bab ii syarat-syarat mencari ilmu dalam syair...
TRANSCRIPT
-
13
BAB II
SYARAT-SYARAT MENCARI ILMU DALAM SYAIR ALI BIN ABI THALIB
A. Latar Belakang Kehidupan Ali Bin Thalib
Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu shahabat Nabi yang terkemuka,
seseorang yang terkenal akan kealiman dan keberaniannya. Beliau merupakan
putra dari paman Nabi yang bernama Abi Thalib, dengan demikian nasab beliau
dengan Nabi bertemu pada tingkat ke-3 (Kakeknya yang bernama Abdul
Muthalib).
Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan Nabi, karena
beliau selalu mengikuti Nabi sejak beliau masih kecil, pada waktu kecil
seringkali beliau duduk dipangkuan Nabi dan berada dalam dekapan Nabi.1
Beliaupun selalu mengikuti kemanapun Nabi pergi, bagai anak unta setia
mengikuti ibunya, sehingga beliau selalu menerima tambahan pengetahuan dari
Rasulullah2. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwasanya Ali bin Abi
Thalib adalah orang yang paling banyak mengetahui apa yang diucapkan dan
diperbuat oleh Rasulullah SAW3, dan hal ini membuatnya menjadi seorang
pribadi yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kealiman dan budi
pekertinya sehingga membuatnya menjadi sangat layak untuk dijadikan panutan
dan sandaran dalam menjalankan segala sesuatu.
Semenjak kecil Ali bin Abi Thalib sudah menunjukkan tanda-tanda
kecerdasannya dan beliaulah orang yang pertama masuk Islam dari golongan
anak-anak, salah satu tanda kecerdasan beliau pada waktu itu adalah ketika beliau
ditanya oleh Rasulullah : hai Ali, apakah engkau bersedia untuk masuk Islam .
Ali menjawab. Aku akan pergi meminta pendapat ayahku. Ketika itu umur Ali
sekitar tujuh tahun. Tidak lama kemudian datanglah Ali, lalu mengucapkan
syahadat di depan Rasulullah saw. maka bertanyalah Nabi kepadanya, Wahai
1 Muhammad Al-Baqir, Mutiara Nahjul Balaghah, Terj. Mizan, Bandung, 1991, hal. 30. 2 Ibid., hal. 30. 3 H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Imamul Muhtadin, Yayasan Al Hamidy, Jakarta, 1992,
hal.597
13
-
14
Ali, apakah engkau telah meminta pendapat ayahmu ? Ali yang masih kanak-
kanak itu menjawab dengan mantap.apakah ketika Allah menciptakan aku, ia
meminta pendapat kepada ayahku ? Tidak, demi Allah. Karena itu aku tidak
perlu meminta pendapat kepada ayahku dalam urusan menyembah Dzat yang
telah menciptakan aku.4 Hal ini menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang cerdas dan mampu berpikir dengan baik walaupun ketika
itu baru usia tujuh tahun.
Semenjak kecil beliau tidak pernah sedikitpun menyembah berhala, oleh
karena itulah beliau mendapat julukan karramallahu wajhah, yang diartikan
orang yang dimuliakan wajahnya oleh Allah. Disebut mulia karena beliau tidak
pernah menundukkan wajahnya untuk menyembah berhala.
Ali juga merupakan golongan dari sahabat Nabi yang kritis, beliau selalu
bertanya kepada Rasulullah perihal segala persoalan yang melintas dalam
pikirannya, sehingga beliau memahaminya dan menghafalkannya baik-baik.5
Tidak bisa dipungkiri bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat cerdas
yang sangat sulit untuk dicari tandingannya, hal ini dibuktikan dengan fakta
bahwa hanya beliaulah satu-satunya orang yang berani berkata di depan beribu-
ribu orang:Tanyakanlah kepadaku apa saja sebelum kalian kehilangan aku.6
Orang yang berani mengatakan seperti itu berarti dia yakin akan sanggup untuk
menjawab segala macam pertanyaan, dan yang lebih istimewa lagi adalah apabila
diberi suatu pertanyaan betapapun sulitnya maka akan dijawabnya dengan tanpa
membutuhkan waktu untuk berpikir terlebih dahulu dan akan langsung
dijawabnya pada saat itu juga7.
Ali bin Abi Thalib merupakan sahabat Nabi yang luas wawasan
berpikirnya dan selalu menjunjung tinggi akan ilmu pengetahuan, beliau selalu
mengutamakan ilmu di atas apapun yang ada di dunia ini, hal ini dapat dilihat
dari kutipan salah satu nasehat beliau kepada sahabatnya, yaitu Kumail bin
4 Muhammad Said Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah, Terj. Ali Yahya, CV. Cendekia
Centra Muslim, Jakarta, 2001, hal. 234. 5 Muhammad Al-Baqir, Op.Cit., hal. 33. 6 H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Op. Cit., hal. 73. 7 Ibid.
-
15
Ziyad. Beliau berkata, wahai Kumail, ilmu adalah lebih utama dari pada harta.
Ilmu menjagamu, sedangkan kau harus menjaga hartamu. Harta akan berkurang
bila kau nafkahkan. Sedangkan ilmu bertambah subur bila kau nafkahkan.
Demikianlah budi yang ditimbulkan dengan harta akan hilang dengan hilangnya
harta.8
Demikianlah sahabat Ali dalam mengagungkan ilmu pengetahuan, beliau
selalu menyanjung ilmu setinggi-tingginya di atas semua hal yang bersifat materi
di dunia ini, bahwa saya seorang yang mempunyai ilmu akan di jaga oleh
ilmunya dari semua perkara yang sekiranya bisa membuat kemudlaratan bagi
dirinya akan tetapi seseorang yang mempunyai harta malah dia yang berusaha
untuk menjaga hartanya, oleh karena itu ilmu lebih utama dari harta, berapapun
banyaknya harta tersebut.
Selain terkenal akan keilmuannya, Ali bin Abi Thalib juga terkenal akan
kesufiannya. Hal ini tercermin dari perkataan beliau, yaitu : 9
- Tidak akan shalat (sempurna) tanpa jiwa yang khusu - Tidak ada puasa sempurna tanpa mencegah diri dari perbuatan yang sia-sia - Tidak ada kebaikan bagi yang berilmu tanpa sifat wara - Tidak ada kebaikan mengambil teman, tanpa saling menyayangi - Nikmat yang paling baik adalah nikmat yang kekal dimiliki - Doa yang paling sempurna, kalau dilandasi keikhlasan - Siapa yang banyak bicara maka banyak pula salahnya, siapa yang banyak
salahnya, maka hilang harga dirinya, siapa yang hilang harga dirinya, berarti ia tidak wara, sedang orang yang tidak wara berarti hatinya mati.
Perkataan Sayyidina Ali di atas mencerminkan dirinya yang selalu hidup
dalam kesufian dan selalu menjalankan perintah Allah secara ikhlas dan
sungguh-sungguh dengan segenap jiwa dan raganya disadari dengan adanya ilmu
yang memadai bagi kehidupannya di dunia dan di akhirat. Beliau juga merupakan
sahabat Nabi yang selalu menegakkan hukum dengan kokoh, hal ini seperti sabda
Rasulullah tentang keistimewaan delapan sahabat Nabi yang saleh, salah satunya
adalah Ali bin Abi Thalib, yaitu: Ali adalah penegak hukum yang paling kokoh.10
8 Muhammad Al-Baqir, Op.Cit., hlm. 35-36. 9 Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantari, Nashaihul Ibad, Terj. H. Ahmad Abd. Majid, MA.,
Mutiara Ilmu, Surabaya, hal. 81. 10 Ibid., hal. 88.
-
16
Melihat sekelumit contoh keteladanan Ali bin Abi Thalib di atas, maka
amatlah pantas apabila beliau dijadikan teladan atau contoh bagaimana seorang
muslim seharusnya bersikap dan juga patut unuk dipatuhi segala fatwa yang
keluar dari lisan beliau. Seperti halnya syarat-syarat sukses yang diajukan oleh
beliau kiranya patut untuk dijadikan pedoman apabila menginginkan
kesukseskan dalam mencari ilmu. Berdasar kepada hal inilah maka kami
mencoba mengupas secara mendalam salah satu dari fatwa Sayyidina Ali bin Abi
Thalib yang terkenal, yaitu enam syarat sukses dalam mencari ilmu, relevansinya
dengan prinsip-prinsip pendidikan modern.
B. Syarat-syarat Mencari Ilmu Dalam Syair Ali bin Abi Thalib
11
Artinya: Tidak akan berhasil seseorang dalam mencari ilmu kecuali
dengan enam syarat maka akan aku sampaikan kepadamu keseluruhan syarat-syarat tersebut dengan jelas cerdas, giat, sabar, mempunyai biaya adanya petunjuk dari seseorang guru dan dalam waktu yang lama.
Syair ini dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib pada saat Islam sedang
dalam masa perkembangannya, dimana orang Islam sedang dalam kondisi ingin
memajukan Islam agar menjadi agama yang diakui oleh masyarakat luas di
seluruh penjuru dunia. Pada saat itu agama Islam sudah mulai maju dan
kekuasaan kekhalifahan Islam juga sudah makin luas sehingga pengembangan
agama Islam sudah tidak begitu terfokus pada pengembangan dan perluasan
wilayah Islam, akan tetapi lebih terfokus pada pengembangan sumber daya
manusianya, hal ini bertujuan untuk lebih menguatkan Islam dari dalam supaya
tidak mudah hancur apabila menghadapi serangan baik dari dalam maupun dari
luar.
11 Syekh Ibrahim bin Ismail Azzarnuji, Talimul Mutaallim, CV. Toha Putra, Semarang,
t.th., hal. 15.
-
17
Dengan adanya situasi seperti ini, maka orang Islam berlomba-lomba
untuk memperkaya ilmu pengetahuannya baik itu yang berupa ilmu syariyyah
maupun ilmu umum, sehingga Islam menjadi agama yang maju baik dalam
bidang kekuasaannya maupun keilmuannya sampai akhirnya Islam menjadi
kiblat utama ilmu pengetahuan di dunia.
Dalam hal ini yang dijadikan sebagai indikator sebuah kesuksesan
(keberhasilan) mencari ilmu (belajar) adalah daya serap terhadap bahan
pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tertinggi.12 Prestasi tertinggi disini
yang telah dia pelajari atau diterima dari seorang guru, dengan demikian
kesuksesan tidak dipandang dari segi material (material oriented), dimana
seseorang baru dianggap berhasil dalam mencari ilmu apabila setelah menempuh
suatu proses pendidikan maka dia dapat mengumpulkan banyak materi yang
bersumber dari ilmu yang dia dapat.
Sedangkan tingkatan-tingkatan ilmu adalah berdasarkan kadar
kedekatannya dengan ilmu akhirat.13 Dalam hal ini ilmu-ilmu syariat lebih
utama dari pada ilmu-ilmu lainnya, maka ilmu yang berkaitan dengan hakikat-
hakikat syariat lebih utama dari pada ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum
lahiriyah. Hal ini dikarenakan ilmu syariat mengedepankan hubungan manusia
dengan Allah. Sedangkan ilmu umum lebih condong membahas hubungan
manusia dengan sesamanya (lingkungan).
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, maka terjadi pula
perubahan pola pikir masyarakat tentang masalah keilmuan. Pada zaman modern
seperti sekarang ini justru ilmu yang menyangkut akan masalah keduniaan (ilmu
umum) lebih banyak diminati oleh masyarakat dibandingkan dengan ilmu yang
membahas masalah syariat, hal ini bisa dilihat dari banyaknya orang tua yang
lebih suka menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah umum dibandingkan
menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Ini menunjukkan bahwa
12 Syaiful Bahri Djamarat, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Rineka Ciptra,
Jakarta, 2000, hal. 96. 13 Abu Hamid Al-Ghozali, Mutiara Ihya Ulumuddin, Terj. Irwan Kurniawan, Mizan,
Bandung, 1997, hal. 27.
-
18
telah terjadi pergeseran pola pemikiran masyarakat zaman dulu dengan pola
pemikiran masyarakat modern.
Walaupun pola pemikiran dan cara pandang akan nilai suatu ilmu sudah
mengalami pergeseran, tetap saja syarat-syarat (sukses) dalam belajar (mencari
ilmu) dalam syair Ali bin Abi Thalib masih bisa kita jadikan sebagai pedoman
yang apabila betul-betul dipenuhi keenam syarat tersebut, maka seseorang akan
mencapai kesuksesan dalam mencari ilmu, baik kesuksesan itu dipandang dari
sudut pandang salafi (klasik) maupun sudut pandang khalafi (modern).
Keenam syarat sukses dalam syair Ali bin Abi Thalib, antara lain :
(cerdas) .1
Cerdas bisa diartikan sebagai sempurna dalam perkembangan akal
dan budi (Untuk berpikir, mengerti).14 Anak yang cerdas juga bisa diartikan
sebagai anak yang tajam pikirannya. sehingga anak tersebut dapat
mengingat, menghafal dan memahami segala sesuatu dengan cepat. Dalam
definisi yang lain, kecerdasan (intellegensi) adalah kemampuan untuk
memahami keterkaitan antara berbagai hal, kemampuan untuk mencipta,
memperbaharui, mengajar, berpikir, memahami, mengingat, merasakan,
dan berimajinasi, memecahkan permasalahan, dan kemampuan untuk
mengerjakan berbagai pekerjaan dalam berbagai tingkat kesulitan.15 Oleh
sebab itu maka kecerdasan menduduki urutan pertama dalam syarat
kesuksesan mencari ilmu. Jika seorang anak memiliki suatu tingkat
kecerdasan yang tinggi maka anak tersebut akan cepat untuk menyerap
suatu ilmu yang diberikan padanya, dan apabila seorang anak memiliki
tingkat kecerdasan yang rendah, maka anak tersebut akan mengalami
kesulitan dalam menyerap suatu ilmu dan dia akan cenderung membutuhkan
waktu yang lebih lama apabila ingin menguasai suatu ilmu.
Pada umumnya anak-anak memiliki ingatan yang tajam dan
otomatis. Hal ini dikarenakan ingatan seorang anak masih murni dan bersih,
belum dikotori oleh anggapan-anggapan dan problem-problem. Karena itu,
14 Hasan Sadily, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1997, hal. 186. 15 Muhammad Said Mursi, Op.Cit., hal. 207.
-
19
ia mampu untuk banyak menghafal dengan tanpa pemahaman. Inilah yang
dimaksud dengan otomatis disini.16 Oleh sebab inilah anak-anak mempunyai
kecenderungan untuk dapat cepat menghafal dibandingkan dengan orang
yang telah dewasa dan lagi hafalan mereka akan terus terekam dalam
memori mereka sampai kapanpun dan tidak akan mudah untuk hilang.
Akal yang cerdas adalah karunia dari Allah. Indikatornya ialah
kecerdasan umum. Kecerdasan itu, selain ditentukan oleh Tuhan, juga
berkaitan dengan keturunan kesehatan jiwa dan fisik jelas berkaitan pula
dengan kecerdasan tersebut.17 Kecerdasan tumbuh selaras dengan
peningkatan usia sampai umur dua puluh tahun.18
Seorang anak yang cerdas memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 19
a. Kemampuannya dalam menelaah dan memahami sesuatu lebih kuat dari pada anak lain.
b. Kemampuannya dalam belajar dan menyerap berbagai pemikiran serta pengetahuan sangat cepat.
c. Selalu dapat menyikapi dan memecahkan permasalahan dengan tepat. d. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam memahami keterkaitan antara
berbagai hal, angka-angka dan antara kalimat-kalimat. e. Kreatifitasnya tinggi, mampu untuk berbuat perencanaan dan upaya
untuk mencapai suatu ujuan. f. Pandai beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang berbeda dan
berubah. g. Tingkat keberhasilannya tinggi dalam berbagai aktivitas yang bersifat
ilmiah. h. Memiliki sifat dan kemauan yang keras. i. Bebas j. Percaya diri k. Hobi dan ketertarikannya banyak.
Kecerdasan dapat ditingkatkan dengan beberapa cara seperti
berikut : 20
16 Muhammad Said Mursi, Op.Cit., hal. 9. 17Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya,,
Bandung, 1994, hal. 44. 18 Muhammad Said Mursi, Op.Cit., hal. 207. 19 Ibid., hal. 207-208. 20 Ibid., hal. 208-211.
-
20
a. Belajar: seseorang yang belajar secara berkesinambungan dapat meningkatkan intelegensi lebih cepat dari pada yang tidak mengikuti pelajaran.
b. Pemeliharaan kesehatan: ada keterkaitan antara pertumbuhan fisik dan intelektual. Apabila fisik seseorang anak dalam keadaan yang bagus, maka otomatis akan menunjang bagi perkembangan intelektualnya.
c. Makanan: makanan yang sehat dan bergizi tinggi sangat baik bagi perkembangan kecerdasan seorang anak.
d. Olah raga: anak yang gemar berolah raga akan lebih cerdas karena darah yang naik ke sistem syarafnya lebih banyak dari pada anak yang tidak suka berolahraga.
e. Kondisi emosi: seorang anak yang dihindarkan dari kebisingan dan gangguan yang bisa mengganggu emosionalitasnya akan sangat membantu pada peningkatan kemampuan berpikir dan tingkat intelligensi mereka.
f. Motivasi: untuk berkreasi dan berinovasi, apabila seorang anak diberi motivasi setiap kali dia melakukan suatu kreasi dan inovasi, maka hal ini akan memacu semangat si anak untuk terus berkreasi dengan lebih baik.
g. Meningkatkan kemampuan berpikir: yaitu dengan cara melatih seorang anak untuk dapat mengerjakan suatu pekerjaan. Misalnya melatih anak untuk menghafal angka-angka dari urutan sebenarnya kemudian urutan tersebut dibalik, atau dengan permainan yang mengandung unsur konsentrasi.
h. Tempat-tempat ibadah (seperti masjid dan lain-lain). Hal ini karena masjid merupakan tempat (pusat) penyebaran dan kebudayaan Islam, sehingga akan dapat memotivasi anak untuk lebih mengenal dan mencintai agamanya, apabila hal ini sudah terlaksana maka akan mempunyai dampak positif bagi perkembangan mental dan jiwa seorang anak.
i. Permainan: pada usia anak, permainan merupakan sarana untuk belajar dan tumbuh berkembang, karena permainan bisa mendorong anak-anak untuk menjadi aktif.
j. Membaca dan menelaah: dengan membaca dan merebah berbagai macam buku ilmiah, maka akan dapat menambah wawasan dan juga makin meningkatkan kecerdasan dan kreativitas seorang anak.
k. Hobi dan relaksasi: hobi merupakan suatu hal yang baik dilakukan untuk mengisi waktu luang anak, hal ini sangat penting untuk perkembangan kepribadian mereka. Sedangkan kegiatan relaksasi bisa diisi dengan berbagai macam aktivitas yang bisa menambah pengalaman dan keahlian mereka. Misalnya dengan mengadakan kegiatan berkemah, tour, rekreasi, dan lain-lain.
l. Membaca dan mengisi buku teka-teki: hal ini berguna untuk melatih kemampuan seorang anak dalam berpikir.
m. Membaca buku-buku mengenai kisah orang-orang cerdas: hal ini baik untuk memotivasi anak agar mempunyai keinginan untuk menjadi seseorang seperti dalam buku yang mereka baca.
-
21
(giat) .2
Giat dalam hal ini diartikan sebagai kegigihan dan keuletan dalam
menghadapi problem-problem yang ada selama proses belajar. Dalam Islam
dikenal kata jihad yang berarti sunguh-sungguh, apabila kata jihad ini
dikaitkan dengan kata hirshin maka keduanya mempunyai persamaan yaitu
dalam hal mengontrol hawa nafsu yang ada dalam diri tiap manusia. Giat
dalam belajar berarti selalu berusaha untuk terus menerus menekuni
pelajaran dan melawan hawa nafsu yang ada dalam diri yang selalu
menginginkan untuk berhenti dalam berusaha (belajar), sedangkan jihad
mempunyai pengertian untuk selalu melawan hawa nafsu yang ada dalam
diri tiap-tiap manusia.21 Dalam hal ini jihad bisa juga dimasukkan dalam
pengertian melawan sifat-sifat malas dan jenuh yang selalu menghinggapi
pikiran orang yang sedang mencari ilmu. Dengan kata lain orang yang
menuntut ilmu juga disebut orang yang berjihad di jalan Allah, disebut jihad
fi sabilillah.22
Giat mempunyai suatu unsur penunjang yang sangat penting dan
sangat menentukan, yaitu kemauan. Kemauan disebut juga sebagai
kekuatan, kehendak, dapat diartikan sebagai kekuatan untuk memilih dan
merealisasi tujuan, dan untuk merealisasikan suatu tujuan memerlukan
suatu kekuatan yang disebut kemauan.23 Kemauan disebut juga dengan
istilah motivasi.
Seseorang yang menginginkan kesuksesan dalam mencari ilmu
haruslah memenuhi syarat (giat dalam belajar). Sedangkan
seseorang baru bisa menjadi giat dalam belajar apabila mempunyai kemauan
yang keras dan semangat pantang menyerah sebelum benar-benar bisa
21 Azzumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat Tidak Jadi Buih, Mizan, Bandung, 2000, hal.
96. 22 Ibid., hal. 96. 23 Wasty Soemanto, Psikologi Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta,
1998, hal. 40.
-
22
tercapai maksud dan tujuan yang diinginkan, yaitu kesuksesan dalam
belajar.
Pada dasarnya kemauan (motivasi) mempunyai dua elemen, yaitu
elemen dalam (inner component) dan elemen luar (outer component). 24
a. Elemen dalam (Inner component)
Elemen ini berupa perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang,
berupa keadaan tidak puas atau ketegangan psikologis. Rasa tidak puas
ini bisa timbul karena kenginan-keinginan untuk memperoleh
penghargaan, pengakuan serta berbagai macam kebutuhan lainnya.
b. Elemen luar (outer component)
Elemen luar dari motivasi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh
seseorang. Tujuan itu sendiri berada di luar diri seseorang, namun
mengarahkan tingkah laku orang itu untuk mencapainya. Seseorang
yang diasumsikan mempunyai kebutuhan akan penghargaan dan
pengakuan, maka timbullah tujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Peristiwa terbentuknya elemen dalam dan luar daripada motivasi
adalah serempak.25 Artinya elemen yang satu mendahului kemudian diikuti
oleh elemen yang lain. Suatu contoh anak yang ingin menjadi anak yang
pandai (inner component) dan kemudian dia dengan kepandaiannya akan
disegani dalam kelasnya (outer component). Maka anak tersebut dengan
gigihnya akan belajar dan akhirnya mendapat ranking satu, dengan dia
memperoleh ranking satu maka teman-temannya di kelas akan hormat. Hal
ini menunjukkan bahwa outer component akan segera menyusul setelah
inner component terpenuhi.
Seorang dengan kemauan (motivasi) yang kuat, maka dengan
sendirinya akan giat dan gigih dalam belajar sampai tercapainya kesuksesan
seperti yang diinginkan sejak awal mencari ilmu (niatnya), dengan adanya
motivasi yang kuat maka dia akan berusaha untuk melawan hambatan dan
rintangan yang selalu menghalangi langkah dalam mencari ilmu.
24 Ibid., hal. 207. 25Ibid., hal. 207.
-
23
Hambatan dan rintangan yang dihadapi seseorang dalam belajar
bisa berupa beberapa hal berikut, antara lain :
a. Jenuh
Jenuh dapat berarti jemu atau bosan. Menurut Reber, yang
dikutip oleh Wasty Soemanto dalam bukunya yang berjudul Psikologi
Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, mendefinisikan jenuh sebagai
rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak
mendatangkan hasil.26 Seseorang yang mengalami kejenuhan belajar
merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari
belajar tidak mengalami kemajuan. Tidak adanya kemajuan belajar ini
biasanya hanya berlangsung dalam rentang waktu tertentu (tidak
selamanya). Namun tidak menutup kemungkinan seseorang mengalami
kejenuhan selama berkali-kali dalam satu periode belajar.
Seseorang yang mengalami peristiwa jenuh dalam proses
belajar (kejenuhan belajar) dapat membuat siswa tersebut merasa telah
memubazirkan usahanya, dengan adanya perasaan tersebut kemudian
timbul suatu keinginan dalam dirinya untuk berhenti belajar. Apabila
perasaan tersebut tidak cepat diantisipasi maka akan berakibat pada
merosotnya prestasi belajar dan akhirnya menghambat laju kesuksesan
dalam belajar.
Kejenuhan identik dengan keletihan. Sedangkan menurut Cross,
yang dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan
Dengan Pendekatan Baru, menyatakan bahwa keletihan dapat
dikategorikan menjadi tiga macam, yakni : 27
1. Keletihan indera 2. Keletihan fisik 3. Keletihan mental
Keletihan mental inilah yang dipandang sebagai faktor utama
kejenuhan. Selanjutnya, kiat-kiat untuk mengatasi keletihan mental yang
26 Ibid., hal. 165. 27 Ibid, hal. 166.
-
24
menyebabkan munculnya kejenuhan belajar itu, antara lain sebagai
berikut : 28
1. Melakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan yang bergizi 2. Pengubahan atau penjadwalan kembali jam-jam belajar 3. Pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar 4. Memberikan motivasi atau stimulasi baru untuk merangsang semangat
belajar 5. Langkah nyata (tidak menyerah atau tinggal diam) dengan cara
mencoba belajar dan belajar lagi.
Dengan adanya kelima cara tersebut maka diharapkan keletihan
mental yang berakibat pada kejenuhan belajar bisa diatasi, tapi hal yang
paling pokok dalam mengatasi kejenuhan belajar adalah sikap gigih, giat
dan pantang menyerah yang ada dalam diri seseorang. Karena tanpa
tindakan konkret tersebut maka ke-empat cara yang ada di atasnya tidak
akan mempan untuk mengatasi persoalan tersebut.
b. Frustasi
Frustasi ialah keadaan batin seseorang, ketidakseimbangan
dalam jiwa. Suatu perasaan tidak puas karena hasrat atau dorongan
yang tidak dapat terpenuhi.29
Woodworth dalam bukunya Psychology yang dikutip oleh
Ngalim Purwanto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis, mengemukakan bahwa rintangan-rintangan yang
dapat menimbulkan frustasi dapat dibagi menjadi empat golongan besar
yaitu :30
1. Rintangan yang bukan manusia, bisa berupa lingkungan tempat belajar, atau kurangnya alat-alat yang dibutuhkan.
2. Rintangan yang disebabkan orang lain, misalnya kita sedang belajar teman-teman dalam satu ruang sedang melakukan sesuatu yang membuat gaduh
3. Pertentangan antara motif-motif positif yang terdapat dalam diri orang itu, misalnya ketika seorang anak akan berangkat sekolah tapi di rumah saudaranya sedang sakit padahal di sekolah sedang
28 Ibid. 29 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal. 113. 30 Ibid.
-
25
ulangan, dalam hati anak tersebut ingin berangkat sekolah tetapi disisi yang lain tidak tega melihat kondisi saudaranya yang sakit di rumah.
4. Pertentangan antara motif positif dan motif negatif yang ada dalam dirinya, misal seorang anak akan belajar suatu macam pelajaran, akan tetapi di luar temannya sedang asik berkumpul dan bermain, dalam hati kemudian timbul pertentangan antara kebutuhan belajar dan keinginan untuk bermain bersama dengan teman-temannya, akhirnya dengan hati yang gelisah dia tetap belajar di rumahnya.
c. Lupa
Hambatan dalam belajar yang ke-tiga adalah lupa, lupa ialah
hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apa-
apa yang telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber
(1988) yang dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi
Pendidikan Dengan Pendekatan Baru mendefinisikan lupa sebagai
ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang dipelajari atau
dialami.31 Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya
informasi dan pengetahuan dari akal kita, melainkan sebatas tidak
dikenal atau diingatnya sesuatu yang telah dipelajari atau dialami.
Adapun faktor yang menyebabkan kelupaan, antara lain :
1. Karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam memori. Peristiwa yang terjadi karena seseorang mempelajari sebuah materi yang baru yang mirip dengan materi hal yang lama telah dikuasai. Hal ini bisa mengakibatkan materi yang baru dipelajarinya menjadi sulit untuk diingat (proactive interference) atau bisa jadi materi yang sudah lama dipelajari menjadi sulit diingat karena ada penumpukan oleh materi yang baru (retroactive interference).
2. Karena adanya tekanan oleh item yang telah ada, baik sengaja ataupun tidak. Peristiwa ini bisa disebabkan oleh kurang menariknya item informasi yang diterima, item informasi yang baru menekan item informasi yang lama, atau karena item informasi yang akan diingat kembali tertekan ke alam bawah sadarnya.
3. Karena adanya perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali.
4. Karena adanya perubahan sikap dan minat terhadap proses dan situasi belajar tertentu.
31 Muhibbin Syah, Op.Cit., hal. 158.
-
26
5. Karena materi yang dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan 6. Karena perubahan urat syaraf.32
Ketiga macam bentuk hambatan atau rintangan dalam belajar
tersebut hanya dapat diatasi apabila seseorang benar-benar berusaha untuk
secara terus menerus tanpa kenal menyerah melawannya, seperti kata
pepatah:
Artinya: Siapa yang berusaha (dengan keras) maka akan mendapatkannya.33
Dengan terus berusaha, maka orang akan belajar dari kesalahannya
untuk kemudian memperbaiki kesalahan tersebut, sehingga lama kelamaan
dia akan bisa mengatasi masalah yang dihadapi dan akhirnya bisa
mendapatkan keinginannya.
(sabar) .3
Sabar berarti tahan dalam menghadapi cobaan (tidak lekas marah,
tidak lekas putus asa dan tidak patah hati).34
Dalam pengertian yang lain, sabar adalah tetap dan teguhnya
dorongan keagamaan dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.35 Dorongan
keagamaan merupakan sesuatu yang padanya manusia ditunjukkan berupa
marifat (pengetahuan/pengenalan) terhadap Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan
marifat terhadap semua kemaslahatan yang berkaitan dengan akibat yang
baik.36
Seorang manusia yang sabar akan terus berupaya untuk selalu
mempertahankan dorongan keagamaan yang ada pada dirinya, walaupun
32Ibid, hal. 158-160. 33Imam Muhyidin An-Nawawi, Al Adzkar, Darul Ihya, Indonesia, hal. 4. 34Poerwadarminto, dkk., Op.Cit., hal. 857. 35Syekh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Mauidhatul Muminin, Terj. Abu Ridha,
Bimbingan Orang Mumin, CV. Asy-Syifa, Semarang, 1993, hal. 698. 36 Ibid.
-
27
terkadang dorongan keagamaan tersebut terkesan sulit untuk bisa
diperjuangkan, hal ini berkaitan dengan adanya dorongan hawa nafsu yang
ada pada setiap diri manusia yang bertolak belakang dengan dorongan
keagamaan.
Dorongan hawa nafsu merupakan pemenuhan shahwat sesuai
dengan yang dinginkan.37 Syahwat disini bisa diartikan sebagai semua
keinginan yang berkonotasi negatif yang ada pada diri manusia, misalnya:
Orang sedang berusaha untuk menguasai bab mawaris dalam kajian ilmu
fiqh, akan tetapi karena tingkat kesulitannya yang tinggi, maka timbullah
kejenuhan sehingga orang tersebut akhirnya menjadi enggan untuk
mempelajari ilmu tersebut dan tidak akan berhasil menguasainya. Tetapi
sebaliknya apabila orang tersebut teguh hatinya untuk terus
mempertahankan dorongan keagamaan yang ada pada dirinya, yaitu dengan
terus berikhtiar dan belajar secara terus menerus maka orang tersebut pada
akhirnya akan mampu untuk menguasai ilmu tersebut.
Dorongan keagamaan dalam menghadapi dorongan hawa nafsu
mempunyai tiga keadaan, yaitu :
a. Dorongan keagamaan ini dapat mengalahkan dorongan hawa nafsu, sehingga tidak tersisa sedikitpun padanya kekuatan untuk melakukan perlawanan. Dalam hal ini hanya orang-orang khawas yang bisa melakukannya, tidak semua orang bisa melakukannya.
b. Dorongan hawa nafsu mengalahkan dorongan keagamaan dan menghancurkan sama sekali perlawanannya. Orang yang benar-benar demikian berarti telah tunduk dan menyerahkan diri kepada setan tanpa ada perjuangan sedikitpun.
c. Pertarungan antara kedua dorongan ini berlangsung dengan seimbang, dimana masing-masing dorongan silih berganti beroleh kemenangan, golongan ini merupakan golongan orang-orang yang berjuang.38
Setelah mengetahui 3 (tiga) keadaan golongan di atas, maka
kesemuanya diserahkan kembali kepada masing-masing individu, apakah
ingin termasuk dalam golongan orang yang berusaha atau mampu
mengalahkan hawa nafsu yang ada pada dirinya, ataukah ikut kepada
37 Ibid. 38 Ibid., hal. 699.
-
28
golongan orang-orang yang tunduk dan menjadi budak hawa nafsu. Bagi
orang yang ingin sukses dalam upayanya mencari ilmu, maka orang tersebut
haruslah berada pada golongan orang-orang yang berjuang untuk
mengalahkan hawa nafsunya Dengan demikian orang tersebut akan
mempunyai tekad untuk terus berusaha dan memperbaiki diri sampai betul-
betul tercapai segala yang menjadi tujuannya. Akan tetapi apabila orang
tersebut menyerah dengan hawa nafsunya, maka dapat dipastikan hanya
kegagalan yang di dapat.
Oleh karena berat dan sulitnya rintangan dan tantangan yang
dihadapi seseorang dalam mencapai suatu kesabaran. Allah SWT
berfirman :
Artinya: Sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar (QS. Al-Baqarah: 153)
Firman Allah di atas sebagai gambaran bahwasanya Allah sangat
menghargai dan menyukai orang-orang yang sabar, dikarenakan sabar
membutuhkan keuletan dan latihan dalam jangka waktu yang lama.
Ibnu Abbas r.a. berkata, kesabaran di dalam al-Quran ada tiga
aspek, yaitu: kesabaran dalam menunaikan fardhu-fardhu kepada Allah
SWT, maka ini memiliki tiga ratus derajat; kesabaran dari menjauhi
larangan-larangan Allah SWT, dan ini memiliki enam ratus derajat, dan
kesabaran terhadap musibah ketika pertama kali menimpa, dan ini memiliki
sembilan ratus derajat.39 Dalam hal ini menuntut ilmu adalah termasuk
fardhu-fardhu Allah sehingga memperoleh tiga ratus derajat.
Dengan demikian orang yang menginginkan kesuksesan di dalam
mencari ilmu, maka dia diharuskan untuk bersabar, yaitu dengan terus
berusaha belajar dan terus menerangi hawa nafsunya dan Allah
39 Abu Hamid Al-Ghozali, Op.Cit., hal. 316-317.
-
29
memberikan penghargaan kepada orang-orang yang bersabar dalam mencari
(menuntut) ilmu dengan memberi keutamaan tiga ratus derajat.
(mempunyai biaya) .4
Mempunyai biaya disini diartikan sebagai ongkos yang mencukupi
untuk biaya hidup, sekiranya orang tersebut (yang menuntut ilmu) tidak lagi
membutuhkan pertolongan dari orang lain dalam masalah rejeki.40
Seseorang yang sedang mencari ilmu disyaratkan untuk
mempunyai biaya (ongkos). Dimaksudkan supaya orang tersebut bisa
berkonsentrasi secara penuh dalam mencari ilmu (belajar) sehingga tidak
terganggu dengan pemikiran-pemikiran yang lain yang bisa mengganggu
dalam proses belajarnya, seseorang tidak mungkin bisa menuntut ilmu
dengan baik apabila dia tidak mempunyai biaya untuk membeli alat-alat
kebutuhan belajar, seperti buku pelajaran misalnya, atau seseorang tidak
akan bisa belajar dengan tenang apabila dia kekurangan uang untuk
kebutuhan sehari-hari, seperti halnya kebutuhan untuk makan. Jadi tidak
mungkin seseorang bisa belajar dengan baik apabila konsentrasinya masih
terpecah dalam masalah biaya kehidupannya, kalaupun orang tersebut bisa
menutupi kekurangannya dalam hal biaya (ongkos) ini dengan bekerja
sambilan, tetap saja akan mempengaruhi konsentrasinya dalam belajar,
sebab orang tersebut konsentrasinya terpecah antara bagaimana cara
mencari biaya hidup dengan bagaimana agar pelajaran yang dia dapat bisa
dikuasai dengan baik.
Orang Jawa mengatakan jer basuki mowo beo, kesuksesan atau
kejayaan tidak akan pernah bisa tercapai kecuali dengan adanya biaya.
Kiranya hal ini tepat adanya bila dicocokkan dengan persyaratan bulghoh,
sebagaimana ongkos (biaya) mempunyai andil yang sangat besar dalam
mencapai kesuksesan atau kejayaan.
Faktor tingkat ekonomi keluarga yang rendah akan mengganggu
konsentrasi seseorang dalam mencari ilmu, hal ini dikarenakan
40 Syekh Ibrahim bin Ismail, Talimul Mutaallim, CV. Toha Putra, Semarang, hal. 15.
-
30
konsentrasinya akan terpecah antara belajar dan mencari uang untuk biaya
sekolahnya, apalagi jika sampai begitu minim dan rendahnya tingkat
ekonomi dari keluarga sehingga tidak mempunyai ongkos sedikitpun untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, jangankan untuk membiayai sekolah,
untuk makan saja susah, maka bisa-bisa pendidikan bagi anak tersebut akan
berhenti sama sekali.
(adanya petunjuk dari guru) .5
Guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat
kedewasaan, sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya
(baik sebagai khalifah maupun abd).41 Oleh karena itulah guru mempunyai
peran yang sangat penting bagi seorang murid, guru bertanggung jawab
tidak sebatas dinding sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Hal ini mau tidak
mau menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku, dan
perbuatan anak didiknya tidak hanya di lingkungan sekolah, tapi juga di luar
sekolah.42 Dengan kata lain, tugas guru adalah melahirkan atau membentuk
manusia yang pandai tetapi berakhlak mulia dan bertakwa kepada Allah
SWT. sehingga mereka (anak didik) menjadi manusia yang berguna, baik
untuk dirinya maupun untuk orang lain, serta yang tidak kalah pentingnya
ialah manfaat untuk agamanya sehingga mereka mampu mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.43
Dalam kaitannya dengan pentingnya peran guru dalam pendidikan
muridnya, maka guru diharuskan untuk memenuhi beberapa persyaratan,
antara lain :
1. Takwa kepada Allah SWT 2. Berilmu 3. Sehat jasmani
41 H. Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hal. 42. 42 H. Syaiful Bahri Djamarah, Op.Cit., hal. 31. 43 Hasan Ayyub, Etika Islam Menuju Kehidupan Yang Hakiki, Trigenda Karya, Bandung,
1994, hal. 640.
-
31
4. Berkelakuan baik.44
Dengan bertakwa kepada Allah, maka diharapkan seorang guru
akan dapat memberi teladan yang baik bagi anak didiknya, sehingga
kemudian anak didiknya diharapkan bisa meniru semua perbuatan dan
tingkah laku gurunya. Dengan berilmu, berarti seorang guru mempunyai
petunjuk dan penjelasan yang sangat dibutuhkan oleh anak didiknya.
Sedangkan sehat jasmani yaitu seorang guru haruslah mempunyai tubuh
yang sehat, sebab dengan tubuh yang sehat akan sangat berpengaruh dengan
segala aktivitasnya dalam membina dan mendidik muridnya. Dan yang
terakhir yaitu berkelakuan baik, hal ini berhubungan dengan sikap dan
mental seorang guru, jika seorang guru mempunyai kelakuan yang baik
maka otomatis dia akan mengajar muridnya dengan baik pula, akan tetapi
jika kelakuannya buruk, maka dalam mengajarpun akan buruk sehingga
dikhawatirkan akan berdampak buruk pula bagi akhlak para muridnya.
Selain persyarataan di atas, seorang guru yang ideal seharusnya
juga mempunyai sifat dan sikap seperti halnya berikut, antara lain : 45
1. Adil Yaitu tidak membeda-bedakan dalam memperlakukan anak didik.
2. Percaya dan suka kepada murid-muridnya Percaya dalam hal ini adalah guru harus mengakui bahwa anak-anak mempunyai suatu kemauan dan mempunyai kata hati untuk selalu berbuat yang terbaik bagi dirinya. Sedangkan suka kepada murid-muridnya berarti seorang guru akan selalu setia mendampingi dan membimbing anak didiknya dalam berbagai macam situasi.
3. Sabar dan rela berkorban 4. Memiliki wibawa terhadap anak didiknya 5. Benar-benar menguasai pelajarannya
Apabila seorang guru memiliki pengetahuan yang luas (sesuai dengan mata pelajarannya/bidangnya) maka akan mempunyai dampak yang sangat besar pada anak didiknya, hal ini dikarenakan guru tersebut akan dapat memberikan petunjuk dan penjelasan yang sejelas-jelasnya dan secara mendalam kepada anak didiknya sehingga anak tersebut akan betul-betul memahami pelajarannya.
44 H. Syaiful Bahri Djamarah, Op.Cit., hal. 32-33. 45 Ahmad Tafsir, Op.Cit., hal. 84-85.
-
32
6. Suka pada pelajaran yang diberikannya Mengajarkan mata pelajaran yang disukai hasilnya lebih baik dan mendatangkan kegembiraan daripada sebaliknya.
7. Kasih sayang kepada anak didik Kasih sayang dibagi menjadi dua: pertama, kasih sayang dalam pergaulan; berarti guru harus lembut dalam pergaulan, sehingga tatkala menasehati murid yang melakukan kesalahan akan menegur dengan cara memberikan penjelasan, bukannya dengan celaan. Kedua, kasih sayang dalam mengajar, berarti guru tidak boleh memaksa murid memaksa murid mempelajari sesuatu yang belum dapat dijangkaunya. Dalam hal ini terkandung pengertian bahwa guru harus mengetahui perkembangan kemampuan muridnya.
8. Konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan.
Seorang guru mempunyai kewajiban untuk menyayangi anak
didiknya tak ubahnya terhadap anaknya sendiri, dengan demikian guru
tersebut tidak akan pernah enggan dan bosan untuk menasehati anak
didiknya.46 Dengan demikian seorang murid (anak didik) akan selalu berada
dalam bimbingan gurunya sehingga diharapkan akan terkontrol semua
aktivitasnya di dalam maupun di luar sekolah.
Berdasarkan pada beberapa persyaratan dan kriteria bagi seseorang
untuk menjadi seorang guru seperti yang kami paparkan di atas, maka
seharusnya setiap penuntut ilmu (murid) harus bertawadlu (merendah)
kepada gurunya dan mempercayakan segala urusan kepadanya secara
keseluruhan, serta tunduk kepada segala nasehatnya, memohon keridloan
Allah, melalui bakti dan khidmat pada gurunya, suka membantu dan
menolongnya, bahkan ikhlas berkorban apa saja demi memuliakan dan
menghormatinya.
Setiap murid harus menyadari bahwa gurunya, dengan ilmu dan
pengalamnnya serta keinginannya membentuk muridnya menjadi seorang
pribadi yang mulia. Mereka lebih mampu memberikan nasehat yang
terbaik, obat yang mujarab daripada yang lainnya. Apapun yang diberikan
dan yang diarahkan oleh guru pada muridnya, hendaklah ditaatinya dan
46 Muhammad Said Mursi, Op.Cit., hal. 393.
-
33
mengesampingkan pendapat dirinya, sebab kekeliruan gurunya (yang
mursyid) kemungkinan lebih baik daripada kebenaran dirinya.47
Menurut Imam Ghozali, jika seorang murid mempunyai pendapat
dan pilihannya sendiri dan mengesampingkan pendapat gurunya, maka
celakalah murid itu. Imam Ali berkata: Termasuk hak seorang guru tidak
diberondong dengan pertanyaan, tidak dipaksa menjawab, tidak
memaksanya duduk jika sudah akan pergi, tidak menyebarkan rahasianya,
tidak mengumpat seseorang di hadapannya, jangan mencari-cari
kesalahannya, jika keliru harus diterima uzur alasan atau halangannya, dan
setiap murid harus menghormati dengan mengagungkannya demi Allah
selama dia menjaga hukum-hukum Allah, harus duduk di depannya, jika
dia mempunyai hajat atau keperluan segeralah membantunya, dan jangan
sekali-kali mengatakan, si anu mengatakan (sesuatu) yang berbeda dengan
pendapatmu.48
(waktu yang lama) .6
Yang dimaksud dengan waktu yang lama adalah bahwasanya di dalam
mencari ilmu apabila seseorang menginginkan agar benar-benar menguasai
suatu ilmu maka haruslah mempelajari ilmu tersebut dalam waktu yang
relatif lama, sebab hal-hal yang berhubungan dengan ilmu tersebut sangat
banyak sehingga tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat.49
Hal ini dikarenakan suatu ilmu mempunyai suatu rangkaian yang
sangat erat dengan ilmu yang lain yang berhubungan dengan dengan al-
Quran yaitu bahasa Arab, sedangkan orang yang ingin menguasai bahasa
Arab harus mempelajari ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain yang
berhubungan dengan bahasa Arab. Apabila beberapa ilmu tersebut sudah
dikuasai, maka orang tersebut masih harus menguasai ilmu tafsir lengkap
dengan asbabul nuzul. Setelah berbagai macam ilmu penunjang tersebut
47 Hasan Ayyub, Op.Cit., hal. 636. 48 Ibid., hal. 637. 49 Syekh Ibrahim bin Ismail, Op.Cit., hal. 15.
-
34
dikuasai maka barulah seseorang bisa mengerti dan memahami kandungan
dari Al-Quran yang sebenarnya.
Berdasarkan contoh di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwasanya apabila seseorang menginginkan kesuksesan dalam mencari
ilmu, berarti dia harus memenuhi syarat (waktu yang lama),
karena seorang pelajar tidak mudah berpindah dari satu disiplin ilmu ke
disiplin ilmu yang lain sebelum dia merampungkan atau menyelesaikan satu
disiplin ilmu tertentu yang sedang ditekuninya.