bab i pendahuluan a. latar belakang...pasal 7b uud nri tahun 1945 dan pasal 10 uu nomor 24 tahun...

17
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini hendak mengkritisi praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang akhir-akhir ini cenderung bertindak lebih seperti policy maker sehingga seolah menggantikan pembentuk undang-undang ketimbang sebagai badan yudisial yang fungsi atau lingkup kekuasaannya melakukan ajudikasi. Dengan praktik demikian maka problematik yang muncul adalah tindakan MKRI yang keluar dari lingkup kewenangannya tersebut berdampak pada penyerobotan kewenangan badan legislatif dalam melakukan legislasi yang telah diatur secara spesifik dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945. Secara yuridis, ditinjau dari asas the rule of law, praktik ini berimplikasi menimbulkan efek keberlakuan retroaktif dari hukum (yaitu putusan) yang dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang menuntut keberlakuan hukum secara prospektif. 1 Dalam doktrin trias politica, dikenal asas separation of powers tiga cabang kekuasaan, yaitu: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif; dan kekuasaan yudisial. Fungsi dari asas separation of powers untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan dan mencegah adanya campur tangan antar badan kekuasaan, sehingga badan pemerintahan yang satu tidak dapat melaksanakan kewenangan badan pemerintahan yang lain. 2 Setelah UUD NRI 1945 mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa 1 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Sang Penjaga HAM, Bandung, PT. Alumni, 2013 (selanjutnya disingkat Titon Slamet Kurnia I), h. 203. 2 Khumaidi, Pemisahan Dan Pembagian Kekuasaan Dalam Konstitusi Perspektif Desentralisasi, Jurnal Kebangsaan, Volume 6, Nomor 1, September Tahun 2012, h. 19.

Upload: others

Post on 05-Dec-2020

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini hendak mengkritisi praktik pengujian konstitusionalitas

undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI)

yang akhir-akhir ini cenderung bertindak lebih seperti policy maker sehingga

seolah menggantikan pembentuk undang-undang ketimbang sebagai badan

yudisial yang fungsi atau lingkup kekuasaannya melakukan ajudikasi.

Dengan praktik demikian maka problematik yang muncul adalah tindakan

MKRI yang keluar dari lingkup kewenangannya tersebut berdampak pada

penyerobotan kewenangan badan legislatif dalam melakukan legislasi yang

telah diatur secara spesifik dalam Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945. Secara

yuridis, ditinjau dari asas the rule of law, praktik ini berimplikasi

menimbulkan efek keberlakuan retroaktif dari hukum (yaitu putusan) yang

dianggap bertentangan dengan asas legalitas yang menuntut keberlakuan

hukum secara prospektif.1

Dalam doktrin trias politica, dikenal asas separation of powers tiga

cabang kekuasaan, yaitu: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif; dan

kekuasaan yudisial. Fungsi dari asas separation of powers untuk mencegah

konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan dan mencegah adanya campur

tangan antar badan kekuasaan, sehingga badan pemerintahan yang satu tidak

dapat melaksanakan kewenangan badan pemerintahan yang lain.2 Setelah

UUD NRI 1945 mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa

1 Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Sang Penjaga

HAM, Bandung, PT. Alumni, 2013 (selanjutnya disingkat Titon Slamet Kurnia I), h. 203. 2 Khumaidi, “Pemisahan Dan Pembagian Kekuasaan Dalam Konstitusi Perspektif

Desentralisasi”, Jurnal Kebangsaan, Volume 6, Nomor 1, September Tahun 2012, h. 19.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

2

sistem konstitusi Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu

secara nyata, bukti mengenai hal ini adalah hubungan-hubungan antar

lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain

sesuai dengan prinsip checks and balances.3

MKRI di Indonesia merupakan salah satu lembaga negara pelaku

kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, UUD 1945 telah

menentukan yurisdiksi kewenangan MKRI secara limitatif, yaitu:

pertama, menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945; kedua, memutus

sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

UUD NRI 1945; ketiga, memutus pembubaran partai politik; keempat,

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan kelima,

memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan

terhadap lembaga, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.4

Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif

(legislatif acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah

konsekuensi dari dianutnya prinsip “checks and balances” berdasarkan

doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power).5 Berdasarkan UUD

1945, maka terhadap undang-undang, kewenangan MKRI hanyalah sebatas

menguji undang-undang (judicial review) bukan sebagai policy maker.

Namun menurut Robert Dahl, praktik kekuasaan yudisial (di Amerika

Serikat, Supreme Court) dapat berperan sebagai policy maker hanya apabila

menyangkut kasus-kasus yang berhubungan dengan perlindungan terhadap

3 Jimly Asshiddiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, h. 24. 4 Pasal 24C Ayat (1) Jo. Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5Jimly Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan

Mahkamah Konstitusi”. The Three “E” Lecture Series, @amarica, Pacific Place, Level 3,

Jakarta, Senin, 18 Juni, 2012.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

3

hak-hak minoritas untuk mencegah terjadinya tirani mayoritas. Lebih lanjut

Robert Dahl menyatakan bahwa:

“…majorities may, on rare occasions, become „„tyrannical‟‟; and when they

do, the Court intervenes; and although the constitutional issue may, strictly

speaking, be technically open, the Constitution assumes an underlying

fundamental body of rights and liberties that the Court guarantees by its

decisions”.6

Thus the role of the Court as a policymaking institution is not simple; and it

is an error to suppose that its functions can be either described or appraised

by means of simple concepts drawn from democratic or moral theory. It is

possible, nonetheless, to derive a few general conclusions about the Court‟s

role as a policymaking institution.7

Berdasarkan pemikiran di atas, dan dikaitkan dengan praktik judicial

policy oleh MKRI, maka dapat ditemukan suatu pertentangan fundamental,

sebagaimana ditemukan penulis dalam dua contoh putusan MKRI yaitu:

Putusan No. 5/PUU-V/2007 tentang prosedur pencalonan kepala daerah dan

wakil kepala daerah dalam hal ini secara khusus terkait dengan calon

perseorangan dan Putusan No. 14/PUU-XI/2013 tentang prosedur

penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) yang

dilakukan bersama-sama dengan pemilihan umum legislatif (Pileg). Penulis

berpendapat bahwa para Hakim yang mengadili dan memutus kasus itu

terjebak “off-side” yaitu dengan membuat putusan yang policy-making (me-

legislasi), yaitu membuat suatu ketentuan baru, yang secara substantif sangat

layak dipertanyakan legitimasinya karena sama sekali tidak mengandung isu

perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) yang fundamental.

Dalam hubungan dengan penelitian ini, HAM atau hak-hak yang

fundamental yang dimaksud ialah hak-hak konstitusional yang pengertiannya

akan dijelaskan dalam uraian berikut. Apabila diteliti, UUD NRI 1945 tidak

6 Robert Dahl, “The Democracy Sourcebook”, London, The MIT Press, 2003, h.

247. 7 Ibid. h. 249.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

4

memberikan pengertian apapun tentang “hak konstitusional”. Dalam hukum

positif Indonesia, istilah “hak konstitusional” baru muncul dalam UU No. 24

Tahun 2003 tentang MKRI dan diberi pengertian sebagai hak-hak yang

diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.8 Menurut I Dewa Gede Palguna: “Hak-

hak yang diatur dalam UUD NRI 1945 itu mencakup baik hak-hak yang

tergolong ke dalam hak warga negara (citizen‟s rights) maupun hak-hak

yang tergolong ke dalam hak asasi manusia (human rights).9 Lebih lanjut I

Dewa Gede Palguna mengemukakan:

hak-hak yang tergolong ke dalam hak warga negara di atur dalam Bab X

(Warga Negara dan Penduduk) yang dirumuskan dimulai dengan kata-kata

“segala warga negara” atau “tiap-tiap warga negara” atau “setiap warga

negara”.10

Sedangkan, hak-hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia

diatur dalam Bab XA (Hak Asasi Manusia) yang rumusakan dimulai dengan

kata-kata “setiap orang”.11

Dengan demikian, hak-hak asasi yang fundamental berdasar uraian di atas

ialah sebagaimana ditransformasikan ke dalam Bab XA UUD NRI Tahun

1945 yang secara prinsip konstitusionalisme memberikan kebenaran bagi

MKRI untuk menjalankan kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-

undang dalam rangka memberikan perlindungan HAM sebagaimana

dimaksud, walaupun dengan jalan membuat putusan yang policy maker.

Sebab apabila diidentifikasi Putusan No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan

No. 14/PUU-IX/2013, maka akan ditemukan praktek judicial policy yang

mengintervensi legal policy dari pembuat undang-undang yang jelas-jelas

situasi pertentangan dengan konstitusi tidak secara eksplisit dan kedua

8 Lihat Pasal 51 ayat (1) Jo, Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 9 I Dewa Gede Palguna, “Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint):

Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-hak Konstitusi Warga Negara”, Jakarta, Sinar

Grafika, 2013, h. 3. 10

Pasal 27 UUD NRI 1945. 11

Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD NRI 1945.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

5

putusan tersebut, baik itu Putusan No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan No.

14/PUU-IX/2013 sama sekali tidak memiliki dimensi perlindungan hak asasi

manusia di dalamnya sebagaimana penulis telah kemukakan di atas. Hal

tersebut dapat diuraikan secara singkat di bawah ini:

Pertama, Putusan No. 5/PUU-V/2007, di mana MKRI dalam

putusannya membuat suatu kaidah baru bahwa calon kepala daerah dan wakil

kepala daerah dari jalur perseorangan dibolehkan untuk berkompetisi

memperebutkan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Penulis

berpendapat, pelampauan kewenangan MKRI tersebut sangat kuat

dipengaruhi legal policy legislator pasca Putusan No. 006/PUU-III/2005 c.q

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Terlebih khusus pada

Pasal 67 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 membuka kesempatan bagi

pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di Aceh dari jalur

perseorangan untuk berkompetisi dalam pilkada.

Ketentuan tersebutlah menghantarkan MKRI sampai pada preskripsi

agar UU Pemda menyesuaikan dengan perkembangan baru yang telah

dilakukan oleh pembentuk undang-undang sendiri yaitu dengan memberikan

hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala

daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui parpol atau gabungan

parpol.12

Hal tersebut juga mendapatkan reaksi keras dari para Hakim

Konstitusi yang menyatakan dissenting opinion (Achmad Rostandi, I Dewe

Gede Palguna dan H.A.S. Natabaya). Substansi dissenting opinion tersebut

secara umum menyatakan keprihatinan atas judicial policy yang dipilih

MKRI dengan mengintervensi legal policy legislator yang situasi

pertentangannya dengan konstitusi tidak secara eksplisit.13

12

Putusan MKRI No. 5/PUU-V/2007, h. 52-54. 13

Ibid. h. 295.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

6

Kedua, Putusan No. 14/PUU-IX/2013, merupakan putusan terpenting

dalam ketatanegaraan Indonesia, di mana MKRI mengubah legal policy

pembuat undang-undang tentang Prosedural Penyelenggaraan Pilpres dan

Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan yang awalnya tidak serentak,

diinterpretasikan oleh MKRI menjadi serentak yang lagi-lagi situasi

pertentangannya dengan konstitusi tidak secara eksplisit. Putusan tersebut di

ambil oleh MKRI hanya mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektifitas

terhadap keuangan negara dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial

yang di anut oleh Indonesia.14

Sikap MKRI tersebut mendapatkan

penentangan dari seorang hakim MK15

yang menyatakan dissenting opinion

yang mengemukakan bahwa sikap yang diambil oleh MKRI adalah tindakan

yang mengintervensi legal policy dari pembuat undang-undang, dengan

memberikan alasan bahwa:

“sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui

kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan

kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka

pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah karena

hal tersebut merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-

Undang”.16

Berdasar uraian singkat Putusan No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan No.

14/PUU-IX/2013 di atas, penulis hendak berargumen bahwa MKRI dalam

melakukan kewenangannya menguji undang-undang semestinya tidak dapat

bertindak sebagai policy maker selain secara fundamental cacat atas dasar

kausa yang tidak jelas, juga bertentangan dengan asas hukum yang sudah

berlaku umum yaitu nemo dat quot non habet17

yang memiliki arti jika tidak

14

Putusan MKRI No. 14/PUU-IX/2013, h. 76-77, 81. 15

Maria Farida Indrati, Ibid. h. 92. 16

Ibid. 17

Prinsip Hukum yang berlaku umum tersebut telah diterjemahkan juga dalam

Bahasa Inggris yaitu “if you don‟t have, you can not give”. Sukma Maasawet “Conversion

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

7

mempunyai, maka tidak bisa memberi. Dengan demikian teranglah bahwa

MKRI sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sama sekali tidak memiliki

kewenangan untuk bertindak sebagai policy maker sebagaimana di atur dalam

Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun

2013 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur mengenai sifat putusan

Judicial Review atas Undang-Undang yang dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi, yaitu:18

Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya

menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-

undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian undang-

undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua, putusan

mahkamah konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa

pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan

pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Ketiga, putusan Mahkamah Konstitusi tidak

memuat: (a) amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);

(b) perintah kepada pembuat undang-undang; dan (c) rumusan norma

sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

UU No. 24 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, maka judicial review

yang dilakukan oleh MKRI seharusnya hanyalah menilai atau menguji

Sebagai Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi Perdagangan Internasional”, Skripsi

(tidak dipublikasikan) Fakultas Hukum-UKSW Salatiga, 2013, h. 13. 18

Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

8

konstitusionalitas suatu undang-undang, bukan sebaliknya seperti terjadi

dalam Putusan No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan No. 14/PUU-IX/2013 dengan

peran mengganti kebijakan dari pembuat undang-undang yang disebut policy-

making.

Argumen penulis selanjutnya, berkaitan dengan kesepahaman penulis

terhadap ketidaksetujuan konsep judicial policy yang dikemukakan oleh

seorang ahli19

yang menyatakan bahwa: “untuk kasus pengujian yudisial

konstitusionalitas undang-undang, praktik policy-making akan menimbulkan

rivalitas yang kuat antara badan legislatif dengan MKRI”. Pernyataan

tersebut pernah juga dikemukakan oleh Mahfud MD bahwa berdasarkan latar

belakang sejarah pembentukan MKRI dan risalah-risalah persidangan Panitia

Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat, ketika melakukan pembahasan

perubahan UUD NRI 1945 khusus mengenai kekuasaan kehakiman, MKRI

dalam melakukan kewenangannya menguji undang-undang perlu membatasi

diri, atas beberapa hal, satu di antaranya adalah bahwa dalam membuat

putusan, MKRI tidak boleh memuat isi yang bersifat mengatur karena itu

merupakan domain kewenangan pembuat undang-undang (legislator).20

Akan tetapi perlu dicatat, setelah terpilih menjadi Hakim Konstitusi dan

kemudian menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD justru

lupa dengan apa yang telah disampaikannya sendiri dengan memilih tidak

menaati batasan yang diucapkannya sendiri.

Oleh karena itu seharusnya hal tersebut dihindari, sehingga melahirkan

suatu tuntutan kepada MKRI untuk patuh atau tunduk terhadap dikte hukum

atau konstitusi. Agar tidak terjadi diskrepansi dengan prinsip hukum dan

aturan positif, maka perlu ditelaah dengan cermat mengenai eksistensi MKRI

sebagai policy maker yang diindikasi penulis cacat secara kausa dan

19

Titon Slamet Kurnia I, Op.Cit., h. 203. 20

Moh. Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi”, Jakarta, LP3ES, 2007, h. 98-100.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

9

menyerobot kewenangan badan legislatif karena legitimasi badan-badan

pemerintahan merupakan hal yang niscaya dan sudah diatur melalui proses

pengatribusian oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).

Demikianlah uraian mengenai apa yang telah menjadi latar belakang

Penulis untuk melakukan Penelitian dan penulisan karya tulis ini. Atas dasar

latar belakang seperti itu berikut di bawah ini Penulis merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan penulis di atas maka permasalahan atau isu

utama penelitian ini adalah apakah dalam menjalankan kewenangan menguji

undang-undang terhadap undang-undang dasar MKRI dapat bertindak

sebagai policy maker? Sesuai dengan tesis yang penulis kemukakan di atas,

potensi untuk menjadi policy maker sangat terbatas, dan kalau hal ini yang

menjadi kaidah bagi MKRI maka akan timbul persoalan serius dalam

hubungan antara MKRI dengan legislator karena MKRI menyabot kekuasaan

legislasi dari legislator. Sebagai bagian dari penelitian ini, akan dibahas

secara khusus Putusan MKRI yang menurut penulis problematis jika

dikaitkan dengan hubungan antara MKRI dan legislator.

Untuk menjabarkan atau mem-breakdown tesis atau argumen utama

penelitian ini maka selanjutnya dirumuskan sub-sub isu hukum sebagai

rumusan masalah spesifik penelitian sebagai berikut:

1. Apakah hakikat kewenangan MKRI dalam menguji undang-undang

terhadap undang-undang dasar?

2. Apakah dalam menjalankan menguji undang-undang terhadap undang-

undang dasar ada peluang bagi MKRI untuk bertindak sebagai policy

maker?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

10

3. Apakah Putusan MKRI No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan No. 14/PUU-

IX/2013 telah memenuhi 2 (dua) kriteria di atas?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan

sebelumnya, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut.

1. Menganalisis prinsip/asas mengenai hakikat kekuasaan yudisial dalam

pengujian undang-undang sebagai lembaga yang meng-ajudikasi bukan

me-legislasi.

2. Menganalisis potensi atau kemungkinan MKRI dapat menjadi policy

maker dalam pengujian undang-undang.

3. Mengargumentasikan bahwa Putusan No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan

No. 14/PUU-IX/2013 tidak memenuhi dua kriteria di atas untuk dapat

dikualifikasikan bahwa MKRI dapat bertindak sebagai policy maker yang

legitimate.

D. Kerangka Teori: Pembatasan terhadap Kekuasaan Ajudikasi

Badan Yudisial

1. Konstitutionalisme

Konstitusionalisme merupakan doktrin untuk membatasi setiap

tindakan-tindakan dari setiap cabang kekuasaan pemerintah supaya tidak

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

11

terjadi pemusatan terhadap salah satu cabang kekuasaan.21

Dalam arti sempit

konstitusionalisme merupakan bangunan penyelenggaran negara yang

bersifat otoritatif yang disebut konstitusi atau Undang-Undang Dasar.22

Dalam konteks demikian maka di Indonesia menurut UUD NRI 1945

dan Undang-Undang, MKRI diletakkan sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman di Indonesia yang terbatas kewenangannya. Hal tersebut dapat

dilihat dalam UUD NRI 1945 dan lebih lanjut dijabarkan dalam UU No. 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan

limitatif23

. Pasal 24C Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur

tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

Ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. Ayat (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan

atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan ketentuan di atas, MKRI memiliki empat kewenangan dan

satu kewajiban. Kewenangan MKRI ini kemudian dirinci pada Pasal 10 UU

No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:

Ayat (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) Menguji undang-

21

Lihat Moh. Mahmud M.D., “Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia”, Liberty,

1993, h. 26. 22

Lihat Soetandyo Wignsyosoebroto, “Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya”, ELSAM dan HuMA, Jakarta, 2002, h, 404. 23

Munafrizal Manan, “Penemuan Hukum Oleh Mahkamah Konstitusi”, Bandung,

Mandar Maju, 2012, h. 41.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

12

undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945; (b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; (c) memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; (d) memutus pembubaran partai politik; dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Ayat (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat

DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan

pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau

tidak lagi memenuhi syarat sebagai perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Dari apa yang sudah diuraikan di atas jelas bahwa MKRI dalam

melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD dibatasi oleh hanya

pada lingkup mengadili dan memutus perkara yang diatur dan diberikan oleh

hukum itu sendiri sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Artinya tidak

diperbolehkan atas hukum itu untuk keluar dari apa yang sudah diatur

sebagai kompetensi kewenangan dari MKRI itu sendiri yaitu sebagai

lembaga ajudikasi.

2. Judicial Duty

Judicial Duty pada hakikatnya merupakan pembatasan terhadap

kewajiban hakim dalam melaksanakan tugas ajudikasi yaitu, memutus

perkara berdasar hukum, bukan untuk memutuskan atau melakukan apapun

yang dia sukai.

Untuk memahami teori judicial duty secara umum adalah pernyataan

Philip Hamburger yang menyatakan24

: ... duty to decide in accord with the

law differed from the duty to act under the law ... secara kontekstual

24

Philip Hamburger, “Law and Judicial Duty”, Harvard University Press,

Cambridge-Massachusetts, 2008, h. 104.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

13

pernyataan Philip Hamburger memiliki pengertian bahwa tugas yudisial,

yaitu memutuskan suatu perkara sesuai atau berdasarkan hukum, berbeda

dengan kewajiban bertindak berdasarkan hukum. Artinya pengadilan dalam

melaksanakan ajudikasi harus dilandasi oleh hukum berupa peraturan

perundang-undangan dan prinsip-prinsip hukum sehingga tidak

diperbolehkan bagi pengadilan untuk memutus perkara di luar konsep

judicial duty yaitu memutus perkara tidak berdasarkan hukum yang berlaku.

3. Teori Trias Politica (Doktrin Separation of Power)

Montesquieu, dalam teori Trias Politica25

, membagi kekuasaan negara

secara horizontal, sehingga terdiri atas tiga cabang kekuasaan, yaitu: (1)

Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang; (2) Kekuasaan

eksekutif untuk melaksanakan undang-undang; (3) Kekuasaan yudisial untuk

mengadili dan memutus perkara. Pandangan Montesquieu inilah yang

kemudian dijadikan rujukan doktrin separation of power. Montesquieu

menyatakan:

“When the legislative and executive powers are united in the same person, or

in the same body of magistrate, there can be no liberty; because

apprehensions may arise, lest the same monarch or senate should enact

tyrannical laws, to execute them in a tyrannical manner. Again, there is no

liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and

executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the

subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then

the legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave

with violence and oppression. There would be an end whether three powers,

25

Teori Trias Politika yang selalu dikaitkan dengan Montesquieu sebenarnya

berasal dari John Locke yang mengajarkan pemisahan kekuasaan atas legislatif, eksekutif,

dan federatif kemudian dimodifikasi oleh Montesquieu menjadi legislatif, eksekutif, dan

yudisial Bandingkan dengan John Locke. Two Treatises of Government. Prepared by Rod

Hay. London: R. Griffin and Co. Glasgow. 1823, h. 167.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

14

that of enacting laws, that of executing the public resolutions, and of trying

the causes of individuals”.26

Berdasarkan batasan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa:

Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu bersifat

membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.

Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan

pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan

aturan itu dan menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik

atau perselisihan. Kedua, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan

bahwa masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan

intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Dengan demikian,

independensi masing-masing cabang kekuasaan dapat terjamin. Keempat,

adanya prinsip checks and balances, di mana setiap cabang mengendalikan

dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan

adanya perimbangan yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak

terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat

independen itu.

Dengan demikian, dari sisi konsep asas separation of power, badan

yudisial memiliki fungsi untuk memutus pekara (ajudikasi) sehingga praktik

policy-maker yang dilakukan pengadilan (MK) adalah tindakan yang

mengitervensi kewenangan dari badan legislatif dalam melakukan tugas

membuat legislasi

E. Metode Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa

kewenangan MK dalam judicial review undang-undang, maka metode

26

Baron de Montesquieu. “The Spirit of Laws”. Volume 1. trans. Thomas Nugent.

New York: The Colonial Press. 1899, h. 152.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

15

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum.

Adapun pendekatan yang digunakan perundang-undangan (statute

approach), konsep (conceptual approach), perbandingan (comparative

approach) dan kasus (case approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) diperlukan karena

yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu kewenangan

MK dalam judicial review undang-undang di Indonesia yang dituangkan ke

dalam aturan hukum (UUD NRI 1945 dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sehingga untuk menentukan subtansinya perlu lebih dulu mengacu ke sana.

Sedangkan melalui pendekatan konsep (conceptual approach) akan

memperjelas hakekat dari kompetensi atau kewenangan MKRI sebagai

lembaga “adjudicating” dan akan menguraikan kekuasaan kehakiman seperti

MKRI dapat menjadi policy maker manakala dalam posisi memperjuangkan

hak asasi manusia. Adapun pendekatan perbandingan (comparative

approach), digunakan untuk memahami: Pertama, tugas badan yudisial yaitu

memutus perkara berdasarkan hukum (ajudikasi) dengan merujuk kepada

sumber-sumber hukum berupa kaidah dan legal principles. Kedua,

mengevaluasi konteks yudisial konstitusionalitas undang-undang

sebagaimana dijalankan oleh MKRI dipahami dalam kacamata pengujian

konstitusionalitas undang-undang yang dijalankan oleh Supreme Court of the

Unites Stetes, berserta kasus-kasus yang lain yang terjadi di Hoge Raad

Belanda dan Pengadilan Negara Bagian New York, Amerika Serikat.

Selanjutnya, pendekatan kasus (case approach) penting karena terkait

untuk menjustifikasi penerapan dasar-dasar pengujian yang sifatnya abstrak

ke dalam kasus-kasus konkret sehingga hal itu bermanfaat dalam rangka

melakukan generalisasi untuk membangun suatu pengertian, kasus yang akan

diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

16

Republik Indonesia No. 5/PUU-V/2007 tentang Prosedur Pencalonan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Pemilihan (pilkada), Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 14/PUU-XI/2013 tentang

Prosedur Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Dalam hal teknik pengumpulan data dan sumber penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini meliputi: pertama, bahan hukum primer

yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan dan

putusan pengadilan yang berhubungan dengan penelitian meliputi: UUD NRI

1945, UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-

Undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hal lain yang berkaitan

dengan putusan pengadilan adalah Putusan No. 5/PUU-V/2007 tentang

Prosedur Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam

Pemilihan (pilkada), Putusan No. 14/PUU-XI/2013 tentang Prosedur

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Kedua, bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas

buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat

para sarjana dan hasil simposium yang relevan dengan isu penelitian. Ketiga,

bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Satuan analisis, penelitian ini hendak mengkritisi putusan MKRI yaitu

Putusan No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan No. 14/PUU-IX/2013, dimana

dalam dua putusan tersebut memunculkan suatu fenomena baru dalam

praktik ajudikasi. Sebagaimana sudah dijabarkan penulis di atas bahwa

dalam dua putusan tersebut ditemukan adanya praktek pengujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar yang memiliki dimensi positif

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 5 ... 18 Pasal 57 ayat (1), dan ayat (30 UU No. 8

17

“legislating” yang bertentangan dengan sifat dari kekuasaan kehakiman

tersebut.

Secara ontologis, penulis berpendapat bahwa, tidak setujuh dengan

praktek tersebut, dengan 3 (tiga) argumen yang akan diuraikan sebagai

berikut: pertama, dilihat dari hakekat kekuasaan kehakiman yang melekat

pada badan MKRI itu sendiri yang tidak boleh mempraktekkan “policy-

making”. Selain itu, secara yuridis sudah dikunci dengan adanya Pasal 57

UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2013

tentang Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit, melarang adanya

praktek judicial policy. Akan tetapi sekali lagi secara sosiologis hal itu

ditemukan yaitu dalam Putusan No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan No.

14/PUU-IX/2013.

Kedua, dari judicial duty yang mendikte bahwa MKRI secara

eksistensinya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman (ajudikasi: memutus

perkara berdasarkan hukum), tidak memiliki kewenangan untuk membuat

kebijakan (policy maker) karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh

badan pembuat undang-undang. Sehingga dalam konteks Putusan No.

5/PUU-V/2007 dan Putusan No. 14/PUU-IX/2013 yang berdimensi positif

legislating maka dengan sendirinya praktek praktek tersebut mengingkari

eksistensinya sendiri sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Ketiga, secara aksiologis penulis berpendapat bahwa praktek judicial

policy maker bisa/boleh dilakukan sepanjang hal itu memberi perlindungan

terhadap hak-hak asasi yang fundamental. Akan tetapi perlu disampaikan

disini bahwa sejauh penelusuran penulis pada Putusan No. 5/PUU-V/2007

dan Putusan No. 14/PUU-IX/2013 sama sekali tidak memiliki karakteristik

perlindungan terhadap hak asasi yang fundamental. Dengan demikian,

penulis berpendapat bahwa dua putusan tersebut tidak memiliki legitimasi

karena secara hukum kausanya dianggap cacat.