bab ii landasan teori - repository.bsi.ac.id · memerhatikan keadaan pribadi wajib pajak (status...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pajak
2.1.1. Pengertian Pajak
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2016:4)
bahwa Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.
Menurut Djajadiningrat sebagaimana telah dikutip oleh Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015:2) bahwa: Pajak adalah kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. Menurut P.J.A. Andriani sebagaimana telah dikutip oleh Hartati (2015:28) bahwa: Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan), yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjukkan, dan berguna untuk pembiayaan pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
9
Berdasarkan definisi di atas terdapat persamaan pandangan atau prinsip
mengenai pajak. Perbedaan mengenai ketiga definisi tersebut hanya pada
penggunaan gaya bahasa atau kalimatnya. Ketiga pendapat tersebut mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang.
2. Tidak ada timbal jasa (kontraprestasi) secara langsung.
3. Dapat dipaksakan.
4. Hasilnya untuk membiayai pembangunan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan dan tidak mendapatkan kontraprestasi yang secara langsung dapat
ditunjuk.
2.1.2. Fungsi Pajak
Fungsi pajak menurut Resmi (2014:3) terdapat dua fungsi pajak yaitu:
1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin
maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah
berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya
tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi
pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak,
seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
10
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
dan lain-lain.
2. Fungsi Regularend (pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur
atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi
serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Beberapa
contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah:
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi
transaksi jual beli barang mewah. Makin mewah suatu barang maka
tarif pajaknya makin tinggi sehingga barang tersebut makin mahal
harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak
berlomba-lomba untuk mengonsumsi barang mewah (mengurangi gaya
hidup mewah).
b. Tarif pajak progresif dilakukan atas penghasilan dimaksudkan agar
pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi
(membayar pajak) yang tinggi pula sehingga terjadi pemerataan
pendapatan.
c. Tarif pajak ekspor sebesar 0% dimaksudkan agar para pengusaha
terdorong mengekspor hasil produksinya dipasar dunia sehingga dapat
memperbesar devisa Negara.
d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri
tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-
lain, dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terdapat industri
11
tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi
(membahayakan kesehatan)
e. Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi
dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.
2.1.3. Pengelompokan Pajak
Menurut Resmi (2014:7) terdapat berbagai jenis pajak yang dapat
dikelompokan menjadi tiga yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut
sifat, dan menurut lembaga pemungutnya.
1. Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pajak langsung, Pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh
wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain
atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban wajib pajak yang bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh pihak-
pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak Tidak Langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung
terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang
menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang atau
jasa.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN terjadi karena terdapat
pertambahan nilai terhadap barang atau jasa. Pajak ini dibayarkan oleh
produsen atau pihak yang menjual barang, tetapi dapat dibebankan kepada
12
konsumen baik secara eksplisit maupun implisit (dimasukan dalam harga
jual barang atau jasa).
2. Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pajak Subjektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan wajib
pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat subjek pajak (Wajib
Pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut
memerhatikan keadaan pribadi wajib pajak (status perkawinan, banyaknya
anak, dan tanggungan lainnya). Keadaan pribadi wajib pajak tersebut
selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena
pajak.
b. Pajak Objektif, pajak yang pengenaanya memerhatikan objeknya baik
berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan
timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan
pribadi Subjek Pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3. Menurut Lembaga Pemungut
Pajak dikelompokan menjadi dua yaitu:
a. Pajak Negara (Pajak Pusat), Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
13
b. Pajak Daerah, Pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah baik daerah
tingkat I (Pajak Provinsi maupun daerah tingkat II, pajak kabupaten/kota)
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing.
Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan, Pajak Air Permukaan, Pajak
Rokok, Pajak Hotel, Pajak Restaurant, Pajak Hiburan, Pajak Reklame,
Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak
Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan
Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan atas Tanah dan
Bangunan.
2.1.4. Asas Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2016:7) asas pemungutan pajak dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
14
2.1.5. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga sistem menurut Mardiasmo
(2016:7) adalah:
1. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah
(fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b. Wajib Pajak bersifat pasif.
c. Utang Pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri,
b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang,
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
15
Ciri-cirinya: wewenang memotong atau memungut pajak yang terutang pada
pihak ketiga, yaitu pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.2. Pajak Penghasilan
2.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan
Sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak
penghasilan dalam Waluyo (2014:218) mengemukakan bahwa Penghasilan
merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak atas seluruh penghasilannya.
Menurut Abuyamin (2015:205) pasal 1 UU No. 10 Tahun 1994
menyatakan bahwa Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Menurut Supramono dan Theresia Woro Damayanti (2015:55)
merumuskan bahwa Penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
2.2.2. Pajak Penghasilan Pasal 25 Badan
Menurut Waluyo (2014:258) merumuskan bahwa PPh Pasal 25 adalah
angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam
tahun pajak berjalan.
16
Definisi Pajak Penghasilan pasal 25 menurut Supramono dan Theresia
Woro Damayanti (2015:145) mengemukakan bahwa PPh Pasal 25 merupakan
angsuran PPh yang harus dibayar sendiri Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam
tahun berjalan yang pembayarannya ini dimaksudkan untuk meringankan beban
Wajib Pajak dalam membayar pajak terutang.
Dari pernyataan di atas PPh Pasal 25 Badan adalah Pajak Penghasilan
yang harus dibayarkan Wajib Pajak Badan sendiri setiap bulan dalam tahun
berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
2.2.3. Wajib Pajak Badan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa
kali, diubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2009. Perubahan ketiga yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 pasal
1 ayat 2 yang menjelaskan tentang pengertian Wajib Pajak.
Menurut Mardiasmo (2016:27) menyatakan bahwa Wajib Pajak adalah
orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan
pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Menurut Mardiasmo (2016:27) menyatakan bahwa:
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
17
Berdasarkan pengertian Wajib Pajak Badan diatas, dapat disimpulkan
bahwa Wajib Pajak Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha, maupun yang tidak melakukan usaha yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak
tertentu.
2.3. Keterlambatan Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25 Badan
2.3.1. Penyetoran PPh Pasal 25 Badan
Menurut Gunadi (2016:82) UU No. 28 Tahun 2007 menjelaskan bahwa
penyetoran SPT Tahunan PPh batasnya adalah bulan ke tiga setelah tahun pajak
atau bagian tahun pajak berakhir, sebelum SPT disampaikan. Sedangkan
penyetoran untuk SPT Masa PPh batasnya adalah tanggal 15 bulan berikutnya
setelah Masa pajak berakhir.
Menurut Sumarsan (2016:347) menyatakan bahwa dalam hal tanggal
jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari
libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari
libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan
Umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Menurut Gunadi (2016:101) menyatakan bahwa Penyetoran pajak
dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos
Persepsi dengan sistem pembayaran secara on-line. Pembayaran dengan sarana
administrasi lain e-billing System adalah sistem pembayaran pajak secara
18
elektonik berupa serangkaian proses yang meliputi kegiatan pendaftaran peserta
billing, pembuatan kode billing, pembayaran berdasarkan kode billing dan
rekonsiliasi billing dalam sistem Modul Penerimaan Negara. e-billing digunakan
untuk memberikan pelayanan, kemudahan dan penyederhanaan sistem dan
prosedur pembayaran pajak, karena sarana administrasi lain pembayaran berupa
billing system dapat berfungsi sebagai Surat Setoran Pajak tanpa membuat SSP
manual, maka sekaligus juga dapat berfungsi sebagai Bukti Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN).
Tabel II.1
Kode Akun Penyetoran 411126
KJS JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 25 Badan Untuk pembayaran Masa PPh
Pasal 25 Badan yang terutang.
199 Pembayaran pendahuluan SKP PPh
Badan
Untuk pembayaran pajak sebelum
diterbitkan surat ketetapan pajak
PPh Badan.
200 Tahunan PPh Badan Untuk pembayaran pajak yang
masih harus dibayar dalam SPT
Tahunan PPh Badan termasuk SPT
pembetulan sebelum dilakukan
pemeriksaan.
300 STP PPh Badan Untuk pembayaran jumlah yang
masih harus dibayar yang
tercantum dalam STP PPh Badan.
19
310 SKPKB PPh Badan Untuk pembayaran jumlah yang
masih harus dibayar yang
tercantum dalam SKPKB PPh
Badan.
320 SKPKBT PPh Badan Untuk pembayaran jumlah yang
masih harus dibayar yang
tercantum dalam SKPKBT PPh
Badan.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan PK
Untuk pembayaran jumlah yang
masih harus dibayar yang
tercantum dalam Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, atau
Putusan PK
500 PPh Badan atas pengungkapan
ketidakbenaran
Untuk kekurangan pembayaran
pajak yang masih harus disetor
yang tercantum dalam SPT PPh
Badan atas pengungkapan
ketidakbenaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 (3) atau
Pasal 8 (5) UUKUP.
501 PPh Badan atas penghentian
penyidikan tindak pidana
Untuk kekurangan pembayaran
pajak yang masih harus disetor
yang tercantum dalan SPT PPh
20
Badan atas penghentian
penyidikan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44B (2) UUKUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda
atau kenaikan atas pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT PPh
Badan
Untuk pembayaran sanksi
administrasi berupa denda atau
kenaikan, atas pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT PPh
Badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 (3) dan Pasal 8 (5)
UUKUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa
denda atas penghentian penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan
Untuk pembayaran sanksi
administrasi berupa denda, atas
penghentian penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 B ayat (2) Undang-
Undang KUP.
Sumber: Gunadi (2016:110)
TABEL II.2
Kode Akun Bunga/Denda Penagihan PPh 411621
KJS JENIS SETORAN KETERANGAN
300 STP atas Bunga Penagihan Untuk pembayaran STP Bunga
Penagihan PPh
21
301 STP atas Denda Penagihan Untuk pembayaran STP Denda
Penagihan PPh Pasal 25 (9) dan
Pasal 27 (5d) UU KUP.
Sumber: Menurut Gunadi (2016:128)
1. Surat Tagihan Pajak
Menurut Gunadi (2016:161) menyatakan bahwa Surat Tagihan Pajak
adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa
bunga dan denda.
a. Fungsi Surat Tagihan Pajak adalah:
1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak
2. Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda
3. Sarana untuk menagih pajak.
b. Penerbitan Surat Tagihan Pajak
Yang menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) tempat seseorang atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak.
Terbitnya Surat Tagihan Pajak (STP) ini biasanya disebabkan Wajib Pajak (WP)
tidak melakukan satu atau beberapa kewajiban pajak yang diamanatkan oleh
Undang-Undang
c. Cara Melunasi Surat Tagihan Pajak
Untuk melunasi surat tagihan pajak maka wajib pajak harus
membayarnya di bank-bank yang menerima pembayaran pajak dengan
menggunakan surat setoran pajak. Dan jangan sampai lupa untuk mencantumkan
nomor surat tagihan pajak dalam surat setoran pajak tersebut dibagian nomor
22
ketetapan. Kelalaian pencantuman nomor surat tagihan pajak ini biasanya akan
mengakibatkan permasalahan dikemudian hari karena wajib pajak akan dianggap
belum membayar surat tagihan pajak tersebut. Untuk menyelesaikannya biasanya
wajib pajak harus melalui proses pemindahbukuan yang cukup memakan waktu.
2.3.2. Pelaporan PPh Pasal 25 Badan
Menurut Supramono dan Damayanti (2015:148) yang dikutip dalam UU
No. 28 Tahun 2007 menjelaskan bahwa penyampaian SPT Tahunan PPh paling
lambat adalah bulan keempat setelah tahun pajak berakhir. Sedangkan
penyampaian SPT Masa PPh paling lambat adalah tanggal 20 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir.
Perhitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 biasanya mulai dilakukan
pada bulan-bulan batas penyampaian SPT yaitu April, sehingga pada bulan April
baru diketahui PPh yang terutang tahun sebelumnya, misalnya atas pajak terutang
tahun 2008 menurut SPT baru dapat diketahui besarnya pada bulan April tahun
2009. Karena PPh terutang baru diketahui bulan April, maka angsuran PPh Pasal
25 untuk bulan Januari sampai dengan Maret akan mengikuti angsuran pada bulan
Desember tahun sebelumnya atau sesuai dengan Surat Ketetapan Pajak Dirtjen
Pajak.
Menurut Sumarsan (2016:22) menyatakan bahwa wajib pajak yang
melakukan penyetoran PPh Pasal 25 pada tempat penyetoran dan SSPnya telah
mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal
25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal
validasi yang tercantum pada SSP. Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh
23
Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain
rupiah atau yang melakukan penyetoran tidak secara on-line dan tidak mendapat
validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa
PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan
Menurut Supramono dan Damayanti (2015:24) SPT Tahunan merupakan
surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk perhitungan dan atau pembayaran
pajak yang terutang dalam suatu Tahun Pajak.
Pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan menggunakan formulir
1771 dan formulir 1721.
a. SPT Formulir 1771
Menurut Prianto (2015:406) formulir ini digunakan oleh wajib pajak
badan dan bentuk usaha tetap untuk melaporkan pajak terutang dalam
satu tahun.
b. SPT Formulir 1721
Menurut Prianto (2015:250) formulir ini digunakan untuk melaporkan
pemotongan pajak penghasilan pasal 21 dan atau pasal 26.
2. Penyampaian SPT
Landasan teori penyampaian SPT membahas tentang pembetulan SPT,
perpanjangan penyampaian SPT, SPT dianggap tidak disampaikan, dan sanksi
keterlambatan penyampaian SPT.
a. Pembetulan SPT
Menurut Mardiasmo (2016:37) mengemukakan:
24
Wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan surat pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan
syarat Direktorat Jendral Pajak belum melakukan tindakan:
a. Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak;
b. Pemeriksaan; atau
c. Pemeriksaan bukti permulaan.
Menurut Gunadi (2016:160) menyatakan pendapat lain Wajib Pajak
atas kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan
menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Dirjen Pajak belum mulai
melakukan tindakan verifikasi dalam rangka menerbitkan SKP, pemeriksaan,
atau pemeriksaan bukti permulaan.
Menurut Prianto (2015:100) mengemukakan mekanisme pembetulan
yaitu:
a. Pembetulan SPT sebelum pemeriksaan,
b. Pembetulan SPT setelah pemeriksaan, tapi sebelum penyidikan yang
terkait dengan indikasi pidana fiskal karena kealpaan wajib pajak,
c. Pembetulan SPT saat pemeriksaan, dan
d. Pembetulan SPT karena ada perubahan kompensasi rugi fiskal.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembetulan
dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jendral
Pajak belum mulai melakukan tindakan verifikasi dalam rangka
menerbitkan SKP, pemeriksaan, atau pemeriksaan bukti permulaan.
3. Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT Tahunan
25
Menurut Mardiasmo (2016:39) wajib pajak dapat memperpanjang jangka
waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud untuk paling lama 2
(dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan dengan cara
menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.
Lebih lanjut Mardiasmo (2016:40) mengemukakan mekanisme
perpanjangan SPT sebagai berikut:
a. Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan
disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak, sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:
1. Perhitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak
yang batas waktu penyampaian diperpanjang;
2. Laporan keuangan sementara; dan
3. Surat setoran pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran.
b. Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh
wajib pajak atau kuasa wajib pajak. Dalam hal pemberitahuan
perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani oleh kuasa wajib pajak,
pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan harus dilampiri dengan Surat
Kuasa Khusus.
c. Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dapat disampaikan:
1. Secara langsung;
2. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
3. Dengan cara lain, yang meliputi:
a. Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti
pengiriman surat; atau
26
b. E-Filling melalui ASP.
d. Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan
dianggap bukan merupakan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.
4. SPT Tidak Disampaikan
Menurut Gunadi (2016:79) SPT dianggap tidak disampaikan apabila:
a. SPT tidak ditandatangani,
b. SPT tidak sepenuhnya dilampiri dengan semua dokumen yang
disyaratkan,
c. SPTLB disampaikan setelah 3 tahun sesudah berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak atau setelah WP ditegur tertulis,
d. disampaikan setelah Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan atau
menerbitkan SKP. Jika SPT tidak disampaikan, KPP akan menerbitkan
Surat Teguran. Teguran tersebut antara lain dimaksudkan untuk
memberi kesempatan WP yang berikad baik untuk menyampaikan SPT
dan alasan atau penyebab tidak disampaikannya apa karena penyebab
diluar kemampuannya (kahar-force majeur, seperti banjir dan bencana
lainnya). Jika terlambat disampaikan karena kahar maka dapat
dipertimbangkan. Untuk tujuan administrasi, SPT yang lambat
disampaikan hanya dianggap sebagai data perpajakan. Terdapat
perbuatan tidak menyampaikan SPT, berdasar Pasal 13(1) (b) dapat
dilakukan pemeriksaan pajak sesuai prosedur yang berlaku dan
terbitkan SKP secara jabatan. Atas SKP dimaksud, Pasal 13(3) (a)
UUKUP mengenakan sanksi tersebut lebih besar dari sanksi bunga
maksimal 2% perbulan untuk yang masa, SPT Tahunan diterbitkan
27
SKP Secara jabatan pada waktu keterlambatan pelaporan yaitu dikenai
denda 1.000.000 untuk Wajib Pajak Badan. karena sanksi bunga 2%
perbulan atas kekurangan penyetoran tidak berlaku lagi atau
dihapuskan.
5. Penerbitan Surat Teguran
Menurut Gunadi (2016:83) Begitu pentingnya fungsi dan peranan SPT
dalam sistem self-assessment sebagai sarana penetapan ‘sementara’ pajak yang
terutang menurut ketentuan perpajakan oleh WP dan pemberian pelayananya oleh
administrasi pajak agar tidak terjadi penerbitan SKP secara jabatan, Pasal 3 (5a)
UU KUP menyatakan bahwa jika SPT tidak disampaikan sesuai batas waktunya
(3 atau 4 bulan setelah akhir tahun pajak) atau sesuai dengan batas waktu
perpanjangan dapat diterbitkan surat teguran. Surat teguran berisi teguran kepada
WP yang tidak, menyampaikan SPT sesuai dengan batas waktu dimaksud dan
secara implisit.
Menurut ketentuan Pasal 13 (1) (b) masih memberi kesempatan
menyampaikannya dalam batas waktu tertentu. Pemberian kesempatan ini selaras
dengan prinsip fair play bahwa penerbitan ketetapan secara jabatan karena
bernuansa sanksi (punitif) maka tindakan tidak menyenangkan ini harus didahului
dengan pemberitahuan kepada WP tentang apa yang akan dilakukan administrasi
pajak. Dengan demikian, untuk menghindari penerbitan SKP secara jabatan, Pasal
13 (1) (b) UU KUP memberikan tambahan kelonggaran dengan melegitimasi
kelonggaran penyampaian SPT dari batas akhir penyampaian menurut UU atau
pemberitahuan perpanjangan selamanya 2 bulan ditambah lagi perpanjangan
menurut surat teguran.
28
2.3.3. Sanksi Keterlambatan Penyetoran SPT Tahunan
Menurut Gunadi (2016:130) Pasal 9 (2b) UU KUP menyatakan bahwa
kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasar SPT Tahunan PPh jika
dibayar lunas setelah lewat waktu penyampaian SPT kena sanksi administrasi
bunga 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo penyampaian SPT
sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan
untuk masa. Sedangkan untuk yang terlambat penyetoran tidak dikenakan sanksi
administrasi bunga 2% , Wajib Pajak Badan hanya membayar atas kekurangan
dalam penyetoran SPT Tahunan.
Menurut Supramono dan Damayanti (2015:153) mengatakan bahwa
Wajib Pajak akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%, dengan alasan:
a. Apabila besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan PPh yang
terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dalam
pasal 21 dan pasal 23 serta PPh yang dibayar atau terutang diluar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dibagi 12 bulan atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak khusus untuk masa pajak dari bulan
terakhir penyampaian SPT Tahunan PPh sampai dengan SPT Tahunan tersebut
disampaikan, lebih kecil dari pada angsuran PPh pasal 25 yang dihitung
berdasarkan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak maka atas kekurangan
tersebut akan dikenakan bunga sebesar 2% perbulan.
b. Apabila besarnya angsuran PPh pasal 25 sebelum pembetulan SPT Tahunan
PPh lebih kecil dari pada angsuran PPh pasal 25 berdasarkan SPT Tahunan
PPh setelah pembetulan maka atas kekurangan tersebut akan dikenakan bunga
sebesar 2% dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh pasal 25 dari masing-
29
masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran bagian dari bulan dihitung
penuh 1 bulan.
2.3.4. Sanksi Keterlambatan Pelaporan SPT Tahunan
Apabila SPT Tahunan tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan atau SPT Tahunan dianggap tidak menyampaikan, menurut
Gunadi (2016:84) WP dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:
1. Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh WP Badan.
2. Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan WP Orang Pribadi.
Menurut Mardiasmo (2016:125) mengemukakan untuk lebih
meningkatkan tertib administrasi perpajakan dan kepatuhan WP dalam memenuhi
kewajiban menyampaikan SPT, ditetapkan sejumlah sanksi administrasi yang
dapat dikenakan kepada WP yang melanggar ketentuan sehubungan dengan
keterlambatan penyampaian SPT, yaitu:
1. SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi sebesar Rp. 100.000,-
2. SPT Tahunan PPh WP Badan sebesar Rp. 1.000.000,-
3. SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi yang mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT sebesar Rp.100.000,-
4. SPT Tahunan PPh WP Badan yang mengajukan permohonan perpanjangan
jangka waktu penyampaian SPT sebesar Rp. 1.000.000,-
5. Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan Pengisian SPT Menurut Pasal 8 (3)
UUKUP.
Menurut Gunadi (2016:86) Pasal 7 (2) UU KUP jo PMK-
186/PMK.03/2007 menyatakan bahwa, demi keadilan maka terdapat beberapa
30
kelompok Wajib Pajak yang dikecualikan dari sanksi administrasi walaupun
terjadi keterlambatan penyampaian SPT, namun tidak dikenakan denda.
Kelompok Wajib Pajak dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah meninggal dunia (karena ini sudah
berubah menjadi Wajib Pajak warisan sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak maka salah satu ahli waris/pelaksana warisan, demi netralitas dan
ekualitas perlakuan seharusnya dapat dikenai denda.
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
c. Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai warga Negara asing yang
tidak tinggal lagi di Indonesia.
d. BUT yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia.
e. Wajib Pajak Badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi.
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, berdasarkan PMK; atau
h. Wajib Pajak lain yang tidak dapat menyampaikan SPT dalam waktunya
karena keadaan antara lain: (i) kerusuhan masal. (ii) kebakaran, (iii) ledakan
bom atau aksi terorisme, (iv) perang antar suku, atau (v) kegagalan sistem
komputer administrasi penerimaan Negara atau perpajakan berdasar PMK.
31
2.3.5. Pembayaran Denda Keterlambatan Penyetoran dan Pelaporan
Menurut Gunadi (2016:187) Pasal 1 angka 20 UU KUP menyebutkan
Surat Tagihan Pajak (STP) sebagai surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Sama dengan model
pendefinisian SKP, dalam mendefinisikan STP, UU KUP mengikuti pendekatan
tautologis (pengulangan kata-kata) dan fungsional instrumental (pendekatan pada
fungsi STP sebagai suatu instrument). Sebagai surat untuk menagih pajak dan
sanksi administrasi (bunga dan/atau denda) tentu sekaligus sebagai surat
penentuan besarnya jumlah pajak dan/atau sanksi administrasi yang harus ditagih.
Menurut Gunadi (2016:187) Denda pajak karena terlambat penyetoran
pajak dan denda terlambat pelaporan SPT disetor ketika kantor pajak terdaftar
menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan tersebut. Karena untuk
menyetor denda pajak dibutuhkan nomor STP yang harus dituliskan di Surat
Setoran Pajak (STP) harus dilunasi paling lama 1 bulan sejak tanggal diterbitkan.