bab ii pembahasan a. 1. tahap-tahap penyelesaian...
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Tahap-tahap Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
a. Musyawarah untuk mufakat
Penyelesaian melalui perundingan Bipartit wajib
diupayakan jika ada perselisihan hubungan industrial.
Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja / serikat
buruh atau antara serikat pekerja / serikat buruh dan serikat
pekerja / serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang
berselisih. Perundingan Bipartit adalah perundingan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat (Pasal 3 ayat (1) UU No.
2 Tahun 2004).
Penyelesaian melalui perundingan Bipartit harus
diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak perundingan
dilaksanakan. Apabila perundingan bipartit mencapai
kesepakatan maka para pihak wajib membuat Perjanjian
Bersama dan didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial. Setelah didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial maka para pihak mendapat Akta Bukti Pendaftaran
Perjanjian Bersama yang merupakan bagian dari Perjanjian
Kesepakatan Bersama, hal itu sebagai alat bagi pihak yang
dirugikan untuk dapat mengajukan permohonan penetapan
eksekusi. Jika dalam waktu 30 hari kerja tersebut tidak ada
kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding
maka perundingan bipartit dianggap gagal. Apabila
perundingan bipartit gagal maka salah satu pihak atau kedua
belah pihak mencatatkan hasil perselisihannya ke Dinas
Ketenagakerjaan (Disnaker) setempat dengan melampirkan
bukti bahwa upaya perundingan bipartit telah dilakukan untuk
meminta upaya penyelesaian. Setelah menerima berkas dari
para pihak, Disnaker menawarkan opsi penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase. Apabila dalam 7 hari para
pihak tidak menetapkan pilihannya maka penyelesaian
perselisihan diserahkan pada mediator.
b. Konsiliasi
Jenis Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui
konsiliasi antara lain : untuk perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK atau perselisihan antar serikat pekerja /
serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 18 ayat (1) UU No.
2 Tahun 2004). Konsiliasi hanya dapat dilakukan oleh
konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja. Penyelesaian konsiliasi dilakukan
melalui seorang atau beberapa orang atau badan yang disebut
sebagai konsiliator, yang menengahi pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai, serta aktif
memberikan solusi penyelesaian masalah (Pasal 1 angka 14 UU
No. 2 Tahun 2004). Konsiliasi berjalan dengan tahap-tahap
sebagai berikut :
a. Konsiliator menjalankan tugasnya setelah para pihak
mengajukan permintaan secara tertulis kepada konsiliator
yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak yang
berselisih (Pasal 18 ayat (2).
b.Dalam jangka waktu paling lambat 7 hari setelah menerima
permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis,
konsiliator harus mengadakan penelitian tentang duduknya
perkara dan selambat-lambatnya pada hari kedelapan harus
sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama (Pasal 20).
c. Konsiliator dapat memanggil saksi guna didengarkan
keterangannya (Pasal 21 ayat (1)).
d.Apabila Para Pihak mencapai kesepakatan, maka dibuatlah
perjanjian bersama yang disaksikan oleh Konsiliator lalu
didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak
mengadakan perjanjian bersama (Pasal 23 ayat (1)).
Pendaftaran untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
Bukti pendaftaran tersebut dapat digunakan untuk
mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
perjanjian bersama didaftarkan untuk mendapatkan
penetapan eksekusi (Pasal 23 ayat 3 huruf b).
e. Apabila tidak terjadi kesepakatan penyelesaian melalui
konsiliasi (Pasal 23 ayat 2), maka :
1. Konsiliasi mengeluarkan anjuran tertulis ;
2. Anjuran tertulis tersebut selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari sejak menerima anjuran tersebut
sudah harus memberikan jawaban kepada
konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak
anjuran yang dibuatnya konsiliator.
3. Jika para pihak tidak memberikan pendapatnya,
mereka dianggap menolak anjuran yang dibuat
konsiliator.
4. Jika anjuran tertulis disetujui, dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran
disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu
para pihak membuat perjanjian bersama untuk
kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama
untuk mendapatkan bukti pendaftaran.
5. Jika anjuran tertulis yang dibuat oleh konsiliator
ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka
salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan
penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Negeri
setempat (Pasal 24).
6. Konsiliator harus menyelesaikan tugasnya selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
menerima permintaan penyelesaian perselisihan
(Pasal 25).
c. Arbitrase
Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
arbitrase adalah Penyelesaian suatu perselisihan kepentingan,
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial
melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih
untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter
yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (Pasal
1 angka 15 UU No. 2 Tahun 2004). Hal ini berbeda dengan
pengertian Arbitrase pada umumnya yang diatur dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang menyebutkan dalam
pasal 1 angka 1 sebagai berikut “Arbitrase adalah cara
penyelesaian perkara perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan serta suatu perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh pihak yang bersengketa”. Dengan pengertian yang
berbeda tersebut maka berlaku asas lex specialis derogat legi
generali, sehingga yang berlaku dalam penyelesaian hubungan
industrial adalah arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 karena lebih khusus mengatur mengenai
arbitrase dalam penyelesaian hubungan industrial.
Proses Arbitrase dibantu oleh seorang arbiter hubungan
industrial, arbiter hubungan industrial adalah seorang atau lebih
yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter
yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan
antarserikat / serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang
diserahkan penyelesaian melalui arbitrase yang putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final (Pasal 1 angka 16 UU
No. 2 Tahun 2004)
Tahap-tahap penyelesaian hubungan industrial melalui
arbitrase adalah :
1. Penyelesaian gubunagn industrial melalui
arbitrase dimulai sejak para pihak sepakat
memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian
dengan dituangkan dalam perjanjian arbitrase
(Pasal 32 ayat 1 dan 2).
2. Setelah menandatangani perjanjian arbitrase,
para pihak berhak untuk memilih arbiter dari
daftar arbiter yang ditetapkan Menteri Tenaga
Kerja. Para pihak dapat menunjuk arbiter
tunggal atau beberapa arbiter dalam jumlah
ganjil yaitu 3 orang, penunjukan tersebut
dilakukan secara tertulis (Pasal 33).
3. Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial dalam waktu selambat-
lambatnya 30 hari sejak ditandatanganinya
perjanjian penunjukan arbiter (Pasal 40 ayat 1).
4. Arbitrase hubungan industrial dilakukan secara
tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain
(Pasal 41).
5. Para pihak dalam sidang arbitrase dapat diwakili
oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus (Pasal
42).
6. Apabila para pihak tidak hadir dalam sidang
arbitrase tanpa alasan yang sah, maka saat itu
juga arbiter dapat membatalkan perjanjian
penunjukan arbiter dan tugas arbiter saat itu juga
telah selesai (Pasal 43 ayat 1).
7. Apabila salah satu pihak atau kuasanya tidak
hadir tanpa alasan yang tidak sah walaupun
telah dipanggil secara patut, arbiter dapat
memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan
tanpa kehadiran salah satu pihak atau kuasanya
(Pasal 43 ayat 2).
8. Penyelesaian melalui arbitrase harus diawali
dengan upaya mendamaikan para pihak (Pasal
44 ayat 1).
9. Apabila terjadi perdamaian, arbiter wajib
membuat akta perdamaian yang ditandatangani
oleh para pihak dan arbiter, kemudian akta
perdamaian tersebut didaftarkan ke Pengadilan
Negeri di wilayah hukum arbiter untuk
mengadakan perdamaian (Pasal 44 ayat 2 dan
3). Setelah didaftarkan para pihak diberikan akta
bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari akta perdamaian. Apabila
akwa perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah
satu pihak, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
tempat akta perdamaian tersebut didaftarkan.
10. Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter
meneruskan sidang arbitrase (Pasal 44 ayat 5).
11. Dalam sidang arbitrase, para pihak diberikan
kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis
atau lisan pendirian masing-masing dan
mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk
menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu
yang ditetapkan oleh arbiter (Pasal 45 ayat 1).
12. Arbiter berhak meminta kepada para pihak
untuk meminta penjelasan tambahan secara
tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang
dianggap perlu dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter
(Pasal 45 ayat 2).
13. Arbiter dapat memanggil seorang atau lebih
saksi atau saksi ahli untuk dedengar
keterangannya (Pasal 46 ayat 1).
14. Kegiatan dalam sidang arbitrase ditulis dalam
berita cara oleh arbiter (Pasal 48).
15. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum
mengikat para pihak dan merupakan putusan
yang bersifat akhir atau tetap / final and
binding (Pasal 51 ayat 1).
16. Putusan arbitrase harus dilaksanakan selambat-
lambatnya 14 hari sejak ditetapkan (Pasal 50
ayat 4).
17. Putusan arbitrase didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah hukum arbiter menetapkan putusan
(Pasal 51 ayat 2).
18. Apabila putusan arbitrase tersebut tidak
dilaksanakan, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pihak terhadap siap putusan itu harus
dijalankan agar putusan diperintahkan untuk
dijalankan (Pasal 51 ayat 3).
19. Putusan arbitrase dapat diajukan Kasasi ke
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-
lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkannya
putusan arbitrase apabila mengandung unsur-
unsur sebagai berikut (Pasal 52 ayat 1):
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan.
Diakui dan dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil dan ditemukan
dokumen yang bersifat menetukan, yang
disembunyikan pihak lawan.
c. Keputusan diambil dari tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan.
d. Putusan melampaui kekuasaan arbiter
hubungan industrial.
e. Putusan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
20. Dalam hal permohonan tersebut dikabulkan,
Mahmah Agung menetapkan akibat dari
pembatalan baik seluruhnya atau sebagian
putusan arbitrase (Pasal 52 ayat 2).
21. Perselisihan hubungan industrial yang telah
diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat
diajukan kembali ke Pengadilan Hubungan
Industrial (Pasal 53).
d. Mediasi
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih mediator yang netral (Pasal 1 angka 1).
Mediator hubungan industrial adalah pegawai instansi pemerintah
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat – syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri
untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban
memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan
antar serikat pekerja / serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
(Pasal 1 angka 12).
Penyelesaian melalui mediasi dimulai apabila perundingan
bipartit gagal, dan dalam 7 hari para pihak tidak menetapkan
pilihannya apakah akan menyelesaikan perselisihannya melalui
konsiliasi ataupun arbitrase sebagaimana yang dianjurkan dalam
pasal 4 ayat 3 maka penyelesaian perselisihan diserahkan pada
mediator (Pasal 4 ayat 4).
Tahap penyelesaian melalui mediasi adalah sebagai berikut
:
1. Mediator harus menyelesaikan tugasnya selambat-
lambatnya 30 hari sejak menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan.
2. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan
segera mengadakan sidang mediasi (Pasal 10).
3. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli guna
didengar keterangannya (Pasal 11 ayat 1).
4. Apabila mediasi mencapai kesepakatan, maka harus dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan
disaksikan oleh mediator serta didaftarkan di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
5. Apabila tidak tercapai kesepakatan, maka :
a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis
b. Selambat-lambatnya 10 hari sejak menerima
anjuran tersebut para pihak sudah harus
memberikan jawaban kepada mediator apakah
menyetujui atau tidak menolak anjuran yang dibuat
mediator.
c. Jika para pihak tidak memberikan pendapatnya
mereka dianggap menolak anjuran tertulis
d. Apabila anjuran tertulis disetujui, maka dalam
waktu 3 hari sejak disetujui, mediator harus sudah
selesai membantu para pihak membuat perjanjian
bersama untuk didaftarkan di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama
untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
e. Apabila perjanjian tertulis ditolak oleh salah satu
pihak maka salah satu pihak dapat melanjutkan
penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat
e. Pengadilan Hubungan Industrial
Kompetensi absolut pengadilan hubungan
industrial diatur dalam Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutus :
1. Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak.
2. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan.
3. Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja.
4. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Kompetensi relatif pengadilan hubungan industrial
diatur dalam pasal 59 Undang-undang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial yaitu :
Ayat 1
Untuk pertama kali dengan undang-undang ini dibentuk
Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negara
Kabupaten/Kota yang berada di setiap ibukota provinsi yang
daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan
Ayat 2
Di Kabupaten/Kota terutama yang padat industri, dengan
keputusan presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Hakim Pengadilan Hubungan Industrial terdiri dari Hakim
Negeri yang berasal dari pengadilan negeri yang bersangkutan dan
hakim adhoc yang diangkat oleh Keputusan Presiden atas usul
Mahkamah Agung yang berasal dari latar belakang serikat pekerja
dan yang berasal dari latar belakang pengusaha.
Proses pemeriksaan di pengadilan industrial meliputi :
1. Pengajuan gugatan
1.Gugatan diajukan pada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal 81).
2.Gugatan oleh pekerja / buruh atas pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 159 dan pasal 171
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,
dapat diajukan hanya dalam waktu 1 tahun sejak diterimanya
atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha (Pasal
82).
3.Hakim wajib mengembalikan gugatan yang tidak dilampiri
penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, dan jika
gugatan dipandang masih ada kekurangan dikembalikan
kepada Penggugat untuk disempurnakan (Pasal 83 ayat 1 dan
2).
4.Gugatan yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat
diajukan secara kolektif dengan memberikan kuasa khusus
(Pasal 84).
5.Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatanya
sebelum tergugat sudah memberikan jawabannya, dan
apabila tergugat sudah memberikan jawabannya, maka
pencabutan dikabulkan jika disetujui oleh Tergugat (Pasal 85
ayat 1 dan 2).
6.Dalam hal perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan
diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka
pengadilan hubungan industrial wajib memutus terlebih
dahulu perkara perselisihan dan atau perselisihan
kepentingan (Pasal 86).
7.Serikat pekerja / serikat buruh dan organisasi pengusaha
dapat bertimdak sebagai kuasa hukum untuk bebicara di
pengadilan hubungan industrial untuk mewakili anggotanya
(Pasal 87).
8.Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7
hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan
majelis hakim, yang terdiri atas 1 orang hakim sebagai ketua
majelis dan 2 orang hakim ad – hoc sebagai anggota majelis
yang memeriksa dan memutus perselisihan, yang
pengangkatannya masing-masing diusulkan oleh serikat
pekerja / serikat buruh dan organisasi pengusaha, termasuk
menunjuk panitera pengganti (Pasal 88 ayat 1, 2 dan 3)
2. Acara Biasa (Pasal 89-87)
a. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak
penetapan majelis hakim, ketua majelis harus sudah
melakukan sidang pertama (Pasal 89 ayat 1).
b. Pemanggilan untuk datang ke persidangan dilakukan
secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan
kepada para pihak dialamat tempat tinggalnya atau
ditempat tinggal terakhirnya apabila tempat tinggalnya
tidak diketahui (Pasal 89 ayat 2).
c. Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli
untuk hadir di persidangan guna diminta atau didengar
keterangannya (Pasal 90 ayat 1).
d. Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak dapat
menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, ketua majelis hakim
menetapkan hari sidang berikutnya selambat-lambatnya
7 hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan untuk
sebanyak-banyaknya 2 kali penundaan (Pasal 93 ayat 1,
2 dan 3).
e. Apabila penggugat atau kuasanya yang telah dipanggil
secara sah tidak hadir dalam sidang penundaan terakhir,
maka gugatannya dianggap gugur, tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi (Pasal 94
ayat 1).
f. Apabila Tergugat atau kuasanya yang telah dipanggil
secara sah tidak hadir dalam sidang penundaan terakhir,
maka majelis hakim dapat memeriksa dan memutus
perselisihan tanpa dihadiri tergugat (Pasal 94 ayat 2).
g. Sidang majelis hakim terbuka untuk umum, kecuali
majelis hakim menetapkan lain (Pasal 95 ayat 1).
h. Apabila dalam persidangan pertama pihak pengusaha
secara nyata terbukti tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 155 ayat 3 Undang-
undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan
saja, berupa perintah kepada pengusaha untuk
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa
diterima pekerja / buruh yang bersangkutan (Pasal 96
ayat 1).
i. Selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan
putusan selanjutnya juga tidak dilaksanakan oleh
pengusaha, hakim ketua sidang memerintahkan sita
jaminan alam sebuah penetapan pengadilan hubungan
industrial (Pasal 96 ayat 3).
j. Terhadap putusan sela dan penetapan tidak dapat
diajukan perlawanan dan atau tidak dapat digunakan
upaya hukum (Pasal 96 ayat 4).
k. Isi putusan pengadilan hubungan industrial menetapkan
kewajiban yang harus dilakukan dan atau hak yang
harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak atas
tiap penyelesaian perselisihan hubungan industrial
(Pasal 97).
3. Acara Cepat (Pasal 98-99)
a. Apabila terdapat kepentingan para pihak dan atau salah
satu pihak yang mendesak yang harus disimpulkan dari
alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan
para pihak dan atau salah satu pihak dapat memohon
kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat (Pasal 98 ayat 1).
b. Dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan
tentang dikabulkannya atau tidak dikabulkannya
permohonan tersebut (Pasal 98 ayat 2).
c. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak digunakan upaya hukum (Pasal 98 ayat 3).
d. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan
Negeri dalam jangka waktu 7 hari kerja setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 98 ayat 2 menentukan majelis hakim, hari,
tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan (pasal 99 ayat 1).
e. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua
belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi
14 hari kerja
4. Pengambilan Putusan
a. Putusan dibacakan oleh majelis hakim dalam sidang
terbuka untuk umum (Pasal 101 ayat 1).
b. Majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial selambat-lambatnya 50
hari kerja, terhitung sejak sidang pertama (Pasal 103).
c. Ketua majelis hakim pengadilan hubungan industrial
dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan
lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan
perlawanan atau kasasi (Pasal 108).
d. Putusan pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri mengenai kepentingan dan
perselisihan antar pekerja/serikat pekerja buruh dalam
satu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat
tetap (Pasal 109).
e. Putusan pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri mengenaiperselisihan hak dan
pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan
hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi
kepada Mahkamah Agungdalam waktu selambat-
lambatnya 14 hari kerja, sejak putusan dibacakan
apabila para pihak hadir, dan sejak tanggal diterimanya
pemberitahuan putusan bagi pihak yang tidak hadir
(Pasal 110).
2. Eksistensi Perjanjian Bersama dalam Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Indsutrial
a. Sahnya Perjanjian (Dalam KUH Perdata)
Dasar hukum dari sahnya suatu perjanjian adalah pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
Disebutkan bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat, yaitu:
1.Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri,
2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3.Suatu hal tertentu, dan
4.Suatu sebab yang halal.
Dalam perjanjian kerja, sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 52 (1), syarat sahnya suatu perjanjian secara lebih
khusus mensyaratakan:
1. Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kemampuan atau kecakapan dalam melakukan
perbuatan hukum
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan,dan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan.
Perjanjian kerja yang dibuat secara lisan hanya untuk Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Terentu (PKWTT) dan harus disertai dengan
surat pengangkatan. Sementara untuk Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) wajib dibuat secara tertulis. PKWT yang dibuat
secara lisan adalah bertentangan dan menjadi PKWTT.
1. Kesepakatan para pihak
Suatu perjanjian harus mensyaratkan adanya
kesepakatan dari para pihak. Hal ini berarti bahwa suatu
perjanjian tidak bisa dibuat secara sepihak. Suatu pihak
tidak dapat mengakui adanya suatu perjanjian bila pihak
lain tidak menyepakati adanya perjanjian tersebut.
Kesepakatan ini bermakna bahwa isi dari perjanjian yang
dibuat telah diketahui dan sesuai dengan keinginan para
pihak.
Sebagai hal mendasar dari suatu perjanjian adalah
adanya keinginan secara bebas. Tanpa kekhilafan, paksaan,
ataupun penipuan. Apabila yang sebaliknya yang terjadi,
maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah dan menjadi
sebuah perjanjian yang cacad dan dapat dibatalkan.
2. Kecakapan
Mengenai perjanjian kerja, ketentuan yang berlaku
sangat berbeda dengan ketentuan perjanjian secara umum
berdsarkan KUHPer. yang mensyaratkan batasan usia 21
tahun. Hukum Ketenagakerjaan mensyaratkan batasan usia
anak yang boleh diperkerjakan yaitu usia antara 13 sampai
dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
dan sosial (pasal 69 ayat 1 UUK). Serta beberarapa
ketentuan lain mengenai batasan usia anak. Mengenai
kriteria anak, UU Perlindungan anak menyebutkan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun. Selama tidak ada peraturan perundang-
undangan yang melarang, setiap orang berhak mengadakan
suatu perjanjian kerja.
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Suatu perjanjian kerja harus secara tegas
menyebutkan jenis pekerjaan yang akan dikerjakan oleh
pihak pekerja. Hal ini tentu saja untuk menghindari
perbedaan atau permasalahan yang mungkin timbul
kemudian. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 ayat 1
UUK, perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-
kurangnya memuat:
a. Nama, alamat, dan jenis perusahaan,
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh,
c. Jabatan atau jenis pekerjaan,
d. Tempat pekerjaan,
e. Besarnya upah dan cara pembayaran,
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja,
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada dasarnya, hukum harus menjamin adanya
ketertiban umum. Juga menjamin tidak terjadi tumpang
tindih dalam peraturan perundang-undangan. Dalam sebuah
perjanjian kerja, tidak diperkenankan adanya sebuah
perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Misalnya; pengusaha tidak boleh mepekerjakan seorang
pekerja untuk melakukan pencurian, membuat bom, atau
perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan
lainnya.
Setiap perjanjian kerja dapat dibatalkan bila
bertentangan dengan ketentuan mengenai syarat adanya
kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan atau
kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Begitu juga
bila syarat adanya pekerjaan yang
diperjanjikan,dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak
dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (Pasal
52 ayat 2 dan 3 UUK).
b. Akibat Hukum dari Perjanjian (Perjanjian
berlaku sebagai Undang-Undang Pasal 1338)
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas
kebebasan berkontrak, akan tetapikebebasan ini dibatasi
oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak
yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang
sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-
hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.
Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian
kepada pihak ketiga.
c. Akibat Hukum dari Perjanjian Bersama
Perjanjian Bersama yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang terkait ketenagakerjaan timbul karena
didahului oleh adanya perselisihan hubungan industrial
antara Pengusaha/Pemberi kerja dengan Pekerja / Serikat
pekerja sementara Perjanjian Bersama berdasarkan
kebebasan berkontrak tidak selalu didasarkan karena
adanya / didahului perselisihan hubungan industrial (murni
atas kesepakatan dan kesesuaian kehendak masing-masing
pihak (konsesualisme) untuk mengakhiri hubungan
industrial). Sepanjang kesepakatan antara para pihak,
Perjanjian Bersama dapat menentukan klausul yang
menyatakan bahwa masing-masing pihak tidak akan
mengajukan tuntutan, gugatan, maupun upaya hukum lain
kepada pihak lainnya. Sehingga apabila dikemudian hari
salah satu pihak menyadari adanya kerugian yang tidak
diketahui saat Perjanjian Bersama dibuat, maka secara
hukum pihak yang bersangkutan tidak berhak lagi
mengajukan tuntutan, gugatan, maupun upaya hukum
karena dianggap telah setuju melepas haknya.
Perjanjian Bersama berdasarkan Undang-Undang
terkait ketenagakerjaan, dibuat oleh para pihak dalam
tahapan perundingan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, dalam hal ini perundingan Bipartit maupun
perundingan Tripartit. Sementara Perjanjian Bersama
berdasarkan Kebebasan Berkontrak tidak melalui tahapan
perundingan penyelesaian formal seperti perundingan
Bipartit maupun perundingan Tripartit yang membutuhkan
adanya Pihak ketiga netral sebagai penengah dan peran
pemerintah dalam proses penyelesaiannya.
Perjanjian Bersama yang telah disepakati pada
perundingan Bipartit maupun perundingan Tripartit wajib
didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian
pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran dengan syarat:
1. Fotocopy Perjanjian Bersama
2. Fotocopy Akta Pendirian Perusahaan
3. Surat Kuasa Pendaftaran (apabila diwakili)
4. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (Pekerja/Buruh)
Sementara pada Perjanjian Bersama berdasarkan
kebebasan berkontrak, para pihak tidak diwajibkan untuk
mendaftarkan Perjanjian Bersama sebagaimana Perjanjian
Bersama hasil perundingan Bipartit maupun perundingan
Tripartit.
Meski Perjanjian Bersama berdasarkan kebebasan
berkontrak tidak melalui perundingan penyelesaian formal
dan tidak melibatkan instansi ketenagakerjaan serta tidak
wajib didaftarakan, namun kekuatan keberlakuannya
(eksekutorial) sama dengan Perjanjian Bersama yang
dibentuk melalui penyelesaian formal dan yang didaftarkan.
B. Hasil Penelitian
Perselisihan hubungan industrial terjadi antara Yano Petra Alberto
Maki melawan PT. Lestari Jaya Raya. Yano Petra Alberto Maki bekerja di
PT. Lestari Jaya Raya melalui Novri Ratulangi dimulai pada tanggal 15
Januari 2009 dengan jabatan checker/pemeriksa barang, yang ditempatkan
di kawasan Industri Pulo Gadung. PT. Lestari Jaya Raya mengadakan
kerjasama dengan Novri Ratulangi untuk pekerjaan pengecekan barang
milik PT. Lestari Jaya Raya yang ada di kawasan Industri Pulo Gadung.
Dalam pekerjaannya, Yano Petra Alberto Maki memeriksa kualitas
dan kuantitas barang pada saat pemuatan barang di kawasan industri Pulo
Gadung. Yano Petra Alberto Maki juga memberikan laporan pekerjaan
dan laporan keuangan operasional kepada bagian keuangan. Selama
bekerja di PT. Lestari Jaya Raya, Yano Petra Alberto Maki secara rutin
menandatangani absensi manual dan menandatangani buku penerimaan
gaji.
Pada tanggal 13 Maret 2009 terjadi penggelapan barang yang
dilakukan oleh supir dan dua orang lainnya. Atas kasus penggelapan
tersebut, Yano Petra Alberto Maki dijadikan saksi dan turut diperiksa di
Polda Metro Jaya.
Pada tanggal 16 Mei 2009 sesudah memberikan kesaksian atas kasus
penggelapan yang terjadi, Yano Petra Alberto Maki dirumahkan oleh PT.
Lestari Jaya Raya.
Pada tanggal 4 Agustus 2009, PT. Lestari Jaya Raya menyatakan telah
memecat Yano Petra Alberto Maki tanpa memberikan alasan, surat
peringatan terlebih dahulu dan surat pemutusan hubungan kerja atas
pemecatan tersebut. Karena itu, Yano Petra Alberto Maki menyampaikan
pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Timur. Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Jakarta Timur mengadakan mediasi, namun para
pihak tidak sepakat. Oleh karena itu, dalam proses mediasi ini dikeluarkan
Surat Anjuran dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Timur
Nomor 29/ANJ/X/2009 tanggal 16 Oktober 2009 yang menganjurkan:
1. Agar pekerja Sdr. Yano Petra Alberto Maki dipekerjakan kembali
seperti semula.
2. Agar upah pekerja selama tidak dipekerjakan dibayarkan (Mei s/d
September 2009) 5x Rp. 1.500.000,- = Rp. 7.500.000,-
3. Agar kedua belah pihak yang berselisih memberikan jawaban
secara tertulis atas anjuran tersebut di atas selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari setelah menerima surat anjuran ini.
4. Apabila pihak-pihak menerima anjuran ini maka Mediator
Hubungan Industrial akan membantu membuat perjanjian Bersama
dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh para pihak.
5. Apabila anjuran ini ditolak oleh salah satu pihak maka para pihak
atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan
ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan tembusan kepada Mediator Hubungan Industrial.
Dengan dikeluarkannya surat anjuran tersebut, pada tanggal 8 Februari
2010 terjadi kesepakatan antara Yano Petra Alberto Maki dengan PT.
Lestari Jaya Raya untuk melakukan upaya damai yang disaksikan
perwakilan pihak Mediator, Ronny Marentek. PT. Lestari Jaya Raya
bersedia memberikan ganti rugi sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta
rupiah) kepada Yano Petra Alberto Maki sebagai itikad baik untuk
berdamai dan pada tanggal 18 Februari 2010, Yano Petra Alberto Maki
bersedia menerima sejumlah uang tersebut dengan membuat surat
pernyataan disaksikan Ronny Marentek (perwakilan pihak mediator) yang
menyebutkan:
"...bahwa saya menarik semua tuntutan pembayaran gaji dan
pesangon sesuai hitungan dari Depnaker atas PT. Lestari Jaya Raya dan
dengan ini saya bersedia damai dengan ganti rugi sebesar Rp.
12.000.000,- (dua belas juta rupiah) yang sudah saya terima dari pihak
mediator. Dengan saya tandatangani surat ini maka semua hal yang
berkaitan dengan perkara di pengadilan hubungan industrial atas perkara
dengan PT. Lestari Jaya Raya maupun terhadap Novri Ratulangi saya
menyatakan sudah selesai dan tidak akan menuntut kembali dikemudian
hari".
Dengan terjadinya kesepakatan tersebut, perselisihan ini dinyatakan
sudah selesai dan tidak akan ada penuntutan kembali di kemudian hari.
Namun atas tidak terpenuhinya hak-hak Yano Petra Alberto Maki,
yaitu pemenuhan upah berjalan dari bulan Juli 2009 sampai dengan bulan
Januari 2010 yang hanya dipenuhi sebesar Rp. 12.000.000,- maka Yano
Petra Alberto Maki mengajukan gugatan No. 052/PHI.G/2010/PN
JKT.PST. Dimana isi gugatannya:
1. Menyatakan bahwa status hubungan kerja antara Penggugat dan
Tergugat adalah hubungan kerja waktu tidak tertentu.
2. Menyatakan bahwa alasan Tergugat melakukan PHK terhadap
Penggugat yang disampaikan kepada Mediator Dinas Tenaga Kerja
Jakarta Timur tidak dapat dibenarkan.
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk membayarkan hak-hak
Penggugat karena melakukan PHK sepihak sesuai dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 pasal 156 yaitu:
a. Sisa upah bulan Mei 2009 Rp. 500.000,-
b. Upah berjalan Bulan Februari 2010 Rp. 1.500.000,-
c. Pesangon 2 x Rp. 1.500.000,- Rp. 3.000.000,-
d. Pengganti perumahan serta pengobatan
Dan perawatan 15% x Rp. 3.000.000,- Rp. 450.000,-
e. Pengganti cuti tahunan Rp. 1.500.000,-
f. Tunjangan Hari Raya Rp. 1.500.000,-
Jumlah Rp. 8.450.000,-
(Delapan juta empat ratus lima puluh ribu rupiah)
4. Menyatakan sah untuk uang paksa (dwangsom) Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah).
5. Menyatakan sah untuk sita jaminan terhadap aset Tergugat yaitu: 1
unit kendaraan Truk Box.
6. Menyatakan bahwa putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meskipun ada upaya banding atau kasasi.
7. Menerima dan mengabulkan seluruhnya tuntutan Penggugat.
Terhadap gugatan yang dilakukan oleh Yano Petra Alberto Maki
sebagai pihak Penggugat kepada PT. Lestari Jaya Raya sebagai pihak
Tergugat, Hakim mempunyai beberapa pertimbangan hukum diantaranya
sebagai berikut:
1. Menimbang bahwa setelah Majelis memeriksa dan meneliti
seluruh bukti-bukti yang daijukan oleh Penggugat berupa P-1 s.d
P-5 Majelis tidak menemukan fakta-fakta hukum yang berkaitan
dengan perjanjian kerja yang mengatur hak dan kewajiban serta
syarat-syarat kerja antara Penggugat dengan Tergugat, begitu pula
tidak ada bukti-bukti untuk menunjukan bahwa Penggugat
memperoleh upah setiap bulannya dari Tergugat.
2. Menimbang, bahwa sekalipun terbukti adanya pekerjaan yang
dilakukan oleh Penggugat di perusahaan Tergugat berdasarkan
keterangan saksi dan bukti P-3, namun demikian oleh karena tidak
ada bukti mengenai perjanjian kerja Penggugat dengan Tergugat
dan tidak ada bukti pula mengenai upah Penggugat setiap
bulannya dibayar oleh Tergugat. Maka Majelis berpendapat bahwa
unsur-unsur hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 15
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
tidak terpenuhi.
3. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T-2 mengenai kuitansi
pembayaran uang pesangon dan upah Penggugat, dari bukti
tersebut diperoleh fakta bahwa Penggugat pada kenyataannya
telah menerima pembayaran uang pesangon dan upah selama
proses Pemutusan Hubungan Kerja sebesar Rp. 12.000.000,- dari
Tergugat pada tanggal 8 Februari 2010 sebagai solusi perdamaian
mengenai penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja
antara Penggugat dengan Tergugat.
4. Menimbang, bahwa saksi Terguat bernama Ronny Marentek
membenarkan telah terjadinya kesepakatan perdamaian mengenai
penyelesain perselisihan pemutusan hubungan kerja antar
Penggugat dengan Tergugat pada tanggal 8 Februari 2010, dimana
Tergugat sepakat membayar uang pesangon dan upah Penggugat
sebesar Rp. 12.000.000,- sebaliknya Penggugat sepakat mencabut
gugatan perkara pemutusan hubungan kerja terhadap Tergugat di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat sebagaimana tertuang dalam bukti T-1.
5. Menimbang, bahwa selanjutnya saksi juga menerangkan bahwa
Tergugat telah membayarkan kepada Penggugat uang pesangon
dan upah selama proses pemutusan hubungan kerja sebesar Rp.
12.000.000,- pada tanggal 8 Februari 2010 dilain pihak pada
tanggal dan hari yang sama Penggugat membuat surat pernyataan
tentang kesepakatan yang terjadi, saksi mengetahui semua hal
tersebut karena saksi ikut terlibat dalam penyelesaian perdamaian
perselisihan pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat.
6. Menimbang, bahwa sebagai tindak lanjut dari solusi kesepakatan
perdamaian tersebut maka pada tanggal 18 Februari 2010
Penggugat telah mencabut gugatannya yang terdaftar di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hukum di atas Majelis Hakim berkesimpulan sebagai berikut:
a. Unsur-unsur hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1
angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak terbukti.
b. Telah terjadi kesepakatan perdamaian mengenai
penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja
antara Penggugat dengan Tergugat pada tanggal 8 Februari
2010.
c. Sebagai tindak lanjut dari solusi tersebut tergugat telah
membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah
selama proses pemutusan hubungan kerja kepada
Penggugat sebesar Rp. 12.000.000,- pada tanggal 8
Februari 2010, sedangkan Penggugat telah mencabut
gugatan perkara pemutusan hubungan kerja terhadap
Tergugat di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 18 Februari
2010.
8. Menimbang, bahwa oleh karena telah tercapai kesepakatan
perdamaian mengenai penyelesaian perselisihan pemutusan
hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat pada tanggl 8
Februari 2010 dan Tergugat juga telah terbukti membayar kepada
Penggugat uang pesangon, uang penggantian hak dan upah selama
proses pemutusan hubungan kerja sebesar Rp. 12.000.000,-
sementara dilain pihak Penggugat terbukti pula telah mencabut
gugatannya di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 18 Februari 2010.
Terhadap gugatan yang dilakukan oleh Yano Petra Alberto
Maki sebagai Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengambil keputusan, yaitu
Putusan Nomor 052/PHI.G/2010/PN JKT PST pada tanggal 20
Mei 2010 memutuskan:
1. Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya
2. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Selanjutnya, pada tanggal 2 Juni 2010 Yano Petra Alberto
Maki yang dahulu disebut sebagai Penggugat sekarang sebagai
Pemohon Kasasi mengajukan permohonan kasasi secara lisan
kepada yang dahulu disebut sebagai Tergugat sekarang sebagai
Termohon Kasasi dengan akte permohonan kasasi
No.76/Srt.Kas/PHI/2010/pn Jkt.Pst. Dengan alasan-alasan:
1. Bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor
052/PHI.G/2010/PN JKT PST untuk selanjutnya disebut Judex
Facti telah salah atau keliru dalam menerapkan hukum.
2. Bahwa yang menjadi pokok permasalahannya adalah
Termohon Kasasi melakukan pemutusan hubungan kerja
sepihak terhadap Pemohon Kasasi dengan alasan bahwa
Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi tidak ada hubungan
kerja karena Pemohon Kasasi hanya ada hubungan kerja
dengan Novri Ratulangi (perorangan bukan berbadan hukum).
3. Bahwa Pemohon Kasasi sangat keberatan dengan
pertimbangan- pertimbangan dalam Judex Facti yang sama
sekali tidak memperhatikan Pasal 65 ayat 3 dan ayat 8 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Bahwa fakta mulai dari Mediasi pada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Jakarta Timur dan fakta persidangan adalah:
a. Pemohon Kasasi terbukti bekerja pada perusahaan
Termohon Kasasi.
b. Bahwa Novri Ratulangi bukanlah perusahaan berbadan
hukum.
c. Bahwa Termohon Kasasi adalah perusahaan pemberi
pekerjaan.
5. Bahwa dari bukti-bukti yang telah terbukti di persidangan
sangatlah jelas bahwa Novri Ratulangi bukanlah perusahaan
berbadan hukum yang disyaratkan pada Pasal 65 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka
Demi Hukum hubungan Pemohon Kasasi dengan Termohon
Kasasi adalah hubungan kerja.
6. Bahwa pertimbangan Judex Facti yang menolak petitum-
petitum yang lainnya karena menolak petitum angka (3)
sangatlah keliru dalam menerapkan hukum, karena dengan
terbuktinya Termohon Kasasi membayarkan uang pesangon,
uang penggantian hak dan upah selama proses pemutusan
hubungan kerja kepada Pemohon Kasasi membuktikan adanya
unsur hubungan kerja antara Pemohon Kasasi dengan
Termohon Kasasi.
7. Bahwa pertimbangan Judex Facti akan menimbulkan preseden
yang tidak baik, dimana seorang pekerja/buruh dapat di PHK
sewaktu-waktu dengan alasan tidak memiliki hubungan kerja
dengan perusahaan pemberi kerja karena perusahaan pemberi
kerja hanya memiliki hubungan kerja dengan perorangan yang
tidak berbadan hukum yang mempekerjakan pekerja tersebut
tanpa memperhatikan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukumnya.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi menyatakan judex factie
tidak salah dalam menerapkan hukum, karena hubungan kerja antara
Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah putus sejak diadakannya
upaya perdamaian dan pemberian ganti rugi sebesar Rp. 12.000.000,-.
Berdasarkan hal tersebut, putusan pengadilan tingkat kasasi:
1. Menolak permohonan kasasi
2. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
C. Pembahasan
Analisis Penyerahan uang sebesar Rp. 12.000.000,-
Mediasi dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih mediator yang netral. Mediator hubungan industrial adalah
pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat – syarat sebagai mediator
yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi
dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
(PHK) dan perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan.
Penyelesaian melalui mediasi dimulai apabila perundingan
bipartit gagal, dan dalam 7 hari para pihak tidak menetapkan
pilihannya apakah akan menyelesaikan perselisihannya melalui
konsiliasi ataupun arbitrase sebagaimana yang dianjurkan dalam
pasal 4 ayat 3 maka penyelesaian perselisihan diserahkan pada
mediator.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
pada Pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa penyelesaian
perselisihan diwajibkan menempuh upaya perundingan bipartit
terlebih dahulu. Dalam kasus ini, penyelesaian perselisihan
langsung pada tahap mediasi tanpa dilakukannya tahap-tahap
penyelesaian perselisihan sebelumnya yaitu perundingan bipartit,
konsiliasi dan arbitrase terlebih dahulu.
Dalam kasus ini, penyelesaian perselisihan diawali dengan
pengaduan Yano Petra Alberto Maki kepada Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Jakarta Timur. Dimana penyelesaian perselisihan
yang digunakan dalam kasus ini adalah mediasi. Pada tahap
mediasi ini, dikarenakan belum mencapai kesepakatan maka pihak
Mediator mengeluarkan Surat Anjuran dari Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Jakarta Timur Nomor 29/ANJ/X/2009 tanggal 16
Oktober 2009 yang menganjurkan beberapa hal sebagai upaya
penyelesaian perselisihan kedua belah pihak. Dengan
dikeluarkannya surat anjuran tersebut, sebagai itikad baik PT.
Lestari Jaya Raya bersedia memberikan uang damai sebesar Rp.
12.000.000,- kepada Yano Petra Alberto Maki dengan maksud agar
Yano Petra Alberto Maki tidak membawa perkara ini ke
pengadilan hubungan industrial di kemudian hari. Yano Petra
Alberto Maki bersedia menerima sejumlah uang tersebut dan
tercapailah kesepakatan bahwa perselisihan telah selesai.
Namun, merasa hak-haknya belum sepenuhnya terpenuhi
maka Yano Petra Alberto Maki mengajukan gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial. Hal ini menunjukan bahwa Yano Petra
Alberto Maki telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu
melanggar kesepakatan perdamaian yang disaksikan pihak
Mediator melalui Surat Pernyataan yang ditandatangani pada
tanggal 8 Februari 2010 diantaranya menyepakati adanya
pembayaran upah, uang pesangon sebagai uang damai oleh PT.
Lestari Jaya Raya kepada Yano Petra Alberto Maki sebesar Rp.
12.000.000,- dan kesepakatan dari Yano Petra Alberto Maki untuk
tidak mengajukan gugatan mengenai perkara ini ke Pengadilan
Hubungan Industrial di kemudian hari. Padahal sangat jelas sekali
pemberian uang damai sebesar Rp. 12.000.000,- oleh PT. Lestari
Jaya Raya kepada Yano Petra Alberto Maki sudah menandakan
bahwa perselisihan sudah selesai secara sah.
Fakta dan Akibat Hukum Ketidakadaan Perundingan
Bipartit sebelum dilakukan Mediasi
Selanjutnya pada pembahasan ini, tentu membuat kita bertanya
tentang fakta apa yang menunjukan bahwa mediasi dilakukan tanpa
dilaksanakannya perundingan bipartit terlebih dahulu? dan apa
pengaruhnya jika tidak dilakukan terlebih dahulu? pertanyaan-pertanyaan
ini yang patut diulas kembali sebagai berikut.
a. Fakta Hukum
Seperti yang telah diketahui, fakta hukum adalah fakta-fakta yang
diatur oleh hukum yang mempunyai akibat hukum. Fakta hukum dalam
kasus ini adalah penyelesaian perselisihan yang dilakukan langsung pada
tahap mediasi. Mengapa dikatakan seperti itu? jika dilihat dari putusan
dalam perkara ini, tidak ada hal yang menunjukan bahwa sebelum
dilakukannya mediasi pihak-pihak sudah melakukan musyawarah untuk
mufakat atau dalam kata lain perundingan bipartit terlebih dahulu. Maka
itu disini dapat dikatakan bahwa pada faktanya penyelesaian perselisihan
dalam perkara ini langsung menuju tahap mediasi tanpa adanya
perundingan bipartit terlebih dahulu.
Selanjutnya, mengenai sumber hukum. sumber hukum terdiri dari
lima sumber, dimana salah satunya adalah putusan pengadilan. Artinya
putusan pengadilan dapat dijadikan dasar untuk fakta hukum karena
putusan pengadilan merupakan sumber hukum. Karena putusan pengadilan
sebagai sumber hukum maka putusan pengadilan bisa dijadikan data yang
membenarkan bahwa ada fakta hukum dimana adanya situasi ketidakadaan
perundingan bipartit sebelum dilakukan mediasi.
b. Akibat Hukum
Skema Tahap-Tahap Penyelesaian Perselisihan
Perselisihan
Sepakat Tidak Sepakat
Perjanjian Bersama Dicatatkan Disnaker
Didaftarkan ke PHI
Tidak dipilih Para Pihak
Sepakat Tidak Sepakat
Bipartit-Para Pihak
Konsiliasi Arbitrase
Mediasi
Pengadilan Hubungan
Industrial:
Tingkat I
Kasasi
Skema tahap-tahap penyelesaian perselisihan diatas menunjukan
tahap-tahap yang harus dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihan
mulai dari musyawarah untuk mufakat atau perundingan bipartit sampai
kepada Pengadilan Hubungan Industrial tingkat I dan Kasasi. Ketentuan
mengenai hal ini jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Yang keduanya
menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan tentunya diawali dengan
musyawarah untuk mufakat atau perundingan bipartit terlebih dahulu.
Jika dilihat dari alur perkara, dalam kasus ini para pihak langsung
menempuh tahap mediasi sebagai penyelesaian perselisihan tanpa
didahului perundingan bipartit terlebih dahulu.
Selanjutnya fakta hukum sebagaimana yang telah diuraikan pada
pembahasan sebelumnya tidak lepas dari akibat hukum. Akibat hukum
seperti yang diketahui mempunyai dua akibat dan tidak memiliki akibat,
dengan penjelasan sebagai berikut:
Dapat dibatalkan adalah bahwa perjanjian dianggap pernah ada
sampai pada saat terjadi pembatalan (ada putusan yang
membatalkan).
Batal Demi Hukum adalah bahwa sejak semula perjanjian itu
dianggap tidak pernah ada.
Tidak memiliki akibat.
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus ini, dapat kita lihat
bahwa mengenai fakta hukum yang terjadi adalah penyelesaian
perselisihan dilakukan langsung pada tahap mediasi tanpa diawali
musyawarah untuk mufakat atau perundingan bipartit terlebih dahulu.
Dimana akibat hukumnya adalah tidak memiliki akibat, mengapa?
karena mengenai tahap mana yang digunakan para pihak dalam
penyelesaian perselisihan adalah hanya sebagai opsi saja. Meskipun
dalam peraturan perundang-undangan diatur mengenai langkah awal
dalam penyelesaian perselisihan adalah musyawarah untuk mufakat.
Atas hal-hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa fakta dan
akibat dalam ketidakadaan perundingan bipartit sebelum dilakukan
mediasi mengakibatkan output dari penyelesaian perselisihan ini yaitu
dari mediasi adalah perjanjian bersama ataupun surat pernyataan tidak
memiliki akibat hukum dan tidak memberikan pengaruh apa-apa.
Maka itu perjanjian bersama yang dalam perkara ini Surat Pernyataan
keberadaannya tetap sah, karena mengenai tidak dilaksanakannya
perundingan bipartit sebelum dilakukannya mediasi tidak berpengaruh
apa-apa, mengenai tahap apa yang digunakan para pihak hanya sebagai
opsi meskipun undang-undang menyatakan bahwa penyelesaian
perselisihan diawali dengan perundingan bipartit terlebih dahulu.
Eksistensi Perjanjian Bersama
Perjanjian Bersama yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang terkait ketenagakerjaan timbul karena didahului oleh
adanya perselisihan hubungan industrial antara Pengusaha/Pemberi
kerja dengan Pekerja / Serikat pekerja. Sepanjang kesepakatan
antara para pihak, Perjanjian Bersama dapat menentukan klausul
yang menyatakan bahwa masing-masing pihak tidak akan
mengajukan tuntutan, gugatan, maupun upaya hukum lain kepada
pihak lainnya. Sehingga apabila dikemudian hari salah satu pihak
menyadari adanya kerugian yang tidak diketahui saat Perjanjian
Bersama dibuat, maka secara hukum pihak yang bersangkutan
tidak berhak lagi mengajukan tuntutan, gugatan, maupun upaya
hukum karena dianggap telah setuju melepas haknya.
Perjanjian Bersama berdasarkan Undang-Undang terkait
ketenagakerjaan, dibuat oleh para pihak dalam tahapan
perundingan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Perjanjian Bersama yang telah disepakati pada perundingan
Bipartit maupun perundingan Tripartit wajib didaftarkan oleh para
pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
“4. Bahwa Penggugat mencabut gugatan Nomor
07/PHI.G/2010/PN JKT PST dan mengajukan gugatan baru
karena Tergugat belum memenuhi semua hak-hak Penggugat
dan hanya membayar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
sebagai upah berjalan bulan Juli 2009 sampai Januari 2010,
tanpa surat perjanjian bersama Penyelesaian Perkara
Perselisihan Hubungan Industrial”.1
Kutipan di atas merupakan dasar gugatan oleh
Penggugat dimana hal tersebut menunjukan bahwa dari sisi
Penggugat keberadaan perjanjian bersama jelas tidak diakui,
tidak ada fakta yang menunjukan bahwa perjanjian bersama
telah dibuat maupun didaftarkan.
Begitu pula jika dilihat dari sisi Tergugat, dalam
jawaban Tergugat, Tergugat sama sekali tidak membahas atau
menyanggahi mengenai dasar gugatan Penggugat yang
menyatakan bahwa tidak adanya perjanjian bersama. Namun
yang terlihat pada jawaban Tergugat adalah diakuinya
keberadaan surat pernyataan oleh Penggugat yang pada
pokoknya menyatakan:
“ ...bahwa saya menarik semua tuntutan pembayaran
gaji dan pesangon sesuai hitungan dari Dinas Tenaga kerja
dan Transmigrasi atas PT. Lestari Jaya Raya dan dengan ini
saya bersedia damai dengan ganti rugi secara damai sebesar
Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) yang sudah saya
terima dari pihak mediator. Dengan saya tandatangani surat
ini maka semua hal yang menjadi tuntutan dalam laporan
polisi sesuai tersebut di atas dan segala yang berkaitan dengan
perkara di Pengadilan Hubungan Industrial atas perkara
dengan PT. Lestari Jaya Raya maupun terhadap Novri
Ratulangi. Saya menyatakan sudah selesai dan tidak akan
menuntut kembali dikemudian hari”.2
Surat pernyataan tersebut dibuat sebagai jaminan dari
Penggugat setelah menerima uang damai sebesar Rp.
1 Putusan Nomor 052/PHI.G/2010/PN JKT PST, hal. 3
2 Ibid, hal.12
12.000.000,-. Dimana surat pernyataan tersebut dibuat pada
tanggal 18 Februari 2010 sebagai hasil dari proses penyelesaian
perselisihan tahap mediasi pada tanggal 8 Februari 2010.
Maka dari itu, berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa keberadaan perjanjian bersama dalam
kasus ini tidak diakui oleh kedua pihak, yaitu Pihak Penggugat
dan Tergugat.
Dengan adanya Surat Pernyataan sebagai output dari
mediasi seharusnya mediasi secara prinsipal sudah menjadi
wadah terakhir dalam penyelesaian sengketa ini. mengapa
menjadi wadah terakhir? karena Surat Pernyataan itu sendiri
dapat dikatakan subtansinya sifatnya akhir (final). Hal ini
terlihat dari pokok ketentuan yang dirumuskan dalam Surat
Pernyataan sebagai berikut:
“ ...bahwa saya menarik semua tuntutan pembayaran
gaji dan pesangon sesuai hitungan dari Dinas Tenaga kerja
dan Transmigrasi atas PT. Lestari Jaya Raya dan dengan ini
saya bersedia damai dengan ganti rugi secara damai sebesar
Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) yang sudah saya
terima dari pihak mediator. Dengan saya tandatangani surat
ini maka semua hal yang menjadi tuntutan dalam laporan
polisi sesuai tersebut di atas dan segala yang berkaitan dengan
perkara di Pengadilan Hubungan Industrial atas perkara
dengan PT. Lestari Jaya Raya maupun terhadap Novri
Ratulangi. Saya menyatakan sudah selesai dan tidak akan
menuntut kembali dikemudian hari”.
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa Surat
Pernyataan yang dibuat dalam kasus ini, yang menyatakan
bahwa pihak-pihak yang sudah sepakat tidak diperkenankan
untuk mengajukan upaya hukum lanjutan atau mengajukan
gugatan ke pengadilan dikemudian hari, karena sudah jelas di
dalamnya tertera bahwa pihak-pihak sudah menyatakan bahwa
perselisihan sudah selesai maka para pihak tidak dapat menjadi
penggugat maupun tergugat , atau dalam artian tidak
diperkenankan mengajukan upaya hukum selanjutnya yaitu
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Kalimat tidak dapat diajukan upaya hukum selanjutnya sudah
jelas sekali menunjukan bahwa pada sengketa ini mediasi
sudah menjadi wadah terakhir (final) dalam penyelesaian
perselisihan.
Maka dari itu, yang dapat ditekankan pada pembahasan
ini adalah bahwa bukan mediasinya yang bersifat akhir (final)
namun substansi dari mediasi itu sendiri yaitu dalam perkara
ini surat pernyataan yang membuat mediasi dalam sengketa ini
merupakan wadah terakhir dalam penyelesaian perselisihan.
Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa
Penggugat dan Tergugat tidak mengakui keberadaan perjanjian
bersama. Selanjutnya, adalah bagaimana Pengadilan Hubungan
Industrial melihat keberadaan perjanjian bersama dalam kasus
ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim
sebagai berikut:
Pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Nomor
052/PHI.G/2010/PN JKT PST
1. Menimbang, bahwa saksi Tergugat bernama Ronny Marentek
membenarkan telah terjadinya kesepakatan perdamaian
mengenai penyelesain perselisihan pemutusan hubungan kerja
antar Penggugat dengan Tergugat pada tanggal 8 Februari
2010, dimana Tergugat sepakat membayar uang pesangon dan
upah Penggugat sebesar Rp. 12.000.000,- sebaliknya Penggugat
sepakat mencabut gugatan perkara pemutusan hubungan kerja
terhadap Tergugat di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana tertuang dalam
bukti T-1.
2. Menimbang, bahwa selanjutnya saksi juga menerangkan bahwa
Tergugat telah membayarkan kepada Penggugat uang pesangon
dan upah selama proses pemutusan hubungan kerja sebesar Rp.
12.000.000,- pada tanggal 8 Februari 2010 dilain pihak pada
tanggal dan hari yang sama Penggugat membuat surat
pernyataan tentang kesepakatan yang terjadi, saksi mengetahui
semua hal tersebut karena saksi ikut terlibat dalam penyelesaian
perdamaian perselisihan pemutusan hubungan kerja antara
Penggugat dengan Tergugat.
3. Menimbang, bahwa sebagai tindak lanjut dari solusi
kesepakatan perdamaian tersebut maka pada tanggal 18
Februari 2010 Penggugat telah mencabut gugatannya yang
terdaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
4. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hukum di atas Majelis Hakim berkesimpulan sebagai berikut:
d. Unsur-unsur hubungan kerja antara Penggugat dengan
Tergugat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1
angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tidak terbukti.
e. Telah terjadi kesepakatan perdamaian mengenai
penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja
antara Penggugat dengan Tergugat pada tanggal 8 Februari
2010.
f. Sebagai tindak lanjut dari solusi tersebut tergugat telah
membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah
selama proses pemutusan hubungan kerja kepada
Penggugat sebesar Rp. 12.000.000,- pada tanggal 8
Februari 2010, sedangkan Penggugat telah mencabut
gugatan perkara pemutusan hubungan kerja terhadap
Tergugat di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 18 Februari
2010.
5. Menimbang, bahwa oleh karena telah tercapai kesepakatan
perdamaian mengenai penyelesaian perselisihan pemutusan
hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat pada tanggl
8 Februari 2010 dan Tergugat juga telah terbukti membayar
kepada Penggugat uang pesangon, uang penggantian hak dan
upah selama proses pemutusan hubungan kerja sebesar Rp.
12.000.000,- sementara dilain pihak Penggugat terbukti pula
telah mencabut gugatannya di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 18 Februari
2010.
Pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 861
K/Pdt.Sus/2010
"bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,
judex facti tidak salah menerapkan hukum karena hubungan
kerja antara Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi telah
putus sejak Pemohon Kasasi menerima uang kompensasi atas
surat pernyataan Pemohon Kasasi tanggal 8 Februari 2010
sebesar Rp. 12.000.000,-".
Dengan melihat pertimbangan-pertimbangan Majelis
Hakim di atas terlihat bahwa Pengadilan Hubungan Industrial
tidak mengakui keberadaan perjanjian bersama, namun
pengadilan mengakui keberadaan surat pernyataan yang dibuat
saat mediasi yang menandakan bahwa perselisihan telah
selesai.
Maka dari itu karena perselisihan sudah selesai,
Pengadilan Hubungan Industrial seharusnya tidak
diperbolehkan menerima gugatan yang masuk, atau lebih
tepatnya tidak diperkenankan menyelesaikan perkara seperti
yang terjadi dalam kasus ini, dikarenakan telah adanya surat
pernyataan sebagai output dari mediasi. Kemudian yang
menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika gugatan
tidak diterima atau tidak diperkenankan diselesaikan oleh
pengadilan? apa yang dapat dilakukan pengadilan? Yang dapat
dilakukan Pengadilan Hubungan Industrial adalah memberikan
putusan Sela yaitu putusan yang dijatuhkan sebelum dijatuhkan
putusan akhir. Dimana pada putusan sela Majelis Hakim
menyatakan bahwa tidak dapat meneruskan perkara ini dan
mengembalikan kepada Tergugat untuk mengajukan
permohonan eksekusi.
Dengan adanya surat pernyataan ini, maka perselisihan
sudah selesai secara sah pada tahap mediasi dan dengan
diajukannya gugatan oleh Yano Petra Alberto Maki kepada
Pengadilan Hubungan Industrial, maka Yano Petra Alberto
Maki dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum
atas surat pernyataan yang telah dibuat.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas
kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh
hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang
membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya
memaksa.
Seperti halnya dalam kasus ini, ketika telah dibuatnya
surat pernyataan yang menandakan bahwa selesainya suatu
perselisihan sudah seharusnya oleh kedua belah pihak yang
telah sepakat karena surat pernyataan kesepakatan yang telah
dibuat inilah yang berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya, untuk itu sudah seharusnya para
pihak tidak melanggar isi dari surat pernyataan tersebut, jika
ada pihak yang melanggar maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan kepada pihak
yang melanggar surat pernyataan tersebut.