studi perbandingan hukum terhadap sistem praperadilan .../studi... · studi perbandingan hukum...
TRANSCRIPT
35
Studi perbandingan hukum terhadap sistem praperadilan sebagai pencerminan
asas pengawasan horizontal menurut kuhap dengan sistem preliminary
hearings menurut USA’S Criminal
Procedure Code
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh:
Deasy Widya Sari
NIM. E 0006100
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
36
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI PERBANDINGAN HUKUM TERHADAP SISTEM PRAPERADILAN
SEBAGAI PENCERMINAN ASAS PENGAWASAN HORIZONTAL MENURUT
KUHAP DENGAN SISTEM PRELIMINARY
HEARINGS MENURUT USA CRIMINAL
PROCEDURE CODE
Oleh
Deasy Widya Sari
NIM. E0006100
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, April 2010
Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S.H.,M. Hum NIP. 19620209 198903 1 001
37
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI PERBANDINGAN HUKUM TERHADAP SISTEM PRAPERADILAN
SEBAGAI PENCERMINAN ASAS PENGAWASAN HORIZONTAL
MENURUT KUHAP DENGAN SISTEM PRELIMINARY
HEARINGS MENURUT USA’S CRIMINAL
PROCEDURE CODE
Oleh Deasy Widya Sari NIM. E0006100
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada: Hari : Rabu Tanggal : 14 April 2010.
DEWAN PENGUJI
1. Edy Hardyanto, S.H., M.H :………………………………………… NIP. 195706291985031002
Ketua 2. Kristiyadi, S.H., M.Hum :………………………………………… NIP.195812251986011001
Sekretaris 3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum :………………………………………… NIP. 19620209 198903100 Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP. 19610930 198601 001
38
PERNYATAAN
Nama : Deasy Widya Sari
NIM : E.0006100
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
STUDI PERBANDINGAN HUKUM TERHADAP SISTEM
PRAPERADILAN SEBAGAI PENCERMINAN ASAS PENGAWASAN
HORIZONTAL MENURUT KUHAP DENGAN SISTEM PRELIMINARY
HEARINGS MENURUT USA’S CRIMINAL PROCEDURE CODE adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian
hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, April 2010
Yang membuat pernyataan
Deasy Widya Sari
NIM. E0006100
39
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai persamaan dan perbedaan sistem praperadilan sebagai pencerminan asas pengawasan horizontal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan sistem preliminary hearings menurut USA's criminal procedure code serta kelebihan dan kelemahan sistem praperadilan sebagai pencerminan asas pengawasan horizontal menurut KUHAP dengan sistem preliminary hearings menurut USA's Criminal Procedure Code
Penelitian ini merupakan penelitian normatif besifat preskriptif, menemukan hukum in concreto ada tidaknya persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan praperadilan menurut KUHAP diperbandingkan dengan USA’s Criminal Procedure Code. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan cyber media. Teknik Pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Analisis data yang dilaksanakan menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan kemudian memperbandingkan serta menghubungkan dengan teori yang berhubungan dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, Persamaannya kesatu bahwa praperadilan dan preliminary hearings sama-sama bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia, kedua berfungsi mengawasi tindakan upaya paksa terhadap tersangka, ketiga membutuhkan peran Hakim, Jaksa dan Kepolisian agar bisa melaksanakan pengawasan. Perbedaannya kesatu memiliki latar hukum yang berbeda, kedua praperadilan dilaksanakan ketika ada permohonan, preliminary hearings ada sebagai kesatuan dari tahap beracara pidana Amerika Serikat,ketiga perbedaan besar kecilnya kewenangan yang dimiliki. Kelebihan praperadilan kesatu merupakan sistem kontrol horizontal terhadap upaya paksa, kedua merupakan forum terbuka untuk menjamin hak asasi, ketiga keterbukaan merupakan syarat mutlak tegaknya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Kelemahan praperadilan terdapat pada kewenangan yang terbatas. Kelebihan preliminary hearings kewenangan yang dimiliki lebih luas daripada Praperadilan. Kelemahan preliminary hearings kesatu tidak memiliki kepastian hukum, kedua tidak memberi pembelajaran yang baik bagi orang yang melakukan perbuatan pidana, ketiga keterlibatan Grand Jury dalam pemeriksaan pendahuluan merugikan kedudukan tersangka. Kata kunci : PERBANDINGAN HUKUM, praperadilan, preliminary hearings
40
ABSTRACT
This research aims to find out the similarity and difference of the prejudicial system as the reflection of horizontal overseeing according to the Civil Code and the preliminary hearings system according to USA’s criminal procedure code as well as the strength and the weakness of the prejudicial system as the reflection of horizontal overseeing according to the Civil Code and the preliminary hearings system according to USA’s criminal procedure code.
This study belongs to a normative prescriptive research, finding the law in concerto whether there is or not the similarity and difference as well as the strength and weakness of prejudicial system according to the Civil Code compared with the USA’s criminal procedure code. The data type employed was secondary data. The secondary data employed included the primary and secondary law materials, and cyber media. The data analysis was done using data qualitative analysis by collecting data, qualifying and then comparing as well as connecting them to the theory relevant to the problems and drawing the conclusion for determining the result.
Considering the result of research and discussion, it can be concluded that: the similarities include: firstly, that the prejudicial and preliminary hearing both aims to protect the human’s rights; secondly they function to oversee the compelling action against the suspect; and thirdly they need the role of Judge, Prosecutor and Police to undertake the overseeing. The differences include: firstly, they have different legal background; secondly, prejudicial system is implemented when there is a request, while preliminary hearings exists as an integral part of criminal session stage of USA; and thirdly, the difference of authority magnitude they have. The strengths of prejudicial system include: firstly prejudicial system is a horizontal control system over the compelling action, secondly, it is an open forum for guarantying the human’s basic rights, and thirdly, the openness is an absolute condition for the enforcement of free and impartial trial. The weakness of prejudicial system includes: there is a limited authority. The strength of preliminary hearing is that the authority it has is wider than the prejudicial system’s. The weaknesses of preliminary hearing include: firstly, it does not have law certainty, secondly, it does not give good lesson for the criminal doer, and thirdly, the Grand Jury’s involvement in preliminary hearing is adverse to the suspect’s position.
Keywords: law comparison, prejudicial, preliminary hearings.
41
MOTTO
Ø Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar
menegakkan keadilan, menjadi saksi semata-mata karena Allah, biarpun
terhadap dirimu-sendiri, bapak-ibu dan kaum kerabatmu, sekalipun terdakwa
itu kaya atau miskin, maka Allah lebih mengutamakan persamaan hak dan
kewajiban terhadap keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
untuk memperkosa keadilan. Dan kalau kamu memutarbalikkan kenyataan
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(An Nisaa‘ :135)
42
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini penulis persembahkan
kepada:
v Bapak dan Ibu serta kakak-kakakku Adi
Irawan dan Evi Irawati, yang selalu menjadi
tauladan dan penyemangat untuk meniru
segala kebaikan dan meraih kesuksesan.
v Seseorang yang selalu menjadi motivasi,
yang senantiasa mendukung kuliah,
memberikan doa dan nasihat, semangat,
cinta dan kasih sayang serta waktu yang tak
ternilai harganya.
43
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis persembahkan kepada Allah SWT., karena dengan rahmat
dan hidayah-Nya yang telah menyertai Penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “STUDI
PERBANDINGAN HUKUM TERHADAP SISTEM PRAPERADILAN
SEBAGAI PENCERMINAN ASAS PENGAWASAN HORIZONTAL
MENURUT KUHAP DENGAN SISTEM PRELIMINARY HEARINGS
MENURUT USA’S CRIMINAL PROCEDURE CODE“.
Penulisan Hukum ini merupakan rangkaian persyaratan dan tugas yang harus
dipenuhi guna mencapai gelar Sarjana Strata-1 pada Ilmu hukum khususnya
hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, Penulis mengucapkan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu
kelancaran dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasihyang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. dr. M. Syamsulhadi, Sp, Kj, selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta .
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
4. Bapak Bambang Santosa, S.H., M.Hum selaku pembimbing Skripsi yang
telah memberikan bimbingan, memberi masukan, arahan dan pengetahuan
sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum
ini serta memberi semangat penulis.
5. Bapak Kristiyadi, SH.M.Hum, selaku Dosen Acara Pidana yang telah
berbagi ilmu
6. Ibu Diana Tantri, S.H, M. Hum. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas
Hukum UNS.
44
7. Pengelola Penulisan Hukum (PPH), khususnya Mas Wawan yang telah
membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari
pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai pendaftaran ujian
skripsi.
8. Bapak Bambang Santosa, S.H, M.Hum dan Bapak Mohammad Rustamaji,
S.H, M.H selaku dosen dan pembimbing MCC, Orang Tua dan Keluarga
di kampus yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis, membimbing
penulis untuk belajar membuat berkas-berkas persidangan. Sebuah
pengalaman dan pengetahuan yang sangat berharga dan berguna bagi
penulis.
9. My Love, thanks for loving, caring, and praying me.
10. Sahabatku Dewi Nuraini, Isma Nur Farida, Roro Jonggrang atas
persahabatan dan ketulusan kasih kepada Penulis.
11. Karib terbaikku, Tina to on, Sophiee, Julis, Okta, Fitrii, Yoga, thanks atas
bantuan selama penulis kuliah.
12. Temen-temenku di Mootcourt Community (MCC) angkatan 2006 Nia dan
Yaya yang selalu dibelakang mendukungku, Qomaruzzaman, Jojo, Eki dan
Adi Sasongko yang tidak pernah tertebak isi hatinya, Ari, Mega, Yurista
yang telah mengajarkan rasa iklhas dan peredam ego, Nanang dan Anies
akting hebat kalian, Nonie Kusuma Dewi atas pengertiannya, berbeda-
beda yang penting tetap satu untuk MCC.
13. Keluarga Baru MCC, terkhusus adek kecil, beranjak lah dewasa kaya
kakak, semoga kalian bisa jadi penerus MCC yang solid dan
membanggakan, amin.
14. Keluarga Besar sesepuh MCC 2003, mas Boo, mas phEtonk, mas Pringg,
mas Aan Beruang, sesepuh 2004, sekelompok manusia yang dengan
bangga selalu menyebut identitas dengan nama Panitia Delapan, bang
Fadli, mbak Dhaning, mbak Very Bos Genk, mas Juned, mas Oday, mas
Eka, mbak Nita, mbak Dilla, terima kasih untuk pelajaran berharganya,
petualangannya, semoga sesukses dan seberuntung kalian.
45
15. Dani imut, Okta Ngapax, Ghusnie, Dewi Ndut, Nisa, thanks buat
kebersamaannya dan kenangannya selama kuliah dan ujian.
16. Anak-anak 2006, terima kasih bisa menjadi bagian dari kalian selama
hampir 4 tahun yang dahsyat ini.
17. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu baik moril maupun material dalam Penulisan Hukum ini.
46
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................. v
ABSTRACT ............................................................................................ vi
HALAMAN MOTTO ............................................................................. vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................ ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 7
E. Metode Penelitian ................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan Hukum .............................................. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ...................................................................... 16
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum ........... 16
a) Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum ............... 16
b) Karakteristik Sistem Common Law dan Civil Law ... 18
2. Tinjauan Umum Tentang Praperadilan ........................... 25
a) Pengertian Praperadilan .............................................. 25
3. Tinjauan Umum Tentang Preliminary Hearings ........... 30
a) Pengertian Preliminary Hearings .............................. 30
B. Kerangka Pemikiran .............................................................. 32
47
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Sistem Praperadilan Sebagai
Pencerminan Asas Pengawasan Horizontal Menurut KUHAP
Dengan Sistem Preliminary Hearings Menurut USA’s Criminal
Procedure Code ...................................................................... 35
1. Pengaturan Sistem Praperadilan Dalam KUHAP ............... 35
a. Latar Belakang Sistem Praperadilan ............................ 35
b. Tujuan Sistem Praperadilan ......................................... 38
c. Pengertian Praperadilan ............................................... 40
d. Wewenang Praperadilan .............................................. 41
e. Proses Pemeriksaan Praperadilan ................................ 42
f. Gugurnya Pemeriksaan Praperadilan ........................... 45
2. Pengaturan Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s
Criminal Procedure Code ................................................ 46
a. Latar Belakang Sistem Preliminary Hearings
menurut USA’s Criminal Procedure Code .................. 46
a. Tujuan Sistem Preliminary Hearings menurut
USA’s Criminal Procedure Code ................................ 50
b. Pengertian Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s
Criminal Procedure Code ........................................... 53
c. Proses Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s
Criminal Procedure Code ........................................... 55
3. Persamaan dan Perbedaan ................................................. 61
1. Pembahasan ................................................................ 64
B. Kelebihan dan Kelemahan Sistem Praperadilan Sebagai
Pencerminan Asas Pengawasan Horizontal menurut
KUHAP dengan Sistem Preliminary Hearings ..................... 68
1. Pengaturan Sistem Praperadilan menurut KUHAP ........... 68
a. Kelebihan Sistem Praperadilan .................................... 68
b. Kelemahan sistem Praperadilan .................................. 69
48
2. Pengaturan Sistem Preliminary Hearings menurut
USA’s Criminal Procedure Code ..................................... 71
a. Kelebihan Preliminary Hearings ................................. 71
b. Kelemahan Preliminary Hearings ............................... 73
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 75
B. Saran ......................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 80
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam melakukan tugasnya, aparat penegak hukum khususnya (polisi,
jaksa, hakim) tidak terlepas kemungkinan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Salah satu upaya untuk
menjamin perlindungan hak tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan
pidana adalah melalui lembaga Praperadilan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Praperadilan merupakan lembaga baru di Indonesia yang sebelumnya
tidak ada semasa berlakunya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang
merupakan produk hukum dari pemerintah kolonial Belanda. Berlakunya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) telah menimbulkan perubahan fundamental terhadap sistem hukum
di Indonesia yaitu adanya peralihan sistem peradilan pidana dari sistem
inkuisitur (praduga bersalah) yang dianut semasa HIR ke sistem akusatur
(praduga tidak bersalah) hingga sekarang.
Mencermati perubahan fundamental dalam hukum pidana formil yang dimaksud, patut kita cermati pandangan Romli Atmasasmita bahwa, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana vide Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah meletakkan dasar
49
humanisme dan merupakan suatu era baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Dalam undang-undang ini tampaknya tujuan mencapai ketertiban dan kepastian hukum tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan yang diutamakan dan merupakan masalah besar adalah bagaimana mencapai tujuan tersebut sedemikian rupa sehingga perkosaan terhadap harkat dan martabat mausia sejauh mungkin dapat dihindarkan (Romli atmasasmita, 1996: 28).
Mencermati dari hal tersebut, lahir pemikiran untuk mengadakan
tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, agar aparatur penegak
hukum dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan
penyalahgunaan wewenang ataupun bertindak sewenang-wenang. Sehingga
untuk mengontrol perilaku aparat penegak hukum, diperlukan adanya suatu
pengawasan yang tidak hanya cukup, jika pengawasan tersebut bersifat intern
dalam lingkup satu instansi aparat penegak hukum (vertikal), namun juga
dibutuhkan suatu pengawasan silang antar lembaga penegak hukum
(horizontal). Bertolak dari pemikiran tersebut maka timbul suatu pertanyaan
mendasar yaitu apakah peraturan dalam KUHAP telah cukup memadai untuk
melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum dan melindungi hak
seorang tersangka dan terdakwa dalam suatu upaya paksa.
Mencermati kilasan sejarah lembaga Praperadilan, adanya gagasan
praperadilan tidak terlepas dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak
Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, khususnya di Amerika
Serikat, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia
khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus pada dasarnya merupakan suatu
jaminan serta pengamanan atas kemerdekaan pribadi melalui prosedur yang
sederhana, langsung dan terbuka yang dapat dipergunakan oleh siapapun
juga.
Melalui Habeas Corpus Act. maka seseorang melalui surat perintah
pengadilan dapat menuntut pejabat yang melakukan penahanan untuk
membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak melanggar hukum atau dengan
kata lain bahwa penahanan yang dilakukan adalah sah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Berbeda dengan peninjauan atas upaya paksa
melalui praperadilan, maka surat perintah Pengadilan yang berisikan Hak
1
50
Habeas Corpus tersebut tidak hanya ditujukan untuk penahanan yang terkait
dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk
penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi
seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi. Dalam perkembangannya surat
perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta perbaikan
terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di negara bagian di
Amerika Serikat.
Jika ditinjau secara universal, manusia pada dasarnya diciptakan sama
dalam harkat, martabat serta kedudukannya. Manusia lahir diberi oleh
Pencipta-Nya hak-hak mendasar yang melekat pada individu tersebut yang
bersifat hakiki. Hak-hak tersebut dimiliki tanpa memandang perbedaan ras,
suku, bangsa, jenis kelamin dan agama. Dalam piagam Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB) hak-hak ini telah diakui secara universal. Beberapa pasal
dengan spesifik menggambarkan hak-hak tersebut, antara lain yang adalah :
Article 13.(1) : Everyone has the right to freedom of movement and residence within
the borders of each state Article 17 (1) Everyone has the right to own property alone as well as in
association. (2) No one shall be arbitralily deprived of his property Nyatanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia berlaku
secara universal, sehingga setiap Negara harus senantiasa memberikan
perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Jika di
Amerika Serikat sudah dikenal adanya hak habeas corpus yang dijamin
dalam konstitusi dalam memberikan perlindungan terhadap suatu upaya
paksa, di Indonesia juga terdapat ketentuan mengenai pengaturan upaya
paksa. Hal tersebut dapat dilihat dari menganalisa ketentuan ketentuan Pasal
50 KUHAP yang menyebutkan bahwa “barangsiapa melakukan perbuatan
untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang tidak dipidana”.
Pengaturan ini dimaksudkan untuk melaksanakan hukum materiil
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mengingat dalam hukum materiil
pada Pasal 333 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan
51
bahwa “barangsiapa sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan
seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian,
diancam dengan pidana paling lama 8 tahun”. Dalam artian bahwa
pembatasan kemerdekaan seseorang seyogyanya dikenakan ancaman pidana,
namun dalam Pasal 333 ayat 1 KUHP terdapat kata “melawan hukum”, yang
artinya jika perbuatan tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum
merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Sedangkan dari pengertian
Pasal 50 KUHAP dapat disampaikan bahwa “upaya paksa” dikategorikan
sebagai upaya paksa yang dilakukan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana sebagai suatu bagian dari proses peradilan
pidana. Jika dalam pelaksanaan upaya paksa tersebut menunjukan adanya
penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum maka sebagai
pencerminan adanya asas pengawasan horizontal dapat diajukan ke lembaga
Praperadilan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang :
a. sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke Pengadilan.
Beberapa kasus yang menimpa masyarakat berkaitan dengan tindakan
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terdapat
beberapa contoh konkret tindakan penyalahgunaan wewenang ataupun
indikasi adanya kesewenang-wenangan yang berkaitan dengan peran serta
dan fungsi perlunya lembaga Praperadilan tersebut ditegakan di Indonesia,
seperti :
1. Adanya kasus penangkapan Mohammad Jibril yang disangka anggota
teroris dengan cara penculikan sebagai bagian dari upaya paksa yang
52
dilakukan aparat. (http://www.suarapembaharuan.co.id/2009/08/29/tidak-
terima-lapor-polisi.html).
2. Adanya salah tangkap yang disertai dengan penyiksaan tersangka oleh
Penyidik/Polri pada kasus pembunuhan di Jombang, yang berdasarkan
pengakuan tersangka dan terpidana, mereka mengalami penyiksaan dari
Penyidik/polri pada saat dilakukan penyidikan, itupun terungkap setelah
Ryan si Jagal dari Jombang mengakui dialah sebagai pembunuh korban
(http://www.surya.co.id/2009/02/18/karangan-bunga-di-pusara-korban-
jagal-jombang.html).
3. Penghentian proses hukum oleh Kejaksaan berkaitan dengan kasus BLBI
yang merugikan keuangan negara yang kemudian selang beberapa hari
ternyata dibalik penghentian proses hukum BLBI telah terjadi praktik
Korupsi yang melibatkan oknum dari Kejaksaan
(http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/03/01/brk,20080301-
118381,id.html).
Berdasarkan beberapa data dan berita yang beredar di media massa
maupun media cetak telah terjadi fenomena pelanggaran hak asasi di
Indonesia berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum. Yang menjadi pertanyaan mendasar apakah pengaturan mengenai
Praperadilan dalam KUHAP telah cukup dan memadai untuk melakukan
pengawasan terhadap aparat penegak hukum dan melindungi hak seorang
tersangka dan atau terdakwa dalam suatu upaya paksa.
Jika meninjau dari sistem peradilan pidana yang berkembang di
Amerika Serikat yang juga dikenal sebagai adversary system terdapat adanya
tahapan proses pemeriksaan Pre Trial Process sebagai lembaga Praperadilan
menurut versi Negara Paman Sam tersebut. Proses tersebut juga merupakan
suatu rangkaian proses untuk menyelesaikan perkara. Pre Trial Process
merupakan tahap pemeriksaan pendahuluan (mini court) yang berguna untuk
dapat menyelesaikan dan atau mempermudah perkara serta pembuktian
sebelum diajukan ke Persidangan dengan juri (trial by juri). Dalam
kenyataan, praktik peradilan menunjukan bahwa 90% dari mereka yang
53
dijatuhi hukuman untuk kejahatan berat di Amerika Serikat, telah menyatakan
dirinya bersalah di muka persidangan (Romly atmasasmita, 1996: 82).
Di dalam pre trial process tersebut, terdapat tahapan yang disebut
dengan preliminary hearing. Pelaksanaan Pre-trial Process ini melibatkan
police, prosecutor, jury serta coroner atau magistrate, ketika pada tahap
pertama penyidik meminta legal opinion dari Hakim untuk melakukan
penangkapan dan atau penahanan, setelah penyidik melakukan penahanan,
penyidik dapat meminta magistrate dan atau jury agar menanyakan tersangka
apakah mengakui kesalahannya atau tidak, dan jika ternyata tersangka
mengakui kesalahannya (plea of quilty) maka akan perkaranya akan segera
dilimpahkan ke Trial By Jury (sidang jury), jika tersangka menyatakan plea
of not quilty maka akan dimatangkan dengan meminta saran dari hakim
dengan mengadakan dengar pendapat antara polisi, jaksa dan hakim
(preminary hearing) untuk menentukan apakah seorang tersangka akan
dilanjutkan perkaranya ke sidang juri atau tidak.
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, untuk mengkaji sejauh
mana lembaga Praperadilan dapat bertindak sebagai pencerminan asas
pengawasan horizontal menurut KUHAP terhadap adanya tindakan hukum
upaya paksa, diperlukan adanya bahan perbandingan hukum yang cukup dari
peraturan mengenai criminal procedure law negara yang berbeda sistem
hukum dengan Indonesia, yaitu negara yang menganut sistem “Common Law
(Anglo Saxon)” khususnya di negara Amerika Serikat. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk menyusun penulisan hukum dengan judul “STUDI
PERBANDINGAN HUKUM TERHADAP SISTEM PRAPERADILAN
SEBAGAI PENCERMINAN ASAS PENGAWASAN HORIZONTAL
MENURUT KUHAP DENGAN SISTEM PRELIMINARY HEARINGS
MENURUT USA’S CRIMINAL PROCEDURE CODE”.
B. Perumusan Masalah
54
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti
merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :
1. Apakah persamaan dan perbedaan sistem Praperadilan sebagai
pencerminan asas pengawasan horizontal menurut KUHAP dengan sistem
preliminary hearings menurut USA's criminal procedure code?
2. Apakah kelebihan dan kelemahan sistem Praperadilan sebagai
pencerminan asas pengawasan horizontal menurut KUHAP dengan sistem
preliminary hearings menurut USA's criminal procedure code?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah dengan mengumpulkan berbagai
data dan informasi, kemudian dirangkai dan dianalisis yang bertujuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 1986: 2).
Tujuan merupakan target yang ingin dicapai sebagai pemecahan atas
permasalahan yang dihadapi (tujuan obektif) maupun untuk memenuhi
kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan sistem praperadilan
sebagai pencerminan asas pengawasan horizontal menurut KUHAP
dengan sistem preliminary hearings menurut USA's criminal
procedure code
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan sistem praperadilan
sebagai pencerminan asas pengawasan horizontal menurut KUHAP
dengan sistem preliminary hearings menurut USA's criminal
procedure code
2. Tujuan subyektif :
a. Untuk memperoleh data serta informasi yang penulis pergunakan
dalam penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar Sarjana
55
Strata Satu dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum di Unversitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk memperdalam pengetahuan penulis mengenai hukum acara pidana,
terkhusus dalam segi penerapan sistem Praperadilan sebagai pencerminan
asas pengawasan horizontal menurut KUHAP di Indonesia untuk
menjamin tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangka
dalam proses litigasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya, dan terkhusus dalam hukum acara pidana dalam
kaitannya dengan sistem Praperadilan sebagai pencerminan asas
pengawasan horizontal menurut KUHAP di Indonesia untuk
menjamin perlindungan hak asasi tersangka dengan cara
membandingkannya dengan dengan sistem preliminary hearings
menurut USA's criminal procedure code, serta guna menambah
literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah.
b. Memperkaya referensi tentang kajian perbandingan hukum guna
mengetahui lebih dalam, sejauh mana suatu produk hukum dan atau
penerapan suatu sistem hukum telah berjalan secara berhasil guna dan
berdaya guna bagi masyarakat dengan cara membandingkannya
dengan produk hukum dan atau sistem hukum yang lainnya.
2. Manfaat Praktis
a. Meningkatkan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi
peneliti akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan
sebagai bahan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak
yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak
yang berminat pada masalah yang sama.
b. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti
56
E. Metode Penelitian
Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. (Peter Mahmud Marzuki, 2006:35). Penelitian hukum
dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena
itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-
how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki,
2006:41).
Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih
dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya (Johnny Ibrahim, 2006:26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu
hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan
peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya
tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dam aktualitasnya (Johnny Ibrahim,
2006: 28).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian yang
dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian Hukum normatif memiliki
definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian
berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim,
2006:44)
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri.
Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya
sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan
57
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:22).
Dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai
persamaan dan perbedaan sistem Praperadilan sebagai pencerminan asas
pengawasan horizontal menurut KUHAP dengan sistem preliminary
hearings menurut USA's criminal procedure code serta kelebihan dan
kelemahan sistem praperadilan sebagai pencerminan asas pengawasan
horizontal menurut KUHAP dengan sistem preliminary hearings menurut
USA's criminal procedure code.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beberapa
pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (satute approach),
pendekatan konseptual (concentual approach), pendekatan analitis
(analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat
(philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny
Ibrahim, 2006:300).
a. Pendekatan Perundang-Undangan
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
Untuk itu penulis harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis.
2. All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut
cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada,
sehingga tidak akan kekurangan hukum.
3. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang
lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
b. Pendekatan Konsep
58
Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak
yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang
kadang kala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstrakkan dari
hal-hal yang partikular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah
memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut
pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-
atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil
menggabungkan kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam
proses pikiran.
c. Pendekatan Analitis
Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui
makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam
aturan perundang-undangan secara konseptional sekaligus mengetahui
penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Hal ini
dilakukan melalui dua pemeriksaan:
a. pertama, sang penulis berusaha memperoleh makna baru yang
terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan.
b. kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam praktik
melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum.
d. Pendekatan Perbandingan
Pentingnya pendekatan ilmu hukum karena dalam bidang hukum
tidak memungkinkan dilakukan suatu eksperimen, sebagaimana yang
biasa dilakukan dalam ilmu empiris. Pendekatan perbandingan
merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normative
untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institution)
dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang
lebih sama dari system hukum) yang lain. Dari perbandingan tersebut
dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua system
hukum itu.
e. Pendekatan Historis/ Sejarah
59
Setiap aturan perundang-undangan memiliki latar belakang sejarah
yang berbeda. Menurut perspektif sejarah, ada dua macam penafsiran
terhadap aturan perundang-undangan. Pertama, penafsiran menurut
sejarah hukum dan kedua, penafsiran menurut sejarah penetapan
peraturan perundang-undangan.
f. Pendekatan Filsafat
Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan spekulatif,
penjelajahan filsafat akan mengupasnya secara mendalam.
Berdasarkan ciri khas filsafat tersebut, dibantu beberapa pendekatan
yang tepat, seyogyanya apa yang dinamakan Ziegler sebagai
Fundamental Research, yaitu penelitian untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi sosial dan efek
penerapan suatu aturan perundang-undangan terhadap masyarakat atau
kelompok masyarakat yang melibatkan penelitian terhadap sejarah,
filsafat, ilmu bahasa, ekonomi serta implikasi sosial dan politik
terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.
g. Pendekatan Kasus
Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang
telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi
terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-
kasus yang terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian
normative, kasus-kasus itu dipelajari untuk memperoleh gambaran
terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam
praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan
masukan dalam eksplanasi hukum.
Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penelitian hukum ini adalah pendekatan undang-undang, dan pendekatan
perbandingan. Pendekatan Undang-Undang digunakan untuk mengkaji
sinkronisasi antara hukum sebagai tool social of engineering dengan
60
pelaksanaan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang dimiliki oleh
tersangka untuk kemudian digunakan untuk mengkaji persamaan dan
perbedaan serta kelebihan dan kelemahan sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia dan Amerika Serikat. Sedangkan pendekatan perbandingan
digunakan untuk mengetahui penerapan hukum acara kedua negara,
dengan memperbandingkan kegunaan sistem hukum masing-masing dalam
menjamin hak tersangka ataupun pihak ketiga yang berkepentingan.
4. Jenis Dan Sumber Data
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud
Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak
mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum
dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
terdiri dari;
1) UUD 1945 amandemen ke IV.
2) UU no. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3) USA’s Criminal Procedure Code.
4) Undang-Undang Dasar California
5) Universal Declaration of Human Right
b. Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki,
2005:141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dalam
penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal
hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi
untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan
jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi
61
maupun literature-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang
dibahas berdasarkan data sekunder. Dari data tersebut kemudian dianalisis
dan dirumuskan sebagai data penunjang di dalam penelitian ini.
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yaitu menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 393).
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan
tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja yang disarankan oleh data (Lexi
J. Moleong, 2009:103). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik
analisis data kualitatif yaitu dengan mengumpulkan data,
mengkualifikasikan kemudian menghubungkan teori yang berhubungan
dengan masalah dan menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Guna mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai bahasan dalam
penulisan hukum ini, penulis dapat menguraikan sistematika penulisan hukum ini
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang
digunakan dalm penyusunan penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori yang menjadi
landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan
literature-literature yang berkaitan dengan penulisan hukum ini.
Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang peristilahan atau
definisi perbandingan hukum, Tinjauan umum tentang
Praperadilan dalam KUHAP. Tinjauan umum tentang preliminary
hearings menurut USA’s criminal procedure code.
62
BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil
yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah
yang diteliti, terdapat hal pokok permasalahan yang dibahas dalam
bab ini yaitu persamaan dan perbedaan sistem Praperadilan sebagai
pencerminan asas pengawasan horizontal menurut KUHAP dengan
sistem preliminary hearings menurut USA's criminal procedure
code serta kelebihan dan kelemahan sistem Praperadilan sebagai
pencerminan asas pengawasan horizontal menurut KUHAP dengan
sistem preliminary hearings menurut USA's criminal procedure
code
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang
dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses
meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada
para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum
Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan:
comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa
63
Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan
tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai
conflict law atau dialihbahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang
artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 6)
Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah
perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan
teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah
yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum acara,
yaitu perbandingan hukum acara pidana.
Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu
dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum
terkenal.
Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72).
Perbandingan hukum adalah metoda umum dari suatu perbandingan
dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum.
Para pakar hukum ini adalah : Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David,
dan George Winterton. (Romli Atmasasmita, 2000 : 8)
Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu
pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan)
mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan
16
64
perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. Ole
Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup :
“analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah
menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai
cabang ilmu hukum. Hesel Yutena mengemukakan definisi perbandingan
hukum sebagai berikut: Comparative law is simply another name for legal
science, or like other branches of science it has a universal humanistic
outlook : it contemplates that while the technique nay vary, the problems
of justice are basically the same in time and space throughout the world.
Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan
merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti
cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang
universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya
sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 9)
Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai
berikut : Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining
similarities and differences and finding out relationship between various
legal systems, their essence and style, looking at comparable legal
institutions and concepts and typing to determine solutions to certain
problems in these systems with a definite goal in mind, such as law reform,
unification etc.
Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum
dikemukakan oleh Zweigert dan Kort yaitu : Comparative law is the
comparison of the spirit and style of different legal system or of
comparable legal institutions of the solution of comparable legal problems
in different system.
Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari
dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metoda
perbandingan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 12)
65
b. Karakteristik Sistem Common Law dan Sistem Civil Law
1) Karakteristik sistem hukum Inggris pada umumnya, khususnya dalam
hukum pidana dan acara pidana.
Pertama. Sistem hukum Inggris bersumber pada :
a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di inggris.
Lahir dan berasal dari (sebagian) hukum romawi. Tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon yang hidup pada
abad pertengahan. Pada abad ke 14 Custom melahirkan
“common law” dan kemudian digantikan dengan precedent.
b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk melalui
parleman. undang-undang yang dibentuk itu disebut statutes.
Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah merupakan salah
satu sumber hukum di inggris. Pada masa itu undang-undang
dikeluarkan oleh Raja dan “Grand-Council” (terdiri dari kaum
bangsawan terkemuka dan Penguasa Kota London). Selama
abad ke 13 dan 14 Grand Council kemudian dirombak dan
terdiri dari dua badan yaitu, Lords dan Common; kemudian
dikenal sebagai Parlemen (Parliament). Sampai abad ke 17,
Raja dapat bertindak tanpa melalui Parlemen. Akan tetapi
sesudah abad ke 17 dengan adanya perang saudara di Inggris,
telah ditetapkan bahwa di masa yang akan datang semua
undang-undang harus memperoleh persetujuan Parlemen sejak
tahun 1832 dengan Undang-Undang Pembaharuan (Reformasi
Act), House of Common merupakan suatu badan yang
demokratis dan mewakili seluruh penduduk Inggris dan karena
itu merupakan wakil perasaan keadilan seluruh rakyat Inggris.
Sejak saat itu Legislation merupakan salah satu sumber hukum
yang penting sejak Code Napoleon (1805) dikembangkan,
Inggris telah mengambil manfaat dari apa yang terjadi di
Perancis, dan legislation dipergunakan sebagai alat
pembaharuan hukum di Inggris.
66
c) Case-law, sebagai slah satu sumber hukum Inggris mempunyai
karakteristik yang utama. Seluruh hukum kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakat tidak melalui Parlemen, akan
tetapi dilakukan oleh para hakim, sehingga dikenal dengan
istilah ”Judge-made law”. Setiap putusan hakim di inggris
merupakan precedent bagi hakim yang akan datang, sehingga
lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang.
Kedua. Sebagai konsekuensi dipergunakannya case-law
dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem
hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas.
Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka
kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas
dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang
tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris
diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu
undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut
tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang
dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan
putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan
asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim
Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut,
sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem
hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.
Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common
Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan
pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti:
“suatu perbutan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali
jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem
hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari
kualifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum
Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap
67
perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan
karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat
(evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan
dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris
memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan mengatakan:
“In order that an act should be punishable it must be morally
blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall, mengatakan bahwa
Means-Rea adalah “a voluntary doing of morally wrong act
forbidden by penal law”.(Roeslan Saleh, 1982:23)
Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris)
pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya: a)
actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini
adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban
pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut sebelum
dilakukan penuntutan (Roeslan Saleh,1982:28). Dewasa ini dalam
peraturan perundangan modern unsur “mens-rea” ini tidak lagi
dianggap sebagai syarat utama, misalnya pada delik-delik tentang
ketertiban umum atau kesejahteraan umum.
Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang
menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara
Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan
tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau
“felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan
terhadap negara atau “treason”. Setelah dikeluarkannya “Criminal
Law Act” (1967) pembedaan sebagai berikut:
a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat yang
hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui pengadilan yang
disebut Crown Court.
b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang berat
yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan (magistrate
court) tanpa dengan sistem Juri.
68
c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang diancam
dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun kepada seorang
pelaku kejahatan yang belum pernah melakukan kejahatan.
Penangkapan terhadap pelaku tersebut dilakukan tanpa surat
perintah penangkapan. Klasifikasi terbaru mengenai tindak
pidana dalam sistem hukum pidana Inggris dicantumkan dalam
criminal law act tahun 1977.
Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di
negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem
accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan sebutan
“Advesary System”. Sistem accusatoir atau adversary system
menempatkan tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan
dan pemeriksaan di muka sidang-sidang pengadilan sebagai subjek
hukum yang memiliki hak (asasi) dan kepentingan yang harus
dilindungi.
Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada
umumnya negara-negara yang menganut sistem Common Law
adalah bersifat komulatif. Sistem pemidanaan tersebut
memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena
melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua tuntutan
tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka pelaku tindak
pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua ancaman hukuman yang
dikenakan kepadanya.
2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda pada umumnya, khususnya
dalam hukum pidana dan acara pidana
Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law System)
bersumber pada :
a) Undang-Undang Dasar;
b) Undang-undang;
c) Kebiasaan case-law;
d) Doktrin
69
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum
pidana umum adalah sebagai berikut :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau
Wetboek van Strafrecht).
b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of Crime
Procedure atau Wetboek van Strafvordering).
c) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan dan
tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan (Judicial Act
atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).
Kedua. Karakateristik kedua dari sistem hukum Belanda
(Civil Law System) adalah dianutnya asas legalitas atau “the
principles of legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut:
a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali
telah ditentukan dalam undang-undang terlebih dahulu.
Undang-undang dimaksud adalah hasil dari perundingan
Pemerintah Parlemen.
b) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan
pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran
analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana.
c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.
d) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas
dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri
belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari
prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pelaksana /
praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Mengingat penafsiran
yang bersifat kaku terhadap ketentuan undang-undang menurut
asas legalitas ini, maka peranan putusan Mahkamah Agung
menjadi lebih penting. (Romli Atmasasmita, 2000 : 48)
70
Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan
dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal
pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid).
Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut
hukum pidana Belanda adalah adanya gabungan antara perbuatan
yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan
pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat)
dilakukan seseorang.
b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup
definisi pelanggaran.
c) Bersifat melawan hukum.
Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban
pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi
gabungan dari syarat-syarat adanya sifat pertanggungjawaban
pidana dan kekecualian-kekecualian dari pertanggungjawaban
pidana.
Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum
pidana Belanda mengakibatkan keterikatan hakim terhadap isi
ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara pidana.
Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi
ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat
membentuk delik-delik baru.
Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal
pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran
(Overtredingen). Pembedaan dimaksud berasal dari perbedaan
antara mala in se dan mala prohibita yaitu perbedaan yang dikenal
dalam hukum Yunani. Mala in se adalah perbuatan yang disebut
sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah jahat. Sedangkan
Mala prohibita, suatu perbuatan yang dilarang. Pembedaan antara
71
kejahatan karena undang-undang menetapkan sebagai perbuatan
yang dilarang. Pembedaan anatara kejahatan dan pelanggaran
tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya
pengertian istilah “rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan
tersebut tidak dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan
pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya;
kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari
pelanggaran.
Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara
yang berlandaskan “Civil Law System” pada umumnya adalah
sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan tersangka
sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan
pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang
pengadilan.
Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya di
negara-negara yang berlandaskan civil law system adalah sistem
pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif, dengan batas
minimum dan maksimum anaman pidana yang diperkenankan
menurut Undang-Undang.
Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang
melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan di
atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai
perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang menganut
sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih menampakkan dirinya
keluar dari batas wilayah yuridiksi sistem “Common Law”.
Perkembangan penerapan sistem “Civil Law” di negara dunia
ketiga pada awalnya dipaksakan jika dibandingkan dengan
penerapan penggunaan sistem “Common Law” di negara-negara
bekas jajahan-jajahannya. Sebagai contoh penggunaan dan
pemakaian sistem hukum Belanda di Indonesia dan sistem hukum
Inggris dan Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik
72
yang sama antara kedua sistem hukum (legal system) tersebut
adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin liberalisme.
(Romli Atmasasmita, 2000 :50)
2. Tinjauan Umum Tentang Pra Peradilan
Berdasarkan Pasal 1 ayat 10, praperadilan adalah wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang :
d. sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
e. sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
f. permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan.
Praperadilan tersebut secara limitatif umumnya diatur dalam Pasal
77 sampai Pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Sebenarnya upaya pra-peradilan tidak hanya sebatas itu, karena secara
hukum ketentuan yang mengatur tentang pra-pradilan menyangkut juga
tentang tuntutan ganti kerugian termasuk ganti kerugian akibat adanya
“tindakan lain” yang di dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP
ditegaskan kerugian yang timbul akibat tindakan lain yaitu, kerugian yang
timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak
sah menurut hukum.
Aturan Praperadilan secara lengkap dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut :
Tabel. 1 Ketentuan KUHAP terkait Praperadilan
No. Pasal Bunyi Pasal
1. Pasal 1 butir 10 Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusmenurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
73
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
2. Pasal 77 Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yangdiatur dalam undang-undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
3. Pasal 78 (1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
4. Pasal 79 Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
5. Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
6. Pasal 81 Permintaan ganti kerugian dan atau
74
rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
7. Pasal 82 (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: a. dalam waktu tiga hari setelah
diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknyapenangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;
c. perneriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
75
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut : a. dalam hal putusan menetapkan
bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing- masing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95
8. Pasal 83 (1) terhadap putusan praperadilan dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
76
Pasal 80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding.
(2) Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
9. Pasal 95 (1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.
10. Pasal 97 ayat (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
77
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77
Menurut M Sofyan Lubis, dalam Praperadilan Menurut KUHAP “pra peradilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, atau tentang permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi, akan tetapi upaya pra-pradilan dapat juga dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. ( Vide : Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982 ), atau akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.” (http://hukumonline.co.id/artikel.html>).
3. Tinjauan Umum Tentang Preliminary Hearings
Pada perkara pidana, tahapan preliminary hearings (pemeriksaan
pendahuluan) merupakan proses lanjutan setelah adanya pidana pengaduan
yang telah diajukan oleh jaksa, untuk menentukan apakah terdapat cukup
bukti untuk meminta pengadilan (Trial). Berbicara mengenai preliminary
hearings menurut Romli Atmasasmita, sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem penegakan hukum secara menyeluruh (criminal
justice system) serta “plea bargaining” yang jelas akan selalu terjadi dalam
rangkaian penanganan perkara pidana. (Romli Atmasasmita, 1996: 110).
Adanya bargaining antara para pihak yang berperkara pada
preliminary hearings, tersangka memiliki pilihan hukum dengan mengaku
bersalah (plea of guilty) atau tidak mengaku bersalah (plea of not guilty)
terhadap tuduhan dari jaksa. Apabila seorang tertuduh menyatakan dirinya
bersalah atas kejahatan yang dilakukan maka Pengadilan akan memberikan
timbal balik dengan menurunkan perkara menjadi kejahatan ringan dan
sanksi yang lebih ringan pula.
78
Di Amerika Serikat, hakim harus menemukan adanya suatu
penyebab kejahatan tersebut telah benar-benar dilakukan oleh orang yang
dianggap sebagai pelaku kejahatan. Pada proses ini Jaksa akan meminta
legal opinion dari Hakim, untuk mengetahui apakah penahanan yang
dilakukan tersebut sah secara hukum dan apakah rancangan dakwaan dapat
diajukan ke sidang Pengadilan.
Pada preliminary hearings Pengadilan memberikan kewenangan
kepada hakim untuk memutuskan sebagai berikut :
- Menghentikan tuduhan (rancangan dakwaan) dan melepaskan tersangka
(jika tuduhannya dianggap tidak sah),
- Menurunkan perkara menjadi kejahatan ringan,
- Memutuskan bahwa negara menganggap perkaranya sah sehingga layak
dilanjutkan ke sidang penuh (full scale trial)
4. KERANGKA PEMIKIRAN
Untuk mempermudah gambaran dari penelitian ini dapat dilihat dari
kerangka pemikiran sebagai berikut :
Perbandingan Hukum
Pra Peradilan Pre Trial Process
Preliminary Hearings (USA’s Criminal
Procedure Code)
Pengawasan Horizontal (KUHAP)
Polisi Jaksa
Hakim
Persamaan dan Perbedaan Sistem PraPeradilan Pidana
Civil Law Common Law
79
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Dalam melakukan tugasnya aparat penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim) tidak terlepas kemungkinan bahwa dalam menjalankan tugasnya
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan hak tersangka atau
terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga pra
peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bertolak dari hal tersebut maka
diperlukan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, agar
dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyalahgunaan
wewenang. Sehingga diperlukan adanya suatu pengawasan yang tidak
hanya cukup, jika pengawasan tersebut bersifat intern dalam perangkat
aparat itu sendiri (vertikal), namun juga dibutuhkan suatu pengawasan
silang antar lembaga aparatur penegak hukum (horizontal). .
80
Keberadaan adanya pra peradilan di dalam KUHAP juga tidak
dapat dilepaskan dari inspirasi yang bersumber dari adanya Hak Habeas
Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, khususnya di Amerika
Serikat, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi
manusia khususnya hak kemerdekaan. Jika melihat kilas balik sejarah
dari hukum Amerika Serikat, maka akan dapat diamati bahwa sistem
hukum yang dianut oleh negara tersebut bercorak common law yang
mana merupakan asal muasal dari adanya hak habeas corpus. Berdasar
pada adanya tujuan utama yaitu “due process model” pada sistem
peradilan pidana yang dianut oleh Amerika Serikat juga terdapat adanya
proses preliminary hearings yang merupakan bentuk pra peradilan
berdasarkan USA's Criminal Procedure Code.
Untuk mengkaji sejauh mana lembaga Praperadilan dapat berguna
sebagai pencerminan asas pengawasan horizontal terhadap adanya
tindakan hukum upaya paksa, diperlukan adanya bahan perbandingan
hukum yang cukup dari peraturan mengenai Criminal Procedure Law
negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda pula dengan
Indonesia, yaitu negara-negara yang menganut sistem “Common Law
(Anglo Saxon)” khususnya di negara Amerika Serikat
Berangkat dari konsep tersebut penulis mencoba
memperbandingkan mekanisme penerapan asas pengawasan horizontal
melalui lembaga pra peradilan pidana yang berkembang dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia (eropa kontinental) dan proses pra
peradilan pidana yang berkembang dalam sistem peradilan pidana
Amerika Serikat (common law ). Hal tersebut diperlukan untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan dalam hal penerapan mekanisme
pra peradilan serta kelemahan dan kelebihan masing-masing sistem
hukum tersebut dalam memberikan jaminan perlindungan hak tersangka
atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dilakukannya tindakan upaya
paksa.
81
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Sistem Praperadilan Sebagai Pencerminan
Asas Pengawasan Horizontal Menurut KUHAP Dengan Sistem
Preliminary Hearings Menurut USA’s Criminal Procedure Code
1. Pengaturan Sistem Praperadilan dalam KUHAP
a. Latar Belakang Sistem Praperadilan
Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara
konsepsial maupun secara implementasi terhadap tata cara penyelesaian
perkara pidana di Indonesia. Perubahan tersebut telah membawa
kebebasan dan kemerdekaan sebagai suatu hak yang istimewa dan harus
dipertahankan oleh setiap warga negara, yang sebelumnya tidak berlaku
ketika era hukum kolonial Belanda. KUHAP sebagai pengganti hukum
kolonial berusaha mengakomodisi tata cara pelaksanakan hukum pidana
yang lekat dengan adanya upaya paksa, dengan tetap menyelaraskan
terhadap penghormatan hak-hak yang dimiliki tiap individu, seperti
telah disebutkan di dalam penjelasan umum KUHAP.
Menurut Adnan Buyung Nasution, lahirnya KUHAP didasarkan pada dua alasan, yaitu alasan untuk menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya suatu peradilan pidana yang adil dan adanya alasan urgensi untuk menggantikan produk hukum acara yang bersifat kolonial sebagaimana yang tercantum dalam Herzeine Inlandsch Reglement atau HIR. Pedoman pelaksanaan KUHAP menjelaskan bahwa HIR sebagai produk dari badan legislatif kolonial belum mampu memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak asasi manusia. Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP sebagai produk hukum nasional telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari HIR (http://www.google.co.id/search?q=ervan+Saropie+skripsi&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a)
82
Ketentuan-ketentuan yang dimaksud seperti dicantumkannya
pengaturan tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, adanya bantuan
hukum pada semua tingkatan pemeriksaan, persyaratan dan pembatasan
terhadap upaya paksa penangkapan atau penahanan, pengajuan jenis-
jenis upaya hukum yang lebih lengkap sampai dengan tingkat terakhir
serta adanya bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
merupakan hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR.
Dalam rangka melaksanakan pembaharuan terhadap hukum
acara pidana, kemudian berkembang pemikiran bahwa tindakan koreksi
terhadap aparat penegak hukum khususnya polisi, jaksa dan hakim
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannnya harus dilaksanakan
dengan optimal, agar pelaksanaan tersebut dapat dilaksanakan, maka
dibutuhkan sistem pengawasan secara vertikal dan horizontal. Lahirnya
lembaga praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan bahwa tidak
terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin hak
asasi manusia di dalam HIR. Praperadilan, pada prinsipnya bertujuan
untuk melakukan pengawasan horizontal atas segala upaya paksa yang
dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan
perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan hukum, disamping adanya pengawasan intern dalam
perangkat aparat itu sendiri.
Disadari bahwa diperlukan tindakan-tindakan tertentu dimana suatu tindakan akan melanggar hak asasi seseorang, yakni tindakan upaya paksa yang diperlukan bagi suatu penyidikan sehingga dapat menghadapkan seseorang ke depan pengadilan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, akan tetapi bagaimanapun juga upaya paksa yang dilaksanakan tersebut akan menuruti aturan yang telah ditentukan dalam undang-undang sehingga bagi seorang yang disangka atau didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut, dimana tindakan tersebut akan mengurangi hak asasinya. (M. Yahya Harahap, 2003: 68)
35
83
Sebagai sumber dari segala sumber hukum, UUD 1945 telah
menjamin adanya jaminan perlindungan dan pengakuan hak asasi
manusia di Indonesia. Sebagai salah satu pelaksana tersebut, tercermin
dari Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengenai pengakuan jaminan dan perlindungan
hak asasi manusia.
Pasal 7
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari
kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Pasal 8
1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 9
1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitasi.
2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi,
dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.
Seorang aparat dalam menjalankan kewajibannya sebagai
penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan yang berlaku,
sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan
84
pemeriksaan demi terciptanya keadilan dan ketertiban masyarakat justru
mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka atau pihak
ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu untuk memberikan
jaminan terhadap perlindungan hak seseorang atas upaya paksa yang
telah dilakukan oleh aparatur penegak hukum, maka KUHAP mengatur
suatu lembaga yang dinamakan praperadilan. Hadirnya praperadilan
bukan merupakan lemabaga peradilan sendiri, tetapi hanya merupakan
pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP
kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini (M. Yahya
Harahap, 2003: 1)
b. Tujuan Sistem Praperadilan
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya
kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi
kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan
tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan
sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi
penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan
dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara
bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang
berlaku. Jika tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan
hukum dan undang-undang hal tersebut merupakan perampasan
terhadap hak asasi tersangka.
Praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa
yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka,
supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum
serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai
dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun
perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan
85
penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak
terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun.
Lembaga yang memberi wewenang pengawasan terhadap
tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses,
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang dilimpahkan
KUHAP kepada Praperadilan. Kalau begitu, pada prinsipnya tujuan
utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan
”pengawasan horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan
terhadap tersangka selama ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan
atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum dan undang-undang ( M. Yahya Harahap,
2000:4 ).
Berkenaan untuk menemukan tujuan adanya lembaga
Praperadilan sebagai cerminan asas pengawasan horizontal bagi
aparatur penegak hukum dalam melakukan upaya paksa, perlu
dicermati lebih dalam, pertama tentang ketentuan Pasal 333 (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa
“barangsiapa sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan
seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian,
diancam dengan pidana paling lama 8 tahun”. Yang kedua tentang
ketentuan Pasal 50 KUHAP yang menyebutkan bahwa “barangsiapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang
tidak dipidana”. Sepintas jika melihat ketentuan Pasal yang pertama
tersebut dapat disimpulkan bahwa jika ada pembatasan kemerdekaan
seseorang maka akan dikenakan ancaman pidana, namun lebih lanjut,
dalam Pasal 333 ayat 1 KUHAP perlu dicermati terdapat kata
“melawan hukum”, yang artinya jika perbuatan tersebut dilakukan
dengan cara melawan hukum merupakan suatu pelanggaran hak asasi
manusia. Sedangkan jika digabungkan dengan pengertian Pasal 50
KUHAP dapat dianalisis dan ditarik kesimpulan bahwa upaya paksa
dikategorikan sebagai upaya paksa yang dilakukan berdasarkan
86
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai suatu
bagian dari proses peradilan pidana.
Untuk tetap menjaga keseimbangan antara para pihak yang
berperkara, tersangka dalam rangkaian proses hukum harus tetap
mendapatkan kebebasan dan mendapatkan penasehat hukum, hal ini
menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator, yaitu
tersangka dalam pemeriksaan dipandang sebagai subjek yang berhadap-
hadapan dengan lain pihak yang memeriksa atau mendakwa yaitu
kepolisian atau kejaksaan sedemikian rupa sehingga kedua pihak
mempunyai hak-hak yang sama nilainya (asas accusatoir) (M.Yahya
Harahap, 2002:40).
c. Pengertian Praperadilan
Menurut Ratna Nurul Lafiah berdasarkan pedoman pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dasar tewujudnya
praperadilan adalah demi pentingnya pemeriksaan perkara, karena
diperlukan adanya pengurangan-pengurangan dari hak-hak asasi
tersangka, namun bagaimanapun juga hendaknya pengurangan hak,
selalu berdasar ketentuan yang diatur dalam undang-undang (Ratna
Nurul Lafiah, 1986: 74). Maka untuk kepentingan pengawasan terhadap
perlindungan hak-hak asasi tersangka atau terdakwa diadakan suatu
lembaga yang dinamakan praperadilan.
Menurut Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Praperadilan adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut
cara yang diatur undang-undang ini tentang :
1) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
2) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
87
3) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan pada penjelasan diatas, Praperadilan hanyalah
menguji dan menilai kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum khususnya mengenai
tindakan penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan
permintaan ganti kerugian serta rehabilitasi.
d. Wewenang Praperadilan
1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan
penahanan. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat
meminta kepada Praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya
tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya.
2) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan. Penyidik maupun penuntut umum
berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan.
Alasan penghentian penyidikan yaitu hasil pemeriksaan penyidikan
atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke
sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan kepada tersangka
bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana.
Dimungkinkan juga penghentian penyidikan atau penuntutan
dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem,
karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan
tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan
sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian
dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara
yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa
untuk menuntut.
3) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi
88
Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian
yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat hukumnya
kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka
berdasarkan alasan :
a) Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
b) Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang
bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang;
c) Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti
ditangkap, ditahan atau diperiksa.
d) Memeriksa permintaan rehabilitasi
Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus
permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya
atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan
tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Atau
rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang
pengadilan.
4) Praperadilan juga berwenang memeriksa dan memutus sah atau
tidaknya tindakan penyitaan
Terhadap penggeledahan ataupun penyitaan pun dapat diajukan ke forum Praperadilan, baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan sebagai berikut :
1) Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan Ketua Pengadilan Negeri mutlak menjadi yurisdiksi Praperadilan untuk memeriksa keabsahannya.
2) Dalam hal, penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri, tetap dapat diajukan ke forum Praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni : a) Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau surat
persetujuan yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri tentang hal itu.
b) Yang dapat dinilai oleh Praperadilan, terbatas pada masalah pelaksanaan surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak (M. Yahya Harahap, 2004:7-8).
89
e. Proses Pemeriksaan Praperadilan
Proses pemeriksaan Praperadilan untuk ketiga hal yaitu
pemeriksaan sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79
KUHAP), pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan (Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81
KUHAP) ditentukan beberapa hal berikut :
1) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan
Praperadilan, hakim yang ditunjuk akan menetapkan hari sidang;
2) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,
hakim akan mendengar keterangan baik dari tersangka atau
pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
3) Pemeriksaan Praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-
lambatnya dalam waktu tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya;
4) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan
Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada
Praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur;
5) Putusan Praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan Praperadilan lagi
pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu
diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1 sampai
dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP);
6) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam ketiga hal
tersebut di atas harus memuat harus memuat dengan jelas dasar dan
alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP);
90
7) Selain daripada yang tersebut pada butir 6, putusan hakim itu
memuat pula :
a) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan
atau penahanan tidak sah maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka.
b) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau
penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan.
c) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti rugi dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan
dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah
sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya.
d) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada
yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan
dicantukan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan
kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita
Telah dijelaskan dimuka bahwa proses hukum Praperadilan dalam
KUHAP ada, apabila tersangka atau terdakwa atau pihak ketiga merasa
dirugikan oleh tindakan aparat penegak hukum yang dalam hal ini
kepolisian dan kejaksaan dalam menjalankan upaya paksa.
Untuk mempermudah melihat kedudukan atau tahap
berlangsungnya Praperadilan dalam prosedur pemeriksaan pidana maka
akan disajikan gambar sebagai berikut :
91
DIAGRAM PEMROSESAN KASUS TINDAK PIDANA
Gambar 2. Alur Proses Pemeriksaan Pidana Indonesia
f. Gugurnya Pemeriksaan Praperadilan
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d, yang
berbunyi: “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh
Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada
Praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur”.
Mencermati Pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemeriksaan
Praperadilan bisa gugur meskipun belum dijatuhkan putusan. Gugurnya
pemeriksaan Praperadilan dapat terjadi bila :
Pembuktian Persidangan Penuntutan
Tindakan Polisional
Upaya Paksa
Berita Acara Pemeriksaan
Praperadilan
Hakim
Tersangka Polisi Penyidik
Delik
92
1) Apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri,
2) Pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan
Praperadilan belum selesai.
Apabila perkara telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dengan
sendirinya pemeriksaan Praperadilan akan gugur meskipun pemeriksaan
Praperadilan tersebut belum sampai pada putusan. Ini dimaksudkan
untuk menghindari terjadinya penjatuhan putusan yang berbeda.
2. Pengaturan Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s Criminal
Procedure Code
a. Latar Belakang Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s Criminal
Procedure Code
Amerika Serikat merupakan suatu negara dengan sistem
federasi yang terdiri dari lima puluh dua (52) negara bagian. Masing-
masing negara bagian memiliki sumber hukum yang berdiri tersendiri
dan berbeda antara yang satu dengan negara bagian yang lain. Setiap
negara bagian tersebut mempunyai kitab undang-undang hukum acara
(code of procedure) masing-masing. Keanekaragaman hukum ini tidak
terlepas dari awal mula berdirinya negara Amerika Serikat.
Sejarah akan adanya hukum yang berkembang di Amerika
dimulai pada awal abad ketujuh belas silam. Pada mulanya, wilayah
yang sekarang bernama Amerika Serikat pertama-tama dihuni oleh
mayoritas pendatang dari wilayah Inggris, dan sudah barang tentu
pada masa itu orang-orang Inggris tidak hanya datang sendirian,
Orang-orang Spanyol dan juga Portugis pada masa itu juga turut
berlomba-lomba menanamkan koloninya di Dunia Baru (the New
World) atau di Benua Amerika. Orang-orang Spanyol dan Portugis
menduduki daerah-daerah yang sekarang ini bernama Amerika Latin
dan juga di sekitar Kepulauan Karibia. Namun demikian bendera
Spanyol juga pernah turut berkibar di daerah Florida, Amerika
Serikat. Orang-orang bangsa Belanda pun juga pernah bermukim di
93
sekitar wilayah New York, sebelum pada akhirnya digusur oleh kaum
Britania Raya. Sebagai bukti akan adanya keberadaan bangsa lain
yang juga pernah turut berkuasa di Amerika Serikat, terdapat beberapa
peninggalan pernak-pernik hukum Belanda dan Spanyol yang masih
banyak tertinggal di lokasi. Dan yang tak kalah penting adalah
keberadaan hukum pribumi suku-suku asli yang juga dipertahankan
beberapa diantaranya. Namun demikian, perangkat utama hukum
Amerika jelas berasal dari satu sumber, yaitu hukum Inggris. Melalui
orang-orang Inggris, sistem common law menjadi rujukan dalam
sistem hukum yang selanjutnya berkembang di Amerika Serikat.
Menurut Lawrence M. Friedmen, tradisi common law dalam
acara sidang, sangat menekankan kelisanan (orality). Pengadilan
common law lebih suka ucapan daripada dokumen tertulis. Ini
bukannya karena pengadilan menolak lembaran kertas, karena justru
pengadilan dibanjiri oleh lembaran kertas dari perkara yang masuk:
dalam banyak perkara berdus-dus lampiran (exhibit), pernyataan saksi
tertulis (deposition), dan berbagai macam dokumen diajukan sebagai
barang bukit (evidence) (deposisi adalah pernyataan saksi dibuat
tertulis; misalnya untuk memperoleh kesaksian dari orang yang lemah,
sakit atau berada di tempat yang jauh untuk menghadiri sidang),
sehingga dokumen yang diperlukan dalam sidang menjadi sangat
banyak. Namun demikian ucapan penuntutan dan pembelaan masih
tetap menjadi jantung sidang common law, untuk mencari kesaksian
dan mengungkap fakta-fakta dari keterangan saksi yang hadir di
dalam persidangan. Sistem ini sangat tidak asing dan mendarah daging
di Amerika Serikat (Lawrence M. Friedman, 2001: 91).
Sistem hukum di Amerika Serikat dikenal dengan istilah
adversary system (sistem adu). Maksudnya adalah para pihak lah yang
mengendalikan perkara atau bersifat aktif, dan hakim bersifat pasif di
dalam persidangan. Hakim hanya bertindak sebagai wasit dan
mengontrol jalannya persidangan agar sidang tetap berjalan sesuai
94
dengan peraturan dan berlangsung tertib. Para pihak akan menyusun
strategi, menggali barang bukti, dan kemudian menyajikannya di
Pengadilan untuk kemudian saling mempertahankan argumennya
masing-masing. Kedua pihak akan saling berusaha saling menjatuhkan
dengan menghadirkan saksi di mimbar dan megajukan pertanyaan
guna mempertahankan argumennya.
Penasihat hukum merupakan aktor utama dalam sistem hukum
ini, dan perlu diingat bahwa Hakim hanya bersifat pasif di dalam
persidangan, dengan hanya duduk dan berperan sebagai wasit di ruang
persidangan untuk memastikan bahwa para pihak dan penasihat
hukumnya mematuhi aturan main. Keputusan siapa yang menang dan
siapa yang kalah dalam perkara pidana akan ditentukan lebih lanjut
oleh dewan juri. Biasanya hakim hanya memberitahu dan memberi
petunjuk kepada dewan juri tentang aturan hukum yang menyangkut
perkara tersebut. Dengan sistem adu antara penasihat hukum dalam
sistem common law, terkadang dapat memberi kejutan pada masing-
masing pihak. Keadilan dan kebenaran akan menang hampir setiap saat
jika dibiarkan masing-masing pihak berdebat, bersaing dan saling
menguji.
Dalam adversary system yang berlaku di Amerika Serikat,
sebelum perkara dilimpahkan ke dalam sidang dengan juri, diwajibkan
terselenggaranya tahapan Pre Trial Process terlebih dahulu. Pada
tahap inilah dikenal adanya tahap preliminary hearings atau
pemeriksaan pendahuluan. Jika terjadi tindak pidana, setelah adanya
penangkapan dari pihak Kepolisian, tersangka akan melewati tahap
preliminary hearings. Pemeriksaan ini merupakan bentuk persidangan
yang digelar untuk menentukan apakah terdapat cukup bukti untuk
menahan terdakwa atau tidak, yang kemudian akan diputuskan apakah
perkara tersebut dapat diadili di tingkat yang lebih tinggi.
Pada sidang tersebut jaksa (prosecutor) harus membuktikan di
pengadilan bahwa mereka memiliki alasan untuk menahan terdakwa
95
seperti yang diajukan dalam dakwaan. Jika pada tahap preliminary
hearings hakim dan atau dewan juri yakin bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana maka perkara dapat dilanjutkan ke tahap
pengadilan (trial). Keyakinan hakim atau dewan juri dapat berasal dari
pengakuan bersalah terdakwa, jika terdakwa mengakui perbuatannya,
ataupun dari bukti-bukti yang diajukan jaksa beserta saksi yang
memperkuat dakwaan jaksa untuk meneruskan perkara tersebut pada
tahap selanjutnya jikalau terdakwa pada preliminary hearings tidak
mengakui perbuatannya.
Yang menarik untuk dicermati adalah berlakunya praktek plea
bargaining system (kesepakatan mengaku bersalah) pada sistem
hukum Amerika Serikat. Plea bargaining tidak terpisah dari padanya
tahap preliminary hearings. Jika terdakwa menyerah dan melakukan
guilty plea (pengakuan bersalah), jaksa akan setuju memberi hukuman
yang lebih ringan atau membatalkan beberapa draft dakwaan
(information), ini merupakan imbalan karena mengaku bersalah untuk
menghindari sidang dewan juri. Pada jaman dahulu di Amerika
Serikat, kesepakatan mengaku bersalah telah menimbulkan kontroversi
pada sistem hukum Amerika Serikat.
Menurut Raymond Moley dalam buku American Law An
Introduction karangan Lawrence M. Friedman, pada tahun 1839, di
negara bagian New York, satu dari empat perkara pidana berakhir
dengan pengakuan bersalah. Menjelang abad pertengahan, pengakuan
bersalah terjadi pada separuh perkara. Di Alameda Country, satu dari
tiga terdakwa kejahatan berat mengaku bersalah atas dakwaan pada
dekade tahun 1900-1910. Pada tahun 1920-an, pengakuan bersalah
menunjukan jumlah 88 dari 100 putusan bersalah di kotan New York,
85 pengakuan bersalah dari 100 putusan bersalah di Chicago, 70 dari
100 di Dallas, 79 dari 100 di Des Moines Iowa (Raymond Moley,
Lawrence M. Friedman, 2001: 232).
96
Dapat dilihat bahwa pengakuan bersalah dapat menjadi alat
yang ampuh untuk mendapat pengurangan hukuman di Amerika
Serikat, namun hal tersebut pada masa itu sekitar abad 19, banyak
pertentangan mengenai kesepakatan mengaku bersalah (plea
bargaining system). Banyak orang yang merasa bahwa kesepakatan
mengaku bersalah merupakan hal yang memalukan. Orang yang
menghormati hukum, merasa kesepakatan mengaku bersalah
menunjukan terlalu banyak kelunakan terhadap terdakwa. Satu kajian
menyatakan bahwa sampai sepertiga orang yang mengaku bersalah
akan dibebaskan jika mereka menghadap sidang (Michael O.
Finkelstein, Lawrence M. Friedman, 2001: 235).
Tuntutan mengenai pembaharuan mengenai pilihan hukum
tersebut, muncul di segala penjuru. Jaksa Agung Alaska pada tahun
1975 melarang segala praktek kesepakatan mengaku bersalah. Namun
hal tersebut tidak berlaku efektif karena bagi masyarakat Amerika
Serikat, adanya pengakuan bersalah merupakan penemuan baru dan
merupakan jawaban terhadap padatnya Pengadilan. Berdasarkan
pendapat dari Lawrence M. Freidmen bahwa pengakuan bersalah
merupakan ciri sistem hukum dari Amerika Serikat. Dimana pada
beberapa sistem hukum, tidak ada pengakuan bersalah semacam itu.
Memang terdakwa boleh mengakui bersalah atas kejahatannya, dan
sebuah pengakuan merupakan bukti yang kuat. Pengakuan bersalah
akan diterima sebagai kebenaran; kecuali dalam perkara yang langka.
b. Tujuan Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s Criminal
Procedure Code
Di Amerika Serikat, preliminary hearings (pemeriksaan
pendahuluan) dianggap sebagai tahap yang kritis dan menentukan
suatu perkara pidana. Karena pada tahap tersebut, kantor jaksa wilayah
(districk attorney) yang telah merasa yakin tersangka akan dinyatakan
bersalah (conviction), akan mempertahankan dan membuktikan
97
dakwaannya di preliminary hearings sebelum membawa tersangka ke
Pengadilan. Pada hakikatnya sistem hukum di Amerika Serikat
menganut asas accusatoir yang menjunjung tinggi preasumtion of
innocence dan hak-hak tersangka. Sehingga dalam preliminary
hearing hak-hak tersangka akan dipenuhi oleh Pengadilan sehubungan
dengan perkara yang diajukan terhadap diri tersangka, dan
meminimalisir terjadinya kesalahan penangkapan yang akan
merugikan hak prinsip seorang individu kaitannya dengan kebebasan
yang telah direnggut secara paksa.
Menurut Andrew D. Leipold, tujuan dari pemeriksaan
pendahuluan adalah untuk menentukan apakah jaksa memiliki cukup
bukti untuk membenarkan dakwaannya terhadap terdakwa.
Pemeriksaan pendahuluan ini diadakan dalam sidang yang terbuka dan
di dipimpin oleh seorang hakim (magistrate). Jaksa akan
mempresentasikan bukti-buktinya dan penasihat hukum akan diberikan
kesempatan untuk menanggapi. Argumentasi dari Jaksa dan penasihat
hukum akan dijadikan pertimbangan bagi hakim Hakim untuk
memutuskan apakah ada kemungkinan alasan untuk percaya bahwa
terdakwa tersebut telah melakukan kejahatan atau tidak. Jika
pengadilan menemukan penyebab, maka penyebab tersebut akan
mengikat Grand Jury atau sidang pengadilan sebagai bahan
pertimbangan pada proses yang lebih lanjut. Jika tidak cukup bukti,
tuduhan atau dakwaan akan diberhentikan. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa kasus lemah akan dihilangkan dalam proses awal,
serta menyimpan kecemasan terdakwa berkaitan dengan biaya dan
waktu, karena terdakwa harus membela diri di pengadilan terhadap
tuduhan yang tidak beralasan
(http://law.jrank.org/pages/1721/Preliminary-Hearing.html).
Menurut William L. Pfeifer Jr., preliminary hearings
merupakan sebuah acara dimana otoritas jaksa harus membuktikan di
pengadilan bahwa mereka mempunyai alasan untuk menahan individu
98
pada tuduhan yang diajukan. Sidang ini dirancang terutama untuk
kepentingan individu-individu yang dipenjara untuk memastikan
bahwa mereka dipenjara bukan atas tuduhan yang tidak berdasar
(http://law.suite101.com/article.cfm/what_is_a_preliminary_hearing).
Perlu diketahui dan diingat, bahwa pada tahap preliminary
hearings pengadilan tidak akan memutuskan bersalah atau tidak
bersalah atas suatu perkara yang diajukan kepadanya, tetapi hanya
memutuskan apakah kasus ini harus dilanjutkan ke Pengadilan atau
tidak. Pada tahap ini jaksa dituntut untuk mengungkapkan nama saksi-
saksi kunci dan substansi kesaksian mereka. Sehingga bagi terdakwa
tahap ini juga merupakan langkah penting untuk mendapatkan
informasi dan mempelajari apa yang dapat digunakan sebagai celah
pembelaan, jika perkaranya diputus untuk diteruskan di tingkat
pengadilan dengan dewan juri. Bagi penuntut umum sendiri
preliminary hearings merupakan saat yang penting untuk
mengabadikan kesaksian saksi-saksi. Sekali saksi telah bersaksi di
sidang pendahuluan, kesaksian itu dapat diperkenalkan sebagai bukti di
Pengadilan jika saksi kemudian meninggal atau hilang, karena saksi
dalam sidang preliminary hearings berada di bawah sumpah dan
dicatat. Dengan demikian jaksa tidak perlu khawatir bahwa saksi akan
mengubah keterangannya atau lupa akan keterangannya.
Dari sisi lain terdakwa memiliki kesempatan mendengar dan
menyadari kuatnya dakwaan yang akan dijatuhkan oleh jaksa, yang
dapat membantu terdakwa untuk memutuskan apakah akan
menggunakan haknya dalam plea bergaining. Bagi terdakwa
preliminary hearing memungkinkan mereka untuk memperoleh
informasi tentang dasar penuntutan kasus atau untuk bergerak mencari
celah guna pemberhentian kasus. Sebagai contoh, OJ Simpson, pada
tahun 1994 telah didakwa Jaksa dengan dua tuntutan pembunuhan
tingkat pertama. Meskipun pengacara Simpson, Robert Shapiro, gagal
untuk menghentikan perkara pada tingkat awal, namun ia mampu
99
untuk memperoleh informasi dari saksi-saksi polisi dan forensik yang
terbukti berharga bagi Simpson di sidang pembunuhan tahun 1995,
yang pada berakhir membuahkan vonis pembebasan Simpson.
c. Pengertian Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s Criminal
Procedure Code
Preliminary hearings (pemeriksaan pendahuluan/ pembuktian
pendengaran) adalah pemeriksaan lanjutan setelah adanya pidana
pengaduan yang diajukan oleh jaksa. Pemeriksaan ini diperlukan untuk
menentukan apakah terdapat cukup bukti bahwa suatu perkara dapat
diajukan ke tingkatan yang lebih tinggi di pengadilan. Sidang harus
dilaksanakan dalam waktu 10 hari jika terdakwa berada di dalam
tahanan, dan dalam waktu 20 hari jika terdakwa tidak ditahan. Batas
waktu ini dapat diperpanjang oleh pengadilan dengan persetujuan
terdakwa, atau pada keadaan luar biasa yang menunjukan bahwa
membenarkan penundaan.
Di Amerika Serikat, hakim harus menemukan ada penyebab
bahwa suatu kejahatan telah dilakukan. Jika pengadilan memutuskan
bahwa ada kemungkinan penyebabnya maka penuntutan akan
dilanjutkan, pun jika terjadi yang sebaliknya dimana pengadilan tidak
menemukan adanya suatu penyebab maka penuntutan akan berhenti.
Beberapa pertanyaan penting yang biasanya dibahas dalam sidang
tersebut adalah :
1. Apakah kejahatan yang dituduhkan terjadi dibawah yurisdiksi
pengadilan?
2. Apakah ada penyebab terjadinya suatu kejahatan, sehingga
pengadilan percaya bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan?
Pemeriksaan pendahuluan (preliminary examination) atau pre
trial process adalah semacam sidang praperadilan. Proses ini baru
dapat dilaksanakan setelah polisi menangkap seorang tersangka
kejahatan. Proses ini selain merupakan kewajiban yang harus dijalani
100
oleh tersangka, namun sebenarnya proses ini dirancang sebagai
perlindungan hukum bagi tersangka terhadap kesewenang-wenangan
aparat penegak hukum.
Paling umum dan awal pada pemeriksaan pendahuluan adalah
penampilan awal (the first apperance). Berbagai langkah prosedural
dapat diambil dalam penampilan awal. Dalam kasus-kasus
pelanggaran kecil, jika terdakwa mengaku bersalah maka mungkin
proses ini akan berakhir dan langsung pada penjatuhan sanksi. Ketika
tuduhan yang didakwakan lebih serius (kehajatan), maka terdakwa
pada penampilan pertama akan diberitahu tentang hak-haknya, seperti
hak untuk mengetahui isi dakwaan tersebut, haknya untuk konsultasi
dengan pengacara, hak untuk tetap diam, dan hak untuk diberitahu
bahwa setiap pernyataan ysng dibuat dapat digunakan terhadap
tersangka di pengadilan, dan hak untuk mengetahui tentang prosedur
pembebasan dengan uang jaminan. Dalam beberapa yurisdiksi,
termasuk pengadilan federal, sebuah permohonan pembebasan dapat
diajukan dan jaminan dapat ditetapkan pada penampilan pertama ini.
Di yurisdiksi lainnya, tersangka tidak diijinkan untuk membuat
permohonan jika pelanggaran adalah suatu kejahatan atau pelanggaran
berat, yang kemudian untuk selanjutnya akan segera dijadwalkan
preliminary hearings.
Keseluruhan rangkaian pre trial process ini dirancang sebagai
perlindungan hukum bagi tersangka terhadap kesewenang-wenangan
aparat penegak hukum. Hal itu ditegaskan lebih lanjut pada peraturan
yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam ay
Gerstein Pugh, 420 US 103, 95 S.Ct. 854, 43 L. Ed. 2d 54 (1975),
yang mengamanatkan bahwa orang yang ditangkap tanpa surat
perintah dan ditangkap oleh polisi harus diberi kesempatan untuk
pemeriksaan pendahuluan untuk menetukan apakah ada penyebab
yang membuat orang tersebut ditangkap. Dalam ay Riverside County
McLaughlin, 500 US 44, 111 S. Ct. 1661, 114 L. Ed. 2d 49 (1991),
101
Membuat persyaratan bahwa peradilan harus dilakukan dengan cepat
dan sesegera mungkin, untuk menentukan apakah ada penyebab atau
tidak terjadinya suatu kejahatan untuk memenuhi rasa kepastian
hukum dan ketentraman masyarakat, hal tersebut dilakukan guna
mencegah jika dalam melakukan pencarian dan penangkapan aparat
penegak hukum dilakukan tanpa adanya surat perintah. Sehingga
diharapkan tidak ada peristiwa yang merugikan hak tersangka dari
empat puluh delapan jam setelah penangkapan.
d. Proses Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s Criminal
Procedure Code
Dalam sistem hukum Amerika Serikat preliminary hearings
merupakan salah satu bagian dari pre trial process. Pelaksanaannya
berjalan sebagai mana mestinya ketika terjadi suatu pelanggaran dan
atau kejahatan yang mengusik ketentraman masyarakat, maka aparatur
penegak hukum wajib menjalankan tugasnya untuk menjaga keadaan
di masyarakat agar dapat berjalan secara normal. Jika terjadi suatu
pelanggaran dan atau kejahatan, yang kemudian polisi menemukan
tersangka dan menangkapnya, polisi akan mencari keterangan dan
menyusun berita acara (charge), serta langkah-langkah prosedural
untuk mengamankan tersangka. Setelah menjalani serangkaian
pemeriksaan di kepolisian, kemudian tersangka akan dihadapkan ke
hakim tunggal (magistrate), hakim akan menjelaskan kepada
tersangka mengenai hak-haknya. Tahapan ini dikenal dengan
penampilan awal (the first apperance). Hakim tunggal pada fase ini
juga dapat menetapkan uang jaminan untuk membebaskan tersangka
dari tahanan dan hakim berdasarkan kuasanya dapat menyediakan
penasihat hukum bagi tersangka jika merasa yakin bahwa tersangka
tidak mampu secara financial namun tetap diwajibkan menjalankan
proses hukum.
102
Uang jaminan pada sistem hukum Amerika Serikat
dimaksudkan agar tersangka untuk sementara waktu tetap dapat hidup
normal di masyarakat sempai ada putusan yang bersifat tetap dari
pengadilan yang menyatakan bersalah. Jika tersangka tidak
menghadiri persidangan yang telah dijadwalkan dan juga segala
bentuk panggilan terkait dari pihak aparat penegak hukum maka uang
jaminan akan hilang atau menjadi hak milik negara. Setelah
penampilan awal, Jaksa harus memutuskan apakah perkara tersebut
cukup kuat untuk diteruskan, dan apakah barang bukti sudah cukup
untuk melakukan penuntutan (prosecution). Jika Jaksa merasa yakin
bahwa tersangka akan dinyatakan bersalah (conviction), sebelum di
bawa ke pengadilan, Jaksa harus melewati rintangan besar yaitu
preliminary hearings
Pemeriksaan ini dimulai ketika Jaksa mengajukan surat
dakwaan. Proses ini juga berlangsung di hadapan hakim tunggal.
Tidak ada dewan juri pada tahap ini di beberapa yurisdiksi negara
bagian. Hakim tunggal akan memeriksa isi dakwaan dari Jaksa.
Hakim tunggal tidak akan memutuskan apakah terdakwa bersalah atau
tidak, karena hal tersebut bukan kewenangannya pada tahap ini.
Hakim hanya memiliki tiga pilihan hukum dalam sidang ini yaitu,
menghentikan dakwaan dan melepaskan terdakwa (jika dakwaannya
dianggap tidak sah), menurunkan perkara menjadi kejahatan ringan,
atau memutuskan bahwa negara menganggap bahwa perkaranya sah
sehingga layak dilanjutkan ke sidang penuh (full scale trial). Hakim
dapat menghentikan perkara ini baik atas kehendaknya sendiri atau
karena Jaksa memutuskan untuk tidak meneruskan dakwaannya.
Terdakwa boleh mengaku bersalah dan menyelesaikan perkara
dengan cara plea bargaining. Pada preliminary hearing penasihat
hukum juga diperbolehkan mengajukan keberatan terhadap penahanan
barang bukti tertentu dengan alasan bahwa negara mengumpulkan
barang bukti tersebut secara tidak sah. Namun hal tersebut jarang
103
untuk dikabulkan, karena berdasar pada victim’s bill of right di
California yang diadopsi pada tahun 1982 menyatakan bahwa barang
bukti yang relevan tidak boleh dikesampingkan dalam proses pidana
apapun (Undang-Undang Dasar California, Pasal I, Bagian 28).
Jika seorang terdakwa telah berada di dalam penjara pada saat
dilakukan pemeriksaan pendahuluan dan negara yang dalam hal ini
diwakili oleh jaksa gagal untuk menetapkan penyebab bahwa ia telah
melakukan pelanggaran, terdakwa berhak untuk dibebaskan dari
penjara. Jika terdakwa tidak ada di dalam penjara dan negara gagal
untuk menetapkan penyebab terdakwa bahwa ia telah melakukan
pelanggaran maka terdakwa berhak untuk menolak tuduhan dan
dilepaskan dari kondisi statusnya sebagai tahanan dan terdakwa.
Namun, pemberhentian perkara pada sidang pemeriksaan pendahuluan
tidak mencegah Jaksa dari mengeluarkan sebuah surat dakwaan baru
melawan terdakwa di kemudian hari.
Di beberapa yurisdiksi negara bagian, pemeriksaan perkara
dilakukan oleh badan lain, yaitu dewan juri agung (grand jury).
Dewan juri agung terdiri dari orang awam yang dipilih secara acak
seperti anggota dewan juri biasa. Dan jumlahnya masing-masing
negara bagian berbeda-beda. Anggota dewan juri agung bekerja dalam
waktu yang terbatas pula. Jaksa akan menunjukan surat dakwaan
kepada dewan juri agung. Dewan juri agung akan memutuskan apakah
akan mendakwa atau tidak mendakwa. Yang selanjutnya nasib dari
terdakwa akan ditentukan di Superior Court.
Jika seorang terdakwa telah berada di dalam penjara pada saat
dilakukan pemeriksaan pendahuluan dan negara yang dalam hal ini
diwakili oleh jaksa gagal untuk menetapkan penyebab bahwa ia telah
melakukan pelanggaran, terdakwa berhak untuk dibebaskan dari
penjara. Jika terdakwa tidak ada di dalam penjara dan negara gagal
untuk menetapkan penyebab terdakwa bahwa ia telah melakukan
pelanggaran maka terdakwa berhak untuk menolak tuduhan dan
104
dilepaskan dari kondisi statusnya sebagai tahanan dan terdakwa.
Namun, pemberhentian perkara pada sidang pemeriksaan pendahuluan
tidak mencegah juri dari mengeluarkan sebuah surat dakwaan baru
melawan terdakwa di kemudian hari. Dengan demikian, terdakwa
kasus yang dibuang pada tahap preliminary hearings masih bisa
menghadapi tuduhan yang sama lagi. Jika hal ini terjadi, maka
terdakwa akan ditahan kembali dan dihadapkan pada tuduhan yang
sama.
Sebagian besar perkara kejahatan berat tidak sampai ke tahap
yang lebih lanjut. Hanya sejumlah kecil yang benar-benar sampai di
Sidang. Dari data tahun 1987-1988 dari berbagai tempat menunjukan
angka penurunan yang tinggi pada penangkapan kejahatan berat. Dari
seratus penangkapan, hanya tiga yang benar-benar berakhir di
persidangan, limapuluh dua penangkapan mengaku bersalah, sisanya
ditolak pada preliminary hearings atau dihentikan oleh jaksa atau
hakim. (Lawrence M. Friedman, Baum, 2001: 228)
Akan tetapi terdapat suatu pengecualian pada tahap
preliminary hearings yakni, meskipun terdakwa memiliki hak untuk
meminta pemeriksaan pendahuluan, akan tetapi hak terdakwa akan
hilang, jika dewan juri agung telah memperoleh surat dakwaan
sebelum sidang diadakan. Dengan demikian, dalam beberapa kasus,
jaksa akan segera melimpahkan perkara kepada dewan juri agung
sebagai langkah taktis untuk menghilangkan kesempatan terdakwa
menjalani proses preliminary hearings. Ada juga situasi di mana
sebuah kasus dapat dipresentasikan kepada dewan juri sebelum
terdakwa ditahan karena kejahatan yang diperbuatnya, dan terdakwa
akan mempelajari tuduhan untuk pertama kalinya setelah dewan juri
agung mengeluarkan sebuah surat dakwaan. Dalam situasi seperti ini,
terdakwa tidak memiliki hak untuk pemeriksaan pendahuluan.
Aturan pembuktian dalam sidang pendahuluan juga lebih
longgar daripada di pengadilan biasa. Sebagai contoh, desas-desus
105
kabar berita dapat diterima sebagai bukti, saksi juga dapat hadir dan
diminta kesaksiaannya di sidang. Bukti yang diperoleh secara illegal
juga diterima di sidang pendahuluan di banyak yurisdiksi. Seorang
polisi yang menangkap dan menjadi satu-satunya saksi yang bersaksi
tentang peristiwa yang terjadi juga dapat diterima dan
dipertimbangkan, meskipun tidak ada saksi lain yang melihat kejadian
tersebut. Dalam yurisdiksi ini, hakim diperbolehkan untuk
menemukan penyebab sepenuhnya didasarkan pada bukti-bukti kabar
angin.
Untuk lebih mempermudah memahami proses dan mendukung
analisa serta penjelasan dari penelitian ini maka akan disajikan data
berupa gambar diagram pemrosesan kasus tindak pidana menurut
sistem hukum di Amerika Serikat sebagai berikut :
106
DIAGRAM PEMROSESAN KASUS TINDAK PIDANA
107
Gambar 3. Alur Proses Pemeriksaan Pidana Amerika Serikat
Polisi Penyidik
Berita Acara Pemeriksaan
Hakim
Jaksa
Preliminary hearings
Superior Court
Delik
Jaksa
Hakim
Berita Acara Pemeriksaan
Legal Opinion
Plea Bargaining
Dewan Juri Agung
Hakim Tunggal
Preliminary hearings
cviii
cviii
3. Persamaan dan Perbedaan
Dengan memperbandingkan antara Praperadilan dan preliminary
hearings seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik suatu
pembahasan yang menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan di
antara keduanya. Agar lebih mempermudah dalam pembahasan, maka
sebelumnya akan dipaparkan terlebih dahulu persamaan dan perbedaan
antara keduanya dalam format yang berbentuk tabel sebagai berikut :
a. Persamaan :
Tabel 2. Persamaan Praperadilan dan Preliminary Hearings
No. Keterangan Praperadilan
(KUHAP)
Preliminary hearings
(USA’s Criminal Prosedure Code)
1. Pengertian Jika diperbandingkan
secara harfiah maka,
istilah yang
dipergunakan oleh
KUHAP
”Praperadilan”. Pra
artinya sebelum, atau
mendahului. Berarti
”Praperadilan” sama
dengan sebelum
pemeriksaan di sidang
pengadilan (Andi
Hamzah, 1996:1).
Preliminary hearings merupakan
prosedur proses pidana sebelum
dilaksanakan persidangan secara
penuh (full scale trial) yang
melibatkan dewan juri.
2. Tujuan - Untuk menegakkan
asas presumption of
innonce sebagai
jantung dari sistem
- Untuk memastikan bahwa
tersangka didakwa bukan
dengan alasan yang tidak
berdasar, yang merupakan
cix
cix
akusatur yang dianut
oleh KUHAP.
- Pada prinsipnya
tujuan utama
pelembagaan
Praperadilan dalam
KUHAP, untuk
melakukan
pengawasan secara
horizontal atas
tindakan upaya
paksa yang
dikenakan terhadap
tersangka selama ia
berada di dalam
pemeriksaan
penyidikan atau
penuntutan, agar
benar-benar
tindakan itu tidak
bertentangan dengan
ketentuan hukum
dan undang-undang.
prinsip dari sistem akusatur
yang dianut oleh
Amerika Serikat.
3. Proses
persidangan
Dipimpin oleh seorang
hakim tunggal.
Dipimpin oleh seorang hakim
tunggal (magistrate) atau dewan
juri.
4. Pengawasan Praperadilan berperan
mengawasi kedua
Preliminary hearings berperan
sebagai penyaring terhadap kasus-
cx
cx
instansi hukum yang
lain yakni kepolisian
dan kejaksaan dalam
menjalankan proses
hukum
kasus yang dianggap ringan dan
juga sebagai tempat untuk
memastikan bahwa jaksa
bertindak benar dalam
menjalankan tugasnya.
b. Perbedaan :
Tabel 3. Perbedaan Praperadilan dan Preliminary Hearings
No. Keterangan Praperadilan
(KUHAP)
Preliminary hearings
(USA’s Criminal Prosedure Code)
1. Latar
Belakang
Sistem
Hukum
- Indonesia adalah
negara bekas jajahan
koloni Belanda
selama kurang lebih
350 tahun, sehingga
sistem hukum yang
dianut oleh Indonesia
berkiblat pada
Belanda. Indonesia
menganut sistem
hukum Eropa
Continental.
- Amerika serikat merupakan
bekas koloni dari Inggris,
sehingga sistem hukum yang
dianut berkiblat pada negara
Inggris tersebut. Amerika
Serikat menganut sistem hukum
common law
2. Wewenang - Memeriksa dan
memutus sah atau
tidaknya upaya
paksa
- Memeriksa sah atau
tidaknya
penghentian
- Memeriksa dan memutus apakah
perkara yang diajukan masuk
dalm yurisdiksi pengadilan
- Memeriksa apakah ada ada
penyebab terjadinya suatu
kejahatan.
- Menghentikan dakwaan dan
cxi
cxi
penyidikan atau
penghentian
penuntutan
- Berwenang
memeriksa tuntutan
ganti rugi
melepaskan terdakwa (jika
dakwaannya dianggap tidak sah),
- Menurunkan perkara menjadi
kejahatan ringan,
- Memutuskan bahwa negara
menganggap perkaranya sah
sehingga layak dilanjutkan ke
sidang penuh (full scale trial)
4. Proses
beracara
- Praperadilan
terselenggara jika
diminta oleh
tersangka atau pihak
ketiga yang
berkepentingan
- Asas pembuktian
yakni satu saksi
bukan saksi dan
testimony de
auditum tetap
berlaku sehingga
tidak dapat dijadikan
suatu barang bukit
- Preliminary hearings ada karena
menjadi satu kesatuan tahapan
yang saling berkaitan dalam
proses peradilan pidana.
- Segala bentuk bukti baik hanya
sekedar kabar angin dan satu
saksi tetap diterima sebagai
barang bukti
4. Pembahasan :
Persamaan dan Perbedaan Praperadilan dan Preliminary Hearings
Melihat dan menganalisa tabel maka dapat ditarik suatu
pembahasan yang menjelaskan mengenai persamaan dan perbedaan di
antara keduanya.
Ditinjau dari sudut sejarahnya Indonesia dan Amerika Serikat
adalah negara yang sama-sama menempatkan hukum sebagai panglima
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sama-sama sebagai negara
cxii
cxii
hukum namun pengertian negara yang berdasar pada hukum memiliki arti
yang berbeda-beda antara negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental dan sistem hukum common law. Meski berbeda negara dan
sistem hukum namun semua sistem hukum yang ada dan dianut oleh
negara-negara di dunia memiliki persamaan akan jaminan perlindungan
hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Hal ini telah menjadi prinsip
universal yang berlaku di seluruh dunia tanpa melihat sistem hukum yang
dianut.
Menurut Aristoteles, negara hukum adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warganya. Meskipun berbeda negara ataupun sistem hukum yang dianut, keseluruhan sistem hukum memiliki sendi yang bersifat universal yakni : 1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia 2. Legalitas dari tindakan negara/ pemerintah dalam arti tindakan aparatur
negara yang dapat dipertanggungjawakan secara hukum 3. Terjaminnya peradilan yang bebas (www.google search? Negara
hukum)
Sebagai negara hukum (rule of law) keadilan harus tetap ditegakkan
dengan tetap memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh orang yang
diduga bersalah, karena pada hakikatnya orang yang dianggap bersalah
belum tentu bersalah sampai ada suatu putusan hukum yang tetap. Oleh
karena itu konsepsi rule of law membawa konsekuensi, bahwa sendi-sendi
yang bersifat universal tersebut harus tercermin dalam hukum pidana,
khususnya hukum acara pidana. Hal ini menjadi wajib jika dikaitkan
dengan tindakan upaya paksa yang lekat dengan pemberlakuan hukum
pidana. Upaya paksa yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam
hal ini Polisi dan Jaksa merupakan suatu perampasan hak atas
kemerdekaan seseorang yang merupakan tindakan pelanggaran HAM.
Hukum acara pidana merupakan suatu kontrol yang dapat digunakan
agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat mencederai
upaya negara untuk memberikan jaminan perlindungan HAM dengan tidak
melupakan penegakan hukum. Pencerminan hak-hak universal bagi tiap
warga negara dalam Hukum acara pidana khususnya, menimbulkan
cxiii
cxiii
penciptaan asas-asas yg merupakan dasar bagi hukum acara pidana
masing-masing negara yang bersangkutan, terlepas dari sistem hukum yg
dianut (Eropa Kontinental atau common law)
Secara harfiah pengertian Praperadilan dan preliminary hearings
(pemeriksaan pendahuluan) memiliki kesamaan sebagai proses
pemeriksaan sebelum perkara dilimpahkan ke persidangan. Walaupun
sebenarnya Praperadilan adalah proses pemeriksaan yang dapat dilakukan
sebelum persidangan atau bahkan selama proses persidangan masih
berlangsung.
Meskipun ada persamaannya dengan preliminary hearings,
wewenang Praperadilan dan sistem pembuktian yang digunakan lebih
terbatas daripada preliminary hearings. Wewenang dari Praperadilan
hanya sebatas untuk memutuskan, apakah penangkapan atau penahanan
sah ataukah tidak, apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah
atau tidak. Namun tidak disebutkan mengenai ketentuan apakah penyitaan
sah atau tidak. Hal ini menjadi penting karena merupakan perampasan hak
individu atas hak milik, sedang Pengadilan belum menjatuhkan putusan
yang in kracht atas status hak milik tersebut. Tindakan upaya paksa berupa
penyitaan sangat merugikan hak asasi tersangka, namun tidak terdapat
sarana controlling akan hal tersebut.
Permasalahan sejauh mana wewenang dari hakim yang
memegang perkara tentunya bervariasi antara satu negara dengan negara
yang lain. Hakim tunggal (magistrate) di Amerika Serikat , memiliki
fungsi baik sebagai investigating judge maupun examinating judge.
Sedangkan apabila kita perbandingkan dengan Praperadilan yang terdapat
di dalam KUHAP, maka hakim Praperadilan berfungsi hanya sebagai
examinating judge, karena Praperadilan hanya memeriksa sah atau
tidaknya suatu penangkapan serta sah tidaknya suatu penahanan. Dan
Praperadilan sebagai examinating judge juga secara formil hanya terbatas
pada sebagian dari upaya paksa saja, yakni penangkapan dan penahanan
saja, sedangkan perihal upaya paksa lainnya tidak secara jelas didapati di
cxiv
cxiv
dalam pengaturan Praperadilan dalam KUHAP. Sedangkan mengenai
sistem pembuktian yang berlaku, preliminary hearings lebih bersifat
fleksibel dan menerima semua petunjuk serta keterangan sebagai bukti
yang mengikat hakim, yang tentu saja hal ini bertolak belakang dengan
sistem pembuktian yang dianut dalam Praperadilan.
Meskipun demikian terlepas dari wewenang hakim Praperadilan
yang terbatas, hadirnya lembaga Praperadilan sudah menunjukkan adanya
hakim yang telah berperan aktif di dalam fase pemeriksanaan
pendahuluan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan
penghormatan atas hak asasi manusia, keberadaan Praperadilan patut
untuk diapresiasi sebagai wujud kontrol atas tindakan upaya paksa yang
dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. Jadi dalam hal ini dapat pula
diartikan bahwa dengan adanya Praperadilan, maka dalam sistem peradilan
pidana kita dianut suatu pengawasan secara vertikal di samping
pengawasan secara horisontal sebagai wujud perlindungan terhadap hak
asasi manusia yang dirugikan atas tindakan upaya paksa.
Di dalam preliminary hearings Hakim bertugas untuk
memastikan bahwa jaksa dalam membuat tuduhan sesuai dengan fakta
yang ada, dan hakim harus menemukan penyebab terjadinya kejahatan,
sebelum perkara tersebut di teruskan ke Persidangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Menurut KUHAP, hakim Praperadilan tidak memiliki
kewenangan untuk memutuskan perkara, apakah suatu perkara cukup
alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada Jaksa
Penuntut Umum.
Yang patut untuk dijadikan evaluasi adalah tidak adanya
kewenangan Hakim Praperadilan untuk menilai sah atau tidaknya suatu
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Jaksa dan Penyidik.
Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah
merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang. Keseluruhan warna
cxv
cxv
yang memberi persamaan dan perbedaan pada Praperadilan dan
preliminary hearings tidak terlepas dari perbedaan yang mendasar dari
sistem hukum yang dianut oleh kedua negara tersebut.
B. Kelebihan dan Kelemahan Sistem Praperadilan Sebagai Pencerminan
Asas Pengawasan Horizontal menurut KUHAP dengan Sistem
Preliminary Hearings Menurut USA’s Criminal Prosedure Code
Berdasarkan pada perbandingan antara Praperadilan dan Preliminary
Hearings sebagaimana telah diuraikan pada point sebelumnya, maka dapat
dijelaskan suatu pembahasan mengenai kelebihan dan kekurangan keduanya,
antara lain sebagai berikut :
1. Pengaturan Sistem Praperadilan menurut KUHAP
a. Kelebihan Sistem Praperadilan
Hak habeas corpus yang dianut oleh sistem anglo saxon menjadi
tonggak atas perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia. Persamaan
hak tiap individu di muka hukum seperti yang tersirat pada habeas corps
act menjadi jiwa pada negara-negara yang menganut sistem akusatur.
Sistem Praperadilan yang ada di Indonesia tidak terkecuali juga
terinspirasi dari hak habeas corpus. Mengingat Indonesia adalah negara
yang berdasarkan pada hukum, Praperadilan berfungsi untuk mewakili
negara guna bertindak dan menjamin bahwa perampasan ataupun
pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu
harus benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.Dengan berkiblat pada
sistem akusatur, KUHAP mempunyai kelebihan antara lain menganut asas
praduga tidak bersalah, yang artinya setiap orang yang disangka atau
diduga keras telah melakukan tindakan pidana wajib dianggap tidak
bersalah sampai dibuktikan kesalahannya oleh suatu putusan pengadilan
melalui sidang peradilan yang terbuka, bebas dan tidak memihak. Selama
proses pidana masih diperiksa, maka orang tersebut haruslah dijunjung dan
dilindungi hak asasinya. Praperadilan sebagai salah satu lembaga
cxvi
cxvi
pengadilan menjalankan fungsinya sebagai rangkaian sistem pengawasan
horizontal terhadap tindakan upaya paksa guna melindungi hak-hak
tersangka.
Sidang Praperadilan merupakan sistem pengujian melalui sidang
terbuka yang dapat diminta oleh pihak yang merasa dirugikan atas
tindakan penyidik atau Jaksa. Pada tahap ini hakim akan meminta
pertanggungjawaban tindakan yang dilakukan oleh aparat dalam
menjalankan tugasnya. Hakim akan memeriksa apakah tindakan penyidik
dan atau jaksa telah sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang
ada. Maka dapat dilihat bahwa Praperadilan berusaha untuk memenuhi
asas praduga tidak bersalah tersangka atau terdakwa, dengan jaminan
pemenuhan hak asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan
perampasan atau pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara
sewenang-wenang oleh penyidik ataupun penuntut umum.Melalui
persidangan yang terbuka masyarakat juga dapat ikut mengontrol jalannya
proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan
penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun
dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim
Praperadilan yang memerdekannya. Sehingga proses Praperadilan tidak
bisa ditutup-tutupi dari masyarakat luas dan bisa dipantau secara langsung.
(Trisnia, 75: 2005)
b. Kelemahan Sistem Praperadilan
Sistem Praperadilan secara luas telah diterima sebagai suatu alat
pengawasan horizontal terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan
oleh Penyidik maupun Jaksa. Namun harus diakui bahwa Praperadilan
memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan.
Tugas dan wewenang Praperadilan sangatlah terbatas, tidak semua
upaya paksa dapat dimintakan pemeriksaan untuk dinilai kebenaran dan
ketepatannya oleh lembaga Praperadilan, misalnya tindakan
penggeledahan, penyitaan dan pembukaan serta pemeriksaan surat-surat
cxvii
cxvii
tidak dijelaskan dalam KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan
siapa yang berwenang memeriksanya apabila terjadi pelanggaran.
Lembaga praperadilan terlihat kurang memperhatikan kepentingan
perlindungan hak asasi tersangka atau terdakwa dalam hal penyitaan dan
penggeledahan.
Ketentuan dan penjelasan di dalam KUHAP mengenai tugas dan
wewenang Praperadilan memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia
bersifat pasif dalam memberikan jaminan perlindungan bagi hak asasi
tersangka atau terdakwa. Hal ini terlihat bahwasanya Praperadilan tidak
berwenang untuk menguji dan menilai sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan, tanpa adanya permintaan dari tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka. Sehingga apabila
permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau
penahanan nyata-nyata menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka
sidang Praperadilan tidak dapat diadakan.
Sedangkan mengenai pembuktian dalam pemeriksaan Praperadilan
untuk mencapai suatu putusan, hakim lebih banyak memperhatikan perihal
dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata dari suatu penangkapan atau
penahanan. Misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penangkapan
(Pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21
ayat (2) KUHAP). Seringkali Praperadilan tidak menguji dan menilai
syarat-syarat materialnya. Padahal syarat material inilah yang menentukan
apakah seseorang dapat dikenakan upaya paksa berupa penangkapan atau
penahanan oleh penyidik atau penuntut umum. Hal ini merujuk pada
analisa mengenai syarat-syarat materiil tindakan penyidik atau jaksa
penuntut umum yang melakukan penangkapan.
Perlu diingat bahwa untuk melakukan suatu penangkapan harus
memenuhi syarat materiil, bahwa harus ada tersangka yang diduga keras
telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Yang menjadi dilematis adalah ada atau tidaknya bukti permulaan yang
cukup ini di dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh hakim.
cxviii
cxviii
Karena umumnya hakim menganggap hal tersebut sudah terlalu jauh
memasuki pokok perkara yang menjadi wewenang hakim dalam sidang
pengadilan negeri.
Demikian juga dalam hal penahanan, tidak seperti halnya yang
berlaku pada preliminary hearing ,dimana hakim memiliki kewenangan
yang sedemian besar untuk menghentikan perkara jika kepolisian maupun
kejaksaan melakukan penahanan yang tidak sah. Hakim Praperadilan
umumnya menerima saja pendapat dari Jaksa, bahwa terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup
benar-benar ada alasan yang konkrit dan nyata yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa yang bersangkutan akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi perbuatannya. Jika
dicermati hal adanya kekhawatiran tersebut semata-mata berasal dari pihak
penyidik dan penuntut umum. Maka jika hakim memberikan pembenaran
terhadap tindakan polisi atau jaksa, pembenaran tersebut “hanya”
berdasarkan pada alasan subyektif dari Jaksa mengenai penahanan yang
dilakukan, dengan mengesampingkan asas praduga tidak bersalah yang
dianut oleh KUHAP.
2. Pengaturan Sistem Preliminary Hearings menurut USA’s Criminal Procedure
Code
a. Kelebihan Preliminary Hearings
Di Amerika Serikat dikenal preliminary hearings, yakni semacam
Praperadilan, tetapi fungsinya benar-benar melakukan pemeriksaan
pendahuluan. Jadi, fungsi preliminary hearings di Amerika Serikat benar-
benar dapat disebut Praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya
penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan
pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya Jaksa dapat meminta pendapat
hakim (legal opinion) mengenai sah atau tidaknya penahanan dan apakah
misalnya kasus itu pantas dikesampingkan dengan kesepakatan mengaku
bersalah (plea bargaining ) atau tidak.
cxix
cxix
Preliminary hearings menurut USA Criminal Procedure Code -
Section 3.060, memiliki kewenangan yang lebih luas dari Praperadilan.
Menurut US Code - Section 3.060, Preliminary hearings memiliki tugas
dan kewenangan untuk :
- Memeriksa dan memutus apakah perkara yang diajukan masuk dalam
yurisdiksi pengadilan
- Memeriksa apakah ada ada penyebab terjadinya suatu kejahatan.
Menghentikan draft dakwaan (information ) dan melepaskan terdakwa
(jika draft dakwaannya dianggap tidak sah)
- Menurunkan perkara menjadi kejahatan ringan,
- Memutuskan bahwa negara menganggap perkaranya sah sehingga
layak dilanjutkan ke sidang penuh (full scale trial)
Tugas dan wewenang Preliminary Hearings tersebut dilakukan
dengan permohonan atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa,
keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan. Dengan demikian criminal
procedure law pada tahap pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan
berfungsi baik sebagai examinating judge maupun investigating judge.
Harus diakui, tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Hakim Preliminary
hearings sebagaimana dirumuskan dalam US Code - Section 3.060,
ternyata lebih luas daripada wewenang Hakim Praperadilan. Hendaknya
adanya pranata peradilan yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP yang
tujuannya untuk memeriksa sah tidaknya penahanan, seharusnya tidak
hanya semata-mata menilai aspek formal atau administratif penahanan,
tetapi juga aspek yang lebih dalam lagi yaitu rasionalitas perlu tidaknya
dilakukan penahanan. (Trisnia, 80: 2005)
Dengan melihat fungsi serta wewenang Hakim Preliminary
hearings tersebut diatas, maka Preliminary hearings merupakan suatu
tahap proses hukum yang merupakan satu kesatuan dalam rangkaian
criminal procedure law, telah berperan aktif sebagai penyaring perkara
cxx
cxx
dalam fase pemeriksaan pendahuluan. Dengan demikian proses berperkara
yang fleksibel dan cepat dapat meringankan beban terdakwa, sebagai
perwujudan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
b. Kelemahan Preliminary Hearings
Dalam suatu sistem yang dibangun oleh negara yang merupakan
pelopor terhadap kebebasan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia
pun pasti juga tidak akan sempurna dan mempunyai kelemahan. Begitu
pula dengan sistem preliminary hearings yang dimiliki oleh Hukum Acara
Pidana Amerika Serikat.
Berbicara mengenai kepastian hukum, tersangka tidak dapat
mengharapkan hal tersebut terpenuhi pada tahap preliminary hearings. Hal
ini merujuk pada, diperbolehkannya Jaksa Wilayah untuk mengajukan
draft dakwaan (information) untuk kedua kalinya pada perkara yang sama
dengan terdakwa yang sama pula. Perlu diingat bahwa, hukum ada dan
ditegakkan salah satunya adalah untuk memenuhi rasa kepastian hukum
bagi individu. Pengajuan kembali perkara yang sama dengan terdakwa
yang sama pula, merupakan pelanggaran hak individu atas kebebasan dan
hak bebas dari rasa takut yang menjadi semangat pada Bill of Right.
Preliminary hearings dibeberapa Negara bagian dapat langsung
diperiksa oleh Grand Jury (Dewan Juri Agung) dengan inisiatif Jaksa
Wilayah. Hal ini merugikan bagi tersangka, karena Grand Jury tidak
selalu terdiri dari orang yang mengerti hukum.
Mengenai Kesepakatan mengaku bersalah yang menjadi bagian
dari proses preliminary hearings di Amerika Serikat sendiri sampai
sekarang, pemberlakuan kesepakatan mengaku bersalah (plea bargaining)
sejauh ini masih tetap menjadi bahan kajian para ahli hukum. Ahli hukum
menganggap pengakuan bersalah dapat menjadi alat yang ampuh untuk
mendapat pengurangan hukuman di Amerika Serikat. Menurut pendapat
penulis hal bertentangan dengan tujuan dari hukum pidana untuk
mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat akibat dari perbuatan
cxxi
cxxi
tersangka yang menimbulkan delik pidana. Tujuan untuk memberikan efek
jera terhadap masyarakat tidak dapat terpenuhi jika terdapat pemberlakuan
pengakuan bersalah.
Dengan demikian Preliminary Hearing ini pada dasarnya
merupakan hak kontrol dari Pengadilan terhadap upaya paksa dan juga
menyaring perkara sebelum diajukan ke Superior Court atau Full Scale
Trial . Karena itulah hakim diberi wewenang yang demikian luas
mencampuri bidang tugas penyidik maupun penuntut umum dalam hal
pemeriksaan pendahuluan.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
1. Persamaan dan Perbedaan Sistem Praperadilan Sebagai Pencerminan Asas
Pengawasan Horizontal Menurut KUHAP Dengan Sistem Preliminary Hearings
Menurut USA’s Criminal Procedure Code
Persamaan antara praperadilan dan preliminary hearings adalah yang kesatu
tujuannya sama-sama melindungi hak asasi manusia terhadap tindakan upaya
paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum agar tidak melanggar hak
asasi manusia. Kedua memiliki fungsi sebagai pengawas pada tahap pemeriksaan
pendahuluan. Ketiga sama-sama membutuhkan peran Hakim, Jaksa dan
Kepolisian untuk melaksanakan fungsi Pra Peradilan dan preliminary hearings
agar bisa melaksanakan tugas-tugasnya untuk mengawasi tindakan upaya paksa
terhadap tersangka ataupun terdakwa.
Perbedaan antara Pra Peradilan dan preliminary hearings adalah yang kesatu
latar belakang sistem hukum yang berbeda membuat sistem beracara dan proses
pembuktian berbeda. Kedua Praperadilan merupakan tahap pemeriksaan
cxxii
cxxii
pendahuluan yang dapat dilaksanakan ketika ada permohonan dari tersangka atau
kuasa hukumnya atau pihak ketiga yang berkepentingan, preliminary hearings
merupakan tahap pemeriksaan pendahuluan yang satu menjadi kesatuan proses
beracara pidana sebelum perkara tersebut dilimpahkan ke sidang penuh (full scale
trial) atau sidang dengan juri (trial by jury). Ketiga wewenang yang dimiliki
Praperadilan lebih sempit jika dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki
preliminary hearings.
2. Kelebihan dan Kelemahan Sistem Praperadilan Sebagai Pencerminan Asas
Pengawasan Horizontal menurut KUHAP dengan Sistem Preliminary Hearings
Menurut USA’s Criminal Procedure Code
Kelebihan praperadilan dalah pertama merupakan pencerminan asas
horizontal yang dianut oleh KUHAP untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa
penuntut umum yang telah melakukan upaya paksa agar
mempertanggungjawabkan tindakannya di muka pengadilan. Kedua Praperadilan
merupakan suatu forum yang terbuka untuk melakukan kontrol terhadap tindakan
upaya paksa, sehingga memenuhi syarat keterbukaan dan akuntabilitas publik.
Ketiga keterbukaan merupakan syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas
dan tidak memihak dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kelemahan praperadilan adalah kesatu tidak semua upaya paksa dapat
dimintakan pemeriksaan untuk diuji dan dinilai kebenaran dan ketepatannya oleh
lembaga Pra Peradilan. Kedua Pra Peradilan tidak berwenang untuk menguji dan
menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, tanpa adanya
permintaan dari tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
Ketiga Hakim lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat
formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan daripada
memperhatikan apakah ada pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan
upaya paksa dalam tahap pemeriksaan pendahuluan.
Kelebihan preliminary hearings adalah kesatu fungsi preliminary hearings di
Negara Amerika Serikat benar-benar dapat disebut pra-peradilan, karena
75
cxxiii
cxxiii
kewenangannya dalam menentukan sah tidaknya penangkapan dan penahanan
serta melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara sebelum dilimpahkan
ke proses pidana yang lebih tinggi atau dengan kata lain merupakan seleksi atas
perkara pidana yang diajukan ke Pengadilan. Kedua, preliminary hearings memiliki
tugas dan kewenangan yang lebih luas dari Praperadilan. Ketiga dalam preliminary
hearings tindakan Hakim pada pada tahap bersifat aktif, dan berfungsi baik
sebagai examinating judge maupun investigating judge.
Kelemahan preliminary hearings adalah kesatu kepastian hukum dari
tersangka tidak terjamin, karena Jaksa Wilayah dapat mengajukan kembali perkara
pidana untuk yang kedua kalinya, meskipun hanya dengan petunjuk kabar angin.
Kedua, kesepakatan mengaku bersalah (plea bargaining) dalam proses preliminary
hearings tidak memberikan pembelajaran yang baik bagi masyarakat, khususnya
bagi individu yang telah melakukan perbuatan pidana. Ketiga, di beberapa Negara
bagian preliminary hearings dapat diputus oleh Grand Jury atas dasar inisiatif Jaksa
Wilayah, Grand Jury belum terdiri dari orang-orang yang tidak keseluruhan paham
akan hukum, sehingga merugikan tersangka.
B. Saran
Kewenangan Praperadilan sebaiknya diperluas tidak hanya memeriksa hal-
hal yang bersifat “administrasi” saja atau formalitasnya. Hakim setidaknya berani
untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik dalam mengontrol dan
memberikan jaminan perlindungan HAM, dengan lebih memeriksa syarat-syarat
materiil dari permohonan yang diajukan kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Arta Jaya.
cxxiv
cxxiv
Darwin Prinst. 1993. Praperadilan dan Perkembangannya di dalam Praktik. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
cxxv
cxxv
B. Ervan Saropie. Lembaga Hakim Komisaris Sebagai Pengganti Praperadilan
Dalam RUU KUHAP (suatu pembaharuan dalam hukum acara pidana
Indonesia)
http://www.google.co.id/search?q=ervan+Saropie+skripsi&ie=utf-
8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a. (31
Februari 2010)
C. Friedman, Lawrence M. 2001. American Law An Introduction (Hukum
Amerika: Sebuah Pengantar). Jakarta: Tatanusa.
D. Johnny Ibrahim. 2006. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
E. Leipold, D. Andrew, Preliminary Hearing - A Procedural Overview, The
Defendant's Right To A Preliminary Hearing, Other Functions Of A
Preliminary Hearing. http://law.jrank.org/pages/1721/Preliminary-
Hearing.html, [22 Januari 2010, Pukul 10.00].
F. Lexi J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rodakarya.
G. Loebby Loqman. 1984. Pra Peradilan di Indonesia. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
H. Moeljatno, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi
Aksara.
I. M. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali). Jakarta : Sinar Grafika.
J. M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika.
cxxvi
cxxvi
K. M. Sofyan Lubis. Praperadilan. http://hukumonline.co.id/artikel.html> [2
Februari 2010].
L. P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung :
PT Citra Aditya Bakti.
M. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
N. Pfeifer Jr, William L. What Is a Preliminary Hearing Understanding Basic
Procedures in Criminal Law.
http://law.suite101.com/article.cfm/what_is_a_preliminary_hearing. [22
Januari 2010 Pukul 10.00]
O. Ratna Nurul Alfiah. 1989. Praperadilan dan Ruang Lingkupnya. Jakarta: CV.
Akademika Presindo
P. Rini Kustiani. Penghentian BLBI, Kejaksaan Dinilai Lepas Tanggung Jawab.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/03/01/brk,20080301-
118381,id.html [12 Desember 2009 Pukul 09.15]
Q. Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar
Maju.
R. Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System). Bandung: Binacipta.
S. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia (UI-Press).
T. Suara Pembaharuan. (http://www.suarapembaharuan.co.id/2009/08/29/tidak-
terima-lapor-polisi.html)
U. Surya Online. Karangan Bunga di Pusara Korban Jagal Jombang.
http://www.surya.co.id/2009/02/18/karangan-bunga-di-pusara-korban-
jagal-jombang.html. [12 Desember 2009 pukul 09.00]
80
cxxvii
cxxvii
V. Tanpa Pengarang. 1990. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Surabaya. Karya Anda.
Trisnia Ayu Wulandari. 2005. Studi Perbandingan Hukum Pengaturan Sistem Praperadilan Menurut Kuhap Dengan Sistem rechtcommisaris Menurut Hukum Acara Pidana Belanda (Netherlands SV). Surakarta. UNS Library. com.
Winterton. 1975. The American Journal of Comparative Law, Vol. 23.
www. Google. Search?? Negara Hukum.html. [02 Februari 2010 pukul 09.00]