bab ii 2.1.1 definisi otitis media umumnya disebabkan oleh … · 2019. 1. 29. · epitel dan ruang...

32
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otitis Media 2.1.1 Definisi otitis media Otitis media (OM) adalah peradangan di telinga tengah dan mastoid. Otitis media diklasifikasikan berdasarkan batasan waktu dan bakteri sebagai penyebab. Otitis media akut (OMA) berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu dan umumnya disebabkan oleh bakteri Haemofilus influenza, Moraxella catarhalis dan Streptococcus pneumonia. Otitis media supuratif kronik (OMSK) berlangsung dalam waktu lebih dari dua minggu dan terutama disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus (WHO, 2004). 2.1.2 Histopatologi otitis media Telinga tengah merupakan suatu ruang yang steril. Invasi oleh mikroba akan mengakibatkan inflamasi pada mukosa telinga tengah mulai dari fase akut berkembang menjadi subakut dan kronik bila tidak terjadi resolusi. Pada awal fase akut otitis media, mukosa telinga tengah menunjukkan respon inflamasi klasik meliputi dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, edema lamina propria dan infiltrasi leukosit untuk selanjutnya terjadi peningkatan cairan ekstraseluler antar sel epitel dan ruang subepitel (Wright et al.,1994). Seiring dengan progresivitas penyakit, terjadi peningkatan jumlah sel epitel sekretoris dan sel silia sebagai fenomena metaplasia. Peningkatan jumlah sel sekretoris ini akan mengakibatkan pembentukan kelenjar mukus intraepitelial dan subepitelial sehingga terjadi

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Otitis Media

    2.1.1 Definisi otitis media

    Otitis media (OM) adalah peradangan di telinga tengah dan mastoid. Otitis

    media diklasifikasikan berdasarkan batasan waktu dan bakteri sebagai penyebab.

    Otitis media akut (OMA) berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu dan

    umumnya disebabkan oleh bakteri Haemofilus influenza, Moraxella catarhalis dan

    Streptococcus pneumonia. Otitis media supuratif kronik (OMSK) berlangsung

    dalam waktu lebih dari dua minggu dan terutama disebabkan oleh bakteri

    Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus (WHO, 2004).

    2.1.2 Histopatologi otitis media

    Telinga tengah merupakan suatu ruang yang steril. Invasi oleh mikroba akan

    mengakibatkan inflamasi pada mukosa telinga tengah mulai dari fase akut

    berkembang menjadi subakut dan kronik bila tidak terjadi resolusi. Pada awal fase

    akut otitis media, mukosa telinga tengah menunjukkan respon inflamasi klasik

    meliputi dilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, edema lamina propria dan

    infiltrasi leukosit untuk selanjutnya terjadi peningkatan cairan ekstraseluler antar sel

    epitel dan ruang subepitel (Wright et al.,1994). Seiring dengan progresivitas

    penyakit, terjadi peningkatan jumlah sel epitel sekretoris dan sel silia sebagai

    fenomena metaplasia. Peningkatan jumlah sel sekretoris ini akan mengakibatkan

    pembentukan kelenjar mukus intraepitelial dan subepitelial sehingga terjadi

  • 9

    peningkatan volume efusi mukoid. Pada fase subakut, terdapat jumlah yang

    sebanding antara leukosit polimorfonuklear dan leukosit mononuklear (Wright et al.,

    1994).

    Pada OMSK terjadi penebalan dan hiperplasia mukosa dengan epitel

    pseudostratified columnar, hipervaskularisasi jaringan konektif subepitelial.

    limfosit, sel plasma, makrofag dan neutrofil menginfiltrasi ruang subepitel

    (Bikhazi,1995). Leukosit mononuklear mengeluarkan zat aktif yang mengakibatkan

    destruksi jaringan dan fibrosis pada stroma subepitel. Hiperplasia mukosa hampir

    sebagian besar dikontrol oleh Growth factor yang diproduksi oleh sel mononuklear

    melalui interaksinya dengan Transmembrane receptor spesifik. Efusi pada telinga

    tengah terdiri dari immunoglobulin, komplemen, sel kompleks imun antigen-

    antibodi dan beberapa mediator inflamasi. Mucin adalah produk mayor dari sel

    mukus. Mucin yang terikat pada permukaan membran berperan mencegah invasi

    bakteri dan kontak dengan Toll like receptor (TLRs).

  • 10

    Gambar 2.1

    Histopatologi mukosa telinga tengah pada OMSK terjadi peralihan menjadi epitel

    stratified, tanda panah menunjukkan bagian silia yang normal

    (Dikutip dari Sade J dan Weissman Z, 1977).

    2.1.3 Epidemiologi otitis media

    Sekitar 80 % anak mengalami otitis media paling tidak satu episode dalam 3

    tahun pertama kehidupannya (Teele et al.,1989). Penanganan otitis media akut yang

    tidak optimal mengakibatkan progresivitas penyakit menjadi bentuk kronik. OMSK

    terjadi pada 5 tahun pertama kehidupan, usia produktif dan di negara berkembang

    (Anggraeni et al.,2004; Verhoeff et al.,2005; Mittal et al.,2015; Saranya et al.,2015).

    World Health Organization atau WHO mengklasifikasikan negara dengan

    prevalensi OMSK antara 1-2% sebagai negara dengan prevalensi OMSK rendah dan

    negara dengan prevalensi OMSK antara 3-6% sebagai negara dengan prevalensi

  • 11

    OMSK tinggi (WHO, 2004). Prevalensi OMSK di dunia diperkirakan sekitar 65

    sampai 300 juta orang (Morris, 2012). Prevalensi OMSK tertinggi dilaporkan berada

    di Alaska, Canada, Greenland, American Indians, Australian aborigin berkisar 7 %

    sampai 46 % (Verhoeff et al., 2006). Prevalensi sedang dilaporkan berada di pulau

    Pasifik selatan, Afrika, Korea, India dan Saudi Arabia yaitu 1 % sampai 6 %

    (Verhoeff et al., 2006). Prevalensi terendah dijumpai di US dan UK (Verhoeff et

    al.,2006). Perkiraan prevalensi OMSK di Asia Tenggara adalah antara 1,4-7,8%

    (Acuins, 2004). India merupakan negara dengan prevalensi OMSK tertinggi

    yaitu >4 %. Penelitian di Nairobi, Kenya menunjukkan bahwa gangguan

    pendengaran terdapat pada 64% anak sekolah dengan OMSK (Acuin, 2004).

    Survey epidemiologi di Indonesia tahun 2004 menghasilkan data angka

    kejadian OMSK di Indonesia sebesar 3,1% dari jumlah populasi (Anggraeni et al.,

    2004). Prevalensi OMSK di Indonesia tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar

    3,9% (Helmi, 2005). Survey epidemiologi tahun 2014 untuk mencari kejadian otitis

    media dan komplikasinya pada anak usia 6-15 tahun, perbedaan antara desa dan kota

    menghasilkan data 0,5 % kejadian OMA dan 0,4 % kejadian OMSK serta kejadian

    timpanosklerosis sebesar 2,6% (Anggraeni et al.,2014). Sekitar 20% penderita

    OMSK di Indonesia adalah anak sekolah (Anggraeni et al., 2014). Pada OMSK tipe

    tubo timpanik tidak mengancam jiwa tetapi mempengaruhi kehidupan psikososial,

    ekonomi dan fungsi pendengaran. OMSK mengakibatkan gangguan aktivitas sehari-

    hari, sering merasa malu, tidak percaya diri, menarik diri dari komunitas sosial.

  • 12

    2.1.4 Etiopatogenesis otitis media

    Otitis media akut terutama disebabkan oleh bakteri Streptococcus

    pneumonia dan Haemofilus influenza sedangkan otitis media supuratif kronik

    terutama disebabkan oleh bakteri aerob seperti Pseudomonas, Proteus,

    Staphylococcus aureus, Staphylococcus coagulase-negatif, Streptococcus piogenes,

    dan basil Coliform. Bakteri anaerob penyebab OMSK adalah Bacteroides,

    Peptococcus, Peptostreptococcus, Fusobacterium, Bifidobacterium dan

    Chlostridium (Healy et al.,2003; Acuin, 2004). Hasil kultur ini serupa dengan yang

    diperoleh oleh Prakash, Agrawal, Porey di India (Agrawal et al.,2013; Prakash et

    al.,2013; Porey et al.,2014)

    Brieger pada tahun 1914 seperti yang dikutip oleh Healy et al

    mengemukakan teori inflamasi sebagai penyebab otitis media (Healy et al., 2003).

    Teori ini didukung oleh Santoria yang pada tahun 1958 melaporkan pertumbuhan

    bakteri pada spesimen yang diambil dari pasien dengan otitis media serosa (Healy

    et al., 2003). Inflamasi merupakan respon jaringan vaskular terhadap infeksi dan

    jaringan yang rusak dengan membawa sel dan molekul pertahanan tubuh dari

    sirkulasi ke lokasi yang diperlukan untuk mengeliminasi agen penyebab. Agen

    penyebab di jaringan ekstraseluler akan dikenali oleh sel host dan molekul sistem

    imun. Leukosit dan plasma protein direkrut dari sirkulasi ke tempat agen penyebab

    infeksi. Leukosit dan plasma protein akan bekerja bersama menghancurkan dan

    mengeliminasi agen infeksi. Plasma protein yang berperan adalah sitokin yang

    diproduksi oleh berbagai tipe sel yaitu sel limfosit yang teraktivasi, sel makrofag,

    sel dendritik, sel endotel, epitel dan jaringan konektif. Tumor necrosis factor-α

  • 13

    (TNF-α) dan IL-1β diproduksi oleh sel makrofag yang teraktivasi, sel dendrit, sel

    mast dan sel limfosit T. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1β juga diproduksi

    oleh sel epitel berperan dalam rekruitmen leukosit. Infeksi berulang di telinga tengah

    dapat mengakibatkan perubahan mukosa yang ireversibel. Pada infeksi akut,

    populasi sel radang yang dominan adalah neutrofil namun limfosit dan makrofag

    residen tetap ada di jaringan. Pada saat infeksi memasuki fase kronik maka terdapat

    pertukaran populasi leukosit menjadi sel makrofag, sel limfosit dan sel plasma. Sel-

    sel mononuklear ini mensekresikan mediator radang dan faktor pertumbuhan yang

    meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan mukosa telinga tengah

    menjadi udem dan hiperemi. Pada radang kronik mukosa juga mengalami perubahan

    berupa metaplasia dari epitel kuboid atau kolumner bersilia selapis menjadi mukosa

    yang menyerupai traktus respiratorius dengan jumlah sel goblet dan sel kelenjar

    yang lebih banyak sehingga meningkatkan volume dan viskositas mukus. Perubahan

    ini melebihi kemampuan klirens mukosiliar telinga tengah.

    Pada keadaan infeksi, respon imunologis tubuh berupa rekruitmen dan

    phagositosis oleh leukosit akan menghasilkan suatu oksigen radikal bebas seperti

    O.-2 dan H2O2 intraseluler dan ekstraseluler akibat konsumsi oksigen oleh mikroba.

    Peningkatan kadar oksigen radikal bebas ini akan mengakibatkan kerusakan sel dan

    jaringan. Parks et al. melaporkan peningkatan kadar lipid hidroperoksida dan

    malondialdehid sebagai indikator stres oksidatif dan kerusakan jaringan pada

    mukosa telinga tengah guinea pig yang diinfeksi oleh Streptokokus pneumonia

    (Parks et al.,1994 ). Peroksidasi lipid adalah salah satu bentuk kerusakan jaringan

  • 14

    akibat radikal bebas dimana radikal bebas bekerja pada Poly unsaturated fatty acids

    (PUFA) membran sel.

    2.1.5 Penatalaksanaan otitis media

    Pada otitis media akut, pemberian antibiotika sistemik merupakan pilihan

    utama karena vaskularisasi mukosa yang masih baik. Hal ini berbeda dengan otitis

    media supuratif kronik (OMSK), pemberian antibiotika topikal tunggal setara

    hasilnya dengan pemberian kombinasi antibiotika topikal plus sistemik melalui oral

    (Morris, 2012). Hal ini diakibatkan oleh kondisi vaskularisasi mukosa tempat infeksi

    yang sudah tidak baik mengakibatkan konsentrasi obat yang mencapai daerah

    infeksi tidak maksimal. Pada pemakaian topikal, konsentrasi antibiotika cukup

    tinggi ditempat infeksi dan mampu melebihi konsentrasi daya hambat minimum

    (MIC). Disamping itu pemakaian antibiotika topikal akan mengubah lingkungan

    mikro telinga tengah menjadi asam sehingga memperbaiki respon imun lokal.

    Keuntungan lain pemakaian antibiotika topikal adalah mengurangi biaya

    pengobatan. Antibiotika topikal akan kontak dengan seluruh permukaan mukosa

    kavum timpani segera setelah aplikasi.

    Pada dinding medial kavum timpani terdapat round window yang memberi

    akses difusi antibiotika topikal ke dalam koklea. Koklea merupakan organ

    pendengaran di telinga dalam yang mengandung sel rambut yang sangat peka

    dengan obat-obat ototoksik. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan saat pemilihan

    antibiotika topikal. Antibiotika golongan aminoglikosida seperti gentamisin,

    neomisin, polimiksin bersifat ototoksik sehingga tidak boleh dipergunakan pada

    OMSK.

  • 15

    2.2 Tanaman Hoya carnosa ( www.stuartxchange.com/Hoya.html)

    Klasifikasi tanaman

    Kingdom : Plantae - Plants

    Subkingdom : Tracheobionta - Vascular plants

    Superdivision : Spermatophyta - Seed plants

    Division : Magnoliophyta - Flowering plants

    Class : Magnoliopsida - Dicotyledons

    Subclass : Asteridae

    Order : Gentianales

    Family : Asclepiadaceae - Milkweed family

    Genus : Hoya R.Br - hoya

    Species : Hoya carnosa (L.f) R.Br - porcelainflower

    Tumbuhan Hoya merupakan tumbuhan yang memiliki nama lain wax plant.

    Tumbuhan ini tersebar hampir di seluruh negara dengan keragaman musim.

    Tumbuhan ini di India, Cina selatan dan Myanmar dikenal dengan nama porcelain

    flower karena bunganya menyerupai porcelain atau tanaman madu karena bunganya

    menghasilkan madu. Bunganya yang unik dan indah membuat tumbuhan Hoya lebih

    dikenal sebagai tanaman hias. Hoya lebih dikenal sebagai tumbuhan obat tradisional

    di Indonesia karena potensinya sebagai obat telah dipakai oleh masyarakat secara

    empiris sejak beberapa ratus tahun lampau (Rahayu, 2001). Indonesia memiliki

    paling banyak keragaman Hoya yaitu 50 sampai 60 jenis perlu penelusuran lebih

    jauh potensinya sebagai obat tradisional.

  • 16

    Gambar 2.2

    Tanaman Hoya carnosa

    Hoya carnosa merupakan tumbuhan epifit yang tumbuhnya menumpang

    pada pohon lainnya (forofit). Hoya dapat tumbuh sebagai tumbuhan merambat

    ataupun tidak merambat. Seluruh bagian tumbuhan akan mengeluarkan getah putih

    atau bening jika terluka. Daunnya tersusun bersilang berhadapan dengan helai daun

    yang tebal (coriaceous) dan berlilin. Bentuk dan ukuran daun berbentuk bulat telur

    terbalik, menjantung dengan panjang daun 15 mm hingga 30 mm sedangkan lebar

    0,5 mm hingga 15 mm dan memiliki corak peruratan yang tersamar dengan pola

    menjari serta pinggiran helai daunnya lurus (Hoffman et al.,2002). Perbungaan

    terdapat dalam payung (umbel) yang muncul di antara dua tangkai daun

  • 17

    (interpetiolar). Dalam satu payung terdapat beberapa kuntum hingga lebih dari 40

    kuntum. Tangkai bunga (pedicel) ada yang seragam panjangnya sehingga

    membentuk payung yang cembung. Perhiasan terdiri dari lima bagian sehingga

    membentuk bintang. Kelopak berukuran kecil, jauh lebih kecil dari ukuran mahkota

    (Burton, 2007).

    Hoya tumbuh didaerah yang cukup lembab, seperti di daerah pinggiran

    sungai, danau atau pinggir pantai. Hoya dapat tumbuh mulai dari daerah pantai

    hingga pegunungan di atas 2.000 meter dari permukaan laut. Beberapa jenis Hoya

    dapat beradaptasi di daerah pegunungan di atas 1.000 m dpl namun banyak jenis

    yang lebih menyukai daerah dataran rendah dengan kondisi yang hangat dan lembab

    (Burton, 2007). Beberapa jenis menyukai bagian batang utama forofit sedangkan

    jenis-jenis yang lainnya lebih menyukai tempat di atas tajuk. Hal ini terkait dengan

    pemenuhan kebutuhan hidupnya menyangkut air, cahaya dan unsur hara serta

    menghindarkan dari pemakan daun. Faktor lingkungan seperti suhu, cahaya,

    kelembaban, fisik dan biologi tanah berpengaruh terhadap kandungan metabolit

    sekunder seperti flavonoid dari tanaman Hoya carnosa.

    Tumbuhan Hoya carnosa di Bali lebih di kenal dengan “Don tebel-tebel”

    Daun tebel-tebel atau Hoya carnosa sudah sejak lama dipakai oleh masyarakat untuk

    mengobati penyakit radang telinga tengah (OMSK). Cairan hasil perasan dari daun

    Hoya carnosa yang matang diteteskan langsung pada telinga yang sakit. Penelitian

    terhadap kandungan kimia tumbuhan Hoya telah beberapa kali dilakukan. Penelitian

    bahan kimia dari berbagai jenis Hoya carnosa antara lain dilakukan di Universitas

    Farmasi di Tokyo, Jepang untuk senyawa utama. Di Universitas Utrech Belanda

  • 18

    diteliti kandungan kimia lateks dan daun meliputi senyawa-senyawa fenolik dan

    terpenoid. Kandungan alkaloid diteliti di Universitas Melbourne, Australia (Rahayu,

    2001). Penggunaan sebagai obat luka diyakini karena getahnya memiliki kekuatan

    untuk menyatukan jaringan yang terluka (Rahayu, 2001). Penelitian tahun 1946 di

    Universitas Queensland Australia menemukan bahwa Hoya australis memiliki

    kandungan 'Cardiac glucosida' yang sangat kuat.

    Hoya carnosa masuk dalam daftar tanaman obat cina yang memiliki

    kandungan komponen fenolik seperti alkaloid fenolik, asam fenolik, flavonoid,

    tannin, fenolik terpenoid, quinones, stilbenes, volatile dan komponen alifatik

    (Huang, 2008). Sebagian besar kandungan tanaman Hoya carnosa adalah flavonoid

    (Huang, 2008). Huang mendapatkan adanya jamur endofitik pada daun Hoya

    carnosa yang memiliki sifat antibakteri (Huang, 2008).

    Hasil uji analisis senyawa aktif yang dilakukan Yulli et al (2016) pada

    ekstrak daun Hoya carnosa juga mendapatkan kandungan flavonoid paling besar

    yaitu 8,6 % b/v, dan senyawa lain yaitu tanin 1,29 %b/v, saponin 4,52 % b/v dan

    alkaloid 4,90 % b/v. Hal ini berbeda dengan temuan Burton (2007) yaitu triterpenoid

    merupakan komponen utama tanaman Hoya. Hasil uji in vitro aktivitas antibakteri

    ekstrak Hoya carnosa menunjukkan bahwa ekstrak Hoya carnosa dengan

    konsentrasi 80 % dan 100 % memiliki daya hambat kuat terhadap Staphylococcus

    aureus, Streptococcus sp dan Pseudomonas aeruginosa (Yulli, 2016). Hasil uji

    larutan tetes telinga ekstrak daun Hoya carnosa dalam bentuk suspensi dan emulsi

    mendapatkan bahwa sediaan emulsi 1% memiliki daya hambat terhadap

    pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa (Lolik, 2018). Uji toksisitas akut

  • 19

    dan subakut mendapatkan bahwa ekstrak etanol Hoya carnosa sangat aman untuk

    pemakaian oral dan topikal (Dwi, 2018).

    2.3 Deskripsi Mekanisme Flavonoid, Tanin, Saponin dan Alkaloid Sebagai

    Antibakteri, Antioksidan dan Antiinflamasi

    Tumbuhan pangan mengandung bahan yang memiliki sifat seperti antibiotik

    bakteriostatik. Komponen yang bersifat bakteriostatik itu adalah flavonoid.

    Flavonoid merupakan kelompok bahan organik heterosiklik dikenal juga dengan

    nama vitamin P dan citrin, merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman

    yang bermanfaat dalam fotosintesis sel dan banyak ditemukan pada buah, sayur,

    kacang-kacangan, bunga, teh, anggur, propolis dan madu. Terdapat hampir lebih

    dari 4000 macam flavonoid namun hanya 4 kelompok besar yang utama yaitu

    flavones, flavanones, catechins dan anthocyanins. Flavonoid memiliki banyak

    manfaat yaitu sebagai antiatherosklerotik, antioksidan, antiinflamasi, antitumor,

    antithrombosis, antiosteoporosis, antiviral dan antibakteri (Kumar et al., 2013).

    Flavonoid memiliki efek sebagai antibakteri, bekerja sinergis dengan

    antibiotika dan menekan virulensi bakteri. Sebagai antibakteri, flavonoid memiliki

    beberapa tempat target kerja pada sel bakteri (Kumar et al., 2013; Agrawal, 2011).

    Letak gugus hidroksil di posisi 2’,4’ atau 2’,6’ dihidroksilasi pada cincin B dan 5’,7’

    dihidroksilasi pada cincin A berperan penting terhadap aktivitas antibakteri

    flavonoid melalui proses interkelasi atau ikatan hidrogen dengan menumpuk basa

    asam nukleat sehingga menghambat pembentukan DNA dan RNA bakteri.

    Flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri,

    mikrosom dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri.

  • 20

    Flavonoid menghambat fungsi membran sel melalui terbentuknya senyawa

    kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak

    membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler. Flavonoid

    juga menghambat fungsi membran sel dengan cara menghambat ikatan enzim

    seperti ATPase dan phospholipase. Flavonoid menghambat metabolisme energi

    dengan cara menghambat penggunaan oksigen oleh bakteri. Flavonoid menghambat

    sitokrom C reductase sehingga pembentukan metabolisme terhambat. Energi

    dibutuhkan bakteri untuk biosintesis makromolekul (Jawetz et al., 2007). Flavonoid

    juga menghambat sejumlah faktor virulensi bakteri seperti signal reseptor quorum

    sensing, enzim dan toksin bakteri.

    Flavonoid terutama dikenal sebagai antioksidan. Flavonoid sebagai

    antioksidan eksogen bekerja dengan cara melindungi kerusakan membran sel host

    akibat serangan radikal bebas. Lipopolisakarida (LPS) sebagai komponen bakteri

    Pseudomonas aeruginosa berikatan dengan Toll like receptor 4(TLR4) memicu

    pelepasan Reactive oxygen species (ROS) dari Nicotinamide adenine dinucleotide

    phosphate (NADPH)-oxidase dan mitokondria. Reactive oxygen species (ROS)

    sebagai perantara reaksi redok akan mengaktivasi translokasi inti Nuclear factor

    k-light chain pemacu aktivasi sel B (NF-kB). Aktivasi NF-kB akan memperantarai

    induksi Inducible nitric oxide (iNOS) dan ekspresi Cyclooxygenase(COX). Aktivasi

    Cyclooxygenase 1 (COX1) dan Cyclooxygenase 2 (COX2) akan memperantarai

    produksi prostaglandin. Flavonoid sebagai antiinflamasi bekerja menekan produksi

    ROS, NO dan produksi prostaglandin melalui hambatannya pada aktivitas protein

    (Levya et al.,2016).

  • 21

    Gambar 2.3

    Mekanisme kerja flavonoid sebagai antiinflamasi

    (Dikutip dari Levya et al.,2016)

    Flavonoid juga memiliki efek antisitokin dengan menghambat ekspresi dan

    sekresi sitokin melalui hambatannya pada aktivitas NF-kB dan Activating protein 1

    (AP-1) sehingga mencegah terjadinya inflamasi kronik.

    LPS

    NADPHox

    ROS Mitokondria

    NF-kB

    pNF-kB

    iNOS

    COX-2

    COX-1

    COX-1

    PGH2

    NO

    COX-2 PGH2

    PGD2

    PGE2

    Membran

    Sitoplasma

    Ekstrak

    Ekstrak

    Ekstrak

    PGEsPGDsEkstrak

    TLR4

  • 22

    Gambar 2.4

    Mekanisme efek antisitokin dari flavonoid (Dikutip dari Levya et al.,2016)

    Tanin mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein.

    Tanin bereaksi dengan membran sel, menginaktivasi enzim dan menginaktivasi

    fungsi materi genetik. Tanin menghambat enzim Reverse transcriptase dan DNA

    topoisomerase bakteri sehingga sel bakteri tidak dapat terbentuk. Tanin mampu

    menginaktifkan adhesin sel bakteri, menginaktifkan enzim dan mengganggu

    transport protein pada lapisan dalam sel bakteri. Tanin juga mempunyai target pada

    polipeptida dinding sel bakteri sehingga pembentukan dinding selnya menjadi

    kurang sempurna. Sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun fisik

    sehingga sel bakteri akan mati. Mikroorganisme yang tumbuh di bawah kondisi

  • 23

    aerobik membutuhkan zat besi untuk berbagai fungsi, termasuk reduksi dari

    prekursor ribonukleotida DNA. Enzim Reverse transcriptase dan DNA

    Topoisomerase sel bakteri tidak dapat terbentuk oleh kapasitas pengikat besi yang

    kuat oleh tanin (Jawetz et al., 2007).

    Sterol atau saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat

    molekul tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman. Berdasarkan struktur

    kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas streroid,

    kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid. Sifat yang khas dari saponin antara lain

    berasa pahit, berbusa dalam air. Saponin akan menyebabkan kebocoran protein dan

    enzim dari dalam sel bakteri karena zat aktif permukaannya mirip detergen sehingga

    saponin akan menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak

    permeabilitas membran. Rusaknya membran sel bakteri akan mengganggu

    kelangsungan hidup bakteri. Saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding

    sel bakteri yang rentan kemudian mengikat membran sitoplasma sehingga

    mengganggu dan mengurangi kestabilan membran sel bakteri. Hal ini menyebabkan

    sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel bakteri.

    Alkaloid merupakan suatu basa organik yang mengandung unsur nitrogen

    (N). Beberapa kelas alkaloid menunjukkan aktivitas antibakteri yang cukup tinggi

    seperti indole, piperidine, pyridine, quinole, ergoline, pollyamine dan steroidal

    (Cushnie et al.,2014). Metronidazole dan quinolon adalah salah satu contoh

    antibiotika yang berbahan alkaloid (Cushnie et al.,2014). Sebagai antibakteri

    Pseudomonas aeruginosa, masing –masing jenis alkaloid bekerja dengan cara yang

    berbeda. Kelompok 37 (1,3,4–oxadiazole bekerja dengan menghambat toxin

  • 24

    (pyocianins) dan prekursor signal QS (HHQ). Alkaloid kelompok 7 Hydroxyindole

    (indole) mengubah ekspresi virulen gen, menghambat racun (pyocianin), QS signal

    (PQS), biosurfaktan (rhamnolipid) dan produksi sidrophore (pyocelin), mengakhiri

    swarming motility bakteri Pseudomonas aeruginosa. Solenopsin (piperidine)

    menghambat transkripsi gen virulen, toksin (pyocianin) dan produksi enzim

    destruktif (elastaseB) serta pembentukan biofilm (Cushnie et al.,2014). Sebagai

    antibakteri, sebagian besar alkaloid bekerja melalui penghambatan pada pompa

    efluks bakteri.

    Mekanisme lain adalah sebagai interkelator DNA dan menghambat enzim

    topoisomerase sel bakteri (Jawetz et al., 2008). Di dalam senyawa alkaloid terdapat

    gugus basa yang mengandung nitrogen akan bereaksi dengan senyawa asam amino

    yang menyusun dinding sel bakteri dan DNA bakteri. Reaksi ini mengakibatkan

    terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino sehingga akan menimbulkan

    perubahan keseimbangan genetik pada rantai DNA sel bakteri. DNA akan

    mengalami kerusakan dan mendorong terjadinya lisis sel bakteri yang akan

    menyebabkan kematian sel pada bakteri. Alkaloid juga menghambat TII dan T III

    secretion systems bakteri gram negatif (Cushnie et al., 2014).

    2.4 Pseudomonas aeruginosa

    2.4.1 Karakteristik umum

    Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri gram negatif yang aerob obligat,

    masuk dalam family Pseudomonodaceae. Genus Pseudomonas dibagi menjadi 8

    kelompok dimana Pseudomonas aeruginosa merupakan tipe spesies dari salah satu

    kelompok tersebut yang terdiri dari 12 anggota (Kenneth, 2009; Japion et al., 2009).

  • 25

    Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri ekstraseluler berkapsul, mempunyai

    flagella polar sehingga bakteri ini bersifat motil. Berukuran diameter sekitar 0,5-1,5

    µm dan panjang 1,5-3,0 µm. Pseudomonas aeruginosa memiliki struktur multi

    lamelar yang kompleks. Bagian luar bakteri berupa kapsul yang berfungsi sebagai

    barier pertahanan awal. Dibawah kapsul terdapat membran terluar yang juga

    berfungsi sebagai barrier. Bila molekul antibiotik dapat melewati membran terluar

    maka molekul antibiotik ini dapat memasuki periplasma dan memiliki akses ke

    membran sitoplasma melalui target ribosom atau sitoplasma. Struktur membran

    terluar bakteri gram negatif adalah asimetris dimana sisi luar terdiri dari

    lipopolisakarida sedangkan sisi dalam adalah lapisan fosfolipid (Mittal et al., 2014).

    Bakteri ini tidak menghasilkan spora, mempunyai pembungkus,

    membutuhkan sedikit sumber karbon dan yang lainnya, hanya membutuhkan asetat

    atau amonia untuk pertumbuhannya (Vissilier et al.,2001). Pseudomonas

    aeruginosa mampu tumbuh pada temperature 40-41 º C dan tidak mampu tumbuh

    pada temperatur 4º C. Beberapa spesies yang mengalami polimorfisme mampu

    tumbuh pada suhu 45ºC (Choi et al.,2002). Pada uji biokimia, bakteri ini

    memberikan hasil negatif pada uji Voges-Proskauer. Bakteri ini secara luas dapat

    ditemukan di alam, contohnya di tanah, air, tanaman, dan hewan. Pseudomonas

    aeruginosa adalah bakteri patogen oportunistik. Ketika bakteri ini ditumbuhkan

    pada media yang sesuai, bakteri ini akan menghasilkan pigmen nonfluoresen

    berwarna kebiruan, piosianin. Beberapa strain Pseudomonas aeruginosa juga

    mampu menghasilkan pigmen fluoresen berwarna hijau yaitu pioverdin.

    Pseudomonas aeruginosa memproduksi katalase, oksidase

  • 26

    dan amonia dari arginin. Sebagian besar strain Pseudomonas aeruginosa juga

    menghasilkan Alkaline proteinase dan elastase yang mampu mendegradasi kolagen

    dan elastin sebagai struktur penting dari membran timpani sehingga perforasi

    membran timpani merupakan akibat dari infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa

    bukan sebagai predisposisi infeksi (Antonelli et al., 1993).

    2.4.2 Faktor virulensi Pseudomonas aeruginosa

    Faktor virulensi Pseudomonas aeruginosa dikelompokkan menjadi dua

    yaitu :

    1. Antigen somatik

    a. Lipopolisakarida

    b. Eksopolisakarida (alginate)

    c. Pilli dan appendiks

    2. Faktor ekstraseluler

    a. Toksin seperti eksotoksin A, protease (termasuk alkalin protease),

    elastase (Las A dan Las B)

    b. Eksoensim seperti eksoensim S dan eksoensim T yang memiliki

    ADP–ribosyltransferase yang menghambat pathocytosis dan

    phagocytes (Faure et al.,2003; Kenneth, 2011). Pseudomonas

    aeruginosa juga mensekresikan eksoensim Y yang memiliki aktivitas

    Adenylate cyclase yang mempengaruhi bentuk sel (Yahr et al.,1998),

    eksoensim U yang bertanggungjawab terhadap toksisitas sel epitel

    (Kurahashi et al.,1999)

    3. Hemolysin

  • 27

    4. Urease

    Eksoensim S memiliki ADP- ribosilasi dari beberapa protein sel dan

    menginduksi apoptosis sel T (Jenifer et al.,1989; Salva et al.,2000). Eksoensim S

    merupakan mitogen sel T yang unik; merupakan stimulan imun yang kuat dalam

    mengaktivasi sel T dalam jumlah besar namun mengakibatkan keterlambatan dan

    berkurangnya proliferasi limfosit ( Salva et al., 2000). Eksoensim T berkontribusi

    dalam perusakan sel sitoskeletal untuk penghambatan respon imun (Kazmierczak et

    al.,2002). Eksoensim U mengakibatkan degradasi membran sel sehingga

    mengakibatkan toksisitas sel yang terinfeksi (Phillips et al.,2003). Eksoensim Y

    bekerja menstimulasi ensim Adenilat siklase, meningkatkan kecepatan cAMP dalam

    sel yang terinfeksi (Yahr et al.,1998) Elastase merupakan protease yang paling

    banyak disekresi oleh Pseudomonas aeruginosa (Peter et al.,2000; Kevin et

    al.,2004). Elastase juga merupakan metaloprotease yang mendegradasi elastin dan

    kolagen dan menginaktivasi human immunoglobulin G, serum alpha-1, proteinase

    inhibitor dan beberapa komponen komplemen. Alkalin protease merupakan

    ekstraseluler protease yang diproduksi oleh Pseudomonas aeruginosa dan berperan

    penting selama infeksi akut (Matsumoto et al.,1998;Lidija et al.,2010). Alkalin

    protease merupakan ensim proteolitik yang bekerja optimal pada pH alkaline (

    Abdulnasser et al.,2007). Hemolysin perannya belum jelas. Ada dua bentuk

    hemolysin yaitu Heat labile phospholipase C dan Heat stable glycolipid.

  • 28

    Gambar 2.5

    Dinding sel bakteri Pseudomonas aeruginosa

    (Dikutip dari Livermore,1991)

  • 29

    Gambar 2.6

    Beberapa virulence factor yang diproduksi Pseudomonas aeruginosa. Flagella dan

    pili type 4 adalah adhesion utama Pseudomonas aeruginosa

    (Dikutip dari Gellatly, S. L.& Hancock, R. E. 2013)

    2.4.3 Patogenitas oleh Pseudomonas aeruginosa

    Pseudomonas aeruginosa dapat menyebabkan penyakit terlokalisasi dan

    sistemik yang sangat serius serta tidak jarang berakibat fatal. Pseudomonas

    aeruginosa dapat menginfeksi telinga tengah akibat kurangnya ekspresi OprF. OprF

    adalah general porin dari Pseudomonas aeruginosa yang memfasilitasi difusi non

    spesifik partikel ion dan nutrient polar kecil. OprF merupakan klas protein yang

    memiliki banyak fungsi. OprF memudahkan adhesi Pseudomonas aeruginosa

    dengan sel dan pembentukan biofilm pada lingkungan anaerob (Mittal et al.,2014).

  • 30

    Gambar 2.7

    Pseudomonas aeruginosa menempel pada epitel telinga tengah manusia

    (Dikutip dari Mittal et al.,2014)

    Gambar 2.8

    Pseudomonas aeruginosa menginvasi epitel telinga tengah manusia

    (Dikutip dari Mittal et al., 2014)

  • 31

    Transport aktif sulit terjadi karena secara teori antibiotika harus melewati

    struktur membran luar ini dengan cara larut dalam matrik lipid (jalur hidrofobik)

    atau melalui pori cairan (jalur hidrofilik). Jalur hidrofilik tergantung pada kelompok

    protein yaitu porin yang membentuk pori transmembran yang mengandung air.

    Kecepatan absorbsi yang diperantarai porin tergantung pada kandungan fisikokimia

    obat. Kelengkapan porin bervariasi tergantung bakteri namun sebagian besar bakteri

    menunjukkan tipe porin yang beragam. Pada Pseudomonas aeruginosa, membran

    luarnya bersifat sangat permeabel karena mengandung protein C, D2 dan E yang

    membentuk pori besar. Pori ini memungkinkan difusi molekul sebesar 3000 D.

    Transport membran luar secara difusi pasif sedangkan transport melalui sitoplasma

    difasilitasi oleh mekanisme aktif yang bersifat spesifik. Pseudomonas aeruginosa

    dikenal sebagai bakteri dengan tingkat resistensi tinggi terhadap berbagai jenis

    antibiotika meliputi aminoglikosida, fluorokuinolon dan beta laktam (Mittal et al.,

    2014 ).

    Mekanisme intrinsik penyebab resistensi adalah hilangnya jalur uptake

    antibiotika disebabkan karena rendahnya permeabilitas membran terluar yaitu 12-

    200 kali lebih rendah dibandingkan E.colli. Membran terluar bakteri gram negatif

    berfungsi sebagai barier selektif terhadap molekul antibiotika (Livermore, 1991;

    Breidenstein, 2011). Membran terluar bersifat hidrofilik dengan mekanisme difusi

    yang tergantung pada ukuran molekul karena difusi melalui saluran air yang terisi

    molekul porin.

    Pseudomonas aeruginosa memiliki keterbatasan karena sangat sedikit

    memiliki porin OprF yang besar demikian pula porin OprD dan OprB. Hal ini akan

  • 32

    mengakibatkan mekanisme resistensi adaptif bekerja lebih baik yaitu meningkatkan

    efluks dan modifikasi enzim terhadap antibiotika. Mekanisme intrinsik lain adalah

    perubahan genetik pada mikroba mengakibatkan batas bawah MIC yang sangat

    tinggi. Mekanisme resistensi yang didapat adalah akibat transfer horizontal, adanya

    mutasi dan overekspresi pompa efluks. Mekanisme ekstrinsik diduga akibat

    perubahan lingkungan, stress, akan menimbulkan resistensi adaptif terhadap

    mikroba. Beberapa mutasi bisa tidak menimbulkan resistensi bermakna karena

    beberapa strain terkadang meningkatkan resistensinya melalui transfer horizontal

    dari determinan yang resisten. Mekanisme resistensi adaptif adalah melalui

    perubahan ekspresi gen seperti beta laktam, over ekspresi pompa efluks.

    Pseudomonas aeruginosa dikenal sebagai bakteri dengan tingkat resistensi tinggi

    terhadap berbagai jenis antibiotika meliputi aminoglikosida, fluorokuinolon dan

    beta laktam (Livermore, 1991)

    Pseudomonas aeruginosa dikenali oleh imunitas alami mukosa telinga

    tengah berdasarkan penanda Pathogen associated moleculer patterns (PAMPs)

    yaitu lipopolisakarida (LPS) yang merupakan bagian lipid dinding sel dari patogen.

    Lipopolisakarida (LPS) akan berikatan dengan Pattern recognitions receptors

    (PRRs) yaitu Toll like receptors 4 (TLRs4) dan Nod like receptors (NLRs) yang

    berada pada permukaan makrofag, sel dendritik dan neutrofil. Proses ini akan

    mengakibatkan fagositosis patogen sehingga patogen berada dalam vakuol yang

    disebut fagosom (endosom) yang akan menyatu dengan lisosom menjadi

    fagolisosom.

  • 33

    Pembangkitan sinyal oleh TLRs4 akan mengaktifkan faktor transkripsi yang

    dinamakan Nuclear factor kappa B (NFkB) yang merangsang produksi sitokin,

    kemokin dan molekul adhesi. Sitokin adalah protein polipeptida pembawa pesan

    kimiawi yang sangat poten, sekresinya terjadi cepat, aktif pada kadar yang sangat

    rendah (10 -10 - 10 -15 mol/L). Sitokin yang diproduksi pada fase akut yang disebut

    juga sitokin proinflamasi adalah IL-1β dan TNF-α.

    Interleukin-1 beta (IL-1β) dan TNF-α merupakan sitokin yang utama

    berperan pada respon inflamasi akut setelah terjadi invasi mikroba patogen.

    Interleukin-1 beta (IL-1β) merupakan sitokin proinflamasi yang poten diproduksi

    terutama oleh monosit dan makrofag. Meskipun demikian IL-1β juga mampu

    dihasilkan oleh epidermal, epitel, sinovial fibroblast, keratinosit dan sel langerhans

    kulit, sel mesengial gigi, limfosit T dan B, sel natural killer, astrocyt, sel mikroglia,

    endotel vaskular, sel otot polos. IL-1β bekerja sinergis bersama TNF-α. IL-1β juga

    menginduksi produksinya sendiri dan produksi sitokin lain seperti IL-2, B Limfosit

    growth factor, Interferon gamma (IFN). IL-1β mengubah Endothelial surface

    receptor sehingga leukosit menempel erat pada endotel dan bermigrasi ke jaringan

    ekstravaskuler. IL-1 activated endhothelium menunjukkan peningkatan aktivitas

    plasminogen inhibitor dan prokoagulan. Aktivasi IL-1β pada endotel mengakibatkan

    lokalisasi infeksi. IL-1β mengakibatkan degranulasi basofil dan eosinofil,

    menstimulasi sintesis tromboxane pada makrofag dan neutrofil dan mempotensiasi

    aktivitas neutrofil oleh chemoatractan peptides. Lipopolisakarida dari bakteri

    Pseudomonas aeruginosa sebagai PAMPs akan berikatan dengan TLR-4 pada

    permukaan monosit atau makrofag dan melalui myD88 mengakibatkan trankripsi

  • 34

    mRNA IL-1β menjadi pro IL-1β oleh caspase 1 menjadi IL-1 β yang matur yang

    siap dilepas ke sirkulasi dan jaringan.

    Gambar 2.9

    Lipopolisakarida dari bakteri Pseudomonas aeruginosa sebagai PAMPs akan

    berikatan dengan TLR-4 pada permukaan monosit atau makrofag. Selanjutnya

    melalui myD88 akan terjadi trankripsi mRNA IL-1 β menjadi pro IL-1 β oleh

    caspase 1 menjadi IL-1 β yang matur yang siap dilepas ke sirkulasi dan jaringan.

    (Dikutip dari Netea et al., 2010)

  • 35

    Interleukin 1 beta (IL-1β) dan TNF-α akan menginduksi ekspresi molekul

    adhesi pada sel endotel, menginduksi peningkatan ekskresi ICAM-1 dan VICAM-1.

    Neutrofil, monosit dan limfosit mengenal molekul adhesi tersebut selanjutnya

    bergerak ke dinding pembuluh darah dan jaringan. Interleukin-1 beta (IL-1 β) dan

    TNF-α juga mengaktifkan makrofag dan neutrofil meningkatkan fagositosis dan

    pelepasan enzim ke jaringan. IL-1β juga berperan dalam proses reparasi dengan

    meningkatkan proliferasi fibroblast, sintesis kolagen dan glukosaminoglikan. IL-1β

    menstimulasi sistem imun melalui aktivasi langsung pada limfosit dan secara tidak

    langsung dengan menginduksi sintesis molekul yang selanjutnya mengaktivasi

    limfosit.

    Pada fibroblast, sel endotel, makrofag dan limfosit, IL-1β menginduksi

    produksi Interferon hemopoetic coloni stimulating factor, T and B limfosit growth

    and differentiation factor’s. IL-1β merupakan kemoatraktan limfosit. IL-1β

    meningkatkan regulasi respon fungsional sel imunokompeten. Pada studi tikus

    dengan otitis media, ekspresi IL-1β, IL-1α dan IL-6 paling tinggi pada telinga tengah

    24 jam setelah inokulasi bakteri sedangkan ekspresi TNF-α lebih rendah namun

    masih cukup signifikan (Macarthur et al.,2011). Berbeda dengan temuan Sato et

    al.(1999) bahwa IL-1β sudah mulai terdeteksi pada jam 1 mencapai puncaknya pada

    jam ke-6 kemudian menurun dan mengalami peningkatan kedua pada jam ke-72.

    Tumor necrosis factor alfa (TNF-α) mulai terdeteksi pada jam 1 sampai jam ke-48

    setelah inokulasi bakteri (Sato et al.,1999). Inflamasi mencapai puncaknya pada hari

    ke-3 sampai ke-5 dan menghilang pada hari ke-7 pada mencit BALB/c model

    dengan otitis media (Macarthur et al.,2011).

  • 36

    2.4.4 BALB/c

    Otitis media pada hewan percobaan tergantung pada strain mencit BALB/c,

    strain bakteri dan dosis bakteri. Mukosa telinga tengah mencit BALB/c bebas dari

    sel imun dan menjadi imun reaktif setelah paparan bakteri patogen atau LPS. Proses

    inflamasi umumnya mencapai puncak antara hari ketiga sampai hari kelima dan

    membaik pada hari kesepuluh sampai hari keempat belas (Macarthur et al.,2006).

    Mencit BALB/c memiliki panjang liang telinga 6,25 mm (Bergin M et

    al.,2013). Kavum timpani mencit BALB/c berada dalam suatu ruang yang

    dinamakan bula. Kavum timpani merupakan sebagian besar dari volume bula dan

    hanya sebagian kecil kavum mastoid yang berada di bagian posterior superior

    kavum timpani. Kavum mastoid bagian anterior yang sangat kecil juga ada. Bula

    timpani cukup sederhana dibatasi oleh telinga dalam, dinding bula bagian ventral

    dan pars tensa membran timpani. Tuba Eustachius keluar pada bagian bula timpani.

    Karakteristik ruang mastoid sebagai suatu komplek arsitektur yang terdiri dari

    penonjolan serebelar flokulus, tulang pendengaran dan septa tulang. Volume kavum

    timpani mencit BALB/c kecil sehingga batasan cairan yang dapat diinjeksikan

    intratimpani adalah 4-6 l (Macarthur et al.,2006, Ryan et al.,2006).

  • 37

    Gambar 2.10

    Bula timpani mencit BALB/c yang merupakan suatu ruang gabungan kavum

    timpani dan kavum mastoid

    (Dikutip dari Ryan et al.,2006).

    Beberapa tehnik untuk menginduksi otitis media salah satunya adalah tehnik

    inokulasi intratimpani. Beberapa peralatan bedah minor dipersiapkan sebelum

    memulai diseksi untuk mencapai bula timpani. Terlebih dahulu, mencit BALB/c

  • 38

    diletakkan terlentang pada posisi pronasi. Tindakan dilakukan secara steril aseptik.

    Mencit BALB/c dianestesi dengan ketamine 100 mg/kg BB dan xylazine 0,01 mg/kg

    intramuskular. Setelah teranestesi dilakukan otoskopi membran timpani dan telinga

    tengah dengan menggunakan mikroskop. Setelah ditemukan bula timpani kanan,

    0,01 ml larutan (6,4 x 107 CFU) Pseudomonas aeruginosa diinokulasikan

    intratimpani. Membran timpani mencit BALB/c dievaluasi dengan mikroskop pada

    jam ke-48 setelah inokulasi untuk melihat adanya otitis media (Giebinket al.,1983).

    Adanya efusi pada telinga tengah dan gambaran membran timpani yang abu-abu dan

    opak menunjukkan adanya otitis media. Giebink et al (1983) mengklasifikasikan

    otitis media pada hewan coba menjadi:

    1. Normal: gambaran membran timpani abu-abu dan translusen tanpa adanya

    efusi.

    2. Grade 1: gambaran membran timpani abu-abu dan opak dengan adanya efusi

    serous maupun mukoid.

    3. Grade 2: gambaran membran timpani kuning dan opak dengan adanya efusi

    purulen di telinga tengah.

    2.4.5 Tetes telinga (Farmakopee Indonesia)

    Guttae atau obat tetes merupakan salah satu dari sediaan farmasi yang

    termasuk steril. Guttae adalah sediaan cair berupa larutan emulsi atau suspensi yang

    dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar yang digunakan dengan cara

    meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan

    yang dihasilkan penetes baku yang disebutkan dalam farmakope Indonesia. Kecuali

    dinyatakan lain, tetes telinga dibuat menggunakan cairan pembawa bukan air. Cairan

  • 39

    pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang cocok agar mudah

    menempel pada dinding liang telinga, umumnya digunakan gliserin dan

    propylenglikol. Dapat juga digunakan etanol 90%, heksilenglikol dan minyak nabati.

    Zat pensuspensi dapat menggunakan sorbitan, polisorbat dan surfaktan lain yang

    cocok. Keasaman dan kebasaan kecuali dinyatakan lain pH 5-6 penyimpanan dalam

    wadah tertutup rapat. Bahan pembuat harus mengandung bahan yang dapat

    mencegah pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang masuk secara tidak

    sengaja saat wadah terbuka pada waktu penggunaan. Jika terkena cahaya matahari

    atau cahaya lain akan merusak sediaan tetes telinga tersebut.