bab ii ratio decidendi putusan mk 33/puu-ix/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. bab...

39
BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1 Wewenang Presiden dalam Pembentukan Perjanjian Internasional Presiden selain sebagai kepala negara juga menjabat sebagai kepala pemerintahan. Selaku kepala negara Presiden adalah simbol represetasi negara dan simbol pemersatu bangsa sementaras selaku kepala pemerintahan Presiden harus bertanggung jawab penuh atas jalannya suatu pemerintahan. 15 Presiden yang memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan salah satu ciri dari sistem presidensial. Sistem presidensial Presiden dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu, artinya keduanya bertanggung jawab pada rakyat. Meskipun masa jabatan Presiden telah ditentukan oleh Konstitusi namun rakyat tidak dapat melakukan pengawasan secara langsung maka dari itu anggota legislatif yang juga dipilih secara langsung oleh rakyat mengemban fungsi pengawasan tersebut. 16 Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sistem presidensial yaitu diantara lain adalah Presiden selain kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan, Presiden dan lembaga legislatif dipilih langsung oleh rakyat. 15 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, Bandung, 2009, h. 134. 16 Ibid. h. 133. 13 ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011) NI KETUT APRILYAWATHI

Upload: leanh

Post on 08-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

13

BAB II

RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011

BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH

KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN

INTERNASIONAL

2.1 Wewenang Presiden dalam Pembentukan Perjanjian Internasional

Presiden selain sebagai kepala negara juga menjabat sebagai kepala

pemerintahan. Selaku kepala negara Presiden adalah simbol represetasi negara

dan simbol pemersatu bangsa sementaras selaku kepala pemerintahan Presiden

harus bertanggung jawab penuh atas jalannya suatu pemerintahan.15

Presiden yang

memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala

pemerintahan merupakan salah satu ciri dari sistem presidensial. Sistem

presidensial Presiden dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu,

artinya keduanya bertanggung jawab pada rakyat. Meskipun masa jabatan

Presiden telah ditentukan oleh Konstitusi namun rakyat tidak dapat melakukan

pengawasan secara langsung maka dari itu anggota legislatif yang juga dipilih

secara langsung oleh rakyat mengemban fungsi pengawasan tersebut.16

Jadi dapat

disimpulkan bahwa ciri-ciri sistem presidensial yaitu diantara lain adalah Presiden

selain kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan, Presiden dan lembaga

legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

15

Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus

Media, Bandung, 2009, h. 134. 16

Ibid. h. 133.

13

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 2: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

14

Presiden didasarkan atas kategori mekanisme pelaksanaan wewenang

Presiden yang ada maka dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

1. Wewenang yang mekanisme pelaksanaannya hanya dilakukan oleh Presiden,

dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden yang mandiri

(wewenang prerogatif Presiden).

2. Wewenang yang dapat dilaksanakan dengan persetujuan DPR, dalam studi ini

kategorikan sebagai wewenang Presiden dengan persetujuan DPR.

3. Wewenang yang dilaksanakan dengan pertimbangan dari lembaga-lembaga

negara yang lain, dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden

dengan pertimbangan lembaga negara lain.17

Bentuk dari wewenang Presiden yang mandiri adalah wewenang

menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945), wewenang

mengangkat dan memberhentikan Menteri-Menteri (Pasal 17 ayat (1) dan (2)

UUD RI 1945), wewenang mengangkat dan memberhentikan Kapolri, dan

sebagainya. Contoh wewenang Presiden yang membutuhkan persetujuan DPR

adalah wewenang menyatakan perang dan membuat perdamaian (Pasal 11 UUD

NRI 1945 dan Pasal 41 ayat (2) UU No 20/1982), wewenang membuat perjanjian

dengan negara lain dan sebagainya. Wewenang Presiden yang menarik untuk

dibahas adalah mengenai wewenang pembuatan perjanjian dengan negara lain

yang tertuang dalam Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa” Presiden

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat

peramaian dan perjanjian dengan negara lain.” Dijelaskan kembali pada ayat 2

bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait

17

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Studi Mengenai Reposisi MPR,DPR dan,

Lembaga Kepresidenan Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2000,

h.194.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 3: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

15

dengan beban keuangan engara, dan/atau mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat.”

Mekanisme internal disetiap negara berbeda-beda dalam meratifikasi suatu

perjanjian internasional. Indonesia membutuhkan Persetujuan DPR untuk

melakukan mekanisme internalnya (Pasal 11 UUD NRI 1945). Hal demikian

berdasarkan pertimbangan bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan hak

dan kewajiban terhadap negara sehingga Presiden dalam membuat perjanjian

internasional memerlukan persetujuan DPR. Di setiap negara memiliki berbagai

macam mekanisme internal, hal ini terdapat pada Konvensi Wina 1969 Pasal 2

ayat 1 huruf b, yang diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Indonesia pada Pasal 11,

Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional.

Pasal 11 ayat 2 UUD NRI 1945, “Persetujuan DPR terhadap Perjanjian

Internasional” tidak dapat disamakan dengan “Persetujuan bersama DPR-Presiden

terhadap RUU” yang terdapat di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945

Persetujuan bersama yang dimaksud dalam pembuatan undang-undang jika diteliti

dalam kamus bahasa Indonesia kata “persetujuan” itu diartikan dengan

“pernyataan setuju” sedangkan kata “setuju” berarti “sepakat”, selain itu kata

“menyetujui” dapat juga berarti “membenarkan” atau “mengiyakan”.18

Maka dari

itu makna dari “persetujuan bersama” agar di dalam membentuk undang-undang

Dewan Perwakilan Rakyat harus melaksanakannya dengan persetujuan, atau

18

Maria Farida, Op. Cit., h. 134.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 4: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

16

dengan berbarengan, serentak, bersama-sama dengan Presiden mulai dari

pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

dilaksanakan agar undang-undang dapat terbentuk.19

Konsep persetujuan DPR dan tindakan Presiden tidak sama dengan

Persetujuan bersama DPR dengan Presiden. Disini konsep persetujuan DPR hanya

terkait pengesahanya saja, DPR tidak berwenang mengubah substansi perjanjian

internasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan negara atau organisasi

internasional lain.20

Beda halnya dengan pembuatan Undang-Undang yang

normanya dapat dirubah oleh Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat melalui

kewenangan “persetujuan”. Peran DPR disini hanyalah melaksanakan fungsi

check and balancesnya bukan fungsi legislasi.

2.2 Undang-Undang Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional

Undang-Undang merupakan instrumen penting bagi negara hukum. Sesuai

dengan asas Legalitas yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikenai hukuman jika

tidak ada hukum yang mengatur. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri negara hukum

(rechstaat) yang dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie.

Terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di negara hukum

yaitu Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam hukum

(Equality before the Law), Asas Legalitas, Pembatasan Kekuasaan, Organ-

organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan tidak memihak, Peradila

Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court),

Perlindungan Hak Asasi Manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai

19

Ibid. 20

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, bagian Disenting Oppinion.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 5: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

17

sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechstaat), serta

Transparansi dan Kontrol Sosial.21

Kedua belas prinsip tersebut tidak dapat terlepas dari fungsi undang-

undang yang memiliki peran penting dalam mendukung adanya negara hukum.

Undang-Undang merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-

ketentuan yang ada dalam UUD NRI 1945. Didalam UUD NRI 1945 banyak

sekali ketentuan-ketentuan yang masih abstrak dan ketentuan-ketentuan tersebut

adalah hal pokok yang mendukung adanya negara hukum, misalnya pengaturan

mengenai Hak Asasi Manusia yang diatur dalam bab XA UUD NRI 1945.

Ketetentuan dalam bab tersebut sangatlah abstrak sehingga membutuhkan

peraturan lebih lanjut untuk mengaturya. Contohnya pada Pasal 18 ayat (2) UUD

NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatua Republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang”. Dalam

ketentuan pasal tersebut konsep menghormati masyarakat adat belumlah konkrit

dan jelas melalui mekanisme yang seperti apa, maka dari itu dalam kalimat

selanjutnya dijelaskan bahwa ketentuan ini diatur dalam undang-undang.

Fungsi undang-undang jika dikaitkan dengan peran undang-undang

sebagai peraturan lebih lanjut adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut

dalam UUD NRI 1945 yang tegas-tegas menyebutkannya, pegaturan lebih lanjut

secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945,

21

Jimly A., Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan MK, Jakarta, 2006, h.155-161.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 6: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

18

pengaturan lebih lanjut dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya,

serta pengaturan di bidang materi dalam konstitusi.22

Menurut UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat (2), Undang-Undang merupakan

peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan

bersama Presiden. Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU

12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang

menyatakan bahwa Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang

dibentuk oleh DPR dan persetujuan bersama Presiden. Dari definisi tersebut dapat

ditarik kesimpulan bahwa syarat suatu peraturan dapat disebut sebagai undang-

undang dilihat dari pembentuknya adalah dibentuk oleh DPR dan mendapat

persetujuan bersama Presiden. Syarat ini menjadi karakteristik khusus dalam

membedakan undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Syarat harus dibentuk oleh DPR dan mendapat persetujuan bersama

dengan Presiden dapat mengklasifikasikan undang-undang menjadi 2 macam

yaitu pengertian undang-undang selain dalam arti formil (wet in formale zin) dan

undang-udang dalam arti materiil (wet in materiele zin).

Di Belanda apa yang disebutkan dengan „wet in formale zin’ adalah setiap

keputusan yang dibentuk oleh Regering dan Staten General atau dalam

konteks Indonesia yaitu dibuat oleh Presiden dengan persetujuan bersama

DPR, sedangkan yag disebut dengan „wet in materiele zin‟ adalah setiap

keputusan yang dibentuk baik oleh Regering atau State General maupun

keputusan-keputusan lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga lainnya

selain yang dibentuk baik oleh Regeling dan Staten General asalkan isinya

22

Maria F., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius,

Yogyakarta, 2007, h. 215-221.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 7: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

19

adalah peraturan lain yang mengikat umum (algemene verbidende

voorschriften).23

Dapat diambil kesimpulan bahwa undang-undang dalam arti materiil atau

wet in materiele zin merupakan peraturan perundang-undangan yang hanya

dibentuk salah satu syarat pembentukan undang-undang dan memuat aturan

umum (tidak konkrit). Contohnya adalah Undang-Undang APBN, Undang-

undang ini tidak mengikat secara umum dan tidak konkrit karena Undang-Undang

APBN hanya berisi dua tiga pasal saja, namun lampirannya sangatlah tebal.24

Rumusan undang-undangnya dapat dikatakan hanya dicantumkan menjadi

semacam pengantar saja. Demikian pula dengan undang-undang ratifikasi

perjanjian internasional, yang justru lebih penting adalah lampirannya.

Tetapi pembentuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara telah memenuhi syarat pembentuk undang-undang dalam arti formil. Lain

halnya dengan Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang

menurut Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 hanya dibentuk oleh Presiden namun

materi muatan dan kedudukannya disejajarkan dengan undang-undang.

Namun hal ini juga terjadi pada undang-undang hasil ratifikasi perjanjian

internasional. Menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia menyatakan bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional

lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat

yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan

23

Ibid., h. 52. 24

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekertariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, h. 53.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 8: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

20

atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang hasil

ratifikasi telah memenuhi syarat pembentukan hasil undang-undang, tetapi apakah

materi atau muatan dalam Undang-Undang hasil ratifikasi bersifat umum ataukah

konkrit?

Untuk memperjelas pembedaan wet in formale zin dengan wet in materiele

zin perlu adanya faktor lain yang membedakan yaitu berdasarkan materi muatan

suatu peraturan perundang-undangan. Undang-undang memiliki materi muatan

yang sangat khas yaitu:

1. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD NRI 1945 dan TAP MPR;

2. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI 1945;

3. Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;

4. Yang mengatur hak dan kewajiban warganegara;

5. Yang mengatur pembagian kekuasaan;

6. Yang mengatur organisasi pokok Lembaga-Lembaga Tinggi Negara;

7. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;

8. Yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh/kehilangan

kewarganegaraan;

9. Yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan

Undang.25

Materi muatan ini menentukan apakah suatu masalah dapat ditetapkan

dengan peraturan berbentuk undang-undang atau dengan peraturan perundang-

undangan yang lainnya yaitu Keputusan Presiden jika dalam konteks pengesahan

perjanjian internasional. Apabila telah memenuhi salah satu materi muatan yang

telah diuraikan diatas maka masalah tersebut dapat diatur dengan undang-undang.

25

Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.242, dikutip

dari A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h. 219.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 9: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

21

Menurut Fajhrul seperti yang dikutip dalam artikel online di Direktorat

Jendral Hukum dan HAM, Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian

internasional merupakan undang-undang dalam arti materiil maka dari itu tidak

dapat diuji karena bukan merupakan Undang-Undang dalam arti formil (wet in

formil zein).26

Pendapat ini didukung dengan adanya fakta bahwa dalam undang-

undang hasil ratifikasi hanya terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 1 yang menyatakan

bahwa mengesahkan suatu perjanjian internasional dan pasal 2 menyatakan kapan

berlakunya undang-undang tersebut, hal ini mencerminkan bahwa materi muatan

undang-undang hasil ratifikasi tidak memiliki norma yang dapat diterapkan secara

langsung dan meskipun dalam undang-undang tersebut melampirkan perjanjian

internasional yang disahkan, tidak mengubah bahwa norma dalam perjanjian

internasional tersebut membutuhkan pengaturan lebih lanjut baru dapat

dilaksanakan.

2.2.1 Proses Pembentukkan Undang-Undang dan Pembentukkan

Perjanjian Internasional

Dalam Dissenting Opinion oleh Hamdan Zoelfa dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang hasil ratifikasi,

menyatakan perbedaan yang mendasar antara Undang-Undang materil

dengan Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian Internasional adalah:

(a) Dalam Undang-Undang dalam arti formil, pembahasan norma

dapat dibahas dan direvisi, sedangkan Undang-Undang ratifikasi

26

Direktorat Jenderal Kementrian Hukum dan HAM, “MK tak Berwenang Menguji UU

Hasil Ratifikasi Perjanjin Internasional”,http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-

perundang-undangan/1402-mk-tak-berwenang-uji-uu-hasil-ratifikasi-perjanjian-internasional.html,

4 Agustus 2011, h.1, dikunjungi pada tanggal 3 Desember 2014.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 10: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

22

Pra-Legislasi Legislasi Pasca Legislasi

merupakan kesepakatan berbagai negara dan tidak dapat direvisi

kecuali perjanjian tersebut memberi peluang untuk itu

(b) Pemberlakuan Undang-Undang ratifikasi berbeda dengan Undang-

Undang formil pada umumnya. Undang-Undang dalam arti formil

akan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat semenjak

disahkannya Undang-Undang tersebut, sedangkan Undang-Undang

hasil ratifikasi perjanjian Internasional membutuhkan metode

internal bagi negara peserta Perjanjian Internasional agar dapat

mengikat. (Pasal 5 ayat 2 Konvensi Wina tentang Perjanjian

Internasional)27

Secara jelas dalam dissenting opinion Hamdan Zoelfa

membedakan proses dalam proses pembuatan undang-undang dengan

pembuatan perjanjian internasional.

Skema 1 Tahap Pembuatan Undang-Undang

Penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya undang-

undang dalam pelaksanaannya terbagi dalam 3 tahap yaitu tahap Pra-

Legislasi, tahap Legislasi, dan tahap Pasca Legislasi.28

Pada tahap Pra-

Legislasi dilalu proses: (i) Pencarian Pembentukan UU (RUU), (ii)

Persiapan Penyusunan RUU yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan

penyusunan naskah akademik (iii) teknik dan mekanisme penyusunan

RUU (iv) Penyusunan RUU.

27

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang hasil ratifikasi Piagam ASEAN, h.200. 28

Ahmad Ubbs, Mekanisme Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, Makalah Tema Konsultasi Pelaksanaan Hukum Di Jajaran DepHak dan

HAM, BPHN, Cisarua Bogor, 20-22 Juni 2005, h. 14.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 11: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

23

Tahap Legislasi akan melalui proses (i) Pembahasan RUU oleh

DPR dan Pemerintah, (ii) Pengesahan, penetapan serta pengundangannya.

Sedangkan Tahap Pasca Legislasi akan melalui proses (i)

Pendokumentasioan UU (ii) Penyebarluasan UU (iii) Penyuluhan (iv)

Penerapan UU.29

Perjanjian Internasional jika ingin memiliki kekuatan mengikat

pada para negara peserta pastilah melewati berbagai tahapan/prosedur

pembuatan. Prosedur pembuatan Perjanjian Internasional diatur oleh

Konvensi Wina 1969 dan Indonesia lebih lanjut mengaturnya dalam

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Tahap-tahapan pembuatan Perjanjian Internasional dimulai dari

Penjajakan, Perundingan, Adopsi, Authentication, Consent to be Bound

dan Entry into Force.30

Skema 1 Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

29

Sadikin, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya dengan Program

Legislasi Nasional. Makalah, h. 71. 30

Ulasan ini merupakan intisari perkuliahan Dosen Jany dalam Mata Kuliah Hukum

Perjanjian Internasional Semester 5 dengan topik Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian

Internasional.

Tahap I : Penjajakan

Tahap II : Perundingan

Tahap III : Adopsi

Tahap IV : Otentikasi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 12: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

24

Sesuai skema diatas tahap awal adalah tahapan Penjajakan. Tahap

ini tidak diatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986, namun diatur

dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasannya yang menyatakan

bahwa Penjajakan merupakan tahap awal kemugkinan dibuatnya suatu

Perjanjian Internasional. Penjajakan ini muncul didasarkan pada dua faktor

yaitu keinginan untuk kerja sama dan jika terjadi sengketa para pihak.

Tahapan yang kedua adalah Perundingan, dasar hukum tahapan

diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional. Pada tahapan ini membahas mengenai substansi

dan masalah-masalah tekhnis yang disepakati dalam Perjanjian

Internasional tersebut. Dalam hal ini setiap negara akan membawa

kepentingannya masing-masing untuk dirundingkan, maka dari itu dalam

proses perundingan ini setiap negara biasanya menentukan posisi agar

dapat meletakkan kepentingan mereka dalam Perjanjian Internasional.

Yang dibutuhkan dalam tahap perundingan Perjanjian Internasional

adalah:

1. Koordinasi dan kosultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan

Departemen teknis terkait (Dasar Hukum Pasal 2 dan 5(1) UU

24/2000).

2. Menetapkan Pedoman Delegasi (Dasar hukum Pasal 5 ayat 2 dan ayat

(3).

3. Penyusunan Rancangan Perjanjian (Pasal 5 ayat 4)

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 13: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

25

4. Penunjukan delegasi yang disertai dengan Full Power Letter (Pasal 7

(1) (2) (4) dan (5) UU 24/2000) atau Credential Letter (Pasal 7 (3) dan

(4) UU 24/2000).31

Yang berwenang melakukan perundingan adalah orang yang

mempunyai otoritas/wewenang, jika tidak berwenang maka hasil

perundingan tersebut tidak berakibat hukum. Untuk melihat apakah orang

tersebut berwenang atau tidak dalam melakukan perundingan maka dapat

dilihat dari apakah orang tersebut memiliki Full Power Letter atau

Credential Letter untuk menunjukan sejauh mana otoritasnya dalam

pembuatan Perjanjian Internasional.32

Dalam hal ini ada pengecualian

untuk yang tidak memerlukan Full Power Letter maupun Credential Letter

yaitu Menteri Luar Negeri, Kepala Pemerintahan dan Presiden (The Big

Three) serta Duta besar yang ditugaskan di negara tempat perjanjian

internasional tersebut dibuat. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Setelah memeriksa apakah orang tersebut memiliki otoritas untuk

mewakili negaranya, maka orang tersebut dalam menjalankan tugasnya

untuk ikut dalam pembuatan Perjanjian Internasional harus sesuai dengan

Pedoman Delegasi yang telah ditentukan. Pedoman Delegasi merupakan

panduan bagi delegasi yang mewakili negara Indonesia untuk pembuatan

perjanjian Internasional,33

Pedoman ini dibuat oleh Dewan Perwakilan

Rakyat dan departemen teknis terkait, hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat

31

Ulasan dari Slide Perkuliahan Dosen Ibu Aktieva dalam Mata Kuliah Hukum

Perjanjian Internasional Semester V dalam topik Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional. 32

Ibid. 33

Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 14: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

26

(3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional. Substansi pedoman delegasi adalah latar belakang

permasalahan, analisa permasalahan dari aspek politis, yuridis, dan aspek

lain yang berpengaruh pada kepentingan nasional indonesia dan

menetapkan posisi Indonesia, saran dan penyesuaian yang dapatdilakukan

untuk mencapai kesepakatan.34

Hasil dari perundingan adalah draft awal

(preliminary draft) yang memuat substansi perjanjian guna dijadikan dasar

pembahasan oleh para pihak.

Tahap selanjutnya adalah Adopsi, Adopsi di atur dalam Pasal 6

ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dan

Konvensi Wina 1969 dan 1986 Article 9. Adopsi merupakan proses

merumuskan naskah suatu rancangan perjanjian internasional serta

penerimaan substansi perjanjian internasional sebagaimana dituangkan

dalam naskah Perjanjian Internasional. Tahap ini menunjukkan bahwa para

pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan

atas naskah perjanjian, meskipu kesepakatan itu belum merupakan

kesepakatan final atau belum merupakan naskah yang definitif.35

Proses adopsi ini adalah menuangkan kesepakatan lisan hasil

perundingan dalam format tertulis. Dalam proses adopsi dapat

menggunakan voting atau penentuan mayoritas, cara tersebut bergantung

dari bagaimana kesepakatan para pihak atau kesepakatan para peserta

34

Ibid. 35

I Wayan P., Perjanjian Internasional: Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 106.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 15: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

27

konverensi atau sebagaimana yang ditentukan oleh Organisasi

Internasional.

Tahap yang keempat adalah Ontetikasi (Authentication) yang

diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2000. Otentikasi merupakan proses penandatanganan/pemarafan

setiap hal dalam perjanjian tersebut untuk menyatakan bahwa naskah

tersebut bersifat final menurut negara yang bersangkutan. Pegontetikasian

atau pengesahan ini akan meningkatkan status dari naskah perjanjian yang

sudah melewati tahap penerimaan, menjadi naskah yang final dan

definitif.36

Tata cara otentikasi : sebagaimana disepakatai oleh para pihak,

sesuai dengan prosedur yang terdapat pada naskah perjanjian atau dapat

dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan atau paraf pada naskah

perjanjian.

Setelah keempat tahap tersebut dilakukan, maka pernyataan

Consent to be Bound berlangsung merupakan tahapan yang tidak

terpisahkan setelah pembuatan perjanjian internasional tersebut selesai.

Consent to be Bound diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-

Undang Nomor 24 tahun 2000. Consent to be Bound merupakan

pernyataan suatu negara untuk mau menundukkan diri pada ketentuan

yang telah dibuat dan sekaligus memberlakuukannya, jadi dapat berefek

entry into force. Dengan penandatangan belum tentu berefek Consent to be

Bound (Pasal 6(2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000). Banyak cara

36

Ibid., h. 107.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 16: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

28

dalam mekanisme internal suatu negara, mekanisme tersebut bergantung

pada pengaturan konstitusi negara tersebut. Macam-macam cara

mekanisme internal yang menyatakan Consent to be Bound adalah

pertukaran dokumen (exchange document), ratifikasi, akseptasi,

aksesi/persetujuan atau dengan signature of referendum.

Suatu persetujuan (consent to be bound) terhadap perjanjian

internasional dapat dinyatakan dengan cara ratifikasi, akseptasi, atau

persetujuan dapat dilihat pada Pasal 14 Kovensi Wina 1969:

1. The Consent of a State to be bound by a treaty is expressed by

ratification when:

(a) the treaty provides for such consent to be expressed by means of

ratification;

(b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed

that ratification should be required;

(c) the representative of the State has signed the treaty subject to

raitification; or

(d) the intention of the State to sign the treaty subject to ratification

appears from the full powers of its representative or waas

expressed during the negotitation.

2. The Consent of a State to be bound by treaty is expressed by

acceptance or approval under conditions similar to those which

apply ratification.

Selain berefek pengikatan diri terhadap suatu perjanjian

internasional, negara pihak tentu ingin perjanjian internasional tersebut

dapat berlaku. Langkah terakhir yang perlu dilakukan yaitu Entry into

Force (kekuatan memaksa). Dasar hukum dari Entry into Force terdapat

pada Article 24-27 Part II Section III . Entry into force menentukan kapan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 17: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

29

saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional itu sendiri. Kapan

mulai berlakunya suatu perjanjian internasional bergantung pada

kesepakatan para pihak yang mengadakan perundingan dan merumuskan

perjanjian itu sendiri.37

Terdapat berbagai cara, sebuah perjanjian

internasional entry into force menurut Anthony Aust, yaitu:38

1. Pada saat sesuai tanggal yang ditentukan dalam perjanjian. Para pihak

bebas untuk menentukan tanggal, atau bahkan untuk menerapkan

perjanjian untuk beroperasi secara retroaktif/berlaku surut. Dalam hal

perjanjian multilateral dan adanya kebutuhan ratifaksi, memasukkan

tanggal tertentu dapat melayani tujuan politik dengan mendorong

negaraatau mungkin lebih tepatnya kepada parlemen untuk memenuhi

tenggat waktu;

2. Pada saat tanda tangan oleh semua negara negosiasi dilakukan. Hal ini

umum untuk perjanjian bilateral yang tidak harus disetujui oleh

parlemen, dan kadang-kadang ditemukan dalam perjanjian antara

beberapa negara (perjanjian plurilateral) meskipun dengan materi

perjanjian yang sangat penting;

3. Pada saat ratifikasi oleh kedua (atau semua) negara yang telah bertanda

tangan. Jika perjanjian multilateral membutuhkan ratifikasi oleh semua

37

Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press,

Cambridege, 2005, h. 88 . 38

Ibid., h.131-135.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 18: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

30

negara negosiasi, maka berlakunya dapat dinyatakan berada pada

waktu tertentu setelah penyimpanan instrumen terakhir ratifikasi;

4. Tergantung pada tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) dari negara-

negara yang ditentukan oleh nomor, nama atau kategori tertentu;

5. Pada saat tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) oleh jumlah minimum

dari negara negosiasi (Pasal 84 (1) Konvensi Wina 1961). Biasanya

dalam hal perjanjian multirateral, jumlah negara cukup banyak untuk

memastikan bahwa perjanjian mendapatkan penerimaan yang luas

sebelum diberlakukan;

6. Seperti pada nomor 4 dan 5 di atas, tapi jumlah minimum negara atau

organisasi juga harus memenuhi persyaratan lainnya;

7. Pada saat pertukaran instrumen ratifikasi (perjanjian bilateral);

8. Pada saat pemberitahuan oleh setiap negara penandatanganan kepada

negara lain atas selesainya persyaratan konstitusional.

9. Dalam kasus perjanjian dibentuk oleh exchange of notes, pada tanggal

note balasan/ reply note (note in response).

10. Seperti pada poin 9 di atas, tetapi pada tanggal yang lebih awal atau

lebih daripada reply note.

11. Pada tanggal yang akan disepakatai.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 19: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

31

Adanya Undang-Undang Nomor 38 tahun 2008 tidak serta merta

dapat memberlakukan norma Piagam ASEAN, namun hal tersebut

begantung pada kapan pemerintah Indonesia menyerahkan instrument of

ratification. Sedangkan Indonesia juga tidak dapat serta merta masa

mengundurkan diri atau membatalkan perjanjian internasional secara

sepihak. Terdapat mekanisme tersendiri untuk kedua hal tersebut.

Pembentukan UU dan perjanjian internasional sangatlah berbeda,

meskipun sistem pengajuannya berbeda namun jika dapat disimpulkan

bahwa UU mulai dari awal pembahasan sampai pengesahan dan

pelaskanaan semuanya dibahas dan didiskusikan oleh DPR dan Presiden

secara bersama-sama, sedangkan Perjanjian Internasional proses

pembahasanannya dan proses penandatanganan hanya diwakili oleh

delegasi yang telah membawa pedoman delegasi yang di buat DPR.

Meskipun pengesahan perjanjian internasional hampir sama dengan

pembentukan UU yaitu dengan adanya peran DPR namun ada beberapa

perbedaan prosedur yang tidak berlaku dalam pengesahan perjanjian

internasional diantaranya:39

Pertama, inisiatif pengajuan RUU pengesahan suatu perjanjian

internasional hanya berasal dari pemerintah (tidak dari DPR)

karena berdasarkan teori pembagian kekuasaa, hubungan luar

negeri termasuk membuat atau memasuki perjanjian internasional

masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif. Kedua, DPR

tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan perjanjian

internasional, DPR hanya berwenang menyetujui, menerima atau

menolak pengesahan suatu perjanjian internasional. Ketiga,

pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk UU

39

Sadikin, Loc. Cit, h. 74

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 20: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

32

dimungkinkan untuk diajukan ke DPR melalui Daftar Kumulatid

Terbuka (DKT) Prolegnas. Namun demikian, akan lebih baik jika

RUU pengesahan perjanjian internasional dilakukan secara

terencana dan masuk dalam daftar prioritas, agar sejalan dengan

politik hukum yang sedang dilaksanakan pemerintahan. Keempat,

dalam praktik pengesahan perjanjian internasional baik melalui UU

maupun Keputusan Presiden, RUU pengesahan perjanjian

internasional selalu dilengkapi dengan sebuah Naskah Penjelasan

(Naskah Akademis) yang berisi pejelasan diantaranya mengenai

keuntungan dan kerugian/konsekuensi dari pengesahan perjanjian

internasional tersebut dan implikasi pengesahan terhadap sistem

hukum.

2.2.1.2 Konsep Persyaratan dan Penarikan Diri atau

Pembatalan dari Kewajiban Hukum Perjanjian

Internasional

Suatu negara diharapkan dapat menyetujui maupun

melaksanakan seluruh isi atau pasal perjanjian, sehingga perjanjian

itu mengikat secara utuh dan menyulurh terhadap setiap negara

yang telah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada

perjanjian.40

Namun setiap negara tentunya memiliki kondisi atau

keadaan tertentu daripada negara lainnya. Demi tercapainya

pemberlakuan perjanjian internasional maka diberikanlah fasilitas

berupa persyaratan atau ada beberapa yang menyebutnya sebagai

reservasi.

Pada Pasal 2 ayat (1) butir d menyatakan bahwa persyaratan

berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun,

yang dibuat oleh suatu negara ketika menandatangani, meratifikasi,

mengakseptasi , menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian

40

I Wayan P., Op. Cit, h. 149.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 21: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

33

internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau

mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu

dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan.

Pernyataan sepihak suatu negara mempunyai 2 bentuk:

1. Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau

terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari

salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut,

dan/atau;

2. Mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti

tersendiri atas sah satu atau beberapa ketentuan dari

perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang

bersangkutan.41

Namun persyaratan ini memiliki batasan atau larangan, hal

ini disebutkan pada Pasal 19 Konvensi Wina 1969 yang berjudul

“Furmulation of Reservation”, sebagai berikut:

Suatu negara dapat mengajukan persyaratan, ketika

menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau

mengaksesi suatu perjanjian internasional, kecuali:

(a) Persyaratan itu dilarang oleh perjanjian;

(b) Perjanjian itu menentukan, bahwa hanya persyaratan yang

khusus, yang tidak termasuk di dalam persyaratan yang

merupakan masalah, yag dapat diajukan; atau

(c) Dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam subparapraph

(a) dan (b) persyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan

obyek dan tujuan dari perjanjian.

Fasilitas persyaratan ini diberikan oleh perjanjian

internasional agar negara pihak (contracting states) tidak

menggunakan alasan bertentangan dengan hukum nasional agar

41

Ibid., h. 152.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 22: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

34

tidak melaksanakan kewajibannya. Pasal 27 Konvensi Wina 1969,

sangat jelas melarang negara untuk menggunakan hukum

nasionalnya sebagai alasan pembenar atas kegagalannya

melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional.

Dalam pengajuan persyaratan atau reservasi, setiap negara

tidak dapat langsung disetujui oleh negara-negara lainnya. Secara

garis besar, reaksi dari negara-negara itu dapat digolongkan

menjadi tiga golongan yaitu ada yang menyetujui persyaratan

tersebut, ada yang keberatan atau menolaknya, ada yang tidak

menyatakan sikap tegas apakah menyetujui atau menolaknya.42

Pasal 56 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa

negara tidak dapat menarik diri dari perjanjian internasional jika

dalam perjanjian internasioal tersebut tidak mengatur pasal yang

memperbolehkan , kecuali disetujui oleh semua contracting states.

Namun hal ini tidak selaras dengan Pasal 18 huruf h Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang menyatakan, “Perjanjian

Internasional berakhir apabila:…… h. terdapat hal-hal yang

merugikan kepentingan nasional.” Pasal ini tentunya menimbulkan

kontroversi karena bertentangan dengan Konvensi Wina 1969 dan

membuat Indonesia memiliki peluang untuk tidak konsisten dalam

menjalankan perjanjian internasional.

42

I Wayan P., Op.Cit, h. 166.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 23: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

35

Dilihat dari proses pembuatan perjanjian internasional, suatu

negara sudah diberi berbagai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan

kembali apakah perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan

tujuan maupun manfaat yang akan diperoleh oleh negara. Maka dari itu

untuk melepaskan diri dari keterikatan suatu negara terhadap perjanjian

internasional sangatlah susah.

2.2.2 Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat

oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi

ketentuan-ketentuan yang mempunyai akibat hukum.43

Dalam

mengesahkan suatu Perjanjian Internasional, Indonesia memiliki

pengaturan tersendiri. Hal tersebut tertuang pada Pasal 11 UUD NRI 1945

NRI 1945 yang menyebutkan bahwa bentuk hukum perjanjian

internasional tidak harus berbentuk Undang-Undang, tetapi dalam

konstitusi menyebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR yang

berhak membuat Perjanjian Internasional. Praktik pembuatan perjanjian

internasional dulunya belum memiliki undang-undang yang mengatur

khusus mengenai hal itu, maka dari itu dibentuklah Surat Presiden No.

43

Prasetyo Hadi Purwandoko, Januari 2003, Implementasi Ratifikasi Perjanjian

Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000. Justisia Edisi 60

Januari Maret 2003, http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/Yustisia/article/view/89, 6 Desember

2014.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 24: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

36

2826/Hk/1960 yang merupakan penafsiran Pasal 11 UUD NRI 1945 oleh

Presiden.44

Namun MPR menyatakan Surat Presiden tersebut bertentangan

dengan Tap I/MPR/1983 Pasal 4 (b) yang meyatakan bahwa MPRlah yang

berwenang untuk menafsirkan ketetepan-ketepannya (UUD NRI 1945

dianggap sebagai ketetapan)45

. Maka dari itu kemudian dibentuklah

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Dalam Undang-Undang tersebut diatur kembali lebih terperinci melalui

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional yang menyatakan bahwa “Pengesahan perjanjian

internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan

Undang-Undang atau Keputusan Presiden.”

Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang

diperkuat dengan adanya Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa

“Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:

(a) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(b)Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

(c) Pengesahan perjanjian Internasional tertentu;

(d)Tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi dan/atau

(e) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.“

44

Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1999, h.

78. 45

Ibid., h. 80.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 25: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

37

Agar dapat membedakan bentuk pengesahan dengan UU dan

Keputusan Presiden maka diperlukan kriteria yang yang dapat

membedakan hal tersebut.

Tabel 1. Perbedaan Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional dengan

Undang-Undang atau dengan Keputusan Presiden46

KRITERIA Undang-Undang Keputusan Presiden/Peraturan

Presiden

Syarat Memenuhi kriteria

materi muatan yang

dapat disahkan dengan

undang-undang.

Dibentuk dengan Keputusan

Presiden jika dalam perjanjian

internasional disyaratkan

adanya pengesahan sebelum

berlakunya perjanjian tersebut,

tetapi memiliki materi yang

bersifat prosedural dan

memerlukan penerapan dalam

waktu singkat tanpa

mempengaruhi perundang-

undangan nasional.

Objek Ratifikasi Mayoritas adalah

perjanjian multirateral

Mayoritas adalah perjanjian

bilateral

Materi Muatan Sesuai dengan Pasal 10

Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2000.

Selain materi yang diatur dalam

undang-undang. (Pasal 11

Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2000 dan penjelasannya).

Pembentukkannya Dengan Persetujuan

Dewan Perwakilan

Rakyat (Pasal 11 ayat 2

UUD NRI 1945 NRI

1945)

Dibentuk oleh Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dapat

mengevaluasi.(Pasal 11 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2000)

Dalam penjelasan pasal 11

tersebut menjelaskan bahwa

DPR dapat membatalkan

pengesahan perjanjian

internasional tersebut jika

merugikan kepentingan

nasional.

Sifat Mengikat yang membuat

perjanjian saja, untuk

Karena undang-undang

perjanjian internasional berlaku

46

Tabel Perbandingan disarikan oleh Penulis dari Undang-Undang Dasar 1945 dan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 26: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

38

mengikat masyarakat

Indonesia diperlukan

instumen lebih lanjut.

tahun 2000, maka bentuk yang

dipakai adalah keputusan

presiden.

Namun hal ini berubah seiring

dengan adanya undang-undang

nomor 10 tahun 2004 yang

merubah keputusan presiden

menjadi peraturan presiden. Hal

ini berakibat pada kekuatan

mengikat peraturan presiden

yaitu mengikat seluruh

masyarakat indonesia.

Kriteria yang membedakan suatu pengesahan perjanjian

internasional dapat dibentuk dengan undang-undang atau keputusan

presiden ada beberapa aspek. Aspek yang pertama adalah syarat yang

dimuat oleh perjanjian internasional tersebut. Suatu perjanjian

internasional dapat disahkan atau di ratifikasi dengan Keputusan

Presiden jika perjajian internasional tersebut mensyaratkan adanya

pengesahan terlebih dahulu sebelum berlakunya perjanjian tersebut,

tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan

penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi perundang-

undangan nasional. Hal ini tertuang dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Sedangkan untuk bentuk

pengesahan berupa undang-undang maka harus memenuhi Pasal 10

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional yaitu:

1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 27: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

39

2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik

Indonesia;

3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;

4. Hak Asasi Manusia dan Lingkungan hidup;

5. Pembentukan kaidah hukum baru;

6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Contoh pengesahan perjanjian internasional dengan

menggunakan undang-undang adalah UU 12/2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional tentang hak-hak sipil dan politik), UU 38/2008 tentang

Pengesahan Piagam ASEAN dan Undang-Undang Hasil Raifikasi

Perjanjian Internasional yang lainnya. Sedagkan kriteria suatu

pengesahan perjanjian internasional dapat dibuat dalam bentuk

Keputusan Presiden tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000

tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa Pengesahan

perjanjian internasional yang menggunakan Keputusan Presiden adalah

yang memuat selain materi yang terdapat dalam kriteria materi

pengesahan dengan undang-undang. Hal tersebut diperjelas dalam

penjelasan pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 bahwa pengesahan yang

diatur dalam Keputusan Presiden yaitu perjanjian induk yang

menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,

ekonomi, teknik, perdagangan , kebudayaan, pelayaran niaga,

penghindaran pajak berganda, kerja sama perlindungan penanaman

modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.

Beberapa contoh pengesahan perjanjian internasional dengan

Keputusan Presiden yaitu Kepres yang meratifikasi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 28: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

40

1. ASEAN Framework Agreement ASEAN-China FTA (ACFTA)

dengan bentuk pengesahan berupa Keputusan Presiden Nomor 48

Tahun 2004 yang disahkan pada 15 Juni 2004.

2. ASEAN dengan India untuk mengadakan Free Trade Area yang

dibentuk berdasarkan Framework Agreement on Comprehension

Economic Cooperation melalui Keputusan Presiden Nomor 69

Tahun 2004.47

3. Perjanjian Kopi Internasional (International Coffee Agreement),

perjanjian internasional ini adalah perjanjian multilateral dan

disahkan oleh Indonesia dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor

32 Tahun 2002.48

Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya

Pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1 yang berakibat hukum pada

pengesahan dengan bentuk Keputusan Presiden tidak lagi

dipergunakan tetapi menggunakan Perpres atau Peraturan Presiden.

Contoh Peraturan Presiden yang mengesahkan Perjanjian Internasional

adalah:

1. ASEAN dengan Korea Selatan untuk mengadakan Free Trade Area

yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion

Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan

perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor

11 Tahun 2007.

2. ASEAN dengan Australia/New Zealand untuk mengadakan Free

Trade Area yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion

Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan

perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor

26 Tahun 2011.49

3. International Convention Maritime Search and Rescue, 1979 with

Annex and 1998 Amendements to International Convention on

47

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h. 102-103. 48

Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2002, (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor

60). 49

Ibid., h. 103.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 29: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

41

Maritime Search and Rescue tentang Kovensi Internasional yang

memuat mengenai pencarian dan pertolongan di bidang maritim

yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2012.

Contoh-contoh yang telah disebutkan diatas mencerminkan

bahwa terdapat ciri-ciri baru dari pengesahan perjanjian internasional

berbentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yaitu mayoritas

perjanjian internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden

atau Peraturan Presiden merupakan perjanjian billateral. Beda halnya

dengan undang-undang yang notabene meratifikasi atau mengesahkan

perjanjian internasioal yang sifatnya multirateral.

2.3 Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam memutus Judicial Review

Undang-Undang Hasil Ratifikasi

Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban

sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 NRI 1945

yang menyebutkan secara eksplisit mengenai kewenangan tersebut, yaitu:

(1) Menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945;

(2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD NRI 1945;

(3) Memutus pembubaran partai politik; dan

(4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta kewajiban

Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR

mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

menurut UUD NRI 1945.50

Dalam UUD NRI 1945 NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memang

dibenarkan untuk menguji undang-undang namun hal tersebut menjelaskan secara

50

Martitah., Mahkamah Kostitusi : Dari Negative Legislature ke Positive Legislature,

Konstitusi Press: Jakarta, 2013, h. 125.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 30: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

42

detil undang-undang apa saja yang dapat diuji. Permasalahan timbul dengan

dituangkannya perjanjian internasional dalam sebuah bentuk hukum undang-

undang, bagaimana hubungannya dengan undang-undang pada umumnya yang

berisikan perjanjian internasional.

Materi muatan Undang-Undang menurut Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 138/PUU-VII/2009 tidak hanya Undang-Undang yang menjadi wewenang

pengujian (judicial review) Mahkamah Konstitusi, tetapi juga peraturan

pemerintah pengganti undang-undang. Hal tersebut dapat dinyatakan demikian

karena materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang memiliki

norma hukum yang kekuatan megikatnya sama dengan Undang-Undang, maka

norma yang terdapat dalam Perpu tersebut dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi

jika bertentangan secara materiil dengan UUD NRI 1945.

Dalam Undang-Undang ratifikasi Perjanjian Internasional jika ada yang

dipermasalahkan tentunya adalah bagian pada lampirannya. Maka dari itu perlu

diketahui bagaimana pengujian pada suatu lampiran undang-undang. Keberadaan

undang-undang tidak mungkin lepas maupun dipisahkan dari nasakah

lampirannya.51

Jika undang-undangnya diuji maka lampirannya juga dapat diuji.

Namun hal itu berbeda degan lampiran undang-undang ratifikasi internasional.

Pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional

jika disamakan dengan undang-undang formil ada 2 yaitu secara formil atau

51

Jimly A., Hukum Pengujian Undang-Undang, Oc. Cit, h. 54.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 31: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

43

secara materiil.52

Jika pengujian dilakukan secara formil, tentu persolannya

terbatas pada cara prosedur ratifikasi itu dilakukan, apakah sudah sesuai dengan

ketentuan UUD NRI 1945 atau tidak. Pengujian secara materiil, berarti materi

perjanjian internasional yang menjadi lampiran undang-undang itulah yang

dipersoalkan. Misalnya jika terbukti lampiran perjanjian internasional tersebut

bertentangan, Mahkamah Konstitusi tidak dapat menyatakan undang-undang

perjanjian internasional tersebut inkonstitusional. Bukankah perjanjian

internasional itu merupakan produk hukum internasional yang oleh Indonesia

tidak mungkin ditolak sebagian dan diterima sebagian lainnya.53

Selain itu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mengenai

pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi piagam ASEAN patut

dipertanyakan, karena Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 ini bukanlah

undang-undang dalam arti formil yang dapat diuji dengan mekanisme yang

tercantum dalam UUD NRI 1945.

Kewenangan pembentukannya saja sudah berbeda, bahwa jika undang-

undang biasa dibutuhkan 2 kewenangan secara bersama yaitu Presiden dan DPR

mulai dari pembahasan menimbang, pasal per pasal hingga ketentuan peralihan.

Sedangkan untuk pembentukan undang-undang pengesahan perjanjian

internasional kewenangan DPR dan Presiden tidak dapat merubah norma yang ada

dalam perjanjian internasional melainkan hanya mengenai persetujuan akan

disahkan atau ditolak. Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa dalam undang-

52

Ibid. 53

Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 32: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

44

undang pengesahan perjanjian internasional hanya terdiri dari 2 pasal dan tidak

memiliki norma secara konkrit, jika ingin diuji maka apakah berwenang

Mahkamah Konstitusi menguji norma yang dibuat oleh negara pihak dalam

perjanjian internasional tersebut.

Jika kewenangan tersebut dipaksakan tentunya tetap tidak akan mengubah

keterikatan kewajiban Indonesia dengan perjanjian internasional tersebut.

Indonesia sebelumnya telah diberi kesempatan untuk mengantisipasi adanya

pertentangan dengan perjanjian internasional diantaranya dengan adanya Pedoman

Delegasi yang dibuat DPR dan Departemen Terkait agar Indonesia dapat

mengantisipasi atau menetapkan posisi Indonesia sebelum meratifikasi perjanjian

tersebut. Selain itu juga diberi kesempatan kedua dengan adanya fasilitas

persyaratan atau reservasi namun kedua kesempatan ini tidak dipergunakan

dengan baik oleh Indonesia. Maka dari itu jika akhirnya bertentangan, untuk

keluar ataupun menarik diri dari perjanjian internasional tersebut sangatlah susah

untuk dilakukan.

2.3.1 Legal Standing Pemohon

Sebelum sesorang mengajukan permohonan kepada Mahkamah

Konstitusi, maka perlu diketahui bahwa apakah seseorang tersebut

memiliki Legal Standing untuk mengajukan permohonan atau tidak.

Istilah Legal Standing dalam Black‟s Law Dictionary mendefinisikan

“Standing to sue means that a party has sufficient stake in an otherwise

justiciable controvercy to obtain judicial resolusions of that

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 33: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

45

controvercy”.54

Melalui definisi tersebut dapat diartikan bahwa pihak yang

dapat mengajukan kasus adalah pihak yang memenuhi syarat untuk

memperoleh penyelesaian secara hukum di lembaga peradilan terhadap

sengketa yang diajukannya. Legal Standing dalam pengujian undang-

undang jelas memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini disampaikan

oleh Sri Soemantri bahwa Legal Standing adalah mereka yang dapat

(berhak) megajukan tuntutan atau permintaan agas suatu perundang-

undangan atau tindakan pemerintah dibatalka dengan alasan bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar, atau suatu peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.55

Pemohon dapat mengajukan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar harus memenuhi salah satu klasifikasi yang tertera

pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi : a)

peroragan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang

sama); atau b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup da

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang; atau c)

badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara, yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh

berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

54

Henry C., Law Dictionary with pronounciations, West Publishing: St. Paull, 1990, h.

1405. 55

Himawan E, Opcit, h. 189.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 34: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

46

Dalam Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi atau Peraturan

Mahkamah Konstitusi (PMK) belum mengatur secara teknis mekanisme

tata cara beracara atau pedoman beracara dalam hal pengujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar, yaitu dalam Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara

dalam Perkara Pegujian Undang-Undang dalam pasal 3 mengulangi

kembali pengertian pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi.56

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-

IX/2011 menyatakan bahwa para pemohon yang notabene adalah

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang ekonomi,

perburuhan maupun advokasi petani dan lain-lainnya memiliki kedudukan

hukum (Legal Standing) dalam mengajukan permohonan karena telah

memenuhi syarat sebagai legal standing.

Salah satu syarat sesorang dapat mengajukan pengujian undang-

undang adalah karena hak konstitusionalnya dilanggar. Pasal 51 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

menyatakan bahwa “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Pasal ini menegaskan bahwa hanya hak-hak yang diatur secara eksplisit

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia saja yang

termasuk “hak konstitusional”.

56

Himawan E., Negara Hukum dan Mahkamah Konstitusi : Perwujudan Negara Hukum

yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang,

Laksbang Grafika Yogyakarta, h. 212.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 35: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

47

Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah

Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian

konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus

memenuhi 5 syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III2005 dan Nomor

011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut

dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang

yang diuji;

c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenagan konstitusional Pemohon

yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya

bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan

akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 36: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

48

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan

maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan

tidak akan terjadi lagi.57

Perkara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011

memuat bahwa pemohon merasa hak kostitusionalnya dirugikan dengan

berlakunya Undang-Undang Pengesahan ASEAN CHARTER khususnya

pada Article 1 act (5) dan article 2 act (2) yang dapat menjadi landasan

pasar tunggal dengan negara lain yang menyebabkan matinya beberapa

industri nasional karena telah kalah bersaing yang mengakibatkan

banyaknya pekerja kehilangan pekerjaan.

2.3.2 Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011

Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-

IX/2011 ada 3 yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili,

pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan dan dalil

pemohon dianggap tidak beralasan.58

Maka dari itu Mahkamah Konstitusi

menolak permohonan pemohon seluruhnya.

Dalam ketentuan menimbang, Mahkamah Konstitusi

berkesimpulan bahwa ASEAN Charter tidak serta merta berlaku dengan

adanya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan

57

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h. 153. 58

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-

Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h. 197

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 37: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

49

Piagam ASEAN, karena dibutuhkan peraturan lebih lanjut. Hal ini

menunjukkan ciri-ciri bahwa undang-undang hasil pengesahan ratifikasi

perjanjian internasional bersifat abstrak dan maka dari itu dapat disebut

sebagai úndang-undang dalam arti materiil.

Ketentuan menimbang selanjutnya menyatakan bahwa pengesahan

perjanjian internasional yang dilakukan oleh Indonesia terhadap piagam

ASEAN adalah kebijakan makro yang dapat diakhiri jika bertentangan

dengan kepentingan nasional (Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2000). Hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 27 Konvensi

Wina 1969 yang menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh menarik diri

dengan alasan bertentangan dengan kepentingan nasional. Tindakan ini

tentunya tidak dibenarkan, karena hal ini menjadi bentuk inkonsistensi

Indonesia terhadap pengesahan perjanjian internasional meskipun belum

ada instrumen lebih lanjut. Serta hal ini akan berakibat lebih lanjut

terhadap kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.

Terdapat 2 pedapat berbeda (dissenting oppinion) dalam putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut yang disampaikan oleh Hakim Maria

Farida dan Hakim Hamdan Zoelfa. Dalam dissenting opinionnya, Hamdan

Zoleva mengungkapkan perbedaan antara UU pada umumnya dengan

undang-undang ratifikasi perjanjian internasional yaitu bahwa jika UU

pada umumnya dibahas mulai dari norma RUU tersebut dari pasal per

pasal. Jika uu hasil ratifikasi materi perjanjian internasionalnya dibahas

dengan negara lain. Perbedaan yang kedua adalah kekuatan mengikatnya,

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 38: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

50

jika uu pada umumnya langsung berlaku bagi setiap orang yang ada di

Indonesia, sedangkan perjanjian internasional mengikat negara yag

membuat atau negara pihak perjanjian internasional. Materi dalam

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tidak dapat diubah tanpa meminta

persetujuan negara lain. Perbedaan yang ketiga adalah mengenai

pemberlakuan, UU pada umumnya maka normanya langsung berlaku dan

mengikat bagi warga negara Indonesia semenjak diundangkan, sedangkan

perjanjian internasional membutuhkan peraturan nasional lebih lanjut yang

memuat norma untuk melaksanakannya di lingkup nasional.

Dalam dissenting opinion yang diungkapkan oleh Maria Farida

adalah mengenai pengaturan pengesahan perjanjian internasional yang

dibedakan dengan pengaturan pembuatan undang-undang pada umumnya.

Pengatura batang tubuh Undang-Undang pada umumnya (termasuk

peraturan perundang-undangan lainnya) memiliki 98 pedoman karena

substansi pada batang tubuh memiliki banyak norma. Beda halya dengan

dengan undang-undang pengesahan perjanjian internasional yang hanya

memiliki 2 pedoman karena hanya terdiri dari 2 pasal saja. kekuatan

mengikat antara undang-undang dan undang-undang pengesahan

perjanjian internasional memiliki perbedaan. Jika undang-undang dapat

langsung mengikat semenjak diundangkannya undang-undang tersebut,

sedangkan untuk undang-undang pengesahan perjanjian internasional

hanya mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian internasional

tersebut berdasarkan asas pacta sunt servanda.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI

Page 39: BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 …repository.unair.ac.id/13754/12/12. Bab 2.pdf · pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

51

Terdapat alasan bahwa mulai dari penyusunan undang-undang

perjanjian internasional, kekuatan dan pemberlakuannya memiliki

perbedaan yang signifikan. Maka dari itu seharusnya Mahkamah

Konstitusi tidak berwenang dalam menguji undang-undang pengesahan

perjanjian internasional karena bentuk undang-undang untuk mengesahkan

perjanjian internasional hanyalah sebagai wadah namun materi nya

tidaklah sama dengan undang-undang pada umumnya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011)

NI KETUT APRILYAWATHI