bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman krokot portulaca ...repository.ub.ac.id/10671/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Krokot Portulaca oleracea)
2.1.1 Deskripsi Tumbuhan
Portulaca oleracea (purslane) merupakan
tanaman yang dapat dikonsumsi sebagai masakan,
beberapa orang mengonsumsi purslane sebagai obat
herbal. Purslane menyediakan sumber tanaman yang
kaya manfaat nutrisi (Sudhakar et al., 2010). Asal
krokot tidak diketahui, tetapi eksistensi tanaman ini
dilaporkan sekitar 4.000 tahun lalu. Purslane dari 21
marga dan memiliki 580 spesies. Purslane pada
Gambar 2. ditemukan tumbuh di alam liar atau
dibudidayakan di banyak belahan dunia dan daun
krokot biasa dimakan secara ekstensif dalam sup dan
salad di negara-negara Mediterania. Portulaca
oleracea tersebar luas di daerah tropis dan subtropis
dunia, purslane dapat dikonsumsi sebagai sayuran
bergizi dan digunakan untuk sifat farmakologisnya
(Ezekwe et al., 2004 disitasi oleh Besong et al., 2011).
Purslane secara botani dikenal sebagai Portulaca
oleracea dan juga disebut portulaca (Uddin et al.,
2014). Purslane di Jawa dikenal dengan krokot, di
Sunda dikenal gelang, di Madura dikenal re-sereyen
dan di Ternate dikenal jalu-jalu kiki. Taksonomi
tanaman krokot sebagai berikut:
14
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Infrakingdom : Streptophyta
Superdivision : Embriophyta
Division : Tracheophyta
Divisio : Spermatophytina
Class : Magnoliopsida
Superorder : Caryophyllanae
Ordo : Caryophyllales
Family : Portulaceae
Genus : Portulaca
Spesies : Portulaca oleracea (ITIS report,
2011)
Gambar 2. Tanaman krokot
Krokot dapat tumbuh dengan baik di perkebunan,
persawahan dan pinggir jalan. Batang krokot
berbentuk silindris, panjangnya hingga 30 cm,
diameter 2-3 mm, berwarna hijau atau merah, batang
15
halus, bercabang dan ruasnya 1,5-3,5 cm. Daun krokot
berbentuk datar, berdaging, memiliki bentuk variabel,
bulat telur, panjang 0,5-2 cm, tumpul atau sedikit
berlekuk ke dalam, meruncing di pangkal, halus dan
waxy di permukaan atas. Daun juga berbentuk bulat
telur, sukulen dan tanpa tangkai atau memiliki tangkai
yang sangat pendek sekitar 5-30 mm. Daun krokot
berwarna hijau, permukaan bawahnya merah tua.
Cotyledons berbentuk telur sampai lonjong, tidak
berbulu, sukulen, panjangnya sekitar 2-5 mm. Krokot
berbunga selama bulan Mei sampai September. Bunga
berawal dari tunggal atau cluster dua sampai lima di
ujung batang. Bunganya sedikit kecil dan berwarna
oranye, kuning, ungu atau warna pink putih dengan
lima kelopak bunga dan biasanya terbuka pada hari
yang panas dan cerah dari pertengahan pagi sampai
sore hari. Buah berbentuk bulat seperti kapsul dan
panjangnya sekitar 4-8 mm (Uddin et al., 2014).
2.1.2 Kandungan Krokot
Krokot (Portulaca oleracea) merupakan tanaman
yang dapat dikonsumsi sebagai obat herbal. Tanaman
krokot secara tradisional digunakan sebagai obat
alternatif untuk mengobati penyakit kulit. Krokot
dapat dimanfaatkan sebagai analgesik, antiseptik,
antiinflamasi, antifungal, antidiabetes, antifertilitas
dan antioksidan (Dkhil et al., 2011). Duke (2007)
disitasi oleh Valencia (2008) bahwa krokot
mengandung asam kafeat, nikotinat dan triptofan yang
16
berkhasiat sebagai senyawa sedatif. Krokot juga
mengandung asam organik (asam oksalat, kafein,
malat dan sitrat), alkaloids, komarin, flavonoid,
saponin, tannin, vitamin A dan C (asam askorbat 26,6
mg), α-tocopherol 12,2 mg, β-karoten 1,9 mg dan
glutathione 14,8 mg serta asam lemak omega-3 300-
400 mg (Uddin et al., 2014). Hasil penelitian
menunujukkan bahwa suplemen makanan krokot
adalah efektif dalam mengurangi kolesterol total
plasma dan trigliserol pada tikus (Ezekwe et al., 1995
disitasi oleh Besong et al., 2011). Hasil tes fungsi
ginjal menunjukkan bahwa pemberian krokot
memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan
asam urat 28,0% dan penurunan yang nyata pada urea
dan kreatinin masing-masing 33,2 dan 28,0%.
Pemberian krokot juga menunjukkan penurunan yang
nyata pada malondialdehida (MDA) hati dan ginjal
masing-masing 30,9 dan 8,7%. Hal ini diakibatkan
adanya senyawa antioksidan pada krokot (Dkhil et al.,
2011).
Krokot merupakan tanaman yang kaya akan
vitamin A sebagai antioksidan alami. Krokot juga
berperan dalam kesehatan mata dan untuk mencegah
kanker paru-paru. Krokot mengandung vitamin A
tertinggi diantara sayuran lainnya seperti bayam dan
brokoli. Krokot juga mengandung vitamin C dan B
kompleks seperti riboflavin, niasin dan peridoksin.
17
Tabel 1. Kadar nutrisi krokot (Portulaca
oleracea)/100 g.
Nutrisi Kadar % RDA
Energi 16 Kcal 15
Karbohidrat 3,4 g 3
Protein 1,3 g 2
Total lemak 0,1 g 0,5
Vitamin
Folat 12 µg 3
Niasin 0,480 mg 3
Asam
pantotenat
0,036 mg 1
Piridoksin 0,073 mg 5,5
Riboflavin 0,112 mg 8,5
Thiamin 0,047 mg 4
Vitamin A 1320 IU 44
Vitamin C 21 mg 35
Elektrolit
18
Natrium (Na) 45 mg 3
Kalium (K) 494 mg 10,5
Mineral
Kalsium (Ca) 65 mg 6,5
Tembaga (Cu) 0,113 mg 12,5
Besi (I) 1,99 mg 25
Magnesium
(Mg)
68 mg 17
Mangan (Mn) 0,303 mg 13
Fosfor (P) 44 mg 6
Selenium (Se) 0,9 µg 2
Seng (Zn) 0,17 mg 1,5
Sumber: USDA National Nutrient Data disitasi oleh
Uddin et al. (2014)
Selain itu, terdapat mineral seperti kalium (494 mg/
100 g), magnesium (68 mg/ 100 g), kalsium (65 mg/
100 g), fosfor (44 mg/ 100 g) dan besi (1,99 mg/ 100
g) (Besong et al., 2011). Krokot juga kaya akan asam
amino seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, sistin,
fenilalanin, tirosin, treonin dan valin (Dkhil et al.,
2011). Kadar nutrisi dapat dilihat pada Tabel 1. Daun
19
krokot mengandung α-linolenic acid (18:3 Ω3) yang
lebih tinggi, α-tocopherol, asam askorbat dan
glutathione dibanding daun bayam. Kadar α-
tocopherol pada krokot tujuh kali lebih tinggi
daripada bayam. Daun krokot per 100 g mengandung
300-400 mg α-linolenic acid (18:3 Ω3); 12,2 mg α-
tocopherol, 26,6 mg asam askorbat, 1,9 mg β-karoten
dan 14,8 mg glutathione. Vitamin C (asam askorbat)
dan β-karoten memiliki aktivitas antioksidan karena
mampu menetralkan radikal bebas dan memiliki
potensi untuk mencegah penyakit kardiovaskular dan
kanker (Uddin et al., 2014).
Besong et al. (2011) menyatakan bahwa
pemberian krokot menyebabkan peningkatan yang
nyata dalam kadar glutathione hati dan testis masing-
masing sebesar 8,8 dan 45,0%. Selain itu, aktivitas
katalase dan superoxidation dismutase mampu
meningkatkan kinerja pada hati, ginjal dan testis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas
katalase meningkat secara nyata masing-masing
sebesar 15,7, 79,8 dan 50% pada hati, ginjal dan testis
sedangkan superoxidation dismutase meningkat pada
hati, ginjal dan testis masing-masing 47,2, 242,9 dan
25,6%. Kadar asam askorbat, β-karoten dan 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) dapat dilihat pada
Tabel 2. Selain itu, krokot memiliki kadar 0,01 mg/ g
Eicopentanoic acid (EPA), yang sama sekali tidak ada
dalam minyak lax. Krokot adalah tanaman kaya γ-
20
linolenic acid (LNA, 18:3 Ω3) (4 mg/ g),
Eicosapentaenoicacid (EPA, 20:5 Ω3) (0,01 mg/ g).
Krokot mengandung 18:3 Ω3, 20:5 Ω3 dan 22:6 Ω3
(Docosahexaenoic acid, DHA) serta 22:5 Ω3
(Docosapentaenoic acid, DPA) (Uddin et al., 2014).
Kadar asam lemak pada daun, batang dan seluruh
tanaman krokot dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Kadar asam askorbat, β-karoten dan1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) pada
krokot (Portulaca oleracea).
Bagian
tanaman
Antioksidan
Asam
askorbat
(mg/ g)
β-
karoten
(mg/ g)
DPPH
(%)
Daun 0,58 3,99 76,71
Batang 0,29 2,27 90,11
Bunga 0,55 2,32 91,01
Sumber: Uddin et al. (2014)
Tabel 3. Kadar asam lemak pada krokot (Portulaca
oleracea).
Asam
lemak
Daun
(%)
Batang
(%)
Seluruh
tanaman
(%)
21
18.3-
omega-3
41,4-
66,4
2,4-5,9 28,4-42,5
20.5-
omega-3
0,8-12,6 18,6-35,5 6,4-21,5
22.5-
omega-3
1,4-3,3 - 1,0-3,0
22.6-
omega-3
0,3-6,4 - 0,6-5,6
Sumber: Omara-Alwala et al., 1991 disitasi oleh
Uddin et al. (2014).
2.2 Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
Puyuh (Coturnix coturnix japonica) pada Gambar
3. memiliki klasifikasi menurut ITIS report (2006)
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Infrakingdom : Deuterostomia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Aves
Order : Galliformes
Family : Phasianidae
Subfamilia : Perdicinae
22
Genus : Cortunix
Spesies : Coturnix coturnix japonica.
Gambar 3. Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan
jenis unggas tidak dapat terbang, berukuran tubuh
kecil dan kakinya relatif pendek. Puyuh adalah salah
satu unggas yang tinggi tingkat produksinya. Dirjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan (2017) menyatakan
bahwa populasi puyuh di Indonesia pada tahun 2015
sebanyak 13.781.918 ekor, tahun 2016 mengalami
peningkatan 2,3% menjadi 14.107.687 ekor dan pada
tahun 2017 sebanyak 14.427.314 ekor. Puyuh jantan
dan betina memiliki perbedaan yang khas yang
terdapat pada warna bulu, suara dan bobot badan.
Puyuh jantan berwarna coklat gelap sedangkan puyuh
betina berwarna coklat terang. Bulu dada puyuh jantan
berwarna kuning sedangkan puyuh betina berwarna
coklat dan terdapat bercak hitam. Puyuh jantan
memiliki suara lebih keras daripada puyuh betina dan
bobot puyuh betina lebih berat daripada puyuh jantan.
23
Puyuh betina dewasa biasanya memiliki bobot antara
110-160 g dan puyuh jantan dewasa berbobot antara
100-140 g (Dedy, 2011). Puyuh (Coturnix cortunix
japonica) telah tersebar luas di Eropa dan Asia. Puyuh
dapat dibedakan kelaminnya pada umur 3 minggu
berdasarkan warna bulunya. Puyuh jantan dapat
diidentifikasi melalui bulu yang berwarna coklat tua
pada bagian atas kerongkongan dan dada yang merata.
Puyuh jantan mencapai dewasa kelamin pada umur 5-
6 minggu. Puyuh betina mulai bertelur pada umur 35
hari pada kondisi yang baik dan memproduksi sekitar
200-300 telur per tahun. Telur puyuh berwarna coklat
tua, biru putih dengan corak hitam, coklat dan biru
(Dewansyah, 2010).
2.3 Kebutuhan Nutrisi Puyuh
Pemeliharaan puyuh terbagi menjadi 2 fase yaitu
fase pertumbuhan dan produksi. Fase pertumbuhan
terdiri dari fase starter (umur 0-3 minggu) dan grower
(umur 3-6 minggu). Fase produksi (layer) mulai pada
umur 6 minggu. Perbedaan fase tersebut menunjukkan
kebutuhan nutrisi yang berbeda. Selain dari faktor
manajemen dan bibit, faktor terpenting untuk
menentukan produktivitas puyuh adalah faktor pakan
yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, serat,
vitamin, mineral dan air mutlak dalam jumlah yang
cukup. Pakan merupakan faktor terpenting dalam
pemeliharaan puyuh. Hal tersebut dapat terjadi karena
24
70-80% biaya pemeliharaan adalah pembelian pakan
(Radhitya, 2015). Wardiny dkk. (2012) menambahkan
bahwa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga
performance produksi puyuh selama fase starter
adalah dengan meningkatkan imunitas tubuh puyuh.
Salah satunya dengan pemberian herbal yang
bermanfaat sebagai antioksidan dan antibakteri.
Jumlah pakan yang diberikan pada puyuh harus
diperhatikan yang memenuhi kebutuhan nutrisi dan
adlibitum. Rondonuwu dkk. (2014) menyatakan
bahwa kebutuhan puyuh tidak hanya didasarkan pada
masa pertumbuhan. Namun, juga didasarkan pada
konsumsi pakan puyuh. Kebutuhan jumlah pakan
puyuh berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 4.
dan kebutuhan nutrisi puyuh berbagai fase umur dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Kebutuhan jumlah pakan puyuh berdasarkan
umur.
Umur (minggu) Jumlah Pakan
(g/ekor/hari)
0-2 6
2-3 10
3-4 14
4-6 18
25
>6 24
Sumber: Sritharet (2002)
Tabel 5. Kebutuhan nutrisi puyuh berbagai fase umur
(minggu).
Kebutuhan nutrisi Starter
(1-3)
Grower
(3-6)
Layer
(>6)
Kadar air maks (%) 14,0 14,0 14,0
Protein kasar min (%) 19,0 17,0 17,0
Serat kasar maks (%) 6,5 7,0 7,0
Lemak kasar maks (%) 7,0 7,0 7,0
Abu maks (%) 8,0 8,0 14,0
Kalsium (Ca) (%) 0,90-
1,20
0,90-
1,20
2,50-
3,50
Forfor (P) (%) 0,60-
1,00
0,60-
1,00
0,60-
1,00
Fosfor tersedia (%) 0,40 0,40 0,40
Energi metabolisme
(EM) (Kkal/kg)
2800 2600 2700
Total aflatoksin maks
(µg/kg)
40,0 40,0 40,0
26
Asam amino
Lisin min (%) 1,10 0,80 0,90
Metionin min (%) 0,40 0,35 0,40
Metionin+sistin (%) 0,60 0,50 0,60
Sumber: SNI (2006a, b)
2.4 Konsumsi Pakan Puyuh
Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang
dimakan oleh puyuh pada periode tertentu untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan untuk
hidup pokok, reproduksi dan produksi (Suherman
dkk., 2015). Triyanto (2007) menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan pada
puyuh yaitu kadar energi pakan, suhu lingkungan,
strain, bobot badan, bobot telur harian, pertumbuhan
bulu, tingkat stres dan aktivitas. Hasil penelitian
bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan
diantaranya adalah lingkungan dan palatabilitas.
Lingkungan diantaranya berupa kelembapan dan
suhu. Kelembapan dan suhu lingkungan tersebut
adalah 35-79% dan 22-27,5°C (Widyastuti dkk.,
2014).
Kebutuhan pakan puyuh sesuai dengan ukuran
tubuhnya, puyuh bertubuh kecil konsumsi pakannya
14-24 g/ekor/hari. Puyuh berumur lebih dari 6 minggu
27
membutuhkan energi dan protein yang sama dengan
kebutuhan pada umur 3-5 minggu. Puyuh yang
mendapat pakan dengan kadar protein 24%
mempunyai konversi pakan yang sama dengan pakan
yang mengandung protein 22% tetapi memberikan
pertumbuhan yang lebih baik. Kadar gross energy
pakan sebesar 2842,18 Kkal/kg dengan protein kasar
pakan sebesar 22,31%. Kadar energi lebih rendah dari
yang disarankan SNI (2006) yaitu minimal sebesar
2900 Kkal/kg tetapi kadar protein sesuai dengan
standar SNI (2006) yang menyatakan bahwa puyuh
petelur membutuhkan pakan dengan kadar protein
kasar minimal 22%, lemak 3,96%, serat kasar
maksimal 6%, kalsium 3,25-4% dan fosfor minimal
0,60% (Afria et al., 2013). Kadar energi dan protein
pakan yang berada dalam keadaan sama pada setiap
pakan perlakuan akan menghasilkan konsumsi pakan
yang tidak berbeda (Suherman dkk., 2015). Allama
dkk. (2013) menyatakan bahwa imbangan energi
metabolisme pakan akan mempengaruhi konsumsi
pakan. Kadar protein dalam pakan harus diimbangi
dengan energi metabolisme yang cukup. Imbangan
energi metabolisme dan protein dimaksudkan untuk
mencukupi kebutuhan protein minimum
karenakekurangan energi metabolisme akan
mengubah protein menjadi energi metabolisme.
Zulfanita dan Utami (2011) menyatakan bahwa
apabila kebutuhan energi metabolisme sudah
28
terpenuhi tetapi kapasitas tembolok belum penuh
maka terdapat kemungkinan ternak akan terus
mengonsumsi pakan melebihi kuantitas sehingga
terjadi pemborosan pakan. Tiwari dan Panda (1978)
disitasi oleh Sipayung (2012) menyatakan bahwa
konsumsi pakan puyuh berumur 31-51 hari yaitu 17,5
g/ekor/hari, kemudian meningkat pada umur 51-100
hari menjadi 22,1 g/ekor/hari dan tidak meningkat lagi
setelah berumur 100 hari. Tingkat konsumsi pakan
puyuh dipengaruhi oleh tingkat energi dan
palatabilitas pakan. Suprijatna dkk. (2008) mengukur
tingkat konsumsi pakan pada puyuh yang diberi pakan
dengan kadar protein kasar 20% adalah sebesar 17,27
g/ekor.
2.5 Hen Day Production (HDP) Puyuh
Hen Day Production (HDP) merupakan
presentase produksi telur yang dihasilkan dalam
periode tertentu yang didasarkan pada jumlah puyuh
dalam periode tersebut. Nugroho dan Mayun (1981)
disitasi oleh Achmad (2011) menyatakan bahwa
produksi telur puyuh cukup baik dan bervariasi
disebabkan oleh faktor pemeliharaan dan pakan.
Puyuh akan mulai berproduksi pada saat bobot badan
sekitar 90-100 g di umur 5-6 minggu (35-42 hari) dan
produktif sampai umur 16 bulan pada kondisi
pemeliharaan yang baik. Masa produktif puyuh hanya
berlangsung 6-8 bulan jika kondisi kurang terpelihara.
29
Telur yang dihasilkan pada permulaan fase produksi
berjumlah sedikit dan akan cepat meningkat seiring
dengan pertambahan umur. Puyuh betina dapat
menghasilkan telur sebanyak 200-300 butir per tahun.
Produksi telur tertinggi adalah 80,2%. Hal ini dapat
dicapai bila pada fase grower mendapat pakan dengan
protein 24% dan selama fase produksi mendapat
pakan dengan kadar protein 20%. Produksi telur pada
level protein yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.
Kemampuan produksi meningkat dengan cepat
hingga mencapai puncak produksi 98% pada umur 4-
5 bulan dan secara perlahan-lahan akan menurun
hingga 70% pada umur 9 bulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa puyuh tertunda bertelur yang
pertama dari 42-56 hari menjadi 66-70 hari.
Penundaan pubertas akibat pakan dengan kadar
protein rendah. Namun, pakan yang diberikan mampu
menunjang produksi telur yang ditunjukkan dengan
tinggi puncak produksi hingga > 100% (Amin, 2010).
Suherman dkk. (2015) menyatakan bahwa
penambahan probiotik Lactobacillus Plus bentuk
tepung sebagai feed additive tidak berpengaruh nyata
tetapi secara numerik dapat meningkatkan HDP. Hal
ini disebabkan oleh kecukupan kadar nutrisi antar
perlakuan yang menyebabkan puyuh sehat.
Penambahan probiotik Lactobacillus Plus bentuk
tepung terbaik pada penambahan sebesar 0,6%.
Penelitian lain menunjukkan bahwa vitamin A dan C
30
yang berperan dalam pertumbuhan sehingga dapat
meningkatkan produksi telur karena puyuh menjadi
lebih cepat dewasa kelamin atau bertelur, sehingga
telur yang dihasilkan lebih banyak (Tribudi dan
Nurfianti, 2017).
Tabel 6. HDP (%) pada level protein yang berbeda.
Level
Protein
(%)
Umur (minggu)
0-10 10-20 20-32 > 32
18 46,7 61,6 42,8 53,0
20 67,9 63,0 62,5 63,7
22 51,3 71,7 62,3 64,6
24 66,5 81,7 81,1 78,7
Sumber: Triyanto (2007)
2.6 Egg Mass Puyuh
Egg mass merupakan hasil pembagi antara bobot
telur dengan jumlah puyuh yang menunjukkan tingkat
efisiensi dari produksi tiap hari. Semakin tinggi
produksi telur maka semakin tinggi egg mass dan
sebaliknya apabila produksi telur menurun maka nilai
egg mass dapat menurun pula (Widjastuti dan
Kartasudjana, 2006). Faktor yang mempengaruhi egg
mass yaitu produksi telur harian dan bobot telur
(Suherman dkk., 2015). Novak et al. (2006) disitasi
31
oleh Suherman dkk. (2015) menambahkan bahwa
bobot telur juga ditentukan oleh asupan protein. Bobot
telur dipengaruhi oleh bobot putih telur dan kuning
telur yang sebagian besar terdiri dari protein sehingga
dengan tingginya asupan protein menyebabkan
tingginya bobot telur pula. Luthfi dkk. (2015)
menambahkan bahwa peningkatan bobot telur sangat
dipengaruhi oleh kadar protein dalam pakan dan
umur. Bobot telur akan semakin meningkat dengan
bertambahnya umur puyuh. Hasil penelitian bahwa
bobot telur puyuh dengan penambahan larutan ekstrak
kunyit hingga 4 ml dalam air minum dihasilkan yaitu
rata-rata 10,86 g. Produksi pertama dari siklus bertelur
menghasilkan telur berbobot lebih rendah dibanding
telur berikutnya pada siklus yang sama dan secara
berangsur-angsur meningkat seiring pertambahan
umur dan mencapai bobot maksimum ketika
mencapai akhir masa bertelur. Telur puyuh saat
permulaan bertelur berukuran kecil dan membesar
sesuai pertambahan umur dan akan mencapai ukuran
yang stabil (Achmad, 2011).
2.7 Konversi Pakan Puyuh
Konversi pakan adalah salah satu indikator untuk
mengukur tingkat efisiensi pakan dari rasio pakan
yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu
dibandingkan dengan egg mass yang dihasilkan dalam
waktu tertentu. Semakin rendah angka konversi pakan
32
maka kualitas pakan semakin baik (Achmanu dkk.,
2011). Makund (2006) disitasi oleh Afria et al. (2015)
menyatakan bahwa pada puyuh umur 9-19 minggu,
konsumsi energi metabolisme sebesar 2700 Kkal/kg
digunakan untuk produktivitas sebesar 79,09% dan
konversi pakannya sebesar 3,43. Konversi pakan
puyuh berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 7.
Hasil penelitian menyatakan bahwa penambahan
tepung daun pegagan sebagai feed additive pada
pakan tidak berpengaruh nyata terhadap konversi
pakan pada puyuh. Konversi pakan tertinggi terdapat
pada perlakuan dengan taraf 1,5% sebesar 2,64 ± 0,31
sedangkan terendah di perlakuan tanpa penambahan
tepung daun pegangan (kontrol) sebesar 2,61 ± 0,13
(Tribudi dan Nurfianti, 2017). Widjastuti dan
Kartasudjana (2006) menyatakan bahwa adanya
keseimbangan antara pakan yang dikonsumsi dengan
produksi telur yang dihasilkan pada masing-masing
perlakuan menyebabkan konversi pakan tidak
berbeda. Penelitian lain menyatakan bahwa konversi
tertinggi terdapat pada penambahan asam lemak
omega-3 taraf 6% dan konversi terkecil terdapat pada
taraf 4,5%. Konversi pakan mengalami penurunan
pada penambahan asam lemak omega-3 sampai taraf
4,5% (Achmad, 2011). Tinggi rendahnya konversi
pakan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
kualitas pakan, kesehatan ternak dan tata cara
pemberian pakan serta faktor lingkungan juga dapat
33
berpengaruh terhadap konversi pakan yaitu suhu,
persediaan pakan dan air, kepadatan dan penyakit
(Tillmanet al., 1991 disitasi oleh Suherman dkk.,
2015).
Tabel 7. Konversi pakan puyuh berdasarkan umur.
Minggu Konversi Pakan
1 2,33
2 3,37
3 3,30
4 4,51
5 4,48
6 6,87
7 9,37
Sumber: Dewi dkk. (2016)
2.8 Kolesterol Telur Puyuh
Kolesterol adalah suatu metabolit yang
mengandung lemak sterol yang penting dan dapat
ditemukan pada membran sel dan disirkulasikan
dalam plasma darah. Kolesterol dalam tubuh berasal
dari bahan eksogen dan endogen. Kolesterol eksogen
34
merupakan bahan kolesterol yang harus dipasok dari
bahan pakan sedangkan kolesterol endogen
merupakan kolesterol yang berasal dari tubuh yang
dibentuk di beberapa jaringan, terutama di hati
(Estronca et al., 2014). Keberadaan kadar kolesterol
eksogen mempengaruhi tingkat kinerja hati dan usus
dalam membentuk kolesterol endogen. Pembentukan
kolesterol dalam hati dan usus akan meningkat ketika
kadar kolesterol dari pakan sedikit dan sebaliknya
pembentukan kolesterol akan menurun jika kadar
kolesterol dari pakan banyak (Piliang and
Djojosoebagio, 2006). Salah satu produk hewani yang
mengandung kolesterol yaitu kuning telur. Kadar
kolesterol kuning telur berbagai jenis unggas dapat
dilihat pada Tabel 8. Kolesterol sebagai prekursor
hormon steroid. Hormon steroid tersebut adalah
estrogen yang terdiri atas estradiol, estriol dan estron.
Estradiol merupakan estrogen yang paling banyak dan
mempunyai potensi estrogenic yang paling kuat
(Suherman, 2001 disitasi oleh Rahmat dan
Wiradimadja, 2011).
Tabel 8. Kadar kolesterol kuning telur berbagai jenis
unggas.
Jenis
unggas
Kadar kolesterol kuning telur
(mg/ 100 g)
Ayam buras 1.881,30
35
Ayam ras 1.274,50
Itik 2.118,75
Puyuh 2.139,17
Kolesterol juga sangat dibutuhkan oleh tubuh
sebagai komponen struktural dan fungsional sel.
Kolesterol berfungsi sebagai bahan untuk sintesis
hormon steroid, unsur garam empedu dan prekursor
sintesis kuning telur (vitelogenin). Vitelogenin
dibentuk di hati dalam bentuk VLDL (Very Low
Density Lipoprotein), kemudian ditransferkan ke
dalam ovarium dan diakumulasikan dalam folikel
sebagai kuning telur (Salvante et al., 2007). Berat
jenis lipoprotein dapat dikelompokan kedalam tiga
kelompok yaitu Very Low Density Lipoprotein
(VLDL), Low Density Lipoprotein (LDL) dan High
Density Lipoprotein (HDL). Asam lemak tidak jenuh
khususnya asam lemak omega-3 dapat menghambat
sintesis VLDL sehingga produksi LDL pun
berkurang. Tingginya kadar VLDL dan LDL yang
disekresikan dapat menimbulkan endapan kolesterol
dalam darah karena VLDL dan LDL merupakan
protein transport yang membawa trigliserida,
kolesterol dan fosfolipid dari hati ke seluruh jaringan.
HDL justru mengangkut kolesterol ke dalam hati
selanjutnya dipecah menjadi asam empedu dan
36
dibuang melalui ekskresi tubuh (Kinsella et al., 1990
disitasi oleh Sukarsa, 2004).
Proses sintesis kolesterol dapat dilihat pada
Gambar 4. Proses sintesis kolesterol terdiri dari lima
tahapan utama antara lain: 1) Mengubah Asetil KoA
menjadi hidroksimetil glutaril-KoA (HMG-KoA); 2)
Mengubah HMG-KoA menjadi mevalonate; 3)
Mevalonate diubah menjadi molekul dasar isoprene,
isopentenyl pyrophosphate (IPP), bersamaan dengan
hilangnya CO2; 4) IPP diubah menjadi squalene dan
5) Squalene diubah menjadi kolesterol.
Gambar 4. Biosintesis kolesterol
37
Rahmat dan Wiradimadja (2011) menyatakan
bahwa kadar kolesterol kuning telur sejalan dengan
meningkatnya kadar kolesterol darah. Namun,
peningkatan akan maksimal pada kadar kolesterol
darah diatas 700 mg/dl. Hubungan antara kolesterol
kuning telur dengan darah dapat dilihat pada Gambar
5. Kondisi jumlah kolesterol yang tinggi
menyebabkan berbagai proses diaktifkan untuk
mengimbangi kelebihan kolesterol tersebut.Proses
tersebut yaitu 1) HMG-KoA reduktase mikrosom dan
HMG-KoA sintase sitosol dihambat secara
terkoordinasi atau secara sendiri-sendiri tergantung
pada persediaan asam lemak bebas didalam sel; 2)
Laju katabolisme kolesterol akan naik karena adanya
rangsangan terhadap aktivitas enzim 7-α-hidroksilase;
3) Aktivitas asetil KoA-kolesterol yang tinggi diubah
menjadi asam lemak bebas menjadi senyawa esternya,
kemudian disimpan dalam sitoplasma; 4) Biosintesis
reseptor lipoprotein ditahan, jadi produksi molekul
reseptor berkurang sehingga proses pengambilan LDL
oleh sel menjadi berkurang; 5) Semakin tinggi
kolesterol diangkut kedalam membran, menyebabkan
naiknya aliran lapis lipid berganda dari membran akan
bertambah besar sehingga membran naik dan proses
masuk lipoprotein (LDL) naik; 6) Proses pengeluaran
kolesterol melalui peningkatannya dengan VLDL
(Very Low Density Lipoprotein) dari sel hati akan
diangkut ke seluruh jaringan tubuh termasuk ke
38
folikel ovarium, sehingga dengan adanya peningkatan
kolesterol endogen dan salah satunya ke folikel
ovarium akan menjadikan kadar kolesterol telur lebih
tinggi. Deposisi kolesterol dalam telur dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik, nutrisi
dan obat-obatan. Kadar kolesterol dalam kuning telur
dapat berubah-ubah ± 25% oleh kolesterol dari pakan
dan lemak. Pengaruh lemak dalam pakan (minyak
nabati, minyak hewani, kolesterol dan β-sitosterol)
meningkatkan kolesterol hati, serum dan kuning telur.
Pembatasan kalori yang masuk nyata menurukan
produksi telur dan jumlah total kolesterol.
Gambar 5. Hubungan antara kolestrol darah dengan
kolestrol kuning telur
2.9 Asam Lemak Omega-3
Asam lemak omega-3 adalah asam lemak tidak
jenuh ganda yang mempunyai ikatan rangkap banyak,
39
ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon
ketiga dari gugus metil omega, ikatan rangkap
berikutnya terletak pada nomor atom karbon ketiga
dari ikatan rangkap sebelumnya. Gugus metal omega
adalah gugus terakhir dari rantai asam lemak. Asam
lemak otak yaitu asam lemak esensial serta asam
lemak omega-3 merupakan zat gizi yang harus
terpenuhi kebutuhannya. Zat gizi berperan vital dalam
proses pertubuhan dan perkembangan sel-sel neuron
otak untuk bekal kecerdasan bayi yang dilahirkan.
Asam lemak omega-3 ini turunan dari prekursor yakni
asam lemak linoleat dan linolenat. Asam lemak
tersebut tidak bisa dibentuk dalam tubuh dan harus
dipasok langsung dari pakan. Prekursor tersebut
masuk dalam proses elongate dan desaturate yang
menghasilkan tiga bentuk asam lemak omega-3: LNA
(α-linolenat (C 18:3, Ω3)), EPA (Eikosapentaenoat
(C20:5, Ω3)) serta DHA (Dokosaheksaenoat (C 22:6,
Ω3).Adapun 3 bentuk omega 3 yaitu: LNA (α-
linolenat (C I8:3, Ω3 )), EPA (Eikosapentaenoat (C20:
5, Ω3)), serta DHA (Dokosaheksaenoat (C22 : 6, Ω3)
(Diana, 2012). Panagan dkk. (2011) menyatakan
bahwa asam lemak tak jenuh ganda atau
Polyunsaturated Fatty Acid yang disingkat PUFA,
diantaranya DHA dan EPA dapat membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan otak (kecerdasan),
perkembangan indra penglihatan, dan sistim
kekebalan tubuh balita. Fungsi asam lemak omega-3
40
dalam menurunkan kadar kolesterol melalui dua cara
yakni: 1) Merangsang ekskresi kolesterol melalui
empedu dari hati ke dalam usus dan 2) Merangsang
katabolisme kolesterol oleh HDL ke hati kembali
menjadi asam empedu dan tidak diregenerasi lagi.
Namun, dikeluarkan melalui ekskreta (Sudibya 1998
disitasi oleh Sudibya 2013). EPA dan DHA memiliki
banyak ikatan rangkap sehingga mudah mengalami
oksidasi dan berakibat rusaknya kedua asam ini.
Reaksi oksidasi akan dipercepat oleh pemanasan yang
umumnya merupakan bagian dari prosedur
pengolahan. Cara mengantisipasi kerusakan EPA dan
DHA selama proses pengolahan, perlu ditambahkan
bahan yang mampu bekerja sebagai antioksidan.
Antioksidan yang ditambahkan harus yang bersifat
alami misalnya α-tocopherol (Hadipranoto, 2005).
(Struktur umum dari EPA dan DHA yang termasuk
asam lemak omega-3 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur EPA dan DHA
41
Analisis asam lemak omega-3 menggunakan
metode kromatografi gas. Kromatografi adalah
metodefisika untuk pemisahan komponen-komponen
yang terdistribusi antara dua fase. Pemisahan dengan
kromatografi didasarkan pada perbedaan
kesetimbangan komponen-komponen campuran di
antara fase stasioner dan fase gerak. Fase stasioner
adalah fase yang menahan cuplikan secara selektif dan
fase gerak berupa zat alir yang mengalir lambat
membawa cuplikan menembus fase stasioner. Fase
stasioner dapat berupa zat padat atau cairan dan fase
geraknya dapat berupa cairan atau gas. Fase stasioner
yang dipakai bersifat polar maka zat-zat yang bersifat
non-polar akan terpisah terlebih dahulu karena zat
bersifat polar terikat kuat pada fase diamnya. Apabila
fase diamnya bersifat polar maka fase gerak yang
digunakan bersifat non-polar, demikian pula
sebaliknya. Fase gerak pada kromatografi gas
biasanya adalah gas helium, hidrogen atau nitrogen.
Pemilihan gas pengemban bergantung terutama pada
karakteristik detektor (Panagan dkk. 2011).