bab ii tinjauan pustaka 2.1 umum bab 2.pdf · dibandingkan dengan jenis perkerasan yang lainnya....

55
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Kontruksi perkerasan lentur (fleksible pavement) merupakan jenis perkerasan dengan aspal sebagai bahan pengikat yang telah banyak digunakan dalam pembangunan perkerasan di Indonesia, karena dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan jenis perkerasan yang lainnya. Pelaksanaannya tidak terlalu rumit, relatif lebih efisien untuk jangka waktu tertentu dan dapat dilakukan secara bertahap. Susunan perkerasan ini terdiri dari lapisan permukaan (surface course) yaitu lapisan aus dan lapis antara. Lapisan dibawahnya ialah lapisan pondasi yang terdiri dari lapisan pondasi atas (base course) dan pondasi bawah (subbase course). Lapisan ini diletakkan di atas tanah dasar yang dipadatkan (subgrade). Lapisan- lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan di bawahnya. Pada gambar 2.1 terlihat bahwa beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda berupa beban terbagi rata P 0 . Beban tersebut diterima oleh lapisan permukaan dan disebarkan ke tanah dasar menjadi P 1 (Sukirman, 1999). Gambar 2.1 Penyebaran Beban Roda Sumber: Silvia Sukirman (2003)

Upload: lyanh

Post on 17-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Kontruksi perkerasan lentur (fleksible pavement) merupakan jenis perkerasan

dengan aspal sebagai bahan pengikat yang telah banyak digunakan dalam

pembangunan perkerasan di Indonesia, karena dianggap lebih menguntungkan

dibandingkan dengan jenis perkerasan yang lainnya. Pelaksanaannya tidak terlalu

rumit, relatif lebih efisien untuk jangka waktu tertentu dan dapat dilakukan secara

bertahap. Susunan perkerasan ini terdiri dari lapisan permukaan (surface course)

yaitu lapisan aus dan lapis antara. Lapisan dibawahnya ialah lapisan pondasi yang

terdiri dari lapisan pondasi atas (base course) dan pondasi bawah (subbase course).

Lapisan ini diletakkan di atas tanah dasar yang dipadatkan (subgrade). Lapisan-

lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke

lapisan di bawahnya. Pada gambar 2.1 terlihat bahwa beban kendaraan dilimpahkan

ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda berupa beban terbagi rata P0. Beban

tersebut diterima oleh lapisan permukaan dan disebarkan ke tanah dasar menjadi P1

(Sukirman, 1999).

Gambar 2.1 Penyebaran Beban Roda

Sumber: Silvia Sukirman (2003)

6

Susunan perkerasan lentur terdiri atas lapisan permukaan (surface course)

yaitu lapisan aus dan lapisan antara. Lapisan dibawahnya adalah lapisan pondasi yang

terdiri atas lapisan pondasi atas (base course) dan pondasi bawah (subbase course).

Gambar 2.2 Lapis perkerasan jalan Sumber : Lamadi (2010)

Karakteristik campuran beraspal sebagai lapis perkerasan jalan (Sukirman, S.

1999) antara lain:

1. Stabilitas

Stabilitas adalah kemampuan suatu lapis keras untuk menerima beban lalu

lintas tanpa terjadinya perubahan bentuk (deformasi) seperti gelombang, alur

maupun bleeding.

7

2. Keawetan (Durabilitas)

Durabilitas adalah ketahanan jangka panjang perkerasan jalan atau

kemampuan untuk mencegah perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh

umur aspal, pengaruh air atau kelembaban, keausan agregat dan beban lalu

lintas. Durabilitas dipengaruhi oleh:

- Tebal film aspal yang memadai. Bila terlalu tipis mudah teroksidasi udara

dan terkelupas, bila terlalu tebal bisa terjadi bleeding.

- Porositas (VIM) yang kecil, mengakibatkan lapisan menjadi cukup

impermeable, sehingga tidak mudah ditembus oleh udara sehingga

mengurangi proses oksidasi yang merapuhkan aspal, kemudian

mengelupas.

- VMA yang besar, sehingga tebal film aspal bisa lebih tebal. Untuk

mendapat VMA yang besar disarankan memakai gradasi senjang.

3. Kelenturan (Fleksibilitas)

Kelenturan pada lapisan perkerasan adalah kemampuan lapisan untuk

mengikuti deformasi yang terjadi akibat beban lalu lintas yang berulang tanpa

terjadi retak dan perubahan volume. Hal ini dapat dicapai dengan:

- Menggunakan agregat bergradasi senjang, sehingga VMA menjadi lebih

besar.

- Menggunakan aspal yang lebih lunak (penetrasi lebih tinggi)

- Menggunakan aspal yang lebih banyak sehingga VIM menjadi lebih kecil

walaupun VMA agak besar.

- Memenuhi syarat Marshall Quotient (MQ), yaitu perbandingan antara

stabilitas dengan flow (kN/mm). MQ merupakan indikator sifat lentur

perkerasan.

4. Kekesatan/Tahanan Geser (skid resistance)

Yaitu gesekan yang diberikan oleh permukaan perkerasan, sehingga

kendaraan tidak mudah mengalami slip baik saat cuaca kering dan terutama

pada saat hujan. Perkerasan aspal umumnya memiliki tahanan geser yang

memadai. Hal ini diperoleh dengan menggunakan:

8

- Kadar aspal yang tepat sehingga tidak terjadi bleeding.

- Agregat dengan permukaan kasar, dan berbentuk kubikal.

- Penggunaan agregat kasar dalam jumlah yang cukup. Untuk ini, pada

campuran aspal bergradasi senjang biasanya ditentukan jumlah agregat

kasar yang dipergunakan.

5. Kedap Air

Kedap air adalah kemampuan lapisan perkerasan untuk tidak dapat dimasuki

air ataupun udara. Air dan udara akan mempercepat proses penuaan aspal. Di

samping itu, air dapat menimbulkan efek pengelupasan film aspal dari

permukaan agregat. Oleh sebab itu, kekedapan lapisan aspal diperlukan untuk

mencegah lolosnya air.

6. Kemudahan pelaksanaan (workability)

Kemudahan pelaksanaan maksudnya kemudahan dalam pencampuran,

penghamparan dan pemadatan campuran aspal. Hal ini dapat dipengaruhi

oleh:

- Gradasi agregat

- Ketepatan temperatur saat pelaksanaan pekerjaan. Aspal bersifat

termoplastis (menjadi lebih lunak saat temperatur tinggi dan sebaliknya)

- Kandungan bahan pengisi (filler). Bila kadar filler terlalu tinggi bisa

mengurangi workability.

7. Ketahanan kelelahan (fatigue resistance)

Ketahanan kelelahan adalah fenomena keretakan akibat beban berulang.

Fenomena ini bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa hal. Untuk

mengoptimalkan ketahanan terhadap kelelehan, dapat dilaksanakan upaya:

- Bila VIM dan VMA tinggi dan kadar aspal ditingkatkan.

- Campuran dengan gradasi yang lebih halus memiliki ketahanan kelelehan

yang lebih baik.

- Penggunaan aspal yang lebih keras untuk perkerasan yang lebih tebal.

9

2.2 Bahan Perkerasan Jalan

Bahan campuran perkerasan jalan terdiri dari agregat kasar, agregat halus,

bahan pengisi (filler), dan aspal. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan harus diuji

terlebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifat dari bahan tersebut. Semua jenis

pengujian bahan harus mengacu pada spesifikasi yang diisyaratkan oleh Bina Marga.

2.3 Agregat

Agregat atau batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi

yang keras dan solid. Agregat merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan

jalan yaitu mengandung 90% - 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% -

85% agregat berdasarkan persentase volume (Sukirman, 1999). Dengan demikian

kualitas perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran

agregat dengan material lain.

Pemilihan jenis agregat yang sesuai untuk digunakan pada konstruksi

perkerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu gradasi, kekuatan, bentuk butir,

tekstur permukaan, kelekatan terhadap aspal serta kebersihan dan sifat kimia. Jenis

dan campuran agregat sangat mempengaruhi daya tahan atau stabilitas suatu

perkerasan jalan (Kerbs and Walker, 1971).

Menurut Depkimpraswil dalam Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas

(2004), agregat diklasifikasikan berdasarkan proses terjadinya, proses pengolahannya

dan berdasarkan ukuran butirnya.

2.3.1 Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Terjadinya

Menurut Silvia Sukirman (1999), klasifikasi agregat berdasarkan asal

kejadiannya dapat dibedakan atas batuan beku (igneous rock), batuan sedimen, dan

batuan metamorf (batuan malihan).

1. Batuan beku

Batuan beku terbentuk dari membekunya magma cair yang terdesak ke

permukaan pada saat gunung berapi meletus.

Batuan beku ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

10

a. Batuan beku luar (extrusive igneous rock), berasal dari material yang keluar

dari bumi saat gunung meletus kemudian akibat dari pengaruh cuaca

mengalami pendinginan dan membeku. Pada umumnya batuan beku jenis

ini berbutir halus, contohnya adalah rhyolite, andesit, dan basalt.

b. Batuan beku dalam (intrusive igneous rock), berasal dari magma yang tidak

dapat keluar dari bumi kemudian mengalami pendinginan dan membeku

secara perlahan. Pada umumnya batuan beku jenis ini bertekstur kasar dan

dapat ditemui di permukaan bumi karena proses erosi dan gerakan bumi,

contoh batuan jenis ini adalah granit, gabbro, dan diorit.

2. Batuan sedimen

Batuan sedimen berasal dari campuran mineral, sisa-sisa hewan, dan tanaman.

Batuan jenis ini terdapat pada lapisan kulit bumi, hasil endapan di danau, laut,

dan sebagainya.

Berdasarkan cara pembentukannya batuan sedimen dapat dibedakan atas:

a. Batuan sedimen yang dibentuk secara mekanik, seperti breksi,

konglomerat, batu pasir, dan batu lempung. Batuan jenis ini banyak

mengandung silika.

b. Batuan sedimen yang dibentuk secara organis, seperti batu bara, dan opal.

c. Batuan sedimen yang dibentuk secara kimiawi, seperti batu gamping,

garam, gift, dan flint.

3. Batuan metamorf

Batuan ini umumnya berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang

mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan

temperatur kulit bumi, contoh batuan jenis ini adalah marmer, kwarsit, dan

batuan metamorf yang berlapis, seperti batu sabak, filit, dan sekis.

2.3.2 Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Pengolahannya

Menurut Silvia Sukirman (1999), berdasarkan proses pengolahannya, agregat

dapat dibedakan menjadi agregat alam, agregat yang mengalami proses pengolahan,

dan agregat buatan.

11

1. Agregat alam

Agregat alam merupakan agregat yang diambil dari alam dengan sedikit proses

pengolahan. Agregat alam terbentuk melalui proses erosi dan degradasi

sehingga bentuk partikelnya ditentukan oleh proses pembentukannya. Agregat

yang mengalami proses erosi yang diakibatkan oleh air biasanya terjadi di

sungai mempunyai bentuk partikel yang bulat-bulat dengan permukaan yang

licin. Agregat yang mengalami proses degradasi biasanya terjadi dibukit-bukit

mempunyai bentuk partikel yang bersudut dengan permukaan yang kasar.

Agregat alam yang sering dipergunakan yaitu pasir dan kerikil. kerikil adalah

agregat dengan ukuran partikel > 1/4 inch (6,35 mm) sedangkan pasir adalah

agregat dengan ukuran partikel < 1/4 inch tetapi lebih besar dari 0,075 mm.

2. Agregat yang melalui proses pengolahan

Agregat yang melalui proses pengolahan merupakan agregat biasa berasal dari

bukit-bukit maupun sungai yang karena bentuknya yang besar-besar melebihi

ukuran yang diinginkan harus melalui proses pemecahan terlebih dahulu

dengan menggunakan mesin pemecah batu (stone crusher) atau secara manual

agar diperoleh:

a. Bentuk partikel yang bersudut, diusahakan berbentuk kubus.

b. Permukaan partikel kasar sehingga mempunyai gesekan yang baik.

c. Gradasi sesuai yang diinginkan.

Hasil dari proses pemecahan ini biasanya disebut dengan split dan mempunyai

ukuran mulai dari 5 mm sampai 40 mm.

3. Agregat buatan

Agregat buatan adalah agregat yang diperoleh dengan memecah batuan yang

masih berbentuk bongkahan-bongkahan besar. Bongkahan batuan ini dapat

diperoleh di bukit-bukit (gunung-gunung) maupun di sungai. Sebelum batuan

ini digunakan sebagai agregat maka batuan ini dipecah terlebih dahulu menjadi

material yang lebih kecil sesuai dengan ukuran yang diinginkan dengan

menggunakan Stone Crusher. Agregat buatan mempunyai ukuran partikel <

0,075 mm (saringan no. 200).

12

2.3.3 Klasifikasi Agregat Berdasarkan Ukuran Butirnya

Ditinjau dari ukuran butirnya agregat dapat dibedakan atas agregat kasar,

agregat halus, dan bahan pengisi (filler).

Menurut American Society for Testing and Material (ASTM):

a. Agregat kasar, mempunyai ukuran > 4,75 mm (saringan No.4).

b. Agregat halus, mempunyai ukuran < 4,75 mm (saringan No.4).

c. Abu batu/mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan No. 200.

Menurut AASHTO:

a. Agregat kasar, mempunyai ukuran > 2 mm.

b. Agregat halus, mempunyai ukuran < 2 mm dan > 0,075.

c. Abu batu/mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan No. 200.

Menurut Spesifikasi Campuran Beraspal Panas DPU (2010) Rev.2, agregat juga dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Agregat kasar, agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan No.4

(4,75 mm)

b. Agregat halus, agregat dengan ukuran butir lebih halus dari saringan No.4

(4,75 mm)

c. Bahan pengisi ( filler ), bagian dari agregat halus yang minimum 85 % lolos

saringan No.200 (0,075 mm), non-plastis, tidak mengandung bahan organik,

tidak menggumpal, kadar air maksimum 1%.

2.3.4 Sifat Agregat

Sifat dan kualitas agregat menentukan kemampuan dalam memikul beban lalu

lintas. Adapun sifat-sifat agregat yang perlu diperiksa antara lain (Thanaya, 2012):

1. Gradasi

Gradasi/distribusi partikel-partikel ukuran agregat merupakan hal yang

penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi agregat

mempengaruhi besarnya rongga antara butir yang akan menentukan stabilitas

dan kemudahan dalam proses pelaksanaan. Gradasi agregat diperoleh dari

hasil analisis ayakan. Gradasi agregat dapat dibedakan atas:

13

a. Gradasi Seragam (Uniform Graded) atau Gradasi Terbuka

Adalah gradasi agregat dengan ukuran yang hampir sama, mengandung

agregat halus sedikit sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat.

Agregat dengan gradasi seragam menghasilkan lapisan perkerasan

dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, dan berat volume

kecil.

b. Gradasi Rapat (Dense Graded) atau Gradasi Baik (Well Graded)

Merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang

berimbang. Agregat dengan gradasi rapat akan menghasilkan lapis

perkerasan dengan stabilitas tinggi, kedap air, dan berat volume besar.

c. Gradasi Buruk (Poorly Graded) atau Gradasi Senjang

Adalah campuran agregat dengan satu fraksi hilang atau dalam jumlah

yang sedikit. Agregat begradasi buruk yang umum digunakan yaitu

gradasi celah (gap graded).

Gambar 2.3 Contoh tipikal macam-macam gradasi agregat

Sumber: Silvia Sukirman (2007)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0.01 0.1 1 10

Bera

t Agr

egat

yan

g Lo

los (

%)

Ukuran Saringan (mm)

Gradasi Rapat

Gradasi Senjang

Gradasi Seragam

14

2. Ukuran maksimum agregat

Ukuran agregat maksimum disesuaikan dengan tebal padat perkerasan. Untuk

lapis pondasi biasanya ukuran agregatnya lebih besar dari pada untuk lapis

permukaan. Hal ini sudah ditentukan pada spesifikasi gradasi agregat.

Campuran dengan ukuran diameter agregat > 14 mm termasuk berdiameter

besar. Umumnya ukuran agregat terbesar sekitar 2/3 tebal padat perkerasan

jalan. Aspek positif penggunaan agregat bergradasi besar antara lain:

- Usaha pemecahan lebih kecil

- Karena luas permukaan lebih kecil, penggunaan aspal lebih efisien

- Kekuatan lebih besar karena sifat interlock antar agregat yang berdiameter

besar lebih stabil Aspek negatif penggunaan agregat bergradasi besar antara

lain:

- Workability (kemudahan pencampuran dan pelaksanaan) berkurang

- Bisa terjadi segregasi (pemisahan agregat sesuai ukuran butir)

3. Kadar Lempung

Yang dipergunakan adalah agregat yang lolos ayakan ukuran 4,75 mm (No.4)

dan tertahan ayakan ukuran 0,30 mm (No.50). Kadar lempung pada agregat

dibatasi, maksimal 0,25%. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah

sebagai berikut:

- Lempung yang melapisi agregat dapat mengurangi ikatan antara agregat

dan aspal sehingga dapat menyebabkan pengelupasan.

- Luas permukaan agregat menjadi lebih besar sehingga tebal lapisan aspal

menipis dan mudah mengalami oksidasi yang berakibat mempercepat

pengerasan aspal, sehingga aspal menjadi lebih getas.

- Lempung menyerap air, di mana air dapat melunakkan aspal, sehingga

campuran menjadi lebih lemah dan cepat rusak.

- Pengujian kadar lempung untuk agregat kasar, dilaksanakan dengan

mencari selisih berat dari agregat kering sebelum dicuci dengan agregat

kering setelah dicuci. Selisih berat ini dibagi dengan agregat kering

sebelum dicuci (%). Dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

15

P = (w−R)w

x100% ................................................................... (2.1)

Keterangan :

P = gumpalan lempung dan butir-butir mudah pecah dalam agregat

w = berat benda uji (gram)

R = berat benda uji kering oven yang tertahan pada masing-masing

ukuran ayakan setelah dilakukan penyaringan basah (gram)

- Pengujian kadar lempung untuk material yang lolos ayakan No. 4

(4,75mm), dilaksanakan dengan Sand Equivalent Test. Syarat nilai SE > 60

%. Dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

Nilai SP = BA

x 100% … … … … … …2 (2.2)

Keterangan:

A = Skala pembacaan permukaan lumpur

B = Skala pembacaan pasir

4. Daya tahan agregat

Daya tahan agregat merupakan ketahanan agregat terhadap adanya penurunan

mutu akibat proses mekanis dan kimiawi. Agregat dapat mengalami

degradasi, yaitu perubahan gradasi akibat pecahnya butir-butir agregat.

Kehancuran agregat dapat disebabkan oleh proses mekanis, seperti gaya-gaya

yang terjadi selama proses pelaksanaan jalan, pelayanan terhadap beban lalu

lintas, dan proses kimiawi, seperti pengaruh kelembaban, kepanasan, dan

perubahan suhu sepanjang hari. Nilai keausan/degradasi > 40%: agregat

kurang kuat, < 30%: untuk lapis penutup, < 40%: untuk lapis permukaan dan

lapis pondasi atas (LPA), < 50%: untuk lapis pondasi bawah (LPB).

Ketahanan agregat terhadap degradasi diperiksa dengan pengujian abrasi

menggunakan alat abrasi Los Angeles, sesuai dengan SNI 2417-2008. Dengan

rumus perhitungan sebagai berikut:

Keausan = a− ba

x100% (2.3)

16

Keterangan:

a = berat benda uji semula, dinyatakan dalam gram,

b = berat benda uji tertahan ayakan no. 12 (1,70 mm)

dinyatakan dalam gram.

Metode Soundness Test dengan rumus perhitungan sesuai SNI 3407:2008

sebagai berikut:

𝑋𝑋 = 𝐵𝐵 − 𝐶𝐶𝐵𝐵

𝑥𝑥100% ........................................................................... (2.4)

𝑌𝑌 = 𝑋𝑋100

𝑥𝑥𝐴𝐴 (2.5)

Keterangan:

X = persentase bahan yang lolos saringan setelah pengujian (%)

Y = persentase bahan yang lolos saringan setelah pengujian (%)

A = persentase gradasi benda uji masing-masing fraksi (%)

B = berat benda uji awal (gram)

C = berat benda uji tertahan saringan setelah pengujian (gram)

5. Bentuk dan tekstur agregat

Berdasarkan bentuknya, partikel atau butir agregat dikelompokkan menjadi

berbentuk bulat, lonjong, pipih, kubus, tak beraturan atau mempunyai bidang

pecahan.

• Agregat berbentuk bulat (rounded)

Biasanya ditemui di sungai yang telah mengalami erosi. Bidang kontak

agregat berbentuk bulat sangat sempit, hanya berupa titik singgung,

sehingga menghasilkan penguncian antar agregat yang tidak baik dan

menghasilkan kondisi kepadatan lapisan perkerasan yang kurang baik.

sumber: Sukirman (2007)

Gambar 2.4 Susunan butir-butir agregat berbentuk bulat

17

• Agregat berbentuk kubus (cubical)

Agregat ini umumnya merupakan pecahan dari hasil pemecahan mesin

pemecah batu atau hasil pemecahan batu masif. Bidang kontak agregat ini

luas, sehingga mempunyai gaya mengunci yang luas. Kestabilan yang

diperoleh lebih baik dan lebih tahan terhadap deformasi. Agregat ini

merupakan agregat terbaik untuk dipergunakan sebagai material

perkerasan jalan dibandingkan dengan agregat dengan bentuk lainnya.

Sumber: Sukirman (2007)

• Agregat berbentuk lonjong (elongated)

Agregat berbentuk lonjong dapat ditemui di sungai atau bekas endapan

sungai. Dikatakan lonjong bila ukuran terpanjangnya lebih besar dari 1,8

kali diameter rata-rata. Sifat campuran agregat berbentuk lonjong ini

hampir sama dengan agregat berbentuk bulat.

• Agregat berbentuk pipih (flaky)

Agregat berbentuk pipih merupakan hasil produksi mesin pemecah batu.

Agregat pipih yaitu agregat yang ketebalannya lebih tipis dari 0,6 kali

diameter rata-rata.

• Agregat berbentuk tak beraturan (irregular)

Agregat berbentuk tak beraturan adalah agregat yang bentuknya tidak

mengikuti salah satu bentuk diatas.

Tekstur permukaan agregat dapat dibedakan atas licin, kasar atau berpori.

Agregat yang bulat umumnya mempunyai permukaan yang licin dan

menghasilkan daya penguncian antar agregat yang rendah dan tingkat

Gambar 2.5 Susunan butir-butir agregat berbentuk kubus

18

kestabilan yang rendah. Permukaan agregat yang kasar akan memberikan

kekuatan pada campuran beraspal karena kekasaran permukaan agregat dapat

menahan agregat tersebut dari pergeseran atau perpindahan. Kekasaran

permukaan agregat juga akan memberikan ketahanan gesek yang kuat pada

roda kendaraan, sehingga akan meningkatkan keamanan kendaraan terhadap

slip. Rumus perhitungan angularitas agregat kasar menurut SNI 03-1737-1989

adalah sebagai berikut:

Angularitas Agregat Kasar = (A / B) x 100......................................... (2.6)

Keterangan:

A = adalah berat agregat yang mempunyai bidang pecah, dinyatakan

dalam gram,

B = adalah berat total benda uji tertahan ayakan no. 4, dinyatakan dalam

gram

Sedangkan untuk agregat halus harus memiliki minimal 45% angularitas pada

uji kadar rongga, adapun rumus perhitungannya menurut SNI 03-6877-2002

sebagai berikut:

VGsbWV )/(− x 100 % …………...…………… (2.7)

Keterangan:

V = volume agregat halus dalam silinder

W = berat agregat halus

Gsb = berat jenis kering oven agregat halus

6. Daya lekat terhadap aspal

Faktor yang mempengaruhi lekatan aspal dan agregat dapat dibedakan atas

dua bagian, yaitu:

a. Sifat mekanis yang tergantung dari:

- Pori-pori dan absorpsi

- Bentuk dan tekstur permukaan

- Ukuran butir agregat

b. Sifat kimiawi dari agregat.

19

7. Berat jenis agregat

Dalam kaitan perencanaan campuran aspal, berat jenis adalah suatu rasio

tanpa dimensi, yaitu rasio antara berat suatu benda terhadap berat air yang

volumenya sama dengan benda tersebut. Sebagai standar dipergunakan air

pada suhu 4ºC karena pada suhu tersebut air memiliki kepadatan yang stabil.

Berat jenis agregat dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini (Krebs and

walker, 1971).

Gambar 2.6 Pertimbangan Volume Pori Agregat untuk Penentuan SG

Sumber: Krebs and Walker (1971) dalam Thanaya (2008)

Keterangan :

Vs = volume solid

Vi = volume yang impermeable terhadap air dan aspal

Vp = total volume permeable

Vc = volume yang permeable terhadap air tapi impermeable terhadap aspal

Vp-Vc = volume yang permeable terhadap air dan aspal

Secara umum volume agregat yang diperhitungkan adalah volume yang tidak

diresapi oleh aspal.

20

Ada beberapa jenis berat jenis agregat, yaitu:

a. Berat jenis bulk (bulk specific gravity)

Bila aspal diasumsikan hanya menyelimuti agregat di bagian permukaan

saja, tidak meresap ke bagian agregat yang permeable, volume yang

diperhitungkan adalah:

Bulk SG = ( ) wVtotWs

wVpViVsWs

γγ ×=

×+++ (2.8)

Keterangan : γw = berat volume air = 1 gr/cc = 1 t/m3. Sehingga Bulk SG

adalah rasio antara berat agregat dan berat air yang volumenya

= Vs + Vi + Vp.

b. Berat jenis semu (apparent specific gravity)

SG ini didasarkan atas asumsi bahwa aspal meresap ke dalam agregat

dengan tingkat resapan yang sama dengan air, yaitu sampai Vc atau ke

dalam seluruh Vp. Karenanya volume yang dipertimbangkan adalah:

Vs + Vi

Apparent SG = ( ) wViVsWs

γ×+ (2.9)

c. Berat jenis efektif (effective specific gravity)

SG Bulk dan SG Apparent didasarkan atas dua kondisi ekstrem. Asumsi

yang realistis adalah bahwa aspal dapat meresap sampai ke (Vp – Vc).

Oleh karena itu SG atas asumsi ini disebut SG efektif.

Effective SG = ( ) wVcViVsWs

γ×++ 2.10)

Keterangan: Vp = volume pori yang dapat diresapi air

V = volume total dari agregat

Vi = volume pori yang tidak dapat diresapi air

Vs = volume partikel agregat

Ws = berat kering partikel agregat

γw = berat volume air

21

Perhitungan berat jenis dan penyerapan agregat kasar dijelaskan dalam SNI

1969:2008 sebagai berikut:

a) Berat jenis bulk (bulk specific gravity) = )( BaBj

Bk−

(2.11)

b) Berat jenis kering permukaan jenuh (saturated surface dry)

= )( BaBj

Bj−

(2.12)

c) Berat jenis semu (apparent specific gravity) = )( BaBk

Bk−

(2.13)

d) Penyerapan (absorpsi) = Bk

BkBj )( − x 100 % (2.14)

Keterangan:

Bk = berat benda uji kering oven (gram)

Bj = berat benda uji kering permukaan jenuh (gram)

Ba = berat benda uji kering permukaan jenuh dalam air (gram)

Sedangkan untuk agregat halus dan filler perhitungan menurut SNI 1970:2008

adalah sebagai berikut:

a) Berat jenis curah (bulk specific gravity) = )500( BtB

Bk−+

(2.15)

b) Berat jenis jenuh kering permukaan (saturated surface dry)

=)500(

500BtB −+

(2.16)

c) Berat jenis semu (apparent specific gravity) =)( BtBkB

Bk−+

(2.17)

d) Penyerapan (absorpsi) = Bk

Bk)500( − x 100 % (2.18)

e). Berat jenis filler = ( )dDL

DEAB

AD−

−−

)( , dDL =

( ))( AB

AC−−

........ (2.19)

22

Keterangan :

DL = Dilatomeric Liquid (cairan yang tidak bereaksi dengan filler)

dDL = kepadatan dari DL

A = Tabung/gelas dengan penutup tanpa air

B = Tabung/gelas dengan penutup berisi air

C = Tabung/gelas dengan penutup berisi Dilatomeric Liquid

D = Tabung/gelas dengan penutup berisi air + filler

E = Tabung/gelas dengan penutup berisi Dilatomeric Liquid + filler

Bk = berat benda uji kering oven (gram)

B = berat piknometer berisi air (gram)

Bt = berat piknometer berisi benda uji dan air (gram)

2.3.5 Pencampuran Agregat (Blending)

Suatu jenis agregat mungkin saja tersedia dalam beberapa gundukan (stock

pile). Masing-masing gundukan agregat bisa terdiri dari komposisi ukuran partikel

(gradasi) tertentu. Kegiatan mencampur agregat diperlukan dalam upaya untuk

memperoleh gradasi agregat yang diinginkan sesuai dengan spesifikasi campuran

untuk suatu jenis perkerasan jalan. Pencampuran agregat dapat dilakukan dengan

cara:

1. Cara mencoba-coba (Trial and Error)

Adalah cara pencampuran agregat dengan mencoba kemungkinan berbagai

proporsi agregat, kemudian mengadakan analisa saringan yang dibandingkan

dengan spesifikasi yang disyaratkan.

2. Cara Analitis

Pada cara ini didasarkan atas penggabungan agregat dengan menggunakan

rumus pendekatan. Dari rumus ini diperoleh prosentase agregat kasar, agregat

halus dan filler. Rumus yang digunakan menurut cara Bambang Ismanto,

1993 adalah :

%100×−−

=CFCSX (2.20)

23

Keterangan:

X = % agregat halus

S = % titik tengah spec limit dari saringan yang dikehendaki

F = % agregat halus lewat saringan tertentu

C = % agregat kasar lewat saringan tertentu

3. Cara Grafis

a. Cara grafis untuk pencampuran 2 fraksi agregat

Cara ini adalah penggabungan agregat yang dilakukan dengan

menggambarkan grafik hubungan antara persentase butir-butir lolos

ayakan dari setiap agregat yang digunakan dengan persentase lolos

ayakan spesifikasi limit.

Penentuan gradasi dari kedua fraksi agregat yang akan dicampur melalui

pemeriksaan analisis ayakan. Persen lolos untuk fraksi agregat kasar

digambarkan pada bagian sebelah kanan dan untuk fraksi agregat halus di

bagian kiri. Garis yang menghubungkan titik tepi sebelah kanan dan kiri

dari persen lolos masing-masing fraksi untuk gradasi yang sama

menunjukkan garis ukuran ayakan dari persen lolos yang dimaksud.

Penggabungan agregat digambarkan dengan menggunakan gambar bujur

sangkar dengan ukuran (10 x 10) cm.

b. Cara grafis untuk pencampuran 3 fraksi agregat

Cara ini adalah penggabungan agregat dengan menggunakan gambar

empat persegi panjang dengan ukuran (10x20) cm pada kertas milimeter.

Sumbu datar digunakan untuk menunjukkan ukuran ayakan. Garis

diagonal dari empat persegi panjang menjadi garis gradasi tengah untuk

spesifikasi agregat campuran yang diinginkan.

Proporsi agregat kasar ditentukan dengan menarik garis vertikalsehingga

jarak dari tepi bawah ke gradasi fraksi agregat kasar sama dengan jarak

dari tepi atas ke garis gradasi sedang. Proporsi agregat halus ditentukan

dengan menarik garis vertikal sehingga jarak dari tepi bawah ke garis

24

gradasi kasar ditambah dengan jarak dari tepi bawah ke garis gradasi

sedang.

4. Mencampur secara proporsional

Untuk memperoleh proporsi agregat campuran yang diinginkan, selain

dengan cara mencampur agregat dapat juga dengan cara memproporsikan

agregat sesuai dengan gradasi suatu spesifikasi.

2.4 Karet Alam

Karet merupakan tanaman berbuah polong (diselaputi kulit yang keras) yang

sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi

oleh kulit tipis berwarna hijau dan didalamnya terdapat kulit yang keras dan

berkotak. Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna

kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya

pecah dan jatuh, bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas dua

sampai empat kotak biji. Pada umumnya berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak

terdapat satu biji. Tanaman karet mulai menghasilkan buah pada umur empat tahun

dan akan semakin banyak setiap pertambahan umur tanaman sampai pada batas

umum tanaman sekitar 25 – 30 tahun.

Karet mempunyai arti penting dalam aspek kehidupan sosial ekonomi

masyarakat indonesia, yaitu: salah satu komoditi penghasil devisa negara, tempat

persediaanya lapangan kerja bagi penduduk, dan sumber penghasilan bagi petani

karet, sudah seharusnya tanaman karet dikembangkan secara baik dan benar supaya

memperoleh hasil yang optimal. (Sitohang, 2010)

25

2.4.1 Jenis – Jenis Pohon Penghasil Karet

Berikut Nama - nama spesies pohon dan area penyebaran:

Tabel 2.1 Jenis Pohon Penghasil Karet

Sumber : Hendra (2005)

Pohon Para (Havea brasiliensis) berasal dari negara Brazil, Tanaman ini

merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia. Sebagai penghasil lateks

Nama Spesies Nama Panggilan Area DistribusiCastilloa elastica Pohon Karet Panama AMERICA (Mexico; Central America; Sesse danSolidago (Panama Rubber tree) Western South America) Tumbuh di

daerah Tropis.Ficus vogelii Pohon Karet Afrika AFRICA (Macaronesia; Northeast (Miq.) Miq. Baret Tropical Africa; East Tropical Africa;

(West Africa rubber tree) West-Central Tropical Africa; West Tropical Africa; South Tropical Africa; South Africa; Western Indian Ocean)

Funtumia africana Pohon Karet Lagos silk AFRICA (East Tropical Africa; West-(Benth.) Stapf (Logos silk rubber tree) Central Tropical Africa; West Tropical

Africa; South Tropical Africa)Hevea brasiliensis Pohon Karet / Pohon SOUTHERN AMERICA (Brazil; (Willd. ex Adr. Juss.) Para Bolivia; Colombia ; Peru) SOUTH EAST Muell. Arg. (Rubber tree) ASIA (Thailand, Indonesia, Malaysia,

Vietnam, Laos, Combodia, Philipine) INDIA, CHINA

Holarrhena floribunda Pohon karet False AFRICA (West-Central Tropical Africa; Durand & Schinz (False rubber tree) West Tropical Africa)

Funtumia elastica dan AFRICA (Northeast Tropical Africa; East Landolphia kirkii Tropical Africa; West-Central Tropical

Africa; West Tropical Africa) juga ditanami di daerah lain.

Ficus elastica Tanaman Karet India ASIA-TROPICAL(India; China; (Indian rubber plant) Malaysia, Coastal Sothern California)

widely cultivated elsewhereParthenium Guayule NORTHERN AMERICA argentatum (South-Central U.S.A.; Mexico)Palaquium gutta Gutta-Percha Malaysia, South Pacific and South danPalaquium AmericaoblongifoliaTaraxacum koksahgyz Russian dandelion ASIA-TEMPERATE Former Soviet and Taraxacum Union; Chinaofficinale

26

tanaman karet dapat dikatakan satu-satunya tanaman yang dikebunkan secara besar-

besaran (Nazarudin dkk, 1992)

Pohon karet yang sudah siap untuk dipanen biasanya sudah berumur 5 – 6

tahun. Keliling batang pohon sudah mencapai 45 cm atau lebih. Keliling batang

diukur dengan ketentuan 100 cm dari batas okulasi tanaman. Pada saat di panen

pohon karet menghasilkan berupa getah karet cair yang di sebut dengan lateks kebun.

2.4.2 Lateks Kebun

Lateks kebun adalah cairan getah berwarna putih yang diperoleh dengan cara

penyadapan (membuka pembuluh lateks) pada kulit tanaman karet. Cairan getah ini

belum diolah atau ditambah bahan pemantap (Risky Ridha SP, 2011)

Gambar 2.7 Lateks

Sumber : Misran ( ‎2010)

Lateks memiliki sifat-sifat unggul dan sifat-sifat yang lemah sbb :

1. Lateks bersifat keras dan elastis, tetapi akan melunak dan lengket bila berada

pada suhu yang tinggi dan mengeras dan padat pada suhu rendah.

2. Memiliki daya elastisitas tinggi.

3. Memiliki ketahanan terhadap daya gesek dan kekuatan tensil rendah.

4. Larut dalam larutan ether, carbon disulphide, carbon tetrachloride, turpentine

dan minyak tanah.

27

Tabel 2.2 Komposisi Lateks kebun

Sumber: Aryadi (2012)

Komposisi kimia lateks secara garis besar adalah 25-40% karet dan 60-75%

merupakan bahan bukan karet. Kandungan bukan karet ini selain air adalah protein

(globulin dan havein), karbohidrat (sukrosa, glukosa,galaktosa, dan fruktosa), lipida

(gliserida, sterol, dan fosfolipida). Komposisi ini bervariasi tergantung pada jenis

tanaman, umur tanaman, musim sistem deres dan penggunaan stimulan.

2.4.2.1 Proses Penyadapan Pada Lateks Kebun

Persiapan lahan penyadapan baru pada tanaman karet yang baru akan dipanen

dilakukan dengan cara:

a. Menentukan bidang sadap

1. Pada tanaman okulasi silinder tanaman relative sama sampai pada ketinggian

130 cm. ketebalan kulit tanaman juga menjadi faktor utama dalam

menentukan bidang sadap.

2. Setelah menentukan bidang sadap dilakukan penyadapan arah irisan sadap

harus dari kiri atas ke kanan bawah, tegak lurus terhadap pembuluh lateks.

Sudut kemiringan irisan yang paling baik berkisar antara 30o – 40o terhadap

bidang datar untuk bidang sadap bawah. Pada penyadapan bidang sadap atas,

sudut kemiringannya dianjurkan sebesar 45o. Panjang penyadapan dilakukan

dengan panjang setengah dari lingkar batang.

3. Pemasangan Talang dan Mangkuk Sadap Talang sadap terbuat dari seng

selebar 2,5 cm dengan panjang sekitar 8 cm. Talang sadap dipasang pada

jarak 5 cm – 10 cm dari ujung irisan sadap bagian bawah. Mangkuk sadap

Kandungan Kadar (%)Karet 25-40Karbohidrat 2-JanProtein dan senyawa nitrogen 1-1,5Lipid 1-1,5Senyawa anorganik 0,1-1,5Air 60-75

28

umumnya terbuat dari plastik, tanah liat atau aluminium. Mangkuk sadap

dipasang pada jarak 5 - 20 cm di bawah talang sadap. Mangkuk sadap

diletakkan di atas cincin mangkuk yang diikat dengan tali cincin pada pohon.

b. Pelaksanaan Penyadapan

Waktu penyadapan yang baik dilaksanakan antara jam 05.00 – 07.30 pagi.

Kedalaman irisan sadap dianjurkan berkisar 1- 1,5 mm dari cambium suapaya

tanaman dapat bertahan selama 25 – 30 tahun. Kedalaman irisan berkisar 1,5 – 2

mm setiap penyadapannya. Pada tanaman dengan penyadapan baru sebaiknya

tanaman dilakukan sebanyak 1 kali dalam 3 hari selama 2 tahun. Setelah itu baru

dilakukan penyadapan 1 kali dalam 2 hari pada tahun – tahun berikutnya.

c. Pengumpulan Lateks

Pengumpulan lateks dapat dilakukan pada siang hari sekitar pukul 11.00 setelah

tidak ada lagi lateks yang menetes untuk tiap harinya. Lateks dikumpulkan dalam

satu wadah persegi dengan tingkat ketebalan tertentu. Pengumpulan juga dapat

dilakukan tiap minggu sekali atau sekehendak kita, tetapi semakin lama dipanen

maka akan menjadikan kualitas lateks itu akan berkurang. (Nasir 2013)

2.4.2.2 Proses Terjadinya Lateks Kebun Menjadi Lateks Pekat

Pemekatan lateks kebun dapat dilakukan melalui proses sentrifugal,

pengendalian, evaporsi dan eletrodekantasi. Dua metode terakhir sudah tidak

dilakukan lagi. Metode yang paling umum digunakan adalah metode sentrifugal,

sedangkan metode pendadihan sudah jarang digunakan (Handoko, 2002).

Lateks kebun ini dicampur dengan ammonia dan kemudian bisa diolah

dengan menggunakan mesin sentrifugal untuk meningkatkan kadar karetnya menjadi

60%, karet dengan kadar 60% inilah yang disebut karet pekat. Sentrifugal

memanfaatkan gaya sentrifugal dan gaya gravitasi yang dikenakan terhadap partikel

karet dalam fase cair lateks. Lateks kebun terpisah menjadi lateks konsentrasi yang

disebut krim dan lateks terlarut sebagai hasil samping yang disebut skim. Prinsip

pembuatan lateks pekat dengan sentrifugal yaitu berdasarkan perbedaan berat jenis

antara partikel karet dan serum. Serum mempunyai berat jenis lebih besar dari

29

partikel karet sehingga partikel karet cenderung naik ke permukaan sedangkan serum

dibawahnya. lateks yang di masukan ke dalam sentrifugal akan mengalami gaya

sentrifugal yang lebih besar dibandingkan percepatan gravitasi bumi, sehingga terjadi

pemisahan partikel karet dengan serum, selanjutnya lateks pekat dihasilkan dari

kumpulan partikel karet yang keluar dari alat sentrifugal, sedangkan lateks skim

dihasilkan dari kumpulan serum yang keluar dari alat sentrifugal.

Pemekatan lateks menyebabkan sebagai bahan bukan karet terlarut bersama

serum, sehingga lateks pekat bersifat lebih stabil dan memiliki komposisi yang lebih

baik dari pada komposisi lateks kebun. Menurut American Society for Testing and

Materials (ASTM), syarat mutu lateks pekat dapat dilihat pada tabel 2.3 Tipe 1

merupakan lateks pekat hasil sentrifugal yang diawetkan dengan amoniak saja atau

formaldehida diikuti dengan amoniak kembali. Tipe 2 merupakan lateks pekat hasil

creaming yang diawetkan dengan amoniak saja atau formaldehida yang diikuti

dengan amoniak kembali. Tipe 3 merupakan lateks pekat hasil sentrifugal yang

diawetkan dengan amoniak rendah dan pengawet lainnya.

Tabel 2.3 Syarat mutu lateks pekat sumber : ASTM D 1076 (1997)

No Jenis Uji Tipe 1 Tipe 2 Tipe 31 Kadar jumlah padatan min. % 61,5 66 61,52 Kadar karet kering min. % 60,0 60,0 60,0

3 Selisih kadar jumlah padatan dengan kadar karet kering mak. % 2,0 2,0 2,0

4 Total alkalinitas dihitung sebagai amonia (NH3) sebagai % lateks 0,60 min. 0,55 min. 0,29 maks.

5 kadar Sludge maks. % 0,10 0,10 0,106 kadar koagulum maks. % 0,050 0,050 0,0507 Bilangan KOH, maks 0,80 0,80 0,808 Waktu kemantapan mekanik, sekon, min. 650 650 6509 Kadar Tembaga maks. % jumlah padatan 0,0008 0,0008 0,0008

10 Kadar Mangan maks. % jumlah padatan 0,0008 0,0008 0,000811 Warna secara inspeksi visual12 Warna setelah dinetralisasi dengan asam borat

Tidak berwarna biru atau abu-abuTidak berbau busuk

30

Pemeriksaan berat janis lateks di gunakan rumus sebagai berikut: Lateks= (𝐶𝐶−𝐴𝐴)

(𝐵𝐵−𝐴𝐴)−(𝐷𝐷−𝐶𝐶) (2.21)

Sedangkan untuk mencari kadar karet kering menggunakan rumus sebagai berikut:

Kadar Karet Kering = 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝐾𝐾𝐵𝐵𝐵𝐵𝐾𝐾 𝐾𝐾𝐵𝐵𝐵𝐵𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝐿𝐿𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐿𝐿𝐿𝐿

𝑥𝑥 100% (2.22)

Lateks yang digunakan pada penelitian ini adalah lateks pekat. Berikut sifat-sifat

lateks pekat yang disajikan pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Sifat-sifat lateks pekat Property HA 60%

Total Solid Content % by weight (TSC) 61,52 Dry Rubber Content % by weight (DRC) 60,09 NON RUBBER SOLID (%) 1,43 AMMONIA CONTENT (% on total weight) 0,67 PH VALUE 11,13 KOH NUMBER 4,70 Volatile Fatty Acid Number (V.F.A) 0,010 Mechanical Stability time @55%TS., (Sec.) (M.S.T)

480

sumber : CV. Pratama Abadi Chemical (2013)

Data pada tabel 2.4 diatas dapat di lihat di lampiran A.4 Tabel A-23.

2.4.2.3 Efektifitas aspal karet dalam campuran beraspal panas

Besarnya efektifitas penambahan karet ke dalam aspal tergantung dari luas

partikel karet yang distribusi dalam aspal. Campuran sangat efektif jika semua

partikel karet terdistribusi dengan baik di dalam aspal. Faktor lain yang

mempengaruhi efektifitas campuran adalah jenis, jumlah dan ukuran partikel karet,

besarnya temperature dan lamanya pemanasan, interaksi antara karet dan aspal secara

kimiawi, serta jenis aspal. Karet dapat ditambahkan dalam aspal dalam berbagai

bentuk, baik dalam bentuk cair, lembaran karet maupun dengan bubuk karet Selama

pemanasan pada temperature tinggi, sifat karet bisa menurun. Untuk memperkecil

terjadinya penurunan sifat selama percobaan suhu yang di syaratkan adalah150'C-

160'C (Jernando et. al., 1983).

31

1. lnteraksi antara aspal dan karet

Bila karet ditambahkan kedalam aspal, sebagian "fraksi ringan" aspal diserap

ke dalam karet. Jika terdapat kesesuaian antara karet dan aspal, maka akan

menghasilkan penambahan kekentalan dan elastisitas dari aspal.

Perubahan sifat bahan pengikat aspal di atas, akan membuat perkerasan jalan

beraspal lebih tahan terhadap deformasi dan retak. Karet seperti itu juga aspal

dapat teroksidasi terutama pada suhu tinggi. Perubahan ini terjadi pada sifat

kimia dan fisik. Walaupun aspal karet lebih tahan terhadap oksidasi

dibandingkan aspal atau karet saja, aspal karet tetap harus dilindungi dari

proses oksidasi. Dalam praktek ini berarti aspal karet tidak boleh disimpan

lama pada suhu diatas 130'C.

2. Ketahanan terhadap oksidasi

Semua aspal teroksidasi dan mengeras selama pencampuran, penghamparan

dan selama masa pelayanan dimana hal ini tidak diinginkan. Bila penetrasinya

turun tajam dibawah kira-kira 30, maka perkerasan beraspal cenderung dapat

menjadi retak. Tambahan karet ke dalam aspal mengurangi pengaruh-pengaruh

tersebut.

3. Ketahanan terhadap retak

Penambahan karet ke dalam aspal meningkatkan ketahanan terhadap retak.

Lapisan campuran beraspal karet lebih mampu menahan retak refleksi dari pada

campuran beraspal tanpa karet. Dengan semakin tua dan mengeras, maka

campuran beraspal karet dapat menahan pengaruh oksidasi yang lebih baik dari

pada campuran beraspal tanpa karet. Dengan demikian ketahan retak campuran

beraspal karet relative lebih baik.

4. Kekakuan struktur

Karet dapat meningkatkan kekakuan aspal tanpa membuatnya rapuh. Dengan

demikian, campuran beraspal karet memiliki kemampuan penyebaran yang

lebih besar. Jika dua jalan dibangun dengan ketebalan yang sama, perkerasan

aspal karet akan melendut lebih kecil akibat lalu lintas dan akan diperkirakan

berumur lebih lama dari pada menggunakan aspal tanpa karet.

32

Bahan kimia yang umum digunakan untuk pengawetan lateks kebun adalah

larutan amoniak karena harganya cukup murah dan cukup efektif. Dosis

pemberian amoniak dalam lateks kebun harus disesuaikan dengan lamanya

waktu yang dibutuhkan, proses pengolahan di pabrik dan jenis mutu karet yang

diperlukan.

2.5 Aspal

Aspal merupakan material perekat berwarna hitam atau cokelat tua dengan

unsur utama bitumen, pada temperatur ruang berbentuk padat, sampai agak padat

dan bersifat termoplastis. Aspal yang umum digunakan saat ini berasal dari salah satu

hasil proses destilasi minyak bumi. Sebagai salah satu material konstruksi perkerasan

lentur, aspal merupakan salah satu komponen kecil yang umumnya 4-10%

berdasarkan berat atau 5-10% berdasarkan volume.

Aspal yang digunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai

(Sukirman, 1999) :

1. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat serta

antara aspal itu sendiri.

2. Bahan pengisi, mengisi rongga antar butir-butir agregat dan pori-pori yang ada

dari agregat itu sendiri.

2.5.1 Jenis Aspal

2.5.1.1 Berdasarkan Cara Memperolehnya

Berdasarkan cara memperolehnya, aspal dibedakan atas aspal alam, dan aspal

buatan, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Aspal alam

Aspal alam merupakan campuran antara bitumen dengan bahan mineral lainnya

dalam bentuk batuan. Aspal ini dapat dibedakan menjadi:

a. Aspal gunung (rock asphalt), seperti aspal di Pulau Buton.

b. Aspal danau( lake asphalt), seperti di Trinidad.

33

2. Aspal buatan

a. Aspal minyak adalah aspal yang merupakan residu destilasi minyak bumi.

Minyak bumi dapat menghasilkan residu jenis asphaltic base crude oil yang

banyak mengandung aspal, parafin base crude oil yang banyak mengandung

parafin, atau mixed base crude oil yang banyak mengandung campuran

antara parafin dan aspal. Untuk perkerasan jalan umumnya digunakan aspal

minyak jenis asphaltic base crude oil.

b. Tar adalah suatu cairan yang diperoleh dari proses karbonasi (destilasi

destruktif tanpa udara/oksigen) suatu material organik misalnya kayu atau

batu bara.

2.5.1.2 Berdasarkan Bentuknya Pada Temperatur Ruang

Berdasarkan bentuknya pada temperatur ruang, aspal dibedakan atas aspal

padat, aspal cair, dan aspal emulsi dengan penjelasan sebagai berikut.

1. Aspal keras (hard asphalt)

Aspal keras adalah aspal yang berbentuk padat atau semi padat pada suhu ruang

dan menjadi cair jika dipanaskan. Aspal padat dikenal dengan nama semen

aspal (asphalt cement). Di Indonesia aspal semen biasanya dibedakan atas

penetrasinya. Pada daerah panas atau lalu lintas dengan volume tinggi

menggunakan aspal semen dengan penetrasi rendah, sedangkan untuk daerah

dingin atau lalu lintas rendah menggunakan penetrasi tinggi.

2. Aspal cair (cutback asphalt)

Aspal cair yaitu aspal yang berbentuk cair pada suhu ruang. Aspal cair

merupakan semen aspal yang dicairkan dengan bahan pencair dari hasil

penyulingan minyak bumi seperti minyak tanah, bensin, atau solar.

Berdasarkan bahan pencair dan kemudahan menguap bahan pelarutnya, aspal

cair dapat dibedakan menjadi:

a. Rapid Curing Cut Back Asphalt (RC), merupakan aspal semen yang

dilarutkan dengan bensin/premium. Jenis ini paling cepat menguap.

34

b. Medium Curing Cut Back Asphalt (MC), merupakan aspal semen yang

dilarutkan dengan bahan yang lebih kental seperti minyak tanah.

c. Slow Curing Cut Back Asphalt (SC), merupakan aspal semen yang

dilarutkan dengan bahan yang lebih kental seperti solar.

3. Aspal emulsi

Aspal emulsi adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan pengelmusi,

yang dilakukan di pabrik pencampur.

Berdasarkan muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan

menjadi:

a. Aspal kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal emulsi

yang butiran aspalnya bermuatan arus listrik positif.

b. Aspal anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal emulsi

yang butiran aspalnya bermuatan negatif.

c. Aspal non-ionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami ionisasi,

berarti tidak mengantarkan listrik.

Yang umumnya digunakan sebagai bahan perkerasan jalan adalah aspal emulsi

anionik dan kationik.

Berdasarkan kecepatan mengerasnya, aspal emulsi dapat dibedakan menjadi:

a. Rapid Setting (RS), aspal yang mengandung sedikit bahan pengelmulsi

sehingga pengikatan yang terjadi cepat, dan aspal cepat menjadi padat

atau keras kembali.

b. Medium Setting (MS), aspal cair dengan bahan pencair minyak tanah.

c. Slow Setting (SS), jenis aspal emulsi yang paling lambat mengeras.

2.5.2 Sifat Aspal

Aspal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a. Daya tahan (Durability)

Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya

akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan.

35

b. Adhesi dan kohesi

Adhesi yaitu ikatan antara aspal dan agregat pada campuran aspal beton.

Sifat ini dievaluasi dengan menguji sepesimen dengan test stabilitas

Marshall. Kohesi adalah ketahanan aspal untuk tetap mempertahankan

agregat tetap di tempatnya setelah terjadi pengikatan.

c. Kepekaan terhadap temperatur

Aspal adalah bahan yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau

lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak jika temperatur

bertambah.

d. Kekerasan aspal

Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat

sehingga dilapisi aspal atau disiramkan ke permukaan agregat yang telah

disiapkan pada proses pelaburan. Pada proses pelaksanaan, terjadi oksidasi

yang menyebabkan aspal menjadi getas. Peristiwa perapuhan terus

berlangsung selama masa pelaksanaan. jadi, selama masa pelayanan, aspal

mengalami proses oksidasi yang besar yang dipengaruhi oleh ketebalan

aspal yang menyelimuti agregat. Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar

tingkat kerapuhan yang terjadi.

2.5.3 Pemeriksaan Aspal

Sifat-sifat aspal harus selalu diperiksa dan aspal yang memenuhi syarat yang

telah ditetapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pengikat perkerasan lentur.

Pemeriksaan yang dilakukan untuk aspal keras adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Penetrasi Aspal

Pemeriksaan penetrasi aspal bertujuan untuk memeriksa tingkat kekerasan

aspal. Pengujian dilaksanakan pada suhu 25ºC dan kedalaman penetrasi diukur

setelah beban dilepaskan selama 5 detik.

2. Pemeriksaan Titik Lembek (Softening Point Test)

Pemeriksaan titik lembek bertujuan untuk mengetahui kepekaan aspal terhadap

temperatur. Suhu pada saat aspal mulai menjadi lunak tidaklah sama pada

36

setiap hasil produksi aspal walaupun mempunyai nilaipenetrasi yang sama.Titik

lembek adalah suhu rata-rata (dengan beda suhu ≤ 1º C) pada saat bola baja

menembus aspal karena leleh dan menyentuh plat dibawahnya (sejarak 1 inch =

25,4mm). Pengujian dilaksanakan denga alat ‘Ring and Ball Apparatus’.

Manfaat dari pengujian titik lembek ini adalah digunakan untuk menentukan

temperatur kelelehan dari aspal.

3. Pemeriksaan Titik Nyala dan Titik Bakar

Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar bertujuan untuk menentukan suhu pada

aspal terlihat nyala singkat di permukaan aspal (titik nyala) dan suhu pada saat

terlihat nyala sekurang-kurangnya 5 detik. Titik nyala dan bakar perlu diketahui

untuk memperkirakan temperatur maksimum pemanasan aspal sehingga aspal

tidak terbakar.

4. Pemeriksaan Kehilangan Berat Aspal

Pemeriksaan dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengurangan berat akibat

penguapan bahan-bahan yang mudah menguap dalam aspal. Penurunan berat

menunjukkan adanya komponen aspal yang menguap yang dapat berakibat

aspal mengalami pengerasan yang eksesif/berlebihan sehingga menjadi getas

(rapuh) bila pengurangan berat melebihi syarat maksimalnya. Pengujian ini

dilanjutkan dengan pengujian nilai penetrasi aspal, untuk mengetahui

peningkatan kekerasannya (dalam % penetrasi semula). Rumus perhitungan

kehilangan berat aspal menurut SNI 06-2440-1991 adalah sebagai berikut:

Penurunan Berat = A−BA

x100% ...................................................... (2.23)

Keterangan:

A = berat benda uji semula

B = berat benda uji setelah pemanasan

5. Pemeriksaan Daktilitas Aspal

Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mengetahui sifat kohesi dalam aspal itu

sendiri yaitu dengan mengukur jarak terpanjang yang dapat ditarik antara dua

cetakan yang berisi aspal keras sebelum putus, pada suhu 25ºC dan kecepatan

37

tarik 5 cm/menit. Aspal dengan daktilitas yang lebih besar mengikat butir-butir

agregat yang lebih baik tetapi lebih peka terhadap perubahan temperatur.

6. Pemeriksaan Berat Jenis Aspal

Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dan berat air suling

dengan isi yang sama pada suhu tertentu, 25oC. Data berat jenis aspal

dipergunakan untuk perhitungan dalam perencanaan dan evaluasi sifat

campuran aspal beton (perhitungan SGmix dan porositas). Berat jenis aspal

dihitung dengan rumus menurut SNI 2441:2011 sebagai berikut:

𝛿𝛿 = (𝐶𝐶−𝐴𝐴)(𝐵𝐵−𝐴𝐴)−(𝐷𝐷−𝐶𝐶)

.......................................................................... . (2.24)

Keterangan :

δ = berat jenis aspal

A = berat piknometer (dengan penutup) (gram)

B = berat piknometer berisi air (gram)

C = berat piknometer berisi aspal (gram)

D = berat piknometer berisi aspal dan air (gram)

2.5.4 Karakteristik Aspal Keras

Aspal keras dibedakan atas tingkat penetrasinya (ukuran kekentalan aspal

keras), misalnya AC 60/70, AC 80/100, AC 200, AC 300. Dalam hal ini disajikan

beberapa persyaratan aspal keras, antara lain: aspal keras penetrasi 60/70 seperti

yang disyaratkan pada Tabel 2.5

38

1 Penetrasi pada 25°C (0,01 mm) SNI 06-2456-1991 60-702 Viskositas Dinamis 60°C (Pa.s) SNI 06-6441-2000 160-2403 Viskositas Kinematis 135°C (cSt) SNI 06-6441-2000 ≥3004 Titik lembek (°C) SNI 2434-2011 ≥485 Daktilitas pada 25°C, (cm) SNI 2432-2011 ≥1006 Titik nyala (°C) SNI 2433-2011 ≥2327 Kelarutan dalam trichloroethylene (%) AASHTO T44-03 ≥998 Berat jenis SNI 2441:2011 ≥1,0

9 Stabilitas Penyimpanan: Perbedaan Titik Lembek (°C) ASTM D 5976 part 6.1 -

10 Partikel yang lebih halus dari 150 micron (µm) (°C)

11 Berat yang hilang (%) SNI 06-2441-1991 ≤0,812 Viskositas Dinamis 60°C (Pa.s) SNI 03-2441-1991 ≤80013 Penetrasi pada 25°C (%) SNI 06-2456-1991 ≥5414 Daktilitas pada 25°C (cm) SNI 2432-2011 ≥10015 Keelastisan setelah pengembalian (%) AASHTO T301-98 -

No. Jenis Pengujian

Pengujian Residu Hasil TFOT (SNI-06-2440-1991) atau RTFOT (SNI-03-6835-2002)

Metode Pengujian Aspal Pen. 60-70

Tabel 2.5 Persyaratan Aspal Keras Penetrasi 60/70

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Revisi 3

Catatan :

1. Hasil pengujian adalah untuk bahan pengikat (bitumen) yang diektraksi dengan menggunakan

metode SNI 2490:2008. Kecuali untuk pengujian kelarutan dan gradasi mineral dilaksanakan

pada seluruh bahan pengikat termasuk kadar mineralnya.

2. Untuk pengujian residu aspal Tipe II dapat mengajukan metode pengujian alternatif untuk

viskositas bilamana sifat-sifat elastometrik atau lainnya didapati berpengaruh terhadap akurasi

pengujian penetrasi atau standar lainnya.

3. Viscositas diuji juga pada temperatur 100oC dan 160 oC untuk tipe I, untuk tipe II pada

temperatur 100oC dan 170 oC.

4. Jika untuk pengujian viskositas tidak dilakukan sesuai dengan AASHTO T201-03 maka hasil

pengujian harus dikonversikan ke satuan cSt.

5. Contoh bahan aspal harus diekstraksi dari benda uji sesuai dengan caa SNI 03-3640-1994

(metode soklet) atau SNI 03-6894-2002 (metode sentrifus) atau AASHTO T 164-06 (metode

tungku pengapian). Jika metode sentrifus digunakan, setelah konsentrasi larutan aspal yang

terekstraksi mencapai 200 mm, partikel mineral yang terkandung harus dipindahkan ke dalam

suatu alat sentrifugal. Pemindahan ini dianggap memenuhi bilamana kadar abu dalam bahan

aspal yang diperoleh kembali tidak melebihi 1% (dengan pengapian). Jika bahan aspal

39

diperlukan untuk pengujian lebih lanjut maka bahan itu harus diperoleh kembali dari larutan

sesuai dengan prosedur SNI 03-6894-2002.

6. Aspal Tipe I dan Tipe II harus diuji pada setiap kedatangan dan sebelum dituangkan ke tangki

penyimpanan AMP untuk penetrasi pada 25oC (SNI 06-2456-1991) Tipe II juga harus diuji

untuk stabilitas penyimpanan sesuai dengan ASTM D5976 part 6.1 dan dapat ditempatkan

dalam tangki sementara sampai hasil pengujian tersebut diketahui. Tidak ada aspal yang boleh

digunakan sampai aspal tersebut telah diuji dan disetujui.

2.6 Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC)

Asphalt Concrete (AC) disebut juga dengan nama Laston (Lapisan Aspal

Beton) adalah beton aspal yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat

bergradasi menerus, dicampur, dihampar, dan dipadatkan pada suhu tertentu yang

umumnya digunakan untuk jalan-jalan dengan beban lalu lintas berat.

Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC)/ Lapis Aus Aspal Beton dapat

berfungsi sebagai pendukung beban lalu lintas, sebagai lapis kedap air sekaligus

sebagai pelindung konstruksi dibawahnya, sebagai lapisan aus, dan berfungsi

menyediakan permukaan jalan yang rata dan tidak licin. Penggunaan AC-WC yaitu

untuk lapis permukaan (paling atas) dalam perkerasan dan mempunyai tekstur yang

paling halus dibandingkan dengan jenis laston lainnya. Pada campuran laston yang

bergradasi menerus tersebut mempunyai sedikit rongga dalam struktur agregatnya

dibandingkan dengan campuran bergradasi senjang. Hal tersebut menyebabkan

campuran AC-WC lebih peka terhadap variasi dalam proporsi campuran.

2.6.1 Syarat Teknis Agregat Pada Campuran Laston (AC-WC)

Adapun persyaratan agregat yang diisyaratkan untuk campuran aspal beton

Laston adalah sebagai berikut:

1. Agregat kasar

Adalah agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan No.4 (4,75 mm).

Agregat yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

40

Standar Nilai

Maks. 12%Maks. 18%

100 putaran Maks. 6%500 putaran Maks. 30%

100 putaran Maks. 8%

500 putaran Maks. 40%

SNI 2439 : 2011 Min. 95%SNI 7619:2012 95/901

ASTM D4791 perbandingan 1 : 5 Maks. 10%

SNI 03-4142-1996 Maks. 2%

Kelekatan agregat terhadap aspalButir Pecah pada agregat kasar

Partikel Pipih dan Lonjong

Material lolos Ayakan No. 200

SNI 3407 : 2008

SNI 2417 : 2008

Pengujian

natrium sulfatmagnesium sulfat

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan

Abrasi dengan mesin Los Angeles

Campuran AC Modifikasi

Semua jenis campuran aspal bergradasi lainnya

- Mempunyai angularitas sesuai syarat. Angularitas agregat kasar

didefinisikan sebagai persen terhadap berat, jumlah agregat yang lebih

besar dari 4,75 mm dengan muka bidang pecah satu atau lebih.

Tabel 2.6 Ketentuan Agregat Kasar

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Revisi 3

Catatan:

- 1 95/90 menunjukkan bahwa 95% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih.

2. Agregat halus

Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan No.4 (4,75mm) dan tertahan

pada saringan No.200 (0,075 mm).

Agregat yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

- Agregat halus harus terdiri dari pasir alam atau pasir buatan atau pasir

terak atau gabungan dari bahan-bahan tersebut yang keadaannya bersih,

kering, kuat, bebas dari gumpalan-gumpalan lempung dan bahan-bahan

lain yang mengganggu.

- Mempunyai angularitas sesuai syarat. Angularitas agregat halus

didefinisikan sebagai persen rongga udara pada agregat lolos ayakan No.4

(4,75mm) yang dipadatkan dengan berat sendiri

41

Pengujian Standar NilaiNilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min. 60%Angularitas dengan Uji Kadar Rongga SNI 03-6877-2002 Min. 45Gumpalan Lempung dan Butir-butir Mudah Pecah dalam Agregat SNI 03-4141-1996 Maks. 1%

Agregat Lolos Ayakan No.200 SNI ASTM C117:2012 Maks. 10%

- Pasir alam dapat digunakan dalam campuran AC sampai suatu batas yang

tidak melampaui 15% terhadap berat total campuran.

Tabel 2.7 Ketentuan Agregat Halus

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Revisi 3

3. Bahan pengisi (filler)

Bahan pengisi atau filler adalah bagian dari agregat halus yang minimum 85 %

lolos saringan No.200 (0.075 mm).

- Bahan pengisi yang ditambahkan (pada agregat hasil pemecahan yang

mengandung filler), bisa terdiri atas debu batu kapur (limestone dust),

kapur padam (hydrated lime), semen atau abu terbang yang sumbernya

disetujui.

- Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan-

gumpalan dan bila diuji dengan pengayakan sesuai SNI 03-1968-1990

harus mengandung bahan yang lolos ayakan No.200 (75 micron) tidak

kurang dari 75 % terhadap beratnya.

- Bilamana kapur tidak terhidrasi atau terhidrasi sebagian, digunakan

sebagai bahan pengisi yang ditambahkan maka proporsi maksimum yang

diijinkan adalah 1,0% dari berat total campuran beraspal. Kapur yang

seluruhnya terhidrasi yang dihasilkan dari pabrik yang disetujui, dapat

digunakan maksimum 2% terhadap berat total agregat.

2.6.2 Syarat Gradasi Agregat Dalam Campuran Laston (AC-WC)

Adapun persyaratan gradasi agregat dalam campuran aspal Laston (AC)

seperti pada Tabel 2.8

42

Tabel 2.8 Persyaratan Gradasi Agregat Campuran Laston (AC)

Ukuran Saringan (mm)

% Berat Yang Lolos terhadap Total Agregat dalam Campuran

Laston (AC) AC-WC AC-BC AC-Base

37.5 100 25 100 90-100 19 100 90-100 76-90 12.5 90-100 75-90 60-78 9.5 77-90 66-82 52-71 4.75 53-69 46-64 35-54 2.36 33-53 30-49 23-41 1.18 21-40 18-38 13-30 0.6 14-30 12-28 10-22 0.3 9-22 7-20 6-15 0.15 6-15 5-13 4-10 0.075 4-9 4-8 3-7

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Revisi 3

2.6.3 Persyaratan Campuran

Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, maka campuran harus dirancang

sampai memenuhi semua ketentuan yang diberikan dalam spesifikasi.

Komposisi rencana campuran Laston berada dalam batas-batas rencana yang

diberikan pada Tabel 2.9

43

Jumlah tumbukan per bidangMin.

Maks.Min.

Maks.Rongga dalam agregat (VMA) (%) Min.Rongga terisi aspal (%) Min.Stabilitas Marshall (kg) Min.

Min.Maks.

Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60 °C (3) Min.

Rongga dalam campuran (%) pada Kepadatan membal (refusal)(4) Min. 2

Rasio partikel lolos ayakan 0,075 mm dengan kadar aspal efektif 1,4

Pelelehan (mm)

PondasiLapis Aus Lapis Antara

4 6(1)

90

800 1800(1)

2 3

15 14 1365 65 65

1,075 112(1)

Rongga dalam campuran (%) (2) 3,05,0

Sifat-sifat CampuranLaston

Tabel 2.9 Ketentuan Sifat-sifat Campuran Laston (AC)

Sumber: Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, (2010) Revisi 3

2.7 Perencanaan Campuran Aspal Panas

Perencanaan suatu campuran aspal panas (Hot Mix) dilaksanakan dengan

mengacu kepada spesifikasi yang ditentukan. Secara umum dilaksanakan dengan

tahapan sebagai berikut.

2.7.1 Pengujian Material

Sebelum merencanakan campuran aspal, terlebih dahulu harus melaksanakan

pengujian material : agregat kasar, agregat halus, filler dan aspal. Sifat-sifat material

harus memenuhi spesifikasi yang ditentukan.

2.7.2 Penentuan Gradasi Agregat

Gradasi masing-masing jenis agregat (kasar, halus dan filler) mungkin saja

ditentukan dalam spesifikasi suatu jenis campuran aspal panas. Demikian pula

gradasi agregat gabungannya. Gradasi agregat gabungan bisa diperoleh dengan

mencampur (blending) agregat kasar, halus dan filler. Teknik mencampur (blending)

agregat dapat dilaksanakan secara analitis maupun secara grafis.

44

Perencanaan gradasi agregat untuk campuran aspal di laboratorium, bisa

dilaksanakan tanpa memblending agregat, yaitu berdasarkan gradasi ideal (batas

tengah) spesifikasi gradasi agregat gabungan yang ditentukan. Masing-masing ukuran

butir agregat diperoleh dengan mengayak agregat sesuai ukuran saringan yang

ditentukan. Kemudian proporsi agregat dicari berdasarkan komulatif persentase lolos

gradasi ideal.

Selain itu, gradasi dapat juga ditentukan dengan menggunakan rumus

modifikasi Kurva Fuller (Cooper et al, 1985):

P= nn

nn

DdF

075,0)075,0)(100(

−−−

+F (2.25)

Keterangan:

P = % material lolos ayakan d (mm)

D = diameter agregat maksimum (mm)

F = % filler

n = nilai eksponensial yang mempengaruhi kecekungan garis gradasi

Nilai n =0,45 banyak dipilih untuk memberikan agregat interlock optimal

(Thanaya and Zoorob, 2002)

2.7.3 Penentuan Proporsi Agregat

Pengelompokkan agregat dalam penelitian ini sebagai agregat kasar (tertahan

ayakan No. 4 = 4,75 mm) diperoleh dari hasil pengayakan. Untuk agregat halus (lolos

ayakan No. 4 = 4,75 mm dan tertahan ayakan No. 200 = 0,075 mm) dapat langsung

menggunakan pasir halus. Sedangkan filler adalah material non-plastis yang lolos

ayakan No. 200 = 0,075 mm minimal 85%. Filler dapat berupa debu batu atau semen

portland.

Dalam hal ini metode memproporsikan agregat yang dipakai adalah tanpa

blending, tetapi diproporsikan berdasarkan titik tengah spesifikasi agregat campuran.

45

2.7.4 Estimasi Kadar Aspal Awal

Setelah proporsi masing-masing agregat diketahui, maka dilakukan

perhitungan kadar aspal optimum perkiraan. Adapun perhitungannya menurut

(Depkimpraswil, 2004) sebagai berikut:

Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + konstanta (2.26)

Keterangan:

P b = % kadar aspal awal terhadap berat total campuran

%CA = % agregat kasar (coarse aggregate) terhadap berat total agregat

%FA = % agregat halus (fine aggregate) terhadap berat total agregat

%FF = % filler terhadap berat total agregat

K = Nilai konstanta kira-kira 0,5 sampai 1,0 untuk Laston dan 2,0 sampai

3,0 untuk Lataston. Untuk jenis campuran lain digunakan nilai 1,0

sampai 2,5.

2.7.5 Penentuan Prosentase Material Terhadap Berat Total Campuran

Prosentase proporsi agregat dihitung berdasarkan berat total agregat. Karena

dalam campuran terdapat kandungan aspal, maka perlu dihitung prosentase material

terhadap berat total campuran. Untuk membuat sebuah sampel umumnya diperlukan

sekitar 1100 gram agregat yang proporsinya sesuai dengan ukuran butir agregat.

Prosentase terhadap berat total campuran akan berubah sesuai dengan variasi

prosentase kadar aspal.

2.7.6 Perhitungan Jumlah Material Yang Dibutuhkan

Proporsi agregat kasar disesuaikan dengan prosentase ukuran butirnya yang

sudah dipersiapkan (di ayak) terlebih dahulu. Untuk agregat halus sudah bisa

langsung menggunakan pasir halus lolos 4,75 mm (ayakan No. 4) dan tertahan 0,075

mm (ayakan No. 200).

46

2.7.7 Pemanasan Material dan Mould

Agregat yang sudah diproporsikan, ditempatkan dalam wadah dari metal

(misalnya waskom aluminium). Demikian juga aspal ditempatkan dalam kaleng

dengan ukuran yang cukup. Kemudian dipanaskan (sebaiknya) dalam oven.

Ketentuan temperatur aspal untuk pemanasan, pencampuran dan pemadatan

didasarkan atas rentang temperatur pada saat viskositas aspal akan memberikan hasil

yang optimal. Hal ini didasarkan atas hasil studi dan data-data yang sudah ada.

Sebagai pedoman umum, suhu pemanasan untuk material campuran laston

dilaksanakan sebagai berikut:

- Temperatur pemanasan agregat maksimum : 175 ºC

- Temperatur pemanasan aspal ≤ temperatur pemanasan agregat dengan

perbedaan maksimal 15ºC, yang umumnya berkisar sebagai berikut:

Temperatur pemanasan aspal penetrasi 60/70 : 130 – 165 ºC

Temperatur pemanasan aspal penetrasi 80/100 : 124 – 162 ºC

- Temperatur pemadatan di lab : 110 – 135ºC

- Pada pelaksanaan di lapangan temperatur penghamparan: ≥ 124ºC

- Temperatur pemadatan awal di lapangan minimum : 120ºC

- Temperatur pemadatan akhir di lapangan minimum : 60ºC (masih diatas titik

lembek aspal).

Atau dapat menggunakan pedoman lainnya dalam menentukan suhu pemanasan

untuk material campuran khususnya yang menggunakan aspal penetrasi 60/70, seperti

pada Tabel 2.10.

47

Tabel 2.10 Suhu Pemanasan untuk Material Campuran

No. Prosedur Pelaksanaan Viskositas Aspal

Suhu Campuran (°C) Pen 60/70

1 Pencampuran Benda Uji 0,2 155±1 Marshall

2 Pemadatan Benda Uji 0,4 140±1 Marshall

3 Suhu Pencampuran Tidak Diperlukan <165 Maksimum di AMP

4 Pencampuran, rentang 0,2-0,5 145-155 temperatur sasaran

5 Menuangkan Campuran 0,5-1,0 135-150 dari AMP ke Dalam Truk

6 Pasokan ke Alat Penghampar 0,5-1,0 130-150 (paver) 7 Penggilasan Awal (Roda Baja) 1-2 125-145 8 Penggilasan Kedua (Roda Karet) 2-20 100-125 9 Penggilasan Akhir (Roda Baja) <20 >95

Sumber: Depkimpraswil (2002)

Mould (cetakan sampel) dengan diameter 4 inch (101,6 mm) dan tinggi 3 inch

(75 mm) dilengkapi colar mould ( mould tambahan), dan alat pencampur (mixer)

atau sendok pengaduk metal, dan batang besi perojok/ penusuk juga perlu dipanaskan

(dapat dipanaskan pada temperatur sama dengan temperatur pemanasan aspal).

2.7.8 Jumlah Sampel dan Pemanasan

Untuk setiap variasi kadar aspal, idealnya dibuat minimal 3 sampel, kemudian

karakteristik campuran diambil dari nilai rata-rata. Bila pencampuran dilaksanakan

secara manual, agregat ditempatkan dalam waskom metal dan diaduk rata sebelum

dipanaskan. Setelah panas (2-3 jam dalam oven) kemudian dituangi aspal sejumlah

yang diperlukan, lalu diaduk dengan sendok metal serata mungkin.

Untuk mengurangi kehilangan temperatur, yang bisa berakibat agregat tidak

terselimuti aspal dengan merata maka material campuran dipanaskan lagi beberapa

saat (2-5 menit), kemudian diaduk kembali sampai rata.

48

2.7.9 Pemadatan Sampel

Sebaiknya semua peralatan dipanaskan untuk mempertahankan temperatur

dan kemudahan pelaksanaan (workability). Pemadatan dilakukan sesuai dengan

jumlah tumbukan sebagai berikut:

a) Untuk pemadatan sedang (Latasir): 2 x 50 tumbukan

b) Untuk pemadatan berat (Laston dan Lataston): 2 x 75 tumbukan

c) Berat alat tumbuk : 4,5 kg

d) Tinggi jatuh : 18” = 45,7 cm

2.7.10 Pengukuran Volumetrik Sampel

Campuran beraspal panas pada dasarnya terdiri dari aspal dan agregat.

Proporsi masing-masing bahan harus dirancang sedemikian rupa agar dihasilkan

aspal beton yang dapat melayani lalu lintas dan tahan terhadap pengaruh lingkungan

selama masa pelayanan. Ini berarti campuran beraspal harus:

1. Mengandung cukup kadar aspal agar awet.

2. Mempunyai stabilitas yang memadai untuk menahan beban lalu lintas.

3. Mengandung cukup rongga udara (VIM) agar tersedia ruangan yang cukup

untuk menampung ekspansi aspal akibat pemadatan lanjutan oleh lalu lintas dan

kenaikan temperatur udara tanpa mengalami bleeding atau deformasi plastis.

4. Rongga udara yang ada harus juga dibatasi untuk membatasi permeabilitas

campuran.

5. Mudah dilaksanakan sehingga campuran beraspal dapat dengan mudah

dihampar dan dipadatkan sesuai dengan rencana dan memenuhi spesifikasi.

Dalam Pedoman Teknik No. 028/T/BM/1999, kinerja campuran beraspal ditentukan

oleh volumetrik campuran (padat) yang terdiri atas:

a. Berat Jenis Bulk Agregat

Karena agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat halus dan

bahan pengisi (filler) yang masing-masing mempunyai berat Jenis yang

berbeda maka berat jenis bulk (Gsb) agregat total dapat dihitung sebagai

berikut:

49

Gsb =P1 + P2+ … + Pn

P1G1

+ P2G2

+ ⋯+ PnGn

(2.27)

Keterangan:

𝐺𝐺𝐿𝐿𝑠𝑠 = Berat jenis bulk total agregat

𝑃𝑃1,𝑃𝑃2,𝑃𝑃3 = Presentase masing-masing fraksi agregat

𝐺𝐺1,𝐺𝐺2,𝐺𝐺3= Berat jenis bulk masing-masing fraksi agregat

Berat jenis bulk bahan pengisi sulit ditentukan dengan teliti. Namun demikian,

jika berat jenis nyata (apparent) bahan pengisi dimasukkan, maka

penyimpangan yang timbul dapat diabaikan.

b. Berat Jenis Efektif Agregat

Berat Jenis efektif campuran (Gse), rongga dalam partikel agregat yang

menyerap aspal, dapat ditentukan dengan rumus:

Gse =P1 + P2 + ⋯+ Pn

P1Gse 1

+ P2Gse 2

+ ⋯+ PnGsen

(2.28)

Keterangan:

Gse = Berat jenis efektif agregat

P1, P2, P3, = Presentase masing-masing fraksi agregat

Gse1, Gse2, Gse3, = Berat jenis efektif masing-masing fraksi agregat

c. Berat Jenis Maksimum Campuran

Berat jenis maksimum campuran, Gmm pada masing-masing kadar aspal

diperlukan untuk menghitung kadar rongga masing-masing kadar aspal.

Ketelitian hasil uji terbaik adalah bila kadar aspal campuran mendekati kadar

aspal optimum. Sebaiknya pengujian berat Jenis maksimum dilakukan dengan

benda uji sebanyak minimum dua buah (duplikat) atau tiga buah (triplikat).

Selanjutnya Berat Jenis Maksimum (Gmm) campuran untuk masing-masing

kadar aspal dapat dihitung menggunakan berat jenis efektif (Gse) rata-rata

sebagai berikut:

Gmm =Pmm

PsGse

+ PbGb

(2.29)

50

Keterangan:

Gmm = Berat Jenis Maksimum Campuran, Rongga Udara nol

Pmm = Persen berat total campuran (= 100)

Ps = Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran

Pb = Kadar aspal, persen terhadap berat total campuran

Gse = Berat jenis efektif agregat

Gb = Berat jenis aspal

d. Penyerapan Aspal

Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total, tidak

terhadap berat campuran. Perhitungan penyerapan aspal (Pba) adalah sebagai

berikut:

Pba = 100Gse − Gsb

Gsb .GseGb (2.30)

Keterangan:

Pba = Penyerapan aspal, persen total agregat

Gsb = Berat jenis bulk agregat

Gse = Berat jenis efektif agregat

Gb = Berat jenis aspal

e. Kadar Aspal Efektif

Kadar aspal efektif (Pbe) Campuran beraspal adalah kadar aspal total

dikurangi jumlah aspal yang terserap oleh partikel agregat. Kadar aspal efektif

ini akan menyelimuti permukaan agregat bagian luar yang pada akhirnya akan

menentukan kinerja perkerasan beraspal. Rumus kadar aspal efektif adalah:

Pbe = Pb −Pba

100Ps (2.31)

Keterangan:

Pbe = Kadar aspal efektif, persen total campuran

Pb = Kadar aspal, persen total campuran.

Pba = Penyerapan aspal, persen total agregat

Ps = Kadar agregat, persen total campuran.

51

f. Rongga di antara Mineral Agregat (VMA)

VMA (Voids in Mineral aggregate) adalah ruang di antara partikel agregat

pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan volume aspal

efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). VMA dihitung

berdasarkan Berat Jenis Bulk (Gsb) agregat dan dinyatakan sebagai persen

volume Bulk campuran yang dipadatkan. VMA dapat dihitung pula terhadap

berat campuran total atau terhadap berat agregat total (Lihat Rumus 2.13).

Perhitungan VMA terhadap campuran total adalah dengan rumus berikut:

1. Terhadap Berat Campuran Total

VMA = 100 −Gmb xPs

Gsb (2.32)

Keterangan:

VMA = Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk

Gsb = Berat jenis bulk agregat

Gmb = Berat jenis bulk campuran padat

Ps = Kadar agregat, persen total campuran

2. Terhadap Berat Agregat Total

VMA = 100 −Gmb

Gsbx

100(100 + Pb)

100 (2.33)

Keterangan:

VMA = Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk

Gsb = Berat jenis bulk agregat

Gmb = Berat jenis bulk campuran padat

Pb = Kadar aspal, persen total campuran

g. Rongga di Dalam Campuran (VIM)

VIM (Voids In Mix) dalam campuran perkerasan beraspal terdiri atas ruang

udara di antara partikel agregat yang terselimuti aspal. Volume rongga udara

dalam persen dapat ditentukan dengan rumus berikut:

𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉𝑉 = 100𝑥𝑥𝐺𝐺𝑚𝑚𝑚𝑚 − 𝐺𝐺𝑚𝑚𝑠𝑠

𝐺𝐺𝑚𝑚𝑚𝑚 (2.34)

52

Keterangan:

VIM = Ronga udara campuran, persen total campuran

Gmb = Berat jenis bulk campuran padat

Gmm = Berat Jenis Maksimum Campuran

h. Rongga Terisi Aspal (VFB)

VFB ( Voids Filled with Bitumen) adalah persen rongga yang terdapat di

antara partikel agregat (VMA) yang terisi oleh aspal, tidak termasuk aspal

yang diserap oleh agregat. Rumus VFB adalah sebagai berikut:

VFB =100( VMA − VIM )

VMA (2.35)

Keterangan:

VFB = Rongga Terisi Aspal, persen VMA

VMA = Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk.

VIM = Rongga di dalam campuran, persen total campuran

i. Gambaran Volumetrik Campuran Beraspal

Gambaran volumetrik campuran beraspal seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2.8

Gambar 2.8 Volumetrik Campuran Beraspal

Sumber: Depkimpraswil (2004)

53

Keterangan:

VFB = volume rongga terisi aspal

Vba = volume aspal yang diserap agregat

VMA = volume rongga diantara agregat

Vsb = volume agregat (bulk)

Vb = volume aspal

Vbe = volume aspal efektif = Vb-Vba

Vse = volume agregat (efektif)

VIM = volume rongga dalam campuran

Vmm = volume campuran tanpa rongga

Vmb = volume bulk campuran padat

2.7.11 Test Stabilitas Marshall dan Flow

Kinerja campuran aspal dapat diperiksa dengan menggunakan alat pemeriksa

Marshall. Pemeriksaan Marshall mengikuti prosedur RSNI M-01-2003. Pemeriksaan

ini dimaksudkan untuk menentukan ketahanan (stabilitas) yang optimum dikaitkan

dengan kategori lalu lintas (lalu lintas ringan, lalu lintas sedang, lalu lintas berat)

terhadap kelelehan plastis (flow) dari campuran aspal dan agregat. Kelelehan plastis

adalah keadaan perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban

sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam mm atau 0,01 inch.

Alat Marshall merupakan alat tekan yang berbentuk silinder berdiameter 4 inci

(10,2 cm) dan tinggi 2,5 inci (6,35 cm) serta dilengkapi dengan proving ring (cincin

penguji) yang berkapasitas 22,2 KN dan flow meter. Proving ring dilengkapi dengan

arloji pengukur yang berguna untuk mengukur nilai stabilitas campuran. Pembacaan

arloji tekan ini dikalikan dengan hasil kalibrasi cincin penguji serta angka korelasi

beban pada Tabel 2.11. Disamping itu terdapat arloji kelelehan (flow meter) untuk

mengukur kelelehan plastis (flow). Selanjutnya dari perhitungan diperoleh Rongga

Diantara Agregat (VMA), Rongga Dalam Campuran Beraspal (VIM), Rongga terisi

aspal (VFB), dan Marshall Quetient (MQ).

54

Tabel 2.11 Konversi pembacaan dial gauge stabilitas ke kN untuk alat uji tekan

Marshall model H-4454.100

Sumber: Humboldt (2010)

KN DEFL KN DEFL KN DEFL KN DEFL KN DEFL0.000 1.5 4.445 263.5 15.557 926.5 26.669 1600.5 37.781 2285.70.089 6.7 4.667 276.7 15.779 939.8 26.892 1614.1 38.004 2299.50.178 11.9 4.889 289.8 16.002 953.2 27.114 1627.7 38.226 2313.30.267 17.2 5.112 303.0 16.224 966.6 27.336 1641.3 38.448 2327.10.356 22.4 5.334 316.2 16.446 980.0 27.558 1654.9 38.670 2341.00.444 27.6 5.556 329.3 16.668 993.4 27.781 1668.5 38.893 2354.80.533 32.8 5.778 342.5 16.891 1006.8 28.003 1682.1 39.115 2368.60.622 38.1 6.001 355.7 17.113 1020.2 28.225 1695.8 39.337 2382.50.711 43.3 6.223 368.9 17.335 1033.6 28.447 1709.4 39.559 2396.30.800 48.5 6.445 382.1 17.557 1047.0 28.669 1723.0 39.782 2410.20.889 53.8 6.667 395.2 17.780 1060.4 28.892 1736.7 40.004 2424.00.978 59.0 6.890 408.4 18.002 1073.8 29.114 1750.3 40.226 2437.91.067 64.2 7.112 421.6 18.224 1087.2 29.336 1763.9 40.448 2451.81.156 69.5 7.334 434.8 18.446 1100.7 29.558 1777.6 40.671 2465.61.245 74.7 7.556 448.0 18.669 1114.1 29.781 1791.2 40.893 2479.51.333 79.9 7.779 461.3 18.891 1127.5 30.003 1804.9 41.115 2493.41.422 85.2 8.001 474.5 19.113 1141.0 30.225 1818.6 41.337 2507.31.511 90.4 8.223 487.7 19.335 1154.4 30.447 1832.2 41.560 2521.21.600 95.6 8.445 500.9 19.557 1167.8 30.670 1845.9 41.782 2535.11.689 100.9 8.668 514.1 19.780 1181.3 30.892 1859.6 42.004 2548.91.778 106.1 8.890 527.4 20.002 1194.8 31.114 1873.2 42.226 2562.91.867 111.3 9.112 540.6 20.224 1208.2 31.336 1886.9 42.449 2576.81.956 116.6 9.334 553.9 20.446 1221.7 31.559 1900.6 42.671 2590.72.045 121.8 9.556 567.1 20.669 1235.2 31.781 1914.3 42.893 2604.62.134 127.1 9.779 580.4 20.891 1248.6 32.003 1928.0 43.115 2618.52.222 132.2 10.001 593.6 21.113 1262.1 32.225 1941.7 43.338 2632.42.311 137.5 10.223 606.9 21.335 1275.6 32.448 1955.4 43.560 2646.42.400 142.8 10.445 620.1 21.558 1289.1 32.670 1969.1 43.782 2660.32.489 148.0 10.668 633.4 21.780 1302.6 32.892 1982.8 44.004 2674.22.578 153.3 10.890 646.7 22.002 1316.1 33.114 1996.6 44.227 2688.22.667 158.5 11.112 660.0 22.224 1329.6 33.337 2010.3 44.449 2702.12.756 163.8 11.334 673.2 22.447 1343.1 33.559 2024.0 44.671 2716.12.845 169.0 11.557 686.5 22.669 1356.6 33.781 2037.7 44.893 2730.02.934 174.2 11.779 699.8 22.891 1370.1 34.003 1051.5 45.116 2744.03.023 179.5 12.001 713.1 23.113 1383.6 34.226 1065.2 45.338 2757.93.111 184.7 12.223 726.4 23.336 1397.1 34.448 2079.0 45.560 2771.93.200 190.0 12.446 739.7 23.558 1410.7 34.670 2092.7 45.782 2785.93.289 195.2 12.668 753.0 23.780 1424.2 34.892 2106.5 46.005 2799.83.378 200.5 12.890 766.4 24.002 1437.7 35.115 2120.2 46.227 2813.83.467 205.7 13.112 779.7 24.225 1451.3 35.337 2134.0 46.449 2827.83.556 211.0 13.335 793.0 24.447 1464.8 35.559 2147.8 46.671 2841.83.645 216.2 13.557 806.3 24.669 1478.4 35.781 2161.5 46.894 2855.83.734 221.5 13.779 819.7 24.891 1491.9 36.004 2175.3 47.116 2869.83.823 226.7 14.001 833.0 25.114 1505.5 36.226 2189.1 47.338 2883.83.911 232.0 14.224 846.3 25.336 1519.0 36.448 2202.9 47.560 2897.84.000 237.3 14.446 859.7 25.558 1532.6 36.670 2216.7 47.782 2911.84.089 242.5 14.668 873.0 25.780 1546.2 36.893 2230.5 48.005 2925.84.178 247.8 14.890 886.4 26.003 1559.8 37.115 2244.3 48.227 2939.94.267 253.0 15.113 899.7 26.225 1573.3 37.337 2258.1 48.449 2953.94.356 258.3 15.335 913.1 26.447 1586.9 37.559 2271.9 48.671 2967.9

55

Tabel 2.12 Rasio Kolerasi Stabilitas Marshall

Isi benda uji (cm²)

Tebal Benda Uji (mm) Angka Koreksi

200–213 25,4 5,56 214-225 27,0 5,00 226-237 28,6 4,55 238-250 30,2 4,17 251-264 31,8 3,85 265-276 33,3 3,57 277-289 34,9 3,33 290-301 35,5 3,03 302-316 38,1 2,78 317-328 39,7 2,50 329-340 41,3 2,27 341-353 42,9 2,08 354-367 44,4 1,92 368-379 46,0 1,79 380-392 47,6 1,67 393-405 49,2 1,56 406-420 50,8 1,47 421-431 52,4 1,39 432-443 54,0 1,32 444–456 55,6 1,25 457–470 57,2 1,19 471–482 58,7 1,14 483–495 60,3 1,09 496–508 61,9 1,04 509–522 63,5 1,00 523–535 65,1 0,96 536–546 66,7 0,93 547–559 68,3 0,89 560–573 69,9 0,86 574–585 71,4 0,83 586–598 73,0 0,81 599–610 74,6 0,78 611–625 76,2 0,76

Sumber: Pusjatan-Balitbang PU (2003)

56

2.7.12 Campuran AC-WC Dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak

Derajat Kepadatan Mutlak (Percentage Refusal Density, PRD) adalah rasio

antara kepadatan benda uji lapangan terhadap kepadatan refusal dalam satuan persen.

Perencanaan campuran beraspal dengan PRD dilakukan sebagai pendekatan atau

simulasi adanya pemadatan lanjutan oleh lalu-lintas.

Dalam pembuatan benda uji PRD, kadar aspal yang dipergunakan adalah

kadar aspal yang memberikan nilai VIM Marshall 6% dan 0,5% di atas dan di bawah

dari kadar aspal tersebut. Untuk masing-masing kadar aspal dibuatkan 3 benda uji.

Benda uji ini kemudian dipadatkan dalam cetakan (mold) dengan pemadatan getar

atau dengan pengembangan pemadatan Marshall.

Metode PRD dengan pemadatan getar menggunakan cetakan (mold)

berdiameter 152-153 mm (6 inchi). Sebelum digunakan cetakan, pelat dasar cetakan

dan telapak pemadat yang berukuran 102 dan 146 mm harus dipanaskan dalam oven

pada temperatur yang sama dengan temperatur pemadatan. Campuran beraspal

dimasukkan ke dalam cetakan lapis demi lapis sebanyak lima lapis. Tiap lapis

dipadatkan dengan pemadat getar dengan palu pemadat harus diatur pada posisi

tegak. Palu pemadat yang sudah dipanaskan digetarkan pada frekuensi antara 20 dan

50 Hz. Telapak pemadatan yang lebih lebar digunakan pada pemadatan terakhir

dengan tujuan untuk meratakan permukaan benda uji. Pada satu titik pemadatan harus

berlangsung selama antara 2 dan 10 detik tiap posisi sehingga total waktu pemadatan

kira-kira selama 2 menit + 5 detik.

Sedangkan untuk PRD dengan pengembangan pemadatan Marshal dilakukan

dengan menggunakan alat Marshall. Nilai kepadatan refusal dengan alat Marshall ini

akan mendekati nilai kepadatan refusal dengan alat pemadat getar apabila tumbukan

yang dilakukan pada setiap sisi benda uji adalah 400 tumbukan. Dengan demikian

pemadatan Marshall dengan 400 tumbukan pada setiap sisi benda uji dapat

digunakan sebagai alternative pengganti pemadat getar. Tetapi hal-hal yang mungkin

menjadi kendala dalam prosedur ini adalah dengan pemadatan 2 x 400 tumbukan

dapat memungkinkan terjadinya pemecahan partikel agregat. Bila hal ini terjadi maka

hasil perencanaan tidak akan baik. Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa bila

57

perencanaan campuran beraspal dengan pendekatan kepadatan mutlak dilakukan

dengan menggunakan alat Marshall, maka perlu dipertimbangkan bahwa mutu

agregat (nilai abrasi agregat dengan mesin Los Angeles maximum 40%) dan suhu

pemadatan ( + 1400C untuk penetrasi aspal 60/100 atau +

Hasil pengujian VIM-PRD kemudian disatukan ke dalam grafik hubungan

antara VIM-Marshall dengan kadar aspal, seperti Gambar 2.9. Perbedaan nilai VIM

benda uji yang dipadatkan dengan Marshall standar dengan yang dipadatkan sampai

dengan mencapai kepadatan mutlaknya tidak boleh lebih besar dari 3% (lebih

direkomendasi sekitar 2%).

1450C untuk penetrasi aspal

60/70) dapat terpenuhi. Jumlah tumbukan untuk pemadatan PRD ini dilakukan

sebanyak 2x400 tumbukan untuk cetakan dengan diameter 4 inci dan sebanyak 2x600

tumbukan untuk cetakan dengan diameter 6 inci.

Gambar 2.9 Hubungan VIM-Marshall, VIM-PRD dengan Kadar Aspal

Sumber : Dir. Jen Bina Marga (2006)

2.7.13 Penentuan Kadar Aspal Optimum

Penentuan Kadar aspal optimum ditentukan dengan merata-ratakan kadar

aspal yang memberikan stabilitas maksimum, kepadatan maksimum, dan VIM-PRD

58

Sifat Campuranyang Disyaratkan

1 VMA

2 VFB

3 VIM Marshal

4 Vim PRD

5 Stabilitas

6 Flow

7 MQ

No Rentang Kadar Aspal

Kadar Aspal Rencana

65 874

yang diisyaratkan, serta persyaratan campuran lainnya seperti VMA, VFB dan

kelelehan campuran. Kadar aspal optimum dapat ditentukan dengan menggunakan

Metode Bar-chart seperti pada Gambar 2.10 Nilai kadar aspal optimum ditentukan

sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang

memenuhi spesifikasi.

Sumber : Dir. Jen Bina Marga (2006)

2.7.14 Pengujian Stabilitas Marshall Sisa

Pada Spesifikasi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah untuk

mengevaluasi keawetan campuran adalah pengujian Marshall perendaman di dalam

air pada suhu 60oC selama 24 jam. Perbandingan stabilitas yang direndam dengan

stabilitas standar, dinyatakan sebagai persen, dan disebut Indeks Stabilitas Sisa (IRS),

dan dihitung sebagai berikut :

IRS =MSIMSS

x100 (2.36)

Gambar 2.10 Contoh Penentuan Kadar Aspal Optimum

59

Keterangan:

IRS = Indeks of Retained Strength

MSI = Stabilitas Marshall kondisi setelah direndam selama 24 jam dengan

suhu 60ºC

MSS = Stabilitas Marshall kondisi standar (direndam selama 30-40 menit

pada suhu 60ºC)

2.8 Campuran AC-WC dengan Lateks

Dalam pembuatan benda uji campuran AC-WC dengan ditambah lateks

dibuat 3 sampel untuk setiap kadar lateks, kadar aspal yang dipergunakan untuk

campuran tersebut adalah kadar aspal optimum. Penambahan lateks kedalam

campuran kadar aspal optimum, dengan variasi kadar lateks 0%, 2%, 4%, 6%, 8%,

dan 10% terhadap total perekat, menggunakan rumus penentuan berat lateks sebagai

berikut :

berat lateks = 𝑣𝑣𝐵𝐵𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐿𝐿𝐾𝐾 𝑙𝑙𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐿𝐿𝐿𝐿(100−𝑣𝑣𝐵𝐵𝐵𝐵𝐾𝐾𝐵𝐵𝐿𝐿𝐾𝐾 𝑙𝑙𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐿𝐿𝐿𝐿 )

x kadar aspal optimum (2.37)

Setelah didapat hasil pengujian marshall selanjutnya dapat ditarik

kesimpulan, bahwa dari kelima kadar lateks tersebut yang mana nilai stabilitas paling

tinggi.