bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.umm.ac.id/44375/2/bab i.pdf1 bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Praperadilan adalah salah satu dari wewenang yang ada pada Pengadilan
Negeri guna memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan/atau penahanan atau permintaan tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atau kuasa tersangka; sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan; serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain/kuasanya yang dalam hal ini perkara tersebut
dilanjtkan ke pengadilan. Praperadilan sendiri merupakan salah satu lembaga
hukum baru yang diciptakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata (KUHAP). Dimana lembaga praperadilan secara tidak langsung menjadi
pengawas dalam setiap kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik baik
dalam proses awal penyidikan maupun pada tahapan penuntutan.1
Praperadilan sendiri hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada
Pengadilan Negeri. Selain wewenang yang telah disebut diatas Pengadilan
Negeri juga diberikan wewenang untuk memeriksa dan memutus permasalahan
atau kasus yang terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang
dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Dalam perkara Praperadilan
1 S. Tanusubroto S.H., 1983, Peran Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung,
Alumni, hal 72.
2
biasanya terdapat dua pihak, yaitu pihak Pemohon dan pihak Termohon. Pihak
Pemohon biasanya berasal dari tersangka, keluarga maupun kuasa hukumnya.
Sedangkan pihak Termohon adalah penyidik atau jaksa penuntut umum.
Praperadilan umumnya terjadi apabila dalam hal ini Pihak pemohon merasa ada
aturan ataupun haknya yang dirugikan oleh Penyidik maupun Jaksa Penuntut
Umum, kemudian pemohon mengajukan hal ini ke lembaga praperadilan dalam
penyelesaian perkara pidananya yang merasa haknya dirugikan oleh termohon.2
Ruang lingkup praperadilan sendiri hanyalah mencakupi mengenai
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
dan juga mengenai permasalahan ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana yang
diatur di dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana bunyi Pasal tersebut ialah :
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Berdasarkan pada Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:3
1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
2 Ibid. 3 HMA. Kufal, 2010, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum,Malang,UMM Pres, hlm.
251.
3
3) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Pada awalnya, lembaga praperadilan diharapkan sebagai suatu bagian
mekanisme sistem peradilan yang memberikan hak kepada tersangka
berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengawasan atas jalannya suatu
upaya paksa dalam proses penyidikan dan/atau penuntutan atas dirinya. Namun
usaha ini tidak berhasil dikarenakan praperadilan di dalam rumusan pada
KUHAP lebih mengarah kepada pengawasan terkait administratif belaka saja.
Misalnya, praperadilan tidak dapat digunakan untuk menguji apakah asas yuridis
dan nesesitas dalam upaya paksa itu absah dalam arti materill dan juga terkait
apakah “bukti permulaan yang cukup” sebagai dasar guna menentukan status
tersangka dan juga dapat menetapkan suatu upaya paksa seperti dalam hal ini
adalah penahanan yang absah secara materill.4
Namun dewasa ini objek atau ruang lingkup praperadilan telah mengalami
perluasan dari yang telah diatur di dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, hal ini
dikarenakan oleh salah satu putusan yang dikeluarkan oleh hakim Sarpin Rizaldi
S.H tepatnya pada hari Senin tanggal 16 Februari 2015 di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Yang mana putusan Hakim Sarpin telah memenangkan
Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan atas penetapan tersangka yang
dilakukan oleh KPK.5 Hal ini sungguh di luar perkiraan dan nalar dari banyak
kalangan praktisi hukum, sebab hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
4 Luhut MP Pangaribuan, 2014, Praperadilan di Indonesia : Teori, Sejarah, dan
Praktiknya, Jakarta Selatan, Institute for Criminal Justice Reform, hal. 1 5 Eko Soponyono. 2017, Tinjauan Tentang Objek Praperadilan Dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, Semarang, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 1. Fakultas Hukum. UNDIP, hal. 5
4
yaitu hakim Sarpin Rizaldi S.H. yang mengadili gugatan praperadilan Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan tersebut, pada realitasnya telah menjatuhkan
putusan yang mengabulkan gugatan praperadilan atas “penetapan tersangka”
yang diajukan oleh Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan. Dengan adanya
putusan praperadilan yang mengabulkan gugatan mengenai penetapan tersangka
oleh hakim Sarpin Rizaldi S.H sekalipun tidak diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apalagi putusan hakim Sarpin Rizaldi
ini didukung oleh Mahkamah Konstitusi yang mana hal ini dapat mengubah arah
pembaharuan Hukum Acara Pidana di Indonesia. Putusan hakim Sarpin terkait
penetapan tersangka yang termasuk kedalam perluasan objek praperadilan dapat
menjadi tonggak yang dapat mengatasi perdebatan hukum selama ini.6
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015 juga mengabulkan
terkait objek praperadilan baru yaitu dalam hal “penetapan tersangka” yang
mendukung atas putusan Hakim Sarpin Rizaldi sebagai pengujian terhadap
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang mana dalam
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014, Mahkamah
Konstitusi telah menetapkan objek praperadilan baru yaitu mengenai sah atau
tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Mahkamah
Konstitusi menjadikan penetapan tersangka sebagai salah satu objek
praperadilan yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHAP. Kemudian terhadap
Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 menurut Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang
6 Ibid.
5
mengikat selama tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Dengan demikian setelah keluar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU- XII/2014 terkait dengan
penetapan tersangka menjadi bagian daripada ruang lingkup praperadilan setelah
adanya perluasan ruang lingkup pada putusan Mahkamah Konstitusi a quo.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menegaskan, pada dasarnya setiap
tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan
perundang-undangan adalah perampasan HAM, sehingga dengan adanya
lembaga praperadilan ini diharapkan pemeriksaan suatu perkara pidana bisa
berjalan/terlaksana sesuai dengan pada ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia. Pengawasan yang dilakukan oleh pengadilan negeri (PN) sebagai
suatu badan peradilan pada tingkatkan pertama, tujuannya ialah untuk
mengontrol, menilai, dan menguji, serta mempertimbangkan secara aspek
yuridisnya, apakah di dalam tindakan yang diduga suatu upaya paksa kepada
pihak tersangka/terdakwa yang dilakukan oleh penyelidik/penyidik atau dalam
hal ini penuntut umum yang telah sesuai dalam KUHAP.7 Namun apakah
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015
yang menambah frasa baru di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) tersebut mempunyai dasar hukum yang kuat sesuai
7 Lihat Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 dalam pengujian KUHAP terhadap UUD 1945,
hal.29
6
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Inilah kemudian yang menjadi persoalan
hukum yang sangat menarik untuk dikaji dalam penulisan skripsi ini.
Perlu kita pahami bahwasannya lembaga praperadilan sejatinya lahir dari
inspirasi yang bersumber dari Habeas Corpus8 dalam peradilan Anglo Saxon,
yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia terhadap
hak kemerdekaan sehingga pada akhirnya praperadilan pun digaungkan sebagai
wajah pembaharuan penegakan hukum. Prinsip dasar Habeas Corpus
memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang memberikan perlindungan
kepada terdakwa atau tersangka terhadap upaya paksa yang dilakukan aparat
penegak hukum. Sistem peradilan di Indonesia menganut adagium praduga tidak
bersalah, namun pada kenyataannya di dalam mencari suatu pembuktian
terhadap sesorang yang disangka atau patut diduga melakukan perbuatan tindak
pidana, pihak penyelidik/penyidik atau juga dalam hal ini pihak penuntut umum
kerapkali menggunakan suatu upaya paksa tanpa terpenuhinya syarat-syarat
formil terutama syarat materiil dalam proses penangkapan maupun penahanan
tersangka.9
Lembaga praperadialan sejak semula dimasukkan sebagai sarana hukum
yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan oleh tersangka, korban,
penyidik, penuntut umum maupun pihak ketiga yang berkepentingan terhadap
8 Hak Habeas Corpus adalah upaya untuk memberikan jaminan yang mendasar terhadap
hak asasi manusia khususnya mengenai hak kemerdekaan, dan dalam konteks ini habeas corpus
act juga memberikan hak kepada seorang untuk melakukan prosedur melalui surat perintah
menuntut, menantang, perintah jabatan yang melakukan penahanan atas dirinya, polisi atau jaksa
harus membuktikan bahwa penangkapan tersebut tidak melanggar Hukum artinya illegal dan benar-
benar sah sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Lihat dalam Ali Hitori, Hak Habeas
Corpus Untuk Praperadilan, dalam https://www.kompasiana.com, diakses tanggal 20 Oktober 2018 9 Ibid.
7
pelaksanaan kewenangan penegak hukum. Dengan adanya lembaga praperadilan
ini, maka setiap tindakan sewenang-wenang terhadap hak asasi manusia yang
dilakukan oleh penegak hukum dalam melakukan upaya paksa dapat dikontrol.
Sehingga dengan demikian, disini terdapat “kekosongan hukum” di dalam
lembaga praperadilan di Indonesia yang menjurus kepada maksud dari
dibentuknya praperadilan itu sendiri, yakni untuk melindungi hak-hak asasi
manusia daripada tersangka dan terdakwa.10 Kemudian pada akhirnya,
kekosongan hukum ini akan dapat diisi oleh yurisprudensi atau dapat melalui
satu pembentukan hukum acara pidana baru yang mengatur hal-hal tersebut
sebagaimana dalam pembahasan RUU KUHAP yang masih berjalan sampai saat
ini.
Terakhir bahwasannya yang menarik perhatian Penulis untuk meneliti lebih
jauh terhadap Putusan Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Ende, Kelas
II, Flores Nusa Tenggara Timur dalam Putusan Nomor 2/Pid.Pra/2018/PN. End.,
terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi, dimana Pemohon dalam
kedudukanya sebagai pihak yang dirugikan akibat dihentikannya proses
penyelidikan terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam bentuk Gratifikasi
yang melibatkan Direktur PDAM Ende dan 7 (tujuh) Anggota Dewan
Perwakilan rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ende, yang mana pada tahun
2015 telah terjadi Penetapan Peraturan Daerah (PERDA) mengenai Inisiatif
Tentang Penyertaan Modal di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Kabupaten Ende yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
10 Luhut MP Pangaribuan, Loc.cit
8
Kabupaten Ende yang juga sebagai Badan Legislatif Kabupaten Ende. Setelah
dilakukan penetapan ternyata diketahui bahwa di dalam proses pembuatan
PERDA inisiatif tersebut prosesnya dinilai telah menyalahi regulasi, hal ini
dapat diketahui dari Perjanjian Kerja Sama dalam pembuatan Draft Rancangan
Peraturan Daerah Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Ende
dan Penyusunan Naskah Akademik, yang bukan dilakukan oleh alat atau Badan
lembaga DPRD Kabupaten Ende melainkan oleh PDAM Kabupaten Ende
dengan Yayasan Karsa Mandiri Kabupaten Ende. Sehingga Pemohon yaitu
Yohanes Kanisius Ratu Soge merasa dengan dihentikannya proses penyelidikan
atas kasus gratifikasi ini telah merugikan dirinya, yang mana kemudian pada
intinya dalam amar putusan praperadilan tersebut hakim mengabulkan
permohonan pemohon yaitu Suadara Yohanes Kanisius Ratu Soge untuk
sebagian yang mana pada intinya :
“Menyatakan tindakan penghentian penyelidikan oleh Termohon/Penyelidik
Polres Ende terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam bentuk Gratifikasi
merupakan pembiaran terhadap suatu tindak pidana, oleh karena itu
penghentian penyelidikan tersebut adalah tidak beralasan menurut hukum serta
Memerintahkan kepada Termohon/Penyelidik Polres Ende untuk melanjutkan
proses hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
yang dicatat dalam Laporan Informasi nomor: LI / 06 / X / 2015 /Reskrim
tanggal 5 Oktober 2015 dan Surat Perintah Penyelidikan nomor:Sprin-
lidik/09/X/2015/Reskrim tanggal 16 Oktober 2015 tersebut.”11
Dari putusan tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa hakim praperadilan
tersebut telah mengabulkan permohonan praperadilan yang objek permohonan
praperadilannya diluar ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 buti 10 Jo Pasal
77 KUHAP maupun perluasan objek praperadilan dari hasil Putusan Hakim
11Lihat Lihat Putusan Hakim Praperadilan pada Pengadilan Negeri Ende Nomor
02/Pid.Prap/2018/PN.End
9
Sarpin Rizaldi S.H dan putusan MK 21/PUU- XII/2014 yang mana hakim
praperadilan dalam putusan a quo berpendapat bahwa “penyelidikan ialah
merupakan suatu cara atau metode/ sub bagian daripada fungsi penyidikan
yang dalam hal ini mendahului tindakan lain”12 sehingga cukup beralasan
hukum bagi hakim tersebut untuk mengabulkan permohonan tersebut meskipun
aturan hukumnya belum mengatur.
Selanjutnya menurut pemohon merasa bahwasannya proses penyelidikan
sangatlah penting sebab pemohon adalah pihak yang memiliki rasa kepedulian
tinggi terhadap kasus gratifikasi tersebut, sehingga pemohon selalu mendatangi
dan meminta kepada pihak termohon atau dalam hal ini Pihak Kepolisian Nusa
Tenggara Timur c.q. Kepala Kepolisian Resort Ende agar segera menuntaskan
proses penyelidikan dan penyidikan agar dapat dilanjutkan prosesnya ke
Pengadilan. Pemohon juga telah menjelaskan bahwa dirinya merasa dirugikan
dengan dihentikannya proses penyelidikan kasus tersebut yang mana pemohon
adalah korban dari kejahatan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga Negara telah
melakukan pembiaran terhadap suatu tindak pidana terhadap rakyatnya. Dan
tindakan penghentian yang dilakukan oleh kepolisian Nusa Tenggara Timur
tanpa adanya alasan yang jelas merupakan tindakan yang telah bertentangan
dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Perundang-Undangan
lainnya.
12 Ibid. Wahyu Iswantoro
10
Sehingga atas dasar dari pertimbangan hakim praperadilan dalam putusan
sebagaimana diuraikan tersebut di atas, secara tidak langsung telah
menyebabkan perluasan objek praperadilan dengan menyatakan bahwa
penghentian penyelidikan sebagai bagian dari objek praperadilan. Hal tersebut
tentu menimbulkan perdebatan hukum dikalangan praktisi hukum, terlebih lagi
juga menimbulkan implikasi dan permasalahan, apakah sebenarnya putusan a
quo tersebut telah benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
perkembangan hukum dimasyarakat, serta apakah putusan telah menjamin aspek
kepastian hukum maupun keadilan bagi masyarakat. Hal tersebut lantas menarik
perhatian penulis untuk menganalisis secara lebih mendalam dan komperhensif
dalam Tugas Akhir penulisan hukum dengan judul Analisis Terhadap Putusan
Hakim Praperadilan Nomor 2/Pid.Prap/2018/PN Ende Dalam Perkara
Dugaan Tindak Pidana Korupsi.
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis
kemukakan di atas, maka penulis memberikan batasan-batasan terhadap masalah
atau identifikasi masalah agar tidak jauh menyimpang dari apa yang menjadi
pokok bahasan. Mengacu kepada latar belakang yang di uraikan di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah dasar pertimbangan hukum dari hakim praperadilan
yang mengabulkan permohonan Praperadilan dalam Putusan Nomor
2/Pid.Prap/2018/PN. Ende?
2. Bagaimanakah Implikasi dari Putusan Praperadilan Nomor
2/Pid.Prap/2018/PN. Ende?
11
C. Tujuan Penulisan Hukum
Adapun tujuan dari penulisan dan penyusunan proposal ini adalah
diharapkan agar penulis dan pembaca sekalian dapat memahami terkait
implikasi dan kekuatan hukum pada putusan praperadilan a quo. Dimana
diantaranya tujuan secara rinci makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji dasar pertimbangan hukum dari hakim
praperadilan yang mengabulkan permohonan Praperadilan dalam
Putusan Nomor 2/Pid.Prap/2018/PN. Ende
2. Untuk mengetahui dan mengkaji Implikasi daripada Putusan
Praperadilan Nomor 2/Pid.Prap/2018/PN. Ende
D. Kegunaan Penulisan Hukum
Adapun manfaat dari penelitian hukum ini dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat membawa sumbangsih positif
perkembangan teoritis terkait dengan Putusan Praperadilan khusunya
pada putusan nomor 2/Pid.Prap/2018/PN. Ende terkait Perkara Dugaan
Tindak Pidana Korupsi;
2. Hasil dari penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi kalangan praktisi,
akademisi, serta bagi masyarakat pada umumnya, untuk
mengembangkan kajian serupa
12
E. Manfaat Penulisan Hukum
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis
dan praktis sebagai berikut :
1. Bagi Akademik
Dengan adanya penulisan penelitian hukum ini diharapkan agar dapat
mengembangkan keilmuwan serta menambah wawasan dan sumber
pengetahuan dalam bidang hukum terutama terkait dengan lembaga
praperadilan di Indonesia yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
pertimbangan hakim praperadilan dalam tindak pidana korupsi sebagai
bahan pertimbangan dalam penyempurnaan kaidah-kaidah hukum yang
akan datang, untuk mengkaji ilmu hukum pidana, khususnya kajian
tentang dasar putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi
2. Bagi Penulis
Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
keilmuwan khususnya dalam bidang lembaga praperadilan yang ada di
Indonesia, dapat mengetahui pula penerapan putusan praperadilan yang
mengalami perluasan ruang lingkup, dan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan program studi Sarjana Strata 1 (S-1) Ilmu Hukum, di
Universitas Muhammadiyah Malang
3. Bagi Masyarakat
Penulisan penelitian hukum ini diharapkan untuk dapat menjadi bahan
informasi dan wawasan baru mengenai lembaga praperadilan,
pertimbangan hakim praperadilan dan implikasinya.
13
F. Metode Penulisan Hukum
Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mendapatkan
data valid serta mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
cara menganalisanya. Maka penulis memerlukan suatu metode penulisan hukum
yang meliputi :
1. Metode Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
dengan cara pendekatan yuridis normative, maksudnya adalah
pendekatan secara yuridis dilakukan yaitu dengan mengkaji tentang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, sedangkan
pendekatan normative dilakukan dengan mengkaji tentang Putusan
Hakim Praperadilan Nomor 2/Pid.Prap/2018/PN.End terkait perkara
dugaan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga penulisan ini dilakukan dengan
titik tolak penulisan analisis terhadap peraturan perundang-undangan dan
Pasal yang terkait yaitu hukum positif di Indonesia dan juga dasar
pertimbangan Hakim terhadap Putusan Hakim Praperadilan Nomor
2/Pid.Prap/2018/PN.End terkait dugaan perkara Tindak Pidana Korupsi
2. Jenis Bahan Hukum
Bahan hukum yang akan digunakan oleh penulis di dalam
penyusunan penelitian ini digolongkan dalam 2 (dua) jenis bahan hukum,
yaitu :
14
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mana diperoleh
dari hukum-hukum positif yang terkait langsung dengan penulisan
ini. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan,
catatan resmi, atau risalah pembuatan perundang-undangan dan juga
putusan hakim. Bahan hukum primer yaitu Peraturan yang terkait
langsung dengan penulisan ini adalah :
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4) Putusan Pengadilan Negeri Ende Nomor 2/Pid.Prap/2018/PN.
Ende tentang Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum pendukung
yang nantinya akan mendukung bahan hukum primer, berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen
resmi, yang mana meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, Yursiprudensi yang berkaitan dengan topic
penulisan. Bahan hukum sekunder yang terkait dengan penulisan
hukum ini adalah sebagai berikut :
15
1) Buku-buku yang terkait dengan topic penulisan hukum;
2) Internet; dan
3) Jurnal hukum, artikel, dan media cetak (Koran, majalah,
buletin).
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
mendukung bahan hukumprimer dan bahan hukum sekunder
dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan
hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis
adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum, teori
atau pendapat para ahli yang tercantum dalam berbagai referensi
serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum penulisan ini, teknik yang akan
digunakan oleh penulis adalah teknik studi kepustakaan, yang mana
teknik ini akan mengumpulkan berdasarkan dengan permasalahan yang
dirumuskan dan diklasifikasikan menurut sumber dan dikaji secara
komperhensif. Bahan hukum yang nantinya akan diperoleh dalam
penulisan studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, internet,
jurnal, artikel yang diuraikan dan disajikan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
16
4. Teknik Analisa Bahan Hukum
Guna memecahkan masalah pada rumusan permasalahan yang akan
diteliti dengan berdasarkan pada bahan hukum yang diperoleh, maka
diperlukan adanya teknik analisa bahan hukum. Teknik analisa yang
digunakan dalam penulisan hukum dengan metode pendekatan normatif
adalah dengan analisa isi (content analysis), yaitu menganalisa isi dari
pasal-pasal perundang-undangan yang terkait dan juga isi dari Putusan
Nomor 2/Pid.Prap/2018/PN.End. Teknik analisa yang akan digunakan
dalam penulisan penelitian hukum ini adalah teknik analisa secara
perskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini ditujukan guna melihat
tujuan hukum dan akan dijabarkan dalam uraian kalimat yang mudah
dibaca, dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan.
Penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu menarik
kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan
secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat
diajukan saran. Tipe penelitian ini berusaha menerangkan fenomena
sosial tertentu. Penelitian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis,
berdasarkan kriteria pembedaan antara lain fungsi akhir dan
pendekatannya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) BAB yang tersusun
secara berurutan, yang dimulai dari BAB I hingga BAB IV, secara garis besar
dapat diuraikan sebagai berikut :
17
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan mengenai latar belakang mengenai alasan-alasan dan
juga faktor-faktor yang mendorong dilakukannya penelitian berdasarkan
permasalahan yang telah tertera di dalam rumusan masalah, yang meliputi
pertanyaan mengenai suatu masalah dan menjadi dasar pemilihan judul
penelitian ini. Tujuan penulisan, berisikan peryataan yang hendak di capai di
dalam penelitian ini. Manfaat dari penulisan hukum ini merupakan kegunaan
secara praktis dan teoritis, juga Metode penulisan hukum yang memuat uraian
mengenai metode yang akan digunakan dalam penelitian serta Sistematika
penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan berisikan mengenai tinjauan kepustakaan yang meliputi
uraian deskripsi mengenai bahan-bahan teori, doktrin, pendapat para ahli atau
pendapat para sarjana hukum, dan juga kajian yuridis berdasarkan pada
ketentuan hukum yang berlaku, terkait dengan permasalahan yang akan
dijadikan penulisan hukum.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, akan menjelaskan lebih lanjut dan memaparkan hasil dari
penulisan hukum serta analisa dari bahan hukum penulisan yang berkaitan
dengan masalah berdasarkan pada teori dan kajian pustaka.
18
BAB IV : PENUTUP
Bab terakhir ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh hasil penulisan
hukum pada Bab III, serta berisi mengenai saran-saran yang dapat digunakan
sebagai rekomendasi terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Kemudian
setelah penutup selesai, dilanjutkan dengan daftar pustaka yang dijadikan
sebagai sumber rujukan penulisan hukum.