bab ii 2.1.1 definisi otitis media umumnya disebabkan oleh … · 2019. 1. 29. · epitel dan ruang...
TRANSCRIPT
-
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Otitis Media
2.1.1 Definisi otitis media
Otitis media (OM) adalah peradangan di telinga tengah dan mastoid. Otitis
media diklasifikasikan berdasarkan batasan waktu dan bakteri sebagai penyebab.
Otitis media akut (OMA) berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu dan
umumnya disebabkan oleh bakteri Haemofilus influenza, Moraxella catarhalis dan
Streptococcus pneumonia. Otitis media supuratif kronik (OMSK) berlangsung
dalam waktu lebih dari dua minggu dan terutama disebabkan oleh bakteri
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus (WHO, 2004).
2.1.2 Histopatologi otitis media
Telinga tengah merupakan suatu ruang yang steril. Invasi oleh mikroba akan
mengakibatkan inflamasi pada mukosa telinga tengah mulai dari fase akut
berkembang menjadi subakut dan kronik bila tidak terjadi resolusi. Pada awal fase
akut otitis media, mukosa telinga tengah menunjukkan respon inflamasi klasik
meliputi dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, edema lamina propria dan
infiltrasi leukosit untuk selanjutnya terjadi peningkatan cairan ekstraseluler antar sel
epitel dan ruang subepitel (Wright et al.,1994). Seiring dengan progresivitas
penyakit, terjadi peningkatan jumlah sel epitel sekretoris dan sel silia sebagai
fenomena metaplasia. Peningkatan jumlah sel sekretoris ini akan mengakibatkan
pembentukan kelenjar mukus intraepitelial dan subepitelial sehingga terjadi
-
9
peningkatan volume efusi mukoid. Pada fase subakut, terdapat jumlah yang
sebanding antara leukosit polimorfonuklear dan leukosit mononuklear (Wright et al.,
1994).
Pada OMSK terjadi penebalan dan hiperplasia mukosa dengan epitel
pseudostratified columnar, hipervaskularisasi jaringan konektif subepitelial.
limfosit, sel plasma, makrofag dan neutrofil menginfiltrasi ruang subepitel
(Bikhazi,1995). Leukosit mononuklear mengeluarkan zat aktif yang mengakibatkan
destruksi jaringan dan fibrosis pada stroma subepitel. Hiperplasia mukosa hampir
sebagian besar dikontrol oleh Growth factor yang diproduksi oleh sel mononuklear
melalui interaksinya dengan Transmembrane receptor spesifik. Efusi pada telinga
tengah terdiri dari immunoglobulin, komplemen, sel kompleks imun antigen-
antibodi dan beberapa mediator inflamasi. Mucin adalah produk mayor dari sel
mukus. Mucin yang terikat pada permukaan membran berperan mencegah invasi
bakteri dan kontak dengan Toll like receptor (TLRs).
-
10
Gambar 2.1
Histopatologi mukosa telinga tengah pada OMSK terjadi peralihan menjadi epitel
stratified, tanda panah menunjukkan bagian silia yang normal
(Dikutip dari Sade J dan Weissman Z, 1977).
2.1.3 Epidemiologi otitis media
Sekitar 80 % anak mengalami otitis media paling tidak satu episode dalam 3
tahun pertama kehidupannya (Teele et al.,1989). Penanganan otitis media akut yang
tidak optimal mengakibatkan progresivitas penyakit menjadi bentuk kronik. OMSK
terjadi pada 5 tahun pertama kehidupan, usia produktif dan di negara berkembang
(Anggraeni et al.,2004; Verhoeff et al.,2005; Mittal et al.,2015; Saranya et al.,2015).
World Health Organization atau WHO mengklasifikasikan negara dengan
prevalensi OMSK antara 1-2% sebagai negara dengan prevalensi OMSK rendah dan
negara dengan prevalensi OMSK antara 3-6% sebagai negara dengan prevalensi
-
11
OMSK tinggi (WHO, 2004). Prevalensi OMSK di dunia diperkirakan sekitar 65
sampai 300 juta orang (Morris, 2012). Prevalensi OMSK tertinggi dilaporkan berada
di Alaska, Canada, Greenland, American Indians, Australian aborigin berkisar 7 %
sampai 46 % (Verhoeff et al., 2006). Prevalensi sedang dilaporkan berada di pulau
Pasifik selatan, Afrika, Korea, India dan Saudi Arabia yaitu 1 % sampai 6 %
(Verhoeff et al., 2006). Prevalensi terendah dijumpai di US dan UK (Verhoeff et
al.,2006). Perkiraan prevalensi OMSK di Asia Tenggara adalah antara 1,4-7,8%
(Acuins, 2004). India merupakan negara dengan prevalensi OMSK tertinggi
yaitu >4 %. Penelitian di Nairobi, Kenya menunjukkan bahwa gangguan
pendengaran terdapat pada 64% anak sekolah dengan OMSK (Acuin, 2004).
Survey epidemiologi di Indonesia tahun 2004 menghasilkan data angka
kejadian OMSK di Indonesia sebesar 3,1% dari jumlah populasi (Anggraeni et al.,
2004). Prevalensi OMSK di Indonesia tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar
3,9% (Helmi, 2005). Survey epidemiologi tahun 2014 untuk mencari kejadian otitis
media dan komplikasinya pada anak usia 6-15 tahun, perbedaan antara desa dan kota
menghasilkan data 0,5 % kejadian OMA dan 0,4 % kejadian OMSK serta kejadian
timpanosklerosis sebesar 2,6% (Anggraeni et al.,2014). Sekitar 20% penderita
OMSK di Indonesia adalah anak sekolah (Anggraeni et al., 2014). Pada OMSK tipe
tubo timpanik tidak mengancam jiwa tetapi mempengaruhi kehidupan psikososial,
ekonomi dan fungsi pendengaran. OMSK mengakibatkan gangguan aktivitas sehari-
hari, sering merasa malu, tidak percaya diri, menarik diri dari komunitas sosial.
-
12
2.1.4 Etiopatogenesis otitis media
Otitis media akut terutama disebabkan oleh bakteri Streptococcus
pneumonia dan Haemofilus influenza sedangkan otitis media supuratif kronik
terutama disebabkan oleh bakteri aerob seperti Pseudomonas, Proteus,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus coagulase-negatif, Streptococcus piogenes,
dan basil Coliform. Bakteri anaerob penyebab OMSK adalah Bacteroides,
Peptococcus, Peptostreptococcus, Fusobacterium, Bifidobacterium dan
Chlostridium (Healy et al.,2003; Acuin, 2004). Hasil kultur ini serupa dengan yang
diperoleh oleh Prakash, Agrawal, Porey di India (Agrawal et al.,2013; Prakash et
al.,2013; Porey et al.,2014)
Brieger pada tahun 1914 seperti yang dikutip oleh Healy et al
mengemukakan teori inflamasi sebagai penyebab otitis media (Healy et al., 2003).
Teori ini didukung oleh Santoria yang pada tahun 1958 melaporkan pertumbuhan
bakteri pada spesimen yang diambil dari pasien dengan otitis media serosa (Healy
et al., 2003). Inflamasi merupakan respon jaringan vaskular terhadap infeksi dan
jaringan yang rusak dengan membawa sel dan molekul pertahanan tubuh dari
sirkulasi ke lokasi yang diperlukan untuk mengeliminasi agen penyebab. Agen
penyebab di jaringan ekstraseluler akan dikenali oleh sel host dan molekul sistem
imun. Leukosit dan plasma protein direkrut dari sirkulasi ke tempat agen penyebab
infeksi. Leukosit dan plasma protein akan bekerja bersama menghancurkan dan
mengeliminasi agen infeksi. Plasma protein yang berperan adalah sitokin yang
diproduksi oleh berbagai tipe sel yaitu sel limfosit yang teraktivasi, sel makrofag,
sel dendritik, sel endotel, epitel dan jaringan konektif. Tumor necrosis factor-α
-
13
(TNF-α) dan IL-1β diproduksi oleh sel makrofag yang teraktivasi, sel dendrit, sel
mast dan sel limfosit T. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1β juga diproduksi
oleh sel epitel berperan dalam rekruitmen leukosit. Infeksi berulang di telinga tengah
dapat mengakibatkan perubahan mukosa yang ireversibel. Pada infeksi akut,
populasi sel radang yang dominan adalah neutrofil namun limfosit dan makrofag
residen tetap ada di jaringan. Pada saat infeksi memasuki fase kronik maka terdapat
pertukaran populasi leukosit menjadi sel makrofag, sel limfosit dan sel plasma. Sel-
sel mononuklear ini mensekresikan mediator radang dan faktor pertumbuhan yang
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan mukosa telinga tengah
menjadi udem dan hiperemi. Pada radang kronik mukosa juga mengalami perubahan
berupa metaplasia dari epitel kuboid atau kolumner bersilia selapis menjadi mukosa
yang menyerupai traktus respiratorius dengan jumlah sel goblet dan sel kelenjar
yang lebih banyak sehingga meningkatkan volume dan viskositas mukus. Perubahan
ini melebihi kemampuan klirens mukosiliar telinga tengah.
Pada keadaan infeksi, respon imunologis tubuh berupa rekruitmen dan
phagositosis oleh leukosit akan menghasilkan suatu oksigen radikal bebas seperti
O.-2 dan H2O2 intraseluler dan ekstraseluler akibat konsumsi oksigen oleh mikroba.
Peningkatan kadar oksigen radikal bebas ini akan mengakibatkan kerusakan sel dan
jaringan. Parks et al. melaporkan peningkatan kadar lipid hidroperoksida dan
malondialdehid sebagai indikator stres oksidatif dan kerusakan jaringan pada
mukosa telinga tengah guinea pig yang diinfeksi oleh Streptokokus pneumonia
(Parks et al.,1994 ). Peroksidasi lipid adalah salah satu bentuk kerusakan jaringan
-
14
akibat radikal bebas dimana radikal bebas bekerja pada Poly unsaturated fatty acids
(PUFA) membran sel.
2.1.5 Penatalaksanaan otitis media
Pada otitis media akut, pemberian antibiotika sistemik merupakan pilihan
utama karena vaskularisasi mukosa yang masih baik. Hal ini berbeda dengan otitis
media supuratif kronik (OMSK), pemberian antibiotika topikal tunggal setara
hasilnya dengan pemberian kombinasi antibiotika topikal plus sistemik melalui oral
(Morris, 2012). Hal ini diakibatkan oleh kondisi vaskularisasi mukosa tempat infeksi
yang sudah tidak baik mengakibatkan konsentrasi obat yang mencapai daerah
infeksi tidak maksimal. Pada pemakaian topikal, konsentrasi antibiotika cukup
tinggi ditempat infeksi dan mampu melebihi konsentrasi daya hambat minimum
(MIC). Disamping itu pemakaian antibiotika topikal akan mengubah lingkungan
mikro telinga tengah menjadi asam sehingga memperbaiki respon imun lokal.
Keuntungan lain pemakaian antibiotika topikal adalah mengurangi biaya
pengobatan. Antibiotika topikal akan kontak dengan seluruh permukaan mukosa
kavum timpani segera setelah aplikasi.
Pada dinding medial kavum timpani terdapat round window yang memberi
akses difusi antibiotika topikal ke dalam koklea. Koklea merupakan organ
pendengaran di telinga dalam yang mengandung sel rambut yang sangat peka
dengan obat-obat ototoksik. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan saat pemilihan
antibiotika topikal. Antibiotika golongan aminoglikosida seperti gentamisin,
neomisin, polimiksin bersifat ototoksik sehingga tidak boleh dipergunakan pada
OMSK.
-
15
2.2 Tanaman Hoya carnosa ( www.stuartxchange.com/Hoya.html)
Klasifikasi tanaman
Kingdom : Plantae - Plants
Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants
Superdivision : Spermatophyta - Seed plants
Division : Magnoliophyta - Flowering plants
Class : Magnoliopsida - Dicotyledons
Subclass : Asteridae
Order : Gentianales
Family : Asclepiadaceae - Milkweed family
Genus : Hoya R.Br - hoya
Species : Hoya carnosa (L.f) R.Br - porcelainflower
Tumbuhan Hoya merupakan tumbuhan yang memiliki nama lain wax plant.
Tumbuhan ini tersebar hampir di seluruh negara dengan keragaman musim.
Tumbuhan ini di India, Cina selatan dan Myanmar dikenal dengan nama porcelain
flower karena bunganya menyerupai porcelain atau tanaman madu karena bunganya
menghasilkan madu. Bunganya yang unik dan indah membuat tumbuhan Hoya lebih
dikenal sebagai tanaman hias. Hoya lebih dikenal sebagai tumbuhan obat tradisional
di Indonesia karena potensinya sebagai obat telah dipakai oleh masyarakat secara
empiris sejak beberapa ratus tahun lampau (Rahayu, 2001). Indonesia memiliki
paling banyak keragaman Hoya yaitu 50 sampai 60 jenis perlu penelusuran lebih
jauh potensinya sebagai obat tradisional.
-
16
Gambar 2.2
Tanaman Hoya carnosa
Hoya carnosa merupakan tumbuhan epifit yang tumbuhnya menumpang
pada pohon lainnya (forofit). Hoya dapat tumbuh sebagai tumbuhan merambat
ataupun tidak merambat. Seluruh bagian tumbuhan akan mengeluarkan getah putih
atau bening jika terluka. Daunnya tersusun bersilang berhadapan dengan helai daun
yang tebal (coriaceous) dan berlilin. Bentuk dan ukuran daun berbentuk bulat telur
terbalik, menjantung dengan panjang daun 15 mm hingga 30 mm sedangkan lebar
0,5 mm hingga 15 mm dan memiliki corak peruratan yang tersamar dengan pola
menjari serta pinggiran helai daunnya lurus (Hoffman et al.,2002). Perbungaan
terdapat dalam payung (umbel) yang muncul di antara dua tangkai daun
-
17
(interpetiolar). Dalam satu payung terdapat beberapa kuntum hingga lebih dari 40
kuntum. Tangkai bunga (pedicel) ada yang seragam panjangnya sehingga
membentuk payung yang cembung. Perhiasan terdiri dari lima bagian sehingga
membentuk bintang. Kelopak berukuran kecil, jauh lebih kecil dari ukuran mahkota
(Burton, 2007).
Hoya tumbuh didaerah yang cukup lembab, seperti di daerah pinggiran
sungai, danau atau pinggir pantai. Hoya dapat tumbuh mulai dari daerah pantai
hingga pegunungan di atas 2.000 meter dari permukaan laut. Beberapa jenis Hoya
dapat beradaptasi di daerah pegunungan di atas 1.000 m dpl namun banyak jenis
yang lebih menyukai daerah dataran rendah dengan kondisi yang hangat dan lembab
(Burton, 2007). Beberapa jenis menyukai bagian batang utama forofit sedangkan
jenis-jenis yang lainnya lebih menyukai tempat di atas tajuk. Hal ini terkait dengan
pemenuhan kebutuhan hidupnya menyangkut air, cahaya dan unsur hara serta
menghindarkan dari pemakan daun. Faktor lingkungan seperti suhu, cahaya,
kelembaban, fisik dan biologi tanah berpengaruh terhadap kandungan metabolit
sekunder seperti flavonoid dari tanaman Hoya carnosa.
Tumbuhan Hoya carnosa di Bali lebih di kenal dengan “Don tebel-tebel”
Daun tebel-tebel atau Hoya carnosa sudah sejak lama dipakai oleh masyarakat untuk
mengobati penyakit radang telinga tengah (OMSK). Cairan hasil perasan dari daun
Hoya carnosa yang matang diteteskan langsung pada telinga yang sakit. Penelitian
terhadap kandungan kimia tumbuhan Hoya telah beberapa kali dilakukan. Penelitian
bahan kimia dari berbagai jenis Hoya carnosa antara lain dilakukan di Universitas
Farmasi di Tokyo, Jepang untuk senyawa utama. Di Universitas Utrech Belanda
-
18
diteliti kandungan kimia lateks dan daun meliputi senyawa-senyawa fenolik dan
terpenoid. Kandungan alkaloid diteliti di Universitas Melbourne, Australia (Rahayu,
2001). Penggunaan sebagai obat luka diyakini karena getahnya memiliki kekuatan
untuk menyatukan jaringan yang terluka (Rahayu, 2001). Penelitian tahun 1946 di
Universitas Queensland Australia menemukan bahwa Hoya australis memiliki
kandungan 'Cardiac glucosida' yang sangat kuat.
Hoya carnosa masuk dalam daftar tanaman obat cina yang memiliki
kandungan komponen fenolik seperti alkaloid fenolik, asam fenolik, flavonoid,
tannin, fenolik terpenoid, quinones, stilbenes, volatile dan komponen alifatik
(Huang, 2008). Sebagian besar kandungan tanaman Hoya carnosa adalah flavonoid
(Huang, 2008). Huang mendapatkan adanya jamur endofitik pada daun Hoya
carnosa yang memiliki sifat antibakteri (Huang, 2008).
Hasil uji analisis senyawa aktif yang dilakukan Yulli et al (2016) pada
ekstrak daun Hoya carnosa juga mendapatkan kandungan flavonoid paling besar
yaitu 8,6 % b/v, dan senyawa lain yaitu tanin 1,29 %b/v, saponin 4,52 % b/v dan
alkaloid 4,90 % b/v. Hal ini berbeda dengan temuan Burton (2007) yaitu triterpenoid
merupakan komponen utama tanaman Hoya. Hasil uji in vitro aktivitas antibakteri
ekstrak Hoya carnosa menunjukkan bahwa ekstrak Hoya carnosa dengan
konsentrasi 80 % dan 100 % memiliki daya hambat kuat terhadap Staphylococcus
aureus, Streptococcus sp dan Pseudomonas aeruginosa (Yulli, 2016). Hasil uji
larutan tetes telinga ekstrak daun Hoya carnosa dalam bentuk suspensi dan emulsi
mendapatkan bahwa sediaan emulsi 1% memiliki daya hambat terhadap
pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa (Lolik, 2018). Uji toksisitas akut
-
19
dan subakut mendapatkan bahwa ekstrak etanol Hoya carnosa sangat aman untuk
pemakaian oral dan topikal (Dwi, 2018).
2.3 Deskripsi Mekanisme Flavonoid, Tanin, Saponin dan Alkaloid Sebagai
Antibakteri, Antioksidan dan Antiinflamasi
Tumbuhan pangan mengandung bahan yang memiliki sifat seperti antibiotik
bakteriostatik. Komponen yang bersifat bakteriostatik itu adalah flavonoid.
Flavonoid merupakan kelompok bahan organik heterosiklik dikenal juga dengan
nama vitamin P dan citrin, merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman
yang bermanfaat dalam fotosintesis sel dan banyak ditemukan pada buah, sayur,
kacang-kacangan, bunga, teh, anggur, propolis dan madu. Terdapat hampir lebih
dari 4000 macam flavonoid namun hanya 4 kelompok besar yang utama yaitu
flavones, flavanones, catechins dan anthocyanins. Flavonoid memiliki banyak
manfaat yaitu sebagai antiatherosklerotik, antioksidan, antiinflamasi, antitumor,
antithrombosis, antiosteoporosis, antiviral dan antibakteri (Kumar et al., 2013).
Flavonoid memiliki efek sebagai antibakteri, bekerja sinergis dengan
antibiotika dan menekan virulensi bakteri. Sebagai antibakteri, flavonoid memiliki
beberapa tempat target kerja pada sel bakteri (Kumar et al., 2013; Agrawal, 2011).
Letak gugus hidroksil di posisi 2’,4’ atau 2’,6’ dihidroksilasi pada cincin B dan 5’,7’
dihidroksilasi pada cincin A berperan penting terhadap aktivitas antibakteri
flavonoid melalui proses interkelasi atau ikatan hidrogen dengan menumpuk basa
asam nukleat sehingga menghambat pembentukan DNA dan RNA bakteri.
Flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri,
mikrosom dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri.
-
20
Flavonoid menghambat fungsi membran sel melalui terbentuknya senyawa
kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak
membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler. Flavonoid
juga menghambat fungsi membran sel dengan cara menghambat ikatan enzim
seperti ATPase dan phospholipase. Flavonoid menghambat metabolisme energi
dengan cara menghambat penggunaan oksigen oleh bakteri. Flavonoid menghambat
sitokrom C reductase sehingga pembentukan metabolisme terhambat. Energi
dibutuhkan bakteri untuk biosintesis makromolekul (Jawetz et al., 2007). Flavonoid
juga menghambat sejumlah faktor virulensi bakteri seperti signal reseptor quorum
sensing, enzim dan toksin bakteri.
Flavonoid terutama dikenal sebagai antioksidan. Flavonoid sebagai
antioksidan eksogen bekerja dengan cara melindungi kerusakan membran sel host
akibat serangan radikal bebas. Lipopolisakarida (LPS) sebagai komponen bakteri
Pseudomonas aeruginosa berikatan dengan Toll like receptor 4(TLR4) memicu
pelepasan Reactive oxygen species (ROS) dari Nicotinamide adenine dinucleotide
phosphate (NADPH)-oxidase dan mitokondria. Reactive oxygen species (ROS)
sebagai perantara reaksi redok akan mengaktivasi translokasi inti Nuclear factor
k-light chain pemacu aktivasi sel B (NF-kB). Aktivasi NF-kB akan memperantarai
induksi Inducible nitric oxide (iNOS) dan ekspresi Cyclooxygenase(COX). Aktivasi
Cyclooxygenase 1 (COX1) dan Cyclooxygenase 2 (COX2) akan memperantarai
produksi prostaglandin. Flavonoid sebagai antiinflamasi bekerja menekan produksi
ROS, NO dan produksi prostaglandin melalui hambatannya pada aktivitas protein
(Levya et al.,2016).
-
21
Gambar 2.3
Mekanisme kerja flavonoid sebagai antiinflamasi
(Dikutip dari Levya et al.,2016)
Flavonoid juga memiliki efek antisitokin dengan menghambat ekspresi dan
sekresi sitokin melalui hambatannya pada aktivitas NF-kB dan Activating protein 1
(AP-1) sehingga mencegah terjadinya inflamasi kronik.
LPS
NADPHox
ROS Mitokondria
NF-kB
pNF-kB
iNOS
COX-2
COX-1
COX-1
PGH2
NO
COX-2 PGH2
PGD2
PGE2
Membran
Sitoplasma
Ekstrak
Ekstrak
Ekstrak
PGEsPGDsEkstrak
TLR4
-
22
Gambar 2.4
Mekanisme efek antisitokin dari flavonoid (Dikutip dari Levya et al.,2016)
Tanin mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein.
Tanin bereaksi dengan membran sel, menginaktivasi enzim dan menginaktivasi
fungsi materi genetik. Tanin menghambat enzim Reverse transcriptase dan DNA
topoisomerase bakteri sehingga sel bakteri tidak dapat terbentuk. Tanin mampu
menginaktifkan adhesin sel bakteri, menginaktifkan enzim dan mengganggu
transport protein pada lapisan dalam sel bakteri. Tanin juga mempunyai target pada
polipeptida dinding sel bakteri sehingga pembentukan dinding selnya menjadi
kurang sempurna. Sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun fisik
sehingga sel bakteri akan mati. Mikroorganisme yang tumbuh di bawah kondisi
-
23
aerobik membutuhkan zat besi untuk berbagai fungsi, termasuk reduksi dari
prekursor ribonukleotida DNA. Enzim Reverse transcriptase dan DNA
Topoisomerase sel bakteri tidak dapat terbentuk oleh kapasitas pengikat besi yang
kuat oleh tanin (Jawetz et al., 2007).
Sterol atau saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat
molekul tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman. Berdasarkan struktur
kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas streroid,
kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid. Sifat yang khas dari saponin antara lain
berasa pahit, berbusa dalam air. Saponin akan menyebabkan kebocoran protein dan
enzim dari dalam sel bakteri karena zat aktif permukaannya mirip detergen sehingga
saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak
permeabilitas membran. Rusaknya membran sel bakteri akan mengganggu
kelangsungan hidup bakteri. Saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding
sel bakteri yang rentan kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga
mengganggu dan mengurangi kestabilan membran sel bakteri. Hal ini menyebabkan
sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel bakteri.
Alkaloid merupakan suatu basa organik yang mengandung unsur nitrogen
(N). Beberapa kelas alkaloid menunjukkan aktivitas antibakteri yang cukup tinggi
seperti indole, piperidine, pyridine, quinole, ergoline, pollyamine dan steroidal
(Cushnie et al.,2014). Metronidazole dan quinolon adalah salah satu contoh
antibiotika yang berbahan alkaloid (Cushnie et al.,2014). Sebagai antibakteri
Pseudomonas aeruginosa, masing –masing jenis alkaloid bekerja dengan cara yang
berbeda. Kelompok 37 (1,3,4–oxadiazole bekerja dengan menghambat toxin
-
24
(pyocianins) dan prekursor signal QS (HHQ). Alkaloid kelompok 7 Hydroxyindole
(indole) mengubah ekspresi virulen gen, menghambat racun (pyocianin), QS signal
(PQS), biosurfaktan (rhamnolipid) dan produksi sidrophore (pyocelin), mengakhiri
swarming motility bakteri Pseudomonas aeruginosa. Solenopsin (piperidine)
menghambat transkripsi gen virulen, toksin (pyocianin) dan produksi enzim
destruktif (elastaseB) serta pembentukan biofilm (Cushnie et al.,2014). Sebagai
antibakteri, sebagian besar alkaloid bekerja melalui penghambatan pada pompa
efluks bakteri.
Mekanisme lain adalah sebagai interkelator DNA dan menghambat enzim
topoisomerase sel bakteri (Jawetz et al., 2008). Di dalam senyawa alkaloid terdapat
gugus basa yang mengandung nitrogen akan bereaksi dengan senyawa asam amino
yang menyusun dinding sel bakteri dan DNA bakteri. Reaksi ini mengakibatkan
terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino sehingga akan menimbulkan
perubahan keseimbangan genetik pada rantai DNA sel bakteri. DNA akan
mengalami kerusakan dan mendorong terjadinya lisis sel bakteri yang akan
menyebabkan kematian sel pada bakteri. Alkaloid juga menghambat TII dan T III
secretion systems bakteri gram negatif (Cushnie et al., 2014).
2.4 Pseudomonas aeruginosa
2.4.1 Karakteristik umum
Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri gram negatif yang aerob obligat,
masuk dalam family Pseudomonodaceae. Genus Pseudomonas dibagi menjadi 8
kelompok dimana Pseudomonas aeruginosa merupakan tipe spesies dari salah satu
kelompok tersebut yang terdiri dari 12 anggota (Kenneth, 2009; Japion et al., 2009).
-
25
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri ekstraseluler berkapsul, mempunyai
flagella polar sehingga bakteri ini bersifat motil. Berukuran diameter sekitar 0,5-1,5
µm dan panjang 1,5-3,0 µm. Pseudomonas aeruginosa memiliki struktur multi
lamelar yang kompleks. Bagian luar bakteri berupa kapsul yang berfungsi sebagai
barier pertahanan awal. Dibawah kapsul terdapat membran terluar yang juga
berfungsi sebagai barrier. Bila molekul antibiotik dapat melewati membran terluar
maka molekul antibiotik ini dapat memasuki periplasma dan memiliki akses ke
membran sitoplasma melalui target ribosom atau sitoplasma. Struktur membran
terluar bakteri gram negatif adalah asimetris dimana sisi luar terdiri dari
lipopolisakarida sedangkan sisi dalam adalah lapisan fosfolipid (Mittal et al., 2014).
Bakteri ini tidak menghasilkan spora, mempunyai pembungkus,
membutuhkan sedikit sumber karbon dan yang lainnya, hanya membutuhkan asetat
atau amonia untuk pertumbuhannya (Vissilier et al.,2001). Pseudomonas
aeruginosa mampu tumbuh pada temperature 40-41 º C dan tidak mampu tumbuh
pada temperatur 4º C. Beberapa spesies yang mengalami polimorfisme mampu
tumbuh pada suhu 45ºC (Choi et al.,2002). Pada uji biokimia, bakteri ini
memberikan hasil negatif pada uji Voges-Proskauer. Bakteri ini secara luas dapat
ditemukan di alam, contohnya di tanah, air, tanaman, dan hewan. Pseudomonas
aeruginosa adalah bakteri patogen oportunistik. Ketika bakteri ini ditumbuhkan
pada media yang sesuai, bakteri ini akan menghasilkan pigmen nonfluoresen
berwarna kebiruan, piosianin. Beberapa strain Pseudomonas aeruginosa juga
mampu menghasilkan pigmen fluoresen berwarna hijau yaitu pioverdin.
Pseudomonas aeruginosa memproduksi katalase, oksidase
-
26
dan amonia dari arginin. Sebagian besar strain Pseudomonas aeruginosa juga
menghasilkan Alkaline proteinase dan elastase yang mampu mendegradasi kolagen
dan elastin sebagai struktur penting dari membran timpani sehingga perforasi
membran timpani merupakan akibat dari infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa
bukan sebagai predisposisi infeksi (Antonelli et al., 1993).
2.4.2 Faktor virulensi Pseudomonas aeruginosa
Faktor virulensi Pseudomonas aeruginosa dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
1. Antigen somatik
a. Lipopolisakarida
b. Eksopolisakarida (alginate)
c. Pilli dan appendiks
2. Faktor ekstraseluler
a. Toksin seperti eksotoksin A, protease (termasuk alkalin protease),
elastase (Las A dan Las B)
b. Eksoensim seperti eksoensim S dan eksoensim T yang memiliki
ADP–ribosyltransferase yang menghambat pathocytosis dan
phagocytes (Faure et al.,2003; Kenneth, 2011). Pseudomonas
aeruginosa juga mensekresikan eksoensim Y yang memiliki aktivitas
Adenylate cyclase yang mempengaruhi bentuk sel (Yahr et al.,1998),
eksoensim U yang bertanggungjawab terhadap toksisitas sel epitel
(Kurahashi et al.,1999)
3. Hemolysin
-
27
4. Urease
Eksoensim S memiliki ADP- ribosilasi dari beberapa protein sel dan
menginduksi apoptosis sel T (Jenifer et al.,1989; Salva et al.,2000). Eksoensim S
merupakan mitogen sel T yang unik; merupakan stimulan imun yang kuat dalam
mengaktivasi sel T dalam jumlah besar namun mengakibatkan keterlambatan dan
berkurangnya proliferasi limfosit ( Salva et al., 2000). Eksoensim T berkontribusi
dalam perusakan sel sitoskeletal untuk penghambatan respon imun (Kazmierczak et
al.,2002). Eksoensim U mengakibatkan degradasi membran sel sehingga
mengakibatkan toksisitas sel yang terinfeksi (Phillips et al.,2003). Eksoensim Y
bekerja menstimulasi ensim Adenilat siklase, meningkatkan kecepatan cAMP dalam
sel yang terinfeksi (Yahr et al.,1998) Elastase merupakan protease yang paling
banyak disekresi oleh Pseudomonas aeruginosa (Peter et al.,2000; Kevin et
al.,2004). Elastase juga merupakan metaloprotease yang mendegradasi elastin dan
kolagen dan menginaktivasi human immunoglobulin G, serum alpha-1, proteinase
inhibitor dan beberapa komponen komplemen. Alkalin protease merupakan
ekstraseluler protease yang diproduksi oleh Pseudomonas aeruginosa dan berperan
penting selama infeksi akut (Matsumoto et al.,1998;Lidija et al.,2010). Alkalin
protease merupakan ensim proteolitik yang bekerja optimal pada pH alkaline (
Abdulnasser et al.,2007). Hemolysin perannya belum jelas. Ada dua bentuk
hemolysin yaitu Heat labile phospholipase C dan Heat stable glycolipid.
-
28
Gambar 2.5
Dinding sel bakteri Pseudomonas aeruginosa
(Dikutip dari Livermore,1991)
-
29
Gambar 2.6
Beberapa virulence factor yang diproduksi Pseudomonas aeruginosa. Flagella dan
pili type 4 adalah adhesion utama Pseudomonas aeruginosa
(Dikutip dari Gellatly, S. L.& Hancock, R. E. 2013)
2.4.3 Patogenitas oleh Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan penyakit terlokalisasi dan
sistemik yang sangat serius serta tidak jarang berakibat fatal. Pseudomonas
aeruginosa dapat menginfeksi telinga tengah akibat kurangnya ekspresi OprF. OprF
adalah general porin dari Pseudomonas aeruginosa yang memfasilitasi difusi non
spesifik partikel ion dan nutrient polar kecil. OprF merupakan klas protein yang
memiliki banyak fungsi. OprF memudahkan adhesi Pseudomonas aeruginosa
dengan sel dan pembentukan biofilm pada lingkungan anaerob (Mittal et al.,2014).
-
30
Gambar 2.7
Pseudomonas aeruginosa menempel pada epitel telinga tengah manusia
(Dikutip dari Mittal et al.,2014)
Gambar 2.8
Pseudomonas aeruginosa menginvasi epitel telinga tengah manusia
(Dikutip dari Mittal et al., 2014)
-
31
Transport aktif sulit terjadi karena secara teori antibiotika harus melewati
struktur membran luar ini dengan cara larut dalam matrik lipid (jalur hidrofobik)
atau melalui pori cairan (jalur hidrofilik). Jalur hidrofilik tergantung pada kelompok
protein yaitu porin yang membentuk pori transmembran yang mengandung air.
Kecepatan absorbsi yang diperantarai porin tergantung pada kandungan fisikokimia
obat. Kelengkapan porin bervariasi tergantung bakteri namun sebagian besar bakteri
menunjukkan tipe porin yang beragam. Pada Pseudomonas aeruginosa, membran
luarnya bersifat sangat permeabel karena mengandung protein C, D2 dan E yang
membentuk pori besar. Pori ini memungkinkan difusi molekul sebesar 3000 D.
Transport membran luar secara difusi pasif sedangkan transport melalui sitoplasma
difasilitasi oleh mekanisme aktif yang bersifat spesifik. Pseudomonas aeruginosa
dikenal sebagai bakteri dengan tingkat resistensi tinggi terhadap berbagai jenis
antibiotika meliputi aminoglikosida, fluorokuinolon dan beta laktam (Mittal et al.,
2014 ).
Mekanisme intrinsik penyebab resistensi adalah hilangnya jalur uptake
antibiotika disebabkan karena rendahnya permeabilitas membran terluar yaitu 12-
200 kali lebih rendah dibandingkan E.colli. Membran terluar bakteri gram negatif
berfungsi sebagai barier selektif terhadap molekul antibiotika (Livermore, 1991;
Breidenstein, 2011). Membran terluar bersifat hidrofilik dengan mekanisme difusi
yang tergantung pada ukuran molekul karena difusi melalui saluran air yang terisi
molekul porin.
Pseudomonas aeruginosa memiliki keterbatasan karena sangat sedikit
memiliki porin OprF yang besar demikian pula porin OprD dan OprB. Hal ini akan
-
32
mengakibatkan mekanisme resistensi adaptif bekerja lebih baik yaitu meningkatkan
efluks dan modifikasi enzim terhadap antibiotika. Mekanisme intrinsik lain adalah
perubahan genetik pada mikroba mengakibatkan batas bawah MIC yang sangat
tinggi. Mekanisme resistensi yang didapat adalah akibat transfer horizontal, adanya
mutasi dan overekspresi pompa efluks. Mekanisme ekstrinsik diduga akibat
perubahan lingkungan, stress, akan menimbulkan resistensi adaptif terhadap
mikroba. Beberapa mutasi bisa tidak menimbulkan resistensi bermakna karena
beberapa strain terkadang meningkatkan resistensinya melalui transfer horizontal
dari determinan yang resisten. Mekanisme resistensi adaptif adalah melalui
perubahan ekspresi gen seperti beta laktam, over ekspresi pompa efluks.
Pseudomonas aeruginosa dikenal sebagai bakteri dengan tingkat resistensi tinggi
terhadap berbagai jenis antibiotika meliputi aminoglikosida, fluorokuinolon dan
beta laktam (Livermore, 1991)
Pseudomonas aeruginosa dikenali oleh imunitas alami mukosa telinga
tengah berdasarkan penanda Pathogen associated moleculer patterns (PAMPs)
yaitu lipopolisakarida (LPS) yang merupakan bagian lipid dinding sel dari patogen.
Lipopolisakarida (LPS) akan berikatan dengan Pattern recognitions receptors
(PRRs) yaitu Toll like receptors 4 (TLRs4) dan Nod like receptors (NLRs) yang
berada pada permukaan makrofag, sel dendritik dan neutrofil. Proses ini akan
mengakibatkan fagositosis patogen sehingga patogen berada dalam vakuol yang
disebut fagosom (endosom) yang akan menyatu dengan lisosom menjadi
fagolisosom.
-
33
Pembangkitan sinyal oleh TLRs4 akan mengaktifkan faktor transkripsi yang
dinamakan Nuclear factor kappa B (NFkB) yang merangsang produksi sitokin,
kemokin dan molekul adhesi. Sitokin adalah protein polipeptida pembawa pesan
kimiawi yang sangat poten, sekresinya terjadi cepat, aktif pada kadar yang sangat
rendah (10 -10 - 10 -15 mol/L). Sitokin yang diproduksi pada fase akut yang disebut
juga sitokin proinflamasi adalah IL-1β dan TNF-α.
Interleukin-1 beta (IL-1β) dan TNF-α merupakan sitokin yang utama
berperan pada respon inflamasi akut setelah terjadi invasi mikroba patogen.
Interleukin-1 beta (IL-1β) merupakan sitokin proinflamasi yang poten diproduksi
terutama oleh monosit dan makrofag. Meskipun demikian IL-1β juga mampu
dihasilkan oleh epidermal, epitel, sinovial fibroblast, keratinosit dan sel langerhans
kulit, sel mesengial gigi, limfosit T dan B, sel natural killer, astrocyt, sel mikroglia,
endotel vaskular, sel otot polos. IL-1β bekerja sinergis bersama TNF-α. IL-1β juga
menginduksi produksinya sendiri dan produksi sitokin lain seperti IL-2, B Limfosit
growth factor, Interferon gamma (IFN). IL-1β mengubah Endothelial surface
receptor sehingga leukosit menempel erat pada endotel dan bermigrasi ke jaringan
ekstravaskuler. IL-1 activated endhothelium menunjukkan peningkatan aktivitas
plasminogen inhibitor dan prokoagulan. Aktivasi IL-1β pada endotel mengakibatkan
lokalisasi infeksi. IL-1β mengakibatkan degranulasi basofil dan eosinofil,
menstimulasi sintesis tromboxane pada makrofag dan neutrofil dan mempotensiasi
aktivitas neutrofil oleh chemoatractan peptides. Lipopolisakarida dari bakteri
Pseudomonas aeruginosa sebagai PAMPs akan berikatan dengan TLR-4 pada
permukaan monosit atau makrofag dan melalui myD88 mengakibatkan trankripsi
-
34
mRNA IL-1β menjadi pro IL-1β oleh caspase 1 menjadi IL-1 β yang matur yang
siap dilepas ke sirkulasi dan jaringan.
Gambar 2.9
Lipopolisakarida dari bakteri Pseudomonas aeruginosa sebagai PAMPs akan
berikatan dengan TLR-4 pada permukaan monosit atau makrofag. Selanjutnya
melalui myD88 akan terjadi trankripsi mRNA IL-1 β menjadi pro IL-1 β oleh
caspase 1 menjadi IL-1 β yang matur yang siap dilepas ke sirkulasi dan jaringan.
(Dikutip dari Netea et al., 2010)
-
35
Interleukin 1 beta (IL-1β) dan TNF-α akan menginduksi ekspresi molekul
adhesi pada sel endotel, menginduksi peningkatan ekskresi ICAM-1 dan VICAM-1.
Neutrofil, monosit dan limfosit mengenal molekul adhesi tersebut selanjutnya
bergerak ke dinding pembuluh darah dan jaringan. Interleukin-1 beta (IL-1 β) dan
TNF-α juga mengaktifkan makrofag dan neutrofil meningkatkan fagositosis dan
pelepasan enzim ke jaringan. IL-1β juga berperan dalam proses reparasi dengan
meningkatkan proliferasi fibroblast, sintesis kolagen dan glukosaminoglikan. IL-1β
menstimulasi sistem imun melalui aktivasi langsung pada limfosit dan secara tidak
langsung dengan menginduksi sintesis molekul yang selanjutnya mengaktivasi
limfosit.
Pada fibroblast, sel endotel, makrofag dan limfosit, IL-1β menginduksi
produksi Interferon hemopoetic coloni stimulating factor, T and B limfosit growth
and differentiation factor’s. IL-1β merupakan kemoatraktan limfosit. IL-1β
meningkatkan regulasi respon fungsional sel imunokompeten. Pada studi tikus
dengan otitis media, ekspresi IL-1β, IL-1α dan IL-6 paling tinggi pada telinga tengah
24 jam setelah inokulasi bakteri sedangkan ekspresi TNF-α lebih rendah namun
masih cukup signifikan (Macarthur et al.,2011). Berbeda dengan temuan Sato et
al.(1999) bahwa IL-1β sudah mulai terdeteksi pada jam 1 mencapai puncaknya pada
jam ke-6 kemudian menurun dan mengalami peningkatan kedua pada jam ke-72.
Tumor necrosis factor alfa (TNF-α) mulai terdeteksi pada jam 1 sampai jam ke-48
setelah inokulasi bakteri (Sato et al.,1999). Inflamasi mencapai puncaknya pada hari
ke-3 sampai ke-5 dan menghilang pada hari ke-7 pada mencit BALB/c model
dengan otitis media (Macarthur et al.,2011).
-
36
2.4.4 BALB/c
Otitis media pada hewan percobaan tergantung pada strain mencit BALB/c,
strain bakteri dan dosis bakteri. Mukosa telinga tengah mencit BALB/c bebas dari
sel imun dan menjadi imun reaktif setelah paparan bakteri patogen atau LPS. Proses
inflamasi umumnya mencapai puncak antara hari ketiga sampai hari kelima dan
membaik pada hari kesepuluh sampai hari keempat belas (Macarthur et al.,2006).
Mencit BALB/c memiliki panjang liang telinga 6,25 mm (Bergin M et
al.,2013). Kavum timpani mencit BALB/c berada dalam suatu ruang yang
dinamakan bula. Kavum timpani merupakan sebagian besar dari volume bula dan
hanya sebagian kecil kavum mastoid yang berada di bagian posterior superior
kavum timpani. Kavum mastoid bagian anterior yang sangat kecil juga ada. Bula
timpani cukup sederhana dibatasi oleh telinga dalam, dinding bula bagian ventral
dan pars tensa membran timpani. Tuba Eustachius keluar pada bagian bula timpani.
Karakteristik ruang mastoid sebagai suatu komplek arsitektur yang terdiri dari
penonjolan serebelar flokulus, tulang pendengaran dan septa tulang. Volume kavum
timpani mencit BALB/c kecil sehingga batasan cairan yang dapat diinjeksikan
intratimpani adalah 4-6 l (Macarthur et al.,2006, Ryan et al.,2006).
-
37
Gambar 2.10
Bula timpani mencit BALB/c yang merupakan suatu ruang gabungan kavum
timpani dan kavum mastoid
(Dikutip dari Ryan et al.,2006).
Beberapa tehnik untuk menginduksi otitis media salah satunya adalah tehnik
inokulasi intratimpani. Beberapa peralatan bedah minor dipersiapkan sebelum
memulai diseksi untuk mencapai bula timpani. Terlebih dahulu, mencit BALB/c
-
38
diletakkan terlentang pada posisi pronasi. Tindakan dilakukan secara steril aseptik.
Mencit BALB/c dianestesi dengan ketamine 100 mg/kg BB dan xylazine 0,01 mg/kg
intramuskular. Setelah teranestesi dilakukan otoskopi membran timpani dan telinga
tengah dengan menggunakan mikroskop. Setelah ditemukan bula timpani kanan,
0,01 ml larutan (6,4 x 107 CFU) Pseudomonas aeruginosa diinokulasikan
intratimpani. Membran timpani mencit BALB/c dievaluasi dengan mikroskop pada
jam ke-48 setelah inokulasi untuk melihat adanya otitis media (Giebinket al.,1983).
Adanya efusi pada telinga tengah dan gambaran membran timpani yang abu-abu dan
opak menunjukkan adanya otitis media. Giebink et al (1983) mengklasifikasikan
otitis media pada hewan coba menjadi:
1. Normal: gambaran membran timpani abu-abu dan translusen tanpa adanya
efusi.
2. Grade 1: gambaran membran timpani abu-abu dan opak dengan adanya efusi
serous maupun mukoid.
3. Grade 2: gambaran membran timpani kuning dan opak dengan adanya efusi
purulen di telinga tengah.
2.4.5 Tetes telinga (Farmakopee Indonesia)
Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari sediaan farmasi yang
termasuk steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan emulsi atau suspensi yang
dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar yang digunakan dengan cara
meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan
yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam farmakope Indonesia. Kecuali
dinyatakan lain, tetes telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan
-
39
pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar mudah
menempel pada dinding liang telinga, umumnya digunakan gliserin dan
propylenglikol. Dapat juga digunakan etanol 90%, heksilenglikol dan minyak nabati.
Zat pensuspensi dapat menggunakan sorbitan, polisorbat dan surfaktan lain yang
cocok. Keasaman dan kebasaan kecuali dinyatakan lain pH 5-6 penyimpanan dalam
wadah tertutup rapat. Bahan pembuat harus mengandung bahan yang dapat
mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak
sengaja saat wadah terbuka pada waktu penggunaan. Jika terkena cahaya matahari
atau cahaya lain akan merusak sediaan tetes telinga tersebut.