bab ii landasan teori - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/chapter2(10).pdf ·...
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. REVITALISASI
Menurut Rais (2007), revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan
kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah hidup, akan
tetapi kemudian mengalami kemunduran. Dalam proses revitalisasi suatu
kawasan aspek yang dicakup di antaranya adalah perbaikan di aspek fisik,
ekonomi, dan sosial. Danisworo (2002) menyebutkan bahwa pendekatan
revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan pula potensi yang ada
di lingkungan sekitar seperti sejarah, makna, serta keunikan dan citra lokasi.
Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian
keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi
masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Laretna (2002)
menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan revitalisasi diperlukan adanya
keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta
untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi
masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di
lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas. Sebagai sebuah
kegiatan yang sangat kompleks, Rais (2007) membagi revitalisasi menjadi
beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu yang meliputi hal-
hal sebagai berikut:
8
1. Intervensi fisik. Proses ini mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan
dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas
dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem
tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan (urban realm).
2. Rehabilitasi ekonomi. Revitalisasi yang diawali dengan proses
peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan
ekonomi. Menurut Hall & Pfeifer (2001), perbaikan fisik kawasan yang
bersifat jangka pendek diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan
ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga
mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota. Dalam konteks
revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong
terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).
3. Revitalisasi sosial/ institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu
menciptakan lingkungan yang menarik, jadi bukan sekedar membuat
tempat yang indah. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak
positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial
masyarakat/ warga (public realms). Sudah menjadi sebuah tuntutan yang
logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk
menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri dan hal ini pun
selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
9
B. SUNGAI
Menurut Maryono (2005), sungai adalah wadah dan jaringan pengaliran
air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya
sepanjang pengalirannya oleh sempadan. Suharti (2004) mendefinisikan
bantaran sungai sebagai lahan pada kedua sisi di sepanjang palung sungai
dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. Soeryono (1979)
mendefinisikan alur sempadan sungai sebagai alur pinggir kanan dan kiri
sungai yang terdiri dari bantaran banjir, bantaran longsor, bantaran ekologi,
serta bantaran keamanan.
Menurut Maryono (2003), sempadan sungai sering juga disebut bantaran
sungai. Namun ada sedikit perbedaan, karena bantaran sungai adalah daerah
pinggiran sungai yang tergenang air saat banjir (flood plain). Bantaran sungai
dapat juga disebut bantaran banjir. Sedangkan sempadan sungai adalah daerah
bantaran sungai ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang
mungkin terjadi, lebar bantaran ekologis dan lebar bantaran keamanan yang
diperlukan, terkait dengan letak sungai (misal untuk kawasan pemukiman dan
non-pemukiman).
Sempadan sungai, terutama di daerah bantaran banjir, merupakan daerah
ekologi dan sekaligus hidrologis sungai yang sangat penting. Sempadan
sungai tidak dapat dipisahkan dengan badan sungainya yaitu alur sungai,
karena secara ekologis dan hidrologis merupakan satu kesatuan ekologi yaitu
satu ekosistem sungai. Secara hidrologis sempadan sungai merupakan daerah
bantaran banjir yang berfungsi dalam memberikan luapan banjir ke samping
10
kanan dan kiri sungai. Dengan demikian, kecepatan air bisa dikurangi karena
energi air dapat diredam di sepanjang sungai. Selain itu erosi tebing dan erosi
dasar sungai pun dapat dikurangi secara simultan. Sempadan sungai
merupakan daerah tata air sungai yang memiliki mekanisme proses
konservasi hidrolis sungai dan air tanah pada umumnya. Sedangkan bila
dilihat secara ekologis, sempadan sungai merupakan habitat di mana
komponen ekosistem sungai berkembang. Komponen vegetasi sungai secara
alami akan mendapatkan hara dari sedimentasi periodis dari hulu ke
tebing,yang selanjutnya komponen tersebut akan berfungsi sebagai pemasok
nutrisi untuk komponen fauna sungai dan sebaliknya. Proses ini merupakan
pendukung keberlangsungan ekosistem sungai yang memiliki sifat terbuka
dari hulu ke hilir.
Memelihara ekosistem sempadan yang baik sudah dipastikan dapat
menjaga konservasi air dan tanah di sepanjang sungai. Komponen vegetasi
sungai secara hidrologis dapat berfungsi sebagai retensi alamiah sungai yang
bisa menghambat laju air sungai ke hilir secara proporsional yang dengan
demikian dapat mengurangi frekuensi banjir dan erosi di sepanjang sungai.
Jika sistem ekologis dan hidrologis sempadan sungai ini terganggu, seperti
dengan adanya bangunan rumah di atas sempadan sungai, pelurusan dan
sudetan yang mengakibatkan berubahnya areal sempadan, hingga adanya
penanggulan tebing sungai, maka fungsi ekologis dan hidrologis sempadan
sungai yang sangat vital itu akan menjadi rusak total.
11
C. KEPARIWISATAAN
Pendit (2003) mendeskripsikan pariwisata sebagai segala sesuatu yang
berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik
wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Kepariwisataan
menurut UU No.24/1979 dalam Marpaung (2002) diartikan sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan penyelengaraan wisata, yaitu keseluruhan
kegiatan dunia usaha dan masyarakat yang ditujukan untuk menata kebutuhan
perjalanan dan persinggahan wisatawan.
Kawasan Wisata menurut Pendit (2003) adalah kawasan dengan luas
tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan wisata.
(Nyoman S. Pendit; Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana; 2003:14).
Menurut Revron O’Grandy yang dikutip dari Sastrayuda (2007), beberapa
kriteria dalam pengembangan kawasan wisata adalah sebagai berikut:
1. Untuk memutuskan suatu kegiatan membangun kawasan wisata harus
melalui suatu konsultasi dengan masyarakat, apa yang direncanakan
pengembang harus diterima oleh mereka.
2. Tiap keuntungan yang diperoleh dari pembangunan, pengembang harus
mengembalikan lagi keuntungan tersebut pada masyarakat namun bukan
berupa cash money melainkan berupa bangunan yang berguna bagi
masyarakat.
3. Kawasan wisata harus mengutamakan lingkungan, dan dalam
pembangunannya tidak boleh meninggalkan kebudayaan setempat.
Justru hal tersebut harus dijadikan brand image atau kesan untuk
12
menarik para wisatawan. Dan dengan pembangunan kawasan wisata
tersebut jangan sampai masyarakat setempat merasa tersisihkan.
D. KAWASAN KOTA TEPI AIR (WATERFRONT CITY)
1. Pengertian Waterfront City
Carr (1992) mendefinisikan waterfront area atau kawasan tepi air
sebagai area yang di batasi oleh air dari komunitasnya yang dalam
pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan
ruang publik dan nilai alami (Carr, 1992). Sedangkan Wrenn (1983) dalam
Priatmodjo (1993) mendefinisikan waterfront development sebagai interface
between land and water, yang mengartikan bahwa kata interface disini
mengandung pengertian adanya kegiatan aktif yang memanfaatkan
pertemuan antara daratan dan perairan.
Adanya kegiatan inilah yang membedakannya dengan kawasan lain yang
tidak dapat disebut sebagai waterfront development, meski memiliki unsur air
apabila unsur airnya dibiarkan pasif. Dengan demikian pengertian waterfront
development dapat dirumuskan sebagai pengolahan kawasan tepian air yaitu
kawasan pertemuan antara daratan dan perairan dengan memberikan muatan
kegiatan aktif pada pertemuan tersebut. Perairan yang dimaksud bisa berupa
unsur air alami (laut, sungai, kanal, danau) atau unsur air buatan (kolam,
danau buatan). Sedangkan muatan kegiatan bisa berupa aktivitas perairan
seperti berperahu (dayung atau layar) atau aktivitas lain yang memanfaatkan
13
pemandangan sekitar daerah perairan melalui penyediaan fasilitas promenade
dan esplanade.
Waterfront memiliki bermacam-macam potensi untuk membantu
perkembangan ekonomi, sebagai public enjoyment, dan identitas kota. Fungsi
dari waterfront selalu berkaitan dengan karakteristik dan kebutuhan sebuah
kota, tetapi mereka memiliki rentetan perkembangan yang sama. Pada awal
perkembangan kota, waterfront memiliki fungsi basis untuk perdagangan,
perkapalan/transportasi, pemancingan, dan pertahanan. Rekreasi sering
dianggap sebagai kebutuhan tambahan dan seringkali waterfront dianggap
dengan sendirinya akan menyediakan ruang terbuka dan rekreasi yang cukup
untuk penduduk kota.
Waterfront merupakan sebuah aset yang di miliki oleh suatu kota yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan berbagai tujuan seperti
diungkapkan oleh The Urban Land Institute yang dikutip dari Masrul (2008)
sebagai berikut.
“ Cities seek a waterfront that is a place of public enjoyment. They want a waterfront where there is ample visual and physical public access – all day, all year - to both the water and the land. Cities also want a waterfront that serves more than one purpose: they want it to be a place to work and to live, as well as a place to play. In other words, they want a place that contributes to the quality of life in all of its aspects - economic, social, and cultural” Secara garis besar, teori ini menunjukkan bahwa kawasan tepi air dapat
dijadikan sebagai tempat dimana masyarakat bisa melakukan aktivitas untuk
bekerja dan hidup, dan juga sebagai tempat bermain dan berekreasi untuk
mendapatkan kenyamanan. Dengan kata lain, tempat seperti ini dibutuhkan
14
masyarakat sebagai media kontribusi untuk menciptakan kualitas hidup yang
baik dalam segala aspek, baik ekonomi, sosial, dan budaya. Wren (1983) dan
Toree (1989) dikutip dari Priatmojo (2009), menyebutkan bahwa dalam
perancangan kawasan tepian air, terdapat dua aspek penting yang mendasari
keputusan-keputusan serta solusi rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek
tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan.
a. Faktor Geografis
Merupakan hal-hal yang menyangkut geografis kawasan dan akan
menentukan jenis serta pola penggunaannya. Ada pun yang termasuk di
dalam aspek ini adalah:
1) Kondisi perairan; yaitu jenis, dimensi dan konfigurasi, pasang-surut,
serta kualitas airnya. Faktor potensi penting yang diperhatikan adalah
dimensi dan bentuk dari badan perairan tersebut, dinamika kegiatan,
dan kualitas air. Dalam anggapan umum, semakin besar dimensi
perairan, maka semakin banyak potensi yang dapat dikembangkan.
Kualitas air di perairan pun menjadi salah satu faktor penting yang
mempengaruhi karakter waterfront. Misalnya, keasinan perairan
akan mempengaruhi desain ketahanan waterfront terhadap sifat
korosif garam. Hal lain yang harus diperhatikan adalah tingkat polusi,
oksigen, dan kecepatan arus atau ombak.
2) Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta
kepemilikannya.
15
3) Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah
hujan.
b. Konteks perkotaan (Urban Context)
Merupakan faktor-faktor yang akan memberikan identitas bagi kota
yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan
waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait.
Termasuk dalam aspek ini adalah:
1) Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di
kawasan waterfront, atau sekedar merasa memiliki kawasan tersebut
sebagai sarana publik. Pada umumnya, ada dua grup pemakai, yaitu
grup pertama yang terdiri dari orang-orang yang tinggal di sekitar,
sebagai tempat bekerja, atau sebagai tempat rekreasi, dan grup kedua
terdiri dari orang-orang yang terkadang mengunjungi waterfront
tersebut tetapi tidak memiliki ikatan terhadap tempat tersebut,
sehingga waterfront berfungsi sebagai tempat rekreasi murni bagi
mereka.
2) Khazanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah
yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi,
renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu
dilestarikan.
3) Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta
pengaturan sirkulasi didalamnya.
16
4) Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang
membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya. Ciri ini dapat
berupa bentuk, material, vegetasi, vocal point, atau kegiatan yang
khas.
2. Fenomena Waterfront
Masrul (2008) menyebutkan bahwa pada proses pengembangan
kawasan tepi air pada dasarnya merupakan permasalahan yang sangat
kompleks di suatu kawasan perkotaan yaitu adanya perbedaan
pengembangan antara kepentingan publik dan kepentingan swasta dari
orientasi pengembangan fungsi ruang publik menjadi fungsi properti.
Pengembangan ruang publik merupakan pengembangan yang di
orientasikan kepada kesejahteraan masyarakat luas sedangkan
pengembangan fungsi properti berorientasi kepada keuntungan sebagian
pihak. Oleh sebab itu usaha untuk melindungi kawasan tepi air sebagai
ruang publik yang terbebas dalam proses konstruksi diperlukan adanya
kerjasama dan kesatuan visi dari berbagai pihak yaitu masyarakat,
pemerintah dan swasta untuk mewujudkan karakter kawasan tepi air
sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh beberapa stakeholder
yang ada. Dalam proses pengembangan suatu kawasan waterfront pada
dasarnya dapat di bagi atas tiga jenis pengelompokan yaitu:
a. Konservasi, merupakan pengembangan yang bertujuan untuk
memanfaatkan kawasan tua yang berada di tepi air dimana pada
17
kondisi sekarang masih terdapat potensi yang dapat di kembangkan
secara maksimal.
b. Pengembangan kembali (redevelopment). Pengembangan jenis ini
merupakan suatu usaha untuk menghidupkan atau membangkitkan
kembali kawasan pelabuhan dengan tujuan yang berbeda sebagai
suatu kawasan penting bagi kehidupan masyarakat kota dengan
mengubah fasilitas yang ada pada kawasan yang di gunakan oleh
kapasitas yang berbeda pula. Penambahan fungsi taman di
manfaatkan untuk dapat menampung kegiatan dengan skala yang
lebih besar. Proses redevelopment ini terhubung antara pusat kota dan
taman.
c. Development. Jenis ini merupakan contoh perencanaan yang sengaja
dibentuk dengan menciptakan sebuah kawasan tepi air dengan melihat
kebutuhan masyarakat terhadap ruang di kota dengan cara penataan
kawasan tepi air.
3. Sejarah Waterfront
Menurut Masrul (2008), perkembangan kawasan tepi air pada
awalnya merupakan sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat nelayan.
Hal ini berkembang melalui aktivitas yang di timbulkan sehari-hari oleh
nelayan yaitu pada pagi hari nelayan melaksanakan rutinitas sebagai
nelayan dan pada siang hari nelayan tetap berada di kawasan tepi air
dengan aktivitas yang berbeda seperti menikmati pantai, memberikan
18
sewaan kapal dan berenang. Dengan adanya fenomena tersebut memicu
timbulnya aktivitas perdagangan yang pada awalnya di tujukan untuk
para nelayan dan hal ini berlangsung hingga malam hari. Dengan adanya
kemudahan akses dan tema menarik seperti festival market places,
Christmas water parade yang di kembangkan pada pembangunan
waterfront memberikan kekaguman bagi pengunjung sehingga kawasan
tepi air menjadi tempat yang unik dan diminati oleh banyak orang. Jika
dilihat dari beberapa perkembangan waterfront yang ada di Eropa seperti
Venice, The Ponte Vecchio, The Seine di Paris, Amsterdam dan Istanbul
di Turki, dapat dilihat bahwa adanya kecendrungan pengembangan
kawasan waterfront dengan mengeksploitasi potensi yang dimiliki oleh
kawasan tersebut untuk menarik minat pengunjung seperti pengadaan
festival market, aktivitas perdagangan (restoran, cafe, retail, hunian), area
pertunjukan/ teater, parade kapal-kapal bersejarah, rekreasi, pengadaan
pedestrian sepanjang kawasan tepi air untuk menikmati keindahan laut,
dan lain-lain. Hal ini menarik perhatian pakar arkeologi Yugoslavia,
Dubrovnik, yang memandang perkembangan waterfront sebagai sense of
place yang sempurna di kawasan tepi air.
4. Prinsip Pengembangan Kawasan Tepi Air
Pengembangan kawasan tepi air merupakan suatu potensi yang
sangat tinggi bagi suatu kawasan untuk mengembangkan fungsit
komersial seperti restoran dan kawasan perbelanjaan. Masrul (Toree,
1989) mengemukakan bahwa terdapat empat prinsip utama dalam
19
pengembangan kawasan Adapun prinsip yang di kembangkan dalam
pengembangan kawasan tepi air, yaitu konsep, aktivitas, tema, dan fungsi
yang dikembangkan. Berikut adalah gambaran prinsip yang digunakan
dalam pengembangan kawasan kota tepi air.
a. Adanya kerjasama berbagai pihak dalam pengembangan kawasan tepi
air sebagai suatu daya tarik bagi pengunjung.
b. Pengembangan konsep tepi air melalui potensi yang ada pada
kawasan sebagai suatu daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke
kawasan tersebut.
c. Pengembangan aktivitas di kawasan tepi air dan menikmati aktivitas
di sekitar pelabuhan sebagai sebuah potensi untuk memberikan
pengalaman yang berharga bagi pengunjung seperti makan malam,
berbelanja dan lain-lain.
d. Pengembangan tema pada pintu masuk dari sungai, danau menjadi
pengembangan aktivitas utama di kawasan tepi air.
e. Pengembangan kawasan tepi air sebagai orientasi rekreasi dapat
berupa aktivitas berenang, olah raga dayung, ski air dan fasilitas
pendukung lainnya seperti tempat beristirahat, taman, hunian dan
perdagangan.
5. Elemen Penentu Keberhasilan Pembangunan Waterfront.
Masrul (Toree, 1989) mengemukakan bahwa untuk menentukan
keberhasilan dalam pengembangan kawasan tepi air, diperlukan
penonjolan karakteristik dan keunikan yang dimiliki oleh daerah yang
20
dikembangkan. Karakteristik ini dibagi menjadi dua, yaitu karakteristik
fisik dan non-fisik. Karakteristik fisik mencakup keadaan alam dan
lingkungan, citra, akses, bangunan dan penataan lansekap sedangkan
karakteristik non fisik meliputi tema pengembangan, pemanfaatan air,
aktivitas penduduk, keadaan sosial budaya dan ekonomi. Berikut adalah
elemen penentu keberhasilan dalam pengembangan kawasan tepi air
(waterfront city).
a. Tema.
Penggunaaan tema yang sesuai dalam pembangunan waterfront
dapat membantu dalam proses analisis ruang , tata guna lahan, skala
pembangunan dan makna pembangunan. Dalam tahap awal
perancangan kawasan waterfront akan merujuk kepada tema yang di
tentukan.
b. Citra
Sesuatu yang membekas dalam ingatan karena telah melihat,
merasai, mendengarkan dsb Kesan pada kawasan waterfront dapat
dilihat melalui penataan kawasan bangunan, bentuk bangunan dan
material yang digunakan. Melalui kesan yang diwujudkan pada
kawasan waterfront akan dapat membangun perubahan persepsi
pengunjung sebelum dan sesudah datang di kawasan waterfront.
Selain itu kesan pada kawasan waterfront juga dapat diwujudkan
melalui aktivitas yang di kembangkan.
c. Keaslian suasana (Authenticity)
21
Kesuksesan dalam pembangunan waterfront di wujudkan
melalui aktivitas yang unik dengan memanfaatkan potensi kawasan
yang ada sehingga pengunjung memiliki pengalaman yang berbeda di
kawasan tersebut misalnya kegiatan memancing, rekreasi air,
menikmati potensi alam, dan lain-lain.
d. Fungsi
Dengan penataan program kegiatan (events) dan
pengembangan fungsi yang beraneka ragam pada kawasan waterfront
seperti aktivitas perdagangan, plaza sebagai tempat berbagai aktivitas
seperti makan, minum bersantai akan membantu dalam keberhasilan
suatu pembangunan kawasan waterfront.
e. Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat akan ditimbulkan akibat dari tingkat
keberhasilan dari elemen-elemen pembangunan waterfront yang di
digunakan seperti tema, kesan, keaslian suasana dan fungsi-fungsi
komersial yang di kembangkan.
6. Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Penataan Kawasan Tepi Air
a. Garis Sempadan Pantai dan Sungai
Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa aturan yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam pengembangan kawasan tepi
sungai.
22
Tabel 2.1 Beberapa Kebijakan Pengembangan di Sempadan Sungai
Sumber Sempadan Kriteria 1 2 3
Keputusan Presiden RI No.32/ 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Sungai di luar pemukiman
1. Sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar
2. Sekurang-kurangnya 50 meter di kiri kanan anak sungai.
Sungai di kawasan permukiman
Sempadan sungai diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter.
Garis sempadan sungai tidak bertanggul
Ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomi oleh pejabat wewenang.
Ketentuan lain Garis sempadan sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul yang berada di wilayah perkotaan sepanjang jalan ditetapkan tersendiri oleh pejabat yang berwenang.
Peraturan Daerah Kota Bandung No. 6/2002 Tentang Penyelenggaraan Pengairan di Kota Bandung
Pasal 5 Garis Sempadan Sungai
1. Garis sempadan sungai bangunan dan/ atau pagar, diukur dari sisi atas tepi sungai yang tidak bertanggul atau dari kaki sebelah luar sungai bangunan sungai dengan jarak: a. 5 M (lima meter) untuk
bangunan, b. 3 M (tiga meter) untuk pagar.
2. Di kawasan pembangunan padat, jarak yang disebutkan di atas bisa diperkecil menjadi empat meter untuk bangunan dan dua meter untuk pagar.
3. Garis sempadan sungai bangunan dan/ atau pagar, diukur dari sisi atas tepi sungai yang tidak bertanggul atau dari kaki sebelah luar sungai bangunan sungai dengan jarak: c. 5 M (lima meter) untuk
bangunan, d. 3 M (tiga meter) untuk pagar.
4. Di kawasan pembangunan padat, jarak yang disebutkan di atas bisa diperkecil menjadi empat meter untuk bangunan dan dua meter untuk pagar.
23
Tabel 2.1 (Lanjutan)
1 2 3 Pasal 6
1. Garis sempadan sungai untuk
bangunan diukur dari sisi atas tepi saluran yang tidak bertanggul atau dari kaki tanggul sebelah luar sungai/ saluran dengan jarak: a. 5 m untuk saluran dengan
kapasitas 4m3/detik atau lebih, b. 3 m untuk saluran dengan
kapasitas 1 sampai 4 m3/detik, c. 2 m (dua meter) untuk saluran
dengan kapasitas kurang dari 1 m3/detik.
2. Garis sempadan sungai untuk pagar diukur dari sisi atas tepi saluran yang tidak bertanggul atau kaki dari tanggul sebelah luar sungai/ saluran dengan jarak: a. 3 m untuk saluran dengan
kapasitas 4 m3/detik atau lebih; b. 2 m untuk saluran dengan
kapasitas 1 sampai 4 m3/detik; c. 1 m untuk saluran dengan
kapasitas kurang dari 1m3/detik. 3. Di kawasan pembangunan padat,
jarak yang disebutkan sebelumnya bisa diperkecil menjadi empat meter dan dua meter.
Pasal 10 Pemanfaatan Daerah Sempadan Sungai/Saluran
Pemanfaatan lahan di daerah sempadan sungai/ saluran dapat dilakukan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut: Pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan serta rambu-rambu pekerjaan; Pemasangan rentang kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum; Pemasangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum maupun kereta api; Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosiak dan kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi sungai; Pembangunan prasarana lalu lintas dan bangunan pengambilan dan pembuangan air.
Pasal 11 Dilarang membuang sampah, limbah padat atau cair; Mendirikan bangunan untuk hunian dan tempat usaha.
24
b. Akses menurut Ditjen Cipta Karya, dalam Masrul (2008)
1) Akses berupa jalur kendaraan berada di antara batas terluar dari
sempadan tepi air dengan areal terbangun.
2) Jarak antara akses masuk menuju ruang publik atau tepi air dari
jalan raya sekunder atau tersier minimum 300 m.
3) Jaringan jalan terbebas dari parkir kendaraan roda empat.
4) Lebar minimum jalur pejalan kaki di sepanjang tepi air adalah 3
meter.
c. Peruntukkan menurut Ditjen Cipta Karya, dalam Masrul (2008)
1) Peruntukkan bangunan diprioritaskan atas jenjang pertimbangan
penggunaan lahan yang bergantung dengan air (water-dependent
uses), penggunaan lahan yang bergantung dengan adanya air
(water-related uses), penggunaan lahan yang sama sekali tak
berhubungan dengan air (independent and unrelated to water
uses).
2) Kemiringan lahan yang dianjurkan untuk pengembangan area
publik yaitu dari 0% hingga 15%. Sedangkan untuk kemiringan
lahan lebih dari 15% perlu penanganan khusus.
3) Jarak antara satu areal terbangun yang dominan diperuntukan
pengembangan bagi fasilitas umum dengan fasilitas umum lainnya
maksimum 2 km.
d. Bangunan menurut Ditjen Cipta Karya, dalam Masrul (2008)
1) Kepadatan bangunan tepi air maksimum 25%,
25
2) Tinggi bangunan ditetapkan maksimum 15 meter dihitung dari
permukaan tanah rata-rata pada areal terbangun.
3) Orientasi bangunan harus menghadap dengan mempertimbangkan
posisi bangunan terhadap matahari dan arah tiupan angin.
4) Bangunan-bangunan yang dapat dikembangkan pada areal
sepadan tepi air berupa taman atau ruang rekreasi adalah fasilitas
areal bermain, tempat duduk dan atau sarana olah raga.
5) Bangunan di areal sempadan tepi air hanya berupa tempat ibadah,
bangunan penjaga pantai, bangunan fasilitas umum, bangunan
tanpa dinding dengan luas maksimum 50 m2/unit.
6) Tidak dilakukan pemagaran pada areal terbangun, kecuali
pemagaran dengan tinggi maksimum 1 meter dan menggunakan
pagar transparan.
7. Struktur Pengembangan Kawasan Kota Tepi Air
Masrul (2008) menyebutkan bahwa Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pemukiman (Departemen Pekerjaan Umum RI) telah
merumuskan tujuh jenis struktur peruntukkan pengembangan kawasan
kota tepi air sebagai berikut:
a. Kawasan komersial (commercial waterfront), dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Harus mampu menarik pengunjung yang akan memanfaatkan
potensi kawasan sebagai tempat bekerja, belanja maupun rekreasi
(wisata)
26
2) Kegiatan diciptakan tetap menarik dan nyaman untuk dikunjungi
(dinamis)
3) Bangunan harus mencirikan keunikan budaya setempat dan
merupakan sarana bersosialisasi dan berusaha (komersial)
4) Mempertahankan keberadaan golongan ekonomi lemah melalui
pemberian subsidi.
5) Keindahan bentuk fisik (profil tepi air) kawasan diangkat sebagai
faktor penarik bagi kegiatan ekonomi, dan sosial-budaya.
b. Kawasan Budaya, Pendidikan dan Lingkungan Hidup (cultural,
education, and environmental waterfront) dengan kriteria pokok
pengembangan sebagai berikut:
1) Memanfaatkan potensi alam kawasan untuk kegiatan penelitian,
budaya dan konservasi.
2) Menekankan pada kebersihan badan air dan suplai air bersih yang
tidak hanya untuk kepentingan kesehatan saja tetapi juga untuk
menarik investor.
3) Diarahkan untuk menyadarkan dan mendidik masyarakat tentang
kekayaan alam tepi air yang perlu dilestarikan dan diteliti.
4) Keberadaan budaya masyarakat harus dilestarikan dan dipadukan
dengan pengelolaan lingkungan didukung kesadaran melindungi
atau mempertahankan keutuhan fisik badan air untuk dinikmati
dan dijadikan sebagai wahana pendidikan.
27
5) Perlu ditunjang oleh program-program pemanfaatan ruang
kawasan, seperti penyediaan sarana untuk upacara ritual
keagaman, sarana pusat-pusat penelitian yang berhubungan
dengan spesifikasi kawasan tersebut.
6) Perlu upaya pengaturan/pengendalian fungsi dan kemanfaatan
air/badan air.
c. Kawasan Peninggalan Bersejarah (historical/ heritage waterfront)
dengan kriteria pokok pengembangannya adalah :
1) Pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah (lansekap, situs,
bangunan, dan sebagainya) atau merehabilitasinya untuk
penggunaan berbeda ,
2) Pengendalian pengembangan baru yang kontradiktif dengan
pembangunan yang sudah ada guna mempertahankan karakter
(ciri) kota,
3) Program-program pemanfaatan ruang kawasan ini dapat berupa
pengamanan, seperti dengan membuat pemecah gelombang untuk
mencegah terjadinya abrasi di tepi pantai (melindungi bangunan
bersejarah di tepi pantai), pembangunan tanggul, polder dan
pompanisasi untuk menghindari terjadinya genangan pada
bangunan bersejarah.
d. Kawasan Wisata/ Rekreasi (recreational waterfront) dengan kriteria
pokok pengembangan kawasan sebagai berikut:
1) Memanfaatkan kondisi fisik kawasan untuk kegiatan rekreasi.
28
2) Pembangunan diarahkan di sepanjang badan air dengan tetap
mempertahankan keberadaan ruang terbuka.
3) Perbedaan budaya dan geografi diarahkan untuk menunjang
kegiatan pariwisata, terutama pariwisata perairan.
4) Kekhasan arsitektur lokal dapat dimanfaatkan secara komersial
guna menarik pengunjung.
5) Pemanfaatan kondisi fisik pantai untuk kegiatan rekreasi/wisata
pantai.
e. Kawasan Pemukiman (residential waterfront) dengan kriteria pokok
pengembangan sebagai berikut:
1) Perlu keselarasan pembangunan untuk kepentingan pribadi dan
umum.
2) Perlu memperhatikan tata air, budaya lokal serta kepentingan
umum.
3) Pengembangan kawasan permukiman dapat dibedakan atas
kawasan permukiman penduduk asli dan kawasan permukiman
baru.
4) Pada permukiman/perumahan nelayan harus dilakukan upaya
penataan dan perbaikan untuk meningkatkan kualitas lingkungan
dan kawasan.
5) Program pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan untuk
kawasan permukiman penduduk asli (lama) antara lain melalui
revitalisasi bangunan, penyediaan utilitas, penanganan sarana air
29
bersih, air limbah dan persampahan, penyediaan dermaga perahu,
serta pemeliharaan drainase.
6) Program pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan untuk
kawasan permukiman baru antara lain melalui penataan bangunan
dengan memberi ruang untuk public access ke badan air,
pengaturan pengambilan air tanah, reklamasi, pengaturan batas
sempadan dari badan air, dan program penghijauan sempadan.
f. Kawasan Pelabuhan dan Transportasi (working and transportation
waterfront) dengan kriteria pokok pengembangan sebagai berikut:
1) Pemanfaatan potensi pantai untuk kegiatan transportasi,
pergudangan dan industri.
2) Pengembangan kawasan diutamakan untuk menunjang program
ekonomi kota dengan memanfaatkan kemudahan transportasi air
dan darat.
3) Pembangunan kegiatan industri harus tetap mempertahankan
kelestarian lingkungan hidup.
4) Program pemanfaatan ruang yang dapat diterapkan adalah
pembangunan dermaga, sarana penunjang pelabuhan
(pergudangan), pengadaan fasilitas transportasi, dan lain-lain.
g. Kawasan tepi air untuk pertahanan dan keamanan (defence waterfront)
dengan kriteria pengembangan sebagai berikut:
1) Dipersiapkan khusus untuk kepentingan pertahanan dan keamanan
bangsa-negara,
30
2) Perlu dikendalikan untuk alasan hankam dengan dasar peraturan
khusus, dan Pengaturan tata guna lahan (land-use) untuk
kebutuhan dan misi pertahanan dan keamanan negara.
E. ANALISIS TAPAK
Aditya (2009) mendefinisikan tapak sebagai sebidang lahan atau
sepetak tanah dengan batas-batas yang jelas, berikut kondisi permukaan
dan ciri-ciri istimewa yang dimiliki oleh lahan tersebut. Sebuah tapak
tidak pernah tidak berdaya tetapi merupakan sekumpulan jaringan yang
sangat aktif yang terus berkembang yang jalin menjalin dalam
perhubungan yang rumit.
Perencanaan tapak (site planning) didefinisikan Rosmala (2008)
sebagai seni menata lingkungan buatan dan lingkungan alamiah guna
menunjang kegiatan manusia, yang dalam pengkajiannya terdapat dua
komponen faktor yang saling berhubungan; yaitu faktor alam (natural
factors), dan faktor buatan manusia (man-made and cultural factors).
Analisis tapak dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek
sebagai berikut:
1. Aspek Biofisik
2. Aksesibilitas
3. Pertimbangan Estetika dan Lingkungan
4. Potensi dan Kendala
5. Perencanaan Pemanfaatan Ruang
31
F. KERANGKA PEMIKIRAN
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran