerja yang bising, pencahayaan yang tidak terang dan

sebagainya.

Lazarus (1976) membagi sumber stres berdasarkan sifatnya, yaitu:

a. Sumber stres yang bersifat fisik. Atwater (1983) menyebut stres yang

disebabkan oleh sumber stres fisik ini sebagai stres biologis. Stres

biologisdapat mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi.

b. Sumber stres bersifat psikososial.Menurut Atwater (1983) stres

psikologis dapat mempengaruhi kesehatan fisik. Terdapat empat sumber

stres yangbersifat psikososial yaitu :

30

1. Tekanan

Tekanan merupakan pengalaman yang menekan, berasal daridalam

diri, luar, atau gabungan keduanya. Dalam porsi yang

tidakberlebihan tekanan dalam individu memang diperlukan untuk

dapatberbuat yang terbaik. Sebaliknya, bila berlebihan tekanan dapat

merugikanindividu atau membuatnya tidak berdaya

2. Frustasi

Frustasi yaitu emosi negatif yang timbul akibat terhambatnya

atautidak terpuaskannya tujuan/keinginan individu. Dapat pula

diakibatkan olehtidak adanya subjek atau objek yang diinginkan.

3. Konflik

Konflik merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua

ataulebih pilihan yang bertentangan, sehingga pemenuhan suatu

pilihan akandapat menghalangi tercapainya pilihan yang lain.

4. Kecemasan

Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan aman.Dalam

keadaan normal, kecemasan dapat membantu seseorang untuklebih

menyadari akan situasi bahaya tertentu. Sebaliknya, bila

berlebihandapat memperburuk perilaku individu

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi stress yaitu lingkungan, organisasional, dan

individual yang menjadi sumber potensial dari stress.

31

5. Klasifikasi Tingkat Stress

Struart dan Sudeen (1998) dalam Maramis (2009)

mengklasifikasikan tingkat stress, yaitu :

a. Stress ringan

Pada tingkat stress ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan

kondisi dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana

mencegah beebagai kemungkinan akan terjadi. Stress ini tidak termasuk

aspek fisiologik seseorang. Pada respon psikologi didapatkan merasa

mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa

disadari cadangan energi semakin menipis, pada respon perilaku

didapatkan semangat kerja berlebihan, merasa mudah lelah dan tidak

bisa santai. Situasi ini akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi

terus menerus.

b. Stress sedang

Pada tingkat ini individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan

mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan

persepsinya. Respon fisiologis dari tingkat stress ini didapat gangguan

pada lambung dan usus misalnya maag, buang air besar tidak teratur,

ketegangan pada otot, gangguan pola tidur dan mulai terjadi gangguan

siklus dan pola menstruasi. Respon psikologis dapat berupa perasaan

ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat, merasa

aktivitas menjadi membosankan dan terasa lebih sulit, serta timbul

perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan

32

penyebabnya. Pada respon perilaku sering merasa badan terasa akan

jatuh dan serasa mau pingsan kehilangan respon tanggap terhadap

situasai, ketidak mampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-

hari, daya konsentrasi dan daya ingat menurun. Keadaan ini bisa terjadi

hingga beberapa hari.

c. Stress berat

Pada tingkat stress ini, persepsi individu sangat menurun dan cenderung

memusatkan perhatian hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk

mengurangi stress. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian

pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan. Pada tingkat stress

ini juga mempengaruhi aspek fisiologik yang didapat seperti, gangguan

sistem pencernaan berat, debar jantung semakin keras, sesak napas dan

sekujur tubuh terasa gemetar. Pada respon psikologis didapatkan,

merasa kelelahan fisik semakin mendalam, timbul perasaan takut,

cemas yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik. Respon

perilaku dan dapat terjadi tidak dapat menyelesaikan tugas sehari – hari.

d. Stress sangat berat

Orang dengan keadaan stress dangat berat melakukan sesuatu dengan

pengarahan sudah sulit dan dapat menimbulkan tanda dan gejala seperti,

debar jantung teramat keras, susah bernafas, sekujur tubuh kaku dan

keringat bercucuraan, ketiadaan tenaga untuk hal – hal yang ringan.

33

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkatan stress ada 4,

yaitu : stress ringan, stress sedang, stress berat, dan stress sangat berat.

Masing – masing tingkatan stress memiliki dampak tanda dan gejala

fisiologis serta psikologis yang berbeda.

6. Tahapan Stress

Menurut Robert J. Van Amberg (1979, dalam Sunaryo, 2004),

bahwa tahapan stres sebagai berikut:

a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan

nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan

pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan

penglihatan menjadi tajam.

b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi

tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah

sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman,

jantung berdebar, otot tengkuk, dan punggung tegang. Hal tersebut

karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi

tidak teratur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional,

insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali, bangun terlalu pagi

dan sulit tidur kembali, koordinasi tubuh terganggu, dan mudah jatuh

pingsan.

d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak

mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerja terasa sulit dan

menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu,

34

gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat

menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan

fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang

sedang dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut

dan cemas, bingung, dan panik.

f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-

tanda seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar,

dingin, dan banyak keluar keringat, loyo, serta pingsan atau collaps.

Hans Selye (1976, dalam Sunaryo 2004) membagi stres menjadi

dua macam, yaitu stres negatif biasa disebut distres dan seringkali

menghasilkan perilaku seseorang yang disfungsional seperti sering

melakukan kesalahan, moral yang rendah, bersikap masa bodoh dan absen

tanpa keterangan. Di sisi lain, stres positif atau biasa disebut eustres

menciptakan tantangan dan perasaan untuk selalu berprestasi dan berperan

sebagai faktor motivator kritis yang akan meningkatkan kinerjanya. Proses

stress meliputi tiga tahapan yaitu:

a. The initial alarm reaction (reaksi terhadap tanda bahaya), tubuh

bereaksi terhadap tantangan/ancaman dari luar. Misalkan meningkatnya

detak jantung, keringat dingin. Penderita diabetes mellitus tipe-2

menyadari sedang mengalami stress jika sudah mulai berkeringat dan

jantung berdetak lebih cepat.

35

b. Resistance Stage (Taraf perlawanan); suhu tubuh normal, tetapi

adrenalin tetap dikeluarkan (bertahan, berdaptasi) sehingga kondisi

fisiologis tetap terjaga. Misalkan perubahan pola makan, imsomnia,

nightmares, cemas, panik. Penderita diabetes mellitus tipe-2 mencoba

menghindari makan makanan yang harus dihindari oleh penderita

diabetes mellitus tipe-2.

c. Exhaustion Stage (Taraf kelelahan); masa kelelahan, bila terus

berlangsung akan mengakibatkan kematian. Misalkan gangguan

pencernaan, sakit kepala, tekanan darah. Penderita diabetes mellitus

tipe-2 berusaha mengatasi kondisinya dengan mendatangi tempat

pelayanan kesehatan dan memperbanyak istirahat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa indikator yang dapat

digunakan untuk mengetahui tentang tahapan stress meliputi the initial

alarm reaction (reaksi terhadap tanda bahaya), resistance stage (taraf

perlawanan) dan exhaustion stage (taraf kelelahan).

7. Stress pada Penderita Diabetes Mellitus

Menurut Fisher dkk. (1982), salah satu alasan munculnya perhatian

yang besar dari psikologi terhadap diabetes adalah kenyataan bahwa

diabetes merupakan penyakit kronis yang mempunyai muatan psikologis

dan perilaku yang besar. Diabetes sebagai suatu proses regulasi diri

karena penderita perlu meregulasi proses metabolisme dalam tubuh,

seperti memonitor dan menyesuaikan kadar glukosa darah (Cox &

Gonder-Frederick, 1992).

36

Menurut Hasanat (2010) bahwa ketika penderita pertama kali

didiagnosis diabetes mellitus muncul emosi/perasaan takut, sulit menerima

kenyataan, tidak percaya, kaget, diam saja, bingung dan sedih. Ada juga

penderita pada awalnya merasa takut, akhirnya pasrah. Selama melakukan

pengelolaan penyakit, sebagian penderita merasa shock, tidak nyaman saat

menjalani pengobatan, takut pada saat awal harus diet. Selain itu sebagian

penderita mempunyai kesulitan dalam menjalankan diet, yaitu sulit

mengendalikan diri, mengontrol keinginan, mengatur 3J (jenis, jumlah, dan

jadwal) makan, dan merasa bosan, jenuh. Kesulitan lain yang dialami

penderita adalah adanya ketidakdisiplinan dalam meminum obat dan

melakukan olahraga. Bahkan terdapat penderita yang tidak berpantang

terhadap makanan-makanan tertentu yang sebaiknya dihindari oleh

penderita diabetes Adanya informasi tentang pengobatan altematif

mengakibatkan beberapa subjek mengalami kebingungan dan merasa

terganggu. Kondisi sakit juga menyebabkan penderita mudah tersinggung,

muncul perasaan jengkel, karena kadar gula darah tidak turun.

Stress fisiologik seperti infeksi dan pembedahan turut menimbulkan

hiperglikemia dan dapat memicu diabetes ketoasidosis. Stress emosional

dapat memberi dampak yang negatif terhadap pengendalian diabetes yang

meliputi (Smeltzer &Bare,2002) :

a. Tingginya kadar gula darah

b. Dukungan keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami

diabetes mellitus

37

c. Motivasi seorang penderita diabetes mellitus terhadap perawatan

komplikasi yang mungkin terjadi

d. Spiritualitas dalam diri seseorang

Uraian di atas menunjukkan bahwa penderita diabetes mellitus

mengalami stress yang dapat diamati dari perilakunya sehari-hari dalam

menghadapi penyakitnya.

C. Hubungan Antara Stress Dengan Self Monitoring Penderita Diabetes

Mellitus

Terdiagnosa diabetes mellitus menentukan beban psikologis jangka

panjang atas seseorang dan keluarganya. Menderita diabetes mellitus dapat

dilihat sebagai faktor resiko tambahan untuk mengembangkan problem

psikologis, dan prevalensi dari problem kesehatan mental dalam banyak

individu dengan diabetes mellitus ternyata cenderung melebihi yang

ditemukan dalam populasi umum. Fungsi psikologis yang buruk

menyebabkan penderitaan dapat secara serius mencampuri pengelolaan

diabetes harian, dan dihubungkan dengan hasil medis yang buruk dan biaya

tinggi (De Groot et al., 2001).

Stress menyebabkan produksi berlebih pada hormon kortisol, jika

penderita mengalami stress berat maka hormon kortisol akan semakin banyak,

sehingga sensitivitas tubuh terhadap insulin berkurang. Hormon kortisol

merupakan musuh dari insulin sehingga membuat gula darah meningkatkan

(Watkins, 2010). Berbagai cara dapat secara langsung atau tidak langsung

dalam memecahkan masalah psikologis dan perilaku seperti terjadinya stress

38

akibat penyakit yang diderita atau faktor lainnya, dengan maksud untuk

melindungi dan tetap menjaga kesehatan emosional (kualitas hidup).

Orang yang berjuang dalam diabetes mellitus cenderung dipengaruhi

oleh problem psikologis termasuk stress. Stress berat dapat mengakibatkan

peningkatan kadar gula darah. Gejala yang muncul apabila kadar gula darah

meningkat, yaitu lemas, banyak minum, pusing, dan sering buang air kecil.

Sehingga penderita dalam melakukan aktivitasnya menjadi terhambat.

Perlunya pengelolaan stress agar penderita diabetes mellitus ini dapat

melakukan kontrol perilaku agar gula darah tetap normal, hal tersebut dapat

mempengaruhi self monitoring.

Snyder (Watson et al., 1984), self monitoring merupakan suatu usaha

yang dilakukan individu untuk menampilkan dirinya dihadapan orang lain

dengan menggunakan petunjuk yang ada pada dirinya atau petunjuk-petunjuk

yang ada di sekitarnya. Dengan demikian self monitoring sangat diperlukan

agar penderita dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya. Self monitoring

merupakan upaya penting dilakukan penderita diabetes mellitus dalam

mengendalikan kadar gula darah. Hal ini disebabkan karena penyakit diabetes

mellitus tipe-2 tidak dapat disembuhkan, namun hanya dapat dikendalikan.

39

D. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Penderita diabetes mellitus tipe-2

Stress

Self Monitoring tinggi : - Menjaga sikap dan

perilaku didepan orang lain

Pengelolaan Stress Baik : - Disiplin - Olah raga teratur - Masalah terselesaikan - Pemeriksaan rutin

Pengelolaan Stress Buruk : - Peningkatan hormon

kortisol - Keringat dingin - Kelelahan - Pusing

Self Monitoring rendah : - Mempertahankan sikap

sendiri seperti cuek, tidak peduli kata orang lain, dan acuh

40

E. Hipotesis

Ada hubungan yang negatif antara stress dengan self monitoring pada

penderita diabetes mellitus tipe-2 di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.