bab i tijauan pustaka

24

Click here to load reader

Upload: anne-yulia

Post on 26-Jul-2015

455 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Tijauan Pustaka

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Tanaman Jeringau (Acorus calamus L.)

1.1.1. Klasifikasi

Kerajaan : Tumbuhan

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub kelas : Arecidae

Bangsa : Arales

Suku : Araceae

Marga : Acorus (Cronquist, 1981:1096)

Jenis : Acorus calamus

Sinonim : A. terrestris Spreng, A. calamus L. var. verus (Backer dan Van

Den Brink , 1986:106)

Nama daerah : Sumatra : jerenge, jeureunge (Aceh), jerango (Gayo), jerango

(Batak Karo), serango (Nias). Kalimantan : Jariango (Banjar).

Jawa : Daringo, jaringo (Sunda) dlingo, dringo (Jawa), jhrongo

(Madura), jhariango (Kangean). Sulawesi : Areango (Bugis),

kareango (Makasar), kalumunga, layambung, karim benga,

karimenga, karumenga, koringa, kalumenga (Minahasa).

NusaTenggara : Deringo, jahangu, jangu (Bali), kaliraga (Flores),

ganuak (Timor). Maluku : Bila (Buru), ai wahu (Alfuru), daringu

(Ambon) (Depkes RI, 1978:1)

Nama simplisia: Calami Rhizoma (rimpang jeringau) (Depkes RI, 1978:1)

1.1.2. Deskripsi tanaman

Tumbuhan, tinggi 55 cm sampai 80 cm, memiliki rimpang dengan garis

tengah 7,5 mm sampai 15 mm. Daun berbentuk pita, tajam, agak lonjong ke

4

Page 2: BAB I Tijauan Pustaka

5

ujung, panjang helai daun 80 cm, lebar 7 mm sampai 20 mm. Perbungaan berupa

tongkol, berbentuk bukit memanjang pendek dan pada ujung tajam, panjang 3 cm

sampai 4,5 cm; gagang bunga panjang 20 cm sampai 25 cm; daun mahkota bunga

sempit, berbentuk bulat memanjang, tidak berambut, panjang 1 mm sampai 1,25

mm; tangkai sari panjang 2,75 mm; kepala sari 0,3 mm; putik tidak berambut,

panjang 1,5 mm sampai 2,25 mm, lebar 2,5 mm sampai 4,75 mm; kepala putik

rata, panjang 0,5 mm; bakal buah berjumlah 7 sampai 10 (Depkes RI, 1978:1).

1.1.3. Kandungan kimia

Rimpang dan daun Acorus calamus mengandung saponin dan flavonoid, di

samping itu rimpangnya juga mengandung minyak atsiri yang berguna sebagai

pengusir serangga. Kandungan dari minyak atsirinya antara lain eugenol,

preisokalmendiol, akorenin, akonin, akoragermakron, akolamonin, isoakolamin,

siobunin, isosiobunin, dan episiobunin (Sihite, 2009:22).

1.1.4. Kegunaan

Di Indonesia dan Malaysia, rimpang jeringau biasanya digunakan secara

eksternal untuk mengobati peradangan, rematik, sakit pinggang dan mengobati

penyakit kulit, dan secara internal dikonsumsi setelah melahirkan. Di Jawa,

jeringau merupakan bahan untuk jamu tertentu. Di Papua New Guinea, daun

jeringau digunakan sebagai tonik, dikunyah untuk meredakan sakit gigi. Di

Jepang, minyak jeringau (calami oil) digunakan sebagai campuran dalam air

mandi, dianggap efektif terhadap penyakit kulit dan untuk melancarkan sirkulasi

darah. Dalam sistem pengobatan Unani (Yunani – Arab) jeringau digunakan

Page 3: BAB I Tijauan Pustaka

6

untuk mengobati penyakit kardiovaskular (Bunyapraphatsara dan Lemmens,

1999:82).

Minyak atsiri yang diperoleh dari rimpang jeringau tidak hanya digunakan

secara medis, tetapi juga digunakan sebagai perasa untuk minuman beralkohol,

permen, dan kue, bahan baku parfum, dan sebagai insektisida. Serbuk rimpang

jeringau telah terbukti efektif dan aman untuk melindungi gabah dan beras yang

disimpan di gudang dari hama serangga, rimpang juga dapat mengurangi tingkat

kontaminasi jamur dan bakteri (Bunyapraphatsara dan Lemmens, 1999:82).

1.1.5. Ekologi dan penyebaran tanaman

Tumbuhan ini berasal dari daerah Asia yang beriklim sedang termasuk

bagian dari India dan mungkin di sekitar laut Hitam dan Kaspia, di tanah yang

becek atau berawa. Tumbuh di India, Indonesia, dan Filipina. Di Indonesia

terdapat di beberapa pulau tertentu, tersebar dari tempat asal ke arah barat dan

tenggara. Jeringau dikenal sebagai tumbuhan rawa yang menyukai tanah berpasir.

Di Jawa kemungkinan tumbuhan berasal dari sisa tanaman yang dibiarkan tumbuh

liar di sepanjang parit, kolam ikan, telaga, dan rawa pada ketinggian sampai 2.050

m di atas permukaan laut (Depkes RI, 1978:3).

1.2. Pengeringan Tanaman

Pengeringan adalah suatu cara pengawetan atau pengolahan pada bahan

dengan cara mengurangi kadar air. Hal ini dilakukan dengan tujuan menghambat

pembusukkan oleh mikroba dan rantai enzimatis bahan itu sendiri. Dengan

demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudah rusak dan tahan

Page 4: BAB I Tijauan Pustaka

7

disimpan dalam waktu yang lama. Dalam proses ini, kadar air dan reaksi zat aktif

dalam bahan akan berkurang (Ranggi, 2011:11).

Pengeringan simplisia dapat dilakukan dengan menggunakan sinar

matahari atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan

selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran

udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan (Depkes RI, 1985:11).

Selama proses pengeringan bahan simplisia, faktor-faktor tersebut diatas

harus diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah

mengalami kerusakan selama penyimpanan. Cara pengeringan yang salah dapat

mengakibatkan terjadinya face hardening, yakni bagian luar bahan sudah kering

sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini disebabkan oleh irisan bahan

simplisia yang terlalu tebal, suhu pengeringan yang terlalu tinggi, atau oleh suatu

keadaan lain yang menyebabkan penguapan air permukaan bahan jauh lebih cepat

daripada difusi air dari bahan ke permukaan tersebut, sehingga permukaan bahan

mejadi keras dan menghambat pengeringan selanjutnya. Face hardening dapat

mengakibatkan kerusakan atau kebusukan di bagian dalam bahan yang

dikeringkan (Depkes RI, 1985:11).

Suhu pengeringan tergantung pada bahan simplisia dan dan cara

pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 300C sampai 900C,

namun suhu yang paling baik yaitu kurang dari 600C. Bahan simplisia yang

mengandung zat aktif yang tidak tahan panas dan mudah menguap harus

dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 300C sampai 450C, atau

dengan cara pengeringan hampa udara (vaccum) yaitu dengan mengurangi

Page 5: BAB I Tijauan Pustaka

8

tekanan udara dalam ruang atau lemari pengering. Kelembaban akan menurun

selama berlangsungnya proses pengeringan. Pada dasarnya telah dikenal dua

metoda pengeringan yaitu pengeringan secara alamiah dan buatan (Depkes RI,

1985:11).

1.2.1. Pengeringan alamiah

Pengeringan alamiah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan sinar

matahari langsung dan dengan dikering-anginkan. Pemilihan cara pengeringan

tergantung pada zat aktif yang terkandung didalam bagian tanaman yang akan

dikeringkan (Depkes RI, 1985:13).

a. Dengan sinar matahari langsung

Cara ini dilakukan untuk mengeringkan bagian tanaman yang relatif keras

seperti kayu, kulit kayu, biji dan sebagainya, dan mengandung zat aktif yang

relatif stabil terhadap pemanasan. Pengeringan dengan menggunakan sinar

matahari langsung banyak dilakukan di Indonesia karena merupakan suatu cara

yang mudah dan murah, yang dilakukan dengan cara membiarkan bahan yang

telah dipotong-potong di udara terbuka, tanpa kondisi yang terkontrol seperti

suhu, kelembaban dan aliran udara. Dengan cara ini kecepatan pengeringan sangat

tergantung pada keadaan iklim, sehingga cara ini hanya baik dilakukan di daerah

yang udaranya panas atau kelembabannya rendah, serta tidak turun hujan. Hujan

atau cuaca yang mendung dapat memperpanjang waktu pengeringan sehingga

memberikan kesempatan pada kapang atau mikroorganisme lainnya untuk tumbuh

sebelum simplisia tersebut benar-benar kering (Depkes RI, 1985:13).

Page 6: BAB I Tijauan Pustaka

9

b. Dengan dikering-anginkan

Cara ini terutama digunakan untuk mengeringkan bagian tanaman yang

lunak seperti bunga, daun, dan tanaman yang mengandung zat aktif yang mudah

menguap (Depkes RI, 1985:13).

1.2.2. Pengeringan buatan

Pengeringan buatan dilakukan dengan menggunakan suatu alat atau mesin

pengering yang suhu, kelembaban, dan aliran udaranya dapat diatur. Prinsip dari

pengeringan buatan adalah udara dipanaskan oleh suatu sumber panas seperti

lampu, kompor, mesin disel atau listrik, udara panas dialirkan dengan kipas ke

dalam ruangan atau lemari yang berisi bahan yang akan dikeringkan yang telah

disebarkan di atas rak-rak pengering (Depkes RI, 1985:14).

1.3. Karakterisasi Simplisia

Karakterisasi simplisia tidak lain adalah pemenuhan terhadap persyaratan

sebagai bahan, dan penetapan nilai berbagai parameter dari produk. Karakterisasi

simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan sebagai

bahan baku obat harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi

meliputi parameter spesifik dan non spesifik. Parameter spesifik meliputi kadar

sari larut air, kadar sari larut etanol, sedangkan parameter non spesifik terdiri dari

parameter susut pengeringan, parameter bobot jenis, parameter kadar air, dan

parameter kadar abu (Depkes RI, 2000:4-5).

Page 7: BAB I Tijauan Pustaka

10

1.4. Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan terhadap serbuk simplisia dan ekstrak yang

diperoleh untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terkandung

dalam simplisia dan ekstrak tersebut. Pengujian ini merupakan pengujian

pendahuluan yang dilakukan sebelum pengujian-pengujian lanjutan. Adanya

pengetahuan mengenai metabolit sekunder yang terkandung di dalam simplisia

dan ekstrak akan memudahkan dalam identifikasi dan kemungkinan aktivitas dari

simplisia. Penapisan fitokimia dilakukan terhadap golongan alkaloid, flavonoid,

saponin, kuinon, steroid dan triterpenoid, kuinon, monoterpen, dan seskuiterpen

(Ranggi, 2011:13).

1.5. Minyak atsiri

Minyak atsiri adalah komponen pemberi aroma yang dapat ditemukan

dalam berbagai macam bagian tumbuhan. Minyak atsiri disebut juga minyak

menguap, minyak eteris atau minyak esensial karena mudah menguap pada suhu

kamar. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau tanaman

asalnya. Dalam keadaan murni tanpa pencemar, minyak atsiri tidak berwarna.

Namun pada penyimpanan yang lama, minyak atsiri dapat teroksidasi dan

membentuk resin serta warnanya berubah menjadi lebih tua (gelap). Untuk

mencegah supaya tidak berubah warna, minyak atsiri harus terlindungi dari

pengaruh cahaya, misalnya disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap.

Bejana tersebut juga diisi sepenuh mungkin sehingga tidak memungkinkan

Page 8: BAB I Tijauan Pustaka

11

hubungan langsung dengan udara, ditutup rapat serta disimpan di tempat yang

kering dan sejuk (Sihombing, 2010:5).

1.5.1. Kandungan minyak atsiri

Ditinjau dari struktur kimianya, minyak atsiri hanya mengandung dua

golongan senyawa, oleoptena dan stearoptena. Oleoptena adalah bagian

hidrokarbon di dalam minyak atsiri dan berwujud cairan. Umumnya senyawa

golongan oleoptena terdiri atas senyawa monoterpena, sedangkan stearoptena

adalah golongan senyawa hidrokarbon teroksigenasi yang umumnya berwujud

padat. Stearoptena ini umumnya terdiri atas susunan senyawa oksigen dan

terpena. Hampir semua minyak atsiri mengandung campuran senyawa kimia, dan

biasanya campuran tersebut sangat kompleks. Beberapa tipe senyawa organik

yang mungkin terkandung dalam minyak atsiri adalah senyawa hidrokarbon,

alkohol, oksida eter, aldehida, dan eter. Sedikit sekali yang mengandung satu jenis

komponen kimia dengan persentase sangat tinggi, seperti minyak mustard

(Brassica alba) dengan kandungan alkil isotianat 93%, danruk (Melaleuca

leucadendron var latifolia) dengan kandungan metil eugenol 98%, kayu manis

cina (Cinnamommum cassia) dengan kandungan sinamaldehid 97%, dan cengkeh

(Eugenia aromatica) dengan kandungan senyawa fenol sekitar 85%, terutama

eugenol (Agoes, 2009:118).

Komponen kimia minyak atsiri sangat kompleks tetapi biasanya tidak

lebih dari 300 senyawa. Komponen dengan persentase kandungan tertinggi

biasanya menjadi penentu aroma minyak atsiri. Meskipun begitu, kehilangan satu

komponen yang persentasenya kecil memungkinkan terjadi perubahan aroma.

Page 9: BAB I Tijauan Pustaka

12

Beberapa jenis minyak atsiri memiliki kandungan senyawa terpena dalam porsi

sangat besar, senyawa terpena ini dibangun dari unit isoprena yang dibentuk dari

asam asetat melalui jalur asam mevalonat dan rantai samping sehingga terbentuk

C3 yang memiliki 2 ikatan tidak jenuh (Agoes, 2009:118-119).

Terpena dalam minyak atsiri umumnya berbentuk monoterpena yang

terdiri atas 2 unit isoprena yang bergabung menurut kaidah kepala – ekor (head to

tail), di samping senyawa seskuiterpena yang terdiri atas 3 unit isoprena.

Sementara itu hasil penggabungan dari 4 unit isoprena atau diterpena sangat

jarang ditemukan dalam substansi minyak atsiri (Agoes, 2009:119).

Kelompok-kelompok besar lainnya dalam minyak atsiri adalah senyawa

fenil-propena. Kelompok senyawa ini terdiri atas cincin fenil (C6) dengan propena

(C3) sebagai rantai samping. Senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah

sinamaldehida, eugenol, anetol, metilsalisilat, dan sebagainya. Kelompok senyawa

ini dalam minyak atsiri umumnya terdapat dalam bentuk senyawa fenol atau ester

fenol (Agoes, 2009:119).

1.5.2. Sifat fisika-kimia minyak atsiri

Minyak atsiri mempunyai beberapa sifat fisika dan kimia yang dapat

digunakan untuk menguji kemurnian minyak atsiri dan mencegah terjadinya

pemalsuan minyak atsiri. Sifat-sifat fisika yang dapat ditentukan dari suatu

minyak atsiri antara lain bobot jenis, indeks bias, dan kelarutan dalam etanol.

Sifat-sifat kimia yang dapat ditentukan dari minyak atsiri antara lain penetapan

bilangan asam (Ketaren, 2006:278-279).

Page 10: BAB I Tijauan Pustaka

13

a. Bobot jenis

Bobot jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu

dan kemurnian minyak atsiri. Nilai bobot jenis minyak atsiri berkisar antara

0,696-1,188 pada suhu 15 °C, dan pada umumnya nilai tersebut lebih kecil dari

1,000. Nilai bobot jenis minyak atsiri pada suhu 15°C didefinisikan sebagai

perbandingan antara berat minyak pada suhu 15°C dengan berat air pada volume

air yang sama dengan volume minyak atsiri pada suhu 15°C (Ketaren, 2006: 286-

287).

b. Kelarutan dalam etanol

Minyak atsiri banyak yang mudah larut dalam etanol dan jarang yang larut

dalam air, sehingga kelarutannya mudah diketahui dengan menggunakan etanol

pada berbagai tingkat konsentrasi. Untuk menentukan kelarutan minyak atsiri juga

tergantung pada kecepatan daya larut dan kualitas minyak atsiri tersebut

(Ketaren, 2006: 301).

Kelarutan minyak juga dapat berubah karena lamanya penyimpanan. Hal

ini disebabkan karena proses polimerisasi menurunkan daya kelarutan, sehingga

untuk melarutkannya diperlukan konsentrasi etanol yang tinggi. Kondisi

penyimpanan kurang baik dapat mempercepat polimerisasi diantaranya cahaya,

udara, dan adanya air bisa menimbulkan pengaruh yang tidak baik (Ketaren, 2006:

302).

c. Indeks bias

Refraktometer adalah alat yang tepat dan cepat untuk menentukan nilai

indeks bias minyak atsiri. Pembacaan dapat langsung dilakukan tanpa

Page 11: BAB I Tijauan Pustaka

14

menggunakan tabel konversi, minyak yang diperlukan untuk penetapan hanya

sekitar 1-2 tetes, dan suhu saat pembacaan dilakukan dapat diukur dengan baik.

Dalam menentukan nilai indeks bias, minyak atsiri harus dijauhkan dari panas dan

cuaca lembab sebab udara dapat berkondensasi pada permukaan prisma yang

dingin. Akibatnya akan timbul kabut pemisah antara prisma gelap dan terang

sehingga garis pembagi tidak terlihat jelas. Jika minyak atsiri mengandung air,

maka garis pembatas akan terlihat lebih tajam, tetapi nilai indeks biasanya akan

menjadi rendah (Ketaren, 2006: 296-297).

d. Bilangan asam

Sebagian besar minyak atsiri mengandung sejumlah kecil asam bebas.

Bilangan asam dari suatu minyak atsiri didefinisikan sebagai jumlah miligram

KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam bebas dalam 1 gram minyak.

Dalam penentuan bilangan asam, biasanya digunakan alkali encer, karena

jika digunakan alkali kuat maka sejumlah ester (misalnya golongan formate)

dalam minyak atsiri ikut tersabunkan walaupun dalam keadaan dingin. Senyawa

fenol akan bereaksi dengan alkali hidroksida, sehingga perlu digunakan indikator

khusus (seperti fenol red) untuk minyak yang mengandung sejumlah besar

senyawa fenolat misalnya golongan salisilat (Ketaren, 2006: 317).

1.5.3. Cara memperoleh minyak atsiri

Untuk memperoleh minyak atsiri dapat diterapkan beberapa cara, seperti

penyulingan, pemerasan atau ekspresi, pengikatan dengan lemak padat

(enflurage), atau ekstraksi dengan pelarut mudah menguap (Agoes, 2009:118).

Page 12: BAB I Tijauan Pustaka

15

a. Metode penyulingan

Minyak atsiri dapat diproduksi melalui tiga model penyulingan, yaitu

penyulingan dengan air, penyulingan dengan uap, dan penyulingan dengan air dan

uap.

1) Penyulingan dengan air (water distillation)

Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling mengalami kontak

langsung dengan air mendidih. Bahan dapat mengapung diatas atau terendam

secara sempurna, tergantung berat jenis dan jumlah bahan yang disuling. Ciri khas

model ini yaitu adanya kontak langsung antara bahan dan air mendidih. Karena

itu, sering disebut penyulingan langsung. Minyak atsiri dari beberapa jenis bahan

seperti bunga mawar cocok diproduksi dengan cara ini sebab seluruh bagian

bahan harus tercelup dan dapat bergerak bebas dalam air mendidih (Lutony dan

Rahmayati, 1994:32-33)

2) Penyulingan dengan uap (steam distillation)

Model ini disebut juga penyulingan uap atau penyulingan tak langsung.

Pada prinsipnya, penyulingan ini sama dengan model penyulingan langsung.

Hanya saja, air penghasil uap tidak diisikan bersama-sama dalam ketel

penyulingan. Uap yang digunakan berupa uap jenuh dengan tekanan lebih dari 1

atm (Lutony dan Rahmayati, 1994:33).

Di dalam proses penyulingan dengan uap ini, uap dialirkan melalui pipa

uap berlingkar yang berpori dan berada di bawah bahan tanaman yang akan

disuling. Kemudian uap akan bergerak menuju ke bagian atas melalui bahan yang

disimpan di atas saringan (Lutony dan Rahmayati, 1994:33).

Page 13: BAB I Tijauan Pustaka

16

3) Penyulingan dengan uap dan air (water and steam distillation)

Pada model penyulingan ini, bahan tanaman yang akan disuling

diletakkan di atas rak-rak atau saringan berlubang. Kemudian ketel penyulingan

diisi dengan air sampai permukaannya tidak jauh dari bagian bawah saringan. Ciri

khas model ini yaitu uap selalu dalam keadaan basah, jenuh, dan tidak terlalu

panas (Lutony dan Rahmayati, 1994:33).

b. Metode pengepresan

Dilakuan untuk bahan berupa buah atau kulit buah dari tanaman keluarga

citrus karena minyak atsirinya akan rusak bila mengalami penyulingan. Karena

tekanan pada pemerasan, sel yang mengandung minyak atsiri akan pecah dan

minyak atsiri akan dikeluarkan dan mengalir ke permukaan (Agoes, 2009:127).

c. Metode penyarian dengan lemak padat (Enfleurage)

Dilakukan tanpa pemanasan atau pemanasan pada suhu rendah (maserasi)

dan hanya menggunakan lemak. Proses ini ditujukan untuk minyak atsiri yang

tidak tahan panas (Agoes, 2009:125).

d. Metode ekstraksi dengan pelarut mudah menguap

Simplisia diekstraksi dengan pelarut yang sesuai, seperti heksan, benzen,

toluen, dan sebagainya dalam suatu ekstraktor. Sesudah selesai proses maserasi,

pelarut yang sudah jenuh dengan minyak atsiri dimasukkan ke dalam reaktor

pemekat, kemudian pelarut dienapkan. Produk yang dihasilkan berupa massa

setengah padat, seperti malam. Massa ini diekstraksi ulang dengan etanol,

kemudian didinginkan hingga didapat 2 fraksi, yaitu fraksi pelarut ditambah

malam dan minyak atsiri dalam etanol. Larutan minyak atsiri dalam etanol yang

Page 14: BAB I Tijauan Pustaka

17

disuling pada suhu dan tekanan rendah akan menghasilkan minyak atsiri murni

(Agoes, 2009:125).

1.6. Kromatografi Gas-Spektrometer Massa (KG-SM)

Analisa komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit

karena minyak atsiri mengandung campuran senyawa dan sifatnya yang mudah

menguap pada suhu kamar. Setelah ditemukannya kromatografi gas (KG),

kendala dalam analisis komponen minyak atsiri mulai dapat diatasi. Pada

penggunaan kromatografi gas, efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan

sama sekali. Perkembangan teknologi instrumentasi yang pesat akhirnya dapat

menghasilkan suatu alat yang merupakan gabungan dua sistem dengan prinsip

dasar yang berbeda satu sama lain tetapi saling melengkapi, yaitu gabungan antara

kromatografi gas dan spektrometer massa (SM). Kromatografi gas berfungsi

sebagai alat pemisah berbagai campuran komponen dalam sampel sedangkan

spektrometer massa berfungsi untuk mendeteksi masing-masing komponen yang

telah dipisahkan oleh kromatografi gas (Sihombing, 2010:13).

1.6.1. Kromatografi gas

Kromatografi gas merupakan metode untuk pemisahan dan deteksi

senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dalam suatu campuran.

Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu komponen dan

semua interaksi yang mungkin terjadi antara komponen dengan fase diam. Fase

gerak berupa gas akan mengelusi campuran dari ujung kolom lalu

menghantarkannya ke detektor (Sihombing, 2010:14). Komponen dipisahkan

Page 15: BAB I Tijauan Pustaka

18

secara elusi kemudian dideteksi. Komponen-komponen dibedakan dengan

perbedaan waktu ketika melewati kolom yang disebut waktu retensi (waktu

tambat) (Sihombing, 2010:14).

Waktu tambat (Retention Time), menunjukkan berapa lama suatu senyawa

tertahan dalam kolom yang diukur mulai saat penyuntikan sampel sampai saat

elusi terjadi (dihasilkan puncak) (Sihombing, 2010:14). Hal-hal yang

mempengaruhi waktu retensi:

1) Panjang kolom, semakin panjang kolom akan menahan senyawa lebih

lama dan sebaliknya.

2) Temperatur kolom, semakin rendah temperatur maka senyawa semakin

lama tertahan dan sebaliknya.

3) Aliran gas pembawa, semakin lemah aliran gas maka senyawa semakin

lama tertahan dan sebaliknya.

4) Sifat senyawa sampel, semakin sama kepolaran molekul senyawa dengan

kolom fase diam dan semakin kurang keatsiriannya maka akan tertahan

lebih lama di kolom dan sebaliknya (Sihombing, 2010:14).

1.6.2. Spektrometer massa

Spektrometer massa terdiri dari sistem pemasukan cuplikan, ruang

pengion dan percepatan, tabung analisis, pengumpul ion dan penguat, dan

pencatat. Keuntungan utama spektrometri massa sebagai metode analisis yaitu

metode ini lebih sensitif untuk identifikasi senyawa yang tidak diketahui atau

untuk menetapkan keberadaan senyawa tertentu. Hal ini disebabkan adanya pola

fragmentasi yang khas sehingga dapat memberikan informasi mengenai bobot

Page 16: BAB I Tijauan Pustaka

19

molekul dan rumus molekul. Puncak ion molekul penting dikenali karena

memberikan bobot molekul senyawa yang diperiksa. Puncak paling kuat

(tertinggi) pada spektrum, disebut puncak dasar (base peak), dinyatakan dengan

nilai 100% dan kekuatan puncak lain, termasuk puncak ion molekulnya

dinyatakan sebagai persentase puncak dasar tersebut (Sihombing, 2010:19).